MENJAWAB TUDUHAN KEJI BAHWA NABI MUHAMMAD ﷺ PENGIDAP PRILAKU PEDOFIL
Di
Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN
NIDA AL-ISLAM
===
===
DAFTAR ISI :
- DEFINISI PEDOFIL ATAT PEDOFILIA :
- TUDUHAN PARA
MISSIONARIS BAHWA RASULULLAH ﷺ PENGIDAP PRILAKU PEDOFIL
- JAWABAN ATAS TUDUHAN MEREKA :
- JAWABAN PERTAMA : NABI ISHAK (AS) MENIKAHI RIBKA DI USIA 3 TAHUN.
- JAWABAN KEDUA : HAL TERSEBUT BIASA TERJADI PADA UMAT-UMAT LAIN
- JAWABAN KETIGA : RASULULLAH
ﷺ SEJAK MUDA TIDAK TEROBSESI WANITA MUDA DAN CANTIK .
- JAWABAN KE EMPAT :
ADA YANG BERPENDAPAT : BAHWA USIA AISYAH 16 TAHUN SAAT MENIKAH DENGAN NABI ﷺ, NAMUN HIDUP BERSAMA DI USIA 19 TAHUN.
- ALASAN DAN SEBAB DIRAGUKAN-NYA PERNIKAHAN AISYAH (RA) DI USIA 6 TAHUN:
- PARA ULAMA KONTEMPORER YANG MENYATAKAN : DI USIA 16 TAHUN, AISYAH (RA) MENIKAH.
- PERTAMA : PROF. DR. MUHAMMAD AL-ADHAMI.
- KEDUA : DR. SUHAILA HAMMAD :
- KETIGA : DR. SYAUQI DHAIF :
- LATAR BELAKANG MUNCUL KAJIAN KRITIS TENTANG USIA AISYAH SAAT MENIKAH
*****
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
===*****===
DEFINISI PEDOFIL ATAU PEDOFILIA :
Pedofilia, atau
pedofil, merujuk pada individu yang memiliki ketertarikan seksual terhadap
anak-anak yang belum mencapai usia remaja awal, umumnya di bawah 11 tahun.
Konon menurut hasil
diagnosa medis, pedofilia dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan yang dialami
oleh orang dewasa atau remaja yang telah memasuki fase kedewasaan.
Istilah
"pedofilia" berasal dari bahasa Yunani, yaitu *paidophilia* (παιδοφιλια) —
dari kata *pais* (παις, "anak-anak") dan *philia* (φιλια,
"persahabatan" atau "cinta yang bersahabat"). Meskipun
secara harfiah berarti "cinta anak," dalam konteks modern istilah ini
merujuk pada ketertarikan seksual yang menyimpang terhadap anak-anak.
Dalam penggunaan
sehari-hari, pedofilia sering dimaknai sebagai ketertarikan seksual terhadap
anak-anak atau tindakan pelecehan seksual terhadap mereka, yang disebut sebagai
“perilaku pedofilia.” Misalnya, dalam *The American Heritage Stedman's Medical
Dictionary*, pedofilia didefinisikan sebagai "tindakan atau fantasi dari
orang dewasa yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak-anak."
[Sumber : Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas].
====*****====
TUDUHAN PARA MISSIONARIS BAHWA RASULULLAH ﷺ PENGIDAP PRILAKU PEDOFIL
Umat Kristen dan para Missionaris selalu mengkritik Rasulullah ﷺ sebagai sosok pedofilia dengan berkata : Jika Muhammad bukan
pedofilia, kenapa ia tega menikahi Aisyah yang masih berumur 6 tahun? Padahal
Yesus saja tidak menikahi anak kecil?
"Orang-orang Nasrani menyebarkan syubhat ini untuk mencela
kesucian Nabi ﷺ yang mulia serta meragukan
kesucian beliau.
Mereka berkata:
إِنَّ هَذَا الزَّوَاجَ هُوَ زَوَاجٌ
شَهْوَانِيٌّ جَمَعَ بَيْنَ الْكُهُولَةِ وَالطُّفُولَةِ،
'Pernikahan ini adalah pernikahan yang dipenuhi nafsu, yang mengumpulkan
antara aki-aki dan bocil.
Jika kesucian sang pembawa agama ini jatuh, maka akan jatuh pula
kesucian dan kemurnian agama yang dibawa oleh-nya.
Syubhat ini sebenarnya relatif baru. Meskipun mereka terus-menerus
menyerang agama Islam, namun mereka sebelumnya tidak pernah mengkritik Nabi ﷺ karena pernikahannya dengan Aisyah, akan tetapi yang dikritik justru
karena poligami beliau.
Namun, dengan munculnya era yang disebut sebagai Era Kebangkitan (عَصْرُ النَّهْضَةِ) dengan konsep-konsep
modernnya, mereka menambahkan syubhat ini yang sesuai dengan arah kebudayaan
mereka!
Tujuan orang-orang Nasrani dari syubhat ini tidak hanya sebatas mencoba
membuat kaum Muslimin ragu terhadap sosok Nabi ﷺ yang merupakan manusia paling sempurna dan
pemimpin mereka, tetapi mereka juga memiliki tujuan yang lebih penting, yaitu
menghalangi pemeluk agama mereka sendiri agar tidak masuk ke dalam agama Islam
dengan methode mencemarkan citra sang pembawa agama ini ﷺ.
Mereka mencoba mengalihkan perhatian dari skandal-skandal seksual yang
ada dalam kitab suci mereka dengan prinsip:
"رَمَتْنِي بِدَائِهَا وَانْسَلَّتْ"!!
'Mereka menuduhku dengan penyakit mereka, lalu mereka melepaskan diri (terbebaskan)'."
===*****===
JAWABAN ATAS TUDUHAN MEREKA :
******
JAWABAN PERTAMA :
NABI ISHAK (AS) MENIKAHI RIBKA DI USIA 3
TAHUN
Kenapa para missionaris dan umat Kristen selalu mengkritik Nabi Muhammad
ﷺ dengan tuduhan prilaku Pedofil, padahal dalam Alkitab (Injil / Bible)
sendiri Ribka (Rebecca) dinikahi nabi Ishaq di usia 3 Tahun?
Karena itu adalah satu-satunya cara para uskup Gereja untuk menjelekkan
dan menyerang kehormatan Rasulullah ﷺ.
Dan itu adalah salah satu cara mereka menentang kalau ia adalah seorang
rasul (utusan Allah) padahal Nabi Ishaq saja ketika berusia 40 Tahun di Alkitab
(Injil / Bible) menikahi Rebecca di usia 3 Tahun.
Padahal di Alkitab mereka sendiri yang paling banyak pedofilia nya,
salah satunya adalah pernikahan Yishoq dan Rebecca.
Berapa usia Rebecca ketika dia menikah dengan Yishoq?
Menurut Rabi dalam sejarah abad pertengahan, dia berusia tidak lebih
dari tiga tahun. Para rabi menyimpulkan angka umur ini untuk Rebecca, dari
Alkitab itu sendiri.
Sumber kedua, usianya 10 tahun.
====
PARA MISSIONARIS MENGINGKARI BAHWA RIBKA MENIKAH DENGAN NABI ISHAK DI USIA 3 TAHUN.
Para misionaris dan orang Kristen lainnya berusaha menolak bahwa
Rebecca dinikahkan dengan Yiṣḥôq (Nabi Ishaq) pada usia 3
tahun, dan mereka mencoba untuk tidak
mau mengakuinya, bahkan mengklaim bahwa ini hanya dikutip dari seorang pria di
abad ke-11. Tidak ada bukti bahwa Rebecca berusia 3 tahun ketika dinikahkan
dalam Alkitab, ini kata mereka.
====
JAWABAN ATAS PENGINGKARAN MEREKA :
Saya katakan : Rabi Rashi, salah satu rabi yang paling disegani, dia
berkesimpulan bahwa Rabecca berusia tiga tahun, ketika dinikahkan dengan Nabi
Ishak.
Rabi Rasyi adalah seorang sarjana terkemuka kaliber tinggi . Kenapa Dia
sampai pada kesimpulan 3 tahun untuk usia Rebecca pada saat pernikahannya
dengan Nabi Ishaq ?
Petunjuk yang dia dapatkan adalah dari insiden gunung Moria dengan
Ishak, dan waktu kematian Sarah dan usianya.
Dan mari kita lihat Faktanya, apakah benar Ribka/Rebecca dinikahi Nabi
Ishak /Yiṣḥôq/ יִצְחָק, pada Umur 3 Tahun ???
**Ke 1. Janji Tuhan kepada Abraham (Ibrahim) mengenai
Ishak:**
Tuhan menjanjikan Abraham (100 tahun) dan Sarah (90 tahun) akan
mempunyai anak satu tahun kemudian.
[Kej 17:17]
Lalu tertunduklah Abraham dan tertawa serta berkata dalam hatinya:
"Mungkinkah bagi seorang yang berumur seratus tahun dilahirkan seorang
anak dan mungkinkah Sara, yang telah berumur sembilan puluh tahun itu
melahirkan seorang anak?"
[Kej 17: 21]
Tetapi perjanjian-Ku akan Kuadakan dengan Ishak, yang akan dilahirkan
Sarah bagimu tahun yang akan datang pada waktu seperti ini juga."
**Ke 2. Ishak lahir**
Ishak lahir tepat seperti janji Tuhan (1 tahun setelah Tuhan berjanji)
[Kej 21:2-3]
2 : Maka mengandunglah Sarah, lalu ia melahirkan seorang anak laki-laki
bagi Abraham dalam masa tuanya, pada waktu yang telah ditetapkan, sesuai dengan
firman Allah kepadanya.
3 : Abraham menamai anaknya yang baru lahir itu Ishak, yang dilahirkan
Sara baginya.
**Ke 3. Sarah wafat setelah Abraham diuji mengorbankan Ishak (36
tahun)**
Sarah wafat pada saat berusia 127 tahun ==> Ishak 36 tahun.
Kejadian 23:1-2 (TB) Sarah hidup seratus dua puluh tujuh tahun lamanya;
itulah umur Sara.
Kemudian matilah Sarah di Kiryat-Arba, yaitu Hebron, di tanah Kan’aan,
lalu Abraham datang meratapi dan menangisinya.
**Ke 4. Kelahiran Ribka (Rebecca)**.
Kelahiran Ribka pada saat Sarah meninggal (Sara usia 127 tahun, Ishak
36 tahun) .
[Kejadian 22:23].
**Ke 5. Ishak menikahi Ribka (Rebecca)**.
Ishak menikahi Ribka pada saat berumur 40 tahun
[Kej 25:20].
Dan Ishak berumur empat puluh tahun, ketika Ribka, anak Betuel, orang
Aram dari Padan-Aram, saudara perempuan Laban orang Aram itu, diambilnya
menjadi isterinya.
Berapakah umur Ribka (Rebecca) saat dinikahi Ishak ???
-Ishak lahir, Sarah 91 tahun.
-Ishak batal dikorbankan, Ribka lahir (0 tahun)
-Sarah wafat usia 127 tahun 127-91=36 (berarti Ishak 36-37 tahun)
-Ishak berumur 40 tahun menikahi Ribka.
Umur Ribka (Rebecca) (Ishak 40 - 37 tahun = 3 tahun).
Intinya itu lah kelemahan Kristen karena mereka tidak menghafal kitab
mereka sendiri, makanya mereka tidak tau bahwa kitab mereka sendiri banyak
boroknya.
*****
JAWABAN KEDUA :
HAL TERSEBUT BIASA TERJADI PADA UMAT-UMAT
LAIN
Ada beberapa
point :
KE 1 : PADA ZAMAN DULU MENIKAHI GADIS SEUSIA ITU TIDAK MENJADIKAN HINAAN:
Bukankah Ahaz menikah saat ia berusia 10 tahun dan memiliki anak saat
berusia 11 tahun?
Disebutkan dalam 2 Raja-raja 16:2, "Ahaz berumur dua puluh tahun
ketika ia menjadi raja, dan ia memerintah selama enam belas tahun di
Yerusalem."
Dan dalam 2 Raja-raja 18:2 disebutkan, "Pada tahun ketiga zaman
Hosea bin Ela, raja Israel, Hezekia bin Ahaz, raja Yehuda, menjadi raja. Ia
berumur dua puluh lima tahun ketika ia menjadi raja, dan ia memerintah dua
puluh sembilan tahun di Yerusalem."
Berdasarkan ini, usia Ahaz adalah 36 tahun. Maka, jika putranya naik
takhta pada usia sekitar 25 tahun, itu berarti ayahnya mendapatkannya ketika ia
berusia sekitar 11 tahun.
Dan Pendeta Munis Abdun-Nur menyebutkan dalam bukunya *Syubhat Sekitar
Kitab Suci (شُبُهَاتٌ حَوْلَ الْكِتَابِ الْمُقَدَّسِ)*:
"لَا مَانِعَ مِنْ أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ أَبِيهِ 11 سَنَةً"
"Tidak ada masalah jika terdapat jarak usia 11 tahun antara
seorang anak dengan ayahnya."
Ia kemudian memberikan contoh-contoh historis mengenai hal tersebut.
Diketahui bahwa usia kematangan perempuan lebih muda dibandingkan laki-laki di
wilayah yang sama, yang menunjukkan bahwa istri Ahaz mungkin berusia sekitar
sembilan atau sepuluh tahun seperti dirinya, dan sudah siap untuk memiliki anak
pada usia tersebut.
Dan dilansir dari **akun Instagram cordova.media**, Selasa (14/6),
simak ulasan informasinya berikut ini.
"Menurut Ensiklopedi Katolik, Maria ibu dari Yesus berusia 12
tahun ketika menikahi Yousef yang telah berusia 99 tahun.
Sebelum tahun 1929, Kementerian Gereja Inggris mengizinkan pernikahan
di usia 12 tahun.
Sebelum tahun 1983, hukum kanonik Katolik mengizinkan pernikahan di
usia 12 tahun.
Banyak orang yang tidak menyadari di Amerika Serikat, di negara bagian
Delaware pada tahun 1880 usia minimal untuk menikah adalah 7 tahun dan di
California adalah 10 tahun," ulasnya.
"Bahkan saat ini, usia pernikahan di beberapa negara bagian (AS)
adalah 12 tahun di Massachusetts, 13 tahun di New Hampshire dan 14 tahun di New
York (tahun 2012 diubah menjadi 17 tahun)," lanjutnya.
Dijelaskan pula, hal tersebut juga terjadi di semua agama. Seperti ibu
dari Yesus yang menikah di usia 12 tahun. Selain itu juga sebelum tahun 1929,
Kementerian Gereja Inggris mengizinkan pernikahan di usia 12 tahun. Hukum
kanonik Katolik juga mengizinkan pernikahan di usia 12 tahun sebelum tahun
1983.
KE 2: HAL INI TERJADI DI SEMUA AGAMA DAN ITU ADALAH HAL YANG LUMRAH.
Pernikahan seorang pria tua dengan gadis yang jauh lebih muda bukanlah
hal yang asing di era itu, maupun di era-eranya setelahnya, terutama di
negara-negara yang berlandaskan sistem kabilah.
Pada masa1400 tahun yang lalu adalah hal yang lumrah ketika wanita
menikah di usia yang sangat muda.
Dan di tambah lagi satu hal yang harus dipahami adalah bahwasanya apa
yang terjadi 1400 tahun yang lalu sangatlah berbeda dengan era saat ini. Waktu
telah berubah, termasuk umat manusia.
Melansir dari akun Instagram cordova.media, Selasa (14/6), simak ulasan
informasinya berikut ini.
“Usia pubertas bervariasi tergantung waktu dan tempat. Menurut
referensi ilmiah, anak perempuan mengalami masa pubertas seutuhnya pada usia di
antara 9-15 tahun. Temperatur rata-rata dari suatu negara juga menjadi faktor
utama yang menyebabkan terjadinya menstruasi dan pubertas seksual”.
Dan sudah menjadi ilmu pengetahuan medis bahwa masa pubertas di daerah
panas berlangsung lebih cepat dibandingkan di daerah yang kurang panas. Usia
pubertas pada perempuan di daerah panas bisa mencapai pada usia 8 atau 9 tahun.
Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Dushni, seorang dokter asal Amerika:
"إِنَّ الْفَتَاةَ الْبَيْضَاءَ فِي أَمْرِيكَا
قَدْ تَبْدَأُ فِي الْبُلُوغِ عِندَ السَّابِعَةِ أَوِ الثَّامِنَةِ، وَالْفَتَاةُ
ذَاتُ الْأَصْلِ الْإِفْرِيقِيِّ عِندَ السَّادِسَةِ. وَمِنَ الثَّابِتِ طِبًّا أَيْضًا
أَنَّ أَوَّلَ حَيْضَةٍ وَالْمَعْرُوفَةِ بِاسْمِ (الْمِينَارْكِ menarche)
تَقَعُ بَيْنَ سِنِّ التَّاسِعَةِ وَالْخَامِسَةَ عَشَرَةَ"
"Seorang gadis kulit putih di Amerika dapat mulai mengalami
pubertas pada usia tujuh atau delapan tahun, sedangkan gadis dengan keturunan
Afrika pada usia enam tahun. Selain itu, telah terbukti secara medis bahwa haid
pertama yang dikenal dengan nama (menarche) terjadi antara usia sembilan dan
lima belas tahun." (Dikutip dari Ensiklopedia Nabulsi)
Ada fakta sejarah yang mengungkapkan pada masa-masa dulu banyak wanita
di rentang usia 9-14 tahun telah menikah baik itu di Eropa, Asia, Afrika dan
Amerika.
Contohnya, Augustine di tahun 350 M menikahi wanita yang berusia 10
tahun. Raja Richard II (Inggris) di tahun 1400 M menikahi wanita berusia 7
tahun. Raja Henry VIII (Inggris) di tahun 1500 M menikahi wanita berusia 6
tahun. Bahkan dalam Bible disebutkan, 'tetapi semua orang muda di antara
perempuan yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki biarkan hidup bagimu'
(Bilangan 31: 17-18). [Sumber : **Akun Instagram cordova.media**, Selasa (14/6)].
Begitu pula di Jazirah Arab termasuk di Makkah, contohnya adalah : pernikahan
"Abdul Muthalib," seorang pria tua, dengan "Hala," putri
sepupu "Aminah," pada hari yang sama ketika "Abdullah,"
putra bungsunya, menikahi seorang gadis yang seusia dengan Hala, yaitu Aminah
binti Wahb.
Kemudian, Umar bin Khattab menikahi putri Ali bin Abi Talib,
radhiyallahu 'anhu, ketika ia berusia setua kakeknya.
Selain itu, Umar bin Khattab menawarkan putrinya yang masih muda,
Hafshah, kepada Abu Bakar as-Shiddiq, dan di antara mereka terdapat jarak usia
yang serupa dengan jarak usia antara Rasulullah ﷺ dan Aisyah radhiyallahu
'anha.
Namun, sekelompok orientalis datang setelah lebih dari seribu empat
ratus tahun dari pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha., mereka mengabaikan perbedaan zaman dan wilayah, serta memperpanjang
pembicaraan tentang apa yang mereka sebut sebagai perkawinan yang aneh antara aki-aki
dan bocil.
Mereka membandingkan pernikahan yang terjadi di Mekkah sebelum hijrah
dengan apa yang terjadi hari ini di negara-negara Barat, di mana biasanya
seorang gadis tidak menikah sebelum usia dua puluh lima tahun.
KE 3: PERUBAHAN ADAT:
Perubahan adat istiadat masyarakat tidak dapat disangkal oleh orang
yang berakal, dan perubahan terkait usia pernikahan telah terjadi di semua
bangsa. Misalnya, negara bagian California di Amerika Serikat telah beberapa
kali mengubah usia hukum untuk praktik seksual yang bersifat sukarela dalam
kurun waktu hanya seperempat abad. Hingga tahun 1889, usia tersebut adalah
sepuluh tahun, kemudian menjadi empat belas tahun, lalu dinaikkan pada tahun
1897 menjadi enam belas tahun, dan pada tahun 1913 dinaikkan lagi menjadi
delapan belas tahun. Namun, hingga saat ini, usia tersebut masih tiga belas
tahun di New Mexico dan empat belas tahun di Iowa, Mississippi, dan Maine.
[ http://www.ageofconsent.com/comments/numberone.htm ]
*****
KINI SEDANG MARAK PARA PASTUR YANG BERPRILAKU PIDOFILIA DILUAR NIKAH.
Di kutip dari Detik.News :
**Gereja
Katolik Australia Akui Lamban Bertindak terhadap Pastur Fedofil**
Victoria, - Pihak gereja Katolik di Australia
diakui terlalu lamban bertindak terhadap para pastur fedofil. Namun lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali.
Hal tersebut disampaikan figur Katolik paling senior di negara bagian Victoria,
Australia, Uskup Denis Hart, yang berbicara dalam sidang penyelidikan
pemerintah negara bagian atas penanganan kasus-kasus kejahatan seks anak oleh
para pastur.
"Saya pastinya akan mengatakan bahwa
gereja telah bertindak sangat lamban," kata Hart seperti dilansir kantor
berita AFP, Senin (20/5/2013).
Dalam hearing tersebut terungkap bahwa 620
anak telah menjadi korban sejak tahun 1930-an silam. Bahkan butuh waktu 18
tahun bagi pastur fedofil Desmond Gannon untuk dipecat dari kepasturannya.
Baca artikel detiknews, "Gereja Katolik
Australia Akui Lamban Bertindak terhadap Pastur Fedofil" selengkapnya https://news.detik.com/internasional/d-2250949/gereja-katolik-australia-akui-lamban-bertindak-terhadap-pastur-fedofil.
===*****===
JAWABAN KETIGA :
RASULULLAH ﷺ SEJAK MUDA TIDAK TEROBSESI WANITA MUDA DAN
CANTIK :
Jika Rasulullah ﷺ terobsesi para wanita muda dan gadis cantik, atau ingin bersenang-senang dengan mereka,
maka ia seharusnya melakukannya pada masa mudanya, di mana ia tidak terbebani
dengan tugas-tugas kenabian, tanpa beban dan belum memasuki usia tua, melainkan
dalam masa puncak kehidupan masa muda dan hasratnya yang terpendam.
Namun, ketika kita melihat kehidupannya di masa muda, kita mendapati
bahwa ia menjauhkan diri dari semua itu, bahkan ia rela menikahi Siti Khadijah
radhiyallahu 'anha, seorang wanita yang sudah berusia empat puluh tahun, saat
ia berusia dua puluh lima tahun, maka tidak mungkin ia rela menjalaninya dalam
waktu yang lama hingga istri Khadijah radhiyallahu 'anha meninggal tanpa
menikahi wanita lain.
Jika pernikahannya dengan Khadijah dianggap sebagai sebuah keterpaksaan,
maka tidak mungkin setelah khadijah wafat beliau ﷺ menikahi Saudah binti Zam'ah al-Amiriyah, janda berusia 66 tahun, sebagai bentuk
kepedulian dan untuk menghibur diri Saudah setelah kehilangan suaminya, padahal
Saudah sudah berusia lanjut dan tidak memiliki daya tarik bagi pria atau pelamar.
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki tujuan yang
bersifat kemanusiaan, syariat, dan Islami dalam pernikahan. Disamping itu, Saudah
radhiyallahu ‘anha saat itu hidup di tengah-tengah kalangan orang-orang
musyrik.
Saudah binti Zam’ah radhiyallahu ‘anha sempat berhijrah bersama
suaminya dan saudara laki-lakinya, Malik bin Zam'ah, dalam hijrah kedua ke
Habasyah (Abyssinia). Setelah itu, As-Sakran dan Saudah kembali ke Mekkah,
namun As-Sakran meninggal di sana sebelum hijrah ke Madinah.
Rasulullah ﷺ menikahi Saudah pada bulan
Syawal tahun kesepuluh kenabian, yaitu ketika beliau berusia 50 tahun, setelah
wafatnya Khadijah.
Tidak ditemukan riwayat yang dapat dijadikan sandaran untuk menetapkan
usia Saudah saat dinikahi oleh Rasulullah ﷺ, namun ada riwayat
mengatakan bahwa usia Saudah saat itu adalah 66 tahun. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Abu Zahrah dalam kitabnya *Khatm An-Nabiyyin*: Setelah Khadijah,
Nabi ﷺ menikahi Saudah binti Zam'ah sebelum hijrah. Usianya kurang lebih
sama dengan Khadijah, yaitu sekitar 66 tahun.
====
SETELAH DUDA, NABI ﷺ TETAP LEBIH MEMILIH JANDA TUA DARI PADA GADIS MUDA SAAT DITAWARI SALAH SATU DARI KEDUANYA :
Dari Aisyah radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
لَمَّا تُوُفِّيَتْ خَدِيجَةُ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ خَوْلَةُ بِنْتُ حَكِيمِ بْنِ الْأَوْقَصِ امْرَأَةُ عُثْمَانَ
بْنِ مَظْعُونٍ وَذَلِكَ بِمَكَّةَ: أَيْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَلَا تَزَوَّجُ؟ قَالَ:
«وَمَنْ؟»
قَالَتْ: " إِنْ شِئْتَ بِكْرًا
وَإِنْ شِئْتَ ثَيِّبًا. قَالَ: «وَمَنِ الثَّيِّبُ؟» قَالَتْ: سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ
بْنِ قَيْسٍ، آمَنَتْ بِكَ وَاتَّبَعَتْكَ عَلَى مَا أَنْتَ عَلَيْهِ. قَالَ: «فَاذْهَبِي
فَاذْكُرِيهَا عَلَيَّ» فَخَرَجْتُ فَدَخَلْتُ عَلَى سَوْدَةَ فَقَالَتْ: يَا سَوْدَةُ،
مَا أَدْخَلَ اللَّهُ عَلَيْكِ مِنَ الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ. قَالَتْ: وَمَا
ذَاكَ؟ قَالَتْ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَخْطُبُكِ عَلَيْهِ. فَقَالَتْ: وَدِدْتُ
أَنِّي أَدْخُلُ عَلَى أَبِي فَأَذْكُرُ ذَلِكَ لَهُ. قَالَتْ: وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ
قَدْ تَخَلَّفَ عَنِ الْحَجِّ، فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَحَيَّيْتُهُ بِتَحِيَّةِ أَهْلِ
الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ قُلْتُ: إِنَّ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
عَلَيْهِ السَّلَامُ أَرْسَلَنِي أَنْ أَخْطُبَ عَلَيْهِ سَوْدَةَ. قَالَ: كُفُؤٌ كَرِيمٌ،
فَمَاذَا تَقُولُ صَاحِبَتُكِ؟ قَالَتْ: تُحِبُّ ذَاكَ. قَالَ: فَادْعُهَا إِلَيَّ
فَدَعَتْهَا فَقَالَ: أَيْ سَوْدَةُ، زَعَمَتْ هَذِهِ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَرْسَلَ يَخْطُبُكِ وَهُوَ كُفُؤٌ كَرِيمٌ أَيَحْسُنُ
أَنْ أُزَوِّجَكِهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَادْعِيهِ إِلَيَّ. فَجَاءَ فَزَوَّجَهَا
فَجَاءَ أَخُوهَا مِنَ الْحَجِّ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فَجَعَلَ يَحْثُو فِي رَأْسِهِ
التُّرَابَ فَقَالَ بَعْدَ أَنْ أَسْلَمَ: إِنِّي لَسَفِيهٌ يَوْمَ أَحْثُو فِي رَأْسِيَ
التُّرَابَ إِذْ تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا "
"Ketika Khadijah radhiyallahu 'anha wafat, Khawlah binti
Hakim bin Al-Aqash, istri Utsman bin Mazh’un, berkata kepada Rasulullah ﷺ di Mekah :
‘Wahai Rasulullah ﷺ, apakah engkau tidak ingin
menikah lagi?’
Beliau ﷺ bertanya, ‘Dengan siapa?’
Khawlah menjawab, ‘Jika engkau menghendaki, **ada gadis (Aisyah) dan
ada janda (Saudah)**.’
Beliau ﷺ bertanya, ‘Siapa jandanya?’
Khawlah menjawab, ‘Saudah binti Zam'ah bin Qais. Dia telah beriman
kepadamu dan mengikuti apa yang engkau serukan.’
Rasulullah ﷺ berkata, ‘Pergilah dan
sebutkan namaku padanya.’
Maka, Khawlah pun pergi dan menemui Saudah. Dia berkata, ‘Wahai Saudah,
Allah telah memberimu kebaikan dan keberkahan.’
Saudah bertanya, ‘Apa itu?’ Khawlah menjawab, ‘Rasulullah ﷺ mengutusku untuk melamarmu baginya.’
Saudah berkata, ‘Aku ingin menemui ayahku dan memberitahukan hal ini
kepadanya.’
Ayah Saudah adalah seorang tua yang sudah tidak dapat lagi melakukan
ibadah haji. Lalu Khawlah menemui ayahnya, menyapanya dengan sapaan kaum
Jahiliyah, kemudian berkata:
‘Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib – ‘alaihis
salam-, mengutusku untuk melamarmu bagi Saudah.’
Sang ayah menjawab, ‘Seorang yang mulia dan sepadan. Apa yang dikatakan
sahabat-mu (Saudah)?’ Khawlah menjawab, ‘Dia menyukai hal itu.’
Sang ayah berkata, ‘Panggil dia ke mari,’ maka Khawlah memanggil
Saudah.
Ayah Saudah berkata, ‘Wahai Saudah, Khawlah mengatakan bahwa Muhammad
bin Abdul Muthalib mengutusnya untuk melamarmu. Dia seorang yang mulia. Apakah
engkau senang jika aku menikahkanmu dengannya?’
Saudah menjawab, ‘Ya.’ Sang ayah berkata, ‘Panggil dia ke mari.’
Rasulullah ﷺ pun datang, dan sang ayah
menikahkan Saudah dengannya.
Setelah pernikahan itu, saudara laki-laki Saudah, Abdullah bin Zam’ah,
pulang dari ibadah haji, lalu dia menaburkan debu di kepalanya sebagai tanda
protes. Namun, setelah dia masuk Islam, ia berkata, ‘Sungguh betapa bodohnya
aku, saat itu aku menaburkan debu di kepalaku karena Rasulullah ﷺ menikahi Saudah binti Zam'ah radhiyallahu 'anha.’”
[HR. Ahmad 6/311, ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir 24/30
no. 80, Ibnu Abi ‘Ashim dalam al-Ahaad wal Matsaani 5/413 no. 3061 dan Ibnu
al-Atsir al-Jazari dalam Asad al-Ghobah 3/510 no.
SAUDAH SEMPAT MENOLAK LAMARAN :
Saudah bint Zam’ah sempat menolak lamaran Nabi ﷺ karena ia tidak percaya diri
untuk menikah dengan beliau ﷺ, mengingat diri nya sudah
tua renta, sudah tidak cantik lagi, bertubuh gemuk dan punya anak.
Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabiir 12/248 no. 13014 meriwayatkan dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَطَبَ امْرَأَةً
مِنْ قَوْمِهِ يُقَالُ لَهَا سَوْدَةُ وَكَانَتْ مُصْبِيَةً وَكَانَتْ لَهَا خَمْسَةُ
صِبْيَةٍ أَوْ سِتَّةٌ مِنْ بَعْلٍ لَهَا مَاتَ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ: «مَا
يَمْنَعُكِ مِنِّي؟» ، قَالَتْ: وَاللهِ يَا نَبِيَّ اللهِ مَا يَمْنَعُنِي مِنْكَ
إِلَّا أَنْ تَكُونَ أَحَبَّ الْبَرِيَّةِ إِلَيَّ وَلَكِنِّي أُكْرِمُكَ أَنْ تَصْغُوَ
هَؤُلَاءِ الصِّبْيَةَ عِنْدَ رَأْسِكَ بُكْرَةً وَعَشِيَّةً، قَالَ: «أَمَا يَمْنَعُكِ
مِنِّي شَيْءٌ غَيْرُ ذَلِكَ؟» قَالَتْ: «لَا وَاللهِ»
Bahwa Nabi ﷺ meminang seorang wanita dari
kaumnya yang bernama Saudah. Dia adalah seorang wanita yang memiliki anak-anak
kecil, dan dia memiliki lima atau enam anak dari suaminya yang telah meninggal.
Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, "Apa
yang menghalangimu dariku?"
Dia menjawab, "Demi Allah, wahai Nabi Allah, tidak ada yang
menghalangiku darimu kecuali bahwa engkau adalah orang yang paling aku cintai
di dunia ini. Namun, aku merasa tidak pantas jika anak-anak ini berada di
sekitarmu pagi dan sore."
Rasulullah ﷺ bertanya lagi, "Tidak
ada yang menghalangimu dariku selain itu?"
Dia menjawab, "Tidak, demi Allah." [Selesai]
Namun pada akhir nya Rasulullah ﷺ menikah dengan Saudah . Pernikahan
Rasulullah ﷺ dengan Saudah terjadi pada bulan Ramadan tahun kesepuluh
setelah kenabian, dan beliau ﷺ hidup bersama Saudah di
Mekah.
Saudah radhiyallahu ‘anha adalah wanita pertama yang dinikahi oleh
Rasulullah ﷺ setelah Khadijah. Rasulullah ﷺ tidak menikah lagi selama
sekitar empat tahun atau lebih, hingga akhirnya menikah dengan Aisyah
radhiyallahu 'anha. Namun Nabi ﷺ membangun rumah tangga alias
tinggal serumah dengan Aisyah setelah hijrah di Madinah, tepatnya pada bulan
Syawal tahun ke 2 Hijriah.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
((تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي
شَوَّالٍ ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ ﷺ كَانَ
أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟))
“Rasulullah ﷺ menikahiku di bulan Syawwal,
dan membangun rumah tangga denganku di bulan syawal, maka istri-istri
Rosulullah ﷺ yang manakah yang lebih memiliki keberuntungan daripada diriku
?” ( HR. Muslim no. 1423 ).
SAUDAH (RA) MENG-HIBAHKAN WAKTU GILIRNYA UNTUK AISYAH (RA)
Setelah Rasulullah ﷺ menikah lagi dengan ‘Aisyah
dan mulai membangun keluarga dengannya, maka Saudah radhiyallahu anha semakin
tidak percaya diri, ditambah lagi bahwa dirinya sudah tidak memiliki gairah
lagi terhadap berhubungan suami istri, maka timbul kekhawtiran pada dirinya
bahwa Rasulullah ﷺ akan menceraikannya. Dengan
sebab ini, maka Saudah segera mendatangi Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan sebuah
pernyataan Shulh (الصُّلْحُ)
bahwa hak gilirnya dihibahkan untuk Aisyah radhiyallahu anha. Maka setelah itu
turun ayat berikut ini :
﴿وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا
أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ
خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا﴾
Dan jika seorang wanita (istri) khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia
itu menurut tabiatnya kikir.
Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS. Nisa: 128]
Dalam Shahih Bukhori dan Muslim diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
'anha, ia berkata:
لَمَّا كَبرْت سودةُ بنتُ زَمعة وهبَتْ
يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْسِمُ لَهَا بِيَوْمِ سَوْدَةَ
"Ketika Saudah binti Zam'ah telah berusia lanjut, ia menyerahkan
gilirannya kepada Aisyah. Maka Rasulullah ﷺ pun memberikan giliran
kepada Aisyah pada hari giliran Saudah."
[Shahih Al-Bukhari nomor (5212) dan Shahih Muslim nomor (1463)]
Sa'id bin Mansur berkata, "Abdurrahman bin Abi Az-Zinad
mengabarkan kepada kami, dari Husyam, dari ayahnya, Urwah, yang berkata:
أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي سَوْدَةَ وَأَشْبَاهِهَا: {وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا} وذلك أن سَوْدَةَ كَانَتِ امْرَأَةً قَدْ أَسَنَّتْ، فَفَزِعَتْ
أَنْ يُفَارِقَهَا رسولُ اللَّهِ ﷺ، وضنَّت بِمَكَانِهَا مِنْهُ، وَعَرَفَتْ مِنْ حُبِّ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عَائِشَةَ وَمَنْزِلَتِهَا مِنْهُ، فَوَهَبَتْ يَوْمَهَا مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ لِعَائِشَةَ، فَقَبِلَ ذَلِكَ النَّبِيُّ ﷺ
'Allah Ta'ala menurunkan ayat mengenai Saudah dan yang sepertinya:
*“Jika seorang wanita khawatir suaminya akan berpaling atau menjauhinya...”*
(An-Nisa: 128).
Hal ini karena Saudah adalah seorang wanita yang sudah lanjut usia, dan
ia khawatir Rasulullah ﷺ akan menceraikannya. Ia
ingin tetap berada dalam rumah tangga beliau ﷺ dan mengetahui cinta
Rasulullah ﷺ kepada Aisyah serta kedudukannya di sisi beliau. Maka Saudah
menyerahkan hari gilirannya kepada Aisyah, dan Nabi ﷺ menerima hal itu.'"
[Sunan Sa'id bin Mansur nomor (702) dan Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra
(7/297)]
Diriwayatkan juga dari Aisyah bahwa ia berkata kepada Urwah bin
az-Zubair :
يَا ابْنَ أُخْتِي، كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي مُكْثِهِ عِنْدَنَا، وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ
إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا، فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيس،
حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى مَنْ هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا، وَلَقَدْ قَالَتْ
سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعة -حِينَ أَسَنَّتْ وفَرِقت أَنْ يُفَارِقَهَا رسولُ اللَّهِ
ﷺ-: يَا رَسُولَ اللَّهِ، يَوْمِي هَذَا لِعَائِشَةَ. فَقَبِل ذَلِكَ رسولُ اللَّهِ
ﷺ. قَالَتْ عَائِشَةُ: فَفِي ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ: {وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا}
"Wahai anak saudariku, Rasulullah ﷺ tidak pernah mengistimewakan
salah satu dari kami dalam bermalam, dan hampir setiap hari beliau ﷺ berkeliling menemui kami, mendekati setiap istri tanpa
menyentuhnya, hingga tiba giliran yang bersangkutan untuk beliau ﷺ bermalam di tempatnya." Saudah binti Zam'ah, ketika ia sudah tua
dan khawatir akan diceraikan oleh Rasulullah ﷺ, berkata, "Wahai
Rasulullah, hari giliranku ini untuk Aisyah." Rasulullah ﷺ pun menerima tawaran itu.
Aisyah berkata, "Lalu Allah menurunkan ayat: *‘Jika seorang wanita
khawatir suaminya akan berpaling atau menjauhinya…’* (An-Nisa: 128).”
[Sunan Abu Daud nomor (2135). Dinilai shahih oleh al-Hakim dalam
Al-Mustadrak (2/186) dan Adz-Dzahabi menyetujuinya]
Dalam riwayat al-Qosim bin Abi Bazzah, disebutkan bahwa Saudah bint
Zam’ah berkata kepada Nabi ﷺ:
فَإِنِّي قَدْ كَبِرْتُ وَلَا حَاجَةَ
لِي فِي الرِّجَالِ، لَكِنْ أُرِيدُ
أَنْ أُبْعَثَ مَعَ نِسَائِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.... فَقَالَتْ: إِنِّي جَعَلْتُ
يَوْمِي وَلَيْلَتِي لِحبّة رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
"Sesungguhnya aku renta telah tua dan tidak memiliki hasrat
keinginan terhadap laki-laki, tetapi aku ingin dibangkitkan bersama istri-istri
Engkau pada hari kiamat...." Maka ia berkata, "Aku serahkan hari dan
malam giliranku kepada kekasih Rasulullah ﷺ."
[Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam *At-Tabaqat Al-Kubra* (8/54)
melalui jalur Muslim bin Ibrahim dengannya.
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 2/247 berkata : Hadits Gharib Mursal]
*****
NABI ﷺ MENIKAH DENGAN AISYAH (RA),
BUKAN KARENA KEINGINAN BELIAU ﷺ:
Hanya sekali saja Rasulullah menikah dengan seorang gadis. Dan itupun
bukan inisiatif yang datang dari dirinya sendiri, bukan karena kemauannya,
bukan karena karakternya dan bukan karena pengidap prilaku Pedofilia .
Jika benar Rasulullah ﷺ memiliki kecenderungan pada perilaku pedofilia, tentu beliau akan sering menikahi gadis muda, atau setidaknya lebih dari sekali. Kenyataannya, Nabi ﷺ hanya menikahi satu gadis, yaitu Aisyah radhiyallahu 'anha. Padahal para sahabat yang memiliki anak perempuan dewasa justru sering menunggu hingga mereka benar-benar yakin bahwa Rasulullah ﷺ tidak menunjukkan keinginan untuk menikahi anak gadis mereka. Namun demikian Rasulullah ﷺ tetap tidak pernah lagi menikahi seorang gadis selain Aisyah radhiyallahu 'anha. Ini menunjukkan bahwa pernikahan beliau ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu 'anha bukan didasari oleh kecenderungan pada gadis muda, tetapi didasari oleh hikmah lain yang jauh lebih dalam dan bermakna.
Al-Imam al-Baihaqi dalam kitabnya “شُعَبُ
الإِيمَانِ” No.
1446 meriwayatkan dengan sanadnya dari dari Abu Barzah al-Aslamii radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata :
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ لِأَحَدِهِمْ أَيِّمٌ لَمْ يُزَوِّجْهَا حَتَّى يَعْلَمَ
أَلِرَسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا حَاجَةٌ أَمْ لَا؟.
“Dulu para sahabat Nabi ﷺ jika salah satu diantara
mereka memiliki anak perempuan dewasa, tidak akan menikahkannya sampai dia tahu
betul apakah Nabi ﷺ menginginkannya atau tidak?”.
[HR. Al-Baihaqi dalam “شُعَبُ
الإِيمَانِ”no.
1446. Hadits ini di riwayatkan pula oleh : Imam Ahmad no. 19417 , 19423 &
19446 , Imam Muslim no. 2472 , Ibnu Hibbaan No. 4111 , an-Nasaa’i dalam “السُّنَنُ الكُبْرَى” no. 7016 , ath-Thoyaalisi dalam
al-Musnad no. 955 , Ibnu Abi ‘Aaashim dalam “الأٓحَادُ
وَالمَثَانِي” no.
2088 , al-Bazzaar No. 3254 & 3267 , al-Baihaqi dalam “السُّنَنُ الكُبْرَى”
no. 6463 , Abu Nu’aim al-Ashbahaani dalam “مَعْرِفَةُ
الصَّحَابَةِ” no.
1602 , Ar-Ruuyaani dalam Musnadnya no. 1300 dan al-Haafidz Ibnu Hajar dalam "المطَالبُ العَالية" No. 1627]
Hadits ini di Shahihkan oleh Syeikh al-Albaani dalam “أَحْكَامُ الجَنَائِزِ” hal. 73 .
Dan Syu’aib al-Arna’uuth berkata dalam “تَعْلِيقُ
شُعَبِ الإِيمَانِ” :
إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ إِبْرَاهِيمُ بْنُ
الحَجَّاجِ: ثِقَةٌ رَوَى لَهُ النَّسَائِيُّ، وَبَاقِي رِجَالِهِ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ.
“ Sanadnya Shahih . Ibrahim bin
al-Hajjaaj itu Tsiqoh , dan sisa para perawinya sesuai dengan syarat Imam
Muslim “.
----
Syekh Faishal Mawlawi - rahimahullah - Wakil Ketua Dewan Eropa untuk
Riset dan Fatwa, menyebutkan tentang kondisi pernikahan Nabi ﷺ dengan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallah ‘anha, lalu beliau
berkata:
**Pertama** : “Sesungguhnya pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha berawal dari usulan dan
penawaran Khawlah binti Hakim kepada Rasulullah ﷺ, dengan tujuan untuk
mempererat hubungan dengan orang yang paling dicintainya, yaitu Abu Bakar
as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, agar hubungan mereka tidak hanya terikat oleh
persahabatan, tetapi juga oleh ikatan perbesanan [perjodohan].
**Kedua** : Aisyah radhiyallahu ‘anha sebelumnya telah
dipinang oleh Jubair bin Muth’im bin Adiy, yang menunjukkan bahwa dia telah
matang dari segi fisik dan kewanitaan, sebagaimana dibuktikan dengan
pinangannya sebelum peristiwa yang diusulkan oleh Khawlah.
**Ketiga** : Kaum Quraisy, yang selalu mencari-cari
celah untuk menjatuhkan Rasulullah ﷺ dengan fitnah atau
kesalahan, mereka tidak merasa aneh dan terkejut ketika kabar perbesanan antara
dua sahabat yang paling dekat dan setia ini diumumkan. Sebaliknya, mereka
menerimanya sebagaimana menerima hal yang biasa, wajar dan alami.
**Keempat**: Bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha bukanlah gadis
pertama yang dinikahkan di lingkungan masyarakat tersebut dengan seorang pria
yang jauh lebih tua darinya, dan dia juga bukan yang terakhir.
Abdul Muthalib, seorang yang sudah tua renta, menikah dengan Haalah
anak perempuan paman Aminah, pada hari yang sama ketika Abdullah (Ayah Nabi ﷺ), anak bungsunya, menikah dengan seorang gadis seusia Halah,
yaitu Aminah binti Wahb (Ibu Nabi ﷺ).
Kemudian juga, Sayyidina Umar bin Khattab menikahi putri Sayyidina Ali
bin Abi Thalib (karamallahu wajhah) ketika Umar seusia dengan kakeknya Ali.
Selain itu, Sayyidina Umar bin Khattab menawarkan putrinya yang masih muda,
Hafshah, kepada Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, meskipun jarak usia antara
mereka seperti perbedaan usia antara Rasulullah ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu 'anha.
Namun, sekelompok orientalis yang muncul lebih dari seribu empat ratus
tahun setelah peristiwa tersebut berlalu, mengabaikan perbedaan zaman dan
wilayah. Mereka memperpanjang dan mengungkit-ngungkit pembahasan tentang apa
yang mereka sebut sebagai perkawinan aneh antara pria dewasa dengan anak
perempuan kecil (bocil).
Mereka menilai pernikahan yang terjadi di Mekah sebelum hijrah dengan
perspektif masa kini di negara-negara Barat, di mana perempuan umumnya tidak
menikah sebelum usia dua puluh lima tahun.
Perlu diperhatikan bahwa kematangan fisik perempuan di daerah panas
terjadi sangat dini, biasanya pada usia delapan tahun, sedangkan di daerah
dingin, kematangan perempuan tertunda hingga usia dua puluh satu tahun, seperti
yang terjadi di beberapa negara dingin.
Bagaimanapun, Rasulullah ﷺ tidak menikahi Aisyah
radhiyallahu 'anha demi kesenangan semata, padahal beliau telah berusia lima
puluh lima tahun. Pernikahan itu lebih dimaksudkan untuk memperkuat hubungan
dengan pria yang paling dicintainya melalui ikatan perbesanan, terutama setelah
beliau memikul beban risalah yang menjadi tanggungan berat baginya, sehingga
tidak ada ruang untuk memikirkan hal lain dalam hal ini.
**Tujuan Nabi ﷺ dalam pernikahan **:
Jika seandainya tujuan Rasulullah ﷺ adalah menikahi perempuan
demi kesenangan, beliau pasti sudah melakukannya pada masa mudanya, ketika
belum ada beban risalah dan belum ada tanggung jawab berat, juga sebelum masa
tua tiba, melainkan pada masa puncak kekuatan muda dan gairah yang tersembunyi.
Namun, jika kita melihat kehidupannya pada masa muda, kita akan menemukan bahwa
beliau menjauhi semua itu. Bahkan, beliau puas menikahi Khadijah radhiyallahu
'anha yang sudah berusia empat puluh tahun, sementara beliau baru berusia dua
puluh lima tahun.
Kemudian, jika Rasulullah ﷺ terobsesi dengan wanita,
tentu beliau tidak akan rela hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa menikah
lagi hingga wafatnya istri beliau, Khadijah radhiyallahu 'anha. Jika pernikahan
beliau dengannya adalah suatu kebetulan, maka setelah Khadijah radhiyallahu
'anha wafat, siapa yang beliau nikahi setelahnya? Beliau menikahi Saudah binti
Zam'ah al-Amiriyah, untuk menghiburnya setelah wafatnya suaminya, padahal
Saudah sudah berusia lanjut dan tidak memiliki daya tarik bagi laki-laki atau pelamar.
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki tujuan yang
bersifat kemanusiaan, syariat, dan Islam dalam pernikahan.
Ketika Khawlah binti Hakim menawarkan pernikahan dengan Aisyah kepada
Rasulullah ﷺ, beliau memikirkan apakah akan menolak putri Abu Bakar, tetapi
persahabatan yang panjang, penuh keikhlasan, serta kedudukan Abu Bakar di sisi
Rasulullah ﷺ, yang tak ada yang dapat menyamai, membuat beliau tak mampu
menolak. Ketika Aisyah radhiyallahu 'anha datang ke rumah Rasulullah ﷺ, Saudah memberikan tempat pertama di rumah untuknya, dan terus
menjaga kenyamanannya hingga Saudah wafat dalam keadaan taat dan beribadah
kepada Allah. Aisyah radhiyallahu 'anha kemudian tetap menjadi istri setia
Rasulullah ﷺ, mempelajari banyak ilmu darinya, hingga ia menjadi salah satu
orang yang ahli dalam ilmu agama dan hukum syariat.
Cinta Rasulullah ﷺ kepada Aisyah radhiyallahu
'anha hanyalah kelanjutan alami dari cintanya kepada ayahnya, Abu Bakar
radhiyallahu 'anhuma.
Rasulullah ﷺ pernah ditanya: "Siapa
orang yang paling engkau cintai?" Beliau menjawab, "Aisyah."
Lalu ditanya, "Dari kalangan laki-laki?" Beliau menjawab,
"Ayahnya."
Inilah Aisyah radhiyallahu 'anha, istri yang paling dicintai Rasulullah
ﷺ dan orang yang paling beliau sayangi. Pernikahan beliau
dengannya bukan hanya karena syahwat atau kesenangan semata, melainkan lebih
kepada penghormatan terhadap Abu Bakar, mendekatkannya, dan memberikan
kedudukan terbaik bagi putrinya di rumah kenabian([1]).
Baca pula :
**Topik Islam – Artikel di Surat Kabar Denmark – Pelajaran (12-03):
Pernikahan Aisyah oleh Dr. Muhammad Ratib al-Nabulsi**.
====*****====
JAWABAN KE EMPAT :
ADA YANG BERPENDAPAT : BAHWA USIA AISYAH 16
TAHUN SAAT MENIKAH DENGAN NABI ﷺ, NAMUN HIDUP BERSAMA DI USIA
19 TAHUN.
Ada Sebagian para ulama kontemporer meragukan akan kebenaran riwayat
yang menyatakan bahwa usia Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah 6 tahun saat
menikah dengan Rasulullah ﷺ tepatnya pada bulan Syawal, 1
tahun sebelum hijrah, yang kemudian di usia 9 tahun dia mulai membangun rumah
tangga dengan beliau ﷺ, tepatnya di bulan syawal, 2
tahun setelah hijrah.
===
STUDI HADITS ‘AISYAH (RA) MENIKAH DI USIA 6 TAHUN :
Berikut ini studi hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang menceritakan
bahwa Rasulullah ﷺ menikahi-nya saat dirinya
berusia 6 tahun, dan tinggal serumah dengan beliau ﷺ saat dirinya berusia 9
tahun.
Ada beberapa jalur sanad :
Jalur ke 1 : **Jalur yang paling masyhur dan terkenal adalah dari
riwayat Husyam bin Urwah bin Zubair, dari ayahnya Urwah bin Zubair, dari Aisyah
radhiyallahu 'anha**.
Ini adalah salah satu riwayat yang paling sahih, karena Urwah bin
Zubair adalah salah satu orang yang paling mengenal Aisyah, karena dia adalah
keponakannya rahimahullah.
Jalur ke 2 : **Jalur lain dari riwayat Az-Zuhri, dari Urwah bin Zubair,
dari Aisyah**, terdapat dalam *Shahih Muslim* (1422).
Jalur ke 3 : **Jalur lain dari riwayat Al-A'masy, dari Ibrahim, dari
Al-Aswad, dari Aisyah** yang berkata: “Rasulullah ﷺ menikahinya saat ia berusia
enam tahun, dan tinggal serumah dengannya saat ia berusia sembilan tahun, dan
Rasulullah wafat meninggalkannya ketika ia berusia delapan belas tahun.”
Diriwayatkan oleh Muslim (1422).
Jalur ke 4 : **Jalur lain dari riwayat Muhammad bin Amr, dari Yahya bin
Abdurrahman bin Hathib, dari Aisyah radhiyallahu 'anha**. Diriwayatkan oleh Abu
Dawud (4937).
Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini rahimahullah telah mengumpulkan nama-nama
para pengikut Urwah bin Zubair, yaitu: Al-Aswad bin Yazid, Al-Qasim bin
Abdurrahman, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, Amrah binti Abdurrahman, dan
Yahya bin Abdurrahman bin Hathib.
Beliau juga mengumpulkan nama-nama pengikut Husyam bin Urwah dalam
meriwayatkan hadits ini, yaitu: Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Abu Hamzah Maimun,
maula Urwah.
Kemudian, beliau menyebutkan para perawi dari Husyam bin Urwah dari
penduduk Madinah, agar pembaca mengetahui bahwa hadits ini juga diriwayatkan
oleh Husyam di Madinah, yaitu: Abu Az-Zinad Abdullah bin Dzakwan, anaknya
Abdurrahman bin Abu Az-Zinad, dan Abdullah bin Muhammad bin Yahya bin Urwah.
Adapun dari penduduk Mekah: Sufyan bin 'Uyainah.
Lafadz riwayat Husyam bin Urwah bin Zubair, dari ayahnya Urwah bin
Zubair, dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata :
(تَزَوَّجَنِى النَّبِي ﷺ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ
سِنِينَ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ،
فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي فَوَفَى جُمَيْمَةً، فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ
وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا
أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي، فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ،
وَإِنِّي لأَنْهَجُ، حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ
فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي، ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ، فَإِذَا نِسْوَةٌ
مِنَ الأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ، فَقُلْنَ: عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ، وَعَلَى
خَيْرِ طَائِرٍ. فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي، فَلَمْ يَرُعْنِي
إِلَاّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ضُحًى، فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ
تِسْعِ سِنِينَ)
“Nabi ﷺ menikahiku saat aku berusia
enam tahun, lalu kami tiba di Madinah dan singgah di kampung Bani Al harits bin
Khazraj. Kemudian aku menderita demam hingga rambutku menjadi rontok. Setelah
sembuh, rambutku tumbuh lebat sehingga melebihi bahu. Kemudian ibuku, Ummu
Ruman datang menemuiku saat aku sedang berada dalam ayunan bersama
teman-temanku. Ibuku berteriak memanggilku lalu aku datangi sementara aku tidak
mengerti apa yang diinginkannya. Ibuku menggandeng tanganku lalu membawaku
hingga sampai di depan pintu rumah. Aku masih dalam keadaan terengah-engah
hingga aku menenangkan diri sendiri. Kemudian ibuku mengambil air lalu
membasuhkannya ke muka dan kepalaku lalu dia memasukkan aku ke dalam rumah itu
yang ternyata di sana ada beberapa wanita dari kaum Anshar yang menyambutku
dengan mengatakan;
"Mudah-mudahan memperoleh kebaikan dan keberkahan dan dan
mudah-mudahan mendapat nasib yang terbaik".
Lalu ibuku menyerahkan aku kepada mereka. Mereka merapihkan
penampilanku. Dan tidak ada yang membuatku terkejut melainkan melihat
Rasulullah ﷺ datang di pagi hari. Akhirnya mereka menyerahkan aku kepada
beliau, dimana saat itu usiaku sembilan tahun".
[HR. Al-Bukhari (3894) dan Muslim (1422)].
Lafadz lain dari jalur Husyam. Imam Ahmad berkata : Telah menceritakan
kepada kami Sulaiman bin Dawud, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami
Abdurrahman, dari Hisham bin Urwah, dari ayahnya, ia berkata: Aisyah rdhiyallahu
‘anha berkata:
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ وَأَنَا
ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ بِمَكَّةَ، مُتَوَفَّى خَدِيجَةَ، وَدَخَلَ بِي وَأَنَا ابْنَةُ
تِسْعِ سِنِينَ بِالْمَدِينَةِ.
"Rasulullah ﷺ menikahiku ketika aku
berusia enam tahun di Makkah, setelah wafatnya Khadijah. Namun beliau tinggal
bersamaku ketika aku berusia sembilan tahun di Madinah."
[HR. Ahmad (24867) dinilai shahih oleh Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij
al-Musnad 41/360 ].
Adapun dari jalur Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah radhiyallahu
‘anha:
(تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ وَهِيَ بِنْتُ
سِتٍّ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانِ
عَشْرَةَ)
(Bahwa Rasulullah ﷺ menikahinya saat ia berusia
enam tahun, dan menggaulinya saat ia berusia sembilan tahun, dan Rasulullah ﷺ wafat saat ia berusia delapan belas tahun)." (HR. Muslim,
no. 1422).
Kisah pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah saat ia
berusia sembilan tahun juga diriwayatkan oleh selain Aisyah radhiyallahu 'anha,
yaitu dari mereka yang mengetahui kisahnya dan lebih mengenalnya daripada yang
lain.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam *Musnad* (6/211) dari Muhammad bin
Basyar, ia berkata: Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu
Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami, keduanya berkata:
(لَمَّا هَلَكَتْ خَدِيجَةُ جَاءَتْ خَوْلَةُ
بِنْتُ حَكِيمٍ امْرَأَةُ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ! أَلَا
تَزَوَّجْ؟ قَالَ: مَنْ؟ قَالَتْ: إِنْ شِئْتَ بِكْرًا، وَإِنْ شِئْتَ ثَيِّبًا. قَالَ:
فَمَنْ الْبِكْرُ؟ قَالَتْ: ابْنَةُ أَحَبِّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْكَ:
عَائِشَةُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ...)
“Ketika Khadijah wafat, datanglah Khaulah binti Hakim, istri Utsman bin
Mazh’un, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah! Tidakkah engkau menikah lagi?’
Beliau bertanya: ‘Dengan siapa?’ Khaulah menjawab: ‘Jika engkau mau, ada gadis
dan ada janda.’ Beliau bertanya: ‘Siapa gadis itu?’ Khaulah menjawab: ‘Putri
dari orang yang paling engkau cintai di sisi Allah Azza wa Jalla, yaitu Aisyah
binti Abu Bakar…’”
Dan dalam kisah tersebut disebutkan bahwa Aisyah berusia enam tahun
saat akad, dan sembilan tahun saat beliau ﷺ tinggal bersamanya.
[Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat : ISLAMQA Fatwa No. 124483. Judul
artikel :
"تَحْقِيقٌ
فِي عُمْرِ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عِنْدَمَا تَزَوَّجَهَا
النَّبِيُّ ﷺ"
ULAMA YANG MENDHA’IFKAN HADITS AISYAH (RA)
MENIKAH DI USIA 6 TAHUN :
Ada sebagian para ulama yang mendhaifkan hadits Aisyah radhiyallahu
anha dengan mengatakan :
“Hadits yang menyebutkan usia Aisyah diriwayatkan melalui lima jalur
yang semuanya kembali kepada Husyam bin Urwah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *Hadyu as-Sari* dan *Tahdzib at-Tahdzib*
menyebutkan tentang Husyam bin Urwah bin az-Zubair :
«قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ يُوسُفَ بنِ خِرَاشٍ
وَكَانَ مَالِكٌ لَا يَرْضَاهُ، بَلَغَنِي أَنَّ مَالِكًا نَقَمَ عَلَيْهِ حَدِيثَهُ
لِأَهْلِ العِرَاقِ، قَدِمَ الكُوفَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ : مَرَّةً كَانَ يَقُولُ: حَدَّثَنِي
أَبِي، قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ وَقَدِمَ ـ جَاءَ ـ الثَّانِيَةَ فَكَانَ يَقُولُ:
أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ، وَقَدِمَ الثَّالِثَةَ فَكَانَ يَقُولُ: أَبِي عَنْ
عَائِشَةَ». وَالمَعْنَى بِبَسَاطَةٍ أَنَّ (هشام بن عروة) كَانَ صَدُوقًا فِي المَدِينَةِ
المُنَوَّرَةِ، ثُمَّ لَمَّا ذَهَبَ لِلعِرَاقِ بَدَأَ حِفْظُهُ لِلْحَدِيثِ يَسُوءُ
وَبَدَأَ (يُدَلِّسُ) أَيْ يُنْسِبُ الحَدِيثَ لِغَيْرِ رَاوِيهِ، ثُمَّ بَدَأَ يَقُولُ
(عَنْ) أَبِي، بَدَلًا مِنْ (سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِي)، وَفِي عِلْمِ الحَدِيثِ كَلِمَةُ
(سَمِعْتُ) أَوْ (حَدَّثَنِي) أَقْوَى مِنْ قَوْلِ الرَّاوِي (عَنْ فُلَانٍ)، وَالحَدِيثُ
فِي البُخَارِيِّ هَكَذَا يَقُولُ فِيهِ هِشَامٌ عَنْ (أَبِي وَلَيْسَ (سَمِعْتُ أَوْ
حَدَّثَنِي)، وَهُوَ مَا يُؤَيِّدُ الشَّكَّ فِي سَنَدِ الحَدِيثِ، ثُمَّ النُّقْطَةُ
الأَهَمُّ وَهِيَ أَنَّ الإِمَامَ (مَالِك) قَالَ: إِنَّ حَدِيثَ (هشام) بِالعِرَاقِ
لَا يُقْبَلُ، فَإِذَا طَبَّقْنَا هَذَا عَلَى الحَدِيثِ الَّذِي أَخْرَجَهُ البُخَارِيُّ
لَوَجَدْنَا أَنَّهُ مُحَقَّقٌ، فَالحَدِيثُ لَمْ يَرْوِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ مِنَ المَدِينَةِ،
بَلْ كُلُّهُمْ عِرَاقِيُّونَ مِمَّا يَقْطَعُ أَنَّ (هشام بن عروة) قَدْ رَوَاهُ بِالعِرَاقِ
بَعْدَ أَنْ سَاءَ حِفْظُهُ، وَلَا يَعْقِلُ أَنْ يَمْكُثَ (هشام) بِالمَدِينَةِ عُمْرًا
طَوِيلًا وَلَا يَذْكُرَ حَدِيثًا مِثْلَ هَذَا وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً، لِهَذَا
فَإِنَّنَا لَا نَجِدُ أَيَّ ذِكْرٍ لِعُمُرِ السَّيِّدَةِ (عَائِشَة) عِنْدَ زَوَاجِهَا
بِالنَّبِيِّ فِي كِتَابِ (المُوَطَّأ) لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَهُوَ الَّذِي رَأَى وَسَمِعَ
(هشام بن عروة) مُبَاشَرَةً بِالمَدِينَةِ، فَكَفَى بِهَاتَيْنِ العِلَّتَيْنِ لِلشَّكِّ
فِي سَنَدِ الرِّوَايَةِ السَّابِقَةِ». انتهى
"Abdurrahman bin Yusuf bin Khurrasy berkata bahwa Malik tidak
meridhainya. Malik dikabarkan tidak menyukai hadits-hadits yang Husyam bin
Urwah sampaikan kepada penduduk Irak.
Husyam datang ke Kufah tiga kali.
Pada kunjungan pertama, dia berkata, 'Ayahku bercerita kepadaku,
aku mendengar dari Aisyah.'
Pada kunjungan kedua, dia berkata, 'Ayahku memberitahuku dari
Aisyah.'
Pada kunjungan ketiga, dia hanya mengatakan, 'Dari ayahku dari
Aisyah.'"
Artinya, secara sederhana, Husyam bin Urwah adalah seorang perawi yang
dapat dipercaya di Madinah. Namun, ketika dia pergi ke Irak, hafalan haditsnya
mulai melemah dan dia mulai *mudallis* (menyembunyikan kelemahan sanad), yaitu
mengaitkan hadits kepada orang yang bukan perawi aslinya. Dia mulai menggunakan
istilah "dari ayahku" (*'an abi*) alih-alih "aku mendengar dari
ayahku" (*sami'tu aw haddatsani*).
Dalam ilmu hadits, kata "aku mendengar" atau "ayahku
bercerita" lebih kuat daripada sekadar "dari ayahku". Hadits
yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari melalui Husyam menggunakan kata *'an*
(dari), bukan *sami'tu* atau *haddatsani*, yang mendukung keraguan atas
sanadnya.
Poin yang paling penting adalah bahwa Imam Malik mengatakan, "Hadits
Husyam di Irak tidak dapat diterima." Jika kita terapkan ini pada hadits
yang diriwayatkan al-Bukhari, kita akan menemukan bahwa semua perawi hadits
tersebut berasal dari Irak, bukan satu pun dari Madinah.
Ini memperkuat kesimpulan bahwa Husyam bin Urwah meriwayatkannya ketika
dia sudah berada di Irak setelah hafalannya melemah. Tidak masuk akal jika Husyam
tinggal di Madinah dalam waktu yang lama tetapi tidak pernah menyebutkan hadits
ini sekali pun.
Sebagai bukti lebih lanjut, tidak ada satu pun keterangan tentang usia
Aisyah saat menikah dengan Nabi dalam *al-Muwatha'* karya Imam Malik, meskipun
Imam Malik mendengar langsung dari Husyam bin Urwah di Madinah.
Dengan dua kelemahan ini, cukup alasan untuk meragukan sanad hadits
yang disebutkan di atas.
[Lihat pula : Tahdzibul Kamal karya al-Mizzy 30/239, Tarikh Baghdad
karya al-Khatib al-Baghdadi 16/56 no. 7335, Syarah Ilal at-Tirmidzy oleh
Zainuddin Abdurrahman al-Baghdadi al-Hanbali 2/680, Qurratu ‘Ainil Muhtaaj oleh
Muhammad bin Ali al-Itsyubi 1/355 dan Nakhbul Afkaar karya Badruddin al-Aini
al-Hanafi 2/91].
Peneliti yang melakukan penelitian ini adalah Ustadz Islam Bahiri, dan
hasil penelitiannya diterbitkan dalam edisi Ziro (sebelum edisi pertama),
halaman 21, surat kabar *al-Yaum as-Sabi* yang terbit pada 15/7/2008.
DR. Suhaila berkata :
بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَحْيَانًا:
وَبِالْمُنَاسَبَةِ فَقَدْ كُنْتُ وَمَا
زِلْتُ أَقُولُ إِنَّ جَامِعِي الْحَدِيثِ هُمْ بِكُلِّ يَقِينٍ عُلَمَاءُ عُبَاقِرَةٌ
مُخْلِصُونَ مُحِبُّونَ لِدِينِهِمْ وَلِنَبِيِّهِمْ حُبًّا جَمًّا، لَكِنْ هَذَا لَا
يَعْنِي أَبَدًا أَنَّهُمْ مَعْصُومُونَ عَنِ السَّهْوِ وَالْخَطَإِ وَالنِّسْيَانِ.
إِنَّهُمْ عُبَاقِرَةٌ حَقًّا، لَكِنَّهُمْ قَبْلَ ذَلِكَ وَبَعْدَهُ بَشَرٌ. وَكُنْتُ
كَذَلِكَ أَقُولُ إِنَّهُمْ يُشْبِهُونَ الصَّيَّادِينَ الَّذِينَ يَطْرَحُونَ شِبَاكَهُمْ
فِي الْبَحْرِ لِلْإِمْسَاكِ بِالسَّمَكِ، بَيْدَ أَنَّ الشَّبَكَةَ، مَهْمَا يَكُنْ
مِنْ إِحْكَامِهَا، يُمْكِنُ أَنْ تَفْلِتَ مِنْهَا بَعْضُ الْأَسْمَاكِ الصَّغِيرَةِ
كَالْبِيسَارِيَا مَثَلًا. إِلَّا أَنَّ هَذَا لَا يَعْنِي وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَعْنِيَ
أَنْ نُهَاجِمَ كُتُبَ الْحَدِيثِ وَأَصْحَابَهَا وَنَشُكَّكَ فِيهَا وَفِيهِمْ جُمْلَةً
وَتَفْصِيلًا كَمَا يُرِيدُ بَعْضُ الْمُوتُورِينَ التَّدْمِيرِيِّينَ أَنْ نَفْعَلَ،
وَإِلَّا حَقَّقْنَا لَهُمْ مَا يُرِيدُونَ وَدَمَّرْنَا جُزْءًا عَزِيزًا وَغَالِيًا
وَخَطِيرًا مِنْ تُرَاثِنَا الَّذِي لَا يُمْكِنُ أَنْ تَسْتَقِيمَ حَيَاتُنَا الْعِلْمِيَّةُ
وَالدِّينِيَّةُ بِدُونِهِ.
وَلْنُلَاحِظْ أَنَّ الصَّحَفِيَّ الشَّابَّ
الَّذِي تَنَبَّهَ لِمَا يَرَى أَنَّهُ خَطَأٌ مِنْ بَعْضِ كُتُبِ الْحَدِيثِ قَدِ
اسْتَعَانَ، فِيمَا اسْتَعَانَ بِهِ، بِتِلْكَ الْكُتُبِ، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَهَمِّيَّتِهَا
الشَّدِيدَةِ الَّتِي لَا تُقَدَّرُ بِثَمَنٍ. أَمَّا الِاعْتِقَادُ بِعِصْمَةِ رِجَالِ
الْحَدِيثِ فَهُوَ تَنْزِيلٌ لَهُمْ فِي مَنْزِلَةِ النُّبُوَّةِ، وَهَذَا لَا يَجُوزُ.
كَمَا أَنَّ كُتُبَهُمْ رَغْمَ عَظَمَةِ الْجُهْدِ وَالْإِخْلَاصِ وَالتَّدْقِيقِ الْمَبْذُولِ
فِيهَا لَا يُمْكِنُ أَنْ تُضَاهِيَ الْقُرْآنَ الْمَجِيدَ.
Sebagian ulama terkadang salah dan benar :
Sebagai catatan, saya selalu mengatakan bahwa para penyusun kitab-kitab
hadits adalah para ulama yang luar biasa, jenius, ikhlas, dan sangat mencintai
agama dan Nabi mereka dengan cinta yang mendalam.
Namun, ini sama sekali tidak berarti bahwa mereka terbebas dari
kesalahan, lupa, atau kelalaian. Mereka memang sangat cerdas, tetapi tetaplah
manusia sebelum dan setelah semuanya.
Saya juga selalu mengatakan bahwa mereka mirip dengan para nelayan yang
melemparkan jaringnya ke laut untuk menangkap ikan. Namun, jaring itu, sekuat
apapun, tetap bisa melewatkan beberapa ikan kecil, seperti jenis ikan bésaria.
Namun, ini tidak berarti – dan tidak seharusnya berarti – bahwa kita
harus menyerang kitab-kitab hadits dan para pengarangnya serta meragukan
kitab-kitab tersebut secara keseluruhan seperti yang diinginkan beberapa pihak
yang berniat menghancurkan.
Jika tidak, kita justru akan memberi mereka apa yang mereka inginkan
dan menghancurkan bagian yang berharga, penting, dan krusial dari warisan kita
yang tanpanya kehidupan ilmiah dan agama kita tidak akan kokoh.
Kita juga harus menyadari bahwa seorang wartawan muda yang menyadari
apa yang menurutnya adalah kesalahan dalam beberapa kitab hadits, harus tetap
menggunakan kitab-kitab tersebut sebagai rujukan, yang menunjukkan betapa
pentingnya kitab-kitab itu yang nilainya tidak bisa diukur. Sementara keyakinan
akan infalibilitas (ketidak mungkinan untuk berbuat salah) ulama hadits adalah
sebuah pengangkatan mereka ke tingkat kenabian, dan ini tidak boleh dilakukan.
Begitu pula kitab-kitab mereka, meskipun luar biasa dari segi upaya, ketulusan,
dan ketelitian yang dicurahkan di dalamnya, tetap saja tidak bisa disetarakan
dengan Al-Qur'an yang mulia”[KUTIPAN SELESAI].
===*****===
ALASAN DAN SEBAB DIRAGUKAN-NYA PERNIKAHAN AISYAH (RA) DI USIA 6 TAHUN:
Mereka yang meragukan riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha menikah di usia
6 tahun, menyebutkan beberapa sebab dan alasan :
*****
ALASAN PERTAMA : PERBANDINGAN DENGAN USIA ASMA’ (RA), SAUDARINYA :
Keraguan ini didasarkan pada usia saudari perempuannya, yang bernama Asma'
binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma, yang lebih tua darinya sekitar **beberapa
belas tahun**. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam adz-Dzhabi dalam
as-Siyar 2/288:
وَكَانَتْ أَسَنَّ مِنْ عَائِشَةَ
بِبِضْعَ عَشْرَةَ سَنَةً، هَاجَرَتْ حَامِلاً بِعَبْدِ اللهِ
“Dan ia lebih tua dari Aisyah dengan sekitar **beberapa belas tahun**,
berhijrah dalam keadaan mengandung Abdullah, anaknya”.
Sementara usia Asma' menjelang hijrah adalah 27 tahun, dan dia meninggal
pada tahun 73 H, pada usia sekitar seratus tahun.
Sedangkan makna **(بِضْعٌ = beberapa)** dalam
bahasa Arab bisa mencapai sembilan dalam hitungan. [*Mu'jam Al-Ma'ani
Al-Jami'*, makna "bidh'u"].
Dan al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan :
"وَقَالَ أَبُو نُعَيْمٍ الْأَصْبَهَانِيُّ:
وُلِدَتْ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً، وَعَاشَتْ إِلَى أَوَائِلِ
سَنَةِ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ".
"Abu Nu'aim Al-Ashbahani berkata: 'Dia (Asma) lahir 27 tahun
sebelum hijrah dan hidup hingga awal tahun 24 H.'" [Lihat : *Al-Ishabah fi
Tamyiz Ash-Shahabah*, 8/14.]
Maka ini menunjukkan bahwa usia Aisyah saat menikah dengan Nabi
Muhammad ﷺ adalah sekitar enam belas tahun atau lebih."
Muhammad bin 'Abdullah al-Khathib at-Tibriizi, dalam kitabnya *Misykat
al-Mashabih* mencatat pula : bahwa Asma’, saudari perempuan tertua Aisyah,
adalah 10 tahun lebih tua dari Aisyah. Asma’ meninggal pada usia 100 tahun di
tahun 73 H .
Sumber-sumber sejarah dengan tegas menyatakan tanpa perbedaan bahwa
Asma wafat setelah sebuah peristiwa terkenal dan terdokumentasi, yaitu
pembunuhan putranya, Abdullah bin Zubair, oleh al-Hajjaj, seorang penguasa yang
terkenal kejam, pada tahun 73 H. Saat itu, usia Asma adalah 100 tahun penuh.
Jika kita menghitung mundur dari tahun kematiannya (73 H) dan usianya
(100 tahun), maka (100 - 73 = 27 tahun) adalah usia Asma saat peristiwa hijrah
Nabi. Ini sesuai dengan informasi usia Asma yang tercantum dalam sumber-sumber
sejarah.
Jika kita kurangi 10 tahun dari usia Asma, yaitu selisih usia antara
Asma dan Aisyah, maka usia Aisyah pada saat hijrah adalah (27 - 10 = 17 tahun).
Jika Nabi ﷺ mulai hidup bersama Aisyah pada tahun kedua hijrah, maka usia
Aisyah saat itu adalah (17 + 2 = 19 tahun).
Berdasarkan perhitungan ini, maka Aisyah setidaknya berusia 19 tahun
saat memulai kehidupan rumah tangganya dengan Rasulullah ﷺ pada tahun 2 H dan berusia sekitar 14 atau 16 tahun ketika akad
nikah berlangsung (1 tahun sebelum tahun hijriah).
Ini juga menunjukkan bahwa ia lahir sekitar 4 hingga 6 tahun sebelum
kenabian.
Hal ini juga didukung oleh keterangan dari *ath-Thabari* dalam kitabnya
*Tarikh al-Umam*, yang menegaskan :
أَنَّ كُلَّ أَوْلَادِ أَبِي بَكْرٍ قَدْ
وُلِدُوا فِي الجَاهِلِيَّةِ
“Bahwa semua anak Abu Bakar lahir pada masa jahiliyah, sebelum
datangnya Islam”.
Ini sejalan dengan kronologi yang benar dan menunjukkan kelemahan
riwayat al-Bukhari, karena Aisyah sebenarnya lahir empat tahun sebelum kenabian
dimulai.
[Lihat: al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsiyyah 21/157 dan artikel زَوَاجُ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ مِنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِي عُمْرِهَا التَّاسِعَةِ oleh Majma’ Fuqohaa
asy-Syari’ah no. Fatwa 78123].
Koreksi atas usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah ﷺ juga dinyatakan oleh tokoh intelektual Ahmadiyyah Lahore,
Ghulam Nabi Muslim Sahib, dalam artikel berjudul :
*Hazrat Aishah Siddiqah’s Age at her
Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (pbuh) Married Hazrat Aishah
when She was 19 Years of Age and not When She was 9* :
Artinya : *Usia Sayyidah Aisyah al-Shiddiqah
Ketika Menikah : Terbukti bahwa Nabi Muhammad ﷺ Menikahinya Saat Berusia 19
Tahun, bukan 9 Tahun*).
Ini pertama kali diterbitkan pada *The Light*, 24 September 1981, dan
kemudian dipublikasikan kembali dalam jurnal *The Message: World Quarterly*
pada September 2002.
Menurutnya : “Mayoritas perawi keliru menyatakan usia Aisyah saat menikah
dengan Nabi ﷺ. Memang banyak yang mengklaim pernikahan tersebut terjadi pada
tahun ke-10 dari kenabian dan Aisyah kala itu berusia 6 tahun. Namun,
penelitian teliti membuktikan bahwa data tersebut tidak akurat dan
menunjukkan...
Aisyah radhiyallahu 'anha sebenarnya berusia sekitar 19 atau 20 tahun
ketika memasuki rumah Nabi Muhammad ﷺ sebagai istrinya pada tahun
2 H”.
[Referensi :
[1] *Siyar A'lam An-Nubala'*, 2/288 Asma binti Abu Bakr.
[2] Muhammad Ratib Al-Nablusi. *Mastasyriqin Am Muftarin*, salinan
tersimpan di situs Wayback Machine.
[3] Muzahim H. Siddiqi, *Prophet Muhammad's Wife Aisha*, PhD].
*****
ALASAN KE DUA : PERBANDINGAN ANTARA USIA FATHIMAH DAN USIA ‘AISYAH RADHIYALLAHU ‘ANHUMA.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan dalam *al-Ishabah* bahwa Fatimah lahir
pada tahun pembangunan Ka'bah, ketika Nabi berusia 35 tahun. Fatimah lebih tua
lima tahun dari Aisyah. Berdasarkan riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar,
meskipun riwayat ini tidak kuat, jika kita anggap riwayat tersebut benar, maka
Ibnu Hajar secara tidak langsung mendustakan riwayat al-Bukhari.
Jika Fatimah lahir ketika Nabi berusia 35 tahun, maka Aisyah lahir
ketika Nabi berusia 40 tahun, yakni pada awal turunnya wahyu. Dengan demikian,
usia Aisyah saat hijrah adalah sama dengan lamanya masa dakwah Nabi di Makkah,
yaitu 13 tahun, bukan 9 tahun. Saya menyebutkan riwayat ini hanya untuk
menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam riwayat al-Bukhari.
Jadi Usia Fathimah radhiyallahu ‘anha hingga awal masuk tahun hijriah
adalah 18 tahun, karena ia lahir 5 tahun sebelum masa kenabian. Sementara masa
kenabian selama di Makkah hingga menjelang hijrah adalah 13 tahun. Jadi usia
Fathimah adalah 5 + 13 =18.
Dan Fathimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib - radhiyallahu ‘anhuma-
setelah perang Badar pada bulan Rajab Safar, tahun ke 2 Hijriah. Berarti
usia Fathimah saat menikah adalah 20 tahun.
Jika kita telah mengetahui bahwa Fatimah radhiyallahu ‘anha, lahir lima
tahun sebelum masa kenabian, dan usianya menjelang awal tahun hijriah menjadi
18 tahun, maka pertanyaanya adalah :
Mungkinkah Rasulullah ﷺ menikahi seorang gadis
berusia 6 tahun, yang jauh lebih muda dari putri bungsunya yang berusia 17
tahun, dan saat itu putrinya belum menikah, masih gadis ?.
Dr. Suhaila Hammad
mengatakan:
إِنَّ الرَّسُولَ
ـ فِي تَقْدِيرِي ـ لَنْ يَتَزَوَّجَ بِفَتَاةٍ فِي عُمْرِ ابْنَتِهِ الصُّغْرَى أَوْ
أَصْغَرَ مِنْهَا. فَإِذَا عَلِمْنَا أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ وُلِدَتْ
قَبْلَ الْبَعْثَةِ بِخَمْسِ سِنِينَ نَعْرِفُ أَنَّ عُمْرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ
يُصْبِحُ 18 عَامًا، وَعَلَى هَذَا فَأَنَا أُرَجِّحُ أَنْ يَكُونَ عُمْرُ عَائِشَةَ
أَكْبَرَ مِنْ عُمْرِ فَاطِمَةَ وَمِنْ ثَمَّ فَإِنَّنِي أُرَجِّحُ إِحْدَى الْفَرَضِيَّتَيْنِ:
الْأُولَى 28 سَنَةً أَوِ الثَّانِيَةَ 23 سَنَةً، هِيَ أَكْبَرُ مِنْ أُخْتِهَا عَائِشَةَ
أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ بِعَشْرِ سِنِينَ. يَسْتَتْبِعُ ذَلِكَ أَنَّ عُمْرَ عَائِشَةَ
قَبْلَ الْبَعْثَةِ كَانَ نَحْوَ خَمْسِ سَنَوَاتٍ عَلَى الْأَقَلِّ، وَلَعَلَّ الْإِشَارَةَ
فِي رِوَايَتِهَا بِأَنَّهَا كَانَتْ ذَاتَ سِتَّةِ سَنَوَاتٍ حِينَ خَطَبَهَا رَسُولُ
اللَّهِ كَانَتْ خَطَأً مِنَ الرَّاوِي، فَلَعَلَّهَا قَصَدَتْ أَنَّهَا كَانَتْ ابْنَةَ
سِتَّةِ سَنَوَاتٍ حِينَ بُعِثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ إِذَا أَضَفْنَا
5 - 6 سَنَوَاتٍ وَهُوَ عُمْرُ عَائِشَةَ التَّقْرِيبِيُّ حِينَ الْبَعْثَةِ إِلَى
13 سَنَةً هُوَ عُمْرُ الْمَرْحَلَةِ الْمَكِّيَّةِ يَكُونُ النَّاتِجُ هُوَ 18 -
19 سَنَةً وَهُوَ يُمَثِّلُ عُمْرَهَا فِي الْمَدِينَةِ بَعْدَ الْهِجْرَةِ، لَمَّا
كَانَ عُمْرُ فَاطِمَةَ هُوَ 18 سَنَةً فِي ذَلِكَ الْحِينِ، نَسْتَطِيعُ الْقَوْلَ
أَنَّ عُمْرَ عَائِشَةَ التَّقْرِيبِيَّ حِينَ زَوَاجِهَا لَمْ يَكُنْ يَقِلُّ عَنْ
19 سَنَةً، وَهُوَ يُمَثِّلُ الْحَدَّ الْأَدْنَى لِعُمْرِهَا مِنْ خِلَالِ الِاسْتِقْرَاءِ
لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنْ مَصَادِرَ." مُقْتَبَسٌ مِنْ مَوْسُوعَةِ النَّابُلْسِيِّ
"Menurut
pandangan saya, Rasulullah ﷺ tidak akan menikahi seorang
gadis yang usianya sama atau lebih muda dari putri bungsunya.
Jika kita
mengetahui bahwa Fatimah dilahirkan lima tahun sebelum kenabian, maka usianya
setelah hijrah akan menjadi 18 tahun. Berdasarkan ini, saya cenderung
memperkirakan bahwa usia Aisyah lebih tua daripada Fatimah. Maka, saya
mendukung salah satu dari dua hipotesis: pertama, bahwa usianya adalah 28
tahun, atau kedua, 23 tahun, yakni sepuluh tahun lebih tua dari saudari Aisyah,
Ummul Mukminin.
Hal ini menunjukkan
bahwa usia Aisyah sebelum kenabian sekitar lima tahun atau lebih. Barangkali,
pernyataan dalam riwayatnya yang mengatakan bahwa ia berusia enam tahun ketika
dilamar oleh Rasulullah ﷺ adalah kesalahan perawi.
Mungkin yang dimaksudnya adalah bahwa ia berusia enam tahun ketika Nabi ﷺ diangkat menjadi Rasul.
Jika kita
menambahkan 5–6 tahun, yaitu usia perkiraan Aisyah saat kenabian, dengan 13
tahun masa dakwah di Mekkah, hasilnya adalah 18–19 tahun. Ini mewakili usianya
di Madinah setelah hijrah. Karena usia Fatimah saat itu adalah 18 tahun, kita
dapat mengatakan bahwa usia perkiraan Aisyah saat pernikahannya (yakni :
tinggal serumah dengan Nabi ﷺ) tidak kurang dari 19 tahun.
Ini merupakan batas usia minimumnya berdasarkan sumber-sumber yang saya
miliki."
[Dikutip dari "Ensiklopedia Nabulsi]."
******
ALASAN KE TIGA : MEMORI INGATAN ‘AISYAH (RA) SAAT KEDUA ORANG TUA-NYA BARU MASUK ISLAM.
Penuturan Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri dalam *Shahih al-Bukhari*,
Kitab al-Kafalat, (no. 6079) mengisahkan memori ingatannya saat kedua orang
tuanya awal memeluk Islam:
لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا
وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ
“Saya sama sekali tidak ingat (masa kecilku) kecuali pada saat itu
kedua orang tuaku telah memeluk Islam.”
Serta dalam hadits tersebut terdapat pula kisah bahwa Aisyah
menyaksikan terjadinya hijrah kaum muslimin ke Habasyah (Ethiopia). Sementara
hijrah pertama ke Habasyah terjadi pada tahun ke 5 Kenabian atau 8 tahun
sebelum ada perintah hijrah ke Madinah. [Lihat *Shahih al-Bukhari* no. 6079]
Perkataan Aisyah : "Saya sama sekali tidak ingat (masa
kecilku) kecuali bahwa kedua orang tuaku telah memeluk agama Islam”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha kemungkinan
lahir beberapa waktu sebelum kedua orang tuanya memeluk Islam pada awal masa
Kenabian, sehingga ia dapat mengingat ketika mereka mulai menjalankan agama
Islam sejak awal. Jika Aisyah radhiyallahu 'anha lahir setelah orang tuanya
memeluk Islam, seharusnya ia tidak akan menyatakan bahwa ia hanya mengingat
mereka sebagai penganut Islam. Sebaliknya, jika ia lahir sebelum mereka
menerima Islam, pernyataan tersebut masuk akal, karena pada saat itu ia terlalu
muda untuk mengingat kejadian-kejadian sebelum mereka memeluk agama Islam.
Bahkan memory Aisyah mengungkapkan bahwa dirinya menyaksikan terjadinya
hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Sementara hijrah pertama ke Habasyah terjadi
tahun ke 5 setelah kenabian atau 8 tahun sebelum Hijrah. Ini menunjukkan bahwa
Aisyah telah lahir sebelum-nya, bahkan saat itu sudah di usia mumayyiz.
Dengan demikian, maka usia Aisyah jauh lebih dari 6 tahun sebelum awal
hijriah. Sementara pada bulan Syawal setahun sebelum 1 hijriah, ‘Aisyah menikah
dengan Nabi ﷺ, namun tidak tinggal serumah, karena mereka berdua kumpul
serumah setelah hijrah ke Madinah, tepat-nya pada bulan Syawal tahun 2 Hijriah.
Berikut ini lafadz hadits lengkapnya :
Dari 'Urwah bin Az Zubair bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha berkata;
"لَمْ
أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ وَلَمْ يَمُرَّ عَلَيْنَا
يَوْمٌ إِلَّا يَأْتِينَا فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ طَرَفَيْ النَّهَارِ بُكْرَةً وَعَشِيَّةً
فَلَمَّا ابْتُلِيَ الْمُسْلِمُونَ خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قِبَلَ الْحَبَشَةِ
حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَرْكَ الْغِمَادِ لَقِيَهُ ابْنُ الدَّغِنَةِ وَهُوَ سَيِّدُ
الْقَارَةِ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ يَا أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَخْرَجَنِي
قَوْمِي فَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أَسِيحَ فِي الْأَرْضِ فَأَعْبُدَ رَبِّي قَالَ ابْنُ
الدَّغِنَةِ إِنَّ مِثْلَكَ لَا يَخْرُجُ وَلَا يُخْرَجُ فَإِنَّكَ تَكْسِبُ الْمَعْدُومَ
وَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ
الْحَقِّ وَأَنَا لَكَ جَارٌ فَارْجِعْ فَاعْبُدْ رَبَّكَ بِبِلَادِكَ فَارْتَحَلَ
ابْنُ الدَّغِنَةِ فَرَجَعَ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فَطَافَ فِي أَشْرَافِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ
فَقَالَ لَهُمْ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ لَا يَخْرُجُ مِثْلُهُ وَلَا يُخْرَجُ أَتُخْرِجُونَ
رَجُلًا يُكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَيَصِلُ الرَّحِمَ وَيَحْمِلُ الْكَلَّ وَيَقْرِي الضَّيْفَ
وَيُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَأَنْفَذَتْ قُرَيْشٌ جِوَارَ ابْنِ الدَّغِنَةِ
وَآمَنُوا أَبَا بَكْرٍ وَقَالُوا لِابْنِ الدَّغِنَةِ مُرْ أَبَا بَكْرٍ فَلْيَعْبُدْ
رَبَّهُ فِي دَارِهِ فَلْيُصَلِّ وَلْيَقْرَأْ مَا شَاءَ وَلَا يُؤْذِينَا بِذَلِكَ
وَلَا يَسْتَعْلِنْ بِهِ فَإِنَّا قَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا
قَالَ ذَلِكَ ابْنُ الدَّغِنَةِ لِأَبِي بَكْرٍ فَطَفِقَ أَبُو بَكْرٍ يَعْبُدُ رَبَّهُ
فِي دَارِهِ وَلَا يَسْتَعْلِنُ بِالصَّلَاةِ وَلَا الْقِرَاءَةِ فِي غَيْرِ دَارِهِ
ثُمَّ بَدَا لِأَبِي بَكْرٍ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَبَرَزَ فَكَانَ
يُصَلِّي فِيهِ وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَتَقَصَّفُ عَلَيْهِ نِسَاءُ الْمُشْرِكِينَ
وَأَبْنَاؤُهُمْ يَعْجَبُونَ وَيَنْظُرُونَ إِلَيْهِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَجُلًا
بَكَّاءً لَا يَمْلِكُ دَمْعَهُ حِينَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ أَشْرَافَ
قُرَيْشٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَرْسَلُوا إِلَى ابْنِ الدَّغِنَةِ فَقَدِمَ عَلَيْهِمْ
فَقَالُوا لَهُ إِنَّا كُنَّا أَجَرْنَا أَبَا بَكْرٍ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ
فِي دَارِهِ وَإِنَّهُ جَاوَزَ ذَلِكَ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَأَعْلَنَ
الصَّلَاةَ وَالْقِرَاءَةَ وَقَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا
فَأْتِهِ فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ فِي دَارِهِ
فَعَلَ وَإِنْ أَبَى إِلَّا أَنْ يُعْلِنَ ذَلِكَ فَسَلْهُ أَنْ يَرُدَّ إِلَيْكَ ذِمَّتَكَ
فَإِنَّا كَرِهْنَا أَنْ نُخْفِرَكَ وَلَسْنَا مُقِرِّينَ لِأَبِي بَكْرٍ الِاسْتِعْلَانَ
قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَتَى ابْنُ الدَّغِنَةِ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ قَدْ عَلِمْتَ الَّذِي
عَقَدْتُ لَكَ عَلَيْهِ فَإِمَّا أَنْ تَقْتَصِرَ عَلَى ذَلِكَ وَإِمَّا أَنْ تَرُدَّ
إِلَيَّ ذِمَّتِي فَإِنِّي لَا أُحِبُّ أَنْ تَسْمَعَ الْعَرَبُ أَنِّي أُخْفِرْتُ
فِي رَجُلٍ عَقَدْتُ لَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنِّي أَرُدُّ إِلَيْكَ جِوَارَكَ وَأَرْضَى
بِجِوَارِ اللَّهِ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمَئِذٍ بِمَكَّةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ قَدْ أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ رَأَيْتُ سَبْخَةً ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ
وَهُمَا الْحَرَّتَانِ فَهَاجَرَ مَنْ هَاجَرَ قِبَلَ الْمَدِينَةِ حِينَ ذَكَرَ ذَلِكَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَرَجَعَ إِلَى الْمَدِينَةِ بَعْضُ مَنْ كَانَ هَاجَرَ إِلَى أَرْضِ
الْحَبَشَةِ وَتَجَهَّزَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى
رِسْلِكَ فَإِنِّي أَرْجُو أَنْ يُؤْذَنَ لِي قَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ تَرْجُو ذَلِكَ
بِأَبِي أَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَحَبَسَ أَبُو بَكْرٍ نَفْسَهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ لِيَصْحَبَهُ وَعَلَفَ رَاحِلَتَيْنِ كَانَتَا عِنْدَهُ وَرَقَ السَّمُرِ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ
"Saya sama sekali tidak ingat (masa kecilku) kecuali bahwa kedua
orang tuaku telah memeluk agama Islam.
Dan tidak berlalu satu haripun melainkan Rasulullah ﷺ datang menemui kami di sepanjang hari baik pagi ataupun petang.
Ketika Kaum Muslimin mendapat ujian, Abu Bakar keluar berhijrah menuju
Habasyah (Ethiopia) hingga ketika sampai di Barkal Ghomad dia didatangi oleh
Ibnu Ad-Daghinah seorang kepala suku seraya berkata; "Kamu hendak kemana,
wahai Abu Bakar?"
Maka Abu Bakar menjawab: "Kaumku telah mengusirku maka aku ingin
keliling dunia agar aku bisa beribadah kepada Tuhanku".
Ibnu Ad-Daghinah berkata: "Seharusnya orang seperti anda tidak
patut keluar dan tidak patut pula diusir karena anda termasuk orang yang
bekerja untuk mereka yang tidak punya, menyambung silaturahim, menanggung
orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran.
Maka aku akan menjadi pelindung anda untuk itu kembalilah dan sembahlah Tuhanmu
di negeri kelahiranmu.
Maka Ibnu Ad-Daghinah bersiap-siap dan kembali bersama Abu Bakar lalu
berjalan di hadapan Kafir Quraisy seraya berkata, kepada mereka:
"Sesungguhnya orang sepeti Abu Bakar tidak patut keluar dan tidak
patut pula diusir. Apakah kalian mengusir orang yang suka bekerja untuk mereka
yang tidak punya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah,
menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran?"
Akhirnya orang-orang Quraisy menerima perlindungan Ibnu Ad-Daghinah dan
mereka memberikan keamanan kepada Abu Bakar lalu berkata, kepada Ibnu Ad-Daghinah:
"Perintahkanlah Abu Bakar agar beribadah menyembah Tuhannya di
rumahnya saja dan shalat serta membaca Al Qur'an sesukanya dan dia jangan
mengganggu kami dengan kegiatannya itu dan jangan mengeraskannya karena kami
telah khawatir akan menimbulkan fitnah terhadap anak-anak dan isteri-isteri
kami".
Maka Ibnu Ad-Daghinah menyampaikan hal ini kepada Abu Bakar. Maka Abu
Bakar mulai beribadah di rumahnya dan tidak mengeraskan shalat bacaan Al Qur'an
diluar rumahnya. Kemudian AbuBakar membangun tempat shalat di halaman rumahnya
sedikit melebar keluar dimana dia shalat disana dan membaca Al Qur'an. Lalu
istrei-isteri dan anak-anak Kaum Musyrikin berkumpul disana dengan penuh
keheranan dan menanti selesainya Abu Bakar beribadah. Dan sebagaimana diketahui
Abu Bakar adalah seorang yang suka menangis yang tidak sanggup menahan air
matanya ketika membaca Al Qur'an. Maka kemudian kagetlah para pembesar Quraisy
dari kalangan Musyrikin yang akhirnya mereka memanggil Ibnu Ad-Daghinah ke
hadapan mereka dan berkata, kepadanya:
"Sesungguhnya kami telah memberikan perlindungan kepada Abu Bakr
agar dia beribadah di rumahnya namun dia melanggar hal tersebut dengan
membangun tempat shalat di halaman rumahnya serta mengeraskan shalat dan bacaan
padahal kami khawatir hal itu akan dapat mempengaruhi isteri-isteri dan
anak-anak kami dan ternyata benar-benar terjadi. Jika dia suka untuk tetap
beribadah di rumahnya silahkan namun jika dia menolak dan tetap menampakkan
ibadahnya itu mintalah kepadanya agar dia mengembalikan perlindungan anda ;
karena kami tidak suka bila kamu melanggar perjanjian dan kami tidak setuju
bersepakat dengan Abu Bakar".
Berkata, 'Aisyah radliallahu 'anha: Maka Ibnu Ad-Daghinah menemui Abu
Bakar dan berkata:
"Kamu telah mengetahui perjanjian yang kamu buat, maka apakah kamu
tetap memeliharanya atau mengembalikan perlindunganku kepadaku karena aku tidak
suka bila orang-orang Arab mendengar bahwa aku telah melanggar perjanjian hanya
karena seseorang yang telah aku berjanji kepadanya".
Maka Abu Bakar berkata: "Aku kembalikan jaminanmu kepadamu dan aku
ridho hanya dengan perlindungan Allah dan Rasul-Nya ﷺ.
Kejadian ini adalah di Makkah. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Sungguh aku
telah ditampakkan negeri tempat hijrah kalian dan aku melihat negeri yang subur
ditumbuhi dengan pepohonan kurma diantara dua bukit yang kokoh.
Maka berhijrahlah orang yang berhijrah menuju Madinah ketika Rasulullah
ﷺ menyebutkan hal itu.
Dan kembali pula sebagian dari mereka yang pernah hijrah ke Habasyah
lalu pergi hijrah ke Madinah, sementara
Abu Bakar telah bersiap-siap pula untuk berhijrah. Maka Rasulullah ﷺ berkata, kepadanya:
"Janganlah kamu tergesa-gesa karena aku berharap aku akan
diizinkan (untuk berhijrah) ".
Abu Bakar berkata: "Sungguh demi bapakku tanggungannya, apakah benar
Tuan mengharapkan itu?"
Beliau bersabda: "Ya benar".
Maka Abu Bakar berharap dalam dirinya bahwa dia benar-benar dapat
mendampingi Rasulullah ﷺ dalam berhijrah. Maka dia
memberi makan dua hewan tunggangan yang dimilikinya dengan dedaunan Samur selama
empat bulan. [HR. Bukhori no. 6079]
*****
**ALASAN KE EMPAT : SEBELUM DENGAN NABI ﷺ, AISYAH HENDAK DINIKAHKAN DENGAN JUBAIR
BIN MUTH'IM BIN 'ADIY**.
Para sejarawan menyebutkan bahwa Aisyah sebelumnya telah dilamar oleh
Jubair bin Muth’im bin Adiy sebelum dilamar oleh Rasulullah ﷺ. Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah dalam usia layak nikah saat
dilamar oleh Nabi ﷺ.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah: Kapan Muth’im bin Adiy melamar
Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im? Sumber-sumber sejarah tidak
memberikan keterangan!”
**Tentang kemungkinan waktu pinangan terhadap
Aisyah:**
**Kemungkinan pertama : adalah bahwa ia dilamar setelah masa
kenabian**.
Namun hal ini dianggap tidak mungkin mengingat permusuhan yang sangat
kuat dari kaum kafir terhadap risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, terutama mengingat bahwa Aisyah adalah putri Abu Bakar,
sahabat dekat Rasulullah ﷺ dan salah satu orang pertama
yang menerima Islam. Jadi, kemungkinan besar Adiy tidak akan melamar Aisyah
untuk putranya setelah Abu Bakar memeluk Islam.
**Kemungkinan kedua : adalah bahwa ia dilamar sebelum masa kenabian**.
Ini merupakan kemungkinan yang lebih kuat. Namun, ini menimbulkan
pertanyaan penting:
Berapa usia Aisyah saat itu sebelum kenabian? Setahun? Dua tahun? Lima?
Sepuluh?
Sejarah tetap diam, seperti sebelumnya”.
**Maka, mari kita beralih ke beberapa hipotesis: Tentang Aisyah saat
dilamar:**
- **Hipotesis pertama:**
Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im,
sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 15 tahun. Berdasarkan
hipotesis ini, maka usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah ﷺ adalah 28 tahun, mengingat Nabi ﷺ menikahinya setelah hijrah
ke Yatsrib dan beliau tinggal di Mekah selama 13 tahun dalam periode dakwah
sebelum hijrah.
- **Hipotesis kedua:**
Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im,
sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 10 tahun. Berdasarkan
hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 23 tahun.
- **Hipotesis ketiga:**
Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im,
sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 5 tahun. Berdasarkan hipotesis
ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 18 tahun.
- **Hipotesis keempat:**
Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im,
sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah baru 1 tahun saja - meskipun ini tentu
saja tidak mungkin, namun mari kita anggap demikian-, maka berdasarkan
hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 14 tahun,
yang berarti 5 tahun lebih tua dari usia yang banyak disebutkan”.
*****
**ALASAN KELIMA : MASA TURUN-NYA SURAH AL-QAMAR**:
Dalam sebuah riwayat dari Bukhari, Aisyah berkata:
" لَقَدْ أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ بِمَكَّةَ
وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ، {بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى
وَأَمَرُّ} [القمر: 46] "
“Sesungguhnya ayat ini diturunkan kepada Muhammad ﷺ di Mekkah saat aku masih gadis kecil yang bermain-main,
{‘Sebenarnya hari Kiamat adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka, dan hari
Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit’} [QS. Al-Qamar: 46].” [HR. Bukhori
no. 4876].
Muhammad Abdullah Al-Khathib menyatakan :
نَزَلَتْ سُورَةُ الْقَمَرِ ثَمَانِي
سِنِينَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ
Surah Al-Qamar diturunkan delapan tahun sebelum hijrah (Hifdz Al-Qur'an
al-Karim, Al-Khatib, 1985), yang menunjukkan bahwa surah ini turun pada tahun
614 M.
Sementara Muhammad Thahir Ibnu ‘Aasyuur mengatakan :
وَكَانَ نُزُولُهَا فِي حُدُودِ سَنَةِ
خَمْسٍ قَبْلَ الْهِجْرَةِ فَفِي «الصَّحِيحِ» «أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ:
أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ بِمَكَّةَ وَإِنِّي
لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهى وَأَمَرُّ
[الْقَمَر: 46]
......
وَذَكَرَ بَعْضُ الْمُفَسِّرِينَ أَنَّ
انْشِقَاقَ الْقَمَرِ كَانَ سَنَةَ خَمْسٍ قَبْلَ الْهِجْرَةِ وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
كَانَ بَيْنَ نُزُولِ آيَةِ سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ [الْقَمَر:
45] وَبَيْنَ بَدْرٍ سبع سِنِين
Dan waktu turunnya adalah sekitar lima tahun sebelum hijrah. Dalam
*Shahih* disebutkan bahwa Aisyah berkata: “Ayat ini diturunkan kepada Muhammad
di Mekkah ketika aku masih gadis kecil yang bermain-main: {‘Sebenarnya hari
Kiamat adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka, dan hari Kiamat itu lebih
dahsyat dan lebih pahit’} [Al-Qamar: 46]
Sebagian para ahli tafsir menyebutkan bahwa peristiwa terbelahnya bulan
terjadi pada tahun kelima sebelum hijrah. Ibnu Abbas juga meriwayatkan bahwa
terdapat selisih tujuh tahun antara turunnya ayat *‘Akan dikalahkan golongan
itu dan mereka akan mundur ke belakang’* [Al-Qamar: 45] dengan terjadinya
Perang Badar. [Baca : at-Tahriir wat-Tanwiir 27/166. Dan baca pula : Tafsir
al-Wasitth karya Thanthawi 14/93]
Perang Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, tahun 2 Hijriah.
Jika Aisyah mulai hidup bersama Rasulullah ﷺ pada usia 9 tahun (sekitar
tahun 623 atau 624 M), maka berarti dia masih anak kecil ketika surah ini
diturunkan.
Berdasarkan riwayat sebelumnya, Aisyah adalah gadis kecil (jariyah) dan
bukan anak kecil saat Surah Al-Qamar turun.
Karena kata "jariyah" digunakan untuk menggambarkan seorang
gadis yang masih bermain-main (Lane, Kamus Bahasa Arab). Maka, kenyataan bahwa
Aisyah adalah seorang jariyah — bukan anak kecil — menunjukkan bahwa usianya
saat itu antara 6 hingga 13 tahun ketika Surah Al-Qamar turun. Dengan demikian,
usianya berkisar antara 14 hingga 21 tahun saat ia menikah dengan Rasulullah ﷺ.
Kesimpulan: Riwayat ini juga bertentangan dengan
pandangan bahwa Aisyah menikah pada usia sembilan tahun.
Baca pula artikel هَلْ تَزَوَّجَتْ
عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ وَهِيَ بِنْتُ السَّادِسَةِ؟ karya T.A. Shanavas, diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Dr.
Khalid As-Saaqi
*****
ALASAN KE ENAM : ** AISYAH MENYIAPKAN MASAKAN UNTUK BEKAL HIJRAH NABI ﷺ KE MADINAH **:
Ketika Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu hendak berangkat hijrah ke Madinah, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ikut
terlibat menyiapkan masakan untuk bekal perjalanan hijrah mereka berdua, sebagaimana
yang disebutkan dalam shahih Bukhori dari ‘Aisyah, dia berkata :
"فَجَهَّزْنَاهُمَا أَحَثَّ الجِهَازِ، وَصَنَعْنَا
لَهُمَا سُفْرَةً فِي جِرَابٍ، فَقَطَعَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ قِطْعَةً
مِنْ نِطَاقِهَا، فَرَبَطَتْ بِهِ عَلَى فَمِ الجِرَابِ، فَبِذَلِكَ سُمِّيَتْ ذَاتَ
النِّطَاقَيْنِ قَالَتْ: ثُمَّ لَحِقَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَبُو بَكْرٍ بِغَارٍ فِي
جَبَلِ ثَوْرٍ، فَكَمَنَا فِيهِ ثَلَاثَ لَيَالٍ".
"Maka kami mempersiapkan
perbekalan untuk keduanya dengan persiapan yang cepat, dan kami menyiapkan
bekal makanan dalam sebuah kantong. Kemudian Asma binti Abu Bakar memotong kain
ikat pinggangnya menjadi dua bagian, lalu mengikat mulut kantong tersebut
dengan salah satunya. Karena itulah ia dijuluki *Dzatun Nithaqain* (wanita
dengan dua ikat pinggang).
Dia berkata:
'Kemudian Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar pergi menuju sebuah gua di Gunung Tsur, lalu
mereka bersembunyi di sana selama tiga malam.'" [HR. Bukhori no. 3095].
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
وَأَفَادَ الْوَاقِدِيُّ أَنَّهُ كَانَ
فِي السُّفْرَةِ شَاةٌ مَطْبُوخَةٌ
"Al-Waqidi menyampaikan bahwa dalam bekal makanan tersebut
terdapat seekor kambing yang telah dimasak." [Fathul Bari 7/236].
Jika benar bahwa Aisyah di usia 6 tahun menikah dengan Nabi, maka
dengan demikian, usia Aisyah adalah 7 tahun saat menyiapkan masakan kambing
untuk bekal hijrah Nabi ﷺ dan ayahnya .
Pertanyaan-nya : Apa mungkin seorang anak perempuan di usia 7 tahun mampu
melakukannya?
*****
ALASAN KE TUJUH : **AISYAH (RA) IKUT SERTA DALAM PERANG BADAR DAN UHUD**:
Perang Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, tahun 2 Hijriah.
Dalam *Shahih Muslim*, terdapat hadits yang menyebutkan partisipasi
Aisyah dalam Perang Badar, yaitu dalam kitab berikut ini :
51- (كِتَابُ
الْجِهَادِ وَالسِّيَرِ، بَابُ كَرَاهَةِ الِاسْتِعَانَةِ فِي الْغَزْوِ بِكَافِرٍ)
51- (Kitab Jihad dan Peperangan, Bab Larangan Menghina Kafir
dalam Perang).
Ketika Aisyah menceritakan perjalanan ke Badar dan peristiwa penting di
dalamnya, dia berkata:
ثُمَّ مَضَى حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالشَّجَرَةِ
أَدْرَكَهُ الرَّجُلُ، فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ
ﷺ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ، قَالَ: «فَارْجِعْ، فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ»
“Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan perjalanan
hingga ketika kami berada di dekat pohon, orang tersebut menyusulnya dan
berkata kepadanya seperti yang dikatakannya pada pertama kali. Maka Rasulullah ﷺ menjawab kepadanya seperti jawaban yang sama pada pertama kali,
seraya berkata, “Kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan dari seorang
musyrik.”
Maka jelas bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha termasuk dalam rombongan
yang berangkat ke Badar.
Dan jika benar usia Aisyah saat menikah dengan Nabi ﷺ itu 6 tahun, yaitu 1 tahun sebelum hijriah, kemudian tinggal serumah
dengan Nabi ﷺ pada usia 9 tahun, yaitu pada bulan syawal tahun 2 hijriah, maka dengan
demikian usia Aisyah saat ikut perang Badar adalah 9 tahun, yaitu sebulan sebelum
kumpul serumah dengan Nabi ﷺ.
Aisyah juga termasuk di antara para wanita yang ikut serta dalam Perang
Uhud untuk memberi minum kepada pasukan yang terluka. [*Shahih Al-Bukhari*,
Kitab Al-Jihad wa As-Siyar, Bab Perang dan Keterlibatan Wanita Bersama Pria.]
Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal pada tahun ke 3 Hijriah.
Sementara ‘Aisyah mulai membangun rumah tangga dengan Nabi ﷺ pada bulan Syawal pada tahun ke 2 Hijriah, dan saat itu usianya
9 tahun. Maka dengan demikian saat perang Uhud usia Aisyah adalah 10 tahun.
Dalam *Shahih Bukhari* di sebutkan tentang partisipasi Aisyah dalam
Perang Uhud, yaitu dalam kitab berikut ini :
(كِتَابُ الْجِهَادِ وَالسِّيَرِ، بَابُ غَزْوِ
النِّسَاءِ وَقِتَالِهِنَّ مَعَ الرِّجَالِ)
(Kitab Jihad dan Peperangan, Bab Perang yang
Diikuti Perempuan bersama Laki-laki):
Dari Anas radliallahu
'anhu berkata :
لَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ، انْهَزَمَ
النَّاسُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَ: وَلَقَدْ رَأَيْتُ عَائِشَةَ بِنْتَ أَبِي
بَكْرٍ، وَأُمَّ سُلَيْمٍ وَإِنَّهُمَا لَمُشَمِّرَتَانِ، أَرَى خَدَمَ سُوقِهِمَا
تَنْقُزَانِ القِرَبَ، وَقَالَ غَيْرُهُ : تَنْقُلَانِ القِرَبَ عَلَى مُتُونِهِمَا،
ثُمَّ تُفْرِغَانِهِ فِي أَفْوَاهِ القَوْمِ، ثُمَّ تَرْجِعَانِ فَتَمْلَآَنِهَا، ثُمَّ
تَجِيئَانِ فَتُفْرِغَانِهَا فِي أَفْوَاهِ القَوْمِ "
Ketika perang Uhud, orang-orang terpukul mundur dan lari meninggalkan
Nabi ﷺ.
Dia (Anas) berkata: "Sungguh aku melihat **'Aisyah binti Abu
Bakar** dan Ummu Sulaim berjalan dengan cepat hingga terlihat gelang kaki
keduanya (untuk memudahkan gerakan) sambil membawa qirab (wadah air terbuat
dari kulit).
Dan berkata perawi lain : mengangkut qirab, dengan selendang keduanya
lalu menuangkan ke mulut para pasukan. Kemudian keduanya kembali untuk mengisi
air kedalam qirab kemudian kembali datang menuangkan air ke mulut para
pasukan". [HR. Bukhori no. 2667, 2880, 3527]
Aisyah radhiyallahu 'anha mulai menjalani kehidupan rumah tangganya
dengan Nabi ﷺ sekitar satu tahun sebelum Perang Uhud. Berdasarkan pandangan
umum, Aisyah radhiyallahu 'anha diperkirakan berusia 10 tahun pada saat itu,
usia yang dianggap terlalu muda untuk terlibat dalam situasi perang. Fakta
tersebut mengindikasikan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha saat itu mungkin lebih
tua dari perkiraan tersebut.
===
MINIMAL USIA 15 TAHUN, SYARAT BAGI YANG HENDAK IKUT PERANG PADA ZAMAN
NABI ﷺ:
**Seleksi Usia Pasukan Menjelang Perang Badar**.
Ada beberapa anak muda muslim berkeinginan bergabung dengan pasukan
muslim ke medan tempur di Badar, Nabi ﷺ memulangkan mereka karena
usia yang masih terlalu belia, kecuali seorang pemuda yang bernama ‘Umair bin
Abu Waqqas yang diizinkan menemani kakaknya, Sa’ad bin Abu Waqqas, seorang
sahabat Nabi yang terkenal.
Sa'ad bin Abi Waqqash berkata :
" رَأَيْتُ أَخِيَ عُمَيْرَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ
قَبْلَ أَنْ يَعْرِضَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِلْخُرُوجِ إِلَى بَدْرٍ يَتَوَارَى، فَقُلْتُ
مَا لَكَ يَا أَخِي؟ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَرَانِيَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ فَيَسْتَصْغِرَنِي فَيَرُدَّنِي، وَأَنَا أُحِبُّ الْخُرُوجَ، لَعَلَّ اللَّهَ
يَرْزُقَنِي الشَّهَادَةَ، قَالَ: فَعُرِضَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَاسْتَصْغَرَهُ
فَقَالَ: «ارْجِعْ» ، فَبَكَى عُمَيْرٌ فَأَجَازَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ. قَالَ سَعْدٌ:
فَكُنْتُ أَعْقِدُ لَهُ حَمَائِلَ سَيْفِهِ مِنْ صِغَرِهِ، فَقُتِلَ بِبَدْرٍ وَهُوَ
ابْنُ سِتَّ عَشْرَةَ سَنَةً. قَتَلَهُ عَمْرُو بْنُ عَبْدِ وَدٍّ ".
“Aku melihat saudaraku, Umair bin Abi Waqqash, sebelum
Rasulullah ﷺ mengizinkan kami untuk berangkat ke Badar, ia bersembunyi. Aku
pun bertanya, ‘Ada apa denganmu, wahai saudaraku?’ Ia menjawab, ‘Aku takut jika
Rasulullah ﷺ melihatku, beliau akan menganggapku terlalu muda dan
memulangkanku. Padahal aku sangat ingin ikut berangkat, semoga Allah memberiku
rezeki berupa kesyahidan.’
Ketika Umair diperlihatkan kepada Rasulullah ﷺ, beliau pun menganggapnya
terlalu muda dan berkata, ‘Kembalilah.’ Maka Umair pun menangis, hingga
Rasulullah ﷺ mengizinkannya. Sa'ad berkata, ‘Aku biasa mengikatkan tali
pedangnya karena ia masih kecil.’ Umair pun gugur di Badar dalam **usia enam
belas tahun**, terbunuh oleh Amr bin Abd Wudd.”
[HR. Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra 3/149-150,
al-Bazzaar dalam Musnadnya 2/315 no. 1770.
Lihat pula : *Al-Maghazi* (hal. 21, 145, 155), *Tarikh At-Thabari*
(jilid 2, hal. 477), dan *Hadzf min Nasab Quraisy* (hal. 62).
Muhammad al-Knadhlawi dalam Hayatush Shohabah 2/226 berkata :
وَأَخْرَجَهُ الْبَزَّارُ، وَرِجَالُهُ
ثِقَاتٌ؛ كَمَا فِي الْمَجْمَعِ
“Hadits ini diriwayatkan oleh
Al-Bazzar, dan para perawinya terpercaya, sebagaimana tercantum dalam
*Al-Majma*”.
Dalam lafadz lain :
وَعِنْدَمَا رَآهُ النَّبِيُّ ﷺ اسْتَصْغَرَهُ
فَرَدَّهُ، فَبَكَى عُمَيْرٌ بُكَاءً شَدِيدًا، فَرَقَّ النَّبِيُّ لَهُ، وَأَجَازَهُ
مَعَ الْمُقَاتِلِينَ، بَعْدَ أَنْ لَمَسَ حَمَاسَتَهُ وَغَيْرَتَهُ الشَّدِيدَتَيْنِ،
وَكَانَ مَعَ عُمَيْرٍ سَيْفٌ طَوِيلٌ يَكَادُ يَكُونُ أَطْوَلَ مِنْهُ، لَا يَسْتَطِيعُ
إِمْسَاكَهُ وَالضَّرْبَ بِهِ، فَرَبَطَ السَّيْفَ لَهُ فِي يَدِهِ، قَالَ سَعْدٌ:
فَكُنْتُ أَعْقِدُ لَهُ حَمَائِلَ سَيْفِهِ مِنْ صِغَرِهِ، فَقُتِلَ فِي بَدْرٍ وَهُوَ
ابْنُ سِتِّ عَشْرَةَ سَنَةً.
Ketika Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau pun
menganggapnya terlalu muda dan memulangkannya. Umair menangis dengan sangat
sedih, hingga Rasulullah ﷺ merasa iba padanya dan
mengizinkannya bergabung dengan para pejuang setelah melihat semangat dan
keberaniannya yang besar.
Umair membawa pedang panjang yang hampir lebih tinggi darinya, dan ia
bahkan tidak bisa memegang atau mengayunkannya dengan baik. Maka, pedangnya
diikatkan pada tangannya.
Sa'ad berkata, ‘Aku biasa membantu mengikatkan pedangnya karena ia
masih sangat kecil.’ Akhirnya, Umair gugur dalam Perang Badar pada usia enam
belas tahun.
Sepakat semua pendapat secara Ijma’ : bahwa Umair adalah syahid termuda
dalam Islam. Ia gugur di tangan Amr bin Abd Wudd al-Amiri, salah satu tokoh
penting Quraisy, yang kemudian Amr bin Abd Wudd ini terbunuh oleh Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu pada Perang Khandaq."
** Seleksi Usia Pasukan Menjelang Perang
Uhud**:
Selain perang Badar, Rasulullah ﷺ juga melarang sejumlah anak-anak muda untuk
ikut dalam perang Uhud, karena usia mereka masih terlalu muda. Di antara mereka
ialah Rafi' bin Khudaij dan Samurah bin Jundab, karena keduanya masih berusia
15 tahun.
Dalam al-Maghazi, al-Waqidy meriwayatkan :
وَعُرِضَ عَلَيْهِ غِلْمَانٌ: عَبْدُ
اللهِ بْنُ عُمَرَ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، وَالنّعْمَانُ
بْنُ بَشِيرٍ، وَزَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ، وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ، وَأُسَيْدُ بْنُ
ظُهَيْرٍ، وَعَرَابَةُ بْنُ أَوْسٍ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيّ، وَسَمُرَةُ بْنُ
جُنْدُبٍ، وَرَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، فَرَدّهُمْ. قَالَ رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، فَقَالَ
ظُهَيْرُ بْنُ رَافِعٍ: يَا رَسُولَ اللهِ إنّهُ رَامٍ !
وَجَعَلْت أَتَطَاوَلُ وَعَلَيّ خُفّانِ
لِي، فَأَجَازَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ، فَلَمّا أَجَازَنِي قَالَ سَمُرَةُ بْنُ جُنْدُبٍ
لِرَبِيبِهِ مُرَيّ بْنِ سِنَانٍ الْحَارِثِيّ، وَهُوَ زَوْجُ أُمّهِ: يا أبة، أَجَازَ
رَسُولُ اللهِ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ وَرَدّنِي، وَأَنَا أَصْرَعُ رَافِعَ بْنَ
خَدِيجٍ.
فَقَالَ مُرَيّ بْنُ سِنَانٍ الْحَارِثِيّ:
يَا رَسُولَ اللهِ رَدَدْت ابْنِي وَأَجَزْت رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ وَابْنِي يَصْرَعُهُ.
فقال رسول الله ﷺ: تَصَارَعَا!
فَصَرَعَ سَمُرَةُ رَافِعًا فَأَجَازَهُ
رَسُولُ اللهِ ﷺ- وَكَانَتْ أُمّهُ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ
Ketika pendaftaran pasukan untuk Perang Uhud, beberapa pemuda
dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ, di antaranya Abdullah bin
Umar, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, Nu'man bin Basyir, Zaid bin Arqam,
Bara' bin Azib, Usaid bin Zuhair, Arabah bin Aus, Abu Sa'id al-Khudri, Samurah
bin Jundub, dan Rafi' bin Khadij. Namun, Rasulullah ﷺ menolak mereka karena usia
mereka yang masih muda.
Rafi' bin Khadij bercerita : Maka Zuhair bin Rafi' berkata : “Wahai
Rasulullah, Rafi' ini adalah pemanah yang terampil!”
Ketika mendengar ini, maka Rafi' berusaha untuk menunjukkan dirinya
lebih tinggi dengan mengenakan sepatu bot, dan Rasulullah ﷺ akhirnya mengizinkannya untuk bergabung.
Setelah mendapatkan izin, Samurah bin Jundub, yang merupakan anak tiri
Murai bin Sinan al-Haritsi (suami ibunya), berkata kepada ayah tirinya :
“Wahai ayah, Rasulullah mengizinkan Rafi' bin Khadij untuk bergabung
dan menolak aku, padahal aku bisa mengalahkannya dalam gulat!”
Mendengar hal ini, Murai bin Sinan berkata kepada Rasulullah ﷺ :
“Wahai Rasulullah, Engkau menolak anakku dan mengizinkan Rafi' bin
Khadij, sedangkan anakku mampu mengalahkannya.”
Rasulullah ﷺ kemudian memerintahkan,
“Bergulatlah kalian berdua!”
Samurah pun berhasil mengalahkan Rafi' dalam gulat, dan akhirnya
Rasulullah ﷺ mengizinkannya untuk bergabung. Ibunya berasal dari suku Bani
Asad.
[Baca : al-Maghazi karya al-Waqidi 1/216, Ansaab al-Asyraaf
karya al-Baladzari 1/315-316 no. 686 dan Imtaa’ al-Asmaa’ oleh Taqiyyuddin
al-Muqraizy 1/136]
**Menjelang Perang Khandak**:
Menjelang perang Khandak juga diberlakukan syarat usia 15 tahun keatas
bagi calon pasukan perang. Imam Bukhari juga menyebutkan dalam :
(فِي
كِتَابِ الْمَغَازِي، بَابُ غَزْوَةِ الخَنْدَقِ وَهِيَ الأَحْزَابُ)
(Kitab Peperangan, Bab Perang Khandaq, yaitu
Ahzaab)
Ibnu Umar meriwayatkan :
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ: «عَرَضَهُ يَوْمَ
أُحُدٍ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْهُ، وَعَرَضَهُ يَوْمَ
الخَنْدَقِ، وَهُوَ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَهُ»
“Bahwa Nabi tidak mengizinkan dirinya ikut serta dalam Perang Uhud
karena ia masih berusia **empat belas tahun** saat itu. Tetapi Nabi
mengizinkannya dalam Perang Khandaq ketika ia berusia **lima belas tahun**”.
Berdasarkan hal ini :
(a) mereka yang berusia di bawah 15 tahun tidak diizinkan ikut serta
dalam Perang Uhud.
(b) dan Aisyah berpartisipasi dalam Perang Badar dan Uhud.
Kesimpulan: Partisipasi Aisyah dalam Perang Badar dan Uhud menunjukkan
bahwa ia tidak berusia sembilan tahun, melainkan setidaknya lima belas tahun.
Bagaimanapun, para perempuan biasanya mendampingi para laki-laki ke medan perang
untuk membantu mereka, bukan menjadi beban. Riwayat ini juga memberikan
kontradiksi lain terkait usia Aisyah.
Sangat kecil kemungkinan jika Aisyah radhiyallahu 'anha masih berusia
10 tahun, Nabi ﷺ mengizinkannya mengikuti
pasukan ke medan perang. Karenanya, berdasarkan bukti ini, Aisyah radhiyallahu
'anha sekurang-kurangnya berusia 15 atau 16 tahun saat mulai tinggal serumah dengan
Nabi ﷺ sebagai istri pada tahun 2 Hijriyah, dengan perkawinan yang
terjadi tiga tahun sebelumnya.
**Aisyah ikut serta perang Tabuk**.
Pada saat perang Tabuk, perang melawan pasukan Romawi, yang terjadi
pada bulan Rajab tahun 9 hijriah, Aisyah radhiyallahu ‘anha ikut serta pasukan
kaum Muslimin bergerak menuju Tabuk. [Lihat pula: Shahih Bukhori No. 2467].
Perang terakhir yang dipimpin oleh Nabi ﷺ. Perang Tabuk terjadi pada
saat puncak-puncaknya terik matahari di musim panas. Sehingga membuat
orang-orang munafik berkata: "Janganlah kalian keluar (pergi berperang)
dalam panas terik ini". Sebagaimana yang Allah firmankan :
﴿فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ
رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَن يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنفِرُوا فِي الْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا
ۚ لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ﴾
Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira
dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata:
"Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini".
Katakanlah: "Api neraka jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika
mereka mengetahui. [QS. Tawbah: 81].
Sementara Jarak tempuh antar Madinah dan Tabuk sekitar 800 KM.
*****
ALASAN KE DELAPAN: **KEILMUAN DAN KECERDASAN AISYAH (RA) DI ATAS KEBANYAKAN PARA SAHABAT SENIOR :**
Aisyah radhiyallahu ‘anha memiliki kecerdasan yang mana seorang pria
dewasa pun belum tentu memilikinya .
Ada banyak hal dalam agama yang khusus untuk perempuan, atau yang
berkaitan dengan hubungan pria dengan istrinya dan keluarganya, yang memerlukan
seorang penghafal yang sadar agar dapat menyampaikan ilmu tersebut kepada orang
lain, dan itulah yang terjadi pada dirinya, radhiyallahu 'anha.
Hal ini jelas terlihat dalam pernyataan Imam az-Zuhri:
"لَوْ جُمعَ عِلْمُ عَائِشَةَ إِلَى عِلْمِ
جَمِيعِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ، وَعِلْمِ جَمِيعِ النِّسَاءِ لَكَانَ عِلْمُ عَائِشَةَ
أَفْضَلَ"
"Seandainya ilmu Aisyah digabungkan dengan ilmu semua Ibu-Ibu
orang beriman dan ilmu semua perempuan, maka ilmu Aisyah akan lebih
unggul." [Baca : al-Ishobah oleh Ibnu Hajar 8/233 dan al-Manhal al-‘Adzeb
al-Mawruud 1/72]
Dan Atha' bin Abi Rabah berkata:
«كَانَتْ عَائِشَةُ، أَفْقَهَ النَّاسِ وَأَعْلَمَ
النَّاسِ وَأَحْسَنَ النَّاسِ رَأْيًا فِي الْعَامَّةِ»
"Aisyah adalah orang yang paling faqih, paling berpengetahuan, dan
paling baik pendapatnya di kalangan masyarakat umum." [Diriwayatkan oleh
al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/15 no. 7648 dan al-Lalaka'i dalam "Aqidah
Ahlus Sunnah" (2762)].
Dari Urwah :
«مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْلَمَ بِالْحَلَالِ
وَالْحَرَامِ وَالْعِلْمِ وَالشِّعْرِ وَالطِّبِّ مِنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ»
"Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih mengetahui
tentang halal dan haram, ilmu, puisi, dan kedokteran daripada Aisyah, Ummul
Mukminin." [Diriwayatkan al-Hakim dlam al-Mutadrak 4/12 no. 6733].
Aisyah memiliki peran yang sangat penting dalam menyampaikan banyak
hukum Islam dan hadits Nabi, hingga Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* berkata:
«إِنَّ رُبُعَ أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ نُقِلَتْ
عَنِ عَائِشَةَ»
'Seperempat hukum syariat diriwayatkan dari Aisyah.'
Para sahabat terkemuka sering bertanya kepadanya ketika mengalami
kesulitan, sebagaimana Abu Musa Al-Asy'ari berkata :
«مَا أُشْكِلَ عَلَيْنَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ
حَدِيثٌ قَطُّ فَسَأَلْنَا عَائِشَةَ إِلَّا وَجَدْنَا عِنْدَهَا مِنْهُ عِلْمًا»
'Tidak pernah terjadi kepada kami, para sahabat Rasulullah ﷺ, suatu hadits yang sulit, kecuali ketika kami bertanya kepada
Aisyah, kami pasti menemukan pengetahuan tentangnya darinya.' [*Jami'
At-Tirmidzi*, Kitab Ad-Da'awat, Bab Fadhilah Aisyah radhiyallahu 'anha].
CONTOH :
Contoh ke 1
: Perkataan Aisyah saat meluruskan sahabat lain yang berpendapat bahwa Nabi ﷺ melihat Allah saat Mi’raj.
Diriwayatkan bahwa
'A'isyah (ra) berkata:
مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى
رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ وَهُوَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ } وَمَنْ
حَدَّثَكَ أَنَّهُ يَعْلَمُ الْغَيْبَ فَقَدْ كَذَبَ وَهُوَ يَقُولُ لَا يَعْلَمُ
الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
"Barangsiapa
menceritakan kepadamu bahwa Muhammad ﷺ
melihat Tuhannya berarti ia telah dusta, karena Allah berfirman: '(Ia tidak
bisa diketahui oleh pandangan)' (Qs. Al An'am: 103). Dan barangsiapa
menceritakan kepadamu bahwa ia tahu yang ghaib, berarti ia telah dusta, sebab
Muhammad bersabda: 'Tidak ada yang tahu yang ghaib selain Allah'." (HR.
al-Bukhaari, al-Tauhid, 6832).
Riawayat lain: Dari
[Masruq] dia berkata, "Ketika aku duduk bersandar di samping [Aisyah],
maka dia berkata:
'Wahai Abu Aisyah
(Masruq)! Ada tiga perkara, barangsiapa yang memperbincangkan salah satu
darinya, berarti dia telah melakukan pembohongan yang amat besar terhadap
Allah.'
Aku bertanya: 'Apakah
tiga perkara itu? '
Aisyah menjawab:
'Pertama, barangsiapa mengklaim bahwa Muhammad ﷺ
melihat Tuhannya maka sungguh dia telah membesarkan kebohongannya terhadap
Allah.'
Aku yang duduk
bersandar dari tadi, maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata:
'Wahai Ummul
Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-buru,
(dengarlah kata-kataku ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman:
{
وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ }
'(Dan sesungguhnya
Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang
lain) ' (Qs. Al Takwir: 23).
Dan Firman Allah
lagi:
{
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى }
'(Dan sungguh
Muhammad telah melihat 'dia' dalam bentuk rupanya yang asal sekali lagi) ' (Qs.
An Najm: 13).
Maka Aisyah menjawab:
"أَنَا
أَوَّلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ
الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطًا
مِنْ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ
".
'Aku adalah orang
yang pertama bertanya kepada Rasulullah ﷺ
mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau ﷺ
telah menjawab dengan bersabda:
"Yang
dimaksud 'dia' dalam ayat itu adalah Jibril (bukan Allah), aku tidak pernah
melihat Jibril dalam bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia
turun dari langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara
lagit dan bumi.'
Kemudian Aisyah
berkata lagi:
أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ
وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ } أَوَ لَمْ تَسْمَعْ
أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ {وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا
وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ
مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ }
'Apakah kamu tidak
pernah mendengar bahwa Allah:
'(Dia
tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat dan
mengetahui hakikat segala penglihatan mata, dan Dialah Yang Maha Bersifat Lemah
Lembut lagi Maha Mendalam pengetahuannya) ' (Qs. Al An'am: 103).
Atau, apakah kamu
tidak pernah mendengar firman Allah:
'(Dan tidaklah layak
bagi seorang manusia, bahwa Allah mengajaknya berbicara kecuali berupa wahyu
(dengan diberi mimpi) atau dari balik dinding (dengan mendengar suara saja)
atau dengan mengutuskan utusan (Malaikat), lalu utusan itu menyampaikan wahyu
kepadanya dengan izin Allah sesuatu yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi, lagi Maha Bijaksana) '. (Qs. Asy Syura: 51).….. dst. [HR. Muslim
No. 259].
Contoh ke 2 : Tentang shalat Janazah di
Masjid :
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman:
أَنَّ عَائِشَةَ لَمَّا تُوُفِّىَ
سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ قَالَتِ ادْخُلُوا بِهِ الْمَسْجِدَ حَتَّى أُصَلِّىَ عَلَيْهِ. فَأُنْكِرَ ذَلِكَ
عَلَيْهَا فَقَالَتْ وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ. قَالَ
مُسْلِمٌ: سُهَيْلُ بْنُ دَعْدٍ وَهُوَ ابْنُ الْبَيْضَاءِ أُمُّهُ بَيْضَاءُ.
Bahwa ketika Sa’d bin
Abu Waqash meninggal, Aisyah berkata: “Masukkanlah ia ke dalam masjid hingga
aku bisa menshalatkannya”.
Namun mereka tidak
menyetujuinya, maka ia 'Aisyah (ra) pun berkata:
“Demi Allah, sungguh
Rasulullah ﷺ telah menshalatkan jenazah dua orang putra Baidla` di dalam
masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.” Muslim berkata; “Suhail bin Da’d adalah
Ibnul Baidla`, dan ibunya adalah Baidla". (HR Muslim no. 1617)
ORANG YANG
PALING DI CINTAI RASULULLAH ﷺ :
Dari ‘Amr
bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhu:
أنَّ النَّبيَّ
ﷺ بَعَثَهُ علَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلَاسِلِ، فأتَيْتُهُ فَقُلتُ: أيُّ النَّاسِ
أحَبُّ إلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ، فَقُلتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ فَقَالَ: أبُوهَا،
قُلتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ، فَعَدَّ رِجَالًا.
Bahwa Nabi ﷺ mengutusnya pada pasukan yang disebut dengan "Jais Dzatu
as-Salasil." Kemudian aku datang kepadanya dan bertanya, "Siapa orang
yang paling kau cintai?"
Beliau
menjawab, "Aisyah."
Aku
bertanya, "Dan siapa di antara laki-laki?" Beliau menjawab,
"Ayahnya."
Aku bertanya
lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Kemudian Umar bin
Khattab."
Lalu beliau
menyebutkan beberapa orang laki-laki lainnya. [HR. Bukhori no. 3662]
Inilah Siti Aisyah radhiyallahu 'anha, istri tercinta Nabi ﷺ dan orang yang paling dicintainya. Pernikahannya dengan Aisyah
bukan semata-mata karena nafsu, dan motivasi pernikahan itu bukanlah sekadar
kenikmatan pasangan, melainkan tujuannya adalah untuk menghormati Abu Bakar,
mengutamakannya, mendekatkannya, dan menempatkan putrinya di posisi terhormat
di rumah kenabian.
Aisyah radhiyallahu 'anha berada pada usia di mana seseorang memiliki
pikiran yang lebih tenang dan lebih siap untuk menerima ilmu. Para istri
Rasulullah ﷺ kebanyakan lebih tua, dan tidak diragukan lagi bahwa belajar di
usia dini ibarat mengukir di atas batu.
Dari Abu Musa
radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
وَإِنَّ فَضْلَ
عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
Keistimewaan
'Aisyah radliallahu 'anhu dibandingkan wanita-wanita lain adalah bagaikan
keistimewaan makanan "tsarid" terhadap makanan yang lain". [HR.
Bukhori no. 3159]
(Tsarid adalah
sejenis makanan yang terbuat dari daging dan roti yang dibuat bubur dan
berkuah).
Pertanyaan-nya : di usia yang sangat dini ini, apakah mungkin ia mampu
melakukan hal-hal seperti ini?
**Contohnya :**
Dari Ibnu Syihab, bahwa Urwah bin Zubair menceritakan kepadanya :
«أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ! جَاءَ فَجَلَسَ
إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي، يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، يُسْمِعُنِي ذَلِكَ، وَكُنْتُ
أُسَبِّحُ، فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي، وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ
عَلَيْهِ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الحَدِيثَ كَسَرْدِكُمْ»
Bahwa Aisyah berkata: 'Tidakkah engkau heran dengan Abu Hurairah! Ia
datang lalu duduk di dekat kamarku, menyampaikan hafalan hadits dari Rasulullah
ﷺ dan membiarkan aku mendengarnya, sedangkan aku sedang subhah
(shalat Dhuha). Lalu Ia pun pergi sebelum aku menyelesaikan shalat Dhuha-ku,
dan seandainya aku sempat menemuinya, aku akan mengingatkan: Sesungguhnya
Rasulullah ﷺ tidak menyampaikan hadits seperti cara kalian menyampaikannya
(dengan cepat).'"
(Tampaknya Aisyah mengkritik Abu Hurairah karena menyampaikan hafalan
hadits dengan cepat).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
**مَعْنَى
أُسَبِّحُ: أُصَلِّي نَافِلَةً، وَهِيَ السُّبْحَةُ، قِيلَ الْمُرَادُ هُنَا صَلَاةُ
الضُّحَى.
"Makna 'usabbihu' adalah aku melaksanakan shalat sunnah, yaitu
as-Subhah. Dan dikatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah shalat Dhuha”.
[Lihat *Fathul Bari*, 7/390].
Ibnu Hajar berkata:
«وَاعْتُذِرَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ بِأَنَّهُ
كَانَ وَاسِعَ الرِّوَايَةِ كَثِيرَ الْمَحْفُوظِ فَكَانَ لَا يَتَمَكَّنُ مِنَ الْمَهَلِ
عِنْدَ إِرَادَةِ التَّحْدِيثِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: أُرِيدُ أَنْ أَقْتَصِرَ
فَتَتَزَاحَمُ الْقَوَافِي عَلَى فِيَّ»
“Apa yang terjadi dengan Abu Hurairah ini bisa dimaafkan; karena ia
memiliki banyak riwayat dan hafalannya luas, sehingga ia tidak bisa melambatkan
penyampaian hafalan hadits ketika hendak menyampaikan kepada Aisyah,
sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para ahli balaghah: ‘Aku ingin
meringkasnya, tetapi berbagai syair berdesakan di lidahku.'” ["Fath
al-Bari": 7/390]
Pada kesempatan lain Aisyah memuji dan membenarkan Abu Hurairah. Di
antaranya adalah ketika Abdullah bin Umar mendengar hadits dari Abu Hurairah
yang berbunyi:
«مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى
عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ، كُلُّ
قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الأَجْرِ
مِثْلُ أُحُدٍ»
“Barang siapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya, kemudian
shalat untuknya dan mengikutinya hingga dikuburkan, maka ia mendapatkan dua
qirath pahala, setiap qirathnya sebesar gunung Uhud. Dan barang siapa yang
shalat untuk jenazah kemudian kembali, maka ia mendapatkan pahala sebesar
gunung Uhud.”
Maka Abdullah bin Umar mengirim Khabab kepada Aisyah untuk menanyakan
pendapatnya tentang ucapan Abu Hurairah. Aisyah berkata kepada utusannya:
«صَدَقَ أبو هُرَيْرَةَ».
“Abu Hurairah benar.”
Maka Abdullah bin Umar memukul-mukul tanah dengan kerikil di tangannya
dan berkata:
«لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ»
“Sungguh, kita telah banyak kehilangan qirath
yang besar.”
[HR. Bukhori no. 47 dan Muslim no. 945].
Aisyah juga dikenal akan kefasihan dan kepiawaiannya dalam
berbahasa".
[Baca pula : "Thabaqat Ibnu Sa'd": 2/118, "Al-Bidayah
wan Nihayah": 8/107, "Fathul-Bari" 1/225, *Al-Ijabah li Iirad ma
Istadrokat Aisyah 'ala Ashhabah*, hal. 135 dan Abdul Hamid Mahmoud Thohmaz,
*Sayyidah Aisyah Ummul Mukminin dan Ilmuwan Wanita Islam*, Damaskus, 1994,
halaman 174].
*****
ALASAN KE SEMBILAN : SAAT ITU AISYAH (RA) ADALAH GADIS REMAJA, BUKAN BOCIL.
Menurut sebuah riwayat dari Ahmad bin Hanbal, ketika Khadijah telah
wafat, Khawlah datang kepada Nabi ﷺ dan menyarankannya untuk
menikah lagi. Ketika Nabi ﷺ menanyakan siapa yang ia
usulkan sebagai calon istri, Khawlah menjawab :
إِنْ شِئْتَ بِكْرًا، وَإِنْ شِئْتَ
ثَيِّبًا؟
قَالَ: " فَمَنِ الْبِكْرُ؟
" قَالَتْ: ابْنَةُ أَحَبِّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْكَ عَائِشَةُ بِنْتُ
أَبِي بَكْرٍ،
قَالَ: " وَمَنِ الثَّيِّبُ؟
" قَالَتْ: سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ
"Jika engkau mau, (aku usulkan) seorang gadis, dan jika engkau
mau, seorang janda."
Nabi ﷺ bertanya, "Siapakah
gadis itu?"
Khawlah menjawab : "Putri dari orang yang paling engkau cintai di
antara makhluk Allah, yaitu Aisyah binti Abu Bakar."
Beliau bertanya lagi, "Dan siapakah janda itu?" Khawlah
menjawab, "Saudah binti Zam'ah."
[HR. Ahmad 42/501 no. 25769. Di nilai hasan oleh Syu’aib al-Arna’uth].
Semua orang yang memahami bahasa Arab tahu bahwa kata "bikr"
tidak digunakan untuk anak perempuan berusia sembilan tahun; istilah yang tepat
untuk usia tersebut adalah "jariyah." Sementara itu, kata
"bikr" merujuk pada seorang perempuan muda atau gadis remaja yang
belum pernah menikah sebelumnya, mirip dengan pengertian "virgin"
dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, anak berusia sembilan tahun bukanlah
gadis yang bisa disebut "bikr" (*Musnad Ahmad bin Hanbal*, 42/501 no.
25769).
Kesimpulan: Makna harfiah dari kata "bikr" dalam hadits
tersebut adalah :
"اِمْرَأَةٌ بَالِغَةٌ لَيْسَتْ لَهَا تَجْرِبَةٌ
جِنْسِيَّةٌ قَبْلَ الزَّوَاجِ"
"seorang perempuan dewasa yang belum memiliki pengalaman seksual
sebelum pernikahan."
Maka, Aisyah adalah perempuan dewasa pada hari pernikahannya.
Baca artikel هَلْ تَزَوَّجَتْ
عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ وَهِيَ بِنْتُ السَّادِسَةِ؟ karya T.A. Shanavas, diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Dr.
Khalid As-Saaqi
*****
**ALASAN KE SEPULUH : AL-QUR’AN ADALAH KITAB PETUNJUK DAN HIDAYAH**
Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur'an adalah kitab petunjuk dan hidayah,
sehingga kita harus mengambil petunjuk darinya untuk menghilangkan kerancuan
yang ditimbulkan oleh pandangan ulama klasik terkait usia pernikahan Aisyah.
Apakah hingga harus mengatakan bahwa Al-Qur'an mengizinkan pernikahan dengan
anak perempuan di usia tujuh tahun?
Tidak ada satu ayat pun yang membolehkan pernikahan seperti itu.
Bahkan, ada ayat yang menunjukkan cara membina anak yatim, yang juga bisa
menjadi panduan dalam mendidik anak-anak kita. Ayat tersebut berbunyi:
﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ
الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا ﴾
“Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan...” (An-Nisa': 5-6).
Jika ayah dari seorang anak yatim meninggal, maka seorang Muslim
memiliki kewajiban untuk: 1) memberi makan anak yatim, 2) memberinya pakaian,
3) mendidiknya, dan 4) mengujinya “hingga betul-betul terbukti kecerdasan
akalnya dan kedewasaannya.”
Allah SWT berfirman :
﴿وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا
النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُوا ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّا
فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا﴾
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah
kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). [QS. Nisa: 6]
Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an memerintahkan kita untuk memastikan
kemampuan mental dan fisik anak yatim melalui ujian yang obyektif sebelum usia
dewasa agar ia mampu mengelola hartanya sendiri.
Berdasarkan ayat ini, tidak mungkin seorang Muslim yang bertanggung
jawab akan mempercayakan anak usia tujuh atau sembilan tahun untuk mengelola
harta. Jika seorang anak pada usia tersebut belum mampu mengurus hartanya,
bagaimana mungkin ia diharapkan memiliki kemampuan mental dan fisik untuk
menikah?
Ahmad bin Hanbal dalam *Musnad* (6/ 33 dan 99), menyebutkan : “bahwa
Aisyah lebih tertarik bermain daripada mengurusi urusan pernikahan”, sehingga
sulit membayangkan Rasulullah ﷺ menikahinya saat ia berusia
6 tahun dan Rasulullah ﷺ berusia 50 tahun. Sulit pula
membayangkan Rasulullah ﷺ mau menikahi seorang anak
berusia 6 tahun.
Seorang wali juga memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anaknya. Kita
bisa bertanya, "Berapa banyak dari kita yang berpikir bahwa bisa
menyelesaikan pendidikan anak sebelum usia 7 atau 9 tahun?"
Jawabannya adalah “Tidak ada.”
Secara logis, mustahil mendidik anak sepenuhnya sebelum usia 7 tahun. Maka,
bagaimana kita bisa percaya bahwa pendidikan Aisyah telah selesai di usia yang
diklaim saat pernikahannya?
Abu Bakar adalah seorang yang sangat bijaksana. Maka, tidak diragukan
lagi ia tidak akan menikahkan Aisyah kepada siapa pun sebelum ia mencapai
tingkat pendidikan yang ditetapkan oleh Al-Qur'an. Seandainya Rasulullah ﷺ atau Abu Bakar ditawari untuk menikahi seorang gadis yang belum
cukup dalam pendidikannya, mereka akan menolak tanpa ragu karena mereka tidak
akan menentang ketentuan Al-Qur'an.
**Kesimpulan:**
Menikahkan Aisyah pada usia 6 tahun bertentangan dengan hukum
kedewasaan yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Maka dari itu, pernikahan Aisyah
pada usia tujuh tahun hanyalah sebuah mitos.
*****
**ALASAN KE SEBELAS : PERSETUJUAN DARI CALON ISTRI DALAM PERNIKAHAN:**
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda :
«لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ
وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ»
"Tidak boleh menikahkan seorang janda sampai ia dimintai
persetujuan, dan tidak boleh menikahkan seorang gadis sampai ia dimintai
izin." [Muttafaqun ‘alaihi].
"Dan dari Khansa binti Khidham radhiyallahu ‘anha :
أَنْ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ
فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَرَدَّ نِكَاحَهَا
“Bahwa ayahnya menikahkannya, sedangkan ia adalah seorang janda, namun
ia tidak menyukai pernikahan itu. Maka ia mendatangi Rasulullah ﷺ, lalu beliau membatalkan pernikahannya." [HR. Bukhori no.
5138]
Dari sudut pandang Islam, persetujuan yang jelas dari pihak perempuan
adalah syarat sahnya sebuah pernikahan. Dalam pandangan siapa pun, izin seorang
anak berusia 6 tahun sama sekali tidak layak dianggap sebagai persetujuan yang
sah untuk menikah.
Sulit pula dibayangkan bahwa Abu Bakar, seorang yang bijak, akan
menganggap serius izin dari anak perempuannya yang masih berusia 6 tahun untuk
menikah dengan seorang pria berusia 50 tahun. Juga, tidak mungkin Rasulullah ﷺ akan menerima izin dari seorang anak yang, sebagaimana
disebutkan dalam hadits Muslim, masih membawa mainannya saat hendak tinggal
bersama Rasulullah ﷺ di rumahnya.
**Kesimpulan:**
Rasulullah ﷺ tidak menikahi Aisyah pada
usia 6 tahun, karena hal itu bertentangan dengan ketentuan izin dalam hukum
Islam tentang pernikahan. Rasulullah ﷺ menikahi Aisyah ketika ia
sudah dewasa, baik secara mental maupun fisik.
**Ringkasan:**
Tidak lazim bagi orang Arab untuk menikahkan anak perempuan mereka pada
usia 6 tahun, dan Rasulullah ﷺ juga tidak menikahi Aisyah
pada usia tersebut. Orang-orang di Jazirah Arab tidak pernah memprotes
pernikahan tersebut karena pernikahan seperti yang disebutkan dalam riwayat
tidak pernah terjadi.
Riwayat dari Husyam bin Urwah tentang pernikahan Aisyah pada usia 9
tahun tidak dapat dianggap benar, mengingat terdapat sejumlah riwayat yang
bertentangan. Selain itu, tidak ada alasan sama sekali untuk menerima riwayat Husyam
bin Urwah saat sejumlah ulama, seperti Malik bin Anas, menolak
riwayat-riwayatnya ketika ia berada di Irak.
Pendapat ath-Thabari, al-Bukhari, dan Muslim pun saling bertentangan
dalam hal usia Aisyah. Bahkan beberapa ulama tersebut memiliki kontradiksi
dalam riwayat mereka sendiri.
Dengan demikian, riwayat tentang usia Aisyah saat menikah tidak dapat dianggap
sahih karena adanya kontradiksi dalam riwayat yang ditemukan di kalangan ulama
Islam terdahulu. Oleh karena itu, tidak ada alasan sama sekali untuk
mempercayai pernikahan Aisyah pada usia dini dan masih bocil, sementara ada
alasan yang masuk akal untuk menolaknya sebagai mitos. Selain itu, Al-Qur'an
melarang pernikahan anak perempuan dan laki-laki yang belum dewasa serta
melarang membebani mereka dengan tanggung jawab.
Wallaahu a’lam.
====*****====
PARA ULAMA KONTEMPORER YANG MENYATAKAN : DI USIA 16 TAHUN, AISYAH (RA) MENIKAH.
*****
PERTAMA : PROF. DR. MUHAMMAD AL-ADHAMI.
Profesor Dr. Muhammad Mudhafar Al-Adhami, Ketua Komite Kebudayaan,
Media, dan Seni Forum Irak untuk Elite dan Profesional.:
عَائِشَةُ هِيَ بِنْتُ الْخَلِيفَةِ الْأَوَّلِ
أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ التَّيْمِيَّةِ الْقُرَشِيَّةِ، ثَالِثُ زَوْجَاتِ النَّبِيِّ
مُحَمَّدٍ ﷺ. وَقَدْ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ غَزْوَةِ بَدْرٍ فِي شَوَّالَ سَنَةِ 2 هـ
وَكَانَ عُمْرُهَا سِتَّةَ عَشَرَ عَامًا.
إنَّ الْأَبْحَاثَ الْمُعَاصِرَةَ تُشَكِّكُ
فِي صِحَّةِ مَا قِيلَ عَنْ تَارِيخِ مَوْلِدِ عَائِشَةَ، وَذَلِكَ اسْتِنَادًا إِلَى
عُمُرِ أُخْتِهَا أَسْمَاءَ الَّتِي كَانَتْ تَكْبُرُهَا بِبِضْعَ عَشَرَةَ سَنَةً،
وَقَدْ مَاتَتْ أَسْمَاءُ سَنَةَ 73 هـ، عَنْ عُمْرٍ نَاهَزَ مِئَةَ سَنَةٍ، وَيَقُولُ
ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلَانِيُّ أَنَّ أَبَا نُعَيْمٍ الْأَصْبَهَانِيَّ قَالَ بِأَنَّ
أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ وُلِدَتْ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً،
وَ(البِضْعُ) فِي اللُّغَةِ تَصِلُ إِلَى التِّسْعَةِ فِي التَّعْدَادِ، فَيَكُونُ
عُمْرُ عَائِشَةَ وَقْتَ زَوَاجِهَا بِالنَّبِيِّ مُحَمَّدٍ ﷺ سِتَّةَ عَشَرَ سَنَةً.
Aisyah adalah putri khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq
At-Taimiyyah Al-Qurasyiyah, istri ketiga Nabi Muhammad ﷺ. Beliau menikahinya setelah
Perang Badar pada bulan Syawal tahun 2 H, saat usianya enam belas tahun.
Penelitian kontemporer meragukan keakuratan informasi mengenai tanggal
lahir Aisyah, berdasarkan usia kakaknya, Asma, yang lebih tua darinya dengan
belasan tahun. Asma meninggal pada tahun 73 H, dengan usia hampir seratus
tahun. Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa Abu Nu'aim Al-Ashbahani menyatakan
bahwa Asma binti Abu Bakar lahir tujuh puluh tahun sebelum hijrah. Dalam
bahasa, (bidh'u) dapat berarti sampai sembilan dalam hitungan. Maka, usia
Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ adalah enam belas tahun.
*****
KEDUA : DR. SUHAILA HAMMAD :
Surat kabar *Asy-Syarq Al-Awsath* yang berbasis di London memposting berita
pada hari Sabtu, 6 September 2008, bahwa seorang peneliti dan sejarawan wanita
asal Saudi Arabia sedang meneliti kebenaran informasi yang menunjukkan bahwa
Rasulullah -ﷺ- tidak menikahi Aisyah ketika beliau masih berusia sembilan
tahun.
Anggota Komite Studi dan Konsultasi di Asosiasi Nasional Hak Asasi
Manusia, Dr. Suhaila Zainal Abidin Hammad, mengatakan :
“Sesungguhnya logika dan perhitungan bijak umur Aisyah binti Abu Bakar
ash-Shiddiq, dibandingkan dengan usia kakaknya, Asma, yang lebih tua sepuluh
tahun darinya, serta perbandingan sejumlah peristiwa dan waktu hijrahnya
Rasulullah -ﷺ-, cenderung menunjukkan bahwa pernikahan Aisyah terjadi ketika
dia berusia sembilan belas tahun”.
Dr. Suhaila Hammad menegaskan bahwa dirinya sedang dalam proses untuk
memverifikasi hal tersebut dan berusaha menghasilkan temuan yang
terdokumentasi, mengingat dia adalah seorang sejarawan dan peneliti dalam
bidang keislaman.
Selain itu, Dr. Suhaila Hammad, yang juga anggota Persatuan Ulama
Muslim Internasional, menunjukkan bahwa terlepas dari pendapat mengenai
pernikahan Rasulullah -ﷺ- dengan Aisyah ketika beliau
masih kecil atau pandangan yang menentangnya, penting untuk mempertimbangkan
perubahan kondisi zaman, serta perbedaan standar pernikahan dan respons
terhadap keinginan manusia di berbagai era.
Dia berkata :
“Saya
mencoba berpikir dengan keras untuk menelusuri usia Ummul Mukminin Aisyah,
rahimahallah, melalui pendekatan sejarah yang terlepas dari kabut sejarah yang
dipenuhi oleh orang-orang tanpa akal yang menyebarkan klaim bahwa Nabi, ketika
berusia 25 tahun, menikah dengan seseorang yang lebih tua 15 tahun darinya, dan
ketika beliau berusia 53 tahun, menikahi seseorang yang 44 tahun lebih muda
darinya”.
**Tentang orang-orang yang meminang Aisyah:**
Para sejarawan menyebut bahwa Aisyah sebelumnya telah dilamar oleh (Jubair
bin) Muth’im bin Adiy sebelum dilamar oleh Rasulullah.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah: Kapan (Muth’im bin ) Adiy
melamar Aisyah untuk putranya, (Jubair bin) Muth’im? Sumber-sumber sejarah
tidak memberikan keterangan!”
** TENTANG PINANGAN TERHADAP AISYAH**
Kemungkinan pertama : adalah bahwa ia dilamar
setelah masa kenabian.
Namun hal ini dianggap tidak mungkin mengingat permusuhan yang sangat
kuat dari kaum kafir terhadap risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad,
terutama mengingat bahwa Aisyah adalah putri Abu Bakar, sahabat dekat
Rasulullah dan salah satu orang pertama yang menerima Islam. Jadi, kemungkinan
besar Adiy tidak akan melamar Aisyah untuk putranya setelah Abu Bakar memeluk
Islam.
Kemungkinan kedua : adalah bahwa ia dilamar
sebelum masa kenabian.
Ini merupakan kemungkinan yang lebih kuat. Namun, ini menimbulkan
pertanyaan penting:
Berapa usia Aisyah saat itu sebelum kenabian? Setahun? Dua tahun? Lima?
Sepuluh?
Sejarah tetap diam, seperti sebelumnya”.
**Maka, mari kita beralih ke beberapa hipotesis: Tentang Aisyah saat
dilamar:**
- **Hipotesis pertama:**
(Muth’im bin) Adiy melamar Aisyah untuk putranya, (Jubair bin) Muth’im,
sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 15 tahun. Berdasarkan
hipotesis ini, maka usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 28
tahun, mengingat Nabi menikahinya setelah hijrah ke Yatsrib dan beliau tinggal
di Mekah selama 13 tahun dalam periode dakwah sebelum hijrah.
- **Hipotesis kedua:**
[Muth’im bin] Adiy melamar Aisyah untuk putranya, [Jubair bin] Muth’im,
sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 10 tahun. Berdasarkan
hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 23 tahun.
- **Hipotesis ketiga:**
[Muth’im bin] Adiy melamar Aisyah untuk putranya, [Jubair bin] Muth’im,
sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 5 tahun. Berdasarkan hipotesis
ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 18 tahun.
- **Hipotesis keempat:**
[Muth’im bin] Adiy melamar Aisyah untuk putranya, [Jubair bin] Muth’im,
sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah baru 1 tahun saja - meskipun ini tentu
saja tidak mungkin, namun mari kita anggap demikian-, maka berdasarkan
hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 14 tahun,
yang berarti 5 tahun lebih tua dari usia yang banyak disebutkan”.
**Kedua:**
Menurut saya, Rasulullah tidak akan menikahi seorang gadis yang usianya
sama dengan atau lebih muda dari putrinya. Jika kita mengetahui bahwa Fatimah,
'alaihas-salam, lahir lima tahun sebelum masa kenabian, maka kita tahu bahwa
usianya setelah hijrah menjadi 18 tahun. Oleh karena itu, saya lebih cenderung
berpendapat bahwa usia Aisyah lebih tua dari Fatimah, dan saya lebih memilih
salah satu dari dua hipotesis: pertama, 28 tahun, atau kedua, 23 tahun. Dia
lebih tua 10 tahun dari saudara perempuannya, Asma binti Abu Bakar.
Dengan demikian, usia Aisyah sebelum masa kenabian diperkirakan
setidaknya sekitar lima tahun. Kemungkinan besar, pernyataan dalam riwayat yang
mengatakan bahwa dia berusia enam tahun ketika dilamar oleh Rasulullah adalah
kesalahan dari perawi. Mungkin yang dimaksud adalah dia berusia enam tahun
ketika Nabi diutus sebagai rasul. Jika kita menambahkan usia Aisyah sekitar 5-6
tahun pada saat kenabian dengan 13 tahun periode dakwah di Mekah, maka hasilnya
adalah 18-19 tahun, yang merupakan usianya di Madinah setelah hijrah. Karena
Fatimah berusia 18 tahun pada saat itu, kita dapat mengatakan bahwa usia
perkiraan Aisyah saat menikah tidak kurang dari 19 tahun, yang merupakan usia
minimumnya berdasarkan analisis dari sumber-sumber yang ada”.
Sebagian para ulama kadang-kadang mengatakan:
"Berkenaan dengan hal ini, saya selalu menyatakan bahwa para
pengumpul hadits adalah ilmuwan yang cerdas, tulus, dan sangat mencintai agama
serta Nabi mereka.
Namun, ini tidak berarti bahwa mereka terhindar dari kesalahan,
kelupaan, dan kekeliruan. Mereka memang cerdas, tetapi mereka tetap manusia
biasa. Saya juga mengatakan bahwa mereka mirip dengan para nelayan yang
melemparkan jaring mereka ke laut untuk menangkap ikan, namun jaring tersebut,
meskipun sekuat apa pun, mungkin masih dapat menyisakan beberapa ikan kecil
seperti basaraya.
Namun, ini tidak berarti kita harus menyerang buku-buku hadits dan para
penulisnya serta meragukan mereka secara keseluruhan, sebagaimana yang
diinginkan oleh beberapa orang yang ingin merusak. Jika kita melakukan itu, kita
akan memenuhi keinginan mereka dan menghancurkan bagian berharga dan penting
dari warisan kita yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ilmiah dan religius
kita.
Perlu dicatat : bahwa jurnalis muda yang memperhatikan apa yang dia
anggap sebagai kesalahan dalam beberapa kitab hadits telah menggunakan
buku-buku tersebut dalam penyelidikannya, yang menunjukkan betapa pentingnya
kitab-kitab tersebut dan nilainya yang tak ternilai.
Keyakinan pada kemaksuman para perawi hadits adalah setara dengan
menempatkan mereka pada posisi kenabian, yang tidak dibenarkan. Meskipun
kitab-kitab mereka menunjukkan usaha, kesungguhan, dan ketelitian yang besar,
mereka tetap tidak dapat dibandingkan dengan Al-Qur'an yang mulia ([2])."
*****
KETIGA : DR. SYAUQI DHAIF :
Dalam bukunya *Muhammad Khatam al-Mursalin*, Dr. Syauqi Dhaif menulis
bahwa ketika Nabi menikahi Aisyah, usianya adalah 18 atau 20 tahun, berdasarkan
beberapa bukti yang juga digunakan oleh jurnalis muda kita (lihat hal. 171 dari
cetakan Dar al-Ma'arif). Sedangkan Abbas al-Aqqad memperkirakan usianya saat
itu antara 12 hingga 15 tahun (lihat bukunya *Al-Siddiqah Bint Al-Siddiq*,
Nahdat Misr, 2004, hal. 48).
Bagaimanapun juga, perilaku Aisyah di rumah Nabi, menurut berbagai
riwayat yang ada, menunjukkan bahwa dia adalah seorang istri yang benar-benar
dewasa, bukan gadis muda yang tidak tahu di rumah siapa dia tinggal atau dengan
siapa dia menikah. Selain itu, Aisyah sangat bahagia dengan pernikahannya
dengan Nabi ﷺ, menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar. Dia mencintai
Nabi ﷺ dengan sangat mendalam dan sangat cemburu kepadanya. Ada banyak
hadits yang menggambarkan betapa besar cinta dan kecemburuannya, yang
menunjukkan betapa mendalamnya cinta itu tertanam dalam dirinya.
Ketika Nabi ﷺ menawarkan kepadanya pilihan
untuk tetap bersamanya dalam kehidupan sederhana atau kembali ke rumah orang
tuanya, dan memintanya untuk berkonsultasi dengan keluarganya, Aisyah dengan
tegas menolak opsi itu, seperti yang kita semua ketahui. Selain itu, Aisyah dan
istri-istri Nabi lainnya dengan sukarela, penuh iman, cinta, dan penghormatan,
mematuhi perintah Al-Qur'an yang melarang mereka menikah lagi setelah wafatnya
Nabi ﷺ.
Lalu, apa tujuan dari memunculkan keraguan terhadap pernikahan yang
dilandasi cinta dan kebahagiaan ini?
**Keraguan Mengenai Usia Pernikahan Sayyidah Aisyah:**
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa Aisyah sudah dilamar oleh
seorang pria dari Mekah sebelum Nabi ﷺ melamarnya, yang menunjukkan
bahwa pada saat itu dia sudah berada pada usia yang dianggap layak untuk
dilamar dan dinikahi, setidaknya menurut standar masyarakat Mekah saat itu.
Mengapa para misionaris yang bodoh itu tidak meragukan lamaran tersebut dan
hanya memusatkan kebencian mereka kepada Nabi ﷺ, serta berusaha menimbulkan
keraguan palsu terkait lamaran Nabi ﷺ kepadanya? Selain itu, orang
yang menawarkan Aisyah kepada Nabi ﷺ adalah seorang wanita dari
Mekah juga, artinya Nabi ﷺ tidak memikirkannya terlebih
dahulu, dan bukan seorang pria yang mengusulkannya kepadanya. Tidakkah ini
menunjukkan bahwa, bahkan menurut pandangan sesama perempuan, Aisyah sudah
mencapai usia yang pantas untuk menikah?
Selain itu, kita tidak pernah mendengar dari Abu Bakar atau Ummu Ruman
bahwa Aisyah masih terlalu kecil untuk menikah. Ini menguatkan pernyataan kami
bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha sudah cukup dewasa untuk menikah, setidaknya
menurut standar masyarakat dan zaman itu. Ini juga membantah semua argumen yang
diajukan oleh para misionaris dan mereka yang mengikuti jejak mereka, yang sayangnya
menggunakan nama-nama Islami.
**Poin Lain:**
Maryam alaihassalam, ketika dijodohkan dengan Yusuf al-Najjar, berusia
12 tahun, sedangkan Yusuf adalah seorang pria tua yang sudah berusia lebih dari
lima puluh tahun, berdasarkan beberapa riwayat yang berkaitan dengan masalah
ini.
Apakah kita akan menggunakan fakta ini sebagai alasan untuk menimbulkan
keraguan yang menghina derajatnya yang mulia? ([3]).
===*****===
LATAR BELAKANG MUNCUL KAJIAN KRITIS TENTANG USIA AISYAH SAAT MENIKAH
Dalam akhir abad ini, banyak muncul kajian kritis terkait usia Aisyah
radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Rasulullah ﷺ terus mengalami
perkembangan. Terutama di negara-negara Eropa dan Asia yang keberadaan umat
Islam sebagai penduduk minoritas di sana, seperti di India dan sekitarnya.
Diperkirakan upaya pertama dilakukan oleh Muhammad Ali dari Lahore dan
kemudian diteruskan oleh beberapa pemikir dari wilayah Asia Selatan, termasuk oleh
sarjana-sarjana Anak Benua India lainnya (seperti: Abu Thahir ‘Irfani, Ghulam
Nabi Muslim Sahib, dan Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi).
Mereka berpendapat bahwa terdapat kekeliruan dalam penafsiran usia
faktual Aisyah ketika menikah dengan Nabi ﷺ, dengan anggapan bahwa usia
beliau sebenarnya lebih tua daripada yang dinyatakan dalam literatur hadits
tradisional. [[Lihat : Fadhl al-Bari karya Maulana Muhammad Ali, (Lahore: Kirsi
Salim, t.t.), 501].
Awalnya, kajian ini bertujuan membela dan membersihkan nama Rasulullah ﷺ dari stigma serta tuduhan keji sebagai pengidap pedofilia.
Namun, terlihat adanya perasaan minder (inferiority complex) di kalangan
sebagian pendukung kajian ini, terutama saat berinteraksi dengan komunitas
agama lain. Kebanyakan dari mereka berlatar belakang pendidikan Barat atau
tinggal di lingkungan budaya Barat sehingga merasa risih ketika Nabi mereka dituduh
sebagai pelopor praktik pernikahan anak di bawah umur (nikah al-shaghirah atau
child marriage).
Meskipun terdapat kontroversi, namun kajian-kajian korektif ini menjadi
langkah berani dan terobosan signifikan dalam studi hadits, terutama di tengah
tantangan untuk mempertemukan hukum Islam dengan instrumen HAM internasional
dan regulasi nasional mengenai pernikahan usia dini.
Di tambah lagi dengan maraknya sebagain para ulama dan para tokoh di
beberapa negara di Asia dan Afrika yang bertradisi menikahi para bocil dengan
berdalil hadits pernikahan Aisyah radhiyallah ‘anha di usai 6 tahun. Dikemas
dengan istilah ngalap barokah para ulama dan barokah mengamalkan sunnah Nabi ﷺ. Bahkan di salah satu daerah di Indonesia yang memiliki tradisi
menikahi anak-anak perumpuan yang masih sekolah SD, sehingga banyak anak-anak
SD yang sudah hamil, dan sebagian besar menggugurkannya.
Dan yang paling mengejutkan, para ulama justru bersepakat bahwa tidak
ada persoalan dalam pernikahan mulia tersebut. Sebaliknya, yang sering diangkat
adalah hikmah serta keutamaan yang terkandung dalam pernikahan historis ini,
yang dianggap memiliki nilai agung dan mendalam bagi umat Islam.
[ Referensi : (1) - Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar al-Qurasyi
al-Dimasyqi bin Katsir, *al-Bidayah wa al-Nihayah* (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2001). (2) - "Istinbáth Jurnal Hukum Islam", halaman
298, "Kontroversi Usia Kawin Aisyah radhiyallahu ‘anha".]
====
Sekilas, diskursus mengenai usia pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha
(the age of Aisyah’s marriage)—seperti yang telah disinggung sebelumnya—tampak
hanya sebagai perdebatan terkait data sejarah.
Namun, ada sisi lain yang tidak boleh diabaikan, yaitu dampaknya
terhadap bangunan yurisprudensi Islam (al-fiqh al-Islami) yang berkaitan
langsung dengan struktur sosial dalam masyarakat Muslim. Berdasarkan laporan
dari para perawi hadits mengenai pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha dengan
Nabi ﷺ pada usia 6 tahun dan mulai tinggal bersama pada usia 9 tahun,
mayoritas fuqaha’ dari empat mazhab (al-madzahib al-’arba‘ah) membolehkan
pernikahan dengan gadis di bawah umur (nikah al-shaghirah) tanpa menetapkan
batas usia minimal.
Fakta hukum ini diduga kuat berkontribusi terhadap berlanjutnya tradisi
pernikahan anak (child marriage) di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim,
di mana pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha pada usia muda sering dijadikan model oleh sebagian umat Islam.
Perkembangan wacana hak asasi manusia (HAM) secara internasional kini
telah mendorong banyak negara untuk mengadopsi pengakuan konkret di tingkat
nasional dalam berbagai instrumen hukum.
Saat ini, mayoritas negara telah menetapkan usia minimal legal untuk pernikahan
(the minimum legal age of marriage) adalah 18 tahun, sebagai implementasi dari
*International Convention on the Rights of the Child* (Konvensi Hak-hak Anak
Internasional) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989.
===
Pada tahun 1990, Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) yang
mengatur perlindungan anak. Sebagai bentuk implementasi, pemerintah kemudian
mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA). Dalam
hukum perkawinan Indonesia, UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menetapkan batas usia
minimal untuk menikah, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan. Dengan demikian, ketentuan dalam fikih klasik yang tidak menetapkan
batas usia minimal pernikahan bagi perempuan—seperti yang telah diuraikan
sebelumnya—menghadapi tantangan dalam perkembangan hukum saat ini. Dalam
konteks ini, fikih Islam dapat dianggap melegitimasi praktik pernikahan anak di
bawah umur menurut pandangan HAM terkini dan hukum perkawinan nasional.
Berdasarkan masalah tersebut, tulisan ini bertujuan mengkaji koreksi
atas usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi ﷺ yang menyimpulkan bahwa usianya lebih tua dari yang tercantum
dalam literatur hadits mayoritas. Kesimpulan terkait usia pasti Aisyah
radhiyallahu 'anha ini memiliki korelasi langsung dengan konstruksi
jurisprudensi Islam (fikih), yang selama ini dalam menentukan batas usia
minimal pernikahan sering merujuk pada pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha. Secara ringkas, sub-bahasan dalam tulisan ini mencakup:
(1) dialektika wacana terkait reliabilitas riwayat usia pernikahan
Aisyah radhiyallahu 'anha, baik dari pihak yang mengkritik maupun yang
menegaskan kesahihannya.
Dan (2)
kajian terhadap hadits-hadits tentang pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha
dengan Nabi Muhammad ﷺ untuk menghasilkan produk
hukum yang lebih humanis terkait pernikahan anak di bawah umur.
[Referensi :
(1). Syamsud-Din as-Sarkhasi, *al-Mabsuth*, vol. 4 (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1406 H), 212.
(2). Ibnu ‘Abdil-Barr al-Namri, *al-Kafi* (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1407 H), 231.
(3). Ibnu ‘Abdil-Barr al-Namri, *al-Tamhid*, vol. 19 (Maroko: Wizarat
al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, 1387 H), 98.
(4). Imam Asy-Syafi’i, *al-Umm*, vol. 5 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393
H), 167.
(5). ‘Abdullah bin Qudamah, *al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal*,
vol. 3 (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1408 H), 26.
(6). Saranga Jain & Kathleen Kurz, “New Insights on Preventing
Child Marriage: A Global Analysis on Factors and Programs,” artikel
*International Center for Research on Women (ICRW)* untuk United States Agency
for International Development (April 2007).
([1]) - أولا : إِنَّ زَوَاجَ الرَّسُولِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَ أَصْلًا بِاقْتِرَاحٍ
مِنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيمٍ عَلَى الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ لِتَوْكِيدِ
الصِّلَةِ مَعَ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيْهِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، لِتَرْبِطَهُمَا
أَيْضًا بِرِبَاطِ الْمُصَاهَرَةِ الْوَثِيقِ.
ثانيا : أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا كَانَتْ قَبْلَ ذَلِكَ مَخْطُوبَةً لِجُبَيْرِ بْنِ الْمُطْعِمِ بْنِ عَدِيٍّ،
فَهِيَ نَاضِجَةٌ مِنْ حَيْثُ الْأُنُوثَةُ مُكْتَمِلَةٌ بِدَلِيلِ خِطْبَتِهَا قَبْلَ
حَدِيثِ خَوْلَةَ.
ثالثا : أَنَّ قُرَيْشًا الَّتِي كَانَتْ
تَتَرَبَّصُ بِالرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدَّوَائِرَ لِتَأْلِيبِ
النَّاسِ عَلَيْهِ مِنْ فَجْوَةٍ أَوْ هَفْوَةٍ أَوْ زَلَّةٍ، لَمْ تُدْهِشْ حِينَ
أُعْلِنَ نَبَأُ الْمُصَاهَرَةِ بَيْنَ أَعَزِّ صَاحِبَيْنِ وَأَوْفَى صَدِيقَيْنِ،
بَلْ اسْتَقْبَلَتْهُ كَمَا تَسْتَقْبِلُ أَيَّ أَمْرٍ طَبِيعِيٍّ
رَابِعًا: أَنَّ السَّيِّدَةَ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا لَمْ تَكُنْ أَوَّلَ صَبِيَّةٍ تُزَفُّ فِي تِلْكَ الْبِيئَةِ
إِلَى رَجُلٍ أَكْبَرَ مِنْهَا، وَلَنْ تَكُونَ كَذَلِكَ أُخْرَاهُنَّ.
لَقَدْ تَزَوَّجَ عَبْدُ ٱلْمُطَّلِبِ
ٱلشَّيْخُ مِنْ هَالَةَ بِنْتِ عَمِّ آمِنَةَ فِي ٱلْيَوْمِ ٱلَّذِي تَزَوَّجَ فِيهِ
عَبْدُ ٱللَّهِ أَصْغَرُ أَبْنَائِهِ مِنْ صَبِيَّةٍ هِيَ فِي سِنِّ هَالَةَ وَهِيَ
آمِنَةُ بِنْتُ وَهْبٍ.
ثُمَّ تَزَوَّجَ سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ
ٱلْخَطَّابِ مِنْ بِنْتِ سَيِّدِنَا عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ ٱللَّهُ وَجْهَهُ
وَهُوَ فِي سِنِّ جَدِّهَا، كَمَا أَنَّ سَيِّدَنَا عُمَرَ بْنَ ٱلْخَطَّابِ يَعْرِضُ
بِنْتَهُ ٱلشَّابَّةَ حَفْصَةَ عَلَى سَيِّدِنَا أَبِي بَكْرٍ ٱلصِّدِّيقِ وَبَيْنَهُمَا
مِنْ فَارِقِ ٱلسِّنِّ مِثْلُ ٱلَّذِي بَيْنَ ٱلرَّسُولِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعَائِشَةَ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهَا. وَلَكِنَّ نَفَرًا مِنَ ٱلْمُسْتَشْرِقِينَ يَأْتُونَ
بَعْدَ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفٍ وَأَرْبَعِ مِائَةِ عَامٍ مِنْ ذَلِكَ ٱلزَّوَاجِ فَيُهْدِرُونَ
فُرُوقَ ٱلْعَصْرِ وَٱلإِقْلِيمِ، وَيُطِيلُونَ ٱلْقَوْلَ فِيمَا وَصَفُوهُ بِأَنَّهُ
ٱلْجَمْعُ ٱلْغَرِيبُ بَيْنَ ٱلْكَهلِ وَٱلطُّفُولَةِ، وَيَقِيسُونَ بِعَيْنِ ٱلْهَوَى
زَوَاجًا عُقِدَ فِي مَكَّةَ قَبْلَ ٱلْهِجْرَةِ بِمَا يَحْدُثُ ٱلْيَوْمَ فِي بِلَادِ
ٱلْغَرْبِ حَيْثُ لَا تَتَزَوَّجُ ٱلْفَتَاةُ عَادَةً قَبْلَ سِنِّ ٱلْخَامِسَةِ وَٱلْعِشْرِينَ.
وَيَجِبُ ٱلِانْتِبَاهُ إِلَى أَنَّ نُضُوجَ
ٱلْفَتَاةِ فِي ٱلْمَنَاطِقِ ٱلْحَارَّةِ مُبَكِّرٌ جِدًّا وَهُوَ فِي سِنِّ ٱلثَّامِنَةِ
عَادَةً، وَتَتَأَخَّرُ ٱلْفَتَاةُ فِي ٱلْمَنَاطِقِ ٱلْبَارِدَةِ إِلَى سِنِّ ٱلْوَاحِدِ
وَٱلْعِشْرِينَ كَمَا يَحْدُثُ ذَلِكَ فِي بَعْضِ ٱلْبِلَادِ ٱلْبَارِدَةِ. وَأَيًّا
مَا يَكُونُ ٱلْأَمْرُ فَإِنَّهُ عَلَيْهِ ٱلصَّلَاةُ وَٱلسَّلَامُ لَمْ يَتَزَوَّجِ
ٱلسَّيِّدَةَ عَائِشَةَ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهَا مِنْ أَجْلِ ٱلْمُتْعَةِ، وَهُوَ ٱلَّذِي
بَلَغَ ٱلْخَامِسَةَ وَٱلْخَمْسِينَ مِنْ عُمُرِهِ، وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ لِتَوْكِيدِ
ٱلصِّلَةِ مَعَ أَحَبِّ ٱلرِّجَالِ إِلَيْهِ عَنْ طَرِيقِ ٱلْمُصَاهَرَةِ، خَاصَّةً
بَعْدَ أَنْ تَحَمَّلَ أَعْبَاءَ ٱلرِّسَالَةِ وَأَصْبَحَتْ حِمْلًا ثَقِيلًا عَلَى
كَاهِلِهِ، فَلَيْسَ هُنَاكَ مَجَالٌ لِلتَّفْكِيرِ بِهَذَا ٱلشَّأْنِ.
قَصْدَ ٱلنَّبِيِّ مِنَ ٱلزَّوَاجِ:
وَلَوْ كَانَ عَلَيْهِ ٱلصَّلَاةُ وَٱلسَّلَامُ
هَمُّهُ ٱلنِّسَاءُ وَٱلِاسْتِمْتَاعُ بِهِنَّ لَكَانَ فَعَلَ ذَلِكَ أَيَّامَ كَانَ
شَابًّا حَيْثُ لَا أَعْبَاءَ رِسَالَةٍ وَلَا أَثْقَالَهَا وَلَا شَيْخُوخَةٌ، بَلْ
عُنْفُوَانَ ٱلشَّبَابِ وَشَهْوَتَهُ ٱلْكَامِنَةَ غَيْرَ أَنَّنَا عِنْدَمَا نَنْظُرُ
فِي حَيَاتِهِ فِي سِنِّ ٱلشَّبَابِ نَجِدُ أَنَّهُ كَانَ عَازِفًا عَنْ هَذَا كُلِّهِ
حَتَّى إِنَّهُ رَضِيَ بِٱلزَّوَاجِ مِنَ ٱلسَّيِّدَةِ خَدِيجَةَ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهَا
ٱلطَّاعِنَةِ فِي سِنِّ ٱلْأَرْبَعِينَ وَهُوَ ٱبْنُ ٱلْخَامِسَةِ وَٱلْعِشْرِينَ.
ثُمَّ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ هَوَسٌ بِالنِّسَاءِ
لَمَا رَضِيَ بِهَذَا عُمْرًا طَوِيلًا حَتَّى تُوُفِّيَتْ زَوْجَتُهُ خَدِيجَةُ رَضِيَ
ٱللَّهُ عَنْهَا دُونَ أَنْ يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا. وَلَوْ كَانَ زَوَاجُهُ مِنْهَا
فَلْتَةً فَهَذِهِ خَدِيجَةُ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهَا تَوَفَّاهَا ٱللَّهُ، فَبِمَنْ
تَزَوَّجَ بَعْدَهَا؟ لَقَدْ تَزَوَّجَ بَعْدَهَا بِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ ٱلْعَامِرِيَّةِ
جَبْرًا لِخَاطِرِهَا وَأُنْسًا لِوَحْشَتِهَا بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا، وَهِيَ فِي
سِنٍّ كَبِيرٍ، وَلَيْسَ بِهَا مَا يُرَغِّبُ ٱلرِّجَالَ وَٱلْخُطَّابَ. هَذَا يَدُلُّ
عَلَى أَنَّ ٱلرَّسُولَ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهُ أَهْدَافٌ
مِنَ ٱلزَّوَاجِ إِنْسَانِيَّةٌ وَتَشْرِيعِيَّةٌ وَإِسْلَامِيَّةٌ وَنَحْوَ ذَلِكَ.
لِنَبِيٍّ بِمُصَاهَرَةِ أَبِي بَكْرٍ: وَمِنْهَا أَنَّهُ عِنْدَمَا عَرَضَتْ عَلَيْهِ
خَوْلَةُ بِنْتُ حَكِيمٍ ٱلزَّوَاجَ مِنْ عَائِشَةَ فَكَّرَ ٱلرَّسُولُ صَلَّى ٱللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَرْفُضُ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، وَتَأْبَى عَلَيْهِ ذَلِكَ صُحْبَةٌ
طَوِيلَةٌ مُخْلِصَةٌ، وَمَكَانَةُ أَبِي بَكْرٍ عِنْدَ ٱلرَّسُولِ وَٱلَّتِي لَمْ
يَظْفَرْ بِمِثْلِهَا سِوَاهُ.
وَلَمَّا جَاءَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ ٱللَّهُ
عَنْهَا إِلَى دَارِ ٱلرَّسُولِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَحَتْ لَهَا
سَوْدَةُ ٱلْمَكَانَ ٱلْأَوَّلَ فِي ٱلْبَيْتِ، وَسَهِرَتْ عَلَى رَاحَتِهَا إِلَى
أَنْ تَوَفَّاهَا ٱللَّهُ، وَهِيَ عَلَى طَاعَةِ ٱللَّهِ وَعِبَادَتِهِ، وَبَقِيَتِ
ٱلسَّيِّدَةُ عَائِشَةُ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهَا بَعْدَهَا زَوْجَةً وَفِيَّةً لِلرَّسُولِ
صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَفَقَّهَتْ عَلَيْهِ حَتَّى أَصْبَحَتْ مِنْ أَهْلِ
ٱلْعِلْمِ وَٱلْمَعْرِفَةِ بِٱلْأَحْكَامِ ٱلشَّرْعِيَّةِ، مَا كَانَ حُبُّ ٱلرَّسُولِ
صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلسَّيِّدَةِ عَائِشَةَ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهَا
إِلَّا ٱمْتِدَادًا طَبِيعِيًّا لِحُبِّهِ لِأَبِيهَا رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهُمَا.
وَأَكْرَمَ ٱلنَّاسَ : وَلَقَدْ سُئِلَ عَلَيْهِ ٱلصَّلَاةُ
وَٱلسَّلَامُ: مَنْ أَحَبُّ ٱلنَّاسِ إِلَيْكَ ؟ قَالَ: (عَائِشَةُ) قِيلَ: فَمِنَ
ٱلرِّجَالِ؟ قَالَ: (أَبُوهَا). هَذِهِ هِيَ ٱلسَّيِّدَةُ عَائِشَةُ رَضِيَ ٱللَّهُ
عَنْهَا ٱلزَّوْجَةُ ٱلأَثِيرَةُ عِنْدَ ٱلرَّسُولِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَحَبُّ ٱلنَّاسِ إِلَيْهِ، لَمْ يَكُنْ زَوَاجُهُ مِنْهَا لِمُجَرَّدِ ٱلشَّهْوَةِ،
وَلَمْ تَكُنْ دَوَافِعُ ٱلزَّوَاجِ بِهَا ٱلْمَتْعَةَ ٱلزَّوْجِيَّةَ بِقَدْرِ مَا
كَانَتْ غَايَةُ ذَلِكَ تَكْرِيمَ أَبِي بَكْرٍ وَإِيثَارَهُ وَإِدْنَاءَهُ إِلَيْهِ
وَإِنْزَالَ ٱبْنَتِهِ أَكْرَمَ ٱلْمَنَازِلِ فِي بَيْتِ ٱلنُّبُوَّةِ.
([2]) - وذكرت صحيفة "الشرق الأوسط" اللندنية السبت
6-9- 2008 أن باحثة ومؤرخة سعودية تحقق من صحة معلومات تشير إلى عدم زواج الرسول
-صلى الله عليه وسلم- من السيدة عائشة وهي في التاسعة من العمر، وتقول عضو لجنة
الدراسات والاستشارات بالجمعية الوطنية لحقوق الإنسان د. سهيلة زين العابدين حمّاد
إن المنطق والمعادلة الحسابية لعمر السيدة عائشة بنت أبي بكر الصدّيق مقارنة
بأختها أسماء التي تكبرها بعشر سنوات ومقارنتها بعدد من الأحداث وتوقيت هجرة
الرسول -صلى الله عليه وسلم- ترجّح أن زواج عائشة تمّ وهي في التاسعة عشرة من
عمرها،
وأكدت الدكتورة سهيلة حمّاد أنها
بصدد التحقق من ذلك والخروج بنتائج موثقة بالنظر إلى كونها مؤرخة وباحثة في الشأن
الإسلامي
وإلى ذلك لفتت الدكتورة سهيلة حمّاد،
وهي عضوة في الاتحاد العالمي للعلماء المسلمين، إلى أنه بعيداً عن قول زواج الرسول
-صلى الله عليه وسلم- بعائشة وهي صغيرة والقول المخالف في ذلك، فإنه يجب النظر
بعين الاعتبار إلى تغيّر الظروف الزمنية وطبيعة الاستجابة للرغبات الإنسانية على
مرّ العصور واختلاف معايير الزواج في الوقت الراهن.:إِنَّ
المَنْطِقَ وَالمُعَادَلَةَ الحِسَابِيَّةَ لِعُمْرِ السَّيِّدَةِ عَائِشَةَ بِنْتِ
أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ مُقَارَنَةً بِأُخْتِهَا أَسْمَاءَ الَّتِي تَكْبُرُهَا بِعَشْرِ
سِنِينَ وَمُقَارَنَتِهَا بِعَدَدٍ مِنَ الأَحْدَاثِ وَتَوْقِيتِ هِجْرَةِ الرَّسُولِ
-صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تُرَجِّحُ أَنَّ زَوَاجَ عَائِشَةَ تَمَّ وَهِيَ
فِي التَّاسِعَةَ عَشَرَةَ مِنْ عُمْرِهَا.
أحاول أن أفكر بصوت مرتفع لاستقراء
عمر أم المؤمنين عائشة رحمها الله استقراءا تاريخيا بعيدا عن الضبابية التاريخية
التي أغرقنا فيها من لا عقل له من الذين روجوا أن النبي حينما كان في الخامسة
والعشرين من عمره تزوج بمن تكبره بخمسة عشر من السنين ، و حينما أصبح في الثالثة
والخمسين تزوج بمن تصغره بـأربع وأربعين عاما.
خطب عائشة:
ذكر المؤرخون أن عائشة كانت مخطوبة
لمطعم بن عدي قبل أن يخطبها رسول الله. السؤال الآن: متى خطبها عدي لابنه مطعم ؟
تسكت المصادر التاريخية!!!
عن خطبة السيدة عائشة:
الاحتمال الأول: أن يكون خطبها بعد
البعثة النبوية وهو أمر مستبعد نظرا للعداء الشديد من قبل الكافرين برسالة محمد
تجاه المؤمنين بها ولاسيما أن عائشة هي بنت أبي بكر صديق الرسول ومن أوائل
المؤمنين برسالته. من المستبعد إذاً أن يخطب عدي عائشة لابنه وأبوها من المؤمنين
الأول.
الاحتمال الثاني: أن يكون خطبها قبل
البعثة وهو الاحتمال الأقوى، ولكنه يثير سؤالا هاما: كم كان عمرها قبل البعثة؟عام؟
عامين؟ خمسة؟ عشرة؟ يسكت التاريخ كما سكت من قبل.
إذاً نلجأ لبعض الفرضيات:عائشة عند خطبتها:
الفرضية الأولى: خطبها عدي لابنه
مطعم قبل البعثة حين كان عمرها خمسة عشر سنة ـ مثلا. بموجب هذه الفرضية يكون عمر
عائشة حين تزوجها الرسول الكريم هو 28 سنة، حيث أن النبي تزوجها بعد الهجرة إلى
يثرب وأنه أقام في مكة ثلاثة عشر من السنين خلال الدعوة المكية قبل الهجرة.
الفرضية الثانية: خطبها عدي لابنه
مطعم قبل البعثة حين كان عمرها عشر سنين ـ مثلا. بموجب هذه الفرضية يكون عمر عائشة
حين تزوجها الرسول الكريم هو 23 سنة.
الفرضية الثالثة: خطبها عدي لابنه
مطعم قبل البعثة حين كان عمرها خمس سنوات ـ مثلا. بموجب هذه الفرضية يكون عمر
عائشة حين تزوجها الرسول الكريم هو 18 سنة.
الفرضية الرابعة: الفرضية الثالثة:
خطبها عدي لابنه مطعم قبل البعثة حين كان عمرها سنة واحدة فقط ـ مثلا وهو أمر غير
ممكن طبعا ولكن لنفترضه. بموجب هذه الفرضية يكون عمر عائشة حين تزوجها الرسول
الكريم هو 14 سنة، وهو أكبر من الرقم الذي ذكروه بخمس سنين.
والثانية:
إن الرسول ـ في تقديري ـ لن يتزوج
بفتاة في عمر ابنته الصغرى أو أصغر منها. فإذا علمنا أن فاطمة عليها السلام ولدت
قبل البعثة بخمس سنين نعرف أن عمرها بعد الهجرة يصبح 18 عاما، وعلى هذا فأنا أرجح
أن يكون عمر عائشة أكبر من عمر فاطمة ومن ثم فإنني أرجح احدي الفرضيتين: الأولى 28
سنة أو الثانية 23 سنة، هي أكبر من أختها عائشة أم المؤمنين بعشر سنين. يستتبع ذلك
أن عمر عائشة قبل البعثة كان نحو خمس سنوات على الأقل، ولعل الإشارة في روايتها
بأنها كانت ذات ستة سنوات حين خطبها رسول الله كانت خطأ من الراوي، فلعلها قصدت
أنها كانت ابنة ستة سنوات حين بعث النبي صلى الله عليه إذا أضفنا 5 - 6 سنوات وهو
عمر عائشة التقريبي حين البعثة إلى 13 سنة هو عمر المرحلة المكية يكون الناتج هو
18 - 19 سنة وهو يمثل عمرها في المدينة بعد الهجرة، لما كان عمر فاطمة هو 18 سنة
في ذلك الحين، نستطيع القول أن عمر عائشة التقريبي حين زواجها لم يكن يقل عن 19
سنة، وهو يمثل الحد الأدنى لعمرها من خلال الاستقراء لما بين يدي من مصادر.
بعض العلماء أحياناً:
وبالمناسبة فقد كنت وما زلت أقول إن
جامعى الحديث هم بكل يقين علماء عباقرة مخلصون محبون لدينهم ولنبيهم حبا جما، لكن
هذا لا يعنى أبدا أنهم معصومون عن السهو والخطأ والنسيان. إنهم عباقرة حقا، لكنهم
قبل ذلك وبعده بشر. وكنت كذلك أقول إنهم يشبهون الصيادين الذين يطرحون شباكهم في
البحر للإمساك بالسمك، بيد أن الشبكة، مهما يكن من إحكامها، يمكن أن تفلت منها بعض
الأسماك الصغيرة كالبيساريا مثلا. إلا أن هذا لا يعنى ولا ينبغي أن يعنى أن نهاجم
كتب الحديث وأصحابها ونشكك فيها وفيهم جملة وتفصيلا كما يريد بعض الموتورين
التدميريين أن نفعل ، وإلا حققنا لهم ما يريدون ودمرنا جزءا عزيزا وغاليا وخطيرا
من تراثنا الذي لا يمكن أن تستقيم حياتنا العلمية والدينية بدونه.
ولنلاحظ
أن الصحفى الشاب الذي تنبه لما يرى أنه خطأ من بعض كتب الحديث قد استعان، فيما
استعان به، بتلك الكتب، مما يدل على أهميتها الشديدة التي لا تقدر بثمن. أما
الاعتقاد بعصمة رجال الحديث فهو تنزيل لهم في منزلة النبوة، وهذا لا يجوز. كما أن
كتبهم رغم عظمة الجهد والإخلاص والتدقيق المبذول فيها لا يمكن أن تضاهى القرآن
المجيد.
([3]) - وبالمناسبة أيضا فقد كتب الدكتور شوقي ضيف في كتابه:
"محمد خاتم المرسلين" أن عائشة حين بنى بها الرسول كان عمرها 18 أو 20
عاما، مستندا في ذلك إلى بعض ما استند إليه صحفينا الشاب، (ص171 من طبعة دار
المعارف).
أما
العقاد فقد رجح أن يكون عمرها آنذاك ما بين 12 و15 عاما (انظر كتابه: الصديقة بنت
الصديق/ نهضة مصر/ 2004م/ 48.
ومهما
يكن من أمر فإن تصرفات السيدة عائشة في بيت النبي حسب عموم الروايات التي وردت في
هذا لتدل على أنها كانت زوجة ناضجة تمام النضج، وليست صبية لا تدرك في أي بيت تعيش
ولا بمن تزوجت. ومهما يكن كذلك من أمر فإنها كانت سعيدة أشد سعادة بزواجها من
النبي عليه الصلاة والسلام، وترى أنه فخر لها وإكرام أي إكرام. وكانت تحبه صلى
الله عليه وسلم حبا شديدا وتغار عليه بقوة. وهناك أحاديث تصور هذا الحب الشديد
وتلك الغيرة القوية التي تدل على مدى تغلغل هذا الحب في نفسها. كما أنها، حين عرض
النبي عليه السلام عليها البقاء معه على الوضع المتقشف الذي كان عليه بيته أو
تسريحها إلى بيت أبويها، وطلب منها أن تشاور أهلها في ذلك، رفضت ذلك الحل على
الفور بعنف وإصرار كما نعلم جميعا. كذلك التزمت هي وسائر أمهات المؤمنين عن رضا
وإيمان وحب وإجلال بما فرضه عليهن القرآن من حرمة الزواج بأي إنسان آخر بعد وفاة
النبي عليه الصلاة والسلام. فما معنى إثارة الشبهات حول هذا الزواج القائم على
الحب والسعادة؟
وشبهات
حول سن زواج السيدة عائشة:
شيء
آخر: هو أن عائشة كانت مخطوبة لواحد من أهل مكة قبل خطبة النبي لها بما يدل على
أنها كانت في سن الخطبة والزواج على الأقل بمعايير المجتمع المكي في ذلك الزمان.
فلماذا لا يشكك المبشرون السخفاء في تلك الخطبة ويصبون كل حقدهم على النبي ويعملون
على إثارة الشبهات الباطلة حول خطبته لها فقط؟ كما أن التي عرضتها عليه هي سيدة من
أهل مكة أيضا، أي أنه لم يفكر فيها ابتداء ولا اقترحها عليه رجل مثله. أفلا يدل
هذا على أنها، حتى في نظر بنات جنسها، كانت قد بلغت سن الزواج بكل جدارة؟ كذلك لم
نسمع من أبى بكر أو أم رومان أن الفتاة صغيرة لا تصلح للزواج. وهو ما يعضد ما
قلناه من أنها رضي الله عنها كانت ناضجة بما فيه الكفاية للزواج، على الأقل
بمقاييس ذلك المجتمع وذلك العصر، وينسف كل تنطع يتنطعه المبشرون ومن يجرى في إثرهم
من الرقعاء الذين يحملون للأسف أسماء إسلامية.السلام :
شيء
آخر: هو أن مريم عليها السلام، حين كان مقررا لها أن تتزوج بيوسف النجار، كان
عمرها 12عاما، وكان يوسف رجلا شيخا كبيرا تجاوز الخمسين ببضع عشرات من السنين فيما
أذكر بناء على الروايات التي تتعلق بهذه المسألة. فهل نتخذ من هذه النقطة متكأ
نثير بسببه الشبهات المسيئة لقدرها الكريم؟.
0 Komentar