HUKUM MENCUKUR KUMIS DAN MEMOTONG-NYA
Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
*****
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- KUMPULAN HADITS TENTANG MENCUKUR DAN MEMOTONG KUMIS
- PERTAMA : HADITS MEMANGKAS KUMIS ADALAH SALAH SATU FITRAH LELAKI :
- KEDUA : HADITS : YANG TIDAK MENCUKUR KUMIS, BUKAN GOLONGANKU :
- KETIGA : HADITS PERINTAH MEMANGKAS DAN MENCUKUR KUMIS
- KEEMPAT : HADITS MEMANGKAS KUMIS AGAR BERBEDA DENGAN ORANG KAFIR:
- KELIMA : ATSAR UMAR BIN KHATHTHAB YANG SENANTIASA MEMANJANGKAN DAN MELEBATKAN KUMISNYA :
- KOSAKATA YANG TERDAPAT DALAM HADITS MENCUKUR KUMIS:
- HUKUM MENCUKUR DAN MEMOTONG KUMIS
- PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG SUNNAH DAN WAJIBNYA MEMOTONG KUMIS
- PENDAPAT PERTAMA : MEMOTONG KUMIS ADALAH SUNNAH:
- PENDAPAT KE DUA : MEMOTONG KUMIS ADALAH FARDHU (WAJIB)
- YANG SESUAI SUNNAH : APAKAH CUKUR KLIMIS ATAU POTONG PENDEK KUMIS ?
- PENDAPAT PERTAMA : Yang sesuai sunnah adalah dicukur habis klimis semuanya.
- PENDAPAT KEDUA : Yang sesuai sunnah adalah memendekkan kumis. Sementara mencukur habis itu makruh.
- APAKAH SELURUH PERMUKAAN KUMIS ATAU YANG MELEWATI TEPI BIBIR SAJA?
- HUKUM MEMELIHARA KUMIS BAPLANG (UJUNG KANAN KIRI BIBIR)
- Ada tiga pendapat :
- PENDAPAT PERTAMA : BOLEH & MUBAH MEMELIHARA UJUNG KANAN KIRI KUMIS
- PENDAPAT KEDUA : MAKRUH MEMELIHARA UJUNG KANAN KIRI KUMIS
- PENDAPAT KETIGA : HARAM MEMELIHARA KUMIS BAPLANG (UJUNG KANAN KIRI BIBIR)
- KESIMPULAN DAN TARJIH :
******
**بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ**
===
PENDAHULUAN
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam "Al-Fath" mengatakan:
أَبْدَى ابْنُ الْعَرَبِي لِتَخْفِيفِ شَعْرِ الشَّارِبِ مَعَنًى لَطِيفًا فَقَالَ: إِنَّ الْمَاءَ النَّازِلَ مِنَ الْأَنْفِ يَتَلَبَّدُ بِهِ الشَّعْرُ لِمَا فِيهِ مِنَ اللُّزُوجَةِ وَيُعَسِّرُ تَنْقِيتُهُ عِنْدَ غَسْلِهِ وَهُوَ بِإِزَاءِ حَاسَةٍ شَرِيفَةٍ وَهِيَ الشَّمُّ فَشُرِعَ تَخْفِيفُهُ لِيُتَمَّ الْجَمَالُ وَالْمَنْفَعَةُ بِهِ.
Ibnu al-Arabi mengekspresikan makna yang lembut tentang memendekkan bulu kumis, dengan mengatakan:
"Air yang keluar dari hidung bisa melekat pada bulu karena kekentalannya dan sulit dibersihkan saat mencuci wajah, yang berada di dekat indera yang mulia, yaitu penciuman, maka disyariatkan untuk memendekkannya demi untuk menyempurnakan ketampanan dan manfaat yang ada padanya." [Fathul Bari 10/348]
An-Nafrawi dalam "Al-Fawakih al-Dawani" 2/305 mengatakan:
في قَصِّهِ فَوَائِدَ كَثِيرَةٌ، مِنْهَا: ظُهُورُ حَاشِيَتِهِ، وَمِنْهَا: تَسْهِيلُ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، وَمِنْهَا: زَوَالُ الْأَدْرَانِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِهِ، وَمِنْهَا: تَحْسِينُ الْخِلْقَةِ. أهـ.
"Ada banyak manfaat dalam memotong kumis, antara lain: nampak kelihatan rapih sisi-sisinya, memudahkan makan dan minum, menghilangkan kotoran yang menempel, dan memperbagus bentuk penampilan." (Selesai)
Dan ada pula yang mengatakan :
ثُمَّ لَا يَخْفَى مَا فِي تَرْكِ الشَّارِبِ عَلَى حَالِهِ
مِنْ إِيذَاءٍ لِلزَّوْجَةِ، وَتَلْوِيثٍ لِلطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، وَتَشَبُّهٍ بِغَيْرِ
الْمُسْلِمِينَ.
Kemudian tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kumis
dalam keadaan panjang dapat menyebabkan madhorot bagi istri, mencemari makanan
dan minuman, serta menyerupai non-Muslim.
Kecuali jika ada kepentingan lain, contohnya seperti yang disebutkan al-Hafidz Ibnu Hajar:
"وَحكى بن دَقِيقِ الْعِيدِ عَنْ بَعْضِ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّهُ قَالَ لَا بَأْسَ بِإِبْقَاءِ الشَّوَارِبِ فِي الْحَرْبِ إِرْهَابًا لِلْعَدُوِّ ".
"Dan Ibnu Daqiq al-'Id menghikayatkan dari sebagian para ulama Hanafiyah bahwa dia berkata : ‘Tidak mengapa membiarkan kumis (tumbuh panjang) dalam peperangan untuk menakut-nakuti musuh’." (Fath Al-Bari) (10/348)
******
KUMPULAN HADITS TENTANG MENCUKUR DAN MEMOTONG KUMIS
======
PERTAMA
HADITS MEMANGKAS KUMIS ADALAH SALAH SATU FITRAH LELAKI :
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ’anhu- dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
"Fithrah itu ada lima, atau ada lima fithrah yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis." [HR. Bukhori no. 5891 Dan Muslim no. 257]
Dari Aisyah (radhiyallahu 'anha) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
عَشْرٌ مِنَ الفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وإعْفاءُ اللِّحْيَةِ، والسِّواكُ، واسْتِنْشاقُ الماءِ، وقَصُّ الأظْفارِ، وغَسْلُ البَراجِمِ، ونَتْفُ الإبِطِ، وحَلْقُ العانَةِ، وانْتِقاصُ الماءِ. قالَ زَكَرِيّا: قالَ مُصْعَبٌ: ونَسِيتُ العاشِرَةَ إلَّا أنْ تَكُونَ المَضْمَضَةَ. زادَ قُتَيْبَةُ، قالَ وكِيعٌ: انْتِقاصُ الماءِ: يَعْنِي الاسْتِنْجاءَ.
"Ada sepuluh perbuatan fitrah: memotong kumis, membiarkan jenggot tumbuh, bersiwak, beristinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), memotong kuku, mencuci persendian jari (Baraajim : yaitu, persendian jari telapak tangan bagian atas)), mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan (pubis) dan beristinja (cebok) dengan air.
Mus'ab berkata: "Saya lupa yang kesepuluh, kemungkinan berkumur-kumur."
[HR. Muslim no. 261 ]
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Beliau mengatakan:
«وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفِ الْإِبِطِ، وَحَلْقِ الْعَانَةِ، أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً»
“Rasulullah ﷺ memberikan batasan waktu kepada kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari.” (HR. Muslim no. 258).
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata:
الْأَخْبَارُ الثَّابِتَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ أَخْذَ الشَّارِبِ وَالْأَظْفَارِ مِنَ الْفِطْرَةِ، وَأَنَّهُ أَمَرَ بِقَصِّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
"Hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa memotong kumis dan kuku adalah dari fitrah, dan beliau memerintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan jenggot." (Al-Ausath, 1/238).
Istidlal dari tiga hadits diatas :
Bahwa yang disyariatkan adalah memotong kumis, dan ini adalah kata yang disebutkan dalam sebagian besar riwayat hadits.
=====
KEDUA :
HADITS : YANG TIDAK MEMOTONG KUMIS, BUKAN GOLONGANKU :
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ، فَلَيْسَ مِنَّا»
"Barangsiapa yang tidak memotong sebagian dari kumisnya, maka dia bukan termasuk golongan kami"
[HR; Imam Tirmidzi (2761), An-Nasa'i no. 5048 , dan Ahmad (4/366) (19283).
Imam Tirmidzi mengatakan: "Hasan Sahih," dan Al-Iraqi dalam "Tarthib at-Tathrib" (2/82) menyatakan: "Tsaabit," dan sanadnya dianggap kuat oleh Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari" (10/349).
Dan disahihkan oleh Ibnu Baz dalam "Majmu' al-Fatawa" (3/363), serta oleh Al-Albani dalam "Shahih Sunan at-Tirmidzi" (2761), dan Al-Wadi'i dalam "As-Sahiih al-Musnad" (361), dan dia berkata: "Para perawinya adalah thiqah (terpercaya)"].
Ancaman dalam hadits ini mirip dengan hadits dari 'Uqbah bin 'Aamir radhiyallahu 'anhu , Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ عَلِمَ الرَّمْيَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا أَوْ قَدْ عَصَى»
“Barangsiapa yang menguasai ilmu melempar [tombak atau panah] lalu ia meninggalkannya, maka ia bukan termasuk golongan kami atau sungguh ia telah bermaksiat [durhaka].” [HR Muslim no 1919].
Al-Imam An-Nawawi berkata:
هَذَا تَشْدِيدٌ عَظِيمٌ فِي نِسْيَانِ الرَّمْيِ بَعْدَ عِلْمِهِ وَهُوَ مَكْرُوهٌ كَرَاهَةً شَدِيدَةً لِمَنْ تَرَكَه بِلا عُذْرٍ
"Ini adalah tekanan besar dalam melupakan keahlian melempar setelah menguasai ilmunya, dan itu sangat dibenci atas mereka yang meninggalkannya tanpa ada udzur ". [ Syarah Shahih Muslim 13/65]
=====
KETIGA :
HADITS PERINTAH MEMANGKAS DAN MENCUKUR KUMIS
Hadits ke 1 :
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أحْفُوا الشَّوارِبَ، وأوفُوا اللِّحى
”Potonglah semuanya kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Muslim no. 259].
Hadits ke 2 :
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أنهِكوا الشَّوارِبَ، وأعْفُوا اللِّحى
”Cukurlah sampai habis kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Al-Bukhari no. 5554].
Hadits ke 3 :
Dari Ibnu ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi ﷺ :
أَنَّهُ: «أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ، وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ»
”Bahwasannya beliau ﷺ memerintahkan untuk memotong habis kumis dan memelihara jenggot” [HR. Muslim no. 259].
Hadits ke 4 :
Dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhai, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ
"Cukur habislah kumis kalian ." (HR. Muslim no. 260)
Hadits ke 5 :
"Dan dari Ummu 'Aisyah, ia berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُحْفِي شَارِبَهُ».
'Rasulullah ﷺ biasa berlebihan memotong pendek kumisnya.'"
Al-Hatsami dalam al-Majma’ no. 8842 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ وَفِيهِ عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ رَوْحٍ وَهُوَ مَتْرُوكٌ.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan dalam riwayat ini terdapat Abdurrahman bin Rauh, yang mana dia adalah perawi yang ditinggalkan (matruk).
Hadits ke 6 :
Dari Ubaid, ia berkata:
«أَمَرَ النَّبِيُّ ﷺ بِالِاحْتِفَاءِ».
'Nabi ﷺ memerintahkan untuk memotong sangat pendek kumis.'"
Al-Hatsami dalam al-Majma’ no. 8843 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan para perawinya adalah perawi-perawi hadits shahih.
Hadits ke 6 :
Dari Syurahbil bin Muslim al-Khawlani, dia berkata:
رَأَيْتُ خَمْسَةً مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يُقَصُّونَ شَوَارِبَهُمْ وَيُعْفُونَ لِحَاهُمْ وَيُصَفِّرُونَهَا: أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُسْرٍ، وَعُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ السُّلَمِيِّ، وَالْحَجَّاجُ بْنُ عَامِرٍ الثُّمَالِيُّ، وَالْمِقْدَامُ بْنُ مَعْدٍ يَكْرِبَ الْكِنْدِيُّ؛ كَانُوا يُقَصُّونَ شَوَارِبَهُمْ مَعَ طَرَفِ الشَّفَةِ.
"Aku melihat lima orang dari para sahabat Rasulullah ﷺ memotong kumis mereka, membiarkan janggut mereka, dan mencelupnya dengan pewarna kuning, yaitu : Abu Umamah al-Baahili, Abdullah bin Bisyr, ‘Utbah bin Abdus Salam, Al-Hajjaj bin Amir al-Tsumali, dan Al-Miqdam bin Ma'di Yakrib al-Kindi; mereka memotong kumis mereka hingga sejajar dengan ujung bibir."
(HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam "Al-Aahaad dan Al-Matsani" (1236), Ath-Thabrani (20/262) (617), Al-Baihaqi (1/151) (718).
Sanadnya dihasankan oleh Al-Haitsami dalam "Majma' al-Zawa'id" (5/170), dan dianggap hasan pula oleh Al-Albani dalam "Adab az-Zafaaf" (137)).
=====
KEEMPAT :
MEMANGKAS KUMIS AGAR BERBEDA DENGAN ORANG KAFIR :
Rasulullah ﷺ memerintahkan umatnya untuk memangkas kumis agar mereka membedakan diri dari kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum Majusi, kaum Musyrikin dan orang-orang ‘Ajam.
-----
PERTAMA : HADITS ABU HURAIRAH radhiyallahu ‘anhu :
Hadits ke 1 :
Dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
اعْفُوا اللِّحَى، وَخُذُوا الشَّوَارِبَ، وَغَيِّرُوا شَيْبَكُمْ، وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى.
“Peliharalah jenggot dan potonglah kumis dan ubahlah warna uban kalian, janganlah menyerupai orang yahudi dan nashrani”.
[HR. Ahmad no. 5670, 8657]
Hadits shahih sebagaimana yang dinyatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 16/274 . Dan di shahihkan pula oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 1067)
Lafadz lain dalam Shahih al-Jami’ no. 1067 :
أَعْفوا الِّلحَى ، و جُزُّوا الشَّوارِبَ ، و غيِّروا شَيْبَكم ، و لا تَشَبِّهوا باليهودِ و النَّصارى
“Peliharalah jenggot dan potong habislah kumis dan ubahlah warna uban kalian! Janganlah menyerupai orang yahudi dan nashrani!”.
Hadits ke 2 :
Dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) dia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ أَهْلَ الشِّرْكِ يُعْفُونَ شَوَارِبَهُمْ، وَيُحْفُونَ لِحَاهُمْ، فَخَالِفُوهُمْ، فَأَعْفُوا اللِّحَى، وَحُفُّوا الشَّوَارِبَ» "
”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat dan mencukur jenggot mereka. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot kalian dan potong habislah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123].
Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/166 no. 8845 berkata :
رَوَاهُ الْبَزَّارُ بِإِسْنَادَيْنِ فِي أَحَدِهِمَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، وَثَّقَهُ ابْنُ مَعِينٍ وَغَيْرُهُ، وَضَعَّفَهُ شُعْبَةُ وَغَيْرُهُ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ
“Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan dua sanad, salah satunya melalui 'Amr bin Abi Salamah. Ibnu Ma'in dan yang lainnya menilainya tsiqah (tepercaya), sementara Syu'bah dan yang lainnya melemahkannya. Sisa perawinya adalah orang-orang yang dipercaya”.
Hadits ke 3 :
Dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) dia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
"Kalian cukurlah kumis dan kalian panjangkanlah jenggot !. Berbedalah kalian dengan kaum Majusi!". [HR. Muslim no. 260]
Hadits ke 4 :
Imam Bukhari dalam kitab "Al-Tarikh Al-Kabir" meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«كَانَتِ الْمَجُوسُ تُعْفِي شَوَارِبَهَا وَتُحْفِي لِحَاهَا، فَخَالِفُوهُمْ فَجُزُّوا شَوَارِبَكُمْ وَأَعْفُوا لِحَاكُمْ»
"Orang-orang Majusi biasa mencukur kumisnya dan membiarkan jenggotnya. Maka berbedalah kalian dari mereka; maka cukurlah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian tumbuh".
[ Lihat : Takhrij al-Ahaadits al-Marfu’ah Min at-Taarikh al-Kabiir hal. 432 no. 115 oleh Muhammad Abdul Karim Ubaid].
Hadits ke 5 :
Dan dari Abu Huraurah (radhiyallahu ‘anhu) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
"إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبَغُونَ فَخَالِفُوهُمْ"
"Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak mencelup rambut ubannya dengan pewarna, maka hendaklah kalian berbeda dengan mereka" (HR. Al-Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103).
-----
KEDUA : HADITS ABDULLAH BIN UMAR radhiyallahu ‘anhuma:
Hadits ke 1 :
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ؛ وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ. وَكانَ ابنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ علَى لِحْيَتِهِ، فَما فَضَلَ أَخَذَهُ.
"Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, maka panjangkanlah jenggot dan potonglah habislah kumis kalian."
Sedangkan Ibnu Umar apabila selesai berhaji atau Umrah dia menggenggam jenggotnya lalu memotong yang melebihinya." [HR. Bukhari no. 5892 dan Muslim no. 259].
------
KETIGA : HADITS ANAS BIN MALIK radhiyallahu ‘anhu:
Dari Anas radhiyallahu anhu , bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
«خَالِفُوا الْمَجُوسَ جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفِرُوا اللِّحَى» "
"Berbedalah kalian dengan orang-orang Majusi, maka kalian cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh."
Al-Haitsami dalam al-Majma’ no. 8846 berkata :
رَوَاهُ الْبَزَّارُ، وَفِيهِ الْحَسَنُ بْنُ أَبِي جَعْفَرٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ مَتْرُوكٌ.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar. Dan di dalamnya terdapat Hasan bin Abi Ja'far, yang dianggap lemah dan ditinggalkan.)
-----
KEEMPAT : HADITS ABU UMAMAH radhiyallahu ‘anhu
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu :
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّونَ عَثَانِينَهُمْ وَيُوَفِّرُونَ سِبَالَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ قُصُّوا سِبَالَكُمْ وَوَفِّرُوا عَثَانِينَكُمْ وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
Kami (para sahabat) pun bertanya : “Wahai Rosululoh, sungguh kaum ahli kitab itu (biasa) memangkas jenggot mereka dan memanjangkan sibaal mereka?”. [ Sibaal adalah rambut kumis yang panjang di ujung kanan kiri seperti mayang atau tangkai padi. PEN]
Maka Nabi ﷺ menjawab: “Potonglah sibaal kalian, dan biarkanlah jenggot kalian panjang, serta selisilah Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)!”.
(HR. Ahmad: 21780, dihasankan oleh Albani, dan dishohihkan oleh Muhaqqiq Musnad Ahmad, lihat Musnad Ahmad 36/613)
------
KELIMA : HADITS JABIR radhiyallahu ‘anhu :
Dari Sahabat Jabir bin Abdulloh, dia berkata :
كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نُوَفِّيَ السِّبَالَ وَنَأْخُذَ مِنَ الشُّوَارِبِ.
“Sungguh kami (para sahabat), diperintah untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah: 26016).
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
كُنَّا نَعْفِي السِّبَالَ، وَنَأْخُذُ مِنَ الشُّوَارِبِ.
“Kami (para sahabat) membiarkan jenggot kami panjang, dan mencukur kumis” (HR. Abu Dawud: 4201).
Atsar ini dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/410, dan di shohihkan oleh Syeikh Abdul Wahhab alu Zaid dalam kitabnya Iqomatul Hujjah fi Tarikhil Mahajjah, hal: 36 dan 79)
----
KEENAM : ATSAR SEKELOMPOK PARA SAHABAT:
Dari Utsman bin Ubaidillah bin Abi Raafi' :
أَنَّهُ رَأَى أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ، وَجَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، وَسَلَمَةَ بْنَ الْأَكْوَعِ، وَأَبَا أُسَيْدٍ الْبَدْرِيَّ، وَرَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ، وَأَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَأْخُذُونَ مِنَ الشَّوَارِبِ كَأَخْذِ الْحَلْقِ، وَيُعْفُونَ اللِّحَى، وَيَنْتِفُونَ الْآبَاطَ. وَفِي رِوَايَةٍ: وَيَقُصُّونَ الْأَظْفَارَ.
Bahwa ia melihat Abu Sa'id al-Khudri, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr, Salamah bin al-Akwa', Abu Usaid al-Badri, Raafi' bin Khadij, dan Anas bin Malik, mereka mencukur bagian kumis seperti mencukur gundul kepala, memelihara jenggot, dan mencabut bulu ketiak.
Dalam satu riwayat : mereka juga memotong kuku.
Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/166 no. 8847 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ. وَعُثْمَانُ هَذَا لَمْ أَعْرِفْهُ، وَبَقِيَّةُ أَحَدِ الْإِسْنَادَيْنِ رِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ.
Diriwayatkan oleh al-Tabarani. Mengenai Utsman ini, saya tidak mengetahuinya [majhul], dan sisanya dari salah satu jalur sanad adalah perawi-perawi dari kitab Shahih.
======
ATSAR UMAR BIN KHATHTHAB
YANG SENATIASA MEMANJANGKAN DAN MELEBATKAN KUMISNYA :
Dari Amir bin Abdullah bin Zubair :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا غَضِبَ فَتَلَ شَارِبَهُ وَنَفَخَ
“Bahwa Umar bin Khattab ketika marah, dia memilin [memelintir] kumisnya dan menghembuskan napas.
[HR. Thabarani dalam al-Kabiir 1/66 no. 54]
Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/166 no. 8840 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ خَلَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَحْمَدَ، وَهُوَ ثِقَةٌ مَأْمُونٌ إِلَّا أَنَّ عَامِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ لَمْ يُدْرِكْ عُمَرَ.
“Diriwayatkan oleh At-Tabarani, dan para perawinya adalah perawi yang terpercaya, kecuali Abdullah bin Ahmad, dia adalah seorang yang terpercaya, namun Aamir bin Abdullah bin Zubair tidak pernah bertemu dengan Umar”.
Namun diketemukan riwayat yang sanadnya mawshul dengan menyebutkan Abdullah bin Zubair -radhiyallahu anhu-. [Lihat : Al-'Ilal wa Ma'rifat al-Rijal [Juz' 2 – hal. 73]
Diriwayatkan secara Mawshul oleh Ibnu Abi 'Ashim dalam al-Aahaad wak Matsaanii1/100 no. 78 :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, dia mengatakan kepada kami Ma'an, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari 'Amr bin 'Abdullah bin Az-Zubair, dari ayahnya (Abdullah bin Zubair -radhiyallahu anhuma-) dia berkata:
كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَضِبَ فَتَل شَارِبَهُ.
"Umar, radhiyallahu anhu, jika marah, maka ia memilin kumisnya."
Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Aadab az-Zafaaf hal. 137.
Dan al-Hafizh mengatakan dalam al-Fath (10/335):
الْمَعْرُوْفُ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يُوَفِّرُ شَارِبَهُ
"Yang populer dari Umar bahwa ia membiarkan kumisnya lebat (tidak memotong)".
Dari 'Amr bin Abdullah bin Az-Zubair dari Aslam, dia berkata :
"رَأَيْتُ عُمَرَ إِذَا غَضِبَ أَخَذَ بِهَذَا. وَأَشَارَ إِلَى سَبَلَتِهِ. فَقَالَ بِهَا إِلَى فَمِهِ وَنَفَخَ فِيهِ".
"Aku melihat Umar ketika marah, dia memegang ini (dia mengisyaratkan pada kumis nya). Lalu dia menunjukkannya ke mulutnya, dan dia menghembuskan nafasnya."
Aslam berkata, "Aku diberitahu oleh Ma'n bin 'Isa, dia berkata, aku diberitahu oleh Malik bin Anas dari Zaid bin Aslam dari 'Amr bin Abdullah bin Az-Zubair dari ayahnya :
"أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَاهُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بِلادُنَا قَاتَلْنَا عَلَيْهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَأَسْلَمْنَا عَلَيْهَا فِي الإِسْلامِ ثُمَّ تُحْمَى عَلَيْنَا؟ فَجَعَلَ عُمَرُ يَنْفُخُ وَيَفْتِلُ شَارِبَهُ".
Bahwa Umar bin Khattab dikunjungi oleh seorang pria dari penduduk Badui yang berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, kami berperang di tanah kami pada zaman Jahiliyah dan kami memeluk Islam di atasnya. Kemudian, Anda memberikan perlindungan kepada kami.' Lalu Umar pun meniupkan nafasnya dan memilin kumisnya."
[Diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqaat 3/326. Cet Dar Shodir.
Muhammad bin Saad menceritakan kepadaku dari Al-Waqidi, dari Zaid bin As-Saib, dari Khalid, budak Aban bin Utsman, dia berkata :
كَانَ مَرْوَانُ قَدِ اَزْدَرَعَ بِالْمَدِينَةِ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ عَلَى ثَلَاثِينَ جَمَلًا، فَكَانَ يَأْمُرُ بِالنَّوْى أَنْ يَشْتَرِى فَيُنَادِي: إِنَّ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ يُرِيدُهُ، وَعُثْمَانُ لَا يَشْعُرُ بِذَلِكَ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ طَلْحَةُ وَكَلَّمَهُ فِي أَمْرِ النَّوْى فَحَلَفَ أَنَّهُ لَمْ يَأْمُرْ بِذَلِكَ، فَقَالَ طَلْحَةُ: هَذَا أَعْجَبُ أَنْ يُفْتَأَتَ عَلَيْكَ بِمِثْلِ هَذَا، فَهَلْ صَنَعْتَ كَمَا صَنَعَ ابْنُ حَنْتَمَةَ، يَعْنِي عُمَرَ ابْنَ الْخَطَّابِ، خَرَجَ يَرْفَأُ بِدِرْهَمٍ يَشْتَرِي بِهِ لَحْمًا فَقَالَ لِلْحَامِ: إِنِّي أُرِيدُهُ لِعُمَرَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ فَأَرْسَلَ إِلَى يَرْفَأُ فَأَتَى بِهِ وَقَدْ بَرَكَ عُمَرُ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَهُوَ يُفْتِلُ شَارِبَهُ، فَلَمْ أَزَلْ أُكَلِّمُهُ فِيهِ حَتَّى سَكَنْتَهُ، فَقَالَ لَهُ: وَاللَّهِ لَئِنْ عَدْتَ لَأَجْعَلَنَّكَ نَكَالًا، أَتَشْتَرِي السَّلَعَةَ ثُمَّ تَقُولُ هِيَ لِأَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ؟
"Marwan telah panen kurma di Madinah selama masa kekhilafahan Utsman diangkut diatas tiga puluh ekor unta. Lalu dia menyuruh tukang biji-bijian untuk membelinya, seraya dia berseru : 'Amirul Mukminin menginginkannya,' sedangkan Utsman tidak mengetahui hal tersebut.
Kemudian datanglah Thalhah untuk berbicara dengannya tentang masalah biji kurma itu. Lalu Marwan bersumpah bahwa dia tidak memerintahkan hal itu.
Thalhah berkata, 'Sungguh aneh bahwa masalah seperti ini tidak disampaikan kepada Anda. Mengapa Anda tidak bertindak seperti yang dilakukan Ibnu Hantamah?' Ia maksudnya adalah Umar bin Khattab.
Yarfa’ [khodim Umar] pernah keluar memegang selembar uang untuk membeli daging. Ia berkata kepada tukang daging, 'Saya membelinya untuk Umar.' Kabar tersebut sampai kepada Umar, lalu ia menyuruh seseorang untuk memanggil Yarfa’. Lalu Yarfa’ pun dihadirkan , dan Umar pun berdiri diatas kedua lututnya sambil memilin [melintir] kumisnya. Maka Aku pun terus berbicara padanya untuk menenangkannya tentang masalah itu hingga membuatnya diam.
Kemudian Umar berkata kepadanya, 'Demi Allah, jika kamu mengulanginya, aku akan menjadikanmu sebagai contoh pelajaran. Apakah kamu membeli barang dagangan lalu mengatakan bahwa itu untuk Amirul Mukminin?'
[Diriwayatkan oleh al-Balaadzari dalam Ansaab al-Asyraaf 5/516 no. 1341 . Lihat pula: Al-Riyad al-Nadhrah 2:138 1342 - Qāran bi al-Ṭabarī 1:2802 wa baʿḍuhu bi al-Aghānī:113, wa Ibn al-Athīr 3:63-64]
Dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya:
أَنَّ نَاسًا، مِنْ بَنِي ثَعْلَبَةَ أَتَوْا عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالُوا: أَرْضِنَا، قَاتَلْنَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَأَسْلَمْنَا عَلَيْهَا فِي الْإِسْلَامِ، حُمِيَتْ عَلَيْنَا، فَجَعَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: «الْبِلَادُ بِلَادُ اللَّهِ، تُحْمَى لِنَعَمِ مَالِ اللَّهِ، وَمَا أَنَا بِفَاعِلٍ، وَجَعَلَ يَفْتِلُ شَارِبَهُ، وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ إِذَا هُمَّ»
Bahwa sekelompok orang dari Bani Tha'labah datang kepada Umar, semoga Allah meridhainya, dan berkata: "Kami telah berperang dibumi kami di zaman jahiliyah, dan kami telah masuk Islam di atasnya. Ia telah memberikan perlindungan kepada kami."
Maka Umar, semoga Allah meridhainya, berkata: "Negeri itu adalah negeri Allah, yang mana ia melindungi nikmat harta kekayaan Allah. Aku bukanlah yang melakukannya." Dia kemudian mulai memilin [melintir] kumisnya, dan dia biasanya melakukan itu ketika merasa penuh bersemangat.
[Diriwayatkan oleh Ibnu Syabbah dalam Tarikh al-Madinah 3/839]
-------
ABU HASYIM BIN UTBAH radhiyallahu ‘anhu , PANJANG KUMISNYA :
Dan dari Hassaan :
«أَنَّ أَبَا هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ كَانَ لَهُ شَارِبٌ يَعْقِدُهُ خَلْفَ قَفَاهُ، فَقُلْتُ لَهُ: مَا بَالُ شَارِبِكَ، وَقَدْ جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي أَخْذِ الشَّارِبِ مَا قَدْ جَاءَ؟ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ أَخَذْتُ شَارِبِي فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَأَمَرَّ يَدَهُ عَلَيْهِ فَقَالَ: " مَتَى أَخَذْتَ شَارِبَكَ؟ " قُلْتُ: السَّاعَةَ. قَالَ: " فَلَا تَأْخُذْهُ حَتَّى تَلْقَانِي " فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَبْلَ أَنْ أَلْقَاهُ، فَلَنْ آخُذَهُ حَتَّى أَلْقَاهُ».
“Bahwa Abu Hashim bin 'Utbah memiliki kumis panjang yang diikat ke belakang tengkuknya, maka saya berkata kepadanya: 'Apa yang terjadi dengan kumismu, padahal telah ada keterangan dari Nabi ﷺ tentang memotong kumis sebagaimana yang telah datang keterangan darinya ?'
Maka dia berkata: 'Saya dulu pernah memotong kumisku lalu saya mendatangi Nabi ﷺ, kemudian beliau mengarahkan tangannya ke arah kumis ku, lalu bertanya : "Kapan kamu memotong kumismu?"
Saya berkata: 'Sesaat yang lalu’.'
Beliau berkata: "Janganlah kamu memotongnya sampai kamu bertemu denganku."
Kemudian Rasulullah ﷺ wafat sebelum saya bertemu dengannya, maka saya pun tidak akan memotongnya sampai bertemu dengannya.'"
Al-Haitsami dalam al-Majma’ no. 8841 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ الْوَلِيدُ بْنُ سَلَمَةَ الْأُرْدُنِّيُّ، وَهُوَ كَذَّابٌ.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, dan di dalamnya terdapat Walid bin Salamah Al-Urduni, yang merupakan pendusta.
*****
KOSAKATA YANG TERDAPAT DALAM HADITS MENCUKUR KUMIS:
Makna kata-kata yang digunakan sebagai ungkapan memotong kumis dalam hadits hadits, yaitu sbb :
Pertama : Kata (الْأَخْذُ) .
Artinya :
أَنَّ التَّعْبِيرَ بِالْأَخْذِ مِنَ الشَّارِبِ، يَعْنِي: أَخْذَ بَعْضِهِ، وَلَيْسَ أَخْذَ الشَّارِبِ كُلِّهِ.
“Bahwa ungkapan kalimat "mengambil dari kumis" berarti mengambil sebagian darinya, bukan mengambil seluruh kumis”. [ "(Al-Hidayah)" oleh al-Marghinani (1/162)]
Kedua : Kata (الإِحْفاءَ)
Artinya :
"أَنَّ الإِحْفاءَ يَأْتِي بِمَعْنَى المُبَالَغَةِ، فَالمُرَادُ المُبَالَغَةُ فِي القَصِّ".
Bahwa Kata (الإِحْفاءَ) : Ia memiliki makna ‘berlebihan’, maka yang dimaksud adalah berlebihan dalam memotong kumis . [ Baca : ((al-Nihayah)) oleh Ibnu al-Atsir (1/410)].
"Ath-Thabari berkata:
(إنَّ القَصَّ يدلُّ على أخْذِ البَعضِ، والإحفاءَ يدلُّ على أخذ الكلِّ)
'Sesungguhnya kata (قَصَّ = Pemotongan) menunjukkan pengambilan sebagian, sementara kata (إحْفَاءَ) menunjukkan pengambilan keseluruhan (dipotong habis). Kedua amalan ini memiliki ketetapan yang shahih, maka seseorang diberi pilihan untuk melakukan yang ia kehendaki.' [Lihat: 'Fath al-Bari' (10/347)]."
Ibnu al-Atsir berkata :
وإحفاءِ الشَّارِبِ : وهو المبالَغةُ في القَصِّ.
"Dan kata 'إحفاءِ الشَّارِبِ' artinya adalah berlebihan dalam memotong”. [Lihat: 'Al-Nihayah' karya Ibnu Athir (1/410)].
Ketiga : Kata (النَّهْكِ) dan kata (الجَزِّ) :
Artinya :
إنَّ لَفْظَي النَّهْكِ، والجُزِّ، يُطْلَقَانِ عَلَى المُبَالَغَةِ فِي الإِزَالَةِ، دُونَ الاِسْتِئْصَالِ
Dua lafadz (النَّهْكِ) dan (الجَزِّ) ini digunakan untuk makna berlebihan dalam menghilangkan kumis, namun tidak sampai mencabut hingga akarnya . Lihat: ((Fath al-Bari)) (10/346)."
Keempat : Kata (القَصُّ) :
Artinya memotong atau menggunting.
Dan ungkapan ( قَصُّ طَرَفِ الشَّارِبِ) artinya : memotong ujung rambut yang melingkar di atas bibir sehingga ujung bibir terlihat. Dan Ini adalah pendapat mayoritas madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i.
[Lihat: 'Fath al-Qadir' oleh Ibnu Hamaam (3/34), 'Hashiyah Ibnu Abidin' (2/550), 'Al-Bayan wal-Tahsil' oleh Ibnu Rusyd (9/373), 'Hashiyah al-Adawi' (2/578), 'Al-Majmu' oleh An-Nawawi (1/287)].
Kata (القَصُّ) ini merupakan istilah yang umum digunakan dalam kebanyakan riwayat hadits.
Ibnu Hajar berkata:
أَمَّا القَصُّ فَهُوَ الَّذِي فِي أَكْثَرِ الْأَحَادِيثِ كَمَا هُنَا.
"Adapun kata (القصُّ) maka ia adalah yang terdapat dalam sebagian besar riwayat hadis, sebagaimana di sini" (Fathul Bari, 10/346).
"Ath-Thabari berkata:
(دلَّت السُّنة على الأمرينِ، ولا تعارض؛ فإنَّ القَصَّ يدلُّ على أخْذِ البَعضِ، والإحفاءَ يدلُّ على أخذ الكلِّ، وكلاهما ثابت، فيتخيَّر فيما شاء)
'As-Sunnah menunjukkan disyariatkannya kedua perbuatan tersebut dan tidak saling bertentangan. Karena pemotongan (قَصَّ) menunjukkan pengambilan sebagian, sementara mengerok (إحفاءَ) menunjukkan pengambilan keseluruhan (dicukur habis). Kedua amalan ini terdapat dalil yang shahih, maka seseorang diberi pilihan untuk melakukan yang ia kehendaki.' [Lihat: 'Fathul-Bari' (10/347)]."
Namun ada sebagian para ulama menganggap istilah-istilah lain yang muncul dalam riwayat-riwayat lain seperti "al-jazz" dan "al-inhak" memiliki makna yang sama dengan memotong (القصُّ).
Imam An-Nawawi mengatakan:
(... حديثُ ابنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عنهما أنَّ النَّبيَّ ﷺ قال: ((أحْفُوا الشَّارِبَ، وأعْفُوا اللِّحَى)) رواه البخاريُّ ومُسلم، وفي روايةٍ: ((جُزُّوا الشَّوارِبَ))، وفي رواية: ((أنهِكوا الشَّوارِبَ))، وهذه الرِّواياتُ مَحمولةٌ عندنا على الحفِّ مِن طرَفِ الشَّفَةِ لا من أصلِ الشَّعْرِ)
"...Hadis Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi ﷺ bersabda: 'Potonglah kumis dengan maksimal dan biarkanlah janggut.' (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam riwayat lain: 'Potong habislah kumisnya,' dan dalam riwayat lain: 'Cukur habislah kumisnya.' Riwayat-riwayat ini - di sisi kami - diartikan sebagai mencukur ujung tepi bibir, bukan pangkal rambut" (Al-Majmu', 1/287).
*****
HUKUM MENCUKUR DAN MEMOTONG KUMIS
Memotong kumis adalah hal yang disyariatkan. Ini merupakan kesepakatan dari empat mazhab fiqih: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, serta telah hikayatkan adanya Ijma’ seluruh ulama akan hal itu.
Referensi:
Madzhab Hanafi : "Al-Mabsut" oleh As-Sarakhsi (4/67), "Hashiyah Ibn 'Abidin" (6/405).
Madzhab Maliki : "Hashiyah Al-'Adawi 'ala Kifayat at-Talib ar-Rabbani" (1/382), lihat juga: "Adh-Dhakhirah" oleh Al-Qarafi (13/279), "Al-Fawakih ad-Dawani" oleh An-Nafrawi (1/96).
Madzhab Syafi’i : "Al-Majmu'" oleh An-Nawawi (1/287), lihat juga: "Tartib at-Tathrib" oleh Al-'Iraqi (2/72).
Madzhab Hanbali : "Al-Furu' oleh Ibnu Muflih (1/151), lihat juga: "Al-Sharh al-Kabir" oleh Syamsuddin Ibnu Qudamah (1/105).
=====
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG SUNNAH DAN WAJIBNYA MEMOTONG KUMIS
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata:
الْأَخْبَارُ الثَّابِتَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ أَخْذَ الشَّارِبِ وَالْأَظْفَارِ مِنَ الْفِطْرَةِ، وَأَنَّهُ أَمَرَ بِقَصِّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
"Hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa memotong kumis dan kuku adalah termasuk dari fitrah manusia, dan beliau ﷺ memerintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan jenggot." (Al-Ausath, 1/238).
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang tingkat pensyari’atannya, apakah itu hukumnya sunnah mandubah (dianjurkan) atau wajib?
----
PENDAPAT PERTAMA : MEMOTONG KUMIS ADALAH SUNNAH:
Mayoritas ulama menyatakan membawa perintah memotong kumis adalah mustahab hukumnya, bukan wajib , berbeda dengan perintah membiarkan jenggot, Imam Nawawi berkata dalam "Al-Majmu'":
أَمَّا قَصُّ الشَّارِبِ فَمُتَّفَقٌ عَلَى أَنَّهُ سُنَّةٌ. أهـ.
“Adapun memotong kumis maka disepakati bahwa itu adalah Sunnah”. [Dikutip dalam Fatawa asy-Syabakah al-Islamiyyah 11/701 no. 111851]
Sementara Al-'Iraqi berkata:
قَصُّ الشَّارِبِ مُجْمَعٌ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ، وَذَهَبَ بَعْضُ الظَّاهِرِيَّةِ إلَى وُجُوبِهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "قُصُّوا الشَّوَارِبَ" اهـ.
Mencukur kumis telah disepakati secara Ijma’ akan ke-mustahaban-nya , namun sebagian dari para ulama Dzohiriyah berpendapat wajib, karena sabda Nabi ﷺ: "Kalian potonglah kumis-kumis itu." (Tharh At-Tatsriib) (2/72).
Ibnu Muflih rahimahullah dari Madzhab Hanbali berkata:
وَأَطْلَقَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمُ الاِسْتِحَبَابَ، وَأَمَرَ ﷺ بِذَلِكَ وَقَالَ: (خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَلِمُسْلِمٍ: (خَالِفُوا الْمَجُوسَ).
Sahabat-sahabat kita dan yang lainnya menganggapnya mustahab (dianjurkan) secara muthlak.
Dan Nabi ﷺ memerintahkan hal itu dan bersabda: "Berbedalan kalian dengan orang musyrik" (Muttafaqun 'alaih). Dan dalam hadis Muslim: "Berbedalah kalian dengan orang majusi". (Al-Furu', 1/151-152).
Asy-Syawkani berkata:
(قوله: ((وقصُّ الشُّارب)) هو سُنَّةٌ بالاتِّفاقِ)
"Perkataannya: 'Memotong kumis' adalah sunnah berdasarkan kesepakatan." (Nail Al-Awthar) (1/109).
An-Nafraawi berkata :
" وَاَلَّذِي أَخَذَ بِهِ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُمَا لَيْسَا كَذَلِكَ [أي ليسا كالشارب] ، بِدَلِيلِ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَتَلَهُمَا وَلَمْ يَقُصَّهُمَا، فَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ إبْقَائِهِمَا، وَقَالَ بَعْضُ الشُّيُوخِ: إنَّهُمَا كَالشَّارِبِ".
"Dan menurut pendapat yang diambil oleh sebagian pengikut mazhab Malikiyah, bahwa keduanya (ujung kanan kiri kumis) tidak sama seperti itu [yaitu tidak sama dengan jenggot], dengan alasan bahwa Umar radhiyallahu 'anhu hanya memilin keduanya tanpa mencukur keduanya. Maka dalam hal ini menunjukkan bahwa membiarkan keduanya adalah merupakan suatu hal yang diperbolehkan, dan sebagian para ulama mengatakan bahwa keduanya seperti kumis."
[Dikutip dari "Al-Fawakih Ad-Dawani 'ala Risalah Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani" (2/495)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
" وَتَحْصُلُ السُّنَّةُ بِقَصِّهِ ، حَتَّى يَبْدُوَ الْإِطَارُ ، وَهُوَ طَرَفُ الشَّفَةِ . وَكُلَّمَا أُخِذَ فَوْقَ ذَلِكَ : فَهُوَ أَفْضَلُ ؛ نَصَّ عَلَيْهِ .
وَلاَ يُسْتَحَبُّ حَلْقُهُ؛ لِأَنَّ فِي لَفْظِ الْبُخَارِيِّ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ : ( أنْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى ) .
قَالَ الْبُخَارِيُّ : " وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُحْفِي شَارِبَهُ حَتَّى يُنْظَرَ إِلَى مَوْضِعِ الْحَلْقِ " .
وَرَوَى حَرْبٌ فِي مَسَائِلِهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ وَسَلَمَةَ بْنَ الْأَكْوَعِ وَجَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ وَابْنَ عُمَرَ وَأَبَا أُسَيْدٍ : يَجُزُّونَ شَوَارِبَهُمْ ، أَخَا الْحَلْقِ" انتهى،
"Dan sunnah itu didapatkan dengan memotongnya, sehingga tampak bingkainya, yaitu tepi-tepi bibir. Dan semakin dipotong lebih dari itu, maka itu lebih baik; karena beliau ﷺ menegaskan hal ini.
Dan tidak mustahab untuk mencukurnya botak , karena dalam lafaz Bukhari, dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: (Cukur habislah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot tumbuh).
Bukhari berkata: 'Dan Ibnu Umar memotong kumisnya hingga terlihat letak al-halq (dasar kulit kumis ketika dibotaki).'
Dan Harb meriwayatkan dalam 'Masail' dari Abdullah bin Rafi' berkata: Aku melihat Abu Sa'id al-Khudri, Salamah bin al-Akwa', Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, dan Abu Usayd: mereka memotong habis kumis (Jazz), makna Jazz itu saudara makna al-halq (cukur botak)." [Selesai, dari "Syarh al-‘Umdah" (1/222) Cet. Alam al-Fawaid].
Syeikh Ibnu Utsaimin dalam pertemuan pintu terbuka mengatakan:
قَصُّ الشَّارِبِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ، وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ: "مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنِّي أهـ.
Memotong kumis adalah sunnah mu’akkad. Oleh karena itu dalam hadis disebutkan: "Barangsiapa tidak merapikan kumisnya, maka bukan dari golonganku." (Selesai)
LALU BAGAIMANA DENGAN HADITS BERIKUT INI ?
Hadis Zaid bin Arqam yang menyatakan bahwa Rsulullah ﷺ bersabda :
مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا
"Barangsiapa yang tidak mengambil dari kumisnya, maka dia bukan dari golongan kami",
Diriwayatkan oleh Tirmidzi (2761) dan lainnya, dan keabsahannya dinyatakan oleh sejumlah ulama. Diantaranya pernyataan Tirmidzi setelah hadis itu: "Ini adalah hadis hasan shahih."
JAWABANNYA :
Mereka melihat bahwa makna dari "(فَلَيْسَ مِنَّا)" adalah bahwa seseorang tidak mengikuti petunjuk dan jalan kita.
Al-Iraqi rahimahullah berkata:
حَدِيثُ رَجُلٍ مِنْ بَنِي غَفَارٍ: (مَنْ لَمْ يَحْلِقْ عَانَتَهُ وَيُقَلِّمْ أَظْفَارَهُ وَيَجُزُّ شَارِبَهُ فَلَيْسَ مِنَّا) وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ ذَلِكَ.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذَا لَا يَثْبُتُ؛ لِأَنَّ فِي إِسْنَادِهِ ابْنُ لَهْيَعَةَ، وَالْكَلَامُ فِيهِ مَعْرُوفٌ، وَإِنَّمَا يَثْبُتُ مِنْهُ الْأَخْذُ مِنْ الشَّارِبِ فَقَطْ، كَمَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ، وَالنَّسَائِيُّ مِنْ حَدِيثِ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - ﷺ - يَقُولُ: (مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا).
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُرَادَ - عَلَى تَقْدِيرِ ثَبُوتِهِ - : لَيْسَ عَلَى سُنَّتِنَا وَطَرِيقَتِنَا، لِقَوْلِهِ ﷺ: (لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ) فَهَذَا هُوَ الْمُرَادُ قَطْعًا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ" (انتهى من "طَرْحِ التَّثْرِيبِ" (2/82).
"Hadis seorang lelaki dari Bani Ghofaar: 'Barangsiapa yang tidak mencukur bulu kemaluannya, memotong kukunya, dan memotong ujung kumisnya, maka dia bukan dari golongan kami.' Ini menunjukkan kewajiban itu.
Jawaban atas hadis ini bisa dijelaskan dari dua sisi:
Pertama: Bahwa hadis ini tidak terbukti [tidak shahih], karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi'ah, yang pembicaraan tentang kelemahan dirinya cukup terkenal.
Dari hadis ini hanya terbukti shahih tentang memotong kumis saja, seperti yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan disahihkan oleh Nasa'i dari hadis Zaid bin Arqam yang berkata:
"Aku mendengar Rasulullah -ﷺ- bersabda: 'Barangsiapa yang tidak mengambil dari kumisnya, maka dia bukan dari golongan kami.'
Kedua: Maksudnya -jika seandainya dianggap terbukti shahih- adalah tidak mengikuti petunjuk dan jalan kita, sebagaimana sabda beliau -ﷺ-: 'Bukan dari golongan kami orang yang tidak memperindah suaranya dengan bacaan Al-Qur'an.' Maka ini adalah yang dimaksud, secara pasti. Wallaahu a’lam." (Selesai dari "Thorhut Tatsriib", 2/82).
Ada banyak hadits yang menyatakan “bukan kami”, namun yang dimaksud adalah makruh bukan haram . Contohnya :
Ke 1 : Hadits dari 'Uqbah bin 'Aamir radhiyallahu 'anhu , Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ عَلِمَ الرَّمْيَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا أَوْ قَدْ عَصَى»
“Barangsiapa yang menguasai ilmu melempar [tombak atau panah] lalu ia meninggalkannya, maka ia bukan termasuk golongan kami atau sungguh ia telah bermaksiat [durhaka].” [HR Muslim no 1919].
Al-Imam An-Nawawi berkata:
هَذَا تَشْدِيدٌ عَظِيمٌ فِي نِسْيَانِ الرَّمْيِ بَعْدَ عِلْمِهِ وَهُوَ مَكْرُوهٌ كَرَاهَةً شَدِيدَةً لِمَنْ تَرَكَه بِلا عُذْرٍ
"Ini adalah tekanan besar dalam melupakan keahlian melempar setelah menguasai ilmunya, dan itu sangat dibenci atas mereka yang meninggalkannya tanpa ada udzur ". [ Syarah Shahih Muslim 13/65]
Ke 2 : Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إلى بُيُوتِ أزْوَاجِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، يَسْأَلُونَ عن عِبَادَةِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقالوا: وأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم؟! قدْ غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ وما تَأَخَّرَ، قالَ أحَدُهُمْ: أمَّا أنَا فإنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أبَدًا، وقالَ آخَرُ: أنَا أصُومُ الدَّهْرَ ولَا أُفْطِرُ، وقالَ آخَرُ: أنَا أعْتَزِلُ النِّسَاءَ فلا أتَزَوَّجُ أبَدًا، فَجَاءَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إليهِم، فَقالَ: أنْتُمُ الَّذِينَ قُلتُمْ كَذَا وكَذَا؟! أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي.
Ada tiga orang mendatangi rumah para istri Nabi ﷺ bertanya tentang ibadahnya Nabi ﷺ. Ketika mereka telah dikabari, seolah-olah mereka menggangap sedikit ibadahnya Nabi ﷺ.
Mereka berkata: Dimanakah kita dari kedudukan Nabi ﷺ? Allah telah mengampuni dosa beliau yang terdahulu maupun yang akan datang.
Salah seorang dari mereka berkata: Adapun aku maka akan shalat malam terus.
Dan yang kedua berkata: Aku akan puasa sepanjang waktu tidak akan berbuka.
Dan yang ketiga berkata: Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.
Rasulullah ﷺ pun mendatangi mereka seraya bersabda:
أنْتُمُ الَّذِينَ قُلتُمْ كَذَا وكَذَا؟! أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي.
Apakah kalian yang mengatakan ini dan itu? Adapun aku maka demi Allah adalah orang yang paling takut kepada Allah dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Akan tetapi aku berpuasa namun juga berbuka dan aku shalat malam namun juga tidur dan aku menikahi perempuan-perempuan. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan dari golonganku.
(HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401 )
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan lafaz:
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا آكُلُ اللَّحْمَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ
“Berkata sebahagian mereka, “Aku tidak akan makan daging…” sebahagian yang lain pula berkata, “Aku tidak akan tidur di atas tilam / tikar ”
Ke 3 : Dari Sa'd bin Abu Waqqash ia berkata;
لَمَّا كَانَ مِنْ أَمْرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ الَّذِي كَانَ مِنْ تَرْكِ النِّسَاءِ بَعَثَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا عُثْمَانُ إِنِّي لَمْ أُومَرْ بِالرَّهْبَانِيَّةِ أَرَغِبْتَ عَنْ سُنَّتِي قَالَ لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّ مِنْ سُنَّتِي أَنْ أُصَلِّيَ وَأَنَامَ وَأَصُومَ وَأَطْعَمَ وَأَنْكِحَ وَأُطَلِّقَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي يَا عُثْمَانُ إِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا قَالَ سَعْدٌ فَوَاللَّهِ لَقَدْ كَانَ أَجْمَعَ رِجَالٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ هُوَ أَقَرَّ عُثْمَانَ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ أَنْ نَخْتَصِيَ فَنَتَبَتَّلَ
Ketika terjadi permasalahan Utsman bin Madz'un yaitu ketika ia tidak ingin menikahi wanita, maka Rasulullah ﷺ mengirim utusan kepadanya untuk mengatakan:
"Wahai Utsman, sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa ajaran untuk tidak beristeri dan mengurung diri dalam tempat ibadah [ber-ruhbaniyyah] . Apakah engkau tidak suka terhadap sunahku?"
Ia berkata; "Tidak wahai Rasulullah."
Beliau ﷺ bersabda: "Sesungguhnya diantara sunahku adalah melakukan shalat dan tidur, berpuasa dan makan, menikah dan menceraikan. Barangsiapa tidak menyukai sunahku, maka bukan dari gologanku. Wahai Utsman, sesungguhnya keluargamu memiliki hak atas dirimu, matamu memiliki hak atas dirimu."
Sa'd berkata; "Demi Allah, kaum Muslimin telah bersepakat, apabila Rasulullah ﷺ menetapkan Utsman dalam kondisinya (tidak menikah), niscaya kami telah mengkebiri , lalu kami hidup tidak menikah."
[ HR. Ad-Daarimi no. 2075 ]
Al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah 4/387 berkata : " Sanadnya Hasan ".
Dalam riwayat Aisyah radhiyalllahu 'anha:
أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بَعَث إلى عُثمانَ بنِ مَظعونٍ، فجاءه، فقال: يا عُثمانُ، أرغِبْتَ عن سُنَّتي؟! قال: لا واللهِ يا رَسولَ اللهِ، ولكِنْ سُنَّتَك أطلُبُ. قال: فإنِّي أنام وأصَلِّي، وأصومُ وأُفطِرُ، وأَنكِحُ النِّساءَ، فاتَّقِ اللهَ يا عثمانُ؛ فإنَّ لأهلِك عليك حقًّا، وإنَّ لضَيفِك عليك حَقًّا، وإنَّ لنَفْسِك عليك حَقًّا؛ فصُمْ وأفطِرْ، وصَلِّ ونَمْ
Bahwa Nabi ﷺ mengutus seseorang menemui Utsman bin Mazh'un, lalu Utsman datang kepada beliau, maka beliau bersabda:
"Apakah kamu membenci sunnahku?"
Utsman menjawab : "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah… bahkan sunnah engkau lah yang amat kami cari".
Beliau ﷺ bersabda : "Sesungguhnya aku tidur, aku juga shalat, aku berpuasa dan juga berbuka, aku juga menikahi wanita. Bertakwalah kepada Allah wahai Utsman, sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas dirimu, dan tamumu mempunyai hak atas dirimu, dan kamu pun memiliki hak atas dirimu sendiri, oleh karena itu berpuasalah dan berbukalah, kerjakanlah shalat dan tidurlah !."
[ HR. Abu Daud (1369) dan Ahmad (26308), dengan sedikit perbedaan lafadz]
Dishahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami' no. 7946 .
Sebagaimana yang dimaklumi bahwa nikah itu tidak wajib dan meninggalkannya tidak diharamkan. Jika ada seorang muslim tidak menikah ; maka tidak berdosa, namun jika dia berniat untuk menyelisihi sunnah Rasulullah ﷺ, maka itu jelas dilarang .
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah (Wafat: 852H) menjelaskan dalam Fathul Baari 9/105-106 :
قَوْلُهُ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي الْمُرَادُ بِالسُّنَّةِ الطَّرِيقَةُ لَا الَّتِي تُقَابِلُ الْفَرْضَ وَالرَّغْبَةُ عَنِ الشَّيْءِ الْإِعْرَاضُ عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ وَالْمُرَادُ مَنْ تَرَكَ طَرِيقَتِي وَأَخَذَ بِطَرِيقَةِ غَيْرِي فَلَيْسَ مِنِّي وَلَمَّحَ بِذَلِكَ إِلَى طَرِيقِ الرَّهْبَانِيَّةِ فَإِنَّهُمُ الَّذِينَ ابْتَدَعُوا التَّشْدِيدَ كَمَا وَصَفَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى وَقَدْ عابهم بِأَنَّهُم مَا وفوه بِمَا التمزموه وَطَرِيقَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ فَيُفْطِرُ لِيَتَقَوَّى عَلَى الصَّوْمِ وَيَنَامُ لِيَتَقَوَّى عَلَى الْقِيَامِ وَيَتَزَوَّجُ لِكَسْرِ الشَّهْوَةِ وَإِعْفَافِ النَّفْسِ وَتَكْثِيرِ النَّسْلِ
“Sabda Nabi ﷺ : [[ siapa saja yang tidak menyukai sunnahku, maka dia bukanlah dari golonganku ]] Yang dimaksudkan dengan As-Sunnah di sini adalah Ath-Thariiqah (jalan hidup, cara beragama), bukan sunnah lawan kepada yang fardhu.
Makna : الرَّغْبَةُ عَنِ الشَّيْءِ (berpaling dari sesuatu…) adalah berpaling dari suatu perkara kepada yang selainnya.
Dan yang maksudnya (di sini) adalah : “Siapa saja yang meninggalkan jalan-ku, seraya mengambil jalan yang lain, maka dia bukan dari (golongan)-ku.”
Dengan sabda ini Nabi mengisyaratkan kepada jalan kerahiban, karena mereka adalah orang-orang yang melampaui batas dalam mengada-adakan sesuatu (untuk beribadah), sebagaimana yang telah Allah Ta’ala sifatkan bagi mereka.
Dan Allah mencela mereka karena mereka tidak menunaikannya sesuai dengan apa yang yang seharusnya mereka lakukan .
Sementara jalan Nabi ﷺ adalah jalan yang lurus, mudah dan sederhana. Maka Nabi ﷺ berbuka puasa agar memiliki kekuatan untuk berpuasa, beliau tidur agar memiliki kekuatan untuk shalat malam (tahajjud), dan beliau menikah agar dapat meredakan syahwat, menjaga kehormatan diri, serta memperbanyak keturunan.
Lalu al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
وَقَوْلُهُ فَلَيْسَ مِنِّي إِنْ كَانَتِ الرَّغْبَة بِضَرْبٍ مِنَ التَّأْوِيلِ يُعْذَرُ صَاحِبُهُ فِيهِ فَمَعْنَى فَلَيْسَ مِنِّي أَيْ عَلَى طَرِيقَتِي وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَخْرُجَ عَنِ الْمِلَّةِ وَإِنْ كَانَ إِعْرَاضًا وَتَنَطُّعًا يُفْضِي إِلَى اعْتِقَادِ أَرْجَحِيَّةِ عَمَلِهِ فَمَعْنَى فَلَيْسَ مِنِّي لَيْسَ عَلَى مِلَّتِي لِأَنَّ اعْتِقَادَ ذَلِكَ نَوْعٌ مِنَ الْكُفْرِ
Sabda Nabi ﷺ : [[ Bukan dari golongan-ku…]] . Jika makna “الرغبة” di sini ditakwilkan dengan sebab uzur pelakunya (seperti karena jahil , hilap , atau yang semisalnya ) ; maka makna sabda [[ bukan dari golongan-ku..]]” ini adalah tidak berada di atas jalan-ku, namun demikian tidak membuat pelakunya dianggap keluar dari millah (agama Islam).
Adapun jika dia berpaling dan melampaui batas yang mengantarkan pada keyakinan bahwa apa yang dia lakukan itu adalah amalan yang lebih rajih ; maka makna sabda [[ bukan dari golongan-ku ]] di sini adalah bukan di atas millah (agama)-ku, karena keyakinan tersebut adalah bagian dari jenis kekufuran.
Dan Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata pula :
كَمَا أَنَّ الْأَخْذَ بِالتَّشْدِيدِ فِي الْعِبَادَةِ يُفْضِي إِلَى الْمَلَلِ الْقَاطِعِ لِأَصْلِهَا وَمُلَازَمَةَ الِاقْتِصَارِ عَلَى الْفَرَائِضِ مَثَلًا وَتَرْكَ التَّنَفُّلِ يُفْضِي إِلَى إِيثَارِ الْبَطَالَةِ وَعَدَمِ النَّشَاطِ إِلَى الْعِبَادَةِ وَخَيْرُ الْأُمُورِ الْوَسَطُ
Demikian pula mengambil sikap tasyaddud (keras dan berlebih-lebihan) dalam ibadah, itu hanya akan mengantarkan pelakunya kepada rasa bosan dan kapok sehingga menjadi sebab pelakunya meninggalkannya. Demikian pula dengan perbuatan ibadah yang hanya membiasakan yang fardhu saja, seperti meninggalkan nawafil (sunnah-sunnah), hanya akan mendorong pelakunya kepada sikap bermalas-malasan, tidak prihatin, dan lemah dalam beribadah.
Adapun yang terbaik, adalah bersikap pertengahan (tidak melampaui batas, dan tidak pula bermalas-malasan).” [ Lihat : Fathul Baari 9/106]
DAN BAGAIMANA DENGAN ORANG BERPANDANGAN WAJIB MEMELIHARA JENGGOT? APAKAH MEREKA JUGA HARUS MEWAJIBKAN MEMOTONG KUMIS ?
Mereka yang berpendapat sunnah juga berpandangan : bahwa pernyataan kelompok yang mewajibkan memelihara jenggot dan mengharamkan mencukurnya, tidaklah mengharuskan hukum wajib memotong kumis dan mengharamkan membiarkannya. Mereka beralasan :
لِأَنَّ اقْتِرَانَهُمَا فِي الْأَمْرِ، لَا يَلْزَمُ مِنْهُ الِاسْتِوَاءُ فِي دَرَجَةِ هَذَا الْأَمْرِ.
“Karena keterkaitan keduanya dalam satu perintah tersebut, tidaklah mengimplikasikan kesetaraan dalam tingkat perintah ini”. Sebagaimana yang dikatakan oleh mayoritas para ulama ushul fiqh.
Al-Zarkasyi rahimahullah berkata:
"(أَمَّا الْقِرَانُ بَيْنَ الْجُمْلَتَيْنِ لَفْظًا، فَلَا يَقْتَضِي التَّسْوِيَةَ فِي غَيْرِ الْمَذْكُورِ حُكْمًا، خِلَافًا لِأَبِي يُوسُفَ وَالْمُزَنِي).
الشَّرْحُ: الْقِرَانُ بَيْنَ الشَّيْئَيْنِ " فِي اللَّفْظِ فِي حُكْمٍ " لَا يَقْتَضِي التَّسْوِيَةَ بَيْنَهُمَا فِي غَيْرِهِ مِنَ الْأَحْكَامِ، وَلِهَذَا يُعْطَفُ الْوَاجِبُ عَلَى الْمَنْدُوبِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: (كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ)، وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمُزَنِيُّ مِنَّا: يَقْتَضِي التَّسْوِيَةَ؛ لِأَنَّ الْعَطْفَ يَقْتَضِي الشَّرِكَةَ..." انتهى
"(Adapun pembarengan antara dua susunan kalimat secara lafal, maka tidak mengimplikasikan kesetaraan dalam hukum yang tidak disebutkan. Ini berbeda dengan pendapat Abu Yusuf dan Al-Muzani).
Penjelasan: pembarengan antara dua sesuatu secara lafal" tidak mengimplikasikan kesetaraan hukum di antara keduanya . Oleh karena itu, boleh jadi hukum wajib di ‘athafkan pada hukum sunnah atau mandub, seperti firman-Nya:
﴿كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ﴾
(Makanlah dari buahnya ketika berbuah dan berikanlah hak zakatnya pada hari panennya)
Dan Abu Yusuf dari mazhab Hanafi dan Al-Muzani dari kami [madzahab Syafi’i] mengatakan: Mengimplikasikan kesetaraan; karena ‘athaf itu mengimplikasikan persekutuan ... " Selesai dari "Tasyniif al-Musaami / تَشْنِيفُ الْمُسَامِعِ '" (2/757).
Dan Syeikh Muhammad Al-Amin Al-Shanqiti rahimahullah berkata:
دَلَالَةُ الْاِقْتِرَانِ، وَقَدْ ضُعِفَهَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْأَصُولِ ... وَصَحَّحَ الِاحْتِجَاجَ بِهَا بَعْضُ الْعُلَمَاءِ"
"Petunjuk dari kebergandengan (antara kumis dan jenggot dalam nash), dan telah dilemahkan oleh sebagian besar ulama ushul... . Dan sebagian para ulama membenarkan menggunakan itu sebagai hujjah." (Selesai dari "Adhwa' al-Bayan" (3/266)).
Dengan demikian, setiap pernyataan memiliki hukum khusus baginya berdasarkan alibi (qorinah) dan dalil lainnya. Oleh karena itu, pernyataan "(Dan potonglah kumis)" dikatakan:
إِنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهَا مَزِيدٌ تَنْظِيفٍ وَتَحْسِينٍ لِلْوَجْهِ، يَلِيقُ بِهِ حُكْمُ النَّدْبِ، كَمَا هُوَ حَالُ السِّوَاكِ وَالتَّطَيُّبِ لِلْجُمُعَةِ وَنَحْوِ هَذَا.
Maksudnya adalah tambahan untuk membersihkan dan memperindah wajah, yang sesuai dengan hukum mandub (sunnah) , seperti halnya menggunakan siwak dan berwewangian ketika hari Jumat dan sejenisnya.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
"وَأَغْرَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِيّ فَقَالَ: عِنْدِي أَنَّ الْخِصَالَ الْخَمْسَ الْمَذْكُورَةَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ كُلُّهَا وَاجِبَةٌ؛ فَإِنَّ الْمَرْءَ لَوْ تَرَكَهَا لَمْ تَبْقَ صُورَتُهُ عَلَى صُورَةِ الْآدَمِيِّينَ؛ فَكَيْفَ مِنْ جُمْلَةِ الْمُسْلِمِينَ.
كَذَا قَالَ فِي "شَرْحِ الْمُوطَأ". وَتَعَقَّبَهُ أَبُو شَامَةَ بِأَنَّ الْأَشْيَاءَ الَّتِي مَقْصُودَهَا مَطْلُوبٌ لِتَحْسِينِ الْخَلْقِ وَهِيَ النَّظَافَةُ، لَا تَحْتَاجُ إِلَى وُرُودِ أَمْرٍ إِيجَابٍ لِلشَّارِعِ فِيهَا، اكْتِفَاءً بِدَوَاعِي الْأَنْفُسِ، فَمُجَرَّدُ النَّدْبِ إِلَيْهَا كَافٍ".
"Dan aneh sekali dengan Qadhi Abu Bakr bin Al-Arabi, dia mengatakan: Menurut saya, kelima sifat yang disebutkan dalam hadis ini semuanya wajib; karena jika seseorang meninggalkannya, maka bentuknya tidak akan tetap berada dalam bentuk manusia; apalagi jika itu dari kalangan sebagian umat Islam. Demikianlah yang dikatakan dalam "Syarah al-Muwaththa".
Dan Abu Syamah menanggapinya bahwa hal-hal yang tujuannya diperlukan untuk memperindah bentuk ciptaan, yaitu kebersihan, tidak memerlukan perintah wajib dari syariat, mealinkan cukup dengan tuntutan jiwa , maka hanya dengan menghukuminya sunnah saja itu sudah cukup." (Selesai dari "Fath al-Bari" (10/339-340)).
-----
PENDAPAT KE DUA : MEMOTONG KUMIS ADALAH FARDHU (WAJIB)
Sebagian para ulama berpendapat fardhu atau wajib hukumnya dan haram membiarkannya panjang tanpa memotongnya pendek.
Ini adalah pendapat Ibnu Hazm adz-Dzohiry, Ibnu al-Araby, Ibnu Daqiq al-‘Iid, Syeikh Bin Baaz, Fatwa al-Lajnah ad-Daa’imah Arab Saudi .
Ibnu Hazm dalam "Maratib al-Ijma" hal. 157 mengatakan:
اتَّفَقُوا أَنْ حَلْقَ جَمِيعِ اللِّحْيَةِ مُثْلَةً لَا تَجُوزُ.. وَاتَّفَقُوا أَنْ قَصَّ الشَّارِبِ وَقَطْعَ الْأَظْفَارِ وَحَلْقَ الْعَانَةِ وَنَتْفَ الْإِبْطِ حَسَنٌ. اهـ.
Mereka sepakat bahwa mencukur habis jenggot hingga merusak bentuk penampilan itu tidak diperbolehkan... dan mereka sepakat bahwa mencukur kumis, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, dan mencabut bulu ketiak adalah baik. (Selesai)
Adapun pernyataannya tentang wajib mencukur kumis, maka dalam kitab "Al-Muhalla" dia mengatakan:
أَمَّا قَصُّ الشَّارِبِ فَفَرْضٌ. اهـ.
"Adapun memotong kumis adalah fardhu [wajib]." (Al-Muhalla) (1/423)
Pendapat yang dipegang Ibnu Hazm ini justru bertentangan dengan mayoritas ulama.
Syeikh Ibnu Utsaimin dalam pertemuan pintu terbuka mengatakan:
ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى وُجُوبِ الْأَخْذِ مِنْ الشَّارِبِ، وَقَالَ: إِنَّ تَرْكَ الْأَخْذِ مِنْ الشَّارِبِ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَبَرَّأَ مِنْهُ، وَمِنْ مَنْ صَرَّحَ بِذَلِكَ ابْنُ حَزَمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ، قَالَ: إِنَّ إِعْفَاءَ اللِّحْيَةِ وَالْأَخْذَ مِنْ الشَّارِبِ فَرْضٌ. أهـ.
Sebagian para ulama berpendapat wajib memotong kumis, dan dia berkata : Meninggalkan pemotongan kumis termasuk dosa besar; karena Nabi Muhammad ﷺ telah menjauhkan diri darinya. Dan di antara yang menyatakan hal ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah, beliau berkata: "Membiarkan jenggot tumbuh dan memotong kumis adalah fardhu (wajib)." (Selesai)
Ibnu Muflih rahimahullah berkata:
وَيَحُفُّ شَارِبَهُ أَوْ يَقُصُّ طَرَفَهُ... وَذَكَرَ ابْنُ حَزْمٍ الإجْمَاعَ: أَنَّ قَصَّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءَ اللِّحْيَةِ فَرْضٌ.....
وَعَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ مَرْفُوعًا: (مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ، وَهَذِهِ الصِّيغَةُ تَقْتَضِي عِنْدَ أَصْحَابِنَا التَّحْرِيمَ.
"Dia harus memangkas pendek kumisnya atau memotong ujungnya... Ibnu Hazm menyebutkan ijma’ (kesepakatan) bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot adalah fardhu. ....
Dan dari Zaid bin Arqam bahwa Nabiﷺ bersabda : "Barangsiapa yang tidak memangkas dari kumisnya, maka dia bukan dari golongan kami" (HR. Ahmad, An-Nasa'i, At-Tirmidzi, dan dishahihkan).
Shigot ini mengimplikasikan keharaman menurut sahabat-sahabat kami." (Al-Furu', 1/151-152).
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata:
وَأَمَّا قَصَّ الشَّارِبِ: فَالدَّلِيلُ يَقْتَضِي وُجُوبَهُ إِذَا طَالَ، وَهَذَا الَّذِي يَتَعَيَّنُ الْقَوْلُ بِهِ؛ لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِهِ، وَلِقَوْلِهِ ﷺ: (مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا) " انتهى
"Adapun memotong kumis: Dalil menunjukkan bahwa wajib memotongnya jika sudah panjang, dan ini adalah hukum yang harus ditentukan; karena adanya perintah Rasulullah ﷺ tentang hal ini, dan sabda beliau ﷺ: 'Barangsiapa yang tidak memangkas dari kumisnya, maka dia bukan dari golongan kami.'" (Selesai dari "Tuhfat al-Maudud", halaman 257).
Syeikh Bin Baz berkata :
وَخَرَجَ النَّسَائِيُّ فِي سُنَنِهِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا » قَالَ الْعَلَّامَةُ الْكَبِيرُ وَالْحَافِظُ الشَّهِيرُ أَبُو مُحَمَّدٍ ابْنُ حَزْمٍ: (اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ قَصَّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءَ اللِّحْيَةِ فَرْضٌ. ا. هـ.)
Imam al-Nasa'i meriwayatkan dalam Sunannya dengan sanad yang sahih dari Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa yang tidak mencukur kumisnya, maka bukan termasuk golongan kami."
Al-'Allamah al-Kabir al-Hafizh yang terkenal, Abu Muhammad Ibn Hazm mengatakan:
"Para ulama sepakat bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot adalah fardhu (wajib)". [Majmū' Fatāwā wa Maqālāt ash-Shaikh Ibn Bāz 3/362].
Lalu Syekh bin Baaz berkata :
وَهَكَذَا قَصُّ الشَّارِبِ وَاجِبٌ، وَإِحْفَاؤُهُ أَفْضَلُ، أَمَّا تَوْفِيرُهُ أَوِ اتِّخَاذُ الشَّنَبَاتِ فَذَلِكَ لَا يَجُوزُ.
"Demikian pula, memotong kumis itu wajib, dan berlebihan memotongnya adalah lebih utama. Adapun membiarkannya tumbuh panjang atau memelihara kumis lebat (baplang), itu tidak diperbolehkan." [Majmū' Fatāwā wa Maqālāt ash-Shaikh Ibn Bāz 3/362].
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah Arab Saudi :
Dalam Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah lli Buhuts Ilmiyyah wal Iftaa [fatwa Komite Tetap untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa] (5/275) dinyatakan:
" وَلَا يَجُوزُ تَرْكُ طَرَفَيِ الشَّارِبِ، بَلْ يُقَصُّ الشَّارِبُ كُلَّهُ، أَوْ يُحْفِيهِ كُلَّهُ، عَمَلًا بِالسُّنَّةِ "
"Tidak boleh [haram] hukumnya membiarkan dua ujung kumis, melainkan kumis wajib dipotong seluruhnya atau dipendekkan seluruhnya, sesuai dengan amalan sunnah."
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
(ذَهَبَ ابْنُ العَرَبِيِّ إِلَى القَوْلِ بِوُجُوبِ جَمِيعِ خِصَالِ الفِطْرَةِ، وَفِي ذَلِكَ يَقُولُ: (وَالَّذِي عِنْدِي أَنَّ الخِصَالَ الخَمْسَ المَذْكُورَةَ فِي هَذَا الحَدِيثِ كُلُّهَا وَاجِبَةٌ؛ فَإِنَّ المَرْءَ لَوْ تَرَكَهَا لَمْ تَبْقَ صُورَتُهُ عَلَى صُورَةِ الآدَمِيِّينَ؛ فَكَيْفَ مِنْ جُمْلَةِ المُسْلِمِينَ؟!
كَذَا قَالَ فِي شَرْحِ المُوَطَّأ، وَتَعَقَّبَهُ أَبُو شَامَةَ بِأَنَّ الأَشْيَاءَ الَّتِي مَقْصُودُهَا مَطْلُوبٌ لِتَحْسِينِ الخَلْقِ، وَهِيَ النَّظَافَةُ، لَا تَحْتَاجُ إِلَى وُرُودِ أَمْرِ إِيجَابٍ لِلشَّارِعِ فِيهَا؛ اكْتِفَاءً بِدَوَاعِي الأَنْفُسِ، فَمُجَرَّدُ النَّدْبِ إِلَيْهَا كَافٍ").
"Ibnu Al-'Arabi berpendapat bahwa semua sifat fitrah yang disebutkan dalam hadits ini wajib, dan dia berkata:
'Menurutku, kelima sifat fitrah yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib, karena jika seseorang meninggalkannya, maka penampakan dia tidak akan tersisa seperti bentuk manusia, lalu bagaimana mungkin dia dikatakan termasuk jemaah kaum Muslimin.'
Demikian yang dikatakannya dalam Syarh Al-Muwatta, dan Abu Syamah mengkritiknya dengan mengatakan :
‘Bahwa hal-hal yang tujuannya adalah untuk memperbaiki penampilan, yaitu seperti kebersihan, maka tidak memerlukan adanya perintah wajib dari syariat, melainkan cukup dengan dorongan jiwa yang alami saja, jadi dihukumi sunnah (mandub) saja sudah cukup’. (Fath Al-Bari) (10/340).
Kemudian Ibnu Hajar mengutip Ibnu Daqiq al-Id bahwa dia mengatakan:
لا أَعْلَمُ أَحَدًا قَالَ بِوُجُوبِ قَصِّ الشَّارِبِ مِنْ حَيْثُ هُوَ هُوَ.
“Saya tidak tahu seseorang yang menyatakan wajib memotong kumis dari sudut pandang dia [Ibnu al-Araby]”.
Kemudian Ibnu Hajar berkata:
احْتَرَزَ بِذَلِكَ مِنْ وُجُوبِهِ بِعَارِضٍ حَيْثُ يَتَعَيَّنُ كَمَا تَقَدَّمَتْ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ مِنْ كَلَامِ ابْنِ الْعَرَبِيِّ، وَكَأَنَّهُ لَمْ يَقِفْ عَلَى كَلَامِ ابْنِ حُزَمٍ فِي ذَلِكَ، فَإِنَّهُ قَدْ صَرَّحَ بِالْوُجُوبِ فِي ذَلِكَ وَفِي إِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ. أَهـ.
Dengan itu dia berhati-hati dalam menentukan hukum wajib ; karena adanya penghalang untuk menentukannya, seperti yang telah diindikasikan oleh ucapan Ibnu al-Arabi, seolah-olah dia tidak pernah mengetahui ucapan Ibnu Hazm dalam hal itu, karena dia telah menyatakan wajib hukumnya dalam hal tersebut dan begitu juga dalam hal memanjangkan jenggot. (selesai)
Kemudian Ibnu Hajar berkata:
وَنَقَلَ ابْنُ دَقِيقِ العِيدِ عَنْ بَعْضِ العُلَمَاءِ أَنَّهُ قَالَ:
دَلَّ الخَبَرُ عَلَى أَنَّ الفِطْرَةَ بِمَعْنَى الدِّينِ، وَالأَصْلُ فِيمَا أُضِيفَ إِلَى الشَّيْءِ أَنَّهُ مِنْهُ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَرْكَانِهِ لَا مِنْ زَوَائِدِهِ، حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى خِلَافِهِ.
وَقَدْ وَرَدَ الأَمْرُ بِاتِّبَاعِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَثَبَتَ أَنَّ هَذِهِ الخِصَالَ أُمِرَ بِهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَكُلُّ شَيْءٍ أَمَرَ اللهُ بِاتِّبَاعِهِ فَهُوَ عَلَى الوُجُوبِ لِمَنْ أُمِرَ بِهِ، وَتُعُقِّبَ بِأَنَّ وُجُوبَ الِاتِّبَاعِ لَا يَقْتَضِي وُجُوبَ كُلِّ مَتْبُوعٍ فِيهِ، بَلْ يَتِمُّ الِاتِّبَاعُ بِالِامْتِثَالِ؛ فَإِنْ كَانَ وَاجِبًا عَلَى المَتْبُوعِ، كَانَ وَاجِبًا عَلَى التَّابِعِ، أَوْ نَدْبًا فَنُدِبَ، فَيَتَوَقَّفُ ثُبُوتُ وُجُوبِ هَذِهِ الخِصَالِ عَلَى الأُمَّةِ، عَلَى ثُبُوتِ كَوْنِهَا كَانَتْ وَاجِبَةً عَلَى الخَلِيلِ عَلَيْهِ السَّلَامُ).
Ibn Daqiq Al-'Eid mengutip dari beberapa ulama bahwa dia berkata:
'Hadits menunjukkan bahwa fitrah berarti agama, dan segala sesuatu yang ditambahkan padanya adalah bagian darinya, bagian dari rukun-rukunnya, bukan bagian dari tambahan-tambahannya, kecuali ada dalil sebaliknya.
Telah ada perintah untuk mengikuti Ibrahim 'alaihis salam, dan terbukti bahwa sifat-sifat ini diperintahkan kepada Ibrahim 'alaihis salam, dan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti adalah wajib bagi yang diperintahkan.
Diperjelas bahwa kewajiban mengikuti tidak berarti kewajiban setiap hal yang diikuti, tetapi cukup dengan melaksanakannya; jika itu wajib bagi yang diikuti, maka wajib bagi yang mengikuti, atau jika itu disunnahkan maka disunnahkan, sehingga kewajiban sifat-sifat ini bagi umat bergantung pada dalil bahwa itu wajib bagi Ibrahim 'alaihis salam." (Fath Al-Bari) (10/340).
Dan Sheikh Muhammad bin Ali Adam Al-Ethiopi rahimahullah berkata:
"وَقَدْ اسْتَدَلَّ بِهَذَا الْحَدِيثِ، وَبِحَدِيثِ (أَحْفُوا الشَّوَارِبَ) وَنَحْوِهِمَا عَلَى وُجُوبِ قَصِّ الشَّارِبِ ابْنُ حَزْمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ كَمَا فِي الْفَتْحِ، وَزَادَ فِي "المَنْهَلِ": بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ، وَالْجَمْهُورُ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ.
ثُمَّ قَالَ: الظَّاهِرُ الْقَوْلُ الْأَوَّلُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ."
"Dan Ibn Hazm rahimahullah telah berdalil dengan hadis ini, dan hadis 'Aghfu al-Shawarib' dan sejenisnya atas wajibnya memotong kumis, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Fath, dan dia menambahkan di kitab "Al-Minhāl": sebagian para ulama madzhab Hanafi, dan mayoritas menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahab. Kemudian dia berkata: yang tampaknya adalah pendapat pertama. Dan Allah lebih mengetahui." (Selesai dari "Dzakhīirat al-'Uqbaa", 1/380).
=====
YANG SESUAI SUNNAH : APAKAH CUKUR HABIS ATAU POTONG PENDEK KUMIS ?
Para ulama berbeda pendapat terkait yang sesuai sunnah dianjurkan dalam kumis menjadi dua pendapat:
-----
PENDAPAT PERTAMA : Yang sesuai sunnah adalah dicukur habis klimis semuanya.
Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah dan Hanabilah.
Imam al-Bukhari dalam Sahihnya menuliskan suatu BAB dalam kitab al-Libaas [pakaian] dengan mengatakan:
(بَاب قَصِّ الشَّارِبِ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُحْفِي شَارِبَهُ حَتَّى يُنْظَرَ إِلَى بَيَاضِ الْجِلْدِ، وَيَأْخُذُ هَذَيْنِ، يَعْنِي: بَيْنَ الشَّارِبِ وَاللِّحْيَةِ) .
"(Bab Memotong Kumis) dan Ibnu Umar biasanya memotong habis kumisnya hingga kulitnya terlihat putih. Dia memotong dua bagian ini, yang berarti di antara kumis dan jenggot."
Ath-Thohawi dalam ‘Syarh Ma’ani Al-Atsar (4/230) menyatakan : bahwa mencukur habis lebih utama dibandingkan memendekkan. Dan ini madzhab Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad rahimahumullah.”
Berikut ini text perkataannya :
"فَثَبَتَتْ الْآثَارُ كُلُّهَا الَّتِي رَوَيْنَاهَا فِي هَذَا الْبَابِ ، وَلَا تَضَادُّ ، وَيَجِبُ بِثُبُوتِهَا : أَنَّ الْإِحْفَاءَ أَفْضَلُ مِنْ الْقَصِّ .
وَهَذَا مَعْنَى هَذَا الْبَابِ ، مِنْ طَرِيقِ الْآثَارِ .
وَأَمَّا مِنْ طَرِيقِ النَّظَرِ ، فَإِنَّا رَأَيْنَا الْحَلْقَ قَدْ أُمِرَ بِهِ فِي الْإِحْرَامِ ، وَرُخِّصَ فِي التَّقْصِيرِ .
فَكَانَ الْحَلْقُ أَفْضَلَ مِنْ التَّقْصِيرِ ، وَكَانَ التَّقْصِيرُ ، مَنْ شَاءَ فَعَلَهُ ، وَمَنْ شَاءَ زَادَ عَلَيْهِ ، إلَّا أَنَّهُ يَكُونُ بِزِيَادَتِهِ عَلَيْهِ أَعْظَمَ أَجْرًا مِمَّنْ قَصَّ .
فَالنَّظَرُ عَلَى ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ كَذَلِكَ حُكْمُ الشَّارِبِ قَصُّهُ حَسَنٌ ، وَإِحْفَاؤُهُ أَحْسَنُ وَأَفْضَلُ .
وَهَذَا مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ ، وَأَبِي يُوسُفَ ، وَمُحَمَّدٍ ."
"Maka seluruh riwayat yang kami sampaikan dalam bab ini terbukti shahih, dan tidak ada pertentangan. Dan wajib dengan keshahihan riwayat tersebut :
‘Bahwa mencukur habis (kumis) lebih utama daripada memotong pendek.
Dan inilah makna dari bab ini, dari sisi riwayat.
Adapun dari sisi penalaran, maka kami melihat bahwa mencukur kepala diperintahkan dalam ihram [haji dan umroh], dan diberi keringanan untuk memendekkannya.
Maka mencukur kepala lebih utama daripada memendekkannya. Dan memendekkan itu, siapa yang mau melakukannya, dan siapa yang mau melebihinya, akan tetapi bahwa dengan melebihinya akan mendapatkan pahala yang lebih besar daripada yang memotong pendek.
Maka penalaran terhadap hal tersebut adalah demikian juga dengan hukum kumis, memotongnya adalah baik, dan mencukurnya hingga habis itu lebih baik dan lebih utama.
Dan ini adalah madzhab Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad." [‘Syarh Ma’ani Al-Atsar (4/230)]
Al-Buhuti rahimahullah berkata:
(وَ) سُنَّ (حَفُّ شَارِبٍ) أَوْ قَصُّ طَرَفِهِ. وَحَفُّهُ أَوْلَى نَصًّا. وَهُوَ الْمُبَالَغَةُ فِي قَصِّهِ." . انتهى
"(Dan) disunnahkan (memotong seluruh kumis) atau memotong ujungnya. Mencukur habis lebih utama secara nash. Dan itu adalah berlebihan dalam memotongnya." Selesai, dari "Daqa'iq Uli al-Nuha" (1/45).
Dia juga berkata:
"(وَيُسَنُّ حَفُّ الشَّارِبِ ، أَوْ قَصُّ طَرَفِهِ، وَحَفُّهُ أَوْلَى ؛ نَصًّا) .
قَالَ فِي النِّهَايَةِ: إحْفَاءُ الشَّوَارِبِ : أَنْ تُبَالِغَ فِي قَصِّهَا . وَكَذَا قَالَ ابْنُ حَجَرٍ فِي شَرْحِ الْبُخَارِيِّ : الْإِحْفَاءُ - بِالْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ وَالْفَاءِ – : الِاسْتِقْصَاءُ ، وَمِنْهُ : ( حَتَّى أَحْفُوهُ بِالْمَسْأَلَةِ ) ." انتهى.
"(Dan disunnahkan memotong seluruh kumis, atau memotong ujungnya, dan memotong seluruhnya lebih utama; secara nash)."
Penulis kitab "An-Nihayah" berkata : "Ihfaa asy-Syaarib, artinya adalah berlebihan dalam memotongnya." Dan demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam syarah al-Bukhari: "Al-Ihfaa' – dengan ha’ yang tidak berharakat dan fa’ – adalah tuntas hingga dasar, dan di antaranya: (sehingga mereka detail, rinci dan mendalam ketika menanyakannya)." Selesai, dari "Kashshaf al-Qina'" (1/75).
Mereka berdalil dengan yang Nampak dari teks nabawi yang ada dalam masalah ini.
Diantaranya:
( أَحْفُوا الشَّوَارِبَ )
(Cukur habislah kumis) HR. Bukhiri (5892) dan Muslim (259).
(أَنْهِكُوا الشَّوَاربَ)
(Hilangkan kumis) HR. Bukhori (5893) .
Dan dalam redaksi Muslim (260) :
جُزُّوا الشَّوَارب
(Ambil semua kumis).
-----
PENDAPAT KEDUA : Yang sesuai sunnah adalah memendekkan kumis. Sementara mencukur habis itu makruh.
Ini adalah pendapat madzhab Malikiyah, ulama Muta’akhirin al-Hanfiyyah dan Syafiiyyah. Dan ini juga adalah pendapat dari sekelompok ulama’ salaf juga.
Ibnu Abidin dalam ‘Raddul Mukhtar (2/550) menukil dari ulama’-ulama’ terakhir memilih (الْقَصُّ) memotong. Beliau mengatakan :
"وَاخْتُلِفَ فِي الْمَسْنُونِ فِي الشَّارِبِ هَلْ هُوَ الْقَصُّ أَوْ الْحَلْقُ؟
وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ مَشَايِخِنَا أَنَّهُ الْقَصُّ. قَالَ فِي الْبَدَائِعِ: وَهُوَ الصَّحِيحُ" انتهى
"Dalam masalah disunnahkan memotong kumis, telah terjadi perbedaan pendapat, apakah itu memotongnya atau mencukurnya (botak/gundul/klimis)?
Dan yang dijadikan madzhab oleh sebagian ulama muta’akhkhirin dari syeikh-syekh kami adalah bahwa itu adalah memotong. Dikatakan dalam "Al-Bada'i": dan itulah yang benar." Selesai. "Hashiyah Ibnu 'Abidin" (2/550).
“Sesuai Madzhab (maksudnya Madzhab Hanafi) menurut ulama’ muta’akhkhiriin dari guru kami : ‘itu dipendekkan’. Dalam kitab Badai’ dikatakan, itu yang benar.” Selesai
Sementara Imam Malik sangat ketat dalam masalah ini. Syeikh Al-Albani telah mengutipnya dalam "Adab al-Zifaf" halaman 137:
"عَنْدَ شَرْحِهِ لقَوْلِهِ ﷺ (أَنْهَكُوا الشَّوَارِبَ): فَقَالَ: بَالْغُوا فِي الْقَصِّ وَمِثْلُهُ "جُزُّوْا" وَالْمَرَادُ الْمُبَالَغَةُ فِي قَصِّ مَا طَالَ عَلَى الشَّفَةِ لَا حَلْقَ الشَّارِبِ كُلِّهِ فَإِنَّهُ خِلَافُ السُّنَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الثَّابِتَةِ عَنْهُ ﷺ . وَلِهَذَا لَمَّا سُئِلَ مَالِكٌ عَمَّنْ يُحْفِي شَارِبَهُ؟ قَالَ: أَرَى أَنْ يُوجَعَ ضَرْبًا وَقَالَ لِمَنْ يَحْلِقُ شَارِبَهُ: هَذِهِ بِدْعَةٌ ظَهَرَتْ فِي النَّاسِ. رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ . وَانْظُرْ "فَتْحَ الْبَارِي" (10/285-286) وَلِهَذَا كَانَ مَالِكٌ وَافِرَ الشَّارِبِ".
Ketika mensyarahi sabda Rasulullah ﷺ (Kalian Cukur Pendeklah Kumis), beliau berkata: "Berlebihanlah dalam mencukur pendek dan serupa dengannya adalah kata 'jazzuu'." Yang dimaksud adalah berlebihan dalam memotong apa yang melebihi bibir, bukan mencukur seluruh kumis, karena itu bertentangan dengan praktek yang ditegakkan oleh Sunnah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ.
Oleh karena itu, ketika Imam Malik ditanya tentang orang yang mencukur kumisnya, maka ia berkata: "Aku berpendapat bahwa ia harus dihukum dengan pukulan ." Dan kepada orang yang mencukur kumisnya, ia berkata: "Ini adalah bid'ah yang muncul di antara manusia."
Riwayat ini disampaikan oleh al-Bayhaqi dan lihat "Fath al-Bari" (10/285-286). Itulah sebabnya mengapa Malik membiarkan kumisnya tumbuh lebat “.
Diriwayatkan oleh Baihaqi di Sunan Kubro (1/151) dengan sanadnya dari Abdul Aziz bin Abdullah Al-Uwaisy berkata, diceritakan kepadan Malik bin Anas bahwa sebagian orang mencukur bersih klimis kumisnya, maka beliau berkata :
يَنبَغِي أَن يُضرَبَ مَن صَنَعَ ذَلِكَ ، فَلَيسَ حَدِيثُ النَّبِيِّ ﷺ فِي الإِحفَاءِ ، وَلَكِن يُبدِي حَرفَ الشَّفَتَينِ وَالفَمِ .
وَقَالَ مَالِكُ بنُ أَنَسٍ : حَلقُ الشَّارِبِ بِدعَةٌ ظَهَرَت فِي النَّاسِ.
“Selayaknya dipukul orang yang melakukan hal itu. Tidak ada dalam hadits Nabi ﷺ dalam mencukur bersih. Akan tetapi terlihat dua tepi bibir dan mulut.
Malik bin Anas mengatakan, “Mencukur kumis termasuk bid’ah yang telah Nampak pada orang-orang.” Selesai dengan diringkas.
Abul Walid AL-Baji dalam ‘Al-Muntaqo Syarh Al-Muwatto’ (7/266) mengatakan,
رَوَى ابنُ عَبدِ الحَكَمِ عَن مالِكٍ: لَيسَ إِحفَاءُ الشَّارِبِ حَلقَهُ، وَأَرَى أَن يُؤدَّبَ مَن حَلَقَ شَارِبَهُ. وَرَوَى أَشهَبُ عَن مالِكٍ: حَلقُهُ مِنَ البِدَعِ.
قالَ مالِكٌ رَحِمَهُ اللهُ: وَرُوِيَ عَن عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّهُ كانَ إِذَا أَحزَنَهُ أَمرٌ فَتَلَ شَارِبَهُ. وَلَو كَانَ مَحلُوقًا ما كانَ فِيهِ مَا يُفَتَّلُ. انتهى
“Diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Hakam dari Malik : Bukanlah meng-ihfaa-kan kumis itu dengan mencukurnya habis (botak klimis). Saya berpendapat : selayaknya diberi pelajaran (adab) atas orang yang mencukur habis kumisnya (klimis atau botak) . Diriwayatkan Asyhab dari Malik, mencukur kumis hingga botak termasuk bid’ah.
Malik rahimahullah mengatakan : “Diriwayatkan dari Umar bin Khottob radhiallahu’anhu bahwa dahulu kalau tertimpa urusan yang menyedihkan, maka dia memilin (memelintir) kumisnya. Kalau sekiranya kumisnya dicukur botak, maka tidak ada yang bisa dipintal.” [Selesai silahkan melihat ‘At-Tamhid (21/62-68)].
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (1/340-341) mengatakan :
ثُمَّ ضَابِطُ قَصِّ الشَّارِبِ أَن يُقَصَّ حَتَّى يَبدُوَ طَرَفُ الشَّفَةِ، وَلَا يُحِفَّهُ مِن أَصلِهِ، هَذَا مَذهَبُنَا " انتهى.
“Kemudian aturan dalam memendekkan kumis adalah memotongnya sampai kelihatan bibir, dan tidak dicukur habis sampai dasarnya. ini madzhab kami.” Selesai
Dalam ‘Nihayatul Muhtaj karya Ramli (8/148) dari kalangan ulama’ Syafiiyyah disebutkan:
" وَيُكرَهُ الإِحفَاءُ " انتهى.
“Dimakruhkan al-Ihfaa (mencukur habis).” Selesai.
Maksudnya makruh mencukur habis kumisnya.
Fatwa Syeikh Sholeh al-Fauzaan :
"[2961 -3022] السُّؤَالُ: هَلْ صَحِيحٌ أَنَّهُ يُنْهَى عَنْ حَلْقِ الشَّارِبِ بِالْمُوسِ؟
الجَوَابُ: أَيْ نَعَمْ، مَكْرُوهٌ لا مَا هُوَ بَيْنْهَى مَكْرُوهٌ، (جُزُّوا) الرَّسُولُ ﷺ مَا قَالَ احْلِقُوهَا قَالَ جُزُّوهَا، الشَّوَارِبَ ثُمَّ إِنَّ حَلْقَ الشَّارِبِ فِيهِ تَشْوِيهٌ، لَيْسَ فِيهِ ..."
"[2961 -3022] Pertanyaan: Apakah benar bahwa mencukur kumis dengan pisau cukur (silet) dilarang?
Jawaban: Ya, itu tidak dianjurkan (makruh). Tidak dilarang secara tegas, tetapi makruh. Rasulullah ﷺ bersabda, 'Potonglah kumis,' beliau tidak mengatakan 'Cukurlah kumis,' sehingga mencukur kumis dapat dianggap sebagai perbuatan yang kurang baik, karena mencukur kumis dapat menyebabkan distorsi (penampilan yang tidak baik)."
Mereka berdalil akan hal itu dengan berikut ini:
Pertama :
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu saya mendengar Nabi ﷺ bersabda :
( الْفِطْرَةُ خَمْسٌ : الْخِتَانُ ، وَالِاسْتِحْدَادُ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ ، وَنَتْفُ الْآبَاطِ )
“Fitrah itu ada lima, khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.” HR. Bukhori (5891) dan Muslim (257).
Kedua :
Dari Mughiroh bin Syu’bah radhiallahu’anhu berkata :
( كَانَ شَارِبِي وَفَى – أي زاد - فَقَصَّهُ لِي – يعني النبي ﷺ - عَلَى سِوَاكٍ )
(Dahulu kumisku panjang, maka Nabi ﷺ memendekkannya untukku (panjangnya) diatas siwak.” HR. Abu Dawud (188) dishohehkan Al-Albany di shoheh Abi Dawud.
Ketiga :
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam "As-Sunan al-Kubra" (1/151) dengan sanadnya: dari Syurahbil bin Muslim al-Khaulani berkata:
رَأَيْتُ خَمْسَةً مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يُقَصُّونَ شَوَارِبَهُمْ وَيُعْفُونَ لِحَاهُمْ وَيُصَفِّرُونَهَا: أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُسْرٍ، وَعُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ السُّلَمِيِّ، وَالْحَجَّاجُ بْنُ عَامِرٍ الثُّمَالِيُّ، وَالْمِقْدَامُ بْنُ مَعْدٍ يَكْرِبَ الْكِنْدِيُّ؛ كَانُوا يُقَصُّونَ شَوَارِبَهُمْ مَعَ طَرَفِ الشَّفَةِ.
"Aku melihat lima orang dari para sahabat Rasulullah ﷺ memotong kumis mereka, membiarkan janggut mereka, dan mencelupnya dengan pewarna kuning, yaitu : Abu Umamah al-Baahili, Abdullah bin Bisyr, ‘Utbah bin Abdus Salam, Al-Hajjaj bin Amir al-Tsumali, dan Al-Miqdam bin Ma'di Yakrib al-Kindi; mereka memotong kumis mereka hingga sejajar dengan ujung bibir."
(HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam "Al-Aahaad dan Al-Matsani" (1236), Ath-Thabrani (20/262) (617), Al-Baihaqi (1/151) (718).
Sanadnya dihasankan oleh Al-Haitsami dalam "Majma' al-Zawa'id" (5/170), dan dianggap hasan pula oleh Al-Albani dalam "Adab az-Zafaaf" (137)).
-----
BANTAHAN TERHADAP DALIL PENDAPAT PERTAMA :
Mereka menjawab dalil-dalil yang digunakan pendapat pertama dengan salah satu jawaban, berikut ini :
Ke 1 : maksud dengan ‘ihfa’ dan inhak’ adalah memendekkah ujung rambut yang ada di atas bibir. Bukan mencukur semua kumis (dari pangkalnya). Dengan dalil riwayat yang disebutkan memendekkan saja. Dan ia menjadi penjelasan dari hadits ihfa’.
Abul Walid mengatakan dalam ‘Al-Muntaqo Syarkh Al-Muwatho’ (7/266):
" رَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ : أَنَّ تَفْسِيرَ حَدِيثِ النَّبِيِّ ﷺ فِي إِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ إِنَّمَا هُوَ أَنْ يَبْدُوَ الإِطَارُ : وَهُوَ مَا أَحْمَرَّ مِنْ طَرَفِ الشَّفَةِ ، وَالإِطَارُ جَوَانِبُ الْفَمِ الْمُحْدَقَةُ بِهِ " انتَهَى.
“Diriwayatkan oleh Ibnu Qosim dari Malik, Bahwa penafsiran hadits Nabi ﷺ dalam mencukur kumis adalah terlihat sisi ujung mulut. Yaitu yang dipendekkan dari sisi bibirnya dan kata ‘Itor’ adalah sisi mulut yang dilancipkan. Selesai.
Nawawi dalam Al-Majmu’ (1/340) mengatakan :
وَهَذِهِ الرِّوَايَاتِ – يَعْنِي رِوَايَاتِ ( أُحْفُوا .. أَنْهِكُوا الشَّوَارِبِ ) - مَحْمُولَةٌ عِنْدَنَا عَلَى الْحَفِّ مِنْ طَرَفِ الشَّفَةِ ، لَا مِنْ أَصْلِ الشَّعَرِ " انتَهَى.
“Riwayat-riwayat ini –yakni (أُحْفُوا .. أَنْهِكُوا الشَّوَارِبِ)- menurut kami maksudnya adalah memendekkan dari sisi ujung bibir. Bukan dicukur dari pangkalnya.” Selesai
Ke 2 : Bahwa kata ‘Al-Ihfa’ dan Al-Inhak’ arti dalam bahasa bukan mencukur habis, bahkan maksudnya adalah menghilangkan sebagiannya.
Abul Wali Al-Baji dalam ‘Al-Muntaqa Syarkh Al-Muwato’ (7/266) mengatakan :
"إنْهَاكُ الشَّيْءِ لَا يَقْتَضِي إِزَالَةَ جَمِيعِهِ ، وَإِنَّمَا يَقْتَضِي إِزَالَةَ بَعْضِهِ. قَالَ صَاحِبُ "الأَفْعَالِ": نَهَكْتُهُ الحُمَّى نَهْكًا: أَثَرَتْ فِيهِ" انتَهَى.
“Mencukur sesuatu, maksudnya tidak mengandung menghilangkan semuanya. Akan tetapi terkandung menghilangkan sebagiannya. Pemilik ‘Al-Af’al’ mengatakan :
نَهَكْتُهُ الحُمَّى نَهْكًا
“Terserang demam”, maksudnya terimbas dengannya. [Selesai]
Ke 3 : Bahwa yang dimaksud dengan "inhak" dan "ihfa'" adalah berlebihan dalam memotongnya, bukan membotakinya secara keseluruhan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, setelah menyebutkan lafaz-lafaz hadits tentang masalah ini dan perbedaannya:
"فَكُلُّ هَذِهِ الأَلفَاظِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ المَطْلُوبَ: المُبَالَغَةُ فِي الإِزَالَةِ؛ لِأَنَّ (الجَزّ) - وَهُوَ بِالجِيمِ وَالزَّايِ الثَّقِيلَةِ -: قَصُّ الشَّعْرِ وَالصُّوفِ إِلَى أَنْ يَبْلُغَ الجِلْدَ. وَ(الإِحفَاءُ) - بِالمُهمَلَةِ وَالفَاءِ -: الاستِقصَاءُ؛ وَمِنهُ: (حَتَّى أَحفَوْهُ بِالمَسْأَلَةِ).
قَالَ أَبُو عُبَيدٍ الهَرَوِيُّ: مَعنَاهُ أَلزَقُوا الجَزَّ بِالبَشَرَةِ.
وَقَالَ الخَطَّابِيُّ: هُوَ بِمَعنَى الاستِقصَاءِ.
وَالنَّهْكُ - بِالنُّونِ وَالكَافِ -: المُبَالَغَةُ فِي الإِزَالَةِ، وَمِنهُ مَا تَقَدَّمَ فِي الكَلَامِ عَلَى الخِتَانِ، قَولُهُ ﷺ لِلمُخَافِضَةِ: (أَشمِي وَلَا تَنهَكِي)؛ أَي لَا تُبَالِغِي فِي خِتَانِ المَرأَةِ. وَجَرَى عَلَى ذَلِكَ أَهلُ اللُّغَةِ."
"Semua lafaz ini menunjukkan bahwa yang diperintah adalah berlebihan dalam menghilangkannya; karena makna (al-jazz) – yaitu dengan jim dan zay yang tebal – artinya memotong rambut atau wol hingga mencapai kulit. Dan (al-ihfa’) – dengan ha’ yang tidak berharakat dan fa’ – artinya hingga ujungnya dalam menghilangkannya; dan di antaranya: (sehingga mereka benar-benar detail dan mendalam dengan pertanyaan).
Abu Ubaid al-Harawi berkata: Maknanya adalah mereka menempelkan pemotongan pada kulit.
Al-Khattabi berkata: Itu berarti mentok hingga ujungnya dalam menghilangkannya.
Dan al-nahk – dengan nun dan kaf – artinya berlebihan dalam menghilangkannya, dan di antaranya yang disebutkan dalam pembahasan tentang khitan, sabda Nabi ﷺ kepada perempuan yang mengkhitan: (Potong sedikit dan jangan kau habiskan memotongnya); yaitu jangan berlebihan dalam mengkhitan perempuan. Dan inilah yang dipegang oleh ahli bahasa." Selesai, "Fath al-Bari" (10/347).
Syekh Ibnu Utsaimin dalam ‘Majmu’ Fatawa (11/ Bab Siwak Wa Sunan Al-Fitroh/ soal No. 54): berkata :
الأَفْضَلُ: قَصُّ الشَّارِبِ كَمَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ... وَأَمَّا حَلْقُهُ فَلَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ.
وَقِيَاسُ بَعْضِهِمْ مَشْرُوعِيَّةَ حَلْقِهِ عَلَى حَلْقِ الرَّأْسِ فِي النُّسُكِ: قِيَاسٌ فِي مُقَابَلَةِ النَّصِّ، فَلَا عِبْرَةَ بِهِ، وَلِهَذَا قَالَ مَالِكٌ عَنِ الحَلْقِ: إِنَّهُ بِدْعَةٌ ظَهَرَتْ فِي النَّاسِ، فَلَا يَنْبَغِي العُدُولُ عَمَّا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ، فَإِنَّ فِي اتِّبَاعِهَا الهُدَى وَالصَّلَاحَ وَالسَّعَادَةَ وَالفَلَاحَ."
“Yang lebih utama adalah memendekkan kumis, sebagaimana yang ada dalam sunnah. Sementara mencukurnya bukan dari sunnah. Sementara sebagian mengqiyaskan anjuran mencukur dengan mencukur kepala dalam manasik, termasuk qiyas yang bertentangan dengan nash. Maka tidak perlu diperhatikan. Oleh karena itu Malik mengatakan tentang mencukur, “Bahwa hal itu merupakan bid’ah yang nampak pada manusia. Maka tidak layak mengesampingkan dari apa yang ada dari sunnah. Karena mengikuti (sunnah) itu (mendapatkan) petunjuk, kebaikan, kebahagiaan dan kesuksesan.” Selesai dengan diringkas.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ ditanya :
“Telah ada banyak hadits (Pendekkan kumis) apakah mencukur itu berbeda dengan memendekkan? Sebagian orang memendekkan dari permulaan kumis dan setelah bibir atas. Dan membiarkan rambut kumisnya. Diperkirakan memotong separuh kumisnya dan membiarkan sisanya. Apakah ini maksudnya? Ataukah mencukur habis semuanya? Saya mohon faedah cara memotong kumis.
Maka dijawab :
دَلَّتِ الأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ قَصِّ الشَّارِبِ، وَمِنْ ذَلِكَ: قَوْلُهُ ﷺ: (قُصُّوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى؛ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ) مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ، وَقَوْلُهُ ﷺ: (جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى؛ خَالِفُوا الْمَجُوسَ)، وَفِي بَعْضِهَا: (أَحْفُوا الشَّوَارِبَ) وَالإِحْفَاءُ هُوَ الْمُبَالَغَةُ فِي الْقَصِّ، فَمَنْ جَزَّ الشَّارِبَ حَتَّى تَظْهَرَ الشَّفَةُ العُلْيَا، أَوْ أَحْفَاهُ: فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الأَحَادِيثَ جَاءَتْ بِالأَمْرَيْنِ، وَلَا يَجُوزُ تَرْكُ طَرَفَيِ الشَّارِبِ، بَلْ يُقَصُّ الشَّارِبُ كُلُّهُ، أَوْ يُحْفَى كُلُّهُ؛ عَمَلًا بِالسُّنَّةِ" انتهى.
“Hadits yang shoheh telah menunjukkan dari Rasulullah ﷺ dianjurkannya memendekkan kumis. Diantara hal itu adalah sabdanya ﷺ (Potonglah kumis kalian dan panjangkan jenggot, maka berbedalah dengan orang Majusi) dalam sebagian redaksi (Potong habislah kumis kalian) kata ‘Al-Ihfa’ adalah berlebihan dalam memotong.
Barangsiapa yang memotong kumis sampai kelihatan bibir atas atau mencukurnya, maka hal itu tidak mengapa. Karena hadits yang ada (menunjukkan) adanya dua perintah . Dan tidak diperbolehkan membiarkan dua ujung kumis. Bahkan dipotong semua kumisnya atau dipotong habis semuanya, untuk mengamalkan sunnah.” Selesai
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Qoud.
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah (5/149).
====
KESIMPULAN DAN TARJIH :
Bahwa memotong kumis itu disyariatkan. Dan bagi yang memotongnya maka dia telah memenuhi amalan sunnah. Sedangkan meng-ihfaa’-nya, yaitu berlebihan dalam memotongnya, maka itu lebih utama, dan dengannya maka sunnah tersebut menjadi sempurna."
Seorang Muslim diberi pilihan antara memotong ujung kumis atau mencukur habis kumisnya. Ini adalah pendapat madzhab Hanbali dan pilihan Al-Tabari, dan ini juga diputuskan oleh Lajnah Daimah.
Namun menurut Madzhab Hanbali mencukur Habis lebih utama .
Hal ini disebabkan adanya hadis-hadis dan riwayat yang menunjukkan kedua perbuatan tersebut. Oleh karena itu, kesimpulan yang tepat adalah memberikan pilihan antara keduanya untuk melakukan apa yang diindikasikan oleh dalil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
" وَتَحْصُلُ السُّنَّةُ بِقَصِّهِ ، حَتَّى يَبْدُوَ الْإِطَارُ ، وَهُوَ طَرَفُ الشَّفَةِ . وَكُلَّمَا أُخِذَ فَوْقَ ذَلِكَ : فَهُوَ أَفْضَلُ ؛ نَصَّ عَلَيْهِ ". انتهى.
"Dan sunnah itu didapatkan dengan memotongnya, sehingga tampak bingkainya, yaitu tepi-tepi bibir. Dan semakin dipotong lebih dari itu, maka itu lebih baik; karena beliau ﷺ menegaskan hal ini. [Selesai, dari "Syarh al-‘Umdah" (1/222) Cet. Alam al-Fawaid].
Al-Imam ath-Thobari, Qodi Iyad memilih diperbolehkan dua hal, memotong habis semuanya dan memotongnya pendek (merapikan). Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar lebih condong (pendapat ini). Dalam Fathul Bari, (10/347)
Silahkan lihat pula : Zaad al-Ma’aad karya Ibnu al-Qoyyim 1/171-175 dan ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (25/320).
"Ath-Thabari berkata:
(دَلَّتِ السُّنَّةُ عَلَى الأَمْرَيْنِ، وَلَا تَعَارُضَ؛ فَإِنَّ القَصَّ يَدُلُّ عَلَى أَخْذِ البَعْضِ، وَالإِحْفَاءَ يَدُلُّ عَلَى أَخْذِ الكُلِّ، وَكِلَاهُمَا ثَابِتٌ، فَيَتَخَيَّرُ فِيمَا شَاءَ)
'As-Sunnah menunjukkan disyariatkannya kedua perbuatan tersebut dan tidak saling bertentangan. Karena pemotongan (قَصَّ) menunjukkan pengambilan sebagian, sementara al-Ihfaa’ (إحفاءَ) menunjukkan pengambilan keseluruhan (dicukur habis). Kedua amalan ini terdapat dalil yang shahih, maka seseorang diberi pilihan untuk melakukan yang ia kehendaki.' [Lihat: 'Fathul-Bari' (10/347)]."
Imam Ath-Thahawi, semoga Allah merahmatinya, setelah menyebutkan riwayat-riwayat dalam bab ini, berkata:
فَثَبَتَتْ الْآثَارُ كُلُّهَا الَّتِي رَوَيْنَاهَا فِي هَذَا الْبَابِ ، وَلَا تَضَادُّ ، وَيَجِبُ بِثُبُوتِهَا : أَنَّ الْإِحْفَاءَ أَفْضَلُ مِنْ الْقَصِّ .
وَهَذَا مَعْنَى هَذَا الْبَابِ ، مِنْ طَرِيقِ الْآثَارِ .
وَأَمَّا مِنْ طَرِيقِ النَّظَرِ ، فَإِنَّا رَأَيْنَا الْحَلْقَ قَدْ أُمِرَ بِهِ فِي الْإِحْرَامِ ، وَرُخِّصَ فِي التَّقْصِيرِ .
فَكَانَ الْحَلْقُ أَفْضَلَ مِنْ التَّقْصِيرِ ، وَكَانَ التَّقْصِيرُ ، مَنْ شَاءَ فَعَلَهُ ، وَمَنْ شَاءَ زَادَ عَلَيْهِ ، إلَّا أَنَّهُ يَكُونُ بِزِيَادَتِهِ عَلَيْهِ أَعْظَمَ أَجْرًا مِمَّنْ قَصَّ .
فَالنَّظَرُ عَلَى ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ كَذَلِكَ حُكْمُ الشَّارِبِ قَصُّهُ حَسَنٌ ، وَإِحْفَاؤُهُ أَحْسَنُ وَأَفْضَلُ ".
"Maka telah ada keketapan shahih semua riwayat yang kami sampaikan dalam bab ini, tidak ada yang bertentangan. Dan wajib bagi kita untuk menetapkannya : bahwa memanjangkan rambut adalah lebih utama daripada mencukurnya. Ini adalah makna dari bab ini, berdasarkan jalur riwayat-riwayat.
Sedangkan dari jalur pendapat yang dilihat, kami melihat bahwa mencukur kepala diwajibkan saat ihram, dan diperbolehkan untuk memotong pendek. Maka mencukur adalah lebih utama daripada memotong pendek. Dan memotong pendek, siapa yang ingin melakukannya boleh melakukannya, dan siapa yang ingin menambah panjangnya boleh melakukannya, akan tetapi dengan menambah panjangnya, pahalanya lebih besar daripada yang mencukur.
Jadi, dilihat dari sini, hukum memotong kumis adalah baik, namun memanjangkannya adalah lebih baik dan lebih utama.
[Selesai dari "Syarh Ma'ani al-Athar" (5/320-322). Lihat juga: "Fath al-Qadir" (2/398-399)].
Referensi:
1. **Fath al-Qadeer** karya Ibn al-Humam (3/34)
2. **Hashiyah Ibn Abidin** (2/550)
3. **Al-Bayan wa al-Tahsil** karya Ibn Rushd (9/373)
4. **Hashiyah al-Adawi** (2/578)
5. **Al-Majmu'** karya al-Nawawi (1/287)
6. **Al-Insaf** karya al-Mardawi (1/96)
7. **Kashshaf al-Qina'** karya al-Bahuti (1/198)
8. **Fath al-Bari** (10/347)
9. **Fatawa al-Lajnah al-Daimah - al-Majmu'ah al-Oula** (5/131-132)
Namun seperti biasanya selalu saja ada sekelompok orang yang gemar memperuncing perbedaan pendapat dengan cara menyebarkan postingan yang isinya provokasi dengan memberi label pembid'ahan kelompok yang lain dan menganggapnya sesat , contohnya postingan berikut ini :
*****
APAKAH SELURUH PERMUKAAN KUMIS ATAU YANG MELEWATI TEPI BIBIR SAJA ?
Seorang Muslim diberi pilihan antara memotong ujung kumis yang melewati ujung bibir atau memotong pendek seluruh permukaan kumisnya secara merata. Ini adalah pendapat madzhab Hanbali dan pilihan Ath-Thabari, dan ini juga diputuskan oleh Lajnah Daimah.
Hal ini disebabkan adanya hadis-hadis dan riwayat yang menunjukkan kedua perbuatan tersebut. Oleh karena itu, kesimpulan yang tepat adalah memberikan pilihan antara keduanya untuk melakukan apa yang diindikasikan oleh dalil.
[ Referensi : Fath al-Qadeer li Ibn al-Humam (3/34), Hashiyat Ibn Abidin (2/550), Al-Bayan wa al-Tahsil li Ibn Rushd (9/373), Hashiyat al-Adawi (2/578), Al-Majmu' li al-Nawawi (1/287), Al-Insaf li al-Mardaawi (1/96, Kashshaf al-Qina' li al-Bahuti (1/198), Fath al-Bari (10/347) dan Fatawa al-Lajnah al-Da'imah - al-Majmu'ah al-Ula (5/131-132)]
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah di bawah kepemimpinan Ibnu Baz, disebutkan:
الإِحْفَاءُ هُوَ الْمُبَالَغَةُ فِي الْقَصِّ؛ فَمَنْ جَزَّ الشَّارِبَ حَتَّى تَظْهَرَ الشَّفَةُ الْعُلْيَا أَوْ أَحْفَاهُ فَلاَ حَرَجَ عَلَيْهِ؛ لأَنَّ الأَحَادِيثَ جَاءَتْ بِالأَمْرَيْنِ.
"Ihfaa' adalah berlebihan dalam memangkas kumis; maka, bagi siapa yang memotong kumisnya hingga nampak bibir atasnya atau memangkasnya habis, maka tidak ada masalah baginya karena hadis-hadis telah datang dengan dua perintah."
("Fatawa al-Lajnah ad-Daimah - Jilid 1" (5/131-132)).
Sebagian para ulama berpendapat bahwa yang lebih baik adalah mengkombinasikan antara mencukur habis lingkaran bawah kumis beserta memangkas tipis selainnya.
Ibnu Rusyd al-Jadd berkata:
(رُوي عن ابن القاسم أنَّه كان يكره أن يُؤخَذَ- أي: الشارب- من أعلاه، ويقول: تفسيرُ حديث النبيِّ عليه السَّلام في إحفاءِ الشَّارب إنَّما هو الإطار، والأظهر: أنَّ ذلك ليس بمكروهٍ، وأنَّه مُستحسَنٌ، فيقصُّ جميع الشَّارب؛ لِما جاء في الحديثِ مِن أنَّ قصَّه من السُّنة، ويُحفِي الإطارَ منه؛ لِما جاء في الحديثِ مِن الأمرِ بإحفاءِ الشَّوارب)
"Diriwayatkan bahwa Ibnu al-Qasim menganggap makruh memotong sebagian kumis dari bagian atasnya, dan mengatakan: Penjelasan hadis Nabi tentang ihfaa kumis, itu adalah lingkaran (kerangka) bawah. Dan yang nampak adalah bahwa itu tidak dimakruhkan, bahkan dianggap bagus , maka potonglah seluruh kumis sesuai dengan hadis bahwa memotongnya adalah sunnah, dan memotong habis kerangka yang melingkarnya ; karena telah ada keterangan hadits bahwa itu adalah sunnah . [Al-Bayan wa al-Tahsil (9/347)].
Ibnu Utsaimin berkata:
(الأفضَلُ قصُّ الشَّارب كما جاءت به السُّنة، إمَّا حفًّا بأن يقُصَّ أطرافَه ممَّا يلي الشَّفَة حتَّى تبدوَ، وإمَّا إحفاءً بحيثُ يقصُّ جميعَه حتى يفيَه، وأمَّا حَلقُه فليس مِنَ السُّنَّة)
"Yang lebih baik adalah memotong kumis sesuai dengan apa yang disunnahkan, baik dengan memotong ujung-ujungnya yang melambai di atas bibir hingga bibirnya nampak, atau memotong seluruhnya hingga merata. Adapun halq (mencukur klimis botak) kumisnya, maka itu bukan dari sunnah." ("Majmu 'Fatawa wa Rasail al-Utsaimin" (11/128)).
******
HUKUM MEMELIHARA KUMIS BAPLANG (UJUNG KANAN KIRI BIBIR)
Sibaal atau kumis baplang adalah rambut kumis yang panjang di ujung kanan kiri seperti mayang atau tangkai padi.
Ada tiga pendapat :
====
PENDAPAT PERTAMA : BOLEH & MUBAH MEMELIHARA UJUNG KANAN KIRI KUMIS
Al-'Iraqi berkata:
اخْتَلَفُوا فِي كَيْفِيَّةِ قَصِّ الشَّارِبِ، هَلْ يُقَصُّ طَرَفَاهُ أَيْضًا وَهُمَا الْمُسَمَّيَانِ بِالسِّبَالَيْنِ، أَمْ يُتْرَكُ السِّبَالَانِ كَمَا يَفْعَلُهُ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ؟
فَقَالَ الْغَزَالِيُّ فِي إحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ: لَا بَأْسَ بِتَرْكِ سِبَالَيْهِ وَهُمَا طَرَفَا الشَّارِبِ فَعَلَ ذَلِكَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَغَيْرُهُ؛ لِأَنَّ ذلك لَا يَسْتُرُ الْفَمَ، وَلَا يَبْقَى فيه غَمْرُ الطَّعَامِ، إذْ لَا يَصِلُ إلَيْهِ....
"Mereka berselisih tentang bagaimana cara memotong kumis, apakah dua ujung kanan kiri kumis (baplang) juga harus dipotong atau dibiarkan, yang keduanya itu disebut sebagai sibaalaan . Ataukah kedua sibalan tersebut dibiarkan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang?"
Al-Ghazali berkata dalam "Ihya Ulumuddin": "Tidak masalah untuk membiarkan kedua sibalan itu, yaitu dua ujung kumis, seperti yang dilakukan oleh Umar radhiyallahu 'anhu dan yang lainnya; karena hal itu tidak menutupi mulut dan tidak menyisakan sisa makanan di dalamnya.... “. [Selesai].
An-Nafraawi berkata :
" وَاَلَّذِي أَخَذَ بِهِ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُمَا لَيْسَا كَذَلِكَ [أي ليسا كالشارب] ، بِدَلِيلِ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَتَلَهُمَا وَلَمْ يَقُصَّهُمَا، فَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ إبْقَائِهِمَا، وَقَالَ بَعْضُ الشُّيُوخِ: إنَّهُمَا كَالشَّارِبِ".
"Dan menurut pendapat yang diambil oleh sebagian pengikut mazhab Malikiyah, bahwa keduanya (ujung kanan kiri kumis) tidak sama seperti itu [yaitu tidak sama dengan jenggot], dengan alasan bahwa Umar radhiyallahu 'anhu hanya memilin keduanya tanpa mencukur keduanya. Maka dalam hal ini menunjukkan bahwa membiarkan keduanya adalah merupakan suatu hal yang diperbolehkan, dan sebagian para ulama mengatakan bahwa keduanya seperti kumis."
[Dikutip dari "Al-Fawakih Ad-Dawani 'ala Risalah Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani" (2/495)].
Al-Bajuri mengatakan:
" وَلَا بَأْسَ بِإِبْقَاءِ السِّبَالَيْنِ وَهُمَا طَرَفَا الشَّارِبِ"
"Tidak mengapa untuk membiarkan dua Sibaal , yaitu dua ujung kanan kiri kumis."
Dikutip dari "Tuhfatul Habib 'ala Syarh Al-Khatib" (5/261), dan serupa dengan yang terdapat dalam "Asna Al-Mathalib" (1/266).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
" وَتَحْصُلُ السُّنَّةُ بِقَصِّهِ ، حَتَّى يَبْدُوَ الْإِطَارُ ، وَهُوَ طَرَفُ الشَّفَةِ . وَكُلَّمَا أُخِذَ فَوْقَ ذَلِكَ : فَهُوَ أَفْضَلُ ؛ نَصَّ عَلَيْهِ". انتهى
"Dan sunnah itu didapatkan dengan memotongnya, sehingga tampak bingkainya, yaitu tepi-tepi bibir. Dan semakin dipotong lebih dari itu, maka itu lebih baik; karena beliau ﷺ menegaskan hal ini.[Selesai, dari "Syarh al-‘Umdah" (1/222) Cet. Alam al-Fawaid].
Dan ada pendapat yang menyatakan bahwa tidaklah mengapa memotong keduanya bersamaan dengan kumis: yaitu pendapat mazhab Hanafi, Hanbali, dan beberapa ulama Syafi'i.
Lihat: "Al-Bahr Ar-Raiq Syarh Kanz Ad-Daqa'iq" (7/165), "Mathalib Ulii An-Nuhaa" (1/85), "Syarh Muntaha Al-Iradat" (1/41).
Dan pendapat yang mengatakan lebih baik memotong dua ujungnya bersamaan dengan kumis: adalah Mazhab Hanafi, Hanbali, dan sebagian ulama madzhab Syafi'i.
Lihat: "Al-Bahr Ar-Raiq Syarh Kunuz Ad-Daqa'iq" (7/165), "Matalib Auliya An-Nahyi" (1/85), "Syarh Muntaha Al-Iradat" (1/41).
DALIL :
Dari Amir bin Abdullah bin Zubair :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا غَضِبَ فَتَلَ شَارِبَهُ وَنَفَخَ
“Bahwa Umar bin Khattab ketika marah, dia memilin [memelintir] kumisnya dan menghembuskan napas.
[HR. Thabarani dalam al-Kabiir 1/66 no. 54]
Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/166 no. 8840 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ خَلَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَحْمَدَ، وَهُوَ ثِقَةٌ مَأْمُونٌ إِلَّا أَنَّ عَامِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ لَمْ يُدْرِكْ عُمَرَ.
“Diriwayatkan oleh At-Tabarani, dan para perawinya adalah perawi yang terpercaya, kecuali Abdullah bin Ahmad, dia adalah seorang yang terpercaya, namun Aamir bin Abdullah bin Zubair tidak pernah bertemu dengan Umar”.
Namun diketemukan riwayat yang sanadnya mawshul dengan menyebutkan Abdullah bin Zubair -radhiyallahu anhu-. [Lihat : Al-'Ilal wa Ma'rifat al-Rijal [Juz' 2 – hal. 73]
Diriwayatkan secara Mawshul oleh Ibnu Abi 'Ashim dalam al-Aahaad wak Matsaanii1/100 no. 78 :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, dia mengatakan kepada kami Ma'an, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari 'Amr bin 'Abdullah bin Az-Zubair, dari ayahnya (Abdullah bin Zubair -radhiyallahu anhuma-) dia berkata:
كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَضِبَ فَتَل شَارِبَهُ.
"Umar, radhiyallahu anhu, jika marah, maka ia memilin kumisnya."
Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Aadab az-Zafaaf hal. 137.
Dan al-Hafizh mengatakan dalam al-Fath (10/335):
الْمَعْرُوْفُ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يُوَفِّرُ شَارِبَهُ
"Yang populer dari Umar adalah bahwa ia membiarkan kumisnya lebat (tidak memotong)".
====
PENDAPAT KEDUA : MAKRUH MEMELIHARA UJUNG KANAN KIRI KUMIS
Al-'Iraqi mengutip perkataan Imam Ghozali dalam al-Ihya :
وَكَرِهَ بَعْضُهُمْ بَقَاءَ السِّبَالِ لِمَا فِيهِ مِنْ التَّشَبُّهِ بِالْأَعَاجِمِ، بَلْ بِالْمَجُوسِ وَأَهْلِ الْكِتَابِ، وَهَذَا أَوْلَى بِالصَّوَابِ."
Dan sebagian para ulama menganggap makruh membiarkan sibalan (dua ujung kanan kiri kumis baplang) tersebut; karena akan menyerupai non-Muslim, bahkan menyerupai kaum Majusi [Zoroaster] dan Ahli Kitab.
Dan yang ini adalah lebih dekat dengan kebenaran."
Dikutip dari "Tahrir At-Tatsrib" (2/77), dan pendapat yang mirip ditemukan dalam "Al-Bahr Ar-Raa’iq" (7/165).
=====
PENDAPAT KETIGA : HARAM MEMELIHARA KUMIS BAPLANG (UJUNG KANAN KIRI BIBIR)
Dijelaskan dalam fatwa Lajnah Daimah di bawah kepemimpinan Syeikh Ibnu Baz:
" لا يَجُوْزُ ترْكُ طَرَفَيِ الشَّارِبِ ، بَلْ يَقْصُّ الشُّارِبَ كُلَّه، أَوْ يُحْفِيهِ كُلَّه؛ عَمَلًا بِالسُّنَّةِ"
'Tidak boleh (haram) membiarkan dua ujung kumis, melainkan memotong ujung kumis secara keseluruhan atau memotong semuanya secara merata, sesuai dengan amalan sunnah.' [Fatwa-fatwa Lajnah Daimah - Jilid Pertama (5/131)]."
Dan dalil untuk pendapat ini adalah hadis Nabi ﷺ:
(أَحْفُوا الشَّوَارِبَ)
"Kalian potonglah kumis." (HR. Al-Bukhari 5892, Muslim 259).
Imam al-Munawi berkata :
وَالْحَدِيثُ يَتَنَاوَلُ السِّبَالَيْنِ - وَهُمَا طَرَفَاهُ - لِدُخُولِهِمَا فِي مُسَمَّاهُ".
"Hadis ini menyebutkan tentang sibalan, yang merupakan dua ujung kumis, karena masuk dalam pengertiannya." (Selesai dari "Faidh al-Qadir" (1/198)).
Al-Kashmiri menyebutkan :
أَنَ الَّذِي عَلَيْهِ عَمَلُ السَّلَفِ قَصُّ السَّبَالَينَ؛ لأَنَّ اهْتِمَامَهُمْ بِنَقْلِ تَرْكِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لِسَبَالَيْهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ غَيْرَهُ لَا يَتْرُكُهُمَا.
“Bahwa amalan yang dianut oleh salaf adalah memotong dua ujung kumis. Karena perhatian mereka terhadap penukilan tentang Umar bin al-Khattab membiarkan dua ujung kumisnya menunjukkan bahwa selain dia tidak membiarkan keduanya. Lihat: "Al-'Urf asy-Syadziy" (4/161).
Hal ini juga diperkuat dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya (12/289) dan al-Baihaqi (716) dari Ibnu Umar, dia berkata :
ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ الْمَجُوسَ، فَقَالَ: إنَّهُمْ يُوَفِّرُونَ سِبَالَهُمْ، وَيَحْلِقُونَ لِحَاهُمْ، فَخَالِفُوهُمْ.
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْتَعْرِضُ سَبَلَتَهُ فَيَجُزُّهَا، كَمَا تُجَزُّ الشَّاةُ أَوْ يُجزُّ الْبَعِيرُ.
"Telah disebutkan kepada Rasulullah ﷺ tentang Majusi, maka beliau bersabda, 'Mereka melebatkan sibaal (ujung-ujung tepi kumis) mereka tumbuh panjang dan mencukur jenggot mereka, maka berbedalah kalian dengan mereka.'
Maka Ibnu Umar pun menarik ujung kumisnya dan mencukurnya sebagaimana bulu domba atau bulu unta dipotong habis."
Hadis ini disahihkan oleh al-Albani dalam "As-Shahihah" (2834).
Ath-Thabarani meriwayatkan dalam al-Kabir, Abu Zar'ah dalam tarikhnya, dan juga al-Baihaqi :
"أَنَّ خَمْسَةً مِنَ الصَّحَابَةِ كَانُوا يَقِمُونَ (أَي: يَسْتَأْصِلُونَ) شَوَارِبَهُمْ مَعَ طَرَفِ الشَّفَةِ"
"Bahwa lima dari para sahabat mencabut habis kumis mereka hingga ke ujung-ujung bibir".
Lafadz Baihaqi :
شُرَحبيلُ بنُ مُسلِمٍ الخولانيُّ قال: رأَيتُ خَمسَةً مِن أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - يَقُصُّونَ شَوارِبَهُم ويُعفونَ لِحاهُم ويُصفِّرونَها؛ أبو أُمامَةَ الباهِلِيُّ وعَبدُ اللَّه بنُ بُسرٍ وعُتبَةُ بنُ عَبدٍ السُّلَمِيِّ والحَجّاجُ بنُ عامِرٍ الثُّماليُّ والمِقدامُ بنُ مَعديكَرِبَ الكِندِيُّ، كانوا يَقُصُّونَ شَوارِبَهُم مَعَ طَرَفِ الشَّفَةِ
Shurahbil bin Muslim al-Khawlani berkata: "Aku melihat lima orang dari para sahabat Rasulullah ﷺ mencukur kumis mereka, memotong jenggot mereka, dan mewarnai kuning kumis mereka: yaitu Abu Umamah al-Bahili, Abdullah bin Bisyr, ‘Utbah bin Abdus Salam, Al-Hajjaj bin Amir al-Tsamali, dan Al-Miqdam bin Ma'dikarib al-Kindi. Mereka biasanya mencukur kumis mereka sampai sejajar dengan ujung dan tepi bibir."
[Lihat : As-Sunan al-Kubra oleh Baihaqi 1/432 no. 706, al-Mu’jam al-Kabiir no. 3218 dan as-Silsilah adh-Dho’ifah 9/53 ]
Dan lafadz sejenisnya disebutkan dalam "Ibnu 'Asakir".
Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Aadaab az-Zafaaf hal. 137 dan as-Silsilah adh-Dho’ifah 9/53].
KESIMPULAN DAN TARJIH :
Yang tampaknya adalah bahwa dalam masalah ini terdapat keluasan. Bagi yang meninggalkan kedua ujung kumisnya terhubung, itu tidak masalah baginya, seperti yang dilakukan oleh Umar bin al-Khattab radhiyallahu 'anhu.
Bagi yang memotongnya, itu juga tidak masalah baginya, seperti yang dilakukan Abdullah bin Umar.
WALLAAHU A’LAM
0 Komentar