Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM KREDIT MELALUI AKAD SEWA YANG BERAKHIR MENJADI HAK MILIK

HUKUM KREDIT MELALUI AKAD SEWA YANG BERAKHIR MENJADI HAK MILIK

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

==


===

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

====*****====

**HUKUM AKAD SEWA YANG BERAKHIR DENGAN KEPEMILIKAN**

Apa yang dilakukan oleh banyak perusahaan atau bank saat ini, seperti menyewakan mobil selama satu tahun dengan biaya sewa bulanan yang telah ditentukan, di mana setelah masa sewa berakhir mobil tersebut menjadi milik penyewa, dan jika penyewa tidak menyelesaikan masa sewa yang telah disepakati maka mobil akan kembali menjadi milik perusahaan atau bank tanpa hak bagi penyewa untuk mengembalikan dana yang telah dibayarkan, merupakan praktik yang dikenal dengan istilah "sewa yang berakhir dengan kepemilikan." 

*****

**PENDAPAT ULAMA KONTEMPORER TENTANG AKAD INI**

Para ulama kontemporer memiliki perbedaan pendapat mengenai hukum akad ini.

Pendapat pertama : Membolehkan-nya.

Pendapat kedua : Melarang-nya.

Sementara Dewan Hai’ah Kibarul Ulama Saudi Arabia telah mengeluarkan pernyataan resmi terkait hukum akad ini, yang menyebutkan sebagai berikut: 

**Keputusan Dewan Hai’ah Kibarul Ulama – Saudi Arabia** 

Dewan Hai’ah Kibarul Ulama mempelajari topik sewa yang berakhir dengan kepemilikan, dan setelah dilakukan penelitian dan pembahasan, mayoritas anggota Dewan memutuskan bahwa akad ini tidak dibolehkan secara syar’i dengan alasan berikut: 

أَوَّلًا : إِنَّهُ جَامِعٌ بَيْنَ عَقْدَيْنِ عَلَى عَيْنٍ وَاحِدَةٍ غَيْرِ مُسْتَقِرٍّ عَلَى أَحَدِهِمَا ، وَهُمَا مُخْتَلِفَانِ فِي الْحُكْمِ مُتَنَافِيَانِ فِيهِ . 

فَالْبَيْعُ يُوجِبُ انْتِقَالَ الْعَيْنِ بِمَنَافِعِهَا إِلَى الْمُشْتَرِي ، وَحِينَئِذٍ لَا يَصِحُّ عَقْدُ الْإِجَارَةِ عَلَى الْمَبِيعِ لِأَنَّهُ مِلْكٌ لِلْمُشْتَرِي ، وَالْإِجَارَةُ تُوجِبُ انْتِقَالَ مَنَافِعِ الْعَيْنِ فَقَطْ إِلَى الْمُسْتَأْجِرِ . 

وَالْمَبِيعُ مَضْمُونٌ عَلَى الْمُشْتَرِي بِعَيْنِهِ وَمَنَافِعِهِ ، فَتَلَفُهُ عَلَيْهِ ، عَيْنًا وَمَنْفَعَةً ، فَلَا يَرْجِعُ بِشَيْءٍ مِنْهُمَا عَلَى الْبَائِعِ ، وَالْعَيْنُ الْمُسْتَأْجَرَةُ مِنْ ضَمَانِ مُؤَجِّرِهَا ، فَتَلَفُهَا عَلَيْهِ ، عَيْنًا وَمَنْفَعَةً ، إِلَّا أَنْ يَحْصُلَ مِنَ الْمُسْتَأْجِرِ تَعَدٍّ أَوْ تَفْرِيطٌ . 

ثَانِيًا : أَنَّ الْأُجْرَةَ تُقَدَّرُ سَنَوِيًّا أَوْ شَهْرِيًّا بِمِقْدَارٍ مُقَسَّطٍ يُسْتَوْفَى بِهِ قِيمَةُ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ ، يَعُدُّهُ الْبَائِعُ أُجْرَةً مِنْ أَجْلِ أَنْ يَتَوَثَّقَ بِحَقِّهِ حَيْثُ لَا يُمْكِنُ لِلْمُشْتَرِي بَيْعُهُ . 

مِثَالٌ لِذَلِكَ : إِذَا كَانَتْ قِيمَةُ الْعَيْنِ الَّتِي وَقَعَ عَلَيْهَا الْعَقْدُ خَمْسِينَ أَلْفَ رِيَالٍ وَأُجْرَتُهَا شَهْرِيًّا أَلْفَ رِيَالٍ حَسَبَ الْمُعْتَادِ جُعِلَتِ الْأُجْرَةُ أَلْفَيْنِ ، وَهِيَ فِي الْحَقِيقَةِ قِسْطٌ مِنَ الثَّمَنِ حَتَّى تَبْلُغَ الْقِيمَةَ الْمُقَدَّرَةَ ، فَإِنْ أَعْسَرَ بِالْقِسْطِ الْأَخِيرِ مَثَلًا سُحِبَتْ مِنْهُ الْعَيْنُ بِاعْتِبَارِ أَنَّهَا مُؤَجَّرَةٌ وَلَا يُرَدُّ عَلَيْهِ مَا أُخِذَ مِنْهُ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ اسْتُوفِيَ الْمَنْفَعَةَ . 

وَلَا يَخْفَى مَا فِي هَذَا مِنَ الظُّلْمِ وَالْإِلْجَاءِ إِلَى الِاسْتِدَانَةِ لِإِيفَاءِ الْقِسْطِ الْأَخِيرِ . 

 

ثَالِثًا : أَنَّ هَذَا الْعَقْدَ وَأَمْثَالَهُ أَدَّى إِلَى تَسَاهُلِ الْفُقَرَاءِ فِي الدُّيُونِ حَتَّى أَصْبَحَتْ ذِمَمُ كَثِيرٍ مِنْهُمْ مَشْغُولَةً مُنْهَكَةً ، وَرُبَّمَا يُؤَدِّي إِلَى إِفْلَاسِ بَعْضِ الدَّائِنِينَ لِضَيَاعِ حُقُوقِهِمْ فِي ذِمَمِ الْفُقَرَاءِ . 

وَيَرَى الْمَجْلِسُ أَنْ يَسْلُكَ الْمُتَعَاقِدَانِ طَرِيقًا صَحِيحًا وَهُوَ أَنْ يَبِيعَ الشَّيْءَ وَيَرْهَنَهُ عَلَى ثَمَنِهِ وَيَحْتَاطَ لِنَفْسِهِ بِالِاحْتِفَاظِ بِوَثِيقَةِ الْعَقْدِ وَاسْتِمَارَةِ السَّيَّارَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ .

PERTAMA : **Hukum Menggabungkan Dua Akad yang Bertentangan dalam Satu Objek** 

Akad ini mencampurkan dua akad yang tidak stabil pada salah satunya, yakni akad jual beli dan akad sewa, yang memiliki hukum yang berbeda dan saling bertentangan. Dalam jual beli, kepemilikan barang beserta manfaatnya berpindah kepada pembeli. Oleh karena itu, tidak sah jika dilakukan akad sewa terhadap barang yang telah dijual karena barang tersebut sudah menjadi milik pembeli. 

Sebaliknya, dalam sewa, yang berpindah hanya manfaat barang kepada penyewa, sementara barang itu sendiri tetap dalam tanggungan pemiliknya. Akibatnya, barang yang dijual sepenuhnya menjadi tanggungan pembeli, baik barang maupun manfaatnya. Sementara barang yang disewakan tetap dalam tanggungan pemilik aslinya kecuali ada kelalaian atau penyalahgunaan oleh penyewa. 

KEDUA : **Kedok Pembayaran Cicilan Harga dengan Dalih Sewa** 

Dalam akad ini, biaya sewa ditentukan secara tahunan atau bulanan dengan nilai tertentu yang sebenarnya merupakan cicilan dari harga barang. Pihak penjual menyebutnya sebagai sewa untuk memastikan haknya tetap terjamin, sehingga pembeli tidak dapat menjual barang tersebut. 

Misalnya, jika nilai barang adalah 50.000 riyal dan biaya sewa bulanan biasanya 1.000 riyal, maka biaya sewa dinaikkan menjadi 2.000 riyal. Faktanya, jumlah ini adalah cicilan harga barang hingga mencapai nilai yang telah ditentukan. Jika pembeli gagal membayar cicilan terakhir, barang tersebut akan ditarik kembali dengan anggapan bahwa itu adalah barang sewaan, tanpa mengembalikan cicilan yang telah dibayarkan atas dasar bahwa manfaat barang telah diterima. Praktik ini jelas mengandung unsur ketidakadilan dan memaksa pihak penyewa untuk berutang demi melunasi cicilan terakhir. 

KETIGA : **Mendorong Utang yang Berlebihan** 

 Akad semacam ini mendorong orang-orang miskin untuk mudah berutang hingga menumpuk beban keuangan yang berat. Bahkan, praktik ini dapat menyebabkan kebangkrutan bagi sebagian kreditur karena hak mereka hilang akibat ketidakmampuan debitur melunasi utang. 

**Saran Dewan Hai’ah Kibarul Ulama – Suadi Arabia** 

Dewan menyarankan agar para pihak mengikuti prosedur yang benar dalam akad, yaitu dengan menjual barang dan memberikan jaminan atas harganya. Penjual dapat melindungi haknya dengan menyimpan dokumen seperti bukti akad atau sertifikat barang (misalnya, BPKB mobil)”. 

Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga Allah memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad , keluarga, dan para sahabatnya.

**Di antara anggota Hai’ah Kibarul Ulama yang menandatangani pernyataan ini adalah:** 

- Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh 

- Syaikh Shalih Al-Luhaidan 

- Dr. Shalih Al-Fauzan 

- Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin 

- Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid 

KEPUTUSAN AL-MAJMA’:

Keputusan ini juga dikeluarkan oleh Majma' Al-Fiqh Al-Islami dalam sidang ke-12 yang diadakan di Riyadh, dari tanggal 25 Jumadil Akhir 1421 H hingga 1 Rajab 1421 H (23-28 September 2000 M). Dalam keputusan tersebut, sebagian bentuk akad sewa yang berakhir dengan kepemilikan dinyatakan diperbolehkan. 

**Wallahu a'lam.**


 ====*****====

**HUKUM SYARAT ASURANSI KOMPREHENSIF DALAM AKAD SEWA YANG BERAKHIR DENGAN KEPEMILIKAN**

*****

**PERTANYAAN:**

Apa hukum membeli mobil dengan sistem sewa dengan janji kepemilikan? Apakah hukumnya berbeda jika penjual (dealer) mensyaratkan asuransi mobil secara komprehensif? 

=====

**JAWABAN:**

-----

**PEMBAHASAN PERTAMA:**

Akad sewa yang berakhir dengan kepemilikan memiliki berbagai bentuk, di antaranya ada yang diperbolehkan dan ada yang dilarang.

Salah satu bentuk yang diperbolehkan adalah adanya dua akad yang terpisah: akad sewa dengan janji kepemilikan. Kepemilikan baru terjadi melalui akad jual beli yang terpisah setelah akad sewa berakhir, dengan kebebasan kedua belah pihak untuk memilih melaksanakan akad tersebut atau tidak. 

Majelis Majma' Al-Fiqh Al-Islami telah mengeluarkan keputusan terkait hal ini dalam sidang ke-12 di Riyadh dari tanggal 25 Jumadil Akhir 1421 H hingga 1 Rajab 1421 H (23-28 September 2000 M). Berikut adalah teks keputusan tersebut: 

إنَّ مَجْلِسَ الفِقْهِ الإِسْلَامِيِّ الدَّوْلِيِّ المُنْبَثِقِ عَنْ مُنَظَّمَةِ المُؤْتَمَرِ الإِسْلَامِيِّ فِي دَوْرَتِهِ الثَّانِيَةَ عَشْرَةَ بِالرِّيَاضِ فِي المَمْلَكَةِ العَرَبِيَّةِ السُّعُودِيَّةِ مِنْ 25 جُمَادَى الآخِرَةِ 1421هـ إِلَى غُرَّةِ رَجَبٍ 1421هـ (23-28 سِبْتَمْبَر 2000). 

بَعْدَ اطِّلَاعِهِ عَلَى الأَبْحَاثِ المُقَدَّمَةِ إِلَى المَجْمَعِ بِخُصُوصِ مَوْضُوعِ (الإِيجَارِ المُنْتَهِي بِالتَّمْلِيكِ). وَبَعْدَ اسْتِمَاعِهِ إِلَى المُنَاقَشَاتِ الَّتِي دَارَتْ حَوْلَ المَوْضُوعِ بِمُشَارَكَةِ أَعْضَاءِ المَجْمَعِ وَخُبَرَائِهِ وَعَدَدٍ مِنَ الفُقَهَاءِ. 

قَرَّرَ مَا يَلِي: 

**الإِيجَارُ المُنْتَهِي بِالتَّمْلِيكِ:** 

**أَوَّلًا: ضَابِطُ الصُّوَرِ الجَائِزَةِ وَالمَمْنُوعَةِ مَا يَلِي:** 

1- ضَابِطُ المَنْعِ: أَنْ يَرِدَ عَقْدَانِ مُخْتَلِفَانِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ عَلَى عَيْنٍ وَاحِدَةٍ فِي زَمَنٍ وَاحِدٍ. 

2- ضَابِطُ الجَوَازِ: 

- وُجُودُ عَقْدَيْنِ مُنْفَصِلَيْنِ يَسْتَقِلُّ كُلٌّ مِنْهُمَا عَنِ الآخَرِ زَمَانًا، بِحَيْثُ يَكُونُ إِبْرَامُ عَقْدِ البَيْعِ بَعْدَ عَقْدِ الإِيجَارَةِ، أَوْ وُجُودُ وَعْدٍ بِالتَّمْلِيكِ فِي نِهَايَةِ مُدَّةِ الإِيجَارَةِ، وَالخِيَارُ يُوَازِي الوَعْدَ فِي الأَحْكَامِ. 

- أَنْ تَكُونَ الإِيجَارَةُ فِعْلِيَّةً وَلَيْسَتْ سَاتِرَةً لِلْبَيْعِ. 

3- أَنْ يَكُونَ ضَمَانُ العَيْنِ المُؤَجَّرَةِ عَلَى المَالِكِ لَا عَلَى المُسْتَأْجِرِ، وَبِذَلِكَ يَتَحَمَّلُ المُؤَجِّرُ مَا يَلْحَقُ العَيْنَ مِنْ غَيْرِ نَاشِئٍ مِنْ تَعَدِّي المُسْتَأْجِرِ، أَوْ تَفْرِيطِهِ، وَلَا يَلْزَمُ المُسْتَأْجِرَ بِشَيْءٍ إِذَا فَاتَتِ المَنْفَعَةُ. 

4- إِذَا اشْتَمَلَ العَقْدُ عَلَى تَأْمِينِ العَيْنِ المُؤَجَّرَةِ فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ التَّأْمِينُ تَعَاوُنِيًّا إِسْلَامِيًّا لَا تِجَارِيًّا، وَيَتَحَمَّلُهُ المَالِكُ المُؤَجِّرُ وَلَيْسَ المُسْتَأْجِرُ. 

5- يَجِبُ أَنْ تُطَبَّقَ عَلَى عَقْدِ الإِيجَارَةِ المُنْتَهِي بِالتَّمْلِيكِ أَحْكَامُ الإِيجَارَةِ طِوَالَ مُدَّةِ الإِيجَارَةِ، وَأَحْكَامُ البَيْعِ عِنْدَ تَمَلُّكِ العَيْنِ. 

6- تَكُونُ نَفَقَاتُ الصِّيَانَةِ غَيْرِ التَّشْغِيلِيَّةِ عَلَى المُؤَجِّرِ لَا عَلَى المُسْتَأْجِرِ طِوَالَ مُدَّةِ الإِيجَارَةِ.

ثَانِيًا: مِنْ صُوَرِ العَقْدِ المَمْنُوعَةِ: 

1- عَقْدُ إِجَارَةٍ يَنْتَهِي بِتَمَلُّكِ العَيْنِ المُؤَجَّرَةِ مُقَابِلَ مَا دَفَعَهُ المُسْتَأْجِرُ مِنْ أُجْرَةٍ خِلَالَ المُدَّةِ المُحَدَّدَةِ، دُونَ إِبْرَامِ عَقْدٍ جَدِيدٍ، بِحَيْثُ تَنْقَلِبُ الإِجَارَةُ فِي نِهَايَةِ المُدَّةِ بَيْعًا تِلْقَائِيًّا. 

2- إِجَارَةُ عَيْنٍ لِشَخْصٍ بِأُجْرَةٍ مَعْلُومَةٍ وَلِمُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ مَعَ عَقْدِ بَيْعٍ لَهُ مُعَلَّقٍ عَلَى سَدَادِ جَمِيعِ الأُجْرَةِ المُتَّفَقِ عَلَيْهَا خِلَالَ المُدَّةِ المَعْلُومَةِ، أَوْ مُضَافٍ إِلَى وَقْتٍ فِي المُسْتَقْبَلِ. 

3- عَقْدُ إِجَارَةٍ حَقِيقِيٍّ، وَاقْتَرَنَ بِهِ بَيْعٌ بِخِيَارِ الشَّرْطِ لِصَالِحِ المُؤَجِّرِ، وَيَكُونُ مُؤَجَّلًا إِلَى أَجَلٍ مُحَدَّدٍ (هُوَ آخِرُ مُدَّةِ عَقْدِ الإِيجَارِ). وَهَذَا مَا تَضَمَّنَتْهُ الفَتَاوَى وَالقَرَارَاتُ الصَّادِرَةُ مِنْ هَيْئَاتٍ عِلْمِيَّةٍ وَمِنْهَا: هَيْئَةُ كِبَارِ العُلَمَاءِ بِالمَمْلَكَةِ العَرَبِيَّةِ السُّعُودِيَّةِ. 

**ثَالِثًا: مِنْ صُوَرِ العَقْدِ الجَائِزَةِ:** 

1- عَقْدُ إِجَارَةٍ يُمَكِّنُ المُسْتَأْجِرَ مِنَ الاِنْتِفَاعِ بِالعَيْنِ المُؤَجَّرَةِ مُقَابِلَ أُجْرَةٍ مَعْلُومَةٍ فِي مُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ، وَاقْتَرَنَ بِهِ عَقْدُ هِبَةِ العَيْنِ لِلْمُسْتَأْجِرِ مُعَلَّقًا عَلَى سَدَادِ كَامِلِ الأُجْرَةِ، وَذَلِكَ بِعَقْدٍ مُسْتَقِلٍّ، أَوْ وَعْدٍ بِالهِبَةِ بَعْدَ سَدَادِ كَامِلِ الأُجْرَةِ (وَذَلِكَ وَفْقَ مَا جَاءَ فِي قَرَارِ المَجْمَعِ بِالنِّسْبَةِ لِلهِبَةِ رَقْمَ (13/1/3) فِي دَوْرَتِهِ الثَّالِثَةِ). 

2- عَقْدُ إِجَارَةٍ مَعَ إِعْطَاءِ المَالِكِ الخِيَارَ لِلْمُسْتَأْجِرِ بَعْدَ الاِنْتِهَاءِ مِنْ وَفَاءِ جَمِيعِ الأَقْسَاطِ الإِيجَارِيَّةِ المُسْتَحِقَّةِ خِلَالَ المُدَّةِ فِي شِرَاءِ العَيْنِ المُؤَجَّرَةِ بِسِعْرِ السُّوقِ عِنْدَ انْتِهَاءِ مُدَّةِ الإِيجَارَةِ (وَذَلِكَ وَفْقَ قَرَارِ المَجْمَعِ رَقْمَ 44(6/5) فِي دَوْرَتِهِ الخَامِسَةِ). 

3- عَقْدُ إِجَارَةٍ يُمَكِّنُ المُسْتَأْجِرَ مِنَ الاِنْتِفَاعِ بِالعَيْنِ المُؤَجَّرَةِ مُقَابِلَ أُجْرَةٍ مَعْلُومَةٍ، فِي مُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ وَاقْتَرَنَ بِهِ وَعْدٌ بِبَيْعِ العَيْنِ المُؤَجَّرَةِ لِلْمُسْتَأْجِرِ بَعْدَ سَدَادِ كَامِلِ الأُجْرَةِ بِثَمَنٍ يَتَّفِقُ عَلَيْهِ الطَّرَفَانِ. 

4- عَقْدُ إِجَارَةٍ يُمَكِّنُ المُسْتَأْجِرَ مِنَ الاِنْتِفَاعِ بِالعَيْنِ المُؤَجَّرَةِ مُقَابِلَ أُجْرَةٍ مَعْلُومَةٍ، فِي مُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ، وَيُعْطِي المُؤَجِّرُ لِلْمُسْتَأْجِرِ حَقَّ الخِيَارِ فِي تَمَلُّكِ العَيْنِ المُؤَجَّرَةِ فِي أَيِّ وَقْتٍ يَشَاءُ عَلَى أَنْ يَتِمَّ البَيْعُ فِي وَقْتِهِ بِعَقْدٍ جَدِيدٍ بِسِعْرِ السُّوقِ (وَذَلِكَ وَفْقَ قَرَارِ المَجْمَعِ السَّابِقِ رَقْمَ 44/6(5)) أَوْ حَسْبَ الاِتِّفَاقِ فِي وَقْتِهِ. 

**رَابِعًا:** هُنَاكَ صُوَرٌ مِنْ عُقُودِ التَّأْجِيرِ المُنْتَهِي بِالتَّمْلِيكِ مَحَلُّ خِلَافٍ، وَتَحْتَاجُ إِلَى دِرَاسَةٍ تُعْرَضُ فِي دَوْرَةٍ قَادِمَةٍ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى" اِنْتَهَى. 

**KEPUTUSAN NOMOR: 110(4/12) TERKAIT SEWA YANG BERAKHIR DENGAN KEPEMILIKAN**

Majelis Fiqih Islam Internasional yang berada di bawah Organisasi Konferensi Islam, dalam sidang ke-12 di Riyadh, Kerajaan Arab Saudi, dari 25 Jumadil Akhir 1421 H hingga 1 Rajab 1421 H (23-28 September 2000 M), setelah mempelajari penelitian yang diajukan kepada majelis terkait masalah sewa yang berakhir dengan kepemilikan dan mendengarkan diskusi dari para anggota majelis, ahli, dan sejumlah ulama, memutuskan sebagai berikut: 

----

**ATURAN UNTUK BENTUK YANG DIPERBOLEHKAN DAN DILARANG:**

1. **Aturan pelarangan:** 

   Adanya dua akad yang berbeda dalam waktu yang sama atas objek yang sama dalam satu periode waktu. 

2. **Aturan perbolehan:** 

   - Adanya dua akad yang terpisah secara waktu, di mana akad jual beli dilakukan setelah akad sewa selesai, atau adanya janji kepemilikan di akhir masa sewa, dengan kebebasan memilih dalam pelaksanaannya. 

   - Akad sewa harus nyata (sewa sebenarnya) dan tidak boleh menjadi kedok untuk jual beli. 

3. Objek yang disewakan harus tetap menjadi tanggungan pemilik (lessor) dan bukan penyewa (lessee). Oleh karena itu, kerusakan pada objek sewa yang bukan disebabkan kelalaian atau penyimpangan penyewa menjadi tanggung jawab pemilik, dan penyewa tidak diwajibkan mengganti apa pun jika manfaat barang hilang. 

4. Jika akad mencakup syarat asuransi atas objek yang disewakan, asuransi tersebut harus berbasis ta'awun (kerjasama) secara Islami dan bukan asuransi komersial, serta menjadi tanggungan pemilik (lessor) bukan penyewa (lessee). 

5. Akad sewa yang berakhir dengan kepemilikan harus mengikuti hukum-hukum sewa selama masa sewa dan hukum-hukum jual beli saat terjadi kepemilikan. 

6. Biaya perawatan non-operasional menjadi tanggung jawab pemilik (lessor) sepanjang masa sewa. 

**KEDUA: CONTOH BENTUK AKAD YANG DILARANG**

1. Akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan objek sewa sebagai kompensasi atas pembayaran sewa yang telah dilakukan oleh penyewa selama jangka waktu tertentu, tanpa adanya akad baru, sehingga akad sewa otomatis berubah menjadi jual beli di akhir masa sewa. 

2. Penyewaan suatu objek kepada seseorang dengan nilai sewa yang diketahui dan dalam jangka waktu tertentu, disertai dengan akad jual beli yang bersyarat pada pembayaran seluruh sewa yang disepakati selama periode tertentu, atau yang ditunda hingga waktu tertentu di masa depan. 

3. Akad sewa yang sebenarnya, tetapi disertai dengan jual beli dengan syarat pilihan yang menguntungkan pihak pemilik (lessor), dan syarat tersebut ditunda hingga waktu tertentu (yakni akhir masa sewa). Hal ini sesuai dengan fatwa dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga keilmuan, termasuk Hai’ah Kibarul Ulama di Kerajaan Arab Saudi. 

**KETIGA: CONTOH BENTUK AKAD YANG DIPERBOLEHKAN**

1. Akad sewa yang memungkinkan penyewa memanfaatkan objek sewa dengan imbalan sewa yang diketahui dalam jangka waktu tertentu, disertai dengan akad hibah atas objek sewa kepada penyewa yang bergantung pada pelunasan seluruh pembayaran sewa, baik melalui akad terpisah maupun janji hibah setelah seluruh pembayaran selesai (sesuai dengan keputusan Majelis terkait hibah Nomor 13/1/3 dalam sidang ketiga). 

2. Akad sewa yang memberi hak kepada penyewa untuk memilih membeli objek sewa setelah menyelesaikan seluruh pembayaran sewa yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu, dengan harga pasar saat masa sewa berakhir (sesuai dengan keputusan Majelis Nomor 44(6/5) dalam sidang kelima). 

3. Akad sewa yang memungkinkan penyewa memanfaatkan objek sewa dengan imbalan sewa yang diketahui dalam jangka waktu tertentu, disertai dengan janji untuk menjual objek sewa kepada penyewa setelah pembayaran selesai, dengan harga yang disepakati oleh kedua belah pihak. 

4. Akad sewa yang memungkinkan penyewa memanfaatkan objek sewa dengan imbalan sewa yang diketahui dalam jangka waktu tertentu, dengan memberi hak kepada penyewa untuk memiliki objek sewa kapan saja ia inginkan, dengan syarat pembelian dilakukan pada waktu tersebut melalui akad baru dengan harga pasar (sesuai dengan keputusan Majelis sebelumnya Nomor 44/6(5)) atau berdasarkan kesepakatan saat itu. 

**KEEMPAT:**

Terdapat beberapa bentuk akad sewa yang berakhir dengan kepemilikan yang menjadi perbedaan pendapat dan memerlukan kajian lebih lanjut untuk dibahas pada sidang berikutnya, insya Allah.  **Selesai.**

****

**PEMBAHASAN KEDUA:**

Dari keputusan majelis (al-Majma’) dapat disimpulkan bahwa jika akad mencakup asuransi atas barang yang disewakan, maka asuransi tersebut harus berbentuk asuransi ta'awuni Islami, bukan asuransi komersial, dan biayanya ditanggung oleh pemilik (pemberi sewa), bukan penyewa. Hal ini berlaku baik untuk asuransi menyeluruh maupun sebagian. 

Artinya, tidak diperbolehkan untuk mewajibkan penyewa atau pembeli untuk menanggung asuransi atas barang yang disewakan atau dibeli. Biaya tersebut menjadi tanggung jawab pemberi sewa jika ia menginginkannya, karena jaminan atas barang yang disewakan adalah tanggung jawab pemilik, bukan penyewa. Penyewa hanya bertanggung jawab jika terjadi kelalaian atau pelanggaran. 

Jika pemberi sewa mensyaratkan asuransi kepada penyewa, maka syarat tersebut dianggap batal, sama halnya dengan mensyaratkan jaminan kepadanya. Apakah hal ini membatalkan akad atau tidak? 

Dalam kitab *al-Mughni* (5/311) disebutkan: 

" فَإِنْ شَرَطَ الْمُؤَجِّرُ عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ ضَمَانَ الْعَيْنِ، فَالشَّرْطُ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّهُ يُنَافِي مُقْتَضَى الْعَقْدِ. وَهَلْ تَفْسُدُ الْإِجَارَةُ بِهِ؟ فِيهِ وَجْهَانِ، بِنَاءً عَلَى الشُّرُوطِ الْفَاسِدَةِ فِي الْبَيْعِ. قَالَ أَحْمَدُ، فِيمَا إِذَا شَرَطَ ضَمَانَ الْعَيْنِ: الْكِرَاءُ وَالضَّمَانُ مَكْرُوهٌ. وَرَوَى الْأَثْرَمُ، بِإِسْنَادِهِ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: لَا يَصْلُحُ الْكِرَاءُ بِالضَّمَانِ. وَعَنْ فُقَهَاءِ الْمَدِينَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ: لَا نَكْتَرِي بِضَمَانٍ، إِلَّا أَنَّهُ مَنْ شَرَطَ عَلَى كَرِيٍّ أَنَّهُ لَا يُنْزِلُ مَتَاعَهُ بَطْنَ وَادٍ، أَوْ لَا يَسِيرُ بِهِ لَيْلًا، مَعَ أَشْبَاهِ هَذِهِ الشُّرُوطِ، فَتَعَدَّى ذَلِكَ، فَتَلِفَ شَيْءٌ مِمَّا حُمِلَ فِي ذَلِكَ التَّعَدِّي، فَهُوَ ضَامِنٌ، فَأَمَّا غَيْرُ ذَلِكَ، فَلَا يَصِحُّ شَرْطُ الضَّمَانِ فِيهِ، وَإِنْ شَرَطَهُ لَمْ يَصِحَّ الشَّرْطُ." انْتَهَى. 

"Jika pemberi sewa mensyaratkan kepada penyewa untuk menjamin barang yang disewakan, maka syarat tersebut batal karena bertentangan dengan konsekuensi akad. Apakah hal ini membatalkan akad sewa? Ada dua pendapat yang berdasarkan pada syarat-syarat yang batal dalam jual beli.

Imam Ahmad, ketika membahas syarat jaminan atas barang, berkata, 'Sewa dengan jaminan itu makruh.'

Al-Atsram meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Umar, ia berkata, 'Tidak boleh menyewa dengan jaminan.'

Para ahli fikih Madinah juga mengatakan, 'Kami tidak menyewa dengan jaminan kecuali jika ada syarat kepada penyewa seperti: tidak boleh menurunkan barangnya di lembah, atau tidak boleh berjalan di malam hari. Jika ia melanggar syarat tersebut dan barang yang dibawa rusak akibat pelanggaran itu, maka ia bertanggung jawab. Namun, untuk selain itu, syarat jaminan tidak sah, dan jika disyaratkan, maka syarat tersebut tidak berlaku.' Selesai." 

Dalam kitab *Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam* (1/514) disebutkan: 

"إِذَا شَرَطَ الضَّمَانَ عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ فِي حَالِ تَعَيُّبِ أَوْ هَلَاكِ الْمَأْجُورِ بِغَيْرِ تَعَدٍّ وَلَا تَقْصِيرٍ، أَوْ شَرَطَ رَدَّ الْمَأْجُورِ إِلَى الْمُؤَجِّرِ بِغَيْرِ عَيْبٍ، تَكُونُ الْإِجَارَةُ فَاسِدَةً." انْتَهَى.

"Jika jaminan disyaratkan kepada penyewa dalam hal cacat atau rusaknya barang sewaan tanpa pelanggaran atau kelalaian, atau jika disyaratkan bahwa barang yang disewakan harus dikembalikan kepada pemberi sewa tanpa cacat, maka akad sewa dianggap batal." 

Mazhab Maliki juga menyatakan batalnya akad sewa jika jaminan disyaratkan kepada penyewa. Hal ini dapat dilihat dalam *al-Mudawwanah* (3/450) dan *Bulghat as-Salik* (4/42). 

Dalam *al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah* (1/286) disebutkan: 

" وَلَا يَجُوزُ اشْتِرَاطُ صِيَانَةِ الْعَيْنِ عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ، لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى جَهَالَةِ الْأُجْرَةِ، فَتَفْسُدُ الْإِجَارَةُ بِهَذَا الِاشْتِرَاطِ بِاتِّفَاقِ الْمَذَاهِبِ. وَإِنْ سَكَنَ الْمُسْتَأْجِرُ، لَزِمَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ، وَلَهُ مَا أَنْفَقَ عَلَى الْعِمَارَةِ، وَأُجْرَةُ مِثْلِهِ فِي الْقِيَامِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ فَعَلَ ذَلِكَ بِإِذْنِهِ، وَإِلَّا كَانَ مُتَبَرِّعًا." انْتَهَى.

"Tidak diperbolehkan mensyaratkan pemeliharaan barang kepada penyewa, karena hal ini mengakibatkan ketidakjelasan dalam upah, sehingga akad sewa menjadi batal menurut kesepakatan mazhab. Jika penyewa telah menggunakan barang tersebut, ia wajib membayar upah yang setara, dan ia berhak mendapatkan penggantian atas biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, serta upah yang sepadan jika ia melakukannya dengan izin pemberi sewa. Jika tanpa izin, maka itu dianggap sebagai tindakan sukarela." 

Kesimpulannya, asuransi komersial adalah haram, baik dilakukan oleh penjual maupun pembeli. Namun, jika asuransi tersebut berbentuk asuransi ta'awuni Islami, maka hukumnya diperbolehkan, dan harus ditanggung oleh penjual. 

**Wallahu a'lam.** 

====*****====

KUTIPAN DARI KITAB SYARAH ZAD AL-MUSTAQNI’ KARYA MUHAMMAD AL-MUKHTAR ASY-SYINQITHY :

[حكم عقد الإيجار المنتهي بالتمليك]

إذاًلابد وأن يكون العقد وارداً على المنفعة لا على الأجزاء، وجزء الشيءالقطعة منه والبعض منه.

وبناء على ذلكلا يصح أن يعقد على دار إجارة وهو يريد أن يملكه أجزاءها، وهو مثل ما يسمى الإجارة بالتمليك، لأن الإجارة شيء والبيع شيء، فإذا أراد أن يبيع قالبعتك.

وإذا أراد أن يؤجر قالأجرتك.

أما أن يقولبعتك وأجرتك، أوأجرتك وبعتك، فلا يمكن؛ لأن الشريعة لا تريد تداخل العقود؛ لأن تداخل العقود لابد فيه من الإضرار بمصلحة المستأجر أو المؤجر أو هما معاً؛ وتداخل العقود في الشريعة يوجب فوات الحقوق، وخثل أحد الطرفين لا محالة.

فالرجل إذا اتفق مع الغير أن يستأجر بيته فإنه لا يملك إلا السكنى، وليس من حقه أن يتصرف في ذلك البيت خارجاً عن هذا العقد، وبناءً عليه نقولأولاً: إن عقد الإجارة على المنفعة وليس على الذات ولا على أجزاء الذات.

ثانياًنفهم من هذا أن العلماء لا يقولون: إن الإجارة كالبيع، أيأنها تأخذ حكم البيع من كل وجه، بل إن الإجارة واردة على المنفعة، والبيع وارد على الذات، فالإجارة لا ترد على الذوات ولا ترد على الأجزاء، ولا يمكن أن يقول لهأؤجرك البرتقال لتأكله؛ لأن أكل البرتقال ملكية لذات البرتقال، وأياً كان ذلك الطعام فإن هذا المطعوم إذا بيعت أجزاؤه وانتفع بأكله، فإن أكله يكون استهلاكاً للذات وهذا بيع، والإجارة استهلاك للمنفعة وليست باستهلاك للذات.

وبناءً على ذلكفإن عقد الإجارة المنتهي بالتمليك في العقارات أو في المنقولات من سيارات أو غيرها لا يصح، وذلك لأسباب

أولاً: أن الإجارة تستلزم ملكية المنفعة، وهذا العقد منصب على المنفعة مع الذات.

ثانياًأن هذا النوع من العقود يؤدي إلى عقدين في عقد على وجه الغرر.

وتوضيح ذلكأنه يقول له: أؤجرك هذه السيارة أربعة وعشرين شهراً، ثم تدفع خمسة آلاف وتملكها، فحينئذ معناهأنه يريد أن يضمن منه أن يستأجر أربعة وعشرين شهراً، ثم بعد ذلك يملك السيارة بعد الأربعة والعشرين شهراً، فنسألهل العقد عقد بيع أو عقد إجارة؟ إذا قالهذا عقد بيع.

قلناإن الأربعة والعشرين شهراً لو امتنع المستأجر في أول الفترة أو في نصفها أو بعد شهر أو شهرين، ثم أخذ منه مالك السيارة السيارة، فأصبح إجارة وليس بيعاً؛ لأن الإجارة هي التي يملك فيها البيع ويملك استرداد العين عند تعذر الإجارة، إذاًليس ببيع، وإن كان بيعاً في الظاهر، لكن في الحقيقة لا تنطبق عليه أوصاف البيع.

فلو قال قائلهو بيع في المآل، أيأنه خيره، فقال لهبعد الأربعة والعشرين شهراً إذا أردت أن تملكها فادفع خمسة آلاف.

نقولباعه بعد أربعة وعشرين شهراً شيئاً -الذي هو السيارة- فلا ندري هل تبقى بعد أربعة وعشرين شهراً أو يأتي شيء يتلفها، ولا ندري هل تبقى على الصفات الكاملة، أو خلال الأربعة والعشرين شهراً مع الاستهلاك تتغير أوصافها وتتضرر، إذاًلا يشك أحد في وجود الغرر.

ولا تصح -كما قلنا- بيوع الآجال، كأن يقول لهبعتك سيارتي بعد ثلاث سنوات أو بعد أربع سنوات، لا يمكن هذا؛ لأنه بيع لشيء لا ندري هل يسلم أو لا يسلم، وإذا سلم هل يبقى كاملاً أو ناقصاً.

ثالثاًهب أن البيع صحيح، وهب أنه في الظاهر عقد بيع.

نقوللو صح البيع إلى أجل -أيإلى بعد سنة أو سنتينفنقولباعه بشرط أن يستأجر، وقد نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع وشرط.

فهنا أمور أولاًتداخل العقود، وثانياًأنه باعه مجهولاً لا يدري عن حاله، وثالثاًلم تطبق أحكام البيع على المبيع خلال مدة الإجارة، فهو بائع وغير بائع، بائع في العقد لكن في الحقيقة والمضمون لو عجز المستأجر ألزمه برده، وهذا هو المقصود.

وقد يقالالمقصود: أن أضمن الأقساط.

وإنما سموه إجارة من باب ضمان الأقساط، ونحن نقولفهذا لا تجيزه الشريعة؛ لأنه إذا اتفق مع شخص على بيع سيارة بعشرين ألف ريال، وأعطاه إياها أقساطاً على عشرين شهراً، وتعذر على المشتري أن يدفع الأقساط لعسرة، فنظرة إلى ميسرة، أو يعطى حكم الخيار على التفصيل المعروف في البيع، وعندنا حلول شرعية أفضل من هذا وأتم وأكمل، فلو مات المستأجر خلال هذه المدة فإنه قد أسس له حقاً بعد أربعة وعشرين شهراً، فلا ندري إذا مات هل هذه السيارة ملك له وتأخذ حكم الميراث أم ليست ملكاً له؟ ولذلك يقول بعض الفقهاءمن أعجب ما وجد في شروط الشريعة: أنها تيسر للقاضي الحكم عند الطوارئ، فتقفل أبواب الجهالة في العقود، فإذا انطبقت شروط الإجارة وشروط البيع، ووقعت الإجارة على السنن، ووقع البيع على السنن؛ فلا يمكن أن تقع خصومة في بيع أو إجارة إلا وعرفت حق كل ذي حق.

مثاللو أن أجيراً استأجرته شهراً كل يوم بكذا ومات أثناء الشهر، فحينئذٍ يكون معروفاً ما الذي له وما الذي عليه، لكن لو مات الذي في عقد الإجارة المنتهي بالتمليك في سيارة أو أرض، فلا ندري حينئذٍ هل هو مالك للأرض فتكون قد دخلت إلى ملكية الورثة، ونلزمهم بالدفع فيما بقي، فننزله منزلته على أن البيع قد تم في الأول، أو هو ليس بمالك بل مستأجر، ثم تنطبق مسألة موت أحد المتعاقدين، وهل يلزم الورثة بإتمام العقد أو لا؟ فيحدث نوع من الاشتباه في العقود، ولذلك فالغرر موجود من حيث الجهالة في صفة المبيع إذا قيلإنه بيع.

وثانياًتداخل العقود على وجه يوجب الخصومة والشحناء.

وثالثاًأن المبيع لا ندري عن حاله بعد الأشهر.

ولو قلنا إنه بيع، فإنه بيع وشرط، وقد نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع وشرط، ولذلك لا يعرف هذا النوع من العقود عند المسلمين، ولم يذكر العلماء رحمة الله عليهم شيئاً يسمى إجارة تنتهي بتمليك أبداً، وهذه دواوين العلم وكتب الفقه موجودة، ومن أراد أن ينسب عقداً شرعياً إلى الشرع فعليه أن يتتبع كلام العلماء وأصولهم.

وعلى هذافإنه لا ينعقد عقد الإجارة على الأجزاء.

**HUKUM AKAD SEWA YANG BERAKHIR DENGAN KEPEMILIKAN**

Dengan demikian: akad harus berfokus pada manfaat, bukan pada bagian-bagian dari objek. Bagian dari sesuatu adalah potongan atau sebagian darinya.

Berdasarkan hal tersebut: tidak sah untuk mengadakan akad sewa untuk rumah dengan tujuan ingin memiliki bagian-bagiannya, seperti yang disebut dengan sewa yang berakhir dengan kepemilikan, karena sewa adalah sesuatu yang berbeda dengan jual beli. Jika seseorang ingin menjual, ia berkata: "Aku jual kepadamu." Dan jika ia ingin menyewakan, ia berkata: "Aku sewakan kepadamu."

Namun, jika ia berkata: "Aku jual dan sewakan kepadamu," atau "Aku sewakan dan jual kepadamu," maka itu tidak boleh dilakukan, karena syariat tidak menginginkan tumpang tindihnya akad-akad. Tumpang tindih akad dapat merugikan kepentingan penyewa atau pemilik rumah, atau keduanya. Tumpang tindih akad dalam syariat menyebabkan hilangnya hak-hak dan kegagalan salah satu pihak, yang sudah pasti.

Maka, ketika seseorang sepakat untuk menyewakan rumahnya kepada orang lain, maka dia hanya memiliki hak untuk disewakan, dan tidak berhak untuk mengubah atau menggunakan rumah tersebut di luar ruang lingkup akad sewa tersebut.

Berdasarkan hal ini, maka kami katakan:

Pertama, bahwa akad sewa adalah untuk manfaat, bukan untuk objek atau bagian-bagian dari objek tersebut.

Kedua, dari hal ini kita memahami bahwa para ulama tidak mengatakan bahwa sewa itu seperti jual beli, yaitu bahwa sewa memperoleh hukum jual beli dalam segala hal. Sebaliknya, sewa berfokus pada manfaat, sementara jual beli berfokus pada objek itu sendiri.

Oleh karena itu, sewa tidak berlaku untuk objek atau bagian-bagian objek tersebut, dan tidak mungkin dikatakan, "Aku sewakan jeruk agar kamu makan," karena memakan jeruk adalah kepemilikan atas jeruk itu sendiri.

Bagaimanapun jenis makanannya, jika bagian-bagian dari makanan tersebut dijual dan dimanfaatkan untuk dimakan, maka makan tersebut akan menjadi konsumsi terhadap objek tersebut, dan ini adalah jual beli. Sementara itu, sewa adalah konsumsi terhadap manfaat, bukan konsumsi terhadap objek itu sendiri.

Berdasarkan hal ini: maka akad sewa yang berakhir dengan kepemilikan pada properti atau barang bergerak seperti mobil dan lainnya tidak sah, dengan alasan sebagai berikut:

Pertama: Sewa mengharuskan kepemilikan manfaat, dan akad ini berfokus pada manfaat bersama dengan objeknya.

Kedua: Jenis akad seperti ini mengarah pada dua akad dalam satu akad, yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar).

Penjelasannya adalah: misalnya, seseorang berkata, "Aku sewakan mobil ini selama dua puluh empat bulan, kemudian kamu bayar lima ribu dan memilikinya." Artinya, dia ingin memastikan bahwa orang tersebut akan menyewa mobil selama dua puluh empat bulan, dan setelah itu dia akan memiliki mobil tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah ini akad jual beli atau akad sewa? Jika dikatakan bahwa ini adalah akad jual beli, maka kami katakan bahwa dua puluh empat bulan tersebut akan batal jika penyewa tidak membayar di awal periode atau setelah beberapa bulan, dan jika mobil diambil kembali oleh pemiliknya, maka ini menjadi akad sewa, bukan jual beli. Karena sewa adalah akad di mana pemilik tetap memiliki hak untuk mengambil kembali objek yang disewakan ketika sewa tidak bisa diteruskan, meskipun dalam tampilan akad ini seperti jual beli, tetapi pada kenyataannya tidak memenuhi sifat-sifat jual beli.

Jika ada yang berkata bahwa ini adalah jual beli di masa depan, yaitu setelah dua puluh empat bulan, jika kamu ingin memilikinya, bayar lima ribu, maka kami katakan, ini adalah jual beli pada akhirnya. Namun, kami tidak tahu apakah mobil itu akan tetap ada setelah dua puluh empat bulan atau apakah sesuatu akan merusaknya. Kami juga tidak tahu apakah mobil itu akan tetap dalam kondisi sempurna atau akan rusak seiring dengan berjalannya waktu. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa terdapat unsur ketidakpastian (gharar).

Oleh karena itu, jual beli dengan pembayaran di masa depan, seperti mengatakan "Aku jual mobilku setelah tiga tahun atau empat tahun," tidak sah. Hal ini karena ini adalah jual beli atas sesuatu yang tidak pasti apakah akan sampai atau tidak, dan jika sampai, apakah dalam kondisi sempurna atau tidak.

Ketiga: Anggaplah bahwa jual beli itu sah, dan anggaplah bahwa ini pada tampaknya adalah akad jual beli.

Kami katakan: jika jual beli dengan waktu tertentu (misalnya setelah satu atau dua tahun) sah, maka berarti dia menjual dengan syarat bahwa ia menyewakan. Padahal Rasulullah telah melarang jual beli dengan syarat.

Di sini ada beberapa hal:

Pertama, adanya campuran antara akad-akad.

Kedua, dia menjual sesuatu yang tidak jelas kondisinya.

Ketiga, hukum-hukum jual beli tidak diterapkan pada objek jual beli selama masa sewa. Dia adalah penjual dalam akad, tetapi pada kenyataannya dan dalam substansinya, jika penyewa gagal, ia dipaksa untuk mengembalikannya, dan ini yang dimaksud.

Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah menjamin cicilan. Mereka menyebutnya sewa sebagai bentuk jaminan atas cicilan. Kami katakan: ini tidak dibolehkan oleh syariat, karena jika seseorang sepakat untuk menjual mobil dengan harga dua puluh ribu riyal dan memberikannya dengan cicilan selama dua puluh bulan, namun pembeli kesulitan membayar cicilan karena kesulitan finansial, maka dia diberi tenggang waktu sampai mampu, atau diberi hak pilihan untuk membatalkan dengan ketentuan dalam jual beli.

Kami memiliki solusi syar'i yang lebih baik dan lebih sempurna. Jika penyewa meninggal dalam periode ini, maka dia telah memperoleh haknya setelah dua puluh empat bulan, namun kami tidak tahu apakah mobil tersebut menjadi miliknya dan termasuk dalam warisan atau bukan miliknya.

Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan: salah satu hal yang paling menarik dalam syarat-syarat syariat adalah bahwa ia memudahkan hakim untuk memutuskan dalam situasi darurat, dan menutup pintu ketidakjelasan dalam akad-akad.

Jika syarat-syarat sewa dan jual beli terpenuhi, dan sewa dilakukan sesuai dengan kaidah, serta jual beli dilakukan sesuai dengan kaidah, maka tidak mungkin terjadi perselisihan dalam jual beli atau sewa tanpa mengetahui hak masing-masing pihak.

Contoh: Jika seorang penyewa disewa selama satu bulan dengan pembayaran setiap hari, dan ia meninggal di tengah bulan, maka jelas apa yang menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya. Namun, jika orang yang terlibat dalam akad sewa yang berakhir dengan kepemilikan pada sebuah mobil atau tanah meninggal, maka kita tidak tahu apakah ia adalah pemilik tanah tersebut, yang berarti tanah tersebut akan menjadi bagian dari warisan, dan kita mewajibkan ahli waris untuk membayar sisa cicilan. Kita harus memandangnya seolah-olah jual beli telah terjadi pada awalnya, atau ia bukan pemilik, melainkan penyewa, lalu masalah kematian salah satu pihak dalam kontrak akan muncul, dan apakah ahli waris wajib melanjutkan kontrak atau tidak.

Ini menimbulkan kebingungan dalam akad-akad, oleh karena itu, [pertama] ada unsur ketidakjelasan (gharar) dalam hal sifat objek jual beli jika dikatakan bahwa itu adalah jual beli.

Kedua, tumpang tindih akad-akad yang dapat menimbulkan perselisihan dan permusuhan.

Ketiga, kita tidak tahu keadaan objek jual beli setelah beberapa bulan.

Jika kita katakan bahwa itu adalah jual beli, maka itu adalah jual beli dengan syarat, dan Rasulullah telah melarang jual beli dengan syarat. Oleh karena itu, jenis akad ini tidak dikenal di kalangan umat Islam, dan para ulama rahimahumullah tidak pernah menyebutkan sesuatu yang disebut sewa yang berakhir dengan kepemilikan. Ini tercatat dalam buku-buku ilmiah dan kitab fiqih, dan siapa pun yang ingin mengaitkan suatu akad dengan syariat, ia harus menelusuri penjelasan para ulama dan prinsip-prinsip mereka.

Berdasarkan itu, akad sewa tidak dapat dilakukan pada bagian-bagian (dari objek sewa).

[Lihat : Syarah Zad al-Mustaqni’ 5/213 oleh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithy]


Posting Komentar

0 Komentar