SUNNAH-NYA MEWARNAI RAMBUT UBAN, NAMUN BOLEHKAH DENGAN PEWARNA HITAM PEKAT?
Di Tulis
Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN
NIDA AL-ISLAM
===
DAFTAR ISI :
- SUNNAH-NYA MEWARNAI RAMBUT UBAN
- MEWARNAI RAMBUT UBAN DENGAN PEWARNA MERAH DAN KUNING
- MEWARNAI UBAN DENGAN AL-KATM (HITAM KEMERAHAN) & AL-HENNA**
- MEWARNAI RAMBUT UBAN DENGAN WARNA COKLAT (BROWN):
- MEWARNAI RAMBUT UBAN DENGAN PEWARNA HITAM PEKAT :
- BAGI KAUM WANITA, BOLEHKAH MENGGUNAKAN PEWARNA HITAM PEKAT UNTUK UBANNYA?
- RAMBUT MERAH BUKAN UBAN, BOLEHKAH DIWARNAI HITAM ?
- HUKUM MENCABUT RAMBUT UBAN
- ANJURAN MEMAKAI SANDAL DAN KHUFF SAAT SHALAT UNTUK MENYELISIHI AHLI KITAB
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
===****===
SUNNAH-NYA MEWARNAI RAMBUT UBAN
Mewarnai uban adalah sunnah dalam syariat Islam, dan ini berlaku untuk
uban di kepala dan jenggot bagi pria, serta rambut kepala bagi wanita.
Diantara tujuan dari pada mewarnai rambut Uban adalah untuk menyelisihi
Yahudi, Nasrani dan non muslim lainnya.
Rasulullah ﷺ sangat memperhatikan
perbedaan umat Islam dari umat-umat lainnya; beliau melarang kita meniru
orang-orang kafir dan memerintahkan untuk berlawanan dengan Ahli Kitab.
Termasuk di dalam nya adalah merubah warna uban, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini:
Hadits pertama : Dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda :
اعْفُوا اللِّحَى، وَخُذُوا الشَّوَارِبَ،
وَغَيِّرُوا شَيْبَكُمْ، وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى.
“Peliharalah jenggot dan potonglah kumis dan ubahlah warna uban kalian,
janganlah menyerupai orang yahudi dan nashrani”.
[HR. Ahmad no. 5670, 8657 dan at-Tirmidzy no. 1752. Abu Isa berkata :
“Hasan Shahih”]
Hadits shahih sebagaimana yang dinyatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth dan
Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 16/274 . Dan di shahihkan pula oleh
al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 1067)
Hadits ke dua : Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ
فَخَالِفُوهُمْ
"Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir (mewarnai rambut
atau jenggot), maka selisihilah mereka" (berbeda dengan mereka). [HR.
Bukhori no. 3462 dan Muslim no. 2103].
Pada awalnya, Nabi ﷺ senang menyesuaikan diri
dengan Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta berbeda dengan kaum
musyrik penyembah berhala. Namun, ketika syariat telah sempurna, beliau
memerintahkan untuk berbeda dengan Yahudi dan Nasrani, dan hal ini menjadi
prinsip syariat.
Dalam hadits ini, Nabi ﷺ menjelaskan salah satu ciri
berbeda dengan Yahudi dan Nasrani, di mana ketika beliau ﷺ melihat mereka tidak mewarnai rambut beruban, yaitu rambut
putih di kepala dan jenggot, maka beliau ﷺ memerintahkan kaum muslimin untuk
berbeda dari mereka dengan mengubah warna uban.
Imam an-Nawawi berkata :
وَقَالَ الْقَاضِي
اخْتَلَفَ السَّلَفُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فِي الْخِضَابِ ... فَقَالَ
بَعْضُهُمْ تَرْكُ الْخِضَابِ أَفْضَلُ ... وَقَالَ آخَرُونَ الْخِضَابُ أَفْضَلُ وَخَضَّبَ
Al-Qadhi ('Iyadh) mengatakan bahwa para Salaf, termasuk para Sahabat
dan Tabi'in, berbeda pendapat tentang pewarnaan rambut ... Sebagian dari mereka
mengatakan bahwa meninggalkan pewarnaan rambut lebih utama [lebih afdhol] ...
Dan yang lain mengatakan bahwa pewarnaan rambut lebih utama [lebih afdhol] dan
mewarnainya. [ Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi 14/80].
Lalu Imam an-Nawawi berkata :
وَاخْتِلَافُ السَّلَفِ فِي فِعْلِ الْأَمْرَيْنِ
بِحَسَبِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ فِي ذَلِكَ مَعَ أَنَّ الْأَمْرَ وَالنَّهْيَ فِي
ذَلِكَ لَيْسَ لِلْوُجُوبِ بِالْإِجْمَاعِ وَلِهَذَا لَمْ يُنْكِرْ بَعْضُهُمْ عَلَى
بَعْضٍ خِلَافَهُ فِي ذَلِكَ
Perbedaan di antara Salaf dalam melakukan dua perkara ini sesuai dengan
perbedaan keadaan mereka dalam hal tersebut. Dengan menetapkan pula bahwa
perintah dan larangan dalam hal itu bukanlah suatu kewajiban, ini berdasarkan ijma’.
Oleh karena itu, tidak ada yang menyalahkan yang lain atas perbedaan pendapat antar
mereka dalam hal itu. [ Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi 14/80].
Al-Qadhi 'Iyadh berkata:
وَقَالَ غَيْرُهُ هُوَ عَلَى حَالَيْنِ
فَمَنْ كَانَ فى موضع عادة أهل الصَّبْغُ أَوْ تَرْكُهُ فَخُرُوجُهُ عَنِ الْعَادَةِ
شُهْرَةٌ وَمَكْرُوهٌ وَالثَّانِي أَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ نَظَافَةِ
الشَّيْبِ فمن كان شَيْبَتُهُ تَكُونُ نَقِيَّةً أَحْسَنَ مِنْهَا مَصْبُوغَةً فَالتَّرْكُ
أَوْلَى وَمَنْ كَانَتْ شَيْبَتُهُ تُسْتَبْشَعُ فَالصَّبْغُ أَوْلَى
Dan orang lain - yakni selain al-Tabari dari para ulama - mengatakan -
ada dua kondisi :
Pertama : bagi siapa yang dalam adat kebiasaan umumnya adalah melakukan
pewarnaan rambut atau meninggalkannya, maka jika keluar dari kebiasaan itu
adalah termasuk perbuatan syuhroh dan keterpaksaan.
Yang kedua : adalah bahwa hal itu bersifat kondisionla tergantung pada
kebersihan uban seseorang, maka bagi yang ubannya bersih, dan nampak lebih utama
[lebih afdhol] daripada diwarnai, maka meninggalkannya adalah yang lebih utama
[lebih afdhol]. Dan bagi yang ubannya tampak tidak enak dipandang, maka
pewarnaan adalah yang lebih utama. [ Di kutip dari Syarah Shahih Muslim oleh
an-Nawawi 14/80].
===*****===
MEWARNAI RAMBUT UBAN DENGAN PEWARNA MERAH DAN KUNING
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الْأَنْصَارِ بِيضٍ لِحَاهُمْ، فَقَالَ:
" يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ حَمِّرُوا وَصَفِّرُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
" فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّونَ عَثَانِينَهُمْ
وَيُوَفِّرُونَ سِبَالَهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" وَفِّرُوا عَثَانِينَكُمْ وَقَصِّرُوا سِبَالَكُمْ " فَقَالُوا: يَا رَسُولَ
اللهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يُخَفِّفُونَ وَلَا يَنْتَعِلُونَ، قَالَ: " انْتَعِلُوا
وَتَخَفَّفُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ ".
Rasulullah ﷺ keluar menemui sekelompok
kaum Anshar yang memiliki jenggot putih. Maka beliau bersabda, "Wahai kaum
Anshar, celuplah dengan warna merah dan kuning (pada jenggot kalian) dan
berbedalah dengan Ahli Kitab."
Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ahli Kitab
memotong pendek jenggot mereka dan membiarkan kumis mereka panjang."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Biarkanlah jenggot
kalian panjang dan potong pendeklah kumis kalian."
Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ahli Kitab tidak
memakai khuff (kaos kaki berbahan kulit /sepatu) dan tidak memakai
sandal."
Rasulullah ﷺ bersabda, "Pakailah
sandal dan kenakanlah khuff (kaos kaki terbuat dari kulit /sepatu) kalian,
serta berbedalah dengan Ahli Kitab."
[HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 8/396 no. 5987 (Cet. Dar
ar-Ruysd) . Di Nilai Shahih oleh Al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 1493 .
Al-Albani berkata dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* 3/249 nomor 1245:
"Saya katakan: Ini adalah sanad yang hasan."
Al-Haitsami juga berkata (5/131):
"رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ، وَرِجَالُ
أَحْمَدَ رِجَالُ الصَّحِيحِ خَلَا الْقَاسِمَ وَهُوَ ثِقَةٌ وَفِيهِ كَلَامٌ لَا يَضُرُّ."
"Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani. Para perawi Ahmad
adalah perawi kitab shahih, kecuali Al-Qasim yang dapat dipercaya, dan ada
sedikit pembicaraan tentangnya yang tidak merugikan."
Al-Hafizh Ibnu Hajar menilai sanadnya hasan dalam *Fathul Bari*
(10/354).
Lafadz riwayat lain dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَشْيَخَةٍ مِنْ الْأَنْصَارٍ بِيضٌ لِحَاهُمْ
فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ حَمِّرُوا وَصَفِّرُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ
يَتَسَرْوَلَونَ وَلَا يَأْتَزِرُونَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَرْوَلُوا وَائْتَزِرُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَتَخَفَّفُونَ وَلَا
يَنْتَعِلُونَ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَتَخَفَّفُوا وَانْتَعِلُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ قَالَ فَقُلْنَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّونَ عَثَانِينَهُمْ
وَيُوَفِّرُونَ سِبَالَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قُصُّوا سِبَالَكُمْ وَوَفِّرُوا عَثَانِينَكُمْ وَخَالِفُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ
Rasulullah ﷺ pergi menemui kalangan tua
kaum Anshar yang jenggot-jenggot mereka sudah memutih. Rasulullah ﷺ bersabda: "Hai kaum Anshar! Pakailah warna merah, kuning
dan berbedalah dengan ahli kitab." Aku berkata: Wahai Rasulullah, ahli
kitab mengenakan celana dan tidak memakai sarung. Rasulullah ﷺ bersabda: "Pakailah celana dan sarung dan berbedalah
dengan ahli kitab." Aku berkata: Wahai Rasulullah, Sesungguhnya ahli kitab
mengenakan khuff (kaos kaki terbuat dari kulit / sepatu) dan tidak mengenakan
sandal. Rasulullah ﷺ bersabda: "Pakailah khuff
(kaos kaki terbuat dari kulit / sepatu), sandal dan berbedalah dengan ahli
kitab. Kami berkata: Wahai Rasulullah, ahli kitab memotong jenggot dan
memanjangkan kumis. Rasulullah ﷺ bersabda: "Potonglah
kumis, panjangkan jenggot dan berbedalah dengan ahli kitab."
Diriwayatkan oleh
Ahmad dalam *Musnad*-nya (36/613
no. 22283), Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* (7924), dan disebutkan oleh Ibnu Abi
Hatim dalam *‘Ilal*-nya (2/239).
Al-Haitsami berkata
dalam *Al-Majma'* (5/131 dan 160):
وَرِجَالُ أَحْمَدَ
رِجَالُ الصَّحِيحِ خَلَا الْقَاسِمَ وَهُوَ ثِقَةٌ، وَفِيهِ كَلَامٌ لَا يَضُرُّ.
“Para perawi Ahmad
adalah perawi kitab shahih, kecuali Al-Qasim yang dapat dipercaya, dan ada
sedikit pembicaraan tentangnya yang tidak merugikan.”
Saya berkata: Zaid
bin Yahya ini tidak diriwayatkan haditsnya oleh Al-Bukhari dan Muslim, namun ia termasuk perawi
yang terpercaya. Al-Hafizh Ibnu Hajar menilai hadits ini sebagai hadits hasan dalam *Fath
al-Bari* (10/354).
Di nilai shahih sanadnya oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad
36/613.
Syeikh bin Baaz berkata :
صَبْغُ الشَّيْبِ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ
وَالنِّسَاءِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: غَيِّرُوا هَذَا الشَّيْبَ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
فَيُغَيَّرُ بِالْحُمْرَةِ وَالصُّفْرَةِ وَالْحِنَّاءِ غَيْرِ السَّوَادِ هَذَا هُوَ
السُّنَّةُ
Mewarnai uban adalah sunnah bagi pria dan wanita; karena Rasulullah ﷺ bersabda, “Ubahlah warna uban ini dan jauhilah warna hitam.”
Uban diwarnai dengan warna merah, kuning, atau pacar selain warna hitam, ini
adalah sunnah.
**Sumber**: *Nuur 'ala Ad-Darb* / Hukum Mewarnai Rambut Jika Beruban.
====****====
**MEWARNAI UBAN DENGAN AL-KATM (HITAM KEMERAHAN) & AL-HENNA**
Nabi ﷺ menganjurkan umat Islam untuk
mengubah warna uban dengan menggunakan henna dan katm.
Adapun yang dimaksud dengan al-katm, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَالْكَتْمُ نَبَاتٌ بِالْيَمَنِ يَخْرُجُ
الصَّبْغُ أَسْوَدَ يَمِيلُ إِلَى الْحَمْرَةِ وَصَبْغُ الْحِنَّاءِ أَحْمَرُ فَالصَّبْغُ
بِهُمَا مَعًا يَخْرُجُ بَيْنَ السَّوَادِ وَالْحَمْرَةِ.
"Katm adalah tanaman yang tumbuh di Yaman yang menghasilkan
pewarna hitam yang cenderung ke arah kemerahan, dan pewarna henna berwarna
merah, sehingga pewarnaan dengan keduanya sekaligus menghasilkan warna antara **hitam
dan kemerahan**." (*Fath al-Bari* 10/355).
Arti Henna (الحِنّاءُ) :
Henna adalah tumbuhan dari famili Lythraceae. Daunnya mirip dengan daun
delima, begitu pula rantingnya yang menyerupai ranting delima. Tumbuhan ini
memiliki bunga berwarna putih dalam bentuk tandan yang harum. Dari daunnya dihasilkan
pewarna merah, dan dari bunganya diekstraksi *minyak henna*, yang digunakan
dalam pembuatan parfum. Bentuk tunggalnya disebut *hinnah*.
**Apakah para sahabat mewarnai rambut mereka dengan katm?**
Ya, mereka melakukannya, dan Rasulullah ﷺ juga melakukannya. Sebagaimana
yang diriwayatkan dari Utsman bin Abdullah bin Wahb, ia berkata:
دَخَلْنَا عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا فَأَخْرَجَتْ إِلَيْنَا شَعْرًا مِن شَعْرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخْضُوبًا (أَحْمَرَ).
"Kami masuk menemui Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, dan beliau
mengeluarkan kepada kami peninggalan rambut Rasulullah ﷺ yang telah diwarnai
(merah)."
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (5558) dan ditambahkan oleh Ibnu Majah
(3623) dan Ahmad (25995):
"بِالْحِنَّاءِ وَالْكَتْمِ".
"dengan henna (pacar) dan katm."
Dan Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ
الْحِنَّاءُ وَالْكَتْمُ".
"Sesungguhnya yang terbaik untuk mengubah uban adalah henna dan
katm."
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1753), Abu Dawud (4205), dan Ibn Majah
(3622). Hadits ini, menurut At-Tirmidzi, adalah hasan sahih.
Dan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu juga pernah mewarnai rambutnya dengan
henna dan katm. Diriwayatkan oleh Muslim (2341).
Perlu dicatat bahwa hadits-hadits yang menyebutkan katm selalu
dikaitkan dengan henna, karena yang dimaksud dalam hadits-hadits tersebut
adalah mewarnai rambut dengan katm yang dicampur dengan henna.
Ibnu Al-Qayyim berkata:
إِنَّ النَّهْيَ هُوَ عَنْ التَّسْوِيدِ
الْبُحْتِ فَأَمَّا إِذَا أُضِيفَ إِلَى الْحِنَّاءِ شَيْءٌ آخَرُ كَالْكَتْمِ وَنَحْوِهِ
فَلَا بَأْسَ بِهِ، فَإِنَّ الْكَتْمَ وَالْحِنَّاءَ يَجْعَلَانِ الشَّعْرَ بَيْنَ
الْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ، بِخِلَافِ الْوَسْمَةِ فَإِنَّهَا تَجْعَلُهُ أَسْوَدَ
فَاحِمًا، وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ.
"Larangan itu ditujukan pada pewarnaan hitam pekat. Namun, jika
ditambahkan kepada henna atau hal lain seperti katm, tidak ada masalah. Karena
katm dan henna membuat rambut berada di antara merah dan hitam, berbeda dengan
wasmah yang membuatnya hitam pekat. Inilah yang benar." (*Zad al-Ma'ad*
4/336).
Dan **al-wasmah (الْوَسْمَةُ)** adalah tanaman yang
digunakan untuk mewarnai.
Dengan ini, kita mengetahui bahwa katm tidak digunakan sendirian karena
ia memberikan warna hitam pekat. Namun, ia digunakan bersama henna untuk
memberikan warna hitam yang kemerahan. Dengan demikian, kita dapat
menggabungkan antara hadits-hadits tersebut. Wallahu A’lam.
===****===
MEWARNAI RAMBUT UBAN DENGAN WARNA COKLAT (BROWN):
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :
لَا بَأْسَ أَنْ تَصْبَغِي شَعْرَكِ بِالْلَّوْنِ
الْبُنِّيِّ حَتَّى وَلَوْ لَمْ يَكُنْ بِالْحِنَّاءِ، وَالْمَحْظُورُ أَنْ تَصْبَغِيهِ
بِالْأَسْوَدِ لِلنَّهْيِ الْوَارِدِ فِي ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.
وَكذلك لَا يَجُوزُ صَبْغُهُ عَلَى نَحْوٍ
يُشَابِهُ الْكَافِرِينَ كَمَا يَصْبَغُ "الْبِنْكِسُ" شُعُورَهُمْ بِالْأَلْوَانِ
الْمُخْتَلِفَةِ كُلُّ خَصْلَةٍ بِالْلَّوْنِ.
Tidak mengapa jika Anda mewarnai rambut Anda dengan warna cokelat
meskipun tidak menggunakan henna, dan yang terlarang adalah mewarnainya dengan
warna hitam pekat karena ada larangan yang datang dari Nabi ﷺ tentang hal itu.
Demikian pula, tidak boleh mewarnai rambut dengan cara yang menyerupai
orang kafir, seperti yang dilakukan oleh "binks" yang mewarnai rambut
mereka dengan warna yang berbeda-beda pada setiap helai. [Islamqa fatwa no.
1008]
Lihat pula fatwa DAR AL-IFTAA no. 307 (17 -08- 2009).
====****====
MEWARNAI RAMBUT UBAN DENGAN PEWARNA HITAM PEKAT :
Jika pewarna hitam dicampur dengan pewarna sehingga berubah dan tidak
lagi berwarna hitam, maka hal itu tidak masalah (boleh). [Lihat *Fatawa
Islamiyah* 4/424 dan *Fatawa al-Mar'ah al-Muslimah* 2/520].
Namun jika mewarnai rambut uban dengan warna hitam pekat tanpa campuran
warna lain maka ini adalah masalah yang diperdebatkan di antara para ahli ilmu.
Ada tiga pendapat :
****
PENDAPAT PERTAMA : MAKRUH .
Mayoritas par ulama fiqh dari kalangan Hanafiyah, Maliki, dan Hanbali berpendapat
bahwa mewarnai rambut dengan hitam pekat itu makruh hukum-nya. Bahkan, sebagian
dari mereka berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan berdasarkan beberapa atsar
yang diterima dari amalan Al-Hasan al-Bashri, Al-Husain bin Ali, dan lainnya
bahwa mereka pernah mewarnai dengan warna hitam pekat. Seperti yang terdapat
dalam "Al-Mushannaf" karya Ibn Abi Syaibah (6/52).
Imam Nawawi rahimahullah juga membuat pengecualian dalam "Rawdatuth-Thalibin"
untuk wanita yang berdandan untuk suaminya, maka diperbolehkan bagi mereka
untuk mewarnai dengan warna hitam, karena terwujudnya maslahat dan hilangnya
mafsadat. Pendirian ini didukung oleh Al-Ramli dan lainnya dari kalangan para
pakar. Lihat: catatan kaki pada "Tuhfah al-Muhtaj" (9/376).
*****
PENDAPAT KEDUA : MUBAH (BOLEH):
Ini adalah pendapat sekelompok para ulama salaf, seperti Sa'ad bin Abi
Waqqash, Uqbah bin Amir, Al-Hasan, Al-Husain, Jarir, dan lainnya.
Hafiz Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari" 10/354 berkata:
مِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ
فِي الْجِهَادِ وَمِنْهُمْ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ مُطْلَقًا وَأَنَّ الْأَوْلَى كَرَاهَتُهُ
وَجَنَحَ النَّوَوِيُّ إِلَى أَنَّهُ كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ
طَائِفَةٌ مِنَ السَّلَفِ مِنْهُمْ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ
وَالْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ وَجَرِيرٌ وَغَيْرُ وَاحِدٍ وَاخْتَارَهُ بن أَبِي عَاصِمٍ
فِي كِتَابِ الْخِضَابِ لَهُ
"Beberapa ulama membolehkan mewarnai rambut dengan warna hitam,
yaitu dalam konteks berjihad, dan sebagian lainnya membolehkannya secara umum.
Namun, yang lebih utama adalah menganggapnya sebagai sesuatu yang MAKRUH.
Dan sekelompok dari salaf, seperti Sa'ad bin Abi Waqqash, Uqbah bin
Amir, Al-Hasan, Al-Husain, Jarir, dan lainnya, membolehkannya [BOLEH]. Ibnu Abi
Aasim juga memilih pendapat ini dalam kitabnya tentang pewarnaan (الْخِضَابِ)."
Al-Maaziri dalam "Al-Mu'allim bi Fawa'id Muslim" 3/135 no.
987 mengatakan:
لَم يُحَرِّم مَالِكٌ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-
التَّغْيِيرَ بِالسَّوَادِ وَلَا أَوْجَبَ الصِّبَاغَ، وَلَعَلَّهُ يَحْمِلُ النَّهْيَ
عَنْ التَّغْيِيرِ بِالسَّوَادِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَالْأَمْرِ بِالتَّغْيِيرِ
عَلَى حَالَةٍ هَجَّنَ الشَّيْبُ صَاحِبَهَا، قَالَ عَبْدُ الْوَهَّابِ يُكْرَهُ السَّوَادُ
لِأَنَّ فِيهِ تَدْلِيسًا عَلَى النِّسَاءِ فَيُوْهِمُ الشَّبَابَ فَتَدْخُلُ الْمَرْأَةُ
عَلَيْهِ.
"Malik radhiyallahu 'anhu tidak mengharamkan perubahan dengan
warna hitam dan tidak mewajibkan pewarnaan. Mungkin larangan mewarnai dengan
warna hitam bisa dipahami sebagai anjuran, sementara perintah untuk mewarnai
bisa dimaknai sebagai kondisi di mana uban mulai muncul. Abd al-Wahhab berkata:
'Warna hitam tidak disukai karena bisa menipu wanita dan membuat mereka merasa
muda, sehingga wanita bisa memasuki rumahnya.'"
Abu Walid Ibnu Rushd dalam "Al-Muqaddimat Al-Mumahhadat" 3/459
menyatakan:
أَمَّا الْخَضَابُ بِالسَّوَادِ: فَمِنْ
أَهْلِ الْعِلْمِ مَنْ أَجَازَهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ كَرِهَهُ، لِمَا فِيهِ مِنَ التَّدْلِيسِ
وَالْإِيْهَامِ أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى حَالِهِ مِنَ الشَّبَابِ، فَقَدْ تَغْتَرُّ الْمَرْأَةُ
الَّتِي تَتَزَوَّجُهُ بِذَٰلِكَ. اهـ
"Adapun mewarnai dengan warna hitam, sebagian ahli ilmu
mengizinkannya, sementara sebagian lainnya tidak menyukainya, karena bisa
menipu dan memberi kesan bahwa seseorang tetap muda, yang bisa membuat wanita
terpesona."
Ibnu al-Mulaqqin asy-Syafi’i menyampaikan dalam "Al-Tawdhih li
Sharh al-Jami' al-Sahih" 28/131 bagian yang bermanfaat dari kitab al-Khidhob
(pewarnaan) oleh Ibnu Abi Aasim. Di dalamnya terdapat ungkapan:
إِنْ قَالَ قَائِلٌ: صَبْغُ الرَّأْسِ
وَاللِّحْيَةِ بِالسَّوَادِ غَيْرُ جَائِزٍ بَلْ مَكْرُوهٌ، وَاحْتَجَّ بِالْأَخْبَارِ
السَّالِفَةِ، قِيلَ لَهُ: لَيْسَتْ حُجَّةً فِي النَّهْيِ وَلَا زَجْرًا عَنْهُ، وَذَلِكَ
أَنَّهُ -عَلَيْهِ السَّلَامُ- إِنَّمَا أَخْبَرَ عَنْ قَوْمٍ عَلاَمَتُهُمْ الْخَضَابُ
بِالسَّوَادِ، وَلَيْسَ -وَإِن كَانَ الْخَضَابُ بِهِ عَلاَمَةً لَهُمْ- مَنْهِيًّا
عَنْ الْخَضَابِ بِهِ، وَقَدْ أَخْبَرَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ عَلاَمَةَ الْخَوَارِجِ
حَلْقُ الرُّؤُوسِ، وَلَمْ يَقُلْ قَائِلٌ بِالنَّهْيِ عَنْ حَلْقِهَا كَذَٰلِكَ، وَفِي
قَوْلِهِ لِأَبِي قُحَافَةَ: جَنِّبُوهُ السَّوَادَ -فَإِنَّمَا أَمَرَ بِذَٰلِكَ لِمَا
رَأَى مِنْ هَيْئَتِهِ، لِأَنَّ الْخَضَابَ بِالسَّوَادِ إِنَّمَا يَكُونُ لِمَنْ يُلَائِمُهُ
مِنْ نَضَارَةِ الْوَجْهِ، فَأَمَّا فِي صِفَةِ أَبِي قُحَافَةَ فَهُوَ شَيْنٌ، لِأَنَّهُ
غَيْرُ مُلَائِمٍ لِمِثْلِهِ وَلَا مُشَاكِلٍ، وَقَالَ الزُّهْرِيُّ: كُنَّا نَخْضَبُ
بِالسَّوَادِ إِذْ كَانَ الْوَجْهُ جَدِيدًا، فَلَمَّا نَغَّصَ الْوَجْهُ وَالْأَسْنَانُ
تَرَكْنَاهُ. اهـ.
"Jika ada yang berkata: 'Mewarnai kepala dan jenggot dengan warna
hitam tidak diperbolehkan bahkan dianggap makruh,' dan ia berargumen dengan hadits-hadits
yang telah disebutkan, maka dikatakan kepadanya: 'Itu bukan hujah dalam
larangan atau pengingkaran terhadapnya, karena sesungguhnya Nabi ﷺ hanya memberitahukan tentang kaum yang ditandai dengan
pewarnaan hitam, dan meskipun pewarnaan itu menjadi ciri mereka, bukan berarti
dilarang untuk mewarnai dengan cara itu. Nabi ﷺ juga memberitahukan bahwa
ciri kaum Khawarij adalah mencukur kepala, namun tidak ada yang melarang
pencukuran.'
Dan dalam sabdanya kepada Abu Qahafa: 'Jauhkanlah dia dari warna
hitam'—hal itu diperintahkan karena melihat penampilannya, karena mewarnai
dengan warna hitam hanya berlaku bagi orang-orang yang cocok dengan penampilan
wajah mereka. Namun, bagi penampilan Abu Qahafa, hal itu tidak pantas, karena
tidak sesuai untuknya.
Al-Zuhri berkata: 'Kami mewarnai rambut dengan warna hitam ketika wajah
kami masih baru, tetapi ketika wajah kami sudah tua dan gigi kami mulai
berwarna, kami meninggalkannya.'"
Meskipun demikian, jika seseorang mengubah ubannya dengan warna selain
hitam—seperti henna dan katm—maka itu lebih utama dan lebih baik.
*****
PENDAPAT KE TIGA : HARAM HUKUM-NYA:
Ini adalah pendapat Madzhab Syafi'iyah. Al-Imam Al-Nawawi condong
kepada pendapat bahwa hal itu adalah karahah Tahriim (HARAM).
Mereka berkata :
"إِنَّهَا إِنَّمَا تُنْهَى عَنْ ذَلِكَ إِذَا كَانَ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ تَدْلِيسٌ أَوْ غِشٌّ".
“Sesungguhnya pewarnaan dengan hitam pekat itu dilarang karena akan menimbulkan unsur pengelabuan atau kecurangan”.
Intinya : Syariat Islam memerintahkan umat Islam untuk senantiasa bernampilan yang bagus dan baik, namun tidak boleh ada unsur pengelabuan, keculasan dan kedustaan. Contohnya : orang yang sudah aki-aki dan tua renta mengemas dirinya agar nampak seakan-akan anak masih muda.
أَمَّا بِالسَّوَادِ الْخَالِصِ فَلَا
يَجُوزُ، السَّوَادُ الْخَالِصُ لَا يَجُوزُ لَا لِلرَّجُلِ وَلَا لِلْمَرْأَةِ، لَا
يُغَيَّرُ الشَّيْبُ بِالسَّوَادِ الْخَالِصِ، لَكِنْ إِذَا غَيَّرَهُ بِالْحُمْرَةِ
بِالسَّوَادِ مَعَ الْحُمْرَةِ بَيْنَ الْحُمْرَةِ وَالسَّوَادِ، بِالصُّفْرَةِ لَا
بَأْسَ هَذَا هُوَ السُّنَّةُ، أَمَّا تَغْيِيرُ الشَّيْبِ بِسَوَادٍ خَالِصٍ فَلَا
يَجُوزُ.
Adapun dengan warna hitam pekat, tidak diperbolehkan. Warna hitam pekat
tidak diperbolehkan bagi pria maupun wanita; uban tidak boleh diubah dengan
warna hitam pekat. Namun, jika diubah dengan warna merah, hitam dengan campuran
merah, antara merah dan hitam, atau warna kuning, maka itu tidak masalah;
inilah sunnah. Adapun mengubah uban dengan warna hitam pekat, itu tidak
diperbolehkan.
**Sumber**: *Nuur 'ala Ad-Darb* / Hukum Mewarnai Rambut Jika Beruban.
Al-Imam an-Nawawi berkata :
وَالصَّحِيحُ بَلْ الصَّوَابُ أَنَّهُ
حَرَامٌ: وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِتَحْرِيمِهِ صَاحِبُ الْحَاوِي فِي بَابِ الصَّلَاةِ
بِالنَّجَاسَةِ: قَالَ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي الْجِهَادِ: وَقَالَ فِي آخِرِ كِتَابِهِ
الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ يَمْنَعُ الْمُحْتَسِبُ النَّاسَ مِنْ خِضَابِ الشَّيْبِ
بِالسَّوَادِ إلَّا الْمُجَاهِدَ
Dan yang benar, bahkan yang tepat, adalah bahwa hal itu haram. Di
antara yang menyatakan keharamannya adalah penulis *Al-Hawi* dalam bab tentang
salat dengan najis. Ia berkata bahwa hal itu dikecualikan jika dalam konteks
jihad. Ia juga menyebutkan pada akhir kitabnya, *Al-Ahkam As-Sulthaniyyah*,
bahwa orang yang bertugas sebagai pengawas harus melarang orang mewarnai uban
dengan warna hitam, kecuali bagi para mujahid. [Baca : al-Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab 1/294].
DALIL-DALIL YANG MENGAHARANKAN:
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
أُتِيَ بأَبِي قُحَافَةَ يَومَ فَتْحِ
مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: غَيِّرُوا هذا بشيءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ.
"Abu Quhafah, ayah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhuma,
dibawa menghadap Rasulullah ﷺ pada hari penaklukan Makkah
dengan kepala dan jenggotnya yang putih seperti bunga Thaghamah. Rasulullah ﷺ bersabda, 'Ubahlah ini oleh kalian dan jauhilah warna
hitam!'" [HR. Muslim no. 2102]
Makna *tsaghamah* adalah tumbuhan yang memiliki buah berwarna putih.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda :
يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونْ في آخِرِ
الزّمَانِ بالسّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنّةِ.
"Akan ada suatu kaum di akhir zaman yang mewarnai rambut mereka
dengan warna hitam seperti dada burung merpati. Mereka tidak akan mencium wangi
surga."
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4212), An-Nasa'i (5075) dengan sedikit
perbedaan, dan Asy-Syajari dalam *Al-Amali* (2710) dengan lafaz ini. Di nilai
shahih oleh Syeikh Bin Baaz dalam Majmu’ Fatawa Bin Baaz 10/89 dan juga oleh
al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 4212].
Dan tentang keshahihan hadits ini, Ibnu Hajar berkata:
إِسْنَادُهُ قَوِيٌّ، إِلَّا أَنَّهُ
اخْتُلِفَ فِي رَفْعِهِ وَوَقْفِهِ، وَعَلَى تَقْدِيرِ تَرْجِيحِ وَقْفِهِ فَمِثْلُهُ
لَا يُقَالُ بِالرَّأْيِ فَحُكْمُهُ الرَّفْعُ.
“Sanadnya kuat, tetapi terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah itu
marfu’ (sampai kepada Nabi ﷺ) atau mauquf (hanya sampai
kepada sahabat). Namun, jika mauquf dianggap lebih kuat, maka isi hadits
tersebut tidak mungkin dikatakan berdasarkan pendapat pribadi, sehingga
hukumnya dianggap marfu’ (sampai kepada Nabi ﷺ).” (*Fathul Bari* 6/499).
Tidak ada perbedaan dalam larangan mewarnai rambut dengan warna hitam
antara laki-laki dan perempuan. Dari sini diketahui bahwa larangan Nabi ﷺ untuk mewarnai rambut Abu Quhafah dengan warna hitam
menunjukkan keharamannya, dan itulah sebabnya larangan itu ada. Wallahu ‘alam
====****====
BAGI KAUM WANITA, BOLEHKAH MENGGUNAKAN PEWARNA HITAM PEKAT UNTUK UBANNYA?
Hukum pewarnaan dengan warna hitam untuk mewarnai rambut uban merupakan
salah satu masalah khilaf yang terkenal di kalangan ulama, terutama terkait
dengan laki-laki.
Ada sebagian para ulama berpendapat bahwa larangan ini hanya berlaku
bagi laki-laki dan tidak untuk perempuan. Para ulama yang membolehkan perempuan
mewarnai rambutnya dengan hitam untuk tujuan berhias bagi suaminya memiliki
alasan yang beragam; sebagian dari mereka memperbolehkan penggunaan warna hitam
– pada dasarnya – bagi laki-laki, sehingga tidak ada masalah bagi perempuan
untuk menggunakannya juga. Sebagian lain membatasi larangan hanya pada
laki-laki, seperti pendapat al-Halimi dari mazhab Syafi'i.
Namun, sebagian ulama yang berpandangan bahwa larangan ini bersifat
umum tetap memperbolehkan pewarnaan rambut dengan warna hitam bagi wanita yang
ingin berhias untuk suaminya.
Mereka berkata :
إِنَّهَا إِنَّمَا تُنْهَى عَنْ ذَلِكَ
إِذَا كَانَ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ تَدْلِيسٌ أَوْ غِشٌّ، وَهُوَ مَا لَا يَنْطَبِقُ
عَلَى صَبْغِ الْمَرْأَةِ شَعْرَهَا بِالسَّوَادِ لِزَوْجِهَا.
“Sesungguhnya larangan tersebut hanya berlaku jika pewarnaan itu
menimbulkan unsur penipuan atau kecurangan, yang tidak terjadi dalam konteks
seorang wanita mewarnai rambutnya dengan warna hitam untuk suaminya”.
Di antara ulama yang berpandangan demikian adalah Ishaq bin Rohawiyah.
Dalam *Aun al-Ma'bud* (11/178) disebutkan:
ذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى كَرَاهَةِ
الْخِضَابِ بِالسَّوَادِ، وَجَنَحَ النَّوَوِيُّ إِلَى أَنَّهَا كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ،
وَأَنَّ مِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ فِي الْجِهَادِ وَلَمْ يُرَخِّصْ فِي
غَيْرِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ فَرَّقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فَأَجَازَهُ
لَهَا دُونَ الرَّجُلِ وَاخْتَارَهُ الْحُلَيمِيُّ. انْتَهَى
Mayoritas ulama memakruhkan pewarnaan dengan warna hitam, dan an-Nawawi
cenderung menganggapnya sebagai makruh tahrim (makruh yang mendekati haram).
Ada sebagian ulama yang memperbolehkan penggunaannya dalam konteks jihad tetapi
tidak di luar itu. Sebagian lagi membedakan antara laki-laki dan perempuan,
dengan membolehkan perempuan dan melarang laki-laki. Pendapat ini dipilih oleh
al-Hulaimi.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
وَرَخَّصَ فِيهِ – أَيْ: الصَّبْغَ بِالسَّوَادِ
– إِسْحَاقُ، لِلْمَرْأَةِ تَتَزَيَّنُ بِهِ لِزَوْجِهَا.
“Ishaq memberikan keringanan – yakni dalam pewarnaan dengan warna hitam
– bagi perempuan yang ingin berhias untuk suaminya.” (*Al-Mughni* 1/105).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
وَرَخَّصَ فِيهِ – الصَّبْغَ بِالسَّوَادِ
– آخَرُونَ لِلْمَرْأَةِ تَتَزَيَّنُ بِهِ لِبَعْلِهَا دُونَ الرَّجُلِ. وَهَذَا قَوْلُ
إِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ، وَكَأَنَّهُ رَأَى أَنَّ النَّهْيَ إِنَّمَا فِي حَقِّ
الرِّجَالِ، وَقَدْ جُوِّزَ لِلْمَرْأَةِ مِنْ خِضَابِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ،
مَا لَمْ يُجَوَّزْ لِلرَّجُلِ.
“Sebagian ulama lain juga memberikan rukhshoh (keringanan) – dalam
pewarnaan dengan warna hitam – bagi perempuan yang ingin berhias untuk suaminya
dan tidak untuk laki-laki. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahuyah, seolah-olah
dia berpendapat bahwa larangan tersebut hanya berlaku bagi laki-laki, sedangkan
perempuan diperbolehkan menghias tangan dan kakinya, sesuatu yang tidak
diizinkan bagi laki-laki.” (*Hasyiyah Ibnu Qayyim ‘ala Tahdzib Sunan Abi Dawud*
11/173).
===****===
RAMBUT MERAH BUKAN UBAN, BOLEHKAH DIWARNAI HITAM ?
Ada sebagian orang yang usianya masih muda, akan tetapi warna rambutnya
tidak hitam, melainkan kemerah-merahan atau brown atau dark brown atau lainnya.
Terutama kaum bule.
Munculnya beberapa helai rambut berwarna merah atau cokelat di kepala
atau janggut adalah salah satu masalah rambut yang paling umum bagi pemilik rambut
hitam, baik pada pria maupun wanita. Hal ini terjadi akibat kekurangan pigmen
melanin pada helai-helai rambut tersebut.
Beberapa penyebab utama munculnya warna-warna ini antara lain: sering
terpapar sinar matahari, terkena bahan kimia yang ada dalam air dan sampo,
terpapar suhu tinggi dari pengering rambut saat digunakan, merokok, serta
konsumsi obat-obatan tertentu seperti obat antimalaria, kemoterapi, obat
tiroid, hormon, dan lainnya.
**Pertanyaannya : **
Jika rambut tidak beruban dan pewarnaan rambut dengan warna hitam tidak
mengandung unsur penipuan, seperti pada kasus di mana rambut awalnya hitam
kemudian berubah menjadi merah, apakah boleh diwarnai hitam?
**Jawabannya :**
Syeikh al-Munajjid menjawab : “Mewarnai rambut dengan warna hitam tidak
disyariatkan, baik rambut itu merah maupun putih. Namun Para ulama telah
menetapkan ilat (alasan hukum), dengan mengatakan :
إِنَّ العِلَّةَ فِي النَّهْيِ عَنِ الصَّبْغِ
بِالسَّوَادِ مَا فِيهِ مِنَ التَّدْلِيسِ وَالْخِدَاعِ وَإِظْهَارِ الإِنْسَانِ بِغَيْرِ
حَقِيقَتِهِ، خَاصَّةً وَأَنَّ الإِنْسَانَ قَدْ يُعْرَفُ عُمْرُهُ مِنْ لَوْنِ شَعْرِهِ
مِنْ سَوَادٍ وَبَيَاضٍ وَاخْتِلَاطٍ، فَصَبْغُ الشَّعْرِ بِاللَّوْنِ الأَسْوَدِ يَعْنِي
أَنَّهُ شَابٌّ وَقَدْ يَكُونُ كَهْلًا أَوْ شَيْخًا كَبِيرًا۔
Sesungguhnya ilat (alasan) larangan mewarnai rambut dengan warna hitam
adalah karena di dalamnya terdapat unsur pengelabuan dan keculasan, serta
membuat seseorang tampak berbeda dari kenyataan dirinya. Khususnya karena
seseorang sering dikenali umurnya dari warna rambutnya, baik hitam, putih, atau
campuran keduanya. Mewarnai rambut dengan warna hitam menampilkan seseorang
seolah-olah masih muda, padahal ia mungkin telah berusia paruh baya atau lanjut
usia.
Maka dengan ilat tersebut : Pendapat yang lebih baik dan lebih hati-hati
adalah menghindari hal tersebut untuk menghormati dan mengamalkan makna hadits,
terlebih lagi karena alasan yang disebutkan – yaitu unsur penipuan dan
kecurangan – adalah alasan yang diambil sebagian ulama melalui ijtihad, dan
tidak secara eksplisit disampaikan oleh Nabi ﷺ.
Hal yang perlu diperhatikan juga adalah:
Seorang wanita muslimah hendaknya menghargai pentingnya waktu dan
menyadari bahwa dunia ini adalah ladang bagi akhirat. Oleh karena itu, tidak
seharusnya ia menghabiskan banyak waktu atau sebagian besarnya hanya untuk
mengurus tubuh, pakaian, dan perhiasan, dengan mengorbankan waktunya untuk
beribadah, menaati Allah, mendidik anak-anaknya, menyeru kepada agamanya, dan
berbuat baik kepada orang lain. Bukan berarti ia tidak boleh berhias; boleh
saja, selama dalam batas yang dihalalkan Allah, baik dalam kuantitas, kualitas,
maupun waktu.
Selain itu, hendaknya ia tidak mudah mengikuti setiap trend terbaru.
Jangan sampai setiap kali muncul mode baru, ia langsung mengambilnya dan
mengikutinya, karena hal tersebut dapat membuatnya terjerumus dalam peniruan
terhadap wanita kafir dan fasik, belum lagi mengakibatkan pemborosan harta dan
waktu yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk hal yang lebih bermanfaat bagi
dirinya dan umatnya”.
[Lihat : Islamqa Fatwa no. 47562]
===****===
HUKUM MENCABUT RAMBUT UBAN
Nabi ﷺ melarang mencabut uban,
sebagaimana disebutkan dalam *Sunan Tirmidzi*:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نَتْفِ الشَّيْبِ وَقَالَ: «إِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ»
“ Bahwa Nabi ﷺ melarang mencabut uban dan
bersabda, “Sesungguhnya uban adalah cahaya bagi seorang muslim.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4202) secara panjang lebar, oleh
At-Tirmidzi (2821) dengan lafaz ini, dan oleh An-Nasa'i (5068) dalam bentuk
ringkas. Di nilai Shahih oleh al-Albaani dalam Shahih at-Tirmidzi.
====****===
ANJURAN MEMAKAI SANDAL DAN KHUFF SAAT SHALAT UNTUK MENYELISIHI AHLI KITAB
Khuff, kaos kaki terbuat dari kulit
Rasulullah ﷺ sangat memperhatikan
perbedaan umat Islam dari umat-umat lainnya; beliau melarang kita meniru
orang-orang kafir dan memerintahkan untuk berlawanan, menyelisihi dan berbeda
dengan Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Kristen.
Termasuk di dalam nya adalah memakai sandal dan khuff saat shalat di
masjid. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah ﷺ:
" انْتَعِلُوا وَتَخَفَّفُوا وَخَالِفُوا
أَهْلَ الْكِتَابِ ".
"Pakailah sandal dan kenakanlah khuff (kaos kaki terbuat
dari kulit /sepatu) kalian, serta berbedalah dengan Ahli Kitab."
Hadits ini adalah bagian dari hadits panjang dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu 'anhu, sebagaimana yang telah penulis sebutkan diatas. Berikut ini penulis sebutkan kembali hadits lengkapnya berikut penjelasannya :
"خَرَجَ رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه
وسلَّمَ على قَوْمٍ من الأَنْصَار بِيضٌ لِحَاهُمْ"، أي: شَعرُ لِحيتِهم
أبيضُ من أَثَرِ الشَّيْبِ وكِبَرِ السِّنِّ، "فقال: يا مَعْشَرَ الأَنْصار،
حَمِّرُوا وَصَفِّرُوا"، أي: غَيِّرُوا هذا الشَّعرَ الأبيضَ باللَّوْنِ
الأحمرِ أو الأصفرِ بالحِنَّاءِ وغَيْرِها، "وخَالِفُوا أهْلَ
الكِتَاب"، وَهُمْ أَهْلُ اليَهُوديةِ والنَّصْرانيةِ؛ وذلك أنَّهم يَتْرُكون
شَعرَ لِحَاهُمْ دُون صَبْغِهِ؛ فهذا من بابِ مُخالَفَةِ أَهْلِ الكِتابِ وهو أصلٌ
مُطَّرِدٌ في شِرعةِ الإسلامِ في أمورٍ كثيرةٍ، فقالوا: يا رسولَ الله، إنَّ أهْلَ
الكِتَاب يُقَصِّرُون عَثَانِينَهُمْ"، أي: يُقَصِّرون شَعرَ لِحاهُمْ،
والعَثانِينُ جَمْعٌ، ومُفردُهُ عُثْنُونٌ، وهو الشَّعرُ أسْفلَ الذَّقنِ،
"وَيُوَفِّرون سِبَالَهُمْ" وَهِي أطْرافُ الشَّوَارِبِ، والمَعْنَى
أنَّ اليهودَ كانوا يَقُصُّون لِحَاهُمْ ويَتْرُكُون شَوَارِبَهُم، "فقال
رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: وَفِّروا عَثانِيَّكُم"، أي: أَطِيلوا
اللِّحَى، "وَقُصُّوا سِبالَكُمْ" وهي الشَّوارِبُ، فقال الأنصارُ:
"يا رسولَ اللهِ، إنَّ أهلَ الكِتابِ يُخَفِّفون ولا يَنْتَعِلون"، أي:
يَلْبَسُون الخُفَّ ولا يَلْبَسُون النِّعَالَ في صَلَاتِهِم، وَالنَّعْلُ:
حِذَاءٌ يُلْبَسُ في القَدَمِ لِيَحْمِيَهَا عندَ المَشْيِ، والغَالِبُ فيه أنَّه
لا يَسْتُرُ القَدَمَ، وَالخُفُّ يَسْتُرُها؛ فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّمَ: "انتَعِلوا وتَخَفَّفوا"، أي: الْبَسوا النِّعالَ والخِفافَ في
الصلاةِ إنْ كانتْ طاهِرَةً، ثم قال "وَخالِفوا أهْلَ الكِتابِ"، أي:
اليهودَ والنَّصارى.
"Rasulullah ﷺ keluar menemui sekelompok
dari kaum Anshar yang memiliki jenggot putih," maksudnya adalah jenggot
mereka putih karena pengaruh uban dan usia yang lanjut.
Beliau ﷺ bersabda, "Wahai
sekalian Anshar, warnailah rambut kalian dengan warna merah atau kuning,"
maksudnya, "ubah rambut putih ini dengan warna merah atau kuning
menggunakan pacar atau sejenisnya,"
dan "berlawananlah dengan Ahli Kitab," yaitu Ahli Yahudi dan
Nasrani; karena mereka membiarkan rambut jenggot mereka tanpa mewarnainya. Ini
adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap Ahli Kitab, yang merupakan prinsip
yang tetap dalam syariat Islam dalam banyak hal.
Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ahli Kitab
memotong jenggot mereka," maksudnya mereka memotong rambut jenggot mereka,
dan *'utsanun* adalah bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya adalah *'utsnun*,
yaitu rambut di bagian bawah dagu.
"Dan mereka membiarkan kumis mereka," yaitu ujung kumis.
Maksudnya adalah bahwa orang-orang Yahudi memotong jenggot mereka dan
membiarkan kumis mereka.
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Perpanjanglah jenggot kalian," maksudnya, "panjangkanlah jenggot,"
"dan potonglah kumis kalian," yaitu kumis.
Maka para Anshar berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ahli
Kitab memperpendek kumis dan tidak memakai sandal," maksudnya, mereka
memakai sepatu tetapi tidak memakai sandal saat shalat.
Dan *na'al* adalah alas kaki yang dipakai di kaki untuk melindunginya
saat berjalan, biasanya tidak menutupi seluruh kaki, sedangkan *khuff*
menutupinya.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Kenakanlah
sandal dan khuff," maksudnya, "pakailah sandal dan khuff dalam shalat
jika keduanya suci."
Kemudian beliau ﷺ berkata, "Dan
berlawananlah dengan Ahli Kitab," yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
[HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 8/396 no. 5987 (Cet. Dar ar-Ruysd)
. Di Nilai Shahih oleh Al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 1493 .
Al-Albani berkata dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* 3/249 nomor 1245:
"Saya katakan: Ini adalah sanad yang hasan."
Al-Haitsami juga berkata (5/131):
"رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ، وَرِجَالُ
أَحْمَدَ رِجَالُ الصَّحِيحِ خَلَا الْقَاسِمَ وَهُوَ ثِقَةٌ وَفِيهِ كَلَامٌ لَا يَضُرُّ."
"Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani. Para perawi Ahmad
adalah perawi kitab shahih, kecuali Al-Qasim yang dapat dipercaya, dan ada
sedikit pembicaraan tentangnya yang tidak merugikan."
Al-Hafizh Ibnu Hajar menilai sanadnya hasan dalam *Fathul Bari*
(10/354).
Telah terbukti dalam sunah bahwa Nabi ﷺ biasa shalat dengan tanpa
alas kaki dan dengan memakai alas kaki. Masjid Nabi ﷺ dihampari pasir dan kerikil;
sehingga beliau tidak terpengaruh saat masuk dengan alas kaki.
Adapun masjid-masjid sekarang yang telah dipasang karpet, masuk dengan
alas kaki dapat menyebabkan penumpukan kotoran di masjid dan menjauhkan umat
Muslim dari tempat sujud; maka tidak diperbolehkan shalat di dalamnya dengan
alas kaki dari sudut pandang ini.
0 Komentar