Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

BERLEBIHAN BERTAJWID DALAM MEMBACA AL-QURAN ADALAH PERBUATAN TERCELA

BERLEBIHAN BERTAJWID DALAM MEMBACA ALQURAN ADALAH PERBUATAN TERCELA

Di Tuli Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

---

----

 DAFTAR ISI :

  • DEFINISI TAJWID :
  • TUJUAN DARI ILMU TAJWID:
  • MEMAKSAKAN DAN BERLEBIHAN DALAM MEMBACA AL-QURAN DENGAN TAJWID ADALAH PERBUATAN YANG TERCELA SECARA SYAR'I
  • PEMBAHASAN PERTAMA: TENTANG BERLEBIHAN DALAM BERTAJWID
  • PEMBAHASAN KEDUA : PERINGATAN DARI PARA ULAMA TERHADAP SIKAP BERLEBIHAN DALAM BERTAJWID:
  • PEMBAHASAN KETIGA: HUKUM MERENDAHKAN DAN MENGOLOK-OLOK BACAAN ORANG LAIN:

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

===****===

DEFINISI TAJWID :

Tajwid secara etimologi bermakna: memperbaiki dan memperindah.

Dikatakan:

ٱلتَّحْسِينُ وَٱلْإِتْقَانُ، يُقَالُ: جَوَّدْتَ ٱلشَّيْءَ تَجْوِيدًا، أَيْ: حَسَّنْتَهُ تَحْسِينًا، وَأَتْقَنْتَهُ إِتْقَانًا. وَتَقُولُ: هَٰذَا شَيْءٌ جَيِّدٌ، أَيْ: حَسَنٌ. فَهُوَ مَصْدَرٌ مِنْ جَوَّدَ تَجْوِيدًا، إِذَا أَتَى بِٱلْقِرَاءَةِ مُجَوَّدَةَ ٱلْأَلْفَاظِ، بَرِيءَةً مِنَ ٱلْجُورِ فِي ٱلنُّطْقِ بِهَا.

Memperbagus dan menyempurnakan . Dikatakan: Anda telah mentajwid sesuatu, artinya: Anda telah memperbagusnya hingga bagus, dan Anda telah menyempurnakannya hingga sempurna. Dan anda berkata: Ini adalah sesuatu yang jayyid, artinya: bagus.

Ia adalah mashdar dari Jawwada Tajwiidan , yakni  jika dia membawakan bacaan lafadz-lafadz sesuai dengan tajwid, bebas dari ketidakadilan dalam pengucapannya”. [Baca : Ghoyatul Murid Fii Ilmi at-Tajwiid , oleh Athiyyah Qobil Nashr hal. 39]

Dalam terminologi ulama tajwid, tajwid adalah :

عِلْمٌ يَبْحَثُ فِي الْكَلِمَاتِ الْقُرْآنِيَّةِ مِنْ حَيْثُ إِعْطَاءِ الْحُرُوفِ حَقَّهَا مِنَ الصِّفَاتِ اللَّازِمَةِ الَّتِي لَا تَفَارِقُهَا، كَالِاِسْتِعْلَاءِ، وَالِاِسْتِفَالِ، أَوْ مُسْتَحَقِّهَا مِنَ الْأَحْكَامِ النَّاشِئَةِ عَنْ تِلْكَ الصِّفَاتِ: كَالتَّفْخِيمِ وَالتَّرْقِيقِ، وَالْإِدْغَامِ وَالْإِظْهَارِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَحْكَامِ.

“Ilmu yang mempelajari kalimat-kalimat Al-Quran dalam hal memberikan hak-hak huruf-hurufnya dari sifat-sifat yang wajib baginya, seperti maqom-maqom (letak-letak keluarnya huruf-huruf), seperti al-isti’laa (elevasi) dan al-istifaal (depresiasi), atau hak-haknya dalam hukum-hukum yang timbul dari sifat-sifat tersebut, seperti tafkhiim (pemberian bobot) tarqiq (pembacaan lembut), Idghom (asimilasi) dan Idzhar (clearness), dan hukum-hukum lainnya”. [lihat : al-Waafi Fii Kayfiyati Tanziil al-Qur’an oleh Ahmad al-Hafyaan hal. 14].

Ibnu Al-Jazari dalam mendefinisikan tajwid mengatakan:

"إِعْطَاءُ الْحُرُوفِ حُقُوقَهَا، وَتَرْتِيبُهَا مَرَاتِبَهَا، وَرَدُّ الْحَرْفِ إِلَى مَخْرَجِهِ وَأَصْلِهِ، وَإِلْحَاقُهُ بِنَظِيرِهِ وَشَكْلِهِ، وَإِشْبَاعُ لَفْظِهِ، وَتَلْطِيفُ النُّطْقِ بِهِ، عَلَى حَالِ صِيغَتِهِ وَهَيْئَتِهِ، مِنْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا تَعَسُّفٍ، وَلَا إِفْرَاطٍ وَلَا تَكَلُّفٍ".

"Memberikan hak-hak huruf-hurufnya, menempatkannya pada tempat-tempatnya, mengembalikan huruf ke tempat keluarnya dan asalnya, menggabungkannya dengan yang serupa dan harakatnya, memenuhi lafalnya, dan melunakkan pengucapannya, sesuai dengan kondisinya dan bentuknya, tanpa berlebihan, tanpa kekurangan, tanpa kebablasan dan tanpa memberat-beratkan." [ Baca : at-Tamhiid oleh Syamsuddin Abul Khoir Ibnu al-Jazary hal. 47].

****

TUJUAN DARI ILMU TAJWID:

Tujuan dari ilmu tajwid adalah memberdayakan pembaca untuk membaca Al-Quran dengan baik, menjalankannya dengan sempurna, dan melindungi lidahnya dari kesalahan saat membaca Al-Quran, sehingga dia dapat mencapai keridhaan Tuhan-Nya, dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Tajwid, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Al-Jazari :

هُوَ حِلْيَةُ التِّلاوَةِ، وَزِينَةُ الْقِرَاءَةِ.

Ia adalah hiasan dalam membaca, dan perhiasan dalam pengucapan. [at-Tamhiid Fii ‘Ilmi at-Tajwiid hal. 47].

===***===

MEMAKSAKAN DAN BERLEBIHAN DALAM MEMBACA AL-QURAN DENGAN TAJWID ADALAH PERBUATAN YANG TERCELA SECARA SYAR'I

Terdapat sekelompok orang yang berlebihan dalam menerapkan hukum tajwid, sehingga mereka memberi perhatian yang tidak pernah diberikan oleh Nabi dan para sahabatnya radhiyallahu 'anhum. Bahkan, mereka tidak membiarkan lisan para qari selain mereka yang lolos tanpa kritik dari kelompok ini . Termasuk para qori yang terkenal pun kena kritik pula. 

Bahkan, ada beberapa guru qira'at mereka berkata, "Bawa qari itu ke kelas kita agar kita bisa membenarkan nada tajwidnya," lalu tertawa. Padahal, qari yang mereka kritik tersebut adalah seorang qori yang terkenal dan diterima oleh masyarakat. Mereka juga menyalahkan bacaan para imam Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah al-Munawwarah.

Kemudian orang-orang dungu ini mengabaikan cabang-cabang ilmu Al-Qur'an lainnya hanya karena demi tajwid, sehingga mereka menjadi ekstrem dalam hal ini dan justru menjauhkan orang-orang dari tujuan utama kandungan firman Allah Ta'ala. 

****

PEMBAHASAN PERTAMA:
TENTANG BERLEBIHAN DALAM BERTAJWID

Allah berfirman :

﴿وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ﴾

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”. [Al Qamar: 17]

Ayat ini termasuk yang sering diulang dalam surat tersebut, yakni Surah Al-Qamar. Oleh karena itu, segala sesuatu yang membuat membaca Al-Qur'an menjadi sulit bagi manusia, baik secara umum untuk semua manusia maupun khusus bagi orang Arab, maka itu adalah salah.

Diketahui bahwa aturan-aturan tajwid seperti yang tercatat dan diklasifikasikan dalam kitab-kitab ilmu tajwid, tidaklah mudah bagi semua umat Islam untuk mengambil dan mempelajarinya secara keseluruhan. Selain itu, sulit bagi sebagian orang yang telah mempelajarinya untuk mengaplikasikannya sesuai dengan yang diinginkan oleh Imam-imam dalam Qira'at yang mereka anggap sebagai pihak yang pasti benar, dan menilai sebagai kesalahan jika tidak sesuai dengannya, baik dalam makhraj huruf, sifatnya, maupun dalam memenuhi hak-haknya.

----

Membaca Al-Qur'an dengan memperhatikan hukum tajwid adalah hal yang baik. Namun, sebagian orang zaman sekarang justru terlalu memusatkan perhatian mereka pada upaya berlebihan dalam membunyikan huruf-huruf Al-Qur'an, memaksakan pelafalannya, dan melebih-lebihkannya.

Akibatnya, mereka mengkritik para qari dan para penghafal Al-Qur'an hanya karena mereka tidak memanjangkan mad secara berlebihan, tidak membunyikan ghunnah secara sempurna, atau tidak mengeluarkan sifat huruf dengan kesempurnaan mutlak, serta berbagai aturan tajwid lainnya yang sebenarnya tidak wajib diterapkan dan tidak mempengaruhi keabsahan atau kejelasan bacaan. Syeikh al-Munajjid berkata :

وَهَذَا مِنَ التَّنَطُّعِ وَالتَّكَلُّفِ الْمَذْمُومِ شَرْعًا.

"Perilaku ini termasuk bentuk sikap berlebihan dan memaksakan diri yang tercela secara syar'i".[Islamqa no. 288080]

Rasulullah bersabda: 

"هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ  قَالَهَا ثَلَاثًا".

"Celakalah orang-orang yang berlebihan!" Beliau mengatakannya tiga kali." (HR. Muslim, no. 2670)

Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 16/220 berkata :

(هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ) أَيِ ‌الْمُتَعَمِّقُونَ ‌الْغَالُونَ ‌الْمُجَاوِزُونَ الْحُدُودَ فِي أَقْوَالِهِمْ وَأَفْعَالِهِمْ

Makna "orang-orang yang berlebihan" adalah mereka yang mendalami sesuatu secara berlebihan, melampaui batas, serta melewati batas yang wajar dalam ucapan dan perbuatan mereka. 

Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: 

إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللَّهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ، وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرِ الْغَالِي فِيهِ وَالْجَافِي عَنْهُ، وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ

“"Sesungguhnya di antara bentuk pemuliaan terhadap Allah adalah menghormati orang tua yang muslim, menghormati pembawa Al-Qur'an (penghafal) yang tidak berlebihan dan tidak pula berpaling darinya (tidak mengabaikannya), serta menghormati pemimpin yang adil." (HR. Abu Dawud, no. 4843; dihasankan oleh Al-Albani) 

SYARAH HADITS :

Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud 13/133 di jelaskan:

( وَحَامِلِ الْقُرْآنِ ) أَيْ : وَإِكْرَامُ حَافِظِهِ ، وَسَمَّاهُ حَامِلًا لَهُ لِمَا يَحْمِلُ مِنْ مَشَاقَّ كَثِيرَةٍ ، تَزِيدُ عَلَى الْأَحْمَالِ الثَّقِيلَةِ ، قَالَهُ الْعَزِيزِيُّ . وَقَالَ الْقَارِي : أَيْ : وَإِكْرَامُ قَارِئِهِ ، وَحَافِظِهِ ، وَمُفَسِّرِهِ . 

( غَيْرِ الْغَالِي فِيهِ ) أَيْ : فِي الْقُرْآنِ . وَالْغُلُوُّ : التَّشْدِيدُ وَمُجَاوَزَةُ الْحَدِّ ، يَعْنِي : غَيْرَ الْمُتَجَاوِزِ الْحَدَّ فِي الْعَمَلِ بِهِ ، وَتَتَبُّعِ مَا خَفِيَ مِنْهُ وَاشْتَبَهَ عَلَيْهِ مِنْ مَعَانِيهِ ، وَفِي حُدُودِ قِرَاءَتِهِ وَمَخَارِجِ حُرُوفِهِ ، قَالَهُ الْعَزِيزِيُّ . 

( وَالْجَافِي عَنْهُ ) أَيْ : وَغَيْرِ الْمُتَبَاعِدِ عَنْهُ ، الْمُعْرِضِ عَنْ تِلَاوَتِهِ ، وَإِحْكَامِ قِرَاءَتِهِ ، وَإِتْقَانِ مَعَانِيهِ ، وَالْعَمَلِ بِمَا فِيهِ . 

وَقِيلَ : الْغُلُوُّ : الْمُبَالَغَةُ فِي التَّجْوِيدِ ، أَوِ الْإِسْرَاعُ فِي الْقِرَاءَةِ بِحَيْثُ يَمْنَعُهُ عَنْ تَدَبُّرِ الْمَعْنَى . 

وَالْجَفَاءُ : أَنْ يَتْرُكَهُ بَعْدَ مَا عَلِمَهُ ، لَا سِيَّمَا إِذَا كَانَ نَسِيَهُ ، فَإِنَّهُ عُدَّ مِنَ الْكَبَائِرِ . 

قَالَ فِي النِّهَايَةِ : وَمِنْهُ الْحَدِيثُ ( اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَجْفُوا عَنْهُ ) أَيْ : تَعَاهَدُوهُ وَلَا تَبْعُدُوا عَنْ تِلَاوَتِهِ بِأَنْ تَتْرُكُوا قِرَاءَتَهُ ، وَتَشْتَغِلُوا بِتَفْسِيرِهِ وَتَأْوِيلِهِ . 

وَلِذَا قِيلَ : "اشْتَغِلْ بِالْعِلْمِ بِحَيْثُ لَا يَمْنَعُكَ عَنِ الْعَمَلِ ، وَاشْتَغِلْ بِالْعَمَلِ بِحَيْثُ لَا يَمْنَعُكَ عَنِ الْعِلْمِ". 

وَحَاصِلُهُ أَنَّ كِلًا مِنْ طَرَفَيِ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ مَذْمُومٌ ، وَالْمَحْمُودُ هُوَ الْوَسَطُ الْعَدْلُ الْمُطَابِقُ لِحَالِهِ ﷺ فِي جَمِيعِ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ . كَذَا فِي " الْمِرْقَاةِ شَرْحِ الْمِشْكَاةِ " .

(Dan pembawa Al-Qur'an), yakni ; memuliakan penghafalnya. Disebut sebagai pembawa karena ia menanggung banyak beban kesulitan yang melebihi beban berat lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Al-'Azizi.

Al-Qari berkata: yaitu memuliakan pembacanya, penghafalnya, dan penafsirnya. 

(Bukan orang yang berlebihan di dalam nya) yakni; dalam Al-Qur'an. “Berlebihan” berarti bersikap keras dan melampaui batas. Maka makna yang dimaksud adalah hormatilah pembawa al-Qur’an yang tidak melampaui batas dalam mengamalkannya, tidak terlalu mendalam dalam meneliti hal-hal yang samar dan tersembunyi dari maknanya, serta tidak melampaui batas dalam tata cara membaca dan pelafalan hurufnya, sebagaimana dikatakan oleh Al-'Azizi. 

(Dan tidak berpaling darinya) yaitu tidak menjauh dari al-Qur’an, tidak meninggalkan bacaannya, tidak lalai dalam membacanya dengan baik, memahami maknanya dengan baik, serta mengamalkan isi kandungannya. 

Ada yang mengatakan bahwa “berlebihan dalam Al-Qur'an” berarti terlalu mendetail dalam tajwid atau membaca terlalu cepat hingga menghalangi pemahaman maknanya. 

Sedangkan berpaling darinya berarti meninggalkannya setelah mempelajarinya, terutama jika sampai melupakannya, karena hal itu termasuk dosa besar. 

Dalam kitab An-Nihayah (karya Ibnu al-Atsir) disebutkan bahwa di antara hadits yang berkaitan dengan hal ini adalah hadist :

( اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَجْفُوا عَنْهُ )

*"Bacalah Al-Qur'an dan jangan berpaling darinya."*

Maksudnya adalah peliharalah dan jangan menjauh dari membacanya dengan meninggalkan bacaannya, lalu hanya sibuk dengan tafsir dan takwilnya. 

Oleh karena itu, ada pepatah mengatakan :

" اشْتَغِلْ بِالْعِلْمِ بِحَيْثُ لَا يَمْنَعُكَ عَنِ الْعَمَلِ ، وَاشْتَغِلْ بِالْعَمَلِ بِحَيْثُ لَا يَمْنَعُكَ عَنِ الْعِلْمِ " .

*"Sibukkan diri dengan ilmu tanpa harus menghalangimu dari amal, dan sibukkan diri dengan amal tanpa harus menghalangimu dari ilmu."* 

Kesimpulannya, kedua sikap -baik berlebihan maupun mengabaikan-adalah tercela, dan yang terpuji adalah keseimbangan yang adil sesuai dengan keadaan Rasulullah dalam seluruh ucapan dan perbuatannya. Demikian disebutkan dalam *Al-Mirqat Syarh Al-Misykat.* [SELESAI]

Ibnu Malak berkata :

وَمَعْنَى : ( الغَالِي فِيهِ ) أَيْ : المُجَاوِزُ فِيهِ عَنِ الحَدِّ لَفْظًا وَمَعْنًى، أَوِ الخَائِنِ فِيهِ بِتَحْرِيفِهِ، أَوْ فِي مَعْنَاهُ بِتَأْوِيلِهِ بِبَاطِلٍ. انْتَهَى

“Makna "al-ghooli fiihi" (berlebihan dalam Al-Qur'an) adalah melampaui batas dalam lafal dan maknanya, atau berkhianat terhadapnya dengan cara merubahnya atau menafsirkannya dengan makna yang batil”.  (Lihat "Syarh Al-Masabih" karya Ibnu Al-Malak, 5/301).

HADITS LAIN :

Dari Sahal bin Sa’ad as-Saa’idi radhiyallahu 'anhu, dia berkata :

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمًا وَنَحْنُ نُقْرِئُ فَقَالَ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ، كِتَابُ اللَّهِ وَاحِدٌ، وَفِيكُمُ الْأَحْمَرُ وَفِيكُمُ الْأَبْيَضُ وَفِيكُمُ الْأَسْوَدُ، اقْرَؤُوهُ قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَهُ أَقْوَامٌ يُقِيمُونَهُ كَمَا يُقَوَّمُ السَّهْمُ، يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُهُ".

“ Pada suatu hari Rosulullah keluar menemui kami, dan saat itu kami sedang membaca al-Qur’an, maka beliau bersabda: 

“ Al-Hamdulillah, Kitab Allah satu , sementara di dalam kalian ada yang berkulit merah, berkulit putih dan berkulit hitam (Yakni ada etnis Arab dan Non Arab), bacalah kalian al-Quran sebelum adanya kaum-kaum membaca al-Qur’an, mereka menegakkan bacaan-nya seperti anak panah yang diluruskan (yakni mereka berlebihan dalam memperbagus bacaan-nya),  namun dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya (untuk akhirat).

(HR. Abu Daud 1/220 No. 831 . Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dlm Shohih Abu Daud 1/157 No. 741, beliau berkata : Hasan Shahih).

Dan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, dia berkata :

دَخَلَ النَّبي ﷺ المسجدَ، فإذا فيه قومٌ يَقرَؤُونَ القُرآنَ، قال: « اقْرَؤُوا القُرآنَ، وابْتَغُوا به اللهَ مِن قَبْلِ أن يَأتِيَ قَوْمٌ يُقِيمونَه إِقَامَةَ القِدْحِ، يَتَعَجَّلُونَه ولا يَتَأَجَّلُونَه«.

Nabi masuk masjid , dan ternyata di dalamya terdapat orang-orang yang sedang baca al-Qur’an .

Beliau bersabda : “ Bacalah kalian al-Qur’an, dan dengannya semata-mata karena mengharapkan Allah, sebelum datangnya kaum yang menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan (yakni mereka berlebihan dalam memperbagus bacaan-nya), namun dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya ( untuk akhirat)".

( HR. Imam Ahmad 3/357 dan Abu Daud 1/220 No. 831. Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dlm Shohih Sunan Abu Daud 1/156 no. 740) .

SYARAH DUA HADITS DIATAS :

Ibnu al-Atsir berkata :

قَوْلُهُ : «يُقِيمُونَهُ كَمَا يُقَوَّمُ السَّهْمُ» أَيْ : يُحَسِّنُونَ النُّطْقَ بِهِ . وَقَوْلُهُ : « يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُهُ » أَيْ: يَطْلُبُ بِذَلِكَ أَجْرَ الدُّنْيَا مِنْ مَالٍ وَجَاهٍ وَمَنْصِبٍ، وَلَا يَطْلُبُ بِهِ أَجْرَ الْآخِرَةِ.

Sabda beliau : "Mereka menegakkan bacaannya seperti halnya anak panah diluruskan" Yakni : mereka memperbagus dalam pengucapan makhroj huruf-nya .

Dan sabdanya : “dia mempercepat upahnya (di dunia) dan tidak menundanya (untuk akhirat)”. Artinya: dia dengan bacaanya itu untuk mencari upah duniawi , berupa harta , kehormatan dan kedudukan. Dia tidak bertujuannya dengannya itu untuk mencari pahala akhirat . [Baca : جَامِعُ الْأُصُولِ karya Ibnu al-Atsiir 2/450 – 451]

Muhammad Syamsul haq al-Adziim Aabadi dalam kitabnya ‘Aun Al-Ma‘bud Syarah Sunan Abi Dawud (3/42) berkata : 

فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مَجِيءِ أَقْوَامٍ بَعْدَهُ يُصْلِحُونَ أَلْفَاظَ الْقُرْآنِ وَكَلِمَاتِهِ وَيَتَكَلَّفُونَ فِي مُرَاعَاةِ مَخَارِجِهِ وَصِفَاتِهِ، كَمَا يُقَامُ الْقِدْحُ - وَهُوَ السَّهْمُ قَبْلَ أَنْ يُعْمَلَ لَهُ رِيشٌ وَلَا نَصْلٌ - وَالْمَعْنَى: أَنَّهُمْ يُبَالِغُونَ فِي عَمَلِ الْقِرَاءَةِ كَمَالَ الْمُبَالَغَةِ؛ لِأَجْلِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ وَالْمُبَاهَاةِ وَالشُّهْرَةِ. 

أَيُّهَا الْإِخْوَةُ الْكِرَامُ .. هَؤُلَاءِ تَعَجَّلُوا ثَوَابَ قِرَاءَتِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَأَجَّلُوهُ بِطَلَبِ الْأَجْرِ فِي الْآخِرَةِ، إِنَّهُمْ بِفِعْلِهِمْ يُؤْثِرُونَ الْعَاجِلَةَ عَلَى الْآجِلَةِ وَيَتَأَكَّلُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ هَجْرِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، فَبِئْسَ مَا يَصْنَعُونَ.

Maka sungguh Nabi telah mengkabarkan : sesudahnya akan munculnya kaum-kaum yang memperbagus lafadz-lafadz dalam membaca al-Quran dan kalimat-kalimatnya, bahkan berlebihan di dalam memperhatikan makhroj-makhroj dan sifat-sifat dari huruf-huruf al-Quran, seperti halnya orang yang memperbagus atau meluruskan batang panah sebelum di pasangkan bulu-bulu dan besi tajam diujungnya .

Maksudnya : Mereka sangat berlebihan di dalam mempercantik dan menyempurnakan bacaan al-Quran dengan tujuan agar mendapatkan sanjungan dari manusia, popularitas , berbangga-banggaan dan ketenaran .

Wahai para ikhwan yang mulia , mereka adalah orang-orang yang tergesa-gesa untuk mendapatkan upah bacaan al-Qur'an-nya di dunia , mereka tidak sabar menundanya untuk mendapatkan pahala di akhirat .

Sesungguhnya perbuatan mereka itu adalah sama dengan mengutamakan dunia dari pada akhirat, dan mereka makan dan minumnya dengan penghasilan dari Kitab Allah Ta’la. Dan ini adalah jenis perbuatan meng-hajer (MEMBOIKOT) al-Quran yang paling dahsyat, maka ini adalah sebusuk-busuk yang mereka lakukan . (Baca : "‘Aun Al-Ma‘bud Syarah Sunan Abi Dawud" 3/42).

----

Orang durhaka adalah orang yang makan dan minum-nya dari hasil al-Qur'an :

Dari  Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah  bersabda: 

"يكون خَلْفٌ من بعد السِّتِّينَ سنةً أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ثم يكون خَلْفٌ يقرؤونَ القرآنَ لا يعْدو تراقيهم ويقرأ القرآنَ ثلاثٌ مؤمنٌ ومنافقٌ وفاجرٌ ".

قال بَشِيْر  : قُلْتُ للوَلِيْد : مَا هَؤلَاء الثَّلاثةُ؟ قَالَ : المُؤْمِن مُؤْمِنٌ بِه، والمُنافِقُ كَافِرٌ به، والفَاجِرُ يَأكُلُ بِهِ

Kelak akan ada generasi pengganti sesudah enam puluh tahunan, mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.

Kemudian akan muncul pula pengganti lainnya yang pandai (fasih) membaca Al-Quran, tetapi tidak sampai meresap ke dalam hati mereka. Saat itu yang membaca Al-Quran ada tiga macam orang, yaitu :

(1) orang Mukmin , (2) orang munafiq, (3) dan orang durhaka.

Basyir mengatakan bahwa ia bertanya kepada Al-Walid tentang pengertian dari ketiga macam orang tersebut : "Siapa sajakah mereka itu?"

Maka Al-Walid menjawab : "Orang Mukmin adalah orang yang beriman kepada Al-Quran , orang Munafiq  adalah orang yang ingkar terhadap Al-Quran , sedangkan orang DURHAKA adalah orang yang mencari makan (nafkah) dengan Al-Quran."

[HR. Ahmad no. 11340]. 

Derajat Hadits :

Ibnu Katsir dalam kitab البداية والنهاية   (6/233) berkata :

إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ عَلَى شَرْطِ السُّنَنِ

"Sanad nya bagus dan kuat sesuai syarat kitab-kitab as-Sunan".

Dan Syeikh al-Albaani dalam السلسلة الصحيحة  (1/520) berkata :

"رِجَالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ الوَلِيدِ، فَحَدِيثُهُ يَحْتَمِلُ التَّحْسِينِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ حَالٍ شَاهِدٌ صَالِحٌ".

"Para perawinya tsiqoot [dipercaya] selain al-Wallid , maka haditsnya bisa dibawa ke derajat Hasan , dan haditst tsb bagaimana pun juga layak dan baik sebagai syahid ".

====

STANDAR TAJWID YANG BENAR

Ibnu Al-Jazari rahimahullah berkata dalam Muqaddimah-nya: 

مُكَمِّلاً مِنْ غَيْرِ مَا تَكَلُّفِ *** بِاللُّطْفِ فِي النُّطْقِ بِلاَ تَعَسُّفِ

"Menyempurnakan (bacaan) tanpa dibuat-buat *** Dengan kelembutan dalam pengucapan tanpa berlebih-lebihan."

As-Sakhawi rahimahullah berkata dalam awal qasidah-nya yang berjudul *‘Umdatul Mufid wa ‘Uddatul Mujid fi Ma’rifatit Tajwid* ( عُمْدَةُ المُفِيدِ وَعُدّةُ الْمُجِيد في مَعْرِفَةِ التَّجْويدِ): 

يَا مَنْ يَــــــرُومُ تِلاَوَةَ الْقُـــرْآنِ *** وَيَرُودُ شَــــــأْوَ أَئِمَّةِ الإِتْقَــانِ

لاَ تَحْسَبِ التَّجْوِيدَ مداًّ مُفْرِطاً *** أَوْ مَدَّ مَــا لا مَـــــدَّ فِيهِ لِـــوَانِ

أَوْ أَنْ تُشَــدِّدَ بَعْـــدَ مَدٍّ هَــمْزَةً *** أَوْ أَنْ تَلُوكَ الْحَرْفَ كَالسَّكْرَانِ

أَوْ أَنْ تَفُــوهَ بِهَمْزَةٍ مُتَهَــــوِّعاً *** فَيَفِــــرّ سَــــامِعُهَا مِنَ الْغَثَيَانِ

لِلْحَرْفِ مِيزَانٌ فَلاَ تَكُ طَاغِياً *** فِيه وَلاَ تَكُ مُخْسِرَ الْمِـــيزَانِ

*"Wahai orang yang ingin membaca Al-Qur’an *** Dan mengharapkan derajat para imam dalam ketepatan.*

*Jangan kau kira tajwid itu sekadar memanjangkan harakat berlebihan *** Atau memanjangkan apa yang sebenarnya tidak perlu diperpanjang.*

*Atau menguatkan hamzah setelah mad *** Atau mengunyah huruf seperti orang mabuk.*

*Atau mengucapkan hamzah dengan cara yang berlebihan *** Hingga pendengarnya merasa mual dan ingin muntah.*

*Setiap huruf memiliki keseimbangan, maka janganlah kau melampaui batas *** Dan jangan pula mengurangi keseimbangan itu."* [SELESAI]

Berlebihan dalam membaguskan pengucapan huruf Al-Qur’an justru menyibukkan seseorang dari tujuan utama Al-Qur’an diturunkan, yaitu untuk direnungkan, dipikirkan, kemudian diamalkan dan dijalankan batas-batas hukumnya. 

****

PEMBAHASAN KEDUA :
PERINGATAN DARI PARA ULAMA TERHADAP SIKAP BERLEBIHAN DALAM BERTAJWID:

Para ulama sejak dahulu hingga sekarang telah memperingatkan dari sikap berlebihan dalam bertajwid ini.

Abu Syamah Al-Maqdisi berkata: 

لَمْ يَبْقَ لِمُعْظَمِ مَنْ يَطْلُبُ الْقُرْآنَ الْعَزِيزَ هِمَّةٌ إِلَّا فِي قُوَّةِ حِفْظِهِ ، وَسُرْعَةِ سَرْدِهِ ، وَتَحْرِيرِ النُّطْقِ بِأَلْفَاظِهِ ، وَالْبَحْثِ عَنْ مَخَارِجِ حُرُوفِهِ ، وَالرَّغْبَةِ فِي حُسْنِ الصَّوْتِ بِهِ ، وَكُلُّ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ حَسَنًا وَلَكِنْ فَوْقَهُ مَا هُوَ أَهَمُّ وَأَتَمُّ وَأَوْلَى وَأَحْرَى ، وَهُوَ فَهْمُ مَعَانِيهِ ، وَالتَّفَكُّرُ فِيهِ ، وَالْعَمَلُ بِمُقْتَضَاهُ ، وَالْوُقُوفُ عِنْدَ حُدُودِهِ ، وَثَمَرَةُ خَشْيَةِ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ حُسْنِ تِلَاوَتِهِ . انتهى

*"Mayoritas orang yang belajar Al-Qur’an kini hanya berfokus pada kuatnya hafalan, kecepatan melafalkan, memperjelas pengucapan kata-kata, meneliti makhraj huruf, dan menginginkan suara yang indah. Semua itu memang baik, tetapi ada hal yang lebih penting dan utama, yaitu memahami maknanya, merenungkannya, mengamalkan isinya, dan menjalankan batasan hukumnya. Buah dari bacaan yang baik adalah rasa takut kepada Allah."* *(Al-Mursyid Al-Wajiz, hlm. 421).* 

Bahkan, di antara mereka yang berlebihan dalam tajwid ada yang terkena waswas dalam membaca, sehingga mereka terus mengulang huruf dan kata untuk mengeluarkan setiap huruf dengan sempurna—menurut mereka—atau karena mengira bacaan pertama mereka salah akibat terlalu mempersulit diri! 

Ibnu Al-Jauzi rahimahullah berkata: 

" وَقَدْ لَبَّسَ إبْليسُ عَلَى بَعْضِ المُصَلِّينَ فِي مَخَارِجِ الحُرُوفِ ، فَتَراه يَقُولُ :  الحَمْدُ الحَمْدُ  فَيَخْرُجُ بِإعَادَةِ الكَلِمَةِ عَنْ قَانُونِ أدَبِ الصَّلاةِ ، وَتَارَةً يُلَبّسُ عَلَيْهِ فِي تَحْقِيقِ التَّشْدِيدِ ، وتَارَةً فِي إخْرَاجِ ضَادِ المَغْضُوبِ ، وَلَقَد رَأيتُ مَن يَقُولُ :  المَغْضُوب  فَيخْرُجُ بُصَاقُهُ مَعَ إخْرَاجِ الضَّادِ ؛ لِقُوَّةِ تَشْدِيدِهِ ، وإنَّمَا المُرَادُ : تَحْقِيقُ الحَرْفِ فَحَسْب ، وإبْلِيسُ يُخْرِجُ هَؤلاءِ بِالزِّيَادَةِ عَن حَدِّ التَّحْقِيقِ، ويشْغلُهُم بِالمُبَالَغَةِ في الحُرُوفِ عَنْ فَهْمِ التِّلاوَةِ ، وَكُلّ هَذِهِ الوَسَاوسِ مِن إبْلِيسَ " انتهى

*"Iblis telah memperdaya sebagian orang yang shalat dalam masalah makhraj huruf. Maka engkau melihat mereka mengucapkan ‘alhamdu’ berulang-ulang, sehingga keluar dari aturan adab dalam shalat. Kadang mereka juga berlebihan dalam menguatkan tasydid, atau saat mengucapkan huruf ‘ḍād’ dalam kata ‘al-maghdhub’. Aku melihat seseorang mengucapkan ‘al-maghdhub’ dengan keras hingga keluar ludahnya karena terlalu menekan huruf ‘ḍād’! Padahal yang diinginkan hanyalah mengucapkan huruf dengan benar, tidak lebih. Iblis menjebak mereka dengan sikap berlebihan dalam mengoreksi bacaan, hingga mereka disibukkan dengan cara pengucapan dan lupa memahami makna bacaan. Semua waswas ini berasal dari Iblis."*  *(Talbis Iblis, hlm. 126).* 

Yang diharapkan dari seorang pembaca Al-Qur’an adalah memperjelas huruf, membaca dengan tartil dan perlahan, tidak tergesa-gesa dalam membaca. Allah Ta’ala berfirman: 

﴿وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا﴾

*"Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil (perlahan dan jelas)."* *(Al-Muzzammil: 4).* 

Tartil” berarti :

تَبْيِينُ الْحُرُوفِ بِإِخْرَاجِهَا مِنْ مَخَارِجِهَا ، وَالتَّرَسُّلُ فِي الْقِرَاءَةِ وَالتَّمَهُّلُ فِيهَا

“Memperjelas setiap huruf dengan mengeluarkannya dari makhrajnya yang benar, serta membaca dengan perlahan dan tenang”. [Al-Wajīz fī ukm Tajwīd al-Kitāb al-‘Azīz hal. 26]

Az-Zajjaj rahimahullah berkata:

رتِّلِ القُرآنَ تَرتِيلًا، بَيِّنْهُ تَبيِينًا، وَالتَّبْيِينُ لَا يَتِمُّ بِأَنْ يُعَجِّلَ فِي القُرآنِ، إِنَّمَا يَتِمُّ بِأَنْ يُبَيِّنَ جَمِيعَ الحُرُوفِ، وَيُوفِيَ حَقَّهَا مِنَ الإِشْبَاعِ انتهى

"‘Rattilal Qur’āna tartīlā, jelaskanlah ia dengan penjelasan yang jelas. Penjelasan tidak akan sempurna jika seseorang tergesa-gesa dalam membaca Al-Qur’an, tetapi akan sempurna jika ia menjelaskan semua huruf dan memberikan haknya dalam pemanjangan (mad)." (Selesai dari "Tafsir Ar-Razi" 16/107). 

Ibnu Al-Jazari rahimahullah berkata:

التَّرتِيلُ مَصدَرٌ مِنْ رَتَّلَ فُلَانٌ كَلَامَهُ؛ إِذَا أَتْبَعَ بَعضَهُ بَعضًا عَلَى مُكْثٍ ... قَالَ صَاحِبُ العَيْنِ: (رَتَّلتُ الكَلَامَ: تَمَهَّلتُ فِيهِ) انتهى.

"At-Tartīl adalah bentuk masdar dari ‘rattala’ dalam ucapan seseorang, yakni jika ia mengikutkan sebagian perkataan dengan sebagian lainnya secara perlahan... Pemilik kitab ‘Al-‘Ayn’ berkata: ‘Rattaltu al-kalām’ berarti aku membacanya dengan perlahan." (Selesai dari "At-Tamhid" oleh Ibnu Al-Jazari 1/59). 

Adapun hukum-hukum tajwid yang disebutkan oleh para ahli tajwid dalam kitab-kitab mereka, tidak ada dalam teks-teks syar’i yang menunjukkan kewajiban untuk mengambil semuanya. Namun, ada di antaranya yang wajib diambil, yaitu yang tanpanya bacaan tidak akan benar dan tidak akan sah. Ada pula yang tidak wajib diambil, tetapi hanya disunnahkan. 

Hukum-hukum tajwid yang menyebabkan rusaknya lafaz dan berubahnya makna jika ditinggalkan, wajib bagi pembaca untuk menerapkannya. Adapun yang tidak menyebabkan rusaknya lafaz dan berubahnya makna jika ditinggalkan, maka tidak wajib menerapkannya, melainkan hanya dianjurkan.

IBNU TAIMIYAH rahimahullah :

Syeikhul-Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah berkata:

وَلَا يَجْعَلُ هِمَّتَهُ فِيمَا حُجِبَ بِهِ أَكْثَرُ النَّاسِ مِنْ الْعُلُومِ عَنْ حَقَائِقِ الْقُرْآنِ إمَّا بِالْوَسْوَسَةِ فِي خُرُوجِ حُرُوفِهِ وَتَرْقِيقِهَا وَتَفْخِيمِهَا وَإِمَالَتِهَا وَالنُّطْقِ بِالْمَدِّ الطَّوِيلِ وَالْقَصِيرِ وَالْمُتَوَسِّطِ وَغَيْرِ ذَلِكَ. فَإِنَّ هَذَا حَائِلٌ لِلْقُلُوبِ قَاطِعٌ لَهَا عَنْ فَهْمِ مُرَادِ الرَّبِّ مِنْ كَلَامِهِ .

وَكَذَلِكَ شَغْلُ النُّطْقِ بـ {أَأَنْذَرْتَهُمْ} وَضَمُّ الْمِيمِ مِنْ (عَلَيْهِمْ وَوَصْلُهَا بِالْوَاوِ وَكَسْرُ الْهَاءِ أَوْ ضَمُّهَا وَنَحْوُ ذَلِكَ. وَكَذَلِكَ مُرَاعَاةُ النَّغَمِ وَتَحْسِينُ الصَّوْتِ.

‌وَكَذَلِكَ ‌تَتَبُّعُ ‌وُجُوهِ ‌الْإِعْرَابِ ‌وَاسْتِخْرَاجُ ‌التَّأْوِيلَاتِ الْمُسْتَكْرَهَةِ الَّتِي هِيَ بِالْأَلْغَازِ وَالْأَحَاجِيِّ أَشْبَهُ مِنْهَا بِالْبَيَانِ

وَكَذَلِكَ صَرْفُ الذَّهْنِ إِلَى حِكَايَةِ أَقْوَالِ النَّاسِ وَنَتَائِجِ أَفْكَارِهِمْ .

"Seseorang tidak seharusnya memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang dengannya bisa menghalangi mayoritas manusia dari ilmu-ilmu tentang hakikat kandungan al-Quran , seperti menghabiskan waktunya untuk berspekulasi tentang makhroj huruf-huruf, mentarqiiq-nya, mentafkhim-nya, meng-imaalah-kannya,  pengucapan mad panjang, mad pendek, taqshiir dan lain sebagainya.

Hal ini akan menghalangi hati-hati manusia dari memahami maksud kalam-kalam Tuhan.

Dan juga disibukkan dengan pengucapan { أَأَنْذَرْتَهُمْ } dan membaca dhommah huruf "م" dari (عَلَيْهِمْ) dengan menyambungnya dengan "وَ" dan membaca kasrah pada "هَاءٌ" atau membaca dhommah dan sejenisnya. Dan demikian pula memperhatikan nada dan memperbagus suara.

Begitu pula dengan menelusuri bentuk-bentuk I’rob dan penggalian takwil yang tidak pantas yang lebih mirip dengan teka-teki dan perumpamaan dibandingkan dengan penjelasan.

Dan seseorang tidak boleh memusat perhatiannya hanya untuk mendengarkan hikayat dari perkatan-perkataan manusia atau mengikuti pemikiran mereka."

(Sumber: Majmu' Fatawa Ibn Taymiyyah16/50-51)

IBNU AL-QOYYIM :

Ibnu al-Qayyim mengikuti gurunya dalam hal ini. Dan Ibnu Qayyim dalam Ighootsatul Lahfaan 1/160 berkata:

(فَصْلٌ: وَمِنْ ذَلِكَ الْوَسْوَسَةُ فِي مَخَارِجِ الْحُرُوفِ وَالتَّنَطُّعُ فِيهَا، وَنَحْنُ نَذْكُرُ مَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ بِأَلْفَاظِهِمْ:

"PASAL. Termasuk dari itu adalah was-was dalam makhroj-makhroj huruf dan berlebihan di dalamnya, dan kami menyebutkan apa yang telah disebutkan oleh para ulama dengan ucapan-ucapan istilah mereka."

Lalu Ibnu al-Qoyyim berkata :

قَالَ أَبُو الْفَرْجِ بْنُ الْجَوْزِيِّ: قَدْ لُبِسَ إِبْلِيسُ عَلَى بَعْضِ الْمُصَلِّينَ فِي مَخَارِجِ الْحُرُوفِ، فَتَرَاهُ يَقُولُ الْحَمْدُ الْحَمْدُ فَيَخْرُجُ بِإِعَادَةِ الْكَلِمَةِ عَنْ قَانُونِ أَدَبِ الصَّلَاةِ، وَتَارَةً يَلْبَسُ عَلَيْهِ فِي تَحْقِيقِ التَّشْدِيدِ فِي إِخْرَاجِ ضَادِ الْمَغْضُوبِ. قَالَ: وَلَقَدْ رَأَيْتُ مَنْ يَخْرُجُ بُصَاقَهُ مَعَ إِخْرَاجِ الضَّادِ لِقُوَّةِ تَشْدِيدِهِ، وَالْمُرَادُ تَحْقِيقُ الْحَرْفِ فَحَسْبُ، وَإِبْلِيسُ يُخْرِجُ هَؤُلَاءَ بِالزِّيَادَةِ عَنْ حَدِّ التَّحْقِيقِ، وَيُشْغِلُهُمْ بِالْمُبَالَغَةِ فِي الْحُرُوفِ عَنْ فَهْمِ التِّلاَوَةِ، وَكُلُّ هَذِهِ الْوَسَاوِسُ مِنْ إِبْلِيسَ.

Abu al-Faraj Ibnu al-Jawzi berkata: "Iblis telah menyesatkan sebagian orang-orang yang sedang shalat dalam makhroj-makhroj huruf, sehingga Anda melihatnya mengucapkan 'al-hamdulillah', dengan mengulang kata tersebut, yang menyebabkan nya keluar dari kaidah tata cara shalat.

Dan kadang-kadang dia terkelabui iblis ketika memastikan penekanan dalam pengucapan 'ضَاد' pada (المَغْضُوبِ). Saya melihat seseorang mengeluarkan air ludahnya bersamaan dengan pengucapan huruf 'dhodh' untuk memberikan penekanan yang kuat, yang dimaksudkan hanya untuk memperkuat pengucapan huruf itu saja, namun Iblis membuat mereka berlebihan dalam pengucapan huruf, sehingga mengalihkan perhatian mereka dari pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an. Semua was-was ini berasal dari Iblis."

Lalu Ibnu al-Qoyyim berkata :

وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُتَيْبَةَ فِي مُشْكِلِ الْقُرْآنِ : وَقَدْ كَانَ النَّاسُ يَقْرُؤُنَ الْقُرْآنَ بِلُغَاتِهِمْ ثُمَّ خَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ قَوْمٌ مِّنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ وَأَبْنَاءِ الْعَجَمِ لَيْسَ لَهُمْ طَبْعُ اللُّغَةِ وَلَا عِلْمُ التَّكَلُّفِ، فَهَفُوا فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْحُرُوفِ، وَذَلُوا فَأَخْلَوْا وَمِنْهُمْ رَجُلٌ سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ عَنِدَ الْعَوَامِّ بِالصَّلَاحِ وَقُرْبِهِ مِنَ الْقُلُوبِ بِالدِّينِ، فَلَمْ أَرَ فِيمَنْ تَتَبَّعْتُ فِي وُجُوهِ قِرَاءَتِهِ أَكْثَرَ تَخْلِيطًا وَلَا أَشَدَّ اضْطِرَابًا مِّنْهُ لِأَنَّهُ يَسْتَعْمِلُ فِي الْحَرْفِ مَا يَدْعُهُ فِي نَظِيرِهِ، ثُمَّ يُؤْصِلُ أَصْلًا وَيُخَالِفُ إِلَى غَيْرِهِ بِغَيْرِ عِلَّةٍ، وَيَخْتَارُ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْحُرُوفِ مَا لَا مَخْرَجَ لَهُ إِلَّا عَلَى طَلَبِ الْحِيَلَةِ الضَّعِيفَةِ، هَذَا إِلَى نَبْذِهِ فِي قِرَاءَتِهِ مَذَاهِبَ الْعَرَبِ وَأَهْلِ الْحِجَازِ بِإِفْرَاطِهِ فِي الْمَدِّ وَالْهَمْزِ وَالْإِشْبَاعِ وَإِفْحَاشِهِ فِي الْإِضْجَاعِ وَالْإِدْغَامِ، وَحُمْلِهِ الْمُتَعَلِّمِينَ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّعْبِ، وَتَعْسِيرِهِ عَلَى الْأُمَّةِ مَا يَسَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَتَضِيقُهُ مَا فَسَّحَهُ، وَمِنَ الْعَجَبِ أَنَّهُ يَقْرَىٰءُ النَّاسُ بِهَذِهِ الْمَذَاهِبِ وَيَكْرَهُ الصَّلَاةَ بِهَا، فَفِي أَيِّ مَوْضِعٍ يَسْتَعْمِلُ هَذِهِ الْقِرَاءَةَ إِن كَانَتْ الصَّلَاةُ لَا تَجُوزُ بِهَا؟

Dan Muhammad bin Qutaibah berkata : "Orang-orang pada awalnya membaca Al-Quran dalam dialek bahasa mereka sendiri. Kemudian, digantikan oleh sekelompok orang dari penduduk berbagai macam negeri dan anak keturunan non-Arab yang tidak memiliki tabi’at bahasa arab dan pengetahuan tata bahasa. Maka mereka membuat kesalahan dalam banyak huruf, sehingga menyebabkan kebingungan dan kekeliruan.

Di antara mereka ada seoarang pria – semoga Allah menutupi aib dia pada orang-orang awam dengan kebaikan dan semoga mendekatkannya  dengan hati-hati dalam agama -

Maka, saya tidak pernah melihat di antara mereka yang saya teliti dalam berbagai cara bacaan Al-Quran yang lebih campur aduk dan kacau balau dari pada dia. Hal ini karena dia menggunakan dalam suatu huruf apa yang dia anggap tepat di dalamnya.

Kemudian dia menetapkan aturan dasar yang menyelisihi aturan lain tanpa sebab .

Dia juga memilih dalam banyak huruf apa yang tidak memiliki makhroj huruf kecuali dengan mencari jalan tipu muslihat yang lemah.

Hal ini membuat dia dijauhi dalam bacaannya oleh para orang Arab dan penduduk Hijaz karena kebablasan dalam bacaan madd, hamz, Isybaa’, Ifhasy, Idjaa’dan Idghoom.

Para pengajar mengantarkannya pada madzhab yang sulit. Dan dia membuat agama ini menjadi sulit bagi umat ini, dia membuat sulit apa yang Allah mudahkan dan dia membuatnya sempit apa yang Allah luaskan.

Dan yang sangat aneh dari orang ini adalah bahwa dia itu membacakan Al-Quran kepada orang-orang dengan qiro’at madzhab-madzhab lain, akan tetapi dia membenci melakukan shalat dengan membaca qiro’at madzhab-madzhab tersebut. Kalau begitu, lalu ditempat manakah diperbolehkan membacanya jika diwaktu sholat saja tidak diperbolehkan membacanya ?”. [ Lihat : Ighootstul Lahfaan 1/160]

SYEIKH SHALEH AL-FAWZAN :

Dan Syeikh Saleh bin Fawzan berkata:

قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّجْوِيدِ مُسْتَحَبَّةٌ مِنْ غَيْرِ إفْرَاطٍ، وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً، وَإِنَّمَا الْوَاجِبُ تَجْوِيدُ الْقُرْآنِ مِنَ اللَّحْنِ وَالْخَطَأِ فِي الْإِعْرَابِ.

"Membaca Al-Qur'an dengan tajwid itu disunnahkan tanpa berlebihan dalam bertajwid, dan bukanlah wajib. Yang wajib hanyalah memperbaiki bacaan Al-Qur'an dari kesalahan dalam melafalkan dan kesalahan dalam I’rob (tata bahasa)".

[Sumber : حكم قراءة القرآن بالتجويد (Islam.web. Fatwa no. 208900)]

SYEIKH UTSAIMIN :

Syeikh Ibnu Utsaimiin rahimahullah mengatakan:

"أَمَّا التَّجْوِيدُ فَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، التَّجْوِيدُ تَحْسِينٌ لِلْفَظِّ فَقَطْ، وَتَحْسِينُ اللَّفْظِ بِالْقُرْآنِ لَا شَكَّ أَنَّهُ خَيْرٌ، وَأَنَّهُ أَتَمُّ فِي حُسْنِ الْقِرَاءَةِ، لَكِنَّ الْوُجُوبَ بِحَيْثُ نَقُولُ مَنْ لَمْ يَقْرَأْ الْقُرْآنَ بِالتَّجْوِيدِ فَهُوَ آثِمٌ قَوْلٌ لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ، بَلْ الدَّلِيلُ عَلَى خِلَافِهِ"

"Tajwid bukanlah wajib, tajwid hanyalah untuk memperindah lafal. Memperindah pelafalan Al-Quran tidak diragukan lagi bahwa itu baik dan lebih sempurma dalam bacaan. Namun, jika dikatakan wajib , sehingga orang yang membacanya tanpa tajwid itu berdosa maka itu perkataan tanpa dalil atasnya, bahkan sebaliknya dalil yang ada adalah kebalikannya . ["Fatawa Nur 'ala al-Darb" (2/157)]

Membaca al-Qur’an dengan Tajwid menurut pendapat Syekh Ibnu Utsaimin tidak wajib, tetapi wajib untuk menegakkan harakat-harakatnya, dan mengucapkan huruf sebagaimana mestinya, contohnya jangan mengubah huruf (رَ) dengan (لَ), begitu juga huruf (ذَ) dengan (زَ) dan sejenisnya, inilah yang dilarang.

Syeikh Ibnu Utsaimiin rahimahullah juga mengatakan dalam fatwanya:

(( لَا أَرَى وَجُوبَ الِالْتِزَامِ بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ الَّتِي فُصِّلَتْ بِكُتُبِ التَّجْوِيدِ ، وَإِنَّمَا أَرَى أَنَّهَا مِنْ بَابِ تَحْسِينِ الْقِرَاءَةِ ، وَبَابُ التَّحْسِينِ غَيْرُ بَابِ الْإِلْزَامِ ، وَقَدْ ثَبَتَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ سُئِلَ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ؟ فَقَالَ : كَانَتْ مَدًّا ، قَرَأَ : { بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ ، وَيَمُدُّ الرَّحْمَنِ ، وَيَمُدُّ الرَّحِيمِ ، وَالْمَدُّ هُنَا : طَبِيعِيٌّ لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَعَمُّدِهِ وَالنَّصُّ عَلَيْهِ ، هُنَا يُدِلُّ عَلَى أَنَّهُ فَوْقَ الطَّبِيعِيِّ .

وَلَوْ قِيلَ : بِأَنَّ الْعِلْمَ بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ الْمُفَصَّلَةِ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ وَاجِبٌ ، لَلْزَمَ تَأْثِيمَ أَكْثَرِ الْمُسْلِمِينَ الْيَوْمَ ، وَلَقُلْنَا لِمَنْ أَرَادَ التَّحَدُّثَ بِاللُّغَةِ الْفُصْحَى : ” طَبَّقْ أَحْكَامَ التَّجْوِيدِ فِي نُطْقِكَ بِالْحَدِيثِ وَكُتُبِ أَهْلِ الْعِلْمِ ، وَتَعَلُّمِكَ ، وَمَوَاعِظِكَ ” ، وَلْيَعْلَمْ أَنَّ الْقَوْلَ بِالْوَجْوَبِ يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ تُبَرَّأُ بِهِ الذَّمَّةُ أَمَامَ اللَّهِ – عَزَّ وَجَلَّ – فِي إِلْزَامِ عِبَادِهِ بِمَا لَا دَلِيلَ عَلَى إِلْزَامِهِمْ بِهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ – تَعَالَى – أَوْ سُنَّةِ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، أَوْ إِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ .

وَقَدْ ذَكَرَ شَيْخُنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعْدٍي – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي جَوَابٍ لَهُ : ” أَنَّ التَّجْوِيدَ حَسَبَ الْقَوَاعِدِ الْمُفَصَّلَةِ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ غَيْرُ وَاجِبٍ ".

"Saya tidak melihat kewajiban untuk mematuhi hukum tajwid, yang dirinci oleh buku-buku Tajwid, akan tetapi saya melihat bahwa itu adalah masalah memperindah bacaan, dan BAB untuk tahsiin (memperbagus) bukanlah BAB pengharusan (Ilzaam).

Telah disebutkan di dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang bagaimana dulu bacaan Nabi . Ia menjawab, ‘Bacaan beliau adalah mad ketika membaca Bismillahirrahmanirrahim, memanjangkan bismillah, memanjangkan Ar Rahman, memanjangkan Ar Rahim. Padahal mad di sini adalah mad thabi’i tidak butuh untuk sengaja memanjangkan, sedang nash (dalil) ini menunjukkan mad nya melebihi mad thabi’i.’

Seandainya dikatakan bahwa hukum-hukum yang dituliskan di dalam kitab-kitab tajwid hukumnya wajib, maka akan memberikan konsekwensi berdosanya banyak sekali kaum muslimin. Dan kita akan mengatakan bagi orang yang hendak berbicara dengan bahasa arab fasih, ‘Praktekkan ilmu tajwid ketika kalian membaca hadits dan kitab-kitab para ulama, dalam pengajaran kalian dan dalam nasehat-nasehat kalian.’

Dan hendaknya diketahui bahwa pendapat yang mewajibkan ( membaca sesuai tajwid ~ed), membutuhkan dalil yang akan melepaskan tanggung jawab dihadapan Allah kelak, yang terambil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya atau ijma’(konsensus para ulama).

Dan Syaikh kami, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menyebutkan di dalam salah satu fatwa beliau bahwa tajwid sesuai yang dirinci di dalam kitab-kitab tajwid itu tidak wajib hukumnya.”

[Ini adalah kutipan dari “Kitab Al-'Ilmi" oleh Syekh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, cetakan Dar al-Thariyah untuk Penerbitan, halaman 170-171, Pertanyaan Nomor 70].

SYEIKH BIN BAAZ :

Syeikh Bin Baaz rahimahullah berkata dalam fatwa beliau:

"يَجُوزُ أَنْ يُقْرَأَ الْقُرْآنُ بِغَيْرِ التَّرْتِيبَاتِ وَالْاِصْطِلَاحَاتِ الَّتِي ذَكَرَهَا أَصْحَابُ التَّجْوِيدِ، إِذَا قُرِئَ بِاللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ قِرَاءَةً وَاضِحَةً، لَكِنْ إِذَا اعْتَنَى بِمَا ذَكَرَهُ الْقُرَّاءُ وَبِمَا ذَكَرَهُ أَصْحَابُ التَّجْوِيدِ، فَهَذَا حَسَنٌ مِنْ بَابِ تَحْسِينِ الْقِرَاءَةِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ: (زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَصَحَّحَهُ الْأَلْبَانِيُّ، فَإِذَا لَاحَظَ الْغُنَّةَ وَالتَّرْقِيقَ وَالتَّفْخِيمَ يَكُونُ أَفْضَلَ، وَإِلَّا فَلَيْسَ بِلاَزِمٍ -فِيمَا يَظُهُرُ لِي- إِذَا قَرَأَهُ الْقَرَاءَةَ الْوَاضِحَةَ، لَيْسَ فِيهَا خَلَلٌ".

"Diperbolehkan untuk membaca Al-Quran tanpa tata cara, aturan-aturan dan istilah-istilah yang disebutkan oleh ahli tajwid, asalkan dibaca dengan bahasa Arab yang jelas. Namun, jika seseorang memperhatikan apa yang disebutkan oleh para qari dan ahli tajwid, maka itu lebih baik sebagai upaya untuk memperbagus bacaan. Sebagaimana sabda Nabi: (Hiasilah Al-Quran dengan suaramu). Riwayat Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani. Jadi, jika terdapat ghunnah, tarqiq, atau tafkhim, itu akan lebih baik. Namun, jika tidak, itu tidaklah wajib menurut pendapat saya, asalkan bacaannya jelas tanpa cacat."

[ Lihat : Nurun ‘Ala Ad-Darb / حكم قراءة القرآن دون تطبيق أحكام التجويد]

Dan Syeikh Bin Baaz juga mengatakan:

لا أعلَمُ دَلِيلاً شَرْعِيًّا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الِالْتِزَامِ بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ، أَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَارْتَلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا}، فَهُوَ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوْعِيَّةِ التَّمَهُّلِ بِالْقِرَاءَةِ وَعَدَمِ الْعَجَلَةِ، وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا}.

"Saya tidak mengetahui dalil syar'i yang menunjukkan kewajiban mematuhi aturan tajwid. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: {Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil}, itu menunjukkan disyariatkannya membaca dengan penuh perhatian dan tanpa terburu-buru, dan ini diperkuat oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: {Dan sungguh, Kami telah membacakan Al-Qur'an ini dengan tartil}.

[Sumber : حكم قراءة القرآن بالتجويد (Islam.web. Fatwa no. 208900) . Dan lihat pula : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, 12/11/1415 Hijriah..

SYEIKH AS-SA’DI [ Guru Syeikh Utsaimin]

Syeikh As-Sa’di rahimahullah berkata tentang hal ini:

إِنَّ التَّجْوِيدَ بِحَسَبِ الْقَوَاعِدِ الْمُفَصَّلَةِ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ غَيْرُ وَاجِبٍ.

"Mengenai tajwid berdasarkan kaidah-kaidah yang terdapat dalam kitab-kitab tajwid tidaklah wajib." [Di kutip dari Kitabul Ilmi : 163 oleh Ibnu Utsaimin]

MUHAMMAD AL-HASAN AD-DADU :

Dekat dengan pandangan ini, yang juga dipegang oleh Syeikh Muhammad Al-Hasan Al-Dadu :

أَنَّ الْقِرَاءَةَ بِالتَّجْوِيدِ يَنْتَابُهَا الْأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ، فَمِنْهَا مَا هُوَ وَاجِبٌ؛ وَهُوَ الَّذِي إذَا لَمْ يَأخُذْ بِهِ الْإِنْسَانُ أَفْسَدَ قِرَاءَتَهُ. وَمِنْهَا مَا يُؤْثِمُ فَاعِلُهُ مُتَعَمِّدًا، وَهُوَ الَّذِي يَقْتَضِي اخْتِلَاطَ الْحُرُوفِ فِي مَخَارِجِهَا وَصِفَاتِهَا، أَوْ إدْغَامَ بَعْضِ مَا لَا يُدْغَمُ، أَوْ إزَالَةَ بَعْضِ الْحَرَكَاتِ بِالْإِشَالَةِ، وَالسُّرْعَةِ، كَالْهَذْرَمَةِ، وَنَحْوِهَا. وَمِنْهَا يَكُونُ سُنَّةً مُسْتَحَبَّةً، وَهُوَ مَا يُقْتَضِي تَحْسِينَ الْقُرْآنِ وَحُسْنَ تَقْطِيعِهِ، وَيُعِينُ عَلَى تَدَبُّرِهِ، كَالْوَقْفِ فِي مَوَاضِعِ الْوَقْفِ عَلَى التَّمَامِ أَوْ الْكَمَالِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ. وَمِنْهُ مَا هُوَ مَكْرُوهٌ، وَهُوَ مَا يَكُونُ كَشَكْلِ الطَّرَبِ، وَالْغِنَاءِ، وَنَحْوِهِمَا. وَمِنْهُ مَا يَكُونُ مُحَرَّمًا، وَهُوَ مَا يَبَالُغُ الْإِنْسَانُ فِيهِ حَتَّى يَتَقَعَّرُ، وَيُخْرَجُ بِهِ الْكَلَامُ عَنْ أَصْلِهِ. وَمِنْهُ مَا يَكُونُ مُنْدُوبًا عِنْدَ طَائِفَةٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ: وَهُوَ تَحْسِينُ الصَّوْتِ بِهِ حَتَّى يَكُونَ أَرَقَّ مِنْ صَوْتِهِ الْعَادِيِّ، وَذَلِكَ بِأَنْ يُشْجِي صَوْتَهُ بِهِ، حَتَّى يَكُونَ نَدِيًّا شَجِيًّا.

“ Bahwa dalam membaca dengan tajwid, terdapat lima macam hukum. Di antaranya :

Ada yang wajib; jika seseorang tidak mengamalkannya, maka bacaannya menjadi rusak.

Ada pula yang dosa jika dilakukan dengan sengaja, seperti yang menyebabkan bercampur baurnya huruf-huruf dalam makhraj-makhrajnya atau sifat-sifatnya, atau meng-idghom-kan apa yang seharusnya tidak diidghomkan, atau menghilangkan beberapa harakat dengan menggeser, serta kecepatan seperti mempercepat bacaan, dan sejenisnya.

Ada juga yang disunahkan dan dimustahabkan, yaitu yang mengantarkan pada sesuatu yang memperindah bacaan Al-Qur'an dan memotong-motongnya dengan baik, serta membantu dalam memahaminya, seperti berhenti di tempat-tempat yang memerlukan berhenti secara sempurna, dan sejenisnya.

Ada pula yang makruh, seperti bacaan dengan intonasi yang mirip dengan nyanyian atau musik, dan sejenisnya.

Ada yang diharamkan, yaitu jika seseorang melampaui batas sehingga terkesan merendahkan, dan dengan itu bacaan nya menjadi melenceng dari makna aslinya.

Dan ada yang manduub [disukai] oleh sebagian para ulama, yaitu memperbaiki suara sehingga lebih halus dari suara biasanya, dengan cara memperindah suaranya hingga menjadi merdu”.

[Sumber : حكم قراءة القرآن بالتجويد (Islam.web. Fatwa no. 208900)].

KESIMPULAN :

Secara keseluruhan, pernyataan mereka yang mengingkari baca al-Quran dengan tajwid secara berlebihan, berkisar pada tiga tujuan:

Pertama, bahwa kewajiban dalam tajwid adalah menjaga pengucapan huruf-huruf dengan benar tanpa merusak makna, dan apa pun di atas itu adalah hal yang mustahab (disukai).

Kedua, bahwa yang tercela adalah berlebihan dalam bertajwid, membuat suara panjang (التَمْطِيْطُ), dan berlebihan dalam pengucapannya (التَشَدُّقُ).

Ketiga, yang tercela adalah sibuk memperhatikan aturan tajwid dengan mengorbankan tadabbur dan pemahaman terhadap maknanya.

*****

PEMBAHASAN KETIGA:
HUKUM MERENDAHKAN DAN MENGOLOK-OLOK BACAAN ORANG LAIN:

Barang siapa yang dimuliakan oleh Allah Ta'ala dan diberi ilmu tajwid Al-Qur'an, maka ia harus beradab dengan adab Al-Qur'an. Oleh karena itu, tidak boleh baginya untuk mencemooh atau mengolok-olok seseorang hanya karena ia melakukan kesalahan dalam beberapa hukum tajwid atau tidak membacanya dengan sempurna. Sebab, menghina orang beriman adalah perbuatan yang diharamkan berdasarkan nash dalam Al-Qur'an: 

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang direndahkan) lebih baik daripada mereka (yang merendahkan). Dan jangan pula para wanita (merendahkan) wanita yang lain, boleh jadi wanita (yang direndahkan) lebih baik daripada wanita (yang merendahkan). Dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri, dan jangan pula saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk nama adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Hujurat: 11) 

Kesalahan seorang muslim dalam beberapa hukum tajwid bukanlah alasan bagi siapa pun untuk merendahkannya, menggunjingnya, atau merasa lebih tinggi darinya. 

Demikian pula, tidak boleh bagi seseorang untuk menyombongkan diri dengan ilmu yang telah dipelajarinya.

Hal ini bisa menjadi tanda bahwa ia menuntut ilmu bukan karena Allah, atau bisa jadi setan telah menguasai dirinya sehingga merusak niatnya. Dalam hal ini, telah datang ancaman yang keras, sebagaimana sabda Nabi : 

مَنْ تَعَلَّمَ العِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ العُلَمَاءَ، أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ لِيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ.

"Barang siapa yang belajar ilmu untuk menandingi para ulama, atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh, atau untuk menarik perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka."_ (HR. At-Tirmidzi, 2654, dan dinilai hasan oleh Al-Albani) 

Al-Mubarakfury ketika mensyarahi hadits diatas, dia berkata :

(لِيُجَارِيَ بِهِ العُلَمَاءُ) أَيْ: يُجْرِيَ مَعَهُمْ فِي المُنَاظَرَةِ لِيُظْهِرَ عِلْمَهُ فِي النَّاسِ رِيَاءً وَسُمْعَةً. 

(أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ) أَيْ: يُجَادِلَ بِهِ الجُهَّالَ. 

(وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ) أَيْ: يَطْلُبَ العِلْمَ لِيَحْصُلَ الجَاهُ وَإِقْبَالُ النَّاسِ عَلَيْهِ.

- _"Untuk menandingi para ulama"_ adalah agar ia bisa beradu argumen dengan mereka supaya ilmunya dikenal dan dipuji oleh manusia. 

- _"Untuk berdebat dengan orang-orang bodoh"_ adalah agar ia bisa beradu pendapat dengan mereka. 

- _"Untuk menarik perhatian manusia kepadanya"_ adalah agar ia mencari ilmu demi mendapatkan kedudukan, kehormatan, dan perhatian manusia. 

(Lihat: "Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Sunan At-Tirmidzi 7/346") 

Oleh karena itu, seorang muslim wajib menuntut ilmu semata-mata karena Allah, bukan untuk menyombongkan diri terhadap orang lain, mencari popularitas, kehormatan, atau kekayaan. 

Ia juga harus menghormati saudara-saudaranya sesama muslim, terutama mereka yang menghafal Al-Qur'an, karena mereka memiliki kehormatan lebih besar dibanding yang lain, sebab mereka menyimpan di dalam dada mereka firman Allah Ta'ala.

Imam al-Hafizh al-Muqri’, Syamsuddin adz-Dzahabi rahimahullah (wafat 748 H), menyebutkan dua penyakit yang menimpa orang-orang yang sibuk dengan bacaan dan tajwid Al-Qur’an di zamannya.

Dua penyakit itu adalah:

Ke 1: Berlebihan dalam hal ini hingga melampaui batas keseimbangan dan sikap moderat. 

Ke 2 : Perasaan bangga diri dan merendahkan orang lain.

Beliau rahimahullah berkata: 

" فَالْقُرَّاءُ الْمُجَوِّدَةُ: فِيهِمْ تَنَطُّعٌ، وَتَحْرِيرٌ زَائِدٌ، يُؤَدِّي إِلَى أَنَّ الْمُجَوِّدَ الْقَارِئَ: يَبْقَى مَصْرُوفَ الْهِمَّةِ إِلَى مُرَاعَاةِ الْحُرُوفِ، وَالتَّنَطُّعِ فِي تَجْوِيدِهَا، بِحَيْثُ يَشْغَلُهُ ذَلِكَ عَنْ تَدَبُّرِ مَعَانِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَيَصْرِفُهُ عَنِ الْخُشُوعِ فِي التِّلَاوَةِ لِلَّهِ، وَيُخَلِّيهِ قَوِيَّ النَّفْسِ، مُزْدَرِيًا بِحُفَّاظِ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى. فَيَنْظُرُ إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الْمَقْتِ، وَأَنَّ الْمُسْلِمِينَ يَلْحَنُونَ ... 

فَلَيْتَ شِعْرِي؛ أَنْتَ مَاذَا عَرَفْتَ؟! وَمَا عِلْمُكَ؟! 

وَأَمَّا عَمَلُكَ: فَغَيْرُ صَالِحٍ!! 

وَأَمَّا تِلَاوَتُكَ: فَثَقِيلَةٌ، عَرِيَّةٌ عَنِ الْخَشْيَةِ وَالْحُزْنِ وَالْخَوْفِ!! 

فَاللَّهُ يُوَفِّقُكَ، وَيُبَصِّرُكَ رُشْدَكَ، وَيُوقِظُكَ مِنْ رَقْدَةِ الْجَهْلِ وَالرِّيَاءِ. 

وَضِدُّهُمْ: قُرَّاءُ النَّغَمِ وَالتَّمْطِيطِ. 

وَهَؤُلَاءِ، فِي الْجُمْلَةِ: مَنْ قَرَأَ مِنْهُمْ بِقَلْبٍ وَخَوْفٍ، قَدْ يَنْتَفِعُ بِهِ فِي الْجُمْلَةِ، فَقَدْ رَأَيْتُ مَنْ يَقْرَأُ صَحِيحًا، وَيُطْرِبُ وَيَبْكِي. 

نَعَمْ؛ وَرَأَيْتُ مَنْ إِذَا قَرَأَ قَسَا الْقُلُوبَ، وَأَبْرَمَ النُّفُوسَ، وَبَدَّلَ كَلَامَ اللَّهِ تَعَالَى. 

وَأَسْوَأُهُمْ حَالًا: الْجَنَائِزِيَّةُ. 

وَالْقُرَّاءُ بِالرِّوَايَاتِ، وَبِالْجَمْعِ: فَأَبْعَدُ شَيْءٍ عَنِ الْخُشُوعِ، وَأَقْدَمُ شَيْءٍ عَلَى التِّلَاوَةِ بِمَا يُخْرِجُ عَنِ الْقَصْدِ، وَشِعَارُهُمْ: فِي تَكْثِيرِ وُجُوهِ حَمْزَةَ، وَتَغْلِيظِ تِلْكَ اللَّامَاتِ، وَتَرْقِيقِ الرَّآءَاتِ. 

ٱقْرَأْ يَا رَجُلُ، وَأَعْفِنَا مِنَ التَّغْلِيظِ وَالتَّرْقِيقِ، وَفَرْطِ الْإِمَالَةِ، وَالْمُدُودِ، وَوُقُوفِ حَمْزَةَ؛ فَإِلَى كَمْ هَذَا؟ 

وَآخَرُ مِنْهُمْ: إِنْ حَضَرَ فِي خَتْمَةٍ، أَوْ تَلَا فِي مِحْرَابٍ؛ جَعَلَ دَيْدَنَهُ إِحْضَارَ غَرَائِبِ الْوُجُوهِ، وَالسَّكْتَ، وَالتَّهَوُّعَ بِالتَّسْهِيلِ، وَأَتَى بِكُلِّ خِلَافٍ، وَنَادَى عَلَى نَفْسِهِ: أَنَا أَبُو فُلَانٍ فَٱعْرِفُونِي؛ فَإِنِّي عَارِفٌ بِالسَّبْعِ!! 

إِيشْ يُعْمَلُ بِكَ؟ لَا صَبَّحَكَ اللَّهُ بِخَيْرٍ؛ إِنَّكَ حَجَرُ مَنْجَنِيقٍ، وَرَصَاصٌ عَلَى الْأَفْئِدَةِ." انتهى

"Para qari yang terlalu menekankan tajwid, di antara mereka ada yang berlebihan dan terlalu membebani diri hingga menyebabkan seorang qari yang sangat memperhatikan makhraj huruf dan terlalu menekankan tajwidnya menjadi teralihkan dari merenungi makna Kitabullah, terhalangi dari kekhusyukan dalam membaca untuk Allah, dan menjadi sombong serta meremehkan para penghafal Kitabullah. Ia memandang mereka dengan penuh penghinaan dan menganggap kaum Muslimin banyak melakukan kesalahan dalam bacaan... 

Maka, wahai orang yang seperti ini, coba aku tanyakan: apa yang sebenarnya telah engkau pahami? Seberapa luas ilmumu?! 

Sementara amal perbuatanmu tidak baik!! 

Bacaanmu terasa berat, tanpa kekhusyukan, tanpa kesedihan, tanpa rasa takut kepada Allah!! 

Semoga Allah memberi taufik kepadamu, membukakan mata hatimu, dan membangunkanmu dari tidur panjang dalam kebodohan dan riya'. 

Sebaliknya, ada pula kelompok qari yang terlalu menekankan irama dan nada-nada panjang. 

Di antara mereka, ada yang membaca dengan hati dan rasa takut kepada Allah, sehingga—pada tingkat tertentu—ada manfaatnya. Aku pernah melihat orang yang bacaannya benar, menyentuh hati, dan bahkan menangis ketika membaca. 

Namun, aku juga melihat orang yang ketika membaca justru mengeraskan hati orang-orang yang mendengar, membuat mereka bosan, bahkan mengubah lafaz Kitabullah. 

Yang paling buruk di antara mereka adalah qari yang hanya membaca di acara jenazah. 

Adapun para qari yang membaca dengan berbagai riwayat dan metode jama’ (menggabungkan banyak qiraat dalam satu bacaan), maka mereka adalah yang paling jauh dari kekhusyukan dan yang paling sering membaca dengan cara yang menyimpang dari maksud sebenarnya. 

Ciri khas mereka adalah: memperbanyak wajah-wajah bacaan Hamzah, memberatkan bacaan lam-lam tertentu, dan berlebihan dalam menipiskan ra'. 

Bacalah dengan tenang, wahai saudaraku, dan bebaskan kami dari beban berat pemberatan lam, penipisan ra', pemanjangan mad yang berlebihan, serta waqaf Hamzah! Sampai kapan semua ini harus terus dilakukan? 

Ada juga qari lain yang jika hadir dalam acara khataman atau membaca di mihrab, ia justru sibuk menghadirkan bacaan-bacaan yang aneh, memperbanyak saktah (berhenti sejenak tanpa napas), dan memaksa-maksakan bentuk tahfif (meringankan bacaan) yang berlebihan. 

Ia menghadirkan segala bentuk perbedaan qiraat, dan seakan-akan sedang mengumumkan kepada orang-orang: "Aku adalah si Fulan, kenalilah aku, karena aku ahli dalam tujuh qiraat!" 

Apa yang bisa kami lakukan untukmu?! Semoga Allah tidak memberikan pagi yang baik bagimu! 

Engkau hanyalah seperti batu ketapel yang meluncur tanpa arah, seperti timah panas yang menghantam hati manusia." 

[Selesai dari Bayān Zaghl al-‘Ilmi (بَيَانُ زَغَلِ الْعِلْمِ) hal. 25-26]. 

*****

DALIL LARANGAN SALING MENGOLOK - OLOK DALAM TAJWID AL-QUR'AN

DALIL KE SATU :

Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya 4/30: Dari Abu Thalhah Zaid Bin Sahl al-Anshary :

قَرَأَ رَجُلٌ عِنْدَ عُمَرَ فَغَيَّرَ عَلَيْهِ فَقَالَ: قَرَأْتُ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَلَمْ يُغَيِّرْ عَلَيَّ، قَالَ: فَاجْتَمَعْنَا عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: فَقَرَأَ الرَّجُلُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ لَهُ: " قَدْ أَحْسَنْتَ "، قَالَ: فَكَأَنَّ عُمَرَ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " ‌يَا ‌عُمَرُ، ‌إِنَّ ‌الْقُرْآنَ ‌كُلَّهُ ‌صَوَابٌ ‌مَا ‌لَمْ ‌يُجْعَلْ ‌عَذَابٌ ‌مَغْفِرَةً أَوْ مَغْفِرَةٌ عَذَابًا "

“Ada seorang membaca Al Qur’an di sisi Umar, lalu ia meralatnya, orang itu berkata, ‘Aku membacanya demikian di hadapan Rasulullah  dan beliau tidak menyalahkanku!’

Umar berkata, “Maka kami berkumpul di sisi Nabi , orang itu membacakannya kepada Nabi  dan beliau pun bersabda untuknya, ‘Engkau telah membacanya dengan bagus!’

Perawi berkata, ‘Maka Umar sepertinya tidak enak hati, maka nabi  bersabda kepadanya, “Hai Umar seluruh bentuk bacaan Al Qur’an itu benar, selama ayat siksa tidak dijadikan ayat ampunan dan ayat ampunan dijadikan ayat siksa.”

[HR. Ahmad 26/285 no. 16366 dan al-Bukhori dalam at-Taarikh al-Kabiir 3/62 dan Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wat Ta’diil 3/252 .

Al-Haitsami berkata dalam al-Majma’ (7/151): "Para perawinya adalah orang-orang yang dapat dipercaya."

Di Hasankan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/44, oleh adh-Dhiya dalam al-Jami’ al-Kamil 10/16 dan juga oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq al-Musnad  26/285]

Dalam makalah al-Qoul al-Mufiid Fii Hukmi at-Tajwiid disebutkan :

فَقَوْلُهُ ﷺ فِيمَا رُوِيَ عَنْهُ "إِنَّ الْقُرْآنَ كُلَّهُ صَوَابٌ مَا لَمْ يَجْعَلْ عَذَابًا مَغْفِرَةً أَوْ مَغْفِرَةً عَذَابًا" ينسف دعوى وَجُوبِ التَّجْوِيدِ نَسْفًا بَلْ يَتَعَدَّى ذَلِكَ لِجَوَازِ اسْتِبْدَالِ لَفْظِ بَآخَرَ إِذَا تَشَابَهَ فِي الْمَعْنَى وَلَيْسَ فَقَطْ اسْتِبْدَالِ صِفَةٍ بِصِفَةٍ أَوْ مَدِّ بِمَدٍّ طَالَمَا بَقِيَتْ الْكَلِمَةُ مَفْهُومَةً عَرَبِيَّةَ الصُّوَرِةِ

وَمَسْأَلَةُ جَوَازِ اسْتِبْدَالِ لَفْظِ بَآخَرَ يُؤَدِّي نَفْسَ الْمَعْنَى أَوْ مُقَارَبٍ هُوَ مَذْهَبُ كَثِيرٍ مِنْ عُلَمَاءِ السَّلَفِ تَفْسِيرًا لِلسَّبْعَةِ أَحْرُفِ الَّذِي أَنْزَلَ الْقُرْآنَ عَلَيْهِمْ فَقَالُوا هِيَ الْأَلْفَاظُ الْمُخْتَلِفَةُ لِلْمَعَانِي الْمُتَشَابِهَةِ مِثْلَ "مَشَى" وَ "سَعَى" وَ "ذَهَب" وَمِثْلَ "تَعَال" وَ "إِءْتَ".

ARTINYA : 

"Sabda Rasulullah  :

إِنَّ ‌الْقُرْآنَ ‌كُلَّهُ ‌صَوَابٌ ‌مَا ‌لَمْ ‌يُجْعَلْ ‌عَذَابٌ ‌مَغْفِرَةً أَوْ مَغْفِرَةٌ عَذَابًا

"Seluruh bentuk bacaan Al Qur’an itu benar, selama ayat siksa tidak dijadikan ayat ampunan dan ayat ampunan dijadikan ayat siksa".

Ini tidak hanya menggugurkan klaim wajibnya tajwid, melainkan juga memperbolehkan penggantian kata dengan kata lain jika maknanya sama, bukan hanya mengganti sifat dengan sifat atau penggantian panjang dengan panjang, selama kata tersebut tetap memiliki makna Arab yang dipahami.

Masalah bolehnya mengganti kata dengan kata lain yang memiliki makna serupa atau mendekati makna tersebut adalah pendapat banyak ulama salaf dalam menafsirkan huruf-huruf sab'ah, yaitu huruf-huruf yang Al-Qur'an diturunkan padanya.

Mereka mengatakan :

هي الْأَلْفَاظُ الْمُخْتَلِفَةُ لِلْمَعَانِي الْمُتَشَابِهَةِ مِثْلَ "مَشَى" وَ "سَعَى" وَ "ذَهَب" وَمِثْلَ "تَعَال" وَ "إِءْتِ"

bahwa huruf-huruf tersebut adalah kata-kata yang berbeda namun memiliki makna yang serupa, seperti "berjalan" dan "berjalan cepat" dan "pergi" , dan juga semisal “ke-sinilah!’ "datanglah!".

[referensi : الدفاع عن السنة . https://www.dd-sunnah.net ›]

Imam al-Hafiz Ibn Hajar ketika syarah hadits berikut ini :

"إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ"

"Sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf (qira’at), maka bacalah apa yang mudah bagi kalian" ,

Setelah mengemukakan perkataan para ulama tentangnya, lalu al-Hafidz berkata :

وَحَاصِلُ ‌مَا ‌ذَهَبَ ‌إِلَيْهِ ‌هَؤُلَاءِ ‌أَنَّ ‌مَعْنَى ‌قَوْلِهِ ‌أُنْزِلَ ‌الْقُرْآنُ ‌عَلَى ‌سَبْعَةِ ‌أَحْرُفٍ ‌أَيْ ‌أُنْزِلَ مُوَسَّعًا عَلَى الْقَارِئِ أَنْ يَقْرَأَهُ عَلَى سَبْعَةِ أَوْجُهٍ أَيْ يَقْرَأُ بِأَيِّ حَرْفٍ أَرَادَ مِنْهَا عَلَى الْبَدَلِ مِنْ صَاحِبِهِ كَأَنَّهُ قَالَ أُنْزِلَ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ أَوْ عَلَى هَذِهِ التَّوْسِعَةِ وَذَلِكَ لِتَسْهِيلِ قِرَاءَتِهِ إِذْ لَوْ أَخَذُوا بِأَنْ يَقْرَءُوهُ عَلَى حَرْفٍ وَاحِد لشق عَلَيْهِم كَمَا تقدم قَالَ بن قُتَيْبَةَ فِي أَوَّلِ تَفْسِيرِ الْمُشْكِلِ لَهُ كَانَ مِنْ تَيْسِيرِ اللَّهِ أَنْ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يقْرَأ كل قوم بلغتهم فالهذلي يقْرَأ عني حِينٍ يُرِيدُ حَتَّى حِينٍ وَالْأَسَدِيُّ يَقْرَأُ تِعْلَمُونَ بِكَسْرِ أَوَّلِهِ وَالتَّمِيمِيُّ يَهْمِزُ وَالْقُرَشِيُّ لَا يَهْمِزُ قَالَ وَلَوْ أَرَادَ كُلُّ فَرِيقٍ مِنْهُمْ أَنْ يَزُولَ عَنْ لُغَتِهِ وَمَا جَرَى عَلَيْهِ لِسَانُهُ طِفْلًا وَنَاشِئًا وَكَهْلًا لَشَقَّ عَلَيْهِ غَايَةَ الْمَشَقَّةِ فَيَسَّرَ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ بِمَنِّهِ وَلَوْ كَانَ الْمُرَادُ أَنَّ كُلَّ كَلِمَةٍ مِنْهُ تُقْرَأُ عَلَى سَبْعَةِ أَوْجُهٍ لَقَالَ مَثَلًا أُنْزِلَ سَبْعَةَ أَحْرُفٍ وَإِنَّمَا الْمُرَادُ أَنْ يَأْتِيَ فِي الْكَلِمَةِ وَجْهٌ أَوْ وَجْهَانِ أَوْ ثَلَاثَةٌ أَوْ أَكْثَرُ إِلَى سَبْعَةٍ

Intinya, yang mereka pahami adalah makna dari ucapan bahwa Al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf adalah bahwa Al-Quran diturunkan dengan cara yang meluas bagi pembaca untuk membacanya dalam tujuh gaya, yaitu: dapat dibaca dengan huruf apa pun yang diinginkannya sebagai pengganti dari huruf aslinya.

Seolah-olah dia mengatakan: Diturunkan dengan syarat ini atau dengan keleluasan ini , dan itu untuk memudahkan membacanya. Sebab, jika mereka memutuskan untuk membacanya dengan satu huruf saja, maka itu akan sulit bagi mereka, seperti yang telah disebutkan.

Ibnu Qutaibah dalam "Tafsir al-Mushkil" pertamanya berkata: Salah satu kemudahan Allah adalah bahwa Dia memerintahkan nabi-Nya untuk membaca kepada setiap kaum dalam dialek mereka sendiri. Sehingga, orang Suku Hudzaly membaca "Anna Hiin" ketika membaca "Hataa Hiin" . Dan orang suku al-Asadi membaca "Yi’lamuun" dengan kasrah pada awalnya, dan orang Tamimi mendengus dan orang Quraisy tidak.

Dia berkata: Jika setiap kelompok dari mereka diminta untuk meninggalkan bahasanya dan mengikuti apa yang menjadi aturan bagi bahasa mereka, baik saat mereka masih anak-anak, remaja, atau dewasa, maka itu akan menjadi sangat sulit bagi mereka. Oleh karena itu, Allah memudahkan bagi mereka. (Fath al-Bari - Kitab Fadhail al-Quran - Bab Turunnya Al-Quran dengan Tujuh huruf 9/28)

DALIL KE DUA :

Dalam riwayat al-Hakim: Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

أَقْرَأَنِي رَسُولُ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- سُورَةَ حم، وَرُحْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ عَشِيَّةً، فَجَلَسَ إِلَيَّ رَهْطٌ، فَقُلْتُ لِرَجُلٍ مِنَ الرَّهْطِ‏:‏ اقْرَأْ عَلَيَّ، فَإِذَا هُوَ يَقْرَأُ حُرُوفًا لَا أَقْرَؤُهَا، فَقُلْتُ لَهُ‏:‏ مَنْ أَقْرَأَكَهَا‏؟‏ قَالَ‏:‏ أَقْرَأَنِي رَسُولُ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَانْطَلَقْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- وَإِذَا عِنْدَهُ رَجُلٌ فَقُلْتُ لَهُ‏:‏ اخْتَلَفَا فِي قِرَاءَتِنَا، فَإِذَا وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- قَدْ تَغَيَّرَ، وَوَجَدَ فِي نَفْسِهِ، حِينَ ذَكَرْتُ لَهُ الِاخْتِلَافَ، فَقَالَ‏:‏ ‏"‏ إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ قَبْلَكُمُ الِاخْتِلَافُ ‏"‏ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيَّ عَلِيٌّ فَقَالَ عَلِيٌّ‏:‏ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ- صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- يَأْمُرُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْكُمْ كَمَا عَلِمَ، فَانْطَلَقْنَا وَكُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَقْرَأُ حُرُوفًا لَا يَقْرَؤُهَا صَاحِبُهُ‏.‏

"Rasulullah  membacakan Surah Ha-Mim kepada saya. Kemudian pada malam itu, saya pergi ke masjid dan ada sekelompok orang duduk. Saya berkata kepada salah satu dari mereka: 'Bacakanlah kepada saya!'. Namun, dia membacakan huruf-huruf yang tidak saya kenal.

Saya bertanya kepadanya: 'Siapa yang mengajarkannya kepadamu?' Dia menjawab: 'Rasulullah  yang mengajarkannya kepadaku.'

Kemudian kami pergi menemui Rasulullah , dan di sampingnya ada seorang laki-laki. Saya berkata kepadanya: 'Kami berbeda dalam membaca.'

Tiba-tiba wajah Rasulullah  berubah dan ia merasakan hal tersebut dalam dirinya ketika saya menyebutkan perbedaan tersebut.

Ia kemudian berkata: 'Sesungguhnya yang menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah perselisihan.'

Kemudian Ali berbisik kepadaku: 'Rasulullah  memerintahkan kalian untuk membaca sesuai dengan apa yang telah ia ajarkan kepada kalian.'

Kemudian kami pergi dan setiap orang dari kami membaca huruf-huruf yang tidak bisa dibaca oleh pemiliknya." [HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak 2/243 no. 2885.

Al-Hakim berkata:

هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يَخْرُجَاهُ بِهَذِهِ السِّيَاقَةِ.

" Ini adalah hadits yang sanadnya shahih, dan mereka Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya dalam konteks seperti ini".

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :

وَلِابْنِ حبَان وَالْحَاكِم من حَدِيث بن مَسْعُودٍ

"Dan (hadits ini diriwayatkan) oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari hadits Ibn Mas'ud." [Fathul Bari 9/26 ]

Dalam riwayat Shahih Bukhori dari Abdullah bin Mas’ud :

أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ آيَةً سَمِعَ النَّبِيَّ ﷺ خِلَافَهَا، ‌فَأَخَذْتُ ‌بِيَدِهِ، ‌فَانْطَلَقْتُ ‌بِهِ ‌إِلَى ‌النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: «كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ فَاقْرَآ أَكْبَرُ عِلْمِي»، قَالَ: «فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَأُهْلِكُوا»

“Bahwa ia mendengar seorang laki-laki membaca ayat, sementara ia mendengar Nabi  membacanya tidak seperti itu. Maka aku pun mengambil tanganya dan pergi bersamanya menghadap Nabi , lalu beliau ﷺ bersabda: "Bacaan keduanya adalah sama baiknya. Bacalah, 'AKBARU 'ILMI.'" Beliau ﷺ bersabda: "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah berselisih, sehingga mereka pun binasa." [HR. Bukhori no. 5062]

Semoga Allah Ta’ala, dengan rahmat dan kemurahan-Nya, menjadikan kita termasuk ahli Al-Qur’an, menganugerahi kita keberkahannya, serta memberikan kita jalan lurus dan keseimbangan dalam segala urusan. 

 

Posting Komentar

0 Komentar