Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UMMU HANI (RA), CINTA PERTAMA NABI ﷺ DAN SEBAB LAHIR-NYA UU HAK PEMBERIAN SUAKA BAGI SETIAP MUSLIM

 UMMU HANI (RA), CINTA PERTAMA NABI DAN SEBAB LAHIR-NYA UNDANG-UNDANG HAK PEMBERIAN SUAKA BAGI SETIAP MUSLIM

Ditulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

====


====

DAFTAR ISI :

  • SEKILAS BIOGRAFI UMMU HANI’ RADHIYALLAHU ‘ANHA
  • KISAH CINTA PERTAMA RASULULLAH TERHADAP UMMU HANI (RA):
  • RASULULLAH MELAMAR UMMU HANI 2 KALI, SAAT MASIH GADIS & SETELAH JANDA, NAMUN SELALU DITOLAK.
  • UMMU HANI (RA) MASUK ISLAM, NAMUN HUBAIRAH SUAMI-NYA TETAP KAFIR HINGGA WAFAT
  • SELAIN UMMU HANI, ADAKAH WANITA LAIN YANG MENOLAK NABI NIKAH DENGAN-NYA.
  • KETIKA UMMU HANI (RA) TELAH SIAP MENIKAH DENGAN NABI , NAMUN TERHALANG PERUBAHAN HUKUM SYAR’I.
  • LAHIRNYA : “HAK PEMBERIAN SUAKA BAGI SETIAP INDIVIDU MUSLIM”:
  • KRONOLOGI LAHIR-NYA HAK PEMBERIAN SUAKA BAGI SETIAP INDIVIDU MUSLIM
  • PEMBERLAKUAN HAK PEMBERIAN SUAKA BAGI SETIAP INDIVIDU MUSLIM
  • MESKI TERLAMBAT MASUK ISLAM DAN SALING BERJAUHAN, NAMUN SELALU DEKAT DIHATI
  • WAFATNYA UMMU HANI RADHIYALLAHU 'ANHA

 =====

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

====*****====

SEKILAS BIOGRAFI UMMU HANI’ RADHIYALLAHU ‘ANHA

Beliau adalah wanita yang mulia, Ummu Hani’ binti Abu Thalib radhiyallahu ‘anha, sepupu Rasulullah . Lahir tahun 576 Masehi. Nama aslinya adalah Fakhitah, namun ada yang menyebutnya dengan nama Hindun. Akan tetapi, dalam banyak catatan sejarah, dia lebih dikenal dengan nama Ummu Hani binti Abi Thalib.

Dia adalah putri dari Abu Thalib, paman Rasulullah , dan saudari dari Ali bin Abi Thalib. Ayah mereka, Abu Thalib bin Abdul Muththalib, dan ibu mereka, Fatimah binti Asad bin Hasyim, adalah bagian dari keluarga terkemuka Bani Hasyim.

Dia saudari sekandung ‘Ali, ‘Aqil dan Ja’far, putra-putra Abu Thalib dan sepupu Nabi Muhammad .

Ummu Hani’ adalah istri Hubairah bin Amru bin Aiz dari Bani Makhzum.

******

KISAH CINTA PERTAMA RASULULLAH TERHADAP UMMU HANI (RA):

Kisah cinta pertama dalam kehidupan Rasulullah pada masa mudanya sering dikaitkan dengan Ummu Hani, seorang gadis yang bernama Hind, dan ada juga yang mengatakan namanya adalah "Fakhitah". Kata Fakhitah ini merupakan nama salah satu jenis burung merpati liar.

Semasa jahiliyah, sebelum diutus menjadi Nabi dan Rasul, serta belum pernah menikah dengan siapapun, Rasululloh pernah meminang Ummu Hani . Namun pada saat bersamaan, seorang pemuda bernama Hubairah bin Abi Wahb Al-Makhzumi pun meminangnya pula. Abu Thalib menjatuhkan pilihannya pada Hubairah hingga akhirnya Abu Thalib menikahkan Hubairah dengan putrinya. Dari pernikahan ini, lahirlah putra-putra Hubairah, di antaranya Ja’dah bin Hubairah yang kelak di kemudian hari diangkat ‘Ali bin Abi Thalib radhiAllahu ‘anhu ketika menjabat sebagai khalifah- sebagai gubernur di negeri Khurasan. Putra-putra yang lainnya adalah `Amr, yang dulunya Ummu Hani` berkunyah dengannya, namun putranya ini meninggal ketika masih kecil, serta Hani` dan Yusuf.

Akan tetapi ada akhirnya, Islam memisahkan mereka berdua. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan negeri Makkah bagi Rasul-Nya dan manusia berbondong-bondong masuk Islam, Ummu Hani` radhi Allahu ‘anha pun berislam bersama yang lainnya. Mendengar berita keislaman Ummu Hani`, Hubairah pun melarikan diri ke Najran.

Setelah Ummu Hani` berpisah dari suaminya karena keimanan saat Penaklukan Mekkah, maka Rasululloh datang untuk meminang Ummu Hani`.

Namun dengan halus Ummu Hani` menolak dengan mengatakan : “Sesungguhnya aku ini seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan perhatian yang menyita banyak waktu. Sementara aku mengetahui betapa besar hak suami. Aku khawatir tidak akan mampu untuk menunaikan hak-hak suami.”

Maka Rasululloh mengurungkan niatnya. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”

Rasulullah lahir tahun 571 Masehi, sementara Ummu Hani lahir tahun 576 M. Beda usia diantara keduanya sekitar 5 tahun.

Sementara Penaklukan kota Mekkah terjadi pada 20 Ramadhan tahun 8 hijriah/ 10 Januari 630 M. Dengan demikian usia Nabi pada saat penaklukan Mekkah adalah antara 59 atau 60 tahun, adapun Ummu Hani maka usianya saat itu sekitar 54 atau 55 tahun.

******

RASULULLAH MELAMAR UMMU HANI 2 KALI, SAAT MASIH GADIS & SETELAH JANDA, NAMUN SELALU DITOLAK.

Meskipun masing-masing pihak sama-sama saling mencintai, namun jodoh tetap ditangan Allah SWT.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

خَطَبَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلم إِلَى أَبِي طَالِبٍ ابْنَتَهُ أُمَّ هَانِئٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَخَطَبَهَا هُبَيْرَةُ بْنُ أَبِي وَهْبِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَائِذِ بْنِ عِمْرَانَ بْنِ مَخْزُومٍ فَتَزَوَّجَهَا هُبَيْرَةُ، فَعَاتَبَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: يَا عَمُّ ‌زَوَّجْتَ ‌هُبَيْرَةَ ‌وَتَرَكْتَنِي، فَقَالَ: يَا ابْنَ أَخِي إِنَّا قَدْ صَاهَرْنَا إِلَيْهِمْ وَالْكَرِيمُ يُكَافِئُ الْكَرِيمَ ثُمَّ أَسْلَمَتْ فَفَرَّقَ الْإِسْلَامُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ هُبَيْرَةَ فَخَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم إِلَى نَفْسِهَا فَقَالَتْ: وَاللَّهِ إِنْ كُنْتُ لَأُحِبُّكَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَيْفَ فِي الْإِسْلَامِ وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ مُصْبِيَةٌ وَأَكْرَهُ أَنْ يُؤْذُوكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ: «خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْمَطَايَا نِسَاءُ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ»

“Bahwa Rasulullah pernah melamar putri Abu Thalib, Ummu Hani, pada masa sebelum Islam (masa jahiliah). Pada saat yang sama, Hubairah bin Abi Wahb bin Amru bin ‘Aidh bin Imran dari Bani Makhzum juga melamarnya. Abu Thalib kemudian menikahkan Ummu Hani dengan Hubairah.

Rasulullah pun dengan rasa sedih menyalahkan pamannya dengan berkata, "Wahai paman, engkau menikahkan Hubairah dan meninggalkanku!"

Abu Thalib menjawab, "Wahai anak saudaraku, kami telah menjalin hubungan keluarga dengan mereka, dan orang yang mulia akan membalas kemuliaan."

Setelah Ummu Hani masuk Islam, agama memisahkan dirinya dari suaminya Hubairah (karena Hubairah tidak masuk Islam dan termasuk musuh Islam). Kemudian, Rasulullah kembali melamarnya setelah keislamannya.

Ummu Hani berkata, "Demi Allah, dulu aku mencintaimu pada masa jahiliah, bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu setelah Islam? Namun, aku adalah seorang wanita yang memiliki banyak tanggungan anak, dan aku tidak ingin mereka mengganggumu."

Mendengar hal itu, Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik perempuan yang menaiki unta adalah perempuan-perempuan Quraisy. Mereka paling penyayang terhadap anak-anak mereka ketika kecil, dan paling menjaga suami dalam mengurus hartanya."

[HR. Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra 8/151, al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 6871, Ibnu Asakir dalam Tarikh Damaskus 3/243 dan Tarikh ath-Thabari 11/619]

Al-Haitsami dalam *Majma' az-Zawa'id* (4/271 no. 7425) mengatakan:

رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو يَعْلَى، وَالطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ، وَهُوَ ثِقَةٌ، وَفِيهِ كَلَامٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ

“Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya'la, dan ath-Thabarani, di dalamnya terdapat Syahr bin Hawsyab, dia adalah seorang yang tsiqah (terpercaya), namun terdapat kritikan terhadapnya. Adapun para perawi lainnya adalah tsiqah (terpercaya)”.

Salim bin Abdul Hilaly dan Muhammad Aalu Nashr dalam Takhrij al-Istii’aab 3/124 berkata:

قُلْنَا : وَهَذِهِ مُتَابَعَةٌ قَوِيَّةٌ لِأَبِي صَالِحٍ، وَالسَّنَدُ إِلَى الشَّعْبِيِّ حَسَنٌ؛ فِيهِ أَبُو إِسْمَاعِيلَ الْمُؤَدِّبُ وَهُوَ صَدُوقٌ يُغْرِبُ؛ فَالسَّنَدُ حَسَنٌ. قَالَ الْهَيْثَمِيُّ فِي "مَجْمَعِ الزَّوَائِدِ" (٤/ ٢٧١): "وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ".

“Kami mengatakan: Ini adalah mutaba'ah yang kuat bagi Abu Shalih, dan sanad sampai kepada asy-Sya'bi hasan; di dalamnya terdapat Abu Isma'il al-Mu'addib, yang merupakan perawi yang shaduq namun terkadang meriwayatkan hadits-hadits yang gharib. Maka, sanad ini hasan”.

Imam Muslim meriwayatkan (2527) dari Abu Hurairah :

" أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، خَطَبَ أُمَّ هَانِئٍ، بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ، وَلِي عِيَالٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإبلِ ، أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ  " .

“Bahwa Nabi pernah melamar Ummu Hani’, binti Abu Thalib, namun Ummu Hani’ berkata: “Wahai Rasulullah, aku sudah tua dan memiliki banyak anak.”

Maka Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah yang paling penyayang terhadap anaknya saat mereka kecil, dan paling perhatian terhadap suaminya dalam urusan rumah tangga.”

Al-Iraqi rahimahullah berkata:

" اعتذرت أُمِّ هَانِئٍ لَمَّا خَطَبَهَا النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِكِبَرِ سِنِّهَا ، وَبِأَنَّهَا ذَاتُ عِيَالٍ، فَرَفَقَتْ بِالنَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي أَنْ لَا يَتَأَذَّى بِتَزَوُّجِ كَبِيرَةِ السِّنِّ ، وَلَا بِمُخَالَطَةِ عِيَالِهَا، ... وَلَوْ كَانَ غَيْرُهَا لَآثَرَ مَصْلَحَةَ نَفْسِهِ مُعْرِضًا عَنْ مَصْلَحَةِ الزَّوْجِ وَالْعِيَالِ " .

“Ummu Hani’ meminta maaf ketika Nabi melamarnya karena usianya yang sudah tua dan karena ia memiliki banyak anak. Ia dengan lembut memikirkan Nabi agar tidak terbebani dengan pernikahan dengan wanita yang sudah tua, maupun dengan mengurus anak-anaknya. ... Andai orang lain berada di posisinya, mereka mungkin lebih memikirkan kepentingan diri sendiri, mengabaikan kepentingan suami dan anak-anaknya.” (Selesai dari *Tahrir at-Tatsrib* 7/15).

Dari Ummu Hani’ binti Abu Thalib, ia berkata:

خَطَبَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقُلْتُ: مَا بِي عَنْكَ رَغْبَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَكِنْ لَا أُحِبُّ أَنْ أَتَزَوَّجَ وَبَنِيَّ صِغَارٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : «لِمَ؟ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى طِفْلٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى بَعْلٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ».

“Rasulullah melamarku, lalu aku berkata: ‘Bukan karena aku tidak mencintai-mu, wahai Rasulullah, akan tetapi aku tidak ingin menikah karena anak-anakku masih kecil.’

Maka Rasulullah bertanya : ‘Kenapa? Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy, paling penyayang terhadap anak saat kecilnya, dan paling perhatian terhadap suami dalam urusan rumah tangga.’”

(*Al-Mu'jam Al-Kabir* oleh Ath-Thabarani 18/173, no. 20502).

Al-Haitsami dalam al-Majma’ 4/271 no. 7428 berkata : 

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ، وَالْأَوْسَطِ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ

“Diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Kabir dan Al-Awsath, dan para perawinya terpercaya”.

Dan dari 'Amir, ia berkata:

خَطَبَ رَسُولُ اللهِ، أُمَّ هَانِئٍ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ سَمْعِي وَبَصَرِي، وَحَقُّ الزَّوْجِ عَظِيمٌ فَأَخْشَى إِنْ أَقْبَلْتُ عَلَى زَوْجِي أَنْ أُضَيِّعَ بَعْضَ شَأْنِي وَوَلَدِي، وَإِنْ أَقْبَلْتُ عَلَى وَلَدِي أَنْ أُضَيِّعَ حَقَّ الزَّوْجِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: إِنَّ خَيْرَ نِسَاءِ رَكِبْنَ الإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ، أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى بَعْلٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ.

“Rasulullah melamar Ummu Hani’, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau lebih kucintai daripada pendengaranku dan penglihatanku, dan hak suami sangatlah besar. Aku khawatir jika aku memperhatikan suamiku, aku akan mengabaikan urusanku dan anak-anakku, dan jika aku memperhatikan anak-anakku, aku akan mengabaikan hak suami.’

Maka Rasulullah bersabda: ‘Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy, paling penyayang terhadap anak saat kecilnya dan paling perhatian terhadap suami dalam urusan rumah tangga.’”

(*ath-Thabaqat'* oleh Ibnu Sa’d, 8/152, sanadnya Shahih Mursal).

Ternyata Rasulullah pun pernah ditolak lamarannya oleh seorang wanita.

Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi mereka ( ikhwan )yang ditolak lamarannya agar bisa bersikap seperti Rasulullah dan akhawat pun bisa mencontohi sahabiyah ini ketika menolak seseorang yang bagus agamanya sehingga yang ditolak lamarannya bisa berbesar hati dan tidak membuatkan kecewa.

Sumber Rujukan: Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Imam Ibnu Katsir (4/292-293); Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/317); Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1963-1964); Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (8/47);Siyar A’lamin Nubala`, Al-Imam Adz-Dzahabi (2/311-314) dan Tahdzibul Kamal, Al-Mizzi (35/389-390)

******

SELAIN UMMU HANI, ADAKAH WANITA LAIN YANG MENOLAK NABI NIKAH DENGAN-NYA.

Ahmad Al-Mutarek berkata:

لِتَنْضَمَّ بِذَلِكَ ابْنَةُ الْعَمِّ إِلَى قَائِمَةِ النِّسَاءِ اللَّاتِي خَطَبَهُنَّ النَّبِيُّ لَكِنَّ زِيَجَتَهُ عَلَيْهِنَّ لَمْ تَكْمُلْ -لِسَبَبٍ أَوْ لِآخَرَ- مِثْلَ ضُبَاعَةَ بِنْتِ عَامِرٍ وَصَفِيَّةَ بِنْتِ بَشَامَةَ وَغَيْرِهِنَّ.

“Dengan demikian, putri paman Nabi , Ummu Hani, termasuk dalam daftar perempuan yang dilamar oleh Rasulullah , namun pernikahan tersebut tidak terlaksana karena berbagai sebab dan alasan. Selain Ummu Hani, ada pula beberapa perempuan lain yang dilamar oleh Nabi namun tidak menjadi istrinya, seperti Dhuba'ah binti Amir, kemudian Shafiyyah binti Basyamah dan lain-lainnya”.

Mungkin sebab utamanya adalah faktor ekonomi . Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda :

ما بعثَ اللَّهُ نبيًّا إلَّا راعيَ غنَمٍ، قالَ لَهُ أصحابُهُ: وأنتَ يا رسولَ اللَّهِ؟ قالَ: وأَنا كُنتُ أرعاها لأَهْلِ مَكَّةَ بالقَراريط قالَ سُوَيْدٌ: يعني كلَّ شاةٍ بقيراطٍ

Allah tidak mengutus seorang nabi pun kecuali sebagai penggembala kambing. Para sahabat bertanya kepada Nabi: "Dan engkau, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Aku juga pernah menggembalakan kambing untuk penduduk Makkah dengan imbalan sejumlah qirath." Suwaid berkata: "Maksudnya, setiap domba dengan satu qirath." [Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2262) dan Ibnu Majah (2149), dan redaksi tersebut berasal dari Ibnu Majah]

Qirath adalah salah satu bagian dari dinar, dan terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab mengenai ukurannya. Menurut mazhab Hanafi, satu qirath setara dengan satu per twentieth (1/20) dari dinar, sehingga qirath menurut mereka sama dengan 0,2125 gram. Sementara itu, menurut mayoritas ulama, satu qirath setara dengan satu per twenty-fourth (1/24) dari dinar, sehingga qirath mereka sama dengan 0,1771 gram.

Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabiir 12/248 no. 13014 meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ امْرَأَةً مِنْ قَوْمِهِ يُقَالُ لَهَا سَوْدَةُ وَكَانَتْ مُصْبِيَةً وَكَانَتْ لَهَا خَمْسَةُ صِبْيَةٍ أَوْ سِتَّةٌ مِنْ بَعْلٍ لَهَا مَاتَ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا يَمْنَعُكِ مِنِّي؟» ، قَالَتْ: وَاللهِ يَا نَبِيَّ اللهِ مَا يَمْنَعُنِي مِنْكَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ أَحَبَّ الْبَرِيَّةِ إِلَيَّ وَلَكِنِّي أُكْرِمُكَ أَنْ تَصْغُوَ هَؤُلَاءِ الصِّبْيَةَ عِنْدَ رَأْسِكَ بُكْرَةً وَعَشِيَّةً، قَالَ: «أَمَا يَمْنَعُكِ مِنِّي شَيْءٌ غَيْرُ ذَلِكَ؟» قَالَتْ: لَا وَاللهِ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَرْحَمُكِ اللهُ إِنَّ خَيْرَ نِسَاءٍ رَكِبْنَ أَعْجَازَ الْإِبِلِ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ ‌أَحْنَاهُ ‌عَلَى ‌وَلَدٍ ‌فِي ‌صِغَرِهِ، ‌وَأَرْعَاهُ ‌عَلَى ‌بَعْلٍ ‌فِي ‌ذَاتِ ‌يَدِهِ»

Bahwa Nabi meminang seorang wanita dari kaumnya yang bernama Saudah. Dia adalah seorang wanita yang memiliki anak-anak kecil, dan dia memiliki lima atau enam anak dari suaminya yang telah meninggal.

Rasulullah berkata kepadanya, "Apa yang menghalangimu dariku?"

Dia menjawab, "Demi Allah, wahai Nabi Allah, tidak ada yang menghalangiku darimu kecuali bahwa engkau adalah orang yang paling aku cintai di dunia ini. Namun, aku merasa tidak pantas jika anak-anak ini berada di sekitarmu pagi dan sore."

Rasulullah bertanya lagi, "Tidak ada yang menghalangimu dariku selain itu?"

Dia menjawab, "Tidak, demi Allah." Maka Rasulullah berkata kepadanya, "Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya sebaik-baik wanita yang pernah menaiki punggung unta adalah wanita-wanita Quraisy yang saleh; mereka sangat penuh kasih sayang kepada anak-anaknya ketika masih kecil, dan sangat menjaga suaminya dalam urusan yang dimilikinya."

******

UMMU HANI (RA) MASUK ISLAM, NAMUN HUBAIRAH SUAMI-NYA TETAP KAFIR HINGGA WAFAT

Saat penaklukan kota Mekkah, Ummu Hani radhiyallahu ‘anha masuk Islam, namun Hubairah (suami Ummu Hani) Tetap dalam Kekafirannya dan melarikan diri ke Najran; karena dia ini termasuk musuh Islam yang paling keras. Maka status Ummu Hani menjadi janda.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Ishobah 8/486 berkata :

قَالَ أَبُو عُمَرَ: هَرَبَ هُبَيْرَةُ لَمَّا فُتِحَتْ مَكَةُ إِلَى نَجْرَانَ.

Abu Umar berkata: "Hubairah (suami Ummu Hani) melarikan diri ke Najran ketika Makkah ditaklukan”.

Hubairah (suami Ummu Hani) bersya’ir tentang masuk Islamnya Ummu Hani.

Ibnu Ishaq berkata:

وَأَمَّا هُبَيْرَةُ بْنُ أَبِي وَهْبٍ الْمَخْزُومِيُّ فَأَقَامَ بِهَا حَتَّى مَاتَ كَافِرًا، وَكَانَتْ عِنْدَهُ أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ، وَاسْمُهَا هِنْدٌ، وَقَدْ قَالَ حِينَ بَلَغَهُ إسْلَامُ أُمِّ هَانِئٍ:

أَشَاقَتْكَ هِنْدٌ أَمْ أَتَاكَ سُؤَالُهَا … كَذَاكَ النَّوَى أَسْبَابُهَا وَانْفِتَالُهَا

وَقَدْ أَرَّقَتْ فِي رَأْسِ حِصْنٍ مُمَنَّعٍ … بِنَجْرَانَ يُسْرِي بَعْدَ لَيْلٍ خَيَالُهَا

‌وَعَاذِلَةٍ ‌هَبَّتْ ‌بِلَيْلٍ ‌تَلُومُنِي … وَتَعْذِلُنِي بِاللَّيْلِ ضَلَّ ضَلَالُهَا

وَتَزْعُمُ أَنِّي إنْ أَطَعْتُ عَشِيرَتِي … سَأُرْدَى وَهَلْ يُرْدِينِ إلَّا زِيَالُهَا

فَإِنِّي لَمِنْ قَوْمٍ إذَا جَدَّ جِدُّهُمْ … عَلَى أَيِّ حَالٍ أَصْبَحَ الْيَوْمَ حَالُهَا

وَإِنِّي لَحَامٍ مِنْ وَرَاءِ عَشِيرَتِي … إذَا كَانَ مِنْ تَحْتِ الْعَوَالِي مَجَالُهَا

“Adapun Hubairah bin Abi Wahb Al-Makhzumi, ia tetap tinggal di Mekah hingga meninggal dalam keadaan kafir. Ummu Hani’ binti Abi Thalib, yang bernama asli Hindun, adalah istrinya. Ketika mendengar kabar tentang keislaman Ummu Hani’, ia bersyair:

'Apakah Hindun membuatmu rindu, ataukah datang berita tentangnya?

Begitulah perpisahan, sebab dan akibatnya selalu menyakitkan.

Ia tak bisa tidur, meski di puncak benteng yang kuat di Najran,

bayangannya melintas di malam hari setelah malam panjang berlalu.

Dan seorang yang mencelaku, di malam hari ia menegurku,

tetapi tegurannya tersesat di malam yang gelap gulita.

Ia menganggap jika aku taat pada keluargaku, aku akan binasa,

padahal tak ada yang akan membinasakanku kecuali perpisahan dengannya.

Aku berasal dari kaum yang jika mereka bersungguh-sungguh,

dalam keadaan apapun, keadaan hari ini akan mereka hadapi.

Aku akan melindungi keluargaku,

jika medan pertempuran terjadi di bawah tombak-tombak yang tinggi.'”

[Referensi : Sirah Ibnu Hisyam (T. As-Saqa) 2/420, Tafsir ath-Thabari 15/41, Siyar al-A’lam an-Nubala 2/313 dan Asad al-Ghoobah 6/404].

Dan disebutkan pula :

أَنَّ هُبَيْرَةَ بَرَّرَ هُرُوبَهُ السَّرِيعَ لِزَوْجَتِهِ شِعْرًا، فَأَنْشَدَهَا:

لَعَمْرُكِ مَا وَلَّيْتُ ظَهْرِي مُحَمَّداً *** وَأَصْحَابَهُ جُبْناً وَلَا خِيفَةَ القَتْلِ

وَلَكِنَّنِي قَلَّبْتُ أَمْرِي فَلَمْ أَجِدْ *** لِسَيْفِي غَنَاءً إِنْ ضَرَبْتُ وَلَا نَبْلِي

وَقَفْتُ فَلَمَّا خِفْتُ ضَيْعَةَ مَوْقِفِي *** رَجَعْتُ لِعَوْد كالهِزَبْرِ أَبِي الشِّبْلِ

Hubairah mengakui kepada istrinya akan pelariannya yang cepat yang dia ungkapkan dalam beberapa syair. Ia bersenandung:

"Demi umurmu, aku tidak membelakangi Muhammad dan para sahabatnya karena pengecut atau takut mati,

Namun aku menimbang keadaanku dan tidak menemukan manfaat bagi pedangku jika aku menyerang, juga tak ada keberhasilanku.

Aku berdiri, tetapi ketika aku takut posisiku akan sia-sia,

Aku kembali seperti singa, bapak dari anak singa, yang siap kembali menyerang."

[Referensi : Miraatuz zamaan 5/122, Nihayatul Arb 17/307, Uyunul Atsar 1/337 dan al-Istii’aab 4/1963].

Ahmad Al-Mutarek berkata :

مَا أَن بَدَأَ الرَّسُولُ فِي دَعْوَتِهِ لِلْإِسْلَامِ حَتَّى كَانَ هُبَيْرَةُ زَوْجُ أُمِّ هَانِئٍ مِنْ أَبْرَزِ مُعَادِيَةِ، فَقَاتَلَ فِي بَدْرٍ ضِدَّ جَيْشِ الْمُسْلِمِينَ، وَأَلَّفَ الْقَصَائِدَ الَّتِي تُقَدِّحُ فِي دَعْوَةِ الرَّسُولِ وَتَحُثُّ الْقَبَائِلَ الْعَرَبِيَّةَ عَلَى التَّجَمُّعِ ضِدَّهَا، وَلَمْ يَخْجَلْ مِنْ إِظْهَارِ سَعَادَتِهِ الْكُبْرَى بِمَقْتَلِ حَمْزَةَ عَمِّ الرَّسُولِ فِي أُحُدٍ. وَبِلَا شَكٍّ فَإِنَّ هَذَا الْعَدَاءَ كَانَ مِنْ طَرَفٍ وَاحِدٍ وَلَمْ تُشَارِكْهُ فِيهِ زَوْجَتُهُ،

"Begitu Nabi mulai berdakwah dan menyerukan kepada Islam, maka Hubairah, suami Ummu Hani, menjadi salah satu musuh dan penentang terkemuka. Ia berperang di Badar melawan pasukan Muslim dan menciptakan puisi-puisi yang menghujat dakwah Nabi serta mendorong suku-suku Arab untuk bersatu melawan dakwah tersebut. Ia bahkan tidak merasa malu menunjukkan kebahagiaannya yang besar atas terbunuhnya Hamzah, paman Nabi, di Perang Uhud. Tanpa diragukan lagi, permusuhan ini bersifat sepihak dan tidak didukung oleh istrinya."

Dalam kitabnya *At-Tawwabin* (hal. 36), Ibnu Qudamah mengungkapkan bahwa Hubairah adalah salah satu dari dua orang yang melarikan diri pada hari penaklukan kota Makakh, bersama Abdullah bin Az-Ziba’ri.

Keduanya menyusun syair yang mencela Islam, lalu mereka pergi ke selatan Jazirah Arab. Namun, Ibnu Az-Ziba’riy meninggalkan Hubairah dan kembali dari Najran kepada Rasulullah , di mana ia memeluk Islam di hadapan beliau. Langkah ini sangat mengejutkan Hubairah.

Al-Waqidy dalam al-Maghazi 2/848 dan Ibnu Ishaq dalam ath-Thabaqat al-Kubra hal. 391 no. 171 menyebutkan :

قَالَ لَهُ هُبَيْرَةُ بْنُ أَبِي وَهْبٍ: أَيْنَ تُرِيدُ ابْنَ عَمِّ؟ قَالَ: أَرَدْتُ مُحَمَّدًا. قَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَتَّبِعَهُ؟ قَالَ: إِي وَاللَّهِ. قَالَ: يَقُولُ هُبَيْرَةُ: يَا لَيْتَ أَنِّي كُنْتُ رَافَقْتُ غَيْرَكَ، ‌وَاللَّهِ ‌مَا ‌ظَنَنْتُ ‌أَنَّكَ ‌تَتَّبِعُ ‌مُحَمَّدًا ‌أَبَدًا. قَالَ ابْنُ الزِّبَعْرَيِّ: فَهُوَ ذَاكَ، فَعَلَى أَيِّ شَيْءٍ نُقِيمُ مَعَ بَنِي الْحَارِثِ بْنِ كَعْبٍ وَأَتْرُكُ ابْنَ عَمِّي وَخَيْرَ النَّاسِ وَأَبَرَّ النَّاسِ، وَمَعَ قَوْمِي وَدَارِي أَحَبُّ إِلَيَّ. فَانْحَدَرَ ابْنُ الزِّبَعْرَيِّ حَتَّى جَاءَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ جَالِسٌ فِي أَصْحَابِهِ، فَلَمَّا نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «هَذَا ابْنُ الزِّبَعْرَيِّ وَمَعَهُ وَجْهٌ فِيهِ نُورُ الْإِسْلَامِ» . فَلَمَّا وَقَفَ عَلَيْهِ قَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيْ رَسُولَ اللَّهِ، شَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّكَ عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانِي لِلْإِسْلَامِ، فَقَدْ عَادَيْتُكَ وَأَجْلَبْتُ عَلَيْكَ، وَرَكِبْتُ الْفَرَسَ وَالْبَعِيرَ وَمَشَيْتُ عَلَى قَدَمَيَّ فِي عَدَاوَتِكَ، ثُمَّ هَرُبْتُ مِنْكَ إِلَى نَجْرَانَ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ لَا أَقْرَبَ الْإِسْلَامَ أَبَدًا، ثُمَّ أَرَادَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِخَيْرٍ فَأَلْقَاهُ فِي قَلْبِي وَحَبَّبَهُ إِلَيَّ، فَذَكَرْتُ مَا كُنْتُ فِيهِ مِنَ الضَّلَالَةِ وَاتِّبَاعِ مَا لَا يَنْفَعُ ذَا عَقْلٍ مِنْ حَجَرٍ يُعْبَدُ وَيُذْبَحُ لَهُ، لَا يَدْرِي مَنْ عَبَدَهُ وَلَا مَنْ لَا يَعْبُدُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ لِلْإِسْلَامِ، أَحْمَدُ اللَّهَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَحُتُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ» . قَالَ: وَأَقَامَ هُبَيْرَةُ بْنُ أَبِي وَهْبٍ بِنَجْرَانَ مُشْرِكًا حَتَّى مَاتَ بِهَا

Hubairah bin Abi Wahb berkata kepada Ibnu az-Zib’ari : "Kau hendak pergi ke mana, wahai putra pamanku?"

Ia menjawab: "Aku hendak pergi kepada Muhammad ." Hubairah bertanya: "Kau ingin mengikutinya?" Ia menjawab: "Ya, demi Allah."

Hubairah pun berkata: "Seandainya aku pergi bersama orang lain, demi Allah, aku tak pernah menyangka bahwa kau akan mengikuti Muhammad selamanya."

Ibnu Az-Zib’ari menjawab: "Ya, begitu. Lalu, apa yang membuatku tetap tinggal bersama Bani Al-Harith bin Ka’b dan meninggalkan putra pamanku, manusia terbaik, orang yang paling berbakti, bersama dengan kaumku dan tempat tinggalku yang lebih kucintai."

Maka, Ibnu Az-Zib’ari pergi hingga sampai kepada Rasulullah , yang sedang duduk bersama para sahabatnya. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau berkata: "Itu adalah Ibnu Az-Zib’ari, dan bersamanya ada wajah yang memancarkan cahaya Islam."

Ketika ia sampai di hadapan Rasulullah , ia berkata: "As-salamu ‘alaika, wahai Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya. Segala puji bagi Allah yang telah memberiku petunjuk kepada Islam. Dulu aku memusuhimu, aku menyerangmu, aku menunggang kuda dan unta, dan berjalan kaki untuk memerangimu. Lalu aku melarikan diri darimu ke Najran dengan niat untuk tidak mendekati Islam selamanya. Namun Allah menghendaki kebaikan untukku, Dia menanamkan Islam dalam hatiku dan membuatnya dicintai olehku. Aku teringat pada keadaan yang dulu aku jalani dalam kesesatan, mengikuti sesuatu yang tak bermanfaat bagi orang yang berakal, seperti batu yang disembah dan disembelih untuknya, padahal ia tidak mengetahui siapa yang menyembahnya dan siapa yang tidak."

Rasulullah pun bersabda: "Segala puji bagi Allah yang telah memberimu petunjuk kepada Islam. Aku memuji Allah karena Islam menghapuskan dosa-dosa sebelumnya."

Ibnu Az-Zib’ari berkata: "Hubairah bin Abi Wahb tetap tinggal di Najran sebagai orang musyrik hingga meninggal di sana."

[lihat pula : at-Tawaabin oleh Ibnu Qudaamah hal. 76 dan Miraatuz Zaman 4/93].

*****

KETIKA UMMU HANI (RA) TELAH SIAP MENIKAH DENGAN NABI , NAMUN PERUBAHAN HUKUM SYAR’I MENGHALANGI-NYA.

Hubungan Ummu Hani dengan Nabi tetap terjalin meskipun dia menolak untuk menikah dengan beliau.

Seiring berjalannya waktu, anak-anak Ummu Hani tumbuh besar dan mulai mandiri, maka setelah itu Ummu Hani mulai merasa siap untuk membangun rumah tangga bersama Rasulullah , lalu dia pun datang menghadap Rasulullah . Di hadapan beliau , dia mengungkapkan kesiapannya untuk menikah dengan beliau , orang yang dicintainya sejak dirinya masih gadis. Ini sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Sa'd dalam *Kitab Al-Tabaqat Al-Kubra* :

أَنَّ أَوْلَادَهَا حِينَمَا كَبِرُوا قَلِيلًا ذَهَبَتْ إِلَى الرَّسُولِ وَعَرَضَتْ نَفْسَهَا عَلَيْهِ، هَذِهِ الْمَرَّةُ جَاءَ الرَّفْضُ مِنْهُ قَائِلًا بِحَسْمٍ: "أَمَا الْآنَ فَلَا".

 bahwa ketika anak-anaknya sudah agak besar, dia mendatangi Rasulullah dan menawarkan dirinya kepada beliau. Kali ini, penolakan datang dari Nabi yang dengan tegas berkata: "Adapun sekarang, tidak."

Penolakan ini bukanlah ungkapan penolakan pribadi Rasulullah terhadapnya, melainkan kepatuhan terhadap perintah ilahi yang disebutkan dalam ayat 50 dari Surah Al-Ahzab:

﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۗ ﴾

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin”. [QS. Ahzab: 50] .

Sayang sekali, semuanya telah terlambat, dikarenakan Allah telah menurunkan ayat yang berisi perubahan hukum atas Nabi tentang wanita-wanita yang boleh dinikahi olehnya , yaitu sejak turun ayat tersebut beliau tidak diperbolehkan menikahi wanita muslimah yang bukan ahli hijrah ke Madinah sebelum penaklukan Makkah. Sementara masuk Islam-nya Ummu Hani terjadi setelah penaklukan Mekkah. Ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah bersabda:

” لا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلكنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفرِتُمْ فانْفِرُوا”

“Tidak ada hijrah setelah pembebasan Makkah (Fathul Makkah), tetapi yang ada adalah Jihad dan Niat. Karena itu, jika kalian semua diminta keluar (oleh Imam untuk berjihad) maka keluarlah (berangkat berjihad)”. [Muttafaq ‘alaihi]

Akhir dari kisah cinta tersebut ditentukan dengan perintah ilahi yang melarang Nabi untuk menikahinya selamanya, karena dia tidak memenuhi syarat yang ditetapkan Al-Qur'an untuk pernikahan masa depan Nabi .

Hal ini disampaikan dengan penuh penyesalan dan kesedihan oleh Ummu Hani :

لَمْ أُحِلَّ لَهُ، فَلَمْ أُهَاجِرْ مَعَهُ.

"Aku tidak dihalalkan untuknya, karena aku tidak berhijrah bersamanya."

**Al-Qur'an Telah Melarang Keduanya Untuk Bersatu Selamanya**

Ibnu Sa'd dalam *ath-Thabaqat al-Kubra* (8/153) meriwayatkan dari Isma'il bin Abdurrahman, ia berkata: "Abu Shalih, Mawlaa Ummu Hani berkata:

خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ؛ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنِّي مُوْتِمَةٌ وَبَنِي صِغَارٌ، قَالَ: ‌فَلَمَّا ‌أَدْرَكَ ‌بَنُوهَا؛ ‌عَرَضَتْ ‌نَفْسَهَا ‌عَلَيْهِ، فَقَالَ: "أَمَّا الآنَ؛ فَلَا؛ لِأَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ عَلَيْهِ: {يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ}، إِلَى قَوْلِهِ: {اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ}، وَلَمْ تَكُنْ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ".

Rasulullah melamar Ummu Hani binti Abi Thalib, maka ia berkata: 'Wahai Rasulullah, aku adalah seorang janda yang mengurus anak-anak yang masih kecil.'

Ketika anak-anaknya telah dewasa, Ummu Hani menawarkan dirinya kepada Rasulullah   untuk dinikahi, namun beliau bersabda:

'Adapun sekarang, tidak, karena Allah telah menurunkan firman-Nya:

{Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawin kepada mereka}, sampai pada firman-Nya: {yang berhijrah bersamamu},

Sementara dia (Ummu Hani) tidak termasuk di antara wanita yang berhijrah bersamamu.'"

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'd dalam *ath-Thabaqat al-Kubra* (8/153) dan disampaikan oleh Hafizh Ibn Hajar dalam *al-Ishabah* (6/410).

Salim bin Abdul Hilaly dan Muhammad Aalu Nashr dalam Takhrij al-Istii’aab 3/124 berkata:

أَخْرَجَ ابْنُ سَعْدٍ فِي "الطَّبَقَاتِ الْكُبْرَى" (٨/ ١٥٣) بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ قَالَ: نَا أَبُو صَالِحٍ قَالَ:

Ibnu Sa'd dalam *ath-Thabaqat al-Kubra* (8/153) meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Isma'il bin Abdurrahman, ia berkata: "Abu Shalih berkata: ... dst"

**Riwayat lain :**

Ibnu Abdil Barr dalam al-Istii’aab 3/123 meriwayatkan dari Ummu Hani binti Abi Thalib -radhiyallahu 'anha- ia berkata:

خَطَبَنِي رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؛ فَاعْتَذَرْتُ إِلَيْهِ، فَعَذَرَنِي، ثُمَّ أَنْزَلَ: {إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}، قَالَتْ: فَلَمْ أَكُنْ أَحِلُّ لَهُ؛ لِأَنِّي لَمْ أُهَاجِرْ، كُنْتُ مِنَ الطُّلَقَاءِ.

"Rasulullah melamarku, namun aku meminta maaf kepada beliau, dan beliau memaklumi. Kemudian turunlah ayat:

{Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawin kepada mereka, dan hamba sahaya yang engkau miliki dari apa yang diberikan Allah kepadamu sebagai rampasan perang, serta anak-anak perempuan dari paman-pamanmu, anak-anak perempuan dari bibi-bibimu, anak-anak perempuan dari paman-pamanmu dari pihak ibu, anak-anak perempuan dari bibi-bibimu dari pihak ibu yang berhijrah bersamamu, dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan bagi orang-orang mukmin lainnya. Sungguh, Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki, agar tidak menjadi kesulitan bagimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.}”

Ummu Hani berkata: “Aku tidak halal baginya karena aku bukan termasuk wanita yang ikut berhijrah. Aku termasuk dari golongan yang dimerdekakan (di hari Penaklukan kota Makkah).”

TAKHRIJ HADITS :

Diriwayatkan oleh Abdur bin Hamid dalam *Tafsirnya*; sebagaimana terdapat dalam *Takhrij al-Kashaf* (3/116) - dan dari beliau diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam *al-Jami'* (5/355 no. 3214) - dan Ibnu Sa'd dalam *ath-Thabaqat al-Kubra* (8/153), serta Ibn Abi Syaibah dan Ishaq bin Rahuyah dalam *Musnad mereka*; sebagaimana terdapat dalam *Takhrij al-Kashaf* (3/116), dan *al-Fath as-Samawi* (3/939), dan *al-Mathalib al-‘Aliyah* (9/367, 368 no. 4570), dan ath-Thabari dalam *Jami’ al-Bayan* (22/15), dan Ibn Abi Hatim dalam *Tafsirnya*; sebagaimana terdapat dalam *Tafsir al-Quran al-‘Azhim* (3/507), dan *Takhrij Hadits al-Kashaf* (3/116), dan al-Thabarani dalam *al-Mu’jam al-Kabir* (24/321 no. 985 - singkatnya, dan 327 no. 1007), dan al-Hakim (2/420, 4/53), dan al-Baihaqi dalam *as-Sunan al-Kubra* (7/54), dan al-Thaalibi dalam *al-Kashf wa al-Bayan* (8/53), dan Ibn Marduwaih dalam *Tafsirnya*; sebagaimana terdapat dalam *Takhrij al-Kashaf* (3/116). Semua ini melalui jalur Ubaidullah bin Musa dari Isra'il dari as-Suddi dari Abu Shalih Badhham, budak Ummu Hani, dari Ummu Hani dengan sanad tersebut.

At-Tirmidzi -sebagaimana terdapat dalam *al-Matbu'*- berkata: "Ini adalah hadits yang hasan sahih." Dalam *Tuhfah al-Ashraf* (12/450) dikatakan: "Ini adalah hadits yang hasan." Al-Hakim berkata: "Ini adalah hadits yang sahih sanadnya, tetapi tidak diriwayatkan oleh keduanya," dan diakui oleh adz-Dzahabi.

Namun Al-Albani, dalam *Daif at-Tirmidzi* (no. 6230) berkata: "Sangat lemah."

Ibnu Abi Hatim mengeluarkannya; sebagaimana terdapat dalam *Tafsir al-Quran al-‘Azhim* (3/507) dan *Lubab an-Nuqul* (hlm. 176); dan al-Thabarani dalam *al-Mu’jam al-Kabir* (24/327 no. 1005) melalui jalur Ismail bin Abi Khalid dari Abu Shalih dari Ummu Hani; ia berkata:

نَزَلَتْ فِيَّ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ} أَرَادَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنْ يَتَزَوَّجَنِي فُنُهِيَ عَنِّي؛ إِذْ لَمْ أُهَاجِرْ.

"Ayat ini diturunkan tentangku: {Dan anak-anak perempuan dari pamanmu, dan anak-anak perempuan dari bibi-bibimu, dan anak-anak perempuan dari pamanmu dari pihak ibu, dan anak-anak perempuan dari bibi-bibimu dari pihak ibu yang berhijrah bersamamu.} Rasulullah ingin menikahiku, tetapi dilarang karena aku tidak berhijrah."

Kami katakan: “Sanadnya sangat lemah”.

Al-Suyuti menyebutkannya dalam *Ad-Durr al-Mantsur* (6/628) dan menambahkannya merujuk kepada Ibnu Marduwaih.

===*****====

**LAHIRNYA : “HAK PEMBERIAN SUAKA BAGI SETIAP INDIVIDU MUSLIM”:**

Arti suaka secara bahasa adalah tempat berlindung, mengungsi, menumpang (pada), menumpang hidup (pada). Contohnya ungkapan : ia minta suaka kepada negara lain;

Suaka alam ; yakni perlindungan yang diberikan pemerintah atau badan yang berwenang terhadap suatu daerah yang memiliki tumbuhan atau binatang yang terancam punah; cagar alam;

Suaka margasatwa ; yakni cagar alam yang secara khusus digunakan untuk melindungi binatang liar di dalamnya.

Suaka politik ; yakni perlindungan secara politik terhadap orang asing yang terlibat dalam perkara politik;

Menyuakakan ; yakni memberikan perlindungan terhadap orang (tumbuh-tumbuhan, binatang) yang terancam keselamatannya

Jadi Suaka Politik atau asylum adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada orang asing yang terlibat perkara/ kejahatan politik di negara lain atau negara asal pemohon suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karena tuntutan hak-hak politiknya secara umum.

Orang-orang yang diberikan suaka politik disebut pula pengungsi, pelarian atau yang semisal-nya. Yaitu seseorang atau sekelompok orang yang melarikan diri dari negaranya ke suatu negara yang menjadi tujuannya ; karena mengalami penindasan akibat situasi politik, keagamaan, militer, atau lainnya.

TRADISI ARAB PRA ISLAM TERKAIT DENGAN HAK PERLINDUNGAN :

Pada masa jahiliyah, orang-orang Arab sangat menjunjung tinggi perlindungan (jiwar), dan mereka melindungi siapa saja yang meminta perlindungan kepada mereka, sama seperti mereka melindungi keluarga dan anak-anak mereka. Namun, pada masa itu, mereka sering kali melampaui batas dalam memberikan perlindungan, bahkan hingga melibatkan diri dalam perang dan serangan demi membela siapa pun yang meminta perlindungan, baik orang itu berada di pihak yang benar maupun yang salah, baik dia berbuat zalim maupun adil.

Ketika Rasulullah datang membawa petunjuk dan cahaya, beliau memperbaiki akhlak mereka, membersihkan dari kezaliman dan keburukan, serta menetapkan bahwa kebaikan dalam memberikan perlindungan harus dilakukan tanpa kezaliman atau permusuhan. Bahkan, Rasulullah mewajibkan seorang Muslim untuk menolong saudaranya, baik yang menzalimi maupun yang dizalimi. Para sahabat terkejut dengan perintah tersebut, terutama dalam konteks menolong orang yang menzalimi. Rasulullah lalu menjelaskan bahwa menolong orang yang zalim bukanlah dengan mendukungnya dalam setiap kondisi sebagaimana yang mereka kenal pada masa jahiliyah, melainkan dengan menghentikannya dari berbuat zalim dan menahannya dari perbuatan tersebut.

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: *"Tolonglah saudaramu, baik dia yang menzalimi maupun yang dizalimi."* Seorang sahabat bertanya: *"Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya jika dia dizalimi, tetapi bagaimana jika dia menzalimi? Bagaimana aku menolongnya?"* Rasulullah menjawab: *"Engkau mencegahnya dari berbuat zalim, karena itu adalah bentuk pertolongan kepadanya."* Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari.

Suaka politik hak negara secara global dalam ketatanegaraan Islam merujuk pada dua peristiwa, yaitu :

[1]- Baiat ‘Aqabah II sebelum Nabi Muhammad hijrah ke madinah

[2]- Perjanjian Hudaibiyyah , sebelum penaklukan kota Makkah.

*****

KRONOLOGI LAHIR-NYA HAK PEMBERIAN SUAKA BAGI SETIAP INDIVIDU MUSLIM

Pada bulan Ramadan tahun kedelapan hijriyah, Allah subhanahu wa ta'ala memberikan kemenangan kepada Rasulullah dengan penaklukan Makkah al-Mukarramah, yang dikenal sebagai penaklukan terbesar. Penaklukan ini merupakan kemenangan yang memuliakan agama Allah dan Rasul-Nya serta membawa banyak orang masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong. Allah Ta'ala berfirman:

﴿ إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا﴾

*"Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan yang nyata kepadamu."* (Al-Fath: 1).

Selama penaklukan ini, ada beberapa orang musyrik musuh besar umat Islam yang melarikan diri masuk ke rumah Ummu Hani binti Abu Thalib radhiyallahu 'anha dan meminta suaka atau perlindungan kepadanya. Ali radhiyallahu 'anhu, saudaranya, mengejar mereka untuk membunuh mereka. Maka mereka segara meminta suaka dan perlindungan kepada Ummu Hani, dan ia pun memberikannya kepada mereka. Lalu, Ummu Hani mendatangi Rasulullah untuk mengabarkan peristiwa ini dan berkata:

"لَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ فَرَّ إِلَيْهَا رَجُلَانِ مِنْ بَنِي مَخْزُومٍ فَأَجَارَتْهُمَا، قَالَتْ: فَدَخَلَ عَلَيَّ عَلِيٌّ فَقَالَ: ’أَقْتُلُهُمَا’. فَلَمَّا سَمِعْتُهُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ، فَلَمَّا رَآنِي رَحَّبَ وَقَالَ: " مَا جَاءَ بِكِ؟ " قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ ‌كُنْتُ ‌أَمَّنْتُ ‌رَجُلَيْنِ ‌مِنْ ‌أَحْمَائِي فَأَرَادَ عَلِيٌّ قَتْلَهُمَا.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ " ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ، ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبًا فَالْتَحَفَ بِهِ، ثُمَّ صلى ثمانى رَكْعَات سبْحَة الضُّحَى".

"Ketika terjadi penaklukan, dua orang dari Bani Makhzum melarikan diri kepadaku, dan aku memberikan perlindungan kepada mereka," kata Ummu Hani. "Kemudian Ali datang kepadaku dan berkata: 'Aku akan membunuh mereka.'

Ketika mendengar hal itu, aku segera pergi menemui Rasulullah yang berada di atas bukit di Makkah. Ketika Rasulullah melihatku, beliau menyambutku dengan hangat dan berkata: 'Apa yang membawamu ke sini, wahai Ummu Hani?'

Aku berkata: 'Wahai Rasulullah, aku telah memberikan perlindungan kepada dua orang dari keluargaku, namun Ali ingin membunuh mereka.'

Rasulullah bersabda: 'Kami melindungi siapa saja yang engkau lindungi.'"

Kemudian Rasulullah bangkit untuk mandi, dan Fatimah menutupinya. Setelah itu, beliau mengambil sehelai kain, menutup tubuhnya, dan melaksanakan shalat delapan rakaat (shalat Dhuha)."

[Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim no. 82, Abu Daud no. 2763, Ahmad 6/341 dan al-Hakim 4/45..

Dalam riwayat Bukhari no. 3171, Ummu Hani` binti Abu Thalib berkata;

ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ فَقُلْتُ أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ : «مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ» . فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّي أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا قَدْ أَجَرْتُهُ فُلَانُ بْنُ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «‌قَدْ ‌أَجَرْنَا ‌مَنْ ‌أَجَرْتِ ‌يَا ‌أُمَّ ‌هَانِئٍ». قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ "وَذَاكَ ضُحًى".

"Aku pernah pergi menemui Rasulullah pada waktu Fathu Makkah, Saya mendapati beliau sedang mandi sedangkan Fathimah, anak perempuannya, menutupinya dengan selembar kain. Lalu saya mengucapkan salam kepadanya." Beliau bertanya: "Siapa itu?" saya menjawab; "Saya Ummu Hani` binti Abu Thalib" beliau bersabda: "Selamat datang, Ummu Hani`." Seusai mandi, beliau berdiri dan shalat delapan rakaat dengan memakai sehelai baju. Saat beliau selesai, saya menuturkan; "Wahai Rasulullah! saudaraku Ali hendak membunuh seorang laki-laki yang telah saya beri perlindungan, dia adalah fulan bin Hubairah." Rasulullah bersabda: "Kami telah memberi perlindungan terhadap orang yang telah kamu lindungi, wahai Ummu Hani`." Ummu Hani` berkata; "Demikian itu terjadi pada waktu dluha. [HR. Bukhori no. 3171].

Dan Imam Bukhari memberikan judul bab untuk hadis ini:

" بَابُ أَمَانِ النِّسَاءِ وَجِوَارِهِنَّ "

*"Bab Hak Perlindungan dari kaum Wanita dan Jaminan Keamanan dari Mereka."*

Dalam riwayat Ahmad 44/476 no. 26906 dan lainnya disebutkan pula bahwa Rasulullah berkata kepadanya:

قَدْ ‌أَجَرْنَا ‌مَنْ ‌أَجَرْتِ، ‌وَأَمَّنَّا ‌مَنْ ‌أَمَّنْتُ، فَلَا يَقْتُلْهُمَا

*"Kami melindungi siapa yang engkau lindungi, dan memberikan rasa aman kepada siapa yang engkau berikan rasa aman, maka jangan biarkan mereka dibunuh."*

[Lihat pula : Siirah Ibnu Hisyam 2/411]

Syu’aib al-Arna’uth dalam takhrij al-Musnad berkata :

إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَقَدْ سَلَفَ مُطَوَّلًا بِرَقَم (26892)، إِلَّا أَنَّ شَيْخَ أَحْمَدَ فِي هَذَا الإِسْنَادِ هُوَ وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ.

“Sanadnya sahih sesuai dengan syarat *Al-Bukhari* dan *Muslim*, dan telah disebutkan secara panjang lebar pada nomor (26892), kecuali bahwa guru Ahmad dalam sanad ini adalah Waki' bin Al-Jarrah”.

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf no. 36928:

قَالَ : «مَرْحَبًا وَأَهْلًا بِأُمِّ هَانِئٍ ، مَا جَاءَ بِكِ»؟ قَالَتْ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ ، فَرَّ إِلَيَّ رَجُلَانِ مِنْ أَحْمَائِي ، فَدَخَلَ عَلَيَّ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَزَعَمَ أَنَّهُ قَاتِلُهُمَا ، فَقَالَ: «لَا ، ‌قَدْ ‌أَجَرْنَا ‌مَنْ ‌أَجَرْتِ ‌يَا ‌أُمَّ ‌هَانِئٍ وَأَمَّنَّا مَنْ أَمَّنْتِ»

Rasulullah menyambutnya dengan mengatakan : "Selamat datang, wahai Ummu Hani, apa yang membawamu kemari?"

Ummu Hani berkata: "Aku berkata: Wahai Nabi Allah, dua orang dari kerabatku melarikan diri kepadaku, dan Ali bin Abi Thalib masuk ke rumahku dan mengatakan bahwa dia akan membunuh mereka." Rasulullah berkata: "Tidak, kita telah melindungi siapa yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani, dan kita memberikan rasa aman kepada siapa yang engkau beri rasa aman."

[Diriwayatkan pula dengan lafadz yang sama oleh Abu Daud no. 2763, al-Baihaqi dalam al-Kubra 8/57 no. 8631, Abu ‘Awanah dalam al-Mustakhraj 14/415 no. 7227

Dalam riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 1013 , dari Ummu Hani, dia berkata :

أَجَرْتُ رَجُلَيْنِ حَمَوَيْنِ لِي مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَدَخَلَ عَلِيَّ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَتَفَلَّتَ عَلَيْهِمَا لِيَقْتُلَهُما، وَقَالَ: أَتُجِيرِينَ الْمُشْرِكِينَ؟ فَقُلْتُ: وَاللهِ لَا تَقْتُلُهُما حَتَّى تَبْدَأَنِي قَبْلَهُمَا، ثُمَّ خَرَجَ، فَقُلْتُ: أَغْلِقُوا الْبَابَ دُونَهُ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَسْفَلِ الثَّنِيَّةِ، فَلَمْ أَجِدُهُ، وَوَجَدْتُ فَاطِمَةَ فَكَانَتْ أَشَدَّ عَلِيَّ مِنْ زَوْجِهَا، وَقَالَتْ: لِمَ تُجِيرِينَ الْمُشْرِكِينَ؟ إِلَى أَنْ طَلَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثَوْبٌ وَاحِدٌ، فَقَالَ: «مَرْحَبًا بِفَاخِتَةَ أُمِّ هَانِئٍ» ، فَقُلْتُ: مَاذَا لَقِيتُ مِنَ ابْنِ أُمِّي أَجَرْتُ رَجُلَيْنِ حَمَوَيْنِ لِي مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَتَفَلَّتَ عَلَيْهِمَا لِيَقْتُلَهُما، فَقَالَ: «مَا كَانَ لَهُ ذَلِكَ، ‌قَدْ ‌أَجَرْنَا ‌مَنْ ‌أَجَرْتِ، ‌وَأَمَّنَّا ‌مَنْ ‌أَمَّنْتِ»

Aku telah memberikan perlindungan kepada dua orang dari kerabat musyrikku. Kemudian Ali bin Abi Thalib datang ke rumahku dengan maksud membunuh mereka, dan berkata: "Apakah engkau melindungi kaum musyrik?"

Aku menjawab: "Demi Allah, engkau tidak akan membunuh mereka sampai engkau membunuhku terlebih dahulu."

Lalu Ali keluar, dan aku berkata: "Tutup pintu di belakangnya." Setelah itu, aku pergi menemui Nabi di bawah bukit, namun aku tidak menemukannya. Aku bertemu Fatimah yang tampak lebih keras terhadapku daripada suaminya, dan berkata: "Mengapa engkau memberikan perlindungan kepada kaum musyrik?"

Hingga akhirnya Rasulullah datang dengan mengenakan satu kain. Beliau berkata: "Selamat datang, wahai Fakhitah, Ummu Hani."

Aku pun berkata: "Apa yang aku alami dari saudara sepupuku! Aku telah memberikan perlindungan kepada dua orang dari kerabat musyrikku, namun dia ingin membunuh mereka."

Rasulullah bersabda: "Dia tidak berhak melakukan itu. Kita telah melindungi siapa yang engkau lindungi, dan memberikan rasa aman kepada siapa yang engkau beri rasa aman."

Dalam lafadz lain dalam al-Mu’jam al-Kabiir 24/341 no. 1056 , Ummu Hani berkata :

أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ دَخَلَ عَلَيْهَا فِي غَزْوَةِ الْفَتْحِ بِمَكَّةَ، فَوَجَدَ عِنْدِي رَجُلَيْنِ مِنْ أَهْلِ زَوْجِي قَدْ فَرَّا إِلَيَّ، فَأَرَادَ أَنْ يَقْتُلَهُمَا، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ أَغْلَقْتُ عَلَيْهِمَا بَابِي، ثُمَّ ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ، فَلَمَّا رَآنِي رَحَّبَ بِي، وَقَالَ: «مَا جَاءَ بِكِ يَا أُمَّ هانِي؟» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلانِ مِنْ أَهْلِ زَوْجِي احْتَمَا بِي، فَوَجَدَهُمَا عَلِيٌّ عِنْدِي فَزَعَمَ أَنَّهُ قَاتِلُهُمَا، فَجِئْتُكَ فِي ذَلِكَ، فَقَالَ: «‌قَدْ ‌أَجَرْنَا ‌مَنْ ‌أَجَرْتِ، ‌وَأَمَّنَّا ‌مَنْ ‌أَمَّنْتِ» ، ثُمَّ سَكَبْتُ لَهُ مَاءً فَاغْتَسَلَ فَسَتَرَتْهُ فَاطِمَةُ بِنْتُهُ بِثَوْبٍ، فَلَمَّا اغْتَسَلَ أَخَذَهُ فَأَلْقَى بِهِ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِ سَجَدَاتٍ، وَذَلِكَ ضُحًى

Ali bin Abi Thalib memasuki rumahku saat Penaklukan Makkah, dan dia menemukan dua orang dari keluarga suamiku yang melarikan diri kepadaku. Dia ingin membunuh mereka. Ketika aku melihat hal itu, maka aku menutup pintu rumahku untuk melindungi mereka, lalu aku pergi menemui Rasulullah yang berada di atas bukit di Makkah.

Ketika beliau melihatku, beliau menyambutku dan berkata: "Apa yang membawamu ke sini, wahai Ummu Hani?"

Aku menjawab: "Wahai Rasulullah, dua orang dari keluarga suamiku berlindung kepadaku, dan Ali menemukannya di rumahku serta mengatakan bahwa dia akan membunuh mereka. Maka aku datang kepadamu untuk hal ini."

Rasulullah bersabda: "Kami telah melindungi siapa yang engkau lindungi, dan kami memberikan rasa aman kepada siapa yang engkau beri rasa aman."

Kemudian aku menuangkan air untuk beliau, dan beliau mandi. Fatimah, putrinya, menutupinya dengan sehelai kain. Setelah mandi, beliau mengambil kain tersebut dan melemparkannya. Lalu, beliau bangkit dan melaksanakan shalat delapan rakaat, yang merupakan shalat Dhuha”.

Al-Imam ath-Thahawi dalam Syarah Musykil al-Atsar 3/323 no. 5452 berkata :

وَلَمْ يُعَنِّفْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ فِي إِرَادَتِهِ قَتْلَهُمَا قَبْلَ جِوَارِ أُمِّ هَانِئٍ إِيَّاهُمَا ، فَدَلَّ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْلَا جِوَارُهَا لَصَحَّ قَتْلُهُمَا

“Rasulullah tidak memarahi Ali radhiyallahu 'anhu atas niatnya untuk membunuh kedua orang tersebut sebelum perlindungan dari Ummu Hani terhadap mereka. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya tidak ada perlindungan dan suaka dari Ummu Hani, pembunuhan mereka akan dibenarkan”.

******

PEMBERLAKUAN HAK PEMBERIAN SUAKA BAGI SETIAP INDIVIDU MUSLIM

Pemberlakuan dan penerapan Konsep hak memberi suaka politik bagi setiap individu muslim dipertegas sejak terjadi apa yang terjadi saat penaklukan kota Makkah antara **Ummu Hani dengan saudaranya Ali bin Thalib** radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Oleh sebab itu dalam hal ini Ali bin Abi Thalib adalah perawi utama dalam meriwayatkan hadits ini, begitu juga Ummu Hani.

Setelah itu Nabi memberikan izin kepada setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, untuk memberikan perlindungan dan keamanan kepada siapa pun. Keamanan yang diberikan oleh seorang Muslim dianggap berlaku untuk seluruh umat, sehingga jika seorang Muslim memberikan jaminan keamanan kepada seseorang, maka tidak ada seorang pun yang berhak mencabutnya.

Banyak hadits yang mendukung legitimasi pemberian hak perlindungan atau jaminan kemaanan ini . Diantaranya adalah  sbb :

Pertama : hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.

Dalam hadits tersebut, Rasulullah bersabda:

ذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ، يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ، فَمَنْ أَخْفَرَ مُسْلِمًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلَا عَدْلٌ.

“Hak jaminan keamanan (perlindungan) Kaum Muslimin adalah sama, maksudnya orang yang paling rendahpun bisa menggunakan hak perlindungannya. Barang siapa yang melanggar jaminan keamanan yang diberikan oleh seorang Muslim, maka atasnya adalah laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima dari orang itu amalan fardhu (wajib) maupun nafilah (sunnah).”

[HR. Bukhori no. 1870 dan Muslim no. 1370].

Kedua : Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lafadznya sama dengan hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu diatas [HR. Muslim no. 1371].

Ketiga : Hadits Aisyah radhiyallahu 'anha. Bahwa Rasulullah bersabda:

«ذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ، ‌فَإِنْ ‌أَجَارَتْ ‌عَلَيْهِمُ ‌امْرَأَةٌ ‌فَلَا ‌تَخْفِرُوهَا، فَإِنَّ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءً يُعْرَفُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

“Jaminan keamanan umat Islam itu satu. Jika seorang perempuan memberikan perlindungan, maka janganlah kamu mengkhianatinya, karena setiap pengkhianat akan membawa bendera di Hari Kiamat.”

Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/329 no. 9687 berkata :

رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى، وَفِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَسْعَدَ، وَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ، وَضَعَّفَهُ أَبُو زُرْعَةَ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيحِ

"Diriwayatkan oleh Abu Ya'la, dan di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin As'ad. Ibnu Hibban men-tawtsiq-nya (menganggapnya terpercaya), sedangkan Abu Zur'ah men-dha'if-kannya (menganggapnya lemah), dan para perawi lainnya adalah perawi yang digunakan dalam kitab shahih."

An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 9/144-145 menjelaskan :

الْمُرَادُ بِالذِّمَّةِ هُنَا الْأَمَانُ مَعْنَاهُ ‌أَنَّ ‌أَمَانَ ‌الْمُسْلِمِينَ ‌لِلْكَافِرِ ‌صَحِيحٌ فَإِذَا أَمَّنَهُ بِهِ أَحَدُ الْمُسْلِمِينَ حَرُمَ عَلَى غَيْرِهِ التَّعَرُّضُ لَهُ مَا دَامَ فِي أَمَانِ الْمُسْلِمِ وَلِلْأَمَانِ شُرُوطٌ مَعْرُوفَةٌ  وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ فِيهِ دَلَالَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ أَنَّ أَمَانَ الْمَرْأَةِ وَالْعَبْدِ صحيح لِأَنَّهُمَا أَدْنَى مِنَ الذُّكُورِ الْأَحْرَارِ ... (فَمَنْ أَخْفَرَ مُسْلِمًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ) مَعْنَاهُ مَنْ نَقَضَ أَمَانَ مُسْلِمٍ فَتَعَرَّضَ لِكَافِرٍ أَمَّنَهُ مُسْلِمٌ قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ يُقَالُ أَخَفَرْتَ الرَّجُلَ إِذَا نَقَضْتَ عَهْدَهُ وَخَفَرْتَهُ إِذَا أَمَّنْتَهُ

"Yang dimaksud dengan *dzimmah* di sini adalah jaminan keamanan. Maknanya adalah bahwa jaminan keamanan yang diberikan oleh umat Islam kepada non-Muslim adalah sah. Jika salah satu dari kaum Muslimin memberikan perlindungan kepada non-Muslim, maka haram bagi Muslim lain untuk mengganggunya selama ia berada dalam perlindungan tersebut. Jaminan keamanan ini memiliki syarat-syarat yang telah diketahui. Sabda Rasulullah *'Jaminan keamanan dijalankan oleh siapa pun yang paling rendah di antara mereka'* menunjukkan pendapat Imam Syafi'i dan para pengikutnya bahwa jaminan keamanan yang diberikan oleh perempuan dan hamba sah juga sah, karena keduanya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki merdeka.

Sabda beliau *'Barang siapa yang melanggar jaminan keamanan seorang Muslim, maka atasnya laknat Allah'* berarti bahwa barang siapa yang melanggar jaminan keamanan seorang Muslim, kemudian mengganggu non-Muslim yang telah diberikan perlindungan oleh Muslim, maka ia terkena laknat. Para ahli bahasa menjelaskan bahwa istilah *akhfarta ar-rajul* digunakan ketika seseorang melanggar perjanjian, dan *khafarta* digunakan ketika seseorang memberikan jaminan keamanan."

Ibnu Hajar berkata:

قَوْلُهُ ذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ أَيْ أَمَانُهُمْ صَحِيحٌ ‌فَإِذَا ‌أَمَّنَ ‌الْكَافِرَ ‌وَاحِدٌ ‌مِنْهُمْ ‌حَرُمَ ‌عَلَى ‌غَيْرِهِ ‌التَّعَرُّضُ لَهُ وَلِلْأَمَانِ شُرُوطٌ مَعْرُوفَةٌ

"Sabda Rasulullah *'Jaminan keamanan umat Islam itu satu'* berarti bahwa jaminan keamanan yang diberikan oleh seorang Muslim itu sah. Jika salah seorang dari mereka memberikan perlindungan kepada seorang non-Muslim, maka haram bagi Muslim lainnya untuk mengganggunya. Dan hak-hak suaka keamanan itu memiliki syarat-syarat yang telah diketahui bersama”. [ Fathul Bari 4/86].

At-Tirmidzi berkata:

«‌وَمَعْنَى ‌هَذَا ‌عِنْدَ ‌أَهْلِ ‌العِلْمِ ‌أَنَّ ‌مَنْ ‌أَعْطَى ‌الأَمَانَ مِنَ المُسْلِمِينَ فَهُوَ جَائِزٌ عَلَى كُلِّهِمْ»

"Makna ini, menurut para ulama, adalah bahwa jika seorang Muslim memberikan jaminan keamanan, maka hal itu berlaku untuk seluruh umat Islam." [Sunan at-Tirmidziy 4/142].

Zainab radhiyallahu 'anha, putri Rasulullah , pernah memberikan jaminan keamanan kepada Abu al-'Ash bin Rabi', dan Rasulullah mengakuinya.

Diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu 'anhu:

«أَنَّ زَيْنَبَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَجَارَتْ أَبَا الْعَاصِ فَأَجَازَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - جِوَارَهَا. وَإِنَّ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ أَجَارَتْ أَخَاهَا عَقِيلًا فَأَجَازَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - جِوَارَهَا».

"Bahwa Zainab, putri Rasulullah , memberikan perlindungan kepada Abu al-'Ash, dan Nabi mengesahkan perlindungan yang ia berikan. Dan Ummi Hani', putri Abu Thalib, memberikan perlindungan kepada saudaranya, Aqil, dan Nabi mengesahkan perlindungan yang ia berikan." (Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani).

Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/329 no. 9688 berkata :

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ وَالْأَوْسَطِ بِاخْتِصَارِ أُمِّ هَانِئٍ، وَفِيهِ عَبَّادُ بْنُ كَثِيرٍ الثَّقَفِيُّ وَهُوَ مَتْرُوكٌ

"Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* dan *Al-Awsath* dengan meringkas kisah Ummi Hani’, dan di dalam sanadnya terdapat 'Abbad bin Katsir ats-Tsaqafi, yang ditinggalkan (periwayatannya) karena kelemahannya."

Dan Al-Khaththabi berkata:

‌أَجْمَعَ ‌عَامَّةُ ‌أَهْلِ ‌الْعِلْمِ ‌أَنَّ ‌أَمَانَ ‌الْمَرْأَةِ ‌جَائِزٌ

"Para ulama sepakat secar ijma’ bahwa jaminan keamanan yang diberikan oleh seorang perempuan itu sah." [Di kutip dari ‘Aunul Ma’buud 7/315].

Ibnu Baththal berkata:

إِنَّ كُلَّ مَنْ أَمَّنَ أَحَدًا مِنَ الْحَرْبِيِّينَ جَازَ أَمَانُهُ عَلَى جَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ دَنِيًّا كَانَ أَوْ شَرِيفًا، حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا، رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً، وَلَيْسَ لَهُمْ أَنْ يُخْفِرُوهُ.

"Sesungguhnya masing-masing dari setiap Muslim, baik orang rendahan atau orang berkelas tinggi, orang merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau perempuan, jika memberikan jaminan keamanan kepada seorang non-Muslim dari kalangan yang sedang berperang, maka jaminan itu sah bagi seluruh umat Islam, dan mereka tidak boleh mengkhianatinya."

[Syarah Shahih Bukhori karya Ibnu Baththal 5/351].

Dalam *'Aun al-Ma'bud* 7/315 disebutkan:

" (يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ) أَيْ: بِأَمَانِهِمْ، (أَدْنَاهُمْ) أَيْ: عَدَدًا وَهُوَ الْوَاحِدُ، أَوْ مَنْزِلَةٌ".

"'Jaminan keamanan mereka dijalankan oleh yang paling rendah di antara mereka' maksudnya adalah bahwa jaminan keamanan yang diberikan, baik oleh satu orang atau oleh yang berpangkat rendah, itu sah."

وَقَالَ فِي شَرْحِ السُّنَّةِ: أَيْ أَنَّ وَاحِدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِذَا أَمَّنَ كَافِرًا حَرُمَ عَلَى عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ دَمُهُ، وَإِنْ كَانَ هَذَا الْمُجِيرُ أَدْنَاهُمْ".

Dalam *Syarh as-Sunnah* 10/174 dijelaskan:

وَقَوْلُهُ: «وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ»، مَعْنَاهُ: أَنَّ وَاحِدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ ‌إِذَا ‌آمَنَ ‌كَافِرًا، ‌حَرُمَ ‌عَلَى ‌عَامَّةِ ‌الْمُسْلِمِينَ ‌دَمُهُ، وَإِنْ كَانَ هَذَا الْمُجِيرُ أَدْنَاهُمْ مِثْلُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا، أَوِ امْرَأَةً، أَوْ عَسِيفًا تَابِعًا، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، وَلا تُخْفَرُ ذِمَّتُهُ

"Dan sabdanya: 'Dan jaminan keamanan mereka berlaku pula bagi orang yang paling rendah di antara mereka,' maksudnya adalah bahwa jika salah satu dari umat Islam memberikan perlindungan kepada seorang non-Muslim, maka haram bagi seluruh umat Islam untuk mengganggu nyawanya, meskipun orang yang memberikan perlindungan tersebut adalah yang paling rendah, seperti seorang hamba, seorang wanita, atau seorang pelayan yang menjadi pengikut, atau yang semisalnya. Dan jaminan keamanannya tidak boleh dilanggar."

Pernyataan-pernyataan para ulama diatas menegaskan prinsip dasar dalam politik Islam bahwa jaminan keamanan yang diberikan oleh satu orang Muslim, terlepas dari status sosialnya, berlaku secara sah untuk seluruh komunitas Muslim, dan melindungi hak-hak pihak yang diberikan suaka. Prinsip ini menekankan pentingnya penghormatan terhadap perjanjian internasional dan suaka politik dalam Islam.

Nabi tidak menganggap jaminan keamanan sebagai sekadar ibadah sunnah yang lebih baik, melainkan menganggapnya sebagai sebuah kontrak yang harus dihormati dan perjanjian yang wajib dipenuhi.

Ini adalah sesuatu yang tidak memiliki padanan dalam hukum internasional di mana pun di dunia. Selain itu, jaminan keamanan ini memberikan makna penghormatan dan kehormatan kepada si pemberi perlindungan, meskipun kedudukannya rendah.

Betapa mulianya seorang Muslim ketika ia mengetahui bahwa ia memiliki hak untuk memberikan perlindungan kepada siapa pun yang meminta perlindungan darinya, dan melindungi orang yang mengharapkan perlindungan tersebut.

Tentu saja, pada saat itu, ia akan menggunakan hak ini untuk kebaikan dan kepentingan umum yang telah ditentukan oleh syariat.

Ini sudah cukup menjadi sebuah penghargaan dan penghormatan dari Nabi kepada seorang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Makna ini jelas dan dapat ditarik dari sikap beliau terhadap Ummi Hani’ radhiyallahu 'anha, ketika beliau bersabda kepadanya:

"قَدْ أَجَرنَا مَنْ أَجَرتِ يَا أُمَّ هانئ."

*'Kami telah memberikan perlindungan kepada orang yang engkau berikan perlindungan, wahai Ummi Hani.'*

Di dalam hal ini juga terdapat isyarat yang jelas dari Nabi dalam menghormati wanita, yang mana saat beliau belum diutus sebagai nabi, kaum wanita mengalami penindasan hak, dan mereka dipaksa menghadapi situasi sulit, sampai pada titik dibunuhnya bayi perempuan mereka di dalam buaian.

Nabi mengembalikan kedudukan mereka, menghapuskan penindasan terhadap mereka, dan mewasiatkan agar hak-hak mereka dilindungi dan derajat mereka diangkat, menjadikan mereka sejajar dengan laki-laki. Beliau bersabda:

إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

*'Sesungguhnya wanita adalah saudara kandung laki-laki.'*

["Diriwayatkan oleh Abu Dawud (236) dengan lafaznya, dan juga oleh At-Tirmidzi (113), serta Ibn Majah (612) dengan perbedaan yang sedikit." Di hukum Shahih oleh al-Albaani dalam ash-Shahihah 5/219]

Bahkan, Nabi memberikan hak kepada wanita untuk memberikan perlindungan kepada siapa pun yang mereka inginkan—dalam batasan syariat—dan tidak ada padanan untuk ini di masyarakat lain, meskipun mereka mengklaim menjaga hak-hak dan menghormati wanita."

******

MESKI TERLAMBAT MASUK ISLAM DAN SALING BERJAUHAN, NAMUN SELALU DEKAT DIHATI.

Ummu Hani’ senatiasa mengikuti berita tentang Rasulullah sejak sebelum masuk Islam, ia juga sangat mengagumi serta sangat mencintai beliau, baik sebelum maupun setelah Islam. Ini adalah kisah cinta pertama dalam kehidupan Rasulullah .

Salah satu bentuk perhatian Ummu Hani kepada beliau , dia pernah menyatakan :

«كُنتُ أَسْمَعُ قِرَاءَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا عَلَى عَرِيشِي»

"Aku biasa mendengar bacaan (al-Qur’an) Nabi saat aku berada di atas serambiku."

Diriwayatkan oleh Al-Nasa’i (1013) dengan sedikit perbedaan, Ibnu Majah (1349), dan Ahmad (26905). Di hukumi hasan shahih oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah no. 1117].

Dalam riwayat Suhaib Abdul Jabbar dalam "Al-Mustadrak" lafadznya adalah :

"كُنتُ أَسْمَعُ قِرَاءَةَ رَسُولِ اللَّهِ لِلْقُرْآنِ وَأَنَا عَلَى عَرِيشِ بَيْتِي هَذَا وَهُوَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ"

"Aku biasa mendengar bacaan Al-Qur'an oleh Rasulullah saat aku berada di serambi rumahku ini, ketika beliau berada di dekat Ka'bah."

Ahmad Matarik berkata :

"صَحِيحٌ أَنَّ الْجُمْلَةَ لَمْ تُحَدَّدْ فَتْرَةً زَمَنِيَّةً لَهَا، لَكِنَّ النَّبِيَّ لَمْ يَكُنْ لِيَصْدَحَ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَبَدًا عِنْدَ الْكَعْبَةِ إِلَّا بَعْدَ اسْتِتْتَابِ الْأُمُورِ لَهُ عَقِبَ عَامِ الْفَتْحِ.

فِيمَا يُورِدُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْفَاكِهِيُّ فِي كِتَابِهِ أَخْبَارِ مَكَّةَ ذَاتَ الرِّوَايَةِ بِصِيَاغَةٍ مُخْتَلِفَةٍ قَلِيلًا، تَكْشِفُ أَنَّ الْوُدَّ ظَلَّ مَوْصُولًا، بَعْدَمَا نَقَلَ عَنْ أُمِّ هَانِئٍ أَنَّهَا كَانَتْ "تَتَسَمَّعُ" وَلَيْسَ "تَسْمَعُ" قِرَاءَةَ النَّبِيِّ لِلْقُرْآنِ، وَهُوَ مَا يَشِي بِتَرَصُّدِ أُذُنَيْهَا لِصَوْتِ الرَّسُولِ مِنْ دَارِهَا وَلَوْ مِنْ بَعِيدٍ.

“Memang benar bahwa kalimat tersebut tidak menentukan periode waktu tertentu, tetapi Nabi tidak pernah membaca Al-Qur'an dengan suara lantang di dekat Ka'bah kecuali setelah keadaan stabil baginya setelah tahun penaklukan (Fathu Makkah).

Sementara itu, Abu Abdullah Al-Fakihi dalam kitabnya *Akhbar Makkah* mencatat riwayat yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi, yang menunjukkan bahwa hubungan baik tetap terjalin. Dia meriwayatkan bahwa Ummu Hani "mendengarkan diam-diam" bukan hanya "mendengar" bacaan Al-Qur'an dari Nabi , yang menunjukkan bahwa dia sengaja memasang telinga untuk mendengar suara Rasulullah dari rumahnya, meskipun dari kejauhan”.

Ummu Hani’ memeluk Islam terlambat pada tahun Fathu Makkah, yaitu pada tahun 8 H. Meskipun demikian, pada hari ketika pasukan kaum muslimin memasuki Makkah, hari itu penuh dengan penghormatan bagi Ummu Hani’.

Menurut **al-Fakihi** dalam kitabnya **Akhbar Makkah**, saat penaklukan Mekkah, rumah Ummu Hani adalah rumah pertama yang dimasuki Rasulullah di Makkah. Kemudian, beliau meminta segelas air, namun hanya minum sedikit darinya, lalu memberikan sisanya kepada Ummu Hani’ dan memintanya untuk menghabiskannya. Meskipun sedang berpuasa, Ummu Hani’ tetap meminumnya dan kemudian menjelaskan tindakannya tersebut karena tidak ingin menolak sisa dari Rasulullah .

Setelah itu, Nabi melaksanakan **shalat dhuha** di rumahnya sebanyak delapan rakaat, lalu melanjutkan aktivitasnya untuk mengurus urusan-urusan penting pada hari bersejarah tersebut dalam Islam. Kemudian, **Ibnu Abbas** menggunakan peristiwa ini sebagai dasar untuk menetapkan kebiasaan melaksanakan shalat dhuha, yang ia namakan sebagai "shalat isyraq", terinspirasi dari ayat ke-18 dalam surah Shad:

﴿إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ﴾

Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan waktu isyraq (pagi)". [QS. Shad: 18]

Penghormatan Nabi kepada Ummu Hani’ tidak berhenti di situ. Setelah Rasulullah pergi keluar dari rumahnya, dua orang (dari pihak suaminya yang pernah menyerang Islam) mencari perlindungan di rumahnya, dan ia pun memberi mereka jaminan keamanan. Ketika **Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu** masuk tanpa mengetahui jaminan yang diberikan oleh saudara perempuannya, ia ingin membunuh kedua orang tersebut. Namun, Ummu Hani’ menolak, dan ketika mereka membawa masalah ini kepada Nabi , beliau segera mendukung Ummu Hani’ dengan mengatakan:

"قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ، وَأَمَّنَّا مَنْ أَمَّنْتِ"

"Kami telah melindungi siapa yang kamu lindungi, dan memberi keamanan kepada siapa yang kamu amankan,"

Beliau tanpa memperdulikan keberatan dari putrinya **Fatimah binti Rasulullah ** mengenai hal ini.

Pada hari Penaklukan Makkah juga, ada sebuah kisah yang menyentuh sisi feminin dari Ummu Hani’, yang menggambarkan penampilan Nabi ketika beliau memasuki Makkah sebagai pemenang perang . Ia berkata:

دَخَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ وَلَهُ أَرْبَعُ غَدَائِرَ تَعْنِي ضَفَائِرَ.

“Rasulullah memasuki Makkah dengan memiliki empat kepang rambut, yang berarti empat jalinan rambut”. [Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4191), at-Tirmidzi (1781), Ibnu Majah (3631), dan Ahmad (26890) dengan sedikit perbedaan.

Di hukumi Hasan oleh Ibnu Hajar dalam Hidayatur Ruwaah 4/238 dan dihukumi shahih oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2942]

Dan diriwayatkan pula oleh dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam ash-Shoghir 1006 dari Anas bin Malik . Al-Haitsami dalam al-Majma’ 8/284 berkata : “Para perawinya tsiqoot”.

Hal ini sejalan dengan hadis deskriptif lainnya dari Ummu Hani’, yang menyebutkan :

مَا رَأَيْتُ بَطْنَ رَسُولِ اللهِ إِلَّا ذَكَرْتُ الْقَرَاطِيسَ الْمُثَنِّيَةَ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ

“Tidaklah aku melihat perut Rasulullah melainkan aku ingat kertas- kertas yang digulung satu sama lain.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam Musnadnya no. 1619.

Maksudnya : “kertas-lertas digulunh satu sama lain” adalah sixpack katanya, tetapi hadits ini menurut banyak ulama statusnya DHAIF JIDDAN (sangat lemah).

Al-Bushiri berkata, "Sanadnya dho'if (lemah) karena kelemahan rowi yang bernama Jabir Al-Ju'fi."(It-haful Khiyaroh Al-Maharoh 8/457)

**Riwayat lain :** Dari Al-Hasan bin Ali rodhiyallahu 'anhuma : "Aku bertanya kepada pamanku (dari jalur ibunya) yaitu Hind bin Abi Halah, beliau menggambarkan postur tubuh Nabi yang lebar dadanya dan rata antara perut dan dada."

Syaikh Al-'Allamah Al-Albani berkata, "Statusnya dho'if jiddan (sangat lemah)."(Mukhtashor Asy-Syama'il hal. 18)

Setelah Fathu Makkah, kedudukan Ummu Hani' semakin kokoh di Makkah, dan Nabi senantiasa membelanya terhadap orang lain.

Misalnya : apa yang diriwayatkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam **al-Mathalib al-'Aliyah 15/662 no. 3848** :

أَنَّ عُمَرًا رَآهَا فِي زِيٍّ لَمْ يُعْجِبْهُ (فِي رِوَايَةٍ أُخْرَى أَكْثَرَ وُضُوحًا فَإِنَّ رَآهَا عُمَرُ مُتَبَرِّجَةً تَضَعُ قُرْطَيْنِ) فَقَالَ لَهَا: "أَتَرَيْنَ قَرَابَتَكِ مِنَ الرَّسُولِ تُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا"، فَلَمَّا اشْتَكَتْ لِلنَّبِيِّ رَفَضَ فِعْلَةَ عُمَرَ، وَدَعَّمَهَا مُجَدَّدًا قَائِلًا لَهَا: "إِنَّهُ يَنْفَعُ شَفَاعَتِي".

“Bahwa Umar pernah melihatnya (Ummu Hani) mengenakan pakaian yang tidak disukainya (dalam riwayat lain yang lebih jelas disebutkan : bahwa Umar melihatnya berhias dan memakai anting-anting).

Umar berkata kepadanya: "Apakah menurutmu kekerabatanmu dengan Rasulullah akan membantumu di hadapan Allah?"

Ketika Ummu Hani’ mengadu kepada Nabi , beliau menolak pernyataan Umar dan membela Ummu Hani lagi dengan berkata: "Sesungguhnya syafaatku bermanfaat bagimu."

**Anak-anak Ummu Hani setelah dewasa :**

Ada beberapa anak Ummu Hani' dari Hubairah, yang dulu menyebabkan Ummu Hani menolak menikah dengan Nabi demi mereka, justru mereka kemudian masuk Islam dan keislaman yang sangat baik.

Kitab-kitab sejarah menghormati mereka dan keturunan mereka. Menurut **Ibnu al-Atsir** dalam kitabnya **Usud al-Ghabah**, Ummu Hani' melahirkan tiga anak dari Hubairah, meskipun sebagian mengatakan ada empat. Nama mereka adalah Ja'dah, Umar, Yusuf, dan Hani', yang darinya ia dikenal sebagai Ummu Hani'. Di antara mereka, yang paling terkenal adalah **Ja'dah bin Hubairah** yang meriwayatkan hadis terkenal dari Nabi :

"خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ"

"Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi yang mengikuti mereka, lalu generasi yang mengikuti mereka." [HR. Bukhori no. 2652 dan Muslim no. 2533].

Ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu diangkat menjadi khalifah kaum Muslimin, ia mengangkat Ja'dah sebagai gubernur Khurasan.

Selain itu, **ad-Dzahabi** dalam kitabnya **Tarikh al-Islam** memberikan ruang khusus untuk membahas kebajikan **Yahya bin Ja'dah bin Hubairah bin Abi Wahb**, yang mendengar sejumlah besar hadis dari neneknya dan Abu Hurairah, yang kemudian diriwayatkan oleh sekelompok orang lainnya.

Ummu Hani' menyaksikan kekalahan negara yang dipimpin oleh saudaranya, Ali, di hadapan **Mu'awiyah bin Abi Sufyan**, tetapi ia tidak hidup cukup lama untuk melihat berdirinya Dinasti Umayyah di atas kehancuran kekuasaan Bani Hasyim, karena ia meninggal pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan.

===****===

**KEUTAMAAN UMMU HANI:**

Pertama : **Rasulullah sering mengunjungi rumah Ummu Hani’**. 

Ummu Hani’ berkata,

"مَا أُسْرِيَ بِالرَّسُولِ إِلَّا وَهُوَ فِي بَيْتِي، نَائِمٌ عِنْدِي تِلْكَ اللَّيْلَةَ، ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ نَامَ"، بَعْدَهَا تَكْشِفُ أُمُّ هَانِئٍ أَنَّ النَّبِيَّ لَمَّا اسْتَيْقَظَ أَعْلَنَ لِقَوْمِهِ أَنَّهُ "صَلَّى فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ"

"Tidaklah Rasulullah diperjalankan (dalam Isra' dan Mi’raj) kecuali beliau berada di rumahku, tidur di tempatku pada malam itu. Kemudian beliau melaksanakan shalat Isya dan kembali tidur." Setelah itu, Ummu Hani' mengungkapkan bahwa ketika Nabi bangun, beliau mengumumkan kepada kaumnya bahwa "beliau telah melaksanakan shalat di Baitul Maqdis." [Takhrij haditsnya menyusul ].

Dan menurut **al-Fakihi** dalam kitabnya **Akhbar Makkah**, saat penaklukan Mekkah, rumah Ummu Hani adalah rumah pertama yang dimasuki Rasulullah di Makkah. Kemudian, beliau meminta segelas air, namun hanya minum sedikit darinya, lalu memberikan sisanya kepada Ummu Hani’ dan memintanya untuk menghabiskannya. Meskipun sedang berpuasa, Ummu Hani’ tetap meminumnya dan kemudian menjelaskan tindakannya tersebut karena tidak ingin menolak sisa dari Rasulullah .

Setelah itu, Nabi  melaksanakan **shalat dhuha** di rumahnya sebanyak delapan rakaat, lalu melanjutkan aktivitasnya untuk mengurus urusan-urusan penting pada hari bersejarah tersebut dalam Islam

Kedua : **Semangat Ummu Hani untuk memahami al-Qur’an **.

Setelah masuk Islam, Ummu Hani menunjukkan keinginan yang kuat untuk memahami hukum-hukum dari agama barunya. Dia beberapa kali menunjukkan ketertarikan untuk bertanya kepada Nabi tentang berbagai permasalahan hukum dan penafsiran beberapa ayat Al-Qur'an. Salah satunya yang dinyatakan oleh para ahli tafsir, khususnya ayat 29 dari Surah Al-Ankabut yang berbunyi:

﴿أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنكَرَ ۖ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَن قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ﴾

Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan datang dengan perbuatan yang mungkar di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar". [Ankabut: 29]

"Dan kamu datang dengan perbuatan yang mungkar di majlis-majlis kalian." Dia menafsirkan kalimat “datang dengan perbuatan mungkar di tempat-tempat pertemuanmu” berdasarkan riwayat dari Ummu Hani :

سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ} [العنكبوت: 29] قَالَ: " كَانُوا يَخْذِفُونَ ‌أَهْلَ ‌الطَّرِيقِ (يَرْمُونَهُمْ بِالْحَصَى) ‌وَيَسْخَرُونَ ‌مِنْهُمْ، فَذَاكَ الْمُنْكَرُ الَّذِي كَانُوا يَأْتُونَ "

Saya bertanya kepada Rasulullah tentang firman-Nya: {Dan kamu datang dengan perbuatan yang mungkar di majlis-majlis kalian} [Al-Ankabut: 29]. Beliau menjawab: "Mereka melempari orang-orang yang lewat (dengan kerikil) dan mengejek mereka, maka itulah perbuatan mungkar yang mereka lakukan."

[Takhrij hadits :

Dikeluarkan oleh Ahmad (26891), Tirmidzi (3190), dan Al-Tabari dalam "Tafsir" - dalam penafsiran ayat 29 dari Surah Al-Ankabut - serta dalam "Tarikh" 1/295-296. Juga oleh Al-Tabarani dalam "Al-Kabir" 24/(1001) dan Al-Hakim 2/409 melalui jalur Abu Usamah, Hamad bin Usamah, dengan sanad ini. Tirmidzi mengatakan: "Ini adalah hadits hasan!" Dan Al-Hakim menyatakan: "Ini sahih menurut syarat Muslim, tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya," dan disetujui oleh Al-Dzahabi.

Dikeluarkan pula oleh Tirmidzi (3190), Al-Tabari dalam "Tafsir," dan dalam "Tarikh" 1/296, Al-Tabarani dalam "Al-Kabir" 24/(1000) dan (1001), Al-Hakim 4/283, Al-Baihaqi dalam "Shu’ab Al-Iman" (6755), serta Al-Baghawi dalam "Tafsir" untuk ayat 29 dari Surah Al-Ankabut dari berbagai jalur dari Hatim bin Abi Sughairah, dengan sanad ini. Al-Hakim menyatakan: "Ini adalah hadits sahih sanadnya dan tidak dikeluarkan oleh keduanya," dan disetujui oleh Al-Dzahabi].

Dan makna inilah yang ditarjih oleh para ahli Tafsir diantaranya oleh ath-Thobari. Dia berkata :

**وَأَوْلَى الْأَقْوَالِ فِي ذَٰلِكَ بِالصَّوَابِ قَوْلُ مَن قَالَ: مَعْنَاهُ: وَتَحْذِفُونَ فِي مَجَالِسِكُمْ الْمَارَّةَ بِكُمْ، وَتَسْخَرُونَ مِنْهُمْ؛ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الرِّوَايَةِ بِذَٰلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.** 

Dan pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan: maksudnya adalah: "Dan kalian melempari orang-orang yang lewat di majlis-majlis kalian, dan kalian mengejek mereka"; karena telah kami sebutkan riwayat mengenai hal itu dari Rasulullah . [Baca : tafsir ath-Tahabary 20/31].

[Baca pula : Tafsir as-Samarqondi 2/631, tafsir Ibnu Abi Hatim 9/3054 no. 17271, Tafsir al-Wasiith oleh al-Waaqidi 3/418 no. 710, Zaad al-Masiir 3/415 no. 1091 dan Tafsir Ibnu Katsir 6/276]. 

Ketiga : **Rajin berburu pahala dengan cara usaha cari nafkah dan bekerja**:

Pernah pada suatu hari, Rasulullah menyarankan Ummu Hani untuk beternak domba agar mendapatkan berkah dalam usaha, dan beliau juga mengajarinya beberapa dzikir yang akan memberinya banyak pahala jika dia terus mengamalkannya.

Keempat : **Memiliki Peran Penting dalam Sejarah Islam**:

Ummu Hani juga memiliki posisi penting dalam sejarah Islam, terutama dalam catatan mengenai para sahabat wanita yang meriwayatkan berita tentang Nabi, meskipun mereka bukan istri beliau.

Menurut Imam Nawawi, dia meriwayatkan 46 hadits, selain itu, dia menjadi saksi dalam peristiwa penting dalam sejarah Islam antara Fatimah, putri Nabi, dan Abu Bakar, khalifah pertama, ketika Fatimah meminta bagiannya dari harta yang diperuntukkan untuk kerabat. Namun, khalifah menolak dengan alasan bahwa Nabi telah bersabda kepadanya:

« سَهْمُ ‌ذَوِي ‌الْقُرْبَى ‌لَهُمْ ‌فِي ‌حَيَاتِي وَلَيْسَ لَهُمْ بَعْدَ وَفَاتِي»

"Bagian kerabat itu ada untuk mereka semasa hidupku, bukan setelah kematianku."

Hadits ini diriwiyatkan dari Ummu Hani. Namun hadits ini lemah sekali. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :

قُلْتُ هَذَا اللَّفْظُ لَمْ يُخْرِجُوهْ وَابْنُ السَّائِبِ هُوَ الْكَلْبِيُّ مَتْرُوكٌ

Saya katakan: "Lafadz hadits ini, mereka tidak ada yang mereiwayatkannya, sementara perawai yang bernama Ibnu Al-Sa'ib adalah Al-Kalbi, dia perawi yang ditinggalkan ."

[Lihat : al-Mathalib al-Aliyah oleh Ibnu Hajar 9/521 no. 2066. Lihat pula al-Mabsuuth karya as-Sarkhasy 10/14, Kanzul ‘Ummaal oleh al-Muttaqi al-Hindi 5/629 no. 14108 dan al-Majmu’ oleh an-Nawawi 19/372].

Pernyataan ini menimbulkan perpecahan besar antara Sunni dan Syiah mengenai hak Fatimah, dan peristiwa ini menjadi bagian penting dalam narasi Syiah tentang ketidakadilan yang dialami Fatimah pada masa Abu Bakar.

Kelima : **Riwayat Hadits Ummu Hani :** 

Ummu Hani’ juga meriwayatkan beberapa hadits. Di antara murid-murid yang meriwayatkan darinya adalah cucunya, Ja’dah, mantan budaknya Abu Shalih, Kuraib (mantan budak Ibnu Abbas), dan beberapa ulama besar seperti Mujahid bin Jabr, Atha bin Abi Rabah, serta Urwah bin Zubair. Tercatat, ia meriwayatkan sekitar empat puluh enam hadits, satu di antaranya terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Dalam kitab *al-Iṣābah*, disebutkan :

رَوَتْ أُمُّ هَانِئٍ عَنِ النَّبِيِّ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) أَحَادِيثَ فِي الْكُتُبِ السِّتَّةِ وَغَيْرِهَا رُوِيَ عَنْهَا ابْنُهَا جَعْدَةُ وَابْنُهُ يَحْيَى وَحَفِيدُهَا هَارُونُ وَمَوْلَيَاهَا أَبُو مِرَّةَ وَأَبُو صَالِحٍ وَابْنُ عَمِّهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَارِثِ بْنُ نَوْفَلٍ الْهَاشِمِيُّ وَوَلَدُهُ عَبْدُ اللَّهِ وَابْنُ أَبِي يَلِي وَمُجَاهِدٌ وَعُرْوَةُ وَآخَرُونَ وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ عَاشَتْ بَعْدَ عَلِيٍّ أهـ.

bahwa Ummu Hani' meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah yang terdapat dalam kitab-kitab hadits utama, seperti Kutubus Sittah dan lainnya. Di antara murid-muridnya yang meriwayatkan hadits darinya adalah anaknya, Ja’dah dan Yahya, cucunya Harun, serta dua maula (budak yang dibebaskan) bernama Abu Marrah dan Abu Shalih. Selain itu, ada juga kerabatnya, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Harits bin Naufal al-Hasyimi, serta anak-anak mereka, Abdullah bin Abi Ya’la, Mujahid, ‘Urwah, dan lainnya. At-Tirmidzi dan ulama lainnya juga menyebutkan bahwa Ummu Hani’ hidup lebih lama setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib”. [ Dikutip dari al-Fathur Rabbaani karya Ahmad aal-Banaa as-Saa’aaty 22/438].

Imam Nawawi dalam Tahdzib al-Asma wa al-Lughoh 2/366 no. 1209 mengatakan :

رُوِيَ لَهَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةٌ وَأَرْبَعُونَ حَدِيثًا

“Bahwa ada 46 hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani’ dari Rasulullah ”. [Lihat pula Hasyaitul Jamal 2/353].

Ummu Hani’ dikenal sangat memperhatikan berita tentang Rasulullah dan meriwayatkan hadits-hadits dari beliau, bahkan ketika dia belum masuk Islam.

Salah satu momen penting yang dialaminya adalah ketika ia terlibat dalam sebuah peristiwa luar biasa yang dikaitkan dengan Isra' dan Mi'raj.

Dalam Tafsir ath-Thabari 14/414 diriwayatkan bahwa Ummu Hani’ pernah berkata,

مَا أُسْرِيَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَهُوَ فِي بَيْتِي، ‌نَائِمٌ ‌عِنْدِي ‌تِلْكَ ‌اللَّيْلَةَ، فَصَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ ثُمَّ نَامَ وَنِمْنَا، فَلَمَّا كَانَ قُبَيْلَ الْفَجْرِ أَهَبْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا صَلَّى الصُّبْحَ وَصْلَيْنَا مَعَهُ قَالَ: "يَا أُمَّ هَانِئٍ، لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَكُمُ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ كَمَا رَأَيْتِ بِهَذَا الْوَادِي، ثُمَّ جِئْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَصَلَّيْتُ فِيهِ، ثُمَّ صَلَّيْتُ صَلَاةَ الْغَدَاةِ مَعَكُمُ الْآنَ كَمَا تَرَيْنَ"

"Tidaklah Rasulullah diperjalankan (dalam peristiwa Isra') kecuali beliau berada di rumahku, tidur di tempatku pada malam itu. Beliau melaksanakan shalat Isya yang terakhir, kemudian tidur, dan kami pun tidur. Ketika menjelang fajar, kami membangunkan Rasulullah . Setelah beliau melaksanakan shalat Subuh dan kami shalat bersamanya, beliau berkata: 'Wahai Ummu Hani’, aku telah melaksanakan shalat Isya yang terakhir bersamamu seperti yang engkau lihat di lembah ini, kemudian aku pergi ke Baitul Maqdis dan melaksanakan shalat di sana, lalu aku kembali dan melaksanakan shalat Subuh bersamamu sekarang, sebagaimana yang engkau lihat.'"

[ Derajat hadits , Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya 5/40:

الْكَلْبِيُّ: مَتْرُوكٌ بِمَرَّةٍ سَاقِطٌ

"Perawi yang bernama Al-Kalbi: ditolak riwayatnya secara mutlak, dan sangat lemah."

Syaikh al-Munajjid berkata :

وَإِسْنَادُهُ تَالِفٌ أَيْضًا، فِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ السَّائِبِ الْكَلْبِيُّ، كَذَّابٌ.

Dan sanadnya juga lemah, di dalamnya terdapat Muhammad bin Al-Sa'ib Al-Kalbi, yang dianggap sebagai pendusta.

Ibnu Abi Hatim dalam "Al-Jarh wa Al-Ta'dil" (7/271) mengatakan:

"سَأَلْتُ أَبِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ السَّائِبِ الْكَلْبِيِّ فَقَالَ: النَّاسُ مُجْتَمِعُونَ عَلَى تَرْكِ حَدِيثِهِ، لَا يُشْتَغَلُ بِهِ، هُوَ ذَاهِبُ الْحَدِيثِ" اِنْتَهَى.

"Saya bertanya kepada ayah saya tentang Muhammad bin Al-Sa'ib Al-Kalbi, beliau berkata: 'Orang-orang sepakat untuk meninggalkan haditsnya, tidak ada yang perlu diperhatikan, dia adalah orang yang tidak memiliki kredibilitas dalam hadits.'"]

Tentu saja, riwayat tersebut perlu dipahami tidak secara harfiah. Rasulullah tidak tidur di dalam rumahnya secara khusus, melainkan di sekitar tempat tinggalnya yang berdekatan dengan rumah-rumah kerabat Bani Hasyim lainnya.

Ini dapat kita simpulkan dari tafsir Qatadah bin Di'amah terhadap ayat

﴿سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Isra: 1]

Qotadah berkata : di mana Rasulullah memulai perjalanannya dari Syi'b Abi Thalib. Ummu Hani’ berkata,

"مَا أُسْرِيَ بِالرَّسُولِ إِلَّا وَهُوَ فِي بَيْتِي، نَائِمٌ عِنْدِي تِلْكَ اللَّيْلَةَ، ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ نَامَ"، بَعْدَهَا تَكْشِفُ أُمُّ هَانِئٍ أَنَّ النَّبِيَّ لَمَّا اسْتَيْقَظَ أَعْلَنَ لِقَوْمِهِ أَنَّهُ "صَلَّى فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ"

"Tidaklah Rasulullah diperjalankan (dalam Isra') kecuali beliau berada di rumahku, tidur di tempatku pada malam itu. Kemudian beliau melaksanakan shalat Isya dan kembali tidur." Setelah itu, Ummu Hani' mengungkapkan bahwa ketika Nabi bangun, beliau mengumumkan kepada kaumnya bahwa "beliau telah melaksanakan shalat di Baitul Maqdis."

Perlu dicatat bahwa Isra’ dan Mi'raj, menurut pendapat yang lebih kuat, terjadi pada tahun pertama hijrah, yakni sebelum Ummu Hani’ masuk Islam. Ia baru memeluk Islam pada tahun penaklukan Mekkah (8 H).

Al-Imam as-Suyuthi dalam kitabnya ad-Durr al-Mantsur 5/209-210 berkata :

وَأخرج ابْن سعد وَابْن عَسَاكِر عَن عبد الله بن عمر وَأم سَلمَة وَعَائِشَة وَأم هَانِئ وَابْن عَبَّاس رَضِي الله عَنْهُمَا دخل حَدِيث بَعضهم فِي بعض قَالُوا: أسرِي برَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لَيْلَة سبع عشرَة من شهر ربيع الأول قبل الْهِجْرَة بِسنة من شعب أبي طَالب إِلَى بَيت الْمُقَدّس

قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: حملت على دَابَّة بَيْضَاء بَين الْحمار وَبَين الْبَغْل فِي فَخذهَا جَنَاحَانِ تحفز بهما رِجْلَيْهَا فَلَمَّا دَنَوْت لأركبها شمست فَوضع جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلَام يَده على مَعْرفَتهَا ثمَّ قَالَ: أَلا تستحتين يَا براق مِمَّا تصنعين وَالله مَا ركبك عبد لله قبل مُحَمَّد أكْرم على الله مِنْهُ فاستحيت حَتَّى ارفضت عرقاً ثمَّ قرت حَتَّى ركبتها فعلت بأذنيها وقبضت الأَرْض حَتَّى كَانَ مُنْتَهى وَقع حافرها طرفها وَكَانَت طَوِيلَة الظّهْر طَوِيلَة الْأُذُنَيْنِ

وَخرج معي جِبْرِيل لَا يفوتني وَلَا أفوته حَتَّى أَتَى بَيت الْمُقَدّس فَأتى الْبراق إِلَى موقفه الَّذِي كَانَ يقف فربطه فِيهِ وَكَانَ مربط الْأَنْبِيَاء عَلَيْهِم السَّلَام رَأَيْت الْأَنْبِيَاء جمعُوا لي فَرَأَيْت إِبْرَاهِيم ومُوسَى وَعِيسَى فَظَنَنْت أَنه لَا بُد أَن يكون لَهُم إِمَام فَقَدَّمَنِي جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلَام حَتَّى صليت بَين أَيْديهم وسألتهم فَقَالُوا: بعثنَا بِالتَّوْحِيدِ

وَقَالَ بَعضهم: فقد النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم تِلْكَ اللَّيْلَة فتفرقت بَنو عبد الْمطلب يطلبونه يلتمسونه وَخرج الْعَبَّاس رَضِي الله عَنهُ حَتَّى إِذا بلغ ذَا طوى فَجعل يصْرخ يَا مُحَمَّد يَا مُحَمَّد فَأَجَابَهُ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لبيْك لبيْك فَقَالَ: ابْن أخي أعييت قَوْمك مُنْذُ اللَّيْلَة فَأَيْنَ كنت قَالَ: أتيت من بَيت الْمُقَدّس قَالَ: فِي ليلتك قَالَ: نعم

قَالَ: هَل أَصَابَك إِلَّا خير قَالَ: مَا أصابني إِلَّا خير

وَقَالَت أم هَانِئ رَضِي الله عَنْهَا: مَا أسرِي بِهِ إِلَّا من بيتنا بَينا هُوَ نَائِم عندنَا تِلْكَ اللَّيْلَة صلى الْعشَاء ثمَّ نَام فَلَمَّا كَانَ قبل الْفجْر أنبهناه للصبح فَقَامَ فصلى الصُّبْح

قَالَ: يَا أم هَانِئ لقد صليت مَعكُمْ الْعشَاء كَمَا رَأَيْت بِهَذَا الْوَادي ثمَّ قد جِئْت بَيت الْمُقَدّس فَصليت بِهِ ثمَّ صليت الْغَدَاة مَعكُمْ ثمَّ قَامَ ليخرج فقت لَا تحدث هَذَا النَّاس فيكذبوك ويؤذوك

فَقَالَ: وَالله لأحدثنهم فَأخْبرهُم فتعجبوا وَقَالُوا لم نسْمع بِمثل هَذَا قطّ

وَقَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لجبريل عَلَيْهِ السَّلَام: يَا جِبْرِيل إِن قومِي لَا يصدقوني قَالَ: يصدقك أَبُو بكر وَهُوَ الصّديق

وافتتن نَاس كثير وَضَلُّوا كَانُوا قد أَسْلمُوا وَقمت فِي الْحجر فجلا الله لي بَيت الْمُقَدّس فطفقت أخْبرهُم عَن آيَاته وَأَنا أنظر إِلَيْهِ فَقَالَ بَعضهم: كم لِلْمَسْجِدِ من بَاب - وَلم أكن عددت أبوابه - فَجعلت أنظر إِلَيْهَا وأعدها بَابا وأعلمهم وَأَخْبَرتهمْ عَن عير لَهُم فِي الطَّرِيق وعلامات فِيهَا فوجدوا ذَلِك كَمَا أَخْبَرتهم

وَأنزل الله (وَمَا جعلنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أريناك إِلَّا فتْنَة للنَّاس) قَالَ: كَانَت رُؤْيا عين رَآهَا بِعَيْنِه

Ibnu Sa'ad dan Ibnu 'Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Ummu Salamah, Aisyah, Ummu Hani', dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum—dengan sanad yang saling mendukung—bahwa Rasulullah mengalami Isra' pada malam tanggal 17 Rabi'ul Awwal, setahun sebelum hijrah, dari Syi'b Abi Thalib menuju Baitul Maqdis.

Rasulullah bersabda: "Aku dibawa dengan kendaraan Buroq antara keledai dan bagal, dengan dua sayap di pahanya yang menggerakkan kakinya. Ketika aku mendekat untuk menungganginya, ia menolak, lalu Jibril 'alayhis-salam meletakkan tangannya pada surainya dan berkata:

'Tidakkah engkau malu, wahai Buraq, atas apa yang engkau lakukan? Demi Allah, tidak ada hamba Allah yang lebih mulia daripadanya yang pernah menunggangimu.'

Maka Buraq pun merasa malu, berkeringat, dan menjadi tenang sampai aku dapat menungganginya. Buraq mengangkat telinganya dan melesat begitu cepat hingga ketika telapak kakinya menyentuh tanah, ujungnya sudah berada di tempat lain. Ia memiliki punggung yang panjang dan telinga yang panjang pula.

Jibril 'alayhis-salam menemaniku tanpa melampauiku atau aku melampauinya hingga kami tiba di Baitul Maqdis. Buraq berhenti di tempatnya yang biasa dan aku mengikatnya di tempat di mana para nabi biasa mengikat kendaraan mereka. Kemudian aku melihat para nabi berkumpul untukku. Aku melihat Ibrahim, Musa, dan Isa. Aku berpikir bahwa harus ada seseorang yang menjadi imam shalat, dan Jibril 'alayhis-salam mendorongku maju hingga aku mengimami mereka. Aku bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, 'Kami diutus untuk menyampaikan tauhid.'

Sebagian orang mengatakan bahwa malam itu, Rasulullah hilang dari pandangan Bani Abdul Muthalib, sehingga mereka pergi mencarinya.

Abbas radhiyallahu 'anhu keluar hingga tiba di Dza Tuwa, lalu ia berteriak, 'Wahai Muhammad! Wahai Muhammad!'

Rasulullah pun menjawab, 'Labbaik, labbaik!'

Abbas berkata, 'Wahai keponakanku, engkau telah membuat kaummu kelelahan mencarimu sejak malam ini, di mana engkau berada?'

Rasulullah menjawab, 'Aku baru saja kembali dari Baitul Maqdis.'

Abbas bertanya, 'Dalam malam yang sama?' Rasulullah menjawab, 'Ya.'

Abbas bertanya, 'Apakah engkau baik-baik saja?' Rasulullah menjawab, 'Tidak ada yang terjadi padaku kecuali kebaikan.'

Ummu Hani' radhiyallahu 'anha berkata: "Rasulullah diperjalankan dari rumah kami. Beliau tidur di tempat kami pada malam itu. Setelah melaksanakan shalat Isya, beliau tidur, dan ketika mendekati waktu Subuh, kami membangunkannya untuk shalat Subuh. Beliau pun bangun dan melaksanakan shalat Subuh bersama kami."

Rasulullah berkata, "Wahai Ummu Hani', aku melaksanakan shalat Isya bersamamu, seperti yang engkau lihat di lembah ini, kemudian aku pergi ke Baitul Maqdis dan melaksanakan shalat di sana, dan sekarang aku melaksanakan shalat Subuh bersamamu."

Kemudian Rasulullah bersiap-siap untuk keluar, dan Ummu Hani' berkata, "Jangan ceritakan hal ini kepada orang-orang, mereka akan mendustakanmu dan menyakitimu."

Rasulullah menjawab, "Demi Allah, aku pasti akan menceritakannya kepada mereka."

Maka Rasulullah pun memberitahukan hal itu kepada orang-orang, dan mereka terheran-heran dan berkata, "Kami belum pernah mendengar sesuatu seperti ini sebelumnya."

Rasulullah kemudian berkata kepada Jibril 'alayhis-salam: "Wahai Jibril, kaummu tidak akan mempercayaiku." Jibril 'alayhis-salam menjawab, "Abu Bakar akan mempercayaimu, dan dialah Ash-Shiddiq."

Banyak orang yang terfitnah dan kembali sesat, mereka yang sebelumnya telah memeluk Islam.

Rasulullah berdiri di dekat Hajar Aswad, lalu Allah menampakkan Baitul Maqdis kepadanya. Rasulullah mulai menceritakan kepada mereka tanda-tanda yang dilihatnya sambil melihatnya langsung.

Sebagian dari mereka bertanya, "Berapa jumlah pintu masjid itu?" Padahal sebelumnya Rasulullah tidak menghitung pintunya. Lalu beliau melihatnya dan menghitungnya satu per satu, lalu memberitahu mereka. Beliau juga memberitahukan tentang kafilah mereka yang sedang dalam perjalanan dan tanda-tanda yang ada di dalamnya, dan mereka menemukan semuanya sesuai dengan apa yang beliau katakan.

Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: *"Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia."* (Al-Isra': 60). Mimpi itu adalah mimpi yang dilihat oleh mata Rasulullah secara langsung.

Al-Imam adz-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam hal. 246 berkata :

هُوَ حَدِيثٌ غَرِيبٌ، الْوَسَاوِسِيُّ ضَعِيفٌ تَفَرَّدَ بِهِ.

"Ini adalah hadis yang aneh, dan Al-Wasawisi adalah seorang yang lemah yang mengkhususkan diri dalam riwayat ini."

Abu Ahmad adh-Dhiyaa al-A’dzomi dalam al-Jam’i al-Kaamil 8/112 berkata :

فِي مَتْنِهِ نَكَارَةٌ مِثْلَ ذِكْرِ صَلَاةِ الصُّبْحِ، وَالصَّلَاةُ لَمْ تَفْرُضْ إِلَّا فِي الْمِعْرَاجِ.

"Di dalam matn-nya terdapat keanehan seperti penyebutan shalat Subuh, sedangkan shalat tidak diwajibkan kecuali pada peristiwa Isra' dan Mi'raj."

Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam *Al-Ishabah* (14/239):

وَأَخْرَجَهُ أَبُو يَعْلَى وَرِوَايَتُهُ أَصَحُّ مِن رِوَايَةِ الْكَلْبِيِّ، فَإِنَّ فِي رِوَايَتِهِ مِنَ الْمُنْكَرِ أَنَّهُ صَلَّى الْعِشَاءَ الآخِرَةَ وَالصُّبْحَ مَعَهُمْ وَإِنَّمَا فُرِضَتِ الصَّلَوَاتُ لَيْلَةَ الْمِعْرَاجِ، وَكَذَاكَ نَوْمُهُ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي بَيْتِ أُمِّ هَانِئٍ وَإِنَّمَا نَامَ فِي الْمَسْجِدِ" اِنْتَهَى.

"Dan Abu Ya'la meriwayatkannya, dan riwayatnya lebih sahih daripada riwayat Al-Kalbi, karena dalam riwayat al-Kalbi ini terdapat kejanggalan bahwa beliau melaksanakan shalat Isya dan shalat Subuh bersama mereka, padahal shalat itu baru diwajibkan pada malam Mi'raj. Begitu pula tidurnya pada malam itu di rumah Ummu Hani' adalah tidak tepat, karena sesungguhnya beliau tidur di masjid Haram." SELESAI.

Kemudian, riwayat-riwayat ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Ummu Hani' juga, bahwa dia menyebutkan bahwa Nabi diisra'kan dari Masjidil Haram.

Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Ya'la dalam "Mu'jam" (10), melalui jalur Muhammad bin Ismail Al-Wasawi, dia berkata: "Dari Damrah bin Rabiah, dari Yahya bin Abi Amr Al-Saybani, dari Abu Shalih, mantan budak Ummu Hani', dari Ummu Hani' dia berkata:

"دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِغَلَسٍ، وَأَنَا عَلَى فِرَاشِي، فَقَالَ: شَعَرْتُ أَنِّي نِمْتُ اللَّيْلَةَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، فَأَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَذَهَبَ بِي إِلَى بَابِ الْمَسْجِدِ..." ثُمَّ سَاقَ الْحَدِيثَ.

'Rasulullah memasuki rumahku saat gelap, dan aku sedang di tempat tidurku, lalu beliau berkata: "Aku merasakan bahwa aku tidur malam ini di Masjidil Haram, lalu Jibril datang kepadaku dan membawaku ke pintu masjid..."' Kemudian dia melanjutkan hadits tersebut.

Derajat hadits :

Sanadnya juga lemah, di dalamnya terdapat Abu Shalih, mantan budak Ummu Hani', dan Muhammad bin Ismail Al-Wasawisy, keduanya dianggap lemah.

Namun, jalur ini lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya, dan oleh karena itu, Hafizh Ibnu Hajar dalam "Al-Ishabah" (8/332) mengatakan:

"وَهَذَا أَصَحُّ مِن رِوَايَةِ الْكَلْبِيِّ، فَإِنَّ فِي رِوَايَتِهِ مِنَ الْمُنْكَرِ: أَنَّهُ صَلَّى الْعِشَاءَ الآخِرَةَ وَالصُّبْحَ مَعَهُمْ، وَإِنَّمَا فُرِضَتِ الصَّلَاةُ لَيْلَةَ الْمِعْرَاجِ، وَكَذَاكَ نَوْمُهُ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي بَيْتِ أُمِّ هَانِئٍ، وَإِنَّمَا نَامَ فِي الْمَسْجِدِ" اِنْتَهَى.

"Ini lebih sahih dibandingkan riwayat Al-Kalbi, karena dalam riwayatnya terdapat kejanggalan: bahwa dia shalat Isya dan Subuh bersama mereka, padahal shalat diwajibkan pada malam Isra', dan juga tidurnya pada malam itu di rumah Ummu Hani', padahal sebenarnya dia tidur di masjid."

=====

PENGEMBALIAN TIANG UMMU HANI (TIANG ISRA) KE POSISINYA DI MASJIDIL HARAM

Ditulis oleh: Faisal As-Salmi – Mekkah Al-Mukarramah

Selasa, 24 November 2020

أَعَادَتِ الرِّئَاسَةُ الْعَامَّةُ لِشُؤُونِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ الْعَمُودَ الْقَدِيمَ وَالَّذِي يُطْلِقُ عَلَيْهِ الْبَعْضُ (عَمُودُ أُمِّ هَانِئٍ)، إِشَارَةً إِلَى مَوْضِعِ دَارِ أُمِّ هَانِئٍ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ بِجِوَارِ بَابِ الْمَلِكِ عَبْدِالْعَزِيزِ، حَيْثُ أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْهُ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَمِنْ ثَمَّ عُرِجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ، وَقَدْ رَفَعَتْ رِئَاسَةُ شُؤُونِ الْحَرَمَيْنِ الْعَمُودَ التَّارِيخِيَّ قَبْلَ سَنَوَاتٍ ضِمْنَ مَشْرُوعِ تَوْسِعَةِ الْمَطَافِ وَحَافَظَتْ عَلَيْهِ وَأَعَادَتْهُ إِلَى مَوْضِعِهِ بَعْدَ انْتِهَاءِ أَعْمَالِ التَّوْسِعَةِ. 

وَأَوْضَحَ الْبَاحِثُ فِي التَّارِيخِ الْمَكِّيِّ الدُّكْتُورُ سَمِير بَرْقَةَ لِـ»مَكَّةَ» أَنَّ الْعَمُودَ الَّذِي تَمَّتْ إِعَادَةُ وَضْعِهِ فِي تَوْسِعَةِ الْمَطَافِ يُمَثِّلُ رَمْزِيَّةً لِلْبُقْعَةِ وَالْمَكَانِ الَّذِي كَانَ فِيهِ دَارُ أُمِّ هَانِئٍ، وَالَّذِي بَدَأَتْ مِنْهُ رِحْلَةُ الْإِسْرَاءِ، وَأُمُّ هَانِئٍ وَاسْمُهَا فَاخِتَةُ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ وَقِيلَ هِنْدٌ، هِيَ أُخْتُ سَيِّدِنَا عَلِيٍّ وَبِنْتُ عَمِّ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، وَيَبْعُدُ بَيْتُهَا عَنِ الْكَعْبَةِ ١٢٠ مِتْرًا، جِهَةَ بَابِ الْوَدَاعِ، كَمَا أَفَادَ بِذَلِكَ الْمُؤَرِّخُ مُحَمَّدُ طَاهِرٍ الْكُرْدِيُّ الْمَكِّيُّ فِي كِتَابِهِ (التَّارِيخُ الْقَوِيمُ). 

وَأَضَافَ أَنَّ هَذَا الْمَوْضِعَ (دَارُ أُمِّ هَانِئٍ) بَدَأَتْ فِيهِ رِحْلَةُ الْإِسْرَاءِ عَلَى الْبُرَاقِ، وَهُوَ دَابَّةٌ مَرْكَبُ الْأَنْبِيَاءِ، حَيْثُ تَحَرَّكَ مِنْ جِهَةِ اتِّجَاهِ الصَّفَا وَسَارَ بِهَا فَوْقَ سَمَاءِ مَكَّةَ مُتَوَجِّهًا إِلَى يَثْرِبَ (الْمَدِينَةِ) الَّتِي نَزَلَهَا النَّبِيُّ وَصَلَّى فِيهَا، مَرُورًا بِسَيْنَاءَ وَوُصُولًا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، حَيْثُ رَبَطَ الْبُرَاقَ فِي الْحَائِطِ وَصَلَّى النَّبِيُّ بِالْأَنْبِيَاءِ وَبَعْدَهَا عُرِجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ وَفُرِضَتِ الصَّلَاةُ وَمِنْ ثَمَّ عَادَ إِلَى مَكَّةَ الْمُكَرَّمَةِ. 

مِنْ مَسَمِّيَاتِ الْعَمُودِ: 

١. عَمُودُ أُمِّ هَانِئٍ 

٢. عَمُودُ الْإِسْرَاءِ

Presidensi Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi telah mengembalikan tiang tua yang dikenal dengan nama *Tiang Ummu Hani*, yang mengacu pada lokasi rumah Ummu Hani di Masjidil Haram, di dekat pintu Raja Abdulaziz.

Dari tempat inilah Rasulullah melakukan perjalanan Isra ke Baitul Maqdis dan kemudian Mi'raj ke langit.

Tiang bersejarah ini sebelumnya dipindahkan oleh Presidensi Urusan Dua Masjid Haram beberapa tahun lalu dalam rangka proyek perluasan area tawaf dan dijaga dengan baik sebelum akhirnya dikembalikan ke tempat semula setelah pekerjaan perluasan selesai. 

Peneliti sejarah Mekkah, Dr. Samir Barqah, menjelaskan kepada *Makkah* bahwa tiang yang dikembalikan ke perluasan area tawaf ini melambangkan lokasi rumah Ummu Hani, tempat awal perjalanan Isra.

Ummu Hani, yang bernama asli Fakhitah binti Abi Thalib, atau disebut juga Hindun, adalah saudari Sayyidina Ali dan sepupu Rasulullah .

Rumahnya berjarak sekitar 120 meter dari Ka'bah, mengarah ke Babul Wada, sebagaimana dijelaskan oleh sejarawan Muhammad Thahir al-Kurdi al-Makki dalam bukunya *At-Tarikh al-Qawim*. 

Ia menambahkan bahwa dari tempat ini (dari rumah Ummu Hani), perjalanan Isra dimulai dengan menaiki Buraq, kendaraan para nabi. Rasulullah memulai perjalanan menuju arah Shafa, bergerak melintasi langit Mekkah menuju Yatsrib (Madinah) dan melakukan shalat di sana, melewati Sinai hingga tiba di Baitul Maqdis. Di sana, beliau mengikat Buraq pada tembok dan memimpin shalat bersama para nabi sebelum naik ke langit, menerima kewajiban shalat, dan kembali lagi ke Mekkah Al-Mukarramah. 

Nama lain dari tiang ini adalah: 

1. Tiang Ummu Hani 

2. Tiang Isra


****

** WAFATNYA UMMU HANI RADHIYALLAHU 'ANHA:** 

Ummu Hani’ hidup hingga setelah tahun 50 Hijriyah dan wafat pada masa pemerintahan saudaranya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.

**Sumber Rujukan:** 

Al-Ishabah (4/503), Siyar A’lamin Nubala’ (1/311), Al-Mustadrak (4/52), Asadul Ghoobah (7/213-404).


 

 

Posting Komentar

0 Komentar