TAKHRIJ HADITS IBNU UMAR (R.A) BAHWA NABI ﷺ BERTABARUK DENGAN BEKAS AIR WUDHU KAUM MUSLIMIN
Di Tulis
oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN
NADI AL-ISLAM
===
DAFTAR ISI :
- LAFADZ MATAN HADITS IBNU UMAR radhiyallahu ‘anhuma:
- MAKNA HADITS :
- TAKHRIJ AL-HADITS :
- FAKTOR PENYEBAB HADITS INI DHO’IF DAN MUNKAR:
- KESIMPULANNYA : RIWAYAT INI ADALAH DHO’IF DAN MUNKAR :
- RUJUKNYA SYEIKH AL-ALBANI dari penilaian HASAN menjadi MUNKAR
﴿بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ﴾
===****===
LAFADZ MATAN HADITS IBNU UMAR radhiyallahu ‘anhuma:
وَكَانَ رَسُولُ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَبْعَثُ إِلَى المَطَاهِرِ فَيُؤْتَى
بِالمَاءِ فَيَشْرَبُهُ يَرْجُو بَرَكَةَ أَيْدِي المُسْلِمِينَ.
“Bahwa Rasulullah ﷺ mengutus seseorang ke
tempat-tempat wudu, lalu air dibawakan kepadanya, kemudian beliau meminumnya
dengan mengharapkan berkah dari tangan-tangan kaum Muslimin.* [al-Hadits]
Sengaja saya menuliskan hal ini karena saya melihat
Al-‘Allamah Al-Muhaddits asy-Syeikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadits, sempat
menghukumi hadits ini dengan derajat HASAN dalam kitabnya as-Silsilah
ash-Shahihah 5/154 no. (2118) dan dalam Shahih al-Jami’ ash-Shoghir 2/881 no.
4894., karena baliau menguatkan riwayat yang marfu’ dengan sanad muttashil (bersambung)
dengan konteks yang disebutkan, sehingga memberikan kesan seolah-olah Nabi ﷺ bertabarruk dengan sesuatu yang disentuh oleh tangan kaum
Muslimin.
Namun pada akhirnya Syeikh al-Albaani menemukan
kekeliruan dalam penilaian derajat HASAN tersebut, maka beliau pun segera merubah-nya
menjadi hadits MUNKAR dalam kitabnya "as-Silsilah al-Dha'ifah" (13/1074
no. 6479).
****
MAKNA HADITS :
Al-‘Allāmah Al-Munāwī dalam *At-Taysīr bi Syarḥ Al-Jāmi‘ Aṣ-Ṣaghīr* (2/269,
Cet. Maktabah Al-Imām Asy-Syāfi‘ī, Riyadh) menjelaskan hadits ini sebagai berikut:
[(كَانَ يَبْعَثُ إِلَى الْمَطَاهِرِ) جَمْعُ
مَطْهَرَةٍ -بِفَتْحِ الْمِيمِ- كُلُّ إِنَاءٍ يَتَطَهَّرُ مِنْهُ، وَالْمُرَادُ هُنَا:
نَحْوُ الْحِيَاضِ وَالْفَسَاقِي الْمُعَدَّةِ لِلْوُضُوءِ، (فَيُؤْتَى) إِلَيْهِ
(بِالْمَاءِ) مِنْهَا (فَيَشْرَبُهُ)؛ يَفْعَلُ ذَلِكَ (يَرْجُو بِهِ بَرَكَةَ أَيْدِي
الْمُسْلِمِينَ)، أَيْ: يُؤَمِّلُ حُصُولَ بَرَكَةِ أَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ
تَطَهَّرُوا مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ، وَهَذَا شَرَفٌ عَظِيمٌ لِلْمُتَطَهِّرِينَ] اهـ.
"Dahulu Rasulullah ﷺ mengutus seseorang ke tempat-tempat wudhu", yaitu
tempat-tempat penampungan air untuk berwudhu seperti kolam atau bak yang
disiapkan untuk itu.
"Lalu didatangkan kepadanya air dari
sana", yakni air yang ada di tempat-tempat tersebut dibawa kepadanya.
"Lalu beliau ﷺ meminumnya", dan "Beliau ﷺ melakukan hal itu dengan
harapan mendapat keberkahan dari tangan-tangan kaum Muslimin", yakni
beliau mengharapkan keberkahan dari tangan orang-orang beriman yang telah
berwudhu dengan air tersebut.
Ini adalah kemuliaan besar bagi orang-orang
yang menjaga kesucian dirinya dengan berwudhu."
===***===
TAKHRIJ AL-HADITS :
Ath-Thabarani dalam *Al-Awsath* 1/242 no. 794
berkata: *(Telah menceritakan kepada
kami Ahmad bin Yahya Al-Halwani, telah menceritakan kepada kami Mahruz bin
'Aun, telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibrahim dari Abdul Aziz bin
Abi Rawwad dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
قُلتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ، الوُضُوءَ مِنْ جَرٍّ جَدِيدٍ مُخَمَّرٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمْ مِنَ المَطَاهِرِ؟
قَالَ: «لَا، بَلْ مِنَ المَطَاهِرِ، إِنَّ دِينَ اللَّهِ يُسْرٌ، الحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ».
قَالَ: وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَبْعَثُ إِلَى
المَطَاهِرِ فَيُؤْتَى بِالمَاءِ فَيَشْرَبُهُ يَرْجُو بَرَكَةَ أَيْدِي المُسْلِمِينَ.
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah ﷺ, apakah wudu dari kendi baru yang tertutup lebih engkau sukai
atau dari tempat-tempat wudu?"
Beliau bersabda, "Tidak, justru dari
tempat-tempat wudu. Sesungguhnya agama Allah itu mudah, yaitu hanifiyah yang
toleran."*
*Dikatakan pula : bahwa Rasulullah ﷺ mengutus seseorang ke tempat-tempat wudu, lalu air dibawakan
kepadanya, kemudian beliau meminumnya dengan mengharapkan berkah dari
tangan-tangan kaum Muslimin.*
Lalu ath-Thabarani berkata :
لَمْ يَرْوِ هَذَا
الْحَدِيثَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوَّادٍ إِلَّا حَسَّانُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
“Tidak
ada yang meriwayatkan Hadits ini dari Abdul Aziz bin Abi Rawwad kecuali Hassaan
bin Ibrahim”. [SELESAI]
Sementara al-Haitsami dalam al-Majma’ 1/214
no. 1071 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ
فِي الْأَوْسَطِ، وَرِجَالُهُ مُوَثَّقُونَ، وَعَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي رَوَّادٍ
ثِقَةٌ، يُنْسَبُ إِلَى الْإِرْجَاءِ
“Diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam
*Al-Awsath*, dan para perawinya terpercaya. Abdul Aziz bin Abi Rawwad adalah
seorang yang tepercaya, namun ia disandarkan kepada faham aqidah al-Irja (Murji’ah)'”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Baiahaqi
dalam Syu’ab al-Iman no. 2534. Dan juga oleh Abu Nu'aim dalam *Hilyatul Auliya*
(8/203), dia berkata :
*(Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Ali bin Khunais, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahya Al-Halwani
dengan sanad ini).*
Setelah meriwayatkannya, Abu Nu'aim berkata:
غَرِيبٌ تَفَرَّدَ
بِهِ حَسَّانُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، لَمْ نَكْتُبْهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ مَحْرِزٍ.
*"Hadits ini gharib, hanya diriwayatkan
oleh Hassaan bin Ibrahim, dan kami tidak menuliskannya kecuali melalui riwayat
Mahruz."*
Abu Muhammad Abdullah bin Mani’ ar-Ruuqy dalam
“نَفْعُ العَبِيرِ” 1/87:
هَكَذَا رَوَاهُ
حَسَّانُ مُتَّصِلًا وَقَدْ أَرْسَلَهُ غَيْرُهُ.
*Demikianlah Hassaan meriwayatkannya secara
bersambung, sedangkan perawi lain meriwayatkannya secara mursal.*
Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf* (1/74)
meriwayatkan dari Abdul Aziz bin Abi Rawwad, ia berkata:
(أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ أَنَّ رَجُلًا
قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: جَرٌّ مُخَمَّرٌ جَدِيدٌ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَنْ تَتَوَضَّأَ
مِنْهُ أَوْ مِمَّا يَتَوَضَّأُ النَّاسُ مِنْهُ أَحَبُّ؟ قَالَ: «أَحَبُّ الأَدْيَانِ
إِلَى اللَّهِ الحَنِيفِيَّةُ» وَقِيلَ: وَمَا الحَنِيفِيَّةُ؟ قَالَ: «السَّمْحَةُ»
قَالَ: الإِسْلَامُ الوَاسِعُ).
*"Muhammad bin Wasi' mengabarkan
kepadaku bahwa seorang lelaki bertanya, 'Wahai Rasulullah ﷺ, apakah engkau lebih menyukai berwudu dari kendi baru yang
tertutup atau dari tempat yang digunakan manusia untuk berwudu?'*
Beliau menjawab, *'Agama yang paling dicintai
Allah adalah hanifiyah.'*
Lalu ditanyakan, *'Apa itu hanifiyah?'*
Beliau menjawab, *'Yang toleran,'* kemudian
beliau bersabda, *'Islam yang luas.'"*
Dan Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu
Nu'aim dalam *Hilyatul Auliya* (8/203) melalui jalur Abu Ali Muhammad bin Ahmad
bin Wasi' :
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ
رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: فَذَكَرَهُ حَتَّى قَوْلِهِ:
«إِنَّ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَاءُ».
bahwa seorang lelaki bertanya kepada
Rasulullah ﷺ. Lalu disebutkan Hadits tersebut hingga sabda beliau:
*"Sesungguhnya agama yang paling dicintai oleh Allah adalah hanifiyah yang
toleran."*
Abu Nu'aim berkata:
رَوَاهُ خَلَّادٌ
عَنْ عَبْدِ العَزِيزِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ وَاسِعٍ مُرْسَلًا، وَرَوَاهُ حَسَّانُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ مُتَّصِلًا.
*"Hadits ini diriwayatkan oleh Khalad
dari Abdul Aziz dari Muhammad bin Wasi' dalam bentuk mursal, sedangkan Hassaan
bin Ibrahim meriwayatkannya dalam bentuk bersambung (muttashil)."*
Ibnu ‘Adiy juga meriwayatkannya dalam
*Al-Kamil* dari dua jalur, yaitu yang bersambung (muttashil) dan yang terputus
(mursal). Ia berkata dalam *Al-Kamil* (3/259):
«ثَنَا ابْنُ صَاعِدٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ،
ثَنَا هَارُونُ بْنُ عَوْنٍ، ثَنَا حَسَّانُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، ثَنَا عَبْدُ العَزِيزِ
بْنُ أَبِي رَوَّادٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ!
الوُضُوءُ مِنْ جَرٍّ جَدِيدٍ مُخَمَّرٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمْ مِنَ المَطَاهِرِ؟ قَالَ:
«بَلْ مِنَ المَطَاهِرِ، إِنَّ دِينَ اللَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ - الحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَاءُ».
اهـ.
*"Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Sa’id, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb, telah menceritakan
kepada kami Harun bin 'Aun, telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abi Rawwad dari Nafi' dari Ibnu
Umar :
“Bahwa seseorang bertanya: 'Wahai Rasulullah ﷺ, apakah wudu dari kendi baru yang tertutup lebih engkau sukai
atau dari tempat-tempat wudu?' Rasulullah ﷺ menjawab: 'Justru dari
tempat-tempat wudu. Sesungguhnya agama Allah yang Maha Mulia adalah hanifiyah
yang toleran.'"*
Demikianlah Hadits ini diriwayatkan dalam
bentuk bersambung, tetapi tanpa bagian akhirnya.
Adapun dalam riwayat yang mursal, Ibnu ‘Adiy berkata:
«ثَنَا ابْنُ صَاعِدٍ، ثَنَا القَاسِمُ بْنُ يَزِيدَ
الوَزَّانُ، ثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ عَبْدُ العَزِيزِ بْنُ أَبِي رَوَّادٍ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ وَاسِعٍ الأَزْدِيِّ، جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -» فَذَكَرَ نَحْوَهُ. اهـ.
*"Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Sa'id, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim bin Yazid Al-Wazzan, telah
menceritakan kepada kami Waki’, lalu Abdul Aziz bin Abi Rawwad berkata dari
Muhammad bin Wasi' Al-Azdi:
'Seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ.' Lalu disebutkan Hadits yang serupa."* [Lihat: al-Kamil
3/259]
****
FAKTOR PENYEBAB HADITS INI DHO’IF DAN MUNKAR:
Ibnu ‘Adiy mencatat Hadits ini dalam biografi
Hassaan sebagai “Hadits yang munkr (diingkari)” dari-nya”.
Hadits ini memiliki matan yang aneh dan ganjil
(ghorib). Ibnu 'Adiy telah menjelaskan illat hadits ini dalam biografi Hassaan
bin Ibrahim dalam kitabnya *Al-Kamil* 3/259, di mana ia mengingkari hadits ini
dan berkata:
حَدَّثَنَا ابْنُ
صَاعِدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْنٍ، حَدَّثَنَا
حَسَّانُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي رَوَّادٍ، عَنْ
نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الْوُضُوءُ مِنْ جَرٍّ
جَدِيدٍ مُخَمَّرٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمِ الْوُضُوءُ مِنَ الْمَطَاهِرِ؟ قَالَ:
"لَا، بَلْ مِنَ الْمَطَاهِرِ، إِنَّ دِينَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْحَنِيفِيَّةُ
السَّمْحَةُ".
حَدَّثَنَاهُ ابْنُ
صَاعِدٍ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ يَزِيدَ الْوَزَّانُ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ:
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي رَوَّادٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ وَاسِعٍ الْأَزْدِيِّ،
قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ
نَحْوَهُ.
*"Ibnu Sa‘id telah menceritakan kepada
kami, Muhammad bin Harb telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin ‘Aun telah
menceritakan kepada kami, Hassaan bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami,
Abdul Aziz bin Abi Rawwad telah menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibnu
‘Umar :
“Bahwa seseorang berkata: 'Wahai Rasulullah,
apakah wudhu dari gerabah baru yang tertutup lebih engkau sukai atau wudhu dari
tempat air?' Beliau bersabda: 'Tidak, tetapi dari tempat air, karena agama
Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah hanifiyyah yang toleran.'
Ibnu Sa‘id telah menceritakan kepada kami,
Al-Qasim bin Yazid Al-Wazzan telah menceritakan kepada kami, Waki‘ telah
berkata: 'Abdul Aziz bin Abi Rawwad telah meriwayatkan dari Muhammad bin Wasi‘
Al-Azdi, ia berkata: "Seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu menyebutkan hal yang serupa."' [SELESAI]
Syeikh Abdullah Fahd al-Khulaifi berkata :
قُلْتُ: فَخَالَفَ
وَكِيعٌ حَسَّانَ بْنَ إِبْرَاهِيمَ فَأَرْسَلَهُ، بَلْ أَعْضَلَهُ، فَمُحَمَّدُ بْنُ
وَاسِعٍ مِنْ صِغَارِ التَّابِعِينَ، وَوَكِيعٌ لَا شَكَّ أَوْثَقُ مِنْ حَسَّانَ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ الْمُخْتَلَفِ فِيهِ.
Aku berkata: Waki‘ telah menyelisihi Hassaan
bin Ibrahim dengan menjadikan hadits ini mursal, bahkan mu‘dhal, karena
Muhammad bin Wasi‘ termasuk tabi‘in kecil. Tidak diragukan bahwa Waki‘ lebih
tepercaya dibandingkan Hassaan bin Ibrahim yang diperselisihkan statusnya”. [Sumber : Al-Kalām 'alā Ḥadīth (Kāna yab'athu ilā al-maṭāhir fayu'tā bil-mā', fayashrabuhu yarjū barakata aydī al-muslimīn)].
Selain itu, matan hadits ini bertentangan
dengan banyak hadits sahih yang menegaskan bahwa para sahabat bertabaruk dengan
sisa wudhu Rasulullah ﷺ, bukan sebaliknya.
Seandainya pun hadits ini dianggap mahfudz (terjaga
dan terpelihara sanadnya) melalui jalur Ibnu Abi Rawwad dari Nafi‘, maka tetap saja
terdapat pembicaraan mengenai riwayatnya dari Nafi‘ secara khusus. Karena Ibnu
Hibban berkata:
"لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ الثَّوْرِيُّ لِأَنَّهُ
كَانَ يَرَى الْإِرْجَاءَ، وَكَانَ مِمَّنْ غَلَبَ عَلَيْهِ التَّقَشُّفُ حَتَّى كَانَ
لَا يَدْرِي مَا يُحَدِّثُ بِهِ، فَرَوَى عَنْ نَافِعٍ أَشْيَاءَ لَا يَشُكُّ مَنْ
الْحَدِيثِ صِنَاعَتُهُ إِذَا سَمِعَهَا أَنَّهَا مَوْضُوعَةٌ، كَانَ يُحَدِّثُ بِهَا
تَوَهُّمًا لَا تَعَمُّدًا.
وَمَنْ حَدَّثَ
عَلَى الْحِسْبَانِ وَرَوَى عَلَى التَّوَهُّمِ حَتَّى كَثُرَ ذَلِكَ مِنْهُ، سَقَطَ
الِاحْتِجَاجُ بِهِ وَإِنْ كَانَ فَاضِلًا فِي نَفْسِهِ، وَكَيْفَ يَكُونُ التَّقِيُّ
فِي نَفْسِهِ مَنْ كَانَ شَدِيدَ الصَّلَابَةِ فِي الْإِرْجَاءِ كَثِيرَ الْبُغْضِ
لِمَنْ انْتَحَلَ السُّنَنَ؟"
*"Ats-Tsauri tidak mau menshalatinya
karena ia berpemahaman murji’ah. Ia termasuk orang yang sangat zuhud hingga
tidak menyadari apa yang ia riwayatkan. Ia meriwayatkan dari Nafi‘ beberapa hal
yang siapa pun yang memiliki keahlian dalam hadits pasti akan meyakini bahwa
itu adalah hadits-hadits palsu. Ia meriwayatkannya karena tersalah, bukan
dengan sengaja.
Orang yang meriwayatkan hadits berdasarkan
perkiraan dan sering salah hingga hal itu menjadi kebiasaannya, maka gugurlah
hujjahnya, sekalipun ia adalah pribadi yang saleh. Bagaimana mungkin seseorang
dianggap bertakwa sementara ia sangat keras dalam pemahaman murji’ah dan sangat
membenci orang-orang yang mengikuti sunnah?"* (*Al-Majruhin*, 2/136–137).
Dan Abu Muhammad Abdullah bin Mani’ ar-Ruuqy dalam
“نَفْعُ العَبِيرِ” 1/87:
فَقَدْ رَوَاهُ
عَنْ عَبْدِ العَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوَّادٍ أَرْبَعُ أَنْفُسٍ: حَسَّانُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ،
وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَوَكِيعٌ، وَخَلَّادٌ، تَفَرَّدَ حَسَّانُ بِرَفْعِهِ وَأَرْسَلَهُ
البَاقُونَ، وَقَدْ غَمَزَ أَبُو نُعَيْمٍ رِوَايَةَ حَسَّانَ المُتَّصِلَةَ حَيْثُ
قَالَ: "رَوَاهُ حَسَّانُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ مُتَّصِلًا"، وَبَعْدَ سِيَاقِهَا
قَالَ: "غَرِيبٌ تَفَرَّدَ بِهِ حَسَّانُ"، وَكَذَلِكَ ابْنُ عَدِيٍّ فَإِنَّهُ
سَاقَ الرِّوَايَةَ المُرْسَلَةَ عَقِبَ المُتَّصِلَةِ.
ثُمَّ قَدْ خَالَفَ
حَسَّانُ فَأَرْسَلَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَوَكِيعٌ، وَهُمَا الإِمَامَانِ الجَلِيلَانِ،
فَهُمَا أَحْفَظُ مِنْهُ وَأَثْبَتُ.
“Hadits ini diriwayatkan dari Abdul Aziz bin
Abi Rawwad oleh empat orang: Hassaan bin Ibrahim, Abdurrazzaq, Waki’, dan
Khalad. Namun, hanya Hassaan yang meriwayatkannya secara bersambung (muttashil),
sedangkan ketiga perawi lainnya meriwayatkannya dalam bentuk mursal.
Abu Nu'aim mengkritik riwayat Hassaan yang muttashil
(bersambung sanadnya) dengan mengatakan: *"Hadits ini diriwayatkan oleh Hassaan
bin Ibrahim dalam bentuk muttashil."* Setelah menyebutkan riwayat
tersebut, ia menambahkan: *"Hadits ini gharib, hanya diriwayatkan oleh Hassaan."*
[SELESAI]
Demikian pula Ibnu 'Adiy, yang menyebutkan
riwayat mursal setelah meriwayatkan versi yang muttashil (bersambung sanadnya).
Selain itu, Hassaan telah menyelisihi
Abdurrazzaq dan Waki’, dua imam besar yang lebih kuat hafalannya dan lebih
kokoh dalam periwayatan”.
Ada satu hal lagi: Hassaan ini memiliki
riwayat-riwayat yang munkar (diingkari). Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
*At-Tahdzib* (2/245) berkata:
«وَجَاءَ أَنَّ أَحْمَدَ أَنْكَرَ عَلَيْهِ بَعْضَ
حَدِيثِهِ، وَقَالَ العَقِيلِيُّ: فِي حَدِيثِهِ وَهَمٌ … وَقَالَ ابْنُ حِبَّانَ فِي
«الثِّقَاتِ»: رُبَّمَا أَخْطَأَ» اهـ.
*"Diriwayatkan bahwa Ahmad mengingkari
sebagian Haditsnya. Al-'Uqaili berkata: 'Dalam Haditsnya terdapat kesalahan...'
Ibnu Hibban dalam *Ats-Tsiqat* berkata: 'Kadang ia keliru.'"*
Ibnu ‘Adiy berkata:
وَلِحَسَّانَ شَيْءٌ
مِنَ الْأَصْنَافِ وَلَهُ حَدِيثٌ كَثِيرٌ، وَقَدْ حَدَّثَ بِإِفْرَادَاتٍ كَثِيرَةٍ
عَنْ أَبَانَ بْنِ تَغْلِبَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الصَّائِغِ عَنْ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ
وَعَاصِمِ الْأَحْوَلِ وَسَائِرِ الشُّيُوخِ فَلَمْ أَجِدْ لَهُ أَنْكَرَ مِمَّا ذَكَرْتُهُ
مِنْ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ، وَحَسَّانُ عِنْدِي مِنْ أَهْلِ الصِّدْقِ إِلَّا أَنَّهُ
يُغْلِطُ فِي الشَّيْءِ، وَلَيْسَ مِمَّنْ يُظَنُّ بِهِ أَنَّهُ يَتَعَمَّدُ فِي بَابِ
الرِّوَايَةِ إِسْنَادًا أَوْ مَتْنًا وَإِنَّمَا هُوَ وَهْمٌ مِنْهُ وَهُوَ عِنْدِي
لَا بَأْسَ بِهِ.
“Hassaan memiliki sesuatu dari berbagai macam
riwayat dan memiliki banyak Hadits. Ia telah meriwayatkan banyak Hadits secara
tersendiri dari Aban bin Taghlib, dari Ibrahim Ash-Sha’igh, dari Laits bin Abi
Sulaim, ‘Ashim Al-Ahwal, dan para syekh lainnya. Aku tidak menemukan sesuatu
yang lebih mungkar daripada Hadits-Hadits yang telah kusebutkan. Menurutku, Hassaan
termasuk orang yang jujur, tetapi ia melakukan kesalahan dalam beberapa hal. Ia
bukanlah orang yang diduga sengaja mengubah sanad atau matan dalam periwayatan,
melainkan hanya keliru. Bagiku, ia tidak bermasalah.” [Lihat : al-Kamil Fii Dhu’afaa
ar-Rijaal, karya Ibnu Adiy 3/261]
Kemudian tambahan lafadz hadits :
وَكَانَ يَبْعَثُ
إِلَى الْمَطَاهِرِ فَيُؤْتَى بِالْمَاءِ فَيَشْرَبُهُ يَرْجُو بَرَكَةَ أَيْدِي الْمُسْلِمِينَ.
*“Dan beliau ﷺ mengirim seseorang ke
tempat-tempat wudhu, lalu air dibawa kepadanya, kemudian beliau meminumnya
dengan berharap berkah dari tangan-tangan kaum Muslimin.”*
Mungkin, jika dihafalkan dengan baik, perawi
mengatakan tambahan ini berdasarkan pemahaman-nya dan perkiraan-nya. Namun,
kemungkinan besar itu adalah ucapan dari selain Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
****
KESIMPULANNYA : RIWAYAT INI ADALAH DHO’IF DAN MUNKAR :
Hadits ini munkar karena sanadnya berpusat
pada Hassaan bin Ibrahim, yang terkadang melakukan kesalahan. Hadits ini adalah
salah satu yang ia riwayatkan secara sendiri dan dianggap munkar (diingkari) darinya,
sehingga hadits ini memiliki cacat. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Adiy. [Lihat:
*Al-Kamil fi Du‘afa’ ar-Rijal* karya Ibn ‘Adi (3/261), *As-Silsilah
Ad-Dha‘ifah* karya Al-Albani (6479).]
Abu Muhammad Abdullah bin Mani’ ar-Ruuqy dalam
“نَفْعُ العَبِيرِ” 1/87 berkata :
وَبِكُلِّ حَالٍ
هِيَ رِوَايَةٌ ضَعِيفَةٌ مُنْكَرَةٌ، وَالْمَحْفُوظُ فِي الرِّوَايَةِ الْإِرْسَالُ
دُونَ قَوْلِهِ: وَكَانَ يَبْعَثُ … إِلَخْ. فَالْعِلَلُ فِيهَا الْإِدْرَاجُ وَالْإِرْسَالُ
وَالنَّكَارَةُ. فَأَصْبَحَتْ
ضَعِيفَةً إِسْنَادًا مُنْكَرَةً مَتْنًا.
“Bagaimanapun juga, riwayat ini lemah dan
mungkar. Riwayat yang mahfudz (terpelihara dan terjaga dengan baik) adalah yang
mursal tanpa tambahan: *"Dan beliau mengirim seseorang … dst.”* Maka,
dalam riwayat ini terdapat ‘illah berupa penyisipan, irsal, dan
kemungkaran.
Jadi, Hadits ini menjadi lemah dari sisi
sanad dan mungkar dari sisi matan”.
Bagaimana mungkin, sementara Nabi ﷺ pernah bersabda kepada para sahabatnya ketika mereka berkata kepadanya:
"اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ
ذَاتُ أَنْوَاطٍ !"، قَالَ لَهُمْ: «اللَّهُ أَكْبَرُ: إِنَّهَا السُّنَنُ، قُلْتُمْ
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوسَى: اجْعَلْ لَنَا
إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ».
*“Buatkanlah untuk kami sebuah pohon Dzatu
Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.”* Maka beliau ﷺ bersabda: *“Allahu Akbar! Itulah sunnah-sunnah mereka! Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian telah mengatakan sebagaimana yang
dikatakan Bani Israil kepada Musa: ‘Buatkanlah untuk kami sesembahan
sebagaimana mereka memiliki sesembahan.’”*
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan
Ashhabus Sunan. Hadits ini juga terdapat dalam kitab *At-Tauhid* karya Syaikhul
Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah. Beliau memberikan bab dengan
judul:
بَابُ مَنْ تَبَرَّكَ
بِشَجَرَةٍ أَوْ حَجَرٍ أَوْ نَحْوِهِمَا.
*Bab tentang orang yang mencari berkah dengan pohon, batu, atau
yang semisalnya …* yang berarti bahwa ia telah melakukan kesyirikan.
Dan seandainya hadits ini sahih, maka
kesimpulan akhirnya adalah bahwa perbuatan tersebut merupakan pengecualian dari
hukum asal—yaitu larangan—berdasarkan hadits ini, dan hanya terbatas pada kasus
ini saja. Sebab, ijma' para sahabat dalam meninggalkan tabarruk terhadap
bekas-bekas selain Nabi ﷺ merupakan bukti bahwa makna
umum dari lafaz ini tidak dimaksudkan. Dan Ijma’ ini telah ditegaskan oleh
Asy-Syatibi dalam *Al-I‘tisam*, lihat: (1/482).
===
RUJUKNYA SYEIKH AL-ALBANI dari penilaian HASAN menjadi MUNKAR.
Syekh Al-Albani menarik kembali penshahihan
beliau, dan segala puji bagi Allah yang telah memberinya taufik untuk itu:
Beliau berkata dalam *Silsilah Ahadits
Dha'ifah* (13/1074-1-77 no. 6479) :
(كَانَ يَبْعَثُ إِلَى الْمَطَاهِرِ فَيُؤْتَى
بِالْمَاءِ فَيَشْرَبُهُ، يَرْجُو بَرَكَةَ أَيْدِي الْمُسْلِمِينَ).
مُنْكَرٌ. أَخْرَجَهُ
الطَّبَرَانِيُّ فِي "المُعْجَمِ الأَوْسَطِ" (1/45/2/783)، وَابْنُ عَدِيٍّ
فِي "الكَامِلِ" (2/347)، وَأَبُو نُعَيْمٍ فِي "الحِلْيَةِ"
(8/203)، مِنْ طَرِيقِ مُحْرِزِ بْنِ عَوْنٍ، قَالَ: نا حَسَّانُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
الْكِرْمَانِيُّ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوَّادٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ
ابْنِ عُمَرَ، قَالَ:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ! الْوُضُوءُ مِنْ جَرٍّ جَدِيدٍ مُخَمَّرٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمْ مِنَ الْمَطَاهِرِ؟
. فَقَالَ: "لَا، بَلْ مِنَ الْمَطَاهِرِ، إِنَّ دِينَ اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ
السَّمْحَةُ". قَالَ: وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَبْعَثُ ... الحديث.
والسياق للطبراني،
وقال: "لَمْ يَرْوِهِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوَّادٍ إِلَّا حَسَّانُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ". وكذا قال أبو نعيم.
"(Rasulullah ﷺ) biasa mengirim seseorang ke
tempat-tempat wudhu, lalu dibawakan air kepadanya dan beliau meminumnya,
mengharapkan keberkahan dari tangan-tangan kaum Muslimin)."
**Hadits ini mungkar.**
Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam
*Al-Mu'jam Al-Awsath* (1/45/2/783), Ibn ‘Adiy dalam *Al-Kamil* (2/347), dan Abu
Nu‘aim dalam *Al-Hilyah* (8/203) melalui jalur **Mukhraz bin ‘Aun**, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami **Hassaan bin Ibrahim Al-Kirmani**,
dari **Abdul Aziz bin Abi Rawwad**, dari **Nafi‘**, dari **Ibnu Umar**, ia
berkata:
_"Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah!
Berwudhu dari gerabah baru yang tertutup lebih engkau sukai, atau dari tempat
wudhu?’ Maka beliau menjawab, ‘Tidak, tetapi dari tempat wudhu. Sesungguhnya
agama Allah adalah hanifiyah yang penuh kemudahan.’"_
Beliau juga berkata: "Dan Rasulullah ﷺ biasa mengirim seseorang ke
tempat-tempat wudhu..."
Hadits ini dengan redaksi yang disebutkan
adalah riwayat Ath-Thabarani, dan beliau berkata: "Hadits ini tidak diriwayatkan dari
Abdul Aziz bin Abi Rawwad kecuali oleh Hassaan bin Ibrahim."
Demikian pula yang dikatakan oleh Abu Nu‘aim.
Lalu Syeikh al-Albaani berkata :
قُلْتُ: وَحَسَّانُ
هَذَا مُخْتَلَفٌ فِيهِ، وَيَتَلَخَّصُ مِنْ أَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ: أَنَّهُ صَدُوقٌ
فِي نَفْسِهِ، وَلَكِنَّهُ يُخْطِئُ، وَبِهَذَا وَصَفَهُ الْحَافِظُ فِي "التَّقْرِيبِ"
مَعَ كَوْنِهِ مِنْ رِجَالِ الْبُخَارِيِّ، وَفِي تَرْجَمَتِهِ سَاقَ ابْنُ عَدِيٍّ
الشَّطْرَ الْأَوَّلَ مِنَ الْحَدِيثِ فِي جُمْلَةِ مَا أُنْكِرَ عَلَيْهِ مِنَ الْأَحَادِيثِ،
ثُمَّ قَالَ فِي آخِرِهَا:
**"وَلَهُ حَدِيثٌ كَثِيرٌ، وَقَدْ حَدَّثَ
بِإِفْرَادَاتٍ كَثِيرَةٍ، وَلَمْ أَجِدْ لَهُ أَنْكَرَ مِمَّا ذَكَرْتُهُ مِنْ هَذِهِ
الْأَحَادِيثِ، وَهُوَ عِنْدِي مِنْ أَهْلِ الصِّدْقِ إِلَّا أَنَّهُ يُغْلِطُ فِي
الشَّيْءِ، وَلَيْسَ مِمَّنْ يُظَنُّ بِهِ أَنَّهُ يَتَعَمَّدُ إِسْنَادًا أَوْ مَتْنًا،
وَإِنَّمَا هُوَ وَهْمٌ مِنْهُ، وَهُوَ عِنْدِي لَا بَأْسَ بِهِ".**
قُلْتُ: فَمِثْلُهُ
يَكُونُ حَسَنَ الْحَدِيثِ؛ إِذَا خَلَا مِنَ الْمُخَالَفَةِ وَالنَّكَارَةِ، أَوْ
يُنْتَقَى مِنْ حَدِيثِهِ وَيُسْتَشْهَدُ بِهِ، كَالشَّطْرِ الْأَوَّلِ مِنْ حَدِيثِهِ
هَذَا؛ فَإِنِّي كُنْتُ اسْتَشْهَدْتُ بِهِ حِينَمَا كُنْتُ خَرَّجْتُهُ فِي
"الصَّحِيحَةِ" بِرَقْمِ (2924) مِنْ طُرُقٍ؛ هَذَا أَحَدُهَا.
وَلَيْسَ حَدِيثُ
التَّرْجَمَةِ مِنْ هَذَا الْقَبِيلِ كَمَا يَأْتِي.
Saya berkata: Hasyan ini diperselisihkan
statusnya, dan dapat disimpulkan dari perkataan para ulama bahwa dia adalah
orang yang jujur dalam dirinya, tetapi sering melakukan kesalahan. Demikianlah
yang disebutkan oleh Al-Hafizh dalam *At-Taqrib*, meskipun ia termasuk dalam
jajaran perawi Al-Bukhari.
Dalam biografinya, Ibnu ‘Adiy mencantumkan
bagian pertama dari hadits ini dalam kumpulan hadits-hadits yang munkar (diingkari)
darinya, lalu berkata di akhir:
*"Ia memiliki banyak hadits dan telah
meriwayatkan banyak riwayat yang bersifat individu, tetapi aku tidak menemukan
hadits yang lebih munkar (diingkari) daripada yang telah aku sebutkan dari
hadits-hadits ini. Dia menurutku termasuk orang-orang yang jujur, hanya saja ia
kadang melakukan kesalahan. Dia bukanlah orang yang diduga sengaja mengubah
sanad atau matan hadits, melainkan hanya mengalami kekeliruan, dan menurutku
tidak ada masalah dengannya."*
Saya berkata: Perawi seperti ini, haditsnya
dapat dinilai *HASAN* apabila tidak terdapat penyelisihan atau kejanggalan,
atau bisa dipilih hadits-haditsnya dan dijadikan sebagai syahid (penguat),
seperti bagian pertama dari haditsnya ini.
Karena itu, dahulu saya menjadikannya sebagai
syahid ketika saya mentakhrijnya dalam *As-Shahihah* nomor (2924) dari beberapa
jalur, dan ini salah satunya.
Namun, hadits dalam pembahasan ini tidak
termasuk dalam kategori tersebut, sebagaimana akan dijelaskan.
Lalu Syeikh al-Albaani melanjutkan penjelasan-nya
:
وَفِي كَلَامِ ابْنِ
عَدِيٍّ إِشَارَةٌ قَوِيَّةٌ إِلَى أَنَّ حَسَّانَ هَذَا قَدْ يَقَعُ مِنْهُ الْخَطَأُ
فِي الْإِسْنَادِ وَالْمَتْنِ، وَتَارَةً فِي هَذَا، وَتَارَةً فِي هَذَا، وَقَدْ سَاقَ
الْعُقَيْلِيُّ فِي "الضُّعَفَاءِ" (1/255) مِمَّا أُنْكِرَ عَلَيْهِ مِثَالًا
لِكُلٍّ مِنْهُمَا:
1 - فَرَوَى عَنِ الْإِمَامِ أَنَّهُ قَالَ فِي
الَّذِي أَخْطَأَ فِي إِسْنَادِهِ:
"لَيْسَ هَذَا مِنْ حَدِيثِ عَاصِمِ الْأَحْوَلِ،
وَهَذَا مِنْ حَدِيثِ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ".
قُلْتُ: وَهَذَا
وَهْمٌ فَاحِشٌ جِدًّا؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ الثِّقَةَ (عَاصِمًا) مَكَانَ الضَّعِيفِ
الْمُخْتَلِطِ (اللَّيْثِ)!
2 - سَاقَ لَهُ حَدِيثًا أَخْطَأَ فِي مَتْنِهِ؛
فَرَوَى عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ أَنْكَرَهُ جِدًّا، وَقَالَ لِابْنِهِ: "اضْرِبْ
عَلَيْهِ"! وَأَقَرَّهُ الذَّهَبِيُّ فِي *"سِيرِ أَعْلَامِ النُّبَلَاءِ"*
(9/41 - 42).
وَذَكَرَ الذَّهَبِيُّ
مِثَالًا ثَالِثًا مِنْ هَذَا النَّوْعِ؛ فَقَالَ فِي *"الْمِيزَانِ"*:
"هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ تَفَرَّدَ بِهِ
حَسَّانُ، لَا يُتَابَعُ عَلَيْهِ".
قُلْتُ: وَحَدِيثُ
التَّرْجَمَةِ مِنْ هَذَا الْقَبِيلِ؛ فَإِنَّهُ مَعَ تَفَرُّدِهِ بِهِ - كَمَا تَقَدَّمَ
عَنِ الطَّبَرَانِيِّ -؛ فَإِنَّهُ قَدْ خُولِفَ فِي إِسْنَادِهِ؛ فَقَدْ عَقَّبَ عَلَيْهِ
ابْنُ عَدِيٍّ بِإِسْنَادِهِ الصَّحِيحِ عَنْ وَكِيعٍ، قَالَ: "عَبْدُ الْعَزِيزِ
بْنُ أَبِي رَوَّادٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ وَاسِعٍ الْأَزْدِيِّ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ... فَذَكَرَهُ".
قُلْتُ: فَقَدْ
خَالَفَهُ وَكِيعٌ - وَهُوَ إِمَامٌ ثِقَةٌ عِنْدَ الْجَمِيعِ -؛ فَرَوَاهُ عَنْ عَبْدِ
الْعَزِيزِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ وَاسِعٍ مُرْسَلًا؛ فَدَلَّ عَلَى خَطَإِ وَصْلِ حَسَّانٍ
إِيَّاهُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، وَثَبَتَ ضَعْفُ الْحَدِيثِ وَنَكَارَتُهُ.
ثُمَّ وَجَدْتُ عَبْدَ الرَّزَّاقِ فِي *"الْمُصَنَّفِ"* (1/74/338) قَدْ
تَابَعَ وَكِيعًا عَلَى إِرْسَالِهِ.
Dan dalam perkataan Ibnu ‘Ady terdapat
isyarat yang kuat bahwa Hannan ini terkadang melakukan kesalahan dalam sanad
dan matan; terkadang dalam sanad, dan terkadang dalam matan. Al-‘Aqili dalam
*Adh-Dhu‘afa’* (1/255) menyebutkan contoh untuk masing-masing dari kesalahan
tersebut yang munkar (diingkari) darinya:
1. Ia meriwayatkan dari Imam bahwa beliau
berkata tentang seseorang yang keliru dalam sanadnya:
"Ini bukan Hadits dari ‘Ashim Al-Ahwal,
ini adalah Hadits dari Laits bin Abi Sulaim."
Aku (Al-Albani) berkata: Ini adalah kesalahan
fatal yang sangat besar, karena ia menjadikan seorang perawi terpercaya
(*tsiqqah*), yaitu ‘Ashim, sebagai pengganti perawi yang lemah dan mengalami
ikhtilath (*percampuran hafalan*), yaitu Laits!
2. Ia juga menyebutkan Hadits lain yang salah
dalam matannya. Ia meriwayatkan bahwa Imam Ahmad sangat mengingkarinya dan
berkata kepada putranya:
"Hapuslah Hadits ini!"
Adz-Dzahabi menyetujuinya dalam *Siyar A‘lam
An-Nubala’* (9/41-42).
3. Adz-Dzahabi juga menyebutkan contoh ketiga
dari jenis kesalahan ini dalam *Al-Mizan*, dengan mengatakan:
"Ini adalah Hadits munkar yang hanya
diriwayatkan oleh Hannan, dan tidak ada seorang pun yang mengikutinya dalam
periwayatan ini."
Aku berkata: Hadits yang menjadi pembahasan (Hadits
Tarjamah) termasuk dalam kategori ini. Sebab, selain ia seorang diri dalam
meriwayatkannya—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dari Ath-Thabarani—ia
juga diselisihi dalam sanadnya. Ibnu ‘Ady mengomentarinya dengan menyebutkan
sanad yang lebih kuat dari Waki‘, bahwa **‘Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad
meriwayatkan dari Muhammad bin Wasi‘ Al-Azdi**, yang mengatakan:
"Seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ..." lalu ia menyebutkan Hadits tersebut.
Aku berkata: Waki‘, yang merupakan imam
terpercaya (*tsiqqah*) menurut seluruh ulama, telah menyelisihi Hannan. Ia
meriwayatkan dari ‘Abdul ‘Aziz dari Muhammad bin Wasi‘ secara mursal, sehingga
menunjukkan bahwa Hannan keliru dalam menyambungkan (*maushul*) Hadits tersebut
dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar. Maka, kelemahan dan kemungkaran Hadits ini pun
menjadi jelas.
Kemudian aku juga menemukan bahwa
‘Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf* (1/74/338) telah meriwayatkannya secara
mursal, sebagaimana yang dilakukan oleh Waki‘.
Kemudian Syeikh al-Albaani berkesimpulan :
وَبَعْدَ كِتَابَةِ
مَا تَقَدَّمَ لَفَتَ نَظَرِي أَحَدُ الْإِخْوَةِ = جَزَاهُ اللَّهُ خَيْرًا - إِلَى
أَنَّ الْحَدِيثَ مُخْرَجٌ فِي "الصَّحِيحَةِ" بِرَقْمِ (2118) . فَلَمَّا
قَرَأْتُ التَّخْرِيجَ فِيهِ ؛ وَجَدْتُ الِاخْتِلَافَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ تَخْرِيجِهِ
هُنَا أَمْرًا طَبِيعِيًّا جِدًّا ، يَقَعُ ذَلِكَ كَثِيرًا فِي بَعْضِ الْأَحَادِيثِ
؛ كَمَا لَا يَخْفَى عَلَى الْمُشْتَغِلِينَ بِهَذَا الْعِلْمِ الشَّرِيفِ خِلَافًا
لِبَعْضِ الْجُهَّالِ الْأَغْرَارِ ، كَمِثْلِ أَنْ يُضَعِّفَ حَدِيثًا مَا لِضَعْفٍ
ظَاهِرٍ فِي إِسْنَادِهِ ، ثُمَّ يُصَحِّحَهُ فِي مَكَانٍ آخَرَ لِعُثُورِهِ عَلَى
طَرِيقٍ أَوْ طُرُقٍ أُخْرَى يَتَقَوَّى الْحَدِيثُ بِهَا .
وَعَلَى الْعَكْسِ
مِنْ ذَلِكَ يُقَوِّي حَدِيثًا مَا - تَصْحِيحًا أَوْ تَحْسِينًا - جَرْيًا عَلَى ظَاهِرِ
حَالِ إِسْنَادِهِ ، ثُمَّ يَنْكَشِفُ لَهُ أَنَّ فِيهِ عِلَّةً تَقْدَحُ فِي قُوَّتِهِ
، وَلَا سِيَّمَا إِذَا كَانَ الْحُكْمُ عَلَيْهِ مُقْتَصِرًا عَلَى الْحَسَنِ - كَهَذَا
الْحَدِيثِ مِثْلًا - ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَعْنِي أَنَّ فِي رَاوِيهِ شَيْئًا مِنَ الضَّعْفِ
، وَلِذَلِكَ لَمْ يُصَحَّحْ .
Setelah menuliskan pembahasan di atas, salah
seorang saudara—semoga Allah membalasnya dengan kebaikan—menunjukkan kepada
saya bahwa Hadits ini telah dimuat dalam *Shahihah* dengan nomor (2118). Ketika
saya membaca takhrijnya di sana, saya menemukan bahwa perbedaan antara takhrij
di sana dan di sini adalah sesuatu yang sangat wajar. Hal ini sering terjadi
pada beberapa Hadits, sebagaimana sudah diketahui oleh para peneliti dalam ilmu
mulia ini. Berbeda halnya dengan sebagian orang yang jahil dan pemula, yang
mungkin melemahkan suatu Hadits karena ada kelemahan yang tampak dalam
sanadnya, lalu menguatkannya di tempat lain setelah menemukan jalur atau
jalur-jalur lain yang memperkuat Hadits tersebut.
Sebaliknya, terkadang seseorang menguatkan
suatu Hadits—baik dengan menshahihkan maupun menghasankan—karena melihat
tampilan sanadnya yang tampak kuat, lalu kemudian ia mendapati adanya cacat
yang mencederai kekuatannya. Terlebih lagi jika penilaiannya terbatas pada
derajat *Hassaan*, seperti Hadits ini misalnya, karena hal itu menunjukkan
bahwa perawinya memiliki kelemahan tertentu, sehingga Hadits tersebut tidak
sampai ke derajat *shahih*. [Baca : "as-Silsilah al-Dha'ifah" (13/1074-1077
no. 6479)].
Adapun terkait dengan pernyataan al-Haitsami
, maka syeikh al-Albani berkomentar :
قَوْلُ الهَيْثَمِيِّ
هَذَا دُونَ مَا لَوْ قَالَ: "وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ"؛ لِأَنَّ الْأَوَّلَ
فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ فِي بَعْضِ رُوَاتِهِ كَلَامًا، يَحُطُّ مِنْ قِيمَةِ
ثِقَتِهِ الَّتِي وُثِّقَ بِهَا؛ هَذَا أَمْرٌ نَعْرِفُهُ بِالتَّتَبُّعِ لِاسْتِعْمَالَاتِ
عُلَمَائِنَا أَوَّلًا، ثُمَّ مِنْ بِنَاءِ اسْمِ الْمَفْعُولِ عَلَى الْفِعْلِ الْمَبْنِيِّ
لِلْمَجْهُولِ ثَانِيًا، حَتَّى إِنَّ الحَافِظَ الذَّهَبِيَّ لَا يَكَادُ يَسْتَعْمِلُ
هَذَا الْفِعْلَ: "وُثِّقَ" إِلَّا فِي رَاوٍ تَفَرَّدَ بِتَوْثِيقِهِ ابْنُ
حِبَّانَ، فَيُشِيرُ بِذَلِكَ إِلَى أَنَّهُ تَوْثِيقٌ ضَعِيفٌ لَا يُعْتَمَدُ.
Pernyataan Al-Haitsami ini lebih rendah
tingkatannya dibandingkan jika ia mengatakan *"wa rijāluhu tsiqāt" (para perawinya tsiqah)*. Sebab, redaksi pertama menunjukkan
adanya kelemahan pada sebagian perawinya, yang mengurangi kadar kepercayaan
terhadap ketsiqahannya.
Hal ini kita ketahui melalui dua
pendekatan:
1. **Melalui metode induktif** dalam meneliti
penggunaan istilah ini oleh para ulama jarh wa ta'dil.
2. **Secara kebahasaan**, karena bentuk kata
*"wuts-tsiqo"* (وُثِّقَ) adalah isim maf’ul yang
dibangun dari fi’il mabni lil-majhūl, yang mengindikasikan bahwa
pernyataan tersebut berasal dari pihak lain dan bukan penegasan langsung.
Bahkan, Al-Hafizh Adz-Dzahabi hampir selalu
menggunakan istilah *"wuts-tsiqo"* (وُثِّقَ) hanya untuk perawi yang
hanya Ibn Hibban sendiri yang menilai tsiqah. Ini merupakan isyarat bahwa
penilaian tersebut lemah dan tidak bisa dijadikan pegangan kuat dalam menilai
keandalan seorang perawi. [Baca : "as-Silsilah adh-Dha'ifah" (13/1080]
Dan Syeikh al-Albani berkata pula :
وَلَقَدْ زَادَ
مِنْ قِيمَةِ هَذَا التَّحْقِيقِ وَضَرُورَةِ بَيَانِهِ أَنَّنِي سَمِعْتُ شَرِيطًا
مُسَجَّلًا فِي رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ (1414) لِأَحَدِ الدَّكَاتِرَةِ الْمُدَرِّسِينَ
فِي بَعْضِ الْبِلَادِ الْعَرَبِيَّةِ، مِمَّنْ يُحْسِنُ الْوَعْظَ، وَلَا يُحْسِنُ
الْعِلْمَ بِالْحَدِيثِ وَفِقْهَهُ، سَمِعْتُهُ يَحْتَجُّ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى
جَوَازِ التَّبَرُّكِ بِآثَارِ الصَّالِحِينَ، وَيُصَحِّحُهُ بِطَرِيقَةٍ تَدُلُّ عَلَى
أَنَّهُ لَا مَعْرِفَةَ عِنْدَهُ بِهَذَا الْعِلْمِ الشَّرِيفِ.
Sungguh, yang semakin menambah nilai
penelitian ini serta pentingnya penjelasannya adalah bahwa saya mendengar
rekaman kaset pada bulan Ramadhan tahun ini (1414 H) dari salah seorang doktor
pengajar di beberapa negara Arab. Dia pandai dalam memberikan nasihat, tetapi
tidak memiliki pemahaman yang baik tentang ilmu hadits dan fiqihnya. Saya
mendengarnya berhujah dengan hadits ini untuk membolehkan tabarruk dengan
peninggalan orang-orang saleh serta menshahihkannya dengan cara yang
menunjukkan bahwa dia tidak memiliki pengetahuan dalam ilmu hadits yang mulia
ini.
(*Dikutip dari "Silsilah
al-Dha'ifah" (13/1078) dan Mawsu’ah al-Albani Fii al-‘Aqidah 3/922*)
0 Komentar