Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM PENGHAPUSAN KEWAJIBAN BAYAR PEMBELIAN BARANG AKIBAT KENA HAMA ATAU PETAKA (وَضْعُ الْجَوَائِحِ)

HUKUM PENGHAPUSAN KEWAJIBAN BAYAR PEMBELIAN BARANG AKIBAT KENA HAMA ATAU MALAPETAKA

(وَضْعُ الْجَوَائِحِ)

===

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

---


===****===

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

*****

DEFINISI AL-JAWA'IH

Al-jawa’ih adalah bentuk jamak dari kata jāiah, yang berarti bencana yang menimpa tanaman atau buah-buahan hingga merusaknya tanpa campur tangan manusia, seperti kekeringan, embun beku, atau kehausan.

Ibnu al-Qoyyim berkata :

هِيَ الْآفَةُ الْمُسْتَأْصِلَةُ تُصِيبُ الثِّمَارَ وَنَحْوَهَا بَعْدَ الزَّهْوِ فَتُهْلِكُهَا بِأَنْ يَتْرُكَ الْبَائِعُ ثَمَنَ مَا تَلَفَ قَالَهُ القَارِئُ. وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ هَكَذَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بِإِسْنَادِهِ فَقَالَ وَأَمَرَ بِوَضْعِ الْجَوَائِحِ وَالْجَوَائِحُ هِيَ الْآفَاتُ الَّتِي تُصِيبُ الثِّمَارَ فَتُهْلِكُهَا

"Yang dimaksud dengan 'al-jawā'ih' adalah penyakit yang menghancurkan yang mengenai buah-buahan dan sejenisnya setelah masa matang pertumbuhannya, sehingga merusaknya. Akibatnya, penjual meninggalkan harga dari apa yang rusak tersebut.

Ini adalah menurut definisi al-Qāri'. Dan al-Khattābī mengatakan :

'Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dan juga diriwayatkan oleh asy-Syāfi'ī dari Sufyān dengan sanadnya, yang mengatakan :

“ Bahwa beliau memerintahkan untuk meletakkan (menghapuskan) jawā'ih”.

Yang mana jawā'ih adalah penyakit yang menyerang buah-buahan sehingga merusaknya.'"

[Baca : ‘Aunul Ma’bud wa Hasyiah Ibnu al-Qoyyim (Tahdzib Sunan Abi Dawud) 9/163 dan Ma’aalim as-Sunan karya al-Khoththobi 3/86].

====****====

HADITS-HADITS TENTANG WADL’U AL-JAWA’IH (وَضْعُ الْجَوَائِحِ)

HADITS KE 1 :

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu , bahwa Rasulullah bersabda:

«‌إِنْ ‌بِعْتَ ‌مِنْ ‌أَخِيكَ ‌ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟»

" "Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu musibah menimpa buah itu, maka tidak halal bagimu untuk mengambil sesuatu darinya. Dengan dasar apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?"  [HR. Muslim no. (1554).

HADITS KE 2 :

Dalam riwayat lain dari Anas radhiyallahu 'anhu:

«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ ثَمَرِ النَّخْلِ حَتَّى تَزْهُوَ»، فَقُلْنَا لِأَنَسٍ: مَا زَهْوُهَا؟ قَالَ: «تَحْمَرُّ وَتَصْفَرُّ، أَرَأَيْتَكَ إِنْ مَنَعَ اللهُ الثَّمَرَةَ بِمَ تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيكَ؟»

"Bahwa Nabi melarang menjual pohon kurma hingga buahnya mulai matang." [Anas ditanya:] "Apa maksud matang itu?" Ia menjawab: "Buahnya mulai memerah atau menguning. Apakah engkau tidak berpikir, jika Allah menahan buah itu, bagaimana engkau menghalalkan harta saudaramu?"

Dalam riwayat lain dari Anas: "Nabi bersabda:

«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُزْهِيَ»، قَالُوا: وَمَا تُزْهِيَ؟ قَالَ: «تَحْمَرُّ»، فَقَالَ: «إِذَا مَنَعَ اللهُ الثَّمَرَةَ فَبِمَ تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيكَ؟»

'"Bahwa Rasulullah melarang menjual buah hingga tampak tanda kematangannya." Mereka bertanya, "Apa yang dimaksud dengan tampak matang?" Beliau menjawab, "Ketika buahnya mulai memerah." Lalu beliau bersabda, "Jika Allah menahan buah itu, dengan dasar apa engkau menghalalkan harta saudaramu?'"  [HR. Muslim no. 15-(1555).

HADITS KE 3 :

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu :

«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِوَضْعِ الْجَوَائِحِ»

"Bahwa Nabi memerintahkan untuk menghapuskan kerugian akibat musibah." [HR. Muslim no. (1554)]

HADITS KE 4 :

Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu , ia berkata:

أُصِيبَ رَجُلٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا، فَكَثُرَ دَيْنُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ»، فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَائِهِ: «خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ، وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ»

"Pada masa Rasulullah , seorang laki-laki mengalami kerugian besar pada buah-buahan yang dibelinya, sehingga ia memiliki banyak utang. Maka Rasulullah bersabda:

'Bersedekahlah kalian kepadanya.'

Maka orang-orang bersedekah kepadanya, namun itu tidak cukup untuk melunasi utangnya. Rasulullah lalu bersabda kepada para penagih utang:

'Ambillah apa yang kalian temukan (dari hartanya), dan kalian tidak berhak atas lebih dari itu.'" [HR. Muslim no. 16-(1555)]

===****===

SYARAH HADITS-HADITS DI ATAS DAN PENJELASAN-NYA :

****

PERTAMA : SYARAH AL-IMAM AN-NAWAWI ASY-SYAFI’I :

Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shohih Muslim 10/216 berkata :

“Para ulama berbeda pendapat mengenai buah yang dijual setelah tampak tanda kematangannya, lalu diserahkan oleh penjual kepada pembeli dengan memberikan akses penuh, namun buah itu rusak sebelum waktu panen karena musibah dari langit. Apakah kerusakan tersebut menjadi tanggung jawab penjual atau pembeli? 

Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang paling sahih, serta Abu Hanifah, Al-Laits bin Sa’ad, dan lainnya, berpendapat:

"Kerusakan tersebut menjadi tanggung jawab pembeli, dan tidak wajib menghapuskan kerugian akibat musibah, tetapi dianjurkan (mustahab)."

Sedangkan Imam Syafi’i dalam pendapat lama (الْقَدِيمِ), serta sebagian ulama lainnya, berpendapat:

"Kerusakan tersebut menjadi tanggung jawab penjual, dan wajib menghapuskan kerugian akibat musibah."

Imam Malik berpendapat:

"Jika kerugiannya kurang dari sepertiga, maka tidak wajib dihapuskan, tetapi jika mencapai sepertiga atau lebih, maka wajib dihapuskan dan menjadi tanggung jawab penjual." 

Mereka yang mewajibkan penghapusan kerugian berargumen berdasarkan sabda Nabi :

أَمَرَ بِوَضْعِ الْجَوَائِحِ

"Beliau memerintahkan untuk menghapuskan kerugian akibat musibah,"

Dan sabda beliau :

فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا

"Tidak halal bagimu untuk mengambil sesuatu darinya."

Mereka juga berargumen bahwa buah tersebut masih seperti berada di tangan penjual karena ia bertanggung jawab untuk menyiramnya, sehingga seakan-akan kerusakan terjadi sebelum penyerahan dan menjadi tanggung jawab penjual. 

Sementara itu, mereka yang tidak mewajibkan penghapusan berargumen dengan riwayat lain: "Pada buah yang dibelinya, utangnya menjadi banyak. Maka Nabi memerintahkan untuk bersedekah kepadanya, dan diserahkan kepada para penagih utangnya."

Jika kerugian akibat musibah dihapuskan, maka hal itu tidak diperlukan.

Mereka memahami perintah untuk menghapuskan kerugian sebagai anjuran (mustahab) atau berlaku pada penjualan sebelum tampak tanda kematangan. 

Dalam riwayat terakhir ini, terdapat anjuran untuk tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, membantu orang yang membutuhkan atau yang memiliki utang, mendorong bersedekah kepadanya, dan larangan menagih, menahan, atau larangan memenjarakan orang yang tidak mampu melunasi utangnya.

Pendapat ini dianut oleh Imam Syafi’i, Imam Malik, dan mayoritas ulama.

Namun, diriwayatkan dari Ibnu Syuraih berpendapat membolehkan memenjarakannya hingga ia melunasi utangnya meskipun sudah terbukti bahwa ia tidak mampu.

Abu Hanifah berpendapat agar ia terus diawasi dan di tagih. 

Dalam hal ini, seluruh harta orang yang bangkrut diserahkan kepada para penagih utangnya selama utang mereka belum lunas, kecuali pakaian dan barang-barang yang menjadi kebutuhannya.

Tentang siapakah orang yang bangkrut dalam hadits ini ? sebagian berpendapat bahwa ia adalah Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. [SELESAI]

Kemudian Imam Nawawi 10/218 berkata :

قَوْلُهُ (حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنْ لَمْ يُثْمِرْهَا اللَّهُ فَبِمَ يَسْتَحِلُّ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ) . قَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ هَذَا وَهْمٌ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادٍ أَوْ مِنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِي حَالِ إِسْمَاعِهِ مُحَمَّدًا لِأَنَّ إِبْرَاهِيمَ بْنَ حَمْزَةَ سَمِعَهُ مِنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ مَفْصُولًا مُبَيَّنًا أَنَّهُ مِنْ كَلَامِ أَنَسٍ وَهُوَ الصَّوَابُ وَلَيْسَ مِنْ كَلَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فأسقط محمد بن عَبَّادٍ كَلَامَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَتَى بِكَلَامِ أَنَسٍ وَجَعَلَهُ مَرْفُوعًا وَهُوَ خَطَأٌ

**Ucapannya**: (Muhammad bin Abbad menceritakan kepada saya, Abdul Aziz bin Muhammad menceritakan kepada kami, dari Humaid, dari Anas, bahwa Nabi bersabda: *"Jika Allah tidak menumbuhkan buahnya, bagaimana seseorang dari kalian menghalalkan harta saudaranya?"*). 

Ad-Daraquthni berkata: "Ini adalah kekeliruan dari Muhammad bin Abbad atau dari Abdul Aziz dalam menyampaikan kepada Muhammad, karena Ibrahim bin Hamzah mendengarnya dari Abdul Aziz secara terpisah dengan penjelasan bahwa itu adalah perkataan Anas. Dan itulah yang benar, bahwa itu bukanlah perkataan Nabi . Muhammad bin Abbad menghilangkan bagian dari perkataan Nabi dan mengganti dengan perkataan Anas, lalu menjadikannya sebagai hadis marfu’ (disandarkan kepada Nabi ). Hal ini adalah kesalahan."  [Syarah Shohih Muslim 10/216]

****

KEDUA : SYARAH IBNU AL-QOYYIM AL-JAUZY AL-HANBALI :

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

أَمْرُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَضْعِ الْجَوَائِحِ عِنْدَ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ أَمْرُ نَدْبٍ وَاسْتِحْبَابٍ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْرُوفِ وَالْإِحْسَانِ لَا عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ وَالْإِلْزَامِ

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَأَبُو عُبَيْدٍ وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ وَضْعُ الْجَائِحَةِ لَازِمٌ لِلْبَائِعِ إِذَا بَاعَ الثَّمَرَةَ فَأَصَابَتْهُ الْآفَةُ فَهَلَكَتْ

وَقَالَ مَالِكٌ تُوضَعُ فِي الثُّلُثِ فَصَاعِدًا وَلَا تُوضَعُ فِي مَا هُوَ أَقَلُّ مِنَ الثُّلُثِ قَالَ أَصْحَابُهُ وَمَعْنَى هَذَا الْكَلَامِ أَنَّ الْجَائِحَةَ إِذَا كَانَتْ دُونَ الثُّلُثِ كَانَ مِنْ مَالِ الْمُشْتَرِي وَمَا كَانَ أَكْثَرَ مِنَ الثُّلُثِ فَهُوَ مِنْ مَالِ الْبَائِعِ

وَاسْتَدَلَّ مَنْ تَأَوَّلَ الْحَدِيثَ عَلَى مَعْنَى النَّدْبِ وَالِاسْتِحْبَابِ دُونَ الْإِيجَابِ بِأَنَّهُ أَمْرٌ حَدَثَ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ مِلْكِ الْمُشْتَرِي عَلَيْهَا وَلَوْ أَرَادَ أَنْ يَبِيعَهَا أَوْ يَهَبَهَا لَصَحَّ ذَلِكَ مِنْهُ فِيهَا وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن ربح مالم يُضْمَنْ فَإِذَا صَحَّ بَيْعُهَا ثَبَتَ أَنَّهَا مِنْ ضَمَانِهِ وَقَدْ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا فَلَوْ كَانَتِ الْجَائِحَةُ بَعْدَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ مِنْ مَالِ الْبَائِعِ لَمْ يَكُنْ لِهَذَا النَّهْيِ فَائِدَةٌ انْتَهَى

Perintah Rasulullah untuk meniadakan kewajiban membayar akibat kerugian dari bencana (*wadh' al-jawa'ih*) menurut mayoritas fuqaha adalah perintah yang bersifat anjuran dan keutamaan (*mandub* dan *mustahab*), berdasarkan prinsip kebaikan dan kasih sayang, bukan kewajiban atau keharusan. 

Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaid, dan sekelompok ahli hadis berpendapat bahwa kewajiban meniadakan kerugian akibat bencana merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam jual beli buah jika terjadi kerusakan akibat bencana setelah transaksi berlangsung. 

Imam Malik berpandangan bahwa kewajiban meniadakan kerugian hanya berlaku jika kerusakan mencapai sepertiga atau lebih. Jika kerusakan kurang dari sepertiga, maka itu menjadi tanggungan pembeli. Para pengikut Imam Malik menjelaskan bahwa jika kerugian akibat bencana kurang dari sepertiga, maka itu menjadi tanggungan pembeli. Namun, jika lebih dari sepertiga, kerugian tersebut menjadi tanggungan penjual. 

Pendapat yang menafsirkan hadis sebagai anjuran (*mandub* dan *mustahab*) berargumen bahwa kerugian akibat bencana terjadi setelah hak kepemilikan sepenuhnya berpindah kepada pembeli. Jika pembeli ingin menjual atau menghadiahkan barang tersebut, hal itu sah dilakukan olehnya. Rasulullah melarang mengambil keuntungan dari sesuatu yang belum menjadi tanggungan seseorang. Jika pembeli telah sah memiliki barang tersebut, maka barang itu juga menjadi tanggungannya. 

Selain itu, Rasulullah melarang menjual buah sebelum tampak tanda kematangannya. Jika kerusakan akibat bencana setelah tanda kematangan tetap menjadi tanggungan penjual, maka larangan tersebut tidak memiliki manfaat. 

Dengan demikian, pendapat ini menegaskan bahwa kewajiban meniadakan kerugian akibat bencana lebih cenderung kepada anjuran daripada kewajiban. [Kutipan Selesai]

[Baca : ‘Aunul Ma’bud wa Hasyiah Ibnu al-Qoyyim (Tahdzib Sunan Abi Dawud) 9/163 dan Ma’aalim as-Sunan karya al-Khoththobi 3/86-87].

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa : Mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah untuk meniadakan kewajiban akibat kerugian dari bencana (wadh’ al-jawa’ih) adalah perintah yang bersifat anjuran dan keutamaan (mandub dan mustahab), bukan kewajiban atau keharusan. Hal ini didasarkan pada prinsip kebaikan dan kasih sayang. 

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaid, dan sekelompok dari sahabat hadis, berpendapat bahwa meletakkan (menghapuskan) kerugian akibat jawā'ih (penyakit yang merusak) adalah kewajiban bagi penjual apabila dia menjual buah dan kemudian terkena penyakit yang merusaknya sehingga hancur.

Adapun Imam Malik berpandangan bahwa kewajiban meniadakan kerugian hanya berlaku jika kerusakan akibat bencana mencapai sepertiga atau lebih. Jika kerusakan kurang dari sepertiga, maka itu menjadi tanggungan pembeli. 

Para pengikut Imam Malik menjelaskan bahwa maksud dari pendapat ini adalah jika kerugian akibat bencana kurang dari sepertiga, maka itu menjadi tanggungan pembeli. Namun, jika lebih dari sepertiga, kerugian tersebut menjadi tanggungan penjual. 

Argumentasi pendapat yang menafsirkan hadis-hadis tersebut sebagai anjuran, bukan kewajiban, maka mereka berargumen bahwa setelah pembeli menerima barang tersebut, hak milik sepenuhnya telah berpindah kepada pembeli. Dengan demikian, pembeli memiliki hak untuk menjual atau menghadiahkannya, dan transaksi tersebut sah dilakukan. 

Selain itu, Rasulullah melarang seseorang mengambil keuntungan dari sesuatu yang belum menjadi tanggungannya. Jika pembeli telah sah menjadi pemilik barang tersebut, maka barang itu juga menjadi tanggungannya. 

Rasulullah juga melarang menjual buah sebelum tampak tanda kematangannya. Jika kerusakan akibat bencana setelah tampak kematangan tetap menjadi tanggungan penjual, maka larangan tersebut tidak memiliki manfaat. 

Dengan demikian, penafsiran ini menunjukkan bahwa meniadakan kewajiban akibat kerugian dari bencana lebih bersifat anjuran daripada keharusan. Wallahu a'lam.

===****===

KESIMPULAN : HUKUM TERKAIT AL-JAWĀ'IH

Terdapat hukum khusus yang berlaku untuk al-jawa’ih. Yaitu : Jika buah telah dijual setelah tampak tanda kematangannya, kemudian penjual menyerahkan buah tersebut kepada pembeli dengan membiarkannya (tasliim dengan tahliah), tetapi buah itu rusak karena bencana sebelum waktu pemanenan, maka dalam masalah ini telah terjadi perbedaan pendapat sebagaimana yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi dan Ibnu al-Qoyyim diatas.

****

MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN ADALAH DALAM KONDISI KHUSUS

Hukum tersebut di atas ini berlaku selama penjual tidak menjual buah tersebut bersama pohonnya (asalnya), tidak menjualnya kepada pemilik pohon tersebut, atau pembeli tidak menunda pengambilannya melebihi kebiasaan. Dalam situasi-situasi tersebut, maka kerusakan menjadi tanggungan pembeli.

****

JIKA KERUSAKAN-NYA DISEBABKAN OLEH CAMPUR TANGAN MANUSIA

Jika kerusakan terjadi bukan karena bencana, melainkan akibat perbuatan manusia, maka pembeli memiliki pilihan:

1]- Membatalkan transaksi dan mengembalikan harga kepada penjual.

2] - Melanjutkan transaksi dan menuntut pihak yang merusak untuk membayar ganti rugi.

Dengan demikian, hukum ini memperhatikan keadilan antara penjual dan pembeli, serta memberikan penyelesaian jika terjadi kerugian akibat bencana atau faktor lainnya.

[BACA : Fiqhus Sunnah karya Saayid Sabiq 3/96].

Posting Komentar

0 Komentar