TIDAK WAJIBKAH MEMBACA AL-QURAN DENGAN TAJWID ???
Di Tuli Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
-----
-------
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- DEFINISI TAJWID:
- TUJUAN DARI ILMU TAJWID:
- KUTIPAN IJMA’ TENTANG MUSTAHAB-NYA MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN TARTIL:
- HUKUM MEMBACA AL-QURAN DENGAN TAJWID
- PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA SUNNAH DAN WAJIB
- RINGKASAN PERBEDAAN PENDAPAT
- RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT BESERTA DALIL MASING-MASING
- PENDAPAT PERTAMA: BACA AL-QURAN TIDAK WAJIB DENGAN TAJWID , AKAN TETAPI SUNNAH.
- DALIL PENDAPAT : TIDAK WAJIB BACA AL-QUR’AN DENGAN TAJWID :
- KESIMPULAN DARI PENDAPAT PERTAMA :
- PENDAPAT KEDUA : WAJIB MEMBACA AL-QURAN DENGAN TAJWID, JIKA TIDAK, MAKA BERDOSA.
- DALIL PENDAPAT KEDUA : WAJIB BACA AL-QUR’AN DENGAN TAJWID :
- TARJIH :
*****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
====
PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kitab Allah Ta'ala yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad ﷺ, yang tertulis dalam mushaf, di mana keterangannya dalam lafal dan maknanya adalah mukjizat, yang dibaca dalam ibadah, dan disampaikan dengan sanad yang mutawatir. Al-Quran adalah kitab yang Allah jamin untuk menjaganya dan melindunginya dari distorsi dan perubahan, sebagaimana yang Allah Ta'ala firmankan dalam Surah Al-Hijr ayat 9:
﴿إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ﴾
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."
Salah satu ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran adalah ilmu tajwid, yang merupakan ilmu mulia yang mengajarkan cara membaca Al-Quran dengan benar dan baik, mempertahankan struktur bahasa Arabnya, serta menjaga maknanya. Belajar ilmu ini membantu seorang Muslim dalam membaca Al-Quran dengan benar sesuai dengan haknya. Allah Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 121:
﴿الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ ﴾
"Orang-orang kepada yang telah Kami berikan Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang benar."
****
DEFINISI TAJWID:
Tajwid secara etimologi bermakna: memperbaiki dan memperindah.
Dikatakan:
ٱلتَّحْسِينُ وَٱلْإِتْقَانُ، يُقَالُ: جَوَّدْتَ ٱلشَّيْءَ تَجْوِيدًا، أَيْ: حَسَّنْتَهُ تَحْسِينًا، وَأَتْقَنْتَهُ إِتْقَانًا. وَتَقُولُ: هَٰذَا شَيْءٌ جَيِّدٌ، أَيْ: حَسَنٌ. فَهُوَ مَصْدَرٌ مِنْ جَوَّدَ تَجْوِيدًا، إِذَا أَتَى بِٱلْقِرَاءَةِ مُجَوَّدَةَ ٱلْأَلْفَاظِ، بَرِيءَةً مِنَ ٱلْجُورِ فِي ٱلنُّطْقِ بِهَا.
Memperbagus dan menyempurnakan . Dikatakan: Anda telah mentajwid sesuatu, artinya: Anda telah memperbagusnya hingga bagus, dan Anda telah menyempurnakannya hingga sempurna. Dan anda berkata: Ini adalah sesuatu yang jayyid, artinya: bagus.
Ia adalah mashdar dari Jawwada Tajwiidan, yakni jika dia membawakan bacaan lafadz-lafadz sesuai dengan tajwid, bebas dari ketidakadilan dalam pengucapannya”. [Baca : Ghoyatul Murid Fii Ilmi at-Tajwiid , oleh Athiyyah Qobil Nashr hal. 39]
Dalam terminologi ulama tajwid, tajwid adalah :
عِلْمٌ يَبْحَثُ فِي الْكَلِمَاتِ الْقُرْآنِيَّةِ مِنْ حَيْثُ إِعْطَاءِ الْحُرُوفِ حَقَّهَا مِنَ الصِّفَاتِ اللَّازِمَةِ الَّتِي لَا تَفَارِقُهَا، كَالِاِسْتِعْلَاءِ، وَالِاِسْتِفَالِ، أَوْ مُسْتَحَقِّهَا مِنَ الْأَحْكَامِ النَّاشِئَةِ عَنْ تِلْكَ الصِّفَاتِ: كَالتَّفْخِيمِ وَالتَّرْقِيقِ، وَالْإِدْغَامِ وَالْإِظْهَارِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَحْكَامِ.
“Ilmu yang mempelajari kalimat-kalimat Al-Quran dalam hal memberikan hak-hak huruf-hurufnya dari sifat-sifat yang wajib baginya, seperti maqom-maqom (letak-letak keluarnya huruf-huruf), seperti al-isti’laa (elevasi) dan al-istifaal (depresiasi), atau hak-haknya dalam hukum-hukum yang timbul dari sifat-sifat tersebut, seperti tafkhiim (pemberian bobot) tarqiq (pembacaan lembut), Idghom (asimilasi) dan Idzhar (clearness), dan hukum-hukum lainnya”.
[lihat : al-Waafi Fii Kayfiyati Tanziil al-Qur’an oleh Ahmad al-Hafyaan hal. 14].
Ibnu Al-Jazari dalam mendefinisikan tajwid mengatakan:
"إِعْطَاءُ الْحُرُوفِ حُقُوقَهَا، وَتَرْتِيبُهَا مَرَاتِبَهَا، وَرَدُّ الْحَرْفِ إِلَى مَخْرَجِهِ وَأَصْلِهِ، وَإِلْحَاقُهُ بِنَظِيرِهِ وَشَكْلِهِ، وَإِشْبَاعُ لَفْظِهِ، وَتَلْطِيفُ النُّطْقِ بِهِ، عَلَى حَالِ صِيغَتِهِ وَهَيْئَتِهِ، مِنْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا تَعَسُّفٍ، وَلَا إِفْرَاطٍ وَلَا تَكَلُّفٍ".
"Memberikan hak-hak huruf-hurufnya, menempatkannya pada tempat-tempatnya, mengembalikan huruf ke tempat keluarnya dan asalnya, menggabungkannya dengan yang serupa dan harakatnya, memenuhi lafalnya, dan melunakkan pengucapannya, sesuai dengan kondisinya dan bentuknya, tanpa berlebihan, tanpa kekurangan, tanpa kebablasan dan tanpa memberat-beratkan." [Baca : at-Tamhiid oleh Syamsuddin Abul Khoir Ibnu al-Jazary hal. 47].
*****
TUJUAN DARI ILMU TAJWID:
Tujuan dari ilmu tajwid adalah memberdayakan pembaca untuk membaca Al-Quran dengan baik, menjalankannya dengan sempurna, dan melindungi lidahnya dari kesalahan saat membaca Al-Quran, sehingga dia dapat mencapai keridhaan Tuhan-Nya, dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tajwid, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Al-Jazari :
هُوَ حِلْيَةُ التِّلاوَةِ، وَزِينَةُ الْقِرَاءَةِ.
Ia adalah hiasan dalam membaca, dan perhiasan dalam pengucapan. [at-Tamhiid Fii ‘Ilmi at-Tajwiid hal. 47].
*****
KUTIPAN IJMA’ TENTANG MUSTAHAB-NYA MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN TARTIL:
Makna Tartiil : adalah membaca dengan perlahan-lahan, jelas dan seksama. Akan tetapi dalam terminologi Ilmu Qiro'at, tartil adalah salah satu tingkatan dalam tajwid Al-Qur'an yang terdiri dari: tartil, tadwir, dan hadr."
Pertama: Imam Abu Muhammad Muwaffaq al-Din Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali - semoga Allah merahmatinya - dalam kitabnya "Al-Mughni" (14/168) menyatakan:
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ تُسْتَحَبُّ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّحَزِّينِ وَالتَّرْتِيلِ وَالتَّحْسِينِ. أهـ.
Para ulama sepakat bahwa mustahab (sunnah) hukumnya membaca Quran dengan tahziin (khusyu'), tartil (pelan dan jelas), dan memperindah suara bacaan.
Kedua: Faqih dari mazhab Syafi'i dan muhaddits mereka, Abu Zakariya al-Nawawi - semoga Allah merahmatinya - dalam kitabnya "Al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Quran" (hal. 87-88) menyatakan:
وَيَنْبَغِي أَنْ يُرْتَّلَ قِرَاءَتُهُ، وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ ــ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ــ عَلَى اسْتِحْبَابِ التَّرْتِيلِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: { وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا }. اهـ.
Seyogyanya membaca Quran itu dengan tartil. Para ulama sepakat - semoga Allah meridhai mereka - tentang kemustahaban tartil. Allah Ta'ala berfirman: "Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil." (QS. Al-Muzzammil: 4)."
Dan dia juga berkata (halaman 89):
قَالَ الْعُلَمَاءُ: وَالتَّرْتِيلُ مُسْتَحَبٌّ لِلتَّدَبُّرِ وَلِغَيْرِهِ، قَالُوا: يُسْتَحَبُّ التَّرْتِيلُ لِلْعَجَمِيِّ الَّذِي لَا يَفْهَمُ مَعَنَاهُ، لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبَ إِلَى التَّوْقِيرِ وَالْاِحْتِرَامِ، وَأَشَدَّ تَأْثِيرًا فِي الْقَلْبِ. اهـ.
Para ulama mengatakan: "Bacaan al-Quran dengan Tartiil adalah mustahab (disunnahkan) agar bisa mentadabburinya dan untuk tujuan lainnya." Mereka mengatakan: "Mustahab hukumnya membaca dengan tartiil (pelan) bagi orang non-Arab yang tidak memahami maknanya, karena itu lebih dekat untuk menghormati dan menghargai, dan lebih berpengaruh dalam hati." Amin.
Dan dia juga berkata dalam kitabnya "Al-Majmu 'Syarh Al-Muhadzab" (3/396):
يُسْتَحَبُّ تَرْتِيلُ الْقِرَاءَةِ وَتَدَبُّرُهَا، وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: { وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا }. اهـ.
Mustahab hukumnya membaca al-Qur'an dengan tartiil (pelan) dan merenungkan maknanya, dan ini adalah hal yang disepakati. Allah Ta'ala berfirman: { Dan bacakanlah Al-Qur'an itu dengan tartil. } Amin.
Dan dia juga berkata (2/165):
وَيُسَّنُ تَرْتِيلُ الْقِرَاءَةِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: { وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا }، وَثَبَتَ فِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ أَنَّ قِرَاءَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ مُرْتَّلَةً، وَاتَّفَقُوا عَلَى كَرَاهَةِ الْإِفْرَاطِ فِي الْإِسْرَاعِ، وَيُسَمَّى الْهَذْ، قَالُوا: وَقِرَاءَةُ جُزْءٍ بِتَرْتِيلٍ أَفْضَلُ مِنْ قِرَاءَةِ جُزْئَيْنِ فِي قَدْرِ ذَلِكَ الزَّمَنِ بِلَا تَرْتِيلٍ، قَالَ الْعُلَمَاءُ: وَالتَّرْتِيلُ مُسْتَحَبٌ لِلتَّدَبُّرِ، وَلِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى الْإِجْلَالِ وَالتَّوْقِيرِ، وَأَشَدُّ تَأْثِيرًا فِي الْقَلْبِ، وَلِهَذَا يُسْتَحَبُّ لِلْأَعْجَمِيِّ الَّذِي لَا يَفْهَمُ مَعْنَاهُ. ا.هٍـ.
Disunnahkan untuk membaca dengan tartil (pelan dan jelas), Allah Ta'ala berfirman: { Dan bacakanlah Al-Qur'an itu dengan tartil. } Dan telah disepakati dalam hadis-hadis shahih bahwa bacaan Rasulullah ﷺ adalah dengan pelan.
Mereka sepakat untuk tidak menyukai kecepatan berlebihan dalam membaca, dan ini disebut "al-hadz". Mereka mengatakan: "Membaca satu juz dengan tartil lebih baik daripada membaca dua juz dalam waktu yang sama tanpa tartil."
Para ulama mengatakan: "Membaca dengan tartil (pelan dan jelas) itu mustahab karena agar bisa mentadabburinya, dan karena dengan tartil itu lebih dekat untuk mengagungkannya dan menghormatinya, dan lebih berpengaruh dalam hati, dan karena itu dianjurkan dan dimustahabkan bagi orang non-Arab yang tidak memahami maknanya." Selesai.
Ketiga: Pernyataan ulama fikih Hambali, Abu al-Faraj Syamsuddin Ibn Qudamah - semoga Allah merahmatinya - dalam "Syarh al-Kabir ala Matn al-Muqni" (12/57):
واتَّفَقَ أَهْلُ العِلْمِ عَلَى أَنَّهُ تُسْتَحَبُّ قِرَاءَةُ القُرْآنِ بِالتَّحَزِّيْنِ وَالتَّرْتِيلِ وَالتَّحْسِينِ. اهـ
"Para ulama sepakat bahwa disunnahkan membaca Al-Quran dengan tartil, tajwid, dan memperbagusnya ".
Keempat: Kata Syekh Abdul Aziz bin Muhammad Salman - semoga Allah merahmatinya - dalam kitabnya "al-As'ilah wal-Ajwibah al-Fiqhiyah" (2/196):
وَقَدْ اتَّفَقَ العُلَمَاءُ ــ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ ــ عَلَى اسْتِحَبَابِ التَّرْتِيلِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: { وَرَتِّلِ القُرْآنَ تَرْتِيلًا }. اهـ
"Para ulama - semoga Allah meridhai mereka - sepakat mengenai disunnahkannya tartil. Allah Ta'ala berfirman: { وَرَتِّلِ القُرْآنَ تَرْتِيلًا }".
*****
HUKUM MEMBACA AL-QURAN DENGAN TAJWID
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa mempelajari hukum tajwid secara teoritis merupakan fardhu kifayah, bukan fardhu ‘Ain, sehingga tidak menjadi kewajiban bagi setiap individu Muslim untuk mempelajari ilmu tajwid. Namun, kewajiban bagi beberapa ulama untuk menyelamatkan ilmu Tajwid ini, agar dosa terangkat dari yang lainnya. Allah Ta'ala berfirman:
﴿۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾
"Tidak patut bagi semua orang mukmin pergi berperang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama, dan supaya mereka dapat memberi peringatan kepada kaumnya." (QS. At-Taubah: 122).
Mempelajari ilmu tajwid termasuk dalam memahami agama. Jika telah ada sekelompok orang yang khusus belajar dan mengajarkan ilmu ini, maka kewajiban tersebut tidak berlaku bagi orang lain.
*****
PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA SUNNAH DAN WAJIB
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum membaca Al-Quran dengan tajwid.
Apakah setiap Muslim harus membaca Al-Quran dengan bacaan yang baik (mujawwad), memenuhi hukum tajwid?
Dan apakah berdosa bagi yang tidak memperhatikan hukum tajwid dalam membaca Al-Quran?
Para ulama memiliki dua pendapat mengenai hal ini:
RINGKASAN PERBEDAAN PENDAPAT
Pendapat pertama: Tidak wajib , melainkan hanya sunnah .
Ini adalah pendapat para fuqaha yang melihat bahwa membaca Al-Quran dengan memperhatikan hukum-hukum tajwid dan prinsip-prinsipnya adalah sunnah dan etika dalam membaca, yang seharusnya diperhatikan tanpa menimbulkan kesulitan, namun tidak diwajibkan.
Pendapat kedua: wajib membaca al-Quran dengan tajwid, jika tidak, maka berdosa .
Ini adalah pendapat para ulama tajwid yang menyatakan bahwa membaca Al-Quran dengan tajwid adalah wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah, berdasarkan dalil-dalil yang jelas.
*****
RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT BESERTA DALIL MASING-MASING
=====
PENDAPAT PERTAMA:
BACA AL-QURAN TIDAK WAJIB DENGAN TAJWID , AKAN TETAPI SUNNAH.
Bagi yang tidak mewajibkan, mereka tidak menyangkal akan kewajiban untuk membacanya sesuai dengan asal ucapan bahasa arabnya. Mereka mengatakan:
إِنَّ الْوَاجِبَ مِنْ أَحْكَامِ التَّجْوِيدِ مَا يُقِيمُ الْمَبْنَى، وَلَا يُخَالِفُ بِالْمَعْنَى، أَمَّا مَا فَوْقَ ذَلِكَ فَهُوَ أَمْرٌ مُسْتَحَبٌّ غَيْرُ وَاجِبٍ.
Kewajiban dari aturan tajwid adalah aturan yang menjaga struktur kata dan tidak merusak makna. Ada pun yang di atas itu (lebih dari itu) , maka itu adalah perkara yang mustahab (dianjurkan) namun tidak wajib.
AL-HAFIDZ IBNU HAJAR :
Syeikh Abdul Muhsin bin Hamad al-Abbad al-Badr -rahimahullah- dalam "Syarah Sunan Abi Dawud" berkata :
سَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ فِي مَنَاسِبَاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ كَلَامَ الْحَافِظِ ابْنِ حَجَرٍ الَّذِي ذَكَرَهُ عِنْدَ شَرْحِ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ: (( هَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ )) فِي “صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ”. قَالَ: لَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ ــ أَوْ عِبَارَةٌ نَحْوَهَا ــ أَنَّ الْقِرَاءَةَ بِالتَّجْوِيدِ أَحْسَنُ وَأَفْضَلُ، وَأَنَّهُ يَجُوزُ الْقِرَاءَةَ بِدُوْنِهِ. اهـ
"Telah saya sebutkan dalam berbagai kesempatan pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar yang menyebutkannya saat menjelaskan hadis Ibnu Mas'ud: ((هَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ)) dalam "Sahih al-Bukhari", beliau mengatakan:
"Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama -atau kata-kata semisalnya - bahwa membaca Al-Quran dengan tajwid itu lebih baik dan lebih utama, dan boleh juga membacanya tanpa tajwid".
SYEIKH ALI QORI :
Ali al-Qari berkata:
وَيَنْبَغِي أَنْ تُرَاعَى جَمِيعُ قَوَاعِدِهِمْ وَجُوبًا فِيمَا يَتَغَيَّرُ بِهِ الْمَبْنَى، وَيُفْسَدُ بِهِ الْمَعْنَى، وَاسْتِحْبَابًا فِيمَا يُحْسِنُ بِهِ اللَّفْظُ، أَوْ يُسْتَحْسَنُ بِهِ النُّطْقُ حَالَ الْأَدَاءِ"،
"Seyogya-nya semua kaidah-kaidahnya diperhatikan secara wajib dalam hal yang jika tanpa dengannya bisa merubah struktur kata dan merusak makna. Dan disunnahkan (dianjurkan) dalam hal yang bisa memperindah bunyi lafadz atau memperbaiki pelafalan saat membaca."
[Syarh al-Jazariyah oleh Sheikh Ali al-Qari hal. 20, dan Nihayat al-Qawl al-Mufid halaman 25].
Dan dia berkata pula :
"وَأَمَّا اللَّحْنُ (الْخَطَأُ) الْخَفِيُّ، فَلَا يَتَصَوَّرُ أَنْ يَكُونَ فَرْضًا عَيْنًا، يَتَرَتَّبُ الْعُقُوبَةُ عَلَى قَارِئِهِ؛ لِمَا فِيهِ مِنْ حَرَجٍ عَظِيمٍ".
"Sedangkan kesalahan baca yang tersembunyi; maka tidak dianggap sebagai fardhu 'ain (untuk memperbaikinya), yang dapat menyebabkan hukuman bagi pembacanya (yakni : bukan perbuatan dosa); karena di dalamnya terdapat kesulitan yang besar."
IBNU TAIMIYAH :
Syeikhul-Islam Ibnu Taymiyyah berkata:
وَلَا يَجْعَلُ هِمَّتَهُ فِيمَا حُجِبَ بِهِ أَكْثَرُ النَّاسِ مِنْ الْعُلُومِ عَنْ حَقَائِقِ الْقُرْآنِ إمَّا بِالْوَسْوَسَةِ فِي خُرُوجِ حُرُوفِهِ وَتَرْقِيقِهَا وَتَفْخِيمِهَا وَإِمَالَتِهَا وَالنُّطْقِ بِالْمَدِّ الطَّوِيلِ وَالْقَصِيرِ وَالْمُتَوَسِّطِ وَغَيْرِ ذَلِكَ. فَإِنَّ هَذَا حَائِلٌ لِلْقُلُوبِ قَاطِعٌ لَهَا عَنْ فَهْمِ مُرَادِ الرَّبِّ مِنْ كَلَامِهِ .
وَكَذَلِكَ شَغْلُ النُّطْقِ بـ {أَأَنْذَرْتَهُمْ} وَضَمُّ الْمِيمِ مِنْ (عَلَيْهِمْ وَوَصْلُهَا بِالْوَاوِ وَكَسْرُ الْهَاءِ أَوْ ضَمُّهَا وَنَحْوُ ذَلِكَ. وَكَذَلِكَ مُرَاعَاةُ النَّغَمِ وَتَحْسِينُ الصَّوْتِ.
وَكَذَلِكَ تَتَبُّعُ وُجُوهِ الْإِعْرَابِ وَاسْتِخْرَاجُ التَّأْوِيلَاتِ الْمُسْتَكْرَهَةِ الَّتِي هِيَ بِالْأَلْغَازِ وَالْأَحَاجِيِّ أَشْبَهُ مِنْهَا بِالْبَيَانِ
وَكَذَلِكَ صَرْفُ الذَّهْنِ إِلَى حِكَايَةِ أَقْوَالِ النَّاسِ وَنَتَائِجِ أَفْكَارِهِمْ .
"Seseorang tidak seharusnya memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang dengannya bisa menghalangi mayoritas manusia dari ilmu-ilmu tentang hakikat kandungan al-Quran , seperti menghabiskan waktunya untuk berspekulasi tentang makhroj huruf-huruf, mentarqiiq-nya, mentafkhim-nya, meng-imaalah-kannya, pengucapan mad panjang, mad pendek, taqshiir dan lain sebagainya.
Hal ini akan menghalangi hati-hati manusia dari memahami maksud kalam-kalam Tuhan.
Dan juga disibukkan dengan pengucapan { أَأَنْذَرْتَهُمْ } dan membaca dhommah huruf "م" dari (عَلَيْهِمْ) dengan menyambungnya dengan "وَ" dan membaca kasrah pada "هَاءٌ" atau membaca dhommah dan sejenisnya. Dan demikian pula memperhatikan nada dan memperbagus suara.
Begitu pula dengan menelusuri bentuk-bentuk I’rob dan penggalian takwil yang tidak pantas yang lebih mirip dengan teka-teki dan perumpamaan dibandingkan dengan penjelasan.
Dan seseorang tidak boleh memusatkan perhatiannya hanya untuk mendengarkan hikayat dari perkatan-perkataan manusia atau mengikuti pemikiran mereka."
(Sumber: Majmu' Fatawa Ibn Taymiyyah16/50-51)
IBNU AL-QOYYIM :
Ibnu al-Qayyim mengikuti gurunya dalam hal ini. Dan Ibnu Qayyim dalam Ighootstul Lahfaan 1/160 berkata:
(فَصْلٌ: وَمِنْ ذَلِكَ الْوَسْوَسَةُ فِي مَخَارِجِ الْحُرُوفِ وَالتَّنَطُّعُ فِيهَا، وَنَحْنُ نَذْكُرُ مَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ بِأَلْفَاظِهِمْ:
"Termasuk dari itu adalah was-was dalam makhroj-makhroj huruf dan berlebihan di dalamnya, dan kami menyebutkan apa yang telah disebutkan oleh para ulama dengan ucapan-ucapan mereka."
Lalu Ibnu al-Qoyyim berkata :
قَالَ أَبُو الْفَرْجِ بْنُ الْجَوْزِيِّ: قَدْ لُبِسَ إِبْلِيسُ عَلَى بَعْضِ الْمُصَلِّينَ فِي مَخَارِجِ الْحُرُوفِ، فَتَرَاهُ يَقُولُ الْحَمْدُ الْحَمْدُ فَيَخْرُجُ بِإِعَادَةِ الْكَلِمَةِ عَنْ قَانُونِ أَدَبِ الصَّلَاةِ، وَتَارَةً يَلْبَسُ عَلَيْهِ فِي تَحْقِيقِ التَّشْدِيدِ فِي إِخْرَاجِ ضَادِ الْمَغْضُوبِ. قَالَ: وَلَقَدْ رَأَيْتُ مَنْ يَخْرُجُ بُصَاقَهُ مَعَ إِخْرَاجِ الضَّادِ لِقُوَّةِ تَشْدِيدِهِ، وَالْمُرَادُ تَحْقِيقُ الْحَرْفِ فَحَسْبُ، وَإِبْلِيسُ يُخْرِجُ هَؤُلَاءَ بِالزِّيَادَةِ عَنْ حَدِّ التَّحْقِيقِ، وَيُشْغِلُهُمْ بِالْمُبَالَغَةِ فِي الْحُرُوفِ عَنْ فَهْمِ التِّلاَوَةِ، وَكُلُّ هَذِهِ الْوَسَاوِسُ مِنْ إِبْلِيسَ.
Abu al-Faraj Ibnu al-Jawzi berkata: "Iblis telah menyesatkan sebagian orang-orang yang sedang shalat dalam makhroj-makhroj huruf, sehingga Anda melihatnya mengucapkan 'al-hamdu', 'al-hamdu' dengan mengulang kata tersebut, yang keluar dari kaidah tata cara shalat.
Dan kadang-kadang dia terkelabui iblis ketika memastikan penekanan dalam pengucapan 'ضَادِ' pada (المَغْضُوبِ). Saya melihat seseorang mengeluarkan air ludahnya bersamaan dengan pengucapan huruf 'dhâdh' untuk memberikan penekanan yang kuat, yang dimaksudkan hanya untuk memperkuat pengucapan huruf itu saja, namun Iblis membuat mereka berlebihan dalam pengucapan huruf, sehingga mengalihkan perhatian mereka dari pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an. Semua was-was ini berasal dari Iblis."
Lalu Ibnu al-Qoyyim berkata :
وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُتَيْبَةَ فِي مُشْكِلِ الْقُرْآنِ : وَقَدْ كَانَ النَّاسُ يَقْرُؤُنَ الْقُرْآنَ بِلُغَاتِهِمْ ثُمَّ خَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ قَوْمٌ مِّنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ وَأَبْنَاءِ الْعَجَمِ لَيْسَ لَهُمْ طَبْعُ اللُّغَةِ وَلَا عِلْمُ التَّكَلُّفِ، فَهَفُوا فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْحُرُوفِ، وَذَلُوا فَأَخْلَوْا وَمِنْهُمْ رَجُلٌ سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ عَنِدَ الْعَوَامِّ بِالصَّلَاحِ وَقُرْبِهِ مِنَ الْقُلُوبِ بِالدِّينِ، فَلَمْ أَرَ فِيمَنْ تَتَبَّعْتُ فِي وُجُوهِ قِرَاءَتِهِ أَكْثَرَ تَخْلِيطًا وَلَا أَشَدَّ اضْطِرَابًا مِّنْهُ لِأَنَّهُ يَسْتَعْمِلُ فِي الْحَرْفِ مَا يَدْعُهُ فِي نَظِيرِهِ، ثُمَّ يُؤْصِلُ أَصْلًا وَيُخَالِفُ إِلَى غَيْرِهِ بِغَيْرِ عِلَّةٍ، وَيَخْتَارُ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْحُرُوفِ مَا لَا مَخْرَجَ لَهُ إِلَّا عَلَى طَلَبِ الْحِيَلَةِ الضَّعِيفَةِ، هَذَا إِلَى نَبْذِهِ فِي قِرَاءَتِهِ مَذَاهِبَ الْعَرَبِ وَأَهْلِ الْحِجَازِ بِإِفْرَاطِهِ فِي الْمَدِّ وَالْهَمْزِ وَالْإِشْبَاعِ وَإِفْحَاشِهِ فِي الْإِضْجَاعِ وَالْإِدْغَامِ، وَحُمْلِهِ الْمُتَعَلِّمِينَ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّعْبِ، وَتَعْسِيرِهِ عَلَى الْأُمَّةِ مَا يَسَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَتَضِيقُهُ مَا فَسَّحَهُ، وَمِنَ الْعَجَبِ أَنَّهُ يَقْرَىٰءُ النَّاسُ بِهَذِهِ الْمَذَاهِبِ وَيَكْرَهُ الصَّلَاةَ بِهَا، فَفِي أَيِّ مَوْضِعٍ يَسْتَعْمِلُ هَذِهِ الْقِرَاءَةَ إِن كَانَتْ الصَّلَاةُ لَا تَجُوزُ بِهَا؟
Dan Muhammad bin Qutaibah berkata : "Orang-orang pada awalnya membaca Al-Quran dalam dialek bahasa mereka sendiri. Kemudian, digantikan oleh sekelompok orang dari penduduk berbagai macam negeri dan anak keturunan non-Arab yang tidak memiliki tabi’at bahasa arab dan pengetahuan tata bahasa. Maka mereka membuat kesalahan dalam banyak huruf, sehingga menyebabkan kebingungan dan kekeliruan.
Di antara mereka ada seoarang pria – semoga Allah menutupi aib dia pada orang-orang awam dengan kebaikan dan semoga mendekatkannya dengan hati-hati dalam agama -
Maka , saya tidak pernah melihat di antara mereka yang saya teliti dalam berbagai cara bacaan Al-Quran yang lebih campur aduk dan kacau balau dari pada dia. Hal ini karena dia menggunakan dalam suatu huruf apa yang dia anggap tepat di dalamnya.
Kemudian dia menetapkan aturan dasar yang menyelisihi aturan lain tanpa sebab .
Dia juga memilih dalam banyak huruf apa yang tidak memiliki makhroj huruf kecuali dengan mencari jalan tipu muslihat yang lemah.
Hal ini membuat dia dijauhi dalam bacaannya oleh para orang Arab dan penduduk Hijaz karena kebablasan dalam bacaan madd, hamz, Isybaa’, Ifhasy, Idjaa’dan Idghoom.
Para pengajar mengantarkannya pada madzhab yang sulit. Dan dia membuat agama ini menjadi sulit bagi umat ini, dia membuat sulit apa yang Allah mudahkan dan dia membuatnya sempit apa yang Allah luaskan.
Dan yang sangat aneh dari orang ini adalah bahwa dia itu membacakan Al-Quran kepada orang-orang dengan qiro’at madzhab-madzhab lain , akan tetapi dia membenci melakukan shalat dengan membaca qiro’at madzhab-madzhab tersebut. Kalau begitu, lalu ditempat manakah diperbolehkan membacanya jika diwaktu sholat saja tidak diperbolehkan membacanya ?”. [ Lihat : Ighootstul Lahfaan 1/160]
SYEIKH AS-SA’DI [Guru Syeikh Utsaimin]
Syeikh As-Sa’di rahimahullah berkata tentang hal ini:
إِنَّ التَّجْوِيدَ بِحَسَبِ الْقَوَاعِدِ الْمُفَصَّلَةِ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ غَيْرُ وَاجِبٍ.
"Mengenai tajwid berdasarkan kaidah-kaidah yang terdapat dalam kitab-kitab tajwid tidaklah wajib." [Di kutip dari Kitabul Ilmi : 163 oleh Ibnu Utsaimin]
SYEIKH BIN BAAZ :
Syeikh Bin Baaz rahimahullah berkata dalam fatwa beliau:
"يَجُوزُ أَنْ يُقْرَأَ الْقُرْآنُ بِغَيْرِ التَّرْتِيبَاتِ وَالْاِصْطِلَاحَاتِ الَّتِي ذَكَرَهَا أَصْحَابُ التَّجْوِيدِ، إِذَا قُرِئَ بِاللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ قِرَاءَةً وَاضِحَةً، لَكِنْ إِذَا اعْتَنَى بِمَا ذَكَرَهُ الْقُرَّاءُ وَبِمَا ذَكَرَهُ أَصْحَابُ التَّجْوِيدِ، فَهَذَا حَسَنٌ مِنْ بَابِ تَحْسِينِ الْقِرَاءَةِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ: (زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَصَحَّحَهُ الْأَلْبَانِيُّ، فَإِذَا لَاحَظَ الْغُنَّةَ وَالتَّرْقِيقَ وَالتَّفْخِيمَ يَكُونُ أَفْضَلَ، وَإِلَّا فَلَيْسَ بِلاَزِمٍ -فِيمَا يَظُهُرُ لِي- إِذَا قَرَأَهُ الْقَرَاءَةَ الْوَاضِحَةَ، لَيْسَ فِيهَا خَلَلٌ".
"Diperbolehkan untuk membaca Al-Quran tanpa tata cara, aturan-aturan dan istilah-istilah yang disebutkan oleh ahli tajwid, asalkan dibaca dengan bahasa Arab yang jelas. Namun, jika seseorang memperhatikan apa yang disebutkan oleh para qari dan ahli tajwid, maka itu lebih baik sebagai upaya untuk memperbagus bacaan. Sebagaimana sabda Nabi: (Hiasilah Al-Quran dengan suaramu). Riwayat Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani. Jadi, jika terdapat ghunnah, tarqiq, atau tafkhim, itu akan lebih baik. Namun, jika tidak, itu tidaklah wajib menurut pendapat saya, asalkan bacaannya jelas tanpa cacat."
[ Lihat : Nurun ‘Ala Ad-Darb / حكم قراءة القرآن دون تطبيق أحكام التجويد]
Dan Syeikh Bin Baaz juga mengatakan:
لا أعلَمُ دَلِيلاً شَرْعِيًّا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الِالْتِزَامِ بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ، أَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَارْتَلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا}، فَهُوَ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوْعِيَّةِ التَّمَهُّلِ بِالْقِرَاءَةِ وَعَدَمِ الْعَجَلَةِ، وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا}.
"Saya tidak mengetahui dalil syar'i yang menunjukkan kewajiban mematuhi aturan tajwid. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: {Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil}, itu menunjukkan disyariatkannya membaca dengan penuh perhatian dan tanpa terburu-buru, dan ini diperkuat oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: {Dan sungguh, Kami telah membacakan Al-Qur'an ini dengan tartil}.
[Sumber : حكم قراءة القرآن بالتجويد (Islam.web. Fatwa no. 208900) . Dan lihat pula : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, 12/11/1415 Hijriah..
SYEIKH UTSAIMIN :
Syeikh Ibnu Utsaimiin rahimahullah mengatakan:
"أَمَّا التَّجْوِيدُ فَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، التَّجْوِيدُ تَحْسِينٌ لِلْفَظِّ فَقَطْ، وَتَحْسِينُ اللَّفْظِ بِالْقُرْآنِ لَا شَكَّ أَنَّهُ خَيْرٌ، وَأَنَّهُ أَتَمُّ فِي حُسْنِ الْقِرَاءَةِ، لَكِنَّ الْوُجُوبَ بِحَيْثُ نَقُولُ مَنْ لَمْ يَقْرَأْ الْقُرْآنَ بِالتَّجْوِيدِ فَهُوَ آثِمٌ قَوْلٌ لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ، بَلْ الدَّلِيلُ عَلَى خِلَافِهِ"
"Tajwid bukanlah wajib, tajwid hanyalah untuk memperindah lafal. Memperindah pelafalan Al-Quran tidak diragukan lagi bahwa itu baik dan lebih sempurma dalam bacaan. Namun, jika dikatakan wajib , sehingga orang yang membacanya tanpa tajwid itu berdosa maka itu perkataan tanpa dalil atasnya, bahkan sebaliknya dalil yang ada adalah kebalikannya . ["Fatawa Nur 'ala al-Darb" (2/157)]
Membaca al-Qur’an dengan Tajwid menurut pendapat Syekh Ibnu Utsaimin tidak wajib, tetapi wajib untuk menegakkan harakat-harakatnya, dan mengucapkan huruf sebagaimana mestinya, contohnya jangan mengubah huruf (رَ) dengan (لَ), begitu juga huruf (ذَ) dengan (زَ) dan sejenisnya, inilah yang dilarang.
Syeikh Ibnu Utsaimiin rahimahullah juga mengatakan dalam fatwanya:
(( لَا أَرَى وَجُوبَ الِالْتِزَامِ بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ الَّتِي فُصِّلَتْ بِكُتُبِ التَّجْوِيدِ ، وَإِنَّمَا أَرَى أَنَّهَا مِنْ بَابِ تَحْسِينِ الْقِرَاءَةِ ، وَبَابُ التَّحْسِينِ غَيْرُ بَابِ الْإِلْزَامِ ، وَقَدْ ثَبَتَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ سُئِلَ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ؟ فَقَالَ : كَانَتْ مَدًّا ، قَرَأَ : { بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ ، وَيَمُدُّ الرَّحْمَنِ ، وَيَمُدُّ الرَّحِيمِ ، وَالْمَدُّ هُنَا : طَبِيعِيٌّ لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَعَمُّدِهِ وَالنَّصُّ عَلَيْهِ ، هُنَا يُدِلُّ عَلَى أَنَّهُ فَوْقَ الطَّبِيعِيِّ .
وَلَوْ قِيلَ : بِأَنَّ الْعِلْمَ بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ الْمُفَصَّلَةِ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ وَاجِبٌ ، لَلْزَمَ تَأْثِيمَ أَكْثَرِ الْمُسْلِمِينَ الْيَوْمَ ، وَلَقُلْنَا لِمَنْ أَرَادَ التَّحَدُّثَ بِاللُّغَةِ الْفُصْحَى : ” طَبَّقْ أَحْكَامَ التَّجْوِيدِ فِي نُطْقِكَ بِالْحَدِيثِ وَكُتُبِ أَهْلِ الْعِلْمِ ، وَتَعَلُّمِكَ ، وَمَوَاعِظِكَ ” ، وَلْيَعْلَمْ أَنَّ الْقَوْلَ بِالْوَجْوَبِ يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ تُبَرَّأُ بِهِ الذَّمَّةُ أَمَامَ اللَّهِ – عَزَّ وَجَلَّ – فِي إِلْزَامِ عِبَادِهِ بِمَا لَا دَلِيلَ عَلَى إِلْزَامِهِمْ بِهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ – تَعَالَى – أَوْ سُنَّةِ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، أَوْ إِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ .
وَقَدْ ذَكَرَ شَيْخُنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعْدٍي – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي جَوَابٍ لَهُ : ” أَنَّ التَّجْوِيدَ حَسَبَ الْقَوَاعِدِ الْمُفَصَّلَةِ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ غَيْرُ وَاجِبٍ ".
"Saya tidak melihat kewajiban untuk mematuhi hukum tajwid, yang dirinci oleh buku-buku Tajwid, akan tetapi saya melihat bahwa itu adalah masalah memperindah bacaan, dan BAB untuk tahsiin (memperbagus) bukanlah BAB pengharusan (Ilzaam).
Telah disebutkan di dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang bagaimana dulu bacaan Nabi ﷺ. Ia menjawab, ‘Bacaan beliau adalah mad ketika membaca Bismillahirrahmanirrahim, memanjangkan bismillah, memanjangkan Ar Rahman, memanjangkan Ar Rahim. Padahal mad di sini adalah mad thabi’i tidak butuh untuk sengaja memanjangkan, sedang nash (dalil) ini menunjukkan mad nya melebihi mad thabi’i.’
Seandainya dikatakan bahwa hukum-hukum yang dituliskan di dalam kitab-kitab tajwid hukumnya wajib, maka akan memberikan konsekwensi berdosanya banyak sekali kaum muslimin. Dan kita akan mengatakan bagi orang yang hendak berbicara dengan bahasa arab fasih, ‘Praktekkan ilmu tajwid ketika kalian membaca hadits dan kitab-kitab para ulama, dalam pengajaran kalian dan dalam nasehat-nasehat kalian.’
Dan hendaknya diketahui bahwa pendapat yang mewajibkan ( membaca sesuai tajwid ~ed), membutuhkan dalil yang akan melepaskan tanggung jawab dihadapan Allah kelak, yang terambil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya ﷺ atau ijma’(konsensus para ulama).
Dan Syaikh kami, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menyebutkan di dalam salah satu fatwa beliau bahwa tajwid sesuai yang dirinci di dalam kitab-kitab tajwid itu tidak wajib hukumnya.”
[Ini adalah kutipan dari “Kitab Al-'Ilmi" oleh Syekh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, cetakan Dar al-Thariyah untuk Penerbitan, halaman 170-171, Pertanyaan Nomor 70].
MUHAMMAD AL-HASAN AD-DADU :
Dekat dengan pandangan ini, yang juga dipegang oleh Syeikh Muhammad Al-Hasan Al-Dadu :
أَنَّ الْقِرَاءَةَ بِالتَّجْوِيدِ يَنْتَابُهَا الْأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ، فَمِنْهَا مَا هُوَ وَاجِبٌ؛ وَهُوَ الَّذِي إذَا لَمْ يَأخُذْ بِهِ الْإِنْسَانُ أَفْسَدَ قِرَاءَتَهُ. وَمِنْهَا مَا يُؤْثِمُ فَاعِلُهُ مُتَعَمِّدًا، وَهُوَ الَّذِي يَقْتَضِي اخْتِلَاطَ الْحُرُوفِ فِي مَخَارِجِهَا وَصِفَاتِهَا، أَوْ إدْغَامَ بَعْضِ مَا لَا يُدْغَمُ، أَوْ إزَالَةَ بَعْضِ الْحَرَكَاتِ بِالْإِشَالَةِ، وَالسُّرْعَةِ، كَالْهَذْرَمَةِ، وَنَحْوِهَا. وَمِنْهَا يَكُونُ سُنَّةً مُسْتَحَبَّةً، وَهُوَ مَا يُقْتَضِي تَحْسِينَ الْقُرْآنِ وَحُسْنَ تَقْطِيعِهِ، وَيُعِينُ عَلَى تَدَبُّرِهِ، كَالْوَقْفِ فِي مَوَاضِعِ الْوَقْفِ عَلَى التَّمَامِ أَوْ الْكَمَالِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ. وَمِنْهُ مَا هُوَ مَكْرُوهٌ، وَهُوَ مَا يَكُونُ كَشَكْلِ الطَّرَبِ، وَالْغِنَاءِ، وَنَحْوِهِمَا. وَمِنْهُ مَا يَكُونُ مُحَرَّمًا، وَهُوَ مَا يَبَالُغُ الْإِنْسَانُ فِيهِ حَتَّى يَتَقَعَّرُ، وَيُخْرَجُ بِهِ الْكَلَامُ عَنْ أَصْلِهِ. وَمِنْهُ مَا يَكُونُ مُنْدُوبًا عِنْدَ طَائِفَةٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ: وَهُوَ تَحْسِينُ الصَّوْتِ بِهِ حَتَّى يَكُونَ أَرَقَّ مِنْ صَوْتِهِ الْعَادِيِّ، وَذَلِكَ بِأَنْ يُشْجِي صَوْتَهُ بِهِ، حَتَّى يَكُونَ نَدِيًّا شَجِيًّا.
“ Bahwa dalam membaca dengan tajwid, terdapat lima macam hukum. Di antaranya :
Ada yang wajib; jika seseorang tidak mengamalkannya, maka bacaannya menjadi rusak.
Ada pula yang dosa jika dilakukan dengan sengaja, seperti yang menyebabkan bercampur baurnya huruf-huruf dalam makhraj-makhrajnya atau sifat-sifatnya, atau meng-idghom-kan apa yang seharusnya tidak diidghomkan, atau menghilangkan beberapa harakat dengan menggeser, serta kecepatan seperti mempercepat bacaan, dan sejenisnya.
Ada juga yang disunahkan dan dimustahabkan, yaitu yang mengantarkan pada sesuatu yang memperindah bacaan Al-Qur'an dan memotong-motongnya dengan baik, serta membantu dalam memahaminya, seperti berhenti di tempat-tempat yang memerlukan berhenti secara sempurna, dan sejenisnya.
Ada pula yang makruh, seperti bacaan dengan intonasi yang mirip dengan nyanyian atau musik, dan sejenisnya.
Ada yang diharamkan, yaitu jika seseorang melampaui batas sehingga terkesan merendahkan, dan dengan itu bacaan nya menjadi melenceng dari makna aslinya.
Dan ada yang manduub [disukai] oleh sebagian para ulama, yaitu memperbaiki suara sehingga lebih halus dari suara biasanya, dengan cara memperindah suaranya hingga menjadi merdu”.
[Sumber : حكم قراءة القرآن بالتجويد (Islam.web. Fatwa no. 208900)].
SYEIKH SHALEH AL-FAWZAN :
Dan Syeikh Saleh bin Fawzan berkata:
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّجْوِيدِ مُسْتَحَبَّةٌ مِنْ غَيْرِ إفْرَاطٍ، وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً، وَإِنَّمَا الْوَاجِبُ تَجْوِيدُ الْقُرْآنِ مِنَ اللَّحْنِ وَالْخَطَأِ فِي الْإِعْرَابِ.
"Membaca Al-Qur'an dengan tajwid itu disunnahkan tanpa berlebihan dalam bertajwid, dan bukanlah wajib. Yang wajib hanyalah memperbaiki bacaan Al-Qur'an dari kesalahan dalam melafalkan dan kesalahan dalam I’rob (tata bahasa)".
[Sumber : حكم قراءة القرآن بالتجويد (Islam.web. Fatwa no. 208900)]
======
DALIL PENDAPAT : TIDAK WAJIB BACA AL-QUR’AN DENGAN TAJWID :
Mereka yang berpendapat bahwa membaca Al-Qur'an dengan tajwid tidaklah wajib berpendapat bahwa dalil-dalil nash yang digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa kewajiban tersebut tidaklah eksplisit menunjukkan kewajiban, tetapi lebih kepada penegasan pentingnya mengucapkan huruf-huruf dengan benar. Tidak ada petunjuk yang menunjukkan wajibnya memperhatikan rincian hukum-hukum tajwid.
Berikut ini dalil-dalil yang menyatakan bahwa membaca Al-Qur'an dengan tajwid bukanlah wajib.
DALIL PERTAMA :
Allah berfirman :
﴿وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ﴾
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”. [Al Qamar: 17]
Ayat ini termasuk yang sering diulang dalam surat tersebut, yakni Surah Al-Qamar. Oleh karena itu, segala sesuatu yang membuat membaca Al-Qur'an menjadi sulit bagi manusia, baik secara umum untuk semua manusia maupun khusus bagi orang Arab, maka itu adalah salah.
Diketahui bahwa aturan-aturan tajwid seperti yang tercatat dan diklasifikasikan dalam kitab-kitab, tidaklah mudah bagi semua umat Islam untuk mengambil dan mempelajarinya secara keseluruhan. Selain itu, sulit bagi sebagian orang yang telah mempelajarinya untuk mengaplikasikannya sesuai dengan yang diinginkan oleh Imam-imam dalam Qira'at yang mereka anggap sebagai pihak yang pasti benar, dan menilai sebagai kesalahan jika tidak sesuai, baik dalam makhraj huruf, sifatnya, maupun dalam memenuhi hak-haknya.
DALIL KEDUA :
Allah SWT berfirman :
﴿إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ﴾
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami-lah yang akan menjaganya." (Surah Al-Hijr: 9)
Beberapa orang yang mengatakan wajib bertajwid, mereka menggunakan ayat ini sebagai dalil, meskipun sebenarnya ayat ini adalah dalil yang menentang mereka, bukan mendukung. Karena kalimat dalam ayat ini adalah kalimat berita, maka Allah menegaskan bahwa Dia sendiri yang akan menjaga Al-Qur'an. Jika benar bahwa membaca Al-Qur'an tanpa memperhatikan aturan tajwid dianggap sebagai perubahan (tahrif), maka akibatnya akan menyebabkan Al-Qur'an pada zaman kita sekarang telah mengalami perubahan (tahrif) di tangan sebagian besar umat Islam. Karena diketahui bahwa sebagian besar umat Islam, bahkan mungkin kebanyakan imam masjid, tidak mematuhi semua aturan tajwid dalam membaca Al-Qur'an.
Oleh karena itu, kesimpulan ini jelaslah keliru. Segala sesuatu yang mengarah ke kesimpulan tersebut adalah salah.
DALIL KETIGA:
Dari Sahal bin Sa’ad as-Saa’idi , berkata :
" خرج علينا رسول الله – ﷺ – يوماً ونحن نقريء فقال: الحمدُ لله، كتابُ الله واحدٌ، وفيكم الأحْمَرُ وفيكم الأبْيَضُ وفيكم الأسْوَد اقْرَؤوهُ قَبْل أنْ يَقْرَأَهُ أقْوامٌ يُقيمُونَهُ كما يُقَوَّمُ السَّهْمُ يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ ولا يتَأجَّلُهُ ".
“ Pada suatu hari Rosulullah ﷺ keluar menemui kami , dan saat itu kami sedang membaca al-Qur’an , maka beliau ﷺ bersabda :
“ Al-Hamdulillah , Kitab Allah satu , sementara di dalam kalian ada yang berkulit merah , berkulit putih dan berkulit hitam ( Yakni ada etnis Arab dan Non Arab ) , bacalah kalian al-Quran sebelum adanya kaum-kaum membaca al-Qur’an , mereka menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan ( yakni mereka memperbagus bacaannya ) , namun dia mempercepat upahnya ( di dunia ) dan tidak menundanya ( untuk akhirat ) .
( HR. Abu Daud 1/220 No. 831 . Di Shahihkan oleh Syeikh al-Albaani dlm Shohih Abu Daud 1/157 No. 741, beliau berkata : Hasan Shahih ).
Syarah Hadits :
قَوْلُهُ: « يُقِيمُونَهُ كَمَا يُقَوِّمُ السَّهْمَ » أي: يُحَسِّنُونَ النُّطْقَ بِهِ. وَقَوْلُهُ: « يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُهُ » أي: يَطْلُبُ بِذَلِكَ أَجْرَ الدُّنْيَا مِنْ مَالٍ وَجَاهٍ وَمَنْصِبٍ، وَلَا يَطْلُبُ بِهِ أَجْرَ الْآخِرَةِ.
Sabda beliau ﷺ : "Mereka menegakkan bacaannya seperti halnya meluruskan anak panah" Yakni : mereka memperbagus dalam pengucapannya .
Dan sabdanya : “dia mempercepat upahnya ( di dunia ) dan tidak menundanya ( untuk akhirat )”. Artinya : dia dengan bacaanya itu untuk mencari upah duniawi , berupa harta , kehormatan dan kedudukan. Dia tidak bertujuannya dengannya itu untuk mencarai pahala akhirat . [ Baca : جامع الأصول karya Ibnu al-Atsiir 2/450 – 451 ]
DALIL KEEMPAT :
Dan dari Jabir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata;
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَنَحْنُ نَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَفِينَا الْأَعْرَابِيُّ وَالْأَعْجَمِيُّ فَقَالَ اقْرَءُوا فَكُلٌّ حَسَنٌ وَسَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يُقِيمُونَهُ كَمَا يُقَامُ الْقِدْحُ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُونَهُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menemui kami, ketika itu kami sedang membaca Al Qur'an, sedangkan di antara kami ada seorang arab Badui dan orang Asing, maka beliau bersabda: "Bacalah oleh kalian dengan bacaan yang baik, akan datang suatu kaum yang membaca dengan melurus-luruskannya (benar) sebagaimana anak panah di luruskan, namun mereka hanyalah mengharap-harap balasan yang disegerakan (materi-duniawi) dan mereka tidak mengharap pahala yang ditangguhkan (di akhirat)."
[HR. Abu Dawud (830) dan Ahmad (15308). Di shahihkan al-Albaani dalam shahih Abu Daud no. 830].
Dan juga diriwayatkan hadits-hadits lain semacam ini, yang menunjukkan bahwa beliau ﷺ memerintahkan para sahabatnya untuk membaca Al-Qur'an sesuai dengan kemudahan yang ada pada mereka, dan dengan memudahkan pada lidah mereka, dan bahwa beliau tidak mengajarkan kepada mereka tajwid dan makhroj-makhroj huruf.
Sabda Rasulullah ﷺ, "Maka masing-masing adalah baik" sudah mencukupi sebagai dalil, meskipun di antara mereka ada orang-orang non-Arab. Hal ini sudah cukup untuk membuktikan maksudnya, karena sangat tidak mungkin orang-orang non-Arab membaca bahasa Arab seperti orang Arab, apalagi membaca dengan hukum-hukum tajwid yang pada masa itu tidak pernah diajarkan.
BANTAHAN :
Mungkin ada yang mengkritik dalil hadits ini dengan mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi orang non-Arab dalam majelis tersebut untuk membaca dengan tajwid, sehingga tidak ada halangan atas mereka wajib untuk mempelajarinya dan mengamalkannya.
JAWABAN :
Jika orang-orang non-Arab pada waktu itu membaca seperti orang Arab, maka tidak akan ada manfaatnya untuk menyebut mereka dalam hadits bersama orang Arab. Oleh karena itu, jika seorang sahabat meriwayatkan hadits, itu menunjukkan bahwa dia percaya bahwa hadits tersebut memiliki manfaat yang mungkin tidak dimengerti oleh semua orang, atau dia ingin menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan apa yang telah dipersepsikan orang lain.
Jika tidak, maka itu sia-sia ; karena meriwayatkan hadits tersebut tidak memberikan manfaat apa pun.
Jika pembaca non-Arab dan Arab dalam majelis tersebut sama-sama mematuhi makhraj huruf dan sifatnya, serta aturan tajwid, maka tidak akan ada perbedaan antara keduanya kecuali dalam aspek bahasa saja.
Lalu Apakah ada yang berpikir bahwa jika orang non-Arab membaca Al-Qur'an dengan cara yang benar, maka itu tidak akan diterima hanya karena dia orang non-Arab?
Jika demikian, lalu keraguan apakah yang ingin diatasi oleh perawi hadits?
Hanya dapat disimpulkan bahwa keraguan yang muncul dalam pikirannya, yang sedang kita bahas saat ini, adalah tentang membaca kata-kata dalam bentuk yang berbeda dari cara pembacaan orang Arab pada zaman ini, tetapi tetap dimengerti maknanya oleh mereka.
Inilah tepatnya makna yang ingin dibuktikan, yaitu bahwa kata-kata Arab adalah apa yang digunakan oleh orang Arab atau dipahami oleh mereka sebagai bagian dari bahasa mereka. Sebagai contoh, ketika seseorang dari kalangan awam Arab mengucapkan kata "al-Ardh" (الأَرْضُ =bumi), orang Arab lainnya dari berbagai tempat, mulai dari laut hingga Teluk, akan memahaminya sebagai kata Arab, baik jika Alifnya di baca tarqiq atau dibaca tafkhim, dan baik huruf Dhodh-nya dikeluarkan dari makhrojnya yang benar dari belakang lidah atau hanya dekat darinya , dan baik diberi haknya dari sifat istitholah (الاستِطَالَة) atau tidak.
Orang Arab pada dasarnya tidak sepakat tentang sifat huruf-huruf ini dan makhroj-makhroj-nya, apalagi tentang aturan tajwid lainnya seperti madd (panjang) dan idgham (penyamaran), dan sebagainya.
Beberapa suku Arab mengucapkan huruf Ha (ح) seperti Ain (ع). Sebagian dari mereka menggunakan kasrah dan ya untuk bentuk jamak, beberapa dari mereka membaca nashob dengan fathah , dan yaa (ي) untuk tasniyyah , sementara sebagian yang lain dhammah dan Alif untuk bentuk tasniyah .
Ilmu I’rob (tata bahasa Arab) dan ilmu nahwu secara keseluruhan adalah ilmu yang muncul setelah masa Khilafah Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu, yang artinya setelah masa kenabian dan masa pengesahan syariat selama bertahun-tahun. Bagaimana mungkin aturan-aturannya menjadi syarat dalam kesahihan Al-Qur'an?
Aturan-aturan atau kaidah-kaidah ini bukan dalil yang menunjukkan bahwa itu mencakup semua bahasa dan dialek suku-suku Arab hingga masa kenabian.
Oleh karena itu, sebagian para mufassir dan para qari' dihadapkan pada kebingungan yang besar ketika menemukan ayat Al-Qur'an bertentangan dengan kaidah-kaidah Nahwu yang dikenal setelah itu, seperti ayat
﴿قَالُوا إِنْ هَٰذَانِ لَسَاحِرَانِ يُرِيدَانِ أَن يُخْرِجَاكُم مِّنْ أَرْضِكُم بِسِحْرِهِمَا ﴾
Artinya : "Sesungguhnya keduanya adalah ahli sihir yang ingin mengusir kamu dari negerimu dengan sihir mereka" [QS. Thaha : 63]
Di mana dalam ayat ini terdapat qiro’at shahihah berlawanan dengan I’rob (tata bahasa Arab).
Perlu diperhatikan di sini bahwa kita mengatakan "berlawanan dengan I’rob (الإعْرَابُ = tata bahasa)" bukan "berlawanan dengan bahasa Arab" karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas, yaitu bahasa yang digunakan oleh orang Arab dan dipahami oleh mereka.
Dunia bahasa Arab lebih luas daripada ruang lingkup tata bahasa kontemporer, karena aturan tata bahasa seperti yang disebutkan hanya mencakup sebagian dari bahasa Arab dan bukan seluruhnya.
Al-Imam Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya tentang tafsir ayat tersebut :
قوْلُهُ تَعَالَى : {قَالُوا إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ }
قَرَأَ أَبُو عُمَرَ : { إِنَّ هَذَيْنَ لَسَاحِرَانِ } . وَرُوِيَتْ عَنْ عُثْمَانَ وَعَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - وَغَيْرِهِمَا مِنَ الصَّحَابَةِ ؛ وَكَذَلِكَ قَرَأَ الْحَسَنُ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَغَيْرُهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ ؛ وَمِنَ الْقُرَّاءِ عِيسَى بْنُ عُمَرَ وَعَاصِمُ الْجَحْدَرِيُّ ؛ فِيمَا ذَكَرَ النَّحَّاسُ . وَهَذِهِ الْقِرَاءَةُ مُوَافِقَةٌ لِلْإِعْرَابِ مُخَالِفَةٌ لِلْمُصْحَفِ .
وَقَرَأَ الزُّهْرِيُّ وَالْخَلِيلُ بْنُ أَحْمَدَ وَالْمُفَضَّلُ وَأَبَانٌ وَابْنُ مُحَيْصِنٍ وَابْنُ كَثِيرٍ وَعَاصِمٌ فِي رِوَايَةِ حَفْصٍ عَنْهُ إِنْ هَذَانِ بِتَخْفِيفِ ( إِنَّ ) ( لَسَاحِرَانِ ) وَابْنُ كَثِيرٍ يُشَدِّدُ نُونَ ( هَذَانَ ) . وَهَذِهِ الْقِرَاءَةُ سَلِمَتْ مِنْ مُخَالَفَةِ الْمُصْحَفِ وَمِنْ فَسَادِ الْإِعْرَابِ ، وَيَكُونُ مَعْنَاهَا مَا هَذَانَ إِلَّا سَاحِرَانِ.
وَقَرَأَ الْمَدَنِيُّونَ وَالْكُوفِيُّونَ ( إِنَّ هَذَانِ ) بِتَشْدِيدِ ( إِنَّ ) ( لَسَاحِرَانِ ) فَوَافَقُوا الْمُصْحَفَ وَخَالَفُوا الْإِعْرَابَ .
قَالَ النَّحَّاسُ فَهَذِهِ ثَلَاثُ قِرَاءَاتٍ قَدْ رَوَاهَا الْجَمَاعَةُ عَنِ الْأَئِمَّةِ .
وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَرَأَ ( إِنْ هَذَانِ إِلَّا سَاحِرَانِ )
وَقَالَ الْكِسَائِيُّ فِي قِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ : ( إِنْ هَذَانِ سَاحِرَانِ ) بِغَيْرِ لَامٍ.
وَقَالَ الْفَرَّاءُ فِي حَرْفِ أُبَيٍّ ( إِنْ ذَانِ إِلَّا سَاحِرَانِ ) .
فَهَذِهِ ثَلَاثُ قِرَاءَاتٍ أُخْرَى تُحْمَلُ عَلَى التَّفْسِيرِ لَا أَنَّهَا جَائِزٌ أَنْ يُقْرَأَ بِهَا لِمُخَالَفَتِهَا الْمُصْحَفَ ـ
Firman Allah ta'ala:
﴿قَالُوا إِنْ هَٰذَانِ لَسَاحِرَانِ﴾
{Mereka berkata, 'Kedua orang ini benar-benar tukang sihir'}."
Abu 'Umar membacanya :
{إِنَّ هَذَيْنَ لَسَاحِرَانِ}
"{Sesungguhnya kedua ini benar-benar tukang sihir}."
Ini juga diriwayatkan dari Utsman, Aisyah - semoga Allah meridhainya -, dan para sahabat lainnya. Begitu pula dibaca oleh Al-Hasan, Sa'id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, dan para tabi'in lainnya. Dari para qari', Isa bin 'Umar dan 'Asim Al-Jahdari, sesuai yang disebutkan oleh An-Nahhas. Pembacaan ini sesuai dengan tata bahasa, berbeda dengan mushaf.
Sedangkan Az-Zuhri, Khalil bin Ahmad, Al-Mufadhal, Aban, Ibnu Muḥaysin, Ibnu Kathir, dan 'Asim dalam riwayat Hafs dari beliau membaca :
{إِنْ هَذَانِ} dengan meringankan [tidak dengan tasydiid) (إِنْ) pada (لَسَاحِرانِ). Sementara Ibnu Katsir mentasydid nun (ن) pada (هَذَانَ).
Pembacaan ini tidak bertentangan dengan mushaf dan tidak salah dalam tata bahasa. Yang maknanya yaitu:
مَا هَذَانَ إِلَّا سَاحِرَانِ
Artinya, "Tidaklah Keduanya ini melainkan dua tukang sihir."
Dan penduduk Madinah dan penduduk Kufah membaca (إِنَّ هَذَانِ) dengan mentasydid (إِنَّ) (لَسَاحِرَانِ), sehingga mereka sesuai dengan mushaf dan bertentangan dengan I’rob (tata bahasa).
An-Nahhaas berkata: "Ini adalah tiga bacaan yang telah diriwayatkan oleh mayoritas dari para imam."
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud membaca (إِنْ هَذَانِ إِلَّا سَاحِرَانِ).
Al-Kisa'i dalam qiro’at Abdullah mengatakan: (إِنْ هَذَانِ سَاحِرَانِ) tanpa lam.
Al-Farra' dalam huruf Ubay mengatakan: (إِنْ ذَانِ إِلَّا سَاحِرَانِ).
Maka ini adalah tiga qiro’at lain yang bisa diinterpretasikan secara tafsir, bukan dipakai sebagai qiro’at karena bertentangan dengan mushaf. [Tafsir al-Qurthubi 11/216].
Kemudian al-Qurthubi berkata :
وَلِلْعُلَمَاءِ فِي قِرَاءَةِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَالْكُوفَةِ سِتَّةُ أَقْوَالٍ ذَكَرَهَا ابْنُ الْأَنْبَارِيِّ فِي آخِرِ كِتَابِ الرَّدِّ لَهُ، وَالنَّحَّاسُ فِي إِعْرَابِهِ، وَالْمَهْدَوِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ، وَغَيْرُهُمْ أَدْخَلَ كَلَامَ بَعْضِهِمْ فِي بَعْضٍ
Para ulama memiliki enam pendapat dalam membaca Ahlul Madinah dan Ahlul Kufah, yang disebutkan oleh Ibnu al-Anbari dalam akhir kitab ar-Radd, serta an-Nahhas dalam I’rabnya, dan al-Mahdawi dalam tafsirnya, dan yang lainnya juga menyertakan perkataan beberapa di antara mereka dengan yang lain... [Tafsir al-Qurthubi 11/216]
Kemudian al-Qurthubi berkata :
وَقَالَ عُثْمَانُ ابن عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: فِي الْمُصْحَفِ لَحْنٌ وَسَتُقِيمُهُ الْعَرَبُ بِأَلْسِنَتِهِمْ. وَقَالَ أَبَانُ بْنُ عُثْمَانَ: قَرَأْتُ هَذِهِ الْآيَةَ عِنْدَ أَبِي عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، فَقَالَ: لَحْنٌ وَخَطَأٌ، فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ: أَلَا تُغَيِّرُوهُ؟ فَقَالَ: دَعُوهُ فَإِنَّهُ لَا يُحَرِّمُ حلالا ولا يحلل حرما.
الْقَوْلُ الْأَوَّلُ مِنَ الْأَقْوَالِ السِّتَّةِ: أَنَّهَا لُغَةُ بنى الحرث بْنِ كَعْبٍ وَزُبَيْدٍ وَخَثْعَمَ. وَكِنَانَةَ بْنِ زَيْدٍ يجعلون رفع الاثنين ونصبه وخفضه بالألف يَقُولُونَ: جَاءَ الزَّيْدَانِ وَرَأَيْتُ الزَّيْدَانِ وَمَرَرْتُ بِالزَّيْدَانِ، ومنه قوله تعالى:" وَلا أَدْراكُمْ بِهِ" [يونس: 16] عَلَى مَا تَقَدَّمَ".
Utsman bin Affan - semoga Allah meridainya - berkata: "Dalam mushaf ada lahn (لَحْنٌ) namun diluruskan oleh orang Arab dengan dialek mereka."
Dan Aban bin Utsman berkata: "Saya membaca ayat ini di hadapan ayahku Utsman bin Affan, lalu dia mengatakan bahwa itu adalah lahn dan kesalahan." Lalu seseorang bertanya kepadanya: "Apakah kalian tidak ingin mengubahnya?" Dia menjawab: "Biarkan saja, karena tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
Pendapat pertama dari enam pendapat adalah bahwa itu adalah bahasa Bani Harits bin Ka’ab, Zubaid, Khots’am, dan Kinanah bin Zaid yang menjadikan rafa’ tatsniyah, sementara menjadikan nashob dan khofadhnya dengan huruf alif; mereka mengatakan:
جَاءَ الزَّيْدَانِ ، وَرَأَيْتُ الزَّيْدَانِ ، وَمَرَرْتُ بِالزَّيْدَانِ
"Telah datang dua Zaid . Saya melihat dua Zaid. Dan saya melewati dua Zaid ....". [Tafsir al-Qurthubi 11/216-217]
Dan silahkan anologikan pula dengan contoh diatas, ayat-ayat yang digambarkan dalam mushaf yang bertentangan dengan I’rob (kaidah tata bahasa), seperti firman Allah "لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ" kemudian Dia berkata: "وَالْمُقِيمِينَ" dalam Surah An-Nisa' dan "إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ" dalam Surah Al-Maidah.
DALIL KE LIMA :
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya 4/30: Dari Abu Thalhah Zaid Bin Sahl al-Anshary :
قَرَأَ رَجُلٌ عِنْدَ عُمَرَ فَغَيَّرَ عَلَيْهِ فَقَالَ: قَرَأْتُ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَلَمْ يُغَيِّرْ عَلَيَّ، قَالَ: فَاجْتَمَعْنَا عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: فَقَرَأَ الرَّجُلُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ لَهُ: " قَدْ أَحْسَنْتَ "، قَالَ: فَكَأَنَّ عُمَرَ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " يَا عُمَرُ، إِنَّ الْقُرْآنَ كُلَّهُ صَوَابٌ مَا لَمْ يُجْعَلْ عَذَابٌ مَغْفِرَةً أَوْ مَغْفِرَةٌ عَذَابًا "
“Ada seorang membaca Al Qur’an di sisi Umar, lalu ia meralatnya, orang itu berkata, ‘Aku membacanya demikian di hadapan Rasulullah ﷺ dan beliau tidak menyalahkanku!’
Umar berkata, “Maka kami berkumpul di sisi Nabi ﷺ, orang itu membacakannya kepada Nabi ﷺ dan beliau pun bersabda untuknya, ‘Engkau telah membacanya dengan bagus!’
Perawi berkata, ‘Maka Umar sepertinya tidak enak hati, maka nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Hai Umar seluruh bentuk bacaan Al Qur’an itu benar, selama ayat siksa tidak dijadikan ayat ampunan dan ayat ampunan dijadikan ayat siksa.”
[HR. Ahmad 26/285 no. 16366 dan al-Bukhori dalam at-Taarikh al-Kabiir 3/62 dan Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wat Ta’diil 3/252 .
Al-Haitsami berkata dalam al-Majma’ (7/151): "Para perawinya adalah orang-orang yang dapat dipercaya."
Di Hasankan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/44, oleh adh-Dhiya dalam al-Jami’ al-Kamil 10/16 dan juga oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq al-Musnad 26/285]
Dalam makalah al-Qoul al-Mufiid Fii Hukmi at-Tajwiid disebutkan :
فَقَوْلُهُ ﷺ فِيمَا رُوِيَ عَنْهُ "إِنَّ الْقُرْآنَ كُلَّهُ صَوَابٌ مَا لَمْ يَجْعَلْ عَذَابًا مَغْفِرَةً أَوْ مَغْفِرَةً عَذَابًا" ينسف دعوى وَجُوبِ التَّجْوِيدِ نَسْفًا بَلْ يَتَعَدَّى ذَلِكَ لِجَوَازِ اسْتِبْدَالِ لَفْظِ بَآخَرَ إِذَا تَشَابَهَ فِي الْمَعْنَى وَلَيْسَ فَقَطْ اسْتِبْدَالِ صِفَةٍ بِصِفَةٍ أَوْ مَدِّ بِمَدٍّ طَالَمَا بَقِيَتْ الْكَلِمَةُ مَفْهُومَةً عَرَبِيَّةَ الصُّوَرِةِ
وَمَسْأَلَةُ جَوَازِ اسْتِبْدَالِ لَفْظِ بَآخَرَ يُؤَدِّي نَفْسَ الْمَعْنَى أَوْ مُقَارَبٍ هُوَ مَذْهَبُ كَثِيرٍ مِنْ عُلَمَاءِ السَّلَفِ تَفْسِيرًا لِلسَّبْعَةِ أَحْرُفِ الَّذِي أَنْزَلَ الْقُرْآنَ عَلَيْهِمْ فَقَالُوا هِيَ الْأَلْفَاظُ الْمُخْتَلِفَةُ لِلْمَعَانِي الْمُتَشَابِهَةِ مِثْلَ "مَشَى" وَ "سَعَى" وَ "ذَهَب" وَمِثْلَ "تَعَال" وَ "إِءْتَ".
ARTINYA :
"Sabda Rasulullah ﷺ :
إِنَّ الْقُرْآنَ كُلَّهُ صَوَابٌ مَا لَمْ يُجْعَلْ عَذَابٌ مَغْفِرَةً أَوْ مَغْفِرَةٌ عَذَابًا
"Seluruh bentuk bacaan Al Qur’an itu benar, selama ayat siksa tidak dijadikan ayat ampunan dan ayat ampunan dijadikan ayat siksa".
Ini tidak hanya menggugurkan klaim wajibnya tajwid, melainkan juga memperbolehkan penggantian kata dengan kata lain jika maknanya sama, bukan hanya mengganti sifat dengan sifat atau penggantian panjang dengan panjang, selama kata tersebut tetap memiliki makna Arab yang dipahami.
Masalah bolehnya mengganti kata dengan kata lain yang memiliki makna serupa atau mendekati makna tersebut adalah pendapat banyak ulama salaf dalam menafsirkan huruf-huruf sab'ah, yaitu huruf-huruf yang Al-Qur'an diturunkan padanya.
Mereka mengatakan :
هي الْأَلْفَاظُ الْمُخْتَلِفَةُ لِلْمَعَانِي الْمُتَشَابِهَةِ مِثْلَ "مَشَى" وَ "سَعَى" وَ "ذَهَب" وَمِثْلَ "تَعَال" وَ "إِءْتِ"
bahwa huruf-huruf tersebut adalah kata-kata yang berbeda namun memiliki makna yang serupa, seperti "berjalan" dan "berjalan cepat" dan "pergi" , dan juga semisal “ke-sinilah!’ "datanglah!".
[referensi : الدفاع عن السنة . https://www.dd-sunnah.net ›]
Imam al-Hafiz Ibn Hajar ketika syarah hadits berikut ini :
"إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ"
"Sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf (qira’at), maka bacalah apa yang mudah bagi kalian" ,
Setelah mengemukakan perkataan para ulama tentangnya, lalu al-Hafidz berkata :
وَحَاصِلُ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ هَؤُلَاءِ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ أَيْ أُنْزِلَ مُوَسَّعًا عَلَى الْقَارِئِ أَنْ يَقْرَأَهُ عَلَى سَبْعَةِ أَوْجُهٍ أَيْ يَقْرَأُ بِأَيِّ حَرْفٍ أَرَادَ مِنْهَا عَلَى الْبَدَلِ مِنْ صَاحِبِهِ كَأَنَّهُ قَالَ أُنْزِلَ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ أَوْ عَلَى هَذِهِ التَّوْسِعَةِ وَذَلِكَ لِتَسْهِيلِ قِرَاءَتِهِ إِذْ لَوْ أَخَذُوا بِأَنْ يَقْرَءُوهُ عَلَى حَرْفٍ وَاحِد لشق عَلَيْهِم كَمَا تقدم قَالَ بن قُتَيْبَةَ فِي أَوَّلِ تَفْسِيرِ الْمُشْكِلِ لَهُ كَانَ مِنْ تَيْسِيرِ اللَّهِ أَنْ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يقْرَأ كل قوم بلغتهم فالهذلي يقْرَأ عني حِينٍ يُرِيدُ حَتَّى حِينٍ وَالْأَسَدِيُّ يَقْرَأُ تِعْلَمُونَ بِكَسْرِ أَوَّلِهِ وَالتَّمِيمِيُّ يَهْمِزُ وَالْقُرَشِيُّ لَا يَهْمِزُ قَالَ وَلَوْ أَرَادَ كُلُّ فَرِيقٍ مِنْهُمْ أَنْ يَزُولَ عَنْ لُغَتِهِ وَمَا جَرَى عَلَيْهِ لِسَانُهُ طِفْلًا وَنَاشِئًا وَكَهْلًا لَشَقَّ عَلَيْهِ غَايَةَ الْمَشَقَّةِ فَيَسَّرَ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ بِمَنِّهِ وَلَوْ كَانَ الْمُرَادُ أَنَّ كُلَّ كَلِمَةٍ مِنْهُ تُقْرَأُ عَلَى سَبْعَةِ أَوْجُهٍ لَقَالَ مَثَلًا أُنْزِلَ سَبْعَةَ أَحْرُفٍ وَإِنَّمَا الْمُرَادُ أَنْ يَأْتِيَ فِي الْكَلِمَةِ وَجْهٌ أَوْ وَجْهَانِ أَوْ ثَلَاثَةٌ أَوْ أَكْثَرُ إِلَى سَبْعَةٍ
Intinya, yang mereka pahami adalah makna dari ucapan bahwa Al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf adalah bahwa Al-Quran diturunkan dengan cara yang meluas bagi pembaca untuk membacanya dalam tujuh gaya, yaitu: dapat dibaca dengan huruf apa pun yang diinginkannya sebagai pengganti dari huruf aslinya.
Seolah-olah dia mengatakan: Diturunkan dengan syarat ini atau dengan keleluasan ini , dan itu untuk memudahkan membacanya. Sebab, jika mereka memutuskan untuk membacanya dengan satu huruf saja, maka itu akan sulit bagi mereka, seperti yang telah disebutkan.
Ibnu Qutaibah dalam "Tafsir al-Mushkil" pertamanya berkata: Salah satu kemudahan Allah adalah bahwa Dia memerintahkan nabi-Nya untuk membaca kepada setiap kaum dalam dialek mereka sendiri. Sehingga, orang Suku Hudzaly membaca "Anna Hiin" ketika membaca "Hataa Hiin" . Dan orang suku al-Asadi membaca "Yi’lamuun" dengan kasrah pada awalnya, dan orang Tamimi mendengus dan orang Quraisy tidak.
Dia berkata: Jika setiap kelompok dari mereka diminta untuk meninggalkan bahasanya dan mengikuti apa yang menjadi aturan bagi bahasa mereka, baik saat mereka masih anak-anak, remaja, atau dewasa, maka itu akan menjadi sangat sulit bagi mereka. Oleh karena itu, Allah memudahkan bagi mereka. (Fath al-Bari - Kitab Fadhail al-Quran - Bab Turunnya Al-Quran dengan Tujuh huruf 9/28)
DALIL KEENAM :
Dalam riwayat al-Hakim: Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
أَقْرَأَنِي رَسُولُ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- سُورَةَ حم، وَرُحْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ عَشِيَّةً، فَجَلَسَ إِلَيَّ رَهْطٌ، فَقُلْتُ لِرَجُلٍ مِنَ الرَّهْطِ: اقْرَأْ عَلَيَّ، فَإِذَا هُوَ يَقْرَأُ حُرُوفًا لَا أَقْرَؤُهَا، فَقُلْتُ لَهُ: مَنْ أَقْرَأَكَهَا؟ قَالَ: أَقْرَأَنِي رَسُولُ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَانْطَلَقْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- وَإِذَا عِنْدَهُ رَجُلٌ فَقُلْتُ لَهُ: اخْتَلَفَا فِي قِرَاءَتِنَا، فَإِذَا وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- قَدْ تَغَيَّرَ، وَوَجَدَ فِي نَفْسِهِ، حِينَ ذَكَرْتُ لَهُ الِاخْتِلَافَ، فَقَالَ: " إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ قَبْلَكُمُ الِاخْتِلَافُ " ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيَّ عَلِيٌّ فَقَالَ عَلِيٌّ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- يَأْمُرُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْكُمْ كَمَا عَلِمَ، فَانْطَلَقْنَا وَكُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَقْرَأُ حُرُوفًا لَا يَقْرَؤُهَا صَاحِبُهُ.
"Rasulullah ﷺ membacakan Surah Ha-Mim kepada saya. Kemudian pada malam itu, saya pergi ke masjid dan ada sekelompok orang duduk. Saya berkata kepada salah satu dari mereka: 'Bacakanlah kepada saya!'. Namun, dia membacakan huruf-huruf yang tidak saya kenal.
Saya bertanya kepadanya: 'Siapa yang mengajarkannya kepadamu?' Dia menjawab: 'Rasulullah ﷺ yang mengajarkannya kepadaku.'
Kemudian kami pergi menemui Rasulullah ﷺ, dan di sampingnya ada seorang laki-laki. Saya berkata kepadanya: 'Kami berbeda dalam membaca.'
Tiba-tiba wajah Rasulullah ﷺ berubah dan ia merasakan hal tersebut dalam dirinya ketika saya menyebutkan perbedaan tersebut.
Ia kemudian berkata: 'Sesungguhnya yang menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah perselisihan.'
Kemudian Ali berbisik kepadaku: 'Rasulullah ﷺ memerintahkan kalian untuk membaca sesuai dengan apa yang telah ia ajarkan kepada kalian.'
Kemudian kami pergi dan setiap orang dari kami membaca huruf-huruf yang tidak bisa dibaca oleh pemiliknya." [HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak 2/243 no. 2885.
Al-Hakim berkata:
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يَخْرُجَاهُ بِهَذِهِ السِّيَاقَةِ.
" Ini adalah hadits yang sanadnya shahih, dan mereka Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya dalam konteks seperti ini".
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
وَلِابْنِ حبَان وَالْحَاكِم من حَدِيث بن مَسْعُودٍ
"Dan (hadits ini diriwayatkan) oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari hadits Ibn Mas'ud." [Fathul Bari 9/26 ]
Dalam riwayat Shahih Bukhori dari Abdullah bin Mas’ud :
أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ آيَةً سَمِعَ النَّبِيَّ ﷺ خِلَافَهَا، فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: «كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ فَاقْرَآ» أَكْبَرُ عِلْمِي، قَالَ: «فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَأُهْلِكُوا»
“Bahwa ia mendengar seorang laki-laki membaca ayat, sementara ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membacanya tidak seperti itu. Maka aku pun mengambil tanganya dan pergi bersamanya menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: "Bacaan keduanya adalah sama baiknya. Bacalah, 'AKBARU 'ILMI.'" Beliau bersabda: "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah berselisih, sehingga mereka pun binasa." [HR. Bukhori no. 5062]
DALIL KE TUJUH :
Mereka juga berdalil bahwa para sahabat radhiyallahu 'anhum tidak ada yang meriwayatkan bahwa salah satu dari mereka mengajarkan tajwid dan makhroj-makhroh huruf (cara mengucapkan huruf-huruf dengan sempurna) kepada para pembaca Al-Qur'an.
Jika itu adalah hal yang baik, tentu mereka akan mendahuluinya!
Dan diketahui bahwa Allah telah membuka bagi mereka wilayah-wilayah non-Arab seperti Persia, Romawi, Koptik, Barbar, dan lain-lainnya, dan mereka mengajarkan Al-Qur'an kepada mereka sesuai dengan kemudahan lidah mereka, dan tidak ada yang meriwayatkan bahwa mereka mengajarkan makhroj-makhroj huruf (cara mengucapkan huruf-huruf dengan sempurna) kepada mereka. Jika tajwid adalah sesuatu yang wajib, tentu mereka tidak akan mengabaikan untuk belajar dan mengajarkannya.
DALIL KE DELAPAN:
Pendapat yang mewajibkan aturan tajwid akan menyebabkan hal sebagai berikut : bahwa shalat mayoritas umat Muslim yang tidak mempraktekkan tajwid adalah batal, dan mereka berdosa.
Dan Ini juga akan menyebabkan larangan bagi setiap Muslim, termasuk dari kalangan umum, untuk membaca Al-Quran sampai mereka mempelajari semua aturan tajwid dengan salah satu dari sepuluh qiraah secara lengkap.
Ini merupakan sesuatu yang akan menimbulkan keberatan bagi orang-orang yang berjiwa sehat . Dan ini bertentangan dengan realita bahwa Al-Quran ini diturunkan kepada manusia dan jin, disampaikan kepada berbagai kelompok termasuk orang Arab, non-Arab, pekerja, petani, dan wanita dalam rumah tangga mereka.
Allah memerintahkan mereka semua untuk membaca Al-Quran, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,
"فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْ الْقُرْآنِ"
"Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Quran".
Bagaimana bisa seorang Arab atau non-Arab masuk Islam dan pada hari yang sama menjalankan shalat dan membaca Al-Quran?
DALIL KESEMBILAN :
Salah satu dalil naqli lainnya adalah bahwa tidak pernah ada riwayat dari salah satu sahabat bahwa dia mengajarkan kepada orang-orang tentang hukum-hukum tajwid atau menyatakan bahwa itu merupakan syarat untuk kesahihan bacaan atau kesahihan shalat.
BANTAHAN :
Seseorang mungkin berkata: Ini karena pada saat itu orang-orang Arab sudah terbiasa dengan bahasa Arab dan mereka mendengarkan Alquran tanpa perlu penjelasan tentang bagaimana mengucapkan kata-kata atau penjelasan aturan-aturan rinci, sehingga cukup bagi mereka hanya mendengarkan.
JAWABANNYA SBB :
Pertama:
Ini tidak bisa diterima, karena ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ada salah seorang dari mereka yang tidak hafal Al-Fatihah .
Dan Abu Ubaid meriwayat dengan sanadnya dari ‘Aun bin Abdullah bin ‘Utbah :
"أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ، أَقْرَأَ رَجُلًا {إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ طَعَامُ الْأَثِيمِ} [الدخان: 44] فَقَالَ الرَّجُلُ: (طَعَامُ الْيَتِيمِ) فَرَدَّدَهَا عَلَيْهِ، فَلَمْ يَسْتَقِمْ بِهِ لِسَانُهُ. فَقَالَ: «أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تَقُولَ (طَعَامُ الْفَاجِرِ) ؟» قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: «فَافْعَلْ»".
Bahwa Ibnu Mas'ud membaca kepada seseorang :
{إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ طَعَامُ الْأَثِيمِ}
"Sesungguhnya pohon zaqqum adalah makanan orang berdosa"[Ad-Dukhon : 44].
Lalu orang tersebut mengucapkan :
(طَعَامُ الْيَتِيمِ)
"makanan anak yatim",
Kemudian Ibnu Mas’ud mengulang-ulangnya untuknya, namun lidah orang itu tidak bisa melakukannya dengan baik.
Maka Ibnu Mas’ud berkata : "Dapatkah kamu mengatakan : “طَعَامُ الْفَاجِرِ” (makanan orang berdosa)?"
Orang itu berkata "Ya". Lalu Ibnu Mas'ud berkata, "Maka lakukanlah."
Al-Imam As-Suyuthi berkata :
أَخْرَجَهُ أَبُو عُبَيْدٍ فِي فَضَائِلِهِ وَابْنُ الْأَنْبَارِيِّ وَابْنُ الْمُنْذَرِ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ
“Diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Fada'ilnya, dan Ibnu Anbari serta Ibnu Mundzir dari A'un bin Abdullah”. [ Baca : Ad-Durr al-Mantsuur 7/418]
Isnadnya lemah karena riwayat Aun bin 'Utbah dari Ibnu Mas'ud adalah mursal (sanadnya loncat) seperti yang dikatakan oleh Ad-Darquthni. [Lihat : Mawsuu’ah Mahaasin al-Islam oleh Ahmad Sulaiman Ayyub 4/614]
Lalu Al-Imam As-Suyuthi berkata :
"وَأخرج سعيد بن مَنْصُور وَعبد بن حميد وَابْن جرير وَابْن الْمُنْذر وَالْحَاكِم وَصَححهُ عَن همام بن الْحَارِث قَالَ: كَانَ أَبُو الدَّرْدَاء يَقْرُؤُا رَجُلاً {إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ طَعَامُ الْأَثِيمِ} فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَقُولُ: طَعَامُ الْيَتِيمِ. فَلَمَّا رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءَ أَنَّهُ لَا يَفْهَمُ قَالَ: إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ طَعَامُ الْفَاجِرِ".
Sa’id bin Mansur, Abdul bin Hamid, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan Al-Hakim serta menshahihkannya , semuanya meriwayatkan dari Humam bin al-Harits yang berkata:
"Abu Darda' pernah membacakan kepada seorang pria :
{إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ طَعَامُ الْأَثِيمِ}
'Sesungguhnya pohon zaqqum adalah makanan orang berdosa.'
Lalu pria itu mengucapkan : “طَعَامُ الْيَتِيمِ” (makanan anak yatim).'
Ketika Abu Darda' melihat bahwa pria itu tidak memahaminya, maka dia membacakan:
إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ طَعَامُ الْفَاجِرِ
'Sesungguhnya pohon zaqqum adalah makanan orang fajir (berdosa).'"
[ Baca : Ad-Durr al-Mantsuur 7/418]
Kedua:
Pada zaman para Sahabat, banyak negeri-negeri bangsa asing seperti Persia, Romawi, dan Barbar dibuka. Jika tajwid itu wajib dan mutlak, maka setiap orang yang tidak melakukannya akan berdosa. Akan tetapi, tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa mereka mengajarkan tajwid kepada bangsa asing yang masuk Islam. Ini tidak pernah disebutkan sama sekali, bahkan dengan riwayat yang lemah sekalipun.
Syeikh Al-Tuwayjiri dalam kitabnya "Ithaf Al-Jama'ah" setelah menyebutkan beberapa hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya, berkata:
وَفِي هَذِهِ الأَحَادِيثِ فَوَائِدَ:
إِحْدَاهَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُحِبُّ الْقِرَاءَةَ السَّهْلَةَ.
الثَّانِيَةُ: أَنَّهُ كَانَ يَأْمُرُ أَصْحَابَهُ أَنْ يَقْرَأَ كُلَّ مَنْهُمْ بِمَا تَيَسَّرَ عَلَيْهِ وَسَهُلَ عَلَى لِسَانِهِ.
الثَّالِثَةُ: ثَنَاؤُهُ عَلَيْهِمْ بِعَدَمِ التَّكَلُّفِ فِي الْقِرَاءَةِ.
الرَّابِعَةُ: أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُعَلِّمُهُمْ التَّجْوِيدَ وَمَخَارِجَ الْحُرُوفِ، وَكَذَلِكَ أَصْحَابُهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ أَنَّهُ كَانَ يُعَلِّمُ فِي التَّجْوِيدِ وَمَخَارِجِ الْحُرُوفِ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا؛ لَسَبَقُوا إِلَيْهِ! وَمِنَ الْمَعْلُومِ مَا فَتَحَ عَلَيْهِمْ مِنْ أُمَصَّارِ الْعَجَمِ مِنْ فَرَسٍ وَرُومٍ وَبَرْبَرٍ وَغَيْرِهِمْ، وَكَانُوا يُعَلِّمُونَهُمُ الْقُرْآنَ بِمَا يَسْهُلُ عَلَى أَلْسِنَتِهِمْ، وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُعَلِّمُونَهُمْ مَخَارِجَ الْحُرُوفِ، وَلَوْ كَانَ التَّجْوِيدُ لَازِمًا؛ مَا أَهَمَّلُوا تَعَلُّمَهُ وَتَعْلِيمَهُ.
الْخَامِسَةُ: ذَمُّ الْمُتَكَلِّفِينَ فِي الْقِرَاءَةِ، الْمُتَعَمِّقِينَ فِي إِخْرَاجِ الْحُرُوفِ.
السَّادِسَةُ: الرَّدُّ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ لَا تَجُوزُ بِغَيْرِ التَّجْوِيدِ، أَوْ أَنَّ تَرْكَ التَّجْوِيدِ يُخِلُّ بِالصَّلَاةِ، وَقَدْ أَخْبَرَنِي بَعْضُ مَنْ أُمِّ فِي الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ أَنَّ جَمَاعَةً مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ أَنْكَرُوا عَلَيْهِ إِذْ لَمْ يَقْرَأْ فِي الصَّلَاةِ بِالتَّجْوِيدِ، وَمَا عَلِمَ أَوَّلَئِكَ الْمُتَكَلِّفُوْنَ الْجَاهِلُونَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَرَّ الْأَعْرَابِيَّ وَالْعَجَمِيَّ وَالْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ وَالْأَسْوَدَ عَلَى قِرَاءَتِهِمْ، وَقَالَ لَهُمْ : كُلُّ حَسَنٍ ، وَأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَمَّ الْمُتَكَلِّفِينَ الَّذِينَ يُقِيمُونَهُ كَمَا يُقَامُ الْقَدْحُ وَالسَّهْمُ وَيُثَقِّفُونَهُ وَيَتَنَطَّعُونَ فِي قِرَاءَتِهِ كَمَا هُوَ الْغَالِبُ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ التَّجْوِيدِ فِي هَذِهِ الْأَزْمَانِ. أهـــــ
"Dari hadits-hadits ini, ada beberapa manfaat:
Pertama : Nabi Muhammad ﷺ menyukai pembacaan yang mudah.
Kedua : Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk membaca sesuai kemampuan dan kenyamanan lidah mereka.
Ketiga : Beliau memuji mereka karena tidak mempersulit dalam pembacaan.
Keempat : Beliau tidak mengajarkan kepada mereka tajwid dan makhroj-makhroj huruf (cara melafalkan huruf-hurufnya). Demikian pula para sahabatnya, tidak ada yang menyebutkan bahwa salah satu dari mereka mengajarkan tajwid dan makhroj-makhroj huruf.
Jika tajwid itu wajib, tentu mereka akan mengutamakan untuk mempelajarinya dan mengajarkannya. Namun, dari yang diketahui, mereka telah membuka banyak daerah bangsa asing seperti Persia, Romawi, Barbar, dan lain-lain, dan mereka mengajarkan Al-Quran kepada mereka dengan cara yang mudah bagi lidah mereka. Namun, tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa mereka mengajarkan makhroj-makhroj huruf (cara melafalkan huruf-hurufnya). Jika tajwid itu mutlak keharusan, maka mereka tidak akan mengabaikannya."
Kelima: Celaan atas orang-orang yang berlebihan dalam cara membaca Al-Qur'an, yang terlalu mendalam pada setiap makhraj hurufnya.
Keenam: Menolak pendapat orang yang mengklaim bahwa membaca Al-Qur'an tidak sah tanpa tajwid, atau bahwa meninggalkan tajwid akan merusak shalat.
Saya diberitahu oleh sebagian para imam di Masjid Nabawi bahwa ada sekelompok orang yang berlebihan dalam bertajwid, mencela dia; karena dia tidak membaca dengan tajwid dalam shalat.
Mereka yang berlebihan itu tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad ﷺ menerima para pembacaan al-Qur’an dari berbagai macam suku dan ras tanpa menyalahkannya, bahkan beliau berkata kepada mereka: "Semuanya baik."
Nabi Muhammad ﷺ juga mencela orang-orang yang berlebihan memfasih-fasihkan diri dalam membaca Al-Qur'an, seakan-akan seperti menegakkan busur panah dan wadahnya, terlalu mendalam dan memberatkan diri cara membacanya, sebagaimana pada umumnya yang dilakukan oleh kebanyakan ahli Tajwid di pada zaman sekarang .
-----
KESIMPULAN DARI PENDAPAT PERTAMA :
Secara keseluruhan, pernyataan mereka yang mengingkari wajibnya baca al-Quran dengan tajwid berkisar pada tiga tujuan:
Pertama, bahwa kewajiban dalam tajwid adalah menjaga pengucapan huruf-huruf dengan benar tanpa merusak makna, dan apa pun di atas itu adalah hal yang mustahab (disukai).
Kedua, bahwa yang tercela adalah berlebihan dalam bertajwid, membuat suara panjang (التَمْطِيْطُ), dan berlebihan dalam pengucapannya (التَشَدُّقُ), yang juga tercela menurut mereka yang meyakini kewajiban tajwid.
Ketiga, yang tercela adalah sibuk memperhatikan aturan tajwid dengan mengorbankan tadabbur dan pemahaman terhadap maknanya.
Ini bisa digabungkan antara pendapat yang menyatakan kewajiban dan yang menolaknya dengan mengatakan:
Membaca Al-Qur'an dengan tajwid adalah wajib jika meninggalkannya akan mengakibatkan keluarnya kata-kata Al-Qur'an dari strukturnya, seperti menyimpangnya bunyi "taa (التَّاء)" menjadi "tho (لطَّاء)", atau mengucapkan huruf-huruf bukan pada makhrajnya, atau membaca kata Al-Qur'an dengan cara yang tidak sesuai dengan tata bahasa (الإعْرَابُ), seperti mem-fathah-kan kasroh, , atau sebaliknya.
Namun, untuk aturan lainnya, maka itu merupakan sunnah yang diikuti, seperti membaca dengan cara meluas (لتَّفَشِّي) di huruf "syin (الشِّين)", atau memanjangkan huruf "dhoodh (الضَّادِ)", atau berbisik (الْهَمْسُ) di huruf-huruf bisikan (الْهَمْسُ), dan kesalahan-kesalahan kecil lainnya.
Ini yang terakhir tidak wajib, tetapi disarankan untuk mengikutinya, terutama bagi mereka yang bertanggung jawab atas imamah di antara orang-orang, dan mengajar Al-Qur'an kepada mereka.
Inti dari pernyataan ini adalah bahwa tajwid bukanlah kewajiban syariat secara mutlak, tetapi ada bagian dari tajwid yang mungkin menjadi kewajiban, seperti belajar membedakan antara huruf-huruf, memahami sifat-sifat huruf, atau belajar cara mengucapkannya dengan benar sehingga pembaca tidak menyimpang dari makna atau tata bahasa. Karena ilmu tajwid itu mencakup banyak aturan yang tidak semuanya memiliki tingkat kepentingan yang sama dalam penggunaannya.
*****
PENDAPAT KEDUA:
WAJIB MEMBACA AL-QURAN DENGAN TAJWID, JIKA TIDAK, MAKA BERDOSA.
Ini adalah pendapat para fuqaha yang melihat bahwa membaca Al-Quran dengan memperhatikan hukum-hukum tajwid dan prinsip-prinsipnya adalah sunnah dan etika dalam membaca, yang seharusnya diperhatikan tanpa menimbulkan kesulitan, namun tidak diwajibkan.
Salah satu pernyataan dari para pendahulu yang menunjukkan pendapat wajib adalah yang dikemukakan oleh Abu Amr Ad-Daani, setelah menyebutkan serangkaian dalil Al-Quran dan hadits yang menunjukkan pentingnya membaca Al-Quran dengan tajwid. Dia berkata:
وَمَا قَدْمْنَاهُ دَالٌ عَلَى تَوْكِيدِ عِلْمِ التَّجْوِيدِ، وَالْأَخْذِ بِالتَّحْقِيقِ.
"Apa yang kami kemukakan menegaskan pentingnya ilmu tajwid dan pengambilan hukum yang akurat." [At-Tahdii fii al-Itqoon wa at-Tajwid oleh Abu Amr Ad-Daani hal. 86].
Pernyataan ini menunjukkan bahwa membaca dengan tajwid adalah wajib.
Dan Maki bin Abi Thalib menyebutkan sebuah perkataan yang menunjukkan pendapat wajib, dia berkata dalam "Ar-Ra'ayah":
وَلَيْسَ قَوْلُ الْمُقَرِّئِ وَالْقَارِئِ: "أَنَا أَقْرَأُ بِطَبْعِي، وَأَجِدُ الصَّوَابَ بِعَادَتِي فِي الْقِرَاءَةِ لِهَذِهِ الْحُرُوفِ مِنْ غَيْرِ أَنْ أَعْرِفَ شَيْئًا مِمَّا ذَكَرْتُهُ بِحُجَّةٍ، بَلْ ذَلِكَ نُقْصٌ ظَاهِرٌ فِيهِمَا؛ لِأَنَّ مَنْ كَانَتْ حُجَّتُهُ هَذِهِ يُصِيبُ وَلَا يَدْرِي، وَيَخْطُئُ وَلَا يَدْرِي؛ إِذْ عِلْمُهُ وَاعْتِمَادُهُ عَلَى طَبْعِهِ وَعَادَةِ لِسَانِهِ، يَمْضِي مَعَهُ أَيْنَمَا مَضَى بِهِ مِنْ اللَّفْظِ، وَيَذْهَبُ مَعَهُ أَيْنَمَا ذَهَبَ، وَلَا يَبْنِي عَلَى أَصْلٍ، وَلَا يَقْرَأُ عَلَى عِلْمٍ، وَلَا يَقْرَأُ عَنْ فَهْمٍ... فَلَا يَرْضَيْنَ امْرُؤٌ لِنَفْسِهِ فِي كِتَابِ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرِهِ، وَتَجْوِيدُ أَلْفَاظِهِ إِلَّا بِأَعْلَى الْأُمُورِ، وَأَسْلَمَهَا مِنَ الْخَطَأِ وَالزَّلَلِ".
"Bukanlah ucapan qari dan pembaca: 'Aku membaca sesuai kebiasaanku, dan aku merasa benar dalam kebiasaanku membaca huruf-huruf ini tanpa mengetahui sesuatu dari apa yang telah disebutkan dengan dalil.' Akan tetapi yang benar bahwa itu adalah kekurangan yang nampak jelas dalam keduanya; karena bagi siapa yang dalilnya seperti ini, maka dia benar tidak tahu, dia salah juga tidak tahu; karena pengetahuannya dan ketergantungannya pada kebiasaan dan adat bicaranya, dia akan melanjutkan dengannya ke mana pun dia pergi dengan lafal tersebut, dan dia akan pergi bersamanya ke mana pun dia pergi, dia tidak membangun pada sumbernya , dan dia tidak membaca dengan ilmu, dan dia tidak membaca dengan pemahaman ...
Jadi tidaklah cukup bagi seseorang untuk merasa puas atas dirinya sendiri dalam Al-Quran, dan memperindah lafal-lafalnya, kecuali dengan hal-hal yang paling tinggi, dan yang paling aman dari kesalahan dan kelalaian". [ Lihat : ar-Ri’aayah Li Tajwiid al-Qiro’ah oleh Makki bin Abu Tholib hal. 254].
Nashr Asy-Syairazi: Salah satu pendapat yang menyatakan wajib adalah pendapat Nashr Asy-Syairazi:
"حَسُنَ الْأَدَاءُ فَرْضٌ فِي الْقِرَاءَةِ، وَيَجِبُ عَلَى الْقَارِئِ أَنْ يَتْلُوَ الْقُرْآنَ حَقَّ تِلاوَتِهِ".
"Kesempurnaan dalam pembacaan adalah wajib dalam membaca Al-Quran, dan wajib bagi pembaca untuk membaca Al-Quran dengan benar sesuai haknya".
Ibnu Al-Jazari berkata:
"وَلَا شَكُّ أَنَّ الْأُمَّةَ كَمَا هُمْ مُتَعَبِّدُونَ بِفَهْمِ مَعَانِي الْقُرْآنِ، وَإِقَامَةِ حُدُودِهِ، كَذَلِكَ هُمْ مُتَعَبِّدُونَ بِتَصْحِيحِ أَلْفَاظِهِ وَإِقَامَةِ حُرُوفِهِ عَلَى الصِّفَةِ الْمُتَلَقَّاةِ مِنْ أُئِمَّةِ الْقِرَاءَةِ، وَالْمُتَصِلَةِ بِالنَّبِيِّ ﷺ".
"Tidak diragukan lagi bahwa umat, seperti mereka yang beribadah dengan memahami makna Al-Quran, dan menjaga batas-batasnya, demikian pula mereka yang beribadah dengan memperbaiki lafal-lafalnya dan menjaga huruf-hurufnya sesuai dengan yang diterima dari para imam qira'at, yang terhubung dengan Nabi ﷺ".
Dalam abyaatnya Al-Jazari menyatakan :
وَالْأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتْـمٌ لاَزِمُ * مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُـرَآنَ آثِــمُ
لِأَنَّهُ بِهِ الْإِلَــهُ أَنْــزَلاَ * وَهَكَـذَا مِنْـهُ إِلَيْنَا وَصَـلاَ
“Dan membaca dengan tajwid adalah merupakan keharusan yang wajib.
Barangsiapa tidak membaca dengan tajwid maka ia berdosa.
Karena dengan tajwid-lah Allah menurunkan Al-Qur’an Dan Al-Qur’an diriwayatkan sampai kepada kita dengan tajwid.”
(Muqaddimah Al-Jazariyah, bait no. 27-28 Oleh Muhammad Syamsudin Muhammad bin Muhamamd Al-Jazari).
Syeikh Mashaad Ath-Thayyar :
Salah satu dari ulama kontemporer yang mengarah ke arah ini adalah Syeikh Mashaad Ath-Thayyar, dia menyatakan :
أَنَّ حُرُوفَ الْقُرْآنِ وَكَيْفِيَّةَ نُطْقِ هَذِهِ الْحُرُوفِ (أَيّ: التَّجْوِيدِ)، هُمَا أَمْرَانِ مُتَلاَزِمَانِ، لَا يَمْكُنُ أَنْ يَنْفَكَّ أَحَدُهُمَا عَنْ الْآخَرِ، فَمَنْ قَبِلَ عَنْهُمْ نَقْلَ الْحُرُوفِ، لَزِمَهُ أَنْ يَقْبَلَ عَنْهُمْ نَقْلَ الْأَدَاءِ (أَيّ: التَّجْوِيدِ). وَإِذَا صَحَّتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ، فَإِنَّ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ وَأَدَاءَهُ بِمَا نُقِلَ عَنْ هَؤُلَاءِ الْأُئِمَّةِ سُنَّةٌ يَلْزَمُ الأَخْذُ بِهَا، وَلَا تَصْحُّ مُخَالَفَتُهَا، أَوْ تَرْكُهَا إلَا بِدَلِيلٍ قَوِيٍّ، يُعْتَرَضُ بِهِ الْمُعْتَرِضُ عَلَى عِلْمِ التَّجْوِيدِ.
“Bahwa huruf-huruf Al-Quran dan cara melafalkan huruf-huruf ini (yakni: tajwid), adalah dua hal yang saling terkait, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Jika seseorang menerima dari mereka kutipan huruf, maka dia harus menerima dari mereka kutipan pelafalan (yakni: tajwid). Dan jika teori prakata ini benar, maka membaca Al-Quran dan mempertunjukkan sesuai dengan apa yang diterima dari para imam ini adalah sunnah yang harus diikuti, dan tidak sah untuk menyelisihinya atau meninggalkannya kecuali dengan dalil yang kuat, yang digunakan oleh orang yang mempertanyakan ilmu tajwid”.
=====
DALIL PENDAPAT KEDUA : WAJIB BACA AL-QUR’AN DENGAN TAJWID :
Dalil-dalil dari orang-orang yang berpendapat bahwa membaca Al-Qur'an dengan tajwid itu wajib maka dalil-dalil terkuat mereka adalah sbb:
DALIL PERTAMA :
Mereka berdalil dengan Firman Allah Ta'ala:
﴿ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا﴾
"{Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil}." (Surah Al-Muzzammil: 4).
Pemilik kitab "Al-Ain" mengatakan:
"رَتَلْتُ الْكَلَامَ تَمْهَلْتُ فِيهِ"
"Aku membaca dengan tartil yakni aku membacanya pelan-pelan".
Mereka mengatakan:
إن صِيغَةَ الْأَمْرِ تَفِيدُ وُجُوبَ الْفِعْلِ، وَلَا يُصَرَّفُ عَنْ الْوُجُوبِ إلَّا بِقَرِينَةٍ، وَلَا قَرِينَةَ هُنَا، فَبَقِيَتْ صِيغَةُ الْأَمْرِ عَلَى أَصْلِهَا. فَالْمَرَادُ بِالْأَمْرِ بِالتَّرْتِيلِ: هُوَ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِتَؤْدَةٍ وَطَمَأْنِينَةٍ وَتَمْهِلٍ وَتَدْبِرٍ، مَعَ مُرَاعَاةِ قَوَاعِدِ التَّجْوِيدِ. وَلَمْ يَقْتَصِرْ سُبْحَانَهُ عَلَى الْأَمْرِ بِالْفِعْلِ، حَتَّى أَكَّدَهُ بِمَصْدَرِهِ {تَرْتِيلًا} تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِ، وَتَرْغِيبًا فِي ثَوَابِهِ. وَمِنْ هَذَا الْبَابِ أَيْضًا قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا} (الْفُرْقَانُ: 32) أَيْ: أَنْزَلْنَاهُ عَلَى التَّرْتِيلِ، وَهُوَ التَّمَكُّثُ، وَهُوَ ضِدُّ الْعَجَلِ. وَقَالَ سُبْحَانَهُ: {وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ} (الْإِسْرَاءُ: 106) أَيْ: عَلَى تَرَسُّلٍ.
Bahwa bentuk kata perintah adalah menunjukkan kewajiban melakukan tindakan, dan tidak ada yang dapat mengubah kewajiban itu kecuali ada dalil yang jelas. Tidak ada dalil yang jelas dalam ayat ini yang menunjukkan pengecualian dari kewajiban, sehingga bentuk perintah tetap dalam bentuknya asli, yaitu wajib.
Maksud dari perintah membaca dengan tartil adalah membaca Al-Qur'an dengan penuh khusyuk, ketenangan, perlahan, dan merenung, dengan memperhatikan aturan-aturan tajwid.
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak hanya memerintahkan melakukan tindakan, tetapi juga menguatkan perintah tersebut dengan menggunakan kata benda {tartila} untuk mengagungkan maknanya dan untuk mendorong pada pahala.
Dan juga dari sisi ini, Allah Ta'ala berfirman :
{وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا}
"{Dan Kami bacakan Al-Qur'an ini dengan tartil}." (Surah Al-Furqan: 32),
Artinya: Kami menurunkannya dengan pelan, yang berarti melambat, yang berbeda dengan tergesa-gesa.
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
{وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ}
"{Dan Al-Qur'an yang Kami pecah-pecahkan (membacanya) agar kamu membacakannya kepada manusia dengan berhenti-henti}" (Surah Al-Isra: 106).
Yang berarti: Dengan pelan”.
BANTAHAN TERHADAP ISTIDLAL MEREKA:
Jika mereka kembali kepada para ahli tafsir yang ahli dalam bidang ini dan lebih memahami penyebab turunnya ayat-ayat dan makna-makna kata-kata, mereka akan menemukan bahwa makna tartil bukanlah tentang kewajiban mengikuti aturan tajwid. Tidak ada yang menyatakan hal ini di antara para ahli tafsir atau fuqaha sebagaimana yang saya ketahui.
Tartil berarti membaca dengan tenang, dengan keseimbangan dan ketenangan, tanpa terburu-buru atau terlalu lambat, dengan suara yang jelas, sejuk dan nyaman.
Berikut ini adalah pendapat dari beberapa pakar tafsir.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan:
(وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا) أَي: اقْرَأْهُ عَلَى تَمَهُّلٍ، فَإِنَّهُ يَكُونُ عَوْنًا عَلَى فَهْمِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ.
Dan firman-Nya: "Dan bacalah Al-Quran dengan tartil" artinya: Bacalah dengan hati-hati dan perlahan, karena ini akan membantu dalam memahami dan merenungkan Al-Quran.
Dan Al-Qurtubi berkata:
قَوْلُهُ تَعَالَى: وَرْتِلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا أَيْ لَا تَعْجَلْ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ بَلْ اقْرَأْهُ فِي مَهِلٍ وَبَيَانٍ مَعَ تَدَبُّرِ الْمَعَانِي. وَقَالَ الضَّحَّاكُ: اقْرَأْهُ حَرْفًا حَرْفًا. اهـــــ
"Allah berfirman: 'Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil.' Artinya, jangan tergesa-gesa dalam membaca Al-Qur'an, melainkan bacalah dengan tenang dan jelas, sambil merenungkan maknanya. Dan Adh-Dhahak berkata: "Bacalah Al-Qur'an huruf demi huruf."
Dan At-Tabari berkata:
وَقَوْلُهُ: (وَرْتِلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا) يَقُولُ جَلَّ وَعَزَّ: وَبَيْنَ الْقُرْآنِ إذَا قَرَأْتَهُ تَبْيِينًا، وَتَرَسَّلَ فِيهِ تَرَسُّلًا. اهـــ
"Allah berfirman: 'Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil.' Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an dibacakan dengan jelas saat dibaca, dan diucapkan dengan pengucapan yang baik."
Dan Al-Baghawi berkata:
(وَرْتِلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: بَيِّنَهُ بَيَانًا. وَقَالَ الْحَسَنُ: اقْرَأْهُ قِرَاءَةَ بَيِّنَةً. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: تَرَسَّلَ فِيهِ تَرَسُّلًا.
"Allah berfirman: 'Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil.' Ibnu Abbas mengatakan: Bacalah Al-Qur'an dengan penjelasan. Al-Hasan berkata: Bacalah dengan bacaan yang jelas. Dan Mujahid berkata: Bacalah dengan memperhatikan keterangannya."
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda :
إِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَرْتِلْهُ تَرْتِيلًا وَبَيِّنْهُ تَبْيِينًا وَلَا تَنْثُرْهُ نَثْرَ الدُّقَلِ وَلَا تُهَذِّ كهَذَا الشَّعْرَ قِفُوا عِنْدَ عَجَائِبِهِ وَحَرِّكُوا بِهِ الْقُلُوبَ وَلَا يَكُونَنَّ هَمُّ أَحَدِكُمْ آخِرَ السُّورَةِ
Jika kamu membaca Al-Quran, maka baca dengan tartil (dengan tadabbur) dan jelaskan maknanya, janganlah mempercepat bacaan seperti menebarkan kurma terjelek, dan janganlah mempercepat seperti cepatnya membaca sya’ir, berhentilah sejenak untuk memperhatikan keajaiban-keajaibannya dan gerakkanlah hati dengan Al-Quran, janganlah menjadikan perhatian seseorang di antara kalian pada akhir surat."
Al-Suyuti dalam kitab Al-Durr Al-Muntsur (40/15) menyatakan:
وَأَخْرَجَ الدَّيْلَمِيُّ بِسَنَدٍ وَاهٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا
"Al-Dailami meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Ibnu Abbas secara marfu'.
Dan al-Fatani berkata dalam "Tadhkirat al-Maudhu'at" (78/1):
فِيهِ أَرْبَعَةُ كَذَّابُونَ
"Di dalamnya terdapat empat orang pembohong."
Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Musannaf (2/256 no. 8733) dan yang lainnya mengatakan: "Telah menceritakan kepada kami Waki', dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Isa Al-Hanath, dari Asy-Sya'bi, dia berkata: Abdullah bin Mas'ud berkata:
«لَا تَهُذُّوا الْقُرْآنَ، كَهَذِّ الشِّعْرِ، وَلَا تَنْثُرُوهُ نَثْرَ الدَّقَلِ، وَقِفُوا عِنْدَ عَجَائِبِهِ، وَحَرِّكُوا بِهِ الْقُلُوبَ»
'Janganlah kalian memperlakukan Al-Quran seperti memperlakukan syair, dan janganlah mempercepat dalam membaca Al-Quran seperti cepatnya menumpahkan kurma terjelek, berhentilah pada keajaiban-keajaibannya, dan gerakkanlah hati dengan Al-Quran.'"
Saya berkata: Isa Al-Hannaath adalah Ibnu Abi Isa, tidak ada nilainya, para ulama sepakat atas kelemahannya. Dan Asy-Sya'bi sendiri tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas'ud sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dawud, Abu Hatim, dan sejumlah ulama.
[al-Maktabah asy-Syaamilah al-Hadiitsiyyah 72/201].
Sa’id bin Manshur dalam Sunannya 2/444 no. 147 meriwayatkan : Dari Abu Al-Ahwash, dari Abu Ishaq, dari Abu Ubaidah, ia berkata: Abdullah bin Mas’ud berkata:
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ، فَهُوَ رَاجِز ، هَذًّا كَهَذِّ الشِّعْر، ونَثْرًا كَنَثْرِ الدَّقَل
"Barangsiapa membaca Al-Qur'an dalam waktu kurang dari tiga hari, maka dia seperti baca puisi rojaz, dia tergesa-gesa seperti tergesa-gesa baca sya’ir, dan dia menumpahkannya seperti menumpahkan kurma terjelek."
DR. Sa’ad bin Abdullah al-Humaid dalam Tahqiq Sunan Said bin Manshur 2/445 berkata :
سَنَدُهُ ضَعِيفٌ لِلْانْقِطَاعِ بَيْنَ أَبِي عُبَيْدَةَ وَأَبِيهِ، وَأَبُو إِسْحَاقَ السُّبَيْعِيُّ مُدَلِّسٌ وَلَمْ يُصَرِّحْ هُنَا بِالسَّمَاعِ، وَمَعَ ذَلِكَ فَقَدْ اخْتَلَطَ بِآخِرِهِ، لَكِنْ تَابَعَهُ عَلِيُّ بْنُ بَذِيمَةَ، وَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ مِنْ غَيْرِ طَرِيقِ أَبِي عُبَيْدَةَ.
وَقَدْ أَشَارَ الْبَيْهَقِيُّ فِي "الشُّعْبِ" (5/135) لِهَذَا الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْدَ أَنْ أَخْرَجَ الْحَدِيثَ مِنْ طَرِيقِ عَلِيِّ بْنِ بَذِيمَةَ الْآتِي: ((رَوَاهُ أَبُو إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ وَزَادَ فِيهِ: هَذًا كَهَذِّ الشِّعْرِ، وَنَثْرًا كَنَثْرِ الدَّقَلِ))
Sanadnya lemah karena terputus di antara Abu Ubaidah dan ayahnya. Abu Ishaq As-Subai'i adalah seorang mudallis, dan dia tidak berterus terang bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut. Di tambah lagi, bahwa ia itu telah kacau balau hafalannya dimasa tuanya .
Namun, jalur ini diperkuat dengan mutaba’ah oleh Ali bin Badziimah. Dan Hadits ini sahih dari Ibnu Mas'ud tanpa melalui jalur Abu Ubaidah.
Al-Baihaqi dalam "Asy-Syu'ab" (5/135) mengisyaratkan terhadap jalur ini, kemudian dia berkata setelah mengeluarkan hadits dari jalur Ali bin Badziimah sebagai berikut: "Diriwayatkan oleh Abu Ishaq, dari Abu Ubaidah, dan ada tambahan di dalamnya sbb :
هَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ، وَنَثْرًا كَنَثْرِ الدَّقَل
“ Dia tergesa-gesa seperti tergesa-gesa baca sya’ir, dan dia menumpahkannya seperti menumpahkan kurma terjelek."
Juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Asy-Syu'ab (407/3) melalui jalur Az-Zafarani, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Syabbah, dari Al-Mughirah, dari Abu Hamzah, dari Ibrahim, dia berkata: Abdullah bin Mas’ud berkata:
اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ، وَحَرِّكُوا بِهِ الْقُلُوبَ، وَلَا يَكُنْ هَمُّ أَحَدِكُمْ آخِرَ السُّورَةِ
"Bacalah Al-Quran, dan gerakkanlah hati dengan Al-Quran, dan janganlah menjadikan perhatian seseorang di antara kalian pada akhir surat."
Saya katakan : sanad ini lemah, Abu Hamzah adalah Mu'min dan kesepakatan atas kelemahannya, dan Ibrahim An-Nakha'i benar-benar tidak mendengar dari salah satu dari para sahabat. Al-Baihaqi dan yang lainnya menyatakan kebenaran apa yang ia sampaikan dari Ibnu Mas'ud, dan Allah yang lebih mengetahui.
DALIL KE DUA :
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala:
﴿الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ﴾
"{Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka, mereka membacanya dengan benar}." (Al-Baqarah: 121).
Berdasarkan ayat ini mereka mengatakan :
حَقُّ تِلَاوَتِهِ هُوَ تَجْوِيدٌ
“Bahwa hak sebenarnya dari membaca al-Quran adalah dengan tajwid”.
Maka ada yang membaca Al-Qur'an dengan benar, sesuai dengan aturan bacaannya, dan ada yang membacanya tanpa seperti itu.
BANTAHAN :
Ayat diatas tidak menunjukkan kewajiban tajwid saat membaca Al-Qur'an; karena yang dimaksud dengan ayat ini -seperti yang dijelaskan oleh para mufassir- adalah pujian bagi mereka yang beriman dari kalangan Ahlul Kitab, atau mereka yang ketika disebutkan surga, mereka memohon kepada Allah surga, dan ketika disebutkan neraka, mereka memohon perlindungan kepada Allah dari neraka.
Dikatakan ada makna lainnya, namun para mufassir tidak menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah membaca dengan tajwid, meskipun makna dari ayat tersebut bisa dimaknai seperti itu, tetapi tidak ada indikasi bahwa itu menjadi kewajiban, tetapi lebih kepada menjadi disukai (mustahab).
Dan ini juga berbeda dengan apa yang disebutkan oleh para ahli tafsir, karena mereka menyatakan bahwa hak sebenarnya dari membaca al-Quran adalah dengan merenungkan maknanya, menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram.
Sebagian dari mereka juga ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut berlaku bagi ahli kitab sebelumnya dan bukan untuk umat Muhammad secara keseluruhan."
AL-HAFIDZ IBNU KATSIR DALAM TAFSIRNYA :
Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika menafsiri ayat ini , berkata :
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini merupakan pendapat Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sa'id meriwayatkan dari Qatadah, bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa dan Abdullah ibnu Imran Al-Asbahani yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yaman, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari ayahnya dari Umar ibnul Khattab, sehubung-an dengan tafsir firman-Nya, "Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya" (Al-Baqarah: 121). Yang dimaksud dengan bacaan yang sebenarnya ialah :
إذَا مَرَّ بِذِكْرِ الْجَنَّةِ سَأَلَ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَإِذَا مَرَّ بِذِكْرِ النَّارِ تَعَوَّذَ بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ.
apabila si pembaca melewati penyebutan tentang surga, maka ia memohon surga kepada Allah. Apabila ia melewati penyebutan tentang neraka, maka ia meminta perlindungan dari neraka”.
Abul Aliyah mengatakan bahwa sahabat Ibnu Mas'ud pernah berkata :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أَنْ يُحَلَّ حَلَالَهُ وَيُحَرَّمَ حَرَامَهُ وَيَقْرَأَهُ كَمَا أَنْزَلَهُ اللَّهُ، وَلَا يُحَرِّفَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ، وَلَا يَتَأَوَّلَ مِنْهُ شَيْئًا عَلَى غَيْرِ تَأْوِيلِهِ.
"Demi Allah Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya bacaan yang sebenarnya ialah hendaknya si pembaca menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah, membacanya persis seperti apa yang diturunkan oleh Allah, dan tidak mengubah kalimat-kalimat dari tempatnya masing-masing, serta tidak menakwilkan sesuatu pun darinya dengan takwil yang bukan semestinya."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah dan Mansur ibnul Mu'tarnir, dari Ibnu Mas'ud.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini :
يُحِلُّونَ حَلَالَهُ وَيُحَرِّمُونَ حَرَامَهُ، وَلَا يُحَرِّفُونَهُ عَنْ مَوَاضِعِهِ. اهـ.
“Bahwa mereka menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh-Nya, serta tidak mengubah-ubahnya dari tempat-tempat yang sebenarnya”.
AL-IMAM AL-QURTHUBI DALAM TAFSIRNYA :
Dan Al-Qurtubi berkata: "Allah Ta'ala berfirman, 'Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepada mereka,'
Qatadah berkata: Mereka adalah para sahabat Nabi ﷺ, dan Kitab dalam penafsiran ini adalah Al-Quran.
Ibnu Zaid berkata: Mereka adalah orang-orang dari Bani Israel yang masuk Islam. Kitab dalam pentakwilan ini adalah Taurat, dan ayat ini bersifat umum. 'Dan orang-orang yang telah Kami angkat dengan keutamaan,' kami telah memberikan mereka ikatan kekerabatan, mereka mengikuti berita tentang keutamaan. Dan jika Anda mau, maka berita tersebut adalah tentang orang-orang yang beriman terhadapnya."
Terdapat perbedaan pendapat dalam makna " Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya” (Al-Baqarah: 121), maka dikatakan: Mereka mengikuti dengan benar, mengikuti perintah dan larangan, sehingga mereka menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, dan melakukan apa yang telah dijamin.
Hal ini dikatakan oleh 'Ikrimah. 'Ikrimah berkata: "Apakah Anda tidak mendengar firman Allah Ta'ala, 'Dan bulan ketika dia mengikutinya,' yaitu mengikuti gerakannya?"
Ini adalah penafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud, semoga Allah meridhai keduanya. Dan penyair berkata:
قَدْ جَعَلْتَ دِلْوَيْ تُسْتَتْلِينِي.
"Kau telah membuat ember airku terhanyut padamu."
Dan Nasr bin 'Isa meriwayatkan dari Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ mengenai firman Allah Ta'ala, "" Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah: 121)", beliau ﷺ bersabda:
(يَتَّبِعُونَهُ حَقَّ اتِّبَاعِهِ)
"Mereka mengikutinya dengan benar-benar mengikuti."
Dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang tidak dikenal seperti yang disebutkan oleh Al-Khatib Abu Bakr Ahmad, namun maknanya sahih.
Abu Musa Al-Asy'ari berkata:
مَنْ يَتَّبِعُ الْقُرْآنَ يُهْبَطُ بِهِ عَلَى رِيَاضِ الْجَنَّةِ.
"Barangsiapa yang mengikuti Al-Quran, maka ia akan diturunkan dengannya ke taman-taman Surga."
Dan dari Umar bin Khathab, semoga Allah meridhainya, ia berkata:
إذا مَرُّوا بِآيَةِ رَحْمَةٍ سَأَلُوهَا مِنَ اللَّهِ، وَإِذَا مَرُّوا بِآيَةِ عَذَابٍ اسْتَعَاذُوا مِنْهَا.
"Mereka adalah orang-orang yang ketika mereka melewati ayat rahmat, mereka memohon rahmat kepada Allah, dan ketika mereka melewati ayat azab, mereka berlindung kepada-Nya."
Dan telah diriwayatkan makna ini dari Nabi ﷺ:
كَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ سَأَلَ، وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ تَعَوَّذَ.
"Jika dia melewati ayat rahmat, maka dia memohon, dan jika dia melewati ayat azab, maka dia berlindung."
Al-Hasan berkata:
هُمَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ بِمُحْكَمِهِ، وَيُؤْمِنُونَ بِمُتَشَابِهِهِ، وَيُكَلُّونَ مَا أُشْكِلَ عَلَيْهِمْ إِلَى عَالِمِهِ.
"Mereka adalah orang-orang yang mengamalkan hukum-hukumnya, mereka beriman kepada ayat-ayat yang samar-samar, dan mereka menyerahkan apa yang membingungkan mereka kepada ulama mereka."
Dan dikatakan:
"يَقْرَءُونَهُ حَقَّ قِرَاءَتِهِ".
"Mereka membacanya dengan bacaan yang benar."
Saya (Al-Qurtubi) berkata:
وَهَذَا فِيهِ بَعْدٌ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمَعْنَى يُرْتَلُونَ أَلْفَاظَهُ، وَيَفْهَمُونَ مَعَانِيهِ، فَإِنَّ بِفَهْمِ الْمَعَانِي يَكُونُ الْاِتِّبَاعُ لِمَنْ وُفِّقَ. اهـ.
"Ini makna yang jauh, kecuali jika maknanya adalah mereka membaca lafadz-lafadz nya dengan tartil dan memahami maknanya, karena dengan memahami maknanya, maka itu mengikuti kebeneran bagi yang mendapat taufiq.."
AL-IMAM ATH-THOBARI DALAM TAFSIRNYA :
Dan At-Tabari berkata:
"Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai orang-orang yang disebut oleh Allah - yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi - dalam firman-Nya: (Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab).
Sebagian dari mereka mengatakan:
هُمُ الْمُؤْمِنُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ أَصْحَابِهِ.
Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah ﷺ dan kepada apa yang dibawanya dari para sahabatnya."
Dia menyebutkan orang yang mengatakan hal tersebut:
Bisyr bin Mu'adh mengatakan: "Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai', dari Sa'id, dari Qatadah tentang firman Allah: (Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab) :
أُولَـٰئِكَ أَصْحَـٰبُ نَبِيِّ اللَّـهِ صَلَّىٰ اللَّـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، آمَنُوا بِكِتَابِ اللَّـهِ وَصَدَّقُوا بِهِۦ.
“Mereka adalah sahabat Nabi Allah ﷺ, mereka beriman kepada Kitab Allah dan membenarkannya."
Dan yang lainnya mengatakan:
بَلْ عَنَّى اللَّـهُ بِذَٰلِكَ عُلَمَاءَ بَنِي إِسْرَائِيلَ، الَّذِينَ آمَنُوا بِٱللَّـهِ وَصَدَّقُوا رُسُلَهُۥ، فَأَقْرُوا۟ بِحُكْمِ ٱلتَّوْرَىٰةِ، فَعَمِلُوا۟ بِمَآ أَمَرَ ٱللَّـهُ فِيهَا مِنْ ٱتِّبَاعِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، وَٱلْإِيمَانِ بِهِۦ، وَٱلتَّصْدِيقِ بِمَا جَآءَ بِهِۦ مِنْ عِندِ ٱللَّـهِ.
"Bahkan, yang dimaksudkan Allah di sini adalah para ulama Bani Israel, yang beriman kepada Allah dan membenarkan rasul-rasul-Nya, lalu mereka mengakui hukum Taurat, kemudian mereka mengamalkan apa yang Allah perintahkan dalam mengikuti Muhammad ﷺ, beriman kepada-Nya, dan membenarkan apa yang datang darinya atas perintah Allah."
Dia menyebutkan orang yang mengatakan hal tersebut:.
Yunus menceritakan kepadaku, ia berkata: "Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata: Ibnu Zaid mengatakan tentang firman-Nya: (Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka adalah orang-orang yang beriman kepada-Nya dan siapa yang mengingkari-Nya, maka merekalah orang-orang yang merugi) (Al-Baqarah: 121), ia berkata:
مَنْ كَفَرَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودَ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ.
Siapa yang mengkufuri Nabi Allah ﷺ dari kalangan Yahudi, maka merekalah yang merugi."
Dan pendapat ini lebih tepat dibandingkan dengan pendapat yang dikatakan oleh Qatadah; karena ayat sebelumnya telah menyebutkan berita tentang Ahli Kitab, dan perubahan yang mereka lakukan terhadap Kitab Allah, serta penafsiran mereka terhadapnya yang tidak sesuai, serta tuduhan mereka terhadap Allah dengan kebohongan.
Tidak disebutkan dalam ayat sebelumnya tentang Ahli Muhammad ﷺ. Maka pendapatnya: (Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab), ditujukan kepada berita tentang mereka. Selesai.
Dan demikian pula dengan ayat-ayat lain yang mereka jadikan dalil, kamu akan melihat perbedaan pendapat di antara para mufassirin dalam satu tempat dan pendapat mereka dalam tempat lain. [Selesai kutipan dari Tafsir ath-Thabary]
DALIL KETIGA :
Bahwa membaca Al-Qur'an, memperbaiki kata-katanya, dan mengucapkan huruf-hurufnya, itu harus sesuai dengan standar yang diajarkan oleh para imam yang sanadnya terhubung langsung kepada Rasulullah ﷺ adalah ibadah.
Setiap ibadah harus dilakukan dengan sempurna, tidak kurang sedikitpun, agar pahala yang diperoleh juga sempurna. Sejauh mana ibadah tersebut kurang dari kesempurnaan, padahal orang yang melakukannya itu punya kemampuan untuk memperbaikinya, maka akan berkurang pula pahala dan ganjarannya.
Dan begitu pula halnya sejauh mana seseorang meninggalkan hak dosa dan hukumannya. Dalam hal ini Ibnul Jauzi menunjukkan-nya dengan mengatakan:
"وَلَا شَكَّ أَنَّ الْأُمَّةَ كَمَا هُمْ مُتَعَبِّدُونَ بِفَهْمِ مَعَانِي الْقُرْآنِ وَإِقَامَةِ حُدُودِهِ مُتَعَبِّدُونَ بِتَصْحِيحِ أَلْفَاظِهِ وَإِقَامَةِ حُرُوفِهِ عَلَى الصِّفَةِ الْمُتَلَقَّاةِ مِنْ أُئِمَّةِ الْقِرَاءَةِ الْمُتَصَلَّةِ بِالْحَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ الْأَفْصَحِيَّةِ الْعَرَبِيَّةِ، التِّي لَا تَجُوزُ مُخَالَفَتُهَا وَلَا الْعَدْوَلَ عَنْهَا إلَى غَيْرِهَا، وَالنَّاسُ فِي ذَلِكَ بَيْنَ مُحْسِنٍ مَأْجُورٍ وَمُسِيءٍ آثِمٍ، أَوْ مَعْذُورٍ"
"Tidak diragukan lagi bahwa umat ini, seperti halnya mereka yang beribadah dengan memahami makna Al-Qur'an dan memelihara batas-batasnya, maka mereka juga beribadah dengan memperbaiki kata-katanya dan mengucapkan huruf-hurufnya sesuai dengan standar yang diajarkan oleh para imam yang sanadnya terhubung langsung kepada Rasulullah ﷺ.
Standar tersebut adalah standar bahasa Arab yang paling fasih dan tidak boleh diubah atau dianggap tidak berlaku kepada standar yang lain. Manusia dalam hal ini berada antara orang yang berbuat baik dan mendapatkan pahala, dan orang yang berbuat buruk dan mendapatkan dosa, atau yang memang memiliki udzur yang dibenarkan".
DALIL KEEMPAT :
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu :
سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ { بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ
Anas pernah ditanya: "Bagaimanakah bacaan Nabi ﷺ?" Ia pun menjawab: "Bacaan beliau adalah panjang." Lalu ia pun membaca: {BISMIL LAAHIR RAHMAANIR RAHIIM}.
Anas menjelaskan: "Beliau memanjangkan bacaan 'BISMILLAH' dan juga memanjangkan bacaan 'ARRAHMAAN' serta bacaan 'ARRAHIIM.'" [Shahih Bukhori no. 4658].
Ad-Daani berkata:
وَهَذَا حَدِيثٌ مُخَرَّجٌ مِنَ الصَّحِيحِ، وَهُوَ أَصْلٌ فِي تَحْقِيقِ الْقِرَاءَةِ، وَتَجْوِيدِ الْأَلْفَاظِ، وَإِخْرَاجِ الْحُرُوفِ مِنْ مَوَاضِعِهَا، وَالنُّطْقِ بِهَا عَلَى مَرَاتِبِهَا، وَإِيفَاءِهَا صِيغَتَهَا، وَكُلُّ حَقٍّ هُوَ لَهَا، مِنْ تَلْخِيصٍ وَتَبْيِينٍ وَمَدٍّ وَتَمْكِينٍ وَإِطْبَاقٍ وَتَفَشٍّ وَصَفِيرٍ وَغَنَّةٍ وَتَكْرِيرٍ وَاسْتِطَالَةٍ، وَغَيْرِ ذَلِكَ، عَلَى مَقْدَارِ الصَّيْغَةِ وَطَبْعِ الْخَلْقَةِ، مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ.
"Hadits ini diambil dari kitab Shahih, dan ini merupakan asas dalam memperbaiki bacaan, memperindah kata-kata, mengeluarkan huruf-huruf dari tempatnya, mengucapkannya sesuai tingkatannya, memperlakukan huruf-huruf tersebut sesuai bentuknya, dan setiap hak [pada huruf-huruf tersebut] adalah untuknya, mulai dari ringkasan, penjelasan, pemanjangan, memperkuat, pengulangan, siulan, dengungan, pengulangan, dan memperpanjang, sesuai dengan bentuk dan sifat, tanpa penambahan atau pengurangan."
DALIL KE LIMA :
Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi sunan kecuali Ibnu Majah dari Ya'la bin Mamlak dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha :
أَنَّهُ سَأَلَ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ ﷺ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَعَنْ صَلَاتِهِ فَقَالَتْ مَا لَكُمْ وَصَلَاتَهُ كَانَ يُصَلِّي ثُمَّ يَنَامُ قَدْرَ مَا صَلَّى ثُمَّ يُصَلِّي قَدْرَ مَا نَامَ ثُمَّ يَنَامُ قَدْرَ مَا صَلَّى حَتَّى يُصْبِحَ ثُمَّ نَعَتَتْ لَهُ قِرَاءَتَهُ فَإِذَا هِيَ تَنْعَتُ قِرَاءَةً مُفَسَّرَةً حَرْفًا حَرْفًا
bahwasanya ia [Ya'la bin Mamlak] bertanya kepada [Ummu Salamah] -istri Nabi ﷺ- tentang bacaan dan shalat beliau ﷺ. Maka Ummu Salamah menjawab; 'Ada apa dengan shalat Rasulullah ﷺ? Beliau shalat, kemudian tidur yang lamanya sebagaimana shalatnya.
Lalu beliau shalat lagi seukuran tidurnya tadi, kemudian tidur lagi seukuran shalatnya hingga shubuh.
Kemudian Ummu Salamah juga menyifati bacaan Nabi ﷺ, ia menyifatinya dengan bacaan yang bisa terdengar dengan jelas huruf demi huruf."
[HR. Imam al-Tirmidzi (No. 2923), Imam al-Nasa'i (No. 1022), dan Imam al-Hakim (No. 1165).
Imam al-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan sahih gharib."
Dishahihkan Imam al-Hakim, dan dianggap hasan oleh al-Baghawi dalam "Syarah As-Sunnah" (jilid 4/halaman 482), namun dinilai lemah oleh Al-Albani dalam "Dha'if at-Tirmidzi"].
DALIL KEENAM :
Diriwayatkan :
"أنَّ ابنَ مَسعُودَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ سَمِعَ قَارِئًا يَقرَأُ: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلفُقَرَاءِ} (التوبة: 60) فَقَصَرَ قَوْلَهُ سُبْحَانَهُ: {لِلفُقَرَاءِ} -أَيْ لَمْ يَقْرَأْهَا بِالمَدْ- فَقَالَ ابنُ مَسعُودٍ: (مَا هَكَذَا أَقْرَأَنِيهَا ﷺ، إِنَّمَا أَقْرَأَنِيهَا هَكَذَا، فَمَدَّ (الفُقَرَاءَ)".
bahwa Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu mendengar seseorang membaca ayat: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ} (At-Taubah: 60), namun dia tidak memanjangkan kata {لِلْفُقَرَاءِ} - artinya, dia tidak membacanya dengan panjang. Ibnu Mas'ud berkata: "Nabi ﷺ membacanya dengan panjang seperti ini." Kemudian Ibnu Mas'ud memanjangkan kata {الفُقَرَاءِ}.
Ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam "Mu'jam al-Kabir" dengan sanad yang terpercaya. Al-Albani telah menshahihkannya dan menggunakan ini sebagai hujjah.
Hal ini menunjukkan bahwa bacaan Al-Qur'an adalah sunnah yang wajib diikuti, diambil oleh orang lain dari orang pertama. Oleh karena itu, Ibnu Mas'ud menolak bacaan yang pendek, karena Nabi ﷺ membacanya dengan panjang. Ini menunjukkan wajibnya hukum membaca Al-Qur'an dengan cara yang benar sesuai dengan aturan tajwid.
DALIL KE TUJUH :
Sanad-sanad yang mutawatir yang menyampaikan tata cara membaca Al-Qur'an dari sepuluh qori [qiroat sepuluh], termasuk ketika mereka membaca rofa’ (fathah), nashob (dhommah), Jaar (kasroh), madd (panjang) atau menggunakan taa’ (ت) atau yaa’ (ي)... itu semua adalah dalam sanad yang sama dengan mereka yang membacanya dengan cara mentafkhim huruf ini dan itu, atau mentarqiqnya (melembutkan), meng-idghomkannya, memanjangkan (madd), atau menggunakan taa’ atau yaa’ ... dst.
Selama tidak diperbolehkan untuk menyelisihi riwayat dalam harakat fathah atau dhommah atau kasrah , maka tidak diperbolehkan pula menyelisihinya dalam cara melafalkan huruf-huruf, yang mana itu semua adalah yang dikatakan tajwid.
DALIL KEDELAPAN :
Perkataan para ulama ahli fikih dari empat mazhab tentang batalnya shalat seseorang yang mengikuti orang yang ber-talhiin [melagukan hingga merubah makna] dalam membaca Al-Fatihah, dan mereka memberikan misal tentang talhiin dengan sesuatu yang membuat cacat bacaan menurut hukum tajwid, maka perkataan mereka ini adalah merupakan dalil bahwa mereka berpendapat tentang kewajiban membaca Al-Quran dengan tajwid.
DALIL KESEMBILAN :
Salah satu hukum tajwid adalah hal yang jika dilanggar dapat mengubah makna Al-Quran, contohnya :
Seperti menebalkan baca ta' (تَ) di kalimat ' "Mastūrā" (مَسْتُوراً) (Al-Israa: 45) .
Atau menipiskan tsa' di kata "Masthu̱rā" (مَسْطُورَا) (Al-Israa: 58), karena hal ini akan mengaburkan salah satu kata dengan yang lain.
Demikian juga dengan menebalkan dzaal di kata 'mahzuura' (Al-Israa: 57) atau memperbesar dhaa di kata "Mahḏzūrā" (مَحْذُورَا) (Al-Israa: 20). Maka pada semua itu, tidak mungkin bagi orang yang berakal untuk mengatakan bahwa ini diperbolehkan."
DALIL KESEPULUH :
Sebagian dari mereka mengklaim Ijma’ kaum Muslimin akan wajibnya baca al-Quran dengan Tajwid .
BANTAHAN :
Tidak diragukan lagi bahwa klaiman ini jelas cacatnya, karena mayoritas fuqaha sepakat bahwa tajwid bukanlah wajib.
Dan hukum-hukum seperti wajib, sunnah, halal, dan haram adalah masalah-masalah dalam ilmu fiqih, bukan dalam ilmu qira'at. Karena ilmu qira'at berakhir ketika lafazh disampaikan melalui jalur seperti itu dengan riwayat fulan dari qira'at fulan.
Namun, apakah bentuk atau cara ini diwajibkan, dianjurkan, atau hanya mustahab (disukai)?
Ini membutuhkan ilmu fiqih dan ilmu alat sepenuhnya seperti ilmu ushul, sama seperti seorang muhadits (ahli hadits) - jika diasumsikan bukan seorang faqih - perannya berakhir dengan mengeluarkan hadits dan menilai sanadnya dengan keterangan shahih atau dha’ifnya.
Namun, apakah hadits tersebut shahih secara mutlak, atau telah dibatalkan secara umum, atau telah dimasukkan dalam pengecualian ?
Apakah masalah ini berhubungan dengan kewajiban, anjuran, atau petunjuk ?
Ini memerlukan pemahaman fiqih dan usul fiqih untuk mengetahui ayat-ayat yang terkait dengan masalah tersebut, hadits-hadits lain yang terkait, pendapat dan amalan para sahabat, makna-makna kata [ودلالة الألفاظ], penelitian dan penyempurnaan argumen [تحقيق وتنقيح المناط], ekstraksi illat [استخراج العلة], dan kemudian penarikan kesimpulan hukum[استنباط الحكم].
DALIL KESEBELAS :
Mungkin argumen terkuat yang digunakan oleh para pendukung kewajiban adalah bahwa karena Al-Quran telah disampaikan kepada kita dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Nabi ﷺ dengan cara tertentu, dan karena kita diperintahkan untuk mengikuti Nabi, maka kewajiban kita adalah membaca Al-Quran sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Nabi ﷺ.
BANTAHAN :
Bantahan terhadap pernyataan diatas :
Pertama: Perbuatan atau amalan yang sampai kepada kita dapat berarti kewajiban, anjuran [istihbab], atau hanya diperbolehkan [ja’iz]. Dan ayat-ayat serta hadits yang telah disebutkan sebelumnya sudah cukup dalam menentukan apakah masalah tersebut dimasukkan ke dalam kategori anjuran atau diperbolehkan.
Tidak semua yang disampaikan merupakan kewajiban, bisa saja menjadi kewajiban dalam pokoknya namun bukan dalam rinciannya. Contoh seperti salat dan haji, telah disampaikan kepada kita cara-cara salat Nabi ﷺ, di antaranya ada yang wajib untuk dijalankan dan tidak sah tanpanya, seperti rukun-rukun dalam shalat, diantaranya rukuk dan sujud, dan ada juga yang sunnah dan dianjurkan, yang tidak merusak salat jika ditinggalkan, seperti cara melakukan rukuk dan cara mengangkat tangan pada takbiratul ihram.
Maka, apakah kita akan mengatakan bahwa orang yang mengurangi mengangkat tangan pada takbiratul ihram sedikit atau melebihi batas yang disampaikan adalah berdosa dan shalatnya tidak sah karena itulah cara yang disampaikan kepada kita, seperti yang dikatakan oleh Ibnu al-Jazari dalam penjelasannya tentang kewajiban tajwid dengan mengatakan :
"لَأَنَّهُ بِهِ الإلَـهُ أَنْزَلَ وَهَكَذَا مِنْهُ إِلَيْنَا وَصَلَ".
"Karena Allah menurunkan Al-Quran dengan cara tertentu dan begitu juga yang sampai kepada kita."
Berapa banyak umat Islam yang melaksanakan shalat mereka , apakah semuanya sesuai dengan yang dinukil tentang cara-cara salat dari Nabi ﷺ?
Maka apa yang dikatakan tentang salat juga berlaku untuk qira’at, bahkan hal ini lebih utama.
Kedua: Hukum-hukum tajwid itu sendiri memiliki perbedaan, seperti misalnya sebagian berpendapat untuk menggabungkan huruf ق dalam huruf ك pada kata "نَخْلُقُكُمْ" dan sebagian yang melarangnya serta memerintahkan untuk menampakkan [idzhar] huruf ق.
Ada yang berpendapat pentingnya mentafkhim [memperbesar] huruf ر dalam kata "فِرْق" yang terdapat dalam surah Asy-Syu'ara' dan sebagian lainnya melihat pentingnya pelunakan.
Ketiga: Jika kewajiban membaca Al-Quran sesuai dengan bentuk yang diturunkan oleh Jibril secara tepat seperti yang dikatakan oleh Ibnu al-Jazari
"لَأَنَّهُ بِهِ الإلَـهُ أَنْزَلَ"
"Karena Allah menurunkan Al-Quran dengan cara tertentu,"
Maka konsekuensi logisnya adalah bahwa hanya dua qiro’at yang sah yang sesuai dengan qiro’at yang terakhir, yaitu di mana Nabi ﷺ menjelang akhir hayatnya membaca Al-Quran kepada Jibril dua kali.
Jika kita menganggap sah apa yang terjadi sebelum qiro’at terakhir, maka yang shahih adalah bahwa jumlah kali Al-Quran disajikan kepada Nabi ﷺ adalah satu kali dalam setiap tahun dan dua kali di tahun terakhir, yang berarti totalnya dua puluh empat kali: dua puluh tiga kali selama masa kenabian dan satu kali tambahan pada tahun terakhir menjelang wafat Nabi ﷺ.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
"إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ كَانَ يُعْرَضُ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ مَرَّةً إِلَّا الْعَامَ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ فَإِنَّهُ عُرِضَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ مَرَّتَيْنِ فَحَضَرَهُ عَبْدُاللَّهِ فَشَهِدَ مَا نُسِّخَ وَمَا بُدِّلَ."
"Sesungguhnya Rasulullah ﷺ biasa disajikan Al-Quran kepadanya setiap bulan Ramadhan satu kali, kecuali pada tahun di mana beliau wafat, maka Al-Quran disajikan kepadanya dua kali.
Abdullah bin Abbas hadir pada saat itu, dan dia menyaksikan apa yang dihapus [mansukh] dan yang diubah."
Dalam lafadz riwayat lain : Ibnu Abbaas berkata :
أيُّ القراءتينِ كانت أخيرًا: قراءةُ عبدِ اللهِ، أو قراءةُ زيدٍ؟ قال: قُلْنا: قراءةُ زيدٍ، قال: لا، إنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يعرِضُ القرآنَ على جِبْريلَ كلَّ عامٍ مرةً، فلمَّا كان في العامِ الذي قُبِضَ فيه عرَضَه عليه مرَّتينِ، وكانتُ آخرُ القراءةِ قراءةَ عبدِ اللهِ.
Pertanyaannya adalah, di antara dua bacaan terakhir, apakah bacaan Abdullah atau bacaan Zaid? Kami berkata, bacaan Zaid. Beliau bersabda, "Tidak, sesungguhnya Rasulullah ﷺ biasa disuguhkan Al-Quran kepada Jibril setiap tahun sekali. Namun, pada tahun di mana beliau wafat, Al-Quran disuguhkan kepada beliau dua kali, dan yang terakhir adalah bacaan Abdullah."
[HR. An-Nasa'i dalam "As-Sunan Al-Kubra" (7994), Ahmad (2494) dan Sa’id bin Manshur 1/240 no. 58.
Di shahihkan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq al-Musnad no. 2494 dan Ahmad Syaakir dalam Takhrij al-Musnad 3/134 no. 2494]
Al-Hakim berkata :
((هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ، وَلَمْ يُخْرِجَاهُ بِهَذِهِ السِّيَاقَةِ))
"Hadits ini memiliki sanad yang sahih, dan keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya dengan konteks ini." Al-Dhahabi menyetujuinya dalam "Al-Talkhis".
Al-Haitsami mengacu pada Ahmad dan Al-Bazzar dalam "Al-Majma'" (9/288) dan berkata,
((رِجَالُ أَحْمَدَ رِجَالُ الصَّحِيحِ))
"Para perawi Ahmad adalah para perawi yang sahih."
Oleh karena itu, maka konsekuensi dari ini adalah bahwa hanya ada dua bentuk atau dua jalur qiro’at yang sah jika yang diperhitungkan adalah bentuk terakhir atau paling banyak dua puluh empat jika apa yang terjadi sebelum bentuk terakhir juga dihitung.
Namun, bagaimana mungkin, padahal ada sepuluh qira'at yang setiap qira'atnya memiliki dua jalur riwayat dan setiap jalur riwayat memiliki berbagai cara baca. Misalnya, riwayat Hafesh sendiri memiliki banyak jalur riwayat seperti Syathibiyyah dan Thaybah.
Imam Ibnu Al-Jazari menyebutkan bahwa ada 52 jalur riwayat bagi Hafesh dari seorang 'Ashim saja. Dan di atas 80 jalur riwayat untuk Qooluun dari Nafi'.
Lalu Apakah Jibril membacakan Al-Quran kepada Nabi ﷺ dengan semua jalur riwayat ini?!
Dan jalur-jalur riwayat ini dishahihkan oleh para imam ilmu qira'at dan mereka memperbolehkan membaca dengan salah satu dari riwayat-riwayat tersebut, meskipun mayoritas perbedaan dalam hal ini pasti berasal dari perbuatan pembaca atau perawi untuk memastikan keaslian kata dan maknanya, yang mana adalah tujuan yang ingin ditegaskan. Karena tidak mungkin untuk semua variasi ini diteruskan secara langsung dari aurot terakhir atau dari apa yang sebelumnya.
Kesimpulan dari nash-nash ini dan riwayat-riwayat ini adalah bahwa bacaan Lahn [lantunan bacaan yang merubah makna] yang harus diingkari terhadap pelakunya dan membatalkan bacaannya adalah yang merubah kalimat dengan perubahan yang memutar balikkan makna dan tidak sesuai dengan maksud nash.
Sementara perubahan dalam hukum-hukum tajwid, seperti dalam jenis idgham, ghunnah, qalqalah, dan lainnya, tidak merubah makna bahkan jika bacaan itu menjadi lebih sempurna. Hal yang sama berlaku juga untuk perubahan dalam pembentukan kalimat-kalimat dalam jenis irab ( rofa’, jarr, nashob dan tasydid ), asalkan tidak mengubah makna.
*****
TARJIH :
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat yang menyatakan bahwa tajwid bukanlah kewajiban syariat tidak mengurangi pentingnya belajar ilmu tajwid, bahkan yang termasuk untuk hal-hal yang bukan kewajiban, karena tidak ada perbedaan dalam keutamaan dan fadhilah nya. Tajwid adalah hiasan dalam membaca Al-Qur'an dan bagian dari kesempurnaan membaca yang dianjurkan [manduub].
Syeikhul-Islam Ibnu Taymiyyah berkata:
وَلَا يَجْعَلْ هِمَّتَهُ فِيمَا حُجِبَ بِهِ أَكْثَرُ النَّاسِ مِنَ الْعُلُومِ عَنْ حَقَائِقِ الْقُرْآنِ إِمَّا بِالْوَسْوَسَةِ فِي خُرُوجِ حُرُوفِهِ وَتَرْقِيقِهَا وَتَفْخِيمِهَا وَإِمَالَتِهَا وَالنُّطْقِ بِالْمَدِّ الطَّوِيلِ وَالْقَصِيرِ وَالْمُتَوَسِّطِ وَغَيْرِ ذَلِكَ ۖ فَإِنَّ هَذَا حَائِلٌ لِلْقُلُوبِ قَاطِعٌ لَهَا عَنْ فَهْمِ مَرَادِ الرَّبِّ مِنْ كَلَامِهِ .
وَكَذَلِكَ شَغَلَ النُّطْقَ بِـ { أَأَنْذَرْتَهُمْ } وَضَمَّ الْمِيمِ مِنْ (عَلَيْهِمْ) وَوَصَلَهَا بِالْوَاوِ وَكَسْرِ الْهَاءِ أَوْ ضَمِّهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ ۔ وَكَذَلِكَ مُرَاعَاةُ النُّغَمِ وَتَحْسِينُ الصَّوْتِ .
وَكَذَلِكَ تَتَبُّعُ وُجُوهَ الْإِعْرَابِ وَاِسْتِخْرَاجُ التَّأْوِيلَاتِ الْمُسْتَكْرَهَةِ الَّتِي هِيَ بِالْأَلْغَازِ وَالْأَحَاجِي أَشَبَهَ مِنْهَا بِالْبَيَانِ .
وَكَذَلِكَ صَرْفُ الذَّهْنِ إِلَى حِكَايَةِ أَقْوَالِ النَّاسِ وَنَتَائِجِ أَفْكَارِهِمْ .
"Seseorang tidak seharusnya memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang dengannya bisa menghalangi mayoritas manusia dari ilmu-ilmu tentang hakikat kandungan al-Quran , seperti menghabiskan waktunya untuk berspekulasi tentang makhroj huruf-huruf, mentarqiiq-nya, mentafkhim-nya, meng-imaalah-kannya, pengucapan mad panjang, mad pendek, taqshiir dan lain sebagainya.
Hal ini akan menghalangi hati-hati manusia dari memahami maksud kalam-kalam Tuhan.
Dan juga disibukkan dengan pengucapan { أَأَنْذَرْتَهُمْ } dan membaca dhommah huruf "م" dari (عَلَيْهِمْ) dengan menyambungnya dengan "وَ" dan membaca kasrah pada "هَاءٌ" atau membaca dhommah dan sejenisnya. Dan demikian pula memperhatikan nada dan memperbagus suara.
Begitu pula dengan menelusuri bentuk-bentuk I’rob dan penggalian penafsiran tidak pantas yang lebih mirip teka-teki dan perumpamaan dibandingkan dengan penjelasan.
Dan seseorang tidak boleh memusat perhatiannya hanya untuk mendengarkan hikayat dari perkatan-perkataan manusia atau mengikuti pemikiran mereka."
(Sumber: Majmu' Fatawa Ibn Taymiyyah - Etika dan Tasawuf - Tafsir Surat Ath-Thalaq - Jilid 16)
Allah Ta'ala menurunkan Al-Qur'an ini untuk dipikirkan (tadabbur), dan tadabbur itu dilakukan dengan mempelajari maknanya, sebab-sebab turunnya, hukum-hukumnya, kisah-kisahnya, pelajaran-pelajarannya, perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta targhib dan tarhiibnya , mudah membacanya dan menghafalnya.
Dan telah shahih hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dengan perkataan maupun dengan taqrir (persetujuan), untuk memberi semangat kepada orang-orang untuk membacanya dengan sebaik-baiknya dengan cara yang mudah dan sesuai dengan kemampuan masing-masing orang, selama tidak mengubah makna atau memutar balikkannya.
Kewajiban bagi seorang Muslim adalah berusaha keras dalam hal ini. Oleh karena itu, yang utama bagi seseorang ketika membaca Al-Qur'an adalah merenungkan maknanya, memahami agama, dan mengamalkan setiap ayat yang dibacanya.
Tidak boleh seseorang mengalihkan seluruh perhatiannya pada kaidah-kaidah tajwid, pengaturan makhroj-makhroj huruf, dan rumitnya I’rob (tata bahasa).
Begitu pula bagi mereka yang mendengarkan bacaan orang lain, mereka tidak boleh hanya fokus pada kesalahan-kesalahan dan menyelidiki letak-letak Lahn bacaannya.
Ini adalah tipu daya syaitan. Yang seharusnya dilakukan adalah mengalihkan pikiran untuk mentadabburi maknanya, mengamalkan ayat-ayatnya, berlaku khusyu’, menangis, dan berdoa.
0 Komentar