DAKWAH DAN AMAR MAR’UF NAHI MUNKAR adalah FARDHU KIFAYAH HUKUM NYA.
MENJAGA PERSATUAN adalah FARDHU ‘AIN.
DA'I PEMECAH BELAH UMAT adalah ANJING NERAKA JAHANAM, KELAK WAJAH-NYA HITAM MURAM MESKIPUN IBADAHNYA HEBAT MENGALAHKAN PARA SAHABAT
===
Di Tulis
Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN
NIDA AL-ISLAM
---
CUPLIKAN
DARI ARTIKEL :
Diantara etika berdakwah dalam
al-Quran, adalah : Bagaimana cara merubah seseorang yang didakwahi, yang
sebelumnya membenci dakwah kita, lalu berubah menjadi teman yang sangat setia?.
Sebagaimana yang Allah SWT firman-kan :
﴿وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي
مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ
كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)﴾
Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru [berdakwah] kepada Allah, mengerjakan
amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
muslim [berserah diri]?" [QS. Fush-shilat : (33)].
Dan tidaklah sama kebaikan dan
keburukan. Cegahlah (keburukan itu) dengan cara yang terbaik, sehingga
tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan berubah seolah-olah
telah menjadi teman yang sangat setia. (34)
Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang SABAR dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar. [QS. Fush-shilat :
(35)].
Contohnya : masuk Islam-nya Shofwan bin Umayyah radhiyallah ‘anhu,
seorang musuh Islam, penjahat perang, pembenci Nabi ﷺ, namun
berkat kesabaran dan kelembutan dakwah Nabi ﷺ kepadanya, dia akhir-nya masuk Islam.
Shofwan sendiri bercerita:
وَاللهِ لَقَدْ
أعْطَانِى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أعْطَانِى، وَإِنَّهُ
لأبْغَضُ النَّاسِ إلَىَّ، فَمَا بَرِحَ يُعْطِينِى حَتَّى إنَّهُ لأحَبُّ
النَّاسِ إلَىَّ
“Demi Allah! Rasulullah ﷺ telah memberikan kepadaku apa (harta) yang ia berikan, padahal ia adalah orang yang dulunya paling aku benci. Namun beliau terus-menerus memberikan pemberiannya kepadaku hingga akhirnya beliau menjadi orang yang paling aku cintai”. (HR Muslim no 2313)
Dan ketika dakwah belum berhasil, maka jangan tergesa menyalahkan orang yang di dakwahi.
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa para
nabi-nabi terdahulu dan para pengikutnya ketika mereka berdakwah dan berjuang
secara maksimal di jalan Allah, lalu dengan perjuangannya itu belum juga
mendapatkan hasil, mereka tidak serta merta menyalahkan orang-orang yang di
dakwahinya, melainkan mereka berintrospeksi diri bahkan menyalahkan diri mereka
sendiri dengan mengakui akan adanya banyak kekurangan yang ada dalam diri
mereka dalam cara berdakwahnya , sebagaimana yang Allah swt firmankan:
﴿وَكَأَيِّنْ
مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ﴾
Artinya : Dan berapa banyaknya
nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang
bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar.
﴿وَمَا
كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا
فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ﴾
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- PENJELASAN RINGKAS TAFSIR AYAT 103 – 106 SURAH ALI-IMRAN:
- PENJELASAN RINCI TAFSIR DAN FIQIH AYAT 103 – 106 SURAH ALI-IMRAN:
- PEMBAHASAN PERTAMA : TAFSIR AYAT 103 QS. ALI IMRAN (MENJAGA PERSATUAN UMAT SERTA MELINDUNGINYA DARI PERPECAHAN ADALAH FARDHU ‘AIN).
- WAJIB MENDAMAIKAN DUA KELOMPOK YANG BERMUSUHAN, MESKI SALAH SATUNYA ITU ADALAH KELOMPOK ORANG MUNAFIQ
- TANGAN ALLAH BERSAMA MAYORITAS KAUM MUSLIMIN :
- JIKA INGIN DI TENGAH SYURGA YANG LAPANG, BERGABUNGLAH DENGAN JEMAAH KAUM MUSLIMIN
- BAGAIMANA DENGAN PERKATAAN IBNU MAS’UD : “JEMAAH ITU ORANG YANG DIATAS KEBENARAN MESKIPUN DIA SENDIRIAN”.
- UNTUK MENJAGA PERSATUAN, MAKA JANGAN SALING SOMBONG DENGAN MELAKUKAN HAL-HAL SBB :
- 1] SALING MERENDAHKAN KAUM ATAU GOLONGAN LAIN .
- 2] SALING MENCELA SESAMA KALIAN
- 3] SALING MEMBERI GELAR EJEKAN
- 4] SALING MENUDUH FASIQ .
- PEMBAHASAN KE DUA : TAFSIR AYAT 104 QS. ALI IMRAN (DAKWAH DAN AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR ADALAH FARDHU KIFAYAH).
- MANHAJ DAKWAH DAN NAHYI MUNKAR DALAM AL-QUR’AN : “SABAR, LEMBUT DAN MENJAGA PERSATUAN”:
- CONTOH PERTAMA : PERINTAH
BERDA’WAH DENGAN PENUH HIKMAH DAN NASIHAT YANG INDAH.
- CONTOH KEDUA : MANHAJ
DAKWAH NABI HARUN (A.S) SENANTIASA BERUSAHA MENJAGA PERSATUAN:
- CONTOH KE TIGA : MANHAJ
DAN AKHLAQ NABI ﷺ DALAM BERDAKWAH DAN BERMU’AMALAH.
- CONTOH KE EMPAT : TAWADHU’,
SENANTIASA MERASA BERSALAH DAN KURANG EFEKTIF SAAT BELUM BERHASIL
- CONTOH KE LIMA : MANHAJ
DAKWAH AHLI ISTIQOMAH yang BER-AKHLAK HAMBA AR-RAHMAN.
- HUKUM FIQIH DAN BATASAN DALAM BER-AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR
- BEBERAPA HUKUM DAN BATASAN TENTANG AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR
- AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR MENJADI WAJIB DENGAN ENAM SYARAT YANG HARUS TERPENUHI SECARA BERSAMAAN:
- AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR HUKUMNYA SUNAH DALAM BEBERAPA KEADAAN.
- AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR KADANG MENJADI HARAM :
- PEMBAHASAN KETIGA : TAFSIR AYAT 105 – 106 QS. ALI IMRAN : (PEMECAH BELAH UMAT KELAK MENDAPAT ADZAB PEDIH & WAJAHNYA MENGHITAM . MEREKA ADALAH ANJING-ANJING NERAKA JAHANNAM)
- AWAL DOSA DAN KESALAHAN MANHAJ KHAWARIJ PEMECAH BELAH UMAT :
- PEMECAH BELAH UMAT MANUSIA adalah MANHAJ IBLIS
- MEMECAH BELAH UMAT TERMASUK DOSA BESAR. PELAKUNYA HARUS DIBUNUH.
- PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH RAHMAT. PERPECAHAN DENGAN MEMPERUNCING PERBEDAAN ADALAH ADZAB
- PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT :
- SALING MENGHARGAI DAN MENGAKUI PENDAPAT ORANG LAIN:
- PERPECAHAN DENGAN MEMPERUNCING PERBEDAAN ADALAH KEBURUKAN
- UTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN
- GUNAKAN HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT AGAR TIDAK BERPECAH BELAH
- HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM CABANG-CABANG MASALAH AGAMA
- MACAM DAN JENIS TINGKATAN MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN
- PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN DAN MENCELA PERBEDAAN PENDAPAT:
- KESIMPULAN DAN TARJIH :
****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN
Berdakwah dan beramar nahyi munkar
adalah fardhu kifayah, sementara menjaga persatuan umat Islam adalah fardhu
'ain . Dan pemecah belah umat itu adalah anjing neraka Jahannam, dia diancam
dengan adzab yang pedih dan wajahnya kelak hitam muram, sebagaimana yang
disebutkan dalam empat ayat berurutan dalam surat Ali Imran ayat 103, 104, 105
dan 106.
===***===
PENJELASAN RINGKAS TAFSIR AYAT 103 HINGGA106 SURAH ALI-IMRAN:
Penjelasan ringkas tafsir dan hukum fiqih dari ayat no.
103, 104, 105 dan 106 dari surah Ali Imran.
**Ayat
Ali Imran no. 103 :**
(Perintah
Menjaga Persatuan Kepada seluruh Kaum Muslimin & Larangan Berpecah Belah)
﴿وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ
فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ﴾
Dan berpeganglah kalian semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah
akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.
**[Al Imran: 103]**
Perintah menjaga persatuan dan
larangan berpecah belah dalam ayat diatas ditujukan kepada seluruh umat Islam,
sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat Allah.
Perintah pada ayat ini sangat
jelas menunjukkan bahwa menjaga persatuan itu hukumnya fardhu ‘ain alias wajib
bagi setiap individu muslim dan muslimah.
****
**Ayat
Ali Imran no. 104 :**
(Perintah
Berdakwah & Amar Ma’ruf Nahyi kepada Sebagian Kaum Mulimin).
﴿وَلْتَكُنْ
مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ﴾
“Dan hendaklah di antara kalian
ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.
Kata ( مِنْكُمْ اُمَّةٌ = di antara kalian ada sekelompok) ini sangat jelas menunjukkan bahwa berdakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar adalah "fardhu kifayah".
Dan ayat diatas diperkuat pula
dengan firman Allah SWT :
﴿۞
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ
فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾
“Tidak sepatutnya bagi mukminin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. [QS. Tawbah: 122]
****
Ayat Ali
Imran no. 105 :
(Ancaman
Adzab Yang Dahsyat Bagi Yang Tidak Mau Bersatu)
﴿وَلَا
تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا
جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ﴾
Dan janganlah kalian menjadi
seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada
mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab
yang berat [QS. Ali Imran : 104-105]
Ayat ini meskipun makna-nya umum,
yaitu larangan melakukan hal apa saja yang menimbulkan perpecahan dan
permusuhan, namun ayat ini disebutkannya setelah ayat perintah berdakwah dan
amar ma’ruf nahyi munkar. Maka larangan dalam ayat ini lebih spesifik ditujukan
pada manhaj berdakwah dan beramar ma’ruf nahyi munkar, yaitu harus berusaha
menghindari cara-cara dan hal-hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan
permusuhan sesama umat Islam.
****
Ayat Ali
Imran no. 106 :
(Pemecah Belah
dan Yang Berpecah Belah adalah Manhaj Khawarij dan kelak wajah-nya Hitam Muram)
﴿يَوْمَ
تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ
وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ
تَكْفُرُونَ﴾
“ Pada hari yang di waktu itu ada
muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang
yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir
sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu
itu". [QS. Ali Imran : 106]
Dalam ayat ini terdapat ancaman
bagi para pemecah belah umat, terutama para da’i yang manhaj nya berpotensi
memecah belah, menimbulkan permusuhan dan pertumpahan darah.
Para pemecah belah umat, kelak wajah-wajah mereka akan
menjadi hitam muram dan mereka akan di adzab dengan adzab yang sangat pedih, dan
mereka dianggap sebagai orang-orang kafir.
Ibnu Katsir ketika menafsiri
ayat-ayat diatas berkata :
وَقَدْ قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ رَبِيع -وَهُوَ ابْنُ صَبِيح
-وحَمَّاد بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ قَالَ: رَأَى أَبُو أُمَامَةَ
رُءُوسًا مَنْصُوبَةً عَلَى دَرَج دِمَشْقَ، فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ: كِلَابُ
النَّارِ، شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ
قَتَلُوهُ، ثُمَّ قَرَأَ:
﴿يَوْمَ
تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ﴾ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ.
قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ: أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ قَالَ:
لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ
أَرْبَعًا -حَتَّى عَدّ سَبْعًا-مَا حَدّثتكموه.
ثُمَّ قَالَ: "هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ".
Abu Isa At-At-Tirmidzi ketika
menafsiri ayat ini mengatakan : telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib,
telah menceritakan kepada karni Waki', dari Ar-Rabi' ibnu Sabih dan Hammad ibnu
Salamah, dari Abu Galib yang menceritakan :
“Bahwa Abu Umamah melihat banyak
kepala [kaum khawarij yang terbunuh] dipancangkan di atas tangga masuk masjid Damaskus. Maka Abu Umamah mengatakan :
"Anjing-anjing neraka adalah
seburuk-buruk orang-orang yang terbunuh di kolong langit ini; sebaik-baik
orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang dibunuhnya."
Kemudian Abu Umamah membacakan firman-Nya:
﴿يَوْمَ
تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ
وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ
تَكْفُرُونَ﴾
“ Pada hari yang di waktu itu ada
muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang
yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kalian kafir
sesudah kalian beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu"”. [ QS. Ali Imran : 106]
Kemudian aku bertanya kepada Abu
Umamah : "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ﷺ?"
Abu Umamah menjawab :
"Seandainya aku bukan mendengarnya melainkan hanya sekali atau dua kali
atau tiga kali atau empat kali dan bahkan sampai tujuh kali, niscaya aku tidak
akan menceritakannya kepada kalian."
Kemudian Imam At-Tirmidzi
mengatakan bahwa hadis ini hasan. [Baca : Tafsir Ibnu katsri 2/92].
HR. Imam Ahmad (no. 22109, 22083,
22051 dan 22262) dan At-Tirmidzi (no. 3000)
Hadits ini dihukumi HASAN SHAHIH
oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3000. Dan di Hasankan oleh
Syeikh Muqbil al-Waadi'i dalam Ash-Shahih al-Musnad 1/408 no. 482 .
PEMECAH BELAH UMAT HARUS DIBUNUH :
Memecah belah jamaah kaum Muslimin
termasuk dosa besar yang menghalalkan darah pelaku-nya, sebagaimana disebutkan
dalam hadits shahih:
«مَنْ
أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ
عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ»
"Siapa saja orangnya yang
datang kepada kalian, sementara perkara kalian dalam keadaan bersatu di bawah
satu orang, lalu orang itu ingin memecah tongkat kalian (memecah belah persatuan
kalian) dan memecah belah jamaah kalian, maka kalian bunuhlah dia." (HR.
Muslim no. 1852)
KEKHAWATIRAN RASULULLAH ﷺ
Dari Hudzaifah ibnul Yaman r.a.
bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:
"إن مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رجُل قَرَأَ الْقُرْآنَ، حَتَّى
إِذَا رُؤِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْء الْإِسْلَامِ اعْتَرَاهُ إِلَى مَا
شَاءَ اللَّهُ، انْسَلَخَ مِنْهُ، وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ
بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا
أَوْلَى بِالشِّرْكِ: الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي؟ قَالَ: "بَلِ الرَّامِي".
“Sesungguhnya di antara hal yang saya
khawatirkan terhadap kalian ialah seorang lelaki yang pandai membaca Al-Qur’an,
hingga manakala keindahan Al-Qur’an telah dapat diresapinya dan Islam adalah
sikap dan perbuatannya, lalu ia tertimpa sesuatu yang dikehendaki oleh Allah,
maka ia tanpa sadar telah melepaskan diri dari Al-Qur’an. Dan Al-Qur'an ia
lemparkan di belakang punggungnya (tidak diamalkannya), lalu ia menyerang
tetangganya dengan senjata dan menuduhnya telah musyrik”.
Huzaifah ibnul Yaman bertanya :
"Wahai Nabi Allah, manakah di antara keduanya yang lebih musyrik, orang
yang dituduhnya ataukah si penuduhnya?"
Rasulullah ﷺ menjawab : "Tidak, bahkan si
penuduhlah (yang lebih utama untuk dikatakan musyrik)."
[Abu Ya'la Al-Mausuli dalam
Musnad-nya (Tafsir Ibnu Katsir 3/509) dan Al-Bazzar dalam Musnadnya no. (175)] .
Predikat
hadits :
Al-Haitsami berkata dalam
Al-Majma' (1/188): “Sanadnya hasan”. Dan Ibnu Katsir berkata: “Sanad hadis ini
berpredikat jayyid”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/509)
Syeikh al-Munajjid berkata :
Dari Suwaid bin Ghoflah, ia mengatakan: Ali bin Abi Thalib
-radhiyallahu ‘anhu-
pernah berkata :
" إذا حَدَّثْتُكُمْ عن رَسولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلَأَنْ أخِرَّ مِنَ السَّماءِ، أحَبُّ إلَيَّ مِن
أنْ أكْذِبَ عليه، وإذا حَدَّثْتُكُمْ فِيما بَيْنِي وبيْنَكُمْ، فإنَّ الحَرْبَ
خِدْعَةٌ.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُول :
يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ يَخْرُجُونَ مِنْ قَبَلِ الْمَشْرِقِ حُدَثَاء
الْأَسْنَانِ صِغَار فِي السِّنِّ فِي الْمٌجْمَلِ سُفَهَاءَ الْأَحْلَامِ عُقُولًا
طَائِشَةً يَقُولُونَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ، فِي كَلَامِهِمْ آيَاتٌ وَأَحَادِيثُ
لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ عِنْدَهُمْ تَعَبُّدٌ وَلَا صَلَاتُكُمْ
إِلَى صَلَاتِهِمْ بِشَيْءٍ، وَلَا صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ، يَقْرَءُونَ
الْقُرْآنَ يَحْسَبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِم، لَا يَجَاوَزُ إِيمَانُهُمْ
حُنَاجِرَهُم، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُق السَّهْمُ مِنَ الرَّمْيَةِ،
فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوهُم؛ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَوْ يَعْلَمُ الْجَيْشُ الَّذِينَ يُصِيبُونَهُمْ مَا قُضِيَ
لَهُمْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِم ﷺ لَاتَّكَلُوا عَنْ الْعَمَلِ".
"Jika saya menyampaikan sebuah hadits kepada kalian dari
Rasulullah ﷺ, maka sungguh bagi saya , terjatuh dari langit adalah lebih aku
sukai daripada aku mendustakannya. Dan jika saya menceritakan kepada kalian
sesuatu antara saya dan kalian, maka sesungguhnya perang adalah tipu daya.
Dan aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"Di akhir jaman nanti muncul suatu kaum dari arah timur , yang
umur-umur mereka masih muda, mereka pada umumnya masih bocah, mereka
orang-orang yang bodoh dalam impian dan pikiran yang gegabah. Mereka mengatakan
perkataan dari sebaik-baik manusia (Sunah Nabi ﷺ), dalam omongannya terdapat ayat-ayat dan hadits-hadits, yang sejatinya
tidak ada hubungannya antara bacaan kalian dengan bacaan mereka. Mereka rajin
ibadah . Shalat kalian tidak ada apa-apanya dibanding shalat mereka , dan puasa
kalian tidak ada apa-apanya dibanding puasa mereka .
Mereka membaca Al-Qur'an dan menganggap bahwa Al-Qur'an adalah dalil
bagi kebenaran mereka, padahal sebenarnya adalah dalil atas kesesetan mereka .
Iman mereka tak sampai melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama
sebagaimana anak panah keluar dari sasarannya, dimanapun kalian menemukannya,
bunuhlah dia, sebab siapa yang membunuhnya akan mendapatkan pahala pagi
pelakunya di hari kiamat."
Sekiranya pasukan yang memerangi mereka tahu pahala yang telah
ditetapkan bagi mereka atas lisan Nabi ﷺ, niscaya mereka akan berhenti beramal (karena
telah merasa lebih dari cukup dengan pahala yang sangat melimpah)".
[Lihat : Musnad Imam Ahmad no. 616 dan as-Sunnah karya Ibnu Abi
'Aashim no. 914 . Di shahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 2/45.
Lihat pula : Shahih Ibnu Hibban no. 6704 & 6739 dishahihkan al-Albaani
dalam adz-Dzilal (914) Q . Lihat pula : Shahih Bukhori no. 6930, Shahih Muslim
no. 1066 & 1773 . Lihat pula al-Musnad al-Mawdhu'i 2/88 no. 1379].
Syeikh al-Munajjid berkata :
يَعْنِي : لَوْ عَلِمُوا الَّذِينَ يُقَاتِلُونَهُم
لَوْ عَلِمُوا مَا لَهُمْ مِنَ الْأَجْرِ."
"Maksudnya: Jika mereka tahu bagi orang-orang yang berperang melawan mereka, akan mendapatkan pahala yang melimpah."
[Sumber : "الْغُلُو وَالْخَوَارِج الْعَصْرِ"]
===****===
PENJELASAN RINCI TAFSIR DAN FIQIH AYAT 103 – 106 SURAH ALI-IMRAN:
Berikut ini Penjelasan yang lebih
rinci tentang tafsir dan hukum fiqih dari ayat no. 103, 104, 105 dan 106 dari
surah Ali Imran :
===****===
PEMBAHASAN
PERTAMA : TAFSIR AYAT 103 QS. ALI IMRAN
(MENJAGA
PERSATUAN UMAT SERTA MELINDUNGINYA DARI PERPECAHAN ADALAH FARDHU ‘AIN).
Allah SWT berfirman :
﴿وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ
فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ﴾
Dan berpeganglah kalian semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah
akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.
**[Al Imran: 103]**
Allah SWT memerintahkan seluruh
kaum muslimin untuk senantiasa Menjaga Persatuan serta melindunginya dari perpecahan
dan permusuhan.
Perintah menjaga persatuan dan
larangan berpecah belah dalam ayat diatas ditujukan kepada seluruh umat Islam,
sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat Allah.
Perintah pada ayat ini sangat
jelas menunjukkan bahwa menjaga persatuan itu hukumnya fardhu ‘ain alias wajib
bagi setiap individu muslim dan muslimah.
****
WAJIB MENDAMAIKAN DUA KELOMPOK YANG BERMUSUHAN, MESKI SALAH SATUNYA ITU ADALAH KELOMPOK ORANG MUNAFIQ
Dalam Surat al-Hujuraat : 9-10 , Allah SWT
berfirman :
﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) ﴾
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan
itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat. [QS. al-Hujuraat : 9-10]
Allah Swt. berfirman memerintahkan kaum mukmin agar mendamaikan di
antara dua golongan yang berperang satu sama lainnya:
﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. (Al-Hujurat: 9)
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 7/374 berkata
:
فَسَمَّاهُمْ مُؤْمِنِينَ
مَعَ الِاقْتِتَالِ. وَبِهَذَا اسْتَدَلَّ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ عَلَى أَنَّهُ
لَا يَخْرُجُ مِنَ الْإِيمَانِ بِالْمَعْصِيَةِ وَإِنْ عَظُمَتْ، لَا كَمَا يَقُولُهُ
الْخَوَارِجُ وَمَنْ تَابَعَهُمْ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ وَنَحْوِهِمْ
“Allah menyebutkan mereka sebagai orang-orang mukmin, padahal mereka
berperang satu sama lainnya.
Berdasarkan ayat ini Imam Bukhari dan lain-lainnya menyimpulkan bahwa
maksiat itu tidak mengeluarkan orang yang bersangkutan dari keimanannya,
betapapun besarnya maksiat itu. Tidak seperti yang dikatakan oleh kaum Khawarij dan para
pengikutnya dari kalangan Mu'tazilah dan lain-lainnya (yang mengatakan
bahwa pelaku dosa besar dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya)”.
SEBAB TURUNNYA AYAT :
Dari Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- , dia berkata :
" قِيلَ لِلنَّبِيِّ ﷺ، لَوْ أَتَيْتَ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ؟ فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ نَبِيُّ اللَّهِ ﷺ وَرَكِبَ حِمَارًا،
وَانْطَلَقَ الْمُسْلِمُونَ يَمْشُونَ، وَهِيَ أَرْضٌ سَبْخَةٌ، فَلَمَّا انْطَلَقَ
إِلَيْهِ النَّبِيُّ ﷺ قَالَ: "إِلَيْكَ عَنِّي، فَوَاللَّهِ لَقَدْ آذَانِي رِيحُ
حِمَارِكَ" فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: وَاللَّهِ لَحِمَارُ رَسُولِ اللَّهِ
أَطْيَبُ رِيحًا مِنْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ لِعَبْدِ اللَّهِ رِجَالٌ مِنْ قَوْمِهِ،
فَغَضِبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَصْحَابُهُ، قَالَ: فَكَانَ بَيْنَهُمْ ضَرْبٌ
بِالْجَرِيدِ وَالْأَيْدِي وَالنِّعَالِ، فَبَلَغَنَا أَنَّهُ أُنْزَلَتْ فِيهِمْ:
﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾".
“Bahwa pernah ada yang berkata kepada Nabi ﷺ :
"Sebaiknya engkau datang kepada Abdullah ibnu Ubay ibnu Sallul
(pemimpin kaum munafik, pent.)."
Maka Rasulullah ﷺ pun berangkat menuju ke tempatnya dengan
mengendarai keledainya,
sedangkan orang-orang muslim berjalan kaki mengiringinya. Jalan yang mereka
tempuh adalah tanah yang terjal. Setelah Nabi ﷺ sampai di tempatnya, maka ia (Abdullah
ibnu Ubay) berkata :
"Menjauhlah kamu dariku. Demi Allah, bau keledaimu menggangguku."
Maka seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata : "Demi Allah, sesungguhnya bau keledai
Rasulullah ﷺ lebih harum ketimbang baumu."
Maka sebagian kaum Abdullah ibnu Ubay marah, membela pemimpin mereka;
masing-masing dari kedua belah pihak mempunyai pendukungnya. Kemudian
tersebutlah di antara mereka terjadi perkelahian dengan memakai pelepah kurma,
pukulan tangan, dan terompah.
Maka menurut berita yang sampai kepada kami, diturunkanlah ayat berikut
berkenaan dengan mereka, yaitu firman Allah Swt:
﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾
“Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya....”. (Al-Hujurat: 9)
[HR. Bukhori no. 261 dan Muslim no. 1799]
Dalam ayat 9 al-Hujurat diatas, Allah SWT
mengatakan “dua golongan dari
orang-orang mukmin”, padahal salah satu dari keduanya adalah gerombolan
gembong munafik yang jelas-jelas telah melecehkan Nabi ﷺ, akan tetapi Allah SWT tidak mengatakan : antara orang-orang
beriman dan orang-orang munafiq .
Subhanallah !!!
Padahal para sahabat tahu akan kejahatan dan
pengkhianatan orang-orang munafik dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Sallul
terhadap kaum muslimin pada saat itu , terutama terhadap Nabi ﷺ dan
keluarganya.
TANGAN ALLAH BERSAMA MAYORITAS KAUM MUSLIMIN :
Dari Abdullah bin Umar , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
"إِنَّ
اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي - أَوْ قَالَ: أُمَّةَ مُحَمَّدٍ ﷺ - عَلَى ضَلَالَةٍ
وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ."
"Sesungguhnya Allah tidak
akan mengumpulkan umatku - atau Dia berkata: umat Muhammad ﷺ dalam kesesatan, dan tangan
Allah bersama dengan jama'ah. Barangsiapa yang menyimpang, maka dia menyimpang
ke dalam neraka."
[HR. al-Tirmidzi (2167) dengan
lafazh dari beliau, dan al-Hakim (397), serta Abu Nu'aim dalam 'Hilyat
al-Awliya' (3/37) dengan sedikit perbedaan."
Dalam riwayat lain dari Abdullah
bin Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda :
"لا يَجْمَعُ
اللَّهُ هذه الأمةَ على الضَّلالةِ أبدًا، وقال: يَدُ اللَّهِ على الجَمَاعَةِ،
فاتَّبِعُوا السَّوَادَ الأعظمَ، فإنهُ مَنْ شَذَّ شَذَّ في النَّارِ."
"Allah tidak akan pernah
mengumpulkan umat ini dalam kesesatan. Beliau bersabda : 'Tangan Allah bersama
dengan jama'ah. Oleh karena itu, ikutilah As-Sawadul A’dzam [kelompok yang
mayoritas], karena sesungguhnya barangsiapa yang menyimpang, maka dia
menyimpang ke dalam neraka.'"
"Diriwayatkan oleh al-Ṭabarani (12/447) (13623), dan al-Ḥākim (391) dengan lafazh dari beliau, serta al-Baihaqi dalam 'Al-Asma' wa
al-Sifat' (701)."
Di shahihkan al-Albaani dalam
Bidayatus Saul no. 70 dan shahih Tirmidzi (2167) tanpa lafadz “مَنْ شَذَّ”.
Mayoritas para ulama Ahli Hadits
dan ulama lainnya sepakat bahwa hadits :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ
Derajatnya adalah HASAN,
dikarenakan banyak nya jalur sanad dan juga banyaknya syahid penguat .
Sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/384 , al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habiir 3/298-299 dan al-Albaani dalam
as-Silsilah ash-Shahihah 3/319-320 no. 1331.
Dalam riwayat lain : dari Anas bin
Malik -radhiyallahu ‘anhu- :
إِنَّ أُمَّتِي لا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلالَةٍ،
فَإِذَا رَأَيْتُمُ الاخْتِلافَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ يعني الْحَقِّ
وأَهْلِهِ
“Sesungguhnya umatku tidak akan
bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan,
berpeganglah pada as sawaadul a’zham yaitu al haq dan ahlul
haq” .
(HR. Ibnu Majah 3950, hadits hasan
dengan banyaknya jalan sebagaimana dikatakan oleh Al Albani dalam Silsilah
Ash Shahihah, 1331)
Dari Anas bin Malik Rasulullah ﷺ:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَجَارَ
أُمَّتِيْ مِنْ أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
melindungi ummatku dari berkumpul (bersepakat) di atas kesesatan.
[HR. adh-Dhiyaa' dalam 'Al-Ahadits
al-Mukhtarrah' (2559), dan oleh Ibnu Majah (3950), serta oleh Abd bin Humaid
(1218) secara panjang lebar dengan redaksi yang serupa".
Di hasankan oleh al-Albaani dalam
Takhriij Kitab as-Sunnah no. 83.
Dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitaabus
Sunnah (1/41 no. 82), meriwayatkan dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ashim al-‘Asy’ari
Radhiyallahu anhu.
Hadits ini dianyatakan hasan oleh
syeikh al-Albaani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahihah no. 1331 setelah dikumpulkan
dan digabungkan semua jalur sanadnya
Dan diriwayatkan pula dengan sanad yang shahih dari Ibnu Mas’ud secara mawquuf.
===
Makna As-Sawadul A’dzam :
Dari Ibnu Abbaas -radhiyallahu ‘anhu- , bahwa Nabi ﷺ bersabda :
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ
الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِي
سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا مُوسَى
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ،
فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ
الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ
سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ
“Diperlihatkan kepadaku umat
manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut
sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada
Nabi yang tidak memiliki pengikut.
Lalu diperlihatkan kepadaku Sawaadun
A’dzim [sekelompok hitam yang sangat besar], aku mengira itu adalah
umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa Shallallhu’alaihi Wasallam
dan kaumnya’.
Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke
arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar.
Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke
arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar.
Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang
masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim,
220)
As-sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al-A’dzam artinya
besar, agung, banyak. Sehingga as-sawaadul a’dzom secara
bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak.
Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya
hitam.
Dalam terminologi syar’i, kita
telah dapati bahwa as sawaadul a’dzom itu semakna dengan Al
Jama’ah.
Sebagaimana penjelasan Ath-Thabari
di atas :
“…Dan makna Al Jama’ah
adalah as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat
Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang
bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab:
hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan
umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari 13/37)
IMAM NASA’I MENULIS BAB DALAM
SUNAN-NYA :
(٦
- بَابُ قَتۡلِ مَنۡ فَارَقَ الۡجَمَاعَةَ)
(6. Bab : hukum bunuh bagi siapa saja yang memecah belah jemaah kaum
muslimin).
Lalu Nasa’i menyebutkan hadits
nomor 4020, 4021, dan 4022 dari ‘Arfajah bin Syuraih Al-Asyja’i .
Hadits no. 4020. Dengan sanadnya dari ‘Arfajah bin Syuraih Al-Asyja’i. Beliau berkata:
رَأَيۡتُ النَّبِيَّ ﷺ عَلَى الۡمِنۡبَرِ،
يَخۡطُبُ النَّاسَ، فَقَالَ: (إِنَّهُ سَيَكُونُ بَعۡدِي هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ،
فَمَنۡ رَأَيۡتُمُوهُ فَارَقَ الۡجَمَاعَةَ – أَوۡ: يُرِيدُ تَفۡرِيقَ أَمۡرِ
أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ -؛ كَائِنًا مَنۡ كَانَ فَاقۡتُلُوهُ؛ فَإِنَّ يَدَ اللهِ
عَلَى الۡجَمَاعَةِ؛ فَإِنَّ الشَّيۡطَانَ مَعَ مَنۡ فَارَقَ الۡجَمَاعَةَ
يَرۡكُضُ)
Aku melihat Nabi ﷺ di mimbar berkhotbah kepada
orang-orang. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya akan terjadi
sepeninggalku berbagai kerusakan, maka siapa saja yang kalian lihat dia
memisahkan diri dari jemaah kaum muslimin - atau dia ingin memecah belah urusan
umat Muhammad ﷺ - siapa pun dia, maka bunuhlah
dia ( yakni : di bawah komando pemerintah).
Sesungguhnya tangan Allah di
atas al-jama’ah (kaum muslimin yang bersatu di atas kebenaran) .
Dan sesungguhnya setan berlari
bersama siapa saja yang memisahkan diri dari al-jama’ah.”
[Sahih sanadnya. Diriwayatkan pula
oleh Muslim secara ringkas no. 1852 . Dishahihkan oleh as-Suyuuthi dalam
al-Jaami’ ash-Shoghiir no. 4656 dan oleh syeikh al-Albaani dalam Shahih
al-Jaami’ no. 3621 dan dalam Ishlaahus Saajid no. 61]
Hadits no. 4021. Dengan sanadnya dari ‘Arfajah bin Syuraih. Beliau berkata: Nabi ﷺ bersabda :
(إِنَّهَا
سَتَكُونُ بَعۡدِي هَنَاتٌ، وَهَنَاتٌ، وَهَنَاتٌ، - وَرَفَعَ يَدَيۡهِ -؛ فَمَنۡ
رَأَيۡتُمُوهُ يُرِيدُ تَفۡرِيقَ أَمۡرِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ - وَهُمۡ جَمِيعٌ –
فَاقۡتُلُوهُ؛ كَائِنًا مَنۡ كَانَ مِنَ النَّاسِ).
“Sesungguhnya sepeninggalku akan
terjadi kerusakan, kerusakan, dan kerusakan—beliau mengangkat kedua
tangannya—maka siapa saja yang kalian melihatnya ingin memecah belah urusan umat
Muhammad ﷺ - padahal mereka dalam keadaan
bersatu (di atas kebenaran) - maka bunuhlah dia (Yakni : di bawah komando
pemerintah. Pen), siapa pun orang itu.
[Sahih sanadnya. Lihat Irwaa
al-Gholiil no. 2542]
Hadits no. 4022. [Sahih] Dengan sanadnya dari ‘Arfajah. Beliau berkata: Aku mendengar
Rasulullah ﷺ bersabda :
(سَتَكُونُ
بَعۡدِي هَنَاتٌ، وَهَنَاتٌ؛ فَمَنۡ أَرَادَ أَنۡ يُفَرِّقَ أَمۡرَ أُمَّةِ
مُحَمَّدٍ ﷺ وَهُمۡ جَمۡعٌ؛ فَاضۡرِبُوهُ بِالسَّيۡفِ).
“Sepeninggalku akan terjadi
kerusakan dan kerusakan. Siapa saja yang ingin memecah belah urusan umat
Muhammad ﷺ padahal mereka dalam
keadaan bersatu (di atas kebenaran), maka tebaslah dia dengan pedang (di bawah
komando penguasa).”
[Sahih sanadnya. Lihat Irwaa
al-Gholiil no. 2542]
****
JIKA INGIN DI TENGAH SYURGA YANG LAPANG, BERGABUNGLAH DENGAN JEMAAH KAUM MUSLIMIN :
Dari
Ibnu 'Umar -radhiyallahu ‘anhu- dia
berkata;
Suatu ketika Umar -radhiyallahu ‘anhu-
menyampaikan pidato kepada kami di Jabiyyah. [Umar] berkata, "Wahai
sekalian manusia, aku berdiri di tengah-tengah kalian sebagaimana posisi Rasulullah
ﷺ yang ketika itu juga berdiri di tengah-tengah kami dan
bersabda:
أُوصِيكُمْ بِأَصْحَابِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ حَتَّى يَحْلِفَ الرَّجُلُ وَلَا
يُسْتَحْلَفُ وَيَشْهَدَ الشَّاهِدُ وَلَا يُسْتَشْهَدُ أَلَا لَا يَخْلُوَنَّ
رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ عَلَيْكُمْ
بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ
وَهُوَ مِنْ الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمْ
الْجَمَاعَةَ
'Aku berwasiat kepada kalian dengan (melalui) para sahabat-sahabatku
kemudian orang-orang setelah mereka dan orang-orang yang datang lagi setelah
mereka ..... Hendaklah kalian selalu bersama Al Jama'ah. Dan janganlah kalian
berpecah belah, karena setan itu selalu bersama dengan orang yang sendirian,
sedangkan terhadap dua orang, ia lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan
Buhbuhata Al Jannah [ditengah-tengah syurga], maka hendaklah ia komitmen untuk
tetap bersama Al Jama'ah. "
[HR. Tirmidzi no. 2165 , Ahmad no. 114, al-Haakim 1/114 dan Ibnu Abi ‘Ashim
dalam as-Sunnah 1/42 no. 87. Di shahihkan al-Albaani dalam shahih Tirmidzi’ dan
as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim].
Abu Isa berkata;
“Ini adalah hadits hasan shahih gharib bila ditinjau dari jalur ini. Dan
hadits ini telah diriwayatkan pula oleh [Ibnul Mubarak] dari [Muhammad bin
Suqah]. Dan telah diriwayatkan pula lebih dari satu jalur dari Umar dari Nabi ﷺ”.
Dari Fadhalah bin Ubaid -radhiyallahu ‘anhu- , dia menuturkan bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda,
ثَلاثةٌ لا تَسألْ عنهُم: رَجُلٌ فارَقَ الجَماعةَ، وعَصى
إمامَه، وماتَ عاصيًا، وأمَةٌ أو عَبدٌ أبِقَ فماتَ، وامْرأةٌ غابَ عنها زَوجُها،
قد كَفاها مُؤْنةَ الدُّنيا فتَبَرَّجَتْ بَعدَه، فلا تَسألْ عنهُم
وَثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ
رِدَاءَهُ، فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ
شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ وَالْقَنُوطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ".
“Ada tiga golongan, jangan engkau tanyakan tentang mereka (karena mereka
termasuk orang-orang yang binasa dan celaka ) :
*Orang yang meninggalkan jamaah [kaum muslimin] dan tidak taat pada
pemimpinnya dan mati dalam keadaan masih tidak taat [pada pemimpinnya] .
*Budak wanita atau lelaki yang melarikan diri lalu mati.
*Dan wanita yang ditinggal pergi suaminya, dia telah dicukupi kebutuhan
duniawinya lalu dia bersolek sepeninggal suaminya.
Maka janganlah kau tanyakan tentang mereka ini ! ."
Dan ada tiga golongan, jangan engkau tanyakan tentang mereka (karena mereka
termasuk orang-orang yang binasa dan celaka ) :
**Orang yang mencabut selendang Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah
kesombongan dan kainnya adalah Al-Izzah (keperkasaan);
**Orang yang meragukan perintah Allah.
**Dan orang yang berputas asa dalam mengharapkan rahmat Allah”.
(HR. Ahmad no. 23943, Al-Bazzar dalam "Musnad"-nya
(3749), Ibnu Hibban (4559), At-Tabarani dalam "Al-Kabir"
(18/788-789), dan Al-Hakim (1/119, 206).
Hakim mengatakan, "Sesuai syarat keduanya (Bukhari-Muslim), dan saya
tidak mengetahui adanya cacat”, Adz Dzahabiy membenarkannya).
Di shahihkan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 39/368 no.
23943.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam "Al-Adab Al-Mufrad" (590), Ibnu Abi 'Asim dalam
"As-Sunnah" (89), (900), dan (1060), serta At-Tabarani dalam
"Al-Kabir" (18/790).
Di dalam Al-Adabul Mufrad
disebutkan, "Lalu ia berhias dan pergi." Dalam riwayat Ibnu Hibban
disebutkan, "Lalu ia mengkhianati suaminya (selingkuh)," sebagai
ganti, "Lalu ia berhias." (Baca : Al-Arba'un An-Nisaiyyah, hadits ke-6)
Termasuk orang yang mudah berputus
asa dalam mengharapkan rahmat Allah adalah seorang da’i yang dalam berdakwahnya
terburu-buru menghajer orang yang didakwahinya ketika berkali-kali menemui
kegagalan.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda:
" مَن فارَقَ
الجمَاعَةَ وخرَجَ من الطاعَةِ فماتَ فميتُتُهُ جاهليةٌ ".
"Barangsiapa memisahkan diri
dari Jama'ah [kaum muslimin] dan keluar dari ketaatan [pada pemerintah] , lalu
ia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyah”.
[HR. Muslim (1848), An-Nasa'i (4114),
Ibnu Majah (3948), dan Ahmad (8061) sementara lafal ini adalah miliknya].
****
BAGAIMANA DENGAN PERKATAAN IBNU MAS’UD
:
“JEMAAH ITU ORANG YANG DIATAS
KEBENARAN MESKIPUN DIA SENDIRIAN”.
Ibnu
Mas’ud radhiyallhu ‘anhu berkata :
"إِنَّ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا
الْجَمَاعَةَ، وَأَنَّ الْجَمَاعَةَ مَا وَافَقَ الْحَقَّ، وَإنْ كُنتَ وَحْدَكَ"
"Sesungguhnya mayoritas manusia telah
meninggalkan jamaah [kebenaran], dan jamaah itu adalah apa yang sesuai dengan kebenaran,
meski kamu sendirian".
LAFADZ ATSAR IBNU MAS’UD SECARA LENGKAP :
Dari Umar bin Maimun al-Audi, dia berkata :
صَحِبْتُ مَعَاذًا بِالْيَمَنِ فَمَا فَارَقْتُهُ حَتَّى وَارِيتُهُ
بِالتُّرَابِ بِالشَّامِ، ثُمَّ صَحِبْتُ بَعْدَهُ أَفْقَهَ النَّاسِ عَبْدَ اللَّهِ
بِنْ مَسْعُودٍ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: "عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ يَدَ
اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ"،
ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَوْمًا مِنَ الْأَيَّامِ وَهُوَ يَقُولُ:
"سَيَلِي عَلَيْكُمْ وُلَاةٌ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا، فَصَلُّوا
الصَّلَاةَ لِمِيقَاتِهَا، فَهِيَ الْفَرِيضَةُ"، وَصَلَّ مَعَهُمْ فَإِنَّهَا
لَكَ نَافِلَةٌ.
قَالَ: قُلْتُ: يَا أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ، مَا أَدْرِي مَا تُحَدِّثُونَ؟
قَالَ: "وَمَا ذَاكَ؟" قُلْتُ: تَأْمُرُنِي بِالْجَمَاعَةِ وَتُحَضِّنِي
عَلَيْهَا، ثُمَّ تَقُولُ لِي: "صَلِّ الصَّلَاةَ وَحْدَكَ، وَهِيَ الْفَرِيضَةُ"،
وَصَلَّ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَهِيَ نَافِلَةٌ.
قَالَ: "يَا عَمْرُو بْنَ مَيْمُونٍ، قَدْ كُنتُ أَظُنُّكَ
مِنْ أَفْقَهِ أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ، تَدْرِي مَا الْجَمَاعَةُ؟" قُلْتُ:
لَا. قَالَ: "إِنَّ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا الْجَمَاعَةَ، وَأَنَّ الْجَمَاعَةَ
مَا وَافَقَ الْحَقَّ، وَإنْ كُنتَ وَحْدَكَ".
"Aku menemani Mu'adz di Yaman dan tidak
meninggalkannya hingga aku menguburkannya di Syam.
Kemudian aku menemani orang yang paling faqiih,
yaitu Abdullah bin Mas'ud. Lalu Aku mendengar beliau berkata :
'Berpegang teguhlah kalian bersama jamaah, karena
tangan Allah bersama-sama jamaah.'
Kemudian, suatu hari aku mendengarnya berkata :
"Kelak kalian akan dipimpin oleh para penguasa yang menunda shalat dari
waktunya. Maka kalian shalatlah tepat pada waktunya, karena itu adalah fardhu. Dan
shalatlah kamu bersama jamaah, karena shalat berjamaah itu sunnah bagimu ."
Aku bertanya : "Wahai para sahabat Muhammad,
apa yang kalian bicarakan?"
Lalu beliau balik bertanya : "Apa itu ?"
Aku berkata : "Anda memerintahkan aku agar
selalu bersama jamaah dan menganjurkanku untuk itu. Lalu anda menyuruhku untuk
melaksanakan shalat sendiri-sendiri; karena shalat sendiri itu fardhu, lalu
anda menyuruhku shalat berjamaah, karena shalat berjemaah itu sunnah."
Dia menjawab : "Wahai Amr bin Maimun, aku
pikir kamu termasuk orang yang paling faqih di kota ini. Apakah kamu tahu apa
itu jamaah?"
Aku berkata : "Tidak."
Ibnu Mas’ud berkata :
"إِنَّ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا الْجَمَاعَةَ وَأَنَّ الْجَمَاعَةَ مَا وَافَقَ
الْحَقَّ وَإن كُنْتَ وَحْدَكَ"
"Sesungguhnya mayoritas manusia telah
meninggalkan jamaah [kebenaran], dan jamaah itu adalah apa yang sesuai dengan kebenaran,
meski kamu sendirian".
Dalam riwayat lain :
"فَقَالَ ابْن مَسْعُود وَضَرَبَ
عَلَى فَخْذِي : ’وَيْحَكَ أَنْ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة
مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى".
Ibnu Mas'ud berkata sambil memukul pahaku dan
berkata dengan keras, "Wahai Amr bin Maimun, sesungguhnya mayoritas
manusia telah meninggalkan jamaah (kebenaran) dan bahwa jamaah adalah apa yang
sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta'ala."
Naim bin Hammad berkata :
يَعْنِي إِذا فَسدتْ الْجَمَاعَة فَعَلَيْك بِمَا كَانَت عَلَيْهِ
الْجَمَاعَة قبل أَن تفْسد وَأَن كنت وَحدك فَإنَّك أَنْت الْجَمَاعَة حِينَئِذٍ
"Artinya, ketika jamaah telah rusak, maka
kewajibanmu adalah mengikuti apa yang diterapkan oleh jamaah sebelum rusak. Dan
jika kamu seorang diri (individu) pada saat itu, maka pada saat itu kamu adalah
jamaah itu sendiri."
TAKHRIIJ ATSAR :
[Diriwayatkan oleh Ahmad (5/231 secara ringkas),
melalui jalur nya oleh Ibnu Asakir (46/408), Adz-Dzahabi dalam
"As-Siyar" (4/158-159), Abu Dawud (432), Ibnu Hibban (1481 dalam
al-Ihsan), Al-Baihaqi (3/124-125), Ibnu Asakir (46/408-409), dan Al-Mizzi dalam
"Tahdzib Al-Kamal" (14/351). Al-Lalakai dalam "Syarh Aqidah
Ahlussunnah wal Jamaah" (1/122 no.160) dari jalur Al-Auzai dari Hushan bin Atiyyah dari
Abdul Rahman bin Sabit dari Amr bin Maimun, dia berkata: Lalu dia
menyebutkannya.
Dan para perawinya adalah orang-orang yang thiqah
(terpercaya).
Dinyatakan sahih
oleh Al-Albani, seperti yang disebutkan dalam “Ta’liiq Mishkat Al-Masabih"
(1/61)
====
KRONOLOGI UCAPAN IBNU MAS’UD :
Latar belakang
Ucapan Ibnu Mas’ud “Jama’ah adalah apa yang sesuai kebenaran,
walau anda
seorang diri” ini terkait
dengan terjadinya perselisihan antara dirinya dengan Utsman bin Affaan beserta
jumhur sahabat dan kaum muslimin dalam hal penyusunan dan penyatuan Mushaf,
yang dikenal dengan Mushaf Utsmani
-----
KRONOLOGI PENYUSUNAN MUSHAF UTSMANI
Imam
Bukhori dalam shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ
حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ قَدِمَ عَلَى عُثْمَانَ وَكَانَ يُغَازِي أَهْلَ
الشَّأْمِ فِي فَتْحِ إِرْمِينِيَةَ وَأَذْرَبِيجَانَ مَعَ أَهْلِ الْعِرَاقِ
فَأَفْزَعَ حُذَيْفَةَ اخْتِلَافُهُمْ فِي الْقِرَاءَةِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ
لِعُثْمَانَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَدْرِكْ هَذِهِ الْأُمَّةَ قَبْلَ أَنْ
يَخْتَلِفُوا فِي الْكِتَابِ اخْتِلَافَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَأَرْسَلَ
عُثْمَانُ إِلَى حَفْصَةَ أَنْ أَرْسِلِي إِلَيْنَا بِالصُّحُفِ نَنْسَخُهَا فِي
الْمَصَاحِفِ ثُمَّ نَرُدُّهَا إِلَيْكِ فَأَرْسَلَتْ بِهَا حَفْصَةُ إِلَى
عُثْمَانَ فَأَمَرَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ
وَسَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ
فَنَسَخُوهَا فِي الْمَصَاحِفِ وَقَالَ عُثْمَانُ لِلرَّهْطِ الْقُرَشِيِّينَ
الثَّلَاثَةِ إِذَا اخْتَلَفْتُمْ أَنْتُمْ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فِي شَيْءٍ مِنْ
الْقُرْآنِ فَاكْتُبُوهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ فَإِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ
فَفَعَلُوا حَتَّى إِذَا نَسَخُوا الصُّحُفَ فِي الْمَصَاحِفِ رَدَّ عُثْمَانُ
الصُّحُفَ إِلَى حَفْصَةَ وَأَرْسَلَ إِلَى كُلِّ أُفُقٍ بِمُصْحَفٍ مِمَّا
نَسَخُوا وَأَمَرَ بِمَا سِوَاهُ مِنْ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ صَحِيفَةٍ أَوْ مُصْحَفٍ
أَنْ يُحْرَقَ .
قَالَ
ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي خَارِجَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ سَمِعَ زَيْدَ
بْنَ ثَابِتٍ قَالَ فَقَدْتُ آيَةً مِنْ الْأَحْزَابِ حِينَ نَسَخْنَا الْمُصْحَفَ
قَدْ كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ
بِهَا فَالْتَمَسْنَاهَا فَوَجَدْنَاهَا مَعَ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ
الْأَنْصَارِيِّ ﴿ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ
عَلَيْهِ ﴾ فَأَلْحَقْنَاهَا فِي سُورَتِهَا فِي الْمُصْحَفِ
bahwasanya;
Hudzaifah bin Al Yamani datang kepada Utsman yang saat itu Hudzaifah baru selesai berperang di negara-negara Syam [Eropa] . Dan ketika dia menaklukan
Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Irak, tiba-tiba disana Hudzaifah dikejutkan dengan
adanya perselisihan mereka dalam Qira`ah baca al-Qur’an.
Maka
Hudzaifah pun berkata kepada Utsman bin Affaan :
"Rangkullah
ummat ini sebelum mereka berselisih tentang Al Qur`an sebagaimana perselisihan
yang telah terjadi pada kaum Yahudi dan Nasrani."
Akhirnya,
Utsman mengirim surat kepada Hafshah [Ummul Mukminin] yang berisikan :
"Tolong,
kirimkanlah lembaran alquran kepada kami, agar kami dapat segera menyalinnya ke
dalam lembaran yang lain, lalu kami akan segera mengembalikannya pada
Anda."
Maka
Hafshah pun mengirimkannya kepada Utsman. Lalu Utsman memerintahkan kepada Zaid
bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Al Ash dan Abdurrahman bin Al Harits
bin Hisyam, sehingga mereka pun menyalinnya ke dalam lembaran shuhuf yang lain.
Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy dari mereka :
"Jika
kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit terkait dengan Al Qur`an, maka
tulislah dengan bahasa Quraisy, sebab Al Qur`an turun dengan bahasa
mereka."
Kemudian
mereka mengindahkan perintah itu hingga penyalinan selesai dan Utsman pun
mengembalikannya ke Hafshah. Setelah itu, Utsman mengirimkan sejumlah Shuhuf
yang telah disalin ke berbagai penjuru negeri kaum muslimin, dan memerintahkan
untuk membakar Al Qur`an yang terdapat pada selain Shuhuf tersebut.
Ibnu
Syihab berkata; [Kharijah bin Zaid] telah mengabarkan kepadaku bahwa ia
mendengar [Zaid bin Tsabit] berkata :
"Kami
kehilangan satu ayat dari surat Al Ahzab saat kami menyalinnya, yang sungguh
aku telah mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
saat beliau membacanya. Lalu kami pun mencarinya, dan ternyata kami menemukannya
pada Khuzaimah bin Tsabit Al Anshari.
Yakni
ayat :
﴿مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ
عَلَيْهِ ۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُ ۖوَمَا
بَدَّلُوْا تَبْدِيْلً﴾
Artinya
: Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
mengubah (janjinya), [QS. Al-Ahzaab : 23].
Maka
kami pun menggabungkannya di dalam mushhaf. [HR. Bukhori no. 4987]
As-Safaariini dalam "Ghidzaa' al-Albab" mengatakan:
وَذَكَرَ
الْبُخَارِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ : ... فَلَمَّا كَانَتْ خِلَافَةُ عُثْمَانَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - اخْتَلَفَتْ النَّاسُ فِي الْقِرَاءَةِ. قَالَ أَنَسٌ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ -: اجْتَمَعَ الْقُرَّاءُ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - مِنْ
أَذْرَبِيجَانَ وَأَرْمِينِيَةَ وَالشَّامِ وَالْعِرَاقِ وَاخْتَلَفُوا حَتَّى
كَادَ أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمْ فِتْنَةٌ، وَسَبَبُ الْخِلَافِ حِفْظُ كُلٍّ مِنْهُمْ
مِنْ مَصَاحِفَ انْتَشَرَتْ فِي خِلَالِ ذَلِكَ فِي الْآفَاقِ كُتِبَتْ عَنْ الصَّحَابَةِ،
كَمُصْحَفِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَمُصْحَفِ أُبَيٍّ، وَمُصْحَفِ عَائِشَةَ".
"Al-Bukhari
dan At-Tirmidzi menyebutkan: ... Ketika masa khilafah Utsman - semoga Allah meridhainya - terjadi
perselisihan di
antara orang-orang dalam membaca Al-Qur'an.
Anas
- semoga Allah meridhainya - berkata: Para qari berkumpul pada masa Utsman -
semoga Allah meridhainya - dari Adzribijan, Armenia, Syam, dan Irak, dan mereka
berselisih dalam qira’at hingga
hampir terjadi fitnah di
antara mereka. Penyebab perbedaan itu adalah karena setiap dari mereka memiliki
mushaf yang tersebar luas pada saat itu di berbagai wilayah, yang ditulis oleh
para Sahabat seperti mushaf Ibnu
Mas'ud, mushaf Ubay bin Ka'b, dan mushaf Aisyah." [ Baca : Ghidzaa' al-Albab 1/412]
Dalam suatu riwayat, disebutkan :
"أَنَّ حُذَيْفَةَ قَدِمَ مِنْ
غَزْوَةٍ فَلَمْ يَدْخُلْ بَيْتَهُ حَتَّى أَتَى عُثْمَانَ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنَينَ
أَدْرِكِ النَّاسَ قَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ غَزَوْتُ فَرْجَ أرمينية فإذا أهل الشام
يقرؤون بِقِرَاءَةِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَيَأْتُونَ بِمَا لَمْ يسمع أهل
العراق وإذا أهل العراق يقرؤون بِقِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فَيَأْتُونَ
بِمَا لَمْ يَسْمَعْ أَهْلُ الشَّامِ فَيُكَفِّرُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا".
“Bahwa Hudzaifah kembali dari sebuah peperangan
dan dia tidak langsung pulang kerumahnya melainkan dia mendatangi Utsman.
Hudhaifah berkata : "Wahai Amirul Mukminin, selamatkan
para manusia !." Utsman bertanya, "Apa itu ?"
Hudzaifah menjelaskan : "Saya telah beperang
menaklukan Armenia, dan ternyata di sana para penduduk Syam membaca Al-Quran
dengan Qira'ah Ubay bin Ka'ab , maka mereka menghadirikan qira’at yang tidak
pernah didengar oleh penduduk Iraq.
Dan ternyata penduduk Iraq membaca dengan Qira'ah
Abdullah bin Mas'ud, maka mereka menghadirikan qira’at yang tidak pernah
didengar oleh penduduk Syam.
Akibatnya, sebagian mereka saling mengkafirkan
sebagian yang lain."
Dalam sebuah riwayat disebutkan :
"أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ
قِرَاءَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودِ وَسَمِعَ آخَرَ يَقُولُ قِرَاءَةُ أَبِي مُوسَى
الْأَشْعَرِيِّ فَغَضِبَ ثُمَّ قَامَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ
هَكَذَا كَانَ مَنْ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا واللَّهِ لَأَرْكَبَنَّ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنَينَ".
Bahwa Hudzaifah mendengar seseorang berkata : ‘
Yang benar adalah Qira'ah Abdullah bin Mas'ud’. Dan beliau juga mendengar yang
lainnya berkata : ‘Yang benar adalah Qira'ah Abu Musa Al-Asy'ari’.
Mendengar hal itu, maka beliau marah, lalu beliau
berdiri, memuji Allah, dan bersyukur kepada-Nya. Kemudian beliau berkata :
"Seperti inilah keadaan umat-umat sebelum kalian, mereka saling berselisih.
Demi, saya akan berkendara pergi menemui Amirul Mukminin."
[ Baca : Fathul Bari 9/18, Tuhfatul Ahwadzi 8/410,
Tafsir ath-Tahabari 1/54 dan Faho’il al-Quran karya al-Mustaghfari 1/351]
====
PERSELISIHAN ANTARA IBNU MAS’UD DENGAN UTSMAN DAN MAYORITAS KAUM MUSLIMIN
Ketika Mushaf Utsmani selesai ditulis, maka Amirul
Mukminin Utsman menjadikannya sebagai rujukan bagi seluruh umat Islam dalam
mushaf mereka.
Dia memerintahkan untuk melenyapkan mushaf-mushaf
selainnya yang telah ditulis oleh selainnya. Namun Ibnu Mas'ud menolak tindakan
itu dan dia enggan menyerahkan mushafnya. Dia memberikan fatwa kepada
orang-orang untuk menyimpan mushaf-mushaf mereka, seperti yang terdapat dalam riwayat-riwayat
tentangnya...
Begitu pula mengenai masalah pembakaran mushaf
selain Mushaf Utsmani, maka Ibnu Mas'ud menolak untuk menyerahkan mushafnya dan
dia memerintahkan orang-orang untuk menyembunyikan mushaf-mushaf yang mereka
salin untuk diri mereka sendiri sebelum mushaf Induk ...
Jadi, pad umumnya para Sahabat semuanya sepakat
dengan pandangan Utsman, kecuali Ibnu Mas'ud. Oleh karena itu mereka para
sahabat mengkritik tindakan Ibnu Mas'ud dan mencelanya .
Untuk menjawab kritikan dan celaan ini , maka ada
indikasi -wallahu a’lam- bahwa Ibnu Mas’ud – radhiyallahu ‘anhu- membela diri
dengan mengatakan :
"إِنَّ جُمْهُورَ النَّاسِ فَارَقُوا
الْجَمَاعَةَ، وَأَنَّ الْجَمَاعَةَ مَا وَافَقَ الْحَقَّ، وَإنْ كُنتَ وَحْدَكَ"
"Sesungguhnya
mayoritas manusia telah meninggalkan jamaah [kebenaran], dan jamaah itu adalah
apa yang sesuai dengan kebenaran, meski kamu sendirian".
Dan dalam al-Mashoohif hal. 77 oleh Ibnu Abi Dawud disebutkan:
"Telah
mengabarkan kepada kami Abdullah, dia mengatakan: Telah mengabarkan kepada kami
Abdullah bin Muhammad bin An-Nu'man, dia mengatakan: Telah mengabarkan kepada
kami Sa'id bin Sulaiman, dia mengatakan: Telah mengabarkan kepada kami Abu
Syihab, dari Al-A'masy, dari Abu Wa'il, dia berkata:
" خَطَبَنَا
ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ: ﴿وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ﴾ غُلُّوا مَصَاحِفَكُمْ، وَكَيْفَ تَأْمُرُونِي أَنْ أَقْرَأَ
عَلَى قِرَاءَةِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، وَقَدْ قَرَأْتُ مِنْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِضْعًا وَسَبْعِينَ سُورَةً، وَأَنَّ زَيْدَ
بْنَ ثَابِتٍ لَيَأْتِي مَعَ الْغِلْمَانِ لَهُ ذُؤَابَتَانِ، وَاللَّهِ مَا
أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ إِلَّا وَأَنَا أَعْلَمُ فِي أَيِّ شَيْءٍ نَزَلَ، مَا
أَحَدٌ أَعْلَمُ بِكِتَابِ اللَّهِ مِنِّي، وَمَا أَنَا بِخَيْرِكُمْ، وَلَوْ
أَعْلَمُ مَكَانًا تَبْلُغُهُ الْإِبِلُ أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللَّهِ مِنِّي
لَأَتَيْتُهُ. قَالَ أَبُو وَائِلٍ: فَلَمَّا نَزَلَ عَنِ الْمِنْبَرِ جَلَسْتُ
فِي الْحِلَقِ فَمَا أَحَدٌ يُنْكِرُ مَا قَالَ".
Ibnu
Mas'ud memberikan khutbah di atas mimbar dan berkata: '{Dan barangsiapa yang berbuat curang, niscaya
ia membawa kecurangannya itu
pada hari kiamat}
(Al-Isra: 15). Barbuat
curanglah kalian terhadap mushaf-mushaf kalian! Bagaimana mungkin kalian memerintahkan aku untuk membaca sesuai dengan bacaan Zaid
bin Tsabit,
padahal aku telah
membaca Al-Qur'an langsung dari
mulut Rasulullah ﷺ
sebanyak lebih dari tujuh
puluh surah. Dan pada saat
itu Zaid bin Thabit memiliki dua jambul [jalinan rambut] dikepala, dia
datang dengan anak-anak lain yang masih bocah .
Demi
Allah, tiada satu ayat pun yang diturunkan dalam Al-Qur'an kecuali aku
mengetahui di mana ayat tersebut turun. Tidak ada seorang pun yang lebih tahu
tentang Kitabullah daripada saya, dan saya bukanlah yang terbaik di antara kalian.
Jika
aku
mengetahui ada suatu
tempat yang dapat dijangkau oleh unta, yang di sana ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah daripada aku ; maka sungguh aku akan mendatanginya'.
Abu
Wa'il berkata: 'Ketika beliau turun dari mimbar, saya duduk di majlis dan tidak
ada seorang pun yang menyangkal apa yang beliau katakan.'"
[Lihat : al-Mashoohif hal. 77 oleh Ibnu Abi Dawud].
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :
أَصْلُ هَذَا مُخَرَّجٌ فِي الصَّحِيحَيْنِ وَعِنْدَهُمَا: وَلَقَدْ
عَلِمَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ أَنِّي أَعْلَمُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ. وَقَوْلُ أَبِي
وَائِلٍ: "فَمَا أَحَدٌ يُنْكِرُ مَا قَالَ"، يَعْنِي: مِنْ فَضْلِهِ
وَعِلْمِهِ وَحِفْظِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Sumber pernyataan ini berasal
dari hadits yang diriwayatkan dalam dua kitab hadits sahih (Al-Bukhari no. 5000 dan Muslim no. 2462), dan keduanya
menyatakan: "Sesungguhnya para sahabat Muhammad mengetahui bahwa aku
adalah yang paling alim di
antara mereka tentang Kitabullah." Pernyataan Abu Wa'il, "Tidak ada
yang menyangkal apa yang dikatakan," maksudnya adalah mengenai keutamaan,
pengetahuan, dan hafalan Ibnu Mas'ud. Wallahu a’lam”. [ Baca Tafsir Ibnu Katsir 1/31]
Dalam riwayat lain :
Ibnu Mas’ud menolak Zaid bin Tsabit dengan
mengatakan :
يَا
مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ أُعْزَلُ عَنْ نَسْخِ كِتَابَةِ الْمُصْحَفِ
وَيَتَوَلَّاهَا رَجُلٌ وَاللَّهِ لَقَدْ أَسْلَمْتُ وَإِنَّهُ لَفِي صُلْبِ
رَجُلٍ كَافِرٍ يُرِيدُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَلِذَلِكَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مَسْعُودٍ يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ اكْتُمُوا الْمَصَاحِفَ الَّتِي عِنْدَكُمْ
وَغُلُّوهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ ﴿ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ ﴾ فَالْقُوا اللَّهَ بِالْمَصَاحِفِ
قَالَ
الزُّهْرِيُّ فَبَلَغَنِي أَنَّ ذَلِكَ كَرِهَهُ مِنْ مَقَالَةِ ابْنِ مَسْعُودٍ
رِجَالٌ مِنْ أَفَاضِلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Wahai
segenap kaum muslimin, aku diasingkan (tidak diikut sertakan) dalam menyalin
mushaf dan hanya diurus oleh seorang lelaki (Zaid) padahal demi Allah ketika aku masuk Islam, dia masih dalam tukang rusuk
orang kafir, maksudnya Zaid bin Tsabit.
Ia
(Ibnu Mas'ud) juga mengatakan: Wahai seluruh penduduk Iraq, simpanlah dan sembunyikanlah
mushaf-mushaf yang ada pada kalian, sesungguhnya Allah berfirman
"Barangsiapa yang berlaku curang
maka pada hari kiamat ia akan datang dengan apa yang telah ia curangi" mereka akan
bertemu Allah dengan membawa mushaf-mushaf.
Az
Zuhri berkata: Para sahabat Nabi yang terkemuka tidak menyukai ucapan Ibnu Mas'ud tersebut.
[HR. Tirmidzi 5/284 no. 3104. Abu
Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih, kami hanya mengetahuinya dari
haditsnya.
Dan Ibnu al-Arabi dalam Ahkamul Qur’an 2/608 berkata
:
صَحِيحٌ
لَا يُعْرَفُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ.
“ Shahih , tidak dikenal kecuali dari hadits
Zuhri”.
Dan atsar perkataan az-Zuhri diatas diriwayatkan pula
oleh Abu Ubaid (halaman 283), At-Tirmidzi (nomor: 3103), Ibn Abi Dawud dalam
"Al-Mashahif" (halaman 17), dan Ibnu Asakir (33/139) dengan sanad
yang sahih dari Az-Zuhri.
Mus'ab
bin Sa'd berkata :
أَدْرَكْتُ
أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ شَقَّقَ عُثْمَانُ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ الْمُصَاحِفَ؛ فَأَعْجَبَهُمْ ذَلِكَ، أَوْ قَالَ: لَمْ يَنْكَرْ ذَلِكَ
مِنْهُمْ أَحَدٌ.
"Aku
menyaksikan para sahabat Nabi ﷺ ketika Utsman -radhiyallahu ‘anhu- membakar
mushaf-mushaf (Al-Qur'an).
Hal itu membuat mereka kagum, atau ia berkata: Tidak ada satupun dari mereka
yang mengingkari
tindakan tersebut."
[ Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Kholqu
Af’aalil ‘Ibaad hal. 86 dan al-Mustaghfiri dalam Fadloilul Qur’an 1/359 no.
422].
Dalam al-Muqoddimaat al-Asaasiyyah karya Abdullah
bin Yausuf al-‘Anzi hal. 120 di sebutkan :
وَتَقَدَّمَ
أَمْرُ حُذَيْفَةَ لِابْنِ مَسْعُودٍ بِأَنْ يُدْفَعَ مُصْحَفُهُ لِمَنْ كَلَّفَهُ
أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ بِإِزَالَةِ الْمُصَاحِفِ بِالْكُوفَةِ، وَامْتَنَعَ ابْنُ
مَسْعُودٍ.
"وَهَذَا أَبُو الدَّرْدَاءِ، وَهُوَ سَيِّدُ أَهْلِ الشَّامِ،
وَأَحَدُ مَنْ تَنْتَهِي إِلَيْهِمْ قِرَاءَةُ ابْنِ عَامِرٍ، يُبَلِّغُهُ صُنَيْعُ
ابْنِ مَسْعُودٍ، فَلَا يَرْضَاهُ".
Sebelumnya,
Hudhaifah meminta kepada Ibnu Mas'ud untuk menyerahkan mushafnya kepada
mereka yang ditugaskan oleh Amirul Mukminin untuk melenyapkan mushaf-mushaf di Kufah, akan tetapi Ibnu Mas'ud menolaknya.
Dan ini Abu Darda', yang
merupakan pemimpin penduduk Syam dan salah seorang qori yang mengajarkan kepada masyarakatnya dengan
qira’ah Ibnu 'Amir, ketika dia mengetahui perbuatan Ibnu Mas'ud, maka dia tidak merestuinya”.
Al-Qamah bin Yazid
al-Nakha'i berkata :
" قَدِمْتُ الشَّامَ، فَلَقِيتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَقَالَ:
كُنَّا نَعُدُّ عَبْدَ اللَّهِ حَنَّانًا، فَمَا بَالُهُ يُوَاثِبُ الْأَمِرَاءَ؟".
"Aku
datang ke Syam dan bertemu dengan Abu Darda'. Dia berkata, 'Kami biasa
menganggap Abdullah (Ibn Mas'ud) sebagai pendidik yang lembut, tetapi mengapa dia
menentang para penguasa?'"
[ Sanad yang sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud (halaman
18) dan Ibnu Asakir (33/140) melalui jalur Abdul Salam bin Harb, dari
Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah. Dan sanadnya adalah sahih].
Asy-Syathibi mengatakan dalam al-I'tisham 2/614 :
فَلَمْ
يُخَالِفْ فِي الْمَسْأَلَةِ إِلَّا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ، فَإِنَّهُ
امْتَنَعَ مِنْ طَرْحِ مَا عِنْدَهُ مِنَ الْقِرَاءَةِ الْمُخَالِفَةِ لِمَصَاحِفِ
عُثْمَانَ، … فَتَأَمَّلْ كَلَامَهُ، فَإِنَّهُ لَمْ يُخَالِفْ فِي جَمْعِهِ،
وَإِنَّمَا خَالَفَ أَمْرًا آخَرَ.
فَلَمْ
يُخَالِفْ فِي الْمَسْأَلَةِ إِلَّا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ فَإِنَّهُ امْتَنَعَ
مِنْ طَرْحِ مَا عِنْدَهُ مِنَ الْقِرَاءَةِ الْمُخَالِفَةِ لِمَصَاحِفِ عُثْمَانَ،
وَقَالَ: يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ! وَيَا أَهْلَ الْكُوفَةِ: اكْتُمُوا الْمَصَاحِفَ
الَّتِي عِنْدَكُمْ وَغُلُّوهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: ﴿وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ
بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ﴾ [آل عمران: 161] وَأَلْقَوْا إِلَيْهِ بِالْمَصَاحِفِ.
فَتَأَمَّلْ
كَلَامَهُ فَإِنَّهُ لَمْ يُخَالِفْ فِي جَمْعِهِ، وَإِنَّمَا خَالَفَ أَمْرًا آخَرَ؛
وَمَعَ ذَلِكَ فَقَدْ قَالَ ابْنُ هِشَامٍ: بَلَغَنِي أَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِ
ابْنِ مَسْعُودٍ رِجَالٌ مِنْ أَفَاضِلِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Tidak
ada yang menyelisih [Utsman bin
Affaan] dalam masalah ini kecuali Abdullah bin
Mas'ud, karena dia menolak untuk membuang apa
yang dimilikinya dari qiro’at
yang menyelisihi
mushaf Utsman. Dia berkata, "Wahai penduduk Irak! Dan wahai penduduk
Kufah! Simpanlah mushaf-mushaf yang ada di tangan kalian dan peliharalah.
Sesungguhnya Allah berfirman, '{Dan
barangsiapa yang curang,
niscaya dia akan membawa apa yang dicuranginya pada hari kiamat}' (Ali Imran: 161)”.
Lalu
orang-orang melemparkan
mushaf-mushaf itu kepadanya .
Maka perhatikanlah
perkataannya, sesungguhnya dia
[Ibnu Mas’ud] tidak
menentang
dalam hal pengumpulannya,
dan dia hanya berselisih dalam masalah lain.
"Meskipun demikian, Ibnu Hisyam mengatakan:
'Saya mendengar bahwa orang-orang terkemuka dari sahabat Rasulullah ﷺ merasa tidak suka terhadap pernyataan Ibnu Mas'ud
tentang hal itu.'" [Baca al-I’tishoom 2/614. Dan baca pula Majallah
al-Manaar 17/833]
Ini menunjukan bahwa
keberatan Abdullah bin Mas'ud - semoga Allah meridhainya - bukanlah pada hal mengumpulkan
orang-orang dalam satu qira’ah
tunggal, akan tetapi
karena dia tidak termasuk dalam komite [lajnah] penyalinan mushaf-mushaf. Ini terbukti
dengan keberatannya terhadap meninggalkan qiro’at-nya diganti dengan qira’at Zaid.
Jika
seandainya ada perubahan huruf dan
penghilangan dalam hal ini, maka tentunya rasa keberatan terhadap Utsman dalam
pengumpulannya dalam satu qira’at
tunggal lebih tepat daripada keberatan terhadap pilihannya terhadap Zaid.
Karena keberatan parsial ini menunjukkan persetujuan terhadap prinsip
keseluruhan dalam pengumpulan dalam satu qira’at tunggal.
Ini adalah dalil kesepakatan (ijma) atas kebenaran tindakan Utsman -semoga
Allah meridhainya-. Oleh karena itu, itu adalah sahih. Adapun adanya riwayat bahwa Ibnu Mas’ud telah menentangnya, maka itu tidak mencabut Ijma’ kesepakatan ini. Karena
keberatan Ibnu Mas'ud bukan terhadap prinsip dasar perbuatan Utsman,
melainkan terhadap pilihan siapa yang harus melaksanakannya dan konsekuensinya.
Setelah itu, dia kembali setuju dengan pendapat mayoritas.
Dari Ali bin Abi Thalib, semoga Allah meridhainya,
dia berkata:
" لَوْ كُنتُ الْوَالِي وَقْتَ
عُثْمَانَ لَفَعَلْتُ فِي الْمُصَاحِفِ مِثْلَ الَّذِي فَعَلَ عُثْمَانُ. فَرَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَأَرْضَاهُمْ".
"Jika seandainya aku menjadi penguasa pada
masa Utsman, maka aku pun pasti akan berbuat terhadap mushaf seperti yang telah
dilakukan oleh Utsman." Semoga Allah meridhai mereka dan membuat mereka
ridha”.
[ Baca : Kitab
al-Mashahif karya Ibnu Abi Daud hal. 30]
-----
UCAPAN DAN SIKAP SAHABAT SAAT EMOSI TIDAK BOLEH DI
AMALKAN
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip dari Abu Bakar al-Anbari
yang mengatakan:
وَمَا
بَدَا مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ مِنْ نَكِيرِ ذَلِكَ فَشَيْءٌ نَتَجَهُ الْغَضَبُ،
وَلَا يُعْمَلُ بِهِ ولا يؤخذ به، ولا يشك في ان رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ عَرَفَ
بَعْدَ زَوَالِ الْغَضَبِ عَنْهُ حُسْنَ اخْتِيَارِ عُثْمَانَ وَمَنْ مَعَهُ
مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبَقِيَ عَلَى
مُوَافَقَتِهِمْ وَتَرَكَ الْخِلَافَ لَهُمْ.
"Adapun tindakan yang ditunjukkan
oleh Abdullah bin Mas'ud dalam pengingkaran tersebut, maka itu sesuatu yang tampaknya
sebagai ekspresi kemarahan, tidak boleh diamalkan dan tidak boleh dijadikan pegangan.
Dan tidak ada keraguan bahwa setelah kemarahan hilang dari dirinya , maka belaiu mengakui kebijakan yang
baik yang diambil oleh Utsman dan para sahabat Rasulullah ﷺ dan pada akhirnya beliau setuju dengan mereka serta meninggalkan
perselisihan demi untuk
mereka." [ Tafsir
al-Qurthubi 1/53]
Lalu al-Qurthubi berkata :
فَالشَّائِعُ
الذَّائِعُ الْمُتَعَالَمُ عِنْدَ أَهْلِ الرِّوَايَةِ وَالنَّقْلِ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ مَسْعُودٍ تَعَلَّمَ بَقِيَّةَ الْقُرْآنِ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْأَئِمَّةِ: مَاتَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ مَسْعُودٍ قَبْلَ أَنْ يَخْتِمَ القران
"Informasi yang umum terbesar dan diterima
oleh ahli riwayat dan ilmu hadis adalah bahwa Abdullah bin Mas'ud mempelajari
sisa Quran setelah wafatnya Rasulullah ﷺ. Sebagian para imam menyatakan bahwa Abdullah bin Mas'ud
meninggal sebelum mengkhatamkan Quran." [ Tafsir al-Qurthubi 1/53]
Ibnu
Katsir dalam "Fadhail al-Qur'an" hal. 67 menyatakan:
"عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ... جَمَعَ النَّاسَ عَلَى قِرَاءَةٍ وَاحِدَةٍ؛ لِئَلَّا يَخْتَلِفُوا
فِي الْقُرْآنِ، وَوَافَقَهُ عَلَى ذَلِكَ جَمِيعُ الصَّحَابَةِ، وَإِنَّمَا رُوِيَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ شَيْءٌ مِنَ التَّغَضُّبِ بِسَبَبِ أَنَّهُ لَمْ
يَكُنْ مِمَّنْ كَتَبَ الْمَصَاحِفَ وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِغَلِّ مصاحفهم لما أمر
عثمان بحرقه ماعدا الْمُصْحَفَ الْإِمَامَ، ثُمَّ رَجَعَ ابْنُ مَسْعُودٍ إِلَى الْوِفَاقِ
حَتَّى قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: لَوْ لَمْ يَفْعَلْ
ذَلِكَ عُثْمَانُ لَفَعَلْتُهُ أَنَا".
"Utsman
bin ‘Affaan -
semoga Allah meridhainya - mengumpulkan orang-orang untuk membaca al-Qur’an dalam satu
qira’at
agar mereka tidak berselisih dalam membaca Al-Qur'an, dan semua sahabat setuju
dengannya. Akan tetapi, ada riwayat dari Abdullah bin Mas'ud yang menunjukkan
adanya kemarahan darinya dikarenakan
dia tidak termasuk orang-orang yang ditugaskan untuk menyalin mushaf. "Dan ia memerintahkan para sahabatnya untuk
menggulung dan menyimpan mushaf mereka ketika Utsman memerintahkan untuk
membakarnya, kecuali mushaf Induk."
Kemudian, Abdullah bin Mas'ud pada akhir rujuk dan menyutujui ,
hingga Ali bin Abi Thalib berkata: 'Jika Utsman tidak melakukannya, niscaya aku
yang akan melakukannya.' SELESAI." [ Baca pula : Tafsir Ibnu Katsir 1/28 ]
*****
UNTUK MENJAGA PERSATUAN, MAKA JANGAN SALING SOMBONG DENGAN MELAKUKAN HAL-HAL SBB :
1] SALING MERENDAHKAN KAUM ATAU
GOLONGAN LAIN .
2] SALING MENCELA SESAMA KALIAN
3] SALING MEMBERI GELAR EJEKAN
4] SALING MENUDUH FASIQ .
Dalam al-Hujurat ayat no. 11,
Allah SWT berfirman :
﴿يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا
خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا
مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ
بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ﴾
“ Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah suatu kaum pria mengolok-olok kaum pria yang lain (karena) boleh jadi
mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)
Dan jangan pula kaum wanita
(mengolok-olokkan) kaum wanita lain (karena) boleh jadi perempuan (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).
Janganlah kamu saling mencela satu
sama lain.
Dan janganlah saling memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman.
Dan barangsiapa tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”. [QS. al-Hujurat : 11]
FIQH AYAT (11) SURAT AL-HUJURAT :
Allah Swt. melarang para hambanya
berlaku sombong . Yang mana sebagian tanda-tanda kesombongon seseorang adalah
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas . Yaitu diantaranya sbb :
PERTAMA : JANGAN SOMBONG DENGAN
MENGANGGAP RENDAH & HINA ORANG LAIN.
Menghina orang lain, yakni
meremehkan dan mengolok-olokannya adalah salah satu perbuatan yang muncul dari
rasa sombong dan takabur . Dan ini juga merupakan salah satu faktor yang
membangkitkan kebenciaan, permusuhan dan perpecahan sesama kaum muslimin .
Serta meretakkan Tali persaudaraan.
Meremehkan dan mengolok-olok orang
lain adalah termasuk dalam katagori kesombongan terhadap sesama makhluk, yakni
meninggikan dirinya dengan cara merendahkan orang lain. Hal ini muncul karena
seseorang bangga dengan dirinya sendiri dan menganggap dirinya lebih mulia dari
orang lain. Kebanggaaan terhadap diri sendiri membawanya sombong terhadap orang
lain, meremehkan dan menghina mereka, serta merendahkan mereka baik dengan
perbuatan maupun perkataan. Rasulullah ﷺ bersabda,
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah
seseorang dikatakan berbuat jahat jika ia menganggap hina saudaranya yang
muslim” (H.R. Muslim 2564). (Bahjatu Qulubill Abrar, hal 195).
Hakekat Kesombongan adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi SAW, beliau bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا
وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ
بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan menganggap rendah orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)
An-Nawawi rahimahullah berkata :
“Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada
manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran” (Syarah Shahih Muslim
Imam Nawawi, 2/163, cet. Daar Ibnu Haitsam)
Dalam
riwayat lain :
Dari Tsauban bin Syahr Al
Asy'ari berkata; saya telah mendengar [Kuraib bin Abrahah] dia duduk bersama
Abdul Malik di atas tempat tidurnya di Dair Al Murrah, dia menyebutkan tentang
'sombong' lalu Kuraib berkata; saya mendengar Abu Raihanah berkata; saya
mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَدْخُلُ شَيْءٌ مِنْ الْكِبْرِ الْجَنَّةَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا نَبِيَّ
اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَتَجَمَّلَ بِحَبْلَانِ سَوْطِي وَشِسْعِ نَعْلِي
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِالْكِبْرِ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ إِنَّمَا الْكِبْرُ مَنْ سَفِهَ الْحَقَّ
وَغَمَصَ النَّاسَ بِعَيْنَيْهِ
"Sedikit saja dari
kesombongan tidak akan masuk surga, "
(Abu Raihanah) berkata; lalu ada
seseorang yang berkata ; "Wahai Nabiyullah, saya senang berdandan dengan
dua tali cemetiku dan tali sandalku."
Lalu Nabi ﷺ bersabda:
"Itu bukan termasuk kesombongan, sesungguhnya Allah Azzawajalla Maha indah
dan menyukai keindahan. Sesungguhnya kesombongan itu siapa saja yang tidak mau
tahu terhadap kebenaran dan meremehkan manusia dengan kedua matanya."
[HR. Ahmad 28/438 no. 17206 , Ibnu
Saad (7/425), Ya'qub bin Sufyan dalam "Al-Ma'rifah wa At-Tarikh"
(2/317-318), dan At-Tabarani dalam "Ash-Shamayil" (1071)
Dan disebutkan oleh Al-Haitsami
dalam "Majma' Az-Zawaid" (5/133), dan dia berkata:
رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ، وَرَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي "الْكَبِيرِ" وَ"الْأَوْسَطِ".
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam
tafsirnya berkata :
وَالْمُرَادُ مِنْ ذَلِكَ: احْتِقَارُهُمْ وَاسْتِصْغَارُهُمْ، وَهَذَا
حَرَامٌ، فَإِنَّهُ قَدْ يَكُونُ الْمُحْتَقَرُ أَعْظَمَ قَدْرًا عِنْدَ اللَّهِ
وَأَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ السَّاخِرِ مِنْهُ الْمُحْتَقِرِ لَهُ؛ وَلِهَذَا قَالَ: ﴿يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا
خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ﴾
، فَنَصَّ عَلَى نَهْيِ الرِّجَالِ وَعَطَفَ بِنَهْيِ النِّسَاءِ
Makna yang dimaksud ialah menghina
dan meremehkan mereka. Hal ini diharamkan karena bisa jadi orang yang
diremehkannya itu lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dan lebih disukai
oleh-Nya daripada orang yang meremehkannya. Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya:
﴿يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا
خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ﴾
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh
jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik daripada
mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita
lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih
baik daripada wanita (yang mengolok-olokkan). (Al-Hujurat: 11)
Secara nas larangan ditujukan
kepada kaum laki-laki, lalu diiringi dengan larangan yang ditujukan kepada kaum
wanita”. [Tafsir Ibnu Katsir 7/376 ]
Allah Ta’ala berfirman :
﴿إِنَّهُ
لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ﴾
“Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An
Nahl: 23)
Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i
berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ
جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah
kalian aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua
adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur
(sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).
Allah Ta’ala berfirman,
﴿وَلاَ
تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اللأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ
يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَجُوْرٍ﴾
“Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
Dari Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ:
شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga perkara yang membinasakan,
rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikui dan ujubnya seseorang terhadap
dirinya sendiri”
(HR at-Thobroni dalam Al-Awshoth
no 5452 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam as-shahihah no 1802)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
”
أَخْوَفُ مَا أَخَافَ عَلَى أُمَّتِي ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ ،
وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيهِ
"Di antara perkara yang
sangat aku takutkan akan menimpa umatku adalah tiga hal yang membinasakan;
kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ketakjuban setiap orang
yang memiliki pendapat terhadap pendapatnya".
Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam
"Musnad"-nya (1/59 - Kashf al-Astaar), Abu Nu'aim dalam
"Al-Hilyah" (2/160), dan Al-Bayhaqi dalam "Syu'ab al-Iman"
(5/112) dari Anas bin Malik.
Dan dalam bab ini dari sejumlah
sahabat, dan telah dikeluarkan oleh Al-Albani dalam "As-Silsilah
As-Sahihah" (1802) dan dia memberikan status hadits ini sebagai hasan
dengan pertimbangan seluruh jalur. Al-Mundziri juga telah mendahuluinya dalam
"At-Targhib wa At-Tarhib" (1/286).
Dari Abu
Hurairah Rasulullah ﷺ bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي حُلَّةٍ ، تُعْجِبُهُ نَفْسُهُ، مُرَجِّلٌ جُمَّتَهُ،
إِذْ خَسَفَ اللَّهُ بِهِ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ
“Seorang lelaki
yang sedang berjalan dengan pakaian mewah yang membuat dirinya kagum, dan
rambutnya tersisir rapi, tiba-tiba Allah membuat lelaki itu tertelan oleh tanah
longsor ; maka ia pun terus menerus berteriak ketakutan sampai hari kiamat”.
(HR. Al-Bukhari no. 5789 dan Muslim no. 2088].
Dari
Ibnu Umar, dia mengatakan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
بيْنَما رَجُلٌ يَجُرُّ إزارَهُ مِنَ الخُيَلاءِ، خُسِفَ به، فَهو
يَتَجَلْجَلُ في الأرْضِ إلى يَومِ القِيامَةِ
“Ketika seorang laki-laki
memanjangkan kain bawahnya hingga terseret-seret karena sombong, tiba dia
tertelan tanah longsor sambil menjerit-jerit sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari
No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No. 5340)
Seorang
penyair berkata :
والعُجْبَ فَاحْذَرْهُ إِنَّ الْعُجْبَ مُجْتَرِفٌ *** أَعْمَالَ
صَاحبِهِ فِي سَيْلِهِ الْعَرِمِ
“Jauhilah penyakit ujub [sombong],
sesungguhnya penyakit ujub akan menggeret amalan pelakunya ke dalam aliran
deras arusnya”. [ Syarah Muqoddimah Ibnu Majah karya Abu Abdillah al-Qozwiini
9/8 dan Syarah Risalah Abi Daud Li Ahli Makkah oleh Abdul Karim al-Hudhair
3/211].
MERASA SUCI ADALAH INTI KESOMBONGAN :
Allah SWT berfirman :
﴿فَلَا
تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ﴾
“Maka janganlah kalian mengatakan
bahwa diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang
bertakwa. ( QS. An-Najm : 32 )
Jangankan merasa suci , memberi
nama seseorang dengan nama yang bermakna menunjukkan kesucian saja hukumnya
dilarang .
Sebagaimana dalam hadits Muhammad
bin ‘Amru bin ‘Atha dia berkata :
“Aku menamai anak perempuanku
‘Barrah’ (yang artinya: baik). Maka Zainab binti Abu Salamah berkata kepadaku,
‘Rasulullah ﷺ telah melarang memberi nama anak dengan
nama ini. Dahulu namaku pun Barrah, lalu Rasulullah ﷺ bersabda,
((
لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ ! )).
“Janganlah kamu
menganggap dirimu telah suci, Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu siapa saja
sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kalian.”
Para sahabat bertanya, “Lalu nama
apakah yang harus kami berikan kepadanya? “ Beliau menjawab, “Namai dia
Zainab.” (HR. Muslim no. 2142)
Imam Ath
Thobari mengatakan :
"Tidak sepantasnya seseorang
memakai nama dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula
dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah nama yang
menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan sebagai hakikat
sifat.
Akan tetapi, dihukumi makruh jika
seseorang bernama dengan nama yang langsung menunjukkan sifat dari orang yang
diberi nama. Oleh karena itu, Nabi ﷺ pernah
mengganti beberapa nama ke nama yang benar-benar menunjukkan sifat orang
tersebut. Beliau melakukan semacam itu bukan maksud melarangnya, akan tetapi
untuk maksud
ikhtiyar (menunjukkan pilihan yang lebih baik)."
[ Dinukil dari Fathul Bari, Ibnu
Hajar Al Asqolani, 10/577, Darul Marifah, 1379.]
===
KEDUA : JANGAN SOMBONG DENGAN CARA
SUKA MENCELA ORANG LAIN
Salah satu ciri kesombongan
seseorang adalah suka mencela dan menjelek-menjelekkan orang lain . Dan ini
juga merupakan salah satu faktor yang membangkitkan kebenciaan, permusuhan dan
perpecahan sesama kaum muslimin . Dan meretakkan Tali persaudaraan.
Allah Swt berfirman :
﴿وَلا
تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ﴾
“Dan janganlah kalian saling mencela diri kalian sendiri “. (Al-Hujurat: 11)
Makna
LAMZ :
مَعْنَى اللَّمْزِ لُغَةً: لَمَزَ يَلْمِزُ فَهُوَ لَامِزٌ، وَيُقَالُ لَمَزَ
الشَّخْصَ؛ أَيْ أَشَارَ إلَيْهِ بِشِفَتَيْهِ، أَوْ عَيْنَيْهِ، أَوْ يَدَيْهِ؛
لِيَعِيبَ بِتِلْكَ الْحَرَكَةِ شَخْصًا آخَرَ، مَعَ التَّكَلُّمِ بِكَلَامٍ
خَفِيٍّ يُعِيبُ الشَّخْصَ، وَيُعَرَّفُ الْهَمْزُ وَاللَّمْزُ بِأَنَّهُ
الِانْتِقَاصُ مِنْ شَخْصِ بَعِينِهِ أَوْ بِعَرْضِهِ تَلْمِيحًا دُونَ الصَّرَاحَةِ
فِي ذَلِكَ
وكذلك قوله: (وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ
فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا
إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ) وَقَدْ يُقْصَدُ بالْغَمْزِ بِالْعَيْنِ الْخِيَانَةُ
وَالْغَدْرُ، وَهُوَ مُحَرَّمٌ أَيْضًا كَأَنْ يُعْطِي رَجُلٌ الْأَمَانَ لِشَخْصٍ
يَتَحَدَّثُ إلَيْهِ، ثُمَّ يُغَمِّزُ بِعَيْنِهِ رَجُلًا آخَرَ لِيَعْتَدِي
عَلَيْهِ مِنْ خَلْفِهِ، وَقَدْ يَكُونُ الْغَمْزُ بِالْعَيْنِ مِنْ رَجُلٍ إلَى
امْرَأَةٍ، وَكَذَلِكَ التَّوَاصُلُ الْمُحَرَّمُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْأَجْنَبِيَةِ
عَنْهُ، فَهَذَا أَيْضًا كَسَابِقِهِ دَاخَلَ فِي الْغَمْزِ الْمُنْهَى عَنْهُ،
وَهَكَذَا فَإِنَّ الْإِسْلَامَ قَدْ حَرَّمَ الْهَمْزَ وَاللَّمْزَ، سَوَاءٌ
تَرَتَّبَ عَلَيْهِ الطَّعْنُ فِي النَّاسِ، وَالِانْتِقَاصُ مِنْهُمْ، أَوِ
السُّخْرِيَّةُ وَالاِسْتِهْزَاءُ بِهِمْ، أَوِ الاِعْتِدَاءُ عَلَيْهِمْ
وَخِيَانَتِهِمْ، أَوْ كَانَ بِنَظَرَاتٍ مُحَرَّمَةٍ مِنْ رَجُلٍ إلَى امْرَأَةٍ
لَا تَحِلُّ لَهُ، فَكُلُّهَا حَرَّمَهَا الله -تَعَالَى- فَقَالَ: (وَيْلٌ
لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ)
Menurut bahasa arti kata “لمز يلمزُ فهو لامِز ”dan jika dikatakan : “لمز الشخص ”:
Artinya, dia mengisyaratkannya dengan kedua bibirnya, atau kedua matanya
atau kedua tangannya , yang tujuannya untuk mencemarkan orang lain dengan
gerakan itu , disertai kata-kata yang samar-samar yang mencemarkan nama baik
orang tersebut,
Begitu juga dengan firman Allah
SWT :
(وَمِنْهُمْ
مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ
يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ)
Dan di antara mereka ada orang
yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari
padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari
padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.( QS. At-Taubah : 58).
Yang di makasud dengan kata “ لمز “ dari kalimat “ يلمزك “ adalah mengedipkan mata dengan tujuan
pengkhianatan dan kelicikan, dan itu diharamkan , contohnya seperti seseorang
memberikan perlindungan keamanan kepada seseorang yang dia ajak bicara namun dia mengedipkan
matanya pada orang lain agar menyerangnya dari belakang . Dan bisa juga kedipan
mata dari seorang pria kepada seorang wanita . Dan begitu juga melakukan
komunikasi yang diharamkan antara pria dan wanita non-mahram.
Dengan demikian, Islam melarang
pengumpatan ( همز ) dan pencemaran ( لمز ), terlepas
apakah yang dia lakukan itu berdampak pada hilangnya kepercayaan pada
sekelompok manusia , penistaan
terhadap kehormatannya , atau pengolok-olokan dan perendahan
martabatnya , atau penyerangan
terhadap harga dirinya dan pengkhianatan , atau dia melakukan pandangan
mata yang di haramkan seperti pandangan mata dari seorang pria kepada
seorang wanita yang tidak halal baginya . Semua itu dilarang oleh Allah SWT ,
Dia berfirman :
(وَيْلٌ
لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ)
Artinya : “ Celakalah bagi setiap
pengumpat dan pencela “.
Termasuk dalam katagori Firman
Allah Swt “ dan janganlah kalian mencela sesama kalian “ (Al-Hujurat: 11)
adalah :
“ Menggiring opini publik untuk
menyadutkan seseorang dan rame-rame mencela serta mengolok-oloknya” .
Al-Hafidz
Ibnu katsir berkata :
Makna yang dimaksud ialah
janganlah kamu mencela orang lain. Pengumpat dan pencela dari kalangan kaum
lelaki adalah orang-orang yang tercela lagi dilaknat, seperti yang
disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
﴿وَيْلٌ
لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ﴾
Kecelakaanlah bagi setiap
pengumpat lagi pencela. (Al-Humazah: 1)
Al-hamz adalah ungkapan celaan melalui perbuatan, sedangkan al-lamz adalah
ungkapan celaan dengan lisan. Seperti pengertian yang terdapat di dalam ayat
lain melalui firman-Nya:
﴿هَمَّازٍ
مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ﴾
“yang banyak
mencela, yang kian kemari menghambur fitnah” (Al-Qalam: 11)
Yakni meremehkan orang lain dan
mencela mereka berbuat melampaui batas terhadap mereka, dan berjalan ke sana
kemari menghambur fitnah mengadu domba, yaitu mencela dengan lisan. Karena
itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri. (Al-Hujurat: 11)
Semakna dengan apa yang disebutkan
oleh firman-Nya:
﴿وَلا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ﴾
Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. (An-Nisa: 29)
Yakni janganlah sebagian dari kamu
membunuh sebagian yang lain.
Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu
Jubair, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan :
﴿وَلا
تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ﴾ أَيْ: لَا يَطْعَنْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ
“sehubungan dengan makna
firman-Nya: ‘dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri’. (Al-Hujurat:
11) Artinya, janganlah sebagian dari kamu mencela sebagian yang lainnya”. [
Selesai Kutipan dari Tafsir Ibnu Katsir . Lihat 7/376]
Dari [Abdullah bin Mas'ud] ia
berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
"سِبَابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ".
"Mencaci seorang muslim
adalah perbuatan fasik, sedangkan membunuhnya adalah kekafiran." [HR.
Bukhori no. 48 Dan Muslim no. 64 ]
ALI BIN ABI THALIB MELARANG MENCELA PERSONAL KHAWARIJ :
Para sahabat Nabi ﷺ , termasuk Ali bin Thalib – radhiyallahu
'anhum – mereka hanya menyebutkan ciri dan karakter manhaj khawarij , namun
mereka tidak mencaci mereka dengan menyebut nama-namanya . Bahkan mereka
melarang kaum muslimin mencaci orang-orang khawarij .
Berbeda dengan kelompok Khawarij ,
mereka bukan saja mencaci bahkan mengkafirkan sebagian para sahabat Nabi ﷺ dengan terang-terangan menyebut nama-nama
mereka . Mereka mentahdzirnya dan menghajernya , bahkan berusaha membunuhnya
serta menghasut orang-orang untuk memberontak .
Ibnu Abi Syaybah berkata :
Wakii'' memberi tahu kami, dia
berkata: Al-A'mash memberi tahu kami, dari Amr bin Murrah, dari Abdullah bin
Al-Harits, dari seorang pria dari Banu Nadhr bin Muawiyah, dia berkata:
"
كُنَّا عِنْدَ عَلِيٍّ فَذَكَرُوا أَهْلَ النَّهْرِ فَسَبَّهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ
عَلِيٌّ : لَا تَسُبُّوهُمْ ، وَلَكِنْ إِنْ خَرَجُوا عَلَى إِمَامٍ عَادِلٍ
فَقَاتِلُوهُمْ ، وَإِنْ خَرَجُوا عَلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَلَا تُقَاتِلُوهُمْ ،
فَإِنَّ لَهُمْ بِذَلِكَ مَقَالًا".
Kami bersama Ali, dan mereka
menyebut penduduk an-Nahr [khawarij] , lalu ada seorang pria mencaci mereka,
maka Ali berkata: Jangan mencerca mereka, tetapi jika mereka memberontak
terhadap seorang imam yang adil, maka kalian perangilah mereka, dan jika mereka
memberontak terhadap imam yang tidak adil, maka kalian jangan ikut-ikutan
melawan mereka, karena mereka memiliki argument di dalamnya. [ al-Mushonnaf no.
7/559 (37916)]
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/301 berkata :
وَقَدْ أَخْرَجَ الطَّبَرِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ
"Diriwayatkan
ath-Thabari dengan sanad yang Shahih ".
===
KETIGA : JANGAN SOMBONG DENGAN
LEMPAR GELAR BURUK PADA ORANG LAIN :
Melekatkan dan menyematkan gelar
ejekan serta hinaan pada orang lain adalah termasuk kesombangan bagi pelakunya
. Dan perbuatan ini termasuk perbuatan yang menimbulkan kebencian, permusuhan
dan perpecahan serta berdampak pada lenyapnya tali persaudaraan sesama muslim .
Ini sangat jelas dilarang dan diharamkan .
Allah Swt berfirman :
﴿وَلا
تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ﴾
“Dan janganlah
kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”. (Al-Hujurat: 11)
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya
berkata :
Yakni janganlah kalian memanggil
orang lain dengan gelar yang buruk yang tidak enak didengar oleh yang bersangkutan.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu
Hindun, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abu
Jubairah ibnu Ad-Dahhak yang mengatakan :
فِينَا نَزَلَتْ فِي بَنِي سَلِمَةَ: ﴿وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ﴾ قَالَ:
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْمَدِينَةَ وَلَيْسَ فِينَا رَجُلٌ إِلَّا وَلَهُ
اسْمَانِ أَوْ ثَلَاثَةٌ، فَكَانَ إِذَا دُعِىَ أَحَدٌ مِنْهُمْ بِاسْمٍ مِنْ
تِلْكَ الْأَسْمَاءِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ يَغْضَبُ مِنْ هَذَا.
فَنَزَلَتْ: ﴿وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ﴾
“Bahwa berkenaan dengan kami Bani
Salamah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya:
“ dan janganlah kamu
panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk “. (Al-Hujurat: 11)
Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, tiada seorang pun dari
kami melainkan mempunyai dua nama atau tiga nama. Tersebutlah pula apabila
beliau memanggil seseorang dari mereka dengan salah satu namanya, mereka
mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia marah dengan nama
panggilan itu." Maka turunlah firman-Nya: dan janganlah kamu
panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. (Al-Hujurat: 11)
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis
ini dari Musa ibnu Ismail, dari Wahb, dari Daud dengan sanad yang sama.
[ HR. Ahmad dalam Al-Musnad
(4/260), Abu Daud dalam Sunan Abi Dawud dengan nomor (4962). Dan diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi dalam Sunannya dengan nomor (3268) dari jalan Da'ud bin Abi
Hind. At-Tirmidzi berkata, "Hadis ini hasan sahih."]
[ Selesai Kutipan dari Tafsir
Ibnu Katsir 7/376].
Ibnu Jarir ath-Thobary dalam
Tafsirnya “Jaami’ al-Bayaan ” 22/301-302 mengatakan :
Dan ada yang mengatakan:
بَلْ ذَلِكَ قَوْلُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لِلرَّجُلِ الْمُسْلِمِ: يَا
فَاسِقُ، يَا زَانِ
Bahwa sebenarnya itu adalah
perkataan seorang Muslim kepada sesama Muslim: "Wahai orang fasik, wahai
orang berbuat zina."
Berikut ini orang-orang yang
mengatakan demikian:
Telah menceritakan kepada kami
Hunad bin As-Sari, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Ahwas,
dari Hisyam, dia berkata:
فِي قَوْلِهِ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: هُوَ قَوْلُ
الرَّجُلِ لِلرَّجُلِ: يَا فَاسِقُ، يَا مُنَافِقُ.
Aku bertanya kepada Ikrimah
tentang ucapan Allah, "Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar
yang buruk." Ikrimah berkata: Ini adalah perkataan seseorang kepada orang
lain, "Wahai orang munafik, wahai orang kafir."
Telah menceritakan kepada kami
Ya'qub bin Ibrahim, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hisyam, dia
berkata: Telah mengabarkan kepada kami Hisyam :
عَنْ عِكْرِمَةَ فِي قَوْلِهِ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: هُوَ
قَوْلُ الرَّجُلِ لِلرَّجُلِ: يَا فَاسِقُ، يَا مُنَافِقُ.
dari Ikrimah tentang ucapan-Nya,
"Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Ikrimah
berkata: Ini adalah perkataan seseorang kepada orang lain, "Wahai orang
fasik, wahai orang munafik."
Telah menceritakan kepada kami Ibn
Humaid, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muharram, dari Sufyan, dari
Hisyam :
عَنْ عِكْرِمَةَ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: يَا فَاسِقُ، يَا
كَافِرُ.
dari Ikrimah tentang ucapan-Nya,
"Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Ikrimah
berkata: Ini adalah perkataan seseorang kepada orang lain, "Wahai orang
fasik, wahai orang kafir."
Dia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Muharram, dari Sufyan, dari Khasif:
عَنْ مُجَاهِدٍ أَوْ عِكْرِمَةَ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ:
يَقُولُ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: يَا فَاسِقُ، يَا كَافِرُ.
dari Mujahid atau Ikrimah tentang ucapan-Nya,
"Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia
berkata: Seseorang berkata kepada orang lain, "Wahai orang fasik, wahai
orang kafir."
Telah menceritakan kepadaku
Muhammad bin 'Amr, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu 'Asim, dia
berkata: Telah menceritakan kepada kami 'Isa, dan menceritakan kepadaku
Al-Harits, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan secara
keseluruhan, dari Ibnu Abi Najih:
عَنْ مُجَاهِدٍ قَوْلُهُ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ: دُعِيَ
رَجُلٌ بِالْكُفْرِ وَهُوَ مُسْلِمٌ.
Dari Mujahid tentang ucapan-Nya,
"Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia
berkata: Seseorang disebut dengan kafir padahal dia seorang Muslim.
Telah menceritakan kepada kami
Basyr, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid, dia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Sa'id :
عَنْ قَتَادَةَ قَوْلُهُ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) يَقُولُ
الرَّجُلُ: لَا تَقُلْ لِأَخِيكَ الْمُسْلِمِ: ذَاكَ فَاسِقٌ، ذَاكَ مُنَافِقٌ،
نَهَى اللَّهُ الْمُسْلِمَ عَنْ ذَلِكَ وَقَدَّمَ فِيهِ.
Dari Qatadah, tentang ucapan-Nya,
"Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia
berkata: Seseorang berkata kepada saudaranya yang Muslim: "Dia itu
fasik, dia itu munafik." Allah melarang seorang Muslim untuk melakukan
itu dan mengedepankannya.
Telah menceritakan kepada kami Ibn
'Abdul A'la, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibn Thaur, dari Ma'mar
:
عَنْ قَتَادَةَ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) يَقُولُ: لَا يَقُولُنَّ
لِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ: يَا فَاسِقُ، يَا مُنَافِقُ.
Dari Qatadah, tentang ucapan-Nya,
"Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia
berkata: Tidak boleh dikatakan kepada saudara Muslim, "Wahai orang
fasik, wahai orang munafik."
Telah menceritakan kepadaku Yunus,
dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb, dia berkata:
قَالَ ابْنُ زَيْدٍ فِي قَوْلِهِ (وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ) قَالَ:
تَسْمِيتُهُ بِالْأَعْمَالِ السَّيِّئَةِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ؛ زَانٍ فَاسِقٌ.
Ibnu Zaid berkata tentang ucapan-Nya,
"Dan janganlah saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk." Dia
berkata: Menamainya dengan perbuatan buruk setelah masuk Islam, seperti
menyebutnya : pezina , fasik.
Lalu Ibnu Jarir ath-Thobary
berkata :
"
وَالَّذِي هُوَ أَوْلَى الْأَقْوَالِ فِي تَأْوِيلِ ذَلِكَ عِنْدِي بِالصَّوَابِ
أَنْ يُقَالَ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذُكِرَهُ نَهَى الْمُؤْمِنِينَ أَنْ
يَتَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ؛ وَالتَّنَابُزُ بِالْأَلْقَابِ: هُوَ دُعَاءُ
الْإِنْسَانِ صَاحِبَهُ بِمَا يَكْرَهُهُ مِنْ اسْمٍ أَوْ صِفَّةٍ، وَعَمَّ
اللَّهُ بِنَهْيِهِ ذَلِكَ، وَلَمْ يُخَصِّصْ بِهِ بَعْضُ الْأَلْقَابِ دُونَ
بَعْضٍ، فَغَيْرُ جَائِزٍ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَنْبُزَ أَخَاهُ
بِاسْمٍ يَكْرَهُهُ، أَوْ صِفَّةٍ يَكْرَهُهَا. وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ كَذَلِكَ
صَحَّتِ الْأَقْوَالُ الَّتِي قَالَهَا أَهْلُ التَّأْوِيلِ فِي ذَلِكَ الَّتِي
ذَكَرْنَاهَا كُلَّهَا، وَلَمْ يَكُنْ بَعْضُ ذَلِكَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنْ
بَعْضٍ، لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مِمَّا نَهَى اللَّهُ المُسْلِمِينَ أَنْ يَنْبُزَ
بَعْضُهُم بَعْضًا".
"Dan pendapat yang menurut saya
lebih tepat dalam menafsirkan hal itu adalah dikatakan :
Sesungguhnya Allah Ta'ala melarang
orang-orang mukmin untuk saling mencela dengan menyematkan gelar-gelar yang
buruk.
Mencela dengan gelar-gelar buruk
adalah ketika seseorang memanggil temannya dengan sebutan atau sifat yang tidak
disenangi oleh temannya itu .
Allah melarang hal tersebut tanpa
membedakan jenis gelar, sehingga tidak diperbolehkan bagi siapapun di antara
umat Islam untuk mencela saudaranya dengan nama atau sifat yang tidak disukai.
Jika hal itu memang demikian, maka
pendapat-pendapat yang disampaikan oleh para ahli tafsir mengenai larangan
tersebut adalah benar semuanya. Tidak ada yang lebih tepat di antara
pendapat-pendapat tersebut, karena semua itu termasuk dalam larangan Allah
terhadap umat Islam untuk saling mencela". [Baca : Tafsir “Jaami’
al-Bayaan karya Ibnu Jarir ath-Thobary 22/302 ]
Intinya : Ucapan dan perbuatan apa
saja yang merusak tali persaudaraan sesama muslim itu dilarang dan diharamkan .
Termasuk saling memanggil dengan gelar-gelar buruk yang tidak disukai oleh
orang yang dipanggilnya . Itu sangat jelas diharamkan. Dan itu jika dibiarkan ,
akan berdampak pada permusuhan dan peperpecahan .
Waspada dengan manhaj khawarij ,
manhaj sekte pemecah belah umat , yang kental dengan kecongkakannya dan selalu
dirinya merasa suci . Kelompok ini sangat piawai mengemas kebatilan dengan
dalil shahih tapi disesuaikan dengan penafsiran yang mereka inginkan. Dan
banyak sekali penafsiran-penafsiran kelompok ini yang berdampak pada permusuhan
dan perpecahan , bahkan pertumpahan darah .
Contohnya : menyematkan gelar
kepada orang-orang yang berbeda pendapat dengan kelompoknya dengan gelar-gelar
yang menjustice sesat dan ahli neraka , umpamanya seperti gelar-gelar berikut
ini :
Si Fulan atau kelompok si fulan
adalah ahludh- dholal [kelompok sesat], ahlul Ahwaa [pengikut hawa nafsu],
ahlul bidaa’ [para pelaku bid’ah] , ‘Ubaadul Qubuur [para penyembah kuburan]
dan lain sebagainya.
Lalu mereka kemas dengan dalil
Nahyi Munkar dan Tahdzir , alasannya agar semua orang tahu dan waspada akan
kesesatan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kelompoknya.
Bahkan mereka mengatakan : Dosa
pelaku Bid’ah Qunut Shubuh lebih dahsyat dari pada dosa Zina , minuman keras ,
merampok dan membunuh ; karena perbuatan bid’ah itu dampaknya pada agama dan
umat , berbeda dengan Zina dan lainnya yang dampaknya hanya pada individu
.
Penulis tanyakan pada mereka :
Bid’ah yang mana dulu ? Apakah masalah khilafiyah furu’iyyah ijtihidiyyah itu
dikatakan bid’ah sesat dan dosanya lebih besar dari pada zina dan membunuh ?
====
KESOMBONGAN DENGAN CARA : MERENDAHKAN, MENCELA, MENGHINA DAN PENYEMATAN GELAR BURUK PADA ORANG LAIN ADALAH PERBUATAN KEFASIKAN
Allah Swt berfirman :
﴿بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الإيمَانِ﴾
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) kefasikan sesudah
iman. (Al-Hujurat: 11)
Ibnu Katsir berkata :
أَيْ: بِئْسَ الصِّفَةُ وَالِاسْمُ
الْفُسُوقُ وَهُوَ: التَّنَابُزُ بِالْأَلْقَابِ، كَمَا كَانَ أَهْلُ
الْجَاهِلِيَّةِ يَتَنَاعَتُونَ، بَعْدَمَا دَخَلْتُمْ فِي الْإِسْلَامِ وَعَقَلْتُمُوهُ
“Seburuk-buruk sifat dan nama ialah yang mengandung kefasikan yaitu
panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seperti yang biasa dilakukan
di zaman Jahiliah bila saling memanggil di antara sesamanya Kemudian sesudah
kalian masuk Islam dan berakal, lalu kalian kembali kepada tradisi Jahiliah
itu”. [Tafsir Ibnu Katsir 7/376].
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata :
وَقَوْلُهُ (بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ) يَقُولُ تَعَالَى
ذَكَرَهُ: وَمَنْ فَعَلَ مَا نَهَيْنَا عَنْهُ، وَتَقَدَّمَ عَلَى مَعْصِيتِنَا
بَعْدَ إيمَانِهِ، فَسَخِرَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، وَلَمَزَ أَخَاهُ الْمُؤْمِنَ،
وَنَبَزَهُ بِالْأَلْقَابِ، فَهُوَ فَاسِقٌ (بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الإيمَانِ) يَقُولُ: فَلَا تَفْعَلُوا فَتَسْتَحِقُّوا إن فَعَلْتُمُوهُ أَنْ
تَسُوءُوا فُسَاقًا، بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ، وَتَرُكَ ذِكْرَ مَا وَصَفْنَا
مِنَ الْكَلَامِ، اكْتِفَاءً بِدَلَالَةِ قَوْلِهِ (بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ)
عَلَيْهِ.
Dan firman-Nya (seburuk-buruk panggilan [gelar] adalah
gelar kefasiqan setelah beriman), Allah - yang Maha Tinggi - berfirman:
"Dan barangsiapa yang melakukan apa yang telah Kami larang, dan melampaui
batas setelah beriman, maka sungguh, ia telah mengejek (mencela) dari kalangan
orang-orang yang beriman dan menghinai saudaranya yang beriman, dan mencelanya
dengan sebutan-sebutan yang buruk, maka dia adalah seorang yang fasik
(Seburuk-buruknya sebutan kefasikan setelah beriman)."
Dia mengatakan: "Janganlah kalian melakukannya , jika
tidak maka kalian pantas disebut sebagai orang fasik, betapa buruknya nama [gelar]
kefasikan itu . Dan (janganlah) meninggalkan untuk menyebutkan apa yang telah
Kami gambarkan dalam perkataan Kami, karena sudah cukup dengan menunjukkan
firman-Nya (betapa buruknnya sebutan kefasikan) terhadapnya." [Baca : Tafsir “Jaami’ al-Bayaan karya Ibnu Jarir ath-Thobary 22/302
]
Allah SWT menurunkan agama Islam
ini , tujuannya adalah untuk menyatukan umat Manusia dalam agama yang satu,
Tuhan Yang Satu, Kitab yang satu dan Nabi yang satu .
Allah SWT mensyari’atkan shalat
berjemaah lima waktu , shalat dan shalat Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri ,
salah tujuannya adalah untuk membangun persaudaraan dan persatuan antara sesama
kaum muslimin. Begitu pula Allah SWT mensyariatkan Ibadah Haji dan Umroh, salah
tujuannya adalah untuk membangun persaudaraan dan persatauan kaum muslimin yang
berskala international . Sebagaimana yang Allah SWT isyaratkan dalam firman-Nya
dalam surat yang sama - al-Hujuroot - pada ayat sesudahnya no. 13 :
"
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ".
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. [ QS. al-Hujuroot : 13].
------
WAJIB
BAGI SETIAP MUSLIM UNTUK MENCEGAH SIAPA SAJA & APA SAJA YANG MENJADI
PENYEBAB TERJADINYA PERPECAHAN .
Allah Swt berfirman :
﴿وَمَنْ
لَمْ يَتُبْ﴾
“Dan barang siapa
yang tidak bertobat “. (Al-Hujurat: 11)
Yakni dari perbuatan tersebut di
atas , yaitu : merendahkan orang lain , melecehkannya, mencelanya , menyematkan
gelar atau panggilan buruk dan lainnya yang bisa menimbulkan kebencian,
permusuhan dan perpecahan serta retaknya tali persaudaraan seagama .
Allah SWT menjelaskan tentang
mereka yang tidak mau menghentikan dari hal tsb :
﴿فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ﴾
“ Maka mereka
itulah orang-orang yang zalim “. (Al-Hujurat: 11) . [ Baca : Tafsir
Ibnu Katsir 7/376]
LANGKAH
YANG HARUS DILAKUKAN JIKA TERJADI ADANYA HAL-HAL TERSEBUT DIATAS:
Jika sudah jelas bahwa orang-orang
yang melakukan perbuatan tersebut diatas adalah sebuah kedzaliman pada sesama
kaum muslimin ; maka wajib atas semua individu muslim untuk terjun berusaha
menghilangkannya dengan langkah-langkah sbb :
Jika ada dua kelompok kaum
muslimin saling menghina, saling mencela, saling melempar gelar busuk dan
saling memisahkan diri alias saling hajer ; maka wajib bagi seluruh kaum
muslimin untuk ikut serta mendamaikan antar keduanya , hingga mereka kembali
menjadi saudara seagama . Sebagaimana yang terdapat dalam dua ayat sebelumnya ,
yaitu Firman-Nya :
Dalam Surat al-Hujuraat : 9-10 ,
Allah SWT berfirman :
﴿وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ﴾
Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (QS.
Al-Hujurat: 9)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) ﴾
Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. [QS. al-Hujuraat : 9-10]
BAGAIMANA
JIKA SALAH SATU DARI KEDUANYA MENOLAK UNTUK ISHLAAH:
Jika salah satu dari keduanya
menolak untuk berdamai dan menghentikan perbuataan-perbuatan tersebut dan
mereka tetap keluar memisahkan diri alias tidak mau membaur dan tidak mau
bersaudara seagama , maka seluruh kaum maslimin harus bersatu untuk
memeranginya hingga mereka kembali bersatu dan bersaudara seagama.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman
:
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي
حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9)
“Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.
(QS. Al-Hujurat: 9)
====
KATA-KATA BIJAK :
Bawalah
perkataan seseorang ke dalam prasangka yang terbaik !!!
Abdul Aziz bin Umar berkata:
Ayahku (Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu) berkata kepadaku:
«يَا
بُنَيَّ إِذَا سَمِعْتَ كَلِمَةً، مِنَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ فَلَا تَحْمِلْهَا
عَلَى شَيْءٍ مِنَ الشَّرِّ مَا وَجَدْتَ لَهَا مَحْمَلًا مِنَ الْخَيْرِ»
“Wahai anakku, jika engkau
mendengar suatu ucapan dari seorang muslim, maka janganlah engkau membawanya
kepada sesuatu yang buruk, selama masih mungkin dibawa kepada makna yang baik”.
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dalam
al-Hilyah 5/277. Lihat pula Husnut Tanabbuh karya Najmud Din al-Ghozzy
asy-Syafi’i]
**Membahagiakan
orang beriman dan menghindari mencela serta menyakitinya:**
Yahya bin Mu'adz ar-Razi berkata:
"
ليَكُنْ حَظُّ الْمُؤمِنِ مِنْكَ ثَلَاثةٌ: إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلَا تَضُرَّهُ،
وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلَا تَغُمَّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلَا تَذُمَّهُ
"
Hendaknya bagian orang beriman darimu ada tiga:
jika engkau tidak bisa memberinya manfaat, maka jangan
menyakitinya;
jika engkau tidak bisa membuatnya bahagia, maka jangan
membuatnya sedih;
jika engkau tidak bisa memujinya, maka jangan mencelanya.
[Diriwayatkan dengan sanadnya oleh al-Khathib al-Baghdady dalam
az-Zuhud wa ar-Raqa’iq hal. 114 no. 91].
Al-‘Allamah As-Sa'di berkata:
يَنبَغِي إِدْخَالُ السُّرُورِ عَلَى الْمُؤْمِنِ، بِالْكَلَامِ اللَّيِّنِ، وَالدُّعَاءِ
لَهُ، وَنَحْوِ ذَلِكَ، مِمَّا يَكُونُ فِيهِ طُمَأْنِينَةٌ وَسُكُونٌ لِقَلْبِهِ.
Hendaknya seseorang membahagiakan orang beriman dengan
ucapan yang lembut, mendoakannya, dan hal-hal semisal itu, yang dapat memberi
ketenangan dan ketenteraman pada hatinya. [Baca : Tafsir as-Sa’dy hal. 350]
**Hal-hal
yang perlu diperhatikan ketika bergaul dengan manusia.**
Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:
"خَالِطِ
النَّاسَ، وَزَايِلْهُمْ، وَصَاحِبْهُمْ بِمَا يَشْتَهُونَ، وَدِينُكَ لَا تَثْلَمَنَّهُ".
Bergaullah dengan manusia, dan juga berpalinglah dari
mereka. Pergaulilah mereka sesuai dengan apa yang mereka sukai, namun jangan
engkau rusak agamamu.
[Diriwayatkan dengan sanadnya oleh Abu Daud as-Sajastaani
dalam az-Zuhud hal. 163 no. 162].
Imam Syafi'i berkata:
«يَا
يُونُسُ؛ الِانْقِبَاضُ عَنِ النَّاسِ، مَكْسَبَةٌ لِلْعَدَاوَةِ، وَالِانْبِسَاطُ
إِلَيْهِمْ مَجْلَبَةٌ لِقُرَنَاءِ السُّوءِ، فَكُنْ بَيْنَ الْمُنْقَبِضِ وَالْمُنْبَسَطِ»
Wahai Yunus, menjauh dari manusia
akan mendatangkan permusuhan, dan terlalu terbuka kepada mereka akan menarik
teman-teman yang buruk, maka bersikaplah di antara keduanya, tidak terlalu
menjauh dan tidak terlalu terbuka”.
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
al-Ashbahani (w. 430 H) dalam al-Hilyah 9/122. Lihat pula Ihya Ulumud Din karya
al-Ghazaly 2/242].
Al-Ashomm berkata: Telah berkata kepadaku Syaqiq al-Balkhy
:
"اصْحَبِ
النَّاسَ كَمَا تُصَاحِبُ النَّارَ، خُذْ مَنْفَعَتَهَا وَاحْذَرْ أَنْ تَحْرِقَكَ".
Bergaullah dengan manusia sebagaimana engkau bergaul dengan
api, ambillah manfaatnya dan waspadalah agar tidak terbakar olehnya.
===***===
PEMBAHASAN
KEDUA : TAFSIR AYAT 104 QS. ALI IMRAN:
(DAKWAH
DAN AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR ADALAH FARDHU KIFAYAH):
Allah SWT berfirman:
﴿وَلْتَكُنْ
مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ﴾
“Dan hendaklah di antara kalian
ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung. [QS. Ali Imran : 104]
Bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar
adalah fardu kifayah. Namun, menjadi kewajiban individu jika tidak ada orang
lain yang mampu mengubah kemungkaran itu.
Dan ayat diatas diperkuat pula
dengan firman Allah SWT :
﴿۞
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ
فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾
“Tidak sepatutnya bagi mukminin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. [QS. Tawbah: 122]
Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah
Shahih Muslim 2/23 berkata:
إِنَّ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ فَرْضُ
كِفَايَةٍ إِذَا قَامَ بِهِ بَعْضُ النَّاسِ سَقَطَ الْحَرَجُ عَنِ الْبَاقِينَ
وَإِذَا تَرَكَهُ الْجَمِيعُ أَثِمَ كُلُّ مَنْ تَمَكَّنَ مِنْهُ بِلَا عُذْرٍ
وَلَا خَوْفٍ ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنُ كَمَا إِذَا كَانَ فِي مَوْضِعٍ لَا
يَعْلَمُ بِهِ الا هو أولا يَتَمَكَّنُ مِنْ إِزَالَتِهِ إِلَّا هُوَ وَكَمَنْ
يَرَى زَوْجَتَهُ أَوْ وَلَدَهُ أَوْ غُلَامَهُ عَلَى مُنْكَرٍ أَوْ تَقْصِيرٍ فِي
الْمَعْرُوفِ قَالَ الْعُلَمَاءُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَلَا يَسْقُطُ عَنِ
الْمُكَلَّفِ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ لِكَوْنِهِ
لَا يُفِيدُ فِي ظَنِّهِ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ فِعْلُهُ فَإِنَّ الذِّكْرَى
تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Sesungguhnya amar ma'ruf dan nahi
munkar adalah fardu kifayah. Jika sebagian orang telah melaksanakannya, maka
gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Namun jika semua orang meninggalkannya,
maka berdosalah setiap orang yang mampu melakukannya tanpa ada uzur atau rasa
takut.
Kemudian, amar ma'ruf dan nahi
munkar bisa menjadi wajib atas individu, seperti jika ia berada di suatu tempat
yang tidak diketahui oleh selain dirinya, atau tidak ada yang mampu
menghilangkan kemungkaran itu kecuali dirinya. Juga seperti seseorang yang
melihat istrinya, anaknya, atau pembantunya melakukan kemungkaran atau lalai
dalam menjalankan kebaikan.
Para ulama rahimahumullah berkata:
Tidak gugur kewajiban amar ma'ruf dan nahi munkar dari seorang mukallaf hanya
karena menurutnya tidak akan memberikan pengaruh. Bahkan ia tetap wajib
melakukannya, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang
beriman”.
Dan Al-Khurasyi berkata dalam
*Syarh al-Mukhtashar*:
الأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ مِنْ فُرُوضِ
الْكِفَايَةِ بِشُرُوطٍ أَنْ يَكُونَ الآمِرُ عَالِمًا بِالْمَعْرُوفِ
وَالْمُنْكَرِ لِئَلَّا يَنْهَى عَنْ مَعْرُوفٍ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ مُنْكَرٌ، أَوْ
يَأْمُرَ بِمُنْكَرٍ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ مَعْرُوفٌ، وَأَنْ يَأْمَنَ أَنْ
يُؤَدِّيَ إِنْكَارُهُ إِلَى مُنْكَرٍ أَكْبَرَ مِنْهُ، مِثْلَ أَنْ يَنْهَى عَنْ
شُرْبِ خَمْرٍ فَيُؤَدِّيَ إِلَى قَتْلِ نَفْسٍ وَنَحْوِهِ، وَأَنْ يَعْلَمَ أَوْ
يَظُنَّ أَنَّ إِنْكَارَهُ يُزِيلُ الْمُنْكَرَ وَأَنَّ أَمْرَهُ بِالْمَعْرُوفِ
مُؤَثِّرٌ فِيهِ وَنَافِعٌ. وَبِفَقْدِ الشَّرْطَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ يَحْرُمُ
الْأَمْرُ وَالنَّهْيُ، وَبِفَقْدِ الثَّالِثِ يَسْقُطُ الْوُجُوبُ وَيَبْقَى الْجَوَازُ
أَوِ النَّدْبُ، وَالْمَشْهُورُ عَدَمُ اشْتِرَاطِ الْعَدَالَةِ وَإِذْنِ
الْإِمَامِ. ابْنُ نَاجِي: وَيُشْتَرَطُ ظُهُورُ الْمُنْكَرِ مِنْ غَيْرِ
تَجَسُّسٍ وَلَا اسْتِرَاقِ سَمْعٍ وَلَا اسْتِنْشَاقِ رِيحٍ وَلَا بَحْثٍ عَمَّا
أَخْفَى بِيَدٍ أَوْ ثَوْبٍ أَوْ حَانُوتٍ، فَإِنَّهُ حَرَامٌ. اهـ
Amar makruf nahi mungkar termasuk
fardhu kifayah dengan syarat-syarat:
bahwa orang yang memerintah
(kepada kebaikan) mengetahui mana yang makruf dan mana yang mungkar, agar ia
tidak melarang sesuatu yang makruf karena disangkanya mungkar, atau
memerintahkan sesuatu yang mungkar karena disangkanya makruf;
dan ia merasa aman bahwa
larangannya tidak akan mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar darinya,
seperti melarang meminum khamr yang malah berujung pada pembunuhan jiwa dan
semisalnya; serta ia mengetahui atau mengira kuat bahwa larangannya akan
menghilangkan kemungkaran, dan perintahnya kepada kebaikan berpengaruh serta
bermanfaat.
Jika dua syarat pertama tidak
terpenuhi, maka amar makruf nahi mungkar menjadi haram.
Jika syarat ketiga tidak
terpenuhi, maka kewajibannya gugur, dan yang tersisa hanya kebolehan atau anjuran.
Pendapat yang masyhur menyatakan
bahwa keadilan dan izin dari imam tidak disyaratkan.
Ibnu Naji berkata: Disyaratkan
agar kemungkaran itu tampak jelas, bukan hasil dari memata-matai, menguping,
mencium bau, atau mencari-cari apa yang disembunyikan di balik tangan, pakaian,
atau toko, karena itu hukumnya haram. Selesai. [Lihat : Syarh al-Khurosyi
‘Ala Mukhtashor Kholil 3/110].
Syeikh
Bin Baaz – rahimahullah – berkata :
مَا فِي خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ فَرْضُ كِفَايَةٍ،
وَلَكِنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْمُسْلِمِ، إِذَا لَمْ يَقُمْ غَيْرُهُ بِهَذَا
الْوَاجِبِ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ۔
“Tidak ada perbedaan pendapat di
antara para ulama bahwa (amar makruf nahi mungkar) adalah fardhu kifayah.
Namun, hal itu menjadi wajib atas seorang Muslim apabila tidak ada orang lain
yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka kewajiban itu menjadi khusus
baginya”.
[Sumber : فَتَاوَى ٱلدُّرُوسِ حُكْمُ ٱلْأَمْرِ
بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱلنَّهْيِ عَنِ ٱلْمُنْكَرِ]
===***===
MANHAJ DAKWAH DAN NAHYI MUNKAR DALAM AL-QUR’AN : “SABAR, LEMBUT DAN MENJAGA PERSATUAN”.
Allah SWT telah menegaskan dalam
al-Quran bahwa manhaj berdakwah dan ber amar ma’ruf nahyi munkar harus penuh kesabaran,
ketabahan, kesejukan, kedamain, menjaga persatuan dan harus berusaha
menghindari hal-hal yang menimbulkan perpecahan antar sesama umat Islam.
Berikut ini sebagai contoh
beberapa ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan manhaj berdakwah dan amar ma’ruf
dan nahyi munkar :
CONTOH PERTAMA :
PERINTAH BERDA’WAH DENGAN PENUH
HIKMAH DAN NASIHAT YANG INDAH.
Allah Azza wa Jalla berfirman
﴿اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ
اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ
اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ﴾
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang
baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (An-Nahl: 125).
Pada bagian yang berbunyi, “dengan
hikmah” (An-Nahl: 125), artinya adalah untuk berprilaku yang bijaksana.
Begitu juga, seruan harus disertai
dengan pengajaran yang baik. Di sini Allah berfirman, “dan pengajaran yang
baik” (An-Nahl: 125), artinya seolah-olah ada pengajaran yang buruk dan
pengajaran yang baik. Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar seruan
dilakukan dengan pengajaran yang baik. Pengajaran di sini adalah untuk
mengingatkan dan menakut-nakuti dengan Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi.
Tetapi terkadang seseorang datang
untuk mengingatkan orang lain dan menakut-nakutinya dengan cara yang
berlebihan, sehingga orang-orang menjadi penuh dengan ketakutan. Atau dia
mungkin berlebihan dalam memberikan insentif kepada orang-orang, sehingga
mereka menunda pekerjaan baik dan malas untuk melakukan amal kebajikan. Oleh
karena itu, manusia perlu bersikap pertengahan dalam hal ini.
Standar manhaj dakwah dan amar
ma’ruf nahyi munkar yang baik adalah berakhir dengan perubahan dari kebencian
dan permusuhan menjadi persahabatan yang hangat dan saling mencintai. Bukan berakhir
dengan permusuhan dan kebencian, serta bukan saling hajer dan tahdzir,
sebagaimana yang dilakukan kaum khawarij yang berkarakter selalu merasa suci.
Dan Allah SWT berfirman :
﴿وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي
مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ
كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)﴾
Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru [berdakwah] kepada Allah, mengerjakan
amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
muslim [berserah diri]?" [QS. Fush-shilat : (33)].
Dan tidaklah sama kebaikan dan
keburukan. Cegahlah (keburukan itu) dengan cara yang terbaik, sehingga
tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan berubah seolah-olah
telah menjadi teman yang sangat setia. (34)
Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang SABAR dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar. (35).
Contohnya : masuk
Islam-nya Shofwan bin Umayyah radhiyallah ‘anhu, seorang musuh Islam,
penjahat perang, pembenci Nabi ﷺ, namun berkat kesabaran dan
kelembutan dakwah Nabi ﷺ kepadanya, dia akhir-nya
masuk Islam.
Shofwan sendiri bercerita:
وَاللهِ
لَقَدْ أعْطَانِى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أعْطَانِى،
وَإِنَّهُ لأبْغَضُ النَّاسِ إلَىَّ، فَمَا بَرِحَ يُعْطِينِى حَتَّى إنَّهُ
لأحَبُّ النَّاسِ إلَىَّ
“Demi Allah! Rasulullah ﷺ telah memberikan kepadaku apa (harta) yang ia berikan, padahal ia adalah orang yang dulunya paling aku benci. Namun beliau terus-menerus memberikan pemberiannya kepadaku hingga akhirnya beliau menjadi orang yang paling aku cintai”. (HR Muslim no 2313)
*****
CONTOH KEDUA
:
MANHAJ
DAKWAH NABI HARUN (A.S) SENANTIASA BERUSAHA MENJAGA PERSATUAN:
Allah SWT menceritakan tentang
dakwah Nabi Harun ‘alaihis salam kepada Bani Israil, saat mereka tersesat
menyembah patung anak sapi. Dia mendakwahi mereka dengan penuh kesabaran dan
tetap berusaha menjaga persatuan kaum-nya.
﴿وَلَقَدْ
قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِن قَبْلُ يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنتُم بِهِ ۖ وَإِنَّ
رَبَّكُمُ الرَّحْمَٰنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي﴾
Dan sesungguhnya Harun telah
berkata kepada mereka sebelumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi
cobaan dengan anak lembu. Itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha
Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku”. [QS. ThaHa: 90]
﴿قَالُوا
لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّىٰ يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَىٰ﴾
Mereka menjawab: “Kami akan tetap
menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami”. [QS. ThaHa:
91]
Lalu Allah SWT menceritkan ketika
musa ‘alaihis salam kembali kepada kaumnya yang telah menyembah patung anak
sapi :
﴿قَالَ
يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا . أَلَّا تَتَّبِعَنِ ۖ
أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي﴾
Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang
menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat. (sehingga) kamu tidak
mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” [QS.
ThaHa: 92-93]
Jawaban Nabi Harun :
﴿قَالَ
يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي ۖ إِنِّي خَشِيتُ أَن
تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي﴾
Harun menjawab’ “Hai putera ibuku,
janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku
khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah memecah belah antara
Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”. [TaHa: 94]
Setelah itu, Nabi Musa ‘alaihis
salam pun menerima alasan Nabi Harun alaihis salam, lalu berdoa memohon ampunan
kepada Allah untuk dirinya dan Nabi Harun saudara-nya:
﴿قَالَ
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ ۖ وَأَنتَ أَرْحَمُ
الرَّاحِمِينَ﴾
Musa berdoa: “Ya Tuhanku,
ampunilah aku dan saudaraku (Harun) dan masukkanlah kami ke dalam rahmat
Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang”. [QS. Al-A’raf:
151].
*****
CONTOH
KE TIGA :
MANHAJ
DAN AKHLAQ NABI ﷺ DALAM BERDAKWAH DAN BERMU’AMALAH
Allah SWT berfirman :
﴿فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ﴾
Maka disebabkan rahmat dari Allah,
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Dan jika kamu berlaku kasar dan
kasar hatinya, niscaya mereka menjauh darimu. Maka maafkanlah mereka, dan
mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
masalah itu. Dan apabila kamu telah memutuskan, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal. [QS. Ali Imran
: 159].
Dan Allah SWT berfirman :
﴿وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ﴾
Dan sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang luhur. (Al-Qalam: 4)
Dari al-Hasan al-Bashri :
سُئِلَتْ عَائِشَةُ عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم فَقَالَتْ:
«كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ»
Aisyah -radhiyallahu ‘anha- pernah
ditanya tentang akhlak Rasulullah ﷺ Maka ia
menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Akhlak beliau ﷺ adalah Al-Qur’an.
[Diriwayatkan oleh Ahmad (25813) dengan
lafaz ini, dan juga oleh Abu Ya’la (4862), serta Ath-Thahawi dalam *Syarh
Musykil al-Atsar* (4435) secara panjang lebar. Di hukumi Shahih oleh Syu’aib
al-Arna’uth dan para pentahqiq al-Musnad 43/15].
Yakni sebagaimana yang terdapat di
dalam Al-Qur'an.
Dan disebutkan pula dalam hadits
yang panjang tentang kisah Sa’ad bin Hisyam bin Amir ketika datang ke Madinah
dan mengunjungi Aisyah Radhiyallahu ‘Anha untuk menanyakan beberapa masalah.
Sa’ad bin Hisyam bin Amir berkata,
"فَقُلتُ
: يَا أُمَّ المُؤمِنِينَ ! أَنبئِينِي عَن خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ قَالَت: أَلَستَ
تَقرَأُ القُرآنَ؟ قُلتُ: بَلَى .قَالَت : فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ ﷺ كَانَ
القُرآنَ ".
“Aku berkata,
‘Wahai Ummul Mukminin, beritahulah aku tentang akhlak Rasulullah ﷺ!”
Aisyah bertanya, ‘Bukankah engkau
membaca Al-Qur’an?”
Aku menjawab, “Ya.”
Ia berkata, “Sesungguhnya akhlak
Nabi ﷺ adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 746).
Nabi ﷺ mengunjungi Abdullah bin Ubay bin Salluul,
untuk memikat hatinya, padahal dia adalah seorang pemimpin kaum munafiq, musuh dan
pembenci Nabi ﷺ dan dakwah Islam.
Dalam Surat al-Hujuraat : 9-10 , Allah SWT
berfirman :
﴿وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ
بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ
إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ (10) ﴾
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan
itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat. [QS. al-Hujuraat : 9-10]
Allah Swt. berfirman memerintahkan kaum mukmin agar mendamaikan di
antara dua golongan yang berperang satu sama lainnya:
﴿وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. (Al-Hujurat: 9)
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 7/374 berkata
:
فَسَمَّاهُمْ مُؤْمِنِينَ
مَعَ الِاقْتِتَالِ. وَبِهَذَا اسْتَدَلَّ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ عَلَى أَنَّهُ
لَا يَخْرُجُ مِنَ الْإِيمَانِ بِالْمَعْصِيَةِ وَإِنْ عَظُمَتْ، لَا كَمَا يَقُولُهُ
الْخَوَارِجُ وَمَنْ تَابَعَهُمْ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ وَنَحْوِهِمْ
“Allah menyebutkan mereka sebagai orang-orang mukmin, padahal mereka
berperang satu sama lainnya.
Berdasarkan ayat ini Imam Bukhari dan lain-lainnya menyimpulkan bahwa
maksiat itu tidak mengeluarkan orang yang bersangkutan dari keimanannya,
betapapun besarnya maksiat itu. Tidak seperti yang dikatakan oleh kaum Khawarij dan para
pengikutnya dari kalangan Mu'tazilah dan lain-lainnya (yang mengatakan
bahwa pelaku dosa besar dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya)”.
SEBAB TURUNNYA AYAT :
Dari Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- , dia berkata :
" قِيلَ لِلنَّبِيِّ ﷺ، لَوْ أَتَيْتَ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ؟ فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ نَبِيُّ اللَّهِ ﷺ وَرَكِبَ حِمَارًا،
وَانْطَلَقَ الْمُسْلِمُونَ يَمْشُونَ، وَهِيَ أَرْضٌ سَبْخَةٌ، فَلَمَّا انْطَلَقَ
إِلَيْهِ النَّبِيُّ ﷺ قَالَ: "إِلَيْكَ عَنِّي، فَوَاللَّهِ لَقَدْ آذَانِي رِيحُ
حِمَارِكَ" فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: وَاللَّهِ لَحِمَارُ رَسُولِ اللَّهِ
أَطْيَبُ رِيحًا مِنْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ لِعَبْدِ اللَّهِ رِجَالٌ مِنْ قَوْمِهِ،
فَغَضِبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَصْحَابُهُ، قَالَ: فَكَانَ بَيْنَهُمْ ضَرْبٌ
بِالْجَرِيدِ وَالْأَيْدِي وَالنِّعَالِ، فَبَلَغَنَا أَنَّهُ أُنْزَلَتْ فِيهِمْ:
﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾".
“Bahwa pernah ada yang berkata kepada Nabi ﷺ :
"Sebaiknya engkau datang kepada Abdullah ibnu Ubay ibnu Sallul
(pemimpin kaum munafik, pent.)."
Maka Rasulullah ﷺ pun berangkat menuju ke tempatnya dengan
mengendarai keledainya,
sedangkan orang-orang muslim berjalan kaki mengiringinya. Jalan yang mereka
tempuh adalah tanah yang terjal. Setelah Nabi ﷺ sampai di tempatnya, maka ia (Abdullah
ibnu Ubay) berkata :
"Menjauhlah kamu dariku. Demi Allah, bau keledaimu
menggangguku."
Maka seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata : "Demi Allah, sesungguhnya bau keledai
Rasulullah ﷺ lebih harum ketimbang baumu."
Maka sebagian kaum Abdullah ibnu Ubay marah, membela pemimpin mereka;
masing-masing dari kedua belah pihak mempunyai pendukungnya. Kemudian
tersebutlah di antara mereka terjadi perkelahian dengan memakai pelepah kurma,
pukulan tangan, dan terompah.
Maka menurut berita yang sampai kepada kami, diturunkanlah ayat berikut
berkenaan dengan mereka, yaitu firman Allah Swt:
﴿وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾
“Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya....”. (Al-Hujurat: 9)
[HR. Bukhori no. 261 dan Muslim no. 1799]
Dalam ayat 9 al-Hujurat diatas, Allah SWT
mengatakan “dua golongan dari
orang-orang mukmin”, padahal salah satu dari keduanya adalah gerombolan
gembong munafik yang jelas-jelas telah melecehkan Nabi ﷺ, akan tetapi Allah SWT tidak mengatakan : antara orang-orang
beriman dan orang-orang munafiq .
Subhanallah !!!
Padahal para sahabat tahu akan kejahatan dan
pengkhianatan orang-orang munafik dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Sallul
terhadap kaum muslimin pada saat itu , terutama terhadap Nabi ﷺ dan
keluarganya.
Demi menjaga persatuan
umat, Nabi ﷺ tidak menghajer dan tidak pula mentahdzir 12 orang maunafik
yang gagal membunuh Nabi ﷺ, bahkan beliau merahasiakan nama-nama mereka .
Tentang 12 orang munafiq yang berkehendak membunuh Nabi ﷺ , Allah swt berfirman:
﴿يَحْلِفُونَ
بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ
إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا ۚ وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ
أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ ۚ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا
لَهُمْ ۖ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا
نَصِيرٍ
Artinya : “ Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama)
Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya
mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah
Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak
mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah
melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah
lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab
mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali
tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi”. (At-Taubah:
74)
Firman Allah Swt.:
﴿وَهَمُّوا
بِما لَمْ يَنالُوا﴾
“ dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya. (At-Taubah:
74)”
Di dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ada sejumlah orang munafik yang
berniat hendak membunuh Nabi ﷺ dalam Perang Tabuk, yaitu di suatu malam
ketika Rasulullah ﷺ masih berada dalam perjalanan menuju ke
arahnya. Mereka terdiri atas belasan orang lelaki. Ad-Dahhak mengatakan, ayat
ini diturunkan berkenaan dengan mereka.
Hal ini jelas disebutkan dalam riwayat Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi di
dalam kitab Dalailun Nubuwwah melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, dari
Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan,
كُنْتُ آخِذًا بِخِطَامِ نَاقَةِ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَقُودُ بِهِ، وَعَمَّارٌ يَسُوقُ النَّاقَةَ -أَوْ أَنَا:
أَسُوقُهُ، وَعَمَّارٌ يَقُودُهُ -حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْعَقَبَةِ فَإِذَا
أَنَا بِاثْنَيْ عَشَرَ رَاكِبًا قَدِ اعْتَرَضُوهُ فِيهَا، قَالَ: فَأَنْبَهْتُ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ [بِهِمْ] فَصَرَخَ بِهِمْ فَوَلَّوْا مُدْبِرِينَ، فَقَالَ
لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "هَلْ عَرَفْتُمُ الْقَوْمَ؟ قُلْنَا: لَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ كَانُوا مُتَلَثِّمِينَ، وَلَكُنَّا قَدْ عَرَفْنَا
الرِّكَّابَ. قَالَ: "هَؤُلَاءِ الْمُنَافِقُونَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
وَهَلْ تَدْرُونَ مَا أَرَادُوا؟ " قُلْنَا: لَا. قَالَ: "أَرَادُوا
أَنْ يَزْحَمُوا رَسُولَ اللَّهِ فِي الْعَقَبَةِ، فَيُلْقُوهُ
مِنْهَا". قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوَ لَا تَبْعَثُ إِلَى عَشَائِرِهِمْ
حَتَّى يَبْعَثَ إِلَيْكَ كُلُّ قَوْمٍ بِرَأْسِ صَاحِبِهِمْ؟ قَالَ: "لَا
أَكْرَهُ أَنْ تَتَحَدَّثَ الْعَرَبُ بَيْنَهَا أَنَّ مُحَمَّدًا قَاتَلَ بِقَوْمٍ
حَتَّى إِذَا أَظْهَرَهُ اللَّهُ بِهِمْ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ يَقْتُلُهُمْ"،
ثُمَّ قَالَ: "اللَّهُمَّ ارْمِهِمْ بِالدُّبَيْلَةِ". قُلْنَا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الدُّبَيْلَةُ؟ قَالَ: "شِهَابٌ مِنْ نَارٍ يَقَعُ
عَلَى نِيَاطِ قَلْبِ أَحَدِهِمْ فَيَهْلِكُ"
"Saya memegang tali kendali unta Rasulullah ﷺ seraya menuntunnya, sedangkan Ammar menggiring unta itu; atau Ammar yang
menuntunnya, sedangkan saya yang menggiringnya.
Ketika kami sampai di' Aqabah, tiba-tiba kami bersua dengan dua belas
lelaki penunggang kuda yang datang menghalangi jalan Rasulullah ﷺ ke medan Tabuk.
Maka saya mengingatkan Rasul ﷺ akan sikap mereka itu, lalu Rasulullah ﷺ meneriaki mereka, dan akhirnya mereka lari mundur ke belakang.
Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami, 'Tahukah kalian
siapakah kaum itu?'
Kami menjawab, 'Tidak, wahai Rasulullah, karena mereka memakai cadar.
Tetapi kami mengenali mereka dari pelana-pelananya.'
Rasulullah ﷺ bersabda, 'Mereka adalah orang-orang
munafik sampai hari kiamat. Tahukah kalian apakah yang hendak mereka lakukan?'
Kami menjawab, 'Tidak tahu.'
Rasulullah ﷺ menjawab, 'Mereka bermaksud mendesak
Rasulullah ﷺ di 'Aqabah. Dengan demikian, maka mereka akan menjatuhkannya ke Lembah
"Aqabah.'
Kami (para sahabat) berkata. 'Wahai Rasulullah, bolehkah kami
mengirimkan orang kepada keluarga mereka sehingga masing-masing kaum
mengirimkan kepadamu kepala teman mereka itu?'
Rasulullah ﷺ bersabda, 'Jangan, aku tidak suka bila
kelak orang-orang Arab mempergunjingkan di antara sesama mereka bahwa Muhammad
telah berperang bersama suatu kaum, tetapi setelah Allah memberikan kemenangan
kepadanya bersama mereka, lalu ia berbalik memerangi mereka.'
Kemudian Rasulullah ﷺ berdoa, 'Ya Allah, lemparlah mereka
dengan Dubailah' Kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah Dubailah
itu?'
Rasul ﷺ menjawab, 'Bara api yang mengenai bagian
dalam hati seseorang di antara mereka, lalu ia binasa. ( SELESAI )
Penulis katakan :
Berkenaan dengan hadits ini salah seorang ulama mengatakan :
وَبِالرَّغْمِ مِنْ وُضُوحِ هَذِهِ الْجَرِيمَةِ
الْغَادِرَةِ، تَجَلَّى مَوْقِفُ النَّبِيِّ - ﷺ - الْعَظِيمُ تِجَاهَ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ،
بِالتَّسَامُحِ وَالْعَفْوِ عَنْهُمْ، وَذَلِكَ حِفَاظًا عَلَى سُمْعَةِ الْفِئَةِ
الْمُؤْمِنَةِ، وَمَخَافَةَ أَنْ يَقُولَ النَّاسُ: إِنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ.
Terlepas dari kejelasan kejahatan pengkhianatan ini, telah nampak sikap
agung Nabi ﷺ terhadap orang-orang ini dalam bentuk tasaamuh dan pemaafan bagi
mereka.
Yang demikian itu beliau ﷺ lalukan untuk menjaga reputasi atau nama baik
orang-orang beriman, dan untuk menjaga jangan sampai orang-orang berkata:
Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.
===****===
CONTOH
KE EMPAT :
TAWADHU’,
SENANTIASA MERASA BERSALAH DAN KURANG EFEKTIF SAAT BELUM BERHASIL
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa para
nabi-nabi terdahulu dan para pengikutnya ketika mereka berdakwah dan berjuang
secara maksimal di jalan Allah, lalu dengan perjuangannya itu belum juga
mendapatkan hasil, mereka tidak serta merta menyalahkan orang-orang yang di
dakwahinya, melainkan mereka berintrospeksi diri bahkan menyalahkan diri mereka
sendiri dengan mengakui akan adanya banyak kekurangan yang ada dalam diri mereka
dalam cara berdakwahnya , sebagaimana yang Allah swt firmankan:
﴿وَكَأَيِّنْ
مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ﴾
Artinya : Dan berapa banyaknya
nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang
bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar.
﴿وَمَا
كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا
فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ﴾
Tidak ada perkataan mereka selain
ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan
kami yang berlebihan dalam urusan (cara dakwah) kami dan kokohkanlah
pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. Ali
Imran : 146-147)
Berdasarkan dua ayat diatas, maka
seorang da’i harus sadar betul : bahwa orang-orang yang menentang dakwahnya
serta mendustakan Allah dan Rasul-Nya itu bisa jadi di sebabkan oleh cara
dakwahnya yang berlebihan, kurang tepat dan mudah putus asa . Lalu dia
terburu-buru meng-ghibah-nya yang dikemas dengan istilah Tahdzir, memusuhinya
dan mengucilkannya yang dikemas dengan istilah Hajer, dan melekatkan gelar-gelar
busuk kepada yang menentang-nya, meskipun terhadap orang-orang kafir sekalipun,
apalagi terhadap sesama muslim.
Sesama muslim, terutama seorang
da’i tidak boleh saling mencaci dan melempar gelar busuk sesama kaum muslimin,
meski terhadap kaum Khawarij sekalipun, bahkan terhadap kaum kafir dan
sesembahannya. Walaupun cacian tersebut mengandung kemaslahatan, namun hal
demikian dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding maslahatnya,
diantaranya adalah untuk mencegah terjadinya perpecahan antar umat Islam yang
membuat Islam menjadi lemah dihadapan musuhnya dan mencegah terjadinya
pertumpahan darah sesama kaum muslimin.
Kita ambil pelajaran dari sikap
dan tindakan Para sahabat Nabi ﷺ, termasuk Ali
bin Thalib – radhiyallahu 'anhum – terhadap kelompok Khawrij. Mereka hanya
menyebutkan ciri dan karakter manhaj khawarij secara umum dan muthlak, namun
mereka tidak menunjuk dan mencaci kaum khawarij secar khusus dengan menyebut
nama-namanya. Bahkan mereka melarang keras kaum muslimin mencaci maki kaum
khawarij, apalagi dengan menyebutkan nama-namanya.
Berbeda dengan kelompok Khawarij,
sudah menjadi ciri khas mereka dan manhajnya adalah mencaci orang-orang yang
menyelisihinya dari kaum mulimin. Cacian dan celaan tersebut mereka kemas
dengan istilah tahdzir. Dan manhaj mereka yang lain nya adalah menghajer
orang-orang menyelisihinya, dengan kemasan nahyi munkar atau menjauhi syubhat
atau menghindari kerja sama dalam perbuatan dosa, bahkan mengklaim selain
kelompoknya dengan klaiman sesat dan ahli neraka secara pasti.
Ibnu Abi Syaybah berkata : Wakii''
memberi tahu kami, dia berkata: Al-A'mash memberi tahu kami, dari Amr bin
Murrah, dari Abdullah bin Al-Harits, dari seorang pria dari Banu Nadhr bin
Muawiyah, dia berkata:
" كُنَّا عِنْدَ عَلِيٍّ فَذَكَرُوا أَهْلَ النَّهْرِ فَسَبَّهُمْ
رَجُلٌ فَقَالَ عَلِيٌّ : لَا تَسُبُّوهُمْ ، وَلَكِنْ إِنْ خَرَجُوا عَلَى إِمَامٍ
عَادِلٍ فَقَاتِلُوهُمْ ، وَإِنْ خَرَجُوا عَلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَلَا تُقَاتِلُوهُمْ
، فَإِنَّ لَهُمْ بِذَلِكَ مَقَالًا".
Kami bersama Ali, dan mereka
menyebut-nyebut kejadian yang pernah terjadi dengan penduduk an-Nahr [khawarij]
, lalu ada seorang pria mencaci mereka, maka Ali berkata: Jangan mencerca
mereka, tetapi jika mereka memberontak terhadap seorang imam yang adil, maka
kalian perangilah mereka, dan jika mereka memberontak terhadap imam yang tidak
adil, maka kalian jangan ikut-ikutan melawan mereka, karena mereka memiliki
argument di dalamnya. [ al-Mushonnaf no. 7/559 (37916)]
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul
Bari 12/301 berkata :
وَقَدْ أَخْرَجَ الطَّبَرِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ
"Diriwayatkan ath-Thabari
dengan sanad yang Shahih "
Terhadap orang kafir pun, Allah
SWT melarang kaum muslimin mencaci maki mereka , apalagi sesama kaum muslimin ,
meski berbeda pendapat . Allh SWT berfirman :
﴿وَلَا
تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ
عِلْمٍ ﴾
“Dan janganlah kalian memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’aam (6) :
108).
Ibnu
Katsir dalam Tafsirnya 3/314-315 ketika menafsiri ayat ini, dia berkata :
Allah SWT melarang Rasul-Nya dan
orang-orang mukmin memaki sembahan-sembahan orang-orang musyrik, padahal dalam
makian itu mengandung maslahat, hanya saja akan mengakibatkan mafsadat
(kerusakan) yang lebih besar dari itu.
Kerusakan yang dimaksud ialah
balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum
mukmin, yaitu: Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. (Al-Baqarah: 255)
Seperti yang diriwayatkan oleh Ali
ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini.
Disebutkan bahwa orang-orang musyrik berkata :
يَا مُحَمَّدُ، لَتَنْتَهِيَنَّ عَنْ سَبِّكَ آلِهَتَنَا، أَوْ لَنَهْجُوَنَّ رَبَّكَ
"Hai Muhammad, berhentilah
kamu dari mencaci tuhan-tuhan kami; atau kalau tidak berhenti, kami akan balas
mencaci maki Tuhanmu."
Maka Allah melarang kaum mukmin
mencaci berhala-berhala sembahan kaum musyrik.
﴿فَيَسُبُّوا
اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾
"Karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan".
(Al-An'am: 108)
Abdur Razzaq telah meriwayatkan
dari Ma'mar, dari Qatadah :
" كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَسُبُّونَ أَصْنَامَ الْكُفَّارِ، فَيَسُبُّ
الْكُفَّارُ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: ﴿وَلا تَسُبُّوا
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ﴾".
Bahwa dahulu orang-orang muslim
sering mencaci maki berhala-berhala orang-orang kafir, maka orang-orang kafir
balas mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Oleh sebab
itu, turunlah ayat ini.".
Lalu
Ibnu Katsir 3/315 berkata :
"Dari pengertian ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya
mafsadat (kerusakan) yang jauh lebih parah daripada maslahat adalah hal yang
diperintahkan.
Di dalam sebuah hadis sahih
disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda :
"مَلْعُونٌ مِنْ سَبِّ وَالِدَيْهِ". قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ : "يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ
فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ".
" Terlaknatlah seseorang yang
memaki kedua orang tuanya" .
Mereka (para sahabat) bertanya :
"Ya Rasulullah, bagaimanakah seseorang dapat mencaci kedua orang tuanya
sendiri?"
Rosululloh ﷺ menjawab : " Dia mencaci ayah
seseorang, lalu orang yang mencacinya itu membalas mencaci ayahnya. Dan dia
mencela ibu seseorang, lalu orang yang mencelanya itu balas mencela
ibunya".
[ HR. Al-Bukhari (5973) , Muslim
(90) dan Ahmad 11/195 ].
*****
CONTOH
KE LIMA :
MANHAJ DAKWAH
AHLI ISTIQOMAH yang BER-AKHLAK HAMBA AR-RAHMAN.
====
MANHAJ
DA’WAH DAN NAHYI MUNKAR AHLI ISTIQOMAH
Manhaj dakwah ahli istiqomah,
sangat bijak, santun dan membawa kedamaian, sehingga cara ber Amar Makruf dan
Nahyi Munkar nya itu mampu mengubah dari suasana permusuhan menjadi
persahabatan dan persaudaraan yang hangat dan harmonis.
Manhaj ini adalah manhaj yang
diperintahkan oleh Allah SWT, sebagaimana dalam firmanya :
“Cegahlah
(keburukan itu) dengan cara yang terbaik, sehingga tiba-tiba orang yang antara
kamu dan antara dia ada permusuhan berubah seolah-olah telah menjadi teman
dekat yang sangat setia”. (QS. Fushilat : 34)
Allah SWT berfirman tentang orang-orang yang istiqomah dengan rinci , yang intinya manhaj dakwah mereka dalam ber Amar Makruf dan Nahyi Munkar sangat memperhatikan kedamaian dan persatuan , yaitu dengan cara menghilangkan segala bentuk permusuhan dan merubahnya menjadi persahabatam yang penuh kasih sayang.
Allah SWT berfirman :
﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا
تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
(30)
نَحْنُ اَوْلِيَاۤؤُكُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى
الْاٰخِرَةِ ۚوَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْٓ اَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا
تَدَّعُوْنَ (31).
نُزُلًا مِّنْ غَفُوْرٍ رَّحِيْمٍ (32).
وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ
اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ (33)
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا
إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا
تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34)
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ
عَظِيمٍ (35)
وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ
نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah
Allah" kemudian mereka BER-ISTIQOMAH, maka malaikat akan turun kepada
mereka dengan mengatakan: "Janganlah kalian takut dan janganlah merasa
sedih; dan bergembiralah kalian dengan syurga yang telah dijanjikan Allah
kepada kalian" (30)
Kami adalah wali-wali kalian [pelindung-pelindung kalian] dalam kehidupan
dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kalian memperoleh apa yang kalian
inginkan dan memperoleh apa yang kalian minta (31).
Ini turun langsung dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang , Sebagai
penghormatan (bagi kalian) (32).
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
[berdakwah] kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang muslim [berserah diri]?"
(33)
Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Cegahlah (keburukan itu) dengan
cara yang terbaik, sehingga tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan berubah seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (34)
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang SABAR dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
memiliki keberuntungan yang besar. (35).
Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui (36) [QS.
Fushilat : 30-36]
Mulut mereka senantiasa mengeluarkan kata-kata yang membawa kedamaian,
meskipun dicaci maki oleh orang-orang jahil dan dungu.
Allah SWT berfirman tentang karakter para hamba ar-Rahmaan :
﴿وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ
يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا
سَلَامًا﴾
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan [QS.
Al-Furqon : 63]
Di akhir uraian ayat-ayat tentang ahli Istiqomah, Allah SWT mewanti-wanti
agar waspada terhadap tipu daya syeitan yang pandai mengemas, sehingga pemahamannya
terbalik . Allah SWT berfirman :
وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ
نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ﴾
Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui (36) [QS.
Fushilat : 33-36]
TAFSIR DAN FIQIH AYAT :
Allah SWT berfirman :
﴿إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ
الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ (30)
Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka BER-ISTIQOMAH,
maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah
kalian takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah kalian dengan syurga
yang telah dijanjikan Allah kepada kalian" [QS. Fush-shilat : (30)]
Al-Hafidz
Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya berkata :
Abul Aliyah mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: kemudian mereka meneguhkan pendiriannya. (Fushshilat:
30) :
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Atha,
dari Abdullah ibnu Sufyan, dari ayahnya :
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مُرْنِي بِأَمْرٍ فِي الْإِسْلَامِ
لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ. قَالَ: "قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ،
ثُمَّ اسْتَقِمْ" قُلْتُ: فَمَا أَتَّقِي؟ فَأَوْمَأَ إِلَى لِسَانِهِ.
bahwa seorang lelaki berkata,
"Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku suatu perintah dalam Islam,
yang kelak aku tidak akan bertanya lagi kepada seorang pun sesudahmu."
Rasulullah ﷺ. bersabda: Katakanlah, "Tuhanku
ialah Allah, " kemudian teguhkanlah pendirianmu! Lelaki itu bertanya,
"Lalu apakah yang harus kupelihara?” Rasulullah ﷺ. mengisyaratkan ke arah lisannya (yakni
menjaga mulut).
Imam Nasai meriwayatkan hadis ini
melalui Syu'bah, dari Ya'la ibnu Ata dengan sanad yang sama.
[Lihat : "Al-Musnad (4/384)
dan An-Nasa'i dalam As-Sunan Al-Kubra nomor (11489)”].
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, dari Abdur Rahman
ibnu Ma'iz Al-Gamidi, dari Sufyan ibnu Abdullah As-Saqafi yang menceritakan
bahwa ia pernah bertanya :
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، حَدِّثْنِي بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ. قَالَ:
"قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ، ثُمَّ اسْتَقِمْ" قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَا أَكْثَرَ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِطَرَفِ لِسَانِ
نَفْسِهِ، ثُمَّ قَالَ: "هَذَا".
"Wahai Rasulullah,
sebutkanlah suatu perkara kepadaku yang kelak akan kujadikan pegangan."
Rasulullah ﷺ. menjawab: Katakanlah, "Tuhanku
ialah Allah, " kemudian teguhkanlah pendirianmu! Kemudian aku bertanya,
"Wahai Rasulullah, apakah yang engkau sangat khawatirkan terhadap diriku?”
Maka Rasulullah ﷺ memegang ujung lisannya dan
bersabda, "Ini" (yakni jaga lisanmu).
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah melalui hadis Az-Zuhri dengan sanad yang
sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
[Lihat : "Al-Musnad (3/413),
Sunan At-Tirmidzi nomor (2410), dan Sunan Ibnu Majah nomor (3972)]."
Imam Muslim di dalam kitab
sahihnya —juga Imam Nasai—telah mengetengahkannya melalui hadis Hisyam ibnu
Urwah, dari ayahnya, dari Sufyan ibnu Abdullah As-Saqafi yang menceritakan
bahwa ia pernah bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ
أَحَدًا بَعْدَكَ. قَالَ: "قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ، ثُمَّ اسْتَقِمْ"
وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ
"Wahai Rasulullah, katakanlah suatu
urusan kepadaku tentang Islam, yang kelak aku tidak akan menanyakannya kepada
seorang pun sesudah engkau." Rasulullah ﷺ.
bersabda: Katakanlah, "Aku beriman kepada Allah", kemudian
BER-ISTIQOMAH-LAH (berlaku lurus lah kamu) .... “, hingga akhir hadis.
[HR. Muslim no. 38].
[Lihat :
Tafsir Ibnu Katsir 7/176]
Dan Allah SWT berfirman :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا
وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا
السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ
وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا
الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) وَاِمَّا
يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ
السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ (36)﴾
Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru [berdakwah] kepada Allah, mengerjakan
amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
muslim [berserah diri]?" [QS. Fush-shilat : (33)].
Dan tidaklah sama kebaikan dan
keburukan. Cegahlah (keburukan itu) dengan cara yang terbaik, sehingga
tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan berubah seolah-olah
telah menjadi teman yang sangat setia. (34)
Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang SABAR dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang memiliki keberuntungan yang
besar. (35).
Dan jika setan mengganggumu dengan
suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang
Maha Mendengar, Maha Mengetahui (36) [QS. Fushilat : 33-36]
Ibnu Katsir berkata :
أَيْ: مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ فَادْفَعْهُ
عَنْكَ بِالْإِحْسَانِ إِلَيْهِ، كَمَا قَالَ عُمَرُ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] مَا عَاقَبْتَ
مَنْ عَصَى اللَّهَ فِيكَ بِمِثْلِ أَنْ تُطِيعَ اللَّهَ فِيهِ
Maksudnya, barang siapa yang berbuat jahat terhadap dirimu, Cegahlah
kejahatan itu darimu dengan cara berbuat baik kepada pelakunya. Seperti yang
dikatakan oleh Umar r.a., "Hukuman yang setimpal bagi orang yang durhaka
kepada Allah karena menyakitimu ialah dengan cara kamu berbuat taat kepada
Allah dalam menghadapinya." [ Tafsir Ibnu Katsir 7/181].
-----
Firman Allah Swt.:
﴿فَإِذَا
الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ﴾
“Maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia”. (Fushshilat: 34)
Yang dimaksud
dengan hamim ialah teman setia. Yakni jika engkau berbuat baik kepada
orang yang berbuat jahat kepadamu, maka kebaikan yang kamu ulurkan kepadanya
akan melunakkan hatinya dan berbalik menyukai dan menyenangimu, hingga
seakan-akan dia menjadi teman yang dekat denganmu dan akan tertanamlah di dalam
hatinya rasa kasihan kepadamu dan ingin berbuat baik kepadamu. Kemudian dalam
firman selanjutnya disebutkan:
﴿وَمَا
يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا﴾
Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar. (Fushshilat: 35)
Artinya, perintah ini tidak dapat
diterima, tidak dapat pula diamalkan kecuali hanyalah oleh orang yang sabar
dalam menjalaninya, karena sesungguhnya hal ini amat berat pengamalannya.
﴿وَمَا
يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ﴾
dan tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat:
35)
Yakni orang yang mempunyai kebahagiaan yang besar dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir ayat ini :
أَمَرَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ بِالصَّبْرِ
عِنْدَ الْغَضَبِ، وَالْحِلْمِ عِنْدَ الْجَهْلِ، وَالْعَفْوِ عِنْدَ
الْإِسَاءَةِ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمَهُمُ اللَّهُ مِنَ الشَّيْطَانِ،
وَخَضَعَ لَهُمْ عَدُوُّهُمْ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk bersabar
saat sedang marah (emosi), penyantun dalam menghadapi orang yang tidak
mengerti, dan memaaf bila disakiti. Apabila mereka melakukan pekerti ini, maka
Allah akan memelihara mereka dari godaan setan, dan menundukkan bagi mereka
musuh-musuh mereka sehingga seakan-akan menjadi teman yang sangat dekat.
Dari An-Nu'man ibnu Muqarrin
Al-Muzani yang mengatakan :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَسَبَّ رجلٌ رَجُلًا عِنْدَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ
الرَّجُلُ الْمَسْبُوبُ يَقُولُ: عَلَيْكَ السَّلَامُ. قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ: "أَمَا إِنَّ مَلِكًا بَيْنَكُمَا يَذُبُّ عَنْكَ، كُلَّمَا
شَتَمَكَ هَذَا قَالَ لَهُ: بَلْ أَنْتَ وَأَنْتَ أَحَقُّ بِهِ. وَإِذَا قَالَ
لَهُ: عَلَيْكَ السَّلَامُ، قَالَ: لَا بَلْ عَلَيْكَ، وَأَنْتَ أَحَقُّ بِهِ.
"
bahwa pada suatu hari ada seorang
lelaki mencaci maki lelaki lainnya di hadapan Rasulullah ﷺ., lalu orang yang dicaci
mengatakan, "'Alaikas salam (semoga keselamatan dan kedamaian
bagimu)."
Maka Rasulullah ﷺ. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya ada
malaikat di antara kamu berdua yang membelamu. Setiap kali orang itu mencacimu,
malaikat itu berkata, "Bahkan kamulah yang berhak, kamulah yang berhak
dicaci.”Dan apabila kamu katakan kepadanya, " 'Alaikas salam," maka
malaikat itu berkata, "Tidak, dia tidak berhak mendapatkannya, engkaulah
yang berhak mendapatkannya.”
[[HR. Ahmad no. 23745 .
Predikat
Hadits :
"Hasan lighoirihi, dan sanad (rantai perawi) ini terputus. Karena Abu Khalid Al-Walibi meriwayatkannya dari an-Nu’man ibn Muqrin secara marfu' (hadits dengan derajat marfu'), meskipun sanad ini terputus. Meskipun begitu, Al-Hafidz Ibn Kathir menganggap sanad ini hasan dalam "Tafsir"-nya (6/132).
Dan dalam bab ini dari Abu
Hurairah di dalam Shahih Bukhari dengan nomor (9624).
Dan dari Ibnu Abbas, ada dalam
"Al-Adab Al-Mufrad" oleh Bukhari (419), dan dalam sanad keduanya
terdapat perbedaan pendapat.
Dan dari Zaid bin Athi'ah secara
marfu' (hadits dengan derajat marfu') ada pada Abdullah bin Abdul Razzaq dalam
"Al-Musannaf" (20255). Dan di dalam hadits Abu Hurairah, disebutkan
nama orang yang dimaksud, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, semoga Allah meridhainya.
As-Sindi berkata:
"قَالَ
لَهُ: بَلْ أَنْتَ" أَيْ: قَالَ الْمَلَكُ لِلسَّابِ: بَلْ أَنْتَ كَمَا
قُلْتَ."
'Malaikat berkata kepadanya:
"Sebaliknya, kamu adalah orangnya," artinya, Malaikat berkata kepada
sipengumpat: "Sebaliknya, kamu adalah seperti yang dia katakan.'"]]
Al-Hafidz
Ibnu Katsir berkata :
وَقَالَ مُجَاهِدٌ: "﴿قَالُوا سَلامًا﴾ يَعْنِي: قَالُوا:
سَدَادًا".
وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: "رَدُّوا مَعْرُوفًا مِنَ
الْقَوْلِ".
وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: "﴿قَالُوا سَلامًا﴾ ، قَالَ: حُلَمَاءُ
لَا يَجْهَلُونَ".
وَإِنْ جُهِلَ عَلَيْهِمْ حَلُمُوا. يُصَاحِبُونَ عِبَادَ اللَّهِ نَهَارَهُمْ
بِمَا تَسْمَعُونَ، ثُمَّ ذَكَرَ أن ليلهم خير ليل".
Mujahid mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: “Mereka mengucapkan kata-kata yang baik”.
(Al-Furqan: 63) Mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung petunjuk.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa
mereka menjawab dengan kata-kata yang baik.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan,
mereka mengatakan, "Salamun 'alaikum (semoga keselamatan dan
kedamaian terlimpahkan kepada kalian."
Jika mereka dinilai sebagai orang
yang kurang akalnya, maka mereka bersabar. Mereka tetap bergaul dengan
hamba-hamba Allah di siang harinya dan bersabar terhadap apa pun yang mereka
dengar. Kemudian disebutkan bahwa pada malam harinya mereka melakukan ibadah. [
Tafsir Ibnu Katsir 6/122].
------
Firman
Allah Swt.:
﴿وَإِمَّا
يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ﴾
Dan jika setan mengganggumu dengan
suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. (Fushshilat: 36)
Al-Hafidz
Ibnu Katsir berkata :
Kalau setan manusia barangkali
dapat ditundukkan dengan bersikap baik kepadanya. Sedangkan setan jin, maka
tiada cara bagi orang mukmin untuk menghindarinya bila melancarkan godaannya
selain memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Menciptakannya, karena Dialah
Yang menguasakannya terhadapmu. Apabila engkau memohon perlindungan kepada
Allah, maka Dia akan menghindarkannya darimu dan menolak tipu dayanya. Dan
Rasulullah ﷺ. apabila berdiri untuk salatnya selalu
mengucapkan doa berikut:
"أَعُوذُ
بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ
وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ"
Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk, yaitu dari bisikan, godaan, dan rayuannya. [HR. Ibnu Majah (808) dan Ahmad (3830). Di shahihkan al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah]."
Dalam pembahasan yang lalu telah kami sebutkan bahwa konteks ini di dalam Al-Qur'an tiada bandingannya kecuali di dalam surat Al-A'raf, yaitu pada firman-Nya:
﴿خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ
الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan
setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui". (Al-A'raf: 199-200)
Dan firman Allah Swt. dalam surat Al-Mu’minun, yaitu:
﴿ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ
هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ﴾
Cegahlah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih
mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, aku
berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku
berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka
kepadaku.”(Al-Mu’minun: 96-98)
[ Baca : Tafsir
Ibnu Katsir 7/181]
=====
AKHLAK & KARAKTER HAMBA AR-RAHMAN : MULUT-NYA PENEBAR KEDAMAIAN DAN SELALU MERASA BANYAK DOSA
Hamba Ar-Rahman mulutnya
senantiasa menebar kedamaian dan kesejukan walau dicaci dan dicela. Rajin
shalat malam, namun selalu merasa dirinya banyak dosa, sehingga membuatnya
selalu ber-istighfar serta memohon dijauhkan dari siksa neraka Jahanam. Dia
senantiasa bersikap bijak, tidak boros, namun dia juga tidak pelit.
Allah swt dalam surat al-Furqoon berfirman:
وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ
يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟
سَلَٰمًا (63)
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64) وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ
غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66) وَالَّذِينَ إِذَا
أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
(67).
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) kedamaian /
kesejahteraan (63).
Dan orang yang melewati malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk
Tuhan mereka. (64).
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam
dari kami. Sesungguhnya azabnya itu adalah kehinaan yang kekal.” (65)
Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.
(66)
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir; dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (67)
[ QS. Al-Furqoon : 63 – 67 ].
TAFSIRNYA :
Pertama : Dari Tafsir Ibnu Katsir 6/121-122 [Tahqiq Sami bin
Muhaamda as-Salamah]:
Firman Allah Swt.:
﴿وَإِذَا خَاطَبَهُمُ
الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا﴾
" dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang membawa kedamaian / kesejateraan
". (Al-Furqan: 63)
Yaitu apabila orang-orang jahil menilai mereka sebagai orang-orang yang
kurang akalnya yang diungkapkannya kepada mereka dengan kata-kata yang buruk,
maka mereka tidak membalasnya dengan hal yang semisal, melainkan memaafkan, dan
tidaklah mereka mengatakan perkataan kecuali yang baik-baik. Seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw.; semakin orang jahil bersikap keras, maka
semakin pemaaf dan penyantun pula sikap beliau.
Dan seperti yang disebutkan oleh firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:
﴿وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ
أَعْرَضُوا عَنْهُ﴾
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat,
mereka berpaling darinya”. (Al-Qasas: 55)
Dari An-Nu'man ibnu Muqarrin Al-Muzani yang mengatakan :
وَسَبَّ رجلٌ رَجُلًا عِنْدَهُ [عِنْدَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ] قَالَ : فَجَعَلَ
الرَّجُلُ الْمَسْبُوبُ يَقُولُ : عَلَيْكَ السَّلَامُ. قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ:
"أَمَا إِنَّ مَلِكًا بَيْنَكُمَا
يَذُبُّ عَنْكَ، كُلَّمَا شَتَمَكَ هَذَا قَالَ لَهُ: بَلْ أَنْتَ وَأَنْتَ
أَحَقُّ بِهِ. وَإِذَا قَالَ لَهُ: عَلَيْكَ السَّلَامُ، قَالَ: لَا بَلْ
عَلَيْكَ، وَأَنْتَ أَحَقُّ بِهِ. "
" Bahwa pada suatu hari ada seorang lelaki mencaci maki lelaki lainnya
di hadapan Rasulullah ﷺ, lalu orang yang
dicaci mengatakan, "'Alaikas salam (semoga kesejahteraan atas
dirimu)."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
Ingatlah, sesungguhnya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu.
Setiap kali orang itu mencacimu, malaikat itu berkata, "Bahkan kamulah
yang berhak, kamulah yang berhak dicaci.”Dan apabila kamu katakan kepadanya,
" 'Alaikas salam," maka malaikat itu berkata, "Tidak, dia tidak
berhak mendapatkannya, engkaulah yang berhak mendapatkannya.”
[ HR. Ahmad 5/445. Lihat pula ad-Durr al-Mantsuur karya as-Sayuthi , tafsir
surat al-Furqon : 63-67] .
Lalu Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 6/122 berkata :
"Sanad Hadits berpredikat hasan, tetapi mereka tidak
mengetengahkannya".
Al-Haitsami dalam al-Majma' 8/75 berkata :
"رِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ،
غَيْرَ أَبِي خَالِدٍ الْوَالِي وَهُوَ ثِقَةٌ".
Para perawinya adalah para perawi kitab al-Haditsts ash-Shahih . Kecuali
Abu Khalid al-Waali , dia adalah tsiqoh [ dipercaya] .
[ Penulis katakan : Namun hadits ini di Dha'ifkan oleh al-Albaani dlm
adh-Dha'iiifah no. 2923].
HAMBA AR-RAHMAAN TIDAK SUKA MENTAHDZIR DAN MENGHAJER MESKI DI SAKITI .
Ibnu Katsir berkata :
Jika mereka dinilai sebagai orang yang kurang akalnya, maka mereka
bersabar. Mereka tetap bergaul dengan hamba-hamba Allah [yang menghinanya] di
siang harinya dan bersabar terhadap apa pun yang mereka dengar.
Kemudian disebutkan bahwa pada malam harinya mereka melakukan ibadah shalat
malam.
Kedua :
Dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
Dan para hamba Allah itu adalah
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan tenang dan mantab tanpa bersikap
angkuh. Dan ketika orang-orang bodoh berbicara kepada mereka tentang sesuatu
yang menyakiti mereka (hamba Allah), maka mereka akan berkata: “Semoga
keselamatan (atasmu)”. .
Ketiga :
Dalam Tafsir Prof. DR. Imad Zuhair :
Mereka bersabar atas gangguan yang
mereka dapatkan dari orang-orang jahil dan kurang akal, sehingga mereka tidak
ikut terjerumus dalam kebodohan orang-orang tersebut; serta mereka mengucapkan
salam, namun bukan salam penghormatan, melainkan salam perpisahan yang tidak
mengandung doa kebaikan atau keburukan
===****===
HUKUM FIQIH DAN BATASAN : DALAM BER-AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR
****
BATASAN BER AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR
Syaikh Syamsuddin as-Safaarini
al-Hanbali berkata dalam *Ghidza’ul Albaab Fii Syarh Manzhumah al-Aadab* 1/214:
هَلْ مِنْ شَرْطِ وُجُوبِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ
الْمُنْكَرِ رَجَاءُ حُصُولِ الْمَقْصُودِ أَوْ لَا؟ عَلَى رِوَايَتَيْنِ عَنْ
الْإِمَامِ أَحْمَدَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -. نَقَلَ أَبُو الْحَارِثِ
الْوُجُوبَ، وَنَقَلَ حَنْبَلٌ عَكْسَهُ. قَالَ فِي نِهَايَةِ الْمُبْتَدِئِينَ: وَإِنَّمَا
يَلْزَمُ الْإِنْكَارُ إذَا عَلِمَ حُصُولَ الْمَقْصُودِ وَلَمْ يَقُمْ بِهِ
غَيْرُهُ، وَعَنْهُ إذَا رَجَا حُصُولَهُ، وَهُوَ الَّذِي ذَكَرَهُ ابْنُ
الْجَوْزِيِّ، وَقِيلَ يُنْكِرُهُ وَإِنْ أَيِسَ مِنْ زَوَالِهِ وَخَافَ أَذًى
أَوْ فِتْنَةً.
وَقَالَ فِي نِهَايَةِ الْمُبْتَدِئِينَ: إنَّمَا يَجُوزُ الْإِنْكَارُ فِيمَا
لَا يُرْجَى زَوَالُهُ وَإِنْ خَافَ أَذًى، وَقِيلَ لَا، وَقِيلَ يَجِبُ.
وَاَلَّذِي ذَكَرَهُ الْقَاضِي فِي الْمُعْتَمَدِ أَنَّهُ لَا يَجِبُ وَيُخَيَّرُ
فِي رَفْعِهِ إلَى الْإِمَامِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ يَجِبُ رَفْعُهُ.
قَالَ فِي الْآدَابِ: وَإِذَا لَمْ يَجِبْ الْإِنْكَارُ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ
تَرْكِهِ، جَزَمَ بِهِ ابْنُ عَقِيلٍ. قَالَ الْقَاضِي خِلَافًا لِأَكْثَرِهِمْ
فِي قَوْلِهِمْ ذَلِكَ قَبِيحٌ وَمَكْرُوهٌ إلَّا فِي مَوْضِعَيْنِ:
(أَحَدُهُمَا)
: كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
(وَالثَّانِي)
: إظْهَارُ الْإِيمَانِ عِنْدَ ظُهُورِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ. انْتَهَى
Apakah termasuk syarat wajibnya
amar ma'ruf nahi munkar adalah adanya harapan tercapainya tujuan, atau tidak?
Dalam hal ini terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah. Abu al-Harits
meriwayatkan kewajiban (walaupun tanpa harapan tercapai), sedangkan Hanbal
meriwayatkan sebaliknya.
Disebutkan dalam *Nihayat al-Mubtadi’in*:
Kewajiban mengingkari itu ada jika seseorang mengetahui akan tercapainya tujuan
dan belum ada orang lain yang melakukannya. Dalam riwayat lain disebutkan,
cukup jika seseorang berharap akan tercapai tujuannya, dan ini yang disebut
oleh Ibnul Jauzi. Ada juga pendapat bahwa pengingkaran tetap dilakukan meskipun
telah putus asa dari hilangnya kemungkaran dan meskipun khawatir tertimpa
gangguan atau fitnah.
Dalam *Nihayat al-Mubtadi’in* juga
disebutkan bahwa pengingkaran hanya dibolehkan jika masih ada harapan hilangnya
kemungkaran meskipun ada rasa takut tertimpa gangguan. Namun ada juga yang
berpendapat tidak boleh, bahkan ada yang mewajibkannya.
Pendapat yang disebutkan oleh
al-Qadhi dalam *al-Mu'tamad* adalah bahwa tidak wajib, dan seseorang boleh
memilih apakah ingin melaporkannya kepada imam (penguasa) atau tidak, berbeda
dengan pendapat yang mewajibkan pelaporan tersebut.
Dalam *al-Adab* disebutkan: Jika
pengingkaran itu tidak wajib, maka ia tetap lebih utama daripada
meninggalkannya — hal ini dipastikan oleh Ibn ‘Aqil. Al-Qadhi berkata, berbeda
dengan mayoritas ulama yang mengatakan bahwa hal itu buruk dan makruh kecuali
dalam dua keadaan:
Salah satunya : Mengucapkan
kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.
Kedua : Menampakkan iman ketika
tampaknya kekufuran. (Selesai).
Lihat pula : al-Aadab
asy-Syar’iyyah oleh Muhammad bin Muflih al-Hanbali 1/158 dan al-Hisbah –
Jami’atul Madinah hal. 371].
====
BEBERAPA HUKUM DAN BATASAN TENTANG AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR
[*] Mengingkari kemungkaran dengan
hati adalah wajib setiap saat dan tidak gugur dalam keadaan apa pun. Ini adalah
fardhu 'ain. Bukan pada hal itu letak persoalannya, tetapi persoalannya adalah
pada memahami hukum-hukum amar ma'ruf nahi munkar dalam hal-hal yang lebih dari
sekadar mengingkari dengan hati.
[*] Amar ma'ruf nahi munkar secara
umum hukumnya wajib. Namun, jika dilihat dari individu pelakunya, maka bisa
jadi hukumnya wajib, atau sunah, atau haram, atau makruh.
[*] Amar ma'ruf nahi munkar adalah
sesuatu yang dituntut dan disyariatkan apabila maslahatnya lebih besar daripada
mafsadatnya. Jika tidak, maka tidak disyariatkan.
[*] Amar ma'ruf nahi munkar
menjadi fardhu 'ain dalam salah satu dari empat kondisi berikut, dengan syarat
tidak adanya penghalang dan adanya maslahat yang lebih dominan:
1]. Jika ditunjuk langsung oleh
penguasa (pemerintah).
2]. Jika dia Satu-satunya orang
yang memiliki ilmu tentang keharusan melakukan amar ma'ruf nahi munkar.
3]. Jika kemampuannya hanya
dimiliki oleh individu tertentu, seperti seseorang yang berada di tempat
kejadian dan hanya dia yang mengetahui atau mampu menghilangkannya.
4]. Saat kondisi sangat
membutuhkan, seperti banyaknya kejahilan dan menyebarnya kemungkaran, dengan
harapan dapat memberi manfaat.
====
AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR MENJADI WAJIB DENGAN ENAM SYARAT YANG HARUS TERPENUHI SECARA BERSAMAAN:
1]. Jika perkara yang
diperintahkan adalah sesuatu yang wajib, atau yang dilarang adalah sesuatu yang
haram, atau yang diperintahkan adalah sesuatu yang sunah tetapi masyarakat
secara umum telah meninggalkannya, atau perkara makruh dilakukan secara luas
dan menyebar.
2]. Adanya harapan manfaat, yaitu
maksudnya maslahat dari amar ma'ruf nahi munkar lebih besar daripada
mafsadatnya.
3]. Tidak ada kekhawatiran akan
bahaya terhadap diri sendiri atau orang lain. Namun, tidak semua bentuk bahaya
dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar.
Seperti celaan ringan terhadap dirimu, atau menjadi bahan gunjingan, atau
dicela di depan orang, atau dianggap bodoh atau dungu dan semacamnya—hal-hal
seperti ini tidak seharusnya menghalangimu dari melaksanakan kewajiban amar
ma'ruf nahi munkar.
4]. Kemungkaran dilakukan secara
terang-terangan dan tampak jelas oleh orang yang melaksanakan hisbah tanpa
perlu memata-matai, atau meskipun tersembunyi tetapi dampaknya meluas kepada
orang lain.
5]. Memiliki kemampuan untuk
melaksanakan hisbah, yaitu orang yang memerintah dan melarang itu memiliki
kemampuan seperti ilmu dan semisalnya.
6]. Tidak ada orang lain yang
telah melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar tersebut secara mencukupi. Maka
dalam kondisi seperti ini, kewajiban itu tetap berlaku.
AMAR
MA'RUF NAHI MUNKAR HUKUMNYA SUNAH DALAM BEBERAPA KEADAAN.
Di antaranya:
1]. Jika fitnah dan kemungkaran
telah merajalela sehingga perintah dan larangan tidak lagi memberi pengaruh.
2]. Jika telah ada orang lain yang
melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar secara mencukupi.
3]. Jika perkara yang
diperintahkan adalah sesuatu yang wajib atau yang dilarang adalah sesuatu yang
haram, namun orang yang memerintah atau melarang khawatir akan terkena bahaya,
maka kewajiban gugur dan yang tersisa adalah kesunahan, dengan syarat masih ada
harapan akan munculnya manfaat dari perintah atau larangannya.
4]. Jika perkara yang
diperintahkan adalah sesuatu yang sunah dan masyarakat di suatu daerah tidak
sepakat untuk meninggalkannya, atau perkara yang dilakukan adalah makruh dan
masyarakat tidak sepakat untuk melakukannya.
AMAR MA’RUF DAN NAHYI MUNKAR KADANG
MENJADI HARAM :
Amar ma’ruf dan nahyi munkar
menjadi haram bagi orang yang mengetahui bahwa kemungkaran tidak akan hilang
dengan mengingkarinya, dan tidak ada maslahat yang dapat diambil dari perintah
atau larangan tersebut, serta dapat menyebabkan pembunuhan atau kerusakan pada
orang lain yang jelas.
Hal ini juga haram jika diakibatkan
oleh hilangnya maslahat yang lebih besar atau timbulnya mafsadat yang lebih
besar akibat amar ma'ruf nahi munkar.
DALAM
KONDISI TERTENTU MENJADI GUGUR KEWAJIBAN AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR:
Akan datang suatu waktu dan
kondisi tertentu di mana seorang Muslim sebaiknya fokus pada urusan dirinya
sendiri dan meninggalkan urusan orang banyak, sehingga kewajiban amar ma'ruf
nahi munkar dan dakwah gugur darinya, dengan syarat ada perkiraan bahwa akan
terjadi kerugian baik dari segi agama maupun dunia.
Diperbolehkan untuk diam dan
meninggalkan mengingkari jika demi menjaga kepentingan khusus bagi orang yang
melaksanakan hisbah, seperti diam terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh
gurunya agar tidak kehilangan ilmu, atau diam terhadap kemungkaran yang dilakukan
oleh dokter karena takut tidak diberi perawatan, atau meninggalkan mengingkari
terhadap orang yang diharapkan akan memberikan dukungan atau kekayaan di masa
depan.
Begitu juga bagi mereka yang lemah
dalam mencari nafkah dan hanya bergantung pada satu orang untuk biaya hidup,
jika mengingkari orang tersebut justru akan menghentikan pemberian nafkah
kepadanya. Namun, yang dikecualikan adalah hal-hal yang dapat mendatangkan
bahaya yang lebih besar daripada tidak mengingkari.
Meskipun demikian, sebaiknya tetap
mengingkari dan bertawakal kepada Allah.
Jika seseorang mengingkari
kemungkaran namun tidak menghilangkannya, maka seorang yang melaksanakan hisbah
yang telah mengingkari dua kali atau lebih dan tidak ada respons dari orang
yang diperintahkan, maka ia telah terbebas dari kewajibannya.
Jika tidak ada manfaat yang
diharapkan dari dakwah atau amar ma'ruf nahi munkar, maka itu tidak
disyariatkan. Jika peringatan justru menambah kerusakan atau mengurangi
kebaikan, maka itu tidak diperintahkan, bahkan dilarang.
ADA
EMPAT KONDISI MANFAAT DALAM AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR:
1]. Jika tidak ada manfaat yang
diharapkan dan justru akan membawa kerugian karena amar ma'ruf nahi munkar,
maka mengingkari kemungkaran menjadi haram.
2]. Jika tidak ada manfaat yang
diharapkan dan tidak ada kerugian, maka mengingkari kemungkaran tidak
disyariatkan.
3]. Jika ada manfaat yang
diharapkan dan tidak ada kerugian, maka mengingkari kemungkaran disyariatkan.
4]. Jika ada manfaat yang
diharapkan namun disertai dengan kerugian, maka mengingkari kemungkaran
disunahkan, dengan syarat tidak ada kerugian yang lebih besar daripada
manfaatnya, jika tidak maka menjadi haram. Salah satu bentuk manfaat adalah
dengan menampakkan syiar Islam.
Namun demikian, celaan dari
manusia tidak dianggap sebagai alasan yang sah secara syar'i untuk meninggalkan
amar ma'ruf nahi munkar, karena terdapat batas minimal gangguan yang timbul
dari pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar yang seharusnya tidak dijadikan
pertimbangan untuk meninggalkannya.
[Baca : Kitab “Fiqhu ad-Da'wah
ilallah wal-Amru bil-Ma'ruf wan-Nahyu 'anil-Munkar” karya Abu Faishal
al-Badraani hal. 2 – 4].
Al-Imam Al-Qurthubi dalam
Tafsir-nya 14/68 berkata:
قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَاصْبِرْ عَلى مَا أَصابَكَ﴾ يَقْتَضِي حَضًّا عَلَى تَغْيِيرِ
الْمُنْكَرِ وَإِنْ نَالَكَ ضَرَرٌ، فَهُوَ إِشْعَارٌ بِأَنَّ الْمُغَيِّرَ
يُؤْذَى أَحْيَانًا، وَهَذَا الْقَدْرُ عَلَى جِهَةِ النَّدْبِ وَالْقُوَّةِ فِي
ذَاتِ اللَّهِ، وَأَمَّا عَلَى اللُّزُومِ فَلَا
Firman Allah Ta’ala: ﴿dan bersabarlah atas apa yang menimpamu﴾ mengandung
anjuran untuk mengubah kemungkaran meskipun ditimpa bahaya. Ini menunjukkan
bahwa orang yang mengubah kemungkaran kadang mendapatkan gangguan. Maka hal
ini, pada dasarnya, merupakan dorongan untuk bersungguh-sungguh dan menunjukkan
kekuatan dalam membela agama Allah. Adapun dalam hal kewajiban, maka tidak.
[SELESAI]
Dengan demikian, jika anda melihat
suatu kemungkaran seperti tabarruj (tidak berhijab) atau yang semisalnya, maka
nasihatilah pelakunya, dan jelaskanlah hukum Allah dalam masalah tersebut.
DENGAN HIKMAH DAN KELEMBUTAN :
Hendaklah dalam ber-amar ma’ruf
nahyi munkar (mencegah kemungkaran dan menyuruh pada kebaikan) dilakukan dengan
hikmah dan kelembutan, serta mempertimbangkan keadaan yang sekiranya akan
membuat pelaku kemungkaran itu menerima nasihat atau larangan anda.
Terutama dalam menghadapi
perbedaan pendapat :
Al-Imam asy-Syafi’i , Muhammad bin
Idris berkata kepada Abu Musa :
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ
نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita
tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu
masalah?” . [ Baca : Siyar al-A’lam an-Nubalaa 10/16].
Al-Imam Yahya bin Ma’iin ( wafat 158 H ) berkata :
"مَا
رَأَيْتُ عَلَى رَجُلٍ قَطُّ خَطَأً إِلَاّ سَتَرْتُهُ وَأَحْبَبْتُ أَنْ أُزَيِّنَ
أَمْرَهُ، وَمَا اسْتَقْبَلْتُ رَجُلاً فِي وَجْهِهِ بِأَمْرٍ يَكْرَهُهُ،
وَلَكِنْ أُبَيِّنُ لَهُ خَطَأَهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، فَإِنْ قَبِلَ ذَاكَ
وَإِلَاّ تَرَكْتُهُ".
“Tidaklah aku lihat kesalahan
seseorang (saudara se-Islam), kecuali aku menutupinya, aku senang untuk memperindah urusan dirinya.
Tidaklah aku menjumpai seseorang
dengan hal yang dia benci di hadapannya, kecuali aku jelaskan kesalahannya
(secara sembunyi-sembunyi), hanya antara aku dan dia saja [yang tahu] .
Jika dia menerima penjelasanku
(maka itu lebih baik), dan jika dia tidak menerima ucapanku, maka aku
membiarkannya “.
(Lihat : ath-Thuyuuriyaat 4/1372
no. 1292 , Siyar A’lamin Nubala’ 11/83 , 93 , Tarikh Baghdad 14/183)
Al-Ajurry dalam " ذكر الأغلوطات وتعقيد المسائل " berkata :
وَلَيْسَ هَذَا طَرِيقُ مَا تَقَدَّمَ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ، مَا كَانَ
يَطْلُبُ بَعْضُهُمْ غَلَطَ بَعْضٍ، وَلَا مَرَادُهُمْ أَنْ يَخْطِئَ بَعْضُهُمْ
بَعْضًا، بَلْ كَانُوا عُلَمَاءً عَقَلَاءَ يَتَكَلَّمُونَ فِي الْعِلْمِ
مُنَاصَحَةً وَقَدْ نَفَعَهُمُ اللَّهُ بِالْعِلْمِ.
[Mencari-cari Kesalahan Orang
dalam berpendapat] , Ini bukanlah cara yang dilakukan oleh para salafus shaleh,
tidak ada sebagian dari mereka yang suka mencari-cari kesalahan satu sama lain,
dan tujuan mereka bukanlah untuk saling menyalahkan satu sama lain .
Sebaliknya, mereka adalah para ulama yang berakal sehat , mereka jika berbicara
berdasarkan ilmu dengan tujuan untuk saling bernasihat dan dinasihati . Dan
Allah swt telah menjadikan ilmu mereka bermanfaat “. [ Baca : Aklaaqul 'Ulamaa
hal. 87].
Imam Abdullah bin Al-Mubarak [W.
181 H]- rahimahullah – berkata:
"كَانَ
الرَّجُلُ إِذَا رَأَى مِنْ أَخِيهِ مَا يَكْرَهُ، أَمَرَهُ فِي سِتْرٍ، وَنَهَاهُ
فِي سِتْرٍ، فَيُؤْجَرُ فِي سِتْرِهِ، وَيُؤْجَرُ فِي نَهْيِهِ، فَأَمَّا
الْيَوْمُ فَإِذَا رَأَى أَحَدٌ مِنْ أَحَدٍ مَا يَكْرَهُ اسْتَغْضَبَ أَخَاهُ،
وَهَتَكَ سِتْرَهُ".
“ Dulu jika
seseorang melihat sesuatu dari saudaranya yang tidak disukainya, maka dia
memerintahkannya dengan cara tertutup [tidak terbuka], dan mencegahnya dengan
cara tertutup , maka dia akan diberi pahala karena menutupinya. , dan dia akan
diberi pahala karena mencegahnya .
Adapun sekarang , jika seseorang
melihat dari saudaranya sesuatu yang dia benci ; maka dia melakukan sesuatu
yang membuat saudaranya menjadi marah dan merobek penutup aibnya”.
[ Baca : Raudhatul 'Uqolaa wa
Nuzhatul Fudholaa karya Abu Hatim ad-Daarimi hal. 197 dan Fashlul Khithob fi
Az-Zuhd oleh Muhammad 'Uwaidhoh 10/231]
====
PENJELASAN
AL-IMAM AN-NAWAWI DALAM SYARAH SHAHIH MUSLIM (2/22-23):
An-Nawawi
berkata :
"وَقَدْ
تَطَابَقَ عَلَى وُجُوبِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ
الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَإِجْمَاعُ الْأُمَّةِ ...
فَإِذَا فَعَلَهُ وَلَمْ يَمْتَثِلِ الْمُخَاطَبُ فَلَا عَتْبَ بَعْدَ ذَلِكَ
عَلَى الْفَاعِلِ لِكَوْنِهِ أَدَّى مَا عَلَيْهِ فَإِنَّمَا عَلَيْهِ الْأَمْرُ
وَالنَّهْيُ لَا الْقَبُولُ".
Dan sungguh, telah sepakat atas
wajibnya amar ma'ruf dan nahi munkar — Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma' umat...
Maka jika seseorang telah melakukannya
(amar ma'ruf nahi munkar), namun orang yang ditegur tidak mau menaati, maka
tidak ada celaan setelah itu terhadap orang yang melakukannya, karena ia telah
menunaikan kewajibannya. Sesungguhnya yang menjadi tanggung jawabnya hanyalah
menyampaikan perintah dan larangan, bukan menjamin diterimanya (nasihat
tersebut).
Lalu
Imam an-Nawawi berkata :
قَالَ الْعُلَمَاءُ وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الْآمِرِ وَالنَّاهِي أَنْ يَكُونَ
كَامِلَ الْحَالِ مُمْتَثِلًا مَا يَأْمُرُ بِهِ مُجْتَنِبًا مَا يَنْهَى عَنْهُ
بَلْ عَلَيْهِ الْأَمْرُ وَإِنْ كَانَ مُخِلًّا بِمَا يَأْمُرُ بِهِ وَالنَّهْيُ
وَإِنْ كَانَ مُتَلَبِّسًا بِمَا يَنْهَى عَنْهُ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ
شَيْئَانِ أَنْ يَأْمُرَ نَفْسَهُ وَيَنْهَاهَا وَيَأْمُرَ غَيْرَهُ وَيَنْهَاهُ
فَإِذَا أَخَلَّ بِأَحَدِهِمَا كَيْفَ يُبَاحُ لَهُ الْإِخْلَالُ بِالْآخَرِ
قَالَ الْعُلَمَاءُ وَلَا يَخْتَصُّ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ
عَنِ الْمُنْكَرِ بِأَصْحَابِ الْوِلَايَاتِ بَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ لِآحَادِ
الْمُسْلِمِينَ
قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ إِجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ
فَإِنَّ غَيْرَ الْوُلَاةِ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ وَالْعَصْرِ الَّذِي يَلِيهِ
كَانُوا يَأْمُرُونَ الْوُلَاةَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ
مَعَ تَقْرِيرِ الْمُسْلِمِينَ إِيَّاهُمْ وَتَرْكِ تَوْبِيخِهِمْ عَلَى
التَّشَاغُلِ بِالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْي عَنِ الْمُنْكَرِ مِنْ غَيْرِ
وِلَايَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
ثُمَّ إِنَّهُ إِنَّمَا يَأْمُرُ وَيَنْهَى مَنْ كَانَ عَالِمًا بِمَا
يَأْمُرُ بِهِ وَيَنْهَى عَنْهُ وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الشَّيْءِ
فَإِنْ كَانَ مِنَ الْوَاجِبَاتِ الظَّاهِرَةِ وَالْمُحَرَّمَاتِ الْمَشْهُورَةِ
كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالزِّنَا وَالْخَمْرِ وَنَحْوِهَا فَكُلُّ
الْمُسْلِمِينَ عُلَمَاءُ بِهَا وَإِنْ كَانَ مِنْ دَقَائِقِ الْأَفْعَالِ
وَالْأَقْوَالِ وَمِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ
مَدْخَلٌ فِيهِ وَلَا لَهُمْ إِنْكَارُهُ بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ
ثُمَّ الْعُلَمَاءُ إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا
الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَلَا إِنْكَارَ فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَدِ الْمَذْهَبَيْنِ
كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَارُ عِنْدَ كَثِيرِينَ مِنَ
الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرِهِمْ وعلى المذهب الآخر المصيب واحد والمخطىء غَيْرُ
مُتَعَيَّنٌ لَنَا وَالْإِثْمُ مَرْفُوعٌ عَنْهُ لَكِنْ إِنْ نَدَبَهُ عَلَى
جِهَةِ النَّصِيحَةِ إِلَى الْخُرُوجِ مِنَ الْخِلَافِ فَهُوَ حَسَنٌ مَحْبُوبٌ
مَنْدُوبٌ إِلَى فِعْلِهِ بِرِفْقٍ . فَإِنَّ الْعُلَمَاءَ مُتَّفِقُونَ عَلَى
الْحَثِّ عَلَى الْخُرُوجِ مِنَ الْخِلَافِ إِذَا لَمْ يَلْزَمْ مِنْهُ إِخْلَالٌ
بِسُنَّةٍ أَوْ وُقُوعٍ فِي خِلَافٍ آخَرَ
وَذَكَرَ أَقْضَى الْقُضَاةِ أَبُو الْحَسَنِ الْمَاوَرْدِيُّ الْبَصْرِيُّ
الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِهِ الْأَحْكَامُ السُّلْطَانِيَّةُ خِلَافًا بَيْنَ
الْعُلَمَاءِ فِي أَنَّ مَنْ قَلَّدَهُ السُّلْطَانُ الْحِسْبَةَ هَلْ لَهُ أَنْ
يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ فِيمَا اخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ إِذَا
كَانَ الْمُحْتَسِبُ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ أَمْ لَا يُغَيِّرُ مَا كَانَ
عَلَى مَذْهَبِ غَيْرِهِ ؟ وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ لِمَا ذَكَرْنَاهُ
.
وَلَمْ يَزَلِ الْخِلَافُ فِي الْفُرُوعِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ
فَمَنْ بَعْدَهُمْ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ وَلَا يُنْكِرُ مُحْتَسِبٌ
وَلَا غَيْرُهُ عَلَى غَيْرِهِ .
وَكَذَلِكَ قَالُوا لَيْسَ لِلْمُفْتِي وَلَا لِلْقَاضِي أَنْ يَعْتَرِضَ
عَلَى مَنْ خَالَفَهُ إِذَا لَمْ يُخَالِفْ نَصًّا أَوْ اجماعا أوقياسا جَلِيًّا
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Para
ulama berkata: Tidak disyaratkan atas orang yang
beramar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran) harus orang yang sempurna dalam amal ibadah-nya, menjalankan semua
yang Allah perintahkan dan meninggalkan semua yang Allah larang.
Bahkan, ia tetap wajib ber-amar
ma’ruf (memerintahkan kepada kebaikan) meskipun ia sendiri lalai terhadap apa
yang ia perintahkan. Dan ia tetap wajib melarang (dari kemungkaran) meskipun ia
sendiri melakukannya.
Maka, wajib atasnya dua hal:
memerintahkan dirinya sendiri dan melarangnya, serta memerintahkan orang lain
dan melarangnya. Jika ia lalai dalam salah satunya, bagaimana bisa dibolehkan
baginya untuk lalai dalam yang lainnya?
Para
ulama juga berkata: Amar ma'ruf dan nahyi munkar tidak
dikhususkan hanya untuk para penguasa, melainkan boleh dilakukan oleh setiap
individu Muslim.
Imam al-Haramain berkata: Dalil
atas hal ini adalah ijma' kaum Muslimin, karena pada masa awal Islam dan masa
setelahnya, orang-orang selain penguasa biasa ber-ama ma’ruf nahyi munkar
kepada para penguasa (memerintahkan para penguasa untuk berbuat baik dan
melarang mereka dari kemungkaran). Dan kaum Muslimin menyetujui perbuatan
mereka itu serta tidak mencela mereka yang menyibukkan diri dengan amar ma'ruf
nahi munkar meskipun mereka tidak memiliki kekuasaan. Wallahu a’lam.
Kemudian, sesungguhnya orang yang ber-amar ma’ruf nahyi munkar (memerintah dan
melarang) itu haruslah mengetahui hal yang Allah perintahkan dan Allah larang.
Hal ini berbeda-beda tergantung
pada jenis perkara tersebut. Jika ia termasuk kewajiban yang dzohir (tampak
kelihatan) dan larangan yang masyhur seperti shalat, puasa, zina, khamar, dan
semacamnya, maka seluruh kaum Muslimin adalah orang-orang yang mengetahui hukum
amalan-amalan tersebut.
Namun jika ia termasuk perkara
yang rumit dalam perbuatan dan ucapan, atau yang membutuhkan ijtihad, maka
orang awam tidak memiliki wewenang di dalamnya, dan tidak boleh mengingkarinya
(tidak boleh nahyi munkar). Itu adalah urusan para ulama.
Kemudian, para ulama hanya diperbolehkan mengingkari perkara yang telah disepakati
hukumnya (secara ijma'). Adapun perkara yang diperselisihkan (ada perbedaan
pendapat), maka tidak boleh diingkari (tidak boleh melakukan nahyi munkar);
karena menurut salah satu dari dua pendapat, mengatakan : setiap mujtahid
adalah benar. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh banyak atau mayoritas
ulama muhaqqiqin.
Sedangkan menurut pendapat
lainnya, mengatakan : yang benar hanya satu, namun yang salah-nya tidak dapat
ditentukan, dan pelakunya tidak berdosa.
Namun jika seseorang menganjurkan
untuk keluar dari khilaf sebagai bentuk nasihat (demi menjaga persatuan), maka
itu adalah sesuatu yang baik, disukai, dan dianjurkan, akan tetapi harus
dilakukan dengan cara yang lembut. Sebab para ulama sepakat menganjurkan keluar
dari khilaf selama tidak menyebabkan meninggalkan sunnah atau jatuh dalam
khilaf lainnya.
Qadhi al-Qudhat Abu al-Hasan
al-Mawardi al-Bashri asy-Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya *Al-Ahkam
as-Sulthaniyyah* : adanya perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai
seseorang yang diangkat oleh penguasa untuk tugas hisbah / حِسْبَة (pengawasan amar ma'ruf nahi munkar):
Apakah boleh baginya untuk memaksakan pendapat mazhabnya dalam perkara yang
diperselisihkan para fuqaha, jika ia seorang mujtahid, ataukah tidak boleh
mengubah apa yang telah menjadi ketetapan ijtihad pada mazhab lainnya? Pendapat
yang paling benar adalah bahwa ia tidak boleh mengubahnya karena alasan yang
telah disebutkan.
Perbedaan pendapat dalam
cabang-cabang fiqih telah ada sejak zaman sahabat, tabi'in, dan orang-orang
setelah mereka – radhiyallahu ‘anhum - dan tidak boleh seorang muhtasib/ مُحْتَسِبٌ (pengawas kemungkaran) maupun selainnya
melakukan nahyi munkar (mengingkari) terhadap orang lain dalam perkara
tersebut.
Demikian pula, mereka mengatakan:
Tidak boleh bagi seorang mufti atau qadhi (hakim) untuk menentang orang yang
berbeda pendapat dengannya selama tidak menyelisihi nash (teks syar’i), ijma’,
atau qiyas yang jelas.
Wallahu ‘alam”. [SELESAI. Baca :
Syarah Shahih Muslim 2/22-24]
===***===
PEMBAHASAN
KETIGA : TAFSIR AYAT 105 – 106 QS. ALI IMRAN :
(PEMECAH
BELAH UMAT KELAK MENDAPAT ADZAB PEDIH & WAJAHNYA MENGHITAM . MEREKA ADALAH
ANJING-ANJING NERAKA JAHANAM)
Sebagaimana yang telah disebutkan
diatas , yaitu :
Allah SWT berfirman :
﴿وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ
مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ﴾
Dan janganlah kalian menjadi
seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada
mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab
yang berat [QS. Ali Imran : 105]
﴿يَوْمَ
تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ
وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا
كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ﴾
“ Pada hari yang di waktu itu ada
muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang
yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir
sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu
itu"”. [ QS. Ali Imran : 106 ]
Pertanyaan : Siapakah yang
dimaksud dengan pemecah belah umat yang mendapat adzab pedih dan wajahnya
menghitam ? Yang tentunya penyebab utamanya adalah manhaj para da’inya.
Jawabannya : adalah orang yang
terpapar manhaj Kahwarij , yaitu kelompok yang memiliki semangat beribadah yang
luar biasa , sesuai sunnah , akan tetapi mereka sombong, merasa suci dan
pemecah belah umat.
Ibnu Katsir ketika menafsiri
ayat-ayat diatas berkata :
وَقَدْ قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ رَبِيعٍ -وَهُوَ ابْنُ
صَبِيحٍ- وَحَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، قَالَ: رَأَى أَبُو
أُمَامَةَ رُءُوسًا مَنْصُوبَةً عَلَى دَرَجِ دِمَشْقَ، فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ:
كِلَابُ النَّارِ، شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ
قَتَلُوهُ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ﴾ إِلَى
آخِرِ الْآيَةِ. قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ: أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ؟ قَالَ: لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً، أَوْ مَرَّتَيْنِ، أَوْ
ثَلَاثًا، أَوْ أَرْبَعًا -حَتَّى عَدَّ سَبْعًا- مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ.
ثُمَّ قَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Abu Isa At-At-Tirmidzi ketika
menafsiri ayat ini mengatakan : telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib,
telah menceritakan kepada karni Waki', dari Ar-Rabi' ibnu Sabih dan Hammad ibnu
Salamah, dari Abu Galib yang menceritakan :
“Bahwa Abu Umamah melihat banyak
kepala [kaum kahwarij yang terbunuh] dipancangkan di atas tangga masuk masjid
Dimasyq. Maka Abu Umamah mengatakan :
"Anjing-anjing neraka adalah
seburuk-buruk orang-orang yang terbunuh di kolong langit ini; sebaik-baik
orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang dibunuhnya."
Kemudian Abu Umamah membacakan
firman-Nya:
“ Pada hari yang di waktu itu ada
muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula muka yang menjadi hitam muram.
(Ali Imran: 106), hingga akhir ayat”.
Kemudian aku bertanya kepada Abu
Umamah : "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ﷺ?"
Abu Umamah menjawab :
"Seandainya aku bukan mendengarnya melainkan hanya sekali atau dua kali
atau tiga kali atau empat kali dan bahkan sampai tujuh kali, niscaya aku tidak
akan menceritakannya kepada kalian."
Kemudian Imam At-Tirmidzi
mengatakan bahwa hadis ini hasan. [Baca : Tafsir Ibnu katsri 2/92].
TAKHRIJ HADITS :
HR. Imam Ahmad (no. 22109, 22083,
22051 dan 22262) dan At-Tirmidzi (no. 3000)
Abu Iisa at-Tirmidzi berkata :
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَأَبُو غَالِبٍ اسْمُهُ حَزَوَّرٌ وَأَبُو أُمَامَةَ
الْبَاهِلِيُّ اسْمُهُ صُدَيُّ بْنُ عَجْلَانَ وَهُوَ سَيِّدُ بَاهِلَةَ
"Ini adalah
hadits hasan , nama Abu Ghalib adalah Hazur, dan nama Abu Umamah al-Bahili
adalah Suday ibn 'Ajlan, dan dia adalah tokoh Bahilah".
Dan al-Haitsami merujuknya kepada
ath-Thabarani, beliau berkata: "Para perawinya adalah tsiqaat
(terpercaya)" (Majma' al-Zawaid 6/234). Hal ini juga disebutkan oleh
al-Hakim yang mensahihkannya dan disetujui oleh al-Dzahabi (al-Mustadrak
2/149-150). Ibnu Katsir juga meriwayatkannya dan berkata: "Hadits ini,
bagian-bagian terkecilnya adalah mawquuf dari perkataan seorang sahabat"
(Tafsir Ibnu Katsir 1/346).
DERAJAT KESHAHIHAN HADITS :
Hadits ini dihukumi HASAN SHAHIH
oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3000. Dan di Hasankan oleh
Syeikh Muqbil al-Waadi'i dalam Ash-Shahih al-Musnad 1/408 no. 482 .
RIWAYAT AL-HAKIM :
Al-Hakim meriwayatkan dalam
al-Mustadrak (no. 2654), dengan sanadnya dari Syaddad bin Abdullah Abu Ammar,
dia berkata:
شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ وَاقِفٌ
عَلَى رَأْسِ الْحَرُورِيَّةِ عِنْدَ بَابِ دِمَشْقَ وَهُوَ يَقُولُ: «كِلَابُ
أَهْلِ النَّارِ - قَالَهَا ثَلَاثًا - خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ» ،
وَدَمَعَتْ عَيْنَاهُ،
فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا أُمَامَةَ، أَرَأَيْتَ قَوْلَكَ هَؤُلَاءِ
كِلَابُ النَّارِ أَشَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، أَوْ مِنْ
رَأْيِكَ؟
قَالَ: إ"ِنِّي إِذًا لَجَرِيءٌ لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا وَعَدَّ سَبْعَ مَرَّاتٍ
مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ".
قَالَ لَهُ رَجُلٌ: "إِنِّي رَأَيْتُكَ قَدْ دَمَعَتْ عَيْنَاكَ".
قَالَ: "إِنَّهُمْ لَمَّا كَانُوا مُؤْمِنِينَ وَكَفَرُوا بَعْدَ
إِيمَانِهِمْ".
ثُمَّ قَرَأَ: ﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ﴾ [آل عمران: 105] الْآيَةُ، فَهِيَ لَهُمْ
مَرَّتَيْنِ
"Saya
menyaksikan Abu Umamah al-Bahili, dan dia berdiri di depan kepala al-Haruriyyah
(Khawarij yang terbunuh) di pintu gerbang Damaskus. Dia berkata :
'Mereka adalah anjing-anjing
neraka,' ia mengulanginya tiga kali. Mata Abu Umamah berlinang air mata ketika
mengucapkannya.
Seorang pria bertanya kepadanya :
'Wahai Abu Umamah, apakah ucapanmu ini, ( bahwa mereka adalah anjing-anjing
neraka), didengar dari Rasulullah ﷺ atau berdasarkan
pendapatmu sendiri?'
Abu Umamah menjawab : 'Jika benar
demikian berarti aku ini telah bersikap sembarangan. Sungguh, sekiranya aku
tidak mendengarnya dari Rasulullah ﷺ, kecuali hanya
satu atau dua kali, bahkan hanya tujuh kali , maka sungguh aku tidak akan
menyampaikannya kepada kalian [akan tetapi aku telah mendengarnya lebih dari
tujuh kali].'"
Seorang laki-laki berkata
kepadanya, "Sungguh aku melihat kedua matamu melelehkan air
mata."
Ia menjawab, "Mereka itu
dahulunya beriman, lalu kafir setelah keimanan mereka."
Kemudian ia membaca:
﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ﴾
*{Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan}* [Ali 'Imran:
105] – ayat ini berlaku atas mereka dua kali.
DERAJAT HADITS :
Adz-Dzahabi berkata : " Shahih sesuai syarat Shahih Muslim " . [at-Talkhish 2/163. No.
2654].
RIWAYAT LAIN :
Diriwayatkan oleh Ibn Majah (no.
173) dan Ahmad (no. 19130) dari Ibnu Abi Awfa. Beliau berkata, "Rasulullah
ﷺ bersabda:
(
الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ )
"Khawarij itu
anjing-anjing neraka".
[ Diriwayatkan pula oleh Al-Hakim
dalam Mustadrak (2654) dan (2655), Imam Ahmad (22051), (22083) dan (22109) dan
Al-Bushairi dalam “Al-Zawa'id” (3448/2) dan (3448/6)].
Hadits ini dinyatakan sahih oleh
Al-Albani dalam "Sahih Ibnu Majah".
Imam Muslim meriwayatkan dalam sahihnya dari Abu Dzar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
'إِنَّ بَعْدِي مِنْ أُمَّتِي،
أَوْ سَيَكُونُ بَعْدِي مِنْ أُمَّتِي قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يَجَاوِزُ
حَلَاقِيمَهُمْ، يَخْرُجُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَخْرُجُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ،
ثُمَّ لَا يَعُودُونَ فِيهِ، هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ.'
'Sesungguhnya setelahku, akan ada sebagian dari umatku, atau
setelahku akan ada sebagian dari umatku, mereka membaca Al-Quran, namun pemahaman
mereka tidak melebihi tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana
anak panah keluar dari sasarannya, dan mereka tidak akan pernah kembali ke
dalamnya. Mereka adalah manusia dan hewan yang paling jahat di kolong
langit.'" (HR. Muslim: 1067).
Dan Syeikh al-Munajjid berkata :
"Dan juga datang dalam Musnad Imam Ahmad dengan sanad yang jayyid
dari hadits Anas:
هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ،
طُوبَى لِمَنْ قَتَلَهُمْ وَقَتَلُوهُ، فَمَنْ قَتَلُوهُ يَكُونُ شَهِيدًا عِنْدَ اللَّهِ،
وَمَنْ قَتَلَهُمْ يَكُونُ لَهُ أَجْرُ قَتْلِ هَذِهِ الْمَارِقَةِ الْخَبِيثَةِ الَّتِي
تَخْرُجُ فِي الْمُسْلِمِينَ."
" Mereka adalah makhluk yang paling jahat di kolong langit,
beruntunglah bagi siapa yang membunuh mereka dan dibunuh oleh mereka. Siapa
yang membunuh mereka akan menjadi syahid di sisi Allah, dan siapa yang dibunuh
oleh mereka akan mendapatkan pahala membunuh para pemberontak yang jahat ini,
yang muncul di kalangan umat Muslim."
[Diriwayatkan oleh Ahmad: 13362, dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam
'Dzilal al-Jannah fi Takhrij as-Sunnah: 906].
Lalu Syeikh al-Munajjid berkata :
وَقَوْلُهُ: الْخَلْقُ
وَالْخَلِيقَةُ، الْخَلْقُ: الْبَشَرُ. وَالْخَلِيقَةُ: الْبَهَائِمُ، وَقِيلَ: هُمْ
هُمَا بِمَعْنَى وَاحِدٍ، وَيُرَادُ بِهِمْ جَمِيعُ الْخَلَائِقِ يَعْنِي هُمْ شَرٌّ
مِنَ الدَّوَابِ.
Sabdanya : " الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ", makna al-kholqu adalah manusia dan
makna al-kholiiqotu adalah hewan ternak . Atau ada yang mengatakan bahwa
keduanya dimaksudkan dalam makna yang sama, yaitu semua makhluk. Yang dimaksud
adalah bahwa mereka adalah makhluk yang paling jahat di antara semua makhluk.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan:
"وَفِيهِ أَنَّ الْخَوَارِجَ شَرُّ الْفِرَقِ
الْمُبْتَدِعَةِ مِنَ الْأُمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ"
"Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa Khawarij adalah
kelompok bid'ah paling buruk di antara semua kelompok yang menyimpang dalam
umat Muhammad." [Fath al-Bari: 12/302]."
Syeikh al-Munajjid berkata :
"وَضَرَرُهُم بَيِّنٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ؛
لِأَنَّهُمْ يُشْغِلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ عَنْ قِتَالِ أَهْلِ الشِّرْكِ، وَلِأَنَّهُمْ
يُفَرِّقُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَلِأَنَّهُمْ يُعَيِّثُونَ فِي دِمَاءِ الْأُمَّةِ
فَسَادًا، وَلِأَنَّهُمْ يَسْتَبِيحُونَ أَمْوَالَهَا، وَيَسْتَبِيحُونَ دِمَاؤُهَا،
وَفَسَادُهُمْ عَظِيمٌ، وَشَرُّهُمْ مُسْتَطِيرٌ لِلْغَايَةِ، وَهُمْ يَنْتَسِبُونَ
إِلَى الْإِسْلَامِ وَكَلَامُهُمْ وَخُطَبُهُمْ وَتَصْرِيحَاتُهُم بِالْآيَاتِ وَالْأَحَادِيثِ.
"Dampak buruk mereka dirasakan di antara umat Islam karena
mereka ini selalu mengalihkan perhatian umat Islam dari berperang melawan
orang-orang musyrik. Selain itu, mereka memecah-belah umat Islam, mencemari
darah umat Islam dengan kekacauan, dan menghalalkan harta mereka.
Kerusakan yang disebabkan oleh mereka sangat besar, dan kejahatan
mereka sangat ekstrem. Mereka mengklaim diri sebagai bagian dari Islam, dan
sering menggunakan ayat-ayat dan hadits dalam pidato dan pernyataan
mereka".
Lalu Syeikh al-Munajjid berkata : Dari Suwaid bin Ghoflah, ia mengatakan: Ali -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata :
" إذا حَدَّثْتُكُمْ عن رَسولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلَأَنْ أخِرَّ مِنَ السَّماءِ، أحَبُّ إلَيَّ مِن
أنْ أكْذِبَ عليه، وإذا حَدَّثْتُكُمْ فِيما بَيْنِي وبيْنَكُمْ، فإنَّ الحَرْبَ
خِدْعَةٌ.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُول :
يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ يَخْرُجُونَ مِنْ قَبَلِ الْمَشْرِقِ حُدَثَاء
الْأَسْنَانِ صِغَار فِي السِّنِّ فِي الْمٌجْمَلِ سُفَهَاءَ الْأَحْلَامِ عُقُولًا
طَائِشَةً يَقُولُونَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ، فِي كَلَامِهِمْ آيَاتٌ وَأَحَادِيثُ
لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ عِنْدَهُمْ تَعَبُّدٌ وَلَا صَلَاتُكُمْ
إِلَى صَلَاتِهِمْ بِشَيْءٍ، وَلَا صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ، يَقْرَءُونَ
الْقُرْآنَ يَحْسَبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِم، لَا يَجَاوَزُ إِيمَانُهُمْ
حُنَاجِرَهُم، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُق السَّهْمُ مِنَ الرَّمْيَةِ،
فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوهُم؛ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَوْ يَعْلَمُ الْجَيْشُ الَّذِينَ يُصِيبُونَهُمْ مَا قُضِيَ
لَهُمْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِم ﷺ لَاتَّكَلُوا عَنْ الْعَمَلِ".
"Jika saya menyampaikan sebuah hadits kepada kalian dari
Rasulullah ﷺ, maka sungguh bagi saya , terjatuh dari langit adalah lebih aku
sukai daripada aku mendustakannya. Dan jika saya menceritakan kepada kalian
sesuatu antara saya dan kalian, maka sesungguhnya perang adalah tipu daya.
Dan aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"Di akhir jaman nanti muncul suatu kaum dari arah timur , yang
umur-umur mereka masih muda, mereka pada umumnya masih bocah, mereka
orang-orang yang bodoh dalam impian dan pikiran yang gegabah. Mereka mengatakan
perkataan dari sebaik-baik manusia, dalam omongannya terdapat ayat-ayat dan hadits-hadits,
yang sejatinya tidak ada hubungannya antara bacaan kalian dengan bacaan mereka.
Mereka rajin ibadah . Shalat kalian tidak ada apa-apanya dibanding shalat
mereka , dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibanding puasa mereka .
Mereka membaca Al-Qur'an dan menganggap bahwa Al-Qur'an adalah dalil
bagi kebenaran mereka, padahal sebenarnya adalah dalil atas kesesetan mereka .
Iman mereka tak sampai melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama
sebagaimana anak panah keluar dari sasarannya, dimanapun kalian menemukannya,
bunuhlah dia, sebab siapa yang membunuhnya akan mendapatkan pahala pagi
pelakunya di hari kiamat."
Sekiranya pasukan yang memerangi mereka tahu pahala yang telah
ditetapkan bagi mereka atas lisan Nabi ﷺ, niscaya mereka akan berhenti beramal".
[ Lihat : Musnad Imam Ahmad no. 616 dan as-Sunnah karya Ibnu Abi
'Aashim no. 914 . Di shahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 2/45.
Lihat pula : Shahih Ibnu Hibban no. 6704 & 6739 dishahihkan al-Albaani
dalam adz-Dzilal (914) Q . Lihat pula : Shahih Bukhori no. 6930, Shahih Muslim
no. 1066 & 1773 . Lihat pula al-Musnad al-Mawdhu'i 2/88 no. 1379 ].
Syeikh al-Munajjid berkata :
يَعْنِي : لَوْ عَلِمُوا الَّذِينَ يُقَاتِلُونَهُم
لَوْ عَلِمُوا مَا لَهُمْ مِنَ الْأَجْرِ."
"Maksudnya: Jika mereka tahu terhadap orang-orang yang
berperang melawan mereka, jika mereka tahu apa yang mereka dapatkan dari
pahala."
Dalam lafadz lain : Suwaid
bin Ghaflah mengatakan, Ali radliallahu 'anhu mengatakan;
إذا حَدَّثْتُكُمْ عن رَسولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ حَدِيثًا، فَواللَّهِ لَأَنْ أخِرَّ مِنَ السَّماءِ،
أحَبُّ إلَيَّ مِن أنْ أكْذِبَ عليه، وإذا حَدَّثْتُكُمْ فِيما بَيْنِي
وبيْنَكُمْ، فإنَّ الحَرْبَ خِدْعَةٌ، وإنِّي سَمِعْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عليه وسلَّمَ يقولُ: سَيَخْرُجُ قَوْمٌ في آخِرِ الزَّمانِ، أحْداثُ
الأسْنانِ، سُفَهاءُ الأحْلامِ، يقولونَ مِن خَيْرِ قَوْلِ البَرِيَّةِ، لا
يُجاوِزُ إيمانُهُمْ حَناجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ، كما يَمْرُقُ
السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فأيْنَما لَقِيتُمُوهُمْ فاقْتُلُوهُمْ، فإنَّ في
قَتْلِهِمْ أجْرًا لِمَن قَتَلَهُمْ يَومَ القِيامَةِ.
"Jika saya menyampaikan sebuah hadits kepada kalian dari
Rasulullah ﷺ, demi Allah, saya terjatuh dari langit adalah lebih aku sukai
daripada aku mendustakannya. Karenanya, akan saya ceritakan kepada kalian
sesuatu yang akan terjadi diantara saya dan kalian, sesungguhnya perang adalah
tipu daya.
Dan aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"Di akhir jaman nanti muncul suatu kaum yang umur-umur mereka
masih muda, pikiran-pikiran mereka bodoh, mereka mengatakan dari sebaik-baik
manusia, padahal iman mereka tak sampai melewati kerongkongan, mereka keluar
dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, dimanapun kalian
menemukannya, bunuhlah dia, sebab siapa membunuhnya mendatangkan ganjaran pagi
pelakunya di hari kiamat." [HR. Bukhori no. 6930 dan Muslim no. 1066].
Kesimpulannya :
Mereka adalah orang-orang yang berusia muda, otaknya cetek,
membaca Al-Quran tapi tak sampai melewati kerongkongan mereka, maksudnya adalah
tidak memahaminya hingga sampai ke hati mereka, mereka keluar dari agama
sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya dan tidak kembali lagi, mereka
membunuh orang beriman dan membiarkan penyembah berhala, menuduh para pemimpin
mereka dan memvonis mereka dengan kesesatan.
Mereka menyeru kepada Kitabullah, namun mereka tidak sedikitpun
merupakan Ahli Al-Quran. Mereka tidak menganggap para ulama dan tokoh
terhormat.
Mereka mengira bahwa mereka lebih mengetahui terhadap Allah, RasulNya
dan kitabNya dibanding orang-orang mulia tersebut.
Mereka sangat keras beribadah dan sangat bersungguh-sungguh, akan
tetapi dengan kejahilan dan minimnya fiqih. Mereka mengkafirkan siapa saja yang
melakukan dosa besar dari kaum muslimin. Demikianlah ciri-ciri mereka
sebagaimana disebutkan beberapa hadits dan disebutkan para ulama.
Namun tidak boleh seseorang menuduh orang lain sebagai khawarij semata
karena dia berbeda pendapat dengannya atau semata karena dia memandang bahwa
orang tersebut cenderung punya sifat keras.
Tidak semua yang dianggap keras lantas disebut khawarij jika sejalan
dengan pemahaman salafush shaleh.
Golongan khawarij terpecah menjadi beberapa golongan kecil , yang
masing-masing mempunyai prinsip mereka sendiri-sendiri, selain prinsip itu
mereka terpecah belah kedalam beberapa aliran yang saling bertentangan.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya perbedaan pendapat diantara mereka,
yang kadang-kadang hanya masalah sepele, dan masing-masing mempertahankan
pendapatnya.
Mengenai jumlah sekte khawarij, ulama berbeda pendapat, Abu Musa
Al-Asy’ary mengatakan lebih dari 20 sekte, Al-Baghdady berpendapat ada 20
sekte, Al-Syahrastani menyebutkan 18 sekte, Musthafa al-Syak’ah berpendapat ada
8 sekte utama.
Sekte-sekte Khawarij di masa sekarang ini ada yang super keras dan
extreme , ada yang menengah dan ada juga yang sedikit moderat.
****
AWAL DOSA DAN KESALAHAN MANHAJ KHAWARIJ PEMECAH BELAH UMAT :
Awal dosa kaum berfaham khawarij
dimulai dari rasa sombong, takabur dan merasa suci . Mereka merasa takjub
terhadap dirinya, semangat ibadahnya dan manhajnya . Maka mereka mengklaim
seluruh kaum muslimin yang bukan golongannya dan tidak berada diatas manhajnya
adalah ahli neraka .
Dan menurut keyakinan mereka bahwa
duduk-duduk dan berkumpul dengan selain golongannya adalah perbuatan dosa dan
haram, bahkan dosanya jauh lebih besar dari pada zina, meminum khamr , membunuh
dan lainnya. Akan tetapi mereka membolehkan duduk-duduk dengan orang kafir ;
dengan alasan bahwa orang kafir itu sangat jelas akan kekufurannya dan tidak
ada syubhat bahwa mereka bukan kaum muslimin .
Maka mereka pun mewajibkan hukum
hajer dan dan tahdzir yang dikemas dengan dalil amar makruf nahyi munkar dan
tashfiyah ash-shufuuf [memurnikan barisan].
Dan itulah sebenarnya yang
memotivasi mereka untuk bersemangat ibadah . Dan dosa itulah yang meluluh
lantakan pahala seluruh amal ibadah mereka .
Ketika mereka keluar dari jemaah
kaum muslimin, dengan merendahkan yang lain, menghina, mencela dan lainnya yang
berdampak pada perpecahan, permusuhan dan kebencian ; maka sejak saat itu pula
mereka telah terpapar virus Khawarij .
Dosa berikutnya adalah memecah
belah umat, dikemas dengan dalil al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman
mereka sendiri . Seakan-akan memecah belah umat ini adalah perintah dari Allah
dan Rasul-Nya . Bahkan mereka ini senantiasa menggunakan dalil yang sebenarnya
ditujukan kepada orang-orang kafir dan musyrik, akan tetapi oleh mereka
diarahkan kepada kaum muslimin yang berbeda pendapat dengan golongannya . Ini
adalah kedustaan yang amat dahsyat mengatas namakan al-Quran dan Sunnah.
----
RINGKASAN CIRI KHAWARIJ YANG BER-MANHAJ PEMECAH BELAH UMAT :
Ciri kaum khawarij sebagaimana yang
dikabarkan Nabi ﷺ:
Ibadah mereka sangat luar biasa,
mengalahkan semangat ibadah para sahabat nabi ﷺ bahkan ibadah
para sahabat tidak ada apa-apanya dibanding dengan ibadah mereka.
Berkemas al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan pemahaman yang disesuaikan hawa nafsu mereka.
Mereka terfitnah dan merasa takjub
dengan ibadahnya dan manhajnya , sehingga merasa dirinya sangat exclusive dalam
kehidupannya.
Mereka bernampilan syuhroh,
berbeda dengan yang lain, terkesan memamerkan dirinya sebagai orang shaleh,
merasa istimewa dan suci.
Mereka sombong, sebagaimana
karakter Iblis, sehingga mereka mengklaim diri mereka sebagai pemegang kunci
syurga dan neraka.
Mereka merasa suci dan ahli
syurga, maka mereka mengklaim selain golongannya pasti sesat dan ahli neraka.
Mereka menciptakan hukum haram
mengucapkan salam kepada sesama kaum muslimin yang bukan dari golongannya.
Mengharamkan duduk bersama dan berkumpul dengan selain golongannya . Bahkan
mereka mewajibkan menghajer dan mentahdzir orang-orang yang tidak sefaham dengan
mereka.
Lalu mereka mewajibkan diri mereka
memisahkan diri dari jemaah kaum muslimin yang dianggap najis dan sesat , serta
beranggapan berdosa mendekati kaum muslimin yang bukan golongannya; karena
menurutnya sama dengan kerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan, padahal
mereka sendiri yang pertama menciptakan permusuhan.
===
PEMECAH BELAH UMAT MANUSIA adalah MANHAJ IBLIS
Dalam hadits Jabir radhiyallahu 'anhu , bahwa Rosulullah ﷺ bersabda :
«إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ
عَلَى الْمَاءِ ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ ، فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً
أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ ، فَيَقُولُ : فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا ،
فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا . قَالَ : وَيَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ : مَا
تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَهْلِهِ . قَالَ : فَيُدْنِيهِ
مِنْهُ . أَوْ قَالَ : فَيَلْتَزِمُهُ ، وَيَقُولُ : نِعْمَ أَنْتَ » .
قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ مَرَّةً :
«فَيُدْنِيهِ مِنْه».
"Sesungguhnya iblis
meletakkan singgasananya di atas air kemudian menyebarkan bala tentaranya dan
yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar fitnahnya. Salah
satunya datang lalu berkata : ' saya telah melakukan ini dan ini ' , lalu iblis
mengatakan : ' kamu tidak berbuat apa-apa' .
Kemudian datang yang lain dan mengatakan
: ' tidaklah aku meninggalkan manusia sehingga aku telah memecah belah
antara dia dan keluarganya' .
Maka iblis mendekatkan dia di sisinya ,
atau menjadikannya sebagai pendampingnya ,
dan dia mengatakan : 'kamu adalah sebaik-baik teman' ".
Abu Mu'awiyah pernah berkata: "Lalu Iblis
pun semakin mendekatkan-nya di sisi-nya."
( HR. Muslim no. 2813 ).
Dalam riwayat lain dari Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata : aku mendengar
Nabi ﷺ bersabda:
«إِنَّ عَرْشَ إِبْلِيْسَ عَلَى
الْبَحْرِ. فَيَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَيُفتِنُوْنَ النَّاسَ. فَأَعْظَمُهُمْ
عِنْدَهُ أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً».
“Sesungguhnya singgasana iblis berada dilautan dan dikirimnya
pasukannya, lalu mereka menimbulkan fitnah (kekacauan) antara sesama manusia.
Maka orang yang paling mulia dari pasukan itu dalam pandangan iblis adalah yang
paling besar kemampuannya dalam menimbulkan kekacauan dan perpecahan. (HR. Muslim no. 2812 dan Ibnu Hibban no.
6187)
Allah SWT berfirman :
﴿اِنَّمَا
يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ﴾
“Sesungguhnya setan itu hanyalah
berkeinginan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian” (QS.
Al-Maidah: 91)
*KESOMBONGAN DAN MERASA SUCI
ADALAH DOSA PERTAMA YANG IBLIS LAKUKAN :*
Sebagian para ulama salaf
menjelaskan bahwa dosa pertama kali yang muncul kepada Allah adalah
kesombongan. Allah Ta’ala berfirman,
﴿وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى
وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)
Tentang
ayat ini Qotaadah berkata :
“Iblis hasud terhadap Adam
‘alaihis salaam atas kemuliaan yang telah Allah berikan kepada nya . Iblis
berkata : “Saya diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah”.
Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi. Iblis merasa sombong dengan
tidak mau bersujud kepada Adam ‘alaihis salaam” (Tafsir Ibnu Katsir 1/114)
Ada riwayat yang mengatakan bahwa
nama asal Iblis adalah Azazil . Dia menyembah Allah selama 1000 tahun, lalu
Allah swt mengangkatnya ke langit pertama. Di langit pertama, Azazil beribadah
menyembah Allah swt selama 1000 tahun. Kemudian dia diangkat ke langit kedua.
Begitu seterusnya hingga akhirnya dia diangkat menjadi imam dan ketua malaikat
ataupun imam kepada para malaikat. Ibadahnya kepada Allah paling banyak.
Ada riwayat yang menyatakan Azazil
beribadah kepada Allah selama 80,000 tahun dan tiada tempat di dunia ini yang
tidak dijadikan tempat sujudnya ke hadrat Allah.
Tidak ada yang mengetahui apa-apa
yang tersimpan dalam jiwa Azazil kecuali Allah swt . Adapun para malaikat maka
mereka tidak tahu sama sekali . Kemudian terjadi sesuatu yang di luar perkiraan
, yaitu Azazil menemukan dalam setiap tempat sujudnya tulisan :
*Iblis
diusir, Iblis dikutuk, Iblis dihinakan, dan dia melihat tulisan terpampang di
atas lingkaran pintu surga: “ Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba dari kalangan
al-Muqorrobiin, Aku telah menyuruhnya, tapi dia tidak mau melaksanakan
perintah-Ku, melainkan dia bermaksiat dan bermaksiat, maka aku mengusirnya,
mengutuknya dan menjadikan semua ketaatan dan amalnya bagaikan debu yang
beterbangan“.*
Azazil kaget dan bertanya-tanya,
lalu berkata :
*Siapakah
Iblis yang terusir ini ? Kami berlindung kepada Allah dari hal itu ! . Kemudian
dia menghadap kepada Allah dan berkata : Wahai Rabb-ku Hamba-Mu yang manakah
yang berani menentang perintah-Mu, sungguh aku ikut mengutuknya , izinkanlah
aku untuk mengutuknya!*
Maka Allah SWT mengizinkannya.
Lalu Azazil pun mengutuknya seribu kali .
Azazil tidak sadar bahwa tulisan
di pintu syurga itu bisa menimpa kepada sesiapa saja, termasuk pada dirinya.
Itu disebabkan karena ada kesombongan pada dirinya dan merasa suci.
Ternyata bukan hanya Azazil yang
melihat perkara ini , ternyata dan bahkan para malaikat pun mengetahuinya dari
malaikat Isrofil , yaitu ketika Israfil memperhatikan ke arah Lauh Mahfudz, dia
mendapati perkataan yang sama, maka setelah melihat itu dia menangis
tersedu-sedu, karena khawatir dirinya lah yang dimaksud. Sehingga tangisannya
itu membuat para malaikat merasa kasihan dan iba terhadapnya , maka mereka
berkumpullah dan menanyakannya : “Apa yang membuat-mu menangis ???”.
Israfil menjawab : “Aku telah
menemukan sebuah rahasia dari rahasia-rahasia Rabb ku”
Lalu dia mengkisahkannya kepada
mereka , maka para malaikat pun semuanya menangis , dan mereka berteriak :
“Tidak
ada pilihan bagi kita kecuali kita harus pergi mendatangi Azazil , karena
sesungguhnya dialah satu-satunya orang yang mustajab doanya dan termasuk
orang-orang yang dekat kedudukannya di sisi Allah , mari kita minta bantuan
kepadanya agar dia berkenan berdo’a kepada Allah untuk kita!”.
Maka para malaikatpun bersegera
mendatangi Azaaziil dan menceritakan nya . Lalu Azaazil mengangkat kedua
tangannya seraya berdoa :
*Wahai
Rabb , amankan lah mereka dari pemutusan rahmat mu!.*
Azaaziil hanya mendoakan mereka
dan lupa mendoakkan dirinya karena dia terkelabui oleh perasaan ujubnya sendiri
karena merasa dirinya berada pada derajat dan posisi yang menurutnya tidak
mungkin, mustahil bahkan tidak tergambarkan sedikitpun dalam benaknya bahwa
dirinya itu adalah iblis yang terusir dan terkutuk itu …. .
Allah swt mengabulkan doa Azazil
untuk para malaikat dan Allah menandai iblis dengan sebuah tanda celaka.
Dan ketika adanya ketakaburan atau
kesombongan dalam diri Azazil sementara para malaikat tidak ada yang
mengetahuinya, maka Allah yang Maha Bijak lagi Maha Adil berkehendak mengungkap
niat dan tujuan yang sebenarnya ibadah Azazil selama ini serta kesombangannya,
yaitu dengan cara Allah menciptakan Adam.
Dengan tujuan kelak nanti Azazil
dan seluruh malaikat diuji kepatuhan dan ketulusannya kepada Allah dengan
perintah sujud kepada Adam. Berkenaan dengan kisah ini Allah swt berfirman
dalam al-Quran :
﴿وَ
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً
قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ
تَعْلَمُوْن﴾
“Dan
(ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau
hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan
darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia
berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.( QS. Al-Baqarah : 30 )
****
MEMECAH BELAH UMAT TERMASUK DOSA BESAR. PELAKUNYA HARUS DIBUNUH.
Memecah belah jamaah kaum Muslimin
termasuk dosa besar yang menghalalkan darah orang yang memecah belah tersebut,
sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih:
«مَنْ
أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ
عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ»
"Siapa saja orangnya yang
datang kepada kalian, sementara perkara kalian dalam keadaan bersatu di bawah
satu orang, lalu orang itu ingin memecah tongkat kalian (memecah persatuan
kalian) dan memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia." (HR. Muslim
no. 1852)
Hal ini tidak terbayangkan terjadi
dalam masalah yang telah disepakati secara Ijma’ oleh seluruh kaum Muslimin,
lalu kebenaran di klaim berada pada pihak orang yang memisahkan diri dari
mereka. Karena masalah yang telah disepakati secara Ijma' tidak boleh
diperselisihkan, contohnya seperti hukum wajibnya sholat 5 waktu.
Adapun dalam hal-hal yang layak
terjadi perbedaan pendapat seperti masalah-masalah furu’iyah ijtihadiyah, maka
jamaah kaum Muslimin tidak boleh berpecah karenanya, meskipun orang yang
menyelisihi mereka itu berada di atas kebenaran.
KEKHAWATIRAN RASULULLAH ﷺ
Dari Huzaifah ibnul Yaman r.a.
bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:
"إن مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رجُل قَرَأَ الْقُرْآنَ، حَتَّى
إِذَا رُؤِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْء الْإِسْلَامِ اعْتَرَاهُ إِلَى مَا
شَاءَ اللَّهُ، انْسَلَخَ مِنْهُ، وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ
بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا
أَوْلَى بِالشِّرْكِ: الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي؟ قَالَ: "بَلِ الرَّامِي".
“Sesungguhnya di antara hal yang saya
khawatirkan terhadap kalian ialah seorang lelaki yang pandai membaca Al-Qur’an,
hingga manakala keindahan Al-Qur’an telah dapat diresapinya dan Islam adalah
sikap dan perbuatannya, lalu ia tertimpa sesuatu yang dikehendaki oleh Allah,
maka ia tanpa sadar telah melepaskan diri dari Al-Qur’an. Dan Al-Qur'an ia
lemparkan di belakang punggungnya (tidak diamalkannya), lalu ia menyerang
tetangganya dengan senjata dan menuduhnya telah musyrik”.
Huzaifah ibnul Yaman bertanya :
"Wahai Nabi Allah, manakah di antara keduanya yang lebih musyrik, orang
yang dituduhnya ataukah si penuduhnya?"
Rasulullah ﷺ menjawab : "Tidak, bahkan si
penuduhlah (yang lebih utama untuk dikatakan musyrik)."
[ Abu Ya'la Al-Mausuli dalam
Musnad-nya (Tafsir Ibnu Katsir 3/509) dan Al-Bazzar dalam Musnadnya no. (175) .
DERAJAT KESHAHIHAN HADITS :
Al-Haitsami berkata dalam
Al-Majma' (1/188): 'Sanadnya hasan.'"
Ibnu Katsir berkata :
"هَذَا إِسْنَادٌ جَيِّدٌ. وَالصَّلْتُ بْنُ بَهْرَامَ كَانَ مِنْ
ثِقَاتِ الْكُوفِيِّينَ، وَلَمْ يُرْمَ بِشَيْءٍ سِوَى الْإِرْجَاءِ، وَقَدْ وَثَّقَهُ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَيَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، وَغَيْرُهُمَا".
Sanad hadis ini berpredikat
jayyid. As-Silt ibnu Bahram termasuk ulama siqah dari kalangan penduduk Kufah,
dia tidak pernah dituduh melakukan sesuatu hal yang membuatnya cela selain dari
Irja (salah satu aliran dalam mazhab tauhid). Imam Ahmad ibnu Hambal menilainya
siqah, demikian pula Yahya ibnu Mu'in dan lain-lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir
3/509)
LARANGAN KLAIM AHLI NERAKA PADA AHLI MAKSIAT:
Syari'at Islam melarang seseorang
mengklaim orang lain "ahli neraka", meskipun yang nampak darinya
sangat membenarkannya. Begitu pula sebaliknya, mengklaim ahli syurga
berdasarkan yang nampak di mata.
Sebagaimana diriwayatkan dari
Dhamdham bin Jaus al-Yamami beliau berkata:
“Aku masuk ke dalam masjid
Rasulullah ﷺ, di sana ada seorang lelaki itu tua yang
diinai rambutnya, putih giginya. Bersama-samanya adalah seorang anak muda yang
tampan wajahnya, lalu lelaki tua itu berkata:
يَا يَمَامِيُّ تَعَالَ ، لاَ تَقُولَنَّ لِرَجُلٍ أَبَدًا: لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ
لَكَ ، وَاللَّهِ لاَ يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ أَبَدًا
Wahai Yamami, mari ke sini.
Janganlah engkau pernah berkata kepada seseorang: Allah tidak akan mengampuni
engkau, Allah tidak akan memasukkan engkau ke dalam syurga selamanya.
Aku bertanya: Siapakah engkau,
semoga Allah merahmati engkau?
Lelaki tua itu menjawab: Aku
adalah Abu Hurairah.
Aku pun berkata: Sesungguhnya
perkataan seumpama ini biasa seseorang sebutkan kepada sebahagian keluarganya
atau pembantunya apabila dia marah.
Abu Hurairah pun berkata:
Janganlah engkau menyebutkan perkataan seperti itu. Sesungguhnya Aku mendengar
Rasulullah ﷺ bersabda:
"كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَوَاخِيَيْنِ فَكَانَ
أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ فَكَانَ لَا يَزَالُ
الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ فَوَجَدَهُ يَوْمًا
عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ أَقْصِرْ فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ
رَقِيبًا فَقَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ
الْجَنَّةَ فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ
لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا
وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلْآخَرِ
اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ "
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ
دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
"Ada dua orang laki-laki dari
bani Isra'il yang berbeda arah; salah seorang dari mereka adalah orang yang
tekun beribadah (Ahli Ibadah) sementara yang lainnya orang yang hobbi berbuat
dosa (pendosa). Orang yang ahli ibadah itu selalu mengawasi pendosa itu berbuat
dosa lalu ia berkata, "Berhentilah."
Lalu pada suatu hari ia kembali
mendapati pendosa itu berbuat dosa, ia berkata lagi, "Berhentilah."
Orang yang suka berbuat dosa itu
berkata, "Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu
mengawasiku!"
Ahli ibadah itu berkata,
"Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu, atau tidak akan
memasukkanmu ke dalam surga."
Allah kemudian mencabut nyawa
keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam.
Allah kemudian bertanya kepada
ahli ibadah: "Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu
melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?"
Allah SWT lalu berkata kepada
pelaku dosa: "Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan
rahmat-Ku." Dan berkata kepada ahli ibadah: "Pergilah kamu ke dalam
neraka."
Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
"Demi Dzat yang jiwaku ada
dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak
dunia dan akhiratnya."
(HR. Abu Daud 4318 Ibnu Hibban
5804 Abdullah bin al-Mubaarok dlm al-Musnad No. 36. Di shahihkan oleh Ibnu
Hibban dan Syeikh Muqbil al-wadi’i)
===***===
PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH RAHMAT. PERPECAHAN DENGAN MEMPERUNCING PERBEDAAN ADALAH ADZAB
Dari Nu'man bin Basyir, dia
berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ"
'Bersatu bersama
jemaah adalah rahmat dan perpecahan adalah azab.'"
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad
4/278 dan 4/375, serta anaknya dalam "Zawaid" 4/375, dan al-Quda'i
dalam Musnad asy-Syihab 1/43 nomor 15, dan Ibn Abi ad-Dunya dalam "Qadha
al-Hawaij" 78, serta Ibn Abi Asim dalam "As-Sunnah" 93, dan
al-'Aqili dalam "Adh-Dhu'afa al-Kabir" 4/429, serta Abu ash-Sheikh
al-Asbahani dalam "Amtsal al-Hadith" nomor 111, dan al-Baihaqi dalam
"Asy-Syu'ab" 4419, serta Ibn Batta dalam "Al-Ibanah
al-Kubra" nomor 117, dan al-Khiraithi dalam "Fadilah asy-Syukr"
83, dan al-Bazzar sebagaimana dalam "Kasyf al-Astar" nomor 1637.
Hadis ini dinilai hasan oleh
al-Albani dalam "Shahih al-Jami'" (3109).
Berdasarkan hadits ini, Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata :
"
وَإِذَا تَفَرَّقَ الْقَوْمُ فَسَدُوا وَهَلَكُوا . وَإِذَا اجْتَمَعُوا صَلَحُوا
وَمَلَكُوا . فَإِنَّ الْجَمَاعَةَ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ".
"Dan jika
suatu kaum bercerai-berai dan pecah belah, mereka akan rusak dan binasa. Jika
mereka bersatu, mereka akan menjadi baik dan berkuasa. Sesungguhnya kebersamaan
adalah rahmat, dan perpecahan adalah azab." [ Baca : Majmu’ al-Fatawa
19/217].
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata:
وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْصِدَ إلَى تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ
بِتَرْكِ هَذِهِ الْمُسْتَحَبَّاتِ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ
أَعْظَمُ مِنْ مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ ﷺ
تَغْيِيرَ بِنَاءِ الْبَيْتِ لِمَا فِي إبْقَائِهِ مِنْ تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ
وَكَمَا أَنْكَرَ ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى عُثْمَانَ إتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي
السَّفَرِ ثُمَّ صَلَّى خَلْفَهُ مُتِمًّا. وَقَالَ الْخِلَافُ شَرٌّ.
Dan disunnahkan bagi seseorang
untuk mengutamakan menyatukan hati (kaum Muslimin) dengan meninggalkan
amalan-amalan sunnah ini, karena maslahat menyatukan hati dalam agama lebih
besar daripada maslahat mengamalkan hal-hal semacam itu.
Sebagaimana Nabi ﷺ meninggalkan keinginan untuk merombak
bangunan Ka'bah karena mempertimbangkan maslahat penyatuan hati dengan
membiarkannya tetap seperti itu.
Dan sebagaimana Ibnu Mas'ud
mengingkari Utsman atas perbuatan menyempurnakan shalat dalam safar, namun
tetap shalat di belakangnya secara sempurna, dan beliau berkata: “Perpecahan
adalah buruk”.(selesai) [ Baca : Majmu’ al-Fatawa 22/408]
Sebagiamana yang disebutkan oleh
Ibnu Taimiyah diatas, maka inilah yang terjadi pada Abdullah bin Mas'ud, ia
shalat di Mina di belakang Utsman (radhiyallahu 'anhuma) sebanyak empat rakaat
untuk shalat zuhur dan asar, sementara menurutnya yang benar adalah dua rakaat
qoshor, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ, dan oleh kaum
muslimin pada masa kekhilafahan Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan awal
kehilafahan Utsman bin Affaan – radhiyallahu ‘anhum . Berikut ini sebagian
riwayatnya :
Abdurrahman bin Yazid berkata :
"أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى بِمِنًى أَرْبَعًا
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ - مُنْكِرًا عَلَيْهِ - : صَلَّيْتُ مَعَ
النَّبِيِّ ﷺ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ
رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا ثُمَّ
تَفَرَّقَتْ بِكُمُ الطُّرُقُ فَلَوَدِدْتُ أَنَّ لِي مِنْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ
رَكْعَتَيْنِ مُتَقَبَّلَتَيْنِ ثُمَّ إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ صَلَّى أَرْبَعًا فَقِيلَ
لَهُ : عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ : الخِلاَفُ
شَرٌّ".
Bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu – mengingkarinya - seraya
berkata:
“Aku dulu shalat bersama Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan
‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat rakaat.
Kemudian terjadilah perbedaan
pendapat diantara kalian, dan sungguh aku berkeinginan dari empat rakaat shalat
itu yang diterima adalah yang dua rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina,
Abdullah bin Mas’ud justru dia juga ikut shalat empat rakaat. Maka ada
yang bertanya kepada beliau:
“Engkau dulu telah mengingkari
‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, akan tetapi engkau sendiri shalat
empat rakaat pula?”
Abdullah bin Mas’ud
menjawab: “Perpecahan itu adalah buruk .”
["Hadis ini diriwayatkan oleh
Abu Dawud (1960) dengan sedikit perbedaan, dan diriwayatkan oleh Bukhari
(1084), serta Muslim (695) dalam bentuk yang lebih panjang dengan lafaz yang
hampir serupa."
Di
shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud].
Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah berkata :
وَ سَنَدُهُ صَحِيحٌ. وَ رَوَى أَحْمَدُ (٥ / ١٥٥) نَحْوَ هَذَا عَنْ أَبِي
ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.
“Sanadnya Shahih .
Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari
shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in). [As-Silsilah Ash-Shahihah
1/444].
RIWAYAT
LAIN :
Al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifat
As-Sunan wa Al-Atsar 4/260 No. 6078: 6078 - Ahmad berkata:
وَقَدْ رُوِّينَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ فِي صَلَاةِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَرْبَعًا، وَقَوْلُهُمْ:
أَلَمْ يُحَدِّثْنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ؟
فَقَالَ: بَلَى. وَلَكِنَّ عُثْمَانَ كَانَ إِمَامًا، فَأُخَالِفُهُ وَالخِلاَفُ
شَرٌّ
Telah diriwayatkan kepada kami
dengan sanad yang sahih dari Abu Ishaq, dari Abdurrahman bin Yazid
tentang : ‘shalat Ibnu Mas'ud sebanyak empat rakaat’, dan ucapan mereka:
'Bukankah dia telah memberitahu
kita bahwa Nabi ﷺ shalat dua rakaat, dan Abu Bakar
juga?'
Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab:
'Betul. Tetapi Utsman adalah imam, maka aku tidak boleh menyelisihinya
dan perpecahan itu adalah buruk.'"
NOTE : Ada banyak riwayat tentang
kronologi ucapan Ibnu Mas’ud tersebut.
Dan dari ri Abu Hurairah
-radhiyallahu ‘anhu- dia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِنَّ
اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا ، وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا : فَيَرْضَى لَكُمْ
أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ
السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةِ الْمَالِ".
"Sesungguhnya Allah menyukai
bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara :
[*] Dia menyukai kalian hanya
menyembah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
[*] Kalian berpegang teguh dengan
agama-Nya dan janganlah kalian berpecah belah.
[*] Dan Allah membenci kalian dari
mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya dan
menyia-nyiakan harta." [HR. Muslim no. 3236]
*****
PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH CABANG AGAMA ADALAH RAHMAT.
Yang dimaksud pendapat disini
adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyyah yang layak dan
memungkin terjadinya terjadinya perbedaan pendapat. Bukan masalah-masalah yang
qoth’i dan Ijma’.
Ada ungkapan masyhur dikalangan
para ulama salaf dan khalaf yang menyatakan :
إنَّ اختِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهُم، كَمَا أَنَّ
اختِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ كَانَ لَهَا عَذَابًا وَهَلَاكًا.
"Sesungguhnya perbedaan di
antara umat ini adalah rahmat dari Allah bagi mereka, sementara perbedaan
umat-umat sebelumnya adalah azab dan kebinasaan bagi mereka" .
Dan :
إجماعُهُمْ حُجَّةٌ، وَاخْتِلافُهُمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ.
"Ijma’ (kesepakatan) mereka
adalah hujah, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas." [Baca :
"Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib karya al-Imam as-Suyuthi"
(1/2)]
Perkataan
al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiiq (wafat 107 H):
Dalam “Al-Hilyah” 7/119 dan
“Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra” oleh Al-Baihaqi (Lihat : al-Maqashid
al-Hasanah hal. 27 no, 39) :
Dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar ash-Shiddiq , dia mengatakan:
"كَانَ
اخْتِلَافُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِهَؤُلَاءِ النَّاسِ"
“Perbedaan di antara para sahabat
Muhammad adalah rahmat bagi umat manusia ini.”
Al-Qasim ini, beliau adalah salah
satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar
Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Perkataan
Imam Malik (wafat 179 H) kepada Khalifah Harun al-Rasyid.
Al-Khothib meriwayatkan dalam
kitabnya Al-Ruwat 'An Malik [الرُّوَاة عَنْ مَالِك]:
أَنَّ هَارُونَ الرَّشِيدَ قَالَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ
اللَّهِ نَكْتُبُ هَذِهِ الْكُتُبَ يَعْنِي مُؤَلَّفَاتِ الْإِمَامِ مَالِكٍ
وَنُفَرِّقُهَا فِي آفَاقِ الْإِسْلَامِ لِنَحْمِلَ عَلَيْهَا الْأُمَّةَ، قَالَ:
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إنَّ اخْتِلَافَ الْعُلَمَاءِ رَحْمَةٌ مِنْ
اللَّهِ تَعَالَى عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ، كُلٌّ يَتْبَعُ مَا صَحَّ
عِنْدَهُ، وَكُلُّهُمْ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيدُ اللَّهَ تَعَالَى والدَّارَ
الآخِرَة".
" Bahwa
Harun al-Rasyid berkata kepada Malik bin Anas: "Wahai Abu Abdullah, kita
akan menyalin kitab-kitab ini – yaitu karya-karya Imam Malik- dan kita akan
menyebarluaskannya di berbagai penjuru Islam agar umat ini dapat mengambil
manfaat darinya."
Malik menjawab: "Wahai Amirul
Mukminin, perbedaan pendapat di antara para ulama adalah RAHMAT dari
Allah Ta'ala bagi umat ini. Setiap orang mengikuti apa yang diyakini benar
menurut pandangannya, dan semua mereka berada di atas petunjuk. Semuanya
bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala dan kehidupan Akhirat"
Lihat kitab Al-Ruwat 'An Malik
oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, sebagaimana terdapat dalam kitab "Kasyf
al-Khafa' wa Muzil al-Ilbas" oleh Al-Ajluni 1/65 (153).
Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H) berkata:
"عَمِلْتُ
في المُجَاهَدَةِ ثَلاثِينَ سَنَةً، فَمَا وَجَدْتُ شَيْئًا أَشَدَّ مِنَ العِلْمِ
وَمُتَابَعَتِهِ، وَلَوْلَا اخْتِلَافُ العُلَمَاءِ لَشَقِيتُ، وَاخْتِلَافُ
العُلَمَاءِ رَحْمَةٌ، إِلَّا في تَجْرِيدِ التَّوْحِيدِ، وَمُتَابَعَةُ
العِلْمِ هِيَ مُتَابَعَةُ السُّنَّةِ لَا غَيْرُ."
"Aku telah melakukan
al-mujaahadah selama tiga puluh tahun, namun aku tidak menemukan sesuatu yang
lebih sulit daripada ilmu dan mengikutinya. Jika bukan karena perbedaan
pendapat di antara para ulama, niscaya aku akan celaka. Perbedaan pendapat
di antara para ulama adalah rahmat, kecuali dalam hal memurnikan tauhid,
dan mengikuti ilmu adalah mengikuti sunnah semata-mata." [ Baca : Hilyatul
Awliyaa Karya Abu Nu’aim al-Asbahaani 10/35 no. 458].
Ibnu Qudamah al-Hanbali (w. 620 H)
berkata:
وجعل في سَلَفِ هذه الأُمَّةِ أئِمَّةً مِن الأعلام، مَهَّد بهم قَواعدَ
الإِسلام، وأوْضَح بهم مُشْكلاتِ الأحكام، اتِّفاقُهم حُجَّةٌ قاطِعة، واخْتلافُهم
رحمةٌ واسعة، تَحْيَى القلوبُ بأخْبَارِهم، وتحصلُ السعادةُ باقْتفاءِ
آثارِهم، ثم اخْتَصَّ منهم نَفَرًا أعْلَى أَقْدَارَهم ومَناصِبَهم، وأبْقَى
ذكرَهم ومَذاهِبَهم، فَعلَى أقْوالِهم مَدارُ الأحكام، وبمذاهبِهم يُفْتِى فقَهاءُ
الإِسلام
"Allah telah
menjadikan di kalangan para pendahulu umat ini para imam yang menjadi panutan,
yang menetapkan dasar-dasar Islam dan menjelaskan masalah-masalah hukum yang
sulit.
Kesepakatan pendapat mereka adalah
hujah yang kuat, dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas.
Hati menjadi hidup dengan berita-berita mereka, dan kebahagiaan dicapai dengan
meneladani jejak mereka. Kemudian Allah memilih dari mereka beberapa orang yang
ditinggikan kedudukan dan posisi mereka, serta mengabadikan ingatan dan mazhab
mereka, maka pada pendapat mereka lah bergantungnya hukum-hukum, dan dengan
mazhab mereka lah para ahli fiqh Islam memberikan fatwa." [ Baca :
al-Mugni 1:4-5].
Imam
As-Suyuti, rahimahullah:
Dia berkata di awal risalatnya
"Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2) :
«فصل:
اعلَمْ أَنَّ اخْتِلافَ المَذاهِبِ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ
وَفَضِيلَةٌ عَظِيمَةٌ، وَلَهُ سِرٌّ لَطِيفٌ أَدْرَكَهُ العَالِمُونَ، وَعَمِيٌّ
عَنْهُ الجَاهِلُونَ، حَتَّى سَمِعْتُ بَعْضَ الجُهَّالِ يَقُولُ: النَّبِيُّ ﷺ
جَاءَ بِشَرْعٍ وَاحِدٍ، فَمِنْ أَيْنَ مَذْهَبُ أَرْبَعَةٍ؟»
"Bab: Ketahuilah bahwa
perbedaan madzhab dalam umat ini adalah nikmat besar dan keutamaan yang agung,
serta memiliki rahasia halus yang dipahami oleh para ulama, sedangkan buta
tentangnya adalah orang-orang bodoh, sehingga saya mendengar beberapa orang
bodoh berkata: Nabi Muhammad ﷺ datang dengan satu syariat, dari
mana kemudian muncul empat madzhab?".
Lalu as-Suyuthi berkata :
«وَقَدْ
وَقَعَ اخْتِلافٌ فِي الفُرُوعِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خَيْرِ
الأُمَّةِ، فَمَا خَاصَمَ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَحَدًا، وَلَا عَادَى أَحَدٌ أَحَدًا،
وَلَا نَسَبَ أَحَدٌ أَحَدًا إِلَى خَطَأٍ وَلَا قُصُورٍ..، وَوُرِدَ أَنَّ اخْتِلافَ
هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهَا، وَكَانَ اخْتِلافَ الأُمَمِ
السَّابِقَةِ عَذَابًا وَهَلَاكًا. هَذَا أَوْ مَعْنَاهُ ».
Telah terjadi perbedaan pendapat
dalam masalah furu’iyyah di antara para Sahabat radhiyallhu ‘anhum, yang mana
mereka merupakan generasi terbaik umat ini. Dan tidak ada di antara mereka yang
berseteru dengan yang lain, atau mengadu domba, atau menyalahkan seseorang atas
kesalahan atau kekurangan...
Dan telah disebutkan bahwa perbedaan
pendapat dalam umat ini adalah rahmat dari Allah baginya, sedangkan
perbedaan pendapat dalam umat-umat sebelumnya adalah siksaan dan kebinasaan.
Ini adalah inti atau maknanya”.
SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:
وَالنِّزَاعُ فِي الْأَحْكَامِ قَدْ يَكُونُ رَحْمَةً إذَا لَمْ يُفْضِ إلَى
شَرٍّ عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا
سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ "
كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ
يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي
ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى ﴿لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ﴾
"Perselisihan
pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada
keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada
seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf /
perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah /
kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa
jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang ; karena keidak
jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin
akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:
﴿لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ﴾
*" Janganlah
kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada
kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).
Ini adalah tarbiyah
dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan
larangan bagi mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak
ada manfaat bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika
hal-hal tersebut ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan
membuat mereka kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].
PERHATIAN
!:
Ada hadits Nabi ﷺ yang menyatakan :
اخْتِلَافُ
أُمَّتِي رَحْمَةً
" Perbedaan pendapat umatku
adalah rahmat ".
Hadits "Ikhtilaf ummati rahmah" tidak memiliki dasar
yang sahih, namun maknanya benar.
Al-Munawi dalam "Fayd
al-Qadir" 1/ 212 berkata:
"قَالَ
السَّبْكِيُّ: وَلَيْسَ بِمَعْرُوفٍ عِنْدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَلَمْ أَقِفْ لَهُ
عَلَى سَنَدٍ صَحِيحٍ وَلَا مَوْضُوعٍ"
"As-Suyuti berkata: Hadits
ini tidak dikenal oleh para ahli hadits, dan saya tidak menemukan sanad yang
sahih atau yang maudhu' (palsu)."
Syeikh Majd Makky dalam
artikelnya مَا
صِحَّةُ حَدِيثِ اخْتِلَافِ أُمَّتِي رَحْمَةٌ؟ berkata:
وَالْحَاصِلُ:
أَنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فَمَعْنَاهُ صَحِيحٌ جِدًّا، تُؤَيِّدُهُ
أَدِلَّةُ الشَّرِيعَةِ الَّتِي تُقِرُّ مَشْرُوعِيَّةَ الِاخْتِلَافِ بِشُرُوطِهِ
الْمُعْتَبَرَةِ.
" KESIMPULANNYA: meskipun
hadits tersebut tidak terbukti shahih, namun maknanya sangat akurat [shahih
sekali]. Ini didukung oleh dalil-dalil syar'i yang melegitimasi perbedaan
pendapat dengan syarat-syarat yang mu'tabar".
*****
PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT :
====
PERTAMA
: PERKATAAN KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ :
Riwayat ke 1 :
Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam
kitab Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih (2/59) dari Muhammad bin Ahmad bin Razaq, yang memberitahu
kami bahwa Utsman bin Ahmad Al-Daqaq berkata, Hanzhal bin Ishaq berkata, Abu
Abdullah berkata, Mu'adz bin Hisyam berkata, ayahku berkata dari Qatadah :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبدِ العَزِيزِ كَانَ يَقُولُ: مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ
أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ لَمْ يَختَلِفُوا لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَختَلِفُوا لَمْ
يَكُنْ رُخصَةٌ.
Bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata:
"Aku tidak merasa senang jika para sahabat Muhammad tidak pernah berbeda
pendapat, karena jika mereka tidak pernah berbeda pendapat, maka tidak akan ada
keringanan (rukhshah)."
Pentakhrij kitab al-Maathalib
al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 berkata :
وَهَذَا إِسْنَادٌ حَسَنٌ، فِيهِ مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ وَعُثْمَانُ
الدَّقَّاقُ وَهُمَا صَدُوقَانِ وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.
وَأَخْرَجَهُ الخَطِيبُ أَيْضًا فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِنْ طَرِيقِ عِمْرَانَ
القَطَّانِ، عَنْ مَطَرٍ الوَرَّاقِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ
مُخْتَصَرًا.
وَهَذِهِ الطَّرِيقُ يُؤَيِّدُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَدُلُّ عَلَى أَنَّ
المَعْنَى ثَابِتٌ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ.
Dan ini adalah isnad yang hasan,
di dalamnya terdapat Mu'adz bin Hisyam dan Utsman Al-Daqaq, keduanya adalah
orang yang dapat dipercaya (shaduq), dan para perawi lainnya adalah terpercaya
(tsiqah).
Al-Khatib juga meriwayatkannya
dalam Al-Faqih (2/59) melalui jalur Imran Al-Qaththan, dari Muthar Al-Warraq,
dari Umar bin Abdul Aziz secara ringkas.
Jalur-jalur ini saling menguatkan
satu sama lain dan menunjukkan bahwa makna tersebut tetap dari Umar bin Abdul
Aziz”. [Pentahqiq Kitab Al-Mathalib Al-'Aliyah: Sekelompok pentahqiq dalam 17
disertasi universitas. Disusun oleh Dr. Sa'ad bin Nashir Al-Syatsari].
Riwayat ke 2 :
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam
Al-Mathalib Al-'Aliyah 12/600 no. 3062:
Musaddad berkata: Isa bin Yunus
menceritakan kepada kami, Ismail bin Abdul Malik menceritakan kepada kami, dari
'Aun bin Abdullah bin 'Utbah, ia berkata:
قَالَ لِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا
يَسُرُّنِي بِاخْتِلَافِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ النَّعَمِ لِأَنَّا إِنْ
أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا وَإِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ
أَصَبْنَا.
Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu
'anhu berkata kepadaku: "Betapa senangnya aku dengan perbedaan pendapat di
antara para sahabat Rasulullah ﷺ ; karena jika
kami mengambil pendapat sebagian mereka, maka kita benar. Dan jika kita
mengambil pendapat yang lainya ; maka kita benar juga” .
Lalu al-Hafidz berkata : صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ / *Shahih Maqthu’*
Pentakhrij kitab al-Maathalib
al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 no. 3062 berkata :
رَوَاهُ الخَطِيبُ فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِن طَرِيقِ مُسَدَّدٍ.
الحُكمُ عَلَيهِ: هَذَا الأَثَرُ عَن عُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ: ضَعِيفٌ
بِهَذَا السَّنَدِ مِن أَجْلِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبدِ المَلِكِ، وَبِهَذَا
يُعلَمُ قَولُ الحَافِظِ بْنِ حَجَرٍ: صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ أَنَّهُ لَيسَ بِصَوَابٍ
وَلَعَلَّهُ كَانَ يَقصِدُ بِطُرُقِهِ.
“Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam
kitab Al-Faqih (2/59) melalui jalur Musaddad.
Penilaian terhadapnya: Atsar ini
dari Umar bin Abdul Aziz: dho’if (lemah) dengan sanad ini karena Ismail bin
Abdul Malik. Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan Al-Hafiz Ibnu Hajar:
"Shahih Maqthu'" tidaklah benar dan mungkin yang dimaksud adalah
jalur-jalur lainnya”.
=====
KEDUA :
PERKATAAN YAHYA BIN SA’ID AL-ANSHARY :
Imam Al-Hujjah, Qadhi Yahya bin
Sa’id Al-Anshari (wafat 143 H), salah satu dari Tabi’in yang terkemuka,
mengatakan:
"مَا
بَرِحَ أُولُو الفَتْوَى يُفْتُوْنَ، فَيُحِلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلا
يَرَى الْمُحَرِّمُ أَنَّ الْمُحِلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ، وَلا يَرَى الْمُحِلُّ
أَنَّ الْمُحَرِّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ"
“Tidak pernah berhenti para ulama
ahli fatwa untuk memberi fatwa, sehingga salah satu diantara mereka ada yang
berfatwa menghalalkan ini sementara yang lainnya mengharamkan itu. Orang yang mengharamkannya
tidak menyatakan bahwa orang yang menghalalkannya binasa karena berpendapat
menghalalkannya, dan orang yang menghalalkannya tidak mengatakan bahwa orang
yang mengharamkannya binasa karena berpendapat mengharamkannya.” [Baca : “Jami’
Bayan al-‘Ilmi wa Fadlihi” karya Ibnu ‘Abdil-Barr 2:80].
Dan di riwayatkan dari jalur yang lain oleh Adz-Dzahabi
dengan lafal:
"أَهْلُ
الْعِلْمِ أَهْلُ تَوْسِعَةٍ، وَمَا بَرِحَ الْمُفْتَوْنُ يَخْتَلِفُونَ،
فَيُحَلِّلُ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلَا يُعَيِّبُ هَذَا عَلَى هَذَا، وَلَا
هَذَا عَلَى هَذَا".
“Ahli ilmu adalah orang-orang yang
luas pandangannya, dan para ahli fatwa tidak pernah berhenti berbeda pendapat,
sehingga salah satu dari mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini dan
mengharamkan itu. Namun tidak ada yang saling mencela antara yang ini terhadap
yang itu, dan tidak pula antara yang itu terhadap yang ini.” [Baca :
At-Radzkirah 1/139].
====
KETIGA :
PERKATAAN IBNU AL-QOYYIM :
Ibnu Qayyim rahimahullah (w. 751
H) berkata:
"وُقُوعُ
ٱلاخْـتِـلاَفُ بَيْنَ النَّاسِ أَمْرٌ ضَرُورِيٌّ لَا بُدَّ مِنْهُ؛ لِتَفَاوُتِ
إِرَادَاتِهِمْ وَأَفْهَامِهِمْ، وَقُوَى إِدْرَاكِهِمْ، وَلَكِنَّ المَذْمُومَ
بَغْيُ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ وَعَدَاوَتُهُ."
"Terjadinya perbedaan
pendapat di antara manusia adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari karena
perbedaan keinginan dan pemahaman mereka, serta kekuatan akal mereka. Namun,
yang tercela adalah sikap dzalim aniaya sebagian mereka terhadap sebagian
lainnya dan permusuhan di antara mereka." [ Baca : Ash-Showaa’iq al-Mursalah
1/269].
====
KEEMPAT
: PERKATAAN AL-MUNAWI
Al-Munawi rahimahullah (w. 1031 H) berkata:
"فَاخْتِلَافُ
المَذَاهِبِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ، وَفَضِيلَةٌ جَسِيمَةٌ خُصَّتْ بِهَا هَذِهِ
الأُمَّةُ."
"Perbedaan mazhab adalah nikmat besar, dan keutamaan
besar yang dikhususkan bagi umat ini." [ Baca : Faidhul Qodiir 1/271].
===*****===
PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT
Lebih jauh dari itu, sebagian para
tokoh salaf dan orang-orang yang tepercaya serta ulama mereka sangat
berkeinginan untuk menghapus kata “perbedaan pendapat (ٱلاخْـتِـلاَفُ)” dari “kamus”
masyarakat, lalu menggantinya dengan kata “keluasan (السَّعَة)”.
Dalam biografi Thalhah bin
Musyarrif, semoga Allah merahmatinya, muridnya yang bernama Musa Al-Juhani
berkata:
"كَانَ
طَلْحَةُ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ قَالَ: لَا تَقُولُوا:
ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ قُولُوا: السَّعَةُ".
“Thalhah biasa mengatakan ketika
kata ‘perbedaan pendapat’ disebut di hadapannya: ‘Jangan katakan perbedaan,
tetapi katakanlah keluasan’.” [“Hilyat al-Awliya” 5/119.]
Abu Ishaq As-Subai’i, salah satu Tabi’in yang terkemuka dan
salah satu para hafifz mereka, mengatakan:
"كَانُوا
يَرَوْنَ السَّعَةَ عَوْنًا عَلَى الدِّينِ".
“Mereka berpandangan bahwa keluasan (السَّعَةَ) itu sebagai penolong agama.” [“Al-Ja’diyat”
karya Abu al-Qasim al-Baghawi 1/366].
Dalam “Majmu’ al-Fatawa” 30/79, Ibnu Taiymiyah berkata :
"صَنَّفَ
رَجُلٌ كِتَابًا فِي ٱلاخْـتِـلاَفُ فَقَالَ أَحْمَدُ: لَا تُسَمِّهِ كِتَابَ
ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ سَمِّهِ كِتَابَ السَّعَةِ"
“Seseorang menulis kitab tentang perbedaan pendapat , maka
Imam Ahmad berkata: Jangan kau beri nama kitab itu dengan nama kita perbedaan
pendapat , akan tetapi beri nama dengan nama kitab keluasan (السَّعَةَ).”
Perbedaan pendapat merupakan kata
yang menunjukkan perselisihan dan perpecahan, sedangkan keluasan, nampak jelas
maknanya dalam memberikan kelonggaran, kenyamanan, dan kemudahan. [Baca :
al-Muswaddah karya Ibnu Taimiyah hal. 401].
Ini adalah peringatan yang halus
untuk memperbaiki atau memberi peringatan kepada pendengar tentang manfaat dari
perbedaan pendapat ini sebelum terjatuh dalam kesalahan, dengan mengira bahwa
perbedaan pendapat yang disyariatkan dan yang terpuji sama seperti perbedaan
yang tercela, yaitu perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama.
Mereka menyukai keluasan dalam
syariat, karena mereka menyadari bahwa keluasan bersama kemudahan, dan bahwa
kemudahan adalah salah satu tujuan utama dari tujuan-tujuan hukum Islam.
Keluasan dan kemudahan terkait
dengan rahmat, maka dari itu, ada pernyataan dari Imam Al Qasim bin
Muhammad Bin Abu Bakar ash-Shiddiiq rahimahullah dalam beberapa riwayatnya
yang mengekspresikan “rahmat”.
Diantaranya : al-Qasim bin
Muhammad pernah ditanya oleh seseorang:
سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنِ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ
فِيمَا لَمْ يَجْهَرْ فِيهِ، فَقَالَ: إِنْ قَرَأْتَ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ، وَإِذَا لَمْ تَقْرَأْ فَلَكَ فِي
رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أُسْوَةٌ.
“Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi ﷺ.’” [Baca : Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Ibnu Abdil Bar].
Dan adanya pengakuan (gagasan
kelapangan dan keluasan dalam berijtihad) oleh para imam terdahulu dan
belakangan adalah sesuatu yang tidak memerlukan bukti atau argumen atau
rujukan, karena keteladanan mereka yang dipraktekkan lebih jelas daripada
ucapan mereka.
Diantaranya adalah sikap Imam
Malik terhadap gagasan dan pemikiran yang serupa ini, ketika ditawarkan padanya
untuk memaksa orang-orang mengikuti kitabnya "al-Muwaththa'".
Riwayat-riwayat bervariasi tentang
siapa yang mengajukan hal ini kepadanya, dan dalam jawabannya kepada mereka,
tetapi semuanya berputar pada satu poros, yaitu : penolakan Imam Malik untuk
memaksa orang-orang mengikuti satu mazhab, yaitu madzhabnya. Dia menolaknya
karena cintanya pada keluasan dan kelapangan bagi mereka.
Lihat dan renungkanlah kenyataan
yang diberkahi dan tenang ini, dan lihat serta renungkanlah apa yang kita alami
saat ini yang penuh dengan kekacauan yang sangat menyakitkan!
Ingatlah tindakan mereka yang
mengklaim mengikuti salaf saleh ini ketika mereka mencetak biografi Imam Besar
Abu Hanifah rahimaullah dari "Tarikh Baghdad", biorgafi yang penuh
dengan ketidakadilan dan kegelapan. Pada saat itu, mereka juga mencetak satu
bab dari "Mushannaf Ibn Abi Syaibah", karya besar ahli fiqh salaf,
mereka memilih bab yang menyebutkan 125 masalah di mana menurut pendapat dan
ijtihadnya, Imam Abu Hanifah menyelisihi sunnah, dan menamakannya dengan: “Kitab
al-Radd 'ala Abi Hanifah (Kitab Bantahan Terhadap Abu Hanifah)”.
====
SALING MENGHARGAI DAN MENGAKUI PENDAPAT ORANG LAIN:
Para ulama dan para imam dari
kalangan salaf dahulu, mereka senantiasa saling menghargai, saling menghormati
dan saling mengakui terhadap perbedaan pendapat dalam berijtihad, mereka
senantiasa menjaga persatuan dan menghindari perpecahan, sebagaimana yang kita
lihat pada Imam Malik, itu adalah sesuatu yang sudah umum di antara
mereka.
Berikut ini adalah perkataan
sebagian para ulama salaf dan para imam mujtahid berkenaan dengan pengakuan
mereka terhadap perbedaan pendapat.
SUFYAN ATS-TSAURY (wafat : 161 H)
:
Dalam "Adab al-Faqih wa
al-Mutafaqqih" 2/69 karya al-Khathib, dari Imam Sufyan ats-Tsauri, beliau
berkata:
«إِذَا
رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ
تَرَى غَيْرَهُ: فَلَا تَنْهَهُ».
"Jika engkau melihat
seseorang melakukan suatu amalan yang diperselisihkan, dan engkau berpendapat
sebaliknya, maka janganlah engkau melarangnya."
Tentang merutinkan qunut shubuh,
Imam At Tirmidzi berkata:
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ
يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika
berqunut pada shalat shubuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu
juga bagus.’” [Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401].
ABU HANIFAH (wafat 150 H) :
Pernyataan yang serupa juga datang
dari seorang imam mujtahid lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah rahimaullah , yang
diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Tarikh al-Baghdaad 13/352 :
«قَوْلُنَا
هَذَا رَأْيٌ، وَهُوَ أَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ، فَمَنْ جَاءَنَا
بِأَحْسَنَ مِنْ قَوْلِنَا، فَهُوَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنَّا».
"Pendapat kami ini adalah
sebuah pendapat, dan ini adalah yang terbaik yang kami mampu. Barangsiapa
datang kepada kami dengan pendapat yang lebih baik dari pendapat kami, maka dia
lebih berhak atas kebenaran daripada kami."
Bahkan dalam "al-Intiqa"
(hal. 140) beliau berkata :
«هَذَا
الَّذِي نَحْنُ فِيهِ رَأْيٌ لَا نُجْبِرُ أَحَدًا عَلَيْهِ، وَلَا نَقُولُ:
يَجِبُ عَلَى أَحَدٍ قُبُولُهُ بِكَرَاهِيَةٍ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ
أَحْسَنُ مِنْهُ فَلْيَأْتِ بِهِ».
"Apa yang kami tetapkan ini
adalah sebuah pendapat yang tidak kami paksakan kepada siapa pun, dan tidak
kami katakan bahwa wajib bagi seseorang untuk menerimanya dengan keberatan.
Barangsiapa yang memiliki pendapat yang lebih baik darinya, maka hendaklah dia
mengemukakannya."
IBNU AL-MUBAARAK (wafat 181 H):
Betapa agungnya perkataan Ibnu
al-Mubarak - dia termasuk para imam mujtahid -:
«إِنِّي
لَأَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَأَكْتُبُهُ، وَمَا مِنْ رَأْيِي أَنْ أَعْمَلَ بِهِ،
وَلَا أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ، وَلَكِنْ أَتَّخِذُهُ عُدَّةً لِبَعْضِ أَصْحَابِي
إِنْ عَمِلَ بِهِ أَقُولُ: عَمِلَ بِالْحَدِيثِ».
"Aku mendengar hadis lalu
menulisnya, meskipun aku tidak berpendapat untuk mengamalkannya. Atau aku
meriwayatkannya, tetapi aku menganggapnya sebagai persiapan untuk sebagian
sahabatku yang mengamalkannya. Aku katakan: Dia mengamalkan hadis
tersebut". [Baca : "al-Kifāyah" karya al-Khaṭīb hal. 402, dan "Faḍā'il Abī Ḥanīfah" karya Ibnu Abī al-'Awām hal. 265].
Karena perkataan itu mengandung
makna yang kita bicarakan, dan lebih dari itu, ia mencerminkan kemurahan hati
dan kebaikan sifatnya terhadap sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum .
YAHYA AL-QATHTHAN (wafat 198 H) :
Imam Yahya bin Sa’id Al
Qaththan rahimahullah berkata:
مَا بَرَحَ أُولُو الْفَتْوَى يَفْتُونَ فَيُحَلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا
فَلَا يَرَى الْمُحَرَّمُ أَنَّ الْمُحَلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ وَلَا يَرَى
الْمُحَلُّ أَنَّ الْمُحَرَّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ.
“Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.”[ Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Imam Ibnu Abdil Bar]
Al-IMAM AL-AWZAA’I (wafat 157 H) :
Al-Awza'i adalah salah satu imam
mujtahid. Dalam kitab "al-Tamhid" 21/172, Ibnu Abdil Barr
berkata
«قَالَ
الأُوزَاعِيُّ فِي الَّذِي يَقْبِّلُ امْرَأَتَهُ: إِنْ جَاءَ يَسْأَلُنِي قُلْتُ:
يَتَوَضَّأُ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ أَعِبْ عَلَيْهِ!».
"al-Awza'i berkata tentang
orang yang mencium istrinya:
Jika dia datang bertanya kepadaku,
maka aku katakan: dia harus berwudhu. Dan jika dia tidak berwudhu, maka akupun tidak
mencelanya!" " . [Lihat pula :
"al-Istidzkar" jilid 1: 323, dan jilid 3: 50, dari cetakan Dr.
Qulaji].
IMAM SYAFI’I (wafat 204 H):
Imam Asy Syafi’i rahimahullah,
juga Imam Malik berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.
Namun demikian telah
diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا
صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ
. فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال
الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .
“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu
meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat berjamaah bersama kalangan
Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad.
Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah
(pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu
itu.’” [Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy
Syu’un Al Islamiyah]
IMAM AHMAD (wafat 241 H):
Dan yang serupa disebutkan tentang
perkataan seorang Imam Mujtahid lainnya, yaitu Imam Ahmad, dalam kitab
"Siyar A'lam al-Nubala'" (11/371 biografi Ishaq bin Raahuwiyah):
«قَالَ
أَحْمَدُ: لَمْ يَعْبُرِ الْجِسْرَ إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ إِسْحَاقَ، وَإِنْ
كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَلْ يُخَالِفُ
بَعْضُهُمْ بَعْضًا».
"Ahmad berkata: Tidak ada
yang menyeberangi jembatan menuju Khurasan yang seperti Ishaq, meskipun dia
berbeda pendapat dengan kami dalam beberapa hal, karena manusia selalu berbeda
pendapat satu sama lain."
Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah mengomentari orang yang shalat dua rakaat
setelah Ashar:
"لا
نَفْعَلُهُ وَلا نُعِيبُ فَاعِلَهُ."
“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” [Al Mughni, 2/87 dan Syarhul Kabir, 1/802]
Dan tentang qunut shubuh,
diceritakan sebagai berikut:
فقد كَانَ الإمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي
صَلَاةِ الفَجْرِ بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ
فَتَابِعْهُ عَلَى قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ
أَجْلِ اتِّحَادِ الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ
بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.
“Imam Ahmad
rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah.
Dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan
mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi
menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu
dengan yang lainnya.’” [Syarhul Mumti’ 4/25 karya Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Mawqi’
Ruh Al Islam]
Abu Dawud berkata:
«سَمِعْتُ
أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ؟ قَالَ: أَنَا لَا
أَفْعَلُهُ، فَإِنْ فَعَلَهُ فَلَا بَأْسَ بِهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَقَدْ
سَمِعْتُهُ قَبْلَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْتَحْسِنُهُ وَيَرَاهُ».
"Aku mendengar Ahmad ditanya
tentang dua rakaat sebelum Maghrib? Beliau berkata: 'Aku tidak melakukannya,
tetapi jika seseorang melakukannya, maka tidak mengapa.'
Abu Dawud berkata: 'Aku
mendengarnya sebelum itu beberapa waktu yang lalu, dia menganggapnya bagus dan
juga berpendapat yang sama.'" [Masā'il al-Imām Aḥmad al-Fiqhiyyah karya Abu Dāwūd Hal. 72].
Dalam "at-Tamhid" 11/139
dari al-Atsram, dia berkata:
«سَمِعْتُ
أَبَا عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ - يَقُولُ فِي مَنْ
تَأَوَّلَ: إِنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ خَلْفَهُ إِذَا كَانَ لِتَأْوِيلِهِ
وَجْهٌ فِي السُّنَّةِ».
"Aku mendengar Abu Abdillah -
yaitu Ahmad bin Hanbal - berkata tentang orang yang melakukan ta'wil: Tidak
mengapa shalat di belakangnya jika ta'wilnya memiliki dasar dalam sunnah."
[Baca : al-Jaami’ Li ‘Uluumi al-Imam Ahmad 6/355 dan Dzakhiiratul ‘Uqbaa
3/130].
Dan para pengikut mereka juga
mengikuti jalan ini, dan penjelasan tentang keadaan mereka akan panjang, dan
penulis merasa tidak perlu menjelaskannya dan memperluasnya.
Cukup sekian sebagai contoh, dan di sana masih banyak lagi. Contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.
===***===
PERPECAHAN DENGAN MEMPERUNCING PERBEDAAN ADALAH KEBURUKAN
Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata :
"الخِلاَفُ شَرٌّ".
Artinya : “Pepecahan itu buruk”.
Beliau tidak pernah mengatakan :
"الاخْتِلاَفُ
عَذَابٌ".
“Perbedaan pendapat itu adzab”.
Bahkan dalam riwayat lengkap-nya beliau berkenan meninggalkan
dan mengikuti pendapat orang lain demi untuk menjaga persatuan dan sepakat
dengan para sahabat lain untuk meninggalkan amalan sunnah demi menghindari perpecahan
umat. Diantara para sahabat yang melakukan hal tersbut adalah Abu Dzar dan
Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhuma .
Ada banyak atsar Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu tentang ucapannya “الخِلاَفُ شَرٌّ”. Diriwayatkan
lebih dari 10 jalur sanad.
Silahkan baca artikel saya yang
berjudul sbb :
“BENARKAH
IBNU MAS’UD BERKATA “PERBEDAAN PENDAPAT ITU ADZAB”? LALU APA MAKSUD
PERKATAAN-NYA : “PERSELISIHAN ITU BURUK”? DAN BAGAIMANA KRONOLOGI-NYA?”
Di sini saya hanya menyebutkan beberapa riwayat saja. Yaitu adalah:
Ke 1 : Abdurrahman bin Yazid berkata :
"أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ صَلَّى بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ -
مُنْكِرًا عَلَيْهِ - : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِي
بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ
إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا ثُمَّ تَفَرَّقَتْ بِكُمُ الطُّرُقُ فَلَوَدِدْتُ
أَنَّ لِي مِنْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ مُتَقَبَّلَتَيْنِ ثُمَّ إِنَّ
ابْنَ مَسْعُودٍ صَلَّى أَرْبَعًا فَقِيلَ لَهُ : عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ
صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ : الخِلاَفُ شَرٌّ".
Bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat
di Mina empat rakaat. Maka Abdullah bin Mas’ud radhiallahu
‘anhu – mengingkarinya - seraya berkata:
“Aku dulu shalat bersama Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar
dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman
shalat empat rakaat.
Kemudian terjadilah perbedaan pendapat diantara kalian, dan sungguh aku
berkeinginan dari empat rakaat shalat itu yang diterima adalah yang dua rakaat
darinya.”
Namun ketika di Mina, Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat empat
rakaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau:
“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat,
akan tetapi engkau sendiri shalat empat rakaat pula?”
Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perselisihan (perpecahan) itu adalah
buruk .”
["Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1960) dengan sedikit
perbedaan, dan diriwayatkan oleh Bukhari (1084), serta Muslim (695) dalam
bentuk yang lebih panjang dengan lafaz yang hampir serupa."
Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud].
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :
وَ سَنَدُهُ صَحِيحٌ. وَ رَوَى أَحْمَدُ (٥
/ ١٥٥) نَحْوَ هَذَا عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.
“Sanadnya Shahih . Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155]
seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in).
[As-Silsilah Ash-Shahihah 1/444].
Ke 2 : Al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar 4/260 No. 6078:
6078 - Ahmad berkata:
وَقَدْ رُوِّينَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ
أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ فِي صَلَاةِ ابْنِ مَسْعُودٍ
أَرْبَعًا، وَقَوْلُهُمْ: أَلَمْ يُحَدِّثْنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ؟ فَقَالَ: بَلَى. وَلَكِنَّ عُثْمَانَ كَانَ
إِمَامًا، فَأُخَالِفُهُ وَالخِلاَفُ شَرٌّ
Telah diriwayatkan kepada kami dengan sanad yang sahih dari Abu
Ishaq, dari Abdurrahman bin Yazid tentang : ‘shalat Ibnu Mas'ud sebanyak empat
rakaat’, dan ucapan mereka:
'Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa Nabi ﷺ shalat dua rakaat, dan Abu Bakar juga?'
Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab: 'Betul. Tetapi Utsman adalah imam,
maka aku tidak boleh menyelisihinya dan perselisihan (perpecahan) itu adalah
buruk.'"
Ke 3 : Abu Ja'far Ath-Thabari sebagaimana dalam Shahih dan Dha'if Tarikh Ath-Thabari 8/480 nomor 702:
Dikatakan oleh Al-Waqidi: Al-Waqidi berkata: Dan Dawud bin Khalid menceritakan kepadaku, dari Abdul Malik bin Amr bin Abi Sufyan Ats-Tsaqafi, dari pamannya, ia berkata:
صَلَّى
عُثْمَانُ بِالنَّاسِ بِمِنًى أَرْبَعًا، فَأَتَى آتٍ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
عَوْفٍ، فَقَالَ: هَلْ لَكَ فِي أَخِيكَ؟ قَدْ صَلَّى بِالنَّاسِ أَرْبَعًا!
فَصَلَّى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بِأَصْحَابِهِ رَكْعَتَيْنِ؛ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى
دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ، فَقَالَ لَهُ: أَلَمْ تُصَلِّ فِي هَذَا الْمَكَانِ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَفَلَمْ تُصَلِّ مَعَ
أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَفَلَمْ تُصَلِّ مَعَ عُمَرَ
رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَلَمْ تُصَلِّ صَدْرًا مِنْ خِلَافَتِكَ
رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى!
قَالَ:
فَاسْمَعْ مِنِّي يَا أَبَا مُحَمَّدٍ! إِنِّي أُخْبِرْتُ: أَنَّ بَعْضَ مَنْ
حَجَّ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، وَجُفَاةَ النَّاسِ قَدْ قَالُوا فِي عَامِنَا
الْمَاضِي: إِنَّ الصَّلَاةَ لِلْمُقِيمِ رَكْعَتَانِ، هَذَا إِمَامُكُمْ
عُثْمَانُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَقَدِ اتَّخَذْتُ بِمَكَّةَ أَهْلًا،
فَرَأَيْتُ أَنْ أُصَلِّيَ أَرْبَعًا لِخَوْفِ مَا أَخَافُ عَلَى النَّاسِ؛
وَأُخْرَى قَدِ اتَّخَذْتُ بِهَا زَوْجَةً، وَلِي بِالطَّائِفِ مَالٌ؛ فَرُبَّمَا
اطَّلَعْتُهُ فَأَقَمْتُ فِيهِ بَعْدَ الصَّدَرِ.
فَقَالَ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: مَا مِنْ هَذَا شَيْءٌ لَكَ فِيهِ عُذْرٌ؛ أَمَّا
قَوْلُكَ: اتَّخَذْتُ أَهْلًا، فَزَوْجَتُكَ بِالْمَدِينَةِ تُخْرِجُ بِهَا إِذَا
شِئْتَ، وَتُقَدِّمُ بِهَا إِذَا شِئْتَ؛ إِنَّمَا تَسْكُنُ بِسُكْنَاكَ. وَأَمَّا
قَوْلُكَ: وَلِي مَالٌ بِالطَّائِفِ؛ فَإِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الطَّائِفِ
مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ وَأَنْتَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ. وَأَمَّا
قَوْلُكَ: يَرْجِعُ مَنْ حَجَّ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ وَغَيْرِهِمْ، فَيَقُولُونَ:
هَذَا إِمَامُكُمْ عُثْمَانُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ مُقِيمٌ؛ فَقَدْ كَانَ
رَسُولُ اللهِ - ﷺ - يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ وَالنَّاسُ يَوْمَئِذٍ
الإِسْلَامُ فِيهِمْ قَلِيلٌ؛ ثُمَّ أَبُو بَكْرٍ مِثْلُ ذَلِكَ، ثُمَّ عُمَرُ،
فَضَرَبَ الإِسْلَامُ بِجِرَانِهِ، فَصَلَّى بِهِمْ عُمَرُ حَتَّى مَاتَ رَكْعَتَيْنِ.
فَقَالَ
عُثْمَانُ: هَذَا رَأْيٌ رَأَيْتُهُ .
قَالَ:
فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، فَلَقِيَ ابْنَ مَسْعُودٍ، فَقَالَ: أَبَا
مُحَمَّدٍ، غَيْرُ مَا يُعْلَمُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَمَا أَصْنَعُ؟ قَالَ:
اعْمَلْ أَنْتَ بِمَا تَعْلَمُ؛ فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: الخِلاَفُ شَرٌّ؛
قَدْ بَلَغَنِي: أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا فَصَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي أَرْبَعًا،
فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: قَدْ بَلَغَنِي أَنَّهُ صَلَّى
أَرْبَعًا، فَصَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي رَكْعَتَيْنِ، وَأَمَّا الآنَ فَسَوْفَ
يَكُونُ الَّذِي تَقُولُ - يَعْنِي: نُصَلِّي مَعَهُ أَرْبَعً. (4/268)
Utsman shalat bersama orang-orang di Mina
sebanyak empat rakaat. Seseorang datang kepada Abdurrahman bin Auf dan berkata:
"Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu?
Dia telah shalat bersama orang-orang sebanyak empat rakaat!"
Maka Abdurrahman shalat bersama
sahabat-sahabatnya dua rakaat, kemudian keluar hingga masuk menemui Utsman. Ia
berkata kepadanya:
"Bukankah engkau shalat di tempat ini
bersama Rasulullah ﷺ
dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"
Ia bertanya lagi: "Bukankah engkau
shalat bersama Abu Bakar dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"
Ia bertanya lagi: "Bukankah engkau
shalat bersama Umar dua rakaat?" Utsman menjawab: "Benar!"
Ia bertanya lagi: "Bukankah engkau
shalat di awal kekhalifahanmu dua rakaat?" Utsman menjawab:
"Benar!"
Utsman kemudian berkata: "Dengarkan
dariku, wahai Abu Muhammad! Aku diberitahu bahwa sebagian orang yang berhaji
dari Yaman dan orang-orang kasar mengatakan pada tahun lalu:
'Sesungguhnya shalat bagi orang yang mukim
adalah dua rakaat, ini adalah imam kalian Utsman yang shalat dua rakaat.'
Sementara aku telah menjadi penduduk Mekah,
maka aku melihat bahwa aku harus shalat empat rakaat karena takut akan apa yang
aku khawatirkan atas manusia. Alasan lainnya, aku telah menikah di sana, dan
aku memiliki harta di Thaif; terkadang aku datang kesana untuk melihat-lihatnya
sehingga aku tinggal di sana setelah keluar (dari Makkah)."
Abdurrahman bin Auf berkata:
"Tidak ada alasan bagimu dalam hal ini;
adapun yang kau katakan bahwa engkau telah menjadi penduduk Mekkah, maka istrimu
ada di Madinah, engkau bisa membawanya keluar kapan saja dan kembali kapan
saja; engkau hanya menetap karena ada tempat tinggalmu.
Adapun yang kau katakan bahwa engkau memiliki
harta di Thaif; jarak antara engkau dan Thaif adalah perjalanan tiga malam, dan
engkau bukan penduduk Thaif.
Adapun yang kau katakan bahwa orang yang
berhaji dari Yaman dan lainnya akan berkata: 'Ini imam kalian Utsman yang
shalat dua rakaat padahal ia mukim'; Rasulullah ﷺ
menerima wahyu dan orang-orang saat itu masih sedikit dalam Islam; kemudian Abu
Bakar demikian juga, kemudian Umar, sehingga Islam kuat dan stabil, dan Umar
tetap shalat bersama mereka dua rakaat hingga wafat."
Utsman berkata: "Ini adalah pendapat
yang aku lihat."
Abdurrahman kemudian keluar dan bertemu
dengan Ibnu Mas'ud, ia berkata: "Abu Muhammad, apakah ada hal baru yang
diketahui?" Ibnu Mas'ud menjawab: "Tidak." Abdurrahman berkata:
"Apa yang harus aku lakukan?"
Ibnu Mas'ud berkata: "Lakukan apa yang
kau ketahui;"
Lalu Ibnu Mas'ud berkata: "Perpecahan itu buruk”. Aku
mendengar bahwa ia shalat empat rakaat, maka aku shalat bersama
sahabat-sahabatku empat rakaat."
Abdurrahman bin Auf berkata:
"Aku mendengar bahwa ia shalat empat rakaat, maka aku shalat bersama
sahabat-sahabatku dua rakaat, namun sekarang aku akan melakukan apa yang engkau
katakan - maksudnya: kita shalat bersamanya empat rakaat." (4/ 268)
Derajat Atsar : Dikatakan
oleh Muhammad Thahir Al-Barzanji: Lemah. [Shahih dan Dha'if Tarikh Ath-Thabari
8/480 nomor 702]
-----
FIQIH
SINGKAT ATSAR IBNU MAS’UD :
Dalam atsar Ibnu Mas’ud terdapat
sikap beliau meninggalkan pendapatnya atau meninggalkan sunnah dengan mengikuti
pendapat Utsman bin Affan, demi untuk menjaga persatuan serta menghindari
perpecahan.
Dan sikap Ibnu Mas’ud ini diikuti
dan dibenarkan oleh para sahabat liannya, contohnya seperti Abdurrahman bin
‘Auf.
PENJELASAN
ABU AL-HUSAIN AL-BAGHDADI:
Penjelasan Abu Al-Husain
Al-Baghdadi Al-Quduri dalam At-Tajrid 2/887 nomor 3465, tentang sikap Ibnu
Mas’ud, dia berkata :
وَلَا يُقَالُ: رُوِيَ أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ أَنْكَرَ عَلَيْهِ، ثُمَّ
قَامَ فَصَلَّى بِهِمْ أَرْبَعًا، فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ؛ فَقَالَ: الخِلاَفُ شَرٌّ؛
وَذَلِكَ لِأَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ مِنْ جُمْلَةِ الْجُنْدِ، فَحَمَلَ أَمْرَ
عُثْمَانَ عَلَى أَنَّهُ نَوَى الْإِقَامَةَ بِمَكَّةَ كَمَا قَالَ الزُّهْرِيُّ،
فَصَارَ مُقِيمًا بِإِقَامَةِ إِمَامِهِ، وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِهِ: الخِلاَفُ شَرٌّ،
أَيْ: لَا يَجُوزُ مُخَالَفَةُ الْإِمَامِ فِي النِّيَّةِ.
Dan tidak dikatakan bahwa Ibnu
Mas’ud mengingkarinya, lalu ia bangkit dan shalat empat rakaat bersama mereka.
Ketika hal itu dikatakan kepadanya, ia berkata: “Perselisihan (berpecah belah)
itu buruk.” Hal ini karena Ibnu Mas’ud adalah bagian dari pasukan perang, maka
ia menganggap bahwa Utsman berniat mukim di Mekah sebagaimana yang dikatakan oleh
Az-Zuhri. Maka, ia menjadi mukim dengan niat imamnya. Inilah makna ucapannya:
“Perselisihan itu buruk,” yaitu: tidak boleh menyalahi imam dalam niat shalat.
PENJELASAN
ALAWI AS-SAQQAAF:
Alawi
bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata dalam ad-Durar as-Saniyyah:
الأمورُ الشَّرعيَّةُ يَنبغي التَّحرُّزُ والاحتياطُ فيها، وخاصَّةً إذا وُجِد
بينَ النَّاس مَن لا يَستطيعُ فَهْمَ الأمورِ على حَقيقتِها أو ليس لدَيه العِلمُ
الكافي الَّذي يُؤهِّلُه لِمَعرفةِ العَزائمِ والرُّخَصِ في الشَّرعِ ومَعرِفةِ
أوقاتِها ...
“قال الأعمشُ: فحدَّثَني مُعاويةُ بنُ قُرَّةَ عن أشياخِه:
"أنَّ عبدَ الله"، وهو ابنُ مسعودٍ "صلَّى أربعًا، فقيلَ له: عِبتَ
على عُثمانَ ثمَّ صلَّيتَ أربعًا"، أي: فعَلتَ ما كنتَ تَعيبُه على عثمانَ
بنِ عفَّانَ، فقال عبدُ اللهِ: "الخِلاَفُ شرٌّ"، أي: إنَّ الخِلاَفُ بينَ
المسلِمين في ذلك الموطنِ شرٌّ وأعظمُ مِن الإصرارِ على الرَّكعتَينِ ومُخالَفةِ
الإمامِ؛ إشارةً إلى جَوازِ الإتمامِ وهو خِلافُ الأَوْلى، وهذا مبدَأٌ عظيمٌ،
وخاصَّةً في الأمورِ الاجتهاديَّةِ الَّتي تَحتَمِلُ أكثرَ مِن وجهٍ، وعلى
العُلماءِ أن يَلتَزِموا بما اختارَه وليُّ الأمرِ لِمَا رأَى فيه مِن المصلَحةِ.
“Hal-hal yang
berkaitan dengan syariat harus ditangani dengan hati-hati dan cermat, terutama
jika ada di antara orang-orang yang tidak dapat memahami masalah dengan
sebenarnya atau tidak memiliki pengetahuan yang cukup yang memungkinkannya
memahami keputusan-keputusan tetap (azimah) dan keringanan (rukhshah) dalam
syariat dan mengetahui waktunya. .....
“Al-A’masy berkata: Maka Muawiyah
bin Qurrah menceritakan kepadaku dari para syekh-nya: ‘Bahwa Abdullah,’ yaitu
Ibnu Mas’ud, ‘shalat empat rakaat, lalu dikatakan kepadanya: Engkau mencela
Utsman akan tetapi engkau shalat empat rakaat,’ artinya: engkau melakukan apa
yang dahulu engkau cela pada Utsman bin Affan.
Abdullah bin Mas'ud menjawab :
‘Perpecahan itu buruk,’ artinya: perpecahan di antara kaum Muslimin di tempat
tersebut lebih buruk dan lebih besar daripada bersikeras pada dua rakaat dan
menentang imam.
Ini menunjukkan kebolehan
menyempurnakan shalat 4 rakaat meskipun hal tersebut bertentangan dengan yang
lebih utama. Ini adalah prinsip yang penting, terutama dalam masalah-masalah
ijtihadiyah yang bisa memiliki lebih dari satu pendapat, dan para ulama harus
mematuhi apa yang dipilih oleh pemimpin karena ia melihat adanya kemaslahatan”.
[SELESAI KUTIPAN DARI AS-SAQQAF]
*****
UTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata dalam Majmu' al-Fatawa 22/407:
وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْصِدَ إلَى تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ بِتَرْكِ
هَذِهِ الْمُسْتَحَبَّاتِ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ أَعْظَمُ
مِنْ مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ ﷺ تَغْيِيرَ بِنَاءِ
الْبَيْتِ لِمَا فِي إبْقَائِهِ مِنْ تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَكَمَا أَنْكَرَ ابْنُ
مَسْعُودٍ عَلَى عُثْمَانَ إتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ ثُمَّ صَلَّى
خَلْفَهُ مُتِمًّا. وَقَالَ الخِلاَفُ شَرٌّ. وَهَذَا وَإِنْ كَانَ وَجْهًا
حَسَنًا
"Disunnahkan bagi seseorang
untuk mengutamakan penyatuan hati dengan meninggalkan hal-hal yang disunnahkan
ini, karena manfaat penyatuan hati dalam agama lebih besar daripada manfaat
melakukan hal semacam ini. Sebagaimana Nabi ﷺ meninggalkan
perubahan bangunan Ka'bah karena manfaat menjaga persatuan hati lebih besar.
Juga seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud yang mengingkari perbuatan Utsman
yang menyempurnakan shalat 4 rakaat dalam safar (perjalanan), kemudian dia
shalat di belakangnya dengan sempurna 4 rakaat .
Dia berkata : 'Perpecahan
adalah keburukan.' Ini adalah pandangan yang baik.
Begitu pula dengan menngeraskan
baca Bismillah dalam Shalat bagi yang berpendapat sebaliknya . Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
فَمَقْصُودُ أَحْمَد أَنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ كَانُوا لَا يَقْرَءُونَهَا (
البَسْمَلَة ) فَيَجْهَرُ بِهَا لِيُبَيِّنَ أَنَّ قِرَاءَتَهَا سُنَّةٌ كَمَا
جَهَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِقِرَاءَةِ أُمِّ الْكِتَابِ عَلَى الْجِنَازَةِ وَقَالَ:
لِتَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ وَكَمَا جَهَرَ عُمَرُ بِالِاسْتِفْتَاحِ غَيْرَ
مَرَّةٍ وَكَمَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَجْهَرُ بِالْآيَةِ أَحْيَانًا فِي صَلَاةِ
الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ. وَلِهَذَا نُقِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَنْ رُوِيَ عَنْهُ
الْجَهْرُ بِهَا مِنْ الصَّحَابَةِ الْمُخَافَتَةَ فَكَأَنَّهُمْ جَهَرُوا
لِإِظْهَارِ أَنَّهُمْ يَقْرَءُونَهَا كَمَا جَهَرَ بَعْضُهُمْ بِالِاسْتِعَاذَةِ
أَيْضًا
Maka maksud Imam Ahmad adalah bahwa
penduduk Madinah tidak membacanya (basmalah, baik keras maupun lirih ), maka
beliau mengeraskan bacaan basmalah untuk menunjukkan bahwa membacanya adalah
sunnah.
Sebagaimana Ibnu Abbas mengeraskan
bacaan al-Fatihah dalam shalat jenazah dan berkata: 'Agar kalian tahu bahwa itu
adalah sunnah.' Dan sebagaimana Umar mengeraskan bacaan istiftah beberapa kali.
Dan Nabi ﷺ kadang-kadang mengeraskan bacaan ayat
dalam shalat Dzuhur dan Ashar.
Oleh karena itu, diriwayatkan dari
kebanyakan sahabat yang meriwayatkan mengeraskan bacaan basmalah bahwa mereka
juga melirihkannya, seakan-akan mereka mengeraskannya untuk menunjukkan bahwa
mereka membacanya. Sebagaimana beberapa dari mereka juga mengeraskan bacaan
isti'adzah."
------
PERKATAAN ABU DZAR : “PERPECAHAN ITU LEBIH DAHSYAT (KEBURUKAN-NYA DARI PADA MENINGGALKAN SUNAH)”.
Diriwayatkan dari Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani, dari seorang lelaki,
ia berkata:
كُنَّا قَدْ حَمَلْنَا لِأَبِي
ذَرٍّ، شَيْئًا نُرِيدُ أَنْ نُعْطِيَهُ إِيَّاهُ، فَأَتَيْنَا الرَّبَذَةَ
فَسَأَلْنَا عَنْهُ فَلَمْ نَجِدْهُ، قِيلَ: اسْتَأْذَنَ فِي الْحَجِّ، فَأُذِنَ
لَهُ، فَأَتَيْنَاهُ بِالْبَلْدَةِ، وَهِيَ مِنًى، فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ إِذْ
قِيلَ لَهُ: إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّى أَرْبَعًا، فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَبِي
ذَرٍّ، وَقَالَ قَوْلًا شَدِيدًا، وَقَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَصَلَّيْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. ثُمَّ قَامَ
أَبُو ذَرٍّ فَصَلَّى أَرْبَعًا، فَقِيلَ لَهُ: عِبْتَ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ
شَيْئًا، ثُمَّ صنعتَه قَالَ: الخِلاَفُ أَشَدُّ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ
خَطَبَنَا فَقَالَ: "إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ،
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ
عُنُقِهِ، وَلَيْسَ بِمَقْبُولٍ مِنْهُ تَوْبَةٌ حَتَّى يَسُدَّ ثُلْمَتَهُ
الَّتِي ثَلَمَ، وَلَيْسَ بِفَاعِلٍ، ثُمَّ يَعُودُ فَيَكُونُ فِيمَنْ يُعِزُّهُ
"
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ لَا
يَغْلِبُونَا عَلَى ثَلَاثٍ: أَنْ نَأْمُرَ بِالْمَعْرُوفِ، وَنَنْهَى عَنِ
الْمُنْكَرِ، وَنُعَلِّمَ النَّاسَ السُّنَنَ
Kami pernah membawa sesuatu untuk Abu Dzar yang ingin kami berikan
kepadanya. Kami datang ke Ar-Rabdzah dan bertanya tentangnya, tetapi kami tidak
menemukannya. Dikatakan kepada kami bahwa dia telah meminta izin untuk haji dan
diizinkan. Maka kami mendatanginya dan bertemu di sebuah daerah, yaitu Mina.
Ketika kami bersamanya, tiba-tiba ada yang berkata kepadanya:
"Sesungguhnya Utsman shalat empat rakaat," hal itu membuat Abu Dzar
sangat marah dan dia mengucapkan kata-kata yang keras.
Dia berkata: "Aku shalat bersama Rasulullah ﷺ dan beliau shalat dua rakaat. Aku juga shalat bersama Abu Bakar
dan Umar."
Namun kemudian Abu Dzar berdiri dan ikut shalat empat rakaat. Lalu
tanyakan kepadanya: "Engkau mencela Amirul Mukminin tentang itu, tetapi
kemudian engkau sendiri melakukannya."
Dia menjawab: "Perpecahan itu lebih dahsyat (dosanya dan dampak
buruknya). Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah berkhutbah kepada kami dan
bersabda: 'Akan ada penguasa setelahku, maka janganlah kalian merendahkan
mereka. Barangsiapa yang merendahkan mereka, maka dia telah melepaskan ikatan
Islam dari lehernya, dan taubatnya tidak akan diterima hingga dia menutupi
perpecahan dan kerusakan yang telah dia buat, dan dia tidak melakukannya lagi,
kemudian dia kembali dan berada di antara orang-orang yang memuliakan penguasa
tersebut.'
Rasulullah ﷺ memerintahkan kami agar tidak mengalah
dalam tiga hal: memerintahkan yang ma'ruf, melarang yang mungkar, dan
mengajarkan sunnah kepada manusia.
(Driwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 35/364. No. 21460.)
Syu'aib Al-Arna'ut berkata:
إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ لِإِبْهَامِ
الرَّاوِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ، وَالْقَاسِمُ بْنُ عَوْفٍ الشَّيْبَانِيُّ ذَكَرَهُ
ابْنُ حِبَّانَ فِي "الثِّقَاتِ"، وَضَعَّفَهُ النَّسَائِيُّ، وَقَالَ
أَبُو حَاتِمٍ مُضْطَرِبُ الحَدِيثِ وَمَحَلُّهُ عِنْدِي الصِّدْقُ.
Sanadnya lemah karena ketidakjelasan perawi dari Abu Dzar, dan Al-Qasim
bin 'Auf Asy-Syaibani disebut oleh Ibnu Hibban dalam "Ats-Tsiqat",
tetapi dilemahkan oleh An-Nasa'i, dan Abu Hatim yang berkata : haditsnya
muththorib (goncang) dan kedudukannya menurutku : dia adalah seorang yang jujur.
[Baca : Musnad 35/364. No. 21460]
*****
GUNAKAN HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT AGAR TIDAK BERPECAH BELAH
Utamakan Hukum Fiqih Yang Biasa Di
terapkan Di Daerahmu, demi untuk menjaga persatuan . Berikut ini sebagian astar
para salaf tentang hal ini :
PERTAMA
: ATSAR ALI BIN ABI THALIB :
Dari Abu Ubaidah, dia berkata: Ali
bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata :
«اقْضُوا
كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ، فَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ، حَتَّى
يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ، أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي» فَكَانَ ابْنُ
سِيرِينَ: «يَرَى أَنَّ عَامَّةَ مَا يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ الكَذِبُ»
“Putuskanlah dalam berhukum dengan
keputusan hukum yang biasa kalian putuskan. Sungguh, saya tidak suka dengan
perselisihan, sampai aku mendapati manusia bersatu dalam satu jemaah, atau aku
mati sebagaimana matinya para sahabatku”.
"Ibnu Sirin melihat bahwa
sebagian besar yang diriwayatkan dari Ali adalah kebohongan." [HR. Bukhori
no. 3707].
Al-Imam Ath-Thahawi berkata:
وَنَرَى الْجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَابًا وَالْفُرْقَةَ زَيْغًا وَعَذَابًا
'Kami memandang bahwa jamaah
(bersatu) adalah benar dan tepat, sedangkan perpecahan adalah penyimpangan dan
adzab (siksaan).'" . [ Baca Syarah al-Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 85 no.
102].
Dari
'Ubaidah bin 'Amr al-Salmani, dia berkata:
كَتَبَ إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيحٍ أَنْ اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ
تَقْضُونَ يَعْنِي فِي أُمِّ الوَلَدِ وَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ حَتَّى
يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي
"Ali menulis kepadaku dan
kepada Shuraih, 'Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan sebelumnya,
yaitu dalam perkara ummul walad, dan sesungguhnya aku membenci perselisihan
hingga manusia bersatu dalam satu jemaah atau aku mati seperti
sahabat-sahabatku telah mati.'"
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam al-Fath 7/91 (Cet. As-Salafiyah) berkata :
وَقَدْ أَخْرَجَهُ ابْنُ المُنْذِرِ مِنْ طَرِيقِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ
العَزِيزِ عَنْ أَبِي نُعَيْمٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ
ابْنِ سِيرِينَ عَنْ عُبَيْدَةَ قَالَ: بَعَثَ إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيْحٍ
فَقَالَ: إِنِّي أَبْغَضُ ٱلاخْـتِـلاَفُ فَاقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ..
الخَبَرُ.
"Dan telah meriwayatkannya
Ibn al-Mundhir melalui jalur Ali bin Abdul Aziz dari Abu Nuaim dari Hammad bin
Zaid dari Ayyub dari Ibn Sirin dari Ubaidah, yang berkata: Ali mengirim utusan
kepadaku dan kepada Syuraih, dan berkata: 'Sesungguhnya aku membenci
perselisihan, maka putuskanlah dalam hukum sebagaimana kalian biasa
memutuskan.'"
Dan al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam *Muwafaqatu al-Khabar al-Khabar* 1/169 berkata : “Sanadnya
sahih”.
Dan dishahihkan pula oleh
al-Albaani dalam al-Irwaa’ 6/190 .
SYARAH ATSAR ALI BIN THALIB :
KE 1 :
Dalam *Jami' as-Sunnah wa Syarhuha* disebutkan :
قَوْلُهُ: (قَالَ: اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ)، أَي: قَالَ عَلِيٌّ
لِأَهْلِ الْعِرَاقِ: اقْضُوا الْيَوْمَ كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ قَبْلَ هَذَا.
وَسَبَبُ ذَلِكَ أَنَّ عَلِيًّا لَمَّا قَدِمَ إِلَى الْعِرَاقِ قَالَ: كُنْتُ
رَأَيْتُ مَعَ عُمَرَ أَنْ تُعْتَقَ أُمَّهَاتُ الْأَوْلَادِ، وَقَدْ رَأَيْتُ
الْآنَ أَنْ يُسْتَرَقَّقْنَ، فَقَالَ عُبَيْدَةُ: رَأْيُكَ يَوْمَئِذٍ فِي
الْجَمَاعَةِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ رَأْيِكَ الْيَوْمَ فِي الْفُرْقَةِ، فَقَالَ:
اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ، وَخَشِيَ مَا وَقَعَ فِيهِ مِنْ تَأْوِيلِ
أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَيُرْوَى: اقْضُوا عَلَى مَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ.
قَوْلُهُ: (فَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ) يَعْنِي: أَنْ يُخَالِفَ أَبَا
بَكْرٍ وَعُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا.
وَقَالَ الْكَرْمَانِيُّ: اخْتِلَافُ الْأُمَّةِ رَحْمَةٌ، فَلِمَ كَرِهَهُ؟
قُلْتُ: الْمَكْرُوهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ الَّذِي يُؤَدِّي إِلَى النِّزَاعِ
وَالْفِتْنَةِ.
*Kalimat: (Dia berkata: Putuskanlah
sebagaimana kalian telah memutuskan), artinya: Ali berkata kepada penduduk
Irak: Putuskanlah hari ini sebagaimana kalian telah memutuskan sebelumnya.*
*Dan sebabnya adalah ketika Ali
tiba di Irak, dia berkata: Dahulu aku bersama Umar berpendapat bahwa ummahat
al-awlad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya) harus dibebaskan,
tetapi sekarang aku berpendapat bahwa mereka harus tetap dijadikan budak.
Maka 'Ubaidah berkata: Pendapatmu
saat itu yang membawa persatuan lebih aku sukai daripada pendapatmu sekarang
yang akan menimbulkan perpecahan.
Maka Ali berkata: “Putuskanlah
sebagaimana kalian telah memutuskan”.
Dan dia khawatir dengan apa yang
ditafsirkan oleh penduduk Irak.
Diriwayatkan juga bahwa dia
berkata : Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan.*
*Kalimat: (Sesungguhnya aku
membenci perselisihan), artinya: Ali tidak ingin berselisih dengan Abu Bakar
dan Umar, semoga Allah meridhai keduanya.*
*Dan al-Kirmani berkata: Perbedaan
umat adalah rahmat, maka mengapa dia membencinya? Aku jawab : Perbedaan yang
dibenci adalah yang mengarah pada perselisihan dan fitnah.*
KE 2 :
Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata dalam **Al-Durar Al-Saniyyah**:
أمَر الإسْلامُ بالاجتِماعِ، ونَهى عنِ التَّفرُّقِ وٱلاخْـتِـلاَفُ، وقدْ
عمِل الصَّحابةُ رَضيَ اللهُ عنهم على تَطْبيقِ هذا المَنهَجِ القَويمِ، وهذا
المَتنُ له سَببٌ؛ وذلك أنَّ عَلِيَّ بنَ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه لَمَّا قَدِم
العِراقَ، وسَأَله أهْلُها عن رَأيِه في أمِّ الوَلدِ؛ هلْ تُباعُ أو لا؟
-وأُمَّهاتُ
الأوْلادِ هنَّ الإماءُ المَملوكاتُ اللَّاتي وَطِئَهنَّ أسْيادُهنَّ ومالِكوهنَّ،
فحمَلْنَ وولَدْنَ-
فأخبَرَهم أنَّ رَأيَه كرَأيِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنه في عَدمِ بَيعِ أمَّهاتِ
الأوْلادِ، وأنَّهنَّ يُعتَقْنَ بعْدَ وَفاةِ السَّيِّدِ والمالِكِ؛ وذلك لأنَّ
الابنَ المَوْلودَ يَكونُ سَببًا في عِتقِ أُمِّه، وأنَّه رجَعَ عنه، فرأَى أنْ
يُرِقَّهنَّ، ويَبقَيْنَ ضِمنَ مالِ السَّيِّدِ بعْدَ مَوتِه ولا يُعتَقْنَ. وورَد
عندَ البَيْهَقيِّ في الكُبْرى أنَّ التَّابِعيَّ عَبيدةَ السَّلْمانيَّ قال لعَليٍّ
رَضيَ اللهُ عنه: «رأيُكَ ورَأيُ عُمَرَ في الجَماعةِ أحَبُّ إلَيَّ مِن رَأيِكَ
وَحْدَكَ في الفُرْقةِ»، أي: إنِّي آخُذُ بفَتْواكَ الَّتي وافقَتْ فَتْوى عُمَرَ
رَضيَ اللهُ عنه في الجَماعةِ، وأترُكُ رَأيَكَ وَحْدَكَ إذا كُنتَ مُفتَرِقًا،
فقال له عَلِيٌّ رَضيَ اللهُ عنه: اقْضوا كما كُنْتم تَقْضونَ قَبلُ؛ فإنِّي
أكرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ، أي: ٱلاخْـتِـلاَفُ على الشَّيخَينِ، أو ٱلاخْـتِـلاَفُ
الَّذي يُؤدِّي إلى التَّنازُعِ والفِتَنِ، وإنَّما فعَل علِيٌّ رَضيَ اللهُ عنه
ذلك لمَّا وجَد مَن يرُدُّ عليه قَولَه، فكَرِه الخِلاَفُ؛ لأنَّه لا يَأْتي إلَّا
بالشَّرِّ والتَّفرُّقِ، وحتَّى يَجتَمِعَ النَّاسُ على قَولِ الجَماعةِ. وقَولُه:
«أو أموتَ كما مات أصْحابي»، أي: إلى أنْ أموتَ كما مات أصْحابي على الحَقِّ
والهِدايةِ، والمُرادُ مَن سبَقَه مِن الخُلَفاءِ الرَّاشِدينَ.
وفي الحَديثِ: فَضلٌ ومَنقَبةٌ لعَلِيِّ بنِ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه.
Islam memerintahkan persatuan dan
melarang perpecahan serta perselisihan. Para sahabat radhiyallahu 'anhum telah
berusaha menerapkan metode yang lurus ini.
Kisah ini memiliki latar belakang;
yaitu ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu tiba di Irak dan penduduknya
bertanya kepadanya tentang pendapatnya mengenai status "ummul walad"
(budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya), apakah "ummul
walad" itu boleh dijual atau tidak?
"Ummul
walad" adalah budak-budak wanita yang telah disetubuhi oleh tuannya dan
kemudian melahirkan anak.
Pada awalnya Ali memberitahu
mereka bahwa pendapatnya sama dengan pendapat Umar radhiyallahu 'anhu yang
melarang penjualan para "ummul walad", dan bahwa mereka akan
dimerdekakan setelah kematian tuan mereka ; karena anak yang lahir menyebabkan
ibunya dimerdekakan.
Namun, dikemudian hari Ali berubah
pendapat, ia berpandangan bahwa mereka harus tetap sebagai budak, mereka tetap
dalam kepemilikan harta tuannya setelah kematiannya dan tidak dimerdekakan.
Disebutkan dalam kitab as-Sunan
Al-Kubra oleh Al-Bayhaqi :
Bahwa seorang tabi'in 'Ubaidah
Al-Salmani berkata kepada Ali radhiyallahu 'anhu: "Pendapatmu dulu yang
sesuai dengan pendapat Umar yang membawa persatuan, itu lebih aku sukai
daripada pendapatmu sekarang yang akan berdampak pada perpecahan."
Artinya, "Aku mengikuti fatwamu yang sesuai dengan fatwa Umar dalam
persatuan, dan meninggalkan pendapatmu sekarang yang menyebabkan
perpecahan."
Ali radhiyallahu 'anhu kemudian
berkata kepadanya: "Laksanakan sebagaimana yang dulu kalian putuskan
sebelumnya; karena aku tidak suka perpecahan," yaitu perpecahan yang
menyebabkan perselisihan dan fitnah.
Ali melakukan hal itu ketika ia
menemukan ada yang menolak pendapatnya, sehingga ia membenci perselisihan;
karena hal itu hanya membawa keburukan dan perpecahan, dan agar orang-orang
berkumpul pada pendapat jamaah.
Dan perkataannya: "Atau aku
mati seperti sahabat-sahabatku mati," artinya: hingga aku mati seperti
sahabat-sahabatku yang telah wafat dalam kebenaran dan petunjuk, yang dimaksud
adalah para khalifah rasyidin yang mendahuluinya”. [SELESAI KUTIPAN DARI
AS-SAQQAF]
===
KEDUA :
ATSAR KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ :
Imam Ad Darimi Rahimahullah
berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, dari Hammad bin
Salamah, dari Humaid, dia berkata:
قُلتُ لِعُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ لَو جَمَعتَ النَّاسَ عَلَى شَيءٍ
فَقَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّهُم لَم يَختَلِفُوا قَالَ ثُمَّ كَتَبَ إِلَى
الآفَاقِ أَوْ إِلَى الأَمصَارِ لِيَقضِيَ كُلُّ قَومٍ بِمَا اجتَمَعَ عَلَيهِ
فُقَهَاؤُهُم
Aku berkata kepada Umar bin Abdil
‘Aziz: “Alangkah baiknya engkau menyatukan manusia dalam satu pendapat.”
Beliau menjawab : “Tidak membuatku
senang jika mereka tidak berbeda pendapat.”
Humaid berkata: “Lalu Umar bin
‘Abdil Aziz menulis surat ke semua penjuru negeri:
“Setiap penduduk di suatu negeri
hendaknya memutuskan urusannya sesuai kesepakatan ahli fiqih mereka (di negeri
masing-masing).”
(Sunan Ad Darimi 1/22 No. 634, Bab
Ikhtilaf Al Fuqaha)
Di shahihkan oleh Sa’id Hawwaa
dalam al-Asaas fis Sunnah 1/509 no. No. 509.
Abu Zur'ah ad-Dimasyqi, semoga
Allah merahmatinya, meriwayatkan dari Sulaiman bin Habib al-Muharibi, seorang
tabi'in yang tepercaya dan seorang qadhi di Damaskus, bahwa dia berkata:
"أَرَادَ
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنْ يَجْعَلَ أَحْكَامَ النَّاسِ وَالأَجْنَادِ
حُكْمًا وَاحِدًا، ثُمَّ قَالَ: إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِي كُلِّ مِصْرٍ مِنْ
أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ وَجُنْدٍ مِنْ أَجْنَادِهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ
اللهِ ﷺ، وَكَانَتْ فِيهِمْ قُضَاةٌ قَضَوْا بِأَقْضِيَةٍ أَجَازَهَا أَصْحَابُ
رَسُولِ اللهِ ﷺ وَرَضُوا بِهَا، وَأَمْضَاهَا أَهْلُ الْمِصْرِ، كَالصُّلْحِ
بَيْنَهُمْ، فَهُمْ عَلَى مَا كَانُوا عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ". فَتَرَكَ
عُمَرُ مَا كَانَ أَرَادَهُ، وَكَانَ حَرِيصًا جِدًّا عَلَى أَنْ لَا يُغَيِّرَ
مِنْ وَاقِعِ الْأُمَّةِ شَيْئًا مَأْلُوفًا عِنْدَهُمْ، مَا دَامَ عَلَى وِجْهَةٍ
شَرْعِيَّةٍ.
"Umar bin Abdul Aziz ingin
menjadikan hukum-hukum masyarakat dan pasukan perang dalam satu hukum yang
sama, kemudian dia berkata:
'Di setiap kota dari kota-kota
kaum Muslimin dan pasukan dari pasukan-pasukannya ada orang-orang dari sahabat
Rasulullah ﷺ, dan di antara mereka ada qadhi-qadhi yang
telah memutuskan dengan keputusan-keputusan yang telah disetujui oleh sahabat
Rasulullah ﷺ dan mereka ridha dengannya, dan penduduk
kota menerima keputusan itu -contohnya seperti rekonsiliasi di antara mereka-
maka mereka tetap pada hukum yang mereka telah ada sebelumnya.'"
Maka Umar meninggalkan apa yang
dia inginkan, dan dia sangat berhati-hati untuk tidak mengubah apapun dari
realitas umat yang telah dikenal oleh mereka, selama hukum itu sesuai dengan
pandangan syariat. [Tarikh Abu Zur’ah ad-Dimasyqi hal. 202].
Dalam kitab “Laits bin Sa'ad Ilaa
Malik” , yang merupakan kitab yang terkenal, terdapat teks sebagai berikut:
"وَمِنْ
ذَلِكَ: القَضَاءُ بِشَهَادَةِ شَاهِدٍ وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، وَقَدْ
عَرَفْتَ ـ الخِطَابُ لِمَالِكٍ ـ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ يُقْضَى بِالمَدِينَةِ
بِهِ، وَلَمْ يَقْضِ بِهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالشَّامِ،
وَلَا بِحِمْصَ، وَلَا بِمِصْرَ، وَلَا بِالعِرَاقِ، وَلَمْ يَكْتُبْ بِهِ
إِلَيْهِمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ: أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ
وَعَلِيٌّ.
ثُمَّ وَلِيَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ ـ وَكَانَ كَمَا قَدْ عَلِمْتَ فِي
إِحْيَاءِ السُّنَنِ وَالجِدِّ فِي إِقَامَةِ الدِّينِ وَالإِصَابَةِ فِي
الرَّأْيِ، وَالعِلْمِ بِمَا مَضَى مِنْ أَمْرِ النَّاسِ ـ فَكَتَبَ إِلَيْهِ
رُزَيْقُ بْنُ حُكَيمٍ: إِنَّكَ كُنْتَ تَقْضِي بِالمَدِينَةِ بِشَهَادَةِ
الشَّاهِدِ الوَاحِدِ وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ
عَبْدِ العَزِيزِ: إِنَّا كُنَّا نَقْضِي بِذَلِكَ بِالمَدِينَةِ، فَوَجَدْنَا
أَهْلَ الشَّامِ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ، فَلَا نَقْضِي إِلَّا بِشَهَادَةِ
رَجُلَيْنِ عَدْلَيْنِ، أَوْ رَجُلٍ وَامْرَأَتَيْنِ".
"Di antaranya: vonis hukum
pengadilan dengan kesaksian seorang saksi dan sumpah dari pemilik hak, dan
engkau tahu - ditujukan kepada Malik - bahwa keputusan ini selalu dilakukan di
Madinah, namun para sahabat Rasulullah ﷺ tidak
memutuskannya di Syam, tidak pula di Homs, tidak di Mesir, dan tidak di Irak.
Para Khulafaa Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, tidak menulis
tentang hal ini kepada mereka.
Setelah itu kemudian Umar bin
Abdul Aziz menjadi pemimpin - dan engkau telah mengetahui bagaimana beliau
senantiasa menghidupkan sunnah, berusaha keras menegakkan agama, tepat dalam
berpendapat, serta mengetahui apa yang sedang terjadi dalam urusan umat - .
Maka Ruzaik bin Hukaim menulis
kepadanya: 'Engkau dahulu memutuskan di Madinah dengan kesaksian satu saksi dan
sumpah dari pemilik hak.'
Maka Umar bin Abdul Aziz menjawab
dengan menulis kepadanya: 'Kami dahulu memutuskan demikian di Madinah, namun
kami mendapati penduduk Syam tidak melakukan hal itu, maka kami hanya
memutuskan dengan kesaksian dua orang saksi yang adil, atau seorang lelaki dan
dua orang wanita.'"
[Lihat ini dalam kitab "I'lam
al-Muwaqqi'in" 3/97 karya Ibnul Qayyim. Dan lihat pula perkataan Ibnu
Abdil Barr dalam "At-Tamhid" 1/10 tentang alasan memilih riwayat
Yahya al-Laitsi untuk menjelaskannya daripada riwayat-riwayat lainnya].
====
KETIGA :
PERKATAAN AL-IMAM AL-QARRAAFI
Imam Al-Qarraafi Rahimahullah
memiliki perkataan yang luar biasa:
"فَمَهْمَا
تَجَدَّدَ فِي الْعُرْفِ اعْتَبِرْهُ وَمَهْمَا سَقَطَ أَسْقِطْهُ وَلَا
تَجْمُدْ عَلَى الْمَسْطُورِ فِي الْكُتُبِ طُولَ عُمْرِك بَلْ إذَا جَاءَك رَجُلٌ
مِنْ غَيْرِ أَهْلِ إقْلِيمِك يَسْتَفْتِيك لَا تَجْرِهِ عَلَى عُرْفِ بَلَدِك
وَاسْأَلْهُ عَنْ عُرْفِ بَلَدِهِ وَأَجْرِهِ عَلَيْهِ وَأَفْتِهِ بِهِ دُونَ
عُرْفِ بَلَدِك وَدُونَ الْمُقَرَّرِ فِي كُتُبِك فَهَذَا هُوَ الْحَقُّ
الْوَاضِحُ.
وَالْجُمُودُ عَلَى الْمَنْقُولَاتِ أَبَدًا ضَلَالٌ فِي الدِّينِ وَجَهْلٌ
بِمَقَاصِد عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَالسَّلَفِ الْمَاضِينَ".
Apapun yang terjadi pembaharuan
dalam sebuah tradisi, anggaplah ia!, dan yang sudah tidak berlaku lagi
tinggalkanlah!. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja
sepanjang hayatmu !. Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk
meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan
adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan
yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu,
bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu.
Itulah sikap yang benar dan jelas.
Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan
kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.“ [ Al
Furuq (Anwaarul Buruuq) 1/191. Penerbit : Aalamul Kutub]
===***===
HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM CABANG-CABANG MASALAH AGAMA
Ada riwayat dari Umar bin Abdul
Aziz rahimahullah [wafat : 101 H] bahwa dia pernah mengatakan:
"
مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ – ﷺ – لَمْ يَخْتَلِفُوا ؛
لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ".
"Tidaklah
membuat hatiku senang jika para sahabat Muhammad ﷺ tidak pernah
berbeda pendapat [tapi mereka tidak berpecah belah]. Karena jika mereka tidak
pernah berbeda pendapat, maka tidak akan pernah ada rukhshoh [kelonggaran dalam
berijtihad. Namun demikian mereka tetap tidak berpecah belah]. " .
Riwayat ini juga diceritakan oleh
beberapa salaf dengan makna yang sama.
Lihatlah kitab "Kashf
al-Khafaa" (Thaha), serta lihat juga "Al-Maqasid al-Hasanah" dan
"Al-Jami' al-Saghir" beserta penjelasannya, dan masih banyak lagi.
Juga perhatikan perkataan Imam
al-Khatib – semoga Allah merahmatinya – dalam "A'lam al-Hadits"
(1:219-221).
Hikmah
perbedaan pendapat dalam cabang-cabang masalah agama:
Yang tampak bagi kami adalah bahwa
perbedaan semacam ini, seperti yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah, serupa dengan perbedaan dalam bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, semuanya
diperbolehkan. Meskipun ada sekelompok orang memilih sebagian , namun tidak
memilih sebagian yang lain . Perbedaan tersebut bermanfaat dan tidak
membahayakan.
Sebagaimana Rasulullah ﷺ memerintahkan setiap pembaca Al-Qur'an
untuk membacanya sebagaimana yang mereka ketahui . Dan beliau ﷺ memperingatkan mereka semua agar tidak
jatuh ke dalam jurang perselisihan yang akan menyebabkan mereka binasa seperti
orang-orang terdahulu sebelum mereka.
Dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata:
"
سَمِعْتُ رَجُلًا قَرَأَ آيَةً، وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلَافَهَا، فَجِئْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَعَرَفْتُ فِي وَجْهِهِ الكَرَاهِيَةَ، وَقَالَ:
«كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ، وَلَا تَخْتَلِفُوا، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ
اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا» ".
“Saya mendengar
seseorang membaca suatu ayat, dan saya mendengar Nabi ﷺ membaca ayat itu berbeda dengan bacaannya,
maka saya membawa orang itu kepada Nabi ﷺ dan
memberitahukan kepadanya.
Saya melihat rasa tidak senang di
wajah Nabi ﷺ dan beliau
bersabda: “Kalian berdua benar (dalam hal bacaan ayat) dan janganlah
kalian berselisih, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian selalu
berselisih sehingga mereka binasa”. [HR. Bukhori no. 3476]
Seperti itulah keadaan para
sahabat di masa Nabi ﷺ masih hidup, celah-celah yang
bisa menimbulkan perselisihan ditutup, dan apabila terjadi perselisihan segera
diselesaikan sehingga tidak menjadi besar.
Syeikh Thoha Mohammad as-Saakit
dalam artikel [مثل من اختلاف الصحابة] berkata :
وَمِنَ الْحُمْقِ وَالْخِفَّةِ أَنْ تُفَرَّقَ الْكَلِمَةُ وَيَشْتَدَّ
الْخِصَامُ فِي جُزْئِيَاتٍ يَسِيرَةٍ، جَعَلَ اللَّهُ التَّوْسِعَةَ فِيهَا
يُسْرًا فِي الدِّينِ وَرَحْمَةً لِلْمُسْلِمِينَ.
وَلَوْ أَنْ هَذِهِ الْأُمَّةَ حُمِلَتْ عَلَى طَرِيقَةٍ وَاحِدَةٍ فِي
فُرُوعِ الدِّينِ وَلُطَائِفِهِ، لَحَرِجَ صَدْرُهَا، وَضَاقَ ذَرْعُهَا،
وَلَذَّاقَتْ عَذَابَ الْإِصْرِ الَّذِي حَمَلَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ الَّتِي
قَبْلَهَا، وَلَوْ أَنَّهُمْ حُمِلُوا فِي أُصُولِ الدِّينِ وَقَوَاعِدِهِ عَلَى
طَرَائِقَ شَتَّى، لَكَانَ الْبَلَاءُ أَعْظَمَ، وَالْمُصَابُ أَعْمَى،
فَسُبْحَانَ مَنْ جَلَّتْ حِكْمَتُهُ، وَوَسَعَتْ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَتُهُ!
Dan termasuk hal yang bodoh dan
dungu adalah memecah belah umat dan memperuncing perselisihan dalam hal-hal
yang kecil. Padahal Allah telah menjadikan keluasan dalam perbedaan pendapat
tersebut sebagai kemudahan dalam agama dan sebagai rahmat bagi umat Islam .
Andai saja umat ini diwajibkan
mengikuti satu cara dalam cabang-cabang agama dan detailnya, sungguh dada umat
ini akan merasa sempit, dan lengannya akan menjadi pendek, dan mereka akan
merasakan azab beban yang pernah Allah timpakan pada umat-umat terdahulu
sebelum mereka.
Dan andai saja Ushuluddin
[pokok-pokok agama] dan kaidah-kaidahnya diwajibkan atas mereka dalam berbagai
macam hal apa saja , maka bencana akan semakin menjadi lebih besar dan
dampaknya akan lebih luas".
Maha suci Allah yang hikmah-Nya
nampak Agung dan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu!
====
MACAM DAN JENIS TINGKATAN MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN
Perbedaan pendapat itu bisa
terjadi dalam berbagai macam hal, jenis dan tingkatan masalah.
Meskipun kita tidak bisa
mengingkari akan adanya perbedaan pendapat antar para ulama dalam banyak hal
dalam masalah agama ini, namun kita juga harus melihat-lihat dan memilah-milah
macam dan jenis masalah yang diperselisihkan. Tidak semua macam dan jenis yang
perselisihkan bisa kita toleransi , melainkan kita harus memberikan batasan dan
klasifikasi . Yaitu sbb :
PERTAMA : Perbedaan pendapat dalam
masalah pokok dan pondasi agama :
Yaitu : Perbedaan dalam prinsip
dasar dan pokok agama, seperti iman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka dalam hal ini tidak
boleh dipersesihkan . Bagi yang mengingkarinya adalah sebuah kekufuran dan
balasan nya adalah neraka.
KEDUA : Perbedaan pendapat yang
bukan pokok dan pondasi agama :
Perbedaan pendapat dalam hal-hal
yang merupakan cabang-cabangnya, contohny sbb :
Tentang Nabi Muhammad ﷺ melihat Allah Azza wa Jalla pada malam
Isra' dan Mi'raj, ini adalah perbedaan yang telah terjadi pada masa sahabat .
Ibnu Abbas menetapkannya, sedangkan Ummul Mukminin Aisyah -radhiyallahu ‘anhu- menolaknya.
Contoh lainnya adalah : tentang
mayit disiksa karena tangisan keluarganya . Maka Ummul Mukminin Aisyah -radhiyallahu ‘anhu- menolak keyakinan bahwa
orang yang meninggal disiksa dengan tangisan keluarganya atasnya. Hal ini
ditegaskan oleh sahabat-sahabat lainnya. Lihatlah perkataan Syekh Imam Ibnu
Taimiyah dalam "Majmu' al-Fatawa" 12:492 dan 20:33.
Perbedaan pendapat dalam
pokok-pokok agama dan hukum-hukumnya, yang memiliki dalil yang jelas dan bukti
yang nyata, maka yang menyelisihinya itu adalah kesesatan dan kesalahan.
Perbedaan dalam hal ini akan memecah belah kesatuan kaum mukminin, seperti
perbedaan pendapat yang muncul dari sekte al-Qadariyah, al-Khawarij, dan
ar-Rafidhah, serta sekte-sekte Islam lainnya yang dengan perbedaannya ini
menyebabkan mereka keluar dan memisahkan diri dari manhaj Ahlussunnah wal
Jama'ah.
Adapun perbedaan pendapat dalam
cabang-cabang yang dapat menampung lebih dari satu pendapat, maka itu pernah
terjadi pula pada zaman Rasulullah ﷺ dan pada zaman
para sahabat, serta pada masa generasi terbaik umat ini.
Perbedaan ini hampir tidak melebihi
batas perbedaan pendapat tentang : “ini yang baik” dan “ini yang buruk” atau
“ini dibolehkan” dan “ini dimakruhkan”. Yaitu perbedaan pendapat yang tidak
menyebabkan pertengkaran atau konflik ketika ditinjau dengan cara yang arif dan
bijak .
Syeikh Thoha Mohammad as-Sakit
dalam artikel [مثل من اختلاف الصحابة] berkata :
وَقَدْ أَجْمَعَ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَخَلَفُهَا عَلَى أَنَّهُ لَا يُعَابُ
مَنْ تَرَكَ الْمَنْدُوبَ إِلَى الْمُبَاحِ، كَمَا أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا
يُعَابُ الْمُجْتَهِدُ إِذَا أَخْطَأَ فِي الِاجْتِهَادِ، فَكَيْفَ تُشَقُّ عَصَا
الطَّاعَةِ، وَتُمَزَّقُ وَحْدَةُ الْجَمَاعَةِ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ
الْهِينَاتِ؟!
Para Salaf [pendahulu umat ini]
dan khalaf [yang hidup sesudahnya], sepakat dengan ijma' bahwa tidak ada celaan
bagi seseorang yang meninggalkan sesuatu yang sunnah beralih menuju yang mubah.
Demikian pula, mereka sepakat dengan ijma' bahwa seorang mujtahid tidak dicela
jika dia melakukan kesalahan dalam ijtihadnya.
Jadi, bagaimana mungkin tongkat
ketaatan dipatahkan , dan persatuan kaum mukminin dirobek hanya karena
masalah-masalah yang sepele ini?". [Selesai]
Dalam kesempatan ini penulis [Kang
Fakhry] sengaja tidak memberikan contoh-contoh, karena contoh-contoh tersebut
sudah banyak dan telah dikenal dalam kitab-kitab para ulama. Lihatlah di
kitab-kitab berikut ini : "I'lam al-Muwaqqi'in" dan "Hujjatullah
al-Balighah" dan "Risalah Ibnu Taimiyah fi Ijtihad Ash-Shahabah
wal-Tabi'in".
Pemilik kitab "Al-Mizan"
, Syekh Abdul Wahhab bin Ahmad Al-Sha'ranī (w. 973 H) dalam penjelasan yang panjang
menyimpulkan :
لا خِلافَ في الشريعةِ الغَراءِ ألبَتَّة؛ وَإِنَّما هِيَ مُرَاتَبٌ تَرْجِعُ
في جُمْلَتِهَا إِلَى الرُخْصَةِ وَالْعَزِيمَةِ، وَالتَّخْفِيفِ وَالتَّشْدِيدِ،
وَأَنَّ الْمُخَاطَبَ بِالْأُولَى هُمَ الضُّعَفَاءُ وَالْعَاجِزُونَ، وَالْمُخَاطَبَ
بِالثَّانِيَةِ هُمَ الْأَقْوِيَاءُ وَالْقَادِرُونَ؛ وَلَكِنَّ النَّاسَ لَيْسُوا
بِمَنْزِلَةِ سَوَاءٍ.
Bahwa tidak ada sama sekali
perbedaan dalam syariat yang lurus ini , kecuali hanya pada tingkatan-tingkatan
tertentu yang secara global dikembalikan pada ruang lingkup rukhshoh
[kelonggaran] dan 'Azimah [ketegasan] serta takhfiif [keringanan] dan Tasydiid
[tekanan].
Dan bahwa khithob yang pertama
[rukhshoh dan takhfiif] ditujukan pada orang yang lebih lemah dan tidak mampu,
sedangkan khithob yang kedua ['azimah dan tasydiid] di tujukan pada yang lebih
kuat dan mampu. Namun, manusia tidak berada pada posisi dan tingkatan yang
sama."
Demikianlah penjelasan yang
diberikan oleh Syekh Abdul Wahhab bin Ahmad Al-Sha'ranī dalam
bagian awal kitab "Al-Mizan al-Kubra", cetakan dari Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah tahun 1279 H.
====*****====
PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN DAN MENCELA PERBEDAAN PENDAPAT :
Beberapa ulama dengan tegas
mencela perbedaan pendapat dan mengharamkannya, di antaranya:
Pertama
: Al-Muzani (w. 264 H) dalam kitabnya Dzamm at-Taqliid
(sebagaimana dikutip oleh az-Zarkasyi dalam al-Bahrul Muhith 6/257] berkata:
وَلَوْ كَانَ ٱلِٱخْتِلَافُ رَحْمَةً، لَكَانَ ٱلِٱجْتِمَاعُ عَذَابًا؛
لِأَنَّ ٱلْعَذَابَ خِلَافُ ٱلرَّحْمَةِ
"Jika perbedaan pendapat
adalah rahmat, maka kesepakatan akan menjadi azab; karena azab adalah kebalikan
dari rahmat."
Akan tetapi al-Muzani kemudian
berkata :
قالَ الشافعيُّ - رَحِمَهُ اللهُ تعالى - ٱلاخْـتِـلاَفُ وَجْهانِ: فَما كانَ
مَنْصُوصًا، لَمْ يَحِلَّ فيهِ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَما كانَ يَحْتَمِلُ التَأْوِيلَ
أَوْ يُدْرَكُ قِياسًا، فَذَهَبَ المُتَأَوِّلُ أَوِ المُقايِسُ إِلى مَعْنًى
يَحْتَمِلُ ذلِكَ، وَإِنْ خالَفَهُ غَيْرُهُ، لَمْ أَقُلْ إِنَّهُ يُضَيِّقُ
عَلَيْهِ ضَيْقَ ٱلاخْـتِـلاَفُ في المَنْصُوصِ.
Al-Imam asy-Syafi’i – rahimahullah
- berkata : "Perbedaan pendapat itu ada dua jenis:
Pertama, jika sesuatu itu telah
jelas ditentukan (dalam nash), maka tidak boleh ada perbedaan pendapat di
dalamnya.
Kedua, jika sesuatu itu mengandung
penafsiran atau dapat dipahami melalui analogi, maka jika seseorang yang
menafsirkan atau menganalogikan sampai pada suatu makna yang mungkin, meskipun
orang lain tidak sependapat dengannya, maka aku tidak mengatakan bahwa ia harus
dipersempit sebagaimana dipersempitnya dalam perbedaan yang terdapat
nash." [Baca : al-Bahrul Muhith 6/257 karya az-Zarkasyi]
Kedua : Ibnu Hazm (w. 456 H)
berkata:
وَهٰذا مِنْ أَفْسَدِ قَوْلٍ يَكُونُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كانَ ٱلاخْـتِـلاَفُ
رَحْمَةً لَكانَ الاِتِّفاقُ سَخَطًا، وَهٰذا ما لا يَقولُهُ مُسْلِمٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ
إِلّا اِتِّفاقٌ أَوِ اخْتِلافٌ، وَلَيْسَ إِلّا رَحْمَةٌ أَوْ سَخَطٌ، وَأَمّا
الحَديثُ المَذْكورُ فَباطِلٌ مَكْذوبٌ، مِنْ تَوْلِيدِ أَهْلِ الفِسْقِ.
"Ini adalah perkataan yang
paling fasiq (rusak); karena jika perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan
akan menjadi murka. Dan ini adalah sesuatu yang tidak akan dikatakan oleh
seorang Muslim; karena tidak ada selain kesepakatan atau perbedaan pendapat,
dan tidak ada selain rahmat atau murka. Adapun hadits yang disebutkan adalah
palsu dan dibuat-buat, oleh orang-orang fasik." [Baca : al-Ihkam Fii
Ashulil Ahkam karya Ibnu Hazm 5/64].
Kemudian Ibnu Hazm berkata :
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الصَّحَابَةَ قَدِ ٱخْتَلَفُوا وَهُمْ أَفَاضِلُ ٱلنَّاسِ
ـ أَفَيَلْحَقُهُمُ ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ؟.
قِيلَ: كَلَّا، مَا يَلْحَقُ أُولَئِكَ شَيْءٌ مِنْ هٰذَا، لِأَنَّ كُلَّ
ٱمْرِئٍ مِّنْهُمْ تَحَرَّى سَبِيلَ ٱللَّهِ، وَوِجْهَتُهُ ٱلْحَقَّ،
فَٱلْمُخْطِئُ مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرًا وَاحِدًا لِنِيَّتِهِ ٱلْجَمِيلَةِ فِي
إِرَادَةِ ٱلْخَيْرِ، وَقَدْ رُفِعَ عَنْهُمُ ٱلإِثْمُ فِي خَطَئِهِمْ،
لِأَنَّهُمْ لَمْ يَتَعَمَّدُوهُ، وَلَا قَصَدُوهُ، وَلَا ٱسْتَهَانُوا
بِطَلَبِهِمْ، وَٱلْمُصِيبُ مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرَيْنِ، وَهَكَذَا كُلُّ
مُسْلِمٍ إِلَى يَوْمِ ٱلْقِيَامَةِ فِيمَا خَفِيَ عَلَيْهِ مِنَ ٱلدِّينِ وَلَمْ
يَبْلُغْهُ، وَإِنَّمَا ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ، وَٱلْوَعِيدُ ٱلْمَنْصُوصُ لِمَنْ
تَرَكَ ٱلتَّعَلُّقَ بِحَبْلِ ٱللَّهِ: وَهُوَ ٱلْقُرْآنُ، وَكَلَامُ ٱلنَّبِيِّ
صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ بُلُوغِ ٱلنَّصِّ إِلَيْهِ، وَقِيَامِ
ٱلْحُجَّةِ عَلَيْهِ، وَتَعَلَّقَ بِفُلَانٍ بِفُلَانٍ مُقَلِّدًا عَامِدًا
لِلْٱخْتِلَافِ، دَاعِيًا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَحَمِيَّةِ ٱلْجَاهِلِيَّةِ،
قَاصِدًا لِلْفُرْقَةِ، مُتَحَرِّيًا فِي دَعْوَاهُ بِرَدِّ ٱلْقُرْآنِ
وَٱلسُّنَّةِ إِلَيْهَا، فَإِنْ وَافَقَهَا ٱلنَّصُّ أَخَذَ بِهِ، وَإِنْ
خَالَفَهَا تَعَلَّقَ بِجَاهِلِيَّةٍ، وَتَرَكَ ٱلْقُرْآنَ وَكَلَامَ ٱلنَّبِيِّ
صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَهَؤُلَاءِ هُمُ ٱلْمُخْتَلِفُونَ
ٱلْمَذْمُومُونَ.
Maka jika ada yang bertanya :
"Para sahabat telah berselisih pendapat padahal mereka adalah orang-orang yang
paling mulia - apakah mereka termasuk dalam kecaman yang disebutkan?"
Dijawab : "Tidak, mereka
tidak terkena sedikitpun dari hal ini, karena masing-masing dari mereka mencari
jalan Allah dan tujuannya adalah kebenaran. Maka yang salah dari mereka mendapatkan
satu pahala karena niatnya yang baik dalam menginginkan kebaikan, dan dosa
diangkat dari mereka atas kesalahan mereka, karena mereka tidak sengaja
melakukannya, tidak berniat melakukannya, dan tidak menggampangkan dalam
penelitian mereka.
Sedangkan yang berijtihad dengan
benar dari mereka maka akan mendapatkan dua pahala.
Demikian pula setiap Muslim hingga
hari kiamat dalam hal yang tidak diketahuinya dari agama dan belum sampai
kepadanya.
Kecaman dan ancaman yang
disebutkan hanyalah bagi mereka yang sengaja meninggalkan berpegang pada tali
Allah: yaitu Al-Qur'an dan sabda Nabi ﷺ setelah nash
sampai kepadanya, hujjah ditegakkan atasnya, dan ia terikat pada si fulan dan
si fulan dengan sengaja bertaklid demi untuk berselisih, mengajak pada
fanatisme dan semangat jahiliah, bertujuan untuk perpecahan, sengaja dalam
dakwaannya dengan menolak Al-Qur'an dan sunnah kepadanya.
Jika nash sesuai dengan
pendapatnya maka ia mengambilnya, dan jika nash bertentangan dengan pendapatnya
maka ia mengikuti kejahiliahan-nya, meninggalkan Al-Qur'an dan sabda Nabi ﷺ. Maka mereka inilah yang disebut sebagai
orang-orang yang berselisih yang tercela."
[Baca : al-Ihkam Fii Ashulil Ahkam
karya Ibnu Hazm 5/67-68. Di kutip pula oleh al-Albaani dalam as-Silsilah
adh-Dho’ifah 1/143].
Ketiga : Dr. Abdul Karim Zaidan
(w. 1435 H) berkata:
"ٱلِٱئْتِلَافُ
وَٱلِٱتِّفَاقُ خَيْرٌ مِنَ ٱلِٱخْتِلَافِ قَطْعًا، حَتَّى فِي ٱلْمَسَائِلِ
ٱلِٱجْتِهَادِيَّةِ ٱلسَّائِغِ ٱلِٱخْتِلَافِ فِيهَا، فَلَا يَجُوزُ ٱلْحِرْصُ
عَلَى ٱلِٱخْتِلَافِ، وَٱلرَّغْبَةُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ سَائِغًا؛ لِأَنَّ
مَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ تَعَمُّدِهِ وَوُقُوعِهِ، وَمَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ
مُخَالَفَةِ مُقْتَضَى ٱلدَّلِيلِ ٱلشَّرْعِيِّ؛ حَتَّى يَحْصُلَ ٱلْخِلَافُ،
وَهٰذَا بَاطِلٌ قَطْعًا، وَأَيْضًا فَإِنَّ مِنْ شُرُوطِ ٱلِٱخْتِلَافِ
ٱلسَّائِغِ تَجْرِيدَ ٱلْقَصْدِ لِلْوُصُولِ إِلَى ٱلْحَقِّ وَٱلصَّوَابِ، وَهٰذَا
لَا يَتَّفِقُ مَعَ ٱلرَّغْبَةِ فِي وُقُوعِهِ".
"Kesatuan dan kesepakatan
jelas lebih baik daripada perbedaan pendapat, bahkan dalam masalah ijtihad yang
diperbolehkan adanya perbedaan pendapat di dalamnya, tidak diperbolehkan untuk
bersemangat dalam mencari perbedaan pendapat dan menginginkannya, meskipun itu
diperbolehkan; karena ini berarti memperbolehkan kesengajaan dan terjadinya
perbedaan pendapat, yang berarti memperbolehkan melawan tuntutan bukti syar'i;
agar terjadi perbedaan pendapat, dan ini jelas salah. Selain itu, salah satu
syarat perbedaan pendapat yang diperbolehkan adalah murni berniat untuk
mencapai kebenaran dan ketepatan, dan ini tidak sesuai dengan keinginan untuk
terjadinya perbedaan pendapat." [(Al-Mawsu'ah Al-Hurrah Mawqi’ Fi
Al-Internet)]
===*****===
KESIMPULAN DAN TARJIH :
Mengarahkan dan menggabungkan pendapat-pendapat dalam hal
ini ke dua arah:
Arah
Pertama:
Kelapangan, keluasan dan rahmat
tidak merujuk pada sifat perbedaan pendapat itu sendiri, melainkan pada tujuan
dan maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yaitu bahwa diperbolehkan ijtihad
dalam masalah-masalah cabang untuk mencapai maksud syariat adalah merupakan
kelapangan dan rahmat; karena ketika diperbolehkan bagi mereka untuk melakukan
ijtihad dalam dalil-dalil yang bersifat dugaan, atau ketika tidak ada nash
dalam masalah-masalah yang terjadi.
Dan ketika diperbolehkan bagi
generasi awal untuk beramal dengan apa yang dicapai oleh ijtihad mereka; maka
hal itu diperbolehkan pula bagi generasi setelah mereka; sehingga hal itu
menjadi kelapangan bagi umat dan rahmat bagi mereka, jika tidak, maka akan
menjadi sempit bagi para ulama dan mereka yang meminta fatwa dalam banyak hukum.
Adapun perbedaan pendapat itu
sendiri yang terjadi di antara mereka, maka tidak ada kelapangan di dalamnya,
melainkan ada kesalahan dan kebenaran, meskipun mereka dimaafkan dan tidak
berdosa karenanya; karena mereka tidak bermaksud untuk itu dan tidak sengaja
melakukannya.
Jadi, kelapangan adalah dari
dibukanya pintu ijtihad, atau dalam beramal dengan apa yang dihasilkan oleh
ijtihad mereka, bukan dalam perbedaan itu sendiri di antara mereka. Oleh karena
itu, kelapangan dan rahmat terletak pada dibukanya pintu ijtihad, dan
beramalnya seorang mujtahid dengan apa yang dicapai oleh ijtihadnya, serta
taklidnya orang-orang kepadanya dalam hal itu; dengan anggapan bahwa mereka
mengambil yang lebih kuat, meskipun pada hakikatnya bisa jadi bahwa itu yang
lebih lemah.
Jadi, tersembunyinya dan ketidak
jelasnnya hukum syar'i dari mereka adalah rahmat bagi mereka, dan kelapangan
bagi mereka; karena dalam kemunculannya terdapat kesulitan dan penyempitan bagi
mereka.
Meskipun perbedaan itu sendiri adalah keburukan, hal itu
selama para pihak yang berbeda itu berusaha kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah.
Arah
Kedua:
Perbedaan pendapat adalah rahmat,
yaitu bahwa orang-orang yang berbeda pendapat itu dirahmati, bukan perbedaan
itu sendiri yang dimaksud, atau bukan perbedaan itu sendiri adalah rahmat, akan
tetapi orang-orang yang berbeda pendapat itu dirahmati, dalam arti:
“Bahwa siapa pun yang berusaha
mencapai kebenaran, dan tidak ngasal, maka dia telah melaksanakan kewajibannya.
Jika dia salah, maka dia mendapat satu pahala, dan jika dia benar, maka dia
mendapat dua pahala.
Jadi, perbedaan pendapat itu
sendiri bukanlah rahmat atau sesuatu yang diinginkan secara syar'i, bahkan jika
kita bisa menghilangkan perbedaan pendapat ini dan mengakhirinya, maka itu adalah
yang terbaik. Bahkan perbedaan yang dibenarkan, jika kita bisa menghilangkannya
dengan berdiskusi dan berdialog dalam suasana persahabatan dan cinta kasih
hingga mencapai satu pendapat - itu lebih baik dan lebih bagus; karena
berkumpulnya orang-orang pada satu pendapat lebih baik bagi mereka daripada
perbedaan pendapat.
Namun, maksudnya adalah bahwa
orang-orang yang berbeda pendapat ini tidak diancam dengan adzab selama mereka
berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui kebenaran, masing-masing sesuai dengan
ilmu dan kemampuannya, dan kebenaran itu hanya satu, tidak lebih.
Adanya perbedaan pendapat semacam
ini memiliki hikmah kosmik, bukan hikmah syar'i, dan alasan perbedaan pendapat
kembali pada perbedaan pemahaman, kemampuan, dan metode pendidikan pada awalnya.
Ini adalah hal-hal yang bersifat
takdir, sehingga yang diinginkan secara syar'i adalah kesepakatan sejauh
mungkin, dan pencarian kebenaran sesuai dengan kemampuan. Oleh karena itu,
orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat semacam ini dirahmati.
Jadi, seorang mujtahid atau orang
awam jika mengikuti pendapat orang yang lebih dipercaya di antara ulama menurut
pandangannya, maka tidak perlu berprasangka bahwa dia dalam bahaya atau di tepi
kehancuran jika ternyata pendapat tersebut salah, atau jika pendapat tersebut
pada hakikatnya salah di sisi Allah. Akan tetapi selama pendapat tersebut telah
diamalkan oleh beberapa imam yang dianggap keilmuannya, maka dia dirahmati dan
mendapat pahala satu atau dua, sehingga dari sudut pandang ini, perbedaan pendapat
adalah rahmat, bukan perbedaan itu sendiri adalah rahmat atau sesuatu yang
diinginkan.
Dalam hadits riwayat dari Amr ibn
al-'Ash, di sebutkan bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا
حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
Jika seorang hakim mengadili dan
berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang
hakim mengadili dan berijtihad lantas ia salah, baginya satu pahala. [HR.
Bukhori no. 7352].
Dalam lafadz lain :
إذا اجتَهَد فأصاب فله أجرانِ، وإن اجتَهَد فأخطَأَ فله أجرٌ
Jika seseorang berijtihad dan
ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seseorang berijtihad
lantas ia salah, baginya satu pahala.
[Hadis ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud (3574), Ibnu Majah (2314), dan Ahmad (17809) dengan sedikit perbedaan. Di
shahihkan oleh asy-Syawkani dalam al-Fathur Rabbaani 6/3090].
PERNYATAAN AL-IMAM ASY-SYATIBI :
Imam Al-Syathibi rahimahullah
berkata:
"وَمَعْنَى
هَذَا أَنَّهُمْ فَتَحُوا لِلنَّاسِ بَابَ الِاجْتِهَادِ وَجَوَازَ ٱلاخْـتِـلاَفُ
فِيهِ، لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَفْتَحُوهُ لَكَانَ الْمُجْتَهِدُونَ فِي ضِيقٍ
... فَوَسَّعَ اللَّهُ عَلَى الْأُمَّةِ بِوُجُودِ الخِلاَفُ الْفُرُوعِي فِيهِمْ،
فَكَانَ فَتْحُ بَابِ لِلْأُمَّةِ لِلدُّخُولِ فِي هَذِهِ الرَّحْمَةِ".
"Makna dari ini adalah bahwa
mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia, dan memperbolehkan perbedaan
pendapat di dalamnya; karena jika mereka tidak boleh membukanya, maka para
mujtahid akan berada dalam kesulitan; maka Allah melapangkan umat dengan adanya
perbedaan pendapat dalam masalah furu’ di antara mereka, sehingga menjadi
pembuka pintu bagi umat untuk masuk dalam rahmat ini." [ al-I’thishom
2/677].
Beliau juga berkata dalam
al-Muwafaqoot 5/75 :
فَيُحْمَلُ أَنْ يَكُونَ مِنْ جِهَةِ فَتْحِ بَابِ ٱلِاجْتِهَادِ، وَأَنَّ
مَسَائِلَ ٱلِاجْتِهَادِ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ مِنْهَا سَعَةً بِتَوْسِعَةِ مَجَالِ
ٱلِاجْتِهَادِ لَا غَيْرَ ذٰلِكَ.
"Ini dapat diartikan sebagai
pembuka pintu ijtihad, dan bahwa masalah-masalah ijtihad telah Allah jadikan
luas dengan memperluas ruang lingkup ijtihad saja, tidak lebih dari itu."
Lalu asy-Syathibi berkata :
قَالَ الْقَاضِي إِسْمَاعِيلُ : "إِنَّمَا التَّوْسِعَةُ فِي اخْتِلَافِ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ تَوْسِعَةٌ فِي اجْتِهَادِ الرَّأْيِ، فَأَمَّا أَنْ
يَكُونَ تَوْسِعَةً أَنْ يَقُولَ الْإِنْسَانُ بِقَوْلِ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ عِنْدَهُ فِيهِ فَلَا، وَلَكِنَّ اخْتِلَافَهُمْ
يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمُ اجْتَهَدُوا، فَاخْتَلَفُوا".
قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ : "كَلَامُ إِسْمَاعِيلَ هَذَا حَسَنٌ
جِدًّا".
Qadhi Ismail berkata:
"Pelapangan dalam perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah ﷺ adalah pelapangan dalam ijtihad pendapat,
tetapi jika dimaksudkan sebagai pelapangan bahwa seseorang bisa mengikuti salah
satu pendapat mereka tanpa meyakini kebenarannya, maka itu tidak boleh. Namun,
perbedaan pendapat mereka menunjukkan bahwa mereka berijtihad sehingga mereka
berbeda pendapat."
Ibnu Abdul Barr berkata:
"Ucapan Ismail ini sangat baik sekali." [Baca : al-Muwafaqoot 5/75]
SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam
Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:
وَالنِّزَاعُ فِي الْأَحْكَامِ قَدْ يَكُونُ رَحْمَةً إذَا لَمْ يُفْضِ
إلَى شَرٍّ عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا
سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ "
كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ
يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ
مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى ﴿لَا تَسْأَلُوا
عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ﴾
"Perselisihan pendapat dalam
hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang besar,
seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis sebuah
kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam
Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada
kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi
sebagian orang karena keidak jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran
itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk
dalam firman Allah Ta'ala:
﴿لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ﴾
*" Janganlah kalian
menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian
akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).
Ini adalah tarbiyah dan pendidikan
dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi
mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat
bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut
ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka
kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].
Perbedaan pendapat, meskipun pada
dasarnya adalah keburukan, namun kapanpun jika para pihak yang berselisih itu kembali
kepada Al-Qur'an dan Sunnah serta berniat mencari kebenaran, dan berusaha keras
untuk mencapainya; maka mereka termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan
dalam firman-Nya:
﴿فَهَدَى
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ
وَاللَّهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ﴾
*"Maka Allah memberikan
petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal-hal yang
mereka perselisihkan dengan seizin-Nya. Dan Allah memberikan petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus"* (Al-Baqarah: 213).
Maka Allah memberi petunjuk kepada
orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
Muhammad ﷺ, yang membenarkannya dan apa yang
dibawanya dari Allah, tentang apa yang diperselisihkan oleh orang-orang yang
diberi kitab." [Tafsir ath-Thabari 4/283]
IBNU AL-QOYYIM :
Ibnu al-Qoyyim rahimahullah
berkata:
"فَمَنْ
هَدَاهُ ٱللَّهُ سُبْحَانَهُ إِلَى ٱلْأَخْذِ بِٱلْحَقِّ حَيْثُ كَانَ، وَمَعَ
مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ يَبْغِضُهُ وَيَعَادِيهِ، وَرَدَ ٱلْبَاطِلَ
مَعَ مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ يُحِبُّهُ وَيُوَالِيهِ؛ فَهُوَ مِمَّنْ
هُدِيَ لِمَا ٱخْتَلَفَ فِيهِ مِنَ ٱلْحَقِّ؛ فَهَذَا أَعْلَمُ ٱلنَّاسِ
وَأَهْدَاهُمْ سَبِيلًا وَأَقَوَّمُهُمْ قِيلًا."
"Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi petunjuk hidayah kepadanya untuk mengambil kebenaran di mana pun dan bersama siapa pun, meskipun bersama orang yang dia benci dan dia musuhi , dan menolak kebatilan bersama siapa pun, meskipun bersama orang yang dia cintai dan dia bela ; maka dia termasuk orang yang diberi petunjuk atas apa yang diperselisihkan tentang kebenaran itu. Maka dia adalah orang yang paling berilmu di antara manusia dan paling banyak mendapat petunjuk dari pada mereka dan paling paling lurus ucapannya ." [ Baca : ash-Showaa’iq al-Mursalah 2/516].
0 Komentar