HUKUM BERPOLITIK DALAM SYARIAT ISLAM
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI :
- MAKNA DAN DEFINISI SIYASAH (POLITIK)
- POLITIK ADALAH BAGIAN YANG TAK TERPISAHKAN DARI AGAMA
- PENTINGNYA POLITIK DALAM ISLAM :
- HUKUM BERPOLITIK DALAM SYARIAT ISLAM:
- POLITIK ADALAH WASILAH UNTUK MENJAGA AGAMA DAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH
- HUKUM MENJALANKAN SEBAB DAN WASILAH UNTUK MENCAPAI MAKSUD DAN TUJUAN:
- MAKSUD DAN TUJUAN UTAMA BER-POLITIK DALAM ISLAM
- TUJUAN PERTAMA : MENINGGIKAN KALIMAT ALLAH DAN MENJAGA AGAMA-NYA:
- TUJUAN KEDUA : MENEGAKKAN HUKUM ALLAH DI MUKA BUMI :
- TUJUAN KETIGA : MEMBANGUN KEKUATAN MILITER SEBAGAI PERSIAPAN JIHAD FII SABILILLAH:
- TUJUAN KEEMPAT : MENEGAKKAN KEADILAN SESUAI SYARIAT ISLAM:
- TUJUAN KE LIMA : MENJAGA WIBAWA, KEMULIAAN, HARKAT DAN MARTABAT UMAT.
- KETIKA UMAT ISLAM MENGENDALIKAN POLITIK, KUAT DAN BERKUASA, MAKA KEHORMATAN UMAT DAN AGAMA-NYA TERJAGA.
- PERTAMA : KEHORMATAN UMAT ISLAM PADA MASA
NABI ﷺ.
- KE 1 : KETIKA ADA SEORANG WANITA MUSLIMAH DILECEHKAN OLEH NON MUSLIM:
- KE 2 : KETIKA NABI ﷺ DI
NISTAKAN OLEH PEMIMPIN YAHUDI .
- KEDUA : KEHORMATAN UMAT ISLAM PADA MASA KEJAYAAN ISLAM.
- KE 1 : PADA MASA KHALIFAH AL-MU’TASIM BILLAH :
- KE 2 : PADA MASA UMAT ISLAM BERKUASA DI ANDALUSIA – EROPA.
- DALIL AL-QUR DAN HADITS TERKAIT ATURAN POLITIK PEMERINTAH DAN RAKYAT.
- PERINTAH MENEGAKKAN KEADILAN DALAM ISLAM:
- POLITIK DALAM ISLAM ANTARA ORANG YANG MENGINGKARI DAN ORANG YANG BERLEBIHAN.
- PERTANYAAN KEPADA PARA ULAMA SEKULER PENCELA POLITIK, JUGA KEPADA TUKANG HAJER DAN TAHDZIR TERHADAP ORANG YANG BERPOLITIK:
- MENANGGAPI PERNYATAAN NYELENEH DARI ULAMA SEKULER :
- KETIKA ADA ORANG BERTANYA DENGAN TUJUAN MELECEHKAN POLITIK
****
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ . وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ . أَمَّا بَعْدُ :
===***===
MAKNA DAN DEFINISI SIYASAH (POLITIK)
Kata “Politik” dalam bahasa arab adalah
“Siyasah (سِيَاسَةٌ), yang berarti melakukan
sesuatu untuk kebaikannya.
Kata “سَوَّسَهُ الْقَوْمُ” ketika mereka menjadikan seseorang sebagai pengatur urusan politik
mereka.
Dikatakan “سُوِّسَ فُلَانٌ أَمْرَ بَنِي فُلَانٍ” maksudnya diberi tanggung
jawab mengatur urusan politik Bani Fulan
Dan “سُسْتُ الرَّعِيَّةَ سِياسَةً” artinya : aku mengatur urusan politik rakyat.
Dan “سُوِّسَ الرَّجُلُ أُمُورَ النَّاسِ” seseorang ditugaskan mengatur
urusan masyarakat, dimana pelakunya tidak disebutkan namanya, ketika dia diberi
kekuasan untuk mengatur mereka. Silahkan melihat ‘Lisanul Arab, (6/107). Qomus
Muhith, hal. 710.
Diriwayatkan Bukhori, 3455 dan Muslim,
1842 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi ﷺ bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ
خَلَفَهُ نَبِيٌّ
“Dahulu politik Bani Isroil diatur oleh
para nabi. Setiap kali nabi meninggal, diganti dengan nabi (lain).
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
mengatakan :
"(تَسُوسهُمْ
الْأَنْبِيَاء) أَيْ : يَتَوَلَّوْنَ أُمُورهمْ كَمَا تَفْعَل الْأُمَرَاء وَالْوُلَاة
بِالرَّعِيَّةِ , وَالسِّيَاسَة : الْقِيَام عَلَى الشَّيْء بِمَا يُصْلِحهُ
" انتهى .
“Kata ‘Tasusuhum Al-Anbiya’ maksudnya
adalah mereka menguasai urusan politik dan lain-nya sebagaimana yang dilakukan
para gubernur dan pemimpin terhadap rakyatnya. Dan Siyasah (strategi politik)
adalah melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.” Selesai
Ibnu Nujaim mengatakan :
"ٱلسِّيَاسَةُ
هِيَ فِعْلُ شَيْءٍ مِنَ ٱلْحَاكِمِ لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا وَإِنْ لَمْ يُرَدْ بِذَلِكَ
ٱلْفِعْلِ دَلِيلٌ جُزْئِيٌّ."
“Siyasah adalah Hakim (penguasa)
melakukan sesuatu untuk kemaslahatan yang dilihatnya. Meskipun dia tidak
menginginkan hal itu sebagai sebagian bukti. [Baca : Bahru ar-Ro’iq, (5/11)].
Sementara Ibnu Kholdun mendefinisikan
siyasah syariyyah adalah :
"حَمْلُ
ٱلْكَافَّةِ عَلَى مُقْتَضَى ٱلنَّظَرِ ٱلشَّرْعِيِّ فِي مَصَالِحِهِمُ ٱلْأُخْرَوِيَّةِ
وَٱلدُّنْيَوِيَّةِ ٱلرَّاجِعَةِ إِلَيْهَا، إِذْ أَحْوَالُ ٱلدُّنْيَا تَرْجِعُ كُلُّهَا
عِنْدَ ٱلشَّارِعِ إِلَى ٱعْتِبَارِهَا بِمَصَالِحِ ٱلْآخِرَةِ، فَهِيَ فِي ٱلْحَقِيقَةِ
خِلَافَةٌ عَنْ صَاحِبِ ٱلشَّرْعِ فِي حِرَاسَةِ ٱلدِّينِ وَسِيَاسَةِ ٱلدُّنْيَا بِهِ."
“Melakukan segala hal sesuai dengan
pandangan agama untuk kebaikan akhirat dan dunia yang kembali kepadanya. Dimana
semua kondisi dunia semuanya kembali kepada Allah asy-Syaari' (Sang Pembuat Syari’at) sesuai
dengan kemaslahatan akhirat. Hakekatnya ia berbeda dengan pemilik syareat dalam
menjaga agama dan mengatur dunia.” [Selesai dari ‘Muqodimah Ibnu Kholdun, hal.
97].
Dari situ maka siyasah adalah bagian tak
terpisahkan dari Islam. Dalam Islam tidak dibedakan antara politik (siyasah)
dan agama. Dari ketetapan ini, sesuai dengan istilah orang-orang, maka Nabi ﷺ dahulu mempergunakan siyasah
(politik) yang bijaksana dalam hukumnya. Dalam mengurus urusan pemerintahan.
Karena ia turun dengan syareat dalam rangka merealisasikan maslahat dan
menyempurnakannya. Serta menghilangkan kerusakan (mafsadah) dan meminimalkan.
Begitu juga apa yang dilakukan khulafa’ Rosyidin dan para imam yang mengikuti
petunjuk sesudahnya. [Silahkan melihat ‘Turuq al-Hukmiyah’ Karangan Ibnu
Qoyyim, hal. 17-20].
Definisi Politik menurut pandangan
Ath-Thahir bin ‘Asyur rahimahullah adalah:
"ٱلتَّصَرُّفُ
فِي عُمُومِ مَصَالِحِ ٱلْأُمَّةِ مِمَّا زَادَ عَلَى ٱلْقَضَاءِ"
“pengelolaan terhadap seluruh kemaslahatan
umum umat yang melebihi ranah peradilan”.
[Lihat : Ath-Thahir bin 'Asyur,
*Jumhurah Maqālāt wa Rasā'il asy-Syaikh
al-Imām Muhammad ath-Thāhir bin 'Āsyūr*, halaman
933].
Sebagian lainnya mendefinisikannya
sebagai:
"تَدْبِيرُ شُؤُونِ ٱلدَّوْلَةِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ ٱلَّتِي لَمْ
يَرِدْ بِحُكْمِهَا نَصٌّ صَرِيحٌ، أَوِ ٱلَّتِي مِنْ شَأْنِهَا أَنْ تَتَغَيَّرَ وَتَتَبَدَّلَ
بِمَا فِيهِ مَصْلَحَةُ ٱلْأُمَّةِ، وَيَتَّفِقَ مَعَ أَحْكَامِ ٱلشَّرِيعَةِ، وَأُصُولِهَا
ٱلْعَامَّةِ".
“Pengaturan urusan negara Islam yang
tidak terdapat nash yang jelas tentang hukumnya, atau urusan yang bersifat
berubah-ubah sesuai dengan kemaslahatan umat, selama sesuai dengan hukum-hukum
syariat dan prinsip-prinsip umumnya”.
[Baca : Universitas Al-Madīnah, *As-Siyāsah Asy-Syar'iyyah*,
halaman 10].
****
KITAB-KTAB KLASIK TENTANG POLITIK:
Para ulama Ahlus Sunnah
telah menulis kitab-kitab yang bermanfaat dalam bidang politik syari’ah (siyasah
syar'iyyah), di antaranya:
* *As-Siyasah
Asy-Syar'iyyah fi Ishlah Ar-Ra'i war-Ra'iyyah* karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah
* *Ath-Thuruq
Al-Hukmiyyah fis-Siyasah Asy-Syar'iyyah* karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim
* *Ghayāts Al-Umam fī Iltiyāth Az-Zhulam* karya Al-Imam Al-Juwaini (wafat 478 H)
* *Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah* karya Al-Qadhi Abu Ya'la (wafat 458 H).
* *Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah* karya Al-Imam Al-Mawardi (wafat 450 H).
* *Tahrīr Al-Ahkam fī Tadbīr Ahlil-Islam* karya ‘Izzuddin Ibnu Jama'ah (wafat 767 H).
* *Tabshirot Al-Hukkam fī Ushūl Al-Aqdliyyah wa Manāhij Al-Ahkām* karya Ibnu Farhun (wafat
799 H).
Dan selain itu masih banyak karya
agung lainnya yang bersandar pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijtihad para
sahabat radhiyallahu ‘anhum.
===***===
POLITIK ADALAH BAGIAN YANG TAK TERPISAHKAN DARI AGAMA
Sesungguhnya yang
dimaksud dengan politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan sistem
pemerintahan, pengelolaan urusan negara, pensejahteraan rakyat, hubungan dengan
negara-negara lain, dan penetapan hukum syar'i dalam hal ini. Maka dalam
pengertian seperti ini, politik adalah bagian dari agama tanpa keraguan, karena
hak menetapkan hukum dan pemerintahan dalam Islam hanya milik Allah Ta'ala.
Prinsip ini -yaitu hak
menetapkan hukum- bukan termasuk masalah fikih atau cabang, tetapi merupakan
bagian dari tauhid, keimanan, dan pokok-pokok ajaran Islam.
Dalil-dalil tentang hal
ini sangat banyak dan terkenal dalam Kitab Allah Ta'ala, di antaranya firman
Allah Ta'ala:
﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ
وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ﴾
“Sesungguhnya keputusan
hukum hanyalah hak Allah. Dia menjelaskan yang sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan terbaik.” (Al-An’am: 57)
Dan firman Allah Ta'ala:
﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا
تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُونَ﴾
“Sesungguhnya keputusan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak menyembah
selain-Nya. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (Yusuf: 40)
Dan firman Allah Ta'ala:
﴿وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ
إِلَى اللَّهِ﴾
“Terhadap apa pun yang
kalian perselisihkan, maka putusan hukum-nya kembali kepada Allah.” (Asy-Syura:
10)
Dan firman Allah Ta'ala:
﴿وَيَقُولُونَ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ
وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ
بِالْمُؤْمِنِينَ.
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ. وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ
يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ.
أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا
أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ
إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ
اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ﴾
“Mereka berkata, ‘Kami
beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami taat.’ Kemudian sebagian dari mereka
berpaling setelah itu; dan mereka bukanlah orang-orang yang beriman.
Dan apabila mereka diajak
kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menetapkan hukum di antara mereka, tiba-tiba
sebagian dari mereka berpaling.
Namun jika kebenaran
berpihak kepada mereka, mereka datang dengan tunduk. Apakah dalam hati mereka
ada penyakit, atau mereka ragu-ragu, ataukah mereka takut bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan berbuat zalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah
orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya jawaban
orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya untuk
menetapkan hukum di antara mereka, hanyalah berkata, ‘Kami dengar dan kami
taat.’
Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.
Dan barang siapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka
mereka itulah orang-orang yang menang.” (QS. An-Nur: 47–52)
Dan firman Allah Ta'ala:
﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ
آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن
يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا﴾
“Apakah engkau tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka ingin berhukum
kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya. Dan
setan ingin menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa: 60)
Dan firman Allah Ta'ala:
﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ
فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾
“Maka demi Tuhanmu,
mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu, dan mereka menerimanya dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
Segala hal yang berkaitan dengan
pemerintahan, kepemimpinan, dan kekhilafahan, baik dari segi pengembangan,
landasan hukum maupun undang-unadangnya, semuanya adalah politik. Dan politik
ini adalah kelanjutan dari kenabian dalam menjaga agama dan mengatur negeri-negeri
sesuai dengan ajaran agama.
Syaikh Al-Utsaimin
rahimahullah berkata dalam syarah Riyadhus Shalihin:
فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
هُوَ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ، وَلَكِنْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ خُلَفَاءَ؛ خُلَفَاءَ فِي
الْعِلْمِ، وَخُلَفَاءَ فِي السُّلْطَةِ، وَالْمُرَادُ بِالْخُلَفَاءِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ:
خُلَفَاءُ السُّلْطَةِ.
"Nabi ﷺ adalah
penutup para nabi. Namun Allah menjadikan untuk beliau para khalifah—khalifah
dalam ilmu, dan khalifah dalam kekuasaan. Yang dimaksud khalifah dalam hadits
ini adalah khalifah dalam politik kekuasaan." [Baca : Ibnu Utsaimin,
*Syarah Riyadhus Shalihin*, jilid 3, halaman 635].
Nabi ﷺ adalah da’i, pendidik, penguasa, dan
pembuat syariat atas izin dan perintah Allah Ta’ala. Apakah hal ini belum cukup
untuk menunjukkan bahwa politik adalah bagian dari agama?
Contoh Politik
yang menunjukkan bahwa Politik tidak terpisahkan dari agama :
Para penguasa
Muslim sepanjang sejarah telah menetapkan kebijakan-kebijakan syariah yang
menjaga hukum-hukum agama dan kemaslahatannya.
Di antaranya adalah
tindakan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang mengubah
kebijakan dalam penarikan kharaj dan jizyah, agar sesuai dengan keadilan dan
toleransi Islam. Ia menolak untuk terus menerapkan jumlah jizyah dan kharaj
yang sama.
Bahkan, ia
menetapkannya sesuai dengan kemampuan orang-orang dalam membayar jizyah serta
alasan di balik kewajiban mereka membayar. Dahulu, jizyah dibayarkan sebagai
bentuk penghinaan dan penegasan dominasi negara Islam. Namun kemudian, Umar bin
Khattab menjadikannya sebagai imbalan atas perlindungan dan pembelaan terhadap
para pembayar jizyah, sebagai ganti atas jaminan keamanan dan pertahanan bagi
mereka.
[Universitas Al-Madīnah, *As-Siyāsah Asy-Syar'iyyah*,
halaman 113].
Berhukum dengan hukum Allah adalah termasuk Tauhid Rububiyyah:
Telah diketahui melalui
penelaahan dan pengamatan terhadap nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah bahwa
tauhid terbagi menjadi tiga jenis: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan
tauhid asma’ wa sifat.
Sebagian ulama membagi
tauhid hanya menjadi dua bagian, yaitu:
Pertama : Tauhid ma'rifah
(الْمَعْرِفَة) dan
itsbat (الإِثْبَات), yang
mencakup tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa sifat.
Kedua : Tauhid thalab (الطَّلَب) dan
qashd (الْقَصْد), yang
dimaksudkan sebagai tauhid uluhiyah.
Maknanya sama,
perbedaannya hanya dalam istilah, dan tidak ada masalah dalam perbedaan
istilah.
Dalam konteks ini pula,
sebagian orang menyebut hak menetapkan hukum hanya milik Allah sebagai tauhid
hakimiyah (ٱلْحَاكِمِيَّةُ), dan mereka memisahkannya karena pentingnya hal itu. Padahal
pada asalnya, tauhid hakimiyah itu termasuk dalam tauhid rububiyah.
****
PENTINGNYA POLITIK DALAM ISLAM:
Fungsi utama politik dalam syariat Islam
adalah menjaga kemaslahatan para hamba dan rakyat, serta mencegah terjadinya
kerusakan atas mereka; melalui kebijakan-kebijakan yang dipandang tepat oleh
penguasa Muslim, dalam perkara-perkara yang tidak terdapat nash syar’i
tentangnya. Politik dalam syariah Islam memperoleh urgensinya dari pentingnya
keberadaan pemerintahan politik dan tegaknya seorang pemimpin di tengah
masyarakat.
Manifestasi Pentingnya Politik dalam Syariah Islam
Pentingnya politik
dalam syariat Islam nampak dalam beberapa hal, di antaranya:
[*] Fungsi utama
politik dalam syariat Islam adalah menjaga maqashid syariah dan lima kebutuhan
pokok, yaitu: menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan
menjaga harta. Maka tugas penguasa adalah mewujudkan maksud Allah dari hukum-hukum
syariat.
[*] Politik dalam syariat
Islam mengangkat umat menuju derajat kemajuan dan perkembangan tertinggi dalam
seluruh bidang: politik, ekonomi, keamanan, dan kesejahteraan.
[*] Politik dalam syariat
Islam membawa pada terjaganya kemaslahatan, menarik dan mewujudkannya, menyempurnakan
yang baik menjadi lebih baik, menolak kerusakan, menutup jalan yang mengarah
kepadanya, dan mencegah terjadinya.
[*] Politik dalam syariat
Islam menangani berbagai peristiwa baru dan situasi aktual yang menimpa umat
dalam seluruh bidang, serta menetapkan hukum-hukum syariat khusus untuknya,
sesuai dengan maksud syariat dan mewujudkan tujuan-tujuan yang menjadi alasan
ditetapkannya hukum.
[*] Politik dalam syariat
Islam menyesuaikan diri dengan realitas secara fleksibel dan mudah tanpa
menanggalkan hukum-hukum Allah; semuanya itu berjalan sesuai dengan manhaj
tasyri’ Ilahi, yang disebut dengan semangat syariat dan tujuan umumnya.
[*] Politik dalam syariat
Islam mengatur hubungan antara negara Islam dan negara-negara lain, serta
mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat, dan menjaganya sebagaimana yang
dikehendaki Allah; tanpa ada bahaya yang membahayakan dan tanpa fitnah yang
menyesatkan.
[*] Politik dalam syariat
Islam mencari alternatif yang sesuai dengan memperhatikan realitas
permasalahan, lalu menetapkan hukum yang sesuai dengannya dan mewujudkan tujuan
serta maksudnya.
[*] Politik dalam syariat
Islam menjaga wibawa dan kekuatan negara, menumbuhkan semangat kemuliaan dan
harga diri di dalamnya, serta menjadikannya sejajar dengan negara-negara
terdepan.
[Baca : Muhammad
Yusri Ibrahim, *Fiqh an-Nawāzil lil-Aqalliyyāt al-Muslimah*, halaman 664, dengan penyesuaian]
BERIKUT INI : BEBERAPA POIN PENTING LAINNYA
TENTANG POLITIK DALAM ISLAM:
Politik sebagai bagian integral dari
Islam:
Islam tidak
memisahkan antara agama dan politik. Politik dalam Islam bertujuan untuk
menegakkan syariat dan mewujudkan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam.
Contoh para nabi:
Para nabi, dengan
kepemimpinan mereka, telah memberikan contoh bagaimana politik dapat digunakan
untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan umat.
Peran politik dalam dakwah:
Dakwah Islam tidak
dapat dilaksanakan secara efektif tanpa menggunakan sarana
politik. Politik dapat menjadi alat untuk menyebarkan ajaran Islam dan
mewujudkan masyarakat yang beriman.
Prinsip-prinsip politik dalam Islam:
Beberapa prinsip pokok yang melatar
belakangi praktek politik Islam dapat dijabarkan sebagai berikiut :
- Menjaga Persatuan : Kewajiban mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
- Nasihat: Mempertimbangkan masukan dan kritik dari masyarakat.
- Musyawarah: Melakukan perundingan dan diskusi untuk mengambil keputusan.
- Keamanan dan Keadilan: Memastikan keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
- Ketaatan pada Syariah: Mematuhi hukum Islam dalam segala aspek pemerintahan. (Kewajiban mentaati Allah, Rasul dan ulil amri).
Hubungan antara pemimpin dan rakyat:
Pemimpin dalam Islam
memiliki kewajiban untuk memerintah dengan adil dan berkepemimpinan, sementara
rakyat memiliki kewajiban untuk taat dan berbuat baik.
Dengan demikian, politik dalam Islam
bukan sekadar kegiatan duniawi, melainkan bagian integral dari ajaran Islam
yang berfungsi untuk mencapai keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan umat.
===****===
HUKUM BERPOLITIK DALAM SYARIAT ISLAM:
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa
hukum berpolitik itu Fardhu Kifayah, jika hukum Islam tidak bisa ditegak-kan
dan agama Islam berserta umatnya tidak bisa terlindungi kecuali dengan berpolitik dan berkuasa. Bahkan
ada kemungkinan -wallahu ‘alam- bisa berubah menjadi fardhu ‘Ain ketika
musuh-musuh Islam telah menjajah negeri muslim atau menguasai urusan politik di
dalam-nya. Sama seperti halnya dengan kewajiban berjihad fii sabilillah. Jihad menjadi
fardhu ‘ain ketika musuh sudah masuk dalam negeri kaum muslimin, sebagaimana
dalam firman Allah:
﴿يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا
تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ. وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا
مُتَحَرِّفًا لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ
مِّنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir yang menyerbu kalian , maka janganlah
kalian membelakangi mereka (jangan mundur).
Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur)
di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat atau mengatur strategi) perang
atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya
orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah
neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”. (QS. Al-Anfaal : 15-16)
Petunjuk dari sirah
Nabawiyah menunjukkan bahwa politik adalah bagian dari agama, dan bahwa politik
telah dipraktikkan oleh sebaik-baik umat ini, yaitu Rasulullah ﷺ dan
para sahabatnya (radhiyallahu ‘anhum) sementara orang-orang yang datang
belakangan justru menjauh darinya!
Al-Imam Al-Mawardi (wafat 450 H) rahimahullah berkata:
"الإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ
فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا
فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ".
“Kepemimpinan (al-imāmah) ditetapkan sebagai kelanjutan dari kenabian dalam menjaga agama
dan mengatur urusan politik dunia. Menetapkannya bagi orang yang
melaksanakannya di tengah umat adalah kewajiban berdasarkan ijma’
(kesepakatan para ulama).”
[Baca: Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah, karya al-Mawardy hal. 3. Tahqiq: Ahmad Al-Mubarak Al-Baghdadi,
Kuwait: Maktabah Dar Ibnu Qutaibah, cet. ke-1, 1409 H / 1989 M]
Tentu saja, segala hal
yang berkaitan dengan pemerintahan, kepemimpinan, dan kekhilafahan, baik dari
segi pengembangan, landasan maupun perinciannya, semuanya adalah politik. Dan
politik ini adalah kelanjutan dari kenabian dalam menjaga agama dan mengatur
negeri-negeri sesuai dengan ajaran agama.
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah ta'ala berkata:
يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلَايَةَ
أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّينِ؛ بَلْ لَا قِيَامَ لِلدِّينِ
وَلَا لِلدُّنْيَا إلَّا بِهَا. فَإِنَّ بَنِي آدَمَ لَا تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إلَّا
بِالِاجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إلَى بَعْضٍ وَلَا بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ الِاجْتِمَاعِ
مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ﴿إذَا خَرَجَ
ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ﴾ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد مِنْ حَدِيثِ
أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ.
وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَد فِي الْمُسْنَدِ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: ﴿لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُونُونَ بِفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ إلَّا أَمَّرُوا
عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ﴾ فَأَوْجَبَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَأْمِيرَ الْوَاحِدِ
فِي الِاجْتِمَاعِ الْقَلِيلِ الْعَارِضِ فِي السَّفَرِ تَنْبِيهًا بِذَلِكَ عَلَى
سَائِرِ أَنْوَاعِ الِاجْتِمَاعِ. وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ
وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَلَا يَتِمُّ ذَلِكَ إلَّا بِقُوَّةِ وَإِمَارَةٍ. وَكَذَلِكَ
سَائِرُ مَا أَوْجَبَهُ مِنْ الْجِهَادِ وَالْعَدْلِ وَإِقَامَةِ الْحَجِّ وَالْجُمَعِ
وَالْأَعْيَادِ وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ. وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ لَا تَتِمُّ إلَّا بِالْقُوَّةِ
وَالْإِمَارَةِ؛ وَلِهَذَا رُوِيَ: ﴿أَنَّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ﴾
“Wajib diketahui bahwa
mengurusi urusan manusia adalah salah satu kewajiban agama yang paling agung.
Bahkan, agama dan dunia tidak akan tegak kecuali dengannya. Karena, manusia
tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka kecuali dengan berkumpul (bersatu), dan
dalam setiap perkumpulan pasti dibutuhkan seorang pemimpin. Hingga Nabi ﷺ
bersabda:
‘Jika tiga orang
keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu dari
mereka sebagai pemimpin’ (Al-Albani, Silsilah al-Ahādīts ash-Shahīhah, no. 1322).
Maka Nabi ﷺ
mewajibkan penunjukan pemimpin untuk mengatur urusan politik negara bahkan
dalam perkumpulan kecil dan sementara, seperti dalam perjalanan, sebagai
isyarat atas pentingnya pemimpin dalam segala bentuk perkumpulan.
Dan karena Allah ﷻ telah
mewajibkan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka hal itu tidak bisa terlaksana
kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan. Begitu pula semua kewajiban lainnya
seperti jihad, keadilan, pelaksanaan haji, shalat Jumat, hari raya, menolong
orang yang dizalimi, dan penegakan hukum hudud — semuanya tidak akan bisa
ditegakkan kecuali dengan kekuasaan dan pemerintahan.
Oleh karena itu,
diriwayatkan sebuah hadits : ‘Sesungguhnya penguasa itu adalah naungan Allah
di bumi’. (Al-Albani, Zhilāl al-Jannah, no. 1024, dan
beliau berkata: hasan).
[Lihat : Majmu’ al-Fatawa
oleh Ibnu Taimiyah 28/390 dan as-Siyāsah
asy-Syar’iyyah, hlm. 129)].
Maka perhatikanlah bagaimana
Syaikhul Islam mewajibkan perkara ini, mewajibkan untuk berusaha mewujudkannya,
dan menjadikannya sebagai bagian dari agama.
Namun di akhir zaman,
perkara ini justru dianggap di luar agama oleh sebagian orang yang anti politik
dan (ironisnya) oleh orang-orang yang disebut sebagai ulama! Mereka justru
menyerukan agar ditinggalkan demi "kembali kepada agama"!
Padahal jika para ulama
dan orang-orang bertakwa tidak mengambil posisi ini -untuk menegakkan amar
ma’ruf, nahi munkar, dan berjihad melawan musuh- maka pasti akan diambil alih
oleh orang-orang yang memerintahkan kemungkaran, melarang kebaikan, dan menyerukan
berjihad di jalan setan.
Sekarang mari kita
lihat sebagian dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang hal ini.
Dan diantara dalil-dalil yang
menunjukkan disyariatkannya berpolitik adalah sbb :
Dalil pertama :
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ
الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ» قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ:
«فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ
عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»
“Politik Bani Israil dahulu dikendalikan oleh para nabi. Setiap
kali seorang nabi wafat, maka nabi lain menggantikannya.
Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku,
dan akan ada para khalifah lalu mereka akan menjadi banyak.”
Para sahabat bertanya, “Apa yang engkau
perintahkan kepada kami?”
Beliau ﷺ bersabda, “Tunaikanlah baiat kepada yang pertama, kemudian yang
berikutnya. Berikanlah hak mereka, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban
mereka terhadap apa yang mereka pimpin.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3455
dan Muslim no. 1842).
Kalimat "politik dalam Islam (تَسُوسُهُمُ الأنْبِياءُ) " berarti
"politik dalam Islam, para nabi memerintah mereka."
Ini menunjukkan bahwa dalam Islam,
politik bukan sekadar kegiatan duniawi, tetapi juga memiliki akar spiritual dan
berfungsi untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan umat. Politik dalam
Islam, seperti yang dicontohkan oleh para nabi, bertujuan untuk menegakkan
hukum Allah (syariat) dan mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Al-Imam an-Nawawi mensyarahi
hadits ini dengan mengatakan :
أَيْ يَتَوَلَّوْنَ أُمُورَهُمْ كَمَا تَفْعَلُ الْأُمَرَاءُ
وَالْوُلَاةُ بِالرَّعِيَّةِ، وَالسِّيَاسَةُ الْقِيَامُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا يُصْلِحُهُ.
Maksudnya, para nabi
mengurus urusan mereka sebagaimana para pemimpin dan penguasa mengurus
rakyatnya. Dan Politik adalah mengurusi sesuatu dengan cara yang membawa
kebaikan. [Baca : Syarah Shahih Muslim 12/231 no. 1842].
Al-Mujaddidi Al-Hanafi
dalam Injah al-Hajat berkata:
تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ مِنَ السِّيَاسَةِ،
وَهِيَ الرِّيَاسَةُ وَالتَّأْدِيبُ عَلَى الرَّعِيَّةِ، وَلَا يُنَاقِضُ هَذَا
بِقِصَّةِ طَالُوتَ، فَإِنَّهُ كَانَ مَلِكًا لَا نَبِيًّا، وَنَبِيُّهُمْ كَانَ
الشَّمُوِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، لِأَنَّ الْمُلُوكَ كَانُوا تَبَعًا لِأَنْبِيَائِهِمْ،
فَلَمَّا أُمِرُوا بِهِ أَطَاعُوهُمْ، فَكَانَتِ السِّيَاسَةُ حَقِيقَةً لِلنَّبِيِّ،
وَالْمَلِكُ كَانَ نَائِبًا مِنْهُ. (إنْجَاح).
*"‘Mereka dipimpin oleh
para nabi’ berasal dari kata ‘siyasah’ (politik), yaitu kepemimpinan dan
pembinaan terhadap rakyat.
Ini tidak bertentangan
dengan kisah Thalut, karena ia adalah seorang raja, bukan nabi. Nabi mereka
adalah Samwil 'alaihissalam. Para raja datang mengikuti para nabi. Maka ketika
mereka diperintah oleh nabi, mereka menaati.
Politik itu hakikatnya
milik nabi, dan sang raja hanyalah wakil dari nabi."*
[Lihat : Syarah Sunan Ibnu Majah oleh as-Suyuthi dan lainnya hal. 206 no.
2871].
Syaikh Al-Utsaimin
rahimahullah berkata:
وَفِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ» دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ دِينَ اللهِ
-وَهُوَ دِينُ الْإِسْلَامِ فِي كُلِّ مَكَانٍ وَفِي كُلِّ زَمَانٍ- هُوَ السِّيَاسَةُ
الْحَقِيقِيَّةُ النَّافِعَةُ، وَلَيْسَتِ السِّيَاسَةُ الَّتِي يَفْرِضُهَا أَعْدَاءُ
الْإِسْلَامِ مِنَ الْكُفَّارِ. السِّيَاسَةُ حَقِيقَةُ مَا جَاءَ فِي شَرْعِ اللهِ،
وَلِهَذَا نَقُولُ: إِنَّ الْإِسْلَامَ شَرِيعَةٌ وَسِيَاسَةٌ، وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ
السِّيَاسَةِ وَالشَّرِيعَةِ فَقَدْ ضَلَّ.
“Dan dalam sabda Nabi ﷺ: *‘Para
nabi mengatur urusan politik mereka (Bani Israil)’* terdapat dalil bahwa agama
Allah -yaitu agama Islam di setiap tempat dan waktu- adalah politik yang hakiki
dan bermanfaat. Bukan politik yang dipaksakan oleh musuh-musuh Islam dari
kalangan orang-orang kafir. Politik yang sebenarnya adalah apa yang datang
dalam syariat Allah. Oleh karena itu, kami katakan bahwa Islam adalah syariat
sekaligus politik. Siapa yang memisahkan antara politik dan syariat, maka
sungguh dia telah sesat.”
Hingga pada perkataan
beliau:
"فَالْمُهِمُّ أَنَّ الدِّينَ دِينُ اللهِ،
وَأَنَّ الدِّينَ سِيَاسَةٌ: سِيَاسَةٌ شَرْعِيَّةٌ، سِيَاسَةٌ اِجْتِمَاعِيَّةٌ، سِيَاسَةٌ
مَعَ الْأَجَانِبِ، وَمَعَ الْمُسَالِمِينَ، وَمَعَ كُلِّ أَحَدٍ. وَمَنْ فَصَلَ الدِّينَ
عَنِ السِّيَاسَةِ فَقَدْ ضَلَّ؛ وَهُوَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: إِمَّا جَاهِلٌ بِالدِّينِ
وَلَا يَعْرِفُ، وَيَظُنُّ أَنَّ الدِّينَ عِبَادَاتٌ بَيْنَ الْإِنْسَانِ وَرَبِّهِ،
وَحُقُوقٌ شَخْصِيَّةٌ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ؛ يَظُنُّ أَنَّ هَذَا هُوَ الدِّينُ فَقَطْ.
أَوْ أَنَّهُ قَدْ بَهَرَهُ الْكُفَّارُ وَمَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ الْقُوَّةِ الْمَادِّيَّةِ،
فَظَنَّ أَنَّهُمْ هُمُ الْمُصِيبُونَ. وَأَمَّا مَنْ عَرَفَ الْإِسْلَامَ حَقَّ الْمَعْرِفَةِ
عَرَفَ أَنَّهُ شَرِيعَةٌ وَسِيَاسَةٌ، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ.
“Yang penting adalah
bahwa agama ini adalah agama Allah, dan agama itu adalah politik: politik
syar'i, politik sosial, politik bermu’amalah dengan orang asing, politik
terhadap orang-orang yang mengajak berdamai, dan terhadap setiap orang.
Siapa yang memisahkan
agama dari politik maka dia telah sesat; dan dia berada di antara dua
kemungkinan: bisa jadi dia jahil terhadap agama dan tidak mengetahuinya, dia
mengira bahwa agama itu hanya ibadah antara hamba dan Rabb-nya, atau hak-hak
pribadi dan semacamnya; dia menyangka bahwa hanya itulah agama.
Atau bisa jadi dia
terpesona oleh orang-orang kafir dan kekuatan materi yang mereka miliki, lalu
mengira bahwa merekalah yang benar.
Adapun orang yang
mengenal Islam dengan sebenarnya, niscaya dia tahu bahwa Islam adalah syariat
dan politik. Dan Allah-lah pemberi taufik.”
(*Syarah Riyadhus
Shalihin*, Dar Al-Wathan li al-Nasyr, Riyadh, cet. 1426 H, [3/636-637])
Dalil kedua :
Dari Abu Sa’id dan Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا بَعَثَ اللَّهُ مِن نَبِيٍّ وَلا
استَخْلَفَ مِنْ خَليفَةٍ إلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالمَعْرُوفِ
وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وتَحُضُّهُ عليهِ، والمَعْصُومُ
مَنْ عَصَمَ اللَّهُ
*"Tidaklah Allah
mengutus seorang nabi dan tidak pula mengangkat seorang khalifah (sebagai
pengganti dan penerus nabi) melainkan baginya ada dua jenis penasehat (dewan
penasehat atau menteri) :
[*] Penasehat yang
menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kepadanya.
[*] Dan penasehat yang
menyuruh kepada kejahatan dan mendorongnya kepadanya. Dan orang yang terjaga dari
dosa adalah orang yang dijaga oleh Allah."* (HR. Bukhari no. 7198)
Dalil ke tiga :
Dari Aisyah
radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا أرَادَ اللَّهُ بالأمِيرِ خَيْرًا
جَعَلَ لَهُ وزيرَ صِدْقٍ، إنْ نَسِيَ ذكَّرهُ، وَإن ذَكَرَ أعَانَهُ، وَإذا أَرَاد
بهِ غَيرَ ذَلِكَ جعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ، إنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْه، وَإن ذَكَرَ
لَمْ يُعِنْهُ
*"Jika Allah menghendaki
kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Dia menjadikan baginya penasihat yang
jujur: jika ia lupa, maka ia mengingatkannya, dan jika ia ingat, maka ia
membantunya. Dan jika Allah menghendaki sebaliknya, maka Dia menjadikan baginya
penasihat yang buruk: jika ia lupa, ia tidak mengingatkannya, dan jika ia
ingat, ia tidak membantunya."*
(HR. Abu Dawud no. 2932 dengan
sanad yang baik sesuai syarat Muslim sebagaimana dikatakan an-Nawawi dalam
Raiydhush Sholihin no. 278. Dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu
Daud no. 2932)
Dalil Ke Empat :
Firman Allah SWT:
﴿يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا﴾
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
[QS. An-Nisa: 59]
Dalil Ke Lima :
Allah SWT berfirman :
﴿يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً
فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ
شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ﴾
"Wahai Daud! Sesungguhnya
Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan hukum di antara
manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan
Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan." (QS. Az-Zumar: 26)
==****==
POLITIK ADALAH WASILAH UNTUK MENJAGA AGAMA DAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH
Menjaga agama Islam merupakan salah satu
dari 5 darurat yang wajib dijaga oleh umat Islam, bahkan ia adalah urutan darurat
paling pertama .
Berikut ini urutan 5 darurat yang wajib dijaga, dilindungi dan
dipertahankan :
1]- Agama [الدِّينُ]. 2]- Jiwa [النَّفْسُ]. 3]-
Akal [الْعَقْلُ]. 4]- Keturunan [النَّسَبُ]. 5]-
Harta [المَالُ].
Dan ada sebagian para ulama yang menambahkan : ke [6] – yaitu :
kehormatan [العِرْضُ].
Az-Zarkasyi rahimahullah
berkata :
الضَّرُورِيَّةُ: وهي ما لَا بُدَّ مِنها
في قِيامِ مَصالحِ الدِّينِ والدُّنْيا بِحيثُ إذا فُقِدَتْ لَمْ تَجْرِ َمصالحُ الدُّنيا
على اسْتِقامَةٍ، بَلْ على فَسادٍ وتَهارُجٍ وفَوتِ حَياةٍ، وفي الآخِرَةِ فَوتِ النَّجاةِ
والنَّعيمِ والرُّجُوعِ بالخُسْرانِ المُبينِ.
فَهي الَّتي تَتَضمَّنُ حِفْظَ مَقْصودٍ
مِن المَقاصدِ الخَمْسةِ وهي: حِفْظُ الدِّينِ بِشَرْعِيَّةِ القَتْلِ والقِتالِ، فالقَتلُ
للرِّدَّةِ وغيرِها مِن مُوجِباتِ القَتلِ لأِجْلِ مَصلحةِ الدِّينِ، والقِتالُ في
جِهادِ أهلِ الحَرْبِ، وحِفظُ النَّفسِ بِشَرعِيَّةِ القِصاصِ، وحِفظُ العَقْلِ بِشرعِيَّةِ
الحَدِّ على شُرْبِ المُسْكِرِ، وحِفظُ النَّسلِ بِتَحْريمِ الزِّنا وإِيجابِ العُقوبَةِ
عليه، وحِفظُ المَالِ بِإيجابِ الضَّمانِ على المُتَعَدِّي فيهِ، وبِالقَطعِ في السَّرِقَةِ،
وهي المَجْموعَةُ في قولِه تعالَى: ﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ المُؤْمِنَاتُ
يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئاً وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا
يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنُّ وَلَا يَاتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ
بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ﴾ الآيَةُ.
وزَادَ الطُّوفِيُّ الحَنْبَلِيُّ وتَبِعَهُ
التَّاجُ السُّبْكِيُّ سادِساً، وهو حِفظُ الأَعْراضِ، فإنَّ عادَةَ العُقلاءِ بَذْلُ
نُفوسِهمْ وأَمْوالِهمْ دُونَ أعْراضِهمْ، وما فُدِيَ بِالضَّرورِيِّ أوْلى أنْ يكونَ
ضَرُورِيًّا . وفي الصَّحيحَينِ، أنَّ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قالَ في خُطْبةِ الوَداعِ: ((إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ
حَرَامٌ)) الحديثَ.
Mashlahat Dhoruriyyah
[Darurat]:
Ia adalah sesuatu yang
tidak bisa terpisahkan, tidak boleh tidak adanya , demi untuk tegaknya
kepentingan agama dan dunia, sehingga jika hilang, maka kemashlahatan dunia
tidak bisa berdiri tegak pada kebenaran, melainkan pada kerusakan dan
kekacauan, dan hilangnya sendi-sendi kehidupan, dan kelak di akhirat, hilangnya
keselamatan dan kebahagiaan dan kembali pada kerugian yang nyata.
Maka Mashalahat
Dharuriyah itu mencakup penjagaan terhadap salah satu dari LIMA TUJUAN [المَقَاصِد الخَمْسَة] dalam syariat , yaitu :
1] Menjaga agama : Dengan disyariatkannya membunuh dan berperang, membunuh karena murtad
dan lainnya yang mewajibkan untuk membunuh demi untuk kemashlahatan Agama,
berperang dalam berjihad melawan orang-orang kafir harbi [Kafir yang memerangi
umat Islam].
2] Menjaga jiwa : Yaitu dengan disyariatkannya hukum Qishash .
3] Menjaga akal : Yaitu dengan disyariatkannya hukuman HADD [cambuk[ bagi yang minum
minuman keras.
4] Menjaga keturunan : Yaitu dengan mengharamkan zina dan mewajibkan hukuman atas pelakunya.
5] Menjaga Harta : Yaitu dengan membebankan tanggung jawab kepada yang merusaknya, dan
dengan hukum potong tangan bagi pencuri.
Dan ini semua dikumpukan
dalam firman Allah SWT :
﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا جَآءَكَ
ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ يُبَايِعۡنَكَ عَلَىٰٓ أَن لَّا يُشۡرِكۡنَ بِٱللَّهِ شَيۡـٔٗا
وَلَا يَسۡرِقۡنَ وَلَا يَزۡنِينَ وَلَا يَقۡتُلۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ وَلَا
يَأۡتِينَ بِبُهۡتَٰنٖ يَفۡتَرِينَهُۥ بَيۡنَ أَيۡدِيهِنَّ وَأَرۡجُلِهِنَّ وَلَا
يَعۡصِينَكَ فِي مَعۡرُوفٖ فَبَايِعۡهُنَّ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُنَّ ٱللَّهَۚ إِنَّ
ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ﴾
“Wahai Nabi! Apabila
perempuan-perempuan yang mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai‘at (janji
setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan
Allah ; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan
kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah
janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh,
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. [QS. Al-Mumtahanan : 12 ]
Ath-Thuufi al-Hanbali
menambahkan - diikuti oleh at-Taaj as-Subki - keenam, yaitu : menjaga
kehormatan [العِرْضُ],
karena kebiasaan orang bijak rela mengorbankan jiwa dan harta mereka demi
menjaga kehormatan mereka. Dan apa yang ditebus dengan hal yang darurat, maka
ia lebih utama untuk dianggap dharurat pula .
Dan dalam Dua Kitab
Hadits Sahih, ﷺ bersabda dalam khotbah Haji Wada' :
((إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ
عَلَيْكُمْ حَرَامٌ))
"Sesungguhnya darah
kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram (wajib dijaga kehormatannya)
atas kalian". Al-Hadits .
[Di kutip dari "تَشْنِيفُ
المَسَامِعِ شَرْحُ جَمْعِ الجَوَامِعِ" (3/15)]
Ibnu Amiir al-Haajj
rahimaullah berkata :
" (وَيُقَدَّمُ حِفْظُ الدِّينِ) مِنْ الضَّرُورِيَّاتِ
عَلَى مَا عَدَاهُ عِنْدَ الْمُعَارَضَةِ لِأَنَّهُ الْمَقْصُودُ الْأَعْظَمُ قَالَ
تَعَالَى ﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ﴾ [الذاريات: 56]
وَغَيْرُهُ مَقْصُودٌ مِنْ أَجْلِهِ وَلِأَنَّ ثَمَرَتَهُ أَكْمَلُ الثَّمَرَاتِ وَهِيَ
نَيْلُ السَّعَادَةِ الْأَبَدِيَّةِ فِي جِوَارِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
(ثُمَّ) يُقَدَّمُ حِفْظُ (النَّفْسِ) عَلَى حِفْظِ
النَّسَبِ وَالْعَقْلِ وَالْمَالِ لِتَضَمُّنِهِ الْمَصَالِحَ الدِّينِيَّةَ لِأَنَّهَا
إنَّمَا تَحْصُلُ بِالْعِبَادَاتِ وَحُصُولُهَا مَوْقُوفٌ عَلَى بَقَاءِ النَّفْسِ
. انْتَهَى
“Menjaga agama adalah
dharurat yang lebih diutamakan daripada dharurat-dharurat lainnya ketika
terjadi tabrakan; karena dharurat menjaga agama itu adalah tujuan terbesar.
Allah SWT berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
" Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku". [QS.
Adz-Dzaariyaat : 56]
Dan karena yang lainnya
itu ditujukan untuk agama , dan karena buahnya [hasilnya] adalah buah yang
paling sempurna, yaitu memperoleh kebahagiaan abadi, di sisi Tuhan semesta
alam.
(Setelah itu darurat)
menjaga (jiwa) itu didahulukan dari pada menjaga keturunan, akal dan harta;
karena didalamnya terkandung mashlahat agama, karena ia hanya bisa dicapai
dengan ibadah, dan perolehannya bergantung pada kelangsungan hidup . [ Baca
: at-Taqriir wa at-Tahbiir 3/231]
====
HUKUM MENJALANKAN SEBAB DAN WASILAH UNTUK MENCAPAI MAKSUD DAN TUJUAN:
Untuk mewujudkan semua itu
dibutuhkan sebab, wasilah dan sarana . Dan menyiapkan sebab dan sarana untuk
mewujudkan sesuatu yang wajib adalah wajib pula hukumnya, sebagaimana yang
ditetapkan dalam Qoidah Fiqhiyah:
مَا لاَ يَتِمُّ
الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“ Apa saja yang kewajiban itu tidak
bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula hukumnya “.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata :
تَرْكُ الأَسْبَابِ قَدَحٌ فِي الشَّرِيعَةِ،
وَالِاعْتِمَادُ عَلَى الأَسْبَابِ شِرْكٌ
“Meninggalkan
sebab-sebab adalah celaan terhadap syari'at (karena mencela hikmah Allah dalam
menetapkan segala sesuatu), dan bersandar (bertawakkal) kepada sebab adalah kesyirikan”.
(Baca “شَرْحُ بَابِ تَوْحِيدِ الْأُلُوهِيَّةِ مِنْ
فَتَاوَى ابْنِ تَيْمِيَةَ” no. 15
oleh Syeikh Naashir bin Abdul Karim al-‘Aql. Lihat pula : Syarah Ushul
al-I’tiqood oleh al-Laalakaa’i karya Hasan Abu al-Asybaal 62/4].
Dalam hamisy Hasyiyah
ad-Durroh al-Mudhiyyah hal. 10 karya Abdurrahman al-‘Aashimy al-Hanbali di
sebutkan :
"السَّبَبُ مَا يُتَوَصَّلُ
بِهِ إِلَى الْمَطْلُوبِ، وَمَحْوُ الْأَسْبَابِ أَنْ تَكُونَ أَسْبَابًا: نَقْصٌ فِي
الْعَقْلِ، وَالْإِعْرَاضُ عَنِ الْأَسْبَابِ قَدْحٌ فِي الشَّرْعِ، وَالِاعْتِمَادُ
عَلَى الْأَسْبَابِ شِرْكٌ فِي التَّوْحِيدِ".
"Sebab adalah
sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan. Menghapus peran sebab sebagai
sebab adalah bentuk kekurangan akal, berpaling dari sebab merupakan celaan
terhadap syariat, dan bergantung sepenuhnya kepada sebab adalah syirik dalam
tauhid."
Ibnu Qoyyim
Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
مِنْ أَعْظَمِ الجِنَايَاتِ عَلَى الشَّرْعِ
تَرْكُ الأَسْبَابِ بِزَعْمِ أَنَّ ذَلِكَ يُنَافِي التَّوَكُّلَ (شِفَاءُ العَلِيلِ)
Termasuk pelanggaran
syari'at yang paling besar adalah meninggalkan sebab dengan sangkaan bahwa hal
itu menafikkan tawakkal.
(Di kutip dari
Tuhfatul Murid Syarah Qoulul Mufid oleh Syaikh Nu'man bin Abdul Karim Al-Watr
hal 123-127)
Abu Ishaq al-Huwaini
berkata :
(وَتَرْكُ الْأَسْبَابِ بِالْكُلِّيَّةِ
قَدْحٌ فِي التَّشْرِيعِ)، فَلَوْ أَنَّ كُلَّ رَجُلٍ قَالَ: أَنَا لَنْ أَتَزَوَّجَ!
فَمَنْ يُعَمِّرُ الْأَرْضَ وَيُقِيمُ الدُّنْيَا وَيُقِيمُ الصِّنَاعَاتِ وَيُقِيمُ
الْجِهَادَ بَعْدَ ذَهَابِ هَذَا الْجِيلِ؟ لَابُدَّ مِنْ نَسْلٍ، فَمَنْ تَجِدُهُ
يَقُولُ: إِذَا قَدَّرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِي الْوَلَدَ فَسَأُرْزَقُ الْوَلَدَ
بِلا زَوْجَةٍ، كُلُّ الْعُقَلَاءِ يَحْكُمُونَ عَلَيْهِ بِالْحُمْقِ، فَطَلَبُ الْوَلَدِ
بِلا زَوَاجٍ حُمْقٌ، وَطَلَبُ دَفْعِ الْجُوعِ بِلا أَكْلٍ حُمْقٌ، كَذَلِكَ طَلَبُ
الْجَنَّةِ بِلا سَعْيٍ حُمْقٌ.
"Meniggalkan
sebab secara total merupakan celaan terhadap syariat."
Maka, jika seandainya
setiap laki-laki berkata, "Saya tidak akan menikah!", lalu siapa
yang akan memakmurkan bumi, membangun peradaban, mengembangkan industri, dan
menegakkan jihad setelah generasi ini tiada?. Harus ada keturunan.
Jika ada seseorang berkata, "Jika Allah Azza wa
Jalla menakdirkan aku punya anak, maka aku akan dikaruniai anak tanpa
istri", maka semua orang yang berakal pasti akan menilainya bodoh.
Menginginkan anak tanpa menikah adalah kebodohan, menginginkan hilangnya rasa
lapar tanpa makan adalah kebodohan, demikian pula menginginkan surga tanpa
berusaha adalah kebodohan”. [Baca : Duruus Li asy-Syeikh Abu Ishaq al-Huwaini
101/3]
Ada dua jenis Wasilah dalam menajaga agama dan menegakkan hukum
Allah :
Pertama : الْوَسِيلَةُ الكُونِيَّةُ [wasiilah logis dan
alami] : wasilah yang dibangun diatas hukum alam dan hukum sebab akibat seperti
politik, kekuasaan, ekonomi, sains, tehnologi, fisika, kimia … dll.
Kedua : الْوَسِيلَةُ الدِّينِيَّةُ [wasiilah i’tiqoodi] : wasiilah yang dibangun diatas keimanan
dan keyakinan
dalam agama .
===***===
MAKSUD DAN TUJUAN UTAMA BER-POLITIK DALAM ISLAM
Politik dan kekuasaan merupakan salah
satu sebab, wasilah dan sarana untuk menggapai dan merealisasikan beberapa
maksud dan tujuan. Diantaranya adalah sebagai berikut :
****
TUJUAN PERTAMA :
MENINGGIKAN KALIMAT ALLAH DAN
MENJAGA AGAMA-NYA:
Umat Islam diwajibkan berusaha maximal menempatkan dua hal berikut
ini pada tempat yang Allah SWT perintahkan:
Pertama : “كَلِمَةُ
اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا , yakni : agar kalimat
Allah , dia lah yang tinggi “
Allah swt berfirman :
وَجَعَلَ كَلِمَةَ ٱلَّذِينَ
كَفَرُوا۟ ٱلسُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ ٱللَّهِ هِىَ ٱلْعُلْيَا ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
Al-Quran menjadikan
orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi.
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( QS. Attaubah : 40 ).
Perkataan Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu :
اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى
عَلَيْهِ
Artinya : “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih
tinggi darinya”
Takhrij Atsar Ibnu
Abbas :
Dari ‘Ikrimah ia berkata
:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ – رضي الله عنهما
– فِي الْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّة تَكُونُ تَحْتَ
النَّصْرَانِيِّ أَوْ الْيَهُودِيِّ، فَتُسْلِمُ هِيَ، قَالَ: يُفَرَّقُ
بَيْنَهُمَا، الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ ".
Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhumaa
berkata tentang Yahudi dan Nasroni -(yakni) ada seorang istri yang bersuamikan
seorang Nasroni atau Yahudi, kemudian sang istri masuk Islam-, maka Ibnu Abbas
rodhiyallahu ‘anhuma berkata :
“ Ceraikan ia, karena
Islam tinggi dan tidak ada yang mampu menandinginya”.
Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani
dalam Irwaul Gholil (no. 1268).
Kedua : “وَيَكُونَ
الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ”, yakni : agar agama di
muka bumi itu semuanya agama Allah .
Allah SWT berfirman :
﴿وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ انتَهَوْا
فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ﴾
“Dan perangilah
mereka (orang-orang kafir), supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya
Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”. [Anfal: 39]
Dan firman
lain-nya :
﴿وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ
ۖ فَإِنِ انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ﴾
Dan perangilah
mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [Baqarah: 193]
Dan Allah SWT
berfirman :
﴿وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Al
Imran: 85]
Dan Allah SWT
berfirman :
﴿إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ﴾
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”. [Al Imran: 19]
****
TUJUAN KEDUA :
MENEGAKKAN HUKUM ALLAH DI
MUKA BUMI :
Untuk menegakkan hukum diperlukan
kekuasaan yang islami dan penguasa muslim yang adil dan bijak.
Berikut ini sebagian ayat-ayat al-Qur’an
yang memerintahkan penegakkan hukum Allah SWT dan berhukum dengan-nya:
KE 1 : Alllah SWT berfirman :
﴿
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ﴾
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(QS Al Maidah ayat 49)
KE 2 : Firman Allah Azza Wa Jalla :
﴿
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا
لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾
”Apakah hukum Jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah ayat 50)
KE 3 : Allah SWT berfirman :
﴿وَأَنِ
احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ
أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ
أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا
مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ﴾
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik”. [Maidah: 49]
KE 4 : Allah SWT berfirman :
﴿ وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
“ Barangsiapa yang tidak berhukum dengan
hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir “ . (
QS. Al-Maidah: 44)
KE 5 : Allah SWT berfirman :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴾
“ Barangsiapa yang tidak berhukum dengan
hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim “ . (QS. Al-Maidah: 45)
KE 6 : Allah SWT berfirman :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴾
“ Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq “ . (QS. Al-Maidah:
47)
KE 7 : Allah SWT berfirman :
﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ
حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ
حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [QS. An-Nisa :
65]
KE 8 : Allah SWT berfirman :
﴿
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ
مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ
جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ
تَخْتَلِفُونَ ﴾
”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu.” (QS Al-Maidah ayat 48).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Nabi ﷺ
bersabda :
((أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلَاثَةٌ
مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ
وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ))
"Manusia yang paling dimurkai Allah
ada tiga :
[*] Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram.
[*] Orang yang menghendaki sunnah (hukum) jahiliyah dalam
Islam.
[*] Dan orang yang menuntut darah seseorang
tanpa alasan yang dibenarkan untuk menumpahkan darahnya." ( HR. Bukhory
no. 6374 )
Ibnu al-Jauzy rahimahullah
Berkata :
“Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban
(berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya
– seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir.
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang
diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya – tanpa adanya pengingkaran
– maka dia itu zhalim dan fasiq“.
Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu
‘Abbas bahwa dia berkata :
"مَنْ جَحَدَ مَا أَنْزَلَ الله؛
فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ أَقَرَّ بِهِ ؛ وَلَمْ يَحْكُمْ بِهِ ؛ فَهُوَ ظَالِمٌ
فَاسِقٌ".
‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang
diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya
tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu Zhalim dan fasiq” [Lihat زاد
المسير 2/366]
Fatwa Al-Lajnah
Ad-Daaimah SAUDI ARABIA :
“ Apabila dia meyakini halalnya hal tersebut (berhukum dengan
selain hukum Allah) dan meyakini bolehnya maka ini kufur akbar, dzalim akbar
dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama.
Adapun jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud
lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur
ashgar (lebih kecil), dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam
menafsirkan ayat-ayat tersebut “.
Atas nama dewan fatwa :
Ketua : Abdul ‘Aziz bin Baz . Wakil ketua: Abdurrazzaq ‘Afifi .
Anggota: Abdullah Ghudayyan. (Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105)
****
TUJUAN KETIGA :
MEMBANGUN KEKUATAN MILITER
SEBAGAI PERSIAPAN JIHAD FII SABILILLAH:
Menyiapkan kekuatan militer jihad demi untuk menjaga agama Islam
dan melindungi umatnya adalah darurat yang paling diutamakan . Dan semua ini
tidak bisa terlaksana, kecuali jika umat Islam berkuasa dan sebgai pengendali
politik.
Membangun kekuatan militer jihad fii
Sabilillah, politik dan kekuasan merupakan wasilah utama untuk menjaga agama
Allah dan menegakkan hukum-hukumNya.
Tanpa politik dan kekuasaan, umat Islam
tidak akan bisa maximal untuk membangun kekuatan militer jihad, bahkan
sebaliknya, akan dihalangi oleh penguasa yang benci Islam.
Allah SWT
berfirman :
﴿
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِنْ قُوَّةٍ وَمِن رِبَاطُ الْخَيْلِ
تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا
تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ ﴾
Artinya : “Dan kalian siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan
apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian dan
orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kalian nafkahkan pada jalan Allah, niscaya akan
dibalas dengan cukup kepada kalian dan kalian tidak akan dianiaya
(dirugikan)”.(QS. Al-Anfal: 60)
Kewajiban tersebut
minimal sampai kepada level yang Allah firmankan :
تُرْهِبُونَ
بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ
“Yang dengan persiapan itu kalian menggentarkan musuh Allah,
musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya;
sedangkan Allah mengetahuinya“. (QS. Al-Anfal: 60)
Dalam hal ini ada
sebuah Qoidah Fiqhiyah yang berbunyi :
" مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"
“ Apa saja yang
kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula
hukumnya “.
Qaidah ini menunjukkan akan wajibnya berupaya menyiapkan wasilah,
solusi, perangkat dan apa saja yang mengantarkan kepada tercapainya sebuah
tujuan .
Syeikh Abdurrahman
as-Sa’di berkata ketika menafsiri firman Allah SWT :
﴿ مَا
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ ﴾
“ Kekuatan apa saja yang kalian sanggupi “
" أَي: كُلَّ مَا تَقْدِرُونَ عَلَيْهِ،
مِنَ القُوَّةُ العَقْلِيَّةِ وَالبَدَنِيَّةِ، وَأَنْوَاعِ الأَسْلِحَةِ وَنَحْوَ
ذَلِكَ، مِمَّا يُعِينُ عَلَى قِتَالِهِمْ، فَدَخَلَ فِي ذَلِكَ أَنْوَاعُ الصِّنَاعَاتِ
الَّتِي تَعْمَلُ فِيهَا أَصْنَافُ الأَسْلِحَةِ وَالآلَاتِ، مِنَ المَدَافِعِ، وَالرَّشَّاشَاتِ،
وَالبَنَادِقِ، وَالطَّيَّارَاتِ الجَوِّيَّةِ، وَالمَرَاكِبِ البَرِّيَّةِ وَالبَحْرِيَّةِ،
وَالقِلَاعِ، وَالخَنَادِقِ، وَآلَاتِ الدِّفَاعِ، وَالرَّأْيِ وَالسِّيَاسَةِ الَّتِي
بِهَا يَتَقَدَّمُ المُسْلِمُونَ وَيَنْدَفِعُ عَنْهُمْ بِهِ شَرُّ أَعْدَائِهِمْ،
وَتَعَلُّمُ الرَّمْيُ، وَالشَّجَاعَةِ وَالتَّدْبِيرِ".
Yakni , segala sesuatu
yang kalian mampu terhadapnya, baik dari yang berkaitan dengan kekuatan akal
maupun badan, menciptkan berbagai macam jenis senjata dan yang semisalnya, yang
bisa membantu dalam memerangi orang-orang kafir .
Maka masuk didalamnya membangun
pabrik-pabrik yang memproduksi berbagai macam jenis senjata dan alat perang,
seperti alat-alat penangkal rudal, rudal-rudal, senapan-senapan, jet-jet
tempur, tank-tank baja, kapal laut, kapal selam, benteng pertahanan dan
alat-alat pertahanan lainnya .
Dan begitu juga menguasai
ilmu logika dan politik yang dengan semua itu membuat umat Islam terus bergerak
maju dan bisa mempertahankan diri kaum muslimin dari kejahatan para musuhnya .
Begitu juga belajar
memanah, melatih mental pembarani dan belajar strategi bertempur “.
Kemudian Syeikh
As-Sa’dy berkata :
وَقَوْلُهُ تَعَالَى : ﴿ وَمِنْ رِبَاطُ
الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ ﴾ :
وَهَذِهِ العِلَّةُ مَوْجُودَةٌ فِيهَا
فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ، وَهِيَ إِرْهَابُ الأَعْدَاءِ، وَالحُكْمُ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ،
فَإِذَا كَانَ شَيْءٌ مَوْجُودًا أَكْثَرَ إِرْهَابًا مِنْهَا، كَالسَّيَّارَاتِ البَرِّيَّةِ
وَالهَوَائِيَّةِ، المُعَدَّةِ لِلْقِتَالِ الَّتِي تَكُونُ النَّكايَةُ فِيهَا أَشَدَّ،
كَانَتْ مَأْمُورًا بِالِاسْتِعْدَادِ بِهَا، وَالسَّعْيِ لِتَحْصِيلِهَا، حَتَّى إِنَّهَا
إِذَا لَمْ تُوجَدْ إِلَّا بِتَعَلُّمِ الصِّنَاعَةِ، وَجَبَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ مَا لَا
يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ، فَهُوَ وَاجِبٌ.
Dan Firman Allah SWT : “dan dari kuda-kuda yang
ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan
musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak
mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya “.
Illat (العِلَّةُ) perintah Allah dalam ayat ini akan terus ada dalam
setiap zaman , yaitu : illat perintah utk menggentarkan musuh-musuh Allah dan
musuh-musuh umat Islam .
Dan hukum itu akan terus
ada dan berlaku selama illat nya masih ada . Maka segala sesuatu yang lebih
besar pengaruhnya untuk menggentarkan mereka – seperti mempersiapkan tank-tank
baja dan jet-jet tempur yang dinilai
memiliki kemampuan yang lebih dahsyat utk bertempur – maka itu semua termasuk
yang diperintahkan utk menyiapkannya , dan harus berusaha untuk mendapatkannya
, sehingga ketika tidak ada yang bisa mendapatkannya kecuali dengan cara
belajar memproduksinya , maka itu adalah sebuah kewajiban .
Karena ada qaidah
mengatakan :
مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ
فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya : “ Apa saja yang
kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula
hukumnya“. ( KUTIPAN SELESAI)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya " as-Siasat
asy-Syar'iyyah hal. 19 berkata :
" يَجِبُ الِاسْتِعْدَادُ لِلْجِهَادِ
بِإِعْدَادِ القُوَّةُ وَرِبَاطُ الْخَيْلِ فِي وَقْتِ سُقُوطِهِ لِلْعَجْزِ
فَإِنَّ مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ ".
Wajib siap siaga untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan
penambatan kuda-kuda perang pada saat kejatuhannya yang disebabkan oleh adanya
kelemahan ; karena “ Apa saja yang kewajiban itu tidak bisa tercapai dengan
sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula hukumnya “. [Lihat pula Majmu' al-Fataawaa 28/259].
Kaum muslimin harus
senantiasa siap siaga tempur sehingga ketika ada seruan jihad, mereka telah siap.
Dan yang berhak menyeru jihad adalah seorang pemimpin negara yang merupakan
pemegang tampuk kekuasaan dan pengendali politik. Dalam hal ini Allah swt berfirman:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا
لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى
الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ . إِلَّا تَنْفِرُوا
يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا
تَضُرُّوهُ شَيْئًا ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾.
" Wahai orang-orang yang
beriman! Mengapa apabila dikatakan kepada kalian: “Berangkatlah (untuk berperang)
di jalan Allah ,” kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempat kalian?
Apakah kalian lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di
akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan)
di akhirat hanyalah sedikit.
Jika kalian tidak
berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan menghukum kalian dengan
azab yang pedih dan menggantikan kalian dengan kaum yang lain, dan kalian tidak
akan merugikan-Nya sedikit pun. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" .
[QS. At-Taubah : 38-39].
Dan Nabi ﷺ
bersabda :
"إذا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا"
"Jika kalian semua
diminta keluar (oleh Imam untuk berperang) maka keluarlah (berangkat
berperang)”. ( Muttaqun 'alaihi) . [ Lihat : Al-Mughni 13/8 Tahqiiq DR.
at-Turkiy].
Ayat diatas menunjukkan
akan kewajiban adanya pemimpin yang mengantur politik dan menggerakkan Jihad
Fii Sabilillah. Dan itu diperkuat dengan hadits sesudah ayat diatas.
Begitu pula kaum muslim harus ikut
serta bertempur dan tidak boleh lari ketika musuh masuk ke dalam negeri dan
menyerbu kaum muslimin. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan:
﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا
لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحۡفٗا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلۡأَدۡبَارَ . وَمَن
يُوَلِّهِمۡ يَوۡمَئِذٖ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفٗا لِّقِتَالٍ أَوۡ مُتَحَيِّزًا
إِلَىٰ فِئَةٖ فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ جَهَنَّمُۖ
وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ﴾
" Hai orang-orang yang
beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang melakukan
penyerbuan pada kalian, maka janganlah kalian membelakangi mereka (mundur
melarikan diri).
Barangsiapa yang
membelakangi mereka (mundur melarikan diri ) di waktu itu - kecuali berbelok
untuk (mengatur strategi) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan
yang lain - maka sesungguhnya orang itu [yang melarikan diri] kembali dengan
membawa KEMURKAAN dari Allah, dan tempatnya ialah NERAKA JAHANNAM. Dan amat
buruklah tempat kembalinya". [QS. Al-Anfaal: 15-16].
Ayat ini menunjukan bahwa kaum
muslimin harus senantiasa siap tempur atau berjihad. Dengan demikian, maka kaum
muslimin siap siaga membangun kekuatan militer untuk berjaga-jaga.
Dari Abdullah bin Amr
radhiyallau 'anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ،
وَاسْأَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا
اللَّهَ فَإِنْ أَجْلَبُوا وَضَجُّوا فَعَلَيْكُمْ بِالصَّمْتِ".
"Janganlah kalian
mengharapkan untuk bersua dengan musuh, tetapi mohonlah keselamatan kepada
Allah; dan apabila kalian bersua dengan mereka, maka hadapilah dengan hati yang
teguh dan berzikirlah kepada Allah. Dari jika mereka gaduh dan
berteriak-teriak ; maka kalian harus tetap diam " .
[ HR. Abd al-Razzaq dalam
al-Musannaf no. (9518) , Ibnu Abi Shaybah dalam al-Musannaf (12/463) dan
al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubra (9/153)
Dihasankan oleh al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam al-Futuuhaat ar-Rabbaaniyyah 5/67]
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda :
(مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ
نَفْسَهُ بِالغَزْوِ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنَ النِفَاقٍ)
"Barangsiapa meninggal sedang ia belum
pernah ikut berperang atau belum pernah terbetik dalam dirinya niat untuk
berperang, maka ia mati di atas cabang kemunafikan." [HR. Muslim no.
3533].
Dan Rasulullah ﷺ
bersabda :
" اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ
وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ".
”Mukmin yang kuat lebih baik
dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah ". (HR.
Muslim (no. 2664) dan Ahmad (2/366, 370)).
***
TUJUAN
KEEMPAT :
MENEGAKKAN
KEADILAN SESUAI SYARIAT ISLAM:
Pilar paling penting
dalam pembangunan peradaban dan pengembangan, serta fondasi terbesar yang
menjadi dasar tegaknya negara dan sistem pemerintahan, adalah keadilan. Islam
datang dengan membawa panji keadilan dan menegakkan pilar-pilarnya secara
mencolok di antara berbagai peraturan yang mengatur urusan kehidupan.
Dalam pandangan Islam,
keadilan berkaitan erat dengan berbagai konsep, dan masing-masing konsep
keadilan yang dibawa oleh Islam dapat dibahas secara mandiri dan terpisah dari
agama Islam itu sendiri, seperti hak-hak, kebebasan, sistem, dan hukum-hukum
fikih yang telah dirumuskan oleh para ulama Islam dalam berbagai bidang.
Namun benang merah yang
menghubungkan semua konsep tersebut adalah keadilan, yang tercermin dalam
sistem perundangan yang kokoh dan mempertimbangkan bertahapnya penerapan serta
realitas antara tuntutan pelaksanaan dan kebutuhan pengambilan keputusan.
Allah Ta’ala berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum
kerabat, dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
Dan Allah Ta’ala
berfirman:
﴿ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾
*"Berlaku adillah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil"*
(Al-Hujurat: 9).
Dan Allah Ta’ala
berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾
*“Wahai orang-orang yang
beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian suatu kaum mendorong
kalian untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kalian kerjakan.”* (QS. Al-Ma’idah: 8)
Dan Allah Ta’ala
berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى
أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا﴾
*“Wahai orang-orang yang
beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan karena
Allah, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap diri kalian sendiri atau
terhadap kedua orang tua dan kerabat kalian. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah
lebih tahu tentang keduanya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu agar
kalian dapat berlaku adil. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan (menjadi saksi), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan.”* (QS. An-Nisa’: 135)
Dan Allah SWT berfirman :
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا﴾
*“Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian
menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah memberikan pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”*
(An-Nisa’: 58)
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
"سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَومَ القِيَامَةِ
في ظِلِّهِ، يَومَ لا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ في عِبَادَةِ
اللَّهِ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ في خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ
مُعَلَّقٌ في المَسْجِدِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا في اللَّهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ
ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إلى نَفْسِهَا، قالَ: إنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ
بِصَدَقَةٍ فأخْفَاهَا حتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ ما صَنَعَتْ يَمِينُهُ".
“Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah
pada hari kiamat di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan selain
naungan-Nya:
1]. Pemimpin yang adil,
2]. Pemuda yang tumbuh
dalam ibadah kepada Allah,
3]. Seorang laki-laki
yang mengingat Allah dalam kesendirian lalu kedua matanya meneteskan air mata,
4]. Seorang laki-laki
yang hatinya terpaut pada masjid,
5]. Dua orang yang saling
mencintai karena Allah, berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,
6]. Seorang laki-laki
yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun
ia berkata: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah,’
7]. Dan seorang laki-laki
yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu ia menyembunyikannya, hingga tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanannya.”
(Hadis
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari [6806] dan Muslim [1031])
*****
TUJUAN KE LIMA :
MENJAGA WIBAWA, KEMULIAAN, HARKAT DAN MARTABAT
UMAT.
Menjaga kehormatan, kemuliaan,
harga diri, wibawa, harkat dan martabat umat Islam dan agamanya termasuk darurat
yang harus di jaga dan dipertahnakan. Dan yang dimaksud adalah kehormatan dan
kemuliaan di sisi Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
﴿الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ
فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعاً﴾
*"Orang-orang
yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin-pemimpin selain orang-orang
mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang-orang kafir itu? Maka
sesungguhnya semua kemuliaan hanyalah milik Allah." [An-Nisa: 139].
Ibnu Katsir ketika
menafsiri ayat diatas, dia berkata:
"أَخْبَرَ تَعَالَى بِأَنَّ
الْعِزَّةَ كُلَّهَا لِلَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَلِمَنْ جَعَلَهَا
لَهُ. كَمَا قَالَ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى: ﴿مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ
الْعِزَّةُ جَمِيعًا﴾ [فَاطِرٍ: 10] ، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴾ [الْمُنَافِقُونَ:
8] .
وَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا التَّهْيِيجِ عَلَى
طَلَبِ الْعِزَّةِ مِنْ جَنَابِ اللَّهِ، وَالِالْتِجَاءِ إِلَى عُبُودِيَّتِهِ، وَالِانْتِظَامِ
فِي جُمْلَةِ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ لَهُمُ النُّصْرَةُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا، وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ".
Allah Ta'ala
mengabarkan bahwa seluruh kemuliaan hanyalah milik Allah semata, tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan bagi siapa yang Dia jadikan memiliki kemuliaan,
sebagaimana dalam ayat lainnya:
"Barang siapa
yang menghendaki kemuliaan, maka sesungguhnya kemuliaan itu seluruhnya milik
Allah." [Fathir: 10].
Dan Dia berfirman:
"Dan kemuliaan
itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin." [Al-Munafiqun: 8].
Yang dimaksud dari
hal ini adalah dorongan untuk mencari kemuliaan dari sisi Allah dan berlindung
kepada peribadahan kepada-Nya, serta masuk dalam golongan hamba-hamba-Nya yang
beriman yang akan mendapatkan pertolongan di kehidupan dunia dan pada hari para
saksi berdiri (hari kiamat) “. [Tafsir Ibnu Katsir 2/435].
Lalu Ibnu Katsir (2/435)
berkata :
ويُنَاسبُ أَنْ يُذْكَرَ هَاهُنَا الْحَدِيثُ
الَّذِي رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: .... عَنْ أَبِي رَيْحَانَةَ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنِ انْتَسَبَ إِلَى تِسْعَةِ آبَاءٍ
كُفَّارٍ، يُرِيدُ بِهِمْ عِزًّا وَفَخْرًا، فَهُوَ عَاشِرُهُمْ فِي النَّارِ"
“Dan layak disebutkan
di sini hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: ... dari Abu Raihanah bahwa
Nabi ﷺ
bersabda:
"Barang siapa
menisbatkan diri kepada sembilan orang tua yang kafir, dengan tujuan mencari
kemuliaan dan kebanggaan dari mereka, maka ia adalah orang kesepuluh dari
mereka di dalam neraka”. [Al-Musnad (4/133), Al-Haitsami berkata dalam kitab Majma'
(8/85): "Perawi-perawi Ahmad terpercaya."]
Dan firman Allah
Ta'ala:
﴿مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ
فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا ۚ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ﴾
Artinya: “Barang
siapa yang menghendaki kehormatan, maka bagi Allah-lah kehormatan itu semuanya.
Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh
dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)
Dan Firman-Nya :
﴿وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴾
"Dan kemuliaan
itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin, akan tetapi orang-orang
munafiq tidak mengetahui-nya." [Al-Munafiqun: 8].
Dalam hadits yang
diriwayatkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah ﷺ
bersabda:
((إنَّ ممَّا أدْرَكَ النَّاسُ مِن
كَلامِ النُّبُوَّةِ، إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فافْعَلْ ما شِئْتَ))
“Sesungguhnya sebagian yang manusia jumpai dari ucapan kenabian adalah:
Jika kamu tidak punya rasa malu, lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki!” (HR.
Bukhori no. 3483).
===***===
KETIKA UMAT ISLAM MENGENDALIKAN POLITIK, KUAT DAN BERKUASA, MAKA KEHORMATAN UMAT DAN AGAMA-NYA TERJAGA.
Sejarah telah membuktikan
sejak zaman Nabi ﷺ hingga kini, ketika umat Islam berkuasa, kuat dan mengatur urusan
politik negara dan rakyat, maka kehormatan dan harga diri masing-masing
individu warga betul-betul terjaga dan terlindungi. Bahkan wibawa agama dan
umat melambung tinggi, disegani, dihormati dan ditakuti. Islam berkembang
dengan cepat ke seluruh dunia. Orang-orang kafir pun berbondong-bondong masuk
Islam.
Contoh ketika umat Islam berkuasa dan
mengendalikan politik negara:
CONTOH-NYA adalah SBB :
****
PERTAMA :
KEHORMATAN UMAT ISLAM PADA MASA NABI ﷺ.
====
KE 1 : KETIKA ADA SEORANG
WANITA MUSLIMAH DILECEHKAN OLEH NON MUSLIM:
Kelompok Yahudi pertama
yang secara terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap umat Islam adalah Bani Qainuqa’, yang tinggal di
pinggiran kota Madinah. Mereka tidak berhenti sejenak pun dari menimbulkan
perpecahan dan menyulut berbagai permasalahan di tengah barisan kaum muslimin.
Mereka menjadi sumber inspirasi dan pengarahan bagi kaum munafik, serta
memberikan dukungan dan dorongan bagi kaum musyrik.
Mereka pernah berupaya
mengadu domba antara kaum Anshar kabilah Aus dan kabilah Khazraj sehingga hampir
saja di antara kedua suku muslim ini terjadi peperangan .
Mereka sangat sombong dan
selalu mengganggu kaum Muslimin dan mengabaikan nasihat Rasulullaah ﷺ.
Rasulullah ﷺ telah
mencoba mengembalikan mereka ke jalan kebenaran. Beliau mengumpulkan mereka di pasar
mereka, memberi nasihat kepada mereka, menakut-nakuti mereka akan akibat dari
menyembunyikan kebenaran, dan mengingatkan mereka akan nasib yang menimpa kaum
Quraisy di Perang Badar. Namun mereka menjawab beliau dengan penuh kesombongan,
kebodohan dan kedunguan:
يَا مُحَمَّدُ، لَا يَغُرَّنَّكَ مِنْ
نَفْسِكَ أَنَّكَ قَتَلْتَ نَفَرًا مِنْ قُرَيْشٍ كَانُوا أَغْمَارًا، لَا يَعْرِفُونَ
الْقِتَالَ، إِنَّكَ لَوْ قَاتَلْتَنَا لَعَرَفْتَ أَنَّا نَحْنُ النَّاسُ، وَأَنَّكَ
لَمْ تَلْقَ مِثْلَنَا
“Wahai Muhammad,
janganlah engkau tertipu oleh dirimu sendiri karena engkau telah membunuh
sekelompok orang Quraisy yang bodoh dan lemah ( maksud mereka adalah kurang
pengalaman dalam peperangan ) yang tidak mengenal seni berperang. Kalau engkau
memerangi kami, sungguh engkau akan tahu bahwa kami adalah orang-orang (yang
sesungguhnya), dan engkau belum pernah menghadapi yang seperti kami.”
Maka Allah ‘azza wa jalla
menurunkan firman-Nya tentang hal itu:
﴿قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ
إِلَىٰ جَهَنَّمَ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ. قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا
ۖ فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَىٰ كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُم مِّثْلَيْهِمْ
رَأْيَ الْعَيْنِ ۚ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَن يَشَاءُ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ
لَعِبْرَةً لِّأُولِي الْأَبْصَارِ﴾
“Katakanlah kepada
orang-orang kafir: ‘Kamu pasti akan dikalahkan dan digiring ke neraka Jahanam,
dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal.
Sungguh telah ada tanda
bagi kalian pada dua kelompok yang saling berhadapan; satu kelompok berperang
di jalan Allah dan kelompok lainnya kafir, yang melihat mereka (pasukan
muslimin) dua kali lipat jumlah mereka secara nyata. Dan Allah menolong dengan
kemenangan-Nya siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang berpikir.’” (Ali ‘Imran: 12–13).
[Diriwayatkan oleh Abu
Dawud no. 3001. Sanadnya lemah karena tidak dikenalnya Muhammad bin Abi
Muhammad, mantan budak Zaid bin Tsabit.]
Kronologi Peristiwa
pelecehan terhadap wanita muslimah :
Datanglah suatu peristiwa
yang memperkuat rasa dengki dan kebencian yang disimpan oleh orang-orang
Yahudi, melalui pelanggaran mereka terhadap kehormatan kaum muslimin.
Ibnu Katsir, Ibnu Hisyam
dan Syaikh Shafiyurrahman Mubarakfury dalam ar-Rahiq al-Makhtum menyebutkan :
Bahwasanya ada seorang
wanita muslimah yang datang ke pasarnya orang Yahudi Bani Qainuqa. Lalu wanita
muslimah tersebut duduk di tempat seorang pengrajian perhiasan emas di pasar
Bani Qainuqa’.
Namun tiba-tiba
orang-orang Yahudi Bani Qaoinuq’ berusaha memaksa wanita muslimah tersebut
untuk membuka wajahnya, namun ia menolak. Maka si yahudi pengrajin emas itu
diam-diam mengikatkan ujung pakaiannya ke punggungnya.
Ketika wanita itu
berdiri, terbukalah auratnya, lalu mereka pun tertawa terbahak-bahak.
Maka wanita muslimah ini
spontan berteriak, dan seorang laki-laki Muslim yang berada di sekitar itu
melompat ke pengrajin perhiasan itu dan membunuhnya.
Orang-orang Yahudi
kemudian membalas dengan mengikat laki-laki Muslim tersebut lalu membunuhnya.
Respons Nabi ﷺ dan
para sahabat :
Menghadapi pelanggaran
serius semacam ini, tidak ada jalan lain kecuali melakukan tindakan tegas agar
perbuatan seperti itu tidak terulang di masa depan. Maka Nabi ﷺ
membatalkan perjanjian yang ada antara beliau dan orang-orang Yahudi Bani
Qainuqa’, lalu memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap menghadapi mereka.
Pasukan pun berangkat
pada pertengahan bulan Syawwal tahun kedua hijriah menuju benteng-benteng Bani
Qainuqa’.
Saat tiba, Nabi ﷺ
mengepung mereka dengan pengepungan yang ketat, memutus seluruh jalur bantuan
mereka.
Pengepungan itu
berlangsung selama lima belas hari hingga akhirnya orang-orang Yahudi menyerah
dan tunduk pada keputusan Nabi ﷺ.
Yahudi Bani Qainuqa yang
pongah dan sombong ini akhirnya bertekuk lutut dan menyerah setelah dikepung
selama 15 hari ﷺ.
Allah Subhanahu Wata’ala
memasukkan rasa gentar dan takut ke dalam hati orang Yahudi ini.
Dan di sinilah hubungan
orang-orang Yahudi dengan kaum munafik memainkan perannya. Pemimpin kaum
munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul, berusaha membela mereka dengan memberikan
syafaat untuk mereka kepada Nabi ﷺ.
Ia mendatangi Nabi ﷺ dan
berkata :
يَا مُحَمَّدُ أَحْسِنْ فِي مَوَالِيَّ
“Wahai Muhammad,
berbuatlah baik kepada sekutu-sekutuku”
(Mereka adalah sekutu
kaum Khazraj sebelum hijrah). Namun Rasulullah ﷺ menundanya dan tidak segera menanggapinya.
Maka ia kembali berkata :
يَا مُحَمَّدُ أَحْسِنْ فِي مَوَالِيَّ
“Wahai Muhammad,
berbuatlah baik kepada sekutu-sekutuku,”
Tetapi Rasulullah ﷺ
berpaling darinya. Maka Abdullah bin Ubay pun memasukkan tangannya ke baju
Rasulullah ﷺ dan
menariknya dengan keras. Rasulullah ﷺ pun marah hingga wajah beliau memerah, lalu beliau ﷺ berkata
:
وَيْحَكَ أَرْسِلْنِي!
“Celakalah kamu! Lepaskan
aku!”
Ia menjawab :
لَا وَاللَّهِ لَا أُرْسِلُكَ حَتَّى
تُحْسِنَ فِي مَوَالِيَّ، أَرْبَعُ مِائَةٍ حَاسِرٍ وَثَلَاثُمِائَةٍ دَارِعٍ مَنَعُونِي
مِنَ الْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ، تَحْصُدُهُمْ فِي غَدَاةٍ وَاحِدَةٍ؟ إِنِّي وَاللَّهِ
امْرُؤٌ أَخْشَى الدَّوَائِرَ.
“Tidak, demi Allah, aku
tidak akan melepaskanmu sampai engkau berbuat baik kepada sekutu-sekutuku.
Empat ratus orang tanpa baju besi dan tiga ratus orang berbaju besi dari
pasukan mereka telah melindungiku dari merah dan hitam (segala macam musuh),
apakah engkau mampu membinasakan mereka dalam satu pagi saja? Sungguh, demi
Allah, aku adalah orang yang takut akan perubahan keadaan (keadaan berbalik)”.
Maka Rasulullah ﷺ
bersabda, “Mereka milikmu.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu
Ishaq dalam as-Siirah hal. 113, al-Waqidy dalam al-Maghazy 1/177 dan al-Baihaqi
dalam Dala’il an-Nubuwwah 3/174].
Sebaliknya, tampaklah
sikap keimanan dari sahabat mulia ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu,
yang juga merupakan salah satu sekutu Yahudi Bani Qainuqa’. Ia secara tegas
melepaskan diri dari sekutunya dan berkata :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَبْرَأُ إِلَى
اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ مِنْ حِلْفِهِمْ، وَأَتَوَلَّى اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ،
وَأَبْرَأُ مِنْ حِلْفِ الْكُفَّارِ وَوَلَايَتِهِمْ
“Wahai Rasulullah, aku
berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari persekutuan dengan mereka. Aku
berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, dan aku berlepas
diri dari persekutuan dengan orang-orang kafir dan loyalitas kepada mereka.”
Maka berkenaan dengan ini
turunlah ayat :
﴿إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ
آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ.
وَمَن يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْغَالِبُونَ﴾
Sesungguhnya penolong
kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dan barangsiapa mengambil
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. [QS. Maidah:
55-56]
[Lihat : Tafsir
ath-Thabary 10/424, Dala’il an-Nubuwwah oleh al-Baihaqi 3/175, Tarikh Dimasyqi
oleh Ibnu Asakir 26/192 dan Sirah Ibnu Hisyam 2/49-50].
Al-Qur’an pun mencatat
perbedaan antara kedua sikap tersebut dalam firman Allah Ta’ala:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَىٰ
أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ ۚ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ
مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا أَسَرُّوا فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ﴾
“Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa
di antara kalian yang menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk
golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
Maka kamu akan melihat
orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, mereka bersegera mendekati
mereka seraya berkata: ‘Kami takut akan ditimpa suatu bencana.’ Maka mudah-mudahan
Allah akan mendatangkan kemenangan atau keputusan dari sisi-Nya, lalu mereka
menjadi menyesal terhadap apa yang mereka sembunyikan dalam diri mereka.”**
(Al-Ma’idah: 51–52).
Lalu keputusan pun
dikeluarkan untuk mengusir orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ dari Madinah. Kaum
muslimin mengambil harta mereka sebagai rampasan, dan mereka pun pergi menuju
sebuah daerah yang disebut “Adzra’at Asy-Syam”.
Tak lama kemudian,
sebagian besar dari mereka binasa di sana. Jumlah mereka adalah tujuh ratus
orang laki-laki.
Keputusan yang
dikeluarkan oleh Nabi ﷺ ini bukan hanya karena sebab pelecehan terhadap wanita muslimah
saja. Dan bukan didasarkan pada sikap penolakan dan upaya penghalangan terhadap
agama Islam yang ditunjukkan oleh mereka.
Melainkan karena pengkhianatan
mereka yang terus berulang-ulang, serta tindakan mereka yang berulang kali
berusaha merusak stabilitas dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, maka
inilah yang menjadi alasan utama untuk pengusiran mereka.
Tindakan ini bertujuan
agar makar mereka berbalik menimpa diri mereka sendiri dan potensi bahaya dari
keberadaan mereka dapat dihilangkan.
KE 2 : KETIKA NABI ﷺ DI
NISTAKAN OLEH PEMIMPIN YAHUDI .
Berikut ini kisah proses
eksekusi penggal leher yang dilakukan oleh Muhammad bin Maslamah radhiyallahu
‘anhu terhadap penista Nabi ﷺ .
Saking masyhurnya kisah
ini, maka para ulama mujahid seperti Syaikh Abu Jandal Al Azdi dalam kitabnya تَحْرِيضُ الْمُجَاهِدِينَ الْبَطَّالِ
عَلَى سُنَّةِ الِاغْتِيَالِ menjadikan kisah operasi
ightiyal Muhammad bin Maslamah sebagai hujjah disyari’atkannya ightiyal bagi
parapara pemimpin kekafiran.
Berikut ini adalah
kutipan dari kitab yang ditulis Abu Jandal Al Azdi mengenai kisah operasi
ightiyal yang dilakukan Muhammad bin Maslamah bersama anggota Team-nya terhadap
Yahudi penghina Islam Ka’ab Al Asyraf.
Dari Jabir bin Abdillah,
bahwa Rasulullah ﷺ berkata,
«مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ
آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ»
“Siapa yang mau
membereskan Ka‘ab bin Al-Asyrof? Sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.”
Maka berdirilah Muhammad
bin Maslamah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka aku
membunuhnya?”
Beliau ﷺ menjawab, “Ya”.
“Kalau begitu izinkan aku
(nanti) mengucapkan sesuatu…” pinta Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu.
“Katakan saja,” kata
Rosulullah ﷺ.
Maka Muhammad bin
Maslamah datang kepada Ka’ab bin Al Asyraf dan pura-pura bertanya tentang Nabi Muhammad
ﷺ:
“Memang nya, dia siapa
sebenarnya lelaki itu (maksud dia adalah Nabi ﷺ), dia seenaknya memungut zakat dari kita dan membebani kita,
sesungguhnya aku datang kepadamu untuk bersekutu dan bekerja sama denganmu.”
Ka‘ab berkata, “Demi
Allah, tuliskan surat saksi untuknya.”
Lalu Muhammad bin
Maslamah berkata : “Sesungguhnya kita telah mencoba mengikutinya, lalu kami
tidak ingin meninggalkannya sampai kita lihat, bagaimana akhir dari ajarannya.
Dan kami menginginkan engkau meminjami kami satu wasaq (195 Kg) atau dua wasaq
(gandum).”
Ka‘ab berkata, “Kalau
begitu, berikan kepadaku barang sebagai gadai (jaminan).”
“Barang apa yang kau mau
sebagai jaminan?” tanya Muhammad bin Maslamah dan temannya.
“Gadaikan wanita-wanita
kalian”, Kata Ka‘ab.
Muhammad bin Maslamah
menjawab, “Bagaimana mungkin kami akan menggadaikan wanita-wanita kami,
sementara engkau adalah orang Arab paling tampan?.”
Lalu Ka'ab berkata :
“Kalau begitu, gadaikan anak-anak kalian.”
Muhammad bin Maslamah
menjawab : “Bagaimana mungkin kami akan menggadaikan putera-putera kami
kepadamu, sementara mereka akan dicela karenanya, dan akan dikatakan kepada
mereka : hanya demi satu atau dua wasaq (kalian rela menggadaikan anak-anak
kalian)? Sungguh, ini aib bagi kalian.”
Lalu Muhammad bin
Maslamah dan teman-temanya berkata, “Kami akan menjadikan senjata kami sebagai
gadai (jaminan) untukmu.”
“Baiklah,” jawab Ka‘ab.
Lalu Ka’ab menjanjikan
kepada mereka untuk bertemu di malam hari dengan membawa geriba (karung dari
kulit), bersama Abu Na’ilah – saudara sesusuan Ka‘ab —.
Maka Ka‘ab mengundang
mereka untuk datang ke benteng-nya. Setelah mereka datang, maka ia pun turun
untuk menemui mereka.
Isteri Ka’ab bertanya,
“Mau ke mana engkau malam-malam begini?”
Ka‘ab menjawab, “Itu tak
lain adalah Muhammad bin Maslamah dan saudaraku, Abu Na’ilah.”
Perawi selain Amru
mengatakan :
“Kemudian isterinya
berkata lagi, “Aku mendengar suaranya seperti tetetas air.”
Dalam riwayat lain: “Aku mendengar suara seperti suara darah”.
Ka‘ab berkata lagi : “Itu
tak lain adalah saudaraku, Muhammad bin Maslamah dan saudara se-susuan-ku, Abu
Nailah. Orang yang mulia itu, kalau dipanggil untuk berjalan di malam hari,
pasti menyanggupi.”
Kemudian Muhammad bin
Maslamah masuk bersama dua orang.
Menurut riwayat Amru : kedua orang itu bernama Abu ‘Abs bin Hibr dan ‘Abbad bin Bisyr.
*Amru melanjutkan
kisahnya:
Muhammad bin Maslamah
berkata : “Jika dia datang, aku akan memegang kepalanya, maka jika kalian telah
melihatku berhasil melumpuhkannya, penggallah lehernya.”
(Inilah cara untuk
membunun orang seperti dia, sebab dia berbadan besar dan kuat)
Ketika ia turun dari
benteng sembari menyandang pedangnya, mereka berkata kepada Ka’ab: “Kami
mencium aroma harum dan wangi dari tubuhmu”.
Ka’ab menjawab :“Ya,
…istriku adalah wanita Arab paling harum dan wangi ”.
Muhammad bin Maslamah
berkata : “Bolehkan aku mencium bau harum-mu?”
Ka’ab menjawab
:“Silahkan”.
Maka Ia pun pura-pura
menciumnya. Lalu ia berkata : “Bolehkah kuulangi lagi?”
Maka ketika itulah,
Muhammad bin Maslamah berhasil melumpuhkannya, kemudian ia berkata : “Giliran
kalian, bunuhlah dia !”.
Mereka akhirnya berhasil
membunuhnya.” ( HR. Bukhori no. 4037 dan Muslim no. 1801)
Kemudian, orang-orang
yahudi datang kepada Nabi ﷺ setelah terbunuhnya Ka‘ab bin Al-Asyrof.
Mereka berkata, “Wahai
Muhammad, teman kami terbunuh tadi malam, padahal dia adalah salah satu tokoh
pemuka kami. Ia dibunuh secara diam-diam (ightiyal) tanpa dosa dan kesalahan
apa pun sejauh yang kami tahu.”
Rasulullah ﷺ
bersabda,
إِنَّهُ لَوْ فَرَّ كَمَا فَرَّ غَيْرُهُ
مِمَّنْ هُوَ عَلَى مِثْلِ رَأْيِهِ مَا اغْتِيْلَ ، وَلَكِنَّهُ آذَانَا وَهَجَانَا
بِالشِّعْرِ وَلَمْ يَفْعَلْ هَذَا أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلاَّ كَانَ لِلسَّيْفِ
“Sungguh, kalau dia
melarikan diri sebagaimana orang seperti yang sepemikiran dengannya melarikan
diri, tentu ia tidak akan dibunuh dengan cara ightiyal, akan tetapi dia
menyakiti kami dan melecehkan kami dengan syair-syair-nya.
Dan tidak ada satu pun
dari kalian yang melakukan perbuatan seperti ini kecuali pedang lah
pilihannya.”
[Yakni , kalian juga jika
diperlakukan seperti ini pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang aku
lakukan terhadap Ka’ab bin Asyraf].
(HR. Bukhori no. 4037 dan
Muslim no. 1801 ).
Ka’ab bin Al Asyraf
memang biasa memprovokasi orang-orang musyrik untuk memusuhi kaum muslimin. Ia
juga mencela dan melelecehkan Nabi ﷺ dengan syair-syairnya dan menggoda isteri-isteri kaum muslimin.
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata :
“Di dalam Mursal Ikrimah
dikisahkan, pagi harinya kaum yahudi ketakutan, lalu mereka datang kepada Nabi ﷺ dan
berkata, “Pemuka kami terbunuh secara diam-diam,” akhirnya Nabi ﷺ
menceritakan kelakuan Ka‘ab kepada mereka, di mana ia suka memprovokasi orang
untuk menyakiti beliau dan kaum muslimin.
Sa‘ad menambahkan, “Maka
mereka menjadi takut dan tidak menjawab sedikit pun.”
*****
KEDUA : KEHORMATAN UMAT ISLAM PADA MASA KEJAYAAN ISLAM.
===
KE 1 : PADA MASA KHALIFAH
AL-MU’TASIM BILLAH :
Kisah wanita yang terjadi
pada masa khalifah al-Mu’tashim Billah, khalifah kedelapan dinasti Abbasiyah.
KISAH SINGKATNYA :
Kota Amurriyah yang
dikuasai oleh Romawi saat itu berhasil ditaklukkan oleh al-Mu’tashim.
Pada penyerangan itu
sekitar 3.000 tentara Romawi tewas terbunuh dan sekitar 30.000 menjadi tawanan.
Dan di antara faktor yang
mendorong penaklukan kota ini adalah karena adanya seorang wanita muslimah dari
sebuah kota pesisir yang ditawan di sana.
Wanitu itu berseru :
“Wahai Muhammad, wahai Mu’tashim!”
Setelah informasi itu ada
yang menyampaikannya kepada khalifah,
maka ia pun segera menunggang kudanya dan membawa bala tentara untuk
menyelamatkan wanita tersebut plus menaklukkan kota tempat wanita itu ditawan.
Setelah berhasil
menyelamatkan wanita tersebut al-Mu’tashim mengatakan :
“Kupenuhi seruanmu, wahai wanita!”
KISAH LEBIH
LENGKAP-NYA :
Dalam salah satu
riwayat menyebutkan bahwa seorang lelaki datang kepada Al-Mu'tashim dan
memberitahunya tentang suatu peristiwa yang ia saksikan seraya berkata:
«يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، كُنْتُ بِعَمُّورِيَّةَ
فَرَأَيْتُ امْرَأَةً عَرَبِيَّةً فِي السُّوقِ مَهِيبَةً جَلِيلَةً تُسْحَلُ إِلَى
السِّجْنِ فَصَاحَتْ فِي لَهْفَةٍ: وَامُعْتَصِمَاهْ وَامُعْتَصِمَاهْ.»
"Wahai Amirul
Mukminin, aku berada di 'Ammuriyyah dan melihat seorang wanita Arab di pasar
yang tampak terhormat dan mulia diseret menuju penjara. Maka ia berteriak
dengan penuh harap: wahai Mu'tashimah, wahai Mu'tashimah."
Lalu Al-Mu'tashim
mengirimkan surat kepada Gubernur 'Ammuriyyah seraya berkata:
«مِنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ إِلَى كَلْبِ الرُّومِ
أَخْرِجِ الْمَرْأَةَ مِنَ السِّجْنِ وَإِلَّا أَتَيْتُكَ بِجَيْشٍ بَدَايَتُهُ عِنْدَكَ
وَنِهَايَتُهُ عِنْدِي».
فَلَمْ يَسْتَجِبِ الْأَمِيرُ الرُّومِيُّ
وَانْطَلَقَ الْمُعْتَصِمُ بِجَيْشِهِ لِيَسْتَعِدَّ لِمُحَاصَرَةِ عَمُّورِيَّةَ فَمَضَى
إِلَيْهَا، فَلَمَّا اسْتَعْصَتْ عَلَيْهِ قَالَ: «اجْعَلُوا النَّارَ فِي الْمَجَانِيقِ
وَارْمُوا الْحُصُونَ رَمْيًا مُتَتَابِعًا» فَفَعَلُوا، فَاسْتَسْلَمَتْ وَدَخَلَ
الْمُعْتَصِمُ عَمُّورِيَّةَ فَبَحَثَ عَنِ الْمَرْأَةِ فَلَمَّا حَضَرَتْ قَالَ لَهَا:
«هَلْ أَجَابَكِ الْمُعْتَصِمُ؟» قَالَتْ: «نَعَمْ»
"Dari Amirul
Mukminin kepada anjing bangsa Romawi, bebaskan wanita itu dari penjara, jika
tidak, aku akan datang kepadamu dengan pasukan yang baris terdepannya ada di
sisimu dan baris terakhirnya ada padaku."
Namun Amir Romawi tidak
menanggapi, lalu Al-Mu'tashim pun berangkat bersama pasukannya untuk bersiap
mengepung 'Ammuriyyah dan berangkat ke sana.
Ketika kota itu sulit
ditaklukkan, ia berkata:
«اجْعَلُوا النَّارَ فِي الْمَجَانِيقِ
وَارْمُوا الْحُصُونَ رَمْيًا مُتَتَابِعًا»
"Nyalakan api di dalam
manjaniq dan lontarkan terus-menerus ke benteng."
Maka mereka melakukannya
hingga kota itu menyerah. Al-Mu'tashim pun memasuki 'Ammuriyyah dan mencari
wanita itu. Ketika ia dihadirkan, Al-Mu'tashim berkata padanya:
«هَلْ أَجَابَكِ الْمُعْتَصِمُ؟»
"Apakah Mu'tashim
menjawab panggilanmu?"
Wanita itu menjawab:
"Ya."
Ketika lelaki yang
melaporkan peristiwa itu dihadirkan, wanita itu berkata kepadanya:
«هَذَا هُوَ الْمُعْتَصِمُ قَدْ جَاءَ
وَأَخْزَاكَ»
"Inilah Al-Mu'tashim
telah datang dan telah menghinakanmu."
Lelaki itu berkata:
«قُولِي فِيهِ قَوْلَكِ».
"Katakanlah pendapatmu
tentangnya."
Wanita itu berkata:
«أَعَزَّ اللَّهُ مُلْكَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ،
بِحَسْبِي مِنَ الْمَجْدِ أَنَّكَ ثَأَرْتَ لِي. بِحَسْبِي مِنَ الْفَخْرِ أَنَّكَ
انْتَصَرْتَ، فَهَلْ يَأْذَنُ لِي أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فِي أَنْ أَعْفُوَ عَنْهُ
وَأَدَعَ مَالِي لَهُ؟»
"Semoga Allah memuliakan
kekuasaan Amirul Mukminin. Cukuplah bagiku sebagai kemuliaan bahwa engkau
membalaskan untukku. Cukuplah bagiku sebagai kebanggaan bahwa engkau telah
membela. Maka apakah Amirul Mukminin mengizinkanku untuk memaafkannya dan
memberikan hartaku kepadanya?"
Al-Mu'tashim pun terkagum
dengan ucapannya dan berkata kepadanya:
«لَأَنْتِ جَدِيرَةٌ حَقًّا بِأَنْ حَارَبْنَا
الرُّومَ ثَأْرًا لَكِ. وَلْتَعْلَمِ الرُّومُ أَنَّنَا نَعْفُو حِينَمَا نَقْدِرُ».
"Sungguh engkau
benar-benar pantas untuk diperjuangkan melawan bangsa Romawi demi
membalaskanmu. Dan hendaknya bangsa Romawi mengetahui bahwa kita memaafkan
ketika kita mampu."
Sebagian perawi
menyebutkan bahwa seorang wanita yang ditawan oleh bangsa Romawi berkata:
"Wahai Mu'tashimah !!!!”.
Maka peristiwa itu
dilaporkan kepada Mu’tashim, dan saat itu di tangannya ada gelas yang hendak ia
minum isinya, lalu ia meletakkannya dan segera memerintahkan persiapan perang.
Disebutkan bahwa wanita
itu berada di salah satu pasar, dan ada seorang lelaki Romawi yang sedang
melewati pasar melihatnya lalu mencoba mengganggunya dan memegang ujung
jilbabnya.
Maka wanita itu
berteriak: "Wahai Mu'tashimah," suaranya didengar oleh para pengikut
Al-Mu'tashim dan mereka menyampaikannya kepadanya. Maka ia pun memerintahkan
untuk mempersiapkan pasukan besar dan bersiap untuk perang.
Riwayat lain
menyebutkan :
Bahwa bangsa Romawi
memanfaatkan kesibukan khalifah Al-Mu'tashim dalam memadamkan pemberontakan
Babak Al-Khurrami, lalu mereka mempersiapkan pasukan besar yang dipimpin oleh
raja mereka, berjumlah lebih dari seratus ribu tentara.
Mereka menyerang wilayah
utara Syam dan Al-Jazirah, lalu memasuki kota Zibatrah yang terletak di daerah
perbatasan dan biasa digunakan untuk menyerang Romawi.
Pasukan Romawi membunuh
semua lelaki dalam benteng kota tersebut, lalu berpindah ke kota Malathiyah
yang berdekatan, menyerangnya, serta menyerang banyak benteng lainnya.
Mereka menyiksa kaum
Muslimin yang mereka tangkap, mencungkil mata mereka, memotong telinga dan
hidung mereka, dan menawan lebih dari seribu wanita Muslimah sebagaimana
dikatakan.
Berita-berita mengerikan
ini sampai ke telinga khalifah. Para pelarian menceritakan kekejaman yang
dilakukan oleh bangsa Romawi, maka ia segera bergerak dan mengenakan serban
para pejuang, lalu langsung menyerukan mobilisasi dan persiapan perang.
Al-Mu'tashim keluar
memimpin pasukan besar yang dipersiapkan dengan perlengkapan, logistik,
senjata, dan alat-alat perang serta pengepungan yang belum pernah dipersiapkan
oleh siapapun sebelumnya.
Ia sampai ke wilayah
perbatasan, dan pasukannya menghancurkan kota Ankara, lalu bergerak menuju
'Ammuriyyah pada bulan Jumadil Ula tahun 223 H, bertepatan dengan April 838 M,
dan mengepung kota kuat itu selama kurang lebih setengah tahun.
Kota itu mengalami
penderitaan hebat hingga akhirnya menyerah. Kaum Muslimin memasuki kota itu
pada tanggal 17 Ramadan tahun 223 H, bertepatan dengan 13 Agustus 838 M,
setelah tiga puluh ribu orang dari penduduknya terbunuh.
Kaum Muslimin memperoleh
harta rampasan yang besar, dan khalifah Al-Mu'tashim memerintahkan untuk
merobohkan tembok dan gerbang kota tersebut. Kemenangan besar ini menggema di
negeri-negeri kaum Muslimin dan para penyair besar mengkhususkan kemenangan ini
dengan puisi-puisi pujian.
[Al-Mubarak, Ahmad (27
April 2020). ""Wa Mu‘taṣimah" – Seruan yang
Meruntuhkan Benteng 'Amuriyyah.. Ketahui Kisah Penaklukannya di Bulan
Ramadan". Ṣaḥīfat Sabq al-Iliktrūniyyah. Diarsipkan dari
versi asli pada 8 Februari 2023. Diakses pada 16 Januari 2024].
SYA’IR ABU
TAMMAM TENTANG KEMENANGAN KHALIFAH AL-MU’TASHIM.
Syair karya Abu Tammam
dalam qashidah bā’iyyah-nya yang terkenal,
memuji Khalifah al-Mu'tashim setelah kemenangan besar di ‘Amuriyyah:
السَّيْفُ أَصْدَقُ أَنْبَاءً مِنَ الْكُتُبِ
** فِي حَدِّهِ الْحَدُّ بَيْنَ الْجِدِّ وَاللَّعِبِ
**Pedang
lebih jujur dalam memberi kabar dibandingkan buku-buku,
pada
ketajamannya terdapat pembeda antara kesungguhan dan permainan.**
بِيْضُ الصَّفَائِحِ لَا سُودُ الصَّحَائِفِ
** فِي مُتُونِهِنَّ جَلَاءُ الشَّكِّ وَالرِّيبِ
**Putihnya
mata pedang, bukan hitamnya lembaran buku,
pada
bilah-bilahnya terkandung penjelasan bagi keraguan dan prasangka.**
وَالْعِلْمُ فِي شُهُبِ الْأَرْمَاحِ
لَامِعَةٌ ** بَيْنَ الْخَمِيسَيْنِ، لَا فِي السَّبْعَةِ الشُّهُبِ
**Ilmu
bersinar di ujung-ujung tombak yang menyala,
di antara
dua pasukan besar, bukan pada tujuh bintang di langit.**
أَيْنَ الرِّوَايَةُ؟ بَلْ أَيْنَ النُّجُومُ،
وَمَا ** صَاغُوهُ مِنْ زُخْرُفٍ فِيهَا وَمِنْ كَذِبِ
**Mana
kisah-kisah lama? Bahkan mana bintang-bintang,
dan apa yang
mereka reka di dalamnya dari perhiasan dan kebohongan?**
يَا يَوْمَ وَقْعَةِ عَمُّورِيَّةَ انْصَرَفَتْ
** عَنْكَ الْمُنَى حَفَلًا مَعْسُولَةَ الْحَلَبِ
**Wahai hari
pertempuran di ‘Amuriyyah, engkau telah berlalu,
dengan
harapan-harapan yang datang kepadamu penuh dan manis seperti susu perahan.**
لَقَدْ تَرَكْتَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ
بِهَا ** لِلنَّارِ يَوْمًا ذَلِيلَ الصَّخْرِ وَالْخَشَبِ
**Sungguh
engkau telah menjadikan Amirul Mukminin di sana
seperti api
yang menghinakan batu dan kayu.**
غَادَرْتَ بِهَا بَهِيمَ اللَّيْلِ وَهْوَ
**ضُحًى يُشِلُّهُ وَسْطَهَا صُبْحٌ مِنَ اللَّهَبِ
**Engkau
tinggalkan malam gelap gulita saat itu
telah
menjadi siang yang terpotong oleh cahaya api.**
حَتَّى كَأَنَّ جَلَابِيبَ الدُّجَى رَغِبَتْ
** عَنْ لَوْنِهَا، أَوْ كَأَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَغِبِ
**Hingga
seakan-akan pakaian malam telah meninggalkan warnanya,
atau
seakan-akan matahari tidak pernah terbenam.**
ضَوْءٌ مِنَ النَّارِ وَالظُّلْمَاءُ
عَاكِفَةٌ ** وَظُلْمَةٌ مِنْ دُخَانٍ فِي ضُحًى شَحِبِ
**Cahaya
dari api bersinar di tengah kegelapan,
dan
kegelapan dari asap memenuhi waktu pagi yang pucat.**
فَتْحُ الْفُتُوحِ تَعَالَى أَنْ يُحِيطَ
بِهِ ** نَظْمٌ مِنَ الشِّعْرِ أَوْ نَثْرٌ مِنَ الْخُطَبِ
**Kemenangan
dari segala kemenangan — terlalu agung untuk dijangkau
oleh syair
yang teratur atau pidato yang tersusun.**
فَتْحٌ تَفَتَّحَ أَبْوَابَ السَّمَاءِ
لَهُ ** وَتُبْرِزُ الْأَرْضُ فِي أَثْوَابِهَا الْقُشُبِ
**Kemenangan
yang membuat langit terbuka baginya,
dan bumi
menampakkan dirinya dalam pakaian terbaiknya.**
أَبْقَيْتَ جِدَّ بَنِي الْإِسْلَامِ
فِي صَعَدٍ ** وَالْمُشْرِكِينَ وَدَارَ الشِّرْكِ فِي صَبَبِ
**Engkau
telah mengangkat martabat kaum muslimin ke tempat yang tinggi,
dan menurunkan
kaum musyrik dan negeri kesyirikan ke tempat yang rendah.**
تَدْبِيرُ مُعْتَصِمٍ بِاللَّهِ مُنْتَقِمٍ
** لِلَّهِ مُرْتَقِبٍ فِي اللَّهِ مُرْتَغِبِ
**Itulah
kebijakan al-Mu’tashim yang bersandar kepada Allah,
penuntut
balas karena Allah, menunggu pahala dari Allah, dan mengharapkannya.**
لَبَّيْتَ صَوْتًا زِبَطْرِيًّا هَرَقْتَ
لَهُ ** كَأْسَ الْكَرَى وَرُضَابَ الْخُرَّدِ الْعُرُبِ
**Engkau
jawab suara dari Zibatra, lalu engkau tumpahkan
cawan tidur
dan liur para gadis cantik dari bangsa Arab.**
[Baca : Samthun Nujum
al-Awaali karya Abdul Malik bin Husein al-‘Ishomi 3/453-454 dan Majaani
al-Adab karya Rizqullah Syaikhu 6/261]
====
KE 2 : PADA MASA UMAT
ISLAM BERKUASA DI ANDALUSIA - EROPA
Kisah yang kedua,
dikisahkan tentang sultan al-Hajib al-Manshur, salah seorang pemimpin Daulah
Amiriyah di Andalusia - Spanyol Eropa yang menggerakkan pasukan utuh dan
lengkap untuk menyelamatkan tiga wanita Muslimah yang menjadi tawanan di
kerajaan Navarre.
Sultan al-Hajib
al-Manshur : Dia adalah Muhammad bin Abi ‘Amir memegang tampuk kekuasaan sejak
tahun 366 H (976 M) hingga wafatnya –rahimahullah– pada tahun 392 H (1002 M).
Ia menghabiskan masa
pemerintahannya dalam jihad yang terus-menerus tanpa henti melawan
kerajaan-kerajaan Nasrani di utara, disertai dengan pengelolaan dan kebijakan
internal yang baik, hingga Andalus mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahannya.
[Referensi : Ibnu
‘Adzari: *Al-Bayān al-Mughrib* 2/301, *Tārīkh Ibni Khaldūn* 4/148, al-Maqrī: *Nafḥu al-Ṭīb* 1/398.]
Peperangan Sultan
al-Hajib al-Manṣūr Ibnu Abi ‘Āmir :
Muhammad bin Abi ‘Amir
melancarkan 54 kali ekspedisi militer sepanjang hidupnya, dan tidak pernah
mengalami kekalahan satu kali pun. Bahkan, yang lebih mengagumkan, ia berhasil
mencapai wilayah-wilayah dalam Kerajaan Leon dan negeri-negeri Nasrani yang
belum pernah dicapai oleh siapa pun sebelumnya, bahkan oleh para penakluk
pertama seperti Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad. Al-Ḥājib al-Manṣūr –rahimahullah– berhasil
mencapai wilayah *Ash-Shakhrah* (batu karang), sebuah daerah yang belum pernah
ditaklukkan oleh kaum Muslimin sebelumnya. Ia mampu menggempur kaum Nasrani
sampai ke jantung negeri mereka. Bahkan ia mencapai Teluk Biscay dan Samudra
Atlantik di sebelah utara. Dalam seluruh ekspedisi tersebut, tidak pernah panjinya
roboh, tidak pernah pasukannya dikalahkan, tidak ada bala tentaranya yang
binasa, dan tidak ada satu regu pun yang musnah.
[Lihat rinciannya dalam
Ibnu ‘Adzari: *Al-Bayān al-Mughrib* 2/294, dan
al-Maqrī: *Nafḥu ath-Ṭhībb* 1/413.]
Sebelumnya, yang umum dan
yang biasa dilakukan adalah berjihad hanya pada musim panas (*ṣhawā’if*), namun al-Ḥājib al-Manṣūr melakukan jihad dua kali
setiap tahun. Dua masa ini dikenal dengan sebutan *ṣhawā’if* (musim panas) dan *syawātī* (musim dingin).
Diantara
Jihad Sultan al-Hajib al-Manṣūr Adalah Mengirim
Pasukan Besar untuk Menyelamatkan Tiga Wanita Muslimah:
Disebutkan dalam riwayat
tentang peperangan al-Ḥājib al-Manṣūr bahwa ia pernah mengirim pasukan penuh hanya untuk menyelamatkan tiga
perempuan Muslimah yang menjadi tawanan di Kerajaan Navarre.
Saat itu, antara dirinya
dan Kerajaan Navarre terdapat perjanjian damai. Pihak Navarre membayar jizyah
kepadanya, dan salah satu syarat dalam perjanjian tersebut adalah mereka tidak
boleh menawan seorang pun dari kaum Muslimin atau menahan mereka di negeri
mereka.
Kisah ini bermula ketika
seorang utusan sultan pergi menuju kerajaan Navarre.
Suatu ketika, seorang
utusan al-Manṣūr pergi ke Kerajaan
Navarre untuk menyampaikan pesan kepada rajanya. Setelah menyampaikan pesan,
mereka mengadakan penyambutan untuk sang utusan. Dalam salah satu acara
tersebut, ia melihat tiga perempuan Muslimah di sebuah gereja. Ia terkejut melihat
mereka di sana. Ketika ditanya, para perempuan itu menjawab bahwa mereka adalah
tawanan di tempat tersebut.
Seketika itu, utusan
al-Manṣūr pun sangat marah dan segera kembali untuk
menyampaikan hal itu kepada al-Manṣūr. Maka, al-Manṣūr segera memerintahkan pasukan besar untuk berangkat menyelamatkan
mereka.
Ketika pasukan sampai di
wilayah Navarre, Raja Navarre merasa heran dan berkata :
نَحْنُ لَا نَعْلَمُ لِمَاذَا جِئْتُمْ،
وَقَدْ كَانَتْ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ مُعَاهَدَةٌ عَلَى أَلَّا نَتَقَاتَلَ، وَنَحْنُ
نَدْفَعُ لَكُمُ الْجِزْيَةَ.
“Kami tidak tahu mengapa
kalian datang. Bukankah ada perjanjian antara kita untuk tidak saling
memerangi? Kami juga membayar jizyah kepada kalian.”
Namun, dengan penuh
kehormatan tanpa kesombongan, para utusan menjawab :
إِنَّكُمْ خَالَفْتُمْ عَهْدَكُمْ، وَاحْتَجَزْتُمْ
عِندَكُمْ أَسِيرَاتٍ مُسْلِمَاتٍ.
“Kalian telah melanggar
perjanjian. Kalian menahan tawanan perempuan Muslimah di negeri kalian.”
Raja berkata :
لَا نَعْلَمُ بِهِنَّ.
“Kami tidak tahu tentang
mereka.”
Maka utusan itu pun pergi
ke gereja dan mengeluarkan tiga perempuan itu.
Raja Navarre berkata :
إِنَّ هَؤُلَاءِ النِّسْوَةَ لَا نَعْرِفُ
بِهِنَّ؛ فَقَدْ أَسَرَهُنَّ جُنْدِيٌّ مِنَ الْجُنُودِ.
“Kami tidak tahu apa-apa
tentang mereka. Mereka ditawan oleh salah satu prajurit”.
Lalu prajurit itu
dihukum. Kemudian sang raja mengirimkan surat kepada al-Ḥājib al-Manṣūr berisi permintaan maaf
yang besar, dan ia memberitahukan bahwa gereja tempat para perempuan itu ditawan
telah dihancurkan. Maka al-Ḥājib al-Manṣūr kembali ke negerinya bersama tiga perempuan Muslimah itu.
[Sumber: Ibnu ‘Adzārī: *al-Bayān
al-Mughrib*, 2/297; al-Maqrī: *Nafḥ al-Ṭīb*, 1/403.]
Ia mengumpulkan debu yang
menempel pada pakaiannya untuk dikuburkan bersamanya di dalam kuburnya,
mengikuti hadits Rasulullah ﷺ:
«... وَلاَ يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِى سَبِيلِ اللهِ
وَدُخَانُ جَهَنَّمَ»
“... dan tidak akan
berkumpul debu di jalan Allah dan asap neraka Jahannam.”
*(HR. at-Tirmidzi: Kitab
Fadhā'il al-Jihād, Bab
Fadhli al-Ghubār fī Sabīlillah, no. 1633, dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu, dan ia berkata: hadits hasan shahih. Diriwayatkan juga oleh an-Nasa'i
no. 4316, Ibnu Majah no. 2774, Ahmad no. 10567, dan al-Hakim no. 7667, ia
berkata: ini hadits shahih sanadnya dan tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan
Muslim).*
Maka sudah menjadi
kebiasaan al-Hajib al-Manshur –rahimahullah– dalam jihadnya bahwa setiap
selesai dari sebuah pertempuran, ia menepuk-nepuk pakaiannya, lalu mengambil
debu yang jatuh darinya dan memasukkannya ke dalam sebuah botol kecil. Kemudian
ia berwasiat di akhir hayatnya agar botol tersebut dikuburkan bersamanya. Hal
itu dilakukannya agar botol tersebut menjadi saksi pada hari kiamat atas
jihadnya melawan kaum Nasrani.
Salah satu ciri paling
menonjol dari jihad al-Hajib al-Manshur adalah bahwa ia selalu memulai dengan
menyerang terlebih dahulu. Ia berusaha menggagalkan konspirasi sejak dari
akar-akarnya dan tidak hanya menunggu dalam posisi bertahan sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang sebelum dirinya.
*(Sumber: Muhammad
Abdullah 'Inan, “Dawlat al-Islām fī al-Andalus”, jilid 2, hlm. 540).*
===****===
DALIL AL-QUR
DAN HADITS :
TERKAIT ATURAN POLITIK ANTARA PEMERINTAH DAN RAKYAT.
*****
Kewajiban
Taat kepada Pemimpin dalam Hal yang Bukan Maksiat dan Haramnya Taat kepada Mereka
dalam Hal Maksiat
Allah Ta’ala
berfirman:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ﴾
*"Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di
antara kalian"* (An-Nisa: 59).
Dari Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
عَلى المَرْءِ المُسْلِم السَّمْعُ
والطَّاعَةُ فِيما أَحَبَّ وكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإذا
أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طاعَةَ
*"Seorang muslim
wajib mendengar dan taat dalam perkara yang ia sukai maupun ia benci, kecuali
jika diperintahkan untuk bermaksiat. Jika diperintahkan untuk bermaksiat, maka
tidak ada kewajiban mendengar dan taat."*(Hadits Muttafaq ‘alaih)
Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata:
كُنَّا إِذَا بايَعْنَا رسُولَ
اللَّهِ ﷺ عَلى السَّمْعِ والطَّاعةِ يقُولُ لَنَا: «فِيمَا اسْتَطَعْتُمْ»
*"Kami dahulu
apabila membaiat Rasulullah ﷺ untuk mendengar dan taat, beliau bersabda kepada kami: 'Dalam
hal yang kalian mampu.’"* (Hadits Muttafaq ‘alaih)
Dan dari Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda:
مَنْ خلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
لَقِيَ اللَّه يَوْم القيامَةِ ولا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ ماتَ وَلَيْسَ في
عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتةً جَاهِليَّةً
“Barang siapa melepaskan
tangan dari ketaatan, maka ia akan menemui Allah pada hari kiamat tanpa
memiliki hujjah (alasan). Dan barang siapa meninggal dalam keadaan tidak ada
baiat di lehernya, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.'"* (Diriwayatkan
oleh Muslim)
Dalam riwayat Muslim
yang lain disebutkan:
ومَنْ ماتَ وَهُوَ مُفَارِقٌ
لِلْجَماعةِ؛ فَإنَّهُ يمُوت مِيتَةً جَاهِليَّةً.
*"Dan barang siapa
meninggal dalam keadaan berpisah dari jamaah (kaum muslimin), maka ia mati
dalam keadaan mati jahiliyah."*
Dari Anas radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
اسْمَعُوا وأطِيعُوا وإنِ
اسْتُعْمِلَ علَيْكُمْ عَبْدٌ حبشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
"Dengarlah dan
taatlah, meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habsyi yang
kepalanya seperti kismis."* (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
عليْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعةُ في عُسْرِكَ
ويُسْرِكَ، وَمنْشَطِكَ ومَكْرَهِكَ، وأَثَرَةٍ عَلَيْك
"Wajib atas kalian untuk
mendengar dan taat, dalam keadaan sulit maupun mudah, dalam keadaan semangat
maupun enggan, dan meskipun kepemimpinan itu lebih mengutamakan (kepentingan)
mereka atas kalian." (Hadits riwayat Muslim)
Dari Abdullah bin Amr
radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
كُنَّا مَع رسول اللَّهِ ﷺ في سَفَرٍ،
فَنَزَلْنا مَنْزِلًا، فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِباءَهُ، ومِنَّا مَنْ يَنْتَضِلُ،
وَمِنَّا مَنْ هُوَ في جَشَرِهِ، إذْ نادَى مُنَادي رسولِ اللَّهِ ﷺ: "الصَّلاة
جامِعةٌ"، فاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَ:
"إنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبيٌّ قَبْلِي إلَّا
كَانَ حَقًّا علَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلى خَيرِ مَا يَعْلَمُهُ لهُمْ، ويُنذِرَهُم
شَرَّ مَا يعلَمُهُ لهُم، وإنَّ أُمَّتَكُمْ هذِهِ جُعِلَ عَافيتُها في أَوَّلِها،
وسَيُصِيبُ آخِرَهَا بلاءٌ وأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا، وتجيءُ فِتَنٌ يُرَقِّقُ بَعضُها
بَعْضًا، وَتَجِيءُ الفِتْنَةُ فَيقُولُ المُؤمِنُ: هذِهِ مُهْلِكَتي، ثُمَّ تَنْكَشِفُ،
وتجيءُ الفِتنَةُ فَيَقُولُ المُؤْمِنُ: هذِهِ، هذِهِ.
فَمَنْ أَحَبَّ أنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ
ويُدْخَلَ الجنَّةَ فَلْتَأْتِهِ منيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ،
ولْيَأْتِ إِلَى الناسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤتَى إلَيْهِ، ومَنْ بَايَع إمَامًا
فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يدِهِ، وثمَرةَ قَلْبهِ؛ فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ، فَإنْ
جَاءَ آخَرُ يُنازعُهُ فاضْربُوا عُنُقَ الآخَرِ
Kami pernah bersama
Rasulullah ﷺ dalam
suatu perjalanan. Lalu kami singgah di suatu tempat. Sebagian dari kami ada
yang memperbaiki tenda, sebagian lagi ada yang sedang memanah, dan sebagian
lagi sibuk dengan hewan tunggangannya. Tiba-tiba penyeru Rasulullah ﷺ
menyerukan, "Shalat berjamaah akan didirikan!" Maka kami pun
berkumpul kepada Rasulullah ﷺ. Beliau lalu bersabda:
"Sesungguhnya
tidaklah ada seorang nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk
menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang diketahuinya untuk mereka, dan
memperingatkan mereka dari segala keburukan yang diketahuinya untuk mereka.
Dan sesungguhnya umat
kalian ini, telah dijadikan masa keselamatannya di awalnya, dan akan datang
pada akhirnya bala dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Akan datang
fitnah-fitnah, sebagian dari fitnah itu membuat yang sebelumnya terasa ringan. Dan
datanglah suatu fitnah, lalu seorang mukmin berkata: 'Inilah yang akan
membinasakanku,' kemudian fitnah itu berlalu. Lalu datang lagi fitnah lainnya,
dan ia berkata: 'Inilah, inilah (yang membinasakanku).'
Barangsiapa yang ingin
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ketika datang ajal
kepadanya dalam keadaan ia beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah
ia memperlakukan manusia dengan cara yang ia sendiri suka diperlakukan seperti
itu olehnya.
Barangsiapa membaiat
seorang imam, lalu ia memberikan janji setianya dengan jabat tangan dan
kesungguhan hati, maka hendaklah ia taat kepadanya semampunya. Jika datang
orang lain yang ingin merebut kekuasaan darinya, maka penggallah leher orang
yang kedua itu." (Hadits riwayat Muslim)
Dari Abu Hunaidah Wail
bin Hujr radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
سأَلَ سَلَمةُ بنُ يزيدَ الجُعْفيُّ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ فقالَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أرَأَيْتَ إنْ قَامَتْ علَيْنَا أُمَراءُ يَسأَلُونَا
حقَّهُمْ، ويَمْنَعُونَا حقَّنا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟ فَأَعْرضَ عنه، ثُمَّ سألَهُ،
فَقَال رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: اسْمَعُوا وأطِيعُوا، فَإنَّما علَيْهِمْ ما حُمِّلُوا،
وعلَيْكُم مَا حُمِّلْتُمْ
Salama bin Yazid al-Ju'fi
pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ:
"Wahai Nabi Allah,
bagaimana pendapat Anda jika suatu saat para pemimpin berkuasa atas kami,
mereka meminta hak mereka, namun mereka tidak memberikan hak kami, maka apa
yang Anda perintahkan kepada kami?"
Maka Rasulullah ﷺ
berpaling darinya. Lalu ia mengulangi pertanyaannya. Maka Rasulullah ﷺ
bersabda:
"Dengarlah dan
taatilah! Karena sesungguhnya tanggung jawab mereka adalah atas apa yang mereka
pikul, dan tanggung jawab kalian adalah atas apa yang kalian pikul." (Hadits
riwayat Muslim)
Dari Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
إنَّهَا ستَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وأُمُورٌ
تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: يَا رسُولَ اللَّهِ، كَيفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا
ذلكَ؟ قَالَ: تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وتَسْأَلُونَ اللَّهَ الذي لَكُمْ
"Sesungguhnya akan
terjadi setelahku kekuasaan yang memihak (kepada kepentingan diri mereka
sendiri) dan perkara-perkara yang kalian ingkari." Mereka berkata,
"Wahai Rasulullah, bagaimana engkau perintahkan kepada orang yang
mengalami hal itu?" Beliau ﷺ bersabda, "Tunaikanlah hak yang
menjadi kewajiban kalian, dan mintalah kepada Allah hak kalian."
(Muttafaqun ‘alaih)
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَطَاعَني فَقَدْ أَطَاعَ اللَّه،
وَمَنْ عَصَاني فَقَدْ عَصَى اللَّه، وَمَنْ يُطِعِ الأمِيرَ فَقَدْ أطَاعَني، ومَنْ
يَعْصِ الأمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
"Barang siapa taat
kepadaku, maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka
kepadaku, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah. Barang siapa taat kepada
pemimpin, maka sungguh ia telah taat kepadaku. Dan barang siapa durhaka kepada
pemimpin, maka sungguh ia telah durhaka kepadaku." (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَرِه مِنْ أَمِيرِهِ شيْئًا فَلْيَصْبِر،
فإنَّهُ مَن خَرج مِنَ السُّلطَانِ شِبرًا مَاتَ مِيتَةً جاهِلِيةً
"Barang siapa
membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Karena siapa yang
keluar dari ketaatan kepada penguasa sejengkal saja, maka ia mati dalam keadaan
mati jahiliyah." (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Abu Bakrah
radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda:
مَن أهَانَ السُّلطَانَ أَهَانَهُ اللَّه
"Barang siapa
menghinakan penguasa, maka Allah akan menghinakannya." (Hadits riwayat
at-Tirmidzi, dan ia berkata: hadits ini hasan)
Dan masih banyak hadits
lain yang berkaitan dengan politik dalam kitab-kitab shahih.
****
“Larangan
Meminta Jabatan dan Anjuran untuk Meninggalkan Kepemimpinan Jika Tidak Wajib
atau Tidak Ada Kebutuhan Mendesak”.
Allah Ta'ala
berfirman:
﴿ تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ
لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾
"Itulah negeri
akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian
di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan kesudahan yang baik adalah
bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Qashash: 83)
Dari Abu Sa’id
Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda kepadaku:
"قَالَ لي رَسُولُ اللَّه ﷺ: يَا عَبدَالرَّحمن
بن سمُرَةَ، لا تَسْأَل الإمارَةَ؛ فَإنَّكَ إن أُعْطِيتَها عَن غَيْرِ مسأَلَةٍ أُعِنْتَ
علَيها، وَإنْ أُعْطِيتَها عَن مسأَلةٍ وُكِلْتَ إلَيْها، وإذَا حَلَفْتَ عَلى يَمِينٍ
فَرَأَيتَ غَيرها خَيرًا مِنهَا؛ فَأْتِ الَّذِي هُو خيرٌ، وكفِّر عَن يَمينِكَ".
"Wahai Abdurrahman
bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Karena jika engkau diberi
jabatan tanpa memintanya, engkau akan dibantu mengembannya. Namun jika engkau
diberi karena memintanya, maka engkau akan diserahkan (tanpa bantuan). Dan jika
engkau bersumpah atas sesuatu lalu engkau melihat yang lain lebih baik darinya,
maka lakukanlah yang lebih baik itu dan bayarlah kaffarah atas sumpahmu." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Dzar
radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku:
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: يَا أَبَا
ذَرٍّ، أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَنَّ
عَلَى اثْنَيْنِ، وَلَا تُوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ.
"Wahai Abu Dzar, aku
melihat engkau adalah orang yang lemah, dan aku menginginkan untukmu apa yang
aku inginkan untuk diriku sendiri. Janganlah engkau memimpin atas dua orang,
dan jangan pula engkau mengurusi harta anak yatim."* (HR. Muslim)
Dari Abu Dzar
radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي؟
فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ،
وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا
مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.
Aku berkata, "Wahai
Rasulullah, tidakkah engkau mempekerjakanku?" Maka beliau menepuk pundakku
lalu bersabda:
"Wahai Abu Dzar,
sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan pada
hari kiamat ia menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang
mengambilnya dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada padanya."* (HR.
Muslim)
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنَّكُمْ
سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
"Sesungguhnya kalian
akan berlomba-lomba dalam mendapatkan jabatan, dan itu akan menjadi penyesalan
pada hari kiamat." (HR. Bukhari)
****
“Anjuran
kepada Penguasa, Hakim, dan Para Pemegang Kekuasaan Lainnya untuk Mengangkat
Penasihat yang Saleh dan Peringatan terhadap Teman Buruk serta Menerima Nasihat
dari Mereka”.
Allah Ta'ala
berfirman:
﴿ الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ﴾
"Teman-teman akrab
pada hari itu sebagian mereka menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali
orang-orang yang bertakwa." (Az-Zukhruf: 67)
Teman akrab maksudnya
adalah orang-orang yang saling mencintai.
Ayat ini menunjukkan
anjuran untuk berteman dengan orang-orang yang baik, dan menjauhi pertemanan
dengan orang-orang yang sakit (rusak) dan durhaka. Maka seharusnya
sahabat-sahabat dan teman-teman akrabmu adalah dari kalangan orang-orang baik,
bertakwa, dan lurus. Dan hendaklah kamu berhati-hati terhadap teman-teman
buruk.
Dalam hadis Rasulullah
ﷺ
bersabda:
"الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ،
فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ"
*"Seseorang berada di
atas agama temannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan
dengan siapa ia berteman."*
Rasulullah ﷺ juga
bersabda:
"مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ كَحَامِلِ
الْمِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ
تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَالْجَلِيسُ السُّوءُ كَنَافِخِ الْكِيرِ: إِمَّا
أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً".
*"Perumpamaan teman
duduk yang baik seperti pembawa minyak wangi: bisa jadi ia memberimu sebagian,
atau kamu membelinya darinya, atau kamu mendapatkan bau harum darinya. Dan
perumpamaan teman duduk yang buruk seperti peniup api (pandai besi): bisa jadi
ia membakar pakaianmu, atau kamu mendapatkan bau busuk darinya."*
Dalam hal ini, jika Allah
menghendaki kebaikan pada seorang pemimpin, maka Dia akan menjadikan baginya
seorang penasihat yang jujur: jika pemimpin itu lupa, maka ia mengingatkannya,
dan jika ia ingat, maka ia membantunya. Namun jika Allah menghendaki
sebaliknya, maka Dia akan menjadikan baginya penasihat buruk: jika ia lupa, ia
tidak mengingatkannya, dan jika ia ingat, ia tidak membantunya. Demikian pula
setiap pemimpin memiliki dua jenis penasehat: penasehat yang menyuruhnya kepada
kebaikan dan mendorongnya untuk melakukannya, dan yang lainnya sebaliknya.
Maka sepatutnya bagi
seorang pemimpin, kepala suku, dan yang sejenis mereka untuk memiliki
penasihat-penasihat yang jujur dan teman-teman yang jujur, agar mereka
mengingatkannya kepada kebaikan dan membantunya dalam melakukannya. Dan wajib
bagi pemimpin serta kepala suku dan yang semisal mereka untuk berhati-hati
terhadap teman-teman duduk yang buruk, teman-teman yang buruk, dan
penasihat-penasihat yang buruk.
Dan hendaknya pemegang
kekuasaan tidak mengangkat orang yang sangat berambisi terhadap jabatan, atau
orang yang memintanya, karena bisa jadi ia tidak akan mendapatkan taufik.
Berbeda halnya dengan orang yang dipaksa untuk menerima jabatan dan tidak
menginginkannya, maka ia lebih mungkin untuk bersungguh-sungguh, berusaha, dan
mendapatkan taufik. Adapun orang yang sangat menginginkannya atau memintanya,
maka bisa jadi ia akan dikecewakan. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan
Allah.
Dari Abu Sa’id dan Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا بَعَثَ اللَّهُ مِن نَبِيٍّ وَلا
استَخْلَفَ مِنْ خَليفَةٍ إلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالمَعْرُوفِ
وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وتَحُضُّهُ عليهِ، والمَعْصُومُ
مَنْ عَصَمَ اللَّهُ
*"Tidaklah Allah
mengutus seorang nabi dan tidak pula mengangkat seorang khalifah (sebagai
pengganti dan penerus nabi) melainkan baginya ada dua jenis penasehat: penasehat
yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kepadanya, dan penasehat yang
menyuruh kepada kejahatan dan mendorongnya kepadanya. Dan orang yang terjaga dari
dosa adalah orang yang dijaga oleh Allah."* (HR. Bukhari no. 7198)
Dari Aisyah
radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا أرَادَ اللَّهُ بالأمِيرِ خَيْرًا
جَعَلَ لَهُ وزيرَ صِدْقٍ، إنْ نَسِيَ ذكَّرهُ، وَإن ذَكَرَ أعَانَهُ، وَإذا أَرَاد
بهِ غَيرَ ذَلِكَ جعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ، إنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْه، وَإن ذَكَرَ
لَمْ يُعِنْهُ
*"Jika Allah
menghendaki kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Dia menjadikan baginya
penasihat yang jujur: jika ia lupa, maka ia mengingatkannya, dan jika ia ingat,
maka ia membantunya. Dan jika Allah menghendaki sebaliknya, maka Dia menjadikan
baginya penasihat yang buruk: jika ia lupa, ia tidak mengingatkannya, dan jika
ia ingat, ia tidak membantunya."*
(HR. Abu Dawud no. 2932 dengan
sanad yang baik sesuai syarat Muslim sebagaimana dikatakan an-Nawawi dalam
Raiydhush Sholihin no. 278. Dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu
Daud no. 2932)
****
“Larangan
Memberikan Jabatan Kepemimpinan, Peradilan, dan Jabatan Lainnya kepada Orang
yang Memintanya atau Sangat Menginginkannya sehingga Menampakkannya (sangat
ber-ambisi)”.
Dari Abu Musa
al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ أَنَا وَرَجُلَانِ
مِنْ بَنِي عَمِّي، فَقَالَ أَحَدُهُمَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ
مَا وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّا
وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي هَذَا العَمَلَ أَحَدًا سَأَلَهُ، أَوْ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ.
Aku masuk menemui Nabi ﷺ bersama
dua orang laki-laki dari kerabatku. Salah satu dari mereka berkata: "Wahai
Rasulullah, angkatlah kami untuk memegang sebagian urusan yang Allah berikan
kepadamu." Yang seorang lagi juga mengatakan hal yang serupa. Maka beliau
bersabda: “Demi Allah, kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang
yang memintanya atau seseorang yang sangat menginginkannya.” (Muttafaqun
'alaih)
Dari Tamim ad-Dari
radhiyallahu 'anhu: bahwa Nabi ﷺ bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟
قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.
“Agama adalah nasihat.”
Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, untuk kitab-Nya,
untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin, dan untuk seluruh kaum
Muslimin.” [Diriwayatkan oleh Muslim].
Artinya: maksud dari “agama adalah nasihat” adalah bahwa sebagian besar dan
inti agama adalah nasihat. Maksudnya adalah agama Islam dan iman, dan salah
satu ungkapan yang merangkum keseluruhannya adalah “agama adalah nasihat”,
karena mencakup nasihat kepada Allah berupa mentauhidkan-Nya dan ikhlas
kepada-Nya; nasihat kepada Rasul berupa mengikutinya dan menjadikan syariatnya
sebagai hukum; nasihat kepada Al-Qur’an berupa mengikutinya dan
mengagungkannya; nasihat kepada para pemimpin kaum Muslimin berupa mendengar dan
taat kepada mereka, memerintahkan kebaikan, dan membantu mereka dalam kebaikan;
dan nasihat kepada kaum Muslimin berupa membimbing mereka kepada kebaikan,
mengajarkan mereka, memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf, melarang mereka
dari yang munkar, tidak menipu mereka dalam muamalah, dan sebagainya. Maka ini
mencakup segalanya.
Dan ini wajib bagi
seluruh kaum Muslimin, karena mereka adalah saudara dan satu kesatuan,
sebagaimana firman Allah Ta'ala:
﴿ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ﴾
“Sesungguhnya orang-orang
mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu.”* (Al-Hujurat:
10).
Dan sabda Nabi ﷺ:
"مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ
وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى
لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى".
“Perumpamaan orang-orang
mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka
adalah seperti satu tubuh; apabila satu anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh
tubuh akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.”
Juga sabdanya ﷺ:
"الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ
يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا"، وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.
“Seorang mukmin terhadap
mukmin yang lain seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lain,”* lalu
beliau menyatukan jari-jemarinya.
Maka wajib bagi setiap
Muslim untuk memberikan nasihat kepada Allah dalam hal mentauhidkan-Nya, ikhlas
kepada-Nya, menaati perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya dengan penuh
keikhlasan, mengikuti (ajaran), dan kejujuran, bukan karena riya', bukan karena
ingin didengar orang, dan bukan karena sikap keras kepala, tetapi karena iman,
kejujuran, dan keikhlasan kepada Allah, agar ia menyembah-Nya semata dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Demikian juga kepada
Rasulullah ﷺ:
hendaklah memberikan nasihat dengan mengikuti syariatnya, mengagungkan perintah
dan larangannya, tunduk kepada apa yang beliau bawa, dan tidak mengedepankan
pendapat manusia di atas sabdanya dan sunnahnya.
Maksudnya: amal
perbuatannya harus murni, bersih, dan benar dalam mengarahkan ibadah hanya
kepada Allah, serta mengikuti Rasulullah ﷺ. Tidak boleh ada syirik, tidak boleh ada bid'ah, dan tidak
boleh ada kelalaian. Tetapi harus memberikan nasihat kepada Allah dan Rasul-Nya
dalam ibadah, yaitu dengan keikhlasan kepada Allah dan mengikuti Rasulullah ﷺ.
Demikian pula terhadap
Al-Qur'an: dengan mengikutinya, mengagungkannya, menjadikannya sebagai sumber
hukum, dan berhati-hati dari apa pun yang menyelisihinya. Orang yang memberi
nasihat kepada Al-Qur'an adalah orang yang menjadikannya sebagai hukum,
mengamalkan isinya, memahaminya, dan mentadabburinya serta berhati-hati dari
penyelisihannya.
Allah berfirman:
﴿ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ﴾
"Ini adalah sebuah Kitab
yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah agar mereka mentadabburi
ayat-ayatnya." [Shad: 29].
Dan firman-Nya:
﴿ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ﴾
"Dan ini adalah
Kitab yang Kami turunkan yang diberkahi, maka ikutilah ia." [Al-An’am:
155].
Allah juga berfirman
tentang perintah taat pada Rasul:
﴿ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾
"Apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah." [Al-Hasyr: 7]
Dan firman-Nya:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
"Taatilah Allah dan
taatilah Rasul." [Al-Ma’idah: 92].
Dan firman-Nya :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau
ditimpa azab yang pedih." [An-Nur: 63].
Maka nasihat kepada
Rasulullah ﷺ adalah
dengan mengikuti syariatnya, mengagungkan perintah dan larangannya. Sedangkan
nasihat kepada Al-Qur’an adalah dengan mengikutinya, mengagungkannya, dan
meyakini bahwa ia adalah Kalamullah yang diturunkan dan bukan makhluk, serta
menjadikannya sebagai hukum bersama dengan sunnah Rasulullah ﷺ.
Adapun bagian keempat,
yaitu nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin seperti para penguasa dan
raja: hal itu dilakukan dengan bekerja sama dalam kebaikan, mendengar dan taat
kepada mereka dalam perkara yang ma’ruf (baik); karena jika mereka tidak
ditaati, akan rusak keamanan dan tatanan menjadi kacau. Oleh karena itu Allah –
Maha Tinggi – berfirman:
﴿أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ﴾
"Taatilah Allah dan
taatilah Rasul serta para pemimpin di antara kalian." [QS. An-Nisa: 59].
Dan Rasulullah ﷺ
bersabda:
"عَلَى الْمَرْءِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ
فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَالْعُسْرِ وَالْيُسْرِ، وَفِي أَثَرَةٍ عَلَيْهِ،
مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةِ اللهِ".
"Wajib atas
seseorang untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan suka maupun benci, dalam
keadaan sulit maupun mudah, serta dalam keadaan lebih diutamakan atas dirinya,
selama tidak diperintah untuk bermaksiat kepada Allah."
Nabi ﷺ juga
biasa berkhutbah kepada para sahabatnya dan bersabda:
"عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ".
"Wajib atas kalian
untuk mendengar dan taat."
Dan Allah berfirman:
﴿ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ﴾
"Bertakwalah kepada
Allah semampu kalian, dengarlah, dan taatlah, serta berinfaklah, itu lebih baik
bagi diri kalian." [At-Taghabun: 16].
Maka mendengar dan taat
kepada pemimpin termasuk kewajiban terpenting, karena di dalamnya terdapat
kerja sama dalam kebaikan, menjaga keamanan, dan menahan para pelaku kejahatan
dari kejahatannya. Hal ini mencakup penguasa tertinggi, para gubernur, dan
siapa saja yang memiliki wewenang atasmu. Maka wajib atasmu untuk taat dan
patuh dalam hal yang ma’ruf, seperti istri wajib taat kepada suaminya dalam hal
yang ma’ruf, anak kepada ayahnya, masyarakat umum kepada para penegak amar
ma’ruf nahi munkar dalam perkara yang ma’ruf, karena mereka juga dianggap
sebagai pemegang kekuasaan. Suami memiliki otoritas atas istrinya, ayah
memiliki otoritas atas anak-anaknya, dan sebagai bentuk bakti mereka, mereka
harus menaati orang tuanya dalam hal yang ma’ruf. Demikian pula para penegak
amar ma’ruf dan nahi munkar memiliki otoritas, karena penguasa memberikan
wewenang kepada mereka, begitu pula para hakim syar'i yang memiliki otoritas
berdasarkan hukum syariat.
Yang kelima: nasihat kepada kaum muslimin secara umum: yaitu memberi nasihat kepada
seluruh kaum muslimin dalam segala hal, dengan menyuruh mereka untuk salat,
menyuruh mereka kepada seluruh kebaikan, melarang mereka dari kemungkaran,
membimbing mereka, mengajak mereka kepada kebaikan, mengajarkan orang yang
tidak tahu, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, tidak
menipu dalam transaksi, tidak berkhianat, tidak berdusta kepada mereka, tidak
menggunjing mereka, tidak mengadu domba, dan lain sebagainya. Ia menasihati
mereka dalam segala hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta
berhati-hati untuk tidak menipu, menyakiti, atau merugikan mereka. Maka wajib
baginya untuk memperlakukan mereka dengan nasihat, menunaikan amanah,
menyebarkan kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti.
Inilah nasihat kepada
kaum muslimin secara umum: memberikan kepada mereka kebaikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan menahan diri dari menyakiti
mereka, baik dalam harta, tubuh, maupun kehormatan mereka. Ia menjadi pemberi
nasihat kepada mereka dalam hal harta, kehormatan, agama, dan jasmani, serta
berusaha menarik kebaikan kepada mereka dan menahan keburukan dari mereka;
karena sesungguhnya orang beriman itu saudara bagi orang beriman lainnya,
sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
"المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ؛ لَا يَظْلِمُهُ،
وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ".
"Seorang muslim
adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzhaliminya, tidak berdusta
kepadanya, dan tidak menelantarkannya."
Rasulullah ﷺ juga
bersabda:
"مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا".
"Barang siapa menipu
kami, maka ia bukan termasuk golongan kami."
Maka kaum muslimin wajib
saling bekerja sama dalam kebaikan dan takwa, saling menasihati, menunaikan
amanah, menjauhi penipuan, kedustaan, dan pengkhianatan, karena seorang muslim
adalah saudara bagi muslim lainnya.
Dengan ini engkau mengetahui betapa agungnya kedudukan hadits ini, dan bahwa ia adalah hadits yang agung dan mencakup segala hal.
===*****===
PERINTAH MENEGAKKAN KEADILAN DALAM ISLAM:
****
Keadilan dalam
Islam:
Pilar paling penting
dalam pembangunan peradaban dan pengembangan, serta fondasi terbesar yang
menjadi dasar tegaknya negara dan sistem pemerintahan, adalah keadilan. Islam
datang dengan membawa panji keadilan dan menegakkan pilar-pilarnya secara
mencolok di antara berbagai peraturan yang mengatur urusan kehidupan.
Dalam pandangan Islam,
keadilan berkaitan erat dengan berbagai konsep, dan masing-masing konsep
keadilan yang dibawa oleh Islam dapat dibahas secara mandiri dan terpisah dari
agama Islam itu sendiri, seperti hak-hak, kebebasan, sistem, dan hukum-hukum
fikih yang telah dirumuskan oleh para ulama Islam dalam berbagai bidang.
Namun benang merah yang
menghubungkan semua konsep tersebut adalah keadilan, yang tercermin dalam
sistem perundangan yang kokoh dan mempertimbangkan bertahapnya penerapan serta
realitas antara tuntutan pelaksanaan dan kebutuhan pengambilan keputusan.
Dari sinilah, dalam
paragraf-paragraf berikut, kita akan membahas masalah keadilan dengan
menyandarkan kepada konsep-konsep keadilan yang disebutkan dalam Al-Qur'an
menurut pandangan kami:
Keadilan
Ilahi dari Langit
Dalam surat An-Nahl
terdapat seruan yang mencolok untuk benar-benar menegakkan keadilan mutlak, di
mana Allah Ta'ala berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum
kerabat, dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
Dari titik tolak
Al-Qur’an ini, keadilan dengan maknanya yang luas menjadi nyata, dan seorang
Muslim yang beriman kepada seruan perintah ini akan mengamalkannya dalam
kehidupan dan menegakkannya di antara manusia atas dirinya sendiri. Hal ini
ditegaskan lagi dalam berbagai konteks Al-Qur’an lainnya sebagaimana
ditunjukkan oleh ayat-ayat yang menyusul setelahnya.
Keadilan
terhadap Diri Sendiri dan Orang Lain
Dalam konteks penegakkan
hukum, Al-Qur’an menjadikan manusia sebagai hakim atas dirinya sendiri dalam
ayat ini, dalam konteks keadilan yang seharusnya ditegakkan sesuai dengan
ketentuan Al-Qur’an, dan hal ini adalah sesuatu yang sulit dilakukan manusia:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾
*“Wahai orang-orang yang
beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian suatu kaum mendorong
kalian untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kalian kerjakan.”* (Al-Ma’idah: 8)
Seakan-akan kesaksian
hukum ini terjadi di hadapan pengadilan hati nurani pribadi, di mana manusia
menjadi pengacara terhadap dirinya sendiri:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى
أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا﴾
*“Wahai orang-orang yang
beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan karena
Allah, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap diri kalian sendiri atau
terhadap kedua orang tua dan kerabat kalian. Jika ia kaya atau miskin, maka
Allah lebih tahu tentang keduanya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu
agar kalian dapat berlaku adil. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata)
atau enggan (menjadi saksi), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan.”* (An-Nisa’: 135)
Ini adalah bentuk
penekanan yang sangat dalam mewujudkan keadilan yang semestinya ditegakkan,
bahkan sampai bersaksi melawan diri sendiri dan orang tua. Inilah bentuk
keadilan yang tidak mampu diwujudkan oleh hukum-hukum di bumi meskipun seadil
dan sefleksibel apapun dalam mempertemukan kepentingan para pihak, karena
hukum-hukum tersebut masih bersifat manusiawi dan belum mencapai derajat
kesempurnaan.
Dan inilah keadilan dalam
menyampaikan tugas atau amanah kepada orang yang berhak menerimanya:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا﴾
*“Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian
menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah memberikan pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”*
(An-Nisa’: 58)
Jika kita melihat makna
dari ayat ini, cakupannya menjadi luas hingga mencakup semua profesi yang
diamanahkan kepada manusia. Maka pekerjaan itu harus dilaksanakan sesuai dengan
sistem perjanjian yang telah disepakati. Dalam aspek ini terdapat banyak
dimensi peradaban, di mana manusia melaksanakan tugas-tugas hariannya
berdasarkan petunjuk langit yang membangunkan hati nurani akan tanggung jawab,
jauh dari pengawasan administratif yang bisa saja disiasati dan diberi alasan
tertentu dalam kebanyakan kasus pelanggaran amanah, yang biasanya diberikan
pembenaran-pembenaran yang sudah dikenal.
Keadilan dalam pandangan
Islam adalah proyek peradaban yang memiliki dimensi moral dan kemanusiaan. Dan
tidak mungkin proyek peradaban suatu umat dapat terwujud dan berdiri kecuali
dari titik tolak keadilan, yang dengannya kemanusiaan diciptakan untuk ditegakkan
di antara seluruh individu dalam komposisi manusianya.
Keadilan
terhadap Orang Lain, Meski Berbeda:
Perintah kepada
Rasulullah ﷺ untuk
menetapkan hukum secara adil datang dalam konteks hubungan dengan pihak yang
berbeda dan pihak yang saling berselisih:
﴿وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾
*“Dan jika engkau
memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”* (Al-Ma’idah: 41–42)
Juga dalam hubungan
dengan pihak yang berbeda dari kalangan non muslim:
﴿لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾
*“Allah tidak melarang
kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (non muslim) yang
tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari negeri
kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”*
(Al-Mumtahanah: 8)
Nilai-nilai moral ini
menegaskan keadilan Islam dalam konsep dan pandangannya terhadap pembangunan
hubungan dengan pihak lain yang berbeda, di mana berdasarkan prinsip keadilan,
semua manusia harus diperlakukan dengan adil meskipun berbeda dalam agama dan
keyakinan. Inilah yang menjadikan Islam sebagai proyek peradaban dalam
strukturnya dan dalam penerimaan terhadap komitmen serta keadilan di antara
seluruh umat manusia secara setara.
Sesungguhnya keadilan
dalam pandangan Islam adalah proyek peradaban yang memiliki dimensi moral dan
kemanusiaan. Dan tidak mungkin proyek peradaban suatu bangsa dapat terwujud
atau berdiri kecuali berangkat dari prinsip keadilan, yang menjadi tujuan
penciptaan kemanusiaan agar ditegakkan di antara seluruh anggota masyarakatnya.
Hal ini digambarkan oleh Al-Qur’an dengan gaya bahasa yang bersifat universal
dan berperadaban:
﴿وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ
وَبِهِ يَعْدِلُونَ﴾
*“Dan di antara
orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan kebenaran
dan dengan itu mereka berlaku adil.”* (Al-A’raf: 181)
Ayat ini bermaksud
menegaskan pentingnya tegaknya keadilan sebagai salah satu pilar utama dalam
peradaban bagi setiap masyarakat atau bangsa yang ingin memiliki proyek
unggulan dalam berbagai bidang kehidupan dan kontribusi. Sebab keadilan adalah
sumber pertumbuhan dan pemberian yang gemilang.
Keadilan
dalam Perkataan Dan Ungkapan:
Keadilan dalam perkataan
dan pernyataan yang adil, adalah apa yang ditunjukkan oleh makna tekstual dari
ayat ini, yang menjadikan ucapan adil sebagai suatu nilai hukum yang luhur dan
mengandung benih keadilan di dalamnya:
﴿وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا
قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾
*"Dan apabila kamu
berkata, maka berkatalah dengan adil, meskipun terhadap kerabatmu sendiri. Dan
penuhilah perjanjian Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu ingat."* (Al-An’am: 152)
Berkata benar, mencari
kebenaran, dan bersikap objektif bukan hanya ciri kejujuran dan kepercayaan,
namun lebih dari itu, menurut ayat ini, hal tersebut merupakan wasiat dari
langit yang wajib dijalankan dan diikuti. Makna ini dikuatkan secara jelas oleh
ayat lain:
﴿قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ﴾
*"Katakanlah:
'Tuhanku memerintahkan berlaku adil.'"* (Al-A’raf: 29)
Allah memberikan
perumpamaan tentang orang yang menegakkan keadilan dan membandingkannya dengan
orang yang tidak melakukannya:
﴿وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا
أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ
لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ﴾
*"Dan Allah membuat
perumpamaan (dengan) dua orang laki-laki, yang satu bisu, tidak mampu berbuat
sesuatu pun, menjadi beban bagi tuannya, ke mana saja dia disuruh, dia tidak
mendatangkan kebaikan. Apakah dia sama dengan orang yang menyuruh (manusia)
berlaku adil dan dia berada di jalan yang lurus?"* (An-Nahl: 76)
Keadilan merupakan nilai
yang diterima oleh sebagian besar jiwa manusia karena keadilan mewujudkan
kebebasan dan martabat yang bisa dirasakan oleh semua orang dalam naungan
keadilan sejati. Oleh sebab itu, risalah Islam adalah risalah yang adil, dalam
sistem dan syariat yang dibawanya.
Nilai keadilan di antara
manusia tampak sebagai nilai materiil dan maknawi yang dapat disepakati dan
didamaikan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut yang membahas konflik dan
peperangan antarmanusia:
﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا
الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾
*"Dan jika dua
golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.
Tetapi jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap yang lain, maka
perangilah yang berbuat zalim itu hingga kembali kepada perintah Allah. Jika ia
telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku
adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."*
(Al-Hujurat: 9)
Penetapan
dan Pengukuhan UU Keadilan Sesuai Hukum Ilahi:
Al-Qur'an menyampaikan
pesan kepada seluruh umat manusia dan menampilkan teks-teks keadilan dengan
cara yang menggabungkan antara universalitas naskah dan kesempurnaannya pada
saat yang sama. Ia mengarahkan seruan kepada penguasa dan individu dalam
konteks yang sama. Inilah Daud 'alaihis salam, yang disapa oleh keadilan
ilahiah sesuai dengan kedudukan kekuasaannya:
﴿يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي
الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ
شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ﴾
*"Wahai Daud!
Sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan hukum di
antara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan
Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan."* (Az-Zumar: 26)
Demikian pula dalam ayat
lain:
﴿وَهَلْ أَتَاكَ نَبَأُ الْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا
الْمِحْرَابَ * إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُودَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ
خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ
وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ﴾
*"Dan pernahkah
sampai kepadamu berita tentang para penggugat, ketika mereka memanjat dinding
mihrab; ketika mereka masuk menemui Daud, lalu ia terkejut karena kedatangan
mereka. Mereka berkata: 'Janganlah engkau takut. Kami adalah dua orang yang
berselisih, salah satu dari kami berbuat zalim kepada yang lain, maka berilah
keputusan di antara kami dengan adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran,
dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.'"* (Sad: 21)
Seruan keadilan dan
penerapannya juga ditujukan kepada Nabi ﷺ sebagai sumber wewenang dan hukum bagi umatnya:
﴿فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ
وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا
وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا
وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ﴾
*"Maka karena itu,
serulah (mereka) dan tetaplah (berpegang teguh) sebagaimana yang diperintahkan
kepadamu. Janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, dan katakanlah: 'Aku beriman
kepada Kitab yang diturunkan Allah, dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di
antara kamu. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal kami, dan
bagi kamu amal kamu. Tidak ada perdebatan antara kami dan kamu. Allah akan
mengumpulkan kita, dan kepada-Nya lah tempat kembali.'"* (Asy-Syura: 15)
Dalam konteks ini, nilai
keadilan di antara manusia tampak sebagai nilai materiil dan maknawi yang dapat
disepakati dan didamaikan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang membahas
konflik dan pertikaian antar manusia:
﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا
الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾
*"Dan jika dua
golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.
Tetapi jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap yang lain, maka
perangilah yang berbuat zalim itu sampai kembali kepada perintah Allah. Jika ia
telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku
adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."*
(Al-Hujurat: 9)
Di sinilah pembaca
merasakan bahwa keadilan mampu mengeluarkan manusia dari penderitaan mereka. Ia
adalah metode yang melalui pelaksanaannya, para penegak keadilan dapat
mewujudkan keamanan dan stabilitas bagi negara dan rakyat yang tertimpa bencana
dan terusir. Keadilan adalah sumber pembangunan dan stabilitas, dan
ketiadaannya merupakan pertanda kehancuran, kekalahan, dan berbagai bencana
lain yang menimpa bangsa saat keadilan itu lenyap. Ini ditegaskan dalam ayat
lain yang memuat makna serupa:
﴿وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا
الْمِيزَانَ﴾
*"Dan langit telah
Dia tinggikan, dan Dia letakkan neraca (keadilan), agar kamu jangan melampaui
batas dalam neraca itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
mengurangi neraca itu."* (Ar-Rahman: 7–9)
Sebagai penutup dari
artikel ini, kami tinggalkan pembaca dengan teks keadilan ini, agar ia
menempatkannya dalam konteks zaman historis di mana ia merasa bahwa ayat ini
relevan turun padanya:
﴿لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ
وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا
الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ
يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ﴾
*"Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan
telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat menegakkan keadilan. Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal mereka tidak melihat-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Maha Perkasa."* (Al-Hadid: 25)
Keadilan di antara
manusia adalah pilar peradaban yang esensial dan tidak dapat ditinggalkan,
sebagaimana disimpulkan dengan jelas dalam kajian ini.
==***==
POLITIK DALAM ISLAM ANTARA ORANG YANG MENGINGKARI DAN ORANG YANG BERLEBIHAN
Ada sebuah topik penting
yang banyak dari kita terikat padanya.
Sebagian dari kita
terlalu tenggelam dalam kecanduan terhadapnya. Sementara sebagian lain
mengabaikannya, tidak peduli, dan tidak menoleh kepadanya, sampai akhirnya
sebagian orang berada dalam kebingungan mengenainya dan tidak mengetahui
hukumnya!
Topik itu adalah politik
dalam Islam, dan sejauh mana hubungan agama dengan politik. Sebagian orang
mungkin mengingkari hal ini secara total dan menganggap bahwa politik tidak ada
hubungannya dengan agama, bahwa politik adalah satu hal dan agama adalah hal
lain.
Sementara ada pula
orang-orang yang berlebihan dalam hal ini, yang menjadikan seluruh agama hanya
sebatas politik, dan menafsirkan banyak ajaran agama secara politis, serta
memvonis beberapa perkara politik sebagai bagian dari agama padahal agama
berlepas diri darinya.
Penyelesaian permasalahan
ini tidak akan tercapai kecuali dengan mengembalikannya kepada hukum Allah dan
Rasul-Nya, serta mengetahui sikap syar’i terhadap politik, apa itu politik
syar’i yang diwajibkan kepada umat, dan apa itu politik yang ditolak oleh agama
dan syariat.
Allah ﷻ
berfirman:
﴿وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ
فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ
وَإِلَيْهِ أُنِيبُ﴾
*“Tentang apa pun yang
kalian perselisihkan, maka putusannya (kembali) kepada Allah. Itulah Allah
Tuhanku, kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya aku kembali.”* (Asy-Syura:
10)
Dan Allah ﷻ juga
berfirman:
﴿فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا﴾
*“Jika kalian berselisih
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian
beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih
baik akibatnya.”* (An-Nisa: 59)
Setiap Muslim harus
mengetahui bahwa agama Islam adalah syariat yang sempurna dan ajaran yang
menyeluruh, mencakup segala hal, merinci seluruh perkara, menjelaskan seluruh
masalah, baik masalah agama maupun dunia, kehidupan dunia maupun akhirat.
Tidak masuk akal bila
agama menjelaskan kepada manusia adab-adab buang air, perkara thaharah dan
istinja’, hukum makanan dan adab minum, tetapi tidak menjelaskan kepada mereka
hukum politik, masalah ekonomi, dan rincian urusan sosial serta kekeluargaan
manusia.
Kaum muslimin dalam sikap
mereka terhadap politik terbagi dua:
Pertama : kelompok yang
berbaur dengan politik dan selalu bersamanya, sampai seolah-olah politik adalah
darah yang mengalir di pembuluh nadinya, tidak bisa berpisah darinya dan ia pun
tidak bisa lepas darinya. Anda akan melihatnya setiap pagi dan sore, dan di
setiap jam, mengikuti berita secara rinci, mendengarkan analisis dan
rincian-rinciannya.
Sebagian dari mereka
menggunakan gaya bahasa dan istilah politik secara mutlak, mereka sibuk
dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan utama mereka, serta menundukkan
ajaran agama dan istilahnya untuk politik. Padahal yang benar adalah politik
harus tunduk pada agama, bukan agama yang tunduk kepada politik. Sebab agama
adalah dasar, dan politik syar’i adalah bagian dari agama, bukan seluruh agama.
Kedua : ada pula kelompok
lain yang mengingkari bahwa politik punya hubungan dengan agama.
Kelompok ini terdiri dari
dua golongan:
Ke 1 : golongan dari
kalangan sekuler dan budak-budak Barat, yang menilai agama Islam – agama yang
hak – berdasarkan standar agama Kristen yang telah diselewengkan, yang
memerangi ilmu, membunuh para ilmuwan dan mujtahid, dan tidak membiarkan mereka
berijtihad kecuali para pendeta dan rahib dengan penyelewengan mereka. Maka
muncullah revolusi terhadap agama di sana, mereka memisahkan agama dari
politik, lalu memisahkan agama dari seluruh kehidupan secara umum.
Ke 2 : Golongan kedua
adalah orang-orang yang mengklaim demikian dari kalangan kaum Muslimin yang
lemah, yang kalah secara psikologis dan pemikiran, yang melihat para perusak,
para penzalim, dan orang-orang menyimpang dari agama menguasai kekuasaan dan
pengaruh dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Realitas pahit ini
mendorong mereka untuk menjauh dari jabatan, enggan menerima tugas, dan tidak
mau bersaing dengan para pelaku kerusakan dan keburukan serta menolak mereka,
karena menginginkan keselamatan dan mencari kejernihan!
Kemudian mereka mengingkari
bahwa politik adalah bagian dari agama, dan mereka menyatakan secara tegas
bahwa tidak ada hubungan antara agama dan politik. Hal ini menyebabkan banyak
kemaslahatan menjadi terabaikan, banyak mudarat yang datang, dan membuat agama
terkungkung dalam lingkup sempit yang tidak melampaui batas ibadah-ibadah lahir
seperti shalat dan puasa. Adapun masalah pemerintahan dan kekuasaan berada di
tangan parlemen atau penguasa yang memutuskan sesuai keinginannya dan bertindak
sesukanya.
Ini adalah pemahaman yang
sangat keliru, bahkan merupakan kesesatan yang besar, karena tidak memasukkan
agama ke dalam politik berarti menghapus seluruh ayat-ayat syar’i yang
memerintahkan kita untuk berhukum dengan hukum Allah, mengembalikan hukum
kepada syariat Allah, dan menundukkan urusan-urusan dengan agama Allah, sesuai
dengan manhaj dan hukum-hukum-Nya.
Allah ﷻ
berfirman:
﴿أَلَا لَهُ الْحُكْمُ﴾
*“Ingatlah, hanya
milik-Nya-lah segala hukum.”* (Al-An’am: 62).
Dan:
﴿إنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا
تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ﴾
*“Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain-Nya.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”* (Yusuf:
40).
Serta:
﴿وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ
الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾
*“Dan Dia-lah Allah,
tidak ada tuhan selain Dia. Segala puji bagi-Nya di dunia dan di akhirat.
Milik-Nya-lah segala hukum, dan kepada-Nya kalian akan dikembalikan.”*
(Al-Qashash: 70).
Dan:
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ
بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ
النَّاسِ لَفَاسِقُونَ﴾
*“Hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka
agar mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwa Allah hendak menimpakan
musibah kepada mereka karena sebagian dosa mereka. Dan sungguh, banyak di
antara manusia itu adalah orang-orang fasik.”* (Al-Ma’idah: 49).
Serta:
﴿إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا
دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾
*“Sesungguhnya jawaban
orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul
menetapkan hukum di antara mereka, ialah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami
taat.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”* (An-Nur: 51).
Semua ayat ini mengajak
kita untuk berhukum dengan manhaj Allah dan syariat-Nya dalam semua urusan
politik kita, dalam undang-undang peradilan, urusan kenegaraan dan non
kenegaraan. Bahkan ayat-ayat tersebut juga mengajak kita untuk menerima itu,
meridhainya, menyerahkan diri kepadanya, dan tidak menolak sedikit pun dari
hukum-hukum ilahi dan syariat-syariat-Nya.
Seperti yang difirmankan
Allah ﷻ:
﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾
*“Maka demi Tuhanmu,
mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.”* (An-Nisa: 65).
Bagaimana mungkin
sebagian kaum Muslimin mengingkari hubungan agama dengan politik, padahal Nabi
kita ﷺ telah
memimpin manusia dan memerintah mereka dengan politik Islam?
Beliau mendidik mereka
dengan kebanggaan dan kemuliaan, menjelaskan kepada mereka dasar-dasar dan
pedoman Islam, menggerakkan pasukan dan memimpin pertempuran ke seluruh
penjuru, dan Allah secara tegas memerintahkannya agar memimpin manusia dengan
manhaj Islam, sebagaimana telah kalian dengarkan dalam ayat-ayat yang telah
disebutkan sebelumnya.
Sesungguhnya politik
adalah bagian inti dari agama, dan tidak mungkin dipisahkan darinya, karena
inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nasrani,
kaum munafik, dan kaum sekuler yang berusaha memisahkan agama dari negara,
menjauhkan hukum dari syariat, agar mereka bisa memimpin manusia dengan hawa
nafsu mereka dan hukum-hukum thaghut yang dibuat-buat dan telah diselewengkan,
yang kita diperintahkan untuk mengingkarinya dan hanya beriman kepada syariat
Allah semata.
﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ
أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا
بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا﴾.
*(Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka ingin berhukum
kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya, dan
setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh.)* (An-Nisa: 60).
Kita tahu bahwa politik
adalah bagian dari agama, merupakan pilar yang kokoh di dalamnya, dan bahwa
Allah menurunkan agama-Nya serta membawa syariat-Nya untuk mengatur manusia
dengannya dan memerintah mereka sesuai dengan yang terdapat di dalamnya. Bukan
sekadar agar hukum-hukum agama tetap menjadi hukum-hukum teoritis yang tidak
diterapkan dalam realita, dan tidak memiliki keberadaan dalam kehidupan manusia
dan pemerintahan mereka. Namun, kita harus mengetahui satu hal yang sangat
penting, yaitu bahwa politik yang merupakan bagian dari agama adalah politik
yang dibawa oleh Allah dan disebutkan dalam Kitab-Nya, serta yang digunakan
oleh Rasul-Nya ﷺ dan para nabi sebelumnya untuk memerintah manusia.
Adapun politik yang telah
diselewengkan, undang-undang thagut, hukum-hukum buatan manusia, serta
konstitusi buatan yang digunakan untuk memerintah kita hari ini, yang dipaksakan
kepada kita dengan kekuatan besi dan api, dan yang mewajibkan negara-negara
Islam untuk memerintah dengannya dan berhukum padanya, maka itu sama sekali
bukan bagian dari agama, bahkan termasuk hal yang membatalkan agama, dan
merupakan bentuk permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Allah
berfirman:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا
آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ﴾
*“Sesungguhnya orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya akan ditundukkan sebagaimana orang-orang
sebelum mereka telah ditundukkan. Dan sungguh Kami telah menurunkan ayat-ayat
yang jelas, dan bagi orang-orang kafir ada azab yang menghinakan.”*
(Al-Mujadilah: 5).
Dan Dia –Subhanahu wa Ta'ala–
berfirman:
﴿أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ
يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا
ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ﴾
*“Tidakkah mereka mengetahui
bahwa siapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh baginya neraka
Jahannam, kekal di dalamnya? Itulah kehinaan yang besar.”* (At-Taubah: 63).
Abu Ya’la al-Mausuli
meriwayatkan dalam *Musnad*-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia
berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ
تَسُوسُهُمْ أَنْبِيَاؤُهُمْ، كُلَّمَا ذَهَبَ نَبِيٌّ خَلَفَ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ
لَيْسَ كَائِنٌ فِيكُمْ -يَعْنِي نَبِيًّا-، قَالُوا: فَمَا يَكُونُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ؟ قَالَ: تَكُونُ خُلَفَاءُ وَتَكْثُرَ، قَالُوا: كَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ:
أَوْفُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، وَأَدُّوا الَّذِي عَلَيْكُمْ،
وَسَيَسْأَلُهُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِيِ عَلَيْهِمْ
*“Sesungguhnya Bani Israil
diurus urusan mereka oleh para nabi mereka. Setiap kali seorang nabi wafat,
digantikan oleh nabi lainnya. Namun tidak akan ada nabi setelahku,”* mereka
bertanya: “Lalu apa yang terjadi, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: *“Akan
ada para khalifah dan akan banyak jumlahnya.”* Mereka bertanya: “Apa yang harus
kami lakukan?” Beliau menjawab: *“Penuhilah baiat kepada yang pertama, lalu
yang pertama, dan tunaikanlah kewajiban kalian, karena Allah akan meminta
pertanggungjawaban mereka atas kewajiban mereka.”*
(Musnad Abu Ya’la al-Mausuli
no. 6211, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam *Shahih al-Jami’* no.
4466).
Kesimpulan pembahasan ini
dalam masalah ini adalah bahwa kita harus mengetahui bahwa politik merupakan
inti dan fondasi agama. Namun yang dimaksud adalah politik yang bersumber dari
syariat, bukan politik buatan manusia. Siapa yang menganggap bahwa politik yang
berlaku hari ini dan digunakan untuk memerintah masyarakat di sebagian besar
negara-negara Islam adalah bagian dari politik agama, maka dia telah keliru.
Dan siapa yang mengingkari bahwa politik berasal dari agama serta memutuskan
hubungan antara politik dan agama, maka dia juga telah keliru.
Pendapat yang pertengahan
adalah meyakini bahwa politik yang berasal dari agama dan merupakan fondasinya
adalah politik syar'i yang dibangun di atas manhaj Allah, berdasarkan
hukum-hukum-Nya yang diambil dari syariat-Nya yang kokoh. Inilah politik syar'i
yang digunakan oleh para nabi dalam memerintah dan mengatur kaumnya dan para
pengikut mereka, yang telah disebutkan oleh para ulama dan mereka telah menulis
banyak kitab dengan judul besar tentang politik syar'i, ciri-cirinya, dan
rincian-rinciannya.
===***===
PERTANYAAN
KEPADA PARA ULAMA SEKULER PENCELA POLITIK
JUGA KEPADA TUKANG
HAJER DAN TAHDZIR TERHADAP ORANG YANG BERPOLITIK:
Apakah dalu Rasulullah ﷺ lari dari politik, dan menyerahkan urusan politik umatnya kepada
orang-orang tertentu?
Lalu apakah beliau ﷺ hanya menyibukkan
diri dengan mengajarkan agama, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang-orang pada
hari ini?
Apakah beliau ﷺ pernah berkata: “Siapa yang belajar politik, maka silakan pergi dan menjauh
dari Dar Al-Arqam (Mekkah), atau pergi menjauh dari masjid kami, atau dari
majelis kami, atau dari chanel-chanel ilmiah dan media kami,” sebagaimana
dilakukan oleh sebagian orang-orang pada hari ini?
Apakah beliau ﷺ pernah mewajibkan kepada para sahabat dekatnya, murid-muridnya yang
bersungguh-sungguh, dan para menterinya yang bertakwa dan suci, seperti Abu
Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma, untuk menjauhi dunia politik ; karena
politik itu terkutuk, lalu membatalkan semua program politik mereka, atau
menghapus politik dari kehidupan mereka, saluran mereka, dan majelis-majelis
mereka, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang-orang pada hari ini?
Ataukah kenyataannya
justru sebaliknya? Bahkan beliau ﷺ menempatkan para sahabatnya di puncak
piramida politik dalam negara Islam; beliau mewariskannya kepada yang paling
berilmu, paling bertakwa, dan paling utama di antara mereka menurut ijmak kaum
muslimin.
Dan beliau ﷺ tidak pernah berkata kepada salah seorang dari mereka: “Engkau
adalah seorang ulama, maka sucikanlah dirimu dari politik, dan laknat Allah
atas politik!”
Ketika Abu Bakar sakit
dan menghadapi kematian, dia ditanya:
مَاذَا تَقُولُ لِرَبِّكَ وَقَدْ
وَلَّيْتَ عُمَرَ؟
“Apa yang akan engkau
katakan kepada Tuhanmu setelah engkau mengangkat Umar bin Khattab sebagai
pemimpin?”
Ia menjawab:
أَقُولُ لَهُ: وَلَّيْتُ عَلَيْهِمْ خَيْرَهُمْ
*“Aku akan berkata: Aku
telah mengangkat pemimpin terbaik di antara mereka.”*
[Diriwayatkan oleh Ibnu
Sa’ad. Lihat : Tarikh al-Khulafaa oleh as-Suyuthi hal. 97 dan Ash-Showa’iq
al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar al-Haitami 1/238].
Ada salah seoarang
ulama yang berkata :
إِنَّنَا نُسَمِّي الْعَلْمَانِيِّينَ
مِنْ سَاسَةٍ وَكُتَّابٍ وَإِعْلَامِيِّينَ بِالْعَلْمَانِيِّينَ، لِأَنَّهُمْ يُنَادُونَ
بِفَصْلِ الدِّينِ عَنِ السِّيَاسَةِ، فَإِذَا فَعَلَهَا عُلَمَاءُ شَرِيعَةٍ، فَلَا
يُمْكِنُ إِلَّا وَصْفُهُمْ بِالْعَلْمَانِيَّةِ أَوْ بِالْوُقُوعِ فِيهَا، وَإِنْ
لَمْ يَأْخُذُوا حُكْمَهَا، لِأَنَّ عِلَّةَ الْحُكْمِ قَدْ تَحَقَّقَتْ فِيهِمْ، وَالشَّرِيعَةُ
لَا تُفَرِّقُ بَيْنَ مُتَمَاثِلَيْنِ، كَمَا أَنَّ الْحُكْمَ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ.
وَهَلْ نَعْتَبِرُهُمْ عِنْدَئِذٍ (عُلَمَاءَ
مَعْذُورِينَ بِالْجَهْلِ؟!).
وَمَعَ ذَلِكَ نَتَحَرَّجُ فَنَقُولُ:
لَيْسَ كُلُّ مَنْ وَقَعَ فِي الْعَلْمَانِيَّةِ وَقَعَتِ الْعَلْمَانِيَّةُ عَلَيْهِ،
لَكِنَّهُمْ دُعَاةٌ إِلَى الْعَلْمَانِيَّةِ، دُعَاةٌ إِلَى ضَلَالَةٍ؛ شَعَرُوا أَمْ
لَمْ يَشْعُرُوا، قَصَدُوا أَمْ لَمْ يَقْصِدُوا.
Kita menyebut para
penganut faham sekuler dari kalangan para politisi, para penulis, dan para
penyiar berita dengan sebutan kaum sekularis karena mereka menyerukan pemisahan
agama dari politik.
Dengan demikian, jika hal
itu dilakukan oleh para ulama syari’ah, maka mereka ini tidak bisa disebut ulama
syari’ah, melainkan disebut dengan sebutan kaum sekularis atau orang yang mabuk
dan tenggelam ke dalam sekulerisme - meskipun mereka bukan penganut hukum
sekuler secara penuh - karena sebab hukum itu telah terjadi pada diri mereka.
Dan karena syariat tidak
membedakan antara dua hal yang serupa, sebagaimana hukum itu bergantung pada
illat-nya.
Apakah kemudian kita
akan menganggap mereka sebagai “ulama yang dimaafkan karena kebodohan mereka”?
Namun demikian, tetap
saja, kita harus berhati-hati dan berkata: Tidak setiap orang yang terjatuh
dalam sekularisme, maka sekularisme pasti melekat pada dirinya. Akan tetapi
mereka (yang mencela politik) adalah para da’i yang menyeru kepada sekularisme,
para da’i kepada kesesatan, baik mereka menyadarinya atau tidak, sengaja atau
tidak. [Sumber : Islamway.net].
Syaikh Al-Utsaimin
rahimahullah juga berkata:
وَفِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ» دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ دِينَ اللهِ
-وَهُوَ دِينُ الْإِسْلَامِ فِي كُلِّ مَكَانٍ وَفِي كُلِّ زَمَانٍ- هُوَ السِّيَاسَةُ
الْحَقِيقِيَّةُ النَّافِعَةُ، وَلَيْسَتِ السِّيَاسَةُ الَّتِي يَفْرِضُهَا أَعْدَاءُ
الْإِسْلَامِ مِنَ الْكُفَّارِ. السِّيَاسَةُ حَقِيقَةُ مَا جَاءَ فِي شَرْعِ اللهِ،
وَلِهَذَا نَقُولُ: إِنَّ الْإِسْلَامَ شَرِيعَةٌ وَسِيَاسَةٌ، وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ
السِّيَاسَةِ وَالشَّرِيعَةِ فَقَدْ ضَلَّ.
“Dan dalam sabda Nabi ﷺ: *‘Para
nabi mengatur urusan politik mereka (Bani Israil)’* terdapat dalil bahwa agama
Allah -yaitu agama Islam di setiap tempat dan waktu- adalah politik yang hakiki
dan bermanfaat. Bukan politik yang dipaksakan oleh musuh-musuh Islam dari
kalangan orang-orang kafir. Politik yang sebenarnya adalah apa yang datang
dalam syariat Allah. Oleh karena itu, kami katakan bahwa Islam adalah syariat
sekaligus politik. Siapa yang memisahkan antara politik dan syariat, maka
sungguh dia telah sesat.”
Hingga pada perkataan
beliau:
"فَالْمُهِمُّ أَنَّ الدِّينَ دِينُ اللهِ،
وَأَنَّ الدِّينَ سِيَاسَةٌ: سِيَاسَةٌ شَرْعِيَّةٌ، سِيَاسَةٌ اِجْتِمَاعِيَّةٌ، سِيَاسَةٌ
مَعَ الْأَجَانِبِ، وَمَعَ الْمُسَالِمِينَ، وَمَعَ كُلِّ أَحَدٍ. وَمَنْ فَصَلَ الدِّينَ
عَنِ السِّيَاسَةِ فَقَدْ ضَلَّ؛ وَهُوَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: إِمَّا جَاهِلٌ بِالدِّينِ
وَلَا يَعْرِفُ، وَيَظُنُّ أَنَّ الدِّينَ عِبَادَاتٌ بَيْنَ الْإِنْسَانِ وَرَبِّهِ،
وَحُقُوقٌ شَخْصِيَّةٌ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ؛ يَظُنُّ أَنَّ هَذَا هُوَ الدِّينُ فَقَطْ.
أَوْ أَنَّهُ قَدْ بَهَرَهُ الْكُفَّارُ وَمَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ الْقُوَّةِ الْمَادِّيَّةِ،
فَظَنَّ أَنَّهُمْ هُمُ الْمُصِيبُونَ. وَأَمَّا مَنْ عَرَفَ الْإِسْلَامَ حَقَّ الْمَعْرِفَةِ
عَرَفَ أَنَّهُ شَرِيعَةٌ وَسِيَاسَةٌ، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ.
“Yang penting adalah
bahwa agama ini adalah agama Allah, dan agama itu adalah politik: politik
syar'i, politik sosial, politik bermu’amalah dengan orang asing, politik terhadap
orang-orang yang mengajak berdamai, dan terhadap setiap orang.
Siapa yang memisahkan
agama dari politik maka dia telah sesat; dan dia berada di antara dua
kemungkinan: bisa jadi dia jahil terhadap agama dan tidak mengetahuinya, dia
mengira bahwa agama itu hanya ibadah antara hamba dan Rabb-nya, atau hak-hak
pribadi dan semacamnya; dia menyangka bahwa hanya itulah agama.
Atau bisa jadi dia
terpesona oleh orang-orang kafir dan kekuatan materi yang mereka miliki, lalu
mengira bahwa merekalah yang benar.
Adapun orang yang
mengenal Islam dengan sebenarnya, niscaya dia tahu bahwa Islam adalah syariat
dan politik. Dan Allah-lah pemberi taufik.”
(*Syarah Riyadhus
Shalihin*, Dar Al-Wathan li al-Nasyr, Riyadh, cet. 1426 H, [3/636-637])
Saya tambahkan dengan
mengatakan:
Atau bisa jadi dia tahu
dan tidak jahil, serta tidak terpesona oleh orang kafir, tetapi dia pengecut
untuk mengatakan kebenaran, tidak mampu bertahan di hadapan ujian, dan tidak
sanggup diam ketika tidak mampu berbuat kebaikan, maka dia jatuh ke dalam
fitnah dan mulai menjadi “sekuler” agar bisa menyenangkan orang-orang yang memegang
tongkat besar, atau agar selamat dari pukulan tongkat mereka!
Dalam hadits disebutkan:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
*“Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”*
(HR. Bukhari no. [6018], Muslim no. [47] dalam Shahih keduanya).
Politik adalah pekerjaan
para nabi, dan di puncaknya adalah Nabi kita ﷺ. Maka apakah beliau ﷺ menjalankan politik di luar agama, sampai-sampai mereka
berkata: kita harus kembali dari politik menuju agama atau menuju pengajaran
agama kepada manusia?!
Apakah mereka menisbatkan
kepada Nabi ﷺ bahwa
beliau mengatur umat bukan dengan agama, ataukah mereka mengingkari bahwa
beliau ﷺ pernah
mengatur urusan umat?!
Dua-duanya, jika mereka
katakan, maka sungguh telah terbukti dustanya klaim mereka. Bukankah beliau ﷺ telah
mengajarkan kita dengan ucapan dan perbuatan… dan ini termasuk yang telah
beliau ajarkan kepada kita?!
Dan makna dari sabda
beliau ﷺ *“Tidak
ada nabi setelahku”* adalah bahwa yang akan mengatur urusan umat setelah beliau
adalah para pewaris beliau dalam peninggalannya, yaitu para ulama. Oleh karena
itu, di antara sifat seorang khalifah adalah harus seorang yang alim dan
mujtahid, kecuali jika tidak memungkinkan.
Adapun sekularisme
sebagian ulama kontemporer yang anti politik menyatakan:
نَدَعُ السِّيَاسَةَ لِلْجُهَّالَةِ وَالْمَارِقِينَ
وَالْمَارِدِينَ. وَلَا نَدْخُلُ السِّيَاسَةَ لِأَنَّهَا رِجْسٌ وَوَسْوَسَةٌ
وَشُبْهَةٌ!
“Biarkan urusan politik ini
ditangani oleh orang-orang bodoh, durhaka, dan pembangkang. Kita tidak boleh ikut
campur dalam politik karena itu najis, penuh was-was dan syubhat!”
===****===
SEKULERISME DI EROPA & LAINNYA JUGA HANYA SEBATAS MENJAUHKAN AGAMA ISLAM DARI POLITIK.
Yang dilakukan oleh paham
sekularisme (ʿilmāniyyah) hanya sekadar mengeluarkan agama dari
politik dan mengeluarkan politik dari agama. Tidak lebih dari itu.
Bukankah ini adalah
sekularisme yang diserukan oleh sebagian ‘ulama anti politik, yang menyusun
kata-katanya secara sistematis tanpa dalil, bahkan dengan cara memalsukan
agama?! Mereka berseru : “Islam Yes, Politik No !!!!”.
Maka ini tidak ada
bedanya dengan sekulerisme yang ada di negara-negara non muslim, terutama di
Eropa.
Apakah sekularisme di
negeri-negeri non muslim pernah meminta orang-orang untuk meninggalkan shalat,
puasa, dan haji?! Bahkan, apakah sekularisme pernah meminta mereka untuk tidak menuntut
ilmu syar’i?.
Jawaban-nya : tidak .
Kini kita bisa melihat
bahwa universitas-universitas dunia di negeri non muslim juga mengajarkan
ilmu-ilmu syar’i, bahkan di **Universitas Sorbonne** di pusat sekularisme: **Prancis**.
Bahkan, sekularisme memperbolehkan pengajaran agama Allah dan sunnah Rasulullah
ﷺ melalui
saluran-saluran yang disebut “channel islami”, dengan syarat:
“tidak mengajarkan
mereka politik syar’i yang dengannya mereka mengenal hak dan kewajiban mereka,
dan mengenal tauhid Allah Ta'ala dalam aspek kehidupan!”.
Dapatkah kita
gambarkan mereka dengan firman Allah Ta'ala:
﴿وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا
النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا
لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ﴾
"Orang-orang Yahudi
dan Nasrani tidak akan ridha kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar. Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
maka tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah". [QS. Al-Baqarah:
120].
Cukuplah jika engkau
mengikuti agama mereka dalam hal memisahkan agama dari negara, serta membagi
dan mencabik-cabik agama, dengan hanya menjalankan sebagian dan meninggalkan
sebagian lainnya untuk dikuasai oleh penguasa (‘Kaisar’) agar dia bisa
memperlakukannya semaunya. Maka, cukup bagimu untuk mendapatkan keridhaan
mereka, dan mereka akan membukakan akses dan media untukmu.
Dahulu, sekularisme
pernah berkata kepada para nabi:
مَا شَأْنُ الدِّينِ وَشُؤُونِ الْحَيَاةِ،
مَا شَأْنُ الدِّينِ وَالتَّعَرِّي عَلَى الشَّوَاطِئِ.. تَرْوِيحٌ وَاسْتِجْمَامٌ
وَحُرِّيَّةٌ شَخْصِيَّةٌ.. مَا شَأْنُ الدِّينِ وَالِاقْتِصَادِ وَأَنْ نَفْعَلَ فِي
أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ؟! عَلَيْكُمْ صَلَوَاتُكُمْ وَعِبَادَاتُكُمْ، وَاتْرُكُونَا
وَشَأْنَنَا.
“Apa urusannya, agama
dengan urusan kehidupan? Apa hubungannya agama dengan ketelanjangan di pantai?
Itu hanyalah hiburan, rekreasi, dan kebebasan pribadi. Apa hubungannya agama
dengan ekonomi dan harta, sementara kami bebas melakukan apa pun terhadap harta
kami?!” Silakan kalian dengan shalat dan ibadah kalian, dan tinggalkan kami
dengan urusan kami sendiri”.
Sebagaimana firman Allah
Ta'ala:
﴿قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ
تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي
أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لَأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ﴾
“Mereka berkata: Wahai
Syu’aib! Apakah shalatmu yang memerintahkanmu agar kami meninggalkan apa yang
disembah oleh nenek moyang kami atau agar kami tidak boleh berbuat terhadap
harta kami sesuka kami?! Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat
penyantun dan cerdas.” [Hud: 87].
Seakan-akan
sekularisme angkatan pertama berkata:
“Aneh sekali apa yang
kalian lakukan, wahai para ulama dan para da'i… apakah kalian memasukkan agama
ke dalam urusan dunia? Apakah kalian hendak mengatur dunia dengan agama? Apakah
kalian menyamakan antara shalat dan harta serta urusan kehidupan… apakah
semuanya itu agama ikut campur di dalamnya?! Pisahkanlah agama dan shalat, dan
jauhkanlah dari arus kehidupan!”
Sekularisme di Makkah pun
dahulu membolehkan Rasulullah ﷺ untuk menjalankan agama Allah ﷻ di rumahnya, bertawaf di Ka'bah, bahkan menyediakan pengamanan
agar beliau ﷺ bisa
menjalankan agama Allah… dengan syarat tidak mendekati politik! Sebagaimana
yang diinginkan oleh sebagian ulama hari ini.
Ketika Rasulullah ﷺ pulang
dari Thaif dalam keadaan sedih, maka Al-Muth’im bin ‘Adi melindunginya, padahal
dia masih musyrik. Ia memerintahkan anak-anaknya untuk membawa senjata dan
menjaga Muhammad agar bisa masuk ke Makkah dan bertawaf di Ka'bah!
Demikian pula Abu Bakar
Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, ia pernah di-idzinkan membangun masjid di
halaman rumahnya di Makkah sebelum hijrah, lalu membaca Al-Qur’an dan berdakwah
kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia dilindungi oleh salah satu tokoh Quraisy dengan
syarat ia tetap di rumah atau wilayah pribadinya dan tidak melewati garis merah
politik yang telah berlumuran darah… darah para penyeru kebenaran. Selama tidak
menyeru di lapangan mana pun yang berada di tengah kota. Dan selama tidak
menyeru pada Islam secara kaaffah, termasuk berpolitik, tidak pula Islam sebagaimana
yang diturunkan dari sisi Allah ﷻ yang tidak meninggalkan sebagiannya, tidak
berpaling darinya, dan tidak memilah-milahnya sesuka hati.
Semua ini masih
dibolehkan oleh sekularisme, tidak membuatnya gelisah… bahkan mereka merasa
diuntungkan karena bisa menunjukkan bahwa mereka tidak memusuhi agama, tapi
memusuhi ekstremisme dan terorisme…
Yang dimaksud dengan
ekstremisme menurut kaum sekulerisme adalah sbb :
[*] Siapa saja yang ingin
menegakkan agama Allah di muka bumi. Siapa saja yang ingin menjalankan negeri
dengan politik syar’i.
[*] Siapa saja yang ingin
berhukum dengan hukum Allah ﷻ dalam urusan politik sebagaimana ia berhukum dengan hukum Allah
dalam shalat dan puasa.
[*] Siapa saja yang ingin
mengajarkan agama Allah dan hukum-hukumnya dalam politik sebagaimana ia
mengajarkannya dalam shalat, puasa, nikah, dan adab di kamar mandi… semuanya
adalah bagian dari agama Allah dan kita tidak membeda-bedakan sedikit pun dari
hukum-hukumnya.
Dan semua ini disebut
sebagai ekstremisme dan terorisme yang diperangi oleh sekularisme, dan ia
menemukan pembenaran syar’i dari kalangan ulama yang membangun landasan untuk
memisahkan politik dari agama! Padahal seandainya politik bukan bagian dari
agama Allah, tentu wahyu tidak akan membawanya dalam Kitabullah ﷻ dan
dalam sunnah Rasulullah ﷺ, dan tentu para ulama umat ini tidak akan bersepakat atasnya.
Kita tidak sepatutnya
menjadi golongan yang memecah-mecah, menjadikan Kitab Allah terpotong-potong,
yaitu bagian-bagian yang terpisah -mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian
lainnya- sebagaimana dalam firman Allah ﷻ:
﴿وَقُلْ إِنِّي أَنَا النَّذِيرُ الْمُبِينُ،
كَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِمِينَ، الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْآنَ
عِضِينَ، فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ، عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Dan katakanlah:
Sesungguhnya aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata. Sebagaimana (Kami
telah menurunkan azab) kepada orang-orang yang telah membagi-bagi (kitab
Allah). Yaitu orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi.
Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang
telah mereka kerjakan.” [QS. Al-Hijr: 89–93]
Ayat ini mengancam para
ulama lebih dulu sebelum penguasa atau orang awam.
Atau seperti yang
difirmankan Allah ﷻ tentang mereka:
﴿إنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ
وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ
نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ
ذَلِكَ سَبِيلًا، أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا، وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ
وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ
أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا﴾
“Sesungguhnya orang-orang
yang kufur kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan mereka ingin membedakan antara
Allah dan Rasul-rasul-Nya, serta mengatakan: Kami beriman kepada sebagian dan
kami kufur kepada sebagian (yang lain), dan mereka ingin mengambil jalan tengah
di antara itu. Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami telah
menyediakan bagi orang-orang kafir itu azab yang menghinakan. Adapun
orang-orang yang beriman kepada Allah dan semua Rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan
antara mereka, maka kepada mereka akan Kami berikan pahala mereka. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”**
[QS. An-Nisa: 150–152]
Atau seperti celaan Allah
ﷻ
terhadap orang-orang yang bersikap demikian:
﴿أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ
وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا
خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ
الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ، أُولَئِكَ الَّذِينَ
اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ
الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ﴾
“Apakah kalian beriman
kepada sebagian isi kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Maka tidak ada
balasan bagi siapa saja di antara kalian yang melakukan hal itu selain kehinaan
dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada
azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kalian
kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan
(mengorbankan) akhirat, maka azab tidak akan diringankan dari mereka dan mereka
tidak akan ditolong.”** [QS. Al-Baqarah: 85–86]
Membeli dunia dengan
mengorbankan akhirat adalah salah satu penyebab seseorang meremehkan bagian
dari agama yang membuat musuh-musuh agama bersuka ria!
Padahal sebagian syaikh
tersebut mengharamkan menyerupai orang kafir dalam hal pakaian, gaya rambut,
bahkan dalam hal memakai jam di tangan kanan...
Lalu di manakah letaknya
perbandingan antara itu semua dengan menyerupai mereka dalam mengeluarkan
politik dari agama dan memisahkannya? Di mana pula letaknya dari peniruan
mereka dalam mengurung agama hanya di masjid, sebagaimana mereka kurung agama
di biara dan gereja?
Maka renungkanlah
bersamaku, wahai Muslim -jika aku diizinkan untuk bertanya- dan katakanlah: Ketika
mereka kembali ke saluran-saluran (televisi atau media) mereka dan
majelis-majelis mereka untuk mengajarkan kepada manusia sunnah Rasulullah ﷺ,
misalnya ketika mereka menjelaskan *Shahih Bukhari*, lalu mereka sampai pada
hadits yang terdapat dalam *Shahih Bukhari dan Muslim*:
«إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ تَسُوسُهُمُ
الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي»
**"Sesungguhnya Politik
Bani Israil dahulu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat,
digantikan oleh nabi lain. Namun tidak ada nabi lagi setelahku..."**
Apakah mereka akan
mengajarkannya kepada manusia? Ataukah mereka akan melewatkannya dan beralih
mengajarkan bagian lain dari agama? Apakah mereka akan mengajarkannya
sebagaimana Rasulullah ﷺ mengajarkannya kepada para sahabatnya radhiyallahu 'anhum,
sebagaimana salaf mengajarkannya kepada murid-murid mereka, dan sebagaimana
para ulama rabbani mengajarkannya kepada penuntut ilmu?
Ataukah mereka akan
berkata: “Siapa yang ingin belajar politik, silakan ambil hadits ini dan pergi
ke tempat mana saja untuk belajar politik...”
Lalu ia belajar politik
di tempat yang jauh dari kasih sayang, jauh dari hikmah, jauh dari bashirah
(pemahaman yang tajam dan lurus)?!
Dan ilmu macam apa yang
benar, baik, dan jujur jika jauh dari rahmat, padahal Rasulullah ﷺ tidak
diutus melainkan dengan membawa rahmat, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ﴾
*"Dan tidaklah Kami
mengutusmu, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam."* (Al-Anbiya:
107)?
Dan ilmu macam apa yang
benar, baik, dan jujur jika jauh dari hikmah -yang merupakan induk segala
kebaikan- sebagaimana firman-Nya:
﴿يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ
يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا
أُولُو الْأَلْبَابِ﴾
*"Dia memberikan
hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh
ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil
pelajaran kecuali orang-orang yang berakal."* (Al-Baqarah: 269)?
Maka jika mereka
melakukan hal itu - dan mereka memang telah melakukannya- apakah mereka layak
disebut ulama atau justru kaum sekuler?
===***===
MENANGGAPI
PERNYATAAN NYELENEH DARI ULAMA SEKULER :
Mereka Para Ulama Sekuler
Berkata:
وَأَنْ نَبْتَعِدَ كُلَّ الْبُعْدِ عَنْ
كُلِّ الْبَرَامِجِ السِّيَاسِيَّةِ! تَأْكِيدٌ بَعْدَ تَأْكِيدٍ.. نَبْتَعِدَ كُلَّ
الْبُعْدِ وَتَبْدُوَ فِي الْأَعْرَابِ عَنْ مَدِينَةِ السِّيَاسَةِ!
*”Kita harus pergi
menjauh sejauh-jauhnya dari seluruh program politik dan kekuasan”*
Jawaban-nya :
Pernyataan ini nampak
seperti perkataan orang-orang Arab Badui yang hidup jauh dari kota politik!
Subhanallah, saya
teringat firman Allah Ta'ala tentang sekelompok manusia yang mudah panik dan
gelisah saat terkena sentuhan atau guncangan, dan ketakutan luar biasa bahkan
terhadap suara yang bukan ditujukan kepada diri mereka.
Allah Ta'ala berfirman
tentang mereka:
﴿۞ وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ
ۖ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ
كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ
ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ﴾
Dan apabila kalian
melihat (penampilan) mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kalian merasa kagum.
Dan jika mereka berkata, kalian mendengarkan perkataan mereka. (Padahal) mereka
itu adalah seakan-akan kayu yang tersandar (lemah dan penakut). Mereka mengira
bahwa tiap-tiap (ada suara) teriakan yang keras ditujukan kepada diri mereka.
Mereka itulah musuh (yang
sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka.
Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?”. [QS. Munafiqun: 4]
Dan Allah SWT berfirman :
﴿يَوَدُّوا لَوْ أَنَّهُمْ بَادُونَ فِي
الْأَعْرَابِ يَسْأَلُونَ عَنْ أَنْبَائِكُمْ وَلَوْ كَانُوا فِيكُمْ مَا
قَاتَلُوا إِلَّا قَلِيلًا﴾
*"Mereka ingin
sekali berada di pedalaman bersama orang-orang Arab Badui, sambil
bertanya-tanya tentang berita kalian. Sekiranya mereka berada bersama kalian,
mereka pun tidak akan berperang kecuali sedikit sekali."* (Al-Ahzab: 20).
Yakni:
أَيْ: إِذَا جَاءَ الجُنْدُ وَالأَحْزَابُ
يَوَدُّونَ أَنْ لَوْ كَانُوا فِي البَادِيَةِ، بَعِيدًا عَنِ المَدِينَةِ، وَ(يَتَمَنَّوْنَ
مِنَ الخَوْفِ وَالجُبْنِ أَنَّهُمْ غَيْبٌ عَنْكُمْ فِي البَادِيَةِ مَعَ الأَعْرَابِ
خَوْفًا مِنَ القَتْلِ)
bila tentara dan pasukan sekutu
datang, mereka berharap seandainya saja mereka sedang berada di padang pasir,
jauh dari kota. *(Mereka berharap karena ketakutan dan pengecut agar bisa
lenyap dari kalian ke pedalaman bersama orang-orang Arab Badui, karena takut
terbunuh).* [Lihat : At-Tabari, *Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān*, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, jilid 20, halaman 234].
Penulis katakan: ayat ini
dalam maknanya mencakup keterasingan secara fisik dan maknawi—atau kebaduiyahan
lahiriah dan batiniah. Maka saat keadaan genting datang, mereka berharap agar
benar-benar jauh dari kalian, jauh dari kota politik yang menurut mereka hanya
membawa lelah, susah, dan derita!
Mereka ingin jauh dari
medan apa pun yang kalian isi—baik ilmu, pengajaran, perjuangan, aksi, atau
unjuk rasa.
Mereka berharap agar
mereka tidak ikut serta dalam satu kata pun yang bisa menjadi saksi atas mereka
atau dijadikan alasan untuk dituntut.
Mereka ingin agar
benar-benar jauh dari kalian, dan hanya mendengar berita kalian dari kejauhan:
Tetapi sebagaimana
disebutkan dalam ayat-ayat itu, saat rasa takut hilang, mereka mencerca kalian
dengan lidah yang tajam. Bahkan sejarah membuktikan bahwa saat mereka berada di
tengah kalian, mereka tak membantu sedikit pun, bahkan menambah kekacauan.
Bahkan sebagian dari mereka telah menyebabkan kaum muslimin disembelih dengan
pisau yang mereka sebut “ijtihad”! Di negeri kita yang penuh luka ini!
Hari-hari telah berubah.
Ketakutan datang ke negeri kita. Banyak orang yang dahulu dikenal berkomitmen
pun melarikan diri, menjadi seperti orang-orang Badui di rumah-rumah mereka
Kita kembali pada
ucapan (seorang "ulama sekuler"!):
*"Kita harus pergi
menjauh sejauh-jauhnya dari seluruh program politik dan kekuasan"*
Ini adalah penghapusan
total terhadap segala hal yang berhubungan dengan politik; penegasan tanpa
pengecualian!
Kemudian ulama sekuler
ini berkata setelahnya:
"Dan kita hanya
kembali untuk mengajarkan kepada manusia agama Allah Tabaraka wa Ta'ala dan
sunnah Rasulullah ﷺ, dan itulah yang pokok..."
Yakni ; kembali setelah
sebelumnya telah pergi... kembali untuk mengajarkan agama Allah kepada manusia,
artinya ia telah pergi jauh dari agama ketika memasuki dunia politik, lalu
kembali darinya kepada agama.
Inilah bentuk nyata
pemisahan antara politik dan agama! Ini adalah inti dari sekularisme dan
tiangnya. Kembali dari program-program politik atau dari politik menuju agama,
seolah-olah seperti transaksi al-‘īnah! Yaitu salah satu
bentuk jual beli riba. Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka:
«إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ
أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ»
*"Jika kalian
berjual beli dengan ‘īnah, mengambil ekor-ekor
sapi, merasa puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan
menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan diangkat sampai kalian
kembali kepada agama kalian."*
(Al-Albani; *Silsilah
al-Aḥādīṡ aṣ-Ṣaḥīḥah*, no. [11]; beliau
berkata: sahih dengan keseluruhan jalurnya).
Maka perhatikanlah
bagaimana Rasulullah ﷺ menyebut meninggalkan riba - yang berada di luar sistem
transaksi Islam - sebagai bentuk **kembali kepada agama**, dan berdasarkan hal
itu, maka ungkapan mereka bahwa kembali dari mengajarkan politik kepada
mengajarkan agama kepada manusia, yang sebelumnya diajarkan melalui politik,
berarti menjadikan politik seakan berada di luar agama, sebagaimana jual beli
al-‘īnah berada di luar jual beli yang halal!
Dia berkata: "untuk
mengajarkan agama Allah kepada manusia", seakan-akan politik itu bukan
bagian dari agama Allah! Seakan-akan agama Allah tidak mengandung unsur
politik! Bukankah ini adalah seruan sekularisme? Bukankah ini adalah
sekularisme yang diserukan oleh seorang (ulama?!)
Bukankah dalam
definisi politik terkait khilafah dan imamah disebutkan bahwa:
"هِيَ خِلَافَةُ صَاحِبِ الشَّرْعِ فِي أُمَّتِهِ
بِشَرِيعَتِهِ"
"Politik adalah
kepemimpinan wakil pemilik syariat dalam umatnya dengan syariatnya"?
Dan berdasarkan hal ini,
mereka menjauh dari mengajarkan kepada manusia bagaimana caranya menggantikan
Rasulullah ﷺ dalam
berpolitik memimpin umatnya dengan syariat Islam ; karena hal itu menurut
pandangan mereka bukan termasuk bagian dari agama Allah! Dan karena Rasulullah
tidak pernah bersabda :
سُوسُوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أَسُوسُ
berpolitikhlah
sebagaimana kalian melihat aku berpolitik”.
Dan karena Allah SWT tidak
pernah mengutus para nabi dan rasul untuk berpolitik dan berkuasa.
Ya, yang termasuk dari
agama Allah dan sunnah Rasulullah ﷺ adalah:
«صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي»
“Salatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku salat”.
Dan termasuk dari
agamanya:
«لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ»
“Ambillah dariku manasik
(tata cara ibadah haji) kalian”
Serta termasuk dari
agamanya:
«كَيْفِيَّةُ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ».
“Cara wudunya Nabi ﷺ
seakan-akan engkau melihatnya.”
Termasuk dari sunnah Nabi
ﷺ dan
dari agamanya adalah (adab buang hajat); hal yang paling rendah dalam kehidupan
manusia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Salman radhiyallahu 'anhu, seorang
Yahudi berkata kepadanya:
«قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى
الخِرَاءَةَ!» فَقَالَ: «أَجَلْ! لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ
أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ
مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ»
“Sungguh, nabi kalian
telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu, bahkan sampai tata cara buang
hajat!" Maka Salman menjawab: "Betul! Beliau melarang kami menghadap
kiblat saat buang air besar atau kecil, atau beristinja dengan tangan kanan,
atau dengan kurang dari tiga batu, atau dengan kotoran hewan atau tulang.”
(Muslim; Shahih Muslim, no. [262]).
Maka semua itu termasuk
bagian dari agama; menurut kami tidak ada yang remeh dan tidak ada yang
dianggap sebagai “kulit” (tidak penting)... Adapun :
"سُوسُوا كَمَا رَأَيْتُمُ النَّبِيَّ أَسُوسُ"
“Kendalikan politik
sebagaimana kalian melihat Nabi berpolitik memimpin umat”
Maka bagi mereka, hal itu
bukan bagian dari agama!
Al-Mawardi rahimahullah
berkata:
الإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ
النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ
بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ
“Kepemimpinan (al-imāmah) ditetapkan sebagai kelanjutan dari kenabian dalam menjaga agama
dan mengatur urusan politik dunia. Menetapkannya bagi orang yang
melaksanakannya di tengah umat adalah kewajiban berdasarkan ijma’ (kesepakatan
para ulama).” [Baca: Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, karya al-Mawardy hal. 3. Tahqiq:
Ahmad Al-Mubarak Al-Baghdadi, Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, cet. ke-1,
1409 H / 1989 M]
Tentu saja, segala hal
yang berkaitan dengan pemerintahan, kepemimpinan, dan kekhilafahan, baik dari
segi pengembangan, landasan maupun perinciannya, semuanya adalah politik. Dan
politik ini -sebagaimana disebutkan- adalah kelanjutan dari kenabian dalam
menjaga agama dan mengatur negeri-negeri sesuai dengan ajaran agama. Apakah hal
ini belum cukup untuk menunjukkan bahwa politik adalah bagian dari agama?
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah ta'ala berkata:
يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلَايَةَ
أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّينِ؛ بَلْ لَا قِيَامَ لِلدِّينِ
وَلَا لِلدُّنْيَا إلَّا بِهَا. فَإِنَّ بَنِي آدَمَ لَا تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إلَّا
بِالِاجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إلَى بَعْضٍ وَلَا بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ الِاجْتِمَاعِ
مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ﴿إذَا خَرَجَ
ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ﴾ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد مِنْ حَدِيثِ
أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ. وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَد فِي الْمُسْنَدِ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
﴿لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُونُونَ بِفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ إلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ
أَحَدَهُمْ﴾ فَأَوْجَبَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَأْمِيرَ الْوَاحِدِ فِي
الِاجْتِمَاعِ الْقَلِيلِ الْعَارِضِ فِي السَّفَرِ تَنْبِيهًا بِذَلِكَ عَلَى سَائِرِ
أَنْوَاعِ الِاجْتِمَاعِ. وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ
وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَلَا يَتِمُّ ذَلِكَ إلَّا بِقُوَّةِ وَإِمَارَةٍ. وَكَذَلِكَ
سَائِرُ مَا أَوْجَبَهُ مِنْ الْجِهَادِ وَالْعَدْلِ وَإِقَامَةِ الْحَجِّ وَالْجُمَعِ
وَالْأَعْيَادِ وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ. وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ لَا تَتِمُّ إلَّا بِالْقُوَّةِ
وَالْإِمَارَةِ؛ وَلِهَذَا رُوِيَ: ﴿أَنَّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ﴾
“Wajib diketahui bahwa
mengurusi urusan manusia adalah salah satu kewajiban agama yang paling agung.
Bahkan, agama dan dunia tidak akan tegak kecuali dengannya. Karena, manusia
tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka kecuali dengan berkumpul (bersatu), dan
dalam setiap pertemuan pasti dibutuhkan seorang pemimpin. Hingga Nabi ﷺ
bersabda:
‘Jika tiga orang
keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu dari
mereka sebagai pemimpin’ (Al-Albani, Silsilah al-Ahādīts ash-Shahīhah, no. 1322).
Maka Nabi ﷺ
mewajibkan penunjukan pemimpin bahkan dalam pertemuan kecil dan sementara
seperti dalam perjalanan, sebagai isyarat atas pentingnya pemimpin dalam segala
bentuk perkumpulan.
Dan karena Allah ﷻ telah
mewajibkan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka hal itu tidak bisa terlaksana
kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan. Begitu pula semua kewajiban lainnya
seperti jihad, keadilan, pelaksanaan haji, shalat Jumat, hari raya, menolong
orang yang dizalimi, dan penegakan hukum hudud — semuanya tidak akan bisa
ditegakkan kecuali dengan kekuasaan dan pemerintahan. Oleh karena itu,
diriwayatkan: ‘Sesungguhnya penguasa itu adalah naungan Allah di bumi.’”(Al-Albani,
Zhilāl al-Jannah, no. 1024, dan beliau berkata: hasan).
Lihat : Majmu’ al-Fatawa
oleh Ibnu Taimiyah 28/390 dan as-Siyāsah
asy-Syar’iyyah, hlm. 129).
Maka perhatikanlah
bagaimana Syaikhul Islam mewajibkan perkara ini, mewajibkan untuk berusaha
mewujudkannya, dan menjadikannya sebagai bagian dari agama. Namun di akhir
zaman, perkara ini justru dianggap di luar agama oleh sebagian orang—dan
(ironisnya) oleh orang-orang yang disebut sebagai ulama! Mereka justru
menyerukan agar ditinggalkan demi "kembali kepada agama"!
Padahal jika para ulama
dan orang-orang bertakwa tidak mengambil posisi ini—untuk menegakkan amar
ma’ruf, nahi munkar, dan berjihad melawan musuh—maka pasti akan diambil alih
oleh orang-orang yang memerintahkan kemungkaran, melarang kebaikan, dan
berjihad di jalan setan.
Kenyataan telah berbicara.
Bukankah ini adalah sekularisme yang justru diserukan oleh para ulama?
Lalu, mengapa aku harus
pergi jauh… aku tidak akan pergi jauh dari sunnah dan sirah Nabawiyah.
Barangsiapa yang tidak cukup baginya sunnah, maka semoga Allah tidak memberinya
keluasan.
Bukankah Rasulullah ﷺ adalah
orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah? Bukankah beliau ﷺ adalah
orang yang paling banyak beribadah, paling zuhud, dan paling wara’? Bukankah
beliau ﷺ adalah
orang yang paling kuat dalam beragama dan paling banyak mengajarkan agama
kepada umatnya? Bukankah beliau adalah negarawan dan pemimpin tertinggi
sepanjang sejarah umat manusia, bagi umat terbaik yang dikeluarkan untuk
manusia?
Apakah beliau ﷺ
melakukan sesuatu yang bukan dari agama, sehingga ditinggalkan oleh
"ulama" akhir zaman? Bukankah beliau adalah seorang pemimpin dan
kepala pemerintahan? Bukankah inti dari politik adalah memimpin manusia dengan
syariat Rabb manusia, dengan metode yang telah dimuat dalam syariat itu
sendiri?
Jika politik dianggap najis
dan kotor, maka bagaimana mungkin Rasulullah ﷺ mendekatinya, padahal beliau adalah pribadi yang suci,
disucikan, dan menyucikan dengan izin Allah Ta’ala?
Bukankah Rasulullah ﷺ
senantiasa menyerukan penegakan syariat Allah, membaca ayat-ayat-Nya dan menyampaikan
hadits-hadits tentangnya?
Lalu, apakah ada
seseorang selain Rasulullah ﷺ yang lebih taat daripada beliau? Lebih beribadah kepada
Rabb-nya daripada beliau? Lebih bertakwa dan lebih tahu terhadap batas-batas
yang Allah turunkan kepada beliau?
Ini termasuk bagian dari
sirah (perjalanan hidup) Rasulullah ﷺ. Kita katakan—dengan kesepakatan Ahlus Sunnah—bahwa manusia
terbaik setelah para nabi adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, baik
dari sisi ilmu, akhlak, maupun niat... Namun para sahabat radhiyallahu 'anhum
tidak mencari pengganti selain beliau untuk menduduki posisi tertinggi dalam
politik dan kepemimpinan. Sementara sebagian "ulama" di zaman ini
justru *menyucikan diri* darinya dan melaknatnya, lalu menyebut perang antara
kaum Muslimin dan kelompok sekuler sebagai "perebutan kursi
kekuasaan"!
Lalu bagaimana dengan Abu
Bakar yang justru terlibat dalam hal itu? Apakah mereka merasa lebih suci
darinya, lebih berilmu darinya, lebih bertakwa dan bersih dari beliau?! Tentu
saja TIDAK.
Setelah itu, para sahabat
memilih orang terbaik kedua di antara sahabat Rasulullah ﷺ -yaitu orang yang mendapatkan sembilan per sepuluh dari ilmu, yang
setan pun memilih jalan lain saat bertemu dengannya, yang menjadi seperti kain
lusuh karena takut kepada Allah, yang bisa jatuh sakit sebulan penuh karena
satu ayat Al-Qur'an... namun ia tetap terjun ke dunia politik dan tidak
*menyucikan diri* darinya seperti yang dilakukan sebagian ulama zaman ini yang
merasa "terlalu tinggi"! Itulah Umar Al-Faruq radhiyallahu 'anhu,
sang yang diberi ilham.
Kemudian orang ketiga
terbaik dalam generasi terbaik dari umat terbaik yang Allah keluarkan untuk
manusia, yaitu Utsman radhiyallahu 'anhu, beliau pun terjun dalam urusan
politik dan tidak merasa jijik atau menyucikan diri darinya. Bahkan beliau
wafat dalam kondisi menjalani tugas politiknya sebagai seorang syahid. Bukan
beliau yang membuat fitnah, tetapi fitnah berasal dari orang yang menimbulkan
kekacauan; kezaliman dari orang yang berbuat zalim! Bahkan beliau menolak untuk
turun dari "kursi politik" karena agama Allah Ta’ala.
Ketika orang-orang yang
mengepung Utsman radhiyallahu ‘anhu berkata :
اِخْلَعْ نَفْسَكَ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ
كَمَا خَلَعَكَ اللَّٰهُ مِنْهُ
Lepaskan dirimu dari
urusan khilafah ini seperti Allah melepaskanmu darinya.
Beliau menjawab:
لَا أَنْزِعُ قَمِيصًا أَلْبَسَنِيهِ
اللَّهُ
“Aku tidak akan
melepaskan baju (kekuasaan) yang Allah pakaikan kepadaku.”
Lalu mereka berkata :
لَسْنَا مُنْصَرِفِينَ حَتَّى نَخْلَعَكَ
أَوْ نَقْتُلَكَ أَوْ تَلْحَقَ أَرْوَاحُنَا بِاللَّهِ تَعَالَى، وَإِنْ مَنَعَكَ أَصْحَابُكَ
وَأَهْلُكَ قَاتَلْنَاهُمْ حَتَّى نَخْلُصَ إِلَيْكَ
“Kami tidak akan pergi
sampai kami mencopotmu atau membunuhmu atau ruh kami bertemu dengan Allah
Ta'ala. Dan jika para pengikutmu dan keluargamu menghalangimu, maka kami akan
memerangi mereka sampai kami bisa sampai kepadamu.”
Maka Utsman menjawab :
أَمَّا أَنْ أَتَبَرَّأَ مِنْ خِلَافَةِ
اللَّهِ فَالْقَتْلُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ ذَلِكَ، وَأَمَّا قَوْلُكُمْ تُقَاتِلُونَ
مَنْ مَنَعَنِي فَإِنِّي لَا آمُرُ أَحَدًا بِقِتَالِكُمْ، فَمَنْ قَاتَلَكُمْ فَبِغَيْرِ
أَمْرِي قَاتَلَ، وَلَوْ أَرَدْتُ قِتَالَكُمْ لَكَتَبْتُ إِلَى الْأَجْنَادِ فَقَدِمُوا
عَلَيَّ أَوْ لَحِقْتُ بِبَعْضِ أَطْرَافِي
“Adapun jika aku harus
melepaskan diri dari kekhalifahan Allah, maka kematian lebih aku cintai
daripada hal itu. Dan adapun ucapan kalian bahwa kalian akan memerangi siapa
pun yang menghalangiku, maka aku tidak memerintahkan siapa pun untuk memerangi
kalian. Maka barang siapa memerangi kalian, itu bukan atas perintahku. Dan
kalau aku benar-benar ingin memerangi kalian, tentu aku sudah menulis surat
kepada pasukan-pasukan agar datang kepadaku, atau aku sendiri sudah pergi ke
sebagian wilayah kekuasaanku.”
[Baca : al-Kamil Fii
at-Tarikh oleh Ibnu al-Atsir 2/538]
Dan tidak ada seorang pun
dari kaum Muslimin yang menganggap bahwa beliau wafat karena berebut kursi.
Lalu yang keempat dari
Khulafaur Rasyidin adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, yang
kekhilafahannya—atau katakanlah, keterlibatannya dalam politik
pemerintahan—bahkan menjadi orang tertinggi dalam strukturnya. Bahkan beliau
berperang dalam suasana perpecahan dan konflik antar kaum Muslimin. Namun tetap
saja, tidak ada seorang pun yang menuduh beliau ikut fitnah, berebut kekuasaan,
atau ternodai oleh politik.
Inilah bagian dari sirah
Rasulullah ﷺ dan
sirah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk dalam politik mereka yang penuh
hidayah.
===****===
KETIKA ADA ORANG BERTANYA DENGAN TUJUAN MELECEHKAN POLITIK
Dikutip dari ISLAM.WEB
Fatwa no. 163015 :
PERTANYAAN :
Pertanyaan tentang boleh
atau tidaknya menyebarkan topik-topik seperti ini:
"هَلْ لَوْ تَرَشَّحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَأَلَ الرِّئَاسَةَ سَتُرَشِّحُهُ؟"
"Seandainya Rasulullah ﷺ mencalonkan diri dan meminta jabatan kepemimpinan, apakah engkau akan mencalonkannya?"
Seorang pemuda salafi mendesakku untuk meninggalkan politik dengan pertanyaan:
“Kalau Nabi Muhammad ﷺ kembali
hidup, apakah engkau akan memilihnya sebagai presiden republik?”
Pemuda itu berharap
dengan pertanyaannya aku akan runtuh pendirianku dalam menolak negara agama —
baik itu Kristen maupun Islam — dan aku akan mengakui Nabi ﷺ sebagai
seorang pemimpin, yang pada akhirnya berarti bahwa tokoh agama boleh menjabat
sebagai presiden, menteri, dan anggota parlemen.
JAWABAN :
Aku menjawab dengan
yakin: Tidak!! Aku tidak akan melakukannya!!
Dan sebelum pemuda itu
memvonis diriku keluar dari agama Islam (kafir dan murtad), aku segera
menjelaskan bahwa aku menjaga kehormatan Nabi ﷺ dari menjadi seorang pegawai yang menerima gaji dari kantongku,
yang tunduk pada kritik, pengawasan, dan pertanggungjawaban, bahkan bisa
diadili.
Para nabi dan tokoh agama
adalah para penyeru kebaikan dan perbaikan; kita hanya belajar dan mengambil
inspirasi dari mereka. Adapun jabatan-jabatan negara membutuhkan pegawai yang
kompeten dan amanah, tidak lebih dan tidak kurang.
Islam tidak memberikan
kekuasaan pemerintahan hanya kepada Allah dan mereka yang bekerja atas nama-Nya
saja. Allah telah memberikan kepada hamba-hamba-Nya hak untuk memutuskan dan
mengatur di muka bumi, dan Dia telah memberi mandat kepada umat untuk memiliki
wewenang dalam memilih pemimpin dan mengawasinya.
JAWABAN :
Tidak boleh hukumnya menyebarkan
dan memper-edar-kan ucapan ini kecuali dengan maksud untuk memperingatkan akan
kesesatan dan kebatilannya.
Inti dari syubhat yang
ditimbulkan oleh dialog yang dibuat-buat ini. Tujuan dialog ini adalah mereka para
sekularis ingin menyebar luaskan faham :
أَنَّهُ لَا يَجُوزُ خَلْطُ الدِّينِ
بِالسِّيَاسَةِ، وَأَنَّ تَصَدِّيَ رِجَالِ الدِّينِ لِأُمُورِ الْحُكْمِ يَحُطُّ مِنْ
قَدْرِهِمْ وَيَنْتَقِصُ مِنْ رُتْبَتِهِمْ، وَأَنَّ الدِّينَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ
بِمَعْزِلٍ عَنِ السِّيَاسَةِ وَالْحُكْمِ حِرْصًا عَلَى قَدَاسَتِهِ وَإِبْقَاءً عَلَى
حُرْمَتِهِ.
“Bahwa agama tidak
boleh dicampur dengan politik, bahwa keterlibatan tokoh agama dalam urusan
pemerintahan akan merendahkan martabat mereka dan mengurangi kedudukan mereka,
serta bahwa agama harus dijauhkan dari politik dan pemerintahan demi menjaga
kesuciannya dan mempertahankan kehormatannya”.
Demikian klaim mereka.
Jawaban-nya : Ini adalah
penipuan dan usaha untuk menampilkan kebatilan yang nyata dalam wujud
kebenaran. Omong kosong seperti ini hanya laku bagi orang-orang yang lemah
akalnya atau yang sedikit bagian ilmunya dan pemahamannya.
Logika gelap yang mereka
coba sebarkan ini, mirip dengan logika sebagian kaum musyrik Arab ketika Nabi ﷺ
mengajak mereka masuk Islam, namun mereka menolak untuk menjawab dan berbicara
dengannya dengan alasan bahwa jika dia benar-benar seorang nabi, maka
kedudukannya terlalu tinggi untuk diajak bicara oleh orang seperti mereka!
Maka wajib atas setiap
Muslim untuk mengetahui bahwa Allah Ta'ala mengutus Rasul-Nya untuk menegakkan agama-Nya
di muka bumi, dan Dia memerintahkannya untuk berhukum dengan syariat-Nya di
tengah manusia, dan Rasulullah ﷺ telah menjalankan tugas itu dengan sempurna.
Allah Ta'ala berfirman:
﴿إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ﴾
*"Sesungguhnya Kami
telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran, agar kamu
menghukum di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu"* (An-Nisa: 105).
Dan Allah Ta'ala juga
berfirman:
﴿ وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ
إِلَى اللَّهِ ۚ﴾
*"Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah
turunkan"* (Al-Ma’idah: 49).
Tugas ini adalah salah
satu tugas yang paling mulia dan paling tinggi derajatnya. Karena itulah tugas
ini diemban oleh para sahabat Nabi ﷺ yang terbaik dan paling utama setelah beliau.
Mereka menjalankan amanah
ini dengan benar, dan mereka memerintah hamba-hamba Allah dengan syariat Allah
yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang.
Pemerintahan mereka di tengah manusia bukanlah perendahan martabat mereka,
bahkan justru merupakan kemuliaan tambahan bagi mereka, di samping manfaat
besar yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan umum.
Adapun klaim orang yang
mengatakan bahwa Allah tidak berhak secara khusus dalam pemerintahan adalah
bentuk penentangan terang-terangan terhadap Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ﴾
*“Keputusan itu hanyalah
milik Allah”* (Yusuf: 40).
Dan Allah Ta’ala juga
berfirman:
﴿ وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ
إِلَى اللَّهِ ۚ﴾
*“Tentang apa pun yang
kamu perselisihkan, maka keputusannya (kembali) kepada Allah”* (Asy-Syura: 10).
Maka, menetapkan hukum
berdasarkan apa yang telah disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui
lisan para rasul-Nya adalah sesuatu yang dituntut oleh akal sehat. Sebab, Sang
Pencipta lebih mengetahui apa yang bermanfaat bagi ciptaan-Nya. Sebagaimana
firman-Nya:
﴿ أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ
الْخَبِيرُ﴾
"Apakah (Allah) yang
menciptakan tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), padahal Dia
Maha Halus lagi Maha Mengetahui?"
Meninggalkan syariat-Nya
demi mengikuti akal yang terbatas bertentangan dengan tuntutan akal itu
sendiri, apalagi bertentangan dengan nash-nash syariat. Realita menunjukkan
bahwa semakin dekat seorang penguasa dengan ilmu syariat dan penerapan
hukumnya, maka hal itu lebih bermanfaat bagi rakyatnya, lebih menjamin keamanan
mereka, dan lebih mendorong tersebarnya keadilan di antara mereka. Sejarah
menjadi saksi akan hal ini.
Menyamakan antara negara
agama dalam Islam dan negara agama dalam Kristen adalah kekeliruan yang nyata.
Maksud dari penyamaan ini
adalah untuk mengembalikan keburukan negara agama Kristen—yang memberikan hak
legislasi kepada para pendeta dan melarang kritik terhadap mereka—kepada
kebaikan negara agama Islam, di mana penguasa memiliki hak dan kewajiban.
Kaum Muslimin pada masa
kejayaan mereka telah menjalankan fungsi pengawasan tersebut, menasehati dan
mengoreksi para penguasa karena mereka meyakini bahwa para penguasa adalah
manusia yang bisa benar dan salah, dan bahwa menasehati mereka adalah kewajiban
yang Allah tetapkan atas hamba-hamba-Nya. Sebagaimana dikatakan seseorang
kepada Umar radhiyallahu 'anhu:
اتَّقِ اللَّهَ
"Bertakwalah
kepada Allah."
Maka Umar merimanya, lalu
dia berkata:
لَا خَيْرَ فِيكُمْ إِذَا لَمْ تَقُولُوهَا،
وَلَا خَيْرَ فِينَا إِذَا لَمْ نَقْبَلْهَا مِنْكُمْ.
"Tidak
ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada
kebaikan pada kami jika kami tidak menerimanya dari kalian."
Dan kisah Umar
radhiyallahu 'anhu yang mencabut pendapatnya, lalu merujuk kepada pendapat
seorang wanita yang benar dan beliau merasa salah dalam berpendapt, bukanlah
hal yang rahasia dan tersembunyi bagi siapa pun. Maka, penguasa dalam negara
Islam bukanlah wakil Tuhan di bumi yang tidak boleh dikritik atau ditentang
keputusannya. Konsep semacam ini justru dikenal dalam pemerintahan non-Muslim.
Secara keseluruhan,
menyebarkan ucapan yang disebutkan penanya diatas tanpa memberikan peringatan
terhadap kesalahan dan penyesatan yang terkandung di dalamnya termasuk
perbuatan mungkar yang besar dan dosa yang besar.
Wallahu a'lam.
[https: //quranislam. github.io
/tafsir /sura67-aya14.html? utm_source = chatgpt.com "تفسير: أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ
اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (سورة الملك الآية 14)"].
0 Komentar