APAKAH PUNYA HUTANG ITU MENGGUGURKAN KEWAJIBAN ZAKAT ?
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
====
*****
DAFTAR ISI :
- BEBERAPA ISTILAH DALAM PEMBAHASAN HUTANG PIUTANG:
- APAKAH HUTANG MENGHALANGI KEWAJIBAN ZAKAT ?
- PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUTANG MENGGUGURKAN ZAKAT:
- RINGKASAN PERBEDAAN PENDAPAT :
- RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT :
- PENDAPAT KE SATU: UTANG MENGUGURKAN ZAKAT, KECUALI ZAKAT PERTANIAN DAN PERKEBUNAN.
- PENDAPAT KEDUA: HUTANG MENGUGURKAN ZAKAT HARTA BATIN, NAMUN TIDAK PADA HARTA DZOHIR.
- PENDAPAT KE TIGA: HUTANG SECARA MUTLAK MENGUGURKAN KEWAJIBAN ZAKAT.
- PENDAPAT KEEMPAT: HUTANG SECARA MUTLAK TIDAK MENGGUGURKAN ZAKAT.
- PENYEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT :
- DALIL MASING-MASING PENDAPAT :
- KESIMPULAN HASIL ANALISA :
- TARJIIH :
*****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
====
BEBERAPA ISTILAH DALAM PEMBAHASAN HUTANG PIUTANG:
Kreditor = Pemberi hutang, da'in [دَائِنٌ] atau mudiin [مُدِيْنٌ].
Debitor = Penerima hutang atau yang berhutang atau madiin [مَدِيْنٌ].
Piutang = Uang kita yang dipinjam orang lain (kita sebagai kreditor)
Hutang [utang] = uang yang kita pinjam dari orang lain (kita sebagai debitor)
======
APAKAH HUTANG MENGHALANGI KEWAJIBAN ZAKAT ?
Orang yang memiliki bebab hutang [debitur], namun dia memiliki harta kekayaan melebihi jumlah utang dan kelebihannya itu mencapai nishob, maka zakat wajib dikeluarkan atas kelebihan tersebut tanpa ada keraguan ; karena tidak ada utang atas kelebihan kekayaan ini, tidak ada yang mempengaruhi nishobnya.
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUTANG MENGGUGURKAN ZAKAT:
Orang yang memiliki harta kekayaan sebanyak nishab zakat atau lebih , akan tetapi dia juga punya beban hutang pada orang lain , yang hutangnya itu mengurangi nishab zakat, atau setara atau lebih banyak dari hartanya : maka pertanyaannya adalah sebagai berikut :
Apakah dia tetap berkewajiban membayar zakat atas kekayaan yang di tangannya ?
Dan apakah utang itu tidak mempengaruhi pengurangan nishab?
Ini adalah termasuk permasalahan-permasalahan yang menjadi perdebatan di antara para ulama dalam beberapa pendapat:
RINGKASAN PERBEDAAN PENDAPAT :
Pendapat Ke Satu:
Hutang menggugurkan kewajiban zakat, kecuali zakat pertanian dan perkebunan buah-buahan.
Pendapat Ke Dua:
Hutang menggugur kewajiban zakat pada harta batin [الأَمْوَالِ البَاطِنَةِ = harta yang tersembunyi, seperti emas, perak, dan barang dagangan].
Namun tidak mencegah pada harta dzohir [الأَمْوَالِ الظَّاهِرَةُ = harta yang nampak dan terlihat, seperti hewan ternak, pertanian dan perkebunan buah-buahan] .
Pendapat Ke Tiga :
Hutang secara mutlak menggugurkan kewajiban zakat.
Pendapat Ke Empat :
Hutang secara mutlak tidak menggugurkan kewajiban zakat.
*****
RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT :
=====
PENDAPAT KE SATU:
UTANG MENGUGURKAN ZAKAT, KECUALI ZAKAT PERTANIAN DAN PERKEBUNAN.
Hutang menggugurkan kewajiban zakat, kecuali zakat pertanian dan perkebunan buah-buahan.
Ini adalah Madzhab Hanafi. Akan tetapi mereka berkata :
إِنَّ الدِّينَ يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ إذَا كَانَ دِينًا خَالِصًا لِلْعِبَادِ، أَوْ كَانَ دِينًا لِلَّهِ لَكِنَّ لَهُ مُطَالِبُ مِنْ جِهَةِ الْعِبَادِ، أَمَّا الدِّيونُ الْخَالِصَةُ لِلَّهِ تَعَالَى وَلَيْسَ لَهَا مُطَالِبُ مِنْ جِهَةِ الْعِبَادِ؛ كَالنَّذُورِ وَالْكَفَارَاتِ وَوُجُوبِ الْحَجِّ وَنَحْوِهِ فَلَا تَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ. وَكَذَلِكَ النَّفَقَةِ إِذَا لَمْ يُقْضَ بِهَا".
"Hutang itu mencegah kewajiban zakat jika utang tersebut murni hak milik manusia atau jika itu adalah utang kepada Allah tetapi ada tuntutan dari pihak manusia. Adapun utang yang khusus kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada tuntutan dari pihak manusia, seperti nadzar, fidyah, kewajiban haji, dan sebagainya ; maka itu tidak mencegah kewajiban zakat. Begitu juga nafkah jika belum dipenuhi”.
Lihat: al-Hidayah 1/95 dan juga Al-Ushuul yang dikenal dengan Al-Mabsuth oleh Asy-Syatibani: (2/32 dan 95) tentang gugurnya kewajiban zakat . Dan lihat: (2/155 dan 163) tentang pengecualian pertanian dan perkebunan karena itu adalah sebagian dari zakat persepuluh dan itu menurut mereka bukan zakat.
Referensi : al-Ḥujjah 'alá Ahl al-Madīnah: (1/474), al-Mabṣūṭ li'l-Sarakhsī: (2/160), (3/4), Badā'iʿ al-Ṣanā'iʿ fī Tartīb al-Sharā'iʿ: (2/6), al-Hidāyah maʿa Fatḥ al-Qadīr: (2/160), al-Ikhtiyār li Taʿlīl al-Mukhtār: (99/1), Fatḥ al-Qadīr li'l-Kamāl Ibn al-Humām: (161/2), al-Iḍrāk al-Mukhtār wa Ḥāshiyat Ibn ʿĀbidīn: (Radd al-Muḥtār): (260/2 wa 263 wa 326).
Mufti Mesir, Syeikh Hasan Ma'mun mengatakan:
"وَنَخْتَارُ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْحَنَفِيَّةُ مِنْ أَنَّ الدَّيْنَ الَّذِي يَسْتَغْرِقُ جُلَّ مَا يَمْلِكُ بِحَيْثُ لَا يَبْقَى بَعْدَهُ مَا يُكَمِّلُ النِّصَابَ لَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ".
Kami memilih pendapat yang dipegang oleh madzhab Hanafi, bahwa utang yang menghabiskan sebagian besar harta seseorang sehingga setelah itu hartanya tidak mencapai nisab, maka tidak wajib zakat atasnya." [Fatwa Dar Al-Ifta No. Fatwa: 5341]
PENDAPAT KEDUA:
HUTANG MENGUGURKAN ZAKAT HARTA BATIN, NAMUN TIDAK PADA HARTA DZOHIR.
Hutang menggugur kewajiban zakat pada harta batin [الأَمْوَالِ البَاطِنَةِ = harta yang tersembunyi, seperti emas, perak, dan barang dagangan].
Namun tidak mencegah pada harta dzohir [الأَمْوَالِ الظَّاهِرَةُ = harta yang nampak dan terlihat, seperti hewan ternak, pertanian dan perkebunan buah-buahan] .
Ini adalah mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Imam Syafi'i dalam "al-Qaul Al-Qadim", yang beberapa orang mengaitkannya dengan al-Qaul al-Jadiid”.
Dan ini adalah riwayat dari Imam Ahmad. [Ini adalah riwayat al-Atsram, Ibrahim bin al-Harits, dan Bakr bin Muhammad dari al-Imam Ahmad ].
Dan Ibnu Qudamah berkata dalam "al-Mughni" (2/633):
"الدِّينُ يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فِي الْأَمْوَالِ الْبَاطِنَةِ رِوَايَةً وَاحِدَةً، وَهِيَ الْأَثْمَانُ وَعُرُوضُ التِّجَارَةِ، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ، وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ، وَمِيمُونُ بْنُ مُهْرَانَ، وَالْحَسَنُ، وَالنَّخْعِيُّ، وَاللَّيْثُ، وَمَالِكٌ، وَالثَّوْرِيُّ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَإِسْحَاقُ، وَأَبُو ثَوْرٍ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ. انتهى.
"Hutang mencegah kewajiban zakat dalam harta batin [yang tersembunyi] menurut satu riwayat, yaitu hutang untuk modal usaha dan barang-barang dagangan. Dan ini merupakan pendapat : Athoo', Sulaiman bin Yasar, Maimun bin Mihran, Al-Hasan, An-Nakha'i, Al-Laits, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Ishaq, Abu Thaur, dan para ahli pendapat".
Namun dari Imam Ahmad juga ada riwayat lain yang lebih khusus daripada ini, yaitu : bahwa hutang itu menggugurkan kewajiban zakat harta yang tersembunyi [الأَمْوَالِ البَاطِنَةِ]. Sedangkan harta yang nampak jelas [الأَمْوَالِ الظَّاهِرَةُ] maka di dalamnya terdapat rincian : Jika digunakan untuk pembiayaan atau merupakan bagian dari harga jualnya... maka kewajiban zakatnya ditiadakan, sedangkan yang lainnya tidak.
Dan dari beliau juga ada riwayat lain yang lebih khusus daripada ini; yang serupa dengan yang sebelumnya, akan tetapi beliau mengeluarkan hewan ternak dari harta yang tidak menjadikan hutang sebagai penghalang dari kewajiban zakat secara mutlak. Dan beliau memperinci pada pertanian dan perkebunan buah-buahan saja.
Pendapat yang membedakan antara harta bathin [yang tersembunyi] dan harta dzohir [yang nampak terlihat] diriwayatkan pula dari az-Zuhri dan Ibnu Siirin. [Lihat Sunan al-Kubra oleh al-Baihaqi: (250/4), serta Ma'rifat al-Sunan wa al-Atsar: (153/6)].
Dan ini adalah pilihan Syaikh Abdur Rahman al-Sa'di. [Sebagaimana yang diceritakan oleh muridnya, Syaikh Ibnu Utsaimin. Lihat: Syarh al-Mumti' 'ala Zad al-Mustaqni': (36/6)].
Dalam Islam web. Fatwa no 306325 di katakan :
"وَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ هُوَ: أَنَّ الدَّيْنَ يُسْقِطُ الزَّكَاةَ فِي الْأَمْوَالِ الْبَاطِنَةِ، كَالنُّقُودِ، وَعُرُوضِ التِّجَارَةِ".
Yang diakui oleh mayoritas ulama adalah: bahwa utang menghapuskan kewajiban zakat atas harta batin [yang tersembunyi], seperti uang tunai, dan barang dagangan.
Dan dalam Islam web. Fatwa No.13204 disebutkan :
"فَالدَّيْنُ يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فِي الْأَمْوَالِ الْبَاطِنَةِ كَالنُّقُودِ وَعُرُوضِ التِّجَارَةِ، وَهَذَا عَلَى مَذْهَبِ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ. وَهُوَ الرَّاجِحُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ".
“Hutang mencegah kewajiban zakat atas harta batin [yang tersembunyi] seperti uang tunai dan barang dagangan, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat [rajih], insya Allah”.
Referensi Madzhab Maliki:
Lihat : al-Mudawwanah: (324/1 wa 326 wa 360). Dan dia berkata : (325/1):
خَادِمُهُ وَدَارُهُ وَسِلَاحُهُ وَسُرُجُهُ وَخَاتِمُهُ، فَهِيَ عُرُوضٌ يَكُونُ الدَّيْنُ فِيهَا، فَإِنْ كَانَ فِيهَا وَفَاءُ الدَّيْنِ.. زَكَّى الْعِشْرِينَ الَّتِي عِنْدَهُ.
"Budaknya, rumahnya, senjatanya, lampu-lampunya, dan cincinnya, maka itu merupakan harta yang utang ada di dalamnya. Jika utang di dalamnya sudah terbayar.. maka harus bayar zakat dua puluh yang ada padanya."
Muhammad Ahamd Ulaisy, salah seorang ulama Madzhab Maliki , dalam kitabnya "Al-Manh Al-Jalil" (2/ 45, edisi Dar Al-Fikr) menyatakan:
[وَلَا زَكَاةَ فِي مَالٍ مَدِينٍ إِنْ كَانَ الْمَالُ عَيْنًا، سَوَاءٌ كَانَ الدَّيْنُ عَيْنًا، أَوْ عَرْضًا ، حَالًا أَوْ مُؤَجَّلًا، وَلَيْسَ عِنْدَهُ مِنَ الْعُرُوضِ مَا يَجْعَلُهُ فِيهِ، أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَالُ حَرْثًا، أَوْ مَاشِيَةً، أَوْ مَعْدَنًا؛ فَإِنَّ الزَّكَاةَ فِي أَعْيُنِهَا فَلَا يُسْقِطُهَا الدَّيْنُ] أهـ.
"[Tidak ada kewajiban zakat pada harta debitur [orang yang berhutang] jika hutang tersebut berupa objek, baik utang tersebut berupa objek atau pun berupa barang dagangan, baik itu non tempo [حالًّا] atau pun tempo [مؤجلًا] , dan tidak ada di antaranya barang-barang yang membuatnya menjadi barang dagangan.
Namun, jika harta tersebut berupa tanah, ternak, atau pertambangan ; maka zakatnya dikenakan pada jenis-jenis tersebut dan utang tidak menghapuskan kewajiban zakat atasnya]." Selesai.
Dan lihat pula : al-Tafriʿ fī Fiqh al-Imām Mālik ibn Anas: (139/1), al-Risālah li'l-Qayrawānī: (Ṣa: 67), al-Ishrāf ʿalā Nakat Masā'il al-Khilāf: (407/1), al-Maʿūnah ʿalā Madhhab ʿĀlim al-Madīnah: (Ṣa: 368), al-Kāfī fī Fiqh Ahl al-Madīnah: (294/1), al-Dhakhīrah li'l-Qurāfī: (42/3), al-Tawḍīh fī Sharḥ Mukhtaṣar Ibn al-Ḥājib: (225/2), al-Tāj wal-Iklīl li-Mukhtaṣar Khalīl: (150/3 wa 197), Mawāhib al-Jalīl: (197/3), Sharḥ Mukhtaṣar Khalīl li'l-Kharshī: (202/2), al-Sharḥ al-Kabīr li'l-Shāhid al-Ẓahīr wa Ḥāshiyat al-Dasūqī: (480/1), al-Sharḥ al-Ṣaghīr: (bi Lugha al-Sālik) wa Ḥāshiyat al-Ṣāwī: (647/1).
Referensi Madzhab Syafi’i :
Lihat al-Sunan al-Kubra oleh al-Baihaqi: (250/4), Ma'rifat al-Sunan wa al-Athar: (153/6), Mukhtasar Khilafiyyat al-Baihaqi: (476/2), dan telah disalin teksnya dari "al-Qadim" dalam al-Ma'rifat dan Mukhtasar al-Khilafiyyat.
Ibnu ar-Rif'ah mengatakan :
إِنَّهُ مُقْتَضَى كَلَامِ الْقَاضِي الْحُسَيْنِ. وَفِي الْأَمْرِ نَظَرٌ. وَهُوَ ظَاهِرُ صَنَائِعِ الشَّيْخَيْنِ وَالْمُعْتَمَدُ فِي الْمَذْهَبِ.
bahwa itu sesuai dengan perkataan al-Qadhi al-Husain. Dalam masalah ini, masih ada perbedaan pendapat. Hal ini secara jelas disebutkan dalam karya-karya Syaikhain, dan dijadikan pegangan dalam mazhab. [Lihat: Kifayat al-Nabih fi Syarh al-Tanbih: (203/5)].
Referensi Madzhab Hanbali :
Lihat: Al-Masa'il al-Fiqhiyah min Kitab al-Rawayatin wa al-Wajhayn: (244/1), al-Hidayah 'ala Mazhab al-Imam Ahmad: (halaman: 125), al-Mughni: (265/4), al-Furu' wa Tashih al-Furu': (459/3).
Lihat juga al-Furu' wa Tashih al-Furu': (459/3).
Lihat juga al-Mughni: (265/4), al-Furu' wa Tashih al-Furu': (459/3). Dia mengatakan:
"لَتَأْثِيرُ ثَقْلِ الْمُؤْنَةِ فِي الْمُعَشَّرَاتِ". أَيْ بِخِلَافِ الْمَوَاشِي.
"Dampak beban berat biaya dalam harta yang zakatnya 10 persen." Artinya, berbeda dengan hewan ternak.
PENDAPAT KE TIGA:
HUTANG SECARA MUTLAK MENGUGURKAN KEWAJIBAN ZAKAT.
Ini adalah madzhab Hanabilah, dan ini adalah madzhab "al-Qadim" dari Imam al-Syafi'i.
Ini juga adalah pendapat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma , dan disandarkan kepada Utsman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu- bahkan sampai kepada kesepakatan para sahabat yang mendukung pendapat ini. [Lihat al-Muhadzab : (343/5), al-Hawi al-Kabir: (309/3)].
Al-Marghinani al-Hanafi berkata dalam "al-Hidayah" 1/95 :
"وَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ يُحِيطُ بِمَالِهِ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مَشْغُولٌ بِحَاجَتِهِ الْأَصْلِيَّةِ، فَاعْتُبِرَ مَعْدُومًا" انتهى.
"Dan siapa pun yang memiliki hutang yang meliputi harta kekayaannya, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya; karena ia sibuk dengan kebutuhan dasarnya, maka dianggap tidak ada."
PENDAPAT KEEMPAT:
HUTANG SECARA MUTLAK TIDAK MENGGUGURKAN ZAKAT.
Hutang secara mutlak tidak menggugurkan kewajiban zakat atas harta seseorang dan tidak mengurangi nishobnya .
Ini adalah nash Imam al-Syafi'i dalam "al-Umm (130/3)", dan ini adalah pendapat terakhir dari dua pendapat al-Syafi'i sebagaimana yang dinyatakan oleh ar-Rabi', dan ini adalah yang mu’tamad ["Ikhtilaf al-'Iraqiyyain" dari "al-Umm": (332/8)].
Imam Syafi’i dalam "al-Umm": (130/3) berkata :
فَإِذَا كَانَتْ لِرَجُلٍ مَائَتَا دِرْهَمٍ، وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَائَتَا دِرْهَمٍ، فَقَضَى مِنَ الْمَائَتَيْنِ شَيْئًا قَبْلَ حُلُولِ الْمَائَتَيْنِ، أَوِ اسْتَعْدَى عَلَيْهِ السُّلْطَانُ قَبْلَ مَحَلِّ حُلُولِ الْمَائَتَيْنِ فَقَضَاهَا.. فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ.
" Jika seseorang memiliki dua ratus dirham, dan dia memiliki hutang dua ratus dirham, kemudian dia melunasi sebagian dari dua ratus itu sebelum dua ratus berlalu, atau penguasa [pemerintah] meminta pembayaran hutang sebelum dua ratus berlalu dan dia melunasi.. maka tidak ada kewajiban zakat atas dirinya."
Dan Ibnu Qudamah berkata dalam "al-Mughni" (2/633):
"وَقَالَ رَبِيعَةُ، وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، وَالشَّافِعِيُّ فِي جَدِيدِ قَوْلِهِ: لَا يَمْنَعُ الزَّكَاةَ؛ لِأَنَّهُ حُرٌّ مُسْلِمٌ مَلَكَ نِصَابًا حَوْلَا فُجِبَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، كَمَنْ لَا دِينَ عَلَيْهِ" انتهى.
"Dan Rabiah, Hammad bin Abi Sulaiman, dan Asy-Syafi'i dalam qaul jadiid mengatakan: Hutang tidak mencegah kewajiban zakat, karena dia adalah muslim merdeka yang memiliki kepemilikan yang mencapai nisab, maka zakat wajib atasnya, sama seperti orang yang tidak memiliki hutang."
Ada yang mengatakan: Bahwa ini adalah riwayat dari Imam Ahmad, dan ini adalah pendapat Madzhab adz-Dzohiriyyah [al-Muhalla: (258/5)(99/6)]. Namun di dalam al-Inshaf oleh al-Mardawi: (3/24 -25) disebutkan:
"قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: لَا أَجِدُ بِهَا نَصًا عَنْ أَحْمَدَ. انْتَهَى".
"Syaikh Taqiyud-Din berkata: Saya tidak menemukan nash dari Ahmad yang mendukungnya”. Selesai."
Dan dalam al-Mughni: (263/4) ada yang menunjukkan penolakan riwayat Imam Ahmad ini; karena Ibnu Quddaamah berkata:
"الدِّينُ يَمْنَعُ وَجُوبَ الزَّكَاةِ فِي الْأَمْوَالِ الْبَاطِنَةِ رِوَايَةٌ وَاحِدَةٌ، وَهِيَ الْأَثْمَانُ، وَعُرُوضُ التِّجَارَةِ".
"Hutang mencegah kewajiban zakat dalam harta tersembunyi hanya ada satu riwayat, yaitu harga barang [الأَثْمَان], dan barang dagangan [عُرُوْض التِّجَارَة]."
Dan pendapat ke emapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh kedua Syaikh, yaitu Ibnu Baaz [Majmu' Fatawa Ibnu Baz: (178/14)] dan Ibnu Utsaimin [Syarh al-Mumti' 'ala Zad al-Mustaqni': (35/6)].
Dan disebutkan dalam Fatwa al-Lajnah ad-Daimah 9/189 Saudi Arabia :
(الصَّحِيحُ مِنْ أَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الدَّيْنَ لَا يَمْنَعُ مِنَ الزَّكَاةِ، فَقَدْ كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يُرْسِلُ عُمَلَاءَهُ لِقَبْضِ الزَّكَاةِ، وَلَمْ يَقُلْ لَهُمْ انظُرُوا هَلْ أَهْلُهَا مَدِينُونَ أَمْ لَا). اهٍـ.
“Pendapat yang benar dari para ulama bahwa hutang tidak menjadi penghalang dari membayar zakat, karena dahulu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengutus para amilnya untuk mengumpulkan zakat dan tidak berkata: apakah para muzakkinya masih mempunyai hutang apa tidak ?.
Syeikh Ibnu Utsaimin telah memperpanjang penjelasan masalah ini, dan menyebutkan dalil dari kedua belah pihak dalam kitabnya "Asy-Syarh Al-Mumti’ " (5/33-40), kemudian beliau berkata:
وَالَّذِي أَرَجِّحُهُ أَنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ مُطْلَقًا وَلَوْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ يُنْقِصُ النِّصَابَ، إِلَّا دَيْنًا وَجَبَ قَبْلَ حُلُولِ الزَّكَاةِ، فَيَجِبُ أَدَاؤُهُ ثُمَّ يُزَكِّي مَا بَقِيَ بَعْدَهُ، وَبِذَلِكَ تَبْرَأُ الذِّمَّةُ، وَنَحْنُ إِذَا قُلْنَا بِهَذَا الْقَوْلِ نُحَثِّ المُدَّيْنِينَ عَلَى الوَفَاءِ، فَإِذَا قُلْنَا لِمَنْ عَلَيْهِ مِائَةٌ أَلْفٍ دَيْنًا وَلَدَيْهِ مِائَةٌ وَخَمْسُونَ أَلْفًا وَالدَّيْنُ حَالٌ: أَدِّ الدَّيْنَ وَإِلَّا أَوْجَبْنَا عَلَيْكَ الزَّكَاةَ بِمِائَةٍ أَلْفٍ، فَهُنَا يَقُولُ: أُؤَدِّي الدَّيْنَ؛ لِأَنَّ الدَّيْنَ لَنْ أُؤَدِّهِ مَرَّتَيْنِ.
وَهَذَا الَّذِي اخْتَرَنَاهُ هُوَ اخْتِيَارُ شَيْخِنَا عَبْدَ الْعَزِيزِ بْنَ بَازٍ، وَالَّذِي يُفَرِّقُ بَيْنَ الأَمْوَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ اخْتِيَارُ شَيْخِنَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ رَحِمَهُ اللَّهُ.
وَهَذَا الَّذِي رَجَحْنَاهُ أَبْرَأُ لِلذَّمَّةِ، وَأَحْوَطُ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، "مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ" كَمَا يَقُولُهُ الْمَعْصُومُ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ" انتهى.
"Yang saya anggap lebih kuat adalah bahwa zakat adalah wajib mutlak, bahkan jika seseorang memiliki hutang yang mengurangi jumlah nisab. Kecuali hutang tersebut terjadi sebelum jatuhnya tempo kewajiban zakat, maka hutang tersebut harus dibayar terlebih dahulu, kemudian yang tersisa dari itu wajib dizakati. Dengan cara ini, terbebas dari beban tanggungan [dzimmah].
Ketika kami menyatakan pendapat ini, kami mendorong para debitur [peminjam] untuk membayar hutangnya. Jika seseorang memiliki hutang sebesar seratus ribu, dan dia memiliki seratus lima puluh ribu dan hutangnya telah telah jatuh tempo ; maka bayarlah hutang tersebut, jika tidak, maka kami akan membebankan zakat kepada Anda pada hutang yang sebesar seratus ribu, maka di sini dia akan mengatakan: Saya akan segera membayar hutang. Agar aku tidak membayar zakat hutang itu dua kali.
Pilihan ini adalah pilihan Syeikh Abdul Aziz bin Baz.
Sementara yang membedakan antara zakat harta yang dzohir [terlihat] dan yang batin [tersembunyi], adalah pilihan Syeikh Abdul Rahman bin Saadi, semoga Allah merahmatinya.
Pilihan yang kami pilih ini memberikan pembebasan dari kewajiban, dan lebih aman – al-hamdulillah-, 'Sedekah tidak mengurangi harta' sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi yang terjaga dari kesalahan, semoga shalawat dan salam tercurah kepadanya." Selesai.
Referensi Madzhab Syafi’i :
Lihat pula : al-Hawi al-Kabir: (309/3), Bahr al-Manahij: (166/3), al-Khalasah: (halaman: 184), at-Tahzib: (74/3), al-'Aziz Syarh al-Wajiz yang dikenal dengan Syarh al-Kabir, Edisi Ilmiah: (547/2), al-Muharrar: (349/1), al-Majmu' Syarh al-Minhaj: (344/5), Rawdat al-Talibin wa 'Imadat al-Muftiin: (197/2), al-Minhaj: (halaman: 174), al-Ghayah al-Qushuw: (385/1), Kifayat al-Nabih fi Syarh al-Tanbih: (203/5), 'Imadat al-Salik wa 'Udat al-Nasik: (halaman: 98), al-Injam al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj: (246/3), Syarh al-Muhalla: (51/2), Asn al-Matalib fi Syarh Rawdat al-Talib: (356/1), Tuhfat al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Abadi: (337/3), Mughni al-Muhtaj: (411/1).
Referensi Madzhab Hanbali:
Lihat al-Furu' wa Tashih al-Furu': (458/3), al-Inshaf fi Ma'rifat al-Arajaah min al-Khilaf oleh al-Mardawi: (-24/3 -25).
*****
PENYEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT :
Yang menjadi sebab terjadinya perbedaan dalam masalah ini adalah sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Rusyd, dia berkata:
«وَالسَّبَبُ فِي اخْتِلَافِهِمْ: اخْتِلَافُهُمْ هَلْ الزَّكَاةُ عِبَادَةٌ أَمْ حَقٌّ مُرْتَبٌ فِي الْمَالِ لِلْمَسَاكِينَ؟ فَمَنْ رَأَى أَنَّهَا حَقٌّ لَهُمْ قَالَ: لَا زَكَاةَ فِي مَالٍ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنِ. لِأَنَّ حَقَّ صَاحِبِ الدَّيْنِ مَتَقَدَّمٌ بِالزَّمَانِ عَلَى حَقِّ الْمَسَاكِينَ، وَهُوَ فِي الْحَقِيقَةِ مَالُ صَاحِبِ الدَّيْنِ لَا الَّذِي الْمَالُ بِيَدِهِ. وَمَنْ قَالَ هِيَ عِبَادَةٌ قَالَ: تَجِبُ عَلَى مَنْ بِيَدِهِ مَالٌ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ هُوَ شَرْطُ التَّكْلِيفِ وَعَلَامَتُهُ الْمُقْتَضِيَةُ الْوُجُوبَ عَلَى الْمُكَلَّفِ سَوَاءٌ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ، وَأَيْضًا فَإِنَّهُ قَدْ تَعَارَضَ هُنَالِكَ حَقَّانِ: حَقُّ اللَّهِ وَحَقُّ لِلْآدَمِيِّ، وَحَقُّ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى، وَالْأَشْبَهُ بِغَرْضِ الشَّرْعِ إِسْقَاطُ الزَّكَاةِ عَنْ الْمَدِينِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا: «صَدَقَةٌ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ»، وَالْمَدِينُ لَيْسَ بِغَنِيٍّ، وَأَمَّا مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْحَبُوبِ وَغَيْرِ الْحَبُوبِ، وَبَيْنَ النَّاضِّ وَغَيْرِ النَّاضِّ .. فَلَا أَعْلَمُ لَهُ شُبْهَةً بَيِّنَةً.»
"Sebab perbedaan pendapat antar mereka adalah apakah zakat itu ibadah atau hak yang diatur dalam harta untuk fakir miskin? Barangsiapa yang berpendapat bahwa itu adalah hak bagi mereka [fakir miskin], ia berkata: Tidak ada zakat dalam harta bagi seseorang yang memiliki hutang”.
Karena hak pemberi hutang itu didahulukan dalam waktu daripada hak fakir miskin. Secara substansial, itu adalah harta milik pemberi hutang, bukan milik orang yang memegangnya .
Dan siapa yang mengatakan bahwa zakat itu adalah ibadah, maka ia mengatakan: Wajib atas orang yang memegang harta; karena itu adalah syarat takliif [kewajiban] dan tandanya yang menuntut kewajiban atas mukallaf [orang yang berkewajiban] itu sama , baik dia memiliki beban hutang atau tidak.
Dan juga, di sana ada pertentangan antara dua hak: hak Allah dan hak manusia. Hak Allah lebih utama untuk dipenuhi. Dan lebih sesuai dengan tujuan syariat untuk mengesampingkan zakat dari orang yang berhutang karena sabda Nabi ﷺ tentang zakat:
«صَدَقَةٌ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ»
“Zakat diambil dari orang-orang kaya mereka, dan diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka”. [HR. al-Bukhari: (1395) dan Muslim: (19)].
Sedangkan orang yang berhutang bukanlah orang kaya. Dan bagi orang yang membedakan antara biji-bijian dan bukan biji-bijian, dan antara naadh [ نَاضّ = uang tunai dari barang dagangan yang telah laku terjual dan non naadh [ غَيْرُ نَاضًّ = barang dagangan yang belum laku terjual] ... saya tidak mengetahui ada keraguan yang jelas bagi pendapat tersebut." [Baca: Bidayah al-Mujtahid: (246/1)]
*****
DALIL MASING-MASING PENDAPAT :
=====
DALIL-DALIL PENDAPAT PERTAMA:
Yaitu dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hutang itu mencegah kewajiban zakat pada selain harta hasil pertanian dan perkebunan buah-buahan, yaitu sebagai berikut:
DALIL PERTAMA :
Hadis Ibnu Abbas radhiallahu 'anhumaa bahwa Nabi ﷺ mengutus Mu'adz ke Yaman, dalam hadits tersebut:
"... فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأُعَلِّمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ"
"... Jika mereka telah mentaati itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin." [HR. al-Bukhari: (1395) dan Muslim: (19)].
Dasar argumentasi ini adalah : Zakat hanya diambil dari orang kaya, dan orang yang memiliki utang seperti yang disebutkan dalam hadits adalah orang miskin yang berhak menerima zakat, bukan orang yang berkewajiban membayar zakat.
Referensi : Lihat al-Mabsut li as-Sarkhasi: (160/2), Badai' as-Sana'i fi Tartiib asy-Syara'i: (6/2), al-Ikhtiyar lit Ta'liil al-Mukhtar: (100/1), al-Intishar: (254/3), al-Hawi al-Kabir: (310/3), Tanqih at-Tahqiq li Ibnu Abdul Hadi: (79/3), Syarh al-Zurqani 'ala Mukhtashar al-Khiraqi: (484/2), adz-Dzakhirah li al-Qarafi: (42/3).
Dan juga: tidak boleh pada saat yang sama baginya menerima zakat dan wajib membayar zakat atasnya. [Lihat Al-Ashl yang dikenal dengan Al-Mabsuth oleh Al-Syibani: (9/2), Al-Hawi Al-Kabir: (310/3).]
BANTAHAN
Dibantah : bahwa ini tidak bisa diterima, bahkan secara ijma’ [konsensus] ada jenis ketiga, yaitu diambil darinya lalu diberikan untuknya , yaitu para Ibnu Sabiil. Zakat diambil dari harta mereka yang tidak hadir, dan diberikan kepada mereka saat mereka dalam perjalanan [safar] untuk kebutuhan mendesak. [Lihat Al-Hawi Al-Kabir: (310/3 - 311).]
Dan dibantah juga: bahwa tidak ada masalah jika zakat wajib baginya, lalu disedekahkan zakatnya kepada dirinya, maka kami berkata :
« نَحْنُ نَقْضِي دَيْنَكَ مِنَ الزَّكَاةِ، وَأَنْتَ تَتَعَبَّدُ اللَّهَ بِأَدَاءِ الزَّكَاةِ»
"Kami membayar utangmu dari zakat, dan kamu beribadah kepada Allah dengan membayar zakat." [Lihat Asy-Syarh al-Mumti’ ‘Alaa Zad al-Mustaqni': (33/6)]
JAWABAN TERHADAP BANTAHAN :
Dijawab: bahwa Syariah tidak bisa dibantah dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Tidak ada gunanya mengambil domba dari ternak orang lain sebagai zakat, lalu dia memberikan domba itu kepadanya dari ternaknya sendiri! [Lihat : al-Mabsuuth karya as-Sarkhasi 2/160].
Mungkin juga bisa dijawab: Ibnu as-Sabiil secara hukum adalah fakir miskin, dan dia sendiri dalam keadaan safar tidak bisa langsung mengambil zakatnya lalu dia sendiri memberikannya.
Jika kita membayangkan bahwa dia mewakilkan sesorang untuk mengeluarkan zakat selama bulan Ramadan saat dia sedang bepergian, Lalu Ramadan tiba, dan dia dalam keadaan musafir kehabisan uang, dan dia membutuhkan uang ; maka dia bukan orang yang secara langsung mengurus kedua hal tersebut, berbeda dengan apa yang kalian katakan di sini.
DALIL KEDUA :
Apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Utsman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu- ketika dia memberikan khutbah kepada orang-orang diatas mimbar Rasulullah ﷺ, dia berkata kepada mereka:
« هَذَا شَهْرُ زَكَاتِكُمْ؛ فَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ .. فَلْيُؤَدِّ دَيْنَهُ؛ حَتَّى تَحْصُلَ أَمْوَالُكُمْ فَتُؤْدُونَ مِنْهَا الزَّكَاةَ »
"Ini adalah bulan zakat kalian; jika seseorang memiliki hutang .. maka bayarlah hutangnya; sampai kalian mendapatkan uang milik kalian, lalu membayar zakat dari padanya."
[Diriwayatkan oleh Imam Malik: (253/1) dari Az-Zuhri, dari As-Sa'ib bin Yazid, bahwa dia mendengar Utsman. Dan ini riwayat yang secara jelas memiliki kesahihan .
Dan Imam Asy-Syafi'i juga meriwayatkannya dalam "Al-Umm": (129/3), dan melalui jalurnya, Al-Baihaqi meriwayatkannya: (249/4).
Dan diriwayatkan pula oleh Abu Zanjawayh dalam Al-Amwal: (966/3 - 1754) melalui jalur Malik, dan Abu 'Ubaid dalam Al-Amwal: (Hal: 534 - 1247) dari Ibnu Sa'ad, dari Az-Zuhri, dan Masdud [Al-Matalib Al-'Aliyah: (504/5 - 899)], dan Ibnu Abi Syaibah: (414/2 - 10555) keduanya dari Ibnu 'Ayyinah dari Az-Zuhri, dan Al-Baihaqi: (249/4 - 7607) melalui jalur Syaib dari Az-Zuhri, dan jalur lain dari Al-Baihaqi .
Ibnu Mulaqqin asy-Syafi’i berkata dalam Al-Badr Al-Munir: (506/5):
إِسْنَادٌ صَحِيحٌ، وَفِيهِ التَّصْدِيقُ بِأَنَّ ذَلِكَ كَانَ وَعُثْمَانُ عَلَى الْمِنْبَرِ.
“Sanad yang Sahih, dan menyatakan kebenaran bahwa Utsman mengucapkannya diatas mimbar”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah: “Sanadnya Sahih”. Demikian pula Al-Busyiri dalam Ithaf al-Khiyar al-Maharah: (18/3 - 2076). Dan Al-Albani memperkuatnya dalam Al-Irwaa': (260/3 - 789).
SISI PENGGUNAAN DALIL:
Bahwa ia diperintahkan untuk menzakati sisa hartanya setelah membayar hutang, dan tidak diperintahkan untuk membayar zakat sebesar hutang tersebut. Utsman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu - menyatakan hal ini diatas mimbar di hadapan para sahabat, dan tidak ada seorang pun yang menolaknya atau mengingkarinya. Maka inni menjadi Ijma’ (kesepakatan).
[Lihat Al-Mabsut oleh As-Sarakhsi: (160/2), Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Shara'i: (6/2), Al-Intisar: (255/3), Al-Hawi Al-Kabir: (310/3), Al-Mughni: (264/4), Syarh Al-Zurqani 'ala Mukhtashar Al-Khiroqi: (484/2). At-Tawdhiih fii Syarh Mukhtashar Ibnu Al-Hajib: (225/2)].
BANTAHAN :
Ini bisa dibantah : bahwa tidak ada dalil yang menyatakan bahwa kewajiban zakat bisa gugur dengan adanya beban hutang. Dalil tersebut justru hanya menunjukkan pentingnya membayar hutang terlebih dahulu sebelum kewajiban zakat. [[Lihat Al-Hawi Al-Kabir: (311/3)].
Imam Syafi'i berkata:
«وَحَدِيثُ عُثْمَانَ يُشْبِهُ - وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ - أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أُمِرَ بِقَضَاءِ الدَّيْنِ قَبْلَ حُلُولِ الصَّدَقَةِ فِي الْمَالِ، وَقَوْلُهُ: «هَذَا شَهْرُ زَكَاتِكُمْ».. يَجُوزُ أَنْ يَقُولَ: هَذَا الشَّهْرُ الَّذِي إِذَا مَضَى حَلَّتْ زَكَاتُكُمْ، كَمَا يُقَالُ: شَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ، وَإِنَّمَا الْحِجَّةُ بَعْدَ مُضِيِّ أَيَّامٍ مِنْهُ»
"Hadits Utsman menyerupai – Wallahu A’lam - bahwa yang diperintahkan adalah membayar hutang sebelum waktunya zakat datang. Dan perkataan Utsman : 'Ini adalah bulan zakat kalian'... boleh dikatakan: bulan ini adalah bulan yang jika telah berlalu maka zakatmu jatuh tempo, sebagaimana dikatakan: bulan Dzulhijjah, sedangkan al-hijjah [waktu hajian] adalah setelah beberapa hari berlalu."
[Lihat "Al-Umm" oleh Al-Baihaqi: (129/3), Al-Sunan Al-Kubra oleh Al-Baihaqi: (251/4), dan saya telah mengoreksi teks "Al-Umm" dari sumber tersebut].
JAWABAN ATAS BANTAHAN:
Jawabannya adalah bahwa ini bertentangan dengan penafsiran yang nampak jelas; karena disuruh untuk menzakati apa yang tersisa setelah membayar hutang di bulan di mana zakatnya telah jatuh tempo... Maka pengarahannya kepada apa yang kalian sebutkan sebagai implikasi tanpa dalil. [Lihat: Al-Intishar: (256/3).]
DALIL KETIGA :
Hadits yang dikaitkan dengan sabda Nabi ﷺ :
«إِذَا كَانَ لِلرَّجُلِ أَلْفُ دِرْهَمٍ، وَعَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ.. فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ»
"Jika seseorang memiliki seribu dinar dan dia memiliki utang seribu dinar... maka tidak ada kewajiban zakat atasnya."
TAKHRIJ HADITS :
Penulis tidak menemukan hadits ini dalam sumber-sumber kitab Hadits, musnad hadits dan diwan hadits.
Hadits ini disebutkan oleh sebagian dari kalangan madzhab Maliki, lalu sebagian madzhab Hanbali menyebutkannya dari mereka .
Contohnya : Al-Qadhi Abdul Wahhab dalam al-Isyraaf: (177/2) menyebutkan :
«وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ عُمَيْرُ بِنُ عِمْرَانَ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ...»
"Dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh 'Umair bin 'Imran dari Ibnu Juraij, dari Nafi', dari Ibnu 'Umar..."
Al-Kalwadzani dalam al-Intishar: (254/3) menyatakan :
«رَوَاهُ ابْنُ نَصْرِ الْمَالِكِيِّ [هُوَ: الْقَاضِي عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَلِيِّ بْنِ نَصْرِ الْبَغْدَادِيِّ، وَهُوَ لَمْ يَرَوْهُ وَإِنَّمَا ذَكَرَهُ] عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ... وَهُوَ نَصٌّ!»
"Dinukil oleh Ibnu Nashr al-Maliki [yakni: Al-Qadhi Abdul Wahhab bin Ali bin Nasr al-Baghdadi, namun tidak diriwayatkan melainkan hanya disebutkan] dari Ibnu Juraij dari Nafi', dari Ibnu 'Umar... dan ini adalah teks!"
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni: (264/4) mengatakan :
«رَوَى أَصْحَابُ مَالِكٍ، عَنْ عُمَيْرِ بْنِ عَمْرَانَ، عَنْ شُجَاعٍ: (كَذَا)، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ... وَهَذَا نَصٌّ!»
"Diriwayatkan oleh para pengikut Malik, dari 'Umair bin 'Imran, dari Syuja', dari Nafi', dari Ibnu 'Umar... dan ini adalah teks!"
Al-Qarafi dalam al-Dzakhirah: (42/3) juga menyebutkannya.
Al-Hafizh Ibnu Abdul Hadi mengomentari apa yang dikatakan oleh al-Kalwadhani, kemudian menyatakan :
«هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ، يُشَابُهُ أَنْ يَكُونَ مَوْضُوعًا»
"Ini adalah hadits yang munkar, mirip dengan hadits palsu (maudhu')."
Adapun perawinya, 'Umair bin 'Imran, maka telah disebutkan oleh Ibnu 'Adiy dalam al-Kamil (134/6) sebagai berikut :
«حَدَّثَ بِالْبَوَاطِينِ عَنِ الثِّقَاتِ، وَخَاصَّةً عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ»
"Dia (perawi) meriwayatkan dengan jalur-jalur batin dari para perawi yang tepercaya, terutama dari Ibnu Juraij".
Lihat juga catatan Syaikh Mashhur Salman, pentahqiiq kitab al-Ishraf, dan catatan Dr. Al-Baiymi, pentahqiq kitab al-Intishar.
SISI PENGGUNAAN DALIL :
Bahwa ini adalah nash dalam masalah [Lihat Al-Intishar: (255/3), Al-Mughni: (264/4)].
BANTAHAN :
Bantahannya adalah : Bahwa ini adalah hadits munkar yang tampaknya seperti hadits Palsu, dan tidak dikenal dalam kitab-kitab hadits sunnah.
DALIL KEEMPAT :
Dari Amirul Mukminin Umar semoga Allah meridhai beliau, diriwayatkan oleh Imam Abdul Razzaq dalam al-Mushonnaf (4/102 no. 7122. Tahqiq al-A’dzomi ) dari Ibnu Juraij, dia berkata:
أَخْبَرَنِي يَزِيدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ يَكُونُ عِنْدَنَا النَّفَقَةُ، فَأُبَادِرْ الصَّدَقَةَ، وَأَنْفِقْ عَلَى أَهْلِي، وَأَقْضِي دَيْنِي قَالَ: «فَلَا تُبَادِرْ بِهَا، فَإِذَا جَاءَتْ فَاحْسِبْ دَيْنَكَ مَا عَلَيْكَ، فَاجْمَعْ ذَلِكَ جَمِيعًا ثُمَّ زَكِّهِ».
"Yazid bin Yazid bin Jabir memberitahuku bahwa Abdul Malik bin Abi Bakr memberitahunya bahwa seseorang berkata kepada Umar bin Khattab, 'Wahai Amirul Mukminin, jika kami memiliki nafkah [harta] , lalu saya bersegera bayar zakat, lalu memberi nafkah kepada keluarga saya, kemudian membayar hutang saya.'
Umar menjawab : “Janganlah kamu terburu-buru mengeluarkan (zakat harta itu). Maka ketika harta itu datang, hitunglah hutangmu yang harus kamu bayar, kumpulkan semuanya itu, lalu setelah itu zakatilah!”.
DALIL KE LIMA :
Atsar Abdullah Ibnu Umar dan Abdullah Ibnu Abbaas radhiyallahu ‘anhum:
Imam Jabir bin Zaid meriwayatkan :
عنِ ابنِ عَبَّاسٍ، وابنِ عُمَرَ رضي الله عنه في الرَّجُلِ الذيابات يَستَقرِضُ فيُنفِقُ على ثَمَرَتِهِ، وَعلى أَهلِهِ، قالَ: قالَ ابنُ عُمَرَ: «يَبدَأُ بِما يستَقرِضُ فيَقضِيهِ، وَيُزَكِّي ما بَقِيَ». قالَ: قالَ ابنُ عَبَّاسٍ: «يَقضِي ما أَنفَقَ عَلى الثَّمَرَةِ، ثُمَّ يُزَكِّي ما بَقِيَ».
Dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar dalam kisah tentang seorang lelaki yang meminjam untuk mebiayai perkebunannya, dan untuk keluarganya.
Dia berkata : Ibnu Umar berkata: "Dia harus memulai dengan membayar apa yang dia pinjam, lalu dia manzakati apa yang tersisa."
Dia berkata: Ibnu Abbas berkata: "Dia harus membayar apa yang dia digunakan untuk membiayai perkebunannya, kemudian dia menzakati apa yang tersisa."
Diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam "Al-Amwal" halaman 509, dan Yahya bin Adam dalam "Al-Kharaj" (589). Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (10186), dan Ibnu Zanjawayh dalam "Al-Amwal" (1928), serta Al-Baihaqi dalam "As-Sunan Al-Kubra" nomor 7683.
Sanadnya telah dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam komentarnya pada "Al-Kharaj" hal. 158, dan dinilai shahih pula oleh Al-Albani dalam "Sahih Fiqh As-Sunnah" 2/48.
Dan tidak ada yang mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka.
Jika hal ini sudah jelas dalam petunjuk Nabi Muhammad ﷺ dan para khalifah -radhiyallahu ‘anhum-, maka tidak mungkin dua imam dari para sahabat menyimpang dari itu, dan akan ada perbedaan pendapat di antara mereka.
DALIL KE ENAM :
Bahwa ini adalah harta yang sangat dibutuhkan semuanya oleh pemiliknya.. Maka tidak wajib zakat atasnya, seperti halnya dengan harta yang dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari, seperti baju yang digunakan untuk pakaian , dan emas yang di design untuk perhiasan, bahkan kebutuhannya untuk melunasi utangnya merupakan kebutuhan darurat [yang sangat mendesak] ; Maka hal ini lebih utama daripada hal lainnya yang tidak mencapai taraf hajat darurat [kebutuhan mendesak] , maka tidak wajib zakat atasnya.
[Lihat: Bada'i al-Sana'i fi Tartib al-Shara'i: (6/2), al-Hidayah dengan Fath al-Qadir: (160/2), al-Ikhtiyar li Ta'liil al-Mukhtar: (100/1), al-Intishar: (256/3)].
DALIL KETUJUH:
Bahwa orang yang berhutang memiliki kepemilikan yang tidak sempurna, dan utang tersebut akan membuatnya menjadi pailit dan hartanya sewaktu-waktu bisa disita ; Maka tidak wajib zakat atasnya. Dengan dalil bahwa orang yang punya beban hutang tidak diwajibkan haji dan tidak juga diwajibkan bayar fidyah dengan membebaskan budak selama keberadaan dia masih berutang .
[Lihat: al-Mabsut li al-Sarakhsi: (160/2), Bada'i al-Sana'i fi Tartib al-Shara'i: (6/2), al-Tawdih fi Syarh Mukhtasar Ibnu al-Hajib: (225/2), Mahasin al-Shari'ah: (158), al-Hawi al-Kabir: (310/3), Nihayat al-Mathlab fi Dirayat al-Madzhab: (325/3), al-Wajiz ma'al 'Aziz: (546/2), al-'Aziz: (547/2), al-Majmu' Syarh al-Muhadzab: (346/5), Kifayat al-Nabih fi Syarh al-Tanbih: (204/5), al-Anjam al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj: (246/3), Syarh al-Muhalla: (51/2), Mughni al-Muhtaj: (411/1), Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj: (132/3). Al-Masa'il al-Fiqhiyah min Kitab al-Rawayatin wa al-Wajhayin: (244/1), al-Intishar: (-258/3 259)].
BANTAHAN :
Kontranya adalah: Bahwa meng-analogi-kan kewajiban zakat kepada kewajiban haji itu tidak benar, karena zakat itu wajib pula atas harta seorang anak yang masih bayi dan orang gila, akan tetapi haji tidak wajib atas keduanya. Haji wajib bagi orang miskin jika tinggal di Makkah, meskipun zakat tidak wajib atasnya. Oleh karena itu, telah terbukti bahwa mengaitkan satu dengan yang lain dalam kewajiban tidaklah benar.
JAWABAN ATAS BANTAHAN :
Mungkin bisa dijawab : bahwa perbedaan ini tidak berpengaruh, karena nisab zakat itu adalah satu untuk semua orang, sementara nisab dan kewajiban haji bervariasi tergantung pada kebutuhan. Seseorang yang tinggal di China dan dia memiliki puluhan ribu dinar yang tidak mencukupi untuk haji, maka tidak wajib haji, meskipun mencukupi untuk penduduk Madinah atau Siria.
Selanjutnya, jika seseorang dari Makkah perlu bekerja selama hari-hari musim haji untuk menyokong kebutuhan keluarganya sehingga jika dia meninggalkan mereka, mereka akan kelaparan, maka haji tidak wajib atasnya.
Oleh karena itu, terbukti bahwa tidak ada perbedaan dalam mencegah kewajiban antara zakat dan haji, hanya perbedaan dalam jumlahnya, yang tidak berpengaruh. Lagi pula masalah kewajiban zakat atas harta bayi dan orang gila itu masalah yang masih menjadi perbedaan pendapat antar para ulama .
Sebagian ulama Syafi'i mengakui akan kelemahan bantahan diatas dengan alasan tersebut, lalu mereka menyajikan argumen lain yang mereka anggap lebih baik. Argumen tersebut menyatakan :
أَنَّ وُجُوبَ الْحَجِّ مَشْرُوطٌ بِالْمَكْنَةِ، وَهِيَ غَيْرُ مَوْجُودَةٌ مَعَ الدِّينِ؛ لِأَنَّهُ يَطَالُبُ بِالدَّينِ وَيَلَازِمُ وَيُحَبِّسُ فَلَا يَتَمَكَّنُ مِنَ الْخُرُوجِ، وَأَمَّا الزَّكَاةُ فَلَا تُشْتَرَطُ الْمُكْنَةُ فِي وُجُوبِهَا.
وَأَنَّ الْحَجَّ عَلَى التَّرَاخِي، وَأَمَّا الدَّيْنُ الْحَالُ فَعَلَى الْفَورِ، فَقَدْ مَعَ عَلَيْهِ فِي حُكْمِ الشَّرْعِ، وَصَارَ تَقَدُّمُهُ عَلَيْهِ مَفَادًا لِلْمَكْنَةِ التِّي هِيَ مِنْ شَرْطِ الْوُجُوبِ. وَأَمَّا الزَّكَاةُ فَإِنَّهَا عَلَى الْفَورِ مِثْلَ الدَّيْنِ، فَلَمْ يَقْدَمْ عَلَيْهَا وَلَا يَمَانَعُ وَلَا يُضَايِقُ فِي وُجُوبِهَا.
فَالدَّيْنُ وَجُوْبُهُ بِعَقْدِ الْمُعَامَلَةِ، وَالزَّكَاةُ وَجُوْبُهَا بِنَفْسِ الْمَلْكِ، وَوَاحِدٌ مِنْهُمَا لَا أَثَرَ لَهُ فِي صَاحِبِهِ.. فَاجْتَمَعَ الْوَاجِبُ بِهِمَا لِاجْتِمَاعِ سَبَبَيْهِمَا، وَأَمَّا الْحَجُّ فَلَا يَجِبُ بِنَفْسِ الْمِلْكِ مَا لَمْ تُوْجَدَ الْمَكْنَةُ، وَقَدْ فَاتَتْ.. فَسَقَطَ وَجُوْبُهُ.
Bahwa kewajiban haji disyaratkan dengan kemampuan finansial dan perjalanan haji, yang tidak disyaratkan pada utang, karena orang yang berutang selalu dituntut untuk membayarnya dan dapat menyebabkannya ditahan sehingga dia tidak mungkin untuk pergi haji . Adapun kewajiban bayar zakat, tidak memiliki syarat pembayaran segera dalam menunaikan kewajibannya.
Haji dapat ditunda, sedangkan utang non tempo harus segera dilunasi baerdasarkan hukum syariat, dan utang diutamakan atas haji berdasarkan kemampuan finansial yang merupakan syarat wajibnya. Sementara zakat harus segera dibayarkan seperti utang, tidak ditunda, tidak dihalangi, dan tidak menyulitkan dalam kewajibannya.
Hutang wajibnya berdasarkan transaksi muamalah, sedangkan zakat wajibnya berdasarkan kepemilikan itu sendiri, dan salah satu dari keduanya tidak berpengaruh terhadap pemiliknya. Maka, kewajiban keduanya bersatu karena penyebab kewajiban keduanya adalah satu. Adapun haji tidak wajib berdasarkan kepemilikan itu sendiri kecuali jika kemampuan (untuk melaksanakan haji) itu hadir, dan jika waktu haji telah lewat, maka kewajiban haji telah gugur."
[Referensi: Lihat al-Hawi al-Kabir: (311/3) dan al-Ishthilaam li Abi al-Mazfar al-Sama'ani: (76/2)].
DALIL KEDELAPAN:
Bahwa pendapat yang mengatakan wajibnya zakat atas orang yang punya hutang di sini mengarah pada keharusan membayar zakat berulang kali dalam satu tahun untuk satu harta, dan ini tidak ada bandingannya, dan tidak ada dasar syariat yang menyebutkan hal ini... Maka itu menjadi tidak benar.
Penjelasannya: Jika seseorang membeli pakaian dari seseorang dengan harga seribu hutang bayar tempo, lalu si pembeli tadi menjual pakaian tersebut kepada orang lain dengan cara yang sama. Dan orang kedua menjualnya kepada orang ketiga dengan cara yang sama. Dan orang ketiga kepada orang keempat. Dan keempat kepada yang kelima dengan cara yang sama; maka menurut pengusung pendapat pertama, setiap orang di antara mereka harus membayar zakat dari uang seribu itu dalam satu tahun...
Ini adalah kesalahan; seharusnya itu hanya zakat dari seribu, namun mereka memaksa zakat dari lima ribu atasnya, dan harta sebenarnya hanya satu pakaian yang nilainya seribu. Buktinya adalah : jika transaksi-transaksi itu dibatalkan... Maka pakaian kembali kepada orang pertama, dan tidak ada yang tersisa kecuali itu.
[Lihat al-Ashl yang dikenal sebagai al-Mabsūṭh li ash-Shaybānī: (95/2), al-Mabsūṭ li as-Sarakhsī: (160/2), Nihāyat al-Maṭlab fī Dirāyat al-Maḏhab: (325/3), al-Intiṣār: (262/3), an-Najm al-Wāhij fī Syarḥ al-Minhāj: (246/3)].
DALIL KESEMBILAN:
Karena zakat itu wajib atas si pemberi utang. Jika kita wajibkan zakat pada penerima hutang juga ; maka ada pengulangan kewajiban membayar zakat di dalam harta yang sama... Jadi akan ada dua zakat dalam satu harta, dan itu tidak dibenarkan, seperti zakat perdagangan dan lelang.
[Lihat al-Ḥāwī al-Kabīr: (310/3), al-Wajīz ma'a al-'Azīz: (546/2), al-'Azīz: (548/2), al-Majmū' Syarḥ al-Muḏīb: (346/5), Kifāyat an-Nabīh fī Syarḥ at-Tanbīh: (204/5)].
Dan dikatakan pula : bahwa ini adalah klaim tanpa dalil, bahkan menjadikan dua harta itu milik dua orang, lalu zakat harta ini diwajibkan pada objeknya, dan zakat utang atas pemiliknya, sementara objek harta bukanlah utang.
[Lihat al-Ḥāwī al-Kabīr: (311/3), asy-Syarḥ al-Mumti' 'alā Zād al-Mustaqni': (33/6)].
BANTAHAN :
Bantahannya : bahwa seseorang yang berutang bisa jadi ditangannya sudah tidak ada lagi harta yang dia pinjam dari pemberi utang ; karena dia mungkin meminjam uang dirham, namun dia memiliki banyak ternak, atau sebaliknya, dan ini adalah hal yang umum terjadi.
DALIL KESEPULUH :
Zakat hanya wajib diberikan sebagai bentuk al-muwaasaah [kasih sayang dan untuk menyenangkan] para fakir miskin dan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat harta kekayaan. [[Lihat asy-Syarḥ al-Mumti' 'alā Zād al-Mustaqni': (33/6)]
Sementara orang yang berutang membutuhkan harta untuk melunasi hutangnya sebagaimana kebutuhan orang miskin atau bahkan lebih dari itu . Tidaklah bijaksana jika mengabaikan kebutuhan pemilik harta demi kebutuhan orang lain. Sementara Nabi ﷺ pernah bersabda:
" ابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ ".
"Mulailah dengan orang-orang yang menjadi tanggunganmu". [HR. al-Bukhari: (1426) dan Muslim: (1042/106)].
Dan realitanya dia tidak memiliki kecukupan harta, yang bisa membenarkan bahwa pengeluaran zakatnya itu sebagai ungkapan rasa syukur.
[Lihat: al-Mabsūṭ li as-Sarakhsī: (160/2), al-Ikhtiyār li Ta'līl al-Mukhtār: (100/1), al-Mughnī: (264/4), Syarḥ al-Zarkashī 'alā Mukhtaṣar al-Khurāqī: (484/2), adz-Dzakhirah li al-Qurḍāwī: (42/3)].
BANTAHAN :
Bantahannya : bahwa kita tidak menghalangi dalam hal ini, karena yang paling penting dalam zakat adalah apa yang disebutkan Allah, yaitu :
﴿خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا﴾
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. [at-Taubah : 103]
Maka zakat adalah ibadah yang membersihkan manusia dari dosa... dan dengannya jiwa-jiwa dibersihkan, dan seseorang merasa bahagia dan tenteram ketika memberikannya dengan lapang dada dan ketenangan hati, karena tujuan zakat bukan hanya untuk menyenangkan hati fakir miskin semata". [Lihat asy-Syarḥ al-Mumti' 'alā Zād al-Mustaqni': (33/6)].
JAWABAN terhadap bantahan :
Meskipun salah satu tujuan zakat adalah untuk menghibur dan menyenangkan fakir miskin... namun ini tidak mengharuskan pengkhususan yang umum, karena pengkhususan yang umum itu berarti membatalkan sebagian dari tujuannya, yaitu yang telah kami keluarkan dengan pengkhususan yang umum.
Dan membatalkan sebagian dari makna teks bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, mungkin akan ada illat kecil [penyakit tersembunyi] atau bisa jadi bahwa itu sehat... Namun, jika syariat menetapkan hal ini, seseorang dapat berpendapat :
"إِنَّ المَدِينَ لَيْسَ أَهْلًا لِيُوَاسِيَ بَلْ يَحْتَاجُ إِلَى مَنْ يُوَاسِيهِ"
“Bahwa orang yang punya utang itu tidak layak untuk melakukan al-muwaasah [menyenangkan fakir miskin], sementara dia sendiri membutuhkan orang yang menghibur dan menyenangkan dirinya". [Lihat asy-Syarḥ al-Mumti' 'alā Zād al-Mustaqni': (33/6)].
DALIL HUTANG TIDAK MENGGUGURKAN ZAKAT PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Dalil bahwa hutang tidak menghalangi zakat pertanian dan perkebunan , maka karena menurut mereka sepersepuluhan itu bukan zakat atasnya, melainkan sepersepuluh itu adalah hak penghasilan tanah yang berkembang, sama seperti kharaj [pajak tanah] . Oleh karena itu, tidak dianggap sebagai hak yang bersumber dari kepemilikan; maka sepersepuluh itu wajib pula pada tanah wakaf dan tanah-tanah negara, berbeda dengan zakat, karena di dalamnya harus ada kekayaan bagi pemiliknya, sedangkan kekayaan tidaklah bisa bertemu dengan hutang.
Referensi: Asy-Syarh al-Mumti’ 'ala Zad al-Mustaqni ': (22/102). dan Lihat: Al-Hawi al-Kabir: (280/4).
*****
DALIL-DALIL PENDAPAT KEDUA :
Pendapat yang mengatakan : Hutang menggugur kewajiban zakat pada harta batin [الأَمْوَالِ البَاطِنَةِ = harta yang tersembunyi, seperti emas, perak, dan barang dagangan].
Namun tidak mencegah pada harta dzohir [الأَمْوَالِ الظَّاهِرَةُ = harta yang nampak dan terlihat, seperti hewan ternak, pertanian dan perkebunan buah-buahan] .
=====
DALIL HUTANG MENGGUGURKAN ZAKAT HARTA BATIN [TERSEMBUNYI] :
Adapun dalil bahwa hutang menggugurkan zakat harta yang tersembunyi , maka itu adalah dalil dari pendapat pertama yang menunjukkan bahwa hutang mencegah kewajiban zakat secara umum, dan ini telah dijelaskan oleh Imam Malik dalam "Al-Mudawwanah" dengan hadits Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu.
=====
DALIL HUTANG TIDAK MENGGUGURKAN ZAKAT HARTA DZOHIR [NAMPAK] :
Sedangkan dalil bahwa hutang tidak mencegah kewajiban zakat dalam harta yang terlihat adalah sebagai berikut:
DALIL PERTAMA :
Nabi ﷺ mengutus para utusan untuk mengambil zakat dari harta dzohir [yang nampak terlihat], begitu pula para khalifah setelahnya, dan tidak diriwayatkan dari mereka bahwa mereka memerintahkan untuk menginterogasi setiap orang yang hendak diambil zakatnya dengan menanyakan : “apakah anda punya hutang ?”, meskipun pada umumnya para pengusaha perkebunan itu memiliki hutang.
[Lihat: asy-Syarh al-Mumtia 'ala Zad al-Mustaqni ': (41/27)].
BANTAHAN :
Bantahannya : Justru hal ini menunjukkan bahwa zakat berkaitan dengan harta, dan tidak ada kaitannya dengan hutang, dan tidak ada perbedaan antara harta yang terlihat dan harta yang tersembunyi. [Lihat: asy-Syarh al-Mumti’ 'ala Zad al-Mustaqni ': (41/27)].
Bantahan lain :
Mungkin bisa dibantah pula : bahwa ketiadaan keterangan [nash dalil] tidak berarti ketiadaan keberadaan, seperti halnya mereka tidak diperintahakan untuk menginterogasi masing-masing dari mereka apakah punya hutang ? Maka demikian pula tidak ada keterangan bahwa mereka dilarang untuk melakukannya, sehingga keputusan tetap bergantung pada nash-nash lainnya.
Bantahan lainnya lagi :
Dan mungkin bisa dibantah pula : bahwa telah ada keterangan sahih dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu : “Bahwa zakat pertanian harus dilakukan setelah melunasi hutang”.
Dan ada keterangn yang sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma :
Bahwa zakat pertanian harus dilakukan setelah melunasi utang khusus untuk pertanian”
Dan tidak ada yang mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka.
Jika hal ini sudah jelas dalam petunjuk Nabi Muhammad ﷺ dan para khalifah -radhiyallahu ‘anhum-, maka tidak mungkin dua imam dari para sahabat menyimpang dari itu, dan akan ada perbedaan pendapat di antara mereka.
Bantahan lainnya lagi :
Dapat dibantah pula : bahwa penghapusan sepertiga atas mereka dalam penaksiran zakat pertanian dapat disebabkan oleh beban utang mereka yang diperuntukan untuk biaya pertanian mereka. [Lihat : Atsarud Dain Fii Zakaati Malil Madiin hal. 21 karya Prof. DR. Jamal Syakir]
DALIL KEDUA : DALIL UMUM WAJIB ZAKAT PERTANIAN DAN TERNAK :
Yaitu : Keumuman dalil-dalil yang mewajibkan zakat pertanian dan ternak. [Lihat Syarh al-Zarkashi 'ala Mukhtashar al-Khiroqi: (484/2) dan Syarh al-Mumtia 'ala Zad al-Mustaqni ': (34/6).]
BANTAHAN :
Dapat dibantah bahwa keumuman tersebut meliputi harta batin [tersembunyi] dan harta dzohir [terlihat], sedangkan kalian sendiri membedakan hukum di antara keduanya. [Lihat Syarh al-Mumtia 'ala Zad al-Mustaqni ': (35/6).]
DALIL KE TIGA : PERBEDAAN ANTARA HARTA BATIN DAN HARTA DZOHIR :
Adanya beberapa perbedaan antara harta dzohir [terlihat] dan harta batin [tersembunyi], di antaranya adalah sbb :
Perbedaan pertama:
Jika hutang tidak menggugurkan kewajiban zakat dalam uang tunai, maka hal itu akan mengakibatkan adanya dua zakat atas kreditur dan debitur, tetapi dalam bentuk non-uang tunai tidak akan mengakibatkan hal tersebut. [ Lihat Bahr al-Madhhab: (166/3)].
Perbedaan kedua:
Harta batin [tersembunyi] dipercayakan keamanahan kepada para pemiliknya; oleh karena itu, perkataan mereka diterima bahwa mereka memiliki hutang, seperti halnya perkataan mereka diterima dalam hal jumlah hartanya, sementara harta dzohir [yang nampak terlihat], jumlah zakatnya bisa dipercayakan kepada para imam, mereka mengambilnya secara paksa, oleh karena itu, pendapat pemiliknya tentang hutang tidak diterima, sama seperti perkataan mereka tentang jumlahnya.
Ini adalah penyeimbangan antara dua bentuk, dan biasanya jiwa-jiwa manusia tidak suka dengan apa yang diambil darinya secara paksa. Jika kita mengatakan bahwa hutang menggugurkan zakat dari pertanian dan ternak, maka orang-orang akan berusaha mencari cara untuk menggugurkan kewajiban bayar zakat dengan cara ini. [Lihat : al-Dzakhirah li al-qarafi: (43/3), al-Tawdhih fi sharh Mukhtasar ibn al-Haajib (226/2) dan Syarh Mukhtasar Khalil li al-Khurashi: (202/2)].
BANTAHAN :
Mungkin bisa diperdebatkan: Bahwa dalam hal ini, kalian tidak diwajibkan untuk membayar zakat jika petugas pengumpul zakat yakin akan kejujuran para pemilik harta. Dan begitu juga jika petugas pengumpul zakat tidak bisa datang menemui para pemiliknya lalu si pemilik membayar zakat tersebut atas nama dirinya sendiri, tetapi kalian tidak mengatakan hal itu dalam keadaan-keadaan seperti ini.
Jika kalian mengatakan bahwa kalian berkewajiban untuk melakukan hal itu... maka dikatakan bahwa pendapat kalian menjadi seperti berikut ini :
أنَّهَا لَا تَجِبُ دِيَانَةً وَلَكِنَّهَا تَجِبُ قَضَاءً.
bahwa zakat tidak wajib dibayar saat ada hutang, tetapi wajib dibayar qodho setelahnya. [Lihat : Atsarud Dain Fii Zakaati Malil Madiin hal. 21 karya Prof. DR. Jamal Syakir]
Perbedaan ketiga:
Hak yang harus dibayarkan dalam zakat uang tunai yang terkait dengan utang, dan juga hutang yang terkait dengan hak tanggungan [dzimmah] ... maka keduanya saling berhubungan, namun hak-hak ini saling tarik menarik, maka hak utang lebih memiliki kekuatan. Sedangkan pada zakat pertanian dan ternak, maka hak yang harus dibayarkan terletak pada keduanya, sedangkan hutang terletak pada tanggungan [dzimmah]... sehingga tidak ada kontradiksi. [Lihat al-Dzakhirah li al-Qarafi: (43/3), Tawdhih fi Syarh Mukhtashar Ibn al-Hajib: (226/2), Syarh Mukhtashar Khalil oleh al-Khursi: (202/2)].
Dan perdebatan lainnya : bahwa kita tidak mengakui bahwa ada hak yang telah ditetapkan secara hukum asal.
Dan dapat diperdebatkan pula : bahwa kita tidak mengakui bahwa zakat pada hewan ternak dan hasil pertanian itu telah tertentukan [تَتَعَيَّن].
[Lihat al-Dzakhirah li al-Qarafi: (43/3), Syarh Mukhtashar Khalil oleh al-Khursi: (202/2)].
Perbedaan keempat :
Karena harta dzohir [yang nampak terlihat] tumbuh dengan sendirinya atau bertambah nilainya dengan sendirinya... maka kenikmatan didalamnya lebih sempurna, sehingga zakat diwajibkan sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia tersebut. Berbeda dengan harta batin [yang tersembunyi], karena ia bertambah nilainya dengan cara dikelola, sementara hutang menghalangi hal tersebut dan penggunaannya dibutuhkan untuk melunasi utang.
[Lihat al-Aziz Syarh al-Wajiz yang dikenal dengan Syarh al-Kabir edisi ilmiah: (547/2), al-Majmu' Syarh al-Muhadzab: (344/5), Rawdat al-Talibin: (197/2), al-Najm al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj: (247/3), Syarh al-Mahalli: (51/2), Mughni al-Muhtaj: (411/1), Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj: (132/3)].
BANTAHAN :
Dan diperdebatkan dari beberapa sudut pandang:
1. Bahwa yang mencegah penggunaan dan pertumbuhan adalah penyitaan [الحَجْرُ] bukan hutang, dan penyitaan [الحَجْرُ] berlaku dalam harta dzohir [yang terlihat] maupun [batin] tersembunyi.
2. Perbedaan ini tidak dianggap relevan di sini, dengan alasan bahwa itu tidak relevan dalam kewajiban haji.
3. Dan karena penganut Mazhab Maliki mewajibkan zakat pada hewan ternak yang aktif dan tidak diternakkan, meskipun pertumbuhan harta tersebut tidak bersifat alami, maka hal ini juga berlaku di sini. [Lihat : Muwatta Malik Ta'liq Abdul Baqi: (262/1), al-Istidhkar: (193/3), al-Muntaqa Syarh al-Muwatta: (136/2)].
Perbedaan kelima:
Kewajiban zakat dalam harta dzohir [yang nampak terlihat] lebih kuat daripada harta batin [yang tersembunyi], karena imam [pemerintah] memiliki hak untuk menagihnya secara dzohir [terang-terangan], dan pembayaran zakat wajib diserahkan kepadanya , seakan-akan ada dua hak terkait dengannya, hak Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan hak imam [pemerintah] sebagai penerima. Makna ini tidak berlaku dalam harta batin [yang tersembunyi], sehingga kewajiban zakat di sana lebih lemah karena alasan yang lemah. [Lihat : al-Intishar: (273/3)].
Perbedaan keenam :
Harta dzohir [yang terlihat], orang-orang fakir miskin melihatnya dan hati mereka lebih terikat dengannya. Jika zakatnya tidak diberikan dengan alasan bahwa dia memiliki hutang, dan hutang adalah masalah yang samar dan tersembunyi. Maka orang-orang akan berprasangka buruk padanya, dan ini akan menyebabkan ketidakpuasan dan kecemburuan hak pada diri mereka. Oleh karena itu, kewajiban zakatnya lebih kuat, berbeda dengan harta yang tersembunyi. [Lihat : al-Masa'il al-Fiqhiyyah min Kitab al-Rawayatin wa al-Wajhayn: (244/1), al-Mughni: (265/4)].
Perbedaan ketujuh:
Menurut sebagian ulama seperti mazhab Hanbali, jika seseorang memiliki hutang sementara dia memiliki harta tunai [المَالُ النَّاضُّ = uang tunai hasil penjualan barang dagangan] dan harta dzohir [yang terlihat] seperti ternak dan lain-lain, maka hutang akan diprioritaskan atas harta tunai daripada harta dzohir [yang terlihat], Seperti hewan ternak dan pertanian, ini menunjukkan adanya kekurangan nilai kepemilikan dalam harta batin [yang tersembunyi] karena kecenderungan orang untuk menuntutnya, sementara kekuatan dzohir [harta yang terlihat] karena keamanannya dari penuntutan.
[Lihat : al-Mughni: (266/4), Syarh al-Zurqani 'ala Mukhtasar al-Kharqi: (484/2), asy-Syarh al-Mumtii 'ala Zad al-Mustaqni': (34/6)].
BANTAHAN :
Perdebatan mengenai perbedaan ini berasal dari beberapa aspek:
1. Jika kita mengatakan bahwa zakat adalah kasih sayang, dan kewajiban utang tidak bisa ditekan, maka tidak ada perbedaan antara keduanya. [Lihat : al-Masa'il al-Fiqhiyah min Kitab al-Riwayatain wa al-Wajhain: (244/1)].
2. Pernyataan bahwa barang dagangan adalah harta batin [tersembunyi] ; maka ini perlu peninjauan ulang; karena seorang pedagang itu dikenal oleh orang banyak, dan dia mungkin memiliki toko mobil, gudang alat, dan juga banyak toko yang digunakan untuk menjual perhiasan. Yang mana di antara ini semua yang lebih dzohir [lebih nampak terlihat]? atau harta ghonimah yang ditemukan di antara pasir oleh seorang badui yang tidak dikenal di pasar?! [Lihat : asy-Syarh al-Mumtii 'ala Zad al-Mustaqni': (35/6)].
3. Yang tersembunyi dan yang nampak itu relatif; sesuatu yang tampak bisa jadi tersembunyi, dan yang tersembunyi bisa menjadi nampak terlihat.
[Lihat : asy-Syarh al-Mumtii 'ala Zad al-Mustaqni': (35/6), fiqh al-zakat: (158/1)].
*****
DALIL-DALIL PENDAPAT KETIGA:
Dalil-dalil dari pendapat keempat: yaitu yang mengatakan : “Hutang secara mutlak menggugurkan kewajiban zakat”.
Para pengusung pendapat ini menggunakan dalil-dalil yang sama dengan para pendukung pendapat pertama, yang mengatakan : “Hutang mencegah kewajiban zakat, kecuali pada pertanian dan perkebunan” . Yang mana pendapat keempat ini berargumentasi dengan mengatakan :
أَنَّ الدِّينَ يَمْنَعُ الزَّكَاةَ، وَحَمَلُوا الْأَدِلَّةَ عَلَى الْأَمْوَالِ مُطْلَقًا دُونَ تَفْرِيقٍ بَيْنَ مَالٍ وَآخَرِ.
“Bahwa hutang mencegah kewajiban zakat, dan mereka mengarahkan dalil-dalil tersebut kepada harta-harta secara umum tanpa membedakan antara satu harta dengan yang lain”.
Adapun pengecualian para pendukung pendapat pertama dan kedua terhadap zakat hasil pertanian, perkebunan, dan harta batin [yang tersembunyi] tidak wajib pada harta dzohir [yang terlihat], maka dikatakan kepada mereka:
“Bahwa dalil yang menunjukkan hutang menggugurkan kewajiban zakat pada harta dzohir [yang terlihat] adalah dalil-dalil umum yang telah lalu, maka dikatakan kepada mereka yang membedakan antara harta dzohir [yang terlihat] dan batin [yang tersembunyi] :
إِنَّ الدَّينَ يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ زَكَاةِ الْمَالِ الْبَاطِنِ قِيَاسًا عَلَى مَنْعِهِ مِنْ زَكَاةِ الْمَالِ الظَّاهِرِ، بِجَامِعِ كَونِ كُلِّ مِنْهُمَا يَمْتَنِعُ الْوُجُوبَ فِيهِ بِوُجُودِ الْمَوَانِعِ وَانْتِفَاءِ الشُّرُوطِ كَنْقَصَانِ النِّصَابِ وَالرَّقِّ وَالْكُفْرِ.
“Bahwa hutang mencegah kewajiban zakat pada harta bathin [yang tersembunyi] berdasarkan analogi terhadap gugurnya kewajiban zakat pada harta dzohir [yang terlihat], dengan mengingat bahwa keduanya sama-sama terhalang wajibnya dengan adanya penghalang-penghalang dan hilangnya syarat-syarat seperti kekurangan nishob, perbudakan, dan kekufuran. [Lihat Masail Fiqhiyah dari Kitab Ar-Rawaitain wal Wajhayn: (244/1), Al-Intishar: (271/3)].
*****
DALIL-DALIL PENDAPAT KEEMPAT :
Yaitu pendapat yang mengatakan : Hutang secara mutlak tidak menggugurkan kewajiban zakat.
Para pengusung pendapat ini berargumentasi bahwa hutang secara mutlak tidak menghalangi kewajiban zakat dengan sejumlah dalil yang akan dijelaskan sebagai berikut:
DALIL PERTAMA :
Ketegasan teks-teks yang menunjukkan kewajiban zakat atas pemilik harta, tanpa batasan bahwa dia tidak boleh berhutang; seperti firman Allah Ta'ala:
"خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا"
"Ambillah zakat dari harta mereka; dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (Surah At-Taubah, ayat 103).
Poin argumen: Apa yang berada di tangan orang yang berhutang dari harta miliknya, maka dia memiliki harta tersebut sepenuhnya. Oleh karena itu, dia wajib membayar zakat atasnya.
[Lihat : mahasin al-sharai': (158), al-Hawi al-Kabir: (Juz' 310/3), al-Sunan al-Kubra lil-Bayhaqi: (251/4), Nihayat al-Mathlab fi Syarh al-Muhadzdzab: (Juz' 325/3), al-Aziz Syarh al-Wajiz al-Ma'ruf bish-Syarh al-Kabir [Cet. Ta al-Ilmiyah: 547/2), Kifayat al-Nabih fi Syarh al-Tanbih: (203/5)].
Penjelasan dari hal ini adalah : bahwa dinar-dinar yang berada di tangannya, "jika dia menghibahkannya kepada orang lain, maka hibahnya sah. Jika dia bersedekah dengannya, maka sedekahnya sah. Jika ia rusak, maka itu adalah tanggung jawabnya."
Semua hukum ini menunjukkan bahwa itu adalah harta dari semua hartanya, maka zakat wajib atasnya, sesuai dengan firman Allah Ta'ala:
"خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا"
"Ambillah zakat dari harta mereka; dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (Surah At-Taubah, ayat 103).
Dan jika hutangnya sama seperti hartanya sendiri, maka hutang itu tidak terkandung dalam harta yang ada di tangannya. Apakah Anda tidak melihat bahwa jika harta ini rusak, maka dia akan dituntut karena hutangnya? Dan dia bisa membeli dan menjual dengan itu.
[Lihat : "Jam' al-Ulama'" min "al-Umm": (Juz' 44/9). : "Ikhtilaf al-Ulama'" min "al-Umm": (Juz' 332/8), "Mukhtasar al-Buyuti": (al-Faqroh 819)].
BANTAHAN :
Bantahnnya : Bahwa teks ayat tersebut bersifat umum dan memerlukan penjelasan, dan ini telah berlaku ijma’ [disepakati]; karena zakat tidak wajib atas setiap harta atau dalam setiap jumlah, atau atas setiap pemilik harta, maka diperlukan bahwa itu harus memenuhi kriteria berikut ini :
"مَالٌ نَامَ بَلَغَ نِصَابًا وَحَوْلًا فِي مَلَكٍ حُرٍّ مُسْلِمٍ مَلِكًا تَامَّ الْمَلِكِ"
"Harta berkembang yang mencapai nisab dan haul [setahun], dalam kepemilikan seorang muslim merdeka dengan kepemilikan yang sepenuhnya".
Dan ini adalah kepemilikan yang tidak sempurna dan tidak stabil, sesuai dengan apa yang dibuktikan oleh dalil-dalil, maka kami mengarahkan makna ayat ini kepada orang yang tidak memiliki hutang sebagai dalil kami dalam masalah ini.
[Lihat : "Mukhtasar al-Buyuti": (al-Fiqrah 819), wa Lihat : : al-Nujum al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj: (Juz' 246/3), Syarh al-Mahalli: ( 51/2), Asani al-Matalib fi Syarh Rawd al-Talib: ( 356/1), Tuhfat al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj wa Hawashi al-Shirwani wal-Abadi: (Juz' 337/3), Mughni al-Muhtaj: ( 411/1), Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj: ( 132/3)].
DALIL KEDUA :
Bahwa hutang adalah kewajiban dalam tanggungan [الذمَّة]. Dan zakat itu, entah berkaitan dengan hutang atau dengan tanggungan:
Jika terkait dengan tanggungan... maka tanggungan itu mencakup baginya dan bagi hutang, seperti hutang jika terbukti dalam tanggungan kepada Zaid, maka tidak menghalangi ketetapan hutang lain dalam tanggungan kepada ‘Amr. [Lihat : al-Intishar: ( 264/3 265)].
Jika berkaitan dengan hak seseorang, maka apa yang berada dalam tanggungan tidak menghalangi itu. Karena keterikatan dengan tanggungan tidak menghalangi apa yang terikat dengan hak; seperti seorang hamba jika ia melakukan jinayah [tindakan kriminal atau pelanggaran] sementara masih ada hutang dalam tanggungan majikannya yang bisa mengcover biaya denda jinayah tersebut ... maka denda jinayah tersebut berada di bawah tanggung jawabnya.
[Lihat : al-Hawi al-Kabir: (Juz' 310/3), al-Aziz Sharh al-Wajiz al-Ma'ruf bish-Sharh al-Kabir Ta al-Ilmiyah: (Risalah 547/2), Kifayat al-Nabih fi Sharh al-Tanbih: (Risalah 203/5), al-Nujum al-Wahhaj fi Sharh al-Minhaj: (Juz' 246/3)].
Bantahan lainnya : Argumen ini hanya berlaku setelah kita menerima pendapat yang mewajibkan zakat, namun kita tidak menerima bahwa zakat diwajibkan atas harta ini sampai kewajiban zakat tersebut terikat dengan objek harta atau dengan tanggungan, oleh karena itu, kalian harus membuktikan dalil kewajibannya atas harta ini terlebih dahulu. [Lihat : al-Intishar: (266/3)].
Bantahan lainnya : bahwa pembagian semacam ini juga berlaku dalam hukum haji... Mengapa Anda tidak mewajibkan haji saat ada utang? [ Lihat : al-Intishar: (267/3).]
DALIL KE TIGA :
Ini adalah dalil bagi mereka yang membedakan antara harta batin [tersembunyi] dan dzohir [yang nampak jelas], atau antara pertanian dan yang lainnya.
Maka dikatakan kepada mereka: Anda telah menyatakan bahwa zakat wajib atas orang yang menghasilkan nishab dari pertaniannya dan perkebunannya, dan bahwa utang tidak dipotong darinya, dan bahwa zakat wajib atasnya. Dan sebagian dari Anda juga telah mengatakan hal yang sama tentang ternak, maka dikatakan kepada Anda: Demikian pula untuk transaksi barang-barang perdagangan dan juga dinar dan dirham , maka tidak ada perbedaan antara semuanya. [Lihat : "Mukhtasar al-Buwaythi": (al-Faqrah: 819), al-Hawi al-Kabir: (Juz' 310/3)].
DALIL KEEMPAT :
Dalam pendapat ini terdapat dorongan bagi orang yang berutang untuk segera melunasi utangnya; karena jika kami mengatakan: bayarlah utang Anda, jika tidak, kami akan mengwajibkan zakat atas Anda, maka utangnya akan segera dilunasi. [Lihat : asy-Syarh al-Mumti' 'ala Zad al-Mustaqni': ( 35/6)].
DALIL KE LIMA :
Ini adalah merupakan pembebasan dari tanggungan, dan tindakan yang lebih preventif [bersifat pencegahan]. [Lihat : asy-Syarh al-Mumti' 'ala Zad al-Mustaqni': (36/6)].
"Dan pendapat ini juga berdalil dengan dalil-dalil pendapat kedua tentang kewajiban zakat pada harta dzohir [ yang terlihat jelas]. [Lihat Al-Intishar: (271/3), Al-Mughni: (265/4)].
*****
KESIMPULAN HASIL ANALISA :
Tidak diragukan lagi bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini kuat, dan pandangan-pandangannya beragam, dan masing-masing memiliki porsi perhatian yang pantas.
Tidak ada nash yang jelas dari Al-Quran dan Sunnah yang memutuskan masalah ini. Dan teks-teks yang mutlak bertentangan satu sama lain; oleh karena itu pendapat yang mewajibkan zakat akan merujuk kepada teks-teks yang tidak membedakan antara yang berhutang dan yang tidak.
Dan pendapat yang tidak mewajibkan zakat secara mutlak akan merujuk kepada dalil-dalil yang menetapkan zakat hanya kepada orang-orang kaya, bukan kepada orang-orang miskin, dan orang miskin ini pantas mendapat zakat. [Lihat Mahasin Asy-Syari'ah: (hal. 158)].
Pernyataan para Sahabat dalam masalah ini jarang, dan penulis sendiri hanya menemukan beberapa riwayat , diantaranya , yaitu : riwayat dari Amirul Mukminin Utsman yang pertama, dan riwayat dari dua Imam, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas semoga Allah meridhai keduanya.
Kemudian penulis menemukan riwayat dari Amirul Mukminin Umar semoga Allah meridhai beliau, diriwayatkan oleh Imam Abdul Razzaq dalam al-Mushonnaf (4/102 no. 7122. Tahqiq al-A’dzomi ) dari Ibnu Juraij, dia berkata:
أَخْبَرَنِي يَزِيدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ يَكُونُ عِنْدَنَا النَّفَقَةُ، فَأُبَادِرْ الصَّدَقَةَ، وَأَنْفِقْ عَلَى أَهْلِي، وَأَقْضِي دَيْنِي قَالَ: «فَلَا تُبَادِرْ بِهَا، فَإِذَا جَاءَتْ فَاحْسِبْ دَيْنَكَ مَا عَلَيْكَ، فَاجْمَعْ ذَلِكَ جَمِيعًا ثُمَّ زَكِّهِ».
"Yazid bin Yazid bin Jabir memberitahuku bahwa Abdul Malik bin Abi Bakr memberitahunya bahwa seseorang berkata kepada Umar bin Khattab, 'Wahai Amirul Mukminin, jika kami memiliki nafkah [harta] , lalu saya bersegera bayar zakat, lalu memberi nafkah kepada keluarga saya, kemudian membayar hutang saya.'
Umar menjawab : “Janganlah kamu terburu-buru mengeluarkan (zakat harta itu). Maka ketika harta itu datang, hitunglah hutangmu yang harus kamu bayar, kumpulkan semuanya itu, lalu setelah itu zakatilah!”.
Nampaknya, hutang tidak menghalangi kewajiban zakat, bahkan Ibnu Hazm Adz-Dzohiri dalam kitabnya al-Muhalla (6/100) berpendapat pada pandangan yang lebih jauh dan aneh. Dia menjelaskan :
أَنَّ مَنِ اسْتَدَانَ مَبْلَغًا مِنَ الْمَالِ تَجِبُ فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ، ثُمَّ لَمْ يَأْتِ تَمَامُ الْحَوْلِ إلَّا وَهُوَ تَالِفٌ قَدْ أَنْفَقَهُ أَوْ تَصَرَّفَ فِيهِ.. فَإِنَّهُ يُزَكِّيهِ.
“Bahwa jika seseorang meminjam sejumlah uang yang wajib dikenakan zakat, dan ketika tahun fiskal selesai, uang itu telah habis atau telah digunakan .... maka ia harus menzakatinya.
Ibnu Hazm tidak mengatakan pendapat ini, tetapi dia hanya berkata : bahwa ada orang yang mengatakan : ia harus menzakatinya ! Kemudian, dia menyebutkan riwayat ini dengan sesuatu yang menyiratkan bahwa itu yang difahami darinya : bahwa ini adalah ucapan Umar bin Khattab, Amirul Mukminin, semoga Allah meridhainya."
Namun, riwayat ini, selain dari dha’if , juga karena Abdul Malik bin Abi Bakr tidak hidup semasa Umar, lalu riwayatnya bertentangan dengan riwayat-riwayat lain tentangnya.
Abdul Razzaq sendiri setelah penyebutan riwayat tersebut, dia langsung menyebutkan riwayat berikut ini :
عَنِ ابِنْ عُيَيْنَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَجِيءُ إِبَّانُ زَكَاتِي، وَلِي دَيْنٌ؟ «فَأَمَرَهُ أَنْ يُزَكِّيَهُ»
Dari Ibnu 'Uyainah, dari Yazid bin Yazid bin Jabir, dari Abdul Malik bin Abi Bakr, dari Abdul Rahman bin al-Harith bin Hisham bahwa dia berkata:
Seseorang berkata kepada Umar bin Khattab, "Waktu bayar zakatku telah datang, dan aku punya harta yang dihutang orang?" Lalu Umar memerintahkannya untuk membayar zakatnya”. [ al-Mushonnaf 4/103 no. 7123 dan lihat pula al-Amwaal karya Ibnu Zanjawaih 3/951 no. 1708]
Maka riwayat ini adalah tentang : ( مَنْ لَهُ دَيْنٌ : orang yang memberi hutang), bukan tentang: ( مَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ : orang yang menanggung beban hutang).
Dan di sana disebutkan bahwa Abdul Malik meriwayatkannya dari Abdul Rahman bin al-Harith, yang merupakan kakeknya. Namun, sanadnya tidak bersambung, tidak disebutkan bahwa dia meriwayatkannya dari kakeknya.
Akan tetapi di dalam kitab al-Muqorror ‘Alaa Abwaab al-Muharror 1/453 no. 698 karya Yasuf al-Maqdisy al-Hanbali ditemukan lafadznya seperti berikut ini :
"وَلِابْنِ مَنْصُورٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ قَالَ: أَتَى رَجُلٌ عُمَرَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- فَمَالَ: أَتَانِي أَوَانُ زَكَاتِي، وَعَلَيَّ دَيْنٌ، وَلِي دَيْنٌ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُزَكِّيَ الدَّيْنَ".
Dan Ibnu Mansur, dari Abdul Malik bin Abi Bakar berkata: Seorang lelaki mendatangi Umar -semoga Allah meridainya- dan berkata: "Telah tiba padaku waktu bayar zakatku, dan aku memiliki beban hutang, namun juga ada orang yang berhutang padaku."
Maka Umar memerintahkannya untuk membayar zakat atas hutang tersebut.
Husein Ismail al-Jamal dalam Takhrih al-Muqorror 1/453 berkata :
"رجالُهُ ثِقاتٌ: أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ فِي "الْمُصَنَّفِ" (7122) وَ (7123) مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَذَكَرَهُ بِنَحْوِهِ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ رِجَالُ الصَّحِيحِ".
“Para perawinya adalah tepercaya [tsiqoot]. Abdul Razzaq meriwayatkannya dalam "Al-Musannaf" (7122) dan (7123) dari Abdul Lakh ibn Abi Bakar melalui Abdul Rahman ibn al-Harith ibn Hisham yang berkata: "Seseorang berkata kepada Umar bin Khattab seperti itu," dan para perawinya adalah orang-orang yang terpercaya dalam hadits yang shahih”.
Imam Jabir bin Zaid meriwayatkan :
عنِ ابنِ عَبَّاسٍ، وابنِ عُمَرَ رضي الله عنه في الرَّجُلِ الذيابات يَستَقرِضُ فيُنفِقُ على ثَمَرَتِهِ، وَعلى أَهلِهِ، قالَ: قالَ ابنُ عُمَرَ: «يَبدَأُ بِما يستَقرِضُ فيَقضِيهِ، وَيُزَكِّي ما بَقِيَ». قالَ: قالَ ابنُ عَبَّاسٍ: «يَقضِي ما أَنفَقَ عَلى الثَّمَرَةِ، ثُمَّ يُزَكِّي ما بَقِيَ».
Dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar dalam kisah tentang seorang lelaki yang meminjam untuk mebiayai perkebunannya, dan untuk keluarganya.
Dia berkata : Ibnu Umar berkata: "Dia harus memulai dengan membayar apa yang dia pinjam, lalu dia manzakati apa yang tersisa."
Dia berkata: Ibnu Abbas berkata: "Dia harus membayar apa yang dia digunakan untuk membiayai perkebunannya, kemudian dia menzakati apa yang tersisa."
Diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam "Al-Amwal" halaman 509, dan Yahya bin Adam dalam "Al-Kharaj" (589). Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (10186), dan Ibnu Zanjawayh dalam "Al-Amwal" (1928), serta Al-Baihaqi dalam "As-Sunan Al-Kubra" nomor 7683.
Sanadnya telah dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam komentarnya pada "Al-Kharaj" hal. 158, dan dinilai shahih pula oleh Al-Albani dalam "Sahih Fiqh As-Sunnah" 2/48.
*****
TARJIH :
Setelah menyajikan dalil-dalil dan membahasnya serta menjawab semampu mungkin atas diskusi-diskusi yang telah dilakukan, menurut pemahaman saya - wallahu a’lam- adalah lebih cenderung membenarkan pendapat keempat yang mengatakan :
Bahwa para sahabat menggugurkan kewajiban zakat atas orang yang memiliki utang.
Dan hal ini terlihat dari apa yang telah disebutkan sebelumnya. Tidak perlu untuk mengulanginya lagi, dan salah satu hal yang memperkuat kecenderungan ini -selain dari apa yang telah disebutkan sebelumnya- adalah bahwa kita memiliki tiga riwayat dari para sahabat tentang masalah ini:
RIWAYAT PERTAMA :
Dari Utsman bin Affan -semoga Allah meridainya- dan perkataannya di atas mimbar:
«هذا شَهرُ زكاتِكُمْ؛ فمن كانَ علَيْهِ دَيْنٌ.. فليُؤَدِّ دَيْنَهُ؛ حتّى تحصُلَ أَمْوالُكُمْ فَتُؤَدُّونَ مِنْها الزَّكاةَ».
"Ini adalah bulan zakat kalian; jika seseorang memiliki hutang.. maka dia harus melunasi hutangnya; sehingga kalian mendapatkan harta kalian [yang sebenarnya], lalu kalian membayar zakat dari harta tersebut."
[Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwatta' (1/253 No. 593), Al-Syafi'i dalam Al-Umm 2/53, Ibnu Abi Shaybah, 4/48, Al-Bayhaqi dalam al-Kubra 8/231 No. 7681, dan dalam Al-Ma'rifat (8323) .
Disahihkan oleh Syu’aib Al-Arna'out dalam Takhriij Jami' Al-Usul 4/635 No. 2726 dan Al-Albani dalam Al-Irwa’, 3/260]
Meskipun mungkin tidak bisa dipastikan, namun penulis lebih cenderung pada menunjukkan bahwa hutang mencegah kewajiban zakat. Namun, jika kita tidak memandangnya sebagai dalil yang kuat untuk hal itu.. maka tidak ada yang menyatakan bahwa Utsman mengatakan bahwa zakat wajib bagi orang yang memiliki hutang, dan pokok dari masalah ini adalah bahwa dia memerintahkan mereka untuk melunasi hutang sebelum berlalunya satu tahun..
Oleh karena itu, tidak sepantasnya dikaitkan dengan Utsman bin Affan -semoga Allah meridainya- perkataan dalam masalah ini, dan penggunaannya sebagai dalil untuk menerima pendapat mereka sebagai pedoman.
KEDUA :
Dari Amirul Mukminin Umar bin al-Khoththob semoga Allah meridhai beliau, diriwayatkan oleh Imam Abdul Razzaq dalam al-Mushonnaf (4/102 no. 7122. Tahqiq al-A’dzomi ) dari Ibnu Juraij, dia berkata:
أَخْبَرَنِي يَزِيدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ يَكُونُ عِنْدَنَا النَّفَقَةُ، فَأُبَادِرْ الصَّدَقَةَ، وَأَنْفِقْ عَلَى أَهْلِي، وَأَقْضِي دَيْنِي قَالَ: «فَلَا تُبَادِرْ بِهَا، فَإِذَا جَاءَتْ فَاحْسِبْ دَيْنَكَ مَا عَلَيْكَ، فَاجْمَعْ ذَلِكَ جَمِيعًا ثُمَّ زَكِّهِ».
"Yazid bin Yazid bin Jabir memberitahuku bahwa Abdul Malik bin Abi Bakr memberitahunya bahwa seseorang berkata kepada Umar bin Khattab, 'Wahai Amirul Mukminin, jika kami memiliki nafkah [harta] , lalu saya bersegera bayar zakat, lalu memberi nafkah kepada keluarga saya, kemudian membayar hutang saya.'
Umar menjawab : “Janganlah kamu terburu-buru mengeluarkan (zakat harta itu). Maka ketika harta itu datang, hitunglah hutangmu yang harus kamu bayar, kumpulkan semuanya itu, lalu setelah itu zakatilah!”.
KETIGA :
Atsar Abdullah bin Umar dan atsar Abdullah bin Abbaas radhiyallahu ‘anhum :
Imam Jabir bin Zaid meriwayatkan :
عنِ ابنِ عَبَّاسٍ، وابنِ عُمَرَ رضي الله عنه في الرَّجُلِ الذيابات يَستَقرِضُ فيُنفِقُ على ثَمَرَتِهِ، وَعلى أَهلِهِ، قالَ: قالَ ابنُ عُمَرَ: «يَبدَأُ بِما يستَقرِضُ فيَقضِيهِ، وَيُزَكِّي ما بَقِيَ». قالَ: قالَ ابنُ عَبَّاسٍ: «يَقضِي ما أَنفَقَ عَلى الثَّمَرَةِ، ثُمَّ يُزَكِّي ما بَقِيَ».
Dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar dalam kisah tentang seorang lelaki yang meminjam untuk mebiayai perkebunannya, dan untuk keluarganya.
Dia berkata : Ibnu Umar berkata: "Dia harus memulai dengan membayar apa yang dia pinjam, lalu dia manzakati apa yang tersisa."
Dia berkata: Ibnu Abbas berkata: "Dia harus membayar apa yang dia digunakan untuk membiayai perkebunannya, kemudian dia menzakati apa yang tersisa."
Diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam "Al-Amwal" halaman 509, dan Yahya bin Adam dalam "Al-Kharaj" (589). Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (10186), dan Ibnu Zanjawayh dalam "Al-Amwal" (1928), serta Al-Baihaqi dalam "As-Sunan Al-Kubra" nomor 7683.
Sanadnya telah dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam komentarnya pada "Al-Kharaj" hal. 158, dan dinilai shahih pula oleh Al-Albani dalam "Sahih Fiqh As-Sunnah" 2/48.
Di sini : Ibnu Umar berpandangan bahwa hutang menggugurkan kewajiban zakat atas hasil pertanian dan perkebunan, dan ia tidak membahas hal lain.
Diketahui – sebagaimana telah disebutkan sebelumnya – bahwa perbedaan pendapat dalam bidang tanaman lebih kuat dari pada hal lainnya.. Jika Ibnu Umar mengatakan demikian di sini.. maka lebih tepat baginya mengatakannya dalam dinar dan dirham serta barang dagangan.
Dan Ibnu Abbaas berpandangan bahwa dana yang ia pinjam untuk biaya pertanian dan perkebunan menghalangi kewajiban zakat atas utangnya, sementara dana yang ia pinjam untuk keperluan lain tidak menghalangi zakatnya.
Ini pernyataan antara dua pendapat – dan Imam Ahmad mengatakannya dalam salah satu riwayat – dan dapat diartikan bahwa setiap hutang yang dipinjam demi untuk biaya pertumbuhan dan biaya pengelolaan harta… menggugurkan kewajiban zakat, khusus pada ini , maka barangsiapa yang meminjam dana pinjaman untuk barang-barang komersial... maka zakat utangnya dihapus dan sisa hartanya dikeluarkan zakatnya. Dan barangsiapa Dia meminjam dana untuk biaya hewan ternaknya, maka hutangnya itu tidak wajib dizakati, namun wajib membayar zakat sisa hartanya.
Berdasarkan riwayat Imam Ahmad ini, maka hutang itu menghalangi kewajiban zakat pada harta batin [yang tersembunyi], namun adapun harta dzohir [yang tampak], maka tidak terhalang kewajiban zakat atasnya kecuali pada pertanian dan perkebunan saja, dalam hal dana yang dipinjam khusus untuk modal pembiayaan.
[Lihat: Al-Mughni: (265/4), Al-Furuu’ wa Tashhih Al-Furuu’: (459/3), dan beliau berkata:
لَتَأْثِيرُ ثَقْلِ الْمُؤْنَةِ فِي الْمُعَشَّرَاتِ.
“Karena pengaruh beban berat modal biaya dalam zakat persepuluh” .
Ini adalah riwayat dari Imam Ahmad mengenai harta dzohir [yang nampak] bahwa hutang yang dia ambil untuk membiayai harta dzohir [yang nampak] atau itu adalah bagian dari harganya, maka itu mencegah kewajiban zakat, sedangkan yang lainnya tidak mencegah. Seakan-akan – dalam riwayat ini - dia memahami perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dalam hal pertanian dan yang sejenisnya, atau dia menyimpulkan pendapat ini dari-nya.
Intinya, apa yang telah diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu 'anhum dalam masalah ini: bahwa ada pendapat bahwa hutang mencegah kewajiban zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu. Dan disebutkan dari Utsman radhiyallahu 'anhu, tetapi tidaklah tegas dalam hal itu. Ada pendapat yang lebih khusus dari itu, yaitu bahwa apa yang dipinjam untuk membiayai pertanian dan perkebunan... [Baca : al-furū' wa-taṣḥīḥ al-furū': (459/3)].
Pengguguran kewajiban zakat hasil pertanian. Dan hutang untuk nafkah keluarga itu tidak menghalagi kewajiban zakat pertanian, ini adalah pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu. Dan tidak ada riwayat dari seorang sahabat pun yang mengatakan bahwa hutang tidak menghalangi kewajiban zakat.
Jika itu adalah keadaanynya, maka yang paling tidak yang dapat dikatakan dalam masalah ini adalah :
أَنَّ لِلدِّينِ تَأْثِيرًا فِي الزَّكَاةِ.
“Bahwa hutang itu berpengaruh pada zakat”;
Karena kita tidak menemukan dari sahabat yang mengatakan sebaliknya.
Jadi, kita memiliki dua pendapat;
Pertama : pendapat Ibnu Umar dan Utsman radhiyallahu 'anhum.
Kedua : pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma.
Karena pendapat Ibnu Umar dan Utsman radhiyallahu 'anhuma didukung oleh dalil yang menunjukkan bahwa zakat hanyalah hak yang diambil dari orang kaya bukan orang miskin, ditambah lagi bahwa ini adalah pendapat mayoritas, maka pendapat mereka lebih kuat daripada pendapat Ibnu Abbas; karena tidak membedakan antara hutang yang lebih kuat, dan ini adalah riwayat dari Imam Ahmad yang bukan riwayat utama.
Dan penulis tidak tahu apakah pendapat ini tetap berlaku di semua zaman bagi yang mengusungnya, dan ini bukanlah sifat-sifat dari pendapat yang rajih. Wallaahu a’lam
Salah satu yang memperkuat pendapat ini adalah bahwa empat imam madzhab -rahimahumullah- telah mengatakan hal itu dalam harta dzohir [yang nampak], meskipun Imam Syafi'i merubah pendapatnya di kemudian hari.
Sebagian para fuqaha membedakan antara utang non tempo [الدين الحالِّ = yang harus dibayar secara segera] dan hutang yang ditangguhkan [الدين المؤجَّل], sementara sebagian besar dari mereka tidak membedakannya.
Ini adalah masalah yang membutuhkan penelitian dan pengamatan, meskipun pemisahan tersebut memiliki landasan yang kuat, terutama di zaman kita yang jarang sekali ditemukan seseorang yang bebas dari cicilan utang. Dan resiko pendapat yang mengatakan bahwa hutang itu menghalangi kewajiban zakat atasnya, itu dapat menghambat atau melemahkan tujuan zakat untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Wallaahu ‘alam
0 Komentar