KAPAN DIPERBOLEHKAN MENERIMA PEMBAYARAN LEBIH DARI POKOK HUTANG ?
Contoh : hutang 100 ribu, dibayar 150 ribu .
Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
====
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- KAPAN DI PERBOLEHKAN MENERIMA TAMBAHAN PEMBAYARAN MELEBIHI POKOK HUTANG?
- HUKUM ORANG YANG BERUTANG UANG UNTUK MEMBELI HADIAH BAGI PEMBERI PINJAMAN.
- PENUTUP :
****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN
Kita semua
tahu akan haram nya Riba .
QAIDAH UMUM
DALAM MEMAHAMI RIBA :
Ada hadits
yang menyatakan :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً،
فَهُوَ رِبًا
“Setiap
utang piutang yang menarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.”
Diriwayatkan
oleh Al-Harits bin Abi Usamah dalam *Musnad*-nya (1/500, no. 437) dari Ali
radhiyallahu 'anhu.
Sanadnya
sangat lemah, tetapi memiliki syahid yang juga lemah dalam riwayat Al-Baihaqi
dari Fudhailah bin Ubaid radhiyallahu 'anhu, serta syahid lain yang mauquf dari
Abdullah bin Salam radhiyallahu 'anhu dalam riwayat Al-Bukhari.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam *At-Talkhis* 3/90 no. (1227):
قَالَ عُمَرُ بْنُ بَدْرٍ فِي الْمُغْنِي
لَمْ يَصِحَّ فِيهِ شَيْءٌ وَأَمَّا إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فَقَالَ إنَّهُ صَحَّ وَتَبِعَهُ
الْغَزَالِيُّ وَقَدْ رَوَاهُ الْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ فِي مُسْنَدِهِ مِنْ
حَدِيثِ عَلِيٍّ بِاللَّفْظِ الْأَوَّلِ وَفِي إسْنَادِهِ سَوَّارُ بْنُ مُصْعَبٍ وَهُوَ
مَتْرُوكٌ، وَرَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي الْمَعْرِفَةِ عَنْ فُضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ
موقوفا بلفظ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا، وَرَوَاهُ
فِي السُّنَنِ الْكُبْرَى عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وأبي كَعْبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ
سَلَامٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ مَوْقُوفًا عَلَيْهِمْ
"Umar
bin Badr dalam *Al-Mughni* berkata: ‘Tidak ada satu pun hadits yang sahih dalam
masalah ini.’ Adapun Imam Al-Haramain, ia berkata bahwa hadits ini sahih, dan
Al-Ghazali mengikutinya. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi
Usamah dalam *Musnad*-nya dari Ali dengan lafaz pertama. Namun, dalam sanadnya
terdapat Sawwar bin Mush'ab, yang merupakan perawi matruk (ditinggalkan
haditsnya).
Hadits ini
juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam *Al-Ma'rifah* dari Fudhailah bin Ubaid
secara mauquf dengan lafaz:
‘Setiap
pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah salah satu bentuk riba.’
Al-Baihaqi
juga meriwayatkannya dalam *As-Sunan Al-Kubra* dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’b,
Abdullah bin Salam, dan Ibnu Abbas secara mauquf kepada mereka.”* [Selesai
Kutipan]
Dan hadits
ini nilai dhoif oleh al-Albaani dalam al-Irwa no. 1398.
Syaikh Ibnu
Utsaimin dalam *Syarh Al-Mumti’* (9/109) berkata:
لَكِنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ أَمَّا مَعْنَاهُ
فَصَحِيحٌ
*"Hadits
ini lemah, tetapi maknanya shahih (benar)."*
Syeikh Bin Baaz berkata :
الحديثُ المذكورُ ضَعيفٌ عندَ أهلِ العِلمِ
ليسَ بصحيحٍ، ولكنَّ معنَاهُ صحيحٌ عندَ العُلماءِ، معنَاهُ: أنَّ القُروضَ التي تَجُرُّ
نفعًا مَمنُوعةٌ بالإجماعِ. ((نُورٌ على الدَّربِ: شَرحُ حديثِ: (كلُّ قَرضٍ جَرَّ
نفعًا فَهُوَ رِبًا) وحُكمُهُ)).
Walau hadits
di atas menurut para ulama adalah dha’if (lemah) , tidak shahih , akan tetapi
kandungannya menurut mereka adalah shahih . Maknamya : “Pinjaman-pinjaman yang
menarik manfaat ( berbunga ) itu dilarang secara Ijma’ para ulama”.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata :
"أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ
إِذَا شَرَطَ عُشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ،
فَإِنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا".
“Para
ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang yang meminjamkan utang dengan
mempersyaratkan 10% dari utangan sebagai hadiah atau tambahan, lalu ia
meminjamkannya dengan mengambil tambahan tersebut, maka itu adalah riba.”
(Al-Ijma’, hal. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276).
Ibnu Quddamah rahimahullah berkata :
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ
يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap
utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa
diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6: 436)
===*****===
KAPAN DI PERBOLEHKAN MENERIMA TAMBAHAN PEMBAYARAN MELEBIHI POKOK HUTANG?
Ada beberapa
Syarat dibolehkannya menerima kelebihan terebut :
Pertama : tambahan tersebut tidak di
syaratkan pada saat transaksi pinjam meminjam ( قرض ) .
Kedua : tambahan tersebut muncul dari
kerelaan pihak peminjam saat mengembalikan pinjaman.
Ketiga : bukan karena sudah menjadi tradisi
. Umpamanya meskipun tidak disyaratkan dalam akad, namun sudah sama-sama saling
memaklumi bahwa di daerah tersebut sudah menjadi tradisi bunga hutang itu 50 % (
alias : nge lima lasi ) .
Ada qaidah
yang menyatakan :
المَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالمَشْرُوطِ
شرَطْاُ
Artinya : “
Sesuatu yang sudah ma’ruf dan sudah menjadi tradisi, maka hukumnya sama saja
dengan mensyaratkan ( meskipun tidak disebutkan dalam akad) “.
Atau :
“Suatu hal yang dibenarkan oleh kebiasaan (adat) sama halnya dengan sesuatu
yang dibenarkan dalam syarat perjanjian.”
( Baca : “شرح مجلة الأحكام” 43/46 , “الأشباه والنظائر” karya Imam as-Sayuuthi hal.
92 , “الأشباه والنظائر” karya Ibnu An-Najiim hal.
99 , al-Wajiiz hal. 251 dan al-Qowaa’id karya an-Nadwi hal. 65 .
Jadi
singkatnya jika tambahan terebut bukan pra-syarat awal, hanya kerelaan dari
pihak peminjam saat mengembalikan utang dan juga bukan karena terikat oleh
tradisi , maka itu hukumnya halal dan boleh menerimanya .
****
**DALILNYA ADALAH SEBAGAI BERIKUT :**
DALIL
PERTAMA :
Hadits Abu
Raafi’ radhiyallahu ‘anhu :
أنَّ رَسولَ اللهِ ﷺ اسْتَسْلَفَ مِن رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ
عليه إبِلٌ مِن إبِلِ الصَّدَقَةِ، فأمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ
بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إلَيْهِ أَبُو رَافِعٍ، فَقالَ: لَمْ أَجِدْ فِيهَا إلَّا
خِيَارًا رَبَاعِيًا، فَقالَ: أَعْطِهِ إيَّاهُ، إنَّ خِيَارَ النَّاسِ
أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً.
“Bahwasanya
Nabi ﷺ pernah meminjam dari seseorang unta muda. Lalu datanglah kepada beliau ﷺ unta-unta dari unta zakat . Nabi ﷺ lantas menyuruh Abu Raafi’ untuk membayar
unta muda yang dipinjam dari orang tadi .
Abu Raafi’
menjawab : “Tidak ada unta sebagai ganti nya yang sepadan kecuali unta pilihan
dan dewasa ( usia 6 – 7 tahun ).”
Nabi ﷺ kemudian menjawab :
أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ
النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً
“Berikan
saja unta pilihan tersebut padanya. Karena sesungguhnya sebaik-baik orang
adalah yang terbaik dalam memabayar hutangnya.” (HR. Bukhari, no. 2392 dan
Muslim, no. 1600).
Al-Imam An
Nawawi rahimahullah berkata:
وَفِيهَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ
عَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ قَرْضٍ وَغَيْرِهِ أَنْ يَرُدَّ أَجْوَدَ مِنَ الَّذِي عَلَيْهِ
وَهَذَا مِنَ السُّنَّةِ وَمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَلَيْسَ هُوَ مِنْ قَرْضٍ جَرَّ
مَنْفَعَةً فَإِنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ لِأَنَّ الْمَنْهِيَّ عَنْهُ مَا كَانَ مَشْرُوطًا
فِي عَقْدِ الْقَرْضِ وَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الزِّيَادَةُ فِي الْأَدَاءِ
عَمَّا عَلَيْهِ وَيَجُوزُ لِلْمُقْرِضِ أَخْذُهَا سَوَاءٌ زَادَ فِي الصِّفَةِ أَوْ
فِي الْعَدَدِ بِأَنْ أَقْرَضَهُ عَشَرَةً فَأَعْطَاهُ أَحَدَ عَشَرَ وَمَذْهَبُ مَالِكٍ
أَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الْعَدَدِ مَنْهِيٌّ عَنْهَا وَحُجَّةُ أَصْحَابِنَا عُمُومُ
قَوْلِهِ ﷺ خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Di dalam
riwayat ini terdapat dianjurkan bagi siapa yang mempunyai kewajiban berupa
hutang dan lainnya, hendaknya ia mengembalikan yang lebih baik dari yang ia
pinjam dan ini adalah termasuk sunnah dan akhlak yang mulia.
Dan ini
bukan termasuk dari hutang yang ditarik manfaat darinya, karena hal tersebut
itu dilarang, karena yang dilarang adalah yang terlebih dahulu disyaratkan di
dalam akad hutang piutang .
Dan madzhab
kami adalah dianjurkan tambahan dalam pelunasan apa yang menjadi kewajibannya,
dan boleh bagi yang menghutangi untuk mengambilnya baik itu tambahan di dalam
sifatnya atau dalam jumlah bilangan, sepeti ia menghutangi sepuluh kemudian
diberikan kepadanya sebelas .
Sedangkan
madzhab Imam Malik, adalah bahwa tambahan dalam jumlah bilangan itu dilarang.
Dan sandaran
(dalil ) hukum sahabat-sahabat madzhab kami adalah keumuman sabda Rasulullah ﷺ : “sebaik-baik kalian adalah yang paling diantara kalian dalam melunsia
hutang”. ( Lihat kitab “شرح النووي على
صحيح مسلم”
11/37).
KEDUA :
Hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ ﷺ يَتَقَاضَاهُ بَعِيرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ : «أَعْطُوهُ» . فَقَالُوا : مَا نَجِدُ إِلاَّ سِنًّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ.
فَقَالَ الرَّجُلُ : أَوْفَيْتَنِى أَوْفَاكَ اللَّهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
: «أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً» .
“Bahwa
seseorang pernah mendatangi Nabi Muhammad ﷺ menagih hutang seekor onta, lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Berikan kepadanya.”
Mereka
berkata: “Kami tidak mendapati kecuali onta yang lebih baik daripada ontanya.”
Maka lelaki
tersebut berkata: “Engkau telah memberikan lebih kepadaku, semoga Allah
melebihkanmu.”
Lalu
Rasulullah ﷺ bersabda: “Berikanlah kepadanya, karena sesungguhnya termasuk dari
manusia yang paling baik adalah orang yang paling baik melunasi hutang.” ( HR.
Bukhari no. 2217).
Al-Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah berkata:
قال ابن حجر : وَوَجْهُ اَلدَّلالَةِ
مِنْهُ أَنَّ اَلنَّبِيَّ ﷺ وَهَبَ لِصَاحِبِ اَلسَّنِّ اَلْقَدْرَ اَلزَّائِد
عَلَى حَقِّهِ . وَفِيهِ حُسْنُ خُلُقِ النَّبِيِّ ﷺ وَعِظَمُ حِلْمِهِ
وَتَوَاضُعه وَإِنْصَافه .
“Sisi
pendalilan darinya bahwa Nabi Muhammad ﷺ memberikan kepada pemilik onta yang lebih
dari haknya, dan di dalamnya terdapat baiknya akhlak Nabi Muhammad SAW,
besarnya kesabarannya, rendah hatinya dan keadilannya.” ( Lihat kitab “فتح الباري” 5/228 ).
KETIGA :
Hadits
“Sa’id bin Hani’ , berkata :
سَمِعْتُ الْعِرْبَاضَ بْنَ
سَارِيَةَ قَالَ بِعْتُ مِنْ النَّبِيِّ ﷺ بَكْرًا فَأَتَيْتُهُ أَتَقَاضَاهُ فَقُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْضِنِي ثَمَنَ بَكْرِي فَقَالَ أَجَلْ لَا أَقْضِيكَهَا
إِلَّا لُجَيْنِيَّةً قَالَ فَقَضَانِي فَأَحْسَنَ قَضَائِي قَالَ وَجَاءَهُ
أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْضِنِي بَكْرِي فَأَعْطَاهُ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ يَوْمَئِذٍ جَمَلًا قَدْ أَسَنَّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا
خَيْرٌ مِنْ بَكْرِي قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ خَيْرَ الْقَوْمِ
خَيْرُهُمْ قَضَاءً
“Aku telah
mendengar Al ‘Irbadh bin Sariyah berkata:
“Aku pernah
menghutangi Nabi Muhammad ﷺ seekor onta muda, lalu aku mendatanginya
untuk menagih hutangnya, maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, lunasi harga onta
mudaku,”
Beliau ﷺ berkata: “Tentu, aku tidak melunasinya kecuali dengan perak”,
Lalu “beliau
membayar kepadaku dan membaguskan bayaran kepadaku”,
Dan ada
seorang arab badui datang kepada RAsulullah ﷺ, lalu berkata: “Wahai
Rasulullah, lunasi onta mudaku”,
Lalu
Rasulullah ﷺ memberikan kepadanya pada waktu itu seekor onta dewasa, lalu badui itu
berkata: “Wahai Rasulullah, ini (onta) lebih baik dari onta mudaku”.
Rasulullah ﷺ menjawab : Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik
diantara mereka dalam melunasi hutang” . HR. Ahmad no. 16524 ).
Hadits ini
dihasankan oleh Syeikh Muqbil al-Waadi’i dlm “الجامع
الصحيح مما ليس في الصحيحين” 5/200
.
KE EMPAT
:
Hadits Jabir
bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu , ia berkata :
أَتَيْتُ النبيَّ ﷺ وهو في
المَسْجِدِ - قالَ مِسْعَرٌ: أُرَاهُ قالَ: ضُحًى - فَقالَ: صَلِّ رَكْعَتَيْنِ.
وكانَ لي عليه دَيْنٌ فَقَضَانِي وزَادَنِي
“Aku pernah
mendatangi Nabi Muhammad ﷺ dan ketika itu beliau sedang berada di dalam
masjid - berkata Mis’ar: “Aku kira beliau berkata: “di waktu dhuha”- Lalu
beliau ﷺ berkata: “Shalatlah dua rakaat!” . Ketika itu Beliau ﷺ mempunyai hutang kepadaku. Maka Beliau membayarnya dan memberi
tambahan kepadaku".” ( HR. Bukhari no. 443 dan Muslim no. 715).
KE LIMA :
Dari Mujahid
رحمه الله , beliau berkata :
اسْتَسْلَفَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عُمَرَ مِنْ رَجُلٍ دَرَاهِمَ ثُمَّ قَضَاهُ دَرَاهِمَ خَيْرًا مِنْهَا فَقَالَ
الرَّجُلُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ هَذِهِ خَيْرٌ مِنْ دَرَاهِمِي الَّتِي
أَسْلَفْتُكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَدْ عَلِمْتُ وَلَكِنْ نَفْسِي
بِذَلِكَ طَيِّبَةٌ
"Abdullah
bin Umar pernah meminjam beberapa dirham dari seorang lelaki, lalu ia
membayarnya dengan dirham yang lebih baik. Laki-laki itu lalu berkata,
"Wahai Abu Abdurrahman, ini lebih baik dari dirham yang aku pinjamkan
kepadamu?" Maka Abdullah bin Umar menjawab; "Saya tahu, namun dengan
demikian jiwaku baik dan nyaman ." ( HR. Imam Malik 3/498 no. 1186 )
Al-Kandahlawi
berkata dalam “أَوْجَزَ
الْمَسَارِكُ”
13/208 :
" لَا إِكْرَاهَ عَلَيْهِ فِيهِ ".
“Tidak ada paksaan terhadapnya di dalamnya “.
Sanadnya
kuat . ( Lihat : تقريب السنة النبوية no. 3072 ).
Imam
Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ نَقْلًا عَنْ
نَبِيِّهِمْ ﷺ أَنَّ اشْتِرَاطَ الزِّيَادَةِ فِي السَّلَفِ رِبًا وَلَوْ كَانَ قَبْضَةً
مِنْ عَلَفٍ- كَمَا قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ- أَوْ حَبَّةً وَاحِدَةً. وَيَجُوزُ أَنْ
يَرُدَّ أَفْضَلَ مِمَّا يَسْتَلِفُ إِذَا لَمْ يَشْتَرِطْ ذَلِكَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ
ذَلِكَ مِنْ بَابِ الْمَعْرُوفِ، اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الْبِكْرِ:"
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً" رَوَاهُ الْأَئِمَّةُ: الْبُخَارِيُّ
وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا. فَأَثْنَى ﷺ عَلَى مَنْ أَحْسَنَ الْقَضَاءَ، وَأَطْلَقَ
ذَلِكَ وَلَمْ يُقَيِّدْهُ بِصِفَةٍ
“Umat
muslimin telah berijma’, mengutip dari Nabi mereka ﷺ bahwa mensyaratkan tambahan di dalam hutang
adalah riba walaupun hanya segenggam dari tepung, sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Mas’ud atau walau hanya satu biji .
Dan boleh
mengembalikannya dengan yang lebih baik dari apa yang dipinjam, jika hal
tersebut tidak disyaratkan padanya, karena hal tersebut termasuk dari pada amal
kebaikan, berdasarkan hadits Abu Hurairah tetang onta muda :
إِنَّ خِيَارَكٌم أحْسَنُكُم قَضَاءً
“Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik diantara kalian dalam melunasi hutang.”
Hadits terebut
diriwayatkan oleh para Imam diantaranya oleh Al Bukhari dan Muslim dan selain
keduanya.
(Disini)
Nabi Muhammad ﷺ memuji atas seorang yang bagus dalam melunasi
hutangnya, dan beliau ﷺ memuthlakkan hal itu ( absolut ) dan tidak
membatasinya dengan sebuah sifat tertentu .” ( Baca : kitab “تفسير القرطبي” 3/241.
Dalam
al-As’ilah wal Ajwibah al-Fiqhiyyah 4/364-365 di sebutkan :
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُمْ نَهَوْا عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً؛
وَلِأَنَّهُ عَقْدُ إِرْفَاقٍ وَقُرْبَةٍ، فَإِذَا شُرِطَ فِيهِ الزِّيَادَةُ أَخْرَجَهُ
عَنْ مَوْضُوعِهِ. وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الْقَدْرِ أَوْ فِي الصِّفَةِ،
مِثْلَ أَنْ يُقْرِضَهُ مَكْسَرَةً، فَيُعْطِيَهُ صِحَاحًا أَوْ نَقْدًا، لِيُعْطِيَهُ
خَيْرًا مِنْهُ، وَلَا يَجُوزُ شَرْطُ أَنْ يَقْضِيَهُ بِبَلَدٍ آخَرَ، وَلِحَمْلِهِ
مُؤْنَةٌ؛ لِأَنَّهُ عَقْدُ إِرْفَاقٍ وَقُرْبَةٍ، فَشَرْطُ النَّفْعِ فِيهِ يُخْرِجُهُ
عَنْ مَوْضُوعِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِحَمْلِهِ مُؤْنَةٌ، فَقَالَ فِي «الْمُغْنِي»
: الصَّحِيحُ جَوَازُهُ؛ لِأَنَّهُ مَصْلَحَةٌ لَهُمَا مِنْ غَيْرِ ضَرَرٍ، وَكَذَا
لَوْ أَرَادَ إِرْسَالَ نَفَقَةٍ لِأَهْلِهِ، فَأَقْرَضَهَا لِيُوفِيَهَا الْمُقْتَرِضُ
لَهُمْ جَازَ، وَلَا يُفْسِدُ الْقَرْضَ بِفَسَادِ الشَّرْطِ؛ وَأَمَّا إِذَا شَرَطَ
أَنْ يَقْضِيَهُ بِبَلَدٍ آخَرَ فَقِيلَ: لَا يَجُوزُ، وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنِ الْإِمَامِ
أَحْمَدَ.
Telah diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, dan
Ibnu Mas’ud bahwa mereka melarang pinjaman yang mendatangkan manfaat. Sebab,
utang-piutang pada asalnya adalah akad tolong-menolong dan ibadah. Jika di
dalamnya disyaratkan tambahan, maka itu mengeluarkannya dari hakikat
asalnya.
Tidak ada perbedaan antara tambahan dalam jumlah
maupun dalam sifat, seperti seseorang meminjamkan uang dalam bentuk pecahan
kecil, lalu meminta dikembalikan dalam bentuk utuh atau dalam bentuk mata uang
lain yang lebih baik darinya. Begitu pula, tidak boleh disyaratkan agar
pembayaran dilakukan di tempat lain, karena ada biaya pengiriman yang harus
ditanggung. Sebab, utang-piutang pada dasarnya adalah akad tolong-menolong dan
ibadah, sehingga adanya syarat manfaat dalam akad tersebut mengeluarkannya dari
hakikat asalnya.
Namun, jika pemindahan lokasi pembayaran tidak
menimbulkan biaya tambahan, maka dalam *Al-Mughni* 6/437 disebutkan :
"والصَّحِيحُ جَوَازُهُ؛ لأنَّه مَصْلَحَةٌ
لهما مِن غيرِ ضَرَرٍ بواحِدٍ منهما".
bahwa pendapat yang lebih kuat membolehkannya, karena
hal itu merupakan kemaslahatan bagi kedua belah pihak tanpa ada unsur merugikan pada salah satu dari keduanya .
Demikian pula, jika seseorang ingin mengirimkan nafkah
kepada keluarganya, lalu ia mengutangkan uang tersebut kepada seseorang agar
orang itu menyampaikannya kepada keluarganya, maka itu diperbolehkan dan tidak
merusak akad pinjaman.
Adapun jika disyaratkan pembayaran di tempat lain,
sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu tidak diperbolehkan, dan ini merupakan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad. [Baca : al-As’ilah wal Ajwibah al-Fiqhiyyah 4/364-367].
Dalam *Al-Inshaf* 12/344 karya
al-Mardawai disebutkan :
ويحْتَمِلُ جَوازُ
هذا الشَّرْطِ. وهو عائدٌ إلى هذه المَسْألَةِ فقط. وهو رِوايَةٌ عن أحمدَ. واخْتارَه
المُصَنِّفُ، والشَّيخُ تَقِيُّ الدِّينِ. وصحَّحه في «النَّظْمِ»، و «الفائقِ». وهو
ظاهرُ كلامِ ابنِ أبِي مُوسى. وقطع المُصَنِّفُ والشَّارِحُ -فيما إذا لم يكُنْ لحَمْلِه
مُؤْنَةٌ- بالجَوازِ، [وعدَمِه فيما لحَمْلِه مُؤَنَةٌ]
“Ada
kemungkinan syarat tersebut diperbolehkan, dan ini hanya berlaku dalam kasus
ini saja. Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, yang
dipilih oleh penulis kitab, Syaikh Taqiyuddin rahimahullah, serta dinilai kuat
dalam *An-Nazhm* dan *Al-Fā’iq*. Ini juga tampak dari perkataan Ibnu Abi Musa.
Penulis kitab juga menyebutkan hukum secara umum: jika
pemindahan tempat pembayaran tidak menimbulkan biaya tambahan, maka itu
diperbolehkan, tetapi jika menimbulkan biaya tambahan, maka tidak diperbolehkan”. **Selesai.**
Dalam **Majmu’ Al-Fatawa** karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah disebutkan:
"وَسُئِلَ:
عَمَّا إذَا أَقْرَضَ رَجُلٌ رَجُلًا دَرَاهِمَ لِيَسْتَوْفِيَهَا مِنْهُ فِي
بَلَدٍ آخَرَ فَهَلْ يَجُوزُ ذَلِكَ؟ أَمْ لَا؟
فَأَجَابَ: إذَا
أَقْرَضَهُ دَرَاهِمَ لِيَسْتَوْفِيَهَا مِنْهُ فِي بَلَدٍ آخَرَ: مِثْلَ أَنْ يَكُونَ
الْمُقْرِضُ غَرَضُهُ حَمْلُ الدَّرَاهِمِ إلَى بَلَدٍ آخَرَ وَالْمُقْتَرِضُ لَهُ
دَرَاهِمُ فِي ذَلِكَ الْبَلَدِ وَهُوَ مُحْتَاجٌ إلَى دَرَاهِمَ فِي بَلَدِ الْمُقْرِضِ
فَيَقْتَرِضُ مِنْهُ وَيَكْتُبُ لَهُ " سَفْتَجَةً " أَيْ: وَرَقَةً إلَى
بَلَدِ الْمُقْتَرِضِ فَهَذَا يَصِحُّ فِي أَحَدِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ. وَقِيلَ:
نُهِيَ عَنْهُ لِأَنَّهُ قَرْضٌ جَرَّ مَنْفَعَةً وَالْقَرْضُ إذَا جَرَّ مَنْفَعَةً
كَانَ رِبًا وَالصَّحِيحُ الْجَوَازُ؛ لِأَنَّ الْمُقْتَرِضَ رَأَى النَّفْعَ بِأَمْنِ
خَطَرِ الطَّرِيقِ فِي نَقْلِ دَرَاهِمِهِ إلَى ذَلِكَ الْبَلَدِ وَقَدْ انْتَفَعَ
الْمُقْتَرِضُ أَيْضًا بِالْوَفَاءِ فِي ذَلِكَ الْبَلَدِ وَأَمِنَ خَطَرَ الطَّرِيقِ،
فَكِلَاهُمَا مُنْتَفِعٌ بِهَذَا الِاقْتِرَاضِ وَالشَّارِعُ لَا يَنْهَى عَمَّا يَنْفَعُهُمْ
وَيُصْلِحُهُمْ وَإِنَّمَا يَنْهَى عَمَّا يَضُرُّهُمْ".
Seseorang ditanya tentang kasus jika seseorang
meminjamkan uang dirham kepada orang lain dengan syarat agar uang tersebut
dikembalikan di tempat lain. Apakah hal itu diperbolehkan atau tidak?
Beliau menjawab: Jika seseorang meminjamkan dirham
kepada orang lain agar uang tersebut dikembalikan di tempat lain—misalnya
pemberi pinjaman bertujuan untuk mengirimkan uang ke daerah lain, sementara
peminjam memiliki uang di daerah tersebut dan membutuhkan uang di tempat
pemberi pinjaman—maka ia meminjam darinya dan memberikan *suftajah* (surat
keterangan pembayaran) ke daerah peminjam, maka dalam salah satu pendapat ulama
hal ini diperbolehkan. Namun, ada pula pendapat yang melarangnya karena
dianggap sebagai pinjaman yang mendatangkan manfaat. Sedangkan, jika pinjaman
mendatangkan manfaat, maka itu termasuk riba.
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal ini
diperbolehkan. Sebab, peminjam mendapatkan manfaat berupa keamanan dari risiko
perjalanan dalam mengirimkan uangnya ke daerah tersebut, begitu pula pemberi
pinjaman mendapatkan manfaat dengan menerima pembayaran di tempat yang
diinginkannya serta aman dari risiko perjalanan. Dengan demikian, keduanya
memperoleh manfaat dari transaksi pinjaman ini.
Syariat tidak melarang sesuatu yang membawa manfaat
dan kebaikan bagi manusia, melainkan hanya melarang hal-hal yang merugikan
mereka. (*Majmu’ Al-Fatawa*, 29/530-531).
Kemudian
dalam **al-As’ilah wal Ajwibah al-Fiqhiyyah** 4/366-367 di sebutkan pula
:
وَإِنْ فَعَلَ
مَا يَحْرُمُ اشْتِرَاطُهُ، بِأَنْ أَسْكَنَهُ دَارَهُ، أَوْ قَضَاهُ بِبَلَدٍ آخَرَ
بِلا شَرْطٍ، جَازَ، أَوْ أَهْدَى مُقْتَرِضٌ لَهُ هَدِيَّةً بَعْدَ الْوَفَاءِ، جَازَ،
أَوْ قَضَى مُقْتَرِضٌ خَيْرًا مِمَّا أَخَذَهُ، جَازَ، كَصِحَاحٍ عَنْ مَكْسَرَةٍ،
أَوْ أَجْوَدَ نَقْدًا، أَوْ سِكَّةٍ مِمَّا اقْتَرَضَ، وَكَذَا رَدُّ نَوْعٍ خَيْرًا
مِمَّا أَخَذَ، أَوْ أَرْجَحَ يَسِيرًا فِي قَضَاءِ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، وَكَذَا رَدُّ
نَوْعٍ خَيْرًا مِمَّا أَخَذَ، أَوْ أَرْجَحَ يَسِيرًا فِي قَضَاءِ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ،
بِلا مُوَاطَأَةٍ فِي الْجَمِيعِ، أَوْ عُلِمَتْ زِيَادَةُ الْمُقْتَرِضِ عَلَى مِثْلِ
الْقَرْضِ أَوْ قِيمَتِهِ لِشُهْرَةِ سَخَائِهِ، جَازَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ
ﷺ اسْتَسْلَفَ بَكْرًا، فَرَدَّ خَيْرًا مِنْهُ، وَقَالَ: «خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ
قَضَاءً» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ.
وَلِأَنَّ الزِّيَادَةَ
لَمْ تُجْعَلْ عِوَضًا فِي الْقَرْضِ، وَلَا وَسِيلَةً إِلَيْهِ، وَلَا اسْتِيفَاءَ
دَيْنِهِ، أَشْبَهَ مَا لَوْ لَمْ يَكُنْ قَرْضًا، وَإِنْ فَعَلَ مُقْتَرِضٌ ذَلِكَ
بِأَنْ أَسْكَنَهُ دَارَهُ، أَوْ أَهْدَى لَهُ قَبْلَ الْوَفَاءِ، وَلَوْ لَمْ يَنْوِ
مُقْرِضٌ احْتِسَابَهُ مِنْ دَيْنِهِ، أَوْ لَمْ يَنْوِ مُكَافَأَةً عَلَيْهِ، لَمْ
يَجُزْ، إِلَّا إِنْ جَرَتْ عَادَةٌ بَيْنَهُمَا بِهِ قَبْلَ قَرْضِهِ؛ لِحَدِيثِ أَنَسٍ
مَرْفُوعًا: «إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ فَأَهْدِيَ إِلَيْهِ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى
الدَّابَّةِ، فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهَا، إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ
وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ» رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَكَذَا الْبَيْهَقِيُّ فِي «السُّنَنِ»
وَ«الشَّعْبِ» وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ فِي «سُنَنِهِ»، وَهُوَ حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَيُؤَيِّدُهُ
مَا فِي الْبُخَارِيِّ عَنْ أَبِي بَرْدَةَ، قَالَ: قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ، فَلَقِيتُ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلَامٍ، فَقَالَ لِي: إِنَّكَ بِأَرْضٍ فِيهَا الرِّبَا فَاشٍ،
فَإِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهْدَى إِلَيْكَ حَمْلَ تِبْنٍ، أَوْ حَمْلَ
قَتٍّ، فَلَا تَأْخُذْهُ؛ فَإِنَّهُ رِبًا. وَفِي مُسْنَدِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي أُسَامَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: «كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ
الرِّبَا» وَكَذَا كُلُّ غَرِيمٍ حُكْمُهُ حُكْمُ الْمُقْتَرِضِ فِيمَا تَقَدَّمَ.
Jika
seseorang melakukan sesuatu yang haram jika disyaratkan, seperti memberikan
tempat tinggal di rumahnya kepada pemberi pinjaman, atau membayar utangnya di
tempat lain tanpa ada persyaratan, maka hal itu diperbolehkan. Jika peminjam
memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman setelah utangnya lunas, maka itu juga
diperbolehkan. Demikian pula, jika peminjam mengembalikan sesuatu yang lebih
baik dari yang ia pinjam, seperti uang pecahan utuh sebagai ganti uang pecahan
kecil, atau dalam bentuk mata uang yang lebih baik, atau dalam bentuk cetakan
yang lebih baik dari yang dipinjamnya, maka itu juga diperbolehkan. Begitu pula
jika peminjam mengembalikan sesuatu yang lebih baik dari yang dipinjamnya, atau
memberikan sedikit tambahan dalam pembayaran utang berupa emas atau perak,
selama tidak ada kesepakatan sebelumnya mengenai tambahan tersebut. Jika
diketahui bahwa peminjam memang sering memberikan tambahan karena dikenal
sebagai orang yang dermawan, maka hal itu diperbolehkan.
Sebab,
Rasulullah ﷺ pernah meminjam seekor unta muda dan mengembalikannya dengan
yang lebih baik. Beliau bersabda: **"Sebaik-baik kalian adalah yang paling
baik dalam melunasi utang."** (Muttafaqun 'alaih, dari hadis Abu
Rafi’).
Tambahan ini
tidak dianggap sebagai imbalan dalam akad pinjaman, tidak pula sebagai sarana
menuju riba, serta bukan bagian dari pelunasan utang. Hukumnya seperti halnya
sesuatu yang bukan akad pinjaman.
Namun, jika
peminjam memberikan manfaat kepada pemberi pinjaman sebelum pelunasan, seperti
mengizinkannya tinggal di rumahnya atau memberinya hadiah, sementara pemberi
pinjaman tidak berniat menganggapnya sebagai pembayaran utang, atau peminjam
tidak berniat memberikan hadiah sebagai balas jasa, maka itu tidak
diperbolehkan—kecuali jika hal tersebut sudah menjadi kebiasaan mereka sebelum
akad pinjaman.
Hal ini
berdasarkan hadis Anas yang marfu’: **"Jika salah seorang dari kalian
memberikan pinjaman, lalu peminjam memberinya hadiah atau memboncengkannya di
atas hewan tunggangannya, maka janganlah ia menaikinya atau menerima hadiah
tersebut, kecuali jika memang sudah menjadi kebiasaan di antara mereka
sebelumnya."** (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Al-Baihaqi dalam *As-Sunan*
dan *Syu’ab Al-Iman*, serta Sa’id bin Manshur dalam *Sunan*-nya. Hadis ini
hasan).
Hadis ini
diperkuat oleh riwayat dalam *Shahih Al-Bukhari* dari Abu Burdah, yang berkata:
*"Aku datang ke Madinah, lalu bertemu dengan Abdullah bin Salam. Ia
berkata kepadaku: 'Engkau berada di negeri yang di dalamnya riba tersebar luas.
Jika engkau memiliki piutang kepada seseorang, lalu ia memberimu seikat jerami
atau seikat pakan ternak, maka janganlah engkau menerimanya, karena itu adalah
riba.'”*
Dalam
*Musnad Al-Harits bin Abi Usamah*, Nabi ﷺ bersabda: **"Setiap
pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah salah satu bentuk riba."**
Demikian
pula, setiap orang yang memiliki piutang, hukumnya sama dengan peminjam dalam
permasalahan yang telah disebutkan.
===****===
**HUKUM ORANG YANG BERUTANG UANG UNTUK MEMBELI HADIAH BAGI PEMBERI PINJAMAN**
CONTOHNYA :
Seorang Ibu
berkata kepada anak-nya :
“Kasih aku pinjam
uang sebesar 1 juta rupiah. Nanti akan saya gunakan untuk membelikan hadiah baju
lebaran untuk-mu dan juga adik-mu”.
Pertanyaanya
: “Apakah ini termasuk riba?”.
Jawaban-nya:
Jika ibu
tersebut membeli hadiah baju lebaran untuk anaknya karena pinjaman, dan jika
bukan karena pinjaman tersebut, maka ia tidak akan membelikan baju tersebut
untuk anak-nya itu . Umpanya seperti jika adik-nya itu adalah satu-satunya yang
dimaksud oleh ibu-nya untuk dibelikan hadiah. Berbeda kepada kakaknya, hadiahnya
itu dikarenakan pinjaman dari-nya ; maka ini adalah manfaat yang disebabkan
oleh pinjaman, sehingga hukumnya haram.
Namun jika
ibunya itu memang berniat untuk membeli jubah untuk anak yang ngasih pinjam
sebagai bentuk kebaikan, seperti halnya untuk adik-nya, baik pinjaman itu dari
anak tersebut atau dari orang lain, maka dalam hal ini, manfaat baju lebaran
tersebut bukan untuk pinjaman, melainkan untuk hubungan keluarga, sehingga
tidak ada larangan dalam hal ini.
**Berikut
penjelasan batasan dan kaidah riba dalam masalah ini :**
Di antara
kaidah yang disimpulkan oleh para ulama dari nash-nash syariat adalah bahwa
pinjaman yang menyebabkan adanya manfaat yang disyaratkan bagi pemberi pinjaman
maka itu adalah riba.
Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah ta’ala berkata:
( وَيَحْرُمُ كُلُّ شَرْطٍ جَرَّ نَفْعًا )؛ يَحْرُمُ
يَعْنِي فِي الْقَرْضِ كُلُّ شَرْطٍ يَشْتَرِطُهُ الْمُقْرِضُ ، يَجْرُ إِلَيْهِ نَفْعًا،
أَمَّا إِذَا كَانَ يَجْرُ نَفْعًا إِلَى الْمُسْتَقْرِضِ ، فَهُوَ الْأَصْلُ، إِذًا
كُلُّ شَرْطٍ جَرَّ نَفْعًا لِلْمُقْرِضِ ، فَهُوَ مُحَرَّمٌ.
وَقَوْلُهُ: ( كُلُّ شَرْطٍ ) الشَّرْطُ
يَقَعُ فِي هَذِهِ الْحَالِ مِنْ الْمُقْرِضِ...
وَلِمَاذَا لَا يَجُوزُ؟! أَلَيْسَ الْمُسْلِمُونَ
عَلَى شُرُوطِهِمْ؟!
بَلَى، لَكِنْ : ( إِلَّا شَرْطًا أَحَلَّ
حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ) ، وَهَذَا أَحَلَّ حَرَامًا؛ وَذَٰلِكَ أَنَّ الْأَصْلَ
فِي الْقَرْضِ هُوَ الْإِرْفَاقُ وَالْإِحْسَانُ إِلَى الْمُقْتَرِضِ، فَإِذَا دَخَلَهُ
الشَّرْطُ ، صَارَ مِنْ بَابِ الْمُعَاوِضَةِ، وَإِذَا كَانَ مِنْ بَابِ الْمُعَاوِضَةِ،
صَارَ مُشْتَمِلًا عَلَى رِبَا الْفَضْلِ وَرِبَا النَّسِيئَةِ، فَاجْتَمَعَ فِيهِ
الرِّبَا بِأَنْوَاعِهِ.
مِثَالُ ذَٰلِكَ: لَمَّا اسْتَقْرَضَ
مِنِّي مِئَةَ أَلْفٍ، وَاشْتَرَطْتُ عَلَيْهِ أَنْ أَسْكُنَ دَارَهُ شَهْرًا، صَارَ
كَأَنِّي بَعَتُّ عَلَيْهِ مِئَةَ أَلْفٍ بِمِئَةَ أَلْفٍ، بِزِيَادَةِ سَكَنَى الْبَيْتِ
شَهْرًا، وَهَذَا رِبَا نَسِيئَةٍ وَرِبَا فَضْلٍ، رِبَا فَضْلٍ؛ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً،
وَرِبَا نَسِيئَةٍ؛ لِأَنَّ فِيهِ تَأْخِيرًا فِي تَسْلِيمِ الْعَوَضِ.
وَلِهَٰذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ: كُلُّ
قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً بِشَرْطٍ ، فَهُوَ رِبًا.
وَقَدْ وَرَدَ : ( كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا ). لَكِنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ أَمَّا مَعْنَاهُ فَصَحِيحٌ.
_"(Dan
haram setiap syarat yang mendatangkan manfaat)"_—yang dimaksud dengan
haram di sini adalah dalam transaksi utang-piutang. Setiap syarat yang
ditetapkan oleh pemberi pinjaman dan mendatangkan manfaat bagi dirinya adalah
haram. Adapun jika manfaat itu kembali kepada peminjam, maka itulah yang asal
dalam pinjaman. Maka, setiap syarat yang mendatangkan manfaat bagi pemberi
pinjaman adalah haram.
Dan
ucapannya _(“setiap syarat”)_—dalam konteks ini, syarat tersebut berasal dari
pemberi pinjaman.
Mengapa
tidak boleh?! Bukankah kaum muslimin harus berpegang pada syarat-syarat
mereka?!
Benar,
tetapi ada pengecualian, yaitu _(“kecuali syarat yang menghalalkan sesuatu yang
haram atau mengharamkan sesuatu yang halal”)_. Dan dalam kasus ini, syarat
tersebut menghalalkan sesuatu yang haram. Sebab, pada asalnya, utang-piutang
bertujuan untuk memberi keringanan dan berbuat baik kepada peminjam. Jika di
dalamnya terdapat syarat, maka utang-piutang berubah menjadi transaksi jual
beli atau pertukaran manfaat _(mu’awadhah)_. Jika sudah masuk dalam kategori
transaksi tukar-menukar, maka utang tersebut mengandung riba fadhl dan riba
nasi’ah, sehingga kedua jenis riba ini berkumpul dalam transaksi tersebut.
Contohnya:
ketika seseorang meminjam uang dariku sebesar seratus ribu, lalu aku
mensyaratkan kepadanya agar aku boleh tinggal di rumahnya selama satu bulan,
maka ini sama saja seperti aku menjual seratus ribu kepadanya dengan seratus
ribu, tetapi dengan tambahan manfaat berupa tinggal di rumahnya selama satu
bulan. Ini termasuk riba nasi’ah dan riba fadhl.
Riba fadhl
terjadi karena ada tambahan manfaat yang diperoleh oleh pemberi pinjaman,
sedangkan riba nasi’ah terjadi karena adanya penundaan dalam penyerahan imbalan
_(‘iwadh)_.
Oleh karena
itu, para ulama berkata: **“Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat dengan
syarat, maka itu adalah riba.”**
Telah
diriwayatkan pula hadits _(“Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah
riba”)._ Akan tetapi, hadits ini lemah. Namun, maknanya benar.
(Selesai
dari *Syarh al-Mumti’*, 9/108–109).
والمنفعة العائدة للمقرض : هي من
الربا بالإجماع ، إذا كانت مقابل القرض ، ولأجله ، وذلك بأن يشترطها.
ويلحق بالمنفعة المشترطة : ما لم
يشترطها صراحة ، لكنه المقترض إنما بذلها للمقرض لأجل القرض، ولولاه ما بذلها له .
ولذلك ، فقد نص أهل العلم على أن
المقترض لا يهدي للمقرض شيئا ، لم تجر به العادة بينهما ، قبل أن يرجع إليه
قرضه.
قال القرطبي رحمه الله تعالى:
" وأجمع
المسلمون نقلا عن نبيهم ﷺ أن اشتراط الزيادة في السلف ربا، ولو كان قبضة من علف-
كما قال ابن مسعود- أو حبة واحدة...
ولا يجوز أن يهدي من استقرض هدية
للمقرض، ولا يحل للمقرض قبولها ، إلا أن يكون عادتهما ذلك ... " انتهى من
"تفسير القرطبي" (4 / 225 - 226).
Dan manfaat
yang kembali kepada pemberi pinjaman adalah termasuk riba dengan ijma'
(kesepakatan para ulama), jika itu sebagai imbalan dari pinjaman, dan untuk
itu, yaitu dengan menjadikannya sebagai syarat.
Dan yang
sejenis dengan manfaat yang disyaratkan adalah apa yang tidak disyaratkan
secara eksplisit, tetapi peminjam hanya memberikan itu kepada pemberi pinjaman
untuk tujuan pinjaman, jika bukan karena pinjaman, dia tidak akan
memberikannya.
Oleh karena
itu, para ulama telah menetapkan bahwa peminjam tidak boleh memberi hadiah
kepada pemberi pinjaman apa pun, jika hal itu bukan kebiasaan antara keduanya,
sebelum pinjaman tersebut dilunasi.
Al-Imam
Al-Qurtubi rahimahullah ta'ala, berkata :
أَجْمَعَ المُسْلِمُونَ نَقْلًا عَنْ
نَبِيِّهِمْ ﷺ أَنْ اشْتِرَاطَ الزِّيَادَةِ فِي السَّلَفِ رِبًا، وَلَوْ كَانَ قَبْضَةً
مِنْ عَلَفٍ- كَمَا قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ- أَوْ حَبَّةً وَاحِدَةً...
وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُهْدِيَ مَنْ اسْتَقْرَضَ
هَدِيَّةً لِلْمُقْرِضِ، وَلَا يَحِلُّ لِلْمُقْرِضِ قَبُولُهَا، إِلَّا أَنْ يَكُونَ
عَادَتُهُمَا ذَٰلِكَ... " اِنْتَهَى
"Dan
para Muslim telah sepakat berdasarkan sabda Nabi ﷺ bahwa menyaratkan tambahan
dalam pinjaman adalah riba, meskipun itu hanya setangkai makanan seperti yang
dikatakan oleh Ibn Mas'ud, atau satu biji saja...
Dan tidak
boleh seseorang yang meminjam memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman, dan
tidak halal bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya, kecuali jika itu adalah
kebiasaan mereka sebelumnya..." (Tafsir Al-Qurtubi, 4/225-226).
Adapun jika manfaat tersebut – seperti hadiah dan sejenisnya – tidak dimaksudkan untuk pinjaman, dan bukan sebagai ganti atau imbalan untuk pinjaman, maka tidak mengapa dalam keadaan ini.
Ibnu Qudamah
rahimahullah ta'ala berkata:
"النَّبِيُّ ﷺ استَسْلَفَ بَكْرًا، فَرَدَّ
خَيْرًا مِّنْهُ. وَقَالَ: (خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَلِلبُخَارِيِّ: (أَفْضَلُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً). وَلِأَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْ
تِلْكَ الزِّيَادَةَ عَوَضًا فِي القَرْضِ، وَلَا وَسِيلَةً إِلَيْهِ، وَلَا إِلَى
اسْتِيفَاءِ دَيْنِهِ، فَحَلَّتْ، كَمَا لَوْ لَمْ يَكُنْ قَرْضٌ." اِنْتَهَى
"Nabi ﷺ meminjamkan seekor unta, lalu mengembalikannya dengan yang
lebih baik darinya. Dan beliau berkata: 'Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik
dalam melunasi hutang.' (Muttafaq 'alayh). Dan dalam riwayat Al-Bukhari: 'Yang
terbaik di antara kalian adalah yang terbaik dalam melunasi hutang.' Karena
beliau tidak menjadikan tambahan tersebut sebagai ganti untuk pinjaman, atau
sebagai sarana untuk itu, atau untuk melunasi hutangnya, maka hal itu
diperbolehkan, seperti halnya jika itu bukan pinjaman." (Al-Mughni,
6/438-439).
Syeikhul
Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah ta'ala berkata:
"– نَهْيٌ – اَلْمُقْرِضِ عَنْ قَبُولِ هَدِيَّةِ
اَلْمُقْتَرِضِ قَبْلَ الوَفَاءِ؛ لِأَنَّ اَلْمَقْصُودَ بِالْهَدِيَّةِ أَنْ يُؤَخِّرَ
اْلَاقْتِضَاءَ، وَإِنْ كَانَ لَمْ يُشْرِطْ ذَٰلِكَ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِهِ، فَيَصِيرُ
بِمَنْزِلَةِ أَنْ يَأْخُذَ اَلْأَلْفَ بِهِدِيَّةٍ نَاجِزَةٍ وَأَلْفٍ مُؤَخَّرَةٍ
وَهَذَا رِبًا.
وَلِهَذَا جَازَ أَنْ يَزِيدَ عِندَ اَلوَفَاءِ،
وَيُهْدِيَ لَهُ بَعْدَ ذَٰلِكَ، لِزَوَالِ مَعْنَى الرِّبَا." اِنْتَهَى
"Dilarangnya
pemberi pinjaman menerima hadiah dari peminjam sebelum pelunasan, karena tujuan
dari hadiah itu adalah untuk menunda pelunasan, meskipun tidak ada syarat atau
pembicaraan tentang itu. Maka hal ini menjadi seperti menerima seribu sebagai
hadiah yang segera diterima dan seribu lagi yang ditunda, ini adalah riba.
Oleh karena
itu, diperbolehkan untuk menambah saat pelunasan dan memberi hadiah setelahnya,
karena hilangnya unsur riba." (Al-Fatawa al-Kubra, 6/160).
===***===
PENUTUP :
Allah SWT
berfirman :
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ
فَحَيُّوا۟ بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ
كُلِّ شَىْءٍ حَسِيبًا
Artinya : “
Apabila kalian diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu”. ( QS. An-Nisa Ayat 86 )
Dari Jabir
ibn Abdillah ra: Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا
إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.
Semoga Allah
merahmati orang yang memudahkan ketika menjual, ketika membeli dan ketika
menagih haknya . ( HR. Bukhori no. 2076 )
Dalam
riwayat Abdurrozzaaq dlm “المُصَنَّف” dari Zaid bin Aslam, begitu
juga dalam “كنز العمال” 4/44 no. 9424 & 9427 dari Abu Hurairah dan Jabir dari Nabi
ﷺ dengan lafadz :
أَحَبَّ اللهُ عَبْداً سَمْحًا إِذَا
بَاعَ سَمْحًا إِذَا اشْتَرَى سَمْحًا إذَا قَضَى سَمْحًا إِذَا اقْتَضَى
“
Allah SWT mencintai orang yang memudahkan ketika menjual, ketika membeli ,
ketika membayar hutang dan ketika menagih “.
0 Komentar