Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

APAKAH PARA SYEIKH SUFI MEMILIKI HUBUNGAN LANGSUNG DENGAN ALLAH?

 APAKAH PARA SYEIKH SUFI MEMILIKI HUBUNGAN LANGSUNG DENGAN ALLAH?

Di Tulis Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

===

===

DAFTAR :

  • KEYAKINAN SYEKH SUFI MEMILIKI HUBUNGAN LANGSUNG DENGAN ALLAH SWT :
  • TANYA JAWAB : BENARKAH MEMILIKI HUBUNGAN LANGSUNG DENGAN ALLAH SWT?
  • BERAWAL DARI MASUKNYA FAHAM SYARIAT, HAKIKAT, MAKRIFAT DAN WIHDATUL WUJUD DALAM ISLAM
  • HADIST-HADIST PALSU YANG DI CIPTAKAN OLEH KELOMPOK AHLI MAKRIFAT DALAM ISLAM.
  • LEWAT ABDULLAH BIN SABA YAHUDI DAN PARA PENGIKUTNYA, FAHAM KEBATHINAN, HAQIQAT DAN MAKRIFAT MASUK DALAM UMAT ISLAM
  • PENGARUH ABDULLAH BIN SABA DALAM MENYESATKAN AQIDAH UMAT ISLAM
  • PERBANDINGAN SINGKAT ANTARA FAHAM SEBAGIAN SHUFI DAN AHLUS SUNNAH
  • BERIBADAH KEPADA ALLAH HARUS MURNI HANYA KEPADA ALLAH, KARENA ALLAH DAN DENGAN SYARIAT ALLAH.

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

==***===

KEYAKINAN SYEKH SUFI MEMILIKI HUBUNGAN LANGSUNG DENGAN ALLAH SWT :

Tidak semua faham tasawuf itu sesat, akan tetapi ada sebagian dari tharekat-tharekat Sufisme yang memiliki ajaran dan keyakinan yang menyimpang , diantara nya adalah keyakinan berikut ini:

Seseorang jika sudah sampai kepada martabat makrifat dan hakikat, dia bisa berhubungan langsung dengan Allah SWT, maka dia bisa melihat Allah dengan kedua mata kepalanya dalam keadaan jaga, kapan saja . Dan dia juga bisa mendapatkan ilmu syariat langsung dari Allah SWT tanpa melalui nabi dan rasul, yang dikenal dengan istilah ilmu LADUNI (لَدُنِّيْ), sehingga dia berkata:

حَدَّثَنِي قَلْبِي عَنْ رَبِّي

" Hatiku berbicara kepadaku langsung dari Tuhanku.."

Bahkan ada sebagian dari mereka yang berkeyakinan bahwa kedudukan ahli ma’rifat lebih tinggi dan lebih mulia dari pada para nabi dan rasul – ‘alaihimus salam - , dengan alasan bahwa para nabi dan rasul mendapatkan wahyu dari Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril –‘alaihis salam-, berbeda dengan ahli makrifat, maka dia mendapatkannya langsung dari Allah SWT secara berhadapan.

Apalagi yang martabatnya sudah ahli hakikat, maka dirinya telah menyatu dengan Allah SWT Tuhan Semesta Alam.

"Menyatu dengan Tuhan (Wahdatul Wujud)” alias “Manunggaling Kawula Ing Gusti” atau “Lir Kadio Keris Melebu Ing Werongkone”.

Dengan demikian, maka dia telah lepas dari syariat, karena dia adalah Allah atau Allah adalah dia, maka dia boleh meninggalkan sholat dan kewajiban-kewajiban lainnya serta boleh melakukan maksiat. Lalu dia diwajibkan untuk berbohong agar hakikat penyimpangan-nya tidak di ketahui orang awam, umpamanya seperti dengan mengatakan : "sholat Jum'at nya di Makkah", padahal dia sama sekali tidak sholat Jum'atan, atau dengan mengatakan "shalat fardlunya tidak kelihatan manusia", padahal dia tidak shalat sama sekali.

Diantara Ulama Sufi yang mengkalim bahwa dirinya telah sampai pada tahapan haqiqat adalah sbb :

PERTAMA : IBNU ‘ARABI :

Ibnu ‘Arabi juga menyatakan tentang dirinya yang telah sampai pada level wihdatul wujud dan hakikat, dia berkata :

“Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba" .

Duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)? Jika kau katakan ‘hamba’, maka dia adalah tuhan . Atau kau katakan ‘tuhan’, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!”.

[Al Futuhat Al Makkiyah karya Ibnu ‘Arabi (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal. 43)]

Dan Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya yang lain “Fushushul Hikam” (hal.192) yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dia mengatakan:

“Bahwa Rasullah lah yang memberikan padanya kitab ini (Fushushul Hikam), dan beliau berkata kepadanya: “Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”.

Kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun (segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah ) itu seperti yang beliau tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang.”

Kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: (Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah! dan kepada Allah kembalilah! 

(Di nukil pula dari Fushushul Hikam, oleh penulis kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal. 19).

Dan dalam kitabnya “Fushushul Hikam” (hal.192) dia juga mengatakan: 

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah.”

Para pengikutnya memberikan gelar-gelar kehormatan yang sangat tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, contohnya seperti gelar :

  1. Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah dengan sebenarnya [makrifat] ), 
  2. Al Quthb Al Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), 
  3. Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang paling harum),
  4. dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau).

KEDUA : AL-HALLAJ :

Al-Husain Bin Mansur al-Hallaj (wafat 309 H / 922 M) yang pernah berkata:

‘Ana al-Haqq’, yang berarti aku adalah Tuhan.

DR. Ali Isa al-‘Aakuub dalam “مَوْقِعُ الشَّيْخِ الْأَكْبَرِ مُحْيِي الدِّينِ ابْنِ العَرَبِيِّ” berkata :

"مَنْصُورٌ الحَلَّاجُ الَّذِي كَانَ يَقُولُ : أَنَا الحقُ كَانَ يَكْنُسُ تُرَابَ كُلِّ طَرِيقٍ بِالأَهْدَابِ وَقَدْ غَرِقَ فِي قَلْزُمِ فَنَائِهِ وَعِنْدَئِذٍ أَخَذَ يَنْظِمُ دَرَّ «أَنَا الحقُ» .... ".

[1] Manshur al-Hallaj, dulu dia senantiasa berkata : "Ana al-Haq" (Akulah al-Haq).

Dulu dia biasa menyapu debu di setiap jalan dengan ujung bajunya, dan dia tenggelam dalam samudra kefana’an dirinya [menyatu dengan Tuhan]. Pada saat itulah dia mulai merangkai kalimat "Ana al-Haq".

Perkataan al-Hallaj inilah yang disebut dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat ‘la ilaha illa Allah’ tidak lagi kita artikan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, melainkan ‘Tidak ada hakikat (realitas) yang sejati kecuali Allah’. Di sini dapat dipahami bahwa hanya Allah lah yang riil, yang hakiki, sedangkan yang lainnya adalah semu.

[2] Dia mengatakan tentang hulul (penyatuan) dan ittihad (persatuan).

أَيْ: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ حَلَّ فِيهِ، وَصَارَ هُوَ وَاللَّهُ شَيْئًا وَاحِدًا. تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيرًا.

Yakni : Allah Yang Maha Tinggi telah meresap ke dalam dirinya dan menjadikannya satu dengan Allah. Maha Suci Allah dari hal itu dengan kesucian yang tinggi.

Inilah yang membuatnya diterima oleh orientalis Kristen karena pandangannya sesuai dengan mereka, yaitu bahwa mereka percaya bahwa Allah telah meresap ke dalam diri Isa (‘alaihis salam). Karena itu, al-Hallaj berbicara tentang ketuhanan dan kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh orang Kristen. Salah satu puisinya:

سُبْحَانَ مَنْ أَظْهَرَ نَاسُوتَهُ *** سِرَّ لَهُوتِهِ الثَّاقِبِ

ثُمَّ بَدَا فِي خَلْقِهِ ظَاهِرًا *** فِي صُورَةِ الآكِلِ وَالشَّارِبِ

Mahasuci Dia yang menampakkan kemanusiaan-Nya, 

Rahasia ketuhanan-Nya yang menembus. 

Kemudian tampak dalam ciptaan-Nya, 

Dalam bentuk yang makan dan minum.

Ketika Ibnu Khafif mendengar syair ini, dia berkata:

عَلَى قَائِلِ هَـٰذَا لَعْنَةُ اللَّهِ. فَقِيلَ لَهُ: هَـٰذَا شِعْرُ الحَلَّاجِ. فَقَالَ: إِن كَانَ هَـٰذَا اعْتِقَادُهُ فَهُوَ كَافِرٌ

"Semoga laknat Allah menimpa pengucap kata-kata ini." Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah syair al-Hallaj." Dia menjawab: "Jika ini adalah keyakinannya, maka dia adalah seorang kafir."

[3]. Dia mendengar seseorang membaca ayat dari Al-Qur'an, lalu dia berkata:

أَنَا أَقْدِرُ أَنْ أُؤَلِّفَ مِثْلَ هَـٰذَا

"Saya bisa membuat sesuatu yang mirip dengan ini."

[4]. Salah satu puisinya:

عَقَدَ الخَلَائِقُ فِي الإِلَهِ عَقَائِدَ *** وَأَنَا اعْتَقَدْتُ جَمِيعَ مَا اعْتَقَدُوهُ

Makhluk-makhluk telah menetapkan keyakinan-keyakinan tentang Tuhan,

Dan aku meyakini bahwa semua tuhan yang mereka yakini adalah aku.

Kata-kata ini, meskipun mengandung pengakuan dan keyakinan terhadap semua kekufuran yang diyakini oleh sekte-sekte sesat, tetap saja kata-kata tersebut kontradiktif dan tidak dapat diterima oleh akal sehat, karena bagaimana mungkin seseorang meyakini tauhid dan syirik secara bersamaan?!

[5]. Dia memiliki pernyataan yang menghapus rukun Islam dan fondasi-fondasinya yang utama, yaitu shalat, zakat, puasa, dan haji.

[6]. Dia mengatakan:

إِنَّ أَرْوَاحَ الأَنْبِيَاءِ أُعِيدَتْ إِلَى أَجْسَادِ أَصْحَابِهِ وَتُلاَمِيذِهِ، فَكَانَ يَقُولُ لِأَحَدِهِمْ: أَنْتَ نُوحٌ، وَلِآخَرَ: أَنْتَ مُوسَى، وَلِآخَرَ: أَنْتَ مُحَمَّدٌ.

Roh-roh para nabi telah dikembalikan ke tubuh para sahabat dan murid-murid al-Hallaj. Al-Hallaj berkata kepada salah seorang dari mereka: "Kamu adalah Nuh," kepada yang lain: "Kamu adalah Musa," dan kepada yang lain: "Kamu adalah Muhammad."

[7]. Ketika dia akan dibawa ke tempat eksekusi (karena dia dihukum mati), dia berkata kepada para pengikutnya:

لَا يُهَوِّلَنَّكُمْ هَـٰذَا، فَإِنِّي عَائِدٌ إِلَيْكُمْ بَعْدَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا

"Jangan terkejut oleh ini, karena saya akan kembali kepada kalian setelah tiga puluh hari."

Namun nyatanya setelah dia dibunuh, dia tidak pernah kembali lagi.

Karena perkataan-perkataan tersebut dan lainnya, maka para ulama pada masanya sepakat bahwa dia adalah kafir dan zindik, sehingga dia dibunuh di Baghdad pada tahun 309 H. [Selesai]

KE TIGA : IBNU AL-FARIDH:

Ibnu Al Faridh yang wafat pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut Faham Wihdatul Wujud dan meyakini:

Bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam ‘alaihi salam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam ‘alaihi salam)?!

Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini.

KE EMPAT : AT-TILMISANI :

At Tilmisani, seorang tokoh besar tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka “Fushushul Hikam” bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab: 

“Seluruh isi Al Quran adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami.” 

Maka dikatakan lagi kepadanya: “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” 

Maka dia menjawab: “Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal (untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan seluruh alam mengatakan bahwa saudara wanita haram (disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram.”(Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186).

KE LIMA : ASY-SYA’RANI :

Asy-Sya’rani, seorang tokoh besar tasawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul “Ath Thabaqat Al-Kubra”, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh orang-orang ahli tasawuf sebagai tanda kewalian.

Di antara kisah-kisahnya :

[1] Kisah seorang wali yang bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat !? (Lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124).

[2] Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al-Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya: 

“Tunggulah sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?” 

Dan diantara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: 

“Peganglah kepala tarikmu, agar aku bisa melampiaskan birahiku padanya!?” (Lihat At-Thabaqat Al-Kubra 2/129-130).

===****====

TANYA JAWAB : BENARKAH MEMILIKI HUBUNGAN LANGSUNG DENGAN ALLAH SWT?

****

PERTANYAAN :

Benarkah mereka para syeikh shufi yang telah sampai pada martabat ahli makrifat memiliki hubungan langsung dengan Allah?

JAWABAN :

Bismillah :

Pertama : Dalam Islam, istilah "Shufisme (الصُّوفِيَّةُ)” tidak dikenal pada masa Rasulullah , para sahabat, dan tabi'in. Istilah ini muncul ketika sekelompok ahli ibadah mengenakan pakaian dari wol (shuf = الصُّوفَ), sehingga mereka disebut dengan nama tersebut.

Ada juga yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari kata "sophia" (صُوفِيَّا) dari bahasa Yunani yang berarti “Hikmah (الْحِكْمَةُ)”, bukan dari kata "shafa" (الصَّفَاءِ = kesucian), sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang. Sebab, jika dinisbatkan kepada "shafa", seharusnya disebut "shafai (صَفَائِيٌّ)" bukan "sufi (صُوفِيٌّ)". 

[Baca : al-Makatabah asy-Syamilah – Kitab Mawqi Sual wa Jawab - هل مشايخ الصّوفية متصلون بالله 1/188 no. 4983].

Para sufi terdahulu jauh berbeda dengan sebagian kelompok sufi masa kini, di mana praktik bid'ah semakin meluas di kalangan mereka. Bahkan, banyak dari mereka yang terjerumus ke dalam kesyirikan, baik kecil maupun besar.

Kedua : Adapun pertanyaan tentang kebenaran hubungan sebagian para syaikh sufi, maka memang benar adanya, tetapi hubungan mereka adalah dengan jin khodam dan syeitan, bukan dengan Allah. Sebagian mereka membisikkan perkataan yang indah kepada sebagian yang lain untuk menipu. Allah Ta'ala berfirman: 

﴿وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ﴾

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan ". (Surah Al-An'am ayat 112)._ 

Allah Ta'ala juga berfirman: 

﴿وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ﴾

"Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada wali-wali mereka. Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.." (Surah Al-An'am ayat 121).

Dan Allah Ta'ala berfirman: 

﴿هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ . تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ

"Maukah Aku beritakan kepadamu kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta besar lagi penuh dosa." (Surah Asy-Syu'ara ayat 221-222). 

Inilah bentuk hubungan yang benar-benar terjadi, bukan hubungan yang mereka klaim secara dusta dan batil bahwa mereka berhubungan dengan Allah. Maha Tinggi Allah dari hal tersebut dengan ketinggian yang agung. (Lihat : Mu'jam Al-Bida', hlm. 346-359). 

Adapun menghilangnya sebagian syaikh sufi dari pandangan para pengikut mereka secara tiba-tiba, itu adalah akibat dari hubungan mereka dengan setan. Bahkan, terkadang setan membawa mereka ke tempat yang jauh, lalu mengembalikan mereka pada hari yang sama atau malam itu juga, untuk menyesatkan manusia dari para pengikut mereka. 

Oleh karena itu, ada sebuah kaidah agung yang harus dipahami:

"أَنَّنَا لَا نَزِنُ الْأَشْخَاصَ بِالْخَوَارِقِ الَّتِي تَظْهَرُ عَلَىٰ أَيْدِيهِمْ، وَإِنَّمَا بِحَسَبِ بُعْدِهِمْ وَقُرْبِهِمْ وَالْتِزَامِهِمْ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَأَوْلِيَاءُ اللَّهِ حَقًّا لَا يُشْتَرَطُ أَنْ تَظْهَرَ لَهُمْ خَوَارِقُ، بَلْ هُمُ الَّذِينَ يَعْبُدُونَ اللَّهَ بِمَا شَرَعَ وَلَا يَعْبُدُونَهُ بِالْبِدَعِ".

**Kita tidak menilai seseorang berdasarkan khawariq (karomah-karomah / kejadian-kejadian luar biasa) yang muncul dari tangannya, tetapi berdasarkan sejauh mana mereka berpegang teguh dan berkomitmen kepada Al-Qur'an dan Sunnah.

Wali-wali Allah yang sejati tidak harus memiliki khawariq (karomah /kejadian luar biasa), akan tetapi mereka adalah orang-orang yang menyembah Allah sesuai dengan syariat-Nya, bukan dengan amalan bid'ah. **

Wali-wali Allah adalah mereka yang disebutkan oleh Rabb kita dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam _Shahih_-nya (5/2384) dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: 

"إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَىٰ لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّىٰ أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ"

"Sesungguhnya Allah berfirman: 'Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti Aku akan memberinya, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Aku akan melindunginya.'" 

Dan Rasulullah telah memperingatkan tentang bahaya munculnya hal-hal baru yang terkait dengan aqidah dan ibadah dengan sabdanya: 

"إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ"۔

Jauhilah perkara-perkara baru dalam agama, karena setiap yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan ia mengatakan hadis ini hasan sahih).

Umar adalah Muhaddatsatul Ummah Berdasarkan Sabda Nabi . Namun dia tidak pernah mengklaim bahwa dirinya berhubungan langsung dengan Allah SWT.

Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: 

 لقَدْ كانَ فِيما قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ مُحَدَّثُونَ، فإنْ يَكُ في أُمَّتي أحَدٌ، فإنَّه عُمَرُ.

*"Sungguh, di kalangan umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang diberi ilham (muhaddatsun), meskipun mereka bukan nabi. Jika ada seseorang seperti itu di umatku, maka dia adalah Umar."* 

Dalam riwayat lain :

لقَدْ كانَ فِيمَن كانَ قَبْلَكُمْ مِن بَنِي إسْرائِيلَ رِجالٌ يُكَلَّمُونَ مِن غيرِ أنْ يَكونُوا أنْبِياءَ، فإنْ يَكُنْ مِن أُمَّتي منهمْ أحَدٌ فَعُمَرُ

*"Sungguh, di kalangan Bani Israil sebelum kalian, ada orang-orang yang diajak bicara (oleh malaikat) tanpa mereka menjadi nabi. Jika di antara umatku ada seseorang seperti mereka, maka dia adalah Umar."* [HR. Bukhori no. 3689]

Makna Muhaddatsun :

مُحَدَّثُونَ أَيْ: مُلْهَمُونَ، الْمَلَكُ يَنْطِقُ عَلَى لِسَانِهِ بِالْحَقِّ.  

وَهَذَا وَاقِعٌ نَعْرِفُهُ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَدْ نَطَقَ الْمَلَكُ عَلَى لِسَانِهِ فِي أَكْثَرَ مِنْ وَاقِعَةٍ، فَوَافَقَ فِيهَا عُمَرُ الْحَقَّ.

Muhaddatsun berarti orang-orang yang diberi ilham, di mana malaikat berbicara melalui lisannya dengan kebenaran. 

Hal ini terbukti dalam kehidupan Umar bin Khattab. Malaikat berbicara melalui lisannya dalam beberapa kejadian, dan dalam peristiwa-peristiwa tersebut, pendapat Umar sesuai dengan kebenaran. [al-Maktabah asy-Syamilah – Kitab Fadhoilush shohabh karya Muhammad Hasan Abdul Ghoffar 4/6]

Oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Ketika Membantah Pernyataan Kaum Shufi :

حَدَّثَنِي قَلْبِي عَنْ رَبِّي

*"Hatiku Menceritakan Padaku Dari Tuhanku"*

Dia berkata:

وَأَمَّا ‌مَا ‌يَقُولُهُ ‌كَثِيرٌ ‌مِنْ ‌أَصْحَابِ ‌الْخَيَالَاتِ وَالْجَهَالَاتِ: حَدَّثَنِي قَلْبِي عَنْ رَبِّي، فَصَحِيحٌ أَنَّ قَلْبَهُ حَدَّثَهُ، وَلَكِنْ عَمَّنْ؟ عَنْ شَيْطَانِهِ، أَوْ عَنْ رَبِّهِ؟ فَإِذَا قَالَ: حَدَّثَنِي قَلْبِي عَنْ رَبِّي، كَانَ مُسْنِدًا الْحَدِيثَ إِلَى مَنْ لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ حَدَّثَهُ بِهِ، وَذَلِكَ كَذِبٌ، قَالَ: وَمُحَدَّثُ الْأُمَّةِ لَمْ يَكُنْ يَقُولُ ذَلِكَ، وَلَا تَفَوَّهَ بِهِ يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ، وَقَدْ أَعَاذَهُ اللَّهُ مِنْ أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ، بَلْ كَتَبَ كَاتِبُهُ يَوْمًا: هَذَا مَا أَرَى اللَّهُ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: لَا، امْحُهُ وَاكْتُبْ: هَذَا مَا رَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَإِنْ كَانَ صَوَابًا فَمِنَ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَطَأً فَمِنْ عُمَرَ وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْهُ بَرِيءٌ، وَقَالَ فِي الْكَلَالَةِ: أَقُولُ فِيهَا بِرَأْيِي، فَإِنْ يَكُنْ صَوَابًا فَمِنَ اللَّهِ، وَإِنْ يَكُنْ خَطَأً فَمِنِّي وَمِنَ الشَّيْطَانِ، فَهَذَا قَوْلُ الْمُحَدَّثِ بِشَهَادَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْتَ تَرَى الِاتِّحَادِيَّ وَالْحُلُولِيَّ وَالْإِبَاحِيَّ الْشَطَّاحَ، وَالسَّمَاعِيَّ مُجَاهِرًا بِالْقِحَةِ وَالْفِرْيَةِ، يَقُولُ: " حَدَّثَنِي قَلْبِي عَنْ رَبِّي ".

فَانْظُرْ إِلَى مَا بَيْنَ الْقَائِلَيْنِ وَالْمَرْتَبَتَيْنِ وَالْقَوْلَيْنِ وَالْحَالَيْنِ، وَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، وَلَا تَجْعَلِ الزَّغَلَ وَالْخَالِصَ شَيْئًا وَاحِدًا

*"Adapun yang dikatakan oleh banyak orang yang memiliki khayalan dan kebodohan:

'Hatiku memberitahuku dari Tuhanku,'

maka benar bahwa hatinya telah memberitahunya, tetapi dari siapa? Dari setannya atau dari Tuhannya?

Jika ia berkata, 'Hatiku memberitahuku dari Tuhanku,' maka ia telah menyandarkan perkataan kepada sesuatu yang ia tidak tahu apakah benar demikian, dan ini adalah kedustaan."* 

Ia berkata: *"Orang yang dijuluki sebagai muhaddats al-ummah ini (yakni; Umar r.a) tidak pernah mengatakan hal tersebut, dan tidak pernah mengucapkannya sehari pun dalam hidupnya. Bahkan, Allah telah melindunginya dari mengatakan hal itu. Suatu hari, penulisnya pernah menuliskan: 'Ini adalah apa yang Allah tunjukkan kepada Amirul Mukminin Umar bin Khaththab.'

Maka Umar berkata: 'Tidak, hapuslah! Tulislah: Ini adalah apa yang Umar bin Khaththab pandang. Jika benar, maka itu dari Allah. Jika salah, maka itu dariku, dan Allah serta Rasul-Nya berlepas diri darinya.'"* 

Ia juga berkata dalam perkara kalalah: *"Aku mengatakan pendapatku tentangnya. Jika benar, maka itu dari Allah. Jika salah, maka itu dariku dan dari setan."* 

*Maka inilah perkataan seorang muhaddats yang disaksikan oleh Rasulullah . Sementara itu, kamu melihat seorang ittihadi, hululi, ibahi yang suka berbicara tanpa malu-malu dan penuh kebohongan, mengatakan: 'Hatiku memberitahuku dari Tuhanku.'* 

*Maka perhatikanlah perbedaan antara dua orang yang berbicara ini, dua kedudukan mereka, dua ucapan mereka, dan dua keadaan mereka. Berikanlah hak kepada yang berhak, dan janganlah menyamakan yang keruh (kecurangan) dengan yang murni sebagai satu kesatuan."*

[Di kutip dari *Madarijus Salikin* karya Ibnu al-Qoyyim (1/64)].

Makna *az-zaghal* berarti kecurangan.

Dan juga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: 

وَلَوْ ‌كَانَ ‌أَحَدٌ ‌يَأْتِيه ‌مِنْ ‌اللَّهِ ‌مَا ‌لَا ‌يَحْتَاجُ ‌إلَى ‌عَرْضِهِ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ لَكَانَ مُسْتَغْنِيًا عَنْ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ دِينِهِ. وَهَذَا مِنْ أَقْوَالِ الْمَارِقِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّ مِنْ النَّاسِ مَنْ يَكُونُ مَعَ الرَّسُولِ كَالْخَضِرِ مَعَ مُوسَى وَمَنْ قَالَ هَذَا فَهُوَ كَافِرٌ

*"Seandainya ada seseorang yang menerima sesuatu langsung dari Allah tanpa perlu merujuknya kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka ia berarti tidak membutuhkan Rasulullah dalam sebagian ajaran agamanya. Ini adalah golongan orang-orang yang menyimpang, yang mengira bahwa ada di antara manusia yang kedudukannya terhadap Rasulullah seperti Khidhir terhadap Musa. Barang siapa yang mengatakan demikian, maka ia kafir."* [Lihat : Majmu’ al-Fatawaa (11/66) dan  *Majmu'atur Rasail wal Masa'il* (1/43)]. 

Dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pula:

(مَنْ اعْتَقَدَ مَا يَعْتَقِدُهُ الْحَلاجُ مِنْ الْمَقَالاتِ الَّتِي قُتِلَ الْحَلاجُ عَلَيْهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ ; فَإِنَّ الْمُسْلِمِينَ إنَّمَا قَتَلُوهُ عَلَى الْحُلُولِ وَالاتِّحَادِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنْ مَقَالاتِ أَهْلِ الزَّنْدَقَةِ وَالإِلْحَادِ كَقَوْلِهِ : أَنَا اللَّهُ . وَقَوْلِهِ : إلَهٌ فِي السَّمَاءِ وَإِلَهٌ فِي الأَرْضِ . . .  وَالْحَلاجُ كَانَتْ لَهُ مخاريق وَأَنْوَاعٌ مِنْ السِّحْرِ وَلَهُ كُتُبٌ مَنْسُوبَةٌ إلَيْهِ فِي السِّحْرِ . وَبِالْجُمْلَةِ فَلا خِلافَ بَيْنِ الأُمَّةِ أَنَّ مَنْ قَالَ بِحُلُولِ اللَّهِ فِي الْبَشَرِ وَاتِّحَادِهِ بِهِ وَأَنَّ الْبَشَرَ يَكُونُ إلَهًا وَهَذَا مِنْ الآلِهَةِ : فَهُوَ كَافِرٌ مُبَاحُ الدَّمِ وَعَلَى هَذَا قُتِلَ الْحَلاجُ)

(Barangsiapa yang meyakini apa yang diyakini oleh Al-Hallaj dari keyakinan-keyakinan yang karenanya Al-Hallaj dihukum mati, maka dia adalah seorang kafir murtad menurut kesepakatan kaum Muslimin; sesungguhnya kaum Muslimin membunuhnya karena keyakinan hulul dan ittihad dan sejenisnya dari keyakinan-keyakinan ahli zindiq dan ilhad seperti ucapannya: "Aku adalah Allah" dan ucapannya: "Ada Tuhan di langit dan Tuhan di bumi" ...

Al-Hallaj memiliki tipuan dan berbagai jenis sihir dan dia memiliki buku-buku yang dinisbatkan kepadanya dalam sihir.

Dan secara umum, tidak ada perbedaan di kalangan umat bahwa barangsiapa yang berkata dengan hulul Allah dalam manusia dan bersatunya dengan manusia dan bahwa manusia menjadi Tuhan, maka dia adalah kafir yang halal darahnya dan dengan alasan ini Al-Hallaj dihukum mati). Selesai, Majmu' Al-Fatawa (2/480).

Dan Ibnu Taimiyah juga berkata:

( وَمَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ ذَكَرَ الْحَلاجَ بِخَيْرِ لا مِنْ الْعُلَمَاءِ وَلا مِنْ الْمَشَايِخِ ; وَلَكِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَقِفُ فِيهِ ; لأَنَّهُ لَمْ يَعْرِفْ أَمْرَهُ)

(Dan kami tidak mengetahui ada seorang pun dari imam-imam Muslimin yang menyebut Al-Hallaj dengan kebaikan, tidak dari kalangan ulama maupun dari kalangan masyayikh; namun sebagian orang bersikap netral terhadapnya karena dia tidak mengetahui urusannya). Selesai, Majmu' Al-Fatawa (2/483).

Untuk referensi lebih lanjut dapat merujuk kepada:

Tārīkh Baghdād karya Al-Khatib Al-Baghdadi (8/112-141). Al-Muntazam karya Ibnu Al-Jauzi (13/201-206). Siyar A'lam An-Nubala karya Adz-Dzahabi (14 / 313-354). Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir (11/132-144).

Hanya Allah-lah yang memberikan taufik dan petunjuk kepada jalan yang benar.

===***===

BERAWAL DARI MASUKNYA FAHAM SYARIAT, HAKIKAT, MAKRIFAT DAN WIHDATUL WUJUD DALAM ISLAM

=========

Al Quran pada permulaan Islam diajarkan sangat menuntun kehidupan bathin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebathinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing.

Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persia yang sebelumnya beragama Zoroaster, atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan bathin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan.

Keyakinan dan gerak-gerik (akibat Faham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi (Kristen), Platonisme, Persia dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).

Faham sebagian aliran tasawuf kebatinan terbentuk dari dua unsur, yaitu:

(1) Perasaan dalam batin yang dirasakan oleh sebagian orang Islam sejak awal perkembangan agama Islam.

(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai Faham mistik.

Ajaran Ghonaushisme atau makrifat sangat berpengaruh terhadap aliran-aliran kebathinan yang muncul dalam dunia Islam. Platonisme modern telah mewakili ajaran Ghonaushisme dalam menyampaikan semua sifat-sifat yang ada pada seluruh madzhab Ghonaushisme atau aliran makrifat.

****

HADIST-HADIST PALSU YANG DI CIPTAKAN OLEH KELOMPOK AHLI MAKRIFAT DALAM ISLAM.

Aliran Hakikat dan Makrifat ini bahu membahu bersama aliran-aliran makrifat lainnya untuk bisa tembus ke dalam kehidupan dunia Islam yang paling dalam, maka mereka masuk ke dalam dunia hadits.

Seperti yang di sebutkan oleh para pakar hadits bahwa mereka telah menciptakan hadist-hadits Qudsi yang mereka palsukan setelah Nabi Muhammad wafat, dan dalam hadits tsb terdapat celupan warna faham-faham Filsafat Platonisme Modern, diantaranya seperti ungkapan mereka yang berbunyi:

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْعَقْلَ قَالَ لَهُ: أَقْبِلْ فَأَقْبَلَ. ثُمَّ قَالَ لَهُ: أَدْبِرْ فَأَدْبَرَ. ثُمَّ قَالَ: وَعِزَّتِي وَجَلَالِي مَا خَلَقْت خَلْقًا أَكْرَمَ عَلَيَّ مِنْك: بِك آخُذُ وَبِك أُعْطِي ؛ وَبِك أُثِيبُ وَبِك أُعَاقِبُ.

“Yang pertama kali Allah SWT ciptakan adalah akal, maka Allah berfirman kepadanya: menghadaplah ! maka ia pun menghadap. Kemudian Allah berfirman padanya: membelakangilah ! maka ia pun membelakangi. Lalu Allah SWT berfirman: Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, tidak ada makhluk yang aku ciptakan yang lebih mulia dari pada mu di sisi-Ku, denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, denganmu aku memberi imbalan pahala dan dengan mu Aku menyiksa ".

Telah berkata Ibnu Hajar tentang hadist ini dalam kitabnya Fathul Bary 6/289: Tidak ada jalur yang kokoh.

Dan Imam Sakhowi dalam kitab al-Maqooshidul Hasanah 1/199 menukil dari Ibnu Taimiyah dan lainnya menyatakan bahwa: hadist ini adalah palsu sesuai kesepakatan para ulama. (Lihat pula Majmu' Fatawa karya Syeikh Ibnu Taimiyah 18/336).

Firqoh Ismailiyah salah satu firqoh-firqoh kebathinan, firqoh yang telah menyerap pemikiran-pemikirannya dari sekte Ghonaushisme, mereka berpendapat bahwa tauhid itu bukan untuk Allah, akan tetapi tauhid itu untuk Akal yang beraksi dan pencetus pertama, maka dia adalah perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya.

Mereka juga mendatangkan sebuah hadits qudsi yang di palsukan yang menyebutkan bahwa: 

Allah berbicara kepada Akal:

أَنْتَ فَتْقِيْ وَرَتْقِيْ ، والمُشْرِقُ منِّي عَلَى خَلْقِي ، بِكَ آخُذُ حقِّيْ ، بِكَ أُنْجِزُ وَعْدِي ، فوعِزَّتِيْ وجَلالِي ، لا أَصٍلُ مَنْ يَجْحَدُك ، ولا يَعْرِفُنِيْ من أنْكَرَك ، فأنتَ منِّيْ بلا تبْعِيْضٍ ، وأنا فِيْكَ بلا حُلُوْلٍ ، وفي مُنْتَهَى لَطَائِفِ العُقُوْلِ.

“Kamu adalah belahan-Ku dan rajutan-Ku, dan (kamu) yang bersinar dari-Ku menyinari ciptaan-Ku, denganmu Aku mengambil hak Ku, dengan mu janji-Ku terlaksana, maka demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, Aku tidak akan sampai kepada orang yang membangkangmu, dan tidak bisa makrifat pada-Ku orang yang mengingkarimu, maka kamu adalah dari-Ku tanpa terbagi, dan Aku dalam dirimu tanpa menempati dan Aku berada dalam penghujung kelembutan akal-akal ".

(Baca: Arba'a Rosali Ismailiyah, tahqiq Arif Namir, risalah matholiusy- Syumuus fi Ma'rifatin-Nufuus, karya Syihabuddin Abu Faroos hal. 17).

Berangkat dari keyakinan Ghonaushisme (makrifat) ini maka dengan itu firqoh Ismailiyah mengkultuskan para imamnya dengan berbagai macam pengkultusan, karena menurut pandangan mereka Imam itu adalah Akal.

Dan Ibadah, pengagungan dan perayaan itu semua di tujukan kepadanya. Firqoh Ismailiyah ini di padati dengan simbol-simbol, sandi-sandi cakrawala dan rahasia-rahasia kebathinan.

Dan mereka memiliki tarekat khusus dan undang-undang tertentu bagi yang masuk sebagai para mujtaba (yang terpilih) dalam berdakwah. (Baca: Arba'a Rosali Ismailiyah / risalah yang ketiga, dan Dustuur wa Da'watul Mukminiin lilhudluur karya Thoyyii hal. 49).

Hadits lain yang di palsukan adalah hadist berikut ini:

« أُمِرْت أَنْ أُخَاطِبَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ»

“Aku di perintahkan untuk berbicara kepada manusia disesuaikan dengan kadar kemampuan akal mereka ".

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

فَهُوَ كَذِبٌ مَوْضُوعٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ لَيْسَ هُوَ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْإِسْلَامِ الْمُعْتَمَدَةِ وَإِنَّمَا يَرْوِيه مِثْلُ داود ابْنِ الْمُحَبِّرِ وَأَمْثَالِهِ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْعَقْلِ

Maka Ia adalah dusta dan palsu menurut para pakar hadits dan ini tidak ada dalam kitab-kitab Islam yang mu’tamad, akan tetapi hadits ini hanya diriwayatkan oleh orang seperti Daud bin al-Muhabbirdan yang semisalnya dari para penulis tentang LOGIKA “. (**Majmū' al-Fatāwā** 18/336)

Dan di halaman lainnya beliau juga berkata:

Hadits ini tidak ada seorangpun yang meriwayatkan dari kalangan para ulama muslim yang bisa dipegang riwayatnya, bahkan hadits ini tidak di ketemukan dalam kitab-kitab mereka. Sementara yang benar semua khitob Allah SWT dan Rosul-Nya kepada manusia berbentuk umum mencakup untuk seluruh orang dewasa yang mukallaf, seperti firman Allah SWT: Wahai para manusia, wahai orang-orang beriman, wahai hamba-hambaku, wahai bani Israel.

Begitu pula sabda-sabada Nabi , beliau berbicara di atas mimbar dengan ucapan yang satu yang didengar oleh setiap individu, akan tetapi tingkat pemahaman masing-masing manusia berbeda-beda sesuai dengan keistimewaan yang Allah anugerahkan kepada masing-masing mereka akan kekuatan daya nalar dan kejernihan aqidahnya.

Kemudian hadits lain yang di palsukan adalah hadist yang di riwayatkan oleh beberapa orang dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau telah berkata:

« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَبُو بَكْرٍ يَتَحَدَّثَانِ وَكُنْت كَالزِّنْجِيِّ بَيْنَهُمَا »

“Suatu saat Rosulullah dan Abu Bakar bercakap-cakap, sementara aku seperti seorang Zanji (orang negro yang tidak faham bahasa arab) diantara mereka berdua ".

Hadits ini dusta dan di bikin-bikin. Begitu juga riwayat yang menambahinya bahwa Abu Bakar telah menjawabnya dengan sebuah jawaban, sementara Aisyah menjawabnya dengan jawaban yang lain, ini adalah betul-betul sebuah riwayat yang telah di sepakati kebohongannya oleh seluruh ulama. (Lihat: Majmu' Fatawa karya Syeikh Ibnu Taimiyah 18/336).

****

LEWAT ABDULLAH BIN SABA YAHUDI DAN PARA PENGIKUTNYA, FAHAM KEBATHINAN, HAQIQAT DAN MAKRIFAT MASUK DALAM UMAT ISLAM

Abdullah bin Saba adalah pendeta Yahudi dari penduduk Sana'a, Yaman, yang ibunya berkulit hitam. Dan Abdullah bin Saba ini masuk Islam pada masa khalifah Utsman radhiyallahu 'anhu.

Para pengikut Faylon yang bernama Abdullah bin Saba dan murid-muridnya telah berhasil mewariskan kepada umat Islam peninggalan Faylon Yahudi. Yaitu mereka telah berusaha menafsiri Al-Qur'an dengan tafsir romzy simbolik dan rumusan yang jauh bahkan sangat jauh dari makna yang hakiki, mereka lakukan ini semua atas dasar persekongkolan untuk tujuan besar demi kepentingan mereka. Dan dalam langkah merealisasikan tujuannya mereka menerapkan dasar-dasar konsep filsafat Platonisme moderen terhadap mayoritas aqidah dan syariat Islam, serta memberikan pemahaman yang semu terhadap orang-orang biasa atau awam, dengan mengatakan bahwa barang siapa yang memahami makna bathin maka dia akan mendapatkan kenaikan pada tingkat makrifat dan tingkat yang tinggi.

Salah satu contoh takwil Ibnu Saba terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, yaitu takwilnya terhadap firman Allah U:

{ إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ }

Arti sebenarnya: " Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikan ke Tempat Kembali".

Ibnu Katsir dalam tafsirnya 4/595 menyatakan: bahwa yang di maksud dengan Tempat Kembali adalah Hari Kiamat dan Allah SWT akan memintakan pertanggung jawaban pada mu (nabi Muhammad ) atas penyampaian segala sesuatu yang telah Allah wajibkan pada mu ".

Kemudian Ibnu Katsir berkata: " Ini adalah pendapat yang tepat sasaran dan bagus ".

Sementara Abdullah bin Saba Yahudi telah menafsirinya dengan tafsir kebathinan yang menyimpang, sesat dan menyesatkan, dia berkata:

“Sungguh aku merasa aneh terhadap orang yang mengatakan bahwa nabi Isa akan kembali (ke dunia) akan tetapi dia tidak mengatakan bahwa nabi Muhammad juga akan kembali (ke dunia) ".

Ini adalah takwilan dia yang pertama terhadap makna-makna Al-Qur'an. Dengan demikian dia telah menorehkan madzhab kebathinan, diantaranya adalah keyakinan hidup kembali ke alam dunia, sebuah keyakinan yang melatar belakangi munculnya madzhab Reinkarnasi, yang kemudian di ikuti oleh semua gerakan-gerakan dan aliran-aliran yang mengkultuskan individu atau orang-orang saleh.

Di sini Abdullah bin Saba nampak jelas sekali telah melakukan rekayasa yang sangat mirip dengan para pendahulunya, persis seperti yang pernah di lakukan oleh Faylon Yahudi dan sekte Kabaala dalam merubah-rubah dan mentakwil Taurat dan Injil.

Maka pertama-tama Abdullah bin Saba Yahudi ini menyebarkan konsep wasiat, yaitu sebuah konsep yang menjelaskan bahwa: Ali bin Thalib adalah wasiat nabi Muhammad , yang kemudian sahabat Ali ini di jadikan target sasaran untuk menerapkan rencana mereka, oleh karena itu kita dapati Abdullah bin Saba menyatakan bahwa bagian ketuhanan telah menyatu dengan Ali dan keturunannya.

Dan ini adalah jelas – jelas madzhab yang merujuk kepada agama Yahudi dan Kristen yang sudah terkontaminasi oleh ajaran filsafat Platonisme. (Baca: Tarikh Daulat Fatimiyah karya DR. Hasan Ibrahim Hasan hal. 8, dan Firoqus Syiah karya An-Nubakhty hal. 19-20).

Yang melatar belakangi rencana jahat Yahudi terhadap Islam ini adalah: ketika kaum Yahudi yang terusir dan terkucilkan ini tidak mampu melakukan balas dendam dengan telak terhadap umat Islam, maka mereka mencari tipu muslihat lain dan setrategi lain yaitu menciptakan firqoh-firqoh atau aliran-aliran baru dalam Islam agar umatnya saling gontok-gontokan dan pecah belah. (Baca: Harokaatusy Syiah Al-Mutathorrifiin karya DR. Muhammad Jabir hal. 4-5).

Salah satu rencana mereka adalah dengan menghadirkan Abdullah bin Saba atau yang di kenal pula dengan sebutan Ibu Sauda, dia adalah seorang rahib Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam, dan berusaha menampakkan seolah-olah sangat perhatian terhadap perkembangan agama Islam, maka dengan demikian dia mampu menarik perhatian orang-orang saat itu yang beranggapan bahwa kebijakan-kebijakan kholifah Ustman bin Affan itu telah keluar dan tidak sejalan dengan kebijakan para pendahulunya kholifah Abu Bakar dan Umar bin Khoththob.

Dan strategi Ibnu Saba dalam menyebarkan prinsip-prinsipnya di kemas dalam bentuk yang mengundang perhatian dan membangkitkan emosional terhadap Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dan di dalam kondisi seperti ini si Yahudi yang pura-pura berpakain Islam ini berkesempatan untuk mempengaruhi mereka agar melakukan pengecaman terhadap Utsman serta merendahkan martabatnya. (Baca: Harokaatusy Syiah Al-Mutathorrifiin karya DR. Muhammad Jabir hal. 5 dan Mausu'ah Tarikh Islami karya DR. Ahmad Syalaby 2/145-146).

Dengan demikian maka sesungguhnya Ibnu Saba ini adalah sumber semua gejolak fitnah dan kekacauan politik yang mengguncang masyarakat Islam, dan wajarlah jika DR. Ahmad Syalaby ketika berbicara tentang Ibnu Saba beliau berkata: Sesungguhnya pucuk pimpinan kesesatan pada periode itu yang memulainya adalah Abdullah bin Saba atau seseorang yang dikenal dengan nama tsb, dan juga murid-muridnya yang begitu banyak telah menimba darinya kesesatan ini serta berjalan di atas jalannya dalam kurun waktu yang lama dan periode-periode yang luas. Adapun nama dan sebutan tidak lah penting, akan tetapi yang penting bagi kami adalah telah hadirnya sosok seseorang yang telah melakukan peran penting yang di nisbatkan kepada Abdullah bin Saba ". (Baca: Mausu'ah Tarikh Islami karya DR. Ahmad Syalaby 2/146 dan Al-Mahdiyah fil Islam karya Saad bin Muhammad Hasan hal. 92).

Di tambahkan lagi dalam sisi gejolak politik menentang Ustman, disana ada finah lain yang jauh lebih berbahaya dari sekedar masalah politik, yaitu usaha dan rekayasa musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkannya dari dalam, yaitu dengan setrategi menciptakan methode-methode dan konsep-konsep ajaran kebathinan di dalam mentakwil syariah, pentakwilan yang mengarahkan kepada penghapusan syariat atau menukarnya dengan campuran takwil kebathinan yang aneh-aneh dengan menggunakan istilah :

AL-HIKMAH / الحِكْمَة "

Yang sebenarnya adalah kumpulan dan campuran antara ajaran-ajaran khurafat agama Majusi Persia, agama dewa-dewi Yunani dan aqidah-aqidah Yahudi yang sudah mereka rubah-rubah dari sebelumnya. (Baca: Dirosaat fil Falsafatil Islamiyah karya DR. Mahmud Qosim hal. 254).

Oleh sebab itu tidaklah heran jika tidak selang berapa lama telah bemunculan aqidah-aqidah dan kepercayaan-kepercayaan Yahudi yang di serap dari agama dewa-dewi Persia dan Yunani, yang di kemas dengan baju Islam agar mudah untuk melakukan pengelabuan terhadap umat Islam, umpanya dengan dengan istilah:

  • Nur Muhammadiyah, Nur Nubuwat.
  • Para imam yang sudah makrifat, mereka ma'sum (terjaga) dari dosa dan kesalahan.
  • Karomat-karomat sebagai tanda tingkat kema'rifatan seseorang.
  • Seseorang jika sudah makrifat maka dia lepas dari syariat, karena dia bisa mendapatkan syariat langsung dari Allah (لَدُنِّيْ), maka dia boleh meninggalkan sholat dan kewajiban-kewajiban lainnya serta boleh melakukan maksiat, bahkan di haruskan berbohong agar hakikatnya tidak di ketahui orang awam seperti dengan mengatakan sholat Jum'at nya di Makkah, padahal dia sama sekali tidak sholat Jum'atan, atau dengan mengatakan shalat fardlunya tidak kelihatan manusia, padahal dia tidak shalat sama sekali.
  • Pengkultusan dan pengagungan para imam, kiyai dan wali.
  • Para imam mereka hidup kembali di dunia setelah mati, mereka melihat kita, mendengar, menyampaikan doa kita bahkan berdoa melaluinya sangat mustajab, lebih mustajab dari pada semasa hidupnya yang pertama sebelum kematian.
  • Tuhan merasuki para imam mereka dan menyatu dengan mereka.
  • Jasad mereka menyatu dengan Tuhannya.
  • Pentakwilan dan pentasybihan.
  • Dan lain-lain sebagainya dari aqidah-aqidah dan pemikiran-pemikiran kebathinan.

Aqidah – aqidah dan pemikiran-pemikiran di atas bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi telah ada sebelum Islam, ajaran-ajaran itu datang dari sebagian rahib-rahib Yahudi sebelumnya dan mereka telah mentakwil kitab Tauret berdasarkan filsafat Platonisme moderen, dan telah menjadi ajaran tetap pula bagi aliran atau sekte Yahudi Kabaala.

Dan sekte ini pula yang telah mengacau balaukan kitab Taurat dan merubah-rubahnya dengan methode takwil, serta mereka merasa bangga dengan anggapan bahwa mereka telah mampu dan berhasil memadukannya dengan takwil kebathinan, dan mereka mengaku-ngaku bahwa dirinya mampu mendobrak alam gaib dan membuka kunci rahasia huruf-huruf Taurat dan lainnya dengan cara yang jelas-jelas memadukan antara konsep filsafat Yunani, Platonisme moderen dan dasar-dasar aqidah Majusi Persia.

Methode dan konsep perpaduan ini telah nampak jelas sekali di kancah para pakar filsafat di Yunani dan Iskandariah Mesir. Konsep ini yang di kenal saat itu dengan sebutan seperti berikut:

“JAM'IYAH AHLI MAKRIFAT (جَمْعِيَّاتُ أَهْلِ العِرْفَانِ)

atau

JAM'IYAH GHONAUSHISMEME (الجَمْعِيًّاتُ الغَنُوْصِيِّة)

Ghonaushismeme ini nisbat kepada (Ghonaushisme / الغَنُّوْصُ) di ambil dari bahasa Yunani yang artinya MAKRIFAT.

Mereka menganggap bahwa Ilmu Kebathinan adalah sebuah Makrifat yang turun ke hati mereka bercahaya atau wahyu langsung tanpa melalui perantara dan tanpa ada yang mengajarinya.Jamiah-jamiah rahasia ini sudah ada semenjak dahulu kala, dan telah banyak melakukan usaha-usaha untuk mengganti agama yang di wahyukan dari Allah dengannya, temasuk mengganti syariat Yahudi, Kristen dan Islam dengan cara menciptakan kekisruhan dan kontrakdiksi syariat masing-masing yang selanjutnya kemudian menghantam seluruhnya dengan sebagian pemikiran-pemikiran filsafat untuk pembuka jalan agar maju ke depan dengan sebuah slogan yang mereka sebut:

“AGAMA UNIVERSAL "(الدِّيْنُ العَالَمِي)

Hal ini seperti yang pernah di singgung oleh para imam Shufi yang berhaluan faham Wahdatul Wujud Al-Hallaj, Al-Kattaany dan Ibnu 'Araby, mereka berkeyakinan bahwa agama itu berdiri di atas dua prinsip:

  • cahaya yang menyinari hati (الإِشْرَاقُ)
  • dan pembukaan tabir ilahi (الكَشْفُ).

Dan di sebagian mereka ada yang merujuk kepada jenis keyakinan kafir yang betul-betul jelas dan asli kafir, karena pertama-tama dia mencabut tabiat pengkultusan terhadap masing-msing individu umat manusia, kemudian dia melampaui batas dalam mengkultuskannya, agar supaya dengan mudah bisa mempengaruhi orang-orang awam untuk menerima konsep Allah merasuki mereka atau menyatu dengannya, seperti yang telah menimpa kepada agama Kristen, dan seperti yang telah berusaha di terapkan oleh sebagian orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai ahli tasawuf dari umat Islam, diantaranya Penulis kitab Al-Qiyamatul Kubro, Al-Hasan bin Ash-Shabaah di benteng (Aal Maut / آلمَوْتُ) saat dia teriak-teriak mengatakan bahwa Al-Qur'an sudah di hapus, dan mengumumkan bahwa dirinya adalah Tuhan ".

(Baca: Dirosat fil Falsafatil Islamiyah karya DR. Mahmud Qosim hal. 256-257, al-Mujamul Falsafi karya Jamil shaliba jilid 2, Al-Aqidah wasy Syari'ah fil Islam / Ta'liqoot Mutarjimiin hal. 25).

****

PENGARUH ABDULLAH BIN SABA DALAM MENYESATKAN AQIDAH UMAT ISLAM

Kedatangan Abdullah bin Saba kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan mengatakan kepada beliau: " Engkau, engkau ", bukanlah suatu hal yang kebetulan, melainkan merupakan salah satu rangkaian dari pada rencana-rencana jahat yang sengaja telah di atur oleh orang-orang yahudi untuk memasukkan dan menghidupkan aqidah-aqidah agama berhala pada umat Islam, oleh sebab itu tidaklah aneh jika para pengikutnya setelah itu berdatangan menghadap Ali bin Thalib sambil mengatakan kepadanya: " Engkau adalah Dia ".

Lalu beliau bertanya pada mereka: " Siapakah dia itu?", maka mereka serentak menjawab: " Engkau adalah Allah ".

Sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu pun spontan marah besar dan memerintahkan maulanya Qunbur untuk membakar mereka dengan api. (Baca: Al-Fashel fil Milal wal Ahwa wan Nihal karya Ibnu Hazem 4/186).

Dan yang nampak pada segenap riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkehendak pula membakar dedengkot yang menimbulkan fitnah Ibnu Saba bersama mereka, akan tetapi orang-orang berteriak dengan mengatakan: Wahai Amirul Mu'miniin apakah engkau hendak membunuh seseorang yang telah mengajak manusia untuk berhukum kepada Ahlul Bait dan berlepas diri dari musuh-musuh mu ?. (Baca: Al-Farq bainal Firoq karya Al-Baghdady hal. 234 dan Firoqusy Syiah karya An-Nubakhty hal. 19).

Si Yahudi Ibnu Saba tetap dan terus melanjutkan perjalanan sekenarionya yang penuh kedengkian sehingga ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mati terbunuh dia membantah bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu telah mati, akan tetapi dia menganggap bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu menghilangkan diri dan kemudian nanti beliau akan kembali lagi. (Baca: Firoqusy Syiah karya An-Nubakhty hal. 20 dan Al-Fashel fil Milal wal Ahwa wan Nihal karya Ibnu Hazem 4/179).

Dengan demikian dia telah menerapkan konsep re-inkarnasi Yahudi (الرَّجْعَةُ اليَهُوْدِيَّة). Dan diperkuat dengan ucapan Ibnu Saba kepada seseorang yang datang ikut berduka cita atas terbunuhnya Ali radhiyallahu ‘anhu:

“Kamu bohong, kalau seandainya kamu mendatangkan sumsum otak kepala beliau dalam tujuh puluh kantong bungkusan, dan kamu hadirkan tujuh puluh saksi yang adil, sungguh kami tetap yakin dan tahu bahwa beliau tidak pernah terbunuh dan tidak akan mati sehingga beliau menguasi seluruh dunia serta memadatinya dengan keadilan, seperti halnya ketika dunia dipenuhi dengan ketidak adilan dan kelaliman ".

(Baca: Firoqusy Syiah karya An-Nubakhty hal. 20 dan Al-Fashel fil Milal wal Ahwa wan Nihal karya Ibnu Hazem 4/180).

Ibnu Saba tidak hanya cukup dengan melontarkan konsep diatas, bahkan kami menemukannya bahwa dia telah menetapkan sebuah konsep lain yaitu konsep tentang melekatnya bagian ketuhanan pada diri Ali radhiyallahu ‘anhu.

Dan Ibnu Saba juga pernah mengatakan:" Bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu akan datang dengan awan, dan sesungguhnya halilintar itu adalah suara beliau, dan kilat itu adalah cambuknya atau senyumannya, dan beliau setelah itu akan turun ke bumi, maka beliau akan memenuhi dunia dengan keadilan ". (Baca: Al-Milal wan Nihal karya Syahristany 2/11).

===****===

PERBANDINGAN SINGKAT ANTARA FAHAM SEBAGIAN SHUFI DAN AHLUS SUNNAH

Berikut adalah perbandingan antara keyakinan dan ritual kaum sufi dengan Ahlus Sunnah yang berlandaskan Al-Qur'an dan sunnah: 

KE 1 : Kaum sufi : Memiliki berbagai tarekat seperti Tijaniyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Rifa'iyah, dan lainnya. Para pengikut tarekat ini mengklaim bahwa mereka berada di jalan kebenaran, sementara selain mereka berada dalam kesalahan. 

Sementara Ahlus Sunnah : Melarang perpecahan, sebagaimana firman Allah : 

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٣١) مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا، كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ۔

  ...dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan menjadi beberapa golongan; tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (Surah Ar-Rum: 31-32). 

KE 2 : Sebagian Kaum sufi : Menyeru selain Allah saat berdo’a, baik para nabi maupun wali, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Contohnya mereka berkata:

(يَا جِيلَانِيُّ وَيَا رِفَاعِيُّ وَيَا رَسُولَ اللَّهِ غَوْثًا وَمَدَدًا، وَيَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَيْكَ الْمُعْتَمَدُ)

Wahai Jailani, wahai Rifa’i, wahai Rasulullah, tolonglah kami dan berikan bantuan! Wahai Rasulullah, kepadamu kami bersandar! 

Sementara Ahlus Sunnah : Melarang saat berdoa kepada Allah dengan menyertakan penyebutan nama seseorang di dalamnya  Allah berfirman: 

﴿وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾

“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kalian berdo’a kepada Allah dengan menyertakan seseorang-pun di dalam-nya”. [QS. Jinn: 18]

Dan Allah SWT menyebutkan pula salah satu ciri hamba Allah ar-Rahman adalah :

﴿وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ ﴾

“Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan yang lain beserta Allah (saat berdo’a)”. [QS. Furqan: 68]

KE 3 : Kaum sufi : Mereka meyakini bahwa ada *abdal*, *aqthab*, dan wali-wali yang Allah telah serahkan kepada mereka kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan segala urusan. Namun, Allah sendiri menceritakan jawaban orang-orang musyrik ketika ditanya,

وَمَنۡ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۖ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُ

*"Siapakah yang mengatur segala urusan?"* Mereka pasti akan menjawab, *"Allah."* (QS. Yunus: 31).

Maka, orang-orang musyrik Arab lebih mengenal Allah dibanding para penganut tasawuf ini. 

KE 4 : Sebagian kaum sufi ada yang meminta pertolongan kepada selain Allah ketika tertimpa musibah, padahal Allah berfirman:

وَإِن يَمۡسَسۡكَ ٱللَّهُ بِضُرّٖ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَۖ وَإِن يَمۡسَسۡكَ بِخَيۡرٖ فَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ

*"Dan jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Dia mendatangkan suatu kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu."* (QS. Al-An‘am: 17). 

KE 5 : Sebagian Kaum sufi meyakini konsep *Wahdatul Wujud* (kesatuan eksistensi), sehingga menurut mereka tidak ada perbedaan antara Sang Pencipta dan makhluk-Nya, karena semuanya dianggap satu—semua adalah makhluk, dan semua adalah Tuhan. 

KE 6 : Kaum sufi : mengajak kepada sikap zuhud dalam kehidupan, meninggalkan usaha, serta tidak berjihad. Padahal Allah berfirman: 

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَا

*"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia."* (QS. Al-Qashash: 77).

Dan Allah SWT berfirman :

  وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ مِّن قُوَّةٍ

*"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi."* (QS. Al-Anfal: 60). 

KE 7 : Kaum sufi memberikan derajat *ihsan* kepada para syaikh mereka, lalu memerintahkan para murid agar membayangkan syaikh mereka saat berzikir, bahkan dalam salat mereka. Sebagian mereka bahkan meletakkan gambar gurunya di hadapannya saat salat. Padahal Rasulullah bersabda:

  الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

*"Ihsan itu adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu."* (HR. Muslim). 

KE 8 : Kaum sufi membolehkan tarian, rebana, alat musik, serta mengeraskan suara dalam berzikir. Padahal Allah berfirman: 

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

*"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka."* (QS. Al-Anfal: 2). 

Kemudian, mereka menyebutkan zikir dengan menyebut kata "Allah" secara terputus-putus, seperti hanya mengucapkan "Allah, Allah, Allah". Ini adalah ibadah model baru dan tidak memiliki makna syar‘i yang jelas. Bahkan, ada di antara mereka yang hanya mengucapkan "Ah, Ah" atau "Huwa, Huwa". Sedangkan dalam Islam dan sunah, seorang muslim harus berzikir dengan lafaz yang memiliki makna yang benar dan berpahala, seperti *Subhanallah, Alhamdulillah, La ilaha illallah, Allahu Akbar*, dan zikir lainnya. 

KE 9 : Kaum sufi juga menyenandungkan nama-nama perempuan dan anak-anak dalam majelis zikir mereka, serta mengulang-ulang kata cinta, kerinduan, dan hawa nafsu, seolah-olah mereka sedang berada dalam majelis musik dan tarian, dengan tepuk tangan dan teriakan, bahkan menyebut minuman keras. Semua ini adalah kebiasaan orang-orang musyrik dalam ibadah mereka. Allah berfirman: 

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِندَ ٱلْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً

*"Dan salat mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan."* (QS. Al-Anfal: 35).

(*Makna* *"mukāan"* adalah siulan, dan *"tashdiyah"* adalah tepukan tangan*). 

Sebagian penganut tasawuf menusuk dirinya dengan besi sambil berkata, *"Ya Jaddah!"* (Wahai kakekku!). Maka datanglah setan menolongnya dalam perbuatannya karena ia telah meminta pertolongan kepada selain Allah. Allah berfirman: 

وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ ٱلرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُۥ شَيْطَٰنًا فَهُوَ لَهُۥ قَرِينٌ

*"Dan barang siapa berpaling dari peringatan Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami biarkan setan (menyesatkannya), maka dialah yang menjadi teman karibnya."* (QS. Az-Zukhruf: 36).

KE 10 : Kaum sufi mengklaim dapat melakukan kasyf (penyingkapan) dan mengetahui ilmu gaib, tetapi Al-Qur'an mendustakan mereka. Allah 'Azza wa Jalla berfirman: 

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

"Katakanlah: Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal gaib selain Allah." (Surah An-Naml ayat 65).

KE 11 : Kaum sufi mengklaim bahwa Allah menciptakan dunia demi Muhammad , tetapi Al-Qur'an mendustakan mereka dengan firman-Nya: 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku." (Surah Adz-Dzariyat ayat 56). 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Rasul : 

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan (kematian)." (Surah Al-Hijr ayat 99).

KE 12 : Kaum sufi mengklaim bisa melihat Allah di dunia, tetapi Al-Qur'an mendustakan mereka melalui perkataan Musa: 

﴿وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن تَرَانِي وَلَٰكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ﴾

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa:

"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau".

Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku".

Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:

"Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (Surah Al-A'raf ayat 143). 

KE 13 : Kaum sufi mengklaim bahwa mereka mendapatkan ilmu LADUNI (ilmu langsung dari Allah) tanpa perantaraan Rasul saat terjaga. Apakah mereka lebih baik daripada para sahabat Nabi? 

Kaum sufi mengklaim bahwa mereka mendapatkan ilmu langsung dari Allah tanpa perantaraan Rasul , sehingga mereka berkata:

حَدَّثَنِي قَلْبِي عَنْ رَبِّي

"Hatiku berbicara langsung dari Tuhanku." 

KE 14 : Kaum sufi melakukan perjalanan ke kuburan-kuburan untuk mencari berkah dari para penghuni kubur, bertawaf mengelilinginya, atau menyembelih hewan di sana, padahal mereka telah menyelisihi sabda Rasul : 

"لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى"

"Janganlah kalian melakukan perjalanan (ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsha." (Muttafaq 'alaih). 

KE 15 : Kaum sufi fanatik terhadap para syaikh mereka meskipun bertentangan dengan firman Allah dan Rasul-Nya, sedangkan Allah Ta'ala berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya." (Surah Al-Hujurat ayat 1)._ 

KE 16 : Kaum sufi menggunakan jimat, huruf-huruf mistik, dan angka-angka untuk melakukan istikharah, membuat jimat, dan benda-benda pelindung lainnya. 

KE 17 : Kaum sufi tidak berpegang pada shalawat yang diajarkan oleh Rasul , tetapi mereka mengada-adakan shalawat yang berisi keberkahan yang jelas serta kesyirikan yang keji, sesuatu yang tidak akan diridai oleh orang yang mereka shalawati.

KE 18 : Kaum sufi mengadakan perayaan Haulan hari wafat para syeikhnya dan berkumpul dalam majelis shalawat kepada Nabi , tetapi mereka justru menyelisihi ajarannya dengan meninggikan suara dalam zikir, nasyid, dan qasidah yang mengandung kesyirikan yang nyata.

Apakah Rasulullah pernah memerintahkan untuk haulan hari wafatnya? Atau Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, serta para imam madzhab lainnya? Siapakah yang lebih mengetahui dan lebih benar ibadahnya, mereka atau kaum sufi? 

===****====

BERIBADAH KEPADA ALLAH HARUS MURNI HANYA KEPADA ALLAH, KARENA ALLAH DAN DENGAN SYARIAT ALLAH.

Allah Ta'ala tidak membiarkan kita memilih cara ibadah masing-masing sesuai kehendak sendiri, tetapi Dia mengutus Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Nya yang agung sebagai penjelasan dan petunjuk bagi manusia. Tidak ada satu pun ibadah, kebaikan, dan petunjuk yang dicintai Allah, kecuali Rasul yang mulia telah menjelaskannya. 

Tidak ada dua orang Muslim pun yang berbeda pendapat bahwa Muhammad adalah manusia terbaik, paling bertakwa kepada Allah, paling banyak beribadah dan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, orang yang mendapatkan taufik adalah mereka yang menempuh jalannya, mengikuti langkah-langkahnya, dan meneladaninya. 

Mengikuti jalan Rasulullah bukanlah suatu pilihan, tetapi sebuah kewajiban yang telah Allah tetapkan atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya: 

( وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ)

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (Surah Al-Hasyr ayat 7).

Allah juga berfirman: 

(وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً)

"Tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki maupun perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, lalu mereka memiliki pilihan lain dalam urusan mereka. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata." (Surah Al-Ahzab ayat 36).

Allah Ta'ala juga berfirman: 

(لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ)

"Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir." (Surah Al-Ahzab ayat 21). 

Nabi juga telah menjelaskan bahwa setiap ibadah yang diada-adakan (bid'ah) akan tertolak, meskipun terlihat besar nilainya. Beliau bersabda: 

(مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)

"Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal itu tertolak." (HR. Muslim no. 1718, dari Aisyah radhiyallahu 'anha).

Maka, suatu amal tidak akan diterima kecuali jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan sunnah Rasul-Nya . Inilah yang dimaksud dalam firman Allah: 

(لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا)

"Agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalnya."

Fudhail bin ‘Iyadh berkata:

أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ. ‌قَالُوا: ‌يَا ‌أَبَا ‌عَلِيٍّ ‌مَا ‌أَخْلَصُهُ ‌وَأَصْوَبُهُ؟ قَالَ: إِنَّ الْعَمَلَ إِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ، وَإِذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ: حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا. وَالْخَالِصُ أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ، وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ

"(Amal yang diterima adalah) yang paling ikhlas dan paling benar."

Mereka bertanya : "Wahai Abu ‘Ali, apa maksudnya yang paling ikhlas dan paling benar?".

Ia menjawab : "Jika suatu amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima. Jika suatu amal dilakukan dengan benar tetapi tidak ikhlas, maka juga tidak akan diterima, hingga amal itu dilakukan dengan ikhlas dan benar sekaligus. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah semata-mata karena Allah, sedangkan yang benar adalah yang sesuai dengan sunnah." [Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah karya Ibnu Taimiyah 5/253] 

Barang siapa yang ingin mencapai ridha Allah, hendaklah ia berpegang teguh pada sunnah Rasul-Nya , karena semua jalan menuju Allah tertutup kecuali jalan ini, yaitu jalan Nabi Muhammad . 

Karena Rasulullah begitu penyayang terhadap umatnya dan sangat menginginkan kebaikan bagi mereka, beliau tidak meninggalkan satu pun kebaikan kecuali telah beliau jelaskan. Maka, siapa saja yang pada hari ini mengada-adakan ibadah, dzikir, atau wirid tertentu, lalu mengklaim bahwa di dalamnya terdapat kebaikan, sesungguhnya - sadar atau tidak - ia telah menuduh Nabi bahwa beliau tidak menyampaikan agama sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. 

Oleh karena itu, Imam Malik rahimahullah berkata:

‌مَنْ ‌ابْتَدَعَ ‌فِي ‌الْإِسْلَامِ ‌بِدْعَةً ‌يَرَاهَا ‌حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا خَانَ الرِّسَالَةَ، لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِينًا لَا يَكُونُ الْيَوْمَ دِينًا.

"Barang siapa mengada-adakan suatu bid'ah dalam Islam dan menganggapnya baik, maka ia telah menuduh bahwa Muhammad telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman: 'Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu.' (QS. Al-Ma'idah: 3). Maka, sesuatu yang pada hari itu bukan bagian dari agama, maka hari ini pun tidak akan menjadi bagian dari agama." [Baca : al-Fathur Robbaani Min Fatawa asy-Syawkani 2/1088 dan as-Sunan wal Mubtada’aat hal. 6].

Peringatan terhadap bid'ah banyak terdapat dalam perkataan para sahabat, tabi’in, dan imam-imam besar: 

Hudzaifah bin Al-Yaman berkata:

كُلُّ ‌عِبَادَةٍ ‌لَمْ ‌يَتَعَبَّدْهَا ‌أَصْحَابُ ‌رَسُولِ ‌اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَا تَعَبَّدُوهَا فَإِنَّ الْأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلْآخِرِ مَقَالًا، فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ، وَخُذُوا بِطَرِيقِ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

"Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah , maka janganlah kalian melakukannya. Sesungguhnya generasi pertama (para sahabat) tidak meninggalkan sesuatu pun bagi generasi setelahnya untuk dikatakan (mereka telah menyampaikan semuanya). Maka, bertakwalah kepada Allah, wahai para qari (penghafal Al-Qur'an), dan ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian". [Baca : al-I’tishom karya asy-Syatihiby 2/630]

Ibnu Mas’ud berkata:

«‌اتَّبِعُوا ‌وَلَا ‌تَبْتَدِعُوا، ‌فَقَدْ ‌كُفِيتُمْ»

"Ikutilah (sunnah) dan jangan berbuat bid'ah, karena kalian telah dicukupi. Berpeganglah pada perkara lama (yakni, ajaran Nabi dan para sahabat)." [Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam al-Musnad 1/288 no. 211.

Ta’liq al-Muhaqqiq (Husen ad-Darani):

فِي إِسْنَادِهِ عِلَّتَانِ: الْأُولَى: تَدْلِيسُ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ وَقَدْ عَنْعَنَ، وَالثَّانِيَةُ: قَوْلُ شُعْبَةَ: "لَمْ يَسْمَعْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمٰنِ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حَبِيبٍ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ". وَلَكِنْ قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: "فِي قَوْلِ شُعْبَةَ: لَمْ يَسْمَعْ مِنِ ابْنِ مَسْعُودٍ شَيْئًا، أَرَاهُ وَهْمًا".

"Dalam sanadnya terdapat dua cacat: Pertama, tadlis (penyembunyian perawi) yang dilakukan oleh Habib bin Abi Tsabit, dan ia meriwayatkannya dengan 'an'anah. Kedua, pernyataan Syu’bah: 'Abu Abdurrahman, yaitu Abdullah bin Habib, tidak pernah mendengar dari Abdullah bin Mas’ud.' Namun, Imam Ahmad berkata: 'Dalam pernyataan Syu’bah bahwa ia tidak mendengar sesuatu pun dari Ibnu Mas’ud, menurutku itu adalah kekeliruan.'" [Hamisy Musnad ad-Darimi :1/288 no. 211.]

Ad-Darimi meriwayatkan : bahwa Al-Hakam bin Al-Mubarak memberitakan kepada kami, Amr bin Yahya mengabarkan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar ayahku bercerita dari ayahnya, ia berkata: 

أَخْبَرَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ، أَنبَأَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَبْلَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا: لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: ‌يَا ‌أَبَا ‌عَبْدِ ‌الرَّحْمَنِ، ‌إِنِّي ‌رَأَيْتُ ‌فِي ‌الْمَسْجِدِ ‌آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ - وَالْحَمْدُ لِلَّهِ - إِلَّا خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ، وَفِي أَيْدِيهِمْ حصًا، فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً، فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً، فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً، وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً، قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتظارَ أَمْرِكَ. قَالَ: «أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ»، ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: «مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟» قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حصًا نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ: «فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ». قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ: «وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ» قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ "، وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ

"Kami biasa duduk di depan rumah Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu sebelum shalat subuh. Ketika beliau keluar, kami berjalan bersamanya menuju masjid. 

Lalu datanglah Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu dan bertanya: 'Apakah Abu Abdurrahman sudah keluar menemui kalian?' 

Kami menjawab: 'Belum.' Maka ia duduk bersama kami hingga Abdullah bin Mas'ud keluar. Ketika beliau keluar, kami semua berdiri dan berjalan bersamanya. 

Abu Musa berkata kepadanya: 'Wahai Abu Abdurrahman, tadi di masjid aku melihat sesuatu yang membuatku heran, tetapi aku tidak melihat kecuali kebaikan di dalamnya.' 

Abdullah bin Mas'ud bertanya: 'Apa itu?' 

Abu Musa menjawab: 'Jika engkau hidup, engkau akan melihatnya sendiri. Aku melihat di masjid ada sekelompok orang duduk melingkar menunggu shalat. Setiap lingkaran dipimpin oleh seorang lelaki. Mereka memegang batu-batu kecil, lalu pemimpin mereka berkata: 

_"Takbirlah seratus kali!"_ Maka mereka bertakbir seratus kali. 

Kemudian ia berkata: _"Tahlillah seratus kali!"_ Maka mereka bertahlil seratus kali. 

Kemudian ia berkata: _"Tasbihlah seratus kali!"_ Maka mereka bertasbih seratus kali.' 

Abdullah bin Mas'ud bertanya: 'Apa yang engkau katakan kepada mereka?' 

Abu Musa menjawab: 'Aku tidak mengatakan apa pun kepada mereka, aku menunggu pendapatmu atau perintahmu.' 

Abdullah bin Mas'ud berkata: 'Mengapa engkau tidak menyuruh mereka menghitung dosa-dosa mereka, dan menjamin bahwa kebaikan mereka tidak akan hilang?' 

Lalu beliau berjalan dan kami pun berjalan bersamanya hingga beliau mendatangi salah satu lingkaran tersebut dan berhenti di hadapan mereka. 

Beliau bertanya: 'Apa yang sedang kalian lakukan ini?' 

Mereka menjawab: 'Wahai Abu Abdurrahman, kami menggunakan batu-batu ini untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih.' 

Beliau berkata: 'Hitunglah dosa-dosa kalian, aku menjamin bahwa kebaikan kalian tidak akan sia-sia. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Betapa cepatnya kalian binasa! Para sahabat Nabi masih banyak yang hidup, pakaian beliau belum lusuh, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad , ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan?' 

Mereka berkata: 'Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman, kami hanya menginginkan kebaikan.' 

Beliau berkata: 'Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya! Rasulullah telah menceritakan kepada kami bahwa akan ada suatu kaum yang membaca Al-Qur'an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka (tidak sampai ke hati mereka).' 

Demi Allah, aku tidak tahu, mungkin kebanyakan dari mereka adalah kalian!' 

Lalu beliau berpaling meninggalkan mereka. 

Amr bin Salamah berkata: 'Kami melihat kebanyakan dari mereka yang berada dalam lingkaran-lingkaran itu justru menjadi orang-orang yang memerangi kami pada hari Nahrawan bersama kaum Khawarij.'"

[Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Musnadnya 1/286 no. 210. Pentahqiqnya Husain ad-Darani menyatakan bahwa Sanadnya Jayyid (Baik). Dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah 5/12].

Dari Sufyan bin Uyainah, dia berkata:

سَمِعْت مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، وَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، مِنْ أَيْنَ أُحْرِمُ؟ قَالَ: مِنْ ذِي الْحُلَيْفَةِ مِنْ حَيْثُ أَحْرَمَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. فَقَالَ: إنِّي أُرِيدُ أَنْ أُحْرِمَ مِنْ الْمَسْجِدِ. فَقَالَ: لَا تَفْعَلْ. قَالَ: ‌إنِّي ‌أُرِيدُ ‌أَنْ ‌أُحْرِمَ ‌مِنْ ‌الْمَسْجِدِ ‌مِنْ ‌عِنْدِ ‌الْقَبْرِ. قَالَ: لَا تَفْعَلْ، فَإِنِّي أَخْشَى عَلَيْك الْفِتْنَةَ. قَالَ: وَأَيُّ فِتْنَةٍ فِي هَذَا؟ إنَّمَا هِيَ أَمْيَالٌ أَزِيدُهَا. قَالَ: وَأَيُّ فِتْنَةٍ أَعْظَمُ مِنْ أَنْ تَرَى أَنَّك سَبَقْت إلَى فَضِيلَةٍ قَصَّرَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، إنِّي سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ: {فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ} [النور: 63] وَثَبَتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ، إلَّا وَاحِدَةً. قِيلَ: مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي»

Aku mendengar Malik bin Anas, ketika seorang laki-laki datang kepadanya dan bertanya: 

"Wahai Abu Abdillah, dari mana aku harus memulai ihram?" 

Malik menjawab: "Dari Dzulhulaifah, dari tempat Rasulullah memulai ihram." 

Laki-laki itu berkata: "Aku ingin berihram dari masjid." 

Malik berkata: "Jangan lakukan." 

Laki-laki itu berkata lagi: "Aku ingin berihram dari masjid, dari dekat kuburan." 

Malik berkata: "Jangan lakukan, aku khawatir engkau akan terkena fitnah." 

Laki-laki itu bertanya: "Apa fitnah dalam hal ini? Ini hanya beberapa mil yang kutambahkan." 

Malik menjawab: "Apakah ada fitnah yang lebih besar daripada engkau menganggap dirimu telah mendahului Rasulullah dalam suatu keutamaan yang beliau tidak lakukan? Aku mendengar Allah berfirman: 

*'Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.'* (An-Nur: 63). 

Dan telah tetap bahwa Rasulullah bersabda: 

'Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.' 

Ditanyakan: 'Siapakah mereka, wahai Rasulullah?' 

Beliau menjawab: 'Orang-orang yang mengikuti jalanku dan jalan para sahabatku.'"

[diriwayatkan dengan sanadnya oleh Ibnu al-‘Arabi dalam Ahkam al-Qur’an 3/432 dan ‘Aridhotul Ahwadzy 4/34-35, asy-Saythiby dalam al-I’tisham 2/382 dan al-Hirawi dalam Dzamul Kalam 3/54/1). 

Dari Abu Rabah :

أَنَّ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ ‌رَأَى ‌رَجُلًا ‌يُصَلِّي ‌بَعْدَ ‌طُلُوعِ ‌الْفَجْرِ ‌أَكْثَرَ ‌مِنْ ‌رَكْعَتَيْنِ يُكْثِرُ فِيهَا الرُّكُوعَ، وَالسُّجُودَ فَنَهَاهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا مُحَمَّدٍ يُعَذِّبُنِي اللهُ عَلَى الصَّلَاةِ؟ قَالَ: " لَا وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلَافِ السُّنَّةِ "

bahwa Sa'id bin Al-Musayyib melihat seorang laki-laki shalat setelah terbit fajar lebih dari dua rakaat, dan ia banyak melakukan rukuk serta sujud dalam shalatnya. Maka Sa'id bin Al-Musayyib melarangnya. 

Laki-laki itu berkata: "Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku karena shalat?" 

Sa'id bin Al-Musayyib menjawab: "Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi sunnah."

[Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq no. 4755, Imam Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 2/654 no. 4131 dan al-Marwazi dalam Mukhtashar Qiyamul lail hal. 80. Adz-Dzahabi berkata: “Sanadnya Kuat”. Di shahihkan oleh al-Albani dalam Irwa al-Gholil 2/236].

Sufyan ats-Tsauri berkata :

«‌الْبِدْعَةُ ‌أَحَبُّ ‌إِلَى ‌إِبْلِيسَ ‌مِنَ ‌الْمَعْصِيَةِ، الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا، وَالْبِدْعَةُ لَا يُتَابُ مِنْهَا»

"Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat. Maksiat bisa ditaubati, sedangkan bid'ah tidak ditaubati."

[Diriwayatkan oleh Ibnu al-Ja’d dalam al-Musnad no. 1809, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 9009, al-Ashbahani dalam al-Hilyah 7/26 dan al-Lalakaa’i dalam Syarah Ushul al-I’tiqood 1/149 no. 238].

 

 

Posting Komentar

0 Komentar