Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM BERPOLITIK DALAM SYARIAT ISLAM

 HUKUM BERPOLITIK DALAM SYARIAT ISLAM

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

 ===



----

DAFTAR ISI :

  • MAKNA DAN DEFINISI SIYASAH (POLITIK)
  • POLITIK ADALAH BAGIAN YANG TAK TERPISAHKAN DARI AGAMA
  • PENTINGNYA POLITIK DALAM ISLAM :
  • HUKUM BERPOLITIK DALAM SYARIAT ISLAM:
  • POLITIK ADALAH WASILAH UNTUK MENJAGA AGAMA DAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH
  • HUKUM MENJALANKAN SEBAB DAN WASILAH UNTUK MENCAPAI MAKSUD DAN TUJUAN:
  • MAKSUD DAN TUJUAN UTAMA BER-POLITIK DALAM ISLAM
  • TUJUAN PERTAMA : MENINGGIKAN KALIMAT ALLAH DAN MENJAGA AGAMA-NYA:
  • TUJUAN KEDUA : MENEGAKKAN HUKUM ALLAH DI MUKA BUMI :
  • TUJUAN KETIGA : MEMBANGUN KEKUATAN MILITER SEBAGAI PERSIAPAN JIHAD FII SABILILLAH:
  • TUJUAN KEEMPAT : MENEGAKKAN KEADILAN SESUAI SYARIAT ISLAM:
  • TUJUAN KE LIMA : MENJAGA WIBAWA, KEMULIAAN, HARKAT DAN MARTABAT UMAT.
  • KETIKA UMAT ISLAM MENGENDALIKAN POLITIK, KUAT DAN BERKUASA, MAKA KEHORMATAN UMAT DAN AGAMA-NYA TERJAGA.
  • PERTAMA : KEHORMATAN UMAT ISLAM PADA MASA NABI .
  • KE 1 : KETIKA ADA SEORANG WANITA MUSLIMAH DILECEHKAN OLEH NON MUSLIM:
  • KE 2 : KETIKA NABI DI NISTAKAN OLEH PEMIMPIN YAHUDI .
  • KEDUA : KEHORMATAN UMAT ISLAM PADA MASA KEJAYAAN ISLAM.
  • KE 1 : PADA MASA KHALIFAH AL-MU’TASIM BILLAH :
  • KE 2 : PADA MASA UMAT ISLAM BERKUASA DI ANDALUSIA – EROPA.
  • DALIL AL-QUR DAN HADITS TERKAIT ATURAN POLITIK PEMERINTAH DAN RAKYAT.
  • PERINTAH MENEGAKKAN KEADILAN DALAM ISLAM:
  • POLITIK DALAM ISLAM ANTARA ORANG YANG MENGINGKARI DAN ORANG YANG BERLEBIHAN.
  • PERTANYAAN KEPADA PARA ULAMA SEKULER PENCELA POLITIK, JUGA KEPADA TUKANG HAJER DAN TAHDZIR TERHADAP ORANG YANG BERPOLITIK:
  • MENANGGAPI PERNYATAAN NYELENEH DARI ULAMA SEKULER :
  • KETIKA ADA ORANG BERTANYA DENGAN TUJUAN MELECEHKAN POLITIK

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ . أَمَّا بَعْدُ :

===***===

MAKNA DAN DEFINISI SIYASAH (POLITIK)

Kata “Politik” dalam bahasa arab adalah “Siyasah (سِيَاسَةٌ), yang berarti melakukan sesuatu untuk kebaikannya.

Kata “سَوَّسَهُ الْقَوْمُ” ketika mereka menjadikan seseorang sebagai pengatur urusan politik mereka.

Dikatakan “سُوِّسَ فُلَانٌ أَمْرَ بَنِي فُلَانٍ” maksudnya diberi tanggung jawab mengatur urusan politik Bani Fulan

Dan “سُسْتُ الرَّعِيَّةَ سِياسَةً” artinya : aku mengatur urusan politik rakyat.

Dan “سُوِّسَ الرَّجُلُ أُمُورَ النَّاسِ” seseorang ditugaskan mengatur urusan masyarakat, dimana pelakunya tidak disebutkan namanya, ketika dia diberi kekuasan untuk mengatur mereka. Silahkan melihat ‘Lisanul Arab, (6/107). Qomus Muhith, hal. 710.

Diriwayatkan Bukhori, 3455 dan Muslim, 1842 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ

“Dahulu politik Bani Isroil diatur oleh para nabi. Setiap kali nabi meninggal, diganti dengan nabi (lain).

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan :

"(تَسُوسهُمْ الْأَنْبِيَاء) أَيْ : يَتَوَلَّوْنَ أُمُورهمْ كَمَا تَفْعَل الْأُمَرَاء وَالْوُلَاة بِالرَّعِيَّةِ , وَالسِّيَاسَة : الْقِيَام عَلَى الشَّيْء بِمَا يُصْلِحهُ " انتهى .

“Kata ‘Tasusuhum Al-Anbiya’ maksudnya adalah mereka menguasai urusan politik dan lain-nya sebagaimana yang dilakukan para gubernur dan pemimpin terhadap rakyatnya. Dan Siyasah (strategi politik) adalah melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.” Selesai

Ibnu Nujaim mengatakan :

"ٱلسِّيَاسَةُ هِيَ فِعْلُ شَيْءٍ مِنَ ٱلْحَاكِمِ لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا وَإِنْ لَمْ يُرَدْ بِذَلِكَ ٱلْفِعْلِ دَلِيلٌ جُزْئِيٌّ."

“Siyasah adalah Hakim (penguasa) melakukan sesuatu untuk kemaslahatan yang dilihatnya. Meskipun dia tidak menginginkan hal itu sebagai sebagian bukti. [Baca : Bahru ar-Ro’iq, (5/11)].

Sementara Ibnu Kholdun mendefinisikan siyasah syariyyah adalah :

"حَمْلُ ٱلْكَافَّةِ عَلَى مُقْتَضَى ٱلنَّظَرِ ٱلشَّرْعِيِّ فِي مَصَالِحِهِمُ ٱلْأُخْرَوِيَّةِ وَٱلدُّنْيَوِيَّةِ ٱلرَّاجِعَةِ إِلَيْهَا، إِذْ أَحْوَالُ ٱلدُّنْيَا تَرْجِعُ كُلُّهَا عِنْدَ ٱلشَّارِعِ إِلَى ٱعْتِبَارِهَا بِمَصَالِحِ ٱلْآخِرَةِ، فَهِيَ فِي ٱلْحَقِيقَةِ خِلَافَةٌ عَنْ صَاحِبِ ٱلشَّرْعِ فِي حِرَاسَةِ ٱلدِّينِ وَسِيَاسَةِ ٱلدُّنْيَا بِهِ."

“Melakukan segala hal sesuai dengan pandangan agama untuk kebaikan akhirat dan dunia yang kembali kepadanya. Dimana semua kondisi dunia semuanya kembali kepada Allah asy-Syaari' (Sang Pembuat Syari’at) sesuai dengan kemaslahatan akhirat. Hakekatnya ia berbeda dengan pemilik syareat dalam menjaga agama dan mengatur dunia.” [Selesai dari ‘Muqodimah Ibnu Kholdun, hal. 97].

Dari situ maka siyasah adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Dalam Islam tidak dibedakan antara politik (siyasah) dan agama. Dari ketetapan ini, sesuai dengan istilah orang-orang, maka Nabi dahulu mempergunakan siyasah (politik) yang bijaksana dalam hukumnya. Dalam mengurus urusan pemerintahan. Karena ia turun dengan syareat dalam rangka merealisasikan maslahat dan menyempurnakannya. Serta menghilangkan kerusakan (mafsadah) dan meminimalkan. Begitu juga apa yang dilakukan khulafa’ Rosyidin dan para imam yang mengikuti petunjuk sesudahnya. [Silahkan melihat ‘Turuq al-Hukmiyah’ Karangan Ibnu Qoyyim, hal. 17-20].

Definisi Politik menurut pandangan Ath-Thahir bin ‘Asyur rahimahullah adalah:

"ٱلتَّصَرُّفُ فِي عُمُومِ مَصَالِحِ ٱلْأُمَّةِ مِمَّا زَادَ عَلَى ٱلْقَضَاءِ"

“pengelolaan terhadap seluruh kemaslahatan umum umat yang melebihi ranah peradilan”.

[Lihat : Ath-Thahir bin 'Asyur, *Jumhurah Maqālāt wa Rasā'il asy-Syaikh al-Imām Muhammad ath-Thāhir bin 'Āsyūr*, halaman 933].

Sebagian lainnya mendefinisikannya sebagai:

 "تَدْبِيرُ شُؤُونِ ٱلدَّوْلَةِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ ٱلَّتِي لَمْ يَرِدْ بِحُكْمِهَا نَصٌّ صَرِيحٌ، أَوِ ٱلَّتِي مِنْ شَأْنِهَا أَنْ تَتَغَيَّرَ وَتَتَبَدَّلَ بِمَا فِيهِ مَصْلَحَةُ ٱلْأُمَّةِ، وَيَتَّفِقَ مَعَ أَحْكَامِ ٱلشَّرِيعَةِ، وَأُصُولِهَا ٱلْعَامَّةِ".

“Pengaturan urusan negara Islam yang tidak terdapat nash yang jelas tentang hukumnya, atau urusan yang bersifat berubah-ubah sesuai dengan kemaslahatan umat, selama sesuai dengan hukum-hukum syariat dan prinsip-prinsip umumnya”.

[Baca : Universitas Al-Madīnah, *As-Siyāsah Asy-Syar'iyyah*, halaman 10].

****

KITAB-KTAB KLASIK TENTANG POLITIK:

Para ulama Ahlus Sunnah telah menulis kitab-kitab yang bermanfaat dalam bidang politik syari’ah (siyasah syar'iyyah), di antaranya:

* *As-Siyasah Asy-Syar'iyyah fi Ishlah Ar-Ra'i war-Ra'iyyah* karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

* *Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis-Siyasah Asy-Syar'iyyah* karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim

* *Ghayāts Al-Umam fī Iltiyāth Az-Zhulam* karya Al-Imam Al-Juwaini (wafat 478 H)

* *Al-Ahkam As-Sulthaniyyah* karya Al-Qadhi Abu Ya'la (wafat 458 H).

* *Al-Ahkam As-Sulthaniyyah* karya Al-Imam Al-Mawardi (wafat 450 H).

* *Tahrīr Al-Ahkam fī Tadbīr Ahlil-Islam* karya ‘Izzuddin Ibnu Jama'ah (wafat 767 H).

* *Tabshirot Al-Hukkam fī Ushūl Al-Aqdliyyah wa Manāhij Al-Ahkām* karya Ibnu Farhun (wafat 799 H).

Dan selain itu masih banyak karya agung lainnya yang bersandar pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijtihad para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

===***===

POLITIK ADALAH BAGIAN YANG TAK TERPISAHKAN DARI AGAMA

Sesungguhnya yang dimaksud dengan politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, pengelolaan urusan negara, pensejahteraan rakyat, hubungan dengan negara-negara lain, dan penetapan hukum syar'i dalam hal ini. Maka dalam pengertian seperti ini, politik adalah bagian dari agama tanpa keraguan, karena hak menetapkan hukum dan pemerintahan dalam Islam hanya milik Allah Ta'ala.

Prinsip ini -yaitu hak menetapkan hukum- bukan termasuk masalah fikih atau cabang, tetapi merupakan bagian dari tauhid, keimanan, dan pokok-pokok ajaran Islam.

Dalil-dalil tentang hal ini sangat banyak dan terkenal dalam Kitab Allah Ta'ala, di antaranya firman Allah Ta'ala:

﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ﴾

“Sesungguhnya keputusan hukum hanyalah hak Allah. Dia menjelaskan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan terbaik.” (Al-An’am: 57)

Dan firman Allah Ta'ala:

﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ﴾

“Sesungguhnya keputusan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain-Nya. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)

Dan firman Allah Ta'ala:

﴿وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ﴾

“Terhadap apa pun yang kalian perselisihkan, maka putusan hukum-nya kembali kepada Allah.” (Asy-Syura: 10)

Dan firman Allah Ta'ala:

﴿وَيَقُولُونَ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ.

وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ. وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ.

أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ﴾

“Mereka berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami taat.’ Kemudian sebagian dari mereka berpaling setelah itu; dan mereka bukanlah orang-orang yang beriman.

Dan apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menetapkan hukum di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka berpaling.

Namun jika kebenaran berpihak kepada mereka, mereka datang dengan tunduk. Apakah dalam hati mereka ada penyakit, atau mereka ragu-ragu, ataukah mereka takut bahwa Allah dan Rasul-Nya akan berbuat zalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zalim.

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menetapkan hukum di antara mereka, hanyalah berkata, ‘Kami dengar dan kami taat.’

Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka itulah orang-orang yang menang.” (QS. An-Nur: 47–52)

Dan firman Allah Ta'ala:

﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا﴾

“Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya. Dan setan ingin menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa: 60)

Dan firman Allah Ta'ala:

﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)

Segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan, kepemimpinan, dan kekhilafahan, baik dari segi pengembangan, landasan hukum maupun undang-unadangnya, semuanya adalah politik. Dan politik ini adalah kelanjutan dari kenabian dalam menjaga agama dan mengatur negeri-negeri sesuai dengan ajaran agama.

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam syarah Riyadhus Shalihin:

فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هُوَ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ، وَلَكِنْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ خُلَفَاءَ؛ خُلَفَاءَ فِي الْعِلْمِ، وَخُلَفَاءَ فِي السُّلْطَةِ، وَالْمُرَادُ بِالْخُلَفَاءِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: خُلَفَاءُ السُّلْطَةِ.

"Nabi adalah penutup para nabi. Namun Allah menjadikan untuk beliau para khalifah—khalifah dalam ilmu, dan khalifah dalam kekuasaan. Yang dimaksud khalifah dalam hadits ini adalah khalifah dalam politik kekuasaan." [Baca : Ibnu Utsaimin, *Syarah Riyadhus Shalihin*, jilid 3, halaman 635].

Nabi adalah da’i, pendidik, penguasa, dan pembuat syariat atas izin dan perintah Allah Ta’ala. Apakah hal ini belum cukup untuk menunjukkan bahwa politik adalah bagian dari agama?

Contoh Politik yang menunjukkan bahwa Politik tidak terpisahkan dari agama :

Para penguasa Muslim sepanjang sejarah telah menetapkan kebijakan-kebijakan syariah yang menjaga hukum-hukum agama dan kemaslahatannya.

Di antaranya adalah tindakan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang mengubah kebijakan dalam penarikan kharaj dan jizyah, agar sesuai dengan keadilan dan toleransi Islam. Ia menolak untuk terus menerapkan jumlah jizyah dan kharaj yang sama.

Bahkan, ia menetapkannya sesuai dengan kemampuan orang-orang dalam membayar jizyah serta alasan di balik kewajiban mereka membayar. Dahulu, jizyah dibayarkan sebagai bentuk penghinaan dan penegasan dominasi negara Islam. Namun kemudian, Umar bin Khattab menjadikannya sebagai imbalan atas perlindungan dan pembelaan terhadap para pembayar jizyah, sebagai ganti atas jaminan keamanan dan pertahanan bagi mereka.

[Universitas Al-Madīnah, *As-Siyāsah Asy-Syar'iyyah*, halaman 113].

Berhukum dengan hukum Allah adalah termasuk Tauhid Rububiyyah:

Telah diketahui melalui penelaahan dan pengamatan terhadap nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah bahwa tauhid terbagi menjadi tiga jenis: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa sifat.

Sebagian ulama membagi tauhid hanya menjadi dua bagian, yaitu:

Pertama : Tauhid ma'rifah (الْمَعْرِفَة) dan itsbat (الإِثْبَات), yang mencakup tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa sifat.

Kedua : Tauhid thalab (الطَّلَب) dan qashd (الْقَصْد), yang dimaksudkan sebagai tauhid uluhiyah.

Maknanya sama, perbedaannya hanya dalam istilah, dan tidak ada masalah dalam perbedaan istilah.

Dalam konteks ini pula, sebagian orang menyebut hak menetapkan hukum hanya milik Allah sebagai tauhid hakimiyah (ٱلْحَاكِمِيَّةُ), dan mereka memisahkannya karena pentingnya hal itu. Padahal pada asalnya, tauhid hakimiyah itu termasuk dalam tauhid rububiyah.

****

PENTINGNYA POLITIK DALAM ISLAM:

Fungsi utama politik dalam syariat Islam adalah menjaga kemaslahatan para hamba dan rakyat, serta mencegah terjadinya kerusakan atas mereka; melalui kebijakan-kebijakan yang dipandang tepat oleh penguasa Muslim, dalam perkara-perkara yang tidak terdapat nash syar’i tentangnya. Politik dalam syariah Islam memperoleh urgensinya dari pentingnya keberadaan pemerintahan politik dan tegaknya seorang pemimpin di tengah masyarakat.

Manifestasi Pentingnya Politik dalam Syariah Islam

Pentingnya politik dalam syariat Islam nampak dalam beberapa hal, di antaranya:

[*] Fungsi utama politik dalam syariat Islam adalah menjaga maqashid syariah dan lima kebutuhan pokok, yaitu: menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Maka tugas penguasa adalah mewujudkan maksud Allah dari hukum-hukum syariat.

[*] Politik dalam syariat Islam mengangkat umat menuju derajat kemajuan dan perkembangan tertinggi dalam seluruh bidang: politik, ekonomi, keamanan, dan kesejahteraan.

[*] Politik dalam syariat Islam membawa pada terjaganya kemaslahatan, menarik dan mewujudkannya, menyempurnakan yang baik menjadi lebih baik, menolak kerusakan, menutup jalan yang mengarah kepadanya, dan mencegah terjadinya.

[*] Politik dalam syariat Islam menangani berbagai peristiwa baru dan situasi aktual yang menimpa umat dalam seluruh bidang, serta menetapkan hukum-hukum syariat khusus untuknya, sesuai dengan maksud syariat dan mewujudkan tujuan-tujuan yang menjadi alasan ditetapkannya hukum.

[*] Politik dalam syariat Islam menyesuaikan diri dengan realitas secara fleksibel dan mudah tanpa menanggalkan hukum-hukum Allah; semuanya itu berjalan sesuai dengan manhaj tasyri’ Ilahi, yang disebut dengan semangat syariat dan tujuan umumnya.

[*] Politik dalam syariat Islam mengatur hubungan antara negara Islam dan negara-negara lain, serta mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat, dan menjaganya sebagaimana yang dikehendaki Allah; tanpa ada bahaya yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.

[*] Politik dalam syariat Islam mencari alternatif yang sesuai dengan memperhatikan realitas permasalahan, lalu menetapkan hukum yang sesuai dengannya dan mewujudkan tujuan serta maksudnya.

[*] Politik dalam syariat Islam menjaga wibawa dan kekuatan negara, menumbuhkan semangat kemuliaan dan harga diri di dalamnya, serta menjadikannya sejajar dengan negara-negara terdepan.

[Baca : Muhammad Yusri Ibrahim, *Fiqh an-Nawāzil lil-Aqalliyyāt al-Muslimah*, halaman 664, dengan penyesuaian]

BERIKUT INI : BEBERAPA POIN PENTING LAINNYA TENTANG POLITIK DALAM ISLAM:

Politik sebagai bagian integral dari Islam:

Islam tidak memisahkan antara agama dan politik. Politik dalam Islam bertujuan untuk menegakkan syariat dan mewujudkan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. 

Contoh para nabi:

Para nabi, dengan kepemimpinan mereka, telah memberikan contoh bagaimana politik dapat digunakan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan umat. 

Peran politik dalam dakwah:

Dakwah Islam tidak dapat dilaksanakan secara efektif tanpa menggunakan sarana politik. Politik dapat menjadi alat untuk menyebarkan ajaran Islam dan mewujudkan masyarakat yang beriman. 

Prinsip-prinsip politik dalam Islam:

Beberapa prinsip pokok yang melatar belakangi praktek politik Islam dapat dijabarkan sebagai berikiut :

  1. Menjaga Persatuan : Kewajiban mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
  2. Nasihat: Mempertimbangkan masukan dan kritik dari masyarakat. 
  3. Musyawarah: Melakukan perundingan dan diskusi untuk mengambil keputusan. 
  4. Keamanan dan Keadilan: Memastikan keamanan dan kesejahteraan masyarakat. 
  5. Ketaatan pada Syariah: Mematuhi hukum Islam dalam segala aspek pemerintahan. (Kewajiban mentaati Allah, Rasul dan ulil amri).

Hubungan antara pemimpin dan rakyat:

Pemimpin dalam Islam memiliki kewajiban untuk memerintah dengan adil dan berkepemimpinan, sementara rakyat memiliki kewajiban untuk taat dan berbuat baik. 

Dengan demikian, politik dalam Islam bukan sekadar kegiatan duniawi, melainkan bagian integral dari ajaran Islam yang berfungsi untuk mencapai keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan umat.

===****===

HUKUM BERPOLITIK DALAM SYARIAT ISLAM:

Banyak dalil yang menunjukkan bahwa hukum berpolitik itu Fardhu Kifayah, jika hukum Islam tidak bisa ditegak-kan dan agama Islam berserta umatnya tidak bisa terlindungi  kecuali dengan berpolitik dan berkuasa. Bahkan ada kemungkinan -wallahu ‘alam- bisa berubah menjadi fardhu ‘Ain ketika musuh-musuh Islam telah menjajah negeri muslim atau menguasai urusan politik di dalam-nya. Sama seperti halnya dengan kewajiban berjihad fii sabilillah. Jihad menjadi fardhu ‘ain ketika musuh sudah masuk dalam negeri kaum muslimin, sebagaimana dalam firman Allah:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ. وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir yang menyerbu kalian , maka janganlah kalian membelakangi mereka (jangan mundur).

Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat atau mengatur strategi) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”. (QS. Al-Anfaal : 15-16)

Petunjuk dari sirah Nabawiyah menunjukkan bahwa politik adalah bagian dari agama, dan bahwa politik telah dipraktikkan oleh sebaik-baik umat ini, yaitu Rasulullah dan para sahabatnya (radhiyallahu ‘anhum) sementara orang-orang yang datang belakangan justru menjauh darinya!

Al-Imam Al-Mawardi (wafat 450 H) rahimahullah berkata:

"الإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ".

“Kepemimpinan (al-imāmah) ditetapkan sebagai kelanjutan dari kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan politik dunia. Menetapkannya bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat adalah kewajiban berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).”

[Baca: Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, karya al-Mawardy hal. 3. Tahqiq: Ahmad Al-Mubarak Al-Baghdadi, Kuwait: Maktabah Dar Ibnu Qutaibah, cet. ke-1, 1409 H / 1989 M]

Tentu saja, segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan, kepemimpinan, dan kekhilafahan, baik dari segi pengembangan, landasan maupun perinciannya, semuanya adalah politik. Dan politik ini adalah kelanjutan dari kenabian dalam menjaga agama dan mengatur negeri-negeri sesuai dengan ajaran agama.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta'ala berkata:

‌يَجِبُ ‌أَنْ ‌يُعْرَفَ ‌أَنَّ ‌وِلَايَةَ ‌أَمْرِ ‌النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّينِ؛ بَلْ لَا قِيَامَ لِلدِّينِ وَلَا لِلدُّنْيَا إلَّا بِهَا. فَإِنَّ بَنِي آدَمَ لَا تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إلَّا بِالِاجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إلَى بَعْضٍ وَلَا بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ الِاجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ﴿إذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ﴾ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ.

وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَد فِي الْمُسْنَدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ﴿لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُونُونَ بِفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ إلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ﴾ فَأَوْجَبَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَأْمِيرَ الْوَاحِدِ فِي الِاجْتِمَاعِ الْقَلِيلِ الْعَارِضِ فِي السَّفَرِ تَنْبِيهًا بِذَلِكَ عَلَى سَائِرِ أَنْوَاعِ الِاجْتِمَاعِ. وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَلَا يَتِمُّ ذَلِكَ إلَّا بِقُوَّةِ وَإِمَارَةٍ. وَكَذَلِكَ سَائِرُ مَا أَوْجَبَهُ مِنْ الْجِهَادِ وَالْعَدْلِ وَإِقَامَةِ الْحَجِّ وَالْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ. وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ لَا تَتِمُّ إلَّا بِالْقُوَّةِ وَالْإِمَارَةِ؛ وَلِهَذَا رُوِيَ: ﴿أَنَّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ﴾

“Wajib diketahui bahwa mengurusi urusan manusia adalah salah satu kewajiban agama yang paling agung. Bahkan, agama dan dunia tidak akan tegak kecuali dengannya. Karena, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka kecuali dengan berkumpul (bersatu), dan dalam setiap perkumpulan pasti dibutuhkan seorang pemimpin. Hingga Nabi bersabda:

‘Jika tiga orang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin’ (Al-Albani, Silsilah al-Ahādīts ash-Shahīhah, no. 1322).

Maka Nabi mewajibkan penunjukan pemimpin untuk mengatur urusan politik negara bahkan dalam perkumpulan kecil dan sementara, seperti dalam perjalanan, sebagai isyarat atas pentingnya pemimpin dalam segala bentuk perkumpulan.

Dan karena Allah telah mewajibkan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka hal itu tidak bisa terlaksana kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan. Begitu pula semua kewajiban lainnya seperti jihad, keadilan, pelaksanaan haji, shalat Jumat, hari raya, menolong orang yang dizalimi, dan penegakan hukum hudud — semuanya tidak akan bisa ditegakkan kecuali dengan kekuasaan dan pemerintahan.

Oleh karena itu, diriwayatkan sebuah hadits : ‘Sesungguhnya penguasa itu adalah naungan Allah di bumi’. (Al-Albani, Zhilāl al-Jannah, no. 1024, dan beliau berkata: hasan).

[Lihat : Majmu’ al-Fatawa oleh Ibnu Taimiyah 28/390 dan as-Siyāsah asy-Syar’iyyah, hlm. 129)].

Maka perhatikanlah bagaimana Syaikhul Islam mewajibkan perkara ini, mewajibkan untuk berusaha mewujudkannya, dan menjadikannya sebagai bagian dari agama.

Namun di akhir zaman, perkara ini justru dianggap di luar agama oleh sebagian orang yang anti politik dan (ironisnya) oleh orang-orang yang disebut sebagai ulama! Mereka justru menyerukan agar ditinggalkan demi "kembali kepada agama"!

Padahal jika para ulama dan orang-orang bertakwa tidak mengambil posisi ini -untuk menegakkan amar ma’ruf, nahi munkar, dan berjihad melawan musuh- maka pasti akan diambil alih oleh orang-orang yang memerintahkan kemungkaran, melarang kebaikan, dan menyerukan berjihad di jalan setan.

Sekarang mari kita lihat sebagian dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang hal ini.

Dan diantara dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya berpolitik adalah sbb :

Dalil pertama :

Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

«‌كَانَتْ ‌بَنُو ‌إِسْرَائِيلَ ‌تَسُوسُهُمُ ‌الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ» قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: «فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»

“Politik Bani Israil dahulu dikendalikan oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, maka nabi lain menggantikannya.

Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para khalifah lalu mereka akan menjadi banyak.”

Para sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?”

Beliau bersabda, “Tunaikanlah baiat kepada yang pertama, kemudian yang berikutnya. Berikanlah hak mereka, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka terhadap apa yang mereka pimpin.”

(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3455 dan Muslim no. 1842).

Kalimat "politik dalam Islam (تَسُوسُهُمُ الأنْبِياءُ) " berarti "politik dalam Islam, para nabi memerintah mereka." 

Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, politik bukan sekadar kegiatan duniawi, tetapi juga memiliki akar spiritual dan berfungsi untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan umat. Politik dalam Islam, seperti yang dicontohkan oleh para nabi, bertujuan untuk menegakkan hukum Allah (syariat) dan mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. 

Al-Imam an-Nawawi mensyarahi hadits ini dengan mengatakan :

أَيْ ‌يَتَوَلَّوْنَ ‌أُمُورَهُمْ ‌كَمَا ‌تَفْعَلُ ‌الْأُمَرَاءُ ‌وَالْوُلَاةُ ‌بِالرَّعِيَّةِ، وَالسِّيَاسَةُ الْقِيَامُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا يُصْلِحُهُ.

Maksudnya, para nabi mengurus urusan mereka sebagaimana para pemimpin dan penguasa mengurus rakyatnya. Dan Politik adalah mengurusi sesuatu dengan cara yang membawa kebaikan. [Baca : Syarah Shahih Muslim 12/231 no. 1842].

Al-Mujaddidi Al-Hanafi dalam Injah al-Hajat berkata:

تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ مِنَ السِّيَاسَةِ، وَهِيَ الرِّيَاسَةُ وَالتَّأْدِيبُ عَلَى الرَّعِيَّةِ، ‌وَلَا ‌يُنَاقِضُ ‌هَذَا ‌بِقِصَّةِ ‌طَالُوتَ، ‌فَإِنَّهُ ‌كَانَ مَلِكًا لَا نَبِيًّا، وَنَبِيُّهُمْ كَانَ الشَّمُوِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، لِأَنَّ الْمُلُوكَ كَانُوا تَبَعًا لِأَنْبِيَائِهِمْ، فَلَمَّا أُمِرُوا بِهِ أَطَاعُوهُمْ، فَكَانَتِ السِّيَاسَةُ حَقِيقَةً لِلنَّبِيِّ، وَالْمَلِكُ كَانَ نَائِبًا مِنْهُ. (إنْجَاح).

*"‘Mereka dipimpin oleh para nabi’ berasal dari kata ‘siyasah’ (politik), yaitu kepemimpinan dan pembinaan terhadap rakyat.

Ini tidak bertentangan dengan kisah Thalut, karena ia adalah seorang raja, bukan nabi. Nabi mereka adalah Samwil 'alaihissalam. Para raja datang mengikuti para nabi. Maka ketika mereka diperintah oleh nabi, mereka menaati.

Politik itu hakikatnya milik nabi, dan sang raja hanyalah wakil dari nabi."* [Lihat : Syarah Sunan Ibnu Majah oleh as-Suyuthi dan lainnya hal. 206 no. 2871].

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

وَفِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ» دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ دِينَ اللهِ -وَهُوَ دِينُ الْإِسْلَامِ فِي كُلِّ مَكَانٍ وَفِي كُلِّ زَمَانٍ- هُوَ السِّيَاسَةُ الْحَقِيقِيَّةُ النَّافِعَةُ، وَلَيْسَتِ السِّيَاسَةُ الَّتِي يَفْرِضُهَا أَعْدَاءُ الْإِسْلَامِ مِنَ الْكُفَّارِ. السِّيَاسَةُ حَقِيقَةُ مَا جَاءَ فِي شَرْعِ اللهِ، وَلِهَذَا نَقُولُ: إِنَّ الْإِسْلَامَ شَرِيعَةٌ وَسِيَاسَةٌ، وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ السِّيَاسَةِ وَالشَّرِيعَةِ فَقَدْ ضَلَّ.

“Dan dalam sabda Nabi : *‘Para nabi mengatur urusan politik mereka (Bani Israil)’* terdapat dalil bahwa agama Allah -yaitu agama Islam di setiap tempat dan waktu- adalah politik yang hakiki dan bermanfaat. Bukan politik yang dipaksakan oleh musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir. Politik yang sebenarnya adalah apa yang datang dalam syariat Allah. Oleh karena itu, kami katakan bahwa Islam adalah syariat sekaligus politik. Siapa yang memisahkan antara politik dan syariat, maka sungguh dia telah sesat.”

Hingga pada perkataan beliau:

"فَالْمُهِمُّ أَنَّ الدِّينَ دِينُ اللهِ، وَأَنَّ الدِّينَ سِيَاسَةٌ: سِيَاسَةٌ شَرْعِيَّةٌ، سِيَاسَةٌ اِجْتِمَاعِيَّةٌ، سِيَاسَةٌ مَعَ الْأَجَانِبِ، وَمَعَ الْمُسَالِمِينَ، وَمَعَ كُلِّ أَحَدٍ. وَمَنْ فَصَلَ الدِّينَ عَنِ السِّيَاسَةِ فَقَدْ ضَلَّ؛ وَهُوَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: إِمَّا جَاهِلٌ بِالدِّينِ وَلَا يَعْرِفُ، وَيَظُنُّ أَنَّ الدِّينَ عِبَادَاتٌ بَيْنَ الْإِنْسَانِ وَرَبِّهِ، وَحُقُوقٌ شَخْصِيَّةٌ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ؛ يَظُنُّ أَنَّ هَذَا هُوَ الدِّينُ فَقَطْ. أَوْ أَنَّهُ قَدْ بَهَرَهُ الْكُفَّارُ وَمَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ الْقُوَّةِ الْمَادِّيَّةِ، فَظَنَّ أَنَّهُمْ هُمُ الْمُصِيبُونَ. وَأَمَّا مَنْ عَرَفَ الْإِسْلَامَ حَقَّ الْمَعْرِفَةِ عَرَفَ أَنَّهُ شَرِيعَةٌ وَسِيَاسَةٌ، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ.

“Yang penting adalah bahwa agama ini adalah agama Allah, dan agama itu adalah politik: politik syar'i, politik sosial, politik bermu’amalah dengan orang asing, politik terhadap orang-orang yang mengajak berdamai, dan terhadap setiap orang.

Siapa yang memisahkan agama dari politik maka dia telah sesat; dan dia berada di antara dua kemungkinan: bisa jadi dia jahil terhadap agama dan tidak mengetahuinya, dia mengira bahwa agama itu hanya ibadah antara hamba dan Rabb-nya, atau hak-hak pribadi dan semacamnya; dia menyangka bahwa hanya itulah agama.

Atau bisa jadi dia terpesona oleh orang-orang kafir dan kekuatan materi yang mereka miliki, lalu mengira bahwa merekalah yang benar.

Adapun orang yang mengenal Islam dengan sebenarnya, niscaya dia tahu bahwa Islam adalah syariat dan politik. Dan Allah-lah pemberi taufik.”

(*Syarah Riyadhus Shalihin*, Dar Al-Wathan li al-Nasyr, Riyadh, cet. 1426 H, [3/636-637])

Dalil kedua :

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah bersabda:

مَا بَعَثَ اللَّهُ مِن نَبِيٍّ وَلا استَخْلَفَ مِنْ خَليفَةٍ إلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وتَحُضُّهُ عليهِ، والمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ

*"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi dan tidak pula mengangkat seorang khalifah (sebagai pengganti dan penerus nabi) melainkan baginya ada dua jenis penasehat (dewan penasehat atau menteri) :

[*] Penasehat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kepadanya.

[*] Dan penasehat yang menyuruh kepada kejahatan dan mendorongnya kepadanya. Dan orang yang terjaga dari dosa adalah orang yang dijaga oleh Allah."* (HR. Bukhari no. 7198)

Dalil ke tiga :

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah bersabda:

إِذَا أرَادَ اللَّهُ بالأمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وزيرَ صِدْقٍ، إنْ نَسِيَ ذكَّرهُ، وَإن ذَكَرَ أعَانَهُ، وَإذا أَرَاد بهِ غَيرَ ذَلِكَ جعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ، إنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْه، وَإن ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ

*"Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Dia menjadikan baginya penasihat yang jujur: jika ia lupa, maka ia mengingatkannya, dan jika ia ingat, maka ia membantunya. Dan jika Allah menghendaki sebaliknya, maka Dia menjadikan baginya penasihat yang buruk: jika ia lupa, ia tidak mengingatkannya, dan jika ia ingat, ia tidak membantunya."*

(HR. Abu Dawud no. 2932 dengan sanad yang baik sesuai syarat Muslim sebagaimana dikatakan an-Nawawi dalam Raiydhush Sholihin no. 278. Dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 2932)

Dalil Ke Empat :

Firman Allah SWT:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا﴾

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [QS. An-Nisa: 59]

Dalil Ke Lima :

Allah SWT berfirman :

﴿يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ﴾

"Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan hukum di antara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan." (QS. Az-Zumar: 26)

==****==

POLITIK ADALAH WASILAH UNTUK MENJAGA AGAMA DAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH

Menjaga agama Islam merupakan salah satu dari 5 darurat yang wajib dijaga oleh umat Islam, bahkan ia adalah urutan darurat paling pertama .

Berikut ini urutan 5 darurat yang wajib dijaga, dilindungi dan dipertahankan :

1]- Agama [الدِّينُ]. 2]- Jiwa [النَّفْسُ]. 3]- Akal [الْعَقْلُ]. 4]- Keturunan [النَّسَبُ]. 5]- Harta [المَالُ].

Dan ada sebagian para ulama yang menambahkan : ke [6] – yaitu : kehormatan [العِرْضُ].

Az-Zarkasyi rahimahullah berkata :

الضَّرُورِيَّةُ: وهي ما لَا بُدَّ مِنها في قِيامِ مَصالحِ الدِّينِ والدُّنْيا بِحيثُ إذا فُقِدَتْ لَمْ تَجْرِ َمصالحُ الدُّنيا على اسْتِقامَةٍ، بَلْ على فَسادٍ وتَهارُجٍ وفَوتِ حَياةٍ، وفي الآخِرَةِ فَوتِ النَّجاةِ والنَّعيمِ والرُّجُوعِ بالخُسْرانِ المُبينِ.

فَهي الَّتي تَتَضمَّنُ حِفْظَ مَقْصودٍ مِن المَقاصدِ الخَمْسةِ وهي: حِفْظُ الدِّينِ بِشَرْعِيَّةِ القَتْلِ والقِتالِ، فالقَتلُ للرِّدَّةِ وغيرِها مِن مُوجِباتِ القَتلِ لأِجْلِ مَصلحةِ الدِّينِ، والقِتالُ في جِهادِ أهلِ الحَرْبِ، وحِفظُ النَّفسِ بِشَرعِيَّةِ القِصاصِ، وحِفظُ العَقْلِ بِشرعِيَّةِ الحَدِّ على شُرْبِ المُسْكِرِ، وحِفظُ النَّسلِ بِتَحْريمِ الزِّنا وإِيجابِ العُقوبَةِ عليه، وحِفظُ المَالِ بِإيجابِ الضَّمانِ على المُتَعَدِّي فيهِ، وبِالقَطعِ في السَّرِقَةِ، وهي المَجْموعَةُ في قولِه تعالَى: ﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ المُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئاً وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنُّ وَلَا يَاتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ﴾ الآيَةُ.

وزَادَ الطُّوفِيُّ الحَنْبَلِيُّ وتَبِعَهُ التَّاجُ السُّبْكِيُّ سادِساً، وهو حِفظُ الأَعْراضِ، فإنَّ عادَةَ العُقلاءِ بَذْلُ نُفوسِهمْ وأَمْوالِهمْ دُونَ أعْراضِهمْ، وما فُدِيَ بِالضَّرورِيِّ أوْلى أنْ يكونَ ضَرُورِيًّا . وفي الصَّحيحَينِ، أنَّ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ في خُطْبةِ الوَداعِ: ((إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ)) الحديثَ.

Mashlahat Dhoruriyyah [Darurat]:

Ia adalah sesuatu yang tidak bisa terpisahkan, tidak boleh tidak adanya , demi untuk tegaknya kepentingan agama dan dunia, sehingga jika hilang, maka kemashlahatan dunia tidak bisa berdiri tegak pada kebenaran, melainkan pada kerusakan dan kekacauan, dan hilangnya sendi-sendi kehidupan, dan kelak di akhirat, hilangnya keselamatan dan kebahagiaan dan kembali pada kerugian yang nyata.

Maka Mashalahat Dharuriyah itu mencakup penjagaan terhadap salah satu dari LIMA TUJUAN [المَقَاصِد الخَمْسَة] dalam syariat , yaitu :

1] Menjaga agama : Dengan disyariatkannya membunuh dan berperang, membunuh karena murtad dan lainnya yang mewajibkan untuk membunuh demi untuk kemashlahatan Agama, berperang dalam berjihad melawan orang-orang kafir harbi [Kafir yang memerangi umat Islam].

2] Menjaga jiwa : Yaitu dengan disyariatkannya hukum Qishash .

3] Menjaga akal : Yaitu dengan disyariatkannya hukuman HADD [cambuk[ bagi yang minum minuman keras.

4] Menjaga keturunan : Yaitu dengan mengharamkan zina dan mewajibkan hukuman atas pelakunya.

5] Menjaga Harta : Yaitu dengan membebankan tanggung jawab kepada yang merusaknya, dan dengan hukum potong tangan bagi pencuri.

Dan ini semua dikumpukan dalam firman Allah SWT :

﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ يُبَايِعۡنَكَ عَلَىٰٓ أَن لَّا يُشۡرِكۡنَ بِٱللَّهِ شَيۡـٔٗا وَلَا يَسۡرِقۡنَ وَلَا يَزۡنِينَ وَلَا يَقۡتُلۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ وَلَا يَأۡتِينَ بِبُهۡتَٰنٖ يَفۡتَرِينَهُۥ بَيۡنَ أَيۡدِيهِنَّ وَأَرۡجُلِهِنَّ وَلَا يَعۡصِينَكَ فِي مَعۡرُوفٖ فَبَايِعۡهُنَّ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُنَّ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ﴾

“Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan yang mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai‘at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah ; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. [QS. Al-Mumtahanan : 12 ]

Ath-Thuufi al-Hanbali menambahkan - diikuti oleh at-Taaj as-Subki - keenam, yaitu : menjaga kehormatan [العِرْضُ], karena kebiasaan orang bijak rela mengorbankan jiwa dan harta mereka demi menjaga kehormatan mereka. Dan apa yang ditebus dengan hal yang darurat, maka ia lebih utama untuk dianggap dharurat pula .

Dan dalam Dua Kitab Hadits Sahih, bersabda dalam khotbah Haji Wada' :

((إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ))

"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram (wajib dijaga kehormatannya) atas kalian". Al-Hadits .

[Di kutip dari "تَشْنِيفُ المَسَامِعِ شَرْحُ جَمْعِ الجَوَامِعِ" (3/15)]

Ibnu Amiir al-Haajj rahimaullah berkata :

" (وَيُقَدَّمُ حِفْظُ الدِّينِ) مِنْ الضَّرُورِيَّاتِ عَلَى مَا عَدَاهُ عِنْدَ الْمُعَارَضَةِ لِأَنَّهُ الْمَقْصُودُ الْأَعْظَمُ قَالَ تَعَالَى ﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ﴾ [الذاريات: 56] وَغَيْرُهُ مَقْصُودٌ مِنْ أَجْلِهِ وَلِأَنَّ ثَمَرَتَهُ أَكْمَلُ الثَّمَرَاتِ وَهِيَ نَيْلُ السَّعَادَةِ الْأَبَدِيَّةِ فِي جِوَارِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

(ثُمَّ) يُقَدَّمُ حِفْظُ (النَّفْسِ) عَلَى حِفْظِ النَّسَبِ وَالْعَقْلِ وَالْمَالِ لِتَضَمُّنِهِ الْمَصَالِحَ الدِّينِيَّةَ لِأَنَّهَا إنَّمَا تَحْصُلُ بِالْعِبَادَاتِ وَحُصُولُهَا مَوْقُوفٌ عَلَى بَقَاءِ النَّفْسِ . انْتَهَى

“Menjaga agama adalah dharurat yang lebih diutamakan daripada dharurat-dharurat lainnya ketika terjadi tabrakan; karena dharurat menjaga agama itu adalah tujuan terbesar. Allah SWT berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

" Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku". [QS. Adz-Dzaariyaat : 56]

Dan karena yang lainnya itu ditujukan untuk agama , dan karena buahnya [hasilnya] adalah buah yang paling sempurna, yaitu memperoleh kebahagiaan abadi, di sisi Tuhan semesta alam.

(Setelah itu darurat) menjaga (jiwa) itu didahulukan dari pada menjaga keturunan, akal dan harta; karena didalamnya terkandung mashlahat agama, karena ia hanya bisa dicapai dengan ibadah, dan perolehannya bergantung pada kelangsungan hidup . [ Baca : at-Taqriir wa at-Tahbiir 3/231]

====

HUKUM MENJALANKAN SEBAB DAN WASILAH UNTUK MENCAPAI MAKSUD DAN TUJUAN:

Untuk mewujudkan semua itu dibutuhkan sebab, wasilah dan sarana . Dan menyiapkan sebab dan sarana untuk mewujudkan sesuatu yang wajib adalah wajib pula hukumnya, sebagaimana yang ditetapkan dalam Qoidah Fiqhiyah:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“ Apa saja yang kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula hukumnya “.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

تَرْكُ الأَسْبَابِ قَدَحٌ فِي الشَّرِيعَةِ، وَالِاعْتِمَادُ عَلَى الأَسْبَابِ شِرْكٌ

“Meninggalkan sebab-sebab adalah celaan terhadap syari'at (karena mencela hikmah Allah dalam menetapkan segala sesuatu), dan bersandar (bertawakkal) kepada sebab adalah kesyirikan”. 

(Baca “شَرْحُ بَابِ تَوْحِيدِ الْأُلُوهِيَّةِ مِنْ فَتَاوَى ابْنِ تَيْمِيَةَ” no. 15 oleh Syeikh Naashir bin Abdul Karim al-‘Aql. Lihat pula : Syarah Ushul al-I’tiqood oleh al-Laalakaa’i karya Hasan Abu al-Asybaal 62/4].

Dalam hamisy Hasyiyah ad-Durroh al-Mudhiyyah hal. 10 karya Abdurrahman al-‘Aashimy al-Hanbali di sebutkan :

"السَّبَبُ مَا يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى الْمَطْلُوبِ، وَمَحْوُ الْأَسْبَابِ أَنْ تَكُونَ أَسْبَابًا: نَقْصٌ فِي الْعَقْلِ، وَالْإِعْرَاضُ عَنِ الْأَسْبَابِ قَدْحٌ فِي الشَّرْعِ، وَالِاعْتِمَادُ عَلَى الْأَسْبَابِ شِرْكٌ فِي التَّوْحِيدِ".

"Sebab adalah sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan. Menghapus peran sebab sebagai sebab adalah bentuk kekurangan akal, berpaling dari sebab merupakan celaan terhadap syariat, dan bergantung sepenuhnya kepada sebab adalah syirik dalam tauhid."

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:

مِنْ أَعْظَمِ الجِنَايَاتِ عَلَى الشَّرْعِ تَرْكُ الأَسْبَابِ بِزَعْمِ أَنَّ ذَلِكَ يُنَافِي التَّوَكُّلَ (شِفَاءُ العَلِيلِ)

Termasuk pelanggaran syari'at yang paling besar adalah meninggalkan sebab dengan sangkaan bahwa hal itu menafikkan tawakkal. 

(Di kutip dari Tuhfatul Murid Syarah Qoulul Mufid oleh Syaikh Nu'man bin Abdul Karim Al-Watr hal 123-127)

Abu Ishaq al-Huwaini berkata :

(وَتَرْكُ الْأَسْبَابِ بِالْكُلِّيَّةِ قَدْحٌ فِي التَّشْرِيعِ)، فَلَوْ أَنَّ كُلَّ رَجُلٍ قَالَ: أَنَا لَنْ أَتَزَوَّجَ! فَمَنْ يُعَمِّرُ الْأَرْضَ وَيُقِيمُ الدُّنْيَا وَيُقِيمُ الصِّنَاعَاتِ وَيُقِيمُ الْجِهَادَ بَعْدَ ذَهَابِ هَذَا الْجِيلِ؟ لَابُدَّ مِنْ نَسْلٍ، فَمَنْ تَجِدُهُ يَقُولُ: إِذَا قَدَّرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِي الْوَلَدَ فَسَأُرْزَقُ الْوَلَدَ بِلا زَوْجَةٍ، كُلُّ الْعُقَلَاءِ يَحْكُمُونَ عَلَيْهِ بِالْحُمْقِ، فَطَلَبُ الْوَلَدِ بِلا زَوَاجٍ حُمْقٌ، وَطَلَبُ دَفْعِ الْجُوعِ بِلا أَكْلٍ حُمْقٌ، كَذَلِكَ طَلَبُ الْجَنَّةِ بِلا سَعْيٍ حُمْقٌ.

"Meniggalkan sebab secara total merupakan celaan terhadap syariat."

Maka, jika seandainya setiap laki-laki berkata, "Saya tidak akan menikah!", lalu siapa yang akan memakmurkan bumi, membangun peradaban, mengembangkan industri, dan menegakkan jihad setelah generasi ini tiada?. Harus ada keturunan.

Jika ada seseorang berkata, "Jika Allah Azza wa Jalla menakdirkan aku punya anak, maka aku akan dikaruniai anak tanpa istri", maka semua orang yang berakal pasti akan menilainya bodoh. Menginginkan anak tanpa menikah adalah kebodohan, menginginkan hilangnya rasa lapar tanpa makan adalah kebodohan, demikian pula menginginkan surga tanpa berusaha adalah kebodohan”. [Baca : Duruus Li asy-Syeikh Abu Ishaq al-Huwaini 101/3]

Ada dua jenis Wasilah dalam menajaga agama dan menegakkan hukum Allah :

Pertama : الْوَسِيلَةُ الكُونِيَّةُ  [wasiilah logis dan alami] : wasilah yang dibangun diatas hukum alam dan hukum sebab akibat seperti politik, kekuasaan, ekonomi, sains, tehnologi, fisika, kimia … dll. 

Kedua : الْوَسِيلَةُ الدِّينِيَّةُ [wasiilah i’tiqoodi] : wasiilah yang dibangun diatas keimanan dan keyakinan dalam agama .

===***===

MAKSUD DAN TUJUAN UTAMA BER-POLITIK DALAM ISLAM

Politik dan kekuasaan merupakan salah satu sebab, wasilah dan sarana untuk menggapai dan merealisasikan beberapa maksud dan tujuan. Diantaranya adalah sebagai berikut :

****

TUJUAN PERTAMA :
MENINGGIKAN KALIMAT ALLAH DAN MENJAGA AGAMA-NYA:

Umat Islam diwajibkan berusaha maximal menempatkan dua hal berikut ini pada tempat yang Allah SWT perintahkan:

Pertama : “كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا , yakni : agar kalimat Allah , dia lah yang tinggi “

Allah swt berfirman :

وَجَعَلَ كَلِمَةَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱلسُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ ٱللَّهِ هِىَ ٱلْعُلْيَا ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( QS. Attaubah : 40 ).

Perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu :

اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ

Artinya  : “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya”

Takhrij Atsar Ibnu Abbas :

Dari ‘Ikrimah ia berkata :

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ – رضي الله عنهما – فِي الْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّة تَكُونُ تَحْتَ النَّصْرَانِيِّ أَوْ الْيَهُودِيِّ، فَتُسْلِمُ هِيَ، قَالَ: يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا، الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ ".

Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhumaa berkata tentang Yahudi dan Nasroni -(yakni) ada seorang istri yang bersuamikan seorang Nasroni atau Yahudi, kemudian sang istri masuk Islam-, maka Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma berkata :

“ Ceraikan ia, karena Islam tinggi dan tidak ada yang mampu menandinginya”.

Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil (no. 1268).

Kedua :  وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ”, yakni : agar agama di muka bumi itu semuanya agama Allah .

Allah SWT berfirman :

﴿وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ انتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ﴾

“Dan perangilah mereka (orang-orang kafir), supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”. [Anfal: 39]

Dan firman lain-nya :

﴿وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ﴾

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [Baqarah: 193]

Dan Allah SWT berfirman :

﴿وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Al Imran: 85]

Dan Allah SWT berfirman :

﴿إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ﴾

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”. [Al Imran: 19]

****

TUJUAN KEDUA :
MENEGAKKAN HUKUM ALLAH DI MUKA BUMI :

Untuk menegakkan hukum diperlukan kekuasaan yang islami dan penguasa muslim yang adil dan bijak.

Berikut ini sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan penegakkan hukum Allah SWT dan berhukum dengan-nya:

KE 1 : Alllah SWT berfirman :

﴿ وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ﴾

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(QS Al Maidah ayat 49)

KE 2 : Firman Allah Azza Wa Jalla :

﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾

”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah ayat 50)

KE 3 : Allah SWT berfirman :

﴿وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ﴾

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. [Maidah: 49]

KE 4 : Allah SWT berfirman :

﴿  وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾

“ Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir “ . ( QS. Al-Maidah: 44)

KE 5 : Allah SWT berfirman :

﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴾

“ Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim “ . (QS. Al-Maidah: 45)

KE 6 : Allah SWT berfirman :

﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴾

“ Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq “ . (QS. Al-Maidah: 47)

KE 7 : Allah SWT berfirman :

﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [QS. An-Nisa : 65]

KE 8 : Allah SWT berfirman :

﴿ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ ﴾

”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS Al-Maidah ayat 48).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda :

((أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلَاثَةٌ مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ))

"Manusia yang paling dimurkai Allah ada tiga :

[*] Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram.

[*] Orang yang menghendaki sunnah (hukum) jahiliyah dalam Islam.

[*] Dan orang yang menuntut darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan untuk menumpahkan darahnya." ( HR. Bukhory no. 6374 )

Ibnu al-Jauzy rahimahullah Berkata :

“Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir.

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya – tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu zhalim dan fasiq“.

Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata :

"مَنْ جَحَدَ مَا أَنْزَلَ الله؛ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ أَقَرَّ بِهِ ؛ وَلَمْ يَحْكُمْ بِهِ ؛ فَهُوَ ظَالِمٌ فَاسِقٌ".

‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu Zhalim dan fasiq” [Lihat زاد المسير 2/366]

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah SAUDI ARABIA :

“ Apabila dia meyakini halalnya hal tersebut (berhukum dengan selain hukum Allah) dan meyakini bolehnya maka ini kufur akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama.

Adapun jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar (lebih kecil), dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut “.

Atas nama dewan fatwa :

Ketua : Abdul ‘Aziz bin Baz . Wakil ketua: Abdurrazzaq ‘Afifi . Anggota: Abdullah Ghudayyan. (Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105)

****

TUJUAN KETIGA :
MEMBANGUN KEKUATAN MILITER SEBAGAI PERSIAPAN JIHAD FII SABILILLAH:

Menyiapkan kekuatan militer jihad demi untuk menjaga agama Islam dan melindungi umatnya adalah darurat yang paling diutamakan . Dan semua ini tidak bisa terlaksana, kecuali jika umat Islam berkuasa dan sebgai pengendali politik.

Membangun kekuatan militer jihad fii Sabilillah, politik dan kekuasan merupakan wasilah utama untuk menjaga agama Allah dan menegakkan hukum-hukumNya.

Tanpa politik dan kekuasaan, umat Islam tidak akan bisa maximal untuk membangun kekuatan militer jihad, bahkan sebaliknya, akan dihalangi oleh penguasa yang benci Islam.

Dan demi untuk menjaga dan melindungi agama Allah dan umatnya, maka Allah swt mewajibkan umat Islam untuk membangun berbagai macam kekuatan, terutama kekuatan militer beserta perangkat militernya.

Allah SWT berfirman :

﴿ وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِنْ قُوَّةٍ وَمِن رِبَاطُ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ ﴾

Artinya : “Dan kalian siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kalian nafkahkan pada jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepada kalian dan kalian tidak akan dianiaya (dirugikan)”.(QS. Al-Anfal: 60)

Kewajiban tersebut minimal sampai kepada level yang Allah firmankan :

تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ

“Yang dengan persiapan itu kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya“.  (QS. Al-Anfal: 60)

Dalam hal ini ada sebuah Qoidah Fiqhiyah yang berbunyi :

" مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ "

“ Apa saja yang kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula hukumnya “.

Qaidah ini menunjukkan akan wajibnya berupaya menyiapkan wasilah, solusi, perangkat dan apa saja yang mengantarkan kepada tercapainya sebuah tujuan . 

Syeikh Abdurrahman as-Sa’di berkata ketika menafsiri firman Allah SWT :

﴿ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ 

“ Kekuatan apa saja yang kalian sanggupi “

" أَي: كُلَّ مَا تَقْدِرُونَ عَلَيْهِ، مِنَ القُوَّةُ العَقْلِيَّةِ وَالبَدَنِيَّةِ، وَأَنْوَاعِ الأَسْلِحَةِ وَنَحْوَ ذَلِكَ، مِمَّا يُعِينُ عَلَى قِتَالِهِمْ، فَدَخَلَ فِي ذَلِكَ أَنْوَاعُ الصِّنَاعَاتِ الَّتِي تَعْمَلُ فِيهَا أَصْنَافُ الأَسْلِحَةِ وَالآلَاتِ، مِنَ المَدَافِعِ، وَالرَّشَّاشَاتِ، وَالبَنَادِقِ، وَالطَّيَّارَاتِ الجَوِّيَّةِ، وَالمَرَاكِبِ البَرِّيَّةِ وَالبَحْرِيَّةِ، وَالقِلَاعِ، وَالخَنَادِقِ، وَآلَاتِ الدِّفَاعِ، وَالرَّأْيِ وَالسِّيَاسَةِ الَّتِي بِهَا يَتَقَدَّمُ المُسْلِمُونَ وَيَنْدَفِعُ عَنْهُمْ بِهِ شَرُّ أَعْدَائِهِمْ، وَتَعَلُّمُ الرَّمْيُ، وَالشَّجَاعَةِ وَالتَّدْبِيرِ".

Yakni , segala sesuatu yang kalian mampu terhadapnya, baik dari yang berkaitan dengan kekuatan akal maupun badan, menciptkan berbagai macam jenis senjata dan yang semisalnya, yang bisa membantu dalam memerangi orang-orang kafir .

Maka masuk didalamnya membangun pabrik-pabrik yang memproduksi berbagai macam jenis senjata dan alat perang, seperti alat-alat penangkal rudal, rudal-rudal, senapan-senapan, jet-jet tempur, tank-tank baja, kapal laut, kapal selam, benteng pertahanan dan alat-alat pertahanan lainnya .

Dan begitu juga menguasai ilmu logika dan politik yang dengan semua itu membuat umat Islam terus bergerak maju dan bisa mempertahankan diri kaum muslimin dari kejahatan para musuhnya .

Begitu juga belajar memanah, melatih mental pembarani dan belajar strategi bertempur “.

Kemudian Syeikh As-Sa’dy berkata :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : ﴿ وَمِنْ رِبَاطُ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ ﴾ : 

وَهَذِهِ العِلَّةُ مَوْجُودَةٌ فِيهَا فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ، وَهِيَ إِرْهَابُ الأَعْدَاءِ، وَالحُكْمُ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ، فَإِذَا كَانَ شَيْءٌ مَوْجُودًا أَكْثَرَ إِرْهَابًا مِنْهَا، كَالسَّيَّارَاتِ البَرِّيَّةِ وَالهَوَائِيَّةِ، المُعَدَّةِ لِلْقِتَالِ الَّتِي تَكُونُ النَّكايَةُ فِيهَا أَشَدَّ، كَانَتْ مَأْمُورًا بِالِاسْتِعْدَادِ بِهَا، وَالسَّعْيِ لِتَحْصِيلِهَا، حَتَّى إِنَّهَا إِذَا لَمْ تُوجَدْ إِلَّا بِتَعَلُّمِ الصِّنَاعَةِ، وَجَبَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ، فَهُوَ وَاجِبٌ.

Dan Firman Allah SWT : “dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya “.

Illat (العِلَّةُ)  perintah Allah dalam ayat ini akan terus ada dalam setiap zaman , yaitu : illat perintah utk menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh umat Islam .

Dan hukum itu akan terus ada dan berlaku selama illat nya masih ada . Maka segala sesuatu yang lebih besar pengaruhnya untuk menggentarkan mereka – seperti mempersiapkan tank-tank baja dan jet-jet tempur  yang dinilai memiliki kemampuan yang lebih dahsyat utk bertempur – maka itu semua termasuk yang diperintahkan utk menyiapkannya , dan harus berusaha untuk mendapatkannya , sehingga ketika tidak ada yang bisa mendapatkannya kecuali dengan cara belajar memproduksinya , maka itu adalah sebuah kewajiban .

Karena ada qaidah mengatakan :

مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Artinya : “ Apa saja yang kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula hukumnya“. ( KUTIPAN SELESAI)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya " as-Siasat asy-Syar'iyyah hal. 19 berkata :

" ‌يَجِبُ ‌الِاسْتِعْدَادُ ‌لِلْجِهَادِ ‌بِإِعْدَادِ ‌القُوَّةُ ‌وَرِبَاطُ الْخَيْلِ ‌فِي ‌وَقْتِ ‌سُقُوطِهِ ‌لِلْعَجْزِ فَإِنَّ مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ ".

Wajib siap siaga untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan penambatan kuda-kuda perang pada saat kejatuhannya yang disebabkan oleh adanya kelemahan ; karena “ Apa saja yang kewajiban itu tidak bisa tercapai dengan sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula hukumnya “. [Lihat pula Majmu' al-Fataawaa 28/259].

Kaum muslimin harus senantiasa siap siaga tempur sehingga ketika ada seruan jihad, mereka telah siap. Dan yang berhak menyeru jihad adalah seorang pemimpin negara yang merupakan pemegang tampuk kekuasaan dan pengendali politik. Dalam hal ini Allah swt berfirman:

﴿ يَا أَيُّهَا ​​الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ . إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْئًا ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾.

" Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa apabila dikatakan kepada kalian: “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah ,” kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempat kalian? Apakah kalian lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.

Jika kalian tidak berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan menghukum kalian dengan azab yang pedih dan menggantikan kalian dengan kaum yang lain, dan kalian tidak akan merugikan-Nya sedikit pun. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" . [QS. At-Taubah : 38-39].

Dan Nabi bersabda :

"إذا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا"

"Jika kalian semua diminta keluar (oleh Imam untuk berperang) maka keluarlah (berangkat berperang)”. ( Muttaqun 'alaihi) . [ Lihat : Al-Mughni 13/8 Tahqiiq DR. at-Turkiy].

Ayat diatas menunjukkan akan kewajiban adanya pemimpin yang mengantur politik dan menggerakkan Jihad Fii Sabilillah. Dan itu diperkuat dengan hadits sesudah ayat diatas.

Begitu pula kaum muslim harus ikut serta bertempur dan tidak boleh lari ketika musuh masuk ke dalam negeri dan menyerbu kaum muslimin. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan:

﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحۡفٗا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلۡأَدۡبَارَ . وَمَن يُوَلِّهِمۡ يَوۡمَئِذٖ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفٗا لِّقِتَالٍ أَوۡ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٖ فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ﴾

" Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang melakukan penyerbuan pada kalian, maka janganlah kalian membelakangi mereka (mundur melarikan diri).

Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur melarikan diri ) di waktu itu - kecuali berbelok untuk (mengatur strategi) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain - maka sesungguhnya orang itu [yang melarikan diri] kembali dengan membawa KEMURKAAN dari Allah, dan tempatnya ialah NERAKA JAHANNAM. Dan amat buruklah tempat kembalinya". [QS. Al-Anfaal: 15-16].

Ayat ini menunjukan bahwa kaum muslimin harus senantiasa siap tempur atau berjihad. Dengan demikian, maka kaum muslimin siap siaga membangun kekuatan militer untuk berjaga-jaga.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallau 'anhuma bahwa Rasulullah bersabda: 

"لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ، وَاسْأَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنْ أَجْلَبُوا وَضَجُّوا فَعَلَيْكُمْ بِالصَّمْتِ".

"Janganlah kalian mengharapkan untuk bersua dengan musuh, tetapi mohonlah keselamatan kepada Allah; dan apabila kalian bersua dengan mereka, maka hadapilah dengan hati yang teguh dan berzikirlah kepada Allah. Dari jika mereka gaduh dan berteriak-teriak ; maka kalian harus tetap diam " .

[ HR. Abd al-Razzaq dalam al-Musannaf no. (9518) , Ibnu Abi Shaybah dalam al-Musannaf (12/463) dan al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubra (9/153)

Dihasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Futuuhaat ar-Rabbaaniyyah 5/67]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi bersabda :

(مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِالغَزْوِ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنَ النِفَاقٍ)

"Barangsiapa meninggal sedang ia belum pernah ikut berperang atau belum pernah terbetik dalam dirinya niat untuk berperang, maka ia mati di atas cabang kemunafikan." [HR. Muslim no. 3533].

Dan Rasulullah bersabda :

" اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ".

”Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah ". (HR. Muslim (no. 2664) dan Ahmad (2/366, 370)).

***

TUJUAN KEEMPAT :
MENEGAKKAN KEADILAN SESUAI SYARIAT ISLAM:

Pilar paling penting dalam pembangunan peradaban dan pengembangan, serta fondasi terbesar yang menjadi dasar tegaknya negara dan sistem pemerintahan, adalah keadilan. Islam datang dengan membawa panji keadilan dan menegakkan pilar-pilarnya secara mencolok di antara berbagai peraturan yang mengatur urusan kehidupan.

Dalam pandangan Islam, keadilan berkaitan erat dengan berbagai konsep, dan masing-masing konsep keadilan yang dibawa oleh Islam dapat dibahas secara mandiri dan terpisah dari agama Islam itu sendiri, seperti hak-hak, kebebasan, sistem, dan hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan oleh para ulama Islam dalam berbagai bidang.

Namun benang merah yang menghubungkan semua konsep tersebut adalah keadilan, yang tercermin dalam sistem perundangan yang kokoh dan mempertimbangkan bertahapnya penerapan serta realitas antara tuntutan pelaksanaan dan kebutuhan pengambilan keputusan.

Allah Ta’ala berfirman:

﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

﴿ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾

*"Berlaku adillah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil"* (Al-Hujurat: 9).

Dan Allah Ta’ala berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾

*“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian suatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”* (QS. Al-Ma’idah: 8)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا﴾

*“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan karena Allah, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap diri kalian sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kerabat kalian. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu tentang keduanya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu agar kalian dapat berlaku adil. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan (menjadi saksi), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”* (QS. An-Nisa’: 135)

Dan Allah SWT berfirman :

﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا﴾

*“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”* (An-Nisa’: 58)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi , beliau bersabda:

"سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَومَ القِيَامَةِ في ظِلِّهِ، يَومَ لا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ في عِبَادَةِ اللَّهِ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ في خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ في المَسْجِدِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا في اللَّهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إلى نَفْسِهَا، قالَ: إنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فأخْفَاهَا حتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ ما صَنَعَتْ يَمِينُهُ".

 “Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari kiamat di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya:

1]. Pemimpin yang adil,

2]. Pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah,

3]. Seorang laki-laki yang mengingat Allah dalam kesendirian lalu kedua matanya meneteskan air mata,

4]. Seorang laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid,

5]. Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,

6]. Seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun ia berkata: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah,’

7]. Dan seorang laki-laki yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu ia menyembunyikannya, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanannya.”

(Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari [6806] dan Muslim [1031])

*****

TUJUAN KE LIMA :
MENJAGA WIBAWA, KEMULIAAN, HARKAT DAN MARTABAT UMAT.

Menjaga kehormatan, kemuliaan, harga diri, wibawa, harkat dan martabat umat Islam dan agamanya termasuk darurat yang harus di jaga dan dipertahnakan. Dan yang dimaksud adalah kehormatan dan kemuliaan di sisi Allah SWT.   

Allah SWT berfirman:

﴿الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعاً﴾

*"Orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin-pemimpin selain orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang-orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kemuliaan hanyalah milik Allah." [An-Nisa: 139].

Ibnu Katsir ketika menafsiri ayat diatas, dia berkata:

"أَخْبَرَ تَعَالَى ‌بِأَنَّ ‌الْعِزَّةَ ‌كُلَّهَا ‌لِلَّهِ ‌وَحْدَهُ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَهُ، وَلِمَنْ جَعَلَهَا لَهُ. كَمَا قَالَ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى: ﴿مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا﴾ [فَاطِرٍ: 10] ، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴾ [الْمُنَافِقُونَ: 8] .

وَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا التَّهْيِيجِ عَلَى طَلَبِ الْعِزَّةِ مِنْ جَنَابِ اللَّهِ، وَالِالْتِجَاءِ إِلَى عُبُودِيَّتِهِ، وَالِانْتِظَامِ فِي جُمْلَةِ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ لَهُمُ النُّصْرَةُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ".

Allah Ta'ala mengabarkan bahwa seluruh kemuliaan hanyalah milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bagi siapa yang Dia jadikan memiliki kemuliaan, sebagaimana dalam ayat lainnya:

"Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka sesungguhnya kemuliaan itu seluruhnya milik Allah." [Fathir: 10].

Dan Dia berfirman:

"Dan kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin." [Al-Munafiqun: 8].

Yang dimaksud dari hal ini adalah dorongan untuk mencari kemuliaan dari sisi Allah dan berlindung kepada peribadahan kepada-Nya, serta masuk dalam golongan hamba-hamba-Nya yang beriman yang akan mendapatkan pertolongan di kehidupan dunia dan pada hari para saksi berdiri (hari kiamat) “. [Tafsir Ibnu Katsir 2/435].

Lalu Ibnu Katsir (2/435) berkata :

ويُنَاسبُ أَنْ يُذْكَرَ هَاهُنَا الْحَدِيثُ الَّذِي رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: .... عَنْ أَبِي رَيْحَانَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنِ انْتَسَبَ إِلَى تِسْعَةِ آبَاءٍ كُفَّارٍ، يُرِيدُ بِهِمْ عِزًّا وَفَخْرًا، فَهُوَ عَاشِرُهُمْ فِي النَّارِ"

“Dan layak disebutkan di sini hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: ... dari Abu Raihanah bahwa Nabi bersabda:

"Barang siapa menisbatkan diri kepada sembilan orang tua yang kafir, dengan tujuan mencari kemuliaan dan kebanggaan dari mereka, maka ia adalah orang kesepuluh dari mereka di dalam neraka”. [Al-Musnad (4/133), Al-Haitsami berkata dalam kitab Majma' (8/85): "Perawi-perawi Ahmad terpercaya."]

Dan firman Allah Ta'ala:

﴿مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا ۚ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ﴾

Artinya: “Barang siapa yang menghendaki kehormatan, maka bagi Allah-lah kehormatan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Dan Firman-Nya :

﴿وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴾

"Dan kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin, akan tetapi orang-orang munafiq tidak mengetahui-nya." [Al-Munafiqun: 8].

Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah bersabda:

((إنَّ ممَّا أدْرَكَ النَّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ، إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فافْعَلْ ما شِئْتَ))

“Sesungguhnya sebagian yang manusia jumpai dari ucapan kenabian adalah: Jika kamu tidak punya rasa malu, lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki!” (HR. Bukhori no. 3483).

===***===

KETIKA UMAT ISLAM MENGENDALIKAN POLITIK, KUAT DAN BERKUASA, MAKA KEHORMATAN UMAT DAN AGAMA-NYA TERJAGA.

Sejarah telah membuktikan sejak zaman Nabi hingga kini, ketika umat Islam berkuasa, kuat dan mengatur urusan politik negara dan rakyat, maka kehormatan dan harga diri masing-masing individu warga betul-betul terjaga dan terlindungi. Bahkan wibawa agama dan umat melambung tinggi, disegani, dihormati dan ditakuti. Islam berkembang dengan cepat ke seluruh dunia. Orang-orang kafir pun berbondong-bondong masuk Islam.

Contoh ketika umat Islam berkuasa dan mengendalikan politik negara:

CONTOH-NYA adalah SBB :

****

PERTAMA : KEHORMATAN UMAT ISLAM PADA MASA NABI .

====

KE 1 : KETIKA ADA SEORANG WANITA MUSLIMAH DILECEHKAN OLEH NON MUSLIM:

Kelompok Yahudi pertama yang secara terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap umat Islam  adalah Bani Qainuqa’, yang tinggal di pinggiran kota Madinah. Mereka tidak berhenti sejenak pun dari menimbulkan perpecahan dan menyulut berbagai permasalahan di tengah barisan kaum muslimin. Mereka menjadi sumber inspirasi dan pengarahan bagi kaum munafik, serta memberikan dukungan dan dorongan bagi kaum musyrik.

Mereka pernah berupaya mengadu domba antara kaum Anshar kabilah Aus dan kabilah Khazraj sehingga hampir saja di antara kedua suku muslim ini terjadi peperangan .

Mereka sangat sombong dan selalu mengganggu kaum Muslimin dan mengabaikan nasihat Rasulullaah .

Rasulullah telah mencoba mengembalikan mereka ke jalan kebenaran. Beliau mengumpulkan mereka di pasar mereka, memberi nasihat kepada mereka, menakut-nakuti mereka akan akibat dari menyembunyikan kebenaran, dan mengingatkan mereka akan nasib yang menimpa kaum Quraisy di Perang Badar. Namun mereka menjawab beliau dengan penuh kesombongan, kebodohan dan kedunguan:

يَا مُحَمَّدُ، ‌لَا ‌يَغُرَّنَّكَ ‌مِنْ ‌نَفْسِكَ ‌أَنَّكَ ‌قَتَلْتَ ‌نَفَرًا مِنْ قُرَيْشٍ كَانُوا أَغْمَارًا، لَا يَعْرِفُونَ الْقِتَالَ، إِنَّكَ لَوْ قَاتَلْتَنَا لَعَرَفْتَ أَنَّا نَحْنُ النَّاسُ، وَأَنَّكَ لَمْ تَلْقَ مِثْلَنَا

“Wahai Muhammad, janganlah engkau tertipu oleh dirimu sendiri karena engkau telah membunuh sekelompok orang Quraisy yang bodoh dan lemah ( maksud mereka adalah kurang pengalaman dalam peperangan ) yang tidak mengenal seni berperang. Kalau engkau memerangi kami, sungguh engkau akan tahu bahwa kami adalah orang-orang (yang sesungguhnya), dan engkau belum pernah menghadapi yang seperti kami.”

Maka Allah ‘azza wa jalla menurunkan firman-Nya tentang hal itu:

﴿قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَىٰ جَهَنَّمَ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ. قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا ۖ فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَىٰ كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُم مِّثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ ۚ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَن يَشَاءُ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُولِي الْأَبْصَارِ﴾

“Katakanlah kepada orang-orang kafir: ‘Kamu pasti akan dikalahkan dan digiring ke neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal.

Sungguh telah ada tanda bagi kalian pada dua kelompok yang saling berhadapan; satu kelompok berperang di jalan Allah dan kelompok lainnya kafir, yang melihat mereka (pasukan muslimin) dua kali lipat jumlah mereka secara nyata. Dan Allah menolong dengan kemenangan-Nya siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berpikir.’” (Ali ‘Imran: 12–13).

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3001. Sanadnya lemah karena tidak dikenalnya Muhammad bin Abi Muhammad, mantan budak Zaid bin Tsabit.]

Kronologi Peristiwa pelecehan terhadap wanita muslimah :

Datanglah suatu peristiwa yang memperkuat rasa dengki dan kebencian yang disimpan oleh orang-orang Yahudi, melalui pelanggaran mereka terhadap kehormatan kaum muslimin.

Ibnu Katsir, Ibnu Hisyam dan Syaikh Shafiyurrahman Mubarakfury dalam ar-Rahiq al-Makhtum menyebutkan :

Bahwasanya ada seorang wanita muslimah yang datang ke pasarnya orang Yahudi Bani Qainuqa. Lalu wanita muslimah tersebut duduk di tempat seorang pengrajian perhiasan emas di pasar Bani Qainuqa’.

Namun tiba-tiba orang-orang Yahudi Bani Qaoinuq’ berusaha memaksa wanita muslimah tersebut untuk membuka wajahnya, namun ia menolak. Maka si yahudi pengrajin emas itu diam-diam mengikatkan ujung pakaiannya ke punggungnya.

Ketika wanita itu berdiri, terbukalah auratnya, lalu mereka pun tertawa terbahak-bahak.

Maka wanita muslimah ini spontan berteriak, dan seorang laki-laki Muslim yang berada di sekitar itu melompat ke pengrajin perhiasan itu dan membunuhnya.

Orang-orang Yahudi kemudian membalas dengan mengikat laki-laki Muslim tersebut lalu membunuhnya.

Respons Nabi dan para sahabat :

Menghadapi pelanggaran serius semacam ini, tidak ada jalan lain kecuali melakukan tindakan tegas agar perbuatan seperti itu tidak terulang di masa depan. Maka Nabi membatalkan perjanjian yang ada antara beliau dan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’, lalu memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap menghadapi mereka.

Pasukan pun berangkat pada pertengahan bulan Syawwal tahun kedua hijriah menuju benteng-benteng Bani Qainuqa’.

Saat tiba, Nabi mengepung mereka dengan pengepungan yang ketat, memutus seluruh jalur bantuan mereka.

Pengepungan itu berlangsung selama lima belas hari hingga akhirnya orang-orang Yahudi menyerah dan tunduk pada keputusan Nabi .

Yahudi Bani Qainuqa yang pongah dan sombong ini akhirnya bertekuk lutut dan menyerah setelah dikepung selama 15 hari .

Allah Subhanahu Wata’ala memasukkan rasa gentar dan takut ke dalam hati orang Yahudi ini.

Dan di sinilah hubungan orang-orang Yahudi dengan kaum munafik memainkan perannya. Pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul, berusaha membela mereka dengan memberikan syafaat untuk mereka kepada Nabi .

Ia mendatangi Nabi dan berkata :

‌يَا ‌مُحَمَّدُ ‌أَحْسِنْ ‌فِي ‌مَوَالِيَّ

“Wahai Muhammad, berbuatlah baik kepada sekutu-sekutuku”

(Mereka adalah sekutu kaum Khazraj sebelum hijrah). Namun Rasulullah menundanya dan tidak segera menanggapinya.

Maka ia kembali berkata :

‌يَا ‌مُحَمَّدُ ‌أَحْسِنْ ‌فِي ‌مَوَالِيَّ

“Wahai Muhammad, berbuatlah baik kepada sekutu-sekutuku,”

Tetapi Rasulullah berpaling darinya. Maka Abdullah bin Ubay pun memasukkan tangannya ke baju Rasulullah dan menariknya dengan keras. Rasulullah pun marah hingga wajah beliau memerah, lalu beliau berkata :

وَيْحَكَ أَرْسِلْنِي!

“Celakalah kamu! Lepaskan aku!”

Ia menjawab :

لَا وَاللَّهِ لَا أُرْسِلُكَ حَتَّى تُحْسِنَ فِي مَوَالِيَّ، أَرْبَعُ مِائَةٍ حَاسِرٍ وَثَلَاثُمِائَةٍ دَارِعٍ مَنَعُونِي مِنَ الْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ، تَحْصُدُهُمْ فِي غَدَاةٍ وَاحِدَةٍ؟ إِنِّي وَاللَّهِ امْرُؤٌ أَخْشَى الدَّوَائِرَ.

“Tidak, demi Allah, aku tidak akan melepaskanmu sampai engkau berbuat baik kepada sekutu-sekutuku. Empat ratus orang tanpa baju besi dan tiga ratus orang berbaju besi dari pasukan mereka telah melindungiku dari merah dan hitam (segala macam musuh), apakah engkau mampu membinasakan mereka dalam satu pagi saja? Sungguh, demi Allah, aku adalah orang yang takut akan perubahan keadaan (keadaan berbalik)”.

Maka Rasulullah bersabda, “Mereka milikmu.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dalam as-Siirah hal. 113, al-Waqidy dalam al-Maghazy 1/177 dan al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah 3/174].

Sebaliknya, tampaklah sikap keimanan dari sahabat mulia ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, yang juga merupakan salah satu sekutu Yahudi Bani Qainuqa’. Ia secara tegas melepaskan diri dari sekutunya dan berkata :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ مِنْ حِلْفِهِمْ، وَأَتَوَلَّى اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ، وَأَبْرَأُ مِنْ حِلْفِ الْكُفَّارِ وَوَلَايَتِهِمْ

“Wahai Rasulullah, aku berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari persekutuan dengan mereka. Aku berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, dan aku berlepas diri dari persekutuan dengan orang-orang kafir dan loyalitas kepada mereka.”

Maka berkenaan dengan ini turunlah ayat :

﴿إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ. وَمَن يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ﴾

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).

Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. [QS. Maidah: 55-56]

[Lihat : Tafsir ath-Thabary 10/424, Dala’il an-Nubuwwah oleh al-Baihaqi 3/175, Tarikh Dimasyqi oleh Ibnu Asakir 26/192 dan Sirah Ibnu Hisyam 2/49-50].

Al-Qur’an pun mencatat perbedaan antara kedua sikap tersebut dalam firman Allah Ta’ala:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ. فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَىٰ أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ ۚ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا أَسَرُّوا فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.

Maka kamu akan melihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, mereka bersegera mendekati mereka seraya berkata: ‘Kami takut akan ditimpa suatu bencana.’ Maka mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau keputusan dari sisi-Nya, lalu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka sembunyikan dalam diri mereka.”** (Al-Ma’idah: 51–52).

Lalu keputusan pun dikeluarkan untuk mengusir orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ dari Madinah. Kaum muslimin mengambil harta mereka sebagai rampasan, dan mereka pun pergi menuju sebuah daerah yang disebut “Adzra’at Asy-Syam”.

Tak lama kemudian, sebagian besar dari mereka binasa di sana. Jumlah mereka adalah tujuh ratus orang laki-laki.

Keputusan yang dikeluarkan oleh Nabi ini bukan hanya karena sebab pelecehan terhadap wanita muslimah saja. Dan bukan didasarkan pada sikap penolakan dan upaya penghalangan terhadap agama Islam yang ditunjukkan oleh mereka.

Melainkan karena pengkhianatan mereka yang terus berulang-ulang, serta tindakan mereka yang berulang kali berusaha merusak stabilitas dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, maka inilah yang menjadi alasan utama untuk pengusiran mereka.

Tindakan ini bertujuan agar makar mereka berbalik menimpa diri mereka sendiri dan potensi bahaya dari keberadaan mereka dapat dihilangkan.

KE 2 : KETIKA NABI DI NISTAKAN OLEH PEMIMPIN YAHUDI .

Berikut ini kisah proses eksekusi penggal leher yang dilakukan oleh Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu terhadap penista Nabi .

Saking masyhurnya kisah ini, maka para ulama mujahid seperti Syaikh Abu Jandal Al Azdi dalam kitabnya تَحْرِيضُ الْمُجَاهِدِينَ الْبَطَّالِ عَلَى سُنَّةِ الِاغْتِيَالِ menjadikan kisah operasi ightiyal Muhammad bin Maslamah sebagai hujjah disyari’atkannya ightiyal bagi parapara pemimpin kekafiran.

Berikut ini adalah kutipan dari kitab yang ditulis Abu Jandal Al Azdi mengenai kisah operasi ightiyal yang dilakukan Muhammad bin Maslamah bersama anggota Team-nya terhadap Yahudi penghina Islam Ka’ab Al Asyraf.

Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah berkata,

«مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ»

“Siapa yang mau membereskan Ka‘ab bin Al-Asyrof? Sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.”

Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka aku membunuhnya?”

Beliau menjawab, “Ya”.

“Kalau begitu izinkan aku (nanti) mengucapkan sesuatu…” pinta Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu.

“Katakan saja,” kata Rosulullah .

Maka Muhammad bin Maslamah datang kepada Ka’ab bin Al Asyraf dan pura-pura bertanya tentang Nabi Muhammad :

“Memang nya, dia siapa sebenarnya lelaki itu (maksud dia adalah Nabi ), dia seenaknya memungut zakat dari kita dan membebani kita, sesungguhnya aku datang kepadamu untuk bersekutu dan bekerja sama denganmu.”

Ka‘ab berkata, “Demi Allah, tuliskan surat saksi untuknya.”

Lalu Muhammad bin Maslamah berkata : “Sesungguhnya kita telah mencoba mengikutinya, lalu kami tidak ingin meninggalkannya sampai kita lihat, bagaimana akhir dari ajarannya. Dan kami menginginkan engkau meminjami kami satu wasaq (195 Kg) atau dua wasaq (gandum).”

Ka‘ab berkata, “Kalau begitu, berikan kepadaku barang sebagai gadai (jaminan).”

“Barang apa yang kau mau sebagai jaminan?” tanya Muhammad bin Maslamah dan temannya.

“Gadaikan wanita-wanita kalian”, Kata Ka‘ab.

Muhammad bin Maslamah menjawab, “Bagaimana mungkin kami akan menggadaikan wanita-wanita kami, sementara engkau adalah orang Arab paling tampan?.”

Lalu Ka'ab berkata : “Kalau begitu, gadaikan anak-anak kalian.”

Muhammad bin Maslamah menjawab : “Bagaimana mungkin kami akan menggadaikan putera-putera kami kepadamu, sementara mereka akan dicela karenanya, dan akan dikatakan kepada mereka : hanya demi satu atau dua wasaq (kalian rela menggadaikan anak-anak kalian)? Sungguh, ini aib bagi kalian.”

Lalu Muhammad bin Maslamah dan teman-temanya berkata, “Kami akan menjadikan senjata kami sebagai gadai (jaminan) untukmu.”

“Baiklah,” jawab Ka‘ab.

Lalu Ka’ab menjanjikan kepada mereka untuk bertemu di malam hari dengan membawa geriba (karung dari kulit), bersama Abu Na’ilah – saudara sesusuan Ka‘ab —.

Maka Ka‘ab mengundang mereka untuk datang ke benteng-nya. Setelah mereka datang, maka ia pun turun untuk menemui mereka.

Isteri Ka’ab bertanya, “Mau ke mana engkau malam-malam begini?”

Ka‘ab menjawab, “Itu tak lain adalah Muhammad bin Maslamah dan saudaraku, Abu Na’ilah.”

Perawi selain Amru mengatakan :

“Kemudian isterinya berkata lagi, “Aku mendengar suaranya seperti tetetas air.”

Dalam riwayat lain: “Aku mendengar suara seperti suara darah”.

Ka‘ab berkata lagi : “Itu tak lain adalah saudaraku, Muhammad bin Maslamah dan saudara se-susuan-ku, Abu Nailah. Orang yang mulia itu, kalau dipanggil untuk berjalan di malam hari, pasti menyanggupi.”

Kemudian Muhammad bin Maslamah masuk bersama dua orang.

Menurut riwayat Amru : kedua orang itu bernama Abu ‘Abs bin Hibr dan ‘Abbad bin Bisyr.

*Amru melanjutkan kisahnya:

Muhammad bin Maslamah berkata : “Jika dia datang, aku akan memegang kepalanya, maka jika kalian telah melihatku berhasil melumpuhkannya, penggallah lehernya.”

(Inilah cara untuk membunun orang seperti dia, sebab dia berbadan besar dan kuat)

Ketika ia turun dari benteng sembari menyandang pedangnya, mereka berkata kepada Ka’ab: “Kami mencium aroma harum dan wangi dari tubuhmu”.

Ka’ab menjawab :“Ya, …istriku adalah wanita Arab paling harum dan wangi ”.

Muhammad bin Maslamah berkata : “Bolehkan aku mencium bau harum-mu?”

Ka’ab menjawab :“Silahkan”.

Maka Ia pun pura-pura menciumnya. Lalu ia berkata : “Bolehkah kuulangi lagi?”

Maka ketika itulah, Muhammad bin Maslamah berhasil melumpuhkannya, kemudian ia berkata : “Giliran kalian, bunuhlah dia !”.

Mereka akhirnya berhasil membunuhnya.” ( HR. Bukhori no. 4037 dan Muslim no. 1801)

Kemudian, orang-orang yahudi datang kepada Nabi setelah terbunuhnya Ka‘ab bin Al-Asyrof.

Mereka berkata, “Wahai Muhammad, teman kami terbunuh tadi malam, padahal dia adalah salah satu tokoh pemuka kami. Ia dibunuh secara diam-diam (ightiyal) tanpa dosa dan kesalahan apa pun sejauh yang kami tahu.”

Rasulullah bersabda,

إِنَّهُ لَوْ فَرَّ كَمَا فَرَّ غَيْرُهُ مِمَّنْ هُوَ عَلَى مِثْلِ رَأْيِهِ مَا اغْتِيْلَ ، وَلَكِنَّهُ آذَانَا وَهَجَانَا بِالشِّعْرِ وَلَمْ يَفْعَلْ هَذَا أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلاَّ كَانَ لِلسَّيْفِ

“Sungguh, kalau dia melarikan diri sebagaimana orang seperti yang sepemikiran dengannya melarikan diri, tentu ia tidak akan dibunuh dengan cara ightiyal, akan tetapi dia menyakiti kami dan melecehkan kami dengan syair-syair-nya.

Dan tidak ada satu pun dari kalian yang melakukan perbuatan seperti ini kecuali pedang lah pilihannya.”

[Yakni , kalian juga jika diperlakukan seperti ini pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan terhadap Ka’ab bin Asyraf].

(HR. Bukhori no. 4037 dan Muslim no. 1801 ).

Ka’ab bin Al Asyraf memang biasa memprovokasi orang-orang musyrik untuk memusuhi kaum muslimin. Ia juga mencela dan melelecehkan Nabi dengan syair-syairnya dan menggoda isteri-isteri kaum muslimin.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

“Di dalam Mursal Ikrimah dikisahkan, pagi harinya kaum yahudi ketakutan, lalu mereka datang kepada Nabi dan berkata, “Pemuka kami terbunuh secara diam-diam,” akhirnya Nabi menceritakan kelakuan Ka‘ab kepada mereka, di mana ia suka memprovokasi orang untuk menyakiti beliau dan kaum muslimin.

Sa‘ad menambahkan, “Maka mereka menjadi takut dan tidak menjawab sedikit pun.”

*****

KEDUA : KEHORMATAN UMAT ISLAM PADA MASA KEJAYAAN ISLAM.

===

KE 1 : PADA MASA KHALIFAH AL-MU’TASIM BILLAH :

Kisah wanita yang terjadi pada masa khalifah al-Mu’tashim Billah, khalifah kedelapan dinasti Abbasiyah.

KISAH SINGKATNYA :

Kota Amurriyah yang dikuasai oleh Romawi saat itu berhasil ditaklukkan oleh al-Mu’tashim.

Pada penyerangan itu sekitar 3.000 tentara Romawi tewas terbunuh dan sekitar 30.000 menjadi tawanan.

Dan di antara faktor yang mendorong penaklukan kota ini adalah karena adanya seorang wanita muslimah dari sebuah kota pesisir yang ditawan di sana.

Wanitu itu berseru :

 “Wahai Muhammad, wahai Mu’tashim!”

Setelah informasi itu ada yang menyampaikannya  kepada khalifah, maka ia pun segera menunggang kudanya dan membawa bala tentara untuk menyelamatkan wanita tersebut plus menaklukkan kota tempat wanita itu ditawan.

Setelah berhasil menyelamatkan wanita tersebut al-Mu’tashim mengatakan :

 “Kupenuhi seruanmu, wahai wanita!”

KISAH LEBIH LENGKAP-NYA :

Dalam salah satu riwayat menyebutkan bahwa seorang lelaki datang kepada Al-Mu'tashim dan memberitahunya tentang suatu peristiwa yang ia saksikan seraya berkata:

«يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، كُنْتُ بِعَمُّورِيَّةَ فَرَأَيْتُ امْرَأَةً عَرَبِيَّةً فِي السُّوقِ مَهِيبَةً جَلِيلَةً تُسْحَلُ إِلَى السِّجْنِ فَصَاحَتْ فِي لَهْفَةٍ: وَامُعْتَصِمَاهْ وَامُعْتَصِمَاهْ.»

"Wahai Amirul Mukminin, aku berada di 'Ammuriyyah dan melihat seorang wanita Arab di pasar yang tampak terhormat dan mulia diseret menuju penjara. Maka ia berteriak dengan penuh harap: wahai Mu'tashimah, wahai Mu'tashimah."

Lalu Al-Mu'tashim mengirimkan surat kepada Gubernur 'Ammuriyyah seraya berkata:

«مِنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ إِلَى كَلْبِ الرُّومِ أَخْرِجِ الْمَرْأَةَ مِنَ السِّجْنِ وَإِلَّا أَتَيْتُكَ بِجَيْشٍ بَدَايَتُهُ عِنْدَكَ وَنِهَايَتُهُ عِنْدِي».

فَلَمْ يَسْتَجِبِ الْأَمِيرُ الرُّومِيُّ وَانْطَلَقَ الْمُعْتَصِمُ بِجَيْشِهِ لِيَسْتَعِدَّ لِمُحَاصَرَةِ عَمُّورِيَّةَ فَمَضَى إِلَيْهَا، فَلَمَّا اسْتَعْصَتْ عَلَيْهِ قَالَ: «اجْعَلُوا النَّارَ فِي الْمَجَانِيقِ وَارْمُوا الْحُصُونَ رَمْيًا مُتَتَابِعًا» فَفَعَلُوا، فَاسْتَسْلَمَتْ وَدَخَلَ الْمُعْتَصِمُ عَمُّورِيَّةَ فَبَحَثَ عَنِ الْمَرْأَةِ فَلَمَّا حَضَرَتْ قَالَ لَهَا: «هَلْ أَجَابَكِ الْمُعْتَصِمُ؟» قَالَتْ: «نَعَمْ»

"Dari Amirul Mukminin kepada anjing bangsa Romawi, bebaskan wanita itu dari penjara, jika tidak, aku akan datang kepadamu dengan pasukan yang baris terdepannya ada di sisimu dan baris terakhirnya ada padaku."

Namun Amir Romawi tidak menanggapi, lalu Al-Mu'tashim pun berangkat bersama pasukannya untuk bersiap mengepung 'Ammuriyyah dan berangkat ke sana.

Ketika kota itu sulit ditaklukkan, ia berkata:

«اجْعَلُوا النَّارَ فِي الْمَجَانِيقِ وَارْمُوا الْحُصُونَ رَمْيًا مُتَتَابِعًا»

"Nyalakan api di dalam manjaniq dan lontarkan terus-menerus ke benteng."

Maka mereka melakukannya hingga kota itu menyerah. Al-Mu'tashim pun memasuki 'Ammuriyyah dan mencari wanita itu. Ketika ia dihadirkan, Al-Mu'tashim berkata padanya:

«هَلْ أَجَابَكِ الْمُعْتَصِمُ؟»

"Apakah Mu'tashim menjawab panggilanmu?"

Wanita itu menjawab: "Ya."

Ketika lelaki yang melaporkan peristiwa itu dihadirkan, wanita itu berkata kepadanya:

«هَذَا هُوَ الْمُعْتَصِمُ قَدْ جَاءَ وَأَخْزَاكَ»

"Inilah Al-Mu'tashim telah datang dan telah menghinakanmu."

Lelaki itu berkata:

«قُولِي فِيهِ قَوْلَكِ».

"Katakanlah pendapatmu tentangnya."

Wanita itu berkata:

«أَعَزَّ اللَّهُ مُلْكَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، بِحَسْبِي مِنَ الْمَجْدِ أَنَّكَ ثَأَرْتَ لِي. بِحَسْبِي مِنَ الْفَخْرِ أَنَّكَ انْتَصَرْتَ، فَهَلْ يَأْذَنُ لِي أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فِي أَنْ أَعْفُوَ عَنْهُ وَأَدَعَ مَالِي لَهُ؟»

"Semoga Allah memuliakan kekuasaan Amirul Mukminin. Cukuplah bagiku sebagai kemuliaan bahwa engkau membalaskan untukku. Cukuplah bagiku sebagai kebanggaan bahwa engkau telah membela. Maka apakah Amirul Mukminin mengizinkanku untuk memaafkannya dan memberikan hartaku kepadanya?"

Al-Mu'tashim pun terkagum dengan ucapannya dan berkata kepadanya:

«لَأَنْتِ جَدِيرَةٌ حَقًّا بِأَنْ حَارَبْنَا الرُّومَ ثَأْرًا لَكِ. وَلْتَعْلَمِ الرُّومُ أَنَّنَا نَعْفُو حِينَمَا نَقْدِرُ».

"Sungguh engkau benar-benar pantas untuk diperjuangkan melawan bangsa Romawi demi membalaskanmu. Dan hendaknya bangsa Romawi mengetahui bahwa kita memaafkan ketika kita mampu."

Sebagian perawi menyebutkan bahwa seorang wanita yang ditawan oleh bangsa Romawi berkata: "Wahai Mu'tashimah !!!!”.

Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Mu’tashim, dan saat itu di tangannya ada gelas yang hendak ia minum isinya, lalu ia meletakkannya dan segera memerintahkan persiapan perang.

Disebutkan bahwa wanita itu berada di salah satu pasar, dan ada seorang lelaki Romawi yang sedang melewati pasar melihatnya lalu mencoba mengganggunya dan memegang ujung jilbabnya.

Maka wanita itu berteriak: "Wahai Mu'tashimah," suaranya didengar oleh para pengikut Al-Mu'tashim dan mereka menyampaikannya kepadanya. Maka ia pun memerintahkan untuk mempersiapkan pasukan besar dan bersiap untuk perang.

Riwayat lain menyebutkan :

Bahwa bangsa Romawi memanfaatkan kesibukan khalifah Al-Mu'tashim dalam memadamkan pemberontakan Babak Al-Khurrami, lalu mereka mempersiapkan pasukan besar yang dipimpin oleh raja mereka, berjumlah lebih dari seratus ribu tentara.

Mereka menyerang wilayah utara Syam dan Al-Jazirah, lalu memasuki kota Zibatrah yang terletak di daerah perbatasan dan biasa digunakan untuk menyerang Romawi.

Pasukan Romawi membunuh semua lelaki dalam benteng kota tersebut, lalu berpindah ke kota Malathiyah yang berdekatan, menyerangnya, serta menyerang banyak benteng lainnya.

Mereka menyiksa kaum Muslimin yang mereka tangkap, mencungkil mata mereka, memotong telinga dan hidung mereka, dan menawan lebih dari seribu wanita Muslimah sebagaimana dikatakan.

Berita-berita mengerikan ini sampai ke telinga khalifah. Para pelarian menceritakan kekejaman yang dilakukan oleh bangsa Romawi, maka ia segera bergerak dan mengenakan serban para pejuang, lalu langsung menyerukan mobilisasi dan persiapan perang.

Al-Mu'tashim keluar memimpin pasukan besar yang dipersiapkan dengan perlengkapan, logistik, senjata, dan alat-alat perang serta pengepungan yang belum pernah dipersiapkan oleh siapapun sebelumnya.

Ia sampai ke wilayah perbatasan, dan pasukannya menghancurkan kota Ankara, lalu bergerak menuju 'Ammuriyyah pada bulan Jumadil Ula tahun 223 H, bertepatan dengan April 838 M, dan mengepung kota kuat itu selama kurang lebih setengah tahun.

Kota itu mengalami penderitaan hebat hingga akhirnya menyerah. Kaum Muslimin memasuki kota itu pada tanggal 17 Ramadan tahun 223 H, bertepatan dengan 13 Agustus 838 M, setelah tiga puluh ribu orang dari penduduknya terbunuh.

Kaum Muslimin memperoleh harta rampasan yang besar, dan khalifah Al-Mu'tashim memerintahkan untuk merobohkan tembok dan gerbang kota tersebut. Kemenangan besar ini menggema di negeri-negeri kaum Muslimin dan para penyair besar mengkhususkan kemenangan ini dengan puisi-puisi pujian.

[Al-Mubarak, Ahmad (27 April 2020). ""Wa Mu‘taimah" – Seruan yang Meruntuhkan Benteng 'Amuriyyah.. Ketahui Kisah Penaklukannya di Bulan Ramadan". aḥīfat Sabq al-Iliktrūniyyah. Diarsipkan dari versi asli pada 8 Februari 2023. Diakses pada 16 Januari 2024].

SYA’IR ABU TAMMAM TENTANG KEMENANGAN KHALIFAH AL-MU’TASHIM.

Syair karya Abu Tammam dalam qashidah bā’iyyah-nya yang terkenal, memuji Khalifah al-Mu'tashim setelah kemenangan besar di ‘Amuriyyah:

السَّيْفُ أَصْدَقُ أَنْبَاءً مِنَ الْكُتُبِ ** فِي حَدِّهِ الْحَدُّ بَيْنَ الْجِدِّ وَاللَّعِبِ

**Pedang lebih jujur dalam memberi kabar dibandingkan buku-buku,

pada ketajamannya terdapat pembeda antara kesungguhan dan permainan.**

بِيْضُ الصَّفَائِحِ لَا سُودُ الصَّحَائِفِ ** فِي مُتُونِهِنَّ جَلَاءُ الشَّكِّ وَالرِّيبِ

**Putihnya mata pedang, bukan hitamnya lembaran buku,

pada bilah-bilahnya terkandung penjelasan bagi keraguan dan prasangka.**

وَالْعِلْمُ فِي شُهُبِ الْأَرْمَاحِ لَامِعَةٌ ** بَيْنَ الْخَمِيسَيْنِ، لَا فِي السَّبْعَةِ الشُّهُبِ

**Ilmu bersinar di ujung-ujung tombak yang menyala,

di antara dua pasukan besar, bukan pada tujuh bintang di langit.**

أَيْنَ الرِّوَايَةُ؟ بَلْ أَيْنَ النُّجُومُ، وَمَا ** صَاغُوهُ مِنْ زُخْرُفٍ فِيهَا وَمِنْ كَذِبِ

**Mana kisah-kisah lama? Bahkan mana bintang-bintang,

dan apa yang mereka reka di dalamnya dari perhiasan dan kebohongan?**

يَا يَوْمَ وَقْعَةِ عَمُّورِيَّةَ انْصَرَفَتْ ** عَنْكَ الْمُنَى حَفَلًا مَعْسُولَةَ الْحَلَبِ

**Wahai hari pertempuran di ‘Amuriyyah, engkau telah berlalu,

dengan harapan-harapan yang datang kepadamu penuh dan manis seperti susu perahan.**

لَقَدْ تَرَكْتَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بِهَا ** لِلنَّارِ يَوْمًا ذَلِيلَ الصَّخْرِ وَالْخَشَبِ

**Sungguh engkau telah menjadikan Amirul Mukminin di sana

seperti api yang menghinakan batu dan kayu.**

غَادَرْتَ بِهَا بَهِيمَ اللَّيْلِ وَهْوَ **ضُحًى يُشِلُّهُ وَسْطَهَا صُبْحٌ مِنَ اللَّهَبِ

**Engkau tinggalkan malam gelap gulita saat itu

telah menjadi siang yang terpotong oleh cahaya api.**

حَتَّى كَأَنَّ جَلَابِيبَ الدُّجَى رَغِبَتْ ** عَنْ لَوْنِهَا، أَوْ كَأَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَغِبِ

**Hingga seakan-akan pakaian malam telah meninggalkan warnanya,

atau seakan-akan matahari tidak pernah terbenam.**

ضَوْءٌ مِنَ النَّارِ وَالظُّلْمَاءُ عَاكِفَةٌ ** وَظُلْمَةٌ مِنْ دُخَانٍ فِي ضُحًى شَحِبِ

**Cahaya dari api bersinar di tengah kegelapan,

dan kegelapan dari asap memenuhi waktu pagi yang pucat.**

فَتْحُ الْفُتُوحِ تَعَالَى أَنْ يُحِيطَ بِهِ ** نَظْمٌ مِنَ الشِّعْرِ أَوْ نَثْرٌ مِنَ الْخُطَبِ

**Kemenangan dari segala kemenangan — terlalu agung untuk dijangkau

oleh syair yang teratur atau pidato yang tersusun.**

فَتْحٌ تَفَتَّحَ أَبْوَابَ السَّمَاءِ لَهُ ** وَتُبْرِزُ الْأَرْضُ فِي أَثْوَابِهَا الْقُشُبِ

**Kemenangan yang membuat langit terbuka baginya,

dan bumi menampakkan dirinya dalam pakaian terbaiknya.**

أَبْقَيْتَ جِدَّ بَنِي الْإِسْلَامِ فِي صَعَدٍ ** وَالْمُشْرِكِينَ وَدَارَ الشِّرْكِ فِي صَبَبِ

**Engkau telah mengangkat martabat kaum muslimin ke tempat yang tinggi,

dan menurunkan kaum musyrik dan negeri kesyirikan ke tempat yang rendah.**

تَدْبِيرُ مُعْتَصِمٍ بِاللَّهِ مُنْتَقِمٍ ** لِلَّهِ مُرْتَقِبٍ فِي اللَّهِ مُرْتَغِبِ

**Itulah kebijakan al-Mu’tashim yang bersandar kepada Allah,

penuntut balas karena Allah, menunggu pahala dari Allah, dan mengharapkannya.**

لَبَّيْتَ صَوْتًا زِبَطْرِيًّا هَرَقْتَ لَهُ ** كَأْسَ الْكَرَى وَرُضَابَ الْخُرَّدِ الْعُرُبِ

**Engkau jawab suara dari Zibatra, lalu engkau tumpahkan

cawan tidur dan liur para gadis cantik dari bangsa Arab.**

[Baca : Samthun Nujum al-Awaali karya Abdul Malik bin Husein al-‘Ishomi 3/453-454 dan Majaani al-Adab  karya Rizqullah Syaikhu 6/261]

====

KE 2 : PADA MASA UMAT ISLAM BERKUASA DI ANDALUSIA - EROPA

Kisah yang kedua, dikisahkan tentang sultan al-Hajib al-Manshur, salah seorang pemimpin Daulah Amiriyah di Andalusia - Spanyol Eropa yang menggerakkan pasukan utuh dan lengkap untuk menyelamatkan tiga wanita Muslimah yang menjadi tawanan di kerajaan Navarre.

Sultan al-Hajib al-Manshur : Dia adalah Muhammad bin Abi ‘Amir memegang tampuk kekuasaan sejak tahun 366 H (976 M) hingga wafatnya –rahimahullah– pada tahun 392 H (1002 M).

Ia menghabiskan masa pemerintahannya dalam jihad yang terus-menerus tanpa henti melawan kerajaan-kerajaan Nasrani di utara, disertai dengan pengelolaan dan kebijakan internal yang baik, hingga Andalus mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahannya.

[Referensi : Ibnu ‘Adzari: *Al-Bayān al-Mughrib* 2/301, *Tārīkh Ibni Khaldūn* 4/148, al-Maqrī: *Nafu al-Ṭīb* 1/398.]

Peperangan Sultan al-Hajib al-Manṣūr Ibnu Abi ‘Āmir :

Muhammad bin Abi ‘Amir melancarkan 54 kali ekspedisi militer sepanjang hidupnya, dan tidak pernah mengalami kekalahan satu kali pun. Bahkan, yang lebih mengagumkan, ia berhasil mencapai wilayah-wilayah dalam Kerajaan Leon dan negeri-negeri Nasrani yang belum pernah dicapai oleh siapa pun sebelumnya, bahkan oleh para penakluk pertama seperti Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad. Al-Ḥājib al-Manṣūr –rahimahullah– berhasil mencapai wilayah *Ash-Shakhrah* (batu karang), sebuah daerah yang belum pernah ditaklukkan oleh kaum Muslimin sebelumnya. Ia mampu menggempur kaum Nasrani sampai ke jantung negeri mereka. Bahkan ia mencapai Teluk Biscay dan Samudra Atlantik di sebelah utara. Dalam seluruh ekspedisi tersebut, tidak pernah panjinya roboh, tidak pernah pasukannya dikalahkan, tidak ada bala tentaranya yang binasa, dan tidak ada satu regu pun yang musnah.

[Lihat rinciannya dalam Ibnu ‘Adzari: *Al-Bayān al-Mughrib* 2/294, dan al-Maqrī: *Nafu ath-Ṭhībb* 1/413.]

Sebelumnya, yang umum dan yang biasa dilakukan adalah berjihad hanya pada musim panas (*hawā’if*), namun al-Ḥājib al-Manṣūr melakukan jihad dua kali setiap tahun. Dua masa ini dikenal dengan sebutan *hawā’if* (musim panas) dan *syawātī* (musim dingin).

Diantara Jihad Sultan al-Hajib al-Manṣūr Adalah Mengirim Pasukan Besar untuk Menyelamatkan Tiga Wanita Muslimah:

Disebutkan dalam riwayat tentang peperangan al-Ḥājib al-Manṣūr bahwa ia pernah mengirim pasukan penuh hanya untuk menyelamatkan tiga perempuan Muslimah yang menjadi tawanan di Kerajaan Navarre.

Saat itu, antara dirinya dan Kerajaan Navarre terdapat perjanjian damai. Pihak Navarre membayar jizyah kepadanya, dan salah satu syarat dalam perjanjian tersebut adalah mereka tidak boleh menawan seorang pun dari kaum Muslimin atau menahan mereka di negeri mereka.

Kisah ini bermula ketika seorang utusan sultan pergi menuju kerajaan Navarre.

Suatu ketika, seorang utusan al-Manṣūr pergi ke Kerajaan Navarre untuk menyampaikan pesan kepada rajanya. Setelah menyampaikan pesan, mereka mengadakan penyambutan untuk sang utusan. Dalam salah satu acara tersebut, ia melihat tiga perempuan Muslimah di sebuah gereja. Ia terkejut melihat mereka di sana. Ketika ditanya, para perempuan itu menjawab bahwa mereka adalah tawanan di tempat tersebut.

Seketika itu, utusan al-Manṣūr pun sangat marah dan segera kembali untuk menyampaikan hal itu kepada al-Manṣūr. Maka, al-Manṣūr segera memerintahkan pasukan besar untuk berangkat menyelamatkan mereka.

Ketika pasukan sampai di wilayah Navarre, Raja Navarre merasa heran dan berkata :

نَحْنُ لَا نَعْلَمُ لِمَاذَا جِئْتُمْ، وَقَدْ كَانَتْ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ مُعَاهَدَةٌ عَلَى أَلَّا نَتَقَاتَلَ، وَنَحْنُ نَدْفَعُ لَكُمُ الْجِزْيَةَ.

“Kami tidak tahu mengapa kalian datang. Bukankah ada perjanjian antara kita untuk tidak saling memerangi? Kami juga membayar jizyah kepada kalian.”

Namun, dengan penuh kehormatan tanpa kesombongan, para utusan menjawab :

إِنَّكُمْ خَالَفْتُمْ عَهْدَكُمْ، وَاحْتَجَزْتُمْ عِندَكُمْ أَسِيرَاتٍ مُسْلِمَاتٍ.

“Kalian telah melanggar perjanjian. Kalian menahan tawanan perempuan Muslimah di negeri kalian.”

Raja berkata :

لَا نَعْلَمُ بِهِنَّ.

“Kami tidak tahu tentang mereka.”

Maka utusan itu pun pergi ke gereja dan mengeluarkan tiga perempuan itu.

Raja Navarre berkata :

إِنَّ هَؤُلَاءِ النِّسْوَةَ لَا نَعْرِفُ بِهِنَّ؛ فَقَدْ أَسَرَهُنَّ جُنْدِيٌّ مِنَ الْجُنُودِ.

“Kami tidak tahu apa-apa tentang mereka. Mereka ditawan oleh salah satu prajurit”.

Lalu prajurit itu dihukum. Kemudian sang raja mengirimkan surat kepada al-Ḥājib al-Manṣūr berisi permintaan maaf yang besar, dan ia memberitahukan bahwa gereja tempat para perempuan itu ditawan telah dihancurkan. Maka al-Ḥājib al-Manṣūr kembali ke negerinya bersama tiga perempuan Muslimah itu.

[Sumber: Ibnu ‘Adzārī: *al-Bayān al-Mughrib*, 2/297; al-Maqrī: *Naf al-Ṭīb*, 1/403.]

Ia mengumpulkan debu yang menempel pada pakaiannya untuk dikuburkan bersamanya di dalam kuburnya, mengikuti hadits Rasulullah :

«... وَلاَ يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِى سَبِيلِ اللهِ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ»

“... dan tidak akan berkumpul debu di jalan Allah dan asap neraka Jahannam.”

*(HR. at-Tirmidzi: Kitab Fadhā'il al-Jihād, Bab Fadhli al-Ghubār fī Sabīlillah, no. 1633, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dan ia berkata: hadits hasan shahih. Diriwayatkan juga oleh an-Nasa'i no. 4316, Ibnu Majah no. 2774, Ahmad no. 10567, dan al-Hakim no. 7667, ia berkata: ini hadits shahih sanadnya dan tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim).*

Maka sudah menjadi kebiasaan al-Hajib al-Manshur –rahimahullah– dalam jihadnya bahwa setiap selesai dari sebuah pertempuran, ia menepuk-nepuk pakaiannya, lalu mengambil debu yang jatuh darinya dan memasukkannya ke dalam sebuah botol kecil. Kemudian ia berwasiat di akhir hayatnya agar botol tersebut dikuburkan bersamanya. Hal itu dilakukannya agar botol tersebut menjadi saksi pada hari kiamat atas jihadnya melawan kaum Nasrani.

Salah satu ciri paling menonjol dari jihad al-Hajib al-Manshur adalah bahwa ia selalu memulai dengan menyerang terlebih dahulu. Ia berusaha menggagalkan konspirasi sejak dari akar-akarnya dan tidak hanya menunggu dalam posisi bertahan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sebelum dirinya.

*(Sumber: Muhammad Abdullah 'Inan, “Dawlat al-Islām fī al-Andalus”, jilid 2, hlm. 540).*

===****===

DALIL AL-QUR DAN HADITS : 
TERKAIT ATURAN POLITIK ANTARA PEMERINTAH DAN RAKYAT.

*****

Kewajiban Taat kepada Pemimpin dalam Hal yang Bukan Maksiat dan Haramnya Taat kepada Mereka dalam Hal Maksiat

Allah Ta’ala berfirman:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ﴾

*"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kalian"* (An-Nisa: 59).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi , beliau bersabda:

عَلى المَرْءِ المُسْلِم السَّمْعُ والطَّاعَةُ فِيما أَحَبَّ وكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإذا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طاعَةَ

*"Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang ia sukai maupun ia benci, kecuali jika diperintahkan untuk bermaksiat. Jika diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat."*(Hadits Muttafaq ‘alaih)

Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

كُنَّا إِذَا بايَعْنَا رسُولَ اللَّهِ ﷺ عَلى السَّمْعِ والطَّاعةِ يقُولُ لَنَا: «فِيمَا اسْتَطَعْتُمْ»

*"Kami dahulu apabila membaiat Rasulullah untuk mendengar dan taat, beliau bersabda kepada kami: 'Dalam hal yang kalian mampu.’"* (Hadits Muttafaq ‘alaih)

Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

مَنْ خلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّه يَوْم القيامَةِ ولا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ ماتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتةً جَاهِليَّةً

“Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, maka ia akan menemui Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah (alasan). Dan barang siapa meninggal dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.'"* (Diriwayatkan oleh Muslim)

Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan:

ومَنْ ماتَ وَهُوَ مُفَارِقٌ لِلْجَماعةِ؛ فَإنَّهُ يمُوت مِيتَةً جَاهِليَّةً.

*"Dan barang siapa meninggal dalam keadaan berpisah dari jamaah (kaum muslimin), maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah."*

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

اسْمَعُوا وأطِيعُوا وإنِ اسْتُعْمِلَ علَيْكُمْ عَبْدٌ حبشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

"Dengarlah dan taatlah, meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis."* (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

عليْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعةُ في عُسْرِكَ ويُسْرِكَ، وَمنْشَطِكَ ومَكْرَهِكَ، وأَثَرَةٍ عَلَيْك

"Wajib atas kalian untuk mendengar dan taat, dalam keadaan sulit maupun mudah, dalam keadaan semangat maupun enggan, dan meskipun kepemimpinan itu lebih mengutamakan (kepentingan) mereka atas kalian." (Hadits riwayat Muslim)

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

كُنَّا مَع رسول اللَّهِ ﷺ في سَفَرٍ، فَنَزَلْنا مَنْزِلًا، فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِباءَهُ، ومِنَّا مَنْ يَنْتَضِلُ، وَمِنَّا مَنْ هُوَ في جَشَرِهِ، إذْ نادَى مُنَادي رسولِ اللَّهِ ﷺ: "الصَّلاة جامِعةٌ"، فاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَ:

"إنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبيٌّ قَبْلِي إلَّا كَانَ حَقًّا علَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلى خَيرِ مَا يَعْلَمُهُ لهُمْ، ويُنذِرَهُم شَرَّ مَا يعلَمُهُ لهُم، وإنَّ أُمَّتَكُمْ هذِهِ جُعِلَ عَافيتُها في أَوَّلِها، وسَيُصِيبُ آخِرَهَا بلاءٌ وأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا، وتجيءُ فِتَنٌ يُرَقِّقُ بَعضُها بَعْضًا، وَتَجِيءُ الفِتْنَةُ فَيقُولُ المُؤمِنُ: هذِهِ مُهْلِكَتي، ثُمَّ تَنْكَشِفُ، وتجيءُ الفِتنَةُ فَيَقُولُ المُؤْمِنُ: هذِهِ، هذِهِ.

فَمَنْ أَحَبَّ أنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ ويُدْخَلَ الجنَّةَ فَلْتَأْتِهِ منيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ، ولْيَأْتِ إِلَى الناسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤتَى إلَيْهِ، ومَنْ بَايَع إمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يدِهِ، وثمَرةَ قَلْبهِ؛ فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ، فَإنْ جَاءَ آخَرُ يُنازعُهُ فاضْربُوا عُنُقَ الآخَرِ

Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan. Lalu kami singgah di suatu tempat. Sebagian dari kami ada yang memperbaiki tenda, sebagian lagi ada yang sedang memanah, dan sebagian lagi sibuk dengan hewan tunggangannya. Tiba-tiba penyeru Rasulullah menyerukan, "Shalat berjamaah akan didirikan!" Maka kami pun berkumpul kepada Rasulullah . Beliau lalu bersabda:

"Sesungguhnya tidaklah ada seorang nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang diketahuinya untuk mereka, dan memperingatkan mereka dari segala keburukan yang diketahuinya untuk mereka.

Dan sesungguhnya umat kalian ini, telah dijadikan masa keselamatannya di awalnya, dan akan datang pada akhirnya bala dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Akan datang fitnah-fitnah, sebagian dari fitnah itu membuat yang sebelumnya terasa ringan. Dan datanglah suatu fitnah, lalu seorang mukmin berkata: 'Inilah yang akan membinasakanku,' kemudian fitnah itu berlalu. Lalu datang lagi fitnah lainnya, dan ia berkata: 'Inilah, inilah (yang membinasakanku).'

Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ketika datang ajal kepadanya dalam keadaan ia beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah ia memperlakukan manusia dengan cara yang ia sendiri suka diperlakukan seperti itu olehnya.

Barangsiapa membaiat seorang imam, lalu ia memberikan janji setianya dengan jabat tangan dan kesungguhan hati, maka hendaklah ia taat kepadanya semampunya. Jika datang orang lain yang ingin merebut kekuasaan darinya, maka penggallah leher orang yang kedua itu." (Hadits riwayat Muslim)

Dari Abu Hunaidah Wail bin Hujr radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

سأَلَ سَلَمةُ بنُ يزيدَ الجُعْفيُّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فقالَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أرَأَيْتَ إنْ قَامَتْ علَيْنَا أُمَراءُ يَسأَلُونَا حقَّهُمْ، ويَمْنَعُونَا حقَّنا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟ فَأَعْرضَ عنه، ثُمَّ سألَهُ، فَقَال رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: اسْمَعُوا وأطِيعُوا، فَإنَّما علَيْهِمْ ما حُمِّلُوا، وعلَيْكُم مَا حُمِّلْتُمْ

Salama bin Yazid al-Ju'fi pernah bertanya kepada Rasulullah :

"Wahai Nabi Allah, bagaimana pendapat Anda jika suatu saat para pemimpin berkuasa atas kami, mereka meminta hak mereka, namun mereka tidak memberikan hak kami, maka apa yang Anda perintahkan kepada kami?"

Maka Rasulullah berpaling darinya. Lalu ia mengulangi pertanyaannya. Maka Rasulullah bersabda:

"Dengarlah dan taatilah! Karena sesungguhnya tanggung jawab mereka adalah atas apa yang mereka pikul, dan tanggung jawab kalian adalah atas apa yang kalian pikul." (Hadits riwayat Muslim)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

إنَّهَا ستَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: يَا رسُولَ اللَّهِ، كَيفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذلكَ؟ قَالَ: تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وتَسْأَلُونَ اللَّهَ الذي لَكُمْ

"Sesungguhnya akan terjadi setelahku kekuasaan yang memihak (kepada kepentingan diri mereka sendiri) dan perkara-perkara yang kalian ingkari." Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana engkau perintahkan kepada orang yang mengalami hal itu?" Beliau bersabda, "Tunaikanlah hak yang menjadi kewajiban kalian, dan mintalah kepada Allah hak kalian." (Muttafaqun ‘alaih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَطَاعَني فَقَدْ أَطَاعَ اللَّه، وَمَنْ عَصَاني فَقَدْ عَصَى اللَّه، وَمَنْ يُطِعِ الأمِيرَ فَقَدْ أطَاعَني، ومَنْ يَعْصِ الأمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي

"Barang siapa taat kepadaku, maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepadaku, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah. Barang siapa taat kepada pemimpin, maka sungguh ia telah taat kepadaku. Dan barang siapa durhaka kepada pemimpin, maka sungguh ia telah durhaka kepadaku." (Muttafaqun ‘alaih)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ كَرِه مِنْ أَمِيرِهِ شيْئًا فَلْيَصْبِر، فإنَّهُ مَن خَرج مِنَ السُّلطَانِ شِبرًا مَاتَ مِيتَةً جاهِلِيةً

"Barang siapa membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Karena siapa yang keluar dari ketaatan kepada penguasa sejengkal saja, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah." (Muttafaqun ‘alaih)

Dari Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

مَن أهَانَ السُّلطَانَ أَهَانَهُ اللَّه

"Barang siapa menghinakan penguasa, maka Allah akan menghinakannya." (Hadits riwayat at-Tirmidzi, dan ia berkata: hadits ini hasan)

Dan masih banyak hadits lain yang berkaitan dengan politik dalam kitab-kitab shahih.

****

“Larangan Meminta Jabatan dan Anjuran untuk Meninggalkan Kepemimpinan Jika Tidak Wajib atau Tidak Ada Kebutuhan Mendesak”.

Allah Ta'ala berfirman:

﴿ تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾

"Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Qashash: 83)

Dari Abu Sa’id Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda kepadaku:

"قَالَ لي رَسُولُ اللَّه ﷺ: يَا عَبدَالرَّحمن بن سمُرَةَ، لا تَسْأَل الإمارَةَ؛ فَإنَّكَ إن أُعْطِيتَها عَن غَيْرِ مسأَلَةٍ أُعِنْتَ علَيها، وَإنْ أُعْطِيتَها عَن مسأَلةٍ وُكِلْتَ إلَيْها، وإذَا حَلَفْتَ عَلى يَمِينٍ فَرَأَيتَ غَيرها خَيرًا مِنهَا؛ فَأْتِ الَّذِي هُو خيرٌ، وكفِّر عَن يَمينِكَ".

"Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Karena jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, engkau akan dibantu mengembannya. Namun jika engkau diberi karena memintanya, maka engkau akan diserahkan (tanpa bantuan). Dan jika engkau bersumpah atas sesuatu lalu engkau melihat yang lain lebih baik darinya, maka lakukanlah yang lebih baik itu dan bayarlah kaffarah atas sumpahmu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda kepadaku:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: يَا أَبَا ذَرٍّ، أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ، وَلَا تُوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ.

"Wahai Abu Dzar, aku melihat engkau adalah orang yang lemah, dan aku menginginkan untukmu apa yang aku inginkan untuk diriku sendiri. Janganlah engkau memimpin atas dua orang, dan jangan pula engkau mengurusi harta anak yatim."* (HR. Muslim)

Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.

Aku berkata, "Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mempekerjakanku?" Maka beliau menepuk pundakku lalu bersabda:

"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan pada hari kiamat ia menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada padanya."* (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

أنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

"Sesungguhnya kalian akan berlomba-lomba dalam mendapatkan jabatan, dan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat." (HR. Bukhari)

****

“Anjuran kepada Penguasa, Hakim, dan Para Pemegang Kekuasaan Lainnya untuk Mengangkat Penasihat yang Saleh dan Peringatan terhadap Teman Buruk serta Menerima Nasihat dari Mereka”.

Allah Ta'ala berfirman:

﴿ الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ﴾

"Teman-teman akrab pada hari itu sebagian mereka menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa." (Az-Zukhruf: 67)

Teman akrab maksudnya adalah orang-orang yang saling mencintai.

Ayat ini menunjukkan anjuran untuk berteman dengan orang-orang yang baik, dan menjauhi pertemanan dengan orang-orang yang sakit (rusak) dan durhaka. Maka seharusnya sahabat-sahabat dan teman-teman akrabmu adalah dari kalangan orang-orang baik, bertakwa, dan lurus. Dan hendaklah kamu berhati-hati terhadap teman-teman buruk.

Dalam hadis Rasulullah bersabda:

"الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ"

*"Seseorang berada di atas agama temannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan dengan siapa ia berteman."*

Rasulullah juga bersabda:

"مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَالْجَلِيسُ السُّوءُ كَنَافِخِ الْكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً".

*"Perumpamaan teman duduk yang baik seperti pembawa minyak wangi: bisa jadi ia memberimu sebagian, atau kamu membelinya darinya, atau kamu mendapatkan bau harum darinya. Dan perumpamaan teman duduk yang buruk seperti peniup api (pandai besi): bisa jadi ia membakar pakaianmu, atau kamu mendapatkan bau busuk darinya."*

Dalam hal ini, jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang pemimpin, maka Dia akan menjadikan baginya seorang penasihat yang jujur: jika pemimpin itu lupa, maka ia mengingatkannya, dan jika ia ingat, maka ia membantunya. Namun jika Allah menghendaki sebaliknya, maka Dia akan menjadikan baginya penasihat buruk: jika ia lupa, ia tidak mengingatkannya, dan jika ia ingat, ia tidak membantunya. Demikian pula setiap pemimpin memiliki dua jenis penasehat: penasehat yang menyuruhnya kepada kebaikan dan mendorongnya untuk melakukannya, dan yang lainnya sebaliknya.

Maka sepatutnya bagi seorang pemimpin, kepala suku, dan yang sejenis mereka untuk memiliki penasihat-penasihat yang jujur dan teman-teman yang jujur, agar mereka mengingatkannya kepada kebaikan dan membantunya dalam melakukannya. Dan wajib bagi pemimpin serta kepala suku dan yang semisal mereka untuk berhati-hati terhadap teman-teman duduk yang buruk, teman-teman yang buruk, dan penasihat-penasihat yang buruk.

Dan hendaknya pemegang kekuasaan tidak mengangkat orang yang sangat berambisi terhadap jabatan, atau orang yang memintanya, karena bisa jadi ia tidak akan mendapatkan taufik. Berbeda halnya dengan orang yang dipaksa untuk menerima jabatan dan tidak menginginkannya, maka ia lebih mungkin untuk bersungguh-sungguh, berusaha, dan mendapatkan taufik. Adapun orang yang sangat menginginkannya atau memintanya, maka bisa jadi ia akan dikecewakan. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah bersabda:

مَا بَعَثَ اللَّهُ مِن نَبِيٍّ وَلا استَخْلَفَ مِنْ خَليفَةٍ إلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وتَحُضُّهُ عليهِ، والمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ

*"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi dan tidak pula mengangkat seorang khalifah (sebagai pengganti dan penerus nabi) melainkan baginya ada dua jenis penasehat: penasehat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kepadanya, dan penasehat yang menyuruh kepada kejahatan dan mendorongnya kepadanya. Dan orang yang terjaga dari dosa adalah orang yang dijaga oleh Allah."* (HR. Bukhari no. 7198)

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah bersabda:

إِذَا أرَادَ اللَّهُ بالأمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وزيرَ صِدْقٍ، إنْ نَسِيَ ذكَّرهُ، وَإن ذَكَرَ أعَانَهُ، وَإذا أَرَاد بهِ غَيرَ ذَلِكَ جعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ، إنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْه، وَإن ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ

*"Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Dia menjadikan baginya penasihat yang jujur: jika ia lupa, maka ia mengingatkannya, dan jika ia ingat, maka ia membantunya. Dan jika Allah menghendaki sebaliknya, maka Dia menjadikan baginya penasihat yang buruk: jika ia lupa, ia tidak mengingatkannya, dan jika ia ingat, ia tidak membantunya."*

(HR. Abu Dawud no. 2932 dengan sanad yang baik sesuai syarat Muslim sebagaimana dikatakan an-Nawawi dalam Raiydhush Sholihin no. 278. Dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 2932)

****

“Larangan Memberikan Jabatan Kepemimpinan, Peradilan, dan Jabatan Lainnya kepada Orang yang Memintanya atau Sangat Menginginkannya sehingga Menampakkannya (sangat ber-ambisi)”.

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ بَنِي عَمِّي، فَقَالَ أَحَدُهُمَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّا وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي هَذَا العَمَلَ أَحَدًا سَأَلَهُ، أَوْ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ.

Aku masuk menemui Nabi bersama dua orang laki-laki dari kerabatku. Salah satu dari mereka berkata: "Wahai Rasulullah, angkatlah kami untuk memegang sebagian urusan yang Allah berikan kepadamu." Yang seorang lagi juga mengatakan hal yang serupa. Maka beliau bersabda: “Demi Allah, kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya atau seseorang yang sangat menginginkannya.” (Muttafaqun 'alaih)

Dari Tamim ad-Dari radhiyallahu 'anhu: bahwa Nabi bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.

“Agama adalah nasihat.” Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin, dan untuk seluruh kaum Muslimin.” [Diriwayatkan oleh Muslim].

Artinya: maksud dari “agama adalah nasihat” adalah bahwa sebagian besar dan inti agama adalah nasihat. Maksudnya adalah agama Islam dan iman, dan salah satu ungkapan yang merangkum keseluruhannya adalah “agama adalah nasihat”, karena mencakup nasihat kepada Allah berupa mentauhidkan-Nya dan ikhlas kepada-Nya; nasihat kepada Rasul berupa mengikutinya dan menjadikan syariatnya sebagai hukum; nasihat kepada Al-Qur’an berupa mengikutinya dan mengagungkannya; nasihat kepada para pemimpin kaum Muslimin berupa mendengar dan taat kepada mereka, memerintahkan kebaikan, dan membantu mereka dalam kebaikan; dan nasihat kepada kaum Muslimin berupa membimbing mereka kepada kebaikan, mengajarkan mereka, memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf, melarang mereka dari yang munkar, tidak menipu mereka dalam muamalah, dan sebagainya. Maka ini mencakup segalanya.

Dan ini wajib bagi seluruh kaum Muslimin, karena mereka adalah saudara dan satu kesatuan, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

﴿ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ﴾

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu.”* (Al-Hujurat: 10).

Dan sabda Nabi :

"مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى".

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah seperti satu tubuh; apabila satu anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.”

Juga sabdanya :

"الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا"، وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.

“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lain,”* lalu beliau menyatukan jari-jemarinya.

Maka wajib bagi setiap Muslim untuk memberikan nasihat kepada Allah dalam hal mentauhidkan-Nya, ikhlas kepada-Nya, menaati perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya dengan penuh keikhlasan, mengikuti (ajaran), dan kejujuran, bukan karena riya', bukan karena ingin didengar orang, dan bukan karena sikap keras kepala, tetapi karena iman, kejujuran, dan keikhlasan kepada Allah, agar ia menyembah-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Demikian juga kepada Rasulullah : hendaklah memberikan nasihat dengan mengikuti syariatnya, mengagungkan perintah dan larangannya, tunduk kepada apa yang beliau bawa, dan tidak mengedepankan pendapat manusia di atas sabdanya dan sunnahnya.

Maksudnya: amal perbuatannya harus murni, bersih, dan benar dalam mengarahkan ibadah hanya kepada Allah, serta mengikuti Rasulullah . Tidak boleh ada syirik, tidak boleh ada bid'ah, dan tidak boleh ada kelalaian. Tetapi harus memberikan nasihat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam ibadah, yaitu dengan keikhlasan kepada Allah dan mengikuti Rasulullah .

Demikian pula terhadap Al-Qur'an: dengan mengikutinya, mengagungkannya, menjadikannya sebagai sumber hukum, dan berhati-hati dari apa pun yang menyelisihinya. Orang yang memberi nasihat kepada Al-Qur'an adalah orang yang menjadikannya sebagai hukum, mengamalkan isinya, memahaminya, dan mentadabburinya serta berhati-hati dari penyelisihannya.

Allah berfirman:

﴿ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ﴾

"Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya." [Shad: 29].

Dan firman-Nya:

﴿ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ﴾

"Dan ini adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkahi, maka ikutilah ia." [Al-An’am: 155].

Allah juga berfirman tentang perintah taat pada Rasul:

﴿ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." [Al-Hasyr: 7]

Dan firman-Nya:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

"Taatilah Allah dan taatilah Rasul." [Al-Ma’idah: 92].

Dan firman-Nya :

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih." [An-Nur: 63].

Maka nasihat kepada Rasulullah adalah dengan mengikuti syariatnya, mengagungkan perintah dan larangannya. Sedangkan nasihat kepada Al-Qur’an adalah dengan mengikutinya, mengagungkannya, dan meyakini bahwa ia adalah Kalamullah yang diturunkan dan bukan makhluk, serta menjadikannya sebagai hukum bersama dengan sunnah Rasulullah .

Adapun bagian keempat, yaitu nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin seperti para penguasa dan raja: hal itu dilakukan dengan bekerja sama dalam kebaikan, mendengar dan taat kepada mereka dalam perkara yang ma’ruf (baik); karena jika mereka tidak ditaati, akan rusak keamanan dan tatanan menjadi kacau. Oleh karena itu Allah – Maha Tinggi – berfirman:

﴿أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ﴾

"Taatilah Allah dan taatilah Rasul serta para pemimpin di antara kalian." [QS. An-Nisa: 59].

Dan Rasulullah bersabda:

"عَلَى الْمَرْءِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَالْعُسْرِ وَالْيُسْرِ، وَفِي أَثَرَةٍ عَلَيْهِ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةِ اللهِ".

"Wajib atas seseorang untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan suka maupun benci, dalam keadaan sulit maupun mudah, serta dalam keadaan lebih diutamakan atas dirinya, selama tidak diperintah untuk bermaksiat kepada Allah."

Nabi juga biasa berkhutbah kepada para sahabatnya dan bersabda:

"عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ".

"Wajib atas kalian untuk mendengar dan taat."

Dan Allah berfirman:

﴿ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ﴾

"Bertakwalah kepada Allah semampu kalian, dengarlah, dan taatlah, serta berinfaklah, itu lebih baik bagi diri kalian." [At-Taghabun: 16].

Maka mendengar dan taat kepada pemimpin termasuk kewajiban terpenting, karena di dalamnya terdapat kerja sama dalam kebaikan, menjaga keamanan, dan menahan para pelaku kejahatan dari kejahatannya. Hal ini mencakup penguasa tertinggi, para gubernur, dan siapa saja yang memiliki wewenang atasmu. Maka wajib atasmu untuk taat dan patuh dalam hal yang ma’ruf, seperti istri wajib taat kepada suaminya dalam hal yang ma’ruf, anak kepada ayahnya, masyarakat umum kepada para penegak amar ma’ruf nahi munkar dalam perkara yang ma’ruf, karena mereka juga dianggap sebagai pemegang kekuasaan. Suami memiliki otoritas atas istrinya, ayah memiliki otoritas atas anak-anaknya, dan sebagai bentuk bakti mereka, mereka harus menaati orang tuanya dalam hal yang ma’ruf. Demikian pula para penegak amar ma’ruf dan nahi munkar memiliki otoritas, karena penguasa memberikan wewenang kepada mereka, begitu pula para hakim syar'i yang memiliki otoritas berdasarkan hukum syariat.

Yang kelima: nasihat kepada kaum muslimin secara umum: yaitu memberi nasihat kepada seluruh kaum muslimin dalam segala hal, dengan menyuruh mereka untuk salat, menyuruh mereka kepada seluruh kebaikan, melarang mereka dari kemungkaran, membimbing mereka, mengajak mereka kepada kebaikan, mengajarkan orang yang tidak tahu, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, tidak menipu dalam transaksi, tidak berkhianat, tidak berdusta kepada mereka, tidak menggunjing mereka, tidak mengadu domba, dan lain sebagainya. Ia menasihati mereka dalam segala hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta berhati-hati untuk tidak menipu, menyakiti, atau merugikan mereka. Maka wajib baginya untuk memperlakukan mereka dengan nasihat, menunaikan amanah, menyebarkan kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti.

Inilah nasihat kepada kaum muslimin secara umum: memberikan kepada mereka kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan menahan diri dari menyakiti mereka, baik dalam harta, tubuh, maupun kehormatan mereka. Ia menjadi pemberi nasihat kepada mereka dalam hal harta, kehormatan, agama, dan jasmani, serta berusaha menarik kebaikan kepada mereka dan menahan keburukan dari mereka; karena sesungguhnya orang beriman itu saudara bagi orang beriman lainnya, sebagaimana sabda Rasulullah :

"المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ؛ لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ".

"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzhaliminya, tidak berdusta kepadanya, dan tidak menelantarkannya."

Rasulullah juga bersabda:

"مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا".

"Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami."

Maka kaum muslimin wajib saling bekerja sama dalam kebaikan dan takwa, saling menasihati, menunaikan amanah, menjauhi penipuan, kedustaan, dan pengkhianatan, karena seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.

Dengan ini engkau mengetahui betapa agungnya kedudukan hadits ini, dan bahwa ia adalah hadits yang agung dan mencakup segala hal.

===*****===

PERINTAH MENEGAKKAN KEADILAN DALAM ISLAM:

****

Keadilan dalam Islam:

Pilar paling penting dalam pembangunan peradaban dan pengembangan, serta fondasi terbesar yang menjadi dasar tegaknya negara dan sistem pemerintahan, adalah keadilan. Islam datang dengan membawa panji keadilan dan menegakkan pilar-pilarnya secara mencolok di antara berbagai peraturan yang mengatur urusan kehidupan.

Dalam pandangan Islam, keadilan berkaitan erat dengan berbagai konsep, dan masing-masing konsep keadilan yang dibawa oleh Islam dapat dibahas secara mandiri dan terpisah dari agama Islam itu sendiri, seperti hak-hak, kebebasan, sistem, dan hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan oleh para ulama Islam dalam berbagai bidang.

Namun benang merah yang menghubungkan semua konsep tersebut adalah keadilan, yang tercermin dalam sistem perundangan yang kokoh dan mempertimbangkan bertahapnya penerapan serta realitas antara tuntutan pelaksanaan dan kebutuhan pengambilan keputusan.

Dari sinilah, dalam paragraf-paragraf berikut, kita akan membahas masalah keadilan dengan menyandarkan kepada konsep-konsep keadilan yang disebutkan dalam Al-Qur'an menurut pandangan kami:

Keadilan Ilahi dari Langit

Dalam surat An-Nahl terdapat seruan yang mencolok untuk benar-benar menegakkan keadilan mutlak, di mana Allah Ta'ala berfirman:

﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

Dari titik tolak Al-Qur’an ini, keadilan dengan maknanya yang luas menjadi nyata, dan seorang Muslim yang beriman kepada seruan perintah ini akan mengamalkannya dalam kehidupan dan menegakkannya di antara manusia atas dirinya sendiri. Hal ini ditegaskan lagi dalam berbagai konteks Al-Qur’an lainnya sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat yang menyusul setelahnya.

Keadilan terhadap Diri Sendiri dan Orang Lain

Dalam konteks penegakkan hukum, Al-Qur’an menjadikan manusia sebagai hakim atas dirinya sendiri dalam ayat ini, dalam konteks keadilan yang seharusnya ditegakkan sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an, dan hal ini adalah sesuatu yang sulit dilakukan manusia:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾

*“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian suatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”* (Al-Ma’idah: 8)

Seakan-akan kesaksian hukum ini terjadi di hadapan pengadilan hati nurani pribadi, di mana manusia menjadi pengacara terhadap dirinya sendiri:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا﴾

*“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan karena Allah, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap diri kalian sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kerabat kalian. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu tentang keduanya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu agar kalian dapat berlaku adil. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan (menjadi saksi), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”* (An-Nisa’: 135)

Ini adalah bentuk penekanan yang sangat dalam mewujudkan keadilan yang semestinya ditegakkan, bahkan sampai bersaksi melawan diri sendiri dan orang tua. Inilah bentuk keadilan yang tidak mampu diwujudkan oleh hukum-hukum di bumi meskipun seadil dan sefleksibel apapun dalam mempertemukan kepentingan para pihak, karena hukum-hukum tersebut masih bersifat manusiawi dan belum mencapai derajat kesempurnaan.

Dan inilah keadilan dalam menyampaikan tugas atau amanah kepada orang yang berhak menerimanya:

﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا﴾

*“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”* (An-Nisa’: 58)

Jika kita melihat makna dari ayat ini, cakupannya menjadi luas hingga mencakup semua profesi yang diamanahkan kepada manusia. Maka pekerjaan itu harus dilaksanakan sesuai dengan sistem perjanjian yang telah disepakati. Dalam aspek ini terdapat banyak dimensi peradaban, di mana manusia melaksanakan tugas-tugas hariannya berdasarkan petunjuk langit yang membangunkan hati nurani akan tanggung jawab, jauh dari pengawasan administratif yang bisa saja disiasati dan diberi alasan tertentu dalam kebanyakan kasus pelanggaran amanah, yang biasanya diberikan pembenaran-pembenaran yang sudah dikenal.

Keadilan dalam pandangan Islam adalah proyek peradaban yang memiliki dimensi moral dan kemanusiaan. Dan tidak mungkin proyek peradaban suatu umat dapat terwujud dan berdiri kecuali dari titik tolak keadilan, yang dengannya kemanusiaan diciptakan untuk ditegakkan di antara seluruh individu dalam komposisi manusianya.

Keadilan terhadap Orang Lain, Meski Berbeda:

Perintah kepada Rasulullah untuk menetapkan hukum secara adil datang dalam konteks hubungan dengan pihak yang berbeda dan pihak yang saling berselisih:

﴿وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾

*“Dan jika engkau memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”* (Al-Ma’idah: 41–42)

Juga dalam hubungan dengan pihak yang berbeda dari kalangan non muslim:

﴿لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾

*“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (non muslim) yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”* (Al-Mumtahanah: 8)

Nilai-nilai moral ini menegaskan keadilan Islam dalam konsep dan pandangannya terhadap pembangunan hubungan dengan pihak lain yang berbeda, di mana berdasarkan prinsip keadilan, semua manusia harus diperlakukan dengan adil meskipun berbeda dalam agama dan keyakinan. Inilah yang menjadikan Islam sebagai proyek peradaban dalam strukturnya dan dalam penerimaan terhadap komitmen serta keadilan di antara seluruh umat manusia secara setara.

Sesungguhnya keadilan dalam pandangan Islam adalah proyek peradaban yang memiliki dimensi moral dan kemanusiaan. Dan tidak mungkin proyek peradaban suatu bangsa dapat terwujud atau berdiri kecuali berangkat dari prinsip keadilan, yang menjadi tujuan penciptaan kemanusiaan agar ditegakkan di antara seluruh anggota masyarakatnya. Hal ini digambarkan oleh Al-Qur’an dengan gaya bahasa yang bersifat universal dan berperadaban:

﴿وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ﴾

*“Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan kebenaran dan dengan itu mereka berlaku adil.”* (Al-A’raf: 181)

Ayat ini bermaksud menegaskan pentingnya tegaknya keadilan sebagai salah satu pilar utama dalam peradaban bagi setiap masyarakat atau bangsa yang ingin memiliki proyek unggulan dalam berbagai bidang kehidupan dan kontribusi. Sebab keadilan adalah sumber pertumbuhan dan pemberian yang gemilang.

Keadilan dalam Perkataan Dan Ungkapan:

Keadilan dalam perkataan dan pernyataan yang adil, adalah apa yang ditunjukkan oleh makna tekstual dari ayat ini, yang menjadikan ucapan adil sebagai suatu nilai hukum yang luhur dan mengandung benih keadilan di dalamnya:

﴿وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾

*"Dan apabila kamu berkata, maka berkatalah dengan adil, meskipun terhadap kerabatmu sendiri. Dan penuhilah perjanjian Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat."* (Al-An’am: 152)

Berkata benar, mencari kebenaran, dan bersikap objektif bukan hanya ciri kejujuran dan kepercayaan, namun lebih dari itu, menurut ayat ini, hal tersebut merupakan wasiat dari langit yang wajib dijalankan dan diikuti. Makna ini dikuatkan secara jelas oleh ayat lain:

﴿قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ﴾

*"Katakanlah: 'Tuhanku memerintahkan berlaku adil.'"* (Al-A’raf: 29)

Allah memberikan perumpamaan tentang orang yang menegakkan keadilan dan membandingkannya dengan orang yang tidak melakukannya:

﴿وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ﴾

*"Dan Allah membuat perumpamaan (dengan) dua orang laki-laki, yang satu bisu, tidak mampu berbuat sesuatu pun, menjadi beban bagi tuannya, ke mana saja dia disuruh, dia tidak mendatangkan kebaikan. Apakah dia sama dengan orang yang menyuruh (manusia) berlaku adil dan dia berada di jalan yang lurus?"* (An-Nahl: 76)

Keadilan merupakan nilai yang diterima oleh sebagian besar jiwa manusia karena keadilan mewujudkan kebebasan dan martabat yang bisa dirasakan oleh semua orang dalam naungan keadilan sejati. Oleh sebab itu, risalah Islam adalah risalah yang adil, dalam sistem dan syariat yang dibawanya.

Nilai keadilan di antara manusia tampak sebagai nilai materiil dan maknawi yang dapat disepakati dan didamaikan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut yang membahas konflik dan peperangan antarmanusia:

﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾

*"Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Tetapi jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap yang lain, maka perangilah yang berbuat zalim itu hingga kembali kepada perintah Allah. Jika ia telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."* (Al-Hujurat: 9)

Penetapan dan Pengukuhan UU Keadilan Sesuai Hukum Ilahi:

Al-Qur'an menyampaikan pesan kepada seluruh umat manusia dan menampilkan teks-teks keadilan dengan cara yang menggabungkan antara universalitas naskah dan kesempurnaannya pada saat yang sama. Ia mengarahkan seruan kepada penguasa dan individu dalam konteks yang sama. Inilah Daud 'alaihis salam, yang disapa oleh keadilan ilahiah sesuai dengan kedudukan kekuasaannya:

﴿يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ﴾

*"Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan hukum di antara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan."* (Az-Zumar: 26)

Demikian pula dalam ayat lain:

﴿وَهَلْ أَتَاكَ نَبَأُ الْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا الْمِحْرَابَ * إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُودَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ﴾

*"Dan pernahkah sampai kepadamu berita tentang para penggugat, ketika mereka memanjat dinding mihrab; ketika mereka masuk menemui Daud, lalu ia terkejut karena kedatangan mereka. Mereka berkata: 'Janganlah engkau takut. Kami adalah dua orang yang berselisih, salah satu dari kami berbuat zalim kepada yang lain, maka berilah keputusan di antara kami dengan adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran, dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.'"* (Sad: 21)

Seruan keadilan dan penerapannya juga ditujukan kepada Nabi sebagai sumber wewenang dan hukum bagi umatnya:

﴿فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ﴾

*"Maka karena itu, serulah (mereka) dan tetaplah (berpegang teguh) sebagaimana yang diperintahkan kepadamu. Janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, dan katakanlah: 'Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah, dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kamu. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal kami, dan bagi kamu amal kamu. Tidak ada perdebatan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan kita, dan kepada-Nya lah tempat kembali.'"* (Asy-Syura: 15)

Dalam konteks ini, nilai keadilan di antara manusia tampak sebagai nilai materiil dan maknawi yang dapat disepakati dan didamaikan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang membahas konflik dan pertikaian antar manusia:

﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾

*"Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Tetapi jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap yang lain, maka perangilah yang berbuat zalim itu sampai kembali kepada perintah Allah. Jika ia telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."* (Al-Hujurat: 9)

Di sinilah pembaca merasakan bahwa keadilan mampu mengeluarkan manusia dari penderitaan mereka. Ia adalah metode yang melalui pelaksanaannya, para penegak keadilan dapat mewujudkan keamanan dan stabilitas bagi negara dan rakyat yang tertimpa bencana dan terusir. Keadilan adalah sumber pembangunan dan stabilitas, dan ketiadaannya merupakan pertanda kehancuran, kekalahan, dan berbagai bencana lain yang menimpa bangsa saat keadilan itu lenyap. Ini ditegaskan dalam ayat lain yang memuat makna serupa:

﴿وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ﴾

*"Dan langit telah Dia tinggikan, dan Dia letakkan neraca (keadilan), agar kamu jangan melampaui batas dalam neraca itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah mengurangi neraca itu."* (Ar-Rahman: 7–9)

Sebagai penutup dari artikel ini, kami tinggalkan pembaca dengan teks keadilan ini, agar ia menempatkannya dalam konteks zaman historis di mana ia merasa bahwa ayat ini relevan turun padanya:

﴿لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ﴾

*"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan. Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal mereka tidak melihat-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Maha Perkasa."* (Al-Hadid: 25)

Keadilan di antara manusia adalah pilar peradaban yang esensial dan tidak dapat ditinggalkan, sebagaimana disimpulkan dengan jelas dalam kajian ini.

==***==

POLITIK DALAM ISLAM ANTARA ORANG YANG MENGINGKARI DAN ORANG YANG BERLEBIHAN

Ada sebuah topik penting yang banyak dari kita terikat padanya.

Sebagian dari kita terlalu tenggelam dalam kecanduan terhadapnya. Sementara sebagian lain mengabaikannya, tidak peduli, dan tidak menoleh kepadanya, sampai akhirnya sebagian orang berada dalam kebingungan mengenainya dan tidak mengetahui hukumnya!

Topik itu adalah politik dalam Islam, dan sejauh mana hubungan agama dengan politik. Sebagian orang mungkin mengingkari hal ini secara total dan menganggap bahwa politik tidak ada hubungannya dengan agama, bahwa politik adalah satu hal dan agama adalah hal lain.

Sementara ada pula orang-orang yang berlebihan dalam hal ini, yang menjadikan seluruh agama hanya sebatas politik, dan menafsirkan banyak ajaran agama secara politis, serta memvonis beberapa perkara politik sebagai bagian dari agama padahal agama berlepas diri darinya.

Penyelesaian permasalahan ini tidak akan tercapai kecuali dengan mengembalikannya kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, serta mengetahui sikap syar’i terhadap politik, apa itu politik syar’i yang diwajibkan kepada umat, dan apa itu politik yang ditolak oleh agama dan syariat.

Allah berfirman:

﴿وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ﴾

*“Tentang apa pun yang kalian perselisihkan, maka putusannya (kembali) kepada Allah. Itulah Allah Tuhanku, kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya aku kembali.”* (Asy-Syura: 10)

Dan Allah juga berfirman:

﴿فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا﴾

*“Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih baik akibatnya.”* (An-Nisa: 59)

Setiap Muslim harus mengetahui bahwa agama Islam adalah syariat yang sempurna dan ajaran yang menyeluruh, mencakup segala hal, merinci seluruh perkara, menjelaskan seluruh masalah, baik masalah agama maupun dunia, kehidupan dunia maupun akhirat.

Tidak masuk akal bila agama menjelaskan kepada manusia adab-adab buang air, perkara thaharah dan istinja’, hukum makanan dan adab minum, tetapi tidak menjelaskan kepada mereka hukum politik, masalah ekonomi, dan rincian urusan sosial serta kekeluargaan manusia.

Kaum muslimin dalam sikap mereka terhadap politik terbagi dua:

Pertama : kelompok yang berbaur dengan politik dan selalu bersamanya, sampai seolah-olah politik adalah darah yang mengalir di pembuluh nadinya, tidak bisa berpisah darinya dan ia pun tidak bisa lepas darinya. Anda akan melihatnya setiap pagi dan sore, dan di setiap jam, mengikuti berita secara rinci, mendengarkan analisis dan rincian-rinciannya.

Sebagian dari mereka menggunakan gaya bahasa dan istilah politik secara mutlak, mereka sibuk dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan utama mereka, serta menundukkan ajaran agama dan istilahnya untuk politik. Padahal yang benar adalah politik harus tunduk pada agama, bukan agama yang tunduk kepada politik. Sebab agama adalah dasar, dan politik syar’i adalah bagian dari agama, bukan seluruh agama.

Kedua : ada pula kelompok lain yang mengingkari bahwa politik punya hubungan dengan agama.

Kelompok ini terdiri dari dua golongan:

Ke 1 : golongan dari kalangan sekuler dan budak-budak Barat, yang menilai agama Islam – agama yang hak – berdasarkan standar agama Kristen yang telah diselewengkan, yang memerangi ilmu, membunuh para ilmuwan dan mujtahid, dan tidak membiarkan mereka berijtihad kecuali para pendeta dan rahib dengan penyelewengan mereka. Maka muncullah revolusi terhadap agama di sana, mereka memisahkan agama dari politik, lalu memisahkan agama dari seluruh kehidupan secara umum.

Ke 2 : Golongan kedua adalah orang-orang yang mengklaim demikian dari kalangan kaum Muslimin yang lemah, yang kalah secara psikologis dan pemikiran, yang melihat para perusak, para penzalim, dan orang-orang menyimpang dari agama menguasai kekuasaan dan pengaruh dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Realitas pahit ini mendorong mereka untuk menjauh dari jabatan, enggan menerima tugas, dan tidak mau bersaing dengan para pelaku kerusakan dan keburukan serta menolak mereka, karena menginginkan keselamatan dan mencari kejernihan!

Kemudian mereka mengingkari bahwa politik adalah bagian dari agama, dan mereka menyatakan secara tegas bahwa tidak ada hubungan antara agama dan politik. Hal ini menyebabkan banyak kemaslahatan menjadi terabaikan, banyak mudarat yang datang, dan membuat agama terkungkung dalam lingkup sempit yang tidak melampaui batas ibadah-ibadah lahir seperti shalat dan puasa. Adapun masalah pemerintahan dan kekuasaan berada di tangan parlemen atau penguasa yang memutuskan sesuai keinginannya dan bertindak sesukanya.

Ini adalah pemahaman yang sangat keliru, bahkan merupakan kesesatan yang besar, karena tidak memasukkan agama ke dalam politik berarti menghapus seluruh ayat-ayat syar’i yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan hukum Allah, mengembalikan hukum kepada syariat Allah, dan menundukkan urusan-urusan dengan agama Allah, sesuai dengan manhaj dan hukum-hukum-Nya.

Allah berfirman:

﴿أَلَا لَهُ الْحُكْمُ﴾

*“Ingatlah, hanya milik-Nya-lah segala hukum.”* (Al-An’am: 62).

Dan:

﴿إنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ﴾

*“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain-Nya. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”* (Yusuf: 40).

Serta:

﴿وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾

*“Dan Dia-lah Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Segala puji bagi-Nya di dunia dan di akhirat. Milik-Nya-lah segala hukum, dan kepada-Nya kalian akan dikembalikan.”* (Al-Qashash: 70).

Dan:

﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ﴾

*“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka agar mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwa Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka karena sebagian dosa mereka. Dan sungguh, banyak di antara manusia itu adalah orang-orang fasik.”* (Al-Ma’idah: 49).

Serta:

﴿إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾

*“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menetapkan hukum di antara mereka, ialah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”* (An-Nur: 51).

Semua ayat ini mengajak kita untuk berhukum dengan manhaj Allah dan syariat-Nya dalam semua urusan politik kita, dalam undang-undang peradilan, urusan kenegaraan dan non kenegaraan. Bahkan ayat-ayat tersebut juga mengajak kita untuk menerima itu, meridhainya, menyerahkan diri kepadanya, dan tidak menolak sedikit pun dari hukum-hukum ilahi dan syariat-syariat-Nya.

Seperti yang difirmankan Allah :

﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾

*“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”* (An-Nisa: 65).

Bagaimana mungkin sebagian kaum Muslimin mengingkari hubungan agama dengan politik, padahal Nabi kita telah memimpin manusia dan memerintah mereka dengan politik Islam?

Beliau mendidik mereka dengan kebanggaan dan kemuliaan, menjelaskan kepada mereka dasar-dasar dan pedoman Islam, menggerakkan pasukan dan memimpin pertempuran ke seluruh penjuru, dan Allah secara tegas memerintahkannya agar memimpin manusia dengan manhaj Islam, sebagaimana telah kalian dengarkan dalam ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya.

Sesungguhnya politik adalah bagian inti dari agama, dan tidak mungkin dipisahkan darinya, karena inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nasrani, kaum munafik, dan kaum sekuler yang berusaha memisahkan agama dari negara, menjauhkan hukum dari syariat, agar mereka bisa memimpin manusia dengan hawa nafsu mereka dan hukum-hukum thaghut yang dibuat-buat dan telah diselewengkan, yang kita diperintahkan untuk mengingkarinya dan hanya beriman kepada syariat Allah semata.

﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا﴾.

*(Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya, dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh.)* (An-Nisa: 60).

Kita tahu bahwa politik adalah bagian dari agama, merupakan pilar yang kokoh di dalamnya, dan bahwa Allah menurunkan agama-Nya serta membawa syariat-Nya untuk mengatur manusia dengannya dan memerintah mereka sesuai dengan yang terdapat di dalamnya. Bukan sekadar agar hukum-hukum agama tetap menjadi hukum-hukum teoritis yang tidak diterapkan dalam realita, dan tidak memiliki keberadaan dalam kehidupan manusia dan pemerintahan mereka. Namun, kita harus mengetahui satu hal yang sangat penting, yaitu bahwa politik yang merupakan bagian dari agama adalah politik yang dibawa oleh Allah dan disebutkan dalam Kitab-Nya, serta yang digunakan oleh Rasul-Nya dan para nabi sebelumnya untuk memerintah manusia.

Adapun politik yang telah diselewengkan, undang-undang thagut, hukum-hukum buatan manusia, serta konstitusi buatan yang digunakan untuk memerintah kita hari ini, yang dipaksakan kepada kita dengan kekuatan besi dan api, dan yang mewajibkan negara-negara Islam untuk memerintah dengannya dan berhukum padanya, maka itu sama sekali bukan bagian dari agama, bahkan termasuk hal yang membatalkan agama, dan merupakan bentuk permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya . Allah berfirman:

﴿ إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ﴾

*“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya akan ditundukkan sebagaimana orang-orang sebelum mereka telah ditundukkan. Dan sungguh Kami telah menurunkan ayat-ayat yang jelas, dan bagi orang-orang kafir ada azab yang menghinakan.”* (Al-Mujadilah: 5).

Dan Dia –Subhanahu wa Ta'ala– berfirman:

﴿أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ﴾

*“Tidakkah mereka mengetahui bahwa siapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh baginya neraka Jahannam, kekal di dalamnya? Itulah kehinaan yang besar.”* (At-Taubah: 63).

Abu Ya’la al-Mausuli meriwayatkan dalam *Musnad*-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ تَسُوسُهُمْ أَنْبِيَاؤُهُمْ، كُلَّمَا ذَهَبَ نَبِيٌّ خَلَفَ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَيْسَ كَائِنٌ فِيكُمْ -يَعْنِي نَبِيًّا-، قَالُوا: فَمَا يَكُونُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تَكُونُ خُلَفَاءُ وَتَكْثُرَ، قَالُوا: كَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ: أَوْفُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، وَأَدُّوا الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَسَيَسْأَلُهُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِيِ عَلَيْهِمْ

*“Sesungguhnya Bani Israil diurus urusan mereka oleh para nabi mereka. Setiap kali seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi lainnya. Namun tidak akan ada nabi setelahku,”* mereka bertanya: “Lalu apa yang terjadi, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: *“Akan ada para khalifah dan akan banyak jumlahnya.”* Mereka bertanya: “Apa yang harus kami lakukan?” Beliau menjawab: *“Penuhilah baiat kepada yang pertama, lalu yang pertama, dan tunaikanlah kewajiban kalian, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas kewajiban mereka.”*

(Musnad Abu Ya’la al-Mausuli no. 6211, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam *Shahih al-Jami’* no. 4466).

Kesimpulan pembahasan ini dalam masalah ini adalah bahwa kita harus mengetahui bahwa politik merupakan inti dan fondasi agama. Namun yang dimaksud adalah politik yang bersumber dari syariat, bukan politik buatan manusia. Siapa yang menganggap bahwa politik yang berlaku hari ini dan digunakan untuk memerintah masyarakat di sebagian besar negara-negara Islam adalah bagian dari politik agama, maka dia telah keliru. Dan siapa yang mengingkari bahwa politik berasal dari agama serta memutuskan hubungan antara politik dan agama, maka dia juga telah keliru.

Pendapat yang pertengahan adalah meyakini bahwa politik yang berasal dari agama dan merupakan fondasinya adalah politik syar'i yang dibangun di atas manhaj Allah, berdasarkan hukum-hukum-Nya yang diambil dari syariat-Nya yang kokoh. Inilah politik syar'i yang digunakan oleh para nabi dalam memerintah dan mengatur kaumnya dan para pengikut mereka, yang telah disebutkan oleh para ulama dan mereka telah menulis banyak kitab dengan judul besar tentang politik syar'i, ciri-cirinya, dan rincian-rinciannya.

===***===

PERTANYAAN KEPADA PARA ULAMA SEKULER PENCELA POLITIK
JUGA KEPADA TUKANG HAJER DAN TAHDZIR TERHADAP ORANG YANG BERPOLITIK:

Apakah dalu Rasulullah lari dari politik, dan menyerahkan urusan politik umatnya kepada orang-orang tertentu?

Lalu apakah beliau hanya menyibukkan diri dengan mengajarkan agama, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang-orang pada hari ini?

Apakah beliau pernah berkata: “Siapa yang belajar politik, maka silakan pergi dan menjauh dari Dar Al-Arqam (Mekkah), atau pergi menjauh dari masjid kami, atau dari majelis kami, atau dari chanel-chanel ilmiah dan media kami,” sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang-orang pada hari ini?

Apakah beliau pernah mewajibkan kepada para sahabat dekatnya, murid-muridnya yang bersungguh-sungguh, dan para menterinya yang bertakwa dan suci, seperti Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma, untuk menjauhi dunia politik ; karena politik itu terkutuk, lalu membatalkan semua program politik mereka, atau menghapus politik dari kehidupan mereka, saluran mereka, dan majelis-majelis mereka, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang-orang pada hari ini?

Ataukah kenyataannya justru sebaliknya? Bahkan beliau menempatkan para sahabatnya di puncak piramida politik dalam negara Islam; beliau mewariskannya kepada yang paling berilmu, paling bertakwa, dan paling utama di antara mereka menurut ijmak kaum muslimin.

Dan beliau tidak pernah berkata kepada salah seorang dari mereka: “Engkau adalah seorang ulama, maka sucikanlah dirimu dari politik, dan laknat Allah atas politik!”

Ketika Abu Bakar sakit dan menghadapi kematian, dia ditanya:

‌مَاذَا ‌تَقُولُ ‌لِرَبِّكَ ‌وَقَدْ ‌وَلَّيْتَ ‌عُمَرَ؟

“Apa yang akan engkau katakan kepada Tuhanmu setelah engkau mengangkat Umar bin Khattab sebagai pemimpin?”

Ia menjawab:

أَقُولُ لَهُ: وَلَّيْتُ عَلَيْهِمْ خَيْرَهُمْ

*“Aku akan berkata: Aku telah mengangkat pemimpin terbaik di antara mereka.”*

[Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad. Lihat : Tarikh al-Khulafaa oleh as-Suyuthi hal. 97 dan Ash-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar al-Haitami 1/238].

Ada salah seoarang ulama yang berkata :

إِنَّنَا نُسَمِّي الْعَلْمَانِيِّينَ مِنْ سَاسَةٍ وَكُتَّابٍ وَإِعْلَامِيِّينَ بِالْعَلْمَانِيِّينَ، لِأَنَّهُمْ يُنَادُونَ بِفَصْلِ الدِّينِ عَنِ السِّيَاسَةِ، فَإِذَا فَعَلَهَا عُلَمَاءُ شَرِيعَةٍ، فَلَا يُمْكِنُ إِلَّا وَصْفُهُمْ بِالْعَلْمَانِيَّةِ أَوْ بِالْوُقُوعِ فِيهَا، وَإِنْ لَمْ يَأْخُذُوا حُكْمَهَا، لِأَنَّ عِلَّةَ الْحُكْمِ قَدْ تَحَقَّقَتْ فِيهِمْ، وَالشَّرِيعَةُ لَا تُفَرِّقُ بَيْنَ مُتَمَاثِلَيْنِ، كَمَا أَنَّ الْحُكْمَ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ.

وَهَلْ نَعْتَبِرُهُمْ عِنْدَئِذٍ (عُلَمَاءَ مَعْذُورِينَ بِالْجَهْلِ؟!).

وَمَعَ ذَلِكَ نَتَحَرَّجُ فَنَقُولُ: لَيْسَ كُلُّ مَنْ وَقَعَ فِي الْعَلْمَانِيَّةِ وَقَعَتِ الْعَلْمَانِيَّةُ عَلَيْهِ، لَكِنَّهُمْ دُعَاةٌ إِلَى الْعَلْمَانِيَّةِ، دُعَاةٌ إِلَى ضَلَالَةٍ؛ شَعَرُوا أَمْ لَمْ يَشْعُرُوا، قَصَدُوا أَمْ لَمْ يَقْصِدُوا.

Kita menyebut para penganut faham sekuler dari kalangan para politisi, para penulis, dan para penyiar berita dengan sebutan kaum sekularis karena mereka menyerukan pemisahan agama dari politik.

Dengan demikian, jika hal itu dilakukan oleh para ulama syari’ah, maka mereka ini tidak bisa disebut ulama syari’ah, melainkan disebut dengan sebutan kaum sekularis atau orang yang mabuk dan tenggelam ke dalam sekulerisme - meskipun mereka bukan penganut hukum sekuler secara penuh - karena sebab hukum itu telah terjadi pada diri mereka.

Dan karena syariat tidak membedakan antara dua hal yang serupa, sebagaimana hukum itu bergantung pada illat-nya.

Apakah kemudian kita akan menganggap mereka sebagai “ulama yang dimaafkan karena kebodohan mereka”?

Namun demikian, tetap saja, kita harus berhati-hati dan berkata: Tidak setiap orang yang terjatuh dalam sekularisme, maka sekularisme pasti melekat pada dirinya. Akan tetapi mereka (yang mencela politik) adalah para da’i yang menyeru kepada sekularisme, para da’i kepada kesesatan, baik mereka menyadarinya atau tidak, sengaja atau tidak. [Sumber : Islamway.net].

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah juga berkata:

وَفِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ» دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ دِينَ اللهِ -وَهُوَ دِينُ الْإِسْلَامِ فِي كُلِّ مَكَانٍ وَفِي كُلِّ زَمَانٍ- هُوَ السِّيَاسَةُ الْحَقِيقِيَّةُ النَّافِعَةُ، وَلَيْسَتِ السِّيَاسَةُ الَّتِي يَفْرِضُهَا أَعْدَاءُ الْإِسْلَامِ مِنَ الْكُفَّارِ. السِّيَاسَةُ حَقِيقَةُ مَا جَاءَ فِي شَرْعِ اللهِ، وَلِهَذَا نَقُولُ: إِنَّ الْإِسْلَامَ شَرِيعَةٌ وَسِيَاسَةٌ، وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ السِّيَاسَةِ وَالشَّرِيعَةِ فَقَدْ ضَلَّ.

“Dan dalam sabda Nabi : *‘Para nabi mengatur urusan politik mereka (Bani Israil)’* terdapat dalil bahwa agama Allah -yaitu agama Islam di setiap tempat dan waktu- adalah politik yang hakiki dan bermanfaat. Bukan politik yang dipaksakan oleh musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir. Politik yang sebenarnya adalah apa yang datang dalam syariat Allah. Oleh karena itu, kami katakan bahwa Islam adalah syariat sekaligus politik. Siapa yang memisahkan antara politik dan syariat, maka sungguh dia telah sesat.”

Hingga pada perkataan beliau:

"فَالْمُهِمُّ أَنَّ الدِّينَ دِينُ اللهِ، وَأَنَّ الدِّينَ سِيَاسَةٌ: سِيَاسَةٌ شَرْعِيَّةٌ، سِيَاسَةٌ اِجْتِمَاعِيَّةٌ، سِيَاسَةٌ مَعَ الْأَجَانِبِ، وَمَعَ الْمُسَالِمِينَ، وَمَعَ كُلِّ أَحَدٍ. وَمَنْ فَصَلَ الدِّينَ عَنِ السِّيَاسَةِ فَقَدْ ضَلَّ؛ وَهُوَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: إِمَّا جَاهِلٌ بِالدِّينِ وَلَا يَعْرِفُ، وَيَظُنُّ أَنَّ الدِّينَ عِبَادَاتٌ بَيْنَ الْإِنْسَانِ وَرَبِّهِ، وَحُقُوقٌ شَخْصِيَّةٌ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ؛ يَظُنُّ أَنَّ هَذَا هُوَ الدِّينُ فَقَطْ. أَوْ أَنَّهُ قَدْ بَهَرَهُ الْكُفَّارُ وَمَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ الْقُوَّةِ الْمَادِّيَّةِ، فَظَنَّ أَنَّهُمْ هُمُ الْمُصِيبُونَ. وَأَمَّا مَنْ عَرَفَ الْإِسْلَامَ حَقَّ الْمَعْرِفَةِ عَرَفَ أَنَّهُ شَرِيعَةٌ وَسِيَاسَةٌ، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ.

“Yang penting adalah bahwa agama ini adalah agama Allah, dan agama itu adalah politik: politik syar'i, politik sosial, politik bermu’amalah dengan orang asing, politik terhadap orang-orang yang mengajak berdamai, dan terhadap setiap orang.

Siapa yang memisahkan agama dari politik maka dia telah sesat; dan dia berada di antara dua kemungkinan: bisa jadi dia jahil terhadap agama dan tidak mengetahuinya, dia mengira bahwa agama itu hanya ibadah antara hamba dan Rabb-nya, atau hak-hak pribadi dan semacamnya; dia menyangka bahwa hanya itulah agama.

Atau bisa jadi dia terpesona oleh orang-orang kafir dan kekuatan materi yang mereka miliki, lalu mengira bahwa merekalah yang benar.

Adapun orang yang mengenal Islam dengan sebenarnya, niscaya dia tahu bahwa Islam adalah syariat dan politik. Dan Allah-lah pemberi taufik.”

(*Syarah Riyadhus Shalihin*, Dar Al-Wathan li al-Nasyr, Riyadh, cet. 1426 H, [3/636-637])

Saya tambahkan dengan mengatakan:

Atau bisa jadi dia tahu dan tidak jahil, serta tidak terpesona oleh orang kafir, tetapi dia pengecut untuk mengatakan kebenaran, tidak mampu bertahan di hadapan ujian, dan tidak sanggup diam ketika tidak mampu berbuat kebaikan, maka dia jatuh ke dalam fitnah dan mulai menjadi “sekuler” agar bisa menyenangkan orang-orang yang memegang tongkat besar, atau agar selamat dari pukulan tongkat mereka!

Dalam hadits disebutkan:

«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»

*“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”* (HR. Bukhari no. [6018], Muslim no. [47] dalam Shahih keduanya).

Politik adalah pekerjaan para nabi, dan di puncaknya adalah Nabi kita . Maka apakah beliau menjalankan politik di luar agama, sampai-sampai mereka berkata: kita harus kembali dari politik menuju agama atau menuju pengajaran agama kepada manusia?!

Apakah mereka menisbatkan kepada Nabi bahwa beliau mengatur umat bukan dengan agama, ataukah mereka mengingkari bahwa beliau pernah mengatur urusan umat?!

Dua-duanya, jika mereka katakan, maka sungguh telah terbukti dustanya klaim mereka. Bukankah beliau telah mengajarkan kita dengan ucapan dan perbuatan… dan ini termasuk yang telah beliau ajarkan kepada kita?!

Dan makna dari sabda beliau *“Tidak ada nabi setelahku”* adalah bahwa yang akan mengatur urusan umat setelah beliau adalah para pewaris beliau dalam peninggalannya, yaitu para ulama. Oleh karena itu, di antara sifat seorang khalifah adalah harus seorang yang alim dan mujtahid, kecuali jika tidak memungkinkan.

Adapun sekularisme sebagian ulama kontemporer yang anti politik menyatakan:

نَدَعُ السِّيَاسَةَ لِلْجُهَّالَةِ وَالْمَارِقِينَ وَالْمَارِدِينَ. وَلَا نَدْخُلُ السِّيَاسَةَ لِأَنَّهَا رِجْسٌ وَوَسْوَسَةٌ وَشُبْهَةٌ!

“Biarkan urusan politik ini ditangani oleh orang-orang bodoh, durhaka, dan pembangkang. Kita tidak boleh ikut campur dalam politik karena itu najis, penuh was-was dan syubhat!”

===****===

SEKULERISME DI EROPA & LAINNYA JUGA HANYA SEBATAS MENJAUHKAN AGAMA ISLAM DARI POLITIK.

Yang dilakukan oleh paham sekularisme (ʿilmāniyyah) hanya sekadar mengeluarkan agama dari politik dan mengeluarkan politik dari agama. Tidak lebih dari itu.

Bukankah ini adalah sekularisme yang diserukan oleh sebagian ‘ulama anti politik, yang menyusun kata-katanya secara sistematis tanpa dalil, bahkan dengan cara memalsukan agama?! Mereka berseru : “Islam Yes, Politik No !!!!”.

Maka ini tidak ada bedanya dengan sekulerisme yang ada di negara-negara non muslim, terutama di Eropa.

Apakah sekularisme di negeri-negeri non muslim pernah meminta orang-orang untuk meninggalkan shalat, puasa, dan haji?! Bahkan, apakah sekularisme pernah meminta mereka untuk tidak menuntut ilmu syar’i?.

Jawaban-nya : tidak .

Kini kita bisa melihat bahwa universitas-universitas dunia di negeri non muslim juga mengajarkan ilmu-ilmu syar’i, bahkan di **Universitas Sorbonne** di pusat sekularisme: **Prancis**. Bahkan, sekularisme memperbolehkan pengajaran agama Allah dan sunnah Rasulullah melalui saluran-saluran yang disebut “channel islami”, dengan syarat:

tidak mengajarkan mereka politik syar’i yang dengannya mereka mengenal hak dan kewajiban mereka, dan mengenal tauhid Allah Ta'ala dalam aspek kehidupan!”.

Dapatkah kita gambarkan mereka dengan firman Allah Ta'ala:

﴿وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ﴾

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah". [QS. Al-Baqarah: 120].

Cukuplah jika engkau mengikuti agama mereka dalam hal memisahkan agama dari negara, serta membagi dan mencabik-cabik agama, dengan hanya menjalankan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya untuk dikuasai oleh penguasa (‘Kaisar’) agar dia bisa memperlakukannya semaunya. Maka, cukup bagimu untuk mendapatkan keridhaan mereka, dan mereka akan membukakan akses dan media untukmu.

Dahulu, sekularisme pernah berkata kepada para nabi:

مَا شَأْنُ الدِّينِ وَشُؤُونِ الْحَيَاةِ، مَا شَأْنُ الدِّينِ وَالتَّعَرِّي عَلَى الشَّوَاطِئِ.. تَرْوِيحٌ وَاسْتِجْمَامٌ وَحُرِّيَّةٌ شَخْصِيَّةٌ.. مَا شَأْنُ الدِّينِ وَالِاقْتِصَادِ وَأَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ؟! عَلَيْكُمْ صَلَوَاتُكُمْ وَعِبَادَاتُكُمْ، وَاتْرُكُونَا وَشَأْنَنَا.

“Apa urusannya, agama dengan urusan kehidupan? Apa hubungannya agama dengan ketelanjangan di pantai? Itu hanyalah hiburan, rekreasi, dan kebebasan pribadi. Apa hubungannya agama dengan ekonomi dan harta, sementara kami bebas melakukan apa pun terhadap harta kami?!” Silakan kalian dengan shalat dan ibadah kalian, dan tinggalkan kami dengan urusan kami sendiri”.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

﴿قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لَأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ﴾

“Mereka berkata: Wahai Syu’aib! Apakah shalatmu yang memerintahkanmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami atau agar kami tidak boleh berbuat terhadap harta kami sesuka kami?! Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat penyantun dan cerdas.” [Hud: 87].

Seakan-akan sekularisme angkatan pertama berkata:

“Aneh sekali apa yang kalian lakukan, wahai para ulama dan para da'i… apakah kalian memasukkan agama ke dalam urusan dunia? Apakah kalian hendak mengatur dunia dengan agama? Apakah kalian menyamakan antara shalat dan harta serta urusan kehidupan… apakah semuanya itu agama ikut campur di dalamnya?! Pisahkanlah agama dan shalat, dan jauhkanlah dari arus kehidupan!”

Sekularisme di Makkah pun dahulu membolehkan Rasulullah untuk menjalankan agama Allah di rumahnya, bertawaf di Ka'bah, bahkan menyediakan pengamanan agar beliau bisa menjalankan agama Allah… dengan syarat tidak mendekati politik! Sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian ulama hari ini.

Ketika Rasulullah pulang dari Thaif dalam keadaan sedih, maka Al-Muth’im bin ‘Adi melindunginya, padahal dia masih musyrik. Ia memerintahkan anak-anaknya untuk membawa senjata dan menjaga Muhammad agar bisa masuk ke Makkah dan bertawaf di Ka'bah!

Demikian pula Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, ia pernah di-idzinkan membangun masjid di halaman rumahnya di Makkah sebelum hijrah, lalu membaca Al-Qur’an dan berdakwah kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia dilindungi oleh salah satu tokoh Quraisy dengan syarat ia tetap di rumah atau wilayah pribadinya dan tidak melewati garis merah politik yang telah berlumuran darah… darah para penyeru kebenaran. Selama tidak menyeru di lapangan mana pun yang berada di tengah kota. Dan selama tidak menyeru pada Islam secara kaaffah, termasuk berpolitik, tidak pula Islam sebagaimana yang diturunkan dari sisi Allah yang tidak meninggalkan sebagiannya, tidak berpaling darinya, dan tidak memilah-milahnya sesuka hati.

Semua ini masih dibolehkan oleh sekularisme, tidak membuatnya gelisah… bahkan mereka merasa diuntungkan karena bisa menunjukkan bahwa mereka tidak memusuhi agama, tapi memusuhi ekstremisme dan terorisme…

Yang dimaksud dengan ekstremisme menurut kaum sekulerisme adalah sbb :

[*] Siapa saja yang ingin menegakkan agama Allah di muka bumi. Siapa saja yang ingin menjalankan negeri dengan politik syar’i.

[*] Siapa saja yang ingin berhukum dengan hukum Allah dalam urusan politik sebagaimana ia berhukum dengan hukum Allah dalam shalat dan puasa.

[*] Siapa saja yang ingin mengajarkan agama Allah dan hukum-hukumnya dalam politik sebagaimana ia mengajarkannya dalam shalat, puasa, nikah, dan adab di kamar mandi… semuanya adalah bagian dari agama Allah dan kita tidak membeda-bedakan sedikit pun dari hukum-hukumnya.

Dan semua ini disebut sebagai ekstremisme dan terorisme yang diperangi oleh sekularisme, dan ia menemukan pembenaran syar’i dari kalangan ulama yang membangun landasan untuk memisahkan politik dari agama! Padahal seandainya politik bukan bagian dari agama Allah, tentu wahyu tidak akan membawanya dalam Kitabullah dan dalam sunnah Rasulullah , dan tentu para ulama umat ini tidak akan bersepakat atasnya.

Kita tidak sepatutnya menjadi golongan yang memecah-mecah, menjadikan Kitab Allah terpotong-potong, yaitu bagian-bagian yang terpisah -mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya- sebagaimana dalam firman Allah :

﴿وَقُلْ إِنِّي أَنَا النَّذِيرُ الْمُبِينُ، كَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِمِينَ، الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْآنَ عِضِينَ، فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ، عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾

“Dan katakanlah: Sesungguhnya aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata. Sebagaimana (Kami telah menurunkan azab) kepada orang-orang yang telah membagi-bagi (kitab Allah). Yaitu orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi. Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. Al-Hijr: 89–93]

Ayat ini mengancam para ulama lebih dulu sebelum penguasa atau orang awam.

Atau seperti yang difirmankan Allah tentang mereka:

﴿إنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا، أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا، وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا﴾

“Sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan mereka ingin membedakan antara Allah dan Rasul-rasul-Nya, serta mengatakan: Kami beriman kepada sebagian dan kami kufur kepada sebagian (yang lain), dan mereka ingin mengambil jalan tengah di antara itu. Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir itu azab yang menghinakan. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan semua Rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan antara mereka, maka kepada mereka akan Kami berikan pahala mereka. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”**

[QS. An-Nisa: 150–152]

Atau seperti celaan Allah terhadap orang-orang yang bersikap demikian:

﴿أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ، أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ﴾

“Apakah kalian beriman kepada sebagian isi kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan bagi siapa saja di antara kalian yang melakukan hal itu selain kehinaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kalian kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (mengorbankan) akhirat, maka azab tidak akan diringankan dari mereka dan mereka tidak akan ditolong.”** [QS. Al-Baqarah: 85–86]

Membeli dunia dengan mengorbankan akhirat adalah salah satu penyebab seseorang meremehkan bagian dari agama yang membuat musuh-musuh agama bersuka ria!

Padahal sebagian syaikh tersebut mengharamkan menyerupai orang kafir dalam hal pakaian, gaya rambut, bahkan dalam hal memakai jam di tangan kanan...

Lalu di manakah letaknya perbandingan antara itu semua dengan menyerupai mereka dalam mengeluarkan politik dari agama dan memisahkannya? Di mana pula letaknya dari peniruan mereka dalam mengurung agama hanya di masjid, sebagaimana mereka kurung agama di biara dan gereja?

Maka renungkanlah bersamaku, wahai Muslim -jika aku diizinkan untuk bertanya- dan katakanlah: Ketika mereka kembali ke saluran-saluran (televisi atau media) mereka dan majelis-majelis mereka untuk mengajarkan kepada manusia sunnah Rasulullah , misalnya ketika mereka menjelaskan *Shahih Bukhari*, lalu mereka sampai pada hadits yang terdapat dalam *Shahih Bukhari dan Muslim*:

«إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي»

**"Sesungguhnya Politik Bani Israil dahulu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi lain. Namun tidak ada nabi lagi setelahku..."**

Apakah mereka akan mengajarkannya kepada manusia? Ataukah mereka akan melewatkannya dan beralih mengajarkan bagian lain dari agama? Apakah mereka akan mengajarkannya sebagaimana Rasulullah mengajarkannya kepada para sahabatnya radhiyallahu 'anhum, sebagaimana salaf mengajarkannya kepada murid-murid mereka, dan sebagaimana para ulama rabbani mengajarkannya kepada penuntut ilmu?

Ataukah mereka akan berkata: “Siapa yang ingin belajar politik, silakan ambil hadits ini dan pergi ke tempat mana saja untuk belajar politik...”

Lalu ia belajar politik di tempat yang jauh dari kasih sayang, jauh dari hikmah, jauh dari bashirah (pemahaman yang tajam dan lurus)?!

Dan ilmu macam apa yang benar, baik, dan jujur jika jauh dari rahmat, padahal Rasulullah tidak diutus melainkan dengan membawa rahmat, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ﴾

*"Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam."* (Al-Anbiya: 107)?

Dan ilmu macam apa yang benar, baik, dan jujur jika jauh dari hikmah -yang merupakan induk segala kebaikan- sebagaimana firman-Nya:

﴿يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ﴾

*"Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal."* (Al-Baqarah: 269)?

Maka jika mereka melakukan hal itu - dan mereka memang telah melakukannya- apakah mereka layak disebut ulama atau justru kaum sekuler?

===***===

MENANGGAPI PERNYATAAN NYELENEH DARI ULAMA SEKULER :

Mereka Para Ulama Sekuler Berkata:

وَأَنْ نَبْتَعِدَ كُلَّ الْبُعْدِ عَنْ كُلِّ الْبَرَامِجِ السِّيَاسِيَّةِ! تَأْكِيدٌ بَعْدَ تَأْكِيدٍ.. نَبْتَعِدَ كُلَّ الْبُعْدِ وَتَبْدُوَ فِي الْأَعْرَابِ عَنْ مَدِينَةِ السِّيَاسَةِ!

*”Kita harus pergi menjauh sejauh-jauhnya dari seluruh program politik dan kekuasan”*

Jawaban-nya :

Pernyataan ini nampak seperti perkataan orang-orang Arab Badui yang hidup jauh dari kota politik!

Subhanallah, saya teringat firman Allah Ta'ala tentang sekelompok manusia yang mudah panik dan gelisah saat terkena sentuhan atau guncangan, dan ketakutan luar biasa bahkan terhadap suara yang bukan ditujukan kepada diri mereka.

Allah Ta'ala berfirman tentang mereka:

﴿۞ وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ﴾

Dan apabila kalian melihat (penampilan) mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kalian merasa kagum. Dan jika mereka berkata, kalian mendengarkan perkataan mereka. (Padahal) mereka itu adalah seakan-akan kayu yang tersandar (lemah dan penakut). Mereka mengira bahwa tiap-tiap (ada suara) teriakan yang keras ditujukan kepada diri mereka.

Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?”. [QS. Munafiqun: 4]

Dan Allah SWT berfirman :

﴿يَوَدُّوا لَوْ أَنَّهُمْ بَادُونَ فِي الْأَعْرَابِ يَسْأَلُونَ عَنْ أَنْبَائِكُمْ وَلَوْ كَانُوا فِيكُمْ مَا قَاتَلُوا إِلَّا قَلِيلًا﴾

*"Mereka ingin sekali berada di pedalaman bersama orang-orang Arab Badui, sambil bertanya-tanya tentang berita kalian. Sekiranya mereka berada bersama kalian, mereka pun tidak akan berperang kecuali sedikit sekali."* (Al-Ahzab: 20).

Yakni:

أَيْ: إِذَا جَاءَ الجُنْدُ وَالأَحْزَابُ يَوَدُّونَ أَنْ لَوْ كَانُوا فِي البَادِيَةِ، بَعِيدًا عَنِ المَدِينَةِ، وَ(يَتَمَنَّوْنَ مِنَ الخَوْفِ وَالجُبْنِ أَنَّهُمْ غَيْبٌ عَنْكُمْ فِي البَادِيَةِ مَعَ الأَعْرَابِ خَوْفًا مِنَ القَتْلِ)

bila tentara dan pasukan sekutu datang, mereka berharap seandainya saja mereka sedang berada di padang pasir, jauh dari kota. *(Mereka berharap karena ketakutan dan pengecut agar bisa lenyap dari kalian ke pedalaman bersama orang-orang Arab Badui, karena takut terbunuh).* [Lihat : At-Tabari, *Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān*, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, jilid 20, halaman 234].

Penulis katakan: ayat ini dalam maknanya mencakup keterasingan secara fisik dan maknawi—atau kebaduiyahan lahiriah dan batiniah. Maka saat keadaan genting datang, mereka berharap agar benar-benar jauh dari kalian, jauh dari kota politik yang menurut mereka hanya membawa lelah, susah, dan derita!

Mereka ingin jauh dari medan apa pun yang kalian isi—baik ilmu, pengajaran, perjuangan, aksi, atau unjuk rasa.

Mereka berharap agar mereka tidak ikut serta dalam satu kata pun yang bisa menjadi saksi atas mereka atau dijadikan alasan untuk dituntut.

Mereka ingin agar benar-benar jauh dari kalian, dan hanya mendengar berita kalian dari kejauhan:

Tetapi sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat itu, saat rasa takut hilang, mereka mencerca kalian dengan lidah yang tajam. Bahkan sejarah membuktikan bahwa saat mereka berada di tengah kalian, mereka tak membantu sedikit pun, bahkan menambah kekacauan. Bahkan sebagian dari mereka telah menyebabkan kaum muslimin disembelih dengan pisau yang mereka sebut “ijtihad”! Di negeri kita yang penuh luka ini!

Hari-hari telah berubah. Ketakutan datang ke negeri kita. Banyak orang yang dahulu dikenal berkomitmen pun melarikan diri, menjadi seperti orang-orang Badui di rumah-rumah mereka

Kita kembali pada ucapan (seorang "ulama sekuler"!):

*"Kita harus pergi menjauh sejauh-jauhnya dari seluruh program politik dan kekuasan"*

Ini adalah penghapusan total terhadap segala hal yang berhubungan dengan politik; penegasan tanpa pengecualian!

Kemudian ulama sekuler ini berkata setelahnya:

"Dan kita hanya kembali untuk mengajarkan kepada manusia agama Allah Tabaraka wa Ta'ala dan sunnah Rasulullah , dan itulah yang pokok..."  

Yakni ; kembali setelah sebelumnya telah pergi... kembali untuk mengajarkan agama Allah kepada manusia, artinya ia telah pergi jauh dari agama ketika memasuki dunia politik, lalu kembali darinya kepada agama.

Inilah bentuk nyata pemisahan antara politik dan agama! Ini adalah inti dari sekularisme dan tiangnya. Kembali dari program-program politik atau dari politik menuju agama, seolah-olah seperti transaksi al-‘īnah! Yaitu salah satu bentuk jual beli riba. Rasulullah bersabda kepada mereka:

«إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ»

*"Jika kalian berjual beli dengan ‘īnah, mengambil ekor-ekor sapi, merasa puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan diangkat sampai kalian kembali kepada agama kalian."*

(Al-Albani; *Silsilah al-Aḥādīṡ a-aḥīḥah*, no. [11]; beliau berkata: sahih dengan keseluruhan jalurnya).

Maka perhatikanlah bagaimana Rasulullah menyebut meninggalkan riba - yang berada di luar sistem transaksi Islam - sebagai bentuk **kembali kepada agama**, dan berdasarkan hal itu, maka ungkapan mereka bahwa kembali dari mengajarkan politik kepada mengajarkan agama kepada manusia, yang sebelumnya diajarkan melalui politik, berarti menjadikan politik seakan berada di luar agama, sebagaimana jual beli al-‘īnah berada di luar jual beli yang halal!

Dia berkata: "untuk mengajarkan agama Allah kepada manusia", seakan-akan politik itu bukan bagian dari agama Allah! Seakan-akan agama Allah tidak mengandung unsur politik! Bukankah ini adalah seruan sekularisme? Bukankah ini adalah sekularisme yang diserukan oleh seorang (ulama?!)

Bukankah dalam definisi politik terkait khilafah dan imamah disebutkan bahwa:

"هِيَ خِلَافَةُ صَاحِبِ الشَّرْعِ فِي أُمَّتِهِ بِشَرِيعَتِهِ"

"Politik adalah kepemimpinan wakil pemilik syariat dalam umatnya dengan syariatnya"?

Dan berdasarkan hal ini, mereka menjauh dari mengajarkan kepada manusia bagaimana caranya menggantikan Rasulullah dalam berpolitik memimpin umatnya dengan syariat Islam ; karena hal itu menurut pandangan mereka bukan termasuk bagian dari agama Allah! Dan karena Rasulullah tidak pernah bersabda :

سُوسُوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أَسُوسُ

berpolitikhlah sebagaimana kalian melihat aku berpolitik”.

Dan karena Allah SWT tidak pernah mengutus para nabi dan rasul untuk berpolitik dan berkuasa.  

Ya, yang termasuk dari agama Allah dan sunnah Rasulullah adalah:

«صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي»

“Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat”.

Dan termasuk dari agamanya:

«لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ»

“Ambillah dariku manasik (tata cara ibadah haji) kalian”

Serta termasuk dari agamanya:

«كَيْفِيَّةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ».

“Cara wudunya Nabi seakan-akan engkau melihatnya.”

Termasuk dari sunnah Nabi dan dari agamanya adalah (adab buang hajat); hal yang paling rendah dalam kehidupan manusia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Salman radhiyallahu 'anhu, seorang Yahudi berkata kepadanya:

«قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الخِرَاءَةَ!» فَقَالَ: «أَجَلْ! لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ»

“Sungguh, nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu, bahkan sampai tata cara buang hajat!" Maka Salman menjawab: "Betul! Beliau melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar atau kecil, atau beristinja dengan tangan kanan, atau dengan kurang dari tiga batu, atau dengan kotoran hewan atau tulang.” (Muslim; Shahih Muslim, no. [262]).

Maka semua itu termasuk bagian dari agama; menurut kami tidak ada yang remeh dan tidak ada yang dianggap sebagai “kulit” (tidak penting)... Adapun :

"سُوسُوا كَمَا رَأَيْتُمُ النَّبِيَّ أَسُوسُ"

“Kendalikan politik sebagaimana kalian melihat Nabi berpolitik memimpin umat”

Maka bagi mereka, hal itu bukan bagian dari agama!

Al-Mawardi rahimahullah berkata:

الإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ

“Kepemimpinan (al-imāmah) ditetapkan sebagai kelanjutan dari kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan politik dunia. Menetapkannya bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat adalah kewajiban berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).” [Baca: Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, karya al-Mawardy hal. 3. Tahqiq: Ahmad Al-Mubarak Al-Baghdadi, Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, cet. ke-1, 1409 H / 1989 M]

Tentu saja, segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan, kepemimpinan, dan kekhilafahan, baik dari segi pengembangan, landasan maupun perinciannya, semuanya adalah politik. Dan politik ini -sebagaimana disebutkan- adalah kelanjutan dari kenabian dalam menjaga agama dan mengatur negeri-negeri sesuai dengan ajaran agama. Apakah hal ini belum cukup untuk menunjukkan bahwa politik adalah bagian dari agama?

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta'ala berkata:

‌يَجِبُ ‌أَنْ ‌يُعْرَفَ ‌أَنَّ ‌وِلَايَةَ ‌أَمْرِ ‌النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّينِ؛ بَلْ لَا قِيَامَ لِلدِّينِ وَلَا لِلدُّنْيَا إلَّا بِهَا. فَإِنَّ بَنِي آدَمَ لَا تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إلَّا بِالِاجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إلَى بَعْضٍ وَلَا بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ الِاجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ﴿إذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ﴾ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ. وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَد فِي الْمُسْنَدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ﴿لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُونُونَ بِفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ إلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ﴾ فَأَوْجَبَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَأْمِيرَ الْوَاحِدِ فِي الِاجْتِمَاعِ الْقَلِيلِ الْعَارِضِ فِي السَّفَرِ تَنْبِيهًا بِذَلِكَ عَلَى سَائِرِ أَنْوَاعِ الِاجْتِمَاعِ. وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَلَا يَتِمُّ ذَلِكَ إلَّا بِقُوَّةِ وَإِمَارَةٍ. وَكَذَلِكَ سَائِرُ مَا أَوْجَبَهُ مِنْ الْجِهَادِ وَالْعَدْلِ وَإِقَامَةِ الْحَجِّ وَالْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ. وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ لَا تَتِمُّ إلَّا بِالْقُوَّةِ وَالْإِمَارَةِ؛ وَلِهَذَا رُوِيَ: ﴿أَنَّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ﴾

“Wajib diketahui bahwa mengurusi urusan manusia adalah salah satu kewajiban agama yang paling agung. Bahkan, agama dan dunia tidak akan tegak kecuali dengannya. Karena, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka kecuali dengan berkumpul (bersatu), dan dalam setiap pertemuan pasti dibutuhkan seorang pemimpin. Hingga Nabi bersabda:

‘Jika tiga orang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin’ (Al-Albani, Silsilah al-Ahādīts ash-Shahīhah, no. 1322).

Maka Nabi mewajibkan penunjukan pemimpin bahkan dalam pertemuan kecil dan sementara seperti dalam perjalanan, sebagai isyarat atas pentingnya pemimpin dalam segala bentuk perkumpulan.

Dan karena Allah telah mewajibkan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka hal itu tidak bisa terlaksana kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan. Begitu pula semua kewajiban lainnya seperti jihad, keadilan, pelaksanaan haji, shalat Jumat, hari raya, menolong orang yang dizalimi, dan penegakan hukum hudud — semuanya tidak akan bisa ditegakkan kecuali dengan kekuasaan dan pemerintahan. Oleh karena itu, diriwayatkan: ‘Sesungguhnya penguasa itu adalah naungan Allah di bumi.’”(Al-Albani, Zhilāl al-Jannah, no. 1024, dan beliau berkata: hasan).

Lihat : Majmu’ al-Fatawa oleh Ibnu Taimiyah 28/390 dan as-Siyāsah asy-Syar’iyyah, hlm. 129).

Maka perhatikanlah bagaimana Syaikhul Islam mewajibkan perkara ini, mewajibkan untuk berusaha mewujudkannya, dan menjadikannya sebagai bagian dari agama. Namun di akhir zaman, perkara ini justru dianggap di luar agama oleh sebagian orang—dan (ironisnya) oleh orang-orang yang disebut sebagai ulama! Mereka justru menyerukan agar ditinggalkan demi "kembali kepada agama"!

Padahal jika para ulama dan orang-orang bertakwa tidak mengambil posisi ini—untuk menegakkan amar ma’ruf, nahi munkar, dan berjihad melawan musuh—maka pasti akan diambil alih oleh orang-orang yang memerintahkan kemungkaran, melarang kebaikan, dan berjihad di jalan setan.

Kenyataan telah berbicara. Bukankah ini adalah sekularisme yang justru diserukan oleh para ulama?

Lalu, mengapa aku harus pergi jauh… aku tidak akan pergi jauh dari sunnah dan sirah Nabawiyah. Barangsiapa yang tidak cukup baginya sunnah, maka semoga Allah tidak memberinya keluasan.

Bukankah Rasulullah adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah? Bukankah beliau adalah orang yang paling banyak beribadah, paling zuhud, dan paling wara’? Bukankah beliau adalah orang yang paling kuat dalam beragama dan paling banyak mengajarkan agama kepada umatnya? Bukankah beliau adalah negarawan dan pemimpin tertinggi sepanjang sejarah umat manusia, bagi umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia?

Apakah beliau melakukan sesuatu yang bukan dari agama, sehingga ditinggalkan oleh "ulama" akhir zaman? Bukankah beliau adalah seorang pemimpin dan kepala pemerintahan? Bukankah inti dari politik adalah memimpin manusia dengan syariat Rabb manusia, dengan metode yang telah dimuat dalam syariat itu sendiri?

Jika politik dianggap najis dan kotor, maka bagaimana mungkin Rasulullah mendekatinya, padahal beliau adalah pribadi yang suci, disucikan, dan menyucikan dengan izin Allah Ta’ala?

Bukankah Rasulullah senantiasa menyerukan penegakan syariat Allah, membaca ayat-ayat-Nya dan menyampaikan hadits-hadits tentangnya?

Lalu, apakah ada seseorang selain Rasulullah yang lebih taat daripada beliau? Lebih beribadah kepada Rabb-nya daripada beliau? Lebih bertakwa dan lebih tahu terhadap batas-batas yang Allah turunkan kepada beliau?

Ini termasuk bagian dari sirah (perjalanan hidup) Rasulullah . Kita katakan—dengan kesepakatan Ahlus Sunnah—bahwa manusia terbaik setelah para nabi adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, baik dari sisi ilmu, akhlak, maupun niat... Namun para sahabat radhiyallahu 'anhum tidak mencari pengganti selain beliau untuk menduduki posisi tertinggi dalam politik dan kepemimpinan. Sementara sebagian "ulama" di zaman ini justru *menyucikan diri* darinya dan melaknatnya, lalu menyebut perang antara kaum Muslimin dan kelompok sekuler sebagai "perebutan kursi kekuasaan"!

Lalu bagaimana dengan Abu Bakar yang justru terlibat dalam hal itu? Apakah mereka merasa lebih suci darinya, lebih berilmu darinya, lebih bertakwa dan bersih dari beliau?! Tentu saja TIDAK.

Setelah itu, para sahabat memilih orang terbaik kedua di antara sahabat Rasulullah -yaitu orang yang mendapatkan sembilan per sepuluh dari ilmu, yang setan pun memilih jalan lain saat bertemu dengannya, yang menjadi seperti kain lusuh karena takut kepada Allah, yang bisa jatuh sakit sebulan penuh karena satu ayat Al-Qur'an... namun ia tetap terjun ke dunia politik dan tidak *menyucikan diri* darinya seperti yang dilakukan sebagian ulama zaman ini yang merasa "terlalu tinggi"! Itulah Umar Al-Faruq radhiyallahu 'anhu, sang yang diberi ilham.

Kemudian orang ketiga terbaik dalam generasi terbaik dari umat terbaik yang Allah keluarkan untuk manusia, yaitu Utsman radhiyallahu 'anhu, beliau pun terjun dalam urusan politik dan tidak merasa jijik atau menyucikan diri darinya. Bahkan beliau wafat dalam kondisi menjalani tugas politiknya sebagai seorang syahid. Bukan beliau yang membuat fitnah, tetapi fitnah berasal dari orang yang menimbulkan kekacauan; kezaliman dari orang yang berbuat zalim! Bahkan beliau menolak untuk turun dari "kursi politik" karena agama Allah Ta’ala.

Ketika orang-orang yang mengepung Utsman radhiyallahu ‘anhu berkata :

اِخْلَعْ نَفْسَكَ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ كَمَا خَلَعَكَ اللَّٰهُ مِنْهُ

Lepaskan dirimu dari urusan khilafah ini seperti Allah melepaskanmu darinya.

Beliau menjawab:

لَا ‌أَنْزِعُ ‌قَمِيصًا ‌أَلْبَسَنِيهِ ‌اللَّهُ

“Aku tidak akan melepaskan baju (kekuasaan) yang Allah pakaikan kepadaku.”

Lalu mereka berkata :

لَسْنَا مُنْصَرِفِينَ حَتَّى نَخْلَعَكَ أَوْ نَقْتُلَكَ أَوْ تَلْحَقَ أَرْوَاحُنَا بِاللَّهِ تَعَالَى، وَإِنْ مَنَعَكَ أَصْحَابُكَ وَأَهْلُكَ قَاتَلْنَاهُمْ حَتَّى نَخْلُصَ إِلَيْكَ

“Kami tidak akan pergi sampai kami mencopotmu atau membunuhmu atau ruh kami bertemu dengan Allah Ta'ala. Dan jika para pengikutmu dan keluargamu menghalangimu, maka kami akan memerangi mereka sampai kami bisa sampai kepadamu.”

Maka Utsman menjawab :

أَمَّا أَنْ أَتَبَرَّأَ مِنْ خِلَافَةِ اللَّهِ فَالْقَتْلُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ ذَلِكَ، وَأَمَّا قَوْلُكُمْ تُقَاتِلُونَ مَنْ مَنَعَنِي فَإِنِّي لَا آمُرُ أَحَدًا بِقِتَالِكُمْ، فَمَنْ قَاتَلَكُمْ فَبِغَيْرِ أَمْرِي قَاتَلَ، وَلَوْ أَرَدْتُ قِتَالَكُمْ لَكَتَبْتُ إِلَى الْأَجْنَادِ فَقَدِمُوا عَلَيَّ أَوْ لَحِقْتُ بِبَعْضِ أَطْرَافِي

“Adapun jika aku harus melepaskan diri dari kekhalifahan Allah, maka kematian lebih aku cintai daripada hal itu. Dan adapun ucapan kalian bahwa kalian akan memerangi siapa pun yang menghalangiku, maka aku tidak memerintahkan siapa pun untuk memerangi kalian. Maka barang siapa memerangi kalian, itu bukan atas perintahku. Dan kalau aku benar-benar ingin memerangi kalian, tentu aku sudah menulis surat kepada pasukan-pasukan agar datang kepadaku, atau aku sendiri sudah pergi ke sebagian wilayah kekuasaanku.”

[Baca : al-Kamil Fii at-Tarikh oleh Ibnu al-Atsir 2/538]

Dan tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang menganggap bahwa beliau wafat karena berebut kursi.

Lalu yang keempat dari Khulafaur Rasyidin adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, yang kekhilafahannya—atau katakanlah, keterlibatannya dalam politik pemerintahan—bahkan menjadi orang tertinggi dalam strukturnya. Bahkan beliau berperang dalam suasana perpecahan dan konflik antar kaum Muslimin. Namun tetap saja, tidak ada seorang pun yang menuduh beliau ikut fitnah, berebut kekuasaan, atau ternodai oleh politik.

Inilah bagian dari sirah Rasulullah dan sirah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk dalam politik mereka yang penuh hidayah.

===****===

KETIKA ADA ORANG BERTANYA DENGAN TUJUAN MELECEHKAN POLITIK

Dikutip dari ISLAM.WEB Fatwa no. 163015 :

PERTANYAAN :

Pertanyaan tentang boleh atau tidaknya menyebarkan topik-topik seperti ini:

"هَلْ لَوْ تَرَشَّحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَأَلَ الرِّئَاسَةَ سَتُرَشِّحُهُ؟"

"Seandainya Rasulullah mencalonkan diri dan meminta jabatan kepemimpinan, apakah engkau akan mencalonkannya?"

Seorang pemuda salafi mendesakku untuk meninggalkan politik dengan pertanyaan:

“Kalau Nabi Muhammad kembali hidup, apakah engkau akan memilihnya sebagai presiden republik?”

Pemuda itu berharap dengan pertanyaannya aku akan runtuh pendirianku dalam menolak negara agama — baik itu Kristen maupun Islam — dan aku akan mengakui Nabi sebagai seorang pemimpin, yang pada akhirnya berarti bahwa tokoh agama boleh menjabat sebagai presiden, menteri, dan anggota parlemen.

JAWABAN :

Aku menjawab dengan yakin: Tidak!! Aku tidak akan melakukannya!!

Dan sebelum pemuda itu memvonis diriku keluar dari agama Islam (kafir dan murtad), aku segera menjelaskan bahwa aku menjaga kehormatan Nabi dari menjadi seorang pegawai yang menerima gaji dari kantongku, yang tunduk pada kritik, pengawasan, dan pertanggungjawaban, bahkan bisa diadili.

Para nabi dan tokoh agama adalah para penyeru kebaikan dan perbaikan; kita hanya belajar dan mengambil inspirasi dari mereka. Adapun jabatan-jabatan negara membutuhkan pegawai yang kompeten dan amanah, tidak lebih dan tidak kurang.

Islam tidak memberikan kekuasaan pemerintahan hanya kepada Allah dan mereka yang bekerja atas nama-Nya saja. Allah telah memberikan kepada hamba-hamba-Nya hak untuk memutuskan dan mengatur di muka bumi, dan Dia telah memberi mandat kepada umat untuk memiliki wewenang dalam memilih pemimpin dan mengawasinya.

JAWABAN :

Tidak boleh hukumnya menyebarkan dan memper-edar-kan ucapan ini kecuali dengan maksud untuk memperingatkan akan kesesatan dan kebatilannya.

Inti dari syubhat yang ditimbulkan oleh dialog yang dibuat-buat ini. Tujuan dialog ini adalah mereka para sekularis ingin menyebar luaskan faham :

أَنَّهُ لَا يَجُوزُ خَلْطُ الدِّينِ بِالسِّيَاسَةِ، وَأَنَّ تَصَدِّيَ رِجَالِ الدِّينِ لِأُمُورِ الْحُكْمِ يَحُطُّ مِنْ قَدْرِهِمْ وَيَنْتَقِصُ مِنْ رُتْبَتِهِمْ، وَأَنَّ الدِّينَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ بِمَعْزِلٍ عَنِ السِّيَاسَةِ وَالْحُكْمِ حِرْصًا عَلَى قَدَاسَتِهِ وَإِبْقَاءً عَلَى حُرْمَتِهِ.

“Bahwa agama tidak boleh dicampur dengan politik, bahwa keterlibatan tokoh agama dalam urusan pemerintahan akan merendahkan martabat mereka dan mengurangi kedudukan mereka, serta bahwa agama harus dijauhkan dari politik dan pemerintahan demi menjaga kesuciannya dan mempertahankan kehormatannya”.

Demikian klaim mereka.

Jawaban-nya : Ini adalah penipuan dan usaha untuk menampilkan kebatilan yang nyata dalam wujud kebenaran. Omong kosong seperti ini hanya laku bagi orang-orang yang lemah akalnya atau yang sedikit bagian ilmunya dan pemahamannya.

Logika gelap yang mereka coba sebarkan ini, mirip dengan logika sebagian kaum musyrik Arab ketika Nabi mengajak mereka masuk Islam, namun mereka menolak untuk menjawab dan berbicara dengannya dengan alasan bahwa jika dia benar-benar seorang nabi, maka kedudukannya terlalu tinggi untuk diajak bicara oleh orang seperti mereka!

Maka wajib atas setiap Muslim untuk mengetahui bahwa Allah Ta'ala mengutus Rasul-Nya untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi, dan Dia memerintahkannya untuk berhukum dengan syariat-Nya di tengah manusia, dan Rasulullah telah menjalankan tugas itu dengan sempurna.

Allah Ta'ala berfirman:

﴿إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ﴾

*"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran, agar kamu menghukum di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu"* (An-Nisa: 105).

Dan Allah Ta'ala juga berfirman:

﴿ وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ۚ﴾

*"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan"* (Al-Ma’idah: 49).

Tugas ini adalah salah satu tugas yang paling mulia dan paling tinggi derajatnya. Karena itulah tugas ini diemban oleh para sahabat Nabi yang terbaik dan paling utama setelah beliau.

Mereka menjalankan amanah ini dengan benar, dan mereka memerintah hamba-hamba Allah dengan syariat Allah yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang. Pemerintahan mereka di tengah manusia bukanlah perendahan martabat mereka, bahkan justru merupakan kemuliaan tambahan bagi mereka, di samping manfaat besar yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan umum.

Adapun klaim orang yang mengatakan bahwa Allah tidak berhak secara khusus dalam pemerintahan adalah bentuk penentangan terang-terangan terhadap Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ﴾

*“Keputusan itu hanyalah milik Allah”* (Yusuf: 40).

Dan Allah Ta’ala juga berfirman:

﴿ وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ۚ﴾

*“Tentang apa pun yang kamu perselisihkan, maka keputusannya (kembali) kepada Allah”* (Asy-Syura: 10).

Maka, menetapkan hukum berdasarkan apa yang telah disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan para rasul-Nya adalah sesuatu yang dituntut oleh akal sehat. Sebab, Sang Pencipta lebih mengetahui apa yang bermanfaat bagi ciptaan-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

﴿ أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ﴾

"Apakah (Allah) yang menciptakan tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?"

Meninggalkan syariat-Nya demi mengikuti akal yang terbatas bertentangan dengan tuntutan akal itu sendiri, apalagi bertentangan dengan nash-nash syariat. Realita menunjukkan bahwa semakin dekat seorang penguasa dengan ilmu syariat dan penerapan hukumnya, maka hal itu lebih bermanfaat bagi rakyatnya, lebih menjamin keamanan mereka, dan lebih mendorong tersebarnya keadilan di antara mereka. Sejarah menjadi saksi akan hal ini.

Menyamakan antara negara agama dalam Islam dan negara agama dalam Kristen adalah kekeliruan yang nyata.

Maksud dari penyamaan ini adalah untuk mengembalikan keburukan negara agama Kristen—yang memberikan hak legislasi kepada para pendeta dan melarang kritik terhadap mereka—kepada kebaikan negara agama Islam, di mana penguasa memiliki hak dan kewajiban.

Kaum Muslimin pada masa kejayaan mereka telah menjalankan fungsi pengawasan tersebut, menasehati dan mengoreksi para penguasa karena mereka meyakini bahwa para penguasa adalah manusia yang bisa benar dan salah, dan bahwa menasehati mereka adalah kewajiban yang Allah tetapkan atas hamba-hamba-Nya. Sebagaimana dikatakan seseorang kepada Umar radhiyallahu 'anhu:

اتَّقِ اللَّهَ

"Bertakwalah kepada Allah."

Maka Umar merimanya, lalu dia berkata:

لَا خَيْرَ فِيكُمْ إِذَا لَمْ تَقُولُوهَا، وَلَا خَيْرَ فِينَا إِذَا لَمْ نَقْبَلْهَا مِنْكُمْ.

"Tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak menerimanya dari kalian."

Dan kisah Umar radhiyallahu 'anhu yang mencabut pendapatnya, lalu merujuk kepada pendapat seorang wanita yang benar dan beliau merasa salah dalam berpendapt, bukanlah hal yang rahasia dan tersembunyi bagi siapa pun. Maka, penguasa dalam negara Islam bukanlah wakil Tuhan di bumi yang tidak boleh dikritik atau ditentang keputusannya. Konsep semacam ini justru dikenal dalam pemerintahan non-Muslim.

Secara keseluruhan, menyebarkan ucapan yang disebutkan penanya diatas tanpa memberikan peringatan terhadap kesalahan dan penyesatan yang terkandung di dalamnya termasuk perbuatan mungkar yang besar dan dosa yang besar.

Wallahu a'lam.

[https: //quranislam. github.io /tafsir /sura67-aya14.html? utm_source = chatgpt.com "تفسير: أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (سورة الملك الآية 14)"].

 

Posting Komentar

0 Komentar