Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

RAMBUT DIKEPANG. APAKAH DISUNNAH-KAN BAGI PRIA MUSLIM MEMANJANGKAN RAMBUT, LALU MENGKEPANG-NYA?

 APAKAH DISUNNAH-KAN BAGI PRIA MUSLIM MEMANJANGKAN RAMBUTNYA LALU MENGKEPANGNYA? APAKAH IA MENDAPAT PAHALA KARENANYA?

Di tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

===


===

DAFTAR ISI :

  • RASULULLAH MENGEPANG RAMBUTNYA MENJADI 4 JALINAN, KETIKA TELAH TUMBUH PANJANG.
  • PANJANGNYA RAMBUT RASULULLAH :
  •  (MUFRODAT / ARTI KATA-KATA):
  • BEBERAPA VARIASI PANJANG PENDEK RAMBUT RASULULLAH :
  • APAKAH DISUNNAH-KAN BAGI PRIA MUSLIM MEMANJANGKAN RAMBUTNYA LALU MENGEPANGNYA? APAKAH IA MENDAPAT PAHALA KARENANYA?
  • HUKUM MENGIKAT RAMBUT DIBELAKANG BAGI LAKI-LAKI SAAT SHALAT**

===*****===

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

===*****===

RASULULLAH MENGEPANG RAMBUTNYA MENJADI 4 JALINAN, KETIKA TELAH TUMBUH PANJANG.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعُ ضَفَائِرَ فِي رَأْسِهِ

Rasulullah memiliki empat kepang di rambut kepalanya.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Mu’jam Ash-Shaghir* (1006). Al-Haitsami dalam *Majma’ Az-Zawaid* 8/281 no. 14044 berkata: “Para perawinya terpercaya.”

[Lihat pula : Aniis as-Saari oleh Abu Hudzaifah al-Kuwaity 5/3179 ]

Dari Ummu Hani Fakhitah binti Abu Thalib radhiyallahu ‘anha, dia berkata :

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَهُ أَرْبَعُ غَدَائِرَ.

“Aku melihat Rasulullah dan beliau memiliki empat kepang.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ هَانِئٍ قَالَتْ: فَذَكَرَهُ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ.

“Abu Dawud dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Ummu Hani’, ia berkata: dan menyebutkannya. Para perawinya terpercaya” (*Fath al-Bari* 7/381).

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (1/429), Ishaq dalam *Musnad*-nya (2121), Ibnu Abi Syaibah (8/447 dan 14/493), Ahmad (6/341 dan 425), Abu Dawud (4191), Ibnu Majah (3631), At-Tirmidzi (1781) dan dalam *Asy-Syamail* (27), serta dalam *Al-‘Ilal* (2/750), Al-Fakihi dalam *Akhbar Makkah* (1921), Ath-Thabrani dalam *Al-Mu’jam Al-Kabir* (24/429), Al-Baihaqi dalam *Dala’il* (1/224), Al-Baghawi dalam *Asy-Syamail* (1079), serta dalam *Syarh As-Sunnah* (3184) dari jalur Sufyan bin ‘Uyainah.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (1/429), Ahmad (6/425), At-Tirmidzi (4/246) dalam *Asy-Syamail* (30), At-Thabari dalam *Tarikh*-nya (3/183), serta Ath-Thabrani dalam *Al-Mu’jam Al-Kabir* (24/429).

Dalam lafadz riwayat lain dari Ummu Hani, dia berkata  :

دَخَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ وَلَهُ أَرْبَعُ غَدَائِرَ تَعْنِي ضَفَائِرَ.

“Rasulullah memasuki Makkah dengan memiliki empat kepang rambut, yang berarti empat jalinan rambut”. [Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4191), at-Tirmidzi (1781), Ibnu Majah (3631), dan Ahmad (26890) dengan sedikit perbedaan.

Di hukumi Hasan oleh Ibnu Hajar dalam Hidayatur Ruwaah 4/238 dan dihukumi shahih oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2942]

Makna **Ghadair (الغَدَائِرُ)** adalah kepangan rambut kepala (الضَّفَائِرُ).

Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :

إنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا طَالَ شَعْرُهُ لِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ: ضَفَرَهُ أَرْبَعَ ضَفَائِرَ، وَذَلِكَ عَلَى عَادَةِ الْعَرَبِ، وَذَلِكَ بِرَدِّهِ إِلَى الْخَلْفِ، ثُمَّ يَجْعَلُهُ خِصَالًا، ثُمَّ يَنْسِجُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فَتْلًا، حَتَّى تَصِيرَ أَرْبَعَ ضَفَائِرَ.

Sesungguhnya Nabi ketika rambut beliau tumbuh panjang ; karena perjalanan safar atau alasan lain, maka beliau akan mengepangnya menjadi empat kepangan, sesuai dengan kebiasaan orang Arab pada saat itu. Beliau akan menata rambutnya ke belakang, lalu membaginya menjadi beberapa helai, memelintirnya, dan membentuknya menjadi empat kepangan. [Fatwa Islamqa no. 240084].


===*****===

PANJANGNYA RAMBUT RASULULLAH :

Al-Bukhari (3551) dan Muslim (2337) meriwayatkan bahwa al-Bara’ berkata:

" كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ"

“Rasulullah adalah seorang pria yang memiliki tinggi badan sedang, dengan jarak yang jauh antara kedua bahunya (lebar bahunya), dan rambutnya yang lebat menjuntai hingga ke cuping telinganya.”

Menurut lafadz yang diriwayatkan oleh Muslim: Dari Al Barra`, dia berkata;

" مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِي لِمَّةٍ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ شَعْرٌ يَضْرِبُ مَنْكِبَيْهِ بَعِيدُ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ لَمْ يَكُنْ بِالْقَصِيرِ وَلَا بِالطَّوِيلِ " .

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang rambutnya terjuntai lebih bagus di saat mengenakan pakaian berwarna merah dari pada Rasulullah , beliau memiliki rambut (yang panjangnya) mendekati kedua pundak beliau, tidak panjang dan tidak pendek.”

Abu Isa berkata; “Hadits ini derajatnya hasan shahih.”

Al-Bukhari (5903) dan Muslim (2338) meriwayatkan dari Anas :

" أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَضْرِبُ شَعَرُهُ مَنْكِبَيْهِ ".

“Bahwa Rasulullah memiliki rambut yang menjuntai hingga kedua bahunya.”

Abu Dawud (4187) meriwayatkan bahwa ‘Aisyah berkata:

" كَانَ شَعْرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوْقَ الْوَفْرَةِ، وَدُونَ الْجُمَّةِ " .

“Rambut Rasulullah panjngnya diatas wafrah dibawah al-Jummah.” Yakni : menjuntai hingga dibawah cuping telinga, namun diatas dua bahu.

Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam *Sahih Abi Dawud*.

*Wafrah* adalah rambut kepala yang mencapai cuping telinga.

**Jummah**: rambut kepala yang menjuntai hingga dua bahu. *Jummah* lebih panjang dari *Wafrah*.

Al-Mannaawi (rahimahullah) berkata:

قَالَ أَبُو شَامَةَ: وَقَدْ دَلَّتْ صِحَاحُ الْأَخْبَارِ عَلَى أَنَّ شَعْرَهُ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ، وَفِي رِوَايَةٍ يَبْلُغُ شَحْمَةَ أُذُنَيْهِ، وَفِي أُخْرَى بَيْنَ أُذُنَيْهِ وَعَاتِقِهِ، وَفِي أُخْرَى يَضْرِبُ مَنْكِبَيْهِ، وَلَمْ يَبْلُغْنَا فِي طُولِهِ أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ، وَهَذَا الْاخْتِلَافُ بِاعْتِبَارِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِ، فَرَوَى فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الْمُتَعَدِّدَةِ، بَعْدَمَا كَانَ حَلْقُهُ فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ.

Abu Syaamah mengatakan: Riwayat-riwayat sahih menunjukkan bahwa rambut beliau mencapai setengah telinga. Dan menurut satu riwayat, rambutnya mencapai ujung daun telinga (cuping). Dan menurut riwayat lain rambutnya berada di antara cuping telinga dan pundaknya, atau sampai di pundaknya.

Tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa rambutnya pernah lebih panjang dari itu, dan perbedaan ini mencerminkan perbedaan keadaan. Riwayat-riwayat ini mencerminkan keadaan yang berbeda, dan beliau mencukur kepalanya ketika haji atau umrah. [Selesai kutipan dari *Faydh al-Qadiir* (5/74)].

Al-Hafiz Ibn Hajar (rahimahullah) berkata:

وَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْحَدِيثُ مِنْ كَوْنِ شَعْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِلَى قُرْبِ مَنْكِبَيْهِ كَانَ غَالِبَ أَحْوَالِهِ، وَكَانَ رُبَّمَا طَالَ حَتَّى يُصِيرَ ذُؤَابَةً، وَيُتَّخَذُ مِنْهُ عُقَاصٍ وَضَفَائِرَ، وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى الْحَالِ الَّتِي يُبْعِدُ عَهْدُهُ بِتَعَهُّدِ شَعْرِهِ فِيهَا، وَهِيَ حَالَةُ الشُّغْلِ بِالسَّفَرِ وَنَحْوِهِ."انتهى"

Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini adalah bahwa rambut Nabi umumnya hampir sepanjang pundak, dan kadang-kadang bisa menjadi begitu panjang sehingga beliau mengepangnya. Hal ini dipahami terjadi ketika beliau sibuk atau sedang dalam perjalanan, sehingga kurang memperhatikan rambutnya. [Selesai kutipan dari *Fath al-Bari* (10/360)].

Dan Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

وَكَانَ شَعَرُهُ صلى الله عليه وسلم فَوْقَ الْجُمَّةِ ، وَدُونَ الْوَفْرَةِ، وَكَانَتْ جُمَّتُهُ تَضْرِبُ شَحْمَةَ أُذُنَيْهِ ، وَإِذَا طَالَ جَعَلَهُ غَدَائِرَ أَرْبَعًا، قَالَتْ أم هانئ: ( قَدِمَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ قَدْمَةً وَلَهُ أَرْبَعُ غَدَائِرَ ) ، وَالْغَدَائِرُ الضَّفَائِرُ، وَهَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ " انتهى

Rambut Nabi hingga berada di atas pundaknya dan di bawah cuping telinganya. Rambut lebatnya menjuntai hingga mencapai cuping kedua telinganya.

Ketika rambutnya panjang, beliau akan mengepang rambutnya menjadi empat kepangan. Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah datang kepada kami di Makkah dengan empat kepangan rambut”. Ini adalah hadits yang sahih. Selesai kutipan dari *Zaad al-Ma‘aad* (1/170).

=====

**(MUFRODAT / ARTI KATA-KATA)**:

*Wafrah (الْوَفْرَةِ)* adalah rambut kepala yang mencapai cuping telinga.

**Jummah (الْجُمَّةِ)**: rambut kepala yang jatuh ke dua bahu.

**Limmah (اللِّمَّةُ) : rambut kepala yang berada di bawah jummah.

*Jummah* lebih panjang dari *Wafrah* dan *Limmah*.

Imam Ibnu Al-Atsir berkata dalam kitab "An-Nihayah":

‌الجمةُ ‌مِنْ ‌شَعْرِ ‌الرَّأْسِ ‌مَا ‌سَقَطَ ‌عَلَى ‌الْمَنْكِبَيْنِ ‌وَاللِّمَّةُ مِنْ شَعْرِ الرَّأْسِ دُونَ الْجُمَّةِ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا أَلَمَّتْ بِالْمَنْكِبَيْنِ فَإِذَا زَادَتْ فَهِيَ الْجُمَّةُ وَالْوَفْرَةُ مِنْ شَعْرِ الرَّأْسِ إِذَا وَصَلَ إِلَى شَحْمَةِ الْأُذُنِ انْتَهَى

"**Jummah** adalah rambut kepala yang jatuh di atas kedua pundak, sedangkan **limmah** adalah rambut kepala yang berada di bawah jummah. Disebut lamah karena rambut tersebut menyentuh kedua pundak. Jika panjangnya bertambah, maka disebut jummah. Sedangkan **wafrah** adalah rambut kepala yang mencapai daun telinga." [Di kutip dari ‘Aunul Ma’buud 11/159]

Dikatakan :

إِذَا كَانَ الشَّعْرُ يَصِلُ إِلَى الْمَنْكِبَيْنِ فَهُوَ الجُمَّةُ، فَإِنْ كَانَ يَصِلُ إِلَى شَحْمَةِ الأُذُنِ فَهُوَ الْوَفْرَةُ، فَإِنْ طَالَ الأُذُنَ وَلَمْ يَبْلُغِ الْكِتْفَيْنِ فَهُوَ اللِّمَّةُ.

 Jika rambut mencapai bahu, itu disebut *“الْجُمَّةِ”* (rambut lebat). Jika mencapai cuping telinga, itu disebut *الْوَفْرَةِ* (rambut pendek). Jika melewati telinga tetapi belum sampai ke bahu, itu disebut *limmah*. [**Catatan pinggir kitab Dalail an-Nubuwwah** oleh Dr. Abdul Mu'thi Qalaaji].

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam *Fath al-Bari* (6/572):

قَالَ ابْنُ التِّينِ تَبَعًا لِلدَّاوُودِيِّ: قَوْلُهُ: "يَبْلُغُ شَحْمَةَ أُذُنَيْهِ" مُغَايِرٌ لِقَوْلِهِ: إِلَى مَنْكِبَيْهِ. وَأُجِيبَ بِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ مُعْظَمَ شَعْرِهِ كَانَ عِنْدَ شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ، وَمَا اسْتَرْسَلَ مِنْهُ مُتَّصِلٌ إِلَى الْمَنْكِبِ، أَوْ يُحْمَلُ عَلَى حَالَتَيْنِ.

Ibnu at-Tin, mengikuti pendapat ad-Dawudi, mengatakan: "perkataannya 'mencapai cuping kedua telinganya' berbeda dengan 'sampai ke bahunya'. Maka dijawab bahwa maksudnya adalah sebagian besar rambut beliau berada di sekitar cuping telinga, sedangkan bagian rambut yang memanjang mencapai bahu, atau hal ini bisa dibawa kepada dua keadaan yang berbeda."

Makna **Ghadair (الغَدَائِرُ)** adalah kepangan rambut kepala (الضَّفَائِرُ).

Makna “شَحْمَةُ الأُذُن” adalah cuping (tempat anting-anting) telinga.

******

**BEBERAPA VARIASI PANJANG PENDEK RAMBUT RASULULLAH :**

Rambut Rasūlullāh menunjukkan beberapa variasi panjang yang berbeda-beda dalam berbagai kesempatan, yaitu:

1. Terkadang panjangnya mencapai pertengahan telinga.

2. Terkadang panjangnya mencapai daun telinga.

3. Terkadang panjangnya menyentuh kedua pundak.

4. Terkadang panjangnya berada di antara keduanya.

Keempat keadaan ini menggambarkan bahwa rambut Beliau tidak pernah melebihi kedua pundak. Hal ini telah dinyatakan oleh Al-Manawi yang mengutip dari Abū Syamah dalam kitab *Faidhul Qadir* (Juz 5, halaman 74).

Semua variasi tersebut menunjukkan bahwa rambut Rasūlullāh dapat bervariasi dalam panjang, tergantung pada waktu dan keadaan tertentu.

Berikut adalah beberapa hadīts yang menjelaskan tentang panjang rambut Rasūlullāh :

**Hadīts Pertama:** 

Anas bin Mālik radhiyallāhu ta’āla ‘anhu menjelaskan bahwa: 

كَانَ شَعْرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى نِصْفِ أُذُنَيْهِ. 

“Rambut Rasūlullāh terkadang panjangnya hingga setengah telinga.” (Hadīts ini dishahīhkan oleh Syaikh Albāniy rahimahullāh). 

Hadīts ini menunjukkan bahwa rambut Rasūlullāh terkadang mencapai pertengahan telinga.

**Hadīts Kedua:** 

Āisyah radhiyallāhu ta’ala ‘anhā bercerita: 

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، وَكَانَ لَهُ شَعَرٌ فَوْقَ الْجُمَّةِ، وَدُونَ الْوَفْرَةِ. 

“Aku pernah mandi bersama Rasūlullāh dari satu wadah dan rambut Beliau melebihi daun telinga, namun tidak sampai pundak.” (Hadīts ini dishahīhkan oleh Syaikh Albāniy rahimahullāh). 

Kesimpulannya, rambut Rasūlullāh lebih dari daun telinga tetapi tidak sampai pundak.

**Hadīts Ketiga:** 

Al Barā bin ‘Āzib radhiyallāhu ta’āla ‘anhu berkata: 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرْبُوعًا، بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمِنْكَبَيْنِ، وَكَانَتْ جُمَّتُهُ تَضْرِبُ شَحْمَةَ أُذُنَيْهِ. 

“Tinggi Rasūlullāh ideal. Dada Beliau bidang dan panjang rambut Beliau mencapai daun telinga.” 

Hadīts ini shahīh dan diriwayatkan juga oleh Imām Bukhāri (nomor 3551) dan Imām Muslim (nomor 2337), yang isinya menyatakan bahwa: 

“Rambut Rasūlullāh saat itu mencapai daun telinga.”

**Hadīts Keempat:** 

Qatādah, salah seorang murid Anas bin Mālik, berkata: 

قُلْتُ لأَنَسٍ: كَيْفَ كَانَ شَعَرُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم؟ قَالَ: لَمْ يَكُنْ بِالْجَعْدِ، وَلا بِالسَّبْطِ، كَانَ يَبْلُغُ شَعَرُهُ شَحْمَةَ أُذُنَيْهِ. 

Aku bertanya kepada Anas bin Mālik radhiyallāhu ta’āla ‘anhu: “Bagaimana sifat rambut Rasūlullāh ?” 

Beliau menjawab: “Rambut Beliau tidak keriting dan juga tidak lurus, panjangnya mencapai daun telinga.” 

Hadīts ini juga shahīh dan diriwayatkan oleh Imām Bukhāri (nomor 5905) dan Imām Muslim (nomor 2338), dengan isi yang serupa.

**Hadīts Kelima :** 

Anas radhiyallāhu ta’āla ‘anhu berkata: 

أَنَّ شَعْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ. 

“Panjang rambut Rasūlullāh terkadang sampai di tengah telinga Beliau.” 

Hadīts ini shahīh dan diriwayatkan oleh Imām Muslim (nomor 2339).

**Kesimpulan:**

Dari hadīts-hadīts di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa rambut Rasūlullāh memiliki beberapa panjang yang berbeda, yaitu:

- Terkadang panjangnya hingga kedua pundak.

- Terkadang hanya sampai telinga.

- Bisa juga sampai pertengahan telinga.

- Dan terkadang berada di antara keduanya.

Semua hadīts ini saling melengkapi dan tidak bertentangan satu sama lain dalam menggambarkan panjang rambut Rasūlullāh .

===*****===

**APAKAH DISUNNAH-KAN BAGI PRIA MUSLIM MEMANJANGKAN RAMBUTNYA LALU MENGEPANGNYA? APAKAH IA MENDAPAT PAHALA KARENANYA?**

Memanjangkan rambut bukanlah termasuk sunnah yang mendatangkan pahala bagi seorang Muslim, karena hal ini termasuk dalam kebiasaan (adat). Nabi pernah memanjangkan rambutnya dan juga pernah mencukurnya. Beliau tidak menjadikan memanjangkan rambut sebagai suatu perbuatan yang berpahala, dan tidak pula mencukurnya sebagai perbuatan yang berdosa, kecuali bahwa beliau memerintahkan untuk merawatnya dengan baik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

(مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ).

"Barang siapa yang memiliki rambut, hendaklah ia memuliakannya (merapihkannya dan menatanya) ."

(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 4163, dan dinilai hasan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam *Fath al-Bari* 10/368).

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:

كُنْتُ أُرَجِّلُ رَأْسَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا حَائِضٌ.

"Aku biasa menyisir rambut Rasulullah saat aku sedang haid." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, 291).

(*At-tarjil*) berarti menyisir atau merapikan rambut.

Rambut Rasulullah mencapai cuping telinganya, terkadang sampai di antara telinganya dan bahunya, dan terkadang menyentuh bahunya. Ketika rambutnya memanjang, beliau mengepangnya menjadi empat kepang.

Dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَضْرِبُ شَعْرُهُ مَنْكِبَيْهِ.

“Bahwa Nabi menjuntaikan rambutnya pada dua bahunya. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, 5563, dan Muslim, 2338).

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu juga berkata:

كَانَ شَعْرُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أُذُنَيْهِ وَعَاتِقِهِ.

"Rambut Rasulullah berada di antara dua telinganya dan bahunya." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, 5565, dan Muslim, 2338).

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

(كَانَ شَعْرُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ).

"Rambut Rasulullah mencapai pertengahan dua telinganya."

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:

كَانَ شَعْرُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوْقَ الوَفْرَةِ وَدُونَ الجُمَّةِ.

"Rambut Rasulullah lebih panjang dari *wafrah* tetapi lebih pendek dari *jummah*." (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 1755, Abu Dawud, 4187, dan dinilai shahih oleh Al-Albani dalam *Shahih At-Tirmidzi*).

**Wafrah**: Rambut kepala yang mencapai cuping dua telinga.

**Jummah**: Rambut kepala yang jatuh ke dua bahu.

Dari Ummu Hani' radhiyallahu 'anha, ia berkata:

قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ وَلَهُ أَرْبَعُ غَدَائِرَ.

“Rasulullah datang ke Makkah dan beliau memiliki empat kepang rambut .”

(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 1781, Abu Dawud, 4191, dan Ibnu Majah, 3631). Hadits ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam *Fath al-Bari*, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam *Mukhtashar Asy-Syamail* (23).

Makna **Ghadair (الغَدَائِرُ)** adalah kepangan rambut kepala (الضَّفَائِرُ).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْحَدِيثُ مِنْ كَوْنِ شَعْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِلَى قُرْبِ مَنْكِبَيْهِ كَانَ غَالِبَ أَحْوَالِهِ، وَكَانَ رُبَّمَا طَالَ حَتَّى يُصِيرَ ذُؤَابَةً وَيُتَخَذُ مِنْهُ عُقَالِيصَ وَضَفَائِرَ كَمَا أَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ حَسَنٍ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ هَانِئٍ قَالَتْ:

(قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ وَلَهُ أَرْبَعُ غَدَائِرَ)

وَفِي لَفْظٍ: (أَرْبَعُ ضَفَائِرَ)

وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ: (أَرْبَعُ غَدَائِرَ يَعْنِي ضَفَائِرَ).

وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى الْحَالِ الَّتِي يُبْعِدُ عَهْدُهَا بِتَعَهُّدِ شَعْرِهِ فِيهَا وَهِيَ حَالَةُ الشُّغْلِ بِالسَّفَرِ وَنَحْوِهِ "انْتَهَى بِاخْتِصَارٍ".

“Apa yang ditunjukkan oleh hadits bahwa rambut Rasulullah berada dekat bahunya adalah keadaan umumnya, dan kadang-kadang rambutnya memanjang hingga menjadi *dhuwaba* (ujung rambut) dan dijadikan *‘aqalis* (kepang kecil) dan kepang, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan sanad hasan dari Ummu Hani' yang berkata:

‘Rasulullah datang ke Makkah dan beliau memiliki empat kepang’.

Dan dalam riwayat lain: ‘Empat kepang,’

Dan dalam riwayat Ibnu Majah: ‘Empat ghadair, maksudnya kepang.’

Ini dianggap dalam keadaan di mana beliau tidak merawat rambutnya karena sedang sibuk dalam perjalanan atau sejenisnya.” (Diakhiri dengan ringkasan. *Fath al-Bari*, 10/360).

Penulis katakan :

Perkara ini pada zaman itu diterima, tidak ada masalah dan merupakan kebiasaan. Namun, jika adat itu berubah dan seorang Muslim berada di tempat di mana masyarakat setempat tidak terbiasa dengan hal itu, atau memandang pelakunya seolah-olah menyerupai orang-orang yang fasik, maka sebaiknya tidak dilakukan.

Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا طَالَ شَعْرُهُ لِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ: ضَفَرَهُ أَرْبَعَ ضَفَائِرَ، وَذَلِكَ عَلَى عَادَةِ الْعَرَبِ، وَذَلِكَ بِرَدِّهِ إِلَى الْخَلْفِ، ثُمَّ يَجْعَلُهُ خِصَالًا، ثُمَّ يَنْسِجُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فَتْلًا، حَتَّى تَصِيرَ أَرْبَعَ ضَفَائِرَ.

عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ أَنْ نَنْتَبِهَ إِلَى أَنَّ تَطْوِيلَ الشَّعْرِ لَيْسَ ـ فِي نَفْسِهِ ـ مِنَ السُّنَّةِ الَّتِي يُؤْجَرُ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ؛ إِذْ هُوَ مِنْ أُمُورِ الْعَادَاتِ، وَقَدْ أَطَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَعْرَهُ وَحَلَقَهُ، وَلَمْ يَجْعَلْ فِي تَطْوِيلِهِ أَجْرًا، وَلَا فِي حَلْقِهِ إِثْمًا، إِلَّا أَنَّهُ أَمَرَ بِإِكْرَامِهِ، وَلَمْ يَخْرُجْ بِذَلِكَ عَنْ عَادَاتِ الْعَرَبِ وَأَحْوَالِهِمْ.

فَإِذَا قُدِّرَ أَنَّ الْعُرْفَ تَغَيَّرَ فِي زَمَانٍ، أَوْ مَكَانٍ، فَصَارَ تَطْوِيلُ الشَّعْرِ خَاصًّا بِالنِّسَاءِ، فَلَا يَجُوزُ لِلرِّجَالِ إِطَالَتُهُ فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ، وَإِذَا صَارَ ذَلِكَ عَلَامَةً عَلَى الْفُسَّاقِ، أَوِ السُّفَهَاءِ، لَمْ يَكُنْ لِذَوِي الْمُرُوءَاتِ وَالْهَيْئَاتِ أَنْ يَعْمَلُوا عَمَلَهُمْ، أَوْ يَتَحَلَّوْا بِشِعَارِهِمْ.

Ketika rambut beliau tumbuh panjang karena perjalanan atau alasan lain, Nabi akan mengepangnya menjadi empat kepangan, sesuai dengan kebiasaan orang Arab pada saat itu. Beliau akan menata rambutnya ke belakang, lalu membaginya menjadi beberapa helai, memelintirnya, dan membentuknya menjadi empat kepangan.

Namun, perlu dicatat bahwa membiarkan rambut tumbuh panjang bukanlah bagian dari sunnah yang akan mendapatkan pahala, karena ini termasuk dalam tradisi dan kebiasaan. Nabi membiarkan rambutnya tumbuh panjang dan juga mencukurnya, dan tidak ada pahala dalam membiarkan rambut tumbuh panjang atau dosa dalam mencukurnya. Sebaliknya, beliau menganjurkan untuk merawat rambut, dan beliau tidak melakukan apapun dengan rambutnya yang bertentangan dengan kebiasaan orang Arab.

Jika kebiasaan berubah di suatu waktu atau tempat, dan membiarkan rambut panjang menjadi sesuatu yang hanya untuk wanita, maka tidak diperbolehkan bagi pria untuk memanjangkan rambut di tempat tersebut. Dan jika hal itu menjadi tanda orang-orang yang buruk atau bodoh, maka orang-orang yang berkarakter baik dan bermartabat tidak seharusnya mengikuti cara mereka. [Fatwa Islamqa no. 240084].

Sheikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

إِطَالَةُ شَعْرِ الرَّأْسِ لَا بَأْسَ بِهِ، فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ شَعْرٌ يُقَرِّبُ أَحْيَانًا إِلَى مَنْكِبَيْهِ، فَهُوَ عَلَى الْأَصْلِ، لَا بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّ مَعَ ذَلِكَ هُوَ خَاضِعٌ لِلْعَادَاتِ وَالْعُرْفِ، فَإِذَا جَرَى الْعُرْفُ وَاسْتَقَرَّتِ الْعَادَةُ بِأَنَّهُ لَا يُسْتَعْمَلُ هَذَا الشَّيْءُ إِلَّا طَائِفَةٌ مُعَيَّنَةٌ نَازِلَةٌ فِي عَادَاتِ النَّاسِ وَأَعْرَافِهِمْ؛ فَلَا يَنْبَغِي لِذَوِي الْمَرُؤَةِ أَنْ يَسْتَعْمِلُوا إِطَالَةَ الشَّعْرِ حَيْثُ إِنَّهُ لَدَى النَّاسِ وَعَادَاتِهِمْ وَأَعْرَافِهِمْ لَا يَكُونُ إِلَّا مِنْ ذَوِي الْمَنْزِلَةِ السَّافِلَةِ! فَالْمَسْأَلَةُ إِذًا بِنِسْبَةٍ لِتَطْوِيلِ الرَّجُلِ لِرَأْسِهِ مِنْ بَابِ الْأَشْيَاءِ الْمُبَاحَةِ الَّتِي تَخْضَعُ لِأَعْرَافِ النَّاسِ وَعَادَاتِهِمْ، فَإِذَا جَرَى بِهَا الْعُرْفُ وَصَارَتْ لِلنَّاسِ كُلِّهِمْ شَرِيفِهِمْ وَوَضِيعِهِمْ؛ فَلَا بَأْسَ بِهِ، أَمَّا إِذَا كَانَتْ لَا تُسْتَعْمَلُ إِلَّا عِندَ أَهْلِ الضَّعَةِ؛ فَلَا يَنْبَغِي لِذَوِي الشَّرَفِ وَالْجَاهِ أَنْ يَسْتَعْمِلُوهَا، وَلَا يَرِدُ عَلَى هَذَا أَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَهُوَ أَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْظَمُهُمْ جَاهًا - كَانَ يَتَّخِذُ الشَّعْرَ، لِأَنَّنَا نَرَى فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ اتِّخَاذَ الشَّعْرِ لَيْسَ مِنْ بَابِ السُّنَّةِ وَالتَّعَبُّدِ، وَلَكِنَّهُ مِنْ بَابِ اتِّبَاعِ الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ.

“Memanjangkan rambut kepala tidaklah mengapa, karena Nabi memiliki rambut yang kadang-kadang mencapai bahunya. Jadi, itu pada dasarnya tidak masalah, tetapi tetap saja hal itu tergantung pada adat dan kebiasaan.

Jika suatu kebiasaan telah mapan dan diakui bahwa hal ini hanya digunakan oleh sekelompok tertentu yang dianggap rendah dalam adat dan kebiasaan masyarakat; maka tidak seharusnya orang-orang yang memiliki akhlak baik memanjangkan rambut di mana hal itu dalam pandangan masyarakat dan adat mereka hanya dilakukan oleh orang-orang dengan status rendah.

Jadi, masalah ini berkaitan dengan pemanjangan rambut seorang pria adalah termasuk dalam hal yang diperbolehkan yang tergantung pada adat dan kebiasaan masyarakat. Jika hal itu diakui dan diterima oleh semua orang, baik yang terhormat maupun yang rendah; maka tidak mengapa. Namun, jika itu hanya digunakan oleh orang-orang yang rendah; maka tidak seharusnya orang-orang terhormat dan berpengaruh menggunakannya.

Tidak dapat disangkal bahwa Nabi – yang merupakan orang terhormat dan teragung – memiliki rambut, tetapi kami melihat bahwa memanjangkan dan memendekkan rambut bukanlah bagian dari sunnah dan ibadah, melainkan mengikuti adat dan kebiasaan.

[Sumber :Fatwa Nur Ala Darb”].

Apa yang disebutkan dalam hadist bahwa Nabi memiliki empat kepang adalah shahih, akan tetapi itu tidak berarti bahwa itu adalah sunnah yang dihargai, melainkan harus memperhatikan kebiasaan masyarakat dan apa yang mereka akui. Saat ini, kebiasaan telah berbeda di banyak negara dibandingkan dengan yang terjadi di masa lalu.

Ibnu Abdul Barr rahimahullah berkata:

صَارَ أَهْلُ عَصْرِنَا لَا يُحْبَسُ الشَّعْرُ مِنْهُمْ إِلَّا الْجُنْدُ عِندَنَا لَهُمُ الْجُمَمُ وَالْوَفَرَاتُ – جَمْعُ جُمَّةٍ وَوَفْرَةٍ وَسَبَقَ بَيَانُ مَعَانِيهَا - ، وَأَضْرَبَ عَنْهَا أَهْلُ الصَّلاَحِ وَالسَّتْرِ وَالْعِلْمِ ، حَتَّى صَارَ ذَلِكَ عَلاَمَةً مِنْ عَلَامَاتِهِمْ ، وَصَارَتِ الْجُمَمُ الْيَوْمَ عِندَنَا تَكَادُ تَكُونُ عَلاَمَةَ السَّفَهَاءِ! وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : ( مَن تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ - أَوْ حُشِرَ مَعَهُمْ – ) فَقِيلَ : مَن تَشَبَّهَ بِهِمْ فِي أَفْعَالِهِمْ ، وَقِيلَ : مَن تَشَبَّهَ بِهِمْ فِي هَيَئَاتِهِمْ ، وَحَسْبُكَ بِهَذَا ، فَهُوَ مُجْمَلٌ فِي الاقْتِدَاءِ بِهَدْيِ الصَّالِحِينَ عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانُوا ، وَالشَّعْرُ وَالْحَلْقُ لَا يُغْنِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا الْمُجَازَاةُ عَلَى النِّيَّاتِ وَالْأَعْمَالِ ، فَرُبَّ مَحْلُوقٍ خَيْرٌ مِنْ ذِي شَعْرٍ ، وَرُبَّ ذِي شَعْرٍ رَجُلٌ صَالِحٌ.

“Orang-orang di zaman kita tidaklah membiarkan rambut tumbah panjang kecuali tentara yang memiliki al-jummah (rambut kepala yang menjuntai hingga dua bahu) dan al-wafrah (rambut kepala yang mencapai cuping dua telinga) yang telah dijelaskan maknanya sebelumnya – dan orang-orang saleh, tertutup, dan berilmu telah menjauhi hal itu, hingga menjadi tanda bagi mereka menjauhi ha tersebut. Namun sekarang, rambut jummah hampir menjadi tanda orang-orang bodoh! Dan telah diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda: ‘Siapa yang meniru suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka – atau dikumpulkan bersama mereka.’”

Ada yang meriwayatkan : “Siapa yang meniru mereka dalam tindakan mereka,” dan sebagian lainnya meriwayatkan : “Siapa yang meniru mereka dalam penampilan mereka.”

Hal ini cukup untuk menunjukkan bahwa mengikuti petunjuk orang-orang saleh dalam keadaan apa pun adalah sesuatu yang terpuji. Memanjangkan rambut dan mencukurnya tidak ada artinya di hari kiamat, melainkan balasan berdasarkan niat dan perbuatan. Kadang-kadang, seseorang yang dicukur lebih baik daripada yang berambut panjang, dan terkadang orang yang berambut panjang adalah orang yang saleh. (*At-Tamhid*, 6/80).

Kesimpulannya: sebaiknya mengikuti adat dan kebiasaan dalam hal ini, agar seorang Muslim tidak mempermalukan dirinya sendiri dan dijadikan bahan ejekan oleh orang lain.

===*****===

**HUKUM MENGIKAT RAMBUT KEBELAKANG BAGI LAKI-LAKI SAAT SHALAT**

**Pembahasan Pertama**: 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma :

أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَارِثِ يُصَلِّي وَرَأْسُهُ مَعْقُوصٌ مِنْ وَرَائِهِ ، فَقَامَ فَجَعَلَ يَحُلُّهُ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ : مَا لَكَ وَرَأْسِي ؟! فَقَالَ : إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : (إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ)

bahwa ia melihat Abdullah bin Al-Harith sedang shalat dengan rambutnya yang diikat di belakang, maka ia berdiri dan mulai melepas ikatannya. Ketika selesai shalat, Abdullah bin Al-Harits mendatangi Ibnu Abbas dan bertanya,

"Mengapa kamu melakukan itu pada rambutku?"

Ibnu Abbas menjawab, "Aku mendengar Rasulullah bersabda,

'(Sesungguhnya perumpamaan orang yang shalat dengan rambut terikat seperti orang yang shalat dengan tangan terikat).'” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (no. 492).

Al-Manawi rahimahullah berkata:

(مَعْقُوص) أَيْ : مَجْمُوع شَعْرِهِ عَلَيْهِ (مِثْلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوف) أَيْ : مَشْدُودُ اليَدَيْنِ إِلَى كَتِفَيْهِ فِي الْكَرَاهَةِ؛ لِأَنَّ شَعْرَهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُنْتَشِرًا لَا يَسْقُطُ عَلَى الْأَرْضِ، فَلَا يَصِيرُ فِي مَعْنَى الشَّاهِدِ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ، كَمَا أَنَّ يَدَيِ الْمَكْتُوفِ لَا يَقَعَانِ عَلَى الْأَرْضِ فِي السُّجُودِ. قَالَ أَبُو شَامَةَ: وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى الْعَقْصِ بَعْدَ الضَّفْرِ كَمَا تَفْعَلُ النِّسَاءُ" انتهى.

"(Dengan rambut yang terikat) artinya rambutnya diikat bersama-sama. (Seperti orang yang shalat dengan tangan terikat) yaitu tangannya diikat ke bahu dalam hal makruh; karena jika rambut tidak terurai, ia tidak jatuh ke tanah, sehingga tidak termasuk bagian dari tubuh yang menjadi saksi di bumi, sebagaimana tangan orang yang terikat tidak menyentuh tanah saat sujud. Abu Syamah berkata: Hal ini dipahami sebagai ikatan setelah mengepang, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh wanita." (Fiidhul Qadiir, 3/6).

Dalam "Al-Mawsū'ah Al-Fiqhiyyah" (26/109-110) disebutkan:

"اتَّفَقَ الفُقَهَاءُ عَلَى كَرَاهَةِ عَقْصِ الشَّعْرِ فِي الصَّلَاةِ، وَالعَقْصُ هُوَ شَدُّ ضَفِيرَةِ الشَّعْرِ حَوْلَ الرَّأْسِ كَمَا تَفْعَلُ النِّسَاءُ، أَوْ يُجْمَعُ الشَّعْرُ فَيُعْقَدُ فِي مُؤَخَّرَةِ الرَّأْسِ، وَهُوَ مَكْرُوهٌ كَرَاهَةَ تَنْزِيهٍ، فَلَوْ صَلَّى كَذَلِكَ فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ...

وَالْحِكْمَةُ فِي النَّهْيِ عَنْهُ أَنَّ الشَّعْرَ يَسْجُدُ مَعَ الْمُصَلِّي، وَلِهَذَا مَثَّلَهُ فِي الْحَدِيثِ بِالَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ.

وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ شَامِلٌ لِكُلِّ مَن صَلَّى كَذَلِكَ، سَوَاءٌ تَعَمَّدَهُ لِلصَّلَاةِ أَمْ كَانَ كَذَلِكَ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَفَعَلَهَا لِمَعْنًى آخَرَ وَصَلَّى عَلَى حَالِهِ بِغَيْرِ ضَرُورَةٍ، وَيَدُلُّ لَهُ إِطْلَاقُ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَنْقُولِ عَنِ الصَّحَابَةِ.

وَقَالَ مَالِكٌ: النَّهْيُ مُخْتَصٌّ بِمَن فَعَلَ ذَلِكَ لِلصَّلَاةِ" انتهى.

"Para ulama sepakat bahwa mengikat rambut (عَقْصٌ) saat salat adalah makruh. 'Aqṣh adalah mengikat rambut membentuk gelungan (kepang) di sekitar kepala sebagaimana yang dilakukan oleh wanita, atau mengumpulkan rambut dan mengikatnya di belakang kepala. Hukumnya makruh tanzīh, sehingga jika seseorang salat dengan cara demikian, salatnya tetap sah.

Hikmah dari larangan ini adalah karena rambut juga ikut sujud bersama orang yang salat. Oleh karena itu, dalam hadis diumpamakan dengan orang yang salat dalam keadaan tangan terikat.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan ini berlaku bagi siapa pun yang salat dengan cara demikian, baik ia sengaja melakukannya untuk salat, atau melakukannya sebelum salat karena alasan lain dan tetap salat dalam keadaan itu tanpa ada keperluan mendesak. Hal ini didasarkan pada keumuman hadis-hadis sahih dan tampak jelas dari riwayat para sahabat.

Namun, Imam Mālik berpendapat bahwa larangan tersebut hanya berlaku bagi orang yang melakukannya khusus untuk salat." [Selesai].

**Pembahasan Kedua:**

Adapun hukum memanjangkan rambut dan mengikatnya ke belakang, telah dijelaskan secara rinci sebelumnya. Kami telah menyebutkan perkataan Ibnu Abdil Barr rahimahullah di atas : bahwa memanjangkan rambut pada zamannya telah menjadi tanda orang-orang yang tidak berakal, dan para ulama serta orang-orang saleh telah meninggalkannya. Ini juga yang menjadi kebiasaan umum di negeri-negeri Islam.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

"لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ – إِطَالَةُ الشَّعْرِ - ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَهُ حَيْثُ إِنَّ النَّاسَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ يَتَّخِذُونَهُ، وَلِهَذَا لَمَّا رَأَى صَبِيًّا قَدْ حَلَقَ بَعْضَ رَأْسِهِ قَالَ : (احْلِقْهُ كُلَّهُ أَوِ اتْرُكْهُ كُلَّهُ)، وَلَوْ كَانَ الشَّعْرُ مِمَّا يَنْبَغِي اتِّخَاذُهُ لَقَالَ : أَبْقِهِ. 

وَعَلَى هَذَا فَنَقُولُ : اتِّخَاذُ الشَّعْرِ لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ، لَكِنْ إِنْ كَانَ النَّاسُ يَعْتَادُونَ ذَلِكَ فَافْعَلْ، وَإِلَّا فَافْعَلْ مَا يَعْتَادُهُ النَّاسُ؛ لِأَنَّ السُّنَّةَ قَدْ تَكُونُ سُنَّةً بِعَيْنِهَا، وَقَدْ تَكُونُ سُنَّةً بِجِنْسِهَا : فَمَثَلًا : الْأَلْبِسَةُ إِذَا لَمْ تَكُنْ مُحَرَّمَةً، وَالْهَيْئَاتُ إِذَا لَمْ تَكُنْ مُحَرَّمَةً، السُّنَّةُ فِيهَا اتِّبَاعُ مَا عَلَيْهِ النَّاسُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهَا اتِّبَاعًا لِعَادَةِ النَّاسِ، فَنَقُولُ الآنَ : جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ أَلَّا يُتَّخَذَ الشَّعْرُ؛ وَلِذَلِكَ عُلَمَاؤُنَا الْكِبَارُ أَوَّلُ مَنْ نَذْكُرُ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْكِبَارِ شَيْخُنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ السَّعْدِي وَكَذَلِكَ شَيْخُنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ بَازٍ وَكَذَلِكَ الْمَشَايِخُ الْآخَرُونَ كَالشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ وَإِخْوَانِهِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ كِبَارِ الْعُلَمَاءِ لَا يَتَّخِذُونَ الشَّعْرَ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَرَوْنَ أَنَّ هَذَا سُنَّةٌ، وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ لَوْ رَأَوْا أَنَّ هَذَا سُنَّةٌ لَكَانُوا مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ تَحَرِّيًا لِاتِّبَاعِ السُّنَّةِ. فَالصَّوَابُ: أَنَّهُ تَبَعٌ لِعَادَةِ النَّاسِ، إِنْ كُنْتَ فِي مَكَانٍ يَعْتَادُ النَّاسُ فِيهِ اتِّخَاذَ الشَّعْرِ فَاتَّخِذْهُ وَإِلَّا فَلَا." انتهى.

“Memanjangkan rambut bukan merupakan sunnah; karena Rasulullah memanjangkan rambut karena pada waktu itu masyarakat melakukannya. Oleh karena itu, ketika Beliau melihat seorang anak yang mencukur sebagian rambutnya, Beliau bersabda:

*‘Cukurlah semuanya atau biarkan semuanya.’*

Seandainya memanjangkan rambut adalah sesuatu yang disyariatkan, maka Beliau akan berkata, ‘Biarkan.’

Oleh karena itu, kami katakan: memanjangkan rambut bukan merupakan sunnah, namun jika masyarakat di sekitarmu terbiasa memanjangkan rambut, lakukanlah. Jika tidak, maka lakukanlah apa yang biasa dilakukan masyarakat; karena sunnah terkadang berupa sesuatu yang spesifik, dan terkadang berupa sesuatu yang umum.

Sebagai contoh, pakaian jika tidak diharamkan, atau gaya penampilan jika tidak diharamkan, sunnahnya adalah mengikuti kebiasaan masyarakat; karena Rasulullah melakukannya mengikuti kebiasaan masyarakat.

Jadi, kami katakan sekarang: kebiasaan masyarakat saat ini adalah tidak memanjangkan rambut. Oleh karena itu, ulama-ulama besar kita, yang pertama kali bisa disebutkan seperti Syaikh kita, Abdur Rahman bin Sa’di, juga Syaikh kita Abdul Aziz bin Baz, serta ulama-ulama lainnya seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim dan saudara-saudaranya, mereka tidak memanjangkan rambut karena mereka tidak melihat hal itu sebagai sunnah.

Kami tahu bahwa jika mereka melihat hal itu sebagai sunnah, mereka pasti akan sangat bersemangat untuk mengikutinya.

Jadi, pendapat yang benar adalah bahwa hal ini mengikuti kebiasaan masyarakat. Jika kamu berada di tempat yang masyarakatnya terbiasa memanjangkan rambut, lakukanlah, jika tidak, maka tidak perlu.”

(Sumber: *Liqa’āt al-Bāb al-Maftūh*, pertemuan nomor 126, pertanyaan nomor 16).

Atas dasar ini, kembali kepada kebiasaan masyarakat mengenai memanjangkan rambut laki-laki. Dalam masyarakat yang tidak terbiasa dengan laki-laki yang memanjangkan rambut, maka tidak sepantasnya melakukannya. Terlebih lagi jika mengikatnya ke belakang, karena hal itu lebih buruk, sebab menyerupai wanita dan orang-orang fasik.

Wallāhu a‘lam.

Posting Komentar

0 Komentar