HUKUM ADZAN DAN IQOMAT DI TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
-----
------
DAFTAR ISI :
- HADITS-HADITS ADZAN DAN IQOMAH DITELINGA BAYI BARU LAHIR
- ATSAR UMAR BIN ABDUL AZIZ :
- HIKMAH ADZAN DITELINGA BAYI BARU LAHIR :
- PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ADZAN & IQOMAH PADA TELINGA BAYI BARU LAHIR:
- PENDAPAT PERTAMA : DISUNNAHKAN
- PERNYATAAN PARA ULAMA MADZHAB YANG MENSUNNAHKAN-NYA:
- PERNYATAAN PARA ULAMA KONTEMPORER YANG MENSUNNAHKAN-NYA
- PENDAPAT KEDUA : ADZAN DAN IQOMAT PADA BAYI ADALAH BID'AH SESAT YANG DILARANG. :
- MUKJIZAT ILMIYAH HADITS ADZAN DAN IQOMAT PADA BAYI BARU LAHIR:
******
بسم الله الرحمن الرحيم
-----
HADITS-HADITS ADZAN DAN IQOMAH DITELINGA BAYI BARU LAHIR
HADITS PERTAMA : HADITS ABU RAFI’
Dari 'Ubaidillah bin Abi Rafi', dari bapaknya (Abu Rafi') ia berkata :
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
"Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ adzan (seperti adzan) shalat di telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh ibunya, Fatimah."
[HR. Ahmad 2/182-183, 194, Abu Daud (7/431 no. 5105), Tirmidzi (4/97 no.1514), Baihaqi (9/305), Abu Ya’laa no. 6780 dan Ibnu as-Sunni no. 623 semuanya dari jalan: Sufyan Ats Tsauri, dari 'Ashim bin Ubaidillah bin 'Ashim, dari Ubaidillah bin Abi Rafi' seperti di atas]
Abu Isa Tirmidzi berkata:
"هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ ".
"Hadits ini Hasan Shahih".
Hadits ini Di shahihkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrok 4/175 . Dan dishahihkan pula oleh Ibnu al-Malak al-Karmaani dalam Syarah al-Mashoobih 4/533 no. 3187 .
Ibnu al-Mulaqqin dalam kitabnya al-Badrul Munir 9/348, berkata :
قَالَ التِّرْمِذِيُّ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَقَالَ الْحَاكِمُ: هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ الْإِسْنَادِ. وَسَكَتَ عَلَيْهِ أَبُو دَاوُدَ، وَعَبْدُ الْحَقِّ فِي «أَحْكَامِهِ» فَهُوَ إِمَّا حَسَنٌ أَوْ صَحِيحٌ،
لَكِنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمَذْكُورِ فِي إِسْنَادِهِ فِيهِ مَقَالٌ سَلَفٌ وَاضِحٌا فِي بَابِ الْوُضُوءِ فِي فَضْلِ السِّوَاكِ لِلصَّائِمِ، وَنَقَلْنَا عَنِ الْبُخَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ فِي حَقِّهِ: مُنْكَرُ الْحَدِيثِ.
وَانْتَقَدَ عَلَيْهِ ابْنُ حَبَّانَ رِوَايَةَ هَذَا الْحَدِيثِ وَغَيْرَهُ، وَأَعَلَّهُ ابْنُ الْقَطَّانِ أَيْضًا بِهِ وَقَالَ: إِنَّهُ ضَعِيفُ الْحَدِيثِ مُنْكَرٌ وَمُضْطَرِبٌ. فَلَعَلَّهُ اعْتُضِدَ عِنْدَهُمَا بِطَرِيقٍ آخَرَ فَصَارَ صَحِيحًا عَلَى أَنِّي لَمْ أَجِدْ لَهُ طَرِيقًا غَيْرَ الطَّرِيقِ الْمَذْكُورَةِ.
Imam Tirmidzi berkata: "Ini adalah hadits hasan sahih." Dan al-Hakim berkata: "Ini adalah hadits shahih sanadnya." Abu Dawud diam tentangnya, dan Abdul Haq dalam "Ahkaam"nya menyatakan : bahwa hadits ini hasan atau sahih.
Namun, Ashim ibn Ubaidullah yang disebut didalam sanadnya adalah perawi yang diperbincangkan oleh para salaf, sebagaimana nampak jelas ketika Ashim meriwayatkan hadits bab wudhu tentang “keutamaan menggunakan siwak bagi orang yang berpuasa”.
Kami telah meriwayatkan dari al-Bukhari bahwa beliau mengatakan tentang diri Ashim : "Riwayat haditsnya dinilai munkar (lemah)".
Ibnu Hibban mengkritik riwayat hadits ini dan yang lainnya, demikian juga Ibnu al-Qaththan, dan dia mengatakan: "Dia itu haditsnya lemah, munkar, dan labil."
Mungkin dan bisa jadi di sisi keduanya [Tirmidzi dan Hakim] terdapat penguat hadits dari jalur lain, sehinggan hadits tersebut berubah menjadi shahih, namun saya sendiri tidak menemukan jalur lain selain jalur yang disebutkan”.
Hadits ini dihasankan pula oleh al-Albaani, sebagaimana yang dikutip oleh Muhyiddin Abdul Hamiid dalam Takhrij Sunan Abu Daud ( 4/328 no. 5105) dan di dalam Sunan at-Tirmidzy 4/97 no. 1514 Takhrij Ahmad Syakir.
Penulis katakan : “ Memang benar Sheikh Al-Albani telah menyatakan derajat hadits ini HASAN dalam Irwa' al-Ghalil (4/400 no. 1173), akan tetapi kemudian beliau menarik kembali pernyataan tersebut, lalu beliau menyatakannya bahwa hadits tersebut lemah sekali bahkan palsu, seperti yang disebutkan dalam Hidayaat ar-Ruwaah (4/138), dan dia juga menyebutkannya dalam kitab as-Silsilah adh-Dha'ifah (6121)”.
HADITS KEDUA : HADITS IBNU ABBAAS :
Dari Ibnu Abbaas meriwayatkan :
(أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ في أُذُنِ الحَسَنِ بنِ عَليّ يومَ وُلِدَ، فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى)
Bahwa Nabi ﷺ melakukan adzan di telinga Hasan bin Ali saat dia dilahirkan. Maka dia melakukan adzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya."
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam "Syu'ab al-Iman" (6/390/8620).
Al-Albaani dalam adh-Dhoifah 1/493-494 berkata :
نَعَمْ يُمْكِنُ تَقْوِيَةُ حَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ بِحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسَ: "أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ وُلِدَ وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى". أُخْرِجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي "الشُّعْبِ" مَعَ حَدِيثِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَقَالَ: "وَفِي إِسْنَادِهِمَا ضُعْفٌ، ذَكَرَهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي "التُّحَفَّةِ" (صَ ١٦)".
قُلْتُ: فَلَعَلَّ إِسْنَادَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ إِسْنَادِ حَدِيثِ الْحَسَنِ بِحَيْثُ أَنَّهُ يَصْلُحُ شَاهِدًا لِحَدِيثِ رَافِعٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، فَهُوَ شَاهِدٌ لِلتَّأْذِينِ فَإِنَّهُ الَّذِي وُرِدَ فِي حَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ، وَأَمَّا الِاقَامَةُ فَهِيَ غَرِيبَةٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
وَأَقُولُ الْآنَ وَقَدْ طُبِعَ "الشُّعْبِ": إِنَّهُ لَا يَصْلُحُ شَاهِدًا لِأَنَّ فِيهِ كَذَّابًا وَمَتْرُوكًا، فَعَجِبْتُ مِنَ الْبَيْهَقِيِّ ثُمَّ ابْنِ الْقَيِّمِ كَيْفَ اقْتَصَرَا عَلَى تَضْعِيفِهِ حَتَّى كَادَتْ أَنْ أَجْزَمَ بِصَلَاحِيَّتِهِ لِلْاِسْتِشْهَادِ! فَرَأَيْتُ مِنَ الْوَاجِبِ التَّنْبِيهَ عَلَى ذَلِكَ.
Ya, mungkin hadis Abu Rafi' bisa diperkuat dengan hadis Ibnu Abbas yang menyatakan :
bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam beradzan pada telinga Hasan bin Ali saat dia lahir, dan beriqamah pada telinga kirinya”.
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam "Asy-Syu'ab" bersama dengan hadis dari Hasan bin Ali, dan beliau menyatakan: "Isnad keduanya lemah." Ibnu al-Qayyim juga mengutipnya dalam "Al-Tuhfah" (halaman 16).
Saya berkata: Mungkin sanad ini lebih baik dari sanad hadis dari Hasan, sehingga bisa menjadi saksi untuk hadis Abu Rafi', wallaahu a’lam.
Jika demikian, maka itu menjadi saksi untuk adzan, karena itu yang disebutkan dalam hadis Abu Rafi'. Namun, mengenai iqamah, itu terdengar aneh, wallaahu a’lam.
Saya katakan sekarang, setelah kitab "Asy-Syu'ab" dicetak, bahwa hadits Ibnu Abbaas ini tidak layak sebagai saksi karena terdapat seorang pendusta dan perawi yang ditinggalkan di dalamnya. Saya merasa aneh dengan al-Baihaqi dan Ibnu al-Qayyim bagaimana bisa mereka membatasi diri pada penilaian dhaif-nya, sehingga membuat saya hampir yakin akan kesahihannya untuk menjadi saksi! Oleh karena itu, di sini saya rasa penting untuk memperingatkannya”.
Dan Al-Albaani dalam adh-Dhoifah di halaman13/271 no. 6121 berkata : “PALSU”.
HADITS KE TIGA : DARI HUSEIN BIN ALI
Hadits Thalhah bin Ubaidillah dari Husain bin Ali, ia berkata: Rasulullah ﷺ Telah bersabda :
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
Barangsiapa yang mendapatkan anak, lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya”.
[Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam "Musnad" (4/1602), dan dari beliau juga Ibn As-Sunni dalam "Amal al-Yawm wal-Lailah" (no.628), serta Ibn Asakir (16/182/2) dari jalur Abu Ya'la.
Dan Ibnu Basyraan dalam "Al-Amali" (88/1), dan Abu Thahir Al-Qurasyi dalam "Hadits Ibnu Marwan Al-Anshari dan yang lainnya" (2/1) dari jalur Yahya bin Al-Ala' Ar-Razi.]
Ibnu al-Mulaqqin dalam Tuhfatul Muhtaaj 2/539 no. 1704 berkata :
وَالْحَاكِم لكنه قَالَ فِي أذن الْحُسَيْن بِالتَّصْغِيرِ وَذكره فِي تَرْجَمته ثمَّ قَالَ صَحِيح الْإِسْنَاد
“Al-Hakim menyebutkannya , akan tetapi berkata : di telinga al-Husein - dengan tashgir-, dan dia menyebutnya dalam biografi (tarjamah) beliau, kemudian dia menyatakan bahwa ‘sanad hadis ini sahih’.”.
Namun Syeikh al-Albaani dalam as-Silsilah adh-Dho’ifah 1/491 no. 321 menghukumi hadits adalah maudhu [palsu] . Dia berkata :
قُلْتُ: وَهَذَا سَنَدٌ مَوْضُوعٌ، يَحْيَى بِنُ الْعَلَاءِ وَمَرْوَانُ بِنُ سَالِمٍ يَضَعَانِ الْحَدِيثَ.
“Saya katakan: "Ini adalah sanad yang dipalsukan, Yahya bin Al-Ala' dan Marwan bin Salim memalsukan hadis ini."
Yahya bin Alaa Al Bajaliy Ar Raaziy Abu Amr, telah dilemahkan oleh jama'ah ahli hadits, bahkan Imam Ahmad telah berkata: "Seorang pendusta, pemalsu hadits." (Mizaanul I'tidal juz 4 Hal.397)
Sementara Marwan bin Salim Al-Jazariy, adalah seorang pemalsu hadist (Mizaanul I'tidal juz 4 Hal. 90-91)”.
Al-Imam an-Nawawi menyebutkan hadis tersebut dalam "Al-Majmu'" 8/443, namun ia tidak memberikan komentarnya. Lalu dia berkata:
وأم الصُّبْيَان هِيَ الْتَابِعَةُ مِنَ الْجِنِّ.
"Dan Ummu Shibyan adalah perempuan dari golongan jin."
HADITS KE EMPAT : HADITS IBNU ABBAAS :
Dari Abdullah bin Abbas, dia berkata: "Ummul Fadhel binti al-Harits al-Hilaliyah mengatakan:
مَرَرْتُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ جَالِسٌ بِالْحَجَرِ فَقَالَ يَا أُمَّ الْفَضْلِ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّكِ حَامِلٌ بِغُلَامٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ وَقَدْ تَحَالَفَتْ قُرَيْشٌ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ قَالَ هُوَ مَا أَقُولُ لَكِ فَإِذَا وَضَعْتِهِ فَأَتِنِي بِهِ قَالَتْ فَلَمَّا وَضَعْتُهُ أَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيَمَنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى وَأَلْبَأَهُ مِنْ رَيْقِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ اذْهَبِي بِأَبِي الْخَلَفَاءِ قَالَتْ فَأَتَيْتُ الْعَبَّاسَ فَأَعْلَمْتُهُ
Aku melewati Nabi ﷺ sedang duduk di atas batu, lalu dia berkata, 'Hai Ummul Fadhel!'
Aku menjawab, 'Labbayk ya Rasulullah!'
Beliau berkata, 'Engkau sedang mengandung seorang anak laki-laki.'
Aku bertanya, 'Ya Rasulullah, bagaimana mungkin, padahal Quraisy telah bersumpah untuk tidak mendatangi wanita?'
Beliau menjawab : 'Aku tidak mengatakan itu kepadamu. Namun jika kamu melahirkannya, bawalah dia kepadaku.'
Ketika aku melahirkan anak itu, aku membawanya kepada Nabi ﷺ, lalu dia adzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, lalu dia mengunyah sesuatu dan menamainya Abdullah.
Kemudian beliau berkata : 'Pergilah dan bawalah Abu al-Khulafaa ini .'
Aku pun pergi kepada al-Abbas dan memberitahunya..."
Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam "al-Mu'jam al-Ausath" (9250).
Hadis ini sangat lemah, di dalamnya terdapat Ahmad bin Rashid bin Khuthaim.
Al-Haitsami - semoga Allah merahmatinya - berkata,
وَفِيهِ أَحْمَدُ بِنُ رَاشِدٍ الْهِلَالِيُّ، وَقَدْ اُتُّهِمَ بِهَذَا الْحَدِيثِ.
"Di dalamnya terdapat Ahmad bin Rashid al-Hilali, dan dia telah dituduh sebagai pendusta dengan hadis ini. [Lihat] Majma' al-Zawa'id" (5/340).
====
ATSAR UMAR BIN ABDUL AZIZ :
رُوِي أَن عُمر بْن عبْد الْعزِيز كَانَ يُؤذِّنُ فِي اليُمْنى ويُقِيمْ فِي اليُسْرى إِذا وُلِد الصّبِيُّ
Telah diriwayatkan : bahwa Umar bin Abdul Aziz melakukan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri ketika seorang bayi lahir.
Riwayat ini disebutkan oleh Abdur Razzaq dalam kitab Musannafnya 4/336, dan disebutkan pula oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1/273.
Ibnu al-Malak al-Karmaani dalam Syarah al-Mashoobih 4/533 no. 3187 berkata :
أَي: أَذَّنَ بِمِثْلِ أَذَانِ الصَّلَاةِ، وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى سُنَّةِ أَذَانِ الْمَوْلُودِ، وَكَانَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ يُؤَذِّنُ فِي الْأُذُنِ الْيُمْنَى، وَيُقِيْمُ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى حِينَ وُلِدَ الصَّبِيُّ. "صَحِيحٌ".
Artinya: "Yakni, melakukan adzan seperti adzan salat, dan ini menunjukkan kesunahan dalam melakukan adzan bagi bayi yang baru lahir. Umar bin Abdul Aziz biasa melakukan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya saat bayi lahir. ( Kisah ini) Shahih." [ Lihat : al-Mushonnaf oleh Abdurrozzaaq 4/336 dan Mirqoot al-Mafaatiih 7/2691]
Namun Al-Hafidz Ibn Hajar berkata:
لَمْ أَرَهُ عَنْهُ مُسْنَدًا وَقَدْ ذَكَرَهُ ابْنُ المُنْذَرِ عَنْهُ.
"Saya tidak menemukan sanad (rantai perawi) yang menguatkan riwayat ini dari Umar bin Abdul Aziz, meskipun Ibnu Mandah telah mengutipnya darinya." [At-Talkhish al-Habiir 4/149].
******
HIKMAH ADZAN DITELINGA BAYI BARU LAHIR :
Ibnu Qayyim menjelaskan tentang hikmah adzan di telinga bayi, ia berkata:
وَسِرُ التَّأْذِيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ: أَنْ يَكُوْنَ أَوَّلَ مَا يَقْرَعُ سَمْعَ الْإِنْسَانِ كَلِمَاتَهُ الْمُتَضَمِّنَةَ لِكَبْرِيَاءِ الرَّبِّ وَعَظَمَتِهِ وَالشَّهَادَةِ الَّتِيْ أَوَّلَ مَا يَدْخُلُ بِهَا فِيْ الْإِسْلَامِ، فَكَانَ ذَلِكَ كَالتَّلْقِيْنِ لَهُ شِعَارَ الْإِسْلَامِ عِنْدَ دُخُوْلِهِ إِلَى الدُّنْيَا، كَمَا يُلَقَّنُ كَلِمَةَ التَّوْحِيْدِ عِنْدَ خُرُوْجِهِ مِنْهَا وَغَيْرُ مُسْتَنْكَرٌ وَصُوْلُ أَثَرِ التَّأْذِيْنِ إِلَى قَلْبِهِ وَتَأَثُّرُهُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَشْعُرْ مَعَ مَا فِيْ ذَلِكَ مِنْ فَائِدَةٍ أُخْرَى وَهِيَ هُرُوْبُ الشَّيْطَانِ مِنْ كَلِمَاتِ الْأَذَانِ وَهُوَ كَانَ يُرَصِّدُهُ حَتَّى يُوْلَدَ فَيَقَارِنُهُ لِلْمِحْنَةِ الَّتِيْ قَدَّرَهَا اللَّهُ وَشَاءَهَا فَيَسْمَعُ شَيْطَانُهُ مَا يُضْعِفُهُ وَيُغِيْظُهُ أَوَّلَ أَوْقَاتِ تَعَلُّقِهِ بِهِ.
وَفِيْهِ مَعْنًى آخَرَ وَهُوَ أَنْ تَكُوْنَ دَعْوَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى دِيْنِهِ الْإِسْلَامِ وَإِلَى عِبَادَتِهِ سَابِقَةً عَلَى دَعْوَةِ الشَّيْطَانِ كَمَا كَانَتْ فِطْرَةُ اللَّهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا سَابِقَةً عَلَى تَغْيِيْرِ الشَّيْطَانِ لَهَا وَنَقْلِهِ عَنْهَا وَلَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْحِكَمِ.
"[Rahasia dari adzan pada bayi -wallaahu a’lam- adalah bahwa menjadi hal pertama yang menggema di telinga manusia adalah kata-kata yang mengandung kebesaran dan keagungan Tuhan serta syahadat yang merupakan awal dari masuknya seseorang ke dalam Islam. Maka ini seperti memberikan talqin bagi bayi tentang syiar Islam saat memasuki dunia, sama seperti ketika dia ditalqin kalimat tauhid saat meninggal dunia.
Ini juga bukan hal yang dipungkiri jika pengaruh adzan bisa sampi pada hatinya dan membekas meskipun dia tidak menyadarinya, selain manfaat lainnya, yaitu mengusir setan dengan kalimat-kalimat adzan. Dan setan itu selalu menantinya hingga lahir, kemudian menyertainya sebagai qorin untuk menimpakan ujian yang telah Allah tetapkan baginya.
Maka dengan adzan tersebut setan itu mendengar sesuatu yang melemahkan dirinya dan membuatnya marah pada awal keterikatannya dengan bayi tersebut .
Selain itu, ada makna lain bahwa Adzan pada bayi itu bertujuan agar seruan kepada Allah, kepada agama Islam, dan beribadah kepada-Nya lebih didahulukan daripada seruan setan.
Fitrah yang diberikan Allah kepada manusia telah ada sebelum setan mengubahnya dan mengalihkannya dari fitrah tersebut, serta hal-hal lain dari hikmah-hikmah”. [Baca : Tuhfatul Mawduud hal. 25-26].
******
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ADZAN & IQOMAH PADA TELINGA BAYI BARU LAHIR:
====
PENDAPAT PERTAMA : DISUNNAHKAN ADZAN
Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij Sunan Abu Daud ( 7/432 no. 5105) berkata :
"فَقَدْ عَمِلَ بِهِ جَمْهُورُ الْأُمَّةِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا، وَهُوَ مَا أَشَارَ إِلَيْهِ التِّرْمِذِيُّ عَقَبَهُ بِقَوْلِهِ: وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ، وَقَدْ أَوْرَدَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي كُتُبِهِمْ، وَبَوَّبُوا عَلَيْهِ، وَاِسْتَحَبُّوهُ. وَانْظُرْ "تَحْفَةَ الْمَوْدُودِ بِأَحْكَامِ الْمَوْلُودِ" لِابْنِ الْقَيِّمِ ص 39 – 40".
"Amalan ini ini telah diamalkan oleh mayoritas umat, sejak dahulu hingga sekarang, seperti yang disebutkan oleh Imam Tirmidzi dengan menyebutkan bahwa: 'Dan ini amalan yang telah berjalan'. Para ulama telah memasukkan amalan ini dalam kitab-kitab mereka, memberikan judul-judul dan menganggapnya mustahabb. Lihatlah "Tuhfah al-Mawdud bi Ahkam al-Mawlud" oleh Ibnu Qayyim, halaman 39 - 40."
Dan disebutkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri melakukan hal itu. (Al-Fathur Rabbani 13/135)
Al-Malaa’ al-Qori dalam Mirqoot al-Mafaatiih 7/2691 no. 4157 berkata :
قُلْتُ: قَدْ جَاءَ فِي مُسْنَدِ أَبِي يَعْلَى الْمَوْصِلِيِّ، عَنِ الْحُسَيْنِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - مَرْفُوعًا: «مَنْ وُلِدَ لَهُ وُلَدٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ» " كَذَا فِي الْجَامِعِ الصَّغِيرِ لِلسُّيُوطِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ. قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الرَّوْضَةِ: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقُولَ فِي أُذُنِهِ " {وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ} [آل عمران: 36] " قَالَ الطِّيبِيُّ وَلَعَلَّ مُنَاسَبَةَ الْآيَةِ بِالْأَذَانِ أَنَّ الْأَذَانَ أَيْضًا يَطْرُدُ الشَّيْطَانَ لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - " «إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ» " وَذِكْرُ الْأَذَانِ وَالتَّسْمِيَةِ فِي بَابِ الْعَقِيقَةِ وَارِدٌ عَلَى سَبِيلِ الِاسْتِطْرَادِ اهـ. وَالْأَظْهَرُ أَنَّ حِكْمَةَ الْأَذَانِ فِي الْأُذُنِ أَنَّهُ يَطْرُقُ سَمْعَهُ أَوَّلَ وَهْلَةٍ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى وَجْهِ الدُّعَاءِ إِلَى الْإِيمَانِ وَالصَّلَاةِ الَّتِي هِيَ أُمُّ الْأَرْكَانِ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ)
Aku berkata: Telah disebutkan dalam musnad Abu Ya'la al-Maushili, dari al-Husain - semoga Allah meridhainya - dalam riwayat marfu':
Barangsiapa yang mendapatkan anak, lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya”.
Begitulah Seperti yang disebutkan dalam al-Jami' as-Saghir oleh as-Suyuti, semoga Allah merahmatinya.
Imam an-Nawawi berkata dalam ar-Raudhah: "Disunnahkan untuk mengucapkan doa dalam telinganya:
{وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ}
'Dan aku memohon perlindungan untuknya dan keturunannya dari setan yang terkutuk' (Al-Imran: 36)."
At-Tayyibi berkata, "Mungkin keterkaitan antara ayat ini dengan adzan adalah karena adzan juga mengusir setan seperti yang disebutkan dalam hadis Rasulullah ﷺ :
«إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ» "
"Jika panggilan shalat (adzan) dikumandangkan maka setan akan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara adzan”.
Penyebutan adzan dan pemberian nama bayi dalam bab aqiqah juga disebutkan dalam konteks elaborasi. Dan yang lebih jelas adalah bahwa hikmah adzan di telinga adalah agar pendengar bayi, pertama kali, didahului dengan penyebutan nama Allah dalam bentuk seruan untuk beriman dan shalat yang merupakan “Induk segala rukun” (sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi mengatakan: "Hadis ini hasan sahih")[SELESAI].
====
PERNYATAAN PARA ULAMA MADZHAB YANG MENSUNNAHKAN-NYA:
Adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya, kedua-duanya disunnahkan menurut mayoritas para ulama. Ini juga pendapat madzhab Syafi'i, Hanbali, dan Hanafi.
Bahkan ada nash yang menyatakan bahwa adzan ini harus dijawab dan harus menoleh saat mengumandangkan hayya ‘alash shalaah dan hayya ‘alal falaah, seperti adzan shalat secara keseluruhan. Namun, kita tidak menemukan pendapat Hanafi tentang iqamah di telinga kiri.
Berikut beberapa kutipan terkait hal tersebut:
IMAM NAWAWI :
Imam Nawawi, yang merupakan ulama Syafi'i, dalam al-Majmu' mengatakan:
"السُّنَّةُ أَنْ يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى وَيَكُونُ الْأَذَانُ بِلَفْظِ أَذَانِ الصَّلَاةِ لِحَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ الَّذِي ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ . قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَيُقِيمَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى ......".
"Sunnah untuk mengumandangkan adzan di telinga bayi saat lahir, baik itu bayi laki-laki atau perempuan. Adzan tersebut menggunakan lafal adzan seperti dalam shalat, berdasarkan hadis Abu Rafi' yang disebutkan oleh penyusun (al-Muhadzdzab). Sekelompok ulama dari sahabat-sahabat kami mengatakan: disunnahkan untuk mengumandangkan adzan di telinga kanannya, dan mengumandangkan iqamah di telinga kirinya..." Dan seterusnya. [ al-Majmu’ 8/442]
AL-BAHUTI :
Al-Bahuti, seorang ulama Hanbali dalam Kasyf al-Qina', mengatakan:
"وَسُنَّ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ الْيَمَنَى ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى حِينَ يُولَدُ، وَأَنْ يُقَامَ فِي الْيُسْرَى؛ لِحَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ". انتهى.
"Disunnahkan untuk mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi, baik itu bayi laki-laki atau perempuan, saat ia dilahirkan, dan untuk mengumandangkan iqamah di telinga kirinya, berdasarkan hadis Abu Rafi'.... Dan seterusnya. [Fataawaa asy-Syabakah al-Islamiyyah 13/14544 no. 112593].
IBNU ‘ABIDIN :
Ibnu Abidin, seorang ulama Hanafi dalam Hashiyahnya, menyatakan:
مَطْلَبٌ فِي الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُنْدَبُ لَهَا الْأَذَانُ فَيُنْدَبُ لِلْمَوْلُودِ.. انْتَهَى.
"Dianjurkan adzan dalam situasi-situasi di mana disunnahkan untuk melakukan adzan, maka disunnahkan untuk bayi..." [Fataawaa asy-Syabakah al-Islamiyyah 13/14544 no. 112593]
IBNU AL-‘ARABY :
Ibnu Al-Arabi seorang Ulama Madzhab Maliki menyebutkan bahwa adzan pada bayi itu merupakan sunnah, dan dia berkata:
"وَقَدْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَوْلَادِي وَاللَّهُ يَهَبُ الْهُدَىٰ"
”Aku telah melakukan itu terhadap anak-anakku dan semoga Allah memberikan petunjuk”.[At-Taaj wal Ikliil 4/391]
AL-JAZUULI :
Al-Jazuli Ulama Madzhab Maliki dalam "Syarh ar-Risalah" mengatakan:
وَقَدْ اسْتَحَبَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِ الصَّبِيِّ وَيُقِيْمَ حِينَ يُولَدُ.. قُلْتُ: وَقَدْ جَرَى عَمَلُ النَّاسِ بِذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِالْعَمَلِ بِهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ. انتهى.
"Sebagian ulama telah menganggap sunnah untuk melakukan adzan di telinga bayi saat lahir... Saya katakan: Kebiasaan masyarakat mengamalkannya, dan tidak ada masalah dalam melakukannya." ["Mawahib al-Jalil" 1/434]
=====
PERNYATAAN PARA ULAMA KONTEMPORER YANG MENSUNNAHKAN-NYA
FATWA ASY-SYABAKAH AL-ISLAMIYYAH :
Dalam Fataawaa asy-Syabakah al-Islamiyyah 13/14544 no. 112593 dikatakan :
"وَأَمَّا هَلْ يَعْمَلُ بِهِ جَمِيعُ الْمُسْلِمِينَ فِي جَمِيعِ أَنْحَاءِ الْعَالَمِ الْحَاضِرِ فَهَذَا لَا سَبِيلَ لَنَا لِلتَّحَقُّقِ مِنْهُ، وَالَّذِي نَعْلَمُهُ أَنَّهُ سُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ يَعْمَلُ بِهَا الْمُسْلِمُونَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْبِلَادِ".
Adapun, apakah semua umat Islam di seluruh dunia modern mengamalkan hal ini? Maka ini tidak dapat kita pastikan, namun yang kita ketahui adalah bahwa ini adalah sunnah yang diikuti dan diamalkan oleh banyak umat Islam di banyak negara.
FATWA SYEIKH BIN BAAZ :
Fatwa syeikh Bin Baaz : ketika di tanya tentang Hukum Adzan di telinga kanan bayi baru lahir dan Qomat di telinga kiri ???
الجَوَابُ: هَذَا مَشْرُوعٌ عِنْدَ جَمْعٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَقَدْ وَرَدَ فِيهِ بَعْضُ الْأَحَادِيثِ وَفِي سَنَدِهَا مَقَالٌ، فَإِذَا فَعَلَهُ الْمُؤْمِنُ فَحَسَنٌ؛ لِأَنَّهُ مِنْ بَابِ السُّنَنِ وَمِنْ بَابِ التَّطَوُّعَاتِ، وَالْحَدِيثُ فِي سَنَدِهِ عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنُ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَفِيهِ ضَعْفٌ وَلَهُ شَوَاهِدُ، وَقَدْ فَعَلَ النَّبِيُّ ﷺ تَسْمِيَةَ إِبْرَاهِيمَ، وَلَمْ يُحَفَّظْ عَنْهُ أَنَّهُ أَذَّنَ لَمَّا وُلِدَ لَهُ إِبْرَاهِيمُ سَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ، وَلَمْ يُحَفَّظْ أَنَّهُ أَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيَمَنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى.
وَهَكَذَا الْأَوْلَادُ الَّذِينَ يُؤْتَى بِهِمْ إِلَيْهِ مِنَ الْأَنْصَارِ لِيُحَنِّكَهُمْ وَيُسَمِّيَهُمْ لَمْ أَقِفْ عَلَى أَنَّهُ أَذَّنَ فِي أُذُنٍ وَاحِدٍ مِنْهُمْ وَأَقَامَ، وَلَكِنْ إِذَا فَعَلَ ذَلِكَ الْمُؤْمِنُ لِلْأَحَادِيثِ الَّتِي أَشَرْنَا إِلَيْهَا فَلَا بَأْسَ لِأَنَّهُ يُشَدُّ بَعْضُهَا بَعْضًا .....
فَالْأَمْرُ فِي هَذَا وَاسِعٌ إِنْ فَعَلَ فَهُوَ حَسَنٌ لِمَا جَاءَ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي يُشَدُّ بَعْضُهَا بَعْضًا وَإِنْ تَرَكَ فَلَا بَأْسَ. نَعَمْ.
Jawaban :
Ini disyariatkan oleh sekelompok para ulama, dan dalam hal ini telah ada beberapa hadits , tapi dalam sanadnya terdapat perdebatan. Maka jika ada seorang mukmin mengamalkannya , maka itu bagus (حَسَنٌ) ; karena termasuk dalam katagori amalan-amalan sunnah dan tathowwu’ (التَّطَوُّعَاتِ).
Dalam hadits Adzan dan Qomat pada bayi baru lahir ini terdapat seorang perawi yang bernama Ashim bin ‘Ubaidillah bin ‘Ashim bin ‘Umar bin al-Khothob , di dalamnya terdapat kelemahan , akan tetapi hadits ini memiliki syahid – syahid ( penguat-penguat) ........
Maka dalam perkara ini adalah bebas luas , jika seseorang mengamalkannya maka itu bagus (حَسَنٌ), karena adanya hadist-hadits yang saling menguatkan . Dan jika tidak mengamalkannya , maka itu tidaklah mengapa . ....”.
FATWA SYEIKH IBNU ‘UTSAIMIN :
FATWA KE 1 :
Pertanyaan :
السَّائِلُ الذي رُمْزَ لَاسْمُهُ بِـ "أ. أ" يَقُولُ: مَا صِحَّةُ الْآذَانِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ وَالْإِقَامَةِ فِي الْأُخْرَى؟ جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا.
Orang yang mengidentifikasi dirinya dengan inisial "A.A" bertanya: "Bagaimana tentang keshahihan adzan di telinga bayi dan iqamah di telinga yang lainnya? Jazakumullahu khairan."
Jawaban :
الشيخ: الْآذَانُ عِنْدَ وِلَادَةِ الْمَوْلُودِ سُنَّةٌ. وَأَمَّا الْإِقَامَةُ فَحَدِيثُهُ ضَعِيفٌ فَلَيْسَتْ بِسُنَّةٍ، وَلَكِنْ هَذَا الْآذَانُ يَكُونُ أَوَّلَ مَا يَسْمَعُ الْمَوْلُودُ، وَأَمَّا إِذَا فَاتَ وَقْتُ الْوَلَادَةِ فَهِيَ سُنَّةٌ فَاتَ مَحَلَّهَا، فَلَا تُقْضَى. نَعَمْ.
Syekh: Adzan saat kelahiran bayi adalah sunnah. Adapun iqamah, hadisnya lemah sehingga bukanlah sunnah. Namun, adzan ini akan menjadi yang pertama kali didengar oleh bayi. Jika waktu kelahiran telah lewat, maka sunnah itu terlewatkan dan tidak perlu diqhodho. Ya.
[Fataawa Nurun ‘Ala Ad-Darb . Kaset no. 307 . Tashniif : Ahkaamudz Dzabh ].
FATWA KE 2:
السؤال: يَقُومُ بَعْضُ النَّاسِ عِنْدَمَا يُرْزَقُ بِمَوْلُودٍ بِالتَّأْذِينِ فِي أُذُنِهِ الْيَمَنَى وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، فَهَلْ هَذَا وَارِدٌ فِي السُّنَّةِ؟
الجواب: هُوَ وَارِدٌ فِي السُّنَّةِ لَكِنْ أَحَادِيثُ الْإِقَامَةِ ضَعِيفَةٌ، أَمَّا الْأَذَانُ فَهِيَ أَقْوَى، فَلِهَذَا نَقُولُ: يُؤَذِّنُ فِي أُذُنِهِ الْيَمَنَى أَوَّلَ مَا يُولَدُ، وَغَالِبُ النَّاسِ الْآنَ أَنَّهُمْ لَا يَتَمَكَّنُونَ مِنْ هَذَا؛ لِأَنَّ الْأَوْلَادَ تُولَدُهُمْ الْمُمَرِّضَاتُ فِي الْمُسْتَشْفَى، لَكِنْ إِذَا كَانَ الْإِنْسَانُ قَدْ حَضَرَ الْوِلَادَةَ فَإِنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِهِ الْيَمَنَى، وَلَكِنْ لَا بِصَوْتٍ مُرْتَفِعٍ لِئَلَّا تَتَأَثَّرَ الْأُذُنُ، بِصَوْتٍ مُنْخَفِضٍ قَالَ الْعُلَمَاءُ: مِنْ أَجْلِ أَنْ يَكُونَ أَوَّلَ مَا يَطْرُقُ سَمْعَهُ الْأَذَانَ وَالدَّعْوَةَ لِلصَّلَاةِ.
Pertanyaan:
Beberapa orang melakukan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri ketika diberi karunia dengan kelahiran bayi. Apakah ini sesuai dengan Sunnah?
Jawaban:
Ini sesuai dengan Sunnah, tetapi hadit-hadis mengenai iqamah lemah. Hadits Adzan lebih kuat, oleh karena itu kita katakan: segerakan adzan dibacakan di telinga kanan setelah bayi lahir. Namun, kebanyakan orang saat ini tidak dapat melakukannya karena banyak bayi dilahirkan oleh perawat di rumah sakit. Namun, jika seseorang hadir saat kelahiran, maka disarankan untuk melakukan adzan di telinga kanan bayi, namun dengan suara pelan agar telinga bayi tidak terkena efeknya. Para ulama menyarankannya agar suara adzan menjadi yang pertama kali didengar oleh bayi dan seruan untuk shalat”.
[ al-Liqoo asy-Syahri no. 48]
FATWA SYEIKH SHOLEH AL-FAUZAN :
[274 -1024] السؤال: هَلْ لِلْأَذَانِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ وَالْإِقَامَةِ فِي الْأُذُنِ الْأُخْرَى أَصْلٌ فِي السُّنَّةِ؟
الجواب: نَعَمْ، نَعَمْ وَرَدَ أَنَّهُ أَذَّنَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُذْنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَأَقَامَ فِي الْأُخْرَى لِأَجْلِ أَنْ يَكُونَ أَوَّلَ مَا يُسْمَعُ.
[274 -1024] Pertanyaan: Apakah adzan di salah satu telinga bayi baru lahir dan iqamah di telinga lainnya ada dasar sunahnya?
Jawabannya : Ya, iya, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan dan Al-Hussein dan Iqomat di telinga yang lain agar itu menjadi kalimat yang pertama kali didengar.
FATWA LAJNAH AL-IFTA YORDANIA :
لَجْنَةُ الإِفْتَاءِ وَمُرَاجَعَةُ سَمَاحَةِ الْمُفْتِي الْعَامِ الشَّيْخِ عَبْدُ الْكَرِيمِ الْخَصَاوْنَةِ
Komite Fatwa dan Peninjauan dari Yang Mulia Mufti Agung Syeikh Abdul Karim Al-Khushoowanah.
Fatwa Number: 765
السُّؤَالُ: حَصَلَ خِلَافٌ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي أُصَلِّي فِيهِ بِسَبَبِ نُقَاشٍ فِي شَرَعِيَّةِ الْأَذَانِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ، حَيْثُ قَالَ بَعْضُهُمْ بِأَنَّ هَذَا خَطَأٌ دُرَّجَ عِنْدَ النَّاسِ، مَعَ عِلْمِي بِسُنِّيَّتِهِ؛ أُرْجُو بَيَانَ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ فِيهِ مَعَ الْأَدِلَّةِ؟
Pertanyaan: Terjadi perbedaan pendapat di masjid tempat saya shalat yang disebabkan adanya perdebatan tentang keshahihan adzan di telinga bayi yang baru lahir, di mana sebagian mengatakan bahwa ini adalah kesalahan yang telah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat, meskipun saya tahu kesunnahannya; Mohon penjelasan mengenai hukum syariahnya beserta dalil-dalilnya?
الجَوَابُ : الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ
دَلَّتِ السُّنَّةُ الصَّحِيحَةُ عَلَى اسْتِحَبَابِ الْأَذَانِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ، وَذَلِكَ فِي حَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: (رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ) رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ (رقم/1514) وَقَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَصَحَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي "الْمَجْمُوعِ" (9/348)، وَقَدْ رُوِيَتْ هَذِهِ السُّنَّةُ أَيْضًا مِنْ فِعْلِ السَّلَفِ الصَّالِحِ، كَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَحِمَهُ اللَّهُ، كَمَا فِي "مُصَنَّفِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ" (4/336).
وَلِذَلِكَ نَصَّ فُقَهَاءُ الشَّافِعِيَّةِ عَلَى اسْتِحَبَابِ الْأَذَانِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ، وَوَافَقَهُمُ الْحَنَابِلَةُ، وَنَقَلَهُ الْحَنَفِيَّةُ عَنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ، ثُمَّ قَالَ ابْنُ عَابِدِينَ رَحِمَهُ اللَّهُ: "وَلَا بَعْدَ فِيهِ عِنْدَنَا؛ لِأَنَّ مَا صَحَّ فِيهِ الْخَبَرُ بِلَا مُعَارِضٍ فَهُوَ مَذْهَبُ لِلْمُجْتَهِدِ وَإِنْ لَمْ يَنْصُ عَلَيْهِ، لِمَا قَدْمْنَا عَنِ الْحَافِظِ ابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ وَالْعَارِفِ الشَّعْرَانِيِّ عَنْ كُلِّ مَنِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِيٌّ، عَلَى أَنَّهُ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ يُجُوزُ الْعَمَلُ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ" انْتَهَى. "رَدُّ الْمُحْتَارِ" (1/258) وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Jawaban : Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kami Rasulullah.
Sunnah yang shahih telah menunjukkan akan disunnahkannya adzan di telinga bayi yang baru lahir, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Abu Rafi' radhiallahu 'anhu, ia berkata:
"Aku melihat Rasulullah ﷺ melakukan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya dengan adzan shalat ".
(HR. Tirmidzi, no. 1514) dan Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Dan dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam "Al-Majmu'" (9/348).
Sunnah adzan ini juga dilakukan oleh para salafusshalih, seperti Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah merahmatinya, sebagaimana terdapat dalam kitab "Musannaf Abdul Razzaq" (4/336).
Oleh karena itu, para fuqaha Syafi'i menegaskan disunnahkannya adzan di telinga bayi yang baru lahir, dan pendapat mereka ini disetujui oleh madzhab Hanbali. Dan para ulama mazhab Hanafi mengutipnya dari mazhab Syafi'i.
Kemudian Ibnu 'Abidin rahimahullah berkata:
"Tidak jauh di sisi kami (mazhab Hanafi) di dalamnya ; karena apa pun yang hadisnya jika sahih tanpa adanya pertentangan, maka itu adalah mazhab bagi seorang mujtahid, meskipun tidak ada yang nash [dalam madzhab Hanafi]. Hal ini berdasarkan apa yang telah kami sampaikan dari al-Hafidz Ibnu Abdil Barr dan al-Arif Asy-Sya’raani, bahwa masing-masing dari para imam empat madzhab mengatakan: 'Jika hadis itu sahih, maka itu adalah madzhabku,' berpegang kepada konsep bahwa dalam fadhoilul a’maal diperbolehkan mengamalkan hadis dha'if." Selesai. "Raddul Muhtar" (1/258) Wallaahu a’lam.
=====
PENDAPAT KEDUA : ADZAN DAN IQOMAT PADA BAYI ADALAH BID'AH SESAT YANG DILARANG :
Kemustahaban melakukan adzan di telinga bayi bukanlah hal yang disepakati oleh semua ulama. Sebagian para ulama ada yang memakruhkan hal tersebut.
IMAM MALIK :
Ini adalah pendapat Imam Malik rahimahullah.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab "Mawahib al-Jalil" 1/434 karya al-Haththab al-Maliki rahimahullah:
كَرِهَ مَالِكٌ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِ الصَّبِيِّ الْمَوْلُودِ. انتهى
"Malik memakruhkan adzan di telinga bayi yang baru lahir."
Dan juga berkata dalam "an-Nawadir" diujung bab aqiqah dalam pembahasan sunnah khitan dan tahnik:
وَأَنْكَرَ مَالِكٌ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِهِ حِينَ يُولَدُ. انتهى
"Malik memakruhkan adzan di telinga bayi saat kelahirannya." ["Mawahib al-Jalil" 1/434]
FATWA SYEKH AL-ALBAANI :
السَّائِلُ: شَيْخُنَا السُّؤَالُ هُوَ هَلْ ثُبِتَ حَدِيثُ الْأَذَانِ فِي الْوَلَدِ؟ سَمِعْتُ أَنَّهُ ضَعِيفٌ فَهَلْ يُعَمَّلُ بِهِ؟
الشَّيْخُ: لَا.
Pertanyaan: Syeikh kami, pertanyaannya apakah hadis adzan di telinga bayi itu sahih? Saya mendengar bahwa hadis tersebut lemah, apakah kita boleh mengamalkannya?
Syeikh: Tidak boleh.
[Bawwaabah Turoots al-Imam al-Albaani / Maa Hukmul Adzan Fii Udzunil Mawluud].
******
MUKJIZAT ILMIYAH HADITS ADZAN DAN IQOMAT PADA BAYI BARU LAHIR:
التَّأْذِينُ وَالإِقَامَةُ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ
(إِعْجَازٌ عِلْمِيٌّ وَتَرْبَوِيٌّ)
مُحَمَّدُ سَلَامَةِ الْغُنَيْمِيِّ
إِنَّ هَذَا النَّدَاءَ يَتَضَمَّنُ مَعَانِي الْإِسْلَامِ وَشَعَائِرَهُ، مِنْ تَكْبِيرٍ وَتَهْلِيلٍ وَإِثْبَاتٍ لِرِسَالَةِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنُدَاءَاتٍ لِإِقَامَةِ الصَّلَاةِ، وَدَعْوَةً صَرِيحَةً لِلْفَلاَحِ الْعَامِ الشَّامِلِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ الَّتِي تَتَضَمَّنُهَا رِسَالَةُ الْإِسْلَامِ لِلْبَشَرِيَّةِ جَمِيعًا.
وَقَدْ قَدَّرَ اللَّهُ تَعَالَى، فِي صُورَةٍ مِنْ صُورِ الْإِعْجَازِ الْعِلْمِيِّ الْفَرِيدِ، خَلَقَ أَدَوَاتٍ وَوَسَائِلَ تَلْقِي الْعِلْمِ وَتَحْصِيلِهِ، وَهِيَ الْجِهَازُ السَّمْعِيُّ وَالْبَصَرِيُّ وَالْأَفْئِدَةُ وَهِيَ الْعُقُولُ، قَالَ تَعَالَى: "ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ"، فَفِي قَوْلِهِ إِشَارَةٌ إِلَى تَمَامِ الْخَلْقِ، وَفِي قَوْلِهِ: "السَّمْعَ"، إِشَارَةٌ أَيْضًا إِلَى تَهْيِئَةِ الْجِهَازِ السَّمْعِي بِالْكَامِلِ لِلْعَمَلِ قَبْلَ الْوِلَادَةِ، وَكَذَلِكَ بِنَفْسِ التَّرْتِيبِ الْقُرْآنِيِّ، وَهَذَا مَا أَثْبَتَهُ الْعِلْمُ الْحَدِيثُ، وَمِنْهُ تَسْتَخْلِصُ حَقِيقَةَ أَنَّ الْأَجْنَةَ يَدْرَكُونَ الْأَصْوَاتَ الَّتِي يَسْمَعُونَهَا وَهُمْ فِي أَحْشَاءِ أُمَّهَاتِهِمْ، كَذَلِكَ الْمَوْلُودُ حِينَمَا يُؤَذِّنُ وَيُقَامُ عِنْدَ سَمْعِهِ، يَكُونُ مُدْرِكًا لِهَذِهِ النُّدَاءَاتِ وَمُمَيَّزًا لَهَا، وَعِنْدَمَا يَتَقَدَّمُ فِي النُّمُوِّ يَتَرَسَّخُ هَذَا الصَّوْتُ بِمَعْنَاهُ عِنْدَهُ، تَقْرِيرًا لِمَفْهُومِ الْفِطْرَةِ عِنْدَ الْمَوْلُودِ.
وَقَدْ أَجْرَتْ بَعْضُ مَرَاكِزِ الْبُحُوثِ بَعْضَ الْأَبْحَاثِ عَلَى مجْمُوْعٍة مِنْ الْأَجِنَّةِ فَوَجَدَتْ أَنَّهُمْ يَقْبَلُونَ عَلَى الرَّضَاعِ بِصُورَةٍ إِيجَابِيَّةٍ مُضَاعَفَةٍ، عِنْدَ سَمَاعِ الْأَصْوَاتِ الْمَحْبُوبَةِ الَّتِي كَانُوا يَسْمَعُونَهَا وَهُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِهِمْ، وَأَنَّهُمْ يَنْقَبِضُونَ وَيَضْرِبُونَ وَتَقِلُّ شَهِيَّتُهُمْ إِلَى الرَّضَاعِ عِنْدَ سَمَاعِ الْأَصْوَاتِ الَّتِي كَانَتْ تَنْقَبِضُ مِنْهَا الْأُمَّهَاتُ، وَهَذَا يَجْعَلُنَا نَشْعُرُ مِنْ فِعْلِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ)، حَتَّى يَظَلَّ الصَّوْتُ مَأْلُوفًا إِلَى نَفْسِهِ مُحِبًّا إِلَى قَلْبِهِ فَيَمْثُلُ لَدَى الطِّفْلِ نَوْعًا مِنَ الْحِصَانَةِ الْقَلْبِيَّةِ وَالنَّفْسِيَّةِ مِنْ وَسَاوِسِ الشَّيْطَانِ.
وَالْمَوْلُودُ عِنْدَ وِلَادَتِهِ يَكُونُ صِفْرًا مِنَ الْمَعْلُومَاتِ، وَفِي ذَاتِ الْوَقْتِ يَكُونُ مُزَوَّدًا بِوَسَائِلِ الْإِدْرَاكِ الثَّلَاثَةِ سَالِفَةَ الذِّكْرِ: السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَالْفُؤَادِ، وَهُمْ مُهَيِّئُونَ وَقَابِلُونَ لِلْعَمَلِ فَوْرَ الْوِلَادَةِ، وَأَقْوَاهُمْ وَأَشَدُّهُمْ اِسْتِعْدَادًا لِلْعَمَلِ هُوَ الْجِهَازُ السَّمْعِيُّ، قَالَ تَعَالَى: "وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ"، فَاِسْتَحَبَّتِ الشَّرِيعَةُ الْإِسْلَامِيَّةُ أَنْ يَكُونَ أَوَّلَ عَمَلِهَا هُوَ تَلَقَّى شَعَارَ الْإِسْلَامِ. .
Adzan dan Iqamah di Telinga Bayi:
Menggapai Keajaiban Ilmiah dan Tarbiyah
Di Tulis oleh Muhammad Salamah al-Ghunaimy
Panggilan adzan ini mencakup makna-makna Islam dan tanda-tanda agamanya, dari takbir, tahmid, dan konfirmasi risalah yang disampaikan oleh Nabi ﷺ serta seruan untuk mendirikan shalat, dan sebuah undangan yang jelas untuk keberhasilan umum di dunia dan akhirat yang terkandung dalam pesan Islam untuk seluruh umat manusia.
Allah Ta'ala telah menakdirkan, dalam bentuk dari keajaiban ilmiah yang unik, menciptakan alat dan sarana dalam tubuh untuk menerima dan memperoleh pengetahuan, yaitu indera pendengaran, penglihatan, dan akal.
Allah berfirman : "Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati; hanya sedikit sekali kalian bersyukur" (QS. As-Sajdah: 9]
Dalam firman-Nya tersebut terdapat indikasi tentang kesempurnaan penciptaan, dan dalam firman-Nya "pendengaran," juga menunjukkan persiapan indra pendengaran secara keseluruhan untuk bekerja sebelum kelahiran, sebagaimana juga sesuai dengan urutan yang sama dalam Al-Qur'an. Ini telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern.
Dan dari sini ditarik kesimpulan bahwa janin-janin dapat menyadari suara-suara familiar yang mereka dengar saat mereka masih dalam kandungan ibu mereka. Demikian pula, ketika bayi baru lahir diperdengarkan adzan dan iqamah, maka dia menyadari dan mampu membedakannya. Disaat dia tumbuh, maka kesadaran akan suara ini menjadi lebih kuat, serta mengukuhkan pemahaman tentang kodrat pada saat lahir.
Beberapa pusat penelitian telah melakukan beberapa riset pada sekelompok janin dan menemukan bahwa mereka merespons terhadap menyusu secara positif berlipat ganda, ketika mendengar suara-suara yang telah mereka kenal dan telah familiar saat masih dalam kandungan ibu mereka.
Mereka merespons dengan mengencangkan badan dan menggerakkan dirinya , serta berkurang selera menyusu mereka saat mendengar suara-suara yang membuat ibu-ibu mereka merasa gelisah.
Hal ini membuat kita merasakan kebijaksanaan dari tindakan Nabi kita Muhammad ﷺ- (adzan dan iqamah), sehingga suara tetap terasa akrab dan disukai oleh jiwanya, maka memberikan kepada anak semacam kekebalan emosional dan psikologis terhadap godaan setan. [Majalah Al-Azhar, Jilid 12 untuk bulan Dzulhijjah 1431, November 2010].
Saat dilahirkan, bayi belum memiliki pengetahuan apa pun, namun sekaligus dilengkapi dengan tiga indra yang telah disebutkan sebelumnya: pendengaran, penglihatan, dan hati. Mereka telah siap dan mampu berfungsi segera setelah lahir, di antara ketiganya, indra pendengaranlah yang paling kuat dan siap untuk berfungsi.
Allah berfirman, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur" (QS. An-Nahl [16]: 78).
Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan bahwa tindakan pertama yang dilakukan adalah menerima syiar atau tanda-tanda Islam”.
.
0 Komentar