STUDY HADITS : “DOA HIDAYAH DARI ORANG MATI DI ALAM BARZAKH UNTUK ORANG HIDUP”.
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
===DAFTAR ISI :
- PEMBAHASAN PERTAMA : ORANG YANG TELAH WAFAT PUTUS AMAL-NYA:
- PEMBAHASAN KEDUA : PERINTAH MENDO’AKAN ORANG YANG TELAH WAFAT :
- PEMBAHASAN KETIGA : DOA ORANG WAFAT HANYA SEBATAS ANGAN-ANGAN DAN KEINGINAN:
- PEMBAHASAN KEEMPAT : STUDY HADITS TENTANG DOA ORANG YANG TELAH WAFAT DI ALAM BARZAKH.
- PEMBAHASAN KELIMA: Apakah Boleh Meminta Syafaat atau Doa dari Orang yang Telah Meninggal?
- PEMBAHASAN KE ENAM : PERNYATAAN SEKELOMPOK ULAMA
****
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN :
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى أَقَارِبِكُمْ
وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ الْأَمْوَاتِ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ
كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ، قَالُوا: اللَّهُمَّ لَا تُمِتْهُمْ، حَتَّى تَهْدِيَهُمْ
كَمَا هَدَيْتَنَا».
*"Sesungguhnya amalan kalian diperlihatkan kepada kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal. Jika itu adalah kebaikan, mereka bergembira dengannya. Namun, jika bukan demikian, mereka berkata:
'Ya Allah, janganlah Engkau matikan mereka sebelum Engkau memberi mereka hidayah sebagaimana Engkau telah memberi kami hidayah.'"*
===***===
PEMBAHASAN PERTAMA :
ORANG YANG TELAH WAFAT
PUTUS AMAL-NYA:
Dalil-dalil
yang menunjukkan amal ibadah manusia terputus dengan kematian :
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه
عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له.
Apabila
seseorang meninggal dunia, terputuslah amal ibadahnya kecuali dari tiga
perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang
mendoakannya.
[HR. Muslim no. 1631]
Dan dari Salman al-Faarisy bahwa Rosulullah ﷺ bersabda
:
"رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ
صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ
يَعْمَلُهُ، وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ"
"Ribaath
(berjaga-jaga di perbatasan negeri musuh) sehari semalam lebih baik
daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh. Jika dia meninggal maka
amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir
pula rizkinya dan dia terbebas dari Penguji [pertanyaan Malaikat Munkar dan
Nakir]. ( HR. Muslim No. 3537 ).
===***===
PEMBAHASAN KEDUA :
PERINTAH UNTUK MENDO’AKAN ORANG YANG
TELAH WAFAT :
Allah
SWT berfirman :
﴿وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا
تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ﴾
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa:
"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [QS. Al Hashr: 10]
Dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ، وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ»
“Dahulu Nabi ﷺ ketika selesai menguburkan
mayat, beliau berdiri dan mengatakan, “Mintakan ampunan untuk saudara anda
semua, dan mohonkan kepadanya keteguhan. Karena dia sekarang sedang ditanya.”
(Diriwayatkan oleh Abu Daud, 3221. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany di
Ahkamu Al-Janaiz, hal. 198)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :
يُسْتَحَبُّ أَنْ يَمْكُثَ عَلَى القَبْرِ
بَعْدَ الدَّفْنِ سَاعَةً يَدْعُو لِلْمَيِّتِ وَيَسْتَغْفِرُ لَهُ، نَصَّ عَلَيْهِ
الشَّافِعِيُّ، وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الأَصْحَابُ" انْتَهَى.
“Dianjurkan untuk berdiam beberapa waktu setelah dikuburkan mayat dan
berdoa untuk mayat serta memohonkan ampunan untuknya. Hal itu telah ditegaskan
oleh Syafi’i dan murid-muridnya juga telah menyepakatinya.” (Syarh Al-Muhadzab,
5/60)
Mula Ali Al-Qori rahimahullah mengatakan :
فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ:
"اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ" أَيْ اطْلُبُوا الْمَغْفِرَةَ لِذُنُوبِ أَخِيكُمُ
الْمُؤْمِنِ، وَذِكْرُ الأَخِ لِلْعَطْفِ عَلَيْهِ وَاسْتِكْثَارِ الدُّعَاءِ لَهُ"
انْتَهَى.
“Sabda Nabi ﷺ ‘Mohonkan ampunan untuk saudara anda semua’ maksudnya Mohonkan
ampunan dari dari saudara mukmin anda. Disebutkan saudara untuk mengasihi dan
memperbanyak doa untuknya.” (Mirqotul Mafatih, 1/473)
Syekh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan :
فَيُسْتَحَبُّ لِلْمُشَيِّعِينَ إِذَا
فَرَغُوا مِنَ الدَّفْنِ أَنْ يَقِفُوا عَلَى الْمَيِّتِ، وَأَنْ يَدْعُوا لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ
وَالثَّبَاتِ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنَ الْوَقْفَةِ.. انْتَهَى.
“Dianjurkan bagi pelayat ketika mayat selesai dikuburkan hendaknya
berdiri di atas kuburan mayat dan berdoa memohon ampunan dan keteguhan untuknya
tanpa terbatas waktu berdirinya.” (Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darbi, 1/346)
===***===
PEMBAHASAN KETIGA :
DOA ORANG WAFAT HANYA
SEBATAS ANGAN-ANGAN DAN KEINGINAN:
Allah SWT berfirman :
﴿حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ
رَبِّ ارْجِعُونِ . لَعَلِّي
أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا
ۖ وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ﴾
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku
kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang
telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang
diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka
dibangkitkan. [QS. Al-Muminun: 99-100]
****
DOA PARA SYUHADA UHUD AGAR BISA KEMBALI KE DUNIA DITOLAK:
Dan dalam hadis sahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud , bahwa Nabi ﷺ bersabda :
"إِنَّ
أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ حَيْثُ
شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقة تَحْتَ الْعَرْشِ، فاطَّلع عَلَيْهِمْ
رَبُّكَ اطِّلاعَة، فَقَالَ: مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا، وَأَيُّ
شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ؟ ثُمَّ
عَادَ إِلَيْهِمْ بِمِثْلِ هَذَا، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُون مِنْ
أَنْ يَسْأَلُوا، قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا،
فَنُقَاتِلَ فِي سَبِيلِكَ، حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى؛ لِمَا يَرَوْنَ
مِنْ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ -فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كتبتُ أنَّهم
إِلَيْهَا لَا يَرْجِعُونَ"
Bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam perut burung-burung hijau
yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka kehendaki. Kemudian
burung-burung itu hinggap di lentera-lentera yang bergantung di bawah 'Arasy.
Kemudian Tuhanmu menjenguk mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia
berfirman : "Apakah yang kalian inginkan?"
Mereka menjawab : "Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan,
sedangkan Engkau telah memberi kami segala sesuatu yang belum pernah Engkau
berikan kepada seorang pun di antara makhluk-Mu?"
Kemudian Allah mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala mereka
didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali mengemukakan permintaannya ,
akhirnya mereka berkata :
"Kami menginginkan agar Engkau mengembalikan kami ke dalam
kehidupan di dunia, lalu kami akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur
lagi karena membela Engkau," mengingat mereka telah merasakan pahala dari
mati syahid yang tak terperikan itu.
Maka Tuhan berfirman : "Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa
mereka tidak dapat kembali lagi ke dunia (sesudah mereka mati)." [ HR. Muslim
no. 3611 ].
Dalam sebuah hadits , Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu berkata :
نَظَرَ إليَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ : "يَا جَابِرُ، مَا لِي أراك مُهْتَمًّا؟"
قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ الله، اسْتُشْهِدَ أَبِيْ وَتَرَكَ دَيْناً وَعِيَالاً.
قال: فقال: "ألا أُخْبِرُكَ؟ مَا كَلَّمَ اللهُ أَحَدًا قَطُّ إلا مِنْ وَرَاءِ
حِجَابٍ، وَإنَّهُ كَلَّمَ أَبَاكَ كِفَاحًا -قال علي: الكفَاح: المواجهة -فَقَالَ:
سَلْني أعْطكَ. قَالَ: أَسْأَلُكَ أنْ أُرَدَّ إلَى الدُّنْيَا فَأُقْتَلَ فِيْكَ
ثَانِيَةً فَقَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: إنَّهُ سَبَقَ مِنِّي القَوْلُ أنَّهُمْ
إلَيْهَا لا يُرْجَعُونَ » .
Suatu hari Rosulullah ﷺ memandangiku , lalu beliau bertanya : "
Wahai Jabir , ada apa dengan mu , aku lihat kamu nampak murung ?
Aku jawab : " Wahai Rosulullah, ayahku telah mati syahid , dan dia
meninggalkan hutang dan keluarga .
Beliau berkata : Maukah kamu , jika aku mengkabarkannya pada mu ? Allah
SWT tidak pernah bicara kepada siapun keculai di balik hijab ( penghalang ) ,
akan tetapi sungguh Dia telah bicara pada ayah mu berhadap-hadapan .
Allah SWT berkata padanya : " Mintalah padaku, aku mengasihmu !
".
Dia pun berkata : " Aku memohon pada mu supaya aku di kembalikan
ke dunia , agar aku bisa dibunuh lagi di jalan Mu untuk kedua kalinya ! ".
Maka Rabb ( Allah ) Azza wa Jalla berkata : " (Itu tidak mungkin ,
karena) sesungguhnya sudah menjadi ketetapan firman dari Ku , bahwa mereka
tidak akan kembali kepadanya (kehidupan dunia ) ".
( HR. Turmudzi 5/230 no. 31010 , Al-Hakim 2/120 dan Ibnu Hibban 15/490
no. 7022 ) . Abu 'Isa At-Turmudzi berkata : Ini hadits Hasan . Dan di Shahihkan
sanadnya oleh al-Hakim.
Hadits lain riwayat Masruq , dia berkata :
سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ ، عَنْ هَذِهِ
الآيَةِ: ﴿ وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ
أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ ﴾ فَقَالَ : أَمَا إنَّا قَدْ سَأَلْنَا
عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ : « أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ
مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى
تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ اطِّلَاعَةً فَقَالَ: هَلْ
تَشْتَهُونَ شَيْئًا؟ قَالُوا: أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي؟ وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ
حَيْثُ شِئْنَا، فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ
لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا: يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ
أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى،
فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا ».
Aku bertanya kepada Ibnu Masud radhiyallahu 'anhu tentang ayat ini :
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati;
bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
Maka Ibnu Masud menjawab : Sungguh kami telah menanyakannya tentang itu
, dan beliau bersabda:
"Ruh-ruh mereka di dalam perut burung hijau , baginya di sediakan
lampu-lampu yang menggantung di Arasy (sebagai sarang-sarangnya), mereka pergi
bersenang-senang mencari makanan dari syurga sesuka hati mereka , kemudian
kembali ke lampu-lampu tadi. Maka suatu ketika Allah SWT memandangi mereka
dengan satu pandangan.
Lalu Dia berkata : " Apakah kalian menginginkan sesuatu ? "
Mereka menjawab : " Apa lagi yang kami inginkan ? kami sudah pergi
bersenang-senang mencari makan di syurga sesuka hati kami .
Lalu Allah SWT mengulangi penawaran tadi hingga tiga kali , dan mereka
menjawabnya sama seperti tadi .
Ketika mereka merasa terus-terusan di tawarin dan tidak di biarkan
untuk tidak meminta , akhirnya mereka berkata : Ya Rabb , kami menginginkan
agar Engkau berkenan mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami , supaya
kami bisa gugur sekali lagi di jalan Mu. Setelah Allah SWT melihat mereka tidak
memerlukan hajat lain , maka mereka di tinggalkan ".
( HR. Muslim 3/1502 no. 1887 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 5/308
no. 19731).
****
PARA SYUHADA UHUD TIDAK MAMPU MENDATANGI KELUARGANYA DAN SAHABATNYA YANG MASIH HIDUP:
Para syuhada sangat berkeinganan agar masing-masing dari mereka mampu
mengunjungi keluarganya dan sahabatnya yang masih hidup untuk memberi kabar
bahwa dirinya berada dalam kehidupan yang penuh dengan gelimangan kenikamatan di
syurga, serta berkeinginan menasihati keluarganya dan para sahabatnya agar
tidak bermalas-malasan dalam beribadah dan berjihad di jalan Allah SWT. Namun
keinginan mereka tidak terkabulkan, melainkan Allah SWT memeberikan solusi
dengan menurunkan wahya tentang kondisi para syuahada Uhud kepada seluruh kaum
muslimin dengan redaksi umum untuk semua orang yang mati syahid, sebagaimana
yang disebutkan dalam surat al-Baqarah no. 154 dan surat Ali Imran ayat no. 169
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rosulullah ﷺ bersabda :
"لَمَّا
أُصِيبَ إخْوَانُكُمْ بِأُحُدٍ جَعَلَ اللهُ أَرْوَاحَهُمْ فِي أَجْوَافِ طَيْرٍ
خُضْرٍ، تَرِدُ أَنْهَارَ الْجَنَّةِ، وتَأْكُلُ مِنْ ثِمَارِهَا وَتَأْوِي إِلَى
قَنَادِيلَ مِنْ ذَهَبٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ، فَلَمَّا وَجَدُوا طِيبَ مَشْرَبِهِمْ
، وَمَأْكَلِهِمْ، وَحُسْنَ مُنْقَلَبِهِم ، قَالُوا: مَنْ يُبَلِّغُ إِخْوَانَنَا
عَنَّا أَنَّا أَحْيَاءٌ فِى الْجَنَّةِ نُرْزَقُ ، لِئَلا يَزْهَدُوا فِي الْجِهَادِ،
وَلا يَنْكُلُوا عَنْ الْحَرْبِ" فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا أُبَلِّغُهُمْ
عَنْكُمْ. فَأَنزلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَؤُلاءِ الآيَاتِ : ﴿وَلا
تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ
رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ ﴾ وما بعدها".
« Ketika saudara-saudara kalian gugur dalam peperangan Uhud, Allah
masukkan roh mereka ke dalam burung-burng hijau yang bekeliaran disungai-sungai
syurga, makan buah-buahan syurga, kemudian mereka pulang ke lampu-lampu yang
terbuat dari emas dan tergantung
dinaungan 'Arasy, di saat mereka merasakan enaknya minuman , makanan dan
tempat kembali mereka .
Lalu mereka berkata ; " siapakah yang akan menyampaikan kabar
kepada saudara-saudara kami tentang kami bahwa kami hidup di syurga , kami di
anugerahi rizki , agar mereka tidak merasa berat dalam berjihad dan tidak lari
dari peperangan ".
Maka Allah berfirman : "
Aku akan sampaikan berita tentang kamu kepada mereka, maka Allah turunkan ayat
–ayat ini :
﴿وَلا تَحْسَبَنَّ
الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ
يُرْزَقُونَ
﴾
" Dan jangan kamu menyangka bahawa orang yang terbunuh pada jalan
Allah itu mati malah mereka hiidup disisi Tuhan mereka dan mendapat rezeki
daripada Nya ( QS .Ali Imran 169 ) dan ayat sesudahnya ».
Lafadz riwayat Imam Ahmad :
" mereka berkata : sayang sekali , kalau seandainya
saudara-saudara kami tahu bagaimana Allah memperlakukan kami ".
( HR. Imam Ahmad 4/218 , Abu Daud dan Al-Hakim 2/88 . Di Shahihkan
sanadnya oleh Al-Hakim . Dan di hasankan oleh Syeikh Al-Albany di Shahih
Targhib 2/68 no. 1379 ).
Di dalam hadits Jabir dan Ibnu Masud ini Allah SWT mengkabarkan bahwa
para suhada itu hidup setelah mereka mati , akan tetapi kehidupannya ini adalah
kehidupan barzakhiyah , yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan duniawi
, sebagai bukti adalah kata-kata para syuhada :
" Ya Rabb , kami menginginkan agar Engkau mengembalikan ruh-ruh
kami ke jasad-jasad kami , supaya kami bisa gugur sekali lagi di jalan Mu
".
Artinya mereka berkeinginan agar Allah SWT berkenan mengembalikan ruh
mereka ke jasadnya seperti semula ketika mereka belum mati, padahal ruh-ruh
mereka tetap masih ada ikatan dan berhubungan dengan jasad-jasad mereka yang di
kuburan, yaitu ikatan dan hubungan barzakhiyah . Begitu juga ruh-ruh selain
para syuhada, oleh karena itu jika ruh seorang mayit mendapat kenikmatan maka
jasadnya pun ikut merasakan, dan sebaliknya jika jasad seorang mayit mendapat
azab kubur maka ruhnya pun ikut merasakan kepedihannya .
Rosulullah ﷺ bersabda : " Meretakkan tulang mayit ,
sama seperti meretakkannya ketika hidup ". ( HR. Ahmad 6/58 , Abu Daud
2/231 , Ibnu Majah 1/516 dan Abdurrozzaq 3/444 no. 6257 . Hadits Shahih ).
Ini semua menunjukkan bahwa kehidupan mereka adalah barzakhiyah serta
menunjukkan bahwa orang-orang yang telah mati itu tidak akan pernah kembali ke
alam dunia . Kenapa? Karena Allah SWT telah menetapkan dan konsekwen dengan
janjinya bahwa mereka tidak akan dikembalikan ke dunia .
Mafhum dari hadits Ibnu Masud tentang arwah para shuhada di perut
burung hijau menunjukkan bahwa selain ruh para suhada tidaklah demikian, akan
tetapi Imam Syafii meriwayatkan dari Ibnu Syihaab dari Abdurrahman bin Kaab bin
Malik dari bapaknya bahwa Rosulullah ﷺ bersabda :
« إِنَّمَا نَسَمَةُ الْمُؤْمِنِ طَائِرٌ يَعْلُقُ
فِي شَجَرِ الْجَنَّةِ حَتَّى يُرْجِعَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى جَسَدِهِ
يَوْمَ يَبْعَثُهُ »
" Sesungguhnya ruh seorang mukmin adalah burung yang makan di
pepohonan syurga , hingga Allah Tabaroka wa Taala mengembalikannya ke jasadnya
pada hari kebangkitannya".
( HR. Ahmad no. 15778 , Ibnu Majah no. 4271 , Nasai no. 2073 dan Ibnu
Hibban no. 4657 . Di shahihkan oleh as-Suyuthi dalam Syarah ash-Shuduur no. 306
, al-Albani Shahih Ibnu Majah no. 3465 dan Syu'eib al-Arna'uth ).
Berkenaan dengan hadits ini Al-Hukaim berkata :
"Dan yang demikian itu sepengetahuan kami bukanlah untuk golongan
yang kacau balau , melainkan untuk orang mukmin dari golongan Ash-Shiddiqiin
(yang benar-benar sempurna keimanannya).
( Lihat : At-taysiir Syarah Al-Jaamiush Shaghiir karya Al-Hafidz
Al-Manawi 1/267 ).
Kita tidak berhak untuk mereka-reka tentang perkara ghaib apalagi
mengklaim suata perkara. kecuali jika ada keterangan dari Allah dan Rasulnya.
Mereka para syuhada yang mendapatkan kehormatan di sisi Allah SWT dan
keni'matan di alam barzakhnya , ternyata keinginan mereka tidak di kabulkan
untuk bisa hidup kembali seperti semula , walaupun hanya sebentar saja sekedar
untuk menyampaikan kabar gembira kepada keluarganya .
Ternyata para syuhada saja yang sudah pasti memiliki kedudukan di sisi
Allah, mereka tidak bisa ke dunia walau sekejap sekedar menyampaikan kabar
gembira . Jangankan hidup lagi , menjelma saja rohnya seperti kuntil anak
mereka tidak mampu .
Permohonan mereka yang di kabulkan oleh Allah SWT hanya permohonan yang
berkaitan dengan kenikmatan syurga sebagai imbalan atas usaha mereka di dunia .
Allah SWT tidak akan mengabulkan permohanan mereka yang berlawanan dengan
ketetapan-ketetapan Allah SWT , apalagi yang berkaitan dengan hal-hal yang
merusak pondasi syariah , seperti hal-hal yang menunjukkan bahwa mereka ikut
berperan dan terlibat dalam uluhiyah dan rububiyahNya .
===***===
PEMBAHASAN KEEMPAT :
STUDY HADITS TENTANG DOA
ORANG YANG TELAH WAFAT DI ALAM BARZAKH
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang arwah orang-orang beriman di alam barzakh mendoakan doa hidayah untuk kerabat mereka dari kalangan orang-orang beriman yang masih hidup adalah "hadits-hadits dho'if" dan berlawanan dengan hadits shahih.
Jika seandainya hadits-hadits tersebut shahih, maka doa tersebut muncul dari rasa keperihatian mereka, setelah melihat kondisi kerabatnya yang masih hidup yang banyak berbuat maksiat dan penuh dosa.
Doa tersebut hanya sebatas doa permohonan hidayah kepada Allah untuk
kerabatnya.
Dan doa tersebut bukan karena permintaan kerabatnya yang masih hidup,
melainkan muncul secara spontanitas dari dirinya.
Namun doa tersebut tidak akan bisa dikabulkan, doa tersebut hanya
sebatas harapan, karena oarang yang telah wafat telah putus amal ibadahnya,
kecuali yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Sementara inti dari ibadah adalah do’a. Sebagaimana dalam hadits Anas
(ra) bahwa Nabi ﷺ bersabda :
" الدُّعاءُ
مُخُّ العبادةُ"
“Do’a itu adalah inti sari ibadah”.
[HR. Tirmidzi no. 3371]
Dan juga dalam hadits An-Nu'man bin Basyir (ra) bahwa Nabi ﷺ bersabda:
الدُّعاءُ هو العبادةُ ثمَّ قرأ { وَقال
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبادَتِي
سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ داخِرِينَ}
"Doa adalah ibadah."
Kemudian beliau membacakan ayat : " Dan Tuhan kalian berfirman:
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. Sesungguhnya
orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS. Ghafir 60)".
[ HR. Abu Dawud (1479), At-Tirmidzi (2969), dan Ibnu Majah (3828)].
Abu Isa berkata; " Hadits ini adalah hadits hasan shahih".
Hadits ini di shahihkan oleh al-Mundziri dalam at-Targhib 2/388 dan
oleh al-Albaani dalam Shahih Tirmidzi no. 2969.
Namun demikian, mari kita teliti kesahihan hadits-hadits tentang doa orang
yang telah wafat tersebut.
*****
HADITS PERTAMA : HADITS ANAS BIN MALIK
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى أَقَارِبِكُمْ
وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ الْأَمْوَاتِ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ
كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ، قَالُوا: اللَّهُمَّ لَا تُمِتْهُمْ، حَتَّى تَهْدِيَهُمْ كَمَا
هَدَيْتَنَا».
*"Sesungguhnya amalan kalian diperlihatkan kepada kerabat dan
keluarga kalian yang telah meninggal. Jika itu adalah kebaikan, mereka
bergembira dengannya. Namun, jika bukan demikian, mereka berkata: 'Ya Allah,
janganlah Engkau matikan mereka sebelum Engkau memberi mereka hidayah
sebagaimana Engkau telah memberi kami hidayah.'"*
(Hadits ini dhaif jiddan / lemah sekali).
**Kesimpulan Singkat tentang Derajat Hadits
diatas :**
Kesimpulan mengenai hadits ini adalah bahwa ia diriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat perawi yang tidak dikenal.
Setelah diteliti apakah ada syawahid (riwayat pendukung) yang menguatkannya?.
Ditemukan beberapa
syawahid marfu', namun setiap jalur periwayatannya mengandung perawi pendusta
atau yang ditinggalkan. Oleh karena itu, syawahid tersebut tidak dapat
menguatkan hadits ini yang derajatnya lemah.
Makna hadits ini juga ditemukan dalam dua atsar dari Abu Ayyub dan Abu
Darda' radhiyallahu 'anhuma, tetapi keduanya tidak dapat dipastikan
kebenarannya karena terdapat keterputusan dalam sanadnya.
Syeikh Muhammad Toha Sya’ban dalam Takhrij hadits diatas berkata :
وَقَدْ صَحَّحَ العَلَّامَةُ الأَلْبَانِيُّ
رَحِمَهُ اللَّهُ هَذَا الحَدِيثَ بِكَثْرَةِ شَوَاهِدِهِ المَرْفُوعَةِ وَالمَوْقُوفَةِ،
وَلَمْ يُصِبْ فِي هَذَا رَحِمَهُ اللَّهُ.
“Syaikh Al-Albani rahimahullah telah mensahihkan hadits ini berdasarkan
banyaknya syawahid yang marfu' maupun mauquf, namun dalam hal ini beliau
rahimahullah keliru”.
RINCIAN TAKHRIJ HADITS:
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *Al-Musnad* (12683), Abdullah bin Ahmad dalam
*As-Sunnah* (1455) dan Abu Ya‘la dalam *Musnad*-nya sebagaimana disebut dalam
*Ghayat al-Maqshad fi Zawaid al-Musnad* (1267), dari jalur ‘Abd al-Razzaq, ia
berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan, dari seseorang yang mendengar
Anas bin Malik berkata: Nabi ﷺ bersabda:
(إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى
أَقَارِبِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ الْأَمْوَاتِ ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا
اسْتَبْشَرُوا بِهِ ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ، قَالُوا: اللهُمَّ لَا
تُمِتْهُمْ حَتَّى تَهْدِيَهُمْ كَمَا هَدَيْتَنَا ).
*"Sesungguhnya amal perbuatan kalian diperlihatkan kepada kerabat
dan keluarga kalian yang telah meninggal. Jika amal itu baik, mereka merasa
senang, dan jika tidak baik, mereka berkata: 'Ya Allah, janganlah Engkau
matikan mereka sebelum Engkau memberi mereka petunjuk sebagaimana Engkau telah
memberi petunjuk kepada kami.'"*
Sanad hadits ini lemah sekali, karena di dalamnya terdapat
seorang perawi yang tidak disebutkan namanya. Oleh karena itu, hadits ini
dinilai lemah oleh Syaikh al-Albani dalam *Silsilah al-Da‘ifah* (863).
Diduga kuat perawi yang tidak disebutkan ini adalah Aban bin Abi
‘Ayyâsy, karena hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim al-Tirmidzi dalam
*Nawadir al-Ushul – versi musnad* (924) dari jalur Qubaishah, dari Sufyan, dari
Aban bin Abi ‘Ayyâsy, dari Anas bin Malik, dengan matan yang serupa.
Maka hadits ini palsu, karena Aban bin Abi ‘Ayyâsy adalah perawi yang ditinggalkan oleh para ahli hadits. Para ulama, termasuk
Syu‘bah dan lainnya, menuduhnya sebagai pendusta.
Al-Haitsami dalam *Majma' Az-Zawa'id* (3/73) berkata:
«رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَفِيهِ رَجُلٌ لَمْ يُسَمَّ».
*"Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan di dalamnya
terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan namanya."*
****
HADITS KE DUA : HADITS ABU AYYUB AL-ANSHORY radhiyallahu ‘anhu
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu,
baik secara marfu’ maupun mauquf. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
====
JALUR PERTAMA : JALUR YANG MARFU’ (dari perkataan Nabi ﷺ ):
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam *al-Mu'jam al-Kabir* (4/129) no.
3887, melalui jalur perawi:
Dari Maslamah bin Ali, dari Zaid bin Waqid, dari Makhul, dari
Abdurrahman bin Salam, dari Abu Rahm as-Sama'i, dari Abu Ayyub al-Anshari
radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ نَفْسَ الْمُؤْمِنِ إِذَا قُبِضَتْ
تَلَقَّاهَا مِنْ أَهْلِ الرَّحْمَةِ مِنْ عَبَادِ اللهِ كَمَا تَلْقَوْنَ
الْبَشِيرَ فِي الدُّنْيَا، فَيَقُولُونَ: انْظُرُوا صَاحِبَكُمْ يَسْتَرِيحُ،
فَإِنَّهُ قَدْ كَانَ فِي كَرْبٍ شَدِيدٍ، ثُمَّ يَسْأَلُونَهُ مَاذَا فَعَلَ
فُلَانٌ؟ وَمَا فَعَلَتْ فُلَانَةُ؟ هَلْ تَزَوَّجَتْ؟ فَإِذَا سَأَلُوهُ عَنِ
الرَّجُلِ قَدْ مَاتَ قَبْلَهُ، فَيَقُولُ: أَيْهَاتَ قَدْ مَاتَ ذَاكَ قَبْلِي،
فَيَقُولُونَ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، ذُهِبَتْ بِهِ إِلَى
أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ فَبِئْسَتِ الْأُمُّ وَبِئْسَتِ الْمُرَبِّيَةُ»
_"Sesungguhnya ruh seorang mukmin ketika dicabut akan disambut
oleh para hamba Allah yang mendapatkan rahmat, sebagaimana kalian menyambut
pembawa kabar gembira di dunia. Mereka berkata: 'Lihatlah, sahabat kalian telah
beristirahat, karena sebelumnya ia berada dalam kesusahan yang berat.' Kemudian
mereka bertanya kepadanya: 'Apa yang dilakukan si fulan? Apa yang dilakukan si
fulanah? Apakah dia telah menikah?' Jika mereka bertanya tentang seseorang yang
telah meninggal sebelum dia, lalu ia berkata: 'Oh, dia telah wafat sebelumku,'
maka mereka berkata: 'Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un, dia telah dibawa ke
ibunya (tempatnya) dalam neraka *al-Hawiyah*, seburuk-buruk ibu dan
seburuk-buruk pengasuh.'"
Kemudian beliau ﷺ bersabda:
«وَإِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى
أَقَارِبِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْآخِرَةِ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا
فَرِحُوا وَاسْتَبْشَرُوا، وَقَالُوا: اللهُمَّ هَذَا فَضْلُكَ وَرَحْمَتُكَ
فَأَتْمِمْ نِعْمَتَكَ عَلَيْهِ، وَأَمِتْهُ عَلَيْهَا وَيُعْرَضُ عَلَيْهِمْ
عَمَلُ الْمُسِيءِ، فَيَقُولُونَ: اللهُمَّ أَلْهِمْهُ عَمَلًا صَالِحًا تَرْضَى
بِهِ عَنْهُ وتُقَرِّبُهُ إِلَيْكَ».
_"Sesungguhnya amal perbuatan kalian diperlihatkan kepada kerabat
dan keluarga kalian yang sudah berada di akhirat. Jika amalnya baik, mereka
bergembira dan merasa bahagia, lalu mereka berkata: 'Ya Allah, ini adalah
keutamaan dan rahmat-Mu, maka sempurnakanlah nikmat-Mu atasnya dan wafatkanlah
dia dalam keadaan seperti itu.' Namun, apabila amalnya buruk, mereka berkata:
'Ya Allah, ilhamkanlah kepadanya amal yang saleh yang Engkau ridhai dan mendekatkannya
kepada-Mu.'"_
Sanad hadits ini lemah.
Adapun perawi yang bernama Abdurrahman bin Salamah, aku tidak menemukan
biografinya. Namun riwayat Abdurrahman
bin Salamah telah diikuti riwayatnya [terdapat mutaba’ah baginya]. Yaitu sbb :
Jalur lain :
Hadits ini diriwayatkan pula oleh ath-Thabarani dalam *al-Mu'jam
al-Kabir* (4/129) no. 3888, dalam *al-Mu'jam al-Awsath* no. 148, serta dalam
*Musnad asy-Syamiyyin* no. 1544 dan 3584, melalui jalur perawi sbb : Dari Maslamah bin Ali, dari Zaid bin
Waqid dan Hisyam bin al-Ghaz, dari Makhul, dari Abdurrahman bin Salamah, dengan
sanad yang sama.
Di dalam sanadnya terdapat “Maslamah bin Ali”.
Ath-Thabarani berkata:
«لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ مَكْحُولٍ
إِلَّا زَيْدُ بْنُ وَاقِدٍ، وَهِشَامُ بْنُ الْغَازِ، تَفَرَّدَ بِهِ مَسْلَمَةُ بْنُ
عَلِيٍّ».
_"Hadits ini tidak diriwayatkan dari Makhul kecuali oleh Zaid bin
Waqid dan Hisyam bin al-Ghaz, dan yang meriwayatkannya secara tunggal adalah
Maslamah bin Ali."_
Berikut ini pernyataan para ulama ahli hadits tentang “Maslamah bin
Ali”.
Al-Bukhari dalam *at-Tarikh al-Kabir* (7/388) berkata:
«مُنْكَرُ الحَدِيثِ».
"Dia adalah perawi mungkarul hadits (lemah dan meriwayatkan hadits-hadits
yang munkar)."
Dalam al-Kaamil di sebutkan tentang *Maslamah bin ‘Ali*:
قال ابنُ مَعينٍ : " لَيسَ بِشَيءٍ
" ، وقالَ البُخاريُّ : " مُنكَرُ الحديثِ " ، وقالَ النَّسائيُّ :
" مَتروكُ الحديثِ"
Ibnu Ma’in berkata: *“Ia bukan apa-apa (tidak bernilai dalam
periwayatan).”*
Al-Bukhari berkata: *“Haditsnya munkar.”*
An-Nasai berkata: *“Haditsnya ditinggalkan.”* (Selesai dari *Al-Kamil*
karya Ibnu ‘Adiy, 8/12).
Dan Ibnu Abi Hatim berkata dalam *Al-Jarh wa At-Ta'dil* (8/268):
«حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ: سَمِعْتُ دُحَيْمًا
يَقُولُ: مَسْلَمَةُ بْنُ عَلِيٍّ الخُشَنِيُّ: لَيْسَ بِشَيْءٍ.
قُرِئَ عَلَى العَبَّاسِ بْنِ مُحَمَّدٍ
الدُّورِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ مَعِينٍ، أَنَّهُ قَالَ: مَسْلَمَةُ بْنُ عَلِيٍّ الخُشَنِيُّ،
لَيْسَ بِشَيْءٍ.
سُئِلَ أَبِي عَنْ مَسْلَمَةَ بْنِ عَلِيٍّ،
فَقَالَ: ضَعِيفُ الحَدِيثِ، لَا يُشْتَغَلُ بِهِ، قُلْتُ: هُوَ مَتْرُوكُ الحَدِيثِ؟
قَالَ: هُوَ فِي حَدِّ التَّرْكِ، مُنْكَرُ الحَدِيثِ.
سُئِلَ أَبُو زُرْعَةَ عَنْ مَسْلَمَةَ
بْنِ عَلِيٍّ، فَقَالَ: مُنْكَرُ الحَدِيثِ» اهـ.
*"Ayahku menceritakan kepadaku, ia berkata: Aku mendengar Dahim
berkata: Maslamah bin Ali Al-Khushani bukanlah apa-apa."*
Dibacakan kepada Al-Abbas bin Muhammad Ad-Duri, dari Yahya bin Ma'in,
bahwa ia berkata: *"Maslamah bin Ali Al-Khushani bukanlah apa-apa."*
Ayahku ditanya tentang Maslamah bin Ali, maka ia berkata: *"Lemah
dalam hadits, tidak perlu disibukkan dengannya."* Aku bertanya:
*"Apakah ia ditinggalkan haditsnya?"* Ia menjawab: *"Ia berada
dalam batasan orang yang ditinggalkan haditsnya, dan ia munkarul
hadits."*
Abu Zur’ah ditanya tentang Maslamah bin Ali, maka ia berkata:
*"Munkarul hadits."* [Selesai]
Jalur lain :
Hadits ini memiliki jalur lain yang sampai kepada Abu Ayyub secara
marfu’, tetapi juga tidak sahih.
Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam *al-Majruhin*
(1/426), Ibnu ‘Adi dalam *al-Kamil* (5/315), dan Ibnu al-Jauzi dalam *al-‘Ilal
al-Mutanahiyah* 2/910 (1522), melalui jalur Salam bin Salim ath-Thawil,
dari Tsur bin Yazid, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Rahm, dari Abu Ayyub
radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ dengan lafaz ini.
Sanadnya sangat lemah.
Di dalamnya terdapat *Salam bin Salam At-Thawil*, seorang perawi yang
matruk dalam hadits.
Ibnu Hibban dalam *al-Majruhin* (1/426) berkata:
«سَلَامُ بْنُ سَلِيمٍ الطَّوِيلُ، يَرْوِي عَنِ
الثِّقَاتِ الْمَوْضُوعَاتِ كَأَنَّهُ كَانَ الْمُتَعَمِّدَ لَهَا، وَهُوَ الَّذِي
رَوَى عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدٍ...»
*"Salam bin Salim ath-Thawil meriwayatkan dari perawi-perawi yang
terpercaya hadits-hadits yang maudhu’, seolah-olah ia memang sengaja
membuatnya. Dialah yang meriwayatkan dari Tsur bin Yazid..."* kemudian ia
menyebutkan hadits ini.
Ibnu al-Jauzi setelah menyebutkan hadits ini berkata:
«هَذَا حَدِيثٌ لَا يَصِحُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ، وَسَلَامٌ هُوَ الطَّوِيلُ، وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى تَضْعِيفِهِ، وَقَالَ النَّسَائِيُّ
وَالدَّارَقُطْنِيُّ: مَتْرُوكٌ» اهـ.
*"Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah ﷺ, dan Salam adalah
ath-Thawil, para ulama telah sepakat melemahkannya. An-Nasa’i dan Ad-Daraquthni
mengatakan bahwa ia matruk (ditinggalkan haditsnya)"*—selesai.
Hadits ini di nilai Dho’if Jiddan (lemah sekali) oleh Al-Albani dalam
As-Silsilah Adh-Dha'ifah, No. 864.
Jalur lain :
Jalur Al-Hana’i . Adapun jalur Al-Hana’i, di dalamnya terdapat beberapa
perawi yang majhul (tidak dikenal), yaitu: *Abdul Aziz bin Wahid bin Abdul Aziz
bin Halim*, ayahnya, dan kakeknya.
Al-Khathib berkata dalam *Talkhish Al-Mutasyabih* (2/726):
" عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ حَلِيمٍ
الْبَهْرَانِيُّ ، مِنْ أَهْلِ الشَّامِ. حَدَّثَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ بِنَسْخَةٍ ، يَرْوِيهَا ابْنُهُ وَحِيدٌ عَنْهُ ".
انتهى
*“Abdul Aziz bin Halim Al-Bahrani berasal dari Syam. Ia meriwayatkan
dari Abdurrahman bin Tsabit bin Tsawban dengan satu naskah hadits yang
diriwayatkan oleh putranya, Wahid, darinya.”* (Selesai).
Adapun ayah dan kakeknya, tidak ada seorang pun yang menerjemahkan
biografi mereka.
Hadits ini dilemahkan oleh Al-Haitsami dalam *Majma’ Az-Zawaid* (2/327)
dan Al-Iraqi dalam *Al-Mughni ‘an Haml Al-Asfaar* yang dicetak bersama *Ihya
‘Ulum Ad-Din* (7/228).
Syaikh Al-Albani dalam *As-Silsilah Adh-Dha’ifah* (864) berkata:
*“Hadits ini sangat lemah.”* (Selesai).
===
JALUR KEDUA: JALUR YANG MAUQUF (dari
perkataan sahabat bukan dari Nabi ﷺ ):
Hadits mawquf ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam *Az-Zuhd*
(443), melalui jalurnya Ibnu Abi Dunya dalam *Al-Manamat* (3), serta Ibnu 'Adi
dalam *Al-Kamil* (5/316) melalui jalur Muhammad bin 'Isa bin Sami'.
Keduanya meriwayatkan dari *Tsur bin Yazid*, dari *Abi Rahm As-Sama'i*,
dari *Abu Ayyub Al-Anshari*, yang berkata:
( إِذَا قُبِضَتْ نَفْسُ الْعَبْدِ
تَلَقَّاهُ أَهْلُ الرَّحْمَةِ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ كَمَا يَلْقَوْنَ الْبَشِيرَ
فِي الدُّنْيَا ، فَيُقْبِلُونَ عَلَيْهِ لِيَسْأَلُوهُ ، فَيَقُولُ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ: أَنْظِرُوا أَخَاكُمْ حَتَّى يَسْتَرِيحَ ، فَإِنَّهُ كَانَ فِي كَرْبٍ
، فَيُقْبِلُونَ عَلَيْهِ فَيَسْأَلُونَهُ مَا فَعَلَ فُلَانٌ؟ مَا فَعَلَتْ
فُلَانَةٌ؟ هَلْ تَزَوَّجَتْ؟ فَإِذَا سَأَلُوا عَنِ الرَّجُلِ قَدْ مَاتَ
قَبْلَهُ ، قَالَ لَهُمْ: إِنَّهُ قَدْ هَلَكَ ، فَيَقُولُونَ: إِنَّا لِلَّهِ
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ذُهِبَ بِهِ إِلَى أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ ، فَبِئْسَتِ
الْأُمُّ ، وَبِئْسَتِ الْمُرَبِيَّةُ ،
قَالَ: فَيُعْرَضُ عَلَيْهِمْ
أَعْمَالُهُمْ ، فَإِذَا رَأَوْا حَسَنًا فَرِحُوا وَاسْتَبْشَرُوا ، وَقَالُوا:
هَذِهِ نِعْمَتُكَ عَلَى عَبْدِكَ فَأَتِمَّهَا، وَإِنْ رَأَوْا سُوءًا قَالُوا:
اللَّهُمَّ رَاجِعْ بِعَبْدِكِ )
"Jika ruh seorang hamba dicabut, ia akan disambut oleh para
penghuni rahmat dari hamba-hamba Allah sebagaimana kalian menyambut seseorang
yang membawa kabar gembira di dunia. Mereka mendatanginya untuk bertanya
kepadanya, lalu sebagian mereka berkata kepada yang lain:
'Tunggu dulu saudara kalian agar ia beristirahat, karena ia baru saja
mengalami kesulitan.' Kemudian mereka mendatanginya dan bertanya kepadanya:
'Apa yang dilakukan si Fulan? Apa yang dilakukan si Fulanah? Apakah ia sudah
menikah?' Jika mereka bertanya tentang seseorang yang telah meninggal
sebelumnya, ia menjawab: 'Ia telah binasa.' Maka mereka berkata: 'Inna lillahi
wa inna ilaihi raji'un. Ia telah dibawa ke tempat kembalinya, yaitu nereka *Al-Hawiyah*.
Alangkah buruknya ibu itu dan alangkah buruknya yang mendidiknya.'"
Kemudian, *Abu Ayyub* berkata:
"Amal perbuatan mereka diperlihatkan kepada penghuni rahmat
tersebut. Jika mereka melihat kebaikan, mereka bergembira dan berkata: 'Ini
adalah nikmat-Mu kepada hamba-Mu, maka sempurnakanlah nikmat itu baginya.'
Namun, jika mereka melihat keburukan, mereka berkata: 'Ya Allah, kembalikanlah
hamba-Mu !.'"
Sanad ini terdiri dari perawi yang tepercaya, namun tidak disebutkan
bahwa Tsur bin Yazid mendengar langsung dari Abu Rahm. Abu Rahm adalah seorang
yang hidup pada masa sebelum Islam dan sempat mengalami masa jahiliah. Ia hanya
diriwayatkan oleh generasi terdahulu yang masih hidup tidak lama setelah tahun
100 H, seperti Khalid bin Ma'dan dan Mak-hul Asy-Syami. Sedangkan Tsur bin
Yazid adalah perawi yang datang belakangan, ia wafat pada tahun 150 H, dan ada
yang mengatakan 155 H.
Syeikh Muhammad Toha Sya’ban berkata Takhrij hadits diatas :
قُلتُ: وَلِذَلِكَ فَإِنَّ تَصْحِيحَ
العَلَّامَةِ الأَلْبَانِي لِهَذَا الإِسْنَادِ المَوْقُوفِ لِكَوْنِ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ
ثِقَةً، فِيهِ نَظَرٌ؛ فَإِنَّهُ لَوْ تَأَمَّلَ رَحِمَهُ اللَّهُ لَعَلِمَ أَنَّ فِي
الإِسْنَادِ انْقِطَاعًا.
Saya katakan: Oleh karena itu, pensahihan Syaikh Al-Albani terhadap
sanad mauquf ini, hanya karena Tsur bin Yazid adalah seorang yang tepercaya,
perlu ditinjau kembali. Sebab, jika beliau meneliti lebih dalam, niscaya beliau
akan menyadari bahwa sanad ini memiliki keterputusan (inqitha').
Sanadnya dinilai kuat oleh Al-'Iraqi dalam *Al-Mughni 'an Hamlil-Asfar*
(7/228) yang dicetak bersama *Ihya 'Ulumiddin*. Hadits ini juga dinyatakan
**shahih** oleh Syaikh Al-Albani dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* (2758).
Namun yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan Syeikh Toha Sya’aban
diatas, yaitu sanadnya terputus antara Tsur bin Yazid dan Abu Rahm.
****
HADITS KE TIGA : DARI JABIR BIN ABDULLAH RADHIYALLAHU 'ANHU.
Diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisi dalam *Musnad*-nya (1903), ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Ash-Shalt bin Dinar, dari Al-Hasan, dari
Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى عَشَائِرِكُمْ
وَأَقْرِبَائِكُمْ فِي قُبُورِهِمْ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ
كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوا: اللَّهُمَّ أَلْهِمْهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِطَاعَتِكَ».
*"Sesungguhnya amalan kalian diperlihatkan kepada keluarga dan
kerabat kalian di dalam kubur mereka. Jika itu adalah kebaikan, mereka
bergembira dengannya. Namun, jika bukan demikian, mereka berkata: 'Ya Allah,
ilhamkanlah kepada mereka agar mereka beramal dengan ketaatan
kepada-Mu.'"*
Sanad hadits ini **dha’if / lemah** karena adanya inqitha’
(keterputusan) antara Al-Hasan dan Jabir bin Abdillah. Al-Hasan tidak pernah
mendengar langsung dari Jabir, sebagaimana disebutkan oleh Ali bin Al-Madini
dan Abu Zur’ah, yang dikutip oleh Ibnu Abi Hatim dalam *Al-Marasil* (112, 113).
Ditambah lagi, Syeikh Muhammad Toha Sya’ban dalam Takhrij hadits diatas
berkata :
قُلْتُ: وَهَذَا الشَّاهِدُ لَا يَثْبُتُ،
وَلَا يُقَوِّي حَدِيثَ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ لِأَنَّ الصَّلْتَ بْنَ دِينَارٍ
مَتْرُوكٌ.
Saya katakan : Syahid ini tidak bisa dijadikan pegangan dan tidak
menguatkan hadits Anas radhiyallahu 'anhu, karena Ash-Shalt bin Dinar adalah
perawi yang ditinggalkan (matruk).
Al-‘Uqaili meriwayatkan dalam *Adh-Dhu‘afa’* (3/122) dari ‘Amr bin
‘Ali, ia berkata:
كَانَ يَحْيَى وَعَبْدُ الرَّحْمٰنِ لَا
يُحَدِّثَانِ عَنِ الصَّلْتِ بْنِ دِينَارٍ.
*"Yahya dan ‘Abdurrahman tidak meriwayatkan hadits dari Ash-Shalt
bin Dinar."*
Abdullah bin Ahmad berkata dalam *Al-‘Ilal* (2380):
«سَأَلْتُ أَبِي عَنِ الصَّلْتِ بْنِ دِينَارٍ،
فَقَالَ: تَرَكَ النَّاسُ حَدِيثَهُ، مَتْرُوكٌ، وَنَهَانِي أَنْ أَكْتُبَ عَنِ الصَّلْتِ
بْنِ دِينَارٍ شَيْئًا».
*"Aku bertanya kepada ayahku tentang Ash-Shalt bin Dinar, lalu ia
berkata: 'Orang-orang telah meninggalkan haditsnya, ia perawi yang ditinggalkan
(matruk), dan ia melarangku menulis sesuatu pun dari Ash-Shalt bin
Dinar.’”*
Abdullah bin Ahmad juga berkata dalam riwayat lain dalam *Al-‘Ilal* (3900):
«سَأَلْتُ يَحْيَى عَنِ الصَّلْتِ بْنِ دِينَارٍ
أَبِي شُعَيْبٍ، فَقَالَ: بَصْرِيٌّ لَيْسَ بِشَيْءٍ. سَأَلْتُ أَبِي، فَقَالَ: مَتْرُوكٌ».
*"Aku bertanya kepada Yahya tentang Ash-Shalt bin Dinar Abu
Syu‘aib, lalu ia berkata: 'Ia seorang dari Bashrah yang tidak ada nilainya.'
Aku bertanya kepada ayahku, lalu ia berkata: 'Matruk.'"*
Ibnu Ma‘in berkata dalam *Riwayat Ad-Duri* (432):
«لَيْسَ بِشَيْءٍ».
*"Ia bukan apa-apa (tidak dapat dipercaya).”*
An-Nasai dalam *Adh-Dhu‘afa’ wal-Matrukin* (303) berkata:
«صَلْتُ بْنُ دِينَارٍ أَبُو شُعَيْبٍ، لَيْسَ
بِثِقَةٍ».
*"Ash-Shalt bin Dinar Abu Syu‘aib tidak terpercaya."*
***
PERHATIAN :
Perlu diperhatikan bahwa Al-‘Allamah Al-Albani rahimahullah menguatkan hadits-hadits
diatas berdasarkan hadits Nabi ﷺ:
«إِنَّ نَفْسَ الْمُؤْمِنِ إِذَا قُبِضَتْ
تَلَقَّاهَا مِنْ أَهْلِ الرَّحْمَةِ مِنْ عَبَادِ اللهِ كَمَا تَلْقَوْنَ
الْبَشِيرَ فِي الدُّنْيَا، فَيَقُولُونَ: انْظُرُوا صَاحِبَكُمْ يَسْتَرِيحُ،
فَإِنَّهُ قَدْ كَانَ فِي كَرْبٍ شَدِيدٍ، ثُمَّ يَسْأَلُونَهُ مَاذَا فَعَلَ
فُلَانٌ؟ وَمَا فَعَلَتْ فُلَانَةُ؟ هَلْ تَزَوَّجَتْ؟ فَإِذَا سَأَلُوهُ عَنِ
الرَّجُلِ قَدْ مَاتَ قَبْلَهُ، فَيَقُولُ: أَيْهَاتَ قَدْ مَاتَ ذَاكَ قَبْلِي،
فَيَقُولُونَ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، ذُهِبَتْ بِهِ إِلَى
أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ فَبِئْسَتِ الْأُمُّ وَبِئْسَتِ الْمُرَبِّيَةُ».
*"Sesungguhnya ruh seorang mukmin, ketika dicabut, akan disambut
oleh para hamba Allah dari kalangan penghuni rahmat sebagaimana kalian
menyambut kabar gembira di dunia. Mereka berkata, 'Lihatlah teman kalian ini
telah beristirahat karena sebelumnya ia berada dalam kesusahan yang berat.'
Kemudian mereka bertanya kepadanya, ‘Apa yang dilakukan oleh si Fulan? Apa yang
dilakukan oleh si Fulanah? Apakah ia telah menikah?’ Jika mereka bertanya
tentang seseorang yang telah meninggal sebelum dirinya, maka ia berkata, ‘Aduh,
dia telah wafat sebelumku.’ Maka mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un. Dia telah dibawa ke ibunya, yaitu Neraka Hawiyah. Seburuk-buruk ibu
dan seburuk-buruk tempat asuhan.’"*
Syeikh Muhammad Toha Sya’ban berkata Takhrij hadits diatas :
أَقُولُ: تَقْوِيَةُ الْأَحَادِيثِ الْوَارِدَةِ
فِي عَرْضِ أَعْمَالِ الْعِبَادِ عَلَى أَقَارِبِهِمْ مِنَ الْمَوْتَى، بِمِثْلِ هَذَا
اللَّفْظِ الْمَذْكُورِ آنِفًا، فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَمْرَيْنِ:
الْأَمْرُ الْأَوَّلُ: أَنَّهَا لَا تَدُلُّ
عَلَى الْمَعْنَى الْمَذْكُورِ مِنْ عَرْضِ أَعْمَالِ الْعِبَادِ عَلَى الْمَوْتَى.
الْأَمْرُ الثَّانِي: أَنَّهَا جَاءَتْ
مِنْ طَرِيقَيْنِ وَاهِيَيْنِ:
الطَّرِيقُ الْأَوَّلُ فِيهِ مُحَمَّدُ
بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ؛ وَهُوَ ضَعِيفٌ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَلَامَةَ،
وَلَيْسَتْ لَهُ تَرْجَمَةٌ.
الطَّرِيقُ الثَّانِي: مِنْ مُرْسَلِ
الْحَسَنِ، وَمَرَاسِيلُ الْحَسَنِ وَاهِيَةٌ.
Aku katakan: Menguatkan hadits-hadits tentang diperlihatkannya amal
manusia kepada kerabat mereka yang telah meninggal dunia dengan lafaz tersebut
di atas perlu ditinjau kembali, karena dua alasan berikut:
1. Hadits ini tidak menunjukkan makna yang disebutkan mengenai
diperlihatkannya amal manusia kepada orang-orang yang telah meninggal
dunia.
2. Hadits ini diriwayatkan melalui dua jalur yang lemah:
Jalur pertama : terdapat Muhammad bin Isma'il bin ‘Ayyasy, yang merupakan perawi lemah, dan Abdurrahman bin Salamah, yang tidak ditemukan biografinya dalam kitab-kitab perawi.
Jalur kedua : berasal dari hadits mursal Hasan Al-Bashri, sedangkan mursal Hasan tergolong hadits yang lemah.
BERTENTANGAN DENGAN HADITS YANG SHAHIH
Lagi pula kandungan matan hadits-hadits tentang do'a hidayah dari orang mati untuk orang hidup itu bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa ruh orang-orang mukmin bisa mengetahui informasi kerabatnya yang masih hidup melalui rekannya yang baru meninggal dunia setelah mereka bertanya kepadanya.
Sementara dalam hadits "doa hidayah orang mati untuk orang hidup" disebutkan bahwa amalan orang hidup senantiasa diperlihatkan kepada orang mati.
Berikut ini hadits shahih atau Hasan yang menyelisihinya:
HADITS PERTAMA :
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam
*As-Sunnah* (1447), Ath-Thabari dalam *Tahdzib al-Atsar* (2/502), dan Al-Bazzar
dalam *Musnad*-nya (9760), dari jalur Yazid bin Kaisan, dari Abu Hazim, dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
(إِنَّ الْمُؤْمِنَ حِينَ يَنْزِلُ بِهِ
الْمَوْتُ وَيُعَايِنُ مَا يُعَايِنُ وَدَّ أَنَّهَا قَدْ خَرَجَتْ ، وَاللَّهُ
يُحِبُّ لِقَاءَهُ ، وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يُصْعَدُ بِرُوحِهِ إِلَى السَّمَاءِ ،
فَتَأْتِيهِ أَرْوَاحُ الْمُؤْمِنِينَ فَيَسْتَخْبِرُونَهُ عَنْ مَعَارِفِهِمْ
مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ ، فَإِذَا قَالَ: تَرَكْتُ فُلَانًا فِي الدُّنْيَا ،
أَعْجَبَهُمْ ذَلِكَ ، فَإِذَا قَالَ: إِنَّ فُلَانًا قَدْ فَارَقَ الدُّنْيَا
قَالُوا: مَا جِيءَ بِرُوحِ ذَلِكَ إِلَيْنَا).
*"Sesungguhnya seorang mukmin ketika
ajal menjemputnya dan ia melihat apa yang dilihatnya, ia pun berharap segera
keluar dari dunia ini, dan Allah mencintai perjumpaan dengannya. Ketika ruh
seorang mukmin diangkat ke langit, ruh-ruh orang mukmin lainnya akan
mendatanginya dan menanyakan tentang orang-orang yang mereka kenal di dunia.
Jika ia berkata: ‘Aku meninggalkan si fulan di dunia,’ mereka merasa senang.
Tetapi jika ia berkata: ‘Si fulan telah meninggal dunia,’ mereka berkata:
‘Kenapa ruhnya belum datang kepada kami?’”*
Sanad hadits ini hasan karena adanya
periwayat Al-Walid bin Al-Qasim. Ahmad menganggapnya tsiqah, sementara Yahya
bin Ma’in mendhaifkannya.
Namun, Imam Ahmad juga berkata:
"كَتَبْنَا عَنْهُ أَحَادِيثَ حِسَانًا عَنْ
يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ فَاكْتُبُوا عَنْهُ".
*"Kami menulis darinya hadits-hadits yang baik dari Yazid bin Kaisan, maka tulislah darinya."* (Lihat *Tahdzib at-Tahdzib*, 245). Syaikh Al-Albani menghasankan sanadnya dalam *Al-Ayat al-Bayyinat* (hal. 91).
HADITS KEDUA :
Hadits yang diriwayatkan oleh:
- An-Nasa'i dalam *Sunan*-nya (1833),
- Ibnu Hibban dalam *Shahih*-nya (3014),
- Al-Bazzar dalam *Musnad*-nya (9540),
- Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* (1302),
- Al-Baihaqi dalam *Itsbat 'Adzab Al-Qabr*
(36), melalui jalur *Qatadah*, dari
*Qasamah bin Zuhair*, dari *Abu Hurairah*, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
(
إِذَا حُضِرَ الْمُؤْمِنُ أَتَتْهُ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ بِحَرِيرَةٍ بَيْضَاءَ
، فَيَقُولُونَ: اخْرُجِي رَاضِيَةً مَرْضِيًّا عَنْكِ إِلَى رَوْحِ اللَّهِ
وَرَيْحَانٍ ، وَرَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانَ ، فَتَخْرُجُ كَأَطْيَبِ رِيحِ الْمِسْكِ
، حَتَّى إنَّهُ لَيُنَاوِلُهُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ، حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ بَابَ
السَّمَاءِ ، فَيَقُولُونَ: مَا أَطْيَبَ هَذِهِ الرِّيحَ الَّتِي جَاءَتْكُمْ
مِنَ الْأَرْضِ ، فَيَأْتُونَ بِهِ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَهُمْ أَشَدُّ
فَرَحًا بِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِغَائِبِهِ يَقْدَمُ عَلَيْهِ ، فَيَسْأَلُونَهُ:
مَاذَا فَعَلَ فُلَانٌ؟ مَاذَا فَعَلَ فُلَانٌ؟ فَيَقُولُونَ: دَعُوهُ فَإِنَّهُ
كَانَ فِي غَمِّ الدُّنْيَا ، فَإِذَا قَالَ: أَمَا أَتَاكُمْ؟ قَالُوا: ذُهِبَ
بِهِ إِلَى أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ ، وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا احْتُضِرَ أَتَتْهُ
مَلَائِكَةُ الْعَذَابِ بِمِسْحٍ فَيَقُولُونَ: اخْرُجِي سَاخِطَةً مَسْخُوطًا
عَلَيْكِ ، إِلَى عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، فَتَخْرُجُ كَأَنْتَنِ رِيحِ
جِيفَةٍ ، حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ بَابَ الْأَرْضِ ، فَيَقُولُونَ: مَا أَنْتَنَ
هَذِهِ الرِّيحَ ، حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ أَرْوَاحَ الْكُفَّارِ).
"Ketika seorang mukmin menjelang
kematiannya, malaikat rahmat mendatanginya dengan membawa kain sutra putih,
lalu mereka berkata:
'Keluarlah dengan ridha dan dalam keadaan
diridhai, menuju rahmat dan wewangian Allah serta kepada Tuhan yang tidak
murka.'
Maka ruhnya keluar dengan aroma seharum
minyak kesturi, hingga mereka saling menyerahkannya satu sama lain hingga
sampai ke pintu langit.
Mereka berkata: 'Alangkah harumnya aroma yang
datang dari bumi ini.'
Kemudian ruh itu dibawa kepada arwah
orang-orang beriman. Mereka lebih bahagia menyambutnya dibandingkan salah
seorang dari kalian menyambut keluarganya yang datang setelah lama pergi.
Lalu mereka (ruh-ruh orang beriman) bertanya
kepadanya: 'Apa yang dilakukan si Fulan? Apa yang dilakukan si Fulan?'
Namun mereka (para malaikat yang membawa-nya)
berkata: 'Biarkan dia, karena dia baru saja mengalami kesulitan dunia.'
Jika ruh itu berkata: 'Bukankah dia telah
datang kepada kalian?' Mereka (rurh-ruh orang beriman) menjawab: 'Ia telah
dibawa ke tempat kembalinya , yaitu neraka *Al-Hawiyah*.'"
"Adapun jika orang kafir menjelang
kematiannya, malaikat azab mendatanginya dengan membawa kain kasar. Mereka
(para malaikat) berkata:
'Keluarlah dalam keadaan murka dan dimurkai
menuju azab Allah.'
Maka ruhnya keluar dengan bau sebusuk
bangkai, hingga mereka membawanya ke pintu bumi. Mereka (para malaikat)
berkata: 'Alangkah busuknya bau ini,' hingga ruh itu dibawa kepada arwah
orang-orang kafir."
Hadits ini memiliki sanad yang
**shahih**.
Sanadnya dianggap kuat oleh Al-'Iraqi dalam
*Al-Mughni 'an Hamlil-Asfar* (7/228). Hadits ini juga dinyatakan **shahih**
oleh **Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah** dalam *Majmu' Al-Fatawa* (5/450) dan
**Syaikh Al-Albani** dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* (1309).
Dalam sunnah Nabi yang shahih disebutkan
bahwa ruh-ruh orang beriman saling mengunjungi di kubur dan bertanya kepada
orang yang baru meninggal setelah mereka dimakamkan tentang kabar keluarga
mereka di dunia.
FIQIH HADITS :
Hadits Abu Hurairah ini menunjukkan bahwa orang
yang baru meninggal akan memberi tahu arwah orang-orang beriman tentang
keluarga, kerabat dan sahabat mereka yang mukmin yang masih hidup.
Dan inilah cara yang dibenarkan bahwa orang
yang telah meninggal mengetahui kabar keluarga mereka yang masih hidup.
Ruh terbagi menjadi dua : [1]- Ruh yang disiksa. [2] Ruh
yang diberi kenikmatan.
Ruh yang disiksa sibuk dengan siksaan yang
mereka alami sehingga tidak bertanya kepada orang yang baru meninggal tentang
kabar keluarga mereka, juga tidak saling mengunjungi atau bertemu. Sedangkan
ruh yang diberi kenikmatan, yang bebas dan tidak tertahan, saling bertemu,
saling mengunjungi, dan saling mengenang apa yang pernah terjadi di dunia serta
apa yang terjadi pada keluarga mereka di dunia.
Ya, telah ditegaskan dalam dalil bahwa
ruh-ruh orang beriman dapat saling bertemu dan saling mengunjungi.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata:
وَأَمَّا قَوْلُهُ
" هَلْ تَجْتَمِعُ رُوحُهُ مَعَ أَرْوَاحِ أَهْلِهِ وَأَقَارِبِهِ ؟ " :
فَفِي الْحَدِيثِ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ وَغَيْرِهِ مِنَ السَّلَفِ وَرَوَاهُ
أَبُو حَاتِمٍ فِي الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: " أَنَّ الْمَيِّتَ إِذَا عُرِجَ بِرُوحِهِ تَلَقَّتْهُ الْأَرْوَاحُ يَسْأَلُونَهُ
عَنِ الْأَحْيَاءِ فَيَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : دَعُوهُ حَتَّى يَسْتَرِيحَ ، فَيَقُولُونَ
لَهُ : مَا فَعَلَ فُلَانٌ ؟ فَيَقُولُ : عَمِلَ عَمَلَ صَلَاحٍ ، فَيَقُولُونَ : مَا
فَعَلَ فُلَانٌ ؟ فَيَقُولُ : أَلَمْ يَقْدَمْ عَلَيْكُمْ ؟ فَيَقُولُونَ : لَا، فَيَقُولُونَ:
ذُهِبَ بِهِ إِلَى الْهَاوِيَةِ " .
وَلَمَّا كَانَتْ
أَعْمَالُ الْأَحْيَاءِ تُعْرَضُ عَلَى الْمَوْتَى : كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ
: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَعْمَلَ عَمَلًا أُخْزَى بِهِ عِنْدَ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ " ، فَهَذَا اجْتِمَاعُهُمْ عِنْدَ قُدُومِهِ يَسْأَلُونَهُ
فَيُجِيبُهُمْ .
وَأَمَّا اسْتِقْرَارُهُمْ
فَبِحَسَبِ مَنَازِلِهِمْ عِنْدَ اللَّهِ ، فَمَنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ : كَانَتْ
مَنْزِلَتُهُ أَعْلَى مِنْ مَنْزِلَةِ مَنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ ، لَكِنَّ
الْأَعْلَى يَنْزِلُ إِلَى الْأَسْفَلِ وَالْأَسْفَلُ لَا يَصْعَدُ إِلَى الْأَعْلَى
، فَيَجْتَمِعُونَ إِذَا شَاءَ اللَّهُ كَمَا يَجْتَمِعُونَ فِي الدُّنْيَا ، مَعَ
تَفَاوُتِ مَنَازِلِهِمْ وَيَتَزَاوَرُونَ .
وَسَوَاءٌ كَانَتِ
الْمَدَافِنُ مُتَبَاعِدَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ مُتَقَارِبَةً ، قَدْ تَجْتَمِعُ الْأَرْوَاحُ
مَعَ تَبَاعُدِ الْمَدَافِنِ ، وَقَدْ تَفْتَرِقُ مَعَ تَقَارُبِ الْمَدَافِنِ ، يُدْفَنُ
الْمُؤْمِنُ عِنْدَ الْكَافِرِ ، وَرُوحُ هَذَا فِي الْجَنَّةِ ، وَرُوحُ هَذَا فِي
النَّارِ ، وَالرَّجُلَانِ يَكُونَانِ جَالِسَيْنِ أَوْ نَائِمَيْنِ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ
وَقَلْبُ هَذَا يُنَعَّمُ ، وَقَلْبُ هَذَا يُعَذَّبُ ، وَلَيْسَ بَيْنَ الرُّوحَيْنِ
اتِّصَالٌ ، فَالْأَرْوَاحُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: " جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ ، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ ، وَمَا تَنَاكَرَ
مِنْهَا اخْتَلَفَ " رَوَاهُ مُسْلِمٌ (2638).
Adapun pertanyaan "Apakah ruh seseorang
akan berkumpul dengan ruh keluarga dan kerabatnya?" Maka dalam sebuah
hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari dan selainnya dari kalangan salaf, yang
diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam kitab *Ash-Shahih* dari Nabi ﷺ, disebutkan:
*"Apabila ruh seorang yang meninggal
diangkat, maka ruh-ruh lainnya akan menyambutnya, lalu mereka menanyainya
tentang keadaan orang-orang yang masih hidup. Sebagian dari mereka berkata,
‘Biarkan dia beristirahat terlebih dahulu.’ Kemudian mereka bertanya, ‘Apa yang
dilakukan si Fulan?’ Ia menjawab, ‘Ia melakukan amal shalih.’ Mereka bertanya
lagi, ‘Apa yang dilakukan si Fulan?’ Ia menjawab, ‘Bukankah dia sudah datang
kepada kalian?’ Mereka berkata, ‘Belum.’ Maka mereka berkata, ‘Ia telah dibawa
ke tempat kehancuran (neraka Hawiyah).’”*
Karena amal perbuatan orang yang masih hidup
diperlihatkan kepada orang-orang yang telah meninggal, maka Abu Darda'
radhiyallahu 'anhu pernah berdoa:
*"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari melakukan amal yang memalukan di hadapan Abdullah bin Rawahah."*
Hal ini menunjukkan bahwa ketika ruh
seseorang tiba, ruh-ruh lainnya menyambutnya dan menanyakan keadaannya.
Adapun tempat mereka menetap bergantung pada
kedudukan mereka di sisi Allah. Barang siapa termasuk golongan yang didekatkan
kepada Allah, maka kedudukannya lebih tinggi dibandingkan golongan kanan.
Namun, yang berada di tempat yang lebih tinggi dapat turun ke tempat yang lebih
rendah, sedangkan yang berada di tempat rendah tidak dapat naik ke tempat yang
lebih tinggi. Mereka bisa berkumpul jika Allah menghendaki, sebagaimana mereka
bisa berkumpul di dunia, meskipun kedudukan mereka berbeda-beda dan mereka
saling mengunjungi.
Baik kuburan mereka berjauhan di dunia maupun
berdekatan, ruh-ruh itu dapat berkumpul meskipun kuburan berjauhan, atau dapat
terpisah meskipun kuburan berdekatan. Seorang mukmin bisa dikuburkan di sebelah
kafir, namun ruh mukmin berada di surga, sedangkan ruh kafir berada di neraka.
Dua orang yang duduk atau tidur di tempat yang sama bisa saja salah satunya
mendapatkan nikmat, sedangkan yang lain mendapatkan azab, tanpa ada hubungan
antara ruh keduanya.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: *"Ruh-ruh itu seperti tentara yang berseragam. Apa saja yang membuat mereka saling mengenal di antara mereka, maka mereka akan saling bersatu, dan apa yang membuat mereka saling tidak mengenal, maka mereka akan saling berselisih."* (HR. Muslim, no. 2638). [Lihat : *Majmu’ Al-Fatawa*, 24/368].
===***===
PEMBAHASAN
KELIMA:
Apakah Boleh Meminta Syafaat atau Doa dari Orang yang Telah Meninggal?
Jawabannya :
Tidak diperbolehkan meminta doa atau
syafaat dari orang yang telah meninggal, terutama di sisi kuburnya, karena pada
saat itu seseorang akan lebih terikat dengannya. Hal ini termasuk bid'ah yang
munkar dan merupakan sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan dan meminta
selain kepada Allah. Bahkan, hal ini dapat mencapai syirik akbar yang
mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Keadaan ini sering terjadi pada
orang-orang yang sangat terikat dengan mayit.
Syafaat hanya boleh diminta kepada
Allah, bukan kepada makhluk. Allah memberikan izin kepada siapa yang Dia
kehendaki dari hamba-hamba-Nya yang saleh dan meridhainya, dan itu hanya
terjadi pada hari kiamat.
Allah Ta'ala berfirman:
(
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ
هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّه )
_"Dan mereka menyembah selain
Allah sesuatu yang tidak dapat mendatangkan mudarat kepada mereka dan tidak
(pula) memberi manfaat, dan mereka berkata: 'Mereka itu adalah pemberi syafaat
bagi kami di sisi Allah'." (Yunus: 18)_
Allah Ta'ala juga berfirman:
(
أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لا يَمْلِكُونَ
شَيْئاً وَلا يَعْقِلُونَ قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعاً لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ )
_"Ataukah mereka mengambil
pemberi syafaat selain Allah? Katakanlah: 'Dan apakah (kamu lakukan itu)
meskipun mereka tidak memiliki sesuatu pun dan tidak berakal?' Katakanlah:
'Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan
bumi'." (Az-Zumar: 43-44)_
Allah Ta'ala juga berfirman:
(
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ * إِنْ تَدْعُوهُمْ
لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ )
_"Dan orang-orang yang kamu seru
selain Allah tidak memiliki (walaupun) setipis kulit biji kurma (qatmir). Jika
kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu, dan kalaupun mereka
mendengar, mereka tidak dapat mengabulkan permintaanmu. Dan pada hari kiamat
mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi kabar
kepadamu seperti (Allah) yang Maha Mengetahui." (Fatir: 13-14)_
Diriwayatkan dalam **Shahih
Al-Bukhari** (1010) dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:
أَنَّ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ
بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ : " اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
" قَالَ : فَيُسْقَوْنَ .
“Bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu
'anhu, ketika terjadi kekeringan, beliau berdoa meminta hujan melalui
perantaraan Al-Abbas bin Abdul Muththalib. Umar berkata:
"Ya Allah, dahulu kami
bertawassul kepada-Mu dengan (doa) Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan
kepada kami. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan (doa) paman Nabi kami,
maka turunkanlah hujan kepada kami."
Anas berkata: _"Lalu mereka
diberi hujan." [HR. Bukhori no. 1010].
Jika memang meminta syafaat dan meminta
do’a kepada orang yang telah meninggal itu diperbolehkan, niscaya para sahabat
radhiyallahu 'anhum tidak akan beralih dari meminta doa dari Nabi ﷺ
dan meminta syafaat darinya kepada meminta doa dari Al-Abbas radhiyallahu
'anhu.
Ini adalah perkara yang telah
disepakati oleh para ulama Islam, baik dahulu maupun sekarang, tanpa ada
perbedaan pendapat di antara mereka. Yang menyelisihi dalam hal ini hanyalah
orang-orang yang pendapatnya tidak dianggap dari kalangan ahli bid'ah.
Adapun pendapat para ulama mengenai
hal ini, di antaranya:
Ke 1. Pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah:
Beliau berkata:
"
لَيْسَ فِي الزِّيَارَةِ الشَّرْعِيَّةِ حَاجَةُ الْحَيِّ إلَى الْمَيِّتِ وَلَا مَسْأَلَتُهُ
وَلَا تَوَسُّلُهُ بِهِ ؛ بَلْ فِيهَا مَنْفَعَةُ الْحَيِّ لِلْمَيِّتِ كَالصَّلَاةِ
عَلَيْهِ ، وَاَللَّهُ تَعَالَى يَرْحَمُ هَذَا بِدُعَاءِ هَذَا وَإِحْسَانِهِ إلَيْهِ
وَيُثِيبُ هَذَا عَلَى عَمَلِهِ " انتهى .
"Dalam ziarah kubur yang
disyariatkan, tidak ada kebutuhan orang yang masih hidup kepada orang yang
sudah meninggal, tidak ada pula permintaan kepadanya atau bertawassul dengannya.
Sebaliknya, yang ada dalam ziarah tersebut adalah manfaat bagi orang yang telah
meninggal, seperti shalat atasnya. Allah Ta'ala merahmati mayit tersebut
melalui doa orang yang masih hidup dan kebaikan yang diberikan kepadanya, serta
memberikan pahala kepada orang yang hidup atas amal perbuatannya." (Majmu'
Al-Fatawa, 27/71)
Beliau juga berkata:
وَمَا
يَفْعَلُونَهُ مِنْ دُعَاءِ الْمَخْلُوقِينَ كَالْمَلَائِكَةِ أَوْ كَالْأَنْبِيَاءِ
وَالصَّالِحِينَ الَّذِينَ مَاتُوا مِثْلَ دُعَائِهِمْ مَرْيَمَ وَغَيْرَهَا وَطَلَبِهِمْ
مِنَ الْأَمْوَاتِ الشَّفَاعَةَ لَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ لَمْ يَبْعَثْ بِهِ أَحَدٌ مِنَ
الْأَنْبِيَاءِ" انْتَهَى.
_"Apa yang mereka lakukan dengan
berdoa kepada makhluk seperti malaikat atau para nabi dan orang-orang saleh
yang telah meninggal, seperti meminta kepada Maryam dan selainnya, serta
meminta syafaat dari orang-orang yang telah meninggal, tidak pernah diajarkan
oleh seorang pun dari para nabi."_ (Al-Jawab Ash-Shahih, 5/187)
Beliau juga berkata:
"
الثَّانِيَةُ : أَنْ يُقَالَ لِلْمَيِّتِ أَوْ الْغَائِبِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ
: اُدْعُ اللَّهَ لِي أَوْ اُدْعُ لَنَا رَبَّك أَوْ اسْأَلْ اللَّهَ لَنَا كَمَا تَقُولُ
النَّصَارَى لِمَرْيَمَ وَغَيْرِهَا ، فَهَذَا أَيْضًا لَا يَسْتَرِيبُ عَالِمٌ أَنَّهُ
غَيْرُ جَائِزٍ وَأَنَّهُ مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ سَلَفِ
الْأُمَّةِ ، فلَيْسَ مِنْ الْمَشْرُوعِ أَنْ يُطْلَبَ مِنْ الْأَمْوَاتِ لَا دُعَاءٌ
وَلَا غَيْرُهُ . وَفِي مُوَطَّأِ مَالِكٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ :
" السَّلَامُ عَلَيْك يَا رَسُولَ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْك يَا أَبَا بَكْرٍ
السَّلَامُ عَلَيْك يَا أَبَتِ " ثُمَّ يَنْصَرِفُ . وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
دِينَارٍ قَالَ : رَأَيْت عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقِفُ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَيَدْعُو لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ . وَكَذَلِكَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَغَيْرُهُ
نُقِلَ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَإِذَا أَرَادُوا الدُّعَاءَ اسْتَقْبَلُوا الْقِبْلَةَ يَدْعُونَ اللَّهَ
تَعَالَى لَا يَدْعُونَ مُسْتَقْبِلِي الْحُجْرَةِ .
وَمَذْهَبُ
الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ - مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ
- وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَئِمَّةِ الْإِسْلَامِ أَنَّ الرَّجُلَ إذَا سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ لِنَفْسِهِ فَإِنَّهُ يَسْتَقْبِلُ
الْقِبْلَةَ " انتهى
"Yang kedua: Jika seseorang
berkata kepada orang yang telah meninggal atau yang tidak hadir dari kalangan
para nabi dan orang-orang saleh: 'Doakanlah aku kepada Allah' atau 'Mintakanlah
kepada Tuhanmu untuk kami' atau 'Mohonkanlah kepada Allah untuk kami,'
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani kepada Maryam dan
selainnya, maka hal ini juga tidak diragukan lagi oleh seorang ulama pun bahwa
hal tersebut tidak diperbolehkan dan termasuk bid’ah yang tidak pernah
dilakukan oleh seorang pun dari generasi terdahulu umat ini. Maka, tidak
disyariatkan untuk meminta doa kepada orang yang telah meninggal, baik doa
maupun lainnya._
Dalam “Al-Muwaththa’” karya Imam
Malik disebutkan bahwa Abdullah bin Umar dahulu ketika berziarah ke makam Nabi ﷺ,
beliau hanya mengucapkan:
'As-salamu ‘alaika, wahai Rasulullah.
As-salamu ‘alaika, wahai Abu Bakar. As-salamu ‘alaika, wahai ayahku.' Kemudian
beliau pergi.
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin
Dinar, ia berkata: 'Aku melihat Abdullah bin Umar berdiri di dekat makam Nabi ﷺ
lalu bershalawat atas beliau ﷺ
dan berdoa untuk Abu Bakar dan Umar.'
Begitu pula dengan Anas bin Malik dan
lainnya, diriwayatkan bahwa mereka mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ,
kemudian ketika hendak berdoa, mereka menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah
Ta’ala, bukan menghadap ke arah kamar makam Nabi ﷺ._
Pendapat ini juga merupakan mazhab “empat
imam” - yaitu “Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan Ahmad”, serta selain mereka
dari kalangan ulama Islam. Mereka berpendapat bahwa ketika seseorang
mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ
dan ingin berdoa untuk dirinya sendiri, maka hendaknya ia menghadap
kiblat." (Majmu' Al-Fatawa, 1/351-352)
Ke 2. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:
"
لَا يَجُوزُ أَنْ تُطْلَبَ مِنْهُ الشَّفَاعَةُ وَلَا غَيْرُهَا كَسَائِرِ الْأَمْوَاتِ؛
لِأَنَّ الْمَيِّتَ لَا يُطْلَبُ مِنْهُ شَيْءٌ وَإِنَّمَا يُدْعَى لَهُ وَيُتَرَحَّمُ
عَلَيْهِ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا، لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: «زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا
تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ».
فَمَنْ
زَارَ قَبْرَ الْحُسَيْنِ أَوِ الْحَسَنِ أَوْ غَيْرَهُمَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِلدُّعَاءِ
لَهُمْ وَالتَّرَحُّمِ عَلَيْهِمْ وَالِاسْتِغْفَارِ لَهُمْ كَمَا يُفْعَلُ مَعَ بَقِيَّةِ
قُبُورِ الْمُسْلِمِينَ - فَهَذَا سُنَّةٌ، أَمَّا زِيَارَةُ الْقُبُورِ لِدُعَاءِ
أَهْلِهَا أَوِ الِاسْتِعَانَةِ بِهِمْ أَوْ طَلَبِهِمُ الشَّفَاعَةَ - فَهَذَا مِنَ
الْمُنْكَرَاتِ، بَلْ مِنَ الشِّرْكِ الْأَكْبَرِ." انتهى.
"Tidak boleh meminta syafaat
darinya, maupun hal lainnya, sebagaimana halnya dengan orang-orang yang telah
meninggal pada umumnya. Sebab, orang yang telah meninggal tidak boleh dimintai
sesuatu, melainkan didoakan dan dimohonkan rahmat baginya jika ia seorang
Muslim. Rasulullah ﷺ
bersabda: *'Ziarahilah kuburan, karena ia mengingatkan kalian akan
akhirat.'*
Maka, barang siapa yang menziarahi
kubur Al-Husain, Al-Hasan, atau selain keduanya dari kaum Muslimin untuk
mendoakan mereka, memohonkan rahmat, dan memintakan ampunan bagi mereka
sebagaimana yang dilakukan terhadap kuburan kaum Muslimin lainnya, maka ini
adalah sunnah. Namun, jika kuburan diziarahi untuk berdoa kepada penghuninya,
meminta pertolongan kepada mereka, atau meminta syafaat dari mereka, maka ini
termasuk kemungkaran. Bahkan, ini merupakan syirik akbar (syirik
besar)."
(*Majmu' Fatawa Ibnu Baz*,
6/367)
Beliau juga berkata:
"
لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَطْلُبَ مِنَ الرَّسُولِ ﷺ الشَّفَاعَةَ؛ لِأَنَّهَا مِلْكُ
اللَّهِ سُبْحَانَهُ، فَلَا تُطْلَبُ إِلَّا مِنْهُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: (قُلْ لِلَّهِ
الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا).
فَتَقُولُ:
«اللَّهُمَّ شَفِّعْ فِي نَبِيَّكَ، اللَّهُمَّ شَفِّعْ فِي مَلَائِكَتِكَ، وَعِبَادِكَ
الْمُؤْمِنِينَ، اللَّهُمَّ شَفِّعْ فِي أَفْرَاطِي»، وَنَحْوَ ذَلِكَ.
وَأَمَّا
الْأَمْوَاتُ فَلَا يُطْلَبُ مِنْهُمْ شَيْءٌ، لَا الشَّفَاعَةُ وَلَا غَيْرُهَا، سَوَاءٌ
كَانُوا أَنْبِيَاءَ أَوْ غَيْرَ أَنْبِيَاءَ." انتهى.
"Tidak boleh bagi siapa pun
untuk meminta syafaat kepada Rasulullah ﷺ,
karena syafaat adalah milik Allah ﷻ,
sehingga tidak boleh diminta kecuali kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala: *(Katakanlah: ‘Hanya milik Allah seluruh syafaat’)* [Az-Zumar:
44].
Maka hendaknya seseorang berdoa: *'Ya
Allah, perkenankanlah nabimu memberikan syafaat untukku. Ya Allah,
perkenankanlah malaikat-Mu dan hamba-hamba-Mu yang beriman memberikan syafaat
untukku. Ya Allah, perkenankanlah anak-anakku yang masih kecil memberikan
syafaat untukku.'* Dan semacamnya.
Adapun orang-orang yang telah
meninggal, tidak boleh dimintai sesuatu, baik itu syafaat maupun selainnya,
baik mereka para nabi maupun selain nabi."
(*Majmu' Fatawa Ibnu Baz*, 16/105).
Ke 3. Syaikh Shalih Al-Fawzan hafizhahullah berkata:
"
وَمِنَ الشُّبَهِ الَّتِي تَعَلَّقُوا بِهَا: قَضِيَّةُ الشَّفَاعَةِ؛ حَيْثُ يَقُولُونَ:
نَحْنُ لَا نُرِيدُ مِنَ الأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ قَضَاءَ الحَاجَاتِ مِنْ دُونِ
اللَّهِ، وَلَكِنْ نُرِيدُ مِنْهُمْ أَنْ يَشْفَعُوا لَنَا عِنْدَ اللَّهِ؛ لِأَنَّهُمْ
أَهْلُ صَلَاحٍ وَمَكَانَةٍ عِنْدَ اللَّهِ؛ فَنَحْنُ نُرِيدُ بِجَاهِهِمْ وَشَفَاعَتِهِمْ.
وَالجَوَابُ:
أَنَّ هَذَا هُوَ عَيْنُ مَا قَالَهُ المُشْرِكُونَ مِنْ قَبْلُ فِي تَسْوِيغِ مَا
هُمْ عَلَيْهِ، وَقَدْ كَفَّرَهُمُ اللَّهُ، وَسَمَّاهُمْ مُشْرِكِينَ؛ كَمَا فِي قَوْلِهِ
تَعَالَى: (وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ
وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ) انتهى."
*"Di antara syubhat yang mereka
jadikan pegangan adalah masalah syafaat. Mereka berkata: ‘Kami tidak meminta
kepada para wali dan orang-orang saleh untuk memenuhi hajat kami tanpa
perantaraan Allah, tetapi kami hanya ingin mereka memberi syafaat kepada kami
di sisi Allah, karena mereka adalah orang-orang saleh yang memiliki kedudukan
di sisi Allah. Kami menginginkan syafaat dan perantaraan mereka.’*
Jawabannya adalah bahwa ini persis
seperti yang dikatakan oleh kaum musyrikin terdahulu untuk membenarkan
perbuatan mereka. Allah telah mengkafirkan mereka dan menyebut mereka sebagai
orang-orang musyrik, sebagaimana dalam firman-Nya:
*(Dan mereka menyembah selain Allah
sesuatu yang tidak dapat mendatangkan mudarat kepada mereka dan tidak pula
memberi manfaat, dan mereka berkata: "Mereka ini adalah pemberi syafaat
bagi kami di sisi Allah.")* [Yunus: 18]." Tamat.
(*Al-Irsyad ila Shahih al-I'tiqad*,
hlm. 70-71).
Adapun peristiwa Nabi ﷺ
berbicara kepada penghuni sumur Badar dan mereka mendengar ucapannya, itu
adalah kekhususan bagi Nabi ﷺ
dalam situasi tertentu untuk menghinakan kekufuran dan para pelakunya, baik
yang masih hidup maupun yang telah mati.
Qatadah seorang ulama dari kalangan Tabi'in, wafat 118 H, dia berkata:
"أَحْيَاهُمْ اللَّهُ حَتَّى أَسْمَعَهُمْ قَوْلَهُ تَوْبِيخًا وَتَصْغِيرًا وَنَقِيمَةً
وَحَسْرَةً وَنَدَمًا"
*“Allah menghidupkan mereka hingga
mendengar ucapannya sebagai celaan, penghinaan, hukuman, penyesalan, dan
kesedihan.”* (HR. Al-Bukhari, 3976).
Maka, tidak sah, bahkan tidak boleh,
menjadikannya sebagai dalil untuk membolehkan meminta syafaat atau berdoa
kepada orang mati. Justru, itu adalah qiyas (analogi) yang paling rusak dan
paling buruk."
Ke 4 . Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah – Saudi Arabia- berkata:
إِذَا
مَاتَ الْإِنْسَانُ ذَهَبَ سَمْعُهُ فَلَا يُدْرِكُ أَصْوَاتَ مَنْ فِي الدُّنْيَا
وَلَا يَسْمَعُ حَدِيثَهُمْ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: (وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ
فِي الْقُبُورِ) فَأَكَّدَ تَعَالَى لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَدَمَ سَمَاعِ مَنْ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ بِتَشْبِيهِهِمْ بِالْمَوْتَى،
وَالْأَصْلُ فِي الْمُشَبَّهِ بِهِ أَنَّهُ أَقْوَى مِنَ الْمُشَبَّهِ فِي الِاتِّصَافِ
بِوَجْهِ الشَّبَهِ، وَإِذًا فَالْمَوْتَى أَدْخَلُ فِي عَدَمِ السَّمَاعِ وَأَوْلَى
بِعَدَمِ الِاسْتِجَابَةِ مِنَ الْمُعَانِدِينَ الَّذِينَ صَمُّوا آذَانَهُمْ عَنْ
دَعْوَةِ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَعَمُوا عَنْهَا، وَقَالُوا:
قُلُوبُنَا غُلْفٌ، وَفِي هَذَا يَقُولُ تَعَالَى: (ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ
الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ) (إِنْ
تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ).
وَأَمَّا
سَمَاعُ قَتْلَى الْكُفَّارِ الَّذِينَ قُبِرُوا فِي الْقَلِيبِ يَوْمَ بَدْرٍ نِدَاءَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاهُمْ وَقَوْلُهُ لَهُمْ:
"هَلْ وَجَدْتُّمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا، فَإِنَّا وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا
رَبُّنَا حَقًّا"، وَقَوْلُهُ لِأَصْحَابِهِ: "مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا
أَقُولُ مِنْهُمْ" حِينَمَا اسْتَنْكَرُوا نِدَاءَهُ أَهْلَ الْقَلِيبِ، فَذَلِكَ
مِنْ خُصُوصِيَّاتِهِ الَّتِي خَصَّهُ اللَّهُ بِهَا فَاسْتُثْنِيَتْ مِنَ الْأَصْلِ
الْعَامِّ بِالدَّلِيلِ، وَهَكَذَا سَمَاعُ الْمَيِّتِ قَرْعَ نِعَالِ مُشَيِّعِي جِنَازَتِهِ
مُسْتَثْنًى مِنْ هَذَا الْأَصْلِ، وَهَكَذَا قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أَرُدَّ
عَلَيْهِ السَّلَامَ) مُسْتَثْنًى مِنْ هَذَا الْأَصْلِ" انتهى.
"Jika seseorang telah meninggal,
maka pendengarannya pun hilang, sehingga ia tidak dapat mendengar suara
orang-orang yang masih hidup di dunia dan tidak dapat mendengar pembicaraan
mereka. Allah ﷻ
berfirman:
_(Dan engkau tidak akan dapat
memperdengarkan (seruan) kepada orang-orang yang di dalam kubur)_ (QS. Fatir:
22).
Allah ﷻ
menegaskan kepada Rasul-Nya ﷺ
bahwa orang-orang yang beliau seru kepada Islam tidak dapat mendengar, dengan
mengumpamakan mereka seperti orang-orang mati. Prinsip dalam tasybih
(penyerupaan) adalah bahwa yang dijadikan sebagai perumpamaan (musyabbah bihi)
memiliki sifat yang lebih kuat dibandingkan dengan yang diumpamakan (musyabbah).
Oleh karena itu, orang-orang mati lebih utama dalam hal ketidakmampuan
mendengar dan lebih pantas untuk tidak dapat merespons dibandingkan dengan
orang-orang yang menutup telinga mereka terhadap dakwah Rasul ﷺ
dan berpaling darinya. Mereka berkata: _"Hati kami tertutup."_
Dalam hal ini, Allah ﷻ
berfirman:
_(Demikianlah Allah, Tuhan kalian.
Milik-Nya-lah kerajaan. Sedangkan mereka yang kalian seru selain Dia, tidak
memiliki walau sehelai kulit ari pun. Jika kalian menyeru mereka, mereka tidak
mendengar seruan kalian. Dan seandainya mereka mendengar, mereka tidak akan
dapat mengabulkannya. Pada hari Kiamat, mereka akan mengingkari perbuatan
syirik kalian, dan tidak ada yang dapat memberitakan kepadamu (tentang hal ini)
seperti Dia yang Maha Mengetahui.)_ (QS. Fatir: 13-14).
Adapun peristiwa di mana Rasulullah ﷺ
berbicara kepada jasad orang-orang kafir yang tewas dalam Perang Badar dan
telah dikubur di sumur, dengan bersabda:
_"Apakah kalian telah
mendapatkan apa yang dijanjikan Rabb kalian itu benar? Karena sesungguhnya kami
telah mendapatkan apa yang Rabb kami janjikan kepada kami itu
benar."_
Lalu beliau bersabda kepada para
sahabat ketika mereka merasa heran dengan perkataannya kepada jasad-jasad
tersebut:
_"Demi Allah, kalian tidak lebih
mendengar daripada mereka terhadap apa yang aku katakan."_
Maka kejadian ini merupakan
kekhususan yang Allah ﷻ
berikan kepada beliau, sehingga menjadi pengecualian dari hukum asal berdasarkan
dalil yang jelas.
Begitu pula dengan hadis yang
menyebutkan bahwa mayat dapat mendengar suara langkah kaki orang-orang yang
mengiringi jenazahnya, itu juga merupakan pengecualian dari hukum asal.
Demikian pula sabda Nabi ﷺ:
_"Tidak ada seorang pun yang
mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku hingga
aku dapat menjawab salamnya."_
Hadis ini juga merupakan pengecualian
dari hukum asal." (Selesai).
Dari _Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah_
(1/478-479).
Kesimpulannya :
Hukum asalnya adalah bahwa orang yang
telah meninggal **tidak dapat mendengar**, karena ia telah wafat, sehingga
pendengarannya, penglihatannya, dan kemampuannya berbicara telah hilang bersama
dengan ruhnya. Namun, terdapat beberapa **pengecualian** yang didukung oleh
dalil yang sahih, dan selainnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Ke 5. Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin tentang Apakah Orang Mati Bisa Mendengar?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya:
"ما
هُوَ الرَّاجِحُ فِي سَمَاعِ الْمَوْتَى؟
"Apa pendapat yang lebih kuat
mengenai apakah orang mati bisa mendengar?"
Beliau menjawab:
"الراجِحُ مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ، وَهَذَا
ثَابِتٌ وَلَيْسَ فِيهِ إِشْكَالٌ كَمَا فِي الْحَدِيثِ: (إِنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا
انْصَرَفَ عَنْهُ أَصْحَابُهُ بَعْدَ دَفْنِهِ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ) وَكَمَا
ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ وَقَفَ عَلَى الْقَتْلَى
فِي قَلِيبِ بَدْرٍ يُؤَنِّبُهُمْ وَيُوَبِّخُهُمْ، وَلَمَّا قَالُوا: (يَا رَسُولَ
اللَّهِ! كَيْفَ تُكَلِّمُ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ
مِنْهُمْ) وَمِثْلَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَيْضًا: (مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُسَلِّمُ
عَلَى قَبْرٍ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ رُوحَهُ فَرَدَّ
عَلَيْهِ السَّلَامَ)، وَإِلَّا فَالْأَصْلُ أَنَّهُمْ لَا يَسْمَعُونَ؛ لِأَنَّ أَرْوَاحَهُمْ
قَدْ فَارَقَتْ أَجْسَادَهُمْ، لَكِنْ مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ لَابُدَّ مِنَ الْإِيمَانِ
بِهِ" انتهى.
_"Pendapat yang lebih kuat
adalah apa yang telah disebutkan dalam sunnah. Ini adalah sesuatu yang tetap
dan tidak ada keraguan di dalamnya, sebagaimana dalam hadits: 'Sesungguhnya
seseorang apabila para sahabatnya telah meninggalkannya setelah dikuburkan, ia
akan mendengar suara sandal mereka.' Demikian pula sebagaimana yang telah tetap
dari Nabi ﷺ
bahwa beliau berdiri di hadapan para korban (kafir Quraisy) yang telah dibuang
ke dalam sumur di Perang Badar, lalu beliau menegur dan mencela mereka. Ketika
para sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah! Bagaimana engkau bisa berbicara
dengan mereka?' Beliau ﷺ
menjawab: 'Kalian tidak lebih mendengar apa yang aku katakan dibanding mereka.'
Juga sebagaimana yang disebutkan dalam hadits: 'Tidaklah seorang Muslim memberi
salam kepada kubur seseorang yang ia kenal ketika masih hidup di dunia,
melainkan Allah mengembalikan ruhnya sehingga ia bisa menjawab salamnya.'
Namun selain apa yang telah
disebutkan dalam sunnah, maka hukum asalnya adalah bahwa orang mati tidak bisa
mendengar, karena ruh mereka telah berpisah dari jasad mereka. Tetapi, apa yang
telah datang dalam sunnah, kita wajib beriman kepadanya." [Selesai]
(Liqaa' al-Baab al-Maftuuh
222/25)
Beliau juga berkata:
"لَكِنْ
عَلَى فَرْضِ أَنَّهُمْ يَسْمَعُونَ فَإِنَّهُمْ لَا يَنْفَعُونَ غَيْرَهُمْ، بِمَعْنَى
أَنَّهُمْ لَا يَدْعُونَ اللَّهَ لَهُ، وَلَا يَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ لَهُ، وَلَا
يُمْكِنُهُمُ الشَّفَاعَةُ لَهُمْ.
وَإِنَّمَا
قُلْتُ ذَلِكَ لِئَلَّا يَتَعَلَّقَ هَؤُلَاءِ الْقَبُورِيُّونَ بِمَا قُلْتُ، وَيَقُولُونَ:
مَا دَامَ أَنَّهُمْ يَسْمَعُونَ – إِذًا - هَذَا مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ، نَسْأَلُهُ
أَنْ يَسْأَلَ اللَّهَ لَنَا، أَوْ أَنْ يَشْفَعَ لَنَا عِنْدَ اللَّهِ! فَهَذَا غَيْرُ
وَارِدٍ أَصْلًا؛ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا مَاتَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ
ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ" انتهى.
"Namun, seandainya mereka bisa
mendengar sekalipun, mereka tidak bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
Maksudnya, mereka tidak bisa mendoakan seseorang kepada Allah, tidak bisa memohon
ampunan untuknya, dan tidak bisa memberikan syafaat kepadanya.
Aku katakan hal ini agar orang-orang
yang bertawassul dengan kuburan tidak menjadikan perkataanku sebagai pegangan,
lalu mengatakan: 'Kalau begitu, karena mereka bisa mendengar, kita bisa meminta
kepada wali ini agar memohon kepada Allah untuk kita, atau agar ia memberi
syafaat untuk kita di sisi Allah!' Ini adalah sesuatu yang tidak ada dasarnya
sama sekali, karena jika seseorang telah meninggal, maka amalnya terputus
kecuali dalam tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak
saleh yang mendoakannya." [Selesai]
(Liqaa' al-Baab al-Maftuuh
87/14)
Wallahu a'lam.
===***===
PEMBAHASAN KE ENAM : PERNYATAAN SEKELOMPOK ULAMA
Ke 1. Imam Al-Qurthubi :
Dalam kitabnya *At-Tadzkirah* (hlm. 61), ia berkata:
"بَابُ مَا جَاءَ فِي تَلَاقِي الْأَرْوَاحِ
فِي السَّمَاءِ، وَالسُّؤَالِ عَنْ أَهْلِ الْأَرْضِ، ... ".
*”Bab tentang pertemuan ruh-ruh di langit, pertanyaan mereka
tentang penduduk bumi, ...”*
Setelah itu, ia menyebutkan beberapa riwayat mauquf. Kemudian ia
berkata:
"هَذِهِ الْأَخْبَارُ، وَإِنْ كَانَتْ مَوْقُوفَةً؛
فَمِثْلُهَا لَا يُقَالُ مِنْ جِهَةِ الرَّأْيِ". انْتَهَى.
*”Riwayat-riwayat ini, meskipun maukuf, tetapi hal seperti ini tidak
bisa dikatakan hanya berdasarkan pendapat semata.”*
Ke 2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah :
Dalam *Majmu’ Al-Fatawa* (24/303), ia berkata:
" وَأَرْوَاحُ الْأَحْيَاءِ إذَا
قُبِضَتْ تَجْتَمِعُ بِأَرْوَاحِ الْمَوْتَى ، وَيَسْأَلُ الْمَوْتَى الْقَادِمَ
عَلَيْهِمْ عَنْ حَالِ الْأَحْيَاءِ فَيَقُولُونَ: مَا فَعَلَ فُلَانٌ؟
فَيَقُولُونَ: فُلَانٌ تَزَوَّجَ ، فُلَانٌ عَلَى حَالٍ حَسَنَةٍ. وَيَقُولُونَ:
مَا فَعَلَ فُلَانٌ؟ فَيَقُولُ: أَلَمْ يَأْتِكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: لَا ؛ ذُهِبَ
بِهِ إلَى أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ ". انتهى
*"Ruh-ruh orang yang masih hidup, ketika dicabut, akan berkumpul
dengan ruh-ruh orang yang telah meninggal. Orang-orang yang telah meninggal
akan bertanya kepada mereka yang baru datang tentang keadaan orang-orang yang
masih hidup. Mereka berkata: ‘Apa yang dilakukan si fulan?’ Lalu dijawab: ‘Si
fulan telah menikah’ atau ‘Si fulan dalam keadaan baik.’ Mereka juga berkata:
‘Apa yang dilakukan si fulan?’ Lalu ia menjawab: ‘Bukankah dia telah datang
kepada kalian?’ Mereka berkata: ‘Tidak, dia telah dibawa ke *Ummu Al-Hawiyah*
(neraka Jahannam).’”*
Ke 3. Ibnul Qayyim :
Dalam kitabnya *Ar-Ruh* (hlm. 17), ia berkata:
الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ وَهِيَ أَنَّ
أَرْوَاحَ الْمَوْتَى هَلْ تَتَلَاقَى وَتَتَزَاوَرُ وَتَتَذَاكَرُ أَمْ لَا؟
*"Masalah kedua adalah apakah ruh-ruh orang yang telah meninggal
bisa saling bertemu, berkunjung, dan mengingat satu sama lain atau tidak?
Beliau berkata :
وَهِيَ أَيْضًا مَسْأَلَةٌ شَرِيفَةٌ
كَبِيرَةُ الْقَدْرِ، وَجَوَابُهَا: أَنَّ الْأَرْوَاحَ قِسْمَانِ: أَرْوَاحٌ مُعَذَّبَةٌ،
وَأَرْوَاحٌ مُنَعَّمَةٌ.
فَالْمُعَذَّبَةُ فِي شُغْلٍ بِمَا هِيَ
فِيهِ مِنَ الْعَذَابِ عَنِ التَّزَاوُرِ وَالتَّلَاقِي، وَالْأَرْوَاحُ الْمُنَعَّمَةُ
الْمُرْسَلَةُ غَيْرُ الْمَحْبُوسَةِ تَتَلَاقَى وَتَتَزَاوَرُ وَتَتَذَاكَرُ مَا كَانَ
مِنْهَا فِي الدُّنْيَا وَمَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا. انْتَهَى.
“Masalah ini juga merupakan masalah yang mulia dan sangat penting.
Jawabannya adalah bahwa ruh itu terbagi menjadi dua jenis: ruh yang disiksa dan
ruh yang diberi nikmat. Ruh yang disiksa sibuk dengan azab yang mereka alami
sehingga tidak sempat untuk saling bertemu dan berkunjung. Sedangkan ruh yang
diberi nikmat, yang tidak tertahan (bebas), dapat saling bertemu, berkunjung,
dan mengingat apa yang pernah mereka alami di dunia serta apa yang terjadi
dengan penduduk dunia."*
Ke 5. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani :
Ketika beliau ditanya, sebagaimana dalam *As'ilah min Khathth
Asy-Syaikh Ibn Hajar Al-Asqalani wal-Jawab ‘Alaiha* (hlm. 86), yang dikumpulkan
oleh Syaikhul Islam Al-Qasthalani, dan dicetak bersama kitab *Al-Imta'
bil-Arba'in Al-Mutabayinah As-Sama'* karya Ibnu Hajar, ia berkata:
وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِذَا دُفِنَ الْمَيِّتُ،
قَرِيبًا مِنْ قَبْرٍ آخَرَ، أَوْ بَعِيدًا؛ هَلْ يَعْرِفُهُ وَيَسْأَلُهُ عَنْ أَحْوَالِ
الدُّنْيَا؟ فَالْجَوَابُ: نَعَمْ، قَدْ وُرِدَ فِي ذَلِكَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ... ثُمَّ
سَاقَ بَعْضَ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ وَالْآثَارِ. انْتَهَى.
*"Adapun pertanyaan tentang apakah seseorang yang dikuburkan di
dekat atau jauh dari kuburan orang lain dapat mengenalnya dan menanyakan
keadaan dunia kepadanya? Jawabannya adalah: Ya. Ada banyak hadits yang membahas
hal ini..."*
Lalu ia menyebutkan beberapa hadits dan riwayat tentang hal
tersebut.
0 Komentar