Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM PERNIKAHAN MISYAR (زَوَاجُ ٱلْمِسْيَارِ)

HUKUM PERNIKAHAN MISYAR

زَوَاجُ ٱلْمِسْيَارِ

 ===

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

---

---
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 ====****====

DEFINISI NIKAH AL-MISYAR :

Nikah misyar adalah :

أَنْ يَعْقِدَ ٱلرَّجُلُ زَوَاجَهُ عَلَى ٱمْرَأَةٍ عَقْدًا شَرْعِيًّا مُسْتَوْفِيَ ٱلْأَرْكَانِ وَٱلشُّرُوطِ، لَكِنْ تَتَنَازَلُ فِيهِ ٱلْمَرْأَةُ عَنْ بَعْضِ حُقُوقِهَا كَٱلسَّكَنِ أَوِ ٱلنَّفَقَةِ أَوِ ٱلْمَبِيتِ

Seorang laki-laki menikahi seorang wanita melalui akad nikah yang sah sesuai dengan syari'at Islam, dengan terpenuhinya seluruh rukun dan syaratnya. Namun, wanita tersebut secara sukarela melepaskan sebagian haknya, seperti hak atas tempat tinggal, nafkah, dan giliran bermalam.

Zawaj Misyar atau Zawaj Ikhtiar adalah pernikahan dan istilah sosial yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara Arab dan beberapa negara Islam.

Ada kemiripan dengan istri simpanan atau nikah sirri .  

Istilah ini merujuk pada pernikahan yang dilakukan oleh seorang pria Muslim dengan seorang wanita melalui akad yang sah sesuai dengan rukun-rukun pernikahan, di mana sang istri menyetujui untuk melepaskan sebagian hak-haknya, seperti tempat tinggal dan nafkah.

****

PERBEDAAN ANTARA ZAWAJ MISYAR DAN ZAWAJ 'URFI (pernikan pada umumnya):

Zawaj Misyar tercatat secara resmi di lembaga pemerintah, sementara Zawaj 'Urfi tidak pernah tercatat.

Dalam Zawaj 'Urfi, semua akibat hukum yang terkait berlaku, termasuk hak nafkah dan giliran bermalam, sedangkan dalam Zawaj Misyar, disepakati untuk mengesampingkan hak nafkah dan giliran bermalam serta tempat tinggal.

*****

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG :

Adapun faktor-faktor yang mendorong munculnya praktik pernikahan jenis ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama :

Meningkatnya jumlah wanita yang masih perawan yang belum pernah menikah hingga pada usia lanjut. Fenomena ini terjadi karena banyak pemuda enggan menikah disebabkan tingginya biaya mas kawin dan biaya pernikahan. Selain itu, meningkatnya angka perceraian juga menjadi alasan. Dalam situasi seperti ini, sebagian perempuan bersedia menjadi istri kedua atau ketiga dengan bersedia menggugurkan sebagian hak mereka.

Kedua :

Kebutuhan sebagian perempuan untuk tetap tinggal di rumah keluarganya. Hal ini mungkin disebabkan oleh tanggung jawab penuh yang diemban di rumah tersebut, atau karena kondisi fisik tertentu yang membuat keluarga khawatir jika ia tidak mendapatkan perlakuan yang layak dari suaminya. Ada pula yang memilih tetap tinggal di rumah keluarga karena memiliki anak-anak yang tidak memungkinkan untuk pindah ke rumah suami baru. 

Faktor lainnya adalah suami yang tidak keberatan menjaga komunikasi tanpa mengubah situasi tersebut.

Ketiga :

Keinginan sebagian laki-laki yang sudah menikah untuk menjaga kehormatan perempuan lain. Hal ini seringkali didasari oleh kebutuhan perempuan tersebut akan perlindungan, atau karena kebutuhan laki-laki untuk mendapatkan kenikmatan yang dibolehkan secara syariat, namun tanpa menelantarkan tanggung jawab terhadap rumah tangga dan anak-anak dari pernikahan pertama.

Keempat :

Keinginan seorang suami untuk menyembunyikan pernikahan keduanya dari istri pertama. Hal ini biasanya disebabkan oleh kekhawatiran akan terjadinya konflik rumah tangga dengan istri pertama jika pernikahan tersebut diketahui.

Kelima :

Mobilitas laki-laki yang sering bepergian ke luar negeri dalam waktu lama. Dalam kondisi ini, pernikahan dianggap sebagai solusi untuk menjaga kehormatan dan keamanan. Bepergian dengan ditemani seorang istri dinilai lebih baik dibandingkan bepergian sendirian.

Faktor-faktor ini menunjukkan kompleksitas kebutuhan individu dan sosial yang melatarbelakangi praktik pernikahan jenis ini. Namun, setiap alasan harus dievaluasi dalam kerangka syariat untuk memastikan bahwa praktik tersebut tetap berada dalam batasan yang dibenarkan.

*****

INILAH BEBERAPA SEBAB-SEBAB UTAMA MUNCULNYA PERNIKAHAN JENIS INI.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum pernikahan dengan jenis ini, dari mulai boleh, boleh tapi makruh sampai ada yang mengatakan dilarang, yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah sebagai berikut:

KE 1. 

Tidak seorang pun ulama yang mengatakan bahwa pernikahan jenis ini bathil atau tidak sah, namun mereka melarangnya karena akan menyebabkan kerusakan yang berkaitan dengan si wanita yang seakan terhina, juga berkaitan dengan masyarakat yang bisa jadi ada yang memanfaatkan akad nikah dengan jenis ini dari kalangan wanita yang buruk akhlaknya untuk mengklaim bahwa orang yang ia cintai adalah suaminya. Kerusakan itu juga berkaitan dengan anak-anak karena mereka akan terlantar, pendidikannya pun tidak diperhatikan; karena tidak adanya sang ayah.

KE 2. 

Ada sebagian para ulama yang membolehkannya justru merubah keputusannya dengan tawaquf (diam tidak berpendapat).

Di antara ulama yang paling menonjol mengatakan boleh adalah Syeikh Abdul Aziz bin Baaz dan Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh.

Dan di antara ulama yang paling menonjol mengatakan boleh kemudian tawaquf adalah Syeikh al Utsaimin, dan yang terkenal melarang pernikahan ini adalah Syeikh al Baani.

KE 3. 

Ulama yang mengatakan boleh menikah dengan jenis ini, tidak menetapkan adanya waktu tertentu seperti pada nikah mut’ah, juga tidak mengatakan boleh tanpa wali, karena menikah tanpa wali adalah bathil, mereka juga tidak mengatakan boleh tanpa saksi dan pengumuman (walimah), bahkan hal tersebut harus ada.

====*****====

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM NIKAH MISYAR:

Zawaj Misyar tidak dianggap sepenuhnya halal oleh sebagian besar golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Pendapat para ulama dalam masalah pernikahan ini adalah sbb :

PENDAPAT PERTAMA : BOLEH :

Di antara para ulama yang membolehkan Zawaj Misyar dengan makruh (tidak dianjurkan) adalah Syaikh Al-Qaradhawi dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz. 

Istilah ini banyak diperbincangkan di media dan masyarakat, baik dalam bentuk diskusi, kritik, pembelaan, atau keraguan mengenai status kehalalannya. Bahkan, beberapa lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa mengenai keabsahan Zawaj Misyar, seperti Majma' Al-Buhuts Al-Islamiyah.

Referensi :

[1]- "Zawaj Misyar, definisinya, dan hukumnya - Islam Pertanyaan dan Jawaban". islamqa.info. Diarsipkan dari sumber asli pada 29 Oktober 2023. Diakses pada 29 Oktober 2023.

[2]- Zawaj Misyar, versi yang disimpan pada 3 Januari 2010 di situs Wayback Machine.

[3] Zawaj Misyar, definisinya, dan hukumnya - islamqa.info, versi yang disimpan pada 23 April 2018 di situs Wayback Machine.

[4] "Surat Kabar Al-Qabas: Al-Azhar mengizinkan Zawaj Misyar dan wanita menjadi hakim dengan syarat - 01/06/2007". Diarsipkan dari sumber asli pada 5 Desember 2007. Diakses pada 23 Januari 2020.

FATWA SYEIKH BIN BAAZ :

Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- pernah ditanya tentang nikah misyar, pernikahan ini adalah seseorang menikah lagi dengan istri kedua, ketiga atau keempat. Sang istri tersebut berada dalam kondisi tertentu yang mengharuskan dirinya masih tinggal bersama orang tuanya. Suaminya lah yang mengunjunginya secara berkala juga karena kondisi tertentu tidak bisa selalu menemani istrinya, bagaimanakah hukumnya menurut pandangan syari’at dalam masalah ini?

Beliau menjawab:

( لَا حَرَجَ فِي ذَٰلِكَ إِذَا اسْتَوْفَى الْعَقْدُ الشُّرُوطَ الْمُعْتَبَرَةَ شَرْعًا، وَهِيَ وُجُودُ الْوَلِيِّ وَرِضَا الزَّوْجَيْنِ، وَحُضُورُ شَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ عَلَى إِجْرَاءِ الْعَقْدِ، وَسَلاَمَةُ الزَّوْجَيْنِ مِنَ الْمَوَانِعِ؛ لِعُمُومِ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوطِ أَنْ تُوَفُّوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ؛ وَقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، فَإِذَا اتَّفَقَ الزَّوْجَانِ عَلَى أَنْ تَبْقَى الْمَرْأَةُ عِندَ أَهْلِهَا، أَوْ عَلَى أَنْ يَكُونَ الْقِسْمُ لَهَا نَهَارًا لَا لَيْلًا، أَوْ فِي أَيَّامٍ مَعَيَّنَةٍ، أَوْ لَيَالٍ مَعَيَّنَةٍ: فَلَا بَأْسَ بِذَٰلِكَ، بِشَرْطِ إِعْلَانِ النِّكَاحِ، وَعَدَمِ إِخْفَائِهِ) انتهى.

Artinya :

“Hal tersebut tidak masalah, jika akad nikahnya terjadi dengan melengkapi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at, adanya wali, suami istri setuju, adanya dua orang saksi yang adil, suami istri terhindar dari semua penghalang bolehnya menikah, hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

( أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوطِ أَنْ تُوَفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ )

“Syarat-syarat yang paling berhak kalian penuhi adalah syarat-syarat yang dengannya dihalalkan bagi kalian farj (kemaluan wanita)”.

Dan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang lain:

( الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ )

“Kaum muslimin itu (tergantung dengan) syarat-syarat mereka”.

Jika pasangan suami istri sepakat kalau istrinya tetap tinggal dengan orang tuanya, atau yang menjadi gilirannya hanya pada siang hari, atau hanya pada hari-hari tertentu, atau malam tertentu, maka hal ini tidak masalah, dengan syarat pernikahannya diumumkan (dengan walimah) dan tidak sembunyi-sembunyi”. (Fatawa Ulama Balad Haram: 450-451, Jaridatul Jazirah, edisi: 8768, hari Senin, 18 Jumadal Ula 1417 H.)

Namun sebagian murid-murid beliau mengatakan bahwa beliau –rahimahulla- pada akhirnya mengatakan tawaquf, hanya saja kami tidak menemukan pernyataan tertulis beliau untuk ditetapkan.

FATWA SYEIKH ABDUL AZIZ ALU SYEIKH :

Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh –hafidzahullah- juga pernah ditanya: “Ada banyak pendapat tentang halal dan haramnya nikah misyar, kami ingin penjelasan secara terperinci dalam masalah ini, termasuk syarat dan kewajiban apakah yang harus dipenuhi jika pernikahan tersebut dibolehkan ?

Beliau menjawab:

( شُرُوطُ النِّكَاحِ هِيَ تَعْيِينُ الزَّوْجَيْنِ وَرِضَاهُمَا وَالْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ، فَإِذَا كُمِلَتِ الشُّرُوطُ وَأُعْلِنَ النِّكَاحُ وَلَمْ يَتَوَاصَوْا عَلَى كَتْمَانِهِ لَا الزَّوْجُ وَلَا الزَّوْجَةُ وَلَا أُوْلِيَاؤُهُمَا وَأَوْلَمَ عَلَى عُرُسِهِ مَعَ هَذَا كُلِّهِ فَإِنَّ هَذَا نِكَاحٌ صَحِيحٌ، سَمِّهِ بَعْدَ ذَٰلِكَ مَا شِئْتَ ) انتهى.

“Syarat-syarat nikah adalah penentuan pasangan suami istri, keduanya setuju, adanya wali dah hadirnya kedua saksi. Jika semua syarat tersebut terpenuhi dan diumumkan (tidak sembunyi-sembunyi), tidak ada pesan baik dari pihak suami, istri atau wali agar dilakukan secara diam-diam, diadakan juga walimah ursy, maka pernikahan ini hukumnya sah, meskipun anda menamakan dengan nama apapun”. (Jaridatul Jazirah, edisi: 10508, Jum’at Rabi’uts Tsani 1422 H. )

PENDAPAT KEDUA : TIDAK BOLEH :

Syeikh Al-Albaani pernah ditanya, namun beliau melarangnya karena dilihat dari dua sisi:

Sisi Pertama

Tujuan menikah adalah tinggal bersama, sebagaimana firman Allah:

﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar Ruum: 21)

Pernikahan dengan jenis ini tidak terlaksana tujuan tersebut.

Sisi Kedua

Nantinya sepasang suami istri tersebut akan dikaruniai anak-anak, disebabkan jarak yang berjauhan dan jarangnya bertemu, maka akan menyebabkan dampak negatif kepada anak-anak mereka dalam hal pendidikan dan akhlak. (Baca: Hukum Ta’addud fi Dhaou’ Kitab was Sunnah: 28-29)

PENDAPAT KETIGA : TAWAQQUF (diam):

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- sebelumnya membolehkan pernikahan jenis ini, namun akhirnya beliau tawaquf, karena prakteknya ada beberapa kerusakan yang ditimbulkan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab.

KESIMPULAN :

KEPUTUSAN FATWA ISLMAQA NO. 82390 di bawah bimbingan syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid menyatakan :

( وَالَّذِي نَرَاهُ أَخِيرًا أَنْ زَوَاجَ الْمُسِيَّارِ إِذَا اسْتَوْفَى شُرُوطَ الزَّوَاجِ الصَّحِيحِ مِنَ الإِيجَابِ وَالْقَبُولِ وَرِضَا الْوَلِيِّ وَالشُّهُودِ أَوْ الْإِعْلَانِ فَإِنَّهُ عَقْدٌ صَحِيحٌ، وَهُوَ صَالِحٌ لِأَصْنَافٍ مُعَيَّنَةٍ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ تَقْتَضِي ظُرُوفُهُمْ مِثْلَ هَذَا النَّوْعِ مِنَ الْعُقُودِ، وَأَنَّهُ قَدْ اسْتُغِلَّ هَذَا الْجَوَازُ بَعْضُ ضُعَفَاءِ الدِّينِ، لِذَا فَالْوَاجِبُ عَدَمُ تَعْمِيمِ هَذِهِ الْإِبَاحَةِ بِفَتْوَى، بَلْ يُنْظَرُ فِي ظَرْفِ كُلٍّ مِنَ الزَّوْجَيْنِ، فَإِنْ صَحَّ لَهُمَا هَذَا النَّوْعُ مِنَ النِّكَاحِ أُجِيزَ لَهُمَا وَإِلَّا مَنَعَا مِنْ عَقْدِهِ؛ وَذَٰلِكَ مَنَعًا مِنَ التَّزَوُّجِ لِأَجْلِ الْمُتْعَةِ الْمُجَرَّدَةِ مَعَ تَضْيِيعِ مَقَاصِدِ النِّكَاحِ الْأُخْرَى، وَقَطْعًا لِلْسَبِيلِ أَمَامَ بَعْضِ الزِّيجَاتِ الَّتِي يُمْكِنُ الْجَزْمُ بِأَنَّهَا سَتَكُونُ فَاشِلَةً وَتُسَبِّبُ ضَيَاعَ الزَّوْجَةِ، كَمَنْ يَغِيبُ عَنْ امْرَأَتِهِ الشُّهُورَ الطَّوِيلَةَ وَيَتْرُكُهَا فِي شَقَّةٍ وَحْدَهَا تَنظُرُ إِلَى الْقَنَوَاتِ، وَتَتَصَفَّحُ الْمُنْتَدَيَاتِ، وَتَدْخُلُ عَالَمَ الْإِنْتَرْنَتِ، فَكَيْفَ يُمْكِنُ لِمِثْلِ هَذِهِ الْمَرْأَةِ الضَّعِيفَةِ أَنْ تَقْضِيَ وَقْتَهَا ؟! وَهَذَا بِخِلَافِ مَنْ كَانَتْ تَعِيشُ مَعَ أَهْلِهَا، أَوْ مَعَ أَبْنَائِهَا، وَعِندَهَا مِنَ الدِّينِ وَالطَّاعَةِ وَالْعِفَّةِ وَالْسَّتْرِ مَا يُمْكِنُ أَنْ يَصْبِرَهَا أَثْنَاءَ غِيَابِ زَوْجِهَا )

Kesimpulan pendapat kami adalah:

“Nikah misyar jika syarat-syarat nikah yang benar terpenuhi, seperti ijab qabul, walinya setuju, kedua saksi dan diumumkan, maka akad tersebut adalah sah. Akad jenis ini boleh dilakukan oleh laki-laki atau wanita yang berada pada kondisi tertentu yang menuntut untuk menikah dengan jenis ini. Oleh karena ada sebagian orang yang lemah agamanya yang menyalahgunakan pernikahan ini, maka menjadi sebuah kewajiban agar bolehnya nikah misyar ini tidak menjadi sebuah fatwa untuk umum, namun dilihat kondisi masing-masing suami istri, jika nikah misyar ini baik bagi mereka maka akad bisa dilanjutkan, namun tidak maka sejak awal akad harus dicegah, sebagai pencegahan dari tujuan hanya melampiaskan syahwatnya saja, dan meremehkan tujuan pernikahan yang lain, juga untuk mencegah wanita yang mungkin bisa dipastikan akan menjadi istri yang gagal dalam hidunya, jika suaminya misalnya meninggalkannya dalam kurun waktu yang lama sampai berbulan-bulan, ia pun tinggal sendirian di apartemen biasa membuka website, blog-blog, dan lain-lain dari dunia internet. Bagaimana mungkin wanita semacam ini akan memanfaatkan waktunya sebaik mungkin ?!, berbeda jika ia tinggal bersama keluarganya atau anak-anaknya, ia pun memiliki agama (yang kuat), taat, menjaga kehormatannya, dan menjaga diri dan sabar selama suaminya belum datang.

Wallahu a’lam.

===****====

KEBAIKAN DAN KEBURUKAN ZAWAJ MISYAR

Zawaj Misyar memiliki keutamaan dan keburukan, dan berdasarkan penilaian terhadap keburukan atau keutamaan, banyak ulama memiliki pandangan yang berbeda.

KEBAIKAN ZAWAJ MISYAR

Beberapa peneliti berpendapat bahwa Zawaj Misyar memiliki keutamaan meskipun tidak memenuhi semua aspek kehidupan pernikahan yang diinginkan Islam, di antaranya adalah:

  1. Memperhatikan kebutuhan hidup: Menurut Al-Qaradhawi, pernikahan ini bukanlah pernikahan Islam yang diinginkan, tetapi merupakan pernikahan yang mungkin terjadi karena kebutuhan hidup. Tidak tercapainya tujuan-tujuan tertentu tidak membatalkan pernikahan, namun hanya mengurangi kesempurnaannya.
  2. Meningkatkan jumlah wanita yang terjaga kehormatannya: Hal ini merupakan salah satu upaya besar dalam memerangi zina.

KEBURUKAN ZAWAJ MISYAR

Beberapa orang berpendapat bahwa Zawaj Misyar lebih banyak keburukannya daripada keutamaannya, di antaranya adalah:

  1. Dapat menyebabkan anak-anak yang tumbuh dengan ayah tanpa ibu atau ibu tanpa ayah.
  2. Menghilangkan hak-hak wanita yang menerima pernikahan Misyar, seperti hak untuk mendapatkan stabilitas, tanggung jawab, pengumuman, nafkah, giliran bermalam, dan tempat tinggal. Bahkan, dalam beberapa kasus, wanita tersebut mungkin juga dilarang untuk memiliki anak, karena banyak pria yang menetapkan syarat tidak boleh memiliki keturunan dalam Zawaj Misyar.
  3. Tidak adanya pemeliharaan kehormatan bagi wanita dalam beberapa kasus; terutama jika suami tidak hadir secara wajar, apalagi jika istri tidak memiliki dorongan agama yang kuat.
  4. Banyak wanita yang menginginkan pernikahan yang sah dan sesuai syari'at terhalang haknya untuk menikah secara sah, yang melibatkan pengumuman, nafkah, tempat tinggal, hak untuk memiliki anak, dan mengurangi pilihan mereka untuk menerima Zawaj Misyar.

Posting Komentar

1 Komentar