SI PENDUSTA BERKATA : PARA SAHABAT SENANTIASA BERBUKA PUASA DENGAN BER-JIMA'
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
------
------
بسم الله الرحمن الرحيم
*****
TIDAK BENAR BAHWA PARA SAHABAT SENANTIASA BUKA PUASA DENGAN JIMAK
Penulis mendapatkan video yang di share di Tiktok yang isinya menerangkan bahwa :
“DULU KALANGAN PARA SAHABAT YANG ZUHUD-ZUHUD YANG ALIM-ALIM.... SENANTIASA BERBUKA PUASA DENGAN BERJIMA’”.
Dalam video tersebut si penerjemah kitab telah melakukan kesalahan dalam penterjemahan, entah disengaja atau entah karena kebodohannya , tapi yang nampak bahwa itu disengaja untuk memperkuat hawa nafsunya agar orang-orang tertarik untuk menyaksikannya, dengan mengatakan dalam ucapan terjemahnya “ PARA SAHABAT” padahal dalam text kitab Ihya hanya menyebutnya nama seorang sahabat saja yaitu Ibnu Umar. Jika itu disengaja , maka dia telah berdusta mengatas namakan al-Imam Ghozali rahimahullah .
Berikut text yang penulis kutip dari kitab Ihya Ulumuddiin 2/29 karya Al-Imam al-Ghozaali:
حُكِيَ عَلَى ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَكَانَ مِنْ زُهَّادِ الصَّحَابَةِ وَعُلَمَائِهِمْ أَنَّهُ كَانَ يُفْطِرُ مِنَ الصَّوْمِ عَلَى الْجِمَاعِ قَبْلَ الْأَكْلِ وَرُبَّمَا أَنَّهُ جَامِعُ ثَلَاثٍ مِنْ جَوَارِيهِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ قَبْلَ الْعَشَاءِ الْأَخِيرِ.
Dan inilah terjemahan yang benar :
“ Dihikayatkan dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhai keduanya, yang mana dia merupakan salah satu ahli zuhud dari kalangan para sahabat dan dari kalangan para ulama mereka : bahwa dia dulu berbuka puasa dengan melakukan jima’ [hubungan suami istri] sebelum makan, dan mungkin saja dia melakukan jima’ dengan tiga orang budak perempuannya pada bulan Ramadan sebelum makan malam terakhir”.
[ Lihat pula : Ittihaaf as-Saadatil Muttaqiin Syarah Ihya Ulumuddiin 5/305 karya Murtadho az-Zubaidi (Muhammad bin Muhammad al-Husaini)].
Penulis belum menemukan riwayat dari para sahabat yang senantiasa mengawali berbuka puasa dengan melakukan hubungan suami istri .
Penulis hanya menemukan atsar dari seorang sahabat Abdullah bin Umar, sebagaimana yang disebutkan Imam Ghozali, akan tetapi lafadz-nya tidak menunjukkan kebiasan, melainkan hanya kadang-kadang atau kemungkinan. Yaitu riwayat Muhammad bin Sirin, dia berkata:
( رُبَّمَا أَفْطَرَ ابْنُ عُمَرَ عَلَى الْجِمَاعِ )
"Terkadang (mungkin saja) Ibnu Umar berbuka puasa dengan melakukan jimak."
Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid memberikan komentar tentang hal ini dengan mengatakan :
"وَاِسْتِدْلَالُ الْمَشَارِ إِلَيْهِمْ فِي السُّؤَالِ بِقِصَّةِ ابْنِ عُمَرَ عَلَى مَا يَقُولُونَ، فِيهِ مَا فِيهِ مِنَ الْهَوَى، وَالتَّلْبِيسِ، وَطَلَبِ الْغُرَائِبِ، وَالِاسْتِدْلَالِ بِمَا لَا دَلِيلَ فِيهِ؛ وَالْغَالِبُ أَنْ لَا يُسَوَّقَ ذَلِكَ مَنْ يُسَوِّقُ إِلَّا فِي مَقَامِ الْغِمْزِ وَاللَّمْزِ لِلصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ!!.
وإِلَّا؛ فهُنَاكَ مِنَ الصَّحَابَةِ مَنْ هُمْ أَفْضَلُ وَأَقْوَى إِيمَانًا مِنْ ابْنِ عُمَرَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمْ يَرِدْ شَيْءٌ مِنْ هَذَا عَنْهُمْ ، كَالْعَشَرَةِ الْمُبَشَّرِينَ بِالْجَنَّةِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ".
“Argumentasi yang disebutkan dalam pertanyaan berdasarkan kisah Ibnu Umar menurut apa yang mereka katakan, maka itu di dalamnya terdapat unsur hawa nafsu, tipu daya, pencarian hal-hal aneh, dan menggunakan dalil yang tidak ada dalilnya.
Pada umumnya, hal seperti ini tidak akan disampaikan kecuali oleh orang yang tujuan penyampainnya dalam konteks sindiran, celaan, hinaan dan pelecehan terhadap orang-orang yang saleh di antara hamba-hamba Allah!.
Selain itu, di sana ada banyak para sahabat yang lebih baik dan lebih kuat dalam iman daripada Ibnu Umar, namun tidak ada yang disebutkan tentang mereka dalam hal ini, seperti sepuluh sahabat yang dijanjikan surga, semoga Allah meridhai para sahabat semuanya”. [Islamqa no. 355393].
*****
TAKHRIJ ATSAR IBNU UMAR :
Khabar ini dari Abdullah bin Umar - semoga Allah meridainya - diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam "al-Mu'jam al-Kabir" (12/269), dia berkata: Telah menceritakan kepada kami al-Haitsam bin Khalaf al-Dauri.
Dan juga oleh Abu Nu'aim dalam "Ma'rifat al-Sahabah" (3/1709), dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin al-Husain, menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq.
Keduanya, yaitu al-Haitsam bin Khalaf dan Muhammad bin Ishaq, dari Muammal bin Hisham, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abbad, dari al-Sarri bin Yahya, dari Muhammad bin Sirin, dia berkata:
( رُبَّمَا أَفْطَرَ ابْنُ عُمَرَ عَلَى الْجِمَاعِ )
"Terkadang Ibnu Umar berbuka puasa dengan melakukan jima’."
====
DERAJAT ATSAR BERDASARKAN JARH WA TA’DIIL PARA PERAWINYA :
Sanad ath-Thabarani orang-orangnya adalah tepercaya kecuali Yahya bin Abbad, dia adalah seorang yang jujur [صَدُوْق].
Al-Haitsam bin Khalaf :
Dia adalah guru ath-Thabarani dan para ulama mempercayainya, dan di antara bukti kepercayaannya adalah perkataan adz-Dzahabi, semoga Allah merahmatinya:
"الْهَيْثَمُ بْنُ خَلَفٍ الْحَافِظُ الثِّقَةُ أَبُو مُحَمَّدٍ الدَّوْرِيُّ..."
"Al-Haitsam bin Khalaf, Hafizh, yang tepercaya, Abu Muhammad al-Dauri...".
Al-Isma'ili berkata :
كَانَ أَحَدَ الْأَثْبَاتِ.
Dia adalah salah satu yang terpercaya.
Ahmad bin Kamil berkata:
لَمْ يُغَيِّرْ شَيْبُهُ، وَكَانَ كَثِيرَ الْحَدِيثِ جِدًّا ضَابِطًا لِكِتَابِهِ "
“Rambut putihnya tidak membuat hafalannya berubah, dan dia sangat banyak sekali haditsnya, sangat cermat dalam penulisannya ". Selesai dari "Tadhkirat al-Huffaz" (2/234).
Mu'ammal bin Hisyam dan as-Sirri bin Yahya :
Mereka berdua adalah dua orang yang terpercaya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
" السَّرِيُّ بْنُ يَحْيَى بْنُ إِيَاسِ بْنُ حَرْمَلَةَ الشَّيْبَانِيُّ، الْبَصْرِيُّ: ثِقَةٌ، أَخْطَأَ الْأَزْدِيُّ فِي تَضْعِيفِهِ"
"As-Sirri bin Yahya bin Iyas bin Harmalah al-Syaibani, al-Bashri: tepercaya, al-Azdi salah dalam melemahkannya" . Selesai dari "Taqrib al-Tahdzib" (halaman 230).
Dan adz-Dzahabi rahimahullah berkata: "As-Sirri bin Yahya al-Syibani al-Bashri...".
Kata al-Qaththan: (ثِقَةٌ ثَبَتَ) yakni : Dia adalah seorang yang terpercaya, telah terkonfirmasi. "Selesai dari "Al-Kaasyif" (1/427).
Dan kata al-Hafizh Ibnu Hajar, semoga Allah merahmatinya:
" مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ الْيَشْكُرِيُّ، أَبُو هِشَامٍ الْبَصْرِيُّ، ثِقَةٌ " انتهى
"Mu'ammal bin Hisyam al-Yashkuri, yang dikenal sebagai Abu Hisyam al-Bashri, terpercaya." Selesai. "Taqrib al-Tahdzib" (halaman 555).
Dan Yahya bin Abbad :
Dia dikenal sebagai adh-Dhuba'i Abu Abbad, dia adalah seorang yang jujur.
Kata al-Hafizh Ibnu Hajar, semoga Allah merahmatinya:
" يَحْيَى بْنُ عَبَّادٍ الضُّبَعِيُّ أَبُو عَبَّادٍ الْبَصْرِيُّ... صَدُوقٌ " انتهى
"Yahya bin Abbad al-Dhuba'i Abu Abbad al-Bashri... jujur." [Selesai. Baca :"Taqrib al-Tahdzib" (halaman 592)].
Dan adz-Dzahabi, semoga Allah merahmatinya, berkata:
" يَحْيَى بْنُ عَبَّادٍ الضُّبَعِيُّ... صَالِحٌ " انتهى
"Yahya bin Abbad al-Dhuba'i... saleh." Selesai. "Al-Kashif" (2/368).
Al-Haitsami menghasankan sanad ini, seperti dalam "Majma' al-Zawaid" (3/156).
Dan Badruddin al-Aini, semoga Allah merahmatinya berkata :
" وَرُوِيَنَا عَنِ ابْنِ عُمَرَ: ( أَنَّهُ كَانَ رُبَّمَا أَفْطَرَ عَلَى الْجِمَاعِ )، رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ ابْنِ سِيرِينَ عَنْهُ، وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ.
وَذَلِكَ يَحْتَمِلُ أَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِغَلَبَةِ الشَّهْوَةِ، وَإِنْ كَانَ الصَّوْمُ يُكَسِّرُ الشَّهْوَةَ... "انتهى
"Dan telah diriwayatkan kepada kami dari Ibnu Umar: (Bahwa dia kadang-kadang berbuka puasa dengan melakukan jima’) . Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari riwayat Muhammad bin Sirin darinya, dan sanadnya Hasan.
Dan hal itu mungkin disebabkan oleh dua hal: salah satunya, bahwa hal itu disebabkan oleh dominasi syahwat, meskipun puasa itu sendiri dapat meredakan syahwat..." Selesai. "Umdah al-Qari" (11/66).
RIWAYAT PENDUKUNG :
Riwayat diatas bisa didukung dan diperkuat dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam "Ma'rifat ash-Shahabah" (3/1709) setelah berita sebelumnya; di mana dia berkata:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ، حدثنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، حدثنا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ، حدثنا أَبُو عَبَّادٍ يَحْيَى بْنُ عَبَّادٍ، عَنِ السَّرِيِّ بْنِ يَحْيَى، حدثنا مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ، قَالَ: ( رُبَّمَا أَفْطَرَ ابْنُ عُمَرَ عَلَى الْجِمَاعِ ).
وَعَنِ السَّرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: قَالَ ابْنُ عُمَرَ: ( لَقَدْ أُعْطِيتُ مِنْهُ شَيْئًا، لَا أَعْلَمُ أَحَدًا أُعْطِيهِ؛ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَسُولَ اللهِ ﷺ ).
Terjemahnya :
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, telah menceritakan kepada kami Mu'ammal bin Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abu Abbad Yahya bin Abbad, dari al-Sari bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sirin, dia berkata:
( رُبَّمَا أَفْطَرَ ابْنُ عُمَرَ عَلَى الْجِمَاعِ )
"Terkadang (mungkin saja) Ibnu Umar berbuka dengan melakukan jimak."
Dan dari as-Sirri, dari Abdul Karim, dari Mujahid, dia berkata: Ibnu Umar berkata:
( لَقَدْ أُعْطِيتُ مِنْهُ شَيْئًا، لَا أَعْلَمُ أَحَدًا أُعْطِيهِ؛ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَسُولَ اللهِ ﷺ )
"Aku telah diberi sesuatu darinya (Nabi Muhammad) yang aku tidak tahu jika ada orang lain yang diberinya pula, kecuali Rasulullah ﷺ."
Dan Mujahid adalah putra Jibril, imam yang terkenal.
Dan Abdul Karim adalah putra Rasyid.
Adz-Dzahabi, semoga Allah merahmatinya, berkata:
"عَبْدُ الْكَرِيمِ بِنْ رَشِيدٍ - أَوْ بِنْ رَاشِدٍ – عَنْ: أَنَسٍ، وَمُطَرِّفِ بِنِ الشَّخِيرِ. وَعَنْهُ: السِّرَيِّ بِنْ يَحْيَى، وَإِسْحَاقَ بِنْ أَسِيدٍ. وَثَقَّهُ بِنُ مَعِينٍ"
"Abdul Karim bin Rasyid - atau bin Raasyid - dari: Anas, dan Muththorif bin asy-Syakhir. Dan dari dia: as-Sirri bin Yahya, dan Ishaq bin Asiid. Dan dia dipercayai oleh Ibnu Ma'in." Selesai dari "Al-Kaasyif" (1/661).
Muhammad bin Ishaq adalah al-Imam Ibnu Khuzaimah.
Namun, tentang Syeikhnya Abu Nu'aim, yaitu Ahmad bin Muhammad bin al-Husain Abu Hamid al-Juludi, penulis tidak menemukan biografi untuknya.
KESIMPULAN :
Kesimpulan derajat atsar Ibnu Umar adalah HASAN .
*******
FIQIH ATSAR IBNU ‘UMAR :
Masalah kekuatan seksual pada setiap manusia, maka itu sama seperti kekuatan manusia lainnya seperti penglihatan, pendengaran, ingatan, dan otot. Allah Subhanahu wa Ta'ala bisa memberikannya kepada siapa saja, bisa kepada orang kafir sebagaimana kepada orang beriman, karena itu termasuk ujian dan cobaan di dunia ini. Kekuatan tersebut bisa ditambahkan bagi orang kafir dan orang fasik, dan bisa dikurangi bagi orang beriman, dan sebaliknya. Tidak ada yang menunjukkan dalam teks syariat bahwa orang beriman lebih kuat dalam hal jimak ini daripada yang lain.
Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid berkata :
"وَاِسْتِدْلَالُ الْمَشَارِ إِلَيْهِمْ فِي السُّؤَالِ بِقِصَّةِ ابْنِ عُمَرَ عَلَى مَا يَقُولُونَ، فِيهِ مَا فِيهِ مِنَ الْهَوَى، وَالتَّلْبِيسِ، وَطَلَبِ الْغُرَائِبِ، وَالِاسْتِدْلَالِ بِمَا لَا دَلِيلَ فِيهِ؛ وَالْغَالِبُ أَنْ لَا يُسَوَّقَ ذَلِكَ مَنْ يُسَوِّقُ إِلَّا فِي مَقَامِ الْغِمْزِ وَاللَّمْزِ لِلصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ!!.
وإِلَّا؛ فهُنَاكَ مِنَ الصَّحَابَةِ مَنْ هُمْ أَفْضَلُ وَأَقْوَى إِيمَانًا مِنْ ابْنِ عُمَرَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمْ يَرِدْ شَيْءٌ مِنْ هَذَا عَنْهُمْ ، كَالْعَشَرَةِ الْمُبَشَّرِينَ بِالْجَنَّةِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ".".
“Argumentasi yang isyaratkan pada mereka dalam pertanyaan berdasarkan kisah Ibnu Umar menurut apa yang mereka katakan, maka itu di dalamnya terdapat unsur hawa nafsu, tipu daya, pencarian hal-hal aneh, dan menggunakan dalil yang tidak ada dalilnya.
Pada umumnya, hal seperti ini tidak akan disampaikan oleh orang yang berbicara kecuali dalam konteks sindiran, celaan dan pelecehan terhadap orang-orang yang saleh di antara hamba-hamba Allah!” [Islamqa no. 355393].
Selain itu, di sana ada banyak para sahabat yang lebih baik dan lebih kuat dalam iman daripada Ibnu Umar, namun tidak ada yang disebutkan tentang mereka dalam hal ini, seperti sepuluh orang yang dijanjikan surga, semoga Allah meridhai semua sahabat”. [Selesai]
Selanjutnya, Ibnu Umar sendiri menyebutkan dalam riwayat yang kami sampaikan bahwa dia tidak mengetahui seseorang yang menyerupai dirinya dalam hal itu!
Yang seharusnya diperhatikan oleh seorang mukmin adalah apa yang bermanfaat baginya dalam urusan agama dan dunianya, serta meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis:
(مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لا يَعْنِيهِ)
"Termasuk dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmidzi 2239, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi).
BERBUKA PUASA DENGAN BERJIMA’ ITU MUBAH, NAMUN MENGOLOK-OLOK SAHABAT ADALAH KEKUFURAN :
Tentu saja, diperbolehkan bagi seorang lelaki untuk melakukan Jima’ dengan istrinya setelah matahari terbenam atau setelah adzan Maghrib dikumandangkan. Begitu juga, seseorang diperbolehkan untuk melakukan hubungan suami istri sebelum ia makan atau minum apa pun, karena ini adalah hal-hal yang diperbolehkan dan tidak ada yang salah terutama bagi orang-orang yang memiliki kekuatan seksual yang membuat mereka melakukan tindakan yang agak aneh bagi kebanyakan orang yang ketika hendak berbuka puasa sibuk menyiapkan makanan dan minuman, terutama karena mereka telah berpuasa sepanjang hari. Namun, ada beberapa orang yang memikirkan hubungan intim [sexual], dan ini adalah hal yang diperbolehkan dan tidak ada masalah bagi wanita maupun pria dalam hal ini.
Namun yang dipermasalahkan adalah ketika berbuka puasa dengan berjimak sebelum makan itu dinisbatkan kepada kebiasaan para sahabat Nabi ﷺ, maka ini jelas ada unsur pelecehan terhadap kehormatan dan wibawa para sahabat . Melecehkan para sahabat termasuk istihza atau mengolok-olok agama . Sementara mengolok-olok agama itu sangat dialarang, bahkan teemasuk kekufuran .
Istihzaa’ [mengolok-olok agama] adalah sikap/perbuatan yang sangat berbahaya bagi seorang muslim jika melakukannya. Para ulama telah sepakat bahwa istihzaa’ merupakan dosa besar yang dapat menyebabkan kekafiran mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sejarah Islam telah mencatat bagaimana sikap kaum munafiqiin yang mengolok-olok Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan kaum muslimin yang dengan itu menyebabkan kekafiran mereka,sebagaimana difirmankan Allah ta’ala :
{ يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ * وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ }.
Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)".
Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja".
Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah menjadi kafir sesudah beriman.
Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [QS. At-Taubah : 64-66].
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam Tafsir-nya dan Al-Imam Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan asbabun-nuzul (sebab turunnya) ayat di atas dengan sanad tidak mengapa (la ba’sa) dari Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
قَالَ رَجُلٌ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ، فِي مَجْلِسٍ: "مَا رَأَيْنَا مِثْلَ قُرَائِنَا هَؤُلَاءِ؛ أَرْغَبُ بِطُونَا، وَلَا أَكْذَبُ أَلْسُنًا، وَلَا أَجْبَنُ عِنْدَ اللَّقَاءِ".
فَقَالَ رَجُلٌ فِي الْمَجْلِسِ: "كَذِبْتَ، وَلَكِنَّكَ مُنَافِقٌ، لَأُخْبِرَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَنَزَلَ الْقُرْآنُ.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَأَنَا رَأَيْتُهُ مُتَعَلِّقًا بِحَقْبِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، تَنْكُبُهُ الْحِجَارَةُ، وَهُوَ يَقُولُ: "يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ". وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: "أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ".
Dalam majelis, berkatalah seorang laki-laki pada perang Tabuk : “Kami tidak pernah melihat seperti tamu-tamu kita ini; sangat mementingkan perut (rakus), sangat pendusta dan penakut dalam pertempuran/peperangan”.
Maka berkatalah seseorang kepadanya : “Engkau berdusta, engkau jelas munafik. Akan aku laporkan apa yang engkau ucapkan kepada Rasulullah ﷺ”.
Maka, sampailah ucapan tersebut kepada Rasulullah ﷺ, kemudian turunlah ayat di atas.
Ibnu Umar kemudian melanjutkan : “Maka aku lihat laki-laki tersebut bergantung di belakang unta Nabi, tersandung batu-batu, sambil berkata : ‘Ya Rasulullah, kami hanya main-main saja, tidak sungguh-sungguh”.
Maka Rasulullah ﷺ menjawab : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman” [selesai]. [Lihat : Tafsir ath-Thabari 14/333].
Al-Imam Abu Bakr Al-Jashshash rahimahullah berkata :
فِيهِ الدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ اللاَّعِبَ وَالْجَادَّ سَوَاءٌ فِي إِظْهَارِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ عَلَى غَيْرِ وَجْهِ الْإِكْرَاهِ. لأَنَّ هَؤُلاَءِ الْمُنَافِقِينَ ذَكَرُوا أَنَّهُمْ قَالُوا مَا قَالُوهُ لَعِبًا، فَأَخْبَرَ اللَّهُ عَنْ كُفْرِهِمْ بِاللَّعِبِ بِذَلِكَ. وَرَوَى الْحَسَنُ وَقَتَادَةُ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ: أَيُرْجُو هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَفْتَحَ قُصُورَ الشَّامِ وَحُصُونَهَا!! هِيَهَاتْ هِيَهَاتْ. فَأَطْلَعَ اللَّهُ نَبِيَّهُ عَلَى ذَلِكَ. فَأَخْبَرَ أَنَّ هَذَا الْقَوْلَ كُفْرٌ مِنْهُمْ عَلَى أَيِّ وَجْهٍ قَالُوا مِنْ جِدٍّ أَوْ هُزْلٍ، فَدَلَّ عَلَى اسْتِوَاءِ حُكْمِ الْجَادِّ وَالْهَازِلِ فِي إِظْهَارِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ. وَدَلَّ ـ أَيْضًا ـ عَلَى أَنَّ الِاسْتِهْزَاءَ بِآيَاتِ اللَّهِ، أَوْ بِشَيْءٍ مِنْ شَرَائِعِ دِينِهِ: كُفْرٌ مِنْ فَاعِلِهِ.
”Pada ayat tersebut terdapat dalil bahwa seseorang yang bermain-main atau sungguh-sungguh adalah sama kedudukannya dalam hal mengeluarkan kalimat kufur yang dilakukan dengan sengaja. Orang-orang munafik tersebut mengatakan bahwa mereka mengatakan perkataan itu hanya main-main saja. Maka Allah mengkhabarkan (kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam) akan kekafiran mereka atas sebab hal itu.
Al-Hasan dan Qatadah meriwayatkan bahwasannya mereka (kaum munafiq) berkata dalam peperangan Tabuk :
”Apakah laki-laki ini (yaitu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam) berangan-angan untuk membuka istana-istana Syaam beserta benteng-bentengnya ?! Sungguh sangat jauh khayalan ini”.
Maka Allah menampakkan perkataan mereka kepada Nabi-Nya. Allah mengkhabarkan bahwasannya perkataan mereka itu adalah tanda kekufuran mereka, baik itu serius atau main-main saja. Ini menunjukkan bahwa dalam mengeluarkan ucapan-ucapan kufur baik serius atau main-main itu hukumnya sama. Juga menunjukkan bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah atau satu bagian dari syari’at agama-Nya adalah kekufuran bagi si pelaku” [selesai. Ahkaamul-Qur’an juz 3 hal 142].
Al-Imam Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :
وَقَوْلُهُ: {قَدْ كَفَرْتُمْ } أَي: قَدْ ظَهَرَ كُفْرُكُمْ بَعْدَ إِظْهَارِكُمُ الإِيمَانَ؛ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْجَدَّ وَاللَّعِبَ فِي إِظْهَارِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ سَوَاءٌ.
”Dan firman-Nya : ”Sungguh karena kamu telah kafir”; yaitu tampaknya kekafiranmu setelah keimananmu. Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengeluarkan kalimat kekufuran adalah sama” [Zaadul-Masiir 3/465].
AWAL SYARIA’T PUASA RAMADHAN :
BAGI ORANG YANG SEMPAT TERTIDUR, TIDAK BOLEH BERBUKA PUASA
Pada awal disayariatkannya puasa Ramadhan, bagi orang yang sempat tertidur ketika waktu berbuka tiba, maka tidak diperbolehkan makan, minum dan berjimak hingga datang waktu berbuka dihari esok dalam kondisi tidak tertidur pula.
Namun demikian bagi kaum muslimin diberi kemudahan oleh Allah dengan adanya dua pilihan, antara berpuasa atau bayar fidyah bagi yang tidak berpuasa, meskipun dia mempu menjalankan puasa dan wajib mengqadha jika bayar fidyah. Akan tetapu berpuasa itu lebih baik dari pada bayar fidyah .
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/498 berkata :
وَأَمَّا الصَّحِيحُ الْمُقِيمُ الذِي يُطيق الصِّيَامَ، فَقَدْ كَانَ مخيَّرًا بَيْنَ الصِّيَامِ وَبَيْنَ الْإِطْعَامِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ، وَأَطْعَمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، فَإِنْ أَطْعَمَ أَكْثَرَ مِنْ مِسْكِينٍ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ، فَهُوَ خَيْرٌ، وَإِنْ صَامَ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ الْإِطْعَامِ، قَالَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَمُجَاهِدٌ، وَطَاوُسٌ، وَمُقَاتِلُ بْنُ حَيَّانَ، وَغَيْرُهُمْ مِنَ السَّلَفِ؛ وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
"Adapun orang yang sehat dan mampu berpuasa, maka dia diberi pilihan antara berpuasa atau memberi makan. Jika dia mau berpuasa, maka dia berpuasa, dan jika dia mau berbuka, maka dia berbuka, serta memberi makan seorang fakir miskin setiap harinya. Jika dia memberi makan lebih dari satu fakir miskin setiap harinya, maka itu lebih baik. Jika dia berpuasa, maka itu lebih utama dari memberi makan." Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil bin Hayyan, dan beberapa salaf lainnya.
Oleh sebab itu Allah Swt. berfirman:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 184)”.
Mu'az ibnu Jabal r.a. berkata :
قَوْلُهِ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ.
firman-Nya— Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya. [HR. Ahmad 5/246 dan Abu Daud no. 506 & 507 ].
Al-Hafidz Ibnu Katsir (1/499) berkata :
"وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ، وَالْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ، مِنْ حَدِيثِ الْمَسْعُودِيِّ، بِهِ .
وَقَدْ أَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ . وَرَوَى الْبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ، مِثْلُهُ".
Artinya : Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari (4502) dan Imam Muslim (1125) melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan:
كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin berpuasa boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa 'Asyura”.
Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar (4501) dan Ibnu Mas'ud (4503) dengan lafaz yang semisal”.
Kemudian syariat tersebut di mansukh [dihapus] setelah turunnya ayat berikut ini :
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187) }
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian.
Maka sekarang campurilah [gaulilah] mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid.
Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. [QS. Al-Baqarah : 187].
SEBAB TURUN AYAT :
Latar belakang turunnya ayat ini adalah sbb :
Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra ibnu Azib radhiyallahu ‘anhu :
"كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ، لَمْ يَأْكُلْ إِلَى مِثْلَهَا، وَإِنَّ قَيْس بْنَ صِرْمة الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا، وَكَانَ يَوْمُهُ ذَاكَ يَعْمَلُ فِي أَرْضِهِ، فَلَمَّا حَضَر الْإِفْطَارَ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكِ طَعَامٌ؟ قَالَتْ: لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ. فَغَلَبَتْهُ عينُه فَنَامَ، وَجَاءَتِ امْرَأَتُهُ، فَلَمَّا رَأَتْهُ نَائِمًا قَالَتْ: خَيْبَةٌ لَكَ! أَنِمْتَ؟ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشي عَلَيْهِ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ} فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا".
Tersebutlah bahwa dulu para sahabat Rasulullah ﷺ. bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama. Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya.
Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Si istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya buatmu."
Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, "Alangkah mengecewakannya engkau ini, ternyata engkau tertidur."
Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi ﷺ. Kemudian turunlah ayat ini, yaitu:
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ}
“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian, -sampai dengan firman-Nya- dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (Al-Baqarah: 187)
Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini”.
[Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/511. Lafadz ini diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya (3/495)].
Lafaz hadis Imam Bukhari dalam bab ini diketengahkan melalui Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan :
لَمَّا نزل صومُ رمضان كانوا لايقرَبُون النِّسَاءَ، رَمَضَان كُلّه، وَكَانَ رجَال يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ} .
“Bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadan diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan Ramadan, dan kaum laki-laki berkhianat terhadap dirinya sendiri. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. (Al-Baqarah: 187) [ Shahih Bukhori no. (4508)].
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan :
"كَانَ الْمُسْلِمُونَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِذَا صَلُّوا الْعِشَاءَ حَرُم عَلَيْهِمُ النِّسَاءُ وَالطَّعَامُ إِلَى مِثْلِهَا مِنَ الْقَابِلَةِ، ثُمَّ إِنَّ أُنَاسًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَصَابُوا مِنَ النِّسَاءِ وَالطَّعَامِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بَعْدَ الْعِشَاءِ، مِنْهُمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ}".
Bahwa kaum muslim pada mulanya dalam bulan Ramadan bilamana mereka telah salat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita dan makanan sampai dengan waktu yang semisal pada keesokan malamnya. Kemudian ada segolongan kaum muslim yang menggauli istri-istri mereka dan makan sesudah salat Isya dalam bulan Ramadan, di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
{عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ}
Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas”. [Tafsir Ibnu Katsir 1/511].
Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan
إِنَّ النَّاسَ كَانُوا قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ فِي الصَّوْمِ مَا نَزَلَ فِيهِمْ يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ، وَيَحِلُّ لَهُمْ شَأْنُ النِّسَاءِ، فَإِذَا نَامَ أحدهُم لَمْ يَطْعَمْ وَلَمْ يشرَب وَلَا يَأْتِي أَهْلَهُ حَتَّى يُفْطِرَ مِنَ الْقَابِلَةِ، فَبَلَغَنَا أَنَّ عُمَر بْنَ الْخَطَّابِ بَعْدَمَا نَامَ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الصوْمُ وَقَع عَلَى أَهْلِهِ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَشْكُو إِلَى اللَّهِ وَإِلَيْكَ الذِي صَنَعْتُ. قَالَ: "وَمَاذَا صَنَعْتَ؟ " قَالَ: إِنِّي سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي، فَوَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي بَعْدَ مَا نِمْتُ وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ. فَزَعَمُوا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا كُنْتَ خَلِيقًا أَنْ تَفْعَلَ". فَنَزَلَ الْكِتَابُ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ}
“Bahwa sesungguhnya orang-orang itu sebelum diturunkan perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka sekarang, mereka masih tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka menggauli istri-istrinya. Tetapi apabila seseorang di antara mereka tidur, maka ia tidak boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga tiba saat berbuka pada keesokan malamnya.
Kemudian sampailah suatu berita kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya.
Kemudian ia datang menghadap Nabi ﷺ. dan berkata, "Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang telah aku perbuat."
Nabi ﷺ. bertanya, "Apakah yang telah kamu lakukan?"
Umar menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa."
Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi ﷺ. pasti menegurnya dan mengatakan kepadanya, "Tidaklah pantas kamu lakukan hal itu."
Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)”. [Tafsir Ibnu Katsir 1/511].
RIWAYAT LAIN :
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah :
كَانَ النَّاسُ فِي رَمَضَانَ إِذَا صَامَ الرَّجُلُ فأمسَى فَنَامَ، حُرّم عَلَيْهِ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ وَالنِّسَاءُ حَتَّى يُفْطِرَ مِنَ الْغَدِ. فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ وَقَدْ سَمَرَ عِنْدَهُ، فَوَجَدَ امْرَأَتَهُ قَدْ نَامَتْ، فَأَرَادَهَا، فَقَالَتْ: إِنِّي قَدْ نِمْتُ! فَقَالَ: مَا نِمْتِ! ثُمَّ وَقَعَ بِهَا. وَصَنَعَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ مِثْلَ ذَلِكَ. فَغَدَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} [الْآيَةَ]
“Bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik menceritakan sebuah hadis kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan Ramadan, bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang harinya dia tertidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan menggauli istri hingga saat berbuka pada besok malamnya.
Di suatu malam Umar ibnul Khattab r.a. pulang ke rumahnya dari rumah Nabi ﷺ. yang saat itu begadang di rumah beliau. Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya.
Tetapi istrinya menjawab, "Aku telah tidur."
Maka Umar menjawab, "Kamu belum tidur," lalu ia langsung menyetubuhinya.
Ka'b ibnu Malik melakukan hal yang sama pula.
Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah Nabi ﷺ. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah firman-Nya:
“Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka”. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat. [Tafsir ath-Thabari (3/496)].
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ata, Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan dengan perbuatan Umar ibnul Khattab dan orang-orang yang melakukan seperti apa yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Sirmah ibnu Qais. Maka diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan minum dalam semua malam Ramadan sebagai rahmat dan keringanan serta belas kasihan dari Allah. [[Tafsir Ibnu Katsir 1/512]
******
RASULULLAH ﷺ DIBERI KEKUATAN BERJIMAK, NAMUN BELIAU JUGA DIBERI KEKUATAN MENAHAN SYAHWAT.
Ada beberapa riwayat hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ di anugerahi kekuatan dalam berjima’.
Diantaranya hadits riwayat Qatadah dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, dia berkata :
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَدُورُ عَلَى نِسَائِهِ فِي السَّاعَةِ الْوَاحِدَةِ مِنْ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُنَّ إِحْدَى عَشْرَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَوَكَانَ يُطِيقُهُ قَالَ كُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّهُ أُعْطِيَ قُوَّةَ ثَلَاثِينَ وَقَالَ سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ إِنَّ أَنَسًا حَدَّثَهُمْ تِسْعُ نِسْوَةٍ
"Adalah Nabi ﷺ mendatangi isteri-istrinya pada waktu yang sama di malam hari atau siang hari, saat itu jumlah isteri-isteri Beliau sebelas orang".
Aku bertanya kepada Anas bin Malik radliallahu 'anhu: "Apakah Beliau mampu?".
Jawabnya: "Beliau diberikan kekuatan setara tiga puluh lelaki".
Berkata, Sa'id dari Qatadah bahwa Anas radliallahu 'anhu menerangkan kepada mereka bahwa jumlah isteri-isteri Beliau ﷺ saat itu sembilan orang". (HR. Bukhori no. 260)
Adapun hadits yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ diberi kekuatan menahan syahwat, maka diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah (r.a):
Dari Aisyah ra bahwasanya ia berkata:
" كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَلَكِنَّهُ كَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ "
"Bahwasanya Rosulullah ﷺ mencium (istrinya) sedang beliau dalam keadaan puasa , begitu juga beliau menyentuh istrinya sedang beliau dalam keadaan puasa, tetapi beliau paling kuat menahan syahwatnya diantara kalian." (HR Bukhari no.1927 dan Muslim no. 1106).
Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya maka tidak apa mencium istrinya dalam keadaan puasa.
******
ORANG YANG TIDAK KUAT MENAHAN SYAHWAT TIDAK BOLEH MENCIUM ISTRI SAAT BERPUASA :
Pertama : Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (r.a):
Dari Abu Hurairah (r.a) :
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَنَهَاهُ هَذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَاَلَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ "
bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang sentuhan antara suami istri yang sedang berpuasa. Maka Rosulullah memberikan keringanan baginya, kemudian datang laki-laki lain yang bertanya tentang hal itu juga, tapi Rasulullah ﷺ kali ini melarangnya. Berkata Abu Hurairah, ‘Ternyata yang diberi keringanan adalah orang yang sudah tua, sedang yang dilarang adalah orang yang masih muda’."
[Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (2387), Ibnu 'Adiy dalam "Al-Kamil" (2/133) (237), dan Al-Baihaqi (4/231-232). Hadis tersebut disahkan oleh Al-Albani dalam "Shahih Abi Dawud" (2065) yang berkata: "Sanadnya hasan sahih".]
Kedua : Hadits riwayat Abdulah bin Amr bin Ash (r.a):
Dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwasanya ia berkata :
كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ، فَجَاءَ شَابٌّ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أُقَبِّلُ وَأَنَا صَائِمٌ؟ قَالَ: " لَا "، فَجَاءَ شَيْخٌ فَقَالَ: أُقَبِّلُ وَأَنَا صَائِمٌ؟ قَالَ: " نَعَمْ " قَالَ: فَنَظَرَ بَعْضُنَا إِلَى بَعْضٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: " قَدْ عَلِمْتُ لِمَ نَظَرَ بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ، إِنَّ الشَّيْخَ يَمْلِكُ نَفْسَهُ"
"Suatu ketika kami bersama Rosulullah ﷺ, tiba-tiba datang seorang pemuda bertanya, "Wahai Rasulullah bolehkah saya mencium istri saya dalam keadaan puasa?’ Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’ Kemudian datang seorang yang tua bertanya, ’Wahai Rasulullah bolehkah saya mencium istri saya dalam keadaan puasa?’ Beliau menjawab, ‘Boleh’.”
Abdullah bin ‘Amr berkata : "Sebagian dari kami saling menatap. Rasulullah ﷺ bersabda: 'Saya tahu mengapa kalian saling menatap satu sama lain, sesungguhnya seorang yang sudah tua mampu memegang kendali dirinya.'"
(HR Ahmad 6/283 no. 6739 dan 6/475 no. 7054. Hadits ini dishohihkan oleh Syekh Muhammad Syakir Takhrij al-Musnad 6/283 dan 6/475 ).
Syeikh Al-Albaani berkata :
قُلْتُ: وَهَذَا إِسْنَادٌ لَا بَأْسَ بِهِ فِي الشُّوَاهِدِ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ ابْنِ لَهِيعَةَ فَإِنَّهُ سَيِّءُ الْحِفْظِ. لَكِنَّ لِحَدِيثِهِ شُوَاهِدَ كُنْتُ ذَكَرْتُهَا قَدِيمًا فِي "التَّعْلِيقَاتِ الْجِيَادِ" يُتَقَوَّى الْحَدِيثُ بِهَا.
Saya katakan: "Ini adalah sanad yang tidak ada masalah dengannya dalam kaitannya sebagai syahid-syahid penguat. Para perawinya adalah orang-orang yang tepercaya kecuali Ibnu Lahi'ah karena dia buruk dalam hafalan. Tetapi untuk hadisnya, ada bukti-bukti yang saya sebutkan sebelumnya dalam "Ta’liiqoot Al-Jiyaad" yang menguatkan hadis tersebut."
[Baca : as-Silsilah ash-Shahihah 4/138 no. 1606].
Hadits Abu Hurairah dan Abdullah bin Amru (r.a) di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ membolehkan orang yang kuat menahan syahwatnya untuk mencium istrinya pada waktu puasa dan melarangnya bagi yang tidak kuat menahan syahwatnya.
Adapun perkataan Abu Hurairah dan Abdullah bin Amru yang menjelaskan bahwa yang dibolehkan adalah orang yang sudah tua, sedang yang dilarang adalah orang yang masih muda, itu hanya kebetulan saja. Sebab, rata-rata orang yang sudah tua lebih kuat menahan syahwatnya dibanding yang muda. Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan jika sebagian yang muda justru lebih kuat menahan syahwatnya dari pada yang tua. Maka ukuran yang tepat dalam hal ini bukanlah tua dan muda tetapi ukurannya adalah yang kuat menahan syahwatnya dan yang tidak kuat, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Wallahu A'lam
0 Komentar