Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
******
MENAHAN SARAPAN PAGI HINGGA HEWAN KURBAN DISEMBELIH
Diriwayatkan dari hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu , ia berkata:
«كَانَ النَّبِيُّ ﷺ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ، وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ»
"Nabi ﷺ tidak keluar pada hari Idul Fitri sampai beliau makan, dan beliau tidak makan pada hari Idul Adha sampai beliau selesai shalat."
[Diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 542 dari hadits Buraidah bin al-Husaib al-Aslami ra. Ibnu Al-Mulaqqin mengatakan dalam "Al-Badr al-Munir" (5/70): "Hadits ini hasan sahih," dan Al-Albani mensahihkannya dalam "Mishkat al-Masabih" (1440).]
Dalam riwayat lain:
«وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يَذْبَحَ»
"Dan beliau tidak makan pada hari Idul Adha sampai beliau menyembelih."
[Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1426), Ahmad (23042), dan Baihaqi dalam "As-Sunan al-Kubra" (6159). Al-Albani mensahihkannya dalam "Sahih al-Jami" (4845), dan Al-A'zami menganggapnya hasan dalam tahqiqnya terhadap "Sahih Ibnu Khuzaimah" dan para pentahqiq "Musnad Ahmad".]
Dalam riwayat lain:
«وَلَا يَطْعَمُ يَوْم النَّحْرِ حَتَّى يَنْحَرَ» .
"Dan beliau tidak makan pada hari Idul Adha sampai beliau menyembelih kurban ."
[Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (2812). Syuaib al-Arna'ut menganggapnya hasan dalam "Sahih Ibnu Hibban" (2812), dan Al-Albani mensahihkannya dalam "At-Ta'liqaat al-Hisan" (2801).]
Dalam riwayat lain:
«حَتَّى يُضَحِّيَ» .
"Hingga beliau menyembelih kurban."
[Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Atsram. (lihat: "Nayl al-Awthar" (3/344)]
Dalam hadits lain:
«وَكَانَ لَا يَأْكُلُ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يَرْجِعَ»
"Dan beliau tidak makan pada hari Idul Adha sampai beliau kembali."
[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam "Kitab Shaum" bab tentang makan pada hari Idul Fitri sebelum keluar (1756) dari hadits Buraidah bin al-Husaib al-Aslami ra. Al-Albani mensahihkannya dalam "Sahih Ibnu Majah."]
Ahmad dan lainnya menambahkan:
«فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَتِهِ».
"Lalu beliau makan dari hewan kurbannya."
[Diriwayatkan oleh Ahmad (22984), Baihaqi dalam "As-Sunan Ash-Shughra" (689) dan dalam "Al-Kubra" (6160), Daruqutni (1715), dan para peneliti "Musnad" menganggapnya hasan (38/88).]
Dalam "Kasyaf Al-Qina'" 2/51 disebutkan:
وَكَانَ لَا يَأْكُلُ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يَرْجِعَ، فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَبْحٌ لَمْ يُبَالِ أَنْ يَأْكُلَ.
"Beliau tidak makan pada hari raya Idul Adha hingga beliau kembali dan makan dari kurbannya, dan jika beliau tidak memiliki hewan kurban, maka tidak memperdulikan jika beliau makan."
Dalam Neil al-Awthar 3/349, "Tuhfat Al-Ahwadzi" 3/81 dan Mar’aatul Mafaatiih 5/45 no. 1454 disebutkan :
وَقَدْ خَصَّصَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ اسْتِحْبَابَ تَأْخِيرِ الْأَكْلِ فِي عِيدِ الْأَضْحَى بِمَنْ لَهُ ذَبْحٌ
"Ahmad bin Hanbal mengkhsususkan anjuran menunda makan pada hari Idul Adha bagi yang memiliki hewan kurban."
Az-Zaila'i dalam kitab "Tabyin Al-Haqaiq" 1/226 berkata:
وَقِيلَ: هَذَا فِي حَقِّ مَنْ يُضَحِّي لِيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ أَوْ لَا أَمَّا فِي حَقِّ غَيْرِهِ فَلَا، ثُمَّ قِيلَ الْأَكْلُ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَكْرُوهٌ وَالْمُخْتَارُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَكْرُوهٍ وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَأْكُلَ
Ada yang mengatakan : "Ini berlaku bagi orang yang berkurban agar dia makan dari kurbannya, adapun bagi yang tidak berkurban tidak mengapa dia makan.
Kemudian ada yang mengatkan pula : Makan sebelum salat makruh. Akan tetapi pendapat yang dipilih adalah bahwa itu tidak makruh, namun disunnahkan untuk tidak makan”.
Syaikh Ali Al-Mulla Al-Qari berkata:
( «وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ» ) : مُوَافَقَةً لِلْفُقَرَاءِ ; لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنْ لَا شَيْءَ لَهُمْ إِلَّا مَا أَطْعَمَهُمُ النَّاسُ مِنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ، وَهُوَ مُتَأَخِّرٌ عَنِ الصَّلَاةِ بِخِلَافِ صَدَقَةِ الْفِطْرِ، فَإِنَّهَا مُتَقَدِّمَةٌ عَلَى الصَّلَاةِ. وَقِيلَ: لِيَكُونَ أَوَّلُ مَا يَطْعَمُ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ ; فَيَكُونَ أَكْلُهُ مَبْنِيًّا عَلَى امْتِثَالِ الْأَمْرِ، سَوَاءٌ قِيلَ بِوُجُوبِهِ أَوْ سُنِّيَّتِهِ. (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَالدَّارِمِيُّ) :. قَالَ ابْنُ الْهُمَامِ: وَرَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ، وَالْحَاكِمُ فِي الْمُسْتَدْرَكِ. وَصَحَّحَ إِسْنَادَهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ بُرَيْدَةَ، وَزَادَ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَأَحْمَدُ: فَيَأْكُلُ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ الْقَطَّانِ فِي كِتَابِهِ، وَصَحَّحَ زِيَادَةَ الدَّارَقُطْنِيِّ أَيْضًا
("Dan dia tidak makan pada hari Idul Adha hingga dia selesai shalat") : Hal ini sesuai dengan keadaan orang-orang fakir; karena tampaknya mereka tidak memiliki apa-apa kecuali apa yang diberikan oleh orang-orang dari daging kurban, yang biasanya dilakukan setelah shalat, berbeda dengan zakat fitrah yang diberikan sebelum shalat.
Dikatakan juga: agar yang pertama kali dimakan adalah dari kurbannya; sehingga makannya didasarkan pada ketaatan perintah, baik itu dianggap wajib maupun sunnah. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Darimi).
(Baca : Mirqat Al-Mafatih Syarh Mishkat Al-Masabih 3/1070).
Al-Mubarokfury berkata :
وَالْحِكْمَةُ مِنْ فِعْلِهِ ﷺ مُوَافَقَتُهُ لِلْفُقَرَاءِ ـ كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أَهْلُ الْعِلْمِ ـ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنْ لَا شَيْءَ لَهُمْ إِلَّا مَا أَطْعَمَهُمُ النَّاسُ مِنْ لُحُومِ الْأَضَاحِي، وَهُوَ مُتَأَخِّرٌ عَنْ الصَّلَاةِ، بِخِلَافِ صَدَقَةِ الْفِطْرِ، فَإِنَّهَا مُتَقَدِّمَةٌ عَنْ الصَّلَاةِ، وَقَدْ ذُكِرَتْ حِكْمَةٌ أُخْرَى وَهِيَ: لِيَكُونَ أَوَّلُ مَا يَطْعَمُ مِنْ أُضْحِيَتِهِ بِأَكْلِهَا شُكْرًا لله تَعَالَى عَلَى مَا أَنْعَمَ بِهِ مِنْ شَرْعِيَّةِ النَّسِيكَةِ الْجَامِعَةِ لِخَيْرِ الدُّنْيَا وَثَوَابِ الْآخِرَةِ، وَامْتِثَالًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ ٱلْبَائِسَ ٱلْفَقِيرَ ٢٨﴾ [الْحَجّ]، سَوَاءٌ قِيلَ بِوُجُوبِهِ أَوْ بِسُنِّيَّتِهِ، وَقَدْ خَصَّصَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابَ تَأْخِيرِ الْأَكْلِ فِي عِيدِ الْأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ بِمَنْ لَهُ ذِبْحٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ إِذْ أَخَّرَ الْفِطْرَ فِي الْأَضْحَى إِنَّمَا أَكَلَ مِنْ ذَبِيحَتِهِ.
Dan hikmah dari perbuatannya ﷺ adalah agar sejalan dengan keadaan orang-orang fakir miskin, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, karena tampaknya mereka para fakir miskin tidak memiliki apa-apa kecuali apa yang diberikan oleh orang-orang dari daging kurban, yang biasanya dilakukan setelah shalat, berbeda dengan zakat fitrah yang diberikan sebelum shalat.
Hikmah lainnya adalah agar pertama kali yang dimakan dari kurbannya adalah sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta'ala atas nikmat disyariatkannya ibadah kurban yang mengandung kebaikan dunia dan pahala akhirat, dan sebagai bentuk ketaatan kepada firman Allah Ta'ala:
" Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir. " [Al-Hajj: 28], baik itu dikatakan wajib atau sunnah.
Sebagian ulama juga menekankan disunnahkannya menunda makan pada hari raya Idul Adha hingga kembali dari tempat penyembelihan, karena Nabi ﷺ menunda sarapan pagi pada hari raya Idul Adha sampai beliau makan dari kurbannya.
[Lihat: «مرعاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح» karya Al-Mubarakfuri (5/45).]
Dari apa yang telah disebutkan, ada dua hal yang diketahui:
Pertama, menahan diri dari makan pada hari Idul Adha sampai menyembelih hewan kurban, dan makan darinya adalah disunnahkan, bukan wajib.
Kedua, hal ini khusus bagi yang berkurban, bukan bagi para anggota keluarganya, sebagaimana yang jelas dari hadis-hadis yang telah disebutkan, dan ini telah disepakati oleh para ulama.
*****
BAGIAN MANA YANG DIMAKAN DULUAN DARI HEWAN KURBAN?
Apakah makan hewan kurban dipermulaan ini berlaku umum, yakni : bagian mana pun dari hewan kurban atau dari hatinya saja ? Dan bagaimana hukumnya mengkhususkan makan hati hewan kurban?
Jawabnya :
Telah disebutkan sunnahnya dalam makan secara umum tanpa penentuan anggota tubuh tertentu dari hewan kurban atau bagian tertentu.
Namun, sebagian para ulama seperti Asy-Syafi'i dalam kitab "Al-Umm" (2/217) dan yang lainnya menganjurkan untuk makan dari hati hewan kurban.
Ini berdasarkan hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu yang berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا كَانَ يَوْمُ الفِطْرِ لَمْ يَخْرُجْ حَتَّى يَأْكُلَ شَيْئًا، وَإِذَا كَانَ الأَضْحَى لَمْ يَأْكُلْ شَيْئًا حَتَّى يَرْجِعَ، وَكَانَ إِذَا رَجَعَ أَكَلَ مِنْ كَبِدِ أُضْحِيَتِهِ»
"Rasulullah ﷺ ketika hari Idul Fitri tidak keluar hingga beliau makan sesuatu, namun ketika hari Idul Adha beliau tidak makan sesuatu hingga kembali, dan ketika beliau kembali, beliau makan dari hati hewan kurbannya."
Hadits ini lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam "As-Sunan Al-Kubra" (6161), dan Adz-Dzahabi menyebutkan dalam "Mizan Al-I'tidal" (3/86) kelemahan salah satu perawinya.
Hadits dengan tambahan makan dari hati kurban ini lemah karena dua sebab:
Pertama, Al-Walid bin Muslim, dia adalah Al-Qurasyi Mawlahum Abu Al-Abbas Ad-Dimasyqi, seorang yang dipercaya tetapi sering melakukan tadlis dan taswiyah [“At-Taqrib” (7506)].
Kedua, Uqbah bin Abdullah Al-Asham Ar-Rifa'i Al-Abdi Al-Basri, dia lemah dan terkadang melakukan tadlis [“At-Taqrib” (4676)].
Al-Albani juga melemahkan tambahan ini sebagaimana dalam "Subul As-Salam" dengan Ta’liqoot-nya (2/200) di mana dia berkata:
«هذه الزيادةُ ضعيفةٌ؛ لأنها مِنْ رواية عقبة بنِ الأصمِّ عن ابنِ بريدة؛ وهو عقبة بنُ عبد الله الأصمِّ: ضعيفٌ، كما في «التقريب»».
"Tambahan ini lemah; karena berasal dari riwayat Uqbah bin Al-Asham dari Ibnu Buraidah; dia adalah Uqbah bin Abdullah Al-Asham: lemah, sebagaimana disebutkan dalam 'At-Taqrib'."
Sementara dalam riwayat Buraidah yang lain yang shahih, maka tanpa ada “HATI”:
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu , dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يُطْعِمَ، وَيَوْمَ النَّحْرِ لَا يَأْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلُ مِنْ نَسِيكَتِهِ.
“Dulu Nabi ﷺ tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga beliau makan sesuatu, sementara pada hari Idul Adha beliau tidak makan hingga beliau kembali lalu makan dari kurbannya."
Diriwayatkan oleh Tirmidzi (542), Ibnu Majah (1756), Ahmad (5/352) dan ad-Darimi 1/375 .
An-Nawawi berkata:
وَأَسَانِيدُهُمْ حَسَنَةٌ فَهُوَ حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَقَالَ الْحَاكِمُ هُوَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ
"Sanad-sanad mereka hasan sehingga hadits ini hasan," dan Al-Hakim berkata: "Hadits ini shahih." [ Baca : Fataawa asy-Syabakah al-Islamiyah 11/2078 no. 13910].
Di Hasankan pula oleh al-Albaani dalam Shahih Fiqhis Sunnah 1/602 .
Namun, anjuran makan dari hati hewan kurban pada khususnya tetap dipraktikkan karena hati merupakan bagian yang paling mudah diambil, cepat matang, dan mudah dicerna.
0 Komentar