SYARAH HADITS : “TIDAK ADA AKAL, SEPERTI PERENCANAAN YANG BAIK”.
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
===
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"يَا أَبَا ذَرٍّ لَا عَقْلَ كَالتَّدْبِيرِ
وَلَا وَرَعَ كَالْكَفِّ وَلَا حَسَبَ كَحُسْنِ الخلق"
“Wahai Abu Dzar, Tidak ada akal seperti perencanaan yang baik,
tidak ada wara’ seperti menahan diri, dan tidak ada kemuliaan seperti akhlak
yang baik.” .
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah nomor 4219, Ibnu Hibban dalam *Shahih*-nya
(361), Ath-Thabrani (1651), Abu Nu’aim dalam *Hilyah* 1/166-168, Al-Qadha’i
dalam *Musnad Asy-Syihab* (837), Ibnu ‘Adi dalam *Al-Kamil* 7/2699, Al-Baihaqi
dalam *Sunan*-nya 9/4, dan Abu Nu’aim dalam *Hilyah* 1/168.
Sanad hadis ini lemah. Al-Bushiri dalam *Misbah Az-Zujajah* [(halaman
548), cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah - Beirut - Lebanon] berkata:
((إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ؛ لِضَعْفِ الْمَاضِي بْنِ
مُحَمَّدٍ الْغَافِقِيِّ الْمِصْرِيِّ))
“Sanadnya lemah karena kelemahan al-Maadli bin Muhammad Al-Ghafiqi
Al-Mishri.” Lihat juga catatan kaki nomor (3). Demikian pula dalam *Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha As-Sayyi’ fil Ummah* karya
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, nomor (1910).
===***===
SYARAH DAN FAIDAH DARI HADITS :
Hadis ini terdiri atas tiga kalimat, dan masing-masing mengandung ilmu
yang agung:
****
**KALIMAT PERTAMA**
Sabda Rasulullah ﷺ : “Tidak Ada Akal Seperti Perencanaan Yang Baik”
Kalimat pertama ini menjelaskan tentang akal, pengaruhnya, dan
tanda-tandanya. Akal yang terpuji dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah kekuatan
serta anugerah yang Allah berikan kepada hamba, dengan akal itu ia dapat
memahami hal-hal yang bermanfaat, ilmu, dan pengetahuan. Akal juga
memampukannya untuk menghindari perkara-perkara yang merugikan dan buruk. Akal
ini sangat penting bagi manusia dalam setiap urusan agama maupun dunianya,
karena dengan akal, ia mengetahui yang bermanfaat dan cara mencapainya, serta
mengetahui yang berbahaya dan cara menghindarinya. Akal dikenali melalui
pengaruhnya.
Rasulullah ﷺ dalam hadis ini menjelaskan
pengaruh baik akal, beliau bersabda: “Tidak ada akal seperti perencanaan yang
baik,” yaitu perencanaan seseorang terhadap urusan agama dan dunianya.
**PERENCANAAN
TERHADAP URUSAN AGAMANYA** :
Ia adalah dengan berusaha mengenal jalan yang lurus, yaitu jalan yang
diikuti oleh Nabi ﷺ dalam akhlak, petunjuk, dan
perilakunya. Kemudian, ia berusaha menempuh jalan itu secara teratur,
sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
«اسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ والرَّوْحَةِ
وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ، والْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا»
“Bantulah diri kalian dengan rutinitas pagi, sore, dan sebagian malam,
serta berjalanlah secara seimbang, maka kalian akan sampai (ke tujuan).” [HR.
Bukhori no. 39 dan no. 6463].
Hadis ini termasuk jalan yang Rasulullah ﷺ tunjukkan, yaitu jalan yang
mudah untuk sampai kepada Allah dan negeri kemuliaan-Nya dengan cara yang
ringan dan nyaman, tanpa mengurangi kenikmatan dan urusan dunia seseorang.
Bahkan, seseorang dapat meraih dua manfaat sekaligus: kebahagiaan dunia dan
akhirat, serta kehidupan yang baik.
Apabila seseorang merencanakan urusan agamanya dengan timbangan syar’i
ini, maka agamanya dan akalnya akan sempurna. Karena akal yang dimaksud adalah
akal yang mengantarkan pemiliknya kepada akhir yang baik dengan cara paling
dekat dan mudah.
** PERENCANAAN
DALAM MENCARI NAFKAH:**
Adapun perencanaan dalam mencari nafkah, orang yang berakal akan
berusaha mencari rezeki dengan cara yang jelas-jelas paling bermanfaat dan
paling menghasilkan untuk mencapai tujuannya. Ia tidak akan bertindak
serampangan dalam memilih sebab-sebab, tanpa arah dan tujuan, atau tidak pernah
tenang. Namun, jika ia menemukan suatu sebab yang membuka pintu rezeki baginya,
hendaknya ia berpegang teguh pada sebab tersebut, tekun menjalaninya, dan tetap
bersikap baik dalam mencarinya. Dalam hal ini terdapat keberkahan yang telah
terbukti.
** PERENCANAAN DALAM PENGELOLAAN DAN PENGELUARAN:**
Kemudian, ada perencanaan lain yang perlu dilakukan, yaitu perencanaan
dalam pengelolaan dan pengeluaran. Ia tidak boleh mengeluarkan hartanya pada
jalan-jalan yang haram, tidak bermanfaat, atau berlebihan dalam pengeluaran
yang mubah, juga tidak boleh terlalu pelit. Ukurannya adalah firman Allah
tentang pujian kepada orang-orang yang baik:
﴿وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ
يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا﴾
*"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka
tidak berlebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian."* (Al-Furqan: 67).
Maka, perencanaan yang baik dalam mencari rezeki, pengeluaran,
pengelolaan, dan penjagaan harta, serta segala hal yang berkaitan dengannya
adalah tanda kesempurnaan akal, ketenangan, dan kebijaksanaan seseorang.
Sebaliknya, lawan dari itu adalah ketidakteraturan dalam hal tersebut
menunjukkan kekurangan akal dan rusaknya pemahaman seseorang.
****
** KALIMAT KEDUA:**
Sabda Rasulullah ﷺ: *"Tidak ada wara’
seperti menahan diri."*
Ini adalah batasan yang mencakup makna wara’. Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa wara’ yang sejati adalah yang mampu menahan
diri, hati, lisan, dan seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang haram dan
merugikan. Semua penjelasan ulama tentang wara’ kembali kepada definisi yang
jelas dan mencakup ini.
Barang siapa yang menjaga hatinya dari keraguan dan syubhat, dari hawa
nafsu yang haram, dari dengki dan dendam, serta dari semua akhlak buruk;
menjaga lisannya dari ghibah, namimah, dusta, caci maki, dan semua perkataan
yang haram atau menyakitkan; menjaga kemaluannya dan pandangannya dari yang
haram; menjaga perutnya dari makanan yang haram; serta menjaga anggota tubuhnya
dari perbuatan dosa, maka dialah orang yang benar-benar memiliki wara’.
Barang siapa yang mengabaikan sebagian dari itu, maka berkuranglah
wara’nya sesuai kadar yang ditinggalkan. Karena itu, Syekhul Islam berkata:
الْوَرَعُ تَرْكُ مَا يُخْشَى ضَرَرُهُ
فِي الْآخِرَةِ
*"Wara’ adalah meninggalkan apa yang dikhawatirkan membahayakan di
akhirat."*
****
**KALIMAT KETIGA:**
Sabda Rasulullah ﷺ: *"Dan tidak ada
kemuliaan seperti akhlak yang baik."*
Ini karena kemuliaan (حَسَب) adalah kedudukan yang tinggi di mata manusia. Pemilik
kemuliaan ini memiliki kehormatan dan penghormatan sesuai kadar kemuliaannya.
Kemuliaan ini terbagi menjadi dua macam:
Macam Pertama : **Kemuliaan yang berkaitan dengan nasab
seseorang dan kehormatan keluarganya.**
Macam ini adalah pujian, karena biasanya pemiliknya menjalankan sesuai
kehormatannya, menjauhi hal-hal hina, dan menghiasi diri dengan sifat-sifat
mulia. Hal ini bukan tujuan utama, tetapi merupakan sarana.
Adapun macam kedua : adalah kemuliaan yang sejati, yaitu sifat yang
melekat pada hamba, yang menjadi keindahan, hiasan, dan kebaikan baginya di
dunia dan agama.
Kemuliaan ini adalah akhlak yang baik, yang mencakup sifat sabar yang
luas, kemampuan memaafkan, memberi kebaikan dan ihsan, menanggung gangguan dan
kesulitan, serta berinteraksi dengan berbagai lapisan manusia dengan akhlak
yang mulia.
Jika engkau ingin lebih rinci, akhlak yang baik terbagi menjadi
dua:
Ke 1. **Akhlak yang baik terhadap Allah**, yaitu menerima hukum-hukum syariat
dan takdir-Nya dengan ridha dan kepasrahan terhadap ketetapan-Nya, serta tunduk
kepada syariat-Nya dengan tenang dan ridha. Juga bersyukur kepada Allah atas
nikmat berupa perintah dan taufik-Nya, bersabar terhadap takdir-takdir yang
menyakitkan, dan ridha menerimanya.
Ke 2. **Akhlak yang baik terhadap makhluk**, yaitu memberikan kebaikan,
menanggung gangguan, dan menahan diri dari menyakiti orang lain. Sebagaimana
firman Allah:
﴿خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ﴾
*“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”* (Al-A'raf: 199).
Dan firman-Nya:
﴿وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ ولا
السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ
وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ ، وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا
الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ﴾
*“Tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Balaslah (keburukan itu) dengan
cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada permusuhan antara engkau dan dia
seolah-olah menjadi teman yang setia. Dan sifat itu tidak akan dianugerahkan
kecuali kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan kecuali kepada
orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”* (Fushshilat: 34-35).
Barang siapa yang mampu menjaga akhlak yang baik terhadap Allah dan
terhadap makhluk-Nya, maka ia telah meraih kebaikan dan keberuntungan. Wallahu
a'lam.
===***===
BAGAIMANA PANDANGAN ISLAM TERHADAP AKAL MANUSIA?
Akal adalah alat untuk memahami syariat dan mengambil petunjuk darinya
menuju jalan kebaikan dan kebahagiaan, bukan untuk menilai syariat itu sendiri
dalam hal kebenaran atau kesalahan secara mendasar.
Akal menjadi landasan utama bagi pengetahuan manusia. Hal ini
membuatnya menjadi salah satu pokok dalam diskusi dan perdebatan untuk
menentukan konsep dan fungsinya. Para pemikir, baik dari kalangan filsuf maupun
ulama Muslim dan lainnya, telah berinteraksi dengan berbagai pandangan dan
definisi akal dari segi bentuk maupun substansinya.
Dalam pembahasan ini, kita akan menjelaskan konsep akal, tingkatannya,
dan hubungannya dengan syariat berdasarkan perspektif Islam, tanpa
membandingkannya dengan mazhab atau prinsip lainnya.
Secara bahasa, akal adalah mashdar berasal dari kata **‘aqala** yang
berarti menahan. Dinamakan demikian karena akal menahan pemiliknya dari
terjerumus ke dalam kebinasaan dan dosa.
Ada pula yang mengatakan bahwa akal adalah kemampuan membedakan dan
ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, secara bahasa, akal hanyalah kemampuan untuk menahan
diri dari kerusakan yang telah ditentukan sesuai kadarnya atau takdirnya,
bukanlah sesuatu yang berupa esensi, sifat, atau makna yang berdiri sendiri
sebagaimana pengertian istilah manusia.
===
LANTAS, APA ITU AKAL?
Akal disebutkan dalam Al-Qur'an dengan berbagai istilah, seperti
**an-nuha (النُّهَى)**, **al-lubb (اللُّبُّ)**, **al-qalb (الْقَلْبُ)**, **al-hijr (الْحِجْرُ)**, dan **al-fikr (الْفِكْرُ)**. Semua istilah tersebut mengandung makna perenungan dan
pemahaman.
Dalam sunnah Nabi ﷺ, kata akal juga sering
disebutkan, seperti dalam hadits riwayat An-Nasa’i dari Sahlah binti Suhail
radhiyallahu 'anha:
"إنّ سَالِما يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَقَدْ
عَقَلَ مَا يَعْقِلُ الرّجَالُ، وعَلِمَ مَا يَعْلَمُ الرّجَالُ.."
*"Sesungguhnya Salim masuk ke tempat kami, dan ia sudah memiliki
akal sebagaimana akalnya orang laki-laki dan mengetahui apa yang diketahui oleh
laki-laki."* (HR. An-Nasai No. 3270)
Juga dalam hadits Abu Dawud tentang Abdullah bin Amr yang mengajarkan
kepada anak-anaknya yang sudah berakal tentang doa perlindungan dengan
kalimat-kalimat Allah, sedangkan yang belum berakal dituliskan dan digantungkan
padanya (Hadits nomor 3395).
Lafadz haditsnya adalah sbb : dari Amr bin Syu‘aib, dari bapaknya, dari
kakeknya :
"أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُهُمْ مِنَ الْفَزَعِ كَلِمَاتٍ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ
التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ، وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ، وَأَنْ
يَحْضُرُونَ". وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو يُعَلِّمُهُنَّ مَنْ عَقَلَ
مِنْ بَنِيهِ، وَمَنْ لَمْ يَعْقِلْ كَتَبَهُ فَعَلَّقَهُ عَلَيْهِ.
Bahwa Rasulullah ﷺ mengajarkan mereka sejumlah
kalimat ketika rasa takut mencekam :
‘Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya,
kejahatan para hamba-Nya, dan godaan setan. Aku pun berlindung kepada-Nya dari
kepungan setan itu.’
Dan dulu Abdullah bin Amr senantiasa mengajarkan kepada anak-anaknya
yang sudah berakal tentang kalimat-kalimat doa tersebut, sedangkan yang belum
berakal dituliskan dan digantungkan padanya
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3893) dengan lafaz ini, At-Tirmidzi
(3528) dengan sedikit perbedaan, dan Ahmad (6696) dalam bentuk yang lebih
panjang. Di nyatakan Hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Hidayatur Ruwah 3/25
dan al-Albani dalam Shahih Abu Daud]
Demikian pula dalam hadits Ibnu Majah, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا عَقْلَ كَالتَّدْبِيرِ
*"Tidak ada akal seperti perencanaan yang baik."* (Hadits
nomor 4208. Dinyatakan lemah sekali oleh al-Albaani dalam Dho’if al-Jami’ no.
2122)
Selain itu, banyak pula hadits lain yang menunjukkan istilah akal
dengan kata-kata seperti **al-fiqh**, **al-qalb**, dan **al-bashar**. Semua
istilah ini menegaskan bahwa akal, dalam Al-Qur'an dan sunnah, adalah kekuatan
untuk memahami, berpikir, memahami syariat, dan mengambil keputusan yang benar.
Kita dapat membagi pemahaman (idrak / الإِدْرَاكُ)
menjadi dua jenis: pemahaman inderawi (الحِسِّي)
dan pemahaman akal (العَقْلِيّ).
**Pemahaman inderawi (الحِسِّي)**
:
Ia adalah yang diperoleh melalui anggota tubuh yang tampak (lima
indera). Pemahaman ini terbagi menjadi dua: langsung tanpa perantara, dan tidak
langsung dengan perantara seperti cermin atau permukaan air. Ada juga yang
diperoleh melalui pengalaman batin (indera batin) seperti rasa lapar, kenyang,
sedih, gembira, imajinasi, dan waham. Dalam hal pemahaman inderawi, manusia
berbagi kesamaan dengan hewan.
**Pemahaman akal (عَقْلِيّ)**.
Yaitu, adalah yang membedakan manusia dari hewan. Akal memahami
makna-makna universal (qodhoya kulliyyah) seperti kebaikan, keburukan,
kebenaran, dan kebatilan. Dalam hal ini, kemampuan indera dibandingkan
berdasarkan kontribusinya terhadap pengetahuan.
Tiga indera yang utama adalah pendengaran, penglihatan, dan hati. Allah
berfirman:
"وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ
أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ"
*"Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan
hati, agar kamu bersyukur."* (QS. An-Nahl: 78).
Pendengaran dan penglihatan adalah alat untuk memperoleh pengetahuan
dari hal-hal yang bersifat fisik (materi). Adapun hati (al-fuad) adalah tempat
untuk merenungkan dan berpikir, yang diperoleh melalui perantara pendengaran
dan penglihatan. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
"لهم قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا
وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ
بِهَا"
*"Mereka memiliki hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami;
mereka memiliki mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat; mereka memiliki
telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar."* (QS. Al-A'raf:
179).
Ini adalah pembahasan mengenai pemahaman dan kaitannya dengan alat-alat
pengetahuan akal. Lalu, apa saja tingkatan akal berdasarkan penjelasan di
atas?
Akal memiliki empat tingkatan:
1. **Akal sebagai sifat yang melekat pada diri manusia yang berakal**,
sebagaimana firman Allah:
"لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ"
*"Agar kamu menggunakan akal."* (QS. Al-Baqarah: 73).
Dengan demikian, akal bukanlah sesuatu (substansi) yang berdiri
sendiri, seperti yang dikatakan oleh filsuf Yunani seperti Aristoteles. Kata
"agar kamu" menunjukkan harapan, dan sesuatu yang diharapkan
merupakan sifat yang dapat tiada.
2. **Akal sebagai naluri yang Allah berikan kepada manusia** untuk
memperoleh ilmu dan amal. Dengan naluri ini, manusia dapat membedakan manfaat
yang diinginkan dan bahaya yang harus dihindari. Dalam pengertian ini, akal
adalah kekuatan untuk memperoleh ilmu, bukan ilmu itu sendiri.
3. **Ilmu yang dihasilkan dari kekuatan tersebut**, yaitu kumpulan
pengetahuan yang diperoleh melalui pendengaran, penglihatan, dan hati,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
4. **Amal dengan ilmu**, yang merupakan tingkatan tertinggi dan
termulia. Tingkatan ini paling banyak disebut dalam hadits Nabi ﷺ dan perkataan para imam Islam di masa-masa awal Islam dan
setelahnya.
Dengan ini, akal memperoleh kedudukan mulia dalam syariat. Akal menjadi
dasar kewajiban (taklif), syarat sahnya ibadah, serta prasyarat untuk
memperoleh ilmu dan keridhaan Allah ﷻ.
****
APA HUBUNGAN AKAL DENGAN SYARIAT?
Ibnu Taimiyah merangkum hubungan syariat dengan akal sebagai
berikut:
وَلَكِنْ مَا عُلِمَ بِصَرِيحِ الْعَقْلِ
لَا يُتَصَوَّرُ أَنْ يُعَارِضَهُ الشَّرْعُ الْبَتَّةَ، بَلِ الْمَنْقُولُ
الصَّحِيحُ لَا يُعَارِضُهُ مَعْقُولٌ صَرِيحٌ قَطُّ.
"Akan tetapi, apa yang diketahui dengan akal yang jelas tidak
mungkin bertentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan, dalil yang shahih
tidak akan pernah bertentangan dengan akal yang jelas." (Dar' Ta'arudh
1/147).
Ini berarti hubungan antara syariat dan akal adalah hubungan yang
harmonis, bukan kontradiktif. Tidak diperbolehkan mendahulukan akal atas
syariat, karena sebagaimana yang dikatakan Ibnu alQoyyim :
مُعَارَضَةُ الْعَقْلِ لِمَا دَلَّ الْعَقْلُ
عَلَى أَنَّهُ حَقٌّ دَلِيلٌ عَلَى تَنَاقُضِ دَلَالَتِهِ، وَذَلِكَ يُوجِبُ فَسَادَهَا،
وَأَمَّا السَّمْعُ فَلَا يُعْلَمُ دَلَالَتُهُ وَلَا تَعَارُضُهَا فِي نَفْسِهَا وَإِنْ
لَمْ يُعْلَمْ صِحَّتُهَا.
*"Kontradiksi akal terhadap sesuatu yang akal sendiri menunjukkan
kebenarannya adalah bukti adanya pertentangan dalam dalil akal tersebut. Hal
ini menunjukkan kerusakannya. Adapun teks syariat, tidak dapat diketahui
maknanya dan tidak mungkin ada kontradiksi dalam dirinya meskipun kebenarannya
tidak dipahami sepenuhnya."* (ash-Showa’iq al-Mursalah 3/855).
Selain itu, Ibnu Taimiyah menyatakan:
(كَمَا أنْ العَقْل) مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ
الْإِضَافِيَّةِ، فَإِنَّ زَيْدًا قَدْ يَعْلَمُ بِعَقْلِهِ مَا لَا يَعْلَمُهُ بَكْرٌ
بِعَقْلِهِ، وَقَدْ يَعْلَمُ الْإِنْسَانُ فِي حَالٍ بِعَقْلِهِ مَا يَجْهَلُهُ فِي
وَقْتٍ آخَرَ.
*"Sebagaimana halnya Akal adalah sesuatu yang bersifat relatif dan
kontekstual. Misalnya, Zaid dengan akalnya mungkin mengetahui sesuatu yang
tidak diketahui oleh Bakr dengan akalnya. Begitu pula, seseorang mungkin
memahami sesuatu dengan akalnya pada satu waktu tetapi tidak memahaminya di
waktu lain."* (Dar' Ta'arudh 1/144).
Dengan demikian, akal adalah alat untuk memahami syariat dan mencari
petunjuk melalui syariat menuju jalan kebaikan dan kebahagiaan. Akal tidak
berfungsi untuk menilai syariat secara fundamental dalam hal kebenaran atau
kesalahan.
Secara rinci, perkara gaib adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau
oleh indera dan akal kita. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk beriman
kepada perkara gaib, karena mustahil akal mampu mencapainya di dunia ini
kecuali melalui tanda-tanda dan efeknya. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan syaratnya,
yaitu indera, yang merupakan jalan pertama untuk memahami sesuatu. Seluruh
penganut agama sepakat dalam hal ini.
Kesimpulannya, akal adalah sifat manusia yang dengannya seseorang dapat memperoleh ilmu untuk diamalkan dan meraih kebahagiaan. Akal bukanlah tujuan itu sendiri dalam kajian, atau sesuatu yang berdiri sendiri sebagaimana yang diklaim oleh para filsuf. Berdasarkan prinsip ini, Ibnu Taimiyah mengkritik logika formal (Aristotelian) dan membangun dasar-dasar awal bagi positivisme logis dalam bentuknya yang sederhana.
0 Komentar