BENARKAH IBNU MAS’UD BERKATA “PERBEDAAN PENDAPAT ITU ADZAB”?
LALU APA MAKSUD PERKATAAN-NYA : “PERSELISIHAN ITU BURUK”? DAN BAGAIMANA KRONOLOGI-NYA?
******
Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISALAM
******
sumber: Facebook
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN :
- BENARKAH IBNU MAS’UD BERKATA “PERBEDAAN PENDAPAT ITU ADZAB”?
- MAKSUD UCAPAN IBNU MAS’UD : “الخِلاَفُ شَرٌّ / PERSELISIHAN ITU BURUK”.
- KRONOLOGI UCAPAN IBNU MAS’UD : “PERSELISIHAN ITU BURUK”.
- PERKATAAN ABU DZAR “PERSELISIHAN ITU LEBIH DAHSYAT (DAMPAK BURUKNYA)”.
- HADITS ABU HURAIRAH : “ JANGANLAH KALIAN BERPECAH BELAH”.
- HADITS NU’MAN BIN BASYIR : “BERCERAI BERAI ADALAH ADZAB”.
- SYARAH PERKATAAN IBNU MAS’UD : “ PERSELISIHAN ITU BURUK”.
- UTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN
- GUNAKAN HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT AGAR TIDAK BERPECAH BELAH
- PERTAMA : ATSAR ALI BIN ABI THALIB :
- SYARAH ATSAR ALI BIN THALIB :
- KEDUA : ATSAR UMAR BIN ABDUL AZIZ :
- KETIGA : PERKATAAN AL-IMAM AL-QARRAAFI
- PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT :
- SALING MENGHARGAI DAN MENGAKUI PENDAPAT ORANG LAIN:
- PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN DAN MENCELA PERBEDAAN PENDAPAT :
- KESIMPULAN DAN TARJIH :
- PERNYATAAN AL-IMAM ASY-SYATIBI :
- SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
- IBNU AL-QAYYIM :
*****
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
*****
PENDAHULUAN :
Makna al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ] dan al-Khilaaf [الخِلاَفُ] :
Untuk menjelaskan keakuratan maknanya, maka perlu memahami makna "al-ikhtilaaf. Karena ada perbedaan antara makna al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ] dan al-Khilaaf [الخِلاَفُ].
Makna al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ]: perbedaan pendapat berdasarkan dalil.
Dan makna al-Khilaaf [الخِلاَفُ]: perselisihan pendapat tanpa dalil.
Imam ar-Raghib al-Asfahani dalam kitabnya "al-Mufrodaat Fii Ghariib al-Qur'ān" hal. 294 menyatakan:
ٱلاخْـتِـلاَفُ وَالْـمُـخَـالَـفَـةُ: أَنْ يَأْخُذَ كُلُّ وَاحِدٍ طَرِيقًا غَيْرَ طَرِيقِ الْـآخَـرِ فِي حَالِهِ أَوْ قَوْلِهِ
"Perbedaan dan pertentangan adalah ketika setiap orang mengambil jalan yang berbeda, bukan jalan orang lain dalam keadaan atau perkataannya."
Artinya: masing-masing berjalan diatas jalannya tanpa adanya konflik atau perpecahan, sebagaimana yang dinyatakan oleh ar-Raghib dalam penutup perkataannya, yaitu:
وَلَمَّا كَانَ ٱلاخْـتِـلاَفُ بَيْنَ النَّاسِ فِي القَوْلِ قَدْ يَقْتَضِي التَّنَازُعَ، اسْتَعِيرَ ذَلِكَ لِلْمُنَازَعَةِ وَالْمُجَادَلَةِ. قَالَ تَعَالَى: (فَٱخْتَلَفَ ٱلْأَحْزَابُ مِن بَيْنِهِمْ)، (وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ....) "انتَهَى".
"Ketika perbedaan pendapat antara manusia dalam perkataan itu terkadang dapat menimbulkan perselisihan, maka istilah ini dipinjam untuk menyebut "perselisihan" dan "perdebatan". Allah berfirman:
(فَٱخْتَلَفَ ٱلْأَحْزَابُ مِن بَيْنِهِمْ)
' Maka golongan-golongan itu saling berbeda pendapat di antara mereka". [QS. az-Zukhruf: 65].
Dan Allah berfirman:
(وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ....)
"Dan mereka senantiasa berbeda (pendapat)". [QS. Huud: 118] [Kutipan Selesai].
Al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ] dalam asal bahasa tidak mangandung arti pertengkaran dan perpecahan, akan tetapi realitas manusia dan jiwa mereka yang tidak mampu menanggung itu, dan dada mereka yang merasa sempit jika terjadi beda pendapat dengan orang lain, maka menjadikan perbedaan pendapat ini sebagai penyebab pertengkaran, perdebatan dan konflik. Oleh sebab itu Al-Qur'an yang mulia dalam beberapa ayatnya menyinggung makna ini yang terjadi sebagai hasil yang diperoleh. Yakni kata al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ] dimaknai dengan perselisihan dan perpecahan.
Abu al-Baqā' al-Kafawī dalam "Al-Kulliyāat" 1/79-80 menjelaskan perbedaan antara al-ikhtilaaf [perbedaan Pendapat ] dan al-Khilaaf [Perselisihan]:
ٱلْاخْتِلاَفُ هُوَ أَنْ يَكُونَ ٱلطَّرِيقُ مُخْتَلِفًا، وَٱلْمَقْصُودُ وَاحِدًا، وَٱلْخِلَافُ: هُوَ أَنْ يَكُونَ كِلَاهُمَا – أَيِ ٱلطَّرِيقُ وَٱلْمَقْصُودُ – مُخْتَلِفًا. وَٱلْإِخْتِلَافُ: مَا يَسْتَنَدُ إِلَى دَلِيلٍ. وَٱلْخِلَافُ: مَا لَا يَسْتَنَدُ إِلَى دَلِيلٍ. وَٱلْإِخْتِلَافُ مِنْ ءَاثَارِ ٱلرَّحْمَةِ...، وَٱلْخِلَافُ: مِنْ ءَاثَارِ ٱلْبِدْعَةِ…".
"Al-ikhtilaaf adalah ketika jalannya berbeda, tetapi tujuannya sama, sedangkan perselisihan adalah ketika keduanya – yaitu jalannya dan tujuannya – berbeda.
Al-ikhtilaaf didasarkan pada dalil, sedangkan perselisihan tidak didasarkan pada dalil.
Al-Ikhtilaaf [perbedaan Pendapat ] adalah pengaruh dari RAHMAT…, sedangkan perselisihan adalah dampak dari bid'ah...". [Kutipan selesai]
Pernah terjadi perbedaan pendapat antar para sahabat pada masa Nabi ﷺ masih hidup tentang sebagian masalah-masalah cabang agama, namun perbedaan tersebut tidak membuat mereka saling bermusuhan dan tidak pula saling menganggap sesat yang lain.
Contoh : Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, dia berkata:
" قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنْ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ".
"Nabi ﷺ bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab: "Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat 'Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah."
Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan.
Sebagian dari mereka berkata: 'Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai tujuan'.
Dan sebagian lain berkata: 'Bahkan kami akan melaksanakan shalat, karena beliau ﷺ tidaklah bermaksud demikian'.
Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi ﷺ, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." [HR. Bukhori no. 4119 dan Muslim no. 1770].
Seperti itulah keadaan para sahabat di masa Nabi ﷺ masih hidup, celah-celah yang bisa menimbulkan perselisihan ditutup, dan apabila terjadi perselisihan segera diselesaikan sehingga tidak menjadi besar.
******
BENARKAH IBNU MAS’UD BERKATA “PERBEDAAN PENDAPAT ITU ADZAB”?
Telah menyebar di sebagian kalangan para syeikh dan para da’i kontemporer sekarang ini sebuah ungkapan yang di kutip dari perkataan Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
ٱلاخْـتِـلاَفُ عَذَابٌ
Artinya : “Perbedaan pendapat itu Adzab”.
https://www.facebook.com/reel/474881435075693
Penulis sudah berusaha menelusuri perkataan Ibnu Mas’ud “ٱلاخْـتِـلاَفُ عَذَابٌ” ini dalam kitab-kitab hadits dan lainnya, akan tetapi hingga kini penulis masih belum menemukannya.
Sepengetahuan penulis sejak dulu : ungkapan Ibnu Mas’ud yang masyhur dan tersebar dalam kitab-kitab hadits dan syarah-syarah hadits adalah sbb :
الخِلاَفُ شَرٌّ
“Perselisihan Itu Buruk”.
******
MAKSUD UCAPAN IBNU MAS’UD :
“الخِلاَفُ شَرٌّ / PERSELISIHAN ITU BURUK”.
Setelah penulis telusuri riwayat-riwayatnya dan penjelasan para ulama, maka penulis merangkum bahwa yang dimaksud dari ungkapan tersebut adalah sbb :
Pertama : memperuncing perbedaan perndapat dalam masalah-masalah cabang agama adalah hal yang buruk, meskipun yang nampak dalam pandangan orang yang menyelisihinya bahwa pendapat lawannya itu tidak sejalan dengan yang sunnah.
Contoh hadist yang menunjukkan bahwa ada sebagian makna ikhtilaf itu adalah memperuncing perbedaan , yiatu hadits Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata:
" سَمِعْتُ رَجُلًا قَرَأَ آيَةً، وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلَافَهَا، فَجِئْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَعَرَفْتُ فِي وَجْهِهِ الكَرَاهِيَةَ، وَقَالَ: «كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ، وَلَا تَخْتَلِفُوا، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا» ".
“Saya mendengar seseorang membaca suatu ayat, dan saya mendengar Nabi ﷺ membaca ayat itu berbeda dengan bacaannya, maka saya membawa orang itu kepada Nabi ﷺ dan memberitahukan kepadanya.
Saya melihat rasa tidak senang di wajah Nabi ﷺ dan beliau bersabda: “Kamu berdua benar (dalam hal bacaan ayat) dan janganlah kalian berselisih (memperuncing perbedan) !, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, mereka selalu berselisih (memperuncing perbedaan) sehingga mereka binasa”. [HR. Bukhori no. 3476]
Di sini Nabi ﷺ tidak menyalahkan perbedaan bacaan mereka berdua, melainkan beliau melarang mereka memperuncing perbedaan dan perselisihan.
Kedua : anjuran untuk mengikuti pendapat hasil ijtihad seorang pemimpin dalam masalah-masalah cabang agama, meski nampaknya menyelisihi sunnah menurut pandangan orang lain . Anjuran ini demi untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat .
Ketiga : Lebih baik mempertahankan amalan mubah yang dengannya bisa mempersatukan umat dari pada mempertahankan amalan sunnah yang berdampak perpecahan,
*****
KRONOLOGI UCAPAN IBNU MAS’UD : “PERSELISIHAN ITU BURUK”.
Ada banyak riwayat tentang kronolagi ucapan tersebut . Namun dalam artikel ini, penulis hanya mengutip sebagaian kecil. Penulis kutip dari beberapa riwayat berikut ini :
===
RIWAYAT PERTAMA : riwayat Abdurrahman bin Yazid :
Ke 1 : Abdurrahman bin Yazid berkata :
"أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ - مُنْكِرًا عَلَيْهِ - : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا ثُمَّ تَفَرَّقَتْ بِكُمُ الطُّرُقُ فَلَوَدِدْتُ أَنَّ لِي مِنْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ مُتَقَبَّلَتَيْنِ ثُمَّ إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ صَلَّى أَرْبَعًا فَقِيلَ لَهُ : عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ : الخِلاَفُ شَرٌّ".
Bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu – mengingkarinya - seraya berkata:
“Aku dulu shalat bersama Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat rakaat.
Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian (yakni : ada yang shalat 4 rakaat dan ada pula yang mengqoshor 2 rakaat). Dan sungguh aku berkeinginan dari empat rakaat shalat itu yang diterima adalah yang dua rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat empat rakaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau:
“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, akan tetapi engkau sendiri shalat empat rakaat pula?”
Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perselisihan itu adalah buruk .”
["Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1960) dengan sedikit perbedaan, dan diriwayatkan oleh Bukhari (1084), serta Muslim (695) dalam bentuk yang lebih panjang dengan lafaz yang hampir serupa."
Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud].
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :
وَ سَنَدُهُ صَحِيحٌ. وَ رَوَى أَحْمَدُ (٥ / ١٥٥) نَحْوَ هَذَا عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.
“Sanadnya Shahih . Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in). [As-Silsilah Ash-Shahihah 1/444].
Ke 2 : Al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar 4/260 No. 6078: 6078 - Ahmad berkata:
وَقَدْ رُوِّينَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ فِي صَلَاةِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَرْبَعًا، وَقَوْلُهُمْ: أَلَمْ يُحَدِّثْنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ؟ فَقَالَ: بَلَى. وَلَكِنَّ عُثْمَانَ كَانَ إِمَامًا، فَأُخَالِفُهُ وَالخِلاَفُ شَرٌّ
Telah diriwayatkan kepada kami dengan sanad yang sahih dari Abu Ishaq, dari Abdurrahman bin Yazid tentang : ‘shalat Ibnu Mas'ud sebanyak empat rakaat’, dan ucapan mereka:
'Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa Nabi ﷺ shalat dua rakaat, dan Abu Bakar juga?'
Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab: 'Betul. Tetapi Utsman adalah imam, maka aku tidak boleh menyelisihinya dan perselisihan itu adalah buruk.'"
====
RIWAYAT KE DUA : riwayat Qotadah :
Abdurrazzaq dalam "Al-Musannaf" 2/516 No. 4269 meriwayatkan : Dari Ma'mar, dari Qatadah :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، وَأَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ خِلَافَتِهِ، كَانُوا يُصَلُّونَ بِمَكَّةَ وَبِمِنًى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّاهَا أَرْبَعًا ". فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ مَسْعُودٍ، فَاسْتَرْجَعَ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى أَرْبَعًا، فَقِيلَ لَهُ: اسْتَرْجَعْتَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا؟ قَالَ: «الخِلاَفُ شَرٌّ»
Bahwa Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Utsman pada awal masa kekhalifahannya, mereka shalat di Mekah dan Mina dua rakaat. Kemudian setelah itu Utsman shalatnya menjadi empat rakaat. Berita itu sampai kepada Ibnu Mas'ud, maka ia mengucapkan istirja' (inna lillahi wa inna ilaihi raji'un), kemudian dia pun berdiri dan shalat empat rakaat.
Maka ada yang bertanya kepadanya: "Engkau mengucapkan istirja' kemudian shalat empat rakaat?"
Ia menjawab: "Perselisihan itu adalah keburukan."
====
RIWAYAT KE TIGA : riwayat Ibnu Abi Dzubaab, dari ayahnya :
Al-Baihaqi dalam "Al-Khilafiyat" 3/408 no. 2651 meriwayatkan : Dari Ibnu Abi Dzubaab, dari ayahnya, ia berkata:
صَلَّى عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ - رضي الله عنه - بِمِنًى أَرْبَعًا، فَأَنْكَرَ النَّاسُ عَلَيْهِ ذَلِكَ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، لَمَّا قَدِمْتُ مَكَّةَ تَأَهَّلْتُ (التزوج) بِهَا، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - ﷺ - يَقُولُ: "إِذَا تَأَهَّلَ رَجُلٌ بِبَلَدٍ فَلْيُصَلِّ بِهِ صَلَاةَ مُقِيمٍ"
Utsman bin Affan -raḍiyallāhu 'anhu- shalat di Mina empat rakaat, maka orang-orang mengingkari hal itu padanya. Maka Ia (Utsman) berkata:
"Wahai manusia, ketika aku tiba di Mekah, aku menikah (berkeluarga) di sana, dan aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Jika seseorang menikah di suatu tempat, maka hendaklah ia shalat seperti shalat orang yang muqim [penduduk].'"
====
RIWAYAT KE EMPAT : Riwayat ‘Athoo :
Ibnu Abdil Barr dalam "At-Tamhid" 11/172 meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Mughirah bin Ziyad, dari Atha' :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يُتِمُّ فِي سَفَرِهِ وَيَقْصُرُ وَقَدْ أَتَمَّ جَمَاعَةٌ فِي السَّفَرِ مِنْهُمْ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَعَائِشَةُ وَقَدْ عَابَ ابْنُ مَسْعُودٍ عُثْمَانَ بِالْإِتْمَامِ وَهُوَ بِمِنَى ثُمَّ لَمَّا أَقَامَ الصَّلَاةَ عُثْمَانُ مَرَّ ابْنُ مَسْعُودٍ فَصَلَّى خَلْفَهُ فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ الخِلاَفُ شَرٌّ وَلَوْ أَنَّ الْقَصْرَ عِنْدَهُ فَرْضٌ مَا صَلَّى خَلْفَ عُثْمَانَ أَرْبَعًا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah ﷺ terkadang menyempurnakan shalatnya (4 rakaat) dalam perjalanan (safar) dan terkadang mengqasharnya (2 rakaat) . Dan ada sebagian orang yang menyempurnakan shalat (4 rakaat) dalam perjalanan (safar), di antaranya Sa'd bin Abi Waqqas, Utsman bin Affan, dan Aisyah.
Ibnu Mas'ud mencela Utsman karena menyempurnakan shalat (4 rakaat) di Mina. Akan tetapi ketika Utsman mendirikan shalat, dan Ibnu Mas'ud melewatinya, dia ikut shalat di belakangnya (4 rakaat) .
Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, ia menjawab: "Perselisihan itu adalah keburukan”.
Jika seandainya qashar (shalat) menurutnya wajib, maka dia tidak akan shalat di belakang Utsman dengan empat rakaat."
====
RIWAYAT KE LIMA : riwayat Abdullah bin Siidan :
Dari Abdullah bin Siidan, ia berkata:
كُنْتُ مَعَ ابْنِ مَسْعُودٍ بِعَرَفَةَ، فَصَلَّى عُثْمَانُ الظُّهْرَ أَرْبَعًا، وَالْعَصْرَ أَرْبَعًا، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: «هَا هُنَا صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَمَا صَلَّوْا إِلَّا رَكْعَتَيْنِ» قُلْتُ: أَفَلَا تَقُومُ إِلَيْهِ؟ قَالَ: اسْكُتْ فَإِنَّ الخِلاَفُ شَرٌّ
Aku bersama Ibnu Mas'ud di Arafah. Utsman melaksanakan shalat Zhuhur empat rakaat dan shalat Ashar empat rakaat. Ibnu Mas'ud berkata: "Di sini aku shalat bersama Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Umar, mereka tidak shalat kecuali dua rakaat." Aku berkata: "Tidakkah engkau pergi kepadanya (menegurnya)?" Ia berkata: "Diamlah, karena perselisihan itu buruk."
[Diriwayatkan oleh At-Tabarani dalam Al-Mu'jam Al-Awsat 6/368 nomor 6637]
====
RIWAYAT KE ENAM : Qurrah Abi Mu'awiyah :
Dari Qurrah Abi Mu'awiyah, ia berkata:
جَاءَ ابْنُ مَسْعُودٍ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ فَقَالَ: كَمْ صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى؟ فَقَالُوا: أَرْبَعًا. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ كَلِمَةً، ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعًا، فَقَالُوا: عِبْتَ عَلَيْهِ، ثُمَّ صَلَّيْتَ كَمَا صَلَّى؟ فَقَالَ: «أَمَا إِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَكْعَتَيْنِ، وَلَكِنَّ الخِلاَفُ شَرٌّ»
Ibnu Mas'ud datang pada masa Utsman dan berkata: "Berapa rakaat Utsman shalat di Mina?" Mereka berkata: "Empat rakaat." Abdullah berkata sesuatu, kemudian ia maju dan shalat empat rakaat. Mereka berkata: "Engkau mencelanya, lalu engkau shalat sebagaimana yang ia shalat?" Ia berkata: "Aku telah shalat bersama Nabi ﷺ, Abu Bakar, dan Umar dua rakaat, tetapi perselisihan itu buruk."
[Diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ath-Thabari dalam Tahdhib Al-Atsar 1/226 nomor 357].
====
RIWAYAT KE TUJUH : Abdul Malik bin Amr Ats-Tsaqafi, dari pamannya:
Abu Ja'far Ath-Thabari sebagaimana dalam Shahih dan Dha'if Tarikh Ath-Thabari 8/480 nomor 702:
Dikatakan oleh Al-Waqidi: Al-Waqidi berkata: Dan Dawud bin Khalid menceritakan kepadaku, dari Abdul Malik bin Amr bin Abi Sufyan Ats-Tsaqafi, dari pamannya, ia berkata:
صَلَّى عُثْمَانُ بِالنَّاسِ بِمِنًى أَرْبَعًا، فَأَتَى آتٍ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ، فَقَالَ: هَلْ لَكَ فِي أَخِيكَ؟ قَدْ صَلَّى بِالنَّاسِ أَرْبَعًا! فَصَلَّى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بِأَصْحَابِهِ رَكْعَتَيْنِ؛ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ، فَقَالَ لَهُ: أَلَمْ تُصَلِّ فِي هَذَا الْمَكَانِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَفَلَمْ تُصَلِّ مَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَفَلَمْ تُصَلِّ مَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَلَمْ تُصَلِّ صَدْرًا مِنْ خِلَافَتِكَ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى!
قَالَ: فَاسْمَعْ مِنِّي يَا أَبَا مُحَمَّدٍ! إِنِّي أُخْبِرْتُ: أَنَّ بَعْضَ مَنْ حَجَّ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، وَجُفَاةَ النَّاسِ قَدْ قَالُوا فِي عَامِنَا الْمَاضِي: إِنَّ الصَّلَاةَ لِلْمُقِيمِ رَكْعَتَانِ، هَذَا إِمَامُكُمْ عُثْمَانُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَقَدِ اتَّخَذْتُ بِمَكَّةَ أَهْلًا، فَرَأَيْتُ أَنْ أُصَلِّيَ أَرْبَعًا لِخَوْفِ مَا أَخَافُ عَلَى النَّاسِ؛ وَأُخْرَى قَدِ اتَّخَذْتُ بِهَا زَوْجَةً، وَلِي بِالطَّائِفِ مَالٌ؛ فَرُبَّمَا اطَّلَعْتُهُ فَأَقَمْتُ فِيهِ بَعْدَ الصَّدَرِ.
فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: مَا مِنْ هَذَا شَيْءٌ لَكَ فِيهِ عُذْرٌ؛ أَمَّا قَوْلُكَ: اتَّخَذْتُ أَهْلًا، فَزَوْجَتُكَ بِالْمَدِينَةِ تُخْرِجُ بِهَا إِذَا شِئْتَ، وَتُقَدِّمُ بِهَا إِذَا شِئْتَ؛ إِنَّمَا تَسْكُنُ بِسُكْنَاكَ. وَأَمَّا قَوْلُكَ: وَلِي مَالٌ بِالطَّائِفِ؛ فَإِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الطَّائِفِ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ وَأَنْتَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ. وَأَمَّا قَوْلُكَ: يَرْجِعُ مَنْ حَجَّ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ وَغَيْرِهِمْ، فَيَقُولُونَ: هَذَا إِمَامُكُمْ عُثْمَانُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ مُقِيمٌ؛ فَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ - ﷺ - يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ وَالنَّاسُ يَوْمَئِذٍ الإِسْلَامُ فِيهِمْ قَلِيلٌ؛ ثُمَّ أَبُو بَكْرٍ مِثْلُ ذَلِكَ، ثُمَّ عُمَرُ، فَضَرَبَ الإِسْلَامُ بِجِرَانِهِ، فَصَلَّى بِهِمْ عُمَرُ حَتَّى مَاتَ رَكْعَتَيْنِ.
فَقَالَ عُثْمَانُ: هَذَا رَأْيٌ رَأَيْتُهُ .
قَالَ: فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، فَلَقِيَ ابْنَ مَسْعُودٍ، فَقَالَ: أَبَا مُحَمَّدٍ، غَيْرُ مَا يُعْلَمُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَمَا أَصْنَعُ؟ قَالَ: اعْمَلْ أَنْتَ بِمَا تَعْلَمُ؛ فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: الخِلاَفُ شَرٌّ؛ قَدْ بَلَغَنِي: أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا فَصَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي أَرْبَعًا، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: قَدْ بَلَغَنِي أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا، فَصَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي رَكْعَتَيْنِ، وَأَمَّا الآنَ فَسَوْفَ يَكُونُ الَّذِي تَقُولُ - يَعْنِي: نُصَلِّي مَعَهُ أَرْبَعً. (4/268)
Utsman shalat bersama orang-orang di Mina sebanyak empat rakaat. Seseorang datang kepada Abdurrahman bin Auf dan berkata:
"Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu? Dia telah shalat bersama orang-orang sebanyak empat rakaat!"
Maka Abdurrahman shalat bersama sahabat-sahabatnya dua rakaat, kemudian keluar hingga masuk menemui Utsman. Ia berkata kepadanya:
"Bukankah engkau shalat di tempat ini bersama Rasulullah ﷺ dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"
Ia bertanya lagi: "Bukankah engkau shalat bersama Abu Bakar dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"
Ia bertanya lagi: "Bukankah engkau shalat bersama Umar dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"
Ia bertanya lagi: "Bukankah engkau shalat di awal kekhalifahanmu dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"
Utsman kemudian berkata: "Dengarkan dariku, wahai Abu Muhammad! Aku diberitahu bahwa sebagian orang yang berhaji dari Yaman dan orang-orang kasar mengatakan pada tahun lalu:
'Sesungguhnya shalat bagi orang yang mukim adalah dua rakaat, ini adalah imam kalian Utsman yang shalat dua rakaat.'
Sementara aku telah menjadi penduduk Mekah, maka aku melihat bahwa aku harus shalat empat rakaat karena takut akan apa yang aku khawatirkan atas manusia. Alasan lainnya, aku telah menikah di sana, dan aku memiliki harta di Thaif; terkadang aku datang kesana untuk melihat-lihatnya sehingga aku tinggal di sana setelah keluar (dari Makkah)."
Abdurrahman bin Auf berkata:
"Tidak ada alasan bagimu dalam hal ini; adapun yang kau katakan bahwa engkau telah menjadi penduduk Mekkah, maka istrimu ada di Madinah, engkau bisa membawanya keluar kapan saja dan kembali kapan saja; engkau hanya menetap karena ada tempat tinggalmu.
Adapun yang kau katakan bahwa engkau memiliki harta di Thaif; jarak antara engkau dan Thaif adalah perjalanan tiga malam, dan engkau bukan penduduk Thaif.
Adapun yang kau katakan bahwa orang yang berhaji dari Yaman dan lainnya akan berkata: 'Ini imam kalian Utsman yang shalat dua rakaat padahal ia mukim'; Rasulullah ﷺ menerima wahyu dan orang-orang saat itu masih sedikit dalam Islam; kemudian Abu Bakar demikian juga, kemudian Umar, sehingga Islam kuat dan stabil, dan Umar tetap shalat bersama mereka dua rakaat hingga wafat."
Utsman berkata: "Ini adalah pendapat yang aku lihat."
Abdurrahman kemudian keluar dan bertemu dengan Ibnu Mas'ud, ia berkata: "Abu Muhammad, apakah ada hal baru yang diketahui?" Ibnu Mas'ud menjawab: "Tidak." Abdurrahman berkata: "Apa yang harus aku lakukan?"
Ibnu Mas'ud berkata: "Lakukan apa yang kau ketahui;"
Lalu Ibnu Mas'ud berkata: "Perselisihan itu buruk”. Aku mendengar bahwa ia shalat empat rakaat, maka aku shalat bersama sahabat-sahabatku empat rakaat."
Abdurrahman bin Auf berkata: "Aku mendengar bahwa ia shalat empat rakaat, maka aku shalat bersama sahabat-sahabatku dua rakaat, namun sekarang aku akan melakukan apa yang engkau katakan - maksudnya: kita shalat bersamanya empat rakaat." (4/ 268)
Derajat Atsar : Dikatakan oleh Muhammad Thahir Al-Barzanji: Lemah. [Shahih dan Dha'if Tarikh Ath-Thabari 8/480 nomor 702]
=====
RIWAYAT KEDELAPAN : riwayat Ibnu al-Atsir :
Ibnu Atsir al-Jazari dalam kitab al-Kamil fi at-Tarikh, jilid 2 halaman 475, berkata:
حَجَّ بِالنَّاسِ فِي هَذِهِ السَّنَةِ عُثْمَانُ، وَضَرَبَ فُسْطَاطَهُ بِمِنًى، وَكَانَ أَوَّلَ فُسْطَاطٍ ضَرَبَهُ عُثْمَانُ بِمِنًى، وَأَتَمَّ الصَّلَاةَ بِهَا وَبِعَرَفَةَ، فَكَانَ أَوَّلَ مَا تَكَلَّمَ بِهِ النَّاسُ فِي عُثْمَانَ ظَاهِرًا حِينَ أَتَمَّ الصَّلَاةَ بِمِنًى، فَعَابَ ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ: مَا حَدَثَ أَمْرٌ وَلَا قَدُمَ عَهْدٌ، وَلَقَدْ عَهِدْتُ النَّبِيَّ - ﷺ -، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ وَأَنْتَ صَدْرًا مِنْ خِلَافَتِكَ، فَمَا أَدْرِي مَا تَرْجِعُ إِلَيْهِ. فَقَالَ: رَأْيٌ رَأَيْتُهُ. وَبَلَغَ الْخَبَرُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَكَانَ مَعَهُ، فَجَاءَهُ وَقَالَ لَهُ: أَلَمْ تُصَلِّ فِي هَذَا الْمَكَانِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - ﷺ -، وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَصَلَّيْتَ أَنْتَ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى وَلَكِنِّي أُخْبِرْتُ أَنَّ بَعْضَ مَنْ حَجَّ مِنَ الْيَمَنِ وَجُفَاةِ النَّاسِ قَالُوا: إِنَّ الصَّلَاةَ لِلْمُقِيمِ رَكْعَتَانِ، وَاحْتَجُّوا بِصَلَاتِي، وَقَدِ اتَّخَذْتُ بِمَكَّةَ أَهْلًا وَلِي بِالطَّائِفِ مَالٌ. فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: مَا فِي هَذَا عُذْرٌ، أَمَّا قَوْلُكَ: اتَّخَذْتُ بِهَا أَهْلًا، فَإِنَّ زَوْجَكَ بِالْمَدِينَةِ تَخْرُجُ بِهَا إِذَا شِئْتَ، وَإِنَّمَا تَسْكُنُ بِسُكْنَاكَ، وَأَمَّا مَالُكَ بِالطَّائِفِ فَبَيْنَكَ وَبَيْنَهُ مَسِيرَةُ ثَلَاثِ لَيَالٍ، وَأَمَّا قَوْلُكَ عَنْ حَاجِّ الْيَمَنِ وَغَيْرِهِمْ، فَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ -، يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ وَالْإِسْلَامُ قَلِيلٌ، ثُمَّ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَصَلَّوْا رَكْعَتَيْنِ وَقَدْ ضَرَبَ الْإِسْلَامُ بِجِرَانِهِ. فَقَالَ عُثْمَانُ: هَذَا رَأْيٌ رَأَيْتُهُ فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَلَقِيَ ابْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ: أَبَا مُحَمَّدٍ، غُيِّرَ مَا تَعْلَمُ. قَالَ: فَمَا أَصْنَعُ؟ قَالَ: اعْمَلْ بِمَا تَرَى وَتَعْلَمُ. فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: الخِلاَفُ شَرٌّ وَقَدْ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي أَرْبَعًا. فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: قَدْ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي رَكْعَتَيْنِ وَأَمَّا الْآنُ فَسَوْفَ أُصَلِّي أَرْبَعًا.
وَقِيلَ: كَانَ ذَلِكَ سَنَةَ ثَلَاثِينَ
"Pada tahun itu, Utsman menunaikan ibadah haji bersama kaum Muslimin. Dia mendirikan tenda di Mina, dan ini adalah pertama kalinya Utsman mendirikan tenda di Mina. Dia menyempurnakan shalat (4 rakaat) di sana dan di Arafah. Hal ini menjadi pembicaraan pertama yang menyebar di kalangan orang-orang tentang sholat Utsman secara terbuka, ketika dia menyempurnakan shalat di Mina.
Beberapa sahabat mencela hal tersebut, dan Ali berkata kepadanya:
'Belum pernah terjadi sesuatu yang baru, dan masa-masa yang sudah lama berlalu tidak pernah terjadi sesuatu . Aku telah menyaksikan Nabi -ﷺ-, Abu Bakar, dan Umar semuanya shalat dua rakaat, dan engkau pun di awal masa kekhalifahanmu shalat dua rakaat, maka aku tidak tahu apa yang membuatmu mengubahnya.'
Utsman menjawab: 'Ini adalah pendapat yang aku lihat (baik).'
Kabar tersebut sampai kepada Abdurrahman bin Auf yang sedang bersamanya, lalu ia datang dan berkata kepadanya:
'Bukankah engkau shalat di tempat ini bersama Rasulullah -ﷺ-, Abu Bakar, dan Umar dua rakaat, dan engkau sendiri juga shalat dua rakaat?'
Utsman menjawab: 'Benar, tetapi aku diberitahu bahwa sebagian dari orang-orang yang berhaji dari Yaman dan orang-orang yang jahil mengatakan bahwa shalat bagi orang yang menetap adalah dua rakaat, dan mereka berdalih dengan shalatku. Aku telah memiliki keluarga di Mekah dan memiliki harta (kebun) di Thaif.'
Abdurrahman berkata: 'Ini bukan alasan. Adapun perkataanmu: engkau telah memiliki keluarga di Mekah, istrimu ada di Madinah, engkau bisa membawanya bersamamu jika engkau mau, dan ia tinggal bersamamu tergantung di mana engkau tinggal. Adapun hartamu di Thaif, jaraknya tiga hari perjalanan dari sini. Mengenai perkataanmu tentang jamaah haji dari Yaman dan lainnya, Rasulullah -ﷺ- shalat dua rakaat ketika wahyu turun kepadanya dan Islam masih sedikit, kemudian Abu Bakar dan Umar juga shalat dua rakaat ketika Islam sudah menyebar luas.'
Utsman berkata: 'Ini adalah pendapat yang aku lihat (baik).'
Abdurrahman pergi dan bertemu dengan Ibnu Mas'ud, ia berkata: 'Wahai Abu Muhammad, apa yang engkau ketahui telah berubah.'
Ibnu Mas'ud menjawab: 'Apa yang harus aku lakukan?' Abdurrahman berkata: 'Lakukanlah apa yang engkau lihat dan ketahui.'
Ibnu Mas'ud berkata: 'Perselisihan itu buruk, maka aku shalat empat rakaat bersama sahabat-sahabatku.'
Abdurrahman berkata: 'Aku telah shalat dua rakaat bersama sahabat-sahabatku, tetapi sekarang aku akan shalat empat rakaat.'
Dikatakan bahwa hal ini terjadi pada tahun tiga puluh hijriah ."
=====
RIWAYAT KE SEMBILAN : Riwayat Tsabit bin Qutbah
Dari Tsabit bin Qutbah, ia berkata: Abdullah (yaitu Ibnu Mas'ud) berkata:
«عَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَالْجَمَاعَةِ فَإِنَّهَا حَبْلُ اللَّهِ الَّذِي أَمَرَ بِهِ، وَإِنَّ مَا تَكْرَهُونَ فِي الْجَمَاعَةِ خَيْرٌ مِمَّا تُحِبُّونَ فِي الْفُرْقَةِ»
'Wajib bagi kalian untuk taat dan bersatu bersama jamaah, karena itu adalah tali Allah yang Dia perintahkan, dan sesungguhnya apa yang kalian benci dalam persatuan (jamaah) lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan.'"
Lafadz lain :
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata :
«الْزَمُوا هَذِهِ الطَّاعَةَ وَالْجَمَاعَةَ
فَإِنَّهُ حَبْلُ اللَّهِ الَّذِي أَمَرَ بِهِ، وَأَنَّ مَا تَكْرَهُونَ فِي الْجَمَاعَةِ
خَيْرٌ مِمَّا تُحِبُّونَ فِي الْفُرْقَةِ »
“Tetaplah kalian konsisten pada ketaatan dan menjaga
persatuan jamaah (kaum muslimin), karena sesungguhnya itu adalah tali Allah
yang Dia perintahkan.
Dan sesungguhnya apa yang kalian benci dalam kebersatuan
jamaah (kaum muslimin) lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam
perpecahan”.
[HR. Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Hilyatul Awliya 9/249, ats-Tsa’laby dalam Tafsirnya 3/162, Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra no. 133 & 173, Al-Hakim dalam 'Al-Mustadrak' (4/555 no. 8663) secara panjang lebar, dan Al-Ajurri dalam 'Asy-Syari'ah' (1/123-124/17), dan Al-Lalaka'i dalam 'Syarh Ushul I'tiqad' (nomor: 158), dan Ibnu Abi Hatim dalam 'Tafsirnya' (3/723/3916), serta Ibnu Jarir ath-Thabari dalam 'Tafsirnya' (7/75-76/7579, 7580, 7581)].
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 8663 berkata:
“هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ،
وَلَمْ يُخْرِجَاهُ "
“Ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya,” dan Adz-Dzahabi menyepakatinya dalam Talkhish Al-Mustadrak.
Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/22 no. 9126 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ - يَأْتِي فِي كِتَابِ الْفِتَنِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ - وَفِيهِ ثَابِتُ بْنُ قُطْبَةَ وَلَمْ أَعْرِفْهُ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ
"Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam hadis panjang - yang akan datang di Kitab al-Fitan insya Allah - dan di dalamnya terdapat Tsabit bin Qutbah yang tidak aku ketahui, namun para perawi lainnya terpercaya."
Muhammad Abul Arqam al-Mashry berkata :
وَذُكِرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي الثِّقَاتِ ٤/ ٩٢ وَقَالَ الْعَجْلِيُّ: ثِقَةٌ (تَارِيخُ الثِّقَاتِ ص: ٩٠) وَرَوَى عَنْهُ جَمَاعَةٌ فَالْأَثَرُ صَحِيحٌ.
"Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats-Tsiqat 4/92, dan Al-'Ijli berkata: 'Dia (Tsabit) dipercaya' (Tarih ats-Tsiqat halaman: 90), dan sekelompok orang meriwayatkan darinya, jadi hadis ini sahih." [Baca : Footnote At-Tafsiir wal Mufassiruun Fii Ghorb Afriiqa 2/577]
Abu Abdullah ad-Daani Aal Zahwi berkata :
وَهَذَا إِسْنَادٌ حَسَنٌ. ثَابِتُ بْنُ قُطْبَةَ؛ وَثَقَّهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْعَجْلِيُّ، وَقَالَ ابْنُ سَعْدٍ فِي "الطَّبَقَاتِ" (٦/ ١٩٧): "كَانَ ثِقَةً كَثِيرَ الْحَدِيثِ". وَقَالَ الْحَاكِمُ: "صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ"! وَثَابِتُ بْنُ قُطْبَةَ لَمْ يَخْرُجَا لَهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
"Dan sanad ini adalah HASAN. Tsabit bin Qutbah; dipercaya oleh Ibnu Hibban dan Al-'Ijli, dan Ibnu Saad berkata dalam "At-Tabaqat" (6/197): 'Dia adalah orang yang dapat dipercaya dalam hadis.'
Dan Al-Hakim berkata: 'Sahih sesuai syarat dua syaikh!' Namun untuk Tsabit bin Qutbah, maka Bukhori dan Muslimin tidak meriwayatkan dari nya. Wallahu a’lam."
[Baca : Silsilah al-Atsar ash-Shahihah 1/71 no. 57].
Yasin al-Hamdani berkata :
صَحَّحَهُ الإِمَامُ الذَّهَبيُّ في التَّلْخِيص، رَوَاهُ الحَاكِمُ وَالطَّبرَانيُّ في الْكَبِير
"Dinilai shahih oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Talkhish-nya, diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir." [ Baca : Jawaahir min Aqwaalir Rasuul hal. 724 dan Mawsuu’ah ar-Raqaa’iq hal. 5872].
====
RIWAYAT KE SEPULUH : Riwayat Zirr bin Hubaisy
Dari Zirr bin Hubaisy : bahwa Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata :
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ
فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ فَاخْتَارَ مُحَمَّدًا ﷺ فَبَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ،
ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاخْتَارَ لَهُ أَصْحَابًا فَجَعَلَهُمْ
أَنْصَارَ دِينِهِ وَوُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، فَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا
فَهُوَ عِنْدُ اللَّهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَبِيحًا فَهُوَ عِنْدُ
اللَّهِ قَبِيحٌ
"Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya, lalu memilih Muhammad ﷺ dan mengutusnya dengan risalah, kemudian melihat hati hamba-hamba dan memilih bagi beliau para sahabat sebagai para penolong agama-Nya dan para menteri nabi-Nya.
Maka apa yang dipandang kaum Muslimin sebagai hal yang hasan
(baik), maka itu hasan (baik) di sisi Allah, dan apa yang dipandang kaum Muslimin
sebagai hal yang buruk, maka itu buruk di sisi Allah".
Lafadz Imam Ahmad :
إِنَّ اللهَ نَظَرَ
فِي قُلُوبِ العِبَادِ؛ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ ﷺ خَيْرَ قُلُوبِ العِبَادِ،
فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ، فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ
العِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ؛ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ العِبَادِ،
فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ، فَمَا رَأَى
الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا؛
فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ.
"Sesungguhnya Allah melihat ke dalam hati para hamba, lalu Dia mendapati hati Muhammad ﷺ adalah hati yang terbaik di antara hati para hamba, maka Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya.
Kemudian Allah melihat ke dalam hati
para hamba setelah hati Muhammad, lalu Dia mendapati hati para sahabatnya
adalah hati yang terbaik di antara hati para hamba, maka Allah menjadikan
mereka sebagai para pembantu Nabi-Nya, yang berperang untuk membela agama-Nya.
Maka apa yang dipandang (hasan) baik
oleh kaum muslimin, maka itu hasan (baik) di sisi Allah; dan apa yang mereka
pandang buruk, maka itu buruk di sisi Allah”.
TAKHRIJ HADITS :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad no.
3600, Al-Bazzar (130) (Zawaid), ath-Thabarani no. 9/118 no. 8582
dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.
Al-Hakim berkata: “Sanadnya sahih,
tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya”.
Al-Haitsami mencantumkannya dalam
*Majma’* (1/177-178) dan menisbatkannya kepada riwayat Ahmad, Al-Bazzar, dan
Ath-Thabrani. Lalu ia berkata: “Para perawinya terpercaya (رِجالُهُ مُوَثَّقونَ)”.
Dinilai hasan sanadnya oleh Syu’aib
al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 6/84 no. 3600. Al-Arna’uth berkata :
إِسْنَادُهُ حَسَنٌ
مِنْ أَجْلِ عَاصِمٍ -وَهُوَ ابْنُ أَبِي النَّجُودِ-، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ
ثِقَاتٌ رِجَالُ الشَّيْخَيْنِ غَيْرَ أَبِي بَكْرٍ -وَهُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ-،
فَمِنْ رِجَالِ الْبُخَارِيِّ، وَأَخْرَجَ لَهُ مُسْلِمٌ فِي
"الْمُقَدِّمَةِ".
“Sanadnya hasan karena ada Aashim
(yaitu Ibnu Abi an-Najud), sedangkan perawi lainnya adalah perawi-perawi yang
tsiqah dari kalangan perawi dua Syaikh (al-Bukhari dan Muslim), kecuali Abu
Bakar (yaitu Ibnu Ayyasy), ia termasuk perawi al-Bukhari, dan Muslim
meriwayatkan darinya dalam “Muqaddimah”.
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi dalam
Kitab al-Madkhal dan Kitab al-I‘tiqad, diriwayatkan pula oleh Ath-Thayalisi
dalam Musnad-nya, Al-Bazzar dalam Musnad-nya, Ath-Thabrani dalam Al-Mu‘jam
al-Kabir, dan Ahmad secara mauquf dari Ibnu Mas‘ud. [LihatNasbur Royah karya
Az-Zaila‘i, 4/133 dan Kasyf al-Khafa karya al-‘Ajluni, 2/188]
Abdur Rozaq al-Afifi dalam Tahqiq
al-Ihkam karya al-Aaamidi 4/156 berkata :
قَالَ
الْعَجْلُونِيُّ فِي كَشْفِ الْخَفَاءِ: وَهُوَ مَوْقُوفٌ حَسَنٌ، ثُمَّ نُقِلَ
عَنِ الْحَافِظِ ابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ أَنَّهُ رُوِيَ مَرْفُوعًا عَنْ أَنَسٍ
بِإِسْنَادٍ سَاقِطٍ، وَالْأَصَحُّ وَقْفُهُ عَلَى ابْنِ مَسْعُودٍ
“Al-Ajluni berkata dalam kitab *Kasyf
al-Khafa*: “Hadits ini adalah Hadits mauquf yang hasan.” Kemudian dinukil
darinya bahwa al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan Hadits ini diriwayatkan
secara marfu’ dari Anas dengan sanad yang lemah sekali. Namun yang lebih shahih
adalah riwayat mauquf pada Ibnu Mas’ud”.
Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad
3/505 berkata :
إِسْنَادُهُ
صَحِيحٌ، وَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى ابْنِ مَسْعُودٍ.
“Sanadnya sahih, dan Hadits ini berhenti pada Ibnu Mas‘ud (mauquf)”.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa:
فَالْوَاجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ إذَا صَارَ فِي مَدِينَةٍ مِنْ مَدَائِنِ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَهُمْ الْجُمُعَةَ وَالْجَمَاعَةَ وَيُوَالِيَ الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يُعَادِيَهُمْ وَإِنْ رَأَى بَعْضَهُمْ ضَالًّا أَوْ غَاوِيًا وَأَمْكَنَ أَنْ يَهْدِيَهُ وَيُرْشِدَهُ فَعَلَ ذَلِكَ وَإِلَّا فَلَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَهَا
"Kewajiban bagi seorang Muslim ketika berada di sebuah daerah di antara daerah-daerah kaum muslimin adalah untuk shalat Jumat bersama mereka, shalat berjamaah, serta bersikap loyal kepada para mukmin dan tidak memusuhi mereka.
Jika dia melihat seseorang di antara mereka sesat atau bermaksiat dan memungkinkan dirinya bisa membimbingnya dan memberinya petunjuk, maka lakukanlah hal tersebut. Jika tidak, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya."
[Baca : Majmu’ al-Fatawa 3/286]
*******
PERKATAAN ABU DZAR “PERSELISIHAN ITU LEBIH DAHSYAT (DAMPAK BURUKNYA)”.
Diriwayatkan dari Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani, dari seorang lelaki, ia berkata:
كُنَّا قَدْ حَمَلْنَا لِأَبِي ذَرٍّ، شَيْئًا نُرِيدُ أَنْ نُعْطِيَهُ إِيَّاهُ، فَأَتَيْنَا الرَّبَذَةَ فَسَأَلْنَا عَنْهُ فَلَمْ نَجِدْهُ، قِيلَ: اسْتَأْذَنَ فِي الْحَجِّ، فَأُذِنَ لَهُ، فَأَتَيْنَاهُ بِالْبَلْدَةِ، وَهِيَ مِنًى، فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ إِذْ قِيلَ لَهُ: إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّى أَرْبَعًا، فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَبِي ذَرٍّ، وَقَالَ قَوْلًا شَدِيدًا، وَقَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَصَلَّيْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. ثُمَّ قَامَ أَبُو ذَرٍّ فَصَلَّى أَرْبَعًا، فَقِيلَ لَهُ: عِبْتَ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ شَيْئًا، ثُمَّ صنعتَه قَالَ: الخِلاَفُ أَشَدُّ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ خَطَبَنَا فَقَالَ: "إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ، وَلَيْسَ بِمَقْبُولٍ مِنْهُ تَوْبَةٌ حَتَّى يَسُدَّ ثُلْمَتَهُ الَّتِي ثَلَمَ، وَلَيْسَ بِفَاعِلٍ، ثُمَّ يَعُودُ فَيَكُونُ فِيمَنْ يُعِزُّهُ "
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ لَا يَغْلِبُونَا عَلَى ثَلَاثٍ: أَنْ نَأْمُرَ بِالْمَعْرُوفِ، وَنَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَنُعَلِّمَ النَّاسَ السُّنَنَ
Kami pernah membawa sesuatu untuk Abu Dzar yang ingin kami berikan kepadanya. Kami datang ke Ar-Rabdzah dan bertanya tentangnya, tetapi kami tidak menemukannya. Dikatakan kepada kami bahwa dia telah meminta izin untuk haji dan diizinkan. Maka kami mendatanginya dan bertemu di sebuah daerah, yaitu Mina.
Ketika kami bersamanya, tiba-tiba ada yang berkata kepadanya: "Sesungguhnya Utsman shalat empat rakaat," hal itu membuat Abu Dzar sangat marah dan dia mengucapkan kata-kata yang keras.
Dia berkata: "Aku shalat bersama Rasulullah ﷺ dan beliau shalat dua rakaat. Aku juga shalat bersama Abu Bakar dan Umar."
Namun kemudian Abu Dzar berdiri dan ikut shalat empat rakaat. Lalu tanyakan kepadanya: "Engkau mencela Amirul Mukminin tentang itu, tetapi kemudian engkau sendiri melakukannya."
Dia menjawab: "Perselisihan itu lebih dahsyat (dampak buruknya). Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda: 'Akan ada penguasa setelahku, maka janganlah kalian merendahkan mereka. Barangsiapa yang merendahkan mereka, maka dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya, dan taubatnya tidak akan diterima hingga dia menutupi perpecahan dan kerusakan yang telah dia buat, dan dia tidak melakukannya lagi, kemudian dia kembali dan berada di antara orang-orang yang memuliakan penguasa tersebut.'
Rasulullah ﷺ memerintahkan kami agar tidak mengalah dalam tiga hal: memerintahkan yang ma'ruf, melarang yang mungkar, dan mengajarkan sunnah kepada manusia.
(Driwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 35/364. No. 21460.)
Syu'aib Al-Arna'ut berkata:
إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ لِإِبْهَامِ الرَّاوِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ، وَالْقَاسِمُ بْنُ عَوْفٍ الشَّيْبَانِيُّ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الثِّقَاتِ"، وَضَعَّفَهُ النَّسَائِيُّ، وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ مُضْطَرِبُ الحَدِيثِ وَمَحَلُّهُ عِنْدِي الصِّدْقُ.
Sanadnya lemah karena ketidakjelasan perawi dari Abu Dzar, dan Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani disebut oleh Ibnu Hibban dalam "Ats-Tsiqat", tetapi dilemahkan oleh An-Nasa'i, dan Abu Hatim yang berkata : haditsnya muththorib (goncang) dan kedudukannya menurutku : dia adalah seorang yang jujur. [Baca : Musnad 35/364. No. 21460].
*****
HADITS ABU HURAIRAH : “ JANGANLAH KALIAN BERPECAH BELAH”.
Dari [Abu Hurairah] dia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا ، وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا : فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةِ الْمَالِ".
"Sesungguhnya Allah menyukai bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara :
[] Dia menyukai kalian hanya menyembah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
[] Kalian berpegang teguh dengan agama-Nya dan janganlah kalian berpecah belah.
[] Dan Allah membenci kalian dari mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta." [HR. Muslim no. 3236]
******
HADITS NU’MAN BIN BASYIR : “BERCERAI BERAI ADALAH ADZAB”.
Dari Nu'man bin Basyir, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ»
'Kebersamaan adalah rahmat dan perpecahan adalah azab.'"
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/278 dan 4/375, serta anaknya dalam "Zawaid" 4/375, dan al-Quda'i dalam Musnad asy-Syihab 1/43 nomor 15, dan Ibn Abi ad-Dunya dalam "Qadha al-Hawaij" 78, serta Ibn Abi Asim dalam "As-Sunnah" 93, dan al-'Aqili dalam "Adh-Dhu'afa al-Kabir" 4/429, serta Abu ash-Sheikh al-Asbahani dalam "Amtsal al-Hadith" nomor 111, dan al-Baihaqi dalam "Asy-Syu'ab" 4419, serta Ibn Batta dalam "Al-Ibanah al-Kubra" nomor 117, dan al-Khiraithi dalam "Fadilah asy-Syukr" 83, dan al-Bazzar sebagaimana dalam "Kasyf al-Astar" nomor 1637.
Al-Haitsami berkata dalam "Majma' az-Zawaid" (8/182):
رَوَاهُ عَبْدُ اللهِ، وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمٰنِ رَاوِيهِ عَنِ الشَّعْبِيِّ لَمْ أَعْرِفْهُ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.
"Hadis ini diriwayatkan oleh Abdullah, dan Abu Abdurrahman yang meriwayatkannya dari asy-Sya'bi tidak aku ketahui, namun para perawi lainnya adalah terpercaya."
Badruddin az-Zarkasyi dalam "At-Tazkirah" halaman 77 berkata:
وَفِي سَنَده الْجراح بن وَكِيع قَالَ الدَّارَقُطْنِيّ لَيْسَ بِشَيْء
"Dalam sanadnya terdapat al-Jarrah bin Wakih, yang menurut ad-Daraquthni adalah perawi yang lemah."
Hadis ini juga dilemahkan oleh al-'Ajlouni dalam "Kasyf al-Khafa" 1/398, dan az-Zarkasyi dalam "Al-La'ali al-Manthurah" halaman 77, serta Muhammad Jarallah as-Sa'di dalam "An-Nawafih al-'Atrah" nomor 116, dan as-Saffarini al-Hanbali dalam "Syarh Kitab asy-Syihab" halaman 39, serta as-Sakhawi dalam "Al-Maqasid al-Hasanah" halaman 754, dan as-Suyuthi dalam "Ad-Durar al-Muntatsirah" nomor 177, serta al-'Azizi dalam "As-Siraj al-Munir" 3/81, dan lainnya.
Namun hadis ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam "Shahih al-Jami'" (3109).
Berdasarkan hadits ini, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata :
"
وَإِذَا تَفَرَّقَ
الْقَوْمُ فَسَدُوا وَهَلَكُوا . وَإِذَا اجْتَمَعُوا صَلَحُوا وَمَلَكُوا . فَإِنَّ
الْجَمَاعَةَ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ".
"Dan jika suatu kaum bercerai-berai dan pecah belah, mereka akan rusak dan binasa. Jika mereka bersatu, mereka akan menjadi baik dan berkuasa. Sesungguhnya kebersamaan adalah rahmat, dan perpecahan adalah azab." [ Baca : Majmu’ al-Fatawa 19/217].
******
SYARAH ATSAR IBNU MAS’UD : “ PERSELISIHAN ITU BURUK”.
===
PENJELASAN ABU AL-HUSAIN AL-BAGHDADI :
Penjelasan Abu Al-Husain Al-Baghdadi Al-Quduri dalam At-Tajrid 2/887 nomor 3465, tentang sikap Ibnu Mas’ud, dia berkata :
وَلَا يُقَالُ: رُوِيَ أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ أَنْكَرَ عَلَيْهِ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى بِهِمْ أَرْبَعًا، فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ؛ فَقَالَ: الخِلاَفُ شَرٌّ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ مِنْ جُمْلَةِ الْجُنْدِ، فَحَمَلَ أَمْرَ عُثْمَانَ عَلَى أَنَّهُ نَوَى الْإِقَامَةَ بِمَكَّةَ كَمَا قَالَ الزُّهْرِيُّ، فَصَارَ مُقِيمًا بِإِقَامَةِ إِمَامِهِ، وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِهِ: الخِلاَفُ شَرٌّ، أَيْ: لَا يَجُوزُ مُخَالَفَةُ الْإِمَامِ فِي النِّيَّةِ.
Dan tidak dikatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengingkarinya, lalu ia bangkit dan shalat empat rakaat bersama mereka. Ketika hal itu dikatakan kepadanya, ia berkata: “Perselisihan itu buruk.” Hal ini karena Ibnu Mas’ud adalah bagian dari pasukan, maka ia menganggap bahwa Utsman berniat mukim di Mekah sebagaimana yang dikatakan oleh Az-Zuhri. Maka, ia menjadi mukim dengan niat imamnya. Inilah makna ucapannya: “Perselisihan itu buruk,” yaitu: tidak boleh menyalahi imam dalam niat shalat.
===
PENJELASAN ALAWI AS-SAQQAAF :
Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata dalam ad-Durar as-Saniyyah:
الأمورُ الشَّرعيَّةُ يَنبغي التَّحرُّزُ والاحتياطُ فيها، وخاصَّةً إذا وُجِد بينَ النَّاس مَن لا يَستطيعُ فَهْمَ الأمورِ على حَقيقتِها أو ليس لدَيه العِلمُ الكافي الَّذي يُؤهِّلُه لِمَعرفةِ العَزائمِ والرُّخَصِ في الشَّرعِ ومَعرِفةِ أوقاتِها، وكذلك فإنَّ لإِمامِ المسلِمين أن يَأخُذَ بما يَراه في صالحِ النَّاسِ، ويَنبَغي السَّمعُ له والطَّاعةُ.
وفي هذا الحديثِ يَقولُ عبدُ الرَّحمنِ بنُ يَزيدَ: "صلَّى عُثمانُ بمِنًى أربعًا"، أي: صلَّى عثمانُ بنُ عفَّانَ الصَّلاةَ الرُّباعيَّةَ تامَّةً في أيَّامِ مِنًى مِن أيَّامِ الحجِّ ولم يَقصُرْها لرَكعتَينِ، كما فعَل النَّبيُّ ﷺ.
وإتمامُ عُثمانَ كان اجتِهادًا منه؛ لأنَّه اعتقَدَ أنَّ النبيَّ ﷺ قَصَر الصَّلاةَ لَمَّا خُيِّرَ بين القصرِ والإتمامِ؛ فاختار الأيسرَ مِن ذلك على أمَّته، فأخذ عثمان في نفسه بالشِّدَّةِ وترَكَ الرُّخصةَ؛ إذ كان ذلك مباحًا له في حُكمِ التَّخييرِ فيما أذِنَ اللهُ تعالى فيه.
وقيل -كما في روايةٍ أخرى-: "إنَّ عُثمانَ بنَ عفَّانَ أتمَّ الصَّلاة بمِنًى مِن أجلِ الأعرابِ؛ لأنَّهم كثُروا عامَئذٍ فصلَّى بالناسِ أربعًا؛ ليُعلمهم أنَّ الصَّلاةَ أربعٌ"، فأتمَّ لأنَّ النَّاسَ كَثُروا ويَأخُذون في الحجِّ أمورَ الدِّينِ مِن الأئمَّةِ والعُلماءِ، فخافَ أنْ يتَصوَّرَ البعضُ أنَّ الصَّلاةَ ركعتَانِ فقَطْ، فأتَمَّ الصَّلاةَ الرُّباعيَّةَ؛ حتَّى يتَعلَّمَها الجُهَّالُ والأعرابُ، وقِيلَ غير ذلك.
فقال عبدُ اللهِ بنُ مسعودٍ رَضِي اللهُ عَنْه: "صلَّيتُ معَ النَّبيِّ ﷺ ركعَتَينِ ومعَ أبي بَكرٍ رَكعَتَينِ ومع عُمرَ ركعتَين- زادَ عن حفصٍ"، وهو ابنُ غِياثٍ أي: زاد في روايتِه: "ومَع عُثمانَ صدرًا مِن إمارتِه، ثمَّ أتَمَّها"، أي: كانوا يَقصُرون الصَّلاةَ الَّتي أتَمَّها عُثمانُ في آخِرِ أمرِه.
“زاد من هاهنا عن أبي معاويةَ" وهو محمَّدُ بنُ خازِمٍ، أي: زاد في روايته: “ثُمَّ تفَرَّقَت بكُم الطُّرقُ"، أي: اختَلَفتُم فمِنْكم مَن يَقصُرُ ومِنكم مَن لا يَقصُرُ؛ "فلَوَدِدتُ أنَّ لي مِن أربعِ ركعاتٍ ركعَتَينِ مُتقبَّلَتَين"، أي: تَمنَّيتُ مِن فِعلِ عُثمانَ أن يتَقبَّلَ اللهُ منِّي ركعتَين بدَلًا مِن الأربَعِ.
“قال الأعمشُ: فحدَّثَني مُعاويةُ بنُ قُرَّةَ عن أشياخِه: "أنَّ عبدَ الله"، وهو ابنُ مسعودٍ "صلَّى أربعًا، فقيلَ له: عِبتَ على عُثمانَ ثمَّ صلَّيتَ أربعًا"، أي: فعَلتَ ما كنتَ تَعيبُه على عثمانَ بنِ عفَّانَ، فقال عبدُ اللهِ: "الخِلاَفُ شرٌّ"، أي: إنَّ الخِلاَفُ بينَ المسلِمين في ذلك الموطنِ شرٌّ وأعظمُ مِن الإصرارِ على الرَّكعتَينِ ومُخالَفةِ الإمامِ؛ إشارةً إلى جَوازِ الإتمامِ وهو خِلافُ الأَوْلى، وهذا مبدَأٌ عظيمٌ، وخاصَّةً في الأمورِ الاجتهاديَّةِ الَّتي تَحتَمِلُ أكثرَ مِن وجهٍ، وعلى العُلماءِ أن يَلتَزِموا بما اختارَه وليُّ الأمرِ لِمَا رأَى فيه مِن المصلَحةِ.
وفي الحديثِ: بيانُ ضَرورةِ طاعةِ ولِيِّ الأمرِ فيما اجتَهَد فيه؛ ما دام لم يُخالِفْ نَصًّا ولم يَبتَدِعْ.
وفيه: أنَّ لِوَليِّ الأمرِ أن يُراعِيَ المصلحةَ العامَّةَ للمُسلِمين.
“Hal-hal yang berkaitan dengan syariat harus ditangani dengan hati-hati dan cermat, terutama jika ada di antara orang-orang yang tidak dapat memahami masalah dengan sebenarnya atau tidak memiliki pengetahuan yang cukup yang memungkinkannya memahami keputusan-keputusan tetap (azimah) dan keringanan (rukhshah) dalam syariat dan mengetahui waktunya. Selain itu, seorang pemimpin Muslim berhak mengambil keputusan yang dianggapnya terbaik untuk masyarakat, dan wajib didengar serta dipatuhi oleh mereka.
Dalam hadits ini, Abdurrahman bin Yazid berkata:
"صلَّى عُثمانُ بمِنًى أربعًا"
‘Utsman shalat empat rakaat di Mina,’
Maksudnya Utsman bin Affan melaksanakan shalat empat rakaat secara sempurna di hari-hari Mina pada saat haji dan tidak mengqoshornya menjadi dua rakaat, seperti yang dilakukan Nabi ﷺ.
Penyempurnaan shalat 4 rakaat oleh Utsman adalah hasil ijtihadnya; karena ia berpendapat bahwa Nabi ﷺ mengqoshor shalat ketika diberi pilihan antara mengqosornya 2 rakaat dan menyempurnakannya 4 rakaat ; beliau memilih yang lebih mudah bagi umatnya.
Utsman memilih untuk berpegang pada yang lebih ketat dan meninggalkan keringanan; karena hal itu diizinkan baginya dalam masalah yang diberi pilihan oleh Allah Ta’ala.
Dan dikatakan pula -sebagaimana dalam riwayat lain-:
"إنَّ عُثمانَ بنَ عفَّانَ أتمَّ الصَّلاة بمِنًى مِن أجلِ الأعرابِ؛ لأنَّهم كثُروا عامَئذٍ فصلَّى بالناسِ أربعًا؛ ليُعلمهم أنَّ الصَّلاةَ أربعٌ"
‘Sesungguhnya Utsman bin Affan menyempurnakan shalat 4 rakaat di Mina karena adanya orang-orang Arab badui yang banyak pada waktu itu, maka Utsman sengaja shalat empat rakaat bersama mereka untuk mengajarkan bahwa shalat itu empat rakaat’.
Dia menyempurnakan 4 rakaat karena banyaknya orang dan mereka ingin belajar agama dari para imam dan ulama selama haji. Ia khawatir ada yang beranggapan bahwa shalat hanya dua rakaat saja, maka ia menyempurnakan shalat empat rakaat untuk mengajarkan kepada orang-orang awam dan badui, dan ada juga alasan lain.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
"صلَّيتُ معَ النَّبيِّ ﷺ ركعَتَينِ ومعَ أبي بَكرٍ رَكعَتَينِ ومع عُمرَ ركعتَين
‘Aku shalat dua rakaat bersama Nabi ﷺ, dua rakaat bersama Abu Bakar, dan dua rakaat bersama Umar.’
Hafsh bin Ghiyats menambahkan dalam riwayatnya:
"ومَع عُثمانَ صدرًا مِن إمارتِه، ثمَّ أتَمَّها"
‘Dan bersama Utsman pada awal kepemimpinannya, kemudian ia menyempurnakannya 4 rakaat ‘.
Artinya mereka mengqosor shalat yang kemudian disempurnakan 4 rakaat oleh Utsman di akhir masa kepemimpinannya.”
Terdapat tambahan dari Abu Muawiyah dari sini,” yaitu Muhammad bin Khazim, artinya: ditambahkan dalam riwayatnya:
ثُمَّ تفَرَّقَت بكُم الطُّرقُ"
“Kemudian jalan kalian berbeda-beda,”
Yaitu: kalian berbeda pendapat, di antara kalian ada yang mengqosor shalat dan ada pula yang tidak mengqosor;
فلَوَدِدتُ أنَّ لي مِن أربعِ ركعاتٍ ركعَتَينِ مُتقبَّلَتَين
“Maka aku berharap agar dari empat rakaat ini aku mendapatkan dua rakaat yang diterima,” artinya: aku berharap dari tindakan Utsman agar Allah menerima dariku dua rakaat sebagai ganti dari empat rakaat.
“Al-A’masy berkata: Maka Muawiyah bin Qurrah menceritakan kepadaku dari para syekh-nya: ‘Bahwa Abdullah,’ yaitu Ibnu Mas’ud, ‘shalat empat rakaat, lalu dikatakan kepadanya: Engkau mencela Utsman akan tetapi engkau shalat empat rakaat,’ artinya: engkau melakukan apa yang dahulu engkau cela pada Utsman bin Affan.
Abdullah menjawab : ‘Perpecahan itu buruk,’ artinya: perpecahan di antara kaum Muslimin di tempat tersebut lebih buruk dan lebih besar daripada bersikeras pada dua rakaat dan menentang imam.
Ini menunjukkan kebolehan menyempurnakan shalat 4 rakaat meskipun hal tersebut bertentangan dengan yang lebih utama. Ini adalah prinsip yang penting, terutama dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang bisa memiliki lebih dari satu pendapat, dan para ulama harus mematuhi apa yang dipilih oleh pemimpin karena ia melihat adanya kemaslahatan.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang pentingnya ketaatan kepada pemimpin dalam hal yang diijtihadkan; selama tidak bertentangan dengan nash syariat dan tidak merupakan bid’ah.
Selain itu, hadits ini menunjukkan bahwa pemimpin berhak mempertimbangkan kemaslahatan umum bagi kaum Muslimin.” [SELESAI KUTIPAN DARI AS-SAQQAF]
=====
PENJELASAN ABU NU’AIM AL-ASHBAHAANI :
Abu Nu'aim al-Ashbahani berkata dalam "Tatsbit al-Imamah wa Tartib al-Khilafah" hal 311 no. 115 :
وَقَدْ رَأَى جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ إِتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ مِنْهُمْ: عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَعَنْ أَبِيهَا، وَعُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَسَلْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ. وَإِنَّ الَّذِي حَمَلَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْإِتْمَامِ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ قَوْمًا مِنَ الْأَعْرَابِ مِمَّنْ شَهِدُوا مَعَهُ الصَّلَاةَ بِمِنًي رَجَعُوا إِلَى قَوْمِهِمْ فَقَالُوا: الصَّلَاةُ رَكْعَتَانِ، كَذَلِكَ صَلَّيْنَاهَا مَعَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمِنًى. فَلِأَجْلِ ذَلِكَ صَلَّى أَرْبَعًا ليعلمهم مَا يستنوا بِهِ للْخِلَافَ وَالِاشْتِبَاهَ. وَكَذَلِكَ فَعَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي أَمْرِ الْحَجِّ، نَهَاهُمْ عَنِ التَّمَتُّعِ، وَأَنْ يَجْمَعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ مَعَ عِلْمِهِ وَمُشَاهَدَتِهِ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا. وَكَانَ ابْنُهُ عَبْدُ اللَّهِ يُخَالِفُهُ وَيَقُولُ: سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَقُّ أَنْ تُتَّبَعَ. وَتَابَعَهُ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ وَعَامَّةُ الصَّحَابَةِ عَلَى تَرْكِ الْجَمْعِ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ مَعَ عِلْمِهِمْ بِفِعْلِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَإِقَامَتِهِ عَلَى الْإِحْرَامِ حِينَ دَخَلَ مَكَّةَ مَعْتَمِرًا حَتَّى فَرَغَ مِنْ إِقَامَةِ الْمَنَاسِكِ، وَلَمْ يَعُدُّوا ذَلِكَ خِلَافًا مِنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَلَمْ يُظْهِرُوا إِنْكَارًا عَلَيْهِ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ مَوْضِعَ الْإِنْكَارِ لَأَنْكَرُوهُ وَلَمَا تَابَعُوهُ عَلَى رَأْيِهِ. فَإِنْ عَادَ لِلطَّعْنِ عليه بِأَنَّهُ أَمَرَ للنَّاسَ بِالْعَطَاءِ مِنْ مَالِ الصَّدَقَةِ وَأَنَّ النَّاسَ أَنْكَرُوهُ.
قِيلَ: عُثْمَانُ أَعْلَمُ مِمَّنْ أَنْكَرَ عَلَيْهِ، وَلِلْأَئِمَّةِ إِذَا رَأَوُا الْمَصْلَحَةَ لِلرَّعِيَّةِ فِي شَيْءٍ أَنْ يَفْعَلُوهُ، وَلَا يُجْعَلُ إِنْكَارُ مَنْ جَهِلَ الْمَصْلَحَةَ حُجَّةً عَلَى مَنْ عَرَفَهَا، وَلَا يَخْلُو زَمَانٌ مِنْ قَوْمٍ يَجْهَلُونَ وَيُنْكِرُونَ الْحَقَّ مِنْ حَيْثِ لَا يَعْرِفُونَ، وَلَا يَلْزَمُ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِيمَا أَمَرَ بِهِ إِنْكَارٌ لِمَا رَأَى مِنَ الْمَصْلَحَةِ، فَقَدْ فَرَّقَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ يَوْمَ الْجِعْرَانَةِ وَتَرَكَ الْأَنْصَارَ لِمَا رَأَى مِنَ الْمَصْلَحَةِ حَتَّى قَالَ قَائِلُهُمْ: تُقْسَمُ غَنَائِمُنَا فِي النَّاسِ وَسُيُوفُنَا تَقْطُرُ مِنْ دِمَائِهِمْ. فَكَانَ الَّذِي دَعَاهُمْ إِلَى الْإِنْكَارِ عَلَى مَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قِلَّةُ مَعْرِفَتِهِمْ بِمَا رَأَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنَ الْمَصْلَحَةِ فِيمَا قَسَمَ. وَكَانَ ذَلِكَ أَعْظَمَ مِنْ إِنْكَارِ مَنْ أَنْكَرَ عَلَى عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ لِأَنَّ مَالَ الْمُؤَلَّفَةِ مِنَ الْغَنِيمَةِ فَلَا يَلْزَمُ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ إِنْكَارِ مَنْ أَنْكَرَ عَلَيْهِ شَيْئًا إِلَّا مَا لَزِمَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، حِينَ رَأَى الْمَصْلَحَةَ فِيمَا فَعَلَ اقْتِدَاءً بِنَبِيِّهِ ﷺ. فَإِنْ قَالَ: قائل: إِنَّمَا الَّذِي أَعْطَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنَ الْخُمْسِ. قِيلَ لَهُ: لَوْ كَانَ مِنَ الْخُمْسِ لَمَا أَنْكَرَتْ عَلَيْهِ الْأَنْصَارُ ذَلِكَ وَلَمَا قَالَتْ: غَنَائِمُنَا، وَلَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لِمَ أَنْكَرْتُمْ، إِنَّمَا أَعْطَيْتُهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ، أَلَا تَرَاهُ ﷺ اسْتَمَالَ بِقُلُوبِهِمْ حِينَ قَالَ لَهُمْ: «أَلَا تَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالْأَمْوَالِ وَتَذْهَبُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - إِلَى بُيُوتِكُمْ» قَالُوا: رَضِينَا
"Dan sekelompok sahabat telah berpandangan bolehnya menyempurnakan shalat 4 rakaat dalam safar (perjalanan) , di antaranya: Aisyah radhiyallahu anha dan ayahnya, Utsman radhiyallahu anhu, Salman radhiyallahu anhu, dan empat belas sahabat Rasulullah ﷺ lainnya.
Dan yang mendorong Utsman radhiyallahu anhu untuk menyempurnakan shalat 4 rakaat adalah bahwa ia mendengar bahwa sekelompok Arab Badui yang ikut shalat bersamanya di Mina, mereka kembali kepada kaumnya dan berkata: 'Shalat itu dua rakaat, demikianlah kami shalat bersama Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiyallahu anhu di Mina.'
Oleh karena itu, ia shalat empat rakaat untuk mengajari mereka agar tidak bingung dan tidak terjadi perbedaan.
Begitu juga Umar radhiyallahu anhu dalam urusan haji, ia melarang mereka untuk melakukan tamattu’ dan menggabungkan haji dan umrah dalam bulan-bulan haji, meskipun ia mengetahui dan menyaksikan bahwa Rasulullah ﷺ menggabungkan keduanya.
Dan putranya Abdullah menentangnya dan berkata: 'Sunnah Rasulullah ﷺ lebih layak diikuti.'
Abu Musa al-Asy'ari dan mayoritas sahabat mengikuti Abdullah dalam meninggalkan penggabungan haji dan umrah, meskipun mereka mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ melakukannya dan tetap dalam ihram ketika masuk Mekah untuk umrah sampai selesai menjalankan manasik.
Mereka tidak menganggap itu sebagai perbedaan dengan Umar radhiyallahu anhu, dan tidak menunjukkan penolakan padanya. Jika itu adalah hal yang perlu ditolak, maka mereka pasti akan menolaknya dan tidak akan mengikutinya dalam pendapatnya.
Jadi, jika dia kembali mencelanya maka sesungguhnya beliau memerintahkan orang-orang untuk memberi sedekah dari harta zakatnya, dan orang-orang pun mengingkarinya."
"Ada yang berkata : “Utsman lebih mengetahui daripada orang yang mengingkari tindakannya”. Dan para pemimpin, jika mereka melihat ada maslahat (kepentingan) bagi rakyat dalam suatu hal, maka mereka boleh mengamalkannya.
Argumen orang yang mengingkari sesuatu karena kebodohannya tentang maslahat, tidak bisa dijadikan hujjah terhadap orang yang mengetahuinya.
Tidak ada zaman yang lepas dari adanya sekelompok orang-orang bodoh yang mengingkari kebenaran karena mereka tidak memahaminya.
Tidak wajib bagi Utsman radhiyallahu anhu untuk mengindahkan pengingkaran terhadap apa yang ia perintahkan, jika ia melihat adanya maslahat. Karena Rasulullah ﷺ pun pernah membagikan harta rampasan perang Hunain kepada para mu’allaf (orang-orang yang hatinya perlu dijinakkan) di Ji'ranah, dan tidak membagikannya pada kaum Anshar karena melihat adanya maslahat, sampai salah seorang dari mereka berkata:
تُقْسَمُ غَنَائِمُنَا فِي النَّاسِ وَسُيُوفُنَا تَقْطُرُ مِنْ دِمَائِهِمْ
'Rampasan perang kami dibagikan kepada orang-orang, sementara pedang kami masih meneteskan darah mereka.'
Yang mendorong mereka untuk mengingkari apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ adalah kurangnya pengetahuan mereka tentang maslahat yang dilihat oleh Rasulullah ﷺ dalam pembagiannya.
Itu adalah pengingkaran yang lebih besar daripada orang yang mengingkari Utsman radhiyallahu anhu, karena harta yang diberikan kepada para mua’llaf (orang-orang yang hatinya perlu dijinakkan) itu adalah harta dari rampasan perang.
Jadi, tidak wajib bagi Utsman radhiyallahu anhu untuk mengindahkan penolakan orang yang mengingkarinya kecuali apa yang diwajibkan bagi Rasulullah ﷺ ketika melihat maslahat dalam tindakannya, ini dalam rangka mengikuti Nabi-Nya ﷺ.
Jika ada yang berkata: 'Yang diberikan oleh Rasulullah ﷺ hanyalah dari seperlimanya.'
Maka dikatakan kepadanya: 'Jika itu dari seperlima, kaum Anshar tidak akan mengingkari dengan mengatakan : 'Ini adalah rampasan perang kami.'
Dan Rasulullah ﷺ tidak akan mengatakan kepada mereka:
لِمَ أَنْكَرْتُمْ، إِنَّمَا أَعْطَيْتُهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ،
'Kenapa kalian mengingkari, saya hanya memberikannya dari harta Allah?'
Tidakkah kamu melihat bahwa Rasulullah ﷺ berusaha meluluhkan hati mereka ketika beliau berkata kepada mereka:
«أَلَا تَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالْأَمْوَالِ وَتَذْهَبُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - إِلَى بُيُوتِكُمْ» قَالُوا: رَضِينَا
'Tidakkah kalian rela (ridho) orang-orang pergi dengan harta sementara kalian pergi dengan Rasulullah ﷺ ke rumah kalian?' Mereka berkata: 'Kami rela.'"
*****
UTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' al-Fatawa 22/407:
وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْصِدَ إلَى تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ بِتَرْكِ هَذِهِ الْمُسْتَحَبَّاتِ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ أَعْظَمُ مِنْ مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ ﷺ تَغْيِيرَ بِنَاءِ الْبَيْتِ لِمَا فِي إبْقَائِهِ مِنْ تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَكَمَا أَنْكَرَ ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى عُثْمَانَ إتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ ثُمَّ صَلَّى خَلْفَهُ مُتِمًّا. وَقَالَ الخِلاَفُ شَرٌّ. وَهَذَا وَإِنْ كَانَ وَجْهًا حَسَنًا
"Disunnahkan bagi seseorang untuk mengutamakan penyatuan hati dengan meninggalkan hal-hal yang disunnahkan ini, karena manfaat penyatuan hati dalam agama lebih besar daripada manfaat melakukan hal semacam ini. Sebagaimana Nabi ﷺ meninggalkan perubahan bangunan Ka'bah karena manfaat menjaga persatuan hati lebih besar. Juga seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud yang mengingkari perbuatan Utsman yang menyempurnakan shalat 4 rakaat dalam safar (perjalanan), kemudian dia shalat di belakangnya dengan sempurna 4 rakaat .
Dia berkata, 'Perselisihan adalah keburukan.' Ini adalah pandangan yang baik.
Begitu pula dengan menngeraskan baca Bismillah dalam Shalat bagi yang berpendapat sebaliknya . Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
فَمَقْصُودُ أَحْمَد أَنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ كَانُوا لَا يَقْرَءُونَهَا ( البَسْمَلَة ) فَيَجْهَرُ بِهَا لِيُبَيِّنَ أَنَّ قِرَاءَتَهَا سُنَّةٌ كَمَا جَهَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِقِرَاءَةِ أُمِّ الْكِتَابِ عَلَى الْجِنَازَةِ وَقَالَ: لِتَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ وَكَمَا جَهَرَ عُمَرُ بِالِاسْتِفْتَاحِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَكَمَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَجْهَرُ بِالْآيَةِ أَحْيَانًا فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ. وَلِهَذَا نُقِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَنْ رُوِيَ عَنْهُ الْجَهْرُ بِهَا مِنْ الصَّحَابَةِ الْمُخَافَتَةَ فَكَأَنَّهُمْ جَهَرُوا لِإِظْهَارِ أَنَّهُمْ يَقْرَءُونَهَا كَمَا جَهَرَ بَعْضُهُمْ بِالِاسْتِعَاذَةِ أَيْضًا
Maka maksud Imam Ahmad adalah bahwa penduduk Madinah tidak membacanya (basmalah, baik keras maupun lirih ), maka beliau mengeraskan bacaan basmalah untuk menunjukkan bahwa membacanya adalah sunnah.
Sebagaimana Ibnu Abbas mengeraskan bacaan al-Fatihah dalam shalat jenazah dan berkata: 'Agar kalian tahu bahwa itu adalah sunnah.' Dan sebagaimana Umar mengeraskan bacaan istiftah beberapa kali. Dan Nabi ﷺ kadang-kadang mengeraskan bacaan ayat dalam shalat Dzuhur dan Ashar.
Oleh karena itu, diriwayatkan dari kebanyakan sahabat yang meriwayatkan mengeraskan bacaan basmalah bahwa mereka juga melirihkannya, seakan-akan mereka mengeraskannya untuk menunjukkan bahwa mereka membacanya. Sebagaimana beberapa dari mereka juga mengeraskan bacaan isti'adzah."
=====
GUNAKAN HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT AGAR TIDAK BERPECAH BELAH
Utamakan Hukum Fiqih Yang Biasa Di terapkan Di Daerahmu, demi untuk menjaga persatuan . Berikut ini sebagian astar para salaf tentang hal ini :
PERTAMA : ATSAR ALI BIN ABI THALIB :
Dari Abu Ubaidah, dia berkata: Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata :
«اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ، فَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ، حَتَّى يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ، أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي» فَكَانَ ابْنُ سِيرِينَ: «يَرَى أَنَّ عَامَّةَ مَا يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ الكَذِبُ»
“Putuskanlah dalam berhukum dengan keputusan hukum yang biasa kalian putuskan. Sungguh, saya tidak suka dengan perselisihan, sampai aku mendapati manusia bersatu dalam satu jemaah, atau aku mati sebagaimana matinya para sahabatku”.
"Ibnu Sirin melihat bahwa sebagian besar yang diriwayatkan dari Ali adalah kebohongan."
[HR. Bukhori no. 3707].
"Al-Thahawi berkata:
وَنَرَى الْجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَابًا وَالْفُرْقَةَ زَيْغًا وَعَذَابًا
'Kami memandang bahwa jamaah (bersatu) adalah benar dan tepat, sedangkan perpecahan adalah penyimpangan dan adzab (siksaan).'" . [ Baca Syarah al-Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 85 no. 102].
Dari 'Ubaidah bin 'Amr al-Salmani, dia berkata:
كَتَبَ إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيحٍ أَنْ اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ يَعْنِي فِي أُمِّ الوَلَدِ وَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ حَتَّى يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي
"Ali menulis kepadaku dan kepada Shuraih, 'Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan sebelumnya, yaitu dalam perkara ummul walad, dan sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia bersatu dalam satu jemaah atau aku mati seperti sahabat-sahabatku telah mati.'"
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Fath 7/91 (Cet. As-Salafiyah) berkata :
وَقَدْ أَخْرَجَهُ ابْنُ المُنْذِرِ مِنْ طَرِيقِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ عَنْ أَبِي نُعَيْمٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ عُبَيْدَةَ قَالَ: بَعَثَ إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيْحٍ فَقَالَ: إِنِّي أَبْغَضُ ٱلاخْـتِـلاَفُ فَاقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ.. الخَبَرُ.
"Dan telah meriwayatkannya Ibn al-Mundhir melalui jalur Ali bin Abdul Aziz dari Abu Nuaim dari Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Ibn Sirin dari Ubaidah, yang berkata: Ali mengirim utusan kepadaku dan kepada Syuraih, dan berkata: 'Sesungguhnya aku membenci perselisihan, maka putuskanlah dalam hukum sebagaimana kalian biasa memutuskan.'"
Dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam *Muwafaqatu al-Khabar al-Khabar* 1/169 berkata : “Sanadnya sahih”.
Dan dishahihkan pula oleh al-Albaani dalam al-Irwaa’ 6/190 .
SYARAH ATSAR ALI BIN THALIB :
KE 1 : Dalam **Jami' al-Sunnah wa Syarhuha** disebutkan :
قَوْلُهُ: (قَالَ: اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ)، أَي: قَالَ عَلِيٌّ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ: اقْضُوا الْيَوْمَ كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ قَبْلَ هَذَا.
وَسَبَبُ ذَلِكَ أَنَّ عَلِيًّا لَمَّا قَدِمَ إِلَى الْعِرَاقِ قَالَ: كُنْتُ رَأَيْتُ مَعَ عُمَرَ أَنْ تُعْتَقَ أُمَّهَاتُ الْأَوْلَادِ، وَقَدْ رَأَيْتُ الْآنَ أَنْ يُسْتَرَقَّقْنَ، فَقَالَ عُبَيْدَةُ: رَأْيُكَ يَوْمَئِذٍ فِي الْجَمَاعَةِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ رَأْيِكَ الْيَوْمَ فِي الْفُرْقَةِ، فَقَالَ: اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ، وَخَشِيَ مَا وَقَعَ فِيهِ مِنْ تَأْوِيلِ أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَيُرْوَى: اقْضُوا عَلَى مَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ.
قَوْلُهُ: (فَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ) يَعْنِي: أَنْ يُخَالِفَ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا.
وَقَالَ الْكَرْمَانِيُّ: اخْتِلَافُ الْأُمَّةِ رَحْمَةٌ، فَلِمَ كَرِهَهُ؟ قُلْتُ: الْمَكْرُوهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ الَّذِي يُؤَدِّي إِلَى النِّزَاعِ وَالْفِتْنَةِ.
*Kalimat: (Dia berkata: Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan), artinya: Ali berkata kepada penduduk Irak: Putuskanlah hari ini sebagaimana kalian telah memutuskan sebelumnya.*
*Dan sebabnya adalah ketika Ali tiba di Irak, dia berkata: Dahulu aku bersama Umar berpendapat bahwa ummahat al-awlad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya) harus dibebaskan, tetapi sekarang aku berpendapat bahwa mereka harus tetap dijadikan budak.
Maka 'Ubaidah berkata: Pendapatmu saat itu yang membawa persatuan lebih aku sukai daripada pendapatmu sekarang yang akan menimbulkan perpecahan.
Maka Ali berkata: “Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan”.
Dan dia khawatir dengan apa yang ditafsirkan oleh penduduk Irak.
Diriwayatkan juga bahwa dia berkata : Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan.*
*Kalimat: (Sesungguhnya aku membenci perselisihan), artinya: Ali tidak ingin berselisih dengan Abu Bakar dan Umar, semoga Allah meridhai keduanya.*
*Dan al-Kirmani berkata: Perbedaan umat adalah rahmat, maka mengapa dia membencinya? Aku jawab : Perbedaan yang dibenci adalah yang mengarah pada perselisihan dan fitnah.*
KE 2 : Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata dalam **Al-Durar Al-Saniyyah**:
أمَر الإسْلامُ بالاجتِماعِ، ونَهى عنِ التَّفرُّقِ وٱلاخْـتِـلاَفُ، وقدْ عمِل الصَّحابةُ رَضيَ اللهُ عنهم على تَطْبيقِ هذا المَنهَجِ القَويمِ، وهذا المَتنُ له سَببٌ؛ وذلك أنَّ عَلِيَّ بنَ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه لَمَّا قَدِم العِراقَ، وسَأَله أهْلُها عن رَأيِه في أمِّ الوَلدِ؛ هلْ تُباعُ أو لا؟
-وأُمَّهاتُ الأوْلادِ هنَّ الإماءُ المَملوكاتُ اللَّاتي وَطِئَهنَّ أسْيادُهنَّ ومالِكوهنَّ، فحمَلْنَ وولَدْنَ-
فأخبَرَهم أنَّ رَأيَه كرَأيِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنه في عَدمِ بَيعِ أمَّهاتِ الأوْلادِ، وأنَّهنَّ يُعتَقْنَ بعْدَ وَفاةِ السَّيِّدِ والمالِكِ؛ وذلك لأنَّ الابنَ المَوْلودَ يَكونُ سَببًا في عِتقِ أُمِّه، وأنَّه رجَعَ عنه، فرأَى أنْ يُرِقَّهنَّ، ويَبقَيْنَ ضِمنَ مالِ السَّيِّدِ بعْدَ مَوتِه ولا يُعتَقْنَ. وورَد عندَ البَيْهَقيِّ في الكُبْرى أنَّ التَّابِعيَّ عَبيدةَ السَّلْمانيَّ قال لعَليٍّ رَضيَ اللهُ عنه: «رأيُكَ ورَأيُ عُمَرَ في الجَماعةِ أحَبُّ إلَيَّ مِن رَأيِكَ وَحْدَكَ في الفُرْقةِ»، أي: إنِّي آخُذُ بفَتْواكَ الَّتي وافقَتْ فَتْوى عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنه في الجَماعةِ، وأترُكُ رَأيَكَ وَحْدَكَ إذا كُنتَ مُفتَرِقًا، فقال له عَلِيٌّ رَضيَ اللهُ عنه: اقْضوا كما كُنْتم تَقْضونَ قَبلُ؛ فإنِّي أكرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ، أي: ٱلاخْـتِـلاَفُ على الشَّيخَينِ، أو ٱلاخْـتِـلاَفُ الَّذي يُؤدِّي إلى التَّنازُعِ والفِتَنِ، وإنَّما فعَل علِيٌّ رَضيَ اللهُ عنه ذلك لمَّا وجَد مَن يرُدُّ عليه قَولَه، فكَرِه الخِلاَفُ؛ لأنَّه لا يَأْتي إلَّا بالشَّرِّ والتَّفرُّقِ، وحتَّى يَجتَمِعَ النَّاسُ على قَولِ الجَماعةِ. وقَولُه: «أو أموتَ كما مات أصْحابي»، أي: إلى أنْ أموتَ كما مات أصْحابي على الحَقِّ والهِدايةِ، والمُرادُ مَن سبَقَه مِن الخُلَفاءِ الرَّاشِدينَ.
وفي الحَديثِ: فَضلٌ ومَنقَبةٌ لعَلِيِّ بنِ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه.
Islam memerintahkan persatuan dan melarang perpecahan serta perselisihan. Para sahabat radhiyallahu 'anhum telah berusaha menerapkan metode yang lurus ini.
Kisah ini memiliki latar belakang; yaitu ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu tiba di Irak dan penduduknya bertanya kepadanya tentang pendapatnya mengenai status "ummul walad" (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya), apakah "ummul walad" itu boleh dijual atau tidak?
"Ummul walad" adalah budak-budak wanita yang telah disetubuhi oleh tuannya dan kemudian melahirkan anak.
Pada awalnya Ali memberitahu mereka bahwa pendapatnya sama dengan pendapat Umar radhiyallahu 'anhu yang melarang penjualan para "ummul walad", dan bahwa mereka akan dimerdekakan setelah kematian tuan mereka ; karena anak yang lahir menyebabkan ibunya dimerdekakan.
Namun, dikemudian hari Ali berubah pendapat, ia berpandangan bahwa mereka harus tetap sebagai budak, mereka tetap dalam kepemilikan harta tuannya setelah kematiannya dan tidak dimerdekakan.
Disebutkan dalam kitab as-Sunan Al-Kubra oleh Al-Bayhaqi :
Bahwa seorang tabi'in 'Ubaidah Al-Salmani berkata kepada Ali radhiyallahu 'anhu: "Pendapatmu dulu yang sesuai dengan pendapat Umar yang membawa persatuan, itu lebih aku sukai daripada pendapatmu sekarang yang akan berdampak pada perpecahan." Artinya, "Aku mengikuti fatwamu yang sesuai dengan fatwa Umar dalam persatuan, dan meninggalkan pendapatmu sekarang yang menyebabkan perpecahan."
Ali radhiyallahu 'anhu kemudian berkata kepadanya: "Laksanakan sebagaimana yang dulu kalian putuskan sebelumnya; karena aku tidak suka perpecahan," yaitu perpecahan yang menyebabkan perselisihan dan fitnah.
Ali melakukan hal itu ketika ia menemukan ada yang menolak pendapatnya, sehingga ia membenci perselisihan; karena hal itu hanya membawa keburukan dan perpecahan, dan agar orang-orang berkumpul pada pendapat jamaah.
Dan perkataannya: "Atau aku mati seperti sahabat-sahabatku mati," artinya: hingga aku mati seperti sahabat-sahabatku yang telah wafat dalam kebenaran dan petunjuk, yang dimaksud adalah para khalifah rasyidin yang mendahuluinya”. [SELESAI KUTIPAN DARI AS-SAQQAF]
===
KEDUA : ATSAR UMAR BIN ABDUL AZIZ :
Imam Ad Darimi Rahimahullah berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid, dia berkata:
قُلتُ لِعُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ لَو جَمَعتَ النَّاسَ عَلَى شَيءٍ فَقَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّهُم لَم يَختَلِفُوا قَالَ ثُمَّ كَتَبَ إِلَى الآفَاقِ أَوْ إِلَى الأَمصَارِ لِيَقضِيَ كُلُّ قَومٍ بِمَا اجتَمَعَ عَلَيهِ فُقَهَاؤُهُم
Aku berkata kepada Umar bin Abdil ‘Aziz: “Alangkah baiknya engkau menyatukan manusia dalam satu pendapat.”
Beliau menjawab : “Tidak membuatku senang jika mereka tidak berbeda pendapat.”
Humaid berkata: “Lalu Umar bin ‘Abdil Aziz menulis surat ke semua penjuru negeri:
“Setiap penduduk di suatu negeri hendaknya memutuskan urusannya sesuai kesepakatan ahli fiqih mereka (di negeri masing-masing).”
(Sunan Ad Darimi 1/22 No. 634, Bab Ikhtilaf Al Fuqaha)
Di shahihkan oleh Sa’id Hawwaa dalam al-Asaas fis Sunnah 1/509 no. No. 509.
Abu Zur'ah ad-Dimasyqi, semoga Allah merahmatinya, meriwayatkan dari Sulaiman bin Habib al-Muharibi, seorang tabi'in yang tepercaya dan seorang qadhi di Damaskus, bahwa dia berkata:
"أَرَادَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنْ يَجْعَلَ أَحْكَامَ النَّاسِ وَالأَجْنَادِ حُكْمًا وَاحِدًا، ثُمَّ قَالَ: إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِي كُلِّ مِصْرٍ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ وَجُنْدٍ مِنْ أَجْنَادِهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَكَانَتْ فِيهِمْ قُضَاةٌ قَضَوْا بِأَقْضِيَةٍ أَجَازَهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَرَضُوا بِهَا، وَأَمْضَاهَا أَهْلُ الْمِصْرِ، كَالصُّلْحِ بَيْنَهُمْ، فَهُمْ عَلَى مَا كَانُوا عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ". فَتَرَكَ عُمَرُ مَا كَانَ أَرَادَهُ، وَكَانَ حَرِيصًا جِدًّا عَلَى أَنْ لَا يُغَيِّرَ مِنْ وَاقِعِ الْأُمَّةِ شَيْئًا مَأْلُوفًا عِنْدَهُمْ، مَا دَامَ عَلَى وِجْهَةٍ شَرْعِيَّةٍ.
"Umar bin Abdul Aziz ingin menjadikan hukum-hukum masyarakat dan pasukan perang dalam satu hukum yang sama, kemudian dia berkata:
'Di setiap kota dari kota-kota kaum Muslimin dan pasukan dari pasukan-pasukannya ada orang-orang dari sahabat Rasulullah ﷺ, dan di antara mereka ada qadhi-qadhi yang telah memutuskan dengan keputusan-keputusan yang telah disetujui oleh sahabat Rasulullah ﷺ dan mereka ridha dengannya, dan penduduk kota menerima keputusan itu -contohnya seperti rekonsiliasi di antara mereka- maka mereka tetap pada hukum yang mereka telah ada sebelumnya.'"
Maka Umar meninggalkan apa yang dia inginkan, dan dia sangat berhati-hati untuk tidak mengubah apapun dari realitas umat yang telah dikenal oleh mereka, selama hukum itu sesuai dengan pandangan syariat. [Tarikh Abu Zur’ah ad-Dimasyqi hal. 202].
Dalam kitab “Laits bin Sa'ad Ilaa Malik” , yang merupakan kitab yang terkenal, terdapat teks sebagai berikut:
"وَمِنْ ذَلِكَ: القَضَاءُ بِشَهَادَةِ شَاهِدٍ وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، وَقَدْ عَرَفْتَ ـ الخِطَابُ لِمَالِكٍ ـ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ يُقْضَى بِالمَدِينَةِ بِهِ، وَلَمْ يَقْضِ بِهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالشَّامِ، وَلَا بِحِمْصَ، وَلَا بِمِصْرَ، وَلَا بِالعِرَاقِ، وَلَمْ يَكْتُبْ بِهِ إِلَيْهِمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ: أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ.
ثُمَّ وَلِيَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ ـ وَكَانَ كَمَا قَدْ عَلِمْتَ فِي إِحْيَاءِ السُّنَنِ وَالجِدِّ فِي إِقَامَةِ الدِّينِ وَالإِصَابَةِ فِي الرَّأْيِ، وَالعِلْمِ بِمَا مَضَى مِنْ أَمْرِ النَّاسِ ـ فَكَتَبَ إِلَيْهِ رُزَيْقُ بْنُ حُكَيمٍ: إِنَّكَ كُنْتَ تَقْضِي بِالمَدِينَةِ بِشَهَادَةِ الشَّاهِدِ الوَاحِدِ وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ: إِنَّا كُنَّا نَقْضِي بِذَلِكَ بِالمَدِينَةِ، فَوَجَدْنَا أَهْلَ الشَّامِ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ، فَلَا نَقْضِي إِلَّا بِشَهَادَةِ رَجُلَيْنِ عَدْلَيْنِ، أَوْ رَجُلٍ وَامْرَأَتَيْنِ".
"Di antaranya: vonis hukum pengadilan dengan kesaksian seorang saksi dan sumpah dari pemilik hak, dan engkau tahu - ditujukan kepada Malik - bahwa keputusan ini selalu dilakukan di Madinah, namun para sahabat Rasulullah ﷺ tidak memutuskannya di Syam, tidak pula di Homs, tidak di Mesir, dan tidak di Irak. Para Khulafaa Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, tidak menulis tentang hal ini kepada mereka.
Setelah itu kemudian Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin - dan engkau telah mengetahui bagaimana beliau senantiasa menghidupkan sunnah, berusaha keras menegakkan agama, tepat dalam berpendapat, serta mengetahui apa yang sedang terjadi dalam urusan umat - .
Maka Ruzaik bin Hukaim menulis kepadanya: 'Engkau dahulu memutuskan di Madinah dengan kesaksian satu saksi dan sumpah dari pemilik hak.'
Maka Umar bin Abdul Aziz menjawab dengan menulis kepadanya: 'Kami dahulu memutuskan demikian di Madinah, namun kami mendapati penduduk Syam tidak melakukan hal itu, maka kami hanya memutuskan dengan kesaksian dua orang saksi yang adil, atau seorang lelaki dan dua orang wanita.'"
[Lihat ini dalam kitab "I'lam al-Muwaqqi'in" 3/97 karya Ibnul Qayyim. Dan lihat pula perkataan Ibnu Abdil Barr dalam "At-Tamhid" 1/10 tentang alasan memilih riwayat Yahya al-Laitsi untuk menjelaskannya daripada riwayat-riwayat lainnya].
====
KETIGA : PERKATAAN AL-IMAM AL-QARRAAFI
Imam Al-Qarraafi Rahimahullah memiliki perkataan yang luar biasa:
"فَمَهْمَا تَجَدَّدَ فِي الْعُرْفِ اعْتَبِرْهُ وَمَهْمَا سَقَطَ أَسْقِطْهُ وَلَا تَجْمُدْ عَلَى الْمَسْطُورِ فِي الْكُتُبِ طُولَ عُمْرِك بَلْ إذَا جَاءَك رَجُلٌ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ إقْلِيمِك يَسْتَفْتِيك لَا تَجْرِهِ عَلَى عُرْفِ بَلَدِك وَاسْأَلْهُ عَنْ عُرْفِ بَلَدِهِ وَأَجْرِهِ عَلَيْهِ وَأَفْتِهِ بِهِ دُونَ عُرْفِ بَلَدِك وَدُونَ الْمُقَرَّرِ فِي كُتُبِك فَهَذَا هُوَ الْحَقُّ الْوَاضِحُ.
وَالْجُمُودُ عَلَى الْمَنْقُولَاتِ أَبَدًا ضَلَالٌ فِي الدِّينِ وَجَهْلٌ بِمَقَاصِد عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَالسَّلَفِ الْمَاضِينَ".
Apapun yang terjadi pembaharuan dalam sebuah tradisi, anggaplah ia!, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah!. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu !. Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu.
Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.“ [ Al Furuq (Anwaarul Buruuq) 1/191. Penerbit : Aalamul Kutub]
******
PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT :
Ada ungkapan masyhur dikalangan para ulama salaf dan khalaf yang menyatakan :
إنَّ اختِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهُم، كَمَا أَنَّ اختِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ كَانَ لَهَا عَذَابًا وَهَلَاكًا.
"Sesungguhnya perbedaan di antara umat ini adalah rahmat dari Allah bagi mereka, sementara perbedaan umat-umat sebelumnya adalah azab dan kebinasaan bagi mereka" .
Dan :
إجماعُهُمْ حُجَّةٌ، وَاخْتِلافُهُمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ.
"Ijma’ (kesepakatan) mereka adalah hujah, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas." [Baca : "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2)]
Perkataan al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiiq (wafat 107 H):
Dalam “Al-Hilyah” 7/119 dan “Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra” oleh Al-Baihaqi (Lihat : al-Maqashid al-Hasanah hal. 27 no, 39) :
Dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, dia mengatakan:
"كَانَ اخْتِلَافُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِهَؤُلَاءِ النَّاسِ"
“Perbedaan di antara para sahabat Muhammad adalah rahmat bagi umat manusia ini.”
Al-Qasim ini, beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Perkataan Imam Malik (w. 179 H) kepada Harun al-Rasyid.
Al-Khatib meriwayatkan dalam kitabnya Al-Ruwat 'An Malik [الرُّوَاة عَنْ مَالِك]:
أَنَّ هَارُونَ الرَّشِيدَ قَالَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ نَكْتُبُ هَذِهِ الْكُتُبَ يَعْنِي مُؤَلَّفَاتِ الْإِمَامِ مَالِكٍ وَنُفَرِّقُهَا فِي آفَاقِ الْإِسْلَامِ لِنَحْمِلَ عَلَيْهَا الْأُمَّةَ، قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إنَّ اخْتِلَافَ الْعُلَمَاءِ رَحْمَةٌ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ، كُلٌّ يَتْبَعُ مَا صَحَّ عِنْدَهُ، وَكُلُّهُمْ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيدُ اللَّهَ تَعَالَى والدَّارَ الآخِرَة".
" Bahwa Harun al-Rasyid berkata kepada Malik bin Anas: "Wahai Abu Abdullah, kita akan menyalin kitab-kitab ini – yaitu karya-karya Imam Malik- dan kita akan menyebarluaskannya di berbagai penjuru Islam agar umat ini dapat mengambil manfaat darinya."
Malik menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, perbedaan pendapat di antara para ulama adalah RAHMAT dari Allah Ta'ala bagi umat ini. Setiap orang mengikuti apa yang diyakini benar menurut pandangannya, dan semua mereka berada di atas petunjuk. Semuanya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala dan kehidupan Akhirat"
Lihat kitab Al-Ruwat 'An Malik oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, sebagaimana terdapat dalam kitab "Kasyf al-Khafa' wa Muzil al-Ilbas" oleh Al-Ajluni 1/65 (153).
Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H) berkata:
"عَمِلْتُ في المُجَاهَدَةِ ثَلاثِينَ سَنَةً، فَمَا وَجَدْتُ شَيْئًا أَشَدَّ مِنَ العِلْمِ وَمُتَابَعَتِهِ، وَلَوْلَا اخْتِلَافُ العُلَمَاءِ لَشَقِيتُ، وَاخْتِلَافُ العُلَمَاءِ رَحْمَةٌ، إِلَّا في تَجْرِيدِ التَّوْحِيدِ، وَمُتَابَعَةُ العِلْمِ هِيَ مُتَابَعَةُ السُّنَّةِ لَا غَيْرُ."
"Aku telah melakukan al-mujaahadah selama tiga puluh tahun, namun aku tidak menemukan sesuatu yang lebih sulit daripada ilmu dan mengikutinya. Jika bukan karena perbedaan pendapat di antara para ulama, niscaya aku akan celaka.
Perbedaan pendapat di antara para ulama adalah rahmat,
kecuali dalam hal memurnikan tauhid, dan mengikuti ilmu maka itu hanya boleh mengikuti
sunnah saja tiada lain." [ Baca: Hilyatul Awliyaa Karya Abu Nu’aim
al-Asbahaani 10/35 no. 458].
[Makna al-Mujahadah : mencakup segala usaha dan kerja keras untuk melawan hawa nafsu, serta berusaha mengendalikan-nya, dan segala upaya untuk mentaati Allah SWT].
Ibnu Qudamah (w. 620 H) berkata:
وجعل في سَلَفِ هذه الأُمَّةِ أئِمَّةً مِن الأعلام، مَهَّد بهم قَواعدَ الإِسلام، وأوْضَح بهم مُشْكلاتِ الأحكام، اتِّفاقُهم حُجَّةٌ قاطِعة، واخْتلافُهم رحمةٌ واسعة، تَحْيَى القلوبُ بأخْبَارِهم، وتحصلُ السعادةُ باقْتفاءِ آثارِهم، ثم اخْتَصَّ منهم نَفَرًا أعْلَى أَقْدَارَهم (10) ومَناصِبَهم، وأبْقَى ذكرَهم ومَذاهِبَهم، فَعلَى أقْوالِهم مَدارُ الأحكام، وبمذاهبِهم يُفْتِى فقَهاءُ الإِسلام
"Allah telah menjadikan di kalangan para pendahulu umat ini para imam yang menjadi panutan, yang menetapkan dasar-dasar Islam dan menjelaskan masalah-masalah hukum yang sulit.
Kesepakatan pendapat mereka adalah hujah yang kuat, dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas. Hati menjadi hidup dengan berita-berita mereka, dan kebahagiaan dicapai dengan meneladani jejak mereka. Kemudian Allah memilih dari mereka beberapa orang yang ditinggikan kedudukan dan posisi mereka, serta mengabadikan ingatan dan mazhab mereka, maka pada pendapat mereka lah bergantungnya hukum-hukum, dan dengan mazhab mereka lah para ahli fiqh Islam memberikan fatwa." [ Baca : al-Mugni 1:4-5].
Imam As-Suyuti, rahimahullah:
Dia berkata di awal risalatnya "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2) :
«فصل: اعلَمْ أَنَّ اخْتِلافَ المَذاهِبِ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ وَفَضِيلَةٌ عَظِيمَةٌ، وَلَهُ سِرٌّ لَطِيفٌ أَدْرَكَهُ العَالِمُونَ، وَعَمِيٌّ عَنْهُ الجَاهِلُونَ، حَتَّى سَمِعْتُ بَعْضَ الجُهَّالِ يَقُولُ: النَّبِيُّ ﷺ جَاءَ بِشَرْعٍ وَاحِدٍ، فَمِنْ أَيْنَ مَذْهَبُ أَرْبَعَةٍ؟»
"Bab: Ketahuilah bahwa perbedaan madzhab dalam umat ini adalah nikmat besar dan keutamaan yang agung, serta memiliki rahasia halus yang dipahami oleh para ulama, sedangkan buta tentangnya adalah orang-orang bodoh, sehingga saya mendengar beberapa orang bodoh berkata: Nabi Muhammad ﷺ datang dengan satu syariat, dari mana kemudian muncul empat madzhab?".
Lalu as-Suyuthi berkata :
«وَقَدْ وَقَعَ اخْتِلافٌ فِي الفُرُوعِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خَيْرِ الأُمَّةِ، فَمَا خَاصَمَ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَحَدًا، وَلَا عَادَى أَحَدٌ أَحَدًا، وَلَا نَسَبَ أَحَدٌ أَحَدًا إِلَى خَطَأٍ وَلَا قُصُورٍ..، وَوُرِدَ أَنَّ اخْتِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهَا، وَكَانَ اخْتِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ عَذَابًا وَهَلَاكًا. هَذَا أَوْ مَعْنَاهُ ».
Telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah di antara para Sahabat radhiyallhu ‘anhum, yang mana mereka merupakan generasi terbaik umat ini. Dan tidak ada di antara mereka yang berseteru dengan yang lain, atau mengadu domba, atau menyalahkan seseorang atas kesalahan atau kekurangan...
Dan telah disebutkan bahwa perbedaan pendapat dalam umat ini adalah rahmat dari Allah baginya, sedangkan perbedaan pendapat dalam umat-umat sebelumnya adalah siksaan dan kebinasaan. Ini adalah inti atau maknanya”.
SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:
وَالنِّزَاعُ فِي الْأَحْكَامِ قَدْ يَكُونُ رَحْمَةً إذَا لَمْ يُفْضِ إلَى شَرٍّ عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang ; karena ketidak jelasan (kebenaran) nya itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:
{لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).
Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].
PERHATIAN :
Ada hadits Nabi ﷺ yang menyatakan :
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةً
" Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat ".
Hadits "Ikhtilaf ummati rahmah" tidak memiliki dasar yang sahih, namun maknanya benar.
Al-Munawi dalam "Fayd al-Qadir" 1/ 212 berkata:
"قَالَ السَّبْكِيُّ: وَلَيْسَ بِمَعْرُوفٍ عِنْدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَلَمْ أَقِفْ لَهُ عَلَى سَنَدٍ صَحِيحٍ وَلَا مَوْضُوعٍ"
"As-Suyuti berkata: Hadits ini tidak dikenal oleh para ahli hadits, dan saya tidak menemukan sanad yang sahih atau yang maudhu' (palsu)."
Syeikh Majd Makky dalam artikelnya مَا صِحَّةُ حَدِيثِ اخْتِلَافِ أُمَّتِي رَحْمَةٌ؟ berkata:
وَالْحَاصِلُ: أَنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فَمَعْنَاهُ صَحِيحٌ جِدًّا، تُؤَيِّدُهُ أَدِلَّةُ الشَّرِيعَةِ الَّتِي تُقَرُّ مَشْرُوعِيَّةَ الِاخْتِلَافِ بِشُرُوطِهِ الْمُعْتَبَرَةِ.
" KESIMPULANNYA: meskipun hadits tersebut tidak terbukti shahih, namun maknanya sangat akurat [shahih sekali]. Ini didukung oleh dalil-dalil syar'i yang melegitimasi perbedaan pendapat dengan syarat-syarat yang mu'tabar".
******
PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT :
====
PERTAMA : PERKATAAN UMAR BIN ABDUL AZIZ :
Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam kitab Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih (2/59) dari Muhammad bin Ahmad bin Razaq, yang memberitahu kami bahwa Utsman bin Ahmad Al-Daqaq berkata, Hanzhal bin Ishaq berkata, Abu Abdullah berkata, Mu'adz bin Hisyam berkata, ayahku berkata dari Qatadah :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبدِ العَزِيزِ كَانَ يَقُولُ: مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ لَمْ يَختَلِفُوا لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَختَلِفُوا لَمْ يَكُنْ رُخصَةٌ.
Bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata: "Aku tidak merasa senang jika para sahabat Muhammad tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda pendapat, maka tidak akan ada keringanan (rukhshah)."
Pentakhrij kitab al-Maathalib al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 berkata :
وَهَذَا إِسْنَادٌ حَسَنٌ، فِيهِ مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ وَعُثْمَانُ الدَّقَّاقُ وَهُمَا صَدُوقَانِ وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.
وَأَخْرَجَهُ الخَطِيبُ أَيْضًا فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِنْ طَرِيقِ عِمْرَانَ القَطَّانِ، عَنْ مَطَرٍ الوَرَّاقِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ مُخْتَصَرًا.
وَهَذِهِ الطَّرِيقُ يُؤَيِّدُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَدُلُّ عَلَى أَنَّ المَعْنَى ثَابِتٌ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ.
Dan ini adalah isnad yang hasan, di dalamnya terdapat Mu'adz bin Hisyam dan Utsman Al-Daqaq, keduanya adalah orang yang dapat dipercaya (shaduq), dan para perawi lainnya adalah terpercaya (tsiqah).
Al-Khatib juga meriwayatkannya dalam Al-Faqih (2/59) melalui jalur Imran Al-Qaththan, dari Muthar Al-Warraq, dari Umar bin Abdul Aziz secara ringkas.
Jalur-jalur ini saling menguatkan satu sama lain dan menunjukkan bahwa makna tersebut tetap dari Umar bin Abdul Aziz”. [ Pentahqiq Kitab Al-Mathalib Al-'Aliyah: Sekelompok pentahqiq dalam 17 disertasi universitas. Disusun oleh Dr. Sa'ad bin Nashir Al-Syatsari].
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah 12/600 no. 3062:
Musaddad berkata: Isa bin Yunus menceritakan kepada kami, Ismail bin Abdul Malik menceritakan kepada kami, dari 'Aun bin Abdullah bin 'Utbah, ia berkata:
قَالَ لِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا يَسُرُّنِي بِاخْتِلَافِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ النَّعَمِ لِأَنَّا إِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا وَإِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا.
Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu 'anhu berkata kepadaku: "Betapa senangnya aku dengan perbedaan pendapat di antara para sahabat Rasulullah ﷺ ; karena jika kami mengambil pendapat sebagian mereka, maka kita benar. Dan jika kita mengambil pendapat yang lainya ; maka kita benar juga” .
Lalu al-Hafidz berkata : صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ / *Shahih Maqthu’*
Pentakhrij kitab al-Maathalib al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 no. 3062 berkata :
رَوَاهُ الخَطِيبُ فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِن طَرِيقِ مُسَدَّدٍ.
الحُكمُ عَلَيهِ: هَذَا الأَثَرُ عَن عُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ: ضَعِيفٌ بِهَذَا السَّنَدِ مِن أَجْلِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبدِ المَلِكِ، وَبِهَذَا يُعلَمُ قَولُ الحَافِظِ بْنِ حَجَرٍ: صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ أَنَّهُ لَيسَ بِصَوَابٍ وَلَعَلَّهُ كَانَ يَقصِدُ بِطُرُقِهِ.
“Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam kitab Al-Faqih (2/59) melalui jalur Musaddad.
Penilaian terhadapnya: Atsar ini dari Umar bin Abdul Aziz: dho’if (lemah) dengan sanad ini karena Ismail bin Abdul Malik. Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan Al-Hafiz Ibnu Hajar: "Shahih Maqthu'" tidaklah benar dan mungkin yang dimaksud adalah jalur-jalur lainnya”.
=====
KEDUA : PERKATAAN YAHYA BIN SA’ID AL-ANSHARY :
Imam Al-Hujjah, Qadhi Yahya bin Sa’id Al-Anshari (wafat 143 H), salah satu dari Tabi’in yang terkemuka, mengatakan:
"مَا بَرِحَ أُولُو الفَتْوَى يُفْتُوْنَ، فَيُحِلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلا يَرَى الْمُحَرِّمُ أَنَّ الْمُحِلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ، وَلا يَرَى الْمُحِلُّ أَنَّ الْمُحَرِّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ"
“Tidak pernah berhenti para ulama ahli fatwa untuk memberi fatwa, sehingga salah satu diantara mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini sementara yang lainnya mengharamkan itu. Orang yang mengharamkannya tidak menyatakan bahwa orang yang menghalalkannya binasa karena berpendapat menghalalkannya, dan orang yang menghalalkannya tidak mengatakan bahwa orang yang mengharamkannya binasa karena berpendapat mengharamkannya.” [Baca : “Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadlihi” karya Ibnu ‘Abdil-Barr 2:80].
Dan di riwayatkan dari jalur yang lain oleh Adz-Dzahabi dengan lafal:
"أَهْلُ الْعِلْمِ أَهْلُ تَوْسِعَةٍ، وَمَا بَرِحَ الْمُفْتَوْنُ يَخْتَلِفُونَ، فَيُحَلِّلُ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلَا يُعَيِّبُ هَذَا عَلَى هَذَا، وَلَا هَذَا عَلَى هَذَا".
“Ahli ilmu adalah orang-orang yang luas pandangannya, dan para ahli fatwa tidak pernah berhenti berbeda pendapat, sehingga salah satu dari mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Namun tidak ada yang saling mencela antara yang ini terhadap yang itu, dan tidak pula antara yang itu terhadap yang ini.” [Baca : At-Radzkirah 1/139].
====
KETIGA : PERKATAAN IBNU AL-QOYYIM :
Ibnu Qayyim rahimahullah (w. 751 H) berkata:
"وُقُوعُ ٱلاخْـتِـلاَفُ بَيْنَ النَّاسِ أَمْرٌ ضَرُورِيٌّ لَا بُدَّ مِنْهُ؛ لِتَفَاوُتِ إِرَادَاتِهِمْ وَأَفْهَامِهِمْ، وَقُوَى إِدْرَاكِهِمْ، وَلَكِنَّ المَذْمُومَ بَغْيُ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ وَعَدَاوَتُهُ."
"Terjadinya perbedaan pendapat di antara manusia adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari karena perbedaan keinginan dan pemahaman mereka, serta kekuatan akal mereka. Namun, yang tercela adalah sikap dzalim aniaya sebagian mereka terhadap sebagian lainnya dan permusuhan di antara mereka." [ Baca : Ash-Showaa’iq al-Mursalah 1/269].
====
KEEMPAT : PERKATAAN AL-MUNAWI
Al-Munawi rahimahullah (w. 1031 H) berkata:
"فَاخْتِلَافُ المَذَاهِبِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ، وَفَضِيلَةٌ جَسِيمَةٌ خُصَّتْ بِهَا هَذِهِ الأُمَّةُ."
"Perbedaan mazhab adalah nikmat besar, dan keutamaan besar yang dikhususkan bagi umat ini." [ Baca : Faidhul Qodiir 1/271].
*****
PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT
Lebih jauh dari itu, sebagian para tokoh salaf dan orang-orang yang tepercaya serta ulama mereka sangat berkeinginan untuk menghapus kata “perbedaan pendapat (ٱلاخْـتِـلاَفُ)” dari “kamus” masyarakat, lalu menggantinya dengan kata “keluasan (السَّعَة)”.
Dalam biografi Thalhah bin Musyarrif, semoga Allah merahmatinya, muridnya Musa Al-Juhani berkata:
"كَانَ طَلْحَةُ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ قَالَ: لَا تَقُولُوا: ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ قُولُوا: السَّعَةُ".
“Thalhah biasa mengatakan ketika kata ‘perbedaan pendapat’ disebut di hadapannya: ‘Jangan katakan perbedaan, tetapi katakanlah keluasan’.” [“Hilyat al-Awliya” 5/119.]
Abu Ishaq As-Subai’i, salah satu Tabi’in yang terkemuka dan salah satu para hafifz mereka, mengatakan:
"كَانُوا يَرَوْنَ السَّعَةَ عَوْنًا عَلَى الدِّينِ".
“Mereka berpandangan bahwa keluasan (السَّعَةَ) itu sebagai penolong agama.” [“Al-Ja’diyat” karya Abu al-Qasim al-Baghawi 1/366].
Dalam “Majmu’ al-Fatawa” 30/79, Ibnu Taiymiyah berkata :
"صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا فِي ٱلاخْـتِـلاَفُ فَقَالَ أَحْمَدُ: لَا تُسَمِّهِ كِتَابَ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ سَمِّهِ كِتَابَ السَّعَةِ"
“Seseorang menulis kitab tentang perbedaan pendapat , maka Imam Ahmad berkata: Jangan kau beri nama kitab itu dengan nama kita perbedaan pendapat , akan tetapi beri nama dengan nama kitab keluasan (السَّعَةَ).”
Perbedaan pendapat merupakan kata yang menunjukkan perselisihan dan perpecahan, sedangkan keluasan, nampak jelas maknanya dalam memberikan kelonggaran, kenyamanan, dan kemudahan. [Baca : al-Muswaddah karya Ibnu Taimiyah hal. 401].
Ini adalah peringatan yang halus untuk memperbaiki atau memberi peringatan kepada pendengar tentang manfaat dari perbedaan pendapat ini sebelum terjatuh dalam kesalahan, dengan mengira bahwa perbedaan pendapat yang disyariatkan dan yang terpuji sama seperti perbedaan yang tercela, yaitu perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama.
Mereka menyukai keluasan dalam syariat, karena mereka menyadari bahwa keluasan bersama kemudahan, dan bahwa kemudahan adalah salah satu tujuan utama dari tujuan-tujuan hukum Islam.
Keluasan dan kemudahan terkait dengan rahmat, maka dari itu, ada pernyataan dari Imam Al Qasim bin Muhammad Bin Abu Bakar ash-Shiddiiq rahimahullah dalam beberapa riwayatnya yang mengekspresikan “rahmat”.
Diantaranya : al-Qasim bin Muhammad pernah ditanya oleh seseorang:
سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنِ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ فِيمَا لَمْ يَجْهَرْ فِيهِ، فَقَالَ: إِنْ قَرَأْتَ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ، وَإِذَا لَمْ تَقْرَأْ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ.
“Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi ﷺ.’” [Baca : Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Ibnu Abdil Bar ].
Dan adanya pengakuan (gagasan kelapangan dan keluasan dalam berijtihad) oleh para imam terdahulu dan belakangan adalah sesuatu yang tidak memerlukan bukti atau argumen atau rujukan, karena keteladanan mereka yang dipraktekkan lebih jelas daripada ucapan mereka.
Diantaranya adalah sikap Imam Malik terhadap gagasan dan pemikiran yang serupa ini, ketika ditawarkan padanya untuk memaksa orang-orang mengikuti kitabnya "al-Muwaththa'".
Riwayat-riwayat bervariasi tentang siapa yang mengajukan hal ini kepadanya, dan dalam jawabannya kepada mereka, tetapi semuanya berputar pada satu poros, yaitu : penolakan Imam Malik untuk memaksa orang-orang mengikuti satu mazhab, yaitu madzhabnya. Dia menolaknya karena cintanya pada keluasan dan kelapangan bagi mereka.
Lihat dan renungkanlah kenyataan yang diberkahi dan tenang ini, dan lihat serta renungkanlah apa yang kita alami saat ini yang penuh dengan kekacauan yang sangat menyakitkan!
Ingatlah tindakan mereka yang mengklaim mengikuti salaf saleh ini ketika mereka mencetak biografi Imam Besar Abu Hanifah rahimaullah dari "Tarikh Baghdad", biorgafi yang penuh dengan ketidakadilan dan kegelapan. Pada saat itu, mereka juga mencetak satu bab dari "Mushannaf Ibn Abi Syaibah", karya besar ahli fiqh salaf, mereka memilih bab yang menyebutkan 125 masalah di mana menurut pendapat dan ijtihadnya, Imam Abu Hanifah menyelisihi sunnah, dan menamakannya dengan: “Kitab al-Radd 'ala Abi Hanifah (Kitab Bantahan Terhadap Abu Hanifah)”.
====
SALING MENGHARGAI DAN MENGAKUI PENDAPAT ORANG LAIN:
Para ulama dan para imam dari kalangan salaf dahulu, mereka senantiasa saling menghargai, saling menghormati dan saling mengakui terhadap perbedaan pendapat dalam berijtihad, mereka senantiasa menjaga persatuan dan menghindari perpecahan, sebagaimana yang kita lihat pada Imam Malik, itu adalah sesuatu yang sudah umum di antara mereka.
Berikut ini adalah perkataan sebagian para ulama salaf dan para imam mujtahid berkenaan dengan pengakuan mereka terhadap perbedaan pendapat.
SUFYAN ATS-TSAURY (wafat : 161 H) :
Dalam "Adab al-Faqih wa al-Mutafaqqih" 2/69 karya al-Khathib, dari Imam Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata:
«إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ: فَلَا تَنْهَهُ».
"Jika engkau melihat seseorang melakukan suatu amalan yang diperselisihkan, dan engkau berpendapat sebaliknya, maka janganlah engkau melarangnya."
Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam At Tirmidzi berkata:
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.’” [Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401].
ABU HANIFAH (wafat 150 H) :
Pernyataan yang serupa juga datang dari seorang imam mujtahid lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah rahimaullah , yang diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Tarikh al-Baghdaad 13/352 :
«قَوْلُنَا هَذَا رَأْيٌ، وَهُوَ أَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ، فَمَنْ جَاءَنَا بِأَحْسَنَ مِنْ قَوْلِنَا، فَهُوَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنَّا».
"Pendapat kami ini adalah sebuah pendapat, dan ini adalah yang terbaik yang kami mampu. Barangsiapa datang kepada kami dengan pendapat yang lebih baik dari pendapat kami, maka dia lebih berhak atas kebenaran daripada kami."
Bahkan dalam "al-Intiqa" (hal. 140) beliau berkata :
«هَذَا الَّذِي نَحْنُ فِيهِ رَأْيٌ لَا نُجْبِرُ أَحَدًا عَلَيْهِ، وَلَا نَقُولُ: يَجِبُ عَلَى أَحَدٍ قُبُولُهُ بِكَرَاهِيَةٍ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ أَحْسَنُ مِنْهُ فَلْيَأْتِ بِهِ».
"Apa yang kami tetapkan ini adalah sebuah pendapat yang tidak kami paksakan kepada siapa pun, dan tidak kami katakan bahwa wajib bagi seseorang untuk menerimanya dengan keberatan. Barangsiapa yang memiliki pendapat yang lebih baik darinya, maka hendaklah dia mengemukakannya."
IBNU AL-MUBAARAK (wafat 181 H):
Betapa agungnya perkataan Ibnu al-Mubarak - dia termasuk para imam mujtahid -:
«إِنِّي لَأَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَأَكْتُبُهُ، وَمَا مِنْ رَأْيِي أَنْ أَعْمَلَ بِهِ، وَلَا أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ، وَلَكِنْ أَتَّخِذُهُ عُدَّةً لِبَعْضِ أَصْحَابِي إِنْ عَمِلَ بِهِ أَقُولُ: عَمِلَ بِالْحَدِيثِ».
"Aku mendengar hadis lalu menulisnya, meskipun aku tidak berpendapat untuk mengamalkannya. Atau aku meriwayatkannya, tetapi aku menganggapnya sebagai persiapan untuk sebagian sahabatku yang mengamalkannya. Aku katakan: Dia mengamalkan hadis tersebut". [Baca : "al-Kifāyah" karya al-Khaṭīb hal. 402, dan "Faḍā'il Abī Ḥanīfah" karya Ibnu Abī al-'Awām hal. 265].
Karena perkataan itu mengandung makna yang kita bicarakan, dan lebih dari itu, ia mencerminkan kemurahan hati dan kebaikan sifatnya terhadap sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum .
YAHYA AL-QATHTHAN (wafat 198 H) :
Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan rahimahullah berkata:
مَا بَرَحَ أُولُو الْفَتْوَى يَفْتُونَ فَيُحَلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا فَلَا يَرَى الْمُحَرَّمُ أَنَّ الْمُحَلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ وَلَا يَرَى الْمُحَلُّ أَنَّ الْمُحَرَّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ.
“Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.” [ Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Imam Ibnu Abdil Bar]
Al-IMAM AL-AWZAA’I (wafat 157 H) :
Al-Awza'i adalah salah satu imam mujtahid. Dalam kitab "al-Tamhid" 21/172, Ibnu Abdil Barr berkata
«قَالَ الأُوزَاعِيُّ فِي الَّذِي يَقْبِّلُ امْرَأَتَهُ: إِنْ جَاءَ يَسْأَلُنِي قُلْتُ: يَتَوَضَّأُ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ أَعِبْ عَلَيْهِ!».
"al-Awza'i berkata tentang orang yang mencium istrinya:
Jika dia datang bertanya kepadaku, maka aku katakan: dia harus berwudhu. Dan jika dia tidak berwudhu, maka akupun tidak mencelanya!" " . [Lihat pula : "al-Istidzkar" jilid 1: 323, dan jilid 3: 50, dari cetakan Dr. Qulaji].
IMAM SYAFI’I (wafat 204 H):
Imam Asy Syafi’i rahimahullah, juga Imam Malik berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.
Namun demikian telah diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .
“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.’” [Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah]
IMAM AHMAD (wafat 241 H):
Dan yang serupa disebutkan tentang perkataan seorang Imam Mujtahid lainnya, yaitu Imam Ahmad, dalam kitab "Siyar A'lam al-Nubala'" (11/371 biografi Ishaq bin Raahuwiyah):
«قَالَ أَحْمَدُ: لَمْ يَعْبُرِ الْجِسْرَ إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ إِسْحَاقَ، وَإِنْ كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَلْ يُخَالِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا».
"Ahmad berkata: Tidak ada yang menyeberangi jembatan menuju Khurasan yang seperti Ishaq, meskipun dia berbeda pendapat dengan kami dalam beberapa hal, karena manusia selalu berbeda pendapat satu sama lain."
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:
"لا نَفْعَلُهُ وَلا نُعِيبُ فَاعِلَهُ."
“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” [Al Mughni, 2/87 dan Syarhul Kabir, 1/802]
Dan tentang qunut shubuh, diceritakan sebagai berikut:
فقد كَانَ الإمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فَتَابِعْهُ عَلَى قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ اتِّحَادِ الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.
“Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.’” [Syarhul Mumti’ 4/25 karya Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Mawqi’ Ruh Al Islam]
Abu Dawud berkata:
«سَمِعْتُ أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ؟ قَالَ: أَنَا لَا أَفْعَلُهُ، فَإِنْ فَعَلَهُ فَلَا بَأْسَ بِهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْتَحْسِنُهُ وَيَرَاهُ».
"Aku mendengar Ahmad ditanya tentang dua rakaat sebelum Maghrib? Beliau berkata: 'Aku tidak melakukannya, tetapi jika seseorang melakukannya, maka tidak mengapa.'
Abu Dawud berkata: 'Aku mendengarnya sebelum itu beberapa waktu yang lalu, dia menganggapnya bagus dan juga berpendapat yang sama.'" [Masā'il al-Imām Aḥmad al-Fiqhiyyah karya Abu Dāwūd Hal. 72].
Dalam "al-Tamhid" 11/139 dari al-Atsram, dia berkata:
«سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ - يَقُولُ فِي مَنْ تَأَوَّلَ: إِنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ خَلْفَهُ إِذَا كَانَ لِتَأْوِيلِهِ وَجْهٌ فِي السُّنَّةِ».
"Aku mendengar Abu Abdillah - yaitu Ahmad bin Hanbal - berkata tentang orang yang melakukan ta'wil: Tidak mengapa shalat di belakangnya jika ta'wilnya memiliki dasar dalam sunnah." [Baca : al-Jaami’ Li ‘Uluumi al-Imam Ahmad 6/355 dan Dzakhiiratul ‘Uqbaa 3/130].
Dan para pengikut mereka juga mengikuti jalan ini, dan penjelasan tentang keadaan mereka akan panjang, dan penulis merasa tidak perlu menjelaskannya dan memperluasnya.
Cukup sekian sebagai contoh, dan di sana masih banyak lagi. Contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.
*****
PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN DAN MENCELA PERBEDAAN PENDAPAT :
Beberapa ulama dengan tegas mencela perbedaan pendapat dan mengharamkannya; di antaranya:
Pertama : Al-Muzani (w. 264 H) dalam kitabnya Dzamm at-Taqliid (sebagaimana dikutip oleh az-Zarkasyi dalam al-Bahrul Muhith 6/257] berkata:
وَلَوْ كَانَ ٱلِٱخْتِلَافُ رَحْمَةً، لَكَانَ ٱلِٱجْتِمَاعُ عَذَابًا؛ لِأَنَّ ٱلْعَذَابَ خِلَافُ ٱلرَّحْمَةِ
"Jika perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan akan menjadi azab; karena azab adalah kebalikan dari rahmat."
Akan tetapi al-Muzani kemudian berkata :
قالَ الشافعيُّ - رَحِمَهُ اللهُ تعالى - ٱلاخْـتِـلاَفُ وَجْهانِ: فَما كانَ مَنْصُوصًا، لَمْ يَحِلَّ فيهِ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَما كانَ يَحْتَمِلُ التَأْوِيلَ أَوْ يُدْرَكُ قِياسًا، فَذَهَبَ المُتَأَوِّلُ أَوِ المُقايِسُ إِلى مَعْنًى يَحْتَمِلُ ذلِكَ، وَإِنْ خالَفَهُ غَيْرُهُ، لَمْ أَقُلْ إِنَّهُ يُضَيِّقُ عَلَيْهِ ضَيْقَ ٱلاخْـتِـلاَفُ في المَنْصُوصِ.
Al-Imam asy-Syafi’i – rahimahullah - berkata : "Perbedaan pendapat itu ada dua jenis:
Pertama, jika sesuatu itu telah jelas ditentukan (dalam nash), maka tidak boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya.
Kedua, jika sesuatu itu mengandung penafsiran atau dapat dipahami melalui analogi, maka jika seseorang yang menafsirkan atau menganalogikan sampai pada suatu makna yang mungkin, meskipun orang lain tidak sependapat dengannya, maka aku tidak mengatakan bahwa ia harus dipersempit sebagaimana dipersempitnya dalam perbedaan yang terdapat nash." [Baca : al-Bahrul Muhith 6/257 karya az-Zarkasyi]
Kedua : Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata:
وَهٰذا مِنْ أَفْسَدِ قَوْلٍ يَكُونُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كانَ ٱلاخْـتِـلاَفُ رَحْمَةً لَكانَ الاِتِّفاقُ سَخَطًا، وَهٰذا ما لا يَقولُهُ مُسْلِمٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ إِلّا اِتِّفاقٌ أَوِ اخْتِلافٌ، وَلَيْسَ إِلّا رَحْمَةٌ أَوْ سَخَطٌ، وَأَمّا الحَديثُ المَذْكورُ فَباطِلٌ مَكْذوبٌ، مِنْ تَوْلِيدِ أَهْلِ الفِسْقِ.
"Ini adalah perkataan yang paling fasiq (rusak); karena jika perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan akan menjadi murka. Dan ini adalah sesuatu yang tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim; karena tidak ada selain kesepakatan atau perbedaan pendapat, dan tidak ada selain rahmat atau murka. Adapun hadits yang disebutkan adalah palsu dan dibuat-buat, oleh orang-orang fasik." [Baca : al-Ihkam Fii Ashulil Ahkam karya Ibnu Hazm 5/64].
Kemudian Ibnu Hazm berkata :
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الصَّحَابَةَ قَدِ ٱخْتَلَفُوا وَهُمْ أَفَاضِلُ ٱلنَّاسِ ـ أَفَيَلْحَقُهُمُ ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ؟.
قِيلَ: كَلَّا، مَا يَلْحَقُ أُولَئِكَ شَيْءٌ مِنْ هٰذَا، لِأَنَّ كُلَّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُمْ تَحَرَّى سَبِيلَ ٱللَّهِ، وَوِجْهَتُهُ ٱلْحَقَّ، فَٱلْمُخْطِئُ مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرًا وَاحِدًا لِنِيَّتِهِ ٱلْجَمِيلَةِ فِي إِرَادَةِ ٱلْخَيْرِ، وَقَدْ رُفِعَ عَنْهُمُ ٱلإِثْمُ فِي خَطَئِهِمْ، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَتَعَمَّدُوهُ، وَلَا قَصَدُوهُ، وَلَا ٱسْتَهَانُوا بِطَلَبِهِمْ، وَٱلْمُصِيبُ مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرَيْنِ، وَهَكَذَا كُلُّ مُسْلِمٍ إِلَى يَوْمِ ٱلْقِيَامَةِ فِيمَا خَفِيَ عَلَيْهِ مِنَ ٱلدِّينِ وَلَمْ يَبْلُغْهُ، وَإِنَّمَا ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ، وَٱلْوَعِيدُ ٱلْمَنْصُوصُ لِمَنْ تَرَكَ ٱلتَّعَلُّقَ بِحَبْلِ ٱللَّهِ: وَهُوَ ٱلْقُرْآنُ، وَكَلَامُ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ بُلُوغِ ٱلنَّصِّ إِلَيْهِ، وَقِيَامِ ٱلْحُجَّةِ عَلَيْهِ، وَتَعَلَّقَ بِفُلَانٍ بِفُلَانٍ مُقَلِّدًا عَامِدًا لِلْٱخْتِلَافِ، دَاعِيًا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَحَمِيَّةِ ٱلْجَاهِلِيَّةِ، قَاصِدًا لِلْفُرْقَةِ، مُتَحَرِّيًا فِي دَعْوَاهُ بِرَدِّ ٱلْقُرْآنِ وَٱلسُّنَّةِ إِلَيْهَا، فَإِنْ وَافَقَهَا ٱلنَّصُّ أَخَذَ بِهِ، وَإِنْ خَالَفَهَا تَعَلَّقَ بِجَاهِلِيَّةٍ، وَتَرَكَ ٱلْقُرْآنَ وَكَلَامَ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَهَؤُلَاءِ هُمُ ٱلْمُخْتَلِفُونَ ٱلْمَذْمُومُونَ.
Maka jika ada yang bertanya : "Para sahabat telah berselisih pendapat padahal mereka adalah orang-orang yang paling mulia - apakah mereka termasuk dalam kecaman yang disebutkan?"
Dijawab : "Tidak, mereka tidak terkena sedikitpun dari hal ini, karena masing-masing dari mereka mencari jalan Allah dan tujuannya adalah kebenaran. Maka yang salah dari mereka mendapatkan satu pahala karena niatnya yang baik dalam menginginkan kebaikan, dan dosa diangkat dari mereka atas kesalahan mereka, karena mereka tidak sengaja melakukannya, tidak berniat melakukannya, dan tidak menggampangkan dalam penelitian mereka.
Sedangkan yang berijtihad dengan benar dari mereka maka akan mendapatkan dua pahala.
Demikian pula setiap Muslim hingga hari kiamat dalam hal yang tidak diketahuinya dari agama dan belum sampai kepadanya.
Kecaman dan ancaman yang disebutkan hanyalah bagi mereka yang sengaja meninggalkan berpegang pada tali Allah: yaitu Al-Qur'an dan sabda Nabi ﷺ setelah nash sampai kepadanya, hujjah ditegakkan atasnya, dan ia terikat pada si fulan dan si fulan dengan sengaja bertaklid demi untuk berselisih, mengajak pada fanatisme dan semangat jahiliah, bertujuan untuk perpecahan, sengaja dalam dakwaannya dengan menolak Al-Qur'an dan sunnah kepadanya.
Jika nash sesuai dengan pendapatnya maka ia mengambilnya, dan jika nash bertentangan dengan pendapatnya maka ia mengikuti kejahiliahan-nya, meninggalkan Al-Qur'an dan sabda Nabi ﷺ. Maka mereka inilah yang disebut sebagai orang-orang yang berselisih yang tercela."
[Baca : al-Ihkam Fii Ashulil Ahkam karya Ibnu Hazm 5/67-68. Di kutip pula oleh al-Albaani dalam as-Silsilah adh-Dho’ifah 1/143].
Ketiga : Dr. Abdul Karim Zaidan (w. 1435 H) berkata:
"ٱلِٱئْتِلَافُ وَٱلِٱتِّفَاقُ خَيْرٌ مِنَ ٱلِٱخْتِلَافِ قَطْعًا، حَتَّى فِي ٱلْمَسَائِلِ ٱلِٱجْتِهَادِيَّةِ ٱلسَّائِغِ ٱلِٱخْتِلَافِ فِيهَا، فَلَا يَجُوزُ ٱلْحِرْصُ عَلَى ٱلِٱخْتِلَافِ، وَٱلرَّغْبَةُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ سَائِغًا؛ لِأَنَّ مَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ تَعَمُّدِهِ وَوُقُوعِهِ، وَمَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ مُخَالَفَةِ مُقْتَضَى ٱلدَّلِيلِ ٱلشَّرْعِيِّ؛ حَتَّى يَحْصُلَ ٱلْخِلَافُ، وَهٰذَا بَاطِلٌ قَطْعًا، وَأَيْضًا فَإِنَّ مِنْ شُرُوطِ ٱلِٱخْتِلَافِ ٱلسَّائِغِ تَجْرِيدَ ٱلْقَصْدِ لِلْوُصُولِ إِلَى ٱلْحَقِّ وَٱلصَّوَابِ، وَهٰذَا لَا يَتَّفِقُ مَعَ ٱلرَّغْبَةِ فِي وُقُوعِهِ".
"Kesatuan dan kesepakatan jelas lebih baik daripada perbedaan pendapat, bahkan dalam masalah ijtihad yang diperbolehkan adanya perbedaan pendapat di dalamnya, tidak diperbolehkan untuk bersemangat dalam mencari perbedaan pendapat dan menginginkannya, meskipun itu diperbolehkan; karena ini berarti memperbolehkan kesengajaan dan terjadinya perbedaan pendapat, yang berarti memperbolehkan melawan tuntutan bukti syar'i; agar terjadi perbedaan pendapat, dan ini jelas salah. Selain itu, salah satu syarat perbedaan pendapat yang diperbolehkan adalah murni berniat untuk mencapai kebenaran dan ketepatan, dan ini tidak sesuai dengan keinginan untuk terjadinya perbedaan pendapat." [(Al-Mawsu'ah Al-Hurrah Mawqi’ Fi Al-Internet)]
*****
KESIMPULAN DAN TARJIH :
Mengarahkan dan menggabungkan pendapat-pendapat dalam hal ini ke dua arah:
Arah Pertama:
Kelapangan, keluasan dan rahmat tidak merujuk pada sifat perbedaan pendapat itu sendiri, melainkan pada tujuan dan maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yaitu bahwa diperbolehkan ijtihad dalam masalah-masalah cabang untuk mencapai maksud syariat adalah merupakan kelapangan dan rahmat; karena ketika diperbolehkan bagi mereka untuk melakukan ijtihad dalam dalil-dalil yang bersifat dugaan, atau ketika tidak ada nash dalam masalah-masalah yang terjadi.
Dan ketika diperbolehkan bagi generasi awal untuk beramal dengan apa yang dicapai oleh ijtihad mereka; maka hal itu diperbolehkan pula bagi generasi setelah mereka; sehingga hal itu menjadi kelapangan bagi umat dan rahmat bagi mereka, jika tidak, maka akan menjadi sempit bagi para ulama dan mereka yang meminta fatwa dalam banyak hukum.
Adapun perbedaan pendapat itu sendiri yang terjadi di antara mereka, maka tidak ada kelapangan di dalamnya, melainkan ada kesalahan dan kebenaran, meskipun mereka dimaafkan dan tidak berdosa karenanya; karena mereka tidak bermaksud untuk itu dan tidak sengaja melakukannya.
Jadi, kelapangan adalah dari dibukanya pintu ijtihad, atau dalam beramal dengan apa yang dihasilkan oleh ijtihad mereka, bukan dalam perbedaan itu sendiri di antara mereka. Oleh karena itu, kelapangan dan rahmat terletak pada dibukanya pintu ijtihad, dan beramalnya seorang mujtahid dengan apa yang dicapai oleh ijtihadnya, serta taklidnya orang-orang kepadanya dalam hal itu; dengan anggapan bahwa mereka mengambil yang lebih kuat, meskipun pada hakikatnya bisa jadi bahwa itu yang lebih lemah.
Jadi, tersembunyinya dan ketidak jelasnnya hukum syar'i dari mereka adalah rahmat bagi mereka, dan kelapangan bagi mereka; karena dalam kemunculannya terdapat kesulitan dan penyempitan bagi mereka.
Meskipun perbedaan itu sendiri adalah keburukan, hal itu selama para pihak yang berbeda itu berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Arah Kedua:
Perbedaan pendapat adalah rahmat, yaitu bahwa orang-orang yang berbeda pendapat itu dirahmati, bukan perbedaan itu sendiri yang dimaksud, atau bukan perbedaan itu sendiri adalah rahmat, akan tetapi orang-orang yang berbeda pendapat itu dirahmati, dalam arti:
“Bahwa siapa pun yang berusaha mencapai kebenaran, dan tidak ngasal, maka dia telah melaksanakan kewajibannya. Jika dia salah, maka dia mendapat satu pahala, dan jika dia benar, maka dia mendapat dua pahala.
Jadi, perbedaan pendapat itu sendiri bukanlah rahmat atau sesuatu yang diinginkan secara syar'i, bahkan jika kita bisa menghilangkan perbedaan pendapat ini dan mengakhirinya, maka itu adalah yang terbaik. Bahkan perbedaan yang dibenarkan, jika kita bisa menghilangkannya dengan berdiskusi dan berdialog dalam suasana persahabatan dan cinta kasih hingga mencapai satu pendapat - itu lebih baik dan lebih bagus; karena berkumpulnya orang-orang pada satu pendapat lebih baik bagi mereka daripada perbedaan pendapat.
Namun, maksudnya adalah bahwa orang-orang yang berbeda pendapat ini tidak diancam dengan adzab selama mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui kebenaran, masing-masing sesuai dengan ilmu dan kemampuannya, dan kebenaran itu hanya satu, tidak lebih.
Adanya perbedaan pendapat semacam ini memiliki hikmah kosmik, bukan hikmah syar'i, dan alasan perbedaan pendapat kembali pada perbedaan pemahaman, kemampuan, dan metode pendidikan pada awalnya.
Ini adalah hal-hal yang bersifat takdir, sehingga yang diinginkan secara syar'i adalah kesepakatan sejauh mungkin, dan pencarian kebenaran sesuai dengan kemampuan. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat semacam ini dirahmati.
Jadi, seorang mujtahid atau orang awam jika mengikuti pendapat orang yang lebih dipercaya di antara ulama menurut pandangannya, maka tidak perlu berprasangka bahwa dia dalam bahaya atau di tepi kehancuran jika ternyata pendapat tersebut salah, atau jika pendapat tersebut pada hakikatnya salah di sisi Allah. Akan tetapi selama pendapat tersebut telah diamalkan oleh beberapa imam yang dianggap keilmuannya, maka dia dirahmati dan mendapat pahala satu atau dua, sehingga dari sudut pandang ini, perbedaan pendapat adalah rahmat, bukan perbedaan itu sendiri adalah rahmat atau sesuatu yang diinginkan.
Dalam hadits riwayat dari Amr ibn al-'Ash, di sebutkan bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim mengadili dan berijtihad lantas ia salah, baginya satu pahala. [HR. Bukhori no. 7352].
Dalam lafadz lain :
إذا اجتَهَد فأصاب فله أجرانِ، وإن اجتَهَد فأخطَأَ فله أجرٌ
Jika seseorang berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seseorang berijtihad lantas ia salah, baginya satu pahala.
[Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3574), Ibnu Majah (2314), dan Ahmad (17809) dengan sedikit perbedaan. Di shahihkan oleh asy-Syawkani dalam al-Fathur Rabbaani 6/3090].
PERNYATAAN AL-IMAM ASY-SYATIBI :
Imam Al-Syathibi rahimahullah berkata:
"وَمَعْنَى هَذَا أَنَّهُمْ فَتَحُوا لِلنَّاسِ بَابَ الِاجْتِهَادِ وَجَوَازَ ٱلاخْـتِـلاَفُ فِيهِ، لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَفْتَحُوهُ لَكَانَ الْمُجْتَهِدُونَ فِي ضِيقٍ ... فَوَسَّعَ اللَّهُ عَلَى الْأُمَّةِ بِوُجُودِ الخِلاَفُ الْفُرُوعِي فِيهِمْ، فَكَانَ فَتْحُ بَابِ لِلْأُمَّةِ لِلدُّخُولِ فِي هَذِهِ الرَّحْمَةِ".
"Makna dari ini adalah bahwa mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia, dan memperbolehkan perbedaan pendapat di dalamnya; karena jika mereka tidak boleh membukanya, maka para mujtahid akan berada dalam kesulitan; maka Allah melapangkan umat dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah furu’ di antara mereka, sehingga menjadi pembuka pintu bagi umat untuk masuk dalam rahmat ini." [ al-I’thishom 2/677].
Beliau juga berkata dalam al-Muwafaqoot 5/75 :
فَيُحْمَلُ أَنْ يَكُونَ مِنْ جِهَةِ فَتْحِ بَابِ ٱلِاجْتِهَادِ، وَأَنَّ مَسَائِلَ ٱلِاجْتِهَادِ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ مِنْهَا سَعَةً بِتَوْسِعَةِ مَجَالِ ٱلِاجْتِهَادِ لَا غَيْرَ ذٰلِكَ.
"Ini dapat diartikan sebagai pembuka pintu ijtihad, dan bahwa masalah-masalah ijtihad telah Allah jadikan luas dengan memperluas ruang lingkup ijtihad saja, tidak lebih dari itu."
Lalu asy-Syathibi berkata :
قَالَ الْقَاضِي إِسْمَاعِيلُ : "إِنَّمَا التَّوْسِعَةُ فِي اخْتِلَافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوْسِعَةٌ فِي اجْتِهَادِ الرَّأْيِ، فَأَمَّا أَنْ يَكُونَ تَوْسِعَةً أَنْ يَقُولَ الْإِنْسَانُ بِقَوْلِ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ عِنْدَهُ فِيهِ فَلَا، وَلَكِنَّ اخْتِلَافَهُمْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمُ اجْتَهَدُوا، فَاخْتَلَفُوا". قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ : "كَلَامُ إِسْمَاعِيلَ هَذَا حَسَنٌ جِدًّا".
Qadhi Ismail berkata: "Pelapangan dalam perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah ﷺ adalah pelapangan dalam ijtihad pendapat, tetapi jika dimaksudkan sebagai pelapangan bahwa seseorang bisa mengikuti salah satu pendapat mereka tanpa meyakini kebenarannya, maka itu tidak boleh. Namun, perbedaan pendapat mereka menunjukkan bahwa mereka berijtihad sehingga mereka berbeda pendapat."
Ibnu Abdul Barr berkata: "Ucapan Ismail ini sangat baik sekali." [Baca : al-Muwafaqoot 5/75]
SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:
وَالنِّزَاعُ فِي الْأَحْكَامِ قَدْ يَكُونُ رَحْمَةً إذَا لَمْ يُفْضِ إلَى شَرٍّ عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang karena keidak jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:
{لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).
Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].
Perbedaan pendapat, meskipun pada dasarnya adalah keburukan, namun kapanpun jika para pihak yang berselisih itu kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah serta berniat mencari kebenaran, dan berusaha keras untuk mencapainya; maka mereka termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
﴿فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ وَاللَّهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ﴾
*"Maka Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal-hal yang mereka perselisihkan dengan seizin-Nya. Dan Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus"* (Al-Baqarah: 213).
Maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad ﷺ, yang membenarkannya dan apa yang dibawanya dari Allah, tentang apa yang diperselisihkan oleh orang-orang yang diberi kitab." [Tafsir ath-Thabari 4/283]
IBNU AL-QAYYIM :
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata:
"فَمَنْ هَدَاهُ ٱللَّهُ سُبْحَانَهُ إِلَى ٱلْأَخْذِ بِٱلْحَقِّ حَيْثُ كَانَ، وَمَعَ مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ يَبْغِضُهُ وَيَعَادِيهِ، وَرَدَ ٱلْبَاطِلَ مَعَ مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ يُحِبُّهُ وَيُوَالِيهِ؛ فَهُوَ مِمَّنْ هُدِيَ لِمَا ٱخْتَلَفَ فِيهِ مِنَ ٱلْحَقِّ؛ فَهَذَا أَعْلَمُ ٱلنَّاسِ وَأَهْدَاهُمْ سَبِيلًا وَأَقَوَّمُهُمْ قِيلًا."
"Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi petunjuk hidayah kepadanya untuk mengambil kebenaran di mana pun dan bersama siapa pun, meskipun bersama orang yang dia benci dan dia musuhi, dan menolak kebatilan bersama siapa pun, meskipun bersama orang yang dia cintai dan dia bela ; maka dia termasuk orang yang diberi petunjuk atas apa yang diperselisihkan tentang kebenaran itu. Maka dia adalah orang yang paling berilmu di antara manusia dan paling banyak mendapat petunjuk dari pada mereka dan paling paling lurus ucapannya ." [ Baca : ash-Showaa’iq al-Mursalah 2/516].
0 Komentar