Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

STUDY HADITS : “CARILAH RIZKI DENGAN MENIKAH".

STUDI HADITS : “CARILAH RIZKI DENGAN MENIKAH".

(Yakni ; Dengan Membangun Pondasi Kehidupan Rumah Tangga)”.

****

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

====


====

DAFTAR ISI :

  • HADITS-HADITS DHO’IF TENTANG MASALAH INI:
  • ATSAR PARA SAHABAT :
  • DALIL SYAR’I YANG SHAHIH DALAM MASALAH INI:
  • PENYELARASAN ANTAR DALIL DAN REALITA
  • APAKAH BENAR PERNIKAHAN TERMASUK KUNCI PINTU REZEKI DAN KESUKSESAN?
  • APAKAH BENAR DENGAN PERNIKAHAN BISA MENDATANGKAN REZEKI?
  • APAKAH LAYAK SESEORANG MENOLAK MENIKAH KARENA DIA MISKIN?
  • APAKAH PERNIKAHAN ITU MELAPANGKAN REZEKI DAN MEMBAWA KEKAYAAN, ATAU SEBALIKNYA MENJADI SEBAB KEMISKINAN?
  • CARILAH REZEKI MELALUI PERNIKAHAN !.
  • APAKAH PERNIKAHAN MERUPAKAN SUMBER REZEKI YANG TELAH DITENTUKAN?
  • MENIKAHLAH, KARENA DALAM PERNIKAHAN ADA KEBERKAHAN !!!!
  • ANJURAN MEMPERSIAPKAN KEMAMPUAN MAHAR & NAFKAH SEBELUM NIKAH
  • DALAM ISLAM TIDAK ADA BATASAN MAXIMAL MAHAR DALAM NIKAH
  • DALAM ISLAM TIDAK ADA BATASAN MINIMAL MAHAR DALAM NIKAH

*****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

===***===

HADITS-HADITS DHO’IF TENTANG MASALAH INI:

Berikut ini beberapa hadits dho’if tentang pernikahan membawa rizki adalah sebab kekayaan,

HADITS KE 1 :

Hadits Ibnu Abbaas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah bersabda :

«ٱلْتَمِسُوا ٱلرِّزْقَ بِٱلنِّكَاحِ»

"Carilah rezeki melalui pernikahan." 

Diriwayatkan oleh ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus hal. 282 dan at-Tsa’labi dalam Tafsirnya 7/95 dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Di hukumi dhoif oleh banyak para ulama hadits, diantaranya oleh al-Albaani dalam Dho’if al-Jami’ ash-Shoghir no. 1149 dan no. 3074].

Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata: 

ضَعِيفٌ. رَوَاهُ ٱلْوَاحِدِيُّ فِي "ٱلْوَسِيطِ" (3/116/2)، وَٱلدَّيْلَمِيُّ (1/1/42) عَنْ مُسْلِمِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ ٱبْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا. 

وَقَالَ ٱلْحَافِظُ فِي "مُخْتَصَرِ ٱلدَّيْلَمِيِّ": "مُسْلِمٌ فِيهِ لَبْسٌ، وَشَيْخُهُ...!" كَذَا ٱلْأَصْلُ، بَيَّضَ لِشَيْخِهِ، وَلَمْ أَعْرِفْهُ، وَأَمَّا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ، فَهُوَ ٱلْمَعْرُوفُ بِٱلزَّنْجِيِّ. قَالَ فِي "ٱلتَّقْرِيبِ": "صَدُوقٌ كَثِيرُ ٱلْأَوْهَامِ".

"Hadis ini lemah: Diriwayatkan oleh Al-Wahidi dalam 'Al-Wasith' (3/116/2), dan Al-Dailami (1/1/42) dari Muslim bin Khalid, dari Sa'id bin Abi Salih, dari Ibnu Abbas, marfu’ kepada Nabi ".

Al-Hafizh berkata dalam *Mukhtashar Ad-Dailami*: "Muslim di dalamnya ada kebingungan, dan juga syaikhnya...!"

Demikianlah teks aslinya, ia membiarkan nama syaikhnya kosong, dan aku tidak mengetahuinya. Adapun Muslim bin Khalid, ia dikenal dengan sebutan Az-Zanji. Dalam *At-Taqrib* disebutkan: "Shaduq tetapi banyak wahm (kesalahan)." [Kutipan Selesai].

Fatwa Syaikh Bin Baz:   

**Pertanyaan:**

أَقُولُ الحَدِيثَ الَّذِي ذَكَرَهُ يَا شَيْخُ: «اطْلُبُوا الغِنَى فِي النِّكَاحِ»؟

Saya bertanya, wahai Syaikh, tentang hadits yang disebutkan: *"Carilah kekayaan dalam pernikahan"*? 

**Jawaban:**

أَقُولُ مَا أَعْلَمُ لَهُ أَصْلًا، لَكِنْ فِيهِ مَعْنًى آخَرُ، يَقُولُ الرَّسُولُ -عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-: ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ، وَذَكَرَ مِنْهُمُ المُتَزَوِّجَ يُرِيدُ العَفَافَ، يُعَانُ، يُعِينُهُ اللهُ، وَيُسَهِّلُ اللهُ أَمْرَهُ

Saya katakan, saya tidak mengetahui adanya asal (hadis) ini, tetapi ada makna lain. Rasulullah bersabda: *"Ada tiga golongan yang berhak mendapatkan pertolongan Allah,"* dan beliau menyebutkan di antaranya *seseorang yang menikah dengan niat menjaga kesucian diri,* maka ia akan ditolong, Allah akan menolongnya dan memudahkan urusannya.

HADITS KE 2 :

Hadis ini juga lemah menurut Al-Albani dalam "Silsilah Al-Dha'ifah" 7/409 (3400) dan beliau menjelaskan mengapa ia lemah.

Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

«‌تَزَوَّجُوا ‌النِّسَاءَ ‌فَإِنَّهُنَّ ‌يَأْتِينَ ‌بِالْمَالِ»

“Menikahlah dengan wanita, karena mereka akan mendatangkan harta.”

Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/174, no. 2679), dan ia berkata:

صَحِيحٌ عَلَىٰ شَرْطِ ٱلشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ، لِتَفَرُّدِ سَلَمِ بْنِ جُنَادَةَ بِسَنَدِهِ، وَسَلَمٌ ثِقَةٌ مَأْمُونٌ

“Sahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya, karena hanya Salam bin Junadah yang meriwayatkannya dengan sanadnya, dan Salam adalah seorang yang tepercaya dan amanah”.

Adz-Dzahabi menyetujuinya dalam kitabnya At-Talkhis. 

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (4/127), Ibnu al-Muqri dalam al-Mu’jam no. 244, dan oleh Abu Dawud dalam Al-Marasil (no. 140) melalui jalur Hisyam dari ayahnya secara mursal.

Al-Hafizh dalam Talkhis Al-Habir (3/117) menyebutkan :

إِنَّ ٱلدَّارَقُطْنِيَّ رَجَّحَ ٱلرِّوَايَةَ ٱلْمُرْسَلَةَ

Bahwa Ad-Daraquthni menguatkan riwayat yang mursal.

Hadits dihukumi Dho’if oleh al-Albani dalam Dho’if al-Jami’ no. 2427. Dan dalam as-Silsilah ad-Dho’ifah 7/409 no. 3400, al-Albani berkata :

وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي "ٱلْمَرَاسِيلِ" (180/203) مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَنْ أَبِي أُسَامَةَ.

قُلْتُ: وَهَذَا سَنَدٌ مُرْسَلٌ صَحِيحٌ. وَقَدْ وَصَلَهُ أَبُو ٱلسَّائِبِ سَلَمُ بْنُ جُنَادَةَ فَقَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوعًا بِهِ. 

“Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marasil (180/203) melalui jalur lain dari Abu Usamah. 

Aku berkata: Ini adalah sanad mursal yang sahih. Abu As-Saib Salam bin Junadah telah menyambungkannya dengan berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah secara marfu'”. [Selesai Kutipan]

HADITS KE 3 :

Rasulullah bersabda :

"‌تَزَوَّجُوا ‌فُقَرَاءَ ‌يُغْنِكُمُ ‌اللَّهُ"

"Kalian Nikahilah orang-orang fakir miskin, niscaya Allah akan memberi kalian kekayaan." 

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Aku tidak mengenalnya."   [Lihat : "Ahadits Al-Qashshaash" (hlm. 89)]. 

Hafizh Ibnu Kathir rahimahullah juga berkata:

فَلَا أَصْلَ لَهُ، وَلَمْ أَرَهُ بِإِسْنَادٍ قَوِيٍّ وَلَا ضَعِيفٍ إِلَى الْآنَ، وَفِي الْقُرْآنِ غَنِيَّةٌ عَنْهُ 

"Tidak ada asal-usulnya, dan aku belum menemukannya dengan sanad yang shahih atau lemah sampai saat ini, dan Al-Qur'an sudah cukup memberikan penjelasan mengenai hal itu."  ["Tafsir Ibnu Kathir" (6/52)].

Begitu pula yang dikatakan oleh al-Qosttholany dalam Irsyad as-Saary 8/18 .

HADITS KE 4 :

Kisah seseorang yang datang mengeluhkan kemiskinannya kepada Nabi , lalu beliau menyarankan untuk menikah. 

Hadis ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu yang berkata: 

" جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌يَشْكُو ‌إِلَيْهِ ‌الْفَاقَةَ، ‌فَأَمَرَهُ ‌أَنْ ‌يَتَزَوَّجَ".

“Seorang lelaki datang kepada Nabi mengeluhkan kefakiran, maka beliau menyuruhnya untuk menikah.” 

Diriwayatkan oleh Al-Khatib al-Baghdadi dalam “Tarikh Baghdad” (1/365) .

Sanad hadits ini sangat lemah karena terdapat perawi Sa’id bin Muhammad Mawla Bani Hashim, yang menurut Abu Hatim: “Hadisnya tidak dapat diterima.” 

Menurut Ibnu Hibban: “Tidak boleh dijadikan hujjah.” 

Kemudian, Al-Dzahabi mencatat hadis ini dalam kategori “Munkar” dalam “Mizan Al-I’tidal” (2/156).

Riwayat ini juga dirujuk oleh As-Sakhawi dalam “Al-Maqasid Al-Hasanah” (hlm. 149), dan Al-Manawi dalam “Fayd Al-Qadir” (3/241) yang meriwayatkannya dari Ats-Tsa’labi melalui jalur Al-Darawardi, dari Ibnul-Ajlani:

أَنَّ رَجُلًا شَكَا إِلَى ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ٱلْفَقْرَ، فَقَالَ: "عَلَيْكَ بِٱلْبَاءَةِ".

“Seorang lelaki mengeluhkan kepada Nabi kemiskinannya, maka beliau berkata: ‘Nikahilah.’” 

Namun, Sheikh Al-Albani rahimahullah berkata: 

"هَذَا مَعَ أَنَّهُ مُعْضَلٌ، فَلَا نَدْرِي مَا حَالُ ٱلْإِسْنَادِ إِلَى ٱبْنِ عَجْلَانَ" ٱنْتَهَىٰ .

“Hadis ini mu’dhol (terputus), kita tidak tahu bagaimana keadaan sanadnya sampai kepada Ibnu ‘Ajlan.”  [Lihat : “Silsilah Adh-Dha’ifah” (Hadis nomor 3400)]. 

Karena itu, hadis ini tidak shahih.

Adapun kisah yang tersebar di kalangan masyarakat : “Bahwa lelaki yang mengeluhkan kemiskinan kepada Nabi menikahi **empat wanita** dan kemudian Allah membuka pintu rezeki setelah menikahi istri keempatnya”, adalah kisah yang tidak benar dan tidak memiliki dasar.

****

ATSAR PARA SAHABAT :

ATSAR KE 1 :

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

(ٱلْتَمِسُوا ٱلْغِنَىٰ فِي ٱلنِّكَاحِ)

“Carilah kekayaan dalam pernikahan.” 

Diriwayatkan oleh Ibnul-Jarir al-Tabari dalam “Jami’ al-Tafseer” (17/275), namun sanadnya terputus antara Qasim bin Walid dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Imam Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu berkata: 

(أَطِيعُوا ٱللَّهَ فِيمَا أَمَرَكُمْ بِهِ مِنَ ٱلنِّكَاحِ، يُنْجِزْ لَكُمْ مَا وَعَدَكُمْ مِنَ ٱلْغِنَىٰ)

“Ta’atlah kepada Allah dalam perintah-Nya mengenai pernikahan, niscaya Dia akan menepati janji-Nya untuk memberi kalian kekayaan.” 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam “At-Tafseer” (8/2582) dengan sanad mursal.

[Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (6/173, no. 10393) dari Ma’mar dari Qatadah, dan diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Jami’ Al-Bayan (17/275) dengan makna serupa dari Ibnu Mas’ud, serta dalam Kanzul ‘Ummal (16/686) dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu].

ATSAR KE DUA :

Atsar Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: 

(ٱلْتَمِسُوا ٱلْغِنَىٰ فِي ٱلْبَاهِ) 

“Carilah kekayaan dalam menikah.” 

Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam “At-Tafseer” (3/868), namun sanadnya terputus antara Ibrahim bin Muhammad bin Al-Muntasir, yang merupakan salah seorang tabi’in kecil, dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.

Dan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu: 

(عَجِبْتُ لِرَجُلٍ لَا يَطْلُبُ ٱلْغِنَىٰ بِٱلْبَاءَةِ، وَٱللَّهُ تَعَالَىٰ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ: (إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ)

“Saya heran dengan seorang lelaki yang tidak mencari kekayaan melalui pernikahan, padahal Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya: (Jika mereka miskin, Allah akan memberi kekayaan kepada mereka dengan karunia-Nya).”  [QS. An-Nur/32].

Diriwayatkan oleh As-Sakhawi dalam “Al-Maqasid Al-Hasanah” (hlm. 149) dari Abdul Razzaq, dari Mu’mar, dari Qatadah yang meriwayatkan dari Umar, namun sanadnya terputus.

*****

DALIL SYAR’I YANG SHAHIH DALAM MASALAH INI:

Dalil Pertama : Allah Ta’ala berfirman: 

﴿وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴾

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kalian dan hamba-hamba sahaya yang saleh di antara budak-budak kalian. Jika mereka miskin, maka Allah akan memberi kekayaan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32). 

Imam As-Sa’di rahimahullah berkata: 

قَوْلُهُ تَعَالَى: (إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ) أَيِ: ٱلْأَزْوَاجُ وَٱلْمُتَزَوِّجِينَ. (يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ) فَلَا يَمْنَعْكُمْ مَا تَتَوَهَّمُونَ مِنْ أَنَّهُ إِذَا تَزَوَّجَ ٱفْتَقَرَ بِسَبَبِ كَثْرَةِ ٱلْعَائِلَةِ وَنَحْوِهِ. 

وَفِيهِ حَثٌّ عَلَى ٱلتَّزَوُّجِ، وَوَعْدٌ لِلْمُتَزَوِّجِ بِٱلْغِنَىٰ بَعْدَ ٱلْفَقْرِ. 

(وَٱللَّهُ وَاسِعٌ) كَثِيرُ ٱلْخَيْرِ، عَظِيمُ ٱلْفَضْلِ. (عَلِيمٌ) بِمَنْ يَسْتَحِقُّ فَضْلَهُ ٱلدِّينِيَّ وَٱلدُّنْيَوِيَّ أَوْ أَحَدَهُمَا مِمَّنْ لَا يَسْتَحِقُّ، فَيُعْطِي كُلًّا مَا عَلِمَهُ وَٱقْتَضَاهُ حُكْمُهُ. "ٱنْتَهَىٰ".

“Firman Allah Ta’ala: (Jika mereka miskin) maksudnya adalah pasangan suami istri. (Allah akan memberi kekayaan kepada mereka dengan karunia-Nya) maka janganlah kalian terhalang dengan anggapan bahwa jika mereka menikah mereka akan menjadi miskin karena banyaknya tanggungan keluarga. 

Dalam ayat ini terdapat dorongan untuk menikah, dan janji bagi yang menikah untuk mendapatkan kekayaan setelah kefakiran. 

(Allah Maha Luas) banyak kebaikan-Nya, besar karunia-Nya. (Maha Mengetahui) siapa yang berhak menerima karunia-Nya baik dalam urusan agama maupun dunia, dan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan ilmu-Nya dan apa yang sesuai dengan hukum-Nya.” (Tafsir At-Taysir, hlm. 567).

Dalil Kedua :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda: 

(ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ : الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ)

“Tiga orang yang hak mendapatkan pertolongan dari Allah: orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang memerdekakan dirinya (mukātab) yang ingin melunasi tanggungannya, dan orang yang menikah yang ingin menjaga kehormatannya.” 

Riwayat At-Tirmidzi (1655), yang shahih menurut Ibnu Al-Arabi dalam “A’ardh al-Ahwazi” (5/3), dan disahihkan oleh Al-Albani dalam “Shahih At-Tirmidzi”.

Dalil ke tiga :

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: 

رَغَّبَهُمُ ‌اللَّهُ ‌فِي ‌التَّزْوِيجِ، ‌وَأَمَرَ ‌بِهِ ‌الْأَحْرَارَ ‌وَالْعَبِيدَ، وَوَعَدَهُمْ عَلَيْهِ الْغِنَى، فَقَالَ: {إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}

“Allah mendorong mereka untuk menikah, dan memerintahkan orang bebas dan budak untuk menikah, serta menjanjikan kekayaan sebagai balasannya.” Lalu dia menyebutkan firman Allah SWT :

“Jika mereka miskin, maka Allah akan memberi kekayaan kepada mereka dengan karunia-Nya..” (An-Nur: 32)

Diriwayatkan oleh Ibnu al-Jarir ath-Thobari (17/275) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, yang merupakan jalur shahih yang diterima dari Ibnu Abbas.

[Lihat pula : Tafsir Ibnu Katsir 6/51].

====

PENJELASAN FIRMAN ALLAH TA'ALA BERIKUT INI:

﴿إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ﴾

(Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya)

==

[ PERTANYAAN ]

Allah Ta'ala berfirman:

﴿وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴾

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahaya laki-laki dan perempuan kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya." [QS. An-Nur : 32].

**Pertanyaan-nya :**

Bagaimana cara menyelaraskan ayat diatas dengan kenyataan bahwa banyak laki-laki menikah dalam keadaan miskin dan tetap miskin hingga wafat? Padahal Allah telah menjanjikan kekayaan bagi mereka. Apakah makna 'kekayaan' dalam ayat ini adalah kekayaan jiwa, yaitu hati yang dipenuhi dengan rasa ridha? 

**[JAWABAN-NYA]**

Pendapat kebanyakan para Mufassir tentang ayat yang mulia ini:

﴿وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴾

*"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahaya laki-laki dan perempuan kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui."* (An-Nur: 32).

Mereka berpendapat bahwa ayat ini merupakan janji dari Allah Ta'ala kepada orang-orang miskin bahwa mereka akan diberi kecukupan jika mereka menghendaki pernikahan. 

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata:

أَمَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ بِالنِّكَاحِ وَرَغَّبَهُمْ فِيهِ، ‌وَأَمَرَهُمْ ‌أَنْ ‌يُزَوِّجُوا ‌أَحْرَارَهُمْ ‌وَعَبِيدَهُمْ، وَوَعَدَهُمْ فِي ذَلِكَ الْغِنَى

*"Allah memerintahkan pernikahan, menganjurkan mereka untuk itu, dan memerintahkan agar mereka menikahkan orang-orang merdeka serta para hamba sahaya mereka. Allah juga menjanjikan kekayaan dalam hal itu."* 

[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam Tafsirnya 8/2581 no. 14445 dan ath-Thabari dalam Tafsirnya 17/274 (Cet. Hajar) .

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

الْتَمِسُوا ‌الْغِنَى ‌فِي ‌النِّكَاحِ، يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}

*"Carilah kekayaan melalui pernikahan."* Allah Ta'ala berfirman: *"Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya."*

(Baca : Tafsir At-Thabari, 19/166, Tafsir al-Qur’an karya Ibnu al-Faras 3/376, Tafsir al-Qurthubi 12/241, Kasyful Khofaa karya al-‘Ajluni 1/304 no. 972). 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

"وَقَدْ زوَّج رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌ذَلِكَ ‌الرَّجُلَ ‌الَّذِي ‌لَمْ ‌يَجِدْ ‌إِلَّا ‌إِزَارَهُ، وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى خَاتَمٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَمَعَ هَذَا فَزَوَّجَهُ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ، وَجَعَلَ صَدَاقَهَا عَلَيْهِ أَنْ يُعَلِّمَهَا مَا يَحْفَظُهُ مِنَ الْقُرْآنِ.

وَالْمَعْهُودُ مِنْ كَرَمِ اللَّهِ تَعَالَى وَلُطْفِهِ أَنْ يَرْزُقَهُ وَإِيَّاهَا مَا فِيهِ كِفَايَةٌ لَهُ وَلَهَا".

*"Rasulullah menikahkan seorang laki-laki yang tidak memiliki apa pun kecuali kain yang dipakainya dan tidak mampu memiliki cincin besi sekalipun. Namun, beliau tetap menikahkannya dengan wanita tersebut dan menjadikan mahar baginya adalah mengajarkan Al-Qur'an yang ia hafal kepada istrinya.

Yang dikenal dari kemurahan Allah Ta'ala dan kelembutan-Nya adalah bahwa Dia akan memberikan rezeki yang cukup bagi keduanya."* (Tafsir Ibnu Katsir, 6/51-52). 

Ibnu Asyur rahimahullah berkata:

وَعَدَ اللَّهُ الْمُتَزَوِّجَ مِنْ هَؤُلَاءِ إِنْ كَانَ فَقِيرًا أَنْ يُغْنِيَهُ اللَّهُ، وَإِغْنَاؤُهُ تَيْسِيرُ الْغِنَى إِلَيْهِ إِنْ كَانَ حُرًّا، وَتَوْسِعَةُ الْمَالِ عَلَى مَوْلَاهُ إِنْ كَانَ عَبْدًا" انْتَهَى

*"Allah menjanjikan bagi orang yang menikah dari kalangan mereka bahwa jika ia miskin, Allah akan membuatnya kaya. Kekayaan ini berarti memudahkan baginya untuk mendapatkan rezeki jika ia orang merdeka, atau memberikan kelapangan rezeki kepada tuannya jika ia seorang hamba sahaya."* (At-Tahrir wa At-Tanwir, hal. 2901). 

As-Sa'di rahimahullah berkata:

"فَلَا يَمْنَعْكُمْ مَا تَتَوَهَّمُونَ مِنْ أَنَّهُ إِذَا تَزَوَّجَ افْتَقَرَ بِسَبَبِ كَثْرَةِ الْعَائِلَةِ وَنَحْوِهِ، وَفِيهِ حَثٌّ عَلَى التَّزَوُّجِ، وَوَعْدٌ لِلْمُتَزَوِّجِ بِالْغِنَى بَعْدَ الْفَقْرِ" انْتَهَى.

*"Janganlah kalian terhalang oleh anggapan bahwa menikah akan membuat seseorang jatuh miskin karena harus menanggung keluarga. Dalam ayat ini terdapat anjuran untuk menikah dan janji bahwa orang yang menikah akan diberikan kecukupan setelah mengalami kekurangan."* (Tafsir As-Sa'di, hal. 567). 

Hal ini diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1655) dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

(ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ)

*"Ada tiga golongan yang Allah pasti akan menolong mereka: orang yang berjihad di jalan Allah, seorang budak yang ingin membayar tebusan dirinya, dan orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya."* Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani dalam *Shahih At-Tirmidzi*. 

*****

**PENYELARASAN ANTAR DALIL DAN REALITA:**

Tidak diragukan bahwa banyak orang yang menikah tetapi tidak memperoleh kekayaan harta dan tetap miskin hingga wafat.

Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan beberapa cara untuk menyelaraskan kenyataan ini dengan ayat diatas: 

Pertama : **Kekayaan yang dimaksud dalam ayat bukanlah kekayaan harta, tetapi kekayaan jiwa**, yaitu merasa cukup dan puas.

Kekayaan jiwa ini lebih baik daripada kekayaan harta, sebagaimana sabda Nabi :

(لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ)

*"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa."* (HR. Bukhari, 6446).

As-Samarqandi berkata:

"وَالْغِنَى عَلَى وَجْهَيْنِ: غِنًى بِالْمَالِ وَهُوَ أَضْعَفُ الْحَالَيْنِ، وَغِنًى بِالْقَنَاعَةِ وَهُوَ أَقْوَى الْحَالَيْنِ" انْتَهَى.

*"Kekayaan ada dua jenis: kekayaan harta, dan ini adalah keadaan yang lebih lemah, serta kekayaan dengan merasa cukup, dan ini adalah keadaan yang lebih kuat."* (Bahr Al-'Ulum, 3/214). (Lihat juga: Tafsir Al-Qurthubi, 12/241-242). 

Kedua : **Yang dimaksud dengan kemiskinan dan kekayaan dalam ayat bukanlah harta**.

Akan tetapi bahwa siapa pun yang ingin menikah untuk menjaga kesuciannya, meskipun ia miskin, maka Allah akan memudahkan baginya pernikahan yang halal agar ia tidak jatuh dalam zina.

Al-Qurthubi berkata:

"وَقِيلَ: الْمَعْنَى: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ إِلَى النِّكَاحِ يُغْنِهِمُ اللَّهُ بِالْحَلَالِ لِيَتَعَفَّفُوا عَنِ الزِّنَا" انْتَهَى.

*"Dikatakan bahwa makna ayat ini adalah: jika mereka miskin dari segi pernikahan, Allah akan menjadikan mereka kaya dengan yang halal, jika tujuan mereka menikah itu agar tidak berbuat zina."* (Tafsir Al-Qurthubi, 12/241-242). 

Ketiga : **Ayat ini terikat dengan kehendak Allah Ta'ala**.

(إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمْ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ)

“Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya”.

Maka siapa saja yang Allah kehendaki untuk diberikan kecukupan, Dia akan mencukupkannya, dan siapa yang tidak dikehendaki, maka ia tidak akan diberi kecukupan. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi hal ini sudah diketahui, sebagaimana dalam ayat lain:

﴿ ۚوَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَاءَ ۚ﴾

*"Dan jika kalian takut menjadi miskin, maka kelak Allah akan mencukupi kalian dengan karunia-Nya, jika Dia menghendaki."* (At-Taubah: 28).

Juga dalam firman-Nya:

﴿إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ﴾

*"Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki."* (Ar-Ra'd: 26).

Serta firman-Nya:

﴿ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِن شَاءَ ﴾

**"Lalu Dia menghilangkan (kesulitan) yang kamu mohonkan kepada-Nya jika Dia menghendaki"* (Al-An'am: 41). 

Asy-Syaukani berkata:

قَالَ الزَّجَّاجُ: حَثَّ اللَّهُ عَلَى النِّكَاحِ وَأَعْلَمَ أَنَّهُ سَبَبٌ لِنَفْيِ الْفَقْرِ، وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ هَذَا حَاصِلًا لِكُلِّ فَقِيرٍ إِذَا تَزَوَّجَ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ مُقَيَّدٌ بِالْمَشِيئَةِ، وَقَدْ يُوجَدُ فِي الْخَارِجِ كَثِيرٌ مِنَ الْفُقَرَاءِ لَا يَحْصُلُ لَهُمُ الْغِنَى إِذَا تَزَوَّجُوا. وَقِيلَ الْمَعْنَى: إِنَّهُ يُغْنِيهِ بِغِنَى النَّفْسِ، وَقِيلَ الْمَعْنَى: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ إِلَى النِّكَاحِ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ بِالْحَلَالِ لِيَتَعَفَّفُوا عَنِ الزِّنَا. وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ أَوْلَى وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ سُبْحَانَهُ: (وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ) فَيُحْمَلُ الْمُطْلَقُ هُنَا عَلَى الْمُقَيَّدِ هُنَاكَ

*"Az-Zajjaj berkata: 'Allah menganjurkan pernikahan dan menjelaskan bahwa ia merupakan sebab hilangnya kemiskinan. Namun, ini tidak berarti bahwa hal ini berlaku bagi setiap orang miskin yang menikah, karena hal itu tergantung pada kehendak Allah.' Maka, ayat ini harus dipahami sebagaimana ayat lain yang berbunyi: 'Dan jika kalian takut menjadi miskin, maka kelak Allah akan mencukupi kalian dengan karunia-Nya, jika Dia menghendaki.'"*

(Lihat : Fathul Qadir, 4/41). (Lihat juga: Tafsir Al-Qurthubi, 12/241-242 dan Tafsir Al-Baidhawi, hal. 184). 

Keempat : **Baik kekayaan harta maupun kekayaan jiwa, keduanya tidak harus berlangsung terus-menerus**.

Jika seseorang pernah mengalami kecukupan meskipun sesaat, maka janji dalam ayat ini telah terpenuhi. Al-Qurthubi berkata:

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ نَجِدُ النَّاكِحَ لَا يَسْتَغْنِي، قُلْنَا: لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ هَذَا عَلَى الدَّوَامِ، بَلْ لَوْ كَانَ فِي لَحْظَةٍ وَاحِدَةٍ لَصَدَقَ الْوَعْدُ" انتهى.

*"Jika dikatakan bahwa ada orang yang menikah tetapi tetap miskin, maka jawabannya adalah: tidak harus kekayaan itu berlangsung terus-menerus. Jika seseorang merasakan kecukupan meskipun hanya dalam waktu singkat, maka janji dalam ayat ini telah terpenuhi."* (Tafsir Al-Qurthubi, 12/241-242). (Lihat juga: Ahkam Al-Qur'an, 6/84). 

Kelima : **Ibnu Qayyim rahimahullah berpendapat tentang ayat ini :

﴿ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ ﴾

“Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya“. [An Nur: 32]

Bahwa janji kekayaan dalam ayat ini tidak berlaku untuk semua orang yang menikah**, tetapi khusus bagi mereka yang disebutkan dalam ayat, yaitu para perempuan yang belum menikah, hamba sahaya laki-laki, dan perempuan.

Perempuan dan hamba sahaya perempuan akan mendapatkan kecukupan melalui nafkah suaminya, sedangkan hamba sahaya laki-laki akan memperoleh kecukupan dengan bekerja atau dengan nafkah dari tuannya. 

Ayat ini tidak bertentangan dengan firman-Nya yang lain yang memerintahkan orang-orang yang belum mampu menikah untuk bersabar hingga Allah mencukupkan mereka. Sebab, ayat yang satu membahas perintah menikahkan orang lain, sementara ayat yang lain membahas orang yang menikah untuk dirinya sendiri.

Beliau (Ibnu al-Qoyyim) berkata:

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: (وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ) وَقَالَ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَىٰ: (وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ) فَأَمَرَهُمْ بِالِاسْتِعْفَافِ إِلَىٰ وَقْتِ الْغِنَىٰ وَأَمَرَ بِتَزْوِيجِ أُولَٰئِكَ مَعَ الْفَقْرِ وَأَخْبَرَ أَنَّهُ تَعَالَىٰ يُغْنِيهِمْ، فَمَا مَحْمَلُ كُلٍّ مِنَ الْآيَتَيْنِ؟ 

فَالْجَوَابُ: أَنَّ قَوْلَهُ: (وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ) فِي حَقِّ الْأَحْرَارِ، أَمَرَهُمُ اللَّهُ تَعَالَىٰ أَنْ يَسْتَعِفُّوا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ؛ فَإِنَّهُمْ إِنْ تَزَوَّجُوا مَعَ الْفَقْرِ الْتَزَمُوا حُقُوقًا لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهَا وَلَيْسَ لَهُمْ مَنْ يَقُومُ بِهَا عَنْهُمْ. وَأَمَّا قَوْلُهُ: (وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ) فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ أَمَرَهُمْ فِيهَا أَنْ يُنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ وَهُنَّ النِّسَاءُ اللَّوَاتِي لَا أَزْوَاجَ لَهُنَّ، هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ لَفْظِ الْأَيِّمِ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ وَإِنِ اسْتُعْمِلَ فِي حَقِّ الرَّجُلِ بِالتَّقْيِيدِ، مَعَ أَنَّ الْعَزَبَ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ لِلرَّجُلِ، وَإِنِ اسْتُعْمِلَ فِي حَقِّ الْمَرْأَةِ، ثُمَّ أَمَرَهُمْ سُبْحَانَهُ أَنْ يُزَوِّجُوا عَبِيدَهُمْ وَإِمَاءَهُمْ إِذَا صَلَحُوا لِلنِّكَاحِ. فَالْآيَةُ الْأُولَىٰ فِي حُكْمِ تَزَوُّجِهِمْ لِأَنْفُسِهِمْ، وَالثَّانِيَةُ فِي حُكْمِ تَزْوِيجِهِمْ لِغَيْرِهِمْ. وَقَوْلُهُ فِي هَذَا الْقِسْمِ: (إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ) يَعُمُّ الْأَنْوَاعَ الثَّلَاثَةَ الَّتِي ذُكِرَتْ فِيهِ، فَإِنَّ الْأَيِّمَ تَسْتَغْنِي بِنَفَقَةِ زَوْجِهَا وَكَذَلِكَ الْأَمَةُ، وَأَمَّا الْعَبْدُ فَإِنَّهُ لَمَّا كَانَ لَا مَالَ لَهُ وَكَانَ مَالُهُ لِسَيِّدِهِ فَهُوَ فَقِيرٌ مَا دَامَ رَقِيقًا، فَلَا يُمْكِنُ أَنْ يُجْعَلَ لِنِكَاحِهِ غَايَةٌ وَهِيَ غِنَاهُ مَا دَامَ عَبْدًا، بَلْ غِنَاهُ إِنَّمَا يَكُونُ إِذَا عَتَقَ وَاسْتَغْنَىٰ بِهَذَا الْعِتْقِ، وَالْحَاجَةُ تَدْعُوهُ إِلَى النِّكَاحِ فِي الرِّقِّ، فَأَمَرَ سُبْحَانَهُ بِإِنْكَاحِهِ وَأَخْبَرَ أَنَّهُ يُغْنِيهِ مِنْ فَضْلِهِ: إِمَّا بِكَسْبِهِ وَإِمَّا بِإِنْفَاقِ سَيِّدِهِ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ امْرَأَتِهِ، فَلَمْ يُمْكِنْ أَنْ يُنْتَظَرَ بِنِكَاحِهِ الْغِنَىٰ الَّذِي يُنْتَظَرُ بِنِكَاحِ الْحُرِّ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ" انتهى.

”Jika dikatakan: "Allah Ta'ala telah berfirman: *Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi mereka kecukupan dengan karunia-Nya* (An-Nur: 32).

Dan dalam ayat lainnya, Allah berfirman:

*Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri) mereka sampai Allah memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya* (An-Nur: 33).

Maka dalam ayat yang kedua, Allah memerintahkan mereka untuk menjaga kesucian diri hingga datangnya kecukupan, sementara dalam ayat pertama, Allah memerintahkan agar mereka dinikahkan meskipun dalam keadaan miskin, dan Dia mengabarkan bahwa Dia akan mencukupi mereka. Lalu, bagaimana memahami masing-masing dari kedua ayat ini?" 

Maka jawabannya adalah bahwa firman-Nya: *Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri) mereka sampai Allah memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya* (An-Nur: 33), berlaku bagi orang-orang merdeka. Allah Ta'ala memerintahkan mereka untuk menjaga kesucian diri hingga Allah memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya, karena jika mereka menikah dalam keadaan miskin, mereka akan terbebani tanggung jawab yang tidak mampu mereka penuhi dan tidak ada yang menanggungnya untuk mereka. 

Adapun firman-Nya: *Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan* (An-Nur: 32), maka Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat ini memerintahkan agar mereka menikahkan para *ayama*, yaitu ; para wanita yang tidak bersuami.

Ini adalah makna yang umum dari kata *ayim* ketika disebutkan secara mutlak, meskipun kata tersebut juga dapat digunakan untuk laki-laki dengan keterangan tambahan. Sebaliknya, kata *‘azab* jika disebutkan secara mutlak merujuk kepada laki-laki, meskipun dapat digunakan untuk perempuan. Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan mereka untuk menikahkan hamba sahaya laki-laki dan perempuan mereka jika mereka sudah layak menikah. 

Maka, ayat pertama berbicara tentang hukum pernikahan bagi diri mereka sendiri, sedangkan ayat kedua berbicara tentang hukum menikahkan orang lain. 

Firman-Nya dalam bagian ini: *Jika mereka miskin, maka Allah akan memberi mereka kecukupan dengan karunia-Nya* (An-Nur: 32), mencakup tiga kelompok yang disebutkan dalam ayat tersebut. Sebab, seorang wanita *ayim* akan merasa cukup dengan nafkah dari suaminya, begitu pula seorang hamba sahaya perempuan. Adapun seorang hamba sahaya laki-laki, karena dia tidak memiliki harta—sebab hartanya adalah milik tuannya—maka dia tetap tergolong miskin selama masih dalam status perbudakan. Oleh karena itu, tidak mungkin pernikahannya dikaitkan dengan batasan kecukupan finansial seperti halnya orang merdeka, karena dia baru akan kaya jika telah dimerdekakan dan mendapatkan kemandirian dari kemerdekaan tersebut. Namun, kebutuhan tetap mendorongnya untuk menikah meskipun dalam status perbudakan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan agar dia dinikahkan dan mengabarkan bahwa Dia akan mencukupinya dengan karunia-Nya, baik melalui usahanya sendiri maupun dengan nafkah yang diberikan tuannya kepadanya dan istrinya. Maka, tidak mungkin pernikahan hamba sahaya ditunda sampai dia mencapai kecukupan finansial seperti halnya orang merdeka. 

Dan Allah lebih mengetahui." (Selesai). [(Raudhatul Muhibbin, 317-318)]

Dengan penjelasan ini, jelas bahwa tidak ada pertentangan antara ayat yang mulia ini dan kenyataan bahwa sebagian orang menikah tetapi tidak memperoleh kekayaan. 

Wallahu a'lam.

===****===

**APAKAH BENAR PERNIKAHAN TERMASUK KUNCI PINTU REZEKI DAN KESUKSESAN?** 

Disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: 

«ٱلْتَمِسُوا ٱلرِّزْقَ بِٱلنِّكَاحِ»

*(“Carilah rezeki dengan menikah”).*

Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus hal. 282 dan at-Tsa’labi dalam Tafsirnya 7/95 dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Di hukumi dhoif oleh banyak para ulama hadits, diantaranya oleh al-Albaani dalam Dho’if al-Jami’ ash-Shoghir no. 1149 dan no. 3074].

Namun, makna hadits benar, dan ada hadits lain yang sahih dengan makna serupa. Namun, ini bukan sunnah yang tetap, karena seseorang bisa menikah tetapi tidak diberi rezeki, dan bisa pula diberi rezeki tanpa menikah.

Imam al-‘Ajluni dalam *Kasyf al-Khafa’* 1/177 berkata:

هَذَا الحَدِيثُ رَوَاهُ الثَّعْلَبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ وَالدَّيْلَمِيُّ بِسَنَدٍ فِيهِ لِينٌ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَفَعَهُ. 

لَكِنْ لَهُ شَاهِدٌ أَخْرَجَهُ البَزَّارُ وَالدَّارَقُطْنِيُّ فِي العِلَلِ وَالحَاكِمُ وَابْنُ مُرْدَوَيْهِ عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوعًا: "تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ فَإِنَّهُنَّ يَأْتِينَ بِالمَالِ"، وَقَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ وَالبَزَّارُ: "يَرْوِيهِ سَلْمُ بْنُ جُنَادَةَ مُرْسَلًا". قَالَ فِي المَقَاصِدِ: "وَهُوَ كَمَا قَالَا".

Hadits ini diriwayatkan oleh ats-Tsa‘labi dalam tafsirnya dan ad-Dailami dengan sanad yang lemah dari Ibnu Abbas secara marfu’. 

Namun, hadits ini memiliki syahid yang diriwayatkan oleh al-Bazzar, ad-Daraquthni dalam *al-‘Ilal*, al-Hakim, dan Ibnu Marduyah dari Aisyah secara marfu’: *(“Menikahlah dengan wanita karena mereka mendatangkan harta.”)*

Ad-Daraquthni dan al-Bazzar berkata: *Salam bin Junadah meriwayatkannya secara mursal.* Dalam *al-Maqashid*, disebutkan bahwa ini sebagaimana yang mereka katakan”. [Kutipan Selesai] 

Rezeki memiliki sebab lain selain pernikahan yang harus diusahakan oleh seorang muslim. Namun, hadits ini dan yang semakna dengannya ditujukan kepada orang yang khawatir jatuh miskin karena menikah, bukan kepada setiap orang miskin yang menikah lalu berpoligami padahal ia tidak mampu menafkahi. Jika pernikahan dilakukan oleh orang yang tidak mampu dan akan menzalimi istrinya, maka hukumnya haram. 

Allah SWT berfirman :

﴿وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ ﴾

Dan barangsiapa diantara kalian (orang merdeka) yang tidak memiliki nafkah yang cukup untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, maka ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian miliki. Allah mengetahui keimanan kalian; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai kekasihnya [QS. Nisa: 25]

Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya 2/261 :

وَقَوْلُهُ: {وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: الْمُسَافِحَاتُ، هُنَّ الزَّوَانِي الْمُعَالِنَاتُ (6) يَعْنِي الزَّوَانِي اللَّاتِي لَا يَمْنَعْنَ أَحَدًا أَرَادَهُنَّ بِالْفَاحِشَةِ. (وَمُتَّخِذَاتُ أَخْدَانٍ) يَعْنِي: أَخِلَّاءَ.

وَكَذَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَمُجَاهِدٍ وَالشَّعْبِيِّ، وَالضَّحَّاكِ، وَعَطَاءٍ الْخُرَاسَانِيِّ، وَيَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، وَمُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ، وَالسُّدِّيِّ، قَالُوا: أَخِلَّاءَ. وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَعْنِي: الصَّدِيقَ. وَقَالَ الضَّحَّاكُ أَيْضًا: {وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ} ذَاتُ الْخَلِيلِ الْوَاحِدِ الْمَسِيسِ الْمُقِرَّةُ بِهِ، نَهَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ، يَعْنِي عَنْ تَزْوِيجِهَا مَا دَامَتْ كَذَلِكَ

Firman-Nya: **{وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ}** 

Ibnu Abbas berkata: *"Al-musafihat" adalah para pezina yang terang-terangan,* yaitu para wanita pezina yang tidak menolak siapa pun yang menghendaki mereka untuk melakukan perbuatan keji. 

Sedangkan **"mutakhidzat akhdan"** berarti memiliki para kekasih. 

Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Mujahid, asy-Sya‘bi, adh-Dhahhak, Atha' al-Khurasani, Yahya bin Abi Katsir, Muqatil bin Hayyan, dan as-Suddi, mereka berkata: *"Maksudnya adalah memiliki kekasih."* 

Al-Hasan al-Bashri berkata: *"Maksudnya adalah teman dekat."* 

Adh-Dhahhak juga berkata: *"{وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ} maksudnya adalah wanita yang memiliki satu kekasih dan mengakuinya."* Allah melarang hal itu, yakni *melarang menikahinya selama ia tetap dalam keadaan demikian.*

Dan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَبَابًا لَا نَجِدُ شَيْئًا فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ منكُم الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) .

“Kami para pemuda bersama Nabi tidak mempunyai harta apapun maka Rasulullah mengatakan kepada kami :

"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mampu menafkahi rumah tangga, maka hendaklah ia menikah. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi tameng bagi syahwatnya."  [Bukhori, (5066) dan Muslim, (1400)].

Dari Syaddad bin Aus, bahwa ia berkata kepada keluarganya :

زَوِّجُونِي، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «‌أَوْصَانِي ‌أَنْ ‌لَا ‌أَلْقَى ‌اللَّهَ ‌أَعْزَبَ»

"Nikahkanlah aku, karena Nabi mewasiatkan kepadaku agar aku tidak menemui Allah dalam keadaan membujang." 

[HR. Ibnu Abi Syaibah 3/453 no. 15908

Nabaatai berkata: "Ini adalah sanad yang ditolak (مطروح)" (9/148). Dan dalam "At-Taqrib" dikatakan: "Diterima (مقبول)." Lihat Pula Tahdzib at-Tahdzib 9/148 no. 212.

==***==

**APAKAH BENAR DENGAN PERNIKAHAN BISA MENDATANGKAN REZEKI?**

Imam al-‘Ajluni dalam *Kasyf al-Khafa’* 1/177 berkata:

رَوَى الثَّعْلَبِيُّ أَيْضًا عَنْ اِبْنِ عُجْلَانَ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَشَكَا إِلَيْهِ الحَاجَةَ وَالفَقْرَ، فَقَالَ: "عَلَيْكَ بِالبَاءَةِ". 

وَرَوَى عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: "عَجِبْتُ لِرَجُلٍ لَا يَطْلُبُ الغِنَى بِالبَاءَةِ، وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ: (إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ)". (النُّور: ٣٢) 

وَقَالَ القَفَّالُ فِي مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ: "قَدْ وَعَدَ اللَّهُ عَلَى النِّكَاحِ الغِنَى فَقَالَ: (وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ)". (النُّور: ٣٢) 

وَفِي مَعْنَاهُ مَا فِي صَحِيحَيِ اِبْنِ حِبَّانَ وَالحَاكِمِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: "ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُغْنِيَهُمْ"، وَفِي لَفْظٍ: "عَوْنُهُمْ": "المُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ"، وَفِي لَفْظٍ: "وَالنَّاكِحُ لِيَسْتَعِفَّ". 

وَلِابْنِ مُنِيعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ: "حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُ مَنْ نَكَحَ يُرِيدُ العَفَافَ عَمَّا حَرَّمَ اللَّهُ". 

وَرَوَى الدَّيْلَمِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ وَجَابِرٍ: "ثَلَاثَةٌ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُؤَدِّيَ عَنْهُمْ"، وَذَكَرَ مِنْهُمْ "مُتَزَوِّجٌ لِيَسْتَعِفَّ". 

وَرَوَى الحَارِثُ بْنُ أَبِي الصَّامِتِ فِي مُسْنَدِهِ عَنْ اِبْنِ عُمَرَ وَرَفَعَهُ: "ثَلَاثَةٌ مَنْ اِدَّانَ فِيهِنَّ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَقْضِ، قَضَى اللَّهُ عَنْهُ" وَذَكَرَ "وَرَجُلٌ يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ العَنَتَ فِي العُزُوبَةِ، فَاسْتَعَفَّ بِدَيْنٍ". 

قَالَ فِي التَّمْيِيزِ: "قُلْتُ وَالَّذِي يَدُورُ عَلَى أَلْسِنَةِ العَوَّامِ مَعْنَاهُ، وَهُوَ قَوْلُهُمْ: "تَزَوَّجُوا فُقَرَاءَ يُغْنِكُمُ اللَّهُ". اِنْتَهَى.

Ats-Tsa‘labi juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Ujlan : bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi mengeluhkan kemiskinan, lalu beliau bersabda: *“Menikahlah.”* 

Abdurrazzaq meriwayatkan bahwa Umar berkata: *“Aku heran kepada seseorang yang tidak mencari kekayaan dengan menikah, padahal Allah berfirman dalam kitab-Nya: (Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui)”* (An-Nur: 32). 

Al-Qaffal dalam *Mahasin asy-Syari‘ah* berkata: 

Allah telah menjanjikan kekayaan melalui pernikahan dengan firman-Nya: *(“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, serta orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”)* (An-Nur: 32). 

Hadits dengan makna ini juga terdapat dalam *Shahih* Ibnu Hibban dan *al-Hakim* dari Abu Hurairah secara marfu’: 

*(“Ada tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah: seorang mujahid di jalan Allah, seorang budak yang ingin melunasi hutangnya, dan seseorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.”)* Dalam riwayat lain: *(“Dan seseorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.”)* 

Dalam riwayat Ibnu Mani‘ dari Abu Hurairah secara marfu’: *(“Hak bagi Allah untuk menolong seseorang yang menikah demi menjaga kehormatannya dari hal yang diharamkan Allah.”)* 

Ad-Dailami meriwayatkan dari Abu Umamah dan Jabir: *(“Tiga golongan yang hak bagi Allah untuk menolong mereka,”)* dan di antara mereka disebutkan: *(“Seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.”)* 

Al-Harits bin Abi Usamah dalam *Musnad*-nya meriwayatkan dari Ibnu Umar secara marfu’:

*(“Tiga orang yang berhutang untuk keperluan tertentu, lalu meninggal sebelum melunasi hutangnya, maka Allah akan melunaskannya,”)* dan di antara mereka disebutkan: *(“Seseorang yang takut terjerumus dalam maksiat saat sendirian, lalu ia menikah dengan berhutang.”)* 

Dalam *at-Tamyiz* disebutkan: *(“Yang sering diucapkan oleh masyarakat awam adalah maknanya, yaitu perkataan mereka: ‘Menikahlah dengan orang miskin, niscaya Allah akan membuatmu kaya.’”)*  [Kutipan Selesai].

Imam al-Munawi dalam *Faidh al-Qadir* 2/157 no. 1567 saat menjelaskan hadits ini berkata: 

أَيْ التَّزَوُّجُ فَإِنَّهُ جَالِبٌ لِلْبَرَكَةِ جَارٌّ لِلرِّزْقِ مُوَسِّعٌ إِذَا صَلَحَتِ النِّيَّةُ. قَالَ الزَّمَخْشَرِيُّ: وَالرِّزْقُ الحَظُّ وَالنَّصِيبُ مَطْعُومًا أَوْ مَالًا أَوْ عِلْمًا أَوْ وَلَدًا أَوْ غَيْرَهَا. قَالَ فِي الإِتْحَافِ: هَذَا الخَبَرُ وَخَبَرُ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ فَإِنَّهُنَّ يَأْتِينَ بِالمَالِ يَدُلُّ عَلَى نَدْبِ التَّزْوِيجِ لِلْفَقِيرِ وَمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ نَدْبُهُ قُدْرَتَهُ عَلَى المُؤْنَةِ، وَالأَوْجَهُ أَنَّ النَّاسَ أَقْسَامٌ: قِسْمٌ وَاجِدٌ، وَقِسْمٌ غَيْرُ وَاجِدٍ وَهُوَ وَاثِقٌ بِاللهِ، وَقِسْمٌ غَيْرُ وَاثِقٍ وَلَيْسَ لَهُ ثِقَةٌ، فَيُسْتَحَبُّ لِلْوَاثِقِ دُونَ غَيْرِهِ.

*(“Dengan menikah,”)* yaitu dengan pernikahan, karena ia mendatangkan keberkahan, menarik rezeki, dan memberikan kelapangan jika niatnya baik.. 

Az-Zamakhsyari berkata: *“Rezeki adalah bagian keberuntungan dan nasib, baik berupa makanan, harta, ilmu, anak, atau selainnya.”* 

Dalam kitab *Al-Itḥāf* disebutkan: "Hadis ini dan hadis *Menikahlah dengan wanita, karena mereka akan mendatangkan harta* menunjukkan anjuran menikah bagi orang miskin.

Mazhab Syafi'i, radhiyallahu ta'ala ‘anhu, menganjurkan menikah bagi yang mampu menanggung beban nafkah." 

Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa manusia terbagi menjadi beberapa golongan: 

- Golongan yang memiliki kecukupan nafkah, 

- Golongan yang tidak memiliki kecukupan tetapi memiliki keyakinan kepada Allah, 

- Golongan yang tidak memiliki kecukupan dan tidak memiliki keyakinan kepada Allah. 

Maka, dianjurkan menikah bagi mereka yang memiliki keyakinan kepada Allah, tetapi tidak bagi yang tidak memilikinya. [Kutipan Selesai].

Maka, pernikahan itu mendatangkan keberkahan. Dalam hadits lain disebutkan:

«‌تَزَوَّجُوا ‌النِّسَاءَ ‌فَإِنَّهُنَّ ‌يَأْتِينَ ‌بِالْمَالِ»

*(“Menikahlah dengan wanita, karena mereka mendatangkan harta,”)*

[Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* 2/174 (2679), dan ia berkata:

صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ، لِتَفَرُّدِ سَلْمِ بْنِ جُنَادَةَ بِسَنَدِهِ وَسَلْمٌ ثِقَةٌ مَأْمُونٌ

"Shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya, karena hanya Salm bin Junadah yang meriwayatkan sanadnya, dan Salm adalah seorang yang tsiqah dan terpercaya."

Adz-Dzahabi menyetujuinya dalam *At-Talkhish* 2/174 (2679). 

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam *Al-Mushannaf* 4/127, serta Abu Dawud dalam *Al-Marasil* (140) melalui jalur Hisyam dari ayahnya secara mursal. Al-Hafizh dalam *Talkhis Al-Habir* 3/117 menyebutkan bahwa Ad-Daraquthni lebih menguatkan riwayat yang mursal].

Makna hadits : Yakni, apa yang Allah rezekikan karena para istri, jika niat dalam amal ini ikhlas karena Allah. Ini adalah sesuatu yang sudah terbukti dalam kenyataan.

Hadits ini juga diperkuat oleh firman Allah dalam Al-Qur’an:

﴿وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴾

*(“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, serta orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”)* (An-Nur: 32). 

Abdurrazzaq, Ahmad, at-Tirmidzi (dan ia mensahihkannya), an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim (dan ia mensahihkannya).

Dan Al-Baihaqi dalam *Sunan*-nya meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

‌«‌ثَلَاثَةٌ ‌حَقٌّ ‌عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ»

*(“Ada tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah: seseorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya, seorang budak yang ingin melunasi hutangnya, dan seorang pejuang di jalan Allah.”)* 

[Diriwayatkan oleh Ahmad (9631), At-Tirmidzi (1655), An-Nasai (3120), Ibnu Majah (2518) dan al-Baihaqi 13/587 no. 13585 melalui jalur Muhammad bin ‘Ajlan. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan”. Di hukumi hasan pula oleh al-Albaani dalam Shahih Tirmidzi dan Ahmad Syakir dalam Takhrij Sunan Tirmidzi]

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

"الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ".

"Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah."

[HR. Muslim no. 1467].

===****===

**APAKAH LAYAK SESEORANG MENOLAK MENIKAH KARENA DIA MISKIN?**

As-Suyuthi dalam *ad-Durr al-Mantsur* meriwayatkan bahwa al-Khatib dalam *Tarikh*-nya dari Jabir berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌يَشْكُو ‌إِلَيْهِ ‌الْفَاقَةَ، ‌فَأَمَرَهُ ‌أَنْ ‌يَتَزَوَّجَ "

*(“Ada seorang lelaki datang kepada Nabi mengeluhkan kefakiran, lalu beliau memerintahkannya untuk menikah.”)*

[Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad 2/233 no. 257 dan Abdul Khaliq bin Asad al-Hanafi dalam al-Mu’jam no. 257.

Sanadnya sangat lemah. Di dalamnya terdapat Sa'id bin Muhammad Al-Madani, yang menurut Abu Hatim: "Haditsnya tidak ada nilainya." (Al-Jarh wat-Ta'dil karya Ibnu Abi Hatim 4/58). Juga terdapat Abdul Baqi bin Qani', yang jujur tetapi mengalami perubahan hafalannya di akhir hayatnya].

Ibnu Katsir dalam tafsirnya 6/51 berkata:

  عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: رَغَّبَهُمُ اللَّهُ فِي التَّزْوِيجِ، ‌وَأَمَرَ ‌بِهِ ‌الْأَحْرَارَ ‌وَالْعَبِيدَ، ‌وَوَعَدَهُمْ ‌عَلَيْهِ ‌الْغِنَى، فَقَالَ: {إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ} .

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْرَقُ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ، عَنْ سَعِيدٍ -يَعْنِي: ابْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ -قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَطِيعُوا اللَّهَ فِيمَا أَمَرَكُمْ بِهِ مِنَ النِّكَاحِ، يُنْجِزْ لَكُمْ مَا وَعَدَكُمْ مِنَ الْغِنَى، قَالَ: {إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ} .

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ: الْتَمِسُوا الْغِنَى فِي النِّكَاحِ، يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ} رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ، وَذَكَرَ الْبَغَوِيُّ عَنْ عُمَرَ بِنَحْوِهِ

Ibnu Abbas berkata: *“Allah menganjurkan pernikahan, memerintahkannya bagi orang merdeka dan budak, serta menjanjikan kekayaan dengannya.”* Allah berfirman: *(“Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya.”)* 

Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata: *“Taatilah Allah dalam perintah-Nya untuk menikah, niscaya Dia akan menunaikan janji-Nya dengan memberi kekayaan.”* Allah berfirman: *(“Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya.”)* 

Dari Ibnu Mas'ud: "Carilah kekayaan dalam pernikahan," karena Allah Ta'ala berfirman: *'Jika mereka miskin, Allah akan memberi mereka kekayaan dari karunia-Nya.'* (QS. An-Nur: 32).

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Dan Al-Baghawi menyebutkan riwayat serupa dari Umar.

Beliau juga bersabda, "Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar." 

Dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah bersabda, "Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita salehah." 

Abdul Baqi meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Bisyr meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Said bin Mansur meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Sufyan meriwayatkan kepada kami, dari Ibrahim bin Maimunah, dari Ubaid bin Said, ia berkata: Rasulullah bersabda, "Barang siapa mencintai fitrahku, maka hendaklah ia mengikuti sunnahku, dan bagian dari sunnahku adalah menikah." 

Ibrahim bin Maimunah berkata, "Aku tidak mengatakan kepadamu kecuali sebagaimana yang dikatakan Umar kepada Abu Zawaid, 'Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau kefasikan.'" [Kutipan Selesai]

Dari Ubaid bin Sa'id, ia berkata: Rasulullah bersabda:

"مَنْ أَحَبَّ فِطْرَتِي فَلْيَسْتَنَّ بِسُنَّتِي وَمِنْ سُنَّتِي النِّكَاحُ".

"Barang siapa yang mencintai fitrahku, maka hendaklah ia mengikuti sunnahku, dan salah satu sunnahku adalah nikah."

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubra nomor 13580 dan dalam Al-Sughra (2332), serta dalam Al-Ma'rifah (4052), dan ia berkata: "Ini adalah hadis mursal (yang terputus)."

Dan juga diriwayatkan oleh Abdul Razzaq (10378) dari Ibn Juraij dengan sanad tersebut.

Diriwayatkan juga oleh Sa'id bin Mansur (487) dan Abu Ya'la (2748) melalui jalur Ibrahim bin Maisarah.

Dan berkata Al-Haytsami dalam Al-Majma' 4/252 no. 7305:

رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ، إِنْ كَانَ عُبَيْدُ بْنُ سَعْدٍ صَحَابِيٌّ وَإِلَّا فَهُوَ مُرْسَلٌ

"Para perawinya adalah orang-orang yang terpercaya, jika saja Ubaid bin Sa'd adalah seorang sahabat (demikian yang tercetak, yang benar: sahabi). Jika tidak, maka ini adalah hadis yang terputus."

Ibnu Hajar lebih cenderung berpendapat bahwa dia adalah seorang tabi'in. Dalam Al-Ishabah 7/37.

Ibrahim bin Maisarah ath-Thoify (w. 132 H) berkata:

قَالَ لِي طَاوُسٌ: لِتَنْكِحَنَّ أَوْ لَأَقُولَنَّ لَكَ مَا قَالَ عُمَرُ لِأَبِي الزَّوَائِدِ: «‌مَا ‌يَمْنَعُكَ ‌مِنَ ‌النِّكَاحِ ‌إِلَّا ‌عَجْزٌ ‌أَوْ ‌فُجُورٌ»

"Aku tidak akan mengatakan kepadamu selain apa yang telah dikatakan oleh Umar kepada Abu Zawaid: 'Apa yang menghalangimu untuk menikah, selain ketidakmampuan [lemah syahwat] atau fujur (perbuatan keji).'"

[Diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dalam al-Mushonnaf 6/170 no. 10384, Abu Nu’aim al-Asbhaani dalam al-Hilyah 4/6, Baihaqi dalam Ma’rifat as-Sunan wal Atsaar 10/21 no. 13465 dan Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya 1/139 no. 491]

Dari Alqamah, dari Abdullah, ia berkata: Rasulullah bersabda:

«‌إِذَا ‌جَاءَكُمْ ‌مَنْ ‌تَرْضَوْنَ ‌دِينَهُ ‌وَخُلُقَهُ ‌فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ، وَفَسَادٌ عَرِيضٌ»

"Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar."

[Diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 1084, Ibn Majah (1967), dan al-Hakim 2/175 dari Abu Hatim al-Muzani - radhiyallahu 'anhu. 

Tirmidzi berkata: "Hadis ini hasan gharib." 

Dan al-Albani menilai hadis ini hasan dalam "Irwa' al-Ghalil," no. 1084].

Telah diriwayatkan dalam kedua kitab sahih dan lainnya dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

" تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، ‌فَاظْفَرْ ‌بِذَاتِ ‌الدِّينِ ‌تَرِبَتْ ‌يَدَاكَ "

"Wanita dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah wanita yang memiliki agama, semoga kedua tanganmu diberkahi." [HR. Al-Bukhari (5090), dan Muslim (1466)]. 

Dalam kedua hadis ini terdapat petunjuk bahwa tujuan yang paling utama untuk diberikan perhatian dan pertimbangan dalam pernikahan adalah agama dan akhlak, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan.

===****===

APAKAH PERNIKAHAN ITU MELAPANGKAN REZEKI DAN MEMBAWA KEKAYAAN, ATAU SEBALIKNYA MENJADI SEBAB KEMISKINAN?

Tidak diragukan bahwa ini adalah salah satu hal yang membingungkan banyak orang. Ada yang beranggapan bahwa pernikahan dan tanggung jawab serta beban yang menyertainya menjadi penyebab kemiskinan dan utang, sementara yang lain meyakini bahwa salah satu kunci rezeki adalah menikah. Tidak hanya itu, pertanyaan tentang apakah pernikahan melapangkan rezeki dan membawa kekayaan juga terkait dengan wasiat Rasulullah yang menganjurkan pernikahan sebagai salah satu sunnah para rasul. Dari sini, penting untuk mengetahui apakah pernikahan melapangkan rezeki dan membawa kekayaan ataukah menjadi sebab kemiskinan.

**Apakah pernikahan melapangkan rezeki?**

Dalam Al-Qur'an lebih dari 1400 tahun yang lalu disebutkan tentang pernikahan dalam firman Allah:

﴿وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴾

"Dan kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 32).

Ayat ini menegaskan bahwa pernikahan dapat menjadi sebab kekayaan, sebagaimana firman-Nya:

﴿إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴾

"Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. An-Nur: 32).

Namun, sebagian orang pada masa jahiliyah takut miskin sehingga mereka membunuh anak-anak atau mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Oleh karena itu, turun firman Allah:

﴿وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا﴾

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar." (QS. Al-Isra: 31).

Dalam ayat ini, Allah menjamin rezeki anak-anak.

**Apakah pernikahan melapangkan rezeki?**

Rezeki berada di tangan Allah semata, dan pernikahan tidak memiliki pengaruh langsung dalam hal ini. Namun, pernikahan bisa menjadi sebab positif yang mempermudah datangnya rezeki. Manusia bertawakal kepada Allah dan menuju jalan yang halal, sehingga kita mengetahui bahwa siapa yang berusaha di jalan seperti ini, Allah pasti akan memudahkannya, baik dalam waktu dekat maupun jangka panjang.

Salah satu kunci rezeki adalah menikahSalah satu kunci dan sebab datangnya rezeki serta keberkahannya adalah istighfar, taubat, takwa, tawakal kepada Allah, fokus dalam ketaatan, menjaga hubungan dengan kerabat, dan pengeluaran di jalan Allah, termasuk untuk orang-orang baik dan penuntut ilmu syar’i. Selain itu, kunci rezeki lainnya adalah doa, berbuat baik kepada fakir miskin, sedekah, dan menikah.

Menikah merupakan salah satu sebab kehidupan dan keterhubungan masyarakat. Bahkan, ia adalah dasar terbentuknya bangsa-bangsa sepanjang masa, karena pernikahan merupakan hubungan syar’i antara laki-laki dan perempuan yang darinya lahir keturunan. Dari sini terbentuklah keluarga kecil yang kemudian berkembang menjadi keluarga besar dan masyarakat. Dengan demikian, pernikahan adalah jalan untuk berkembang biak dan bertambahnya keturunan.

Tidak diragukan bahwa menikah adalah salah satu kunci rezeki yang paling penting. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi bersabda:

«ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ»

"Ada tiga orang yang pasti Allah akan membantu mereka:

(1) Mujahid di jalan Allah,

(2) hamba mukatab yang ingin melunasi pembebasannya,

(3) orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan diri."

[Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunannya no. 1655 dengan lafaz ini, An-Nasai dalam Sunannya no. 3218, Ibnu Majah dalam Sunannya no. 2518, dan Ahmad dalam Musnadnya no. 7410 dengan sedikit perbedaan lafaz. Dinilai HASAN oleh al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1655].

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata :

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ: ‌الْتَمِسُوا ‌الْغِنَى ‌فِي ‌النِّكَاحِ، يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ} رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ، وَذَكَرَ الْبَغَوِيُّ عَنْ عُمَرَ بِنَحْوِهِ

Dari Ibnu Mas'ud: "Carilah kekayaan melalui pernikahan," Allah Ta'ala berfirman: *"Jika mereka miskin, Allah akan mencukupkan mereka dengan karunia-Nya."* (QS. An-Nur: 32). Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan Al-Baghawi menyebutkan dari Umar dengan lafaz yang serupa. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 6/51].

Al-Imam al-Qurthubi berkata :

وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: عَجَبِي مِمَّنْ لَا يَطْلُبُ الْغِنَى فِي النِّكَاحِ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:" إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ". وَرُوِيَ هَذَا الْمَعْنَى عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَيْضًا

Umar radhiyallahu 'anhu berkata: "Aku heran dengan orang yang tidak mencari kekayaan melalui pernikahan, padahal Allah Ta'ala telah berfirman: *'Jika mereka miskin, Allah akan mencukupkan mereka dengan karunia-Nya.'* (QS. An-Nur: 32)." Dan makna ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. [Baca : al-Jami’ li Ahkamil Qur’an karya al-Qurthubi 12/241. Lihat pula Ahkamul Qur’an karya Ibnu al-Faras 3/376].

Rasulullah juga menghubungkan pernikahan dengan kelapangan rezeki. Seorang laki-laki pernah datang mengadu tentang kefakirannya, maka Rasulullah menyuruhnya untuk menikah.

===***===

CARILAH REZEKI MELALUI PERNIKAHAN.

Disebutkan bahwa pernikahan adalah tiang penopang bagi umat dan masyarakat, sehingga Islam menganjurkannya. Nabi juga mendorong para pemuda untuk menikah. Beliau bersabda:

«ٱلْتَمِسُوا ٱلرِّزْقَ بِٱلنِّكَاحِ»

*“Carilah rezeki melalui pernikahan.”*

Islam tidak hanya menganjurkan pernikahan, tetapi juga menekankan penguatan hubungan antara suami dan istri, menjaga keberlangsungan pernikahan, dan mendorong mereka untuk mempererat hubungan dengan cara hidup bersama yang baik, yang akan membawa keberkahan dan keluasan rezeki.

Carilah rezeki melalui pernikahan. Disebutkan bahwa maksudnya adalah mendorong kedua pasangan untuk hidup bersama dengan cara yang baik, seperti yang diajarkan Islam. Artinya, masing-masing pasangan memperlakukan satu sama lain dengan baik, tanpa menyakitinya baik secara perbuatan, ucapan, maupun hal yang ditolak oleh syariat atau kebiasaan. Ini adalah janji yang indah tentang kekayaan dan keluasan rezeki. Seorang Muslim harus menyadari bahwa pernikahan adalah sunnah para nabi dan rasul. Nabi bersabda:

«أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ ٱلْمُرْسَلِينَ: ٱلْخِتَانُ وَٱلنِّكَاحُ وَٱلتَّعَطُّرُ وَٱلسِّوَاكُ».

*“Empat hal yang termasuk sunnah para rasul: khitan, pernikahan, memakai wewangian, dan bersiwak.”*

====

**Istri membawa rezeki.**

Disebutkan bahwa Imam Zamakhsyari berkata:

"وَٱلرِّزْقُ: ٱلْحَظُّ وَٱلنَّصِيبُ؛ مَطْعُومًا أَوْ مَالًا أَوْ عِلْمًا أَوْ وَلَدًا أَوْ غَيْرِهَا"

*“Rezeki adalah bagian dan nasib, baik berupa makanan, harta, ilmu, anak, maupun lainnya.”*

Dalam kitab *Al-Ittihaf* disebutkan:

"هَذَا ٱلْخَبَرُ، وَخَبَرُ: «تَزَوَّجُوا ٱلنِّسَاءَ فَإِنَّهُنَّ يَأْتِينَ بِٱلْمَالِ»: يَدُلُّ عَلَى نَدْبِ ٱلتَّزْوِيجِ لِلْفَقِيرِ".

*“Hadits ini dan hadits lainnya yang menyebutkan: ‘Menikahlah dengan wanita, karena mereka akan membawa kekayaan,’ menunjukkan anjuran menikah bagi orang yang miskin.”*

Istri membawa rezeki.

Disebutkan bahwa dalil-dalil syar’i dan ucapan para sahabat menegaskan bahwa pernikahan termasuk salah satu sebab datangnya rezeki dan kekayaan. Rezeki adalah segala sesuatu yang diberikan Allah Ta'ala kepada hamba yang bermanfaat baginya, termasuk istri dan lainnya. Semua yang ada di alam semesta ini, baik yang besar maupun yang kecil, telah ditetapkan Allah Ta'ala.

Dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Amr, Rasulullah bersabda:

إِنَّ ٱللَّهَ قَدَّرَ مَقَادِيرَ ٱلْخَلَائِقِ قَبْلَ خَلْقِ ٱلسَّمَاوَاتِ وَٱلْأَرْضِ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى ٱلْمَاءِ

*“Sesungguhnya Allah telah menetapkan takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.”*

Pernikahan adalah rezeki, maka janganlah terburu-buru. Disebutkan bahwa meskipun pernikahan tertunda, ada ratusan nikmat yang mengelilingi kita, khususnya nikmat agama, kecantikan, akhlak, dan reputasi yang baik. Ini adalah nikmat yang besar dan luar biasa. Penundaan pernikahan adalah perkara yang berada di luar kendali manusia, karena termasuk bagian dari rezeki yang telah Allah tetapkan sebelum menciptakan langit dan bumi.

Diketahui bahwa iman kepada takdir adalah salah satu rukun iman:

«وَأَنْ تُؤْمِنَ بِٱلْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ».

*“Dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.”*

Pernikahan adalah rezeki, maka janganlah terburu-buru. Disebutkan bahwa pernikahan adalah salah satu rezeki yang telah Allah tetapkan sebelum menciptakan langit dan bumi. Begitu pula kesehatan, kecantikan, kekayaan, dan anak-anak adalah bagian dari rezeki yang telah Allah tetapkan. Tidak akan terjadi sesuatu pun kecuali dengan kehendak-Nya. Yakinlah bahwa jodohmu akan datang pada waktu yang telah ditentukan Allah. Kamu tidak tahu di mana letak kebaikannya:

﴿فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا﴾

*“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”* (QS. An-Nisa: 19).

Pernikahan adalah rezeki, maka janganlah terburu-buru. Disebutkan bahwa jika pernikahan terlambat, yang harus dilakukan seorang pemuda atau gadis adalah memperbanyak doa dan terus memohon kepada Allah agar diberi jodoh yang saleh. Bersabarlah, karena kemenangan bersama kesabaran, kemudahan bersama kesulitan, dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Mungkin Allah menunda pernikahanmu demi kebaikanmu, meskipun kamu tidak menyadarinya. Jangan biarkan pikiran buruk menguasaimu. Percayalah bahwa Allah lebih sayang kepadamu daripada dirimu sendiri, bahkan lebih dari orang tuamu. Dia tidak akan menunda pernikahanmu kecuali karena rahmat-Nya. Allah tidak zalim kepada siapa pun, bahkan kepada orang kafir sekalipun. Hilangkan pikiran buruk itu dan lawan dengan kuat. Berbaik sangkalah kepada Tuhanmu.

Pernikahan adalah rezeki, maka janganlah terburu-buru. Disebutkan bahwa hendaknya seseorang memperbanyak doa dan menjaga salat, karena salat adalah amalan Islam yang paling penting dan utama. Jangan malas atau meremehkan salat, karena hal itu bisa menunda pernikahan. Orang-orang yang taat adalah kekasih Allah yang dicintai-Nya dan dibantu-Nya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mintalah doa dari kedua orang tuamu, tekunlah dalam beribadah, dan manfaatkan waktu luangmu dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti menghafal Al-Qur'an, hadis, atau membaca buku-buku Islam lainnya. Bergembiralah, karena pertolongan Allah pasti akan segera datang.

==***===

APAKAH PERNIKAHAN MERUPAKAN SUMBER REZEKI YANG TELAH DITENTUKAN?

Pernikahan adalah bagian dari rezeki yang telah ditentukan. Sebelum seseorang menikah, Allah telah menetapkan siapa yang akan menjadi pasangannya dan siapa anak-anak yang akan dilahirkannya. Semua ini merupakan bagian dari rezeki yang telah tertulis di sisi Allah , sehingga seseorang tidak perlu merasa gelisah jika pernikahannya tertunda. 

Pernikahan memang membutuhkan usaha, tetapi jika seorang wanita tidak sering keluar rumah, hal itu tidak akan menghalangi rezekinya. Rezekinya akan tetap datang kepadanya, bahkan di dalam rumahnya, karena rezeki yang Allah tentukan pasti akan sampai kepadanya. 

Pernikahan membutuhkan kesiapan dan persiapan. Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk menikah sebagaimana kita berusaha mencari rezeki, lalu menunggu pemberian dari Allah , dengan menyatakan :

"تَوَكَّلُوا عَلَى ٱللَّهِ وَرِزْقُكُمْ سَيَصِلُكُمْ فِي أَيِّ مَكَانٍ أَنْتُمْ فِيهِ"

"Bertawakallah kalian kepada Allah , dan rezeki kalian akan datang kepada kalian di mana pun kalian berada." 

==****==

MENIKAHLAH, KARENA DALAM PERNIKAHAN ADA KEBERKAHAN !!!!

Disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

«ٱلْتَمِسُوا ٱلرِّزْقَ بِٱلنِّكَاحِ»

_"Carilah rezeki melalui pernikahan."_

Imam Al-Munawi menjelaskan hadits ini dengan berkata :

"أَيِ التَّزَوُّجُ؛ فَإِنَّهُ جَالِبٌ لِلْبَرَكَةِ، جَارٌّ لِلرِّزْقِ، مُوَسِّعٌ إِذَا صَلُحَتِ النِّيَّةُ". 

"Maksudnya adalah menikah, karena pernikahan membawa keberkahan, menarik rezeki, dan memberikan kelapangan jika niatnya baik." 

Al-Zamakhsyari berkata :

"وَالرِّزْقُ: الحَظُّ وَالنَّصِيبُ؛ مَطْعُومًا أَوْ مَالًا أَوْ عِلْمًا أَوْ وَلَدًا أَوْ غَيْرَهَا". 

"Rezeki adalah bagian dan nasib seseorang, baik berupa makanan, harta, ilmu, anak, atau lainnya." 

Dalam kitab _Al-Ithaf_ disebutkan :

"هَذَا الخَبَرُ، وَخَبَرُ: «تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ فَإِنَّهُنَّ يَأْتِينَ بِالمَالِ»: يَدُلُّ عَلَى نَدْبِ التَّزَوُّجِ لِلْفَقِيرِ".

"Hadits ini, serta hadits _'Menikahlah dengan perempuan, karena mereka akan mendatangkan harta'_, menunjukkan anjuran menikah bagi orang yang miskin." 

Menurut mazhab Imam Asy-Syafi'i rahimahullah, menikah dianjurkan bagi mereka yang telah mampu menanggung nafkah. Namun, orang dapat diklasifikasikan dalam beberapa keadaan: ada yang memiliki kecukupan harta, ada yang tidak memiliki harta tetapi memiliki keyakinan kepada Allah , dan ada pula yang tidak memiliki harta serta tidak memiliki keyakinan. Maka, menikah dianjurkan bagi orang yang yakin kepada Allah , tetapi tidak bagi yang ragu. (Lihat: _Faid al-Qadir_, 2/157). 

****

KEBERKAHAN DALAM NIAT PERNIKAHAN

Keberkahan dalam pernikahan bergantung pada niat yang baik. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam _Al-Awsath_, Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah bersabda: 

«مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً لِعِزِّهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلَّا ذُلًّا، وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِمَالِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلَّا فَقْرًا، وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلَّا دَنَاءَةً، وَمَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً لَمْ يَتَزَوَّجْهَا إِلَّا لِيَغُضَّ بَصَرَهُ أَوْ لِيُحْصِنَ فَرْجَهُ، أَوْ يَصِلَ رَحِمَهُ بَارَكَ اللهُ لَهُ فِيهَا، وَبَارَكَ لَهَا فِيهِ»

_"Barang siapa menikahi seorang wanita karena ingin mendapatkan kehormatan keluarganya, maka Allah hanya akan menambahkannya kehinaan. Barang siapa menikahinya karena hartanya, maka Allah hanya akan menambahkannya kefakiran. Barang siapa menikahinya karena keturunannya, maka Allah hanya akan menambahkannya kehinaan. Namun, barang siapa menikahinya dengan niat untuk menundukkan pandangannya, menjaga kemaluannya, atau menyambung silaturahmi, maka Allah akan memberkahinya dan memberkahi pernikahannya."_ 

===

** DOA RASULULLAH UNTUK PASANGAN YANG MENIKAH**

Keberkahan adalah ciri khas doa Rasulullah bagi orang yang menikah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, disebutkan :

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وآله وسلم كَانَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: «بَارَكَ اللهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ»

bahwa ketika Rasulullah memberikan ucapan selamat kepada seseorang yang menikah, beliau bersabda:  _"Semoga Allah memberkahimu, memberkahi pernikahanmu, dan menyatukan kalian berdua dalam kebaikan."_ (HR. Abu Dawud).

====****====

ANJURAN MEMPERSIAPKAN KEMAMPUAN MAHAR & NAFKAH SEBELUM NIKAH:

Rezeki memiliki sebab lain selain pernikahan yang harus diusahakan oleh seorang calon suami. Jika pernikahan dilakukan oleh orang yang tidak mampu menafkahi, yang akan menyebabkan terjadinya kedzaliman pada istrinya, maka hukumnya bisa menjadi haram. 

Allah SWT berfirman :

﴿وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ ﴾

Dan barangsiapa diantara kalian (orang merdeka) yang tidak memiliki nafkah yang cukup untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, maka ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian miliki. Allah mengetahui keimanan kalian; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai kekasihnya [QS. Nisa: 25]

Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya 2/261 :

وَقَوْلُهُ: {وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: الْمُسَافِحَاتُ، هُنَّ الزَّوَانِي الْمُعَالِنَاتُ (6) يَعْنِي الزَّوَانِي اللَّاتِي لَا يَمْنَعْنَ أَحَدًا أَرَادَهُنَّ بِالْفَاحِشَةِ. (وَمُتَّخِذَاتُ أَخْدَانٍ) يَعْنِي: أَخِلَّاءَ.

وَكَذَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَمُجَاهِدٍ وَالشَّعْبِيِّ، وَالضَّحَّاكِ، وَعَطَاءٍ الْخُرَاسَانِيِّ، وَيَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، وَمُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ، وَالسُّدِّيِّ، قَالُوا: أَخِلَّاءَ. وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَعْنِي: الصَّدِيقَ. وَقَالَ الضَّحَّاكُ أَيْضًا: {وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ} ذَاتُ الْخَلِيلِ الْوَاحِدِ الْمَسِيسِ الْمُقِرَّةُ بِهِ، نَهَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ، يَعْنِي عَنْ تَزْوِيجِهَا مَا دَامَتْ كَذَلِكَ

Firman-Nya: **{وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ}** 

Ibnu Abbas berkata: *"Al-musafihat" adalah para pezina yang terang-terangan,* yaitu para wanita pezina yang tidak menolak siapa pun yang menghendaki mereka untuk melakukan perbuatan keji. 

Sedangkan **"mutakhidzat akhdan"** berarti memiliki para kekasih.  

Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Mujahid, asy-Sya‘bi, adh-Dhahhak, Atha' al-Khurasani, Yahya bin Abi Katsir, Muqatil bin Hayyan, dan as-Suddi, mereka berkata: *"Maksudnya adalah memiliki kekasih."* 

Al-Hasan al-Bashri berkata: *"Maksudnya adalah teman dekat."* 

Adh-Dhahhak juga berkata: *"{وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ} maksudnya adalah wanita yang memiliki satu kekasih dan mengakuinya."* Allah melarang hal itu, yakni *melarang menikahinya selama ia tetap dalam keadaan demikian.*

Dan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَبَابًا لَا نَجِدُ شَيْئًا فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ منكُم الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) .

“Kami para pemuda bersama Nabi tidak mempunyai harta apapun maka Rasulullah mengatakan kepada kami :

"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mampu menafkahi rumah tangga, maka hendaklah ia menikah. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi tameng bagi syahwatnya."  [Bukhori, (5066) dan Muslim, (1400)].

****

DALAM ISLAM TIDAK ADA BATASAN MAKSIMAL MAHAR DALAM NIKAH

Allah SWT berfirman :

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدالَ زَوْجٍ مَكانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتاناً وَإِثْماً مُبِيناً (20)

" Dan jika kalian ingin mengganti isteri kalian dengan isteri yang lain, sedang kalian telah memberikan kepada salah seseorang dari mereka [para istri] harta yang melimpah, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya sekecil apapun barang itu. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?". [QS. An-Nisaa : 20]

Ibnu Katsir berkata :

وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ الْإِصْدَاقِ بِالْمَالِ الْجَزِيلِ، وَقَدْ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ نَهَى عَنْ كَثْرَةِ الْإِصْدَاقِ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ ذَلِكَ

Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bolehnya memberikan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak.  Akan tetapi, Khalifah Umar ibnul Khattab pernah melarang mengeluarkan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian beliau mencabut kembali larangannya itu. [Tafsir Ibnu Katsir 2/243].

====

MAHAR NABI UNTUK ISTRI-ISTRINYA SAAT NIKAH

Dari Abu Salamah Ibnu Abdurrahman Radliyallaahu 'anhu berkata:

سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ : كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا قَالَتْ : أَتَدْرِي مَا اَلنَّشُّ ? قَالَ : قُلْتُ : لَا  قَالَتْ : نِصْفُ أُوقِيَّةٍ فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ , فَهَذَا صَدَاقُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِأَزْوَاجِهِ

Aku bertanya kepada 'Aisyah r.a : Berapakah maskawin Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam

Ia berkata: Maskawin beliau kepada istrinya ialah 12 uqiyyah dan nasy.

Ia bertanya: Tahukah engkau apa itu nasy?  Ia berkata: Aku menjawab: Tidak.

'Aisyah berkata : " [ Nasy itu ] Setengah uqiyyah, jadi semuanya 500 dirham. Inilah maskawin Rasulullah kepada para istrinya. [ HR. Muslim no. 1426 ] .

Penjelasan nya :

Standar harga dirham pada zaman Nabi adalah : 1 Dinar = 12 Dirham . Sementara 1 dinar = 4,25 gram emas murni 24 karat .

فَيَكُونُ مَجْمُوعُ مَهْرِ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ البَالِغُ (500) دِرْهَمٍ مَا يُعَادِلُ أَرْبَعِينَ دِينَارًا وَنِصْفًا (41.6) تَقْرِيبًا، وَهُوَ يُسَاوِي - مِنَ الجَرَامَاتِ -: (176.375) جَرَامًا.

“Jadi total mahar masing-masing istri-istri Nabi yang berjumlah (500) dirham sama dengan sekitar empat puluh satu setengah (41,6 ) dinar, yang jika di gram kan setara dengan (176.375 ) gram emas “.

Penulis katakan :

Sekarang harga 1 gram emas 24 karat ± Rp. 1.400.000,- . Berarti mahar yang Nabi berikan pada para istrinya adalah : 176,375 gram x Rp. 1.400.000 = Rp. 246.925.000

====

UMAR MENIKAHI UMMU KULTSUM DENGAN MAHAR 40.000 DINAR (170 KG EMAS):

Syaakir an-Naabulsi dalam المَالُ وَالهِلَالُ [المَوَانِعُ وَالدَّوَافِعُ الِاقْتِصَادِيَّةُ لِظُهُورِ الإِسْلَامِ] berkata:

عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ: لَيْسَتْ هُنَاكَ أَرْقَامٌ ثَابِتَةٌ لِثَرْوَتِهِ، وَلَكِنْ مَجْمُوعَةٌ مِنَ الحَقَائِقِ التَّارِيخِيَّةِ تُشِيرُ إِلَى مَدَى الثَّرْوَةِ الشَّخْصِيَّةِ فِي يَدِ الخَلِيفَةِ عُمَرَ.

وَمِنْ هَذِهِ الحَقَائِقِ: أَنَّهُ دَفَعَ مَهْرَ زَوْجَتِهِ أُمِّ كُلْثُومَ بِنْتِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَشَرَةَ آلَافِ دِينَارٍ ذَهَبِيٍّ، كَمَا يَقُولُ المُؤَرِّخُ اليَعْقُوبِيُّ فِي تَارِيخِهِ.

وَمِنَ المُؤَرِّخِينَ - كَابْنِ قُدَامَةَ - مَنْ يَقُولُ: إِنَّ عُمَرَ قَدْ دَفَعَ أَرْبَعِينَ أَلْفَ دِينَارٍ فِي هَذَا المَهْرِ.

كَذَلِكَ: فَإِنَّ عُمَرَ قَدْ تَزَوَّجَ تِسْعَ نِسَاءٍ، بَعْضُهُنَّ مِنْ فُرُوعٍ عَالِيَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ، مِثْلَ فَكِيهَةَ مِنْ آلِ المُغِيرَةِ.

كَمَا أَوْصَى عُمَرُ لِأُمَّهَاتِ أَوْلَادِهِ بِأَرْبَعَةِ آلَافِ دِينَارٍ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ.


Tentang kekayaan Umar Ibnu Al-Khattab:

Tidak ada angka yang pasti tentang kekayaannya, tetapi serangkaian fakta sejarah menunjukkan tingkat kekayaan pribadi di tangan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu.

Di antara fakta-fakta ini:

Bahwa ia membayar mahar istrinya Umm Kultsum binti Ali bin Abi Talib sepuluh ribu dinar emas, seperti yang dikatakan sejarawan Al-Ya'qubi dalam kitab Taarikhnya 2/150.

[NOTE: 10.000 Dinar (42000,5 gram = 42,5 kg emas murni) x Rp. 1.400.000 = Rp. 58.800.700.000. Ini jika harga pergram emas murni 24 karat 1.400.000 ribu rupiah. Karena 1 Dinar emas = 4,25 gram].

Namun di antara para sejarawan - seperti Ibnu Qudamah - mengatakan bahwa Umar membayar empat puluh ribu dinar dalam mas kawin ini.

[NOTE: 40.000 Dinar / 170.000 gram (170 kg) emas murni = Rp. 238.000.000.000. Ini jika harga pergram emas murni 24 karat 1.400.000 rupiah. Karena 1 Dinar emas = 4,25 gram].

Juga: Umar menikahi sembilan wanita, beberapa di antaranya berasal dari keturunan bangsawan petinggi Quraisy, seperti Fakiihah dari keluarga Al-Mughirah.

Umar radhiyallahu ‘anhu juga menulis wasiat untuk para ummul walad [para budak wanita yang beliau gauli lalu melahirkan anak untuk beliau], 4000 dinar (23 milyar 800 juta rupiah) untuk masing-masing dari mereka".

====

UMAR BIN KHATHTAB SEMPAT MELARANG MAHAR YANG MAHAL :

Dulu sebelum Islam datang, kaum wanita selalu terdzalimi, sehingga kadang dinikahi tanpa mendapatkan mahar sama sekali. Seperti Nikah syighar, yaitu nikah yang dilakukan dengan cara tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar.

Setelah Islam datang, nilai mahar nikah melambung tinggi terutama setelah Rasulullah wafat.

Mahar wanita muslimah pada masa para sahabat benar-benar melambung tinggi, sehingga membuat Umar bin Khaththab ketika menjadi khalifah sempat mengeluh. 

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abul Ajfa As-Sulami : bahwa dia mendengar Khalifah Umar ibnul Khattab berkhutbah, yang diantara isi khutbahnya dia berkata :

أَلَا لَا تُغَالُوا فِي صُدُقِ النِّسَاءِ فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ كَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَصْدَقَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ وَلَا أُصْدِقَتْ امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ فَوْقَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً أَلَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُغَالِي بِصَدَاقِ امْرَأَتِهِ حَتَّى يَبْقَى لَهَا فِي نَفْسِهِ عَدَاوَةٌ حَتَّى يَقُولَ كَلِفْتُ إِلَيْكِ عَلَقَ الْقِرْبَةِ أَوْ عَرَقَ الْقِرْبَةِ

"Ketahuilah, janganlah kalian berlebihan dalam mahar wanita, apabila berlebihan dalam mahar merupakan bentuk kemuliaan di dunia atau ketakwaan di sisi Allah, niscaya yang paling pertama kali melakukannya adalah Rasulullah .

Tidaklah beliau memberikan mahar kepada seorangpun dari para isterinya dan tidak seorangpun dari anak-anak wanitanya yang diberi mahar di atas 12 'uqiyah [ ± Rp. 246.925.000].

Sungguh salah seorang diantara kalian berlebihan dalam mahar isterinya, hingga tinggallah dalam dirinya permusuhan kepada isterinya, sampai dirinya mengatakan;

"Aku telah menanggung segala sesuatu hingga tali geriba, atau hingga berkeringat seperti geriba berkeringat."

[ HR. Abu Dawud (2106), al-Tirmidzi (1114), an-Nasa'i (3349), Ibn Majah (1887), dan Ahmad (340), dan Ad-Daarimi no. 2103 ] Lafadz nya lafadz riwayat ad-Daarimi .

Di shahihkan oleh Ahmad Syaakir dalam Takhrij al-Musnad no. 340 dan al-Albaani dalam Shahih Sunan an-Nasaa'i no. 3349 .

NAMUN UMAR PADA AKHIRNYA MERALAT LARANGAN-NYA :

Umar radhiyallahu ‘anhu setelah itu meralat ucapan tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hafidz Abu Ya'la dengan sanadnya dari Masruq yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnu Khattab menaiki mimbar Rasulullah , kemudian berkata :

أَيُّهَا النَّاسُ، مَا إِكْثَارُكُمْ فِي صُدُق النِّسَاءِ وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأصحابه وإنما الصدقات فِيمَا بَيْنَهُمْ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ فَمَا دُون َ ذَلِكَ. وَلَوْ كَانَ الْإِكْثَارُ فِي ذَلِكَ تَقْوًى عِنْدَ اللَّهِ أَوْ كَرَامَةً لَمْ تَسْبِقُوهمْ إِلَيْهَا. فَلا أعرفَنَّ مَا زَادَ رَجُلٌ فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ قَالَ : ثُمَّ نَزَلَ فَاعْتَرَضَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالَتْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، نَهَيْتَ النَّاسَ أَنْ يَزِيدُوا النِّسَاءَ صَدَاقَهُمْ عَلَى أَرْبَع ِمِائَةِ دِرْهَمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ؟ قَالَ: وَأَيُّ ذَلِكَ؟ فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا } [النساء: 20] قال: فقال: اللَّهُمَّ غَفْرًا، كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ . ثُمَّ رَجَعَ فَرَكِبَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا النِّساءَ فِي صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ مَا أَحَبَّ.

"Hai manusia, mengapa kalian berbanyak-banyak dalam mengeluarkan maskawin untuk wanita, padahal dahulu Rasulullah dan para sahabatnya membayar maskawin mereka di antara sesama mereka hanya empat ratus dirham atau kurang dari itu.

Seandainya memperbanyak maskawin merupakan ketakwaan di sisi Allah atau suatu kemuliaan, niscaya kalian tidak akan dapat menyembunyikan mereka dalam hal ini. Sekarang aku benar-benar akan mempermaklumatkan, perlombaan seorang lelaki jangan membayar maskawin kepada seorang wanita dalam jumlah lebih dari empat ratus dirham."

Masruq melanjutkan kisahnya :

" Bahwa setelah itu Khalifah Umar turun dari mimbarnya, tetapi ada seorang wanita dari kalangan Quraisy mencegatnya dan mengatakannya :

"Wahai Amirul Mu'minin, kenapa melarang orang-orang melebihi empat ratus dirham dalam maskawin mereka?"

Khalifah Umar menjawab : "Ya."

Wanita itu berkata : “Tidakkah Anda mendengar apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur'an ?"

Khalifah Umar bertanya, "Ayat manakah yang Anda maksudkan?"

Wanita itu menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman:

{وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتاناً وَإِثْماً مُبِيناً (20)}.

" Dan kalian telah memberikan kepada salah seseorang dari mereka [para istri] harta yang melimpah, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya sekecil apapun barang itu. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?". [QS. An-Nisaa : 20]

Maka Khalifah Umar berkata : "Ya Allah, ampunilah aku sesungguhnya orang ini lebih pandai daripada Umar."

Kemudian Khalifah Umar kembali menaiki mimbar, dan berkata :

" إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا النِّسَاءَ فِي صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ مَا أَحَبَّ".

“Hai manusia sekalian. sesungguhnya aku telah melarang kalian melebihi empat ratus dirham dalam membayar maskawin wanita. Sekarang barang siapa yang ingin memberi mahar dari hartanya menurut apa yang disukainya, dia boleh melakukannya."

Abu Ya'la mengatakan : "Aku mengira, Umar (ra) mengatakan :

"فَمَنْ طَابَتْ نَفْسُهُ فَلْيَفْعَلْ".

'Barang siapa yang suka rela (memberi mahar dalam jumlah yang lebih dari empat ratus dirham), maka silahkan melakukannya'." [Selesai].

Ibnu Katsir berkata :

إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ

"Sanad atsar ini dinilai jayyid (baik) lagi kuat". [Tafsir Ibnu Katsir 2/244].

Atsar ini terdapat dalam "Abi Ya'la Al-Kabir" seperti yang disebutkan oleh Al-Haitsami dalam "Majma' Az-Zawaid" (4/284) dan Al-'Ajluuni dalam "Kashf Al-Khafa" (2/154). Akan tetapi, hadis ini tidak terdapat dalam kitab "Musnad" yang diterbitkan.

Atsar ini diriwayatkan pula oleh Sa'id bin Mansur dalam kitab Sunan dengan nomor (598) "Al-Azhimiy", dan juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan Al-Kubra (7/233).

Lihat: Irwa'ul Ghaliil (6/348) oleh Syaikh Nashir Al-Albani, dia telah menjelaskan kelemahan riwayat ini dan perbedaannya dengan apa yang terdapat dalam kitab-kitab hadis.

Ibnul Mundzir meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Abdur Rahman As-Sulami bahwa Khalifah Umar Ibnu Khattab pernah mengatakan :

" لَا تُغَالُوا فِي مُهُورِ النِّسَاءِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: لَيْسَ ذَلِكَ لَكَ يَا عُمَرُ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: "وَآَتيْتُم ْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَبٍ". قَالَ: وَكَذَلِكَ هِيَ فِي قِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ: "فَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا" فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّ امْرَأَةً خَاصَمَتْ عُمَرَ فَخَصَمَ تْهُ ".

"Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam membayar maskawin wanita."

Lalu ada seorang wanita berkata : “Tidaklah demikian, hai Umar, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman:

"وَآَتيْتُم ْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَبٍ".

'Sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka berupa harta yang melimpah dari emas ' (An-Nisa: 20).”

Yang dimaksud dengan qintaryaitu emas yang banyak. Abu Abdur Rahman As-Sulami berkata : "Demikian pula menurut qiraah Abdullah ibnu Mas'ud, yakni seqintar emas.

"فَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا"

" Maka janganlah kalian mengambil kembali barang sedikit pun darinya."

Kemudian Khalifah Umar berkata : “Sesungguhnya seorang wanita telah mendebat Umar, ternyata wanita itu dapat mengalahkannya.”

[ Diriwayatkan oleh Abdul Razzaq dalam kitab "Al-Musannaf" dengan nomor (10420) melalui jalur Qais bin Rabi'ah.

SheikhAl-Albani dalam "Irwa' Al-Ghalil" (1/348) menyatakan: "Sanadnya lemah dengan dua kelemahan:

Pertama, ada putusnya jalur sanad, karena Abu Abdul Rahman As-Sulami, yang nama aslinya adalah Abdullah bin Habib bin Rabi'ah, tidak pernah mendengar dari Umar seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ma'in.

Kedua, Qais bin Rabi'ah memiliki kelemahan dalam menghafal hadis." 

YANG BENAR : “TIDAK ADA BATASAN MAKSIMAL JUMLAH MAHAR DALAM NIKAH”.

Karena Allah SWT berfirman :

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدالَ زَوْجٍ مَكانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتاناً وَإِثْماً مُبِيناً (20)

" Dan jika kalian ingin mengganti isteri kalian dengan isteri yang lain, sedang kalian telah memberikan kepada salah seseorang dari mereka [para istri] harta yang melimpah, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya sekecil apapun barang itu. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?". [QS. An-Nisaa : 20]

Ibnu Katsir berkata :

وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ الْإِصْدَاقِ بِالْمَالِ الْجَزِيلِ، وَقَدْ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ نَهَى عَنْ كَثْرَةِ الْإِصْدَاقِ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ ذَلِكَ

Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bolehnya memberikan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak.  Akan tetapi, Khalifah Umar ibnul Khattab pernah melarang mengeluarkan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian beliau mencabut kembali larangannya itu. [Tafsir Ibnu Katsir 2/243].

UMMU KULTSUM SETELAH UMAR radhiyallahu ‘anhu WAFAT:

Adz-Dzahabi dlam Siyar al-A'laam an-Nubalaa 3/446-447 menyebutkan:

قَالَ ابْنُ سَعْدٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ عِيَاضٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ بْنِ حَزْمٍ، قَالَ: خَطَبَ سَعِيدُ بْنُ الْعَاصِ أُمَّ كُلْثُومَ بِنْتَ عَلِيٍّ بَعْدَ عُمَرَ، وَبَعَثَ إِلَيْهَا بِمِائَةِ أَلْفٍ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَخُوهَا الْحُسَيْنُ، قَالَ: لَا تَزَوِّجِيهِ. قَالَ الْحَسَنُ: أَنَا أُزَوِّجُهُ. وَاتَّفَقُوا عَلَى ذَلِكَ، فَحَضَرُوا.

فَقَالَ سَعِيدٌ: وَأَيْنَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ؟ قَالَ الْحَسَنُ: سَأُكْفِيكَ. قَالَ: فَلَعَلَّ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ كَرِهَ هَذَا. قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: لَا أَدْخُلُ فِي شَيْءٍ يَكْرَهُهُ. وَرَجَعَ، وَلَمْ يَأْخُذْ مِنَ الْمَالِ شَيْئًا.

قَالَ سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ الدِّمَشْقِيُّ: إِنَّ عَرَبِيَّةَ الْقُرْآنِ أُقِيمَتْ عَلَى لِسَانِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ، لِأَنَّهُ كَانَ أَشْبَهَهُمْ لَهْجَةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Ibnu Sa'ad berkata: telah menceritkan kepada kami Ali bin Muhammad, dari Yazid bin 'Iyaadh, dari Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm, yang berkata:

Sa'id bin Al-'Aash, melamar Umm Kultsum, putri Ali, setelah Umar wafat. Dan dia mengirimnya uang seratus ribu [100 ribu dirham = Rp. 31.875.000.000], hingga saudaranya al-Husain masuk padanya dan berkata: " Jangan menikah dengannya".

Al-Hasan berkata: " Aku yang akan menikahkan mu dengannya".

Dan mereka telah bersiap-siap untuk itu, lalu mereka pun datang.

Sa'iid bertanya: "Dimana Abu Abdullah? " [Yakni al-Husein].

Al-Hassan berkata: " Aku akan mencukupimu ".

Dia berkata: " Mungkin Abu Abdullah membenci pernikahan ini ".

Al-Hasan berkata: Ya.

Sa'id berkata: " Saya tidak mau masuk dalam sesuatu yang dia benci".

Lalu Sa'iid pulang, dan dia tinggalkan uang tersebut tidak mengambil nya kembali sepeser pun ".

[NOTE: Pada masa Nabi 12 Dirham setara dengan 1 dinar. Dan Satu dinar pada masa itu setara dengan 4,25 gram emas murni. Jadi uang 100 ribu dirham Said diatas, setara dengan 8.334 dinar. Jika dirupiahkan: 8.334 dinar x 4,25 gram x Rp. 900.000 = Rp. 49.587.300.000. PEN]

SIAPA ITU SAID BIN AL-'AASH ?

Said bin Abdul Aziz Al-Dimashqi berkata: Bahasa Arab Al-Qur'an telah ditegakkan kembali pada lidah Sa'iid bin Al-Aash, karena dia itu yang paling mirip dengan dialek Rasulullah .

ATSAR PROSES PERNIKAHAN UMAR DENGAN PUTRI ALI BIN ABI THOLIB radhiyallahu ‘anhuma:

Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshuur dalam Sunan-nya (521), Abdul Razzaq dalam Al Musannaf (6/163) No. (10352) dan Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti'aab (1/635) melalui Sufyan dari Amr bin Dinar dari Abu Jaafar:

خَطَبَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - ابْنَةَ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - فَذُكِرَ مِنْهَا صِغَرٌ، فَقَالُوا لَهُ: إِنَّمَا أَدْرَكْتَ، فَعَاوَدَهُ. قَالَ: نُرْسِلُ بِهَا إِلَيْكَ تَنْظُرُ إِلَيْهَا. فَرَضِيَتْ، فَكَشَفَتْ عَنْ سَاقِهَا، فَقَالَتْ: أُرْسِلْ لَوْلَا أَنَّكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ لَطَمْتُ عَيْنَيْكَ.

Umar Ibn Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu melamar putri Ali [bin Abi Thalib] RA, maka Ali radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa putrinya masih kecil. Mereka [yang diutus Umar] berkata kepada Ali: " Dia tahu itu, dan dia terus membujuknya".

Maka Ali berkata: "Kami mengirimnya kepada Anda, sehingga Anda melihatnya".

Dan setelah melihat nya, Umar pun menyukai putri Ali tersebut, lalu dia menyingkap betisnya. Maka putri Ali radhiyallahu ‘anhu marah dan berkata:

" Lepaskan ! Kalau saja anda bukan Amiirul Mukminiin sungguh sudah aku tampar kedua matamu ".

Itu adalah lafadz riwayat Sa'iid. Adapun lafadz Abdurrazaaq:

"خَطَبَ عُمَرُ إِلَى عَلِيٍّ ابْنَتَهُ فَقَالَ : إِنَّهَا صَغِيرَةٌ، فَقِيلَ لِعُمَرَ: إِنَّمَا يُرِيدُ بِذَلِكَ مَنْعَهَا. قَالَ فَكَلَّمَهُ، فَقَالَ عَلِيٌّ: أبْعَثُ بِهَا إِلَيْكَ فَإِنْ رَضِيتَ فَهِيَ امْرَأَتُكَ. قَالَ فَبَعَثَ بِهَا إِلَيْهِ. قَالَ فَذَهَبَ عُمَرُ فَكَشَفَ عَنْ سَاقِهَا، فَقَالَتْ: أُرْسِلْ لَوْلَا أَنَّكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ لَصَكِكْتُ عُنُقَكَ".

Umar melamar kepada Ali untuk menikah dengan putrinya, lalu Ali mengatakan : “Sungguh dia masih kecil”.

Dikatakan kepada Umar : “Sungguh dia hanya ingin menolaknya”.

Umar berkata: " Tolong bujuk dia ".

Lalu Ali berkata: "Aku akan mengirimnya kepadamu. Jika kamu suka, maka dia adalah istrimu.”

Dia berkata: lalu dia mengirimnya kepadanya ".

Dia berkata: Maka Umar menghampirinya lalu menyingkap betisnya. Maka putri Ali marah dan berkata:

"Lepas kan ! Kalo saja anda bukan Amirul Mukminin, suangguh telah aku tonjok kedua mata anda."

[Lihat at-Talkhiish al-Habiir karya Ibnu Hajar 2/147 dan as-silsilah adho'iifah karya al-Albaani 3/272].

Dan apa yang disebutkan Al-Hafidz menunjukkan bahwa atasr tersebut dari riwayat Muhammad bin Ali bin Al-Hanafiyah, yang nama panggilannya adalah Abu Al-Qasim, dan dia pernah berjumpa dengan Umar ; maka dengan demikian sanad nya Shahih Muttashil.
Namun riwayat yang penulis sebutkan diatas adalah dari riwayat Abu Jaafar. Dan Abu Jaafar adalah Muhammad bin Ali bin Al-Husein dan dia tidak pernah berjumpa dengan Umar maka dengan demikian sanadnya terputus.

Tapi Abu Jaafar berasal dari Ahlul-Bait, maka tampaknya kisah seperti itu sudah masyhur ditengah keluarga nya.

Kesimpulannya Umm Kultsum itu anak perempuan yang masih kecil, dan itulah sebabnya kisah itu disebutkan dalam kitab al-Mushonnaf di bawah:

(بَابُ نِكَاحِ الصَّغِيرَيْنِ)

(Bab: Pernikahan dua anak kecil).

Dan diriwayatkan dari Muammar dari Ayyub dan lainnya dari Ikrimah

أَنَّ عَلِيًّا بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَنْكحَ ابْنَتَهُ جَارِيَةً تَلْعَبُ مَعَ الْجَوَارِيِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ

bahwa Ali bin Abi Thalib menikahkan putrinya - yang masih bocah, yang masih bermain dengan anak-anak kecil perempuan - dengan Umar bin al-Khattab.

Dalam lafadz lain: “Muammar, dari Ayyub, dari Ikrimah, dia berkata:

تَزَوَّجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَهِيَ جَارِيَةٌ تَلْعَبُ مَعَ الْجَوَارِيِ.

 ‘Umar ibnu al-Khattab menikahi Ummu Kultsum, putri Ali ibn Abi Thalib, dan dia adalah anak perempuan masih bocah yang masih bermain dengan anak-anak kecil perempuan.”

Ibnu Saad berkata dalam al-Tabaqaat (8/463):

(أُمُّ كُلْثُومٍ بِنْتُ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمٍ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ بْنِ قُصَيٍّ، وَأُمُّهَا فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ وَأُمُّهَا خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ بْنِ أَسَدٍ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ قُصَيٍّ. تَزَوَّجَهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهِيَ جَارِيَةٌ لَمْ تَبْلُغْ)

“Umm Kulthum binti Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hashim bin Abd Manaf bin Qushay.

Ibunya adalah Fatimah putri Rasulullah , dan ibunya Khadijah putri Khuwaylid bin Asad bin Abd al-Uzza bin Qushay.

Umar Ibn Al-Khattab menikahinya ketika dia adalah seorang gadis kecil yang belum baligh".

Dalam at-Talkhis al-Habiir hal. 291-292 cetakan al-Hindiyah, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

رِوَايَةُ عَبْدِ الرَّزَّاقِ وَسَعِيدِ بْنِ مَنْصُورٍ وَابْنِ أَبِي عُمَرَ (الأَصْلُ: أَبِي عَمْرٍو وَهُوَ خَطَأٌ) عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ عُمَرَ خَطَبَ إِلَى عَلِيٍّ ابْنَتَهُ أُمَّ كُلْثُومٍ.. القِصَّةُ.


Riawayat Abdur-Razzaq dan Sa'id Ibn Mansur dan Ibnu Abi Umar (dalam Manuskrift, tertulis : “Abi Amr”, dan itu adalah salah tulis) dari Sufyan dari Amr Ibnu Dinar dari Muhammad bin Ali bin al-Hanafiyah:

"Bahwa Umar melamar kepada Ali untuk menikahi putrinya Umm Kulthum.. DST.

Dengan demikian jika berdasarkan cetakan kitab At-Takhiish al-Habiir yaitu cetakan al-Hindiyah maka sanadnya shahih.

Dan al-Haafidz Ibnu Hajar itu Tsiqoh, dan dia menyebutkan : bahwa perawinya adalah Ibnu al-Hanafiyah (bin Ali bin Abi Thalib), dan dia adalah saudara Ummu Kultsum. Dan dia berjumpa dengan Umar dan masuk ke rumahnya.

Namun ketika kitab “Musannaf Abd al-Razzaq” dicetak dengan tahqiqan Syekh Habib al-Rahman al-A'dzomi, ternyata dalam sanadnya (10/10352) terdapat perbedaan, yaitu sanadnya menjadi Mursal dan inqithaa' [terputus].

Dan ucapannya dalam “Al-Talkhiis”: “.... Ibnu Al-Hanafiyah” adalah kesalahan, yang tidak diketahui penyebabnya ; karena dalam al-Mushonnaf tertulis: “... Amr bin Dinar dari Abi Jaafar, dia berkata...... dst.

Dan begitu pula dia pada riwayat Sa'id bin Manshur (3 no. 520) seperti yang disebutkan oleh Syekh Al-A'dzomi.

Dan Abu Jaafar ini adalah Muhammad bin Ali bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Dalam riwayat Ibnu Abi Umar, ada nama yang disebut “Muhammad bin Ali” sebagaimana Al-Hafiz sendiri disebutkan dalam “Al-Ishoobah”

Dan juga Ibnu Abd al-Barr menyebutkanya dalam “Al-Istidzkaar” dengan sanadnya kepada Ibnu Abi Umar, maka dengan demikian perawi kisah tersebut bukan Ibnu al-Hanafiyyah. Karena julukannya / Kuniyahnya Abu al-Qasim, yang benar dia adalah Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Karena dialah yang dijuluki Abu Jaafar, dan dia adalah Al-Baqir. Dan dia adalah salah satu dari kalangan Tabi-iin yang termuda

Dia meriwayatkan dari kakeknya, Al-Hasan dan Al-Hussein, dan kakek ayahnya, Ali bin Abi Thalib, itu secara Mursal, sebagaimana yang di sebutkan dalam at-Tahdziib dan lainnya.

Maka dia tidak mungkin berjumpa dengan Ali, apalagi dengan Umar, bagaimana mungkin bisa ketemu sementara dia dilahirkan setelah wafatnya lebih dari 20 tahun, maka dia tidak mendapatkan riwayat kisah tersebut secara meyakinkan, maka dengan demikian sanadnya terputus. Wallahu a'lam.

*****

DALAM ISLAM TIDAK ADA BATASAN MINIMAL MAHAR DALAM NIKAH

“Dari Sahal bin Saad radhiallahu’anhu, dia berkata :

أَتَتْ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : مَا لِي فِي النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ ، فَقَالَ رَجُلٌ : زَوِّجْنِيهَا قَالَ : أَعْطِهَا ثَوْبًا ، قَالَ : لَا أَجِدُ قَالَ : أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ ، فَاعْتَلَّ لَهُ ، فَقَالَ : مَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ؟ قَالَ : كَذَا وَكَذَا قَالَ : فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ".

“Ada seorang wanita datang kepada Nabi dan berkata, “Sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untuk Allah dan Rasul-Nya.

Maka Nabi , ‘Saya tidak lagi membutuhkan wanita (untuk nambah istri)'.

Ada seseorang berkata: “(Tolong) nikahkan dia denganku!”.

Nabi berkata : ‘Berikan dia baju ! “. (Orang tadi) berkata, ‘Saya tidak mempunyai.’

Nabi berkata : “ Berikan dia meskipun dengan cincin dari besi !“.

Maka dia bersedih (karena tidak mendapatkannya).

Nabi berkata : ‘Apakah anda mempunyai (hafalan) Al-Qur’an?

Dia berkata, ‘( Saya hafal ) ini dan itu .’

Nabi berkata : ‘Sungguh saya telah menikahkan anda dengan dia dengan Al-Qur’an yang anda hafal .’ [ HR. Bukhori, 4741. Muslim, 1425].

Makna kata “ فَاعْتَلَّ لَهُ / Fa’talla lahu “ adalah sedih dan menyesal atau sakit ; karena dia tidak mendapatkan untuk maharnya .

Namun demikian, Hadits kisah mahar dengan mengajar al-Quran ini adalah kejadian yang langka, karena setelah itu sepengetahuan penulis tidak ada sahabat lain yang menikah dengan mahar mengajarkan hafalan al-Quran pada istrinya .

Ada sebuah kaidah fiqih mengatakan :

" الحُكْمُ عَلَى الأَغْلَبِ و النَّادِرُ لاَ حُكْمَ لَه "

Artinya : Hukum itu berdasarkan pada yang umum atau kebanyakan , adapun yang jarang terjadi , maka itu tidak bisa dijadikan standar hukum “.

Abu Bakar al-Jashshoosh dalam kitabnya “أحكام القرآن” 1/78 ( Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah. Tahqiq Abdus Salam Syahiin ) :

" أَلَا تَرَى أَنَّ الْحُكْمَ فِي كُلِّ مَنْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ يَتَعَلَّقُ بِالْأَعَمِّ الْأَكْثَرِ دُونِ الْأَخَصِّ الْأَقَلِّ ".اهـ

“Tidak kah kau lihat bahwa hukum berlaku dalam setiap orang yang tinggal di Dar al-Islam dan Dar al-Harb bergantung kepada yang lebih umum yang mayoritas , bukan kepada yang lebih khusus yang minoritas “.

Ibnu Muflih ulama madzhab Hanbali berkata dalam kitabnya **Al-Mubdi' Syarh al-Muqni'** 3/254 (Cet. Darul Kutubil Ilmiyyah . Tahqiq Muhammad Hasan ay-Syafi’i ) :

الأَكْثَرُ يَقُومُ مَقَامَ الكُلِّ، بِخِلَافِ الْيَسِيرِ، فَإِنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَعْدُومِ".اهـ

Artinya : Mayoritas itu menduduki kedudukan keseluruhan , berbeda dengan yang sedikit , maka yang sedikit itu di hukumi tidak ada “.


Posting Komentar

0 Komentar