HUKUM MENJUAL BARANG KREDIT YANG BELUM LUNAS CICILAN-NYA
Di tulis oleh Abu Haitsam
Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
====
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
====****====
HUKUM JUAL BELI KREDIT :
Diperbolehkan membeli tanah dan barang-barang selain
emas, perak, dan uang dengan pembayaran yang ditangguhkan, baik seluruhnya
maupun sebagian. Misalnya, disepakati untuk membayar jumlah tertentu seperti
sepertiga atau seperempat, dan sisanya ditangguhkan hingga waktu tertentu.
====*****====
HUKUM MENJUAL BARANG KREDIT YANG BELUM DIBAYAR LUNAS CICILAN-NYA:
Ketika akad telah selesai, pembeli menjadi pemilik
tanah tersebut diatas maka dia boleh mempergunakannya sebagaimana pemilik
tanah, termasuk menjualnya atau memberikannya sebagai hadiah, selama ia tetap
membayar angsuran yang menjadi kewajibannya. Namun, pembeli tidak boleh menjual
tanah tersebut kepada penjual pertama dengan harga tunai yang lebih rendah
daripada harga belinya, karena itu termasuk jual beli 'inah yang diharamkan menurut penadapat jumhur
ulama, kecuali Imam Syafi’i, maka beliau memperbolehkannya .
Dalam *Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah* (9/36) disebutkan:
"الآثارُ المُتَرَتِّبَةُ
عَلَى البَيْعِ: أَوَّلًا: انْتِقَالُ المِلْكِ: يَمْلِكُ المُشْتَرِي المَبِيعَ، وَيَمْلِكُ
البَائِعُ الثَّمَنَ، وَيَكُونُ مِلْكُ المُشْتَرِي لِلمَبِيعِ بِمُجَرَّدِ عَقْدِ
البَيْعِ الصَّحِيحِ، وَلَا يَتَوَقَّفُ عَلَى التَّقَابُضِ، وَإِنْ كَانَ لِلتَّقَابُضِ
أَثَرُهُ فِي الضَّمَانِ" انْتَهَى.
“Dampak yang timbul dari jual beli: Pertama,
perpindahan kepemilikan. Pembeli menjadi pemilik barang yang dijual, dan
penjual menjadi pemilik harga (uang). Kepemilikan pembeli atas barang terjadi
sejak akad jual beli yang sah, tanpa bergantung pada serah terima, meskipun
serah terima memiliki pengaruh pada tanggung jawab barang.” Selesai.
Dan disebutkan juga dalam *Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah*
(9/40):
"وَتَسْلِيمُ
المَبِيعِ أَهَمُّ الآثَارِ الَّتِي يَلْتَزِمُ بِهَا البَائِعُ فِي عَقْدِ البَيْعِ،
وَهُوَ يَثْبُتُ عِنْدَ تَسْلِيمِ الثَّمَنِ الحَالِ، أَمَّا فِي الثَّمَنِ المُؤَجَّلِ
فَلَا يَتَوَقَّفُ تَسْلِيمُ المَبِيعِ عَلَى أَدَائِهِ" انْتَهَى.
“Penyerahan barang adalah dampak paling penting yang
wajib dilakukan penjual dalam akad jual beli. Hal ini berlaku ketika pembayaran
dilakukan secara tunai, sedangkan dalam pembayaran yang ditangguhkan,
penyerahan barang tidak bergantung pada pelunasan pembayaran.” Selesai.
Dalam beberapa akad, penjual mensyaratkan kepada
pembeli agar tidak menjual barang tersebut – baik tanah maupun lainnya – hingga
seluruh harganya dilunasi. Syarat ini diperbolehkan, dan pada hakikatnya
merupakan penjaminan (gadai) tanah terhadap harga atau hingga pelunasan
harganya. Dalam kondisi seperti ini, pembeli tidak diperbolehkan menjual tanah
tersebut kecuali dengan izin pihak yang menerima gadai (penjual pertama).
Berdasarkan hal ini, jika Anda tidak membuat
kesepakatan dengan penjual untuk menjadikan tanah tersebut sebagai jaminan
hingga Anda melunasi harganya, maka Anda boleh menjualnya dengan harga berapa
pun yang Anda inginkan, baik lebih tinggi maupun lebih rendah daripada harga
belinya, karena Anda telah menjadi pemilik tanah tersebut dan bebas
mempergunakannya sesuai keinginan Anda.
Allah Maha Mengetahui.
===****===
HUKUM JUAL BELI ‘INAH (العِيْنَة) :
Menjual Kembali Barang Kredit Kepada Pemberi Kredit Dengan Harga Lebih Murah
Definisi Jual beli al-Iinah :
أَنْ يَبِيعَ سِلْعَةً بِثَمَنٍ مَعْلُومٍ
إِلَى أَجَلٍ ثُمَّ يَشْتَرِيَهَا مِنَ ٱلْمُشْتَرِي بِأَقَلِّ لِيَبْقَى ٱلْكَثِيرُ
فِي ذِمَّتِهِ، وَسُمِّيَتْ عَيْنَةً لِحُصُولِ ٱلْعَيْنِ أَيْ نَقْدٍ فِيهَا، وَلِأَنَّهُ
يَعُودُ إِلَى ٱلْبَائِعِ عَيْنَ مَالِهِ.
“Bahwa seseorang menjual barang dengan cara kredit
atau hutang ( yakni dengan harga yang sudah ditentukan untuk jangka waktu
tertentu), kemudian ia membelinya kembali dari pembeli dengan harga yang lebih
rendah agar sisa uang yang banyak tetap ada dalam tanggungannya.
Transaksi ini disebut 'Inah karena melibatkan uang
tunai (naskah), dan karena barang tersebut kembali menjadi milik asli penjual”.
Selesai dari Sabulus-Salam.
Simpelnya : Hukum seseorang membeli barang dengan cara
hutang, lalu menjualnya kembali kepada si penjual-nya dengan harga lebih murah.
Ibnu Qudamah berkata dalam *Al-Mughni* 6/260 no. Masalah
749 :
مَسْأَلَةٌ: قَالَ: (وَمَنْ بَاعَ سِلْعَةً
بِنَسِيئَةٍ، لمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِيهَا بِأَقَلَّ مِمَّا بَاعَهَا بِهِ)
وجُمْلَةُ ذلك، أنَّ مَن باعَ سِلْعَةً
بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ، ثم اشْتَراها بأقَلَّ منه نَقْدًا، لم يَجُزْ في قولِ أكْثَرِ
أهْلِ العِلْمِ.
رُوِىَ ذلك عن ابنِ عَبَّاسٍ، وعائِشةَ،
والحسنِ، وابنِ سِيرِينَ، والشَّعْبيِّ، والنَّخَعِيِّ. وبه قال أبو الزِّنادِ، ورَبِيعَةُ،
وعبدُ العزيزِ ابنُ أبى سَلَمَةَ، والثَّوْرِيُّ، والأوْزاعِيُّ، ومالِكٌ، وإسْحاقُ،
وأصْحابُ الرَّأْىِ.
وأجازَه الشَّافِعِيُّ؛ لِأَنَّهُ ثَمَنٌ
يَجُوزُ بَيْعُهَا بِهِ مِنْ غَيْرِ بَائِعِهَا فَجَازَ مِنْ بَائِعِهَا. كَمَا لَوْ
بَاعَهَا بِمِثْلِ ثَمَنِهَا.
**Masalah:** Ia berkata: *(Barang siapa menjual suatu
barang dengan pembayaran tempo, maka tidak diperbolehkan baginya untuk
membelinya kembali dengan harga lebih rendah dari harga jualnya).*
Penjelasannya adalah, barang siapa menjual suatu
barang dengan harga yang ditangguhkan pembayarannya, kemudian membelinya
kembali dengan harga lebih rendah secara tunai, maka hal ini tidak
diperbolehkan menurut pendapat mayoritas ulama.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Aisyah
radhiyallahu 'anha, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i. Pendapat
serupa juga dipegang oleh Abu Az-Zinad, Rabi'ah, Abdul Aziz bin Abi Salamah,
Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Malik, Ishaq, dan para ahli fikih lainnya.
Namun, al-Imam Asy-Syafi’i membolehkan hal ini, dengan
alasan bahwa harga tersebut merupakan nilai yang sah untuk menjual barang
kepada selain penjual awal, maka ia pun sah jika dilakukan dengan penjual
awalnya. Sebagaimana jika barang tersebut dijual kembali dengan harga yang sama
seperti harga awalnya.
DALIL LARANGAN JUAL BELI AL-‘IINAH :
Diriwayatkan oleh Gundar dari Syu'bah, dari Abu Ishaq
As-Sabi’i, dari istrinya yang bernama Al-‘Aliyah, ia berkata:
" دَخَلْتُ أَنَا وَأُمُّ وَلَدِ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَلَى عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقَالَتْ أُمُّ وَلَدِ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ: إِنِّي بِعْتُ
غُلَامًا مِنْ زَيْدٍ، بِثَمَانِمِائَةِ دِرْهَمٍ إِلَى الْعَطَاءِ، ثُمَّ اشْتَرَيْتُهُ
مِنْهُ بِسِتِّمِائَةِ دِرْهَمٍ نَقْدًا. فَقَالَتْ لَهَا: بِئْسَ مَا اشْتَرَيْتِ،
وَبِئْسَ مَا شَرَيْتِ، أَبْلِغِي زَيْدًا: أَنَّ جِهَادَهُ مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَطَل، إِلَاّ أَنْ يَتُوبَ .
قَالُوا: وَلَا
تَقُول مِثْل ذَلِكَ إِلَاّ تَوْقِيفًا
"Aku bersama Ummu Walad Zaid bin Arqam masuk
menemui Aisyah radhiyallahu 'anha. Lalu Ummu Walad Zaid bin Arqam berkata: ‘Aku
telah menjual seorang budak kepada Zaid dengan harga delapan ratus dirham
secara berjangka hingga waktu tertentu, lalu aku membelinya kembali darinya
dengan harga enam ratus dirham secara tunai.’ Maka Aisyah berkata kepadanya:
‘Buruk sekali apa yang engkau jual, dan buruk sekali apa yang engkau beli.
Sampaikan kepada Zaid bahwa jihadnya bersama Rasulullah ﷺ batal, kecuali jika ia bertobat.’
Mereka (perawi) berkata: ‘Aisyah tidak mungkin
mengatakan hal seperti itu kecuali berdasarkan tuntunan (wahyu).’”
TAKHRIJ HADITS :
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad sebagaimana disebutkan dalam *Nashbur Rayah* (4/41), juga oleh Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf* dalam kitab Jual Beli, Bab Seseorang yang menjual barang lalu ingin membelinya kembali secara tunai (8/184), Ibnu Al-Ja'd dalam *Musnad*-nya (1/376), dan Ad-Daraquthni dalam kitab Jual Beli (3/52).
Ad-Daraquthni berkata: “Ummu Mahabbah dan Al-‘Aliyah
adalah perawi yang majhul (tidak dikenal) sehingga tidak dapat dijadikan
hujjah.” Selesai.
Imam Asy-Syafi’i cenderung melemahkan atsar ini,
sebagaimana disebutkan dalam *Al-Umm* (3/79).
Ibnu Al-Qayyim dalam *Tahdzib As-Sunan* (5/100)
mengatakan:
وَقَالَ غَيْرُهُ: هَذَا الْحَدِيثُ حَسَنٌ،
وَيُحْتَجُّ بِمِثْلِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ رَوَاهُ عَنِ الْعَالِيَةِ ثِبْتَانِ: أَبُو
إِسْحَاقَ زَوْجُهَا، وَيُونُسُ ابْنُهَا، وَلَمْ يُعْلَمْ فِيهَا جَرْحٌ، وَالْجَهَالَةُ
تَرْتَفِعُ عَنِ الرَّاوِي بِمِثْلِ ذَلِكَ، ثُمَّ إِنَّ هَذَا مِمَّا ضُبِطَتْ فِيهِ
الْقِصَّةُ، وَمَنْ دَخَلَ مَعَهَا عَلَى عَائِشَةَ، وَقَدْ صَدَّقَهَا زَوْجُهَا وَابْنُهَا
وَهُمَا مَنْ هُمَا؛ فَالْحَدِيثُ مَحْفُوظٌ. اهـ
“Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hadis ini hasan
dan dapat dijadikan hujjah. Karena hadis ini diriwayatkan dari Al-‘Aliyah oleh
dua perawi yang tsiqah, yaitu Abu Ishaq (suaminya) dan Yunus (anaknya). Tidak
diketahui adanya jarh (kritikan) terhadap Al-‘Aliyah, dan status majhul (tidak
dikenal) seorang perawi dapat hilang dengan adanya periwayatan seperti itu.
Selain itu, kisah ini diriwayatkan dengan rincian yang jelas, termasuk siapa
saja yang masuk bersama Al-‘Aliyah ke rumah Aisyah, dan telah dibenarkan oleh
suaminya serta anaknya, yang keduanya adalah perawi yang terpercaya. Oleh
karena itu, hadis ini terjaga.” Selesai.
Di antara ulama yang menguatkan hadis ini adalah Ibnu
Al-Jauzi dalam *At-Tahqiq* (7/129), yang kemudian disetujui oleh Adz-Dzahabi
dalam *At-Tanqih* (7/127). Ibnu Abdul Hadi dalam *At-Tanqih* - sebagaimana
disebutkan dalam *Nashbur Rayah* (4/42) - mengatakan bahwa sanadnya baik.
Selesai. Demikian pula Ibnu At-Turkumani dalam *Al-Jauhar An-Naqi* (5/330)
menguatkan hadis ini.
Dalam lafaz riwayat Abdurrazzaq disebutkan:
(بِئْسَ مَا اشْتَرَيْتَ،
وَبِئْسَ مَا اشْتَرَى)
*“Buruk sekali apa yang engkau beli, dan buruk sekali
apa yang ia jual.”* [TAKHRIJ HADITS AISYAH RA SELESAI]
HADITS LAIN :
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa
Nabi ﷺ
bersabda:
إِذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ،
وَتَبَايَعُوا بِالْعِينَةِ، وَاتَّبَعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَتَرَكُوا الْجِهَادَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَنْزَلَ اللَّهُ بِهِمْ بَلَاءً، فَلَا يَرْفَعُهُ حَتَّى يُرَاجِعُوا
دِينَهُمْ.
**"Apabila manusia menjadi pelit terhadap dinar
dan dirham, melakukan jual beli secara 'inah, mengikuti ekor-ekor sapi, serta
meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kepada mereka
suatu bencana yang tidak akan dihilangkan hingga mereka kembali kepada agama
mereka."**
Dalam lafadz riwayat lain disebutkan:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ
أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ.
**"Apabila kalian melakukan jual beli secara
'inah, mengambil ekor-ekor sapi, merasa puas dengan pertanian, dan meninggalkan
jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian yang tidak akan dicabut
hingga kalian kembali kepada agama kalian."**
TAKHRIJ HADITS :
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *Al-Musnad* (2/28), Abu
Dawud dalam "Al-Sunan" (Kitab Al-Buyu', Bab Larangan tentang 'Inah)
(3/ 274 - 275, nomor 3462), Al-Dulabi dalam "Al-Kuna wa Al-Asma" (2/
65), Al-Bayhaqi dalam "Al-Kubra" (5/ 316), Abu Nu'aim dalam
"Al-Hilyah" (5/ 208 - 209), Ibnu Adi dalam "Al-Kamil" (5/
1998), Abu Umayyah Ath-Tharsusi dalam *Musnad Ibnu Umar* (no. 22), dan
Ath-Thabrani dalam *Al-Mu’jam Al-Kabir* (no. 13583) melalui jalur Abu Bakar bin
Ayyasy.
Ibnu At-Turkumani dalam *Al-Jauhar An-Naqi* (3/316–317)
dan Az-Zaila’i dalam *Nashb Ar-Rayah* (4/17) mengutip pernyataan Ibnu
Al-Qaththan mengenai sanad ini — yang dinisbatkan kepada Ahmad dalam *Az-Zuhd*
—:
وَهَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ، وَرِجَالُهُ
ثِقَاتٌ
“Hadis ini sahih, dan para perawinya terpercaya.” Lihat
pernyataannya dalam *Bayan Al-Wahm wal-Iham* (5/295).
Ibnu Hajar dalam *At-Talkhis Al-Habir* (3/19)
mengkritik penilaian Ibnu Al-Qaththan dengan mengatakan:
قُلْتُ: وَعِندِي أَنَّ إِسْنَادَ الْحَدِيثِ
الَّذِي صَحَّحَهُ ابْنُ الْقَطَّانِ مَعْلُولٌ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِ
رِجَالِهِ ثِقَاتٍ أَنْ يَكُونَ صَحِيحًا؛ لِأَنَّ الْأَعْمَشَ مُدَلِّسٌ، وَلَمْ يُنْكِرْ
سَمَاعَهُ مِنْ عَطَاءٍ، وَعَطَاءٌ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ هُوَ عَطَاءُ الْخُرَاسَانِيِّ،
فَيَكُونُ فِيهِ تَدْلِيسُ التَّسْوِيَةِ بِإِسْقَاطِ نَافِعٍ بَيْنَ عَطَاءٍ وَابْنِ
عُمَرَ؛ فَرَجَعَ الْحَدِيثُ إِلَى الْإِسْنَادِ الْأوَّلِ، وَهُوَ الْمَشْهُورُ.
“Saya berpandangan bahwa sanad hadis yang dinyatakan
sahih oleh Ibnu Al-Qaththan itu mengandung cacat. Sebab, tidak selalu dengan
hanya para perawinya terpercaya, sebuah hadis menjadi sahih. Karena Al-A’masy
seorang mudallis (perawi yang menyembunyikan cacat sanad) dan tidak ada
pernyataan yang jelas bahwa ia mendengar hadis ini dari ‘Atha’. Selain itu,
‘Atha’ juga mungkin adalah ‘Atha’ Al-Khurasani, yang berarti adanya kemungkinan
terjadinya tadlis taswiyah dengan menggugurkan Nafi’ antara ‘Atha’ dan Ibnu
Umar. Sehingga, hadis ini kembali pada sanad yang pertama, yang merupakan sanad
yang masyhur.”
Kesimpulannya, hadis ini sahih secara keseluruhan
melalui berbagai jalurnya. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qayyim dalam *Tahdzib
As-Sunan* (5/103–104), yang setelah menyebutkan beberapa jalurnya
mengatakan:
وَهَذَا يُبَيِّنُ أَنَّ لِلْحَدِيثِ
أَصْلًا، وَأَنَّهُ مَحْفُوظٌ.
“Hal ini menunjukkan bahwa hadis ini memiliki asal yang kuat dan terjaga.” [TAKHRIJ HADITS IBNU UMAR RA SELESAI]
====*****=====
TANYA JAWAB FATWA ISLAMQA NO.
69877:
Benarkah : "Jangan
daftarkan mobil atas namanya kecuali jika ia telah membayar angsuran terakhir
dari harganya"?
هَلْ صَحِيْح أنْ لَا
تَكْتُبِ السَّيَّارَةَ بِاسْمِهِ إِلَّا إِذَا دَفَعَ آخِرَ قِسْطٍ مِنْ ثَمَنِهَا
**PERTANYAAN**
Saya ingin membeli mobil dengan cara cicilan. Metode
penjualannya adalah saya membayar uang muka terlebih dahulu, lalu mencicil
setiap bulan. Setelah saya membayar cicilan terakhir, mobil baru akan
didaftarkan atas nama saya. Perlu diketahui, cicilan terakhir jumlahnya sama
seperti cicilan lainnya.
**JAWABAN:**
**Pertama:**
Tidak ada larangan dalam membeli secara cicilan, baik
dengan membayar uang muka maupun tidak, asalkan akad tidak mengandung syarat
denda apabila terjadi keterlambatan pembayaran. Syarat seperti ini termasuk
riba yang diharamkan.
**Kedua:**
Ketika akad telah selesai, Anda menjadi pemilik mobil
tersebut, meskipun Anda belum membayar satu pun cicilan. Mobil tersebut
berpindah ke dalam kepemilikan Anda, sementara harganya menjadi utang yang
harus Anda lunasi.
**Ketiga:**
Pendaftaran mobil atas nama pembeli bertujuan untuk
mendokumentasikan hak, bukan merupakan syarat sahnya jual beli. Kepemilikan
barang yang dijual berpindah ke pembeli sejak akad selesai, baik mobil tersebut
sudah didaftarkan atas nama pembeli maupun tetap terdaftar atas nama
penjual.
**Keempat:**
Penjual diperbolehkan mensyaratkan jaminan untuk
melindungi haknya, dan ia boleh menjadikan mobil tersebut sebagai jaminan.
Dengan demikian, pembeli tidak dapat menjual mobil tersebut hingga cicilan
dilunasi dan jaminan dilepaskan. Para ahli fikih telah menetapkan kebolehan
ini. Dalam *Kasyaf al-Qina'* (3/189) disebutkan:
"فَيَصِحُّ
اشْتِرَاطُ رَهْنِ الْمَبِيعِ عَلَى ثَمَنِهِ، فَلَوْ قَالَ: بَعْتُكَ هَذَا عَلَى
أَنْ تَرْهَنَنِيهِ عَلَى ثَمَنِهِ، فَقَالَ: اشْتَرَيْتُ وَرَهَنْتُكَ صَحَّ الشِّرَاءُ
وَالرَّهْنُ" اِنْتَهَى.
“Diperbolehkan mensyaratkan jaminan atas barang yang
dijual untuk harganya. Jika dikatakan: ‘Aku menjual barang ini kepadamu dengan
syarat engkau menjadikannya sebagai jaminan atas harganya,’ kemudian pembeli
berkata: ‘Aku membeli dan menjadikannya sebagai jaminan,’ maka jual beli dan
jaminan itu sah.” Selesai.
Berdasarkan hal ini, jika pendaftaran mobil atas nama
Anda ditunda untuk meningkatkan keamanan—karena penjual khawatir Anda akan
menjualnya sebelum melunasi cicilan—hal ini tidak memengaruhi keabsahan jual
beli. Sebagaimana telah disebutkan, pendaftaran hanya untuk tujuan dokumentasi.
Namun, Anda telah memiliki mobil tersebut secara syar'i sejak akad selesai.
Jika mobil tersebut dijadikan jaminan, maka Anda tidak diperbolehkan menjualnya
hingga jaminan dilepaskan atau penjual memberikan izin.
Majelis Hai’ah Kibar al-Ulama memandang bahwa
diperbolehkan bagi penjual untuk menyimpan dokumen kendaraan sebagai bentuk
dokumentasi. Mereka berkata:
"وَيَرَى الْمَجْلِسُ
أَنْ يَسْلُكَ الْمُتَعَاقِدَانِ طَرِيقًا صَحِيحًا، وَهُوَ أَنْ يَبِيعَ الشَّيْءَ
وَيَرْهَنَهُ عَلَى ثَمَنِهِ وَيَحْتَاطَ لِنَفْسِهِ بِالِاحْتِفَاظِ بِوَثِيقَةِ الْعَقْدِ
وَاسْتِمَارَةِ السَّيَّارَةِ وَنَحْوَ ذَلِكَ" اِنْتَهَى.
“Majelis memandang bahwa kedua belah pihak hendaknya
menempuh cara yang sah, yaitu menjual barang dan menjaminkannya atas harganya,
serta melindungi dirinya dengan menyimpan dokumen akad, dokumen kendaraan, dan hal-hal
serupa.” Selesai.
Kami juga perlu mengingatkan bahwa ada bentuk akad
lain yang mirip dengan yang Anda sebutkan, yaitu akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan (*ijarah muntahiyah bit tamlik*). Dalam akad ini, pemilik mobil
tetap menjadi pemilik sampai cicilan terakhir atau biaya sewa dilunasi. Namun,
akad ini memiliki rincian tertentu dan telah dikeluarkan keputusan terkait oleh
Majelis Fikih Islam.
** **FATWA SYEKH IBNU BAZ
RAHIMAHULLAH TA'ALA:**
**HUKUM SESEORANG YANG
MEMBELI BARANG SECARA ANGSURAN, LALU MENJUALNYA DENGAN HARGA LEBIH RENDAH**
حُكْمُ مَنْ اشْتَرَى
سِلْعَةً بِالتَّقْسِيطِ ثُمَّ بَاعَهَا بِأَقَلَّ مِنْ ثَمَنِهَا
**PERTANYAAN:**
Selanjutnya, kita beralih ke Republik Arab Suriah
untuk membaca sebuah surat yang dikirim oleh salah seorang pendengar dari sana.
Ketika menulis surat ini, ia berada di Jeddah. Ia mengatakan: "Faisal bin
Ahmad Al-Ali. Saya memiliki satu kasus. Ada seorang laki-laki yang membutuhkan
uang, tetapi tidak mampu meminjam kecuali dengan cara membeli sesuatu dengan
harga dua kali lipat, lalu menjualnya kembali agar mendapatkan uang. Contohnya:
seseorang membeli mobil yang di pasaran harganya 500 ribu lira. Ketika ia
membelinya secara angsuran untuk jangka waktu satu tahun, ia membelinya seharga
900 ribu lira, lalu menjualnya seharga 500 ribu. Apakah perbuatan ini
diperbolehkan? Mengingat banyak pendapat yang berbeda tentang hal ini; ada yang
mengatakan bahwa ini adalah riba, dan ada yang mengatakan bahwa ini
diperbolehkan. Apa pendapat Anda mengenai masalah ini?"
**JAWABAN:**
Pendapat yang benar dalam hal ini adalah bahwa
perbuatan tersebut diperbolehkan. Pendapat ini adalah yang dipegang oleh
mayoritas ulama. Tidak ada larangan dalam hal ini, dan ini disebut *jual beli
angsuran*. Jika barang tersebut memang dimiliki oleh penjual, telah diambil
alih, dan menjadi miliknya, kemudian ia menjualnya kepada seseorang secara
kredit dengan angsuran yang telah disepakati, lalu pembeli menjualnya dengan
harga yang lebih rendah untuk memenuhi kebutuhannya, seperti untuk menikah atau
keperluan lainnya, maka tidak ada masalah dalam hal ini.
Hal ini didukung oleh riwayat dalam kitab *Shahihain*
(Bukhari dan Muslim) dari Aisyah radhiyallahu 'anha, yang menceritakan :
أَنَّ أَهْلَ بَرِيرَةَ بَاعُوهَا بِأَقْسَاطٍ،
بَاعُوهَا لِعَائِشَةَ بِأَقْسَاطٍ، كُلَّ سَنَةٍ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا أُوقِيَّةً
تِسْعَ سِنِينَ بِأَقْسَاطٍ، وَاشْتَرَتْهَا عَائِشَةُ نَقْدًا.
bahwa keluarga Barirah menjualnya kepada Aisyah secara
angsuran. Mereka menjualnya dengan pembayaran setiap tahun sebesar empat puluh
dirham selama sembilan tahun. Aisyah kemudian membelinya secara tunai.
Intinya, jual beli angsuran adalah sesuatu yang telah
dikenal bahkan pada masa Nabi ﷺ. Tidak ada
masalah jika seseorang membeli barang secara angsuran, lalu menjualnya dengan
harga yang lebih rendah untuk memenuhi kebutuhan seperti menikah, membangun
rumah, melunasi utang yang membebaninya, atau hal lainnya.
Namun, syaratnya adalah penjual harus sudah memiliki
barang tersebut dan telah mengambil alihnya. Penjual tidak boleh menjual
sesuatu yang belum ia miliki. Nabi ﷺ bersabda:
"لَا تَبِعْ
مَا لَيْسَ عِندَكَ".
*"Janganlah menjual barang yang belum engkau miliki"*
Dan :
"لَا يَحِلُّ
سَلَفٌ وَبَيْعٌ . وَلَا بَيْعُ مَا
لَيْسَ عِندَكَ".
*"Tidak diperbolehkan memadukan antara
utang dan jual beli, serta tidak diperbolehkan menjual sesuatu yang belum
engkau miliki."*
Dan
نَهَى أَنْ تُبَاعَ السَّلَعُ حَتَّى
يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ.
Nabi melarang menjual barang di tempat pembelian
sebelum barang tersebut diambil dan dipindahkan oleh pedagang ke tempat
mereka.
Jadi, jika seseorang menjual barang yang telah ia
miliki dan ambil alih, tidak masalah. Sebaliknya, jika ia menjual barang yang
masih dimiliki orang lain dan belum dimilikinya, maka ini tidak diperbolehkan.
Adapun pembeli, jika ia membeli barang dari seseorang yang telah memilikinya
secara angsuran, kemudian setelah barang tersebut ia terima, ia menjualnya
untuk memenuhi kebutuhannya, meskipun dengan harga lebih rendah atau lebih
tinggi, maka hal ini diperbolehkan.
Sebagai contoh, Nabi ﷺ dalam sebuah peperangan pernah membeli seekor unta dengan dua
unta yang diambil dari unta zakat. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada
Nabi Muhammad ﷺ.
**HUKUM MENERIMA UANG MUKA DARI HARGA BARANG LALU MEMBELI DAN MENYERAHKANNYA KEPADA PEMBELI**
يَسْتَلِمُ مُقَدَّمًا
مِنْ ثَمَنِ السِّلْعَةِ ثُمَّ يَشْتَرِيهَا وَيُسَلِّمُهَا لِلْمُشْتَرِي
Mengambil uang muka dari pembeli berarti bahwa jual
beli telah selesai dan mengikat kedua belah pihak. Transaksi telah melewati
tahap negosiasi dan tawar-menawar, menuju tahap perjanjian jual beli yang sah.
Seorang Muslim tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
Dahulu, Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu menjual
barang di pasar dengan cara seperti ini, lalu ia bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hal tersebut, dan Nabi ﷺ melarangnya.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3503), At-Tirmidzi
(1232), dan An-Nasa’i (4613) dari Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu, ia
berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، يَأْتِينِي الرَّجُلُ
فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي ، أَبِيعُهُ مِنْهُ ، ثُمَّ أَبْتَاعُهُ
لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ : (لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ)
*“Saya bertanya kepada Nabi ﷺ, saya berkata: 'Ya Rasulullah, datanglah
seorang lelaki kepadaku dan meminta untuk membeli barang yang tidak ada padaku.
Bolehkah aku menjualnya kepadanya, kemudian aku membelinya untuknya dari
pasar?' Nabi ﷺ bersabda:
'Jangan jual apa yang tidak engkau miliki.'”* Hadis ini disahihkan oleh
Al-Albani dalam *Shahih At-Tirmidzi*.
Namun, jika kesepakatan antara penjual dan pembeli
hanya berupa janji untuk membeli dan menjual tanpa kewajiban dari salah satu
pihak, maka tidak ada masalah jika Anda membeli barang tersebut setelah itu dan
menjualnya kepada pembeli, karena jual beli baru sah setelah Anda memiliki
barang tersebut.
*****
**PERTANYAAN KEPADA SYEKH ABDUL AZIZ BIN BAZ RAHIMAHULLAH DARI SEORANG PEDAGANG MOBIL:**
Seorang pedagang mobil bertanya: *"Saya menjual
mobil dengan cicilan bulanan. Saya setuju dengan orang yang ingin membeli mobil
secara cicilan, dan saya sepakat untuk menjual mobil tersebut sebelum saya
membelinya, dengan menjamin keuntungan saya terlebih dahulu. Apa hukum
perbuatan ini?"*
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:
إِذَا كَانَ بَيْعُ السَّيَّارَةِ وَنَحْوِهَا
عَلَى رَاغِبِ الشِّرَاءِ، بَعْدَمَا مَلَكَهَا الْبَائِعُ، وَقُيِّدَتْ بِاسْمِهِ
وَحَازَهَا: فَلَا بَأْسَ، أَمَّا قَبْلَ ذَٰلِكَ: فَلَا يَجُوزُ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ: "لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ
عِندَكَ"، وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَحِلُّ
سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِندَكَ"، وَهُمَا حَدِيثَانِ صَحِيحَانِ،
فَوَجَبَ الْعَمَلُ بِهِمَا وَالْحَذَرُ مِمَّا يُخَالِفُ ذَٰلِكَ، وَاللَّهُ وَلِيُّ
التَّوْفِيقِ.
*"Jika penjualan mobil atau barang serupa
dilakukan kepada orang yang ingin membeli setelah penjual memiliki barang
tersebut, mencatatnya atas namanya, dan sudah berada di tangannya, maka tidak
masalah. Namun sebelum itu, tidak diperbolehkan, karena Nabi ﷺ bersabda kepada Hakim bin Hizam: 'Jangan
jual apa yang tidak engkau miliki,' dan juga sabda beliau: 'Tidak diperbolehkan
ada pinjaman dan jual beli, serta jual beli apa yang tidak ada padamu.' Kedua
hadis ini sahih, oleh karena itu wajib mengikuti keduanya dan berhati-hati dari
yang bertentangan dengan keduanya. Allah-lah yang memberi taufik."* (Dari
*Majmu' Fatawa Syekh Ibnu Baz* 19/21)
====
**PERTANYAAN LAIN-NYA:**
*Apa hukum yang disebut dengan janji untuk membeli,
dan apakah itu termasuk riba?*
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:
"الوَعْدُ بِالْشِّرَاءِ
لَيْسَ شِرَاءً، وَلَكِنَّهُ وَعْدٌ بِذَٰلِكَ؛ فَإِذَا أَرَادَ إِنسَانٌ شِرَاءَ حَاجَةٍ،
وَطَلَبَ مِنْ أَخِيهِ أَنْ يَشْتَرِيَهَا ثُمَّ يَبِيعَهَا عَلَيْهِ: فَلَا حَرَجَ
فِي ذَٰلِكَ: إِذَا تَمَّ الشِّرَاءُ، وَحَصَلَ الْقَبْضُ، ثُمَّ بَاعَهَا بَعْدَ ذَٰلِكَ
عَلَى الرَّاغِبِ فِي شِرَائِهَا، لِمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنْ حَكِيمِ
بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: ....
[وَذَكَرَ الْحَدِيثَ
الْمُتَقَدِّمَ ثُمَّ قَالَ] : فَدَلَّ ذَٰلِكَ عَلَى أَنَّهُ إِذَا بَاعَهَا عَلَى
أَخِيهِ بَعْدَمَا مَلَكَهَا، وَصَارَتْ عِندَهُ: فَإِنَّهُ لَا حَرَجَ فِي ذَٰلِكَ"
انتهى.
*"Janji untuk membeli bukanlah jual beli,
melainkan hanya janji untuk membeli. Jika seseorang ingin membeli sesuatu dan
meminta saudaranya untuk membelinya dan kemudian menjualnya kepadanya, maka
tidak ada masalah dalam hal ini, jika transaksi pembelian sudah selesai, barang
telah diterima, dan kemudian dijual kepada orang yang menginginkannya. Hal ini
berdasarkan hadis sahih dari Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu yang
mengatakan: [kemudian menyebutkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya] yang
menunjukkan bahwa jika seseorang menjualnya kepada saudaranya setelah ia
memilikinya dan barang tersebut ada padanya, maka tidak ada masalah dalam hal
ini."* (Dari *Majmu' Fatawa Syekh Ibnu Baz* 19/68)
*****
**PERTANYAAN KEPADA SYEKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-UTSAIMIN RAHIMAHULLAH:**
Dalam beberapa toko saat ini, pembeli pergi untuk
membeli suatu barang dari penjual, lalu penjual berkata kepadanya, "Tunggu
sebentar," kemudian pergi dan membawa barang dari toko lain. Apa hukumnya
hal ini? Apakah ini termasuk dalam akad salam tunai atau tidak?
**JAWABAN:**
"أَمَّا إِذَا
تَعَاقَدَا: فَهَذَا لَا يَجُوزُ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ). وَأَمَّا إِذَا تَوَاعَدَا، وَقَالَ: ائْتِنِي بَعْدَ
الْعَصْرِ مَثَلًا، وَهُوَ طَلَبَهَا مِنْهُ الصَّبَاحَ، عَلَى نِيَّةٍ أَنَّهُ سَيَشْتَرِي
هَذِهِ السِّلْعَةَ وَيَبِيعُهَا عَلَيْهِ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ؛
لِأَنَّهُ لَمْ يَحْصُلْ عَقْدٌ. الْمُهِمُّ أَلَّا يَكُونَ بَيْنَهُمَا عَقْدٌ قَبْلَ
أَنْ تَحْضُرَ السِّلْعَةُ" انْتَهَى.
"Jika sudah terjadi akad, maka hal ini tidak
diperbolehkan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: *'Janganlah engkau menjual apa yang belum engkau miliki.'*
Namun, jika hanya sekadar janji, seperti penjual berkata, 'Datanglah setelah
waktu ashar,' sementara pembeli memintanya pada pagi hari dengan maksud penjual
akan membeli barang tersebut dan menjualnya kepadanya setelah waktu ashar, maka
hal ini tidak mengapa karena belum terjadi akad. Yang penting adalah tidak
adanya akad sebelum barang tersebut tersedia."
*(Selesai)* **(Liqaat
Al-Bab Al-Maftuh, 115/24, nomor sesuai Syamilah)**
Adapun pernyataan penanya: *"Dan pembayaran sisa
harga dilakukan dengan angsuran bulanan disertai bunga,"* jika yang
dimaksud adalah angsuran bulanan yang apabila terlambat dikenakan bunga
tambahan, maka ini haram dan termasuk riba.
Namun, jika yang dimaksud adalah harga barang secara
angsuran lebih tinggi daripada harga tunai, dan kenaikan tersebut dibagi dalam
angsuran bulanan, maka hal ini diperbolehkan, selama kedua belah pihak telah
sepakat pada harga dan menetapkannya saat akad.
Namun, sangat tidak disukai jika perhitungan kenaikan
ini dilakukan seperti cara perhitungan riba. Misalnya, penjual berkata,
"Saya akan menambah 20% setiap tahun."
Sebaiknya penjual menghitung harga secara angsuran,
kemudian memberitahukannya kepada pembeli, lalu kedua belah pihak menyepakati
hal tersebut, tanpa menyerupakannya dengan riba.
0 Komentar