KESEIMBANGAN
ANTARA DUNIA DAN AKHIRAT ITU BUKANLAH KEMUNAFIKAN.
Di tulis
oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA
AL-ISLAM
---
---
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN :
- BUKANLAH KEMUNAFIKAN : "SESAAT UNTUK DUNIA DAN SESAAT UNTUK AKHIRAT".
- KESEIMBANGAN ANTARA DUNIA DAN AKHIRAT DALAM SYARIAT ISLAM :
- JANGAN MENGABAIKAN ASPEK LAIN-NYA :
- KESEIMBANGAN ADALAH CIRI KHAS DALAM AGAMA ISLAM :
- JAGALAH KESEIMBANGAN DUNIA DAN AKHIRAT SERTA BERLAKU BIJAKLAH !
- PEMBAGIAN GOLONGAN SIKAP MANUSIA TERHADAP DUNIA DAN AKHIRAT
- KONDISI KAUM MUSLIMIN DI ERA SEKARANG
- GODAAN DUNIA DI ZAMAN SEKARANG
****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN :
Allah SWT berfirman:
﴿ وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا ﴾
*"Dan
demikianlah Kami jadikan kalian umat yang pertengahan."* (Al-Baqarah:
143).
Rasulullah
ﷺ bersabda :
لَا
رَهْبَانِيَّةَ فِي الْإِسْلَامِ
"Tidak
ada Rohbaniyah (kependetaan yang hanya fokus beribadah) dalam
Islam."
[Lihat : Fathul
Bari 9/111]
Diriwayatkan
oleh Ibnu Qutaibah dalam *Gharib al-Hadith* (1/444) dari Thawus bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
"لَا زِمَامَ وَلَا خِزَامَ وَلَا رَهْبَانِيَّةَ
ولَا تبَعُّلَ وَلَا سِيَاحَةَ في الْإِسْلَامِ"
"Tidak
ada kendali, tidak ada tali hidung, tidak ada Rohbaniyah (kependetaan yang
hanya fokus beribadah), tidak ada hidup membujang (selamanya), dan tidak ada
pengembaraan dalam Islam."
Nabi
ﷺ mengingkari Utsman bin Madz’uun yang ingin fokus beribadah dan tidak
menikah. Maka Nabi ﷺ berkata kepadanya :
يَا عُثْمَانُ إِنَّ
الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا، أَفَمَا لَكَ فِيَ أُسْوَةٌ ؟
فَوَاللهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ للهِ ، وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُوْدِهِ
“Wahai
‘Utsman, sesungguhnya Rohbaniyah tidaklah disyariatkan kepada kita. Bukankah aku ini menjadi teladan bagimu?, Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang
yang paling bertaqwa kepada Allah diantara kalian, dan akulah yang paling menjaga
batasan-batasan larangan-Nya”
(HR
Ibnu Hibban, Ahmad, dan At-Thobrooni dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir).
Di
Shahihkan oleh al-Albaani dalam Irwa al-Ghalil 7/79 dan dia berkata :
إِسْنَادُهُ
صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِهِمَا
" Sanadnya shahih sesuai syarat Bukhori dan Mulim".
===***===
BUKANLAH KEMUNAFIKAN : "SESAAT UNTUK DUNIA DAN SESAAT UNTUK AKHIRAT".
«يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً»
**"Wahai
Handzolah, Sesaat Begini dan Sesaat Begitu"**
Diriwayatkan
dari Abu Rabi' Handzolah bin Ar-Rabi' Al-Asyjadi—ia adalah salah satu juru
tulis Rasulullah ﷺ—bahwa ia berkata:
"لَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ،
فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ؟ يَا حَنْظَلَةُ قَالَ: قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ،
قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ مَا تَقُولُ؟ قَالَ: قُلْتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حَتَّى
كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ
وَالضَّيْعَاتِ، فَنَسِينَا كَثِيرًا، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: فَوَاللهِ إِنَّا
لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ، حَتَّى دَخَلْنَا
عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قُلْتُ: نَافَقَ
حَنْظَلَةُ، يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ «وَمَا ذَاكَ؟» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ نَكُونُ عِنْدَكَ، تُذَكِّرُنَا
بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا
مِنْ عِنْدِكَ، عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ، نَسِينَا
كَثِيرًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي، وَفِي
الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ،
وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً» ثَلَاثَ مَرَّاتٍ".
Abu
Bakar menemuiku dan berkata, "Bagaimana keadaanmu, wahai Handzolah?"
Aku
menjawab, "Handzolah telah munafik!"
Abu
Bakar berkata, "Subhanallah! Apa yang kau katakan?"
Aku
menjawab, "Ketika kami berada di sisi Rasulullah ﷺ, beliau mengingatkan kami
tentang neraka dan surga, seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala
sendiri. Namun, ketika kami keluar dari sisi Rasulullah ﷺ, kami sibuk dengan istri, anak-anak, dan pekerjaan, sehingga
banyak hal yang kami lupakan."
Abu
Bakar berkata, "Demi Allah! Kami juga mengalami hal yang sama."
Maka
aku dan Abu Bakar pergi hingga kami masuk menemui Rasulullah ﷺ. Aku berkata, "Handzolah telah munafik, wahai
Rasulullah!"
Rasulullah
ﷺ bertanya, "Apa yang terjadi?"
Aku
berkata, "Wahai Rasulullah, ketika kami berada di sisimu, engkau
mengingatkan kami tentang neraka dan surga, seakan-akan kami melihatnya dengan
mata kepala sendiri. Namun, ketika kami keluar dari sisimu, kami sibuk dengan
istri, anak-anak, dan pekerjaan, sehingga banyak hal yang kami
lupakan."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian senantiasa berada dalam keadaan seperti saat kalian bersamaku dan dalam keadaan berdzikir, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Tetapi wahai Handzolah, *sesaat begini dan sesaat begitu*." Rasulullah ﷺ mengulanginya tiga kali. (HR. Muslim no. 2750)
Lafadz
Tirmidzy :
أَنَّهُ مَرَّ بِأَبِي بَكْرٍ وَهُوَ
يَبْكِي، فَقَالَ: مَا لَكَ يَا حَنْظَلَةُ؟ قَالَ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ يَا أَبَا
بَكْرٍ، نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُذَكِّرُنَا
بِالنَّارِ وَالجَنَّةِ كَأَنَّا رَأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا رَجَعْنَا عَافَسْنَا الأَزْوَاجِ
وَالضَّيْعَةِ وَنَسِينَا كَثِيرًا، قَالَ: فَوَاللَّهِ إِنَّا لَكَذَلِكَ، انْطَلِقْ
بِنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقْنَا، فَلَمَّا
رَآهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا لَكَ يَا حَنْظَلَةُ؟
قَالَ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ يَا رَسُولَ اللهِ، نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ
وَالجَنَّةِ كَأَنَّا رَأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا رَجَعْنَا عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالضَّيْعَةَ
وَنَسِينَا كَثِيرًا، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لَوْ تَدُومُونَ عَلَى الْحَالِ الَّتِي تَقُومُونَ بِهَا مِنْ عِنْدِي لَصَافَحَتْكُمُ
الْمَلَائِكَةُ فِي مَجَالِسِكُمْ، وَفِي طُرُقِكُمْ، وَعَلَى فُرُشِكُمْ، وَلَكِنْ
يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً
Suatu
ketika, Handzolah melewati Abu Bakar yang sedang menangis. Abu Bakar pun
bertanya, "Apa yang terjadi padamu, wahai Handzolah?"
Handzolah
menjawab, "Handzolah telah munafik, wahai Abu Bakar! Ketika kami berada di
sisi Rasulullah ﷺ, beliau mengingatkan kami
tentang neraka dan surga, seolah-olah kami melihatnya dengan mata kepala
sendiri. Namun, ketika kami kembali, kami disibukkan dengan istri-istri dan
urusan dunia, lalu kami pun banyak yang terlupa."
Abu
Bakar berkata, "Demi Allah, kami juga mengalami hal yang sama. Mari kita
pergi menemui Rasulullah ﷺ!" Lalu mereka pun
berangkat.
Ketika
Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau bertanya, "Apa yang terjadi padamu, wahai
Handzolah?"
Handzolah
menjawab, "Handzolah telah munafik, wahai Rasulullah! Ketika kami berada
di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga, sehingga
seolah-olah kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami
kembali, kami disibukkan dengan istri-istri dan urusan dunia, lalu kami pun
banyak yang terlupa."
Maka
Rasulullah ﷺ bersabda, "Seandainya kalian bisa terus berada dalam
keadaan sebagaimana ketika kalian bersamaku, niscaya para malaikat akan
menjabat tangan kalian di majelis-majelis kalian, di jalan-jalan kalian, dan di
tempat tidur kalian. Tetapi wahai Handzolah, ada waktu untuk ini dan ada waktu
untuk itu."
[HR.
Tirmidzy no. 2514. Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan ghorib].
SEKILAS
TENTANG HANDZOLAH :
Abu
Rabi' Handzolah bin Ar-Rabi' Al-Asyjadi adalah salah satu sahabat Nabi ﷺ yang terbaik, termasuk di antara sahabat yang terpercaya dan
amanah. Bukti paling jelas akan hal ini adalah bahwa Nabi ﷺ mempercayakannya untuk menulis wahyu.
Sejumlah
sahabat Nabi ﷺ yang memiliki kemampuan
menulis, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Mu'awiyah, Amr bin Al-'Ash,
Abdullah bin Abi Sarh, Ubay bin Ka'b, dan lainnya, bertugas menulis di hadapan
Rasulullah ﷺ. Di antara mereka adalah Handzolah.
====
FIQIH DAN SYARAH HADITS :
Para
sahabat Rasulullah ﷺ sangat khawatir terhadap
keimanan mereka karena kesibukan dunia. Sebagian dari mereka bahkan mengira
bahwa keterlibatan mereka dalam hal-hal yang diperbolehkan dan dihalalkan oleh
Allah merupakan bentuk kemunafikan.
Hadits
ini menunjukkan keadilan syariat Islam dalam memberikan hak kepada setiap orang
sesuai dengan porsinya, baik terhadap diri sendiri, anak-anak, maupun istri,
setelah hak Allah Ta'ala dipenuhi.
Hadits
ini juga mengajarkan bahwa beribadah kepada Allah mencakup memberi waktu
istirahat bagi diri sendiri. Sebab, jika seseorang terlalu membebani dirinya, maka ia akan merasa jenuh, lelah, dan mungkin melalaikan banyak hak.
Dalam
hadits ini, Handzolah bin Ar-Rabi' Al-Usaidi radhiyallahu 'anhu menceritakan
bahwa ia bertemu dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu di suatu
jalan. Abu Bakar bertanya, "Bagaimana keadaanmu, wahai
Handzolah?" - sebuah kebiasaan yang umum di antara para sahabat
ketika mereka bertemu.
Handzolah
menjawab, "Handzolah telah munafik!" Maksudnya, ia
merasa dirinya terjatuh dalam kemunafikan. Ia mencela dirinya sendiri karena
menyadari adanya perbedaan antara keadaan batinnya saat sendirian dengan saat
berada di hadapan Rasulullah ﷺ. Ia khawatir hal itu
termasuk jenis kemunafikan.
Mendengar
itu, Abu Bakar radhiyallahu 'anhu berkata, "Subhanallah!"
ungkapan yang biasa digunakan untuk mengungkapkan rasa takjub sekaligus
menyucikan Allah dari segala sesuatu yang tidak pantas. Abu Bakar kemudian
bertanya lebih lanjut mengenai pernyataan Handzolah yang menuduh dirinya
sendiri sebagai munafik.
Handzolah
pun menjelaskan bahwa ketika berada di sisi Rasulullah ﷺ, beliau mengingatkan mereka
tentang neraka dan surga sehingga mereka seolah-olah melihatnya dengan mata
kepala sendiri karena begitu kuatnya keimanan dan kesadaran hati mereka. Namun,
ketika mereka keluar dari majelis Rasulullah ﷺ, mereka disibukkan dengan
istri, anak-anak, serta urusan dunia, hingga melupakan banyak hal yang telah
diingatkan oleh Rasulullah ﷺ.
Abu
Bakar radhiyallahu 'anhu pun berkata, "Demi Allah, kami juga
mengalami hal yang sama!" sebuah pengakuan bahwa ia pun merasakan
hal serupa dengan Handzolah. Karena itu, mereka berdua pergi menemui Rasulullah
ﷺ untuk menanyakan apakah keadaan mereka ini termasuk bentuk
kemunafikan atau tidak.
Ketika
Handzolah bertemu Rasulullah ﷺ, ia menyampaikan hal yang
sama seperti yang ia katakan kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Rasulullah ﷺ kemudian menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah bentuk
kemunafikan. Beliau menerangkan bahwa Allah tidak membebankan mereka untuk
selalu berada dalam kondisi takut, khusyuk, dan terus-menerus berzikir seperti
saat mereka bersama beliau.
Beliau
ﷺ lalu bersumpah, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
seandainya kalian selalu berada dalam keadaan seperti ketika bersama denganku—dengan
kejernihan hati, ketakutan, dan zikir—niscaya para malaikat akan menjabat
tangan kalian di tempat duduk kalian, di jalan-jalan kalian, dan bahkan di
tempat tidur kalian."
Maksudnya,
jika hati mereka tetap berada dalam kondisi seperti saat mereka mendengarkan
nasihat Rasulullah ﷺ, maka mereka akan menjadi
sahabat para malaikat, yang bertemu dan saling memberi salam dengan
mereka.
Kemudian
Rasulullah ﷺ memanggil Handzolah dengan namanya, sebagai bentuk keakraban
dan untuk meyakinkannya bahwa ia tetap berada di jalan yang lurus. Beliau
bersabda, "Tetapi, wahai Handzolah, ada waktu untuk ini dan ada
waktu untuk itu." Maksudnya, ada waktu untuk beribadah dan
mengingat Allah, serta ada waktu untuk berinteraksi dengan keluarga, istri, dan
anak-anak. Atau, ada waktu untuk mengingat surga dan neraka serta berzikir
kepada Allah, dan ada waktu untuk mengurusi kebutuhan duniawi.
Yang
diharapkan adalah seseorang tetap menjalankan amal saleh dan menjauhi hal yang
haram, sementara tidak ada masalah jika ia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
hal-hal yang diperbolehkan. Rasulullah ﷺ mengulangi pernyataannya, "Ada
waktu untuk ini dan ada waktu untuk itu," sebanyak tiga kali,
sebagai bentuk penegasan makna ini dan untuk menghilangkan kegelisahan mereka
yang merasa takut telah terjerumus dalam kemunafikan.
WASPADA DARI SIFAT KEMUNAFIKAN
Setiap
individu muslim harus tetap waspada terhadap sifat munafiq pada diri
masing-masing. Dan jangan pernah merasa suci, apalagi mengklaim dirinya pasti
orang shaleh dan sumber keberkahan.
Orang
yang meriwayatkan tiga Hadits dari Rasulullah ﷺ ini telah mengira bahkan
menuduh dirinya sendiri sebagai seorang munafik, dengan berkata, *"Handzolah
telah munafik."*
Ia
takut terhadap kemunafikan pada dirinya, padahal ia adalah salah satu penulis
wahyu. Tidak mungkin seorang munafik menjadi penulis wahyu bagi Rasulullah ﷺ. Hal ini menunjukkan dengan sangat jelas betapa bahayanya
kemunafikan, dan bahwa para sahabat Nabi ﷺ sangat khawatir akan hal itu
terhadap diri mereka sendiri. Oleh karena itu, ada di antara tabi'in -diantaranya
al-Hasan al-Bashry- yang berkata,
"مَا خَافَهُ إِلَّا مُؤْمِنٌ، وَمَا أَمِنَهُ
إِلَّا مُنَافِقٌ".
*"Tidak
ada yang merasa takut terhadap kemunafikan kecuali seorang mukmin, dan tidak
ada yang merasa aman darinya kecuali seorang munafik."* [Lihat : Syarah
Shahih Bukhory karya Ibnu Bath-thol 1/109].
Umar
radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu
'anhu—yang merupakan pemegang rahasia Rasulullah ﷺ—karena Nabi ﷺ telah memberitahukan
kepadanya nama-nama beberapa orang munafik. Umar bersungguh-sungguh dalam
bertanya, bahkan ia memohon kepada Hudzaifah dengan menyebut nama Allah, apakah
Rasulullah ﷺ telah menyebut namanya dalam daftar orang-orang munafik
tersebut. Hudzaifah menjawab,
لَا وَلَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَكَ
أَبَدًا
*"Tidak, dan aku tidak akan memberi tahu kesucian dari kemunafikan kepada siapa pun setelahmu."*
[HR. Thabarani
no. 719 dan Ahmad no. 44/92-93 no. 26489. Al-Arna’uth berkata : Sanadnya shahih
].
Umar
radhiyallahu 'anhu juga tidak akan menshalatkan jenazah seseorang setelah orang tersebut wafat sampai ia memastikan apakah Hudzaifah menshalatkannya atau tidak.
Maka
sepatutnya seseorang merasa khawatir terhadap kemunafikan pada dirinya,
berhati-hati, serta menghindari segala sifat yang dapat menjadikannya termasuk
golongan orang-orang munafik, baik itu kemunafikan dalam bentuk amal perbuatan
maupun kemunafikan dalam keyakinan.
Makna dari kata "satu waktu begini dan satu waktu begitu" adalah sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ :
إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ
الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وقَارِبُوا، وأَبْشِرُوا، واسْتَعِينُوا
بالغَدْوَةِ والرَّوْحَةِ وشيءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ.
Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah
seseorang berlebihan dalam (mengamalkan) agama ini melainkan ia akan
dikalahkan. Maka bersikap luruslah, mendekatlah (kepada kebenaran),
bergembiralah, dan mintalah pertolongan dengan beribadah di waktu pagi, sore,
dan sedikit di waktu malam. [HR. Bukhori no. 39 dan Muslim no. 2816]
Maksudnya
adalah ada waktu untuk menghadiri majelis dzikir, ada waktu untuk beribadah
kepada Allah ﷻ dengan shalat, berdzikir,
dan membaca Al-Qur'an, serta ada waktu untuk menunaikan hak-hak istri dan
anak-anak, serta menjalankan usaha yang memperbaiki kehidupan seperti berdagang,
bekerja, atau berindustri, dan sebagainya.
Dan juga makna
"satu waktu begini dan satu waktu begitu " adalah bahwa ada saat
untuk menghadiri majelis dzikir, ada saat untuk beribadah kepada Allah ﷻ dengan shalat, berdzikir, dan membaca Al-Qur'an, serta ada saat
untuk menunaikan hak-hak istri dan anak-anak, dan memenuhi kebutuhan hidup yang
memang diperlukan manusia. Inilah sunnatullah ﷻ dalam kehidupan ini.
Oleh
karena itu, seseorang tidak akan dihukum karena kelemahan sesaat yang
menimpanya, tetapi masalahnya adalah ketika ia tenggelam dalam mengejar dunia,
menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan, tidak peduli dengan ibadah kepada
Allah ﷻ, tidak berdzikir, tidak taat kepada-Nya, tidak menghadiri
majelis dzikir, dan tidak mau mengambil pelajaran.
Bahkan,
hal itu menjadi sesuatu yang berat bagi hatinya, sehingga ia semakin jauh dan
hatinya menjadi keras. Bagaimana mungkin ia dapat mengingat Allah dalam keadaan
seperti ini?
Bahkan bisa jadi, seseorang sampai pada keadaan di mana ia tidak benar-benar mengenal Tuhannya, melainkan hanya mengenal kehidupan dunia yang fana ini saja. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا
لاَ يُبْخَسُونَ
*"Barang
siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dalamnya tidak akan dirugikan."* (Hud: 15)
Demikian
pula dalam surah Al-Isra':
مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ
عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاء لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ
يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا
*"Barang
siapa yang menghendaki kehidupan yang segera (dunia), Kami segerakan baginya di
dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi siapa yang Kami kehendaki. Kemudian Kami
sediakan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan
terusir."* (Al-Isra': 18)
Prof.
DR. Kholid as-Sabt berkata tentang maksud dari ayat diatasa :
فَالْمَقْصُودُ أَنَّ مَنْ كَانَتْ إِرَادَتُهُ
مُتَمَحِّضَةً لِلدُّنْيَا، مِنْ أَجْلِهَا يَقُومُ، وَمِنْ أَجْلِهَا يَقْعُدُ، وَمِنْ
أَجْلِهَا يَعْمَلُ، وَمِنْ أَجْلِهَا يَكْدَحُ، لَا يُرِيدُ مَا عِنْدَ اللهِ ﷻ فَإِنَّهُ
مُتَوَعَّدٌ بِالنَّارِ، وَالْإِنْسَانُ لَا يُعَابُ إِذَا طَلَبَ الدُّنْيَا، وَلَكِنَّ
ذَلِكَ الطَّلَبَ لَا يُنْسِيهِ الْآخِرَةَ، فَهُوَ يُصْلِحُ قَلْبَهُ وَيَتَعَاهَدُ
نَفْسَهُ، وَيَتُوبُ مِنْ ذُنُوبِهِ، وَيَعْمَلُ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ الَّتِي
تُقَرِّبُهُ إِلَى اللهِ ﷻ، وَتُعَمِّرُ آخِرَتَهُ وَلَا يَكُونُ مِنَ الْغَافِلِينَ،
هَذَا هُوَ الطَّرِيقُ وَهُوَ الْمَخْرَجُ بِإِذْنِ اللهِ ﷻ مِنْ مِثْلِ هَذَا، وَاللهُ
تَعَالَى أَعْلَمُ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَآلِهِ وَصَحْبِهِ.
Maksudnya,
barang siapa yang tujuan hidupnya semata-mata untuk dunia—ia hidup, bekerja,
berusaha, dan bersusah payah hanya demi dunia, tanpa menginginkan apa yang ada
di sisi Allah ﷻ—maka ia diancam dengan neraka. Namun, seseorang tidak dicela jika ia
mencari dunia, selama pencariannya tidak membuatnya lupa akan akhirat. Ia tetap
menjaga hatinya, selalu mengawasi dirinya, bertobat dari dosa-dosanya, dan
melakukan amal saleh yang mendekatkannya kepada Allah ﷻ serta membangun akhiratnya.
Ia tidak menjadi orang yang lalai. Itulah jalan keluar yang benar, dengan izin
Allah ﷻ.
Hanya
Allah yang Maha Mengetahui. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
===***===
KESEIMBANGAN ANTARA DUNIA DAN AKHIRAT DALAM SYARIAT ISLAM:
Islam
menyeimbangkan antara agama Islam dan dunia, sehingga ia memiliki ciri khas
sikap moderat.
Syariat
Islam adalah syariat pertengahan yang berdiri di atas dasar keseimbangan;
keseimbangan dalam segala hal. Dalam ibadah, seorang muslim tidak boleh
berlebihan dan tidak boleh juga mengabaikannya:
«إِنَّ هَذَا الدِّينَ مَتِينٌ، فَأَوْغِلْ
فِيهِ بِرِفْقٍ، وَلَا تُبَغِّضْ إِلَى نَفْسِكَ عِبَادَةَ اللَّهِ تَعَالَى، فَإِنَّ
الْمُنْبَتَّ لَا أَرْضًا قَطَعَ، وَلَا ظَهْرًا أَبْقَى»
Artinya: “Sungguh, agama ini sangatlah kokoh, maka masuklah (selami) agama dengan ramah dan lembut, Dan janganlah engkau berlebihan dalam beribadah yang akan membuat dirimu membenci ibadah kepada Allah ﷻ. Karena orang yang terlalu memaksakan diri, tidak akan bisa mencapai tujuan dan juga tidak akan mendapatkan kendaraan pengantar yang tersisa”.
[Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi dalam *As-Sunan* (3/18), Al-Bazzar (74), Al-Hakim dalam
*Ma'rifat 'Ulum Al-Hadith* (hlm. 96), dan Asy-Syihab Al-Qudha'i dalam
*Musnad*-nya (no. 1147 dan 1148)] dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu secara
marfu’.
Diriwayatkan
oleh Ahmad dalam *Baqi Musnad Al-Muktsirin* (12579) dari hadits Anas.
Disebutkan
oleh Al-Albani dalam *Shahih Al-Jami'*. Ia berkata: "Hasan" (1/256),
no. 2242].
Dalam
kehidupan sehari-hari, seseorang tidak boleh boros dan tidak boleh kikir:
﴿ وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً
إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ ﴾
*"Dan
janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan janganlah engkau
mengulurkannya dengan sepenuh-penuhnya."* (Al-Isra: 29).
Dalam
makan dan minum, seseorang tidak boleh berlebihan hingga menyebabkan
kekenyangan yang menimbulkan penyakit, dan tidak boleh terlalu hemat hingga
menyebabkan kelemahan dan kekurusan.
Dalam
segala aspek kehidupan, Islam menuntut keseimbangan, sebagai penerapan terhadap
prinsip yang menjadi dasar berdirinya umat Islam. Allah berfirman:
﴿ وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا ﴾
*"Dan
demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan."* (Al-Baqarah: 143).
Imam
Bukhari rahimahullah dan lainnya berkata :
﴿وَسَطًا﴾ أَيْ: عُدُولًا
*"Umat
yang pertengahan"* maksudnya adalah umat yang adil dan bijak.
[Baca
: Fathul Bari Syarah Shahih Bukhory oleh Ibnu Hajar 3/317, Minhatul Bari Syarah
Shahih Bukhori oleh Zakariya al-Anshori 7/520 dan Tafsir ar-Razy 30/691].
Demikianlah
Islam berdiri sebagai agama yang moderat dan seimbang. Keseimbangan adalah
tidak berlebihan dan tidak mengabaikan, serta memberikan hak kepada setiap
pemiliknya sebagaimana firman Allah:
﴿ وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ
يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا ﴾
*"Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian."* (Al-Furqan: 67).
===***===
JANGAN MENGABAIKAN ASPEK LAIN-NYA :
Islam
menghendaki seorang muslim mencapai kesempurnaan yang telah ditetapkan baginya
dengan keseimbangan dalam segala urusannya. Seorang muslim tidak boleh hanya
fokus pada satu atau beberapa aspek saja hingga mencapai kesempurnaan tinggi di
dalamnya, sementara mengabaikan aspek lainnya.
Hal
ini tampak dalam perkataan Salman kepada Abu Darda' radhiyallahu 'anhuma:
إنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، ولِنَفْسِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا، ولِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فأعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ. فأتَى
النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَذَكَرَ ذلكَ له، فَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ
عليه وسلَّمَ: صَدَقَ سَلْمَانُ.
*"Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak atasmu, dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu memiliki hak atasmu. Maka berikanlah kepada setiap yang memiliki hak akan haknya."*
Lalu Abu Darda' menemui Nabi ﷺ dan menyampaikan hal itu
kepadanya. Maka Nabi ﷺ bersabda: *"Salman
telah berkata benar."* (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1968).
Demikian
pula ketika Nabi ﷺ mendengar bahwa beberapa
sahabat berkata, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إلى بُيُوتِ أزْوَاجِ
النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، يَسْأَلُونَ عن عِبَادَةِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ
عليه وسلَّم، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقالوا: وأَيْنَ نَحْنُ
مِنَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم؟! قدْ غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ
وما تَأَخَّرَ، قالَ أحَدُهُمْ: أمَّا أنَا فإنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أبَدًا، وقالَ
آخَرُ: أنَا أصُومُ الدَّهْرَ ولَا أُفْطِرُ، وقالَ آخَرُ: أنَا أعْتَزِلُ النِّسَاءَ
فلا أتَزَوَّجُ أبَدًا، فَجَاءَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إليهِم، فَقالَ:
أنْتُمُ الَّذِينَ قُلتُمْ كَذَا وكَذَا؟! أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ
وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ،
فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي.
Tiga
orang datang ke rumah istri-istri Nabi ﷺ untuk menanyakan tentang
ibadah Nabi ﷺ. Ketika mereka diberitahu, mereka merasa ibadah itu sedikit.
Mereka pun berkata, *"Di manakah posisi kita dibandingkan dengan Nabi ﷺ? Sungguh, beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu
maupun yang akan datang."*
Salah seorang dari mereka berkata, *"Adapun aku, maka aku akan salat malam selamanya."*
Yang lain berkata, *"Aku akan berpuasa terus-menerus tanpa berbuka."*
Dan yang lain berkata, *"Aku akan menjauhi wanita
dan tidak akan menikah selamanya."*
Kemudian
Rasulullah ﷺ datang kepada mereka dan bersabda, *"Kalianlah yang
mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang
yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian.
Namun, aku berpuasa dan berbuka, aku salat dan tidur, serta aku menikahi
wanita. Maka, siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan dari
golonganku."*
[HR.
Bukhori no. 5063 dan Muslim no. 1401]
Maha benarlah
firman Allah Ta'ala:
﴿ وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ
وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ﴾
*"Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kebahagiaan) dunia."*
(Al-Qashash: 77).
Islam
tidak menuntut seorang muslim untuk terus-menerus salat malam dan berpuasa
setiap hari hingga tidak memiliki bagian dalam kehidupan. Namun, Islam
menginginkan seorang muslim tetap terhubung dengan Rabb-nya, bekerja di dunia,
berusaha membangun peradaban, dan mencari rezeki di berbagai tempat.
Salah
satu bukti keseimbangan antara dunia dan akhirat dalam Islam adalah firman
Allah Ta'ala:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُون * فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا
فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ ﴾
*"Wahai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari
Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Maka apabila salat telah
ditunaikan, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah serta
ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung."* (QS. Al-Jumu'ah:
9-10).
Dalam
ayat ini, terlihat bahwa sebelum shalat Jumat, seseorang diperbolehkan melakukan
jual beli dan memenuhi kebutuhan hidup. Namun, ketika waktu shalat tiba, mereka
harus bergegas menunaikannya serta meninggalkan segala kesibukan duniawi. Setelah
selesai shalat, mereka diperbolehkan kembali beraktivitas dan mencari rezeki,
tetapi tetap tidak boleh lalai dari mengingat Allah dalam segala keadaan,
karena itulah kunci keberuntungan dan kesuksesan di dunia dan akhirat.
===***===
KESEIMBANGAN ADALAH CIRI KHAS DALAM AGAMA ISLAM :
Keseimbangan,
moderasi, dan jalan tengah merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Islam
menyeimbangkan dan menggabungkan antara kebutuhan ruhani dan kebutuhan
kehidupan dunia.
Syaikh
As-Sa'di rahimahullah berkata dalam kitabnya *Ad-Durrah Al-Mukhtasharah fi
Mahasin Ad-Din Al-Islami* (hlm. 21):
إِنَّ هَذِهِ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِإِصْلَاحِ
الدِّينِ وَإِصْلَاحِ الدُّنْيَا، وَالْجَمْعِ بَيْنَ مَصْلَحَةِ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ،
وَهَذَا الْأَصْلُ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِنْهُ شَيْءٌ كَثِيرٌ، يَحُثُّ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِالْأَمْرَيْنِ، وَأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَمِدٌّ
لِلْآخَرِ، وَمُعِينٌ عَلَيْهِ، وَاللَّهُ تَعَالَى خَلَقَ الْخَلْقَ لِعِبَادَتِهِ،
وَالْقِيَامِ بِحُقُوقِهِ، وَأَدَرَّ عَلَيْهِمُ الْأَرْزَاقَ، وَنَوَّعَ لَهُمْ أَسْبَابَ
الرِّزْقِ وَطُرُقَ الْمَعِيشَةِ، وَلِيَسْتَعِينُوا بِذَلِكَ عَلَى عِبَادَتِهِ، وَلِيَكُونَ
ذَلِكَ قِيَامًا لِدَاخِلِيَّتِهِمْ وَخَارِجِيَّتِهِمْ، وَلَمْ يَأْمُرْ بِتَغْذِيَةِ
الرُّوحِ وَحْدَهَا وَإِهْمَالِ الْجَسَدِ، كَمَا أَنَّهُ نَهَى عَنِ الِاشْتِغَالِ
بِاللَّذَّاتِ وَالشَّهَوَاتِ، وَتَقْوِيَةِ مَصَالِحِ الْقَلْبِ وَالرُّوحِ"؛
اهـ.
*"Sesungguhnya syariat ini datang dengan kebaikan agama dan kebaikan dunia, serta menggabungkan antara kepentingan ruh dan jasad.
Banyak sekali dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah yang mendorong untuk menjalankan kedua aspek ini, karena masing-masing saling mendukung dan membantu yang lainnya.
Allah Ta'ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-hak-Nya. Dia juga melimpahkan rezeki kepada mereka serta menyediakan berbagai sarana kehidupan agar mereka dapat memanfaatkannya untuk beribadah kepada-Nya, sehingga keseimbangan antara aspek batin dan lahir dapat terwujud.
Allah tidak
memerintahkan hanya untuk memberi makan ruh saja sementara mengabaikan jasad,
sebagaimana Dia juga melarang sibuk dengan kenikmatan dan syahwat hingga
melalaikan kepentingan hati dan ruh."*
Syaikh
Muhammad Abdul Fattah Afifi dalam kitabnya *Jawani Min 'Adzomat Al-Islam* (hlm.
154–158) berkata:
الإِسْلَامُ الْحَنِيفُ لَا يَنْحَازُ
إِلَى الْمَادَّةِ، وَلَا يُؤْثِرُ عَلَيْهَا الرُّوحَ، وَإِنَّمَا يَأْخُذُ بِهِمَا
مَعًا، وَيَجْعَلُهُمَا يَسِيرَانِ فِي خَطَّيْنِ مُتَوَازِيَيْنِ، لَا يَطْغَى أَحَدُهُمَا
عَلَى الْآخَرِ، وَدُسْتُورُهُ فِي ذَلِكَ قَوْلُ الْحَقِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى:
﴿ وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا ﴾ [القصص:٧٧].
*"Islam
yang lurus tidak berpihak pada materi semata, juga tidak mengutamakan ruhani
dengan mengorbankan duniawi. Sebaliknya, Islam menggabungkan keduanya dan
menjadikan keduanya berjalan beriringan dalam keseimbangan, tanpa ada yang
menguasai atau menindas yang lain. Prinsipnya tercermin dalam firman Allah
Ta'ala:
*'Dan
carilah pada apa yang telah Allah datangkan kepadamu tentang (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia.'* (Al-Qashash: 77)”.
Dalam
ajaran Islam, baik dalam Al-Qur'an maupun Sunnah, selalu terdapat keseimbangan
antara tuntutan untuk menjaga kepentingan agama dan kepentingan dunia. Islam
menjadikan kedua kepentingan ini saling berkaitan sebagaimana keterikatan ruh
dengan jasad. Namun, Islam memberikan batasan dalam mencari dunia, yang dapat
dirangkum sebagai berikut:
1.
Agar seseorang menjaga dirinya dari segala kebutuhan dan agar tidak sampai
meminta-minta.
2.
Agar ia dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
3.
Agar ia memiliki kemampuan untuk membantu orang lain yang membutuhkan.
4.
Agar usaha mencari dunia dilakukan dengan cara yang halal dan sah.
5.
Agar tujuan mencari dunia bukan untuk sekadar berbangga-bangga dan menumpuk
harta tanpa manfaat.
Jika batasan-batasan ini terpenuhi, maka usaha mencari dunia menjadi ibadah yang mendapatkan pahala besar di sisi Allah.
Namun, jika dunia dicari hanya untuk
kesombongan dan memperbanyak harta tanpa memperhatikan prinsip-prinsip Islam,
maka hal itu adalah keserakahan tercela yang akan berujung pada hukuman berat
di neraka Jahannam pada hari kiamat. Rasulullah ﷺ bersabda:
"وَمَنْ طَلَبَ الدنْيَا حَلالًا
مُفَاخِرًا، مُكَاثِرًا، مُرَائِيًا، لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ"
*"Barang
siapa mencari dunia dengan cara halal untuk bermegah-megahan, memperbanyak
harta, dan riya', maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan dimurkai
oleh-Nya."*
(Diriwayatkan
oleh Ath-Thabrani dalam *Al-Awsath, Ishaq bin Rahawiyah dalam al-Musnad no.
352, Abd bin Humaid no. 1433 dan Baihaqi dalam asy-Syu’ab 9889*)."*
Islam mengajarkan berbagai aspek kehidupan yang mencerminkan realitas
dunia dan menjadi contoh dari berbagai model kehidupan.
Ke 1. Islam mengajarkan seorang Muslim untuk bekerja dengan sabar dan tekun agar dapat mencukupi kebutuhannya sendiri serta keluarganya, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang bahagia dan terhormat dalam batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Pada saat yang sama, dunia dijadikannya sebagai ladang untuk akhirat
dan jembatan menuju kehidupan abadi.
Ke 2. Islam
mengajarkan seorang Muslim untuk peduli terhadap bumi dan pertaniannya. Nabi
Islam ﷺ menjelaskan bahwa bekerja di perkebunan dan pertanian adalah bentuk ibadah. Dalam Hadits
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Anas radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah ﷺ bersabda:
"لاَ يَغْرِسُ المُسْلِمُ غَرْسًا وَلَا
يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَاَبَّةٌ وَلاَ شيء، إِلَا كَانَتْ
لَهُ صَدَقَةً".
*"Seorang
Muslim tidaklah menanam tanaman atau menanam biji-bijian, lalu dimakan oleh
manusia, hewan ternak, atau apa pun, kecuali itu menjadi sedekah
baginya."* [HR. Bukhori no. 2320 dan Muslim no. 1553]
Ke 3. Islam juga menekankan pentingnya menjaga kebersihan jalan dan memperbaikinya.
Islam sangat memperhatikan kenyamanan pejalan kaki dengan memastikan jalanan tetap rata dan aman dari segala hal yang dapat membahayakan mereka. Menghilangkan gangguan dari jalanan—apapun yang bisa merugikan atau membahayakan orang yang melintas—merupakan salah satu bentuk ibadah yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah SWT.
Sebaliknya, mengabaikan kebersihan jalan atau membiarkannya
kotor termasuk dalam perbuatan buruk yang akan mendapatkan teguran dan
hukuman.
Dalam
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah ﷺ bersabda:
"عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا
وَسَيئُهَا، فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطرِيقِ،
وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِئ أَعْمَالِهَا النخَاعَةَ تَكُونُ فِي الْمَسْجِدِ، لَا تُدْفَنُ".
*"Ditampakkan
kepadaku amalan umatku, yang baik dan yang buruk. Aku menemukan di antara
kebaikan amal mereka adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan aku
menemukan di antara keburukan amal mereka adalah ludah yang berada di masjid
tanpa dikubur."*
[Diriwayatkan
oleh al-Bukhari dalam *al-Adab al-Mufrad* (230) dengan lafaz ini, dan asalnya
terdapat dalam *Shahih Muslim* (553) dengan sedikit perbedaan.]
Terkadang,
sebagian orang menganggap remeh perbuatan menyingkirkan gangguan dari jalanan,
padahal dalam pandangan Islam, perbuatan ini termasuk cabang dari iman.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
"الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً،
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلا اللهُ، وَأَدْنَاهَا اِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ
الطرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ".
*"Iman
itu terdiri dari lebih dari tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah
ucapan 'La ilaha illa Allah', dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Rasa malu juga merupakan cabang dari iman."* [HR.
Muslim no. 35]
Islam
bahkan menjanjikan pahala besar bagi orang yang melakukannya, berupa surga
seluas langit dan bumi. Dalam Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
"لَقَد رأَيْتُ رَجُلًا يَتَقَلَّبُ فِي
الْجنَّةِ فِي شَجرةٍ قطَعها مِنْ ظَهْرِ الطَّريقِ كَانَتْ تُؤْذِي الْمُسلِمِينَ".
*"Aku
melihat seorang laki-laki yang berjalan dengan leluasa di surga karena ia telah menyingkirkan
sebuah pohon dari jalan yang mengganggu kaum Muslimin."* [HR. Muslim no.
1914]
Ke 4. Islam adalah agama yang realistis dalam pendekatannya. Ia menetapkan hukum untuk kehidupan akhirat yang kekal, sebagaimana ia juga menetapkan hukum untuk kehidupan dunia yang sementara.
Islam adalah syariat yang mencakup seluruh
aspek kehidupan dengan aturan yang tidak tertandingi, yang menjamin pemenuhan
kebutuhan seorang Muslim tanpa melampaui batas yang telah dihalalkan dan
diperbolehkan oleh Allah SWT.
Jika kebutuhan seksual merupakan salah satu aspek utama kehidupan dunia, maka Islam yang agung pun tidak mengabaikannya. Bahkan, Islam menjadikan pemenuhan kebutuhan ini sebagai ibadah yang mendatangkan pahala besar, selama dilakukan sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Perbuatan yang mubah bisa berubah menjadi bentuk
ketaatan dan mendekatkan diri (kepada Allah) dengan niat yang baik dan berbaik
sangka kepada Allah.
Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu bahwa sekelompok orang
berkata:
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي،
وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ، وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ، قَالَ:
" أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ
صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ
صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ، وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ
وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: «أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ
عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ»
*"Wahai
Rasulullah ﷺ, orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka shalat
sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka
bersedekah dengan kelebihan harta mereka."*
Rasulullah
ﷺ bersabda:
*"Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian sesuatu yang dapat
kalian jadikan sebagai sedekah? Setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir
adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah,
amar ma’ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah, dan bahkan dalam
hubungan intim salah seorang di antara kalian terdapat sedekah."*
Mereka
bertanya: *"Wahai Rasulullah ﷺ, jika salah seorang
di antara kami melampiaskan syahwatnya (pada istrinya), apakah dia akan
mendapatkan pahala?"*
Beliau
menjawab: *"Bagaimana menurut kalian jika ia menyalurkannya pada hal yang
haram [berzina], bukankah ia berdosa? Maka demikian pula jika ia menyalurkannya pada hal yang halal, maka ia mendapatkan pahala."* [HR. Muslim no. 1006]
Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata:
(وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ) وَيُطْلَقُ
عَلَى الْجِمَاعِ وَيُطْلَقُ عَلَى الْفَرْجِ نَفْسِهِ وَكِلَاهُمَا تَصِحُّ إِرَادَتُهُ
هُنَا وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمُبَاحَاتِ تَصِيرُ طَاعَاتٍ بِالنِّيَّاتِ
الصَّادِقَاتِ فَالْجِمَاعُ يَكُونُ عِبَادَةً إِذَا نَوَى بِهِ قَضَاءَ حَقِّ الزَّوْجَةِ
وَمُعَاشَرَتَهَا بِالْمَعْرُوفِ الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ أَوْ طَلَبَ
وَلَدٍ صَالِحٍ أَوْ إِعْفَافَ نَفْسِهِ أَوْ إِعْفَافَ الزَّوْجَةِ وَمَنْعَهُمَا
جَمِيعًا مِنَ النَّظَرِ إِلَى حَرَامٍ أَوَ الْفِكْرِ فِيهِ أَوِ الْهَمِّ بِهِ أَوْ
غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَقَاصِدِ الصَّالِحَةِ
**“(Dan dalam hubungan badan salah seorang di antara kalian terdapat sedekah). Kata *būḍhʿ* digunakan untuk menyebut hubungan suami istri, dan juga bisa merujuk pada kemaluan itu sendiri.
Keduanya dapat dimaksudkan dalam hadits ini.
Dalam hal ini, terdapat dalil bahwa perkara yang
mubah bisa menjadi ibadah dengan niat yang tulus. Hubungan suami istri dapat
bernilai ibadah jika seseorang meniatkannya untuk menunaikan hak istri dan
bergaul dengannya dengan baik sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala,
atau untuk mendapatkan keturunan yang saleh, atau menjaga dirinya agar tetap
suci, atau menjaga istrinya agar tetap suci, serta mencegah keduanya dari
melihat yang haram, memikirkannya, atau berkeinginan terhadapnya, atau
tujuan-tujuan baik lainnya.”** (selesai) [Syarah Shahih Muslim karya an-Nawawi
7/92].
Memenuhi
kebutuhan biologis, baik bagi suami maupun istri, merupakan bentuk sedekah.
Sungguh luar biasa agama Islam yang sering disalahpahami ini, dengan ajarannya
yang luhur, akhlaknya yang mulia, serta metodenya yang realistis! Adakah agama
lain yang menjadikan kenikmatan dunia sebagai ibadah yang berpahala, selain
Islam? Tentu tidak!
Selain
itu, Islam juga mendorong umatnya untuk berkecimpung dalam dunia industri,
pengobatan, perawatan kesehatan, pengembangan keterampilan, serta segala hal
yang bermanfaat bagi masyarakat dan memperbaiki urusan dunia mereka.
Dengan
jelas dapat kita pahami bahwa Islam bukan hanya agama yang berisi ibadah ritual
seperti shalat, puasa, dan haji saja. Islam juga merupakan syariat yang
mengatur negara, agama yang mencakup aspek duniawi, serta sistem hidup yang
luas cakupannya. Konsep ibadah dalam Islam tidak terbatas pada ruang lingkup
ibadah mahdhoh saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan.
Hal
ini tidaklah mengherankan, karena Islam adalah agama terakhir yang diturunkan
oleh Allah SWT, yang sesuai untuk setiap zaman dan tempat, serta mampu
memperbaiki keadaan manusia kapan pun dan di mana pun. Allah SWT mengutus
Rasul-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, sebagai pemimpin para nabi
dan penutup para rasul demi kebaikan seluruh umat manusia, baik dalam kehidupan
dunia maupun akhirat mereka.
Allah
SWT berfirman:
﴿ الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإسلام دِينًا ﴾
*"Pada
hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Aku cukupkan
nikmat-Ku atas kalian, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian."*
(QS. Al-Ma'idah: 3)
R.
V. C. Bodley, dalam penjelasannya mengenai keistimewaan Islam yang menyatukan
aspek agama dan dunia tanpa pemisahan, serta menjaga umat dalam kehidupan dunia
dan akhirat mereka, dia berkata:
فِي بَيَانِ أَنَّهَا شَرِيعَةٌ تَجْمَعُ
الدِّينِيَّ وَالدُّنْيَوِيَّ مَعًا مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ أَوْ تَفْرِيقٍ، وَتَرْعَى
الْعِبَادَ فِي دُنْيَاهُمْ وَأُخْرَاهُمْ -: "لَقَدْ كَانَ مُحَمَّدٌ عَلَى نَقِيضِ
مَنْ سَبَقَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ؛ فَإِنَّهُ لَمْ يَكْتَفِ بِالْمَسَائِلِ الْإِلٰهِيَّةِ،
بَلْ تَكَشَّفَتْ لَهُ الدُّنْيَا وَمَشَاكِلُهَا، فَلَمْ يُغْفِلِ النَّاحِيَةَ الْعِلْمِيَّةَ
الدُّنْيَوِيَّةَ فِي دِينِهِ، فَوَفَّقَ بَيْنَ دُنْيَا النَّاسِ وَدِينِهِمْ، وَبِذٰلِكَ
تَفَادَى أَخْطَاءَ مَنْ سَبَقُوهُ مِنَ الْمُصْلِحِينَ الَّذِينَ حَاوَلُوا خَلَاصَ
النَّاسِ عَنْ طَرِيقٍ غَيْرِ عَمَلِيٍّ، لَقَدْ شَبَّهَ الْحَيَاةَ بِقَافِلَةٍ مُسَافِرَةٍ
يَرْعَاهَا إِلٰهٌ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ نِهَايَةُ الْمَطَافِ". [المصدر: نَبِيُّ الْإِسْلَامِ فِي مِرْآةِ الْفِكْرِ
الْغَرْبِيِّ لِلدُّكْتُورِ عِزِّ الدِّينِ فَرَّاج، ص 66.]
*"Muhammad
ﷺ berbeda dengan para nabi sebelumnya. Ia tidak hanya membahas
perkara ketuhanan semata, tetapi juga memahami dunia dan permasalahannya. Oleh
karena itu, ia tidak mengabaikan aspek ilmiah dan duniawi dalam ajarannya. Ia
berhasil menyelaraskan antara urusan dunia dan agama umatnya, sehingga
menghindari kesalahan yang dilakukan oleh para reformis sebelumnya yang mencoba
menyelamatkan manusia dengan cara yang tidak praktis. Ia mengibaratkan
kehidupan ini sebagai sebuah kafilah perjalanan yang berada dalam pengawasan
Tuhan, dan surga adalah tujuan akhirnya."*
[Sumber:
Nabi al-Islam fi Mira'ah al-Fikr al-Gharbi, karya DR. 'Izz al-Din Farraj, hal.
66.]
AMALAN
MUBAH BISA MENJADI LADANG PAHALA :
Syaikh
Abdurrazzaq 'Afifi rahimahullah berkata:
" إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَحْسَنَ النِّيَّةَ
وَقَصَدَ قَصْدًا فِي عَمَلِ المُبَاحِ فَإِنَّهُ يَتَحَوَّلُ بِالنِّيَّةِ إِلَى قُرْبَةٍ
وَطَاعَةٍ وَعَمَلٍ صَالِحٍ " انتهى
“Sesungguhnya
seorang hamba, jika ia memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar dalam
melakukan perkara yang mubah, maka dengan niat tersebut, perkara itu berubah
menjadi ibadah, ketaatan, dan amal saleh.” (selesai dari *Fatawa Syaikh
Abdurrazzaq 'Afifi*, hlm. 290).
===****===
JAGALAH KESEIMBANGAN DUNIA DAN AKHIRAT SERTA BERLAKU BIJAKLAH !
Keseimbangan antara usaha mencari kemaslahatan dunia dan beramal untuk akhirat tercapai dengan cara seorang hamba berusaha memenuhi kepentingan dunianya secara proporsional, tanpa menyebabkan kelalaian dalam menunaikan kewajiban dari Allah Ta'ala.
Dalam sebuah hadits dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
أَجْمِلُوا فِي طَلَبِ الدُّنْيَا فَإِنَّ
كُلًّا مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
**"Bersikap
indahlah dalam mencari dunia; karena setiap orang dimudahkan menuju apa yang
telah ditetapkan baginya.."** (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2134).
Para
ulama menjelaskan :
قَوْلُهُ: أَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ ـ
أَجْمَلَ فِي الطَّلَبِ إِذَا اعْتَدَلَ، وَلَمْ يُفْرِطْ.
“Makna
perkataan "Bersikap indahlah dalam mencari (harta dunia)" ;
Seseorang dikatakan bersikap indah dalam mencari harta dunia jika ia bersikap
seimbang dan tidak berlebihan dalam usahanya”.
[Baca : Hasyah as-Sindy ‘Alaa Sunan Ibni Majah 2/2 no. 2142]
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: "Rasulullah ﷺ bersabda:
أَعْظَمُ النَّاسِ هَمًّا الْمُؤْمِنُ
الَّذِي يَهُمُّ بِأَمْرِ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ
"Manusia
yang paling besar semangatnya adalah orang mukmin yang punya perhatian terhadap
urusan dunia dan akhiratnya."
[Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah (2143), Ibnu Abi Dunya dalam *Al-Hamm wa Al-Huzn* (109), dan
Abu Nu'aim dalam *Hilyat al-Awliya'* (3/52) dengan sedikit perbedaan. Di nilai
dho’if oleh al-Albaani dalam Dho’if al-Jami’ no. 961 dan Syu’aib al-Arna’uth
dalam Takhrij Sunan Ibnu Majah 3/275 no. 2143].
Ketidakseimbangan
terjadi ketika dunia lebih diutamakan daripada akhirat, sehingga dunia menjadi
tujuan utama. Pada saat itu, seseorang akan berlebihan dalam mencarinya dan
melalaikan agamanya karena terlalu sibuk dengannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ
اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ
رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ،
وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ
لَهُ
**"Barang
siapa yang akhirat menjadi tujuannya, maka Allah akan menjadikan kekayaan dalam
hatinya, mengumpulkan urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan
tunduk. Sedangkan barang siapa yang dunia menjadi tujuannya, maka Allah akan
menjadikan kefakiran di depan matanya, mencerai-beraikan urusannya, dan dunia
tidak akan datang kepadanya kecuali sekadar yang telah ditetapkan
untuknya."**
[Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi no. (2465). Abdul Qodir al-Arna’uth dalam hamisy Jami’
al-Ushul 11/11 no. 8472 : “Isnad-nya dho’if”. Namun Hadits ini dinilai
sahih oleh Al-Albani dalam *Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah* (2/634)].
Jika
seorang hamba menunaikan kewajibannya dan bersikap seimbang dalam mencari
kepentingan dunia, maka ia telah bersikap adil dan tidak keluar dari
keseimbangan yang benar. Tidak ada larangan bagi seorang Muslim untuk berusaha
mendapatkan manfaat duniawi.
Syeikh
asy-Syinqithy dalam *Adhwa' al-Bayan* 3/49 menjelaskan:
قَدْ جَاءَ الْقُرْآنُ بِجَلْبِ الْمَصَالِحِ
بِأَقْوَمِ الطُّرُقِ، وَأَعْدَلِهَا، فَفَتَحَ الْأَبْوَابِ لِجَلْبِ الْمَصَالِحِ
فِي جَمِيعِ الْمَيَادِينِ، قَالَ تَعَالَى:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا
فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ {62:10}
وَقَالَ: لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ
تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ {2:198}
وَقَالَ: وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي
الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ {73:20}
وَقَالَ:.... بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ {4:29}،
وَلِأَجْلِ هَذَا جَاءَ الشَّرْعُ الْكَرِيمُ
بِإِبَاحَةِ الْمَصَالِحِ الْمُتَبَادَلَةِ بَيْنَ أَفْرَادِ الْمُجْتَمَعِ عَلَى الْوَجْهِ
الْمَشْرُوعِ؛ لِيَسْتَجْلِبَ كُلٌّ مَصْلَحَتَهُ مِنَ الْآخَرِ، كَالْبُيُوعِ، وَالْإِجَارَاتِ،
وَالْأَكْرِيَةِ، وَالْمُسَاقَاةِ، وَالْمُضَارَبَةِ، وَمَا جَرَى مَجْرَى ذَلِكَ.
اهـ.
**"Al-Qur'an
datang dengan prinsip mendatangkan kemaslahatan dengan cara yang paling lurus
dan adil. Ia membuka pintu bagi manusia untuk memperoleh manfaat dalam berbagai
bidang."**
Allah
Ta'ala berfirman:
-
**"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan
carilah karunia Allah."** (QS. Al-Jumu'ah: 10)
Dia
juga berfirman :
-
**"Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu."** (QS.
Al-Baqarah: 198)
Dia
juga berfirman :
-
**"Dan orang-orang lain berjalan di muka bumi mencari karunia
Allah."** (QS. Al-Muzzammil: 20)
Dan
Dia juga berfirman :
-
**"Kecuali jika itu adalah perdagangan yang dilakukan secara suka sama
suka di antara kalian."** (QS. An-Nisa': 29)
Oleh
karena itu, syariat Islam menghalalkan pertukaran kemaslahatan di antara
individu dalam masyarakat melalui cara yang diperbolehkan, agar masing-masing
dapat mengambil manfaat dari yang lain. Contohnya seperti jual beli,
sewa-menyewa, gadai, sistem bagi hasil dalam pertanian, mudharabah, dan lain
sebagainya. [Selesai]
Bahkan,
Rasulullah ﷺ menjadikan usaha mencari rezeki sebagai bagian dari jihad fii
sabilillah. Dalam riwayat al-Thabarani yang dinyatakan shahih oleh al-Albani,
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى
وَلَدِهِ صِغَارًا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى
أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ
يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ
رِيَاءً وتَفَاخُرًا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ.
**"Jika
seseorang keluar berusaha mencari nafkah untuk anak-anaknya yang masih kecil,
maka ia berada di jalan Allah [Fii Sabiilillah]. Jika ia keluar mencari
nafkah untuk kedua orang tuanya yang telah lanjut usia, maka ia berada di jalan
Allah. Jika ia berusaha mencari nafkah untuk dirinya sendiri agar tidak
meminta-minta, maka ia berada di jalan Allah. Namun, jika ia keluar dengan
tujuan riya' dan berbangga-bangga, maka ia berada di jalan setan."** [Diriwayatkan
oleh Al-Tabarani (282) (19/129) dengan lafadz ini]
Oleh
karena itu, bersungguh-sungguhlah dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala dengan
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kamu tetap boleh berusaha
untuk mendapatkan kepentingan duniamu, seperti menuntut ilmu dan berprestasi
dalam bidangnya. Jika kamu meminta pertolongan kepada Allah, maka Dia akan
membantumu. Aturlah waktu dengan baik tanpa berlebihan atau mengabaikan salah
satu aspek kehidupan.
Dalam
*Kitab Az-Zuhd* karya Hanad 2/580 :
عَنْ وَهْبِ بْنِ
مُنَبِّهٍ قَالَ: مَكْتُوبٌ فِي
حِكْمَةِ آلِ دَاوُدَ: حَقٌّ عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ لَا يَغْفَلَ عَنْ أَرْبَعِ
سَاعَاتٍ مِنَ النَّهَارِ: سَاعَةٌ يُنَاجِي فِيهَا رَبَّهُ، وَسَاعَةٌ يُحَاسِبُ
فِيهَا نَفْسَهُ، وَسَاعَةٌ يَخْلُو فِيهَا مَعَ إِخْوَانِهِ الَّذِينَ
يَنْصَحُونَهُ فِي نَفْسِهِ وَيَصُدُّونَهُ عَنْ عُيُوبِهِ، وَسَاعَةٌ يُخَلِّي
بَيْنَ نَفْسِهِ وَبَيْنَ لَذَّتِهَا فِيمَا يَحِلُّ وَيَجْمُلُ، فَإِنَّ هَذِهِ
السَّاعَةَ تَكُونُ عَوْنًا عَلَى هَذِهِ السَّاعَةِ، وَاسْتِجْمَامِ الْقُلُوبِ,
وَفَضْلٍ, وَبُلْغَةٍ، وَحَقٌّ عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ لَا يَكُونَ طَاعِنًا إِلَّا
فِي إِحْدَى ثَلَاثَةٍ: يُزَوِّدُ لِمَعَادٍ، أَوْ عَزِيمَةٍ لِمَعَاشٍ، أَوْ
لَذَّةٍ فِي غَيْرِ مُحَرَّمٍ، وَحَقٌّ عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَكُونَ عَالِمًا
بِزَمَانِهِ، مَالِكًا لِلِسَانِهِ، مُقْبِلًا عَلَى شَأْنِهِ. اهــ.
Wahb
bin Munabbih berkata: **"Dalam
hikmah keluarga Dawud tertulis: Wajib bagi orang yang berakal untuk tidak lalai
dalam empat waktu dalam sehari: waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya, waktu
untuk menghisab dirinya sendiri, waktu untuk bergaul dengan saudara-saudara
yang menasihatinya dan menjauhkan dirinya dari keburukan, serta waktu untuk
bersantai menikmati sesuatu yang halal dan baik. Sebab, waktu bersantai ini
akan membantu dalam menunaikan tiga waktu lainnya, serta menyegarkan hati dan
memberikan manfaat. Wajib bagi orang yang berakal untuk tidak sibuk kecuali
dalam tiga hal: menyiapkan bekal untuk akhirat, memenuhi kebutuhannya di dunia,
atau menikmati sesuatu yang halal. Dan wajib bagi orang yang berakal untuk
memahami zamannya, menjaga lisannya, serta fokus pada urusannya
sendiri."**
Di
sebutkan pula oleh Abdullah bin al-Mubarok dalam az-Zuhud wa ar-Raoqoiq 1/105
no. 313 dengan lafadz :
عَنْ وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ:
" إِنَّ فِي حِكْمَةِ آلِ دَاوُدَ: حَقٌّ عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ لَا يَغْفَلَ
عَنْ أَرْبَعِ سَاعَاتٍ، سَاعَةٍ يُنَاجِي فِيهَا رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَسَاعَةٍ
يُحَاسِبُ فِيهَا نَفْسَهُ، وَسَاعَةٍ يُفْضِي فِيهَا إِلَى إِخْوَانِهِ الَّذِينَ
يُخْبِرُونَهُ بِعُيُوبِهِ، وَيَصْدُقُونَهُ عَنْ نَفْسِهِ، وَسَاعَةٍ يُخَلِّي بَيْنَ
نَفْسِهِ وَبَيْنَ لَذَّاتِهَا فِيمَا يَحِلُّ وَيَجْمُلُ، فَإِنَّ هَذِهِ السَّاعَةَ
عَوْنٌ عَلَى هَذِهِ السَّاعَاتِ، وَإِجْمَامٌ لِلْقُلُوبِ، وَحَقٌّ عَلَى الْعَاقِلِ
أَنْ يَعْرِفَ زَمَانَهُ، وَيَحْفَظُ لِسَانَهُ، وَيُقْبِلَ عَلَى شَأْنِهِ، وَحَقٌّ
عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ لَا يَظْعَنَ إِلَّا فِي إِحْدَى ثَلَاثٍ: زَادٍ لِمِعَادِهِ،
وَمَرَّمَةٍ لِمَعَاشِهِ، وَلَذَّةٍ فِي غَيْرِ مُحَرَّمٍ "
Dari
Wahb bin Munabbih, ia berkata:
**"Dalam
hikmah keluarga Dawud disebutkan:** Sudah sepatutnya bagi orang yang berakal
untuk tidak lalai dari empat waktu:
1.
Waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya Yang Mahamulia dan Mahatinggi.
2.
Waktu untuk mengintrospeksi dirinya.
3.
Waktu untuk berbincang dengan saudara-saudaranya yang memberitahukan aibnya dan
jujur terhadap dirinya.
4.
Waktu untuk membiarkan dirinya menikmati kesenangan yang halal dan baik.
Sebab
waktu yang terakhir ini akan menjadi penolong bagi waktu-waktu lainnya dan
memberikan ketenangan bagi hati.
Selain
itu, sudah sepatutnya bagi orang yang berakal untuk memahami zamannya, menjaga
lisannya, dan fokus pada urusannya.
Juga
sudah sepatutnya bagi orang yang berakal untuk tidak bepergian kecuali dalam
tiga hal:
KE
1. Untuk mengumpulkan bekal bagi akhiratnya.
KE
2. Untuk mengurus sumber penghidupannya [mencari rizki].
KE
3. Untuk menikmati kesenangan yang tidak diharamkan."
Sesungguhnya
seorang mukmin yang mendapat taufik menjalani kehidupannya dengan berimbang
berdasarkan petunjuk yang telah digariskan oleh Tuhannya. Allah ﷻ berfirman:
﴿وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ
إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ﴾
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77).
Seorang
mukmin berusaha dengan sebab-sebab yang ada dan mencurahkan kemampuannya untuk
mencari rezeki yang halal serta memakmurkan bumi dengan hal-hal yang diridhai
oleh Allah ﷻ. Ia menikmati dunia tanpa merusak agamanya dan akhiratnya.
Makna ini merupakan salah satu tafsiran dari firman Allah ﷻ:
﴿وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا﴾
*"Dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia."*
Allah
ﷻ juga berfirman:
﴿رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ﴾
*"Ya
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta
peliharalah kami dari azab neraka."* (QS. Al-Baqarah: 201).
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata:
فَجَمَعَتْ هَذِهِ الدعوةُ كلَّ خَيْرٍ
فِي الدُّنْيَا، وصرَفت كُلَّ شَرٍّ فَإِنَّ الْحَسَنَةَ فِي الدُّنْيَا تشملُ كُلَّ
مَطْلُوبٍ دُنْيَوِيٍّ، مِنْ عَافِيَةٍ، وَدَارٍ رَحْبَةٍ، وَزَوْجَةٍ حَسَنَةٍ، وَرِزْقٍ
وَاسِعٍ، وَعِلْمٍ نَافِعٍ، وَعَمَلٍ صَالِحٍ، وَمَرْكَبٍ هَنِيءٍ، وَثَنَاءٍ جَمِيلٍ
*"Doa
ini mencakup segala kebaikan di dunia dan menolak segala keburukan. Kebaikan di
dunia mencakup segala hal yang diinginkan, seperti kesehatan, tempat tinggal
yang nyaman, istri yang baik, rezeki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal yang
saleh, kendaraan yang nyaman, dan reputasi yang baik."* [Tafsir Ibnu
Katsir 1/558]
===***===
MEMBAGI WAKTU UNTUK HAL-HAL YANG POSITIF :
Fokus
dalam bekerja serta bersungguh-sungguh dan ikhlas dalam melakukannya adalah
sesuatu yang dituntut. Namun, tidak sepantasnya seseorang terlalu sibuk
menambah pekerjaan yang memerlukan lebih banyak tenaga, waktu, dan konsentrasi
hingga berdampak negatif pada hal-hal lain yang tidak kalah penting, terutama
jika berkaitan dengan urusan syariat.
Inilah
permasalahan yang sedang Anda bicarakan, dan tidak ada cara untuk mengatasinya
kecuali dengan keseimbangan yang adil.
Maka,
berusahalah sekuat tenaga untuk menetapkan waktu tertentu dalam menjalankan
pekerjaan Anda. Jangan biarkan hal ini terbuka tanpa batasan waktu, tetapi
cobalah untuk membatasi jam kerja dengan jumlah yang sesuai dengan sifat
pekerjaan dan kondisi Anda.
Kemudian,
luangkan di sela-sela pekerjaan Anda waktu untuk membaca Al-Qur'an, meskipun
sebentar, atau membaca buku-buku ilmu syar'i, atau mengulang kembali pelajaran
yang telah Anda pelajari. Anda juga bisa memanfaatkan waktu menunggu dan jeda
antara tugas dengan mengisinya dengan membaca wirid Al-Qur'an atau
amalan-amalan ketaatan lainnya.
Anda
juga bisa mengunduh banyak pelajaran ilmiah, dakwah, serta bacaan Al-Qur'an di
komputer pribadi Anda agar dapat mengambil manfaat dengan mendengarkannya saat
waktu luang, saat menunggu, atau saat melakukan pekerjaan rutin yang tidak membutuhkan
konsentrasi penuh.
Berusahalah
membuka pintu-pintu ketaatan bagi diri Anda sesuai kemampuan. Jangan biarkan
seminggu atau sebulan berlalu tanpa berpuasa, meskipun hanya tiga hari dalam
sebulan sebelum terlewatkan.
Usahakan
pula untuk memiliki wirid dari shalat sunah yang dapat Anda istiqamahi sesuai
dengan kemampuan dan semangat Anda dalam beribadah kepada Allah. Sebaiknya,
usahakan untuk melaksanakan dua rakaat sebelum fajar.
Ketahuilah
bahwa Anda tidak akan bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dunia dan amal
akhirat kecuali dengan memperhatikan dan mengamalkan Hadits berikut.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1968), bahwa Salman berkata kepada Abu Darda'
radhiyallahu 'anhuma saat menasihatinya:
( إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ )
فَأَتَى أبو الدرداء النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ
ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( صَدَقَ
سَلْمَانُ )
.
*"Sesungguhnya
Rabbmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu memiliki
hak atasmu, maka berikanlah setiap yang memiliki hak akan haknya."*
Lalu
Abu Darda' mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal itu
kepadanya, maka Nabi ﷺ bersabda: *"Salman
benar."*
Allah
Ta'ala berfirman:
﴿وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا﴾
*"Dan
carilah pada apa yang telah Allah datangkan (keterangan) kepadamu (tentang)
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari
(kenikmatan) dunia."* (Al-Qashash: 77)
As-Sa'di
rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai ayat ini:
“… أَي: قَدْ حَصَلَ عِنْدَكَ مِنْ وَسَائِلِ
الْآخِرَةِ مَا لَيْسَ عِنْدَ غَيْرِكَ مِنَ الْأَمْوَالِ فَابْتَغِ بِهَا مَا عِنْدَ
اللَّهِ، وَتَصَدَّقْ، وَلَا تَقْتَصِرْ عَلَى مُجَرَّدِ نَيْلِ الشَّهَوَاتِ وَتَحْصِيلِ
اللَّذَّاتِ. ﴿وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا﴾ أَي لَا نَأْمُرُكَ أَنْ تَتَصَدَّقَ
بِجَمِيعِ مَالِكَ وَتَبْقَى ضَائِعًا، بَلْ أَنْفِقْ لِآخِرَتِكَ، وَاسْتَمْتِعْ بِدُنْيَاكَ
اسْتِمْتَاعًا لَا يَثْلُمُ دِينَكَ وَلَا يَضُرُّ آخِرَتَكَ”.
*"Artinya,
engkau telah memiliki sarana untuk meraih akhirat yang tidak dimiliki oleh
orang lain berupa harta, maka carilah dengan harta itu apa yang ada di sisi
Allah, bersedekahlah, dan janganlah hanya terbatas pada mengejar syahwat serta
meraih kenikmatan duniawi saja. 'Dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari
dunia', yaitu kami tidak memerintahkanmu untuk menyedekahkan seluruh hartamu
hingga kamu menjadi terlantar, tetapi belanjakanlah hartamu untuk akhiratmu,
serta nikmatilah duniamu dengan cara yang tidak merusak agamamu dan tidak
membahayakan akhiratmu."* [Tafsir As-Saadi 4/40.]
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai ayat ini:
“أَي: اسْتَعْمِلْ مَا وَهَبَكَ اللَّهُ مِنْ
هَذَا الْمَالِ الْجَزِيلِ وَالنِّعْمَةِ الطَّائِلَةِ فِي طَاعَةِ رَبِّكَ
وَالتَّقَرُّبِ إِلَيْهِ بِأَنْوَاعِ الْقُرُبَاتِ، الَّتِي يَحْصُلُ لَكَ بِهَا
الثَّوَابُ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ، ﴿وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا﴾،
أَي: مِمَّا أَبَاحَ اللَّهُ فِيهَا مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلَابِسِ
وَالْمَسَاكِنِ وَالْمَنَاكِحِ، فَإِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا،
فَآتِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ”.
*"Maksudnya,
manfaatkanlah apa yang Allah anugerahkan kepadamu berupa harta yang melimpah
dan kenikmatan yang besar dalam ketaatan kepada Tuhanmu, serta mendekatkan diri
kepada-Nya dengan berbagai amal ibadah yang akan mendatangkan pahala bagimu di
akhirat. 'Dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia', yakni apa yang telah
Allah halalkan berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan
pernikahan. Karena sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliki
hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, dan tamumu memiliki hak atasmu,
maka berikanlah setiap yang memiliki hak itu haknya."* [Tafsir Ibnu Katsir
6/253].
===***===
PEMBAGIAN GOLONGAN SIKAP MANUSIA TERHADAP DUNIA DAN AKHIRAT
Pandangan
manusia terhadap dunia dan akhirat terbagi menjadi tiga golongan:
1.
**Golongan pertama**: Mereka yang menjadikan dunia sebagai satu-satunya tujuan
dan membatasi pandangan mereka hanya pada dunia seakan-akan mereka akan hidup
selamanya di dalamnya.
2.
**Golongan kedua**: Mereka yang hanya fokus pada akhirat, meninggalkan dunia
dan penghuninya, serta membiarkan dunia dikuasai oleh orang-orang yang berbuat
kerusakan.
3.
**Golongan pertengahan dan adil**: Mereka adalah para pencari kebenaran yang
berusaha membangun dan memperbaiki dunia, serta menolak para perusak. Mereka
memandang dunia sebagai ladang bagi akhirat, menempatkannya di tangan mereka,
bukan di hati mereka. Mereka menyadari bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan
sementara dan sarana untuk mempersiapkan bekal menuju kehidupan abadi di
akhirat, serta dunia ini tidak ada nilainya dibandingkan dengan kenikmatan yang
kekal di negeri akhirat.
Dalam
hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"وَالنَّاسُ أَقْسَامٌ. أَصْحَابُ
" دُنْيَا مَحْضَةٍ " وَهُمْ الْمُعْرِضُونَ عَنْ الْآخِرَةِ. وَأَصْحَابُ
" دِينٍ فَاسِدٍ " وَهُمْ الْكُفَّارُ وَالْمُبْتَدِعَةُ الَّذِينَ يَتَدَيَّنُونَ
بِمَا لَمْ يُشَرِّعْهُ اللَّهُ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ والزهادات. وَ
" الْقِسْمُ الثَّالِثُ " وَهُمْ أَهْلُ الدِّينِ الصَّحِيحِ أَهْلُ الْإِسْلَامِ
الْمُسْتَمْسِكُونَ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ
لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ".
*"Manusia
terbagi menjadi beberapa golongan:
Pertama,
orang-orang yang hanya menginginkan dunia semata, yaitu mereka yang berpaling
dari akhirat.
Kedua,
orang-orang yang memiliki agama yang rusak, yaitu orang-orang kafir dan ahli
bid’ah yang beribadah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah, baik
berupa ibadah maupun kezuhudan yang menyimpang.
Ketiga,
orang-orang yang berpegang teguh pada agama yang benar, yaitu umat Islam yang
mengikuti Al-Qur’an, Sunnah, dan jamaah. Segala puji bagi Allah yang telah
memberi kita petunjuk menuju jalan ini, dan kita tidak akan mendapat petunjuk
jika bukan karena Allah yang memberi kita petunjuk. Sungguh, telah datang
kepada kita para rasul dengan membawa kebenaran."* [Majmu’ al-Fatawa
10/624]
Syaikh
Safar Al-Hawali hafizhahullah berkata:
وَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَسَطٌ
حَتَّى فِي حَيَاتِهِمُ الْعَمَلِيَّةِ:
فَمِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
مَنْ كَانَ يَلِي الْقَضَاءَ، وَمَنْ كَانَ يَلِي بَعْضَ الْمَنَاصِبِ، وَمَنْ كَانَ
ذَا مَالٍ وَسِعَةٍ وَفَضْلٍ.
وَفِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ الْأُسْوَةُ
الْكَامِلَةُ؛ فَقَدْ كَانَ فِيهِمْ أَهْلُ الثَّرَاءِ وَالْغِنَى، كَمَا كَانَ فِي
أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ أَيْضًا أَهْلُ الْفَاقَةِ وَالْفَقْرِ، وَأَهْلُ الصَّبْرِ
وَالزُّهْدِ، وَكَانَ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ أَهْلُ الْعِبَادَةِ وَالذِّكْرِ،
كَمَا كَانَ فِيهِمْ أَهْلُ الْجِهَادِ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ
الْمُنْكَرِ.
وَمَنْ بَعْدَهُمْ حَصَلَ عِنْدَهُمُ
الِاضْطِرَابُ فِي ذَلِكَ؛ فَبَعْضُهُمْ مَالَ إِلَى الدُّنْيَا، وَرَكَنَ إِلَيْهَا،
وَلَمْ يَتَحَرَّزْ مِنْ قَبُولِ أَيِّ وِلَايَةٍ، وَلَمْ يَتَحَرَّزْ مِنْ قَبُولِ
أَيِّ مَنْصِبٍ، وَلَا فِي التَّوَسُّعِ فِي الدُّنْيَا وَالْأَخْذِ مِنْهَا، وَقَالُوا:
هَذِهِ خَيْرَاتٌ وَطَيِّبَاتٌ أَحَلَّهَا اللَّهُ؛ فَتَوَسَّعُوا فِي ذَلِكَ تَوَسُّعًا
أَخْرَجَهُمْ عَمَّا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ مِنَ التَّقَلُّلِ مِنَ الدُّنْيَا وَالرَّغْبَةِ
فِي الْآخِرَةِ، وَصِدْقِ التَّوَجُّهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى.
وَمِنْهُمْ طَائِفَةٌ مَالَتْ إِلَى الْعَكْسِ:
فَأَخَذُوا بِالزُّهْدِ وَتَرَكُوا مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، حَتَّى إِنَّهُمْ
حَرَّمُوا الطَّيِّبَاتِ، أَوْ عَلَى الْأَقَلِّ نَظَرُوا إِلَى مَنْ يَأْخُذُ شَيْئًا
مِنَ الطَّيِّبَاتِ بِأَنَّهُ خَارِجٌ عَنِ الصَّوَابِ وَعَنْ إِصَابَةِ الْحَقِّ.
فَهَذَا الْأَمْرُ وَإِنْ كَانَ أَمْرًا
وَاقِعِيًّا ـ أَيْ: فِي التَّطْبِيقِ الْعَمَلِيِّ ـ إِلَّا أَنَّهُ يُوَصِّلُنَا
وَيَدُلُّنَا عَلَى تَوَسُّطِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِيهِ.
خَاصِّيَّةٌ عُظْمَى يَتَمَيَّزُ بِهَا
أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ؛ وَهِيَ أَنَّهُمْ يَدْخُلُونَ فِي الْإِسْلَامِ
كُلِّهِ وَيَجْمَعُونَ الدِّينَ كُلَّهُ.
*"Ahlus
Sunnah wal Jamaah berada di tengah-tengah, bahkan dalam kehidupan mereka yang
praktis.
Di
antara Ahlus Sunnah wal Jamaah ada yang menjabat sebagai qadhi (hakim), ada
yang memegang beberapa jabatan tertentu, dan ada pula yang memiliki harta
berlimpah serta keutamaan dalam kebaikan.
Di
antara para sahabat Rasulullah ﷺ terdapat teladan yang
sempurna; ada di antara mereka yang kaya dan berharta, tetapi juga ada yang
miskin dan fakir, serta mereka yang bersabar dalam kezuhudan. Ada pula di
antara mereka yang ahli ibadah dan dzikir, sebagaimana ada juga yang berjihad,
menyeru kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran.
Namun,
setelah generasi mereka, terjadi ketidakseimbangan dalam hal ini. Sebagian
orang condong kepada dunia, terlalu bergantung padanya, dan tidak berhati-hati
dalam menerima jabatan atau memperluas usaha mereka di dunia. Mereka berkata:
‘Ini adalah kenikmatan yang halal yang diberikan oleh Allah,’ sehingga mereka
terlalu berlebihan dalam mengambilnya, hingga keluar dari jalan yang ditempuh
oleh generasi salaf yang lebih mengutamakan akhirat dan memiliki ketulusan
dalam kembali kepada Allah Ta’ala.
Sebaliknya,
ada pula kelompok yang mengambil sikap yang ekstrem ke arah yang lain, yaitu
mereka yang terlalu menekankan kezuhudan dan meninggalkan kenikmatan dunia.
Bahkan, ada di antara mereka yang mengharamkan hal-hal yang baik, atau
setidaknya memandang orang yang mengambil sesuatu dari kenikmatan dunia sebagai
orang yang menyimpang dan tidak berada di jalan yang benar.
Meskipun
hal ini lebih kepada penerapan praktis, tetapi ini menunjukkan bahwa Ahlus
Sunnah wal Jamaah selalu bersikap pertengahan dalam segala hal.
Salah
satu keistimewaan besar yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa
mereka memasuki Islam secara menyeluruh dan mengamalkan seluruh ajaran agama.”*
[Dari
sebuah risalah yang belum diterbitkan karya Syaikh berjudul *"Wasathiyyah
Ahlus Sunnah wal Jama'ah"*. **Fi
Zhilalil Qur'an** (2/931–934) secara ringkas.]
Barang
siapa yang menjadikan akhirat dan beramal untuknya sebagai tujuan utamanya,
maka Allah akan mencukupkan urusan dunianya. Namun, siapa yang dikuasai oleh
dunia dan hatinya disibukkan dengannya, serta menjadikannya sebagai tujuan
utama, maka ia akan hidup sebagai budak yang terbelenggu olehnya, hatinya
terpecah belah, pikirannya kalut, tidak puas dengan yang banyak dan tidak
bahagia dengan yang sedikit.
Rasulullah
ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ،
جَمَعَ اللهُ لَهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَأَتَتْهُ
الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، فَرَّقَ اللهُ
شَمْلَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يُؤْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا
إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ"
*"Barang
siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, Allah akan mengumpulkan
urusannya, menjadikan kekayaan di dalam hatinya, dan dunia akan datang
kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan barang siapa yang menjadikan dunia sebagai
tujuannya, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di
hadapan matanya, dan tidak akan mendapatkan dari dunia kecuali apa yang telah
ditetapkan baginya."* (Diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu
Majah).
Al-'Iraqi
berkata: *"Sanadnya baik."* Hadits ini juga dinyatakan sahih oleh
sejumlah ulama.
Seorang
muslim senantiasa menjadikan prinsip hidupnya sesuai dengan firman Allah:
﴿قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ
خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَىٰ﴾
*"
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa.'"* (An-Nisa: 77).
Oleh
karena itu, ia menjadikan hidupnya sebagai ladang untuk akhirat, tidak
mengutamakan dunia atas akhirat, serta tidak mendahulukan hawa nafsu dan keinginannya
di atas ketakwaan, sebagaimana firman Allah:
﴿قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ
خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا﴾
*"Katakanlah:
'Kesenangan dunia ini hanya sedikit, sedangkan akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.'"*
(An-Nisa: 77).
Dan
Allah SWT berfirman :
﴿وَإِن كُلُّ ذَٰلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۚ وَالْآخِرَةُ عِندَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ﴾
*"Dan
semua itu hanyalah kesenangan hidup dunia, sedangkan akhirat di sisi Tuhanmu
adalah bagi orang-orang yang bertakwa."* (Az-Zukhruf: 35).
Maka
berhati-hatilah dari tertipu oleh dunia ini, dan lindungilah diri dari
kelalaian, hawa nafsu, serta syahwat. Allah berfirman:
﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ
حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۖ وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ
الْغَرُورُ﴾
*"Wahai
manusia! Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah kehidupan dunia
memperdayakan kamu, dan jangan sampai syaitan yang menipu memperdayakan kamu
terhadap Allah."* (Fathir: 5).
Dan
Allah SWT berfirman :
﴿وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ
الْغُرُورِ﴾
*"Dan
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."*
(Al-Hadid: 20).
===***===
KONDISI KAUM MUSLIMIN DI ERA SEKARANG
Bagi
orang yang memperhatikan keadaan sebagian orang saat ini akan mendapati bahwa
mereka sangat bergantung pada dunia. Keinginan mereka hanyalah meraihnya, dan
tujuan terbesar mereka adalah berusaha mendapatkannya. Tidak ada perhatian
mereka selain dunia ini; karena dunia mereka berloyalitas dan karena dunia pula
mereka bermusuhan. Mereka ridha dan marah demi dunia, hingga benarlah gambaran tentang mereka dalam sebuah syair. Zurqan berkata: Aku mendengar Ibnul Mubarak berkata
di benteng Tharsus:
وَمِنَ
الْبَلَاءِ وَلِلْبَلَاءِ عَلَامَةٌ *** أَنْ لَا يُرَى لَكَ عَنْ هَوَاكَ نُزُوعُ
الْعَبْدُ
عَبْدُ النَّفْسِ فِي شَهَوَاتِهَا *** وَالْحُرُّ يَشْبَعُ مَرَّةً وَيَجُوعُ
*"Di
antara musibah, dan musibah itu memiliki tanda *** adalah ketika engkau tidak
terlihat berpaling dari hawa nafsumu.
Seorang
hamba adalah budak bagi nafsunya dalam syahwatnya *** sedangkan orang yang
merdeka kadang kenyang, kadang lapar."*
[Di
kutip dari : Tarikh Damaskus karya Ibnu Asakir 32/468, Maa Rowaahu al-Akaabir
‘An Malik bin Anas karya Muhammad bin Makhlad ad-Duuri hal. 70 no. 67].
Barang
siapa yang dilalaikan oleh dunianya hingga melupakan akhiratnya, serta
mengikuti syahwatnya meskipun bertentangan dengan syariat Tuhannya, maka ia
akan mengalami kerugian besar dan terjerumus dalam kesengsaraan yang amat
dahsyat.
Allah
ﷻ berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ
ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ﴾
*"Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka
itulah orang-orang yang merugi."* (Al-Munafiqun: 9).
Allah
ﷻ juga berfirman:
﴿۞ فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا
الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا﴾
*"Maka
datanglah setelah mereka pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan salat dan
mengikuti hawa nafsu, maka kelak mereka akan menemui kesesatan, kecuali orang
yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka mereka itulah yang akan masuk
surga dan tidak akan dianiaya sedikit pun."* (Maryam: 59-60).
Rasulullah
ﷺ bersabda:
تَعِسَ عَبدُ الدِّينَارِ وَعَبدُ
الدِّرْهَمِ، تَعِسَ عَبْدُ الخَمِيصَةِ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ
انْتَقَشَ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ مُنِعَ سَخِطَ
*"Celakalah
hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian mewah! Celaka dan
terjungkir baliklah ia! Jika tertusuk duri, semoga tidak bisa mencabutnya! Jika
diberi, ia ridha; dan jika tidak diberi, ia murka."* [HR. Bukhori no.
2887]
Makna
*"terjungkir balik"* dalam Hadits ini adalah mengalami kehancuran,
kesengsaraan, serta terjatuh dalam kehinaan dan kebinasaan.
Maka
bertakwalah kepada Allah, wahai hamba-hamba Allah, dan berhati-hatilah dari
segala sesuatu yang dapat menjauhkan kalian dari ridha Tuhan kalian ﷻ. Allah ﷻ berfirman:
﴿ بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا *
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى﴾
*"Tetapi
kamu lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih
baik dan lebih kekal."* (Al-A'la: 16-17).
Namun
demikian Allah SWT memuji orang-orang yang rajin berbisnis dan berjualan, akan
tetapi semuanya itu tidak membuat mereka lalai dari mengingat Allah dan
menunaikan kewajiban ibadahnya. Sebagaimana dalam firman-Nya :
﴿رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ
عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا
تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ﴾
“Para
laki-laki yang perniagaannya dan jual belinya tidak melalaikan mereka dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan
zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi goncang. [QS. An Nur: 37]
===***===
GODAAN DUNIA DI ZAMAN SEKARANG
Di
zaman ini, godaan dunia telah menguasai hati banyak orang, dan jiwa sebagian
kaum muslimin sangat condong kepada kesenangan serta syahwatnya. Oleh karena
itu, seorang muslim harus berhenti sejenak untuk melakukan muhasabah
(introspeksi), merenungkan hakikat kehidupan, dan mempertimbangkan akibat dari
segala perbuatannya.
Allah
ﷻ berfirman:
﴿الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ
أَمَلًا﴾
*"Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang
kekal lebih baik di sisi Tuhanmu sebagai pahala dan lebih baik untuk menjadi
harapan."* (QS. Al-Kahfi: 46).
Dalam
sebuah Hadits, Nabi ﷺ bersabda:
"مَا لِي وَ لِلدُّنْيَا؟ إِنَّمَا
مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ قَالَ - أَي: نَامَ - فِي ظِلِّ شَجَرَةٍ
فِي يَوْمٍ صَائِفٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا"
*"Apa
urusanku dengan dunia? Perumpamaanku dan dunia ini seperti seorang pengendara
yang berteduh di bawah pohon pada siang yang terik, lalu ia beristirahat
sejenak, kemudian pergi dan meninggalkannya."*
[Diriwayatkan
secara panjang lebar oleh Al-Tirmidzi (2377), Ibnu Majah (4109), Ahmad (3709),
dan Ibnu Hibban dalam ((Al-Majrouhin)) (1/276) dan susunan kata-katanya adalah
miliknya. Di nilai Shahih oleh al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 2377]
Dengarkanlah
wasiat Nabi ﷺ ini dengan penuh perhatian, penerimaan, dan pengamalan. Dari
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
أخَذَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم بمَنْكِبِي، فَقَالَ: كُنْ في الدُّنْيَا كَأنَّكَ غَرِيبٌ أوْ عَابِرُ سَبِيلٍ.
وكانَ ابنُ عُمَرَ يقولُ: إذَا أمْسَيْتَ فلا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وإذَا أصْبَحْتَ
فلا تَنْتَظِرِ المَسَاءَ، وخُذْ مِن صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، ومِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ.
*"Rasulullah
ﷺ memegang pundakku lalu bersabda: 'Jadilah engkau di dunia
seperti orang asing atau seorang musafir.'"*
Ibnu
Umar radhiyallahu 'anhuma juga berkata:
*"Jika
engkau berada di waktu sore, jangan menunggu datangnya pagi (untuk beramal
akhirat), dan jika engkau berada di waktu pagi, jangan menunggu datangnya sore.
Manfaatkanlah sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu."* (HR.
Bukhari no. 6416).
Namun,
sebelum dan setelah semua ini, tidak ada yang lebih besar dan lebih bermanfaat
bagi seorang hamba selain bergantung kepada Rabbnya, memohon pertolongan
kepada-Nya, dan berlindung kepada-Nya agar Dia memperbaiki seluruh urusannya,
membantunya dalam segala hal, serta memberikan pertolongan dari sisi-Nya.
0 Komentar