PERNIKAHAN UMMU SALAMAH (RA) DENGAN RASULULLAH ﷺ APAKAH DENGAN WALI ?
Di Tulis Oleh Abu haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
====
===
بِسْمِ اللّٰهِ
الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
====****====
HADITS TENTANG PERNIKAHAN UMMU SALAMAH DENGAN NABI ﷺ :
Dari Ummu Salamah, ia
berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ فَلْيَقُلْ إِنَّا لِلَّهِ وَأَنَا
إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ عِنْدَكَ أَحْتَسِبُ مُصِيبَتِي فَأْجُرْنِي فِيهَا
وَأَبْدِلْنِي بِهَا خَيْرًا مِنْهَا" فَلَمَّا مَاتَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُهَا
فَجَعَلْتُ كُلَّمَا بَلَغْتُ: "أَبْدَلَنِي خَيْرًا مِنْهَا" قُلْتُ فِي
نَفْسِي: وَمَنْ خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ فَلَمَّا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بَعَثَ
إِلَيْهَا أَبُو بَكْرٍ يَخْطُبُهَا فَلَمْ تَزَوَّجْهُ ثُمَّ بَعَثَ إِلَيْهَا عُمَرُ
يَخْطُبُهَا فَلَمْ تَزَوَّجْهُ فَبَعَثَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَخْطُبُهَا عَلَيْهِ
قَالَتْ: أخْبِر رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي امْرَأَةٌ غَيْرَى وَأَنِّي امْرَأَةٌ مُصْبِيَةٌ
وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي شَاهِدًا فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: "ارْجِعْ إِلَيْهَا فَقُلْ
لَهَا أَمَّا قَوْلُكِ إِنِّي امْرَأَةٌ غَيْرَى فَأُسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يُذْهِبَ
غَيْرَتَكِ. وَأَمَّا قَوْلُكِ إِنِّي امْرَأَةٌ مُصْبِيَةٌ فَتُكْفَينَ صِبْيَانَكِ.
وَأَمَّا قَوْلُكِ إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِكِ شَاهِدٌ فَلَيْسَ
مِنْ أَوْلِيَائِكِ شَاهِدٌ وَلَا غَائِبٌ يَكْرَهُ ذَلِكَ ". فَقَالَتْ لِابْنِهَا: يَا عُمَرُ قُمْ فَزَوِّجْ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَزَوَّجَهُ "
Rasulullah ﷺ
bersabda, "Barangsiapa yang ditimpa musibah, maka hendaknya ia
mengucapkan: *'Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Allahumma indaka ahtasibu
musibati fa’jurni fiha wa abdilni biha khairan minha'* (Sesungguhnya kami milik
Allah, dan kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, kepadamu aku pasrahkan musibah
ini, berilah aku pahala atas musibah ini, dan gantilah bagiku dengan yang lebih
baik darinya)."
Ketika Abu Salamah
meninggal, Ummu Salamah mengucapkan doa tersebut, namun saat sampai pada bagian
"gantilah aku dengan yang lebih baik darinya," ia berpikir dalam
hatinya, "Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah?" Setelah masa
iddahnya selesai, Abu Bakar datang melamarnya, tapi ia tidak mau menikah dengannya.
Kemudian Umar bin Khattab datang melamarnya, namun ia juga tidak mau menikah dengannya.
Lalu Rasulullah ﷺ mengutus Umar bin Khattab untuk melamarnya bagi Rasulullah ﷺ.
Ummu Salamah berkata,
"Tolong beri tahu
Rasulullah ﷺ
bahwa aku adalah wanita yang pencemburu, seorang ibu yang memiliki anak-anak
kecil, dan tidak ada seorang pun dari wali-waliku yang hadir."
Maka Rasulullah ﷺ berkata, "Kembalilah
kepadanya dan katakan padanya: Adapun soal kecemburuanmu, aku memohon kepada
Allah agar menghilangkannya, dan mengenai anak-anakmu, maka engkau akan mencukupi kebutuhannya, dan mengenai ketidakhadiran walimu, tidak ada
seorang pun dari wali-walimu, baik yang hadir maupun yang tidak, yang menolak
hal ini."
Kemudian Ummu Salamah
berkata kepada putranya, "Wahai Umar, bangunlah dan nikahkan aku dengan
Rasulullah ﷺ."
Maka putranya menikahkannya dengan Rasulullah ﷺ.
[HR. An-Nasa’i dalam al-Kubro no. 10910, Ahmad no. 26697, al-Hakim
2/195 no. 2734, Ibnu Hibban (Shahih Mawarid adz-Dzom’an 1/513 no. 1068 dan
Baihaqi 7/131 .
Di Shahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam
al-Ishobah 8/223 dan al-Albaani dalam Shahih Mawaarid adz-Dzom’aan 1/513 no.
1068. Namun di dho'ifkan oleh al-Albanni dalam al-Irwa 6/219-220.
Ibnu Hajar berkata tentang riwayat ini dalam kitab *Al-Iṣābah* (8/223):
(وَأَخْرَجَ النَّسَائِيُّ أَيْضًا بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ)
"An-Nasā'ī juga
meriwayatkannya dengan sanad yang shahih dari Ummu Salamah". Lalu ia
menyebutkan Hadits tersebut secara lengkap.
Syawkani berkata:
قَدْ أُعِلَّ
بِأَنَّ عُمَرَ الْمَذْكُورَ كَانَ عِنْدَ تَزَوُّجِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - بِأُمِّهِ صَغِيرًا، لَهُ مِنْ الْعُمْرِ سَنَتَانِ؛ لِأَنَّهُ وُلِدَ
فِي الْحَبَشَةِ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنْ الْهِجْرَةِ، وَتَزَوُّجَهُ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِأُمِّهِ كَانَ فِي السَّنَةِ الرَّابِعَةِ قِيلَ: وَأَمَّا
رِوَايَةُ: «قُمْ يَا غُلَامُ فَزَوِّجْ أُمَّكَ» فَلَا أَصْلَ لَهَا
Riwayat ini dianggap
bermasalah karena disebutkan bahwa ‘Umar (putra Ummu Salamah) yang dimaksud, masih kecil ketika Rasulullah ﷺ
menikahi ibunya (Ummu Salamah), usianya baru dua tahun; karena ia dilahirkan di Habasyah pada tahun
kedua hijriah, sementara pernikahan Rasulullah ﷺ dengan ibunya terjadi pada tahun keempat
hijriah.
Ada juga yang mengatakan:
Adapun riwayat "Bangunlah wahai anak muda, dan nikahkan ibumu" tidak
memiliki asal.
---
Lalu Syawkani berkata:
وَقَدْ اسْتَدَلَّ
بِهَذَا الْحَدِيثِ مَنْ قَالَ بِأَنَّ الْوَلَدَ مِنْ جُمْلَةِ الْأَوْلِيَاءِ فِي
النِّكَاحِ وَهُمْ الْجُمْهُورُ .
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ
وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، وَرُوِيَ عَنْ النَّاصِرِ أَنَّ ابْنَ الْمَرْأَةِ إذَا
لَمْ يَجْمَعْهَا وَإِيَّاهُ جَدٌّ فَلَا وِلَايَةَ لَهُ .
وَرُدَّ : بِأَنَّ
الِابْنَ يُسَمَّى عَصَبَةً اتِّفَاقًا، وَبِأَنَّهُ دَاخِلٌ فِي عُمُومِ قَوْله تَعَالَى:
{وَأَنْكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ} [النور: 32] لِأَنَّهُ خِطَابٌ لِلْأَقَارِبِ،
وَأَقْرَبُهُمْ الْأَبْنَاءُ .
وَأَجَابَ عَنْ
هَذَا الرَّدِّ فِي ضَوْءِ النَّهَارِ : بِأَنَّ ظَاهِرَ أَنْكِحُوا، صِحَّةُ عَقْدِ
غَيْرِ الْأَقَارِبِ، وَإِنَّمَا خَصَّصَهُمْ الْإِجْمَاعُ اسْتِنَادًا إلَى الْعَادَةِ،
وَالْمُعْتَادُ إنَّمَا هُوَ غَيْرُ الِابْنِ كَيْفَ وَالِابْنُ مُتَأَخِّرٌ عَنْ التَّزْوِيجِ
فِي الْغَالِبِ وَالْمُطْلَقُ يُقَيَّدُ بِالْعَادَةِ كَمَا عُرِفَ فِي الْأُصُولِ،
وَالْعُمُومُ لَا يَشْمَلُ النَّادِرَ؛ وَلِأَنَّ نِكَاحَ الْعَاقِلَةِ خَاصَّةً مُفَوَّضٌ
إلَى نَظَرِهَا، وَإِنَّمَا الْوَلِيُّ وَكِيلٌ فِي الْحَقِيقَةِ، وَلِهَذَا لَوْ لَمْ
يَمْتَثِلْ الْوَلِيُّ أَمْرَهَا بِالْعَقْدِ لِكُفْءٍ لَصَحَّ تَوْكِيلُهَا غَيْرَهُ،
وَالْوَكَالَةُ لَا تَلْزَمُ لِمُعَيَّنٍ
وَدُفِعَ بِأَنَّ
هَذَا يَسْتَلْزِمُ أَنْ لَا يَبْقَى لِلْوَلِيِّ حَقٌّ وَأَنَّهُ خِلَافُ الْإِجْمَاعِ
وَالتَّحْقِيقُ أَنَّهُ لَيْسَ إلَى نَظَرِ الْمُكَلَّفَةِ إلَّا الرِّضَا وَيُجَابُ
عَنْ دَعْوَى خُرُوجِ الِابْنِ بِالْعَادَةِ بِالْمَنْعِ إنْ أَرَادَ عَدَمَ الْوُقُوعِ،
وَإِنْ أَرَادَ الْغَلَبَةَ فَلَا يَضُرُّنَا وَلَا يَنْفَعُهُ
Hadits ini dijadikan
dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa anak termasuk dalam golongan wali
dalam pernikahan, yaitu jumhur
(mayoritas) para ulama.
Sementara Imam
Syafi’i, Muhammad bin Hasan, dan dinukil dari An-Nashir, mereka berpendapat bahwa
jika anak tersebut tidak terhubung dengan ibunya melalui kakek, maka ia tidak
memiliki hak wali.
Pendapat ini ditolak ; karena anak secara
ijma’ disebut sebagai 'ashobah
(kerabat yang mewarisi), dan ia termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala:
*"Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian"* (QS. An-Nur: 32).
Karena ini merupakan seruan kepada para kerabat, dan kerabat terdekat
adalah anak-anak.
Penolakan ini dijawab : dengan pernyataan
bahwa ayat *"Nikahkanlah"* juga menunjukkan sahnya akad yang
dilakukan oleh orang yang bukan kerabat, namun kerabat diutamakan berdasarkan
ijma’ yang merujuk pada kebiasaan. Kebiasaan menunjukkan bahwa yang biasa
menjadi wali bukanlah anak, apalagi anak biasanya datang setelah proses
pernikahan.
Ketentuan umum diikat
dengan kebiasaan seperti yang dikenal dalam ilmu ushul, dan keumuman ayat tidak
mencakup perkara yang jarang terjadi.
Hal ini juga karena
pernikahan seorang perempuan yang dewasa sepenuhnya dikembalikan pada
persetujuan dirinya, sedangkan wali sebenarnya hanyalah wakil dalam hal ini.
Oleh karena itu, jika wali tidak memenuhi permintaannya untuk menikah dengan
seseorang yang sekufu (setara), sah baginya untuk mewakilkan orang lain untuk
melangsungkan akad nikah, dan perwakilan tersebut tidak harus bersifat wajib
bagi orang tertentu.
Jawaban ini dibantah : dengan argumen bahwa pendapat tersebut
menyebabkan wali tidak memiliki hak sama sekali, dan ini bertentangan dengan
ijma’. Kebenarannya adalah bahwa perempuan dewasa hanya memiliki hak untuk
merestui, sementara wali tetap memiliki hak dalam pernikahan.
Adapun argumen bahwa
anak tidak termasuk dalam kebiasaan adalah tertolak, baik jika yang dimaksud
adalah tidak pernah terjadi, maupun jika yang dimaksudkan bahwa hal tersebut
jarang terjadi, karena hal tersebut tidak merugikan maupun menguntungkan.
---
Lalu Syawkani berkata:
وَمِنْ جُمْلَةِ
مَا أَجَابَ بِهِ الْقَائِلُونَ بِأَنَّهُ لَا وِلَايَةَ لِلِابْنِ أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ
لَا يَصِحُّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ؛ لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
لَا يَفْتَقِرُ فِي نِكَاحِهِ إلَى وَلِيٍّ؛ وَمِنْ جُمْلَةِ مَا يُسْتَدَلُّ بِهِ
عَلَى عَدَمِ وِلَايَةِ الِابْنِ فِي النِّكَاحِ قَوْلُ أُمِّ سَلَمَةَ: " لَيْسَ
أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي شَاهِدًا " مَعَ كَوْنِ ابْنِهَا حَاضِرًا، وَلَمْ يُنْكِرْ
عَلَيْهَا - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ذَلِكَ
Di antara argumen
yang digunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa anak tidak memiliki hak wali
dalam pernikahan adalah Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah, karena
Rasulullah ﷺ
tidak membutuhkan wali dalam pernikahannya.
Salah satu dalil yang
digunakan untuk menunjukkan bahwa anak tidak memiliki hak wali dalam pernikahan
adalah perkataan Ummu Salamah: **Tidak ada seorang pun dari waliku yang hadir**, padahal anaknya
hadir, dan Rasulullah ﷺ tidak mengingkari pernyataannya tersebut.
---
Lalu Syawkani mengutip sebuah hadits :
عَنْ مَعْقِلِ
بْنِ يَسَارٍ قَالَ: كَانَتْ لِي أُخْتٌ تُخْطَبُ إلَيَّ، فَأَتَانِي ابْنُ عَمٍّ لِي
فَأَنْكَحْتُهَا إيَّاهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا طَلَاقًا لَهُ رَجْعَةٌ ثُمَّ تَرَكَهَا
حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا؛ فَلَمَّا خُطِبَتْ إلَيَّ أَتَانِي يَخْطُبُهَا، فَقُلْتُ:
لَا وَاَللَّهِ لَا أُنْكِحُكَهَا أَبَدًا، قَالَ: فَفِي نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ:
{وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ
يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ} [البقرة: 232] الْآيَةَ قَالَ: فَكَفَّرْتُ عَنْ يَمِينِي
وَأَنْكَحْتُهَا إيَّاهُ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ،
وَلَمْ يَذْكُرْ التَّكْفِيرَ وَفِيهِ فِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: وَكَانَ رَجُلًا
لَا بَأْسَ بِهِ، وَكَانَتْ الْمَرْأَةُ تُرِيدُ أَنْ تَرْجِعَ إلَيْهِ وَهُوَ حُجَّةٌ
فِي اعْتِبَارِ الْوَلِيِّ)
Dari Ma'qil bin
Yasar, ia berkata: “Aku memiliki saudari yang dipinang oleh sepupuku, maka aku
menikahkannya dengannya. Kemudian ia menceraikannya dengan talak yang masih
memiliki hak rujuk. Ia membiarkannya sampai masa iddahnya habis. Ketika ia
kembali melamarnya, aku berkata: Demi Allah, aku tidak akan menikahkanmu
dengannya selamanya." Lalu turunlah ayat ini: *"Dan jika kalian
menceraikan istri-istri kalian, kemudian mereka telah sampai pada akhir masa
iddahnya, maka janganlah kalian menghalangi mereka menikah dengan suami-suami
mereka..."* (QS. Al-Baqarah: 232).
Ma'qil berkata:
"Maka aku menebus sumpahku dan menikahkannya kembali dengannya.
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi, dan At-Tirmidzi
mensahihkannya, namun ia tidak menyebutkan penebusan sumpah.
Dalam salah satu
riwayat Al-Bukhari disebutkan: "Dia adalah seorang lelaki yang tidak ada
masalah dengannya, dan perempuan itu ingin kembali kepadanya."
Hadits ini menjadi
hujjah atas pentingnya keberadaan wali dalam pernikahan.
*(Nailul Authar karya
Asy-Syaukani, 6/148-149)*
===*****===
SEKILAS TENTANG BIOGRAFI UMMU SALAMAH (RA):
**Dia adalah Ummu Salamah**, putri dari Abu Umayyah, yang bernama
Suhail bin al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqadhah bin
Murrah bin Ka'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr.
**Ummu Salamah** (Hind binti Abu Umayyah al-Makhzumiyyah) adalah salah
satu istri Nabi Muhammad, dan salah satu dari Ummahatul Mu'minin (Ibu kaum
mukminin).
Dia termasuk orang-orang yang awal memeluk Islam.
Sebelum menikah dengan Rasulullah, dia adalah istri dari Abu Salamah
bin Abdul Asad.
Dia dan suaminya termasuk orang-orang yang ikut hijrah pertama ke
Habasyah (Abyssinia).
Ketika hijrah ke Madinah, keluarganya menahannya agar tidak berhijrah
bersama suaminya, tetapi kemudian mereka melepaskannya, sehingga ia mengambil
anaknya dan pergi. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Utsman bin Thalhah di
daerah Tan'im, yang kemudian membantunya sampai ke Yatsrib (Madinah). Dikatakan
bahwa dia adalah **wanita pertama yang berhijrah ke Habasyah** dan **wanita
pertama yang masuk ke Madinah**.
Setelah wafatnya Abu Salamah, Nabi Muhammad menikahinya.
Ummu Salamah mendampingi Nabi dalam beberapa peperangan. Salah satu
peran pentingnya adalah ketika perjanjian Hudaibiyah. Ketika Nabi mengalami
kesulitan dengan para sahabat yang tidak segera mematuhi instruksinya, Ummu
Salamah menyarankan agar Nabi tidak berbicara dengan siapapun hingga beliau
menyembelih hewan kurbannya dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur
rambutnya. Saran ini terbukti sangat efektif, dan karena itu Ummu Salamah
sering digambarkan sebagai berikut :
**«الرَّأْيِ الصَّائِبِ وَالْعَقْلِ الْبَالِغِ»**
**wanita dengan pandangan yang bijak dan pemikiran yang matang**.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, para sahabat sering bertanya kepadanya
tentang hadis-hadis Nabi. Ummu Salamah meriwayatkan sebanyak **378 hadis**
menurut riwayat dari Baqi bin Makhlad, di mana 13 hadis di antaranya disepakati
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Bukhari sendiri meriwayatkan tiga hadis
darinya, dan Muslim meriwayatkan 13 hadis.
Al-Dzahabi dalam Musnad-nya menyebutkan bahwa ia meriwayatkan sebanyak
**380 hadis**.
Ummu Salamah meriwayatkan hadis langsung dari Nabi Muhammad, serta dari
suaminya Abu Salamah dan Fatimah az-Zahra.
Yang meriwayatkan hadis darinya adalah putra-putrinya: Umar bin Abu
Salamah, Zainab binti Abu Salamah, saudaranya Amir bin Abu Umayyah, keponakannya
Mush'ab bin Abdullah bin Abu Umayyah, serta beberapa sahabat dan tabi'in
lainnya.
Ummu Salamah wafat di Madinah, dan dia adalah **istri Nabi yang terakhir wafat** dari Ummahatul Mu'minin. Dia dimakamkan di pemakaman al-Baqi’.
*****
**Masuk Islam dan Hijrah ke Habasyah**
Ummu Salamah dan suaminya, Abu Salamah, termasuk orang-orang yang awal
memeluk Islam. Ketika Nabi Muhammad melihat penderitaan yang dialami para
sahabatnya akibat penganiayaan dari para pemimpin Quraisy, beliau memerintahkan
mereka untuk berhijrah ke Habasyah (Abyssinia). Maka, Ummu Salamah bersama
suaminya berhijrah ke Habasyah.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dalam kitab "Sirah"-nya sebuah kisah
panjang dari Ummu Salamah tentang hijrah mereka ke Habasyah. Ia berbicara
tentang rasa aman dan stabilitas yang mereka rasakan saat mereka tiba di sana.
Kaum musyrikin Quraisy kemudian mengadakan pertemuan dan memutuskan
untuk mengirim utusan kepada Raja Najasyi (penguasa Habasyah), sambil membawa
hadiah untuknya. Mereka menuduh para sahabat yang berhijrah itu menganut agama
yang salah dan meminta Najasyi untuk mengembalikan mereka kepada keluarga
mereka. Namun, Raja Najasyi tidak mengambil keputusan apapun sebelum memanggil
Ja'far bin Abu Thalib. Ja'far kemudian menjelaskan tentang agama Islam dan
akhlak kaum muslimin kepada Najasyi, dan ia mengakhiri pembicaraannya dengan
membacakan ayat-ayat dari Surat Maryam. Raja Najasyi pun menolak permintaan
Quraisy. Penolakan tersebut disambut dengan kegembiraan oleh para muhajirin
(kaum yang berhijrah). Di sana, Ummu Salamah melahirkan anaknya, yang bernama
Salamah.
*****
**Kembali dari Habasyah ke Makkah**
Ummu Salamah dan suaminya kembali ke Makkah setelah mendengar kabar
bahwa penduduk Makkah telah memeluk Islam. Namun, ketika mereka tiba, mereka
mendapati bahwa Quraisy masih berada dalam keadaan yang sama, dan kabar tentang
Islamnya penduduk Makkah ternyata tidak benar. Tidak ada seorang pun dari
mereka yang berani masuk ke Makkah kecuali dengan meminta perlindungan atau
secara sembunyi-sembunyi. Abu Salamah dan istrinya, Ummu Salamah, memasuki
Makkah dalam perlindungan pamannya, Abu Thalib.
Beberapa pria dari Bani Makhzum mendatangi Abu Thalib dan berkata
kepadanya :
يَا أَبَا طَالِبٍ، لَقَدْ مَنَعْتَ مِنَّا
ابْنَ أَخِيكَ مُحَمَّدًا، فَمَا لَكَ وَلِصَاحِبِنَا تَمْنَعُهُ مِنَّا؟
"Wahai Abu Thalib, engkau telah melindungi keponakanmu, Muhammad,
jadi mengapa engkau juga melindungi orang kami ini (Abu Salamah) dari
kami?"
Abu Thalib menjawab :
«إِنَّهُ اسْتَجَارَ بِي، وَهُوَ ابْنُ أُخْتِي،
وَإِنْ أَنَا لَمْ أَمْنَعْ ابْنَ أُخْتِي لَمْ أَمْنَعْ ابْنَ أَخِي».
"Dia telah meminta perlindungan kepadaku, dan dia adalah anak dari
saudara perempuanku. Jika aku tidak melindungi anak dari saudara perempuanku,
maka aku juga tidak akan melindungi keponakanku."
[Baca : Sirah Ibnu Hisyam 12/15, al-Bidayah wan Nihayah 3/116 dan
ar-Raudhul Unuf 3/212]
Maka, Abu Salamah dan istrinya tinggal di Makkah hingga Abu Thalib
wafat. Setelah kematian Abu Thalib, kaum musyrik mulai menganiaya Nabi Muhammad
dan para pengikutnya dengan cara yang lebih keras daripada yang pernah mereka
lakukan selama hidupnya.
*****
**Hijrahnya ke Madinah**
Nabi Muhammad memerintahkan para pengikutnya untuk berhijrah ke Madinah
sekitar tahun 622 Masehi, karena penganiayaan dan siksaan yang mereka alami
dari para pemimpin Quraisy, terutama setelah wafatnya Abu Thalib. Abu Salamah
dan Ummu Salamah pun berencana untuk berhijrah. Namun, keluarga Ummu Salamah
mencegah Abu Salamah untuk membawanya ke Madinah.
Akhirnya, Abu Salamah berhijrah sendirian. Sementara itu, Bani Abdul
Asad, keluarga Abu Salamah, mengambil anak mereka, Salamah, dari Ummu Salamah.
Ummu Salamah pun merasa sangat sedih dan terus-menerus menangis karena
kehilangan suami dan anaknya, hingga akhirnya keluarganya merasa kasihan
padanya dan membiarkannya pergi menyusul suaminya ke Yatsrib (Madinah), bersama
anaknya Salamah.
Ummu Salamah berangkat dengan anaknya untuk hijrah ke Yatsrib tanpa ada
yang menemani. Dalam perjalanan, Utsman bin Thalhah melihatnya dan bertanya
tentang tujuannya. Ketika Ummu Salamah menjelaskan bahwa ia menuju Yatsrib,
Utsman memegang tali untanya dan menuntunnya hingga ke pinggiran Madinah, lalu
kembali pulang.
Di Madinah, Ummu Salamah melahirkan tiga anak: Durrah, Umar, dan
Zainab. Menurut beberapa riwayat, anaknya yang bernama Salamah lahir di
Habasyah. Namun, ada juga riwayat lain yang menyebutkan bahwa ia melahirkan
semua anaknya di Habasyah.
Imam Malik meriwayatkan bahwa Ummu Salamah dan Ummu Habibah berhijrah
ke Habasyah, kemudian Ummu Salamah berhijrah ke Madinah yang dimuliakan Allah
dengan kehormatan.
Dalam perjalanan, seorang pria musyrik menemaninya. Ia beristirahat di
dekatnya ketika mereka berhenti, berjalan bersamanya ketika mereka melanjutkan
perjalanan, dan menyiapkan untanya. Namun, ia menjauh ketika Ummu Salamah
menaiki unta. Ketika pria itu melihat pohon kurma di Madinah, ia berkata
kepadanya, "Inilah tanah yang kau tuju," lalu ia mengucapkan salam
kepadanya dan kembali pulang. Menurut riwayat dari Muhammad bin Dhahhak dari
ayahnya, pria tersebut adalah Utsman bin Thalhah.
Berikut ini Kisah
Hijrahnya Ummu Salamah dari Mekkah ke Madinah dengan pria yang masih musyrik
yang bukan mahram karena dalam kondisi darurat :
Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berkata:
" Maka aku mengambil untaku dan kemudian mengambil anakku
dan meletakkannya di pangkuan aku, kemudian aku bergerak pergi menuju suamiku
yang sudah berada di Madinah.
Dia berkata : Aku tidak memiliki siapa pun dari makhluk Allah.
Dia berkata : Maka aku berkata: "Apakah aku harus memberitahu pada
orang yang aku temui di jalan agar dia mau mengantarkan aku ke suamiku".
Sehingga ketika aku tiba di at-Tan'iim , aku bertemu 'Utsman bin Thalhah bin
Abi Thalhah , saudara Bani Abdi ad-Daar [ saat itu dia masih musyrik ]
Dia berkata kepadaku: Kamu mau pergi kemana , hai putri Abu Umayyah?
Dia berkata: Aku berkata: Aku mau pergi ke suami aku di Madinah .
'Utsman bin Thalhah berkata: Apakah ada orang bersamamu?
Dia berkata: Aku berkata: Tidak ada , demi Allah , kecuali Allah dan
anak ini .
'Utsman bin Thalhah : Demi Allah, kamu tidak akan diterlantarkan.
Lalu dia mengambil tali kekang unta itu dan beranjak pergi bersamaku
dan membimbing perjalananku. Demi Allah, aku tidak pernah menemani laki-laki
dari Arab dalam perjalanan , yang saya lihat lebih terhormat darinya .
Ketika sampai di tempat persinggahan untuk istirahat ; maka dia
menambatkan tali kekang untaku, lalu dia mundur kebelakang menjauh dariku .
Sehingga ketika aku sudah selesai istirahat dan hendak melanjutkan perjalanan,
maka dia mendekatkan untaku , lalu merendahkan punggung unta dan mengikatnya di
pohon.
Kemudian ketika unta sudah bersandar , maka Utsman berkata : Naik lah !
.
Lalu ketika saya telah naik dan menunggangi unta saya, dia datang dan
mengambil tali kekangnya dan menuntunnya hingga sampai bersamaku di sebuah
persinggahan berikutnya . Dan dia terus melakukan hal ini padaku, hingga dia
membawaku tiba di Madinah .....".
[ Lihat : السيرة النبوية karya Ibnu Hisyam1/469, 470,
عيون الأثر karya Ibnu Sayyid an-Nas
1/200, تاريخ
الإسلام
karya al-Dzahabi 1/312, البداية
والنهاية karya Ibn Kathir 3/208, dan الإصابة karya Ibnu Hajar 8/404, 405 ]
Akram Dhiyaa Al-'Amri berkata:
مِن رِوَايَةِ ابْنِ إِسْحَاقَ بِإِسْنَادٍ
صَالِحٍ لِلِاعْتِبَارِ، فِيهِ سَلْمَةُ بْنُ عَبْدِ اللّٰهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ أَبِي
سَلْمَةَ مَقْبُولٌ، وَقَدْ تَفَرَّدَ بِتَوْثِيقِهِ ابْنُ حِبَّانَ.
Dari riwayat Ibnu Ishaq dengan sanad yang shalih untuk i'tibaar , di
mana Salamah bin Abdullah bin Umar bin Abi Salama dapat diterima [مقبول], dan Ibnu Hibban mentautsiq secara tunggal . [ Baca : السيرة النبوية الصحيحة 1/204 ] .
Ibrahim Al-'Ali berkata:
مِن طَرِيقِ ابْنِ إِسْحَاقَ وَقَدْ صَرَّحَ
بِالسَّمَاعِ، وَسَنْدُهُ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ، فَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ.
Dari jalur Ibnu Ishaq, dan dia berterus terang mendengar langsung, dan
sanadnya para perawinya dapat dipercaya, maka hadits itu shahih. [ Baca : صحيح السيرة النبوية hal. 117 ]
*****
**Wafatnya Suaminya, Abu Salamah**
Menurut Mus'ab al-Zubairi, Abu Salamah wafat setelah Perang Uhud pada
tahun 4 Hijriah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia wafat pada bulan Jumadil
Akhir tahun 3 Hijriah.
Ibnu Abdil Barr menyebutkan bahwa Abu Salamah wafat setelah Perang
Badar pada tahun 2 Hijriah, sementara Ibnu Ishaq menyatakan bahwa ia wafat
setelah Perang Uhud.
Menurut Abu Bakar bin Zanjawiyah, Abu Salamah wafat pada tahun 4
Hijriah setelah kembali dari Perang Uhud. Lukanya yang ia dapatkan dalam perang
tersebut kembali terbuka, dan ia wafat karenanya. Rasulullah menghadiri
jenazahnya.
Ibnu Sa'ad juga menyatakan bahwa Abu Salamah ikut serta dalam Perang
Badar dan Perang Uhud, di mana ia terluka. Kemudian, Nabi Muhammad mengirimnya
dalam misi ke Bani Asad pada bulan Shafar tahun 4 Hijriah. Setelah kembali dari
misi tersebut, lukanya kembali terbuka, dan ia wafat pada bulan Jumadil Akhir.
Setelah wafatnya suaminya, Ummu Salamah tidak memiliki kerabat di
Madinah selain anak-anaknya yang masih kecil, yang digambarkan seperti anak
burung yang baru tumbuh bulunya. Kaum muslimin sangat berduka atas musibah yang
menimpanya, dan mereka memberinya gelar :
**"أَيِّمِ العَرَب"**.
**"Ayyim al-Arab"** (janda bangsa Arab).
Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ia berkata : "Aku mendengar
Rasulullah ﷺ bersabda:
**«إِذَا حَضَرْتُمُ الْمَرِيضَ فَقُولُوا خَيْرًا،
فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ»**، فَلَمَّا مَاتَ أَبُو
سَلَمَةَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ أَقُولُ؟ قَالَ: **«قُولِي: اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لَنَا وَلَهُ، وَأَعْقِبْنِي مِنْهُ عُقْبَى حَسَنَةً»**، فَأَعْقَبَنِي اللَّهُ
مِنْهُ مُحَمَّدًا ﷺ.
**'Jika kalian berada di dekat orang yang sakit atau meninggal,
ucapkanlah kata-kata yang baik, karena para malaikat mengaminkan apa yang
kalian ucapkan.'** Ketika Abu Salamah wafat, aku bertanya, 'Wahai Rasulullah,
apa yang harus aku ucapkan?' Beliau bersabda, **'Ucapkanlah: Ya Allah,
ampunilah kami dan dia, dan gantikanlah bagiku dari dirinya pengganti yang
lebih baik.'** Maka Allah menggantikan bagiku dari dirinya dengan (suami) yang
lebih baik, yaitu Nabi Muhammad ﷺ."
*****
**Pernikahan Ummu Salamah dengan Nabi Muhammad ﷺ**
Setelah masa iddah dari kematian suaminya, Abu Salamah, selesai, Abu
Bakar melamar Ummu Salamah, tetapi ia menolak. Kemudian Umar bin Khattab
melamarnya, namun juga ditolak. Setelah itu, Nabi Muhammad ﷺ melamarnya, dan Ummu Salamah pun menerima lamaran tersebut.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu pernikahannya dengan Nabi.
Menurut Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna, Nabi menikahinya sebelum
Perang Badar pada tahun 2 H, seperti yang diriwayatkan:
«تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَبْلَ وَقْعَةِ
بَدْرٍ فِي سَنَةِ اثْنَتَيْنِ مِنَ التَّارِيخِ أُمَّ سَلَمَةَ، وَاسْمُهَا هِنْدُ
بِنْتُ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ مَخْزُومٍ».
"Rasulullah ﷺ menikahi Ummu Salamah
sebelum Perang Badar pada tahun kedua hijriah, dan namanya adalah Hindun binti
Abi Umayyah bin al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum."
Ibn Katsir dan yang lainnya menyebutkan :
أنَّ رَسُولَ اللهِ دَخَلَ بِهَا فِي
شَوَّالَ سَنَةِ 2 هـ بَعْدَ وَقْعَةِ بَدْرٍ.
bahwa Rasulullah ﷺ masuk ke rumahnya pada bulan
Syawwal tahun 2 H setelah Perang Badar.
Al-Mizzi dalam karyanya *Tahdzib* juga mencatat :
أَنَّ النَّبِيَّ تَزَوَّجَهَا سَنَةَ
2 هـ وَبَنَى بِهَا فِي شَوَّالَ، وقِيلَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ
الأَحْزَابِ سَنَةَ 3 هـ.
bahwa Nabi menikahinya pada tahun 2 H dan membangun rumah tangga
dengannya pada bulan Syawwal. Pendapat lain menyebutkan bahwa Nabi menikahinya
sebelum Perang Khandaq pada tahun 3 H.
Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan :
«إنما تَزَوَّجَهَا النَّبِيُّ سَنَةَ أَرْبَعٍ عَلَى الصَّحِيحِ، وَيُقَالُ سَنَةَ ثَلاثٍ... وَحَلَّتْ أُمُّ سَلَمَةَ فِي شَوَّالَ سَنَةَ أَرْبَعٍ، وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ خَلِيفَةُ بْنُ خِيَاطٍ وَالْوَاقِدِيُّ...»
"Nabi menikahinya pada tahun 4 H, yang lebih shahih, namun ada
yang mengatakan pada tahun 3 H... Ummu Salamah resmi menjadi istri Nabi pada
bulan Syawwal tahun 4 H, seperti yang disebutkan oleh Khalifah bin Khayyat dan
al-Waqidi."
Ibnu Hajar juga menyebutkan :
«فَتَزَوَّجَهَا النَّبِيُّ فِي جُمَادَى الآخِرَةِ سَنَةَ أَرْبَعٍ، وَقِيلَ سَنَةَ ثَلاثٍ».
bahwa Nabi menikahinya pada bulan Jumadil Akhirah tahun 4 H, meskipun
ada yang mengatakan tahun 3 H.
Ibnu al-Mulaqqin mengatakan :
«تَزَوَّجَهَا فِي شَوَّالَ سَنَةَ اثْنَيْنِ
مِنَ الْهِجْرَةِ بَعْدَ وَقْعَةِ بَدْرٍ وَبَنَى بِهَا فِي شَوَّالَ، وَكَانَتْ قَبْلَهُ
عِندَ أَبِي سَلَمَةَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْأَسَدِ وَالدِّ [عُمَرِ] بْنِ
أَبِي سَلَمَةَ، كَذَا قَالَ أَبُو عُمَرَ وَغَيْرُهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَهَا سَنَةَ
اثْنَيْنِ، وَفِي كِتَابِ ابْنِ الْأَثِيرِ: سَنَةَ ثَلاثٍ، وَفِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ
أَبَا سَلَمَةَ شَهِدَ بَدْرًا سَنَةَ اثْنَيْنِ وَمَاتَ سَنَةَ ثَلاثٍ أَوْ أَرْبَعٍ
لَا جَرَمَ، قَالَ خَلِيفَةُ وَغَيْرُهُ: تَزَوَّجَهَا سَنَةَ أَرْبَعٍ، وَإِنَّمَا
الَّتِي بُنِيَ بِهَا فِي شَوَّالَ عَائِشَةُ، ثُمَّ تَزَوَّجَ بَعْدَهَا حَفْصَةَ
سَنَةَ ثَلاثٍ، وَوَقَعَ فِي الْمُسْتَدْرَكِ لِلْحَاكِمِ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ أَنَّهُ
تَزَوَّجَهَا سَنَةَ [اثْنَيْنِ] قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ، وَصَوَابُهُ [بَعْدَ]».[42]
bahwa Nabi menikahi Ummu Salamah pada bulan Syawwal tahun kedua hijriah
setelah Perang Badar dan membangun rumah tangga dengannya pada bulan Syawwal.
Sebelumnya, Ummu Salamah adalah istri Abu Salamah, Abdullah bin Abdul Asad,
ayah dari Umar bin Abi Salamah.
Menurut Abu Umar dan yang lainnya, Nabi menikahinya pada tahun kedua.
Namun, dalam kitab Ibnu Atsir disebutkan bahwa Nabi menikahinya pada tahun
ketiga, yang diragukan karena Abu Salamah ikut serta dalam Perang Badar pada
tahun kedua dan meninggal pada tahun ketiga atau keempat. Karena itulah
Khalifah bin Khayyat dan yang lainnya mengatakan Nabi menikahinya pada tahun
keempat.
Adapun yang dinikahi pada bulan Syawal adalah Aisyah, kemudian setelah
itu Nabi ﷺ menikahi Hafshah pada tahun ketiga.
Hakim dalam kitab *Al-Mustadrak* menyebutkan bahwa Nabi menikahi Ummu
Salamah pada tahun kedua sebelum Perang Badar, tetapi yang benar adalah
setelahnya”.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ masuk ke rumah Ummu Salamah setelah kematian Zainab binti
Khuzaymah, Ummul Mukminin lainnya.
MAS KAWIN (MAHAR) :
Mengenai mas kawinnya, sebagian riwayat menyebutkan bahwa mahar
istri-istri Nabi disamakan, yaitu 400 dirham. Beberapa sumber menyatakan bahwa
mahar Ummu Salamah sebesar 400 dinar, yang diberikan oleh Najasyi, Raja
Habasyah.
Ibnu Hisyam mencatat bahwa Rasulullah ﷺ memberikan mahar berupa
tempat tidur yang isinya serabut, sebuah bejana, dan cangkir.
Az-Zubair bin Bakkar dalam bukunya *Al-Muntakhab min Kitab Azwaj
an-Nabi ﷺ* menyebutkan : bahwa Rasulullah ﷺ memberinya cangkir besar,
tempat tidur berisi serabut, dan sebuah alat penggiling.
Riwayat dari Anas menyebutkan bahwa Nabi menikahi Ummu Salamah dengan
pemberian berupa peralatan yang bernilai 10 dirham.
Dalam *Musnad Ahmad*, dari Umar bin Abi Salamah diriwayatkan :
«إنَّ أُمَّ سَلَمَةَ لَمَّا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا،
خَطَبَهَا أَبُو بَكْرٍ، فَرَدَّتْهُ، ثُمَّ عُمَرُ، فَرَدَّتْهُ. فَبَعَثَ إِلَيْهَا
رَسُولُ اللهِ، فَقَالَتْ: مَرْحَبًا، أَخْبِرْ رَسُولَ اللهِ أَنِّي غَيْرَى، وَأَنِّي
مُصْبِيَةٌ (أَيِ ذَاتُ صِبْيَةٍ صِغَارٍ)، وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي شَاهِدًا.
فَبَعَثَ إِلَيْهَا: (أَمَّا قَوْلُكِ: إِنِّي مُصْبِيَةٌ؛ فَإِنَّ اللهَ سَيَكْفِيْكِ
صِبْيَانَكِ، وَأَمَّا قَوْلُكِ: إِنِّي غَيْرَى، فَسَأَدْعُو اللهَ أَنْ يُذْهِبَ
غَيْرَتَكِ، وَأَمَّا الأَوْلِيَاءُ؛ فَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْهُم إِلَّا سَيَرْضَى بِي)....».
bahwa setelah Ummu Salamah
selesai dari masa iddah-nya, Abu Bakar melamarnya, tetapi ia menolak. Kemudian
Umar melamarnya, tetapi ia juga menolaknya. Lalu Rasulullah ﷺ mengirim utusan untuk melamarnya. Ummu Salamah berkata,
"Aku menyambut baik, tetapi sampaikan kepada Rasulullah ﷺ bahwa aku ini cemburu, aku punya anak kecil, dan tidak ada
seorangpun dari waliku yang hadir." Rasulullah ﷺ mengirim pesan kepadanya,
"Adapun mengenai anak-anakmu, Allah akan mencukupi mereka. Mengenai
kecemburuanmu, aku akan berdoa kepada Allah agar menghilangkan rasa cemburumu.
Dan mengenai wali-walimu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang akan
menolak aku."
[HR. Ibnu Sa'd (8/90), Ahmad (6/313, 314, 317), dan al-Nasai (6/81, 82)
dalam bab pernikahan: 'Bab Mengawinkan Anak untuk Ibu-Nya'. Sanadnya shahih
seperti yang dikatakan oleh al-Hafizh dalam 'Al-Ishabah' (13/223), serta
diperkuat oleh Ibn Hibban (1282) dan al-Hakim (4/17), dan disepakati oleh
al-Dzahabi]."
Anas bin Malik meriwayatkan :
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ -ﷺ- لَمَّا تَزَوَّجَ أُمَّ
سَلَمَةَ أَمَرَ بالنِّطَعِ فَبُسِطَ، ثُمَّ أَلْقَى عَلَيْهِ تَمْرًا وَسَوِيقًا فَدَعَا
النَّاسَ فَأَكَلُوا».
bahwa Rasulullah ﷺ mengadakan walimah atas
pernikahannya dengan Ummu Salamah dengan menyediakan kurma dan samin. Dalam
riwayat lain dari Anas juga disebutkan bahwa setelah Nabi menikahi Ummu
Salamah, beliau menggelar selembar kulit dan menyajikan kurma serta bubur
gandum, lalu mengundang orang-orang untuk makan bersama.
[HR. Al-Baihaqi no. 14628 dan Ibnu ‘Aidy dalam al-Kamil 2/189.
Al-Baihaqi 14/568-569 berkata :
وَلَيْسَ هَذَا بِقَوِيٍّ بَكْرُ بْنُ
خُنَيْسٍ تَكَلَّمُوا فِيهِ وَحَدِيثُ الْبَكَّائِيِّ أَيْضًا غَيْرُ قَوِيٍّ وَرُوِيَ
ذَلِكَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا وَلَيْسَ بِشَيْءٍ
"Dan ini tidak kuat, Bakar bin Khunais diperbincangkan tentang
dirinya oleh para ahli hadits, dan hadis al-Bakkā'ī juga tidak kuat. Hal itu diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan sanad
yang marfu', akan tetapi itu tidak memiliki nilai."
Dan Ibnu al-Mulaqqin dalam al-Badrul Munir 8/15 berkata :
قلت: اخْتلف قَول ابْن معِين فِيهِ، وضعَّفه
النَّسَائِيّ وَالدَّارَقُطْنِيّ وغيرُهما، وحسَّن لَهُ الترمذيُّ حديثَ: «عَلَيْكُم
بِقِيَام اللَّيْل»
"Aku katakan: Pendapat Ibn Ma'in tentangnya berbeda-beda; al-Nasai
dan al-Daraqutni serta yang lainnya melemahkannya, sementara al-Tirmidhi
menghasankan hadis: 'Hendaklah kalian melaksanakan qiyam al-lail.'"
Ummu Salamah memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Nabi.
Diriwayatkan :
أَنَّ
النَّجَاشِيَّ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ حُلَّةً وَأَوَاقٍ مِن مِسْكٍ، فَأَعْطَى كُلَّ
امْرَأَةٍ مِن نِسَائِهِ أَوْقِيَةَ مِسْكٍ، وَأَعْطَى أُمَّ سَلَمَةَ بَقِيَّةَ المِسْكِ
وَالحُلَّةَ
bahwa Najasyi, Raja Habasyah, pernah menghadiahkan kepada Nabi selembar
pakaian sutra dan beberapa bungkus kesturi. Nabi kemudian memberikan setiap
istrinya satu bungkus kesturi dan memberikan pakaian sutra beserta sisa kesturi
kepada Ummu Salamah.
["HR. Ahmad dalam Musnad (45/247, no. 27276), al-Thabrani
(25/81, 205, 206), al-Tahawi dalam Syarh al-Mushkil (1/323, 347), dan al-Hakim
(2/188).
Al-Hakim mengatakan: 'Sanadnya sahih, tetapi keduanya tidak
mengeluarkannya.'
Al-Dzahabi membantahnya dengan mengatakan: 'Hadis ini tidak kuat, dan
Muslim al-Zanji adalah lemah.'
Al-Haythami dalam Majma' (4/150) setelah merujuk kepada Ahmad dan
al-Thabrani, mengatakan:
'Di dalamnya ada Muslim bin Khalid, yang dianggap tsiqah oleh Ibn Ma'in
dan lainnya, namun dikhawatirkan oleh sebagian ulama. Dan Umm Musa bin Uqbah,
saya tidak mengenalnya, sedangkan sisa perawinya adalah perawi-perawi sahih.'
Al-Hafidz Ibnu Hajar menghasankan sanadnya dalam Fathul Bari (5/222),
akan tetapi Syaikh Shu'aib melemahkannya karena buruknya hafalan Muslim dan
ketidaktahuan tentang Umm Musa. [ Baca : Hamisy Tahqiq al-Musnad 45/247 no.
27276].
Ibn Hajar dalam Al-Ishabah 8/462 mengatakan:
وَفِي سِيَاقِهِ مَا يَدُلُّ عَلَى الْمُرَادِ
بِقَوْلِهِ "فَهِيَ لَكَ" هِيَ الْحُلَّةُ لَا الْهَدِيَّةُ، وَبِذَلِكَ
يُجَابُ مَنِ استَشْكَلَ قَوْلَهُ "فَهِيَ لَكَ" ثُمَّ قَسَمَ الْمُسْكَ
بَيْنَ نِسَائِهِ.
'Dalam konteks ini terdapat indikasi tentang maksud dari ucapan 'maka
itu untukmu,' yaitu harta tersebut, bukan hadiah, sehingga dapat dijawab bagi
siapa yang merasa bingung dengan ucapan 'maka itu untukmu,' lalu ia membagi
musk tersebut di antara para istrinya.']
Diriwayatkan pula bahwa Aisyah berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا صَلَّى
الْعَصْرَ دَخَلَ عَلَى نِسَائِهِ وَاحِدَةً وَاحِدَةً، يَبْدَأُ بِأُمِّ سَلَمَةَ
لِأَنَّهَا أَكْبَرُهُنَّ، وَيَخْتِمُ بِعَائِشَةَ.
"Jika Nabi selesai melaksanakan shalat Ashar, beliau biasanya
mengunjungi istri-istrinya satu per satu, dimulai dari Ummu Salamah karena ia
adalah yang tertua di antara mereka, dan terakhir mendatangi aku
(Aisyah)."
[Baca : Subulul Huda wa ar-Rosyad 11/170 dan Samthun Nujum al-‘Awali
1/458].
0 Komentar