HUKUM DEMOKRASI, PEMILU DAN BERPARTISIPASI DALAM SYSTEMNYA
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
=====
*****
DAFTAR ISI :
- SEKILAS TENTANG SYSTEM DEMOKRASI:
- HUKUM ALLAH ADALAH MAHA ADIL DAN SYARIATNYA SIMBOL KEADILAN .
- PERINTAH BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH SWT :
- KAFIRKAH BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH ?
- TIDAK SEMUA KATA “KAFIR” & YANG SEMISALNYA BERMAKNA KELUAR DARI ISLAM
- HUKUM BERPARTISIPASI DAN IKUT TERLIBAT DALAM SYSTEM DEMOKRASI
- HUKUM PARTISIPASI MUSLIM DALAM PEMILU BERSAMA NON MUSLIM
- PARA ULAMA KONTEMPORER YANG MENYERUKAN AGAR UMAT ISLAM IKUT SERTA MEMILIH DALAM PEMILU DEMOKRASI
- FATWA SYEIKH MUQBIL HARAMNYA PEMILU
*****
بسم الله الرحمن الرحيم
SEKILAS TENTANG SYSTEM DEMOKRASI:
Demokrasi merupakan system duniawi. Konsep demokrasi ini sangat terkenal dengan slogannya, yaitu : “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Yakni : hukum, perundangan dan lainnya yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentinagn rakyat . Dan yang dimaksud dengan rakyat disini adalah semua individu masyarakat, baik itu muslim maupun non muslim .
Definisi Demokrasi versi Abraham Lincoln: Salah satu definisi paling terkenal tentang demokrasi datang dari Abraham Lincoln, yang mendeskripsikannya sebagai “pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Dalam pandangan Lincoln, demokrasi melibatkan partisipasi aktif rakyat dalam pemerintahan dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Winston Churchill pada tahun 1947 menggambarkan demokrasi sebagai “sistem terburuk kecuali bentuk-bentuk system pemerintahan yang pernah dicoba. Dia berkata :
"No-one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of Government except all those other forms that have been tried from time to time."
Artinya : “Tak seorang pun berpretensi bahwa demokrasi itu sempurna atau serba bijaksana. Memang benar bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk, kecuali bentuk-bentuk lain yang telah dicoba dan teruji dari waktu ke waktu. " [Baca Artikel : Democracy: The Least Bad Form of Government oleh Ian Morris (Board of Contributtor)]
Dalam konteks ini, dia menyoroti bahwa demokrasi memiliki banyak kelemahan.
Dan kebanyakan orang cenderung setuju dengan sentimen Churchill bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan kebijaksanaan orang banyak. Akan tetapi dari sistem demokrasi yang telah berjalan hanya sedikit orang yang merasakan hal ini sampai saat ini.
Dan sepanjang sebagian besar sejarah yang tercatat, demokrasi tidak konsisten untuk disamakan dengan kedaulatan dan kekuasaan rakyat atau massa, melainkan dalam realitanya demokrasi adalah kekuasaan kapitalisme dan oligarki.
Oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
Contohnya Oligarki di Indonesia : Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, oligarki di Indonesia tumbuh subur dalam sistem demokrasi Tanah Air, khususnya dalam gelaran Pemilu dan Pilkada. Rekrutmen calon kepala daerah masih didominasi pimpinan partai. Sedangkan pengurus dan anggota tidak punya akses memadai pada pengambilan keputusan yang dilakukan partai.
Sumber : https://nasional.kompas.com/read/2021/12/20/18341511/arti-istilah-oligarki-dalam-politik?page=all.
BERBEDA DENGAN KONSEP ISLAM :
Dengan demikian demokrasi berbeda dengan konsep Islam. Karena dalam konsep Islam itu ditegaskan bahwa hukum adalah milik Allah, dari Allah, oleh Allah, untuk kemaslahatan umat manusia, dan wajib melaksanakannya semata-mata karena Allah SWT sebagai bukti dan realisasi keimanan, keislaman, kepatuhan dan ketaatan kepada-Nya serta sebagai bentuk ibadah dan penghambaan kepada-Nya.
Dalam konsep Islam hak menetapkan perundang-undangan adalalah hak mutlak milik Allah SWT, tidak diberikan kepada seorang manusiapun, siapapun dia; kecuali dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang merujuk pada hukum Allah . Dan yang berhak berijtihad dalam hal ini adalah para ulama Islam yang memenuhi standar keilmuan dalam berijtihad yang bersumber dari syariat Allah SWT .
TERDAPAT RELASI KUAT ANTARA KAPITALISME, DEMOKRASI DAN GLOBALISASI.
There is a strong relationship among capitalism, democracy and globalization. Jurists of the nine-teenth century have sought to create a legal structure that based on the idea of democracy and the free market, commitment to a democratic republic and the market system as required components of republic. Thus there is a kind of mutualism symbiosis between the demands of the enactment of democratic system and free market mechanisms. Accordingly, globalization, as a new form of capitalist expansion will be running well in any region in which democracy grows. [Key words: capitalism, democracy, globalization, critical legal studies]
Ahli hukum abad ke sembilan belas di Eropa Barat telah berusaha untuk menciptakan struktur hukum yang didasari ide demokrasi dan pasar bebas, ada komitmen terhadap republik yang demokratis dan sistem pasar sebagai bagian yang harus ada dalam republik. Ada simbiosis mutualisma antara tuntutan diberlakukannya sistem demokrasi dengan mekanisme pasar bebas. Globalisasi, sebagai bentuk baru ekspansi kapitalisme, akan bisa berlangsung baik apabila di kawasan manapun ditumbuhkan demokrasi.
[Baca artikel : Mengungkap relasi kapitalisme, demokrasi dan globalisasi (kajian dalam perspektif studi hukum kritis) oleh FX Adji Samekto].
George C. Lodge, dengan mengutif the oxford English dictionary mendefinisikan kapitalisme sebagai “ a sistem which favors the exsistence capitalist,. atau sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal). Pengertian kapitalisme sendiri menurut Lodge adalah “one who had accumulated capital or has it available for employment in interprises”7 dari pendefenisian ini jelas bahwa pemupukan modal( modal accumulation) merupakan ciri utama yang melekat pada sistem kapitalisme. Nah, agar sistem kapitalisme berjalan dengan baik, dibutuhkan sistem hukum formal- rasional . Dengan demikian, sistem kapitalisme akan selalu berada pada posisi stabil, serta dapat diprediksikan keberlangsungannya. Sehingga hukum positif sebagai inti kepastian hukum sangat dibutuhkan.
Robert M. Unger menyatakan bahwa sebenarnya ahli hukum abad ke Sembilan belas telah berusaha menciptakan struktur hukum yang didasari ide demokrasi dan pasar bebas, ada komitmen terhadap Republik yang demokratis dan sistem pasar sebagai bagian yang harus ada dalam Republik. [Robert M. Unger, 1986, The Critical Legal Studies Movement, Harvard university press, hlm 1.]
Dengan demikian, ada semacam simbiosis mutualism antara tuntutan diberlakukannya demokrasi dengan mekanisme pasar bebas, yaitu bahwa pasar bebas akan memberikan keuntungan bagi kepentingan kapitalisme apabila didalam wilayah dimana permintaan dan penawaran berlangsung dijamin adanya demokrasi.
Spirit demokrasi yang berasal dari Eropa barat dan Amerika Serikat diterima sebagai keniscayaan, ternyata menimbulkan kegaduhan dalam implementasinya diberbagai negara di era sekarang ini. Tuntutan mewujudkan demokrasi menimbulkan tindakan tindakan eksesif (berlebihan), baik oleh warga maupun organ Negara. Hal itu bisa kita lihat dari fenomena yang terjadi di Indonesia, terutama pasca keruntuhan pemerintahan president Soeharto (1967-1998).
Berbagai kekacauan yang dilakukan warga dengan mengatasnamakan demokrasi, justru mengancam kebersamaan sesama warga sesama bangsa Indonesia. Disisi lain, upaya upaya menegakkan demokrasi banyak digulirkan berbagai elemen masyarakat.
Jadi seperti ada dua sisi yang berseberangan, disatu sisi implementasi (tuntutan) demokrasi menimbulkan kekacauan, di sisi lain tetap ada upaya mendorong demokrasi agar tegak walaupun negeri ini belum siap secara struktur, aturan aturannya dan kultur warga dan penyelenggaraan negaranya. Hal ini karena demokrasi diterima sebagai keniscayaan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa wacana demokrasi merupakan wacana yang lahir melalui sejarah panjang di Eropa, yang akhirnya memuncak pada revolusi perancis 1789. Sejarah demokrasi mengalami pasang surut sejak era yunani (sebelum masehi), yang terus menerus bersentuhan dengan fenomena kekuasaaan.
[ Baca : “hukum dalam perspektif islam dan kapitalisme” oleh Abu Yazid Adnan]
*****
HUKUM ALLAH ADALAH MAHA ADIL DAN SYARIATNYA SIMBOL KEADILAN .
Bagi seseorang yang merasa dirinya sebagai seorang mukmin , maka tentunya dia tidak akan mengeluarkan pendapat tentang sebuah hukum kecuali setelah ia bertanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksudnya : merujuk kepada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad ﷺ . Terutama bila pertanyaan itu menyangkut urusan yang pokok dalam kehidupannya.
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang memberikan petunjuk bagaimana seorang mukmin mesti bersikap terhadap hukum yang berkaitan dengan kehidupan beragama dan bermu’amalah .
Di antaranya adalah ayat-ayat sebagai berikut:
Allah SWT berfirman :
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS. Al-Ma’idah : 8]
Dan Allah SWT berfirman :
{ وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ }
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(QS Al Maidah ayat 49)
Dalam buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” Muhammad Nasib Ar-Rifa’i mengomentari potongan ayat yang berbunyi :
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah…” dengan catatan sebagai berikut: ”Hai Muhammad, putuskanlah perkara di antara seluruh manusia dengan apa yang diturunkan Allah kepadamu dalam kitab yang agung ini (yaitu Al-Qur’an)…”
Sedangkan firman Allah Azza Wa Jalla :
{ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ }
”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah ayat 50)
Berkaitan dengan ayat di atas, maka dalam buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” penulis mencatat :
”Allah mengingkari orang yang berhukum kepada selain hukum Allah, karena hukum Allah itu mencakup segala kebaikan dan melarang segala keburukan. Berhukum kepada selain hukum Allah berarti beralih kepada hukum selain-Nya, seperti kepada pendapat, hawa nafsu dan konsep-konsep yang disusun oleh para tokoh tanpa bersandar kepada syariat Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah yang berhukum kepada kesesatan dan kebodohan yang disusun berdasarkan penalaran dan seleranya sendiri. Oleh karena itu Allah berfirman ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?” dan berpaling dari hukum Allah.”
Adapun bagian akhir dari ayat di atas yang berbunyi :
”…siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Maka penulis buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan:
”siapakah yang hukumnya lebih adil daripada Allah bagi orang yang memahami syariat Allah dan beriman kepada-Nya serta meyakini bahwa Allah adalah yang Maha Adil di antara para hakim?
Al-Hasan al-Bashry mengatakan : ”Barangsiapa yang berhukum kepada selain hukum Allah maka hukum itu merupakan hukum jahiliyah.”
Al-Imam Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi ﷺ bersabda :
((أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلَاثَةٌ مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ))
"Manusia yang paling dimurkai Allah ada tiga : (1) Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram. (2) Orang yang menghendaki tradisi jahiliyah dalam Islam. (3) Dan orang yang menuntut darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan untuk menumpahkan darahnya." ( HR. Bukhory no. 6374 )
Hanya Allah Sang Pencipta manusia yang pasti Maha Adil karena Dia tidak ada kepentingan apapun untuk diri-Nya terhadap hukum yang dibuatnya dan Dia menentukannya untuk kemaslahatan segenap umat manusia.
Allah SWT berfirman :
{ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ }
”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS Al-Maidah ayat 48)
Pada bagian ayat :
”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu…”
Penulis buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” mencatat :
”Allah mencanangkan aneka syariat yang bervariasi untuk menguji hamba-hambaNya dengan apa yang telah disyariatkan kepada mereka. Dan Allah mengganjar atau menyiksa mereka karena mentaati atau mendurhakaiNya. Barangsiapa yang mentaati hukum Allah berarti bakal diganjar dengan pahala di dunia dan di akhirat. Sedangkan mereka yang menolak pemberlakuan hukum Allah bakal disiksa karena penolakannya untuk mematuhi hukum Allah dan lebih ridha dengan hukum buatan manusia. [Di kutip dari buku : “ KONSEP DEWA – DEWI “ karya Abu Haitsam Fakhry].
*****PERINTAH BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH SWT :
Allah SWT telah berfirman :
{ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ }
“ Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir “ . ( QS. Al-Maidah: 44)
{ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ }
“ Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim “ .(QS. Al-Maidah: 45)
{ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ }
“ Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq “ .(QS. Al-Maidah: 47)
PENAFSIRAN PARA SHAHABAT DAN PARA TABI’IN AKAN AYAT-AYAT DIATAS
Ayat Allah yang mulia ini telah ditafsirkan oleh ahli tafsir dari kalangan shahabat Rasulullah ﷺ yaitu Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata:
“Dengannya (perbuatan itu) adalah kekafiran, namun bukan kafir terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya.”
Dalam riwayat lain beliau berkata:
“Bukan (yang dimaksud) adalah kekufuran yang mereka (KHAWARIJ) inginkan. Sesungguhnya (ayat ini) bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, (namun) kufrun duuna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran, yaitu tidak mengeluarkannya dari Islam).”
(Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan berkata : “ sanadnya shahih “, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Dan Terdapat jalur lain , silakan lihat dalam “السلسلة الصحيحة” oleh Syeikh Al-Albani 6/113-114).
Ibnu Mas’ud RA dan Al-Hasan al-Bahry berkata :
”Ayat ini umum untuk SETIAP ORANG yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan yaitu yang meyakini (tidak wajibnya) dan menganggap halal (berhukum dengan selain hukum Allah).” [الجامع لأحكام القرآن 6/190]
Mujahid berkata :
”Barang siapa yang meninggalkan berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena bersikeras menentang [عِنَاد] kitabullah maka ia kafir, zhalim, fasiq.” [ مختصر تفسير الخازن 1/310]
‘Ikrimah RA berkata :
“Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena juhud (mengingkari) kepadanya maka ia kafir, dan barang siapa yang menetapkan (kewajiban berhukum dengannya) namun ia tidak berhukum dengannya maka ia zalim fasiq.” [ مختصر تفسير الخازن 1/310]
Berkata ‘Ali bin Abi Thalhah rahimahullah:
”Barang siapa yang JUHUD (mengingkari) kepada apa yang Allah turunkan maka ia telah kafir, dan barang siapa yang menetapkan (kewajibannya) namun ia tidak berhukum dengannya maka ia dzalim dan fasiq.” [Diriwayatkan oleh ibnu Jarir at-Thobariy dalam tafsirnya 4/333 cet. Dar ibnu Hazm]
Al Imam Ibnu Abdil Barr (wafat tahun 463H), beliau berkata dalam At Tamhid (5/74):
"وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْجُورَ فِي الْحُكْمِ مِنَ الْكَبَائِرِ لِمَنْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ عَالِمًا بِهِ، رُوِيَتْ فِي ذَلِكَ آثَارٌ شَدِيدَةٌ عَنِ السَّلَفِ، وَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾، ﴿الظَّالِمُونَ ﴾، ﴿الْفَاسِقُونَ ﴾ نُزِلَتْ فِي أَهْلِ الْكِتَابِ، قَالَ حُذَيْفَةُ وَابْنُ عَبَّاسٍ: وَهِيَ عَامَّةٌ فِينَا؛ قَالُوا لَيْسَ بِكُفْرٍ يُنَقَّلُ عَنِ الْمِلَّةِ إذَا فَعَلَ ذَلِكَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ هَذِهِ الْأُمَّةِ حَتَّى يُكَفِّرَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ رُوِيَ هَذَا الْمَعْنَى عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ بِتَأْوِيلِ الْقُرْآنِ مِنْهُمْ ابْنُ عَبَّاسٍ وَطَاوُوسٍ وَعَطَاءٍ".
“Ulama sepakat bahwa penyimpangan dari hukum Allah termasuk dosa-dosa besar bagi orang yang sengaja melakukannya sedang dia mengetahui kewajiban untuk berhukum kepada hukum Allah, telah diriwayatkan akan hal itu atsar dari para salaf.
Allah telah berfirman yang artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Di ayat sesudahnya “mereka itulah orang-orang yang zalim” dan ayat sesudahnya “mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Ayat ini diturunkan terkait dengan Ahli Kitab. Hudzaifah dan Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini umum dan mencakup umat kita”. Mereka mengatakan: “Akan tetapi hal itu tidak mengeluarkan pelakunya dari agama apabila seseorang dari umat ini melakukannya hingga dia mengkufuri Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kiamat. Penjelasan semisal diriwayatkan dari para ulama’ di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Thawus dan Atho'".
*****KAFIRKAH BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH ?
IBNUL JAUZIY rahimahullah Berkata :
“ Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini adalah kafir.
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya – tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu hanya sebatas zhalim dan fasiq [tidak kafir]“.
Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata :
مَنْ جَحَدَ مَا أَنْزَلَ الله؛ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ أَقَرَّ بِهِ ؛ وَلَمْ يَحْكُمْ بِهِ ؛ فَهُوَ ظَالِمٌ فَاسِقٌ
‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu Zhalim dan fasiq” [lihat زاد المسير 2/366]
Berkata IMAM AL QURTHUBY rahimahullah:
Zhahir ayat ini (yaitu QS 5:44) dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa, padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut.
Penjelasannya adalah: Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi.
Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia BERMAKSIAT dengan meninggalkannya.
Demikian pula halnya pada setiap perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini; seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. [ Baca : “المفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم” 5/117]
Dan IBNUL ‘AROBIY berkata :
“ Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapanbahwa hal tersebut dari Allah, maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya.
Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan konsep Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa” [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624]
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah
“ Apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini bolehnya maka ini kufur akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama.
Adapun jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar, dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut “.
Atas nama : Ketua : Abdul ‘Aziz bin Baz . Wakil ketua: Abdurrazzaq ‘Afifi . Anggota: Abdullah Ghudayyan. (Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105)
Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Beliau berkata setelah menjelaskan sebab kesesatan:
“Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh membawa ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah berupa undang-undang buatan manusia.
Saya berkata: tidak boleh mengkafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama, jika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah.
Sebab walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain, yaitu keimanan mereka dan pembenaran mereka dengan apa yang diturunkan Allah. Berbeda dengan Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allah).”
Beliau berkata pula:
“Kekufuran terbagai menjadi dua macam : kufur i’tiqadi dan amali.
Adapun i’tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di jasmani.
Barangsiapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur i’tiqadi yang tidak diampuni Allah dan dikekalkan pelakunya dalam neraka selamanya.
Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya dalam hal amalan, maka kekafiran adalah amali saja dan bukan kufur i’tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah, jika Dia menghendaki maka disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni.” ( Selesai )
(lihat “سلسلة الصحيحة” oleh syeikh Al-Albani, 6/111-112)
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata:
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena meremehkan, atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk, atau yang semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam.
Di antara mereka adalah orang yang membuat undang-undang untuk manusia yang menyelisihi syariat Islam agar dijadikan sebagai metode yang manusia berjalan di atasnya. Karena mereka tidaklah meletakkan undang-undang yang menyelisihi syariat Islam tersebut melainkan mereka meyakini bahwa hal tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi makhluk. Karena telah diketahui secara akal yang pasti dan secara fitrah bahwa tidaklah manusia berpaling dari suatu metode menuju metode yang lain yang menyelisihinya, melainkan dia meyakini adanya keutamaan metode yang dia condong kepadanya dan adanya kekurangan pada metode yang dia berpaling darinya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah namun dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini bahwa hukum yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya atau yang semisalnya,maka dia dzalim dan tidak kafir. Dan berbeda tingkatan kedzalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah bukan karena merendahkan hukum Allah, tidak pula meremehkan dan tidak meyakini bahwa hukum yang lainnya lebih mendatangkan maslahat dan lebih manfaat bagi makhluknya atau semisalnya, namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotisme terhadap yang dihukum, atau karena sogokan, atau yang lainnya dari kepentingan duniamaka dia fasiq dan tidak kafir.
Dan berbeda pula tingkatan kefasiqannya, tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.”
Kemudian beliau berkata:
“Masalah ini, yaitu masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim (pemerintah) di jaman ini.
Hendaklah seseorang tidak terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka dengan apa yang mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya kebenaran, karena masalah ini sangatlah berbahaya –kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan teman dekat mereka–.
Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu, untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujjah dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada seorang pun, karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan milik kaum mukminin.” ( Selesai )
(Lihat : “شرح ثلاثة الأصول” karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 158-159 )
TIDAK SEMUA KATA “KAFIR” & YANG SEMISALNYA BERMAKNA KELUAR DARI ISLAM
Tidak semua kata "kafir", kata "syirik", kata "kekal dalam neraka" dan kata-kata yang semisalnya dalam al-Quran dan Hadits itu bermakna seseorang keluar dari agama Islam.
Berikut ini contoh kata-kata tersebut yang terkadang tidak menunjukkan bahwa seorang muslim jika melakukan hal tersebut telah keluar dari agama Islam :
Pertama : Firman Allah SWT :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Maidah : 44].
Al Imam Ibnu Abdil Barr (wafat tahun 463H), beliau berkata dalam At Tamhid (5/74):
"وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْجُورَ فِي الْحُكْمِ مِنَ الْكَبَائِرِ لِمَنْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ عَالِمًا بِهِ، رُوِيَتْ فِي ذَلِكَ آثَارٌ شَدِيدَةٌ عَنِ السَّلَفِ، وَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾، ﴿الظَّالِمُونَ ﴾، ﴿الْفَاسِقُونَ ﴾ نُزِلَتْ فِي أَهْلِ الْكِتَابِ، قَالَ حُذَيْفَةُ وَابْنُ عَبَّاسٍ: وَهِيَ عَامَّةٌ فِينَا؛ قَالُوا لَيْسَ بِكُفْرٍ يُنَقَّلُ عَنِ الْمِلَّةِ إذَا فَعَلَ ذَلِكَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ هَذِهِ الْأُمَّةِ حَتَّى يُكَفِّرَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ رُوِيَ هَذَا الْمَعْنَى عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ بِتَأْوِيلِ الْقُرْآنِ مِنْهُمْ ابْنُ عَبَّاسٍ وَطَاوُوسٍ وَعَطَاءٍ".
“Ulama sepakat bahwa penyimpangan dari hukum Allah termasuk dosa-dosa besar bagi orang yang sengaja melakukannya sedang dia mengetahui kewajiban untuk berhukum kepada hukum Allah, telah diriwayatkan akan hal itu atsar dari para salaf.
Allah telah berfirman yang artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Di ayat sesudahnya “mereka itulah orang-orang yang zalim” dan ayat sesudahnya “mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Ayat ini diturunkan terkait dengan Ahli Kitab. Hudzaifah dan Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini umum dan mencakup umat kita”. Mereka mengatakan: “Akan tetapi hal itu tidak mengeluarkan pelakunya dari agama apabila seseorang dari umat ini melakukannya hingga dia mengkufuri Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kiamat. Penjelasan semisal diriwayatkan dari para ulama’ di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Thawus dan Atho'".
Kedua : Firman Allah SWT :
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kamu, dan jika kamu mengkufuri (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. [QS. Ibrahim: 7 ]
Ketiga : Kata semakna dengan Kafir :
Allah SWT berfirman :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
" Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia KEKAL di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya". [QS. An-Nisaa' : 93 ]
Syeikh Rabi' al-Madkholi berkata :
وهذا الوعيد الصريح في خلود قاتل النفس متعمداً في النار مع غضب الله عليه ولعنه يلزم من يكفر تارك الصلاة أن يكفره؛ لأن الله حكم عليه بالخلود، ولم يحكم على تارك الصلاة بمثل هذا الحكم.
Ini adalah peringatan yang jelas dan gamblang tentang kekalnya seorang pembunuh dengan sengaja di dalam api Neraka , dengan murka dan kutukan Allah atas dirinya.
Mestinya orang yang mengatakan kafirnya orang yang meninggalkan sholat , juga mengkafirkan orang yang membunuh seorang muslim dengan sengaja ; Karena Allah SWT menghukum dia dengan kekal . Akan tetapi Allah tidak menghukumi orang yang meninggalkan doa dengan hukuman seperti itu". [https://kulalsalafiyeen.com › ...]
Ditambah lagi dengan firman Allah tentang resiko bagi seorang penghilang nyawa :
{ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا }
"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya". [QS. Al-Maidah : 32].
Allah SWT tidak mengatakan hal seperti ini terhadap orang yang meninggalkan shalat.
Keempat : dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
« سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ »
"Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya merupakan kekufuran."
(Muttafaqun 'alaih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
"ففرق بين قتاله وسبابه وجعل أحدهما فسوقا لا يكفر به والآخر كفر، ومعلوم أنه إنما أراد الكفر العلمي لا الاعتقادي، وهذا الكفر لا يخرجه من الدائرة الإسلامية والملة بالكلية".
“Dan Nabi ﷺ membedakan antara memerangi muslim dan mencacinya. Beliau menjadikan salah satu diantara sebagai perbuatan kefasikan, dan yang lain sebagai kekufuran. Dan yang ma’lum bahwasannya yang beliau ﷺ maksudkan hanyalah kufur ‘amaliy, bukan kufur i’tiqadiy, dan kekufuran ini tidak mengeluarkannya dari agama Islam secara keseluruhan” [Ash-Shalaah, hal. 58].
Tentu saja yang dimaksudkan beliau rahimahullah di sini adalah kufur amaliy yang tidak bertolak-belakang dengan keimanan sehingga tidak dikafirkan.
Kelima : Dari Abu Bakar ash-Shiddiiq radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda :
« كُفْرٌ بِاللَّهِ ادِّعَاءٌ إِلَى نَسَبٍ لَا يُعْرَفُ وَكُفْرٌ بِاللَّهِ تَبَرُّؤ مِنْ نَسَبٍ وَإِنْ دَقَّ ».
{kekufuran kepada Allah bagi orang yang mengaku-ngaku nasabnya kepada orang yang tidak dikenal, kekufuran kepada Allah bagi orang yang melepaskan diri dari nasabnya, sekalipun yang dinasabkan tersebut remeh}
[HR. Ahmad no. 7019 dan ad-Daarimi no. 2737 , al-Bazzar dalam “Musnad” 1/139 (70), dan al-Tabarani dalam “Al-Awsath” 3/167 (2818) dan al-Khollaal dalam as-Sunnah no. 1529]
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah yang semakna dengannya dengan sanad yang dikatakan hasan shahih oleh Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jaami' no. 4485
Keenam : Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)
Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 60)
Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 61)
Ketujuh : Dari [Abu Hurairah] dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Barangsiapa menggauli wanita haid, atau menggauli wanita dari dubur, atau mendatangi dukun maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad ﷺ."
[ HR. Abu Dawud (3904), Al-Tirmidzi (135), Al-Nasa’i di ((Al-Sunan Al-Kubra)) (9017), Ibnu Majah (639), dan Ahmed (10167) ].
Di Hasankan oleh al-Haafidz Ibnu Hajar dalam Hidaayah ar-Ruwaah 4/294 dan di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 3904.
Kedelapan : Dari [Zaid bin Khalid Al Juhaini] bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
قَالَ رَبُّكُمْ : أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
"Rabb kalian berfirman: 'Di pagi ini ada hamba-hamba Ku yang menjadi Mukmin kepada-Ku dan ada pula yang menjadi kafir.
Orang yang berkata, 'Hujan turun kepada kita karena karunia Allah dan rahmat-Nya', maka dia adalah yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang.
Adapun yang berkata, 'Hujan turun disebabkan bintang ini dan itu', maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang'." [HR. Bukhori no. 846].
Kesembilan : Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah kafir atau berbuat syirik.”
[HR. Abu Dawud (3251), Al-Tirmidzi (1535) dan Ahmad (6072). Dishahihkan oleh as-Suyuthi dalam al-Jaami' ash-Shaghiir no. 8623 dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 2042 dan al-Irwaa' no. 2561]
Kesepuluh : Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah ﷺ :
" مُدْمِنُ الْخَمْرِ كَعَابِدِ وَثَنٍ "
"Orang yang kecanduan minuman keras [khamr] seperti orang yang menyembah berhala."
[HR. Ibnu Majah no. 3375 . Digolongkan sebagai hadits hasan oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah, 2720].
Kesebelas : Dari Abu Syuraih Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda :
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Nabi ditanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, ”Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6016).
Ibnu Baththal menuturkan :
" فِي هَذَا الْحَدِيثِ تَأْكِيدُ حَقِّ الْجَارِ لِقَسَمِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ وَتَكْرِيرِهِ الْيَمِينَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَفِيهِ نَفْيُ الْإِيمَانِ عَمَّنْ يُؤْذِي جَارَهُ بِالْقَوْلِ أَوِ الْفِعْلِ وَمُرَادُهُ الْإِيمَانُ الْكَامِلُ وَلَا شَكَّ أَنَّ الْعَاصِي غَيْرُ كَامِلِ الْإِيمَانِ ".
”Hadits ini menegaskan betapa besarnya hak bertetangga, karena Nabi ﷺ memulainya dengan bersumpah yang diulangi sampai tiga kali, dan juga menafikan keimanan seseorang yang menyakiti tetangganya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Maksud dari tidak beriman di sini adalah iman yang tidak sempurna. Tidak diragukan, bahwa orang yang bermaksiat tidak sempurna imannya.” [ Dikutip Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 10/444].
Imam An-Nawawi menyebutkan tentang penafian keimanan dalam masalah seperti ini dengan dua jawaban :
"أَحَدُهُمَا أَنَّهُ فِي حَقِّ الْمُسْتَحِلِّ وَالثَّانِي أَنَّ مَعْنَاهُ لَيْسَ مُؤْمِنًا كَامِلًا . وَيُحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ أَنَّهُ لَا يُجَازَى مُجَازَاةَ الْمُؤْمِنِ بِدُخُولِ الْجَنَّةِ مِنْ أَوَّلِ وَهْلَةٍ مَثَلًا أَوْ أَنَّ هَذَا خَرَجَ مَخْرَجَ الزَّجْرِ وَالتَّغْلِيظِ وَظَاهِرُهُ غَيْرُ مُرَادٍ وَاللَّهُ أعلم
Pertama : berlaku bagi orang yang menghalalkan perbuatan tersebut. Kedua : maknanya adalah orang yang tidak sempurna imannya.
Dan ada kemungkinan yang dimaksud adalah bahwa orang beriman tidak bisa dibalas dengan masuk surga sejak awal, misalnya, atau ini maksudnya adalah hanya sebatas kecaman dan ancaman keras . Dan kata-kata yang nampak itu bukan yang dimaksud". Wallahu a'lam .
[ Dikutip Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 10/444].
Kedua belas : Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
" مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالْإِبِلُ قَالَ وَلَا صَاحِبُ إِبِلٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا وَمِنْ حَقِّهَا حَلَبُهَا يَوْمَ وِرْدِهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ أَوْفَرَ مَا كَانَتْ لَا يَفْقِدُ مِنْهَا فَصِيلًا وَاحِدًا تَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا وَتَعَضُّهُ بِأَفْوَاهِهَا كُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ أُولَاهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالْبَقَرُ وَالْغَنَمُ قَالَ وَلَا صَاحِبُ بَقَرٍ وَلَا غَنَمٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ لَا يَفْقِدُ مِنْهَا شَيْئًا لَيْسَ فِيهَا عَقْصَاءُ وَلَا جَلْحَاءُ وَلَا عَضْبَاءُ تَنْطَحُهُ بِقُرُونِهَا وَتَطَؤُهُ بِأَظْلَافِهَا كُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ أُولَاهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالْخَيْلُ قَالَ الْخَيْلُ ثَلَاثَةٌ هِيَ لِرَجُلٍ وِزْرٌ وَهِيَ لِرَجُلٍ سِتْرٌ وَهِيَ لِرَجُلٍ أَجْرٌ فَأَمَّا الَّتِي هِيَ لَهُ وِزْرٌ فَرَجُلٌ رَبَطَهَا رِيَاءً وَفَخْرًا وَنِوَاءً عَلَى أَهْلِ الْإِسْلَامِ فَهِيَ لَهُ وِزْرٌ وَأَمَّا الَّتِي هِيَ لَهُ سِتْرٌ فَرَجُلٌ رَبَطَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَمْ يَنْسَ حَقَّ اللَّهِ فِي ظُهُورِهَا وَلَا رِقَابِهَا فَهِيَ لَهُ سِتْرٌ وَأَمَّا الَّتِي هِيَ لَهُ أَجْرٌ فَرَجُلٌ رَبَطَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فِي مَرْجٍ وَرَوْضَةٍ فَمَا أَكَلَتْ مِنْ ذَلِكَ الْمَرْجِ أَوْ الرَّوْضَةِ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا كُتِبَ لَهُ عَدَدَ مَا أَكَلَتْ حَسَنَاتٌ وَكُتِبَ لَهُ عَدَدَ أَرْوَاثِهَا وَأَبْوَالِهَا حَسَنَاتٌ وَلَا تَقْطَعُ طِوَلَهَا فَاسْتَنَّتْ شَرَفًا أَوْ شَرَفَيْنِ إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ عَدَدَ آثَارِهَا وَأَرْوَاثِهَا حَسَنَاتٍ وَلَا مَرَّ بِهَا صَاحِبُهَا عَلَى نَهْرٍ فَشَرِبَتْ مِنْهُ وَلَا يُرِيدُ أَنْ يَسْقِيَهَا إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ عَدَدَ مَا شَرِبَتْ حَسَنَاتٍ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالْحُمُرُ قَالَ مَا أُنْزِلَ عَلَيَّ فِي الْحُمُرِ شَيْءٌ إِلَّا هَذِهِ الْآيَةَ الْفَاذَّةُ الْجَامِعَةُ { فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ }
"Siapa yang mempunyai emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, maka di hari kiamat akan dibuatkan untuknya seterika api yang dinyalakan di dalam neraka, lalu diseterikakan ke perut, dahi dan punggungnya. Setiap seterika itu dingin, maka akan dipanaskan kembali lalu diseterikakan pula padanya setiap hari -sehari setara lima puluh tahun (di dunia) - hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia melihat jalannya keluar, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka."
Kemudian ditanyakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah, lantas bagaimana dengan unta?"
Beliau menjawab : "Begitu pula unta, jika pemiliknya tidak membayarkan zakatnya. Diantara zakatnya adalah membayar shadaqah dengan susu yang diperah darinya pada hari ketika ia mendatangi air untuk meminumnya. Maka pada hari kiamat kelak, orang itu akan ditelentangkan di tempat yang rata agar diinjak-injak oleh unta-unta yang paling besar dan gemuk-gemuk, serta anak-anaknya yang paling kecil. Semuanya menginjak-injak dengan kukunya serta menggigit dengan giginya yang tajam. Setiap yang pertama lewat, datang pula yang lain menginjak-injaknya. Demikianlah hal itu berlangsung setiap hari hingga perkaranya selesai diadili. Satu hari di sana sama dengan lima puluh ribu tahun di dunia. Setelah itu, barulah ia dapat melihat jalannya keluar, mungkin ke surga dan mungkin pula ke neraka."
Kemudian ditanyakan kembali pada beliau : "Wahai Rasulullah, lantas bagaimana dengan sapi dan kambing?"
Beliau menjawab : "Ya, tidak ketinggalan pula pemilik sapi dan kambing yang tidak membayar zakatnya. Niscaya pada hari kiamat kelak, dia akan ditelentangkan di suatu tempat yang rata, supaya diinjak-injak oleh sapi dan kambing itu dengan kukunya yang tajam dan juga menanduknya dengan tanduk-tanduknya, baik kambing tersebut bengkok tanduknya atau tidak bertanduk ataupun pecah tanduknya. Bila yang pertama telah lewat, maka akan diikuti pula oleh yang kedua dan seterusnya, hingga perkaranya selesai diputuskan. Satu hari di dunia sama dengan lima puluh ribu tahun di dunia. Setelah itu, ia baru bisa melihat jalannya keluar, apakah dia ke surga ataukah ke neraka."
Kemudian ditanyakan lagi kepada beliau : "Jika kuda bagaimana ya Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Kuda itu ada tiga macam , yaitu :
(Pertama), yang bisa mendatangkan dosa.
(Kedua) sebagai penghalang
Dan (ketiga) yang bisa mendatangkan pahala.
Sedangkan kuda yang mendatangkan dosa adalah apabila orang memeliharanya karena riya`, untuk kemegahan dan kebanggaan serta untuk memerangi Islam. Maka kuda bagi orang itu menjadi sumber dosa.
(Kedua), kuda sebagai penghalang, yaitu kuda yang dipersiapkan untuk jihad di jalan Allah, kemudian pemiliknya tidak lupa akan hak Allah dengan cara memeliharanya dan mempergunakannya untuk berjihad, maka kuda bagi orang itu adalah sebagai pelindung baginya.
(Ketiga), kuda sebagai ladang pahala. Yaitu kuda yang dipersiapkan untuk berjihad di jalan Allah dan membela kepentingan umat Islam di ladang-ladang penggembalaan mereka. Maka apa-apa yang dimakan kuda itu di ladang tersebut, dituliskan bagi pemilik kebun kebajikan sebanyak apa yang dimakan kuda tersebut dan dituliskan pula kebajikan sebanyak kotoran dan air kencing yang dikeluarkan kuda tersebut. Bila tali kuda itu terputus, kemudian kuda itu lari jauh, maka dituliskan untuk pemiliknya kebajikan sebanyak jejak dan tahi kuda itu. Setiap kuda itu melewati sungai, lalu ia minum tanpa sengaja atau diberi minum oleh pemiliknya, maka Allah akan menuliskan kebajikan bagi pemiliknya sebanyak air yang diminum kudanya itu."
Setelah itu, ditanyakan lagi kepada beliau, "Bagaimana kalau himar (keledai) wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Allah tiada menurunkan wahyu apa-apa kepadaku mengenai himar, selain ayat yang pendek tetapi mencakup yaitu :
{ فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ }
'Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan sebesar zarrah (biji ﷺi), niscaya ia akan melihat (pahala) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat pula balasannya.'"
[HR. Muslim no. 1647].
Syeikh Rabi' al-Madkholi berkata :
فهذا الوعيد الشديد لمانعي الزكاة، وأشد منه الوعيد لتارك الصلاة. بل هو أشد عذاباً وأنكى، كما دلَّ على ذلك أحاديث الشفاعة نفسها.
" Maka ini adalah peringatan yang keras bagi mereka yang enggan membayar zakat. Dan peringatannya ini lebih keras dari pada peringatan terhadap orang yang meninggalkan shalat. Bahkan , itu adalah adzab yang lebih dahsyat dan lebih parah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits syafaat itu sendiri".
*****
HUKUM BERPARTISIPASI DAN IKUT TERLIBAT DALAM SYSTEM DEMOKRASI
Siapa yang menyadari kedudukan dan hukum system demokrasi, kemudian dia mencalonkan dirinya atau mencalonkan orang lain dengan mengakui kebenaran system ini, maka dia berada dalam bahaya besar. Karena system demokrasi menafikan Islam sebagaimana telah disebutkan.
Bahkan ada yang mengatakan SYSTEM DEMOKRASI adalah SYIRIK MODERN
Disebutkan dalam “Mausu’ah Al-Adyan Wal Mazahib Al-Mu’ashirah” (2/1066 dan 1067)
"وَلَا شَكَّ فِي أَنَّ النِّظَمَ الدِّيمُقْرَاطِيَّةَ أَحَدُ صُوَرِ الشُّرَكِ الْحَدِيثَةِ، فِي الطَّاعَةِ، وَالْانِقِيَادِ، أَوْ فِي التَّشْرِيعِ، حَيْثُ تُلْغَى سُيُوَةُ الْخَالِقِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَحَقُّهُ فِي التَّشْرِيعِ الْمُطْلَقِ، وَتُجْعَلُهَا مِنْ حُقُوقِ الْمَخْلُوقِينَ، وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ : ( مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ) يوسف/ 40 ، ويقول تعالى : (إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ) الأنعام/ 57" انتهى .
“Tidak diragukan lagi bahwa system demokrasi merupakan salah satu bentuk syirik modern dalam hal ketaatan, ketundukan dan dalam penetapan konstitusi. Karena hal itu berarti menggugurkan kekuasaan Allah Ta’ala dan haknya yang mutlak dalam menetapkan syariat dengan menjadikannya sebagai hak makhluk. Allah Ta’ala berfirman,
"مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ".
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." SQ. Yusuf: 40
Allah Ta’ala berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah" [SQ. Al-An’am: 57].
PENGECUALIAN :
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :
وَأَمَّا مَنْ رَشَحَ نَفْسَهُ أَوْ رَشَحَ غَيْرَهُ فِي ظِلَّ هَذَا النِّظَامِ، حَتَّى يَدْخُلَ ذَلِكَ الْمَجْلِسَ وَيُنْكِرَ عَلَى أَهْلِهِ، وَيُقِيمَ الْحُجَّةَ عَلَيْهِمْ، وَيُقَلِّلَ مِنَ الشَّرِّ وَالْفَسَادِ بِقَدْرِ مَا يَسْتَطِيعُ، وَحَتَّى لَا يَخْلُوَ الْجَوُّ لِأَهْلِ الْفَسَادِ وَالْإِلْحَادِ يُعَيِّثُونَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا، وَيُفْسِدُونَ دُنْيَا النَّاسِ وَدِينَهُمْ، فَهَذَا مَحَلُّ اجْتِهَادٍ، حَسْبَ الْمَصْلَحَةِ الْمَتَوَقَّعَةِ مِنْ ذَلِكَ. بَلْ يَرَى بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الدُّخُولَ فِي هَذِهِ الِانْتِخَابَاتِ وَاجِبٌ.
Adapun orang yang mencalonkan dirinya atau mencalonkan orang lain dalam naungan system ini agar dapat ke dalam dewan dan mengingkari para pendukung demokrasi lalu menyampaikan argumenny di hadapan mereka, dan meminimalisir keburukan dan kerusakan semampunya, sehingga medan tidak dikuasi oleh para pendukung kerusakan dan kekufuran untuk berbuat kerusakan di muka bumi serta merusak urusan dunia dan akhirat masyarakat, ini merupakan wilayah ijtihad karena mempertimbangkan kebaikan yang diharapkan dari upaya tersebut.
Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa masuk ke dalam pemilu seperti wajib”. [ISLAMQA Fatwa No. 107166]
FATWA SYEIKH AL-‘UTSAIMIN :
Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum pemilu. Beliau menjawab :
أَنَا أَرَى أَنَّ الِانْتِخَابَاتِ وَاجِبَةٌ، يَجِبُ أَنْ نُعِينَ مَنْ نَرَى أَنَّ فِيهِ خَيْرًا، لِأَنَّهُ إِذَا تَقَاعَسَ أَهْلُ الْخَيْرِ، مَنْ يَحْلُ مَحَلَّهُمْ؟ سَيَحُلُّ مَحَلَّهُمْ أَهْلُ الشَّرِّ، أَوْ النَّاسُ السُّلْبِيُّونَ الَّذِينَ مَا عِنْدَهُمْ خَيْرٌ وَلَا شَرٌّ، أَتْبَاعُ كُلِّ نَاعِقٍ، فَلَابُدَّ أَنْ نَخْتَارَ مَنْ نَرَاهُ صَالِحًا.
فَإِذَا قَالَ قَائِلٌ: اخْتَرْنَا وَاحِدًا لَكِنْ أَغْلَبَ الْمَجْلِسَ عَلَى خِلَافٍ ذَلِكَ.
قُلْنَا: لَا مَانِعَ، هَذَا الْوَاحِدُ إِذَا جَعَلَ اللَّهُ فِيهِ الْبَرَكَةَ وَأَلْقَى كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي هَذَا الْمَجْلِسِ سَتَكُونُ لَهَا تَأْثِيرًا وَلَا بُدَّ، لَكِنَّ الَّذِي يَنْقُصُنَا الصِّدْقُ مَعَ اللَّهِ، نَعْتَمِدُ عَلَى الْأُمُورِ الْمَادِيَّةِ الْحِسِيَّةِ وَلَا نَنْظُرُ إِلَى كَلِمَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ... فَرَشِّحْ مَنْ تَرَى أَنَّهُ خَيْرٌ، وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ.
“Saya berpendapat bahwa pemilu wajib hukumnya. Wajib bagi kita untuk menetapkan orang yang kita anggap baik. Karena jika orang-orang baik, siapa yang menempati posisi mereka? Yang akan menempati posisi mereka adalah para pengusung kemungkaran atau orang-orang yang tidak jelas yang tidak ada kebaikan atau keburukan pada mereka yang hanya mengekor saja. Maka kita harus memilih orang yang kita anggap baik.”
Jika ada yang mengatakan, “Kami telah pilih salah seorang, akan tetapi mayoritas anggota dewan bernilai sebaliknya.” Kita katakan tidak mengapa. Satu orang ini jika Allah berikan keberkahan padanya untuk menyampaikan yang hak di majelis tersebut akan memiliki pengaruh, itu pasti. Akan tetapi yang kurang pada kita adalah jujur kepada Allah. Kita sering hanya bersandar pada perkara-perkara fisik tidak memperhatikan firman Allah Ta’ala. Maka calonkanlah orang yang anda anggap baik dan bertawakkallah kepada Allah.”(Disadur dari ‘Liqoat Al-Bab Al-Maftuh’)
FATWA LAJNAH DA’IMAH LIL IFTAA :
Ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah Lil Ifta’ ditanya :
هُلَّ يَجُوزُ التَّصْوِيتُ فِي الْانتِخَابَاتِ وَالتَّرْشِيحُ لَهَا؟ مَعَ الْعِلْمِ أَنَّ بِلَادَنَا تَحْكُمُ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ؟
“Apakah dibolehkan memberikan suara dalam pemilu dan mencalonkan diri? Perlu diketahui bahwa negeri kami tidak berhukum kepada apa yang Allah turunkan?”
Jawab:
"لَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَرْشَحَ نَفْسَهُ رَجَاءً أَنْ يَنْتَظِمَ فِي سُلُكِ حُكُومَةٍ تَحْكُمُ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ، وَتَعْمَلُ بِغَيْرِ شَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ، فَلَا يَجُوزُ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُنْتَخَبَهُ أَوْ غَيْرَهُ مِمَّنْ يَعْمَلُونَ فِي هَذِهِ الْحُكُومَةِ إلَّا إِذَا كَانَ مَنْ رَشَحَ نَفْسَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَمَنْ يُنْتَخَبُونَ يَرْجُونَ بِالدُّخُولِ فِي ذَلِكَ أَنْ يَصِلُوا بِذَلِكَ إلَى تَحْوِيلِ الْحُكْمِ إلَى الْعَمَلِ بِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ، وَاتَّخَذُوا ذَلِكَ وَسِيلَةً إلَى التَّغْلُبِ عَلَى نِظَامِ الْحُكْمِ، عَلَى أَلاَّ يَعْمَلَ مَنْ رَشَحَ نَفْسَهُ بَعْدَ تَمَامِ الدُّخُولِ إلَّا فِي مَنَاصِبَ لاَ تَتَنَافَى مَعَ الشَّرِيعَةِ الْإِسْلاَمِيَّةِ".
الشَّيْخُ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ بَازٍ، الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَفِيفِيٌّ، الشَّيْخُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ غُدِيَانَ، الشَّيْخُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ قَعُودٍ".
“Tidak boleh bagi seseorang untuk mencalonkan diri untuk dapat masuk dalam jajaran pemerintahan yang tidak berhukum kepada apa yang Allah turunkan serta mengamalkan selain syariat Islam. Tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk memilihnya atau memilih orang lain dalam pemerintahan ini. Kecuali jika ada seorang muslim mencalonkan diri atau mereka yang memilihnya bertujuan masuk ke dalamnya untuk merubah pemerintahan beramal dalam syariat Islam serta menjadikan hal tersebut sebagai sarana untuk mengatasi system pemerintahan tersebut. Dengan catatan bahwa orang yang mencalonkan diri tersebut apabila benar-benar telah masuk tidak menjabat jabatan yang yang bertentangan dengan syariat Islam.”
(Syekh Abdulaziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Ghudayyan, Syekh Abdullah bin Qu’ud – Fatawa Lajnah Daimah, 23/406-407)
Mereka juga ditanya pula :
"كَمَا تَعْلَمُونَ عِنْدَنَا فِي الْجَزَائِرَ مَا يُسَمَّى بِـ : "الانتِخَابَاتِ التَّشْرِيعِيَّةِ" ، هُنَاكَ أَحْزَابٌ تَدْعُو إلَى الْحُكْمِ الْإِسْلَامِيِّ ، وَهُنَاكَ أُخْرَى لَا تُرِيدُ الْحُكْمَ الْإِسْلَامِيَّ . فَمَا حُكْمُ النَّاخِبِ عَلَى غَيْرِ الْحُكْمِ الْإِسْلَامِيِّ مَعَ أَنَّهُ يُصَلِّي ؟
“Sebagaimana anda ketahui bahwa di Negara kami, Aljazair, terdapat apa yang dikenal sebagai pemilihan anggota parlemen. Ada partai-partai yang menyeru kepada hukum Islam. Adapula partai yang menolak hukum Islam. Apa hukumnya orang yang memilih orang yang menolak hukum Islam, padahal dia shalat?
Mereka menjawab :
"يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فِي الْبِلَادِ الَّتِي لَا تَحْكُمُ الشَّرِيعَةُ الْإِسْلَامِيَّةُ ، أَنْ يَبْذُلُوا جُهُودَهُمْ وَمَا يَسْتَطِيعُونَهُ فِي الْحُكْمِ بِالشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ ، وَأَنْ يَقُومُوا بِالتَّكَاتُفِ يَدًا وَاحِدَةً فِي مُسَاعَدَةِ الْحِزْبِ الَّذِي يَعْرِفُ مِنْهُ أَنَّهُ سَيَحْكُمُ بِالشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ ، وَأَمَّا مُسَاعَدَةُ مَنْ يُنَادِي بَعْدَمَ تَطْبِيقِ الشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ فَهَذَا لَا يَجُوزُ ، بَلْ يُؤَدِّي بِصَاحِبِهِ إِلَى الْكُفْرِ ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : (وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ) المائدة/49-50 .
وَلِذَلِكَ لَمَّا بَيَّنَ اللَّهُ كُفْرَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِالشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ ، حَذَّرَ مِنْ مُسَاعَدَتِهِمْ أَوْ اتِّخَاذِهِمْ أَوْلِيَاءَ ، وَأَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِالتَّقْوَى إِنْ كَانُوا مُؤْمِنِينَ حَقًّا ، فَقَالَ تَعَالَى : (يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ) المائدة/57 .
“Bagi seorang muslim yang tinggal di Negara yang tidak melaksanakan syariat Islam untuk berusaha sekuat tenaga dan semampu mereka untuk berhukum kepada syariat Islam. Dan bekerjasam tolong menolong untuk membantu partai yang diketahui bahwa dia akan menerapkan syariat Islam. Adapun membantu orang yang menyerukan untuk tidak berhukum kepada syariat Islam, maka hal itu tidak boleh. Bahkan dapat mengakibatkan kekufuran pada pelakunya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
{وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ}
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka.
Dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka inginkan ? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah untuk orang-orang yang yakin ?” [QS. Al-Maidah: 49-50].
Karena itu, ketika Allah menjelaskan kekufuran orang yang tidak berhukum kepada syariat Allah, Dia memperingatkan agar kaum muslimin jangan membantu mereka dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. Lalu Dia perintahkan agar orang-orang beriman bertakwa apabila mereka benar-benar beriman.
Allah Ta’ala berfirman,
{ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ }.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” SQ. Al-Maidah: 57.
Wabillahittaufiq wa shallallahu alaa nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shahbihih wa sallam.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
Syekh Abdulaziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Abdurrazaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghudayan. (Fatawa Lajnah Daimah, 1/373).
*****HUKUM PARTISIPASI MUSLIM BERSAMA NON MUSLIM DALAM PEMILU
Partisipasi Muslim Dalam Pemilu Bersama Non Muslim
Apakah boleh seorang muslim yang tinggal di Negara non muslim boleh berpartisipasi di pemilu parlemen?
FATWA SYEIKH AL-MUNAJJID :
Dalam masalalah ini Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :
هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مِنْ مَسَائِلِ الِاجْتِهَادِ ، وَتَخْضَعُ لِلْمُوَازَنَةِ بَيْنَ الْمَصَالِحِ الْمَرْجُوَّةِ وَمَنْفَعَةِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ هَذِهِ الْمُشَارِكَةِ ، وَالْأَضْرَارِ الَّتِي قَدْ تُسَبِّبُهَا تِلْكَ الْمُشَارِكَةُ .
فَإِنْ كَانَتْ الْمَنَافِعُ أَكْثَرَ جَازَتْ الْمُشَارِكَةَ ، وَإِنْ كَانَتْ الْمَفَاسِدُ أَكْثَرَ لَمْ تَجُزِ الْمُشَارِكَةَ .
وَعَلَى هَذَا ؛ فَيَخْتَلِفُ هَذَا الْحُكْمُ بِاخْتِلَافِ الْبِلَادِ وَالْأَنْظِمَةِ وَالْأَشْخَاصِ ، فَقَدْ تَكُونُ الْمُشَارِكَةُ نَافِعَةً لِلْمُسْلِمِينَ فِي بَلَدٍ مَا ، وَلَيْسَتْ نَافِعَةً فِي بَلَدٍ آخَرَ ، وَهَكَذَا بَالنِّسْبَةِ لِلْأَشْخَاصِ .
Ini termasuk masalah ijtihad yang tunduk pada masalah kemanfaatan yang diharapkan bagi kaum muslimin dari partisipasi tersebut atau kerugian yang dapat ditimbulkan darinya.
Jika manfaatnya lebih besar maka dibolehkan berpartisipasi, kalau ternyata madhorotnya lebih besar, maka tidak boleh berpartisipasi.
Dengan demikian, hukumnya berbeda dengan perbedaan masing-masing Negara, system dan individunya. Boleh jadi berpartisipasi bermanfaat bagi kaum muslimin di suatu negeri, namun tidak bermanfaat di negeri lain. Demikian pula terhadap individunya. [Baca : Islamqa Fatwa No. 111898]
FATWA MAJMA’ FIQIH ISLAMI :
Majma’ Fiqih telah mengeluarkan keputusannya seputar masalah ini “Partisipasi Muslim Dalam Pemilu Bersama Non Muslim”, yaitu sbb :
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنْ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ ؛ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَمَا بَعْدُ:
فَإِنَّ مَجْلِسَ الْمُجَمَّعِ الْفِقْهِيِّ الْإِسْلَامِيِّ فِي دَوْرَتِهِ التَّاسِعَةَ عَشَرَةَ الْمُنْعَقِدَةِ بِمَقَرِّ رَابِطَةِ الْعَالَمِ الْإِسْلَامِيِّ بِمَكَّةَ الْمُكَرَّمَةِ فِي الْفَتْرَةِ مِنْ ٢٢ـ٢٧ شَوَّالَ ١٤٢٨هـ الَّتِي يُوَافِقُهَا ٣ـ٨ نَوَفَمْبَرَ ٢٠٠٧م قَدْ نَظَرَ فِي مَوْضُوعٍ :
" مُشَارَكَةُ الْمُسْلِمِ فِي الْانْتِخَابَاتِ مَعَ غَيْرِ الْمُسْلِمِينَ فِي الْبِلَادِ غَيْرِ الْإِسْلَامِيَّةِ"
وَهُوَ مِنَ الْمَوَضُوعَاتِ الَّتِي جُرِىَ تَأْجِيلُ الْبَتِّ فِيهَا فِي الدَّوْرَةِ السَّادِسَةَ عَشَرَةَ الْمُنْعَقِدَةِ فِي الْفَتْرَةِ مِنْ ٢١ـ٢٦ شَوَّالَ ١٤٢٢هـ لِاِسْتِكْمَالِ النَّظَرِ فِيهَا..
وَبَعْدَ الِاسْتِمَاعِ إِلَى مَا عُرِضَ مِنْ أَبْحَاثٍ، وَمَا جُرِىَ حَوْلَهَا مِنْ مُنَاقَشَاتٍ، وَمُدَاوَلَاتٍ، قَرَّرَ الْمَجْلِسُ مَا يَلِي:
1. مُشَارَكَةُ الْمُسْلِمِ فِي الْانْتِخَابَاتِ مَعَ غَيْرِ الْمُسْلِمِينَ فِي الْبِلَادِ غَيْرِ الْإِسْلَامِيَّةِ مِنْ مَسَائِلِ السِّيَاسَةِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي يُتَّقَرَّرُ الْحُكْمُ فِيهَا فِي ضَوْءِ الْمُوَازَنَةِ بَيْنَ الْمَصَالِحِ وَالْمَفَاسِدِ، وَالْفَتْوَى فِيهَا تَخْتَلِفُ بَاخْتِلَافِ الْأَزْمَنَةِ وَالْأَمَكِنَةِ وَالْأَحْوَالِ.
2. يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ الَّذِي يَتَمَتَّعُ بِحَقُوقِ الْمُوَاطِنَةِ فِي بَلَدٍ غَيْرِ مُسْلِمٍ الْمُشَارَكَةُ فِي الْانْتِخَابَاتِ النِّيَابِيَّةِ وَنَحْوِهَا لِغَلْبَةِ مَا تُعُودُ بِهِ مُشَارَكَتُهُ مِنَ الْمَصَالِحِ الرَّاجِحَةِ مِثْلَ تَقْدِيمِ الصُّورَةِ الصَّحِيحَةِ عَنِ الْإِسْلَامِ، وَالدِّفَاعِ عَنْ قَضَايَا الْمُسْلِمِينَ فِي بَلَدِهِ، وَتَحْصِيلِ مَكَاسِبِ الْأَقَلِيَّاتِ الدِّينِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ، وَتَعْزِيزِ دَوْرِهِمْ فِي مَوَاقِعِ التَّأْثِيرِ، وَالتَّعَاوُنِ مَعَ أَهْلِ الْاِعْتِدَالِ وَالْإِنْصَافِ لِتَحْقِيقِ التَّعَاوُنِ الْقَائِمِ عَلَى الْحَقِّ وَالْعَدْلِ، وَذَلِكَ وَفْقَ الضُّوَابِطِ الَّتِي آتَيْتُمْ:
أَوَّلًا: أَنْ يَقْصِدَ الْمُشَارِكُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ بِمُشَارَكَتِهِ الْإِسْهَامَ فِي تَحْصِيلِ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ، وَدَرْءِ الْمَفَاسِدِ وَالْأَضْرَارِ عَنْهُمْ.
ثَانِيًا: أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّ الْمُشَارِكِينَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَنَّ مُشَارَكَتَهُمْ تَفْضِي إِلَى آثَارٍ إِيجَابِيَّةٍ، تَعُودُ بِالْفَائِدَةِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فِي هَذِهِ الْبِلَادِ؛ مِنْ تَعْزِيزِ مُرَكَّزِهِمْ، وَإِيصَالِ مَطَالِبِهِمْ إِلَى أَصْحَابِ الْقَرَارِ، وَمُدِيرِي دَفَّةِ الْحُكْمِ، وَالْحَفَاظِ عَلَى مَصَالِحِهِمْ الدِّينِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ.
ثَالِثًا: أَلَا يَتَرَتَّبُ عَلَى مُشَارَكَةِ الْمُسْلِمِ فِي هَذِهِ الْانْتِخَابَاتِ مَا يُؤَدِّي إِلَى تَفْرِيطِهِ فِي دِينِهِ.
وَاللَّهُ وَلِيُّ التَّوْفِيقِ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ" انْتَهَى
“Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah semata, shalawat dan salam kepada yang tidak ada nabi sesudahnya, Nabi Muhammad, keluarga dan shahabatnya. Amma ba’du:
Majelis Majma’ Fiqh Islamy dalam pertemuannya ke sembilanbelas yang dilaksanakan di kantor Rabithah Alam Islamy, di Mekah Al-Mukaramah, sejak tanggal 22-27 Syawal 1428H – 3-8 November 2007, membahas masalah ini ‘“Partisipasi Muslim Dalam Pemilu Bersama Non Muslim di negeri-negeri non muslim” sebagai tema yang sempat ditunda pembahasannya pada pertemuan ke enambelas sejak tanggal 21-26 Syawal untuk dibahas tuntas.
Setelah mendengar berbagai presentasi yang disampaikan dan diskusi di seputar masalah ini, maka majelis menetapkan berikut ini;
1- Partisipasi muslim dalam pemilu bersama non muslim di negeri-negeri non Islam merupakan masalah siyasah syar’iyah (politik syar’i) yang ketetapan hukumnya berkaitan dengan pertimbangan antara kebaikan dan keburukan, maka fatwanya berbeda sesuai perbedaan waktu, tempat dan kondisi.
2- Dibolehkan bagi seorang muslim yang menikmati hak-haknya di sebuah negeri non muslim untuk berpartisipasi dalam pemilu parlemen dan semacamnya apabila berdasarkan kebiasaan hal tersebut mendatangkan kebaikan dalam hal memperlihatkan tampilan Islam yang benar, dapat membela hak-hak kaum muslimin di negeri tersebut, meraih capaian agama dan dunia bagi minoritas muslim, meningkatkan peran mereka di pos-pos strategis serta bekerja sama dengan pihak-pihak yang objektif untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan. Hal itu hendaknya berdasarkan ketentuan berikut ini;
Pertama: Tujuan partisipasi kaum muslimin adalah untuk berkotribusi dalam mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin serta menolak keburukan dari mereka.
Kedua: Memiliki dugaan kuat bahwa partisipasi tersebut memberikan pengaruh positif yang manfaatnya kembali kepada kaum muslimin di negeri tersebut sambil memperkuat posisi mereka dan memiliki saluran untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada yang berwenang dan penentu kebijakan juga untuk menjaga kepentingan agama dan dunia mereka.
Ketiga: Partisipasi muslim dalam pemilu tidak menyebabkan kelalaian terhadap agamanya.
Hanya Allah yang memberikan taufiq, semoga salawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad beserta para keluarga dan sahabatnya.”
http://www.themwl.org/Fatwa/default.aspx?d=1&cidi=167&l=AR&cid=17
****
PARA ULAMA KONTEMPORER YANG MENYERUKAN
AGAR UMAT ISLAM IKUT SERTA MEMILIH DALAM PEMILU DEMOKRASI
Mereka yang menyerukan agar umat Islam ikut serta terlibat dalam mencoblos PEMILU Demokrasi adalah Para Ulama Senior, bahkan lebih senior . Jumlah mereka sangat banyak, diantaranya adalah :
Syeikh Bin Baaz, syeikh Nashiruddin al-Albani, Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, Fatwa al-Lajnah Ad-Daa’imah KSA, Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Syaikh Sholeh al-Luhaidan, Mufti Arab Saudi Syeikh Abdul Aziz alu syaikh, Syaikh Nashir Asy-syatsri, Syeikh Ali Hasan, Syaikh Masyhur Hasan, Syaikh Musa Nashr, Syaikh Ibrahim ar-Rohaili, Syeikh Abdul Malik Ramadhani al-Jazaairi, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kaidah yang mereka gunakan sebagai dalil, diantaranya adalah “
إِعْمَالٌ أَوْ اِرْتِكَابٌ أَخَفُّ الضُّرُرَيْنِ لِدَفْعِ الضُّرُرِ الْأَكْبَرِ
Mengamalkan atau melanggar mafsadah [kerusakan] yang lebih kecil, demi untuk menghindari mafsadah [kerusakan] yang lebih besar.
Kaidah ini telah disebutkan pula dalam perkataan para ahli fiqih dengan berbagai ungkapan, di antaranya adalah :
1. الضُّرُرُ الْأَشَدُ يُزَالُ بِالضُّرُرِ الْأَخَفِّ.
1. Mafsadah [Kerusakan] yang lebih besar dihilangkan dengan kerusakan yang lebih kecil.
2. يُخْتَارُ أَهْوَنُ الشَّرَّيْنِ، أَوْ أَخَفُّ الضُّرُرَيْنِ.
2. Dipilihlah yang lebih ringan dari dua keburukan, atau madhorot yang lebih kecil.
3. إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوِعَيْ أَعْظَمُهُمَا ضُرْرًا بِاِرْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا.
3. Jika dua mafsadah [kerusakan] saling bertentangan, maka yang lebih besar harus dihindari dengan melakukan yang lebih kecil.
4. إِذَا اجْتَمَعَ ضُرْرَانِ أَسْقَطَ الْأَصْغَرُ الْأَكْبَرَ.
4. Jika ada dua madhorot [bahaya] bertemu, maka lakukan yang lebih kecil untuk menghilangkan yang lebih besar.
5. إِذَا تَقَلَّبَ الْمُكَلَّفُ بَيْنَ مُحَذَّرَيْنِ ارْتَكَبَ أَخَفَّهُمَا.
5. Jika seseorang terjebak di antara dua larangan, maka dia melakukan yang lebih kecil di antara keduanya.
6. يُتَحَمَّلُ الضُّرُرُ الْأَدْنَى لِدَفْعِ الضُّرُرِ الْأَعْلَى.
6. Mafsadah [Kerusakan] yang lebih rendah ditoleransi untuk menghindari kerusakan yang lebih tinggi.
7. مَتَى أَمْكَنَ الدَّفْعُ بِأَسْهَلِ الْوُجُوهِ لَمْ يُعَدَّلْ إِلَى أَصْعَبِهَا.
7. Ketika memungkinkan untuk menghindari dengan cara yang lebih mudah, maka tidak diperbolehkan untuk memilih yang lebih sulit.
8. ارْتِكَابُ خَيْرِ الشَّرَّيْنِ أَوْلَى مِنْ ارْتِكَابِ شَرِّهِمَا.
8. Melakukan keburukan yang lebih kecil lebih utama daripada melakukan kejahatan yang lebih besar.
Dan yang semisalnya. [Baca : al-wajīz fī iẓāḥ quwā'id al-fiqh al-kullīyah li Āl Būrnū: ṣaḥīḥ 260].
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata dalam bait syairnya,
وَ لاَ مُحَرَّمٌ مَعَ اِضْطِرَارٍ
“Tidak ada yang diharamkan di saat darurat”.
Para fuqoha lainnya mengungkapkan kaedah di atas dengan perkataan,
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
[Referensi : Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H].
Siapapun presidennya dan anggota parlemennya pasti undang-undang yang diputuskannya akan berpengaruh bagi rakyat Indonesia.
Bisa jadi Kristenisasi, syiah nisasi, liberal semakin berkembang tanpa harus angkat senjata, namun hanya dengan perundang-undangan.
FATWA SYEIKH AL-ALBAANI :
هَلْ يَجُوزُ التَّصْوِيتُ فِي الْانْتِخَابَاتِ؟
الشَّيْخُ مُحَمَّدُ نَاصِرُ الْأَلْبَانِيُّ
السَّائِلُ: هَلْ يَجُوزُ ... التَّصْوِيتُ؟
الشَّيْخُ: نَعَمْ.
السَّائِلُ: هَلْ يَجُوزُ التَّصْوِيتُ؟
الشَّيْخُ: التَّصْوِيبُ التَّصْوِيتُ؟
السَّائِلُ: ... .
الشَّيْخُ: إذَا كَانَ هُنَاكَ أَحْزَابٌ مُخْتَلِفَةٌ مِنْهَا إِسْلَامِيَّةٌ وَمِنْهَا لَيْسَ إِسْلَامِيَّةٌ حِينَئِذٍ يَجُوزُ التَّصْوِيتُ لَيْسَ لِأَنَّ التَّصْوِيتَ وَلَأَنَّ الْانْتِخَابَاتَ سُبُلٌ شَرْعِيَّةٌ، وَإِنَّمَا يَجُوزُ التَّصْوِيتُ مِنْ بَابِ دَفْعِ الشَّرِّ الْأَكْبَرِ بِالشَّرِّ الْأَصْغَرِ، اسْمَعْ يَا شَيْخُ بَنُشُوفُ أَخَانَا فَهِمْ جَوَابِي أَمْ لَا فَهِمْتَ الْجَوَابَ؟
السَّائِلُ: ... .
الشَّيْخُ: وَأُزِيدُ بَيَانًا لَا نُنْصِحُ مُسْلِمًا أَنْ يَرْشُحَ نَفْسَهُ لِيَكُونَ نَائِبًا فِي الْبَرْلَمَانِ لِأَنَّهُ مِنْ حِيثُ الْعَاقِبَةِ وَالْخَاتِمَةِ وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ سَيَكُونُ بَدَلًا أَنْ يَكُونَ نَائِبًا أَنْ يَكُونَ نَائِبَةً.
"Bolehkah melakukan pemilihan umum?
Syeikh Muhammad Nasir al-Albani
Penanya: Bolehkah... melakukan pemilihan umum?
Syeikh: Ya.
Penanya: Bolehkah melakukan pemilihan umum?
Syeikh: Membenarkan Memilih ?
Penanya: ... .
Syeikh : Jika disana ada partai-partai politik yang berbeda-beda, di antaranya ada yang Islam dan ada yang bukan Islam, maka boleh memberikan suara dalam pemilihan umum, bukan karena pemilihan umum atau karena pemilihan umum merupakan cara yang diakui secara syariat, akan tetapi boleh melakukan pemilihan umum sebagai cara untuk menolak keburukan yang lebih besar dengan keburukan yang lebih kecil.
Dengar, ya Syeikh, saya ingin tahu apakah saudara saya ini mengerti jawaban saya atau tidak?
Penanya: ... .
Syeikh: Saya tambahkan penjelasan, kami tidak menyarankan seorang Muslim untuk mencalonkan diri sebagai wakil di parlemen karena, dari sudut pandang akhirat dan akhir perjalanan, tindakan tersebut akan menjadi pengganti, bukan menjadi wakil."
[Referensi : Ahlul Hadits wal Atsar – Fatwa via telepon dan kendaraan no. 241]
Syeikh Muqbil al-Waadi’i berkata :
وَهَذِهِ الْفَتْوَى قَدْ اتَّصَلْتُ بِشَأْنِهَا بِالشَّيْخِ الْأَلْبَانِيِّ حَفِظَهُ اللَّهُ وَقُلْتُ لَهُ: كَيْفَ أَبْحَتُ الْانْتِخَابَاتِ؟ قَالَ: أَنَا مَا أَبْحَتُهَا وَلَكِن مِنْ بَابِ ارْتِكَابِ أَخَفِ الضُّرَّيْنِ.
"Fatwa ini pernah saya tanyakan via telepon kepada Syeikh Al-Albani, semoga Allah melindunginya, dan saya berkata kepadanya: Bagaimana pandanganmu tentang pemilihan umum? Dia menjawab : Saya tidak menyukainya, akan tetapi hal ini masuk dalam katagori melakukan salah satu dari dua dhoror [madhorot dan kerusakan] yang lebih ringan."
[Referensi : Tuhfatul Mujiib ‘Alaa As’ilatil Hadhir wal Gharib hal. 315 oleh Syeikh Muqbil al-Waadi’i]
*****
FATWA SYEIKH MUQBIL HARAMNYA PEMILU
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Waadi’i - rahimahullah - berkata :
نَقُولُ: إِنَّنَا نَرَى حُرْمَةَ التَّقْلِيدِ؛ فَلَا يَجُوزُ لَنَا أَنْ نَقْلُدَ الشَّيْخَ الْأَلْبَانِيَّ وَلَا الشَّيْخَ ابْنَ بازٍ وَلَا الشَّيْخَ ابْنَ عُثَيْمِينَ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ: ﴿اتَّبِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ﴾، وَيَقُولُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ﴾. فَأَهْلُ السُّنَّةِ لَا يُقَلِّدُونَ.
Kami katakan: Sesungguhnya kami berpendapat bahwa taqlid ( ikut-ikutan membolehkan PEMILU tanpa dasar ilmu) adalah haram. Oleh karena itu, tidak boleh bagi kita bertaklid kepada Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (QS. Al A’raaf: 3).
Dan Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Isro’: 36).
Ahlus Sunnah itu mereka tidak bertaqlid [tidak ikut-ikutan]”.
[Referensi : Tuhfatul Mujiib ‘Alaa As’ilatil Hadhir wal Gharib hal. 315 oleh Syeikh Muqbil al-Waadi’i]
Lalu Syeikh Muqbil al-Waadi’i berkata :
نَحْنُ نَقُولُ لِلْمَشَايِخِ: هَلْ حَصَلَتِ الْانْتِخَابَاتُ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- عِنْدَ أَنَّهُمْ اخْتَلَفُوا فِي شَأْنِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ هَلْ يَكُونُ هُوَ الْأَمِيرُ أَمْ غَيْرُهُ؟
فَهَلْ قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ-: انْتَخِبُوا فَمَنْ حَصُلَتْ لَهُ الْأَصْوَاتُ الْكَثِيرَةُ فَهُوَ الْأَمِيرُ؟ وَهَلْ حَصَلَتِ الْانْتِخَابَاتُ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ؟ وَهَلْ حَصَلَتِ الْانْتِخَابَاتُ فِي زَمَنِ عُمَرَ؟
وَمَا جَاءَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ تَتَبَّعَ النَّاسُ حَتَّى النِّسَاءَ فِي خُدُورِهِنَّ، فَهَذَا يَحْتَاجُ إِلَى نَظَرٍ لِأَنَّهُ خَارِجٌ «الصَّحِيحِ»، فَلَا بُدَّ مِنْ جَمْعِ الطُّرُقِ، وَأَنَا مُتَأَكِّدٌ أَنَّهَا إِذَا جُمِعَتِ الطُّرُقُ سَيَكُونُ شَاذًّا، وَالشَّاذُّ مِنْ قِسْمِ الضَّعِيفِ، ثُمَّ بَحَثَ عَنْهُ بَعْضُ الْإِخْوَةِ فَوَجَدَ هَذِهِ الزِّيَادَةَ فِي غَايَةِ الضُّعْفِ.
هَلْ حَصَلَتِ الْانْتِخَابَاتُ فِي الْعَصْرِ الْأُمَوِيِّ أَوْ الْعَبَّاسِيِّ أَوْ الْعُثْمَانِيِّ؟
“Kami katakan kepada masyaikh: Apakah pernah ada PEMILU di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam, manakala mereka berselisih pada perkara Usamah bin Zaid apakah dia yang jadi pemimpin atau selainnya?!
Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam berkata: adakan pemilihan siapa yang dapat suara terbanyak maka dialah yang jadi amir ?!
Dan apakah pernah ada Pemilu di zaman Abi Bakar ?! Pernahkah ada Pemilu di zaman 'Umar?
Dan apa yang datang riwayat bahwasanya 'Abdurrahman bin 'Auf menyuruh orang-orang memilih sampai wanita dalam rumah pingitan mereka, ini perlu diteliti karena riwayatnya diluar kitab hadits "shahih", maka butuh dikumpulkan sanad-sanadnya, dan saya yakin kalau dikumpulkan sanadnya hasil hukum riwayatnya syadz, dan syadz termasuk dari pembagian riwayat dhaif, kemudian sebagian ikhwah membahasnya diapin mendapati bahwa tambahan ini sangat dhaif.
Apakah pernah PEMILU di masa Umawi atau 'Abbasi atau 'Utsmani? “.
Lalu Syeikh Muqbil al-Waadi’i berkata :
فَاتَّقُوا اللَّهَ أَيُّهَا الْمَشَايِخُ لَا تُقُودُونَا إِلَى اتِّبَاعِ أَمْرِيكَا، وَإِلَى الدِّيمُقْرَاطِيَّةِ الَّتِي تُبِيحُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ، وَالَّتِي قَدْ أَبَاحَتِ اللُّواطَ فِي بَعْضِ الدُّولِ الْكُفْرِيَّةِ، وَأَبَاحَتْ كُلَّ مَحْرَمٍ؛ فَنَحْنُ مُسْلِمُونَ عِنْدَنَا كِتَابُ رَبِّنَا ﴿وَأَنْ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ﴾.
Taakutlah kalian kepada Allah, wahai para masyaikh ! jangan kalian giring kami untuk menjadi para pengikut Amerika, dan kepada demokrasi yang menghalalkan apa yang Allah haramkan, yang menghalalkan homosex di sebagian negara-negara kafir, dan membolehkan semua yang haram.
Kami adalah kaum muslimin, di sisi kami terdapat Kitab Tuhan Kami. Dia berfirman :
"Dan bahwasanya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (selainnya) sehingga kalian tercerai berai dari jalanNya."(QS al-An'am: 153)
[Referensi : Tuhfatul Mujiib ‘Alaa As’ilatil Hadhir wal Gharib hal. 315 oleh Syeikh Muqbil al-Waadi’i]
Dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i - rahimahullah - mengatakan:
دُعَاةُ الدِّمُقْرَاطِيَّةِ يَدْعُونَ إِلَى الشِّرْكِ
"Para Du'at (penyeru) demokrasi adalah orang yang menyeru kepada kesyirikan." [Lihat "Ghorotul Asyrithoh" (1/17)]
Beliau - rahimahullah - juga mengatakan:
وَمَنْ يَتَبَاهَى بَالدِّمُقْرَاطِيَّةِ، فَوَاللَّهِ إِنَّهَا لَخِيَانَةٌ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ
"Barangsiapa berbangga dengan demokrasi maka demi Allah hal tersebut adalah pengkhianatan kepada Allah dan RosulNya." [Lihat "Ghorotul Asyrithoh" (1/315)]
Beliau - rahimahullah - juga mengatakan:
وَمَنْ دَعَا إِلَى الدِّمُقْرَاطِيَّةِ وَهُوَ يَعْرِفُ مَعْنَاهَا فَهُوَ كَافِرٌ، لِأَنَّهُ يَدْعُو إِلَى أَن يَكونَ الشَّعْبُ شَرِيكًا مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
"Barangsiapa menyeru kepada demokrasi dalam keadaan ia mengetahui maknanya, maka dia kafir. Karena ia menyeru untuk menjadikan rakyat sebagai serikat (tandingan) dengan Allah azza wa jalla." [Lihat "Qom'ul Ma'anid" (221-222)]
Beliau - rahimahullah - juga mengatakan:
الدِّمُقْرَاطِيَّةُ طَاغُوتِيَّةٌ
"Demokrasi adalah Thoghut!." [Lihat "Ghorotul Asyrithoh" (1/354)]
Beliau - rahimahullah - juga mengatakan:
الدِّمُقْرَاطِيَّةُ فِيهَا تَعْطِيلُ كِتَابِ اللَّهِ، وَتَعْطِيلُ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Demokrasi terdapat padanya penelantaran terhadap Kitabulloh dan Sunnah Rosulillah ﷺ." [Lihat "Ghorotul Asyrithoh" (1/485)]
Beliau - rahimahullah - juga mengatakan:
أَهْلُ السُّنَّةِ مَا يَتَلَوَّنُونَ نَحْنُ نَقُولُ اليَومَ وَغَدًا وَبَعْدَ غَدٍّ: الإِنْتِخَابَاتُ طَاغُوتِيَّةٌ مُحَرَّمَةٌ
0 Komentar