Muhammad bin Siirin -rahimahullah- (wafat 110 H) berkata :
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
"Sesungguhnya ilmu ini adalah (bagian dari) agama, karena itu hendaklah kalian perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian".
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
========
DAFTAR ISI :
- SEKILAS BIOGRAFI IBNU SIRIN RAHIMAHULLAH :
- MAKSUD DAN TUJUAN PERKATAAN IBNU SIIRIIN :
- PENYALAHGUNAAN PERKATAAN IBNU SIRIN RAHIMAHULLAH .
- BANTAHAN TERHADAP APA YANG DIFAHAMI OLEH AHLUL HAJER WAT TAHDZIR WAT TABDI’ DI ATAS :
- HUKUM MERIWAYATKAN HADITS DHO’IF :
- STANDAR PERAWI YANG BOLEH DIAMBIL HADITSNYA
- ULAMA SYIAH YANG DIAMBIL RIWAYAT HADITSNYA OLEH ULAMA SUNNI
- IMAM ABU HANIFAH , PENDIRI MADZHAB HANAFI DITOLAK RIWAYAT HADITSNYA :
- SIKAP YANG BENAR DALAM MANHAJ AL-IMTIHAN :
- KEKHAWATIRAN RASULULLAH ﷺ
*****
بسم الله الرحمن الرحيم
****
SEKILAS BIOGRAFI IBNU SIRIN RAHIMAHULLAH :
Dia adalah Abubakar Muhammad bin Sirin al-Bashri
(lahir 33 H/653-4 M, meninggal 110 H/729 M) atau disingkat Ibnu Sirin, adalah
salah seorang tokoh ulama ahli fiqih dan perawi hadis dari golongan tabi’in
yang menetap di Bashrah. Ibnu Sirin juga terkenal kemampuannya dalam
menakwilkan mimpi, serta akan kesalehannya.
Ayahnya : bernama Sirin,
seorang pembuat periuk tembaga, yang tertawan oleh Khalid bin Walid dalam
ekspedisinya di Ain at-Tamar. Sirin lalu menjadi budak dari Anas bin Malik,
tetapi ia membuat perjanjian untuk memerdekakan dirinya sendiri dengan tebusan
uang.
Setelah itu, Sirin menikahi Shafiyah, budak perempuan
Abubakar Ash-Siddiq. Turut hadir dalam pernikahan tersebut tiga orang isteri
Nabi Muhammad ﷺ serta dalapan belas
orang Sahabat Nabi yang pernah mengikuti Perang Badar, yang mana Ubay bin Ka'ab
memimpin doa pernikahannya.
Ibnu Sirin mempelajari ilmu agama serta meriwayatkan
hadis antara lain dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair,
Imran bin Hushain, dan Anas bin Malik.
Ia merupakan guru bagi Qatadah bin Di'amah, Khalid
al-Hadda, Ayyub al-Sakhtiyani, dan lain-lain.
Ibnu Sirin dilahirkan dua tahun sebelum pemerintahan
Utsman bin Affan berakhir. Anas bin Malik pada saat berada di Persia menjadikan
Ibnu Sirin sebagai sekretarisnya.
Ibnu Sirin memiliki banyak anak dari seorang istrinya,
tetapi hanya satu yang tumbuh dewasa yaitu Abdullah. Selain sebagai ulama,
profesi sehari-hari Ibnu Sirin adalah sebagai pedagang pengecer , akan
tetapi ia bangkrut dan jatuh ke dalam hutang sehingga dipenjara. Anaknya
Abdullah lah yang melunasi hutangnya.
Ibnu Sirin meninggal di Bashrah (kini di Irak )
pada hari Jum'at, 9 Syawal 110 H, kira-kira seratus hari setelah wafatnya Hasan
al-Bashri .
*****
MAKSUD DAN TUJUAN PERKATAAN IBNU SIIRIIN :
Muhammad bin Siirin -rahimahullah- berkata :
إِنَّ
هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
"Sesungguhnya ilmu ini adalah (bagian
dari) agama, karena itu hendaklah kalian perhatikan dari siapa kalian mengambil
agama kalian".
[Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqoddimah
ash-Shahih 1/16 no. 24, ad-Daarimi no. 424, al-Madkhol oleh Imam Baihaqi 1/237 no. 492 dan al-Khothib al-Baghdaadi dalam
al-Jaami’ Li Akhlaaqir Raawi 1/12 no. 138]
Maksudnya adalah : " Sesungguhnya hadits Nabi ﷺ adalah (bagian dari) agama , maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil hadits-hadits kalian".
Sebagaimana yang
disebutkan dalam biografi Ibnu Sirin diatas, bahwa beliau sempat hidup dimasa
para sahabat dan sempat berguru kepada mereka . Dan Ibnu Sirin adalah Kelahiran
Bashrah Irak Selatan dan beliau wafat di sana .
Wilayah Iraq ,
terutama Kufah dikenal sebagai ladang subur tumbuhnya hadist-hadist palsu dan sebagai pusat penyebaran . Yang demikian
itu di sebabkan beban berat yang di tanggung Kufah di dalam menghadapi perang
melawan Syam , setelah Kufah di jadikan ibu kota oleh Ali bin Abi Tholib , yang
akhirnya terus menerus berkepanjangan sebagai wilayah oposisi terhadap
pemerintahan keturunan Umawi . Maka jenis hadist-hadist palsunya di sesuaikan
dengan unsur-unsur yang mendukung kepentingan mereka untuk bisa mencapai tampuk
kekuasaan .
Karena melihat kondisi darurat seperti inilah, maka Muhammad bin Sirin mengatakan perkataan tersebut .
[Baca : Awal Munculnya
Pemalsuan Hadits Dan Lahirnya Ilmu Jarh wa Ta’dil oleh Abu Haitsam Fakhry].
PENYALAHGUNAAN PERKATAAN IBNU SIRIN RAHIMAHULLAH .
Perkataan Ibnu Sirin ini disalah gunakan oleh kelompok Ahlul Hajer wat Tahdzir wat Tabdi’ , yaitu digunakan sebagai dalil utama untuk mendukung pondasi-pondasi manhaj mereka , diantaranya mereka menetapkan sebuah aturan : Sebelum mengambil ilmu agama dari seseorang , maka terlebih dahulu wajib menerapkan manhaj sbb :
امْتِحَان النَّاسِ
بِعَقَائِدِهم
Menguji manusia dengan mencari tahu
aqidahnya
امْتِحَان النَّاسِ
بِمَنَاهِجِهِم
Menguji manusia dengan mencari tahu
manhajnya
امْتِحَان النَّاسِ
بِأَرَائِهِم
Menguji manusia dengan mencari tahu
pendapat-pendapatnya dalam masalah-masalah agama yang diperselisihkan .
امْتِحَان النَّاسِ
بِالْأَشْخَاصِ
"Menguji seseorang dengan cara
dimintai jawaban tentang sosok-sosok tertentu".
Yakni : menguji keislaman dan kelurusan
manhaj seorang muslim dengan cara menanyakan kepadanya tentang hal-hal diatas.
Manhaj ini merupakan bagian dari manhaj
tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain]. Oleh kelompok yang bermanhaj
al-imtihan ini seseorang bisa dikeluarkan dari golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah
dan dimasukkan ke dalam golongan yang Sesat, Kafir dan Ahli Neraka, hanya
karena jawaban orang tersebut tentang hal-hal diatas, tidak sesuai dengan
pendapat si penanya dan keinginannya .
Demi untuk memperkuat dan memuluskan manhajnya , maka kelompok ahlul Hajer wat Tahdzir
wat Tabdi’ ini berdallil dengan
perkataan Ibnu Siirin diatas .
****
BANTAHAN TERHADAP APA YANG DIFAHAMI OLEH
AHLUL HAJER WAT TAHDZIR WAT TABDI’ DI ATAS :
Bantahan Pertama :
Perkataan tersebut benar dan shahih , akan
tetapi perkataan beliau ini sama sekali bukan dalil khusus yang mewajibkan
tajassus dan mengharuskan pengambilan ilmu hanya dari kelompok tertentu,
terutama kelompok ahlul hajer wat tahdzir , serta bukan pula untuk mengharamkan
pengambilan ilmu dari para ulama yang berbeda pendapat dengannya dalam
masalah-masalah furu’iyyah ijtihadiyyah .
Bantahan Kedua :
Ungkapan Ibnu Sirin ini berkaitan dengan kewaspadan terhadap para perawi yang meriwayatkan hadits-hadits nabawi .Sebagaimana yang disebutkan dalam muqaddimah Shahih Muslim, Ibnu Sirin mengatakan :
لَمْ
يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ ،
قَالُوا : سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ ،
فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ ، وَيُنْظَرُ إِلَى
أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Dahulu mereka tidak pernah menanyakan
tentang sanad, namun setelah terjadinya fitnah, mereka mengatakan, ‘Sebutkanlah
kepada kami perawi-perawi kalian’, maka dilihatlah riwayat ahlussunnah lalu diterimalah hadis mereka, kemudian dilihat riwayat ahlu bid’ah maka ditolaklah hadis
mereka”.
Apa yang dikatakan Ibnu Sirin sama persis
dengan perkataan Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) . Berikut ini text perkataan
Imam Malik rahimahullah:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ
دَيْنٌ فَانُظُروا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ .
لَقَدْ أَدْرَكْتُ
سَبْعِينَ مِمَّنْ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
، فَمَا أَخَذْتُ عَنْهُمْ شَيْئًا، وَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَوِ ائْتُمِنَ عَلَى بَيْتِ
مَالٍ لَكَانَ أَمِينًا إِلَّا أَنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ هَذَا الشَّأْنِ
"Sesungguhnya ilmu ini adalah (bagian
dari) agama, karena itu hendaklah kalian perhatikan dari siapa kalian mengambil
agama kalian.
ِAku telah menjumpai tujuh puluh orang yang mengatakan: 'Rasulullah ﷺ bersabda...', namun aku tidak mengambil dari mereka satu pun. Padahal salah seorang dari mereka, ada yang jika dia dipercaya untuk menjadi bendaharawan kas negara, maka dia sungguh benar-benar amanah. Namun, mereka bukanlah ahli dalam hal hadits ini".
[Lihat : Siyar Salafush Sholihin oleh Abul Qosim al-Ashbahani hal. 1043, Tarikh Damaskus oleh Ibnu Asakir 55/351, Fihris Ibnu Khoir oleh Abu Bakr al-Isybily hal. 19, Tahdzibul Kamal oleh al-Mizzi 1/161 dan Tarikh al-Islam oleh adz-Dzahabi 8/236]
Perkataan Muhammad bin Siirin ini ada
kesamaan makna dengan perkataan saudaranya, yang bernama Anas bin Siiriin (w.
118 H) . Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Hamad bin Zaid, dia berkata:
دَخَلْنَا عَلَى
أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ فِي مَرَضِهِ، فَقَالَ: «اتَّقُوا اللَّهَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ،
انْظُرُوا مِمَّنْ تَأْخُذُونَ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ، فَإِنَّهَا مِنْ دِينِكُمْ»
"Kami masuk menemui Anas bin Siirin
[Saudara Muhammad Bin Siirin] saat sedang sakitnya, lalu ia berkata:
'Bertakwalah kalian kepada Allah, wahai para muda. Perhatikanlah dari siapa
kalian mengambil hadis-hadis ini, karena sesungguhnya itu bagian dari agama
kalian.'"
[Diriwayatkan oleh al-Khothib al-Baghdaadi dalam al-Jaami’ Li Akhlaaqir Raawi 1/129 no. 139].
Begitu pula ada kesamaan dengan perkataan
Sa'ad bin Ibrahim (wafat : 127 H):
لَا
يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا
الثِّقَاتُ
"Tidak boleh meriwayatkan hadits dari
Rasulullah ﷺ kecuali oleh orang-orang yang dipercaya."
[Shahih Muslim no. 25 (Beirut : Dar Ihya’ al Turats al
Araby) 1/15]
Dan juga ada kesamaan dengan perkataan
Abdullah bin al Mubarak (wafat : 181 H):
الْإِسْنَادُ
مِنَ الدِّينِ ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Bagiku, sanad adalah bagian dari agama,
seandainya tidak ada sanad maka setiap orang akan berbicara semaunya apa yang
ia inginkan.” [ Shahih Muslim no. 26]
Dan Sofyan Ats-Tsauri (wafat : 161 H)
berkata:
"الَإسْنَادُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ ،
فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلَاحٌ ، فَبِأَيِّ شَيْءٍ يُقَاتِلُ ؟".
“Sanad adalah senjatanya orang-orang beriman.
Apabila tidak ada senjata tersebut, lalu dengan apa mereka berperang?”
[ Diriwayatkan oleh Abu Tahir As-Salafi dalam bukunya
"Syarthul Qiro’ah ‘Alaa asy-Syuyukh (halaman 62-63), dan oleh Ibnu
Ad-Da'im dalam “ Tholabul Hadits Fii Tarikh al-Halab (jilid 3/halaman 1041) ,
Ibnu Hibbaan dalam al-Majruuhin 1/3 dan al-Hakim dalam al-Madkhol Ilaa al-Iklil
hal. 29.
Derajatnya shahih.
Bantahan Ketiga :
Ibnu Siirin termasuk ulama yang membolehkan
tradisi Ta’riif, amalan kumpul-kumpul setiap hari arafah, ba’da Ashar , di
mesjid-mesjid di seluruh pelosok negeri. Padahal amalan ini tidak bersumber dari sunnah Nabi
Dalam kitab :
“مسائل الإمام أحمد بن حنبل “, riwayat Ishaq bin Ibrahim
bin Hani al-Naisaabuuri (1/94) di sebutkan :
(وَسُئِلَ عَنِ التَّعْرِيفِ فِي الْقُرَى؟ فَقَالَ:
قَدْ فَعَلَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالْبَصْرَةِ، وَفَعَلَهُ عَمْرُو بْنُ حَرِيثٍ بِالْكُوفَةِ.
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَلَمْ أَفْعَلْهُ أَنَا قَطُّ، وَهُوَ دُعَاءٌ، دَعَّهُمْ،
يُكَثِّرُ النَّاسُ، قِيلَ لَهُ: فَنَرَى أَنْ يُنْهَوْا؟ قَالَ: لَا، دَعَّهُمْ، لَا
يُنْهَوْنَ، وَقَالَ مُبَارَكٌ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ، وَابْنَ سِيرِينَ، وَنَاسًا يَفْعَلُونَهُ،
سَأَلْتُهُ عَنِ التَّعْرِيفِ فِي الْأَمْصَارِ؟ قَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ)
Artinya : “ Beliau – Imam Ahmad - ditanya
tentang at-Ta’riif di desa-desa?
Dia berkata : “Ibn Abbas melakukannya di
Basrah, dan Amr bin Huraith melakukannya di Kufah ".
Abu Abdullah – yakni Imam Ahmad - berkata :
Saya tidak pernah melakukannya, dan itu adalah berdoa , biarlah mereka
memperbanyak orang-orang – untuk melakukannya- .
Dan dikatakan pada nya : “ Lalu apakah kita
melarang mereka ?
Dia berkata: Tidak, biarkanlah , mereka
jangan di larang “.
Dan Mubarak berkata : Saya melihat al-Hassan,
Ibn Siiriin, dan orang-orang melakukannya, saya bertanya kepadanya [Mubarok]
tentang at-Ta’riif di daerah-daerah? Dia berkata: “ Tidak ada yang salah dengan
itu “. [Selesai]
Bantahan ke empat :
Ibnu Siirin termasuk ulama yang mensunnahkan qunut subuh secara terus menerus, padahal qunut subuh menurut kelompok ahlul hajer wat-Tahdzir adalah bid'ah sesat dan pelakunya adalah ahli neraka.
Bahkan Ibnu Sirin adalah salah satu perawi hadits
qunut Shubuh dari Anas bin Malk , sebagaimana berikut ini:
Hadits ke satu :
عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ سِيْرِيْن قَالَ قُلْتُ
لأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ
يَسِيرًا.
“Dari Muhammad bin
Sirin, berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah
shalallahu’alaihi wassalam membaca qunut dalam shalat shubuh?” Beliau menjawab:
“Ya, setelah ruku’ sebentar.” (HR. Bukhori no. 970 dan Muslim)
Hadits kedua : dari
Muhammad bin Siiriin , beliau berkata :
سُئِلَ أنَسُ بنُ مَالِكٍ: أقَنَتَ
النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في الصُّبْحِ؟ قالَ: نَعَمْ، فقِيلَ له:
أوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ [ أوْ بَعْدَهُ] ؟ قالَ: بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا
Ana bin Malik
pernah di tanya : Apakah Nabi ﷺ Qunut Shubuh ? , beliau menjawab : Iya . lalu ditanyakan lagi :
Apakah qunut sebelum ruku’ atau sesudah Ruku’ ? beliau menjawab : Setelah ruku
sedikit “. ( HR, Bukhori 1/254 no. 1001 dan Muslim 2/136 )
Hadits ketiga : dari
jalur Khoolid al-Hadz-dzaa , dari Muhammad , dia berkata :
سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، هَلْ
قَنَتَ عُمَرُ؟ قَالَ: " نَعَمْ، وَمَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْ عُمَرَ، رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعْدَ الرُّكُوعِ "
Aku bertanya kepada Anas : Apakah Umar ber Qunut ??? Beliau menjawab :
Iya , dan juga orang yang lebih baik dari Umar , yaitu Rosulullah : Qunut
Setelah Ruku’ “. [ HR. Ahmad no. 12698].
HADITS HASAN : Di hasankan Sanadnya oleh
Syeikh al-Albaani dallam kitab “إرواء
الغليل”
2/160.
*****HUKUM MERIWAYATKAN HADITS DHO’IF :
Boleh hukumnya meriwayatkan hadits dhoif atau
hadits yang belum di ketahui keshahihannya secara ilmu sanad dan jarh
wat-ta’diil , sebagaimana yang dilakukan Imam Bukhori dalam kitabnya Tarikh
al-Kabiir, al-Awshath, ash-Shoghiir dan al-Adab al-Mufrod , juga yang dilakukan
oleh Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan para imam lainnya .
Berikut ini dalil yang membolehkannya :
Pertama : Dari Abdullah ibn ‘Amr: Bahwa Nabi ﷺ bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي
وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan
ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa
(dosa). Dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka
bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka . ( HR. Bukhori no. 3461 ).
Dalam hadits ini Rosullullah ﷺ mengijinkan umatnya untuk menyampaikan ilmu yang datang dari
Bani Israil , selama tidak ada unsur kesengajaan berdusta . Dan sudah dipastikan riwayat-riwayat Israiliyat
sebelum Islam datang itu tidak bersanad , bahkan belum ada ilmu jarh wat
ta’diil.
Kedua : jika disyaratkan harus shahih sanadnya , maka
ini bisa di pastikan banyak ilmu-ilmu agama Islam yang hilang , baik yang
berkaitan dengan hukum maupun sejarah dan lainnya .
Adapun mengamalkan hukum hadits dho’if ; maka telah
terjadi perbedaan pendapat antar para ulama.
PENDAPAT PERTAMA : Hadits Dha’if Boleh Diamalkan
secara mutlak , baik hadits itu berhubungan dengan aqidah, hukum syari’maupun
Fadloilul a’maal [فضائل
الأعمال] akan tapi dengan Syarat –syarat tertentu :
Ada Sebagian ulama yang membolehkan secara mutlak,
Yakni tidak ada batasan pada hadits dha’if yang boleh diamalkan, baik hadits
itu berhubungan dengan aqidah, hukum syari’, Fadloilul a’maal ( فضائل الأعمال ) dsb.
Semuanya boleh, tapi DENGAN SYARAT :
1. Tidak ada satupun dalil shahih mengenai suatu bab
kecuali hadits dha’if tersebut
2. dan tidak ditemukan dalil yang menyelisihinya /
bertentangan .
Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Daud , Imam Ahmad , Abdullah bin Al-Mubarak, Abdul Rahman bin Mahdi, dan Sufyan Al-Tsawri, Ibnu Abdil Barr, semoga Allah merahmatinya .
[ Baca : (الفتوحات الربانية) 1/182 dan حكم قبول الحديث الضعيف في فضائل الأعمال karya Abdul Khaliq
hal 3].
PENDAPAT KEDUA : Hadits Dha’if Hanya BOLEH Diamalkan
dalam Fadhoil A'maal [فضائل
الأعمال] dengan Syarat-Syarat Tertentu
Imam An-Nawawi, Syaikh Ali Al-Qori, dan Imam Ibnu
Hajar Al-Haitami menukil : kesepakatan JUMHUR ULAMA dan FUQOHA atas pendapat
yang membolehkan pengamalan hadits dha’if dalam fadhoil a'maal.
Pendapat ini dijadikan pedoman oleh banyak para imam,
diantaranya : Imam Ibnu Hajar Al Asqolani, Imam Al Luknawi, Imam Ahmad, Abu
Zakariya, dan Ibnu Mahdi.
[ Baca : (حكم قبول الحديث الضعيف في فضائل الأعمال) karya
Abdul Khaliq, hlm 3]
PENDAPAT KE TIGA : Hadits Dha’if Tidak Boleh Diamalkan
Secara Mutlak
Yakni : pendapat ke tiga ini tidak membolehkan
pengamalan hadits dha’if secara mutlak, baik dalam masalah hukum syari’,
aqidah, fadhoil amal, atau pun hanya sekedar untuk berhati-hati.
Ini adalah pendapat :
Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Ma’in, Abu Bakr ibnu al-Arabi al-Maaliki
, Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hazm –rahimahullahu- dan lain-lain.
Baca : [ Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113 dan
Abdul Khaliq, حكم
قبول الحديث الضعيف في فضائل الأعمال, hlm 3].
*****
STANDAR PERAWI YANG BOLEH
DIAMBIL HADITSNYA :
Para ulama hadis maupun fikih menetapkan dua syarat
pokok diterimanya perawi yaitu ‘adil dan dhabit.
Seorang perawi dapat disebut ‘adil apabila
ia seorang muslim yang balig, berakal, tidak melakukan hal-hal yang
menyebabkan kefasikan dan memiliki muru’ah atau sopan santun. Adapun
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Nuzhah An-Nazhar mendefinisikan
‘adil sebagai berikut:
مَنْ لهُ مَلَكَةٌ تَحْمِلُهُ على
مُلازمةِ التَّقوى والمُروءةِ
“Kemampuan untuk selalu konsisten dalam ketakwaan dan
berkepribadian baik.”Takwa yang dimaksud pada definisi ‘adil tersebut
adalah menjauhkan diri dari segala pebuatan buruk dan tidak terhormat.
Sementara itu, keadilan seorang perawi dapat
ditetapkan dengan dua hal :
Yang pertama adalah apabila dua ulama ta’dil menetapkan
keadilan nya .
Dan yang kedua : dengan kepopuleran perawi di kalangan
ahli ilmu.
Sedangkan perawi yang disebut dhabit adalah apabila
riwayat yang ia sampaikan tidak menyelisihi perawi tsiqah [dipercaya],
hafalannya baik serta memahami apa yang ia riwayatkan dan tidak terdapat
kekeliruan yang parah, tidak pikun atau mudah lupa dan juga tidak banyak
persangkaannya.
Dhabt terbagi menjadi dua macam :
Yang pertama : adalah dhabt shadr [hafalan[ yaitu:
أَنْ يُثْبِت ما سَمِعَهُ بحيثُ
يتمكَّنُ مِن اسْتِحْضَارِه مَتَى شَاءَ
Perawi yakin apa yang ia dengar (ingat) dan mampu
menyebutkannya kapanpun ia diminta. Dengan kata lain, perawi tersebut hafal dan
paham serta mampu untuk menyampaikan kembali apa yang ia terima dengan baik.
Macam yang kedua : adalah dhabt kitab [ catatan] yaitu:
وَهُوَ صِيَانَتُهُ لَدَيْهِ مُنْذُ
سَمِعَ فيهِ وصحَّحَهُ إِلى أَنْ يُؤَدِّيَ منهُ
Kehati-hatian perawi dalam menjaga tulisannya sejak
awal ia menerima periwayatan secara langsung dan memperbaiki kondisi bukunya
hingga tidak terjadi hal yang dapat mengubah catatannya. Singkatnya, catatan
yang dimiliki oleh perawi lengkap, tepat, dan benar.
Seorang perawi yang dhabit dapat diketahui
melalui kesesuaian periwayatannya dengan perawi tsiqah. Jika tingkat
kesesuaian dengan perawi tsiqah tinggi maka perawi tersebut bisa
dikatakan dhabit meski ada sedikit riwayat darinya yang berselisih.
Namun apabila riwayat yang beselisih lebih banyak dibandingkan dengan riwayat
yang sesuai maka kedhabitan bisa hilang. Wa Allahu a’lam bis shawab.
*****ULAMA SYIAH YANG DIAMBIL RIWAYAT
HADITSNYA OLEH ULAMA SUNNI
Mereka para ulama hadits Sunni betul-betul objective dan selectif dalam
mengumpulkan hadits-hadits nabawi , namun mereka juga tidak terpaku pada para
ulama sunni saja , melainkan mereka mengambil pula dari selain para ulama sunni
termasuk dari sekte Syi'ah yang paling extrem sekalipun , seperti syiah
Rafidhah , selama hadits-hadits tersebut terbukti shahih sesuai dengan standar
qaidah yang telah mereka tetapkan dalam menentukan hadits shahih .
Cukup banyak jumlah para ulama Syiah yang diambil
riwayat haditsnya oleh para ulama ahli hadits dari kalangan Sunni, diantaranya adalah
sebagai berikut :
ULAMA KE 1 : ABDURRAHMAN BIN SHALEH [ SYIAH RAFIDHAH
] :
Diantara para ulama hadits
Sunni yang mengambil hadits dari nya : Imam Ahmad bin Hanbal , Yahya bin Ma'in,
Habish bin Mubasyir, dan Ibnu Rumi . [Tariikh Bagdad 11/543 oleh Al-Khathib
al-Baghdadi].
ULAMA SYIAH KE 2 : ABDUL MALIK BIN A'YUN AL-KUUFI [ SY'IAH RAFIDHAH]
Abdul Malik bin A'yun al-Kufi, Mawla Bani Syaiban (saudara Bilal, Hamran,
Zararah, dan Abdul A'la bin A'yun).
Thobaqot nya : Kategori ke-6 dari orang-orang yang hidup pada masa صغارالتابعين [tabi'in kecil].
Riwayat hadisnya: Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i,
Abu Dawud, dan Ibnu Majah.
Pandangan Ibnu Hajar tentangnya: Dikatakan bahwa dia adalah seorang yang
jujur dan berpaham Syiah.
Pandangan Adz-Dzahabi tentangnya: Dikatakan bahwa dia adalah seorang yang
jujur dan berpaham Syiah.
[ Lihat : Mukhtshar at-Talkhish karya adz-Dzahabi 3/1502 , Tahdzib
at-Tahdzib karya Ibnu Hajar 6/385 dan Tahriir Taqrib at-Tahdziib 2/379 no.
4164]
ULAMA SYIAH KE 3 : ABBAAD BIN YA'QUB [SYI'AH RAFIDHAH].
'Abbaad bin Ya'qub al-Asadi al-RawaajIni, yang juga dikenal
sebagai Abu Sa'id al-Kufi, adalah seorang pemeluk Syiah.
Thobaqotnya: Kategori ke-10 :
كَبَارُ الْآخِذِينَ
عَنْ تَبَعِ الْأَتْبَاعِ
Ulama senior yang mengambil
ilmu dari Tabi'ut Tabi'iin
Wafat: 250 H.
Yang meriwayatkan hadis-hadis dari dia diantaranya adalah : Bukhari, Tirmidzi,
dan Ibnu Majah.
Pandangan Ibnu Hajar tentangnya: Dikatakan bahwa dia adalah seorang yang
jujur dan dia berfaham Syi'ah Rafidhah.
Pandangan Adz-Dzahabi tentangnya: Abu Hatim menganggapnya sebagai seorang
yang tepercaya, namun ia seorang Syi'ah yang keras .
[ Baca : "Tahdziibb Al-Kamal 14/177-178 ", "Tahdzib
al-Tahdzib" 5/110 dan "Taqrib al-Tahdzib" (hlm. 291)]
ULAMA SYIAH KE 4 : 'AUF BIN ABI JAMILAH [ SYIAH RAFIDHAH]
'Auf bin Abi Jamilah Al-'Abdi Al-Hijri, yang juga dikenal sebagai Abu
Sahl Al-Bashri, yang terkenal dengan sebutan Al-A'arabi (meskipun dia bukan
orang Arab badui ).
Para ahli hadis yang meriwayatkan darinya: Al-Bukhari, Muslim, Dawud,
At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Al-Baihaqi.
Statusnya menurut Ibnu Hajar: Dipercaya dalam meriwayatkan hadis, dan
diketahui bahwa dia memiliki kecenderungan ke arah Syiah.
Statusnya menurut Adz-Dzahabi: An-Nasa'i mengatakan bahwa dia adalah
seorang yang dipercaya (thiqah) dan terbukti dapat diandalkan dalam
meriwayatkan hadis.
[ Lihat : at-Taarikh al-Kabiir karya Bukhori 7/58 no. 264 dan al-Jarh wa
at-Ta'diil karya Ibnu Abi Hatim 7/15 no. 71 , Tadzhib at-Tahdziib karya
adz-Dzahabi 7/250 no. 5256 dan Tahdzib at-Tahdziib karya Ibnu Hajar 8/166 no.
302]
Panulis cukupkan 4 perawi syiah saja sebagai contoh . Untuk lebih banyak
lagi contohnya silahkan baca artikel penulis di blog yang sama yang berjudul : “ULAMA SYIAH YANG DIAMBIL RIWAYAT HADITSNYA OLEH ULAMA SUNNI”.
*****IMAM ABU HANIFAH , PENDIRI MADZHAB HANAFI DITOLAK RIWAYAT HADITSNYA :
Dalam ilmu Jarh wat Ta'dil, para ulama hadits tidak pandang bulu dalam menetapkan seorang perawi tsiqot dipercaya dan tidaknya . Meskipun perawi tersebut seorang yang ulama besar dari ahlus Sunnah wal Jama'ah, namun jika terbukti tidak memenuhi standar shahih haditsnya , maka riwayatnya ditolak atau dianggap lemah dan dho'if . Contohnya al-Imam Abu Hanifah.
Di sebutkan dalam Arsyif Multaqo Ahlil Hadits 29/233 :
فَقَدْ ثَبَتَتْ الحُجَّةُ عِندَ أَرْبَابِ العُلُومِ وَالْفَنُونِ أَنَّ
كُلَّ عِلْمٍ لَهُ بَابٌ لَا يُؤْتَى إِلَّا مِنْهُ، وَقَدْ ثُبِتَ عِنْدَ أَهْلِ الحَدِيثِ
عَامَّةً وَأَهْلِ الجَرْحِ وَالتَّعْدِيلِ خَاصَّةً أَنَّ الإِمَامَ العَلَامَةَ الفَقِيهَ
أَبَا حَنِيفَةَ ضَعِيفٌ فِي الحَدِيثِ، وَلَا يَقْدَحُ هَذَا فِي فَقْهِهِ فَهُوَ
مُؤَسِّسٌ وَرَائِدُ مَدْرَسَةِ الفَقْهِ وَالرَّأْيِ بَلْ قَالَ الشَّيْخُ المَرَاغِيُّ
رَحِمَهُ اللَّهُ صَحَّ عَنْ الإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ:
كُلُّ النَّاسِ عَالَةٌ فِي الفَقْهِ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ. رَحِمَ اللَّهُ الإِمَامَ
أَبَا حَنِيفَةَ وَجَزَاهُ اللَّهُ خَيْرًا عَلَى مَا قَدَّمَ لِلإِسْلَامِ وَالمُسْلِمِينَ،
وَالحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Terdapat kesepakatan di kalangan para ahli ilmu dan bidang
tertentu : bahwa setiap ilmu memiliki pintu yang hanya dapat diakses melalui
pintu tersebut.
Telah diyakini oleh ahli hadis secara umum, dan oleh
ahli jarh wa ta'dil secara khusus, bahwa al-Imam al-Fakih Abu Hanifah lemah
dalam hadis.
Namun, hal ini tidak merendahkan kedudukan ilmu fikihnya,
karena dia adalah pendiri dan pemimpin dari madrasah fikih dan logika. Bahkan,
Sheikh al-Maraghi rahimahullah menyatakan bahwa Imam al-Shafi'i rahimahullah
pernah mengatakan:
"Semua orang bergantung pada Abu Hanifah dalam
fikih."
Semoga Allah merahmati Imam Abu Hanifah dan memberinya
balasan yang baik atas kontribusinya terhadap Islam dan umat Islam. Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam. Dan Allah-lah yang lebih mengetahui".
Dalam kitab-kitab al-Jarh wat-Ta’diil disebutkan :
Ibnu al-Mubarak berkata:
"كَانَ أَبُو
حَنِيفَةَ مِسْكِينًا فِي الْحَدِيثِ".
"Abu Hanifah itu lemah dalam
hadis."
Namun dia sendiri, Ibnu al-Mubarak, yang riwayatnya
menyebutkan bahwa dia berkata:
"أَبُو حَنِيفَةَ
أَفْقَهُ النَّاسِ".
"Abu Hanifah adalah orang yang paling
faham fiqih di antara manusia."
Ibnu Hibban juga berkata dalam
"Al-Majruhin":
"لَمْ يَكُنْ
الْحَدِيثُ صِنَاعَتُهُ، حَدَّثَ بِمِائَةٍ وَثَلَاثِينَ حَدِيثًا، مَا لَهُ فِي الدُّنْيَا
غَيْرُهَا، أَخْطَأَ مِنْهَا فِي مِائَةٍ وَعِشْرِينَ حَدِيثًا، إِمَّا أَنْ يَكُونَ
أَقَلَّبَ إِسْنَادَهُ أَوْ غَيَّرَ مَتْنَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُ، فَلَمَّا غَلَبَ
خَطَؤُهُ عَلَى صَوَابِهِ اسْتَحَقَّ تَرْكُ الِاحْتِجَاجِ بِهِ فِي الْأَخْبَارِ".
"Hadis bukanlah bidang keahliannya.
Dia meriwayatkan seratus tiga puluh hadis, yang mana baginya tidak ada di dunia
ini selainnya. Dia melakukan kesalahan dalam seratus dua puluh hadis. Entah dia
memutar balikkan sanadnya atau mengubah teksnya tanpa dia ketahui. Ketika
kesalahannya melebihi ketepatannya, maka dia layak untuk tidak dijadikan
rujukan dalam berita-berita hadits itu."
An-Nasa'i juga berkata dalam risalahnya tentang ilmu
hadis:
"وَأَبُو حَنِيفَةَ
لَيْسَ بِالْقَوِيِّ فِي الْحَدِيثِ، وَهُوَ كَثِيرُ الْغَلَطِ وَالْخَطَأِ عَلَى قِلَّةِ
رَوَايَتِهِ".
"Dan Abu Hanifah bukanlah kuat dalam
hadis, dia sering salah dan keliru, padahal sedikit riwayatnya."
Ibnu al-Jawzi berkata :
قَالَ سُفْيَانُ
الثَّوْرِيُّ: "لَيْسَ بِثِقَةٍ." وَقَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: "لَا
يُكْتَبُ حَدِيثُهُ"، وَقَالَ مَرَّةً أُخْرَى: "هُوَ أَنْبَلُ مِنْ أَنْ
يَكْذِبَ".
Sufyan al-Thawri berkata: "Dia tidak dapat dipercaya." Dan Yahya bin Ma'in berkata: "Hadisnya tidak boleh ditulis," dan dia juga berkata lagi: "Dia lebih mulia daripada berdusta."
[Baca : Jami’ al-Bayan wa fadhlihi karya Ibnu ‘Abdil Barr 2/149, al-Kaamil karya Ibnu ‘Adiy 7/2476, As-Sunnah karya Abdullah bin Imam Ahmad 1/211, adh-Dhu’afaa wal Matruukiin karya Ibnu al-Jauwzi 3/163 dan Arsyif Multaqa Ahlil Hadits 70/69]
*****
SIKAP YANG BENAR DALAM MANHAJ
AL-IMTIHAN :
Syeikh Muhammad ‘Ali Farkuus dalam Fatwanya no. 1300 :
فإنَّه ينبغي التَّفريقُ بين الحكمِ
العاديِّ والحاجيِّ أو بين الأصلِ والاستثناءِ، فالمَعلوم ـ في الأصل ـ:
أنَّ امتحان النَّاس في عقائدهم بما لم يأمُرِ اللهُ به ولا رسولُهُ صَلَّى اللهُ
عليه وسَلَّم ـ أي: عند انتفاءِ الحاجةِ وعدمِ المُوجِبِ ـ لا يجوز
شَرْعًا؛ ناهيك عن إلزامهم باتِّخاذِ مواقِفَ مُؤيِّدةٍ لِمَواقِفِهم على وجه
التَّحزُّب لشخصٍ والتَّعصُّبِ لأقوالِهِ والدَّعوةِ إلى طريقتِهِ لِذَاتِه لا
للدليلِ الرَّاجح الَّذي معه في بعضِ أقواله(٢).
Maka seharusnya dibedakan antara hukum kebiasaan dan hukum
saat ada hajat keperluan atau antara hukum asal dan hukum pengecualian,
karena hal yang diketahui pada prinsip dasarnya adalah bahwa manhaj menguji aqidah
orang-orang dengan sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya tidak memerintahkannya -
yaitu: ketika tidak ada hajat kebutuhan dan tidak pada kondisi yang memaksa - ;
maka tidak diperbolehkan secara hukum syariat; apalagi untuk memaksa mereka
untuk mengambil sikap yang mendukung posisi mereka dengan fanatisme terhadap
seseorang dan fanatisme terhadap pendapat-pendapatnya, serta mengajak mereka
untuk mengikuti jalanya [thariqat-nya] pada dzatnya bukan karena dalil yang kuat
yang bersamanya dalam sebagian pendapat-pendapatnya”.
Syeikh Ibnu Utsaimin - semoga Allah merahmatinya -
berkata:
«فنصيحتي
لأبنائي الشباب وإخواني: أَنْ يَدَعوا هذا التَّحزُّبَ وأَنْ يَدَعوا تصنيفَ
النَّاسِ، وألَّا يَهتمُّوا بالشَّخصِ المُعيَّنِ، ويجعلوا الولاءَ والبراءَ
موقوفًا على الموالاةِ أو البراءةِ منه، وأَنْ يأخُذوا بالحقِّ أينما كان ويَدَعوا
الباطلَ أينما كان، ومَنْ أخطأ مِنَ العلماءِ فخطؤه على نفسِه، ومَنْ أصاب
فإصابتُه لنفسِه ولغيرِه، ولا يجوزُ إطلاقًا أَنْ نعتقدَ أنَّ أحَدًا معصومًا مِنَ
الخطإ في دينِ الله إلَّا رسول الله صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّم، فما بالُنا
نَمتحنُ النَّاسَ الآنَ ونقولُ: ما تقولُ في كذا؟ ما تقولُ في الرَّجلِ الفلاني؟
ما تقول في الطَّائفةِ الفلانيَّة؟ أكان الرسول عليه الصلاة والسلام يَمتحنُ
النَّاسَ بهذا؟ أم كان الصَّحابةُ يَمتحنونَ النَّاسَ بهذا؟ إنَّ هذا مِنْ شأنِ
الشُّعَبِ الضَّالَّةِ الَّتي تُريدُ أَنْ تفرِّقَ النَّاسَ حتَّى لا يكون جيلًا
راسيًا أمام التَّحدِّيَاتِ التي نَسمعُها كُلَّ يومٍ ونُشاهدُها في الصُّحفِ
والمجلَّاتِ مِمَّنْ يُحاربون هذا الدِّينَ وأهلَ الدِّينِ»
"Nasihat saya kepada anak-anak muda dan
saudara-saudaraku: agar mereka meninggalkan fanatisme dan tidak menjadikan
manusia berkelompok-kelompok, tidak fanatik dengan hanya memperhatikan individu
tertentu, dan menjadikan al-walaa [loyalitas] dan al-baraa [distansi] bergantung
pada al-walaa dan al-Baraa terhadap seseorang.
Mereka harus mengikuti kebenaran di mana pun itu
berada dan meninggalkan kebatilan di mana pun itu berada. Kesalahan seorang
ulama dalam ijtihad adalah kesalahannya sendiri, dan kebenaran ijtihad seorang
ulama adalah kebenaran bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Tidak boleh berkeyakinan bahwa seseorang terjaga dari segala
kesalahan ijtihad dalam agama Allah secara mutlak kecuali Rasulullah ﷺ.
Maka mengapa kita harus menguji orang-orang sekarang
dan bertanya: Apa pendapatmu tentang ini? Apa pendapatmu tentang si fulan? Apa
pendapatmu tentang golongan fulan?
Apakah Rasul ﷺ menguji orang-orang dengan cara ini? Ataukah para sahabat
menguji orang-orang dengan cara ini?
Ini adalah tindakan dari kelompok-kelompok sesat yang
ingin memecah belah umat sehingga tidak ada generasi yang kokoh menghadapi
tantangan yang kita dengar setiap hari dan kita lihat dalam surat kabar dan
majalah dari mereka yang memerangi agama ini dan para pemeluk nya ."
[Liqaa al-Baab al-Maftuuh, Pita: 149, Pertanyaan: 8].
Ibnu Taimiyah - semoga Allah merahmatinya -
menjelaskan makna ini dalam konteks menguji orang-orang dalam masalah pengujian
orang-orang dengan menyebut "Yazid bin Muawiyah" yang kebenarannya
telah dijelaskan, yaitu : sikap yang diambil oleh para imam adalah bahwa sikap
terhadap Yazid ini tidak harus ditunjukan dengan kecintaan atau kebencian, sebagaimana
yang disebutkan dalam akhir fatwa-nya :
«فالواجب
الاقتصاد في ذلك، والإعراض عن ذِكرِ يزيدَ بنِ معاوية وامتحانِ المسلمين به؛
فإنَّ هذا مِنَ البِدَع المُخالِفة لأهل السُّنَّة والجماعة، فإنَّه بسببِ ذلك
اعتقد قومٌ مِنَ الجُهَّال أنَّ يزيدَ بنَ مُعاويةَ مِنَ الصَّحابة وأنَّه مِنْ
أكابر الصَّالحين وأئمَّةِ العَدلِ؛ وهو خطأٌ بَيِّنٌ»
"Oleh karena itu, yang wajib dilakukan adalah berlaku
bijak dan tengah-tngah dalam hal ini, dan menghindari penyebutan Yazid bin
Muawiyah untuk menguji kaum muslimin dengannya. Ini adalah bid'ah yang
bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagian orang awam bahkan
beranggapan bahwa Yazid bin Muawiyah adalah salah satu dari para sahabat senior
yang shaleh dan termasuk dalam golongan pemimpin yang adil, yang mana ini adalah
merupakan kesalahan yang jelas." ["Majmu' al-Fatawa" oleh Ibnu
Taimiyah (3/409-414)]
Kemudian, Ibnu Taimiyah - semoga Allah merahmatinya -
berkata dalam bab sesudahnya :
«..
وكذلك التَّفريقُ بين الأُمَّة وامتحانُها بما لم يأمُرِ اللهُ به ولا رسولُهُ..»
"...dan demikian pula membedakan antara umat dan
menguji mereka dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya tidak memerintahkannya."
["Majmu' al-Fatawa" oleh Ibnu Taimiyah (3/415)].
Menguji orang-orang tanpa kebutuhan mendesak atau
dasar syariat adalah bid'ah. Termasuk dalam makna ini adalah menguji ahlul haq
[orang benar] dengan kebatilan.
Al-Bukhari - semoga Allah merahmatinya - telah
mengonfirmasi hukum ini. Adz-Dzahabi - semoga Allah merahmatinya – menyebutkan :
«قام إليه رجلٌ،
فقال: «يا أبا عبدِ الله، ما تقولُ في اللفظ بالقرآن، مخلوقٌ هو أم غيرُ مخلوقٍ؟»
فأَعرضَ عنه البخاريُّ ولم يُجِبْه، فقال الرَّجل: «يا أبا عبد الله»، فأعاد عليه
القولَ، فأَعرضَ عنه، ثمَّ قال في الثَّالثة، فالْتَفتَ إليه البخاريُّ، وقال:
«القرآنُ كلامُ اللهِ غيرُ مخلوقٍ، وأفعالُ العبادِ مخلوقةٌ، والامتحانُ
بِدعةٌ»
bahwa seseorang datang kepada ial-Imam al-Bukhari dan
bertanya :
"Wahai Abu Abdullah, bagaimana pendapat Anda tentang
firman Al-Qur'an, apakah itu makhluk atau bukan makhluk?"
Al-Bukhari mengabaikannya dan tidak menjawab. Orang
tersebut mengulangi pertanyaannya, tetapi al-Bukhari tetap diam.
Kemudian, dia bertanya untuk ketiga kalinya, maka
al-Bukhari menoleh padanya dan berkata :
«القرآنُ كلامُ
اللهِ غيرُ مخلوقٍ، وأفعالُ العبادِ مخلوقةٌ، والامتحانُ بِدعةٌ»
"Al-Qur'an adalah kalam Allah yang tidak makhluk,
sedangkan perbuatan hamba adalah makhluk, dan menguji manusia adalah
bid'ah." [ Baca : "Siyar A'lam al-Nubala" by al-Dzahabi (12/453)].
Dan itu termasuk dalam perspektif ini juga.
Al-Barbahaari berkata :
«والمحنةُ في
الإسلام بدعةٌ، وأمَّا اليومَ فيمتحن بالسُّنَّة، لقوله: «إنَّ هذا العِلمَ دينٌ
فانظروا عمَّنْ تأخذون دِينَكُم»، ولا تقبلوا الحديثَ إلَّا ممَّنْ تقبلون
شهادتَه، فتنظر: إِنْ كان صاحب سُنَّةٍ له معرفةٌ صدوقٌ كَتَبْتَ عنه وإلَّا
ترَكْتَه»
«Dan menguji manusia dalam Islam adalah bid'ah. Hari
ini, pengujian dilakukan dengan mengikuti Sunnah. Sebagaimana perkataan-nya:
'Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian
mengambil agama kalian.'
Jangan menerima hadis kecuali dari orang yang kalian
terima kesaksiannya. Maka lihatlah, jika pemilik Sunnah itu memiliki
pengetahuan dan jujur, maka kamu tuliskan darinya, jika tidak,
tinggalkanlah." [Syarhus Sunnah karya al-Barbahaari hal. 124]
Sheikh Abdul Muhsin bin al-‘Abbaad al-Badr - semoga Allah
memeliharanya - telah menganggap pengujian orang-orang dan pengelompokan mereka
dengan cara seperti ini adalah sebagai manipulasi dan permainan syeitan
terhadap manusia, yaitu dengan cara : ketika ia menjawab pertanyaan yang
mencakup pengujian orang-orang dengan sosok-sosok tertentu, lalu dia berkata:
«لا يجوز مثلُ
هذا، وهو مِنْ تلاعُبِ الشَّيطان بالنَّاس، فمِنَ الخطإِ أَنْ يُشغِلوا أنفُسَهم
بسؤالِ الأشخاصِ عن هذا، ثمَّ بعد ذلك يُنابَذُ ذلك المُمتحَنُ أو يُقرَّب بناءً
على الجواب، والواجبُ على كُلِّ إنسانٍ ناصحٍ لنفسِهِ أَنْ يَشتغِلَ بطلبِ العِلم،
وأَنْ يشغلَ نفسَهُ بما ينفعه، وألَّا يُشغِلَ نفسَهُ بما يضرُّه ولا ينفعُهُ»
"Tidak boleh seperti ini, dan ini adalah
manipulasi dan permainan syeitan terhadap manusia. Salah satu kesalahan adalah
ketika mereka sibuk bertanya kepada orang-orang tentang ini dan itu, kemudian
setelah itu orang yang diujinya itu ditolak atau diterima berdasarkan jawaban. Yang
benar kewajiban setiap individu adalah menasihati dirinya sendiri agar menyibukkan
dirinya dengan mencari ilmu, dan menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang
bermanfaat baginya. Dan tidak menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang merugikan
dan tidak memberinya manfaat." [Syarah Sunan Abi Daud oleh al-‘Abbaad 24/517]
Adapun apa yang disebutkan oleh kelompok ahlul Hajer wat
Tahdzir wat Tabdi’ : Bahwa kebolehan menguji orang-orang adalah untuk mencari
tahu dan agar bisa membedakan”.
Maka jawabannya adalah : Kebolehannya itu jika terkait
dengan hajat kebutuhan dan adanya maslahat. Karena pengujian orang-orang dalam aqidah
dan manhaj mereka, serta penelusuran latar belakang kehidupan dan akhlak
mereka, maka itu tidak boleh diadakan kecuali dengan adanya alasan yang benar
dan kebutuhan yang mendesak yang memanggilnya, umpamanya terkait dengan
penunjukan untuk posisi panduan keagamaan seperti imam masjid, guru agama, atau
posisi lainnya, atau terkait dengan tujuan perjodohan, pertemanan, atau kemitraan,
atau untuk tujuan lain di mana diperlukan pengetahuan tentang para tokoh agama dari
kalangan orang-orang yang beriman yang bisa di jadikan rujukan dan pegangan
agar tidak terjerumus dan tidak terjatuh pada musuh-musuh Allah yang jahat, sehingga
dengan cara pengujian tersebut bisa terhindar dan dijauhkan darinya .
Namun demikian , ini juga tetap merupakan pengecualian
atas dasar hajat kebutuhan dan kemaslahatan, dan bukan aturan umum yang boleh sembarang
ditetapkan, dan atas dasar ini, turun temurunlah jejak-jejak para ulama salaf,
termasuk diantaranya adalah :
Ucapan Baqiyyah bin al-Walid rahimahullah (wafat 197
H) :
«إنَّا
لَنَمتحِنُ النَّاسَ بالأوزاعيِّ، فمَنْ ذَكرَه بخيرٍ عَرَفْنا أَنَّه صاحبُ
سُنَّةٍ»
"Kami akan menguji orang-orang dengan al-Awzaa’iy,
barangsiapa yang menyebutkannya dengan baik, maka kami tahu bahwa dia adalah
orang yang mengikuti Sunnah."[Baca : Tahdzib at-Tahdziib oleh Ibnu Hajr
6/241]
*** Atsar al-imtihan ini jawabannya
berisi pujian dan kejadiannya hanya sesekali saat ada hajat, bukan menjadikannya
sebagai manhaj .
Perkataan Sa'id bin Salim al-Bashri :
«سمعتُ أبَا
حنيفةَ يقول: «لَقِيتُ عطاءً بمكَّةَ، فسألتُه عن شيءٍ، فقالَ: «مِنْ أينَ أنتَ؟»
قلتُ: «مِنْ أهل الكوفةِ»، قال: «أنتَ مِنْ أهلِ القريةِ الذينَ فرَّقُوا دِينَهم
وكانُوا شِيَعًا؟» قلتُ: «نَعم»، قال: «فمِنْ أيِّ الأصنافِ أنتَ؟» قلت: «ممَّنْ
لا يسُبُّ السَّلفَ، ويُؤمنُ بالقَدَرِ، ولا يُكفِّر أحدًا بذَنبٍ»، قال: فقال لي
عطاءٌ: «عَرفتَ فالزَمْ»»
"Aku mendengar Abu Hanifah berkata: 'Aku bertemu
dengan 'Atho' di Makkah, maka aku bertanya kepadanya tentang sesuatu.
Dia berkata: 'Dari mana kamu?' Aku katakan: 'Dari
penduduk Kufah.'
Dia berkata: 'Kamu adalah dari penduduk desa yang memecah belah agamanya
dan mereka menjadi berkelompok-kelompok [disana pusatnya Syi’ah]”. Aku katakan:
'Ya.'
Dia berkata: 'Dari kelompok mana kamu?' Aku katakan:
'Dari mereka yang tidak mencaci maki para Salaf, beriman pada takdir, dan tidak
mengkafirkan seseorang karena dosa.'
'Atho' berkata kepadaku: 'Sekarang saya tahu kamu,
maka berpeganglah.'" [ Baca : Tarikh Baghdaad oleh al-Khothib al-Baghdadi
15/444].
*** Partanyaan saat-saat
dan suasana seperti atsar ini bisa terjadi pada siapa saja . Kalau sekarang
contohnya terhadap seseorang yang datang dari Iran .
Diantara dalil yang dikemukakan oleh kelompok ahlul Hajer
wat Tahdzir wat Tafriq, yaitu firman Allah Ta'ala:
﴿يَٰأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٖ
فَٱمۡتَحِنُوهُنَّ﴾
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada
kalian para wanita mukminah muhajirah (berhijrah dari Mekkah ke Madinah), maka
ujilah mereka." (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Jawaban atas istidlaal mereka dengan ayat ini adalah :
Yang jelas, pemeriksaan yang dimaksud dalam ayat, itu terjadi
saat ada keraguan tentang kejujuran mereka, dan adanya bahaya yang terjadi jika
para wanita mukminah tersbut ditolak dan dikembalikan kepada orang-orang kafir
jika terbukti bahwa mereka adalah orang-orang mukminah. Hal ini akan
menimbulkan banyak madhorot .
Namun, jika keyakinan tentang keimanan mereka sudah
terkonfirmasi, maka tidak diperlukan lagi untuk pengujian setelah pengetahuan
itu didapat. Karena hasil yang diinginkan dari pengujian sudah dicapai tanpa
perlu pengujian, yaitu konfirmasi apakah mereka benar-benar mukminah atau hanya
berpura-pura, atau bahkan berhijrah karena motif lain seperti mencari pasangan
hidup atau kepentingan dunia.
Jika sudah jelas bahwa mereka mukminah, baik melalui ujian
jika diperlukan atau tanpa itu, maka tidak ada hambatan untuk menolak penerapan
ketentuan perjanjian Hudaibiyah dalam kasus mereka, yaitu mengembalikan mereka
kepada orang-orang kafir, tidak berlaku. Ini dikarenakan perbedaan antara pria
dan wanita dalam konsekuensi pengembalian mereka.
Al-Sa'di - semoga Allah merahmatinya - dalam
penafsirannya terhadap ayat sebelumnya dengan pernyataan berikut:
«فأمَّا
الرِّجال فإنَّ الله لم يَنْهَ رسولَه عن ردِّهم إلى المشركين وفاءً بالشَّرط
وتتميمًا للصُّلح الذي هو مِنْ أكبر المَصالح؛ وأمَّا النِّساءُ فلمَّا كان
رَدُّهُنَّ فيه مفاسدُ كثيرةٌ أمَرَ اللهُ المؤمنينَ ـ إذا جاءهم المُؤمناتُ
مُهاجراتٍ، وشَكُّوا في صِدْقِ إيمانِهنَّ ـ أَنْ يمتحنوهُنَّ
ويَختبروهنَّ بما يظهر به صِدقُهنَّ مِنْ أيمانٍ مُغلَّظةٍ وغيرِها، فإنَّه يحتمل
أَنْ يكون إيمانُها غيرَ صادقٍ بل رغبةً في زوجٍ أو بلدٍ أو غيرِ ذلك مِنَ
المَقاصِدِ الدُّنيويَّةِ، فإِنْ كُنَّ بهذا الوصفِ تَعيَّنَ رَدُّهنَّ وفاءً
بالشَّرطِ [يعني: شرْطَ صُلحِ الحُدَيْبِيَة] مِنْ غيرِ حصولِ مفسدةٍ، وإِنِ
امتَحَنُوهُنَّ فَوُجِدْنَ صادقاتٍ، أو عَلِموا ذلك منهنَّ مِنْ غير امتحانٍ، فلا
يَرجعوهُنَّ إلى الكُفَّار»
"Adapun terhadap para lelaki, Allah tidak
melarang Rasul-Nya untuk mengembalikan mereka kepada orang-orang musyrik
sebagai pemenuhan syarat dan kelengkapan dari perjanjian yang merupakan salah
satu dari kepentingan yang besar. Sedangkan terhadap wanita-wanita, karena dengan
mengembalikan mereka akan menimbulkan banyak mafsadah, maka Allah memerintahkan
kepada orang-orang mukmin ketika datang kepada mereka para wanita mukminah yang
berhijrah, dan mereka meragukan kejujuran iman mereka, untuk menguji dan meneliti
mereka dengan apa yang menunjukkan kejujuran iman mereka, baik itu iman yang
kokoh atau yang lainnya.
Karena kemungkinan iman mereka tidak jujur, melainkan
karena keinginan akan suami, tempat tinggal, atau tujuan dunia lainnya.
Jika mereka sesuai dengan deskripsi ini, maka
pengembalian mereka adalah sebagai pemenuhan syarat tanpa menyebabkan mafsadah.
Namun, jika mereka diuji dan ditemukan jujur, atau itu diketahui dari mereka
tanpa pengujian, maka mereka tidak akan dikembalikan kepada orang-orang
kafir." [ Baca : Tafsir as-Sa’diy hal. 1011 ]
Arti dari menempatkan syarat tersebut adalah adanya kebutuhan
akan pengujian, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah - semoga Allah
merahmatinya - dalam perkataannya:
«والمُؤمِنُ
مُحتاجٌ إلى امتحانِ مَنْ يريد أَنْ يصاحِبَهُ ويقارنَه بنكاحٍ وغيرِه؛ قال تعالى:
﴿إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٖ فَٱمۡتَحِنُوهُنَّۖ ٱللَّهُ
أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّ﴾ الآية»
"Seorang mukmin membutuhkan untuk menguji orang
yang hendak menemaninya dan mendampinginya dalam pernikahan dan hal lainnya;
Allah Ta'ala berfirman:
'Apabila datang kepada kalian wanita-wanita mukminah
yang berhijrah, maka ujilah mereka; Allah lebih mengetahui tentang iman
mereka.' (QS. Al-Mumtahanah: 10)." [Majmu’ al-Fataawaa 15/329].
HADITS NABI ﷺ MENGUJI KEISLAMAN JARIYAH [BUDAK PEREMPUAN]
Kelompok ahlul Hajer wat Tahdzir juga berdalil dengan hadits Rasululullah ﷺ menguji keislaman Jariyah [budak perempuan] . Dengan hadits ini mereka ingin memperkuat manhaj nya yang berkenaan dengan Imtihanu an-Naas yakni menguji manhaj kaum muslimin , apakah sama dengan kelompoknya ?. Hadits tersebut adalah sbb :
Dari Muawiyah bin
al-Hakam as-Sulami, dia berkata kepada Rasulullah ﷺ :
وكَانَتْ لي
جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لي قِبَلَ أُحُدٍ والْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ
ذَاتَ يَومٍ فَإِذَا الذِّيبُ قدْ ذَهَبَ بشَاةٍ مِن غَنَمِهَا، وأَنَا رَجُلٌ مِن
بَنِي آدَمَ، آسَفُ كما يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فأتَيْتُ
رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ فَعَظَّمَ ذلكَ عَلَيَّ، قُلتُ: يا
رَسولَ اللهِ، أفلا أُعْتِقُهَا؟ قالَ: ائْتِنِي بهَا فأتَيْتُهُ بهَا، فَقالَ
لَهَا: أيْنَ اللَّهُ؟ قالَتْ: في السَّمَاءِ، قالَ: مَن أنَا؟ قالَتْ: أنْتَ
رَسولُ اللهِ، قالَ: أعْتِقْهَا، فإنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.
Dia berkata lagi,
“Dahulu aku mempunyai jariyah [budak perempuan] yang menggembala kambing di
depan gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada suatu hari aku memeriksanya, ternyata
seekor serigala telah membawa seekor kambing dari penjagaannya. Aku adalah
lelaki biasa dari keturunan bani Adam yang bisa marah sebagaimana mereka juga bisa
marah. Akan tetapi aku menamparnya sekali tamparan . Lalu aku berjumpa
Rasulullah ﷺ, dan beliau anggap tamparan itu adalah masalah besar.
Aku berkata,
“(Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih baik aku memerdekakannya?‘
Baginda ﷺ bersabda : ‘Bawalah dia kepadaku.’ Lalu
aku membawanya menghadap baginda.
Lalu baginda ﷺ bertanya, ‘Di manakah Allah? ‘
Jariyah [budak
perempuan] itu menjawab, ‘Di atas langit.’
Baginda ﷺ bertanya, ‘Siapakah aku? ‘
Dia menjawab, ‘Engkau
adalah utusan Allah.’
Baginda ﷺ bersabda, ‘Bebaskanlah dia, kerana dia
seorang wanita mukminah’.” [HR. Muslim no. 537]
BANTAHAN TERHADAP PEMAHAMAN MEREKA :
Pengujian yang dilakukan oleh Nabi ﷺ terhadap seorang jariyah [budak perempuan] hanya bertujuan untuk mengetahui apakah dia cocok untuk dijadikan sebagai obyek pemerdekaan budak, yang bisa dijadikan kafarah, nadzar, atau jenis ibadah lainnya.
Dan yang telah maklum bahwa keimanan seorang budak menjadi
syarat dalam jenis ibadah memerdekakan budak tersebut. Oleh karena itu,
kebutuhan mendesak untuk mengujinya adalah untuk mengetahui apakah dia beriman
sehingga layak untuk memenuhi jenis ibadah tersebut, atau tidak beriman
sehingga tidak memenuhinya.
Ketika Nabi ﷺ menguji Jariyah tersebut, beliau memerintahkan tuannya,
Muawiyah bin al-Hakam al-Sulami - semoga Allah meridhainya - untuk
membebaskannya, dan beliau memberitahukan kepadanya bahwa dia layak mendapatkan
kebaikan tersebut dari penebusan budak yang telah diwajibkan atasnya. Maka
Beliau bersabda :
«أَعْتِقْهَا
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ»
“Merdekakanlah dia , karena
dia adalah mu’minah”. [HR. Muslim no. 537]
Nabi ﷺ tidak menguji gadis-gadis lain, budak-budak, atau orang-orang merdeka lainnya, baik karena pengetahuan-Nya tentang keimanan mereka atau kebutuhan atau alasan lain yang mendasari pengujian.
*****
KEKHAWATIRAN RASULULLAH ﷺ
Dari Huzaifah ibnul Yaman r.a. bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:
"إن مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رجُل قَرَأَ الْقُرْآنَ، حَتَّى إِذَا رُؤِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْء الْإِسْلَامِ اعْتَرَاهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ، انْسَلَخَ مِنْهُ، وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ: الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي؟ قَالَ: "بَلِ الرَّامِي".
“Sesungguhnya di antara hal yang saya khawatirkan terhadap kalian ialah seorang lelaki yang pandai membaca Al-Qur’an, hingga manakala keindahan Al-Qur’an telah dapat diresapinya dan Islam adalah sikap dan perbuatannya, lalu ia tertimpa sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, maka ia melepaskan diri dari Al-Qur’an. Dan Al-Qur'an ia lemparkan di belakang punggungnya (tidak diamalkannya), lalu ia menyerang tetangganya dengan senjata dan menuduhnya telah musyrik”.
Huzaifah ibnul Yaman bertanya : "Wahai Nabi Allah, manakah di antara keduanya yang lebih musyrik, orang yang dituduhnya ataukah si penuduhnya?"
Rasulullah ﷺ menjawab : "Tidak, bahkan si penuduhlah (yang lebih utama untuk dikatakan musyrik)."
[ Abu Ya'la Al-Mausuli dalam Musnad-nya (Tafsir Ibnu Katsir 3/509) dan Al-Bazzar dalam Musnadnya no. (175) .
Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma' (1/188): 'Sanadnya hasan.'"
Ibnu Katsir berkata :
"هَذَا إِسْنَادٌ جَيِّدٌ. وَالصَّلْتُ بْنُ بَهْرَامَ كَانَ مِنْ ثِقَاتِ الْكُوفِيِّينَ، وَلَمْ يُرْمَ بِشَيْءٍ سِوَى الْإِرْجَاءِ، وَقَدْ وَثَّقَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَيَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، وَغَيْرُهُمَا".
Sanad hadis ini berpredikat jayyid. As-Silt ibnu Bahram termasuk ulama siqah dari kalangan penduduk Kufah, dia tidak pernah dituduh melakukan sesuatu hal yang membuatnya cela selain dari Irja (salah satu aliran dalam mazhab tauhid). Imam Ahmad ibnu Hambal menilainya siqah, demikian pula Yahya ibnu Mu'in dan lain-lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir 3/509)
0 Komentar