Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

KEDUDUKAN KAUM WANITA SEBELUM ISLAM DATANG DAN SESUDAHNYA

  KEDUDUKAN KAUM WANITA SEBELUM ISLAM DATANG DAN SESUDAHNYA

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM



*****

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • KEHIDUPAN WANITA SEBELUM ISLAM :
  • Pertama : Bangsa yang tidak memiliki peradaban:
  • Kedua : Bangsa yang memiliki peradaban:
  • PEMBAHASAN PERTAMA: WANITA MENURUT BANGSA YUNANI:
  • PEMBAHASAN KEDUA: KEDUDUKAN WANITA PADA BANGSA ROMAWI
  • PEMBAHASAN KETIGA: KEDUDUKAN WANITA PADA BANGSA PERSIA:
  • PEMBAHASAN KEEMPAT: KEDUDUKAN WANITA PADA BANGSA INDIA [HINDU]:
  • PEMBAHASAN KELIMA : WANITA DALAM AGAMA YAHUDI
  • PEMBAHASAN KEENAM: KEDUDUKAN WANITA PADA  UMAT KRISTEN AWAL:
  • PEMBAHASAN KETUJUH : KEDUDUKAN WANITA DI INGGRIS
  • PEMBAHASAN KEDELAPAN : KEDUDUKAN KAUM WANITA DI PRANCIS
  • PEMBAHASAN KESEMBILAN : KEDUDUKAN WANITA DI TIONGKOK PADA MASA LALU
  • PEMBAHASAN KESEPULUH : KEDUDUKAN WANITA DALAM MASYARAKAT BABILONIA:
  • PEMBAHASAN KESEBELAS : KEDUDUKAN WANITA ASYUR DAN SUMERIA
  • PEMBAHASAN KEDUA BELAS : KEDUDUKAN WANITA DI MESIR
  • PEMBAHASAN KETIGA BELAS : KEDUDUKAN WANITA ARAB PADA MASA JAHILIYAH
  • PEMBAHASAN KEEMPAT BELAS : WANITA ABAD MODERN DALAM PERADABAN BARAT DAN TIMUR
  • PEMBAHSAN KELIMA BELAS : KEDUDUKAN WANITA DALAM ISLAM :
  • HADITS-HADITS PERINTAH UNTUK MEMULIAKAN KAUM WANITA
  • SEKILAS UPAYA PBB DALAM EMANSIPASI KAUM WANITA

*****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

====

PENDAHULUAN

Seiring berjalannya sejarah, dengan pergantian bangsa dan peradaban, kaum wanita telah mengalami berbagai macam perubahan identitas, kehilangan martabat, kehilangan kebebasan, diabaikan nilainya, atau dianggap tidak penting. Pada umumnya, kaum wanita menderita dalam berbagai keadaan – kecuali pada masa-masa kenabian – dari berbagai bentuk penindasan, kekerasan, penderitaan, dan penindasan yang dipicu oleh hawa nafsu yang sesat atau keyakinan yang rusak.

Tidaklah mengherankan bahwa peneliti tentang posisi kaum wanita sebelum Islam tidak akan menemukan hal yang memuaskan; mereka akan menemukan konsensus global tentang penolakan hak asasi manusia bagi makhluk perempuan ini.

Berbeda dengan Wanita dalam Islam . Wanita Muslimah telah menempati posisi tertinggi dalam agama yang hanif mereka, ayat-ayat al-Qur’an telah memutihkan kedudukan-kedudukan mereka, dan mengumumkan kebanggaan pribadi mereka, melalui peran mereka yang terhormat di setiap bidang dan waktu. Mereka tidak pernah meninggalkan kebajikan tanpa memberikan andilnya, baik dalam ilmu fiqh dan hadis, sastra dan puisi, maupun dalam jihad: baik dengan hadir dalam medan perang, maupun dengan menyampaikan kata-kata kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.

Namun, sayangnya, dunia –dan khususnya kaum wanita– tidak mengenal rahasia-rahasia ini, karena cahayanya tersembunyi di dalam kedalaman perpustakaan, dan nama-nama tokoh wanita agama hanif (yang lurus) tersebar di lembaran-lembar yang menjadi santapan serangga dan hama, hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian para sejarawan terhadap wanita.

Agama Islam yang hanif (yang lurus) adalah satu-satunya hukum yang menempatkan wanita pada tempatnya yang sebenarnya, dan memberikan mereka hak-hak mereka secara penuh, setelah mereka dilarang dari hak-hak dasar mereka dalam masyarakat-masyarakat sebelum turunnya syariat Islam suci, dan juga dalam masyarakat-masyarakat yang datang setelahnya.

Untuk mengenal posisi yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada wanita, penting untuk mempelajari peran-peran yang telah dilalui oleh wanita, baik sebelum Islam atau dalam dunia kontemporer kita.

Untuk menjawab tuduhan, fitnah, dan kebohongan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam hari ini, serta keraguan-keraguan yang mereka timbulkan tentang hak-hak wanita dalam Islam, yang menyatakan bahwa sistem Islam telah mencabut hak-hak wanita, menjadikannya terkungkung dalam penjara yang kuncinya ada di tangan pria, mengurangi bagian warisannya, memaksanya untuk berhijab, dan melarangnya untuk belajar, maka wanita Muslim dianiaya lebih dari wanita lainnya.

Dan untuk memahami posisi wanita dalam masyarakat Islam, serta hak-hak yang diberikan oleh Islam dan kewajiban yang dikenakan padanya, kita harus mempelajari kondisi wanita dan hak-haknya dalam masyarakat-masyarakat lain, baik yang sebelum Islam atau yang kita hadapi sekarang dalam masyarakat-masyarakat Barat dan Timur yang mengklaim peradaban dan kemajuan. Kemudian, kita membandingkannya dengan hak-hak yang diberikan oleh Islam kepada wanita, dan kita tahu siapa yang merampas hak-haknya, menindasnya, dan menurunkannya ke jurang yang dalam, menjadikannya subordinat bagi pria, bahkan sebagai mainan di tangan pria yang menggunakan dan membuangnya sesuai keinginannya.

[ Sumber : مکانة المرأة في الحضارات و المجتمعات قبل الاسلام و في الحضارات المعاصرة oleh Syeikh Sholeh al-Karaabisy]..

*****

KEHIDUPAN WANITA SEBELUM ISLAM :

Kehidupan wanita sebelum Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok: bangsa yang memiliki perdaban dan bangsa yang tidak memiliki peradaban.

Yang dimaksud dengan yang memiliki peradaban adalah mereka yang diatur oleh beberapa adat dan tradisi yang diwarisi, seperti Cina, India, Mesir, dan Iran.

Adapun yang tidak memiliki peradaban adalah masyarakat-masyarakat yang liar dan barbar, yang tidak memiliki aturan kehidupan selain kekuatan dan kekuasaan, seperti halnya hewan, seperti di Afrika, Australia, dan Amerika kuno. Wanita dalam masyarakat yang berperadaban sedikit lebih baik daripada di masyarakat yang tidak berperadaban.

Pertama : Wanita pada bangsa yang tidak memiliki peradaban:

Kehidupan wanita di dalam bangsa-bangsa ini seperti kehidupan hewan bagi pria. Seperti halnya pria memiliki hak untuk memiliki dan memanfaatkan hewan-hewan, seperti daging, bulu, wol, susu, mengendarainya, membawa beban dari satu tempat ke tempat lain, dan perilaku lainnya yang sah, bahkan yang tidak sah seperti membunuh dan menyakiti. Begitu juga dengan wanita di antara mereka, hidupnya tergantung pada kehidupan pria, dan dia tidak diciptakan untuk dirinya sendiri tetapi untuk pria, keberadaannya merupakan cabang dari keberadaan pria, dan statusnya seperti parasit bagi pria. Dia tidak memiliki hak kecuali yang dilihat oleh pria sebagai hak pertama.

Wali wanita, baik itu ayah atau suami, memiliki hak untuk menjualnya, memberikannya, meminjamkannya untuk pelayanan, tempat tidur, atau pembiakan, atau untuk tujuan lain dari tujuan pemberian pinjaman. Bahkan dia bisa menyiksanya sampai mati, atau meninggalkannya sampai dia mati, atau membunuhnya dan memakan dagingnya saat kelaparan.

Dan sebagai gantinya, wanita hanya harus tunduk pada pria dan melaksanakan perintahnya. Dia bertanggung jawab atas rumah tangga dan mendidik anak-anak, serta semua kebutuhan pria. Bahkan dia melakukan pekerjaan yang melebihi kemampuan dan kekuatannya, seperti membawa beban berat, bekerja dengan tanah liat, dan berbagai kerajinan dan industri.

Setiap bangsa dari bangsa-bangsa ini memiliki karakteristik, kebiasaan, tradisi, adat istiadat, dan norma yang merupakan warisan dari pendahulunya, yang akan kita bahas lebih lanjut.

Kedua : Wanita pada bangsa yang memiliki peradaban:

Wanita di negara-negara ini memiliki kondisi yang lebih baik daripada di negara-negara yang tidak berperadaban. Mereka tidak dibunuh atau daging mereka dimakan, mereka tidak digunakan sebagai jaminan hutang, dan mereka memiliki hak untuk memiliki sebagian harta warisan dan lainnya. Namun, mereka masih berada di bawah wewenang pria dan walinya, tidak memiliki kemandirian atau kebebasan. Mereka tidak dapat melakukan tindakan tanpa izin dari walinya, dan tidak memiliki hak untuk campur tangan dalam urusan publik. Mereka harus fokus pada urusan rumah tangga dan anak-anak, serta mematuhi semua perintah pria. Mereka juga dilarang untuk berinteraksi dengan siapa pun di luar rumah mereka. Setelah kematian suaminya, mereka tidak boleh menikah lagi, dan harus diawasi oleh kerabat laki-laki mereka.

Sementara itu, pria diizinkan untuk menikahi satu wanita yang bisa mereka nikmati bersama-sama, dan anak-anaknya akan dianggap milik suami yang paling kuat. Selama menstruasi, wanita diharuskan untuk menjauh dari keluarganya, karena dianggap sebagai najis. Setiap masyarakat memiliki praktik-praktik khusus yang sesuai dengan kondisi dan kebiasaan mereka, yang akan kita bahas lebih lanjut.

[ Sumber : مکانة المرأة في الحضارات و المجتمعات قبل الاسلام و في الحضارات المعاصرة oleh Syeikh Sholeh al-Karaabisy]..

*****

PEMBAHASAN PERTAMA: WANITA MENURUT BANGSA YUNANI:

Wanita dalam masyarakat Yunani dihinakan dan direndahkan, bahkan disebut sebagai berikut

رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ

“Sesuatu yang najis dari perbuatan setan”.

Mereka dianggap seperti barang dagangan yang bisa dibeli dan dijual di pasar, kehilangan hak-haknya, termasuk hak warisan dan hak untuk mengatur keuangan. Mereka berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dalam hal teori moral, hak hukum, dan perilaku sosial secara keseluruhan.

Dikatakan bahwa filsuf mereka, Socrates, pernah mengatakan:

"إِنَّ وُجُوْدَ الْمَرْأَةِ هُوَ أَكْبَرُ مَنْشَأٍ وَمَصْدَرٍ لِلأَزْمَةِ وَالانْهِيَارِ فِي الْعَالَمِ، إِنَّ الْمَرْأَةَ تُشَبِّهُ شَجَرَةً مَسْمُومَةً، حَيْثُ يَكُوْنُ ظَاهِرُهَا جَمِيْلًا، وَلَكِنْ عِنْدَمَا تَأْكُلُ مِنْهَا الْعَصَافِيْرُ تَمُوْتُ حَالًا".

"Kehadiran wanita adalah asal mula dan sumber krisis dan keruntuhan di dunia. Wanita mirip dengan pohon beracun, di mana tampaknya indah, tetapi ketika burung-burung memakannya, mereka mati seketika ."

Aristoteles juga mengatakan:

"إِنَّ الطَّبِيْعَةَ لَمْ تَزَوَّدِ الْمَرْأَةَ بِأَيِّ اسْتِعْدَادٍ عَقْلِيٍّ يُعْتَدُّ بِهِ؛ وَلَذَلِكَ يَجِبُ أَنْ تَقْتَصِرَ تَرْبِيْتُهَا عَلَى شُؤُوْنِ التَّدْبِيْرِ الْمَنْزِلِيِّ وَالأُمُوْمَةِ وَالْحَضَانَةِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ".

"Alam tidak memberikan wanita dengan kecerdasan yang dapat diandalkan; oleh karena itu, pendidikan mereka harus terbatas pada urusan rumah tangga, keibuan, dan pengasuhan, dan lain-lain.

Kemudian ia berkata:

"ثَلاثٌ لَيْسَ لَهُنَّ التَّصَرُّفُ فِي أَنْفُسِهِنَّ: الْعَبْدُ لَيْسَ لَهُ إِرَادَةٌ، وَالطِّفْلُ لَهُ إِرَادَةٌ نَاقِصَةٌ، وَالْمَرْأَةُ لَهَا إِرَادَةٌ وَهِيَ عَاجِزَةٌ"

"Tiga hal yang tidak dapat mengatur diri mereka sendiri: budak tidak memiliki kehendak, anak-anak memiliki kehendak yang tidak sempurna, dan wanita memiliki kehendak tetapi tidak berdaya."

Referensi : "Al-Hijaab karya al-Mawdudi halaman 12," dan "Awdatul-Hijab oleh Dr. Muhammad al-Muqaddim halaman 2/47."

Kaum wanita telah melalui berbagai tahapan di Yunani, tetapi kebanyakan dari mereka mengalami keterbatasan kebebasan dan status, dan hukum-hukum Yunani hampir tidak melindungi mereka dari bahaya yang mengancam martabat mereka, bahkan hak mereka untuk hidup.

Diketahui bahwa penolakan terhadap hak asasi manusia pada masa itu mencapai tingkat kekejaman yang ekstrem dalam sistem perbudakan yang dampaknya lebih terasa pada perempuan daripada pada yang lainnya.

Di Sparta, ayah-ayah membunuh tujuh anak perempuan dari setiap sepuluh anak yang lahir untuk mereka. Seorang perempuan yang kehilangan hak hidupnya, bagaimana mungkin ia mendapatkan hak-haknya yang lain, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik?

Pernikahan di Yunani kuno dilakukan dengan cara calon suami membeli calon istri dengan sejumlah sapi atau setara dengannya yang diserahkan kepada ayah calon istri.

Anak laki-laki memiliki posisi dan kesempatan untuk pendidikan dan pengetahuan, sementara perempuan ditempatkan dalam isolasi dan perlindungan setelah menikah, hidup dalam sudut rumah tangga suami. Tugas utama kaum wanita adalah melahirkan anak, dan jika salah satu dari mereka gagal melahirkan, nasibnya adalah kembali ke rumah ayahnya.

[Abd al-Mun'im Jabri, Al-Mar'ah 'Abrat Tarikh, Percetakan Ittihad al-Kutub al-'Arabi, Damasqus, 2006, hal. 193].

Seorang Khotib (Demosthenes) berkata dalam salah satu pidatonya:

نَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ لِنُرْزِقَ بِأَطْفَالٍ شَرْعِيِّينَ، وَلِكَيْ نَوْفِرَ رَاعِيًا مُخْلِصًا لِلْبَيْتِ وَنَمْلَكَ الْخَلِيلَاتِ لِخِدْمَتِنَا وَلِلْعِنَايَةِ بِشُؤُونِنَا الْيَوْمِيَّةِ وَالْعَشِيقَاتِ لِمَتَعَةِ الْحُبِ.

"Kami menikahi wanita untuk diberi keturunan yang sah, dan untuk memiliki seorang pengurus yang setia di rumah, serta memiliki budak perempuan untuk melayani kami dan merawat urusan sehari-hari kami, dan memiliki kekasih untuk kesenangan cinta”.

[Abd al-Hadi, Abbas, Al-Mar'ah wa al-Usrah fi Hadhoroot Asy-Sya'b wa Andzimatiha, Dar Tholaas lith-Thiba'ah wan-Nasyr, Damasyqus, 1987, Al-Juz' Al-Awwal, halaman 350].

Dalam kalimat yang menakjubkan ini, Demosthenes menyimpulkan pandangan Yunani tentang wanita pada zaman keemasan mereka. Terlihat dari yang telah disebutkan bahwa agama Yunani tidak memiliki pengaruh besar pada moralitas, karena pada dasarnya agama Yunani adalah seperangkat aturan sihir bukan moralitas. Hal ini tetap berlaku hingga akhir hari-hari Yunani.

[Khodhr Zakariya, Al-Wad'u al-Ijtima'i li al-Mar'ah al-Arabiyyah, Al-Ahaali lith-Thiba'ah wan-Nasyr wat-Tawzi', Damasyqus, 1994, halaman 32].

*****

PEMBAHASAN KEDUA: KEDUDUKAN WANITA PADA BANGSA ROMAWI:

Pandangan bangsa Romawi terhadap wanita adalah:

"إِنَّ قَيْدها لا يُنْزَع، وَنِيرَها لا يُخْلَعُ"

"Kungkungannya tidak boleh dilepaskan, dan kekangnya tidak boleh dicabut".

Seorang ayah tidaklah terikat untuk menerima anaknya yang baru lahir ke dalam keluarganya, baik itu anak laki-laki maupun perempuan. Sebaliknya, bayi diletakkan di dekat kakinya setelah lahir. Jika ia mengangkat dan memegang bayi itu di depannya, itu adalah tanda bahwa ia telah menerima anak tersebut ke dalam keluarganya. Namun, jika tidak, itu berarti ia menolaknya.

Ada hal yang aneh yang disebutkan dalam beberapa sumber - yang hampir sulit dipercaya - bahwa :

"مِمَّا لَاقَتْهُ الْمَرْأَةُ فِي الْعَصُورِ الرُّومَانِيَّةِ تَحْتَ شِعَارِهِمُ الْمَعْرُوفِ "لَيْسَ لِلْمَرْأَةِ رُوْحٌ" تَعَذَّبُهَا بِسَكْبِ الزَّيْتِ الْحَارِّ عَلَى بَدَنِهَا، وَرُبْطُهَا بِالْأَعْمِدَةِ، بَلْ كَانُوا يَرْبُطُونَ الْبَرِيئَاتِ بِذُيُولِ الْخَيَالِ، وَيُسَرِّعُونَ بِهَا إِلَى أَقْصَى سُرْعَةٍ حَتَّى تَمُوْتَ"

"salah satu penyiksaan yang dialami wanita dalam zaman Romawi, di bawah motto mereka yang terkenal 'wanita tidak memiliki jiwa', adalah dengan menuangkan minyak panas ke tubuh mereka, mengikat mereka pada tiang-tiang, bahkan mereka mengikat wanita yang tidak bersalah ke ekor kuda, dan memacunya dengan kecepatan maksimum sampai mati." [Referensi : "Awdatul-Hijab 2/48].

Dalam referensi lain disebutkan :

“Meskipun Romawi memiliki pola pikir yang mirip dengan Yunani, namun posisi perempuan dalam masyarakat mereka berbeda dengan posisinya di Yunani. Mungkin perempuan Romawi memiliki sedikit pengaruh pada banyak situasi.

Tidak pernah terjadi bahwa perempuan Romawi hidup dalam isolasi separuh tradisi ketimuran seperti perempuan Yunani, namun mereka tetap berada di bawah kendali pria, baik itu ayah, suami, atau saudara laki-laki mereka. 

Menurut tradisi Romawi kuno, kepemilikan seorang wanita beralih dari ayahnya ke suaminya melalui pembelian, di mana suami membayar harga untuk memperoleh istri, seperti barang yang diperjual belikan.

Dengan melimpahnya kekayaan ke Roma dari hasil rampasan perang Embratoria, maka kaum bangsawan Romawi memperlihatkan tanda-tanda kekayaan mereka pada istri-istri mereka, yaitu dengan cara mendandani istri-istri mereka dengan pakaian dan perhiasan termahal. Sehingga, perempuan Romawi mulai menunjukkan kepribadian independennya sendiri. Bahkan ada sebagian kaum wanita yang mencoba meningkatkan status mereka untuk keluar dari dominasi pria. 

Secara umum, terdapat sejumlah hubungan saling ada ketergantungan antara kedua jenis kelamin ini. Namun, apa yang sering terjadi adalah bahwa pandangan laki-laki terabaikan oleh para penulis tentang perempuan, dengan keyakinan bahwa keberadaan dan pemikiran itu hanya terfokus pada laki-laki saja, tanpa ada fokus pada perempuan. Selain itu, dianggap bahwa perasaan perempuan sudah seharusnya lebih rendah daripada perasaan suami mereka.

[Abd al-Hadi, Abbas, Al-Mar'ah wa al-Usrah fi Hadhoroot Asy-Sya'b wa Andzimatiha, Dar Tholaas lith-Thiba'ah wan-Nasyr, Damasyqus, 1987, Al-Juz' Al-Awwal, halaman 54].

Selain itu semua , partisipasi perempuan dalam kegiatan di luar lingkungan keluarga sangat terbatas. Seperti halnya di Yunani, perempuan dilarang melakukan peran apapun dalam teater, karena itu dibatasi untuk kaum laki-laki. Bahkan jika peran itu memerlukan kehadiran seorang wanita, maka peran tersebut biasanya diambil oleh seorang pria yang mengenakan pakaian wanita dan memakai rambut palsu, karena dianggap bahwa perempuan yang melakukan peran semacam itu memiliki perilaku buruk dan akan dilihat dengan pandangan hina dan rendah.

Seorang wanita yang berani melakukan pekerjaan di atas pentas, maka ia melakukannya atas risiko reputasi dirinya . Satu-satunya kesempatan bagi wanita untuk mengekspresikan perasaan mereka adalah melalui kehadiran sebagai penonton di teater luar ruangan atau dipentas terbuka . Mungkin hanya di sini wanita bisa mencapai sejauh mungkin kesetaraan dengan pria.

Peningkatan kekayaan dan kebobrokan moral dalam tahap-tahap terakhir kehidupan Romawi adalah salah satu faktor terbesar yang menyebabkan keruntuhan moral dan retaknya ikatan pernikahan..

[Abd al-Latif, Yasin Qassab, Al-Mar'ah 'Abr al-Tarikh, halaman 42-43.]

Dalam referensi lain dikatakan :

“Tidak ada wanita kaya yang tidak pernah, setidaknya bercerai sekali, karena salah satu faktor utama yang menyebabkan penyebaran perceraian adalah bahwa perkawinan di kalangan kelas atas menjadi tergantung pada uang dan politik. Keadaan finansial wanita dan kekayaannya memiliki dampak langsung pada situasi politik di Roma.

Penyiksaan dan pembunuhan anak perempuan : 

Setelah itu, ada periode yang lebih keras bagi wanita di Roma daripada periode lainnya, disaat itu Al-Quran menurunkan larangan terhadap praktik yang dilakukan oleh beberapa suku arab pada masa jahiliyah seperti pembunuhan terhadap bayi perempuan, dan saat itu umat Islam terus mengulang-ulang firman Allah SWT:

(وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ* بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ)

"Dan ketika bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup, ditanya karena dosa apa dia dibunuh." (QS. At-Takwir: 8-9).

Di zaman Romawi pada Abad Pertengahan, mereka biasa menghukum wanita dengan penyiksaan hingga mati tanpa sebab melakukan kejahatan apa pun.

Salah satu bentuk penyiksaan yang diterapkan pada wanita adalah dengan menuangkan tar panas ke tubuh mereka dan mengikat sekelompok wanita di tiang yang terbakar pelan-pelan di bawahnya selama beberapa hari. Selain itu, mereka juga menggunakan metode penyiksaan lainnya, seperti pembakaran dan berbagai bentuk penyiksaan.

[Referensi : Abd al-Mun'im Jabri, Al-Mar'ah 'Abrut-Tarikh al-Basyari, Al-Awwal li ath-Thiba'ah wa al-Nasyr, Damasqus, 2006, halaman 48]

Pernyataan yang aneh :

Abd al-Mun'im Jabri berkata : “Pernyataan yang aneh dan mengejutkan bagi masyarakat Romawi adalah : bahwa kaum wanita pada masa perkembangan peradaban dan kemewahan, mereka bisa bertindak bebas atas harta mereka sendiri, penuh kuasa, dan mereka bersaing mengalahkan kaum pria , sehingga membuat kaum pria bertekuk lutut untuk mendapatkan kerelaan kaum wanita. Dari sanalah sebabnya, sehingga ketika datang pada masa dekadensi dan kondisi yang memburuk, kebencian terhadap mereka meningkat dan kebebasan mereka menjadi dibatasi .

Pernyataan aneh ini dijawab oleh penulis ensiklopedia abad ke-20 dengan mengatakan:

لَمَّا امْتَدَّ مُلْكُ الرُّومَانِ وَنَالُوا قَدْرًا كَبِيرًا مِنَ الْعَظَمَةِ وَالتَّفُوقِ عَلَى الْأُمَمِ وَلَمْ يَبْقَ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مُنَازِعٌ فَتَدَاخَلَهُمْ حُبُّ التَّرْفِ وَالرَّفَاهِيَةِ وَهَذِهِ الْأُمُورُ لَا تَكْتُمُلُ إلَّا بِاخْتِلَاطِ الْجِنْسَيْنِ مَعًا فَشَرَعُوا فِي كَشْفِ الْحِجَابِ عَنْ نِسَائِهِمْ وَتَرْقُوا فِي ذَلِكَ شَيْئًا فَشَيْئًا حَتَّى أَصْبَحْنَ النِّسَاءُ هُنَّ الْمُسَيْطِرَاتُ عَلَى الْأُمُورِ السِّيَاسِيَّةِ، وَحَصَلَ فِي هَذَا الِاخْتِلَاطِ مِنَ الدَّنَايَا وَالْمَقَاذِرَةِ مَا أَكْرَهُ أَنْ يُكْتَبَهُ قَلَمِي، فَمَاتَتْ هُمُمُهُمْ وَخَارَتْ عَزَائِمُهُمْ وَحَدَثَتْ أَثْنَاءَ ذَلِكَ أَحْدَاثٌ غَيَّرَتْ اتِّجَاهَاتِ الْأَفْكَارِ بِالْمَرْأَةِ، فَأَخَذَ الْحَقْدُ يَزْدَادُ شَيْئًا فَشَيْئًا وَالتَّضِيُّقُ يَشْتَدُّ يَوْمًا فِي يَوْمٍ، حَتَّى وَصَلَ الْأَمْرُ إلَى مَا وَصَفْتُ لَكَ مِنْ حَالِ الْقُرُونِ الْوُسْطَى، لَغَايَةِ الْقَرْنِ السَّابِعِ عَشَرَ وَمُقَدِّمَةِ الْقَرْنِ التَّاسِعِ عَشَرَ، فَإِذَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ الْمَسْكِينَةُ أَلْعُوبَةً بِيدِ الرَّجُلِ لِهَذِهِ الدَّرَجَةِ، يُحَبِّسُهَا مَادَامَ مُتَدَيِّنًا، ثُمَّ إِذَا دَخَلَهُ حُبُّ اللَّهْوِ وَالتَّرْفِ يُخْرِجُهَا لِيَلْعَبَ بِضَعْفِهَا، ثُمَّ إِذَا فَتَنَهَا وَأَتْلَفَ أَدَبَهَا بِمَا يَخْتَرِعُهُ لَهَا مِنْ أَنْوَاعِ الْبَذْخِ وَالزِّينَةِ يَرَاهَا حَمْلًا ثَقِيلًا عَلَيْهِ فَيُعِيدُهَا إلَى حُبْسِهَا بِأَشَدِّ مِمَّا كَانَ.

"Ketika kekuasaan Romawi meluas dan mereka mencapai tingkat kebesaran dan dominasi atas bangsa-bangsa lain dan tidak ada lawan bagi mereka di bumi, maka mereka terlibat dalam cinta kekayaan dan kemewahan.

Hal-hal ini tidak dapat dicapai kecuali dengan ikhtilath campur baur antara kedua jenis kelamin laki dan perempuan. Oleh karena itu, mereka mulai membuka penghalang para wanita mereka dan terus meningkatkan hal tersebut sedikit demi sedikit hingga akhirnya wanita menjadi penguasa atas urusan politik.

Dampak dari campur baur dua jenis kelamin laki dan perempuan ini adalah kerendahan moral dan perbuatan kotor yang tidak ingin saya tuliskan dengan pena saya.

Semangat mereka mati dan keinginan mereka melemah, dan selama itu terjadilah peristiwa-peristiwa yang mengubah arah pikiran tentang wanita. Kedengkian semakin bertambah sedikit demi sedikit dan penekanan semakin kuat dari hari ke hari, hingga mencapai keadaan seperti yang saya gambarkan kepada Anda pada zaman Abad Pertengahan, hingga abad ke-17 dan awal abad ke-19."

[Referensi : Abd al-Mun'im Jabri, Al-Mar'ah 'Abrut-Tarikh al-Basyari, Al-Awwal li ath-Thiba'ah wa al-Nasyr, Damasqus, 2006, halaman 48]..

*****

PEMBAHASAN KETIGA: KEDUDUKAN WANITA PADA BANGSA PERSIA:

Wanita Persia tidak memiliki nasib yang lebih baik dari wanita India dan Mesir, karena masyarakat Persia kuno melihat wanita dengan pandangan rendah dan merendahkan, dan mereka menghukumnya untuk setiap kesalahan atau kelalaian terhadap suaminya.

Bangsa Persia merupakan bangsa yang terbiasa berperang, dan mereka lebih memilih laki-laki daripada perempuan karena laki-laki merupakan tulang punggung dalam peperangan, sementara perempuan hanya dibesarkan untuk kepentingan orang lain dan dimanfaatkan oleh orang lain.

Perempuan Persia kuno tunduk pada pengaruh tiga aliran keagamaan, dari Zoroastrianisme, Manikeisme, hingga Mazdakisme, dan setiap agama ini meninggalkan jejak yang jelas pada struktur keluarga, di mana mereka hidup dalam kehinaan, penindasan, dan perbudakan.

Wanita berada di bawah kekuasaan pria yang absolut yang memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman mati atau memberikan hidup kepadanya sesuai dengan keinginannya, sehingga perempuan dianggap seperti barang dagangan di tangannya.

Mereka juga dihina dalam peran-peran alaminya seperti "haid dan nifas", yang menyebabkan mereka diasingkan dari rumah dan tinggal di dalam tenda-tenda kecil di pinggiran kota atau desa, dan mereka dilarang untuk berhubungan secara langsung, bahkan dipercaya bahwa mereka akan "menyebabkan pencemaran" jika disentuh atau jika ada yang menyentuh tenda atau benda-benda di sekitar mereka.

Referensi: "Al-Mar'ah Bayn al-Qadim wa al-Hadith karya 'Umar Kahalah 1/132, dengan mengutipnya dari “Huquq al-Mar'ah fi Dhow'i as-Sunnah an-Nabawiyyah halaman 25."

Dr. Mahmoud Najm Abadi dalam bukunya " الإسلام وتنظيم الأُسرة " menyatakan:

"زَرَادُشْت" كَانَتْ جَائِرَةً وَظَالِمَةً بِحَقِّ الْمَرْأَةِ، فَإِنَّهَا كَانَتْ تُعَاقِبُهَا أَشَدَّ عُقُوبَةٍ إِذَا صَدَرَ عَنْهَا أَيُّ خَطَأٍ أَوْ هَفْوَةٍ، بِعَكْسِ الرَّجُلِ فَإِنَّهَا قَدْ أَطْلَقَتْ لَهُ جَمِيعَ الصَّلَاحِيَاتِ، يَسْرَحُ وَيَمْرَحُ وَلَيْسَ مِنْ رَقِيبٍ عَلَيْهِ. فَلَهُ مُطْلَقُ الْحُرِّيَّةِ؛ لِأَنَّهُ رَجُلٌ، وَلَكِنَّ الْحِسَابَ وَالْعُقُوبَةَ لَا يَكُونُ إِلَّا عَلَى الْمَرْأَةِ.

Hukum-hukum "Zoroaster" tidak adil dan zalim terhadap wanita, karena wanita akan dihukum lebih berat jika melakukan kesalahan atau kelalaian, berbeda dengan pria yang memiliki semua kebebasan, dapat bertindak sesuka hati tanpa pengawasan. Dia memiliki kebebasan total karena dia adalah seorang pria, tetapi pertanggungjawaban dan hukuman hanya berlaku untuk wanita."

Dia juga mengatakan:

كَانَ أَتْبَاعُ "زَرَادُشْت" يَمْقُتُونَ النِّسَاءَ، وَحَالَمَا كَانَتْ تَتَجَمَّعُ لَدَى الرَّجُلِ بُرَاهِينَ عَلَى عَدَمِ إِخْلَاصِ الزَّوْجَةِ كَانَ لَا مَفَرَّ لَهَا مِنَ الِانْتِحَارِ، وَقَدْ ظَلَّ هَذَا الْقَانُونُ سَارِيًّا حَتَّى عَهْدِ الْأَكَادِيمِيِّينَ، وَفِي عَهْدِ السَّاسَانِيِّينَ خَفَّفَ هَذَا الْقَانُونَ، بِحَيْثُ صَارَتِ الْمَرْأَةُ تُسَجَّنُ جَزَاءَ عَدَمِ إِخْلَاصِهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ، حَتَّى إِذَا كَرَّرَتْ عَمَلَهَا صَارَ لَا مَفَرَّ لَهَا مِنَ الِانْتِحَارِ.

"Para pengikut "Zoroaster" membenci wanita, dan segera setelah ada bukti-bukti ketidaksetiaan istri yang berkumpul di hadapan seorang pria, tidak ada jalan bagi wanita tersebut kecuali bunuh diri. Hukum ini berlaku sampai era Akadia, dan selama era Sassanid, hukum ini diperingan, di mana wanita akan dipenjara sebagai hukuman untuk ketidaksetiaannya pertama kali, dan jika dia mengulangi tindakannya, tidak ada jalan bagi dia kecuali bunuh diri."

Dia juga mengatakan:

بَيْنَمَا كَانَ يَحِقُّ لِلرَّجُلِ مِنْ أَتْبَاعِ "زَرْدَشْت" أَنْ يَتَزَوَّجَ مِنْ امْرَأَةٍ غَيْرِ زَرَادُشْتِيَّةٍ، فَإِنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَحِقُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَتَزَوَّجَ مِنْ رَجُلٍ غَيْرِ زَرَادُشْتِيٍّ، وَهَذَا الْقَانُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كَمَا أَسْلَفْنَا فَقَطَّ، نَاهِيكَ عَنِ الْاِضْطِهَادِ وَالْحُرْمَانِ. وَأَمَّا الرَّجُلُ فَلَهُ الْحُرِّيَّةُ فِي التَّصَرُّفِ عَلَى هَوَاهُ وَهُوَ الْمَالِكُ؛ لِأَنَّهُ رَجُلٌ.

"Sementara pria dari pengikut "Zoroaster" diizinkan untuk menikahi wanita non-Zoroastrian, akan tetapi wanitanya tidak diizinkan untuk menikahi pria non-Zoroastrian. Hukum ini hanya berlaku untuk wanita, tanpa menyebutkan penindasan dan pengekangan. Dan pria memiliki kebebasan untuk bertindak sesuai kehendaknya, karena dia adalah pemilik; karena dia adalah seorang pria."

*****

PEMBAHASAN KEEMPAT: KEDUDUKAN WANITA PADA BANGSA INDIA [HINDU]:

India dikenal sebagai peradaban kuno yang kaya akan ilmu pengetahuan, peradaban, dan budaya sejak zaman dahulu. Namun, sayangnya, kita melihat bahwa mereka memperlakukan wanita dengan kejam tanpa belas kasihan. 

Wanita di sana dianggap sebagai budak milik ayahnya, suaminya, atau anak laki-lakinya yang dewasa, dan mereka terdeprivasi dari semua hak milik bahkan hak waris. Mereka harus menerima calon suami yang ditawarkan oleh ayah atau saudara laki-lakinya, dan terpaksa hidup bersamanya sampai akhir hidup mereka. Wanita tidak memiliki hak untuk meminta perceraian apa pun alasannya, dan selama hari-hari menstruasinya, ia harus menyendiri untuk makan dan minumnya, serta tidak boleh bercampur dengan keluarga karena dianggap najis dan jahat.

Tidak hanya itu, mereka bahkan membakar wanita bersama suaminya ketika meninggal. Kebiasaan mereka adalah jika seorang pria meninggal, mereka membakarnya dan membawa istrinya untuk mengenakan pakaian terbaiknya dan perhiasannya, kemudian melemparkannya ke atas jenazah suaminya yang terbakar agar dimakan oleh api. Orang India juga meyakini bahwa wanita adalah sumber kejahatan, dosa, dan kemunduran rohani dan moral.

[ Sumber : مکانة المرأة في الحضارات و المجتمعات قبل الاسلام و في الحضارات المعاصرة oleh Syeikh Sholeh al-Karaabisy].

Tentang Wanita dalam hukum agama Hindu dinyatakan:

"لَيْسَ الصَّبْرُ الْمُقَدَّرُ، وَالرِّيحُ، وَالْمَوْتُ، وَالْجَحِيمُ، وَالسُّمُّ، وَالْأَفَاعِيُ، وَالنَّارُ، أَسْوَأَ مِنَ الْمَرْأَةِ"

"Tidaklah kesabaran yang ditakdirkan, angin, kematian, neraka jahim, racun, ular, dan api, lebih buruk daripada wanita."

Dr. Mustafa al-Saba'i - semoga Allah merahmatinya - mengatakan:

وَلَمْ يَكُن لِلْمَرْأَةِ فِي شَرِيعَةِ "مَانُو" حَقٌّ فِي الِاسْتِقْلَالِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ زَوْجِهَا أَوْ وَلَدِهَا، فَإِذَا مَاتَ هَؤُلَاءَ جَمِيعًا وَجَبَ أَنْ تَنْتَمِي إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَقَارِبِ زَوْجِهَا، وَهِيَ قَاصِرَةٌ طِوَالَةَ حَيَاتِهَا، وَلَمْ يَكُن لَهَا حَقٌّ فِي الْحَيَاةِ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا، بَلْ يَجِبُ أَنْ تَمُوتَ يَوْمَ مَاتَ زَوْجُهَا، وَأَنْ تُحَرَّقَ مَعَهُ وَهِيَ حَيَّةٌ عَلَى مَوْقِدٍ وَاحِدٍ، وَاِسْتَمَرَّتْ هَذِهِ الْعَادَةُ حَتَّى الْقَرْنِ السَّابِعِ عَشَرَ، حَتَّى أُبْطِلَتْ عَلَى كُرْهٍ مِنْ رِجَالِ الدِّينِ الْهِنْدِيِّينَ، وَكَانَتْ تُقَدِّمُ قُرْبَانًا لِلْآلِهَةِ لِتَرْضَى، أَوْ تَأْمُرُ بِالْمَطَرِ أَوْ الرِّزْقِ، وَفِي بَعْضِ مَنَاطِقِ الْهِنْدِ الْقَدِيمَةِ شَجَرَةٌ يَجِبُ أَنْ يُقَدِّمَ لَهَا أَهْلُ الْمِنْطَقَةِ فَتَاةً تَأْكُلُهَا كُلَّ سَنَةٍ.

"Wanita tidak memiliki hak independen dalam hukum "Manu" untuk lepas dari ayahnya, suaminya, atau anaknya. Jika mereka semua meninggal, ia harus diambil alih oleh seorang pria dari kerabat suaminya, dan dia akan tetap dalam keterbatasan sepanjang hidupnya.

Dia tidak memiliki hak atas hidup setelah kematian suaminya, bahkan harus mati pada hari suaminya meninggal, dan dia harus dibakar bersamanya hidup-hidup di atas tungku yang sama. Dan Tradisi ini berlanjut hingga abad ke-17, kemudian dibatalkan oleh otoritas agama Hindu karena tekanan dari para tokoh masyarakat India.

Dan wanita ini dulu dijadikan persembahan kepada dewa-dewi untuk mendapatkan rahmat atau meminta hujan atau rezeki. Di beberapa daerah kuno di India, ada pohon yang oleh penduduknya harus diberikan persembahan kurban seorang gadis setiap tahunnya untuk dijadikan pupuk baginya."

Referensi : "Al-Mar'ah Bainal Fiqhi wa al-Qanun (Hal. 18)."

Umat Hindu di Nusantara dulu juga sama. Mereka harus membakar seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya . Lalu tradisi ini dilarang oleh penguasa kolonial Belanda .

Alasan mereka untuk melakukan tradisi ini , karena menurut mereka bahwa seorang istri yang didahului oleh kematian suaminya adalah pertanda kesialan yang akan membawa malapetaka pada penduduk daerahnya . Dan itu disebabkan karena sang istri tidak pandai berkhidmat dan tidak becus menjaga suaminya dari kematian. Oleh karena itu untuk mengatasi datangnya malapetaka tersebut , maka sang istri tersebut harus dimatikan pula dengan cara dibakar hidup-hidup dengan suaminya dalam satu tungku .  

TAHAPAN KEDUDUKAN WANITA DI INDIA :

Para Arya menaklukkan Lembah Sindhu dan membagi-bagi tanah di antara mereka, mereka mengusir penduduk asli Dārvidian dan menindas serta merendahkan mereka. Namun, dalam era sebelum kedatangan Arya, ajaran-ajaran menuntut agar seorang pria hormat terhadap ibu dan keluarganya, karena dia dibesarkan oleh mereka, dan dalam era itu, wanita memiliki kebebasan untuk bepergian dan berpartisipasi dalam pertemuan dan perayaan bersama pria, baik mereka sudah menikah atau belum, mereka memiliki tanah dan harta.

Namun, situasi berubah setelah kedatangan Arya. Veda (kitab makrifat bagi orang India) melarang istri untuk berpartisipasi dalam pengorbanan umum yang lazim di India atau melakukannya. Oleh karena itu, hak dan keistimewaan wanita berakhir, terutama ketika kaum pria (para pemimpin suku yang berbeda dan pemilik otoritas tertinggi) mulai menerapkan hukum perkawinan umum di antara suku-suku nomaden, misalnya, dengan mewajibkan pria untuk memperkosa calon istri dengan kekerasan, atau memperolehnya dengan cara membayar sejumlah uang. Sehingga, wanita masuk ke dalam rumah tangga untuk tunduk pada kendali ayah yang ketat yang diperkenalkan oleh penakluk Arya dan dipaksakan kepada penduduk lokal.

Setelah periode ini, muncullah kasta Brahmana yang menyesuaikan hukum moral dan agama sesuai dengan kepentingan mereka dan tradisi mereka. Brahmana mengacu pada hukum Manusmriti, yang merupakan putra legendaris dewa Brahman. Dalam hukum Manusmriti, wanita dianggap sebagai keburukan itu sendiri dan diberikan hanya satu hak, yaitu hak perlindungan suami baginya dengan perlindungan yang penuh kewaspadaan. Manusmriti menyatakan :

إِنَّ الزَوْجَةَ الْوَفِيَّةَ يَنْبَغِي أَنْ تَخْدُمَ سَيِّدَهَا كَمَا لَوْ كَانَ إِلَهًا وَأَلاَّ تَأْتِيَ شَيْئًا مِنْ شَأْنِهِ أَنْ يُؤْلِمَهُ، مُهْمَا كَانَتْ حَالَتُهُ، حَتَّى وَلَوْ كَانَتْ أَخْلاَقُهُ تَخْلُوا مِنْ كُلِّ الْفَضَائِلِ”.

"Seorang istri yang setia harus melayani suaminya seolah-olah dia adalah tuhan, dan tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat menyakiti suaminya, bagaimanapun juga keadaannya, bahkan jika moralitasnya sama sekali tidak memiliki kebajikan apapun”. [Mohammad Arkoun, referensi sebelumnya, halaman 42].

Dan seni membaca di kalangan orang India dan orang kuno tidak pantas bagi wanita agar kekuasaannya tidak kuat atas pria melalui membaca. Kemudian, membaca menyebabkan kekurangan hasrat bagi wanita. Hukum Manusmriti di India tidak mengenal hak wanita yang independen dari hak ayahnya, suaminya, atau putranya. Dalam kasus kematian ayah dan suami, jika keduanya telah meninggal, maka ia harus menjadi milik seorang pria dari keluarga suaminya dan tidak diperbolehkan untuk hidup secara mandiri dalam keadaan apa pun.

Lebih parah lagi dari penolakan haknya dalam urusan kehidupan adalah penolakan haknya untuk hidup mandiri dari suaminya. Bahkan, ia harus dibakar bersamanya di atas tungku tungku saat suaminya meninggal, dan kebiasaan kuno ini bertahan hingga abad ketujuh belas.

[ Juliette Mans, Al-Mar'ah fi al-Alam al-Arabi, terjemahan ke bahasa Arab oleh Elias Marqus, Dar al-Haqiqah li al-Taba'ah wal Nashr, Beirut, Edisi ke-2, 1989, halaman 46].

Tagore mengatakan melalui Shatranj:

إِنَّ المَرْأَةَ يُسَعِّدهَا أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً فَقَطْ وَأَنْ تَلْفَ نَفْسَهَا حَوْلَ قُلُوبِ الرِّجَالِ بِابْتِسَامَتِهَا وَتَنْهِدَاتِهَا وَخِدْمَاتِهَا وَمُلاحِظَاتِهَا فَمَاذَا يَجْدِي عَلَيْهَا جَلِيلُ العِلْمِ وَجَلِيلُ الأَعْمَالِ.

"Seorang wanita hanya bisa bahagia menjadi seorang wanita saja dan membungkus dirinya di sekitar hati kaum pria dengan senyumnya, tangisannya, pelayanannya, dan perhatiannya. Apa artinya bagi dia ilmu tinggi dan pekerjaan-pekerjaan hebat?." [Abdul Mun'im Jabri, referensi sebelumnya, halaman 82].

Mujasiti meriwayatkan dari hari-hari Chandragupta:

أَنَّ الْبَرَاهِمَةَ يَحُوِلُونَ بَيْنَ زَوْجَاتِهِمْ - وَلَهُمْ زَوْجَاتٌ كَثِيرَاتٌ - وَبَيْنَ دِرَاسَةِ الْفَلَسَفَةِ لِأَنَّ النِّسَاءَ إِنْ عَرَفْنَ كَيْفَ يَنْظُرْنَ إِلَى اللَّذَّةِ وَالْأَلَمِ وَالْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ نَظَرَةً فِلْسَفِيَّةً سَيُصِيبُهُنَّ مَسٌ مِنْ جُنُونٍ أَوْ يَأْبَيْنَ بَعْدَ ذَلِكَ الْخُضُوعَ لأَزْوَاجِهِنَّ.

"Bahwa kaum Brahmana menghalangi antara istri-istri mereka - mereka memiliki banyak istri – dan antara belajar filsafat karena jika wanita tahu bagaimana melihat kesenangan, rasa sakit, kehidupan, dan kematian dengan pandangan filosofis, mereka akan menjadi terkena gejala kegilaan atau menolak patuh tunduk pada para suami mereka setelah itu."

[Abdul Hadi Abbas, Al-Mar'ah wa al-Usrah fi Hadarat al-Shu'ub wa Anzumatha, Dar Talas li al-Taba'ah wal Nashr, 1987, Juz' 3, halaman 83].

Dalam hukum Manusmriti, hanya melalui keturunanlah seorang pria mencapai kelengkapan, sedangkan wanita telah dikhususkan - terutama untuk melahirkan -.

Dan dalam sistem India, perkawinan adalah kewajiban bagi semua orang. Seorang pria yang belum menikah dianggap sebagai orang yang tidak memiliki status atau penghargaan, dan merupakan aib bagi seorang gadis untuk tetap tidak menikah. Oleh karena itu, orang tua harus mengurus pernikahan anak mereka sebelum keinginan seksualnya menyimpang, sehingga mereka bisa terlempar menuju nasib pernikahan yang menurut pandangan orang India, akan berujung pada keputusasaan yang pahit.

[Melhem Sharroul, Al-Mar'ah wasy-Sya’nul-Aam fi Dhaw'i al-Istithlaa’at wal Abhaats, Kitab Bahisat, al-Adad al-Rabi', Beirut, 1999, halaman 10.]

Pendidikan anak perempuan seperti menyirami ladang orang lain, seperti yang sering diucapkan oleh penduduk Haryana di utara India, mencerminkan realitas yang buruk bagi wanita.

Sejak kemunculan alat deteksi jenis kelamin janin yang dini, orang India memperbincangkan pepatah rakyat yang lebih kejam daripada realitas itu sendiri, di mana mereka menganggap bahwa anak perempuan itu pada akhirnya akan menikah dan menjadi bagian dari pelayanan suami dan keluarganya. [Abdul Latif Yasin Qassab, referensi sebelumnya, halaman 91]

Di klinik Prothak, yang terletak 80 kilometer dari ibu kota India, seorang wanita yang lebih tua sedang merayakan kelahiran cucu laki-lakinya dengan memberikan banyak permen kepada dokter dan perawat ... Tiba-tiba, salah satu dari mereka bertanya, "Bagaimana jika bayi itu perempuan?" Sang nenek menjawab dengan cepat, "Mengapa tidak mengatakan sesuatu yang baik saja." [Abdul Mun'im Jabri, referensi sebelumnya, halaman 141]

*****

PEMBAHASAN KE LIMA : WANITA DALAM AGAMA YAHUDI

Tentang wanita dalam agama Yahudi, hukum terhadapnya dalam Perjanjian Lama adalah sebagai berikut:

دُرْتُ أَنَا وَقَلْبِي لِأَعْلَمَ وَلِأَبْحَثَ وَلِأَطْلُبَ حِكْمَةً وَعَقْلًا، وَلِأَعْرِفَ الشَّرَّ أَنَّهُ جَهْلَةٌ، وَالْحَمَاقَةَ أَنَّهَا جُنُونٌ؛ فَوَجَدْتُ أَمْرًا مِنَ الْمَوْتِ: الْمَرْأَةَ الَّتِي هِيَ شُبَاكٌ، وَقَلْبُهَا شِرَاكٌ، وَيَدُهَا قُيُودٌ.

"Aku mencari dan merenungkan dengan hatiku untuk menemukan hikmat dan pengetahuan, dan untuk mengetahui bahwa kejahatan adalah kebodohan, dan kebodohan adalah kegilaan; dan aku menemukan sesuatu yang lebih pahit dari kematian: Wanita yang menjadi perangkap, hatinya adalah jerat, dan tangannya adalah belenggu" - Pengkhotbah 7: 25, 26.

Beberapa sekte Yahudi menganggap anak perempuan berada di tingkat pelayan, dan ayahnya memiliki hak untuk menjualnya saat masih kecil, dan ia hanya akan mewarisi jika ayahnya tidak memiliki keturunan laki-laki, jika tidak, ayahnya tidak akan memberikannya hak waris selama hidupnya.

Bagi yang memperhatikan kondisi wanita dalam masyarakat Yahudi, mereka tidak berbeda dengan masyarakat primitif; mereka dimiliki oleh ayah mereka sebelum pernikahan, kemudian dibeli dari ayah mereka saat menikah; karena mas kawin dibayarkan kepada ayah atau saudara perempuannya sebagai harga beli, dengan demikian ia menjadi milik suaminya, yang merupakan tuannya mutlak; karena menurut hukum mereka, pernikahan adalah kontrak kekuasaan bukan pernikahan.

Dan wanita dalam hukum Yahudi diwariskan sebagai bagian dari harta peninggalan suami yang meninggal. Jika suaminya meninggal, pewarisnya mewarisi dia bersama dengan sisa harta peninggalan, dan dia memiliki hak untuk menjualnya atau menahan haknya.

Selain itu, wanita dianggap tidak suci bagi mereka pada hari di mana dia mulai merasakan bahwa periode menstruasinya akan segera tiba, bahkan jika tidak ada tanda-tanda fisik yang jelas. Suami dilarang menyentuhnya, bahkan dengan jari kecilnya, dan tidak diizinkan untuk memberikannya atau mengambil sesuatu dari tangannya. Bahkan, tidak diperbolehkan untuk menyentuhnya dalam jangka waktu yang lama. Dia juga tidak diizinkan untuk memberikan atau menerima sesuatu darinya atau sebaliknya. Mereka tidak diizinkan makan bersama di meja yang sama, dan suami tidak diizinkan minum dari gelas yang sama dengannya. Mereka juga tidak diizinkan tidur di tempat tidur yang sama atau naik kendaraan bersama.

[Referensi : Huquq al-Mar'ah fi Dau' as-Sunnah an-Nabawiyyah (s: 31) dan 'Awdat al-Hijab (2/51).

*****

PEMBAHASAN KEENAM : KEDUDUKAN WANITA PADA UMAT KRISTEN AWAL:

Para tokoh Kristen awal melihat adanya penyebaran kekejian dan kemungkaran dalam masyarakat Romawi, serta kemerosotan moral yang mengerikan, lalu mereka menganggap kaum wanita lah yang harus bertanggung jawab atas semua ini ; karena terjadinya semua itu kaum wanita lah penyebabnya . 

Penyebabnya adalah mereka para kaum wanita keluar ke tengah-tengah masyarakat , lalu mereka ikut serta bersenang-senang dengan melibatkan diri dengan kaum pria dalam berbagai macam hiburan sesuai hawa nafsunya, sehingga mereka dianggap sebagai akar dosa dan sumber keburukan; karena mereka dianggap sebagai penyebab kehancuran moral umat manusia dan juga penyebab Adam dikeluarkan dari surga.

Akibatnya, wanita diwajibkan untuk mematuhi perilaku tertentu, bahkan ketika berada di dalam gereja. "Paulus" mengeluarkan perintah yang tegas kepada pengikutnya. Seperti yang dikatakan oleh penulis Sejarah Peradaban:

"لَتَصْمُتْ نِسَاؤُكُمْ دَاخِلَ الْكَنِيسَةِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مَأْذُونًا لَهُنَّ أَنْ يَتَكَلَّمْنَ، وَلَكِنْ إِذَا كُنَّ يُرِدْنَ أَنْ يَتَعَلَّمْنَ شَيْئًا فَلْيَسْأَلْنَ رِجَالَهُنَّ فِي الْبَيْتِ؛ لِأَنَّهُ قَبِيحٌ بِالنِّسَاءِ أَنْ يَتَكَلَّمْنَ فِي الْكَنِيسَةِ"

"Suruh para wanita diam tidak bicara di dalam gereja, karena tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berbicara, tetapi jika mereka ingin belajar sesuatu, maka biarkan mereka bertanya kepada suami mereka di rumah, karena tidak pantas bagi para wanita untuk berbicara di dalam gereja". 

Referensi: Qishatul Hadharah "Lawl Diuran" (3/278) , dikutip dari 'an Huquq al-Mar'ah fi Dhaw’i' as-Sunnah an-Nabawiyah (hal: 32)

Adapun posisi Injil terhadap wanita, disebutkan dalam bab sebelas dari Kitab 2 Korintus :

ولَكِنِّي أَخَافُ كَمَا خَدَعَتِ الحَيَّةُ حَوَّاءَ بِمَكْرِهَا، هَكَذَا تُفَسِّدُ أَذْهَانَكُمْ عَنِ البَسَاطَةِ الَّتِي فِي الْمَسِيحِ".

"Tetapi aku khawatir, sebagaimana ular telah menipu Hawa dengan tipu dayanya, demikianlah pikiran-pikiranmu menjadi rusak dan berpaling dari kesederhanaan yang ada di dalam Kristus."

Dan dalam 1 Timotius bab dua:

أَنَّ آدَمَ لَمْ يُغَوَّ، وَلَكِنَّ الْمَرْأَةَ أُغِيتَتْ، فَحَصَلَتْ فِي التَّعْدِي".

"Adam tidak tertipu, tetapi perempuan tertipu dan terjebak dalam pelanggaran."

[Sumber : kitab "Al-Mar'ah fi al-Qur'an al-Karim" hal. 38].

Menurut Gereja perkawinan itu adalah suatu kenajisan :

Gereja telah mencap hubungan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suatu kenajisan. Oleh karena itu harus dihindari, meskipun melalui perkawinan yang sah. Dan karena dari sudut pandang ini, maka kehidupan ruhbaniyah [menjomblo] telah menyebar di kalangan banyak pria kristen, dan akibatnya mereka menjadi pantang untuk menikah. Dan telah tersebar luas pula anggapan dan pandangan hina terhadap mereka yang mengungkapkan pernikahannya.; sebab menurut mereka bahwa hubungan perkawinan tersebut didasari oleh sesuatu yang najis

Gereja melarang perceraian, tidak peduli seberapa besar pertengkaran antara pasangan tersebut. Dan upaya maksimal yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah memisahkan mereka secara fisik, dengan masing-masing menahan diri untuk tidak menikah sampai maut memisahkan mereka berdua .

[Referensi: Maqam al-Mar'ah fil-Islam; karya Mahmud Bayalli (hal: 37).

Apa yang telah disebutkan diatas adalah tentang kaum wanita di zaman kuno. Sedangkan keadaannya di zaman pertengahan dan modern dijelaskan oleh fakta-fakta berikut. Seorang Penulis Denmark menjelaskan arah gereja Katolik terhadap perempuan dengan mengatakan:

خِلالَ العُصُورِ الوُسَطَى كَانَتِ العَنَايَةُ بِالمَرْأَةِ الأُورُبِيَّةِ مُحَدَّدًا جِدًّا تَبْعًا لِاتِّجَاهِ الْمَذْهَبِ الْكَاثُولِيكِيِّ الَّذِي كَانَ يَعُدُّ الْمَرْأَةَ مَخْلُوقًا فِي الْمَرْتَبَةِ الثَّانِيَةِ.

"Selama Abad Pertengahan, perhatian terhadap perempuan Eropa sangat terbatas sesuai dengan arah doktrin Katolik yang menganggap perempuan sebagai makhluk dalam hierarki kedua".

Di Perancis, pada tahun 586 Masehi, ada pertemuan yang membahas status perempuan, apakah mereka dianggap manusia atau bukan? Setelah diskusi:

قَرَّرَ المُجْتَمَعُونَ أَنَّ المَرْأَةَ إِنْسَانٌ، وَلَكِنَّهَا مَخْلُوقَةٌ لِخِدْمَةِ الرَّجُلِ.

Para anggota rapat memutuskan bahwa wanita adalah manusia, tetapi dia diciptakan untuk melayani pria.

Pasal 17 dari lebih dari dua ratus undang-undang Perancis berbunyi:

المَرْأَةُ المُتَزَوَّجَةُ - حَتَّى لَوْ كَانَ زَوَاجُهَا قَائِمًا عَلَى أَسَاسِ الفَصْلِ بَيْنَ مُلْكِيتِهَا وَمُلْكِيَةِ زَوْجِهَا - لَا يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَهَبَ، وَلَا أَنْ تَنْقُلَ مُلْكِيتَهَا، وَلَا أَنْ تُرَهِّنَ، وَلَا أَنْ تَمْلِكَ بِعِوَضٍ أَوْ بِغَيْرِ عِوَضٍ بِدُونِ اشْتِرَاكِ زَوْجِهَا فِي العَقْدِ، أَوْ مُوَافَقَتِهِ عَلَيْهِ مُوَافَقَةً كِتَابِيَّةً.

Perempuan yang telah menikah - bahkan jika pernikahannya didasarkan pada pemisahan kepemilikan antara dirinya dan suaminya - tidak diperbolehkan untuk memberikan hadiah, atau untuk mengalihkan kepemilikannya, atau untuk menggadaikannya, atau untuk memiliki barang ganti atau tanpa komitmen suaminya dalam perjanjian, atau persetujuan tertulisnya”.

Di Inggris, Henry VIII melarang perempuan Inggris membaca Alkitab, dan wanita tetap tidak dihitung sebagai warga negara hingga tahun 1850, dan tetap tidak memiliki hak pribadi hingga tahun 1882. (Serial Perbandingan Agama, karya Dr. Ahmad Shalaby, jilid 3, halaman: 210 - 213).

[ Sumber : مكانة المرأة في بعضِ الحضارات القديمة والأديان الأخرى oleh Abdurramah ath-Thawkhoo].

*****

PEMBAHASAN KETUJUH : KEDUDUKAN WANITA DI INGGRIS:

Pada tahun-tahun abad kesembilan belas di Inggris, terbukti bahwa itu adalah periode ketat, kaku dan konservatif di mana banyak hal dianggap tidak pantas. Sebagai contoh, pergi ke teater dan menari dianggap sebagai perilaku menyimpang, dan pembicaraan tentang kehamilan, persalinan, dan hal sejenisnya dilakukan dalam bahasa Prancis, sementara mengungkapkannya dalam bahasa Inggris dianggap kasar dan tidak sopan. Wanita diharapkan menjadi lembut dan malu-malu, bahkan terhadap rangsangan yang paling kecil. [Abd al-Latif Yasin Qassab, sda, hal. 70]

Jeremy Taylor mengungkapkan posisi wanita yang belum menikah dengan tepat ketika ia menulis :

يَقُولُ بُوْجُوبِ تَفَانِيْهَا فِي الْبَحْثِ عَنِ الْاِحْتِشَامِ، مَعَ كُلِّ هَذَا فَإِنَّ الْقِمَّةَ الَّتِي رُفِعَتْ إِلَيْهَا الْمَرْأَةُ لَمْ تَكُنْ لَهَا عَلَاقَةٌ بِحَقِيقَةِ وَاقِعِهَا، إِذْ تَكُمُنُ الْحَقِيقَةُ الْبَشِعَةُ خَلْفَ كُلِّ الْكَلِمَاتِ الْمَعْسُولَةِ ، فَالنِّسَاءُ أَمَامَ الْقَانُونِ كُنَّ فِي الْحَقِيقَةِ جُزْءًا مِنْ مُمْتَلَكَاتِ الرَّجُلِ أَيْ عِبَارَةٌ عَنْ أَمْوَالٍ مُنْقُولَةٍ تَتَمَتَّعُ بِشَيْءٍ مِنَ الْحُقُوقِ، كَانَتِ الْفَتَاةُ قَبْلَ زَوَاجِهَا تَحْتَ سَيْطَرَةِ وَالِدِهَا أَوْ وَلِيِّ أَمْرِهَا وَبَعْدَ زَوَاجِهَا تَصْبَحُ تَحْتَ سُلْطَةِ الزَّوْجِ، وَلَمْ تَكُنْ تَتَمَتَّعُ بِأَيِّ سُلْطَةٍ أَوْ بِشَخْصِيَّةٍ شَرْعِيَّةٍ، فَلَمْ يَكُنْ لَهَا الْحَقُّ فِي أَنْ تَرْفَعَ قَضِيَّةً أَمَامَ الْمَحَاكَمِ وَكَانَ الرَّجُلُ هُوَ الْمَسْؤُوْلُ شَرْعًا عَنْ دَيْنِهَا، بِالْمُقَابِلِ كَانَتْ تَؤُوْلُ إِلَيْهِ أَيْ مِلْكِيَّةٍ تَسْتَحِقُّهَا الزَّوْجَةُ وَإِذَا مَا كَسَبَتْ شَيْئًا مِنَ الْمَالِ بَعْدَ زَوَاجِهَا فَإِنَّ مِنْ حَقِّهِ الْمُطَالَبَةُ بِهِ وَلَيْسَ هُنَاكَ لِلزَّوْجَةِ مَهْرَبٌ مِنْ ذَلِكَ، وَلَمْ يَكُنْ لَهَا الْحَقُّ فِي كِتَابَةِ وَصِيَّتِهَا دُونَ إِذْنِ زَوْجِهَا وَإِنْ أَيَّةَ وَصِيَّةٍ تَكْتُبُهَا كَانَتْ عُرْضَةً لِلْإِلْغَاءِ مِنْ قَبْلِ زَوْجِهَا بَعْدَ وَفَاتِهَا، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ مَسُوْغٍ قَانُوْنِيٍّ يُجْبِرُ الزَّوْجَ عَلَى أَنْ يَخُصَّ زَوْجَتَهُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَفِي حَالِ وَفَاتِهِ لَا تَسْتَطِيْعُ إِدَعَاءَ حَضَانَةَ أَطْفَالِهَا فَالْأَطْفَالُ لَهُ أَثْنَاءَ حَيَاتِهِ وَبَعْدَ وَفَاتِهِ فَإِنَّهُمْ يُنْسَبُوْنَ إِلَى أَقْرَبَ ذَكَرٍ مِنْ عَائِلَةِ الزَّوْجِ، وَلَمْ يَكُنْ بِاسْتِطَاعَةِ الزَّوْجَةِ أَنْ تَطْلُبَ التَّفْرِيْقَ عَنْ زَوْجِهَا فِي حَالِ ثُبُوْتِ عَدَمِ وَفَائِهِ أَمَا الزَّوْجُ فَهُوَ عَلَى النَّقِيْضِ مِنْ ذَلِكَ

Bahwa mereka harus berusaha untuk menjaga kesopanan. Namun, pada kenyataannya, puncak yang dicapai wanita tidak memiliki hubungan dengan kenyataan kehidupan mereka.

Fakta yang mengerikan tersembunyi di balik kata-kata manis tersebut, karena secara hukum, wanita sebenarnya merupakan bagian dari properti pria, sebagai harta yang dapat dipindahkan dengan beberapa hak-hak. Seorang gadis sebelum menikah berada di bawah kendali ayahnya atau wali, dan setelah menikah, berada di bawah kekuasaan suaminya.

Mereka tidak memiliki kekuasaan atau identitas hukum sendiri. Mereka tidak memiliki hak untuk mengajukan kasus di pengadilan. Dan secara hukum, suami bertanggung jawab atas utang mereka, namun dengan konsekwensi bahwa semua kepemilikan yang dimiliki oleh istri dianggap milik suami, dan jika istri menghasilkan uang setelah menikah, suaminya berhak untuk mengklaimnya tanpa batasan.

Istilah dalam wasiatnya harus mendapatkan izin dari suaminya, dan setiap wasiat bisa dibatalkan oleh suaminya setelah kematian istri. Tidak ada dasar hukum yang memaksa suami untuk menyertakan istri dalam wasiatnya.

Jika suami meninggal, istri tidak bisa mengklaim hak asuh anak-anaknya karena anak-anak akan menjadi bagian dari keluarga suami, baik selama hidupnya maupun setelah kematiannya. Istilah ini berlaku di Inggris pada saat itu. [Juliet Mans, Referensi sebelumnya, halaman 48].

Suami tidak kehilangan haknya untuk memenjarakan istrinya dan memaksa dia untuk melakukan semua kewajiban pernikahannya kecuali pada tahun 1981. [Abdul Muna'im Jabri, Referensi sebelumnya, halaman 174].

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa wanita dalam era Victoria dilihat hanya sebagai tubuh dan cerita-cerita seperti Seribu Satu Malam dan kumpulan cerita lainnya menjadi stimulus naratif yang masuk akal pada masanya, datang sesuai keinginan pembaca Victoria yang laki-laki.

*****

PEMBAHASAN KEDELAPAN : KEDUDUKAN KAUM WANITA DI PRANCIS:

Sebenarnya, kondisi wanita di Prancis tidak lebih baik dari kondisi wanita di Inggris. Pada saat yang sama ketika Islam dan ajarannya yang toleran dengan jelas menetapkan kesetaraan antara wanita dan pria dalam hak asasi manusia, Prancis sibuk dengan mengadakan konferensi pada abad keenam Masehi untuk mencari tahu apakah wanita adalah bagian dari spesies manusia atau kategori yang lain. Yakni : Perempuan itu termasuk manusia ataua bukan? [Abdul Latif Yasin Qassab, Referensi sebelumnya, halaman 77]

Muhammad Jamil Bieh dalam kitabnya :

الْمَرْأَةُ فِي الْإِسْلَامِ وَفِي الْحَضَارَةِ الْغَرْبِيَّةِ

"Wanita dalam Islam dan dalam Peradaban Barat"

Dia mengatakan:

“إِنَّ التَّمَدُّنَ الْحَدِيثَ احْتَفَظَ طَوِيلًا بِنِسْبَةِ تَسَلُّطِ الرَّجُلِ عَلَى أَمْوَالِ الزَّوْجَةِ وَكَسْبِهَا، وَيَمْنَعُهَا مِنْ التَّصَرُّفِ بِهَا إِلَّا بِإِذْنِهِ فَالْمُشَرِّعُ فِي فَرَنْسَا قَضَى بِأَنَّ الرَّجُلَ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَوَلَّى عَلَى أَمْوَالِ الزَّوْجَيْنِ الْمُشْتَرَكَةِ فَحَسِب بَلْ لَهُ أَيْضًا حَقُّ الْوَلَايَةِ عَلَى عَقَارَاتِ الْمَرْأَةِ الْخَاصَّةِ، وَلَيْسَ لِلزَّوْجَةِ حَتَّى فِي أَثْنَاءِ غِيَابِ زَوْجِهَا أَنْ تَبِيعَ شَيْئًا مِنْ الْأَمْوَالِ الْمُشْتَرَكَةِ بَلْ وَلَا أَنْ تَتَصَرَّفَ فِي أَمْوَالِهَا الْخَاصَّةِ مِنْ غَيْرِ رِضَاهُ، وَزِيَادَةً عَلَى ذَلِكَ فَلَيْسَ لِلزَّوْجَةِ أَنْ تَقْبَلَ هَدِيَّةً أَيْضًا بِغَيْرِ إِذْنِهِ، فِي حِينَ أَنَّ لَهُ الْحَقَّ أَنْ يَهَبَ مَا يَشَاءُ مِنْ الرِّيَاشِ الْمُشْتَرَكَةِ فِي بَيْتِهَا، فَضْلًا عَنْ أَمْوَالِهَا الْمَنْقُولَةِ الْخَاصَّةِ”.

"Peradaban modern telah lama mempertahankan proporsi dominasi pria atas harta dan pendapatan istri, dan mencegahnya untuk mengelolanya tanpa izinnya. Di Prancis, hukum menentukan bahwa seorang pria tidak hanya memiliki kekuasaan atas harta bersama pasangan, tetapi juga memiliki hak pengelolaan atas properti pribadi wanita. Bahkan, istri tidak diizinkan untuk menjual apapun dari harta bersama tanpa izin suaminya, dan bahkan tidak diperbolehkan untuk mengelola properti pribadinya tanpa persetujuannya. Selain itu, istri tidak boleh menerima hadiah tanpa izinnya, sementara suami memiliki hak untuk memberikan apa pun dari harta bersama di rumah mereka, serta harta benda bergerak pribadinya." [Muhammad Jamil Bieh, "Wanita dalam Islam dan dalam Peradaban Barat," Dar al-Fikr li at-Tiba'ah wa an-Nasyr, edisi pertama, 1921, halaman 53].

Penulis buku ini menyampaikan fakta ini pada tahun 1921. Prancis kemudian mengembangkan undang-undang ini, dan wanita Prancis memperoleh hak mereka dalam kepemilikan dan transaksi sipil untuk pertama kalinya pada tahun 1938. Pada abad keenam belas, wanita dilarang memiliki hak sipil, dan pada tanggal 28 Juni 1593, Parlemen Paris mengeluarkan keputusan yang melarang wanita dari jabatan apa pun di negara." [Referensi sebelumnya, halaman 55].

*****

PEMBAHASAN KESEMBILAN : KEDUDUKAN WANITA DI TIONGKOK PADA MASA LALU:

Masyarakat Cina hidup dalam keadaan kekacauan, lebih mirip binatang daripada manusia, tidak diatur oleh hukum atau adat, anak-anak mengenal ibu mereka tanpa ayah mereka, dan mereka menikah tanpa kehormatan atau rasa malu, hingga muncul bijak "Fuh-si" pada tahun 2736 SM, dan memberlakukan hukum dan sistem bagi mereka.

Namun, perempuan tidak mendapatkan haknya dari hukum ini, bahkan tidak mendapatkan sedikit pun martabat. Hukum menganggapnya sebagai bawahan pria, menjalankan perintahnya dan memenuhi kebutuhannya, tanpa warisan bagi mereka tetapi hanya bagi laki-laki. Pernikahan dengan perempuan dianggap sebagai bentuk pembelian dirinya sendiri, dan dia tidak berbagi makanan dengan suaminya atau anak-anaknya, melainkan harus duduk sendiri.

Dan sekelompok pria memiliki hak untuk menikahi satu perempuan dan berbagi kesenangan antar mereka dan manfaat dari hasil pekerjaannya.

[ Sumber : مکانة المرأة في الحضارات و المجتمعات قبل الاسلام و في الحضارات المعاصرة oleh Syeikh Sholeh al-Karaabisy].

Ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan oleh keluarga, terutama oleh ayah. Laki-laki mendapatkan pendidikan, pembelajaran, dan perhatian , yang tidak didapatkan oleh anak perempuan dalam perlakuan serupa. Perempuan hanya belajar beberapa pekerjaan di rumah, seperti menjahit, merajut, dan memintal wol di tangan ibu mereka.

Ada juga pembatasan dari suami terhadap keluarnya wanita dari rumah sendirian. Tugas utama seorang istri adalah melahirkan anak, dan istri yang tidak dapat melahirkan tetap tinggal di rumah suaminya, sementara suami bisa menikah lagi untuk memiliki anak, dengan istri pertama tetap memiliki status yang lebih baik.

Sebagian para wanita yang mandul terkadang berusaha melamar wanita-wanita lain untuk dijadikan istri suaminya demi untuk mendapatkan anak. Seorang pria dapat menikahi lebih dari satu wanita dan memiliki beberapa selir yang dapat menemuinya kapan pun dia mau. Bahkan dikatakan bahwa permaisuri kaisar sendiri mengirim utusan ke negara dan kota-kota untuk membawa wanita untuk sang baginda kaisar suaminya.

Setelah penyebaran agama Konfusianisme - oleh Konfusius sendiri - perlakuan terhadap wanita menjadi lebih keras daripada sebelumnya. Dikatakan bahwa penduduk pedesaan di Tiongkok memiliki kebiasaan yang dipraktikkan, yang merupakan salah satu ajaran Konfusianisme, di mana orang tua memasang sepatu besi atau logam di kaki anak perempuan kecil sehingga mereka tumbuh besar menjadi wanita dewasa - namun dengan kaki yang sangat kecil - sehingga mereka tidak dapat menjauh dari rumah dan tetap berada di sekitar rumah seperti ayam di samping rumah. Karena gadis-gadis secara alami adalah jahat, maka agar mereka tidak berjalan di jalan-jalan yang terjal, yang berarti mereka tetap mempertahankan kesucian dan kehormatan mereka dengan tetap berada di sekitar rumah. Kebiasaan ini dikatakan bertahan hingga Revolusi Tiongkok pada tahun 1948.

[Sumber : تطور مكانة المرأة عبر التاريخ oleh Ahmad ad-Dahhaan].

*****

PEMBAHASAN KESEPULUH : KEDUDUKAN WANITA DALAM MASYARAKAT BABILONIA:

Kedudukan wanita di Babilonia adalah Kedudukan yang tinggi seperti di Mesir, di mana wanita memiliki hak untuk terlibat dalam perdagangan untuk kepentingan pribadi mereka dan kegiatan lainnya, mereka mandiri sepenuhnya dan diberi kehormatan yang sama dengan pria. Mereka juga bisa menjadi para penulis dan untuk mencapai ini, persiapan yang tepat diperlukan di tempat yang ditetapkan untuk melatih mereka dalam hal-hal tersebut.

Sejumlah wanita terlibat dalam pelayanan dokumentasi pemerintah dan urusan kekayaan negara.

Wanita juga diizinkan untuk menjadi dukun atau paranormal . Dan juga memiliki hak penuh untuk memiliki properti dan kesaksian sepenuhnya seperti pria, serta hak untuk mengelola tanah, properti, hewan, atau budak yang mereka miliki.

Jika suami mereka absen dan tidak memiliki anak laki-laki yang sudah dewasa, tanggung jawab kepemimpinan keluarga dan pengelolaan rumah tangga dan properti kembali kepada mereka. Sebagai imbalannya, mereka memiliki hak atas sepertiga pendapatan suami mereka. [Ali 'Uthman, sda, hal. 61].

Hamurabi memberikan wanita hak untuk bercerai jika melihat perilaku suaminya mencurigakan atau jika suaminya mengabaikannya.

Hakim bertanggung jawab untuk menyelidiki klaim wanita dan memberinya keadilan jika kejujurannya terbukti, dan suami diperbolehkan untuk memberikan gadai kepada mereka agar mereka bisa membayar hutangnya, dengan syarat gadai tidak melebihi tiga tahun dan dia bisa menjualnya jika dia terbukti berselingkuh. [Faridah al-Naqash, sda, hal. 24]

Penting untuk dicatat bahwa Kedudukan wanita di Mesopotamia dianggap cukup memuaskan dan relatif maju jika dibandingkan dengan wanita di gurun-gurun tetangga.

*****

PEMBAHASAN KESEBELAS : KEDUDUKAN WANITA ASYUR DAN SUMERIA :

Perempuan Asyur: Hukum Hammurabi berlaku dalam masyarakat Asyur, di mana hukum yang diterapkan adalah hukum yang ditetapkan oleh Hammurabi dalam prasasti terkenalnya. Di antara hukum itu adalah ketergantungan perempuan pada pria, serta kehilangan otonominya dalam kehendak dan tindakan. Salah satu aspek negatif yang dominan pada masa itu adalah bahwa jika seorang istri tidak patuh kepada suaminya, atau bertindak secara mandiri tanpa berkonsultasi dengannya, suami berhak mengusirnya dari rumah, atau menikahi wanita lain, dan memperlakukan yang pertama seperti seorang budak. Bahkan jika seorang istri membuat kesalahan dalam mengurus rumah tangga, suaminya memiliki hak untuk mengadukannya ke pengadilan dan menghukumnya dengan menyelamkannya ke dalam air.

Jadi, perempuan Asyur menjadi hak milik pria, tanpa perbedaan dengan hewan. Pria bisa memegangnya kapan pun dia mau, dan menceraikannya kapan pun dia menginginkannya. Dan dia memiliki hak untuk melarangnya memiliki kepemilikan, dengan satu-satunya kewajiban perempuan adalah untuk mengikuti perintah pria.

Perempuan Sumeria: Perempuan Sumeria tidak lebih baik dari perempuan Asyur, bahkan mereka diperlakukan dengan perlakuan yang sangat kasar, sama seperti perempuan di semua bangsa pada waktu itu, dan posisi mereka tidak lebih baik dari saudari-saudari mereka di negara-negara tetangga, karena mereka dianggap sebagai bawahan pria dan diciptakan hanya untuk menyenangkan pria.

[ Sumber : مکانة المرأة في الحضارات و المجتمعات قبل الاسلام و في الحضارات المعاصرة oleh Syeikh Sholeh al-Karaabisy].

*****

PEMBAHASAN KEDUA BELAS : KEDUDUKAN WANITA DI MESIR

Mesir merupakan tempat kelahiran peradaban kuno, dan masyarakat Mesir ditandai oleh karakter yang beradab dan maju. Namun, wanita mengalami penindasan dan diskriminasi, diperlakukan seperti pelayan, dan laki-laki diizinkan untuk menikahi saudara perempuannya tanpa hambatan atau keberatan. Mereka percaya bahwa perempuan hanya cocok untuk urusan rumah tangga dan membesarkan anak-anak, sehingga mereka tidak membiarkannya keluar dari rumah kecuali untuk beribadah kepada dewa-dewa.

Mereka juga percaya bahwa banjir Nil adalah akibat kemarahan dewa mereka, sehingga mereka harus memberikan korban kepada dewa setiap tahunnya. Mereka memilih gadis tercantik di antara mereka, mengenakan pakaian terbaik, dan menghiasnya seolah-olah dia adalah pengantin di malam pernikahannya, lalu melemparkannya ke Sungai Nil dalam upacara khusus agar banjirnya tidak menimpa mereka.

Begitu banyak gadis yang menjadi korban mitos yang berlaku pada masa itu, karena penistaan terhadap martabat wanita dan penindasan serta pengucilan yang mereka alami.

[ Sumber : مکانة المرأة في الحضارات و المجتمعات قبل الاسلام و في الحضارات المعاصرة oleh Syeikh Sholeh al-Karaabisy].

Profesor Al-Aqqad mengatakan:

وَكَانَ للْمَرْأَةِ فِي الحَضَارَةِ الْمِصْرِيَّةِ القَدِيمَةِ حَظٌّ مِنَ الكَرَامَةِ يُجِيزُ لَهَا الجُلُوسَ عَلَى العَرْشِ، وَيُبَوِّئُهَا مَكَانَ الرَّعَايَةِ فِي الأُسْرَةِ؛ وَلَكِنَّ الأُمَّةَ الْمِصْرِيَّةَ كَانَتْ مِنَ الأُمَمِ الَّتِي شَاعَتْ فِيهَا عَقِيدَةُ الْخَطِيئَةِ بَعْدَ الْمِيلَادِ، وَشَاعَ فِيهَا مَعَ اعْتِقَادِ الْخَطِيئَةِ الأَبَدِيَّةِ أَنَّ الْمَرْأَةَ هِيَ عِلَّةُ تِلْكَ الْخَطِيئَةِ وَخَلِيفَةُ الشَّيْطَانِ، وَشَرَكَ الْغَوَايَةِ وَالرَّذِيلَةِ، وَلَا نَجَاةَ لِلرُّوحِ إِلَّا بِالنَّجَاةِ مِنْ أَوْهَاقِهَا وَحَبَائِلِهَا.

"Di dalam peradaban Mesir kuno, wanita memiliki bagian dari martabat yang memungkinkannya duduk di atas takhta, dan menempatkan perannya dalam pengasuhan keluarga; namun bangsa Mesir adalah salah satu bangsa di mana keyakinan akan dosa menyebar setelah kelahiran Isa, dan bersamaan dengan keyakinan akan dosa kekal, wanita dianggap sebagai penyebab dosa tersebut dan khalifah setan, sumber godaan dan kebinasaan, dan tidak ada keselamatan bagi jiwa kecuali dengan menyelamatkan diri dari jaringan dan perangkapnya."

[ Baca : حقائق الإسلام وأباطيل خصومه (Fakta-Fakta Islam dan Kebohongan Musuh-musuhnya)", Dicetak oleh Konferensi Islam 1/172].

*****

PEMBAHASAN KE TIGA BELAS : KEDUDUKAN WANITA ARAB PADA MASA JAHILIYAH :

Para Orang Arab Jahiliyah tinggal di Semenanjung Arab, sebuah daerah yang kering, panas, dan tandus, kebanyakan dari mereka adalah suku-suku Badui yang jauh dari peradaban dan perkotaan. Mereka hidup dengan melakukan perampokan, pencurian, dan penjarahan, dan mereka berhubungan dengan Iran dari satu sisi, dengan Romawi dari sisi lain, dan dengan negeri-negeri Habasyah dari sisi lainnya.

Oleh karena itu, kehidupan mereka adalah kehidupan yang keras dan kasar yang dipaksakan oleh lingkungan mereka. Mereka memiliki adat dan tradisi mereka sendiri, dan mungkin Anda akan menemukan beberapa budaya dan tradisi bangsa India, Mesir, Romawi, dan Persia di antara mereka.

Para Orang Arab tidak memandang wanita dengan penghargaan dan rasa hormat, dan mereka tidak memberinya tingkat martabat yang layak. Wanita tidak memiliki kemandirian dalam hidupnya, mereka bergantung pada ayah atau suami mereka, mereka tidak memiliki hak untuk mengatur apapun tanpa izin wali mereka, dan mereka tidak memiliki apa-apa dan tidak mewarisi apa pun - bahkan jika itu adalah hasil dari pekerjaan mereka sendiri - melainkan milik wali mereka. Mereka tidak memiliki hak untuk menuntut apapun; karena mereka tidak bisa melindungi benteng pertahanan dalam perang. Pernikahannya kembali kepada perintah wali, dan dia tidak memiliki hak untuk keberatan atau konsultasi.

Anak laki-laki memiliki hak untuk mencegah janda ayahnya untuk menikah dengan cara meletakkan pakaiannya di atasnya dan mewarisinya sebagaimana warisan ayahnya, dan dia memiliki hak untuk menikahinya tanpa mahar, atau menikahkannya dengan siapa pun yang dia inginkan dan mengambil maharnya.

Kebiasaan ini tetap berlaku bagi mereka sampai Nabi (Shallallahu 'alaihi wa sallam) diutus, dan Allah melarang pernikahan semacam itu,

إِنَّ كُبْشَةَ بِنْتَ مَعْنِ بِنْ عَاصِمٍ امْرَأَةُ أَبِي قَيْسَ بِنِ الْأَسْلَمِ انْطَلَقَتْ إِلَى الرَّسُولِ (صلى الله عليه وآله) وَقَالَتْ لَهُ: إِنَّ أَبَا قَيْسَ قَدْ هَلَكَ، وَإِنَّ ابْنَهُ مِنْ خَيْارِ الْحُمَى قَدْ خَطَبَنِي، فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ (صلى الله عليه وآله)، ثُمَّ نَزَلَتْ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ: ﴿ وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ... ﴾

Sesungguhnya Kubsyah binti Ma'n bin 'Ashim, istri Abu Qais bin al-Aslam, mendatangi Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan berkata kepadanya: "Sesungguhnya Abu Qais telah meninggal, dan putranya yang terbaik telah melamar saya."

Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa sallam) diam. Kemudian turunlah ayat suci: "Dan janganlah kamu menikahi apa yang telah dinikahi oleh ayah-bapakmu di antara wanita-wanita..." (QS. An-Nisa': 22).

Maka Kubsyah adalah wanita pertama yang diharamkan bagi putra suaminya. [Tafsir ath-Thabari 4/207]

Dikisahkan dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata:

إِذَا مَاتَ الرَّجُلُ وَتَرَكَ جَارِيَةً، أَلْقَى عَلَيْهَا حَمِيْمُهُ ثَوْبَهُ فَيَمْنَعُهَا مِنَ النَّاسِ، فَإِنْ كَانَتْ جَمِيلَةً تَزَوِّجَهَا، وَإِنْ كَانَتْ قَبِيحَةً حَبَسَهَا حَتَّى تَمُوتَ. وَظَلَّ هَذَا شَأْنُهُمْ إِلَى أَنْ نَزَلَ الْوَحْيُ بِتَحْرِيمِ ذَلِكَ: ﴿ وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ... ﴾

"Jika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan seorang budak perempuan, maka hamiimnya (keluarga terdekatnya) melemparkan pakaiannya kepadanya sehingga dia menghalanginya dari orang-orang, lalu jika dia cantik maka dia menikahinya, dan jika dia jelek maka dia menahannya sampai dia meninggal".

Dan hal ini terus berlangsung sampai turun wahyu yang mengharamkan praktik ini: "Dan janganlah kamu menikahi apa yang telah dinikahi oleh ayah-bapakmu di antara wanita-wanita..." (QS. An-Nisa': 22). [Tafsir ath-Thabari 4/207]

Syeikh Sholeh al-Karabisy berkata :

كَانُوا يُعَامِلُونَهَا مُعَامَلَةً حَقِيرَةً حَتَّى إِنَّهُمْ جَعَلُوا صِفَةَ الضَّعْفِ وَالصِّغَارِ وَالْهَوَانِ مُلازِمَةً لَهَا، وَاِسْتَعْمَلُوا كَلِمَةَ الْمَرْأَةِ فِي الِاسْتِعَارَةِ وَالْكِنَايَةِ وَالتَّشْبِيهِ، بِهَا يَقَرَّعُ الْجَبَانُ، وَيُؤَنِّبُ الضَّعِيفُ، وَيُلَامُ الْمَخْذُولُ الْمُسْتَهَانُ وَالْمُسْتَذِلُّ الْمُظْلَمُ.

Mereka memperlakukannya dengan perlakuan yang hina, bahkan mereka membuat sifat kelemahan, kecil, dan kehinaan melekat padanya, dan mereka menggunakan kata "wanita" secara metaforis, kiasan, dan perumpamaan. Dengan kata "wanita" itu, pengecut yang parah, yang lemah yag selalu disalahkan, dan yang teraniaya dan direndahkan .

[ Sumber : مکانة المرأة في الحضارات و المجتمعات قبل الاسلام و في الحضارات المعاصرة oleh Syeikh Sholeh al-Karaabisy].

Pada zaman Jahiliyah, posisi wanita berada dalam tingkat yang beragam dan kontradiksi. Beberapa suku di zaman Jahiliyah menganggap wanita seperti harta yang diwariskan seperti warisan hewan ternak, dan orang yang mewarisi wanita tersebut dapat bertindak sesuai keinginannya, menikahinya atau memaksa wanita tersebut untuk menjadi pelacur dan kemaksiatan.

Adapun masalah mahar wanita, itu adalah harga yang dibayarkan kepada wali perempuan tersebut, dan mahar itu berupa sejumlah unta yang dibawa oleh calon suami ke tenda keluarga tunangan wanita tersebut, yang disebut sebagai "mahr". Jumlah unta ini mengikuti nilai status sosial wanita dalam suku dan kecantikannya, dan tidak ada batasan jumlah istri bagi orang Arab pada masa Jahiliyah.

Hal-hal yang tidak lazim seperti campur aduk garis keturunan dan pembunuhan anak perempuan telah diperangi oleh Islam dengan tegas, melarang perzinaan dan melarang pernikahan dengan anak dan kerabat dekat. Islam juga melarang pernikahan dengan pelacur, termasuk di antara hal-hal yang dilarang dalam perzinaan. Hal ini dapat dilihat dalam ayat Surat An-Nur

 وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا

Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian”. [QS. An-Nuur : 24]

Dan di sana ada banyak keluarga yang memaksa budak perempuan dan putri-putri mereka untuk menjadi pelacur demi mencari nafkah dan mengatasi kesulitan hidup, dan cinta pria Arab terhadap wanita pada zaman kejahiliyyahan hanyalah terjemah atau pengejawantahan dari kebutuhan nalurinya saja.

[Sumber : تطور مكانة المرأة عبر التاريخ oleh Ahmad ad-Dahhaan].

Adapun tentang kebiasaan mengubur anak perempuan, karena ketidak sukaannya , maka Al-Quran menggambarkan tentang mereka pada zaman jahiliyyah ketika berita kelahiran anak perempuan dengan firman-Nya:

(وَيَجْعَلُونَ لِلّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُم مَّا يَشْتَهُونَ* وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ* يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ)

"(Dan mereka menyembah anak-anak perempuan bagi Allah, yang Maha Suci, padahal mereka sendiri mengingini anak laki-laki; dan apabila di beri khabar gembira dengan anak perempuan, muka mereka menjadi muram dan mereka sangat berdiam diri. Dia menyembunyikan diri dari manusia karena keburukan yang di kabarkan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan terhina atau menguburnya hidup-hidup dalam tanah? Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka putuskan itu)." [QS. An-Nahl: 57-59].

Namun, jika kita kembali untuk mengulas kebiasaan mengubur anak perempuan pada zaman kejahiliyyahan, itu hanya berlaku di beberapa suku seperti suku Tamim dan Asad, bukan di semua suku Arab.

Wanita Anak Bangsawan :

Selain itu, perkataan yang disebutkan diatas ini tidak berlaku untuk putri-putri bangsawan, pemimpin suku, dan orang kaya - malah wanita-wanita dari golongan ini menikmati kebebasan yang besar, baik dalam perkawinan maupun perceraian. Wanita dari kalangan ini hanya menikah atas keinginan mereka sendiri, dan jika mereka bosan dengan suaminya, mereka bisa meninggalkannya dengan cara mengubah arah pintu tenda tempat tinggal mereka, sehingga pria tahu bahwa mereka tidak lagi diinginkan. Sejarah mencatat contoh-contoh semacam itu (seperti Umm Kharijah yang menikahi lebih dari empat puluh lelaki).

Selain itu, banyak dari mereka memiliki status yang tinggi di masyarakat mereka, bahkan ada yang disebut dengan gelar yang diberikan oleh ayah mereka (seperti Abu Safwanah dari Bani Hatim dan Abu al-Khansa' dari Bani Salim). Beberapa dari bangsawan di zaman kejahiliyyahan bahkan memuji putri-putri mereka. Namun demikian, semua ini tidak menghilangkan fakta bahwa wanita mengalami penderitaan yang besar pada zaman kejahiliyyahan.

[Sumber : Muhammad Ratib Al-Nabulsi, Riyad Al-Dawoodi, diskusi tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Pusat Kebudayaan Arab di Kafr Susah, 6 Desember 2007, pukul 6 sore].

Penguburan anak perempuan :

Salah satu aspek yang paling mencolok dari penindasan terhadap wanita pada zaman Jahiliyah adalah praktik penguburan anak perempuan, kebiasaan yang keji dan tidak manusiawi yang luas penyebarannya pada masa itu di Semenanjung Arab, baik di antara suku-suku Badui di padang pasir maupun di beberapa kota yang beradab.

Alasan penguburan anak perempuan di antara suku-suku itu bervariasi ;

Pertama : Ada yang mengubur anak perempuan karena rasa cemburu terhadap kehormatan dan takut akan kehinaan, karena mereka adalah orang-orang yang terbiasa dengan perampokan dan penyerangan, di mana budak-budak wanita dijadikan sebagai bagian dari rampasan, dan saat musuh menyerang, anak perempuan mereka akan diambil oleh musuh, yang menjadi titik terendah dari kehinaan dan kehormatan.

Salah satu penyair mereka pernah berkata:

القَبْرُ أَخْفَى سِتْرَةً لِلْبَنَاتِ *** وَدَفْنُهَا يُرَوَّى مِنَ الْمُكْرَمَاتِ

"Kubur adalah selimut terbaik untuk anak perempuan *** Dan penguburannya dipandang sebagai kehormatan."

Suku-suku seperti Banu Tamim dan Kindah terkenal karena melakukan penguburan anak perempuan karena rasa cemburu yang berlebihan.

Kedua : di antara mereka ada yang mengubur anak perempuan bukan karena cemburu atau takut akan kehinaan, tetapi jika anak perempuan tersebut cacat atau memiliki kekurangan, misalnya jika dia berkulit biru, hitam, bintik-bintik, atau bopeng. Mereka bersedia memelihara anak perempuan yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut, namun mereka mau melakukanya itu disertai dengan rasa rendah diri, hina dan tidak sukarela.

Ketiga : di antara mereka ada yang mengubur anak perempuan karena takut akan kemiskinan dan kekurangan; karena orang Arab hidup di tanah tandus yang tidak memiliki tanaman atau air, sehingga mereka menghadapi tahun-tahun kelaparan yang keras, dan terpaksa makan rumput-rumput yang kering, yang terkena darah, karena kelaparan yang parah. Allah SWT telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:

﴿ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا 

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan; Karena Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar." (QS. Al-Isra: 31)

Dan Allah SWT berfirman :

﴿ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ قَتَلُوا أَوْلَادَهُمْ سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ وَحَرَّمُوا مَا رَزَقَهُمُ اللَّهُ افْتِرَاءً عَلَى اللَّهِ قَدْ ضَلُّوا وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ 

"Dan sungguh telah merugi orang-orang yang membunuh anak-anaknya karena kemiskinan, dengan tidak berdasar ilmu, dan mengharamkan apa yang telah diberikan Allah kepada mereka berdasarkan kebohongan atas nama Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan mereka tidak mendapat petunjuk." (QS. Al-An'am: 140)

Melalui cerita yang akan penulis sebutkan, terungkap betapa dahsyatnya kekejaman dan kebiadaban tindakan ini, serta kekerasan hati para pelakunya dan ketiadaannya rasa belas kasihan, ampun, dan kasihan:

روي أنّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) كَانَ مُغْتَمًّا بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ): "مَالِكَ تَكُونُ مَحْزُونًا؟" فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أَذْنَبْتُ ذَنْبًا فِي الجَاهِلِيَّةِ فَأَخَافُ أَلَّا يَغْفِرَهُ اللهُ لِي وَإِنْ أَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ: "أَخْبِرْنِي عَنْ ذَنْبِكَ؟" فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي كُنْتُ مِنَ الَّذِينَ يَقْتُلُونَ بَنَاتِهِمْ، فَوَلَدَتْ لِي بِنْتٌ، فَتَشَفَّعَتْ إِلَىَّ امْرَأَتِي أَنْ أَتْرُكَهَا، فَتَرَكْتُهَا حَتَّى كَبُرَتْ وَأَدْرَكَتْ، وَصَارَتْ مِنْ أَجْمَلِ النِّسَاءِ، فَخَطَبُوهَا فَدَخَلْتَنِي الحَمِيَّةُ، وَلَمْ يَحْتَمِلْ قَلْبِي أَنْ أُزَوِّجَهَا، أَوْ أُتْرُكَهَا فِي البَيْتِ بِغَيْرِ زَوَاجٍ، فَقُلْتُ لِلمَرْأَةِ: إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَذْهَبَ إِلَى قَبِيلَةٍ كَذَا وَكَذَا فِي زِيَارَةِ أَقْرَبَائِي فَأَبْعَثِيهَا مَعِي، فَسَرَّتْ بِذَلِكَ وَزَيَّنَتْهَا بِالثِّيَابِ وَالحُلِيِّ، وَأَخَذْتُ عَلَيَّ الْمَوَاثِيقَ بِأَلاَّ أَخُونَهَا.

فَذَهَبْتُ إِلَى رَأْسِ بِئْرٍ فَنَظَرْتُ فِي البِئْرِ، فَفَطِنَتِ الجَارِيَةُ أَنِّي أُرِيدُ أَنْ أُلْقِيَهَا فِي البِئْرِ، فَالْتَزَمَتْنِي وَجَعَلَتْ تَبْكِي وَتَقُولُ: يَا أَبَتْ مَاذَا تُرِيدُ أَنْ تَفْعَلَ بِي؟ فَرَحِمْتُهَا، ثُمَّ نَظَرْتُ فِي البِئْرِ فَدَخَلْتُ عَلَيَّ الحَمِيَّةُ، ثُمَّ التَزَمَتْنِي وَجَعَلَتْ تَقُولُ: يَا أَبَتْ لَا تُضِيعُ أَمَانَةَ أُمِّي، فَجَعَلْتُ مَرَّةً أَنْظُرُ فِي البِئْرِ وَمَرَّةً أَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَرْحَمُهَا، حَتَّى غَلَبَنِي الشَّيْطَانُ فَأَخَذْتُهَا وَأَلْقَيْتُهَا فِي البِئْرِ مَنْكُوسَةً، وَهِيَ تَنَادِي فِي البِئْرِ: يَا أَبَتْ قَتَلْتَنِي، وَمَكَثَتْ هُنَاكَ حَتَّى انْقَطَعَ صَوْتُهَا، فَرَجَعْتُ.

فَبَكَى رَسُولُ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) وَأَصْحَابُهُ، وَقَالَ: "لَوْ أُمِرْتُ أَنْ أُعَاقِبَ أَحَدًا بِمَا فَعَلَ فِي الجَاهِلِيَّةِ لَعَاقَبْتُك".

Diceritakan bahwa seorang lelaki dari sahabat Nabi  sedang duduk di hadapan Rasulullah , lalu Rasulullah  bertanya kepadanya, "Kenapa kamu sedih?"

Dia menjawab, "Ya Rasulullah, saya melakukan dosa di zaman kejahiliyahan dan saya takut Allah tidak akan mengampuni saya meskipun saya telah masuk Islam."

Lalu Rasulullah  berkata kepadanya, "Ceritakanlah dosamu itu kepada saya."

Dia berkata : "Ya Rasulullah, saya adalah orang yang membunuh anak perempuan saya. Kemudian saya memiliki seorang putri, dan istri saya memohon kepada saya agar saya meninggalkannya. Saya meninggalkannya hingga dia dewasa dan cantik, dan menjadi salah satu wanita yang paling cantik. Orang-orang datang meminangnya, dan saya merasa tidak tahan untuk menikahkannya atau meninggalkannya di rumah tanpa menikah. Saya berkata kepada istri saya, 'Saya ingin pergi ke suku ini dan itu untuk mengunjungi kerabat saya, maka kirimkan dia bersamaku.' Dia merasa senang dengan itu dan menghiasinya dengan pakaian dan perhiasan, dan saya bersumpah untuk tidak mengkhianatinya.

Saya pergi ke ujung sumur dan melihat ke dalam sumur. Gadis itu menyadari bahwa saya bermaksud menjatuhkannya ke dalam sumur, dia memegangi saya dan mulai menangis, dia berkata, 'Ayah, apa yang akan kamu lakukan padaku?' Saya merasa kasihan padanya, kemudian saya melihat ke dalam sumur dan dia masuk ke pelukanku, lalu dia memegangi saya dan berkata, 'Ayah, jangan menyerahkan amanah ibuku!' Saya terus berpikir antara melihat ke dalam sumur dan melihat kepadanya, hingga akhirnya saya dikalahkan oleh setan. Saya mengambilnya dan menjatuhkannya ke dalam sumur sambil menjerit, 'Ayah, kamu membunuhku!' Dia tetap berada di sana sampai suaranya tidak terdengar lagi, kemudian saya kembali.

Rasulullah  dan para sahabatnya menangis, dan beliau berkata, "Seandainya saya diperintahkan untuk menghukum seseorang atas apa yang dilakukannya di zaman kejahiliyahan, saya akan menghukummu."

[ Imam Al-Qurtubi menyebutkannya dalam tafsirnya pada ayat 140 dalam Surah Al-An'am: "Sesungguhnya orang-orang yang membunuh anak-anak mereka adalah orang-orang yang merugi, karena kebodohan mereka, tanpa pengetahuan." (Al-An'am: 140). Hadits ini tidak disandarkan kepada sumber tertentu, tetapi beliau berkata: "Diriwayatkan bahwa seorang lelaki dari para sahabat Nabi disebutkan dalam riwayat ini, tetapi saya tidak menemukan takhrij hadis tersebut]."

Dalam beberapa buku sejarah disebutkan bahwa orang Arab dulu menggali lubang, dan jika ada seorang wanita melahirkan seorang putri dan keluarganya tidak ingin mempertahankannya, maka mereka akan melemparkannya ke dalam lubang tersebut. Atau mereka mengatakan kepada ibunya agar menyiapkan putrinya untuk dibunuh dengan cara memperlengkapinya dengan pakaian dan mempercantikkannya. Ketika sudah dipersiapkan dan dipercantik, maka ayahnya akan membawanya ke lubang, lalu menguburnya dengan menimbunkan tanah hingga lubang itu rata dengan tanah.

[ Sumber : مکانة المرأة في الحضارات و المجتمعات قبل الاسلام و في الحضارات المعاصرة oleh Syeikh Sholeh al-Karaabisy].

*****

PEMBAHASAN KEEMPAT BELAS : WANITA ABAD MODERN DALAM PERADABAN BARAT DAN TIMUR :

Sebelum ini, kami telah mengetahui keadaan perempuan dalam masyarakat sebelum Islam, dan bagaimana mereka diperlakukan dengan sangat tidak adil, dipandang secara merendahkan, dan dikebiri dari hak-hak mereka yang paling dasar.

Adapun perempuan zaman moden, yang hidup di bawah bayang-bayang peradaban Barat atau Timur, belum menjadi lebih baik dari mereka yang hidup di zaman-zaman sebelumnya, meskipun dengan perbedaan dalam metode. Mereka hidup dalam masyarakat yang mengklaim peradaban dan kesetaraan, dan mengklaim bahwa mereka telah menjamin semua hak yang diperlukan bagi perempuan, namun kenyataannya jauh dari itu. Jika masyarakat sebelumnya memandang perempuan dengan pandangan yang merendahkan, hari ini pria menguasai perempuan, dan mendapat apa yang mereka inginkan atas nama kebebasan dan kesetaraan.

Masyarakat Barat dan Timur hidup dalam tingkat kehancuran, kelemahan, dan kerusakan yang paling ekstrem, dan bukti terbaik untuk itu adalah kesaksian para tokoh dan pemimpin dari Timur dan Barat:

Kennedy mengatakan :

إنّ الشباب الأمريكي مائع منحل منحرف غارق في الشهوات، وإنّه من بين كلّ سبعة شباب يتقدمون للتجنيد يوجد ستة غير صالحين بسبب انهماكهم في الشهوات، واُنذر بأن هذا الشباب خطر على مستقبل أمريكا.

The American youth is a dissolved, deviant, and indulged fluid engulfed in desires. Among every seven young men who apply for enlistment, six are found unfit due to their preoccupation with desires, and it is warned that this youth poses a danger to America's future.

Artinya : “Sesungguhnya pemuda Amerika hanyalah cairan yang terlarut, tenggelam dalam syahwat, dan dari sungguh setiap tujuh pemuda yang mendaftar untuk dinas militer, ada enam yang tidak layak karena terlalu jauh terlibat dalam dunia syahwat, dan diingatkan bahwa pemuda ini merupakan ancaman bagi masa depan Amerika”.

Khroshchev berkata :

Sungguh pemuda komunis telah mulai tersesat dan rusak oleh kemewahan. Jadi, baik masyarakat Barat maupun Timur saat ini menjalani kehidupan yang jauh dari nilai-nilai dan moralitas, mereka semua hanya mencari pemuas kebutuhan mereka, sehingga kita melihat mereka berlomba-lomba untuk mencari nafkah dengan cara apa pun.

Adalah hal yang wajar bagi wanita untuk mengikuti aliran ini dalam hidup mereka, di mana ikatan keluarga telah hilang, sehingga begitu seorang gadis mencapai usia empat belas tahun, dia harus berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan mendapatkan apa yang diperlukannya.

Wanita dalam masyarakat Barat dan Timur, meskipun mendapatkan beberapa hak dari pihak tertentu, namun mereka telah kehilangan martabat, kehormatan, dan harga diri dari sisi lain. Pria hanya melihat mereka dengan pandangan rendah, memanfaatkannya sesuai kepentingannya, mendapatkan apa yang dia inginkan untuk memuaskan hasrat seksualnya, dan mengabaikannya ketika dia sudah puas, membuatnya menjadi objek iklan belaka, membuat gambarannya di setiap produk konsumsi: di pakaian, layar, botol minuman, pasta gigi, bahkan di sepatu, dan barang lainnya.

Dan menjadi suatu keharusan baginya untuk mencari nafkah dengan cara apapun, bahkan sampai menjual kehormatan dan martabatnya sebagai gantinya. Sebagaimana yang tercantum dalam salah satu laporan yang pernah disampaikan kepada Parlemen Inggris:

"Banyak dari pelacur di London bukanlah para profesional yang sepenuh waktu dalam profesi ini, tetapi mereka adalah para pegawai muda atau mahasiswi universitas atau sekolah menengah, yang juga menjalankan pekerjaan seksual ini selain pekerjaan utama mereka untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang memungkinkan mereka untuk menghabiskan uangnya dengan leluasa untuk pakaian-pakaian seksi dan kosmetik.

Oleh karena itu, korupsi dan kehancuran telah merajalela dalam masyarakat ini, di mana mereka hanya melihat perempuan sebagai mainan di tangan mereka yang mereka nikmati kapan saja. Dan persentase pernikahan resmi di sana juga menurun, seperti yang diungkapkan dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh salah satu surat kabar Jerman: Anak-anak muda usia 14-16 tahun yang memasuki dunia kerja ketika ditanya tentang pernikahan mereka berkata: "Mengapa saya harus menikah? Saya bisa mendapatkan apa pun dari setiap gadis di tempat kerja tanpa harus menikahinya."

Dalam beberapa statistik yang dikeluarkan pada tahun 1966 di Inggris:

Satu dari lima wanita Inggris di atas usia lima belas tahun masih perawan, dan sosiolog memprediksi pada tahun 1967 bahwa keperawanan akan kehilangan maknanya di Inggris.

Bagi mereka, gadis itu tidak peduli jika kehormatannya diambil dan martabatnya diserang, sama seperti dia peduli dengan aspek materi yang sepenuhnya mendominasi kehidupan sehari-hari.

Di Jerman Barat, dua belas pemuda menyerang seorang gadis berusia 14 tahun dalam satu hari, dan setelah pemerkosaan berakhir, dia pergi ke polisi untuk memberi tahu mereka bahwa dompetnya telah hilang !!

Sebagai konsekuensi alami dari perilaku ini, kejahatan dan penyerangan telah menjadi hal biasa: di Jerman Barat, tidak ada satu hari pun berlalu tanpa pemerkosaan dan penyerangan.

Di Atlanta, Georgia, ada klub dengan cabang di kota-kota besar Jerman, yang menjalankan operasi kencan ilegal antara anggotanya, pria dan wanita, dan di mana pertukaran istri sementara terjadi.

Adapun Inggris, ia tenggelam dalam amoralitas hingga melampaui batas-batas yang mencengangkan, sehingga seruan untuk legalisasi homoseksualitas di antara laki-laki mampu memenangkan legalisasi di House of Lords and Representatives, dan izin ini diberkati oleh sebagian besar orang Inggris, dipimpin oleh profesor universitas, dokter, intelektual, dan bahkan gerejawan!

Apa yang kami sebutkan tentang informasi dan statistik, mereka sangat sedikit dan tua diterbitkan hampir empat puluh tahun yang lalu, apa pendapat Anda tentang apa yang terjadi hari ini, dan metode dan metode telah berkembang sangat signifikan.

Dari sini, jelas bagi setiap orang yang adil dan sadar sejauh mana penurunan yang telah dicapai wanita di antara mereka, karena martabat mereka dirampok dan kehormatan mereka dijual, dan mereka hidup dalam kejahatan dalam arti kata ini.

Studi diatas ini adalah dari muqoddimah buku “The Status of Muslim Women and Their Social Role from an Islamic Perspective” oleh Sheikh Hassan Al-Jawahiri, yang menulis bantahan ilmiah yang akurat terhadap tuduhan yang dibuat oleh musuh-musuh agama Islam yang benar sehubungan dengan wanita dan hak-hak mereka, di mana ia berurusan dengan beberapa masalah sensitif tentang hal ini seperti nilai pria atas wanita, hak-hak mereka di rumah dan masyarakat, asumsi mereka tentang peradilan dan fatwa, poligami dan topik penting lainnya.

*****

PEMBAHASAN KELIMA BELAS : KEDUDUKAN WANITA DALAM ISLAM :

Nabi Mulia Muhammad  datang untuk memperbaiki keadaan yang salah selama masa kejahiliyyahan, untuk menyeimbangkan perilaku yang salah, dan untuk menyoroti sisi kemanusiaan yang benar dari hubungan-hubungan terbalik dan konsep-konsep yang keliru. Pendekatan beliau tidak hanya bergantung pada perintah-perintah dan instruksi, tetapi juga melalui teladan yang baik, baik dalam hal bagaimana menghormati istri secara khusus maupun wanita secara umum. Islam datang untuk menegaskan bahwa kedudukan wanita sama dengan pria, mereka sama dalam hak dan kewajiban. Al-Quran menyampaikan pesan kepada para mukmin dan mukminah dalam puluhan ayat. Diantaranya :

Allah SWT menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari satu asal :

﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا﴾

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(QS. An-Nisa: 1).

Dan Allah SWT berfirman :

﴿وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا﴾

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.(QS. An-Nisa: 124) .

Yakni : Bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan baik, baik laki-laki atau perempuan, sementara dia beriman, maka mereka akan masuk surga tanpa seonggok kesialan pun.

Dan Allah SWT berfirman :

﴿وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat: 49)

Yakni : bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan, laki-laki dan perempuan.

Allah SWT berfirman :

﴿وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴾

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32).

Dan Allah berfirman :

﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Rum: 21)

Yakni : bahwa Dia menciptakan bagi kalian pasangan dari jenis kalian sendiri agar kalian bisa mendapatkan ketenangan di dalamnya dan Dia menjadikan di antara kalian rasa kasih sayang dan rahmat. Itulah hubungan yang dibangun di atas dasar cinta, rahmat, ketenangan, kedekatan, dan komitmen yang kuat.

Dan Allah SWT berfirman :

﴿وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat: 49)

Islam menekankan penghargaan terhadap wanita berdasarkan prinsip kemanusiaan yang mencakup baik pria maupun wanita, dan juga menyatakan bahwa nilai iman dan amal - baik pada pria maupun wanita - adalah sama, serta pahala yang diperoleh juga sama untuk keduanya.

Dan Allah SWT berfirman :

﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13).

Yakni : orang yang paling mulia di antara manusia di sisi Allah adalah orang-orang yang paling bertakwa di antara mereka .Tidak ada dalam Al-Quran pemikiran yang menganjurkan pria lebih diutamakan daripada wanita dalam tanggung jawab dan hasilnya, tetapi masalah pemilihan kembali ke aturan umum bagi keduanya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya (QS. Al-Hujurat: 13) sebagaiamana yang telah disebutkan diatas .

Standar dalam perbedaan adalah takwa kepada Allah, yang merupakan ukuran umum yang mencakup kemanusiaan secara menyeluruh, baik wanita maupun pria sama-sama, dan perbedaan antara pria dan wanita bukanlah perbedaan dalam nilai kemanusiaan, tetapi dalam iman dan amal. Oleh karena itu, seorang wanita dapat melampaui seorang pria jika ia sungguh-sungguh beramal untuk Allah. Allah SWT berfirman :

﴿فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ ۖ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۖ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِّنْ عِندِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ﴾

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik". [QS. Al Imran: 195]

Dan Allah SWT berfirman :

﴿مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS. An-Nahl: 97) .

Dan Allah SWT berfirman :

﴿لِّلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ . أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا ۖ وَيَجْعَلُ مَن يَشَاءُ عَقِيمًا ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ 

"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menyatukan keduanya (laki-laki dan perempuan) dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (QS. Asy-Syura: 49-50),

Dapat diperhatikan bahwa dalam kedua ayat ini terdapat makna dan informasi penting, di mana ayat pertama menunjukkan pemberian kelebihan kepada perempuan atas laki-laki.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya membawakan keterangan sahabat Watsilah bin al-Asqa’,

إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةَ تَبْكِيرَهَا بِالْأُنْثَى قَبْلَ الذَّكَرِ، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: "يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ" فَبَدَأَ بِالْأُنْثَى.

Bagian dari keberkahan wanita, ketika dia melahirkan anak pertamanya berjenis kelamin perempuan, sebelum anak laki-laki. Karena Allah berfirman, (yang artinya): “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki”. Dalam ayat ini Allah mulai dengan anak perempuan.” (Tafsir al-Qurthubi, 16/48).

Hadisnya ini lemah [Dhaif].

Terdapat riwayat yang marfu’ dari Nabi  yang menyebutkan bahwa keberkahan wanita, ketika anak pertamanya perempuan. Namun semua riwayat marfu’ ini statusnya dhaif.

Diantaranya, disebutkan asy-Syaukani dalam tafsirnya, riwayat yang dibawakan Ibnu Mardawaih dan Ibnu Asakir dari Watsilah bin Asqa’ secara marfu’,

من بَرَكَةِ المَرْأَةِ ابتكارُها بِالأُنْثَى، لأنَّ اللهَ قالَ: يُهَبُّ لِمَنْ يَشَاءُ إِناثًا وَيُهَبُّ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ.

“Bagian dari keberkahan wanita, anak pertamanya perempuan. Karena Allah berfirman (yang artinya), “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Fathul Qadir, 4/776)

Demikian pula diriwayatkan ad-Dailami dalam musnadnya dari Aisyah secara marfu’,

مِن بَرَكَةِ المَرْأَةِ عَلَى زَوْجِهَا تَيْسِيرُ مَهْرِهَا وَأَنْ تَبْكِرَ بِالإِنْثَى.

“Bagian dari keberkahan wanita kepada suaminya, adalah mahar yang murah dan anak pertama perempuan”. (hadis ini di-dhaif-kan as-Sakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah).

Al-Sakhawi berkata: "Keduanya (hadis ini dan yang sebelumnya) lemah."

Syeikh Al-Albani telah menghukumi hadis pertama sebagai dha'if (lemah), seperti yang tercantum dalam kitab "Dha'if al-Jami" hadis nomor (5293).

Al-Shawkani juga mengatakan dalam "Al-Fawa'id al-Majmu'ah": "Di dalam sanadnya terdapat  Alaa bin Katsir al-Dimashqi yang meriwayatkan hadits-hadits palsu dan lainnya bahwa dia itu matruk [riwayatnya ditinggalkan]."

Terlepas dari status hadisnya yang bermasalah, anak adalah anugrah dari Allah. Sementara manusia tidak memiliki pilihan untuk menentukan jenis kelamin buah hatinya. Karena anak adalah hibah dari Allah, sementara manusia hanya bisa meminta. Sehingga yang lebih penting adalah berusaha mensyukuri kehadiran semua anaknya.

Para ulama menilai keberuntungan bagi yang memiliki anak perempuan, untuk membangun sikap optimis terhadap setiap anugrah yang Allah berikan. Agar jangan sampai muncul perasaan sial, seperti yang diyakini masyarakat jahiliyah.

Allah SWT menceritakan karakter mereka dalam al-Qur’an :

﴿وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِالْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ . يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ﴾

“Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.

Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?.” (QS. an-Nahl: 58 – 59)

[Abdul Latif Yasin Qashab, referensi sebelumnya, halaman 97.]

Pada hakikatnya Allah menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan itu untuk saling bantu-membantu, bekerja sama, dan menguatkan satu sama lain dalam menjalankan tugas-tugas manusiawi yang agung. Peran perempuan tidak kalah pentingnya dengan peran laki-laki dalam hal ini.

Allah berfirman :

﴿وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى*  وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى* وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَى*إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى* فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى*وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى*فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى*فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى*وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى.

"Demi malam yang menutupi, dan siang yang bersinar, dan yang menciptakan laki-laki dan perempuan, sungguh, usaha kamu berbeda-beda.

Maka bagi siapa yang memberikan (kepada orang lain) dan bertakwa, dan membenarkan kebaikan, kami akan memudahkan baginya jalan yang mudah.

Dan bagi siapa yang kikir, dan merasa dirinya cukup, dan mendustakan kebaikan, maka kami akan memudahkan baginya jalan yang sulit. Dan hartanya tidak akan memberinya manfaat ketika dia merosot." (QS. Al-Lail: 1-9)

Allah menciptakan malam dan siang dengan ciri yang berbeda dalam cahaya dan kegelapan, agar setiap bagian memiliki peranannya dalam menjaga kelangsungan dan kebaikan alam semesta. Alam tidak akan stabil jika siang terus-menerus atau malam yang tak berkesudahan. Dalam malam yang terus-menerus, manusia tidak akan mendapatkan istirahat, dan dalam siang yang tak berkesudahan, keseimbangan antara pekerjaan, produksi, dan kesehatan tidak akan terjaga.

Dalam konteks ini, perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah untuk melengkapi satu sama lain, bukan untuk bersaing atau bertentangan. Oleh karena itu, penciptaan laki-laki dan perempuan disesuaikan dengan prinsip ini.

Setelah menyebutkan malam dan siang, Allah SWT menjelaskan makna dan tujuan dibaliknya, yaitu bahwa keutamaan bukanlah karena jenis kelamin, tetapi karena ketakwaan dan amal shalih.

Jika ada yang memandang rendah perempuan karena dia dianggap lebih rendah dari laki-laki dalam asal penciptaannya, Al-Qur'an telah mengecam pemikiran ini dan menunjukkan kekurangannya serta kesesatannya dari jalan yang lurus.

Rasulullah . juga menekankan pentingnya menghormati dan menjaga hak-hak istri, beliau bersabda :

 إنَّما النِّساءُ شقائقُ الرِّجالِ

"Sesungguhnya para wanita adalah saudara kandung para lelaki”.

[HR. Abu Daud (236) dengan lafazhnya, dan oleh Tirmidzi (113), dan Ibnu Majah (612) dengan sedikit perbedaan. Di shahihkan al-Albaani dalam ash-Shahihah 5/219]

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu : Rasulullah bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

"Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya."

[HR. Abu Dawud (4682) secara ringkas, dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1162) dengan sedikit perbedaan dan tambahan di bagian akhirnya, dan Ahmad (7402) dengan sedikit perbedaan."

Abu Isa berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Aisyah dan Ibnu Abbas." Dia menambahkan; "Hadits Abu Hurairah merupakan hadits hasan sahih."

Dan dinyatakan Hasan Shahih juga oleh al-Albaani dalam Shahih Tirmidzi . Sementara al-Mundziri dalam at-Taghib 3/358 mengatakan : “ Sanadnya shahih atau Hasan atau yang mendekati keduanya “.

Dalam riwayat lain : Dari Aisyah berkata; Rasulullah bersabda:

إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنَهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفَهُمْ بِأَهْلِهِ

"Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaknya dan yang paling lemah lembut dengan istrinya."

[HR. Tirmididzi no. 1162 dan al-Hakim . Di hasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Muqodimah Hidayatur Ruwaah].

Dalam hadits lain :

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي، مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلَّا كَرِيمٌ وَلا أَهَانَهُنَّ إِلا لَئِيمٌ.

“Yang Paling terbaik diantara kalian ialah yang paling terbaik terhadap keluarganya. Dan aku Paling terbaik diantara kalian terhadap keluargaku. Tidaklah sesorang memuliakan para wanita kecuali dia adalah laki-laki yang mulia. Tidaklah seseorang menghinakan para wanita kecuali dia adalah laki-laki yang hina.”

[ Syeikh al-Albaani menghukumi hadits ini PALSU karena di dalam sanadnya terdapat dua rawi pendusta . Baca : Huquuqun Nisaa Fil Islaam no. 41, 154 dan as-Silsilah adh-Dha’ifah no. 845].

Islam memberikan kepada wanita, baik dia seorang janda atau perawan, kebebasan penuh untuk menyatakan pendapatnya tentang siapa yang mengajaknya menikah, baik itu dengan menerima atau menolak, dan tidaklah wali atau ayahnya memiliki hak untuk memaksa dia menikah dengan seseorang yang tidak diinginkannya, sesuai dengan ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ

 "Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, seperti apakah izinnya?" beliau menjawab: "Bila ia diam tak berkata." [HR. Bukhori no. 4741].

Kembali ke sejarah, dapat diamati bahwa wanita Arab tidak ragu untuk berpartisipasi dalam peperangan dan pelayanan sosial pada masa Rasulullah (Sallallahu 'alaihi wa sallam) dan khalifah-khalifah yang memerintah setelahnya.

Salah satu pelayanan sosial utama yang ditonjolkan oleh wanita adalah keperawatan dan pertolongan kepada para korban dan luka-luka dalam peperangan. Mereka ikut serta dalam pertempuran bersama-sama dengan pria, membawa peralatan medis dan segala perlengkapan yang diperlukan untuk merawat luka-luka, termasuk perban dan obat-obatan.

Di antara wanita-wanita yang terkenal dalam hal ini adalah Rukaydah binti 'Awf, Aminah binti Miisy al-Ghifariyah, Umm Sulaim, Umm Sinan al-Aslamiyah, dan Umm 'Atiyyah al-Anshariyah. Beberapa di antara mereka bahkan ikut berperan dalam memberikan pertolongan medis dan lainnya.

Jika mereka dibutuhkan untuk bertempur, maka mereka juga berdiri bersama pria untuk menghadapi pertempuran.

Wanita-wanita pada zaman Nabi secara umum berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Ketika Nabi memasuki Makkah, beliau menerima bai'at dari wanita-wanita, dan mungkin ini merupakan partisipasi politik terakhir secara resmi dari para wanita.

Setelah Rasulullah wafat, istri-istrinya meriwayatkan hadis dari beliau, seperti halnya wanita lainnya yang meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah . Jumlah wanita yang meriwayatkan hadis mencapai 1700 orang.

Sahabiyah Samraa’ binti Suhail mengurusi urusan pasar dan berkeliling di pasar-pasar Madinah, dengan membawa cambuk untuk menegakkan ketaatan dan disiplin.

Demikian pula asy-Syifaa’ binti 'Abdullah, yang dekat dengan Amirul Mukminin Umar bin Khattab, dan merupakan salah satu penasehatnya. Dia diberi tanggung jawab untuk mengawasi pasar atau diberikan tugas-tugas lain olehnya.

Baca : Fawziyyah al-'Atiyyah, al-Mar'ah wa al-Tanmiyyah, al-Munadzdzamah al-'Arabiyyah li al-Tarbiyah wa ats-Tsaqafah wa al-'Uluum, percetakan : al-Jihaz al-'Arabi li Mahw al-Umniyah wa Ta'lim al-Kibar, Baghdad, 1988, halaman 22.

Itu adalah beberapa contoh dari wanita elit yang beretika dan beriman yang ikut serta dalam perang dan membangun masyarakat pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifah yang memerintah setelahnya. Mereka menjadi contoh dalam pengorbanan, pemberian, pengabdian, dan kerja sama, baik dalam merawat suami mereka, mendidik anak-anak mereka, maupun berpartisipasi dalam perang dan berbagai pelayanan sosial. Oleh karena itu, ada integrasi yang tidak sama, dan tidak ada perbedaan antara jenis kelamin. Al-Qur'an Al-Karim telah menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam nilai kemanusiaan dan tanggung jawab, di mana Al-Qur'an berbicara tentang tanggung jawab bagi laki-laki dan perempuan:

﴿وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ﴾

" Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.." (QS. At-Tawbah: 71)

Ayat di atas menunjukkan bahwa para mukmin dan mukminat bekerja sama dalam semua masalah, bahkan dalam hal-hal di mana laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan, tidak ada perbedaan nilai, tetapi perbedaan peran melalui diversifikasi peran. Ini adalah sikap pesan ilahi Islam dan petunjuknya yang tegas tentang kedudukan wanita dan kesetaraannya dengan laki-laki.

Namun, kedudukan tersebut secara bertahap telah terdistorsi dan ajaran-ajaran ilahi telah diabaikan, dan kemudian dominasi budaya patriarki dan nasionalisme secara bertahap mendominasi hingga mencapai tahap diskriminasi dan pencemaran yang merugikan masyarakat Arab secara keseluruhan akibat diskriminasi ini.

[Ali Ahmad al-Qulaisi, Ahkaamul Usroh Fii asy-Syariah al-Islamiyyah (Hukum Keluarga dalam Syariat Islam), Jilid Pertama, Maktabah al-Jeel al-Jayyid, Sana'a, 1997, halaman 14].

Dan bisa disebutkan di sini tentang ucapan salah satu khalifah di Andalusia yang menegur anaknya saat kekuasaannya runtuh:

لا تَبْكِ كَالنِّسَاءِ مَلِكًا مُضَاعًا *** لَمْ تَحَافِظْ عَلَيْهِ مِثْلَ الرِّجَالِ

Janganlah menangis seperti perempuan yang kehilangan kerajaannya *** Yang tidak menjaganya sebagaimana mestinya para lelaki

Seolah-olah menjaga negeri adalah tanggung jawab hanya bagi para lelaki saja, dan tidak ada urusan bagi perempuan di dalamnya. Sayangnya, realitas Islam saat ini bukanlah Islam yang sebenarnya. Wanita dijauhkan dari pergerakan kehidupan, diabaikan, dan diposisikan hanya sebagai kebutuhan bagi laki-laki, padahal mereka adalah manusia yang hidup secara manusiawi bersama-sama dengan laki-laki untuk saling melengkapi satu sama lain.

﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴾.

(Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya, dan menyebar dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.) (QS. An-Nisa: 1).

Jadi, masalahnya bukanlah pada Islam, tetapi pada akumulasi sejarah yang membuat wanita kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Ketika mereka mengatakan bahwa wanita lemah akalnya, wanita pun merasa demikian dan menerimanya. Islam tidak lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan, namun menghormati perempuan sebagai separuh dari masyarakat dan mencapai integrasi dengan laki-laki. Islam juga menjamin hak waris bagi wanita, di mana dalam lebih dari 30 kasus, peluang dan bagian wanita diwariskan sama atau lebih dari lelaki. [ Ali Ahmad al-Qulaisi, referensi sebelumnya, halaman 15].

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan keberadaan hak yang sama bagi wanita dalam warisan sebagaimana halnya dengan laki-laki secara lengkap :

﴿لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا﴾

"Bagi laki-laki, bagian dari apa yang ditinggalkan oleh orang tua dan kerabat dekat, dan bagi perempuan, bagian dari apa yang ditinggalkan oleh orang tua dan kerabat dekat, baik sedikit maupun banyak, suatu bagian yang telah ditentukan." (QS. An-Nisa [4]: 7).

Allah juga menjamin hak kepemilikan dan penggunaan harta bagi wanita, termasuk dalam pembelian, hadiah, wasiat, saksi, wakil, serta memperbolehkan mereka berpartisipasi dalam kehidupan publik.

Ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, di mana wanita memiliki kewajiban sebagaimana hak-haknya. Hak-hak yang diberikan Islam kepada wanita tidak terdapat di negara-negara maju yang mengklaim peradaban dan kemodenan.

Mengenai partisipasi politik atau pekerjaan publik, tidak ada nash syar'i yang menghalangi atau membatasi partisipasi tersebut.

Hukum Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja atau mengejar karier, baik sebagai anak perempuan atau sebagai istri, dengan syarat perilaku mereka tunduk pada prinsip-prinsip moral.

Ada sebagian nash-nash dan hadits-hadits yang tidak bermakna hukum umum seringkali digunakan oleh beberapa pihak untuk merampas partisipasi wanita bersama dengan laki-laki atau untuk merendahkan martabat mereka serta mempersempit ruang gerak mereka. Hal ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam dan pihak-pihak yang bermusuhan dengannya untuk mencoreng citra Islam di mata wanita dan meneguhkan prinsip ketidakseimbangan antara laki-laki dan wanita dalam Islam. ["Abdul Munaem Jabri, referensi sebelumnya, halaman 85].

Sebenarnya, Islam telah memberikan hak-hak wanita sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu lebih banyak daripada yang dimiliki wanita saat ini di negara-negara Eropa yang paling maju yang mengklaim demokrasi dan kemodenan.

Hal ini dapat dikonfirmasi dengan melihat status wanita di Eropa saat ini, di mana Dr. Charles L. Firdaus, Direktur Institut Amerika untuk Studi Islam, menyatakan :

"كَثِيرٌ مِنَ الرِّجَالِ فِي أُورُوبَا وَافَقُوا عَلَى قُدْرَةِ الْمَرْأَةِ عَلَى الْقِيَامِ بِوَظِيفَةِ الرَّجُلِ إِلَّا أَنَّهُمْ رَفَضُوا قَبُولَ افْتِرَاضِ تَقَاضِيهِمْ نَفْسَ الْأَجْرِ وَلِنَفْسِ الْعَمَلِ هَذَا الْاِعْتِقَادِ بِالْمُسَاوَاةِ فِي الْقُدْرَةِ وَعَدَمِ الْمُسَاوَاةِ فِي التَّعْوِيضِ"

"Many men in Europe agree on women's ability to perform the same tasks as men, however, they refuse to accept the assumption of receiving the same wages for the same work. This belief in equality in capability but inequality in compensation."

Artinya : "Banyak pria di Eropa setuju dengan kemampuan wanita untuk melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pria, tetapi mereka menolak gagasan menerima pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama. Ini adalah keyakinan tentang kesetaraan dalam kemampuan dan ketidaksetaraan dalam kompensasi." [ "Abdul Latif Yasin Qashab, referensi sebelumnya, halaman 112].

ٍSeorang penulis dari Prancis, Françoise Giroud, mengatakan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ الْغَرْبِيَّةَ تَفْقُدُ حَقَّ الْمُسَاوَاةِ الْمِهْنِيَّةِ وَحَقَّ الْكَرَامَةِ الْإِنْسَانِيَّةِ ثُمَّ تَتَابَعُ فِي بَيَانِ ذَلِكَ فَتَقُولُ: إِنَّهُ مَعَ تَسَاوِي الْمُؤْهِلَاتِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لَا تَجِدُ نَفْسَهَا إِلَّا فِي وَضْعٍيَّةٍ جَائِرَةٍ تَتَمَثَّلُ فِي أَعْمَالٍ أَكْثَرَ رُتْبَةً وَسُلْطَاتٍ أَقَلَّ وَأَجْرٍ أَدْنَىٰ.

"Les femmes occidentales perdent le droit à l'égalité professionnelle et au respect de la dignité humaine, puis elles continuent en déclarant : Avec une égalité de qualifications, les femmes ne se retrouvent que dans une situation injuste caractérisée par des tâches plus monotones, moins d'autorité et un salaire plus bas."

Artinya : "Wanita Barat kehilangan hak kesetaraan profesional dan hak martabat kemanusiaan, dan untuk melengkapi itu, ia menyatakan: Bahwa meskipun memiliki kualifikasi yang sama, wanita tidak dapat menemukan dirinya kecuali dalam situasi yang tidak adil, di mana mereka melakukan pekerjaan yang lebih monoton, memiliki kekuasaan yang lebih sedikit, dan mendapat upah yang lebih rendah." [Mohammad Jamil Bihum, referensi sebelumnya, halaman 58].

Statistik juga menunjukkan perlakuan buruk yang dialami oleh wanita dalam masyarakat Barat.

Di Amerika Serikat, setiap 12 detik ada seorang wanita yang menjadi korban kekerasan fisik oleh seseorang yang dikenalnya seperti suami, kerabat, atau teman.

Selain itu, Kementerian Dalam Negeri Britania Raya mengumumkan bahwa jumlah wanita yang menjadi korban perkosaan atau pelecehan seksual setiap tahunnya di Britania Raya bisa mencapai 295 ribu. Angka ini mewakili jumlah kejahatan yang dilaporkan, sedangkan banyak kejahatan lain terjadi tanpa ada laporan.

Selain itu, terdapat banyak angka yang menunjukkan berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual di sebagian besar negara-negara Eropa. Oleh karena itu, terlihat bahwa wanita di negara-negara Eropa tidak berada dalam kondisi yang lebih baik dari yang lainnya.

Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan ini membuat tantangan dalam mencapai proses pembangunan menjadi besar, yang memerlukan upaya intensif untuk memanfaatkan semua sumber daya manusia dengan cara yang terbaik untuk mencapai pembangunan ekonomi dan sosial yang diinginkan serta untuk memenuhi kebutuhan semua anggota masyarakat tanpa diskriminasi. Karena wanita menyusun separuh dari jumlah penduduk, mereka juga menyumbang setengah dari produktivitas masyarakat. Oleh karena itu, menjadi penting bahwa mereka berkontribusi dalam proses pembangunan dengan setara dengan laki-laki.

Posisi wanita dalam suatu masyarakat menjadi tolok ukur untuk seberapa majunya dan berkembangnya masyarakat tersebut. Kemajuan suatu masyarakat secara erat terkait dengan kemajuan wanita di dalamnya dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan dalam segala bentuknya serta untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.

[Baca : Abdullah Attoui, as-Sukkaan wat Tanmiyah al-Bayariyyah (Populasi dan Pembangunan Manusia), Dar An-Nahda, Beirut, 2004, halaman 425.]

*****

HADITS-HADITS PERINTAH UNTUK MEMULIAKAN KAUM WANITA

Pertama : Bersabar dan senantiasa menasihatinya dengan lembut serta penuh kesabaran.

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah  bersabda :

 اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

“Nasihatilah wanita dengan yang baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari rusuk dan bagian terbengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. Seandainya kau luruskan [dengan paksa] maka berarti kamu mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok. Untuk itu nasihatilah wanita dengan yang baik”[ HR.Bukhari: 5186 —Muslim: 1468]

Kedua : Surga Ada dalam Rido Seorang Ibu :

أنَّ جاهِمةَ جاءَ إلى النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ، فقالَ: يا رسولَ اللَّهِ ، أردتُ أن أغزوَ وقد جئتُ أستشيرُكَ ؟ فقالَ: هل لَكَ مِن أمٍّ ؟ قالَ: نعَم ، قالَ : فالزَمها فإنَّ الجنَّةَ تحتَ رِجلَيها

“Seorang laki-laki mendatangi baginda Rasulullah .. Nama dari Laki-laki itu adalah Jahimah. Lalu si laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, aku ingin berperang (berjihad di jalan Allah), aku datang ingin meminta arahanmu.”

Kemudian Baginda Nabi bertanya kepada laki-laki itu, “Apakah ibumu masih ada?” Si laki-laki menjawabnya, “Iya.” Rasulullah pun memberinya wejangan, “Maka, tetap tinggallah membersamai ibumu, karena sesungguhnya surga berada di bawah kedua kakinya.”

[HR. An-Nasa'i (3104) dengan redaksi yang sama, dan Ibnu Majah setelah hadis (2781), dan Ahmad (15538) dengan sedikit perbedaan. Di hukumi hasan shahih oleh al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa’i no. 3104].

Ketiga : Hanya Laki-Laki Mulia yang Memuliakan Perempuan

Dari [Abu Hurairah] berkata; Rasulullah  bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

"Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya."

[HR. Abu Dawud (4682) secara ringkas, dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1162) dengan sedikit perbedaan dan tambahan di bagian akhirnya, dan Ahmad (7402) dengan sedikit perbedaan."

Abu Isa berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Aisyah dan Ibnu Abbas." Dia menambahkan; "Hadits Abu Hurairah merupakan hadits hasan sahih."

Dan dinyatakan Hasan Shahih juga oleh al-Albaani dalam Shahih Tirmidzi . Sementara al-Mundziri dalam at-Taghib 3/358 mengatakan : “ Sanadnya shahih atau Hasan atau yang mendekati keduanya “.

Dalam riwayat lain : Dari Aisyah berkata; Rasulullah  bersabda:

إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنَهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفَهُمْ بِأَهْلِهِ

"Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaknya dan yang paling lemah lembut dengan istrinya."

[HR. Tirmididzi no. 1162 dan al-Hakim . Di hasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Muqodimah Hidayatur Ruwaah].

Keempat : Jika Kau Mencintai Kelebihannya, Kau Harus Menerima Kekurangannya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi  bersabda:

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إنْ كَرِهَ منها خُلُقًا رَضِيَ منها آخَرَ، أَوْ قالَ: غَيْرَهُ.

“Tidak boleh orang laki-laki yang beriman membenci perempuan yang beriman. (Karena) apa bila dia membenci suatu budi pekerti darinya (perempuan yang beriman itu), dia (pasti) meridai (menyukai) budi pekerti yang lain….” (HR. Imam Muslim no. 1469)

Syaikh ‘Ali al-Qari ketika mensyarahi hadits tentang keharusan memuliakan perempuan ini. Kata beliau:

فَإِنْ أَرَادَ الشَّخْصُ بَرِيئًا مِنَ الْعَيْبِ يَبْقَى بِلَا صَاحِبٍ.

“Jika kamu ingin teman (pasangan) yang tidak memiliki kekurangan, maka kamu akan men-jomblo selama-lamanya.”

Kelima : Anak Perempuan adalah Penyejuk Jiwa

Dari Abdullah bin Sa’id bin Abu al-Hind dari ayahanya , bahwa Rosulullah  bersabda :

" ‌لَا ‌تُكْرِهُوا ‌الْبَنَاتَ، ‌فَإِنَّهُنَّ ‌الْمُؤْنِسَاتُ ‌الْمُجَمِّلَاتُ "

 “Janganlah kalian benci pada anak-anak perempuan, karena mereka adalah para penyejuk hati dan kehadiran mereka memperindah suasana.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab 11/154 no. 8382)

Imam Baihaqi berkata :

هَكَذَا جَاءَ مُرْسَلًا

“Begitulah, sanadnya mursal “.

Dan diriwayatkan pula oleh Ahmad (28/601 no. 17373), ath-Thabarani dalam Al-Kabir (17/310) nomor (856) dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah bersabda:

" ‌لَا ‌تَكْرَهُوا ‌الْبَنَاتِ، ‌فَإِنَّهُنَّ ‌الْمُؤْنِسَاتُ ‌الْغَالِيَاتُ "

“Janganlah kalian membenci anak perempuan, karena mereka adalah penghibur yang sangat berharga.”

Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani dalam at-Tanwiir 11/138 no. 9840 berkata:

وَتَمَامُ الْحَدِيثِ "الْمُجَهِّزَاتُ" : قَالَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ لِمُعَاوِيَةَ وَقَدْ دَخَلَ عَلَيْهِ وَفِي حِجْرِهِ صَبِيَّةٌ: انْبِذْهَا فَإِنَّهُنَّ يَلِدْنَ الْأَعْدَاءَ وَيُقَرِّبْنَ الْبُعَدَاءَ قَالَ: لَا تَفْعَلْ فَمَا نَدَبَ الْمَوْتَى وَلَا فَقَدَ الْمَرْضَى وَلَا أَعَانَ عَلَى الْحُزْنِ مِثْلُهُنَّ

Dan lengkapnya hadis ini “Al-Mujahhizāt” : Amr bin Ash berkata kepada Muawiyah ketika ia masuk menemuinya dan di pangkuannya ada seorang anak perempuan: “Jauhkanlah dia, karena mereka (anak-anak perempuan) melahirkan para musuh dan mendekatkan orang-orang yang jauh.”

Muawiyah menjawab: “Jangan lakukan itu, karena tidak ada yang lebih meringankan duka orang mati, tidak ada yang lebih membantu merawat orang sakit, dan tidak ada yang lebih menenangkan kesedihan melebihi mereka.”

[Disebutkan pula oleh al-Munawi dalam *Faydh al-Qadir* 6/420 no. 9859]:

Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata:

فِيهِ ابْنُ لَهِيعَةَ وَحَدِيثُهُ حَسَنٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ

Di dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi‘ah dan hadisnya hasan, sedangkan perawi-perawi lainnya terpercaya.

[Lihat Al-Majma‘ (8/156) karya al-Haitsami. Di kutip pula oleh al-Munawi dalam *Faydh al-Qadir* 6/420 no. 9859 dan ash-Shan’ani dalam at-Tanwiir 11/138 no. 9840].

Abu Sulaiman ad-Dawsiri dalam ar-Raudh al-Bassaam 4/34 no. 1262 berkata : “Isnadnya Hasan”.

Namun dinilai lemah oleh Syu’aib al-Ana’uth dalam Tahqiq al-Musnad (28/601 no. 17373) dan oleh Al-Albani dalam Dha‘if al-Jami‘ (6268).

FIQIH HADITS :

Dulu sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab menganggap memiliki anak perempuan sebagai aib besar, hingga banyak di antara mereka tega mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup.

Islam kemudian datang membalik cara pandang ini. Rasulullah menegaskan melalui hadis ini bahwa anak perempuan adalah anugerah yang sangat berharga, sumber kebahagiaan dan penyejuk hati dalam rumah tangga. Beliau menggambarkan perempuan sebagai permata yang tak ternilai harganya.

Keenam : Pahala untuk Orang yang Merawat Anak Perempuan

Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi  bersabda :

مَنْ عَالَ ثَلَاثَ بَنَاتٍ فَأَدَّبَهُنَّ وَزَوَّجَهُنَّ وَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ فَلَهُ الْجَنَّةُ.

“Barang siapa yang menanggung nafkah untuk tiga anak perempuan, lalu dia mendidik mereka, menikahkan mereka, dan berbuat baik kepada mereka, maka baginya adalah surga.”

(HR. Ahmad no. 11924, Abu Daud no. 5147 dan al-Baihaqi dalam al-Adab no. 28 )

Dinyatakan Shahih Lighoirihi oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij Sunan Abu Daud 7/459.

Ketujuh : Pahala untuk Orang yang Memberi Nafkah untuk Saudari

Dari Aisyah radhiyallaahu anha bahwa Nabi  bersbda :

لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِي يَعُولُ ثَلَاثَ بَنَاتٍ أَوْ ثَلَاثَ أَخَوَاتٍ فَيُحْسِنَ إِلَيْهِنَّ إِلَّا كَانَ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ.

“Tidak ada seorang pun dari umatku yang menanggung nafkah tiga anak perempuan atau tiga suadari perempuan, lalu dia laku baik kepada mereka kecuali mereka akan menjadi perisai baginya dari api neraka.” (HR. al-Baihaqi dalam "asy-Syu'ab" (11023), dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam "Sahih al-Jami'" (5372).)

Hadits tentang keharusan memuliakan perempuan yang terakhir ini untuk saudara laki-laki.

Jika mereka menanggung nafkah untuk tiga suadarinya, maka Allah akan mencatat kebaikan-kebaikan ini. Kelak di akhirat, kebaikan-kebaikan itu akan menjadi perisai baginya dari apa neraka.

Dengan kata lain, dia akan selamat dari api neraka. (al-Jami as-Shaghir: 2/250)

Dari Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi  bersabda :

مَن كانَ لَهُ ثلاثُ بَناتٍ فصبرَ عليهنَّ، وأطعمَهُنَّ، وسقاهنَّ، وَكَساهنَّ مِن جِدَتِهِ كنَّ لَهُ حجابًا منَ النَّارِ يومَ القيامَةِ

Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, dan dia bersabar dengan mereka, memberi mereka makan, minum, dan memberi mereka pakaian dari hartanya dengan kebaikan, maka anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka pada hari kiamat.

[HR. Ibnu Majah (3669) dan Ahmad (17403). Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah dan oleh Syeikh Bin Baaz dalam Majmu’ Fataawaa nya 25/365].

*****

SEKILAS UPAYA PBB DALAM EMANSIPASI KAUM WANITA

Pada khususnya, forum-forum internasional telah mulai memperhatikan isu-isu wanita sejak tahun 1972. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan tahun 1975 sebagai Tahun Internasional Wanita, serta menetapkan periode 1976-1985 sebagai Dekade Internasional Wanita. Kemudian, Konvensi Internasional untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita diadopsi pada tahun 1979, dan Konferensi Internasional Nairobi tahun 1985 mengesahkan strategi untuk kemajuan wanita selama periode 1986-2000. UNESCO juga menegaskan pentingnya meningkatkan kondisi wanita dan mengurangi tingkat buta huruf, terutama di antara wanita, dalam konferensi umum tahun 1989 dan dalam rencana tengahnya untuk tahun 1990-1995.

[United Nations Development Programme, 1996, halaman 6.]

Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang diadakan di Vietnam pada tahun 1993, sekali lagi menegaskan pentingnya mencapai kesetaraan antara wanita dan pria dalam semua hak, serta perlunya memerangi diskriminasi yang ada dalam semua bidang berdasarkan jenis kelamin. Demikian pula, Konferensi Puncak Pembangunan Sosial Sedunia yang diadakan di Kopenhagen hingga tahun 1995 menyatakan bahwa pemberdayaan wanita untuk mencapai potensi penuhnya merupakan elemen kunci dalam strategi untuk mengatasi masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan.

[Fawziyyah al-Atiyya, المرأة والتنمية (Wanita dan Pembangunan), referensi sebelumnya, halaman 25].

Pada bulan September tahun 1995, Konferensi Internasional keempat diadakan di Beijing untuk mengevaluasi kemajuan yang telah dicapai oleh wanita di berbagai negara sejak tahun 1985 dan untuk memobilisasi semua upaya dalam mendukung dan memperkuat peran mereka. Konferensi ini merupakan salah satu dari konferensi internasional terbesar yang dihadiri oleh 17.000 peserta yang mewakili 189 negara serta organisasi internasional, lembaga non-pemerintah, dan berbagai media. Lebih dari 30.000 orang juga berpartisipasi dalam Forum Global Organisasi Perempuan yang diadakan di tempat yang sama pada waktu yang bersamaan. Deklarasi Universal yang dihasilkan dari konferensi ini menyoroti berbagai bentuk diskriminasi terhadap gadis dan wanita, dan menetapkan tujuan-tujuan penting yang harus dicapai oleh masyarakat internasional untuk meningkatkan status perempuan dan memperkuat pencapaian yang telah mereka raih.

Deklarasi itu juga menekankan pentingnya perlindungan hak-hak perempuan sebagai bagian integral dari hak asasi manusia, penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap mereka, dan upaya untuk memerangi kemiskinan dan menghapus semua hambatan yang menghalangi partisipasi penuh mereka dalam kehidupan publik dan proses pengambilan keputusan di semua tingkatan. Selain itu, deklarasi tersebut menyerukan peningkatan dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan untuk wanita, pemberdayaan ekonomi mereka, akses mereka ke sumber daya ekonomi, serta kontribusi mereka dalam proses produksi.

[Rafiqah Salim Mahmud, المرأة مشكلات الحاضر وتحديات المستقبل (Wanita: Masalah Saat Ini dan Tantangan di Masa Depan), Dar Al-Amin untuk Percetakan dan Penerbitan, Mesir, 1997, halaman 14].

Semua upaya internasional telah dilakukan untuk menyoroti perlunya meningkatkan kondisi wanita, menghapus hambatan-hambatan yang menghalangi kemajuan mereka, serta menegaskan pentingnya memberi mereka kesempatan yang setara dengan pria dalam berbagai bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Hal ini juga penting untuk memastikan integrasi penuh mereka dalam semua upaya pembangunan negara mereka dan memberi mereka kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan.

[Maryam Salim dan lainnya, المرأة العربية بين ثقل الواقع وتطلعات التحرر (Wanita Arab antara Realitas dan Aspirasi Pembebasan), Pusat Studi Persatuan Arab, Beirut, Lebanon, 1999, halaman 32].

Konferensi-konferensi internasional tentang wanita dan pembangunan telah sangat berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat global terhadap masalah kesenjangan gender. Sejumlah besar investasi telah dilakukan dalam pendidikan wanita dalam dua dekade terakhir, yang menyebabkan penyempitan kesenjangan gender dalam melek huruf dewasa dan peningkatan signifikan dalam tingkat melek huruf wanita.

Beberapa negara dan wilayah berkembang telah berhasil membangun kapasitas dasar manusia,  baik bagi wanita maupun pria tanpa adanya kesenjangan gender yang signifikan, seperti Hong Kong, Bahama, Singapura, Uruguay, dan Thailand.

Beberapa negara miskin telah berhasil meningkatkan tingkat melek huruf dan melek huruf wanita menjadi lebih dari 70% dengan sumber daya terbatas tetapi dengan komitmen politik yang kuat.

Komitmen ini telah membuat negara-negara yang menerapkan model sosialis menggunakan mobilisasi sosial dan politik untuk mencapai kemajuan yang cepat dan seimbang dalam pendidikan dan kesehatan bagi pria dan wanita serta untuk memperluas peluang yang tersedia bagi wanita.

Penting untuk dicatat bahwa untuk mencapai perbaikan dalam kehidupan wanita tidak selalu terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan. Perbandingan antar negara menunjukkan bahwa menghilangkan kesenjangan gender tidak bergantung pada pendapatan tinggi, tetapi pada komitmen politik yang kuat.

Meskipun semua upaya telah dilakukan untuk mencapai kesetaraan kesempatan antara wanita dan pria, namun tetap saja kesenjangan gender masih besar dalam berbagai bidang. Di banyak negara Arab, wanita masih harus menempuh perjalanan panjang untuk mendapatkan hak-hak mereka. Wanita menyusun 70% dari orang-orang miskin di dunia, dan jumlah wanita yang buta huruf melebihi jumlah pria dalam rasio dua banding satu. Anak perempuan menyusun 60% dari jumlah anak yang tidak mendapatkan akses pendidikan dasar, dan sering kali mereka bekerja lebih lama daripada pria tanpa dihargai atau diakui atas pekerjaan mereka. Ancaman kekerasan dalam berbagai bentuknya menggelayuti hidup mereka di banyak masyarakat

[United Nations Development Program, (Program Pengembangan PBB), 1995, halaman 2-4]

 

Posting Komentar

0 Komentar