Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM SHALAT HARI RAYA IDUL FITRI & ADHA. APAKAH SUNNAH MUAKKAD ATAU FARDHU 'AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM SHALAT HARI RAYA IDUL FITRI & ADHA. 

APAKAH SUNNAH MUAKKAD ATAU FARDHU 'AIN ATAU FARDHU KIFAYAH ?

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

------ 

-------

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM SHOLAT DUA HARI RAYA :
  • PENDAPAT PERTAMA: SUNNAH MUAKKADAH [YANG SANGAT DITEKANKAN].
  • PENDAPAT KEDUA : SHALAT ‘IED ADALAH FARDHU ‘AIN (wajib bagi setiap individu)
  • PENDAPAT KETIGA: SHALAT 'ID ADALAH FARDHU KIFAYAH.
  • CARA SHALAT IED BAGI YANG TERTINGGAL SHALAT BERSAMA IMAM :
  • HADITS-HADITS YANG MEMBOLEHKAN MENG-QADHA SHALAT SUNNAH :

===

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

****

PENDAHULUAN

Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah shalat yang disyariatkan berdasarkan ijma'

Al-Juwaini berkata:

(الأَصْلُ فِيهَا الكِتَابُ، وَالسُّنَّةُ، وَالإِجْمَاعُ... وَنَقْلُ صَلَاةِ العِيدِ مُتَوَاتِرٌ، وَالإِجْمَاعُ مِنَ الكَافَّةِ مُنعَقِدٌ)

(Dasarnya adalah Al-Qur'an, sunnah, dan ijma'... Riwayat tentang Shalat Idul Fitri dan Idul Adha telah diriwayatkan secara mutawatir, dan ijma' dari seluruh ulama telah terlaksana) ((Nihayatul Matlab)) (2/611).

Ibnu Qudamah berkata:

(الأَصْلُ فِي صَلَاةِ العِيدِ الكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالإِجْمَاعُ... وَأَجْمَعَ المُسْلِمُونَ عَلَى صَلَاةِ العِيدَيْنِ)

(Dasar dari Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah Al-Qur'an, sunnah, dan ijma'... Dan kaum muslimin telah sepakat secara ijma’ mengenai Shalat Idul Fitri dan Idul Adha) ((Al-Mughni)) (2/272).

An-Nawawi berkata:

(أَجْمَعَ المُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ العِيدِ مَشْرُوعَةٌ)

(Kaum muslimin telah sepakat bahwa Shalat Idul Fitri dan Idul Adha disyariatkan) ((Al-Majmu')) (5/2).

Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata:

(لَا خِلَافَ فِي أَنَّ صَلَاةَ العِيدَيْنِ مِنَ الشَّعَائِرِ المَطْلُوبَةِ شَرْعًا، وَقَدْ تَوَاتَرَ بِهَا النَّقْلُ الَّذِي يَقْطَعُ العُذْرَ)

(Tidak ada perselisihan bahwa Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah bagian dari syiar yang disyariatkan, dan telah diriwayatkan secara mutawatir sehingga tidak ada alasan bahwa itu tidak disyariatkan) ((Ihkamul Ahkam)) (hal. 229).

Ash-Shan'ani berkata:

(صَلَاةُ العِيدِ مُجْمَعٌ عَلَى شَرْعِيَّتِهَا، مُخْتَلِفٌ فِيهَا عَلَى أَقْوَالٍ ثَلَاثَةٍ)

(Shalat Idul Fitri dan Idul Adha disepakati kesyariatannya, dengan tiga pendapat yang berbeda) ((Subulus Salam)) (2/66, 67).

****

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM SHOLAT DUA HARI RAYA :

Dan para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Idul Fitri dan Idul Adha, ada tiga pendapat:

====

PENDAPAT PERTAMA: SUNNAH MUAKKADAH [YANG SANGAT DITEKANKAN].

Ini merupakan pendapat madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i, salah satu pendapat dalam madzhab Hanafi, dan juga riwayat dari Ahmad, yang dipilih oleh Dawud Adz-Dzahiri.

Ini adalah pendapat para ulama pada umumnya dari kalangan salaf dan khalaf.

[Referensi Madzhab Maliki : ((Al-Kafi)) oleh Ibnu Abdul Barr (1/263), dan ((Hashiyah Al-Adawi)) pada Kitab Kifayat At-Talib Ar-Rabbani (1/388). Referensi Madzhab Syafi’i : ((Al-Majmu')) oleh An-Nawawi (5/2), ((Mughni Al-Muhtaj)) oleh Asy-Syirbini (1/310). Referensi Madzhab Hanafi : ((Majma' Al-Anhar)) oleh Syekhi Zadah (1/172). Referensi Madzhab Hanbali ((Al-Inshaf)) (2/294)]

An-Nawawi berkata:

(جَمَاهِيرُ العُلَمَاءِ مِنَ السَّلَفِ وَالخَلَفِ أَنَّ صَلَاةَ العِيدِ سُنَّةٌ، لَا فَرْضُ كِفَايَةٍ)

"Mayoritas para ulama dari kalangan salaf dan khalaf menyatakan bahwa shalat 'Id adalah sunnah, bukan fardhu kifayah" ((Al-Majmu')) (5/3).

Al-Mardawi al-Hanbali mengatakan:

وَعَنْهُ - أي: عَنْ أَحْمَدَ - هِيَ - أي: صَلَاةُ الْعِيدِ - سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ

"Dan dari Ahmad, bahwa shalat 'Id adalah sunnah Mukkadah [yang sangat ditegaskan]" ((Al-Insaf)) (2/294).

An-Nawawi mengatakan:

(قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهَا- أَيْ: صَلَاةُ الْعِيدِ- سُنَّةٌ مُتَأَكِّدَةٌ، عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ... وَدَاوُدُ)

"Kami telah menyebutkan bahwa shalat 'Id adalah sunnah muakkadah [yang sangat ditekankan], menurut pendapat kami dan juga pendapat Dawud adz-Dzohiri " ((Al-Majmu')) (5/3).

Ibnu Rajab berkata:

(أَمَّا صَلَاةُ العِيدِ، فَاخْتَلَفَ العُلَمَاءُ فِيهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ: أَحَدُهَا: أَنَّهَا سُنَّةٌ مَسْنُونَةٌ، فَلَوْ تَرَكَهَا النَّاسُ لَمْ يَأْثَمُوا، هَذَا قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَمَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَإِسْحَاقَ، وَأَبِي يُوسُفَ، وَحُكِي رِوَايَةً عَنْ أَحْمَدَ)

"Adapun shalat 'Id, para ulama berbeda pendapat tentangnya menjadi tiga pendapat: yang pertama adalah bahwa shalat 'Id adalah sunnah yang dianjurkan, jika orang-orang meninggalkannya mereka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Malik, Asy-Syafi'i, Ishaq, Abu Yusuf, dan dinukil sebagai riwayat dari Ahmad" ((Fath Al-Bari)) (6/75).

DALIL-DALIL :

Dalil Pertama: Dari Sunnah

Ke 1 : Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu 'anhu berkata:

((جاءَ رجلٌ إلى رسولِ الله ﷺ من أهلِ نَجدٍ، ثائِرَ الرأس، نَسْمَعُ دَوِيَّ صَوْتِهِ وَلا نَفْقَهُ ما يَقُولُ، حَتَّى دَنا مِنْ رَسُولِ الله ﷺ، فإذا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الإسْلامِ، فَقالَ رَسُولُ الله ﷺ: خَمْسُ صَلَواتٍ في اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، فَقالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ؟ قالَ: لا؛ إلَّا أنْ تَطَوَّعَ، وَصِيامُ شَهْرِ رَمَضانَ، فَقالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ؟ فَقالَ: لا، إلَّا أنْ تَطَوَّعَ، وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ الله ﷺ الزَّكَاةَ؛ فَقالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُها؟ قالَ: لا، إلَّا أنْ تَطَوَّعَ، قالَ، فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ، وَهُوَ يَقُولُ: وَاللهِ لا أُزِيدُ عَلَى هَذَا وَلا أَنْقُصُ مِنْهُ! فَقالَ رَسُولُ الله ﷺ: أَفْلَحَ إنْ صَدَقَ))

"Seorang pria datang kepada Rasulullah  dari penduduk Najd, dengan rambut yang acak-acakan, kami mendengar dengungan suaranya tetapi tidak memahami apa yang dia katakan, hingga dia mendekat kepada Rasulullah , maka ternyata dia bertanya tentang Islam.

Rasulullah  bersabda: 'Lima shalat dalam sehari semalam,' dia bertanya: 'Apakah ada lagi selain itu?' Rasulullah  menjawab: 'Tidak, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunnah,' dan puasa di bulan Ramadhan,' dia bertanya: 'Apakah ada lagi selain itu?'

Rasulullah  menjawab: 'Tidak, kecuali jika engkau ingin menambah dengan puasa sunnah'.

Kemudian Rasulullah  menyebutkan zakat kepadanya, dia bertanya: 'Apakah ada lagi selain itu?'

Rasulullah  menjawab: 'Tidak, kecuali jika engkau ingin menambah dengan zakat sunnah.'

Maka pria itu pergi sambil berkata: 'Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi dari ini!' Rasulullah  bersabda: 'Dia beruntung jika jujur.'"

[Diriwayatkan oleh Bukhari (2678), dan Muslim (11)].

Ke 2 : Dari Tholhah bin 'Ubaidullah radhiyallahu ‘anhu :

أنَّ أعْرَابِيًّا جَاءَ إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ أخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ؟ فَقالَالصَّلَوَاتِ الخَمْسَ إلَّا أنْ تَطَّوَّعَ شيئًا، فَقالَ: أخْبِرْنِي ما فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصِّيَامِ؟ فَقالَ: شَهْرَ رَمَضَانَ إلَّا أنْ تَطَّوَّعَ شيئًا، فَقالَ: أخْبِرْنِي بما فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الزَّكَاةِ؟ فَقالَ: فأخْبَرَهُ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ شَرَائِعَ الإسْلَامِ، قالَ: والذي أكْرَمَكَ، لا أتَطَوَّعُ شيئًا، ولَا أنْقُصُ ممَّا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ شيئًا، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أفْلَحَ إنْ صَدَقَ، أوْ دَخَلَ الجَنَّةَ إنْ صَدَقَ.

Ada seorang 'Arab Baduy datang kepada Rasululloh  dalam keadaan kepalanya penuh debu lalu berkata; "Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang shalat?".

Maka Beliau  menjawab: "Shalat lima kali kecuali bila kamu mau menambah dengan yang tathowwu' (sunnat) ".

Orang itu bertanya lagi: "Lalu kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang shaum (puasa)?". Maka Beliau  menjawab: "Shaum di bulan Ramadhan kecuali bila kamu mau menambah dengan yang tathowwu' (sunnat) "."Dan shiyam (puasa) Ramadhan".

Orang itu bertanya lagi: "Lalu kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang zakat?".

Berkata, Tholhah bin 'Ubaidullah radliallahu 'anhu: Maka Rasulullah  menjelaskan kepada orang itu tentang syari-at-syari'at Islam.

Kemudian orang itu berkata: "Demi Dzat yang telah memuliakan anda, Aku tidak akan mengerjakan yang sunnah sekalipun, namun aku pun tidak akan mengurangi satupun dari apa yang telah Allah wajibkan buatku". Maka Rasulullah  berkata: "Dia akan beruntung jika jujur menepatinya atau dia akan masuk surga jika jujur menepatinya ".

[Diriwayatkan oleh Bukhari (1891)]

Ke 3 : Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

((أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَ مُعَاذًا – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - إِلَى اليَمَنِ، فَقَالَ: ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ...)) الحَدِيثُ

"Bahwa Nabi  mengutus Muadz radhiyallahu ‘anhu ke Yaman, lalu beliau bersabda:

'Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka menaati hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam setiap hari dan malam..."

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1395) dan lafazhnya darinya, dan Muslim (19).

Dalil Kedua: Bahwa shalat 'Id adalah shalat yang ditentukan waktunya, namun tidak disyariatkan adzan dan iqamah untuknya ; maka sejak awal tidaklah diwajibkan oleh syariat, sama seperti shalat istisqa' dan khusuf.

[Baca : ((Al-Majmu')) karya An-Nawawi (5/2) dan ((Al-Mughni)) karya Ibn Qudamah (2/272)].

Dalil Ketiga: Bahwa shalat 'Id jika diwajibkan maka khutbahnya juga harus diwajibkan, dan wajib mendengarkannya seperti shalat Jumat, akan tetapi khutbah ‘Id tidak wajib bagi kuam muslimin untuk mendengarnya . ((Baca : Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah)) (62/271).

Dalil ke empat : "Ini adalah shalat yang mencakup ruku dan sujud, dan tidak ada dalil yang menetapkan bahwa itu adalah fardhu ‘ain, juga tidak ada dalil yang menetapkan bahwa itu adalah fardhu kifayah -seperti shalat sunnah lainnya-.

====

PENDAPAT KEDUA : SHALAT ‘IED ADALAH FARDHU ‘AIN (wajib bagi setiap individu):

Yakni : Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah Fardhu ‘ain (wajib atas setiap individu). 

Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, dan pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Habib dari Maliki. 

Dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad, serta dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, ash-Shan'ani, asy-Syawkani, Syeikh Bin Baz, dan Syeikh Ibnu Utsaimin.

Namun madzhab Hanafi mengatakan : hukum shalat ‘Id adalah wajib bukan fardhu, sementara makna wajib menurut mazhab Hanafi adalah :

"المَنْزِلَةُ بَيْنَ الفَرْضِ وَالسُّنَّةِ، وَهُوَ مَا ثَبَتَ بِدَلِيلٍ ظَنِّيٍّ، أَوْ كَانَتْ دَلَالَتُهُ ظَنِّيَّةً".

Posisi antara fardhu dan sunnah (berarti setara dengan sunnah muakkadah), yaitu hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil dzonni atau yang dilalah-nya dzonni.

[Lihat: ((Tabyin al-Haqa'iq)) karya al-Zaila'i, dengan ((Hasyiyah al-Shalabi)) (1/223) dan ((Hasyiyah Ibn Abidin)) (2/166) (6/337)].

Referensi Mazhab Maliki: ((Mawahib al-Jalil)) karya al-Hattab (2/568). Referensi Mazhab Hanbali: ((Majmu' al-Fatawa)) karya Ibn Taimiyah (23/161), ((al-Inshaf)) karya al-Mardawi (2/294).

Ibnu Taimiyah berkata:

"وَلِهَذَا رَجَّحْنَا أَنَّ صَلَاةَ العِيدِ وَاجِبَةٌ عَلَى الأَعْيَانِ، كَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَغَيْرِهِ، وَهُوَ أَحَدُ أَقْوَالِ الشَّافِعِيِّ، وَأَحَدُ القَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ".

"Oleh karena itu, kami lebih memilih bahwa Shalat Idul Fitri dan Idul Adha wajib ‘ain (wajib bagi setiap individu), seperti pendapat Abu Hanifah dan yang lainnya, ini adalah salah satu pendapat Syafi'i, dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad" ((Majmu' al-Fatawa)) (23/161, 162).

Ibnu Qayyim berkata:

(صَلَاةُ العِيدِ وَاجِبَةٌ عَلَى الأَعْيَانِ. وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ فِي الدَّلِيلِ)

"Shalat Idul Fitri dan Idul Adha wajib ‘ain (wajib bagi setiap individu). Ini adalah yang benar berdasarkan dalil" ((Ash-Shalah wa Ahkam Tarikiha)) (hal. 39, 40).

Asy-Syaukani berkata:

(اعْلَمْ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَازَمَ هَذِهِ الصَّلَاةَ فِي العِيدَيْنِ، وَلَمْ يَتْرُكْهَا فِي عِيدٍ مِنَ الأَعْيَادِ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِالخُرُوجِ إِلَيْهَا، حَتَّى أَمَرَ بِخُرُوجِ النِّسَاءِ العَوَاتِقِ وَذَوَاتِ الخُدُورِ وَالحُيَّضِ، وَأَمَرَ الحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ، وَيَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُسْلِمِينَ، حَتَّى أَمَرَ مَنْ لَا جِلْبَابَ لَهَا أَنْ تُلْبِسَهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا، وَهَذَا كُلُّهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ وَاجِبَةٌ وُجُوبًا مُؤَكَّدًا عَلَى الأَعْيَانِ لَا عَلَى الكِفَايَةِ، وَيَزِيدُ ذَلِكَ تَأْكِيدًا: أَنَّهُ ﷺ أَمَرَ النَّاسَ بِالخُرُوجِ لِقَضَائِهَا فِي اليَوْمِ الثَّانِي مَعَ اللَّبْسِ كَمَا تَقَدَّمَ، وَهَذَا شَأْنُ الوَاجِبَاتِ لَا غَيْرِهَا)

"Ketahuilah bahwa Nabi  senantiasa melaksanakan shalat ini pada dua hari raya, dan tidak pernah meninggalkannya pada satu hari raya pun, serta memerintahkan orang-orang untuk keluar mengerjakannya, bahkan memerintahkan wanita-wanita yang masih gadis, yang sudah dewasa, dan yang sedang haid untuk keluar menghadirinya, serta memerintahkan wanita-wanita yang haid agar memisahkan diri jauh dari tempat shalat dan menyaksikan kebaikan serta doa kaum muslimin, hingga memerintahkan kepada wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan jilbab oleh temannya. Semua ini menunjukkan bahwa shalat ini wajib dengan kewajiban yang sangat ditekankan bagi setiap individu, bukan kewajiban kifayah. Lebih menguatkan lagi, Nabi  memerintahkan orang-orang untuk keluar mengqodho shalat ini pada hari kedua dengan mengenakan pakaian yang sama sebagaimana telah disebutkan, dan ini adalah ciri khas kewajiban, bukan yang lainnya" ((As-Sail al-Jarraar)) (hal. 192).

Syeikh Bin Baaz berkata:

(صَلَاةُ العِيدِ فَرْضُ كَفَايَةٍ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَيَجُوزُ التَّخَلُّفُ مِنْ بَعْضِ الْأَفْرَادِ عَنْهَا، لَكِنْ حُضُورُهُ لَهَا وَمُشَارَكَتُهُ لِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِينَ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لَا يَنْبَغِي تَرْكُهَا إلَّا لِعُذْرٍ شَرْعِيٍّ، وَذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إلَى أَنَّ صَلَاةَ الْعِيدِ فَرْضُ عَيْنٍ كَصَلَاةِ الْجُمُعَةِ؛ فَلَا يَجُوزُ لِأَيِّ مُكَلَّفٍ مِنْ الرِّجَالِ الْأَحْرَارِ الْمُسْتَوْطَنِينَ أَنْ يَتَخَلَّفَ عَنْهَا، وَهَذَا الْقَوْلُ أَظْهَرُ فِي الْأَدِلَّةِ وَأَقْرَبُ إِلَى الصَّوَابِ)

"Shalat Idul Fitri adalah fardhu kifayah menurut banyak ulama, dan diperbolehkan bagi beberapa individu untuk tidak menghadirinya. Namun, hadir dan berpartisipasi dalam shalat ini bersama saudara-saudara muslim lainnya adalah sunnah muakkadah yang tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan alasan syar'i.

Sebagian ulama berpendapat bahwa Shalat Idul Fitri adalah fardhu 'ain seperti shalat Jumat; sehingga tidak diperbolehkan bagi laki-laki yang mukallaf, merdeka, dan bermukim untuk tidak menghadirinya. Pendapat ini lebih kuat dalam dalil dan lebih mendekati kebenaran" ((Majmu' Fatawa Ibnu Baz)) (13/7).

Ibnu Utsaimin berkata:

(صَلَاةُ الْعِيدِ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى الرِّجَالِ عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ مِنْ أَقْوَالِ أَهْلِ الْعِلْمِ)

"Shalat Idul Fitri adalah fardhu 'ain bagi laki-laki menurut pendapat yang rajih dari kalangan ulama" ((Majmu' Fatawa Ibnu Utsaimin)) (16/223).

DALIL-DALIL :

Dalil Pertama: dari Al-Qur’an.

Allah Ta'ala berfirman:

{ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ }

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah” [Al-Kawtsar: 2]

Sisi pendalilannya:

أَنَّ هَذَا أَمْرٌ مِنَ اللَّهِ، وَالْأَمْرُ يَقْتَضِي الْوَجُوبَ

Ini adalah perintah dari Allah, dan perintah menuntut adanya kewajiban. ((Al-Mughni)) karya Ibnu Qudamah (2/272).

Dalil Kedua: Dari Sunnah :

Dari Ummu Atiyyah radhiyallahu anha, dia berkata:

"أُمِرْنَا أَنْ نَخْرُجَ فَنُخْرِجَ الْحُيَّضَ وَالْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ". قَالَ ابْنُ عَوْنٍ : "أَوْ الْعَوَاتِقَ ذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلْنَ مُصَلَّاهُمْ".

"Kami diperintahkan untuk keluar, maka kami keluarkan pula para wanita yang sedang haid, gadis remaja dan wanita-wanita yang dipingit dalam rumah."

Ibnu Aun berkata : "Atau gadis-gadis remaja yang dipingit. Adapun wanita haid, maka mereka ikut menyaksikan (menghadiri) jama'ah kaum Muslimin dan do'a mereka, dan mereka (kaum wanita) memisahkan diri jauh dari tempat shalat mereka (kaum laki-laki)." (HR. Bukhari 974 dan Muslim 890).

Dan dalam salah satu lafaz, Ummu ‘Athiyyah berkata:

«‌كُنَّا ‌نُؤْمَرُ ‌بِالْخُرُوجِ ‌فِي ‌الْعِيدَيْنِ، وَالْمُخَبَّأَةُ، وَالْبِكْرُ»، قَالَتْ: «الْحُيَّضُ يَخْرُجْنَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ، يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ»

"Kami diperintahkan untuk keluar pada dua hari raya, baik anak perempuan yang dipingit  maupun yang masih gadis."

Dia berkata: "Para wanita yang haid keluar dan berposisi di belakang kaum pria, mereka bertakbir bersama orang-orang." [HR. Muslim no. 890].

Dalam lafaz lain , Ummu ‘Athiyyah berkata :

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، الْعَوَاتِقَ، وَالْحُيَّضَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ، وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: «لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا»

"Rasulullah  memerintahkan kami untuk mengeluarkan mereka pada hari Idul Fitri dan Idul Adha: para gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang berada di dalam rumah. Adapun wanita yang haid, mereka menjauh dari tempat shalat dan menyaksikan kebaikan serta doa kaum muslimin."

Aku berkata: "Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab."

Beliau bersabda: "Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya untuknya." [[HR. Muslim no. 891]

Sisi pendalilannya:

أَنَّ الْأَمْرَ بِخُرُوجِ النِّسَاءِ يَقْتَضِي الْأَمْرَ بِالصَّلَاةِ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْخُرُوجَ وَسِيلَةٌ إِلَى الصَّلَاةِ، وَوُجُوبُ الْوَسِيلَةِ يَسْتَلْزِمُ وُجُوبَ الْمُتَوَسِّلِ إِلَيْهِ، وَإِذَا أُمِرَ بِذَلِكَ النِّسَاءَ، فَالرِّجَالُ مِنْ بَابِ أَوْلَىٰ.

Perintah untuk keluarnya wanita mengimplikasikan kewajiban shalat, karena keluarnya wanita adalah wasilah untuk shalat. Kewajiban wasilah mengimplikasikan kewajiban pada yang diwasilahi. Jika Rasulullah  memerintahkan hal ini kepada wanita, maka kewajiban ini lebih utama bagi laki-laki.

Ibnu Utsaimin berkata:

(الأَمْرُ يَقْتَضِي الْوَجُوبَ، وَإِذَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ أَمَرَ النِّسَاءَ، فَالرِّجَالُ مِنْ بَابِ أَوْلَى؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي النِّسَاءِ أَنَّهُنَّ لَسْنَ مِنْ أَهْلِ الاجْتِمَاعِ؛ وَلِذَا لَا تُشْرَعُ لَهُنَّ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسَاجِدِ، فَإِذَا أَمَرَهُنَّ أَنْ يَخْرُجْنَ إِلَى مُصَلَّى الْعِيدِ؛ لِيُصَلِّينَ الْعِيدَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ، دَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّهَا عَلَى الرِّجَالِ أَوْجَبُ، وَهُوَ كَذَلِكَ)

"Perintah mengimplikasikan kewajiban. Jika Rasulullah  memerintahkan kepada wanita, maka laki-laki lebih utama (untuk melaksanakannya), karena pada hukum asal-nya wanita bukan termasuk ahli al-ijtima’ ; oleh karena tidak disyariatkan menghadiri shalat berjamaah di masjid. Oleh karena itu, jika mereka diperintahkan untuk keluar ke tempat shalat Id untuk melaksanakan shalat Id dan menyaksikan kebaikan dan do’a kaum muslimin, maka ini menunjukkan bahwa kewajiban ini lebih utama bagi laki-laki, dan begitu pula ini." (Asy-Syarh al-Mumti' 5/114). Lihat juga: Majmu' Fatawa Ibnu Utsaimin 16/273.

TANGGAPAN :

Tanggapan dari pihak yang berpendapat bahwa shalat ‘ied adalah sunnah mua’kkadah tentang hadits diatas:

Mereka berkata : Diperintahkan-nya kaum wanita untuk keluar ke tempat shalat hari raya, tujuannya adalah untuk meramaikan suasana hari raya, mensyiarkan nya dan agar bergembira ria. Oleh sebab itu ikut keluar pula kaum wanita yang sedang haidh, yang bisa dipastikan bahwa keluarnya mereka itu bukan untuk shalat .

Berikut ini hadits-hadits yang mendukung hal tersebut :

Anas bin Malik berkata:

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا ؛ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ.

"Rasulullah  datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari raya di mana mereka bermain-main ( bersenang-senang ) di dalam keduanya.

Maka beliau  bertanya : "Apakah dua hari ini?”

Mereka menjawab : "Dahulu kami biasa bermain-main (bersenang-senang) di dua hari ini semasa Jahiliyah.”

Lalu Beliau  bersabda : "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menggantikannya dengan dua hari yang LEBIH BAIK, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.”

(HR Ahmad no. 13131 & 12006, Abu Dawud no. 1134, an-Nasaa’i no. 1556 dihukumi shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 4/297).

Dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

Nabi  pada Hari Id menempuh jalan yang berbeda. (HR. Bukhari, no. 986):

Berikut ini takwil para ulama tentang hikmah dari hadits ini:

قِيلَ: الحِكْمَةُ مِنْ ذَلِكَ لِيَشْهَدَ لَهُ الطَّرِيقَانِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَالأَرْضُ تُحَدِّثُ يَوْمَ القِيَامَةِ بِمَا عُمِلَ عَلَيْهَا مِنَ الخَيْرِ وَالشَّرِّ.

وَقِيلَ: لِإِظْهَارِ شَعَائِرِ الإِسْلَامِ فِي الطَّرِيقَيْنِ.

وَقِيلَ: لِإِظْهَارِ ذِكْرِ اللهِ.

وَقِيلَ: لِإِغَاظَةِ المُنَافِقِينَ وَاليَهُودِ وَلِيُرْهِبَهُمْ بِكَثْرَةِ مَنْ مَعَهُ.

وَقِيلَ: لِيُقْضَى حَوَائِجَ النَّاسِ مِنَ الاسْتِفْتَاءِ وَالتَّعْلِيمِ وَالاقْتِدَاءِ أَوِ الصَّدَقَةِ عَلَى المَحَاوِيْجِ أَوْ لِيَزُورَ أَقَارِبَهُ وَلِيَصِلَ رَحِمَهُ.

Ada yang mengatakan: Bahwa hikmah dari perbuatan tersebut adalah agar kedua jalan itu menjadi saksi di hadapan Allah pada hari kiamat, sebab bumi akan berbicara pada hari kiamat terhadap kebaikan atau keburukan yang dilakukan di atasnya.

Dan ada yang mengatakan: Untuk menampakan syiar Islam atau meramaikan pada kedua jalan tersebut.

Dan ada yang mengatakan: Untuk menampakkan zikir kepada Allah, atau untuk menimbulkan rasa gentar terhadap kaum munafik atau orang Yahudi dengan banyaknya orang bersamanya,

Dan ada yang mengatakan: Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, apakah untuk meminta fatwa, mengajarkan atau memenuhi segala kebutuhan, atau untuk mengunjungi kerabat dan bersilaturahim. [ Mawqi’ Islam Su’aal wa Jawaab 5/2066 no. 36442].

Dan Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata:

"دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ. قَالَتْ: وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رَسُولِ اللهِ ؟ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَهَذَا عِيدُنَا"وفي رِوَايَةٍ : "وَفِيهِ جَارِيَتَانِ تَلْعَبَانِ بِدُفٍّ".

"Abu Bakar masuk (ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan dari wanita Anshar sedang bernyanyi tentang apa yang dikatakan orang-orang Anshar pada masa Bu’ats (perang di masa jahiliah antara suku Aus dan Khazraj).”

Aisyah berkata:"Keduanya bukanlah orang berprofesi sebagai penyanyi.” Abu Bakar lalu berkata:"Apakah seruling-seruling setan di rumah Rasulullah !?”

Saat itu sedang hari raya, maka Rasulullah  bersabda:"Wahai Abu Bakar, biarkan mereka (bernyanyi) karena sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.”

Dalam satu riwayat di dalamnya dikatakan:"Dua budak wanita yang BERMAIN REBANA". (HR. Bukhari, no. 909)

Dalil Ketiga:

Bahwa shalat Idul Fitri adalah salah satu dari syiar Islam yang paling agung, dan orang-orang berkumpul untuknya lebih besar daripada shalat Jumat. Dalam shalat ini disyariatkan takbir. Jika ini hanyalah sunnah, maka mungkin orang-orang akan sepakat untuk meninggalkannya, yang mengakibatkan hilangnya bagian dari syiar Islam. Oleh karena itu, menjadi wajib untuk menjaga dari kehilangan bagian dari syiar Islam ini.

(Bada'i ash-Shanaa'i' 1/275), (Fath al-Qadir 2/71), (Al-Mughni 2/272), (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 23/161), (Ash-Sholaat wa Ahkaam Taarikihaa 39, 40 oleh Ibnu Qayyim).

Dalil Keempat:

Bahwa shalat Id ini adalah shalat yang di dalamnya disyariatkan khutbah, maka menjadi wajib bagi seluruh kaum muslimin, sama seperti shalat Jumat.  [Baca : ((Al-Mughni)) oleh Ibnu Qudamah (2/272)].

Dalil ke lima :

لأَنَّها لَوْ لَمْ تَجِبْ لَمْ يَجِبْ قِتالُ تارِكِيها، كَسائِرِ السُّنَنِ؛ يُحَقِّقُهُ أَنَّ القِتالَ عُقوبَةٌ لا تَتَوَجَّهُ إِلَى تارِكِ مُندوبٍ، كالقَتْلِ وَالضَّربِ.

Karena jika tidak wajib, maka tidak diwajibkan memerangi orang yang meninggalkannya, seperti halnya sunnah-sunnah lainnya; ini menegaskan bahwa memerangi adalah hukuman yang tidak ditujukan kepada yang meninggalkan amalan sunnah, seperti membunuh dan memukul ((Al-Mughni)) karya Ibn Qudamah (2/272).

====

PENDAPAT KETIGA: SHALAT 'ID ADALAH FARDHU KIFAYAH.

Artinya : jika telah ada sekelompok kaum muslimin yang melakukan shalat ‘Ied, maka kewajiban atas kaum muslimin yang lainnya menjadi gugur dan hilang .

Ini adalah madzhab Hanabilah, dan satu pendapat di kalangan Hanafiyyah, satu pendapat di kalangan Malikiyyah, satu pendapat di kalangan Syafi'iyyah.

Dan fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia.

[Referensi Hanbali : ((Al-Iqna')) karya Al-Hajjawi (1/199), lihat juga: ((Al-Mughni)) karya Ibn Qudamah (2/272). Referensi Hanafi : ((Al-Binayah)) karya Al-'Ayni (3/95), ((Bada'i' Al-Sana'i')) karya Al-Kasani (1/275). Referensi Maliki : ((Hashiyah Al-Sawi 'ala Al-Sharh Al-Saghir)) (1/523), ((Hashiyah Al-Dusuqi)) (1/396). Referensi Syafi’i : ((Tuhfat Al-Muhtaj)) karya Al-Haitami (3/39), ((Mughni Al-Muhtaj)) karya Al-Syarbini (1/310)].

Al-Lajnah ad-Daa’imah mengatakan:

صَلاةُ العِيدَيْنِ: الفِطْرِ وَالأضْحَى، كُلٌّ مِنْهُمَا فَرْضُ كِفَايَةٍ، وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: إِنَّهُمَا فَرْضُ عَيْنٍ كَالْجُمْعَةِ؛ فَلَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ تَرْكُهَا

"Shalat Id: Idul Fitri dan Idul Adha, keduanya merupakan fardhu kifayah. Beberapa ulama mengatakan bahwa keduanya adalah fardhu ain seperti Jum'at; oleh karena itu tidak semestinya bagi seorang mukmin untuk meninggalkannya." ((Fatwa-Fatwa al-Lajnah ad-Daimah - Jilid 1) (8/284).

=====

DALIL :

Dalilnya adalah penggabungan antara dalil yang berpendapat Sunnah Muakkadah dan Fardhu ‘Ain : 

Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَسْأَلُهُ عَنِ الإِسْلَامِ، فَقَالَ ﷺ: ((خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى عِبَادِهِ، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ))

Bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah  bertanya tentang Islam, maka beliau  bersabda: "Lima shalat yang diwajibkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya," maka dia bertanya: "Apakah ada kewajiban lain selain itu?" Beliau  menjawab: "Tidak, kecuali jika engkau bertathowwu’ (melakukan shalat sunnah)."

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2678) dan Muslim (11).

Sisi pendalilannya:

“Bahwa ucapan beliau: "(إلا أن تَطَوَّع) adalah pengecualian dari ucapan beliau: (لا) yang berarti tidak diwajibkan selain itu untukmu [ Baca :((Fathul Bari)) oleh Ibnu Hajar (1/107)].

Kedua: “ Bahwa untuk shalat ‘Id tidak disyariatkan adzan, maka itu menunjukkan bahwa shalat Id bukan fardhu ‘Ain [tidak diwajibkan atas setiap individu) , sama seperti shalat jenazah [ Baca : ((Al-Mughni)) oleh Ibnu Qudamah (2/272)].

Ketiga: karena jika diwajibkan secara fardhu ‘ain, maka wajib bagi mereka untuk mendengar khutbahnya seperti khutbah Jumat. [Baca : ((Al-Bayan)) oleh Al-'Imrani (2/625)].

Keempat : karena shalat ini di dalamnya terdapat beberapa takbir yang beruntun dalam berdiri, maka menjadi fardhu kifayah, sama seperti shalat jenazah  [Baca : al-Bayan karya al-‘Amraani 2/625].

*****

CARA SHALAT IED BAGI YANG TERTINGGAL SHALAT BERSAMA IMAM :

Berikut ini riwayat amalan para sahabat ketika tertinggal shalat Ied bersama imam.

Pertama : Atsar Anas radhiyallahu ‘anhu :

Ibnu Quddamah berkata dalam al-Mughni 3/285 :

رُوِىَ عن أنَسٍ، أنَّه كان إذا لم يَشْهَد العِيدَ مع الإِمَامِ بالبَصْرَةِ جَمَعَ أهْلَه ومَوَالِيهِ، ثم ‌قامَ ‌عبدُ ‌اللهِ ‌بن ‌أبي ‌عُتْبَةَ مَوْلَاهُ فيُصَلِّى بهم رَكْعَتَيْنِ، يُكَبِّرُ فيهما

"Diriwayatkan dari Anas, bahwa ketika dia tidak menghadiri shalat 'Id bersama imam di Bashrah, maka dia mengumpulkan keluarganya dan para pembantunya. Kemudian Abdullah bin Abi Utbah, pembantunya, berdiri dan memimpin mereka dalam shalat dua rakaat dengan bertakbir di dalamnya." [Selesai].

Takhrij Atsar :

Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/183 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 3/305.

Sanad Atsar ini Dha’if, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (3/305) secara ta'liq, dia berkata:

وَيُذْكَرُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ كَانَ إِذَا بِمَنْزِلٍ بِالزَّاوِيَةِ فَلَمْ يَشْهَدِ الْعِيدَ بِالْبَصْرَةِ إِلَخْ وَرَوَاهُ مَوْصُولًا عَنْ طَرِيقِ نُعَيْمِ بْنِ حَمَّادٍ ثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَنَسٌ … فَذَكَرَهُ.

'Disebutkan dari Anas bin Malik bahwa ketika dia berada di rumahnya di Al-Zawiyah dan tidak menghadiri shalat 'Id di Basrah, dan seterusnya.' Dan diriwayatkan secara maushul melalui jalur Nu'aim bin Hammad yang berkata: 'Hasyim meriwayatkan dari 'Ubaidullah bin Abi Bakr bin Anas, dia berkata: Anas...,' lalu dia menyebutkannya.

Saya katakan: Ini adalah sanad yang dhaif karena Nu'aim bin Hammad banyak kesalahannya. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah (2/9/1) melalui jalur Yunus yang berkata:

حَدَّثَنِي بَعْضُ آلِ أَنَسٍ أَنَّ أَنَسًا فَذَكَرَهُ

'Sebagian keluarga Anas menceritakan kepadaku bahwa Anas,' lalu dia menyebutkannya.

Para perawinya terpercaya kecuali sebagian yang disebutkan tersebut tidak saya kenal. Mungkin dia adalah 'Ubaidullah bin Abi Bakr bin Anas bin Malik sebagaimana dalam riwayat Nu'aim bin Hammad, tetapi dia tidak bisa dijadikan hujjah karena sudah diketahui keadaannya.

[Dikutip dari Irwa'ul Ghalil jilid ketiga (halaman 120) nomor (648) dengan sedikit ringkasan dan dari Tanbiih al-Qori 1/74 no. 110 karya Abdullaah ad-Duwaisy ]

Atsar ke dua :

رُوِىَ عن عبدِ اللَّهِ بنِ مسعودٍ، أنَّه قال: مَن فاتَه العِيدُ فلْيُصَلِّ أرْبَعًا

[Di riwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushonnaf 3/300 .

Atsar ke tiga :

Ibnu Quddamah dalam asy-Syarhul Kabiir 5/337 berkata :

ورَوَيْنا عن علىٍّ، رَضِىَ اللَّهُ عنه، أنَّه قِيلَ له: قد اجْتَمَعَ في المَسْجدِ ضُعَفاءُ النّاسِ وعُمْيانُهم، فلو صَلَّيْتَ بهم في المَسْجِدِ؟ فقال: أُخالِفُ السُّنَّةَ إذًا، ولكنْ أخْرُجُ إلى المُصَلَّى، وأسْتَخْلِفُ مَن يُصلِّى بهم في المَسْجِدِ أرْبَعًا

"Diriwayatkan dari Ali, radhiyallahu 'anhu, bahwa dikatakan kepadanya: 'Di masjid telah berkumpul orang-orang yang lemah dan yang buta, bagaimana jika Anda shalat bersama mereka di masjid?' Ali menjawab: 'Kalau begitu, saya akan menyelisihi sunnah. Namun, saya akan keluar ke lapangan tempat shalat Ied, dan saya akan menugaskan seseorang untuk shalat bersama mereka di masjid sebanyak empat rakaat.'"

[Lihat : "As-Sunan Al-Kubra oleh Al-Baihaqi 3/310 dan Al-Mushannaf oleh Ibn Abi Syaibah 2/184]."

----

PENJELASAN PARA ULAMA :

Fadhilah Profesor Doktor Ali Jum’ah Muhammad dalam "Fatwa Fatwa Dar Al-Ifta" nomor fatwa: 7552 menyatakan:

"مَذَاهِبَ الْعُلَمَاءِ فِي قَضَاءِ النَّوَافِلِ وَرَجَحْنَا مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ فِي أَنَّ النَّوَافِلَ الْمُؤَقَّتَةَ وَمِنْهَا الْعِيدُ يُسْتَحَبُّ قَضَاؤُهَا، وَصَلَاةُ الْعِيدِ سُنَّةٌ غَيْرُ وَاجِبَةٍ فِي قَوْلِ الْجُمْهُورِ.

وَمِنْ ثُمَّ، فَلَا يَجِبُ عَلَيْكَ قَضَاؤُهَا، وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ عِنْدَ بَعْضِ الْعُلَمَاءِ ـ كَمَا ذَكَرْنَا ـ وَمَنْ أَرَادَ قَضَاءَ صَلَاةِ الْعِيدِ، فَإِنْ شَاءَ صَلَّاهَا عَلَى صِفَتِهَا مِنَ التَّكْبِيرَاتِ الزَّوَائِدِ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ هَذِهِ التَّكْبِيرَاتِ، فَالْأَمْرُ وَاسِعٌ، وَلَكِنْ فَعْلُ التَّكْبِيرَاتِ الزَّوَائِدِ أَوْلَى لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنَّ الْقَضَاءَ يُحَكِّي الْأَدَاءَ وَلِثُبُوتِهِ عَنْ أَنَسٍ ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ـ."

"Pandangan para ulama tentang qadha shalat sunnah dan kami lebih memilih pandangan Syafi'i bahwa shalat-shalat sunnah yang ditentukan waktunya, termasuk shalat 'Id, disunnahkan untuk mengqadhanya. Shalat 'Id adalah sunnah, yakni tidak wajib menurut pendapat mayoritas ulama.

Oleh karena itu, tidak wajib bagimu untuk mengqadhanya, namun disunnahkan menurut sebagian ulama seperti yang kami sebutkan. Bagi yang ingin mengqadha shalat 'Id, dia boleh melakukannya sesuai dengan tata cara yang disertai dengan takbir tambahan, atau dia juga boleh tidak melakukannya, karena perkara ini bersifat luas. Namun, lebih utama untuk melaksanakannya dengan takbir tambahan karena asalnya qadha shalat mengikuti tata cara pelaksanaan bawaannya, dan ini berdasarkan riwayat dari Anas - radhiyallahu 'anhu."

Ibnu Qudamah dalam asy-Syarhul Kabiir 3/364 no. 691 berkata :

وجُمْلَةُ ذلك أنَّه لا يَجِبُ قَضاءُ صلاةِ العيدِ على مَن فاتَتْه؛ لأنَّها فَرْضُ كِفايَةٍ، وقد قام بها مَن حَصَلَتْ به الكِفايَةُ، وإن أحَبَّ قَضاءَها اسْتُحِبَّ له أن يَقْضِيَها غلى صِفَتِها. نَقَل ذلك عن أحمدَ إسْماعِيلُ بنُ سعيدٍ، واخْتارَه لجُوزَجانِىُّ، وهو قولُ النَّخَعِىِّ، ومالكٍ، والشافعىِّ، وأبى ثَوْرٍ ... ولأنَّه قضاءُ صلاةِ

"Kesimpulannya adalah bahwa tidak wajib mengqadha shalat 'Id bagi siapa saja yang ketinggalan; karena shalat ini adalah fardhu kifayah, dan sudah dilakukan oleh orang-orang yang telah mencukupi. Namun, jika dia ingin mengqadhanya, disunnahkan baginya untuk mengqadhanya sesuai dengan tata caranya. Hal ini dinukil dari Ahmad oleh Ismail bin Said, dan dipilih oleh Al-Juzjani. Ini adalah pendapat An-Nakha'i, Malik, Asy-Syafi'i, dan Abu Tsaur ... karena ini adalah qadha shalat."

Di dalam kitabnya al-Mughni 3/284 no. 311, Ibnu Qudamah berkata :

وجُمْلَتُه أنَّ من فَاتَتْهُ صَلَاةُ العِيدِ فلا قَضاءَ عليه؛ لأنَّها فَرْضُ كِفايَةٍ، وقد قامَ بها مَن حَصَلَتِ الكِفَايَةُ به، فإنْ أحَبَّ قَضاءَها فهو مُخَيَّرٌ، إن شاءَ صَلَّاهَا أرْبَعًا، إمَّا بِسَلامٍ واحِدٍ وإمَّا بِسَلامَيْنِ .....

قال أحمدُ، رَحِمَهُ اللهُ: يُقَوِّى ذلك حَدِيثُ عَلِيٍّ، أنَّه أمَرَ رَجُلًا يُصَلِّى بِضَعَفَةِ النَّاسِ أرْبَعًا، ولا يَخْطُبُ. ولأنَّه قَضاءُ صلاةِ عِيدٍ، فكان أرْبَعًا كصَلَاةِ لجُمُعَةِ، وإن شاءَ أنْ يُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ كصلاةِ التَّطَوُّعِ. وهذا قولُ الأَوْزَاعِىِّ؛ لأنَّ ذلك تَطَوُّعٌ. وإنْ شاءَ صَلَّاهَا على صِفَةِ صلاةِ العِيدِ بِتَكْبِيرٍ. نَقَلَ ذلك عن أحمدَ إسماعِيلُ بن سعيد، واخْتَارَهُ الجُوزَجَانِىُّ. وهذا قولُ النَّخَعِىِّ، ومالِكٍ، والشَّافِعِىِّ، وأبي ثَوْرٍ، وابنِ المُنْذِرِ؛ لما رُوِىَ عن أنَسٍ .... ولأنَّه قَضاءُ صَلَاةٍ، فكان على صِفَتِها، كسَائِرِ الصَّلَوَاتِ، وهو مُخَيَّرٌ، إن شاءَ صَلَّاهَا وَحْدَه، وإن شَاءَ في جَمَاعَةٍ. قِيلَ لأبي عبدِ اللهِ: أَيْنَ يُصَلِّى؟ قال: إن شاءَ مَضَى إلى المُصَلَّى، وإن شاءَ حيثُ شاءَ

"Kesimpulannya adalah bahwa barang siapa yang ketinggalan shalat 'Id, maka tidak ada kewajiban qadha atasnya; karena shalat ini adalah fardhu kifayah, dan telah dilakukan oleh orang-orang yang telah mencukupi. Jika dia ingin mengqadhanya, dia boleh memilih, jika dia mau, dia bisa shalat empat rakaat, baik dengan satu salam maupun dengan dua salam ....

Ahmad, rahimahullah, berkata: 'Hadis Ali menguatkan hal itu, bahwa dia memerintahkan seseorang untuk shalat empat rakaat dengan orang-orang yang lemah, dan tidak berkhutbah.' Karena itu adalah qadha shalat 'Id, maka dilakukan empat rakaat seperti shalat Jum'at.

Jika dia mau, dia bisa shalat dua rakaat seperti shalat sunnah. Ini adalah pendapat Al-Awza'i; karena itu adalah sunnah.

Jika dia mau, dia bisa shalat sesuai dengan tata cara shalat 'Id dengan takbir. Hal ini dinukil dari Ahmad oleh Ismail bin Said, dan dipilih oleh Al-Juzjani. Ini adalah pendapat An-Nakha'i, Malik, Asy-Syafi'i, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir; karena diriwayatkan dari Anas .... dan karena itu adalah qadha shalat, maka dilakukan sesuai dengan tata caranya, seperti shalat-shalat lainnya.

Dan dia boleh memilih, jika dia mau, dia bisa shalat sendirian, dan jika dia mau, dia bisa shalat berjamaah.

Dikatakan kepada Abu Abdullah: 'Di mana dia shalat?' Dia menjawab: 'Jika dia mau, dia bisa pergi ke mushalla [lapangan tempat shalat Ied]. Dan jika dia mau, dia bisa shalat di mana saja dia mau.'" [SELESAI]

Ibnu Rajab dalam Fathul Bari 9/79 berkata:

اخْتَلَفُوا: هَلْ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بِتَكْبِيرٍ كَتَكْبِيرِ الإِمَامِ، أَمْ يُصَلِّي بِغَيْرِ تَكْبِيرٍ؟ فَقَالَ الْحَسَنُ وَالنَّخْعِيُّ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ - فِي رِوَايَةٍ -: يُصَلِّي بِتَكْبِيرٍ، كَمَا يُصَلِّي الإِمَامُ. وَاسْتَدْلُوا بِالْمَرْوِيِّ عَنْ أَنَسٍ، وَأَنَسٌ لَمْ يُفْتَهِ فِي الْمَصْرِ بَلْ كَانَ سَاكِنًا خَارِجًا مِنْ الْمَصْرِ بَعِيدًا مِنْهُ، فَهُوَ فِي حُكْمِ أَهْلِ الْقُرَى. وَقَدْ أَشَارَ إِلَى ذَلِكَ الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ. وَالْقَوْلُ بِأَنَّهُ يُصَلِّي كَمَا يُصَلِّي الإِمَامُ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، حَتَّى قَالَ: لَا يُكَبِّرُ إِلَّا كَمَا يُكَبِّرُ الإِمَامُ، لَا يَزِيدُ عَلَيْهِ وَلَا يَنْقُصُ. وَكَذَا قَالَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ أَبِي طَالِبٍ - إِلَى أَنْ قَالَ بَعْضُ كَلَامٍ طَوِيلٍ فِي الْخِلَافِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: -

وَاعْلَمْ؛ أَنَّ الِاخْتِلَافَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَنْبُنِي عَلَى أَصْلٍ، وَهُوَ: أَنَّ صَلَاةَ الْعِيدِ: هَلْ يُشْتَرَطُ لَهَا الْعَدَدُ وَالِاسْتِيْطَانُ وَإِذْنُ الإِمَامِ؟ فِيهِ قَوْلَانِ لِلْعُلَمَاءِ، هُمَا رِوَايَتَانِ عَنْ أَحْمَدَ. وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ لَهَا ذَلِكَ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ. وَمَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَإِسْحَاقَ: أَنَّهُ يُشْتَرَطُ لَهَا ذَلِكَ. فَعَلَى قَوْلِ الْأُوْلِينَ: يُصَلِّيهَا الْمُنْفَرِدُ لِنَفْسِهِ فِي السَّفَرِ وَالْحَضْرِ وَالْمَرْأَةِ وَالْعَبْدِ وَمَنْ فَاتَتْهُ، جَمَاعَةً وَفُرَادَى، لَكِنْ لَا يَخْطُبُ لَهَا خُطْبَةَ الإِمَامِ؛ لِأَنَّ فِيهِ افْتِئَاتًا عَلَيْهِ، وَتَفْرِيقًا لِلْكَلِمَةِ. وَعَلَى قَوْلِ الْآخَرِينَ: لَا يُصَلِّيهَا إِلَّا الإِمَامُ أَوْ مَنْ أَذِنَ لَهُ، وَلَا تُصَلَّى إِلَّا كَمَا تُصَلَّى الْجُمُعَةُ، وَمَنْ فَاتَتْهُ، فَإِنَّهُ لَا يُقْضِيهَا عَلَى صَفَتِهَا، كَمَا لَا يُقْضِي الْجُمُعَةَ عَلَى صَفَتِهَا.

"Para ulama berselisih pendapat mengenai apakah shalat Id dilakukan dengan dua rakaat yang dimulai dengan takbir seperti takbir imam, ataukah shalat Id dilakukan tanpa takbir khusus?

Hasan, Nakha'i, Malik, Syafi'i, dan Ahmad - dalam satu riwayat - berpendapat bahwa shalat Id dilakukan dengan takbir, seperti yang dilakukan oleh imam. Mereka menggunakan dalil dari riwayat Anas, yang pada saat itu Anas tidak tinggal di kota besar (Mesir), tetapi dia tinggal di desa yang jauh dari kota besar, sehingga dia termasuk dalam hukum penduduk desa.

Imam Ahmad juga mengindikasikan hal ini dalam salah satu riwayat dari beliau.

Pendapat bahwa shalat Id dilakukan seperti shalat imam adalah pendapat Abu Hanifah dan Abu Bakr bin Abi Syaibah, bahkan mereka mengatakan: tidak ada tambahan atau pengurangan dalam takbir tersebut, melainkan harus sama dengan takbir imam. Imam Ahmad juga menyatakan hal ini dalam riwayat dari Abu Thalib."

"Dan ketahuilah ! bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini bergantung pada asal, yaitu: apakah shalat Id memerlukan jumlah yang ditentukan, pendudukan (tempat tinggal tetap), dan izin dari imam?

Ada dua pendapat dari ulama, yang merupakan dua riwayat dari Ahmad.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hal itu tidak diwajibkan, seperti pendapat Malik dan Syafi'i.

Mazhab Abu Hanifah dan Ishaq berpendapat bahwa hal itu diwajibkan.

Menurut pendapat pertama, shalat Id boleh dikerjakan oleh individu, baik dalam perjalanan maupun di tempat tinggal tetap, termasuk wanita, budak, dan mereka yang terlambat, baik secara berjamaah maupun sendiri, tetapi tidak boleh diimami seperti imam karena hal itu dapat menimbulkan fitnah dan memecah belah.

Menurut pendapat kedua, shalat Id hanya boleh dilakukan oleh imam atau orang yang diberi izin oleh imam, dan tidak boleh dilakukan kecuali seperti shalat Jumat, dan bagi yang terlambat, tidak wajib mengqadha shalat Id seperti halnya tidak wajib mengqadha shalat Jumat.."

Kemudian Ibnu Rajab berkata:

وَلَيْسَتْ الْعِيدُ كَالْجُمُعَةِ؛ وَلِهَذَا يُصَلِّيهَا الإِمَامُ وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذَا لَمْ يَعْلَمُوا بِالْعِيدِ إِلَّا مِنْ آخِرِ النَّهَارِ مِنْ غَدٍ يَوْمَ الْفِطْرِ، وَالْجُمُعَةُ لَا تُقْضَى بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا، وَلِأَنَّ الْخُطْبَةَ لَيْسَتْ شَرْطًا لَهَا، فَهِيَ كَسَائِرِ الصَّلَوَاتِ، بِخِلَافِ الْجُمُعَةِ.

Id tidak seperti Jumat; oleh karena itu imam dan jamaah melaksanakannya bersama-sama jika mereka baru mengetahui Id pada hari terakhir sebelum Idul Fitri, sedangkan shalat Jumat tidak boleh diqadha setelah keluarnya waktunya, dan karena khutbah bukan syarat bagi shalat Id, maka shalat Id seperti shalat-shalat lainnya, berbeda dengan shalat Jumat." [SELESAI]

*****

HADITS-HADITS YANG MEMBOLEHKAN MENG-QADHA SHALAT SUNNAH :

Hadits Pertama :

Diriwayatkan oleh Bukhari (1233) dan Muslim (834) dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha :

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ فَسَأَلَتْهُ عَنْهُمَا فَقَالَ : ( إِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ فَشَغَلُونِي عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَهُمَا هَاتَانِ ) .

“Bahwa Nabi  shalat dua rakaat setelah waktu Ashar. Maka bertanya padanya tentang dua rakaat tersebut, lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya ada beberapa orang dari suku Abdul Qais datang kepada saya dan mereka telah membuatku sibuk sehingga tidak sempat untuk shalat dua rakaat ba’diyah Dzuhur. Maka dua rakaat ini adalah (qadha shalat yang saya tinggalkan)."

HADITS LENGKAPNYA :

Dari Kuraib Maula Ibnu Abbas :

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَزْهَرَ وَالْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ أَرْسَلُوهُ إِلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ ﷺ فَقَالُوا اقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنَّا جَمِيعًا وَسَلْهَا عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ وَقُلْ إِنَّا أُخْبِرْنَا أَنَّكِ تُصَلِّينَهُمَا وَقَدْ بَلَغَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ نَهَى عَنْهُمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَكُنْتُ أَضْرِبُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ النَّاسَ عَلَيْهَا قَالَ كُرَيْبٌ فَدَخَلْتُ عَلَيْهَا وَبَلَّغْتُهَا مَا أَرْسَلُونِي بِهِ فَقَالَتْ سَلْ أُمَّ سَلَمَةَ فَخَرَجْتُ إِلَيْهِمْ فَأَخْبَرْتُهُمْ بِقَوْلِهَا فَرَدُّونِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ بِمِثْلِ مَا أَرْسَلُونِي بِهِ إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَنْهَى عَنْهُمَا ثُمَّ رَأَيْتُهُ يُصَلِّيهِمَا أَمَّا حِينَ صَلَّاهُمَا فَإِنَّهُ صَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ دَخَلَ وَعِنْدِي نِسْوَةٌ مِنْ بَنِي حَرَامٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَصَلَّاهُمَا فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ الْجَارِيَةَ فَقُلْتُ قُومِي بِجَنْبِهِ فَقُولِي لَهُ تَقُولُ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُكَ تَنْهَى عَنْ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ وَأَرَاكَ تُصَلِّيهِمَا فَإِنْ أَشَارَ بِيَدِهِ فَاسْتَأْخِرِي عَنْهُ قَالَ فَفَعَلَتْ الْجَارِيَةُ فَأَشَارَ بِيَدِهِ فَاسْتَأْخَرَتْ عَنْهُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ سَأَلْتِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ بِالْإِسْلَامِ مِنْ قَوْمِهِمْ فَشَغَلُونِي عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَهُمَا هَاتَانِ

Bahwa Abdullah bin Abbas dan Abdurrahman bin Azhar dan Al Miswar bin Makhramah mereka mengutusnya [Kuraib] agar menemui Aisyah isteri Nabi  seraya berpesan :

"Sampaikan salam kami kepadanya dan tanyakan mengenai dua raka'at setelah Ashar kemudian katakanlah bahwa kami telah mendengar kabar bahwa Anda menunaikannya padahal telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah  telah melarang dua raka'at itu."

Ibnu Abbas berkata, "Saya dan Umar pernah memukul beberapa orang karena menunaikan dua raka'at setelah Ashar."

Kuraib berkata; Maka saya pun menemui Aisyah dan menyampaikan pesan-pesan mereka. Lalu Aisyah pun berkata, "Tanyakanlah kepada [Ummu Salamah]."

Akhirnya aku pun kembali kepada mereka, dan menyampaikan komentar Aisyah. Kemudian mereka kembali mengutusku untuk menemui Ummu Aisyah dan menanyakan pertanyaan yang sama.

Ummu Salamah menjawab, "Saya telah mendengar Rasulullah  melarang shalat dua raka'at sesudah Ashar itu. Namun setelah itu, saya melihat beliau melakukannya. Dan memang sebelum menunaikannya, terlebih dahulu menunaikan shalat Ashar. Sesudah itu, beliau masuk menemuiku, sementara di sisiku terdapat beberapa orang wanita Anshar dari Bani Haram, kemudian beliau melaksanakan dua raka'at (Setelah Ashar itu).

Lalu saya mengutus seorang budak wanita seraya berkata padanya, "Berdirilah kamu di samping beliau, dan katakanlah padanya, 'Ummu Salamah berkata; Wahai Rasulullah, saya telah mendengar tuan melarang dua raka'at ini, namun saya melihat Anda melakukannya.'

Dan jika ia memberi isyarat dengan tangannya, maka mundurlah." Budak wanita itu pun melakukannya, kemudian beliau memberi isyarat, maka budak wanita itu pun mundur.

Usai menunaikan shalat, beliau bersabda: "Wahai binti Abu Umayyah, kamu tadi menanyakan tentang dua raka'at setelah Ashar. Sesungguhnya saya telah didatangi oleh beberapa orang dari Bani Abdul Qais dengan menyatakan keIslaman kaumnya hingga mereka menyibukkanku untuk menunaikan dua raka'at setelah Zhuhur, maka dua raka'at ini sebagai penggantinya."

[HR. Muslim no. 1377]

Hadits ke dua :

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1154) dari Qais bin 'Amr, dia berkata:

رَأَى النَّبِيُّ ﷺ رَجُلًا يُصَلِّي بَعْدَ صَلاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ . فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ : أَصَلاةَ الصُّبْحِ مَرَّتَيْنِ ؟ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ : إِنِّي لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ، فَصَلَّيْتُهُمَا . قَالَ : فَسَكَتَ النَّبِيُّ ﷺ.

Nabi  melihat seorang laki-laki shalat dua rakaat setelah shalat Shubuh. Nabi  bertanya, "Apakah shalat Shubuh dua kali?" Lalu laki-laki itu menjawab, "Aku belum sempat shalat dua rakaat qobliyahnya, maka aku pun melakukan shalat kedua rakaat tersebut sesudahnya ." Nabi  pun diam”.

Hadis ini dinyatakan sahih oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah (948).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

وَسُكُوتُ النَّبِيِّ ﷺ يَدُلُّ عَلَى الْجَوَازِ

"Diamnya Nabi  menunjukkan kebolehan." [al-Mughni 2/532]

Posting Komentar

0 Komentar