Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

AMAR MAR’UF NAHI MUNKAR hukumnya FARDHU KIFAYAH. MENJAGA PERSATUAN, FARDHU ‘AIN. PEMECAH BELAH UMAT adalah ANJING NERAKA JAHANAM.

 DAKWAH DAN AMAR MAR’UF NAHI MUNKAR adalah FARDHU KIFAYAH HUKUM NYA. 

MENJAGA PERSATUAN adalah FARDHU ‘AIN.

DA'I PEMECAH BELAH UMAT adalah ANJING NERAKA JAHANAM, KELAK WAJAH-NYA HITAM MURAM MESKIPUN IBADAHNYA HEBAT MENGALAHKAN PARA SAHABAT

===

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

---


----

CUPLIKAN DARI ARTIKEL :

Diantara etika berdakwah dalam al-Quran, adalah : Bagaimana cara merubah seseorang yang didakwahi, yang sebelumnya membenci dakwah kita, lalu berubah menjadi teman yang sangat setia?. Sebagaimana yang Allah SWT firman-kan :

﴿وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)﴾

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru [berdakwah] kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang muslim [berserah diri]?" [QS. Fush-shilat : (33)].

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Cegahlah (keburukan itu) dengan cara yang terbaik, sehingga tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan berubah seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (34)  

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang SABAR dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar. [QS. Fush-shilat : (35)].

Contohnya : masuk Islam-nya Shofwan bin Umayyah radhiyallah ‘anhu, seorang musuh Islam, penjahat perang, pembenci Nabi , namun berkat kesabaran dan kelembutan dakwah Nabi kepadanya, dia akhir-nya masuk Islam.

Shofwan sendiri bercerita:

وَاللهِ لَقَدْ أعْطَانِى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أعْطَانِى، وَإِنَّهُ لأبْغَضُ النَّاسِ إلَىَّ، فَمَا بَرِحَ يُعْطِينِى حَتَّى إنَّهُ لأحَبُّ النَّاسِ إلَىَّ

“Demi Allah! Rasulullah telah memberikan kepadaku apa (harta) yang ia berikan, padahal ia adalah orang yang dulunya paling aku benci. Namun beliau terus-menerus memberikan pemberiannya kepadaku hingga akhirnya beliau menjadi orang yang paling aku cintai”. (HR Muslim no 2313)

Dan ketika dakwah belum berhasil, maka jangan tergesa menyalahkan orang yang di dakwahi.

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa para nabi-nabi terdahulu dan para pengikutnya ketika mereka berdakwah dan berjuang secara maksimal di jalan Allah, lalu dengan perjuangannya itu belum juga mendapatkan hasil, mereka tidak serta merta menyalahkan orang-orang yang di dakwahinya, melainkan mereka berintrospeksi diri bahkan menyalahkan diri mereka sendiri dengan mengakui akan adanya banyak kekurangan yang ada dalam diri mereka dalam cara berdakwahnya , sebagaimana yang Allah swt firmankan:

﴿وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ﴾

Artinya : Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.

﴿وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ﴾

Tidak ada perkataan mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan (cara dakwah) kami dan kokoh-kanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. Ali Imran : 146-147)
====

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • PENJELASAN RINGKAS TAFSIR AYAT 103 – 106 SURAH ALI-IMRAN:
  • PENJELASAN RINCI TAFSIR DAN FIQIH AYAT 103 – 106 SURAH ALI-IMRAN:
  • PEMBAHASAN PERTAMA : TAFSIR AYAT 103 QS. ALI IMRAN (MENJAGA PERSATUAN UMAT SERTA MELINDUNGINYA DARI PERPECAHAN ADALAH FARDHU ‘AIN).
  • WAJIB MENDAMAIKAN DUA KELOMPOK YANG BERMUSUHAN, MESKI SALAH SATUNYA ITU ADALAH KELOMPOK ORANG MUNAFIQ
  • TANGAN ALLAH BERSAMA MAYORITAS KAUM MUSLIMIN :
  • JIKA INGIN DI TENGAH SYURGA YANG LAPANG, BERGABUNGLAH DENGAN JEMAAH KAUM MUSLIMIN
  • BAGAIMANA DENGAN PERKATAAN IBNU MAS’UD : “JEMAAH ITU ORANG YANG DIATAS KEBENARAN MESKIPUN DIA SENDIRIAN”.
  • UNTUK MENJAGA PERSATUAN, MAKA JANGAN SALING SOMBONG DENGAN MELAKUKAN HAL-HAL SBB :
  • 1] SALING MERENDAHKAN KAUM ATAU GOLONGAN LAIN .
  • 2] SALING MENCELA SESAMA KALIAN
  • 3] SALING MEMBERI GELAR EJEKAN
  • 4] SALING MENUDUH FASIQ .
  • PEMBAHASAN KE DUA : TAFSIR AYAT 104 QS. ALI IMRAN (DAKWAH DAN AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR ADALAH FARDHU KIFAYAH).
  • MANHAJ DAKWAH DAN NAHYI MUNKAR DALAM AL-QUR’AN : “SABAR, LEMBUT DAN  MENJAGA PERSATUAN”:
  • CONTOH PERTAMA : PERINTAH BERDA’WAH DENGAN PENUH HIKMAH DAN NASIHAT YANG INDAH.
  • CONTOH KEDUA : MANHAJ DAKWAH NABI HARUN (A.S) SENANTIASA BERUSAHA MENJAGA PERSATUAN:
  • CONTOH KE TIGA : MANHAJ DAN AKHLAQ NABI DALAM BERDAKWAH DAN BERMU’AMALAH.
  • CONTOH KE EMPAT : TAWADHU’, SENANTIASA MERASA BERSALAH DAN KURANG EFEKTIF SAAT BELUM BERHASIL
  • CONTOH KE LIMA : MANHAJ DAKWAH AHLI ISTIQOMAH yang BER-AKHLAK HAMBA AR-RAHMAN.
  • HUKUM FIQIH DAN BATASAN DALAM BER-AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR
  • BEBERAPA HUKUM DAN BATASAN TENTANG AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR
  • AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR MENJADI WAJIB DENGAN ENAM SYARAT YANG HARUS TERPENUHI SECARA BERSAMAAN:
  • AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR HUKUMNYA SUNAH DALAM BEBERAPA KEADAAN.
  • AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR KADANG MENJADI HARAM :
  • PEMBAHASAN KETIGA : TAFSIR AYAT 105 – 106 QS. ALI IMRAN : (PEMECAH BELAH UMAT KELAK MENDAPAT ADZAB PEDIH & WAJAHNYA MENGHITAM . MEREKA ADALAH ANJING-ANJING NERAKA JAHANNAM)
  • AWAL DOSA DAN KESALAHAN MANHAJ KHAWARIJ PEMECAH BELAH UMAT :
  • PEMECAH BELAH UMAT MANUSIA adalah MANHAJ IBLIS
  • MEMECAH BELAH UMAT TERMASUK DOSA BESAR. PELAKUNYA HARUS DIBUNUH.
  • PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH RAHMAT. PERPECAHAN DENGAN MEMPERUNCING PERBEDAAN ADALAH ADZAB
  • PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT :
  • SALING MENGHARGAI DAN MENGAKUI PENDAPAT ORANG LAIN:
  • PERPECAHAN DENGAN MEMPERUNCING PERBEDAAN ADALAH KEBURUKAN
  • UTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN
  • GUNAKAN HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT AGAR TIDAK BERPECAH BELAH
  • HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM CABANG-CABANG MASALAH AGAMA
  • MACAM DAN JENIS TINGKATAN MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN
  • PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN DAN MENCELA PERBEDAAN PENDAPAT:
  • KESIMPULAN DAN TARJIH :

 ****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

PENDAHULUAN

Berdakwah dan beramar nahyi munkar adalah fardhu kifayah, sementara menjaga persatuan umat Islam adalah fardhu 'ain . Dan pemecah belah umat itu adalah anjing neraka Jahannam, dia diancam dengan adzab yang pedih dan wajahnya kelak hitam muram, sebagaimana yang disebutkan dalam empat ayat berurutan dalam surat Ali Imran ayat 103, 104, 105 dan 106.

===***===

PENJELASAN RINGKAS TAFSIR AYAT 103 HINGGA106 SURAH ALI-IMRAN:

Penjelasan ringkas tafsir dan hukum fiqih dari ayat no. 103, 104, 105 dan 106 dari surah Ali Imran.

**Ayat Ali Imran no. 103 :**

(Perintah Menjaga Persatuan Kepada seluruh Kaum Muslimin & Larangan Berpecah Belah)

﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ﴾

Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk. **[Al Imran: 103]**

Perintah menjaga persatuan dan larangan berpecah belah dalam ayat diatas ditujukan kepada seluruh umat Islam, sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat Allah.

Perintah pada ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa menjaga persatuan itu hukumnya fardhu ‘ain alias wajib bagi setiap individu muslim dan muslimah.

****

**Ayat Ali Imran no. 104 :**

(Perintah Berdakwah & Amar Ma’ruf Nahyi kepada Sebagian Kaum Mulimin).

﴿وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ﴾

“Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Kata ( مِنْكُمْ اُمَّةٌ = di antara kalian ada sekelompok) ini sangat jelas menunjukkan bahwa berdakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar adalah "fardhu kifayah".

Dan ayat diatas diperkuat pula dengan firman Allah SWT :

﴿۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. [QS. Tawbah: 122]

****

Ayat Ali Imran no. 105 :

(Ancaman Adzab Yang Dahsyat Bagi Yang Tidak Mau Bersatu)

﴿وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ﴾

Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat [QS. Ali Imran : 104-105]

Ayat ini meskipun makna-nya umum, yaitu larangan melakukan hal apa saja yang menimbulkan perpecahan dan permusuhan, namun ayat ini disebutkannya setelah ayat perintah berdakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar. Maka larangan dalam ayat ini lebih spesifik ditujukan pada manhaj berdakwah dan beramar ma’ruf nahyi munkar, yaitu harus berusaha menghindari cara-cara dan hal-hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan permusuhan sesama umat Islam.

****

Ayat Ali Imran no. 106 :

(Pemecah Belah dan Yang Berpecah Belah adalah Manhaj Khawarij dan kelak wajah-nya Hitam Muram)

﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ﴾

“ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". [QS. Ali Imran : 106]

Dalam ayat ini terdapat ancaman bagi para pemecah belah umat, terutama para da’i yang manhaj nya berpotensi memecah belah, menimbulkan permusuhan dan pertumpahan darah.  

Para pemecah belah umat, kelak wajah-wajah mereka akan menjadi hitam muram dan mereka akan di adzab dengan adzab yang sangat pedih, dan mereka dianggap sebagai orang-orang kafir.

Ibnu Katsir ketika menafsiri ayat-ayat diatas berkata :

وَقَدْ قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ رَبِيع -وَهُوَ ابْنُ صَبِيح -وحَمَّاد بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ قَالَ: رَأَى أَبُو أُمَامَةَ رُءُوسًا مَنْصُوبَةً عَلَى دَرَج دِمَشْقَ، فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ: كِلَابُ النَّارِ، شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ، ثُمَّ قَرَأَ:

﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ﴾ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ.

قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ: أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ قَالَ: لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا -حَتَّى عَدّ سَبْعًا-مَا حَدّثتكموه.

ثُمَّ قَالَ: "هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ".

Abu Isa At-At-Tirmidzi ketika menafsiri ayat ini mengatakan : telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada karni Waki', dari Ar-Rabi' ibnu Sabih dan Hammad ibnu Salamah, dari Abu Galib yang menceritakan :

“Bahwa Abu Umamah melihat banyak kepala [kaum khawarij yang terbunuh] dipancangkan di atas tangga masuk masjid Damaskus. Maka Abu Umamah mengatakan :

"Anjing-anjing neraka adalah seburuk-buruk orang-orang yang terbunuh di kolong langit ini; sebaik-baik orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang dibunuhnya."

Kemudian Abu Umamah membacakan firman-Nya:

﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ﴾

“ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kalian kafir sesudah kalian beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu"”. [ QS. Ali Imran : 106]

Kemudian aku bertanya kepada Abu Umamah : "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ?"

Abu Umamah menjawab : "Seandainya aku bukan mendengarnya melainkan hanya sekali atau dua kali atau tiga kali atau empat kali dan bahkan sampai tujuh kali, niscaya aku tidak akan menceritakannya kepada kalian."

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. [Baca : Tafsir Ibnu katsri 2/92].

HR. Imam Ahmad (no. 22109, 22083, 22051 dan 22262) dan At-Tirmidzi (no. 3000)

Hadits ini dihukumi HASAN SHAHIH oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3000. Dan di Hasankan oleh Syeikh Muqbil al-Waadi'i dalam Ash-Shahih al-Musnad 1/408 no. 482 .

PEMECAH BELAH UMAT HARUS DIBUNUH :

Memecah belah jamaah kaum Muslimin termasuk dosa besar yang menghalalkan darah pelaku-nya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih: 

«‌مَنْ ‌أَتَاكُمْ ‌وَأَمْرُكُمْ ‌جَمِيعٌ ‌عَلَى ‌رَجُلٍ ‌وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ»

"Siapa saja orangnya yang datang kepada kalian, sementara perkara kalian dalam keadaan bersatu di bawah satu orang, lalu orang itu ingin memecah tongkat kalian (memecah belah persatuan kalian) dan memecah belah jamaah kalian, maka kalian bunuhlah dia." (HR. Muslim no. 1852)

KEKHAWATIRAN RASULULLAH

Dari Hudzaifah ibnul Yaman r.a. bahwa Rasulullah telah bersabda:

"إن مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رجُل قَرَأَ الْقُرْآنَ، حَتَّى إِذَا رُؤِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْء الْإِسْلَامِ اعْتَرَاهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ، انْسَلَخَ مِنْهُ، وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ: الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي؟ قَالَ: "بَلِ الرَّامِي".

Sesungguhnya di antara hal yang saya khawatirkan terhadap kalian ialah seorang lelaki yang pandai membaca Al-Qur’an, hingga manakala keindahan Al-Qur’an telah dapat diresapinya dan Islam adalah sikap dan perbuatannya, lalu ia tertimpa sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, maka ia tanpa sadar telah melepaskan diri dari Al-Qur’an. Dan Al-Qur'an ia lemparkan di belakang punggungnya (tidak diamalkannya), lalu ia menyerang tetangganya dengan senjata dan menuduhnya telah musyrik”.

Huzaifah ibnul Yaman bertanya : "Wahai Nabi Allah, manakah di antara keduanya yang lebih musyrik, orang yang dituduhnya ataukah si penuduhnya?"

Rasulullah menjawab : "Tidak, bahkan si penuduhlah (yang lebih utama untuk dikatakan musyrik)."

[Abu Ya'la Al-Mausuli dalam Musnad-nya (Tafsir Ibnu Katsir 3/509) dan Al-Bazzar dalam Musnadnya no. (175)] .

Predikat hadits :

Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma' (1/188): “Sanadnya hasan”. Dan Ibnu Katsir berkata: “Sanad hadis ini berpredikat jayyid”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/509)

Syeikh al-Munajjid berkata :

Dari Suwaid bin Ghoflah, ia mengatakan: Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata :

" إذا حَدَّثْتُكُمْ عن رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلَأَنْ أخِرَّ مِنَ السَّماءِ، أحَبُّ إلَيَّ مِن أنْ أكْذِبَ عليه، وإذا حَدَّثْتُكُمْ فِيما بَيْنِي وبيْنَكُمْ، فإنَّ الحَرْبَ خِدْعَةٌ.

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُول : يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ يَخْرُجُونَ مِنْ قَبَلِ الْمَشْرِقِ حُدَثَاء الْأَسْنَانِ صِغَار فِي السِّنِّ فِي الْمٌجْمَلِ سُفَهَاءَ الْأَحْلَامِ عُقُولًا طَائِشَةً يَقُولُونَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ، فِي كَلَامِهِمْ آيَاتٌ وَأَحَادِيثُ لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ عِنْدَهُمْ تَعَبُّدٌ وَلَا صَلَاتُكُمْ إِلَى صَلَاتِهِمْ بِشَيْءٍ، وَلَا صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسَبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِم، لَا يَجَاوَزُ إِيمَانُهُمْ حُنَاجِرَهُم، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُق السَّهْمُ مِنَ الرَّمْيَةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوهُم؛ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَوْ يَعْلَمُ الْجَيْشُ الَّذِينَ يُصِيبُونَهُمْ مَا قُضِيَ لَهُمْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِم ﷺ لَاتَّكَلُوا عَنْ الْعَمَلِ".

"Jika saya menyampaikan sebuah hadits kepada kalian dari Rasulullah , maka sungguh bagi saya , terjatuh dari langit adalah lebih aku sukai daripada aku mendustakannya. Dan jika saya menceritakan kepada kalian sesuatu antara saya dan kalian, maka sesungguhnya perang adalah tipu daya.

Dan aku mendengar Rasulullah bersabda:

"Di akhir jaman nanti muncul suatu kaum dari arah timur , yang umur-umur mereka masih muda, mereka pada umumnya masih bocah, mereka orang-orang yang bodoh dalam impian dan pikiran yang gegabah. Mereka mengatakan perkataan dari sebaik-baik manusia (Sunah Nabi ), dalam omongannya terdapat ayat-ayat dan hadits-hadits, yang sejatinya tidak ada hubungannya antara bacaan kalian dengan bacaan mereka. Mereka rajin ibadah . Shalat kalian tidak ada apa-apanya dibanding shalat mereka , dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibanding puasa mereka .

Mereka membaca Al-Qur'an dan menganggap bahwa Al-Qur'an adalah dalil bagi kebenaran mereka, padahal sebenarnya adalah dalil atas kesesetan mereka . Iman mereka tak sampai melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari sasarannya, dimanapun kalian menemukannya, bunuhlah dia, sebab siapa yang membunuhnya akan mendapatkan pahala pagi pelakunya di hari kiamat."

Sekiranya pasukan yang memerangi mereka tahu pahala yang telah ditetapkan bagi mereka atas lisan Nabi , niscaya mereka akan berhenti beramal (karena telah merasa lebih dari cukup dengan pahala yang sangat melimpah)".

[Lihat : Musnad Imam Ahmad no. 616 dan as-Sunnah karya Ibnu Abi 'Aashim no. 914 . Di shahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 2/45. Lihat pula : Shahih Ibnu Hibban no. 6704 & 6739 dishahihkan al-Albaani dalam adz-Dzilal (914) Q . Lihat pula : Shahih Bukhori no. 6930, Shahih Muslim no. 1066 & 1773 . Lihat pula al-Musnad al-Mawdhu'i 2/88 no. 1379].

Syeikh al-Munajjid berkata :

يَعْنِي : لَوْ عَلِمُوا الَّذِينَ يُقَاتِلُونَهُم لَوْ عَلِمُوا مَا لَهُمْ مِنَ الْأَجْرِ."

"Maksudnya: Jika mereka tahu bagi orang-orang yang berperang melawan mereka, akan mendapatkan pahala yang melimpah." 

[Sumber : "الْغُلُو وَالْخَوَارِج الْعَصْرِ"]

===****===

PENJELASAN RINCI TAFSIR DAN FIQIH AYAT 103 – 106 SURAH ALI-IMRAN:

Berikut ini Penjelasan yang lebih rinci tentang tafsir dan hukum fiqih dari ayat no. 103, 104, 105 dan 106 dari surah Ali Imran :

===****===

PEMBAHASAN PERTAMA : TAFSIR AYAT 103 QS. ALI IMRAN
(MENJAGA PERSATUAN UMAT SERTA MELINDUNGINYA DARI PERPECAHAN ADALAH FARDHU ‘AIN).

Allah SWT berfirman :

﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ﴾

Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk. **[Al Imran: 103]**

Allah SWT memerintahkan seluruh kaum muslimin untuk senantiasa Menjaga Persatuan serta melindunginya dari perpecahan dan permusuhan.

Perintah menjaga persatuan dan larangan berpecah belah dalam ayat diatas ditujukan kepada seluruh umat Islam, sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat Allah.

Perintah pada ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa menjaga persatuan itu hukumnya fardhu ‘ain alias wajib bagi setiap individu muslim dan muslimah.

****

WAJIB MENDAMAIKAN DUA KELOMPOK YANG BERMUSUHAN, MESKI SALAH SATUNYA ITU ADALAH KELOMPOK ORANG MUNAFIQ

Dalam Surat al-Hujuraat : 9-10 , Allah SWT berfirman :

﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) ﴾

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. [QS. al-Hujuraat : 9-10]

Allah Swt. berfirman memerintahkan kaum mukmin agar mendamaikan di antara dua golongan yang berperang satu sama lainnya:

﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (Al-Hujurat: 9)

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 7/374 berkata :

فَسَمَّاهُمْ مُؤْمِنِينَ مَعَ الِاقْتِتَالِ. وَبِهَذَا اسْتَدَلَّ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ مِنَ الْإِيمَانِ بِالْمَعْصِيَةِ وَإِنْ عَظُمَتْ، لَا كَمَا يَقُولُهُ الْخَوَارِجُ وَمَنْ تَابَعَهُمْ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ وَنَحْوِهِمْ

Allah menyebutkan mereka sebagai orang-orang mukmin, padahal mereka berperang satu sama lainnya.

Berdasarkan ayat ini Imam Bukhari dan lain-lainnya menyimpulkan bahwa maksiat itu tidak mengeluarkan orang yang bersangkutan dari keimanannya, betapapun besarnya maksiat itu. Tidak seperti yang dikatakan oleh kaum Khawarij dan para pengikutnya dari kalangan Mu'tazilah dan lain-lainnya (yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya).  

SEBAB TURUNNYA AYAT :

Dari Anas bin Malik  -radhiyallahu ‘anhu- , dia berkata :

" قِيلَ لِلنَّبِيِّ ﷺ، لَوْ أَتَيْتَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ؟ فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ نَبِيُّ اللَّهِ ﷺ وَرَكِبَ حِمَارًا، وَانْطَلَقَ الْمُسْلِمُونَ يَمْشُونَ، وَهِيَ أَرْضٌ سَبْخَةٌ، فَلَمَّا انْطَلَقَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ ﷺ قَالَ: "إِلَيْكَ عَنِّي، فَوَاللَّهِ لَقَدْ آذَانِي رِيحُ حِمَارِكَ" فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: وَاللَّهِ لَحِمَارُ رَسُولِ اللَّهِ أَطْيَبُ رِيحًا مِنْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ لِعَبْدِ اللَّهِ رِجَالٌ مِنْ قَوْمِهِ، فَغَضِبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَصْحَابُهُ، قَالَ: فَكَانَ بَيْنَهُمْ ضَرْبٌ بِالْجَرِيدِ وَالْأَيْدِي وَالنِّعَالِ، فَبَلَغَنَا أَنَّهُ أُنْزَلَتْ فِيهِمْ: ﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾".

“Bahwa pernah ada yang berkata kepada Nabi :

"Sebaiknya engkau datang kepada Abdullah ibnu Ubay ibnu Sallul (pemimpin kaum munafik, pent.)."

Maka Rasulullah pun berangkat menuju ke tempatnya dengan mengendarai keledainya, sedangkan orang-orang muslim berjalan kaki mengiringinya. Jalan yang mereka tempuh adalah tanah yang terjal. Setelah Nabi sampai di tempatnya, maka ia (Abdullah ibnu Ubay) berkata :

"Menjauhlah kamu dariku. Demi Allah, bau keledaimu menggangguku."

Maka seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata : "Demi Allah, sesungguhnya bau keledai Rasulullah lebih harum ketimbang baumu."

Maka sebagian kaum Abdullah ibnu Ubay marah, membela pemimpin mereka; masing-masing dari kedua belah pihak mempunyai pendukungnya. Kemudian tersebutlah di antara mereka terjadi perkelahian dengan memakai pelepah kurma, pukulan tangan, dan terompah.

Maka menurut berita yang sampai kepada kami, diturunkanlah ayat berikut berkenaan dengan mereka, yaitu firman Allah Swt: 

﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya....”. (Al-Hujurat: 9)

[HR. Bukhori no. 261 dan Muslim no. 1799]

Dalam ayat 9 al-Hujurat diatas, Allah SWT mengatakan “dua golongan dari orang-orang mukmin”, padahal salah satu dari keduanya adalah gerombolan gembong munafik yang jelas-jelas telah melecehkan Nabi , akan tetapi Allah SWT tidak mengatakan : antara orang-orang beriman dan orang-orang munafiq .  Subhanallah !!!

Padahal para sahabat tahu akan kejahatan dan pengkhianatan orang-orang munafik dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Sallul terhadap kaum muslimin pada saat itu , terutama terhadap Nabi dan keluarganya.

*****

TANGAN ALLAH BERSAMA MAYORITAS KAUM MUSLIMIN :

Dari Abdullah bin Umar , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :

"إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي - أَوْ قَالَ: أُمَّةَ مُحَمَّدٍ ﷺ - عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ."

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku - atau Dia berkata: umat Muhammad dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama dengan jama'ah. Barangsiapa yang menyimpang, maka dia menyimpang ke dalam neraka."

[HR. al-Tirmidzi (2167) dengan lafazh dari beliau, dan al-Hakim (397), serta Abu Nu'aim dalam 'Hilyat al-Awliya' (3/37) dengan sedikit perbedaan."

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi bersabda :

"لا يَجْمَعُ اللَّهُ هذه الأمةَ على الضَّلالةِ أبدًا، وقال: يَدُ اللَّهِ على الجَمَاعَةِ، فاتَّبِعُوا السَّوَادَ الأعظمَ، فإنهُ مَنْ شَذَّ شَذَّ في النَّارِ."

"Allah tidak akan pernah mengumpulkan umat ini dalam kesesatan. Beliau bersabda : 'Tangan Allah bersama dengan jama'ah. Oleh karena itu, ikutilah As-Sawadul A’dzam [kelompok yang mayoritas], karena sesungguhnya barangsiapa yang menyimpang, maka dia menyimpang ke dalam neraka.'"

"Diriwayatkan oleh al-abarani (12/447) (13623), dan al-Ḥākim (391) dengan lafazh dari beliau, serta al-Baihaqi dalam 'Al-Asma' wa al-Sifat' (701)."

Di shahihkan al-Albaani dalam Bidayatus Saul no. 70 dan shahih Tirmidzi (2167) tanpa lafadz “مَنْ شَذَّ”.

Mayoritas para ulama Ahli Hadits dan ulama lainnya sepakat bahwa hadits :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ

Derajatnya adalah HASAN, dikarenakan banyak nya jalur sanad dan juga banyaknya syahid penguat . Sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/384 , al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habiir 3/298-299 dan al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah 3/319-320 no. 1331.

Dalam riwayat lain : dari Anas bin Malik  -radhiyallahu ‘anhu- :

‌إِنَّ ‌أُمَّتِي ‌لا ‌تَجْتَمِعُ ‌عَلَى ‌ضَلالَةٍ، ‌فَإِذَا ‌رَأَيْتُمُ ‌الاخْتِلافَ ‌فَعَلَيْكُمْ ‌بِالسَّوَادِ ‌الأَعْظَمِ يعني الْحَقِّ وأَهْلِهِ

“Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham yaitu al haq dan ahlul haq” .

(HR. Ibnu Majah 3950, hadits hasan dengan banyaknya jalan sebagaimana dikatakan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1331)

Dari Anas bin Malik Rasulullah :

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَجَارَ أُمَّتِيْ مِنْ أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melindungi ummatku dari berkumpul (bersepakat) di atas kesesatan.

[HR. adh-Dhiyaa' dalam 'Al-Ahadits al-Mukhtarrah' (2559), dan oleh Ibnu Majah (3950), serta oleh Abd bin Humaid (1218) secara panjang lebar dengan redaksi yang serupa".

Di hasankan oleh al-Albaani dalam Takhriij Kitab as-Sunnah no. 83.

Dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitaabus Sunnah (1/41 no. 82), meriwayatkan dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ashim al-‘Asy’ari Radhiyallahu anhu.

Hadits ini dianyatakan hasan oleh syeikh al-Albaani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahihah no. 1331 setelah dikumpulkan dan digabungkan semua jalur sanadnya 

Dan diriwayatkan pula dengan sanad yang shahih dari Ibnu Mas’ud secara mawquuf.

===

Makna As-Sawadul A’dzam :

Dari Ibnu Abbaas  -radhiyallahu ‘anhu- , bahwa Nabi bersabda :

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ

“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut.

Lalu diperlihatkan kepadaku Sawaadun A’dzim [sekelompok hitam yang sangat besar], aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa Shallallhu’alaihi Wasallam dan kaumnya’.

Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar.

Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)

As-sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al-A’dzam artinya besar, agung, banyak. Sehingga as-sawaadul a’dzom secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.

Dalam terminologi syar’i, kita telah dapati bahwa as sawaadul a’dzom itu semakna dengan Al Jama’ah.

Sebagaimana penjelasan Ath-Thabari di atas :

“…Dan makna Al Jama’ah adalah as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari 13/37)

IMAM NASA’I MENULIS BAB DALAM SUNAN-NYA :

(٦ - بَابُ قَتۡلِ مَنۡ فَارَقَ الۡجَمَاعَةَ)

(6. Bab : hukum bunuh bagi siapa saja yang memecah belah jemaah kaum muslimin).

Lalu Nasa’i menyebutkan hadits nomor 4020, 4021, dan 4022 dari ‘Arfajah bin Syuraih Al-Asyja’i .

Hadits no. 4020. Dengan sanadnya dari ‘Arfajah bin Syuraih Al-Asyja’i. Beliau berkata:

رَأَيۡتُ النَّبِيَّ ﷺ عَلَى الۡمِنۡبَرِ، يَخۡطُبُ النَّاسَ، فَقَالَ: (إِنَّهُ سَيَكُونُ بَعۡدِي هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ، فَمَنۡ رَأَيۡتُمُوهُ فَارَقَ الۡجَمَاعَةَ – أَوۡ: يُرِيدُ تَفۡرِيقَ أَمۡرِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ -؛ كَائِنًا مَنۡ كَانَ فَاقۡتُلُوهُ؛ فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الۡجَمَاعَةِ؛ فَإِنَّ الشَّيۡطَانَ مَعَ مَنۡ فَارَقَ الۡجَمَاعَةَ يَرۡكُضُ)

Aku melihat Nabi  di mimbar berkhotbah kepada orang-orang. Beliau bersabda,

“Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku berbagai kerusakan, maka siapa saja yang kalian lihat dia memisahkan diri dari jemaah kaum muslimin - atau dia ingin memecah belah urusan umat Muhammad  - siapa pun dia, maka bunuhlah dia ( yakni : di bawah komando pemerintah).

Sesungguhnya tangan Allah di atas al-jama’ah (kaum muslimin yang bersatu di atas kebenaran) .

Dan sesungguhnya setan berlari bersama siapa saja yang memisahkan diri dari al-jama’ah.”

[Sahih sanadnya. Diriwayatkan pula oleh Muslim secara ringkas no. 1852 . Dishahihkan oleh as-Suyuuthi dalam al-Jaami’ ash-Shoghiir no. 4656 dan oleh syeikh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami’ no. 3621 dan dalam Ishlaahus Saajid no. 61]

Hadits no. 4021. Dengan sanadnya dari ‘Arfajah bin Syuraih. Beliau berkata: Nabi  bersabda :

(إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعۡدِي هَنَاتٌ، وَهَنَاتٌ، وَهَنَاتٌ، - وَرَفَعَ يَدَيۡهِ -؛ فَمَنۡ رَأَيۡتُمُوهُ يُرِيدُ تَفۡرِيقَ أَمۡرِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ - وَهُمۡ جَمِيعٌ – فَاقۡتُلُوهُ؛ كَائِنًا مَنۡ كَانَ مِنَ النَّاسِ). 

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi kerusakan, kerusakan, dan kerusakan—beliau mengangkat kedua tangannya—maka siapa saja yang kalian melihatnya ingin memecah belah urusan umat Muhammad  - padahal mereka dalam keadaan bersatu (di atas kebenaran) - maka bunuhlah dia (Yakni : di bawah komando pemerintah. Pen), siapa pun orang itu. 

[Sahih sanadnya. Lihat Irwaa al-Gholiil no. 2542]

Hadits no. 4022. [Sahih] Dengan sanadnya dari ‘Arfajah. Beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah  bersabda :

(سَتَكُونُ بَعۡدِي هَنَاتٌ، وَهَنَاتٌ؛ فَمَنۡ أَرَادَ أَنۡ يُفَرِّقَ أَمۡرَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ وَهُمۡ جَمۡعٌ؛ فَاضۡرِبُوهُ بِالسَّيۡفِ).

“Sepeninggalku akan terjadi kerusakan dan kerusakan. Siapa saja yang ingin memecah belah urusan umat Muhammad  padahal mereka dalam keadaan bersatu (di atas kebenaran), maka tebaslah dia dengan pedang (di bawah komando penguasa).”

[Sahih sanadnya. Lihat Irwaa al-Gholiil no. 2542]

****

JIKA INGIN DI TENGAH SYURGA YANG LAPANG, BERGABUNGLAH DENGAN JEMAAH KAUM MUSLIMIN :

Dari Ibnu 'Umar  -radhiyallahu ‘anhu- dia berkata;

Suatu ketika Umar  -radhiyallahu ‘anhu- menyampaikan pidato kepada kami di Jabiyyah. [Umar] berkata, "Wahai sekalian manusia, aku berdiri di tengah-tengah kalian sebagaimana posisi Rasulullah yang ketika itu juga berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda:

أُوصِيكُمْ بِأَصْحَابِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ حَتَّى يَحْلِفَ الرَّجُلُ وَلَا يُسْتَحْلَفُ وَيَشْهَدَ الشَّاهِدُ وَلَا يُسْتَشْهَدُ أَلَا لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنْ الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمْ الْجَمَاعَةَ

'Aku berwasiat kepada kalian dengan (melalui) para sahabat-sahabatku kemudian orang-orang setelah mereka dan orang-orang yang datang lagi setelah mereka ..... Hendaklah kalian selalu bersama Al Jama'ah. Dan janganlah kalian berpecah belah, karena setan itu selalu bersama dengan orang yang sendirian, sedangkan terhadap dua orang, ia lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan Buhbuhata Al Jannah [ditengah-tengah syurga], maka hendaklah ia komitmen untuk tetap bersama Al Jama'ah. "

[HR. Tirmidzi no. 2165 , Ahmad no. 114, al-Haakim 1/114 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah 1/42 no. 87. Di shahihkan al-Albaani dalam shahih Tirmidzi’ dan as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim].

Abu Isa berkata;

“Ini adalah hadits hasan shahih gharib bila ditinjau dari jalur ini. Dan hadits ini telah diriwayatkan pula oleh [Ibnul Mubarak] dari [Muhammad bin Suqah]. Dan telah diriwayatkan pula lebih dari satu jalur dari Umar dari Nabi ”.

Dari Fadhalah bin Ubaid  -radhiyallahu ‘anhu- , dia menuturkan bahwa Rasulullah bersabda,

ثَلاثةٌ لا تَسألْ عنهُم: رَجُلٌ فارَقَ الجَماعةَ، وعَصى إمامَه، وماتَ عاصيًا، وأمَةٌ أو عَبدٌ أبِقَ فماتَ، وامْرأةٌ غابَ عنها زَوجُها، قد كَفاها مُؤْنةَ الدُّنيا فتَبَرَّجَتْ بَعدَه، فلا تَسألْ عنهُم

وَثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ رِدَاءَهُ، فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ وَالْقَنُوطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ".

“Ada tiga golongan, jangan engkau tanyakan tentang mereka (karena mereka termasuk orang-orang yang binasa dan celaka ) :

*Orang yang meninggalkan jamaah [kaum muslimin] dan tidak taat pada pemimpinnya dan mati dalam keadaan masih tidak taat [pada pemimpinnya] .

*Budak wanita atau lelaki yang melarikan diri lalu mati.

*Dan wanita yang ditinggal pergi suaminya, dia telah dicukupi kebutuhan duniawinya lalu dia bersolek sepeninggal suaminya.

Maka janganlah kau tanyakan tentang mereka ini ! ."

Dan ada tiga golongan, jangan engkau tanyakan tentang mereka (karena mereka termasuk orang-orang yang binasa dan celaka ) :

**Orang yang mencabut selendang Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah Al-Izzah (keperkasaan);

**Orang yang meragukan perintah Allah.

**Dan orang yang berputas asa dalam mengharapkan rahmat Allah”.

(HR. Ahmad no. 23943, Al-Bazzar dalam "Musnad"-nya (3749), Ibnu Hibban (4559), At-Tabarani dalam "Al-Kabir" (18/788-789), dan Al-Hakim (1/119, 206).

Hakim mengatakan, "Sesuai syarat keduanya (Bukhari-Muslim), dan saya tidak mengetahui adanya cacat”, Adz Dzahabiy membenarkannya).

Di shahihkan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 39/368 no. 23943.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam "Al-Adab Al-Mufrad" (590), Ibnu Abi 'Asim dalam "As-Sunnah" (89), (900), dan (1060), serta At-Tabarani dalam "Al-Kabir" (18/790).

Di dalam Al-Adabul Mufrad disebutkan, "Lalu ia berhias dan pergi." Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan, "Lalu ia mengkhianati suaminya (selingkuh)," sebagai ganti, "Lalu ia berhias." (Baca : Al-Arba'un An-Nisaiyyah, hadits ke-6)

Termasuk orang yang mudah berputus asa dalam mengharapkan rahmat Allah adalah seorang da’i yang dalam berdakwahnya terburu-buru menghajer orang yang didakwahinya ketika berkali-kali menemui kegagalan. 

Dari Abu Hurairah  -radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi , bahwa beliau bersabda:

" مَن فارَقَ الجمَاعَةَ وخرَجَ من الطاعَةِ فماتَ فميتُتُهُ جاهليةٌ ".

"Barangsiapa memisahkan diri dari Jama'ah [kaum muslimin] dan keluar dari ketaatan [pada pemerintah] , lalu ia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyah”.

[HR. Muslim (1848), An-Nasa'i (4114), Ibnu Majah (3948), dan Ahmad (8061) sementara lafal ini adalah miliknya].

****

BAGAIMANA DENGAN PERKATAAN IBNU MAS’UD :
JEMAAH ITU ORANG YANG DIATAS KEBENARAN MESKIPUN DIA SENDIRIAN”.

Ibnu Mas’ud radhiyallhu ‘anhu berkata :

"إِنَّ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا الْجَمَاعَةَ، وَأَنَّ الْجَمَاعَةَ مَا وَافَقَ الْحَقَّ، وَإنْ كُنتَ وَحْدَكَ"

"Sesungguhnya mayoritas manusia telah meninggalkan jamaah [kebenaran], dan jamaah itu adalah apa yang sesuai dengan kebenaran, meski kamu sendirian".

LAFADZ ATSAR IBNU MAS’UD SECARA LENGKAP :

Dari Umar bin Maimun al-Audi, dia berkata :

صَحِبْتُ مَعَاذًا بِالْيَمَنِ فَمَا فَارَقْتُهُ حَتَّى وَارِيتُهُ بِالتُّرَابِ بِالشَّامِ، ثُمَّ صَحِبْتُ بَعْدَهُ أَفْقَهَ النَّاسِ عَبْدَ اللَّهِ بِنْ مَسْعُودٍ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: "عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ يَدَ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ"،

ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَوْمًا مِنَ الْأَيَّامِ وَهُوَ يَقُولُ: "سَيَلِي عَلَيْكُمْ وُلَاةٌ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا، فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِمِيقَاتِهَا، فَهِيَ الْفَرِيضَةُ"، وَصَلَّ مَعَهُمْ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ.

قَالَ: قُلْتُ: يَا أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ، مَا أَدْرِي مَا تُحَدِّثُونَ؟ قَالَ: "وَمَا ذَاكَ؟" قُلْتُ: تَأْمُرُنِي بِالْجَمَاعَةِ وَتُحَضِّنِي عَلَيْهَا، ثُمَّ تَقُولُ لِي: "صَلِّ الصَّلَاةَ وَحْدَكَ، وَهِيَ الْفَرِيضَةُ"، وَصَلَّ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَهِيَ نَافِلَةٌ.

قَالَ: "يَا عَمْرُو بْنَ مَيْمُونٍ، قَدْ كُنتُ أَظُنُّكَ مِنْ أَفْقَهِ أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ، تَدْرِي مَا الْجَمَاعَةُ؟" قُلْتُ: لَا. قَالَ: "إِنَّ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا الْجَمَاعَةَ، وَأَنَّ الْجَمَاعَةَ مَا وَافَقَ الْحَقَّ، وَإنْ كُنتَ وَحْدَكَ".

"Aku menemani Mu'adz di Yaman dan tidak meninggalkannya hingga aku menguburkannya di Syam.

Kemudian aku menemani orang yang paling faqiih, yaitu Abdullah bin Mas'ud. Lalu Aku mendengar beliau berkata :

'Berpegang teguhlah kalian bersama jamaah, karena tangan Allah bersama-sama jamaah.'

Kemudian, suatu hari aku mendengarnya berkata : "Kelak kalian akan dipimpin oleh para penguasa yang menunda shalat dari waktunya. Maka kalian shalatlah tepat pada waktunya, karena itu adalah fardhu. Dan shalatlah kamu bersama jamaah, karena shalat berjamaah itu sunnah bagimu ."

Aku bertanya : "Wahai para sahabat Muhammad, apa yang kalian bicarakan?"

Lalu beliau balik bertanya : "Apa itu ?"

Aku berkata : "Anda memerintahkan aku agar selalu bersama jamaah dan menganjurkanku untuk itu. Lalu anda menyuruhku untuk melaksanakan shalat sendiri-sendiri; karena shalat sendiri itu fardhu, lalu anda menyuruhku shalat berjamaah, karena shalat berjemaah itu sunnah."

Dia menjawab : "Wahai Amr bin Maimun, aku pikir kamu termasuk orang yang paling faqih di kota ini. Apakah kamu tahu apa itu jamaah?"

Aku berkata : "Tidak."

Ibnu Mas’ud berkata :

"إِنَّ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا الْجَمَاعَةَ وَأَنَّ الْجَمَاعَةَ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإن كُنْتَ وَحْدَكَ"

"Sesungguhnya mayoritas manusia telah meninggalkan jamaah [kebenaran], dan jamaah itu adalah apa yang sesuai dengan kebenaran, meski kamu sendirian".

Dalam riwayat lain :

"فَقَالَ ابْن مَسْعُود وَضَرَبَ عَلَى فَخْذِي : ’وَيْحَكَ أَنْ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى".

Ibnu Mas'ud berkata sambil memukul pahaku dan berkata dengan keras, "Wahai Amr bin Maimun, sesungguhnya mayoritas manusia telah meninggalkan jamaah (kebenaran) dan bahwa jamaah adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta'ala."

Naim bin Hammad berkata :

يَعْنِي إِذا فَسدتْ الْجَمَاعَة فَعَلَيْك بِمَا كَانَت عَلَيْهِ الْجَمَاعَة قبل أَن تفْسد ‌وَأَن ‌كنت ‌وَحدك فَإنَّك أَنْت الْجَمَاعَة حِينَئِذٍ

"Artinya, ketika jamaah telah rusak, maka kewajibanmu adalah mengikuti apa yang diterapkan oleh jamaah sebelum rusak. Dan jika kamu seorang diri (individu) pada saat itu, maka pada saat itu kamu adalah jamaah itu sendiri."

TAKHRIIJ ATSAR :

[Diriwayatkan oleh Ahmad (5/231 secara ringkas), melalui jalur nya oleh Ibnu Asakir (46/408), Adz-Dzahabi dalam "As-Siyar" (4/158-159), Abu Dawud (432), Ibnu Hibban (1481 dalam al-Ihsan), Al-Baihaqi (3/124-125), Ibnu Asakir (46/408-409), dan Al-Mizzi dalam "Tahdzib Al-Kamal" (14/351). Al-Lalakai dalam "Syarh Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah" (1/122 no.160) dari jalur Al-Auzai dari Hushan bin Atiyyah dari Abdul Rahman bin Sabit dari Amr bin Maimun, dia berkata: Lalu dia menyebutkannya.

Dan para perawinya adalah orang-orang yang thiqah (terpercaya).

Dinyatakan sahih oleh Al-Albani, seperti yang disebutkan dalam “Ta’liiq Mishkat Al-Masabih" (1/61)

====

KRONOLOGI UCAPAN IBNU MAS’UD :

Latar belakang Ucapan Ibnu Mas’ud Jama’ah adalah apa yang sesuai kebenaran, walau anda seorang diri” ini terkait dengan terjadinya perselisihan antara dirinya dengan Utsman bin Affaan beserta jumhur sahabat dan kaum muslimin dalam hal penyusunan dan penyatuan Mushaf, yang dikenal dengan Mushaf Utsmani

-----

KRONOLOGI PENYUSUNAN MUSHAF UTSMANI

Imam Bukhori dalam shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ قَدِمَ عَلَى عُثْمَانَ وَكَانَ يُغَازِي أَهْلَ الشَّأْمِ فِي فَتْحِ إِرْمِينِيَةَ وَأَذْرَبِيجَانَ مَعَ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَأَفْزَعَ حُذَيْفَةَ اخْتِلَافُهُمْ فِي الْقِرَاءَةِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ لِعُثْمَانَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَدْرِكْ هَذِهِ الْأُمَّةَ قَبْلَ أَنْ يَخْتَلِفُوا فِي الْكِتَابِ اخْتِلَافَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَأَرْسَلَ عُثْمَانُ إِلَى حَفْصَةَ أَنْ أَرْسِلِي إِلَيْنَا بِالصُّحُفِ نَنْسَخُهَا فِي الْمَصَاحِفِ ثُمَّ نَرُدُّهَا إِلَيْكِ فَأَرْسَلَتْ بِهَا حَفْصَةُ إِلَى عُثْمَانَ فَأَمَرَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَسَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَسَخُوهَا فِي الْمَصَاحِفِ وَقَالَ عُثْمَانُ لِلرَّهْطِ الْقُرَشِيِّينَ الثَّلَاثَةِ إِذَا اخْتَلَفْتُمْ أَنْتُمْ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فِي شَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ فَاكْتُبُوهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ فَإِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ فَفَعَلُوا حَتَّى إِذَا نَسَخُوا الصُّحُفَ فِي الْمَصَاحِفِ رَدَّ عُثْمَانُ الصُّحُفَ إِلَى حَفْصَةَ وَأَرْسَلَ إِلَى كُلِّ أُفُقٍ بِمُصْحَفٍ مِمَّا نَسَخُوا وَأَمَرَ بِمَا سِوَاهُ مِنْ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ صَحِيفَةٍ أَوْ مُصْحَفٍ أَنْ يُحْرَقَ .

قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي خَارِجَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ سَمِعَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ قَالَ فَقَدْتُ آيَةً مِنْ الْأَحْزَابِ حِينَ نَسَخْنَا الْمُصْحَفَ قَدْ كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهَا فَالْتَمَسْنَاهَا فَوَجَدْنَاهَا مَعَ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ ﴿ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ﴾ فَأَلْحَقْنَاهَا فِي سُورَتِهَا فِي الْمُصْحَفِ

bahwasanya; Hudzaifah bin Al Yamani datang kepada Utsman yang saat itu Hudzaifah baru selesai berperang di negara-negara Syam [Eropa] . Dan ketika dia menaklukan Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Irak, tiba-tiba disana Hudzaifah dikejutkan dengan adanya perselisihan mereka dalam Qira`ah baca al-Qur’an.

Maka Hudzaifah pun berkata kepada Utsman bin Affaan :

"Rangkullah ummat ini sebelum mereka berselisih tentang Al Qur`an sebagaimana perselisihan yang telah terjadi pada kaum Yahudi dan Nasrani."

Akhirnya, Utsman mengirim surat kepada Hafshah [Ummul Mukminin] yang berisikan :

"Tolong, kirimkanlah lembaran alquran kepada kami, agar kami dapat segera menyalinnya ke dalam lembaran yang lain, lalu kami akan segera mengembalikannya pada Anda."

Maka Hafshah pun mengirimkannya kepada Utsman. Lalu Utsman memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Al Ash dan Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam, sehingga mereka pun menyalinnya ke dalam lembaran shuhuf yang lain. Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy dari mereka :

"Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit terkait dengan Al Qur`an, maka tulislah dengan bahasa Quraisy, sebab Al Qur`an turun dengan bahasa mereka."

Kemudian mereka mengindahkan perintah itu hingga penyalinan selesai dan Utsman pun mengembalikannya ke Hafshah. Setelah itu, Utsman mengirimkan sejumlah Shuhuf yang telah disalin ke berbagai penjuru negeri kaum muslimin, dan memerintahkan untuk membakar Al Qur`an yang terdapat pada selain Shuhuf tersebut.

Ibnu Syihab berkata; [Kharijah bin Zaid] telah mengabarkan kepadaku bahwa ia mendengar [Zaid bin Tsabit] berkata :

"Kami kehilangan satu ayat dari surat Al Ahzab saat kami menyalinnya, yang sungguh aku telah mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saat beliau membacanya. Lalu kami pun mencarinya, dan ternyata kami menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit Al Anshari.

Yakni ayat :

﴿مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيْهِ ۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُ ۖوَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلً﴾

Artinya : Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya), [QS. Al-Ahzaab : 23].

Maka kami pun menggabungkannya di dalam mushhaf. [HR. Bukhori no. 4987]

As-Safaariini dalam "Ghidzaa' al-Albab" mengatakan:

وَذَكَرَ الْبُخَارِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ : ... فَلَمَّا كَانَتْ خِلَافَةُ عُثْمَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - اخْتَلَفَتْ النَّاسُ فِي الْقِرَاءَةِ. قَالَ أَنَسٌ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: اجْتَمَعَ الْقُرَّاءُ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - مِنْ ‌أَذْرَبِيجَانَ ‌وَأَرْمِينِيَةَ ‌وَالشَّامِ ‌وَالْعِرَاقِ ‌وَاخْتَلَفُوا ‌حَتَّى ‌كَادَ ‌أَنْ ‌يَكُونَ ‌بَيْنَهُمْ ‌فِتْنَةٌ، وَسَبَبُ الْخِلَافِ حِفْظُ كُلٍّ مِنْهُمْ مِنْ مَصَاحِفَ انْتَشَرَتْ فِي خِلَالِ ذَلِكَ فِي الْآفَاقِ كُتِبَتْ عَنْ الصَّحَابَةِ، كَمُصْحَفِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَمُصْحَفِ أُبَيٍّ، وَمُصْحَفِ عَائِشَةَ".

"Al-Bukhari dan At-Tirmidzi menyebutkan: ... Ketika masa khilafah Utsman - semoga Allah meridhainya - terjadi perselisihan di antara orang-orang dalam membaca Al-Qur'an.

Anas - semoga Allah meridhainya - berkata: Para qari berkumpul pada masa Utsman - semoga Allah meridhainya - dari Adzribijan, Armenia, Syam, dan Irak, dan mereka berselisih dalam qira’at hingga hampir terjadi fitnah di antara mereka. Penyebab perbedaan itu adalah karena setiap dari mereka memiliki mushaf yang tersebar luas pada saat itu di berbagai wilayah, yang ditulis oleh para Sahabat seperti mushaf Ibnu Mas'ud, mushaf Ubay bin Ka'b, dan mushaf Aisyah." [ Baca : Ghidzaa' al-Albab 1/412]

Dalam suatu riwayat, disebutkan :

"أَنَّ حُذَيْفَةَ قَدِمَ مِنْ غَزْوَةٍ فَلَمْ يَدْخُلْ بَيْتَهُ حَتَّى أَتَى عُثْمَانَ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنَينَ أَدْرِكِ النَّاسَ قَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ غَزَوْتُ فَرْجَ أرمينية ‌فإذا ‌أهل ‌الشام ‌يقرؤون ‌بِقِرَاءَةِ ‌أُبَيِّ ‌بْنِ ‌كَعْبٍ ‌فَيَأْتُونَ ‌بِمَا ‌لَمْ ‌يسمع ‌أهل ‌العراق وإذا أهل العراق يقرؤون بِقِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فَيَأْتُونَ بِمَا لَمْ يَسْمَعْ أَهْلُ الشَّامِ فَيُكَفِّرُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا".

“Bahwa Hudzaifah kembali dari sebuah peperangan dan dia tidak langsung pulang kerumahnya melainkan dia mendatangi Utsman.

Hudhaifah berkata : "Wahai Amirul Mukminin, selamatkan para manusia !." Utsman bertanya, "Apa itu ?"

Hudzaifah menjelaskan : "Saya telah beperang menaklukan Armenia, dan ternyata di sana para penduduk Syam membaca Al-Quran dengan Qira'ah Ubay bin Ka'ab , maka mereka menghadirikan qira’at yang tidak pernah didengar oleh penduduk Iraq.

Dan ternyata penduduk Iraq membaca dengan Qira'ah Abdullah bin Mas'ud, maka mereka menghadirikan qira’at yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam.

Akibatnya, sebagian mereka saling mengkafirkan sebagian yang lain."

Dalam sebuah riwayat disebutkan :

"أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ قِرَاءَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودِ وَسَمِعَ آخَرَ يَقُولُ قِرَاءَةُ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ فَغَضِبَ ثُمَّ قَامَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا كَانَ مَنْ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا واللَّهِ لَأَرْكَبَنَّ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنَينَ".

Bahwa Hudzaifah mendengar seseorang berkata : ‘ Yang benar adalah Qira'ah Abdullah bin Mas'ud’. Dan beliau juga mendengar yang lainnya berkata : ‘Yang benar adalah Qira'ah Abu Musa Al-Asy'ari’.

Mendengar hal itu, maka beliau marah, lalu beliau berdiri, memuji Allah, dan bersyukur kepada-Nya. Kemudian beliau berkata : "Seperti inilah keadaan umat-umat sebelum kalian, mereka saling berselisih. Demi, saya akan berkendara pergi menemui Amirul Mukminin."

[ Baca : Fathul Bari 9/18, Tuhfatul Ahwadzi 8/410, Tafsir ath-Tahabari 1/54 dan Faho’il al-Quran karya al-Mustaghfari 1/351]

====

PERSELISIHAN ANTARA IBNU MAS’UD DENGAN UTSMAN DAN MAYORITAS KAUM MUSLIMIN

Ketika Mushaf Utsmani selesai ditulis, maka Amirul Mukminin Utsman menjadikannya sebagai rujukan bagi seluruh umat Islam dalam mushaf mereka.

Dia memerintahkan untuk melenyapkan mushaf-mushaf selainnya yang telah ditulis oleh selainnya. Namun Ibnu Mas'ud menolak tindakan itu dan dia enggan menyerahkan mushafnya. Dia memberikan fatwa kepada orang-orang untuk menyimpan mushaf-mushaf mereka, seperti yang terdapat dalam riwayat-riwayat tentangnya...

Begitu pula mengenai masalah pembakaran mushaf selain Mushaf Utsmani, maka Ibnu Mas'ud menolak untuk menyerahkan mushafnya dan dia memerintahkan orang-orang untuk menyembunyikan mushaf-mushaf yang mereka salin untuk diri mereka sendiri sebelum mushaf Induk ...

Jadi, pad umumnya para Sahabat semuanya sepakat dengan pandangan Utsman, kecuali Ibnu Mas'ud. Oleh karena itu mereka para sahabat mengkritik tindakan Ibnu Mas'ud dan mencelanya .

Untuk menjawab kritikan dan celaan ini , maka ada indikasi -wallahu a’lam- bahwa Ibnu Mas’ud – radhiyallahu ‘anhu- membela diri dengan mengatakan :

"إِنَّ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا الْجَمَاعَةَ، وَأَنَّ الْجَمَاعَةَ مَا وَافَقَ الْحَقَّ، وَإنْ كُنتَ وَحْدَكَ"

"Sesungguhnya mayoritas manusia telah meninggalkan jamaah [kebenaran], dan jamaah itu adalah apa yang sesuai dengan kebenaran, meski kamu sendirian".

Dan dalam al-Mashoohif hal. 77 oleh Ibnu Abi Dawud disebutkan:

"Telah mengabarkan kepada kami Abdullah, dia mengatakan: Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin An-Nu'man, dia mengatakan: Telah mengabarkan kepada kami Sa'id bin Sulaiman, dia mengatakan: Telah mengabarkan kepada kami Abu Syihab, dari Al-A'masy, dari Abu Wa'il, dia berkata:

" خَطَبَنَا ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ: ﴿وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ﴾ غُلُّوا مَصَاحِفَكُمْ، وَكَيْفَ تَأْمُرُونِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَى قِرَاءَةِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، وَقَدْ قَرَأْتُ مِنْ فِي رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِضْعًا وَسَبْعِينَ سُورَةً، وَأَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ لَيَأْتِي مَعَ الْغِلْمَانِ لَهُ ذُؤَابَتَانِ، وَاللَّهِ مَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ إِلَّا وَأَنَا أَعْلَمُ فِي أَيِّ شَيْءٍ نَزَلَ، مَا أَحَدٌ أَعْلَمُ بِكِتَابِ اللَّهِ مِنِّي، وَمَا أَنَا بِخَيْرِكُمْ، وَلَوْ أَعْلَمُ مَكَانًا تَبْلُغُهُ الْإِبِلُ أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللَّهِ مِنِّي لَأَتَيْتُهُ. قَالَ أَبُو وَائِلٍ: فَلَمَّا نَزَلَ عَنِ الْمِنْبَرِ جَلَسْتُ فِي الْحِلَقِ فَمَا أَحَدٌ يُنْكِرُ مَا قَالَ".

Ibnu Mas'ud memberikan khutbah di atas mimbar dan berkata: '{Dan barangsiapa yang berbuat curang, niscaya ia membawa kecurangannya itu pada hari kiamat} (Al-Isra: 15). Barbuat curanglah kalian terhadap mushaf-mushaf kalian! Bagaimana mungkin kalian memerintahkan aku untuk membaca sesuai dengan bacaan Zaid bin Tsabit, padahal aku telah membaca Al-Qur'an langsung dari mulut Rasulullah sebanyak lebih dari tujuh puluh surah. Dan pada saat itu Zaid bin Thabit memiliki dua jambul [jalinan rambut] dikepala, dia datang dengan anak-anak lain yang masih bocah .

Demi Allah, tiada satu ayat pun yang diturunkan dalam Al-Qur'an kecuali aku mengetahui di mana ayat tersebut turun. Tidak ada seorang pun yang lebih tahu tentang Kitabullah daripada saya, dan saya bukanlah yang terbaik di antara kalian.

Jika aku mengetahui ada suatu tempat yang dapat dijangkau oleh unta, yang di sana ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah daripada aku ; maka sungguh aku akan mendatanginya'.

Abu Wa'il berkata: 'Ketika beliau turun dari mimbar, saya duduk di majlis dan tidak ada seorang pun yang menyangkal apa yang beliau katakan.'"

[Lihat : al-Mashoohif hal. 77 oleh Ibnu Abi Dawud].

Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :

أَصْلُ هَذَا مُخَرَّجٌ فِي الصَّحِيحَيْنِ وَعِنْدَهُمَا: وَلَقَدْ عَلِمَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ أَنِّي أَعْلَمُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ. وَقَوْلُ أَبِي وَائِلٍ: "‌فَمَا ‌أَحَدٌ ‌يُنْكِرُ ‌مَا ‌قَالَ"، يَعْنِي: مِنْ فَضْلِهِ وَعِلْمِهِ وَحِفْظِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Sumber pernyataan ini berasal dari hadits yang diriwayatkan dalam dua kitab hadits sahih (Al-Bukhari no. 5000 dan Muslim no. 2462), dan keduanya menyatakan: "Sesungguhnya para sahabat Muhammad mengetahui bahwa aku adalah yang paling alim di antara mereka tentang Kitabullah." Pernyataan Abu Wa'il, "Tidak ada yang menyangkal apa yang dikatakan," maksudnya adalah mengenai keutamaan, pengetahuan, dan hafalan Ibnu Mas'ud. Wallahu a’lam”. [ Baca Tafsir Ibnu Katsir 1/31]

Dalam riwayat lain :

Ibnu Mas’ud menolak Zaid bin Tsabit dengan mengatakan :

يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ أُعْزَلُ عَنْ نَسْخِ كِتَابَةِ الْمُصْحَفِ وَيَتَوَلَّاهَا رَجُلٌ وَاللَّهِ لَقَدْ أَسْلَمْتُ وَإِنَّهُ لَفِي صُلْبِ رَجُلٍ كَافِرٍ يُرِيدُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَلِذَلِكَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ اكْتُمُوا الْمَصَاحِفَ الَّتِي عِنْدَكُمْ وَغُلُّوهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ ﴿ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ﴾ فَالْقُوا اللَّهَ بِالْمَصَاحِفِ

قَالَ الزُّهْرِيُّ فَبَلَغَنِي أَنَّ ذَلِكَ كَرِهَهُ مِنْ مَقَالَةِ ابْنِ مَسْعُودٍ رِجَالٌ مِنْ أَفَاضِلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Wahai segenap kaum muslimin, aku diasingkan (tidak diikut sertakan) dalam menyalin mushaf dan hanya diurus oleh seorang lelaki (Zaid) padahal demi Allah ketika aku masuk Islam, dia masih dalam tukang rusuk orang kafir, maksudnya Zaid bin Tsabit.

Ia (Ibnu Mas'ud) juga mengatakan: Wahai seluruh penduduk Iraq, simpanlah dan sembunyikanlah mushaf-mushaf yang ada pada kalian, sesungguhnya Allah berfirman "Barangsiapa yang berlaku curang maka pada hari kiamat ia akan datang dengan apa yang telah ia curangi" mereka akan bertemu Allah dengan membawa mushaf-mushaf.

Az Zuhri berkata: Para sahabat Nabi yang terkemuka tidak menyukai ucapan Ibnu Mas'ud tersebut.

[HR. Tirmidzi 5/284 no. 3104. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih, kami hanya mengetahuinya dari haditsnya.

Dan Ibnu al-Arabi dalam Ahkamul Qur’an 2/608 berkata :

صَحِيحٌ لَا يُعْرَفُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ.

“ Shahih , tidak dikenal kecuali dari hadits Zuhri”.

Dan atsar perkataan az-Zuhri diatas diriwayatkan pula oleh Abu Ubaid (halaman 283), At-Tirmidzi (nomor: 3103), Ibn Abi Dawud dalam "Al-Mashahif" (halaman 17), dan Ibnu Asakir (33/139) dengan sanad yang sahih dari Az-Zuhri.

Mus'ab bin Sa'd berkata :

أَدْرَكْتُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ شَقَّقَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْمُصَاحِفَ؛ فَأَعْجَبَهُمْ ذَلِكَ، أَوْ قَالَ: لَمْ يَنْكَرْ ذَلِكَ مِنْهُمْ أَحَدٌ.

"Aku menyaksikan para sahabat Nabi ketika Utsman  -radhiyallahu ‘anhu- membakar mushaf-mushaf (Al-Qur'an). Hal itu membuat mereka kagum, atau ia berkata: Tidak ada satupun dari mereka yang mengingkari tindakan tersebut."

[ Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Kholqu Af’aalil ‘Ibaad hal. 86 dan al-Mustaghfiri dalam Fadloilul Qur’an 1/359 no. 422].

Dalam al-Muqoddimaat al-Asaasiyyah karya Abdullah bin Yausuf al-‘Anzi hal. 120 di sebutkan :

وَتَقَدَّمَ أَمْرُ حُذَيْفَةَ لِابْنِ مَسْعُودٍ بِأَنْ يُدْفَعَ مُصْحَفُهُ لِمَنْ كَلَّفَهُ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ بِإِزَالَةِ الْمُصَاحِفِ بِالْكُوفَةِ، وَامْتَنَعَ ابْنُ مَسْعُودٍ.

"وَهَذَا أَبُو الدَّرْدَاءِ، وَهُوَ سَيِّدُ أَهْلِ الشَّامِ، وَأَحَدُ مَنْ تَنْتَهِي إِلَيْهِمْ قِرَاءَةُ ابْنِ عَامِرٍ، يُبَلِّغُهُ صُنَيْعُ ابْنِ مَسْعُودٍ، فَلَا يَرْضَاهُ".

Sebelumnya, Hudhaifah meminta kepada Ibnu Mas'ud untuk menyerahkan mushafnya kepada mereka yang ditugaskan oleh Amirul Mukminin untuk melenyapkan mushaf-mushaf di Kufah, akan tetapi Ibnu Mas'ud menolaknya.

Dan ini Abu Darda', yang merupakan pemimpin penduduk Syam dan salah seorang qori yang mengajarkan kepada masyarakatnya dengan qira’ah Ibnu 'Amir, ketika dia mengetahui perbuatan Ibnu Mas'ud, maka dia tidak merestuinya.

Al-Qamah bin Yazid al-Nakha'i berkata :

" قَدِمْتُ الشَّامَ، فَلَقِيتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَقَالَ: كُنَّا نَعُدُّ عَبْدَ اللَّهِ حَنَّانًا، فَمَا بَالُهُ يُوَاثِبُ الْأَمِرَاءَ؟".

"Aku datang ke Syam dan bertemu dengan Abu Darda'. Dia berkata, 'Kami biasa menganggap Abdullah (Ibn Mas'ud) sebagai pendidik yang lembut, tetapi mengapa dia menentang para penguasa?'"

[ Sanad yang sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud (halaman 18) dan Ibnu Asakir (33/140) melalui jalur Abdul Salam bin Harb, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah. Dan sanadnya adalah sahih].

Asy-Syathibi mengatakan dalam al-I'tisham 2/614 :

فَلَمْ يُخَالِفْ فِي الْمَسْأَلَةِ إِلَّا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ، فَإِنَّهُ امْتَنَعَ مِنْ طَرْحِ مَا عِنْدَهُ مِنَ الْقِرَاءَةِ الْمُخَالِفَةِ لِمَصَاحِفِ عُثْمَانَ، … فَتَأَمَّلْ كَلَامَهُ، فَإِنَّهُ لَمْ يُخَالِفْ فِي جَمْعِهِ، وَإِنَّمَا خَالَفَ أَمْرًا آخَرَ.

فَلَمْ يُخَالِفْ فِي الْمَسْأَلَةِ إِلَّا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ ‌فَإِنَّهُ ‌امْتَنَعَ ‌مِنْ ‌طَرْحِ ‌مَا ‌عِنْدَهُ ‌مِنَ ‌الْقِرَاءَةِ ‌الْمُخَالِفَةِ ‌لِمَصَاحِفِ ‌عُثْمَانَ، وَقَالَ: يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ! وَيَا أَهْلَ الْكُوفَةِ: اكْتُمُوا الْمَصَاحِفَ الَّتِي عِنْدَكُمْ وَغُلُّوهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: ﴿وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ﴾ [آل عمران: 161] وَأَلْقَوْا إِلَيْهِ بِالْمَصَاحِفِ.

فَتَأَمَّلْ كَلَامَهُ فَإِنَّهُ لَمْ يُخَالِفْ فِي جَمْعِهِ، وَإِنَّمَا خَالَفَ أَمْرًا آخَرَ؛ وَمَعَ ذَلِكَ فَقَدْ قَالَ ابْنُ هِشَامٍ: بَلَغَنِي أَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ رِجَالٌ مِنْ أَفَاضِلِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Tidak ada yang menyelisih [Utsman bin Affaan] dalam masalah ini kecuali Abdullah bin Mas'ud, karena dia menolak untuk membuang apa yang dimilikinya dari qiro’at yang menyelisihi mushaf Utsman. Dia berkata, "Wahai penduduk Irak! Dan wahai penduduk Kufah! Simpanlah mushaf-mushaf yang ada di tangan kalian dan peliharalah. Sesungguhnya Allah berfirman, '{Dan barangsiapa yang curang, niscaya dia akan membawa apa yang dicuranginya pada hari kiamat}' (Ali Imran: 161).

Lalu orang-orang melemparkan mushaf-mushaf itu kepadanya .

Maka perhatikanlah perkataannya, sesungguhnya dia [Ibnu Mas’ud] tidak menentang dalam hal pengumpulannya, dan dia hanya berselisih dalam masalah lain.

"Meskipun demikian, Ibnu Hisyam mengatakan: 'Saya mendengar bahwa orang-orang terkemuka dari sahabat Rasulullah merasa tidak suka terhadap pernyataan Ibnu Mas'ud tentang hal itu.'" [Baca al-I’tishoom 2/614. Dan baca pula Majallah al-Manaar 17/833]

Ini menunjukan bahwa keberatan Abdullah bin Mas'ud - semoga Allah meridhainya - bukanlah pada hal mengumpulkan orang-orang dalam satu qira’ah tunggal, akan tetapi karena dia tidak termasuk dalam komite [lajnah] penyalinan mushaf-mushaf. Ini terbukti dengan keberatannya terhadap meninggalkan qiro’at-nya diganti dengan qira’at Zaid.

Jika seandainya ada perubahan huruf dan penghilangan dalam hal ini, maka tentunya rasa keberatan terhadap Utsman dalam pengumpulannya dalam satu qira’at tunggal lebih tepat daripada keberatan terhadap pilihannya terhadap Zaid. Karena keberatan parsial ini menunjukkan persetujuan terhadap prinsip keseluruhan dalam pengumpulan dalam satu qira’at tunggal.

Ini adalah dalil kesepakatan (ijma) atas kebenaran tindakan Utsman -semoga Allah meridhainya-. Oleh karena itu, itu adalah sahih. Adapun adanya riwayat bahwa Ibnu Mas’ud telah menentangnya, maka itu tidak mencabut Ijma’ kesepakatan ini. Karena keberatan Ibnu Mas'ud bukan terhadap prinsip dasar perbuatan Utsman, melainkan terhadap pilihan siapa yang harus melaksanakannya dan konsekuensinya. Setelah itu, dia kembali setuju dengan pendapat mayoritas.

Dari Ali bin Abi Thalib, semoga Allah meridhainya, dia berkata:

" لَوْ كُنتُ الْوَالِي وَقْتَ عُثْمَانَ لَفَعَلْتُ فِي الْمُصَاحِفِ مِثْلَ الَّذِي فَعَلَ عُثْمَانُ. فَرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَأَرْضَاهُمْ".

"Jika seandainya aku menjadi penguasa pada masa Utsman, maka aku pun pasti akan berbuat terhadap mushaf seperti yang telah dilakukan oleh Utsman." Semoga Allah meridhai mereka dan membuat mereka ridha”.

[ Baca : Kitab al-Mashahif karya Ibnu Abi Daud hal. 30]

-----

UCAPAN DAN SIKAP SAHABAT SAAT EMOSI TIDAK BOLEH DI AMALKAN

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip dari Abu Bakar al-Anbari yang mengatakan:

وَمَا بَدَا مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ مِنْ نَكِيرِ ذَلِكَ فَشَيْءٌ نَتَجَهُ الْغَضَبُ، وَلَا يُعْمَلُ بِهِ ولا يؤخذ به، ولا يشك في ان رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ‌قَدْ ‌عَرَفَ ‌بَعْدَ ‌زَوَالِ ‌الْغَضَبِ ‌عَنْهُ ‌حُسْنَ ‌اخْتِيَارِ ‌عُثْمَانَ ‌وَمَنْ ‌مَعَهُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبَقِيَ عَلَى مُوَافَقَتِهِمْ وَتَرَكَ الْخِلَافَ لَهُمْ.

"Adapun tindakan yang ditunjukkan oleh Abdullah bin Mas'ud dalam pengingkaran tersebut, maka itu sesuatu yang tampaknya sebagai ekspresi kemarahan, tidak boleh diamalkan dan tidak boleh dijadikan pegangan.

Dan tidak ada keraguan bahwa setelah kemarahan hilang dari dirinya , maka belaiu mengakui kebijakan yang baik yang diambil oleh Utsman dan para sahabat Rasulullah dan pada akhirnya beliau setuju dengan mereka serta meninggalkan perselisihan demi untuk mereka." [ Tafsir al-Qurthubi 1/53]

Lalu al-Qurthubi berkata :

فَالشَّائِعُ الذَّائِعُ الْمُتَعَالَمُ عِنْدَ أَهْلِ الرِّوَايَةِ وَالنَّقْلِ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ تَعَلَّمَ بَقِيَّةَ الْقُرْآنِ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْأَئِمَّةِ: مَاتَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ قَبْلَ أَنْ يَخْتِمَ القران

"Informasi yang umum terbesar dan diterima oleh ahli riwayat dan ilmu hadis adalah bahwa Abdullah bin Mas'ud mempelajari sisa Quran setelah wafatnya Rasulullah . Sebagian para imam menyatakan bahwa Abdullah bin Mas'ud meninggal sebelum mengkhatamkan Quran." [ Tafsir al-Qurthubi 1/53]

Ibnu Katsir dalam "Fadhail al-Qur'an" hal. 67 menyatakan:

"عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ... جَمَعَ ‌النَّاسَ ‌عَلَى ‌قِرَاءَةٍ ‌وَاحِدَةٍ؛ ‌لِئَلَّا ‌يَخْتَلِفُوا ‌فِي ‌الْقُرْآنِ، وَوَافَقَهُ عَلَى ذَلِكَ جَمِيعُ الصَّحَابَةِ، وَإِنَّمَا رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ شَيْءٌ مِنَ التَّغَضُّبِ بِسَبَبِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِمَّنْ كَتَبَ الْمَصَاحِفَ وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِغَلِّ مصاحفهم لما أمر عثمان بحرقه ماعدا الْمُصْحَفَ الْإِمَامَ، ثُمَّ رَجَعَ ابْنُ مَسْعُودٍ إِلَى الْوِفَاقِ حَتَّى قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: لَوْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُثْمَانُ لَفَعَلْتُهُ أَنَا".

"Utsman bin ‘Affaan - semoga Allah meridhainya - mengumpulkan orang-orang untuk membaca al-Qur’an dalam satu qira’at agar mereka tidak berselisih dalam membaca Al-Qur'an, dan semua sahabat setuju dengannya. Akan tetapi, ada riwayat dari Abdullah bin Mas'ud yang menunjukkan adanya kemarahan darinya dikarenakan dia tidak termasuk orang-orang yang ditugaskan untuk menyalin mushaf. "Dan ia memerintahkan para sahabatnya untuk menggulung dan menyimpan mushaf mereka ketika Utsman memerintahkan untuk membakarnya, kecuali mushaf Induk."

Kemudian, Abdullah bin Mas'ud pada akhir rujuk dan menyutujui , hingga Ali bin Abi Thalib berkata: 'Jika Utsman tidak melakukannya, niscaya aku yang akan melakukannya.' SELESAI." [ Baca pula : Tafsir Ibnu Katsir 1/28 ]

*****

UNTUK MENJAGA PERSATUAN, MAKA JANGAN SALING SOMBONG DENGAN MELAKUKAN HAL-HAL SBB :

1] SALING MERENDAHKAN KAUM ATAU GOLONGAN LAIN .

2] SALING MENCELA SESAMA KALIAN

3] SALING MEMBERI GELAR EJEKAN

4] SALING MENUDUH FASIQ .

Dalam al-Hujurat ayat no. 11, Allah SWT berfirman :

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾

“ Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum pria mengolok-olok kaum pria yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)

Dan jangan pula kaum wanita (mengolok-olokkan) kaum wanita lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).

Janganlah kamu saling mencela satu sama lain.

Dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.

Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman.

Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”. [QS. al-Hujurat : 11]

FIQH AYAT (11) SURAT AL-HUJURAT :

Allah Swt. melarang para hambanya berlaku sombong . Yang mana sebagian tanda-tanda kesombongon seseorang adalah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas . Yaitu diantaranya sbb :

PERTAMA : JANGAN SOMBONG DENGAN MENGANGGAP RENDAH & HINA ORANG LAIN.

Menghina orang lain, yakni meremehkan dan mengolok-olokannya adalah salah satu perbuatan yang muncul dari rasa sombong dan takabur . Dan ini juga merupakan salah satu faktor yang membangkitkan kebenciaan, permusuhan dan perpecahan sesama kaum muslimin . Serta meretakkan Tali persaudaraan.

Meremehkan dan mengolok-olok orang lain adalah termasuk dalam katagori kesombongan terhadap sesama makhluk, yakni meninggikan dirinya dengan cara merendahkan orang lain. Hal ini muncul karena seseorang bangga dengan dirinya sendiri dan menganggap dirinya lebih mulia dari orang lain. Kebanggaaan terhadap diri sendiri membawanya sombong terhadap orang lain, meremehkan dan menghina mereka, serta merendahkan mereka baik dengan perbuatan maupun perkataan. Rasulullah  bersabda,

بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ

“Cukuplah seseorang dikatakan berbuat jahat jika ia menganggap hina saudaranya yang muslim” (H.R. Muslim 2564). (Bahjatu Qulubill Abrar, hal 195).

Hakekat Kesombongan adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi SAW, beliau bersabda, 

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

 “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan menganggap rendah orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)

An-Nawawi rahimahullah berkata : “Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran” (Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi, 2/163, cet. Daar Ibnu Haitsam)

Dalam riwayat lain :

Dari Tsauban bin Syahr Al Asy'ari berkata; saya telah mendengar [Kuraib bin Abrahah] dia duduk bersama Abdul Malik di atas tempat tidurnya di Dair Al Murrah, dia menyebutkan tentang 'sombong' lalu Kuraib berkata; saya mendengar Abu Raihanah berkata; saya mendengar Rasulullah bersabda:

لَا يَدْخُلُ شَيْءٌ مِنْ الْكِبْرِ الْجَنَّةَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَتَجَمَّلَ بِحَبْلَانِ سَوْطِي وَشِسْعِ نَعْلِي فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِالْكِبْرِ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ إِنَّمَا الْكِبْرُ مَنْ سَفِهَ الْحَقَّ وَغَمَصَ النَّاسَ بِعَيْنَيْهِ

"Sedikit saja dari kesombongan tidak akan masuk surga, "

(Abu Raihanah) berkata; lalu ada seseorang yang berkata ; "Wahai Nabiyullah, saya senang berdandan dengan dua tali cemetiku dan tali sandalku."

Lalu Nabi bersabda: "Itu bukan termasuk kesombongan, sesungguhnya Allah Azzawajalla Maha indah dan menyukai keindahan. Sesungguhnya kesombongan itu siapa saja yang tidak mau tahu terhadap kebenaran dan meremehkan manusia dengan kedua matanya."

[HR. Ahmad 28/438 no. 17206 , Ibnu Saad (7/425), Ya'qub bin Sufyan dalam "Al-Ma'rifah wa At-Tarikh" (2/317-318), dan At-Tabarani dalam "Ash-Shamayil" (1071)

Dan disebutkan oleh Al-Haitsami dalam "Majma' Az-Zawaid" (5/133), dan dia berkata:

رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ، وَرَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي "الْكَبِيرِ" وَ"الْأَوْسَطِ".

"Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah thiqat (tepercaya), dan diriwayatkan oleh At-Tabarani dalam "Al-Kabir" dan "Al-Ausat."

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :

وَالْمُرَادُ مِنْ ذَلِكَ: احْتِقَارُهُمْ وَاسْتِصْغَارُهُمْ، وَهَذَا حَرَامٌ، فَإِنَّهُ قَدْ يَكُونُ الْمُحْتَقَرُ أَعْظَمَ قَدْرًا عِنْدَ اللَّهِ وَأَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ السَّاخِرِ مِنْهُ الْمُحْتَقِرِ لَهُ؛ وَلِهَذَا قَالَ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ﴾ ، فَنَصَّ عَلَى نَهْيِ الرِّجَالِ وَعَطَفَ بِنَهْيِ النِّسَاءِ

Makna yang dimaksud ialah menghina dan meremehkan mereka. Hal ini diharamkan karena bisa jadi orang yang diremehkannya itu lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dan lebih disukai oleh-Nya daripada orang yang meremehkannya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olokkan). (Al-Hujurat: 11)

Secara nas larangan ditujukan kepada kaum laki-laki, lalu diiringi dengan larangan yang ditujukan kepada kaum wanita”. [Tafsir Ibnu Katsir 7/376 ]

Allah Ta’ala berfirman :

﴿إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ﴾

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah  bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

“Maukah kalian aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

Allah Ta’ala berfirman,

﴿وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اللأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَجُوْرٍ﴾

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

Dari Abdullah bin Umar  -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi Muhammad bersabda:

ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikui dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri” 

(HR at-Thobroni dalam Al-Awshoth no 5452 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam as-shahihah no 1802)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah bersabda, 

” أَخْوَفُ مَا أَخَافَ عَلَى أُمَّتِي ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيهِ

"Di antara perkara yang sangat aku takutkan akan menimpa umatku adalah tiga hal yang membinasakan; kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ketakjuban setiap orang yang memiliki pendapat terhadap pendapatnya".

Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam "Musnad"-nya (1/59 - Kashf al-Astaar), Abu Nu'aim dalam "Al-Hilyah" (2/160), dan Al-Bayhaqi dalam "Syu'ab al-Iman" (5/112) dari Anas bin Malik.

Dan dalam bab ini dari sejumlah sahabat, dan telah dikeluarkan oleh Al-Albani dalam "As-Silsilah As-Sahihah" (1802) dan dia memberikan status hadits ini sebagai hasan dengan pertimbangan seluruh jalur. Al-Mundziri juga telah mendahuluinya dalam "At-Targhib wa At-Tarhib" (1/286).

Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda:

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي حُلَّةٍ ، تُعْجِبُهُ نَفْسُهُ، مُرَجِّلٌ جُمَّتَهُ، إِذْ خَسَفَ اللَّهُ بِهِ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ

“Seorang lelaki yang sedang berjalan dengan pakaian mewah yang membuat dirinya kagum, dan rambutnya tersisir rapi, tiba-tiba Allah membuat lelaki itu tertelan oleh tanah longsor ; maka ia pun terus menerus berteriak ketakutan sampai hari kiamat”. (HR. Al-Bukhari no. 5789 dan Muslim no. 2088].

Dari Ibnu Umar, dia mengatakan bahwa Nabi  bersabda:

بيْنَما رَجُلٌ يَجُرُّ إزارَهُ مِنَ الخُيَلاءِ، خُسِفَ به، فَهو يَتَجَلْجَلُ في الأرْضِ إلى يَومِ القِيامَةِ

“Ketika seorang laki-laki memanjangkan kain bawahnya hingga terseret-seret karena sombong, tiba dia tertelan tanah longsor sambil menjerit-jerit sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No. 5340)

Seorang penyair berkata :

والعُجْبَ فَاحْذَرْهُ إِنَّ الْعُجْبَ مُجْتَرِفٌ *** أَعْمَالَ صَاحبِهِ فِي سَيْلِهِ الْعَرِمِ

“Jauhilah penyakit ujub [sombong], sesungguhnya penyakit ujub akan menggeret amalan pelakunya ke dalam aliran deras arusnya”. [ Syarah Muqoddimah Ibnu Majah karya Abu Abdillah al-Qozwiini 9/8 dan Syarah Risalah Abi Daud Li Ahli Makkah oleh Abdul Karim al-Hudhair 3/211].

MERASA SUCI ADALAH INTI KESOMBONGAN :

Allah SWT berfirman :

﴿فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ﴾

“Maka janganlah kalian mengatakan bahwa diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. ( QS. An-Najm : 32 )

Jangankan merasa suci , memberi nama seseorang dengan nama yang bermakna menunjukkan kesucian saja hukumnya dilarang .

Sebagaimana dalam hadits Muhammad bin ‘Amru bin ‘Atha dia berkata :

“Aku menamai anak perempuanku ‘Barrah’ (yang artinya: baik). Maka Zainab binti Abu Salamah berkata kepadaku, ‘Rasulullah telah melarang memberi nama anak dengan nama ini. Dahulu namaku pun Barrah, lalu Rasulullah  bersabda,

(( لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ ! )).

“Janganlah kamu menganggap dirimu telah suci, Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu siapa saja sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kalian.”

Para sahabat bertanya, “Lalu nama apakah yang harus kami berikan kepadanya? “ Beliau menjawab, “Namai dia Zainab.” (HR. Muslim no. 2142)

Imam Ath Thobari  mengatakan :

"Tidak sepantasnya seseorang memakai nama dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah nama yang menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan sebagai hakikat sifat.

Akan tetapi, dihukumi makruh jika seseorang bernama dengan nama yang langsung menunjukkan sifat dari orang yang diberi nama. Oleh karena itu, Nabi  pernah mengganti beberapa nama ke nama yang benar-benar menunjukkan sifat orang tersebut. Beliau melakukan semacam itu bukan maksud melarangnya, akan tetapi untuk maksud ikhtiyar (menunjukkan pilihan yang lebih baik)."

[ Dinukil dari Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 10/577, Darul Marifah, 1379.]

===

KEDUA : JANGAN SOMBONG DENGAN CARA SUKA MENCELA ORANG LAIN

Salah satu ciri kesombongan seseorang adalah suka mencela dan menjelek-menjelekkan orang lain . Dan ini juga merupakan salah satu faktor yang membangkitkan kebenciaan, permusuhan dan perpecahan sesama kaum muslimin . Dan meretakkan Tali persaudaraan.

Allah Swt berfirman :

﴿وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ﴾

“Dan janganlah kalian saling mencela diri kalian sendiri “. (Al-Hujurat: 11)

Makna LAMZ :

مَعْنَى اللَّمْزِ لُغَةً: لَمَزَ يَلْمِزُ فَهُوَ لَامِزٌ، وَيُقَالُ لَمَزَ الشَّخْصَ؛ أَيْ أَشَارَ إلَيْهِ بِشِفَتَيْهِ، أَوْ عَيْنَيْهِ، أَوْ يَدَيْهِ؛ لِيَعِيبَ بِتِلْكَ الْحَرَكَةِ شَخْصًا آخَرَ، مَعَ التَّكَلُّمِ بِكَلَامٍ خَفِيٍّ يُعِيبُ الشَّخْصَ، وَيُعَرَّفُ الْهَمْزُ وَاللَّمْزُ بِأَنَّهُ الِانْتِقَاصُ مِنْ شَخْصِ بَعِينِهِ أَوْ بِعَرْضِهِ تَلْمِيحًا دُونَ الصَّرَاحَةِ فِي ذَلِكَ

 وكذلك قوله: (وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ) وَقَدْ يُقْصَدُ بالْغَمْزِ بِالْعَيْنِ الْخِيَانَةُ وَالْغَدْرُ، وَهُوَ مُحَرَّمٌ أَيْضًا كَأَنْ يُعْطِي رَجُلٌ الْأَمَانَ لِشَخْصٍ يَتَحَدَّثُ إلَيْهِ، ثُمَّ يُغَمِّزُ بِعَيْنِهِ رَجُلًا آخَرَ لِيَعْتَدِي عَلَيْهِ مِنْ خَلْفِهِ، وَقَدْ يَكُونُ الْغَمْزُ بِالْعَيْنِ مِنْ رَجُلٍ إلَى امْرَأَةٍ، وَكَذَلِكَ التَّوَاصُلُ الْمُحَرَّمُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْأَجْنَبِيَةِ عَنْهُ، فَهَذَا أَيْضًا كَسَابِقِهِ دَاخَلَ فِي الْغَمْزِ الْمُنْهَى عَنْهُ، وَهَكَذَا فَإِنَّ الْإِسْلَامَ قَدْ حَرَّمَ الْهَمْزَ وَاللَّمْزَ، سَوَاءٌ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ الطَّعْنُ فِي النَّاسِ، وَالِانْتِقَاصُ مِنْهُمْ، أَوِ السُّخْرِيَّةُ وَالاِسْتِهْزَاءُ بِهِمْ، أَوِ الاِعْتِدَاءُ عَلَيْهِمْ وَخِيَانَتِهِمْ، أَوْ كَانَ بِنَظَرَاتٍ مُحَرَّمَةٍ مِنْ رَجُلٍ إلَى امْرَأَةٍ لَا تَحِلُّ لَهُ، فَكُلُّهَا حَرَّمَهَا الله -تَعَالَى- فَقَالَ: (وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ)

Menurut bahasa arti kata “لمز يلمزُ فهو لامِز ”dan jika dikatakan :  “لمز الشخص ”:

Artinya, dia mengisyaratkannya dengan kedua bibirnya, atau kedua matanya atau kedua tangannya , yang tujuannya untuk mencemarkan orang lain dengan gerakan itu , disertai kata-kata yang samar-samar yang mencemarkan nama baik orang tersebut,

Begitu juga dengan firman Allah SWT :

(وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ)

Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.( QS. At-Taubah : 58).

Yang di makasud dengan kata “ لمز “ dari kalimat “ يلمزك “ adalah mengedipkan mata dengan tujuan pengkhianatan dan kelicikan, dan itu diharamkan , contohnya seperti seseorang memberikan perlindungan keamanan kepada seseorang yang dia ajak bicara  namun dia mengedipkan matanya pada orang lain agar menyerangnya dari belakang . Dan bisa juga kedipan mata dari seorang pria kepada seorang wanita . Dan begitu juga melakukan komunikasi yang diharamkan antara pria dan wanita non-mahram.

Dengan demikian, Islam melarang pengumpatan ( همز )  dan pencemaran ( لمز ), terlepas apakah yang dia lakukan itu berdampak pada hilangnya kepercayaan pada sekelompok manusia ,  penistaan terhadap kehormatannya , atau pengolok-olokan dan perendahan martabatnya  , atau penyerangan terhadap harga dirinya dan pengkhianatan , atau dia melakukan pandangan mata yang di haramkan seperti pandangan mata dari seorang pria kepada seorang wanita yang tidak halal baginya . Semua itu dilarang oleh Allah SWT , Dia berfirman :

(وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ)

Artinya : “ Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela “.

Termasuk dalam katagori Firman Allah Swt “ dan janganlah kalian mencela sesama kalian “ (Al-Hujurat: 11) adalah :

Menggiring opini publik untuk menyadutkan seseorang dan rame-rame mencela serta mengolok-oloknya” .

Al-Hafidz Ibnu katsir berkata :

Makna yang dimaksud ialah janganlah kamu mencela orang lain. Pengumpat dan pencela dari kalangan kaum lelaki adalah orang-orang yang tercela lagi dilaknat, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

﴿وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ﴾

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. (Al-Humazah: 1)

Al-hamz adalah ungkapan celaan melalui perbuatan, sedangkan al-lamz adalah ungkapan celaan dengan lisan. Seperti pengertian yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

﴿هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ﴾

“yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah” (Al-Qalam: 11)

Yakni meremehkan orang lain dan mencela mereka berbuat melampaui batas terhadap mereka, dan berjalan ke sana kemari menghambur fitnah mengadu domba, yaitu mencela dengan lisan. Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. (Al-Hujurat: 11)

Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

﴿وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ﴾

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (An-Nisa: 29)

Yakni janganlah sebagian dari kamu membunuh sebagian yang lain.

Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan :

﴿وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ﴾ أَيْ: لَا يَطْعَنْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ

“sehubungan dengan makna firman-Nya: ‘dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri’. (Al-Hujurat: 11) Artinya, janganlah sebagian dari kamu mencela sebagian yang lainnya”. [ Selesai Kutipan dari Tafsir Ibnu Katsir . Lihat 7/376]

Dari [Abdullah bin Mas'ud] ia berkata; Rasulullah bersabda:

"سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ".

"Mencaci seorang muslim adalah perbuatan fasik, sedangkan membunuhnya adalah kekafiran." [HR. Bukhori no. 48 Dan Muslim no. 64 ]

ALI BIN ABI THALIB MELARANG MENCELA PERSONAL KHAWARIJ :

Para sahabat Nabi , termasuk Ali bin Thalib – radhiyallahu 'anhum – mereka hanya menyebutkan ciri dan karakter manhaj khawarij , namun mereka tidak mencaci mereka dengan menyebut nama-namanya . Bahkan mereka melarang kaum muslimin mencaci orang-orang khawarij .

Berbeda dengan kelompok Khawarij , mereka bukan saja mencaci bahkan mengkafirkan sebagian para sahabat Nabi dengan terang-terangan menyebut nama-nama mereka . Mereka mentahdzirnya dan menghajernya , bahkan berusaha membunuhnya serta menghasut orang-orang untuk memberontak .

Ibnu Abi Syaybah berkata :

Wakii'' memberi tahu kami, dia berkata: Al-A'mash memberi tahu kami, dari Amr bin Murrah, dari Abdullah bin Al-Harits, dari seorang pria dari Banu Nadhr bin Muawiyah, dia berkata:

" كُنَّا ‌عِنْدَ ‌عَلِيٍّ فَذَكَرُوا أَهْلَ النَّهْرِ فَسَبَّهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ عَلِيٌّ : لَا تَسُبُّوهُمْ ، وَلَكِنْ إِنْ خَرَجُوا عَلَى إِمَامٍ عَادِلٍ فَقَاتِلُوهُمْ ، وَإِنْ خَرَجُوا عَلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَلَا تُقَاتِلُوهُمْ ، فَإِنَّ لَهُمْ بِذَلِكَ مَقَالًا".

Kami bersama Ali, dan mereka menyebut penduduk an-Nahr [khawarij] , lalu ada seorang pria mencaci mereka, maka Ali berkata: Jangan mencerca mereka, tetapi jika mereka memberontak terhadap seorang imam yang adil, maka kalian perangilah mereka, dan jika mereka memberontak terhadap imam yang tidak adil, maka kalian jangan ikut-ikutan melawan mereka, karena mereka memiliki argument di dalamnya. [ al-Mushonnaf no. 7/559 (37916)]

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/301 berkata :

‌وَقَدْ ‌أَخْرَجَ ‌الطَّبَرِيُّ ‌بِسَنَدٍ ‌صَحِيحٍ

"Diriwayatkan ath-Thabari dengan sanad yang Shahih ".

===

KETIGA : JANGAN SOMBONG DENGAN LEMPAR GELAR BURUK PADA ORANG LAIN : 

Melekatkan dan menyematkan gelar ejekan serta hinaan pada orang lain adalah termasuk kesombangan bagi pelakunya . Dan perbuatan ini termasuk perbuatan yang menimbulkan kebencian, permusuhan dan perpecahan serta berdampak pada lenyapnya tali persaudaraan sesama muslim . Ini sangat jelas dilarang dan diharamkan .

Allah Swt berfirman :

﴿وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ﴾

“Dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”. (Al-Hujurat: 11)

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata :

Yakni janganlah kalian memanggil orang lain dengan gelar yang buruk yang tidak enak didengar oleh yang bersangkutan.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abu Jubairah ibnu Ad-Dahhak yang mengatakan :

فِينَا نَزَلَتْ فِي بَنِي سَلِمَةَ: ﴿وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ﴾ قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْمَدِينَةَ وَلَيْسَ فِينَا رَجُلٌ إِلَّا وَلَهُ اسْمَانِ أَوْ ثَلَاثَةٌ، فَكَانَ إِذَا دُعِىَ أَحَدٌ مِنْهُمْ بِاسْمٍ مِنْ تِلْكَ الْأَسْمَاءِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ يَغْضَبُ مِنْ هَذَا. فَنَزَلَتْ: ﴿وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ﴾

“Bahwa berkenaan dengan kami Bani Salamah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: 

“ dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk “. (Al-Hujurat: 11)

Ketika Rasulullah tiba di Madinah, tiada seorang pun dari kami melainkan mempunyai dua nama atau tiga nama. Tersebutlah pula apabila beliau memanggil seseorang dari mereka dengan salah satu namanya, mereka mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia marah dengan nama panggilan itu." Maka turunlah firman-Nya: dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. (Al-Hujurat: 11)

Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini dari Musa ibnu Ismail, dari Wahb, dari Daud dengan sanad yang sama.

[ HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/260), Abu Daud dalam Sunan Abi Dawud dengan nomor (4962). Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunannya dengan nomor (3268) dari jalan Da'ud bin Abi Hind. At-Tirmidzi berkata, "Hadis ini hasan sahih."]

[ Selesai Kutipan dari Tafsir Ibnu Katsir 7/376].

Ibnu Jarir ath-Thobary dalam Tafsirnya “Jaami’ al-Bayaan ” 22/301-302 mengatakan :

Dan ada yang mengatakan:

بَلْ ذَلِكَ قَوْلُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لِلرَّجُلِ الْمُسْلِمِ: يَا فَاسِقُ، يَا زَانِ

Bahwa sebenarnya itu adalah perkataan seorang Muslim kepada sesama Muslim: "Wahai orang fasik, wahai orang berbuat zina."

Berikut ini orang-orang yang mengatakan demikian:

Telah menceritakan kepada kami Hunad bin As-Sari, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Ahwas, dari Hisyam, dia berkata:

فِي قَوْلِهِ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: هُوَ قَوْلُ الرَّجُلِ لِلرَّجُلِ: يَا فَاسِقُ، يَا مُنَافِقُ.

Aku bertanya kepada Ikrimah tentang ucapan Allah, "Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Ikrimah berkata: Ini adalah perkataan seseorang kepada orang lain, "Wahai orang munafik, wahai orang kafir."

Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hisyam, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Hisyam :

عَنْ عِكْرِمَةَ فِي قَوْلِهِ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: هُوَ قَوْلُ الرَّجُلِ لِلرَّجُلِ: يَا فَاسِقُ، يَا مُنَافِقُ.

dari Ikrimah tentang ucapan-Nya, "Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Ikrimah berkata: Ini adalah perkataan seseorang kepada orang lain, "Wahai orang fasik, wahai orang munafik."

Telah menceritakan kepada kami Ibn Humaid, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muharram, dari Sufyan, dari Hisyam :

عَنْ عِكْرِمَةَ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: يَا فَاسِقُ، يَا كَافِرُ.

dari Ikrimah tentang ucapan-Nya, "Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Ikrimah berkata: Ini adalah perkataan seseorang kepada orang lain, "Wahai orang fasik, wahai orang kafir."

Dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muharram, dari Sufyan, dari Khasif:

عَنْ مُجَاهِدٍ أَوْ عِكْرِمَةَ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: يَقُولُ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: يَا فَاسِقُ، يَا كَافِرُ.

dari Mujahid atau Ikrimah tentang ucapan-Nya, "Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia berkata: Seseorang berkata kepada orang lain, "Wahai orang fasik, wahai orang kafir."

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin 'Amr, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu 'Asim, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami 'Isa, dan menceritakan kepadaku Al-Harits, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan secara keseluruhan, dari Ibnu Abi Najih:

عَنْ مُجَاهِدٍ قَوْلُهُ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: دُعِيَ رَجُلٌ بِالْكُفْرِ وَهُوَ مُسْلِمٌ.

Dari Mujahid tentang ucapan-Nya, "Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia berkata: Seseorang disebut dengan kafir padahal dia seorang Muslim.

Telah menceritakan kepada kami Basyr, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sa'id :

عَنْ قَتَادَةَ قَوْلُهُ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) يَقُولُ الرَّجُلُ: لَا تَقُلْ لِأَخِيكَ الْمُسْلِمِ: ذَاكَ فَاسِقٌ، ذَاكَ مُنَافِقٌ، نَهَى اللَّهُ الْمُسْلِمَ عَنْ ذَلِكَ وَقَدَّمَ فِيهِ.

Dari Qatadah, tentang ucapan-Nya, "Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia berkata: Seseorang berkata kepada saudaranya yang Muslim: "Dia itu fasik, dia itu munafik." Allah melarang seorang Muslim untuk melakukan itu dan mengedepankannya.

Telah menceritakan kepada kami Ibn 'Abdul A'la, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibn Thaur, dari Ma'mar :

عَنْ قَتَادَةَ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) يَقُولُ: لَا يَقُولُنَّ لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ: يَا فَاسِقُ، يَا مُنَافِقُ.

Dari Qatadah, tentang ucapan-Nya, "Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia berkata: Tidak boleh dikatakan kepada saudara Muslim, "Wahai orang fasik, wahai orang munafik."

Telah menceritakan kepadaku Yunus, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb, dia berkata:

قَالَ ابْنُ زَيْدٍ فِي قَوْلِهِ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: تَسْمِيتُهُ بِالْأَعْمَالِ السَّيِّئَةِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ؛ زَانٍ فَاسِقٌ.

Ibnu Zaid berkata tentang ucapan-Nya, "Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia berkata: Menamainya dengan perbuatan buruk setelah masuk Islam, seperti menyebutnya : pezina , fasik.

Lalu Ibnu Jarir ath-Thobary berkata :

" وَالَّذِي هُوَ أَوْلَى الْأَقْوَالِ فِي تَأْوِيلِ ذَلِكَ عِنْدِي بِالصَّوَابِ أَنْ يُقَالَ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذُكِرَهُ نَهَى الْمُؤْمِنِينَ أَنْ يَتَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ؛ وَالتَّنَابُزُ بِالْأَلْقَابِ: هُوَ دُعَاءُ الْإِنْسَانِ صَاحِبَهُ بِمَا يَكْرَهُهُ مِنْ اسْمٍ أَوْ صِفَّةٍ، وَعَمَّ اللَّهُ بِنَهْيِهِ ذَلِكَ، وَلَمْ يُخَصِّصْ بِهِ بَعْضُ الْأَلْقَابِ دُونَ بَعْضٍ، فَغَيْرُ جَائِزٍ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَنْبُزَ أَخَاهُ بِاسْمٍ يَكْرَهُهُ، أَوْ صِفَّةٍ يَكْرَهُهَا. وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ كَذَلِكَ صَحَّتِ الْأَقْوَالُ الَّتِي قَالَهَا أَهْلُ التَّأْوِيلِ فِي ذَلِكَ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا كُلَّهَا، وَلَمْ يَكُنْ بَعْضُ ذَلِكَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنْ بَعْضٍ، لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مِمَّا نَهَى اللَّهُ المُسْلِمِينَ أَنْ يَنْبُزَ بَعْضُهُم بَعْضًا".

"Dan pendapat yang menurut saya lebih tepat dalam menafsirkan hal itu adalah dikatakan :

Sesungguhnya Allah Ta'ala melarang orang-orang mukmin untuk saling mencela dengan menyematkan gelar-gelar yang buruk.

Mencela dengan gelar-gelar buruk adalah ketika seseorang memanggil temannya dengan sebutan atau sifat yang tidak disenangi oleh temannya itu .

Allah melarang hal tersebut tanpa membedakan jenis gelar, sehingga tidak diperbolehkan bagi siapapun di antara umat Islam untuk mencela saudaranya dengan nama atau sifat yang tidak disukai.

Jika hal itu memang demikian, maka pendapat-pendapat yang disampaikan oleh para ahli tafsir mengenai larangan tersebut adalah benar semuanya. Tidak ada yang lebih tepat di antara pendapat-pendapat tersebut, karena semua itu termasuk dalam larangan Allah terhadap umat Islam untuk saling mencela". [Baca : Tafsir “Jaami’ al-Bayaan karya Ibnu Jarir ath-Thobary 22/302 ]

Intinya : Ucapan dan perbuatan apa saja yang merusak tali persaudaraan sesama muslim itu dilarang dan diharamkan . Termasuk saling memanggil dengan gelar-gelar buruk yang tidak disukai oleh orang yang dipanggilnya . Itu sangat jelas diharamkan. Dan itu jika dibiarkan , akan berdampak pada permusuhan dan peperpecahan .

Waspada dengan manhaj khawarij , manhaj sekte pemecah belah umat , yang kental dengan kecongkakannya dan selalu dirinya merasa suci . Kelompok ini sangat piawai mengemas kebatilan dengan dalil shahih tapi disesuaikan dengan penafsiran yang mereka inginkan. Dan banyak sekali penafsiran-penafsiran kelompok ini yang berdampak pada permusuhan dan perpecahan , bahkan pertumpahan darah .

Contohnya : menyematkan gelar kepada orang-orang yang berbeda pendapat dengan kelompoknya dengan gelar-gelar yang menjustice sesat dan ahli neraka , umpamanya seperti gelar-gelar berikut ini :

Si Fulan atau kelompok si fulan adalah ahludh- dholal [kelompok sesat], ahlul Ahwaa [pengikut hawa nafsu], ahlul bidaa’ [para pelaku bid’ah] , ‘Ubaadul Qubuur [para penyembah kuburan] dan lain sebagainya.        

Lalu mereka kemas dengan dalil Nahyi Munkar dan Tahdzir , alasannya agar semua orang tahu dan waspada akan kesesatan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kelompoknya.

Bahkan mereka mengatakan : Dosa pelaku Bid’ah Qunut Shubuh lebih dahsyat dari pada dosa Zina , minuman keras , merampok dan membunuh ; karena perbuatan bid’ah itu dampaknya pada agama dan umat , berbeda dengan Zina dan lainnya yang dampaknya hanya pada individu . 

Penulis tanyakan pada mereka : Bid’ah yang mana dulu ? Apakah masalah khilafiyah furu’iyyah ijtihidiyyah itu dikatakan bid’ah sesat dan dosanya lebih besar dari pada zina dan membunuh ?

====

KESOMBONGAN DENGAN CARA : MERENDAHKAN, MENCELA, MENGHINA DAN PENYEMATAN GELAR BURUK PADA ORANG LAIN ADALAH PERBUATAN KEFASIKAN

Allah Swt berfirman :

﴿بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ﴾

Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) kefasikan sesudah iman. (Al-Hujurat: 11)

Ibnu Katsir berkata :

أَيْ: بِئْسَ الصِّفَةُ وَالِاسْمُ الْفُسُوقُ وَهُوَ: التَّنَابُزُ بِالْأَلْقَابِ، كَمَا كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَنَاعَتُونَ، بَعْدَمَا دَخَلْتُمْ فِي الْإِسْلَامِ وَعَقَلْتُمُوهُ

“Seburuk-buruk sifat dan nama ialah yang mengandung kefasikan yaitu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seperti yang biasa dilakukan di zaman Jahiliah bila saling memanggil di antara sesamanya Kemudian sesudah kalian masuk Islam dan berakal, lalu kalian kembali kepada tradisi Jahiliah itu”. [Tafsir Ibnu Katsir 7/376].

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata :

وَقَوْلُهُ (بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ) يَقُولُ تَعَالَى ذَكَرَهُ: وَمَنْ فَعَلَ مَا نَهَيْنَا عَنْهُ، وَتَقَدَّمَ عَلَى مَعْصِيتِنَا بَعْدَ إيمَانِهِ، فَسَخِرَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، وَلَمَزَ أَخَاهُ الْمُؤْمِنَ، وَنَبَزَهُ بِالْأَلْقَابِ، فَهُوَ فَاسِقٌ (بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ) يَقُولُ: فَلَا تَفْعَلُوا فَتَسْتَحِقُّوا إن فَعَلْتُمُوهُ أَنْ تَسُوءُوا فُسَاقًا، بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ، وَتَرُكَ ذِكْرَ مَا وَصَفْنَا مِنَ الْكَلَامِ، اكْتِفَاءً بِدَلَالَةِ قَوْلِهِ (بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ) عَلَيْهِ.

Dan firman-Nya (seburuk-buruk panggilan [gelar] adalah gelar kefasiqan setelah beriman), Allah - yang Maha Tinggi - berfirman: "Dan barangsiapa yang melakukan apa yang telah Kami larang, dan melampaui batas setelah beriman, maka sungguh, ia telah mengejek (mencela) dari kalangan orang-orang yang beriman dan menghinai saudaranya yang beriman, dan mencelanya dengan sebutan-sebutan yang buruk, maka dia adalah seorang yang fasik (Seburuk-buruknya sebutan kefasikan setelah beriman)."

Dia mengatakan: "Janganlah kalian melakukannya , jika tidak maka kalian pantas disebut sebagai orang fasik, betapa buruknya nama [gelar] kefasikan itu . Dan (janganlah) meninggalkan untuk menyebutkan apa yang telah Kami gambarkan dalam perkataan Kami, karena sudah cukup dengan menunjukkan firman-Nya (betapa buruknnya sebutan kefasikan) terhadapnya." [Baca : Tafsir “Jaami’ al-Bayaan karya Ibnu Jarir ath-Thobary 22/302 ]

Allah SWT menurunkan agama Islam ini , tujuannya adalah untuk menyatukan umat Manusia dalam agama yang satu, Tuhan Yang Satu, Kitab yang satu dan Nabi yang satu .

Allah SWT mensyari’atkan shalat berjemaah lima waktu , shalat dan shalat Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri , salah tujuannya adalah untuk membangun persaudaraan dan persatuan antara sesama kaum muslimin. Begitu pula Allah SWT mensyariatkan Ibadah Haji dan Umroh, salah tujuannya adalah untuk membangun persaudaraan dan persatauan kaum muslimin yang berskala international . Sebagaimana yang Allah SWT isyaratkan dalam firman-Nya dalam surat yang sama - al-Hujuroot - pada ayat sesudahnya no. 13 :

" يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ".

“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [ QS. al-Hujuroot : 13].

------

WAJIB BAGI SETIAP MUSLIM UNTUK MENCEGAH SIAPA SAJA & APA SAJA YANG MENJADI PENYEBAB TERJADINYA PERPECAHAN .

Allah Swt berfirman :

﴿وَمَنْ لَمْ يَتُبْ﴾

“Dan barang siapa yang tidak bertobat “. (Al-Hujurat: 11)

Yakni dari perbuatan tersebut di atas , yaitu : merendahkan orang lain , melecehkannya, mencelanya , menyematkan gelar atau panggilan buruk dan lainnya yang bisa menimbulkan kebencian, permusuhan dan perpecahan serta retaknya tali persaudaraan seagama .

Allah SWT menjelaskan tentang mereka yang tidak mau menghentikan dari hal tsb : 

﴿فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾

“ Maka mereka itulah orang-orang yang zalim “. (Al-Hujurat: 11) . [ Baca : Tafsir Ibnu Katsir 7/376]

LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN JIKA TERJADI ADANYA HAL-HAL TERSEBUT DIATAS:

Jika sudah jelas bahwa orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut diatas adalah sebuah kedzaliman pada sesama kaum muslimin ; maka wajib atas semua individu muslim untuk terjun berusaha menghilangkannya dengan langkah-langkah sbb :

Jika ada dua kelompok kaum muslimin saling menghina, saling mencela, saling melempar gelar busuk dan saling memisahkan diri alias saling hajer ; maka wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk ikut serta mendamaikan antar keduanya , hingga mereka kembali menjadi saudara seagama . Sebagaimana yang terdapat dalam dua ayat sebelumnya , yaitu Firman-Nya :

Dalam Surat al-Hujuraat : 9-10 , Allah SWT berfirman :

﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ﴾

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (QS. Al-Hujurat: 9)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) ﴾

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. [QS. al-Hujuraat : 9-10]

BAGAIMANA JIKA SALAH SATU DARI KEDUANYA MENOLAK UNTUK ISHLAAH:

Jika salah satu dari keduanya menolak untuk berdamai dan menghentikan perbuataan-perbuatan tersebut dan mereka tetap keluar memisahkan diri alias tidak mau membaur dan tidak mau bersaudara seagama , maka seluruh kaum maslimin harus bersatu untuk memeranginya hingga mereka kembali bersatu dan bersaudara seagama.

Dalam hal ini Allah SWT berfirman : 

فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9)

“Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)

====

KATA-KATA BIJAK :

Bawalah perkataan seseorang ke dalam prasangka yang terbaik !!!

Abdul Aziz bin Umar berkata: Ayahku (Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu) berkata kepadaku:

«‌يَا ‌بُنَيَّ ‌إِذَا ‌سَمِعْتَ ‌كَلِمَةً، ‌مِنَ ‌امْرِئٍ ‌مُسْلِمٍ فَلَا تَحْمِلْهَا عَلَى شَيْءٍ مِنَ الشَّرِّ مَا وَجَدْتَ لَهَا مَحْمَلًا مِنَ الْخَيْرِ»

“Wahai anakku, jika engkau mendengar suatu ucapan dari seorang muslim, maka janganlah engkau membawanya kepada sesuatu yang buruk, selama masih mungkin dibawa kepada makna yang baik”.

[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dalam al-Hilyah 5/277. Lihat pula Husnut Tanabbuh karya Najmud Din al-Ghozzy asy-Syafi’i]  

**Membahagiakan orang beriman dan menghindari mencela serta menyakitinya:**

Yahya bin Mu'adz ar-Razi berkata:

" ‌ليَكُنْ ‌حَظُّ ‌الْمُؤمِنِ ‌مِنْكَ ‌ثَلَاثةٌ: إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلَا تَضُرَّهُ، وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلَا تَغُمَّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلَا تَذُمَّهُ "

Hendaknya bagian orang beriman darimu ada tiga:

jika engkau tidak bisa memberinya manfaat, maka jangan menyakitinya;

jika engkau tidak bisa membuatnya bahagia, maka jangan membuatnya sedih;

jika engkau tidak bisa memujinya, maka jangan mencelanya.

[Diriwayatkan dengan sanadnya oleh al-Khathib al-Baghdady dalam az-Zuhud wa ar-Raqa’iq hal. 114  no. 91].

Al-‘Allamah As-Sa'di berkata:

يَنبَغِي إِدْخَالُ السُّرُورِ عَلَى الْمُؤْمِنِ، بِالْكَلَامِ اللَّيِّنِ، وَالدُّعَاءِ لَهُ، وَنَحْوِ ذَلِكَ، مِمَّا يَكُونُ فِيهِ طُمَأْنِينَةٌ وَسُكُونٌ لِقَلْبِهِ.

Hendaknya seseorang membahagiakan orang beriman dengan ucapan yang lembut, mendoakannya, dan hal-hal semisal itu, yang dapat memberi ketenangan dan ketenteraman pada hatinya. [Baca : Tafsir as-Sa’dy hal. 350]

**Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika bergaul dengan manusia.**

Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:

"خَالِطِ النَّاسَ، وَزَايِلْهُمْ، وَصَاحِبْهُمْ بِمَا يَشْتَهُونَ، وَدِينُكَ لَا تَثْلَمَنَّهُ".

Bergaullah dengan manusia, dan juga berpalinglah dari mereka. Pergaulilah mereka sesuai dengan apa yang mereka sukai, namun jangan engkau rusak agamamu.

[Diriwayatkan dengan sanadnya oleh Abu Daud as-Sajastaani dalam az-Zuhud hal. 163 no. 162].

Imam Syafi'i berkata:

«يَا يُونُسُ؛ ‌الِانْقِبَاضُ ‌عَنِ ‌النَّاسِ، ‌مَكْسَبَةٌ ‌لِلْعَدَاوَةِ، وَالِانْبِسَاطُ إِلَيْهِمْ مَجْلَبَةٌ لِقُرَنَاءِ السُّوءِ، فَكُنْ بَيْنَ الْمُنْقَبِضِ وَالْمُنْبَسَطِ»

Wahai Yunus, menjauh dari manusia akan mendatangkan permusuhan, dan terlalu terbuka kepada mereka akan menarik teman-teman yang buruk, maka bersikaplah di antara keduanya, tidak terlalu menjauh dan tidak terlalu terbuka”.

[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dalam al-Hilyah 9/122. Lihat pula Ihya Ulumud Din karya al-Ghazaly 2/242].

Al-Ashomm berkata: Telah berkata kepadaku Syaqiq al-Balkhy :  

"اصْحَبِ النَّاسَ كَمَا تُصَاحِبُ النَّارَ، خُذْ مَنْفَعَتَهَا وَاحْذَرْ أَنْ تَحْرِقَكَ".

Bergaullah dengan manusia sebagaimana engkau bergaul dengan api, ambillah manfaatnya dan waspadalah agar tidak terbakar olehnya.

[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dalam al-Hilyah 8/77 dan 10/47. Lihat pula Shofwatush Shofwah Oleh Ibnu al-Jauzy 2/339].

===***===

PEMBAHASAN KEDUA : TAFSIR AYAT 104 QS. ALI IMRAN:
(DAKWAH DAN AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR ADALAH FARDHU KIFAYAH):

Allah SWT berfirman:

﴿وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ﴾

“Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. [QS. Ali Imran : 104]

Bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar adalah fardu kifayah. Namun, menjadi kewajiban individu jika tidak ada orang lain yang mampu mengubah kemungkaran itu.

Dan ayat diatas diperkuat pula dengan firman Allah SWT :

﴿۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. [QS. Tawbah: 122]

Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 2/23 berkata:

إِنَّ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ فَرْضُ كِفَايَةٍ إِذَا قَامَ بِهِ بَعْضُ النَّاسِ سَقَطَ الْحَرَجُ عَنِ الْبَاقِينَ وَإِذَا تَرَكَهُ الْجَمِيعُ أَثِمَ كُلُّ مَنْ تَمَكَّنَ مِنْهُ بِلَا عُذْرٍ وَلَا خَوْفٍ ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنُ كَمَا إِذَا كَانَ فِي مَوْضِعٍ لَا يَعْلَمُ بِهِ الا هو أولا يَتَمَكَّنُ مِنْ إِزَالَتِهِ إِلَّا هُوَ وَكَمَنْ يَرَى زَوْجَتَهُ أَوْ وَلَدَهُ أَوْ غُلَامَهُ عَلَى مُنْكَرٍ أَوْ تَقْصِيرٍ فِي الْمَعْرُوفِ قَالَ الْعُلَمَاءُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَلَا يَسْقُطُ عَنِ الْمُكَلَّفِ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ لِكَوْنِهِ لَا يُفِيدُ فِي ظَنِّهِ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ فِعْلُهُ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

Sesungguhnya amar ma'ruf dan nahi munkar adalah fardu kifayah. Jika sebagian orang telah melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Namun jika semua orang meninggalkannya, maka berdosalah setiap orang yang mampu melakukannya tanpa ada uzur atau rasa takut.

Kemudian, amar ma'ruf dan nahi munkar bisa menjadi wajib atas individu, seperti jika ia berada di suatu tempat yang tidak diketahui oleh selain dirinya, atau tidak ada yang mampu menghilangkan kemungkaran itu kecuali dirinya. Juga seperti seseorang yang melihat istrinya, anaknya, atau pembantunya melakukan kemungkaran atau lalai dalam menjalankan kebaikan.

Para ulama rahimahumullah berkata: Tidak gugur kewajiban amar ma'ruf dan nahi munkar dari seorang mukallaf hanya karena menurutnya tidak akan memberikan pengaruh. Bahkan ia tetap wajib melakukannya, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman”.

Dan Al-Khurasyi berkata dalam *Syarh al-Mukhtashar*: 

الأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ بِشُرُوطٍ أَنْ يَكُونَ الآمِرُ عَالِمًا بِالْمَعْرُوفِ وَالْمُنْكَرِ لِئَلَّا يَنْهَى عَنْ مَعْرُوفٍ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ مُنْكَرٌ، أَوْ يَأْمُرَ بِمُنْكَرٍ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ مَعْرُوفٌ، وَأَنْ يَأْمَنَ أَنْ يُؤَدِّيَ إِنْكَارُهُ إِلَى مُنْكَرٍ أَكْبَرَ مِنْهُ، مِثْلَ أَنْ يَنْهَى عَنْ شُرْبِ خَمْرٍ فَيُؤَدِّيَ إِلَى قَتْلِ نَفْسٍ وَنَحْوِهِ، وَأَنْ يَعْلَمَ أَوْ يَظُنَّ أَنَّ إِنْكَارَهُ يُزِيلُ الْمُنْكَرَ وَأَنَّ أَمْرَهُ بِالْمَعْرُوفِ مُؤَثِّرٌ فِيهِ وَنَافِعٌ. وَبِفَقْدِ الشَّرْطَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ يَحْرُمُ الْأَمْرُ وَالنَّهْيُ، وَبِفَقْدِ الثَّالِثِ يَسْقُطُ الْوُجُوبُ وَيَبْقَى الْجَوَازُ أَوِ النَّدْبُ، وَالْمَشْهُورُ عَدَمُ اشْتِرَاطِ الْعَدَالَةِ وَإِذْنِ الْإِمَامِ. ابْنُ نَاجِي: وَيُشْتَرَطُ ظُهُورُ الْمُنْكَرِ مِنْ غَيْرِ تَجَسُّسٍ وَلَا اسْتِرَاقِ سَمْعٍ وَلَا اسْتِنْشَاقِ رِيحٍ وَلَا بَحْثٍ عَمَّا أَخْفَى بِيَدٍ أَوْ ثَوْبٍ أَوْ حَانُوتٍ، فَإِنَّهُ حَرَامٌ. اهـ

Amar makruf nahi mungkar termasuk fardhu kifayah dengan syarat-syarat: 

bahwa orang yang memerintah (kepada kebaikan) mengetahui mana yang makruf dan mana yang mungkar, agar ia tidak melarang sesuatu yang makruf karena disangkanya mungkar, atau memerintahkan sesuatu yang mungkar karena disangkanya makruf; 

dan ia merasa aman bahwa larangannya tidak akan mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar darinya, seperti melarang meminum khamr yang malah berujung pada pembunuhan jiwa dan semisalnya; serta ia mengetahui atau mengira kuat bahwa larangannya akan menghilangkan kemungkaran, dan perintahnya kepada kebaikan berpengaruh serta bermanfaat. 

Jika dua syarat pertama tidak terpenuhi, maka amar makruf nahi mungkar menjadi haram. 

Jika syarat ketiga tidak terpenuhi, maka kewajibannya gugur, dan yang tersisa hanya kebolehan atau anjuran. 

Pendapat yang masyhur menyatakan bahwa keadilan dan izin dari imam tidak disyaratkan. 

Ibnu Naji berkata: Disyaratkan agar kemungkaran itu tampak jelas, bukan hasil dari memata-matai, menguping, mencium bau, atau mencari-cari apa yang disembunyikan di balik tangan, pakaian, atau toko, karena itu hukumnya haram. Selesai. [Lihat : Syarh al-Khurosyi ‘Ala Mukhtashor Kholil 3/110].

Syeikh Bin Baaz – rahimahullah – berkata :

مَا فِي خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ فَرْضُ كِفَايَةٍ، وَلَكِنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْمُسْلِمِ، إِذَا لَمْ يَقُمْ غَيْرُهُ بِهَذَا الْوَاجِبِ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ۔

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa (amar makruf nahi mungkar) adalah fardhu kifayah. Namun, hal itu menjadi wajib atas seorang Muslim apabila tidak ada orang lain yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka kewajiban itu menjadi khusus baginya”.

[Sumber : فَتَاوَى ٱلدُّرُوسِ حُكْمُ ٱلْأَمْرِ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱلنَّهْيِ عَنِ ٱلْمُنْكَرِ]

===***===

MANHAJ DAKWAH DAN NAHYI MUNKAR DALAM AL-QUR’AN : “SABAR, LEMBUT DAN  MENJAGA PERSATUAN”.

Allah SWT telah menegaskan dalam al-Quran bahwa manhaj berdakwah dan ber amar ma’ruf nahyi munkar harus penuh kesabaran, ketabahan, kesejukan, kedamain, menjaga persatuan dan harus berusaha menghindari hal-hal yang menimbulkan perpecahan antar sesama umat Islam.

Berikut ini sebagai contoh beberapa ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan manhaj berdakwah dan amar ma’ruf dan nahyi munkar :

CONTOH PERTAMA :
PERINTAH BERDA’WAH DENGAN PENUH HIKMAH DAN NASIHAT YANG INDAH.

Allah Azza wa Jalla berfirman

﴿اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ﴾

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (An-Nahl: 125).

Pada bagian yang berbunyi, “dengan hikmah” (An-Nahl: 125), artinya adalah untuk berprilaku yang bijaksana.

Begitu juga, seruan harus disertai dengan pengajaran yang baik. Di sini Allah berfirman, “dan pengajaran yang baik” (An-Nahl: 125), artinya seolah-olah ada pengajaran yang buruk dan pengajaran yang baik. Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar seruan dilakukan dengan pengajaran yang baik. Pengajaran di sini adalah untuk mengingatkan dan menakut-nakuti dengan Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi.

Tetapi terkadang seseorang datang untuk mengingatkan orang lain dan menakut-nakutinya dengan cara yang berlebihan, sehingga orang-orang menjadi penuh dengan ketakutan. Atau dia mungkin berlebihan dalam memberikan insentif kepada orang-orang, sehingga mereka menunda pekerjaan baik dan malas untuk melakukan amal kebajikan. Oleh karena itu, manusia perlu bersikap pertengahan dalam hal ini.

Standar manhaj dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar yang baik adalah berakhir dengan perubahan dari kebencian dan permusuhan menjadi persahabatan yang hangat dan saling mencintai. Bukan berakhir dengan permusuhan dan kebencian, serta bukan saling hajer dan tahdzir, sebagaimana yang dilakukan kaum khawarij yang berkarakter selalu merasa suci.

Dan Allah SWT berfirman :

﴿وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)﴾

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru [berdakwah] kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang muslim [berserah diri]?" [QS. Fush-shilat : (33)].

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Cegahlah (keburukan itu) dengan cara yang terbaik, sehingga tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan berubah seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (34)  

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang SABAR dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar. (35).

Contohnya : masuk Islam-nya Shofwan bin Umayyah radhiyallah ‘anhu, seorang musuh Islam, penjahat perang, pembenci Nabi , namun berkat kesabaran dan kelembutan dakwah Nabi kepadanya, dia akhir-nya masuk Islam.

Shofwan sendiri bercerita:

وَاللهِ لَقَدْ أعْطَانِى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أعْطَانِى، وَإِنَّهُ لأبْغَضُ النَّاسِ إلَىَّ، فَمَا بَرِحَ يُعْطِينِى حَتَّى إنَّهُ لأحَبُّ النَّاسِ إلَىَّ

“Demi Allah! Rasulullah telah memberikan kepadaku apa (harta) yang ia berikan, padahal ia adalah orang yang dulunya paling aku benci. Namun beliau terus-menerus memberikan pemberiannya kepadaku hingga akhirnya beliau menjadi orang yang paling aku cintai”. (HR Muslim no 2313)

*****

CONTOH KEDUA :
MANHAJ DAKWAH NABI HARUN (A.S) SENANTIASA BERUSAHA MENJAGA PERSATUAN:

Allah SWT menceritakan tentang dakwah Nabi Harun ‘alaihis salam kepada Bani Israil, saat mereka tersesat menyembah patung anak sapi. Dia mendakwahi mereka dengan penuh kesabaran dan tetap berusaha menjaga persatuan kaum-nya.

﴿وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِن قَبْلُ يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنتُم بِهِ ۖ وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَٰنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي﴾

Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu. Itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku”. [QS. ThaHa: 90]

﴿قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّىٰ يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَىٰ﴾

Mereka menjawab: “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami”. [QS. ThaHa: 91]

Lalu Allah SWT menceritkan ketika musa ‘alaihis salam kembali kepada kaumnya yang telah menyembah patung anak sapi :

﴿قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا . أَلَّا تَتَّبِعَنِ ۖ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي﴾

Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat. (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” [QS. ThaHa: 92-93]

Jawaban Nabi Harun :

﴿قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي ۖ إِنِّي خَشِيتُ أَن تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي﴾

Harun menjawab’ “Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah memecah belah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”. [TaHa: 94]

Setelah itu, Nabi Musa ‘alaihis salam pun menerima alasan Nabi Harun alaihis salam, lalu berdoa memohon ampunan kepada Allah untuk dirinya dan Nabi Harun saudara-nya:

﴿قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ ۖ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ﴾

Musa berdoa: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku (Harun) dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang”. [QS. Al-A’raf: 151].

*****

CONTOH KE TIGA :
MANHAJ DAN AKHLAQ NABI DALAM BERDAKWAH DAN BERMU’AMALAH

Allah SWT berfirman :

﴿فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ﴾

Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Dan jika kamu berlaku kasar dan kasar hatinya, niscaya mereka menjauh darimu. Maka maafkanlah mereka, dan mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam masalah itu. Dan apabila kamu telah memutuskan, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal. [QS. Ali Imran : 159].

Dan Allah SWT berfirman :

﴿وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ﴾

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Al-Qalam: 4)

Dari al-Hasan al-Bashri :

‌سُئِلَتْ ‌عَائِشَةُ ‌عَنْ ‌خُلُقِ ‌رَسُولِ ‌اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: «كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ»

Aisyah -radhiyallahu ‘anha- pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah Maka ia menjawab:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.

[Diriwayatkan oleh Ahmad (25813) dengan lafaz ini, dan juga oleh Abu Ya’la (4862), serta Ath-Thahawi dalam *Syarh Musykil al-Atsar* (4435) secara panjang lebar. Di hukumi Shahih oleh Syu’aib al-Arna’uth dan para pentahqiq al-Musnad 43/15].

Yakni sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur'an.

Dan disebutkan pula dalam hadits yang panjang tentang kisah Sa’ad bin Hisyam bin Amir ketika datang ke Madinah dan mengunjungi Aisyah Radhiyallahu ‘Anha untuk menanyakan beberapa masalah. Sa’ad bin Hisyam bin Amir berkata,

"فَقُلتُ : يَا أُمَّ المُؤمِنِينَ ! أَنبئِينِي عَن خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ قَالَت: أَلَستَ تَقرَأُ القُرآنَ؟ قُلتُ: بَلَى .قَالَت : فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ ﷺ كَانَ القُرآنَ ".

“Aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, beritahulah aku tentang akhlak Rasulullah !”

Aisyah bertanya, ‘Bukankah engkau membaca Al-Qur’an?”

Aku menjawab, “Ya.”

Ia berkata, “Sesungguhnya akhlak Nabi adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 746).

Nabi mengunjungi Abdullah bin Ubay bin Salluul, untuk memikat hatinya, padahal dia adalah seorang pemimpin kaum munafiq, musuh dan pembenci Nabi dan dakwah Islam.

Dalam Surat al-Hujuraat : 9-10 , Allah SWT berfirman :

﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) ﴾

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. [QS. al-Hujuraat : 9-10]

Allah Swt. berfirman memerintahkan kaum mukmin agar mendamaikan di antara dua golongan yang berperang satu sama lainnya:

﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (Al-Hujurat: 9)

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 7/374 berkata :

فَسَمَّاهُمْ مُؤْمِنِينَ مَعَ الِاقْتِتَالِ. وَبِهَذَا اسْتَدَلَّ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ مِنَ الْإِيمَانِ بِالْمَعْصِيَةِ وَإِنْ عَظُمَتْ، لَا كَمَا يَقُولُهُ الْخَوَارِجُ وَمَنْ تَابَعَهُمْ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ وَنَحْوِهِمْ

Allah menyebutkan mereka sebagai orang-orang mukmin, padahal mereka berperang satu sama lainnya.

Berdasarkan ayat ini Imam Bukhari dan lain-lainnya menyimpulkan bahwa maksiat itu tidak mengeluarkan orang yang bersangkutan dari keimanannya, betapapun besarnya maksiat itu. Tidak seperti yang dikatakan oleh kaum Khawarij dan para pengikutnya dari kalangan Mu'tazilah dan lain-lainnya (yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya).

SEBAB TURUNNYA AYAT :

Dari Anas bin Malik  -radhiyallahu ‘anhu- , dia berkata :

" قِيلَ لِلنَّبِيِّ ﷺ، لَوْ أَتَيْتَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ؟ فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ نَبِيُّ اللَّهِ ﷺ وَرَكِبَ حِمَارًا، وَانْطَلَقَ الْمُسْلِمُونَ يَمْشُونَ، وَهِيَ أَرْضٌ سَبْخَةٌ، فَلَمَّا انْطَلَقَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ ﷺ قَالَ: "إِلَيْكَ عَنِّي، فَوَاللَّهِ لَقَدْ آذَانِي رِيحُ حِمَارِكَ" فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: وَاللَّهِ لَحِمَارُ رَسُولِ اللَّهِ أَطْيَبُ رِيحًا مِنْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ لِعَبْدِ اللَّهِ رِجَالٌ مِنْ قَوْمِهِ، فَغَضِبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَصْحَابُهُ، قَالَ: فَكَانَ بَيْنَهُمْ ضَرْبٌ بِالْجَرِيدِ وَالْأَيْدِي وَالنِّعَالِ، فَبَلَغَنَا أَنَّهُ أُنْزَلَتْ فِيهِمْ: ﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾".

“Bahwa pernah ada yang berkata kepada Nabi :

"Sebaiknya engkau datang kepada Abdullah ibnu Ubay ibnu Sallul (pemimpin kaum munafik, pent.)."

Maka Rasulullah pun berangkat menuju ke tempatnya dengan mengendarai keledainya, sedangkan orang-orang muslim berjalan kaki mengiringinya. Jalan yang mereka tempuh adalah tanah yang terjal. Setelah Nabi sampai di tempatnya, maka ia (Abdullah ibnu Ubay) berkata :

"Menjauhlah kamu dariku. Demi Allah, bau keledaimu menggangguku."

Maka seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata : "Demi Allah, sesungguhnya bau keledai Rasulullah lebih harum ketimbang baumu."

Maka sebagian kaum Abdullah ibnu Ubay marah, membela pemimpin mereka; masing-masing dari kedua belah pihak mempunyai pendukungnya. Kemudian tersebutlah di antara mereka terjadi perkelahian dengan memakai pelepah kurma, pukulan tangan, dan terompah.

Maka menurut berita yang sampai kepada kami, diturunkanlah ayat berikut berkenaan dengan mereka, yaitu firman Allah Swt: 

﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya....”. (Al-Hujurat: 9)

[HR. Bukhori no. 261 dan Muslim no. 1799]

Dalam ayat 9 al-Hujurat diatas, Allah SWT mengatakan “dua golongan dari orang-orang mukmin”, padahal salah satu dari keduanya adalah gerombolan gembong munafik yang jelas-jelas telah melecehkan Nabi , akan tetapi Allah SWT tidak mengatakan : antara orang-orang beriman dan orang-orang munafiq .  Subhanallah !!!

Padahal para sahabat tahu akan kejahatan dan pengkhianatan orang-orang munafik dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Sallul terhadap kaum muslimin pada saat itu , terutama terhadap Nabi dan keluarganya.

Demi menjaga persatuan umat, Nabi tidak menghajer dan tidak pula mentahdzir 12 orang maunafik yang gagal membunuh Nabi , bahkan beliau merahasiakan nama-nama mereka .

Tentang 12 orang munafiq yang berkehendak membunuh Nabi , Allah swt berfirman:

﴿يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا ۚ وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ ۚ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ ۖ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ۝

Artinya : “ Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (At-Taubah: 74)

Firman Allah Swt.:

﴿وَهَمُّوا بِما لَمْ يَنالُوا

“ dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya. (At-Taubah: 74)”

Di dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ada sejumlah orang munafik yang berniat hendak membunuh Nabi dalam Perang Tabuk, yaitu di suatu malam ketika Rasulullah masih berada dalam perjalanan menuju ke arahnya. Mereka terdiri atas belasan orang lelaki. Ad-Dahhak mengatakan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka.

Hal ini jelas disebutkan dalam riwayat Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, dari Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan,

كُنْتُ آخِذًا بِخِطَامِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَقُودُ بِهِ، وَعَمَّارٌ يَسُوقُ النَّاقَةَ -أَوْ أَنَا: أَسُوقُهُ، وَعَمَّارٌ يَقُودُهُ -حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْعَقَبَةِ فَإِذَا أَنَا بِاثْنَيْ عَشَرَ رَاكِبًا قَدِ اعْتَرَضُوهُ فِيهَا، قَالَ: فَأَنْبَهْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ [بِهِمْ] فَصَرَخَ بِهِمْ فَوَلَّوْا مُدْبِرِينَ، فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "هَلْ عَرَفْتُمُ الْقَوْمَ؟ قُلْنَا: لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ كَانُوا مُتَلَثِّمِينَ، وَلَكُنَّا قَدْ عَرَفْنَا الرِّكَّابَ. قَالَ: "هَؤُلَاءِ الْمُنَافِقُونَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَهَلْ تَدْرُونَ مَا أَرَادُوا؟ " قُلْنَا: لَا. قَالَ: "أَرَادُوا أَنْ يَزْحَمُوا  رَسُولَ اللَّهِ فِي الْعَقَبَةِ، فَيُلْقُوهُ مِنْهَا". قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوَ لَا تَبْعَثُ إِلَى عَشَائِرِهِمْ حَتَّى يَبْعَثَ إِلَيْكَ كُلُّ قَوْمٍ بِرَأْسِ صَاحِبِهِمْ؟ قَالَ: "لَا أَكْرَهُ أَنْ تَتَحَدَّثَ الْعَرَبُ بَيْنَهَا أَنَّ مُحَمَّدًا قَاتَلَ بِقَوْمٍ حَتَّى إِذَا أَظْهَرَهُ اللَّهُ بِهِمْ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ يَقْتُلُهُمْ"، ثُمَّ قَالَ: "اللَّهُمَّ ارْمِهِمْ بِالدُّبَيْلَةِ". قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الدُّبَيْلَةُ؟ قَالَ: "شِهَابٌ مِنْ نَارٍ يَقَعُ عَلَى نِيَاطِ قَلْبِ أَحَدِهِمْ فَيَهْلِكُ"

"Saya memegang tali kendali unta Rasulullah seraya menuntunnya, sedangkan Ammar menggiring unta itu; atau Ammar yang menuntunnya, sedangkan saya yang menggiringnya.

Ketika kami sampai di' Aqabah, tiba-tiba kami bersua dengan dua belas lelaki penunggang kuda yang datang menghalangi jalan Rasulullah ke medan Tabuk.

Maka saya mengingatkan Rasul akan sikap mereka itu, lalu Rasulullah meneriaki mereka, dan akhirnya mereka lari mundur ke belakang.

Rasulullah bersabda kepada kami, 'Tahukah kalian siapakah kaum itu?'

Kami menjawab, 'Tidak, wahai Rasulullah, karena mereka memakai cadar. Tetapi kami mengenali mereka dari pelana-pelananya.'

Rasulullah bersabda, 'Mereka adalah orang-orang munafik sampai hari kiamat. Tahukah kalian apakah yang hendak mereka lakukan?'

Kami menjawab, 'Tidak tahu.'

Rasulullah menjawab, 'Mereka bermaksud mendesak Rasulullah di 'Aqabah. Dengan demikian, maka mereka akan menjatuhkannya ke Lembah "Aqabah.'

Kami (para sahabat) berkata. 'Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengirimkan orang kepada keluarga mereka sehingga masing-masing kaum mengirimkan kepadamu kepala teman mereka itu?'

Rasulullah bersabda, 'Jangan, aku tidak suka bila kelak orang-orang Arab mempergunjingkan di antara sesama mereka bahwa Muhammad telah berperang bersama suatu kaum, tetapi setelah Allah memberikan kemenangan kepadanya bersama mereka, lalu ia berbalik memerangi mereka.'

Kemudian Rasulullah berdoa, 'Ya Allah, lemparlah mereka dengan Dubailah' Kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah Dubailah itu?'

Rasul menjawab, 'Bara api yang mengenai bagian dalam hati seseorang di antara mereka, lalu ia binasa. ( SELESAI )

Penulis katakan : Berkenaan dengan hadits ini salah seorang ulama mengatakan :

وَبِالرَّغْمِ مِنْ وُضُوحِ هَذِهِ الْجَرِيمَةِ الْغَادِرَةِ، تَجَلَّى مَوْقِفُ النَّبِيِّ - ﷺ - الْعَظِيمُ تِجَاهَ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ، بِالتَّسَامُحِ وَالْعَفْوِ عَنْهُمْ، وَذَلِكَ حِفَاظًا عَلَى سُمْعَةِ الْفِئَةِ الْمُؤْمِنَةِ، وَمَخَافَةَ أَنْ يَقُولَ النَّاسُ: إِنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ.

Terlepas dari kejelasan kejahatan pengkhianatan ini, telah nampak sikap agung Nabi terhadap orang-orang ini dalam bentuk tasaamuh dan pemaafan bagi mereka.

Yang demikian itu beliau lalukan untuk menjaga reputasi atau nama baik orang-orang beriman, dan untuk menjaga jangan sampai orang-orang berkata: Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.

===****===

CONTOH KE EMPAT :
TAWADHU’, SENANTIASA MERASA BERSALAH DAN KURANG EFEKTIF SAAT BELUM BERHASIL

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa para nabi-nabi terdahulu dan para pengikutnya ketika mereka berdakwah dan berjuang secara maksimal di jalan Allah, lalu dengan perjuangannya itu belum juga mendapatkan hasil, mereka tidak serta merta menyalahkan orang-orang yang di dakwahinya, melainkan mereka berintrospeksi diri bahkan menyalahkan diri mereka sendiri dengan mengakui akan adanya banyak kekurangan yang ada dalam diri mereka dalam cara berdakwahnya , sebagaimana yang Allah swt firmankan:

﴿وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ﴾

Artinya : Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.

﴿وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ﴾

Tidak ada perkataan mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan (cara dakwah) kami dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. Ali Imran : 146-147)

Berdasarkan dua ayat diatas, maka seorang da’i harus sadar betul : bahwa orang-orang yang menentang dakwahnya serta mendustakan Allah dan Rasul-Nya itu bisa jadi di sebabkan oleh cara dakwahnya yang berlebihan, kurang tepat dan mudah putus asa . Lalu dia terburu-buru meng-ghibah-nya yang dikemas dengan istilah Tahdzir, memusuhinya dan mengucilkannya yang dikemas dengan istilah Hajer, dan melekatkan gelar-gelar busuk kepada yang menentang-nya, meskipun terhadap orang-orang kafir sekalipun, apalagi terhadap sesama muslim.

Sesama muslim, terutama seorang da’i tidak boleh saling mencaci dan melempar gelar busuk sesama kaum muslimin, meski terhadap kaum Khawarij sekalipun, bahkan terhadap kaum kafir dan sesembahannya. Walaupun cacian tersebut mengandung kemaslahatan, namun hal demikian dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding maslahatnya, diantaranya adalah untuk mencegah terjadinya perpecahan antar umat Islam yang membuat Islam menjadi lemah dihadapan musuhnya dan mencegah terjadinya pertumpahan darah sesama kaum muslimin.

Kita ambil pelajaran dari sikap dan tindakan Para sahabat Nabi , termasuk Ali bin Thalib – radhiyallahu 'anhum – terhadap kelompok Khawrij. Mereka hanya menyebutkan ciri dan karakter manhaj khawarij secara umum dan muthlak, namun mereka tidak menunjuk dan mencaci kaum khawarij secar khusus dengan menyebut nama-namanya. Bahkan mereka melarang keras kaum muslimin mencaci maki kaum khawarij, apalagi dengan menyebutkan nama-namanya.

Berbeda dengan kelompok Khawarij, sudah menjadi ciri khas mereka dan manhajnya adalah mencaci orang-orang yang menyelisihinya dari kaum mulimin. Cacian dan celaan tersebut mereka kemas dengan istilah tahdzir. Dan manhaj mereka yang lain nya adalah menghajer orang-orang menyelisihinya, dengan kemasan nahyi munkar atau menjauhi syubhat atau menghindari kerja sama dalam perbuatan dosa, bahkan mengklaim selain kelompoknya dengan klaiman sesat dan ahli neraka secara pasti.

Ibnu Abi Syaybah berkata : Wakii'' memberi tahu kami, dia berkata: Al-A'mash memberi tahu kami, dari Amr bin Murrah, dari Abdullah bin Al-Harits, dari seorang pria dari Banu Nadhr bin Muawiyah, dia berkata:

" كُنَّا ‌عِنْدَ ‌عَلِيٍّ فَذَكَرُوا أَهْلَ النَّهْرِ فَسَبَّهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ عَلِيٌّ : لَا تَسُبُّوهُمْ ، وَلَكِنْ إِنْ خَرَجُوا عَلَى إِمَامٍ عَادِلٍ فَقَاتِلُوهُمْ ، وَإِنْ خَرَجُوا عَلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَلَا تُقَاتِلُوهُمْ ، فَإِنَّ لَهُمْ بِذَلِكَ مَقَالًا".

Kami bersama Ali, dan mereka menyebut-nyebut kejadian yang pernah terjadi dengan penduduk an-Nahr [khawarij] , lalu ada seorang pria mencaci mereka, maka Ali berkata: Jangan mencerca mereka, tetapi jika mereka memberontak terhadap seorang imam yang adil, maka kalian perangilah mereka, dan jika mereka memberontak terhadap imam yang tidak adil, maka kalian jangan ikut-ikutan melawan mereka, karena mereka memiliki argument di dalamnya. [ al-Mushonnaf no. 7/559 (37916)]

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/301 berkata :

‌وَقَدْ ‌أَخْرَجَ ‌الطَّبَرِيُّ ‌بِسَنَدٍ ‌صَحِيحٍ

"Diriwayatkan ath-Thabari dengan sanad yang Shahih "

Terhadap orang kafir pun, Allah SWT melarang kaum muslimin mencaci maki mereka , apalagi sesama kaum muslimin , meski berbeda pendapat . Allh SWT berfirman :

﴿وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’aam (6) : 108).

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/314-315 ketika menafsiri ayat ini, dia berkata :

Allah SWT melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sembahan-sembahan orang-orang musyrik, padahal dalam makian itu mengandung maslahat, hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar dari itu.

Kerusakan yang dimaksud ialah balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum mukmin, yaitu: Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. (Al-Baqarah: 255)

Seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini. Disebutkan bahwa orang-orang musyrik berkata :

يَا مُحَمَّدُ، لَتَنْتَهِيَنَّ عَنْ سَبِّكَ آلِهَتَنَا، أَوْ لَنَهْجُوَنَّ رَبَّكَ

"Hai Muhammad, berhentilah kamu dari mencaci tuhan-tuhan kami; atau kalau tidak berhenti, kami akan balas mencaci maki Tuhanmu."

Maka Allah melarang kaum mukmin mencaci berhala-berhala sembahan kaum musyrik.

﴿فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾

"Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". (Al-An'am: 108)

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah :

" كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَسُبُّونَ أَصْنَامَ الْكُفَّارِ، فَيَسُبُّ الْكُفَّارُ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: ﴿وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ﴾".

Bahwa dahulu orang-orang muslim sering mencaci maki berhala-berhala orang-orang kafir, maka orang-orang kafir balas mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Oleh sebab itu, turunlah ayat ini.".

Lalu Ibnu Katsir 3/315 berkata :

"Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat (kerusakan) yang jauh lebih parah daripada maslahat adalah hal yang diperintahkan.

Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda :

"مَلْعُونٌ مِنْ سَبِّ وَالِدَيْهِ". قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ : "يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ".

" Terlaknatlah seseorang yang memaki kedua orang tuanya" .

Mereka (para sahabat) bertanya : "Ya Rasulullah, bagaimanakah seseorang dapat mencaci kedua orang tuanya sendiri?"

Rosululloh menjawab : " Dia mencaci ayah seseorang, lalu orang yang mencacinya itu membalas mencaci ayahnya. Dan dia mencela ibu seseorang, lalu orang yang mencelanya itu balas mencela ibunya".

[ HR. Al-Bukhari (5973) , Muslim (90) dan Ahmad 11/195 ].

*****

CONTOH KE LIMA :
MANHAJ DAKWAH AHLI ISTIQOMAH yang BER-AKHLAK HAMBA AR-RAHMAN.

====

MANHAJ DA’WAH DAN NAHYI MUNKAR AHLI ISTIQOMAH

Manhaj dakwah ahli istiqomah, sangat bijak, santun dan membawa kedamaian, sehingga cara ber Amar Makruf dan Nahyi Munkar nya itu mampu mengubah dari suasana permusuhan menjadi persahabatan dan persaudaraan yang hangat dan harmonis.

Manhaj ini adalah manhaj yang diperintahkan oleh Allah SWT, sebagaimana dalam firmanya :

“Cegahlah (keburukan itu) dengan cara yang terbaik, sehingga tiba-tiba orang yang antara kamu dan antara dia ada permusuhan berubah seolah-olah telah menjadi teman dekat yang sangat setia”. (QS. Fushilat : 34)

Allah SWT berfirman tentang orang-orang yang istiqomah dengan rinci , yang intinya manhaj dakwah mereka dalam ber Amar Makruf dan Nahyi Munkar sangat memperhatikan kedamaian dan persatuan , yaitu dengan cara menghilangkan segala bentuk permusuhan dan merubahnya menjadi persahabatam yang penuh kasih sayang.

Allah SWT berfirman :

﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ (30)

نَحْنُ اَوْلِيَاۤؤُكُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِ ۚوَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْٓ اَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَدَّعُوْنَ (31).

نُزُلًا مِّنْ غَفُوْرٍ رَّحِيْمٍ (32).

وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ (33)

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)

وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ﴾

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka BER-ISTIQOMAH, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kalian takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah kalian dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian" (30)

Kami adalah wali-wali kalian [pelindung-pelindung kalian] dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh apa yang kalian minta (31).

Ini turun langsung dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang , Sebagai penghormatan (bagi kalian) (32).

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru [berdakwah] kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang muslim [berserah diri]?" (33)

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Cegahlah (keburukan itu) dengan cara yang terbaik, sehingga tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan berubah seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (34)  

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang SABAR dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar. (35).

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui (36) [QS. Fushilat : 30-36]

Mulut mereka senantiasa mengeluarkan kata-kata yang membawa kedamaian, meskipun dicaci maki oleh orang-orang jahil dan dungu.

Allah SWT berfirman tentang karakter para hamba ar-Rahmaan :

﴿وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا﴾

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan [QS. Al-Furqon : 63]

Di akhir uraian ayat-ayat tentang ahli Istiqomah, Allah SWT mewanti-wanti agar waspada terhadap tipu daya syeitan yang pandai mengemas, sehingga pemahamannya terbalik . Allah SWT berfirman :

وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ﴾

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui (36) [QS. Fushilat : 33-36]

TAFSIR DAN FIQIH AYAT :

Allah SWT berfirman :

﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ (30)

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka BER-ISTIQOMAH, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kalian takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah kalian dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian" [QS. Fush-shilat : (30)]

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya berkata :

Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: kemudian mereka meneguhkan pendiriannya. (Fushshilat: 30) :

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Atha, dari Abdullah ibnu Sufyan, dari ayahnya :

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مُرْنِي بِأَمْرٍ فِي الْإِسْلَامِ لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ. قَالَ: "قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ، ثُمَّ اسْتَقِمْ" قُلْتُ: فَمَا أَتَّقِي؟ فَأَوْمَأَ إِلَى لِسَانِهِ.

bahwa seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku suatu perintah dalam Islam, yang kelak aku tidak akan bertanya lagi kepada seorang pun sesudahmu." Rasulullah . bersabda: Katakanlah, "Tuhanku ialah Allah, " kemudian teguhkanlah pendirianmu! Lelaki itu bertanya, "Lalu apakah yang harus kupelihara?” Rasulullah . mengisyaratkan ke arah lisannya (yakni menjaga mulut).

Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Syu'bah, dari Ya'la ibnu Ata dengan sanad yang sama.

[Lihat : "Al-Musnad (4/384) dan An-Nasa'i dalam As-Sunan Al-Kubra nomor (11489)”].

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, dari Abdur Rahman ibnu Ma'iz Al-Gamidi, dari Sufyan ibnu Abdullah As-Saqafi yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya :

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، حَدِّثْنِي بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ. قَالَ: "قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ، ثُمَّ اسْتَقِمْ" قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَكْثَرَ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِطَرَفِ لِسَانِ نَفْسِهِ، ثُمَّ قَالَ: "هَذَا".

"Wahai Rasulullah, sebutkanlah suatu perkara kepadaku yang kelak akan kujadikan pegangan." Rasulullah . menjawab: Katakanlah, "Tuhanku ialah Allah, " kemudian teguhkanlah pendirianmu! Kemudian aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang engkau sangat khawatirkan terhadap diriku?” Maka Rasulullah memegang ujung lisannya dan bersabda, "Ini" (yakni jaga lisanmu).

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah melalui hadis Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.

[Lihat : "Al-Musnad (3/413), Sunan At-Tirmidzi nomor (2410), dan Sunan Ibnu Majah nomor (3972)]."

Imam Muslim di dalam kitab sahihnya —juga Imam Nasai—telah mengetengahkannya melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Sufyan ibnu Abdullah As-Saqafi yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ. قَالَ: "قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ، ثُمَّ اسْتَقِمْ" وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ

 "Wahai Rasulullah, katakanlah suatu urusan kepadaku tentang Islam, yang kelak aku tidak akan menanyakannya kepada seorang pun sesudah engkau." Rasulullah . bersabda: Katakanlah, "Aku beriman kepada Allah", kemudian BER-ISTIQOMAH-LAH (berlaku lurus lah kamu) .... “, hingga akhir hadis. [HR. Muslim no. 38].

[Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 7/176]

Dan Allah SWT berfirman :

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ (36)﴾

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru [berdakwah] kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang muslim [berserah diri]?" [QS. Fush-shilat : (33)].

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Cegahlah (keburukan itu) dengan cara yang terbaik, sehingga tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan berubah seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (34)  

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang SABAR dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar. (35).

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui (36) [QS. Fushilat : 33-36]

Ibnu Katsir berkata :

أَيْ: مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ فَادْفَعْهُ عَنْكَ بِالْإِحْسَانِ إِلَيْهِ، كَمَا قَالَ عُمَرُ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] مَا عَاقَبْتَ مَنْ عَصَى اللَّهَ فِيكَ بِمِثْلِ أَنْ تُطِيعَ اللَّهَ فِيهِ

Maksudnya, barang siapa yang berbuat jahat terhadap dirimu, Cegahlah kejahatan itu darimu dengan cara berbuat baik kepada pelakunya. Seperti yang dikatakan oleh Umar r.a., "Hukuman yang setimpal bagi orang yang durhaka kepada Allah karena menyakitimu ialah dengan cara kamu berbuat taat kepada Allah dalam menghadapinya." [ Tafsir Ibnu Katsir 7/181].

-----

Firman Allah Swt.:

﴿فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ﴾

“Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. (Fushshilat: 34)

Yang dimaksud dengan hamim ialah teman setia. Yakni jika engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadamu, maka kebaikan yang kamu ulurkan kepadanya akan melunakkan hatinya dan berbalik menyukai dan menyenangimu, hingga seakan-akan dia menjadi teman yang dekat denganmu dan akan tertanamlah di dalam hatinya rasa kasihan kepadamu dan ingin berbuat baik kepadamu. Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:

﴿وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا﴾

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar. (Fushshilat: 35)

Artinya, perintah ini tidak dapat diterima, tidak dapat pula diamalkan kecuali hanyalah oleh orang yang sabar dalam menjalaninya, karena sesungguhnya hal ini amat berat pengamalannya.

﴿وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ﴾

dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat: 35)

Yakni orang yang mempunyai kebahagiaan yang besar dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir ayat ini :

أَمَرَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ بِالصَّبْرِ عِنْدَ الْغَضَبِ، وَالْحِلْمِ عِنْدَ الْجَهْلِ، وَالْعَفْوِ عِنْدَ الْإِسَاءَةِ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمَهُمُ اللَّهُ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَخَضَعَ لَهُمْ عَدُوُّهُمْ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk bersabar saat sedang marah (emosi), penyantun dalam menghadapi orang yang tidak mengerti, dan memaaf bila disakiti. Apabila mereka melakukan pekerti ini, maka Allah akan memelihara mereka dari godaan setan, dan menundukkan bagi mereka musuh-musuh mereka sehingga seakan-akan menjadi teman yang sangat dekat.

Dari An-Nu'man ibnu Muqarrin Al-Muzani yang mengatakan :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَسَبَّ رجلٌ رَجُلًا عِنْدَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ الرَّجُلُ الْمَسْبُوبُ يَقُولُ: عَلَيْكَ السَّلَامُ. قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "أَمَا إِنَّ مَلِكًا بَيْنَكُمَا يَذُبُّ عَنْكَ، كُلَّمَا شَتَمَكَ هَذَا قَالَ لَهُ: بَلْ أَنْتَ وَأَنْتَ أَحَقُّ بِهِ. وَإِذَا قَالَ لَهُ: عَلَيْكَ السَّلَامُ، قَالَ: لَا بَلْ عَلَيْكَ، وَأَنْتَ أَحَقُّ بِهِ. "

bahwa pada suatu hari ada seorang lelaki mencaci maki lelaki lainnya di hadapan Rasulullah ., lalu orang yang dicaci mengatakan, "'Alaikas salam (semoga keselamatan dan kedamaian bagimu)."

Maka Rasulullah . bersabda: Ingatlah, sesungguhnya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu. Setiap kali orang itu mencacimu, malaikat itu berkata, "Bahkan kamulah yang berhak, kamulah yang berhak dicaci.”Dan apabila kamu katakan kepadanya, " 'Alaikas salam," maka malaikat itu berkata, "Tidak, dia tidak berhak mendapatkannya, engkaulah yang berhak mendapatkannya.”

[[HR. Ahmad no. 23745 .

Predikat Hadits :

"Hasan lighoirihi, dan sanad (rantai perawi) ini terputus. Karena Abu Khalid Al-Walibi meriwayatkannya dari an-Nu’man ibn Muqrin secara marfu' (hadits dengan derajat marfu'), meskipun sanad ini terputus. Meskipun begitu, Al-Hafidz Ibn Kathir menganggap sanad ini hasan dalam "Tafsir"-nya  (6/132).

Dan dalam bab ini dari Abu Hurairah di dalam Shahih Bukhari dengan nomor (9624).

Dan dari Ibnu Abbas, ada dalam "Al-Adab Al-Mufrad" oleh Bukhari (419), dan dalam sanad keduanya terdapat perbedaan pendapat.

Dan dari Zaid bin Athi'ah secara marfu' (hadits dengan derajat marfu') ada pada Abdullah bin Abdul Razzaq dalam "Al-Musannaf" (20255). Dan di dalam hadits Abu Hurairah, disebutkan nama orang yang dimaksud, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, semoga Allah meridhainya.

As-Sindi berkata:

"قَالَ لَهُ: بَلْ أَنْتَ" أَيْ: قَالَ الْمَلَكُ لِلسَّابِ: بَلْ أَنْتَ كَمَا قُلْتَ."

'Malaikat berkata kepadanya: "Sebaliknya, kamu adalah orangnya," artinya, Malaikat berkata kepada sipengumpat: "Sebaliknya, kamu adalah seperti yang dia katakan.'"]]

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata :

وَقَالَ مُجَاهِدٌ: "﴿قَالُوا سَلامًا﴾ يَعْنِي: قَالُوا: سَدَادًا".

وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: "رَدُّوا مَعْرُوفًا مِنَ الْقَوْلِ".

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: "﴿قَالُوا سَلامًا﴾ ، قَالَ: حُلَمَاءُ لَا يَجْهَلُونَ".

وَإِنْ جُهِلَ عَلَيْهِمْ حَلُمُوا. يُصَاحِبُونَ عِبَادَ اللَّهِ نَهَارَهُمْ بِمَا تَسْمَعُونَ، ثُمَّ ذَكَرَ أن ليلهم خير ليل".

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Mereka mengucapkan kata-kata yang baik”. (Al-Furqan: 63) Mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung petunjuk.

Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa mereka menjawab dengan kata-kata yang baik.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan, mereka mengatakan, "Salamun 'alaikum (semoga keselamatan dan kedamaian terlimpahkan kepada kalian."

Jika mereka dinilai sebagai orang yang kurang akalnya, maka mereka bersabar. Mereka tetap bergaul dengan hamba-hamba Allah di siang harinya dan bersabar terhadap apa pun yang mereka dengar. Kemudian disebutkan bahwa pada malam harinya mereka melakukan ibadah. [ Tafsir Ibnu Katsir 6/122].

------

Firman Allah Swt.:

﴿وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ﴾

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. (Fushshilat: 36)

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata :

Kalau setan manusia barangkali dapat ditundukkan dengan bersikap baik kepadanya. Sedangkan setan jin, maka tiada cara bagi orang mukmin untuk menghindarinya bila melancarkan godaannya selain memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Menciptakannya, karena Dialah Yang menguasakannya terhadapmu. Apabila engkau memohon perlindungan kepada Allah, maka Dia akan menghindarkannya darimu dan menolak tipu dayanya. Dan Rasulullah . apabila berdiri untuk salatnya selalu mengucapkan doa berikut:

"أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ"

Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk, yaitu dari bisikan, godaan, dan rayuannya. [HR. Ibnu Majah (808) dan Ahmad (3830). Di shahihkan al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah]."

Dalam pembahasan yang lalu telah kami sebutkan bahwa konteks ini di dalam Al-Qur'an tiada bandingannya kecuali di dalam surat Al-A'raf, yaitu pada firman-Nya:

﴿خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (Al-A'raf: 199-200)

Dan firman Allah Swt. dalam surat Al-Mu’minun, yaitu:

﴿ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ﴾

Cegahlah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”(Al-Mu’minun: 96-98)

[ Baca : Tafsir Ibnu Katsir 7/181]

=====

AKHLAK & KARAKTER HAMBA AR-RAHMAN : MULUT-NYA PENEBAR KEDAMAIAN DAN SELALU MERASA BANYAK DOSA

Hamba Ar-Rahman mulutnya senantiasa menebar kedamaian dan kesejukan walau dicaci dan dicela. Rajin shalat malam, namun selalu merasa dirinya banyak dosa, sehingga membuatnya selalu ber-istighfar serta memohon dijauhkan dari siksa neraka Jahanam. Dia senantiasa bersikap bijak, tidak boros, namun dia juga tidak pelit. 

Allah swt dalam surat al-Furqoon berfirman:

وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا (63) وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66) وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67).

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) kedamaian / kesejahteraan (63).

Dan orang yang melewati malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (64).

Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami. Sesungguhnya azabnya itu adalah kehinaan yang kekal.” (65)

Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (66)

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir; dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (67)

[ QS. Al-Furqoon : 63 – 67 ].

TAFSIRNYA :

Pertama : Dari Tafsir Ibnu Katsir  6/121-122 [Tahqiq Sami bin Muhaamda as-Salamah]:

Firman Allah Swt.:

﴿وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا﴾

" dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang membawa kedamaian / kesejateraan ". (Al-Furqan: 63)

Yaitu apabila orang-orang jahil menilai mereka sebagai orang-orang yang kurang akalnya yang diungkapkannya kepada mereka dengan kata-kata yang buruk, maka mereka tidak membalasnya dengan hal yang semisal, melainkan memaafkan, dan tidaklah mereka mengatakan perkataan kecuali yang baik-baik. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.; semakin orang jahil bersikap keras, maka semakin pemaaf dan penyantun pula sikap beliau.

Dan seperti yang disebutkan oleh firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:

﴿وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ﴾

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya”. (Al-Qasas: 55)

Dari An-Nu'man ibnu Muqarrin Al-Muzani yang mengatakan :

وَسَبَّ رجلٌ رَجُلًا عِنْدَهُ [عِنْدَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ]  قَالَ : فَجَعَلَ الرَّجُلُ الْمَسْبُوبُ يَقُولُ : عَلَيْكَ السَّلَامُ. قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:

"أَمَا إِنَّ مَلِكًا بَيْنَكُمَا يَذُبُّ عَنْكَ، كُلَّمَا شَتَمَكَ هَذَا قَالَ لَهُ: بَلْ أَنْتَ وَأَنْتَ أَحَقُّ بِهِ. وَإِذَا قَالَ لَهُ: عَلَيْكَ السَّلَامُ، قَالَ: لَا بَلْ عَلَيْكَ، وَأَنْتَ أَحَقُّ بِهِ. "

" Bahwa pada suatu hari ada seorang lelaki mencaci maki lelaki lainnya di hadapan Rasulullah , lalu orang yang dicaci mengatakan, "'Alaikas salam (semoga kesejahteraan atas dirimu)."

Maka Rasulullah bersabda: 

Ingatlah, sesungguhnya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu. Setiap kali orang itu mencacimu, malaikat itu berkata, "Bahkan kamulah yang berhak, kamulah yang berhak dicaci.”Dan apabila kamu katakan kepadanya, " 'Alaikas salam," maka malaikat itu berkata, "Tidak, dia tidak berhak mendapatkannya, engkaulah yang berhak mendapatkannya.”

[ HR. Ahmad 5/445. Lihat pula ad-Durr al-Mantsuur karya as-Sayuthi , tafsir surat al-Furqon : 63-67] .

Lalu Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 6/122 berkata :

"Sanad Hadits berpredikat hasan, tetapi mereka tidak mengetengahkannya".

Al-Haitsami dalam al-Majma' 8/75 berkata :

"رِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ، غَيْرَ أَبِي خَالِدٍ الْوَالِي وَهُوَ ثِقَةٌ".

Para perawinya adalah para perawi kitab al-Haditsts ash-Shahih . Kecuali Abu Khalid al-Waali , dia adalah tsiqoh [ dipercaya] .

[ Penulis katakan : Namun hadits ini di Dha'ifkan oleh al-Albaani dlm adh-Dha'iiifah no. 2923].

HAMBA AR-RAHMAAN TIDAK SUKA MENTAHDZIR DAN MENGHAJER MESKI DI SAKITI .

Ibnu Katsir berkata :

Jika mereka dinilai sebagai orang yang kurang akalnya, maka mereka bersabar. Mereka tetap bergaul dengan hamba-hamba Allah [yang menghinanya] di siang harinya dan bersabar terhadap apa pun yang mereka dengar.

Kemudian disebutkan bahwa pada malam harinya mereka melakukan ibadah shalat malam.

Kedua : Dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,

Dan para hamba Allah itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan tenang dan mantab tanpa bersikap angkuh. Dan ketika orang-orang bodoh berbicara kepada mereka tentang sesuatu yang menyakiti mereka (hamba Allah), maka mereka akan berkata: “Semoga keselamatan (atasmu)”. .

Ketiga : Dalam Tafsir Prof. DR. Imad Zuhair :

Mereka bersabar atas gangguan yang mereka dapatkan dari orang-orang jahil dan kurang akal, sehingga mereka tidak ikut terjerumus dalam kebodohan orang-orang tersebut; serta mereka mengucapkan salam, namun bukan salam penghormatan, melainkan salam perpisahan yang tidak mengandung doa kebaikan atau keburukan

===****===

HUKUM FIQIH DAN BATASAN : DALAM BER-AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR

****

BATASAN BER AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR

Syaikh Syamsuddin as-Safaarini al-Hanbali berkata dalam *Ghidza’ul Albaab Fii Syarh Manzhumah al-Aadab* 1/214:

هَلْ مِنْ شَرْطِ وُجُوبِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ رَجَاءُ حُصُولِ الْمَقْصُودِ أَوْ لَا؟ عَلَى رِوَايَتَيْنِ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -. نَقَلَ أَبُو الْحَارِثِ الْوُجُوبَ، وَنَقَلَ حَنْبَلٌ عَكْسَهُ. قَالَ فِي نِهَايَةِ الْمُبْتَدِئِينَ: ‌وَإِنَّمَا ‌يَلْزَمُ ‌الْإِنْكَارُ ‌إذَا ‌عَلِمَ ‌حُصُولَ ‌الْمَقْصُودِ ‌وَلَمْ ‌يَقُمْ ‌بِهِ غَيْرُهُ، وَعَنْهُ إذَا رَجَا حُصُولَهُ، وَهُوَ الَّذِي ذَكَرَهُ ابْنُ الْجَوْزِيِّ، وَقِيلَ يُنْكِرُهُ وَإِنْ أَيِسَ مِنْ زَوَالِهِ وَخَافَ أَذًى أَوْ فِتْنَةً.

وَقَالَ فِي نِهَايَةِ الْمُبْتَدِئِينَ: إنَّمَا يَجُوزُ الْإِنْكَارُ فِيمَا لَا يُرْجَى زَوَالُهُ وَإِنْ خَافَ أَذًى، وَقِيلَ لَا، وَقِيلَ يَجِبُ. وَاَلَّذِي ذَكَرَهُ الْقَاضِي فِي الْمُعْتَمَدِ أَنَّهُ لَا يَجِبُ وَيُخَيَّرُ فِي رَفْعِهِ إلَى الْإِمَامِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ يَجِبُ رَفْعُهُ.

قَالَ فِي الْآدَابِ: وَإِذَا لَمْ يَجِبْ الْإِنْكَارُ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ، جَزَمَ بِهِ ابْنُ عَقِيلٍ. قَالَ الْقَاضِي خِلَافًا لِأَكْثَرِهِمْ فِي قَوْلِهِمْ ذَلِكَ قَبِيحٌ وَمَكْرُوهٌ إلَّا فِي مَوْضِعَيْنِ:

(أَحَدُهُمَا) : كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.

(وَالثَّانِي) : إظْهَارُ الْإِيمَانِ عِنْدَ ظُهُورِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ. انْتَهَى

Apakah termasuk syarat wajibnya amar ma'ruf nahi munkar adalah adanya harapan tercapainya tujuan, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah. Abu al-Harits meriwayatkan kewajiban (walaupun tanpa harapan tercapai), sedangkan Hanbal meriwayatkan sebaliknya.

Disebutkan dalam *Nihayat al-Mubtadi’in*: Kewajiban mengingkari itu ada jika seseorang mengetahui akan tercapainya tujuan dan belum ada orang lain yang melakukannya. Dalam riwayat lain disebutkan, cukup jika seseorang berharap akan tercapai tujuannya, dan ini yang disebut oleh Ibnul Jauzi. Ada juga pendapat bahwa pengingkaran tetap dilakukan meskipun telah putus asa dari hilangnya kemungkaran dan meskipun khawatir tertimpa gangguan atau fitnah.

Dalam *Nihayat al-Mubtadi’in* juga disebutkan bahwa pengingkaran hanya dibolehkan jika masih ada harapan hilangnya kemungkaran meskipun ada rasa takut tertimpa gangguan. Namun ada juga yang berpendapat tidak boleh, bahkan ada yang mewajibkannya.

Pendapat yang disebutkan oleh al-Qadhi dalam *al-Mu'tamad* adalah bahwa tidak wajib, dan seseorang boleh memilih apakah ingin melaporkannya kepada imam (penguasa) atau tidak, berbeda dengan pendapat yang mewajibkan pelaporan tersebut.

Dalam *al-Adab* disebutkan: Jika pengingkaran itu tidak wajib, maka ia tetap lebih utama daripada meninggalkannya — hal ini dipastikan oleh Ibn ‘Aqil. Al-Qadhi berkata, berbeda dengan mayoritas ulama yang mengatakan bahwa hal itu buruk dan makruh kecuali dalam dua keadaan:

Salah satunya : Mengucapkan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. 

Kedua : Menampakkan iman ketika tampaknya kekufuran. (Selesai).

Lihat pula : al-Aadab asy-Syar’iyyah oleh Muhammad bin Muflih al-Hanbali 1/158 dan al-Hisbah – Jami’atul Madinah hal. 371].

====

BEBERAPA HUKUM DAN BATASAN TENTANG AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR

[*] Mengingkari kemungkaran dengan hati adalah wajib setiap saat dan tidak gugur dalam keadaan apa pun. Ini adalah fardhu 'ain. Bukan pada hal itu letak persoalannya, tetapi persoalannya adalah pada memahami hukum-hukum amar ma'ruf nahi munkar dalam hal-hal yang lebih dari sekadar mengingkari dengan hati.

[*] Amar ma'ruf nahi munkar secara umum hukumnya wajib. Namun, jika dilihat dari individu pelakunya, maka bisa jadi hukumnya wajib, atau sunah, atau haram, atau makruh.

[*] Amar ma'ruf nahi munkar adalah sesuatu yang dituntut dan disyariatkan apabila maslahatnya lebih besar daripada mafsadatnya. Jika tidak, maka tidak disyariatkan.

[*] Amar ma'ruf nahi munkar menjadi fardhu 'ain dalam salah satu dari empat kondisi berikut, dengan syarat tidak adanya penghalang dan adanya maslahat yang lebih dominan:

1]. Jika ditunjuk langsung oleh penguasa (pemerintah).

2]. Jika dia Satu-satunya orang yang memiliki ilmu tentang keharusan melakukan amar ma'ruf nahi munkar.

3]. Jika kemampuannya hanya dimiliki oleh individu tertentu, seperti seseorang yang berada di tempat kejadian dan hanya dia yang mengetahui atau mampu menghilangkannya.

4]. Saat kondisi sangat membutuhkan, seperti banyaknya kejahilan dan menyebarnya kemungkaran, dengan harapan dapat memberi manfaat.

====

AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR MENJADI WAJIB DENGAN ENAM SYARAT YANG HARUS TERPENUHI SECARA BERSAMAAN:

1]. Jika perkara yang diperintahkan adalah sesuatu yang wajib, atau yang dilarang adalah sesuatu yang haram, atau yang diperintahkan adalah sesuatu yang sunah tetapi masyarakat secara umum telah meninggalkannya, atau perkara makruh dilakukan secara luas dan menyebar.

2]. Adanya harapan manfaat, yaitu maksudnya maslahat dari amar ma'ruf nahi munkar lebih besar daripada mafsadatnya.

3]. Tidak ada kekhawatiran akan bahaya terhadap diri sendiri atau orang lain. Namun, tidak semua bentuk bahaya dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar. Seperti celaan ringan terhadap dirimu, atau menjadi bahan gunjingan, atau dicela di depan orang, atau dianggap bodoh atau dungu dan semacamnya—hal-hal seperti ini tidak seharusnya menghalangimu dari melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar.

4]. Kemungkaran dilakukan secara terang-terangan dan tampak jelas oleh orang yang melaksanakan hisbah tanpa perlu memata-matai, atau meskipun tersembunyi tetapi dampaknya meluas kepada orang lain.

5]. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan hisbah, yaitu orang yang memerintah dan melarang itu memiliki kemampuan seperti ilmu dan semisalnya.

6]. Tidak ada orang lain yang telah melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar tersebut secara mencukupi. Maka dalam kondisi seperti ini, kewajiban itu tetap berlaku.

AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR HUKUMNYA SUNAH DALAM BEBERAPA KEADAAN.

Di antaranya:

1]. Jika fitnah dan kemungkaran telah merajalela sehingga perintah dan larangan tidak lagi memberi pengaruh.

2]. Jika telah ada orang lain yang melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar secara mencukupi.

3]. Jika perkara yang diperintahkan adalah sesuatu yang wajib atau yang dilarang adalah sesuatu yang haram, namun orang yang memerintah atau melarang khawatir akan terkena bahaya, maka kewajiban gugur dan yang tersisa adalah kesunahan, dengan syarat masih ada harapan akan munculnya manfaat dari perintah atau larangannya.

4]. Jika perkara yang diperintahkan adalah sesuatu yang sunah dan masyarakat di suatu daerah tidak sepakat untuk meninggalkannya, atau perkara yang dilakukan adalah makruh dan masyarakat tidak sepakat untuk melakukannya.

AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR KADANG MENJADI HARAM :

Amar ma’ruf dan nahyi munkar menjadi haram bagi orang yang mengetahui bahwa kemungkaran tidak akan hilang dengan mengingkarinya, dan tidak ada maslahat yang dapat diambil dari perintah atau larangan tersebut, serta dapat menyebabkan pembunuhan atau kerusakan pada orang lain yang jelas.

Hal ini juga haram jika diakibatkan oleh hilangnya maslahat yang lebih besar atau timbulnya mafsadat yang lebih besar akibat amar ma'ruf nahi munkar.

DALAM KONDISI TERTENTU MENJADI GUGUR KEWAJIBAN AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR:

Akan datang suatu waktu dan kondisi tertentu di mana seorang Muslim sebaiknya fokus pada urusan dirinya sendiri dan meninggalkan urusan orang banyak, sehingga kewajiban amar ma'ruf nahi munkar dan dakwah gugur darinya, dengan syarat ada perkiraan bahwa akan terjadi kerugian baik dari segi agama maupun dunia.

Diperbolehkan untuk diam dan meninggalkan mengingkari jika demi menjaga kepentingan khusus bagi orang yang melaksanakan hisbah, seperti diam terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh gurunya agar tidak kehilangan ilmu, atau diam terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh dokter karena takut tidak diberi perawatan, atau meninggalkan mengingkari terhadap orang yang diharapkan akan memberikan dukungan atau kekayaan di masa depan.

Begitu juga bagi mereka yang lemah dalam mencari nafkah dan hanya bergantung pada satu orang untuk biaya hidup, jika mengingkari orang tersebut justru akan menghentikan pemberian nafkah kepadanya. Namun, yang dikecualikan adalah hal-hal yang dapat mendatangkan bahaya yang lebih besar daripada tidak mengingkari.

Meskipun demikian, sebaiknya tetap mengingkari dan bertawakal kepada Allah.

Jika seseorang mengingkari kemungkaran namun tidak menghilangkannya, maka seorang yang melaksanakan hisbah yang telah mengingkari dua kali atau lebih dan tidak ada respons dari orang yang diperintahkan, maka ia telah terbebas dari kewajibannya.

Jika tidak ada manfaat yang diharapkan dari dakwah atau amar ma'ruf nahi munkar, maka itu tidak disyariatkan. Jika peringatan justru menambah kerusakan atau mengurangi kebaikan, maka itu tidak diperintahkan, bahkan dilarang.

ADA EMPAT KONDISI MANFAAT DALAM AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR:

1]. Jika tidak ada manfaat yang diharapkan dan justru akan membawa kerugian karena amar ma'ruf nahi munkar, maka mengingkari kemungkaran menjadi haram. 

2]. Jika tidak ada manfaat yang diharapkan dan tidak ada kerugian, maka mengingkari kemungkaran tidak disyariatkan.

3]. Jika ada manfaat yang diharapkan dan tidak ada kerugian, maka mengingkari kemungkaran disyariatkan.

4]. Jika ada manfaat yang diharapkan namun disertai dengan kerugian, maka mengingkari kemungkaran disunahkan, dengan syarat tidak ada kerugian yang lebih besar daripada manfaatnya, jika tidak maka menjadi haram. Salah satu bentuk manfaat adalah dengan menampakkan syiar Islam.

Namun demikian, celaan dari manusia tidak dianggap sebagai alasan yang sah secara syar'i untuk meninggalkan amar ma'ruf nahi munkar, karena terdapat batas minimal gangguan yang timbul dari pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar yang seharusnya tidak dijadikan pertimbangan untuk meninggalkannya.

[Baca : Kitab “Fiqhu ad-Da'wah ilallah wal-Amru bil-Ma'ruf wan-Nahyu 'anil-Munkar” karya Abu Faishal al-Badraani hal. 2 – 4].

Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya 14/68 berkata:

قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَاصْبِرْ عَلى مَا أَصابَكَ﴾ ‌يَقْتَضِي ‌حَضًّا ‌عَلَى ‌تَغْيِيرِ ‌الْمُنْكَرِ وَإِنْ نَالَكَ ضَرَرٌ، فَهُوَ إِشْعَارٌ بِأَنَّ الْمُغَيِّرَ يُؤْذَى أَحْيَانًا، وَهَذَا الْقَدْرُ عَلَى جِهَةِ النَّدْبِ وَالْقُوَّةِ فِي ذَاتِ اللَّهِ، وَأَمَّا عَلَى اللُّزُومِ فَلَا

Firman Allah Ta’ala: ﴿dan bersabarlah atas apa yang menimpamu mengandung anjuran untuk mengubah kemungkaran meskipun ditimpa bahaya. Ini menunjukkan bahwa orang yang mengubah kemungkaran kadang mendapatkan gangguan. Maka hal ini, pada dasarnya, merupakan dorongan untuk bersungguh-sungguh dan menunjukkan kekuatan dalam membela agama Allah. Adapun dalam hal kewajiban, maka tidak. [SELESAI]

Dengan demikian, jika anda melihat suatu kemungkaran seperti tabarruj (tidak berhijab) atau yang semisalnya, maka nasihatilah pelakunya, dan jelaskanlah hukum Allah dalam masalah tersebut.

DENGAN HIKMAH DAN KELEMBUTAN :

Hendaklah dalam ber-amar ma’ruf nahyi munkar (mencegah kemungkaran dan menyuruh pada kebaikan) dilakukan dengan hikmah dan kelembutan, serta mempertimbangkan keadaan yang sekiranya akan membuat pelaku kemungkaran itu menerima nasihat atau larangan anda.

Terutama dalam menghadapi perbedaan pendapat :

Al-Imam asy-Syafi’i , Muhammad bin Idris berkata kepada Abu Musa :

يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ

“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” . [ Baca : Siyar al-A’lam an-Nubalaa 10/16].

Al-Imam Yahya bin Ma’iin  ( wafat 158 H ) berkata :

"مَا رَأَيْتُ عَلَى رَجُلٍ قَطُّ خَطَأً إِلَاّ سَتَرْتُهُ ‌وَأَحْبَبْتُ ‌أَنْ ‌أُزَيِّنَ ‌أَمْرَهُ، ‌وَمَا ‌اسْتَقْبَلْتُ ‌رَجُلاً ‌فِي ‌وَجْهِهِ ‌بِأَمْرٍ ‌يَكْرَهُهُ، وَلَكِنْ أُبَيِّنُ لَهُ خَطَأَهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، فَإِنْ قَبِلَ ذَاكَ وَإِلَاّ تَرَكْتُهُ".

“Tidaklah aku lihat kesalahan seseorang (saudara se-Islam), kecuali aku menutupinya,  aku senang untuk memperindah urusan dirinya.

Tidaklah aku menjumpai seseorang dengan hal yang dia benci di hadapannya, kecuali aku jelaskan kesalahannya (secara sembunyi-sembunyi), hanya antara aku dan dia saja [yang tahu] .

Jika dia menerima penjelasanku (maka itu lebih baik), dan jika dia tidak menerima ucapanku, maka aku membiarkannya “.

(Lihat : ath-Thuyuuriyaat 4/1372 no. 1292 , Siyar A’lamin Nubala’ 11/83 , 93 , Tarikh Baghdad 14/183)

Al-Ajurry dalam " ذكر الأغلوطات وتعقيد المسائل " berkata :

وَلَيْسَ هَذَا طَرِيقُ مَا تَقَدَّمَ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ، مَا كَانَ يَطْلُبُ بَعْضُهُمْ غَلَطَ بَعْضٍ، وَلَا مَرَادُهُمْ أَنْ يَخْطِئَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، بَلْ كَانُوا عُلَمَاءً عَقَلَاءَ يَتَكَلَّمُونَ فِي الْعِلْمِ مُنَاصَحَةً وَقَدْ نَفَعَهُمُ اللَّهُ بِالْعِلْمِ.

[Mencari-cari Kesalahan Orang dalam berpendapat] , Ini bukanlah cara yang dilakukan oleh para salafus shaleh, tidak ada sebagian dari mereka yang suka mencari-cari kesalahan satu sama lain, dan tujuan mereka bukanlah untuk saling menyalahkan satu sama lain . Sebaliknya, mereka adalah para ulama yang berakal sehat , mereka jika berbicara berdasarkan ilmu dengan tujuan untuk saling bernasihat dan dinasihati . Dan Allah swt telah menjadikan ilmu mereka bermanfaat “. [ Baca : Aklaaqul 'Ulamaa hal. 87].

Imam Abdullah bin Al-Mubarak [W. 181 H]- rahimahullah – berkata:

"كَانَ الرَّجُلُ إِذَا رَأَى مِنْ أَخِيهِ مَا يَكْرَهُ، أَمَرَهُ فِي سِتْرٍ، وَنَهَاهُ فِي سِتْرٍ، فَيُؤْجَرُ فِي سِتْرِهِ، وَيُؤْجَرُ فِي نَهْيِهِ، فَأَمَّا الْيَوْمُ فَإِذَا رَأَى أَحَدٌ مِنْ أَحَدٍ مَا يَكْرَهُ اسْتَغْضَبَ أَخَاهُ، وَهَتَكَ سِتْرَهُ".

“ Dulu jika seseorang melihat sesuatu dari saudaranya yang tidak disukainya, maka dia memerintahkannya dengan cara tertutup [tidak terbuka], dan mencegahnya dengan cara tertutup , maka dia akan diberi pahala karena menutupinya. , dan dia akan diberi pahala karena mencegahnya .

Adapun sekarang , jika seseorang melihat dari saudaranya sesuatu yang dia benci ; maka dia melakukan sesuatu yang membuat saudaranya menjadi marah dan merobek penutup aibnya”.

[ Baca : Raudhatul 'Uqolaa wa Nuzhatul Fudholaa karya Abu Hatim ad-Daarimi hal. 197 dan Fashlul Khithob fi Az-Zuhd oleh Muhammad 'Uwaidhoh 10/231]

====

PENJELASAN AL-IMAM AN-NAWAWI DALAM SYARAH SHAHIH MUSLIM (2/22-23):

An-Nawawi berkata :

"وَقَدْ تَطَابَقَ عَلَى وُجُوبِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَإِجْمَاعُ الْأُمَّةِ ...

فَإِذَا فَعَلَهُ وَلَمْ يَمْتَثِلِ الْمُخَاطَبُ فَلَا عَتْبَ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى الْفَاعِلِ لِكَوْنِهِ أَدَّى مَا عَلَيْهِ فَإِنَّمَا عَلَيْهِ الْأَمْرُ وَالنَّهْيُ لَا الْقَبُولُ".

Dan sungguh, telah sepakat atas wajibnya amar ma'ruf dan nahi munkar — Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma' umat...

Maka jika seseorang telah melakukannya (amar ma'ruf nahi munkar), namun orang yang ditegur tidak mau menaati, maka tidak ada celaan setelah itu terhadap orang yang melakukannya, karena ia telah menunaikan kewajibannya. Sesungguhnya yang menjadi tanggung jawabnya hanyalah menyampaikan perintah dan larangan, bukan menjamin diterimanya (nasihat tersebut).

Lalu Imam an-Nawawi berkata :

قَالَ الْعُلَمَاءُ وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الْآمِرِ وَالنَّاهِي أَنْ يَكُونَ كَامِلَ الْحَالِ مُمْتَثِلًا مَا يَأْمُرُ بِهِ مُجْتَنِبًا مَا يَنْهَى عَنْهُ بَلْ عَلَيْهِ الْأَمْرُ وَإِنْ كَانَ مُخِلًّا بِمَا يَأْمُرُ بِهِ وَالنَّهْيُ وَإِنْ كَانَ مُتَلَبِّسًا بِمَا يَنْهَى عَنْهُ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ شَيْئَانِ أَنْ يَأْمُرَ نَفْسَهُ وَيَنْهَاهَا وَيَأْمُرَ غَيْرَهُ وَيَنْهَاهُ فَإِذَا أَخَلَّ بِأَحَدِهِمَا كَيْفَ يُبَاحُ لَهُ الْإِخْلَالُ بِالْآخَرِ

قَالَ الْعُلَمَاءُ وَلَا يَخْتَصُّ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ بِأَصْحَابِ الْوِلَايَاتِ بَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ لِآحَادِ الْمُسْلِمِينَ

قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ إِجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّ غَيْرَ الْوُلَاةِ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ وَالْعَصْرِ الَّذِي يَلِيهِ كَانُوا يَأْمُرُونَ الْوُلَاةَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ مَعَ تَقْرِيرِ الْمُسْلِمِينَ إِيَّاهُمْ وَتَرْكِ تَوْبِيخِهِمْ عَلَى التَّشَاغُلِ بِالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْي عَنِ الْمُنْكَرِ مِنْ غَيْرِ وِلَايَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

ثُمَّ إِنَّهُ إِنَّمَا يَأْمُرُ وَيَنْهَى مَنْ كَانَ عَالِمًا بِمَا يَأْمُرُ بِهِ وَيَنْهَى عَنْهُ وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الشَّيْءِ فَإِنْ كَانَ مِنَ الْوَاجِبَاتِ الظَّاهِرَةِ وَالْمُحَرَّمَاتِ الْمَشْهُورَةِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالزِّنَا وَالْخَمْرِ وَنَحْوِهَا فَكُلُّ الْمُسْلِمِينَ عُلَمَاءُ بِهَا وَإِنْ كَانَ مِنْ دَقَائِقِ الْأَفْعَالِ وَالْأَقْوَالِ وَمِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَلٌ فِيهِ وَلَا لَهُمْ إِنْكَارُهُ بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ

ثُمَّ الْعُلَمَاءُ إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَلَا إِنْكَارَ فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَدِ الْمَذْهَبَيْنِ كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَارُ عِنْدَ كَثِيرِينَ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرِهِمْ وعلى المذهب الآخر المصيب واحد والمخطىء غَيْرُ مُتَعَيَّنٌ لَنَا وَالْإِثْمُ مَرْفُوعٌ عَنْهُ لَكِنْ إِنْ نَدَبَهُ عَلَى جِهَةِ النَّصِيحَةِ إِلَى الْخُرُوجِ مِنَ الْخِلَافِ فَهُوَ حَسَنٌ مَحْبُوبٌ مَنْدُوبٌ إِلَى فِعْلِهِ بِرِفْقٍ . فَإِنَّ الْعُلَمَاءَ مُتَّفِقُونَ عَلَى الْحَثِّ عَلَى الْخُرُوجِ مِنَ الْخِلَافِ إِذَا لَمْ يَلْزَمْ مِنْهُ إِخْلَالٌ بِسُنَّةٍ أَوْ وُقُوعٍ فِي خِلَافٍ آخَرَ

وَذَكَرَ أَقْضَى الْقُضَاةِ أَبُو الْحَسَنِ الْمَاوَرْدِيُّ الْبَصْرِيُّ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِهِ الْأَحْكَامُ السُّلْطَانِيَّةُ خِلَافًا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِي أَنَّ مَنْ قَلَّدَهُ السُّلْطَانُ الْحِسْبَةَ هَلْ لَهُ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ فِيمَا اخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ إِذَا كَانَ الْمُحْتَسِبُ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ أَمْ لَا يُغَيِّرُ مَا كَانَ عَلَى مَذْهَبِ غَيْرِهِ ؟ وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ لِمَا ذَكَرْنَاهُ .

وَلَمْ يَزَلِ الْخِلَافُ فِي الْفُرُوعِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ وَلَا يُنْكِرُ مُحْتَسِبٌ وَلَا غَيْرُهُ عَلَى غَيْرِهِ .

وَكَذَلِكَ قَالُوا لَيْسَ لِلْمُفْتِي وَلَا لِلْقَاضِي أَنْ يَعْتَرِضَ عَلَى مَنْ خَالَفَهُ إِذَا لَمْ يُخَالِفْ نَصًّا أَوْ اجماعا أوقياسا جَلِيًّا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Para ulama berkata: Tidak disyaratkan atas orang yang beramar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran) harus orang yang sempurna dalam amal ibadah-nya, menjalankan semua yang Allah perintahkan dan meninggalkan semua yang Allah larang.

Bahkan, ia tetap wajib ber-amar ma’ruf (memerintahkan kepada kebaikan) meskipun ia sendiri lalai terhadap apa yang ia perintahkan. Dan ia tetap wajib melarang (dari kemungkaran) meskipun ia sendiri melakukannya.

Maka, wajib atasnya dua hal: memerintahkan dirinya sendiri dan melarangnya, serta memerintahkan orang lain dan melarangnya. Jika ia lalai dalam salah satunya, bagaimana bisa dibolehkan baginya untuk lalai dalam yang lainnya?

Para ulama juga berkata: Amar ma'ruf dan nahyi munkar tidak dikhususkan hanya untuk para penguasa, melainkan boleh dilakukan oleh setiap individu Muslim.

Imam al-Haramain berkata: Dalil atas hal ini adalah ijma' kaum Muslimin, karena pada masa awal Islam dan masa setelahnya, orang-orang selain penguasa biasa ber-ama ma’ruf nahyi munkar kepada para penguasa (memerintahkan para penguasa untuk berbuat baik dan melarang mereka dari kemungkaran). Dan kaum Muslimin menyetujui perbuatan mereka itu serta tidak mencela mereka yang menyibukkan diri dengan amar ma'ruf nahi munkar meskipun mereka tidak memiliki kekuasaan. Wallahu a’lam.

Kemudian, sesungguhnya orang yang ber-amar ma’ruf nahyi munkar (memerintah dan melarang) itu haruslah mengetahui hal yang Allah perintahkan dan Allah larang.

Hal ini berbeda-beda tergantung pada jenis perkara tersebut. Jika ia termasuk kewajiban yang dzohir (tampak kelihatan) dan larangan yang masyhur seperti shalat, puasa, zina, khamar, dan semacamnya, maka seluruh kaum Muslimin adalah orang-orang yang mengetahui hukum amalan-amalan tersebut.

Namun jika ia termasuk perkara yang rumit dalam perbuatan dan ucapan, atau yang membutuhkan ijtihad, maka orang awam tidak memiliki wewenang di dalamnya, dan tidak boleh mengingkarinya (tidak boleh nahyi munkar). Itu adalah urusan para ulama.

Kemudian, para ulama hanya diperbolehkan mengingkari perkara yang telah disepakati hukumnya (secara ijma'). Adapun perkara yang diperselisihkan (ada perbedaan pendapat), maka tidak boleh diingkari (tidak boleh melakukan nahyi munkar); karena menurut salah satu dari dua pendapat, mengatakan : setiap mujtahid adalah benar. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh banyak atau mayoritas ulama muhaqqiqin.

Sedangkan menurut pendapat lainnya, mengatakan : yang benar hanya satu, namun yang salah-nya tidak dapat ditentukan, dan pelakunya tidak berdosa.

Namun jika seseorang menganjurkan untuk keluar dari khilaf sebagai bentuk nasihat (demi menjaga persatuan), maka itu adalah sesuatu yang baik, disukai, dan dianjurkan, akan tetapi harus dilakukan dengan cara yang lembut. Sebab para ulama sepakat menganjurkan keluar dari khilaf selama tidak menyebabkan meninggalkan sunnah atau jatuh dalam khilaf lainnya.

Qadhi al-Qudhat Abu al-Hasan al-Mawardi al-Bashri asy-Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya *Al-Ahkam as-Sulthaniyyah* : adanya perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai seseorang yang diangkat oleh penguasa untuk tugas hisbah / حِسْبَة (pengawasan amar ma'ruf nahi munkar): Apakah boleh baginya untuk memaksakan pendapat mazhabnya dalam perkara yang diperselisihkan para fuqaha, jika ia seorang mujtahid, ataukah tidak boleh mengubah apa yang telah menjadi ketetapan ijtihad pada mazhab lainnya? Pendapat yang paling benar adalah bahwa ia tidak boleh mengubahnya karena alasan yang telah disebutkan.

Perbedaan pendapat dalam cabang-cabang fiqih telah ada sejak zaman sahabat, tabi'in, dan orang-orang setelah mereka – radhiyallahu ‘anhum - dan tidak boleh seorang muhtasib/ مُحْتَسِبٌ (pengawas kemungkaran) maupun selainnya melakukan nahyi munkar (mengingkari) terhadap orang lain dalam perkara tersebut.

Demikian pula, mereka mengatakan: Tidak boleh bagi seorang mufti atau qadhi (hakim) untuk menentang orang yang berbeda pendapat dengannya selama tidak menyelisihi nash (teks syar’i), ijma’, atau qiyas yang jelas.

Wallahu ‘alam”. [SELESAI. Baca : Syarah Shahih Muslim 2/22-24]

Maka sangatlah jelas bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar itu wajib sesuai kemampuan. Jika hal itu mengakibatkan bahaya atau dikhawatirkan muncul kerusakan yang lebih besar, maka tidak wajib. Namun demikian, orang yang tetap melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar dan bersabar atas gangguan yang menimpanya, maka itu lebih utama. 

===***===

PEMBAHASAN KETIGA : TAFSIR AYAT 105 – 106 QS. ALI IMRAN :
(PEMECAH BELAH UMAT KELAK MENDAPAT ADZAB PEDIH & WAJAHNYA MENGHITAM . MEREKA ADALAH ANJING-ANJING NERAKA JAHANAM)

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas , yaitu :

Allah SWT berfirman :

﴿وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ﴾

Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat [QS. Ali Imran : 105]

﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ﴾

“ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu"”. [ QS. Ali Imran : 106 ]

Pertanyaan : Siapakah yang dimaksud dengan pemecah belah umat yang mendapat adzab pedih dan wajahnya menghitam ? Yang tentunya penyebab utamanya adalah manhaj para da’inya.

Jawabannya : adalah orang yang terpapar manhaj Kahwarij , yaitu kelompok yang memiliki semangat beribadah yang luar biasa , sesuai sunnah , akan tetapi mereka sombong, merasa suci dan pemecah belah umat.

Ibnu Katsir ketika menafsiri ayat-ayat diatas berkata :

وَقَدْ قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ رَبِيعٍ -وَهُوَ ابْنُ صَبِيحٍ- وَحَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، قَالَ: رَأَى أَبُو أُمَامَةَ رُءُوسًا مَنْصُوبَةً عَلَى دَرَجِ دِمَشْقَ، فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ: كِلَابُ النَّارِ، شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ﴾ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ: أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ قَالَ: لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً، أَوْ مَرَّتَيْنِ، أَوْ ثَلَاثًا، أَوْ أَرْبَعًا -حَتَّى عَدَّ سَبْعًا- مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ.

ثُمَّ قَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.

Abu Isa At-At-Tirmidzi ketika menafsiri ayat ini mengatakan : telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada karni Waki', dari Ar-Rabi' ibnu Sabih dan Hammad ibnu Salamah, dari Abu Galib yang menceritakan :

“Bahwa Abu Umamah melihat banyak kepala [kaum kahwarij yang terbunuh] dipancangkan di atas tangga masuk masjid Dimasyq. Maka Abu Umamah mengatakan :

"Anjing-anjing neraka adalah seburuk-buruk orang-orang yang terbunuh di kolong langit ini; sebaik-baik orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang dibunuhnya."

Kemudian Abu Umamah membacakan firman-Nya: 

“ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula muka yang menjadi hitam muram. (Ali Imran: 106), hingga akhir ayat”.

Kemudian aku bertanya kepada Abu Umamah : "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ?"

Abu Umamah menjawab : "Seandainya aku bukan mendengarnya melainkan hanya sekali atau dua kali atau tiga kali atau empat kali dan bahkan sampai tujuh kali, niscaya aku tidak akan menceritakannya kepada kalian."

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. [Baca : Tafsir Ibnu katsri 2/92].

TAKHRIJ HADITS :

HR. Imam Ahmad (no. 22109, 22083, 22051 dan 22262) dan At-Tirmidzi (no. 3000)

Abu Iisa at-Tirmidzi berkata :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَأَبُو غَالِبٍ اسْمُهُ حَزَوَّرٌ وَأَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ اسْمُهُ صُدَيُّ بْنُ عَجْلَانَ وَهُوَ سَيِّدُ بَاهِلَةَ

"Ini adalah hadits hasan , nama Abu Ghalib adalah Hazur, dan nama Abu Umamah al-Bahili adalah Suday ibn 'Ajlan, dan dia adalah tokoh Bahilah".

Dan al-Haitsami merujuknya kepada ath-Thabarani, beliau berkata: "Para perawinya adalah tsiqaat (terpercaya)" (Majma' al-Zawaid 6/234). Hal ini juga disebutkan oleh al-Hakim yang mensahihkannya dan disetujui oleh al-Dzahabi (al-Mustadrak 2/149-150). Ibnu Katsir juga meriwayatkannya dan berkata: "Hadits ini, bagian-bagian terkecilnya adalah mawquuf dari perkataan seorang sahabat" (Tafsir Ibnu Katsir 1/346).

DERAJAT KESHAHIHAN HADITS :

Hadits ini dihukumi HASAN SHAHIH oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3000. Dan di Hasankan oleh Syeikh Muqbil al-Waadi'i dalam Ash-Shahih al-Musnad 1/408 no. 482 .

RIWAYAT AL-HAKIM :

Al-Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak (no. 2654), dengan sanadnya dari Syaddad bin Abdullah Abu Ammar, dia berkata:

شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى رَأْسِ الْحَرُورِيَّةِ عِنْدَ بَابِ دِمَشْقَ وَهُوَ يَقُولُ: «كِلَابُ أَهْلِ النَّارِ - قَالَهَا ثَلَاثًا - خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ» ، وَدَمَعَتْ عَيْنَاهُ،

فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: ‌يَا ‌أَبَا ‌أُمَامَةَ، ‌أَرَأَيْتَ ‌قَوْلَكَ ‌هَؤُلَاءِ ‌كِلَابُ ‌النَّارِ ‌أَشَيْءٌ ‌سَمِعْتَهُ ‌مِنْ ‌رَسُولِ ‌اللَّهِ ﷺ، أَوْ مِنْ رَأْيِكَ؟

قَالَ: إ"ِنِّي إِذًا لَجَرِيءٌ لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا وَعَدَّ سَبْعَ مَرَّاتٍ مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ".

قَالَ لَهُ رَجُلٌ: "إِنِّي رَأَيْتُكَ قَدْ دَمَعَتْ عَيْنَاكَ".

قَالَ: "إِنَّهُمْ لَمَّا كَانُوا مُؤْمِنِينَ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ".

ثُمَّ قَرَأَ: ﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ﴾ [آل عمران: 105] الْآيَةُ، فَهِيَ لَهُمْ مَرَّتَيْنِ

"Saya menyaksikan Abu Umamah al-Bahili, dan dia berdiri di depan kepala al-Haruriyyah (Khawarij yang terbunuh) di pintu gerbang Damaskus. Dia berkata :

'Mereka adalah anjing-anjing neraka,' ia mengulanginya tiga kali. Mata Abu Umamah berlinang air mata ketika mengucapkannya.

Seorang pria bertanya kepadanya : 'Wahai Abu Umamah, apakah ucapanmu ini, ( bahwa mereka adalah anjing-anjing neraka), didengar dari Rasulullah atau berdasarkan pendapatmu sendiri?'

Abu Umamah menjawab : 'Jika benar demikian berarti aku ini telah bersikap sembarangan. Sungguh, sekiranya aku tidak mendengarnya dari Rasulullah , kecuali hanya satu atau dua kali, bahkan hanya tujuh kali , maka sungguh aku tidak akan menyampaikannya kepada kalian [akan tetapi aku telah mendengarnya lebih dari tujuh kali].'"

Seorang laki-laki berkata kepadanya, "Sungguh aku melihat kedua matamu melelehkan air mata." 

Ia menjawab, "Mereka itu dahulunya beriman, lalu kafir setelah keimanan mereka." 

Kemudian ia membaca:

﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ﴾

*{Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan}* [Ali 'Imran: 105] – ayat ini berlaku atas mereka dua kali.

DERAJAT HADITS :

Adz-Dzahabi berkata :  " Shahih sesuai syarat Shahih  Muslim " . [at-Talkhish 2/163. No. 2654].

RIWAYAT LAIN :

Diriwayatkan oleh Ibn Majah (no. 173) dan Ahmad (no. 19130) dari Ibnu Abi Awfa. Beliau berkata, "Rasulullah bersabda:

( الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ )

"Khawarij itu anjing-anjing neraka".

[ Diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dalam Mustadrak (2654) dan (2655), Imam Ahmad (22051), (22083) dan (22109) dan Al-Bushairi dalam “Al-Zawa'id” (3448/2) dan (3448/6)].

Hadits ini dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam "Sahih Ibnu Majah".

Imam Muslim meriwayatkan dalam sahihnya dari Abu Dzar bahwa Rasulullah bersabda:

'إِنَّ بَعْدِي مِنْ أُمَّتِي، أَوْ سَيَكُونُ بَعْدِي مِنْ أُمَّتِي قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يَجَاوِزُ حَلَاقِيمَهُمْ، يَخْرُجُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَخْرُجُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، ثُمَّ لَا يَعُودُونَ فِيهِ، هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ.'

'Sesungguhnya setelahku, akan ada sebagian dari umatku, atau setelahku akan ada sebagian dari umatku, mereka membaca Al-Quran, namun pemahaman mereka tidak melebihi tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari sasarannya, dan mereka tidak akan pernah kembali ke dalamnya. Mereka adalah manusia dan hewan yang paling jahat di kolong langit.'" (HR. Muslim: 1067).

Dan Syeikh al-Munajjid berkata :

"Dan juga datang dalam Musnad Imam Ahmad dengan sanad yang jayyid dari hadits Anas:

هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ، طُوبَى لِمَنْ قَتَلَهُمْ وَقَتَلُوهُ، فَمَنْ قَتَلُوهُ يَكُونُ شَهِيدًا عِنْدَ اللَّهِ، وَمَنْ قَتَلَهُمْ يَكُونُ لَهُ أَجْرُ قَتْلِ هَذِهِ الْمَارِقَةِ الْخَبِيثَةِ الَّتِي تَخْرُجُ فِي الْمُسْلِمِينَ."

" Mereka adalah makhluk yang paling jahat di kolong langit, beruntunglah bagi siapa yang membunuh mereka dan dibunuh oleh mereka. Siapa yang membunuh mereka akan menjadi syahid di sisi Allah, dan siapa yang dibunuh oleh mereka akan mendapatkan pahala membunuh para pemberontak yang jahat ini, yang muncul di kalangan umat Muslim."

[Diriwayatkan oleh Ahmad: 13362, dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam 'Dzilal al-Jannah fi Takhrij as-Sunnah: 906].

Lalu Syeikh al-Munajjid berkata :

 وَقَوْلُهُ: الْخَلْقُ وَالْخَلِيقَةُ، الْخَلْقُ: الْبَشَرُ. وَالْخَلِيقَةُ: الْبَهَائِمُ، وَقِيلَ: هُمْ هُمَا بِمَعْنَى وَاحِدٍ، وَيُرَادُ بِهِمْ جَمِيعُ الْخَلَائِقِ يَعْنِي هُمْ شَرٌّ مِنَ الدَّوَابِ.

Sabdanya : " الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ", makna al-kholqu adalah manusia dan makna al-kholiiqotu adalah hewan ternak . Atau ada yang mengatakan bahwa keduanya dimaksudkan dalam makna yang sama, yaitu semua makhluk. Yang dimaksud adalah bahwa mereka adalah makhluk yang paling jahat di antara semua makhluk.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan:

"وَفِيهِ أَنَّ الْخَوَارِجَ شَرُّ الْفِرَقِ الْمُبْتَدِعَةِ مِنَ الْأُمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ"

"Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa Khawarij adalah kelompok bid'ah paling buruk di antara semua kelompok yang menyimpang dalam umat Muhammad." [Fath al-Bari: 12/302]."

Syeikh al-Munajjid berkata :

"وَضَرَرُهُم بَيِّنٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ؛ لِأَنَّهُمْ يُشْغِلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ عَنْ قِتَالِ أَهْلِ الشِّرْكِ، وَلِأَنَّهُمْ يُفَرِّقُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَلِأَنَّهُمْ يُعَيِّثُونَ فِي دِمَاءِ الْأُمَّةِ فَسَادًا، وَلِأَنَّهُمْ يَسْتَبِيحُونَ أَمْوَالَهَا، وَيَسْتَبِيحُونَ دِمَاؤُهَا، وَفَسَادُهُمْ عَظِيمٌ، وَشَرُّهُمْ مُسْتَطِيرٌ لِلْغَايَةِ، وَهُمْ يَنْتَسِبُونَ إِلَى الْإِسْلَامِ وَكَلَامُهُمْ وَخُطَبُهُمْ وَتَصْرِيحَاتُهُم بِالْآيَاتِ وَالْأَحَادِيثِ.

"Dampak buruk mereka dirasakan di antara umat Islam karena mereka ini selalu mengalihkan perhatian umat Islam dari berperang melawan orang-orang musyrik. Selain itu, mereka memecah-belah umat Islam, mencemari darah umat Islam dengan kekacauan, dan menghalalkan harta mereka.

Kerusakan yang disebabkan oleh mereka sangat besar, dan kejahatan mereka sangat ekstrem. Mereka mengklaim diri sebagai bagian dari Islam, dan sering menggunakan ayat-ayat dan hadits dalam pidato dan pernyataan mereka".

Lalu Syeikh al-Munajjid berkata : Dari Suwaid bin Ghoflah, ia mengatakan: Ali  -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata :

" إذا حَدَّثْتُكُمْ عن رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلَأَنْ أخِرَّ مِنَ السَّماءِ، أحَبُّ إلَيَّ مِن أنْ أكْذِبَ عليه، وإذا حَدَّثْتُكُمْ فِيما بَيْنِي وبيْنَكُمْ، فإنَّ الحَرْبَ خِدْعَةٌ.

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُول : يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ يَخْرُجُونَ مِنْ قَبَلِ الْمَشْرِقِ حُدَثَاء الْأَسْنَانِ صِغَار فِي السِّنِّ فِي الْمٌجْمَلِ سُفَهَاءَ الْأَحْلَامِ عُقُولًا طَائِشَةً يَقُولُونَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ، فِي كَلَامِهِمْ آيَاتٌ وَأَحَادِيثُ لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ عِنْدَهُمْ تَعَبُّدٌ وَلَا صَلَاتُكُمْ إِلَى صَلَاتِهِمْ بِشَيْءٍ، وَلَا صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسَبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِم، لَا يَجَاوَزُ إِيمَانُهُمْ حُنَاجِرَهُم، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُق السَّهْمُ مِنَ الرَّمْيَةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوهُم؛ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَوْ يَعْلَمُ الْجَيْشُ الَّذِينَ يُصِيبُونَهُمْ مَا قُضِيَ لَهُمْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِم ﷺ لَاتَّكَلُوا عَنْ الْعَمَلِ".

"Jika saya menyampaikan sebuah hadits kepada kalian dari Rasulullah , maka sungguh bagi saya , terjatuh dari langit adalah lebih aku sukai daripada aku mendustakannya. Dan jika saya menceritakan kepada kalian sesuatu antara saya dan kalian, maka sesungguhnya perang adalah tipu daya.

Dan aku mendengar Rasulullah bersabda:

"Di akhir jaman nanti muncul suatu kaum dari arah timur , yang umur-umur mereka masih muda, mereka pada umumnya masih bocah, mereka orang-orang yang bodoh dalam impian dan pikiran yang gegabah. Mereka mengatakan perkataan dari sebaik-baik manusia, dalam omongannya terdapat ayat-ayat dan hadits-hadits, yang sejatinya tidak ada hubungannya antara bacaan kalian dengan bacaan mereka. Mereka rajin ibadah . Shalat kalian tidak ada apa-apanya dibanding shalat mereka , dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibanding puasa mereka .

Mereka membaca Al-Qur'an dan menganggap bahwa Al-Qur'an adalah dalil bagi kebenaran mereka, padahal sebenarnya adalah dalil atas kesesetan mereka . Iman mereka tak sampai melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari sasarannya, dimanapun kalian menemukannya, bunuhlah dia, sebab siapa yang membunuhnya akan mendapatkan pahala pagi pelakunya di hari kiamat."

Sekiranya pasukan yang memerangi mereka tahu pahala yang telah ditetapkan bagi mereka atas lisan Nabi , niscaya mereka akan berhenti beramal".

[ Lihat : Musnad Imam Ahmad no. 616 dan as-Sunnah karya Ibnu Abi 'Aashim no. 914 . Di shahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 2/45. Lihat pula : Shahih Ibnu Hibban no. 6704 & 6739 dishahihkan al-Albaani dalam adz-Dzilal (914) Q . Lihat pula : Shahih Bukhori no. 6930, Shahih Muslim no. 1066 & 1773 . Lihat pula al-Musnad al-Mawdhu'i 2/88 no. 1379 ].

Syeikh al-Munajjid berkata :

يَعْنِي : لَوْ عَلِمُوا الَّذِينَ يُقَاتِلُونَهُم لَوْ عَلِمُوا مَا لَهُمْ مِنَ الْأَجْرِ."

"Maksudnya: Jika mereka tahu terhadap orang-orang yang berperang melawan mereka, jika mereka tahu apa yang mereka dapatkan dari pahala."

Dalam lafadz lain : Suwaid bin Ghaflah mengatakan, Ali radliallahu 'anhu mengatakan;

إذا حَدَّثْتُكُمْ عن رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ حَدِيثًا، فَواللَّهِ لَأَنْ أخِرَّ مِنَ السَّماءِ، أحَبُّ إلَيَّ مِن أنْ أكْذِبَ عليه، وإذا حَدَّثْتُكُمْ فِيما بَيْنِي وبيْنَكُمْ، فإنَّ الحَرْبَ خِدْعَةٌ، وإنِّي سَمِعْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يقولُ: سَيَخْرُجُ قَوْمٌ في آخِرِ الزَّمانِ، أحْداثُ الأسْنانِ، سُفَهاءُ الأحْلامِ، يقولونَ مِن خَيْرِ قَوْلِ البَرِيَّةِ، لا يُجاوِزُ إيمانُهُمْ حَناجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ، كما يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فأيْنَما لَقِيتُمُوهُمْ فاقْتُلُوهُمْ، فإنَّ في قَتْلِهِمْ أجْرًا لِمَن قَتَلَهُمْ يَومَ القِيامَةِ.

"Jika saya menyampaikan sebuah hadits kepada kalian dari Rasulullah , demi Allah, saya terjatuh dari langit adalah lebih aku sukai daripada aku mendustakannya. Karenanya, akan saya ceritakan kepada kalian sesuatu yang akan terjadi diantara saya dan kalian, sesungguhnya perang adalah tipu daya.

Dan aku mendengar Rasulullah bersabda:

"Di akhir jaman nanti muncul suatu kaum yang umur-umur mereka masih muda, pikiran-pikiran mereka bodoh, mereka mengatakan dari sebaik-baik manusia, padahal iman mereka tak sampai melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, dimanapun kalian menemukannya, bunuhlah dia, sebab siapa membunuhnya mendatangkan ganjaran pagi pelakunya di hari kiamat." [HR. Bukhori no. 6930 dan Muslim no. 1066].

Kesimpulannya :

Mereka adalah orang-orang yang berusia muda,  otaknya cetek, membaca Al-Quran tapi tak sampai melewati kerongkongan mereka, maksudnya adalah tidak memahaminya hingga sampai ke hati mereka, mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya dan tidak kembali lagi, mereka membunuh orang beriman dan membiarkan penyembah berhala, menuduh para pemimpin mereka dan memvonis mereka dengan kesesatan.

Mereka menyeru kepada Kitabullah, namun mereka tidak sedikitpun merupakan Ahli Al-Quran. Mereka tidak menganggap para ulama dan tokoh terhormat.

Mereka mengira bahwa mereka lebih mengetahui terhadap Allah, RasulNya dan kitabNya dibanding orang-orang mulia tersebut.

Mereka sangat keras beribadah dan sangat bersungguh-sungguh, akan tetapi dengan kejahilan dan minimnya fiqih. Mereka mengkafirkan siapa saja yang melakukan dosa besar dari kaum muslimin. Demikianlah ciri-ciri mereka sebagaimana disebutkan beberapa hadits dan disebutkan para ulama.

Namun tidak boleh seseorang menuduh orang lain sebagai khawarij semata karena dia berbeda pendapat dengannya atau semata karena dia memandang bahwa orang tersebut cenderung punya sifat keras.

Tidak semua yang dianggap keras lantas disebut khawarij jika sejalan dengan pemahaman salafush shaleh.

Golongan khawarij terpecah menjadi beberapa golongan kecil , yang masing-masing mempunyai prinsip mereka sendiri-sendiri, selain prinsip itu mereka terpecah belah kedalam beberapa aliran yang saling bertentangan.  Hal ini disebabkan oleh banyaknya perbedaan pendapat diantara mereka, yang kadang-kadang hanya masalah sepele, dan masing-masing mempertahankan pendapatnya.

Mengenai jumlah sekte khawarij, ulama berbeda pendapat, Abu Musa Al-Asy’ary mengatakan lebih dari 20 sekte, Al-Baghdady berpendapat ada 20 sekte, Al-Syahrastani menyebutkan 18 sekte, Musthafa al-Syak’ah berpendapat ada 8 sekte utama.

Sekte-sekte Khawarij di masa sekarang ini ada yang super keras dan extreme , ada yang menengah dan ada juga yang sedikit moderat.

****

AWAL DOSA DAN KESALAHAN MANHAJ KHAWARIJ PEMECAH BELAH UMAT :

Awal dosa kaum berfaham khawarij dimulai dari rasa sombong, takabur dan merasa suci . Mereka merasa takjub terhadap dirinya, semangat ibadahnya dan manhajnya . Maka mereka mengklaim seluruh kaum muslimin yang bukan golongannya dan tidak berada diatas manhajnya adalah ahli neraka .

Dan menurut keyakinan mereka bahwa duduk-duduk dan berkumpul dengan selain golongannya adalah perbuatan dosa dan haram, bahkan dosanya jauh lebih besar dari pada zina, meminum khamr , membunuh dan lainnya. Akan tetapi mereka membolehkan duduk-duduk dengan orang kafir ; dengan alasan bahwa orang kafir itu sangat jelas akan kekufurannya dan tidak ada syubhat bahwa mereka bukan kaum muslimin .

Maka mereka pun mewajibkan hukum hajer dan dan tahdzir yang dikemas dengan dalil amar makruf nahyi munkar dan tashfiyah ash-shufuuf [memurnikan barisan].

Dan itulah sebenarnya yang memotivasi mereka untuk bersemangat ibadah . Dan dosa itulah yang meluluh lantakan pahala seluruh amal ibadah mereka .

Ketika mereka keluar dari jemaah kaum muslimin, dengan merendahkan yang lain, menghina, mencela dan lainnya yang berdampak pada perpecahan, permusuhan dan kebencian ; maka sejak saat itu pula mereka telah terpapar virus Khawarij . 

Dosa berikutnya adalah memecah belah umat, dikemas dengan dalil al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman mereka sendiri . Seakan-akan memecah belah umat ini adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya . Bahkan mereka ini senantiasa menggunakan dalil yang sebenarnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan musyrik, akan tetapi oleh mereka diarahkan kepada kaum muslimin yang berbeda pendapat dengan golongannya . Ini adalah kedustaan yang amat dahsyat mengatas namakan al-Quran dan Sunnah.

----

RINGKASAN CIRI KHAWARIJ YANG BER-MANHAJ PEMECAH BELAH UMAT :

Ciri kaum khawarij sebagaimana yang dikabarkan Nabi :

Ibadah mereka sangat luar biasa, mengalahkan semangat ibadah para sahabat nabi bahkan ibadah para sahabat tidak ada apa-apanya dibanding dengan ibadah mereka.

Berkemas al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang disesuaikan hawa nafsu mereka.

Mereka terfitnah dan merasa takjub dengan ibadahnya dan manhajnya , sehingga merasa dirinya sangat exclusive dalam kehidupannya.

Mereka bernampilan syuhroh, berbeda dengan yang lain, terkesan memamerkan dirinya sebagai orang shaleh, merasa istimewa dan suci.

Mereka sombong, sebagaimana karakter Iblis, sehingga mereka mengklaim diri mereka sebagai pemegang kunci syurga dan neraka.

Mereka merasa suci dan ahli syurga, maka mereka mengklaim selain golongannya pasti sesat dan ahli neraka.

Mereka menciptakan hukum haram mengucapkan salam kepada sesama kaum muslimin yang bukan dari golongannya. Mengharamkan duduk bersama dan berkumpul dengan selain golongannya . Bahkan mereka mewajibkan menghajer dan mentahdzir orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka.

Lalu mereka mewajibkan diri mereka memisahkan diri dari jemaah kaum muslimin yang dianggap najis dan sesat , serta beranggapan berdosa mendekati kaum muslimin yang bukan golongannya; karena menurutnya sama dengan kerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan, padahal mereka sendiri yang pertama menciptakan permusuhan.

===

PEMECAH BELAH UMAT MANUSIA adalah MANHAJ IBLIS

Dalam hadits Jabir radhiyallahu 'anhu , bahwa Rosulullah bersabda :

«إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ ، فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ ، فَيَقُولُ : فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا ، فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا . قَالَ : وَيَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ : مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَهْلِهِ . قَالَ : فَيُدْنِيهِ مِنْهُ . أَوْ قَالَ : فَيَلْتَزِمُهُ ، وَيَقُولُ :  نِعْمَ أَنْتَ » .

قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ مَرَّةً : «فَيُدْنِيهِ مِنْه».

"Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian menyebarkan bala tentaranya dan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar fitnahnya. Salah satunya datang lalu berkata : ' saya telah melakukan ini dan ini ' , lalu iblis mengatakan : ' kamu tidak berbuat apa-apa' .

Kemudian datang yang lain dan mengatakan : ' tidaklah aku meninggalkan manusia sehingga aku telah memecah belah antara dia dan keluarganya' .

Maka iblis mendekatkan dia di sisinya , atau menjadikannya sebagai pendampingnya ,  dan dia mengatakan : 'kamu adalah sebaik-baik teman' ".

Abu Mu'awiyah pernah berkata: "Lalu Iblis pun semakin mendekatkan-nya di sisi-nya."

( HR. Muslim no. 2813 ).

Dalam riwayat lain dari Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata : aku mendengar Nabi bersabda:

«إِنَّ عَرْشَ إِبْلِيْسَ عَلَى الْبَحْرِ. فَيَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَيُفتِنُوْنَ النَّاسَ. فَأَعْظَمُهُمْ عِنْدَهُ أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً».

“Sesungguhnya singgasana iblis berada dilautan dan dikirimnya pasukannya, lalu mereka menimbulkan fitnah (kekacauan) antara sesama manusia. Maka orang yang paling mulia dari pasukan itu dalam pandangan iblis adalah yang paling besar kemampuannya dalam menimbulkan kekacauan dan perpecahan. (HR. Muslim no. 2812 dan Ibnu Hibban no. 6187)

 Allah SWT berfirman :

﴿اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ﴾

“Sesungguhnya setan itu hanyalah berkeinginan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian” (QS. Al-Maidah: 91)

*KESOMBONGAN DAN MERASA SUCI ADALAH DOSA PERTAMA YANG IBLIS LAKUKAN :*

Sebagian para ulama salaf menjelaskan bahwa dosa pertama kali yang muncul kepada Allah adalah kesombongan. Allah Ta’ala berfirman,

﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ﴾

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)

Tentang ayat ini Qotaadah berkata :

“Iblis hasud terhadap Adam ‘alaihis salaam atas kemuliaan yang telah Allah berikan kepada nya . Iblis berkata : “Saya diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah”. Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi. Iblis merasa sombong dengan tidak mau bersujud kepada Adam ‘alaihis salaam” (Tafsir Ibnu Katsir 1/114)

Ada riwayat yang mengatakan bahwa nama asal Iblis adalah Azazil . Dia menyembah Allah selama 1000 tahun, lalu Allah swt mengangkatnya ke langit pertama. Di langit pertama, Azazil beribadah menyembah Allah swt selama 1000 tahun. Kemudian dia diangkat ke langit kedua. Begitu seterusnya hingga akhirnya dia diangkat menjadi imam dan ketua malaikat ataupun imam kepada para malaikat. Ibadahnya kepada Allah paling banyak.

Ada riwayat yang menyatakan Azazil beribadah kepada Allah selama 80,000 tahun dan tiada tempat di dunia ini yang tidak dijadikan tempat sujudnya ke hadrat Allah.

Tidak ada yang mengetahui apa-apa yang tersimpan dalam jiwa Azazil kecuali Allah swt . Adapun para malaikat maka mereka tidak tahu sama sekali . Kemudian terjadi sesuatu yang di luar perkiraan , yaitu Azazil menemukan dalam setiap tempat sujudnya tulisan :

*Iblis diusir, Iblis dikutuk, Iblis dihinakan, dan dia melihat tulisan terpampang di atas lingkaran pintu surga: “ Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba dari kalangan al-Muqorrobiin, Aku telah menyuruhnya, tapi dia tidak mau melaksanakan perintah-Ku, melainkan dia bermaksiat dan bermaksiat, maka aku mengusirnya, mengutuknya dan menjadikan semua ketaatan dan amalnya bagaikan debu yang beterbangan“.*

Azazil kaget dan bertanya-tanya, lalu berkata :

*Siapakah Iblis yang terusir ini ? Kami berlindung kepada Allah dari hal itu ! . Kemudian dia menghadap kepada Allah dan berkata : Wahai Rabb-ku Hamba-Mu yang manakah yang berani menentang perintah-Mu, sungguh aku ikut mengutuknya , izinkanlah aku untuk mengutuknya!*

Maka Allah SWT mengizinkannya. Lalu Azazil pun mengutuknya seribu kali .

Azazil tidak sadar bahwa tulisan di pintu syurga itu bisa menimpa kepada sesiapa saja, termasuk pada dirinya. Itu disebabkan karena ada kesombongan pada dirinya dan merasa suci.

Ternyata bukan hanya Azazil yang melihat perkara ini , ternyata dan bahkan para malaikat pun mengetahuinya dari malaikat Isrofil , yaitu ketika Israfil memperhatikan ke arah Lauh Mahfudz, dia mendapati perkataan yang sama, maka setelah melihat itu dia menangis tersedu-sedu, karena khawatir dirinya lah yang dimaksud. Sehingga tangisannya itu membuat para malaikat merasa kasihan dan iba terhadapnya , maka mereka berkumpullah dan menanyakannya : “Apa yang membuat-mu menangis ???”.

Israfil menjawab : “Aku telah menemukan sebuah rahasia dari rahasia-rahasia Rabb ku”

Lalu dia mengkisahkannya kepada mereka , maka para malaikat pun semuanya menangis , dan mereka berteriak :

“Tidak ada pilihan bagi kita kecuali kita harus pergi mendatangi Azazil , karena sesungguhnya dialah satu-satunya orang yang mustajab doanya dan termasuk orang-orang yang dekat kedudukannya di sisi Allah , mari kita minta bantuan kepadanya agar dia berkenan berdo’a kepada Allah untuk kita!”.

Maka para malaikatpun bersegera mendatangi Azaaziil dan menceritakan nya . Lalu Azaazil mengangkat kedua tangannya seraya berdoa :

*Wahai Rabb , amankan lah mereka dari pemutusan rahmat mu!.*

Azaaziil hanya mendoakan mereka dan lupa mendoakkan dirinya karena dia terkelabui oleh perasaan ujubnya sendiri karena merasa dirinya berada pada derajat dan posisi yang menurutnya tidak mungkin, mustahil bahkan tidak tergambarkan sedikitpun dalam benaknya bahwa dirinya itu adalah iblis yang terusir dan terkutuk itu …. .

Allah swt mengabulkan doa Azazil untuk para malaikat dan Allah menandai iblis dengan sebuah tanda celaka.

Dan ketika adanya ketakaburan atau kesombongan dalam diri Azazil sementara para malaikat tidak ada yang mengetahuinya, maka Allah yang Maha Bijak lagi Maha Adil berkehendak mengungkap niat dan tujuan yang sebenarnya ibadah Azazil selama ini serta kesombangannya, yaitu dengan cara Allah menciptakan Adam.

Dengan tujuan kelak nanti Azazil dan seluruh malaikat diuji kepatuhan dan ketulusannya kepada Allah dengan perintah sujud kepada Adam. Berkenaan dengan kisah ini Allah swt berfirman dalam al-Quran :

﴿وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْن﴾

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.( QS. Al-Baqarah : 30 )

****

MEMECAH BELAH UMAT TERMASUK DOSA BESAR. PELAKUNYA HARUS DIBUNUH.

Memecah belah jamaah kaum Muslimin termasuk dosa besar yang menghalalkan darah orang yang memecah belah tersebut, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih: 

«‌مَنْ ‌أَتَاكُمْ ‌وَأَمْرُكُمْ ‌جَمِيعٌ ‌عَلَى ‌رَجُلٍ ‌وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ»

"Siapa saja orangnya yang datang kepada kalian, sementara perkara kalian dalam keadaan bersatu di bawah satu orang, lalu orang itu ingin memecah tongkat kalian (memecah persatuan kalian) dan memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia." (HR. Muslim no. 1852)

Hal ini tidak terbayangkan terjadi dalam masalah yang telah disepakati secara Ijma’ oleh seluruh kaum Muslimin, lalu kebenaran di klaim berada pada pihak orang yang memisahkan diri dari mereka. Karena masalah yang telah disepakati secara Ijma' tidak boleh diperselisihkan, contohnya seperti hukum wajibnya sholat 5 waktu.

Adapun dalam hal-hal yang layak terjadi perbedaan pendapat seperti masalah-masalah furu’iyah ijtihadiyah, maka jamaah kaum Muslimin tidak boleh berpecah karenanya, meskipun orang yang menyelisihi mereka itu berada di atas kebenaran.

KEKHAWATIRAN RASULULLAH

Dari Huzaifah ibnul Yaman r.a. bahwa Rasulullah telah bersabda:

"إن مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رجُل قَرَأَ الْقُرْآنَ، حَتَّى إِذَا رُؤِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْء الْإِسْلَامِ اعْتَرَاهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ، انْسَلَخَ مِنْهُ، وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ: الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي؟ قَالَ: "بَلِ الرَّامِي".

Sesungguhnya di antara hal yang saya khawatirkan terhadap kalian ialah seorang lelaki yang pandai membaca Al-Qur’an, hingga manakala keindahan Al-Qur’an telah dapat diresapinya dan Islam adalah sikap dan perbuatannya, lalu ia tertimpa sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, maka ia tanpa sadar telah melepaskan diri dari Al-Qur’an. Dan Al-Qur'an ia lemparkan di belakang punggungnya (tidak diamalkannya), lalu ia menyerang tetangganya dengan senjata dan menuduhnya telah musyrik”.

Huzaifah ibnul Yaman bertanya : "Wahai Nabi Allah, manakah di antara keduanya yang lebih musyrik, orang yang dituduhnya ataukah si penuduhnya?"

Rasulullah menjawab : "Tidak, bahkan si penuduhlah (yang lebih utama untuk dikatakan musyrik)."

[ Abu Ya'la Al-Mausuli dalam Musnad-nya (Tafsir Ibnu Katsir 3/509) dan Al-Bazzar dalam Musnadnya no. (175) .

DERAJAT KESHAHIHAN HADITS :

Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma' (1/188): 'Sanadnya hasan.'"

Ibnu Katsir berkata :

"هَذَا إِسْنَادٌ جَيِّدٌ. وَالصَّلْتُ بْنُ بَهْرَامَ كَانَ مِنْ ثِقَاتِ الْكُوفِيِّينَ، وَلَمْ يُرْمَ بِشَيْءٍ سِوَى الْإِرْجَاءِ، وَقَدْ وَثَّقَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَيَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، وَغَيْرُهُمَا".

Sanad hadis ini berpredikat jayyid. As-Silt ibnu Bahram termasuk ulama siqah dari kalangan penduduk Kufah, dia tidak pernah dituduh melakukan sesuatu hal yang membuatnya cela selain dari Irja (salah satu aliran dalam mazhab tauhid). Imam Ahmad ibnu Hambal menilainya siqah, demikian pula Yahya ibnu Mu'in dan lain-lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir 3/509)

LARANGAN KLAIM AHLI NERAKA PADA AHLI MAKSIAT:

Syari'at Islam melarang seseorang mengklaim orang lain "ahli neraka", meskipun yang nampak darinya sangat membenarkannya. Begitu pula sebaliknya, mengklaim ahli syurga berdasarkan yang nampak di mata.

Sebagaimana diriwayatkan dari Dhamdham bin Jaus al-Yamami beliau berkata:

“Aku masuk ke dalam masjid Rasulullah , di sana ada seorang lelaki itu tua yang diinai rambutnya, putih giginya. Bersama-samanya adalah seorang anak muda yang tampan wajahnya, lalu lelaki tua itu berkata:

يَا يَمَامِيُّ تَعَالَ ، لاَ تَقُولَنَّ لِرَجُلٍ أَبَدًا: لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ ، وَاللَّهِ لاَ يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ أَبَدًا

Wahai Yamami, mari ke sini. Janganlah engkau pernah berkata kepada seseorang: Allah tidak akan mengampuni engkau, Allah tidak akan memasukkan engkau ke dalam syurga selamanya.

Aku bertanya: Siapakah engkau, semoga Allah merahmati engkau?

Lelaki tua itu menjawab: Aku adalah Abu Hurairah.

Aku pun berkata: Sesungguhnya perkataan seumpama ini biasa seseorang sebutkan kepada sebahagian keluarganya atau pembantunya apabila dia marah.

Abu Hurairah pun berkata: Janganlah engkau menyebutkan perkataan seperti itu. Sesungguhnya Aku mendengar Rasulullah bersabda:

"كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَوَاخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ أَقْصِرْ فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا فَقَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلْآخَرِ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ "

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ

"Ada dua orang laki-laki dari bani Isra'il yang berbeda arah; salah seorang dari mereka adalah orang yang tekun beribadah (Ahli Ibadah) sementara yang lainnya orang yang hobbi berbuat dosa (pendosa). Orang yang ahli ibadah itu selalu mengawasi pendosa itu berbuat dosa lalu ia berkata, "Berhentilah."

Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati pendosa itu berbuat dosa, ia berkata lagi, "Berhentilah."

Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, "Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!"

Ahli ibadah itu berkata, "Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu, atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga."

Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam.

Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: "Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?"

Allah SWT lalu berkata kepada pelaku dosa: "Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku." Dan berkata kepada ahli ibadah: "Pergilah kamu ke dalam neraka."

Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ

"Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya."

(HR. Abu Daud 4318 Ibnu Hibban 5804 Abdullah bin al-Mubaarok dlm al-Musnad No. 36. Di shahihkan oleh Ibnu Hibban dan Syeikh Muqbil al-wadi’i)

===***===

PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH RAHMAT. PERPECAHAN DENGAN MEMPERUNCING PERBEDAAN ADALAH ADZAB

Dari Nu'man bin Basyir, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

"الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ"

'Bersatu bersama jemaah adalah rahmat dan perpecahan adalah azab.'"

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/278 dan 4/375, serta anaknya dalam "Zawaid" 4/375, dan al-Quda'i dalam Musnad asy-Syihab 1/43 nomor 15, dan Ibn Abi ad-Dunya dalam "Qadha al-Hawaij" 78, serta Ibn Abi Asim dalam "As-Sunnah" 93, dan al-'Aqili dalam "Adh-Dhu'afa al-Kabir" 4/429, serta Abu ash-Sheikh al-Asbahani dalam "Amtsal al-Hadith" nomor 111, dan al-Baihaqi dalam "Asy-Syu'ab" 4419, serta Ibn Batta dalam "Al-Ibanah al-Kubra" nomor 117, dan al-Khiraithi dalam "Fadilah asy-Syukr" 83, dan al-Bazzar sebagaimana dalam "Kasyf al-Astar" nomor 1637.

Hadis ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam "Shahih al-Jami'" (3109).

Berdasarkan hadits ini, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

" وَإِذَا تَفَرَّقَ الْقَوْمُ فَسَدُوا وَهَلَكُوا . وَإِذَا اجْتَمَعُوا صَلَحُوا وَمَلَكُوا . فَإِنَّ الْجَمَاعَةَ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ".

"Dan jika suatu kaum bercerai-berai dan pecah belah, mereka akan rusak dan binasa. Jika mereka bersatu, mereka akan menjadi baik dan berkuasa. Sesungguhnya kebersamaan adalah rahmat, dan perpecahan adalah azab." [ Baca : Majmu’ al-Fatawa 19/217].

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: 

‌وَيُسْتَحَبُّ ‌لِلرَّجُلِ ‌أَنْ ‌يَقْصِدَ إلَى تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ بِتَرْكِ هَذِهِ الْمُسْتَحَبَّاتِ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ أَعْظَمُ مِنْ مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ ﷺ تَغْيِيرَ بِنَاءِ الْبَيْتِ لِمَا فِي إبْقَائِهِ مِنْ تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَكَمَا أَنْكَرَ ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى عُثْمَانَ إتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ ثُمَّ صَلَّى خَلْفَهُ مُتِمًّا. وَقَالَ الْخِلَافُ شَرٌّ.

Dan disunnahkan bagi seseorang untuk mengutamakan menyatukan hati (kaum Muslimin) dengan meninggalkan amalan-amalan sunnah ini, karena maslahat menyatukan hati dalam agama lebih besar daripada maslahat mengamalkan hal-hal semacam itu.

Sebagaimana Nabi meninggalkan keinginan untuk merombak bangunan Ka'bah karena mempertimbangkan maslahat penyatuan hati dengan membiarkannya tetap seperti itu.

Dan sebagaimana Ibnu Mas'ud mengingkari Utsman atas perbuatan menyempurnakan shalat dalam safar, namun tetap shalat di belakangnya secara sempurna, dan beliau berkata: “Perpecahan adalah buruk”.(selesai) [ Baca : Majmu’ al-Fatawa 22/408]

Sebagiamana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah diatas, maka inilah yang terjadi pada Abdullah bin Mas'ud, ia shalat di Mina di belakang Utsman (radhiyallahu 'anhuma) sebanyak empat rakaat untuk shalat zuhur dan asar, sementara menurutnya yang benar adalah dua rakaat qoshor, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi , dan oleh kaum muslimin pada masa kekhilafahan Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan awal kehilafahan Utsman bin Affaan – radhiyallahu ‘anhum . Berikut ini sebagian riwayatnya :

Abdurrahman bin Yazid berkata :

"أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ - مُنْكِرًا عَلَيْهِ - : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا ثُمَّ تَفَرَّقَتْ بِكُمُ الطُّرُقُ فَلَوَدِدْتُ أَنَّ لِي مِنْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ مُتَقَبَّلَتَيْنِ ثُمَّ إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ صَلَّى أَرْبَعًا فَقِيلَ لَهُ : عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ : الخِلاَفُ شَرٌّ".

Bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu – mengingkarinya - seraya berkata: 

“Aku dulu shalat bersama Nabi , Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat rakaat.

Kemudian terjadilah perbedaan pendapat diantara kalian, dan sungguh aku berkeinginan dari empat rakaat shalat itu yang diterima adalah yang dua rakaat darinya.” 

Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Mas’ud justru dia juga ikut shalat empat rakaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau: 

“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, akan tetapi engkau sendiri shalat empat rakaat pula?” 

Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perpecahan itu adalah buruk .” 

["Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1960) dengan sedikit perbedaan, dan diriwayatkan oleh Bukhari (1084), serta Muslim (695) dalam bentuk yang lebih panjang dengan lafaz yang hampir serupa."

Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :

وَ سَنَدُهُ صَحِيحٌ. وَ رَوَى أَحْمَدُ (٥ / ١٥٥) نَحْوَ هَذَا عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.

Sanadnya Shahih . Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in). [As-Silsilah Ash-Shahihah 1/444].

RIWAYAT LAIN :

Al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar 4/260 No. 6078: 6078 - Ahmad berkata:

وَقَدْ رُوِّينَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ فِي صَلَاةِ ‌ابْنِ ‌مَسْعُودٍ أَرْبَعًا، وَقَوْلُهُمْ: أَلَمْ يُحَدِّثْنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ؟ فَقَالَ: بَلَى. وَلَكِنَّ عُثْمَانَ كَانَ إِمَامًا، فَأُخَالِفُهُ وَالخِلاَفُ شَرٌّ

Telah diriwayatkan kepada kami dengan sanad yang sahih dari Abu Ishaq, dari Abdurrahman bin Yazid tentang : ‘shalat Ibnu Mas'ud sebanyak empat rakaat’, dan ucapan mereka:

'Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa Nabi shalat dua rakaat, dan Abu Bakar juga?'

Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab: 'Betul. Tetapi Utsman adalah imam, maka aku tidak boleh menyelisihinya dan perpecahan itu adalah buruk.'"

NOTE : Ada banyak riwayat tentang kronologi ucapan Ibnu Mas’ud tersebut.

Dan dari ri Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dia berkata, "Rasulullah bersabda:

"إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا ، وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا : فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةِ الْمَالِ".

"Sesungguhnya Allah menyukai bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara :

[*] Dia menyukai kalian hanya menyembah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

[*] Kalian berpegang teguh dengan agama-Nya dan janganlah kalian berpecah belah.

[*] Dan Allah membenci kalian dari mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta." [HR. Muslim no. 3236]

*****

 PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH CABANG AGAMA ADALAH RAHMAT.

Yang dimaksud pendapat disini adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyyah yang layak dan memungkin terjadinya terjadinya perbedaan pendapat. Bukan masalah-masalah yang qoth’i dan Ijma’. 

Ada ungkapan masyhur dikalangan para ulama salaf dan khalaf yang menyatakan :

إنَّ اختِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهُم، كَمَا أَنَّ اختِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ كَانَ لَهَا عَذَابًا وَهَلَاكًا.

"Sesungguhnya perbedaan di antara umat ini adalah rahmat dari Allah bagi mereka, sementara perbedaan umat-umat sebelumnya adalah azab dan kebinasaan bagi mereka" .

Dan :

إجماعُهُمْ حُجَّةٌ، وَاخْتِلافُهُمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ.

"Ijma’ (kesepakatan) mereka adalah hujah, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas." [Baca : "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib karya al-Imam as-Suyuthi" (1/2)]

Perkataan al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiiq (wafat 107 H):

Dalam “Al-Hilyah” 7/119 dan “Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra” oleh Al-Baihaqi (Lihat : al-Maqashid al-Hasanah hal. 27 no, 39) :

Dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq , dia mengatakan:

"كَانَ اخْتِلَافُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِهَؤُلَاءِ النَّاسِ"

“Perbedaan di antara para sahabat Muhammad adalah rahmat bagi umat manusia ini.”

Al-Qasim ini, beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

Perkataan Imam Malik (wafat 179 H) kepada Khalifah Harun al-Rasyid.

Al-Khothib meriwayatkan dalam kitabnya Al-Ruwat 'An Malik [الرُّوَاة عَنْ مَالِك]:

أَنَّ هَارُونَ الرَّشِيدَ قَالَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ نَكْتُبُ هَذِهِ الْكُتُبَ يَعْنِي مُؤَلَّفَاتِ الْإِمَامِ مَالِكٍ وَنُفَرِّقُهَا فِي آفَاقِ الْإِسْلَامِ لِنَحْمِلَ عَلَيْهَا الْأُمَّةَ، قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، ‌إنَّ ‌اخْتِلَافَ ‌الْعُلَمَاءِ ‌رَحْمَةٌ ‌مِنْ ‌اللَّهِ ‌تَعَالَى ‌عَلَى ‌هَذِهِ ‌الْأُمَّةِ، ‌كُلٌّ ‌يَتْبَعُ ‌مَا ‌صَحَّ ‌عِنْدَهُ، وَكُلُّهُمْ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيدُ اللَّهَ تَعَالَى والدَّارَ الآخِرَة".

" Bahwa Harun al-Rasyid berkata kepada Malik bin Anas: "Wahai Abu Abdullah, kita akan menyalin kitab-kitab ini – yaitu karya-karya Imam Malik- dan kita akan menyebarluaskannya di berbagai penjuru Islam agar umat ini dapat mengambil manfaat darinya."

Malik menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, perbedaan pendapat di antara para ulama adalah RAHMAT dari Allah Ta'ala bagi umat ini. Setiap orang mengikuti apa yang diyakini benar menurut pandangannya, dan semua mereka berada di atas petunjuk. Semuanya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala dan kehidupan Akhirat"

Lihat kitab Al-Ruwat 'An Malik oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, sebagaimana terdapat dalam kitab "Kasyf al-Khafa' wa Muzil al-Ilbas" oleh Al-Ajluni 1/65 (153).

Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H) berkata:

"عَمِلْتُ في المُجَاهَدَةِ ثَلاثِينَ سَنَةً، فَمَا وَجَدْتُ شَيْئًا أَشَدَّ مِنَ العِلْمِ وَمُتَابَعَتِهِ، وَلَوْلَا اخْتِلَافُ العُلَمَاءِ لَشَقِيتُ، وَاخْتِلَافُ العُلَمَاءِ رَحْمَةٌ، إِلَّا في تَجْرِيدِ التَّوْحِيدِ، وَمُتَابَعَةُ العِلْمِ هِيَ مُتَابَعَةُ السُّنَّةِ لَا غَيْرُ."

"Aku telah melakukan al-mujaahadah selama tiga puluh tahun, namun aku tidak menemukan sesuatu yang lebih sulit daripada ilmu dan mengikutinya. Jika bukan karena perbedaan pendapat di antara para ulama, niscaya aku akan celaka. Perbedaan pendapat di antara para ulama adalah rahmat, kecuali dalam hal memurnikan tauhid, dan mengikuti ilmu adalah mengikuti sunnah semata-mata." [ Baca : Hilyatul Awliyaa Karya Abu Nu’aim al-Asbahaani 10/35 no. 458].

Ibnu Qudamah al-Hanbali (w. 620 H) berkata:

وجعل في سَلَفِ هذه الأُمَّةِ أئِمَّةً مِن الأعلام، مَهَّد بهم قَواعدَ الإِسلام، وأوْضَح بهم مُشْكلاتِ الأحكام، ‌اتِّفاقُهم ‌حُجَّةٌ ‌قاطِعة، ‌واخْتلافُهم ‌رحمةٌ ‌واسعة، تَحْيَى القلوبُ بأخْبَارِهم، وتحصلُ السعادةُ باقْتفاءِ آثارِهم، ثم اخْتَصَّ منهم نَفَرًا أعْلَى أَقْدَارَهم ومَناصِبَهم، وأبْقَى ذكرَهم ومَذاهِبَهم، فَعلَى أقْوالِهم مَدارُ الأحكام، وبمذاهبِهم يُفْتِى فقَهاءُ الإِسلام

"Allah telah menjadikan di kalangan para pendahulu umat ini para imam yang menjadi panutan, yang menetapkan dasar-dasar Islam dan menjelaskan masalah-masalah hukum yang sulit.

Kesepakatan pendapat mereka adalah hujah yang kuat, dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas. Hati menjadi hidup dengan berita-berita mereka, dan kebahagiaan dicapai dengan meneladani jejak mereka. Kemudian Allah memilih dari mereka beberapa orang yang ditinggikan kedudukan dan posisi mereka, serta mengabadikan ingatan dan mazhab mereka, maka pada pendapat mereka lah bergantungnya hukum-hukum, dan dengan mazhab mereka lah para ahli fiqh Islam memberikan fatwa." [ Baca : al-Mugni 1:4-5].

Imam As-Suyuti, rahimahullah:

Dia berkata di awal risalatnya "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2) :

«فصل: اعلَمْ أَنَّ اخْتِلافَ المَذاهِبِ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ وَفَضِيلَةٌ عَظِيمَةٌ، وَلَهُ سِرٌّ لَطِيفٌ أَدْرَكَهُ العَالِمُونَ، وَعَمِيٌّ عَنْهُ الجَاهِلُونَ، حَتَّى سَمِعْتُ بَعْضَ الجُهَّالِ يَقُولُ: النَّبِيُّ ﷺ جَاءَ بِشَرْعٍ وَاحِدٍ، فَمِنْ أَيْنَ مَذْهَبُ أَرْبَعَةٍ؟»

"Bab: Ketahuilah bahwa perbedaan madzhab dalam umat ini adalah nikmat besar dan keutamaan yang agung, serta memiliki rahasia halus yang dipahami oleh para ulama, sedangkan buta tentangnya adalah orang-orang bodoh, sehingga saya mendengar beberapa orang bodoh berkata: Nabi Muhammad datang dengan satu syariat, dari mana kemudian muncul empat madzhab?".

Lalu as-Suyuthi berkata :

«وَقَدْ وَقَعَ اخْتِلافٌ فِي الفُرُوعِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خَيْرِ الأُمَّةِ، فَمَا خَاصَمَ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَحَدًا، وَلَا عَادَى أَحَدٌ أَحَدًا، وَلَا نَسَبَ أَحَدٌ أَحَدًا إِلَى خَطَأٍ وَلَا قُصُورٍ..، وَوُرِدَ أَنَّ اخْتِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهَا، وَكَانَ اخْتِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ عَذَابًا وَهَلَاكًا. هَذَا أَوْ مَعْنَاهُ ».

Telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah di antara para Sahabat radhiyallhu ‘anhum, yang mana mereka merupakan generasi terbaik umat ini. Dan tidak ada di antara mereka yang berseteru dengan yang lain, atau mengadu domba, atau menyalahkan seseorang atas kesalahan atau kekurangan...

Dan telah disebutkan bahwa perbedaan pendapat dalam umat ini adalah rahmat dari Allah baginya, sedangkan perbedaan pendapat dalam umat-umat sebelumnya adalah siksaan dan kebinasaan. Ini adalah inti atau maknanya”.

SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :

Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:

‌وَالنِّزَاعُ ‌فِي ‌الْأَحْكَامِ ‌قَدْ ‌يَكُونُ ‌رَحْمَةً ‌إذَا ‌لَمْ ‌يُفْضِ ‌إلَى ‌شَرٍّ ‌عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى ﴿لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ﴾

"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang ; karena keidak jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:

﴿لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ﴾

*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).

Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].

PERHATIAN !:

Ada hadits Nabi yang menyatakan :

اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةً

" Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat ".

Hadits "Ikhtilaf ummati rahmah" tidak memiliki dasar yang sahih, namun maknanya benar.

Al-Munawi dalam "Fayd al-Qadir" 1/ 212 berkata:

"قَالَ السَّبْكِيُّ: وَلَيْسَ بِمَعْرُوفٍ عِنْدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَلَمْ أَقِفْ لَهُ عَلَى سَنَدٍ صَحِيحٍ وَلَا مَوْضُوعٍ"

"As-Suyuti berkata: Hadits ini tidak dikenal oleh para ahli hadits, dan saya tidak menemukan sanad yang sahih atau yang maudhu' (palsu)."

Syeikh Majd Makky dalam artikelnya مَا صِحَّةُ حَدِيثِ اخْتِلَافِ أُمَّتِي رَحْمَةٌ؟ berkata:

وَالْحَاصِلُ: أَنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فَمَعْنَاهُ صَحِيحٌ جِدًّا، تُؤَيِّدُهُ أَدِلَّةُ الشَّرِيعَةِ الَّتِي تُقِرُّ مَشْرُوعِيَّةَ الِاخْتِلَافِ بِشُرُوطِهِ الْمُعْتَبَرَةِ.

" KESIMPULANNYA: meskipun hadits tersebut tidak terbukti shahih, namun maknanya sangat akurat [shahih sekali]. Ini didukung oleh dalil-dalil syar'i yang melegitimasi perbedaan pendapat dengan syarat-syarat yang mu'tabar".

*****

PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT :

====

PERTAMA : PERKATAAN KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ :

Riwayat ke 1 :

Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam kitab Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih (2/59) dari Muhammad bin Ahmad bin Razaq, yang memberitahu kami bahwa Utsman bin Ahmad Al-Daqaq berkata, Hanzhal bin Ishaq berkata, Abu Abdullah berkata, Mu'adz bin Hisyam berkata, ayahku berkata dari Qatadah :

أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبدِ العَزِيزِ كَانَ يَقُولُ: مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ لَمْ يَختَلِفُوا لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَختَلِفُوا لَمْ يَكُنْ رُخصَةٌ.

Bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata: "Aku tidak merasa senang jika para sahabat Muhammad tidak pernah berbeda pendapat, karena jika mereka tidak pernah berbeda pendapat, maka tidak akan ada keringanan (rukhshah)."

Pentakhrij kitab al-Maathalib al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 berkata :

وَهَذَا إِسْنَادٌ حَسَنٌ، فِيهِ مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ وَعُثْمَانُ الدَّقَّاقُ وَهُمَا صَدُوقَانِ وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.

وَأَخْرَجَهُ الخَطِيبُ أَيْضًا فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِنْ طَرِيقِ عِمْرَانَ القَطَّانِ، عَنْ مَطَرٍ الوَرَّاقِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ مُخْتَصَرًا.

وَهَذِهِ الطَّرِيقُ يُؤَيِّدُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَدُلُّ عَلَى أَنَّ المَعْنَى ثَابِتٌ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ.

Dan ini adalah isnad yang hasan, di dalamnya terdapat Mu'adz bin Hisyam dan Utsman Al-Daqaq, keduanya adalah orang yang dapat dipercaya (shaduq), dan para perawi lainnya adalah terpercaya (tsiqah).

Al-Khatib juga meriwayatkannya dalam Al-Faqih (2/59) melalui jalur Imran Al-Qaththan, dari Muthar Al-Warraq, dari Umar bin Abdul Aziz secara ringkas.

Jalur-jalur ini saling menguatkan satu sama lain dan menunjukkan bahwa makna tersebut tetap dari Umar bin Abdul Aziz”. [Pentahqiq Kitab Al-Mathalib Al-'Aliyah: Sekelompok pentahqiq dalam 17 disertasi universitas. Disusun oleh Dr. Sa'ad bin Nashir Al-Syatsari].

Riwayat ke 2 :

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah 12/600 no. 3062:

Musaddad berkata: Isa bin Yunus menceritakan kepada kami, Ismail bin Abdul Malik menceritakan kepada kami, dari 'Aun bin Abdullah bin 'Utbah, ia berkata:

قَالَ لِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا يَسُرُّنِي بِاخْتِلَافِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ النَّعَمِ لِأَنَّا إِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا وَإِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا.

Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu 'anhu berkata kepadaku: "Betapa senangnya aku dengan perbedaan pendapat di antara para sahabat Rasulullah ; karena jika kami mengambil pendapat sebagian mereka, maka kita benar. Dan jika kita mengambil pendapat yang lainya ; maka kita benar juga” .

Lalu al-Hafidz berkata : صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ / *Shahih Maqthu’*

Pentakhrij kitab al-Maathalib al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 no. 3062 berkata :

رَوَاهُ الخَطِيبُ فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِن طَرِيقِ مُسَدَّدٍ.

الحُكمُ عَلَيهِ: هَذَا الأَثَرُ عَن عُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ: ضَعِيفٌ بِهَذَا السَّنَدِ مِن أَجْلِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبدِ المَلِكِ، وَبِهَذَا يُعلَمُ قَولُ الحَافِظِ بْنِ حَجَرٍ: صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ أَنَّهُ لَيسَ بِصَوَابٍ وَلَعَلَّهُ كَانَ يَقصِدُ بِطُرُقِهِ.

“Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam kitab Al-Faqih (2/59) melalui jalur Musaddad.

Penilaian terhadapnya: Atsar ini dari Umar bin Abdul Aziz: dho’if (lemah) dengan sanad ini karena Ismail bin Abdul Malik. Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan Al-Hafiz Ibnu Hajar: "Shahih Maqthu'" tidaklah benar dan mungkin yang dimaksud adalah jalur-jalur lainnya”.

=====

KEDUA : PERKATAAN YAHYA BIN SA’ID AL-ANSHARY :

Imam Al-Hujjah, Qadhi Yahya bin Sa’id Al-Anshari (wafat 143 H), salah satu dari Tabi’in yang terkemuka, mengatakan:

"مَا بَرِحَ أُولُو الفَتْوَى يُفْتُوْنَ، فَيُحِلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلا يَرَى الْمُحَرِّمُ أَنَّ الْمُحِلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ، وَلا يَرَى الْمُحِلُّ أَنَّ الْمُحَرِّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ"

“Tidak pernah berhenti para ulama ahli fatwa untuk memberi fatwa, sehingga salah satu diantara mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini sementara yang lainnya mengharamkan itu. Orang yang mengharamkannya tidak menyatakan bahwa orang yang menghalalkannya binasa karena berpendapat menghalalkannya, dan orang yang menghalalkannya tidak mengatakan bahwa orang yang mengharamkannya binasa karena berpendapat mengharamkannya.” [Baca : “Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadlihi” karya Ibnu ‘Abdil-Barr 2:80].

Dan di riwayatkan dari jalur yang lain oleh Adz-Dzahabi dengan lafal:

"أَهْلُ الْعِلْمِ أَهْلُ تَوْسِعَةٍ، وَمَا بَرِحَ الْمُفْتَوْنُ يَخْتَلِفُونَ، فَيُحَلِّلُ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلَا يُعَيِّبُ هَذَا عَلَى هَذَا، وَلَا هَذَا عَلَى هَذَا".

“Ahli ilmu adalah orang-orang yang luas pandangannya, dan para ahli fatwa tidak pernah berhenti berbeda pendapat, sehingga salah satu dari mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Namun tidak ada yang saling mencela antara yang ini terhadap yang itu, dan tidak pula antara yang itu terhadap yang ini.” [Baca : At-Radzkirah 1/139].

====

KETIGA : PERKATAAN IBNU AL-QOYYIM :

Ibnu Qayyim rahimahullah (w. 751 H) berkata:

"وُقُوعُ ٱلاخْـتِـلاَفُ بَيْنَ النَّاسِ أَمْرٌ ضَرُورِيٌّ لَا بُدَّ مِنْهُ؛ لِتَفَاوُتِ إِرَادَاتِهِمْ وَأَفْهَامِهِمْ، وَقُوَى إِدْرَاكِهِمْ، وَلَكِنَّ المَذْمُومَ بَغْيُ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ وَعَدَاوَتُهُ."

"Terjadinya perbedaan pendapat di antara manusia adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari karena perbedaan keinginan dan pemahaman mereka, serta kekuatan akal mereka. Namun, yang tercela adalah sikap dzalim aniaya sebagian mereka terhadap sebagian lainnya dan permusuhan di antara mereka." [ Baca : Ash-Showaa’iq al-Mursalah 1/269].

====

KEEMPAT : PERKATAAN AL-MUNAWI

Al-Munawi rahimahullah (w. 1031 H) berkata:

"فَاخْتِلَافُ المَذَاهِبِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ، وَفَضِيلَةٌ جَسِيمَةٌ خُصَّتْ بِهَا هَذِهِ الأُمَّةُ."

"Perbedaan mazhab adalah nikmat besar, dan keutamaan besar yang dikhususkan bagi umat ini." [ Baca : Faidhul Qodiir 1/271].

===*****===

PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT

Lebih jauh dari itu, sebagian para tokoh salaf dan orang-orang yang tepercaya serta ulama mereka sangat berkeinginan untuk menghapus kata “perbedaan pendapat (ٱلاخْـتِـلاَفُ)” dari “kamus” masyarakat, lalu menggantinya dengan kata “keluasan (السَّعَة)”.

Dalam biografi Thalhah bin Musyarrif, semoga Allah merahmatinya, muridnya yang bernama Musa Al-Juhani berkata:

"كَانَ طَلْحَةُ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ قَالَ: لَا تَقُولُوا: ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ قُولُوا: السَّعَةُ".

“Thalhah biasa mengatakan ketika kata ‘perbedaan pendapat’ disebut di hadapannya: ‘Jangan katakan perbedaan, tetapi katakanlah keluasan’.” [“Hilyat al-Awliya” 5/119.]

Abu Ishaq As-Subai’i, salah satu Tabi’in yang terkemuka dan salah satu para hafifz mereka, mengatakan:

"كَانُوا يَرَوْنَ السَّعَةَ عَوْنًا عَلَى الدِّينِ".

“Mereka berpandangan bahwa keluasan (السَّعَةَ) itu sebagai penolong agama.” [“Al-Ja’diyat” karya Abu al-Qasim al-Baghawi 1/366].

Dalam “Majmu’ al-Fatawa” 30/79, Ibnu Taiymiyah berkata :

"صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا فِي ٱلاخْـتِـلاَفُ فَقَالَ أَحْمَدُ: لَا تُسَمِّهِ كِتَابَ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ سَمِّهِ كِتَابَ السَّعَةِ"

“Seseorang menulis kitab tentang perbedaan pendapat , maka Imam Ahmad berkata: Jangan kau beri nama kitab itu dengan nama kita perbedaan pendapat , akan tetapi beri nama dengan nama kitab keluasan (السَّعَةَ).”

Perbedaan pendapat merupakan kata yang menunjukkan perselisihan dan perpecahan, sedangkan keluasan, nampak jelas maknanya dalam memberikan kelonggaran, kenyamanan, dan kemudahan. [Baca : al-Muswaddah karya Ibnu Taimiyah hal. 401].

Ini adalah peringatan yang halus untuk memperbaiki atau memberi peringatan kepada pendengar tentang manfaat dari perbedaan pendapat ini sebelum terjatuh dalam kesalahan, dengan mengira bahwa perbedaan pendapat yang disyariatkan dan yang terpuji sama seperti perbedaan yang tercela, yaitu perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama.

Mereka menyukai keluasan dalam syariat, karena mereka menyadari bahwa keluasan bersama kemudahan, dan bahwa kemudahan adalah salah satu tujuan utama dari tujuan-tujuan hukum Islam.

Keluasan dan kemudahan terkait dengan rahmat, maka dari itu, ada pernyataan dari Imam Al Qasim bin Muhammad Bin Abu Bakar ash-Shiddiiq rahimahullah dalam beberapa riwayatnya yang mengekspresikan “rahmat”.

Diantaranya : al-Qasim bin Muhammad pernah ditanya oleh seseorang:

سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنِ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ فِيمَا لَمْ يَجْهَرْ فِيهِ، فَقَالَ: إِنْ قَرَأْتَ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ، وَإِذَا لَمْ تَقْرَأْ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أُسْوَةٌ.

“Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi .’” [Baca : Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Ibnu Abdil Bar].

Dan adanya pengakuan (gagasan kelapangan dan keluasan dalam berijtihad) oleh para imam terdahulu dan belakangan adalah sesuatu yang tidak memerlukan bukti atau argumen atau rujukan, karena keteladanan mereka yang dipraktekkan lebih jelas daripada ucapan mereka.

Diantaranya adalah sikap Imam Malik terhadap gagasan dan pemikiran yang serupa ini, ketika ditawarkan padanya untuk memaksa orang-orang mengikuti kitabnya "al-Muwaththa'".

Riwayat-riwayat bervariasi tentang siapa yang mengajukan hal ini kepadanya, dan dalam jawabannya kepada mereka, tetapi semuanya berputar pada satu poros, yaitu : penolakan Imam Malik untuk memaksa orang-orang mengikuti satu mazhab, yaitu madzhabnya. Dia menolaknya karena cintanya pada keluasan dan kelapangan bagi mereka.

Lihat dan renungkanlah kenyataan yang diberkahi dan tenang ini, dan lihat serta renungkanlah apa yang kita alami saat ini yang penuh dengan kekacauan yang sangat menyakitkan!

Ingatlah tindakan mereka yang mengklaim mengikuti salaf saleh ini ketika mereka mencetak biografi Imam Besar Abu Hanifah rahimaullah dari "Tarikh Baghdad", biorgafi yang penuh dengan ketidakadilan dan kegelapan. Pada saat itu, mereka juga mencetak satu bab dari "Mushannaf Ibn Abi Syaibah", karya besar ahli fiqh salaf, mereka memilih bab yang menyebutkan 125 masalah di mana menurut pendapat dan ijtihadnya, Imam Abu Hanifah menyelisihi sunnah, dan menamakannya dengan: “Kitab al-Radd 'ala Abi Hanifah (Kitab Bantahan Terhadap Abu Hanifah)”.

====

SALING MENGHARGAI DAN MENGAKUI PENDAPAT ORANG LAIN:

Para ulama dan para imam dari kalangan salaf dahulu, mereka senantiasa saling menghargai, saling menghormati dan saling mengakui terhadap perbedaan pendapat dalam berijtihad, mereka senantiasa menjaga persatuan dan menghindari perpecahan, sebagaimana yang kita lihat pada Imam Malik, itu adalah sesuatu yang sudah umum di antara mereka. 

Berikut ini adalah perkataan sebagian para ulama salaf dan para imam mujtahid berkenaan dengan pengakuan mereka terhadap perbedaan pendapat. 

SUFYAN ATS-TSAURY (wafat : 161 H) :

Dalam "Adab al-Faqih wa al-Mutafaqqih" 2/69 karya al-Khathib, dari Imam Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata:

«إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ: فَلَا تَنْهَهُ».

"Jika engkau melihat seseorang melakukan suatu amalan yang diperselisihkan, dan engkau berpendapat sebaliknya, maka janganlah engkau melarangnya."

Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.’” [Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401].

ABU HANIFAH (wafat 150 H) :

Pernyataan yang serupa juga datang dari seorang imam mujtahid lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah rahimaullah , yang diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Tarikh al-Baghdaad 13/352 :

«قَوْلُنَا هَذَا رَأْيٌ، وَهُوَ أَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ، فَمَنْ جَاءَنَا بِأَحْسَنَ مِنْ قَوْلِنَا، فَهُوَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنَّا».

"Pendapat kami ini adalah sebuah pendapat, dan ini adalah yang terbaik yang kami mampu. Barangsiapa datang kepada kami dengan pendapat yang lebih baik dari pendapat kami, maka dia lebih berhak atas kebenaran daripada kami."

Bahkan dalam "al-Intiqa" (hal. 140) beliau berkata :

«هَذَا الَّذِي نَحْنُ فِيهِ رَأْيٌ لَا نُجْبِرُ أَحَدًا عَلَيْهِ، وَلَا نَقُولُ: يَجِبُ عَلَى أَحَدٍ قُبُولُهُ بِكَرَاهِيَةٍ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ أَحْسَنُ مِنْهُ فَلْيَأْتِ بِهِ».

"Apa yang kami tetapkan ini adalah sebuah pendapat yang tidak kami paksakan kepada siapa pun, dan tidak kami katakan bahwa wajib bagi seseorang untuk menerimanya dengan keberatan. Barangsiapa yang memiliki pendapat yang lebih baik darinya, maka hendaklah dia mengemukakannya."

IBNU AL-MUBAARAK (wafat 181 H):

Betapa agungnya perkataan Ibnu al-Mubarak - dia termasuk para imam mujtahid -:

«إِنِّي لَأَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَأَكْتُبُهُ، وَمَا مِنْ رَأْيِي أَنْ أَعْمَلَ بِهِ، وَلَا أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ، وَلَكِنْ أَتَّخِذُهُ عُدَّةً لِبَعْضِ أَصْحَابِي إِنْ عَمِلَ بِهِ أَقُولُ: عَمِلَ بِالْحَدِيثِ».

"Aku mendengar hadis lalu menulisnya, meskipun aku tidak berpendapat untuk mengamalkannya. Atau aku meriwayatkannya, tetapi aku menganggapnya sebagai persiapan untuk sebagian sahabatku yang mengamalkannya. Aku katakan: Dia mengamalkan hadis tersebut". [Baca : "al-Kifāyah" karya al-Khaṭīb hal. 402, dan "Faḍā'il Abī anīfah" karya Ibnu Abī al-'Awām hal. 265].

Karena perkataan itu mengandung makna yang kita bicarakan, dan lebih dari itu, ia mencerminkan kemurahan hati dan kebaikan sifatnya terhadap sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum .

YAHYA AL-QATHTHAN (wafat 198 H) :

Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan rahimahullah berkata:

مَا بَرَحَ أُولُو الْفَتْوَى يَفْتُونَ فَيُحَلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا فَلَا يَرَى الْمُحَرَّمُ أَنَّ الْمُحَلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ وَلَا يَرَى الْمُحَلُّ أَنَّ الْمُحَرَّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ.

“Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.”[ Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Imam Ibnu Abdil Bar]

Al-IMAM AL-AWZAA’I (wafat 157 H) :

Al-Awza'i adalah salah satu imam mujtahid. Dalam kitab "al-Tamhid" 21/172, Ibnu Abdil Barr berkata 

«قَالَ الأُوزَاعِيُّ فِي الَّذِي يَقْبِّلُ امْرَأَتَهُ: إِنْ جَاءَ يَسْأَلُنِي قُلْتُ: يَتَوَضَّأُ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ أَعِبْ عَلَيْهِ!».

"al-Awza'i berkata tentang orang yang mencium istrinya:

Jika dia datang bertanya kepadaku, maka aku katakan: dia harus berwudhu. Dan jika dia tidak berwudhu, maka akupun tidak mencelanya!"  " . [Lihat pula : "al-Istidzkar" jilid 1: 323, dan jilid 3: 50, dari cetakan Dr. Qulaji].

IMAM SYAFI’I (wafat 204 H):

Imam Asy Syafi’i rahimahullah, juga Imam Malik berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.

Namun demikian telah diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .

“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.’” [Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah]

IMAM AHMAD (wafat 241 H):

Dan yang serupa disebutkan tentang perkataan seorang Imam Mujtahid lainnya, yaitu Imam Ahmad, dalam kitab "Siyar A'lam al-Nubala'" (11/371 biografi Ishaq bin Raahuwiyah):

«قَالَ أَحْمَدُ: لَمْ يَعْبُرِ الْجِسْرَ إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ إِسْحَاقَ، وَإِنْ كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَلْ يُخَالِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا».

"Ahmad berkata: Tidak ada yang menyeberangi jembatan menuju Khurasan yang seperti Ishaq, meskipun dia berbeda pendapat dengan kami dalam beberapa hal, karena manusia selalu berbeda pendapat satu sama lain."

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah  mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:

"لا نَفْعَلُهُ وَلا نُعِيبُ فَاعِلَهُ."

“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” [Al Mughni, 2/87 dan Syarhul Kabir, 1/802]

Dan tentang qunut shubuh,  diceritakan sebagai berikut:

فقد كَانَ الإمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فَتَابِعْهُ عَلَى قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ اتِّحَادِ الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.

“Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.’” [Syarhul Mumti’ 4/25 karya Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Mawqi’ Ruh Al Islam]

Abu Dawud berkata:

«سَمِعْتُ أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ؟ قَالَ: أَنَا لَا أَفْعَلُهُ، فَإِنْ فَعَلَهُ فَلَا بَأْسَ بِهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْتَحْسِنُهُ وَيَرَاهُ».

"Aku mendengar Ahmad ditanya tentang dua rakaat sebelum Maghrib? Beliau berkata: 'Aku tidak melakukannya, tetapi jika seseorang melakukannya, maka tidak mengapa.'

Abu Dawud berkata: 'Aku mendengarnya sebelum itu beberapa waktu yang lalu, dia menganggapnya bagus dan juga berpendapat yang sama.'" [Masā'il al-Imām Amad al-Fiqhiyyah karya Abu Dāwūd Hal. 72].

Dalam "at-Tamhid" 11/139 dari al-Atsram, dia berkata:

«سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ - يَقُولُ فِي مَنْ تَأَوَّلَ: إِنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ خَلْفَهُ إِذَا كَانَ لِتَأْوِيلِهِ وَجْهٌ فِي السُّنَّةِ».

"Aku mendengar Abu Abdillah - yaitu Ahmad bin Hanbal - berkata tentang orang yang melakukan ta'wil: Tidak mengapa shalat di belakangnya jika ta'wilnya memiliki dasar dalam sunnah." [Baca : al-Jaami’ Li ‘Uluumi al-Imam Ahmad 6/355 dan Dzakhiiratul ‘Uqbaa 3/130].

Dan para pengikut mereka juga mengikuti jalan ini, dan penjelasan tentang keadaan mereka akan panjang, dan penulis merasa tidak perlu menjelaskannya dan memperluasnya.

Cukup sekian sebagai contoh, dan di sana masih banyak lagi. Contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi  awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka. 

===***===

PERPECAHAN DENGAN MEMPERUNCING PERBEDAAN ADALAH KEBURUKAN

Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata :

‌"الخِلاَفُ ‌شَرٌّ".

Artinya : “Pepecahan itu buruk”.

Beliau tidak pernah mengatakan :

"الاخْتِلاَفُ عَذَابٌ".

Perbedaan pendapat itu adzab”.

Bahkan dalam riwayat lengkap-nya beliau berkenan meninggalkan dan mengikuti pendapat orang lain demi untuk menjaga persatuan dan sepakat dengan para sahabat lain untuk meninggalkan amalan sunnah demi menghindari perpecahan umat. Diantara para sahabat yang melakukan hal tersbut adalah Abu Dzar dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhuma .

Ada banyak atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang ucapannya “الخِلاَفُ شَرٌّ”. Diriwayatkan lebih dari 10 jalur sanad.

Silahkan baca artikel saya yang berjudul sbb :

“BENARKAH IBNU MAS’UD BERKATA “PERBEDAAN PENDAPAT ITU ADZAB”? LALU APA MAKSUD PERKATAAN-NYA : “PERSELISIHAN ITU BURUK”? DAN BAGAIMANA KRONOLOGI-NYA?”

Di sini saya hanya menyebutkan beberapa riwayat saja. Yaitu adalah:

Ke 1 : Abdurrahman bin Yazid berkata :

"أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ - مُنْكِرًا عَلَيْهِ - : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا ثُمَّ تَفَرَّقَتْ بِكُمُ الطُّرُقُ فَلَوَدِدْتُ أَنَّ لِي مِنْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ مُتَقَبَّلَتَيْنِ ثُمَّ إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ صَلَّى أَرْبَعًا فَقِيلَ لَهُ : عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ : الخِلاَفُ شَرٌّ".

Bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu – mengingkarinya - seraya berkata: 

“Aku dulu shalat bersama Nabi , Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat rakaat.

Kemudian terjadilah perbedaan pendapat diantara kalian, dan sungguh aku berkeinginan dari empat rakaat shalat itu yang diterima adalah yang dua rakaat darinya.” 

Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat empat rakaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau: 

“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, akan tetapi engkau sendiri shalat empat rakaat pula?” 

Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perselisihan (perpecahan) itu adalah buruk .” 

["Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1960) dengan sedikit perbedaan, dan diriwayatkan oleh Bukhari (1084), serta Muslim (695) dalam bentuk yang lebih panjang dengan lafaz yang hampir serupa."

Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :

وَ سَنَدُهُ صَحِيحٌ. وَ رَوَى أَحْمَدُ (٥ / ١٥٥) نَحْوَ هَذَا عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.

Sanadnya Shahih . Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in). [As-Silsilah Ash-Shahihah 1/444].

Ke 2 : Al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar 4/260 No. 6078: 6078 - Ahmad berkata:

وَقَدْ رُوِّينَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ فِي صَلَاةِ ‌ابْنِ ‌مَسْعُودٍ أَرْبَعًا، وَقَوْلُهُمْ: أَلَمْ يُحَدِّثْنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ؟ فَقَالَ: بَلَى. وَلَكِنَّ عُثْمَانَ كَانَ إِمَامًا، فَأُخَالِفُهُ وَالخِلاَفُ شَرٌّ

Telah diriwayatkan kepada kami dengan sanad yang sahih dari Abu Ishaq, dari Abdurrahman bin Yazid tentang : ‘shalat Ibnu Mas'ud sebanyak empat rakaat’, dan ucapan mereka:

'Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa Nabi shalat dua rakaat, dan Abu Bakar juga?'

Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab: 'Betul. Tetapi Utsman adalah imam, maka aku tidak boleh menyelisihinya dan perselisihan (perpecahan) itu adalah buruk.'"

Ke 3 : Abu Ja'far Ath-Thabari sebagaimana dalam Shahih dan Dha'if Tarikh Ath-Thabari 8/480 nomor 702:

Dikatakan oleh Al-Waqidi: Al-Waqidi berkata: Dan Dawud bin Khalid menceritakan kepadaku, dari Abdul Malik bin Amr bin Abi Sufyan Ats-Tsaqafi, dari pamannya, ia berkata:

صَلَّى عُثْمَانُ بِالنَّاسِ بِمِنًى أَرْبَعًا، فَأَتَى آتٍ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ، فَقَالَ: هَلْ لَكَ فِي أَخِيكَ؟ قَدْ صَلَّى بِالنَّاسِ أَرْبَعًا! فَصَلَّى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بِأَصْحَابِهِ رَكْعَتَيْنِ؛ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ، فَقَالَ لَهُ: أَلَمْ تُصَلِّ فِي هَذَا الْمَكَانِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَفَلَمْ تُصَلِّ مَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَفَلَمْ تُصَلِّ مَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَلَمْ تُصَلِّ صَدْرًا مِنْ خِلَافَتِكَ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى!

قَالَ: فَاسْمَعْ مِنِّي يَا أَبَا مُحَمَّدٍ! إِنِّي أُخْبِرْتُ: أَنَّ بَعْضَ مَنْ حَجَّ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، وَجُفَاةَ النَّاسِ قَدْ قَالُوا فِي عَامِنَا الْمَاضِي: إِنَّ الصَّلَاةَ لِلْمُقِيمِ رَكْعَتَانِ، هَذَا إِمَامُكُمْ عُثْمَانُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَقَدِ اتَّخَذْتُ بِمَكَّةَ أَهْلًا، فَرَأَيْتُ أَنْ أُصَلِّيَ أَرْبَعًا لِخَوْفِ مَا أَخَافُ عَلَى النَّاسِ؛ وَأُخْرَى قَدِ اتَّخَذْتُ بِهَا زَوْجَةً، وَلِي بِالطَّائِفِ مَالٌ؛ فَرُبَّمَا اطَّلَعْتُهُ فَأَقَمْتُ فِيهِ بَعْدَ الصَّدَرِ.

فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: مَا مِنْ هَذَا شَيْءٌ لَكَ فِيهِ عُذْرٌ؛ أَمَّا قَوْلُكَ: اتَّخَذْتُ أَهْلًا، فَزَوْجَتُكَ بِالْمَدِينَةِ تُخْرِجُ بِهَا إِذَا شِئْتَ، وَتُقَدِّمُ بِهَا إِذَا شِئْتَ؛ إِنَّمَا تَسْكُنُ بِسُكْنَاكَ. وَأَمَّا قَوْلُكَ: وَلِي مَالٌ بِالطَّائِفِ؛ فَإِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الطَّائِفِ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ وَأَنْتَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ. وَأَمَّا قَوْلُكَ: يَرْجِعُ مَنْ حَجَّ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ وَغَيْرِهِمْ، فَيَقُولُونَ: هَذَا إِمَامُكُمْ عُثْمَانُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ مُقِيمٌ؛ فَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ - ﷺ - يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ وَالنَّاسُ يَوْمَئِذٍ الإِسْلَامُ فِيهِمْ قَلِيلٌ؛ ثُمَّ أَبُو بَكْرٍ مِثْلُ ذَلِكَ، ثُمَّ عُمَرُ، فَضَرَبَ الإِسْلَامُ بِجِرَانِهِ، فَصَلَّى بِهِمْ عُمَرُ حَتَّى مَاتَ رَكْعَتَيْنِ.

فَقَالَ عُثْمَانُ: هَذَا رَأْيٌ رَأَيْتُهُ .

قَالَ: فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، فَلَقِيَ ابْنَ مَسْعُودٍ، فَقَالَ: أَبَا مُحَمَّدٍ، غَيْرُ مَا يُعْلَمُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَمَا أَصْنَعُ؟ قَالَ: اعْمَلْ أَنْتَ بِمَا تَعْلَمُ؛ فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: الخِلاَفُ شَرٌّ؛ قَدْ بَلَغَنِي: أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا فَصَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي أَرْبَعًا، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: قَدْ بَلَغَنِي أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا، فَصَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي رَكْعَتَيْنِ، وَأَمَّا الآنَ فَسَوْفَ يَكُونُ الَّذِي تَقُولُ - يَعْنِي: نُصَلِّي مَعَهُ أَرْبَعً. (4/268)

Utsman shalat bersama orang-orang di Mina sebanyak empat rakaat. Seseorang datang kepada Abdurrahman bin Auf dan berkata:

"Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu? Dia telah shalat bersama orang-orang sebanyak empat rakaat!"

Maka Abdurrahman shalat bersama sahabat-sahabatnya dua rakaat, kemudian keluar hingga masuk menemui Utsman. Ia berkata kepadanya:

"Bukankah engkau shalat di tempat ini bersama Rasulullah dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"

Ia bertanya lagi: "Bukankah engkau shalat bersama Abu Bakar dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"

Ia bertanya lagi: "Bukankah engkau shalat bersama Umar dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"

Ia bertanya lagi: "Bukankah engkau shalat di awal kekhalifahanmu dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"

Utsman kemudian berkata: "Dengarkan dariku, wahai Abu Muhammad! Aku diberitahu bahwa sebagian orang yang berhaji dari Yaman dan orang-orang kasar mengatakan pada tahun lalu:

'Sesungguhnya shalat bagi orang yang mukim adalah dua rakaat, ini adalah imam kalian Utsman yang shalat dua rakaat.'

Sementara aku telah menjadi penduduk Mekah, maka aku melihat bahwa aku harus shalat empat rakaat karena takut akan apa yang aku khawatirkan atas manusia. Alasan lainnya, aku telah menikah di sana, dan aku memiliki harta di Thaif; terkadang aku datang kesana untuk melihat-lihatnya sehingga aku tinggal di sana setelah keluar (dari Makkah)."

Abdurrahman bin Auf berkata:

"Tidak ada alasan bagimu dalam hal ini; adapun yang kau katakan bahwa engkau telah menjadi penduduk Mekkah, maka istrimu ada di Madinah, engkau bisa membawanya keluar kapan saja dan kembali kapan saja; engkau hanya menetap karena ada tempat tinggalmu.

Adapun yang kau katakan bahwa engkau memiliki harta di Thaif; jarak antara engkau dan Thaif adalah perjalanan tiga malam, dan engkau bukan penduduk Thaif.

Adapun yang kau katakan bahwa orang yang berhaji dari Yaman dan lainnya akan berkata: 'Ini imam kalian Utsman yang shalat dua rakaat padahal ia mukim'; Rasulullah menerima wahyu dan orang-orang saat itu masih sedikit dalam Islam; kemudian Abu Bakar demikian juga, kemudian Umar, sehingga Islam kuat dan stabil, dan Umar tetap shalat bersama mereka dua rakaat hingga wafat."

Utsman berkata: "Ini adalah pendapat yang aku lihat."

Abdurrahman kemudian keluar dan bertemu dengan Ibnu Mas'ud, ia berkata: "Abu Muhammad, apakah ada hal baru yang diketahui?" Ibnu Mas'ud menjawab: "Tidak." Abdurrahman berkata: "Apa yang harus aku lakukan?"

Ibnu Mas'ud berkata: "Lakukan apa yang kau ketahui;"

Lalu Ibnu Mas'ud berkata: "Perpecahan itu buruk”. Aku mendengar bahwa ia shalat empat rakaat, maka aku shalat bersama sahabat-sahabatku empat rakaat."

Abdurrahman bin Auf berkata: "Aku mendengar bahwa ia shalat empat rakaat, maka aku shalat bersama sahabat-sahabatku dua rakaat, namun sekarang aku akan melakukan apa yang engkau katakan - maksudnya: kita shalat bersamanya empat rakaat." (4/ 268)

Derajat Atsar : Dikatakan oleh Muhammad Thahir Al-Barzanji: Lemah. [Shahih dan Dha'if Tarikh Ath-Thabari 8/480 nomor 702]

-----

FIQIH SINGKAT ATSAR IBNU MAS’UD :

Dalam atsar Ibnu Mas’ud terdapat sikap beliau meninggalkan pendapatnya atau meninggalkan sunnah dengan mengikuti pendapat Utsman bin Affan, demi untuk menjaga persatuan serta menghindari perpecahan.

Dan sikap Ibnu Mas’ud ini diikuti dan dibenarkan oleh para sahabat liannya, contohnya seperti Abdurrahman bin ‘Auf.

PENJELASAN ABU AL-HUSAIN AL-BAGHDADI:

Penjelasan Abu Al-Husain Al-Baghdadi Al-Quduri dalam At-Tajrid 2/887 nomor 3465, tentang sikap Ibnu Mas’ud, dia berkata :

وَلَا يُقَالُ: رُوِيَ أَنَّ ‌ابْنَ ‌مَسْعُودٍ أَنْكَرَ عَلَيْهِ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى بِهِمْ أَرْبَعًا، فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ؛ فَقَالَ: ‌الخِلاَفُ ‌شَرٌّ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ ‌ابْنَ ‌مَسْعُودٍ مِنْ جُمْلَةِ الْجُنْدِ، فَحَمَلَ أَمْرَ عُثْمَانَ عَلَى أَنَّهُ نَوَى الْإِقَامَةَ بِمَكَّةَ كَمَا قَالَ الزُّهْرِيُّ، فَصَارَ مُقِيمًا بِإِقَامَةِ إِمَامِهِ، وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِهِ: ‌الخِلاَفُ ‌شَرٌّ، أَيْ: لَا يَجُوزُ مُخَالَفَةُ الْإِمَامِ فِي النِّيَّةِ.

Dan tidak dikatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengingkarinya, lalu ia bangkit dan shalat empat rakaat bersama mereka. Ketika hal itu dikatakan kepadanya, ia berkata: “Perselisihan (berpecah belah) itu buruk.” Hal ini karena Ibnu Mas’ud adalah bagian dari pasukan perang, maka ia menganggap bahwa Utsman berniat mukim di Mekah sebagaimana yang dikatakan oleh Az-Zuhri. Maka, ia menjadi mukim dengan niat imamnya. Inilah makna ucapannya: “Perselisihan itu buruk,” yaitu: tidak boleh menyalahi imam dalam niat shalat.

PENJELASAN ALAWI AS-SAQQAAF:

Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata dalam ad-Durar as-Saniyyah:

الأمورُ الشَّرعيَّةُ يَنبغي التَّحرُّزُ والاحتياطُ فيها، وخاصَّةً إذا وُجِد بينَ النَّاس مَن لا يَستطيعُ فَهْمَ الأمورِ على حَقيقتِها أو ليس لدَيه العِلمُ الكافي الَّذي يُؤهِّلُه لِمَعرفةِ العَزائمِ والرُّخَصِ في الشَّرعِ ومَعرِفةِ أوقاتِها ...

قال الأعمشُ: فحدَّثَني مُعاويةُ بنُ قُرَّةَ عن أشياخِه: "أنَّ عبدَ الله"، وهو ابنُ مسعودٍ "صلَّى أربعًا، فقيلَ له: عِبتَ على عُثمانَ ثمَّ صلَّيتَ أربعًا"، أي: فعَلتَ ما كنتَ تَعيبُه على عثمانَ بنِ عفَّانَ، فقال عبدُ اللهِ: "الخِلاَفُ شرٌّ"، أي: إنَّ الخِلاَفُ بينَ المسلِمين في ذلك الموطنِ شرٌّ وأعظمُ مِن الإصرارِ على الرَّكعتَينِ ومُخالَفةِ الإمامِ؛ إشارةً إلى جَوازِ الإتمامِ وهو خِلافُ الأَوْلى، وهذا مبدَأٌ عظيمٌ، وخاصَّةً في الأمورِ الاجتهاديَّةِ الَّتي تَحتَمِلُ أكثرَ مِن وجهٍ، وعلى العُلماءِ أن يَلتَزِموا بما اختارَه وليُّ الأمرِ لِمَا رأَى فيه مِن المصلَحةِ.

“Hal-hal yang berkaitan dengan syariat harus ditangani dengan hati-hati dan cermat, terutama jika ada di antara orang-orang yang tidak dapat memahami masalah dengan sebenarnya atau tidak memiliki pengetahuan yang cukup yang memungkinkannya memahami keputusan-keputusan tetap (azimah) dan keringanan (rukhshah) dalam syariat dan mengetahui waktunya. .....

“Al-A’masy berkata: Maka Muawiyah bin Qurrah menceritakan kepadaku dari para syekh-nya: ‘Bahwa Abdullah,’ yaitu Ibnu Mas’ud, ‘shalat empat rakaat, lalu dikatakan kepadanya: Engkau mencela Utsman akan tetapi engkau shalat empat rakaat,’ artinya: engkau melakukan apa yang dahulu engkau cela pada Utsman bin Affan.

Abdullah bin Mas'ud menjawab : ‘Perpecahan itu buruk,’ artinya: perpecahan di antara kaum Muslimin di tempat tersebut lebih buruk dan lebih besar daripada bersikeras pada dua rakaat dan menentang imam.

Ini menunjukkan kebolehan menyempurnakan shalat 4 rakaat meskipun hal tersebut bertentangan dengan yang lebih utama. Ini adalah prinsip yang penting, terutama dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang bisa memiliki lebih dari satu pendapat, dan para ulama harus mematuhi apa yang dipilih oleh pemimpin karena ia melihat adanya kemaslahatan”. [SELESAI KUTIPAN DARI AS-SAQQAF]

*****

UTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' al-Fatawa 22/407:

وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْصِدَ إلَى تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ بِتَرْكِ هَذِهِ الْمُسْتَحَبَّاتِ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ أَعْظَمُ مِنْ مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ ﷺ تَغْيِيرَ بِنَاءِ الْبَيْتِ لِمَا فِي إبْقَائِهِ مِنْ تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَكَمَا أَنْكَرَ ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى عُثْمَانَ إتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ ثُمَّ صَلَّى خَلْفَهُ مُتِمًّا. وَقَالَ الخِلاَفُ شَرٌّ. وَهَذَا وَإِنْ كَانَ وَجْهًا حَسَنًا

"Disunnahkan bagi seseorang untuk mengutamakan penyatuan hati dengan meninggalkan hal-hal yang disunnahkan ini, karena manfaat penyatuan hati dalam agama lebih besar daripada manfaat melakukan hal semacam ini. Sebagaimana Nabi meninggalkan perubahan bangunan Ka'bah karena manfaat menjaga persatuan hati lebih besar. Juga seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud yang mengingkari perbuatan Utsman yang menyempurnakan shalat 4 rakaat dalam safar (perjalanan), kemudian dia shalat di belakangnya dengan sempurna 4 rakaat .

Dia berkata : 'Perpecahan adalah keburukan.' Ini adalah pandangan yang baik.

Begitu pula dengan menngeraskan baca Bismillah dalam Shalat bagi yang berpendapat sebaliknya  . Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

فَمَقْصُودُ أَحْمَد أَنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ كَانُوا لَا يَقْرَءُونَهَا ( البَسْمَلَة ) فَيَجْهَرُ بِهَا لِيُبَيِّنَ أَنَّ قِرَاءَتَهَا سُنَّةٌ كَمَا جَهَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِقِرَاءَةِ أُمِّ الْكِتَابِ عَلَى الْجِنَازَةِ وَقَالَ: لِتَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ وَكَمَا جَهَرَ عُمَرُ بِالِاسْتِفْتَاحِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَكَمَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَجْهَرُ بِالْآيَةِ أَحْيَانًا فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ. وَلِهَذَا نُقِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَنْ رُوِيَ عَنْهُ الْجَهْرُ بِهَا مِنْ الصَّحَابَةِ الْمُخَافَتَةَ فَكَأَنَّهُمْ جَهَرُوا لِإِظْهَارِ أَنَّهُمْ يَقْرَءُونَهَا كَمَا جَهَرَ بَعْضُهُمْ بِالِاسْتِعَاذَةِ أَيْضًا

Maka maksud Imam Ahmad adalah bahwa penduduk Madinah tidak membacanya (basmalah, baik keras maupun lirih ), maka beliau mengeraskan bacaan basmalah untuk menunjukkan bahwa membacanya adalah sunnah.

Sebagaimana Ibnu Abbas mengeraskan bacaan al-Fatihah dalam shalat jenazah dan berkata: 'Agar kalian tahu bahwa itu adalah sunnah.' Dan sebagaimana Umar mengeraskan bacaan istiftah beberapa kali. Dan Nabi kadang-kadang mengeraskan bacaan ayat dalam shalat Dzuhur dan Ashar.

Oleh karena itu, diriwayatkan dari kebanyakan sahabat yang meriwayatkan mengeraskan bacaan basmalah bahwa mereka juga melirihkannya, seakan-akan mereka mengeraskannya untuk menunjukkan bahwa mereka membacanya. Sebagaimana beberapa dari mereka juga mengeraskan bacaan isti'adzah."

------

PERKATAAN ABU DZAR “PERPECAHAN ITU LEBIH DAHSYAT (KEBURUKAN-NYA DARI PADA MENINGGALKAN SUNAH)”.

Diriwayatkan dari Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani, dari seorang lelaki, ia berkata:

كُنَّا قَدْ حَمَلْنَا لِأَبِي ذَرٍّ، شَيْئًا نُرِيدُ أَنْ نُعْطِيَهُ إِيَّاهُ، فَأَتَيْنَا الرَّبَذَةَ فَسَأَلْنَا عَنْهُ فَلَمْ نَجِدْهُ، قِيلَ: اسْتَأْذَنَ فِي الْحَجِّ، فَأُذِنَ لَهُ، فَأَتَيْنَاهُ بِالْبَلْدَةِ، وَهِيَ مِنًى، فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ إِذْ قِيلَ لَهُ: إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّى أَرْبَعًا، فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَبِي ذَرٍّ، وَقَالَ قَوْلًا شَدِيدًا، وَقَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَصَلَّيْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. ثُمَّ قَامَ أَبُو ذَرٍّ فَصَلَّى أَرْبَعًا، ‌فَقِيلَ ‌لَهُ: ‌عِبْتَ ‌عَلَى ‌أَمِيرِ ‌الْمُؤْمِنِينَ ‌شَيْئًا، ‌ثُمَّ ‌صنعتَه قَالَ: الخِلاَفُ أَشَدُّ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ خَطَبَنَا فَقَالَ: "إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ، وَلَيْسَ بِمَقْبُولٍ مِنْهُ تَوْبَةٌ حَتَّى يَسُدَّ ثُلْمَتَهُ الَّتِي ثَلَمَ، وَلَيْسَ بِفَاعِلٍ، ثُمَّ يَعُودُ فَيَكُونُ فِيمَنْ يُعِزُّهُ "

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ لَا يَغْلِبُونَا عَلَى ثَلَاثٍ: أَنْ نَأْمُرَ بِالْمَعْرُوفِ، وَنَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَنُعَلِّمَ النَّاسَ السُّنَنَ

Kami pernah membawa sesuatu untuk Abu Dzar yang ingin kami berikan kepadanya. Kami datang ke Ar-Rabdzah dan bertanya tentangnya, tetapi kami tidak menemukannya. Dikatakan kepada kami bahwa dia telah meminta izin untuk haji dan diizinkan. Maka kami mendatanginya dan bertemu di sebuah daerah, yaitu Mina.

Ketika kami bersamanya, tiba-tiba ada yang berkata kepadanya: "Sesungguhnya Utsman shalat empat rakaat," hal itu membuat Abu Dzar sangat marah dan dia mengucapkan kata-kata yang keras.

Dia berkata: "Aku shalat bersama Rasulullah dan beliau shalat dua rakaat. Aku juga shalat bersama Abu Bakar dan Umar."

Namun kemudian Abu Dzar berdiri dan ikut shalat empat rakaat. Lalu tanyakan kepadanya: "Engkau mencela Amirul Mukminin tentang itu, tetapi kemudian engkau sendiri melakukannya."

Dia menjawab: "Perpecahan itu lebih dahsyat (dosanya dan dampak buruknya). Sesungguhnya Rasulullah pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda: 'Akan ada penguasa setelahku, maka janganlah kalian merendahkan mereka. Barangsiapa yang merendahkan mereka, maka dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya, dan taubatnya tidak akan diterima hingga dia menutupi perpecahan dan kerusakan yang telah dia buat, dan dia tidak melakukannya lagi, kemudian dia kembali dan berada di antara orang-orang yang memuliakan penguasa tersebut.'

Rasulullah memerintahkan kami agar tidak mengalah dalam tiga hal: memerintahkan yang ma'ruf, melarang yang mungkar, dan mengajarkan sunnah kepada manusia.

(Driwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 35/364. No. 21460.)

Syu'aib Al-Arna'ut berkata:

إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ لِإِبْهَامِ الرَّاوِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ، وَالْقَاسِمُ بْنُ عَوْفٍ الشَّيْبَانِيُّ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الثِّقَاتِ"، وَضَعَّفَهُ النَّسَائِيُّ، وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ مُضْطَرِبُ الحَدِيثِ وَمَحَلُّهُ عِنْدِي الصِّدْقُ.

Sanadnya lemah karena ketidakjelasan perawi dari Abu Dzar, dan Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani disebut oleh Ibnu Hibban dalam "Ats-Tsiqat", tetapi dilemahkan oleh An-Nasa'i, dan Abu Hatim yang berkata : haditsnya muththorib (goncang) dan kedudukannya menurutku : dia adalah seorang yang jujur. [Baca : Musnad 35/364. No. 21460]

*****

GUNAKAN HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT AGAR TIDAK BERPECAH BELAH

Utamakan Hukum Fiqih Yang Biasa Di terapkan Di Daerahmu, demi untuk menjaga persatuan . Berikut ini sebagian astar para salaf tentang hal ini :

PERTAMA : ATSAR ALI BIN ABI THALIB :

Dari Abu Ubaidah, dia berkata: Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata :

«‌اقْضُوا ‌كَمَا ‌كُنْتُمْ ‌تَقْضُونَ، ‌فَإِنِّي ‌أَكْرَهُ ‌ٱلاخْـتِـلاَفُ، حَتَّى يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ، أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي» فَكَانَ ابْنُ سِيرِينَ: «يَرَى أَنَّ عَامَّةَ مَا يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ الكَذِبُ»

“Putuskanlah dalam berhukum dengan keputusan hukum yang biasa kalian putuskan. Sungguh, saya tidak suka dengan perselisihan, sampai aku mendapati manusia bersatu dalam satu jemaah, atau aku mati sebagaimana matinya para sahabatku”.

"Ibnu Sirin melihat bahwa sebagian besar yang diriwayatkan dari Ali adalah kebohongan." [HR. Bukhori no. 3707].

Al-Imam Ath-Thahawi berkata:

وَنَرَى ‌الْجَمَاعَةَ ‌حَقًّا ‌وَصَوَابًا ‌وَالْفُرْقَةَ ‌زَيْغًا ‌وَعَذَابًا

'Kami memandang bahwa jamaah (bersatu) adalah benar dan tepat, sedangkan perpecahan adalah penyimpangan dan adzab (siksaan).'" . [ Baca Syarah al-Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 85 no. 102].

Dari 'Ubaidah bin 'Amr al-Salmani, dia berkata:

كَتَبَ إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيحٍ أَنْ اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ يَعْنِي فِي أُمِّ الوَلَدِ وَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ حَتَّى يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي

"Ali menulis kepadaku dan kepada Shuraih, 'Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan sebelumnya, yaitu dalam perkara ummul walad, dan sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia bersatu dalam satu jemaah atau aku mati seperti sahabat-sahabatku telah mati.'"

al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Fath 7/91 (Cet. As-Salafiyah) berkata :

وَقَدْ أَخْرَجَهُ ابْنُ المُنْذِرِ مِنْ طَرِيقِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ عَنْ أَبِي نُعَيْمٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ عُبَيْدَةَ قَالَ: بَعَثَ إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيْحٍ فَقَالَ: إِنِّي أَبْغَضُ ٱلاخْـتِـلاَفُ فَاقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ.. الخَبَرُ.

"Dan telah meriwayatkannya Ibn al-Mundhir melalui jalur Ali bin Abdul Aziz dari Abu Nuaim dari Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Ibn Sirin dari Ubaidah, yang berkata: Ali mengirim utusan kepadaku dan kepada Syuraih, dan berkata: 'Sesungguhnya aku membenci perselisihan, maka putuskanlah dalam hukum sebagaimana kalian biasa memutuskan.'"

Dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam *Muwafaqatu al-Khabar al-Khabar* 1/169 berkata : “Sanadnya sahih”.

Dan dishahihkan pula oleh al-Albaani dalam al-Irwaa’ 6/190 .

SYARAH ATSAR ALI BIN THALIB :

KE 1 : Dalam *Jami' as-Sunnah wa Syarhuha* disebutkan :

قَوْلُهُ: (قَالَ: اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ)، أَي: قَالَ عَلِيٌّ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ: اقْضُوا الْيَوْمَ كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ قَبْلَ هَذَا.

وَسَبَبُ ذَلِكَ أَنَّ عَلِيًّا لَمَّا قَدِمَ إِلَى الْعِرَاقِ قَالَ: كُنْتُ رَأَيْتُ مَعَ عُمَرَ أَنْ تُعْتَقَ أُمَّهَاتُ الْأَوْلَادِ، وَقَدْ رَأَيْتُ الْآنَ أَنْ يُسْتَرَقَّقْنَ، فَقَالَ عُبَيْدَةُ: رَأْيُكَ يَوْمَئِذٍ فِي الْجَمَاعَةِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ رَأْيِكَ الْيَوْمَ فِي الْفُرْقَةِ، فَقَالَ: اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ، وَخَشِيَ مَا وَقَعَ فِيهِ مِنْ تَأْوِيلِ أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَيُرْوَى: اقْضُوا عَلَى مَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ.

قَوْلُهُ: (فَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ) يَعْنِي: أَنْ يُخَالِفَ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا.

وَقَالَ الْكَرْمَانِيُّ: اخْتِلَافُ الْأُمَّةِ رَحْمَةٌ، فَلِمَ كَرِهَهُ؟ قُلْتُ: الْمَكْرُوهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ الَّذِي يُؤَدِّي إِلَى النِّزَاعِ وَالْفِتْنَةِ.

*Kalimat: (Dia berkata: Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan), artinya: Ali berkata kepada penduduk Irak: Putuskanlah hari ini sebagaimana kalian telah memutuskan sebelumnya.*

*Dan sebabnya adalah ketika Ali tiba di Irak, dia berkata: Dahulu aku bersama Umar berpendapat bahwa ummahat al-awlad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya) harus dibebaskan, tetapi sekarang aku berpendapat bahwa mereka harus tetap dijadikan budak.

Maka 'Ubaidah berkata: Pendapatmu saat itu yang membawa persatuan lebih aku sukai daripada pendapatmu sekarang yang akan menimbulkan perpecahan.

Maka Ali berkata: “Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan”.

Dan dia khawatir dengan apa yang ditafsirkan oleh penduduk Irak.

Diriwayatkan juga bahwa dia berkata : Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan.*

*Kalimat: (Sesungguhnya aku membenci perselisihan), artinya: Ali tidak ingin berselisih dengan Abu Bakar dan Umar, semoga Allah meridhai keduanya.*

*Dan al-Kirmani berkata: Perbedaan umat adalah rahmat, maka mengapa dia membencinya? Aku jawab : Perbedaan yang dibenci adalah yang mengarah pada perselisihan dan fitnah.*

KE 2 : Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata dalam **Al-Durar Al-Saniyyah**:

أمَر الإسْلامُ بالاجتِماعِ، ونَهى عنِ التَّفرُّقِ وٱلاخْـتِـلاَفُ، وقدْ عمِل الصَّحابةُ رَضيَ اللهُ عنهم على تَطْبيقِ هذا المَنهَجِ القَويمِ، وهذا المَتنُ له سَببٌ؛ وذلك أنَّ عَلِيَّ بنَ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه لَمَّا قَدِم العِراقَ، وسَأَله أهْلُها عن رَأيِه في أمِّ الوَلدِ؛ هلْ تُباعُ أو لا؟

-وأُمَّهاتُ الأوْلادِ هنَّ الإماءُ المَملوكاتُ اللَّاتي وَطِئَهنَّ أسْيادُهنَّ ومالِكوهنَّ، فحمَلْنَ وولَدْنَ-

فأخبَرَهم أنَّ رَأيَه كرَأيِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنه في عَدمِ بَيعِ أمَّهاتِ الأوْلادِ، وأنَّهنَّ يُعتَقْنَ بعْدَ وَفاةِ السَّيِّدِ والمالِكِ؛ وذلك لأنَّ الابنَ المَوْلودَ يَكونُ سَببًا في عِتقِ أُمِّه، وأنَّه رجَعَ عنه، فرأَى أنْ يُرِقَّهنَّ، ويَبقَيْنَ ضِمنَ مالِ السَّيِّدِ بعْدَ مَوتِه ولا يُعتَقْنَ. وورَد عندَ البَيْهَقيِّ في الكُبْرى أنَّ التَّابِعيَّ عَبيدةَ السَّلْمانيَّ قال لعَليٍّ رَضيَ اللهُ عنه: «رأيُكَ ورَأيُ عُمَرَ في الجَماعةِ أحَبُّ إلَيَّ مِن رَأيِكَ وَحْدَكَ في الفُرْقةِ»، أي: إنِّي آخُذُ بفَتْواكَ الَّتي وافقَتْ فَتْوى عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنه في الجَماعةِ، وأترُكُ رَأيَكَ وَحْدَكَ إذا كُنتَ مُفتَرِقًا، فقال له عَلِيٌّ رَضيَ اللهُ عنه: اقْضوا كما كُنْتم تَقْضونَ قَبلُ؛ فإنِّي أكرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ، أي: ٱلاخْـتِـلاَفُ على الشَّيخَينِ، أو ٱلاخْـتِـلاَفُ الَّذي يُؤدِّي إلى التَّنازُعِ والفِتَنِ، وإنَّما فعَل علِيٌّ رَضيَ اللهُ عنه ذلك لمَّا وجَد مَن يرُدُّ عليه قَولَه، فكَرِه الخِلاَفُ؛ لأنَّه لا يَأْتي إلَّا بالشَّرِّ والتَّفرُّقِ، وحتَّى يَجتَمِعَ النَّاسُ على قَولِ الجَماعةِ. وقَولُه: «أو أموتَ كما مات أصْحابي»، أي: إلى أنْ أموتَ كما مات أصْحابي على الحَقِّ والهِدايةِ، والمُرادُ مَن سبَقَه مِن الخُلَفاءِ الرَّاشِدينَ.

وفي الحَديثِ: فَضلٌ ومَنقَبةٌ لعَلِيِّ بنِ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه.

Islam memerintahkan persatuan dan melarang perpecahan serta perselisihan. Para sahabat radhiyallahu 'anhum telah berusaha menerapkan metode yang lurus ini.

Kisah ini memiliki latar belakang; yaitu ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu tiba di Irak dan penduduknya bertanya kepadanya tentang pendapatnya mengenai status "ummul walad" (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya), apakah "ummul walad" itu boleh dijual atau tidak?

"Ummul walad" adalah budak-budak wanita yang telah disetubuhi oleh tuannya dan kemudian melahirkan anak.

Pada awalnya Ali memberitahu mereka bahwa pendapatnya sama dengan pendapat Umar radhiyallahu 'anhu yang melarang penjualan para "ummul walad", dan bahwa mereka akan dimerdekakan setelah kematian tuan mereka ; karena anak yang lahir menyebabkan ibunya dimerdekakan.

Namun, dikemudian hari Ali berubah pendapat, ia berpandangan bahwa mereka harus tetap sebagai budak, mereka tetap dalam kepemilikan harta tuannya setelah kematiannya dan tidak dimerdekakan.

Disebutkan dalam kitab as-Sunan Al-Kubra oleh Al-Bayhaqi :

Bahwa seorang tabi'in 'Ubaidah Al-Salmani berkata kepada Ali radhiyallahu 'anhu: "Pendapatmu dulu yang sesuai dengan pendapat Umar yang membawa persatuan, itu lebih aku sukai daripada pendapatmu sekarang yang akan berdampak pada perpecahan." Artinya, "Aku mengikuti fatwamu yang sesuai dengan fatwa Umar dalam persatuan, dan meninggalkan pendapatmu sekarang yang menyebabkan perpecahan."

Ali radhiyallahu 'anhu kemudian berkata kepadanya: "Laksanakan sebagaimana yang dulu kalian putuskan sebelumnya; karena aku tidak suka perpecahan," yaitu perpecahan yang menyebabkan perselisihan dan fitnah.

Ali melakukan hal itu ketika ia menemukan ada yang menolak pendapatnya, sehingga ia membenci perselisihan; karena hal itu hanya membawa keburukan dan perpecahan, dan agar orang-orang berkumpul pada pendapat jamaah.

Dan perkataannya: "Atau aku mati seperti sahabat-sahabatku mati," artinya: hingga aku mati seperti sahabat-sahabatku yang telah wafat dalam kebenaran dan petunjuk, yang dimaksud adalah para khalifah rasyidin yang mendahuluinya”. [SELESAI KUTIPAN DARI AS-SAQQAF]

===

KEDUA : ATSAR KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ :

Imam Ad Darimi Rahimahullah berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid, dia berkata:

قُلتُ لِعُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ لَو جَمَعتَ النَّاسَ عَلَى شَيءٍ فَقَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّهُم لَم يَختَلِفُوا قَالَ ثُمَّ كَتَبَ إِلَى الآفَاقِ أَوْ إِلَى الأَمصَارِ لِيَقضِيَ كُلُّ قَومٍ بِمَا اجتَمَعَ عَلَيهِ فُقَهَاؤُهُم

Aku berkata kepada Umar bin Abdil ‘Aziz: “Alangkah baiknya engkau menyatukan manusia dalam satu pendapat.”

Beliau menjawab : “Tidak membuatku senang jika mereka tidak berbeda pendapat.”

Humaid berkata: “Lalu Umar bin ‘Abdil Aziz menulis surat ke semua penjuru negeri:

“Setiap penduduk di suatu negeri hendaknya memutuskan urusannya sesuai kesepakatan ahli fiqih mereka (di negeri masing-masing).”

(Sunan Ad Darimi 1/22 No. 634, Bab Ikhtilaf Al Fuqaha)

Di shahihkan oleh Sa’id Hawwaa dalam al-Asaas fis Sunnah 1/509 no. No. 509.

Abu Zur'ah ad-Dimasyqi, semoga Allah merahmatinya, meriwayatkan dari Sulaiman bin Habib al-Muharibi, seorang tabi'in yang tepercaya dan seorang qadhi di Damaskus, bahwa dia berkata:

"أَرَادَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنْ يَجْعَلَ أَحْكَامَ النَّاسِ وَالأَجْنَادِ حُكْمًا وَاحِدًا، ثُمَّ قَالَ: إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِي كُلِّ مِصْرٍ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ وَجُنْدٍ مِنْ أَجْنَادِهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَكَانَتْ فِيهِمْ قُضَاةٌ قَضَوْا بِأَقْضِيَةٍ أَجَازَهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَرَضُوا بِهَا، وَأَمْضَاهَا أَهْلُ الْمِصْرِ، كَالصُّلْحِ بَيْنَهُمْ، فَهُمْ عَلَى مَا كَانُوا عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ". فَتَرَكَ عُمَرُ مَا كَانَ أَرَادَهُ، وَكَانَ حَرِيصًا جِدًّا عَلَى أَنْ لَا يُغَيِّرَ مِنْ وَاقِعِ الْأُمَّةِ شَيْئًا مَأْلُوفًا عِنْدَهُمْ، مَا دَامَ عَلَى وِجْهَةٍ شَرْعِيَّةٍ.

"Umar bin Abdul Aziz ingin menjadikan hukum-hukum masyarakat dan pasukan perang dalam satu hukum yang sama, kemudian dia berkata:

'Di setiap kota dari kota-kota kaum Muslimin dan pasukan dari pasukan-pasukannya ada orang-orang dari sahabat Rasulullah , dan di antara mereka ada qadhi-qadhi yang telah memutuskan dengan keputusan-keputusan yang telah disetujui oleh sahabat Rasulullah dan mereka ridha dengannya, dan penduduk kota menerima keputusan itu -contohnya seperti rekonsiliasi di antara mereka- maka mereka tetap pada hukum yang mereka telah ada sebelumnya.'"

Maka Umar meninggalkan apa yang dia inginkan, dan dia sangat berhati-hati untuk tidak mengubah apapun dari realitas umat yang telah dikenal oleh mereka, selama hukum itu sesuai dengan pandangan syariat. [Tarikh Abu Zur’ah ad-Dimasyqi hal. 202].

Dalam kitab “Laits bin Sa'ad Ilaa Malik” , yang merupakan kitab yang terkenal, terdapat teks sebagai berikut:

"وَمِنْ ذَلِكَ: القَضَاءُ بِشَهَادَةِ شَاهِدٍ وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، وَقَدْ عَرَفْتَ ـ الخِطَابُ لِمَالِكٍ ـ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ يُقْضَى بِالمَدِينَةِ بِهِ، وَلَمْ يَقْضِ بِهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالشَّامِ، وَلَا بِحِمْصَ، وَلَا بِمِصْرَ، وَلَا بِالعِرَاقِ، وَلَمْ يَكْتُبْ بِهِ إِلَيْهِمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ: أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ.

ثُمَّ وَلِيَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ ـ وَكَانَ كَمَا قَدْ عَلِمْتَ فِي إِحْيَاءِ السُّنَنِ وَالجِدِّ فِي إِقَامَةِ الدِّينِ وَالإِصَابَةِ فِي الرَّأْيِ، وَالعِلْمِ بِمَا مَضَى مِنْ أَمْرِ النَّاسِ ـ فَكَتَبَ إِلَيْهِ رُزَيْقُ بْنُ حُكَيمٍ: إِنَّكَ كُنْتَ تَقْضِي بِالمَدِينَةِ بِشَهَادَةِ الشَّاهِدِ الوَاحِدِ وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ: إِنَّا كُنَّا نَقْضِي بِذَلِكَ بِالمَدِينَةِ، فَوَجَدْنَا أَهْلَ الشَّامِ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ، فَلَا نَقْضِي إِلَّا بِشَهَادَةِ رَجُلَيْنِ عَدْلَيْنِ، أَوْ رَجُلٍ وَامْرَأَتَيْنِ".

"Di antaranya: vonis hukum pengadilan dengan kesaksian seorang saksi dan sumpah dari pemilik hak, dan engkau tahu - ditujukan kepada Malik - bahwa keputusan ini selalu dilakukan di Madinah, namun para sahabat Rasulullah tidak memutuskannya di Syam, tidak pula di Homs, tidak di Mesir, dan tidak di Irak. Para Khulafaa Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, tidak menulis tentang hal ini kepada mereka.

Setelah itu kemudian Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin - dan engkau telah mengetahui bagaimana beliau senantiasa menghidupkan sunnah, berusaha keras menegakkan agama, tepat dalam berpendapat, serta mengetahui apa yang sedang terjadi dalam urusan umat - .

Maka Ruzaik bin Hukaim menulis kepadanya: 'Engkau dahulu memutuskan di Madinah dengan kesaksian satu saksi dan sumpah dari pemilik hak.'

Maka Umar bin Abdul Aziz menjawab dengan menulis kepadanya: 'Kami dahulu memutuskan demikian di Madinah, namun kami mendapati penduduk Syam tidak melakukan hal itu, maka kami hanya memutuskan dengan kesaksian dua orang saksi yang adil, atau seorang lelaki dan dua orang wanita.'"

[Lihat ini dalam kitab "I'lam al-Muwaqqi'in" 3/97 karya Ibnul Qayyim. Dan lihat pula perkataan Ibnu Abdil Barr dalam "At-Tamhid" 1/10 tentang alasan memilih riwayat Yahya al-Laitsi untuk menjelaskannya daripada riwayat-riwayat lainnya].

====

KETIGA : PERKATAAN AL-IMAM AL-QARRAAFI

Imam Al-Qarraafi Rahimahullah memiliki perkataan yang luar biasa:

"‌فَمَهْمَا ‌تَجَدَّدَ ‌فِي ‌الْعُرْفِ ‌اعْتَبِرْهُ ‌وَمَهْمَا ‌سَقَطَ ‌أَسْقِطْهُ وَلَا تَجْمُدْ عَلَى الْمَسْطُورِ فِي الْكُتُبِ طُولَ عُمْرِك بَلْ إذَا جَاءَك رَجُلٌ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ إقْلِيمِك يَسْتَفْتِيك لَا تَجْرِهِ عَلَى عُرْفِ بَلَدِك وَاسْأَلْهُ عَنْ عُرْفِ بَلَدِهِ وَأَجْرِهِ عَلَيْهِ وَأَفْتِهِ بِهِ دُونَ عُرْفِ بَلَدِك وَدُونَ الْمُقَرَّرِ فِي كُتُبِك فَهَذَا هُوَ الْحَقُّ الْوَاضِحُ.

وَالْجُمُودُ عَلَى الْمَنْقُولَاتِ أَبَدًا ضَلَالٌ فِي الدِّينِ وَجَهْلٌ بِمَقَاصِد عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَالسَّلَفِ الْمَاضِينَ".

Apapun yang terjadi pembaharuan dalam sebuah tradisi, anggaplah ia!, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah!. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu !. Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu.

Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.“ [ Al Furuq (Anwaarul Buruuq) 1/191. Penerbit : Aalamul Kutub]

===***===

HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM CABANG-CABANG MASALAH AGAMA

Ada riwayat dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah [wafat : 101 H] bahwa dia pernah mengatakan:

" مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ – ﷺ – لَمْ يَخْتَلِفُوا ؛ لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ".

"Tidaklah membuat hatiku senang jika para sahabat Muhammad  tidak pernah berbeda pendapat [tapi mereka tidak berpecah belah]. Karena jika mereka tidak pernah berbeda pendapat, maka tidak akan pernah ada rukhshoh [kelonggaran dalam berijtihad. Namun demikian mereka tetap tidak berpecah belah]. " .

Riwayat ini juga diceritakan oleh beberapa salaf dengan makna yang sama.

Lihatlah kitab "Kashf al-Khafaa" (Thaha), serta lihat juga "Al-Maqasid al-Hasanah" dan "Al-Jami' al-Saghir" beserta penjelasannya, dan masih banyak lagi.

Juga perhatikan perkataan Imam al-Khatib – semoga Allah merahmatinya – dalam "A'lam al-Hadits" (1:219-221).

Hikmah perbedaan pendapat dalam cabang-cabang masalah agama:

Yang tampak bagi kami adalah bahwa perbedaan semacam ini, seperti yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, serupa dengan perbedaan dalam bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, semuanya diperbolehkan. Meskipun ada sekelompok orang memilih sebagian , namun tidak memilih sebagian yang lain . Perbedaan tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan.

Sebagaimana Rasulullah memerintahkan setiap pembaca Al-Qur'an untuk membacanya sebagaimana yang mereka ketahui . Dan beliau memperingatkan mereka semua agar tidak jatuh ke dalam jurang perselisihan yang akan menyebabkan mereka binasa seperti orang-orang terdahulu sebelum mereka.

Dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata:

" سَمِعْتُ رَجُلًا قَرَأَ آيَةً، وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلَافَهَا، ‌فَجِئْتُ ‌بِهِ ‌النَّبِيَّ ‌صَلَّى ‌اللهُ ‌عَلَيْهِ ‌وَسَلَّمَ ‌فَأَخْبَرْتُهُ، ‌فَعَرَفْتُ ‌فِي ‌وَجْهِهِ ‌الكَرَاهِيَةَ، وَقَالَ: «كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ، وَلَا تَخْتَلِفُوا، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا» ".

“Saya mendengar seseorang membaca suatu ayat, dan saya mendengar Nabi ﷺ  membaca ayat itu berbeda dengan bacaannya, maka saya membawa orang itu kepada Nabi ﷺ  dan memberitahukan kepadanya.

Saya melihat rasa tidak senang di wajah Nabi ﷺ  dan beliau bersabda: “Kalian berdua benar (dalam hal bacaan ayat) dan janganlah kalian berselisih, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian selalu berselisih sehingga mereka binasa”. [HR. Bukhori no. 3476]

Seperti itulah keadaan para sahabat di masa Nabi ﷺ  masih hidup, celah-celah yang bisa menimbulkan perselisihan ditutup, dan apabila terjadi perselisihan segera diselesaikan sehingga tidak menjadi besar.

Syeikh Thoha Mohammad as-Saakit dalam artikel [مثل من اختلاف الصحابة] berkata :

وَمِنَ الْحُمْقِ وَالْخِفَّةِ أَنْ تُفَرَّقَ الْكَلِمَةُ وَيَشْتَدَّ الْخِصَامُ فِي جُزْئِيَاتٍ يَسِيرَةٍ، جَعَلَ اللَّهُ التَّوْسِعَةَ فِيهَا يُسْرًا فِي الدِّينِ وَرَحْمَةً لِلْمُسْلِمِينَ.

وَلَوْ أَنْ هَذِهِ الْأُمَّةَ حُمِلَتْ عَلَى طَرِيقَةٍ وَاحِدَةٍ فِي فُرُوعِ الدِّينِ وَلُطَائِفِهِ، لَحَرِجَ صَدْرُهَا، وَضَاقَ ذَرْعُهَا، وَلَذَّاقَتْ عَذَابَ الْإِصْرِ الَّذِي حَمَلَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ الَّتِي قَبْلَهَا، وَلَوْ أَنَّهُمْ حُمِلُوا فِي أُصُولِ الدِّينِ وَقَوَاعِدِهِ عَلَى طَرَائِقَ شَتَّى، لَكَانَ الْبَلَاءُ أَعْظَمَ، وَالْمُصَابُ أَعْمَى، فَسُبْحَانَ مَنْ جَلَّتْ حِكْمَتُهُ، وَوَسَعَتْ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَتُهُ!

Dan termasuk hal yang bodoh dan dungu adalah memecah belah umat dan memperuncing perselisihan dalam hal-hal yang kecil. Padahal Allah telah menjadikan keluasan dalam perbedaan pendapat tersebut sebagai kemudahan dalam agama dan sebagai rahmat bagi umat Islam .

Andai saja umat ini diwajibkan mengikuti satu cara dalam cabang-cabang agama dan detailnya, sungguh dada umat ini akan merasa sempit, dan lengannya akan menjadi pendek, dan mereka akan merasakan azab beban yang pernah Allah timpakan pada umat-umat terdahulu sebelum mereka.

Dan andai saja Ushuluddin [pokok-pokok agama] dan kaidah-kaidahnya diwajibkan atas mereka dalam berbagai macam hal apa saja , maka bencana akan semakin menjadi lebih besar dan dampaknya akan lebih luas".

Maha suci Allah yang hikmah-Nya nampak Agung dan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu!

====

MACAM DAN JENIS TINGKATAN MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN

Perbedaan pendapat itu bisa terjadi dalam berbagai macam hal, jenis dan tingkatan masalah.

Meskipun kita tidak bisa mengingkari akan adanya perbedaan pendapat antar para ulama dalam banyak hal dalam masalah agama ini, namun kita juga harus melihat-lihat dan memilah-milah macam dan jenis masalah yang diperselisihkan. Tidak semua macam dan jenis yang perselisihkan bisa kita toleransi , melainkan kita harus memberikan batasan dan klasifikasi . Yaitu sbb :

PERTAMA : Perbedaan pendapat dalam masalah pokok dan pondasi agama :

Yaitu : Perbedaan dalam prinsip dasar dan pokok agama, seperti iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka dalam hal ini tidak boleh dipersesihkan . Bagi yang mengingkarinya adalah sebuah kekufuran dan balasan nya adalah neraka.

KEDUA : Perbedaan pendapat yang bukan pokok dan pondasi agama :

Perbedaan pendapat dalam hal-hal yang merupakan cabang-cabangnya, contohny sbb :

Tentang Nabi Muhammad melihat Allah Azza wa Jalla pada malam Isra' dan Mi'raj, ini adalah perbedaan yang telah terjadi pada masa sahabat . Ibnu Abbas menetapkannya, sedangkan Ummul Mukminin Aisyah  -radhiyallahu ‘anhu- menolaknya.

Contoh lainnya adalah : tentang mayit disiksa karena tangisan keluarganya . Maka Ummul Mukminin Aisyah  -radhiyallahu ‘anhu- menolak keyakinan bahwa orang yang meninggal disiksa dengan tangisan keluarganya atasnya. Hal ini ditegaskan oleh sahabat-sahabat lainnya. Lihatlah perkataan Syekh Imam Ibnu Taimiyah dalam "Majmu' al-Fatawa" 12:492 dan 20:33.

Perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama dan hukum-hukumnya, yang memiliki dalil yang jelas dan bukti yang nyata, maka yang menyelisihinya itu adalah kesesatan dan kesalahan. Perbedaan dalam hal ini akan memecah belah kesatuan kaum mukminin, seperti perbedaan pendapat yang muncul dari sekte al-Qadariyah, al-Khawarij, dan ar-Rafidhah, serta sekte-sekte Islam lainnya yang dengan perbedaannya ini menyebabkan mereka keluar dan memisahkan diri dari manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah.

Adapun perbedaan pendapat dalam cabang-cabang yang dapat menampung lebih dari satu pendapat, maka itu pernah terjadi pula pada zaman Rasulullah dan pada zaman para sahabat, serta pada masa generasi terbaik umat ini.

Perbedaan ini hampir tidak melebihi batas perbedaan pendapat tentang : “ini yang baik” dan “ini yang buruk” atau “ini dibolehkan” dan “ini dimakruhkan”. Yaitu perbedaan pendapat yang tidak menyebabkan pertengkaran atau konflik ketika ditinjau dengan cara yang arif dan bijak .

Syeikh Thoha Mohammad as-Sakit dalam artikel [مثل من اختلاف الصحابة] berkata :

وَقَدْ أَجْمَعَ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَخَلَفُهَا عَلَى أَنَّهُ لَا يُعَابُ مَنْ تَرَكَ الْمَنْدُوبَ إِلَى الْمُبَاحِ، كَمَا أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يُعَابُ الْمُجْتَهِدُ إِذَا أَخْطَأَ فِي الِاجْتِهَادِ، فَكَيْفَ تُشَقُّ عَصَا الطَّاعَةِ، وَتُمَزَّقُ وَحْدَةُ الْجَمَاعَةِ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ الْهِينَاتِ؟!

Para Salaf [pendahulu umat ini] dan khalaf [yang hidup sesudahnya], sepakat dengan ijma' bahwa tidak ada celaan bagi seseorang yang meninggalkan sesuatu yang sunnah beralih menuju yang mubah. Demikian pula, mereka sepakat dengan ijma' bahwa seorang mujtahid tidak dicela jika dia melakukan kesalahan dalam ijtihadnya.

Jadi, bagaimana mungkin tongkat ketaatan dipatahkan , dan persatuan kaum mukminin dirobek hanya karena masalah-masalah yang sepele ini?". [Selesai]

Dalam kesempatan ini penulis [Kang Fakhry] sengaja tidak memberikan contoh-contoh, karena contoh-contoh tersebut sudah banyak dan telah dikenal dalam kitab-kitab para ulama. Lihatlah di kitab-kitab berikut ini : "I'lam al-Muwaqqi'in" dan "Hujjatullah al-Balighah" dan "Risalah Ibnu Taimiyah fi Ijtihad Ash-Shahabah wal-Tabi'in".

Pemilik kitab "Al-Mizan" , Syekh Abdul Wahhab bin Ahmad Al-Sha'ranī (w. 973 H) dalam penjelasan yang panjang menyimpulkan :

لا خِلافَ في الشريعةِ الغَراءِ ألبَتَّة؛ وَإِنَّما هِيَ مُرَاتَبٌ تَرْجِعُ في جُمْلَتِهَا إِلَى الرُخْصَةِ وَالْعَزِيمَةِ، وَالتَّخْفِيفِ وَالتَّشْدِيدِ، وَأَنَّ الْمُخَاطَبَ بِالْأُولَى هُمَ الضُّعَفَاءُ وَالْعَاجِزُونَ، وَالْمُخَاطَبَ بِالثَّانِيَةِ هُمَ الْأَقْوِيَاءُ وَالْقَادِرُونَ؛ وَلَكِنَّ النَّاسَ لَيْسُوا بِمَنْزِلَةِ سَوَاءٍ.

Bahwa tidak ada sama sekali perbedaan dalam syariat yang lurus ini , kecuali hanya pada tingkatan-tingkatan tertentu yang secara global dikembalikan pada ruang lingkup rukhshoh [kelonggaran] dan 'Azimah [ketegasan] serta takhfiif [keringanan] dan Tasydiid [tekanan].

Dan bahwa khithob yang pertama [rukhshoh dan takhfiif] ditujukan pada orang yang lebih lemah dan tidak mampu, sedangkan khithob yang kedua ['azimah dan tasydiid] di tujukan pada yang lebih kuat dan mampu. Namun, manusia tidak berada pada posisi dan tingkatan yang sama."

Demikianlah penjelasan yang diberikan oleh Syekh Abdul Wahhab bin Ahmad Al-Sha'ranī dalam bagian awal kitab "Al-Mizan al-Kubra", cetakan dari Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah tahun 1279 H.

====*****====

PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN DAN MENCELA PERBEDAAN PENDAPAT :

Beberapa ulama dengan tegas mencela perbedaan pendapat dan mengharamkannya, di antaranya:

Pertama : Al-Muzani (w. 264 H) dalam kitabnya Dzamm at-Taqliid (sebagaimana dikutip oleh az-Zarkasyi dalam al-Bahrul Muhith 6/257] berkata:

وَلَوْ كَانَ ٱلِٱخْتِلَافُ رَحْمَةً، لَكَانَ ٱلِٱجْتِمَاعُ عَذَابًا؛ لِأَنَّ ٱلْعَذَابَ خِلَافُ ٱلرَّحْمَةِ

"Jika perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan akan menjadi azab; karena azab adalah kebalikan dari rahmat."

Akan tetapi al-Muzani kemudian berkata :

قالَ الشافعيُّ - رَحِمَهُ اللهُ تعالى - ٱلاخْـتِـلاَفُ وَجْهانِ: فَما كانَ مَنْصُوصًا، لَمْ يَحِلَّ فيهِ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَما كانَ يَحْتَمِلُ التَأْوِيلَ أَوْ يُدْرَكُ قِياسًا، فَذَهَبَ المُتَأَوِّلُ أَوِ المُقايِسُ إِلى مَعْنًى يَحْتَمِلُ ذلِكَ، وَإِنْ خالَفَهُ غَيْرُهُ، لَمْ أَقُلْ إِنَّهُ يُضَيِّقُ عَلَيْهِ ضَيْقَ ٱلاخْـتِـلاَفُ في المَنْصُوصِ.

Al-Imam asy-Syafi’i – rahimahullah - berkata : "Perbedaan pendapat itu ada dua jenis:

Pertama, jika sesuatu itu telah jelas ditentukan (dalam nash), maka tidak boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya.

Kedua, jika sesuatu itu mengandung penafsiran atau dapat dipahami melalui analogi, maka jika seseorang yang menafsirkan atau menganalogikan sampai pada suatu makna yang mungkin, meskipun orang lain tidak sependapat dengannya, maka aku tidak mengatakan bahwa ia harus dipersempit sebagaimana dipersempitnya dalam perbedaan yang terdapat nash." [Baca : al-Bahrul Muhith 6/257 karya az-Zarkasyi]

Kedua : Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata:

وَهٰذا مِنْ أَفْسَدِ قَوْلٍ يَكُونُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كانَ ٱلاخْـتِـلاَفُ رَحْمَةً لَكانَ الاِتِّفاقُ سَخَطًا، وَهٰذا ما لا يَقولُهُ مُسْلِمٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ إِلّا اِتِّفاقٌ أَوِ اخْتِلافٌ، وَلَيْسَ إِلّا رَحْمَةٌ أَوْ سَخَطٌ، وَأَمّا الحَديثُ المَذْكورُ فَباطِلٌ مَكْذوبٌ، مِنْ تَوْلِيدِ أَهْلِ الفِسْقِ.

"Ini adalah perkataan yang paling fasiq (rusak); karena jika perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan akan menjadi murka. Dan ini adalah sesuatu yang tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim; karena tidak ada selain kesepakatan atau perbedaan pendapat, dan tidak ada selain rahmat atau murka. Adapun hadits yang disebutkan adalah palsu dan dibuat-buat, oleh orang-orang fasik." [Baca : al-Ihkam Fii Ashulil Ahkam karya Ibnu Hazm 5/64].

Kemudian Ibnu Hazm berkata :

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الصَّحَابَةَ قَدِ ٱخْتَلَفُوا وَهُمْ أَفَاضِلُ ٱلنَّاسِ ـ أَفَيَلْحَقُهُمُ ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ؟.

قِيلَ: كَلَّا، مَا يَلْحَقُ أُولَئِكَ شَيْءٌ مِنْ هٰذَا، لِأَنَّ كُلَّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُمْ تَحَرَّى سَبِيلَ ٱللَّهِ، وَوِجْهَتُهُ ٱلْحَقَّ، فَٱلْمُخْطِئُ مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرًا وَاحِدًا لِنِيَّتِهِ ٱلْجَمِيلَةِ فِي إِرَادَةِ ٱلْخَيْرِ، وَقَدْ رُفِعَ عَنْهُمُ ٱلإِثْمُ فِي خَطَئِهِمْ، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَتَعَمَّدُوهُ، وَلَا قَصَدُوهُ، وَلَا ٱسْتَهَانُوا بِطَلَبِهِمْ، وَٱلْمُصِيبُ مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرَيْنِ، وَهَكَذَا كُلُّ مُسْلِمٍ إِلَى يَوْمِ ٱلْقِيَامَةِ فِيمَا خَفِيَ عَلَيْهِ مِنَ ٱلدِّينِ وَلَمْ يَبْلُغْهُ، وَإِنَّمَا ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ، وَٱلْوَعِيدُ ٱلْمَنْصُوصُ لِمَنْ تَرَكَ ٱلتَّعَلُّقَ بِحَبْلِ ٱللَّهِ: وَهُوَ ٱلْقُرْآنُ، وَكَلَامُ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ بُلُوغِ ٱلنَّصِّ إِلَيْهِ، وَقِيَامِ ٱلْحُجَّةِ عَلَيْهِ، وَتَعَلَّقَ بِفُلَانٍ بِفُلَانٍ مُقَلِّدًا عَامِدًا لِلْٱخْتِلَافِ، دَاعِيًا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَحَمِيَّةِ ٱلْجَاهِلِيَّةِ، قَاصِدًا لِلْفُرْقَةِ، مُتَحَرِّيًا فِي دَعْوَاهُ بِرَدِّ ٱلْقُرْآنِ وَٱلسُّنَّةِ إِلَيْهَا، فَإِنْ وَافَقَهَا ٱلنَّصُّ أَخَذَ بِهِ، وَإِنْ خَالَفَهَا تَعَلَّقَ بِجَاهِلِيَّةٍ، وَتَرَكَ ٱلْقُرْآنَ وَكَلَامَ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَهَؤُلَاءِ هُمُ ٱلْمُخْتَلِفُونَ ٱلْمَذْمُومُونَ.

Maka jika ada yang bertanya : "Para sahabat telah berselisih pendapat padahal mereka adalah orang-orang yang paling mulia - apakah mereka termasuk dalam kecaman yang disebutkan?"

Dijawab : "Tidak, mereka tidak terkena sedikitpun dari hal ini, karena masing-masing dari mereka mencari jalan Allah dan tujuannya adalah kebenaran. Maka yang salah dari mereka mendapatkan satu pahala karena niatnya yang baik dalam menginginkan kebaikan, dan dosa diangkat dari mereka atas kesalahan mereka, karena mereka tidak sengaja melakukannya, tidak berniat melakukannya, dan tidak menggampangkan dalam penelitian mereka.

Sedangkan yang berijtihad dengan benar dari mereka maka akan mendapatkan dua pahala.

Demikian pula setiap Muslim hingga hari kiamat dalam hal yang tidak diketahuinya dari agama dan belum sampai kepadanya.

Kecaman dan ancaman yang disebutkan hanyalah bagi mereka yang sengaja meninggalkan berpegang pada tali Allah: yaitu Al-Qur'an dan sabda Nabi setelah nash sampai kepadanya, hujjah ditegakkan atasnya, dan ia terikat pada si fulan dan si fulan dengan sengaja bertaklid demi untuk berselisih, mengajak pada fanatisme dan semangat jahiliah, bertujuan untuk perpecahan, sengaja dalam dakwaannya dengan menolak Al-Qur'an dan sunnah kepadanya.

Jika nash sesuai dengan pendapatnya maka ia mengambilnya, dan jika nash bertentangan dengan pendapatnya maka ia mengikuti kejahiliahan-nya, meninggalkan Al-Qur'an dan sabda Nabi . Maka mereka inilah yang disebut sebagai orang-orang yang berselisih yang tercela."

[Baca : al-Ihkam Fii Ashulil Ahkam karya Ibnu Hazm 5/67-68. Di kutip pula oleh al-Albaani dalam as-Silsilah adh-Dho’ifah 1/143].

Ketiga : Dr. Abdul Karim Zaidan (w. 1435 H) berkata:

"ٱلِٱئْتِلَافُ وَٱلِٱتِّفَاقُ خَيْرٌ مِنَ ٱلِٱخْتِلَافِ قَطْعًا، حَتَّى فِي ٱلْمَسَائِلِ ٱلِٱجْتِهَادِيَّةِ ٱلسَّائِغِ ٱلِٱخْتِلَافِ فِيهَا، فَلَا يَجُوزُ ٱلْحِرْصُ عَلَى ٱلِٱخْتِلَافِ، وَٱلرَّغْبَةُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ سَائِغًا؛ لِأَنَّ مَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ تَعَمُّدِهِ وَوُقُوعِهِ، وَمَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ مُخَالَفَةِ مُقْتَضَى ٱلدَّلِيلِ ٱلشَّرْعِيِّ؛ حَتَّى يَحْصُلَ ٱلْخِلَافُ، وَهٰذَا بَاطِلٌ قَطْعًا، وَأَيْضًا فَإِنَّ مِنْ شُرُوطِ ٱلِٱخْتِلَافِ ٱلسَّائِغِ تَجْرِيدَ ٱلْقَصْدِ لِلْوُصُولِ إِلَى ٱلْحَقِّ وَٱلصَّوَابِ، وَهٰذَا لَا يَتَّفِقُ مَعَ ٱلرَّغْبَةِ فِي وُقُوعِهِ".

"Kesatuan dan kesepakatan jelas lebih baik daripada perbedaan pendapat, bahkan dalam masalah ijtihad yang diperbolehkan adanya perbedaan pendapat di dalamnya, tidak diperbolehkan untuk bersemangat dalam mencari perbedaan pendapat dan menginginkannya, meskipun itu diperbolehkan; karena ini berarti memperbolehkan kesengajaan dan terjadinya perbedaan pendapat, yang berarti memperbolehkan melawan tuntutan bukti syar'i; agar terjadi perbedaan pendapat, dan ini jelas salah. Selain itu, salah satu syarat perbedaan pendapat yang diperbolehkan adalah murni berniat untuk mencapai kebenaran dan ketepatan, dan ini tidak sesuai dengan keinginan untuk terjadinya perbedaan pendapat." [(Al-Mawsu'ah Al-Hurrah Mawqi’ Fi Al-Internet)]

===*****===

KESIMPULAN DAN TARJIH :

Mengarahkan dan menggabungkan pendapat-pendapat dalam hal ini ke dua arah:

Arah Pertama:

Kelapangan, keluasan dan rahmat tidak merujuk pada sifat perbedaan pendapat itu sendiri, melainkan pada tujuan dan maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yaitu bahwa diperbolehkan ijtihad dalam masalah-masalah cabang untuk mencapai maksud syariat adalah merupakan kelapangan dan rahmat; karena ketika diperbolehkan bagi mereka untuk melakukan ijtihad dalam dalil-dalil yang bersifat dugaan, atau ketika tidak ada nash dalam masalah-masalah yang terjadi.

Dan ketika diperbolehkan bagi generasi awal untuk beramal dengan apa yang dicapai oleh ijtihad mereka; maka hal itu diperbolehkan pula bagi generasi setelah mereka; sehingga hal itu menjadi kelapangan bagi umat dan rahmat bagi mereka, jika tidak, maka akan menjadi sempit bagi para ulama dan mereka yang meminta fatwa dalam banyak hukum.

Adapun perbedaan pendapat itu sendiri yang terjadi di antara mereka, maka tidak ada kelapangan di dalamnya, melainkan ada kesalahan dan kebenaran, meskipun mereka dimaafkan dan tidak berdosa karenanya; karena mereka tidak bermaksud untuk itu dan tidak sengaja melakukannya.

Jadi, kelapangan adalah dari dibukanya pintu ijtihad, atau dalam beramal dengan apa yang dihasilkan oleh ijtihad mereka, bukan dalam perbedaan itu sendiri di antara mereka. Oleh karena itu, kelapangan dan rahmat terletak pada dibukanya pintu ijtihad, dan beramalnya seorang mujtahid dengan apa yang dicapai oleh ijtihadnya, serta taklidnya orang-orang kepadanya dalam hal itu; dengan anggapan bahwa mereka mengambil yang lebih kuat, meskipun pada hakikatnya bisa jadi bahwa itu yang lebih lemah.

Jadi, tersembunyinya dan ketidak jelasnnya hukum syar'i dari mereka adalah rahmat bagi mereka, dan kelapangan bagi mereka; karena dalam kemunculannya terdapat kesulitan dan penyempitan bagi mereka.

Meskipun perbedaan itu sendiri adalah keburukan, hal itu selama para pihak yang berbeda itu berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.

Arah Kedua:

Perbedaan pendapat adalah rahmat, yaitu bahwa orang-orang yang berbeda pendapat itu dirahmati, bukan perbedaan itu sendiri yang dimaksud, atau bukan perbedaan itu sendiri adalah rahmat, akan tetapi orang-orang yang berbeda pendapat itu dirahmati, dalam arti:

“Bahwa siapa pun yang berusaha mencapai kebenaran, dan tidak ngasal, maka dia telah melaksanakan kewajibannya. Jika dia salah, maka dia mendapat satu pahala, dan jika dia benar, maka dia mendapat dua pahala.

Jadi, perbedaan pendapat itu sendiri bukanlah rahmat atau sesuatu yang diinginkan secara syar'i, bahkan jika kita bisa menghilangkan perbedaan pendapat ini dan mengakhirinya, maka itu adalah yang terbaik. Bahkan perbedaan yang dibenarkan, jika kita bisa menghilangkannya dengan berdiskusi dan berdialog dalam suasana persahabatan dan cinta kasih hingga mencapai satu pendapat - itu lebih baik dan lebih bagus; karena berkumpulnya orang-orang pada satu pendapat lebih baik bagi mereka daripada perbedaan pendapat.

Namun, maksudnya adalah bahwa orang-orang yang berbeda pendapat ini tidak diancam dengan adzab selama mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui kebenaran, masing-masing sesuai dengan ilmu dan kemampuannya, dan kebenaran itu hanya satu, tidak lebih.

Adanya perbedaan pendapat semacam ini memiliki hikmah kosmik, bukan hikmah syar'i, dan alasan perbedaan pendapat kembali pada perbedaan pemahaman, kemampuan, dan metode pendidikan pada awalnya.

Ini adalah hal-hal yang bersifat takdir, sehingga yang diinginkan secara syar'i adalah kesepakatan sejauh mungkin, dan pencarian kebenaran sesuai dengan kemampuan. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat semacam ini dirahmati.

Jadi, seorang mujtahid atau orang awam jika mengikuti pendapat orang yang lebih dipercaya di antara ulama menurut pandangannya, maka tidak perlu berprasangka bahwa dia dalam bahaya atau di tepi kehancuran jika ternyata pendapat tersebut salah, atau jika pendapat tersebut pada hakikatnya salah di sisi Allah. Akan tetapi selama pendapat tersebut telah diamalkan oleh beberapa imam yang dianggap keilmuannya, maka dia dirahmati dan mendapat pahala satu atau dua, sehingga dari sudut pandang ini, perbedaan pendapat adalah rahmat, bukan perbedaan itu sendiri adalah rahmat atau sesuatu yang diinginkan.

Dalam hadits riwayat dari Amr ibn al-'Ash, di sebutkan bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.

Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim mengadili dan berijtihad lantas ia salah, baginya satu pahala. [HR. Bukhori no. 7352].

Dalam lafadz lain :

إذا اجتَهَد فأصاب فله أجرانِ، وإن اجتَهَد فأخطَأَ فله أجرٌ

Jika seseorang berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seseorang berijtihad lantas ia salah, baginya satu pahala.

[Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3574), Ibnu Majah (2314), dan Ahmad (17809) dengan sedikit perbedaan. Di shahihkan oleh asy-Syawkani dalam al-Fathur Rabbaani 6/3090].

PERNYATAAN AL-IMAM ASY-SYATIBI :

Imam Al-Syathibi rahimahullah berkata:

"وَمَعْنَى هَذَا ‌أَنَّهُمْ ‌فَتَحُوا ‌لِلنَّاسِ ‌بَابَ ‌الِاجْتِهَادِ ‌وَجَوَازَ ‌ٱلاخْـتِـلاَفُ ‌فِيهِ، لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَفْتَحُوهُ لَكَانَ الْمُجْتَهِدُونَ فِي ضِيقٍ ... فَوَسَّعَ اللَّهُ عَلَى الْأُمَّةِ بِوُجُودِ الخِلاَفُ الْفُرُوعِي فِيهِمْ، فَكَانَ فَتْحُ بَابِ لِلْأُمَّةِ لِلدُّخُولِ فِي هَذِهِ الرَّحْمَةِ".

"Makna dari ini adalah bahwa mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia, dan memperbolehkan perbedaan pendapat di dalamnya; karena jika mereka tidak boleh membukanya, maka para mujtahid akan berada dalam kesulitan; maka Allah melapangkan umat dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah furu’ di antara mereka, sehingga menjadi pembuka pintu bagi umat untuk masuk dalam rahmat ini." [ al-I’thishom 2/677].

Beliau juga berkata dalam al-Muwafaqoot 5/75 :

فَيُحْمَلُ أَنْ يَكُونَ مِنْ جِهَةِ فَتْحِ بَابِ ٱلِاجْتِهَادِ، وَأَنَّ مَسَائِلَ ٱلِاجْتِهَادِ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ مِنْهَا سَعَةً بِتَوْسِعَةِ مَجَالِ ٱلِاجْتِهَادِ لَا غَيْرَ ذٰلِكَ.

"Ini dapat diartikan sebagai pembuka pintu ijtihad, dan bahwa masalah-masalah ijtihad telah Allah jadikan luas dengan memperluas ruang lingkup ijtihad saja, tidak lebih dari itu."

Lalu asy-Syathibi berkata :

قَالَ الْقَاضِي إِسْمَاعِيلُ : "إِنَّمَا التَّوْسِعَةُ فِي اخْتِلَافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ‌تَوْسِعَةٌ ‌فِي ‌اجْتِهَادِ ‌الرَّأْيِ، ‌فَأَمَّا ‌أَنْ ‌يَكُونَ ‌تَوْسِعَةً ‌أَنْ ‌يَقُولَ الْإِنْسَانُ بِقَوْلِ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ عِنْدَهُ فِيهِ فَلَا، وَلَكِنَّ اخْتِلَافَهُمْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمُ اجْتَهَدُوا، فَاخْتَلَفُوا". قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ : "كَلَامُ إِسْمَاعِيلَ هَذَا حَسَنٌ جِدًّا".

Qadhi Ismail berkata: "Pelapangan dalam perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah adalah pelapangan dalam ijtihad pendapat, tetapi jika dimaksudkan sebagai pelapangan bahwa seseorang bisa mengikuti salah satu pendapat mereka tanpa meyakini kebenarannya, maka itu tidak boleh. Namun, perbedaan pendapat mereka menunjukkan bahwa mereka berijtihad sehingga mereka berbeda pendapat."

Ibnu Abdul Barr berkata: "Ucapan Ismail ini sangat baik sekali." [Baca : al-Muwafaqoot 5/75]

SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :

Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:

‌وَالنِّزَاعُ ‌فِي ‌الْأَحْكَامِ ‌قَدْ ‌يَكُونُ ‌رَحْمَةً ‌إذَا ‌لَمْ ‌يُفْضِ ‌إلَى ‌شَرٍّ ‌عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى ﴿لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ﴾

"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang karena keidak jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:

﴿لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ﴾

*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).

Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].

Perbedaan pendapat, meskipun pada dasarnya adalah keburukan, namun kapanpun jika para pihak yang berselisih itu kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah serta berniat mencari kebenaran, dan berusaha keras untuk mencapainya; maka mereka termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

﴿فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ وَاللَّهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ﴾

*"Maka Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal-hal yang mereka perselisihkan dengan seizin-Nya. Dan Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus"* (Al-Baqarah: 213).

Maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad , yang membenarkannya dan apa yang dibawanya dari Allah, tentang apa yang diperselisihkan oleh orang-orang yang diberi kitab." [Tafsir ath-Thabari 4/283]

IBNU AL-QOYYIM :

Ibnu al-Qoyyim rahimahullah berkata:

 "فَمَنْ هَدَاهُ ٱللَّهُ سُبْحَانَهُ إِلَى ٱلْأَخْذِ بِٱلْحَقِّ حَيْثُ كَانَ، وَمَعَ مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ يَبْغِضُهُ وَيَعَادِيهِ، وَرَدَ ٱلْبَاطِلَ مَعَ مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ يُحِبُّهُ وَيُوَالِيهِ؛ فَهُوَ مِمَّنْ هُدِيَ لِمَا ٱخْتَلَفَ فِيهِ مِنَ ٱلْحَقِّ؛ فَهَذَا أَعْلَمُ ٱلنَّاسِ وَأَهْدَاهُمْ سَبِيلًا وَأَقَوَّمُهُمْ قِيلًا."

"Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi petunjuk hidayah kepadanya untuk mengambil kebenaran di mana pun dan bersama siapa pun, meskipun bersama orang yang dia benci dan dia musuhi , dan menolak kebatilan bersama siapa pun, meskipun bersama orang yang dia cintai dan dia bela ; maka dia termasuk orang yang diberi petunjuk atas apa yang diperselisihkan tentang kebenaran itu. Maka dia adalah orang yang paling berilmu di antara manusia dan paling banyak mendapat petunjuk dari pada mereka dan paling paling lurus ucapannya ." [ Baca : ash-Showaa’iq al-Mursalah 2/516].

Posting Komentar

0 Komentar