Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM MENGUCAPKAN “SHODAQOLLOOHUL ‘ADZIIM” SETELAH SELESAI MEMBACA AL-QUR’AN

HUKUM MENGUCAPKAN “SHODAQOLLOOHUL ‘ADZIIM” SETELAH SELESAI MEMBACA AL-QUR’AN

----

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----

---

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN :
  • PERBEDAAN PENDAPAT : HUKUM MENGUCAPKAN “SHODAQOLLOOHUL ‘ADZIIM”
  • PENDAPAT PERTAMA : BOLEH MENGUCAPKAN “SHODAQOLLOHUL ADZIM”.
  • DALIL PENDAPAT PERTAMA : YANG MEMBOLEHKAN-NYA
  • PENDAPAT KEDUA : YANG MENGHARAMKAN DAN MENGHUKUMI-NYA SEBAGAI BID’AH SESAT :
  • DALIL PENDAPAT KEDUA : YANG MENGHARAMKAN DAN MENGHUKUMI-NYA BID’AH SESAT :
  • ORANG YANG PALING DZALIM ADALAH YANG MUDAH MEMVONIS HARAM & SESAT

 ****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

PENDAHULUAN :

Rasulullah pernah bersabda :

" ‌صَدَقَ ‌اللَّهُ ﴿‌إِنَّمَا ‌أَمْوَالُكُمْ ‌وَأَوْلَادُكُمْ ‌فِتْنَةٌ﴾

“Shodaqolloh (Maha benar Allah) dalam firman-Nya : {Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah}”. [QS. At-Taghobun : 15].

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Buraidah bin Hushaib Al-Aslami, dia berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُنَا إِذْ جَاءَ الحَسَنُ وَالحُسَيْنُ عَلَيْهِمَا قَمِيصَانِ أَحْمَرَانِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ، فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ المِنْبَرِ فَحَمَلَهُمَا وَوَضَعَهُمَا بَيْنَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: " ‌صَدَقَ ‌اللَّهُ ﴿‌إِنَّمَا ‌أَمْوَالُكُمْ ‌وَأَوْلَادُكُمْ ‌فِتْنَةٌ﴾ [التغابن: 15] نَظَرْتُ إِلَى هَذَيْنِ الصَّبِيَّيْنِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ حَدِيثِي وَرَفَعْتُهُمَا».

Nabi sedang berkhutbah, lalu datanglah Hasan dan Husain memakai dua baju merah, mereka tersandung dengan baju itu. Maka Nabi turun dari mimbar dan memutus khutbahnya, lalu menggendong keduanya, kemudian kembali ke mimbar dan berkata:

" ‌صَدَقَ ‌اللَّهُ ﴿‌إِنَّمَا ‌أَمْوَالُكُمْ ‌وَأَوْلَادُكُمْ ‌فِتْنَةٌ﴾

Shodaqolloh (Maha benar Allah) dalam firman-Nya : {Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah}. [QS. At-Taghobun : 15].

Aku melihat dua anak ini tersandung di baju mereka berdua, maka aku tidak sabar hingga aku memutus khutbah dan menggendong mereka berdua.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1109), dan At-Tirmidzi (3774), Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* 1/287, Al-Bayhaqi dalam *Sunan Al-Bayhaqi* 3/218, dan Al-Baghawi dalam *Ma'alim at-Tanzil* 4/354.

Al-Hakim menilainya shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi!

Dan dinilai shahih pula oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (al-Ihsaan 13/403 no. 6039. Juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya no. 1456. Juga oleh al-A’dzomi dalam tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah 2/355 no. 1456. Juga oleh al-Albaani dalam Shahih Sunan Abu Daud dan Shahih at-Tirmidzi. Di Nilai shahih pula oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij dan Tahqiq Sunan Abu Daud 2/327

Allah SWT berfirman :

﴿قُلْ صَدَقَ اللَّهُ ۗ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾

Katakanlah: "Shodaqolloh (Maha benar Allah dalam segala firman-Nya)". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. [Al Imran: 95]

Dan Allah SWT berfirman :

﴿اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ ۗ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا﴾

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kalian di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” [Nisa: 87]

Dan Allah SWT berfirman :

﴿وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا ۚ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا﴾

“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?” [an-Nisa: 122]

Dalam hadits Aisyah disebutkan bahwa Rasulullah bersabda :

إنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ.

“Sesungguhnya amal yang paling Allah cintai adalah yang paling terus berkesinambungan meskipun sedikit”.

[HR. Bukhori no. 6465 dan Muslim no. 783 ]

===***===

PERBEDAAN PENDAPAT: 
HUKUM MENGUCAPKAN “SHODAQOLLOOHUL ‘ADZIIM”

Para ulama terbagi menjadi dua pendapat dalam hal hukum mengucapkan “shodaqolloohul ‘adziim” saat selesai membaca al-Quran :

SINGKAT-NYA :

Pendapat Pertama: Membolehkan-nya. Dan Mereka memandang bahwa itu termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur'an.

Pendapat Kedua: Haram dan bid’ah Sesat. Dan Mereka memandang bahwa itu termasuk bid'ah yang tidak ada dalil dari Allah dan Rasul-Nya.

===****===

RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT :

*****

PENDAPAT PERTAMA : 
BOLEH MENGUCAPKAN “SHODAQOLLOHUL ADZIM”.

Hukum mengucapkan “shodaqolloohul ‘adziim” adalah diperbolehkan menurut kelompok pertama, bahkan sebagian dari mereka mengatakan mustahab (dianjurkan). Mereka memandang bahwa itu termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur'an.

Di antara para ulama yang memperbolehkan mengucapkan “shodaqolloohul ‘adziim”, dan sebagian dari mereka ada memandang bahwa itu termasuk bentuk pengagungan dan pemuliaan terhadap Al-Qur'an, adalah sbb :

====

AL-HAKIIM AT-TIRMIDZY (WAFAT 320 H).

Al-Hakiim At-Tirmidzi Abu Abdullah (wafat 320 H), dia berkata :

وَمِنْ حُرْمَتِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ لِكُلِّ حَرْفٍ حَقَّهُ مِنَ الْأَدَاءِ حَتَّى يُبْرِزَ الْكَلَامَ بِاللَّفْظِ تَمَامًا، فَإِنَّ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ. وَمِنْ حُرْمَتِهِ ‌إِذَا ‌انْتَهَتْ ‌قِرَاءَتُهُ ‌أَنْ ‌يُصَدِّقَ ‌رَبَّهُ، وَيَشْهَدَ بِالْبَلَاغِ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَشْهَدَ عَلَىٰ ذَٰلِكَ أَنَّهُ حَقٌّ، فَيَقُولَ:

صَدَقْتَ رَبِّ، وَبَلَّغْتَ رُسُلَكَ، وَنَحْنُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدَيْنِ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ شُهَدَاءِ الْحَقِّ، الْقَائِمِينَ بِالْقِسْطِ، ثُمَّ يَدْعُو بِدَعَوَاتٍ

“Dan termasuk bentuk penghormatan adalah, apabila seseorang selesai membaca Al-Qur'an, dia membenarkan Rabb-nya, bersaksi atas penyampaian Rasul-Nya , dan bersaksi bahwa hal itu adalah benar, lalu dia berkata: 

Shodaq-ta Robbi (Maha Benar Engkau wahai Rabb-ku). Para Rasul-Mu telah menyampaikan, dan kami termasuk saksi atas hal itu. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk saksi atas kebenaran dan orang-orang yang menegakkan keadilan. Kemudian ia berdoa dengan beberapa doa.”

(Nawādir al-Uṣūl fī Aḥādīts ar-Rasūl), dan ini dinukil oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya 1/28.

Al-Hakiim at-Tirmidzy memandang bahwa termasuk bentuk penghormatan terhadap Al-Qur'an adalah mengucapkan “Shodaqollah al-‘Adzim (yang artinya seseorang membenarkan Rabb-nya) setelah membaca Al-Qur'an.

====

SYAMSUDDIN AR-RAMLY ASY-SYAFI’I (WAFAT 1004 H) :

Disebutkan dalam *Hasyiyah Nihayah al-Muhtaj* (2/43):

  "لَوْ قَالَ: (صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ) عِنْدَ قِرَاءَةِ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ قَالَ – شَمْسُ الدِّينِ الرَّمْلِيُّ –: يُنْبَغِي أَنْ لَا يَضُرَّ، وَكَذَا لَوْ قَالَ: (آمَنْتُ بِاللَّهِ) عِنْدَ قِرَاءَةِ مَا يُنَاسِبُهُ" انْتَهَى.

"Jika seseorang berkata: *Shadaqallahul 'Azhim* saat membaca sesuatu dari Al-Qur’an, maka Syamsuddin Ar-Ramli berkata: Seharusnya hal itu tidak mengapa. Demikian pula jika seseorang berkata: *Aamantu billaah* saat membaca ayat yang sesuai dengannya." Selesai. Wallahu a'lam.

Akan tetapi ada sebagian qari' (pembaca Al-Qur'an) pada masa lalu menutup bacaan Al-Qur'an dengan shalawat kepada Nabi atau dengan pujian dan doa.

Namun pada zaman modern, para qari' sepakat untuk menutup bacaan dengan ucapan: “shodaqolloohul ‘adziim” saja.

====

NURUDDIN AD-DHOBBA (WAFAT 1380 H).

Nuruddin adh-Dhobbaa’ (w. 1380 H) berkata dalam kitab “Fathul Karim al-Mannaan” hal. 4:

وَيُسْتَحَبُّ لِلْقَارِئِ ‌إِذَا ‌انْتَهَتْ ‌قِرَاءَتُهُ ‌أَنْ ‌يُصَدِّقَ ‌رَبَّهُ، وَيَشْهَدَ بِالْبَلَاغِ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَشْهَدَ عَلَىٰ ذَٰلِكَ أَنَّهُ حَقٌّ، فَيَقُولَ: صَدَقَ اللهُ الْعَظِيمُ، وَبَلَّغَ رَسُولُهُ الْكَرِيمُ، وَنَحْنُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ شُهَدَاءِ الْحَقِّ، الْقَائِمِينَ بِالْقِسْطِ.

Dan disunnahkan bagi pembaca Al-Qur'an, apabila telah selesai bacaannya, untuk membenarkan Tuhannya dan bersaksi atas sampainya risalah kepada Rasul-Nya , serta bersaksi bahwa hal itu adalah benar, lalu ia mengucapkan:

صَدَقَ اللهُ الْعَظِيمُ، وَبَلَّغَ رَسُولُهُ الْكَرِيمُ، وَنَحْنُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ،

Artinya : Maha benar Allah Yang Maha Agung. Dan Rasul-Nya yang mulia telah menyampaikan, dan kami termasuk orang-orang yang bersaksi atas hal itu.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk saksi kebenaran dan orang-orang yang menegakkan keadilan. [SELESAI]

====

LAJNAH FATWA – DAIRATUL IFTAA AL-‘AAM – YORDANIA – NO. 867

PERTANYAAN: 

Apa hukum mengucapkan "Shadaqallāhul ‘Azhīm" setelah selesai membaca Al-Qur’an, karena sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah bid’ah? 

JAWABAN: 

يَجُوزُ لِلْقَارِئِ أَنْ يَقُولَ بَعْدَ تِلَاوَتِهِ: "صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ"، يَقْصِدُ بِذَلِكَ ٱلثَّنَاءَ عَلَى ٱللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا أَثْنَىٰ بِهِ عَلَىٰ نَفْسِهِ حِينَ قَالَ سُبْحَانَهُ: (قُلْ صَدَقَ ٱللَّهُ فَٱتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ) آلِ عِمْرَانَ/٩٥. 

وَٱلثَّنَاءُ عَلَى ٱللَّهِ جَائِزٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَكُلِّ حِينٍ، وَلَيْسَ فِي ٱلْإِتْيَانِ بِهِ عَقِبَ ٱلتِّلَاوَةِ بِدْعَةٌ وَلَا مُخَالَفَةٌ لِلشَّرِيعَةِ، بَلْ فِيهِ تَعْظِيمٌ لِلْقُرْآنِ، وَتَأَدُّبٌ مَعَ ٱللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ ٱلنَّبِيُّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِحْدَى ٱلْمَرَّاتِ، كَمَا جَاءَ فِي حَدِيثِ بُرَيْدَةَ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهُ قَالَ: (خَطَبَنَا رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقْبَلَ ٱلْحَسَنُ وَٱلْحُسَيْنُ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهُمَا عَلَيْهِمَا قَمِيصَانِ أَحْمَرَانِ يَعْثُرَانِ وَيَقُومَانِ، فَنَزَلَ فَأَخَذَهُمَا، فَصَعِدَ بِهِمَا ٱلْمِنْبَرَ ثُمَّ قَالَ: صَدَقَ ٱللَّهُ (إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ)، رَأَيْتُ هَذَيْنِ فَلَمْ أَصْبِرْ، ثُمَّ أَخَذَ فِي ٱلْخُطْبَةِ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُد (رَقْم/١١٠٩).

Seorang pembaca Al-Qur’an setelah selesai membacanya boleh mengucapkan: "Shadaqallāhul ‘Adzīm", dengan maksud memuji Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana Allah memuji diri-Nya sendiri dalam firman-Nya:

“Katakanlah: Maha benar Allah (shodaqollah) , maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (Ali Imran: 95).

Memuji Allah adalah sesuatu yang dibolehkan kapan saja dan dalam keadaan apa pun. Mengucapkan pujian ini setelah membaca Al-Qur’an bukanlah suatu bid’ah dan tidak bertentangan dengan syariat, bahkan hal itu merupakan bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an dan adab terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.

Nabi pernah melakukan hal itu dalam salah satu kesempatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: 

“Rasulullah berkhutbah kepada kami. Lalu datanglah Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma dengan mengenakan dua baju merah, mereka tersandung dan berjalan tertatih. Maka Rasulullah turun, menggendong mereka berdua, lalu naik ke atas mimbar bersama mereka. Kemudian beliau berkata:

صَدَقَ ٱللَّهُ (إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ)

Shadaqallāh (Allah telah benar), ‘Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah.’ Aku melihat kedua anak ini dan tidak tahan (menahan diri). Lalu beliau melanjutkan khutbahnya.” 

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (nomor 1109).

====

KUMPULAN FATWA DAR AL-IFTA MESIR 8/86 :

PERTANYAAN: 

Sebagian orang mengatakan bahwa ucapan pembaca Al-Qur'an setelah selesai membaca “shodaqolloohul ‘adziim” adalah bid’ah dan tidak boleh diucapkan. Apakah hal itu benar?

JAWABAN : 

Saya telah sering memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis bid’ah terhadap setiap amalan yang tidak ada pada masa Nabi dan masa turunnya syariat, serta terhadap sikap berlebihan dalam menyebut setiap bid’ah sebagai kesesatan dan bahwa setiap kesesatan tempatnya di neraka. Hal ini bisa dirujuk pada halaman 352 jilid ketiga dari kumpulan fatwa ini untuk penjelasan lebih lanjut.

Ucapan “shodaqolloohul ‘adziim” dari pembaca atau pendengar setelah selesai membaca Al-Qur’an atau ketika mendengar suatu ayat dari Al-Qur’an **bukanlah bid’ah yang tercela**. 

Pertama, karena tidak ada larangan secara khusus terhadap ucapan tersebut. 

Kedua, karena ucapan itu merupakan bentuk dzikir kepada Allah, sementara dzikir sangat dianjurkan. 

Ketiga, para ulama telah membahasnya dan menganjurkannya sebagai bagian dari adab membaca Al-Qur’an, dan mereka menyatakan bahwa mengucapkannya dalam salat tidak membatalkan salat. 

Keempat, bentuk ucapan ini atau yang semakna dengannya juga disebutkan dalam Al-Qur’an, dan ditegaskan sebagai ucapan orang-orang beriman saat peperangan.

Allah Ta'ala berfirman: 

﴿ قُلْ صَدَقَ اللَّهُ ۗ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا﴾

*"Katakanlah: Maha benar Allah (shadaqallah), maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus."* (Ali ‘Imran: 95) 

Dan juga: 

﴿وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَٰذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ﴾

*"Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (musuh), mereka berkata: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah (shadaqallah) dan Rasul-Nya."* (Al-Ahzab: 22)

Imam Al-Qurthubi menyebutkan dalam mukadimah tafsirnya bahwa Al-Hakim At-Tirmidzi membahas tentang adab membaca Al-Qur’an, dan salah satunya adalah bahwa ketika telah selesai membaca, hendaknya seseorang mengatakan “shodaqolloohul ‘adziim” atau ucapan lain yang memiliki makna serupa. 

Dalam lafaznya (jilid 1, halaman 27) disebutkan:

  وَمِنْ حُرْمَتِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ لِكُلِّ حَرْفٍ حَقَّهُ مِنَ الْأَدَاءِ حَتَّى يُبْرِزَ الْكَلَامَ بِاللَّفْظِ تَمَامًا، فَإِنَّ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ. وَمِنْ حُرْمَتِهِ ‌إِذَا ‌انْتَهَتْ ‌قِرَاءَتُهُ ‌أَنْ ‌يُصَدِّقَ ‌رَبَّهُ، وَيَشْهَدَ بِالْبَلَاغِ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَشْهَدَ عَلَىٰ ذَٰلِكَ أَنَّهُ حَقٌّ، فَيَقُولَ: صَدَقْتَ رَبِّ، وَبَلَّغْتَ رُسُلَكَ، وَنَحْنُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدَيْنِ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ شُهَدَاءِ الْحَقِّ، الْقَائِمِينَ بِالْقِسْطِ، ثُمَّ يَدْعُو بِدَعَوَاتٍ

*"Dan termasuk bagian dari memuliakan Al-Qur’an, jika telah selesai membacanya, seseorang membenarkan firman Tuhannya dan bersaksi atas sampainya risalah kepada Rasul-Nya [seperti dengan mengucapkan: shodaqolloohul ‘adziim wa ballagha rasuluhul karim], dan bersaksi bahwa itu adalah kebenaran, lalu berkata: 'Engkau benar wahai Tuhan kami, dan para rasul-Mu telah menyampaikan, dan kami termasuk orang-orang yang bersaksi atas itu. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk saksi kebenaran dan orang-orang yang menegakkan keadilan', kemudian ia berdoa dengan doa-doa lainnya."*

Dalam kitab “Fiqh Empat Mazhab”, terbitan Departemen Wakaf Mesir, disebutkan bahwa mazhab Hanafiyah berpendapat:

"لَوْ تَكَلَّمَ الْمُصَلِّي بِتَسْبِيحٍ مِثْلَ: {صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ} عِنْدَ فَرَاغِ الْقَارِئِ مِنَ الْقِرَاءَةِ، لَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ إِذَا قَصَدَ مُجَرَّدَ الثَّنَاءِ وَالذِّكْرِ أَوِ التِّلَاوَةِ، وَأَنَّ الشَّافِعِيَّةَ قَالُوا: لَا تَبْطُلُ مُطْلَقًا بِهَذَا الْقَوْلِ".

“Jika orang yang salat mengucapkan tasbih seperti “shodaqolloohul ‘adziim” setelah pembaca selesai membaca Al-Qur’an, maka salatnya tidak batal jika ia hanya berniat memuji, berdzikir, atau menanggapi bacaan. 

Sedangkan mazhab Syafi’iyah berpendapat: Salat tidak batal sama sekali dengan ucapan tersebut”.

Maka bagaimana mungkin seseorang di masa sekarang ini berani mengatakan bahwa mengucapkan "shodaqolloohul ‘adziim" setelah membaca Al-Qur’an adalah bid’ah?** 

Saya ulangi peringatan agar tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan hukum fikih sebelum memastikan kebenarannya. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

﴿وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ﴾

*"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: 'Ini halal dan ini haram', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung."* (An-Nahl: 116) [SELESAI]

-----

SYEIKH AHMAD MAMDUH :

Syekh Ahmad Mamduh, Sekretaris Fatwa di Dar Al-Ifta Mesir, dalam jawabannya kepada penanya mengatakan:

لَدَيْنَا قَاعِدَةٌ تَقُولُ: "ٱلْمُطْلَقُ يَجْرِي عَلَىٰ إِطْلَاقِهِ حَتَّىٰ يَأْتِيَ مَا يُقَيِّدُهُ"، فَٱلشَّرْعُ حِينَما يَطْلُبُ شَيْئًا مُطْلَقًا لَا يَنْبَغِي عَلَيْنَا أَنْ نُقَيِّدَهُ مَا لَمْ يَأْتِ تَقْيِيدُهُ، فَٱللَّهُ تَعَالَىٰ يَقُولُ: "قُلْ صَدَقَ ٱللَّهُ"، وَهَذِهِ ٱلآيَةُ لَمْ تُبَيِّنْ هَيْئَةً مُعَيَّنَةً أَوْ وَقْتًا مُحَدَّدًا دُونَ وَقْتٍ، وَفِيهَا أَمْرٌ مُطْلَقٌ فِي أَيِّ وَقْتٍ أَوْ حَالَةٍ أَوْ كَيْفِيَّةٍ وَٱمْتِثَالٌ مَشْرُوعٌ لِأَوَامِرِ ٱللَّهِ تَعَالَىٰ إِلَّا فِي وُجُودِ نَصٍّ يَنْهَىٰ عَنِ ٱلْقَوْلِ، وَفِي هَذِهِ ٱلْحَالَةِ نَمْتَنِعُ.

Artinya :

Kami memiliki kaidah yang menyatakan :

“Suatu yang bersifat mutlak berlaku secara mutlak sampai ada dalil yang membatasinya.”

Maka, ketika syariat memerintahkan sesuatu secara mutlak, tidak sepantasnya kita membatasinya kecuali jika ada dalil yang membatasi. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: Maha Benar (apa yang difirmankan) Allah (shodaqollaah).

Dan ayat ini tidak menjelaskan tata cara tertentu atau waktu tertentu, melainkan perintah ini bersifat mutlak, dapat dilakukan kapan saja, dalam keadaan apa saja, dan dengan cara apa saja. Maka, ini adalah pelaksanaan perintah Allah yang bersifat syar'i kecuali jika ada dalil yang melarangnya, maka dalam hal itu kita menahan diri.

Mamduh juga menegaskan bahwa sabda Nabi : “اِقْرَؤُوا الْقُرْآنَ / Bacalah Al-Qur’an” adalah perintah yang bersifat mutlak dari Nabi dan tidak ada batasannya, kecuali jika ada dalil yang melarang membaca Al-Qur’an dalam keadaan junub, maka dalam kondisi seperti itu membaca menjadi terlarang.

Ia menekankan bahwa ucapan “Shadaqallahul 'Azhim” setelah selesai membaca Al-Qur’an adalah hal yang disyariatkan, dan konteksnya sangat kuat karena menunjukkan bahwa seseorang memperbarui imannya kepada Allah dan membenarkan bahwa itu adalah kalam-Nya yang diturunkan kepada Nabi yang mulia.

Ini merupakan perkara yang disyariatkan berdasarkan dalil Al-Qur’an yang bersifat mutlak, serta tradisi membaca Al-Qur’an yang telah dilakukan dari generasi ke generasi, yang kedudukannya seperti ijma'.

-----

SYEIKH AHMAD WASAM :

Sementara itu, Syekh Ahmad Wasam, Sekretaris Fatwa di Dar Al-Ifta Mesir, mengatakan :

إِنَّهُ يَجُوزُ لِلْقَارِئِ أَنْ يَقُولَ بَعْدَ تِلَاوَتِهِ: "صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ"، يَقْصِدُ بِذَلِكَ الثَّنَاءَ عَلَى اللَّهِ – عَزَّ وَجَلَّ – بِمَا أَثْنَى بِهِ عَلَى نَفْسِهِ، حِينَ قَالَ – سُبْحَانَهُ –: {قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ}.

Sesungguhnya seseorang boleh mengucapkan setelah membaca Al-Qur’an: "Shadaqallāhul ‘Azhīm" dengan maksud memuji Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana Allah memuji diri-Nya sendiri ketika Dia berfirman:

"Katakanlah: Allah telah benar, maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang-orang musyrik."

Beliau menambahkan dalam jawabannya atas pertanyaan “Apakah ucapan *shadaqallāhul ‘azhīm* termasuk bid’ah ataukah ada dasarnya dalam agama?”:

Jawabannya :

إَنَّ قَوْلَ صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ، فَلَهُ مَرْجِعٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَيْثُ قَالَ الْمَوْلَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ: {قُلْ صَدَقَ اللَّهُ ۗ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ}، فَامْتِثَالًا لِأَمْرِ اللَّهِ، قُلْ: "صَدَقَ اللَّهُ".

Sesungguhnya ucapan "shadaqallāhul ‘azhīm" bukanlah bid‘ah, karena ucapan tersebut memiliki dasar dalam Kitab Allah, sebagaimana firman Allah dalam kitab-Nya yang mulia: 

"Katakanlah: Maha benar apa yang difirmankan Allah (shodaqolloh), maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukan termasuk orang-orang musyrik" (Ali ‘Imran: 95). 

Maka, sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah, katakanlah: "Shadaqallāh" (Allah Maha Benar).

Beliau melanjutkan dengan bertanya:

"مَا الْبِدْعَةُ فِي قَوْلِ صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ؟ فَالْبِدْعَةُ الَّتِي نَهَى عَنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هِيَ قَوْلُهُ: "مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ".

“Apa yang bid’ah dari ucapan *shadaqallāhul ‘azhīm*? Bid’ah yang dilarang oleh Nabi adalah sebagaimana sabdanya: ‘Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami ini yang bukan darinya, maka itu tertolak.’”

Beliau menunjukkan bahwa memuji Allah adalah hal yang diperbolehkan setiap waktu dan saat. Mengucapkannya setelah membaca Al-Qur’an bukanlah bid’ah dan tidak bertentangan dengan syariat, justru itu merupakan bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an dan adab terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.

Nabi sendiri pernah melakukan hal ini dalam salah satu kesempatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: 

"خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقْبَلَ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَيْهِمَا قَمِيصَانِ أَحْمَرَانِ يَعْثُرَانِ وَيَقُومَانِ، فَنَزَلَ فَأَخَذَهُمَا، فَصَعِدَ بِهِمَا الْمِنْبَرَ ثُمَّ قَالَ: صَدَقَ اللَّهُ «إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ»، رَأَيْتُ هَذَيْنِ فَلَمْ أَصْبِرْ، ثُمَّ أَخَذَ فِي الْخُطْبَةِ".

“Rasulullah berkhutbah kepada kami. Lalu datanglah Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma dengan mengenakan dua baju merah, mereka tersandung dan berjalan tertatih. Maka Rasulullah turun, menggendong mereka berdua, lalu naik ke atas mimbar bersama mereka. Kemudian beliau berkata: Shadaqallāh, ‘Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah.’ Aku melihat kedua anak ini dan tidak tahan (menahan diri). Lalu beliau melanjutkan khutbahnya.” [SELESAI]

----

SYEIKH ABDULLAH AL-‘AJMI :

Apakah "shadaqallāhul ‘azhīm" merupakan bagian dari Al-Qur'an?

Terkait hal ini, Syaikh Abdullah Al-‘Ajmī, Direktur Departemen Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa sekaligus Sekretaris Fatwa di Dar Al-Ifta Mesir, mengatakan :

إِنَّ قَوْلَ "صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ، لَا يُوجَدُ فِيهَا بِدْعَةٌ وَهِيَ جُزْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ، لِأَنَّ بِقَوْلِهَا تُصَدِّقُ مَا قَرَأْتَهُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ".

“Sesungguhnya ucapan "shadaqallāhul ‘azhīm" bukanlah bid‘ah, dan hal itu merupakan bagian dari Al-Qur'an karena dengan mengucapkannya seseorang membenarkan apa yang telah ia baca dari Kitab Allah”.

Al-‘Ajmī menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam siaran langsung melalui halaman resmi Dar Al-Ifta Mesir di media sosial Facebook, dengan topik:

*Apakah kalimat "shadaqallāhul ‘azhīm" adalah bid‘ah? Bukankah Nabi Muhammad tidak mengucapkannya?*

Beliau pun menjelaskan :

أَنَّ كَلِمَةَ صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ مِنْ قَبِيلِ الْجَائِزِ الْمُبَاحِ أَنْ تَقُولَ بَعْدَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ وَيُسْتَثْنَى فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {قُلْ صَدَقَ اللَّهُ} فَاللَّهُ صَادِقٌ فِيمَا قَالَ : {وَهُوَ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا} {وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا} فَهُوَ أَمْرٌ جَائِزٌ، فَلَا نَقُولُ إِنَّهُ مُسْتَحَبٌّ أَوْ وَاجِبٌ إِنَّمَا هُوَ جَائِزٌ إِنْ فَعَلَهُ أُجِرَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْهُ فَلَا حَرَجَ فِي ذَٰلِكَ.

Sesungguhnya ucapan "shadaqallāhul ‘azhīm" termasuk hal yang boleh dan mubah untuk diucapkan setelah membaca Al-Qur’an. Hal ini dikecualikan dalam firman Allah:

"Katakanlah: Maha benar (apa yang difirmankan) Allah (shodaqolloh),"

Karena Allah Maha Benar dalam segala yang difirmankan-Nya, sebagaimana firman-Nya:

"Dan siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allah?"

Dan

"Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?"

Maka, hal ini merupakan perkara yang dibolehkan. Kita tidak mengatakan bahwa ia sunnah atau wajib, tetapi jika seseorang mengucapkannya, maka dia mendapatkan pahala, dan jika tidak mengucapkannya, maka tidak ada dosa atasnya.

----

SYEIKH ‘UWAIDHAH ‘UTSMAN :

Apakah mengucapkan "shadaqallāhul ‘azhīm" setelah membaca Al-Qur'an adalah bid‘ah?

Sheikh ‘Uwaidhah ‘Utsmān, Sekretaris Fatwa di Dar al-Iftā, mengatakan :

إِنَّ قَوْلَ "صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ، لَا يُوجَدُ فِيهَا بِدْعَةٌ وَهِيَ جُزْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ، لِأَنَّ بِقَوْلِهَا تُصَدِّقُ مَا قَرَأْتَهُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ. 

“Sesungguhnya ucapan "shadaqallāhul ‘azhīm" tidak mengandung bid‘ah dan merupakan bagian dari Al-Qur'an, karena dengan mengucapkannya seseorang membenarkan apa yang telah ia baca dari Kitab Allah”.

Sekretaris Fatwa tersebut menambahkan dalam sebuah video yang diunggah di halaman resmi Dar al-Iftā :

يَجُوزُ لِلْقَارِئِ أَنْ يَقُولَ بَعْدَ تِلَاوَتِهِ: "صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ"، يَقْصِدُ بِذَلِكَ الثَّنَاءَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا أَثْنَى بِهِ عَلَى نَفْسِهِ حِينَ قَالَ سُبْحَانَهُ: {قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ} (آل عمران/95).

Boleh bagi pembaca untuk mengucapkan "shadaqallāhul ‘azhīm" setelah membaca Al-Qur'an, yang dimaksudkan sebagai pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas apa yang Dia puji tentang diri-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya: **"Katakanlah: Benar (apa yang difirmankan) Allah, maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik."** (Ali Imran/95).

Lalu Beliau menjelaskan :

إنَّ الثَّنَاءَ عَلَى اللَّهِ جَائِزٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَكُلِّ حِينٍ، وَلَيْسَ فِي الإِتِيَانِ بِهِ عَقِبَ التِّلَاوَةِ بِدْعَةٌ وَلَا مُخَالَفَةٌ لِلشَّرِيعَةِ، بَلْ فِيهِ تَعْظِيمٌ لِلْقُرْآنِ وَتَأَدُّبٌ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَيْسَتْ بِبِدْعَةٍ وَإِنَّمَا مَنْ يَقُولُونَ بِدْعَةٍ هُمْ ٱلْمُبْتَدِعُونَ.

Memuji Allah itu diperbolehkan kapan saja, dan tidak ada bid‘ah atau pelanggaran syariat dalam mengucapkannya setelah membaca Al-Qur'an, malah hal tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap Al-Qur'an dan adab terhadap Allah Azza wa Jalla. Ucapan tersebut bukan bid‘ah, melainkan mereka yang menganggapnya bid‘ah adalah orang-orang yang berbuat bid‘ah.

*****

DALIL PENDAPAT PERTAMA : YANG MEMBOLEHKAN

Dalil-dalil pendapat yang mengatakan bahwa mengucapkan “shodaqolloohul ‘adziim” itu mustahab

Para pemilik pendapat bahwa hukum mengucapkan “shodaqolloohul ‘adziim” adalah mustahab, berdalil dengan beberapa dalil dari Al-Qur'an dan sunnah, antara lain:

DALIL PERTAMA :

Firman Allah dalam surah Ali Imran:

﴿قُلْ صَدَقَ اللَّهُ ۗ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾

Katakanlah: "Maha benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. [Al Imran: 95]

Dan juga firman Allah tentang para sahabat radhiyallahu ‘anhum saat menghadapi ujian pasukan Ahzab yang mengepungnya pada perang Khandaq : 

﴿وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَٰذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ﴾

*"Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (musuh), mereka berkata: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah (shodaqolloh) dan Rasul-Nya."* (Al-Ahzab: 22)

Berbeda dengan orang-orang munafik dan orang-orang yang iman-nya penuh keraguan, maka mereka ketika menghadapi ujian pengepungan oleh pasukan Ahzab, mereka mendustakan janji Allah dan Rasul-Nya :

﴿وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُورًا﴾

“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya". [al-Ahzab: 12]

DALIL KEDUA :

Firman Allah dalam surah An-Nisa:

﴿اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ ۗ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا﴾

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kalian di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” [Nisa: 87]

DALIL KE TIGA :

Firman Allah dalam surah An-Nisa:

﴿وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا ۚ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا﴾

“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?” [an-Nisa: 122]

DALIL KE EMPAT :

Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Buraidah bin Hushaib Al-Aslami, dia berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُنَا إِذْ جَاءَ الحَسَنُ وَالحُسَيْنُ عَلَيْهِمَا قَمِيصَانِ أَحْمَرَانِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ، فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ المِنْبَرِ فَحَمَلَهُمَا وَوَضَعَهُمَا بَيْنَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: " ‌صَدَقَ ‌اللَّهُ ﴿‌إِنَّمَا ‌أَمْوَالُكُمْ ‌وَأَوْلَادُكُمْ ‌فِتْنَةٌ﴾ [التغابن: 15] نَظَرْتُ إِلَى هَذَيْنِ الصَّبِيَّيْنِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ حَدِيثِي وَرَفَعْتُهُمَا».

Nabi sedang berkhutbah, lalu datanglah Hasan dan Husain memakai dua baju merah, mereka tersandung dengan baju itu. Maka Nabi turun dari mimbar dan memutus khutbahnya, lalu menggendong keduanya, kemudian kembali ke mimbar dan berkata:

" ‌صَدَقَ ‌اللَّهُ ﴿‌إِنَّمَا ‌أَمْوَالُكُمْ ‌وَأَوْلَادُكُمْ ‌فِتْنَةٌ﴾ [التغابن: 15]

Maha benar Allah dalam firman-Nya: {Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah}. [QS. At-Taghobun : 15].

Aku melihat dua anak ini tersandung di baju mereka berdua, maka aku tidak sabar hingga aku memutus khutbah dan menggendong mereka berdua.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1109), dan At-Tirmidzi (3774).

Dan diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* 1/287, Al-Bayhaqi dalam *Sunan Al-Bayhaqi* 3/218, dan Al-Baghawi dalam *Ma'alim at-Tanzil* 4/354 melalui jalur Ali bin Al-Husain bin Waqid, dengan sanad tersebut. Al-Hakim menilainya shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan disetujui oleh Az-Zahabi!

Dan dinilai shahih oleh Ibnu Haiban dalam Shahihnya (al-Ihsaan 13/403 no. 6039. Juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya no. 1456. Juga oleh al-A’dzomi dalam tahqi Shahih Ibnu Khuzaimah 2/355 no. 1456. Juga oleh al-Albaani dalam Shahih Sunan Abu Daud dan Shahih at-Tirmidzi. Di Nilai shahih pula oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij dan Tahqiq Sunan Abu Daud 2/327

Dengan dalil-dalil ini, para ulama yang berpendapat yang menganjurkan membaca “shodaqolloohul ‘adziim” membangun pendapat mereka.

DALIL KE LIMA :

BOLEH HUKUM-NYA MENDAWAMKAN AMALAN BAIK & MUBAH

Boleh hukum-nya mendawamkan amalan baik dan mubah. Yakni dengan mengamalkannya secara terus menerus pada saat tertentu atau pada munasabah (suasana) tertentu selama tidak meyakini atau mengklaim bahwa itu perintah atau anjuran dari Allah dan Rasul-Nya. Dan selama tidak menghukuminya sunnah atau wajib.

Berikut ini hujjah-hujjah yang membolehkan pendawaman amalan yang baik dan mubah, selama tidak menghukuminya sebagai Sunnah atau Wajib. Dan selama tidak berdusta mengatas namakan perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya .

Hujjah pertama :

Dalam hadits Aisyah disebutkan bahwa Rasulullah bersabda :

إنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ.

“Sesungguhnya amal yang paling Allah cintai adalah yang paling didawamkan (terus berkesinambungan) meskipun sedikit”. [HR. Bukhori no. 6465 dan Muslim no. 783]

Hujjah ke dua :

Nabi menganjurkan umat-nya untuk mengunjungi masjid Quba dan shalat di dalam-nya agar mendapatkan pahala seperti pahala Umrah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi bersabda :  

من تطَهَّرَ في بيتِهِ ، ثمَّ أتى مسجدَ قباءٍ ، فصلَّى فيهِ صلاةً ، كانَ لَهُ كأجرِ عمرةٍ.

“Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian datang ke Masjid Quba, lalu salat di dalamnya satu salat, maka baginya seperti pahala umrah”.

[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1412) dan lafal ini miliknya, juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i (699), dan Ahmad (15981) dengan makna yang serupa. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah dan Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq Sunan Ibnu Majah 2/416 ].

Dalam lafadz riwayat lain dari Usaid bin Khudhair – radhiyallahu ‘anhu - : Nabi bersabda :

الصلاةُ في مسْجدِ قِباءٍ كعُمرةٍ

 Shalat di Masjid Quba, sama seperti umrah.

[Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (324) dan Ibnu Majah (1411). Di hukumi Shahih oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 3872].

REDAKSI 2 HADITS DIATAS UMUM, TIDAK MEMBATASINYA DENGAN WAKTU TERTENTU.

Anjuran dalam hadits diatas redaksinya umum, tidak membatasinya dengan waktu-waktu terntentu. Akan tetapi Nabi sendiri membiasakan dirinya berkunjung ke mesjid Quba pada hari Sabtu . Sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

كانَ النَّبِيُّ صلّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءَ كُلَّ سَبْتٍ راكِبًا وماشيًا، وكانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ.

Rasulullah biasa datang ke Masjid Quba' setiap hari Sabtu dengan berkendara dan berjalan kaki, dan Ibn Umar biasa melakukannya. [Muttaqun ‘alaihi. Shahih Bukhori no. 1193 dan Shahih Muslim 1399]

Syeikh al-Albaani dalam (Mawsu’ah al-Albani Fil ‘Aqidah 2/507) menjelaskan tentang hadits ini dengan mengatakan:

قَالَ الحَافِظُ : "وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى اخْتِلَافِ طُرُقِهِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْأَيَّامِ بِبَعْضِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ وَفِيهِ أَنَّ النَّهْيَ عَنْ شَدِّ الرِّحَالِ لِغَيْرِ الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ لَيْسَ عَلَى التَّحْرِيمِ لِكَوْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ رَاكِبًا وَتُعُقِّبَ بِأَنَّ مَجِيئَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قُبَاءٍ ‌إِنَّمَا ‌كَانَ ‌لِمُوَاصَلَةِ ‌الْأَنْصَارِ ‌وَتَفَقُّدِ ‌حَالِهِمْ وَحَالِ مَنْ تَأَخَّرَ مِنْهُمْ عَنْ حُضُورِ الْجُمُعَةِ مَعَهُ وَهَذَا هُوَ السِّرّ فِي تَخْصِيص ذَلِك بِالسَّبْتِ".

Al-HafidIbnu Hajar (dalam al-Fath 3/69-70) berkata:

"Dalam hadits ini, meskipun jalur periwayatannya beragam, terdapat petunjuk tentang bolehnya mengkhususkan sebagian hari dengan amal saleh tertentu dan melaziminya.

Di dalamnya juga terdapat petunjuk bahwa larangan mengadakan perjalanan jauh (dengan maksud ibadah) selain ke tiga masjid tidak bersifat haram, karena Rasulullah  biasa mendatangi Masjid Quba’ dengan berkendara.

Namun hal ini ditanggapi bahwa kedatangan Rasulullah  ke Quba’ sebenarnya bertujuan untuk menyambung silaturahmi dengan kaum Anshar, memeriksa keadaan mereka, serta mengetahui kondisi orang-orang yang tidak dapat menghadiri salat Jumat bersamanya.

Inilah rahasia mengapa hal itu dikhususkan pada hari Sabtu."

Lalu Syeikh al-Albani berkata :

قُلتُ: فَعَلَى هٰذَا فَذَهَابُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَوْمَ السَّبْتِ لَمْ يَكُنْ مَقْصُودًا بِالذَّاتِ بَلْ مُرَاعَاةً لِمَصْلَحَةِ التَّفَقُّدِ الْمَذْكُورِ، وَعَلَيْهِ فَالأَيَّامُ كُلُّهَا سَوَاءٌ فِي الْفَضِيلَةِ فِي زِيَارَةِ قُبَاءَ لِعَدَمِ وُجُودِ قَصْدِ التَّخْصِيصِ، فَمَا ذَكَرَهُ القَارِي فِي «المِرْقَاةِ» «١/ ٤٤٨» عَنِ الطِّيبِيِّ أَنَّ: «الزِّيَارَةَ يَوْمَ السَّبْتِ سُنَّةٌ» لَيْسَ كَمَا يَنبَغِي.

Saya katakan : berdasarkan hal ini, maka kepergian Rasulullah  pada hari Sabtu bukanlah sesuatu yang dimaksudkan secara khusus, melainkan karena mempertimbangkan kemaslahatan untuk memeriksa keadaan yang telah disebutkan.

Oleh karena itu, semua hari memiliki kedudukan yang sama dalam keutamaan untuk mengunjungi Quba’, karena tidak adanya maksud untuk mengkhususkan hari tertentu.

Maka apa yang disebutkan oleh Al-Qari dalam *Al-Mirqat* (1/448) dari Ath-Thibi bahwa: "Mengunjungi (Masjid Quba’) pada hari Sabtu adalah sunnah," tidaklah sebagaimana mestinya.

[Lihat : Mawsu’ah al-Albani Fil ‘Aqidah 2/507 dan Jami’ at-Turots al-Albani Fil Fiqh 8/328]

Hujjah ketiga :

Seorang imam shalat dari kalangan para sahabat yang dalam shalatnya senantiasa mendawamkan baca surat al-Ikhlash di setiap selesai baca surat yang panjang, dan amalan tersebut tanpa ada contoh dari Nabi , oleh sebab itu para sahabat lainnya protes; karena menganggapnya tidak sesuai sunnah, maka terjadilah perselisihan, namun setelah perselisihan ini sampai kepada Nabi , beliau justru menbenarkan imam tersebut bahkan memuji-nya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :

أنَّ رجلًا كانَ يلزَمُ قراءةَ : قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ في الصَّلاةِ في كلِّ سورةٍ وَهوَ يؤمُّ أصحابَهُ ، فَقالَ لَهُ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّه عليهِ وعلَى آلِهِ وسلَّمَ : ما يُلزِمُكَ هذِهِ السُّورةَ ؟ قالَ : إنِّي أحبُّها . قالَ : حبُّها أدخلَكَ الجنَّةَ .

Bahwa seorang pria bermulazamah [membiasakan] membaca : " Qul Hualloohu Ahad" dalam sholat pada setiap selesai baca surat , dan dia menjadi imam shalat para sahabatnya.

Maka Rosulullah bertanya kepada nya : " Apa yang mendorongmu untuk bermulazamah membaca surat ini ? ".

Dia menjawab : " Sesungguhnya aku mencintainya ".

Lalu Beliau bersabda : " Kecintaan-mu pada nya akan memasukanmu ke dalam syurga".

[ Hadits ini di hasankan oleh al-Waadi'i dalam ash-Shahih al-Musnad no. 87].

Riwayat lain dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :

كَانَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ فَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ لَهُمْ فِي الصَّلَاةِ فَقَرَأَ بِهَا افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ بِسُورَةٍ أُخْرَى مَعَهَا وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَقْرَأُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لَا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى فَإِمَّا أَنْ تَقْرَأَ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى قَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِهَا فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَهُ أَفْضَلَهُمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ ﷺ أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا فُلَانُ مَا يَمْنَعُكَ مِمَّا يَأْمُرُ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ أَنْ تَقْرَأَ هَذِهِ السُّورَةَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ حُبَّهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ

Seorang sahabat Anshar mengimami mereka di Masjid Quba`, setiap kali mengawali untuk membaca surat (setelah al fatihah -pent) dalam shalat, ia selalu memulainya dengan membaca QUL HUWALLAHU AHAD hingga selesai, lalu ia melanjutkan dengan surat yang lain, dan ia selalu melakukannya di setiap rakaat.

Lantas para sahabatnya berbicara padanya, kata mereka : "Kamu membaca surat itu [Qulhuawwallah] lalu menurutmu itu tidak mencukupimu, hingga kamu melanjutkannya dengan surat yang lain. Bacalah surat tersebut [Qulhuwallah] ! Atau tinggalkan itu , lalu bacalah surat yang lain!."

Sahabat Anshar itu berkata : "Aku tidak akan meninggalkannya [Qulhuwallah], bila kalian ingin aku menjadi imam kalian dengan membacanya, maka aku akan melakukannya . Dan bila kalian tidak suka, maka aku akan meninggalkan kalian."

Sementara mereka menilainya sebagai orang yang paling mulia di antara mereka, maka mereka tidak ingin diimami oleh orang lain.

Saat Nabi mendatangi mereka, mereka memberitahukan masalah itu .

Lalu beliau bertanya : "Hai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan yang diperintahkan teman-temanmu dan apa yang mendorongmu membaca surat itu disetiap rakaat?"

Ia menjawab : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukainya."

Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga."

[Al-Bukhari meriwayakannya dalam Shahihnya secara mu'allaq dengan shighat Jazm (774), Dan diriwayatkan  secara maushul oleh Tirmidzi no. (2826 , 2901) , Ahmad (hadis no. 11982 dan 12054) dan al-Darimi (hadis no. 3300).

Abu Isa at-Tirmidzy berkata ;

Hadits ini hasan gharib, shahih dari jalur ini dari hadits 'Ubaidullah bin Umar dari Tsabit. [Mubarak bin Fadlalah] meriwayatkan dari [Tsabit] dari [Anas] bahwa seseorang berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukai surat ini, yaitu QUL HUWALLAAHU AHAD." Beliau bersabda: "Sesungguhnya mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga."

Hujjah keempat :

Hujjah keempat ini sama dengan hujjah ke tiga, namun tempat kejadiannya berbeda. Yaitu Taqrir Nabi terhadap seorang imam shalat yang selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan "Qul Huwallahu Ahad."

Dari Aisyah  radhiyallahu ‘anha :

أنَّ النبيَّ ﷺ بَعَثَ رَجُلًا علَى سَرِيَّةٍ، وكانَ يَقْرَأُ لأصْحَابِهِ في صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بقُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذلكَ للنبيِّ ﷺ، فَقالَ: سَلُوهُ لأيِّ شيءٍ يَصْنَعُ ذلكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقالَ : لأنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وأَنَا أُحِبُّ أنْ أقْرَأَ بهَا، فَقالَ النبيُّ ﷺ: أخْبِرُوهُ أنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ.

"Bahwa Rasulullah mengutus seorang lelaki dalam suatu sariyyah (pasukan khusus yang ditugaskan untuk operasi tertentu). Laki-laki tersebut ketika menjadi imam shalat bagi para sahabatnya selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan "Qul Huwallahu Ahad."

Ketika mereka pulang, disampaikan berita tersebut kepada Rasulullah , maka beliau bersabda: "Tanyakanlah kepadanya kenapa ia melakukan hal itu?"

Lalu merekapun menanyakan kepadanya. Ia menjawab, "Karena didalamnya terdapat sifat Ar Rahman, dan aku senang untuk selalu membacanya."

Mendengar itu Rasulullah bersabda: "Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta'ala juga mencintainya." (HR. Bukhori no. 7375 dan Muslim no. 813).

Hujjah ke lima :

Atsar Utsman bin 'Affaan radhiyallahu ‘anhu : di setiap hari Jum'at beliau senantiasa bersedekah memerdekakan hamba sahaya.

Utsman bin Affan - semoga Allah meridhoinya – berkata :

وَلَا مَرَّتْ بِي جُمُعَةٌ إِلَّا وَأَنَا أُعْتِقُ رَقَبَةً مُذْ أَسْلَمْتُ، إِلَّا أَنْ لَا أَجِدَ فِي تِلْكَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ أُعْتِقُ لِتِلْكَ الْجُمُعَةِ بَعْدُ."

Tidak ada satu Jum’at kecuali aku memerdekakan hamba sejak aku memeluk islam kecuali jika aku tidak mendapatinya [hamba] pada Jum’at tersebut maka aku akan memerdekakannya pada Jum’at berikutnya .

[ Di Riwayatkan oleh Ibnu Syabbah An-Numairi dalam “Tarikh al-Madinah” (4/1156) dan al-Fasawi dalam “Al-Ma`rifah wa al-Tarikh” (2/488).

DERAJAT ATSAR :

SANAD-nya Jayyid [baik].

Sebagaiaman disebutkan dalam “مَجْمُوعَةُ الرَّسَائِلِ الْحَدِيثِيَّةِ” oleh Ali Ridho (hal. 659).

Dan juga dishahihkan oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam “نُزْهَةُ الْأَسْمَاعِ” (hal. 8) dan dia berkata: “Telah Shahih dari Utsman – semoga Allah meridhoinya – bahwa dia berkata:

" مَا تَغَنَّيْتُ، وَلَا تَمَنَّيْتُ".

“Aku tidak pernah bernyanyi dan aku tidak berangan-angan ”.

====

BANTAHAN DARI PENDAPAT YANG MENGHUKUMI HARAM DAN BID’AH:

Bantahan dari kelompok yang berpendapat bahwa mengucapkan “shodaqolloohul ‘adziim” adalah bid’ah sesat dan diharamkan.

Bantahan terhadap dalil pertama:

Yaitu Ayat :

﴿قُلْ صَدَقَ اللَّهُ ۗ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾

“Katakanlah: Maha benar Allah (shadaqallaah), maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan dia bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” [Al Imran: 95]

Bahwa ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya:

﴿كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (93) فَمَنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ مِن بَعْدِ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (94) ﴾

“Semua makanan dulunya halal bagi Bani Israil, kecuali yang diharamkan Israil atas dirinya sendiri sebelum diturunkannya Taurat. Katakanlah: Bawalah Taurat dan bacalah jika kalian orang-orang yang benar (93). Maka barang siapa mengada-adakan kebohongan atas Allah setelah itu, maka mereka itulah orang-orang zalim (94).” [Al Imran: 93-94]

Bahwa orang-orang Yahudi mengharamkan makanan atas diri mereka sendiri, lalu Allah mendustakan mereka, dan bahwa ayat “shadaqa Allah” adalah sebagai penegasan atas kebenaran firman-Nya, bukan berhubungan dengan pembacaan Al-Qur'an, jadi ini adalah pemaksaan makna dalil agar sesuai dengan pendapat.

Bantahan terhadap dalil kedua dan ketiga:

Dua ayat (87 dan 122) dari surah An-Nisa, dalam tafsir disebutkan bahwa keduanya adalah penegasan bahwa tidak ada yang lebih benar perkataannya daripada Allah, dan tidak butuh pada pembenaran lisan setelah membacanya.

Bantahan terhadap dalil keempat:

Hadits Nabi yang telah disebutkan tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk mengucapkan “shodaqolloohul ‘adziim”, karena beberapa hal:

Bahwa ucapan Nabi tersebut berasal dari keyakinan akan kebenaran informasi dari Allah. Menurut riwayat perawi hadits, Nabi turun dari mimbar untuk menggendong Hasan dan Husain, dan ini tidak bisa dijadikan dalil wajibnya mengucapkan “shodaqolloohul ‘adziim” setelah membaca Al-Qur'an.

Bahwa beliau menyebutkan ayat itu sebagai dalil, tidak membaca dengan ta’awudz, dan tidak membacanya dengan tartil.

Bahwa dalam hadits tersebut ucapan Nabi “shadaqallah” diucapkan sebelum ayat dan bukan sesudahnya, berbeda dengan apa yang diyakini oleh kelompok pertama.

JAWABAN TERHADAP BANTAHAN DIATAS:

Syekh Ahmad Mamduh, Sekretaris Fatwa di Dar Al-Ifta Mesir, dalam jawabannya kepada penanya mengatakan:

لَدَيْنَا قَاعِدَةٌ تَقُولُ: "ٱلْمُطْلَقُ يَجْرِي عَلَىٰ إِطْلَاقِهِ حَتَّىٰ يَأْتِيَ مَا يُقَيِّدُهُ"، فَٱلشَّرْعُ حِينَما يَطْلُبُ شَيْئًا مُطْلَقًا لَا يَنْبَغِي عَلَيْنَا أَنْ نُقَيِّدَهُ مَا لَمْ يَأْتِ تَقْيِيدُهُ، فَٱللَّهُ تَعَالَىٰ يَقُولُ: "قُلْ صَدَقَ ٱللَّهُ"، وَهَذِهِ ٱلآيَةُ لَمْ تُبَيِّنْ هَيْئَةً مُعَيَّنَةً أَوْ وَقْتًا مُحَدَّدًا دُونَ وَقْتٍ، وَفِيهَا أَمْرٌ مُطْلَقٌ فِي أَيِّ وَقْتٍ أَوْ حَالَةٍ أَوْ كَيْفِيَّةٍ وَٱمْتِثَالٌ مَشْرُوعٌ لِأَوَامِرِ ٱللَّهِ تَعَالَىٰ إِلَّا فِي وُجُودِ نَصٍّ يَنْهَىٰ عَنِ ٱلْقَوْلِ، وَفِي هَذِهِ ٱلْحَالَةِ نَمْتَنِعُ.

Artinya :

Kami memiliki kaidah yang menyatakan :

“Suatu yang bersifat mutlak berlaku secara mutlak sampai ada dalil yang membatasinya.”

Maka, ketika syariat memerintahkan sesuatu secara mutlak, tidak sepantasnya kita membatasinya kecuali jika ada dalil yang membatasi. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: Maha Benar (apa yang difirmankan) Allah (shodaqollaah).

Dan ayat ini tidak menjelaskan tata cara tertentu atau waktu tertentu, melainkan perintah ini bersifat mutlak, dapat dilakukan kapan saja, dalam keadaan apa saja, dan dengan cara apa saja. Maka, ini adalah pelaksanaan perintah Allah yang bersifat syar'i kecuali jika ada dalil yang melarangnya, maka dalam hal itu kita menahan diri.

Mamduh juga menegaskan bahwa sabda Nabi : “اِقْرَؤُوا الْقُرْآنَ / Bacalah Al-Qur’an” adalah perintah yang bersifat mutlak dari Nabi dan tidak ada batasannya, kecuali jika ada dalil yang melarang membaca Al-Qur’an dalam keadaan junub, maka dalam kondisi seperti itu membaca menjadi terlarang.

Ia menekankan bahwa ucapan “Shadaqallahul 'Azhim” setelah selesai membaca Al-Qur’an adalah hal yang disyariatkan, dan konteksnya sangat kuat karena menunjukkan bahwa seseorang memperbarui imannya kepada Allah dan membenarkan bahwa itu adalah kalam-Nya yang diturunkan kepada Nabi yang mulia.

Ini merupakan perkara yang disyariatkan berdasarkan dalil Al-Qur’an yang bersifat mutlak, serta tradisi membaca Al-Qur’an yang telah dilakukan dari generasi ke generasi, yang kedudukannya seperti ijma'.

Sementara Sheikh ‘Uwaidhah ‘Utsmān, Sekretaris Fatwa di Dar al-Iftā, mengatakan :

إِنَّ قَوْلَ "صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ، لَا يُوجَدُ فِيهَا بِدْعَةٌ وَهِيَ جُزْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ، لِأَنَّ بِقَوْلِهَا تُصَدِّقُ مَا قَرَأْتَهُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ. 

“Sesungguhnya ucapan "shadaqallāhul ‘azhīm" tidak mengandung bid‘ah dan merupakan bagian dari Al-Qur'an, karena dengan mengucapkannya seseorang membenarkan apa yang telah ia baca dari Kitab Allah”.

Dan Syeikh ‘Uwaidhah juga berkata :

يَجُوزُ لِلْقَارِئِ أَنْ يَقُولَ بَعْدَ تِلَاوَتِهِ: "صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ"، يَقْصِدُ بِذَلِكَ الثَّنَاءَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا أَثْنَى بِهِ عَلَى نَفْسِهِ حِينَ قَالَ سُبْحَانَهُ: {قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ}

Boleh bagi pembaca untuk mengucapkan "shadaqallāhul ‘azhīm" setelah membaca Al-Qur'an, yang dimaksudkan sebagai pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas apa yang Dia puji tentang diri-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya: **"Katakanlah: Benar (apa yang difirmankan) Allah, maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik."** (Ali Imran/95).

Lalu Beliau menjelaskan :

إنَّ الثَّنَاءَ عَلَى اللَّهِ جَائِزٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَكُلِّ حِينٍ، وَلَيْسَ فِي الإِتِيَانِ بِهِ عَقِبَ التِّلَاوَةِ بِدْعَةٌ وَلَا مُخَالَفَةٌ لِلشَّرِيعَةِ، بَلْ فِيهِ تَعْظِيمٌ لِلْقُرْآنِ وَتَأَدُّبٌ مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَيْسَتْ بِبِدْعَةٍ وَإِنَّمَا مَنْ يَقُولُونَ بِدْعَةٍ هُمْ ٱلْمُبْتَدِعُونَ.

Memuji Allah itu diperbolehkan kapan saja, dan tidak ada bid‘ah atau pelanggaran syariat dalam mengucapkannya setelah membaca Al-Qur'an, malah hal tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap Al-Qur'an dan adab terhadap Allah Azza wa Jalla. Ucapan tersebut bukan bid‘ah, melainkan mereka yang menganggapnya bid‘ah adalah orang-orang yang berbuat bid‘ah.

*****

PENDAPAT KEDUA : 
YANG MENGHARAMKAN DAN MENGHUKUMI-NYA SEBAGAI BID’AH SESAT :

Syeikh Bin Baz – rahimahullah – berkata:

اِعْتِيَادُ الْكَثِيرِ مِنَ النَّاسِ أَنْ يَقُولُوا: صَدَقَ اللهُ الْعَظِيمُ عِنْدَ الانْتِهَاءِ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَهَذَا لَا أَصْلَ لَهُ، وَلَا يَنْبَغِي اعْتِيَادُهُ بَلْ هُوَ عَلَى الْقَاعِدَةِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ قَبِيلِ الْبِدَعِ إِذَا اعْتَقَدَ قَائِلُهُ أَنَّهُ سُنَّةٌ، فَيَنْبَغِي تَرْكُ ذَلِكَ وَأَنْ لَا يَعْتَادَهُ لِعَدَمِ الدَّلِيلِ.

وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَلَيْسَ فِي هَذَا الشَّأْنِ، وَإِنَّمَا أَمَرَهُ اللهُ أَنْ يُبَيِّنَ لَهُمْ صِدْقَ اللهِ فِيمَا بَيَّنَهُ فِي كُتُبِهِ الْعَظِيمَةِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَغَيْرِهَا، وَأَنَّهُ صَادِقٌ فِيمَا بَيَّنَهُ لِعِبَادِهِ فِي كِتَابِهِ الْعَظِيمِ الْقُرْآنِ، وَلَكِنْ لَيْسَ هَذَا دَلِيلًا عَلَى أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ بَعْدَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ بَعْدَ قِرَاءَةِ آيَاتٍ أَوْ قِرَاءَةِ سُورَةٍ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ ثَابِتًا وَلَا مَعْرُوفًا عَنِ النَّبِيِّ ﷺ وَلَا عَنْ صَحَابَتِهِ رَضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ .....

وَالْمَقْصُودُ أَنَّ خَتْمَ الْقُرْآنِ بِقَوْلِ الْقَارِئِ صَدَقَ اللهُ الْعَظِيمُ لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرْعِ الْمُطَهَّرِ، أَمَّا إِذَا فَعَلَهَا الإِنْسَانُ بَعْضَ الأَحْيَانِ لِأَسْبَابٍ اقْتَضَتْ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ.

"Kebiasaan banyak orang yang mengatakan 'Shadaqallahul 'Azhim' setelah selesai membaca Al-Qur'an tidak memiliki dasar, dan seharusnya tidak dibiasakan. Hal ini sesuai dengan kaidah syar'i sebagai bagian dari bid'ah jika orang yang mengatakannya meyakini bahwa itu adalah sunnah. Oleh karena itu, sebaiknya ditinggalkan dan tidak dibiasakan karena tidak ada dalil yang mendasarinya.

Adapun firman Allah Ta'ala: {قُلْ صَدَقَ اللَّهُ} (Katakanlah, 'Shadaqallah'), maka itu bukan berkaitan dengan masalah ini. Allah memerintahkan Nabi untuk menjelaskan kepada mereka kebenaran Allah yang terdapat dalam kitab-kitab-Nya yang mulia, seperti Taurat dan kitab lainnya, serta bahwa Allah itu benar dalam apa yang disampaikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam kitab-Nya yang agung, Al-Qur'an.

Namun, ini bukanlah dalil yang menunjukkan bahwa disunnahkan untuk mengucapkan itu setelah membaca Al-Qur'an, membaca ayat, atau membaca surah, karena hal tersebut tidak pernah dikenal atau diriwayatkan dari Nabi maupun para sahabatnya radhiyallahu 'anhum......

Intinya, mengakhiri bacaan Al-Qur'an dengan ucapan 'Shadaqallahul 'Azhim' tidak memiliki dasar dalam syariat yang murni. Namun, jika seseorang mengucapkannya sesekali karena alasan tertentu, maka tidak mengapa."

[Sumber : Majmū’ Fatāwā wa Maqālāt Syaikh Ibnu Bāz, jilid 7, halaman 333]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah :

Sebagaimana Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata dalam masalah ini:

خَتْمُ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ بِقَوْلِ: صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ ـ بِدْعَةٌ، وَذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَخْتِمُونَ قِرَاءَتَهُمْ بِقَوْلِ: صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوا بِهَا، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

فَعَلَى هَذَا، يَنْبَغِي لِلْقَارِئِ إِذَا انْتَهَى مِنْ قِرَاءَتِهِ أَنْ يُنْهِيَهَا بِآخِرِ آيَةٍ يَتْلُوهَا، بِدُونِ أَنْ يُضِيفَ إِلَيْهَا شَيْئًا.

“Menutup bacaan Al-Qur'an dengan ucapan “Shodaqolloohul ‘adziim” adalah bid'ah, karena hal itu tidak pernah dinukil dari Nabi dan tidak pula dari para sahabatnya bahwa mereka menutup bacaan mereka dengan ucapan “Shodaqolloohul ‘adziim”.

Telah ada ketetapan dari Nabi bahwa beliau bersabda:

"Berpeganglah kalian dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk sepeninggalku, peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham. Hati-hatilah terhadap perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap perkara baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan."

Maka dari itu, seharusnya bagi orang yang membaca Al-Qur’an, jika ia telah selesai dari bacaannya, cukup mengakhiri dengan ayat terakhir yang dibacanya tanpa menambahkan sesuatu pun.  (Sumber : Fatāwā Nūr ‘alā ad-Darb)

Syeikh Bakr Abu Zaid :

Dan Dr. Bakr Abu Zaid — rahimahullah — berkata dalam kitabnya *Bid’ul Qurrā (bid’ah para qoori)*:

بِدَعُ ٱلْقُرَّاءِ: وَأَمَّا ٱلْتِزَامُ قَوْلِ: صَدَقَ ٱللَّهُ ٱلْعَظِيمُ ـ بَعْدَ قِرَاءَةِ ٱلْقُرْآنِ ٱلْعَظِيمِ، فَقَدْ قَالَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ: قُلْ صَدَقَ ٱللَّهُ فَٱتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا.

وَقَالَ سُبْحَانَهُ: وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا.

وَقَالَ سُبْحَانَهُ: وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ قِيلًا.

وَمَعَ هَذَا، فَلَيْسَ فِي هَذَا ٱلذِّكْرِ شَيْءٌ يُؤَثَّرُ، وَمَا ذَكَرَهُ بَعْضُ ٱلْمُعَاصِرِينَ مِنْ أَنَّ فِي ٱلْجَامِعِ لِشُعَبِ ٱلْإِيمَانِ لِلْبَيْهَقِيِّ مَا يَدُلُّ عَلَىٰ ذَٰلِكَ، فَهُوَ وَهْمٌ، وَلَمْ نَرَ مَنْ ذَكَرَهُ مَشْرُوعًا مِنَ ٱلْعُلَمَاءِ ٱلْمُعْتَبَرِينَ، وَلَا ٱلْأَئِمَّةِ ٱلْمَشْهُورِينَ، وَبِهَذَا فَٱلْتِزَامُ هَذَا ٱلذِّكْرِ: صَدَقَ ٱللَّهُ ٱلْعَظِيمُ بَعْدَ قِرَاءَةِ ٱلْقُرْآنِ ـ ٱلْتِزَامٌ مُخْتَرَعٌ لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ، فَهُوَ مُحْدَثٌ، وَكُلُّ مُحْدَثٍ فِي ٱلتَّعْبِيرَاتِ فَهُوَ بِدْعَةٌ.

“Adapun komitmen mengucapkan: *Shadaqallāhul ‘Azhīm* setelah membaca Al-Qur’an yang agung, maka sungguh Allah Ta'ala telah berfirman: *Katakanlah: Allah telah benar, maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus.*

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman: *Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?*

Dan Dia berfirman: *Dan siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allah?*

Meski demikian, tidak ada dalam zikir tersebut sesuatu yang bersumber (dari dalil), dan apa yang disebutkan sebagian ulama kontemporer bahwa dalam *Al-Jāmi’ li Syu’abil Īmān* karya Al-Baihaqi terdapat petunjuk akan hal itu, maka itu adalah kekeliruan. Kami tidak melihat adanya seorang pun dari kalangan ulama yang terpercaya, ataupun para imam yang masyhur, yang menyatakan bahwa itu adalah hal yang disyariatkan.

Dengan demikian, komitmen mengucapkan zikir *Shadaqallāhul ‘Azhīm* setelah membaca Al-Qur’an adalah komitmen yang diada-adakan dan tidak memiliki dalil, maka ia termasuk sesuatu yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan dalam bentuk ungkapan (ibadah) adalah bid’ah.

Dan dalam *Mu‘jam al-Manāhī al-Lafzhiyyah*, Bakr Abu Zaid beliau berkata:

وَقَوْلُ ٱلْقَآئِلِ: صَدَقَ ٱللَّهُ ٱلْعَظِيمُ ـ ذِكْرٌ مُطْلَقٌ، فَتَقْيِيدُهُ بِزَمَانٍ أَوْ مَكَانٍ، أَوْ حَالٍ مِّنَ ٱلْأَحْوَالِ، لَا بُدَّ لَهُۥ مِنْ دَلِيلٍ، إِذْ ٱلْأَذْكَارُ ٱلْمُقَيَّدَةُ لَا تَكُونُ إِلَّا بِدَلِيلٍ، وَعَلَيْهِ، فَإِنَّ ٱلتِّزَامَ هَٰذِهِۦ بَعْدَ قِرَاءَةِ ٱلْقُرْءَانِ، لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ، فَيَكُونُ غَيْرَ مَشْرُوعٍ، وَٱلتَّعَبُّدُ بِمَا لَمْ يُشَرَّعْ مِنَ ٱلْبِدَعِ، فَٱلتِّزَامُهَا ـ وَٱلْحَالُ هَٰذِهِۦ ـ بِدْعَةٌ.

Ucapan seseorang: *Shadaqallāhul ‘Azhīm* adalah zikir yang bersifat mutlak. Maka membatasinya dengan waktu, tempat, atau keadaan tertentu haruslah disertai dengan dalil. Karena zikir-zikir yang dibatasi (dengan syarat tertentu) tidak boleh kecuali dengan dalil.

Berdasarkan hal ini, maka komitmen mengucapkannya setelah membaca Al-Qur’an tidak memiliki dalil, sehingga tidak disyariatkan. Beribadah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan termasuk bid’ah. Maka komitmen terhadap zikir ini — dalam kondisi seperti ini — adalah bid’ah.

====

DALIL PENDAPAT KEDUA : 
YANG MENGHARAMKAN DAN MENGHUKUMI-NYA BID’AH SESAT :

Dalil-Dalil Pendukung Pendapat bahwa Mengucapkan "Shadaqallahul 'Azhim" adalah Bid'ah Sesat dan Haram :

Selain membantah pendapat kelompok pertama yang mengatakan bahwa mengucapkan "Shadaqallahul 'Azhim" itu diperbolehkan, mereka juga menambahkan dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban untuk tidak mengucapkan "Shadaqallahul 'Azhim" setelah tasyahhud, di antaranya adalah sbb :

Dari Fatimah binti Rasulullah , ia berkata bahwa Nabi bersabda kepadanya:

«إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ يُعَارِضُنِي القُرْآنَ كُلَّ سَنَةٍ مَرَّةً، ‌وَإِنَّهُ ‌عَارَضَنِي ‌العَامَ ‌مَرَّتَيْنِ، وَلَا أُرَاهُ إِلَّا حَضَرَ أَجَلِي، وَإِنَّكِ أَوَّلُ أَهْلِ بَيْتِي لَحَاقًا بِي». فَبَكَيْتُ، فَقَالَ: «أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ تَكُونِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ أَهْلِ الجَنَّةِ، أَوْ نِسَاءِ المُؤْمِنِينَ» فَضَحِكْتُ لِذَلِكَ

"Sesungguhnya Jibril biasa mengajarkanku Al-Qur'an setiap tahun sekali, dan tahun ini ia mengajarkanku dua kali, dan aku tidak melihatnya kecuali bahwa ajalku sudah dekat, dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku." Maka aku pun menangis, lalu beliau berkata: "Apakah engkau tidak senang jika engkau menjadi penghulu wanita-wanita penghuni surga, atau penghulu wanita-wanita orang beriman?" Maka aku pun tertawa karena hal itu. [HR. Bukhori no. 3624]

Ini menunjukkan bahwa Jibril 'alayhissalam selalu tadarus Al-Qur'an dengan Rasulullah secara rutin, namun tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan Rasulullah mengatakan "Shadaqallahul 'Azhim".

Para sahabat Rasulullah juga membaca Al-Qur'an di hadapan beliau, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengucapkan "Shadaqallahul 'Azhim".

Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata:

"قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْرَأْ عَلَيَّ» قُلْتُ: ‌آقْرَأُ ‌عَلَيْكَ ‌وَعَلَيْكَ ‌أُنْزِلَ؟ قَالَ: «فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي» فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى بَلَغْتُ: ﴿فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا﴾ [النساء: 41] قَالَ: «أَمْسِكْ» فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ".

"Rasulullah berkata kepadaku: Bacakanlah Al-Qur'an kepadaku. Aku berkata: 'Apakah aku akan membacakannya kepadamu padahal Al-Qur'an diturunkan kepadamu?' Beliau berkata: 'Aku ingin mendengarnya dari orang lain.' Maka aku pun membacakan Surah An-Nisa hingga sampai pada ayat: 'Fakayfa idha ji'na min kulli ummatin bi syahid' dan 'Wa ji'na bika 'ala ha'ula'i syahid.' Lalu beliau berkata: 'Cukup' atau 'Berhentilah!' Maka aku melihat mata beliau mengalirkan air mata." (Bukhari 5050, Muslim 800).

Rasulullah mengatakan "Cukup" atau "Berhentilah", namun beliau tidak mengatakan "Shadaqallahul 'Azhim".

Berarti sunnah nya setelah baca al-Qur’an itu adalah kedua matanya menetaskan air mata.

===***===

ORANG YANG PALING DZALIM ADALAH YANG MUDAH MEMVONIS HARAM & SESAT

Dosa seseorang yang paling besar adalah mudah menghukumi haram. Maka berhati-hati dan berwaspada lah bagi orang mudah memfatwakan hukum haram, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Sa’d ibnu Abi Waqaash: bahwa Nabi berkata:

{ إِنَّ أَعْظَمَ المُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ }

Sesungguhnya (seseorang dari) kaum Muslim yang paling besar dosanya adalah yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut diharamkan karena pertanyaannya. (HR. Bukhory no. 6745)

Dalam hadits Salman al-Farisy , bahwa Nabi bersabda:

مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَافِيَةٌ، فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ الْعَافِيَةَ، فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ نَسِيًّا، ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الآية:…..

“Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, maka itulah yang halal dan apa yang diharamkan-Nya, maka itulah yang haram.

Sedangkan apa yang didiamkan-Nya, maka itu adalah yang dima’afkan maka terimalah pema’afan dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa.

Kemudian beliau membaca ayat, “Dan tidaklah tuhanmu lupa.” (Maryam: 64).( Hadits riwayat Al-Hakim, 2/375, dihasankan oleh Al-Albani dalam Ghaayatul Maraam, hal 14.)

Dan dari Abu Tsa‘labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah , beliau bersabda: 

( إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلا تُضَيِّعُوهَا ، وَحَدَّ حُدُودًا فَلا تَعتدُوهَا ، وَحَرَّمَ أَشيَاءَ فَلا تَنتَهِكُوهَا ، وَسَكَتَ عَن أَشيَاءَ رَحمَةً لَكم مِن غَيرِ نِسيانٍ فَلا تَبحَثُوا عَنهَا )

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kalian sia-siakan; dan Dia telah menetapkan batasan-batasan, maka jangan kalian langgar; dan Dia telah mengharamkan beberapa perkara, maka jangan kalian langgar; dan Dia diam dari beberapa hal sebagai bentuk rahmat bagi kalian tanpa lupa, maka jangan kalian mencari-cari hukum tentangnya."

An-Nawawi menyatakan hadits Abu Tsa‘labah ini hasan sebagaimana dalam *Al-Adzkar* (hal. 505), dan Ibnu Al-Qayyim menshahihkannya dalam *I‘lam Al-Muwaqqi‘in* (1/221), demikian pula Ibnu Katsir dalam *Tafsir*-nya (1/405).

Al-Albani berkata dalam *Tahqiq Al-Iman* karya Ibnu Taimiyah (hal. 43): *hasan* dengan penguatnya.

Al-Albani juga menyatakan hadits Salman Al-Farisi dalam *Shahih At-Tirmidzi* (1726) sebagai *shahih mauquf*, dan mengatakan dalam *Mishkat Al-Mashabih* (4156): *bisa ditingkatkan menjadi hasan* dengan penguatnya yang marfu‘.

Namun sebagian ulama lain berpendapat bahwa kelemahan parah yang terdapat dalam jalur-jalur hadits ini menghalangi untuk menguatkannya dengan jalur-jalur lainnya. Hadits Abu Darda’ memiliki kejanggalan (inqitha’) yang jelas dan nyata; hadits Salman Al-Farisi, marfu‘-nya adalah kekeliruan yang mungkar; dan hadits Abu Tsa‘labah juga terputus (munqathi‘) serta diperselisihkan apakah marfu‘ atau tidak.

Namun, atsar ini memang shahih dari perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3800). Ibnu Katsir dalam *Irsyad Al-Faqih* (1/367) berkata: *Sanadnya shahih.* 

Dan Al-Albani menshahihkannya dalam *Shahih Abu Dawud* dan *Mishkat Al-Mashabih* (4074).

Imam Malik, semoga Allah merahmatinya, berkata:

لَمْ يَكُنْ أَسْلَافُنَا يَقُولُونَ: هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ، مَا كَانُوا يَجْتَرِئُونَ عَلَى ذَلِكَ، وَإِنَّمَا كَانُوا يَقُولُونَ: نَكْرَهُ هَذَا، وَنَرَى هَذَا حَسَنًا، وَنَتَّقِي هَذَا، وَلَا نَرَى هَذَا، فَاللهُ تَعَالَى يَقُولُ:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ [يُونُس: ٥٩]

ٱلْحَلَالُ مَا أَحَلَّ ٱللَّهُ، وَٱلْحَرَامُ مَا حَرَّمَهُ ٱللَّهُ.

Para Salaf kami tidak berani mengatakan: Ini halal dan ini haram. Mereka tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu, akan tetapi mereka biasa mengatakan : " Kami membenci ini,  kami menganggap ini adalah baik, kami takut akan ini, dan kami tidak berpendapat ini. Karena Allah SWT berfirman :

{قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ}

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kalian, lalu kalian jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal."

Katakanlah, "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan itu) atau kalian mengada-adakan kebohongan saja terhadap Allah?" (QS Yunus : 59).

Yang Halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah, dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah.”

( Baca :  " جامع بيان العلم وفضله " dan " إعلام الموقعين "    [38/1]).

Dan Firman Allah SWT:

{قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS al-An'am (6):145]

Dan Firman Allah SWT:

{قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ}

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui". [QS al-A'rāf: 32]

Dan Allah SWT menceritakan tentang asal usul makanan haram Bani Israil, sebagaimana dalam firman-Nya :

﴿۞ كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ ۗ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ﴾

Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar". [Al Imran: 93]

*TAFSIR AYAT :*

Dalam *Tafsir al-Mukhtashar* disebutkan :.

“Dahulu, semua makanan yang baik adalah halal bagi Bani Israil.

Tidak ada makanan yang diharamkan kecuali yang diharamkan oleh Ya’qūb ( Israil ) atas dirinya sendiri sebelum kitab Taurat diturunkan, tidak seperti anggapan orang-orang Yahudi yang mengklaim bahwa pengharaman itu terdapat di dalam Kitab Taurat.

Maka Allah SWT berfirman : “Katakanlah -wahai Nabi- kepada mereka, “Datangkanlah kitab Taurat dan bacalah, jika kalian benar terkait klaim kalian itu.”

Mereka semua bungkam dan tidak mau mendatangkan Taurat.

Ini adalah contoh yang menunjukkan kebohongan yang dibuat oleh orang-orang Yahudi atas nama Taurat dan bagaimana mereka melakukan perubahan terhadap isi kandungan kitab Taurat.

Dan dalam *Tafsir al-Wajiz* dikatakan :

“Pada ayat ini Allah menjelaskan makanan yang halal atau haram bagi Bani Israil.

Semua makanan itu pada dasarnya halal bagi Bani Israil sebagaimana halal juga bagi selain mereka, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil ( Yakub ) atas dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan dalam rangka meraih kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah.

Makanan tersebut adalah daging dan susu unta.

Ada satu riwayat menyebutkan bahwa Nabi Yakub pernah sakit dan bernazar kalau Allah memberinya kesembuhan, maka dia tidak akan makan daging unta dan tidak minum susunya, meskipun kedua makanan tersebut halal dan sangat disukainya.

Pengharaman Nabi Yakub atas kedua jenis makanan tersebut lalu diikuti oleh anak keturunannya.

Dan ada pula beberapa makanan yang mereka haramkan atas diri mereka setelah turunnya Taurat, maka Allah SWT menetapkan keharaman beberapa makanan tersebut bagi mereka sebagai hukuman atas pelanggaran yang mereka lakukan ( Lihat: Surah an-Nisa’/4: 160 dan al-Anam/6: 146 ), akan tetapi kaum Yahudi membuat kebohongan dengan mengatakan bahwa ada makanan yang diharamkan Allah untuk mereka sebelum Kitab Taurat diturunkan.

Oleh karena itu Allah menjawab, “Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, jika kamu berkata demikian, maka bawalah Taurat lalu bacalah, dan tunjukkan kepada kami keterangan Taurat tentang pengharaman makanan itu jika kamu orang-orang yang benar.”

Ternyata tidak seorang pun di antara mereka mampu menunjukkkan ayat Taurat yang mendukung kebohongan mereka. [Tafsir al-Wajiz].


 

 


Posting Komentar

0 Komentar