Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM SUARA IQOMAH SHOLAT TERDENGAR HINGGA KELUAR MASJID, BENARKAH ITU HARAM & BID’AH?

 HUKUM SUARA IQOMAH SHOLAT TERDENGAR HINGGA KELUAR MASJID, BENARKAH ITU HARAM & BID’AH?

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

-----

===

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

Ada sebagian para ulama kontemporer yang melarang suara Iqomah Sholat terdengar hingga  keluar masjid, apalagi jika dikumandangkan dengan pengeras suara . Mereka mengatakan bahwa ini adalah **bid’ah modern dan menyelisihi sunnah Nabi  **.

Diantara mereka adalah Syeikh al-Albani rahimahullah dan Sulaiman Sa’ud ash-Shoqr . [Lihat : al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsah – Multaqo Ahlil Hadits – 3 (81/457)].

Dalam Silsilatil Hudaa wan Nuur Kaset no. (321), menit ke (51), Syeikh al-Albaani berkata:

فَالَّذِي يُسَوِّي بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فِي إِعْلَانِ الصَّوْتِ يَكُونُ خَالَفَ السُّنَّةَ ... أَمَّا إِعْلَانُ الْإِقَامَةِ وَإِعْلَانُ الْقِرَاءَةِ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ عَصْرِيَّةٌ. 

"Maka orang yang menyamakan antara adzan dan iqamah dalam mengumandangkan suara, berarti dia telah menyelisihi sunnah... Adapun mengumandangkan iqamah dan mengumandangkan bacaan shalat (hingga terdengar keluar masjid) maka ini adalah **bid'ah modern**."

BENARKAH HARAM DAN BID’AH?

Jawabannya : Yang benar adalah tidak ada larangan dan bukanlah bid’ah dalam mengumandangkan iqamah yang suaranya terdengar hingga keluar masjid, meskipun dengan melalui pengeras suara. Karena dalam sunnah dan beberapa riwayat disebutkan dalil yang menunjukkan kebolehannya. 

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata :

أَمَّا الإِقَامَةُ فَلَا بَأْسَ، عَلَى أَنَّ بَعْضَ الإِخْوَةِ قَالَ: إِنَّهَا بِدْعَةٌ، لِأَنَّ الإِقَامَةَ بِمُكَبِّرِ الصَّوْتِ مِنَ المِنَارَةِ كَأَنَّهُ أَقَامَ فِي المِنَارَةِ وَالإِقَامَةُ لِلْحَاضِرِينَ، لَكِنِّي أَرَى أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِالإِقَامَةِ، لِأَنَّ قَوْلَهُ ﷺ: (إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ) يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الإِقَامَةَ تُسْمَعُ مِنْ خَارِجِ المَسْجِدِ. 

Adapun iqamah, maka tidak mengapa. Namun, sebagian saudara kita mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah karena menurut mereka iqamah dengan pengeras suara dari menara itu seolah-olah iqamah dilakukan di menara, sedangkan iqamah itu ditujukan bagi mereka yang hadir di dalam masjid. 

Namun, menurut saya, tidak mengapa dengan iqamah tersebut, karena sabda Rasulullah : *"Jika kalian mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat,"* menunjukkan bahwa iqamah terdengar dari luar masjid. [Sumber: Liqooul Babil Maftuuh no. 72].

===

DIANTARA DALIL-DALIL YANG MEMBOLEHKAN-NYA :

Ke 1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi bersabda: 

(إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ)

"Apabila kalian mendengar iqamah shalat, maka berjalanlah menuju tempat shalat (Mesjid Nabawi) dengan tenang." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 636 dan Muslim no. 602). 

Hadis ini menunjukkan bahwa iqamah terdengar dari luar masjid pada masa Rasulullah . 

Ke 2. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 510) dan an-Nasa'i (no. 668) dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: 

(سَمِعَ الْإِقَامَةَ وَهُوَ بِالْبَقِيعِ فَأَسْرَعَ الْمَشْيَ إِلَى الْمَسْجِدِ)

"Pada masa Rasulullah , adzan dikumandangkan dua kali-dua kali, sedangkan iqamah satu kali-satu kali, kecuali ketika engkau mengatakan 'Qad qāmati-alāh', maka diucapkan dua kali. Jika kami mendengar 'Qod qāmati-alāh', kami berwudhu, lalu keluar menuju shalat (Mesjid Nabawi)."

Hadis ini dinilai sahih oleh al-Albani dalam *Shahih an-Nasa'i*. Ini menunjukkan bahwa iqamah terdengar dari luar masjid. 

As-Sindi dalam *Hasyiah Sunan an-Nasa'i* 2/21 mengatakan: 

قَوْلُهُ: (فَإِذَا سَمِعْنَا قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ تَوَضَّأْنَا ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الصَّلَاةِ) لَعَلَّ مُرَادَهُ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُونَ الْخُرُوجَ إِلَى الْإِقَامَةِ اِعْتِمَادًا عَلَى تَطْوِيلِ قِرَاءَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" اِنْتَهَى.

"Ucapan 'Jika kami mendengar 'Qad qāmati-alāh', kami berwudhu, lalu keluar menuju shalat', mungkin maksudnya adalah sebagian mereka terkadang menunda keluar hingga iqamah dikumandangkan, karena mengandalkan panjangnya bacaan Rasulullah ."_ 

Ke 3. Diriwayatkan oleh Malik dalam *al-Muwaththa'* (no. 158) dari Nafi', bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma: 

(سَمِعَ الْإِقَامَةَ وَهُوَ بِالْبَقِيعِ فَأَسْرَعَ الْمَشْيَ إِلَى الْمَسْجِدِ)

"Mendengar iqamah saat berada di pemakaman Baqi', lalu ia berjalan cepat menuju masjid."_ 

Hal ini menunjukkan bahwa mereka mendengar iqamah saat berada di luar masjid, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya. 

Masjid Nabawi telah mengalami beberapa kali perluasan dan ditambahkan halaman di sekelilingnya. Dikatakan bahwa pada masa Rasulullah , jarak antara Masjid Nabawi dan Baqi' sekitar 500 meter, yang bukanlah jarak pendek. 

Beberapa ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, menyebutkan bahwa iqamah merupakan pengumuman untuk menunaikan shalat bagi orang-orang yang berada di dalam maupun di luar masjid. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam *Syarh al-Umdah* hal. 129 : 

وَالسُّنَّةُ أَنْ يَكُونَ الْأَذَانُ وَالْإِقَامَةُ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ، فَإِذَا أَذَّنَ فِي مَكَانٍ اسْتُحِبَّ أَنْ يُقِيمَ فِيهِ، لَا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ، لِمَا احْتَجَّ بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ بِلَالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: (يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا تَسْبِقْنِي بِآمِينَ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ، وَقَالَهُ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ. 

وَكَذَلِكَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِأَئِمَّتِهِمْ، وَلَوْ كَانَتِ الْإِقَامَةُ مَوْضِعَ الصَّلَاةِ لَمْ يَخْشَوْا أَنْ يُسْبَقُوا بِآمِينَ، فَعُلِمَ أَنَّ الْإِقَامَةَ كَانَتْ حَيْثُ يَسْمَعُهَا الْغَائِبُونَ عَنِ الْمَسْجِدِ، إِمَّا مَوْضِعَ الْأَذَانِ أَوْ قَرِيبًا مِنْهُ.... 

وَلِأَنَّ الْإِقَامَةَ أَحَدُ النِّدَاءَيْنِ فَاسْتُحِبَّ إِسْمَاعُهَا لِلْغَائِبِينَ كَالْأَذَانِ. 

وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَا الْإِعْلَامُ بِفِعْلِ الصَّلَاةِ لِمُنْتَظِرِهَا فِي الْمَسْجِدِ وَغَيْرِهِ. 

فَإِنْ شَقَّتِ الْإِقَامَةُ قَرِيبًا مِنْ مَوْضِعِ الْأَذَانِ بِأَنْ يَكُونَ الْأَذَانُ فِي الْمِنَارَةِ أَوْ فِي مَوْضِعٍ بَعِيدٍ مِنَ الْمَسْجِدِ فَإِنَّهُ يُقِيمُ فِي غَيْرِهِ بِحَيْثُ يَعْلَمُ الْغَائِبِينَ أَيْضًا" اِنْتَهَى.

"Sunnahnya, adzan dan iqamah dilakukan di tempat yang sama. Jika adzan dikumandangkan di suatu tempat, maka dianjurkan untuk mengumandangkan iqamah di tempat itu juga, bukan di tempat shalat. Hal ini berdasarkan riwayat dari Bilal radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata: 'Wahai Rasulullah, jangan mendahuluiku dengan mengucapkan 'Amin'' (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Hal serupa juga dikatakan oleh Ishaq bin Rahawaih.

Demikian pula, Abu Hurairah dan para sahabat Nabi lainnya berkata kepada imam mereka. Jika iqamah dilakukan di tempat shalat, mereka tidak akan khawatir didahului dengan 'Amin', sehingga diketahui bahwa iqamah dikumandangkan di tempat yang dapat didengar oleh orang-orang di luar masjid, baik di tempat adzan atau di dekatnya."

"Karena iqamah adalah salah satu dari dua panggilan, maka dianjurkan agar iqamah juga dapat didengar oleh orang-orang di luar masjid, sebagaimana halnya adzan. Tujuan iqamah adalah mengumumkan waktu shalat bagi mereka yang menunggu di dalam masjid maupun di luar masjid. Jika terdapat kesulitan untuk mengumandangkan iqamah dekat tempat adzan—misalnya adzan dikumandangkan di menara atau tempat jauh dari masjid—maka iqamah dapat dilakukan di tempat lain yang tetap memungkinkan orang di luar masjid mendengarnya." [Selesai]

Pendapat serupa juga disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam *al-Mughni* (1/249). 

Hadis "Jangan mendahuluiku dengan mengucapkan 'Amin'" yang disebutkan oleh Syaikhul Islam dinilai lemah oleh al-Baihaqi dalam *as-Sunan al-Kubra* (2/23), an-Nawawi dalam *al-Khulasah* (1/382), Ibnu Rajab dalam *Fath al-Bari* (4/489), dan al-Albani dalam *Dha'if Abi Dawud*. 

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: 

ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ شُكِيَ إِلَيْنَا شَيْءٌ أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ ضَرَرًا وَهُوَ إِقَامَةُ الصَّلَاةِ مِنْ عَلَى الْمِئْذَنَةِ بِمُكَبِّرِ الصَّوْتِ، فَقَالُوا: إِنَّ أَوْلَادَنَا يَنْتَظِرُونَهُ حَتَّى يَسْمَعُوا الْإِقَامَةَ ثُمَّ يَقُومُونَ وَيَتَوَضَّؤُونَ وَيَذْهَبُونَ بِسُرْعَةٍ، رُبَّمَا يَفُوتُهُمْ شَيْءٌ مِنَ الصَّلَاةِ أَوْ كُلُّ الصَّلَاةِ، وَرُبَّمَا يُؤَدُّونَ الْوُضُوءَ مِنْ غَيْرِ إِسْبَاغٍ، شَكَوْا ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ الْقَوْلِ بِمَنْعِ نَقْلِ الْإِقَامَةِ مِنْ عَلَى الْمِئْذَنَةِ، وَلَكِنْ فِي نَفْسِي مِنْ هَذَا شَيْءٌ، لِأَنَّ سَمَاعَ الْإِقَامَةِ مِنَ الْمَسْجِدِ أَمْرٌ وَارِدٌ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: (إِذَا سَمِعْتُمُ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ وَلَا تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا) وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا حَرَجَ مِنْ أَنْ تُسْمَعَ الْإِقَامَةُ مِنْ خَارِجِ الْمَسْجِدِ" اِنْتَهَى.

"Kemudian, ada hal yang dikeluhkan kepada kami yang lebih ringan bahayanya, yaitu iqamah yang dikumandangkan melalui pengeras suara dari atas menara. Mereka berkata bahwa anak-anak mereka menunggu hingga mendengar iqamah, lalu mereka baru berwudhu dan bergegas pergi, sehingga mereka mungkin kehilangan sebagian atau seluruh shalat, atau mereka berwudhu dengan terburu-buru tanpa menyempurnakannya. Mereka mengeluhkan hal ini agar iqamah tidak diperdengarkan dari atas menara. Namun, menurut saya ada pertimbangan lain, karena mendengar iqamah dari masjid adalah hal yang terjadi pada masa Nabi .

Beliau bersabda:

'Apabila kalian mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dengan tenang dan wibawa, dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah, dan apa yang kalian tertinggal, maka sempurnakanlah.' Hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan untuk mendengar iqamah dari luar masjid." (Fatawa Nur 'ala ad-Darb).

Dengan demikian, maka penggunaan pengeras suara di masjid untuk adzan, iqamah, dan sholat adalah hal yang diperbolehkan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dianjurkan secara syar'i. Hal ini karena pengeras suara merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang disyariatkan, di antaranya adalah meninggikan suara saat adzan. Sebagaimana dalam hadits Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu: 

فَإِذَا كُنْتَ في غَنَمِكَ، أوْ بَادِيَتِكَ، فأذَّنْتَ بالصَّلَاةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بالنِّدَاءِ، فإنَّهُ: لا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ المُؤَذِّنِ، جِنٌّ ولَا إنْسٌ ولَا شيءٌ، إلَّا شَهِدَ له يَومَ القِيَامَةِ. قالَ أبو سَعِيدٍ: سَمِعْتُهُ مِن رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ.

*"Jika engkau berada di tengah kawanan kambingmu atau di padang pasir, maka tinggikanlah suaramu dalam mengumandangkan adzan. Sebab, tidaklah jin, manusia, atau sesuatu pun mendengar suara muadzin, kecuali ia akan menjadi saksi baginya pada Hari Kiamat."*  

Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu berkata: *Aku mendengar hadits ini dari Rasulullah .* (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 609 dan 3296). 

Selain itu, penggunaan pengeras suara juga memiliki manfaat dalam mengingatkan orang-orang untuk sholat, memungkinkan mereka mendengarkan bacaan Al-Qur'an dengan sempurna, mendengar suara takbir imam, dan berbagai kemaslahatan syar'i lainnya. 

Tidak sepantasnya meninggalkan penggunaan pengeras suara dengan alasan bahwa para jamaah harus bersegera menuju masjid setelah adzan. Sebab, hal itu dapat menyebabkan hilangnya manfaat syar'i, yaitu pengingat waktu iqamah. Namun demikian, dalam sunnah diajarkan bahwa suara iqamah lebih rendah daripada suara adzan, karena iqamah ditujukan bagi mereka yang sudah hadir, sedangkan adzan untuk mereka yang masih berada di luar masjid. 

Dalam *Fatawa Al-Hindiyyah* 1/55 disebutkan: 

وَمِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَأْتِيَ بِالْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ جَهْرًا رَافِعًا بِهِمَا صَوْتَهُ، إِلَّا أَنَّ الْإِقَامَةَ أَخْفَضُ مِنْهُ، هَكَذَا فِي النِّهَايَةِ وَالْبَدَائِعِ) وَهِيَ مِنْ كُتُبِ الْأَحْنَافِ، وَقَالَ زَكَرِيَّا الْأَنْصَارِيُّ الشَّافِعِيُّ فِي أَسْنَى الْمَطَالِبِ: (وَيُسْتَحَبُّ تَرْتِيلُ الْأَذَانِ) أَيْ التَّأَنِّي فِيهِ (وَإِدْرَاجُ الْإِقَامَةِ) أَيْ الْإِسْرَاعُ بِهَا لِلْأَمْرِ بِهِمَا فِيمَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَلِأَنَّ الْأَذَانَ لِلْغَائِبِينَ، فَالتَّرْتِيلُ فِيهِ أَبْلَغُ، وَالْإِقَامَةُ لِلْحَاضِرِينَ فَالإِدْرَاجُ فِيهَا أَشْبَهُ، (وَيُسْتَحَبُّ الْخَفْضُ بِهَا) لِذَلِكَ. انتهى.

*"Termasuk sunnah adalah mengumandangkan adzan dan iqamah dengan suara lantang, namun suara iqamah lebih rendah dibandingkan adzan. Demikian disebutkan dalam kitab *An-Nihayah* dan *Al-Bada’i*."* 

Kitab-kitab ini merupakan referensi dalam Mazhab Hanafi. 

Sementara itu, Zakariya Al-Anshari, seorang ulama Mazhab Syafi’i, dalam *Asna Al-Mathalib* berkata: 

*"Dianjurkan untuk mentartil adzan,"* yaitu membacanya dengan perlahan dan tenang, *"dan mempercepat iqamah,"* yaitu membacanya dengan cepat, sebagaimana diperintahkan dalam riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim yang menshahihkannya. Sebab, adzan ditujukan bagi mereka yang berada di luar masjid, sehingga lebih baik jika dilantunkan dengan tartil, sedangkan iqamah ditujukan bagi mereka yang hadir, sehingga lebih sesuai jika dibaca cepat. *"Dianjurkan pula untuk merendahkan suara dalam iqamah,"* karena alasan tersebut. [Selesai] 

Wallahu a’lam.

===***===

**FATWA ULAMA YANG MELARANG SUARA IQAMAH KELUAR MASJID:**

Diantaranya adalah Syeikh al-Albani rahimahullah, di mana beliau berkata :

لا يَخْفَى عَلَى كُلِّ فَقِيهٍ حَقًّا وَعَلِيمٍ بِالسُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ أَنَّ الأَذَانَ الَّذِي كَانَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ يَخْتَلِفُ عَنِ الإِقَامَةِ، فَقَدْ كَانَ الأَذَانُ عَلَى ظَهْرِ المَسْجِدِ أَمَّا الإِقَامَةُ كَانَتْ دَاخِلَ المَسْجِدِ، فَهَذَا اخْتِلَافٌ عَمَلِيٌّ وَحُكْمٌ مِنَ النَّبِيِّ ﷺ بِالتَّفْرِيقِ بَيْنَ الأَذَانِ فَيَكُونُ فِي مَكَانٍ مُرْتَفِعٍ يَسْمَعُهُ النَّاسُ الخَارِجُونَ عَنِ المَسْجِدِ البَعِيدُونَ عَنْهُ، أَمَّا الإِقَامَةُ فَهِيَ أَذَانٌ لِمَنْ كَانَ دَاخِلَ المَسْجِدِ، الآنَ بِسَبَبِ مُكَبِّرِ الصَّوْتِ عَكَسُوا هَذِهِ السُّنَّةَ فَسَوَّوُا الإِعْلَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ فَكَمَا أَنَّهُمْ يُعْلِنُونَ الأَذَانَ بِمُكَبِّرِ الصَّوْتِ فَهُمْ أَيْضًا يُعْلِنُونَ الإِقَامَةَ بِمُكَبِّرِ الصَّوْتِ، هَذِهِ مُخَالَفَةٌ لِلسُّنَّةِ، وَكَمَا نَقُولُ دَائِمًا فِي كَثِيرٍ مِنْ خُطَبِنَا: وَخَيْرُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ ﷺ. 

وَشَيْءٌ آخَرُ مِنْ مُخَالَفَةِ السُّنَّةِ بِالأَذَانِ لَمْ يَسْبِقْ أَنِّي ذَكَرْتُهُ فِي هَذِهِ الأَيَّامِ أَنَّ الأَذَانَ يُشْرَعُ أَنْ يَكُونَ المُؤَذِّنُ فِي مَكَانٍ مُرْتَفِعٍ يُشَخِّصُ بِبَدَنِهِ وَلَيْسَ فَقَطْ بِصَوْتِهِ، الآنَ قَنِعُوا بِتَبْلِيغِ الصَّوْتِ إِلَى أَبْعَدِ مَكَانٍ مُمْكِنٍ بِمُكَبِّرِ الصَّوْتِ وَأَنْ يُؤَذِّنَ فِي مَكَانٍ مِنَ المَسْجِدِ، فَشُخُوصُ المُؤَذِّنِ بِبَدَنِهِ سُنَّةٌ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُسْتَغْنَى عَنْهَا بِالْآلَةِ الحَدِيثَةِ الَّتِي تُبَلِّغُ الصَّوْتَ مَسَافَاتٍ أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً، لِأَنَّ الأَذَانَ شَعِيرَةٌ مِنْ شَعَائِرِ الإِسْلَامِ يَجِبُ أَنْ نُحَافِظَ عَلَيْهَا كَتَقْلِيدٍ وَاتِّبَاعٍ لِمَا كَانَ عَلَيْهِ الرَّسُولُ ﷺ وَأَصْحَابُهُ، فَبُرُوزُ المُؤَذِّنِ بِشَخْصِهِ فِي أَذَانِهِ هَذِهِ سُنَّةٌ، وَأَنْ يَكُونَ صَيْتًا جَهُورِيَّ الصَّوْتِ هَذِهِ سُنَّةٌ أُخْرَى، وَهَذِهِ الآلَةُ تُؤَكِّدُ رَفْعَ الصَّوْتِ وَهُوَ غَايَةٌ مَسْمُوعَةٌ، لَكِنْ كِتْمَانُ المُؤَذِّنِ شَخْصَهُ بَيْنَ جُدْرَانِ المَسْجِدِ هَذَا خِلَافُ السُّنَّةِ، فَالآنَ نَزَّلُوا مِنَ الأَذَانِ مِنْ أَعْلَى مَكَانٍ فَجَعَلُوهُ فِي المَسْجِدِ، هَذَا خِلَافُ السُّنَّةِ، ثُمَّ رَفَعُوا صَوْتَ الإِقَامَةِ فَسَوَّوْهُ مَعَ صَوْتِ الأَذَانِ، وَهَذَا خِلَافُ السُّنَّةِ.

Tidak tersembunyi bagi setiap ahli fikih yang benar-benar memahami dan orang yang berilmu tentang sunah yang sahih bahwa adzan pada masa Nabi berbeda dengan iqamah.

Dahulu, adzan dikumandangkan dari atas masjid, sedangkan iqamah dilakukan di dalam masjid. Ini adalah perbedaan praktis dan ketetapan dari Nabi untuk membedakan antara adzan yang dikumandangkan di tempat tinggi agar dapat didengar oleh orang-orang di luar dan yang jauh dari masjid, sementara iqamah adalah panggilan bagi mereka yang sudah berada di dalam masjid.

Namun, sekarang, dengan adanya pengeras suara, mereka justru membalik sunah ini dan menyamakan pengumuman antara adzan dan iqamah. Sebagaimana mereka menyerukan adzan melalui pengeras suara, mereka juga menyerukan iqamah dengan pengeras suara.

Ini adalah penyimpangan dari sunah (bid’ah). Seperti yang selalu kami katakan dalam banyak khutbah kami: "Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ."

Ada hal lain yang juga merupakan pelanggaran terhadap sunah dalam adzan, yang belum pernah saya sebutkan sebelumnya dalam beberapa waktu terakhir. Sunah dalam adzan adalah bahwa muazin mengumandangkannya dari tempat yang tinggi, bukan hanya suaranya saja yang terdengar, tetapi juga tubuhnya tampak. Saat ini, mereka merasa cukup dengan menyampaikan suara sejauh mungkin menggunakan pengeras suara, dan muazin cukup mengumandangkan adzan dari dalam masjid. Padahal, berdirinya muazin dengan tubuhnya ketika adzan adalah sunah yang tidak seharusnya ditinggalkan hanya karena adanya alat modern yang mampu menjangkau suara ke jarak yang berkali-kali lipat lebih jauh. Sebab, adzan adalah salah satu syiar Islam yang harus kita jaga sebagai bentuk tradisi dan keteladanan dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Munculnya muazin dengan tubuhnya ketika adzan adalah sunah, dan memiliki suara yang lantang adalah sunah lainnya. Pengeras suara memang membantu dalam meninggikan suara, yang merupakan tujuan dari adzan, tetapi menyembunyikan sosok muazin di dalam dinding masjid bertentangan dengan sunah. Sekarang, mereka menurunkan posisi adzan dari tempat yang tinggi dan menjadikannya di dalam masjid, yang bertentangan dengan sunah. Kemudian, mereka meninggikan suara iqamah hingga menyamakannya dengan suara adzan, dan ini juga bertentangan dengan sunah.

[ Sumber : Ahlul Hadits wal Atsar – Rihlatun Nuur no. 097 di bawah judul :

حُكْمُ إِذَاعَةِ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الإِمَامِ بِمُكَبِّرَاتِ المَسْجِدِ

---

Dan dalam kesempatan lain Syaikh Al-Albani – rahimahullah ta'ala – menyebutkan pula hal ini dalam salah satu rekamannya ketika menyampaikan ceramah pada peresmian suatu masjid yang maknanya adalah sbb : 

إِنَّ هَذَا الْمَسْجِدَ أُسِّسَ عَلَى السُّنَّةِ وَلَكِنْ يَنْقُصُهُ أَنْ تَكُونَ الْإِقَامَةُ بِدَاخِلِ الْمَسْجِدِ فَقَطْ - أَوْ قَالَ: تَقْتَصِرُ - وَلَا تَكُونَ فِي الْمِيكْرُوفُونِ، إِذْ أَنَّ الْأَذَانَ هُوَ إِعْلَامٌ لِمَنْ هُوَ بِخَارِجِ الْمَسْجِدِ أَمَّا الْإِقَامَةُ فَهِيَ إِعْلَامٌ لِمَنْ هُوَ بِالدَّاخِلِ، ثُمَّ إِنَّ الْإِقَامَةَ بِالْمِيكْرُوفُونِ فِيهَا تَعَاوُنٌ عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ لِمَا فِيهَا مِنْ مُسَاعَدَةِ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الِانْتِظَارِ فِي بُيُوتِهِمْ لِحِينِ سَمَاعِهِمُ الْإِقَامَةَ وَعَدَمِ التَّبْكِيرِ لِلصَّلَاةِ بِمُجَرَّدِ الْأَذَانِ، فَإِخْفَاءُ الْإِقَامَةِ عَنْهُمْ يُعِينُ عَلَى التَّبْكِيرِ لِلصَّلَاةِ. اِنْتَهَى مُضْمُونُ كَلَامِهِ.

*"Masjid ini didirikan berdasarkan sunnah, tetapi masih kurang dalam hal iqamah yang seharusnya hanya dilakukan di dalam masjid saja – atau beliau mengatakan: 'dibatasi' – dan tidak menggunakan mikrofon. Sebab, adzan adalah pemberitahuan bagi mereka yang berada di luar masjid, sedangkan iqamah adalah pemberitahuan bagi mereka yang berada di dalamnya. Selain itu, iqamah melalui mikrofon termasuk bentuk kerja sama dalam dosa dan pelanggaran, karena hal itu membantu kaum Muslimin untuk menunggu di rumah mereka hingga mendengar iqamah, sehingga mereka tidak segera datang ke masjid setelah adzan dikumandangkan. Maka, menyembunyikan iqamah dari mereka justru membantu mereka untuk lebih cepat datang ke masjid."* 

Demikian inti perkataannya. [ Lihat : al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsah – Multaqo Ahlil Hadits – 3 (81/457)].

Sulaiman Sa’ud ash-Shoqr berkata :

لَكِنَّ الثَّابِتَ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَمْ يَكُنْ يَأْمُرُ مُؤَذِّنَهُ أَنْ يُقِيمَ فِي الخَارِجِ، وَإِنَّمَا فِي الدَّاخِلِ!! 

وَلَا يَجُوزُ لَنَا أَنْ نُشْرِعَ شَيْئًا لِلمُنَادَاةِ لِلصَّلَاةِ لِمَنْ هُوَ خَارِجُ المَسْجِدِ وَلَوْ كَانَ إِقَامَةَ الصَّلَاةِ.... 

وَلَا يَقْتَضِي سَمَاعُ الإِقَامَةِ مِنْ خَارِجِ المَسْجِدِ أَنْ نُقِيمَ عَلَى السَّمَاعَةِ. وَأَيْضًا رُبَّمَا يَكُونُ المَقْصُودُ بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ....) أَنَّهُ لِمَنْ هُوَ دَاخِلَ المَسْجِدِ أَوْ حَوْلَهُ... 

وَفِيهِ مِنَ المَفَاسِدِ، كَمَا قَالَ الشَّيْخُ الأَلْبَانِيُّ، أَنَّهَا تُسَاعِدُ المُتَكَاسِلَ عَنْ الحُضُورِ إِلَى المَسْجِدِ، عَلَى تَكَاسُلِهِ، لِأَنَّهُ يَبْقَى يَنْتَظِرُ وَسِيلَةَ المُنَادَاةِ الثَّانِيَةَ، وَهِيَ الإِقَامَةُ، وَلَوْلَا ذَلِكَ لَسَارَعَ مَخَافَةَ أَنْ تَفُوتَهُ الصَّلَاةُ!!!

“Namun, yang tetap (pasti) adalah bahwa Nabi tidak pernah memerintahkan muadzdzinnya untuk mengumandangkan iqamah di luar, melainkan di dalam masjid!! 

Dan tidak diperbolehkan bagi kita untuk menetapkan sesuatu yang baru dalam seruan (panggilan) shalat bagi mereka yang berada di luar masjid, meskipun itu dalam bentuk iqamah shalat.... 

Mendengar iqamah dari luar masjid tidak mengharuskan kita untuk mengumandangkannya melalui pengeras suara. Selain itu, mungkin yang dimaksud dalam sabda Nabi : *"Jika kalian mendengar iqamah..."* adalah bagi mereka yang berada di dalam masjid atau di sekitarnya... 

Di dalamnya juga terdapat berbagai dampak negatif, sebagaimana yang dikatakan oleh **Syaikh Al-Albani**, yaitu bahwa hal tersebut justru membantu orang yang malas untuk datang ke masjid dalam kemalasannya. Sebab, ia akan terus menunggu panggilan kedua, yaitu iqamah. Seandainya tidak ada hal tersebut, tentu ia akan bergegas pergi ke masjid karena khawatir tertinggal shalat !!!”. [ Lihat : al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsah – Multaqo Ahlil Hadits – 3 (81/457).

Posting Komentar

0 Komentar