DZIKIR SAMBIL MENARI, GOYANG DAN LOMPAT-LOMPAT DIATAS SATU KAKI. BENARKAH SEMUA ITU ADA HADITS-NYA?.
===
Di Tuli Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
----
---DAFTAR ISI :
- PEMBAHASAN PERTAMA: STUDY HADITS DZIKIR SAMBIL MENARI, JOGET DAN GOYANG-GOYANG.
- PEMBAHASAN KEDUA : STUDI HADITS : “TARIAN PERMAINAN TOMBAK ORANG HABASYAH DI MASJID”.
- PEMBAHASAN KETIGA : STUDI HADITS : DZIKIR SAMBIL LOMPAT-LOMPAT MENARI DIATAS SATU KAKI.
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
PEMBAHASAN PERTAMA:
STUDY HADITS DZIKIR SAMBIL MENARI, JOGET DAN GOYANG.
Ada sekelompok dari kaum muslimin, yang mengatakan bahwa berdzikir,
berdo’a dan bersholawat sambil menari-nari, berjoget dan bergoyang itu disyariat-kan
dalam agama Islam, bahkan ada yang mengklaim disunnahkan.
Mereka in berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dan berikut ini kumpulan riwayat lafadz-lafadz
matan hadits tersebut :
Ke 1 : Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad 20/17 no. 12540 :
Abdurrahman Ash-Shamad memberitakan kepada kami, ia berkata: Hammad
memberitakan kepada kami, dari Tsabit, dari Anas, ia berkata:
كَانَتِ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُونَ بَيْنَ
يَدَيْ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَيَرْقُصُونَ وَيَقُولُونَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ،
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: " مَا يَقُولُونَ؟ " قَالُوا: يَقُولُونَ: مُحَمَّدٌ
عَبْدٌ صَالِحٌ
"Orang-orang Habasyah menari di hadapan Rasulullah ﷺ sambil menari mereka berkata: 'Muhammad adalah seorang hamba
yang saleh.'
Rasulullah ﷺ bertanya: 'Apa yang mereka
katakan?' Mereka menjawab: 'Muhammad adalah seorang hamba yang
saleh.'"
Syu'aib Al-Arna'uth dan para peneliti kitab *Musnad* mengatakan:
"Sanadnya sahih sesuai dengan syarat Muslim."
Ke 2 : Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 5870 dari jalur Hudbah bin
Khalid, dari Hammad bin Salamah, dengan sanad ini, dengan lafadz :
أَنَّ الْحَبَشَةَ كَانُوا يَزْفِنُونَ
بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ - يَعْنِي
يَرْقُصُونَ - وَيَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامٍ لَا يَفْهَمْهُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ: ( مَا يَقُولُونَ ؟) قَالُوا : مُحَمَّدٌ عبد صالح " .
*"Orang-orang Habasyah menari di hadapan Rasulullah ﷺ — yakni mereka menari - dan berbicara dengan bahasa yang tidak beliau
pahami. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: (Apa yang mereka
katakan?) Mereka menjawab: 'Muhammad adalah hamba yang saleh.'”*
Ibnu Muflih rahimahullah dalam *Al-Adab Asy-Syar’iyyah* (1/381) mengatakan:
"Sanadnya baik."
Adapun tentang makna kata "
يَزْفِنُونَ ", As-Sindi berkata:
كَـيَضْرِبُ، أَيْ: يَرْقُصُونَ بِالسِّلَاحِ.
"Seperti memukul (rebana), yakni mereka menari sambil membawa
senjata". [Lihat : Hamisy al-Musnad 20/17 di bawah hadits no. 12540].
----
Ke 3 : Diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dalam
As-Sunan Al-Kubra 4/247 no. 4236 , dia berkata :
Sulaiman bin Salam memberitakan kepada kami, ia berkata: An-Nadhr
memberitakan kepada kami, ia berkata: Sulaiman memberitakan kepada kami dari
Tsabit, dari Anas, ia berkata:
«قَدِمَ رَسُولُ اللهِ ﷺ» فَاسْتَقْبَلَهُ سُودَانُ
الْمَدِينَةِ يَزْفِنُونَ وَيَقُولُونَ جَاءَ مُحَمَّدٌ رَجُلٌ صَالِحٌ بِكَلَامِهِمْ،
وَلَمْ يَذْكُرْ أَنَسٌ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَاهُمْ
"Rasulullah ﷺ datang, lalu orang-orang
dari Sudan di Madinah menyambutnya dengan menari dan berkata dalam bahasa
mereka: 'Telah datang Muhammad, seorang laki-laki yang saleh.' Anas tidak
menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ melarang mereka."
Ke 4 : Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar dalam Musnad
Al-Bahr Az-Zakhar 13/268 no. 6810 . Dengan lafadz :
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْمَدِينَةَ مِنْ
بَعْضِ مَغَازِيهِ، أَوْ أَسْفَارِهِ، فَإِذَا سُودَانُ الْمَدِينَةِ يَزْفِنُونَ بَيْنَ
يَدَيْهِ: جَاءَ مُحَمَّدٌ رَجُلٌ صَالِحٌ بِكَلَامِهِمْ ذَلِكَ. وَلَمْ يَذْكُرْ
أَنَسٌ أَنَّهُ نَهَاهُمْ ﷺ
"Rasulullah ﷺ tiba di Madinah dari salah
satu perangnya atau perjalanannya, lalu orang-orang dari Sudan di Madinah
menari di hadapannya dan berkata dalam bahasa mereka: 'Telah datang Muhammad,
seorang laki-laki yang saleh.' Anas tidak menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ melarang mereka."
****
BANTAHAN TERHADAP ISTIDLAL MEREKA DARI HADITS-HADITS DIATAS:
Pada kenyataannya, hadits-hadits ini tidak dapat dijadikan dalil atas
kebolehan menari dan bergoyang dalam berdzikir, karena beberapa alasan:
**PERTAMA:**
Tujuan orang-orang Habasyah dalam hal ini sebenarnya bukanlah untuk
berdzikir atau menari karena dzikir. Mereka bermain di masjid Nabi ﷺ, dan beberapa riwayat menunjukkan bahwa permainan mereka itu
adalah bentuk kegembiraan atas kedatangan Rasulullah ﷺ ke Madinah.
Di antara riwayat yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari (454) dan Muslim (892) dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia
berkata:
(لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَوْمًا عَلَى
بَابِ حُجْرَتِي وَالحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ فِي المَسْجِدِ ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَسْتُرُنِي
بِرِدَائِهِ ، أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ).
*"Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ suatu hari di depan pintu
kamarku sementara orang-orang Habasyah bermain di masjid. Rasulullah ﷺ menutupi aku dengan selendangnya, dan aku pun melihat mereka
bermain."*
Muslim (892) juga meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia
berkata:
" جَاءَ حَبَشٌ يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ
فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ ﷺ، فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ
أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ
إِلَيْهِمْ ".
*"Orang-orang Habasyah datang dan menari pada hari raya di dalam
masjid. Maka Nabi ﷺ memanggilku, lalu aku
meletakkan kepalaku di pundaknya dan aku pun melihat permainan mereka hingga
akulah yang akhirnya beranjak pergi dari mereka."*
Al-Bukhari (2901) dan Muslim (893) meriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
" بَيْنَا الحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ عِنْدَ
النَّبِيِّ ﷺ بِحِرَابِهِمْ ، دَخَلَ عُمَرُ فَأَهْوَى إِلَى الحَصَى فَحَصَبَهُمْ
بِهَا، فَقَالَ: (دَعْهُمْ يَا عُمَرُ) " .
*"Ketika orang-orang Habasyah sedang bermain tombak di hadapan
Nabi ﷺ, Umar masuk dan hendak mengambil kerikil untuk melempari
mereka. Maka Nabi ﷺ bersabda: (Biarkan mereka,
wahai Umar)."*
Imam Ahmad 20/91 no (12649) dan Abu Dawud (4923) meriwayatkan dari Anas
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
" لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الْمَدِينَةَ
لَعِبَتِ الْحَبَشَةُ لِقُدُومِهِ بِحِرَابِهِمْ فَرَحًا بِذَلِكَ "
"Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, orang-orang
Habasyah menari dengan tombak mereka karena gembira menyambut
kedatangannya."
Dinyatakan shahih oleh Syu'aib Al-Arna'uth sesuai dengan syarat Bukhari
dan Muslim.
Diriwayatkan juga oleh Adh-Dhiya' dalam Al-Mukhtarah 1781, dari jalur
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari ayahnya, dengan sanad ini. Juga terdapat
dalam Musannaf Abdurrazzaq no. 19723, serta diriwayatkan oleh Abdu bin Humaid
no. 1239, Abu Dawud no. 4923, Abu Ya'la no. 3459, Al-Baghawi no. 3768, dan
Adh-Dhiya' no. 1780 dan 178
Dan Ahmad (25962) juga meriwayatkan dari Urwah bahwa Aisyah
radhiyallahu 'anha berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمَئِذٍ
-يَعْنِي يَوْمَ لَعِبِ الْحَبَشَةِ فِي الْمَسْجِدِ، وَنَظَرَتْ عَائِشَةُ إِلَيْهِمْ- (لِتَعْلَمَ يَهُودُ أَنَّ فِي دِينِنَا فُسْحَةً، إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ
سَمْحَةٍ).
*"Pada hari itu - yakni hari ketika orang-orang Habasyah bermain
di masjid dan Aisyah melihat mereka - Rasulullah ﷺ bersabda: (Agar orang-orang
Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kita terdapat kelapangan (keleluasaan). Aku diutus dengan agama yang
lurus dan toleran)."*
Hadits ini dinilai hasan oleh Al-Albani dalam *As-Silsilah
Ash-Shahihah* (1829).
Kesimpulan dari semua riwayat ini : jelas bahwa kejadian tersebut
merupakan momen permainan, kegembiraan, dan hiburan. Itu bukanlah momen dzikir,
tasawuf, atau bergoyang dalam majelis dzikir. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda:
( لِتَعْلَمَ يَهُودُ أَنَّ فِي دِينِنَا فُسْحَةً،
إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ )
*"Agar orang-orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kita
terdapat kelapangan."*
Ungkapan ini hanya diucapkan dalam konteks keringanan hukum, hiburan,
dan permainan, bukan dalam konteks dzikir dan kekhusyukan.
**KEDUA:**
Yang dimaksud dengan tarian dalam riwayat ini bukanlah seperti yang
dipahami oleh para penganut tasawuf, yaitu gerakan menari dan bergoyang saat
berdzikir dan melantunkan wirid mereka. Sebaliknya, yang dimaksud adalah
permainan dan hiburan mereka dengan tombak, sebagaimana telah dijelaskan dalam
riwayat-riwayat lain yang disebutkan sebelumnya.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
" وَحَمَلَهُ الْعُلَمَاءُ عَلَى التَّوَثُّبِ
بِسِلَاحِهِمْ وَلَعِبِهِمْ بِحِرَابِهِمْ عَلَى قَرِيبٍ مِنْ هَيْئَةِ الرَّاقِصِ
لِأَنَّ مُعْظَمَ الرِّوَايَاتِ إِنَّمَا فِيهَا لَعِبهِمْ بِحِرَابِهِمْ فَيُتَأَوَّلُ
هَذِهِ اللَّفْظَةُ عَلَى مُوَافَقَةِ سَائِرِ الرِّوَايَاتِ" .
*"Para ulama memahami hadits ini sebagai gerakan melompat dengan
senjata mereka dan permainan mereka dengan tombak dalam bentuk yang menyerupai
gerakan penari. Karena mayoritas riwayat hanya menyebutkan permainan mereka
dengan tombak, maka kata-kata ini harus ditafsirkan agar sesuai dengan
riwayat-riwayat lainnya."*
(Selesai dari *Syarh Muslim* oleh An-Nawawi, 6/186).
**KETIGA:**
Dalam karya-karya para imam ahli hadits dan periwayatannya, serta dalam
cara mereka mengklasifikasikan dan memberi judul pada hadits, tidak ada satu
pun yang mengarah, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada persoalan
menari saat berdzikir. Sebaliknya, semua ulama mengategorikannya dalam
pembahasan yang telah disebutkan sebelumnya, seperti permainan pada hari raya,
keluasan dalam agama, dan hal-hal serupa.
Imam Al-Bukhari memberi judul bagi hadits
Aisyah:
" بَابُ أَصْحَابِ الحِرَابِ فِي المَسْجِدِ
" .
*"Bab Para Pemain Tombak di Masjid."*
- Untuk hadits Abu Hurairah, ia memberi judul:
" بَابُ اللَّهْوِ بِالحِرَابِ وَنَحْوِهَا
".
*"Bab Hiburan dengan Tombak dan
Sejenisnya."*
Imam Abu Dawud memberi judul bagi hadits
Anas:
" بَابٌ فِي النَّهْيِ عَنِ الْغِنَاءِ".
*"Bab Larangan Bernyanyi."*
Imam An-Nasa’i memberi judul bagi hadits
Aisyah:
" اللَّعِبُ فِي الْمَسْجِدِ يَوْمَ الْعِيدِ
وَنَظَرُ النِّسَاءِ إِلَى ذَلِكَ".
*"Permainan di Masjid pada Hari Raya dan
Para Wanita yang Menyaksikannya."*
Imam An-Nawawi dalam *Syarh Muslim* memberi
judul:
" بَابُ الرُّخْصَةِ فِي اللَّعِبِ الَّذِي
لَا مَعْصِيَةَ فِيهِ فِي أَيَّامِ الْعِيدِ " .
*"Bab Keringanan dalam Permainan yang
Tidak Mengandung Kemaksiatan pada Hari Raya."*
*****
PARA ULAMA YANG MELARANG DZIKIR SAMBIL JOGET.
Sejumlah ulama telah menegaskan bahwa gerakan dan goyangan tubuh saat
berdzikir termasuk praktek ibadah model baru yang diada-adakan, dan begitu pula
menari saat berdzikir merupakan praktek ibadah yang biasa dilakukan oleh sebagian
para penganut tasawuf.
Para ulama dari *Lajnah Da'imah* pernah ditanya:
هَلِ الذِّكْرُ الَّذِي يَعْمَلُهُ بَعْضُ
النَّاسِ فِي مِصْرَ وَأَرْيَافِهَا مِنَ الدِّينِ؟ مَثَلًا يَقُومُونَ وَيَتَمَايَلُونَ
يَمِينًا وَيَسَارًا وَيَذْكُرُونَ لَفْظَ الجَلَالَةِ؟
*"Apakah dzikir yang dilakukan oleh sebagian orang di Mesir dan
pedesaan-pedesaan, seperti berdiri, bergoyang ke kanan dan ke kiri, serta
menyebut lafaz jalalah (Allah), termasuk bagian dari agama?"*
Mereka menjawab:
"هَذَا العَمَلُ لَا نَعْلَمُ لَهُ أَصْلًا
فِي دِينِ اللهِ، بَلْ هُوَ بِدْعَةٌ، وَمُخَالَفَةٌ لِشَرْعِ اللهِ يَجِبُ إِنْكَارُهَا
عَلَى مَنْ يَعْمَلُهَا، وَلَا سِيَّمَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ
ﷺ: «مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ". انتـهى
*"Kami tidak mengetahui adanya dasar dalam agama Allah untuk
amalan ini. Justru, ini adalah bid'ah dan bertentangan dengan syariat Allah.
Maka, wajib mengingkari perbuatan ini, terutama jika memiliki kemampuan untuk
melakukannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: ‘Barang siapa yang
mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami yang bukan bagian darinya, maka ia
tertolak.’ (Muttafaqun ‘alaih)."*
(Selesai dari *Fatawa Lajnah Da'imah* 2/521).
Wallahahu a’lam.
===****===
PEMBAHASAN KEDUA :
STUDI HADITS : “TARIAN PERMAINAN TOMBAK ORANG
HABASYAH DI MASJID”.
Ada sebagian Kaum Sufi yang menjadikan hadits tentang “permainan orang-orang
Habsyah dengan Tombak pada zaman Nabi” sebagai dalil di syariatkan-nya berdzikir,
berdoa dan baca sholawat serta ibadah lainnya sambil menari-nari, berjoget dan
bergoyang-goyang.
Untuk memahami sebagian dari kesalah fahaman tersebut, mari kita lakukan
kajian lebih sebagai berikut.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh mereka, maka itu tidak
menunjukkan kebolehan tarian sufi, melainkan justru menjadi dalil tentang
kebolehan bermain dengan senjata, berlatih perang, dan melakukan duel sebagai
persiapan untuk jihad.
Dari
'Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :
دَخَلَ عَلَيَّ رَسولُ اللَّهِ ﷺ
وعِندِي جارِيَتانِ تُغَنِّيانِ بغِناءِ بُعاثَ، فاضْطَجَعَ علَى الفِراشِ،
وحَوَّلَ وجْهَهُ، ودَخَلَ أبو بَكْرٍ، فانْتَهَرَنِي وقالَ: مِزْمارَةُ
الشَّيْطانِ عِنْدَ النبيِّ ﷺ، فأقْبَلَ عليه رَسولُ اللَّهِ عليه السَّلامُ
فقالَ: دَعْهُما، فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُما فَخَرَجَتا، وكانَ يَومَ عِيدٍ، يَلْعَبُ
السُّودانُ بالدَّرَقِ والحِرابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النبيَّ ﷺ، وإمَّا قالَ:
تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ؟ فَقُلتُ: نَعَمْ، فأقامَنِي وراءَهُ، خَدِّي علَى
خَدِّهِ، وهو يقولُ: دُونَكُمْ يا بَنِي أرْفِدَةَ. حتَّى إذا مَلِلْتُ، قالَ:
حَسْبُكِ؟ قُلتُ: نَعَمْ، قالَ: فاذْهَبِي.
"Rasulullah ﷺ masuk menemuiku saat ketika
di sisiku ada dua budak wanita yang sedang bersenandung dengan lagu-lagu
(tentang perang) Bu'ats. Maka beliau berbaring di atas tikar lalu memalingkan
wajahnya.
Kemudian masuklah Abu Bakar mencelaku, ia mengatakan, "Seruling-seruling
setan (kalian perdengarkan) di hadapan Nabi ﷺ!"
Rasulullah ﷺ lantas memandang kepada Abu
Bakar seraya berkata: "Biarkanlah keduanya."
Setelah beliau sudah tidak menghiraukan lagi, maka akupun memberi
isyarat kepada kedua sahaya tersebut agar lekas pergi, lalu keduanya pun pergi.
Saat Hari Raya 'Ied, biasanya ada dua budak Sudan yang
memperlihatkan kebolehannya mempermainkan tombak dan perisai. Maka
adakalanya aku sendiri yang meminta kepada Nabi ﷺ, atau beliau yang menawarkan
kepadaku: "Apakah kamu mau melihatnya?"
Maka aku jawab, "Ya, mau."
Lalu beliau ﷺ menempatkan aku berdiri di belakangnya,
sementara pipiku bertemu dengan pipinya sambil beliau berkata: "Teruskan
hai Bani Arfadah!"
Demikianlah seterusnya sampai aku merasa bosan lalu beliau berkata:
"Apakah kamu merasa sudah cukup?" Aku jawab, "Ya, sudah."
Beliau lalu berkata: "Kalau begitu pergilah."
[HR. Bukhori no. 2906 dan Muslim no. 892].
Dalam
riwayat lain, dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنًى
تُغَنِّيَانِ وَتُدَفِّفَانِ وَتَضْرِبَانِ وَالنَّبِيُّ ﷺ مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ
فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ دَعْهُمَا
يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ أَيَّامُ مِنًى
وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَسْتُرُنِي وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى
الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ
دَعْهُمْ أَمْنًا بَنِي أَرْفِدَةَ يَعْنِي مِنْ الْأَمْنِ
bahwa Abu Bakr radliallahu 'anhu datang kepada ('Aisyah radliallahu
'anha) saat di sisinya ada dua orang budak perempuan yang sedang bernyanyi,
bermain rebana dan menabuhnya pada hari-hari Mina.
Sementara Nabi ﷺ menutup wajahnya dengan
kainnya. Kemudian Abu Bakar radliallahu 'anhu melarang dan menghardik kedua
sahaya itu. Maka Nabi ﷺ melepas kain yang menutupi
wajahnya dan berkata: "Biarkanlah wahai Abu Bakar. Karena ini adalah
Hari Raya 'Ied". Hari-hari saat itu adalah hari-hari Mina (Tasyriq).
Dan 'Aisyah radliallahu 'anha berkata :
"Aku melihat Nabi ﷺ menutupi aku dengan
(badannya) sedangkan aku menyaksikan budak-budak dari Habasyah itu bermain di
dalam masjid. Tiba-tiba dia ('Umar radliallahu 'anhu) menghentikan mereka. Maka
Nabi ﷺ berkata: "Biarkanlah
mereka, dengan keamanan bagi Bani Arfidah, yaitu : rasa kemaanan. (yakni : Biarkan mereka, karena kami telah memberi mereka rasa aman)"
----
BANTAHAN ISTIDLAL MEREKA :
Al-Bukhari rahimahullah memberi judul untuk hadits
diatas dalam kitab Shahih Al-Bukhari dengan :
"بَابُ الْحِرَابِ وَالدَّرَقِ يَوْمَ الْعِيدِ"
.
"Bab Permainan dengan Tombak dan Perisai
pada Hari Raya".
Badruddin Al-'Aini rahimahullah berkata:
وَالْحِرَابُ: جَمْعُ حَرْبَةٍ. وَالدَّرَقُ:
جَمْعُ دَرَقَةٍ، وَهِيَ التُّرْسُ الَّذِي يُتَّخَذُ مِنَ الْجُلُودِ.
"Al-Hirab adalah bentuk jamak dari harbah (tombak), sedangkan
ad-daraq adalah bentuk jamak dari dirqah, yaitu perisai yang terbuat dari
kulit." (Umdatul Qari, 6/267)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
فِيهِ جَوَازُ اللَّعِبِ بِالسِّلَاحِ،
وَنَحْوِهِ مِنْ آلَاتِ الْحَرْبِ، فِي الْمَسْجِدِ، وَيَلْتَحِقُ بِهِ مَا فِي مَعْنَاهُ
مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ عَلَى الْجِهَادِ.
"Hadits ini menunjukkan kebolehan bermain dengan senjata dan
sejenisnya dari alat-alat perang di dalam masjid. Demikian pula segala sesuatu
yang menjadi sarana penunjang jihad, masuk dalam hukum ini." (Syarh Muslim, 6/271)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah
berkata:
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ اللَّعِبِ
بِالسِّلَاحِ عَلَى طَرِيقِ التَّوَاثُبِ، لِلتَّدْرِيبِ عَلَى الْحَرْبِ، وَالتَّنْشِيطِ
عَلَيْهِ.
"Hadits ini dijadikan dalil akan kebolehan bermain dengan senjata
dalam bentuk melompat-lompat, sebagai latihan perang dan penyemangat untuk
berjihad." (Fathul Bari,
2/445)
Dengan demikian, inilah teks haditsnya dan penjelasan para ulama
mengenainya. Hal ini menunjukkan bahwa dalil tersebut tidak bisa digunakan
untuk membenarkan tarian sufi yang dilakukan dalam lingkaran dzikir bid'ah
mereka.
Faktanya, para sahabat yang berasal dari Habasyah tidaklah berkumpul di
sekitar Nabi ﷺ untuk berdzikir, sebagaimana
yang diklaim oleh sebagian orang. Mereka juga tidak sedang menyebut nama Allah,
melainkan mereka sedang bermain dengan alat perang dan jihad.
Jawaban Syaikh Ibnu Utsaimin tentang Menari
dengan Genderang dan Senjata dalam Pernikahan :
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya:
"Di daerah kami, khususnya di wilayah selatan, ada tradisi dalam
pernikahan di mana para lelaki menari dengan genderang sambil membawa senjata
mereka. Apakah hal ini diperbolehkan?"
Beliau menjawab:
"اِعْلَمْ أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْمَعَازِفِ
أَنَّهَا حَرَامٌ، وَمِنْهَا الطُّبُولُ، وَلَا يَحِلُّ مِنْهَا إِلَّا مَا وَرَدَ
الشَّرْعُ بِهِ، وَالَّذِي وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ هُوَ "الدُّفُّ"، وَكَانَ
فِي عَهْدِ الرَّسُولِ ﷺ لَا يَرْتَادُهُ إِلَّا النِّسَاءُ، يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ،
وَالدُّفُّ هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ شَيْءٍ مُدَوَّرٍ كَالصَّحْنِ، وَيَكُونُ أَحَدُ جَانِبَيْهِ
مَسْتُورًا بِالْجِلْدِ الَّذِي يَكُونُ لَهُ الصَّوْتُ، أَيْ: أَنَّهُ مَفْتُوحٌ مِنْ
جَانِبٍ، وَمَخْتُومٌ بِالْجِلْدِ مِنْ جَانِبٍ، هَذَا هُوَ الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ
السُّنَّةُ.
أَمَّا الرَّقْصُ لِلرِّجَالِ: فَإِنَّهُ
لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الرَّقْصَ مِنْ عَادَاتِ النِّسَاءِ، وَلَيْسَ مِنْ عَادَاتِ
الرِّجَالِ.
وَأَمَّا اللَّعِبُ بِالسِّلَاحِ بِالْبَنَادِقِ،
وَالسُّيُوفِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ - إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ طُبُولٌ -: فَهَذَا
لَا بَأْسَ بِهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ مَكَّنَ الْحَبَشَةَ أَنْ يَلْعَبُوا فِي وَسَطِ
مَسْجِدِهِ ﷺ بِرِمَاحِهِمْ، لَكِنْ بِدُونِ رَقْصٍ" انْتَهَى.
"Ketahuilah bahwa hukum asal alat musik adalah haram, termasuk
genderang. Yang diperbolehkan hanyalah yang telah disyariatkan, yaitu duf
(rebana). Pada masa Rasulullah ﷺ, alat ini hanya digunakan
oleh wanita yang memukulnya. Duf adalah benda bundar seperti piring, salah satu
sisinya tertutup dengan kulit yang menghasilkan suara, sedangkan sisi lainnya
terbuka. Inilah yang disebutkan dalam sunnah.
Adapun menari bagi laki-laki tidak diperbolehkan, karena menari
merupakan kebiasaan wanita, bukan kebiasaan laki-laki.
Namun, bermain senjata seperti menggunakan senapan atau pedang tanpa
diiringi genderang tidaklah mengapa. Sebab, Rasulullah ﷺ pernah membiarkan
orang-orang Habasyah bermain tombak di tengah masjidnya, tetapi tanpa
tarian." [Liqā’
al-Bāb al-Maftūḥ, 39/5]
Selain itu, dalam tarian sebagian kaum sufi sering kali terdapat
pelanggaran lain seperti nyanyian, alat musik seperti genderang, serta
percampuran antara laki-laki dan perempuan. Hal ini semakin menambah dosa dan
memperbesar kemaksiatan.
===
TARIAN SAMBIL BERDZIKIR ADALAH IBADAH MODEL BARU :
Tarian dalam Dzikir adalah Perkara Baru yang Tidak Pernah Diajarkan
Rasulullah ﷺ
Tarian dalam lingkaran dzikir adalah praktik yang baru (bid’ah) dan
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ maupun para sahabatnya.
Dahulu, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu pernah mengingkari
sekelompok orang yang duduk dalam halaqah di masjid dengan membawa batu kerikil
untuk menghitung tasbih. Dalam setiap halaqah ada seseorang yang berkata,
"Bertasbihlah seratus kali," lalu mereka bertasbih.
"Bertahmidlah seratus kali," lalu mereka bertahmid, dan
seterusnya.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata kepada mereka:
اِتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا، فَقَدْ
كُفِيتُمْ، عَلَيْكُمْ بِالْأَمْرِ الْعَتِيقِ.
"Ikutilah (sunnah) dan jangan berbuat bid’ah, karena kalian telah
dicukupkan! Wajib atas kalian untuk berpegang pada perkara yang lama (sunnah
Rasulullah ﷺ)."
Jika Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu mengingkari mereka yang hanya
menghitung tasbih dengan batu kerikil, lalu bagaimana pendapat beliau jika
melihat orang-orang menari, memukul genderang, dan bernyanyi sambil mengaku
sedang berdzikir kepada Allah?
Harus dipahami bahwa setiap ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah ﷺ, tidak pernah beliau perintahkan, dan tidak pernah dilakukan
oleh para sahabat, maka tidak boleh dilakukan oleh siapa pun. Sebab, jika itu
memang kebaikan, mereka pasti sudah lebih dulu melakukannya.
Pendapat Ulama tentang tata cara ibadah yang baru diada-adakan :
Para ulama dari Lajnah Daimah lil Ifta’ (Komite Tetap Fatwa Saudi)
menjelaskan:
وَالْأَصْلُ فِي بَابِ الْعِبَادَاتِ:
الْمَنْعُ، حَتَّى يَرِدَ الدَّلِيلُ عَلَيْهَا شَرْعًا، فَلَا يُقَالُ: إِنَّ هَذِهِ
الْعِبَادَةَ مَشْرُوعَةٌ مِنْ أَصْلِهَا، أَوْ مِنْ جِهَةِ عَدَدِهَا، أَوْ هَيْئَتِهَا،
إِلَّا بِدَلِيلٍ شَرْعِيٍّ، فَمَنْ ابْتَدَعَ فِي دِينِ اللَّهِ مَا لَمْ يَشْرَعْهُ
اللَّهُ: فَمَا صَدَرَ مِنْهُ: مَرْدُودٌ عَلَيْهِ، قَالَ ﷺ: (مَنْ عَمِلَ عَمَلًا
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)، وَفِي رِوَايَةٍ: (مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ).
"Hukum asal dalam ibadah adalah larangan, sampai ada dalil yang
membolehkannya secara syar’i. Maka, tidak boleh seseorang mengatakan bahwa
suatu ibadah itu disyariatkan, baik dari segi jenis, jumlah, maupun tata cara
pelaksanaannya, kecuali jika ada dalil syar’i yang mendukungnya. Barang siapa
yang membuat sesuatu yang baru dalam agama Allah, yang tidak disyariatkan
oleh-Nya, maka amalannya tertolak. Rasulullah ﷺ bersabda: (Barang siapa
melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan
tersebut tertolak). Dalam riwayat lain: (Barang siapa yang mengada-adakan dalam
urusan agama kami sesuatu yang bukan berasal darinya, maka ia
tertolak)."
[Fatawa Lajnah Daimah, 2/473. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh
Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdul Razaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan,
dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud].
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
berkata:
فَكُلُّ مَن أَحْدَثَ شَيْئًا وَنَسَبَهُ
إِلَى الدِّينِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الدِّينِ يَرْجِعُ إِلَيْهِ: فَهُوَ
ضَلَالَةٌ، وَالدِّينُ مِنْهُ بَرِيءٌ.
"Maka setiap orang yang mengada-adakan sesuatu dan menisbatkannya
kepada agama, padahal tidak ada asalnya dalam agama yang dapat dijadikan
rujukan, maka hal itu adalah kesesatan, dan agama berlepas diri darinya."
(Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam, 2/128).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: (كُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ) مَا أُحْدِثَ وَلَا دَلِيلَ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ، بِطَرِيقٍ خَاصٍّ، وَلَا
عَامٍّ.
"Maksud dari sabda beliau (setiap bid‘ah adalah kesesatan) adalah
sesuatu yang diada-adakan tanpa dalil dari syariat, baik secara khusus maupun
umum." (Fath al-Bārī,
13/254).
Berdasarkan hal ini, tarian sebagian kaum sufi yang disertai dengan
zikir tidak memiliki dalil dari Al-Qur'an atau Sunnah, juga tidak diamalkan
oleh para sahabat. Bahkan, itu merupakan bid‘ah yang diada-adakan dan telah
diingkari oleh para ulama dan imam.
Tidak ada satu pun dari empat imam (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi‘i,
dan Ahmad rahimahumullah) yang membolehkan tarian semacam ini, juga tidak
membolehkan seseorang menghadiri majelis-majelis tersebut. Bahkan, asal mula
amalan ini berasal dari ajaran Yahudi.
Imam Abu Bakar ath-Thurthusyi rahimahullah
pernah ditanya:
"Apa pendapat Anda, wahai Tuan Faqih, tentang mazhab sufi?
Ketahuilah—semoga Allah menjaga Anda—bahwa ada sekelompok orang yang berkumpul
untuk banyak berzikir kepada Allah Ta'ala dan menyebut nama Muhammad ﷺ. Kemudian, mereka memukul-mukul sesuatu yang terbuat dari kulit
dengan tongkat, lalu sebagian dari mereka berdiri dan menari hingga jatuh
pingsan. Mereka juga menyediakan makanan untuk dimakan bersama. Apakah
menghadiri majelis mereka diperbolehkan atau tidak? Mohon berikan fatwa, semoga
Anda diberi pahala."
Beliau menjawab:
يَرْحَمُكَ اللَّهُ، مَذْهَبُ الصُّوفِيَّةِ
بَطَالَةٌ، وَجَهَالَةٌ، وَضَلَالَةٌ، وَمَا الإِسْلَامُ إِلَّا كِتَابُ اللَّهِ وَسُنَّةُ
رَسُولٍ، وَأَمَّا الرَّقْصُ وَالتَّوَاجُدُ: فَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَهُ أَصْحَابُ
"السَّامِرِيِّ"، لَمَّا اتَّخَذَ لَهُمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ،
قَامُوا يَرْقُصُونَ حَوْلَهُ، وَيَتَوَاجَدُونَ؛ فَهُوَ دِينُ الْكُفَّارِ، وَعُبَّادُ
الْعِجْلِ؛ وَأَمَّا القَضِيبُ: فَأَوَّلُ مَنْ اتَّخَذَهُ الزَّنَادِقَةُ؛ لِيَشْغَلُوا
بِهِ الْمُسْلِمِينَ عَنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى؛ وَإِنَّمَا كَانَ يَجْلِسُ النَّبِيُّ
ﷺ مَعَ أَصْحَابِهِ كَأَنَّمَا عَلَى رُؤُوسِهِمُ الطَّيْرُ مِنَ الْوَقَارِ، فَيَنْبَغِي
لِلسُّلْطَانِ، وَنُوَّابِهِ: أَنْ يَمْنَعُوهُمْ عَنِ الحُضُورِ فِي المَسَاجِدِ،
وَغَيْرِهَا؛ وَلَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَحْضُرَ
مَعَهُمْ، وَلَا يُعِينَهُمْ عَلَى بَاطِلِهِمْ؛ هَذَا مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَأَبِي حَنِيفَةَ،
وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَئِمَّةِ المُسْلِمِينَ،
وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.
"Semoga Allah merahmatimu. Mazhab sufi adalah kebatilan,
kebodohan, dan kesesatan. Islam itu tidak lain adalah Kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya.
Adapun menari dan mengalami ekstasi (tawajud), maka yang pertama kali
mengadakannya adalah para pengikut Samiri, ketika mereka membuat patung anak
sapi yang bertubuh dan bersuara, lalu mereka menari di sekelilingnya dan
mengalami ekstasi. Itu adalah ajaran orang kafir dan penyembah anak sapi.
Adapun memukul dengan tongkat (qadhīb), maka yang
pertama kali mengadakannya adalah kaum zindiq (munafik) untuk menyibukkan kaum
Muslimin dari Kitab Allah Ta'ala.
Padahal, dahulu Rasulullah ﷺ duduk bersama para
sahabatnya dalam keadaan seakan-akan ada burung di atas kepala mereka karena
saking khidmat dan tenangnya. Maka sudah seharusnya penguasa dan wakilnya
melarang mereka hadir di masjid maupun tempat lainnya.
Tidak halal bagi siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk menghadiri majelis mereka, apalagi membantu mereka dalam kebatilan
mereka. Inilah mazhab Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi‘i, Ahmad bin Hanbal, dan
selain mereka dari kalangan imam kaum Muslimin. Dan hanya kepada Allah kita
memohon taufik."
(Perkataan ini dinukil oleh Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya,
11/237-238).
Dan para ulama Lajnah Daimah Lil Ifta'
berkata:
لَمْ يُعْرَفْ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ خَصَّصَ
أَيَّامًا، وَلَيَالِيَ مِنَ الْأُسْبُوعِ، يَجْتَمِعُ فِيهَا هُوَ وَأَصْحَابُهُ عَلَى
ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى جَمَاعَةً بِاسْمٍ مُفْرَدٍ مِنْ أَسْمَائِهِ الْحُسْنَى،
قِيَامًا، أَوْ قُعُودًا، فِي حَلَقَاتٍ، أَوْ صُفُوفًا، يَتَرَنَّحُونَ فِيهَا تَرَنُّحَ
السُّكَارَى، وَيَتَمَايَلُونَ فِيهَا تَمَايُلَ الرَّاقِصِينَ طَرَبًا لِتَوْقِيعِ
الْأَنَاشِيدِ، وَنَغَمَاتِ الْمُغَنِّينَ، وَدُفَّاتِ الطُّبُولِ، وَالدُّفُوفِ، وَأَصْوَاتِ
الْمَزَامِيرِ، وَبِهَذَا يُعْلَمُ أَنَّ مَا يَفْعَلُهُ الصُّوفِيَّةُ الْيَوْمَ:
بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ، وَضَلَالَةٌ مَمْقُوتَةٌ" انتَهى.
"Tidak diketahui bahwa Rasulullah ﷺ menentukan hari-hari dan
malam-malam tertentu dalam sepekan, di mana beliau dan para sahabatnya
berkumpul untuk berzikir kepada Allah Ta'ala secara berjamaah dengan menyebut
salah satu nama-Nya yang Maha Indah secara khusus, baik dalam keadaan berdiri
maupun duduk, dalam lingkaran atau berbaris, sambil bergoyang seperti orang
mabuk, dan bergoyang seperti para penari yang larut dalam irama lagu-lagu,
nyanyian para penyanyi, dentuman rebana, suara genderang, serta alunan
seruling. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa apa yang dilakukan oleh kaum
sufi pada hari ini adalah bid’ah yang diada-adakan dan kesesatan yang
tercela." [Selesai].
(Ditetapkan oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdul Razzaq
‘Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Syaikh Abdullah bin Qa’ud – dalam
"Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah" (2/281).)
Wallahu a‘lam.
===****===
PEMBAHASAN KETIGA :
HADITS : DZIKIR SAMBIL LOMPAT-LOMPAT MENARI
DIATAS SATU KAKI
Apakah Ada Hadits yang Menyatakan Bahwa Para Sahabat Menari Diatas Satu
Kaki dan Dijadikan Dalil untuk Menari dalam Halaqah Dzikir?
Sebagian kalangan sufi menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk tarian
dan aktivitas spiritual mereka. Mereka mengatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan ulama lainnya telah mensahihkannya. Hadits ini terdapat dalam
Musnad Ahmad no. 860, disebutkan bahwa:
Ali radhiyallahu 'anhu berkata:
زُرْتُ النَّبِيَّ ﷺ مَعَ جَعْفَرٍ وَزَيْدِ
بْنِ حَارِثَةَ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِزَيْدٍ: (أَنْتَ مَوْلايَ)، فَبَدَأَ زَيْدٌ
يَحْجِلُ وَيَقْفِزُ عَلَى رِجْلٍ وَاحِدَةٍ حَوْلَ النَّبِيِّ ﷺ، ثُمَّ قَالَ لِجَعْفَرٍ:
(أَمَّا أَنْتَ فَتُشْبِهُنِي فِي خَلْقِي وَخُلُقِي)، فَحَجَلَ جَعْفَرٌ كَذَلِكَ،
ثُمَّ قَالَ لِي: (أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ)، فَحَجَلْتُ خَلْفَ جَعْفَرٍ.
“Aku mengunjungi Nabi ﷺ bersama Ja'far dan Zaid bin Haritsah. Maka Rasulullah ﷺ berkata kepada Zaid: "Engkau adalah mawlaku (orang yang dekat denganku)."
Lalu Zaid mulai BER-HAJAL (berjingkrak dengan mengangkat satu kaki dan melompat-lompat dengan kaki lainnya karena kegirangan) sambil berputar di sekitar Nabi ﷺ.
Kemudian beliau ﷺ berkata kepada Ja'far:
"Adapun engkau, maka engkau menyerupaiku dalam rupa dan akhlak." Maka
Ja'far juga ikut ber-hajal (berlompat-lompat diatas satu kaki seperti itu.
Kemudian beliau ﷺ berkata kepadaku (yakni Ali):
"Engkau dariku dan aku darimu." Maka aku pun (Ali) ikut ber-hajal (berlompat-lompat dengan satu kaki) di belakang
Ja'far”.
Apakah hadits ini shahih? Dan apakah seseorang boleh menari dan
melompat-lompat dengan satu kaki seperti ini untuk mencari ridha Allah? [SELESAI]
Makna kata ( HAJAL / حَجَلَ ) dalam hadits diatas : Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata:
الحَجَلِ ، وَهُوَ أَنْ يَرْفَعَ رِجْلًا وَيَقْفِزَ عَلَى الْأُخْرَى مِنَ الْفَرَحِ .
**Al-Hajal** (melompat-lompat dengan satu kaki), yaitu mengangkat satu kaki lalu melompat-lompat dengan kaki lainnya karena kegembiraan."* (Sunan Al-Kubra, Al-Baihaqi, 10/226).
***
BANTAHAN-NYA :
===
PERTAMA:
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/213). Namun, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah—sepanjang yang kami ketahui dari kitab-kitab beliau
yang ada di tangan kami atau kitab-kitab murid-muridnya—tidak pernah
menshahihkannya.
Lalu, sejak kapan kaum sufi—wahai para hamba Allah— mau merujuk kepada perkataan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menilai hadits, sementara mereka sendiri
sering menentang beliau dalam berbagai masalah?
KEDUA:
Hadits yang disebutkan dalam pertanyaan tersebut memiliki dua
cacat:
Pertama: Ketidakjelasan salah satu perawinya, yaitu
Hani’ bin Hani’.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata:
ذَكَرَهُ ابْنُ سَعْدٍ فِي الطَّبَقَةِ
الْأُولَى مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ ، قَالَ : وَكَانَ يَتَشَيَّعُ ، وَقَالَ ابْنُ الْمَدِينِيِّ
: مَجْهُولٌ ، وَقَالَ حَرْمَلَةُ عَنْ الشَّافِعِيِّ : هَانِئُ ابْنُ هَانِئٍ لَا
يُعْرَفُ وَأَهْلُ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ لَا يُثْبِتُونَ حَدِيثَهُ لِجَهَالَةِ حَالِهِ
.
"Ibnu Sa'd menyebutnya dalam ath-Thabaqah al-Ula dari kalangan penduduk Kufah, dan ia mengatakan bahwa Hani’ bin Hani’ berpemahaman Syi’ah. Ibnu al-Madini mengatakan: 'Ia majhul (tidak dikenal).'
Harmalah meriwayatkan dari
asy-Syafi’i: 'Hani’ bin Hani’ tidak dikenal, dan ahli hadits tidak menetapkan
keabsahan haditsnya karena keadaan dirinya yang tidak diketahui.'" Tahdzib
at-Tahdzib, 11/22.
Kedua: Tadlis yang dilakukan oleh Abu Ishaq
as-Sabi’i.
Abu Sa’id al-‘Ala’i rahimahullah berkata:
عَمْرُو بْنُ عَبْدِ اللَّهِ السَّبِيعِيُّ
أَبُو إِسْحَاقَ ، مَشْهُورٌ بِالْكُنْيَةِ ، تَقَدَّمَ أَنَّهُ مُكْثِرٌ مِنَ التَّدْلِيسِ
.
"Amr bin Abdullah as-Sabi’i Abu Ishaq, dikenal dengan kunyahnya,
dan telah disebutkan sebelumnya bahwa ia termasuk perawi yang banyak melakukan
tadlis." Jami’ at-Tahsil fi Ahkam al-Marasil, hlm. 245.
Hadits ini telah dinilai lemah oleh para pentahqiq Musnad al-Imam
Ahmad, 2/213-214. Mereka mengatakan:
إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ
تَقَدَّمَ الْقَوْلُ فِيهِ ، وَمِثْلُهُ لَا يَحْتَمِلُ التَّفَرُّدَ ، وَلَفْظُ
"الحَجْلِ" فِي الحَدِيثِ مُنْكَرٌ غَرِيبٌ . انْتَهَى
"Sanadnya lemah. Hani’ bin Hani’ telah dijelaskan keadaannya, dan
perawi semacam dia tidak dapat diterima periwayatannya sendirian. Selain itu,
lafaz "al-hajal" dalam hadits ini dianggap mungkar dan asing." [Selesai].
Hadits ini memiliki jalur lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa'd dalam
*At-Tabaqat* (4/35-36) dari Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya. Ia berkata:
إِنَّ ابْنَةَ حَمْزَةَ لَتَطُوفُ بَيْنَ
الرِّجَالِ ... فَقَامَ جَعْفَرٌ فَحَجَلَ حَوْلَ النَّبِيِّ ﷺ دَارَ عَلَيْهِ فَقَالَ
النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَامُ : (مَا هَذَا ؟) قَالَ : شَيْءٌ رَأَيْتُ الحَبَشَةَ
يَصْنَعُونَهُ بِمُلُوكِهِمْ .
"Sesungguhnya putri Hamzah berjkeliling di antara para laki-laki... lalu Ja'far berdiri dan ber-hajal (berlompat-lompat dengan satu kaki) berputar mengelilingi Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: *'Apa ini?'*
Ja'far menjawab: *'Ini adalah sesuatu yang aku lihat orang-orang Habasyah
lakukan kepada raja-raja mereka.'*"
Hadits ini lemah dan terputus (mursal), karena Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat yang
disebutkan dalam hadits tersebut.
Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits mursal oleh Az-Zaila'i dalam
kitabnya *Nashb Ar-Rayah li Ahadits Al-Hidayah* (3/268) dan oleh Al-Albani
dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* (3/256).
KETIGA:
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam *Shahih*-nya (no.
2552), tetapi tidak terdapat lafaz yang dianggap ganjil dan dijadikan dalil
oleh sebagian kaum sufi untuk membenarkan tarian mereka.
Teks riwayat dalam *Shahih Al-Bukhari* adalah sebagai berikut:
" ... فَاخْتَصَمَ فِيهَا عَلِيٌّ وَزَيْدٌ
وَجَعْفَرٌ فَقَالَ عَلِيٌّ : أَنَا أَحَقُّ بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ عَمِّي ، وَقَالَ
جَعْفَرٌ : ابْنَةُ عَمِّي وَخَالَتُهَا تَحْتِي ، وَقَالَ زَيْدٌ : ابْنَةُ أَخِي
، فَقَضَى بِهَا النَّبِيُّ ﷺ لِخَالَتِهَا وَقَالَ : ( الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ
) وَقَالَ لِعَلِيٍّ : ( أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ ) وَقَالَ لِجَعْفَرٍ : ( أَشْبَهْتَ
خَلْقِي وَخُلُقِي ) وَقَالَ لِزَيْدٍ : ( أَنْتَ أَخُونَا وَمَوْلَانَا ) . انتهى
*"Kemudian Ali, Zaid, dan Ja'far berselisih mengenai pengasuhan
putri Hamzah. Ali berkata: 'Aku lebih berhak mengasuhnya karena dia adalah
putri pamanku.' Ja'far berkata: 'Dia adalah putri pamanku dan bibinya berada
dalam asuhanku.' Zaid berkata: 'Dia adalah putri saudaraku.' Maka Nabi ﷺ memutuskan agar anak tersebut diasuh oleh bibinya dan bersabda:
*(Bibi itu seperti ibu).* Lalu beliau ﷺ berkata kepada Ali: *(Engkau
dariku dan aku darimu).* Dan kepada Ja'far beliau bersabda: *(Engkau
menyerupaiku dalam rupa dan akhlak).* Dan kepada Zaid beliau bersabda: *(Engkau
adalah saudara kami dan maula kami).*"
[Selesai].
KEEMPAT :
Seandainya hadits ini shahih, tetap saja di dalamnya tidak disebutkan
bahwa mereka menari dalam suatu halaqah dzikir kepada Rabb mereka – Maha Suci
Allah dari hal itu –, melainkan hadits tersebut hanya menyebutkan bahwa mereka hanya mengekspresikan kegembiraan mereka atas pujian Nabi ﷺ dengan melompat menggunakan
satu kaki. Hal ini pada dasarnya adalah perbuatan yang mubah (boleh), dan
hukumnya bergantung pada sebab kegembiraan tersebut. Tidak mungkin bagi seseorang
yang berakal sehat menjadikannya sebagai dalil untuk menari ketika sedang
berdzikir kepada Allah Ta’ala.
Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata:
وَفِي هَذَا - إِنْ
صَحَّ ! - دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ الحَجَلِ ، وَهُوَ أَنْ يَرْفَعَ رِجْلًا وَيَقْفِزَ
عَلَى الْأُخْرَى مِنَ الْفَرَحِ ، فَالرَّقْصُ الَّذِي يَكُونُ عَلَى مِثَالِهِ يَكُونُ
مِثْلَهُ فِي الْجَوَازِ ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ .
*"Dan dalam hadits ini – jika memang shahih! – terdapat dalil
tentang kebolehan **ḥajal** (melompat-lompat dengan satu
kaki), yaitu mengangkat satu kaki dan melompat dengan kaki lainnya karena
kegembiraan. Maka, samua jenis tarian dan joget yang menyerupai perbuatan ini, juga memiliki hukum
yang sama dalam kebolehannya. Wallahu a'lam."* (Sunan
Al-Kubra, Al-Baihaqi, 10/226).
Fuqaha Syafi’iyyah, termasuk Ibnu Hajar
Al-Haitami rahimahullah,
menjelaskan bantahan terhadap klaim para sufi dan kelompok lainnya yang
berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan tarian dan joget-joget:
"وَتَمَسَّكُوا أَيْضًا بِأَنَّهُ قَالَ
لِعَلِيٍّ: (أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ)، فَحَجَلَ. وَقَالَ لِزَيْدٍ: ( أَنْتَ
أَخُونَا وَمَوْلَانَا ) فَحَجَلَ ...".
*"Mereka juga berdalil dengan perkataan Nabi kepada Ali:
(Engkau dariku dan aku darimu), lalu ia pun berḥajal (lompat-lompat dengan satu kaki) . Juga
perkataan beliau kepada Zaid: (Engkau adalah saudara dan maula kami), lalu ia pun berḥajal (melompat-lompat diatas satu kaki…"*
Lalu Ibnu Hajar berkata:
" وَالْجَوَابُ: أَنَّ هَذِهِ كُلَّهَا أَحَادِيثُ
مُنْكَرَةٌ، وَأَلْفَاظٌ مَوْضُوعَةٌ مُزَوَّرَةٌ. وَلَوْ سُلِّمَتْ صِحَّتُهَا لَمْ
تَتَحَقَّقْ حُجَّتُهَا؛ أَيْ: لِأَنَّ الْمُحَرَّمَ هُوَ الرَّقْصُ الَّذِي فِيهِ
تَثَنٍّ وَتَكَسُّرٌ، وَهَذَا لَيْسَ كَذَلِكَ". انتهى.
*"Jawabannya adalah bahwa semua hadits ini adalah hadits-hadits
**munkar**, lafaznya **maudhu’** (palsu) dan **muzawwarah** (direkayasa).
Seandainya pun hadits-hadits ini shahih, tetap tidak bisa menjadi hujjah
(dalil), karena yang diharamkan adalah tarian yang disertai dengan gerakan
tubuh yang lentur dan meliuk-liukkan badan. Sementara hal ini (ḥajal) tidak demikian."* (Sumber: *Kaffur Ra’a ‘an Muharramatil
Lahwi was-Sama’, hlm. 75* (كَفُّ الرُّعَاعِ
عَنْ مُحَرَّمَاتِ اللَّهْوِ وَالسَّمَاعِ).
KELIMA :
Beberapa ulama fiqih dari berbagai mazhab, rahimahumullah, secara tegas
menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah bid'ah dan kesesatan jika dilakukan
sebagai ibadah. Jika dilakukan sebagai kebiasaan dan hiburan, maka perbuatan
itu tercela dan pelakunya dianggap tidak berakal.
Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
rahimahullah pernah ditanya:
Apa pendapat para ulama fiqih – semoga Allah memberikan mereka taufik –
mengenai seseorang yang mendengarkan rebana, seruling, dan nyanyian, lalu ia
terbawa suasana hingga menari?
Apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak? Ia berkeyakinan bahwa ia
mencintai Allah dan bahwa mendengarkan, ikut larut, serta menarinya itu
dilakukan karena Allah! Berikanlah fatwa kepada kami, semoga Allah merahmati
kalian.
Beliau menjawab:
إِنَّ فَاعِلَ هَذَا مُخْطِئٌ، سَاقِطُ
الْمُرُوءَةِ، وَالدَّائِمُ عَلَى هَذَا الْفِعْلِ: مَرْدُودُ الشَّهَادَةِ فِي الشَّرْعِ،
غَيْرُ مَقْبُولِ الْقَوْلِ، وَمُقْتَضَى هَذَا: أَنَّهُ لَا تُقْبَلُ رِوَايَتُهُ
لِحَدِيثِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَلَا شَهَادَتُهُ بِرُؤْيَةِ هِلَالِ رَمَضَانَ، وَلَا
أَخْبَارُهُ الدِّينِيَّةُ.
وَأَمَّا اعْتِقَادُهُ مَحَبَّةَ اللهِ:
فَإِنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مُحِبًّا لِلهِ سُبْحَانَهُ، مُطِيعًا لَهُ، فِي غَيْرِ
هَذَا، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لَهُ مُعَامَلَةٌ مَعَ اللهِ سُبْحَانَهُ، وَأَعْمَالٌ
صَالِحَةٌ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَقَامِ.
وَأَمَّا هَذَا: فَمَعْصِيَةٌ وَلَعِبٌ،
ذَمَّهُ اللهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ، وَكَرِهَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ، وَسَمَّوْهُ بِدْعَةً،
وَنَهَوْا عَنْ فِعْلِهِ، وَلَا يُتَقَرَّبُ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ بِمَعَاصِيهِ،
وَلَا يُطَاعُ بِارْتِكَابِ مَنَاهِيهِ، وَمَنْ جَعَلَ وَسِيلَتَهُ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ
مَعْصِيَتَهُ: كَانَ حَظُّهُ الطَّرْدَ وَالْإِبْعَادَ، وَمَنْ اتَّخَذَ اللَّهْوَ
وَاللَّعِبَ دِينًا: كَانَ كَمَنْ سَعَى فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ، وَمَنْ طَلَبَ الْوُصُولَ
إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ مِنْ غَيْرِ طَرِيقِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَسُنَّتِهِ: فَهُوَ
بَعِيدٌ مِنَ الْوُصُولِ إِلَى الْمُرَادِ.
Orang yang melakukan ini telah melakukan kesalahan dan merupakan orang
yang tidak memiliki kewibawaan. Jika ia terus-menerus melakukan hal tersebut,
maka persaksiannya dalam hukum syariat tertolak, perkataannya tidak dapat
diterima. Akibatnya, ia tidak dapat dipercaya dalam meriwayatkan hadits
Rasulullah ﷺ, tidak diterima persaksiannya dalam melihat hilal Ramadan, dan
tidak pula dalam menyampaikan berita-berita agama.
Adapun keyakinannya bahwa ia mencintai Allah, maka bisa jadi ia memang
mencintai Allah dan taat kepada-Nya dalam perkara lain. Bisa juga ia memiliki
hubungan dengan Allah dan amal saleh di luar urusan ini. Namun, perbuatan ini
adalah maksiat dan permainan yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya.
Para ulama juga membenci perbuatan ini dan menyebutnya sebagai bid'ah
serta melarang untuk melakukannya.
Tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan
kemaksiatan-Nya, dan tidaklah Allah ditaati dengan melanggar larangan-Nya.
Barang siapa menjadikan kemaksiatan sebagai sarana mendekatkan diri
kepada Allah, maka ia hanya akan mendapatkan keterasingan dan dijauhkan
dari-Nya.
Barang siapa menjadikan hiburan dan permainan sebagai agama, maka ia
seperti orang yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Dan barang siapa mencari jalan menuju Allah selain melalui Rasulullah ﷺ dan sunnahnya, maka ia akan jauh dari mencapai tujuan yang
diinginkannya."
(Sumber: _Juz Fatawa fi Dzamm asy-Syabbabah wa ar-Raqsh wa as-Sama'_
karya Ibnu Qudamah, manuskrip, lembar 2).
Imam Izzuddin bin Abdussalam, seorang faqih dan ushuliyyun besar
dari mazhab Syafi'i, rahimahullah, menjelaskan tentang klaim para sufi yang
menggunakan hadits ini sebagai dalil atas kebolehan menari:
وَأَمَّا الرَّقْصُ وَالتَّصْفِيقُ: فَخِفَّةٌ
وَرُعُونَةٌ مُشَبَّهَةٌ لِرُعُونَةِ الْإِنَاثِ، لَا يَفْعَلُهَا إِلَّا رَاعِنٌ أَوْ
مُتَصَنِّعٌ كَذَّابٌ؛ وَكَيْفَ يَتَأَتَّى الرَّقْصُ الْمُتَّزِنُ بِأَوْزَانِ الْغِنَاءِ
مِمَّنْ طَاشَ لُبُّهُ وَذَهَبَ قَلْبُهُ، وَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: (خَيْرُ
الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ)، وَلَمْ
يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُقْتَدَى بِهِمْ يَفْعَلُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ،
وَإِنَّمَا اسْتَحْوَذَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَوْمٍ يَظُنُّونَ أَنَّ طَرَبَهُمْ عِنْدَ
السَّمَاعِ إِنَّمَا هُوَ مُتَعَلِّقٌ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَقَدْ مَانُوا
[أَيْ: كَذَبُوا] فِيمَا قَالُوا، وَكَذَبُوا فِيمَا ادَّعَوْا؛ مِنْ جِهَةِ أَنَّهُمْ
عِنْدَ سَمَاعِ الْمُطْرِبَاتِ وَجَدُوا لَذَّتَيْنِ اثْنَتَيْنِ: إِحْدَاهُمَا لَذَّةُ
الْمَعَارِفِ وَالْأَحْوَالِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِذِي الْجَلَالِ، وَالثَّانِيَةُ: لَذَّةُ
الْأَصْوَاتِ وَالنَّغَمَاتِ وَالْكَلِمَاتِ الْمَوْزُونَاتِ الْمُوجِبَاتِ لِلَّذَّاتِ
النَّفْسِ الَّتِي لَيْسَتْ مِنَ الدِّينِ وَلَا مُتَعَلِّقَةً بِأُمُورِ الدِّينِ؛
فَلَمَّا عَظُمَتْ عِنْدَهُمُ اللَّذَّتَانِ غَلِطُوا فَظَنُّوا أَنَّ مَجْمُوعَ اللَّذَّةِ
إِنَّمَا حَصَلَ بِالْمَعَارِفِ وَالْأَحْوَالِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَلِ الْأَغْلَبُ
عَلَيْهِمْ حُصُولُ لَذَّاتِ النُّفُوسِ الَّتِي لَيْسَتْ مِنَ الدِّينِ بِشَيْءٍ.
وَقَدْ حَرَّمَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ التَّصْفِيقَ
لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: (إِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ)، وَلَعَنَ عَلَيْهِ
السَّلَامُ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ، وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ
الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ.
وَمَنْ هَابَ الْإِلَهَ وَأَدْرَكَ شَيْئًا
مِنْ تَعْظِيمِهِ لَمْ يَتَصَوَّرْ مِنْهُ رَقْصٌ وَلَا تَصْفِيقٌ، وَلَا يَصْدُرُ
التَّصْفِيقُ وَالرَّقْصُ إِلَّا مِنْ غَبِيٍّ جَاهِلٍ، وَلَا يَصْدُرَانِ مِنْ عَاقِلٍ
فَاضِلٍ.
وَيَدُلُّ عَلَى جَهَالَةِ فَاعِلِهِمَا
أَنَّ الشَّرِيعَةَ لَمْ تَرِدْ بِهِمَا فِي كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ، وَلَمْ يَفْعَلْ
ذَلِكَ أَحَدٌ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، وَلَا مُعْتَبَرٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَنْبِيَاءِ،
وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ الْجُهَّالُ السُّفَهَاءُ، الَّذِينَ الْتَبَسَتْ عَلَيْهِمُ
الْحَقَائِقُ بِالْأَهْوَاءِ.
وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ}، وَقَدْ مَضَى السَّلَفُ، وَأَفَاضِلُ
الْخَلَفِ وَلَمْ يُلَابِسُوا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ، وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ أَوِ اعْتَقَدَ
أَنَّهُ غَرَضٌ مِنْ أَغْرَاضِ نَفْسِهِ، وَلَيْسَ بِقُرْبَةٍ إِلَى رَبِّهِ: فَإِنْ
كَانَ مِمَّنْ يُقْتَدَى بِهِ، وَيَعْتَقِدُ أَنَّهُ مَا فَعَلَ ذَلِكَ إِلَّا لِكَوْنِهِ
قُرْبَةً: فَبِئْسَ مَا صَنَعَ، لِإِيهَامِهِ أَنَّ هَذَا مِنَ الطَّاعَاتِ، وَإِنَّمَا
هُوَ مِنْ أَقْبَحِ الرَّعُونَاتِ." انتهى.
_"Adapun menari dan bertepuk tangan, maka itu adalah perbuatan
yang menunjukkan kebodohan dan sifat lemah seperti sifat wanita. Tidak ada yang
melakukannya kecuali orang yang tidak berakal atau orang yang berpura-pura
serta pendusta. Bagaimana mungkin seseorang yang akalnya sudah hilang dan
hatinya telah pergi karena cinta kepada Allah dapat melakukan tarian yang
selaras dengan irama nyanyian?
Sungguh, Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sebaik-baik
generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi
setelahnya.’ Tidak ada seorang pun dari generasi yang layak dijadikan panutan
melakukan hal semacam ini. Akan tetapi, setan telah menguasai orang-orang yang
mengira bahwa kegembiraan mereka saat mendengar nyanyian berhubungan dengan
Allah.
Sungguh, mereka telah berdusta dalam perkataan mereka dan keliru dalam
klaim mereka. Sebab, saat mereka mendengar nyanyian dan musik, mereka merasakan
dua jenis kenikmatan: pertama, kenikmatan terkait dengan makrifat dan kondisi
spiritual yang berhubungan dengan Allah, dan kedua, kenikmatan dari suara,
melodi, dan irama yang hanya menyenangkan jiwa dan tidak berkaitan dengan
agama. Karena besarnya kedua kenikmatan ini dalam diri mereka, mereka pun salah
memahami dan mengira bahwa keseluruhan kenikmatan yang mereka rasakan berasal
dari makrifat dan kondisi spiritual, padahal tidak demikian. Yang lebih dominan
dalam diri mereka justru adalah kenikmatan jiwa yang tidak ada kaitannya dengan
agama sama sekali.
Sebagian ulama bahkan mengharamkan bertepuk tangan berdasarkan sabda
Nabi ﷺ: ‘Tepuk tangan itu untuk wanita.’ Rasulullah ﷺ juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki.
Barang siapa yang benar-benar takut kepada Allah dan memahami
keagungan-Nya, maka ia tidak akan mungkin menari dan bertepuk tangan. Tidak ada
yang melakukan tarian dan tepukan tangan kecuali orang yang bodoh dan dungu.
Tidak ada orang yang berakal dan mulia yang melakukannya.
Fakta bahwa syariat tidak pernah menetapkan perbuatan ini dalam
Al-Qur'an dan Sunnah, serta tidak ada satu pun nabi atau pengikut nabi yang
melakukannya, menunjukkan bahwa perbuatan ini hanya dilakukan oleh orang-orang
yang bodoh dan ceroboh. Syariat telah menjelaskan segala sesuatu dalam
Al-Qur'an:
‘Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu’ (An-Nahl: 89).
Sesungguhnya, generasi salaf dan para ulama terbaik setelah mereka
tidak pernah terlibat dalam perbuatan semacam ini. Jika seseorang melakukannya
karena keinginan pribadinya, tanpa meyakininya sebagai ibadah, maka itu
tetaplah tercela. Tetapi jika ia seorang yang dijadikan panutan dan orang-orang
mengira bahwa perbuatannya ini adalah ibadah, maka alangkah buruknya apa yang
ia lakukan, karena ia telah menyesatkan orang lain dengan menganggap bahwa ini
adalah ketaatan. Padahal, ini hanyalah tindakan tercela yang sangat
buruk." (Sumber: _Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam_, 2/349-350,
cet. Mu'assasah ar-Rayan).
Komite Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah juga pernah ditanya tentang
hukum orang-orang yang berzikir kepada Allah dengan cara bergoyang ke kanan dan
kiri sambil melompat dalam satu kelompok dengan suara yang keras.
Mereka menjawab:
لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ بِهَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ
بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ).
"Hal ini tidak diperbolehkan, karena cara seperti ini adalah
bid'ah yang diada-adakan. Nabi ﷺ bersabda: ‘Barang siapa
membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia
tertolak.’"
(Anggota yang menjawab: Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdul Razzaq
Afifi, Syekh Abdullah bin Ghudayyan, Syekh Abdullah bin Qa'ud. Sumber: _Fatawa
al-Lajnah ad-Da'imah_, 2/529).
KESIMPULAN: Hadits yang disebutkan dalam disebutkan diatas
adalah “lemah (dha'if)” dan tidak sah dijadikan dalil. Bahkan, riwayat
pendukungnya juga tidak bisa memperkuatnya karena adanya perawi yang tidak
dikenal dalam hadits pertama. Selain itu, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak
pernah mensahihkan hadits ini”.
Kalaupun hadits ini dianggap sahih, tetap “tidak ada dalil yang
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah tarian dalam ibadah”. Justru,
praktik menari dalam ibadah “adalah bid'ah yang sangat tercela dan tidak pantas
disandarkan kepada agama Allah”.
1 Komentar
Alhamdulillah Syukron jazakuallah kher.. ilmunya Kang Fakhru
BalasHapus