Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

KEISTIMEWAAN BULAN SYAWAL DAN AMALAN-AMALAN UTAMA DI DALAM-NYA

KEISTIMEWAAN BULAN SYAWAL DAN AMALAN-AMALAN UTAMA DI DALAM-NYA

===

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

===

===

DAFTAR ISI :

  • SEBAB PENAMAAN BULAN SYAWAL DENGAN NAMA INI
  • SYAWAL BUKAN BULAN SIAL
  • BULAN SYAWAL DIPENUHI DENGAN PERISTIWA-PERISTIWA BESAR DALAM KEHIDUPAN NABI KITA :
  • AMALAN-AMALAN UTAMA DI BULAN SYAWAL
  • AMALAN BID’AH DIBULAN SYAWAL
  • PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL BOLEH DILAKUKAN SECARA BERURUTAN ATAU TERPISAH, SAMA SAJA

===

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

SEBAB PENAMAAN BULAN SYAWAL DENGAN NAMA INI

Ada banyak pendapat tentang penamaan bulan Syawal dengan nama ini, di antaranya: 

"إِنَّ الْإِبِلَ كَانَتْ تَشُولُ بِأَذْنَابِهَا أَيْ تَرْفَعُهَا وَقْتَ التَّسْمِيَةِ طَلَبًا لِلْإِخْصَابِ". 

"Sesungguhnya unta-unta mengangkat ekornya, yalni; menaikkannya pada waktu penamaan tersebut untuk mendapatkan kesuburan." 

Dan juga dikatakan:

"لِتَشْوِيلِ أَلْبَانِ الْإِبِلِ، أَيْ نُقْصَانِهَا وَجَفَافِهَا".

"Karena berkurangnya susu unta, yakni; susunya menyusut dan mengering."

Apa nama hari pertama dari bulan Syawal? 

Itu adalah hari raya Idul-Fitri yang penuh berkah, di mana kaum Muslimin berbuka puasa sebagai bentuk perayaan atas selesainya puasa di bulan Ramadan yang mulia. Hari itu dilarang berpuasa, karena merupakan hari raya bagi kaum Muslimin.

Mengapa bulan Syawal terasa panjang? 

Sebagian orang mengira bahwa bulan Syawal adalah bulan yang panjang, dan hal itu disebabkan karena datangnya langsung setelah bulan Ramadan yang mulia. Namun perasaan ini berbeda-beda tergantung setiap orang, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan bulan Syawal itu sendiri.


===****===

SYAWAL BUKAN BULAN SIAL

Pada masa jahiliah, bulan Syawal disebut dengan nama "Waghl (وَاغَل)", kemudian setelah itu nama “Syawal” dipilih sebagai gantinya, setelah suku-suku Arab berkumpul dan memilih nama untuk setiap bulan dari bulan-bulan Hijriah.

Orang-orang Arab pada masa jahiliah meyakini bahwa bulan Syawal adalah bulan yang membawa kesialan bagi mereka. Karena itu, mereka tidak menikah di bulan tersebut, dengan anggapan bahwa pernikahan di bulan Syawal tidak akan membawa kebahagian dan kesuksesan. Padahal, Nabi melarang sikap pesimis/ berprasangka sial (tasya’um).

Dari Anas radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda:

لا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ، ويُعْجِبُنِي الفَأْلُ الصَّالِحُ: الكَلِمَةُ الحَسَنَةُ.

"Tidak ada penularan tanpa izin Allah dan tidak ada kesialan (dari burung atau waktu tertentu), dan aku menyukai optimisme yang baik: yaitu ucapan yang baik." [HR. Bukhory no. 5756 dan Muslim no. 2224]

Lafadz lain :

لا عَدوى ولا طِيَرةَ وأُحِبُّ الفألَ ، قالوا يا رَسولَ اللَّهِ : وما الفَألُ ؟ قالَ : الكلِمةُ الطَّيِّبةُ

"Tidak ada penularan tanpa izin Allah dan tidak ada kesialan, dan aku menyukai optimisme (fa’l)."

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu fa’l?” 

Beliau menjawab: “Ucapan yang baik.” [HR. Tirmidzy no. 1615. Di shahihkan oleh al-Albaani]

Dan Nabi menikah dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di bulan Syawal. Dan beliau mulai membangun rumah dengan nya di bulan Syawal juga.

===***===

BULAN SYAWAL DIPENUHI DENGAN PERISTIWA-PERISTIWA BESAR DALAM KEHIDUPAN NABI KITA :

1] - Pada bulan Syawal tahun pertama hijriah: terjadi ekspedisi militer 'Ubaidah bin Al-Harits bin Abdul Muththalib ke daerah Bathn Rabigh

2] - Pada bulan ini pula lahir anak pertama dari kaum Muhajirin di Madinah, yaitu Abdullah bin Az-Zubair.

3] - Pada bulan ini juga Rasulullah menikahi Aisyah radhiyallahu 'anha.

4] - Pada bulan Syawal tahun kedua hijriah: terjadi Perang Bani Sulaym dan Perang Bani Qaynuqa', dan juga terjadi persekongkolan mereka untuk membunuh Nabi yang dirancang oleh Umair bin Wahb dan Shafwan bin Umayyah.

5] - Pada bulan Syawal tahun ketiga hijriah: terjadi Perang Uhud dan Perang Hamra’ul Asad.

6] - Pada bulan Syawal tahun kelima hijriah: terjadi Perang Khandaq.

7] - Pada bulan Syawal tahun kedelapan hijriah: terjadi Perang Hunain.

8] - Pada bulan Syawal tahun kesepuluh hijriah: datang utusan-utusan kepada Rasulullah secara berturut-turut menyatakan keislaman mereka.

===***===

AMALAN-AMALAN UTAMA DI BULAN SYAWAL

Di antara amalan-amalan yang dianajurkan pada bulan ini adalah sbb :

AMALAN PERTAMA:

Di antara keutamaan bulan Syawal adalah berpuasa enam hari darinya, sebagai bentuk syukur kepada Allah atas taufik dalam menjalankan puasa di bulan Ramadan yang mulia, dan untuk menambah amal kebaikan. Allah Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 185: 

﴿وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ﴾

"Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan (puasa Ramadan), dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu, dan supaya kamu bersyukur."

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu 'anhu, ia meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: 

"مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ"

"Barang siapa berpuasa Ramadan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka itu seperti puasa sepanjang tahun." (HR. Muslim no. 1164 (2/822))

Imam An-Nawawi berkata: 

"فِيهِ دَلَالَةٌ صَرِيحَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَدَاوُدَ وَمُوَافِقِيهِمْ فِي اسْتِحْبَابِ صَوْمِ هَذِهِ السِّتَّةِ، وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ: يُكْرَهُ ذَلِكَ. قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ: مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَصُومُهَا، قَالُوا: فَيُكْرَهُ لِئَلَّا يُظَنَّ وُجُوبُهَا، وَدَلِيلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ: 

هَذَا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ الصَّرِيحُ، وَإِذَا ثَبَتَتِ السُّنَّةُ لَا تُتْرَكُ لِتَرْكِ بَعْضِ النَّاسِ أَوْ أَكْثَرِهِمْ أَوْ كُلِّهِمْ لَهَا، وَقَوْلُهُمْ: قَدْ يُظَنُّ وُجُوبُهَا يُنْتَقَضُ بِصَوْمِ عَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَغَيْرِهِمَا مِنَ الصَّوْمِ الْمَنْدُوبِ، قَالَ أَصْحَابُنَا: وَالأَفْضَلُ أَنْ تُصَامَ السِّتَّةُ مُتَوَالِيَةً عَقِبَ يَوْمِ الْفِطْرِ، فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عَنْ أَوَائِلِ شَوَّالٍ إِلَى أَوَاخِرِهِ حَصَلَتْ فَضِيلَةُ الْمُتَابَعَةِ؛ لِأَنَّهُ يُصَدَّقُ أَنَّهُ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، قَالَ الْعُلَمَاءُ: وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ".

"Di dalamnya terdapat dalil yang jelas bagi mazhab Syafi’i, Ahmad, Dawud, dan para pengikut mereka dalam menyunnahkan puasa enam hari ini.

Malik dan Abu Hanifah berpendapat makruh. Malik berkata dalam *Al-Muwaththa’*: Aku tidak melihat seorang pun dari ahli ilmu yang melakukannya. Mereka mengatakan: dimakruhkan agar tidak disangka wajib.

Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah hadits shahih yang jelas ini. Jika sunnah sudah tetap, maka tidak boleh ditinggalkan hanya karena sebagian orang atau mayoritas atau semua orang tidak melakukannya.

Ucapan mereka: 'Akan disangka wajib' itu tertolak dengan adanya puasa Arafah, Asyura, dan selainnya dari puasa-puasa yang dianjurkan."

Para ulama kami berkata: "Yang paling utama adalah berpuasa enam hari tersebut secara berurutan setelah hari Idulfitri. Jika dipisah-pisah atau diakhirkan dari awal bulan Syawal hingga ke akhir bulan, maka tetap diperoleh keutamaan mengikuti, karena tetap dianggap mengikuti enam hari dari Syawal."

Para ulama juga berkata: "Hal itu disamakan dengan puasa setahun penuh karena satu kebaikan diganjar sepuluh kali lipat. Maka Ramadan setara dengan sepuluh bulan dan enam hari setara dengan dua bulan." [Baca : Syarh Shahih Muslim (8/56)]

Syaikh Sayyidi Zarruuq berkata dalam *An-Nashihah*: 

"وَقَدْ كَرِهَ مَالِكٌ وَصْلَهَا بِالشَّهْرِ بَعْدَ يَوْمِ الْفِطْرِ، وَلَمْ يَكْرَهْهُ غَيْرُهُ، نَعَمْ قَدْ يَتَّفِقُ عَلَى الْكَرَاهَةِ لِمَا أُحْدِثَ مِنْ تَسْمِيَةِ يَوْمِ سَابِعِ الْعِيدِ بِعِيدِ الْأَبْرَارِ، لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ مِنْ مَفْهُومِ هَذَا الْكَلَامِ وَغَيْرِهِ، وَلَا حَاجَةَ لِلْمُؤْمِنِ فِي مَنْدُوبٍ رُبَّمَا أَدَّى إِلَى حَرَامٍ، أَوْ مَكْرُوهٍ".

"Imam Malik memakruhkan menyambungkan puasa enam hari itu dengan bulan Ramadan setelah hari Idulfitri, namun selain beliau tidak memakruhkannya. Memang, kemakruhan bisa terjadi jika muncul istilah seperti menyebut hari ketujuh Syawal sebagai 'Idul Abrar', karena pengertian yang terkandung dari penyebutan itu dan lainnya. Seorang mukmin tidak perlu melakukan amalan sunnah yang bisa membawa kepada yang haram atau makruh."

[Lihat : An-Nashihah Al-Kafiyah, manuskrip Perpustakaan Nasional nomor: 155J (hlm: 229)]. 

Dari Tsauban, mantan budak Rasulullah , dari Rasulullah , beliau bersabda: 

"مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ، كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ، مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا".

"Barang siapa berpuasa enam hari setelah Idulfitri, maka itu menyempurnakan (puasa) satu tahun. Barang siapa membawa satu kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipatnya." [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, nomor: (1715) (2/611).  ]

Dari Ikrimah bin Khalid Al-Makhzumi, ia berkata: 

حَدَّثَنِي عَرِيفٌ، مِنْ عُرَفَاءِ قُرَيْشٍ، عَنْ أَبِيهِ، سَمِعَهُ مِنْ فَلَقٍ فِي رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَشَوَّالًا وَالْأَرْبِعَاءَ وَالْخَمِيسَ دَخَلَ الْجَنَّةَ".

Seorang pemimpin dari Quraisy menceritakan kepadaku, dari ayahnya, yang mendengar langsung dari lisan Rasulullah , beliau bersabda: 

"Barang siapa berpuasa Ramadan, kemudian (juga) berpuasa di bulan Syawal, serta puasa Rabu dan Kamis, maka ia masuk surga."

[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, nomor: 16714, (27/78), an-Nasaai no. 2778 dan al-Harits dalam Bughyatul Baahits 1/421 no. 335]

Sanadnya lemah, karena di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan namanya, yaitu guru dari ‘Ikrimah bin Khalid al-Makhzumi. Adapun para perawi lainnya adalah perawi-perawi yang terpercaya dan merupakan perawi dua Syaikh (Bukhari dan Muslim), kecuali Hilal bin Khabbab al-‘Abdi, yang diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan, dan dia adalah perawi yang terpercaya.

‘Abdul Shamad adalah Ibn ‘Abdul Warits al-‘Anbari, dan ‘Affan adalah Ibn Muslim ash-Shaffar, sedangkan Tsabit bin Yazid Abu Zaid adalah al-Ahwal.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam *Syu’ab al-Iman* (3870) melalui jalur ‘Arim dari Tsabit dengan sanad ini.

Al-Haitsami mencantumkannya dalam *Majma‘ az-Zawa’id* 3/190, dan berkata:

رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَفِيهِ مَنْ لَمْ يُسَمَّ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.

Diriwayatkan oleh Ahmad, dan di dalamnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya, sedangkan perawi lainnya adalah perawi yang terpercaya.

Namun al-Bushairy dalam Ittihaaf al-Khiyaratul Maharah 3/86 no. 2242 menyebutkannya dengan sanadnya, lalu berkata :

رَواهُ الْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ

“Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah dan para perawinya terpercaya”.

Dan dari Ubaidullah bin Muslim Al-Qurasyi, dari ayahnya, ia berkata:

سَأَلْتُ أَوْ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ الدَّهْرِ، فَقَالَ: «إِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، ‌صُمْ ‌رَمَضَانَ ‌وَالَّذِي ‌يَلِيهِ، ‌وَكُلَّ ‌أَرْبِعَاءَ ‌وَخَمِيسٍ، فَإِذَا أَنْتَ قَدْ صُمْتَ الدَّهْرَ»

Aku bertanya —atau Nabi ditanya— tentang puasa sepanjang tahun, maka beliau bersabda:

"Sesungguhnya keluargamu memiliki hak atasmu. Berpuasalah di bulan Ramadan dan bulan setelahnya, serta setiap hari Rabu dan Kamis. Maka dengan begitu, engkau telah berpuasa sepanjang tahun."

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam *As-Sunan* 2/812, nomor (2432). Dan oleh At-Tirmidzi dalam *As-Sunan* 3/123, nomor (748)]. Dan an-Nasai dalam al-Kubra no. 278]

Hadis ini terdapat dalam *At-Tarikh Al-Kabir* karya Al-Bukhari, jilid 7, halaman 253–254, hadis nomor 1077.

Al-Mundziri berkata :

قَالَ الْمُمْلِي عَبْدُ الْعَظِيمِ وَرُوَاته ثِقَات

Al-Mumli Abdul ‘Azhim berkata : “Dan para perawinya adalah terpercaya”.

[Lihat : at-Targhib Wa at-Tarhib lil Mundziri, Tahqiq Ibrahim Syamsuddin, Cet. Darul Kutub al-Ilmiyah].  

Dinilai dho’if oleh al-Albani dalam Dho’if al-Jami’ ash-Shoghir no. 1914 dan 3489

Namun Mahmud as-Subki dalam ad-Diin al-Kholish 8/404 berkata :

وَقَدْ جَاءَ فِي هَذَا أَحَادِيثُ ضَعِيفَةٌ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا.

“Telah datang dalam hal ini beberapa hadis yang lemah, namun saling menguatkan satu sama lain”.

Dari Yazid bin Abdullah bin Usamah, dari Muhammad bin Ibrahim :

أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ كَانَ يَصُومُ أَشْهُرَ الْحَرَمِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صُمْ شَوَّالًا" فَتَرَكَ أَشْهُرَ الْحَرَمِ، ثُمَّ لَمْ يَزَلْ يَصُومُ شَوَّالًا حَتَّى مَاتَ.

bahwa Usamah bin Zaid dahulu berpuasa pada bulan-bulan haram, lalu Rasulullah bersabda kepadanya: 

"Berpuasalah di bulan Syawal." Maka Usamah pun meninggalkan puasa di bulan-bulan haram dan terus-menerus berpuasa di bulan Syawal hingga wafat.

[Diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam Sunannya nomor: (1744) (2/631)]

Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij Sunan Ibnu Majah 2/631 berkata :

Ini adalah sanad yang para perawinya terpercaya, namun sanad ini mursal, karena Muhammad bin Ibrahim (yang dikenal dengan Al-Taimi) tidak mendengar langsung dari Usama bin Zaid (putra dari Haritsah). Oleh karena itu, menurut Al-Hafidz Ibn Rajab dalam "Lata'if Al-Ma'arif" hal. 233, sanad ini terputus.

Al-Taimi dalam hadis ini diikuti oleh Ibn Muhammad bin Usama melalui kakeknya, Usama, yang terdapat dalam "Musnad" Abu Ya'la sebagaimana yang tercantum dalam "Mishbah Al-Zujajah" oleh Al-Busiri pada halaman 114.

Ini adalah mutaba’ah (follow-up) yang lemah karena ketidakjelasan status Ibn Muhammad bin Usamah, dan perawi darinya, Muhammad bin Ishaq bin Yasar Al-Mutalibi, adalah mudallis yang melakukan 'an'anah.

Dan tidak bisa disimpulkan dari pernyataan Al-Hafidz Ibn Rajab dalam "Al-Lata'if" tentang sanad ini yang mengatakan "sanad terhubung" bahwa sanad ini sahih, karena meskipun sanadnya terhubung, terkadang ada masalah pada perawi-perawinya, seperti yang terjadi pada sanad ini.

Al-Hafidz Dhiya'uddin Al-Maqdisi dalam "Mukhtarat" (1359) mensahihkan hadis ini dari jalan Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi dengan sanad ini. [SELESAI]

Al-Bushairy dalam Mishbahuz Zujajah 2/78 no. 631 berkata :

هَذَا إِسْنَاد رِجَاله ثِقَات وَفِيه مقَال قَالَ العلائي فِي الْمَرَاسِيل ذكر فِي التَّهْذِيب أَن مُحَمَّد بن إِبْرَاهِيم التَّيْمِيّ أرسل عَن أُسَامَة بن زيد وَأسيد بن الْحضير

“Ini adalah sanad yang para perawinya terpercaya, namun ada masalah pada sanad ini. Al-‘Ala'i dalam "Al-Maraasiil" menyebutkan dalam "Al-Tahzib" bahwa Muhammad bin Ibrahim Al-Taimi meriwayatkan secara mursal dari Usama bin Zaid dan Asid bin Al-Hadhrir”.

Hadits ini di nilai dho’if oleh al-Albani dalam Dho’if Ibnu Majah no. 1744.

FIQIH HADITS :

Al-Munawi berkata:

"قَالَ ابْنُ رَجَبٍ: نَصٌّ صَرِيحٌ فِي تَفْضِيلِ صَوْمِهِ عَلَى الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ، وَذَلِكَ لِأَنَّهُ يَلِي رَمَضَانَ مِنْ بَعْدِهِ كَمَا يَلِيهِ شَعْبَانُ مِنْ قَبْلِهِ". 

“Ibnu Rajab berkata, ‘Ini adalah teks yang jelas dalam mengutamakan puasa bulan Syawal atas puasa bulan-bulan haram, karena bulan Syawal datang setelah Ramadan sebagaimana Sya'ban datang sebelum Ramadan.’” [Lihat : At-Taysīr bi-Jam‘i al-Jāmi‘ a-aghīr*, jilid 2, hlm. 182.]

Muhammad bin Isma'il Al-Amir berkata:

"هُوَ شَهْرُ الْفِطْرِ، جَمْعُهُ شَوَاوِيلُ وَشَوَّالَاتٌ، وَفِيهِ نَدْبِيَّةُ صَوْمِهِ إِلَّا يَوْمَ الْفِطْرِ مِنْهُ، فَقَدْ ثَبَتَ تَحْرِيمُ صَوْمِهِ"

“Syawal adalah bulan Idul Fitri, bentuk jamaknya adalah *Syawāwīl* dan *Syawālāt*, dan disunnahkan untuk berpuasa di dalamnya kecuali pada hari Idul Fitri, karena telah tetap keharaman berpuasa pada hari itu.” [Lihat : *At-Tanwīr Syar al-Jāmi‘ a-aghīr*, jilid 6, hlm. 606]

Dari Tsauban, bahwa Rasulullah bersabda:

"صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بِشَهْرَيْنِ، فَذَلِكَ صِيَامُ سَنَةٍ"

“Puasa bulan Ramadan sebanding dengan sepuluh bulan, dan puasa enam hari dari bulan Syawal sebanding dengan dua bulan, maka itulah puasa setahun.”

[Diriwayatkan oleh Ibn Daud dalam *Sunan al-Kubrā*, Kitab Puasa, Bab Puasa Enam Hari dari Syawal, no. 2873 (3/239)]

Al-Mundziri berkata :

وَابْن خُزَيْمَة فِي صَحِيحه وَلَفظه وَهُوَ رِوَايَة النَّسَائِيّ

Dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab *Shahih*-nya, dengan lafazhnya, dan itu adalah riwayat An-Nasa’i. [Baca: at-Targhib wa at-Tarhib 2/67 Cet. D.K Ilmiyah].

Ibnu Rajab berkata:

"يَعْنِي رَمَضَانَ وَسِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بَعْدَهُ"

“Maksudnya adalah Ramadan dan enam hari dari Syawal setelahnya.”

[Baca : Laṭho’if al-Ma‘ārif fīmā limawāsim al-‘Aam min al-Wadẓo’if*, hlm. 392.]

Muhammad Asyraf bin Amir berkata:

"فَذَلِكَ صِيَامُ سَنَةٍ، يَعْنِي صِيَامَ رَمَضَانَ وَسِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَهُ، فَهَذِهِ هِيَ الْحِكْمَةُ فِي كَوْنِهَا سِتَّةً"

“Maka itulah puasa setahun, maksudnya adalah puasa Ramadan dan enam hari setelahnya. Inilah hikmah mengapa jumlahnya enam hari.” [‘Aun al-Ma‘būd, jilid 7, hlm. 69.]

Hadits-hadits Nabi tentang bulan Syawal ini semuanya menunjukkan keutamaan dan pahala berpuasa enam hari di bulan Syawal serta melakukan ketaatan di dalamnya.

****

AMALAN KEDUA :

Dan disunnahkannya mengqodho puasa sunnah bulan Sya'ban di bulan Syawal.

Sebagaimana diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhuma :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ: (هَلْ صُمْتَ مِنْ سَرَرِ هَذَا الشَّهْرِ شَيْئًا؟ قَالَ: لَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا أَفْطَرْتَ مِنْ رَمَضَانَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ مَكَانَهُ)

Bahwa Nabi bersabda kepada seorang laki-laki: *"Apakah engkau telah berpuasa pada sarar bulan ini?"* Ia menjawab: *"Tidak."* Maka Rasulullah bersabda: *"Jika engkau telah berbuka dari Ramadhan, maka berpuasalah dua hari sebagai gantinya."*

[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1983 dan Muslim 1161, dan lafadz ini milik Muslim].

Dalam lafadz Bukhori terdapat tambahan :

قالَ أبو عبدِ اللَّهِ: وقالَ ثَابِتٌ: عن مُطَرِّفٍ، عن عِمْرَانَ، عَنِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: مِن سَرَرِ شَعْبَانَ.

Abu Abdillah berkata: Tsabit meriwayatkan dari Mutharrif, dari Imran, dari Nabi : *dari sarar bulan Sya'ban.*

MAKNA SAROR [سَرَرِ] :

Dalam ad-Duror as-Saniyyah, Syeikh ‘Alawi Abdul Qadir as-Saqqoof berkata :

قيل: سَرَرُ الشَّهرِ هي وَسْطُ الشَّهرِ؛ فالسَّررُ جمْعُ سُرَّةٍ، وسُرَّةُ الشَّيءِ وَسْطُه، فالمرادُ الأيَّامُ البِيضُ: الثالثَ عشَرَ، والرابعَ عشَرَ، والخامسَ عشَرَ.

“Dikatakan: *Sarar* bulan adalah pertengahan bulan; karena *sarar* adalah jamak dari *surrat*, dan *surrat* suatu benda adalah bagian tengahnya. Maka yang dimaksud adalah *Ayyaamul Baidh (hari-hari putih)*, yaitu tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas”.

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/232 berkata:

وَفِي الْحَدِيثِ ‌مَشْرُوعِيَّةُ ‌قَضَاءِ ‌التَّطَوُّعِ وَقَدْ يُؤْخَذُ مِنْهُ قَضَاءُ الْفَرْضِ بِطَرِيقِ الْأَوْلَى خِلَافًا لمن منع ذَلِك

“Dan dalam hadits ini terdapat pensyari’atan mengqadha puasa sunnah, dan bisa diambil darinya : bahwa pensyari’atan mengqadha puasa wajib itu lebih utama, berbeda dengan yang berpendapat melarang hal itu”. [SELESAI]

****

AMALAN KETIGA:

Disunnahkan mengqhodho i‘tikaf bagi orang yang meninggalkannya di bulan Ramadan karena udzur.

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:

(كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ، وَإِذَا صَلَّى الغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ، قَالَ: فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ أَنْ تَعْتَكِفَ، فَأَذِنَ لَهَا، فَضَرَبَتْ فِيهِ قُبَّةً، فَسَمِعَتْ بِهَا حَفْصَةُ، فَضَرَبَتْ قُبَّةً، وَسَمِعَتْ زَيْنَبُ بِهَا، فَضَرَبَتْ قُبَّةً أُخْرَى، فَلَمَّا انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الغَدَاةِ أَبْصَرَ أَرْبَعَ قِبَابٍ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، فَأُخْبِرَ خَبَرَهُنَّ، فَقَالَ: «مَا حَمَلَهُنَّ عَلَى هَذَا؟ آلْبِرُّ؟ انْزِعُوهَا فَلَا أَرَاهَا»، فَنُزِعَتْ، ‌فَلَمْ ‌يَعْتَكِفْ ‌فِي ‌رمَضَانَ ‌حَتَّى ‌اعْتَكَفَ فِي آخِرِ العَشْرِ مِنْ شَوَّالٍ)

*“Rasulullah selalu beri‘tikaf di setiap Ramadan, dan apabila beliau telah melaksanakan salat subuh, beliau masuk ke tempat beliau beri‘tikaf.

Aisyah meminta izin kepada beliau untuk beri‘tikaf, lalu beliau mengizinkannya, maka ia pun mendirikan tenda di sana. Hafshah mendengar hal itu lalu ia juga mendirikan tenda, dan Zainab pun mendengarnya lalu ia pun mendirikan tenda lain.

Ketika Rasulullah keluar setelah salat subuh, beliau melihat ada empat tenda, maka beliau bertanya: ‘Apa ini?’

Lalu diceritakan kepadanya hal para istri tersebut. Maka beliau bersabda: ‘Apa yang mendorong mereka melakukan ini? Apakah karena kebaikan?’ Cabutlah tenda-tenda ini, aku tidak ingin melihatnya.”

Maka tenda-tenda itu dicabut, dan beliau tidak beri‘tikaf di bulan Ramadan hingga beliau beri‘tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Syawal.”* (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 2041).

Ibnu Baththal berkata:

الِاعْتِكَافُ فِي شَوَّالٍ وَسَائِرِ السَّنَةِ مُبَاحٌ لِمَنْ أَرَادَهُ

*“I‘tikaf di bulan Syawal dan di sepanjang tahun dibolehkan bagi siapa saja yang menginginkannya.”* [Lihat : Syarah Shahih Bukhory karya Ibnu Baththal 4/177].

****

AMALAN KEEMPAT:

Disunnahkan melakukan umrah pada bulan-bulan haji. Bulan Syawal termasuk salah satu dari bulan-bulan haji.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: 

كَانُوا ‌يَرَوْنَ ‌أَنَّ ‌العُمْرَةَ ‌فِي ‌أَشْهُرِ ‌الحَجِّ ‌مِنْ ‌أَفْجَرِ الفُجُورِ فِي الأَرْضِ، وَيَجْعَلُونَ المُحَرَّمَ صَفَرًا، وَيَقُولُونَ: إِذَا بَرَا الدَّبَرْ، وَعَفَا الأَثَرْ، وَانْسَلَخَ صَفَرْ، حَلَّتِ العُمْرَةُ لِمَنِ اعْتَمَرْ، قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ صَبِيحَةَ رَابِعَةٍ مُهِلِّينَ بِالحَجِّ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَجْعَلُوهَا عُمْرَةً، فَتَعَاظَمَ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الحِلِّ؟ قَالَ: «حِلٌّ كُلُّهُ»

“Mereka (orang-orang jahilyah) dahulu berpendapat bahwa umrah di bulan-bulan haji termasuk kedurhakaan paling besar di muka bumi. Mereka menjadikan Muharam sebagai Bulan Safar.

Mereka mengatakan, ‘Jika unta jemaah haji telah kembali, bekas-bekas tapak kakinya telah hilang, bulan Safar telah habis, maka dihalalkan umrah bagi yang ingin menunaikan umrah.’

Kemudian Rasulullah datang bersama para sahabatnya pada pagi hari tanggal 4 Dzulhijjah dalam keadaan berihram untuk haji, lalu beliau memerintahkan mereka agar menjadikan ihram tersebut untuk umrah. Hal itu terasa berat bagi mereka.

Hal ini menjadi perkara yang besar bagi mereka sehingga mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa saja yang halal (dibolehkan)?’

Beliau menjawab, ‘Semuanya halal (boleh).’” [Muttafaq 'alaih, HR. Bukhori no. 1564 dan Muslim no. 198 – (1240)].

Penyebab beratnya hal itu bagi mereka adalah karena mereka masih mengira bahwa umrah di bulan-bulan haji tidak diperbolehkan sebagaimana pada masa-masa jahiliyah. Padahal umrah boleh dilakukan pada bulan-bulan haji hingga hari kiamat. Tujuan dari perintah tersebut adalah untuk membatalkan keyakinan jahiliyah yang menganggap umrah tidak boleh dilakukan di bulan-bulan haji.

Dari Qatadah, ia berkata: 

سَأَلْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَمُ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: " أَرْبَعٌ: ‌عُمْرَةُ ‌الحُدَيْبِيَةِ ‌فِي ‌ذِي ‌القَعْدَةِ ‌حَيْثُ ‌صَدَّهُ المُشْرِكُونَ، وَعُمْرَةٌ مِنَ العَامِ المُقْبِلِ فِي ذِي القَعْدَةِ حَيْثُ صَالَحَهُمْ، وَعُمْرَةُ الجِعِرَّانَةِ إِذْ قَسَمَ غَنِيمَةَ - أُرَاهُ - حُنَيْنٍ " قُلْتُ: كَمْ حَجَّ؟ قَالَ: «وَاحِدَةً»

"Aku bertanya kepada Anas: Berapa kali Nabi melakukan umrah?" 

Ia menjawab: "Empat kali. Umrah Hudaibiyah di bulan Dzulqa'dah ketika beliau dihalangi oleh orang-orang musyrik. Umrah pada tahun berikutnya di bulan Dzulqa'dah ketika beliau berdamai dengan mereka. Umrah Ji'irranah saat beliau membagi-bagikan harta rampasan perang, aku kira dari perang Hunain." 

Aku bertanya: "Berapa kali beliau haji?" Ia menjawab: "Satu kali." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1778)

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/600 berkata:

 لَكِنْ رَوَى سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنِ الدَّرَاوَرْدِيِّ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ ثَلَاثَ عُمَرٍ عُمْرَتَيْنِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةً فِي شَوَّالٍ إِسْنَادُهُ قوي وَقد رَوَاهُ بن مَالِكٍ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ مُرْسَلًا لَكِنَّ قَوْلَهَا فِي شَوَّالٍ مُغَايِرٌ لِقَوْلِ غَيْرِهَا فِي ذِي الْقَعْدَةِ وَيُجْمَعُ بَيْنَهُمَا بِأَنْ يَكُونَ ذَلِكَ وَقَعَ فِي آخِرِ شَوَّالٍ وَأَوَّلِ ذِي الْقَعْدَةِ وَيُؤَيِّدهُ ‌مَا ‌رَوَاهُ ‌بن ‌مَاجَهْ ‌بِإِسْنَادٍ ‌صَحِيحٍ ‌عَنْ ‌مُجَاهِدٍ ‌عَنْ ‌عَائِشَةَ لَمْ يَعْتَمِرْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا فِي ذِي الْقَعْدَةِ

"Akan tetapi, Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari ad-Darawardi, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah radhiyallahu 'anha: 'Sesungguhnya Nabi melakukan tiga kali umrah: dua kali di bulan Dzulqa'dah dan satu kali di bulan Syawwal.' Sanadnya kuat, dan telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Malik dari Hisyam dari ayahnya secara mursal. 

Namun pernyataannya 'di bulan Syawwal' berbeda dengan riwayat yang lain 'di bulan Dzulqa'dah'. Maka keduanya dapat dikompromikan dengan kemungkinan bahwa umrah itu dilakukan di akhir bulan Syawwal dan awal bulan Dzulqa'dah. Hal ini diperkuat oleh riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Mujahid dari Aisyah radhiyallahu 'anha: 'Rasulullah tidak melakukan umrah kecuali di bulan Dzulqa'dah.'" Selesai.

****

AMALAN KELIMA :

Disunnahkan menikah atau menikah lagi di bulan Syawwal jika di suatu negeri muncul bid’ah berupa keyakinan bahwa menikah di bulan Syawwal akan membawa kesialan. Maka disunnahkan secara sengaja menikah di bulan Syawwal sebagai bentuk penolakan terhadap keyakinan ahli bid’ah tersebut.

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: 

«تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ، ‌وَبَنَى ‌بِي ‌فِي ‌شَوَّالٍ، ‌فَأَيُّ ‌نِسَاءِ ‌رَسُولِ ‌اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟»، قَالَ: «وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ»

"Rasulullah menikahiku di bulan Syawwal, dan mulai hidup bersamaku juga di bulan Syawwal. Maka wanita manakah di antara istri-istri Rasulullah yang lebih beruntung dariku?" 

Ia berkata: "Dan Aisyah radhiyallahu 'anha menyukai untuk memasukkan para wanita (yang dinikahkan, malam pertamanya) pada bulan Syawwal." [Diriwayatkan oleh Muslim no. 73-(1423)]

An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 9/209 no. 1423 berkata: 

وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ ‌وَمَا ‌يَتَخَيَّلُهُ ‌بَعْضُ ‌الْعَوَامِّ ‌الْيَوْمَ ‌مِنْ ‌كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْإِشَالَةِ وَالرَّفْع

"Aisyah bermaksud dengan ucapannya ini untuk membantah apa yang diyakini oleh orang-orang jahiliah, dan sebagian masyarakat awam pada zaman ini, yang menganggap makruh menikah dan mengawinkan serta melakukan hubungan suami istri di bulan Syawwal. Ini adalah batil, tidak berdasar, dan merupakan sisa-sisa kepercayaan jahiliah. Mereka merasa sial dengan bulan Syawwal karena namanya mengandung makna 'mengangkat' atau 'menjauhkan'." Selesai.

===***===

AMALAN BID’AH DIBULAN SYAWAL

Termasuk perkara-perkara baru yang diada-adakan (bid'ah) di bulan Syawal adalah “bid'ah 'Idul Abrar (hari raya orang-orang shaleh)”, yaitu pada hari kedelapan bulan Syawal.

Setelah orang-orang menyelesaikan puasa bulan Ramadhan dan berbuka puasa pada hari pertama bulan Syawal yang merupakan hari Idul Fitri, mereka memulai puasa sunah enam hari sejak tanggal 2 hingga 7 Syawal. Kemudian pada hari kedelapan, mereka menjadikannya sebagai hari raya yang mereka sebut dengan 'Idul Abrar (hari raya orang-orang shaleh)”.

Perayaan ini diadakan di salah satu masjid yang terkenal, di mana laki-laki bercampur dengan perempuan, mereka saling berjabat tangan dan mengucapkan ucapan-ucapan jahiliah saat berjabat tangan. Setelah itu mereka pergi membuat makanan-makanan khusus.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: 

وَأَمَّا ثَامِنُ شَوَّالٍ ‌فَلَيْسَ ‌عِيدًا ‌لَا ‌لِلْأَبْرَارِ ‌وَلَا ‌لِلْفُجَّارِ وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْتَقِدَهُ عِيدًا وَلَا يُحْدِثَ فِيهِ شَيْئًا مِنْ شَعَائِرِ الْأَعْيَادِ

"Adapun hari kedelapan dari bulan Syawal, maka itu bukan hari raya, baik bagi orang-orang saleh maupun orang-orang jahat. Tidak boleh bagi siapa pun untuk meyakininya sebagai hari raya, dan tidak boleh mengadakan sesuatu pun dari syiar-syiar hari raya padanya." Selesai. [Baca : al-Fatawa al-Kubro karya Ibnu Taimiyah 5/379]

Ya Allah, jauhkanlah kami dari bid'ah dan perkara-perkara baru dalam agama, dan karuniakan kepada kami kemampuan untuk berpegang teguh pada sunnah serta menyeru kepadanya. Aamiin.

*****

PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL BOLEH DILAKUKAN SECARA BERURUTAN ATAU TERPISAH, SAMA SAJA.

Boleh berpuasa enam hari itu secara berurutan atau terpisah di awal Syawal, pertengahannya, atau akhirnya.

Ibnu Qudamah berkata dalam *Asy-Syarh al-Kabiir* 7/521 no. 1095 (T. At-Turky):

فلا ‌فَرْقَ ‌بينَ ‌كَوْنِها ‌مُتَتابِعَةً ‌أو ‌مُتَفَرِّقَةً، في أَوَّلِ الشَّهْرِ أو في آخِرِه؛ لأنَّ الحَدِيثَ وَرَد مُطْلَقًا مِن غيرِ تَقْيِيدٍ، ولأنَّ فَضِيلَتَها لكَوْنِها تَصِيرُ مع الشَّهْرِ عُشْرَ السَّنَةِ، والحَسَنَةُ بعَشْرِ أَمْثالِها، فيكونُ كَأنَّه صام السَّنَةَ كُلَّها، فإِذا وُجِد ذلك في كُلِّ سَنَةٍ صار كصيامِ الدَّهْرِ كُلِّه. وهذا المَعْنَى يَحْصُلُ مع التَّفْرِيقِ. واللهُ أَعْلَمُ

"Tidak ada perbedaan antara melakukannya secara berurutan atau terpisah, di awal bulan atau di akhirnya, karena hadits menyebutkannya secara mutlak tanpa pembatasan. Dan karena keutamaannya adalah karena ia menjadi dengan bulan Ramadhan sejumlah tiga puluh enam hari, dan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya, maka menjadi seperti tiga ratus enam puluh hari." Wallahu a’lam.

Syaikh Bin Baz berkata: 

وَهَٰذِهِ السِّتُّ لَيْسَ لَهَا أَيَّامٌ مَعْدُودَةٌ مُعَيَّنَةٌ، بَلْ يَخْتَارُهَا الْمُؤْمِنُ مِنْ جَمِيعِ الشَّهْرِ، فَإِنْ شَاءَ صَامَهَا فِي أَوَّلِهِ، وَإِنْ شَاءَ صَامَهَا فِي أَثْنَائِهِ، وَإِنْ شَاءَ صَامَهَا فِي آخِرِهِ، وَإِنْ شَاءَ فَرَّقَهَا، صَامَ بَعْضَهَا فِي أَوَّلِهِ، وَبَعْضَهَا فِي وَسَطِهِ، وَبَعْضَهَا فِي آخِرِهِ، الْأَمْرُ وَاسِعٌ بِحَمْدِ اللَّهِ، وَإِنْ بَادَرَ إِلَيْهَا وَتَابَعَهَا فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ كَانَ ذَلِكَ أَفْضَلَ مِنْ بَابِ الْمُسَارَعَةِ إِلَى الْخَيْرِ، وَلَكِنْ لَيْسَ فِي هَذَا ضِيقٌ بِحَمْدِ اللَّهِ، بَلِ الْأَمْرُ فِيهَا وَاسِعٌ، إِنْ شَاءَ تَابَعَ وَإِنْ شَاءَ فَرَّقَ، ثُمَّ إِذَا صَامَهَا بَعْضَ السِّنِينَ وَتَرَكَهَا بَعْضَ السِّنِينَ فَلَا بَأْسَ؛ لِأَنَّهَا نَافِلَةٌ، تَطَوُّعٌ، لَيْسَتْ فَرِيضَةً، فَإِذَا صَامَهَا فِي بَعْضِ السِّنِينَ وَتَرَكَهَا فِي بَعْضِ السِّنِينَ، أَوْ صَامَ بَعْضَهَا وَتَرَكَ بَعْضَهَا؛ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ.

"Enam hari ini tidak memiliki hari-hari tertentu yang ditentukan, tetapi seorang mukmin boleh memilih dari seluruh bulan. Jika ia mau, ia boleh berpuasa di awal bulan, jika ia mau, ia boleh berpuasa di pertengahannya, jika ia mau, ia boleh berpuasa di akhirnya, jika ia mau, ia boleh memisah-misahkannya — sebagian di awal bulan, sebagian di pertengahan, sebagian di akhir. Masalah ini luas dengan pujian bagi Allah.

Jika seseorang menyegerakannya dan melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka itu lebih utama sebagai bentuk bersegera dalam kebaikan. Namun tidak ada kesempitan dalam hal ini, dengan pujian bagi Allah, bahkan masalah ini luas; jika mau boleh berurutan, jika mau boleh dipisah-pisah.

Jika seseorang berpuasa pada sebagian tahun dan meninggalkannya di sebagian tahun lain, tidak mengapa; karena ia adalah amalan sunnah, tathawwu', bukan kewajiban. Maka jika seseorang berpuasa di sebagian tahun dan tidak di sebagian tahun lainnya, atau berpuasa sebagian harinya dan tidak yang lainnya, maka tidak mengapa."

[Sumber : نُورٌ عَلَى الدَّرْبِ/ حُكْمُ صِيَامِ السِّتِّ مِنْ شَوَّالٍ مُتَتَابِعَةٍ وَمُفَرَّقَةٍ وَصَوْمِهَا وَتَرْكِهَا ]

Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah berkata:

"يَجُوزُ سَرْدُ الصَّوْمِ أَيَّامًا مُتَتَابِعَةً، ثُمَّ سَرْدُ الْإِفْطَارِ أَيَّامًا أُخْرَى، وَالدَّلِيلُ الْحَدِيثُ الْمَذْكُورُ فِي السُّؤَالِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ تَطَوُّعٌ مُسْتَحَبٌ". اِنْتَهَى

"Boleh berpuasa secara berurutan beberapa hari, kemudian berbuka di hari-hari lainnya, dan dalilnya adalah hadits yang disebutkan dalam pertanyaan; karena itu adalah ibadah sunnah yang dianjurkan." Selesai dari *Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin*.

BERBEDA DENGAN PENDAPAT IMAM MALIK :

Imam Malik, Imam Darul Hijrah, memiliki pendapat lain dalam masalah ini. Ia melarang puasa enam hari tersebut agar tidak disangka sebagai bagian dari kewajiban puasa Ramadhan yang telah ditetapkan dalam nash-nash yang qath’i (pasti).

Dalam *Al-Muwaththa’* disebutkan:

(قَالَ يَحْيَى وَسَمِعْت مَالِكًا يَقُولُ فِي صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ إنِّي ‌لَمْ ‌أَرَ ‌أَحَدًا ‌مِنْ ‌أَهْلِ ‌الْعِلْمِ ‌وَالْفِقْهِ ‌يَصُومُهَا وَلَمْ يَبْلُغْنِي ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ وَأَنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ وَأَنْ يُلْحِقَ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ أَهْلُ الْجَهَالَةِ وَالْجَفَاءِ لَوْ رَأَوْا فِي ذَلِكَ خِفَّتَهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَرَأَوْهُمْ يَعْمَلُونَ ذَلِكَ)

Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata tentang puasa enam hari setelah Idul Fitri dari Ramadhan:

"Sesungguhnya aku tidak pernah melihat seorang pun dari ahli ilmu dan fiqih yang melakukannya, dan tidak sampai kepadaku bahwa ada seorang pun dari kalangan salaf yang melakukannya.

Dan sesungguhnya para ulama membenci hal itu dan khawatir akan bid’ahnya serta dikhawatirkan orang-orang bodoh dan kasar akan menyangka bahwa hal itu bagian dari Ramadhan jika mereka melihat para ulama meremehkan hal tersebut dan melakukannya." Selesai. [Lihat : al-Muntaqa Syarah al-Muwaththa 2/76]

Al-Baji berkata dalam *Al-Muntaqa*, yaitu syarah *Al-Muwaththa’* 2/76:

وَهَذَا كَمَا قَالَ إنَّ صَوْمَ هَذِهِ السِّتَّةِ الْأَيَّامِ بَعْدَ الْفِطْرِ لَمْ تَكُنْ مِنْ الْأَيَّامِ الَّتِي كَانَ السَّلَفُ يَتَعَمَّدُونَ صَوْمَهَا.

وَقَدْ كَرِهَ ذَلِكَ مَالِكٌ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ، وَقَدْ أَبَاحَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ النَّاسِ وَلَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا، وَإِنَّمَا كَرِهَ ذَلِكَ مَالِكٌ لِمَا خَافَ مِنْ إلْحَاقِ عَوَامِّ النَّاسِ ذَلِكَ بِرَمَضَانَ وَأَنْ لَا يُمَيِّزُوا بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ حَتَّى يَعْتَقِدُوا جَمِيعَ ذَلِكَ فَرْضًا وَالْأَصْلُ فِي صِيَامِ هَذِهِ الْأَيَّامِ السِّتَّةِ مَا رَوَاهُ سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ» وَسَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ هَذَا مِمَّنْ لَا يَحْتَمِلُ الِانْفِرَادَ بِمِثْلِ هَذَا فَلَمَّا وَرَدَ الْحَدِيثُ عَلَى مِثْلِ هَذَا وَوَجَدَ مَالِكٌ عُلَمَاءَ الْمَدِينَةِ مُنْكَرِينَ الْعَمَلَ بِهَذَا احْتَاطَ بِتَرْكِهِ لِئَلَّا يَكُونَ سَبَبًا لِمَا قَالَهُ قَالَ مُطَّرِفٌ إنَّمَا كَرِهَ مَالِكٌ صِيَامَهَا لِئَلَّا يُلْحِقَ أَهْلُ الْجَهْلِ ذَلِكَ بِرَمَضَانَ، وَأَمَّا مَنْ رَغِبَ فِي ذَلِكَ لِمَا جَاءَ فِيهِ فَلَمْ يَنْهَهُ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ وَأَحْكَمُ

"Dan ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam Malik), bahwa puasa enam hari setelah Idul Fitri bukanlah termasuk hari-hari yang biasa dikhususkan untuk berpuasa oleh para salaf. Dan Malik serta selainnya dari para ulama memakruhkan hal tersebut, sementara sekelompok orang memperbolehkannya dan tidak melihatnya sebagai masalah. Malik memakruhkannya karena khawatir orang-orang awam akan menyangka bahwa puasa itu bagian dari Ramadhan dan mereka tidak membedakan antara keduanya, hingga mereka mengira seluruhnya adalah fardhu.

Dasar puasa enam hari ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sa’d bin Sa’id dari Umar bin Tsabit dari Abu Ayyub Al-Anshari, bahwa Rasulullah bersabda: 'Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan enam hari dari bulan Syawal, maka seolah-olah ia berpuasa sepanjang tahun.' Dan Sa’d bin Sa’id ini termasuk orang yang tidak kuat jika meriwayatkan hadits sendirian dalam hal seperti ini. Maka ketika hadits ini datang dari perawi seperti ini, dan Imam Malik mendapati para ulama Madinah mengingkari pengamalan hadits ini, ia berhati-hati dengan meninggalkannya agar tidak menjadi sebab dari apa yang ia khawatirkan.

Mutarrif berkata: 'Sesungguhnya Malik memakruhkan puasa ini agar orang-orang bodoh tidak menganggapnya sebagai bagian dari Ramadhan. Adapun orang yang menginginkannya karena keutamaan yang disebutkan dalam hadits, maka ia tidak dilarang melakukannya.' Dan Allah lebih mengetahui dan lebih bijaksana." [Kutipan Selesai].

Posting Komentar

0 Komentar