SEPUTAR RUH MANUSIA DI ALAM BARZAKH SETELAH KEMATIAN
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI:
- MAKNA KEMATIAN
- RUH KETIKA DICABUT, PANDANGAN MATA MENGIKUTINYA
- APAKAH ORANG YANG SEDANG SAKARATUL MAUT MELIHAT KERABATNYA YANG TELAH MENINGGAL?
- FITNAH KUBUR DAN AZAB KUBUR
- PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG KEMBALINYA RUH KE MAYAT DI DALAM KUBUR
- BAGAIMANA ORANG MATI MENGHABISKAN HARI-HARINYA DI KUBUR?
- BAGAIMANA ORANG MATI MENGHABISKAN HARI-HARINYA DI KUBUR?
- KEHIDUPAN ORANG MATI DI ALAM BARZAKH
- APAKAH AZAB KUBUR BERLANJUT HINGGA KIAMAT?
- APAKAH MAYIT DI ALAM BARZAKH MERASAKAN KUNJUNGAN KELUARGANYA
- APAKAH MAYIT MENGENALI ORANG HIDUP YANG MENZIARAHI KUBURNYA?
- BENARKAH HANYA PENZIARAH DI HARI JUM’AT YANG BISA DIKENALI MAYIT
- APAKAH NABI ﷺ MENDENGAR ORANG YANG MEMANGGILNYA DI KUBURNYA?
- DI MANA RUH NABI ﷺ SETELAH WAFAT:
- PENJAGAAN PARA SAHABAT DARI PENYALAH GUNAAN KUBURAN NABI ﷺ:
- PENJAGAAN YANG DI LAKUKAN OLEH ISTRI NABI ﷺ DAN ANAK CUCUNYA:
- HUKUM ZIARAH KUBUR DAN MENGUCAPKAN SALAM KEPADA PENGHUNINYA
- AMALAN SALEH ORANG HIDUP YANG BERMANFAAT UNTUK MAYIT
- ORANG YANG TELAH MATI TIDAK BISA GENTAYANGAN DI ALAM DUNIA:
- MEREKA DI ALAM BARZAKH:
- TINGKATAN TEMPAT KEDIAMAN RUH MANUSIA DI ALAM BARZAKH
- BUKAN DARI AJARAN ISLAM: KEYAKINAN ROH ORANG MATI BISA DI PANGGIL DAN BISA GENTAYANGAN:
- PARA SYUHADA UHUD TIDAK BISA KEMBALI KE DUNIA WALAU SESAAT:
- PARA SAHABAT NABI TIDAK PERNAH MENGHADIRKAN NABI ﷺ SETELAH WAFAT, WALAU SAAT DARURAT UNTUK UMAT
- AJARAN KRISTEN MENOLAK KEPERCAYAAN ROH ORANG MATI BISA HADIR KE DUNIA, MESKI ROH SEORANG NABI:
- KEBERADAAN ROH ORANG MATI DALAM AGAMA HINDU:
- SUMBER KEYAKINAN ROH BISA HADIR DAN GENTAYANGAN:
- KEYAKINAN TENTANG KEDUDUKAN ORANG SUCI SETELAH MATI SEMAKIN TINGGI DI SISI TUHANNYA
- PARA TOKOH SUPRANATURAL YANG DIYAKINI ROHNYA BISA HADIR GENTAYANGAN DAN DIRAYAKAN HARI KELAHIRAN-NYA
======
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
PENDAHULUAN:
Allah SWT berfirman:
﴿كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ﴾
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [Al Imran: 185]
Dan Allah SWT berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِّنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا ﴾
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. [Hajj: 5]
Dan Allah SWT berfirman:
﴿اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ﴾
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. [Hadid: 20]
MAKNA KEMATIAN
Dijelaskan bahwa kematian bukan berarti lenyapnya manusia sepenuhnya, juga bukan penghapusan keberadaannya yang telah Allah ciptakan. Kematian adalah salah satu keadaan tersulit yang dialami manusia, di mana ruhnya keluar untuk hidup di alam lain. Proses keluarnya ruh dari tubuh yang sebelumnya menjadi tempatnya adalah sesuatu yang sulit. Kematian adalah perpisahan ruh dari tubuh secara hakiki.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin (4/493) mengatakan:
وَمَعْنَى مُفَارَقَتِهَا لِلْجَسَدِ: اِنْقِطَاعُ تَصَرُّفِهَا عَنِ الْجَسَدِ بِخُرُوجِ الْجَسَدِ عَنْ طَاعَتِهَا
"Makna perpisahan ruh dari tubuh adalah terputusnya kendali ruh atas tubuh akibat keluarnya tubuh dari ketaatannya."
RUH KETIKA DICABUT, PANDANGAN MATA MENGIKUTINYA
Dari Ummu Salamah, Ummul Mukminin, dia berkata:
دَخَلَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ علَى أَبِي سَلَمَةَ وَقَدْ شَقَّ بَصَرُهُ، فأغْمَضَهُ، ثُمَّ قالَ: إنَّ الرُّوحَ إذَا قُبِضَ تَبِعَهُ البَصَرُ، فَضَجَّ نَاسٌ مِن أَهْلِهِ، فَقالَ: لا تَدْعُوا علَى أَنْفُسِكُمْ إلَّا بخَيْرٍ؛ فإنَّ المَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ علَى ما تَقُولونَ، ثُمَّ قالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَبِي سَلَمَةَ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ في المَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهُ في عَقِبِهِ في الغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يا رَبَّ العَالَمِينَ، وَافْسَحْ له في قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ له فِيهِ.
[وفي رواية]: نَحْوَهُ، غيرَ أنَّهُ قالَ: وَاخْلُفْهُ في تَرِكَتِهِ، وَقالَ: اللَّهُمَّ أَوْسِعْ له في قَبْرِهِ، وَلَمْ يَقُلْ: افْسَحْ له.
Rasulullah ﷺ masuk menemui Abu Salamah ketika penglihatannya sudah mulai kabur. Beliau menutup matanya, kemudian berkata:
"Sesungguhnya, ketika roh dicabut, penglihatan mengikuti roh tersebut."
Kemudian, beberapa orang dari keluarganya mengeluh.
Beliau ﷺ berkata: "Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian kecuali dengan kebaikan, karena malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan."
Kemudian beliau ﷺ berkata: "Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, angkat derajatnya di kalangan orang-orang yang mendapat petunjuk, gantikanlah dia dalam keluarganya dengan yang lebih baik, ampunilah kami dan dia, wahai Tuhan semesta alam, lapangkanlah kuburnya, dan terangkanlah cahaya di dalamnya."
(Dalam riwayat lain) hampir serupa, hanya saja beliau ﷺ mengatakan:
"Gantilah dia dalam hartanya." Dan beliau ﷺ berkata: "Ya Allah, luaskanlah kuburnya, dan beliau tidak mengatakan 'lapangkanlah kuburnya'." HR. Muslim no. 920.
Dari Syaddad bin Aus, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
" إِذَا حَضَرْتُمْ مَوْتَاكُمْ، فَأَغْمِضُوا الْبَصَرَ، فَإِنَّ الْبَصَرَ يَتْبَعُ الرُّوحَ، وَقُولُوا خَيْرًا: فَإِنَّهُ يُؤَمَّنُ عَلَى مَا قَالَ أَهْلُ الْمَيِّتِ".
"Jika kalian menghadapi orang yang sekarat, tutuplah matanya, karena penglihatan mata mengikuti roh, dan ucapkanlah kata-kata yang baik, karena apa yang diucapkan oleh keluarga orang yang meninggal akan diamini oleh malaikat."
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (17136), Ibnu Majah (1455), Ibnu Hibban dalam "Al-Majruhin" 2/216, At-Thabrani dalam "Al-Kabir" (7168), dalam "Al-Awsat" (1019) dan (5972), dalam "Ad-Du'aa" (1153), Ibnu Adi dalam "Al-Kamil" 2/687, dan Al-Hakim 1/352 dengan berbagai sanad dari Qiz'ah, dan Al-Hakim mensahihkannya, disetujui oleh Adh-Dhahabi.
Syu’aib Al-Arnauth mengatakan dalam Tahqiq al-Musnad 28/360:
حَدِيثٌ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ، وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ، لِضَعْفِ قَزَعَةٍ- وَهُوَ ابْنُ سُوَيْدٍ بْنِ حُجَيْرٍ البَاهِلِيِّ- وَقَدْ بَيَّنَا حَالَهُ فِي الرِّوَايَةِ (11734)، وَبَاقِي رِجَالِهِ ثِقَاتٌ رِجَالُ الشَّيْخَيْنِ، غَيْرَ مَحْمُودٍ بْنِ لَبِيدٍ، فَإِنَّهُ مِنْ رِجَالِ مُسْلِمٍ. وَأَخْرَجَ لَهُ البُخَارِيُّ فِي "الأَدَبِ المُفْرَدِ". حَمِيدٌ الأَعْرَجُ: هُوَ ابْنُ قَيْسٍ.
bahwa hadis ini sahih lighairihi, namun sanad ini lemah karena kelemahan Qiz'ah—ia adalah putra dari Suwaid bin Hujayr Al-Bahili—yang telah kami jelaskan keadaannya dalam riwayat (11734). Adapun perawi lainnya adalah para perawi terpercaya dari kedua shahih, kecuali Mahmud bin Labid, yang merupakan perawi Muslim. Bukhari juga meriwayatkan darinya dalam "Al-Adab Al-Mufrad". Hamid Al-A'raj adalah putra Qais.
Syeikh ‘Alawi as-Saqqoof berkata dalam ad-Duror as-Sniyyah:
قال النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم: «إنَّ الرُّوحَ إذا قُبِضَ تَبِعَه البصرُ»، يَحتمِلُ أنْ يَكونَ علَّةً للإِغماضِ، كأنَّه قال: أَغمَضْتُه؛ لأنَّ الرُّوحَ إذا خرَجَ مِن الجسدِ تَبِعَه البصرُ في الذَّهابِ، فلم يَبْقَ لانفتاحِ بَصرِه فائدةٌ، أو أنْ يَكونَ بَيانًا لسَببِ بقاءِ عَينَيه مَفتوحتينِ، فلمَّا أغمَضَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم عَينَي أَبي سَلَمةَ رَضِي اللهُ عنه، وقال مَقالتَه؛ تَأكَّد الحاضِرونَ أنَّه قدْ ماتَ، «فضَجَّ ناسٌ مِن أهلِه»، أي: رفَعُوا الصَّوتَ بالبُكاءِ وصاحَ ناسٌ مِن أهلِ أبي سَلَمةَ رَضِي اللهُ عنه، فنَهاهمُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم عن قَولِ الفُحشِ وأَمَرَهم بقَولِ الخَيرِ والدُّعاءِ بالخيرِ، فقالَ: «لا تَدْعوا عَلى أَنفسِكم إلَّا بخيرٍ»، وهذا إشارةٌ إلى نَهيهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم إيَّاهم عن الضَّجَّةِ؛ كأنَّهم قالوا: يا وَيْلاهُ علينا! ويا مُصِيبَتاه علينا! فنَهاهم عن ذلك، فلا تَدْعوا بالويلِ والثُّبورِ وما أشبَهَ ذلك على عادةِ الجاهليَّةِ، ولكنْ قُولوا خيرًا؛ مِثل أنْ يَدْعوا للميِّتِ بالمَغفرةِ والرَّحمةِ وغيرِ ذلك،
Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya roh, ketika dicabut, penglihatan mengikutinya." Ini bisa jadi alasan untuk menutup mata, seolah beliau ﷺ berkata: "Aku menutup matanya, " karena ketika roh keluar dari tubuh, penglihatan mengikuti roh tersebut dalam perjalanannya, sehingga tidak ada lagi manfaat bagi mata yang terbuka. Atau bisa juga untuk menjelaskan alasan mengapa mata tetap terbuka, lalu ketika Nabi ﷺ menutup mata Abu Salamah radhiyallahu 'anhu dan berkata demikian, para hadirin semakin yakin bahwa dia telah meninggal. "Maka terjadilah ratapan dari keluarganya, " yaitu mereka mengangkat suara dengan tangisan.
Beberapa orang dari keluarga Abu Salamah radhiyallahu 'anhu berteriak, lalu Nabi ﷺ melarang mereka mengucapkan kata-kata kasar dan memerintahkan mereka untuk mengatakan hal-hal baik dan berdoa dengan baik.
Beliau ﷺ bersabda: "Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian kecuali dengan kebaikan." Ini menunjukkan larangan Nabi ﷺ agar mereka tidak mengeluarkan suara keras, seolah-olah mereka mengatakan: "Aduh, celakalah kami!" dan "Betapa besarnya musibah kami!"
Nabi ﷺ melarang hal itu, agar mereka tidak mengucapkan kata-kata kecelakaan dan kebinasaan seperti yang biasa dilakukan pada masa jahiliyah. Namun, beliau ﷺ mengarahkan mereka untuk berdoa dengan baik, seperti berdoa untuk orang yang meninggal dengan ampunan dan rahmat, atau doa-doa baik lainnya.
APAKAH ORANG YANG SEDANG SAKARATUL MAUT MELIHAT KERABATNYA YANG TELAH MENINGGAL?
Pertama:
Tidak ada keterangan dalam Al-Qur'an maupun dalam sunnah Nabi yang mulia tentang apa yang dilihat oleh orang yang sedang sakaratul maut, baik dari kerabatnya atau manusia lainnya. Sebagai seorang muslim, kita hanya meyakini apa yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, serta diam terhadap apa yang tidak dijelaskan oleh wahyu yang ma'shum. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا﴾
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [Al Isra: 36]
Paling jauh, ada sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf 7/161 no. 34977: dari Abdurrahman bin Muhammad Al-Muharibi, dari Laits, dari Mujahid, dari Yazid bin Syajarah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
«مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ حَتَّى يُمَثَّلَ لَهُ جُلَسَاؤُهُ عِنْدَ مَوْتِهِ، إنْ كَانُوا أَهْلَ لَهْوٍ فَأَهْلُ لَهْوٍ، وَإِنْ كَانُوا أَهْلَ ذِكْرٍ فَأَهْلُ ذِكْرٍ»
"Tidak ada seorang pun yang meninggal dunia kecuali akan diperlihatkan kepadanya orang-orang yang biasa duduk bersamanya di masa hidupnya. Jika mereka adalah ahli lahwun (orang yang senantiasa lalai dari mengingat Allah), maka mereka adalah ahli lahwun. Jika mereka adalah ahli zikir (orang yang senantiasa mengingat Allah), maka mereka adalah ahli zikir."
[Lihat pula: Takhij Ahadits Ihya Ulumuddin 2/2528 dan Syarah ash-Shuduur karya as-Suyuthi hal. 86 no. 65].
Riwayat serupa juga dinukil dari Mujahid, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah (6/1202). Yazid bin Syajarah sendiri diperselisihkan statusnya sebagai sahabat. Ibnu Ma'in dan Bukhari menetapkannya, sementara Abu Zur'ah menafi-kannya. Lihat Al-Ishabah (6/520).
Atsar ini secara jelas tidak menunjukkan bahwa orang-orang yang telah meninggal dunia itu sendiri hadir, baik mereka adalah kerabat ataupun bukan. Riwayatnya secara tegas menyatakan bahwa hal tersebut hanya berupa gambaran (tamtsil), sebagaimana disebutkan dalam perkataannya:
"Diperlihatkan kepadanya orang-orang yang biasa duduk bersamanya."
Kemudian, tidak ada penjelasan yang membatasi bahwa mereka adalah orang-orang yang telah meninggal dunia.
Jika ada sesuatu yang terjadi pada sebagian orang yang sedang sakaratul maut, seperti ucapan mereka kepada ibu, ayah, anak-anak, atau kerabat mereka, hal itu mungkin merupakan khayalan yang muncul dalam pikiran mereka akibat penderitaan hebat yang sedang mereka alami, dan bukan pertemuan nyata dengan ruh para kerabat tersebut.
Selain itu, khayalan semacam ini tidak memiliki indikasi apapun terkait rasa takut maupun kegembiraan. Saat-saat sakaratul maut adalah keadaan yang paling berat bagi manusia, sehingga pada saat itu mereka hampir tidak dapat menguasai lidah atau anggota tubuhnya. Maka, ucapan yang muncul dari khayalan mereka tentang kerabatnya tidak menunjukkan adanya kebaikan atau keburukan yang akan datang.
Kedua:
Kabar gembira yang benar sejati bagi orang yang sedang sakaratul maut didapatkan melalui kabar yang disampaikan oleh malaikat kepada orang beriman dalam keadaan tersebut. Para malaikat turun kepadanya, duduk di dekatnya, sehingga ia dapat melihat mereka, bahkan terkadang berbicara tentang hal itu.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ﴾
"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, 'Tuhan kami adalah Allah, ' kemudian mereka tetap istiqamah, akan turun kepada mereka para malaikat (dengan berkata), 'Janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih; dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu. Kami adalah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan, dan kamu memperoleh pula di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'” (Fushshilat: 30-32).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:
أَوَّلُ ذٰلِكَ أَنَّ الْمَلَائِكَةَ تَنْزِلُ عَلَى الْمُحْتَضَرِ، وَتَجْلِسُ قَرِيبًا مِنْهُ، وَيُشَاهِدُهُمْ عِيَانًا، وَيَتَحَدَّثُونَ عِنْدَهُ، وَمَعَهُمُ الْأَكْفَانُ وَالْحَنُوطُ، إِمَّا مِنَ الْجَنَّةِ، وَإِمَّا مِنَ النَّارِ. وَيُؤَمِّنُونَ عَلَى دُعَاءِ الْحَاضِرِينَ بِالْخَيْرِ وَالشَّرِّ، وَقَدْ يُسَلِّمُونَ عَلَى الْمُحْتَضَرِ، وَيَرُدُّ عَلَيْهِمْ، تَارَةً بِلَفْظِهِ، وَتَارَةً بِإِشَارَتِهِ، وَتَارَةً بِقَلْبِهِ، حَيْثُ لَا يَتَمَكَّنُ مِنْ نُطْقٍ وَلَا إِشَارَةٍ.
وَقَدْ سُمِعَ بَعْضُ الْمُحْتَضَرِينَ يَقُولُ: أَهْلًا وَسَهْلًا وَمَرْحَبًا بِهٰذِهِ الْوُجُوهِ. وَأَخْبَرَنِي شَيْخُنَا عَنْ بَعْضِ الْمُحْتَضَرِينَ - فَلَا أَدْرِي أَشَاهَدَهُ أَوْ أُخْبِرَ عَنْهُ - أَنَّهُ سُمِعَ وَهُوَ يَقُولُ: عَلَيْكَ السَّلَامُ، هٰهُنَا فَاجْلِسْ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ، هٰهُنَا فَاجْلِسْ.
وَذَكَرَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ لَمَّا كَانَ فِي يَوْمِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ: أَجْلِسُونِي. فَأَجْلَسُوهُ فَقَالَ: أَنَا الَّذِي أَمَرْتَنِي فَقَصَّرْتُ، وَنَهَيْتَنِي فَعَصَيْتُ. ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. وَلَكِنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَأَحَدَّ النَّظَرَ. فَقَالُوا: إِنَّكَ لَتَنْظُرُ نَظَرًا شَدِيدًا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ. فَقَالَ: إِنِّي لَأَرَى حَضْرَةً مَا هُمْ بِإِنْسٍ وَلَا جِنٍّ، ثُمَّ قُبِضَ.
وَقَالَ فَضَالَةُ بْنُ دِينارٍ: حَضَرْتُ مُحَمَّدَ بْنَ وَاسِعٍ وَقَدْ سُجِّيَ لِلْمَوْتِ، فَجَعَلَ يَقُولُ: مَرْحَبًا بِمَلَائِكَةِ رَبِّي، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، وَشَمَمْتُ رَائِحَةَ طِيبٍ لَمْ أَشُمَّ قَطُّ أَطْيَبَ مِنْهَا. ثُمَّ شَخَصَ بِبَصَرِهِ فَمَاتَ.
وَالْآثَارُ فِي ذٰلِكَ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ تُحْصَرَ.
وَأَبْلَغُ وَأَكْفَى مِنْ ذٰلِكَ كُلِّهِ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: (فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ ۞ وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ ۞ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ) أَي: أَقْرَبُ إِلَيْهِ بِمَلَائِكَتِنَا وَرُسُلِنَا، وَلَكِنَّكُمْ لَا تَرَوْنَهُمْ." انتهى.
“Pertama, malaikat turun kepada orang yang sedang sakaratul maut, duduk dekat dengannya, sehingga ia dapat melihat mereka secara langsung. Mereka berbicara di sisinya dengan membawa kain kafan dan wewangian, baik dari surga maupun dari neraka. Mereka mengamini doa orang-orang yang hadir, baik doa kebaikan maupun keburukan. Terkadang mereka memberi salam kepada orang yang sedang sakaratul maut, dan ia membalas salam mereka, baik dengan lisannya, isyarat, maupun hatinya, ketika ia tidak mampu berbicara atau memberi isyarat.
Sebagian orang yang sakaratul maut terdengar berkata, 'Selamat datang, selamat datang, dan selamat datang untuk wajah-wajah ini.' Guruku pernah menceritakan kepadaku tentang salah seorang yang sedang sakaratul maut – saya tidak tahu apakah ia menyaksikannya sendiri atau diberitahu tentangnya – terdengar berkata, 'Semoga keselamatan atasmu. Duduklah di sini. Semoga keselamatan atasmu. Duduklah di sini.'
Ibnu Abi Dunya menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz, pada hari wafatnya, berkata, 'Dudukkan aku.' Maka mereka mendudukkannya, lalu ia berkata, 'Aku adalah orang yang Engkau perintahkan, tetapi aku tidak melakukannya dengan sempurna. Engkau melarangku, tetapi aku melanggarnya.' Ia mengulangi tiga kali, lalu berkata, 'Namun tidak ada Tuhan selain Allah.' Kemudian ia mengangkat kepalanya dan memandang tajam. Mereka bertanya, 'Wahai Amirul Mukminin, engkau menatap dengan pandangan yang tajam sekali.' Ia menjawab, 'Aku sedang melihat kehadiran yang bukan manusia maupun jin.' Kemudian ia wafat.
Fudhailah bin Dinar berkata, 'Aku menghadiri Muhammad bin Wasi’ ketika ia terbaring menjelang kematian. Ia berkata, 'Selamat datang, para malaikat Tuhanku. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.' Aku mencium aroma wangi yang belum pernah aku cium seharum itu. Kemudian ia memandang tajam dan wafat.'
Atsar-atsar tentang hal ini lebih banyak daripada yang dapat dihitung.
Namun, yang paling jelas dan mencukupi dari semua itu adalah firman Allah Azza wa Jalla: 'Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, dan kamu ketika itu melihat, padahal Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat.' Maksudnya, Kami lebih dekat kepadanya melalui malaikat-malaikat dan utusan-utusan Kami, tetapi kamu tidak melihat mereka.” (Selesai dari Ar-Ruh, hlm. 64-65).
Ketiga:
Telah ditegaskan dalam dalil-dalil syar'i bahwa setan dapat menggoda dalam beberapa keadaan orang yang sedang menghadapi kematian dan sakaratul maut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَذٰلِكَ كُلُّهُ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا الَّتِي أَمَرَنَا الرَّسُولُ أَنْ نَسْتَعِيذَ فِي صَلَاتِنَا مِنْهَا، وَوَقْتَ الْمَوْتِ يَكُونُ الشَّيْطَانُ أَحْرَصَ مَا يَكُونُ عَلَى إِغْوَاءِ بَنِي آدَمَ. "انتهى".
"Semua itu termasuk fitnah kehidupan yang Rasulullah ﷺ memerintahkan kita untuk berlindung darinya dalam shalat kita. Saat kematian, setan lebih berambisi untuk menyesatkan manusia." (Selesai dari Al-Ikhtiyarat, hlm. 85).
Setan terus berupaya menyesatkan manusia selama ruh masih berada dalam jasadnya. Ia mendatangi manusia, membisikkan godaan, dan menghiasinya dengan kebatilan.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
قَالَ إِبْلِيسُ: وَعِزَّتِكَ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي عِبَادَكَ مَا دَامَتْ أَرْوَاحُهُمْ فِي أَجْسَادِهِمْ، فَقَالَ: وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَزَالُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي.
"Iblis berkata, 'Demi keagungan-Mu, aku tidak akan berhenti menyesatkan hamba-hamba-Mu selama ruh mereka masih berada dalam jasad mereka.' Maka Allah berfirman, 'Demi keagungan dan keperkasaan-Ku, Aku tidak akan berhenti mengampuni mereka selama mereka memohon ampun kepada-Ku.'"
(HR. Ahmad, no. 10974. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no. 1617).
Nabi ﷺ juga senantiasa memohon perlindungan kepada Allah Ta'ala dari "fitnah kehidupan dan kematian" dan menganjurkan para shalat untuk berlindung darinya sebelum salam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
(إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الْآخَرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ).
"Apabila salah seorang di antara kalian selesai membaca tasyahud terakhir, hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal: dari azab neraka Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan Al-Masih Ad-Dajjal."
(HR. Bukhari, no. 1311, dan Muslim, no. 588).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
قَوْلُهُ: "وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ " مَعْطُوفَةٌ عَلَى " مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ " ، وَالْمُرَادُ بِالْفِتْنَةِ: اخْتِبَارُ الْمَرْءِ فِي دِينِهِ ؛ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ ، وَفِتْنَةُ الْحَيَاةِ عَظِيمَةٌ وَشَدِيدَةٌ ، وَقَلَّ مَنْ يَتَخَلَّصُ مِنْهَا إِلَّا مَنْ شَاءَ اللَّهُ ، وَهِيَ تَدُورُ عَلَى شَيْئَيْنِ:
١ – شُبُهَاتٌ.
٢ – شَهَوَاتٌ.
أَمَّا الشُّبُهَاتُ: فَتَعْرِضُ لِلْإِنْسَانِ فِي عِلْمِهِ ، فَيَلْتَبِسُ عَلَيْهِ الْحَقُّ بِالْبَاطِلِ ، فَيَرَى الْبَاطِلَ حَقًّا ، وَالْحَقَّ بَاطِلًا ، وَإِذَا رَأَى الْحَقَّ بَاطِلًا تَجَنَّبَهُ ، وَإِذَا رَأَى الْبَاطِلَ حَقًّا فَعَلَهُ.
وَأَمَّا الشَّهَوَاتُ فَتَعْرِضُ لِلْإِنْسَانِ فِي إِرَادَتِهِ ، فَيُرِيدُ بِشَهَوَاتِهِ مَا كَانَ مُحَرَّمًا عَلَيْهِ ، وَهَذِهِ فِتْنَةٌ عَظِيمَةٌ ، فَمَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَرَوْنَ الرِّبَا غَنِيمَةً فَيَنْتَهِكُونَهُ! وَمَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَرَوْنَ غِشَّ النَّاسِ شَطَارَةً وَجَوْدَةً فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فَيَغُشُّونَ! وَمَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَرَوْنَ النَّظَرَ إِلَى النِّسَاءِ تَلَذُّذًا وَتَمَتُّعًا وَحُرِّيَّةً ، فَيُطْلِقُ لِنَفْسِهِ النَّظَرَ لِلنِّسَاءِ! بَلْ مَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَرَوْنَهَا لَذَّةً وَطَرَبًا! وَمَا أَكْثَرَ الَّذِينَ يَرَوْنَ آلَاتِ اللَّهْوِ وَالْمَعَازِفَ فَنًّا يُدَرَّسُ وَيُعْطَى عَلَيْهِ شَهَادَاتٌ وَمَرَاتِبُ!
وَأَمَّا فِتْنَةُ الْمَمَاتِ: فَاخْتَلَفَ فِيهَا الْعُلَمَاءُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
الْقَوْلُ الْأَوَّلُ: إِنَّ " فِتْنَةَ الْمَمَاتِ ": سُؤَالُ الْمَلَكَيْنِ لِلْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ عَنْ رَبِّهِ ، وَدِينِهِ وَنَبِيِّهِ ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِنَّهُ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُونَ فِي قُبُورِكُمْ مِثْلَ أَوْ قَرِيبًا مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ) ، فَأَمَّا مَنْ كَانَ إِيمَانُهُ خَالِصًا فَهَذَا يَسْهُلُ عَلَيْهِ الْجَوَابُ.
فَإِذَا سُئِلَ: مَنْ رَبُّكَ ؟ قَالَ: رَبِّي اللَّهُ.
مَنْ نَبِيُّكَ ؟ قَالَ: نَبِيِّي مُحَمَّدٌ.
مَا دِينُكَ ؟ قَالَ: دِينِي الْإِسْلَامُ ، بِكُلِّ سُهُولَةٍ.
وَأَمَّا غَيْرُهُ - وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ - فَإِذَا سُئِلَ قَالَ: هَاهْ... هَاهْ... لَا أَدْرِي ؛ سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ شَيْئًا فَقُلْتُهُ.
وَتَأَمَّلْ قَوْلَهُ: "هَاهْ... هَاهْ... " كَأَنَّهُ كَانَ يَعْلَمُ شَيْئًا فَنَسِيَهُ ، وَمَا أَشَدَّ الْحَسْرَةَ فِي شَيْءٍ عَلِمْتَهُ ثُمَّ نَسِيتَهُ ؛ لِأَنَّ الْجَاهِلَ لَمْ يَكْسِبْ شَيْئًا ، لَكِنَّ النَّاسِي كَسَبَ الشَّيْءَ فَخَسِرَهُ ، وَالنَّتِيجَةُ يَقُولُ: لَا أَدْرِي مَنْ رَبِّي ، مَا دِينِي ، مَنْ نَبِيِّي ، فَهَذِهِ فِتْنَةٌ عَظِيمَةٌ؛ أَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يُنَجِّيَنِي وَإِيَّاكُمْ مِنْهَا ، وَهِيَ فِي الْحَقِيقَةِ تَدُورُ عَلَى مَا فِي الْقَلْبِ ، فَإِذَا كَانَ الْقَلْبُ مُؤْمِنًا حَقِيقَةً: يَرَى أُمُورَ الْغَيْبِ كَرَأْيِ الْعَيْنِ ، فَهَذَا يُجِيبُ بِكُلِّ سُهُولَةٍ ، وَإِنْ كَانَ الْأَمْرُ بِالْعَكْسِ: فَالْأَمْرُ بِالْعَكْسِ.
القَوْلُ الثَّانِي: المَرَادُ بِـ "فِتْنَةِ المَمَاتِ": مَا يَكُونُ عِنْدَ المَوْتِ فِي آخِرِ الحَيَاةِ، وَنَصَّ عَلَيْهَا - وَإِنْ كَانَتْ مِنْ فِتْنَةِ الحَيَاةِ - لِعَظَمِهَا وَأَهَمِّيَّتِهَا، كَمَا نَصَّ عَلَى فِتْنَةِ الدَّجَّالِ مَعَ أَنَّهَا مِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا، فَهِيَ فِتْنَةُ مَمَاتٍ؛ لِأَنَّهَا قُرْبَ المَمَاتِ، وَخَصَّهَا بِالذِّكْرِ لِأَنَّهَا أَشَدُّ مَا يَكُونُ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الإِنْسَانَ عِنْدَ مَوْتِهِ وَوَدَاعِ العَمَلِ صَائِرٌ إِمَّا إِلَى سَعَادَةٍ، وَإِمَّا إِلَى شَقَاوَةٍ، قَالَ الرَّسُولُ ﷺ: (إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ؛ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ). فَالفِتْنَةُ عَظِيمَةٌ.
وَأَشَدُّ مَا يَكُونُ الشَّيْطَانُ حِرْصًا عَلَى إِغْوَاءِ بَنِي آدَمَ فِي تِلْكَ اللَّحْظَةِ، وَالمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَهُ اللَّهُ، يَأْتِي إِلَيْهِ فِي هَذِهِ الحَالِ الحَرِجَةِ الَّتِي لَا يَتَصَوَّرُهَا إِلَّا مَنْ وَقَعَ فِيهَا. قَالَ تَعَالَى:
(كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ. وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ. وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ. وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ. إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ) (القِيَامَةِ: 26-30).
حَالٌ حَرِجَةٌ عَظِيمَةٌ، الإِنْسَانُ فِيهَا ضَعِيفُ النَّفْسِ، ضَعِيفُ الإِرَادَةِ، ضَعِيفُ القُوَّةِ، ضَيِّقُ الصَّدْرِ، فَيَأْتِيهِ الشَّيْطَانُ لِيُغْوِيَهُ؛ لِأَنَّ هَذَا وَقْتُ المَغْنَمِ لِلشَّيْطَانِ، حَتَّى إِنَّهُ كَمَا قَالَ أَهْلُ العِلْمِ: قَدْ يَعْرِضُ لِلإِنْسَانِ الأَدْيَانَ اليَهُودِيَّةَ، وَالنَّصْرَانِيَّةَ، وَالإِسْلَامِيَّةَ بِصُورَةِ أَبَوَيْهِ، فَيَعْرِضَانِ عَلَيْهِ اليَهُودِيَّةَ وَالنَّصْرَانِيَّةَ وَالإِسْلَامِيَّةَ، وَيُشِيرَانِ عَلَيْهِ بِاليَهُودِيَّةِ أَوْ بِالنَّصْرَانِيَّةِ، وَالشَّيْطَانُ يَتَمَثَّلُ كُلَّ وَاحِدٍ إِلَّا النَّبِيَّ ﷺ. وَهَذِهِ أَعْظَمُ الفِتَنِ.
وَلَكِنْ هَذَا - وَالحَمْدُ لِلَّهِ - لَا يَكُونُ لِكُلِّ أَحَدٍ، كَمَا قَالَهُ شَيْخُ الإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَحَتَّى لَوْ كَانَ الإِنْسَانُ لَا يَتَمَكَّنُ الشَّيْطَانُ مِنْ أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الدَّرَجَةِ مَعَهُ، لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ يُخْشَى عَلَيْهِ مِنْهُ.
يُقَالُ: إِنَّ الإِمَامَ أَحْمَدَ وَهُوَ فِي سَكَرَاتِ المَوْتِ كَانَ يُسْمَعُ وَهُوَ يَقُولُ: بَعْدُ، بَعْدُ. فَلَمَّا أَفَاقَ قِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ؟ قَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ يَعَضُّ أَنَامِلَهُ يَقُولُ: فُتَّنِي يَا أَحْمَدُ. يَعَضُّ أَنَامِلَهُ نَدَمًا وَحَسْرَةً كَيْفَ لَمْ يُغْوِ الإِمَامَ أَحْمَدَ! فَيَقُولُ لَهُ أَحْمَدُ: بَعْدُ، بَعْدُ. أَيْ: إِلَى الآنَ مَا خَرَجَتِ الرُّوحُ، فَمَا دَامَتِ الرُّوحُ فِي البَدَنِ فَكُلُّ شَيْءٍ وَارِدٌ وَمُحْتَمَلٌ.
(رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا) (آلُ عِمْرَانَ: 8).
فِي هَذِهِ الحَالِ فِتْنَةٌ عَظِيمَةٌ جِدًّا، وَلِهَذَا نَصَّ النَّبِيُّ ﷺ عَلَيْهَا قَالَ: "مِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ".
فَالحَاصِلُ: أَنَّ فِتْنَةَ المَمَاتِ فِيهَا تَفْسِيرَانِ:
1. الفِتْنَةُ الَّتِي تَكُونُ عِنْدَ المَوْتِ.
2. الَّتِي تَكُونُ بَعْدَ المَوْتِ، وَهِيَ سُؤَالُ المَلَكَيْنِ الإِنْسَانَ عَنْ رَبِّهِ وَدِينِهِ وَنَبِيِّهِ.
وَلَا مَانِعَ بِأَنْ نَقُولَ: إِنَّهَا تَشْمَلُ الأَمْرَيْنِ جَمِيعًا، وَيَكُونُ قَدْ نَصَّ عَلَى الفِتْنَةِ الَّتِي قَبْلَ المَوْتِ وَعِنْدَ المَوْتِ؛ لِأَنَّهَا أَعْظَمُ فِتْنَةٍ تَرِدُ عَلَى الإِنْسَانِ، وَذَكَرَ مَا يُخْشَى مِنْهَا مِنْ سُوءِ الخَاتِمَةِ إِذَا لَمْ يُجِرِ اللَّهُ العَبْدَ مِنْ هَذِهِ الفِتْنَةِ.
وَعَلَى هَذَا يَنْبَغِي لِلْمُتَعَوِّذِ مِنْ فِتْنَةِ المَمَاتِ أَنْ يَسْتَحْضِرَ كِلْتَا الحَالَتَيْنِ.
"Sabda-nya: 'Dan dari fitnah kehidupan dan kematian' dihubungkan dengan 'dari azab neraka Jahannam'.
Yang dimaksud dengan fitnah adalah ujian bagi seseorang dalam agamanya, baik ketika hidup maupun setelah matinya. Fitnah kehidupan sangat besar dan berat, dan sedikit sekali orang yang selamat darinya kecuali yang dikehendaki Allah.
Fitnah ini berkisar pada dua hal:
1. Syubhat.
2. Syahwat.
Adapun syubhat, menimpa seseorang dalam ilmunya, sehingga kebenaran bercampur dengan kebatilan baginya. Ia melihat kebatilan sebagai kebenaran dan kebenaran sebagai kebatilan. Jika ia melihat kebenaran sebagai kebatilan, ia menjauhinya. Dan jika ia melihat kebatilan sebagai kebenaran, ia melakukannya.
Adapun syahwat, menimpa seseorang dalam kehendaknya. Ia menginginkan dengan syahwatnya apa yang diharamkan baginya. Ini adalah fitnah yang besar. Betapa banyak orang yang melihat riba sebagai keuntungan, sehingga mereka melanggarnya! Betapa banyak yang melihat penipuan terhadap manusia sebagai kecerdikan dan kelicikan dalam jual beli, sehingga mereka menipu! Betapa banyak yang melihat memandang wanita sebagai kenikmatan, kebebasan, sehingga mereka membebaskan dirinya untuk memandang wanita! Bahkan, betapa banyak yang meminum khamr dan melihatnya sebagai kenikmatan dan hiburan! Betapa banyak yang melihat alat musik dan nyanyian sebagai seni yang diajarkan, bahkan diberikan sertifikat dan penghargaan!
Adapun fitnah kematian, para ulama berbeda pendapat tentangnya dalam dua pendapat:
Pendapat Pertama:
Fitnah kematian adalah pertanyaan dua malaikat kepada mayit di kuburnya tentang Tuhannya, agamanya, dan nabinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
"Telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan diuji di kubur kalian seperti atau mendekati fitnah Al-Masih Ad-Dajjal."
Adapun orang yang keimanannya tulus, ia akan dengan mudah menjawabnya. Jika ditanya: Siapa Tuhanmu? Ia menjawab: Tuhanku adalah Allah.
Siapa nabimu? Ia menjawab: Nabiku adalah Muhammad.
Apa agamamu? Ia menjawab: Agamaku adalah Islam, dengan sangat mudah.
Namun, selain itu – kita berlindung kepada Allah – jika ditanya, ia berkata: Hah... hah... aku tidak tahu. Aku mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku mengatakannya.
Perhatikan ucapannya: Hah... hah..., seakan-akan ia pernah tahu sesuatu, tetapi ia melupakannya. Betapa besar penyesalan terhadap sesuatu yang pernah diketahui kemudian dilupakan; karena orang yang bodoh tidak memperoleh apa-apa. Tetapi orang yang lupa pernah mendapatkan sesuatu lalu kehilangannya. Akhirnya, ia berkata: Aku tidak tahu siapa Tuhanku, apa agamaku, siapa nabiku. Ini adalah fitnah yang besar. Saya memohon kepada Allah agar menyelamatkan saya dan kalian darinya.
Hakikatnya, semua ini tergantung pada apa yang ada dalam hati. Jika hati benar-benar beriman, ia akan melihat perkara-perkara gaib sejelas melihat dengan mata. Maka, ia akan menjawab dengan mudah. Namun, jika sebaliknya, maka hasilnya juga sebaliknya."
Pendapat kedua:
Yang dimaksud dengan "fitnah kematian" adalah apa yang terjadi saat menjelang kematian, di akhir kehidupan. Hal ini disebutkan secara khusus, meskipun merupakan bagian dari fitnah kehidupan, karena besarnya dan pentingnya hal tersebut. Sebagaimana fitnah Dajjal disebutkan secara khusus, meskipun termasuk fitnah kehidupan, karena ia mendekati masa kematian. Fitnah ini disebutkan secara spesifik karena ia adalah fitnah yang paling berat. Sebab, ketika seseorang mendekati ajalnya dan meninggalkan amal, ia akan berada di antara dua kemungkinan: kebahagiaan atau kesengsaraan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal satu hasta, lalu takdir mendahuluinya sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia masuk ke neraka."
Maka fitnah ini sungguh besar.
Setan pada saat itu sangat berusaha keras untuk menyesatkan manusia. Namun, orang yang dilindungi adalah orang yang dijaga oleh Allah. Dalam kondisi genting ini—yang tidak dapat dipahami kecuali oleh mereka yang telah mengalaminya—setan datang untuk menggoda. Allah berfirman:
"Sekali-kali tidak! Apabila (nyawa) telah sampai ke tenggorokan, dan dikatakan, 'Siapa yang dapat menyembuhkan?' Dan dia yakin bahwa itu adalah waktu perpisahan, dan bertautlah betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Tuhanmu pada hari itu kamu dihalau." (QS. Al-Qiyamah: 26-30)
Kondisi ini sangat genting: manusia dalam keadaan lemah jiwa, lemah kehendak, lemah kekuatan, dada sempit, dan setan datang untuk menyesatkannya. Sebab, inilah waktu yang paling menguntungkan bagi setan. Bahkan, sebagaimana dikatakan oleh para ulama, setan bisa menampilkan kepada manusia berbagai agama—Yahudi, Nasrani, dan Islam—dalam bentuk kedua orang tuanya. Mereka menyarankan Yahudi atau Nasrani kepadanya. Setan dapat meniru siapa saja kecuali Nabi ﷺ. Dan inilah fitnah terbesar.
Namun, hal ini—alhamdulillah—tidak terjadi pada setiap orang, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Bahkan jika seseorang tidak sampai ke tingkat ini dengan setan, tetap saja ia bisa berada dalam bahaya.
Dikisahkan bahwa Imam Ahmad rahimahullah, ketika berada dalam sakaratul maut, terdengar mengatakan, "Belum, belum." Ketika ia sadar, ditanyakan kepadanya mengapa berkata demikian. Ia menjawab, "Setan menggigit jarinya seraya berkata, 'Ahmad, aku telah mengalahkanmu.' Ia menggigit jarinya karena penyesalan dan kesedihan karena tidak berhasil menyesatkan Imam Ahmad. Maka aku berkata kepadanya, 'Belum, belum.' Maksudnya, 'Sampai saat ini ruhku belum keluar.' Selama ruh masih di dalam tubuh, segala sesuatu masih mungkin terjadi."
Allah berfirman: _"Wahai Rabb kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk kepada kami."_ (QS. Ali Imran: 8). Dalam kondisi ini terdapat fitnah yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menyebutkannya: _"Dari fitnah kehidupan dan kematian."_
Kesimpulan:
Fitnah kematian memiliki dua penafsiran:
- Fitnah yang terjadi saat kematian.
- Fitnah yang terjadi setelah kematian, yaitu pertanyaan dua malaikat kepada manusia tentang Rabbnya, agamanya, dan Nabinya.
Tidak ada halangan untuk mengatakan bahwa ia mencakup kedua kondisi tersebut. Disebutkan fitnah sebelum kematian dan saat kematian karena itu adalah fitnah terbesar yang akan dihadapi manusia. Dalam hal ini, dikhawatirkan buruknya akhir kehidupan kecuali Allah menyelamatkan hamba-Nya dari fitnah ini.
Dengan demikian, bagi seseorang yang berlindung dari fitnah kematian, ia hendaknya mengingat kedua kondisi ini.
[Baca: Syarh Al-Mumti' (3/185-188)]. Wallahu a'lam.
FITNAH KUBUR DAN AZAB KUBUR
Yang ditunjukkan oleh dzahir hadits-hadits adalah bahwa setiap orang yang meninggal akan ditanya di kuburnya, baik dia seorang muslim maupun kafir, sebagaimana telah disebutkan dalam fatwa nomor: 26181.
Tidak dikatakan "fitnah azab kubur, " tetapi dikatakan "fitnah kubur dan azab kubur."
Adapun fitnah kubur, itu adalah pertanyaan dari dua malaikat kepadanya. Dalam Shahihain dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ، فَيَقُولَانِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ، قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الْجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ وَالْكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي، كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ، فَيُقَالُ: لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ، وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرُ الثَّقَلَيْنِ.
"Sesungguhnya seorang hamba apabila diletakkan di kuburnya, lalu ditinggalkan oleh para sahabatnya, dan sesungguhnya dia mendengar suara sandal mereka, maka datanglah dua malaikat kepadanya, lalu mereka mendudukkannya dan bertanya kepadanya: 'Apa yang dahulu engkau katakan tentang laki-laki ini (Muhammad ﷺ)?'
Maka seorang mukmin akan berkata: 'Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.'
Maka dikatakan kepadanya: 'Lihatlah tempat dudukmu di neraka, Allah telah menggantinya dengan tempat duduk di surga, ' maka dia melihat keduanya sekaligus.
Adapun orang munafik dan kafir, dikatakan kepadanya: 'Apa yang dahulu engkau katakan tentang laki-laki ini?'
Dia berkata: 'Aku tidak tahu, aku dahulu mengatakan sebagaimana yang dikatakan orang-orang.'
Maka dikatakan kepadanya: 'Engkau tidak tahu dan tidak membaca.' Lalu dia dipukul dengan palu dari besi, sehingga dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh makhluk di sekitarnya, kecuali manusia dan jin." [HR. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1338) dan (1374), Muslim (2870) (71) dan Ahmad dalam al-Musnad no. 1271].
Fitnah kubur tidak ada yang selamat darinya kecuali syahid dan orang yang berjaga di perbatasan Islam (murabith) jika dia meninggal dalam keadaan berjaga.
Rasulullah ﷺ pernah ditanya:
يَا رَسُولَ اللهِ مَا بَالُ الْمُؤْمِنِينَ يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ إِلَّا الشَّهِيدَ؟ قَالَ: «كَفَى بِبَارِقَةِ السُّيُوفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً»
"Mengapa orang-orang mukmin diuji di kubur mereka kecuali syahid?" Beliau menjawab: "Cukup baginya kilatan pedang di atas kepalanya sebagai ujian." (HR. An-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra 2/474 no. 2191dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Ahkaam al-Jana’iz hal. 50 dan Shahih Sunan Nasa’i no. 1940).
Beliau ﷺ juga bersabda:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ.
"Berjaga satu hari dan satu malam lebih baik daripada puasa dan shalat sebulan. Jika dia meninggal, amalnya yang biasa dia kerjakan tetap dicatat, rezekinya tetap mengalir, dan dia aman dari fitnah kubur." (HR. Muslim).
Adapun azab kubur, ia telah ditetapkan melalui Al-Qur’an dan sunnah bagi mereka yang berhak menerimanya.
Dalil-Dalil tentang Azab Kubur dan Penjelasannya
Azab kubur, nikmat kubur, dan pertanyaan dua malaikat merupakan hal-hal yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai kebenaran. Hal ini berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan sunnah yang shahih. Berikut ini adalah dalil-dalilnya:
Dalil dari al-Qur'an:
1. Firman Allah Ta'ala:
﴿ وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ (45) النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ (46)﴾
Artinya: "Dan telah meliputi keluarga Fir’aun azab yang buruk, (yaitu) api neraka yang ditampakkan kepada mereka pada pagi dan petang. Dan pada hari kiamat (dikatakan kepada malaikat), 'Masukkanlah keluarga Fir’aun ke dalam azab yang lebih berat.'” (Ghāfir: 45-46)
Ayat ini secara tegas menetapkan adanya azab kubur sebelum hari kiamat.
2. Firman Allah Ta'ala:
﴿ وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنفُسَكُمُ ۖ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ﴾
Artinya: "Dan (alangkah mengerikannya) sekiranya engkau melihat orang-orang zalim berada dalam sakaratul maut, sedang para malaikat mengulurkan tangan mereka (sambil berkata), 'Keluarkan nyawamu! Pada hari ini kalian diberi balasan dengan azab yang menghinakan karena dahulu kalian selalu mengatakan hal yang tidak benar tentang Allah.'”
Ayat ini adalah ucapan yang ditujukan kepada mereka saat kematian, dengan penegasan bahwa mereka akan merasakan azab yang menghinakan pada hari itu juga. Jika azab itu ditunda hingga kiamat, maka tidak mungkin dikatakan kepada mereka, "Hari ini kalian diberi balasan." Hal ini menunjukkan adanya azab kubur.
3. Firman Allah Ta'ala:
﴿ وَإِنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا عَذَابًا دُونَ ذَٰلِكَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ﴾
Artinya: "Dan sesungguhnya orang-orang zalim itu akan mendapat azab selain itu, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Ath-Thūr: 47)
Ayat ini menunjukkan bahwa azab pertama adalah azab kubur. Hal ini tidak bisa diartikan sebagai azab selama kehidupan dunia, karena banyak orang zalim yang tidak mendapatkan azab selama hidupnya.
4. Firman Allah Ta'ala:
﴿سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِيمٍ﴾
Artinya: "Kami akan mengazab mereka dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar."
Azab pertama dalam ayat ini adalah azab dunia, dan azab kedua adalah azab kubur. Kemudian disebutkan "dikembalikan kepada azab yang besar, " yaitu pada hari kiamat. Para ulama menyatakan bahwa ayat ini secara jelas menetapkan adanya azab kubur.
Dalil dari Sunnah:
1. Hadits dari Nabi ﷺ yang diriwayatkan dalam Shahihain:
"إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ. أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَبْرِئُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ."
"Nabi ﷺ melewati dua kuburan, lalu bersabda: 'Sesungguhnya keduanya sedang diazab, dan keduanya tidak diazab karena perkara besar. Adapun salah satu dari mereka, dia tidak menjaga dirinya dari kencing, sedangkan yang lainnya berjalan menyebarkan fitnah.'”
2. Hadits dalam Shahih Muslim:
إِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ تُبْتَلَى فِي قُبُورِهَا، فَلَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ الَّذِي أَسْمَعُ مِنْهُ."
"Sesungguhnya umat ini akan diuji di kubur-kuburnya. Kalau bukan karena kekhawatiran kalian tidak mau saling menguburkan, niscaya aku berdoa kepada Allah agar memperdengarkan kepada kalian azab kubur yang aku dengar."
3. Hadits dalam Shahih Muslim:
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ."
"Apabila salah seorang dari kalian selesai dari tasyahud akhir, hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal: dari azab neraka, azab kubur, fitnah kehidupan dan kematian, serta dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal."
Kesimpulan:
Hadits-hadits tentang azab kubur telah mencapai derajat mutawatir. Barang siapa yang mengingkarinya berada dalam bahaya besar.
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata:
"وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الْأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثُبُوتِ عَذَابِ الْقَبْرِ وَنَعِيمِهِ لِمَنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا، وَسُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ. فَيَجِبُ اعْتِقَادُ ذَلِكَ وَالْإِيمَانُ بِهِ، وَلَا نَتَكَلَّمُ عَنْ كَيْفِيَّتِهِ، إِذْ لَيْسَ لِلْعَقْلِ وُقُوفٌ عَلَى كَيْفِيَّتِهِ، لِكَوْنِهِ لَا عَهْدَ لَهُ بِهِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، وَالشَّرْعُ لَا يَأْتِي بِمَا تُحِيلُهُ الْعُقُولُ وَلَكِنْ قَدْ يَأْتِي بِمَا تَحَارُ فِيهِ الْعُقُولُ..."
"Telah mutawatir kabar dari Rasulullah ﷺ tentang adanya azab kubur dan nikmat kubur bagi orang yang layak, serta pertanyaan dua malaikat. Wajib bagi kita untuk mempercayainya dan beriman kepadanya, tanpa membahas bagaimana caranya, karena akal manusia tidak bisa menjangkau hakikatnya. Syariat tidak mungkin bertentangan dengan akal, tetapi terkadang melampaui batas pemahaman akal manusia." [Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah 2/578. Tahqiq Syu’aib al-Arna’uth]
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG KEMBALINYA RUH KE MAYAT DI DALAM KUBUR
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah pertanyaan kedua malaikat kepada mayat di dalam kuburnya, apakah pertanyaan mereka ditujukan kepada ruh, tubuh, atau keduanya sekaligus?.
Berikut penjelasan mengenai pendapat mereka:
Mazhab Imam Abu Hanifah dan Al-Ghazali -rahimahumallah- dalam masalah ini adalah berhenti (tawaqquf), namun mereka mengakui bahwa mayat di dalam kuburnya merasakan sebagian kehidupan. Ia akan merasakan kenikmatan jika ia orang yang bertakwa, dan akan diazab jika ia bukan orang yang demikian. Ia merasakan kenikmatan sebagai balasan dari amal saleh yang telah ia kerjakan.
Adapun masalah kembalinya ruh ke tubuh saat pertanyaan malaikat dan setelahnya, menurut mereka, hal ini tidak pasti. Ruh bisa kembali ke tubuhnya setelah masuk kubur, atau Allah menunda hal itu sampai hari kiamat, dan hanya Allah yang Maha Mengetahui tentang hal itu.
Sebagian besar ulama Ahlus Sunnah berpendapat bahwa ruh dikembalikan ke tubuh mayat setelah dimasukkan ke kubur, atau bahkan pada sebagian tubuh jika tubuh tersebut telah mengalami pemotongan atau terbakar. Hal ini tidak menghalangi meskipun tubuh mayat telah hancur berkeping-keping atau terbakar habis, karena Allah Maha Kuasa untuk mengembalikan kehidupan ke tubuhnya, meskipun hanya sebagian kecil dari tubuhnya. Pertanyaan kedua malaikat itu akan terjadi pada bagian tubuh yang masih ada.
Ibnu Hubairah dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa pertanyaan kedua malaikat kepada mayat hanya terjadi pada ruhnya saja, dan tidak terjadi pada tubuhnya. Hal ini mengharuskan mereka untuk menolak bahwa ruh mayat kembali ke tubuhnya setelah dimakamkan dan pada saat pertanyaan malaikat tersebut.
Ibnu Jarir At-Tabari dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa pertanyaan kedua malaikat kepada mayat di dalam kuburnya hanya terjadi pada tubuhnya saja, dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan di tubuh tersebut kemampuan untuk merasakan, mendengar, dan mampu menjawab, serta membuatnya merasakan penderitaan jika ia layak mendapat azab, meskipun hanya sebentar. Begitu juga, ia merasakan kenikmatan dan menikmati jika ia termasuk orang yang bertakwa dan saleh.
[Baca: al-Mufhim Lima Asykala Min Talkhish Kitab Muslim karya Abul ‘Abbas al-Qurthubi 2/586, at-Tadzkirah Bi Ahwal al-Mawtaa hal. 410, asy-Syarah al-Mumti’ 3/186 dan Mawqi’ Islam Suaal wa Jawaab 1/1267 no. 60191.
BAGAIMANA ORANG MATI MENGHABISKAN HARI-HARINYA DI KUBUR?
Kubur adalah tempat pertama dari tahapan akhirat. Di dalamnya, manusia akan diberi kabar gembira tentang tempatnya di surga atau tempatnya di neraka. Jika seorang hamba adalah mukmin, ia akan merasakan kenyamanan, kelapangan, dan kebahagiaan di kuburnya. Namun, jika ia seorang kafir, pelaku dosa besar, atau fasik, ia akan menerima akibat dari jauhnya dirinya dari Allah di kuburnya, serta akibat dari pendustaan terhadap apa yang Allah utus melalui para nabi.
Jika seorang muslim yang memasuki kubur memiliki dosa-dosa kecil, maka ia akan mendapatkan perlakuan yang berbeda.
Kehidupan kedua bagi orang mati dimulai setelah ia masuk ke kubur.
Pada hakikatnya, kehidupan tidak berakhir dengan kematian seseorang. Ia hanya berpindah dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat melalui jalan kematian, dan kubur menjadi jalan penghubung antara dunia dan akhirat. Ketika perintah Allah datang dan kiamat tiba, maka para penghuni kubur akan berpindah ke tahap selanjutnya, yaitu tahap pengadilan dan hisab, serta pembagian pahala dan tempat, baik di surga maupun di neraka.
KEHIDUPAN ORANG MATI DI ALAM BARZAKH
Kehidupan barzakh adalah kehidupan yang dialami manusia setelah kematiannya hingga hari kebangkitan. Baik seseorang dimakamkan, tidak dimakamkan, dibakar, atau dimakan binatang buas, semuanya tetap mengalami kehidupan barzakh ini. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah ﷺ yang menyebutkan bahwa setelah seseorang dimakamkan, ia dapat mendengar suara sandal keluarganya yang pulang dari kuburnya.
Kehidupan ini bisa menjadi nikmat atau azab. Kubur seseorang bisa menjadi taman dari taman-taman surga atau lubang dari lubang-lubang neraka. Dalil tentang nikmat dan azab ini terdapat dalam firman Allah mengenai kaum Fir’aun:
﴿ النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ﴾
"Api neraka diperlihatkan kepada mereka pagi dan petang, dan pada hari Kiamat (dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang paling keras." (QS. Ghafir: 46).
Ibnu Mas’ud berkata:
إِنَّ أَرْوَاحَ آلِ فِرْعَوْنَ وَمَنْ كَانَ مِثْلَهُمْ مِنَ الْكُفَّارِ تُحْشَرُ عَنِ النَّارِ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ فَيُقَالُ هَذِهِ دَارُكُمْ
bahwa ruh kaum Fir’aun dan orang-orang kafir seperti mereka dikumpulkan di dekat api neraka pada pagi dan petang hari, lalu dikatakan kepada mereka: "Inilah tempat tinggal kalian."
Ibnu Katsir menyatakan:
وَهَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ كَبِيرٌ فِي اسْتِدْلَالِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَلَى عَذَابِ الْبَرْزَخِ فِي الْقُبُورِ، وَهِيَ قَوْلُهُ: {النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا}
“Bahwa ayat berikut merupakan dalil utama bagi Ahlus Sunnah dalam menetapkan adanya azab di alam barzakh, yaitu firman Allah:
"Api neraka diperlihatkan kepada mereka pada pagi dan petang hari, dan pada hari kiamat (dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah kaum Fir’aun ke dalam azab yang paling keras.” (QS. Ghafir: 46). [Tafsir Ibnu Katsir 7/146].
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini digunakan oleh para ulama sebagai landasan adanya siksa kubur.
Al-Qurthubi juga menjelaskan dalam tafsirnya:
وَاحْتَجَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي إِثْبَاتِ عَذَابِ الْقَبْرِ بِقَوْلِهِ: (النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا) كَذَٰلِكَ قَالَ مُجَاهِدٌ وَعِكْرِمَةُ وَمُقَاتِلٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ كُلُّهُمْ قَالُوا: هَٰذِهِ الْآيَةُ تَدُلُّ عَلَىٰ عَذَابِ الْقَبْرِ، أَلَا تَرَاهُ يَقُولُ عَنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ: (وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ)
bahwa sebagian ulama menggunakan ayat ini untuk menetapkan adanya azab kubur. Beliau mengutip pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, Maqatil, dan Muhammad bin Ka’ab, yang menyatakan bahwa ayat tersebut menunjukkan adanya azab kubur. Buktinya, Allah membedakan antara azab di kubur dengan azab di akhirat, sebagaimana firman-Nya:
"Dan pada hari kiamat (dikatakan): Masukkanlah kaum Fir’aun ke dalam azab yang paling keras.” (QS. Ghafir: 46). (Tafsir Al-Qurthubi 15/319).
Dalil dari Hadits
Ke 1. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
(إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَإِنَّهُ يُعْرَضُ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ)
"Apabila salah seorang dari kalian meninggal dunia, maka akan diperlihatkan kepadanya tempat tinggalnya pada pagi dan petang hari. Jika ia termasuk penghuni surga, maka diperlihatkan tempatnya di surga. Jika ia termasuk penghuni neraka, maka diperlihatkan tempatnya di neraka." (HR. Bukhari no. 3001 dan Muslim no. 2866).
Ke 2. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata:
أَنَّ يَهُودِيَّةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا فَذَكَرَتْ عَذَابَ الْقَبْرِ فَقَالَتْ لَهَا: أَعَاذَكِ اللَّهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ. فَسَأَلَتْ عَائِشَةُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَقَالَ: نَعَمْ عَذَابُ الْقَبْرِ. قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ صَلَّى صَلَاةً إِلَّا تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ)
"Seorang wanita Yahudi datang menemuiku dan menyebutkan tentang azab kubur, lalu ia berkata, 'Semoga Allah melindungimu dari azab kubur.' Maka aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang azab kubur, dan beliau menjawab, 'Ya, ada azab kubur.' Sejak itu, aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ salat kecuali beliau memohon perlindungan dari azab kubur." (HR. Bukhari no. 1283 dan Muslim no. 903).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
أَمَّا إِنْ كَانَ الْإِنسَانُ كَافِرًا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ فَإِنَّهُ لَا طَرِيقَ إِلَىٰ وُصُولِ النَّعِيمِ إِلَيْهِ أَبَدًا، وَيَكُونُ عَذَابُهُ مُسْتَمِرًّا، وَأَمَّا إِنْ كَانَ عَاصِيًا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَإِنَّهُ إِذَا عُذِّبَ فِي قَبْرِهِ يُعَذَّبُ بِقَدَرِ ذُنُوبِهِ، وَرُبَّمَا يَكُونُ عَذَابُ ذُنُوبِهِ أَقَلَّ مِنَ الْبَرْزَخِ الَّذِي بَيْنَ مَوْتِهِ وَقِيَامِ السَّاعَةِ، وَحِينَئِذٍ يَكُونُ مُنْقَطِعًا.
- Jika seseorang adalah seorang kafir, maka tidak ada jalan baginya untuk meraih kenikmatan. Azabnya akan terus berlanjut tanpa henti.
- Jika ia seorang mukmin yang berdosa, ia mungkin akan diazab di kubur sesuai kadar dosanya. Bisa jadi azab tersebut lebih ringan dibandingkan masa antara kematiannya dan hari kiamat, sehingga azabnya akan terputus. (Asy-Syarh Al-Mumti’ 3/253).
Kesimpulannya:
Dalil dari Al-Qur'an dan hadis shahih menunjukkan adanya azab kubur yang terus-menerus bagi sebagian orang, tergantung amal perbuatannya di dunia.
Terdapat banyak dalil dari Al-Qur'an yang menjelaskan apa yang dialami seseorang setelah memasuki kubur, mulai dari pertanyaan, hisab, hingga nikmat atau azab. Jika semasa hidupnya ia dekat dengan Allah, kehidupannya di alam kubur akan berjalan lancar dan ringan. Namun, jika ia lalai, durhaka, dan mengikuti hawa nafsunya, ia akan menghadapi kesulitan, azab, dan pertanyaan yang berat dari malaikat.
Berikut ini adalah penjelasan beberapa dalil mengenai hal tersebut:
Ke 1. Orang yang beriman akan memasuki kuburnya dengan rasa aman dan tenang. Saat ditanya oleh malaikat, ia akan menjawab dengan mantap dan tenang karena keimanan, ketakwaan, dan amal saleh yang telah dipersiapkan semasa hidup. Allah berfirman:
﴿ يُثَبِّتُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱلۡقَوۡلِ ٱلثَّابِتِ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۖ وَيُضِلُّ ٱللَّهُ ٱلظَّٰلِمِينَۚ وَيَفۡعَلُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ ﴾
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (QS. Ibrahim: 27).
Ke 2. Malaikat akan datang untuk menanyai si mati setelah keluarganya pergi meninggalkan pemakaman.
Dua malaikat yang diutus Allah akan mendudukkan si mati di kuburnya dan bertanya tentang Tuhannya, Nabinya, dan agamanya. Jika ia beriman, ia akan menjawab dengan mantap: "Tuhanku adalah Allah, Nabiku adalah Muhammad, dan agamaku adalah Islam." Setelah itu, ia akan diperlihatkan tempatnya di surga sebagai balasan atas keimanan dan amal salehnya.
Ke 3. Bagi orang kafir, pertanyaan tersebut akan menjadi azab tersendiri. Setiap kali ditanya, ia hanya bisa menjawab: "Ah, ah, aku tidak tahu." Setelah itu, ia akan diperlihatkan tempatnya di neraka sebagai balasan atas pengingkaran dan kedurhakaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
APAKAH AZAB KUBUR BERLANJUT HINGGA KIAMAT?
Hal ini dibuktikan dengan hadis yang terdapat dalam dua kitab sahih dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
" إِنَّ العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ، فَيَقُولَانِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَّا المُؤْمِنُ، فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا - قَالَ قَتَادَةُ: وَذُكِرَ لَنَا: أَنَّهُ يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى حَدِيثِ أَنَسٍ - قَالَ: وَأَمَّا المُنَافِقُ وَالكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ، فَيُقَالُ: لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ، وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً، فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ "
"Sesungguhnya seorang hamba, ketika ia diletakkan di dalam kuburnya dan sahabat-sahabatnya telah pergi meninggalkannya, ia akan mendengar suara langkah kaki mereka. Kemudian datanglah dua malaikat yang akan dudukkannya dan bertanya, 'Apa yang kamu katakan tentang pria ini, yaitu Muhammad ﷺ?' Adapun orang yang beriman, ia akan menjawab, 'Aku bersaksi bahwa ia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.' Maka dikatakan kepadanya, 'Lihatlah tempatmu dari neraka, Allah telah menggantinya dengan tempat dari surga.' Maka ia akan melihat keduanya. Qatadah menyebutkan bahwa kuburnya akan dilapangkan. Kemudian ia kembali pada hadits Anas dan melanjutkan, 'Adapun orang munafik dan kafir, maka mereka akan ditanya, 'Apa yang kamu katakan tentang pria ini?' Mereka akan menjawab, 'Aku tidak tahu, aku hanya mengatakan apa yang dikatakan orang-orang.' Maka dikatakan, 'Kamu tidak tahu dan kamu tidak membaca.' Kemudian ia dipukul dengan palu-palu dari besi satu pukulan, dan ia akan berteriak dengan suara yang sangat keras, yang didengar oleh yang ada di sekitarnya selain dari makhluk-makhluk jin dan manusia." [HR. Bukhori no. 1374 dan Muslim no. 2870]
Setelah kedua malaikat meninggalkan mayat setelah bertanya dan ia melihat tempatnya di surga atau neraka, kehidupan kubur dimulai. Jika orang tersebut beriman, maka kuburnya akan dilapangkan dan ia akan melihat kenikmatan dan kebahagiaan yang membuatnya berharap agar kiamat segera datang untuk memasuki kenikmatan yang lebih besar di surga. Adapun orang kafir dan fasik, setelah kedua malaikat menanyakan dan menunjukkan tempatnya di neraka, ia akan berharap kiamat tidak datang agar ia tidak masuk neraka. Kuburnya akan sempit dan ia merasakan azab yang datang dari segala arah, salah satu azab yang paling berat adalah ia melihat tempatnya di neraka pada pagi dan sore hari.
Allah Ta'ala berfirman:
﴿النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ ﴾
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang ". [QS. Ghafir: 46]
APAKAH MAYIT DI ALAM BARZAKH MERASAKAN KUNJUNGAN KELUARGANYA?
DR. Muhammad Syalabi, Sekretaris Lajnah Fatwa di Darul Ifta', menjelaskan bahwa orang yang telah meninggal merasakan siapa yang mengunjunginya. Beliau menyebutkan hadis dari Buraidah radhiyallahu 'anhu yang berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ، فَكَانَ قَائِلُهُمْ يَقُولُ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ»
"Rasulullah ﷺ mengajarkan mereka apabila keluar menuju kuburan, salah seorang dari mereka mengucapkan: 'Salam sejahtera atas kalian, wahai penghuni negeri dari kalangan orang-orang beriman dan muslimin. Kami insyaAllah akan menyusul kalian. Aku memohon kepada Allah keselamatan untuk kami dan untuk kalian.'" Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.
DR. Syalabi juga mendasarkan pendapatnya pada hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ رَجُلٍ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا، فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ»
"Tidaklah seorang laki-laki melewati kubur seseorang yang ia kenal di dunia, lalu ia memberi salam kepadanya, kecuali orang tersebut mengenalnya dan membalas salamnya."
Beliau juga menambahkan bahwa diriwayatkan secara sahih dari Nabi ﷺ:
إِنَّهُ أَمَرَ بِقَتْلَى بَدْرٍ، فَأُلْقُوا فِي قَلِيبٍ، ثُمَّ جَاءَ حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِمْ وَنَادَاهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ: «يَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ، وَيَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ، هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا؟ فَإِنِّي وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقًّا»، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تُخَاطِبُ مِنْ أَقْوَامٍ قَدْ جِيفُوا؟ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ، وَلَكِنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ جَوَابًا».
“Bahwa setelah perang Badar, beliau memerintahkan agar para korban perang dari kaum musyrik dilemparkan ke dalam sumur. Kemudian beliau datang hingga berdiri di hadapan mereka dan memanggil mereka dengan nama mereka: "Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan, apakah kalian telah menemukan janji Rabb kalian benar? Karena aku telah menemukan apa yang dijanjikan Rabbku kepadaku benar." Umar radhiyallahu 'anhu lalu berkata: "Wahai Rasulullah ﷺ, apakah Anda berbicara dengan orang-orang yang telah menjadi bangkai?" Nabi ﷺ menjawab: "Demi Zat yang mengutusku dengan kebenaran, kalian tidak lebih mendengar daripada mereka terhadap apa yang aku katakan, tetapi mereka tidak dapat menjawab."
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya dengan redaksi yang berbeda-beda.
TAKHRIJ HADITS ABU HURAIRAH radhiyallahu ‘anhu diatas:
Yaitu Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ رَجُلٍ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا، فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ»
"Tidaklah seorang laki-laki melewati kubur seseorang yang ia kenal di dunia, lalu ia memberi salam kepadanya, kecuali orang tersebut mengenalnya dan membalas salamnya."
Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qasim Tamam al-Bajaly dalam Fawaid 1/63 no. 139, Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, Al-Khatib dalam At-Tarikh (6/137) - dan melalui jalurnya oleh Ibnu Al-Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah (1523)- serta oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (3/q 210/a) melalui jalur Ar-Rabi’. Ibnu Asakir juga meriwayatkannya melalui jalur lain dari Abdurrahman.
Hadits ini dinilai Dhoif oleh al-Albaani (Lihat: Tahdzib Iqtidhoo ash-Shirothil Mustaqiim oleh Syahanah Muhammad Saqr hal. 184].
Al-Mundziri berkata:
(قُلْتُ: عَبْدُ الرَّحْمٰنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ضَعِيفٌ)
(Aku berkata: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi yang lemah) [Lihat: Ar-Raudh Al-Bassam 2/122 nomor 515 oleh Abu Sulaiman Ad-Dausari].
Ibnu Al-Jauzi berkata:
"لَا يَصِحُّ. وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى تَضْعِيفِ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ ابْنُ حِبَّانَ: كَانَ يُقَلِّبُ الْأَخْبَارَ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ حَتَّى كَثُرَ ذٰلِكَ فِي رِوَايَتِهِ مِنْ رَفْعِ الْمَرَاسِيلِ وَإِسْنَادِ الْمَوْقُوفِ فَاسْتَحَقَّ التَّرْكَ".
"Hadits ini tidak sahih. Telah menjadi ijma' bahwa Abdurrahman bin Zaid adalah perawi lemah." Ibnu Hibban berkata: "Ia sering membolak-balikkan riwayat tanpa mengetahui sehingga banyak riwayatnya yang keliru, seperti meriwayatkan mursal sebagai bersanad lengkap dan meriwayatkan yang mauquf sebagai marfu’, sehingga ia layak ditinggalkan."
Ibnu Rajab dalam Ahwal Al-Qubur (halaman 83) berkata:
"عَبْدُ الرَّحْمٰنِ بْنُ زَيْدٍ فِيهِ ضَعْفٌ، وَقَدْ خُولِفَ فِي إِسْنَادِهِ". أَهـ.
"Abdurrahman bin Zaid adalah perawi yang lemah, dan sanadnya ada perbedaan." Selesai.
Pernyataan ini merujuk pada riwayat Hisyam bin Sa’ad, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Kitab Al-Qubur -sebagaimana disebutkan dalam Ar-Ruh karya Ibnu Qayyim halaman 5 dan Al-Ahwal halaman 83- dari gurunya Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari dari Ma’n bin Isa Al-Qazzaz dari Hisyam dari Zaid bin Aslam dari Abu Hurairah secara mauquf.
Adapun Hisyam dinyatakan lemah oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, dan An-Nasa’i. Sedangkan Al-‘Ijli berkata: "Ia hasan dalam haditsnya." Abu Zur’ah dan As-Saji menyebutnya sebagai perawi yang shaduq.
Gurunya Ibnu Abi Dunya: Ibnu Ma’in berkata: "Ia tidak ada apa-apanya." Abu Dawud juga melemahkannya.
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (1/234) dan At-Tamhid -sebagaimana disebutkan dalam takhrij Ihya’ oleh Al-‘Iraqi (4/491)- dari jalur Fatimah binti Ar-Riyan dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman dari Bisyr bin Bakr -dalam Al-Istidzkar tertulis Bakir, ini adalah kesalahan tulis- dari Al-Auza’i dari ‘Atha’ dari Ubaid bin Umair dari Ibnu Abbas secara marfu’.
Sementara Abdul Haq Al-Isybili dalam Al-Ahkam Al-Kubra (versi Turki, q 91/a) berkata: "Sanadnya sahih." Selesai.
Ibnu Rajab dalam Al-Ahwal (halaman 82) berkata:
"يُشِيرُ إِلَى أَنَّ رُوَاتَهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ، وَهُوَ كَذٰلِكَ إِلَّا أَنَّهُ غَرِيبٌ، بَلْ مُنْكَرٌ". أَهـ.
"Ia meng-isyarat-kan bahwa semua perawinya terpercaya, dan memang demikian, akan tetapi hadits ini gharib (aneh dan asing), bahkan mungkar." Selesai.
Abu Sulaiman ad-Dawsiri berkata: “Saya tidak menemukan biografi Fatimah”. [Baca: ar-Raudh al-Basaam 2/123].
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Kitab Al-Qubur -sebagaimana dalam Ar-Ruh halaman 5- dari hadits Aisyah secara marfu’.
Ibnu Rajab dalam Al-Ahwal halaman 83 men-dho’if-kannya dengan menyebutkan Abdullah bin Sim’an, ia berkata: "Ia adalah perawi yang ditinggalkan." Selesai.
Az-Zabidi dalam Syarh Ihya’ (10/365) menyebutkan bahwa kemungkinan perawi tersebut adalah Abdullah bin Muhammad bin Sim’an yang terpercaya atau Abdullah bin Ziyad bin Sulaiman yang ditinggalkan. Ia berkata:
"وَهٰذَا هُوَ الَّذِي اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ رَأْيُ السُّيُوطِيِّ فِي (أَمَالِي الدُّرَّةِ) وَلَمْ يَذْكُرِ الَّذِي قَبْلَهُ". أَهـ.
"Pendapat ini adalah yang telah menjadi ketetapan pendapat As-Suyuthi dalam (Amali Ad-Durrah), dan ia tidak menyebut pendapat yang pertama." Selesai.
[Disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami' Ash-Shaghir, dan ia berkata: Al-Khatib dalam At-Tarikh dan Ibnu Asakir dari Abu Hurairah (2/518), hadits nomor 7062, dengan lafaz: "Tidak ada seorang hamba pun..." (hingga akhir hadits).
Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir berkata: "Ibnu Al-Jauzi menyatakan bahwa hadits ini tidak sahih."
Kemudian ia melanjutkan: "Dan Al-Hafizh Al-'Iraqi memberikan faidah bahwa Ibnu Abdil Barr telah meriwayatkannya dalam At-Tamhid dan Al-Istidzkar dengan sanad yang sahih dari hadits Ibnu Abbas.
Di antara yang mensahihkannya adalah Abdul Haq." (Faidh Al-Qadir, 5/487). Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (1/234)].
Untuk takhrij hadits Ibnu Abbas, akan saya sebutkan dalam pembahasan berikut ini.
APAKAH MAYIT MENGENALI ORANG HIDUP YANG MENZIARAHI KUBURNYA?
Ruh diberikan oleh Allah kepada tubuh selama hidup di dunia, sehingga tubuh memiliki rasa, gerak, pengetahuan, pemahaman, kenikmatan, dan penderitaan, yang membuatnya disebut sebagai makhluk hidup. Ketika ruh meninggalkan tubuh sesuai waktu yang telah ditentukan, hubungan tersebut terputus. Tubuh kehilangan efek-efek tersebut, menjadi tidak bernyawa, dan disebut sebagai mayit, sedangkan ruh tetap berada di alam barzakh.
Alam barzakh adalah fase antara kehidupan dunia dan akhirat, dari kematian hingga hari kebangkitan. Ruh tetap hidup dengan kesadaran, dapat mendengar, melihat, memuji Allah sesuai kehendak dan takdir-Nya, serta terhubung dengan ruh lainnya, baik ruh orang hidup maupun ruh orang mati. Ruh dapat merasakan kenikmatan, siksa, kebahagiaan, atau penderitaan sesuai keadaannya, dan dapat kembali mendatangi kubur.
Lalu apakah orang yang sudah meninggal dapat mengenali siapa yang mengunjunginya dari orang hidup, yang dia telah mengenalnya semasa hidupnya di dunia?.
Terkait dengan penglihatan orang yang sudah meninggal terhadap keluarga mereka dan apa yang mereka lakukan: kami tidak mengetahui adanya dalil yang menetapkannya secara pasti dan qoth’i. Sebab, orang yang telah meninggal telah berpindah ke alam barzakh. Dunia barzakh ini tidak diketahui oleh penghuni dunia kecuali melalui wahyu atau apa yang telah diberitakan oleh Nabi ﷺ.
Dunia barzakh adalah alam gaib yang tidak dapat diketahui secara rinci kecuali melalui wahyu yang shahih, yaitu Al-Qur'an dan hadits yang sahih. Dalam kedua sumber ini kita merujuk kepada keduanya tentang apa yang dialami oleh seseorang setelah kematiannya.
Ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa orang yang telah meninggal mengetahui siapa yang mengunjunginya jika ia mengenalnya semasa hidup dan dia akan merasa senang ketika dikunjungi oleh orang-orang yang dicintainya.
Ia juga bisa mengetahui kabar keluarganya melalui pertanyaan kepada orang yang baru meninggal dan bergabung dengannya. Ia mungkin bertanya, "Apa yang dilakukan oleh si fulan dan si fulanah?" atau hal serupa.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ مَرَّ بِقَبْرِ أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، إِلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ۔
"Tidaklah seseorang melewati kubur saudaranya yang beriman, yang ia kenal di dunia, lalu mengucapkan salam kepadanya, kecuali ia (si mayit) akan mengenalinya dan membalas salamnya."
[[TAKHRIJ HADITS IBNU ‘ABBAS radhiyallahu ‘anhu di-atas:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Istidzkar (1/185), di mana ia berkata:
"Abu Abdillah Ubaid bin Muhammad menyampaikan kepada kami, dan aku membacanya di hadapannya pada tahun 390 Hijriah bulan Rabiul Awwal. Fathimah binti ar-Riyan al-Mustamli menyampaikan kepada kami di rumahnya di Mesir pada bulan Syawal tahun 342 Hijriah. Ia berkata: 'Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muadzin, murid Imam Syafi’i, meriwayatkan kepada kami, ia berkata: 'Basyar bin Bukair meriwayatkan kepada kami dari al-Auza’i, dari Atha’, dari Ubaid bin Umair, dari Ibnu Abbas.'"
Sanad hadits ini berkemungkinan besar shahih, para perawinya terpercaya dan dikenal. Namun, syeikh-nya Ibnu Abdil Barr, dan begitu pula Fathimah binti ar-Royan, tidak ditemukan biografinya. Meskipun demikian, kepercayaan terhadapnya dapat diketahui dari penshahihan Ibnu Abdil Barr terhadap hadits ini, sebab tidak mungkin beliau menshahihkan suatu hadits tanpa mengetahui keabsahan orang yang meriwayatkannya. Para ulama hadits juga sering kali mempercayai para perawi berdasarkan penshahihan sanad yang melibatkan mereka.
Ibnu Taimiyah juga mengutip pernyataan Abdullah bin al-Mubarak yang menyatakan kebenaran hadits ini dengan mengatakan:
"قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: ثَبَتَ ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" انْتَهَى
"Ibnu al-Mubarak berkata: Hadits ini telah valid dari Nabi ﷺ." (lihat Majmu' al-Fatawa 24/331).
Hadits ini juga disahihkan oleh para ulama belakangan seperti al-Hafizh Abdul Haq al-Isybili, al-Qurthubi dalam al-Mufhim (1/500), Ibn Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa (24/173), al-Iraqi dalam takhrij Ihya’ Ulumuddin (4/491), az-Zabidi dalam Syarh Ihya (10/365), as-Suyuthi dalam al-Hawi (2/302), al-Azhim Abadi dalam Aun al-Ma’bud (3/261), asy-Syaukani dalam Nail al-Awthar (3/304), dan lainnya.
Selain itu, hadits ini memiliki dua syahid (penguat) dari Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu 'anhuma. Namun, sanad keduanya memiliki kelemahan sehingga tidak cukup kuat untuk dipertimbangkan. (lihat Silsilah ad-Dha'ifah karya Syaikh al-Albani, no. 4493).
Hadits ini juga diperkuat oleh banyak atsar yang diriwayatkan dari para salaf. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
"وَالسَّلَفُ مُجْمِعُونَ عَلَى هَذَا، وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الْآثَارُ عَنْهُمْ بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْرِفُ زِيَارَةَ الْحَيِّ لَهُ وَيَسْتَبْشِرُ بِهِ" انْتَهَى۔
"Para salaf sepakat tentang hal ini, dan telah mutawatir atsar dari mereka bahwa orang yang meninggal mengetahui kunjungan orang hidup kepadanya dan merasa gembira karenanya." (lihat ar-Ruh, hlm. 5).
Hal serupa juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-Azhim (6/325).
Dan telah menghimpun riwayat-riwayat ini al-Hafizh Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab al-Qubur, di bawah bab "Ma'rifatu al-Mauta bi Ziyaratil Ahya". Al-Qurthubi juga menyebutkannya dalam at-Tadzkirah. Sebagaimana as-Suyuthi mengumpulkannya dalam Syarh as-Shudur fi Ahwali al-Mawtaa wa Ziyarat al-Qubur.
Adapun para ulama belakangan, mayoritas dari mereka menguatkan keterangan ini dalam kitab-kitab atsar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"الرُّوحُ تُشْرِفُ عَلَى الْقَبْرِ، وَتُعَادُ إِلَى اللَّحْدِ أَحْيَانًا، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ الرَّجُلِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ رُوحَهُ حَتَّى يَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ، وَالْمَيِّتُ قَدْ يَعْرِفُ مَنْ يَزُورُهُ، وَلِهَذَا كَانَتِ السُّنَّةُ أَنْ يُقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ دَارِ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِينَ" انْتَهَى۔
"Ruh dapat mengawasi kubur dan terkadang dikembalikan ke liang lahad, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: ‘Tidaklah seseorang melewati kubur orang yang dikenalnya di dunia, lalu mengucapkan salam kepadanya, kecuali Allah mengembalikan ruhnya sehingga ia membalas salam itu.’
Orang yang telah meninggal dapat mengenali orang yang mengunjunginya. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengucapkan, ‘Assalamu’alaikum ahladdiyar min al-mu'minin, wa inna in sya' Allah bikum lahiqun, wa yarhamullahu al-mustaqdimina minna wa minkum wal-musta’khirin.’" (selesai, Majmu' al-Fatawa, 24/303-304).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
رَوَى أَصْحَابُ السُّنَنِ بِسَنَدٍ صَحَّحَهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَأَقَرَّهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي كِتَابِ الرُّوحِ، أَنَّهُ: مَا مِنْ رَجُلٍ يُسَلِّمُ عَلَى مُسْلِمٍ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ رُوحَهُ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ فِي أَيِّ وَقْتٍ" انْتَهَى
Para penyusun kitab Sunan meriwayatkan dengan sanad yang disahihkan oleh Ibnu Abdil Barr dan diakui oleh Ibnu Qayyim dalam kitab ar-Ruh, bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Tidaklah seseorang memberi salam kepada seorang Muslim yang dikenalnya di dunia, kecuali Allah mengembalikan ruhnya sehingga ia membalas salam tersebut, kapan pun waktunya.’"
(Selesai, Liqa' al-Bab al-Maftuh, pertemuan no. 9, pertanyaan no. 37).(TAKHRIJ SELESAI)]]
Pembahasan di lanjut:
Jika benar hadits itu shahih, maka dengan demikian mayit merasakan kunjungan keluarganya saat berada di kubur. Mayit merasa terhibur, bahagia, dan membalas salam orang yang mengunjunginya, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah ﷺ. Maka dianjurkan bagi seorang Muslim untuk mengunjungi kuburan dan memberi salam kepada penghuninya. Dan mayit akan mengenali orang yang memberi salam kepadanya dan membalas salam tersebut.
Selain itu, ruh orang yang telah meninggal saling bertemu di alam barzakh, yaitu alam antara dunia dan hari kiamat.
Al-Imam asy-Syawkani berkata:
وَقَدْ صَحَّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا: «مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ عَلَى قَبْرِ أَخِيهِ الْمُؤْمِن وَفِي رِوَايَة: بِقَبْرِ الرَّجُلِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ» وَلِابْنِ أَبِي الدُّنْيَا «إذَا مَرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرٍ يَعْرِفُهُ فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ رَدَّ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - وَعَرَفَهُ، وَإِذَا مَرَّ بِقَبْرٍ لَا يَعْرِفُهُ رَدَّ - عَلَيْهِ السَّلَامُ -» وَصَحَّ «أَنَّهُ كَانَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَخْرُجُ إلَى الْبَقِيعِ لِزِيَارَةِ الْمَوْتَى وَيُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ»
وَوَرَدَ النَّصّ فِي كِتَابِ اللَّهِ فِي حَقّ الشُّهَدَاءِ أَنَّهُمْ أَحْيَاء يُرْزَقُونَ وَأَنَّ الْحَيَاة فِيهِمْ مُتَعَلِّقَة بِالْجَسَدِ فَكَيْف بِالْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ. وَقَدْ ثَبَتَ فِي الْحَدِيثِ «أَنَّ الْأَنْبِيَاءَ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ» رَوَاهُ الْمُنْذِرِيُّ وَصَحَّحَهُ الْبَيْهَقِيُّ.
وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي بِمُوسَى عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ»
Telah sahih dari Ibnu Abbas secara marfu’: "Tidaklah seseorang melewati kubur saudaranya yang mukmin", dan dalam riwayat lain: "di kubur seseorang yang ia kenal di dunia, lalu memberi salam kepadanya, kecuali orang tersebut akan mengenalnya dan membalas salamnya."
Dalam riwayat Ibnu Abi Dunya disebutkan: "Apabila seseorang melewati sebuah kubur yang ia kenal, lalu memberi salam kepadanya, maka orang tersebut akan membalas salamnya dan mengenalnya. Dan jika melewati kubur yang tidak ia kenal, tetap akan membalas salamnya."
Telah sahih pula bahwa Rasulullah ﷺ keluar menuju Baqi’ untuk mengunjungi orang-orang yang telah meninggal dan memberikan salam kepada mereka.
Dalam Al-Qur'an terdapat penegasan bahwa para syuhada hidup dan diberi rezeki, dan kehidupan mereka berkaitan dengan jasad mereka. Maka bagaimana dengan para nabi dan rasul?
Telah disebutkan dalam hadis bahwa "Para nabi hidup di kubur mereka"; hadis ini diriwayatkan oleh Al-Mundziri dan disahihkan oleh Al-Baihaqi.
Dalam Shahih Muslim disebutkan dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: "Aku melewati Musa pada malam Isra di dekat bukit pasir merah, dia sedang berdiri melaksanakan salat di kuburnya."
[Lihat: Neil al-Awthaar 3/295. Lihat pula: ‘Awnul Ma’buud 3/261]
Adapun penentuan khusus bahwa ziarah orang hidup pada hari Jumat yang bisa dikenali oleh mayit, hal ini tidak memiliki dalil yang shahih.
Disebutkan dalam Hasyiyah Nihayah al-Muhtaj (3/36):
"قَوْلُهُ: (فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ) أَيْ فِي جَمِيعِ أَيَّامِ الْأُسْبُوعِ، وَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِالْأَوْقَاتِ الَّتِي اعْتِيدَتِ الزِّيَارَةُ فِيهَا.
وَقَوْلُهُ: (إِلَّا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ): فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى الْمُسَلِّمِ حَقَّهُ وَلَوْ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعْطِيهِ قُوَّةً بِحَيْثُ يَعْلَمُ الْمُسَلِّمَ عَلَيْهِ وَيَرُدُّ عَلَيْهِ، وَمَعَ ذَلِكَ لَا ثَوَابَ فِيهِ لِلْمَيِّتِ عَلَى الرَّدِّ؛ لِأَنَّ تَكْلِيفَهُ انْقَطَعَ بِالْمَوْتِ" انْتَهَى۔
"Adapun sabda-nya, ‘Maka ia memberi salam kepadanya, ’ maksudnya adalah pada seluruh hari dalam sepekan, dan hal ini tidak terbatas pada waktu-waktu yang biasanya dilakukan kunjungan.
Dan sabda-nya, ‘Kecuali ia mengenalinya dan membalas salamnya, ’ menunjukkan bahwa ia memenuhi hak orang yang memberi salam, meskipun setelah kematian. Allah memberinya kekuatan sehingga ia mengetahui orang yang memberi salam dan membalasnya. Meskipun demikian, tidak ada pahala bagi mayit atas balasan salam tersebut, karena taklif (kewajiban) telah terputus dengan kematian." (selesai).
Dalam Al-Fatawa Al-Kubra 3/42 karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disebutkan:
وَأَمَّا عِلْمُ الْمَيِّتِ بِالْحَيِّ إِذَا زَارَهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ.. فَفِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِلَّا عَرَفَهُ، وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ. قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: ثَبَتَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَصَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ صَاحِبُ الْأَحْكَامِ. اِنْتَهَى.
"Adapun pengetahuan orang yang telah meninggal tentang orang yang hidup jika mereka mengunjunginya dan mengucapkan salam kepadanya... dalam hadis Ibnu Abbas disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang melewati kubur saudaranya sesama mukmin yang ia kenal di dunia lalu mengucapkan salam kepadanya, kecuali ia akan mengenalnya dan menjawab salam tersebut.” Ibnul Mubarak mengatakan, 'Hal ini telah tsabit dari Nabi ﷺ, ' dan hadis ini dinilai sahih oleh Abdul Haq, penulis kitab Al-Ahkam.” [Lihat: Majmu’ al-Fatawa 24/331]
Masalah ini juga dibahas secara panjang lebar oleh Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh.
Berikut ringkasan dari poin-poin penting yang beliau sampaikan (hal. 5-9):
هَلْ تَعْرِفُ الْأَمْوَاتُ زِيَارَةَ الْأَحْيَاءِ وَسَلَامَهُمْ أَمْ لَا؟ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُرُّ عَلَى قَبْرِ أَخِيهِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ رُوحَهُ حَتَّى يَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ".
وَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْهُ مِنْ وُجُوهٍ مُتَعَدِّدَةٍ أَنَّهُ أَمَرَ بِقَتْلَى بَدْرٍ، فَأُلْقُوا فِي قَلِيبٍ، ثُمَّ جَاءَ حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِمْ وَنَادَاهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ: "يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ، وَيَا فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَكُمْ رَبُّكُمْ حَقًّا؟ فَإِنِّي وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقًّا" فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تُخَاطِبُ مِنْ أَقْوَامٍ قَدْ جِيفُوا! فَقَالَ: "وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ، وَلَكِنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ جَوَابًا".
وَثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ الْمَيِّتَ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِ الْمُشَيِّعِينَ لَهُ إِذَا انْصَرَفُوا عَنْهُ.
وَقَدْ شَرَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمَّتِهِ إِذَا سَلَّمُوا عَلَى أَهْلِ الْقُبُورِ أَنْ يُسَلِّمُوا عَلَيْهِمْ سَلَامَ مَنْ يُخَاطِبُونَهُ، فَيَقُولُونَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وَهَذَا خِطَابٌ لِمَنْ يَسْمَعُ وَيَعْقِلُ، وَلَوْلَا ذَلِكَ لَكَانَ هَذَا الْخِطَابُ مَنْزِلَةَ خِطَابِ الْمَعْدُومِ وَالْجَمَادِ، وَالسَّلَفُ مُجْمِعُونَ عَلَى هَذَا، وَقَدْ تَوَاتَرَتْ الْآثَارُ عَنْهُمْ بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْرِفُ زِيَارَةَ الْحَيِّ لَهُ وَيَسْتَبْشِرُ بِهِ.
Apakah orang yang telah meninggal mengetahui kunjungan orang hidup dan salam mereka?
Ibnu Abdil Barr berkata:
"Telah ada ketetapan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim melewati kubur saudaranya yang ia kenal di dunia lalu mengucapkan salam kepadanya, kecuali Allah akan mengembalikan ruhnya sehingga ia dapat menjawab salam tersebut.”
Dalam Shahihain (Bukhori dan Muslim) juga disebutkan dari berbagai jalur:
“Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan untuk menguburkan jenazah korban Perang Badar di sebuah sumur, lalu beliau mendatangi mereka, berdiri di atas mereka, dan memanggil mereka dengan nama-nama mereka: “Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan, apakah kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan kalian itu benar? Karena aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku itu benar.” Umar bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah engkau berbicara dengan jasad yang telah membusuk?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, kalian tidak lebih mendengar ucapanku dibandingkan mereka. Hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya.”
Diriwayatkan pula bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Orang yang telah meninggal mendengar suara langkah sandal pengiringnya ketika mereka pergi meninggalkannya.”
Nabi ﷺ juga mensyariatkan bagi umatnya untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur seperti seseorang yang sedang berbicara langsung kepada mereka. Ucapan tersebut berbunyi: “Assalamu’alaikum, wahai penghuni tempat tinggal kaum mukminin.” Salam ini adalah ucapan kepada mereka yang mendengar dan memahami, karena jika tidak demikian, salam ini seakan-akan ditujukan kepada sesuatu yang tidak ada atau benda mati.
Para ulama salaf sepakat tentang hal ini, dan banyak riwayat yang mutawatir dari mereka bahwa orang yang telah meninggal mengetahui kunjungan orang yang hidup dan merasa gembira dengannya.
Lalu Ibnu al-Qoyyim berkata:
قَالَ أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنُ عُبَيْدٍ بْنِ أَبِي الدُّنْيَا فِي كِتَابِ القُبُورِ: بَابُ مَعْرِفَةِ المَوْتَىٰ بِزِيَارَةِ الأَحْيَاءِ: حَدَّثَنَا يَحْيَىٰ بْنُ يَمَانٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَمْعَانَ عَنْ زَيْدٍ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُورُ قَبْرَ أَخِيهِ وَيَجْلِسُ عِندَهُ إِلَّا استَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ حَتَّى يَقُومَ".
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ قُدَامَةَ الجُوهَرِيُّ حَدَّثَنَا مَعْنٌ بْنُ عِيسَى القَزَّازُ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا زَيْدٌ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: إِذَا مَرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ أَخِيهِ يَعْرِفُهُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ وَعَرَفَهُ، وَإِذَا مَرَّ بِقَبْرٍ لَا يَعْرِفُهُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ الحُسَيْنِ حَدَّثَنِي يَحْيَىٰ بْنُ بَسْطَامِ الأَصْغَرِ حَدَّثَنِي مِسْمَعٌ حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ آلِ عَاصِمٍ الجَحْدَرِيِّ قَالَ: رَأَيْتُ عَاصِمًا الجَحْدَرِيَّ فِي مَنَامِي بَعْدَ مَوْتِهِ بِسَنَتَيْنِ فَقُلتُ: أَلَيْسَ قَدْ مِتْتَ؟ قَالَ: بَلَىٰ، قُلتُ: فَأَيْنَ أَنتَ؟ قَالَ: أَنَا وَاللَّهِ فِي رَوْضَةٍ مِنْ رِيَاضِ الجَنَّةِ، أَنَا وَنَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِي نَجْتَمِعُ كُلَّ لَيْلَةِ جُمُعَةٍ وَصَبَاحِهَا إِلَىٰ بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ المِزْنِيِّ فَنتَلَقَّىٰ أَخْبَارَكُمْ، قُلتُ: أَجْسَادُكُمْ أَمْ أَرْوَاحُكُمْ؟ قَالَ: هَيْهَاتَ بَلِيَتِ الأَجْسَامُ، وَإِنَّمَا تَتَلَاقَىٰ الأَرْوَاحُ، قُلتُ: فَهَلْ تَعْلَمُونَ بِزِيَارَتِنَا إِيَّاكُمْ؟ قَالَ: نَعَمْ نَعْلَمُ بِهَا عَشِيَّةَ الجُمُعَةِ كُلَّهَا وَيَوْمَ السَّبْتِ إِلَىٰ طُلُوعِ الشَّمْسِ، قُلتُ: فَكَيْفَ ذَاكَ دُونَ الأَيَّامِ كُلِّهَا؟ قَالَ: لِفَضْلِ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَعِظَمَتِهِ.
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ الحُسَيْنِ حَدَّثَنَا بَكْرٌ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا حَسَنٌ القَصَّابُ قَالَ: كُنتُ أَغْدُو مَعَ مُحَمَّدٍ بْنِ وَاسِعٍ فِي كُلِّ غَدَاةِ سَبْتٍ حَتَّى نَأْتِيَ الجَبَّانَ، فَنَقِفُ عَلَىٰ القُبُورِ، فَنُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ، وَنَدْعُو لَهُمْ ثُمَّ نَنْصَرِفُ، فَقُلتُ: ذَاتَ يَوْمٍ لَوْ صَيَّرْتَ هَذَا اليَوْمَ يَوْمَ الإثْنَيْنِ، قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ المَوْتَىٰ يَعْلَمُونَ بِزُوَّارِهِمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَيَوْمًا قَبْلَهَا وَيَوْمًا بَعْدَهَا... (وَذَكَرَ آثَارًا كَثِيرَة)ً.
Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Abi Dunia berkata dalam kitab Al-Qubur: Bab Pengetahuan Orang Mati Tentang Kunjungan Orang Hidup: Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Yaman dari Abdullah bin Sam'an dari Zaid bin Aslam dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidak ada seorang pun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk di sana, melainkan ia merasa nyaman dan mendapatkan balasan salam hingga ia berdiri."
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Qudamah Al-Juhari, telah mengabarkan kepada kami Ma'n bin Isa Al-Qazzaz, telah memberitakan kepada kami Hisham bin Sa'd, telah mengabarkan kepada kami Zaid bin Aslam dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Jika seorang laki-laki melewati kuburan saudaranya yang dikenalnya, ia mengucapkan salam kepadanya, maka pemghuni kubur itu membalas salamnya dan mengenalinya. Dan jika ia melewati kuburan yang tidak dikenalnya, ia tetap mengucapkan salam dan kubur itu membalas salamnya."
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Husain, telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Bustam Al-Asghar, telah memberitakan kepada kami Mismak, telah mengabarkan kepada kami seorang laki-laki dari keluarga 'Asim Al-Juhdari, ia berkata: "Saya melihat 'Asim Al-Juhdari dalam mimpi dua tahun setelah kematiannya. Saya berkata: 'Bukankah kamu sudah meninggal?' Ia menjawab: 'Ya.' Saya berkata: 'Lalu, di mana kamu sekarang?' Ia berkata: 'Demi Allah, saya di taman surga. Saya dan beberapa orang dari sahabat saya berkumpul setiap malam Jumat dan pagi harinya menuju kepada Bakar bin Abdullah Al-Muzani untuk menerima kabar dari kalian.' Saya berkata: 'Apakah itu tubuh kalian atau roh kalian?' Ia berkata: 'Sungguh tubuh sudah hancur, yang bertemu adalah roh-roh.' Saya berkata: 'Apakah kalian mengetahui jika kami mengunjungi kalian?' Ia menjawab: 'Ya, kami mengetahuinya pada malam Jumat seluruhnya dan hari Sabtu hingga matahari terbit.' Saya berkata: 'Mengapa hanya hari itu saja?' Ia berkata: 'Karena keutamaan hari Jumat dan kemuliaannya.'"
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Husain, telah mengabarkan kepada kami Bakr bin Muhammad, telah mengabarkan kepada kami Hasan Al-Qassab, ia berkata: "Saya biasa berangkat bersama Muhammad bin Wasi' setiap pagi Sabtu sampai kami tiba di pemakaman, lalu kami berhenti di kuburan, memberi salam kepada mereka, mendoakan mereka, dan kemudian pulang. Saya berkata suatu hari: 'Bagaimana jika saya jadikan hari ini adalah hari Senin?' Ia berkata: 'Saya mendengar bahwa orang mati mengetahui pengunjung (penziarah) mereka pada hari Jumat dan satu hari sebelum dan sesudahnya.'"
Kemudian Ibnu al-Qoyyim berkata:
وَهَذَا بَابٌ فِي آثَارٍ كَثِيرَةٍ عَنْ الصَّحَابَةِ، وَكَانَ بَعْضُ الأَنْصَارِ مِنْ أَقَارِبِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ يَقُولُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَمَلٍ أُخْزَىٰ بِهِ عِندَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ كَانَ يَقُولُ ذَٰلِكَ بَعْدَ أَنْ اسْتُشْهِدَ عَبْدُ اللَّهِ.
وَيَكْفِي فِي هَذَا تَسْمِيَةُ المُسْلِمِ عَلَيْهِمْ زَائِرًا، وَلَوْلَا أَنَّهُمْ يَشْعُرُونَ بِهِ لَمَا صَحَّ تَسْمِيَتُهُ زَائِرًا، فَإِنَّ الْمَزُورَ إِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِزِيَارَةِ مَنْ زَارَهُ لَمْ يَصِحَّ أَنْ يُقَالَ زَارَهُ...
هَذَا هُوَ المَعْقُولُ مِنَ الزِّيَارَةِ عِندَ جَمِيعِ الأُمَمِ، وَكَذَٰلِكَ السَّلَامُ عَلَيْهِمْ أَيْضًا، فَإِنَّ السَّلَامَ عَلَىٰ مَنْ لَا يَشْعُرُ وَلَا يَعْلَمُ بِالْمُسْلِمِ مُحَالٌ، وَقَدْ عَلَّمَ النَّبِيُّ أُمَّتَهُ إِذَا زَارُوا القُبُورَ أَنْ يَقُولُوا: سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ، يَرْحَمُ اللَّهُ المُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَمِنْكُمْ، وَالمُسْتَأْخِرِينَ نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ العَافِيَةَ.
وَهَذَا السَّلَامُ وَالخِطَابُ وَالنِّدَاءُ لِمَوْجُودٍ يَسْمَعُ وَيُخَاطَبُ وَيَعْقِلُ وَيَرُدُّوا إِنْ لَمْ يَسْمَعِ المُسْلِمُ الرَّدَّ، وَإِذَا صَلَّى الرَّجُلُ قَرِيبًا مِّنْهُمْ شَاهَدُوهُ، وَعَلِمُوا صَلَاتَهُ وَغَبِطُوهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ.
قَالَ يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ: أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ أَنَّ ابْنَ سَاسٍ خَرَجَ فِي جَنَازَةٍ فِي يَوْمٍ، وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ خِفَّافٌ فَانْتَهَىٰ إِلَى قَبْرٍ، قَالَ: فَصَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ اتَّكَأْتُ عَلَيْهِ، فَوَاللَّهِ إِنَّ قَلْبِي لَيَقْظَانُ إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنَ القَبْرِ: إِلَيْكَ عَنِّي لَا تُؤْذِنِي، فَإِنَّكُمْ قَوْمٌ تَعْمَلُونَ وَلَا تَعْلَمُونَ، وَنَحْنُ قَوْمٌ نَعْلَمُ وَلَا نَعْمَلُ، وَلَأَنْ يَكُونَ لِي مِثْلُ رَكْعَتَيْكَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا، فَهَذَا قَدْ عَلِمَ بِاتِّكَاءِ الرَّجُلِ عَلَى القَبْرِ وَبِصَلَاتِهِ.
"Ini adalah bab tentang banyak riwayat dari para sahabat. Ada seorang dari golongan Anshar yang merupakan keluarga Abdullah bin Rawahah berkata: 'Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari amal yang akan membuat saya malu di hadapan Abdullah bin Rawahah, ' ia mengucapkannya setelah Abdullah syahid."
Cukup sebagai bukti bahwa seseorang disebut sebagai pengunjung (penziarah) kubur. Kalau seandainya orang mati tidak merasakan kehadiran pengunjung (penziarah), maka tidak sah jika disebutkan bahwa ia dikunjungi. Inilah yang diterima secara logis tentang kunjungan menurut semua bangsa. Begitu pula dengan salam, karena salam kepada orang yang tidak mendengar dan tidak mengetahui adalah mustahil. Nabi ﷺ telah mengajarkan umatnya ketika mereka mengunjungi kuburan untuk mengucapkan: "Salam sejahtera atas kalian wahai penduduk rumah dari orang-orang yang beriman dan Muslim. Sesungguhnya kami Insya Allah akan menyusul kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang lebih dulu di antara kami dan kalian, serta orang-orang yang datang setelahnya. Kami memohon keselamatan bagi kami dan untuk kalian."
Salam dan ucapan ini adalah untuk mereka yang mendengar, diajak bicara, dan memahami, serta mereka akan membalas salam jika mendengarnya. Jika seorang pria salat dekat kuburan mereka, mereka melihatnya, mengetahui salatnya, dan merasa gembira karenanya.
Yazid bin Harun berkata: "Telah memberitakan kepada kami Sulaiman At-Taimi dari Abu Usman Al-Nahdi bahwa Ibn Sasa' keluar dalam sebuah jenazah pada suatu hari, dan ia mengenakan pakaian tipis. Ia tiba di sebuah kuburan, lalu ia shalat dua rakaat dan bersandar pada kubur tersebut. Demi Allah, hatiku terjaga ketika aku mendengar suara dari kubur itu: 'Menjauhlah dari saya, jangan menyakitiku, karena kalian adalah orang yang beramal tetapi tidak tahu, sementara kami adalah orang yang tahu tetapi tidak beramal. Dan lebih baik bagi saya memiliki dua rakaat seperti rakaatmu daripada apa pun yang lainnya.' Ini menunjukkan bahwa ia mengetahui saat seseorang bersandar pada kubur dan shalat."
Kemudian Ibnu Qoyyim berkata:
وَهَذِهِ ٱلْمَرَائِي وَإِن لَمْ تَصِحَّ بِمُجَرَّدِهَا لِإِثْبَاتِ مِثْلِ ذَٰلِكَ فَهِيَ عَلَىٰ كَثْرَتِهَا، وَأَنَّهَا لَا يُحْصِيهَا إِلَّا ٱللَّهُ قَدْ تَوَاطَأَتْ عَلَىٰ هَٰذَا ٱلْمَعْنَىٰ. وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "أَرَىٰ رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ عَلَىٰ أَنَّهَا فِي ٱلْعَشْرِ ٱلْأَوَاخِرِ. يَعْنِي: لَيْلَةَ ٱلْقَدْرِ". فَإِذَا تَوَاطَأَتْ رُؤْيَا ٱلْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ شَيْءٍ كَانَ كَتَوَاطُؤِ رِوَايَتِهِمْ لَهُ وَكِتَوَاطُؤِ رَأْيِهِمْ عَلَىٰ اِسْتِحْسَانِهِ وَٱسْتِقْبَاحِهِ، وَمَا رَآهُ ٱلْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ قَبِيحًا فَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ قَبِيحٌ عَلَىٰٓ أَنَّا لَمْ نُثْبِتْ هَٰذَا بِمُجَرَّدِ ٱلرُّؤْيَا، بَلْ بِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ ٱلْحُجَجِ وَغَيْرِهَا.
"Meskipun penglihatan-penglihatan ini tidak dapat dipastikan kebenarannya hanya berdasarkan pengakuan mereka, namun dengan banyaknya penglihatan tersebut, yang hanya Allah yang dapat menghitungnya, semuanya sepakat pada makna yang sama. Rasulullah ﷺ pernah berkata: 'Saya melihat mimpi-mimpi kalian yang sepakat bahwa itu terjadi pada sepuluh malam terakhir, yaitu malam al-Qadar.'
Jika mimpi-mimpi orang-orang beriman sepakat pada suatu hal, maka itu seperti kesepakatan mereka dalam meriwayatkannya dan kesepakatan mereka dalam menilai sesuatu, baik itu baik atau buruk. Apa yang mereka anggap baik, maka itu baik di sisi Allah, dan apa yang mereka anggap buruk, maka itu buruk di sisi Allah. Tetapi, kita tidak menguatkan hal ini hanya berdasarkan mimpi semata, melainkan dengan dalil-dalil yang telah kami sebutkan dan lainnya.
Kemudian Ibnu Qoyyim berkata:
وَقَدْ ثَبَتَ فِي ٱلصَّحِيحِ أَنَّ ٱلْمَيْتَ يَسْتَأْنِسُ بِٱلْمُشَيِّعِينَ لِجَنَازَتِهِ بَعْدَ دَفْنِهِ فَرَوَىٰ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ ٱلرَّحْمَٰنِ بْنِ شَمَاسَةَ ٱلْمَهْرِيِّ قَالَ: حَضَرْنَا عَمْرَو بْنَ ٱلْعَاصِ وَهُوَ فِي سِيَاقِ ٱلْمَوْتِ، فَبَكَىٰ طَوِيلًا وَحَوَّلَ وَجْهَهُ إِلَىٰ ٱلْجِدَارِ، فَجَعَلَ ٱبْنُهُ يَقُولُ: مَا يُبْكِيكَ يَآ أَبَتَاهُ؟ أَمَا بَشَّرَكَ رَسُولُ ٱللَّهِ ﷺ بِكَذَا، فَأَقْبَلَ بِوَجْهِهِ، قَالَ: إِنَّ أَفْضَلَ مَا نَعُدُّ شَهَادَةً أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّهِ، وَإِنِّي عَلَىٰ أَطْبَاقٍ ثَلاَثٍ... ثُمَّ ذَكَرَ ٱلْحَدِيثَ،
"Telah ada ketetapan dalam hadits sahih bahwa orang yang meninggal merasa tenang dengan kehadiran orang-orang yang mengantarkan jenazah setelah pemakaman. Dalam Shahih Muslim, dari hadits Abdul Rahman bin Syamasa al-Mahri, dia berkata: 'Kami hadir di sisi Amr bin al-‘As ketika beliau dalam sakaratul maut. Beliau menangis lama dan membalikkan wajahnya ke dinding, sehingga anaknya bertanya: 'Apa yang membuatmu menangis, wahai ayah? Bukankah Rasulullah ﷺ telah memberikan kabar gembira kepadamu dengan begitu dan begitu?' Maka beliau pun menoleh dan berkata: 'Yang terbaik yang kami anggap sebagai syahadat adalah bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dan aku dalam tiga lapisan kehidupan...
Kemudian Ibnu Qoyyim menyebutkan hadits tersebut, yang di dalam terdapat sabda:
فَإِذَآ أَنَاۤ مِتُّ فَلَا تُصَحِّبْنِي نَائِحَةً وَلَا نَارًا، فَإِذَا دَفَنْتُمُونِي فَسِنُّواٰ عَلَىٰ ٱلْتُرَابِ سِنَّا، ثُمَّ أَقِيمُواٰ حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ، وَيُقَسَّمُ لَحْمُهَا حَتَّىٰ أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ، وَأَنْظُرُ مَآ أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي،
'Jika aku mati, janganlah kalian mengikuti jenazahku dengan tangisan atau api, dan setelah kalian menguburkanku, ratakanlah tanahnya, dan berdirilah di sekitar kuburku selama waktu yang diperlukan untuk menyembelih unta dan membagikan dagingnya, hingga aku merasa tenang dengan kalian dan dapat melihat apa yang akan aku jawab terhadap utusan Rabbku.'
Kemudian Ibnu Qoyyim berkata:
فَدَلَّ عَلَىٰ أَنَّ ٱلْمَيْتَ يَسْتَأْنِسُ بِٱلْحَاضِرِينَ عِندَ قَبْرِهِ، وَيَسُرُّ بِهِمْ. وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ ٱلسَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِندَ قُبُورِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ، قَالَ عَبْدُ ٱلْحَقِّ يُرْوَىٰ أَنْ عَبْدَ ٱللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِندَ قَبْرِهِ سُورَةَ ٱلْبَقَرَةِ، وَقَالَ: وَيَدُلُّ عَلَىٰ هَٰذَا أَيْضًا مَا جَرَىٰ عَلَيْهِ عَمَلُ ٱلنَّاسِ قَدِيمًا، وَإِلَىٰ الْآنَ مِنْ تَلْقِينِ ٱلْمَيْتِ فِي قَبْرِهِ وَلَوْلَا أَنَّهُ يَسْمَعُ ذَٰلِكَ وَيَنْتَفِعُ بِهِ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَائِدَةٌ، وَكَانَ عَبَثًا. وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ ٱلْإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ ٱللَّهُ فَٱسْتَحْسَنَهُ وَٱحْتَجَّ عَلَيْهِ بِٱلْعَمَلِ."
'Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal merasa tenang dengan kehadiran orang-orang di kuburnya, dan mereka merasa gembira dengan mereka.'
Dan juga disebutkan oleh sebagian besar para salaf bahwa mereka berwasiat agar dibacakan di kubur mereka saat pemakaman. Abdullah bin Umar, misalnya, memerintahkan agar dibacakan Surah al-Baqarah di kuburnya. Dan ini juga menunjukkan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu hingga kini, yakni melatih orang yang meninggal dengan bacaan di kuburnya. Seandainya mereka tidak mendengarnya dan tidak mendapat manfaat darinya, tentu hal itu tidak ada gunanya, dan hanya akan menjadi permainan belaka. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini, dan beliau menyetujuinya serta mendalilkan dengan amal yang telah dilakukan." [SELESAI KUTIPAN DARI KITAB AR-RUUH]
Dan al-Imam As-Suyuti dalam kitabnya “Busyroo al-Katsiib Biliqoo' al-Habib” hal. 33 menyebutkan beberapa riwayat dari sebagian salaf yang menunjukkan bahwa mayit disambut oleh keluarga dan kerabatnya yang telah mendahuluinya, mereka bergembira menyambutnya.
Mayit juga dapat melihat apa yang terjadi di sekelilingnya dan mengetahui siapa yang memandikannya.
As-Suyuthi berkata:
وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ اسْتَقْبَلَهُ وَلَدُهُ كَمَا يَسْتَقْبِلُ الْغَائِبَ.
وَعَنْ ثَابِتٍ الْبَنَانِيِّ قَالَ: بَلَغَنَا أَنَّ الْمَيِّتَ إِذَا مَاتَ احْتَوَشَتْهُ أَهْلُهُ وَأَقَارِبُهُ الَّذِينَ تَقَدَّمُوهُ مِنَ الْمَوْتَى، فَلَهُمْ أَفْرَحُ بِهِ وَهُوَ أَفْرَحُ بِهِمْ مِنَ الْمُسَافِرِ إِذَا قَدِمَ أَهْلُهُ.
وَعَنْ سُفْيَانَ قَالَ: إِنَّ الْمَيِّتَ لَيَعْرِفُ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى إِنَّهُ لَيُنَاشِدُ غَاسِلَهُ بِاللَّهِ إِلَّا خَفَّفْتَ عَلَيَّ غَسْلِي، قَالَ: وَيُقَالُ لَهُ وَهُوَ عَلَى سَرِيرِهِ: اسْمَعْ ثَنَاءَ النَّاسِ عَلَيْكَ. اِنْتَهَى.
'Dari Sa'id bin Jubair, ia mengatakan: Ketika seorang mayit meninggal, anak-anaknya menyambutnya sebagaimana menyambut orang yang lama tidak pulang.'
Dan dari Tsabit al-Bunani, ia berkata: 'Kami mendengar bahwa ketika seorang mayit meninggal, keluarganya dan kerabatnya yang telah mendahuluinya dari kalangan orang mati akan menyambutnya. Mereka sangat bergembira menyambutnya, dan ia lebih gembira kepada mereka daripada seorang musafir yang bertemu dengan keluarganya setelah lama berpisah.'
Dan dari Sufyan, ia berkata: 'Sesungguhnya mayit mengenal segala sesuatu, bahkan dia memohon kepada orang yang memandikannya dengan berkata: 'Demi Allah, ringankanlah proses mandiku.'
Dan dikatakan kepadanya ketika ia berada di atas pembaringannya: 'Dengarkan pujian orang-orang kepadamu.' [SELESAI]."
[Lihat: “Busyroo al-Katsiib Biliqoo' al-Habib” hal. 33]
Atsar Sa’id bin Jubair tersebut diatas diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dalam “al-Manamat” hal. 18-19.
DR. Hamid Nu’aijaat dalam al-Aaatsar al-Marwiyyah ‘An Aimmatus salaf 3/1354 no. 993 berkata:
إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ، يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ صَدُوقٌ عَابِدٌ يُخْطِئُ كَثِيرًا وَقَدْ تَغَيَّرَ، التَّقْرِيبُ (7729)، المَنَامَاتِ (18 - 19) رَقْمَ (15)، وَذَكَرَهُ ابْنُ القَيِّمِ فِي الرُّوحِ (1/ 19)، وَالسُّيُوطِيُّ فِي شَرْحِ الصُّدُورِ (92).
Sanadnya lemah, Yahya bin Yaman adalah seorang yang jujur, ahli ibadah, tetapi sering melakukan kesalahan dan pernah berubah keadaannya. Disebutkan dalam kitab Taqrib (7729), Al-Manamat (18-19), nomor (15). Hal ini juga disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Ar-Ruh (1/19), dan As-Suyuthi dalam kitab Syarh As-Sudur (92).
Atsar Tsabit al-Bannaani tersebut diatas diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dalam “al-Manamat” (lihat: Mawasu’ah Ibnu Abi ad-Dunya 5/476. Disebutkan pula oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Ahwal al-Qubuur hal. 25-26 dan Ahmad ath-Thoyyar dalam Hayatus Salaf hal. 713.
Atsar Sufyan tersebut di atas diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dalam “al-Manamat” hal. 16 no. 11.
DR. Hamid Nu’aijaat dalam al-Aaatsar al-Marwiyyah ‘An Aimmatus salaf 3/1137 no. 1000 berkata:
إِسْنَادُهُ حَسَنٌ؛ فِيهِ يَحْيَى الحَمَّانِيُّ وَقَدْ سَبَقَ (718)، المَنَامَاتِ (16) رَقْمَ (11)، وَذَكَرَهُ ابْنُ رَجَبٍ (299)، وَالسُّيُوطِيُّ (95).
Sanadnya hasan; di dalamnya terdapat Yahya Al-Hammani yang telah disebutkan sebelumnya (718), dalam kitab "Al-Manamat" (16), nomor (11). Hadis ini juga disebutkan oleh Ibn Rajab (299) dan As-Suyuthi (95).
BENARKAH HANYA PENZIARAH DI HARI JUM’AT YANG BISA DIKENALI MAYIT?
Khususnya kunjungan yang dikenali mayit dari orang hidup pada hari Jumat
Adapun penentuan khusus bahwa kunjungan orang hidup pada hari Jumat yang bisa dikenali oleh mayit, hal ini tidak memiliki dalil yang shahih.
Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad 1/401 menjelaskan:
"إِنَّ الْمَوْتَى تَدْنُو أَرْوَاحُهُمْ مِنْ قُبُورِهِمْ، وَتُوَافِيهَا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، فَيَعْرِفُونَ زُوَّارَهُمْ وَمَنْ يَمُرُّ بِه8ِمْ، وَيُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ، وَيَلْقَاهُمْ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ مَعْرِفَتِهِمْ بِهِمْ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْأَيَّامِ ، فَهُوَ يَوْمٌ تَلْتَقِي فِيهِ الْأَحْيَاءُ وَالْأَمْوَاتُ".
"Sesungguhnya ruh orang yang telah meninggal mendekati kubur mereka pada hari Jumat dan menemui kubur tersebut. Mereka mengenali pengunjung yang datang dan melewati kubur mereka, serta memberikan salam lebih banyak dibandingkan hari-hari lainnya. Jumat adalah hari pertemuan antara orang hidup dan orang mati”.
Abu Bakar al-Khallaal meriwayatkan dari Imam Ahmad:
وَأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْلَمُ بِزَائِرِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَقَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعَذِّبُ قَوْمًا فِي قُبُورِهِمْ
"Dan bahwa orang yang telah meninggal mengetahui orang yang menziarahi-nya pada hari Jumat setelah terbit fajar dan sebelum terbit matahari, dan bahwa Allah Ta'ala akan mengadzab sebagian orang di dalam kuburan mereka."
[Baca: al-‘Aqidah Lil Imam Ahmad, Riwayat Abu Bakar al-Khalal hal. 121].
Apa yang dikatakan Ibnu Qoyim dan dikutip dari Imam Ahmad diatas tidak diperkuat dengan dalil yang shahih. Syeikh DR. Sa’id al-Qohthoni berkata dalam “Sholat al-Jum’ah” hal. 92:
وَذَكَرَ فِي ذَلِكَ آثَارًا عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ. قُلْتُ: وَهَذَا يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَنِ الْمَعْصُومِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.
“Dan disebutkan dalam hal itu beberapa atsar dari sebagian salaf. Saya berkata: Ini membutuhkan dalil yang shahih dari Nabi Al-Ma'shum ﷺ”.
Dan Syeikh Adam bin Ali bin Adam al-Itsyubi dalam Dzakhiratul ‘Uqba 16/49 berkata:
هَذِهِ الْخَاصِيَّةُ أَكْثَرُ مَا لَهَا مِنَ الْأَدِلَّةِ هِيَ الْمَنَامَاتُ، فَتَحْتَاجُ لِثُبُوتِهَا إِلَى دَلِيلٍ مَرْفُوعٍ قَوِيٍّ، فَلْيُتَأَمَّلْ.
Sifat kekhususan ini sebagian besar buktinya berasal dari kitab “al-Manamat” (mimpi-mimpi), sehingga untuk menetapkannya diperlukan dalil yang marfu' dan kuat, maka hendaklah direnungkan!.
Namun Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
تَخْصِيصُ ذَلِكَ بِيَوْمِ الْجُمُعَةِ لَا وَجْهَ لَهُ؛ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ، وَثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ زَارَ الْبَقِيعَ لَيْلًا كَمَا فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ الطَّوِيلِ الْمَشْهُورِ، وَعَلَى هَذَا فَتَخْصِيصُ مَعْرِفَتِهِ لِلزَّائِرِ بِيَوْمِ الْجُمُعَةِ لَا وَجْهَ لَهُ" انْتَهَى
"Penentuan khusus hari Jumat untuk hal ini (ziara kubur) tidak memiliki dasar; karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Ziarahilah kuburan, karena itu akan mengingatkan kalian pada kematian.’
Dan telah diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengunjungi pemakaman Baqi’ pada malam hari, sebagaimana dalam hadits panjang yang terkenal dari Aisyah. Oleh karena itu, penentuan khusus bahwa mayit mengenali pengunjungnya pada hari Jumat, maka itu tidak memiliki dasar". (Selesai, Liqa' al-Bab al-Maftuh, pertemuan no. 9, pertanyaan no. 37).
Ibnu Abi Dunya menyebutkan dalam kitab Al-Manamat dan lainnya:
"عَنْ بَعْضِ أَهْلِ عَاصِمِ الْجَحْدَرِيِّ فِي مَنَامِي بَعْدَ مَوْتِهِ لِسَنَتَيْنِ، فَقُلْتُ: أَلَيْسَ قَدِمْتَ؟ قَالَ: بَلَى، قُلْتُ: فَأَيْنَ أَنْتَ؟ قَالَ: أَنَا وَاللهِ فِي رَوْضَةٍ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ، أَنَا وَنَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِي نَجْتَمِعُ كُلَّ لَيْلَةِ جُمُعَةٍ، وَصَبِيحَتَهَا إِلَى بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْمُزَنِيِّ، فَنَتَلَاقَى أَخْبَارَكُمْ. قُلْتُ: أَجْسَامُكُمْ أَمْ أَرْوَاحُكُمْ؟ قَالَ: هَيْهَاتَ بَلِيَتِ الْأَجْسَامُ، وَإِنَّمَا تَتَلَاقَى الْأَرْوَاحُ. قَالَ: قُلْتُ: فَهَلْ تَعْلَمُونَ بِزِيَارَتِنَا لَكُمْ؟ قَالَ: نَعْلَمُ بِهَا عَشِيَّةَ الْجُمُعَةِ، وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ كُلَّهُ، وَلَيْلَةَ السَّبْتِ إِلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ. قَالَ: قُلْتُ: فَكَيْفَ ذَلِكَ دُونَ الْأَيَّامِ كُلِّهَا؟ قَالَ: لِفَضْلِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَعَظَمَتِهِ".
Dari sebagian kerabat 'Ashim Al-Jahdari, dalam mimpiku setelah dua tahun wafatnya. Aku bertanya kepadanya, “Bukankah engkau telah wafat?” Ia menjawab, “Ya, benar.” Aku bertanya lagi, “Di mana engkau sekarang?” Ia menjawab, “Demi Allah, aku berada di taman dari taman-taman surga. Aku dan sekelompok sahabatku berkumpul setiap malam Jumat dan paginya hingga ke Bakar bin Abdullah Al-Muzani. Kami saling berbagi kabar tentang kalian.”
Aku bertanya, “Apakah itu tubuh kalian atau ruh kalian?” Ia menjawab, “Jauh sekali, tubuh-tubuh telah hancur, hanya ruh-ruhlah yang bertemu.”
Aku bertanya lagi, “Apakah kalian mengetahui kunjungan kami kepada kalian?” Ia menjawab, “Kami mengetahuinya pada sore hari Jumat, sepanjang hari Jumat, dan malam Sabtu hingga matahari terbit.”
Aku bertanya, “Mengapa hanya pada waktu-waktu itu dan bukan di hari-hari lainnya?” Ia menjawab, “Karena keutamaan dan keagungan hari Jumat.”
[Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 11/474 no. 8861 dengan sanadnya].
Ibnu Abi Dunya juga menyebutkan dari Muhammad bin Wasi’:
"أَنَّهُ كَانَ يَذْهَبُ كُلَّ غَدَاةِ سَبْتٍ حَتَّى يَأْتِيَ الْجَبَّانَةَ، فَيَقِفُ عَلَى الْقُبُورِ، فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ. فَقِيلَ لَهُ: لَوْ صَيَّرْتَ هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ؟ قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ الْمَوْتَى يَعْلَمُونَ بِزُوَّارِهِمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَيَوْمًا قَبْلَهُ وَيَوْمًا بَعْدَهُ. "
bahwa ia biasa pergi setiap pagi hari Sabtu ke pemakaman, lalu berdiri di atas kuburan, memberi salam kepada penghuni kubur, dan mendoakan mereka, kemudian ia pergi. Lalu ada yang berkata kepadanya, “Mengapa tidak menjadikan hari itu hari Senin saja?” Ia menjawab, “Telah sampai kepadaku bahwa para penghuni kubur mengetahui orang-orang yang mengunjungi mereka pada hari Jumat, sehari sebelumnya, dan sehari setelahnya.”
[Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 11/475 no. 8862 dengan sanadnya].
Disebutkan juga dari Sufyan Ats-Tsauri, ia berkata:
بَلَغَنِي عَنِ الضَّحَّاكِ أَنَّهُ قَالَ: "مِنْ زَارَ قَبْرًا يَوْمَ السَّبْتِ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ عَلِمَ الْمَيِّتُ بِزِيَارَتِهِ. قِيلَ لَهُ: وَكَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: لِمَكَانِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ "
“Telah sampai kepadaku dari Adh-Dhahhak, bahwa ia berkata, ‘Siapa yang mengunjungi kubur pada hari Sabtu sebelum matahari terbit, maka penghuni kubur mengetahui kunjungannya.’”
Lalu ada yang bertanya kepadanya, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Karena keistimewaan hari Jumat.”
[Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 11/476 no. 8863 dengan sanadnya].
[Lihat pula: Zaadul Ma’aad 1/402, Nur al-Lam’ah Fii Khoshoish al-Jum’ah oleh al-Imam as-Suyuthi hal- 152
APAKAH ORANG YANG TELAH MENINGGAL MENGETAHUI KABAR ORANG YANG MASIH HIDUP?
Bagaimana cara orang-orang yang telah meninggal mengetahui kabar keluarga mereka yang masih hidup?
Mereka mengetahui segalanya tentang Anda dengan cara ini. Dalam sunnah Nabi yang shahih disebutkan bahwa ruh-ruh orang beriman saling mengunjungi di kubur dan bertanya kepada orang yang baru meninggal setelah mereka dimakamkan tentang kabar keluarga mereka di dunia.
Orang yang baru meninggal tersebut akan memberi tahu mereka, dan inilah cara yang ditegaskan bahwa orang yang telah meninggal mengetahui kabar keluarga mereka yang masih hidup.
Ruh terbagi menjadi dua: [1]- Ruh yang disiksa. [2] Ruh yang diberi kenikmatan.
Ruh yang disiksa sibuk dengan siksaan yang mereka alami sehingga tidak bertanya kepada orang yang baru meninggal tentang kabar keluarga mereka, juga tidak saling mengunjungi atau bertemu. Sedangkan ruh yang diberi kenikmatan, yang bebas dan tidak tertahan, saling bertemu, saling mengunjungi, dan saling mengenang apa yang pernah terjadi di dunia serta apa yang terjadi pada keluarga mereka di dunia.
Ya, telah ditegaskan dalam dalil bahwa ruh-ruh orang beriman dapat saling bertemu dan saling mengunjungi. Berikut adalah beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut, disertai dengan penjelasan dari para ulama mengenai masalah ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
(إِذَا حُضِرَ الْمُؤْمِنُ أَتَتْهُ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ بِحَرِيرَةٍ بَيْضَاءَ فَيَقُولُونَ اخْرُجِي رَاضِيَةً مَرْضِيًّا عَنْكِ إِلَى رَوْحِ اللَّهِ وَرَيْحَانٍ وَرَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانَ فَتَخْرُجُ كَأَطْيَبِ رِيحِ الْمِسْكِ حَتَّى أَنَّهُ لَيُنَاوِلُهُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ بَابَ السَّمَاءِ فَيَقُولُونَ مَا أَطْيَبَ هَذِهِ الرِّيحَ الَّتِي جَاءَتْكُمْ مِنْ الأَرْضِ فَيَأْتُونَ بِهِ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَهُمْ أَشَدُّ فَرَحًا بِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِغَائِبِهِ يَقْدَمُ عَلَيْهِ فَيَسْأَلُونَهُ مَاذَا فَعَلَ فُلانٌ مَاذَا فَعَلَ فُلانٌ فَيَقُولُونَ: دَعُوهُ فَإِنَّهُ كَانَ فِي غَمِّ الدُّنْيَا. فَإِذَا قَالَ: أَمَا أَتَاكُمْ ؟ قَالُوا: ذُهِبَ بِهِ إِلَى أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ. وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا احْتُضِرَ أَتَتْهُ مَلائِكَةُ الْعَذَابِ بِمِسْحٍ كساء من شعر فَيَقُولُونَ: اخْرُجِي سَاخِطَةً مَسْخُوطًا عَلَيْكِ إِلَى عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَتَخْرُجُ كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ بَابَ الأَرْضِ فَيَقُولُونَ مَا أَنْتَنَ هَذِهِ الرِّيحَ حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ أَرْوَاحَ الْكُفَّارِ)
(“Apabila seorang mukmin menjelang ajalnya, malaikat rahmat datang kepadanya dengan membawa kain sutra putih. Mereka berkata, ‘Keluarlah dalam keadaan ridha dan diridhai menuju kepada rahmat Allah, rezeki, dan Tuhan yang tidak murka.’ Maka ruh itu keluar dengan aroma paling wangi seperti harum kesturi. Malaikat itu menyerahkannya kepada malaikat lainnya hingga membawanya ke pintu langit. Mereka berkata, ‘Betapa harum aroma ini yang datang dari bumi.’ Kemudian ruh itu dibawa kepada ruh-ruh orang beriman lainnya. Mereka lebih bahagia menyambutnya daripada salah seorang dari kalian menyambut orang tercinta yang kembali dari perjalanan. Mereka pun bertanya, ‘Apa yang dilakukan si fulan? Bagaimana keadaan si fulan?’ Lalu mereka berkata, ‘Biarkan dia karena dia sedang berada dalam kesusahan dunia.’ Jika ruh itu menjawab, ‘Bukankah dia sudah datang kepada kalian?’ Mereka menjawab, ‘Dia telah dibawa ke tempat ibunya, yaitu neraka Hawiyah.’
Adapun orang kafir, apabila menjelang ajalnya, malaikat azab datang kepadanya dengan membawa kain kasar dari rambut. Mereka berkata, ‘Keluarlah dalam keadaan dimurkai dan menuju kepada azab Allah yang Mahaperkasa dan Mahamulia.’ Maka ruhnya keluar dengan aroma paling busuk seperti bangkai yang sangat menjijikkan hingga dibawa ke pintu bumi. Mereka berkata, ‘Betapa busuk aroma ini.’ Lalu ruh itu dibawa kepada ruh-ruh orang kafir.”)
(HR. An-Nasa’i, no. 1833; dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 2758).
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَأَمَّا قَوْلُهُ " هَلْ تَجْتَمِعُ رُوحُهُ مَعَ أَرْوَاحِ أَهْلِهِ وَأَقَارِبِهِ ؟ ": فَفِي الْحَدِيثِ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ وَغَيْرِهِ مِنَ السَّلَفِ وَرَوَاهُ أَبُو حَاتِمٍ فِي الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَّ الْمَيِّتَ إِذَا عُرِجَ بِرُوحِهِ تَلَقَّتْهُ الْأَرْوَاحُ يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْأَحْيَاءِ فَيَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: دَعُوهُ حَتَّى يَسْتَرِيحَ ، فَيَقُولُونَ لَهُ: مَا فَعَلَ فُلَانٌ ؟ فَيَقُولُ: عَمِلَ عَمَلَ صَلَاحٍ ، فَيَقُولُونَ: مَا فَعَلَ فُلَانٌ ؟ فَيَقُولُ: أَلَمْ يَقْدَمْ عَلَيْكُمْ ؟ فَيَقُولُونَ: لَا ، فَيَقُولُونَ: ذُهِبَ بِهِ إِلَى الْهَاوِيَةِ ".
وَلَمَّا كَانَتْ أَعْمَالُ الْأَحْيَاءِ تُعْرَضُ عَلَى الْمَوْتَى: كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَعْمَلَ عَمَلًا أُخْزَى بِهِ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ " ، فَهَذَا اجْتِمَاعُهُمْ عِنْدَ قُدُومِهِ يَسْأَلُونَهُ فَيُجِيبُهُمْ.
وَأَمَّا اسْتِقْرَارُهُمْ فَبِحَسَبِ مَنَازِلِهِمْ عِنْدَ اللَّهِ ، فَمَنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ: كَانَتْ مَنْزِلَتُهُ أَعْلَى مِنْ مَنْزِلَةِ مَنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ ، لَكِنَّ الْأَعْلَى يَنْزِلُ إِلَى الْأَسْفَلِ وَالْأَسْفَلُ لَا يَصْعَدُ إِلَى الْأَعْلَى ، فَيَجْتَمِعُونَ إِذَا شَاءَ اللَّهُ كَمَا يَجْتَمِعُونَ فِي الدُّنْيَا ، مَعَ تَفَاوُتِ مَنَازِلِهِمْ وَيَتَزَاوَرُونَ.
وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْمَدَافِنُ مُتَبَاعِدَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ مُتَقَارِبَةً ، قَدْ تَجْتَمِعُ الْأَرْوَاحُ مَعَ تَبَاعُدِ الْمَدَافِنِ ، وَقَدْ تَفْتَرِقُ مَعَ تَقَارُبِ الْمَدَافِنِ ، يُدْفَنُ الْمُؤْمِنُ عِنْدَ الْكَافِرِ ، وَرُوحُ هَذَا فِي الْجَنَّةِ ، وَرُوحُ هَذَا فِي النَّارِ ، وَالرَّجُلَانِ يَكُونَانِ جَالِسَيْنِ أَوْ نَائِمَيْنِ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ وَقَلْبُ هَذَا يُنَعَّمُ ، وَقَلْبُ هَذَا يُعَذَّبُ ، وَلَيْسَ بَيْنَ الرُّوحَيْنِ اتِّصَالٌ ، فَالْأَرْوَاحُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ ، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ " رَوَاهُ مُسْلِمٌ (2638).
Adapun pertanyaan "Apakah ruh seseorang akan berkumpul dengan ruh keluarga dan kerabatnya?" Maka dalam sebuah hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari dan selainnya dari kalangan salaf, yang diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam kitab Ash-Shahih dari Nabi ﷺ, disebutkan:
"Apabila ruh seorang yang meninggal diangkat, maka ruh-ruh lainnya akan menyambutnya, lalu mereka menanyainya tentang keadaan orang-orang yang masih hidup. Sebagian dari mereka berkata, ‘Biarkan dia beristirahat terlebih dahulu.’ Kemudian mereka bertanya, ‘Apa yang dilakukan si Fulan?’ Ia menjawab, ‘Ia melakukan amal shalih.’ Mereka bertanya lagi, ‘Apa yang dilakukan si Fulan?’ Ia menjawab, ‘Bukankah dia sudah datang kepada kalian?’ Mereka berkata, ‘Belum.’ Maka mereka berkata, ‘Ia telah dibawa ke tempat kehancuran (neraka Hawiyah).’”
Karena amal perbuatan orang yang masih hidup diperlihatkan kepada orang-orang yang telah meninggal, maka Abu Darda' radhiyallahu 'anhu pernah berdoa:
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari melakukan amal yang memalukan di hadapan Abdullah bin Rawahah."
Hal ini menunjukkan bahwa ketika ruh seseorang tiba, ruh-ruh lainnya menyambutnya dan menanyakan keadaannya.
Adapun tempat mereka menetap bergantung pada kedudukan mereka di sisi Allah. Barang siapa termasuk golongan yang didekatkan kepada Allah, maka kedudukannya lebih tinggi dibandingkan golongan kanan. Namun, yang berada di tempat yang lebih tinggi dapat turun ke tempat yang lebih rendah, sedangkan yang berada di tempat rendah tidak dapat naik ke tempat yang lebih tinggi. Mereka bisa berkumpul jika Allah menghendaki, sebagaimana mereka bisa berkumpul di dunia, meskipun kedudukan mereka berbeda-beda dan mereka saling mengunjungi.
Baik kuburan mereka berjauhan di dunia maupun berdekatan, ruh-ruh itu dapat berkumpul meskipun kuburan berjauhan, atau dapat terpisah meskipun kuburan berdekatan. Seorang mukmin bisa dikuburkan di sebelah kafir, namun ruh mukmin berada di surga, sedangkan ruh kafir berada di neraka. Dua orang yang duduk atau tidur di tempat yang sama bisa saja salah satunya mendapatkan nikmat, sedangkan yang lain mendapatkan azab, tanpa ada hubungan antara ruh keduanya.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
"Ruh-ruh itu seperti tentara yang berseragam. Apa yang saling mengenal di antara mereka akan bersatu, dan apa yang saling tidak mengenal akan berselisih." (HR. Muslim, no. 2638).
(Lihat: Majmu’ Al-Fatawa, 24/368).
Ibnul Qayyim berkata:
المَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ وَهِيَ أَنَّ أَرْوَاحَ الْمَوْتَى هَلْ تَتَلَاقَى وَتَتَزَاوَرُ وَتَتَذَاكَرُ أَمْ لَا؟
وَهِيَ أَيْضًا مَسْأَلَةٌ شَرِيفَةٌ كَبِيرَةُ الْقَدْرِ وَجَوَابُهَا: أَنَّ الْأَرْوَاحَ قِسْمَانِ: أَرْوَاحٌ مُعَذَّبَةٌ، وَأَرْوَاحٌ مُنَعَّمَةٌ؛ فَالْمُعَذَّبَةُ فِي شُغُلٍ بِمَا هِيَ فِيهِ مِنَ الْعَذَابِ عَنِ التَّزَاوُرِ وَالتَّلَاقِي، وَالْأَرْوَاحُ الْمُنَعَّمَةُ الْمُرْسَلَةُ غَيْرُ الْمَحْبُوسَةِ تَتَلَاقَى وَتَتَزَاوَرُ وَتَتَذَاكَرُ مَا كَانَ مِنْهَا فِي الدُّنْيَا وَمَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا، فَتَكُونُ كُلُّ رُوحٍ مَعَ رَفِيقِهَا الَّذِي هُوَ عَلَى مِثْلِ عَمَلِهَا، وَرُوحُ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى.
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
(وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا) [النِّسَاءِ: 69].
وَهَذِهِ الْمَعِيَّةُ ثَابِتَةٌ فِي الدُّنْيَا، وَفِي دَارِ الْبَرْزَخِ، وَفِي دَارِ الْجَزَاءِ. وَ"الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ" فِي هَذِهِ الدُّورِ الثَّلَاثَةِ.
وَقَالَ تَعَالَى:
(يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي) [الفَجْر: 27-30].
أَيْ: ادْخُلِي جُمْلَتَهُمْ وَكُونِي مَعَهُمْ، وَهَذَا يُقَالُ لِلرُّوحِ عِنْدَ الْمَوْتِ.
وَقَدْ أَخْبَرَنَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنِ الشُّهَدَاءِ بِأَنَّهُمْ (أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ) وَأَنَّهُمْ (وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ) وَأَنَّهُمْ (يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ).
وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَلَاقِيهِمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
1. أَنَّهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ، وَإِذَا كَانُوا أَحْيَاءً فَهُمْ يَتَلَاقَوْنَ.
2. أَنَّهُمْ إِنَّمَا اسْتَبْشَرُوا بِإِخْوَانِهِمْ لِقُدُومِهِمْ وَلِقَائِهِمْ لَهُمْ.
3. أَنَّ لَفْظَ (يَسْتَبْشِرُونَ) يُفِيدُ فِي اللُّغَةِ أَنَّهُمْ يُبَشِّرُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا مِثْلَ (يَتَبَاشَرُونَ).
Masalah kedua adalah apakah ruh orang-orang yang telah meninggal dapat saling bertemu, berziarah, dan saling mengingat, atau tidak?
Ini juga merupakan persoalan yang agung dan mulia.
Jawabannya adalah:
Ruh terbagi menjadi dua golongan: ruh yang disiksa dan ruh yang diberi kenikmatan. Ruh yang disiksa sibuk dengan azab yang menimpanya sehingga tidak dapat berziarah atau bertemu. Sedangkan ruh yang diberi kenikmatan dan bebas, tidak tertahan, dapat saling bertemu, berziarah, dan mengingat apa yang terjadi pada mereka di dunia, serta apa yang terjadi pada keluarga mereka yang masih hidup di dunia. Setiap ruh akan berada bersama teman-temannya yang memiliki amal perbuatan serupa.
Ruh Nabi kita Muhammad ﷺ berada di derajat yang tertinggi, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (An-Nisa: 69).
Kebersamaan ini berlaku di dunia, di alam barzakh, dan di tempat pembalasan. Nabi ﷺ bersabda:
"Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya."
Hal ini berlaku di ketiga tempat tersebut.
Allah Ta'ala juga berfirman:
"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Al-Fajr: 27-30).
Ayat ini berarti: "Masuklah ke dalam golongan mereka dan jadilah bagian dari mereka." Hal ini dikatakan kepada ruh pada saat kematiannya.
Allah juga mengabarkan kepada kita tentang para syuhada bahwa mereka:
"Hidup di sisi Tuhan mereka, diberi rezeki."
Dan bahwa mereka:
"Bergembira dengan mereka yang belum menyusul mereka dari belakang."
Dan bahwa mereka:
"Bergembira dengan karunia dan keutamaan dari Allah."
Ini menunjukkan bahwa mereka saling bertemu dengan tiga alasan:
- Mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan saling bertemu.
- Mereka bergembira dengan kedatangan saudara-saudara mereka dan bertemu dengan mereka.
- Kata _"bergembira"_ dalam bahasa Arab menunjukkan bahwa mereka saling memberi kabar gembira, seperti halnya mereka saling berbincang. ["Ar-Ruh" (hal. 17-18)].
Terdapat pula hadis-hadis yang menunjukkan adanya ziarah di antara orang-orang yang telah meninggal dan anjuran memperbaiki kain kafan untuk tujuan ini. Namun, tidak ada hadis yang sahih dalam hal ini. Di antaranya adalah hadis dari Abu Qatadah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"مَنْ وَلِيَ أَخَاهُ فَلْيُحْسِنْ كَفَنَهُ فَإِنَّهُمْ يَتَزَاوَرُونَ فِيهَا."
"Barang siapa yang mengurus saudaranya (yang telah meninggal), maka perbaikilah kain kafannya, karena mereka saling berziarah dengan kafan tersebut."
Hadis ini diriwayatkan dalam ‘Syu’abul Iman’ (7/10). Namun, di dalam sanadnya terdapat "Salam bin Ibrahim al-Warraq, " yang telah dianggap pendusta oleh Yahya bin Ma’in dan Adz-Dzahabi, serta dilemahkan oleh para ulama lainnya.
Bagaimana mayit mengetahui kabar-kabar?
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
أَمَّا قَوْلُهُ: هَلْ تَجْتَمِعُ رُوحُهُ مَعَ أَرْوَاحِ أَهْلِهِ وَأَقَارِبِهِ؟ فَفِي الْحَدِيثِ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ السَّلَفِ، وَرَوَاهُ أَبُو حَاتِمٍ فِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «أَنَّ الْمَيِّتَ إذَا عُرِجَ بِرُوحِهِ تَلَقَّتْهُ الْأَرْوَاحُ يَسْأَلُونَهُ عَنْ الْأَحْيَاءِ، فَيَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: دَعُوهُ حَتَّى يَسْتَرِيحَ، فَيَقُولُونَ لَهُ: مَا فَعَلَ فُلَانٌ؟ فَيَقُولُ: عَمِلَ عَمَلَ صَلَاحٍ، فَيَقُولُونَ: مَا فَعَلَ فُلَانٌ؟ فَيَقُولُ: أَلَمْ يَقْدَمْ عَلَيْكُمْ؟ ، فَيَقُولُونَ: لَا، فَيَقُولُونَ ذُهِبَ بِهِ إلَى الْهَاوِيَةِ».
وَلَمَّا كَانَتْ أَعْمَالُ الْأَحْيَاءِ تُعْرَضُ عَلَى الْمَوْتَى، كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أَعْمَلَ عَمَلًا أُخْزَى بِهِ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ ". فَهَذَا اجْتِمَاعُهُمْ عِنْدَ قُدُومِهِ يَسْأَلُونَهُ فَيُجِيبُهُمْ.
وَأَمَّا اسْتِقْرَارُهُمْ فَبِحَسَبِ مَنَازِلِهِمْ عِنْدَ اللَّهِ، فَمَنْ كَانَ مِنْ الْمُقَرَّبِينَ كَانَتْ مَنْزِلَتُهُ أَعْلَى مِنْ مَنْزِلَةِ مَنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ؛ لَكِنَّ الْأَعْلَى يَنْزِلُ إلَى الْأَسْفَلِ، وَالْأَسْفَلُ لَا يَصْعَدُ إلَى الْأَعْلَى، فَيَجْتَمِعُونَ إذَا شَاءَ اللَّهُ، كَمَا يَجْتَمِعُونَ فِي الدُّنْيَا مَعَ تَفَاوُتِ مَنَازِلِهِمْ، وَيَتَزَاوَرُونَ.
وَسَوَاءٌ كَانَتْ الْمَدَافِنُ مُتَبَاعِدَةً فِي الدُّنْيَا، أَوْ مُتَقَارِبَةً. قَدْ تَجْتَمِعُ الْأَرْوَاحُ مَعَ تَبَاعُدِ الْمَدَافِنِ، وَقَدْ تَفْتَرِقُ مَعَ تَقَارُبِ الْمَدَافِنِ، يُدْفَنُ الْمُؤْمِنُ عِنْدَ الْكَافِرِ، وَرُوحُ هَذَا فِي الْجَنَّةِ، وَرُوحُ هَذَا فِي النَّارِ، وَالرَّجُلَانِ يَكُونَانِ جَالِسَيْنِ أَوْ نَائِمَيْنِ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ، وَقَلْبُ هَذَا يُنَعَّمُ، وَقَلْبُ هَذَا يُعَذَّبُ. وَلَيْسَ بَيْنَ الرُّوحَيْنِ اتِّصَالٌ. فَالْأَرْوَاحُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ: فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ».
وَالْبَدَنُ لَا يُنْقَلُ إلَى مَوْضِعِ الْوِلَادَةِ، بَلْ قَدْ جَاءَ: «إنَّ الْمَيِّتَ يُذَرُّ عَلَيْهِ مِنْ تُرَابِ حُفْرَتِهِ» وَمِثْلُ هَذَا لَا يُجْزَمُ بِهِ، وَلَا يُحْتَجُّ بِهِ. بَلْ أَجْوَدُ مِنْهُ حَدِيثٌ آخَرُ فِيهِ: «إنَّهُ مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فِي غَيْرِ بَلَدِهِ إلَّا قِيسَ لَهُ مِنْ مَسْقَطِ رَأْسِهِ إلَى مُنْقَطِعِ أَثَرِهِ فِي الْجَنَّةِ».
وَالْإِنْسَانُ يُبْعَثُ مِنْ حَيْثُ مَاتَ، وَبَدَنُهُ فِي قَبْرِهِ مُشَاهَدٌ، فَلَا تُدْفَعُ الْمُشَاهَدَةُ، بِظُنُونٍ لَا حَقِيقَةَ لَهَا، بَلْ هِيَ مُخَالِفَةٌ فِي الْعَقْلِ، وَالنَّقْلِ
Apakah ruhnya akan berkumpul dengan ruh keluarganya dan kerabatnya?
Terkait pertanyaan ini, disebutkan dalam hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari dan yang lainnya dari kalangan salaf, serta diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam kitab Shahih dari Nabi ﷺ bahwa:
"Sesungguhnya mayit ketika rohnya diangkat, ruh-ruh lainnya akan menyambutnya dan menanyakan kabar tentang orang-orang yang masih hidup. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian lainnya, 'Biarkan dia hingga beristirahat.' Kemudian mereka bertanya kepadanya, 'Apa yang dilakukan si Fulan?' Ia menjawab, 'Ia melakukan perbuatan baik.' Mereka bertanya lagi, 'Apa yang dilakukan si Fulan?' Ia menjawab, 'Bukankah ia telah datang kepada kalian?' Mereka menjawab, 'Tidak.' Maka mereka berkata, 'Ia telah dibawa ke neraka Hawiyah.'"
Karena amal perbuatan orang yang masih hidup diperlihatkan kepada orang yang telah meninggal, Abu Darda sering berdoa, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari melakukan perbuatan yang membuatku malu di hadapan Abdullah bin Rawahah." Inilah bentuk pertemuan mereka saat ruh baru datang, di mana mereka bertanya dan dijawab.
Kedudukan ruh berdasarkan tempatnya di sisi Allah
Adapun keberadaan ruh mereka sesuai dengan derajat masing-masing di sisi Allah. Barang siapa termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), kedudukannya lebih tinggi daripada mereka yang termasuk golongan kanan. Namun, ruh yang lebih tinggi dapat turun ke tingkatan yang lebih rendah, sedangkan yang lebih rendah tidak dapat naik ke tingkatan yang lebih tinggi. Mereka dapat berkumpul jika Allah menghendaki, sebagaimana mereka berkumpul di dunia meskipun memiliki perbedaan derajat, dan mereka juga saling mengunjungi.
Jarak kuburan di dunia tidak memengaruhi pertemuan ruh
Baik jarak antar-kuburan di dunia berjauhan atau berdekatan, ruh-ruh dapat bertemu meskipun kuburan berjauhan, dan dapat terpisah meskipun kuburan berdekatan. Seorang mukmin bisa dikuburkan di dekat seorang kafir, tetapi ruh mukmin berada di surga, sementara ruh kafir berada di neraka. Dua orang bisa duduk atau tidur di tempat yang sama, namun hati salah satunya mendapat kenikmatan, sementara hati lainnya mendapat siksa, tanpa adanya hubungan antara kedua ruh tersebut.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
"Ruh-ruh itu adalah tentara yang berkelompok; yang saling mengenal akan bersatu, dan yang saling tidak mengenal akan berselisih."
Badan tetap di kubur
Tubuh mayit tidak dipindahkan ke tempat kelahirannya. Dalam riwayat disebutkan: "Mayit akan ditaburi tanah dari kuburannya, " meskipun ini bukan sesuatu yang pasti atau dijadikan dalil. Namun, ada riwayat yang lebih kuat: "Tidaklah seorang mayit meninggal di negeri lain kecuali akan diukur untuknya dari tempat kelahirannya hingga tempat akhir jejaknya di surga."
Manusia dibangkitkan dari tempat ia meninggal
Manusia akan dibangkitkan dari tempat ia meninggal, sedangkan tubuhnya tetap terlihat di kuburannya. Hal-hal yang dapat dilihat tidak dapat disangkal dengan dugaan yang tidak memiliki dasar kebenaran, bahkan bertentangan dengan akal dan dalil naqli.
[Lihat: al-Fatawa al-Kubra: 3/64-65].
APAKAH NABI ﷺ MENDENGAR ORANG YANG MEMANGGILNYA DI KUBURNYA?
Nabi ﷺ hidup di kuburnya dalam kehidupan barzakh yang dengannya beliau menikmati kenikmatan yang telah Allah sediakan sebagai balasan atas amal-amal mulia yang beliau lakukan selama hidupnya di dunia. Kehidupan ini bukan seperti kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, tetapi merupakan kehidupan barzakh, yaitu perantara antara kehidupan dunia dan akhirat.
Dengan demikian, diketahui bahwa beliau telah wafat sebagaimana wafatnya orang-orang sebelumnya, baik dari kalangan nabi maupun selain mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
(وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ)
“Kami tidak menjadikan seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad) hidup kekal, maka jika kamu mati, apakah mereka akan kekal?”. (Al-Anbiya: 34).
Allah juga berfirman:
(كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ.وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ)
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan”. (Ar-Rahman: 26-27).
Allah berfirman:
(إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ)
“Sesungguhnya kamu (Muhammad) akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati”_ (Az-Zumar: 30).
Dan Allah SWT berfirman:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئاً وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul (mereka telah wafat). Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144)
Abu Bakar Ash-Shiddiq radiallahu anhu berkata saat dia berdiri di hadapan orang untuk menyampaikan khutbah pasca wafatnya Nabi ﷺ:
"أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا ﷺ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لاَ يَمُوتُ. وَقَالَ: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ}، وَقَالَ: {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ}". انتهى.
"Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad ﷺ, sungguh Muhammad telah mati, dan siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup tidak mati.
Lalu beliau mengutip firman Allah, 'Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula)." (QS. Az-Zumar: 30).
Juga firman-Nya, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran: 144) (HR. Bukhari, no. 3667)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah mewafatkan beliau. Para sahabat radhiyallahu 'anhum memandikan jenazah beliau, mengafaninya, menshalatinya, dan menguburkannya. Seandainya beliau masih hidup seperti kehidupan dunia, tentu mereka tidak akan memperlakukan beliau sebagaimana perlakuan kepada orang yang telah wafat.
Fatimah radhiyallahu 'anha juga meminta warisan dari ayahnya ﷺ kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu karena keyakinannya bahwa beliau telah wafat. Tidak ada seorang pun dari para sahabat yang menyelisihi keyakinan ini. Abu Bakar menjawab bahwa para nabi tidak mewariskan harta.
Selain itu, para sahabat berkumpul untuk memilih khalifah pengganti beliau dan menyepakati Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Seandainya beliau masih hidup seperti di dunia, tentu mereka tidak akan melakukannya. Ini adalah ijma’ mereka atas wafatnya beliau.
Ketika fitnah dan permasalahan banyak terjadi pada masa Utsman dan Ali radhiyallahu 'anhuma, sebelum dan sesudahnya, mereka tidak pergi ke kubur Nabi ﷺ untuk meminta petunjuk atau penyelesaian. Seandainya beliau hidup seperti di dunia, tentu mereka akan melakukannya karena sangat membutuhkan penyelesaian.
Kehidupan barzakh adalah kehidupan khusus. Para nabi dan syuhada hidup di barzakh sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ
“Para nabi hidup di kubur mereka dan mereka shalat.”
[HR. Abu Nu'aim dalam Akhbar Asbahan 2/44, Al-Bazzar dalam Al-Musnad nomor 6888, Abu Ya'la dalam Al-Musnad (hadits nomor 3425), dan Al-Baihaqi dalam Hayat Al-Anbiya halaman 72 dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu.
Hadits ini shahih menurut Al-Haytsami dalam Al-Majma' 8/211, Al-Munawi dalam Fayd al-Qadir, dan Sheikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (hadits nomor 621).
Allah Ta’ala juga berfirman:
﴿وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِم مِّنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. [Al Imran: 169]
Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [Al Imran: 170]
Kehidupan ini adalah kehidupan khusus yang hanya diketahui oleh Allah, dan tidak seperti kehidupan dunia di mana ruh terpisah dari jasad.
======
DI MANA RUH NABI ﷺ SETELAH WAFAT:
Adapun ruh Nabi ﷺ, maka ia berada di tempat tertinggi (I'liyyin) karena beliau adalah makhluk terbaik. Allah memberinya Al-Wasilah, yaitu derajat tertinggi di surga.
Diriwayatkan oleh Bukhari (5674) – dengan lafaz ini – dan Muslim (2191), dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Aku mendengar Nabi ﷺ bersandar kepadaku, beliau berkata:
(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ الأَعْلَى)
"Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, dan tempatkanlah aku bersama ar-Rofiiq al-A’laa (teman yang tertinggi)."
Yang dimaksud dengan " ar-Rofiiq al-A’laa (teman yang tertinggi)" adalah bersama mereka yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang sangat jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh di surga yang paling tinggi. Jika seorang hamba yang saleh bergabung dengan teman yang tertinggi, maka ia akan berada di derajatnya, sehingga nabi bersama para nabi, orang yang sangat jujur bersama yang sangat jujur, dan orang saleh bersama orang-orang saleh.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
" كُنْتُ أَسْمَعُ أَنَّهُ لَنْ يَمُوتَ نَبِيّ حَتَّى يُخَيَّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، قَالَتْ: فَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي مَرَضِهِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ وَأَخَذَتْهُ بُحَّةٌ يَقُولُ: (مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا) قَالَتْ: فَظَنَنْتُهُ خُيِّرَ حِينَئِذٍ ".
"Aku pernah mendengar bahwa tidak ada nabi yang wafat sebelum ia diberi pilihan antara dunia dan akhirat." Ia berkata: "Aku mendengar Nabi ﷺ dalam penyakit yang menyebabkan wafatnya, beliau menjadi serak dan berkata: 'Bersama mereka yang Allah beri nikmat, yaitu para nabi, orang-orang yang sangat jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh, dan mereka itulah teman yang terbaik.' Aku pun memahami bahwa beliau sedang diberi pilihan pada saat itu." [HR. Bukhari (4435) dan Muslim (2444)].
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:
وَأَمَّا قَوْلُهُ: (وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ الْأَعْلَى) فَمَأْخُوذٌ عِنْدَهُمْ مِنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: (مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا)" اِنْتَهَى
“Adapun ucapan beliau ﷺ: ‘Dan tempatkanlah aku bersama teman yang tertinggi, ’ diambil dari firman Allah Azza wa Jalla: ‘Bersama mereka yang Allah beri nikmat, yaitu para nabi, orang-orang yang sangat jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh, dan mereka itulah teman yang terbaik.’” (Selesai dari Al-Istidzkar, 3/85).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ: (اللَّهُمَّ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى) ثَلَاثًا" اِنْتَهَى
“Ini adalah makna dari sabda Nabi ﷺ dalam hadis lain: ‘Ya Allah, tempatkanlah aku bersama teman yang tertinggi, ’ sebanyak tiga kali.” (Selesai dari Tafsir Ibnu Katsir, 2/353).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
"وَقَدْ وَقَعَ لِي مِنْ طَرِيقِ أَحْمَدَ بْنِ حَرْبٍ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ شَيْخِ الْبُخَارِيِّ فِيهِ بِزِيَادَةٍ بَعْدَ قَوْلِهِ: (الَّذِي قُبِضَ فِيهِ أَصَابَتْهُ بُحَّةٌ): فَجَعَلْتُ أَسْمَعُهُ يَقُولُ: (فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ) الْآيَةَ". اِنْتَهَى
“Telah sampai kepadaku dari jalur Ahmad bin Harb dari Muslim bin Ibrahim, salah seorang guru Imam Bukhari, dengan tambahan setelah ucapannya: ‘Dalam keadaan beliau terserang suara serak, ’ aku mendengar beliau berkata: ‘Di teman yang tertinggi bersama mereka yang Allah beri nikmat, yaitu para nabi.’” (Selesai dari Fathul Bari, 8/137).
Berdasarkan hal ini, secara asal tidak ada larangan bagi seorang hamba untuk memohon kepada Rabbnya agar ditempatkan bersama teman yang tertinggi ketika ia wafat, dan agar ia diberi tempat di kalangan orang-orang saleh. Hal ini bukanlah sesuatu yang khusus bagi para nabi.
Dari Zaid bin Aslam, ia berkata:
" أُغْمِيَ عَلَى الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ: "أَشْهَدُ أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَصْلُ اللَّهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى: (مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا)النساء/ 69 ".
"Al-Miswar bin Makhramah pingsan, lalu sadar kembali dan berkata: 'Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Berjumpa dengan Allah lebih aku cintai daripada dunia dan segala isinya. Abdurrahman bin Auf berada di teman yang tertinggi: (Bersama mereka yang Allah beri nikmat, yaitu para nabi, orang-orang yang sangat jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh, dan mereka itulah teman yang terbaik).” (An-Nisa: 69)."
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dalam Kitab Al-Muhtadhorin (hal. 358) dengan sanad yang sahih.
Para ulama Komite Tetap berkata:
"إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ عَلَى الأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَهَا، فَهِيَ بَاقِيَةٌ كَمَا هِيَ، وَهُمْ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ حَيَاةً بَرْزَخِيَّةً اللَّهُ أَعْلَمُ بِكَيْفِيَّتِهَا، وَلَيْسَتْ كَحَيَاتِهِمْ فِي الدُّنْيَا، وَأَرْوَاحُهُمْ فِي الْجَنَّةِ، وَهَكَذَا أَرْوَاحُ الْمُؤْمِنِينَ، وَرُوحُ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى فِي الْجَنَّةِ." انْتَهَى
"Sesungguhnya Allah mengharamkan jasad para nabi dan rasul untuk dimakan oleh bumi. Jasad mereka tetap utuh sebagaimana adanya, dan mereka hidup di dalam kubur mereka dengan kehidupan barzakh yang hanya Allah yang mengetahui hakikatnya. Kehidupan tersebut tidak seperti kehidupan mereka di dunia. Ruh mereka berada di surga, dan demikian pula ruh orang-orang beriman. Ruh Nabi kita Muhammad ﷺ berada di teman yang tertinggi di surga." (Selesai dari Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 2/443).
Syeikh Bin Baaz rahimahullah berkata:
"قَدْ عَلِمَ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ وَبِالْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ لَا يُوجَدُ فِي كُلِّ مَكَانٍ، إِنَّمَا يُوجَدُ جِسْمُهُ فِي قَبْرِهِ فَقَطٍ فِي الْمَدِينَةِ الْمَنْوَرَةِ، أَمَّا رُوحُهُ فَفِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى فِي الْجَنَّةِ، وَقَدْ دَلَّ عَلَى ذَلِكَ مَا ثَبَتَ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ قَالَ عِنْدَ الْمَوْتِ: (اللَّهُمَّ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى ثَلَاثًا ثُمَّ تُوُفِّيَ).
وَقَدْ أَجْمَعَ عُلَمَاءُ الْإِسْلَامِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دُفِنَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا الْمُجَاوِرِ لِمَسْجِدِهِ الشَّرِيفِ، وَلَمْ يَزَلْ جِسْمُهُ فِيهِ إِلَى حِينِ التَّارِيخِ.
أَمَّا رُوحُهُ وَأَرْوَاحُ بَقِيَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ وَأَرْوَاحُ الْمُؤْمِنِينَ فَكُلُّهَا فِي الْجَنَّةِ، لَكِنَّهَا عَلَى مَنَازِلَ فِي نَعِيمِهَا وَدَرَجَاتِهَا حَسَبَ مَا خَصَّ اللهُ بِهِ الْجَمِيعَ مِنَ الْعِلْمِ وَالإِيمَانِ، وَالصَّبْرِ عَلَى حَمْلِ الشَّقَاقِ فِي سَبِيلِ الدَّعْوَةِ إِلَى الْحَقِّ.
"Merupakan perkara agama yang seharusnya sudah diketahui dan berdasarkan dalil-dalil syari, bahwa Rasulullah ﷺ tidak berada di semua tempat, akan tetapi jasadnya terdapat dalam kuburnya saja di Madinah Munawarah. Adapun ruhnya berada di tempat yang tinggi di surga. Hal tersbut telah ditunjukkan berdasarkan riwayat shahih dari beliau, bahwa menjelang wafatnya beliau berdoa, "Ya Allah semoga aku ditempatkan di tempat yang tertinggi."
Juga para ulama Islam dari kalangan shahabat dan orang sesudah mereka sepakat bahwa beliau dikuburkan di kamar Aisyah radhiallahu anha di sisi Masjid beliau yang mulia, dan jasadnya hingga kini berada di tempat tersebut.
Adapun ruhnya dan ruh para nabi serta kaum muslimin, semuanya di surga, akan tetapi di tempat dan derajat yang berbeda-beda sesuai ilmu dan keimanan yang Allah berikan kepadnya serta kesabaran dalam menanggung penderitaan di jalan dakwah kepada kebenaran. [Baca: Majmu Fatawa Ibnu Baz, 3/381-383].
Tidak ada dalil dari Al-Qur'an dan sunnah shahih yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ mendengar setiap doa atau panggilan manusia. Yang ada hanyalah bahwa beliau ﷺ mendapatkan berita dari malaikat tentang shalawat dan salam yang disampaikan kepadanya, sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
إنَّ للهِ مَلائِكةً سيَّاحين في الأرضِ يُبَلِّغوني من أمَّتي السَّلامَ
_“Tidaklah seorang pun yang bershalawat kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku hingga aku menjawab salamnya.”
[HR. Abu Dawud (2041), An-Nasa'i (1282) dengan lafaznya, dan Ahmad (3666). Dihasankan oleh Ibn Hibban dalam Shahih (914), Ibn Baz dalam Majmu' al-Fatawa (9/311), Al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa'i (1282), dan Al-Wada'i dengan syarat Muslim dalam As-Sahih al-Musnad (885).
Ali Al-Qari mengatakan:
فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى حَيَاتِهِ الدَّائِمَةِ وَفَرَحِهِ بْلُوغِ سَلاَمِ أُمَّتِهِ الكَامِلَةِ
"Ini menunjukkan kehidupan beliau yang terus berkesinambungan dan kegembiraan beliau ketika salam umatnya sampai kepadanya." Lihat: Mirqat al-Mafatih Sharh Mishkat al-Masabih (2/743).
Namun, dalam hadits diatas ini tidak secara eksplisit menyatakan bahwa beliau mendengar langsung salam tersebut. Ini menunjukkan beliau membalasnya setelah disampaikan oleh malaikat. Oleh sebab itu Nabi ﷺ melarang umatnya menjadikan kuburannya sebagai sarana dan tempat bolak balik manusia [عَادَ – يَعُوْد - عِيْداً]. Beliau memebrikan solusi terbaik baik bagi umat nya dengan mencukupkan shalawat dan salam dari kediaman atau keberadaan masing-masing dari umatnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
((لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُمَا كُنتُمْ))
"Janganlah menjadikan kuburanku sebagai hari raya, dan berdoalah untukku, karena doa kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada."
[HR. Abu Dawud (2042) dan Ahmad (8804)]
Hadis ini dikategorikan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2042), dan juga shahih menurut Syuaib Al-Arnauth dalam takhrij Sunan Abu Dawud (2042), dihasankan oleh Ibn Taymiyyah dalam Al-Ikhniyyah (265), Muhammad bin Abdul Hadi dalam Ash-Shorim al-Munki (207), dan Ibn Hajar dalam Al-Futuhat al-Rabbaniyah (3/314).
Ada banyak hikmah dari larangan bolak balik ke keburannya itu, diantara nya:
- Agar tidak memberatkan umatnya.
- Menutup celah (سَدُّ الذَّرِيْعَة) agar umat nya tidak terjerumus dalam pengkultusan pada diri beliau, yang dikhawatirkan kelak berkelanjutan pada penuhanan, sebagiamana yang pernah menimpa pada umat-umat terdahulu.
Dan inilah yang sangat dikhawatirkan, sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu 'anha bahwa Rosulullah ﷺ bersabda di saat beliau sakit menjelang akhir hayatnya:
«لَعَنَ اللهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»، قَالَتْ: "وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ، غَيْرَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا".
" Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah menjadikan kuburan para nabinya sebagai masjid-masjid (tempat-tempat ibadah).
Aisyah berkata: "Kalau bukan karena itu sungguh akan aku perlihatkan kuburannya, akan tetapi sungguh aku takut akan dijadikan sebagai masjid (tempat ibadah dan berdoa). (HR. Bukhori dan Muslim).
Seandainya beliau mendengar salam tersebut, maka itu adalah pengecualian, sebagaimana pengecualian dalam hal mendengar suara langkah kaki pengantar jenazah atau mendengar panggilan Rasulullah ﷺ kepada kaum kafir yang dikubur di sumur Badar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ، إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيَّ رُوحِي، حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ
"Tidak ada seorang pun yang memberi salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku kepadaku, hingga aku membalas salamnya."
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (2041), dan lafaznya milik beliau, Ahmad (10815). Hadis ini dikategorikan shahih oleh Ibn Baz dalam Fatawa Nur Ala Darb (14/158), dihasankan oleh Ibn Hajar dalam Al-Futuhat al-Rabbaniyah, dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2041) (5/31), serta sanadnya disahkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu' (8/272).
Al-Munawi berkata:
(هَذَا ظَاهِرٌ فِي اسْتِمْرَارِ حَيَاتِهِ؛ لِاسْتِحَالَةِ أَنْ يَخْلُوَ الْوُجُودُ كُلُّهُ مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ عَادَةً، وَمَنْ خَصَّ الرَّدَّ بِوَقْتِ الزِّيَارَةِ فَعَلَيْهِ الْبَيَانُ)
"Ini jelas menunjukkan kehidupan beliau yang berkelanjutan, karena mustahil jika seluruh dunia tidak ada yang memberi salam kepadanya sebagai kebiasaan, dan jika pembalasan salam hanya khusus pada waktu ziarah, maka harus dijelaskan." Lihat: Fayd al-Qadir (5/467).
(إِنَّ لِرُوحِهِ تَعَلُّقًا بِمَقَرِّ بَدَنِهِ الشَّرِيفِ، وَحَرَامٌ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ، فَحَالُهُ كَحَالِ النَّائِمِ الَّذِي تَرْقِي رُوحُهُ بِحَسَبِ قُوَّاهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ لَهُ مِمَّا اخْتَصَّ بِهِ مِنْ بُلُوغِهِ غَايَةَ الْقُدْرَةِ لَهُ بِحَسَبِ قَدْرِهِ عِندَ اللَّهِ فِي الْمَلَكُوتِ الْأَعْلَى، وَلَهَا بِالْبَدَنِ تَعَلُّقٌ)
Ia juga mengatakan: "Sesungguhnya ruh beliau terikat dengan tubuh mulia beliau, dan haram bagi bumi untuk memakan jasad para nabi. Keadaan beliau seperti orang yang sedang tidur, yang ruhnya naik sesuai dengan kekuatannya ke tempat yang dikehendaki Allah, sesuai dengan kemampuan beliau yang khusus, tergantung pada kedudukan beliau di sisi Allah di alam tertinggi, dan ruh tersebut terikat dengan tubuhnya." Lihat: Fayd al-Qadir (6/170) dengan sedikit perubahan.
Syeikh Syinqiti mengatakan:
(ما ثبت عنه صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من أنَّه لا يُسَلِّمُ عليه أحدٌ إلَّا رَدَّ اللهُ عليه روحَه حتى يَرُدَّ عليه السَّلامَ، وأنَّ اللهَ وكَّل مَلائِكةً يبَلِّغونه سلامَ أمَّتِه، فإنَّ تلك الحياةَ أيضًا لا يَعقِلُ حقيقَتَها أهلُ الدُّنيا؛ لأنها ثابتةٌ له صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، مع أنَّ رُوحهَ الكريمةَ في أعلى عِلِّيينَ مع الرَّفيقِ الأعلى فوقَ أرواحِ الشُّهَداءِ، فتَعلُّقُ هذه الرُّوحِ الطَّاهرةِ التي هي في أعلى عِلِّيينَ بهذا البَدَنِ الشَّريفِ الذي لا تأكُلُه الأرضُ، يَعْلَمُ اللهُ حقيقَتَه، ولا يَعْلَمُها الخَلْقُ، كما قال في جِنسِ ذلك: وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ...
وإذا صَرَّح القُرآنُ بأنَّ الشُّهَداءَ أحياءٌ في قَولِه تعالى: بَلْ أَحْيَاءٌ، وصرَّح بأن هذه الحياةَ لا يعرِفُ حقيقتَها أهلُ الدُّنيا بقَولِه: وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ، وكان النَّبِيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أثبتَ حياتَه في القبرِ بحيث يَسمَعُ السَّلامَ ويرُدُّه، وأصحابُه الذين دفنوه صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لا تشعُرُ حواسُّهم بتلك الحياةِ، عرَفْنا أنها حياةٌ لا يعقِلُها أهلُ الدُّنيا أيضًا، ومِمَّا يُقَرِّبُ هذا للذِّهْنِ حياةُ النَّائِمِ، فإنَّه يخالِفُ الحَيَّ في جميعِ التصَرُّفاتِ مع أنَّه يُدرِكُ الرُّؤيا، ويَعقِلُ المعانيَ. واللهُ تعالى أعلَمُ)
"Apa yang tetap dari Nabi ﷺ bahwa tidak ada yang memberi salam kepadanya, kecuali Allah mengembalikan ruhnya kepadanya untuk membalas salam tersebut, dan bahwa Allah telah menugaskan malaikat-malaikat untuk menyampaikan salam umatnya kepada beliau, maka kehidupan tersebut juga tidak dapat dipahami oleh orang dunia; karena itu adalah kehidupan yang tetap bagi beliau, meskipun ruhnya yang mulia berada di atas 'Illiyyin bersama dengan teman-teman yang tinggi di atas roh para syuhada, sehingga hubungan ruh yang suci ini yang berada di atas 'Illiyyin dengan tubuh mulia yang tidak dimakan bumi, hanya Allah yang mengetahui hakikatnya, dan makhluk tidak mengetahuinya, sebagaimana disebutkan dalam jenis itu: "Tetapi kalian tidak merasakannya...".
Dan ketika Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa para syuhada hidup dalam firman-Nya: "Sebenarnya mereka hidup, " dan menyatakan bahwa kehidupan ini tidak dapat dipahami oleh orang dunia dalam firman-Nya: "Tetapi kalian tidak merasakannya, " dan Nabi ﷺ telah meneguhkan kehidupan beliau di dalam kubur sehingga beliau mendengar salam dan membalasnya, sementara para sahabat yang menguburkannya tidak merasakan kehidupan itu dengan indera mereka, maka kita tahu bahwa itu adalah kehidupan yang tidak bisa dipahami oleh orang dunia juga. Sebagai perbandingan, kehidupan orang yang sedang tidur, meskipun ia berbeda dengan orang hidup dalam segala perbuatan, tetapi ia dapat merasakan mimpi dan memahami makna. Allah Maha Mengetahui." Lihat: Dafa' Iham al-Izhtirab 'An Ayat al-Kitab (hlm: 24).
Syeikh Bin Baz berkata:
(قد صرَّح الكثيرون من أهلِ السُّنَّةِ بأنَّ النَّبِيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حيٌّ في قبرِه حياةً برزخيَّةً لا يَعْلَمُ كُنْهَها وكيفيَّتَها إلَّا اللهُ سُبحانَه، وليست من جنسِ حياةِ أهلِ الدُّنيا، بل هي نوعٌ آخَرُ يَحصُلُ بها له صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الإحساسُ بالنعيمِ، ويَسمَعُ بها سلامَ المُسلِّمِ عليه عندما يرُدُّ اللهُ عليه رُوحَه ذلك الوَقتَ).
"Banyak ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ hidup di dalam kuburnya dengan kehidupan barzakh yang hanya diketahui oleh Allah, dan bukan dari jenis kehidupan duniawi. Kehidupan ini adalah jenis lain yang dengannya beliau merasakan kenikmatan dan mendengar salam orang yang memberi salam kepadanya ketika Allah mengembalikan ruh beliau pada saat itu." Lihat: Dafa' Iham al-Izhtirab 'An Ayat al-Kitab (hlm: 24).
PENJAGAAN PARA SAHABAT DARI PENYALAH GUNAAN KUBURAN NABI ﷺ:
Doa Rosulullah ﷺ agar kuburannya tidak di jadikan berhala yang di sembah terkabulkan berkat usaha para sahabat dan generasi sesudahnya.
Ada dua langkah penting yang mereka lakukan dalam mengemban wasiat Nabi ﷺ:
Pertama: menyampaikan wasiatnya dengan lisan, tindakan dan peneladanan.
Kedua: penempatan kuburannya yang tepat serta benteng penjagaannya yang kokoh dan berkesinambungan.
Proses musyawarah pemakaman Nabi ﷺ:
Dari Umar, maula Afroh berkata:
لَمَّا ائْتَمَرُوا فِي دَفْنِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، قَالَ قَائِلٌ: نَدْفِنُهُ حَيْثُ كَانَ يُصَلِّي فِي مَقَامِهِ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَعَاذَ اللهِ أَنْ نَجْعَلَهُ وَثَنًا يُعْبَدُ، وَقَالَ آخَرُونَ: نَدْفِنُهُ فِي الْبَقِيعِ حَيْثُ دُفِنَ إِخْوَانُهُ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّا نَكْرَهُ إِنْ خَرَجَ قَبْرُ رَسُولِ اللهِ ﷺ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَعُوذَ بِهِ عَائِذٌ مِنَ النَّاسِ، لِلَّهِ عَلَيْهِ حَقٌّ، وَحَقُّ اللهِ فَوْقَ حَقِّ رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَإِنْ أَخَذْنَا بِهِ ضَيَّعْنَا حَقَّ اللهِ، وَإِنْ أَخْفَرْنَاهُ أَخْفَرْنَا قَبْرَ رَسُولِ اللهِ ﷺ، قَالُوا: فَمَا تَرَى أَنْتَ يَا أَبَا بَكْرٍ؟ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: مَا قَبَضَ اللهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا دُفِنَ حَيْثُ قَبَضَ رُوحَهُ، قَالُوا: فَأَنْتَ وَاللهِ رَضِيٌّ مُقْنِعٌ، ثُمَّ خَطُّوا حَوْلَ الْفِرَاشِ خَطًّا ثُمَّ احْتَمَلَهُ عَلِيٌّ وَالْعَبَّاسُ وَالْفَضْلُ وَأَهْلُهُ، وَوَقَعَ الْقَوْمُ فِي الْحَفْرِ يَحْفِرُونَ حَيْثُ كَانَ الْفِرَاشُ.
Ketika para sahabat berembuk tukar pendapat mengenai penguburan (jasad) Rosulullah ﷺ, maka ada seseorang yang mengusulkan dengan mengatakan: Kami menguburkannya di tempat beliau biasa shalat.
Dan Abu Bakar menjawab: "Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan kami menjadikan beliau berhala yang di sembah ".
Dan sahabat-sahabat lainnya mengusulkan: Kami menguburkannya di (pemakaman) Baqi' bersama kawan-kawannya dari kalangan muhajirin. Abu Bakar menjawab: Sungguh kami benci jika kuburan beliau keluar ke pemakaman Baqi lalu ada seseorang dari manusia memohon perlindungan kepadanya. Allah punya hak padanya, hak Allah diatas hak Rosulullah ﷺ, jika kami mendahulukan hak beliau (dengan menguburkannya di Baqi), maka kami telah menyia-nyiakan hak Allah, memang benar jika kita menggalinya, kita menggalinya untuk kuburan Rosulullah ﷺ.
Mereka para sahabat bertanya: "Kalau pendapat kamu apa, wahai Abu Bakar? ".
Abu Bakar menjawab: "Aku mendengar Rosulullah ﷺ bersabda: "Tidaklah sekali-kali Allah mencabut nyawa seorang Nabi, kecuali di makamkan di tempat di cabut ruhnya ".
Mereka berkata: “ Kamu, demi Allah, orang yang di ridloi dan membuat kami menerima”.
Kemudian mereka memberi garis di sekitar tempat tidur (Rosulullah ﷺ), kemudian Ali, Abbas, Fadlel dan keluarganya mengangkatnya. Pada akhirnya para sahabat menggali untuk kuburan beliau di lokasi tempat tidurnya.
(HR. Ibnu Zanjaweih dan Muhammad bin Hatim dalam Fadloil ash-Shiddiiq. lihat Tahdzirus Saajid 1/11 dan Kanzul 'Ummal no. 1874. Ibnu Katsir berkata: Dari arah ini sanad nya terputus, karena orang yang bernama Umar, maula Afroh di samping dia lemah, dia juga tidak menjumpai masa-masa Abu Bakar Ash-Shiddiq).
====
PENJAGAAN YANG DI LAKUKAN OLEH ISTRI NABI ﷺ DAN ANAK CUCUNYA:
Beliau ﷺ di makamkan di rumahnya di kamar istri tercintanya A'isyah, di tempat tidurnya, beliau wafat di pangkuan nya. Dan Aisyah – radliyallahu 'anha – benar-benar menjaga wasiat Nabi ﷺ.
Dari Aisyah radliyallahu 'anha bahwasannya Rosulullah ﷺ bersabda di saat beliau sakit menjelang akhir hayatnya:
«لَعَنَ اللهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»، قَالَتْ: "وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ، غَيْرَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا".
" Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah menjadikan kuburan para nabinya sebagai masjid-masjid (tempat-tempat ibadah).
Aisyah berkata: "Kalau bukan karena itu sungguh akan aku perlihatkan kuburannya, akan tetapi sungguh aku takut akan dijadikan sebagai masjid (tempat ibadah dan berdoa). (HR. Bukhori dan Muslim).
Pada masa Aisyah masih hidup tidak semua orang bisa masuk kamarnya untuk melihat kuburan Nabi ﷺ, kecuali keluarganya yang hanya sekedar ingin tahu bagaimana bentuk penampilan dan posisi kuburannya yang syari'.
Dari Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar, keponakan Aisyah, suatu ketika dia masuk rumah A'isyah dan minta izin kepadanya hanya untuk melihat bentuk kuburan Nabi ﷺ dan dua sahabatnya, dia berkata kepadanya:
يَا أُمَّاهُ اكْشِفِى لِى عَنْ قَبْرِ النَّبِىِّ ﷺ وَصَاحِبَيْهِ! فَكَشَفَتْ لِى عَنْ ثَلاَثَةِ قُبُورٍ لاَ مُشْرِفَةٍ وَلاَ لاَطِئَةٍ مَبْطُوحَةٍ بِبَطْحَاءِ الْعَرْصَةِ الْحَمْرَاءِ. فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مُقَدَّمًا وَأَبَا بَكْرٍ رضي الله عنه رَأْسُهُ بَيْنَ كَتِفَىِ النَّبِىِّ ﷺ وَعُمَرَ رضي الله عنه رَأْسُهُ عِنْدَ رِجْلَىِ النَّبِىِّ ﷺ.
“ Wahai bunda, perlihatkanlah untukku akan kuburan Nabi ﷺ dan dua sahabatnya!”
Lalu beliau pun memperlihatkan untuknya tiga kuburan yang nampak tidak nyumbul, dan tidak ada plesteran, yang di hampari pasir halaman rumah berkerikil kemerah-merahan. Lalu aku melihat (kuburan) Rosulullah ﷺ paling depan, dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kepalanya berada diantara dua belikat Nabi ﷺ, dan Umar radhiyallahu ‘anhu kepalanya di sisi kedua kaki Nabi ﷺ ".
(Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Daud no. 3222, al-Hakim no. 1368, Baihaqi no. 7006 dan Abu Ya'la no. 4571. Sanadnya di sahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Mulqin dalam Al-Badrul Munir 5/315. Dan di dlaifkan oleh Al-Bany dalam Dloif Abu Daud 1/326).
Yang di lakukan CUCU -CUCU Ali bin Abi Thalib dari istrinya Fathimah putri Nabi ﷺ dalam menjaga kuburan Nabi ﷺ.
Said bin Manshur telah meriwayatkan dalam Sunannya dari Suhail bin Abi Suhail, dia berkata:
«رَآنِيَ الحَسَنُ بْنُ الحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عِنْدَ القَبْرِ، فَنَادَانِي وَهُوَ فِي بَيْتِ فَاطِمَةَ يَتَعَشَّى، فَقَالَ: هَلُمَّ إِلَى العَشَاءِ. فَقُلْتُ: لَا أُرِيدُهُ، فَقَالَ: مَا لِي رَأَيْتُكَ عِنْدَ القَبْرِ؟ فَقُلْتُ: سَلَّمْتُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ. فَقَالَ: إِذَا دَخَلْتَ المَسْجِدَ فَسَلِّمْ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «لَا تَتَّخِذُوا بَيْتِي عِيدًا وَلَا تَتَّخِذُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ، وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ». مَا أَنْتُمْ وَمَنْ بِالأَنْدَلُسِ إِلَّا سَوَاءٌ». إهْ.
Hasan bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib suatu ketika melihatku di sisi kuburan Nabi ﷺ, maka dia memanggilku saat itu dia berada di rumah Fatimah sedang makan malam, maka dia berkata: Mari kita makan malam!, lalu aku jawab: Aku tidak ingin makan.
Maka dia bertanya: Ada apa dengan kamu, aku lihat kamu di sisi kuburan? maka aku jawab: Aku mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ, maka dia berkata: Jika kamu masuk masjid, maka kamu ucapkanlah salam!
Kemudian dia melanjutkan kata-katanya: Sesungguhnya Rosulullah ﷺ telah bersabda:
" Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat Ied (rame-rame, perayaan atau mondar mandir untuk beribadah), dan janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, Allah telah melaknat orang-orang Yahudi dan Kristen disebabkan mereka telah menjadikan kuburan-kuburan para nabinya sebagai masjid-masjid. Dan bersholawatlah padaku, karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai padaku dimanapun kalian berada ". Tidak ada bedanya antara kalian yang di sini dengan orang yang berada di Andalusia, semua sama saja.
(Hadits sahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah no. 48, Ibnu Asaakir 4/217 dan Abdurrozaaq 3/577. Di sahihkan oleh Al-Bany).
Kemudian yang dilakukan oleh ‘Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Tholib:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ ، أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يَجِيءُ إلَى فُرْجَةٍ كَانَتْ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ ﷺ فَيَدْخُلُ فِيهَا فَيَدْعُو فَدَعَاهُ ، فَقَالَ: أَلاَ أُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ أَبِي ، عَنْ جَدِّي ، عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ ، قَالَ: « لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَلاَ بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ وَتَسْلِيمَكُم يَبْلُغُنِي حَيْثُ مَّا كُنْتُمْ ».
Dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi ﷺ kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda: ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied (tempat perayaan dan mondar-mandir), dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian dan salam kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Tarikhnya 2/186, Abdurrozzaq dalam Mushannafnya 3/577 no. 6726 dan juga Ibnu Abi Syaibah Mushonnaf-nya(2/268):
Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hafidz As-Sakhowy (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany). Silakan dilihat pada kitab al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy Syafii’ halaman 228.
PENJAGAAN FISIK KUBURAN NABI ﷺ:
Setelah Rosulullah ﷺ di makamkan di kamar istrinya Aisyah – radliyallahu 'anha-, maka 'Aisyah membangun dinding pemisah antara kuburan Nabi ﷺ dan kamar tidurnya. Dengan demikian kamar itu menjadi dua bagian, kamar tidur Aisyah dan kuburan Nabi ﷺ. Kondisi tersebut masih tetap seperti itu ketika Abu Bakar wafat dan di makamkan di samping Rosulullah ﷺ sebelah utara. Dan itu semua meskipun sudah ada tembok pemisah, tapi tetap saja masih termasuk bagian dari kamar Aisyah.
Ketika Umar wafat dan di makamkan di situ, maka Aisyah – radliyallahu 'anha - meninggalkan kamar itu secara keseluruhan dan menutup kamar rapat-rapat, disana tidak ada pintu masuk ke kamar tadi, kecuali sebuah jendela kecil.
Kamar tersebut bukan bangunan yang terbuat dari batu, dan bukan bangunan yang di plester atau dilepa, akan tetapi bangunan yang ada pada zaman Rosulullah ﷺ yang terbuat dari kayu dan sejenisnya.
Ketika bangunan masjid Nabawi diperluas pada masa kholifah Walid bin Abdul Malik, dan pada saat itu yang menjabat gubernur Madinah adalah Umar bin Abdul Aziz, maka mereka mengambil sebagian dari kamar-kamar para istri Nabi ﷺ untuk perluasan, namun kamar Nabi ﷺ tetap seperti semula, maka mereka mengambil sebagian lokasi Raudlah dari mesjid Nabawi untuk membangun dinding lainnya, bukan dinding yang pertama.
Mereka membangun dinding dari tiga arah, dan menjadikan dinding arah utara mengkrucut lancip segitiga.
Dengan demikan kuburan Rosulullah ﷺ telah di kelilingi dua dinding. Dinding pertama tertutup rapat, yaitu dinding kamar A'isyah. Dan dinding kedua adalah dinding yang di bangun pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik,
dan mereka menjadikan dinding dari arah utara – arah yang berlawanan dengan qiblat - berbentuk lancip segitiga, karena dari arah sanalah adanya perluasan, mereka khawatir jika bentuk tembok itu segi empat akan bertepatan lurus dengan orang yang menghadapnya, karena jika demikian maka jika ada orang yang menghadap tembok tersebut, dia menghadap kuburan, oleh karena itu mereka menjadikannya lancip mengkrucut segitiga kearah yang berlawanan dengan kiblat, dan dinding kedua ini jauh dari dinding yang pertama, yaitu dinding kamar A'isyah, mereka sengaja dibikin demikian dengan tujuan agar tidak mungkin bagi seseorang untuk menghadap kuburan (dalam shalatnya) karena jaraknya yang jauh dan karena bentuk temboknya yang lancip.
Kemudian pada masa-masa berikutnya datang dinding yang ketiga, bukan dua dinding yang sebelumnya.
Dan tiga dinding itulah yang di sebut-sebut Ibnul Qoyyim dalam An-Nuniyah, ketika beliau mengupas masalah doa Nabi ﷺ:
" Ya Allah, jangan lah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang di sembah".
Dalam syairnya Ibnul Qoyyim berkata:
فَأَجَابَ رَبُّ العَالَمِينَ دُعَاءَهُ... وَأَحَاطَهُ بِثَلَاثَةِ الجُدْرَانِ
حَتَّى غَدَتْ أَرْجَاؤُهُ بِدُعَائِهِ... فِي عِزَّةٍ وَحِمَايَةٍ وَصِيَانٍ
Maka Tuhan Semesta Alam mengabulkan doanya
Dan Ia meliputinya dengan tiga dinding.
Sehingga seluruh penjurunya menjadi kenyataan doanya.
Dalam kemuliaan, pemeliharaan dan penjagaan.
Dengan demikian kuburan Nabi ﷺ di lindungi dengan tiga dinding, dan masing-masing dinding tidak ada pintunya, maka tidak mungkin ada seseorang yang bisa masuk dan berdiri di depan kuburannya, karena disana ada dua dinding yang masing-masing tidak berpintu, kemudian setelah itu di tambah diinding ketiga, yang tidak ada pintunya juga, dinding ketiga ini tinggi dan besar, yaitu dinding yang di kemudian hari di letakkan kubah di atasnya.
Maka sekarang tidak ada seorang pun yang bisa masuk ke kuburan atau mengusap-usapnya atau sekedar melihatnya.
Kemudian setelah itu di bangun pula pagar besi (teralis) yang mengelilingi dinding ketiga dengan kelebaran antara pagar dan tembok ketiga seukuran satu meter setengah di sebagian lokasi, di sebagian lokasi lain lebarnya satu meter dan ada juga yang lebarnya satu meter delapan pulul centi meter, bahkan ada yang lebarnya dua meter lebih sedikit.
Yang jelas umat Islam telah melaksanakan wasiat Nabi ﷺ. Ketika datang masa pemerintahan khilafah Turki Utsmani, para ahli khurafat membuka pagar besi yang ada di perluasan Masjid Nabawi sebagai pintu masuk dari arah timur, agar mereka bisa melakukan tawaf di kuburan atau shalat di arah tersebut. Arah timur itu lokasi yang paling lebar, antara pagar dan tembok sekitar dua meter atau lebih sedikit. Pada masa pemerintahan Arab Saudi, pemerintah melarang shalat di lokasi tadi hingga sekarang.
Dengan demikian jelaslah jika kuburan Nabi ﷺ selamat hingga sekarang untuk di jadikan masjid.
Yang di lakukan oleh para sahabat dan para tabiin dan orang-orang yang datang sesudahnya adalah dalam rangka berpegang teguh dengan wasiat Nabi ﷺ dan menutup semua celah yang menggiring dan mengantarkan kepada kemusyrikan dengan Nabi ﷺ, dan agar tidak menjadikan kuburannya sebagai masjid.
Mereka telah mengambil sebagian lahan Raudlah (bagian dari mesjid Nabawi) seukuran tiga meter untuk membangun dinding kedua, dan kemudian mnegambil lagi lahan Raudlah seukuran tiga meter lebih untuk mendirikan pagar besi (teralis).
Ini adalah betul-betul praktek dan pengamalan yang sangat kongkrit dalam melaksanakan wasiat Rosulullah ﷺ, karena mereka telah mengambil sebagian lahan masjid Nabawi yaitu Raudlah yang di muliakan, demi untuk melindungi kuburan Nabi ﷺ agar tidak di jadikan masjid, bukannya mengambil sebagian lahan rumah kuburan Nabi ﷺ untuk perluasan, malah sebaliknya sebagian lahan masjid di jadikan dinding-dinding pemisah.
Yang demikian itu tiada lain kecuali menunjukan akan kedalaman fikih orang-orang yang membangunnya.
Yang ada sekarang di Masjid Nabawi, bisa jadi bagi orang yang tidak jeli mengamatinya, atau orang yang tidak faham mengira bahwa kuburan Nabi ﷺ di dalam masjid.
Yang benar hakikatnya tidaklah demikian, karena adanya dua tembok pembatas yang berbeda bentuk yang memisahkan antara masjid Nabawi dan Kuburan Nabi ﷺ, dikarenakan arah timur itu bukanlah bagian dari masjid, oleh karena itu ketika datang proyek perluasan terakhir, maka proyek tersebut memulainya dari arah utara setelah kamar tadi dengan jarak yang sangat jauh, agar tidak ada kesan bahwa kuburan itu berada di tengah Masjid Nabawi, karena jika posisinya berada ditengahnya maka dengan demikian telah menjadikan kuburan beliau sebagai masjid.
========
HUKUM ZIARAH KUBUR DAN MENGUCAPKAN SALAM KEPADA PENGHUNINYA
Dengan tegas sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk menziarahi kubur dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Orang yang telah meninggal akan mengetahui siapa yang mengucapkan salam kepadanya dan membalas salam tersebut, sebagaimana telah disebutkan.
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/310, Darul Fikr) mengatakan:
"قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ: ويُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يَدْنُوَ مِنْ قَبْرِ الْمَزُورِ بِقَدْرِ مَا كَانَ يَدْنُو مِنْ صَاحِبِهِ لَوْ كَانَ حَيًّا وَزَارَهُ".
“Para ulama kami rahimahumullah berkata: Dianjurkan bagi orang yang berziarah untuk mendekat ke kubur orang yang diziarahi sejauh jarak yang biasa dilakukan saat dia mendekati temannya jika masih hidup dan dikunjunginya.”
Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Ar-Ruh (hal. 5) mengatakan:
"وَقَدْ شَرَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لِأُمَّتِهِ إِذَا سَلَّمُوا عَلَى أَهْلِ الْقُبُورِ أَنْ يُسَلِّمُوا عَلَيْهِمْ سَلَامَ مَنْ يُخَاطِبُونَهُ، فَيَقُولُ: (السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ)، وَهَذَا خِطَابٌ لِمَنْ يَسْمَعُ وَيَعْقِلُ، وَلَوْلَا ذَلِكَ لَكَانَ هَذَا الْخِطَابُ بِمَنْزِلَةِ خِطَابِ الْمَعْدُومِ وَالْجَمَادِ، وَالسَّلَفُ مُجْمِعُونَ عَلَى هَذَا، وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الْآثَارُ عَنْهُمْ بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْرِفُ زِيَارَةَ الْحَيِّ لَهُ وَيَسْتَبْشِرُ بِهِ".
“Rasulullah ﷺ telah mensyariatkan kepada umatnya, jika mereka mengucapkan salam kepada penghuni kubur, hendaknya mereka mengucapkan salam seperti orang yang berbicara langsung kepada mereka, dengan mengatakan: ‘Salam sejahtera atas kalian, wahai penghuni perkampungan orang-orang yang beriman.’ Ucapan ini adalah bentuk komunikasi kepada mereka yang mendengar dan memahami. Jika tidak demikian, maka ucapan ini hanya seperti berbicara kepada sesuatu yang tidak ada atau benda mati. Para ulama salaf sepakat atas hal ini, dan riwayat-riwayat yang mutawatir dari mereka menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal mengetahui kunjungan orang yang masih hidup dan bergembira karenanya.”
Al-Munawi dalam kitab Faidul Qadir (5/287) menyebutkan:
"وَقَالَ الْحَافِظُ الْعِرَاقِيُّ: الْمَعْرِفَةُ وَرَدُّ السَّلَامِ فَرْعُ الْحَيَاةِ وَرَدِّ الرُّوحِ، وَلَا مَانِعَ مِنْ خَلْقِ هَذَا الْإِدْرَاكِ بِرَدِّ الرُّوحِ فِي بَعْضِ جَسَدِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ فِي جَمِيعِهِ. وَقَالَ بَعْضُ الْأَعَاظِمِ: تَعَلُّقُ النَّفْسِ بِالْبَدَنِ تَعَلُّقٌ يُشْبِهُ الْعِشْقَ الشَّدِيدَ، وَالْحُبَّ اللَّازِمَ، فَإِذَا فَارَقَتِ النَّفْسُ الْبَدَنَ فَذَلِكَ الْعِشْقُ لَا يَزُولُ إِلَّا بَعْدَ حِينٍ، فَتَصِيرُ تِلْكَ النَّفْسُ شَدِيدَةَ الْمَيْلِ لِذَلِكَ الْبَدَنِ؛ وَلِهَذَا يُنْهَى عَنْ كَسْرِ عَظْمِهِ وَوَطْءِ قَبْرِهِ".
“Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Pengetahuan mereka terhadap salam dan balasan terhadap salam adalah cabang dari kehidupan dan kembalinya ruh. Tidak ada halangan untuk diciptakannya kemampuan ini dengan kembalinya ruh pada sebagian tubuh, meskipun tidak pada keseluruhannya. Sebagian ulama besar mengatakan bahwa keterikatan ruh dengan tubuh menyerupai cinta yang sangat kuat dan kasih sayang yang mendalam. Ketika ruh berpisah dari tubuh, cinta itu tidak segera hilang kecuali setelah beberapa waktu. Oleh karena itu, ruh memiliki ketertarikan yang kuat pada tubuh tersebut. Inilah alasan mengapa dilarang mematahkan tulang orang yang telah meninggal atau menginjak kuburannya.”
AMALAN SALEH ORANG HIDUP YANG BERMANFAAT UNTUK MAYIT
Pertama: Berdoa dan memohon ampun untuknya
Hal ini telah menjadi kesepakatan ulama berdasarkan firman Allah Ta'ala:
﴿وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ﴾
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [Al Hashr: 10]
Juga sabda Rasulullah ﷺ:
إذا صلَّيتم على الميِّتِ فأخلِصوا له الدُّعاءَ
"Apabila kalian menshalati jenazah, maka ikhlaskanlah doa kalian untuknya."
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3199), Ibnu Majah (1497) dan Abdul Haq al-Isybiily dalam al-Ahkam asy-Syar’iyyah al-Kubra no. 338. Di shahihkan oleh al-Isybiily dan al-Albani dalam Shahih Abu Daud.
Kedua: Bersedekah
Imam An-Nawawi menyebutkan adanya ijma' bahwa sedekah untuk orang yang telah meninggal akan sampai pahalanya kepadanya, baik dari anaknya maupun orang lain. Hal ini berdasarkan hadits Muslim (1630) dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi ﷺ:
«إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالا وَلَمْ يُوصِ، فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَالَ: نَعَمْ ».
"Sesungguhnya ayahku telah meninggal dunia dan meninggalkan harta, namun ia tidak berwasiat. Apakah dengan bersedekah atas namanya dapat menjadi penebus dosa baginya?" Nabi ﷺ menjawab, 'Iya.'"
Dalam riwayat Muslim lainnya (1004) dari Aisyah radhiyallahu 'anha:
«أَنَّ رَجُلا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا (أي: ماتت فجأة)، وَإِنِّي أَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَلِي أَجْرٌ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ».
“Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi ﷺ: "Ibuku wafat secara tiba-tiba, dan aku yakin bahwa jika ia sempat berbicara, ia pasti akan bersedekah. Apakah aku mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas namanya?" Nabi ﷺ menjawab, 'Iya.'"
Ketiga: Puasa
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ»
"Barang siapa meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka walinya yang berpuasa untuknya."
Juga hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh keduanya, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ فَقَالَ: «لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى».
"Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, 'Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa selama satu bulan. Apakah aku harus menggantinya untuknya?' Nabi ﷺ menjawab, 'Jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?' Ia menjawab, 'Iya.' Nabi ﷺ bersabda, 'Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.' " [HR. Bikhori no. 1953 dan Muslim no. 1148]
Keempat: Haji
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma:
أنَّ امْرَأَةً مِن جُهَيْنَةَ جاءَتْ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فقالَتْ: إنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أنْ تَحُجَّ، فَلَمْ تَحُجَّ حتَّى ماتَتْ؛ أفَأَحُجُّ عَنْها؟ قالَ: نَعَمْ حُجِّي عَنْها؛ أرَأَيْتِ لو كانَ علَى أُمِّكِ دَيْنٌ أكُنْتِ قاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ؛ فاللَّهُ أحَقُّ بالوَفاءِ.
"Seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, 'Ibuku telah bernazar untuk berhaji, tetapi ia belum sempat melaksanakannya hingga ia meninggal. Apakah aku harus menghajikan untuknya?' Nabi ﷺ menjawab, 'Iya, hajikanlah untuknya. Bagaimana menurutmu jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya? Lunasilah utang kepada Allah, karena Allah lebih berhak untuk dipenuhi.' " [HR. Bukhori no. 1852]
Kelima: Membaca Al-Qur'an
Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ulama dari mazhab Syafi’i berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur'an dapat sampai kepada mayit.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
المَيِّتُ يَصِلُ إِلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنَ الْخَيْرِ، لِلنُّصُوصِ الْوَارِدَةِ فِيهِ وَلِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ يَجْتَمِعُونَ فِي كُلِّ مِصْرٍ وَيَقْرَءُونَ وَيُهْدُونَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ فَكَانَ إِجْمَاعًا.
“Orang yang meninggal dunia mendapatkan manfaat dari segala bentuk kebaikan, berdasarkan dalil-dalil yang ada mengenai hal tersebut, serta karena kaum Muslimin di setiap wilayah berkumpul, membaca (Al-Qur'an), dan menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang yang telah meninggal tanpa ada yang mengingkari, sehingga ini menjadi ijma”.
[Lihat: al-Mubdi’ karya Ibnu Muflih 2/281, Kasyaf al-Qinaa’ karya al-Bahuuti 2/147 dan Syarah Muntaha al-Irodaat 1/385]
Tapi dalam Kasyaf al-Qinaa’ karya al-Bahuuti 2/147 di sebutkan:
وَقَالَ الْأَكْثَرُ: لَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ وَأَنَّ ذٰلِكَ لِفَاعِلِهِ، وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} [النَّجْم: 39].
Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa pahala bacaan (Al-Qur'an) tidak sampai kepada orang yang meninggal, melainkan hanya untuk orang yang melakukannya. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala: "Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya." (An-Najm: 39).
========
ORANG YANG TELAH MATI TIDAK BISA GENTAYANGAN DI ALAM DUNIA:
Manusia, ketika meninggal, akan keluar dari kehidupan dunia ini dan berpindah ke alam lain. Ruhnya tidak kembali kepada keluarganya, dan mereka tidak merasakan atau mengetahui apa pun tentangnya. Apa yang disebutkan mengenai kembalinya ruh selama empat puluh hari adalah mitos yang tidak memiliki dasar. Orang yang meninggal juga tidak mengetahui apa pun tentang keadaan keluarganya, karena ia telah terpisah dari mereka, berada dalam nikmat atau azab. Namun, Allah mungkin memperlihatkan kepada beberapa orang yang meninggal sebagian dari keadaan keluarganya, tetapi hal ini tidak dapat dipastikan secara yakin.
Ada riwayat-riwayat yang tidak bisa dijadikan sandaran bahwa orang-orang yang telah meninggal mungkin mengetahui sebagian hal tentang keadaan keluarganya. Sedangkan mimpi atau penglihatan, ada yang benar dan ada pula yang merupakan permainan setan. Melalui mimpi yang benar, orang yang hidup mungkin mengetahui sebagian hal tentang keadaan orang yang meninggal, namun hal ini tergantung pada kejujuran orang yang bermimpi, kejujuran mimpinya, serta kemampuan penafsir mimpi tersebut. Namun, tidak boleh memastikan kebenaran isinya kecuali jika ada bukti yang mendukungnya.
Seseorang mungkin melihat kerabatnya yang telah meninggal dalam mimpinya, yang kemudian memberikan nasihat atau menyebutkan hal-hal yang bisa diuji kebenarannya jika sesuai dengan kenyataan. Ada beberapa kejadian terkait hal ini; ada yang sesuai dengan kenyataan, ada yang kebenarannya tidak diketahui, dan ada yang jelas-jelas salah. Maka, ada tiga kategori, dan hal ini harus diperhatikan ketika berinteraksi dengan berita, riwayat, dan kisah-kisah yang berkaitan dengan keadaan orang yang telah meninggal.
MEREKA DI ALAM BARZAKH:
Al-Barzakh adalah istilah untuk alam yang berada di antara dunia dan akhirat, yaitu sejak waktu kematian hingga kebangkitan. Allah Ta'ala berfirman:
﴿.. وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ﴾
"Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan" (QS. Al-Mu’minun: 100).
Teks-teks Al-Qur'an dan Hadis menetapkan adanya kehidupan di alam barzakh. Kehidupan ini berbeda dengan kehidupan yang kita kenal di dunia. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan tiga alam:
- Alam dunia.
- Alam barzakh.
- Alam akhirat (tempat yang kekal).
Setiap alam memiliki aturan dan hukum yang khusus untuknya. Allah menciptakan manusia dari tubuh dan jiwa, dan menetapkan bahwa hukum di alam dunia berlaku untuk tubuh, sementara jiwa mengikutinya.
Di alam barzakh, hukum berlaku untuk jiwa, sementara tubuh mengikuti jiwa. Pada hari kebangkitan, ketika tubuh dikumpulkan kembali dari kuburnya, maka hukum, nikmat, dan azab akan berlaku secara nyata dan abadi baik untuk jiwa maupun tubuh.
Perlu diketahui bahwa istilah "azab kubur" dan "nikmat kubur" adalah istilah yang merujuk pada azab dan nikmat di alam barzakh, yang merupakan alam di antara dunia dan akhirat. Allah Ta'ala berfirman:
﴿حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ ٱلْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ٱرْجِعُونِ لَعَلِّيٓ أَعْمَلُ صَـٰلِحًۭا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّآ ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا ۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ﴾
"Hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.’
Sekali-kali tidak (akan bisa)! Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan” (QS. Al-Mu’minun: 99-100).
TINGKATAN TEMPAT KEDIAMAN RUH MANUSIA DI ALAM BARZAKH
Ruh manusia di alam barzakh berbeda-beda tempat tinggalnya. Berdasarkan kajian terhadap teks-teks yang ada, berikut pembagiannya:
RUH PARA NABI:
Ruh mereka berada di tempat terbaik, yaitu di tingkatan tertinggi di ‘Illiyyin, bersama Al-Rafiq Al-A‘la (teman yang paling tinggi). Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar Rasulullah ﷺ pada saat-saat terakhir hidupnya berdoa:
«اللَّهُمَّ ٱلرَّفِيقَ ٱلْأَعْلَى»
"Ya Allah, Al-Rafiq Al-A‘la."
RUH PARA SYUHADA:
Allah Ta'ala berfirman:
﴿وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۭا بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ﴾
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki" (QS. Ali Imran: 169).
Ruh-ruh mereka berada dalam perut burung-burung hijau, yang memiliki lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Mereka berkeliaran di surga sekehendak mereka, kemudian kembali ke lentera-lentera tersebut.
Dari Abdullah bin Abbas, bahwa Rasululullah ﷺ bersabda:
لمَّا أصيبَ إخوانُكُم بأحَدٍ جعلَ اللَّهُ أرواحَهُم في جوفِ طيرٍ خُضرٍ، تردُ أنهارَ الجنَّةِ، تأكلُ من ثمارِها، وتأوي إلى قَناديلَ من ذَهَبٍ معلَّقةٍ في ظلِّ العَرشِ، فلمَّا وجدوا طيبَ مأكلِهِم، ومشربِهِم، ومقيلِهِم، قالوا: من يبلِّغُ إخوانَنا عنَّا، أنَّا أحياءٌ في الجنَّةِ نُرزقُ لئلَّا يزهَدوا في الجِهادِ، ولا ينكُلوا عندَ الحربِ، فقالَ اللَّهُ سبحانَهُ: أَنا أبلِّغُهُم عنكُم، قالَ: فأنزلَ اللَّهُ: وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إلى آخرِ الآيةِ
Ketika saudara-saudara kalian gugur dalam Perang Uhud, Allah menempatkan ruh-ruh mereka dalam perut burung-burung hijau yang berkelana di sungai-sungai surga, memakan buah-buahannya, dan beristirahat di lentera-lentera dari emas yang tergantung di bawah naungan Arsy.
Ketika mereka merasakan kelezatan makanan, minuman, dan tempat istirahat mereka, mereka berkata: "Siapakah yang akan menyampaikan kabar kepada saudara-saudara kami bahwa kami hidup di surga dan diberi rezeki, agar mereka tidak berpaling dari jihad dan tidak mundur dalam peperangan?"
Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Aku yang akan menyampaikan kabar ini kepada mereka." Lalu Allah menurunkan firman-Nya: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati" hingga akhir ayat.
[HR. Abu Dawud (2520) dengan redaksi ini, dan oleh Ahmad (2388). Di hasankan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud]
Dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin Mas’ud:
أن مسروق بن الأجدع قال: سَأَلْنَا عَبْدَ اللهِ عن هذِه الآيَةِ: {وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ} [آل عمران: 169]، قالَ: أَمَا إنَّا قدْ سَأَلْنَا عن ذلكَ، فَقالَ: أَرْوَاحُهُمْ في جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ، لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بالعَرْشِ، تَسْرَحُ مِنَ الجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ، ثُمَّ تَأْوِي إلى تِلكَ القَنَادِيلِ، فَاطَّلَعَ إليهِم رَبُّهُمُ اطِّلَاعَةً، فَقالَ: هلْ تَشْتَهُونَ شيئًا؟ قالوا: أَيَّ شَيءٍ نَشْتَهِي وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ الجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا؟ فَفَعَلَ ذلكَ بهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَلَمَّا رَأَوْا أنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِن أَنْ يُسْأَلُوا، قالوا: يا رَبِّ، نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا في أَجْسَادِنَا حتَّى نُقْتَلَ في سَبيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى، فَلَمَّا رَأَى أَنْ ليسَ لهمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا.
Masruq bin Al-Ajda' berkata: Kami pernah bertanya kepada Abdullah (bin Mas'ud) tentang ayat ini: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki" (QS. Ali Imran: 169).
Dia menjawab: "Kami pernah bertanya tentang hal itu, dan beliau (Nabi) berkata:
'Ruh-ruh mereka berada dalam perut burung-burung hijau yang memiliki lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Mereka berkeliaran di surga ke mana pun mereka mau, kemudian kembali ke lentera-lentera tersebut.'
Lalu Tuhan mereka memandang mereka dengan penuh kasih sayang dan bertanya: 'Apakah kalian menginginkan sesuatu?'
Mereka menjawab: 'Apa lagi yang bisa kami inginkan, sedangkan kami sudah berkeliaran di surga ke mana pun kami mau?' Hal itu diulang tiga kali.
Ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak akan berhenti ditanya, mereka berkata: 'Ya Tuhan, kami ingin agar Engkau mengembalikan ruh kami ke jasad kami sehingga kami bisa terbunuh di jalan-Mu sekali lagi.'
Ketika Tuhan mereka melihat bahwa mereka tidak membutuhkan hal lain, mereka dibiarkan." [HR. Muslim no. 1887].
RUH ORANG-ORANG BERIMAN YANG SALEH:
Ruh mereka akan menjadi burung yang bertengger di pepohonan surga. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا نَسَمَةُ المُؤْمِنِ طَائِرٌ تَعَلَّقَ فِي شَجَرِ الجَنَّةِ، حَتَّى يُرْجِعَهُ اللهُ تَعَالَى إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ يَبْعَثُهُ
"Sesungguhnya ruh seorang mukmin itu menjadi burung yang bertengger di pepohonan surga, hingga Allah Ta'ala mengembalikannya ke jasadnya pada hari ketika Dia membangkitkannya." [HR. Ibnu Majah no. 3465. Di shahihkan oleh as-Suyuthi dalam Syarah ash-Shudur no. 306 dan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah]
Perbedaan antara ruh orang-orang beriman dengan ruh para syuhada adalah bahwa para syuhada berada dalam perut burung-burung hijau yang berkeliaran di taman-taman surga dan kembali ke lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Sementara ruh orang-orang beriman berada dalam perut burung yang bertengger di pepohonan surga dan tidak berkeliaran di seluruh sudut surga.
RUH AHLI MAKSIAT [DURHAKA]:
Ada banyak nash yang menjelaskan siksaan yang akan dialami oleh orang-orang yang durhaka. Di antaranya adalah:
- Orang yang berbohong sehingga kebohongannya menyebar ke segala penjuru, ia disiksa dengan kaitan besi yang dimasukkan ke sudut mulutnya hingga menembus tengkuknya.
- Orang yang tidur hingga meninggalkan shalat wajib, kepalanya dihancurkan dengan batu besar.
- Para pezina disiksa dalam lubang seperti tanur (tempat pembakaran), yang bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, dengan api yang menyala di bawahnya.
- Sedangkan riba (pelaku riba) berenang di lautan darah, sementara di tepiannya ada seseorang yang melemparkan batu ke mulutnya.
- Siksa bagi orang yang tidak menjaga dirinya dari percikan air kencing, orang yang suka mengadu domba di antara manusia, serta orang yang mengambil harta rampasan secara curang, dan sebagainya.
RUH ORANG KAFIR:
Dalam sebuah hadis, setelah Rasulullah ﷺ menjelaskan keadaan seorang mukmin hingga ia mencapai tempat tinggalnya di surga, beliau juga menyebutkan keadaan seorang kafir dan apa yang dialaminya saat dicabut nyawanya. Ketika ruhnya dicabut, ia keluar dengan bau paling busuk, hingga para malaikat membawanya ke pintu bumi. Mereka berkata: "Betapa busuknya bau ini!" hingga ruhnya sampai di kumpulan ruh orang-orang kafir.
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا احْتُضِرَ أَتَتْهُ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ بِحَرِيرَةٍ بَيْضَاءَ فَيَقُولُونَ: اخْرُجِي رَاضِيَةً مَرْضِيًّا عَنْكِ إِلَى رَوْحٍ وَرَيْحَانٍ وَرَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانٍ فَتَخْرُجُ كَأَطْيَبِ رِيحِ مِسْكٍ حَتَّى إِنَّهُمْ لَيُنَاوِلُهُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا يَشُمُّونَهُ حَتَّى يَأْتُوا بِهِ بَابَ السَّمَاءِ فَيَقُولُونَ: مَا أَطْيَبَ هَذِهِ الرِّيحَ الَّتِي جَاءَتْكُمْ مِنَ الْأَرْضِ، وَكُلَّمَا أَتَوْا سَمَاءً قَالُوا ذَٰلِكَ، حَتَّى يَأْتُوا بِهِ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَهُمْ أَفْرَحُ بِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِغَائِبِهِ إِذَا قَدِمَ عَلَيْهِ، فَيَسْأَلُونَهُ: مَا فَعَلَ فُلَانٌ؟ قَالَ: فَيَقُولُونَ: دَعُوهُ حَتَّى يَسْتَرِيحَ فَإِنَّهُ كَانَ فِي غَمِّ الدُّنْيَا، فَإِذَا قَالَ لَهُمْ: مَا أَتَاكُمْ فَإِنَّهُ قَدْ مَاتَ، يَقُولُونَ: ذُهْبَ بِهِ إِلَى أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَإِنَّ مَلَائِكَةَ الْعَذَابِ تَأْتِيهِ فَتَقُولُ: اخْرُجِي سَاخِطَةً مَسْخُوطًا عَلَيْكِ إِلَى عَذَابِ اللَّهِ وَسَخَطِهِ فَتَخْرُجُ كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ، فَيَنْطَلِقُونَ بِهِ إِلَى بَابِ الْأَرْضِ فَيَقُولُونَ: مَا أَنْتَنَ هَذِهِ الرِّيحَ، كُلَّمَا أَتَوْا عَلَى أَرْضٍ قَالُوا ذَٰلِكَ حَتَّى يَأْتُوا بِهِ أَرْوَاحَ الْكُفَّارِ
Sesungguhnya, ketika seorang mukmin sedang menghadapi sakaratul maut, datanglah malaikat-malaikat rahmat dengan membawa kain sutra putih. Mereka berkata: "Keluarilah dengan penuh keridaan dan diridhai oleh Allah, menuju rahmat dan kenikmatan dari Tuhan yang tidak murka." Maka ruhnya pun keluar seperti bau yang paling harum, hingga mereka saling menyerahkan dan mencium ruh tersebut sampai mereka membawanya ke pintu langit. Mereka berkata: "Betapa wangi ruh ini yang datang dari bumi!" Setiap kali mereka sampai di satu langit, mereka mengucapkan hal yang sama, hingga mereka membawanya kepada arwah-arwah para mukmin. Mereka merasakan kebahagiaan yang lebih besar terhadap ruh ini daripada salah satu di antara mereka yang menantikan kedatangan orang yang jauh. Mereka bertanya: "Apa kabar si fulan?" Lalu mereka menjawab: "Biarkan dia beristirahat, karena dia telah mengalami kesedihan di dunia." Jika mereka diberitahu bahwa si fulan telah wafat, mereka berkata: "Dia telah dibawa kepada ibunya yang berada di neraka."
Adapun orang kafir, malaikat-malaikat azab datang kepadanya dan berkata: "Keluarilah dengan penuh kemurkaan, dalam keadaan Allah murka padamu, menuju azab dan kemarahan-Nya." Maka ruhnya pun keluar seperti bau busuk yang paling tidak sedap, dan mereka membawanya ke pintu bumi. Mereka berkata: "Betapa busuknya bau ini!" Setiap kali mereka melewati suatu bumi, mereka mengucapkan hal yang sama, hingga mereka membawanya kepada arwah-arwah orang-orang kafir.
["Diriwayatkan oleh Al-Hakim (1302) dan lafazhnya darinya, serta An-Nasa'i (1833) dengan perbedaan yang sedikit. Asalnya terdapat dalam Shahih Muslim (2872)."
Dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa 5/449 dan al-Albaani dalam Hidayatur Ruwaah no. 1572]
Dari Al-Barra' bin 'Azib radhiyallahu ‘anhu:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ فِي جَنَازَةِ رَجُلٍ مِّنَ الْأَنْصَارِ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ، فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ وَكَأَنَّ عَلَى رُؤُوسِنَا الطَّيْرَ وَفِي يَدِهِ عُودٌ يُنَكِّثُ بِهِ فِي الْأَرْضِ فَجَعَلَ يَنظُرُ إِلَى السَّمَاءِ وَيَنظُرُ إِلَى الْأَرْضِ وَجَعَلَ يَرْفَعُ بَصَرَهُ وَيَخْفِضُهُ فَقَالَ: استَعِيذُوا مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاثًا ثُمَّ قَالَ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ
ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِّنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِّنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحُنُوطٌ مِّنْ حُنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ علَيْهِ السَّلام حَتَّى يَجْلِسَ عِندَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ وَفِي رِوَايَةٍ: الْمُطْمَئِنَّةُ، اُخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا حَتَّى إِذَا خَرَجَتْ رُوحُهُ صَلَّى عَلَيْهِ كُلُّ مَلَكٍ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَكُلُّ مَلَكٍ فِي السَّمَاءِ وَفُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ بَابٍ إِلَّا وَهُمْ يَدْعُونَ اللَّهَ أَنْ يُعْرَجَ بِرُوحِهِ مِنْ قِبَلِهِمْ، فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدْعُهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَٰلِكَ الْكَفَنِ وَفِي ذَٰلِكَ الْحُنُوطِ فَذَٰلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَىٰ: تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ [الأنعام: 61]، وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ، قَالَ: فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلَا يَمُرُّونَ - يَعْنِي بِهَا - عَلَى مَلَأٍ مِّنَ الْمَلَائِكَةِ - إِلَّا قَالُوا: مَا هَذَا الرُّوحُ الطَّيِّبُ؟ فَيَقُولُونَ: فُلاَنٌ ابْنُ فُلاَنٍ بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِي كَانُوا يُسَمُّونَهُ بِهَا فِي الدُّنْيَا حَتَّى يَنْتَهُوا بِهَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَتُفْتَحُ لَهُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ فَيُشَيِّعُهُ مِنْ كُلِّ سَمَاءٍ مُقَرَّبُوهَا إِلَى السَّمَاءِ الَّتِي تَلِيهَا حَتَّى يَنْتَهِيَ بِهَا إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَيَقُولُ اللَّهُ : أَكْتُبُوا كِتَابَ عَبْدِي فِي عَلِيِّينَ إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي عَلِيِّينَ وَمَا أَدْرَاكَ مَا عَلِيُّونَ كِتَابٌ مَّرْقُومٌ [المطففين: 18 - 20]، ثُمَّ يُقَالُ: أَعِيدُوهُ إِلَى الْأَرْضِ فَإِنِّي وَعَدْتُهُمْ أَنِّي مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى [طه: 55]، قَالَ: فَيُرَدُّ إِلَى الْأَرْضِ وَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ قَالَ: فَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفَقَ نِعَالِ أَصْحَابِهِ إِذَا وَلَّوْا عَنْهُ مُدْبِرِينَ فَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ شَدِيدَا الانْتِهَارِ فَيَنْتَهِرَانِهِ وَيَجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ رَبِّيَ اللَّهُ.
فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا دِينُكَ؟ فَيَقُولُ: دِينِيَ الْإِسْلَامُ.
فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ؟
فَيَقُولُ: هُوَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَيَقُولَانِ لَهُ: وَمَا عِلْمُكَ؟
فَيَقُولُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ.
وَفِي رِوَايَةٍ: فَيُنْتَهِرُهُ - يَعْنِي الْمَلَكَ - مَنْ رَبُّكَ؟ مَا دِينُكَ؟ مَنْ نَبِيُّكَ؟ وَهِيَ آخِرُ فِتْنَةٍ تُعْرَضُ عَلَى الْمُؤْمِنِ وَذَٰلِكَ حِينَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخ
“Kami keluar bersama Nabi ﷺ untuk mengantarkan jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Kami tiba di kuburan sebelum liang lahad selesai digali. Lalu Rasulullah ﷺ duduk menghadap kiblat, dan kami duduk di sekelilingnya seolah-olah ada burung di atas kepala kami (karena kami duduk tenang dan khusyuk). Di tangan beliau ada sebuah tongkat kecil yang beliau gunakan untuk mengetuk-ngetuk tanah. Kemudian beliau mulai melihat ke langit, lalu melihat ke bumi, sambil mengangkat dan menurunkan pandangannya.
Kemudian beliau bersabda:
'Mintalah perlindungan kepada Allah dari azab kubur, ' sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau berdoa, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, ' sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau bersabda:
'Sesungguhnya hamba yang beriman, ketika berada di saat perpisahan dari dunia dan mendekati akhirat, akan turun kepadanya malaikat dari langit yang wajah mereka putih, seolah-olah wajah mereka adalah matahari, membawa kain kafan dari kain-kain surga, dan minyak wangi dari wangi-wangian surga. Mereka duduk di dekatnya sejauh mata memandang. Lalu Malaikat Maut datang dan duduk di dekat kepalanya, seraya berkata, "Wahai jiwa yang baik, " dan dalam riwayat lain, "Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan dari Allah." Maka ruhnya keluar dengan lembut, seperti tetesan air dari mulut kantong air. Kemudian malaikat itu mengambilnya, dan ketika ruhnya keluar, setiap malaikat di antara langit dan bumi, serta setiap malaikat di langit, bershalawat (mendoakannya). Pintu-pintu langit dibuka, dan tidak ada satu pun malaikat penjaga pintu kecuali mereka berdoa kepada Allah agar ruh itu diangkat melewati mereka.
Ketika malaikat mengambil ruh itu, mereka tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun hingga mereka meletakkannya di kain kafan dan minyak wangi surga tersebut. Maka itulah firman Allah Ta'ala:
"Malaikat-malaikat Kami mewafatkannya, dan mereka tidak menyia-nyiakan tugas mereka." (QS. Al-An'am: 61).
Keluar dari ruh itu bau harum seperti wangi minyak kesturi paling harum yang pernah ditemukan di bumi. Mereka membawa ruh itu naik, dan tidak melewati sekumpulan malaikat, kecuali mereka berkata, "Ruh siapakah yang harum ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah ruh Fulan bin Fulan, " dengan menyebut namanya yang terbaik yang biasa disebutkan di dunia, hingga mereka tiba di langit dunia. Mereka meminta agar pintu langit dibuka untuknya, dan pintu langit dibuka untuknya. Ruh itu diantarkan oleh malaikat yang dekat dengan setiap langit, sampai tiba di langit ketujuh.
Allah SWT berfirman, "Tulislah kitab hamba-Ku di 'Illiyyin, " yaitu firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti (al-abrar) benar-benar (tersimpan) di 'Illiyyin." (QS. Al-Muthaffifin: 18-20).
Kemudian dikatakan, "Kembalikanlah dia ke bumi, karena Aku telah menjanjikan kepada mereka bahwa dari tanah itulah Kami menciptakan mereka, dan ke dalamnya Kami akan mengembalikan mereka, serta dari dalamnya Kami akan membangkitkan mereka sekali lagi" (QS. Thaha: 55). Maka ruh itu dikembalikan ke bumi, dan ruhnya dikembalikan ke dalam jasadnya.
Ia mendengar derap langkah kaki para sahabatnya ketika mereka meninggalkannya. Kemudian datanglah dua malaikat yang keras, mereka membentaknya dan mendudukkannya, lalu bertanya kepadanya:
"Siapakah Tuhanmu?" Ia menjawab, "Tuhanku adalah Allah."
Mereka bertanya lagi, "Apa agamamu?" Ia menjawab, "Agamaku adalah Islam."
Mereka bertanya lagi, "Siapakah orang yang diutus kepada kalian?" Ia menjawab, "Dia adalah Rasulullah ﷺ."
Lalu mereka bertanya lagi, "Apa ilmumu?" Ia menjawab, "Aku membaca Kitab Allah, lalu aku beriman kepadanya dan membenarkannya."
Dalam riwayat lain, malaikat itu membentaknya, "Siapakah Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?"
Dan itulah fitnah terakhir yang dihadapkan kepada seorang mukmin. Ketika itu Allah Ta'ala berfirman: "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di kehidupan dunia dan di akhirat." (QS. Ibrahim: 27).
Ia menjawab, "Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam, dan nabiku adalah Muhammad ﷺ." Maka terdengarlah seruan dari langit, "Hamba-Ku telah berkata benar, maka hamparkanlah baginya dari surga, pakaikanlah baginya dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu menuju surga."
Maka datanglah padanya aroma dan keharuman dari surga, serta diluaskan baginya kubur sejauh mata memandang. Lalu datanglah seorang pria dengan wajah tampan, pakaian yang indah, dan aroma yang wangi, seraya berkata, "Berbahagialah dengan kabar yang akan menyenangkanmu, bergembiralah dengan keridhaan dari Allah dan surga yang penuh kenikmatan abadi. Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu."
Orang itu bertanya, "Siapakah kamu? Semoga Allah memberimu kabar baik. Wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan." Pria itu menjawab, "Aku adalah amal shalehmu. Demi Allah, aku tidak mengenalmu kecuali engkau adalah orang yang cepat dalam ketaatan kepada Allah dan lambat dalam kemaksiatan kepada Allah. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan."
Lalu dibukakan baginya pintu dari surga dan pintu dari neraka. Dikatakan kepadanya, "Ini adalah tempat tinggalmu jika kamu durhaka kepada Allah, maka Allah akan menggantikanmu dengan yang ini (tempat tinggal di surga)." Ketika ia melihat apa yang ada di surga, ia berkata, "Ya Tuhanku, segerakanlah datangnya hari kiamat, ya Tuhanku, segerakanlah datangnya hari kiamat, agar aku dapat kembali kepada keluargaku dan hartaku." Dikatakan kepadanya, "Tinggallah dengan tenang."
Sedangkan hamba yang kafir, atau dalam riwayat lain, yang fajir (durhaka), ketika ia berada di saat perpisahan dari dunia dan mendekati akhirat, turun kepadanya malaikat dari langit yang kasar, keras, dan berwajah hitam, membawa pakaian dari neraka. Mereka duduk di dekatnya sejauh mata memandang.
Lalu Malaikat Maut datang dan duduk di dekat kepalanya, seraya berkata, "Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya." Maka ruhnya bercerai-berai dalam jasadnya, dan Malaikat Maut mencabutnya seperti mencabut besi berduri dari bulu domba yang basah, sehingga urat dan sarafnya terputus. Setiap malaikat di antara langit dan bumi, serta setiap malaikat di langit, melaknatnya, dan pintu-pintu langit ditutup. Tidak ada satu pun malaikat penjaga pintu kecuali mereka berdoa kepada Allah agar ruh itu tidak diangkat melewati mereka.
Ketika malaikat mengambil ruh itu, mereka tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun hingga mereka meletakkannya di pakaian dari neraka tersebut. Keluar dari ruh itu bau busuk seperti bangkai yang paling busuk yang pernah ditemukan di muka bumi.
Mereka membawa ruh itu naik, dan tidak melewati sekumpulan malaikat, kecuali mereka berkata, "Ruh siapakah yang busuk ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah ruh Fulan bin Fulan, " dengan menyebut namanya yang terburuk yang biasa disebutkan di dunia, hingga mereka tiba di langit dunia. Mereka meminta agar pintu langit dibuka untuknya, namun pintu itu tidak dibuka.
Kemudian Rasulullah ﷺ membaca firman Allah: "Tidak dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan masuk surga hingga unta masuk ke dalam lubang jarum." (QS. Al-A'raf: 40). Maka Allah SWT berfirman, "Tulislah kitabnya di Sijjin di bumi yang paling bawah."
-----
Dalam riwayat lain disebutkan:
ثُمَّ يُقَالُ أَعِيدُوا عَبْدِي إِلَى الْأَرْضِ فَإِنِّي وَعَدْتُهُمْ أَنِّي مِنْهَا خَلَقْتُهُمْ وَفِيهَا أُعِيدُهُمْ وَمِنْهَا أُخْرِجُهُمْ تَارَةً أُخْرَىٰ فَتُطْرَحُ رُوحُهُ مِنَ السَّمَاءِ طَرْحًا حَتَّى تَقَعَ فِي جَسَدِهِ ثُمَّ قَرَأَ: وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ [الحج: 31]، فَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفَقَ نِعَالِ أَصْحَابِهِ إِذَا وَلَّوْا عَنْهُ وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ شَدِيدَا الانْتِهَارِ فَيَنْتَهِرَانِهِ وَيَجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ: هَا هَا لَا أَدْرِي، فَيَقُولَانِ: مَا دِينُكَ؟ فَيَقُولُ: هَا هَا لَا أَدْرِي، فَيَقُولَانِ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ؟ فَلَا يَهْتَدِي لِاسْمِهِ فَيُقَالُ مُحَمَّدٌ فَيَقُولُ: هَا هَا لَا أَدْرِي، سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ ذَٰلِكَ فَيُقَالُ لَهُ: لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَوْتَ فَيُنَادِي مُنَادٍ مِّنَ السَّمَاءِ أَنْ كَذَّبَ عَبْدِي، أَنْ كَذَّبَ فَافْرِشُوا لَهُ مِنَ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسَمُومِهَا وَيَضِيقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلُعُهُ وَيَأْتِيهِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَيُمَثَّلُ لَهُ رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ قَبِيحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يُسُوِّئُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنتَ تُوعَدُ فَيَقُولُ: وَأَنْتَ بَشَّرَكَ اللَّهُ بِالشَّرِّ مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ وَجْهُ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ فَوَ اللَّهِ مَا عَلِمْتُكَ إِلَّا كُنتَ بَطِيئًا عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ سَرِيعًا إِلَى مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَجَزَاكَ اللَّهُ شَرًّا ثُمَّ يُقَيَّضُ لَهُ أَعْمَى أَصَمَّ مَعَهُ ثُمَّ يُقَيَّضُ أَعْمَى أَصَمُّ أَبْكَمُ مَعَهُ مَرْزَبَّةً مِّنْ حَدِيدٍ لَوْ ضُرِبَ بِهَا جَبَلٌ لَصَارَ تُرَابًا قَالَ: فَيَضْرِبُهُ بِهَا ضَرْبَةً فَيَصِيرُ تُرَابًا ثُمَّ يُعِيدُهُ اللَّهُ كَمَا كَانَ فَيَضْرِبُهُ ضَرْبَةً أُخْرَى فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ ثُمَّ يُفْتَحُ لَهُ بَابٌ مِّنَ النَّارِ وَيُمَهَّدُ لَهُ مِنْ فِرَاشِ النَّارِ فَيَقُولُ: رَبِّي لَا تَقُمْ السَّاعَةَ.
Kemudian dikatakan, "Kembalikanlah hamba-Ku ke bumi, karena Aku telah menjanjikan kepada mereka bahwa dari tanah itulah Aku menciptakan mereka, ke dalamnya Aku akan mengembalikan mereka, dan dari dalamnya Aku akan membangkitkan mereka sekali lagi."
Maka ruhnya dilemparkan dari langit dengan keras hingga jatuh ke dalam jasadnya. Kemudian Rasulullah ﷺ membaca firman Allah: "Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka seakan-akan dia jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang sangat jauh." (QS. Al-Hajj: 31).
Lalu ruhnya dikembalikan ke dalam jasadnya. Dia mendengar suara langkah kaki para sahabatnya ketika mereka meninggalkannya. Kemudian datanglah dua malaikat yang keras dan membentaknya. Mereka mendudukannya dan berkata, "Siapakah Tuhanmu?" Dia menjawab, "Ah... ah... aku tidak tahu."
Lalu mereka bertanya, "Apa agamamu?" Dia menjawab, "Ah... ah... aku tidak tahu."
Mereka bertanya lagi, "Siapakah orang yang diutus kepada kalian?" Dia tidak bisa mengenali namanya, dan dikatakan kepadanya, "Muhammad." Lalu dia berkata, "Ah... ah... aku tidak tahu, aku hanya mendengar orang-orang mengatakan hal itu."
Maka dikatakan kepadanya, "Kamu tidak tahu dan tidak mengikuti."
Kemudian terdengarlah seruan dari langit, "Hamba-Ku telah berdusta, maka hamparkanlah baginya hamparan dari neraka, dan bukakanlah untuknya pintu menuju neraka." Maka datanglah kepadanya panas dan racun neraka, dan kuburnya menjadi sempit hingga tulang-tulang rusuknya bersilang.
Kemudian datang kepadanya — dalam riwayat lain: digambarkan untuknya - seorang pria dengan wajah buruk, pakaian yang buruk, dan bau yang busuk.
Pria itu berkata, "Bergembiralah dengan hal yang akan membuatmu menderita. Ini adalah hari yang telah dijanjikan kepadamu."
Dia berkata, "Semoga Allah memberimu keburukan, siapa kamu? Wajahmu adalah wajah yang membawa keburukan."
Pria itu menjawab, "Aku adalah amal burukmu. Demi Allah, aku mengenalmu sebagai orang yang lambat dalam ketaatan kepada Allah dan cepat dalam bermaksiat kepada-Nya. Semoga Allah membalasmu dengan keburukan."
Kemudian seorang malaikat buta, tuli, dan bisu diutus kepadanya dengan membawa palu dari besi. Jika palu itu dipukulkan ke gunung, maka gunung tersebut akan menjadi debu. Malaikat itu memukulnya dengan satu pukulan, maka dia menjadi debu. Lalu Allah mengembalikannya seperti semula, dan malaikat itu memukulnya lagi dengan satu pukulan, maka dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh semua makhluk kecuali jin dan manusia.
Kemudian dibukakan baginya pintu dari neraka dan disediakan baginya hamparan dari neraka. Dia berkata, "Ya Tuhanku, janganlah Engkau tegakkan hari kiamat."
(Diriwayatkan oleh Ahmad [18534], dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' As-Shaghir [1676]).
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dengan ringkasan. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Hakim berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani. Ibnu Qayyim juga menyatakan hadis ini shahih dalam I'lamul Muwaqqi'in dan Tahdzib As-Sunan, serta menyebutkan bahwa hadis ini disahkan oleh Abu Nu'aim dan lainnya.
Kehidupan barzakh—baik dengan nikmatnya maupun dengan azabnya—adalah kenyataan yang akan dialami oleh setiap orang. Hal ini termasuk dalam bukti-bukti yang jelas dan tidak menerima keraguan atau penyelewengan.
Seorang mukmin yang sejati adalah dia yang beriman kepada apa yang tercantum dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta meninggalkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka, yang menundukkan wahyu—baik Al-Qur'an maupun Sunnah—kepada hawa nafsu mereka, dengan analogi yang rusak dan akal yang terbatas. Harus ditegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara nash yang sahih dan akal yang sehat, sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar (semoga Allah merahmati mereka). Akan tetapi, jika akal telah rusak dan hati telah sakit, para pengikut hawa nafsu akan datang dengan berbagai keanehan. Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan.
BUKAN DARI AJARAN ISLAM: KEYAKINAN ROH ORANG MATI BISA DI PANGGIL DAN BISA GENTAYANGAN:
========
Semua manusia jika sudah mati, maka mereka berada di alam Barzakh, dalam nikmat kubur atau dalam adzab kubur. Jangankan sekelas orang biasa, sekelas para syuhada Uhud pun tidak mampu untuk datang hadir kembali ke dunia walau sesaat.
Allah SWT berfirman:
(حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ. فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُون).
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak.Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (penghalang) sampai hari mereka dibangkitkan. Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (QS. Al-Mu'minun: 99 – 111).
Di dalam Al-Quran di sebutkan bahwa orang-orang yang mati syahid meskipun diberi keistimewaan bisa hidup di syurga dengan menggunakan jasad burung di syurga, namun mereka tidak bisa datang ke dunia. Seperti dalam surat Al-Baqarah Allah SWT berfirman:
(وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya ". (QS. Al-Baqarah: 154).
Dan dalam firman-Nya:
(وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمْ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنْ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِين).
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 169 – 171).
Melalui ayat ini Allah Swt. memberitahukan bahwa orang-orang yang mati syahid di alam barzakhnya dalam keadaan hidup, mereka diberi rezeki oleh Allah, namun Allah SWT tidak mengabulkan permohonan mereka untuk datang ke dunia meski hanya sekedar menemui keluarganya dan para sahabatnya yang masih hidup dengan tujuan untuk mendakwahinya dan memberi tahu bahwa diri mereka dalam kenikmatan syurga:
PARA SYUHADA UHUD TIDAK BISA KEMBALI KE DUNIA WALAU SESAAT:
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rosulullah SAWbersabda:
"لَمَّا أُصِيبَ إخْوَانُكُمْ بِأُحُدٍ جَعَلَ اللهُ أَرْوَاحَهُمْ فِي أَجْوَافِ طَيْرٍ خُضْرٍ، تَرِدُ أَنْهَارَ الْجَنَّةِ، وتَأْكُلُ مِنْ ثِمَارِهَا وَتَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مِنْ ذَهَبٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ، فَلَمَّا وَجَدُوا طِيبَ مَشْرَبِهِمْ ، وَمَأْكَلِهِمْ، وَحُسْنَ مُنْقَلَبِهِم ، قَالُوا: مَنْ يُبَلِّغُ إِخْوَانَنَا عَنَّا أَنَّا أَحْيَاءٌ فِى الْجَنَّةِ نُرْزَقُ ، لِئَلا يَزْهَدُوا فِي الْجِهَادِ، وَلا يَنْكُلُوا عَنْ الْحَرْبِ" فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا أُبَلِّغُهُمْ عَنْكُمْ. فَأَنزلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَؤُلاءِ الآيَاتِ: { وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ } وما بعدها".
« Ketika saudara-saudara kalian gugur dalam peperangan Uhud, Allah masukkan roh mereka ke dalam burung-burng hijau yang bekeliaran disungai-sungai syurga, makan buah-buahan syurga, kemudian mereka pulang ke lampu-lampu yang terbuat dari emas dan tergantungdinaungan 'Arasy, di saat mereka merasakan enaknya minuman, makanan dan tempat kembali mereka.
Lalu mereka berkata ; " siapakah yang akan menyampaikan kabar kepada saudara-saudara kami tentang kami bahwa kami hidup di syurga, kami di anugerahi rizki, agar mereka tidak merasa berat dalam berjihad dan tidak lari dari peperangan ".
Maka Allah berfirman: "Aku akan sampaikan berita tentang kamu kepada mereka, maka Allah turunkan ayat –ayat ini:
(وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ)
“Dan jangan kamu menyangka bahawa orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati malah mereka hiidup disisi Tuhan mereka dan mendapat rezeki daripada Nya (QS.Ali Imran 169) dan ayat sesudahnya ».
Lafadz riwayat Imam Ahmad:
“mereka berkata: sayang sekali, kalau seandainya saudara-saudara kami tahu bagaimana Allah memperlakukan kami ".
(HR. Imam Ahmad 4/218, Abu Daud dan Al-Hakim 2/88. Di Shahihkan sanadnya oleh Al-Hakim. Dan di hasankan oleh Syeikh Al-Albany di Shahih Targhib 2/68 no. 1379).
Dan dalam hadis sahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقة تَحْتَ الْعَرْشِ، فاطَّلع عَلَيْهِمْ رَبُّكَ اطِّلاعَة، فَقَالَ: مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا، وَأَيُّ شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ؟ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِمْ بِمِثْلِ هَذَا، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُون مِنْ أَنْ يَسْأَلُوا، قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا، فَنُقَاتِلَ فِي سَبِيلِكَ، حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى؛ لِمَا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ -فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كتبتُ أنَّهم إِلَيْهَا لَا يَرْجِعُونَ"
Bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam perut burung-burung hijau yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di lentera-lentera yang bergantung di bawah 'Arasy.
Kemudian Tuhanmu menjenguk mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia berfirman: "Apakah yang kalian inginkan?"
Mereka menjawab: "Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan, sedangkan Engkau telah memberi kami segala sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun di antara makhluk-Mu?"
Kemudian Allah mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala mereka didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali mengemukakan permintaannya, akhirnya mereka berkata:
"Kami menginginkan agar Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu kami akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena membela Engkau, " mengingat mereka telah merasakan pahala dari mati syahid yang tak terperikan itu.
Maka Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali lagi ke dunia (sesudah mereka mati)." [HR. Muslim no. 3611].
Dalam sebuah hadits, Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu berkata:
نَظَرَ إليَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: "يَا جَابِرُ، مَا لِي أراك مُهْتَمًّا؟" قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله، اسْتُشْهِدَ أَبِيْ وَتَرَكَ دَيْناً وَعِيَالاً. قال: فقال: "ألا أُخْبِرُكَ؟ مَا كَلَّمَ اللهُ أَحَدًا قَطُّ إلا مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ، وَإنَّهُ كَلَّمَ أَبَاكَ كِفَاحًا -قال علي: الكفَاح: المواجهة -فَقَالَ: سَلْني أعْطكَ. قَالَ: أَسْأَلُكَ أنْ أُرَدَّ إلَى الدُّنْيَا فَأُقْتَلَ فِيْكَ ثَانِيَةً فَقَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: إنَّهُ سَبَقَ مِنِّي القَوْلُ أنَّهُمْ إلَيْهَا لا يُرْجَعُونَ ».
Suatu hari Rosulullah ﷺ memandangiku, lalu beliau bertanya: " Wahai Jabir, ada apa dengan mu, aku lihat kamu nampak murung?
Aku jawab: "Wahai Rosulullah, ayahku telah mati syahid, dan dia meninggalkan hutang dan keluarga.
Beliau berkata: Maukah kamu, jika aku mengkabarkannya pada mu? Allah SWT tidak pernah bicara kepada siapun keculai di balik hijab (penghalang), akan tetapi sungguh Dia telah bicara pada ayah mu berhadap-hadapan.
Allah SWT berkata padanya: "Mintalah padaku, aku mengasihmu! ".
Dia pun berkata: "Aku memohon pada mu supaya aku di kembalikan ke dunia, agar aku bisa dibunuh lagi di jalan Mu untuk kedua kalinya! ".
Maka Rabb (Allah) Azza wa Jalla berkata: "(Itu tidak mungkin, karena) sesungguhnya sudah menjadi ketetapan firman dari Ku, bahwa mereka tidak akan kembali kepadanya (kehidupan dunia) ".
(HR. Turmudzi 5/230 no. 31010, Al-Hakim 2/120 dan Ibnu Hibban 15/490 no. 7022). Abu 'Isa At-Turmudzi berkata: Ini hadits Hasan. Dan di Shahihkan sanadnya oleh al-Hakim.
Hadits lain riwayat Masruq, dia berkata:
سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ ، عَنْ هَذِهِ الآيَةِ: ) وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (فَقَالَ: أَمَا إنَّا قَدْ سَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ: « أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ اطِّلَاعَةً فَقَالَ: هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا؟ قَالُوا: أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي؟ وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا، فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا: يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى، فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا ».
Aku bertanya kepada Ibnu Masud radhiyallahu 'anhu tentang ayat ini: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
Maka Ibnu Masud menjawab: Sungguh kami telah menanyakannya tentang itu, dan beliau bersabda:
“Ruh-ruh mereka di dalam perut burung hijau, baginya di sediakan lampu-lampu yang menggantung di Arasy (sebagai sarang-sarangnya), mereka pergi bersenang-senang mencari makanan dari syurga sesuka hati mereka, kemudian kembali ke lampu-lampu tadi. Maka suatu ketika Allah SWT memandangi mereka dengan satu pandangan.
Lalu Dia berkata: "Apakah kalian menginginkan sesuatu? "
Mereka menjawab: "Apa lagi yang kami inginkan? kami sudah pergi bersenang-senang mencari makan di syurga sesuka hati kami.
Lalu Allah SWT mengulangi penawaran tadi hingga tiga kali, dan mereka menjawabnya sama seperti tadi.
Ketika mereka merasa terus-terusan di tawarin dan tidak di biarkan untuk tidak meminta, akhirnya mereka berkata: Ya Rabb, kami menginginkan agar Engkau berkenan mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami, supaya kami bisa gugur sekali lagi di jalan Mu. Setelah Allah SWT melihat mereka tidak memerlukan hajat lain, maka mereka di tinggalkan ".
(HR. Muslim 3/1502 no. 1887 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 5/308 no. 19731).
Di dalam hadits Jabir dan Ibnu Masud ini Allah SWT mengkabarkan bahwa para suhada itu hidup setelah mereka mati, akan tetapi kehidupannya ini adalah kehidupan barzakhiyah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan duniawi, sebagai bukti adalah kata-kata para syuhada:
“Ya Rabb, kami menginginkan agar Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami, supaya kami bisa gugur sekali lagi di jalan Mu ".
Artinya mereka berkeinginan agar Allah SWT berkenan mengembalikan ruh mereka ke jasadnya seperti semula ketika mereka belum mati, padahal ruh-ruh mereka tetap masih ada ikatan dan berhubungan dengan jasad-jasad mereka yang di kuburan, yaitu ikatan dan hubungan barzakhiyah. Begitu juga ruh-ruh selain para syuhada, oleh karena itu jika ruh seorang mayit mendapat kenikmatan maka jasadnya pun ikut merasakan, dan sebaliknya jika jasad seorang mayit mendapat azab kubur maka ruhnya pun ikut merasakan kepedihannya.
Rosulullah ﷺ bersabda: " Meretakkan tulang mayit, sama seperti meretakkannya ketika hidup ". (HR. Ahmad 6/58, Abu Daud 2/231, Ibnu Majah 1/516 dan Abdurrozzaq 3/444 no. 6257. Hadits Shahih).
Ini semua menunjukkan bahwa kehidupan mereka adalah barzakhiyah serta menunjukkan bahwa orang-orang yang telah mati itu tidak akan pernah kembali ke alam dunia. Kenapa? Karena Allah SWT telah menetapkan dan konsekwen dengan janjinya bahwa mereka tidak akan dikembalikan ke dunia.
Mafhum dari hadits Ibnu Masud tentang arwah para shuhada di perut burung hijau menunjukkan bahwa selain ruh para suhada tidaklah demikian, akan tetapi Imam Syafii meriwayatkan dari Ibnu Syihaab dari Abdurrahman bin Kaab bin Malik dari bapaknya bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
« إِنَّمَا نَسَمَةُ الْمُؤْمِنِ طَائِرٌ يَعْلُقُ فِي شَجَرِ الْجَنَّةِ حَتَّى يُرْجِعَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ يَبْعَثُهُ »
“Sesungguhnya ruh seorang mukmin adalah burung yang makan di pepohonan syurga, hingga Allah Tabaroka wa Taala mengembalikannya ke jasadnya pada hari kebangkitannya ".
(HR. Ahmad no. 15778, Ibnu Majah no. 4271, Nasai no. 2073 dan Ibnu Hibban no. 4657. Di shahihkan oleh as-Suyuthi dalam Syarah ash-Shuduur no. 306, al-Albani Shahih Ibnu Majah no. 3465 dan Syu'eib al-Arna'uth).
Berkenaan dengan hadits ini Al-Hukaim berkata:
“Dan yang demikian itu sepengetahuan kami bukanlah untuk golongan yang kacau balau, melainkan untuk orang mukmin dari golongan Ash-Shiddiqiin (yang benar-benar sempurna keimanannya).
(Lihat: At-taysiir Syarah Al-Jaamiush Shaghiir karya Al-Hafidz Al-Manawi 1/267).
Selain dari keterangan Allah dan Rasulnya tentang perkara ghaib, kita tidak berhak untuk mereka-reka apalagi mengklaimnya.
Mereka para syuhada yang mendapatkan kehormatan di sisi Allah SWT dan keni'matan di alam barzakhnya, ternyata keinginan mereka tidak di kabulkan untuk bisa hidup kembali seperti semula, walaupun hanya sebentar saja sekedar untuk menyampaikan kabar gembira kepada keluarganya.
Ternyata para syuhada yang sudah pasti memiliki kedudukan di sisi Allah tidak bisa ke dunia walau sekejap sekedar menyampaikan kabar gembira. Jangankan hidup lagi, menjelma saja rohnya seperti kuntil anak mereka tidak mampu.
Permohonan mereka yang di kabulkan oleh Allah SWT hanya permohonan yang berkaitan dengan kenikmatan syurga sebagai imbalan atas usaha mereka di dunia. Allah SWT tidak akan mengabulkan permohanan mereka yang berlawanan dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT, apalagi yang berkaitan dengan hal-hal yang merusak pondasi syariah, seperti hal-hal yang menunjukkan bahwa mereka ikut berperan dan terlibat dalam uluhiyah dan rububiyahNya.
PARA SAHABAT NABI TIDAK PERNAH MENGHADIRKAN NABI ﷺ SETELAH WAFAT, WALAU SAAT DARURAT UNTUK UMAT
Pada masa para sahabat -radhiyallahu 'anhum – tidak ada seorang pun yang bisa menghadirkan ruh Nabi ﷺ setelah wafat dan tidak pula menjumpainya dalam keadaan juga. Berikut ini contoh-contohnya.
CONTOH PERTAMA: SAAT NABI ﷺ BARU WAFAT
Pada saat Nabi ﷺ wafat, para sahabat berselisih apakah Nabi ﷺ bisa wafat seperti manusia lainnya?. Kemudian mereka juga berselisih tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin bagi umat Islam setelah kepergian beliau??
Namun tidak ada satupun dari mereka yang mencoba atau memiliki gagasan untuk menghadirkan Roh Nabi ﷺ untuk minta petunjuk tentang hal tersebut.
Imam Bukhori dalam Shahih-nya hadis nomor 3394 meriwayatkan:
Telah bercerita kepada kami Isma’il bin Abdullah telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Hisyam bin ‘Urwah berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Urwan bin Az Zubair dari ‘Aisyah radliallahu ‘anhu, istri Nabi ﷺ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ بِالسُّنْحِ. - قَالَ إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ - فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ: وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ. قَالَتْ: وَقَالَ عُمَرُ: "وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلَّا ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ".
فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَبَّلَهُ ، قَالَ: "بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا ".
ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ: "أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ! ". فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ: "أَلَا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا ﷺ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ. وَقَالَ: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ } وَقَالَ: { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ }
قَالَ: فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ.
قَالَ: وَاجْتَمَعَتْ الْأَنْصَارُ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَقَالُوا: "مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ ".
فَذَهَبَ إِلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فَذَهَبَ عُمَرُ يَتَكَلَّمُ فَأَسْكَتَهُ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ: "وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِلَّا أَنِّي قَدْ هَيَّأْتُ كَلَامًا قَدْ أَعْجَبَنِي خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْلُغَهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَتَكَلَّمَ أَبْلَغَ النَّاسِ ، فَقَالَ فِي كَلَامِهِ: "نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ ".
فَقَالَ حُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ: "لَا وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ ".
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: "لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا ، فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ ".
فَقَالَ عُمَرُ: "بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ".
فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ النَّاسُ فَقَالَ قَائِلٌ: قَتَلْتُمْ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ ".
فَقَالَ عُمَرُ قَتَلَهُ اللَّهُ.
Artinya: "Bahwa ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, Abu Bakr sedang berada di Sunuh”. Isma’il berkata: “Yakni sebuah perkampungan ‘Aliyah, Madinah”.
Maka ‘Umar tampil berdiri sambil berkata: ‘Demi Allah, Rasulullah ﷺ tidaklah meninggal”.’
Aisyah radliallahu ‘anhu berkata:
Selanjutnya ‘Umar berkata: “Tidak ada perasaan pada diriku melainkan itu. Dan pasti Allah akan membangkitkan beliau dan siapa yang mengatakannya (bahwa beliau telah meninggal dunia), pasti Allah memotong tangan dan kaki mereka”.
Lalu Abu Bakr datang kemudian menyingkap penutup (yang menutupi) jasad Rasulullah ﷺ dan menutupnya kembali.
Abu Bakr berkata: “Demi bapak ibuku, sungguh baik hidupmu dan ketika matimu.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh Allah tidak akan memberikan baginda merasakan dua kematian selamanya”.
Kemudian dia keluar dan berkata: “Wahai kaum yang sudah bersumpah setia, tenanglah”.
Ketika Abu Bakr berbicara, ‘Umar duduk. Abu Bakr memuji Allah dan mensucikan-Nya lalu berkata:
“Barang siapa yang menyembah Muhammad ﷺ, sesungguhnya Muhammad sekarang sudah mati, dan siapa yanng menyembah Allah, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Hidup selamanya tidak akan mati”.
Lalu dia membacakan firman Allah Qs az-Zumar ayat 30 yang artinya:
(“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati”)
Dan Quran Surat Ali ‘Imran, ayat: 144 yang artinya:
(“Muhammad itu tidak lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul sebelum dia. Apakah bila dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang (murtad). Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka sekali-kali dia tidak akan dapat mendatangkan madlarat kepada Allah sedikitpun dan kelak Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”).
Perawi (‘Amru) berkata: “Maka orang-orang menangis tersedu-sedu.
Perawi berkata lagi:
“Kemudian kaum Anshar berkumpul menemui Sa’ad bin ‘Ubadah di tenda Bani Sa’adah lalu mereka berkata: “Dari pihak kami ada pemimpinnya begitu juga dari pihak kalian (Muhajirin) ada pemimpinnya”.
Lalu Abu Bakr dan ‘Umar bin Al Khaththab serta Abu ‘Ubaidah bin Al Jarah mendatangi mereka.
‘Umar memulai bicara namun Abu Bakr menenangkannya. Sebelumnya ‘Umar berkata:
“Sungguh aku tidak bermaksud hal seperti itu. Hanya saja aku telah mempersiapkan pembicaraan yang membuatku kagum namun aku khawatir jika tidak disampaikan oleh Abu Bakr. Kemudian Abu Bakr mulai berbicara dengan perkataan-perkataan yang menunjukkan pembicaraan manusia bijak".
Dia berkata dalam bagian pembicaraannya itu: “Kami (Muhajirin) adalah pemimpin sedangkan kalian adalah para menterinya”.
Spontan Hubab bin Al Mundzir berkata: “Tidak, demi Allah, kami tidak mau seperti itu. Tapi kami mempunyai pemimpin dan kalianpun mempunyai pemimpin tersendiri”.
Abu Bakr menjawab: “Tidak. Tapi kami adalah pemimpin sedangkan kalian para menterinya. Para Muhajirin adalah orang Arab yang tempat tinggalnya paling tengah dan keturunan Arab yang paling murni.
Untuk itu berbai’atlah (berjanji setia) kepada ‘Umar atau Abu ‘Ubaidah bin Al Jarah”.
Maka ‘Umar berkata: “Tidak begitu. Sebaliknya kami yang berbai’at kepadamu. Karena, sungguh kamu adalah penghulu kami, orang terbaik kami dan orang yang paling dicintai Rasulullah ﷺ”.
Lalu ‘Umar memegang tangan Abu Bakr lalu berbai’at kepadanya dan kemudian diikuti oleh orang banyak.
Ada seseorang yang berkata: “Kalian telah membinasakan Sa’ad bin ‘Ubadah”.”Umar segera membalas: “Semoga Allah membinasakannya”.
Imam Bukhori berkata: Abdullah bin Salam berkata, dari Az Zubaidiy telah berkata Abdurrahman bin Al Qasim telah mengabarkan kepadaku Al Qasim bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anhu berkata:
شَخَصَ بَصَرُ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى ثَلَاثًا وَقَصَّ الْحَدِيثَ قَالَتْ فَمَا كَانَتْ مِنْ خُطْبَتِهِمَا مِنْ خُطْبَةٍ إِلَّا نَفَعَ اللَّهُ بِهَا لَقَدْ خَوَّفَ عُمَرُ النَّاسَ وَإِنَّ فِيهِمْ لَنِفَاقًا فَرَدَّهُمْ اللَّهُ بِذَلِكَ ثُمَّ لَقَدْ بَصَّرَ أَبُو بَكْرٍ النَّاسَ الْهُدَى وَعَرَّفَهُمْ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْهِمْ وَخَرَجُوا بِهِ يَتْلُونَ { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ } إِلَى { الشَّاكِرِينَ }
“Nabi ﷺ membuka matanya ke atas sambil berkata: “ Ilaa ar-Rafiiq al-A'laa [Menuju Kekasih yang Maha Tinggi]”, sebanyak tiga kali.
Lalu dia menceritakan hadis selengkapnya lalu berkata:
“Tidak ada satupun dari khuthbah keduanya [Abu Bakr dan Umar] melainkan Allah telah memberikan manfaat dengan khuthbah itu, ‘Umar telah membuat takut orang-orang dengan kemungkinan timbulnya di tengah mereka sifat nifaq, lalu Allah mengembalikkan mereka (untuk istiqamah menjaga persatuan) lewat khuthbahnya ‘Umar tersebut.
Sedangkan Abu Bakr telah menunjukkan kematangan pandangannya untuk membawa manusia di atas petunjuk dan dia sebagai orang yang paling tahu tentang kebenaran yang ada pada mereka, dia keluar sambil membacakan ayat QS Ali ‘Imran [3]: 144 tadi:
(“Muhammad itu tidak lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul sebelum dia...). hingga akhir ayat (...orang-orang yang bersyukur”).
CONTOH KE DUA: SAAT TERJADI PERSELISIHAN ANTARA FATIMAH DAN ABU BAKAR TENTANG HARTA WARISAN NABI ﷺ.
Setelah Nabi ﷺ wafat telah terjadi perselisihan dan kesalah fahaman antara Fatimah binti Rosulullah ﷺ dengan Abu Bakar tentang harta warisan dari Rosulullah ﷺ berupa tanah Fadak.
Fatimah menginginkan warisan dari ayahnya, yaitu; Nabi ﷺ, maka Abu Bakar menjelaskan bahwa para Nabi tidak mewariskan, demikianlah yang pernah beliau dengar dari Nabi ﷺ, dan tidak ada bagian tertentu untuk Abu Bakar dan Aisyah radhiyallahu 'anhyma.
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha:
أنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ، والعَبَّاسَ، أتَيَا أبَا بَكْرٍ يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا، أرْضَهُ مِن فَدَكٍ، وسَهْمَهُ مِن خَيْبَرَ، فَقالَ أبو بَكْرٍ: سَمِعْتُ النبيَّ ﷺ، يقولُ: لا نُورَثُ ما تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إنَّما يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ في هذا المَالِ واللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسولِ اللَّهِ ﷺ أحَبُّ إلَيَّ أنْ أصِلَ مِن قَرَابَتِي
bahwa Fatimah 'alaihis salam dan 'Abbas menemui [Abu Bakr], keduanya menuntut bagian harta warisan mereka, yaitu berupa tanah di Fadak dan saham dari perang Khaibar, maka Abu Bakar berkata:
"Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: "Kami tidak diwarisi, harta yang kami tinggalkan menjadi sedekah, keluarga Muhammad hanya makan dari harta ini." Maka demi Allah, kerabat Rasulullah ﷺ lebih aku cintai untuk aku jalin hubungan dengannya daripada kerabatku sendiri." [HR. Bukhori no. 4035]
Maka Abu Bakar ash-Shiddiiq Radhiyallahu anhu tidak memberikan kepada Fathimah Radhiyallahu anhuma dan ahli waris Rasûlullâh yang lain karena berpegang kepada sabda Rasûlullâh ﷺ:
لاَ نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ
Kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Dalam Lafadz lain yang lebih panjang dalam Bukhori dan Muslim di ceritakan bahwa Fatimah menghajer Abu Bakar [tidak mau bicara dengannya] hingga wafat.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمْسِ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ قَالَ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِيٌّ وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وِجْهَةٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ بَايَعَ تِلْكَ الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا مَعَكَ أَحَدٌ كَرَاهِيَةَ مَحْضَرِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ عُمَرُ لِأَبِي بَكْرٍ وَاللَّهِ لَا تَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا عَسَاهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي إِنِّي وَاللَّهِ لَآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ثُمَّ قَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَضِيلَتَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَحْنُ نَرَى لَنَا حَقًّا لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَلَمْ يَزَلْ يُكَلِّمُ أَبَا بَكْرٍ حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فَإِنِّي لَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْحَقِّ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةُ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ صَلَاةَ الظُّهْرِ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ وَأَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا كُنَّا نَرَى لَنَا فِي الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتُبِدَّ عَلَيْنَا بِهِ فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ فَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ
bahwa Fatimah binti Rasulullah ﷺ mengutus seseorang untuk menemui [Abu Bakar], dia meminta supaya diberi bagian dari harta peninggalan Rasulullah ﷺ di Kota Madinah dan Fadak dan seperlima hasil rampasan perang Khaibar yang masih tersisa.
Maka Abu Bakar menjawab: "Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Sesungguhnya harta peninggalan kami tidak dapat diwarisi, yang kami tinggalkan hanya berupa sedekah, dan keluarga Muhammad ﷺ hanya boleh menikmati sedekah itu." Demi Allah, aku tidak berani merubah sedikitpun sedekah yang telah Rasulullah ﷺ tetapkan, aku akan tetap membiarkan seperti pada masa Rasulullah ﷺ, dan aku akan tetap melaksanakan apa yang telah dilakukan Rasulullah ﷺ."
Ternyata Abu Bakar tetap menolak permintaan Fatimah, oleh karena itu Fatimah sangat gusar dan marah atas tindakan Abu Bakar mengenai hal itu."
Urwah melanjutkan ceritanya:
"Sampai-sampai Fatimah menghajernya -tidak mengajaknya berbicara- hingga ajal menjemputnya, tepatnya enam bulan setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.
Ketika Fatimah meninggal dunia, jenazahnya dimakamkan oleh suaminya sendiri, Ali bin Abu Thalib, pada malam hari tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Abu Bakar. Setelah itu Ali pulalah yang menshalatkan jenazah Fatimah.
Ketika Fatimah masih hidup, banyak orang menaruh hormat kepada Ali, tetapi hal itu mulai berubah ketika Fatimah telah meninggal dunia. Lalu dia mulai berfikir untuk segera berdamai dengan Abu Bakar sekaligus membai'atnya, karena beberapa bulan dia tidak sempat menemuinya untuk membai'atnya.
Setelah itu, Ali menulis surat kepada Abu Bakar yang isinya:
"Aku mengharapkan kamu datang menemuiku, namun jangan sampai ada seorang pun yang ikut menemuimu."
-Sepertinya Ali tidak suka jika Abu Bakar ditemani Umar bin Khattab-
Umar lalu berkata kepada Abu Bakar: "Demi Allah, janganlah kamu menemuinya seorang diri."
Abu Bakar menjawab, "Aku yakin, Ali tidak akan berbuat macam-macam kepadaku, demi Allah, aku akan tetap menemuinya."
Dengan penuh keyakinan, akhirnya Abu Bakar pergi menemui Ali, ketika bertemu, Ali bin Abu Thalib langsung bersaksi kepadanya (maksudnya membai'atnya) seraya berkata:
"Wahai Abu Bakar, sesungguhnya aku telah mengetahui segala keutamaan dan kebaikan yang Allah anugerahkan kepadamu, dan aku tidak merasa iri dan dengki pada anugerah yang Allah limpahkan kepadamu. Akan tetapi menurutku, kamu telah berbuat sewenang-wenang terhadapku, sebagai keluarga terdekat Rasulullah ﷺ, semestinya aku mempunyai hak untuk memperoleh harta peninggalan beliau."
Ucapan-ucapan Ali begitu derasnya kepada Abu Bakar hingga tak terasa Abu Bakar meneteskan air matanya. Dengan perasaan haru, Abu Bakar menjelaskan kepadanya, katanya:
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sebenarnya keluarga dan kerabat Rasulullah ﷺ jauh lebih aku cintai daripada keluarga aku sendiri. Mengenai harta peninggalan yang tengah kita perselisihkan ini, sebenarnya aku selalu berusaha bersikap adil dan bijaksana serta berpijak kepada kebenaran. Dan aku tidak akan meninggalkan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, bahkan aku akan tetap mempertahankannya."
Maka Ali berkata kepada Abu Bakar: "Walau bagaimanapun aku akan tetap membai'atmu nanti sore."
Seusai melaksanakan shalat dhuhur, Abu Bakar langsung naik ke atas mimbar, setelah membaca syahadat, ia pun mencoba menjelaskan kepada kaum Muslimin yang hadir pada saat itu, masalah keterlambatan Ali untuk berbai'at beserta alasannya, kemudian dia membaca istighfar.
Setelah itu, tibalah giliran Ali bersaksi dan menghormati sikap Abu Bakar, Ali menyatakan bahwa dia tidak merasa iri dan dengki sama sekali terhadap keutamaan dan kelebihan yang dianugerahkan Allah kepada Abu Bakar, akan tetapi -lanjut Ali-:
"Kami keluarga terdekat Rasulullah ﷺ melihat bahwa beliau berlaku tidak adil terhadap keluarga kami, terutama dalam hal harta rampasan perang peninggalan Rasulullah ﷺ, jadi sudah menjadi hak kami untuk menuntut hak tersebut."
Mayoritas kamu Muslimin yang hadir saat itu merasa gembira mendengar pernyataan Ali, mereka berkata, "Benar yang kamu ucapkan."
Akhirnya Ali menjadi lebih dekat dengan kaum Muslimin setelah dia berani mengungkapkan perkara itu." [HR. Bukhori no. 4240 dan Muslim no. 3304]
Rasûlullâh ﷺ ketika mendapatkan Fadak, beliau ﷺ hanya mengambil hasilnya untuk nafkah keluarga beliau ﷺ selama setahun, sisanya beliau ﷺ shadaqahkan untuk orang faqir miskin.
Ali bin Abi Thâlib ketika menjadi khalifah, beliau Radhiyallahu anhu tidak membagi-bagi Fadak kepada ahli warisnya atau kepada Ummahâtul Mukminin, padahal kekuasaan ada di tangan beliau Radhiyallahu anhu dan beliau Radhiyallahu anhu adalah orang yang adil dan pemberani.
Ini menunjukkan bahwa Fadak memang bukan harta warisan.
Pertanyaan penulis:
Jika seandainya benar bahwa Nabi ﷺ stelah wafatnya bisa hadir, bisa dipanggil dan bisa bertemu dengannya dalam keadaan jaga, kenapa mereka berdua Abu Bakr, Abbas paman Nabi ﷺ, Fatimah dan Ali radhiyallahu 'anhum tidak menghadirkan Ruh Rosulullah ﷺ untuk memutuskan permsalahan tersebut?. Padahal mereka semua adalah orang-orang pilihan dan istimewa di sisi Rosulullah ﷺ.
CONTOH KETIGA: KETIKA TERJADI PERANG JAMAL ANTARA 'AISYAH DAN ALI RADHIYALLAHU 'ANHUMA.
Perang Jamal adalah pertempuran yang terjadi antara pasukan Khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib melawan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair radhiyallaahu 'anhum
Ali adalah sepupu kesayangan dan menantu dari Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan Aisyah adalah istri tercinta Nabi Muhammad ﷺ.
Sedangkan Thalhah dan Zubair, keduanya adalah sahabat Nabi ﷺ yang terkemuka.
Mereka semuanya adalah para sahabat yang dijamin masuk surga.
Jika seandainya benar bahwa Nabi ﷺ stelah wafatnya bisa hadir, bisa dipanggil dan bisa bertemu dengannya dalam keadaan jaga, kenapa mereka tidak menghadirkan Ruh Nabi ﷺ untuk menengahi dan memutuskan permasalahan yang mengantarkan mereka berperang dan menyebabkan korban berjatuhan dari dua belah pihak???. Thalhah dan Zubair radhiyallaahu 'anhuma keduanya mati terbunuh.
CONTOH KE EMPAT: UMAR BIN KHATHAB SAAT MENGHADAPI MASALAH
Umar bin al-Khoththob, dia senantiasa berkeingingan setiap ada masalah, dia bertanya langsung kepada Rosulullah ﷺ, akan tetapi setelah Rosulullah ﷺ wafat, Umartidak mampu lagi untuk melakukannya dan itu sangat mustahil.
Syeikh Abdurrahman Dimasyqiyyah menyebutkan dalam kitab Ath-Thariqah Arifa'iyya hal. 47 [cet. Maktabah ar-Ridhwaan]:
وَقَدْ صَحَّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ فِي بَعْضِ الْأُمُورِ لَيْتَنِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَنْهُ
Dan sungguh telah ada riwayat shahih dari Umar bahwa dia mengatakan ketika mengahdapi sebagian perkara: "Seandainya saja saya bisa menanyakan kepada Rasulullah ﷺ tentang masalah ini".
CONTOH KE LIMA: ALI BIN THALIB SAAT ZIARAH KUBUR NABI ﷺ:
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anha, dia benar-benar merasa kehilangan dengan wafatnya Rosullulah ﷺ dan dia sangat merindukannya, namun dia tidak mampu menghadirkan Rosulullah ﷺ atau menemuinya dalam keadaan jaga.
Ash-Shoyaadi menyebutkan:
أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَقَفَ عِنْدَ قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَبَكَى حَتَّى كَادَتْ تَزْهَقُ رُوحُهُ، وَأَنْشَدَ عِنْدَهُ أَبْيَاتًا مِنَ الشِّعْرِ، فَقَالَ:
كُنتَ السَوادَ لِناظِري فَبَكى عَلَيكَ الناظِرُ
مَن شاءَ بَعدَكَ فَليَمُت فَعَلَيكَ كُنتُ أُحاذِرُ
Bahwa Ali bin Abi Thalib berdiri di kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menangis tersedu-sedu hingga hampir saja meregang nyawanya, dan dia membacakan puisi di sisinya, dia berkata:
“Engkau adalah as-Sawaad[yang nampak gelap kehitaman] bagi yang melihatnya, maka orang yang melihatnya menangisi Engkau.
Siapa pun yang ingin mengejarmu, bersegeralah dia mati, maka untukmu aku waspada".
[Sumber: ضَوْءُ الشَّمْسِ (1/190-191), قِلَادَةُ الجَوَاهِرِ hal. 309 dan الطَّرِيقَةُ الرِّفَاعِيَّةُ hal. 47]
CONTOH KE ENAM: KESEDIHAN FATHIMAH radhiyallahu ‘anha:
Kesedihan Fathimah radhiyallahu 'anha putri tercinta Rosulullah ﷺ ketika ayahnya wafat serta kedriduannya padanya, namun Fatimah tidak mampu menghadirkan nya.
Dari Anas ra. Berkata:
فَلَمَّا مَاتَ قَالَتْ يَا أَبَتَاهُ أَجَابَ رَبًّا دَعَاهُ، يَا أَبَتَاهْ جَنَّةُ الْفِرْدَوْسِ مَأْوَاهْ، يَا أَبَتَاهْ إِلَى جِبْرِيلَ نَنْعَاهْ، فَلَمَّا دُفِنَ قَالَتْ فَاطِمَةُ رضي الله عنها: أَطَابَتْ أَنْفُسُكُمْ أَنْ تَحْثُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ التُّرَابَ؟
Ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, Fatimah radhiyallahu 'anha berkata:
"Wahai ayah(ku) yang telah memenuhi panggilan Rabb-nya, ' wahai ayah(ku) yang surga firdaus adalah tempat kembalinya, wahai ayah (ku) yang kepada Jibril as kami sampaikan wafatnya"
Ketika Rasulullah ﷺ dimakamkan, Fatimah berkata: ‘Apakah kalian tidak merasa berat hati menaburkan debu kepada Rasulullah ﷺ?’” [HR. Bukhori no. 4462]
Kesedihan Fatimah pada hari-hari berikutnya semakin bertambah dan kerinduan pada ayahnya semakin berat, namun Fatimah tidak mampu untuk menghadirkan beliau ﷺ walau hanya sesaat untuk berjumpa. Sebagaimana disebutkan Ash-Shoyaadi:
" وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَكَتْ عِنْدَ قَبْرِ أَبِيهَا صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ بُكَاءً شَدِيدًا وَأَنْشَدَتْ تَقُولُ:
مَاذَا عَلَى مَنْ شَمَّ تُرْبَةَ أَحْمَدٍ أَنْ لَا يَشُمَّ مَدَى الزَّمَانِ غَوَالِيَا
صَبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا صُبَّتْ عَلَى الأَيَّامِ صِرْنَ لَيَالِيَا
وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَقِيَتْ تَبْكِي وَحُزْنُهَا مُتَوَاصِلٌ حَتَّى لَحِقَتْ بَعْدَهُ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ".
وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَكَتْ عِنْدَ قَبْرِ أَبِيهَا صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ بُكَاءً شَدِيدًا وَأَنْشَدَتْ تَقُولُ:
مَا ذَا عَلَى مَنْ شَمَّ تُرْبَةَ أَحْمَدَ أَنْ لَا يُشَمَّ مَدَى الزَّمَانِ غَوَالِيَا
صَبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا صُبَّتْ عَلَى الأَيَّامِ صِرْنَ لَيَالِيَا
وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَقِيَتْ تَبْكِي وَحُزْنُهَا مُتَوَاصِلٌ حَتَّى لَحِقَتْ بَعْدَهُ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ
Dan bahwa Fatimah radhiyaallahu 'anha, menangis di kuburan ayahnya ﷺ menangis dengan tangisan yang sangat menyayat, sambil melantunkan syair:
Apa yang kan terjadi atas orang yang mencium debu Ahmad yang tidak menciumnya untuk waktu yang lama?
Kemalangan-kemalangan telah menimpa aku, jika dituangkan pada hari-hari, maka hari-hari itu akan berubah menjadi malam.
Dan Fatimah radhiyallahu 'anha terus menerus menangis dan kesedihannya berlanjut sampai dia menyusul ayahnya ﷺ enam bulan kemudian.
[Sumber: ضَوْءُ الشَّمْسِ (1/190-191), قِلَادَةُ الجَوَاهِرِ hal. 309 dan الطَّرِيقَةُ الرِّفَاعِيَّةُ hal. 47]
======
AJARAN KRISTEN MENOLAK KEPERCAYAAN ROH ORANG MATI BISA HADIR KE DUNIA, MESKI ROH SEORANG NABI:
Susanto Liau dalam makalahnya “Pro dan Kontra mengenai Roh Nabi Samuel dalam 1 Samuel 28: 1-25”mengatakan:
“Belakangan ini, banyak ajaran sesat atau bidat yang mengatasnamakan ajaran Kristen, namun pada hakikatnya ajaran-ajaran tersebut tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Salah satu contohnya, sebut saja ajaran pemanggilan arwah orang mati dengan tujuan untuk menginjil seperti cerita di atas.
Gerakan pemanggilan dan penginjilan arwah orang mati di Indonesia dipopulerkan oleh Andereas Samudera di Bandung sekitar tahun 1996 dan sudah berhasil menarik banyak pengikut.
Dengan demikian, banyak jiwa sedang disesatkan dari kebenaran dan berpaling kepada penyembahan kepada Iblis. Itu sebabnya ajaran ini perlu direspons dengan segera melalui pengajaran yang alkitabiah kepada jemaat, agar mereka dapat membedakan mana ajaran yang benar dan yang salah, sehingga mereka tidak disesatkan lagi oleh para guru palsu yang mengaku “diutus” oleh Allah padahal tidak demikian.
Ajaran dan praktik pemanggilan roh orang mati berawal dari pemahaman bahwa antara orang hidup dan roh-roh orang mati masih dapat saling berkomunikasi sehingga roh-roh orang mati yang belum percaya Yesus layak untuk diinjili demi keadilan Allah karena mereka belum sempat mendengarkan berita injil. Teks Alkitab yang dijadikan acuan dalam mengembangkan ajaran di atas adalah 1 Samuel 28: 1-25 dan 1 Petrus 3: 19-20”.
Pdt. Edy Siswoko, M.Pd.K. (Dosen STA Jember) dalam tulisnnya “Menangkal Ajaran Sesat Tentang “Roh” Dalam 1 Samuel 28” mengatakan:
Dampak ajaran sesat ini sudah banyak, contohnya ajaran pemanggilan arwah orang mati (ajaran Andereas Samudra) yang muncul sekitar tahun 1996 di Bandung dan memperoleh banyak pengikut, dimana Andereas Samudra ini mendasarkan ajarannya pada 1 Samuel 28 ini. Belum lagi bagaimana dampaknya pada jemaat kalau sampai hamba Tuhan GPdI mengajarkan roh itu adalah roh Nabi Samuel? Karena itu artikel ini merupakan bentuk pertahanan dari ajaran sesat dan pembelaan ajaran yang sehat (Tit. 2: 1).
Pdt. Edy Siswoko juga berkata:
Kedua, berdasarkan apa yang telah Tuhan ajarkan dan firmankan secara langsung maka roh itu bukan roh Samuel, karena praktik memanggil roh ini dilarang langsung oleh Tuhan, Tuhan menyebutnya “najis” (Im. 19: 31) dan “zinah rohani” (Im. 20: 6) bahkan harus dihukum mati (Im. 20: 27, lihat pula Ul. 18: 11; 1Sam. 28: 3, 9; 2Raj. 21: 6; 23: 24; 2Taw. 33: 6; Yes. 8: 19; 19: 3).
Tuhan tak bisa melanggar larangan-Nya sendiri, Firman-Nya tidak pernah berubah untuk selamanya (Mzm. 89: 35). Jika Tuhan melanggar larangan-Nya sendiri, artinya Tuhan mendorong manusia untuk juga melanggar larangan Tuhan. Menerima bahwa itu roh Samuel sama saja menuduh Tuhan tidak konsisten, plin-plan.
Ketiga, berdasarkan Firman-Nya sendiri tentang sifat-Nya yang Mahakudus (Yes. 40: 25), maka jelas roh itu bukan roh Samuel sebab pemanggilan arwah itu dosa yang keji. Mengakui bahwa itu roh nabi Samuel sama dengan mengakui bahwa Tuhan tidak kudus, Tuhan bisa berdosa. Kalau Tuhan pernah berdosa, apa bedanya dengan iblis dan apa bedanya dengan manusia (Kel. 15: 11)? Tidak ada yang menyamai Tuhan dalam kekudusan-Nya!
Dan Pdt. Edy Siswoko juga berkata:
Keenam, berdasarkan apa yang telah Tuhan ajarkan sendiri mengenai iblis yang adalah pendusta dan bapak segala dusta (Yoh. 8: 44), maka roh itu adalah setan yang menyamar menjadi roh Samuel. Karena sedang menyamar, tentu ia bersikap dan berkata-kata seperti Samuel. Menyamar jadi malaikat dan berkata-kata seperti malaikat saja dia juga bisa (2Kor. 11: 13-14), apalagi cuma menyamar jadi nabi Samuel?
Jangan mengira setan itu bodoh, polos, selalu bersikap dan berkata apa adanya. Ia cerdik namun pendusta dan bapak segala dusta (Yoh. 8: 44). Kalau tidak cerdik dan licik maka iblis tak bisa menjatuhkan Adam & Hawa. Ia mengutip Firman Tuhan saat mencobai Yesus, jadi tak usah heran kalau ia mengutip kata-kata Samuel. Setan bisa mengutip kata-kata siapapun sebab ia punya memori ribuan tahun karena ia sudah hidup sebelum manusia ada.
Sebagian orang berpendapat roh itu adalah roh Samuel karena tidak ada untungnya bagi setan menyamar jadi roh Samuel.
Nah, orang beriman harus memiliki penglihatan rohani, sebuah sudut pandang Tuhan (bukan kemahatahuan, tapi kepekaan), yang mampu menguji setiap roh. Memang “kelihatannya” tidak ada untungnya bila setan menyamar jadi roh Samuel dan menegur Saul. Tapi bahaya yang sesungguhnya ada di balik praktek pemanggilan arwah itu sendiri dan iblis memperoleh keuntungan sangat besar bila jemaat percaya roh tersebut adalah roh Samuel, karena akan memotivasi jemaat untuk juga menggunakan cara sesat ini.
Jemaat akan menilai bahwa, “Melalui pemanggilan arwah ini orang dapat mengetahui masa depan, dan meski dilarang oleh Tuhan ternyata Tuhan sendiri melakukannya dan ternyata Tuhan juga bisa berkompromi dengan dosa, karena itu tidak masalah kalau kita sekali-kali juga berkompromi dengan dosa!”
Nah, sadarkah kita betapa Hukum dan Ketetapan Tuhan akan jadi tidak berarti bahkan dihina serta diinjak-injak bila Tuhan memunculkan Samuel dengan cara sesat ini?
Kalau kita sendiri menyadari dan mengerti bahaya dari ajaran ini, apalagi Tuhan yang hikmat dan pengertiannya tak terbatas?
Dan Pdt. Edy Siswoko juga berkata:
Lalu mengapa Tuhan mengizinkan nubuat nabi palsu dan nubuat iblis terpenuhi?
Yaitu untuk menguji umat-Nya (Ul. 13: 1-5). Ini peringatan bagi orang benar zaman sekarang, jangan mudah terjebak dengan iming-iming seseorang yang bisa bernubuat dan digenapi, membuat mujizat, dsb, sebab Tuhan Yesus berkata bahwa para antek iblis yaitu para nabi palsu akan menyesatkan banyak orang dengan nubuat dan mujizat yang dahsyat (Mat. 7: 21-23; 24: 24), sehingga kembali lagi kita harus menguji mereka berdasarkan buah ajaran dan buah tingkah laku mereka, apakah sesuai dengan Firman-Nya (Ul. 13: 1-5).
KEBERADAAN ROH ORANG MATI DALAM AGAMA HINDU:
Dijelaskan oleh Sri Vishnu pada Garuda dalam Kitab Suci Veda Garuda Purana dan Purana lainnya. Setiap orang yang akan meninggal didatangi oleh dua sosok yakni Yamaduta Utusan Dewa Yama (Sejenis malaikat Munkar dan Nakir dalam Islam), Mereka menjemput Sang Roh keluar dari badan kasarnya.
Sang Roh yang banyak dosa kadang hidungnya diikat dengan Tali Sakti dan ditarik paksa. Sedangkan yang lebih sedikit dosanya kadang Yamaduta menampakkan diri seperti keluarga Sang Roh yang telah meninggal, sehingga Sang Roh rela keluar dari badannya mengikuti Yamaduta yang menyamar itu. Setelah Roh keluar dari badan atau mati, Sang Roh yang dibungkus badan halus dengan ukuran sebesar Ibu Jari dibiarkan gentayangan dalam pengawasan Yamaduta selama 10 hari sebelum dibawa ke tempat Pengadilan Dewa Yama, dalam perjalanan selama 348 hari itulah Yamadita kerap menyiksa Sang Roh.
======
SUMBER KEYAKINAN ROH BISA HADIR DAN GENTAYANGAN:
Animisme merupakan aliran kepercayaan yang berpendapat bahwa roh mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya).
Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan.
Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak saja untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.
Adapun bentuk kepercayaan Animisme yang masih sangat menonjol di tengah masyarakat yaitu mempunyai anggapan bahwa suatu benda memiliki kekuatan supranatural dalam bentuk roh. Roh ini bisa dipanggil dan di ajak berdialog serta diminta pertolongan pada saat diperlukan. Mereka percaya akan hal-hal yang gaib atau kekuatan hebat.
Kepercayaan terhadap bermacam-macam roh dan makhluk halus yang menempati suatu tempat memunculkan kegiatan menghormati atau memuja roh tersebut dengan cara memotong hewan kurban sebagai tumbal dan memberi sesajen atau sersembahan setiap pergantian musim barat dengan musim timur supaya tidak ada penyakit.
Kepercayaan animisme dan dinamisme telah tumbuh dan berkembang pesat di seluruh belahan dunia. Dari kepercayaan inilah, mereka membangun sebuah masyarakat. Mereka mengangkat seorang kepala adat sebagai pemimpin. Baik pemimpin kemasyarakatan ataupun pemimpin dalam proses-proses ritual. Kepercayaan animisme dan dinamisme itu didapat dari pengaruh bangsa lain yang telah menjalin interaksi dengan mereka.
Ada yang mengatakan bahwa sumber utama paham ini berasal dari ajaran Taonisme yang lahir di kawasan Tiongkok. Ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir dari ajaran bangsa Aria.
Yang pasti, umat manusia sudah lama mengenal istilah roh jahat dan roh baik yang bisa hadir dan gentayangan, dan kesaktian atau kekuatan luar biasa.
Banyak bangsa-bangsa di dunia yang sudah lama mengenal tentang bagaimana cara menghormati orang yang sudah mati. Kepercayaan bahwa manusia yang hidup masih bisa menjalin komunikasi dengan para leluhur mereka yang sudah mati. Untuk itulah, mereka melakukan ritual-ritual tertentu dalam rangka menghormati arwah para leluhur dan menjauhkan diri dari roh jahat.
Setiap benda yang dianggap ajaib atau mengesankan, maka mereka akan menganggapnya sebagai benda yang memiliki kesaktian. Matahari dipercaya sebagai dewa, bulan diyakini sebagai dewi, langit dianggap sebagai kerajaan, bumi beserta segala isinya disebut sebagai pelindung atau pengawal manusia.
Jika ditelusuri, kepercayaan semacam ini sejak dulu telah berkembang di berbagai macam bangsa dan negara, termasuk di Indonesia. Begitu pula di Jepang atau Cina misalnya. Di sana masih banyak masyarakat setempat yang menganut paham animisme dan dinamisme. Terutama di masyarakat India. Bahkan, sebagian masyarakat Eropa dan Asia Barat pun masih percaya pada animisme dan dinamisme.
Warga Jepang masih menganut paham Shinto. Mereka sangat menghormati matahari.
Masyarakat Cina menganut Konghucu, mereka menyembah para dewa langit dan bumi. Yang dan Ying disebut-sebut sebagai Tuhan.
Di India, setiap binatang tertentu seperti sapi memiliki kekuatan. Sapi adalah binatang suci bagi masyarakat India, bahkan pemerintah setempat melarang penyembelihan sapi.
[http: //kangmas.blogspot.in/animisme-dan-dinamimse.html. Diakses pada 6 April 2015 pukul 17.14 3 ]
Di kawasan Jazirah Arab, sebagian masyarakat masih percaya pada kekuatan roh Fir’aun Osiris dan Isis istrinya, sang penguasa sungai Nil atau kesaktian padang Sahara. Fir’aun masih diyakini sebagi sosok yang masih memiliki kekuatan walaupun jasadnya telah rusa. Di yakini bisa hadir ke bumi kapan saja.
Bahkan di Eropa, kepercayaan terhadap dewa-dewa Yunani atau roh-roh jahat seperti vampir dan zhombie, masih ramai diyakini oleh mereka.
Dari semua penelusuran ini dapat disimpulkan bahwa lahirnya kepercayaan animisme dan dinamisme di Indonesia adalah berasal dari pengaruh bangsa lain.
Perjalanan waktu yang mengandaikan berbedanya tempat, latar belakang budaya serta sosial masyarakat dan melahirkan perbedaan yang cukup beragam secara tidak langsung menyebabkan keragaman agama yang sampai saat ini masih ada yang survive dan ada yang tenggelam.
Tradisi merupakan suatu kebiasaan dari nenek moyang terdahulu yang menjadi kepercayaan kemudian diwariskan secara turun temurun. Tradisi bisa berubah sesuai perubahan pola pikir masyarakat di zaman modern.
Pada zaman modern ini, masih banyak masyarakat yang tidak bisa meninggalkan sebuah kebudayaan yang terbawa dari nenek moyang. Kadang sebuah kebudayaan itu sangat erat kaitannya dengan tingkat kepercayaan seseorang tentang suatu hal yang di anggapnya keramat dan wajib untuk dilakukan.
Kepercayaan itu ada ketika seseorang yakin akan suatu hal, entah itu hal yang disakralkan atau tidak.
KEYAKINAN TENTANG KEDUDUKAN ORANG SUCI SETELAH MATI SEMAKIN TINGGI DI SISI TUHANNYA
Kepercayaan dan keyakinan bahwa orang suci atau orang shaleh jika sudah mati akan semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah, serta keyakinan bahwa berdoa lewatnya adalah sangat mustajab, di sebabkan orang suci tersebut memiliki kemampuan melobi kepada Allah SWT agar Dia mengabulkan doa orang tersebut.
Keyakinan ini di bangun di atas filsafat dan logika. Diantaranya dalam fisalafat berikut ini:
- Dalam Filsafat Majusi.
- Dalam filsafat Babylonia.
- Dalam filsafat Yunani.
- Dalam filsafat Hindu dan Budha.
- Dalam Filsafat Sabiah.
- Dalam filsafat Mesir Kuno.
PANDANGAN MAJUSI [AGAMA PEMUJA API] TENTANG ORANG SUCI SETELAH MATI
Kepercayaan bahwa orang saleh / orang suci jika sudah mati akan naik ke martabat yang sangat tinggi atau mencapai tingkat kesempurnaan serta berkeyakinan bahwa berdoa kepadanya atau dengan perantaraannya setelah kematiannya jauh lebih mustajab dari pada semasa hidupnya adalah bagian dari kepercayaan agama Majusi agama pemuja api, dupa dan kemenyan.
Mereka berkeyakinan bahwa hakikat awal kehidupan di dunia itu adalah percampuran dua unsur terang dan gelap, cahaya dan kegelapan, baik dan buruk. Maka kematian itu pada hakikatnya adalah berlepas dirinya sang cahaya dari kegelapan, berlepas dirinya sanga kebaikan dari segala kejahatan dan keburukan. Sementara beramal kebajikan di dunia merupakan salah satu cara membebaskan diri dari pengaruh unsur negatif kegelapan.
Maka orang suci itu adalah orang yang banyak beramal saleh sehingga dia itu dianggap sebagai pribadi yang mampu mengusir pengaruh unsur negatif kegelapan, maka dengan demikian orang suci itu doanya sangat mustajab karena dia semasa hidupnya mampu memaksimalkan dalam menguasai cahaya dan mengusir kegelapan.
Jika orang suci itu semasa hidupnya saja sudah dianggap mustajab doanya padahal masih bercampur baur jiwanya dengan keburukan atau unsur negatif, apalagi jika sudah mati dan telah lepas dari segala pengaruh keburukan, maka sudah dipastikan menurutnya: berdoa dengan perantaranya jauh lebih mustajab, dikarenakan dia sudah mencapai tingkat kesempurnaan. (Lihat kitab al-Milal wan Nihal karya Syahristani 1/251, 2/271-272).
Berangkat dari pengagungan terhadap cahaya dan terang ; maka penggunaan segala sesuatu yang mengandung unsur cahaya dan terang - seperti api, dupa, kemenyan dan sejenisnya sebagai sarana ibadah - merupakan syarat mutlak dan utama dalam ritual ibadah penganut agama Majusi dan sekte-sekte nya.
========
PARA TOKOH SUPRANATURAL YANG DIYAKINI ROHNYA BISA HADIR GENTAYANGAN DAN DIRAYAKAN HARI KELAHIRAN-NYA
PERTAMA: NAMRUD ATAU NIMROE:
H.W. Armstrong dalam bukunya The Plain Truth About Christmas, Worldwide Church of God, California USA, 1994, menjelaskan:
“ Namrud cucu Ham Anak nabi Nuh adalah pendiri sistem kehidupan masyarakat Babilonia kuno. Nama Nimrod dalam bahasa Hebrew (Ibrani) berasal dari kata “Marad” yang artinya: “Dia membangkang atau Murtad” antara lain dengan keberaniannya mengawini ibu kandungnya sendiri bernama “Semiramis”.
Namun usia Namrud tidak sepanjang ibunya. Ketika Nimrod mati, tubuhnya dipotong-potong, kemudian dibakar dan disebar ke berbagai daerah. Praktek serupa juga disebutkan dalam Al-kitab (Hak. 19: 29; 1Sam. 11: 7). Kematiannya sangat menyedihkan masyarakat Babilon. Semiramis lalu menegaskan bahwa Nimrod adalah dewa matahari.
Ahmad Nizam mengatakan: Setelah Namrud meninggal dunia, Semiramis ibu yang merangkap sebagai isteri tersebut menyebarkan ajaran bahwa Roh Namrud tetap hidup selamanya walaupun jasadnya telah mati. Dia membuktikan ajarannya dengan adanya pohon Evergreen yang tumbuh dari sebatang kayu yang mati, yang ditafsirkan oleh Semiramis sebagai bukti kehidupan baru bagi Nimrod yang sudah mati. Dan di yakini bahwa Namrud selalu hadir di pohon Evergreen ini.
Untuk mengenang hari kelahirannya, mereka merayakannya dengan mengadakan acara ulang tahun kelahirannya serta meninggalkan bingkisan yang digantungkan di ranting-ranting pohon Evergreen itu. Sedangkan kelahiran Namrud dinyatakan pada tanggal 25 Desember.
Dan inilah asal usul pohon Natal / Christmas tree yang dijadikan oleh orang-orang Kristen sebagai simbol Hari Raya Natal. Pertama kalinya ketika agama Nasrani tersebar di kawasan Eropa Barat, perayaan Natal dilengkapi dengan “pohon Natal” (Christmas tree) yang jelas-jelas dipuja oleh bangsa kafir Babylonia, kemudian diikuti oleh bangsa-bangsa lainnya seperti Jerman dan Skandinavia.
Bangsa Inggris baru mengenal pohon Natal ketika Ratu Victoria menikahi Pangeran Albert. Maka dialah yang membawa tradisi itu ke Inggris dari daerah asalnya Jerman pada tahun 1840.
Adapun orang yang pertama kali gemar membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak pada HARI NATAL adalah Saint Nicholas yang kemudian dikenal dengan nama Santa Claus, uskup abad ke-4 di Nicaea (sekarang Iznik, masuk wilayah Turki). Tradisi ini populer di Negeri Belanda dengan sebutan San Nicolaas. Ketika orang-orang Belanda berimigrasi ke Amerika - kota New York sekarang adalah bikinan Belanda, dulu namanya New Amsterdam - mereka memperkenalkan tradisi bagi-bagi hadiah dari San Nicolaas ini, yang oleh lidah anak-anak Amerika diucapkan Santa Claus. Akhirnya pada tahun 1863, kartunis terkenal Thomas Nast menggubah lukisan Santa Claus dengan berpakaian merah dan berjanggut putih, lengkap dengan ketawa ‘ho-ho-ho’nya, yang populer sampai hari ini.
Dan dari tradisi perayaan kelahiran Namrud pula lahirnya konsep berbagai macam ritual hari peringatan yang ditujukan kepada seseorang yang dianggap suci dan di kultuskan, seperti Raja, Pahlawan, tokoh dang yang sejenisnya dengan berbagai macam dalih dan istilah.
Dan lebih lanjut lagi Semiramis ibu dan istri Namrud dianggap sebagai “Ratu Langit” oleh rakyat Babilonia, kemudian Namrud dipuja sebagai “anak suci dari surga”.
Pada akhirnya putaran zaman menyatakan bahwa penyembah berhala versi Babilonia ini berubah menjadi “Mesiah palsu”, berupa dewa “Ba-al” anak dewa matahari dengan obyek penyembahan “Ibu dan Anak” (Semiramis dan Namrud) yang diyakini lahir kembali.
Ajaran tersebut menjalar ke negara lain: Di Mesir berupa “Isis dan Osiris”, di Asia bernama “Cybele dan Deoius”, di Roma disebut“Fortuna dan Yupiter”, bahkan di Yunani. “Kwan Im” di Cina, Jepang, dan Tibet, India, Persia, Afrika, Eropa dan Meksiko, juga ditemukan adat pemujaan terhadap dewa “Madonna”dan lain-lain.
Dewa-dewa berikut ini dimitoskan lahir pada tanggal 25 Desember, dilahirkan oleh gadis perawan (tanpa bapak), mengalami kematian (disalib) dan dipercaya sebagai Juru Selamat (Penebus Dosa).
Dan diyakini bahwa mereka bisa hadir ke dunia dan hari kelahiran mereka senantiasa dirayakan oleh para pemuja-nya:
- Dewa Mithras (Mitra) di Iran, yang juga diyakini dilahirkan dalam sebuah gua dan mempunyai 12 orang murid. Dia juga disebut sebagai Sang Penyelamat, karena ia pun mengalami kematian, dan dikuburkan, tapi bangkit kembali. Kepercayaan ini menjalar hingga Eropa. Kaisar Konstantin termasuk salah seorang pengagum sekaligus penganut kepercayaan ini.
- Apollo, yang terkenal memiliki 12 jasa dan menguasai 12 bintang/planet.
- Hercules yang terkenal sebagai pahlawan perang tak tertandingi.
- Ba-al yang disembah orang-orang Israel adalah dewa penduduk asli tanah Kana’an yang terkenal juga sebagai dewa kesuburan.
- Dewa Ra, sembahan orang-orang Mesir Kuno; kepercayaan ini menyebar hingga ke Romawi dan diperingati hari kelahiran-nya secara besar-besar dan dijadikan sebagai pesta rakyat.
Demikian juga Serapsis, Attis, Isis, Horus, Adonis, Bacchus, Krisna, Osiris, Syamas, Kybele dan lain-lain.
Selain itu ada lagi tokoh/pahlawan pada suatu bangsa yang oleh mereka diyakini dilahirkan oleh perawan, antara lain Zrates (Bangsa Persia) dan Fo Hi (Bangsa Cina). Demikian pula pahlawan-pahlawan Helenisme: Agis, Celomenes, Eunus, Solulus, Aristonicus, Tibarius, Grocesus, Yupiter, Minersa, Easter.
Jadi, konsep bahwa Tuhan itu dilahirkan seorang perawan pada tanggal 25 Desember, disalib/dibunuh kemudian dibangkitkan, sudah ada sejak zaman purba sebelum Yesus lahir.
Dalam Matius pun mengenai kemungkinan terjadinya pendustaan itu telah disinyalir oleh Yesus lewat pesannya:
Jawab Yesus kepada mereka : Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! Sebab banyak orang akan datang dengan memakai namaku dan berkata Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang?. (Matius 24: 4-5).
Tradisi ulang tahun Raja Namrud Dewa Matahari ini menyebar dan ditiru oleh raja-raja lainnya, termasuk raja-raja Mesir yang mengaku dirinya sebeagai Dewa Matahari pula. Sebagaimana terdapat keterangan di dalam injil Kejadian 40: 20:
Dan terjadilah pada hari ketiga, hari kelahiran Firaun, maka Firaun mengadakan perjamuan untuk semua pegawainya. Ia meninggikan kepala juru minuman dan kepala juru roti itu di tengah-tengah para pegawainya . [Injil ; Kejadian 40: 20]
Pada masa Herodes acara ulang tahun dimeriahkan sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 14: 6;
Tetapi pada hari ulang tahun Herodes, menarilah anak Herodes yang perempuan, Herodiaz, ditengah-tengah meraka akan menyukakan hati Herodes . (Matius14: 6)
Dalam Injil Markus 6: 21 Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodiaz, ketika Herodes pada hari ulang tahunnya mengadakan perjamuan untuk pembesar-pembesarnya, perwira-perwiranya dan orang-orang terkemuka di Galilea. (Markus 6: 21)
Maka dengan demikian telah menjadi maklum bahwa tradisi perayaan ulang tahun kelahiran seseorang itu adalah tradisi para penyembah berhala.
Seiring dengan berjalannya waktu, maka berkembang pula tradisi perayaan hari kelahiran Namrud Dewa Matahari ini menjadi tradisi ulang tahun kelahiran bagi setiap insan yang pernah lahir, dengan tujuan agar dipanjangkan umurnya, di lapangkan rizkinya dsb. Oleh karena itu dalam acara ulang tahun tidak lepas dari simbol-simbol Namrud yang di laknati oleh Allah SWT, yaitu menyalakan lilin, nyanyi-nyanyi dan mentabdzirkan harta.
Ralph Woodrow dalam BABYLON MYSTERY RELIGION hal. 4 menyatakan bahwa:
Api adalah lambang dari raja Namrud yang diyakini oleh pengikutnya sebagai dewa matahari atau baal. Jadi , lilin dan lain-lain kebiasaan yang berkenaan dengan api dimaksudkan sebenarnya sebagai penyembahan kepada Nimrod . (Baca Roma 1: 21-26).
Orang Nasrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi. Beberapa batang lilin dinyalakan sesuai dengan usia orang yang berulang tahun. Sebuah kue ulang tahun dibuatnya dan dalam pesta itu, kue besar dipotong dan lilinpun ditiup. (Baca buku: Parasit Aqidah. A.D. El. Marzdedeq, Penerbit Syaamil, hal. 298)
Kisah perjalanan dakwah nabi Ibrahim alaihis salam tidak bisa lepas dari kisah Namrud sang dewa matahari, Raja Babilon (Baghdad - Irak), Sang Penghulu Para Dewa dan Biang Kaum Pagan. Manusia pertama yang dirayakan hari kelahirannya oleh para pemuja Dewa Matahari.
Kisah keduanya itu sebagai simbol perseteruan antara dakwah tauhid dan dakwah kesyirikan, antara konsep Tauhid dan konsep Dewa Dewi, antara konsep tauhid dan konsep Berhala atau paganisme. Allah SWT telah mengisyaratkannya dalam Al-Quran:
{ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (258) }.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan, " orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, " lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. (QS. Al-Baqarah: 258).
Dalam menafsiri ayat ini Imam Sayuthi dalam tafsirnya Ad-Durorul Mantsur 3/260 menukil riwayat Ibnul Mundzir dari jalur Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas, beliau berkata: "Dia adalah Namrud bin Kan'an, orang-orang menganggap dia adalah raja pertama di bumi, bertindak sewenang-wenang dengan membunuh manusia sekehendaknya dan membiarkannya hidup juga sekehendaknya, dan Namrud berkata: Akulah yang menghidupkan dan yang mematikan.
Abd bin Humeid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qotadah bahwa dia berkata: "Kami mengatakannya, bahwa dia adalah seorang raja, yang di sebut Namrud bin Kan'an, dan dia adalah raja pertama yang berkuasa dengan sewenang-wenang di muka bumi, dan dialah orang yang membangun istana dan menara yang menjulang tinggi di Babylon, maka dia memanggil dua orang, salah satunya dia bunuh, sementara yang satunya lagi dibiarkan hidup, lalu dia berkata: Sesungguhnya akulah yang menghidupkan atas kehendakku, dan aku pula yang mematikan atas kehendakku pula". (Lihat Tafsir Ad-Durorul Mantsur 3/260 karya Imam Sayuthi).
Perkataan Nabi Ibrahim as terhadap Namrud: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, " sebagai tantangan terhadap Namrud untuk membuktikan jika benar Namrud itu merasa di dirinya sebagai dewa matahari, maka coba rubahlah arah terbit matahari!
KEDUA: KEHADIRAN FIR’AUN KE DUNIA SETELAH MATI.
Masyarakat mesir kuno meyakini bahwa para Fir’aun ketika ajalnya tiba, mereka tidak mati, melainkna pindah ke syurga, dan mereka bisa hadir kembali ke alam dunia, sesuai dengan yang mereka inginkan.
Kedudukan Para Fir’aun di masyarakat Mesir, disamping sebagai raja, juga di yakini sebagai Tuhan titisan Dewa Matahari.
Hari kelahiran para Fir’aun ini semas hidupnya senantiasa dirayakan oleh masyarakat Mesir sebagai bentuk pengagungan dan penyembahan kepada Fir’aun, Tuhan Dewa Matahari..
Oleh sebab itu salah seorang tokoh gereja Nasrani abad ke-3, yang bernama Origenes, menyatakan bahwa merupakan suatu perbuatan dosa jika mencari-cari tanggal kelahiran Jesus, sebab hal itu berarti menyamakan Kristus dengan seorang Fir’aun.
Maka umat Nasrani pada masa-masa awal tidak ada yang mau merayakan Natal (Ul-Tah), sebab mereka memandang perayaan ulang tahun sebagai bentuk kebiasaan orang kafir.
Dikarenakan Fir’aun telah mengklaim dirinya sebagai Tuhan titisan dewa Matahari, maka pada masa Nabi Musa ‘alaihis salam di utus, Allah SWT menurunkan kegelapan di siang hari, sebagai peringatan dan tantangan.
Allah memerintahkan Musa untuk mengulurkan tangannya ke seluruh Mesir, dan ini menyebabkan kegelapan yang sangat pekat yang berlangsung selama tiga hari. Kegelapan ini bukanlah kegelapan biasa yang dapat dihindari. Namun, orang-orang Israel tetap bisa melihat dengan terang dan baik. Setelah tulah tersebut berakhir, Firaun memanggil Musa dan mencoba bernegosiasi. Firaun menawarkan untuk membiarkan semua orang Israel pergi, tetapi mereka harus meninggalkan ternak mereka di Mesir. Musa menolak persyaratan ini, bahkan Firaun harus menyediakan korban sementara orang Israel pergi. Ini membuat Firaun sangat marah, dan dia mengancam Musa dengan kematian yang mengerikan, kematian yang tidak akan pernah ada lagi seperti itu. [Sumber: Kegelapan (10: 21 - 10: 29)].
Dalam metology Mesir kuno di sebutkan bahwa masyarakat Mesir meyakini akan adanya penguasa sungai Nil, yaitu dewa Osiris salah satu Firaun Raja Mesir yang pernah berkuasa dan istrinya dewi Isis.
Mereka meyakini bahwa Osiris dan istrinya Isis meskipun telah wafat, kedua-duanya bisa hadir gentayangan turun ke bumi kapan saja, terutama turun ke sungai Nil di saat bertepatan dengan hari kelahiran-nya.
Osiris dalam bahasa Yunani, berarti dewa di alam baka. Osiris tidak hanya menghakimi orang-orang yang sudah mati di alam baka, tetapi dia juga membuat subur tumbuh-tumbuhan dan menyebabkan sungai Nil banjir.
Osiris anak Dewa Geb dari bumi dan Dewi Nut dari langit. Ia mempunyai saudara kembar laki-laki bernama Seth, dan adik perempuan kembar juga bernama Isis dan Nephthys. Setelah ayahnya pensiun dan tinggal di langit, Osiris meneruskan mengelola Mesir di muka bumi, dan mengawini adik perempuannya. Isis, sebagai permaisuri, dan Horus merupakan peranakannya.
Osiris terkenal sebagai firaun yang rajin mengajari rakyat Mesir, bagaimana menanam gandum dan anggur (tanaman) untuk menghasilkan roti dan anggur (minuman). Di bawah pengelolaannya, Mesir kuno menjadi negeri yang subur makmur, tata-tenteram, karta-raharja.
Tapi ia juga dimitoskan dibunuh oleh saudara kembarnya, Seth, yang iri melihat keberhasilannya sebagai firaun. Jenazahnya disemayamkan dalam piramida, dan ditiupi napas kehidupan oleh Isis. Setelah merasa segar sejuk, Osiris hidup kembali, dan bisa pulang ke langit, tempat ayahnya menikmati masa pensiun sebagai dewa. Ia menetap di bintang Alnitak.
Kemudian dalam mitos Mesir Kuno rakyat mesir percaya bahwa Sungai Nil banjir setiap tahun karena kesedihan air matanya untuk kematian suaminya, Osiris. Ini menunjukkan adanya keyakinan terjadinya kematian dan kelahiran kembali.
Untuk mengenangnya kembali maka setiap tahun diadakan ritual-ritual perayaan hari kematian dan hari kelahiran kembali.
Penyembahan Isis akhirnya menyebar ke seluruh dunia termasuk diantaranya di Yunani dan Romawi dan berlanjut hingga penindasan paganisme di era Kristen. Dia dipuja sebagai ibu dan istri yang ideal serta pelindung alam dan sihir. Isis adalah Dewi keibuan, sihir dan kesuburan.
Kisah berakhirnya ritual Ruatan Sungai Nil di Mesir sebagai persembahan kepada Dewa Osiris dan Dewi Isis.
Ibnu Lahi'ah berkata: dari Qois bin Hajjaj dari orang yang bercerita padanya, dia berkata:
" Setelah Mesir ditaklukkan (pada masa Khilafah Umar radhiyallahu ‘anhu), datanglah masyarakatnya menghadap 'Amr bin 'Ash – saat itu dia sebagai amirnya – ketika memasuki bulan Bauunah salah satu nama-nama bulan 'Ajam (non arab), lantas mereka berkata: Wahai Amir, sesungguhnya sungai Nil kami punya tradisi (sunnah) yang tidak akan mengalir airnya, kecuali jika kami melaksankan tradisi itu. Beliau 'Amr bin 'Ash bertanya: "Tradisi apakah itu? ".
Mereka menjawab: Yaitu setiap tanggal dua belas malam dari bulan ini lewat, kami mengambil seoarang gadis yang masih perawan yang berada bersama kedua orang tuanya, maka kami membujuk kedua orang tua gadis tersebut agar merelakannya, kemudian kami dandani dengan perhiasan dan pakaian yang terbaik, setelah itu kami melemparkannya ke sungai Nil ini.
Maka Amr bin 'Ash berkata kepada mereka: Yang demikian itu tidak ada dalam Islam, dan sesungguhnya Islam itu menghilangkan sesuatu yang telah ada sebelumnya". Setelah mereka menunggu selama bulan Bauunah ternyata sungai Nil ini tetap tidak mengalir, kemudian akhirnya mereka berniat hendak melaksanakan tradisi tersebut, maka 'Amr buru-buru menulis surat kepada Umar bin Khoththob tentang hal itu, maka Umar pun menulis surat balasan yang bunyinya:
" Sesungguhnya apa yang telah kamu lakukan adalah benar, dan sungguh aku telah mengirimkan kepada mu selembar kartu di dalam suratku ini, maka lemparkanlah kartu itu ke sungai Nil ".
Setelah kitab itu nyampai, 'Amr pun mengambil kartu tersebut dan membukannya, ternyata di dalamnya terdapat tulisan yang kata-katanya:
" Dari hamba Allah, Umar, Amirul Mu'minin kepada sungai Nil penduduk Mesir. Amma Ba'du (adapun setelah itu): …. Maka sesungguhnya kamu, jika kamulah yang mengalirkan air itu dari diri kamu maka kamu tidak akan bisa mengalirkannya. Dan jika Allah yang Maha Tunggal dan Maha Perkasa yang mengalirkan kamu, maka kami akan memohon kepada Allah agar mengalirkan kamu".
Maka Amr' pun melemparkan kartu tadi ke sungai Niil, dan pada hari Sabtu di pagi harinya mereka menemukan sungai Niil dengan izin Allah telah mengaliGENTr dengan ketinggian enam belas hasta dalam satu malam. Dan Allah Ta'ala telah menghilangkan tradisi tersebut dari masyarakat Mesir hingga hari ini ".
(Kisah ini di riwayatkan oleh Abul Qosim Al-Lalakai Ath-Thobary dalam kitabnya As-Sunnah. Di dalam sanadnya ada kelemahan. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/464 berkata: Di sanadnya terdapat Ibnu Lahi'ah, dan dia itu kodisinya di perdebatkan ". Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya At-Taqrib berkata: Dia Shoduq dari thobaqot ke tujuh, dia hafalannya suka keliru setelah terbakar kitab-kitabnya).
KETIGA: KEHADIRAN YESUS KRISTUS DALAM RITUAL EKARISTI (HIDANGAN LANGIT)
Ekaristi Kudus menurut umat Kristiani: merupakan Perjamuan Tuhan Yesus yang Ia lakukan bersama dengan kedua belas rasul-Nya. Injil mencatat bahwa Tuhan Yesus menetapkan hal ini ketika Dia makan pada perjamuan terakhir sebelum Dia ditangkap dan diadili.
Ekaristi atau hidangan langit ini telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an:
﴿إِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَن يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِّنَ السَّمَاءِ ۖ قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ. قَالُوا نُرِيدُ أَن نَّأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَن قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ. قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِّنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِّأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِّنكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ﴾
(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?". Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman".
Mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".
Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama". [Maidah: 112-114]
Menurut keyakinan umat kristiani:
Sesungguhnya, Yesus menegaskan Diri-Nya sebagai korban dan kurban yang dipersembahkan bagi pelunasan dosa dunia. Yesus menyatakan Diri-Nya sebagai Hidangan dan Santapan iman yang kita terima melalui Ekaristi Kudus. Ekaristi sebagai perjamuan yang menyediakan Hidangan dan Santapan iman akan membawa setiap orang yang percaya untuk berjumpa dengan Kristus.
Kehadiran nyata Kristus dalam ritual Ekaristi adalah istilah yang digunakan dalam teologi Kristen untuk mengungkapkan ajaran bahwa Yesus adalah benar-benar atau secara substansial hadir dalam Ekaristi atau Perjamuan Kudus, bukan hanya secara simbolis atau metaforis.
Yesus hadir dalam Ekaristi sebagai tanda kehadiran Allah di tengah umat yang merayakannya.
Ekaristi merupakan salah satu ritual terpenting dalam tradisi Kristen yang dilakukan dengan memakan roti dan minum anggur atau sari buah anggur.
Mereka berkeyakinan bahwa hidangan roti tersebut sebagai simbol dari daging Yesus, sementara minuman anggur adalah darah Yesus. Dan barang siapa yang mengkonsumsinya maka Yesus akan merasuk pada tubuhnya dan menyatu dengannya.
Karina Chrisyantia dalam artikel “ Kehadiran Kristus dalam Ekaristi” mengatakan:
Dapat kita fahami relasi Ekaristi dengan kehadiran Tuhan sebagai berikut:
Pertama, hakikat Ekaristi sendirilah yang telah menunjukkan kehadiran Tuhan Yesus. Kedua, Tuhan Yesus adalah roti hidup, roti yang memberi kesegaran kepada semua orang sebagaimana Dia katakan:
“Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6: 35).
Maka, Gereja sejak awal meyakini bahwa Ekaristi adalah kehadiran Kristus karena ketika memecah roti setiap orang percaya dan selalu ingat akan apamyang dilakukan-Nya.
Santo Paulus dalam Suratnya kepada jemaat Korintus mengatakan: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Tuhan Ia datang” (1 Kor. 11: 26). Selain itu, Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium juga menyatakan bahwa Ekaristi adalah “sumber dan puncak kehidupan Gereja”.
Pernyataan ini secara implisit memberikan petunjuk dan penegasan bahwa Kristuslah menjadi pelaku utama Ekaristi.
Oleh sebab itu, tidaklah heran jikalau kemudian Santo Ireneus mengatakan: “Cara pikir kita sesuai dengan Ekaristi, dan sebaliknya Ekaristi memperkuat cara pikir kita”. Dia adalah pusat dari kehidupan orang Kristiani sehingga ketika seorang imam merayakan Ekaristi, ia merayakan atas nama Kristus. Inilah mengapa imam dalam Gereja sering disebut sebagai in persona Christi atau alter Christus.
Selain itu, kehadiran Kristus dalam Ekaristi bagi iman Katolik bukan sekadar suatu kenangan seperti seorang yang merayakan hari ulang tahunnya. Sebaliknya, iman Gereja mengakui bahwa kehadiran Kristus itu nyata (praesentia realis) yang terwujud dalam “Tubuh dan Darah Kristus”.
Memang, pemahaman akan hal ini tidak bisa dimengerti begitu saja oleh akal budi manusia karena “Bagaimana mungkin roti dan anggur bisa menjadi tubuh dan darah Kristus?”
Ini adalah penghayatan iman sehingga Gereja meyakini bahwa Kristus hadir dan selalu hadir dalam Ekaristi. Pemahaman ini ditegaskan kemudian oleh Katekismus Gereja Katolik: “Kristus hadir di dalam Sakramen (Ekaristi) ini oleh perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya” (KGK 1375).
Alhasil, kehadiran Kristus bagi Gereja adalah nyata dalam Ekaristi. Kristus memang tidak tampak rupanya seperti yang dilihat oleh para rasul, tetapi kehadiran-Nya tetap ada dalam rupa “Tubuh dan Darah Kristus” secara nyata.
Maka, Perayaan Ekaristi bukan berarti bahwa Kristus itu tidak hadir, tetapi Kristus belum datang kembali seperti ketika Dia memulai Perayaan Ekaristi pertama bersama dengan para rasul.
Inilah mengapa Tuhan Yesus mengatakan: “Aku berkata kepadamu: ‘Sesungguhnya Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, dalam Kerajaan Allah” (Mrk.14: 25).
-----
ORANG BALI DIKENAL GEMAR DAN SUKA SEKALI MEMANGGIL ROH
Aryantha Soethama berkata:
“Berkesenian menjadi kegemaran orang Bali yang paling menonjol. Ada pula kegemaran menonjol lain: orang Bali dikenal suka sekali memanggil roh. Perhatikanlah jika menjelang hari baik ngaben, tempat praktek para pemanggil roh, orang Bali memanggilnya sebagai sedahan, sangat ramai dikunjungi. Mereka meminta roh yang akan diaben diturunkan oleh dukun tenung itu.
Si sedahan akan memanggil roh, dan menjadikan si dukun sebagai medium. Kegiatan ini disebut sebagai meluasang. Jika roh datang, ia akan bicara melalui si dukun. Biasanya, didahului oleh pertanyaan oleh sedahan benarkah roh yang datang ini sesuai dengan permintaan? Jika dijawab ya oleh yang meluasang, maka mulailah sedahan itu menjadi aktor, meniru perilaku sehari-hari roh ketika masih hidup.
Roh akan bertanya, siapa saja yang datang? Biasanya disertai isak tangis menanyakan kabar keluarga yang ditinggalkan. Jika roh yang turun itu meninggal karena peristiwa yang mengenaskan, dibunuh ditikam belati atau diracun misalnya, suasana haru dan mencekam akan menjadi ciri pertunjukan meluasang itu.
“Relakan saya pergi, saya sedang mengumpulkan tenaga untuk membalas kejahatan yang ditimpakan kepadaku", tutur roh yang diracun itu lewat dukun tenung. Kerabat yang hadir pun, kendati sedih, manggut-manggut, karena dendam akan terbalaskan. “Kami akan mengabenkan engkau, semoga engkau bersedia", ujar seorang sanak saudara.
Si dukun tenung kembali manggut-manggut. “Bersedia tentu, biar segera aku dapat tempat yang nyaman untuk membalaskan dendam ini.”
Jika pemanggilan roh berjalan lancar, keluarga sudah tenang untuk ngaben, lazimnya ada saja adegan-adegan ikutan yang biasanya serba ringan. Misalnya, roh menanyakan kabar beberapa anggota keluarga. “Putu, bagaimana sekolahnya?” Keluarga yang ditanya saling pandang, karena di keluarga itu ada banyak yang bernama Putu. “Putu yang mana?” “Ah, itu, si putu yang suka menabuh kendang.”
Keluarga kembali saling pandang, karena tidak ada di keluarga itu yang senang menabuh kendang. “Putu siapa? Kan nggak ada yang jadi penabuh kendang, keluarga kita biasanya jadi pemukul cengceng dan pemukul terompong. Putu siapa ya?”
Anggota keluarga saling pandang. “Ooo... mungkin yang dimaksud Putu yang ikut drum band di kampus", sahut salah seorang. Maka seseorang segera melontarkan jawaban, “Kalau Putu drum band baik-baik saja, sekarang sudah semester tujuh.”
Dukun tenung itu kembali manggut-manggut. “Suruh dia rajin belajar, agar cepat jadi sarjana", ujar si dukun. Kerabat kembali saling pandang. Ada yang berbisik, “Kan nggak bisa cepat-cepat jadi sarjana, kuliah kan berbatas waktunya?”
Memanggil roh tidak hanya dilakukan ketika hendak ngaben, juga ketika seseorang mengalami kecelakaan. Dulu, jika di tepi jalan ada sekelompok orang bersama pemangku menghaturkan sesaji, pertanda ada orang mengalami kecelakaan di tempat itu. Mungkin ada yang terkapar karena ulah sendiri, ngebut, tergelincir menggilas pasir. Mungkin ada kecelakaan besar, seseorang menyeberang jalan dan ditabrak mobil. Upacara kecil di tepi jalan itu disebut ngulapin, ritual memanggil roh.
Jika kecelakaan itu menyebabkan seseorang meninggal, ngulapin diperlukan agar roh tidak bingung, siapa tahu pergi ke tempat jauh, yang tidak dikenal. Ngulapin dilaksanakan agar roh tidak nyasar. Roh diupacarai untuk diajak pulang. Jika yang celaka itu cuma lecet-lecet, ngulapin tetap dilaksanakan, agar yang celaka tidak kaget, mengalami guncangan jiwa. Kadang ngulapin dianggap tidak cukup, korban harus diupacarai dengan mebayuh, agar si celaka, kendati cuma lecet-lecet, bisa tenang.
Sekarang ngulapin karena kecelakaan jarang dilakukan. Jika masih dilakoni seperti dulu, wah, bakalan berderet-deret ritual ngulapin di tepi jalan, karena saban hari banyak sekali orang celaka naik motor dan mobil. Bisa-bisa macet lalu lintas gara-gara orang Bali memanggil-manggil roh di tepi jalan yang hiruk pikuk.
0 Komentar