Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PENJELASAN KAIDAH : “APA YANG TIDAK BISA DIGAPAI SEPENUHNYA, JANGAN DITINGGALKAN SELURUHNYA !”

 PENJELASAN KAIDAH : “APA YANG TIDAK BISA DIGAPAI SEUTUH-NYA, JANGAN DITINGGALKAN SELURUHNYA!”

مَا لَا يُدْرَك كُلُّهُ لَا يُتْرَك كُلُّهُ"

----

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NADI AL-ISLAM

*****


===

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN :
  • DEFINISI KAIDAH
  • PEMBAHASAN PERTAMA: ASAL-USUL KAIDAH:
  • PEMBAHASAN KEDUA: DALIL-DALIL KAIDAH
  • BAGIAN PERTAMA: DALIL-DALIL UMUM
  • BAGIAN KEDUA : DALIL-DALIL KHUSUS.
  • PEMBAHASAN KETIGA : SYARAT PENERAPAN KAIDAH :
  • PEMBAHASAN KEEMPAT: KAITAN KAIDAH DENGAN SYARAT KEMAMPUAN DAN KEADAAN ORANG YANG DIBEBANI SYARIAT SAAT MELAKSANAKAN PERINTAH.
  • PERMASALAHAN PERTAMA: KAITAN KAIDAH DENGAN SYARAT KEMAMPUAN.
  • PERMASALAHAN KEDUA: KEADAAN ORANG YANG DIBEBANI DARI SISI KEMAMPUAN DAN KETIDAKMAMPUAN TUBUH DAN ALAT UNTUK MELAKUKAN YANG DIPERINTAHKAN.
  • PERMASALAHAN KETIGA: KONDISI MUKALLAF YANG MAMPU MENJALANKAN SEBAGIAN PERINTAH DAN TIDAK MAMPU MENJALANKAN SEBAGIAN LAINNYA
  • PEMBAHASAN KELIMA: PERBANDINGAN ANTARA KAIDAH INI DAN KAIDAH:
  • PEMBAHASAN KEENAM: KAITAN KAIDAH INI DENGAN KAIDAH-KAIDAH FIKIH LAINNYA:
  • PEMBAHASAN KETUJUH: PENERAPAN FIKIH DARI KAIDAH:
  • PEMBAHASAN KEDELAPAN: CABANG-CABANG YANG DIKECUALIKAN DARI KAIDAH:
  • PEMBAHASAN KESEMBILAN: MENOLAK KERANCUAN DAN SYUBHAT TERHADAP KAIDAH:
  • RINGKASAN PENJELASAN KAIDAH

**** 

﴿بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ﴾

KAIDAH :

"مَا لَا يُدْرَك كُلُّهُ لَا يُتْرَك جُلُّهُ"

“Apa yang tidak bisa diperoleh seluruhnya, jangan ditinggalkan sebagian besarnya.”

Atau :

مَا لَا يُدْرَك كُلُّهُ لَا يُتْرَك كُلُّهُ"

(Apa yang tidak bisa diraih sepenuh-nya, jangan ditinggalkan seluruh-nya).

Maknanya: Jika seseorang tidak mampu melaksanakan suatu perkara secara sempurna atau menyeluruh, maka tetap harus berusaha melakukan sebisa mungkin dari bagian besarnya, dan tidak meninggalkannya sama sekali.

===****===

PENDAHULUAN :

Alhamdulillah .

Sesungguhnya pencapaian kesempurnaan adalah tujuan paling utama dan dambaan setiap penempuh jalan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan sesuatu adalah dengan terkumpulnya seluruh sifat khusus yang dimilikinya serta munculnya pengaruh-pengaruh yang diinginkan darinya.

Dan sebesar kekurangan sesuatu dari hal itu, sebesar itu pula ia kehilangan kesempurnaan dan menjauhi derajat kesempurnaan, namun tetap tersisa darinya apa yang masih ada dari sifat dan pengaruhnya. Tidak diragukan bahwa keadaan ini lebih baik daripada hilangnya seluruh keberadaannya secara total, karena tercapainya tujuan dari sesuatu pada sebagian bentuknya—selama memungkinkan—lebih utama daripada kehilangan secara sempurna.

Makna ini seperti yang dikatakan oleh para ahli hikmah dalam hal pertemanan dan persahabatan:

"مَن لَكَ بِأَخِيكَ كُلِّهِ" و "أَيُّ الرِّجَالِ الْمُهَذَّبُ؟" ، وَقَوْلُهُمْ: "مَنْ كَثُرَ صَوَابُهُ لَمْ يُطْرَحْ لِقَلِيلِ الْخَطَإِ"

“Mana mungkin anda bisa mendapatkan saudara mu secara utuh?” dan “Mana ada lelaki yang benar-benar sempurna?” serta ucapan mereka: “Barang siapa yang banyak kebenarannya, tidak akan ditinggalkan hanya karena sedikit kesalahannya.”

[Lihat peribahasa-peribahasa ini dan yang semisalnya dalam: *Rasa’il al-Jahizh* (4/78), dan *al-Amtsal wa al-Hikam* karya al-Mawardi (862)].

Dan hal ini tidak luput dari perhatian syariat yang bijak, karena dalam hal taklif (pembebanan hukum), syariat tidak membebani mukallaf kecuali dengan apa yang mereka mampu lakukan dan sanggup kerjakan, tanpa menimbulkan kesulitan atau kepayahan pada mereka. Maka barang siapa mampu melakukan apa yang dibebankan kepadanya, ia wajib melaksanakannya. Dan barang siapa tidak mampu melaksanakan sebagian darinya, maka ia berpindah dari keadaan sempurna yang tidak ia mampu lakukan kepada keadaan yang lebih rendah darinya dan ia mampu melaksanakannya.

Allah Ta’ala berfirman:

{ لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا}

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).

Dan Dia berfirman:

{ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}

“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (At-Taghabun: 16).

Dan Rasulullah bersabda:

(إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ)

“Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian.”

[Hadis muttafaq ‘alaih Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7288) dan Muslim (1337) dari Abu Hurairah].

Syaikh Abdurrahman bin Sa’di berkata dalam syarah hadis ini:

"فَأَوَامِرُ الشَّرِيعَةِ كُلُّهَا مُعَلَّقَةٌ بِقُدْرَةِ الْعَبْدِ وَاسْتِطَاعَتِهِ، فَإِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى وَاجِبٍ مِنَ الْوَاجِبَاتِ بِالْكُلِّيَّةِ، سَقَطَ عَنْهُ وُجُوبُهُ. وَإِذَا قَدَرَ عَلَى بَعْضِهِ، وَذٰلِكَ الْبَعْضُ عِبَادَةٌ، وَجَبَ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنْهُ، وَسَقَطَ عَنْهُ مَا يَعْجِزُ عَنْهُ، وَيَدْخُلُ فِي هٰذَا مِنْ مَسَائِلِ الْفِقْهِ وَالْأَحْكَامِ مَا لَا يُعَدُّ وَلَا يُحْصَى".

“Seluruh perintah syariat bergantung pada kemampuan dan kesanggupan hamba. Jika ia sama sekali tidak mampu melaksanakan suatu kewajiban, maka gugurlah kewajiban itu darinya.

Dan jika ia mampu melaksanakan sebagian darinya, dan bagian itu adalah ibadah, maka ia wajib melaksanakan bagian yang ia mampu, dan gugur darinya bagian yang ia tidak mampu. Dalam hal ini termasuk masalah-masalah fikih dan hukum yang tak terhitung jumlahnya”.

[Lihat: *Bahjat Qulub al-Abrar* (hal. 361)].

Buku-buku kaidah fikih telah dipenuhi dengan sejumlah kaidah yang menggambarkan sisi ini, yaitu sisi keringanan dan kemudahan bagi para mukallaf sesuai dengan kondisi mereka, dan memperhatikan tahapan bertahap menurut kemampuan mereka.

[Lihat sebagai contoh: *Kitab al-Qawa’id wa al-Dhawabit al-Fiqhiyyah al-Mutadamminah li al-Taysir* karya Dr. Abdurrahman al-Abdul Lathif]. 

Dan di antara kaidah-kaidah tersebut adalah kaidah:

"الْمَيْسُوْر لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْر"

*”Yang mudah (dilakukan) tidak gugur karena yang sulit (dilakukan)”*

Yaitu kaidah yang masyhur dan dipuji oleh para ulama, sampai-sampai Imam al-Haramain berkata tentangnya:

إِنَّهَا مِنَ الْأُصُولِ الشَّائِعَةِ الَّتِي لَا تَكَادُ تُنْسَى مَا أُقِيمَتْ أُصُولُ الشَّرِيعَةِ. اهـ.

“Sesungguhnya ia termasuk pokok-pokok yang tersebar luas yang hampir tidak dilupakan selama fondasi-fondasi syariat ditegakkan.” [Lihat: *Ghayats al-Umam fi Iltiyats al-Zhulam*, hal. 337]

Dekat makna dan hukumnya dengan kaidah ini adalah ungkapan yang banyak beredar di kalangan para penuntut ilmu masa kini, yaitu:

"مَا لَا يُدْرَك كُلُّهُ لَا يُتْرَك جُلُّهُ"

*“Apa yang tidak bisa diperoleh seluruhnya, jangan ditinggalkan sebagian besarnya.”*

Kedua ungkapan ini sepakat dalam makna yang dikandungnya, yaitu:

"أَنَّ مَن كُلِّفَ بِشَيْءٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَقَدَرَ عَلَى بَعْضِهِ وَعَجَزَ عَنْ بَعْضِهِ، فَإِنَّهُ يَأْتِي بِمَا قُدِرَ عَلَيْهِ، وَيَسْقُطُ عَنْهُ مَا عَجَزَ عَنْهُ"

“Bahwa siapa saja yang dibebani suatu bentuk ketaatan, lalu ia mampu melaksanakan sebagian dan tidak mampu melaksanakan sebagian yang lain, maka ia melaksanakan yang ia mampu, dan gugur darinya yang tidak mampu ia laksanakan.”

[Baca : *Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam* karya ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam (2/7)]

Adapun permasalahan fikih yang dibangun berdasarkan kaidah ini, jika hukum masalahnya tidak disepakati, maka saya akan menunjukkan—pada umumnya—pendapat-pendapat para ulama mengenainya, disertai penukilan yang valid dari kitab-kitab fikih.

Saya juga berupaya untuk memberikan variasi dalam menyebutkan contoh-contoh masalah ini: sebagian berasal dari kitab-kitab kaidah fikih yang masyhur, dan sebagian lainnya aku ambil dari kitab *At-Tanqih al-Musybi’* karya al-Mardawi (w. 885 H) dan *Al-Iqna’ li Talib al-Intifa’* karya al-Hijaawi (w. 968 H).

===== 

DEFINISI KAIDAH

Pertama: Makna kaidah secara istilah:

إِذَا تَعَذَّرَ فِعْلُ الشَّيْءِ عَلَى وَجْهِ الْكَمَالِ، لِقُصُورٍ فِي قُدْرَةِ الْمُكَلَّفِ، وَقَدْ أَمْكَنَهُ الْإِتْيَانُ بِبَعْضِ الْفِعْلِ، فَإِنَّهُ يَفْعَلُ الْمَقْدُورَ عَلَيْهِ، وَلَا يُتْرَك الْكُلُّ بِحُجَّةِ عَجْزِهِ عَنْ بَعْضِهِ؛ لِأَنَّ إِيجَادَ الشَّيْءِ فِي بَعْضِ أَفْرَادِهِ -مَعَ الْإِمْكَانِ- أَوْلَى مِنْ إِعْدَامِهِ كُلِّيًّا.

Jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu secara sempurna karena keterbatasan kemampuan, tetapi ia mampu melakukan sebagian dari perbuatan tersebut, maka ia wajib melakukan yang mampu dilakukannya dan tidak boleh meninggalkan seluruhnya dengan alasan tidak mampu melakukan sebagian darinya; karena mendapatkan sesuatu dalam sebagian bentuknya—selama memungkinkan—lebih utama daripada menghilangkannya secara keseluruhan.

Kedua: Pentingnya kaidah ini:

Kaidah ini, dilihat dari bidang penerapan dan pelaksanaannya, tidak terbatas pada cabang ilmu tertentu atau satu bab fikih saja, tetapi mencakup banyak masalah dari berbagai bab, karena berkaitan dengan perintah-perintah syariat yang merupakan bagian terbesar dari kewajiban syariat. Syariat itu terdiri dari perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.

Kemudian seluruh perintah syariat bergantung pada kemampuan dan kesanggupan mukallaf; karena apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya , atau yang dijadikan syarat ibadah, atau rukun di dalamnya, atau yang menentukan sahnya ibadah: semuanya terkait dengan kondisi kemampuan, karena itulah kondisi ketika perintah tersebut diberlakukan.

Sedangkan saat dalam kondisi tidak mampu, maka tidak mungkin melakukan dan tidak diperintahkan, sehingga sahnya ibadah tidak bergantung pada hal itu. [Baca : Tahdzib as-Sunan karya Ibnu Qayyim (1/47)].

Jika seseorang mampu melakukan sebagian perintah dan tidak mampu melakukan sisanya, maka wajib baginya melakukan apa yang mampu ia lakukan dan tidak gugur kewajibannya hanya karena tidak mampu melakukan seluruh perintah atau merasa berat melakukannya; karena apa yang tidak bisa dilakukan secara sempurna tidak boleh ditinggalkan secara keseluruhan.

[Lihat: *Mawsu’at al-Qawa’id al-Fiqhiyyah* karya Dr. Muhammad al-Burnu (8/954), dan *Bahjat Qulub al-Abrar* karya Ibnu Sa’di (hal. 185)]. 

===***===

PEMBAHASAN PERTAMA: ASAL-USUL KAIDAH:

Diperkirakan orang yang pertama kali menyebutkan kaidah ini  adalah al-‘Allamah al-Mulla Ali al-Qari (wafat 1014 H) dalam kitabnya *Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Masabih* (5/380 dan 6/517), di mana ia menyebutkan dengan lafadz:

مَا لَا يُدْرَك كُلُّهُ لَا يُتْرَك كُلُّهُ

(Apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan semuanya).

Lalu Orang-orang setelahnya mengikuti beliau, seperti Hasan Shiddiq Khan dalam *Abjad al-‘Ulum* (3/267), Abu Thayyib Abadi dalam *‘Aun al-Ma’bud* (10/326), dan Ibnu Sa‘di dalam *Tafsirnya* (*Taisir al-Karim al-Rahman*, hlm. 651).

Dalam ucapan sebagian fuqaha dan ushuliyyin terdapat makna yang menunjukkan kaidah ini dan menjelaskan maksudnya.

Di antaranya: ucapan Abu Thayyib al-Sha‘alluki (الصَّعْلُوكِيّ) [wafat 404 H]:

إِذَا كَانَ رِضَا الْخَلْقِ مَعْسُوْرا لَا يُدْرَك، كَانَ مَيْسُوْرهُ لَا يُتْرَك۔

“Jika keridhoan makhluk sulit diraih seluruhnya, maka yang mudah darinya jangan ditinggalkan.”

(Lihat penisbatan ucapan ini dalam *Thabaqat al-Syafi‘iyyah al-Kubra* (4/398)).

Yang serupa dengan itu adalah ucapan Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 478 H) dalam kitabnya *al-Ghayatsi* (hlm. 337):

إِنَّ الْمَقْدُورَ عَلَيْهِ لَا يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَعْجُوزِ عَنْهُ۔

“Yang mampu dilakukan tidak gugur hanya karena ada bagian yang tidak mampu dilakukan.”

Al-Mawardi (wafat 450 H) berkata dalam kitabnya *al-Hawi* (3/374):

العَجْزُ عَنْ بَعْضِ الْوَاجِبَاتِ لَا يَسْقُطُ مَا بَقِيَ مِنْهَا

“Ketidakmampuan terhadap sebagian kewajiban tidak menggugurkan sisa kewajiban yang lainnya.”

Dalam *al-Mughni* (1/137) karya Ibnu Qudamah disebutkan:

"لَا يُتْرَك الْقَلِيلُ مِنَ السُّنَّةِ لِلْعَجْزِ عَنْ كَثِيرِهَا"

“Jangan meninggalkan sebagian kecil dari sunah hanya karena tidak mampu mengerjakan bagian besarnya.”

(Lihat juga: *Mawsu‘ah al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah* (8/953)).

Begitu juga ucapan al-Qarafi dalam *al-Furuq* (3/198):

"إِنَّ الْمُتَعَذِّرَ يَسْقُطُ اعْتِبَارُهُ؛ وَالْمُمْكِنُ يُسْتَصْحَبُ فِيهِ التَّكْلِيفُ"

“Yang mustahil untuk dilakukan, tidak diperhitungkan. Adapun yang mungkin, maka tetap dibebankan padanya sebagai taklif.” (*Tahdzib al-Furuq wa al-Qawa‘id al-Sunniyyah* karya Ibnu Husain (3/226)).

Dalam *al-Mantsur* (1/227) karya az-Zarkasyi:

"الْبَعْضُ الْمَقْدُورُ عَلَيْهِ هَلْ يَجِبُ؟"

“Apakah sebagian yang mampu dilakukan itu wajib?”

Dan dengan redaksi lain:

"مَنْ قَدَرَ عَلَى بَعْضِ الشَّيْءِ لَزِمَهُ"

“Siapa yang mampu terhadap sebagian sesuatu, maka ia wajib melakukannya.”

(Lihat: *al-Asybah wa al-Nazha’ir* karya Ibnu al-Wakil (1/386)).

Dalam *Syarh Minhaj al-Nawawi* karya al-Muhalli (2/35) dan *Nihayah al-Muhtaj* (3/119):

" المُحَافَظَةُ عَلَى الْوَاجِبِ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ".

“Menjaga kewajiban itu, sesuai dengan kemampuan.”

Al-‘Izz bin ‘Abd al-Salam (wafat 660 H) – sebagai orang yang merangkum semua kaidah tersebut – berkata:

"إِنَّ مَنْ كُلِّفَ بِشَيْءٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَقَدَرَ عَلَى بَعْضِهِ وَعَجَزَ عَنْ بَعْضِهِ، فَإِنَّهُ يَأْتِي بِمَا قَدِرَ عَلَيْهِ، وَيَسْقُطُ عَنْهُ مَا عَجَزَ عَنْهُ".

“Barang siapa dibebani dengan suatu ibadah lalu ia mampu terhadap sebagian dan tidak mampu terhadap sebagian lainnya, maka ia mengerjakan yang ia mampu dan gugur darinya apa yang ia tidak mampu.” (*Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam* (2/7)).

Kemudian beliau merumuskan dalam tempat lain – sebagai kaidah – dengan redaksi yang singkat dan padat, beliau berkata:

"لَا يَسْقُطُ مَيْسُوْر بِمَعْسُوْر".

“Tidaklah menjadi gugur yang mudah, hanya karena yang sulit.”

(*Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam* (2/23)).

Setelah itu kaidah ini tersebar luas dengan redaksi:

"الْمَيْسُوْر لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْر".

“Yang mudah tidak menjadi gugur hanya karena yang sulit.”

(Lihat kaidah ini dalam: *al-Ghayah al-Quswa* karya al-Baidhawi (1/238), *al-Asybah wa al-Nazha’ir* karya Ibnu al-Subki (1/155), *al-Qawa‘id* karya al-Hasani (2/48), *al-Asybah wa al-Nazha’ir* karya as-Suyuthi (hlm. 293), dan *al-Mizan* karya asy-Sya‘rani (1/210)).

===***===

PEMBAHASAN KEDUA: DALIL-DALIL KAIDAH

*****

BAGIAN PERTAMA: DALIL-DALIL UMUM

KE 1] – Dalil-dalil yang menunjukkan dihilangkannya kesulitan atas umat ini, baik dalam hukum-hukum syariat secara umum maupun dalam perkara-perkara tertentu, seperti firman Allah:

{وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ}

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” \[Al-Hajj: 78],

Dan firman-Nya:

{مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ}

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu”. [Al-Ma’idah: 6],

Dan firman-Nya:

{لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ}

“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, dan tidak (pula) bagi orang sakit” \[An-Nur: 61 dan Al-Fath: 17].

Dan ketika Rasulullah menggabungkan antara shalat zuhur dan asar, serta antara maghrib dan isya’, ditanyakan kepada beliau, maka beliau bersabda:

(صَنَعْتُهُ لِئَلَّا تَكُونَ أُمَّتِي فِي حَرَجٍ)

“Aku melakukannya agar umatku tidak berada dalam kesulitan.”

[Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (10525), dan dalam Al-Awsath (4117) dari Ibnu Mas’ud.

Al-Haitsami berkata dalam Majma’ Az-Zawaid (2/161):

وَفِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْقُدُّوسِ، ضَعَّفَهُ ابْنُ مَعِينٍ وَالنَّسَائِيُّ، وَوَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ، وَقَالَ الْبُخَارِيُّ: صَدُوقٌ إِلَّا أَنَّهُ يَرْوِي عَنْ أَقْوَامٍ ضُعَفَاءَ. قُلْتُ: رَوَى هٰذَا عَنِ الْأَعْمَشِ، وَهُوَ ثِقَةٌ. اهـ

Di dalamnya terdapat Abdullah bin Abdul Quddus, dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan An-Nasa’i, tetapi dinyatakan terpercaya oleh Ibnu Hibban. Al-Bukhari berkata: ia jujur kecuali ia meriwayatkan dari orang-orang lemah. Aku berkata: ia meriwayatkan ini dari Al-A’mash, dan ia adalah terpercaya].

Dan Rasulullah bersabda:

(عِبَادَ اللَّهِ، وَضَعَ اللَّهُ الْحَرَجَ إِلَّا مَنِ اقْتَرَضَ مِنْ عِرْضِ أَخِيهِ شَيْئًا، فَذَلِكَ حَرَجٌ وَهُلْكٌ).

“Wahai hamba-hamba Allah, sungguh Allah telah menghapuskan kesulitan, kecuali terhadap seseorang yang mengambil dari kehormatan saudaranya, maka itu adalah kesulitan dan kehancuran.”

[Diriwayatkan oleh Ahmad (4/278), Ibnu Majah (3436) dengan lafadz ini, juga oleh Abu Dawud (2015), An-Nasa’i dalam Al-Kubra (7554), dan Al-Hakim (1/121) serta (4/198, 399), ia mensahihkannya dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, serta disahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (432)].

Di antara makna “menghilangkan kesulitan (رَفْعُ الحَرَجِ)” adalah bahwa barang siapa tidak mampu melaksanakan perintah secara sempurna, namun ia mampu melaksanakan sebagiannya, maka ia wajib mengerjakan bagian yang mampu ia kerjakan, seperti orang yang shalat, jika tidak mampu shalat sambil berdiri maka ia shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu maka sambil berbaring. [Lihat: Mafâtî Al-Ghaib (23/74)].

KE 2] – Dalil-dalil yang menunjukkan kemudahan dan penghilangan kesulitan atas umat ini seperti firman Allah:

{يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ} 

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”. [Al-Baqarah: 185],

dan firman-Nya:

{يُرِيدُ اللّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً}

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia diciptakan bersifat lemah” [An-Nisa’: 28],

Dan sabda Nabi :

(إِنَّ خَيْرَ دِينِكُم أَيْسَرُهُ)

“Sesungguhnya sebaik-baik agama kalian adalah yang paling mudah.”

[Diriwayatkan oleh Ahmad (4/338, 5/32), Ath-Thayalisi (1296), Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (341) dari Mihjan bin Al-Adra’ secara panjang. Disahihkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (1/126), dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1635)].

Dan beliau bersabda:

(إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى رَضِيَ لِهٰذِهِ الْأُمَّةِ الْيُسْرَ، وَكَرِهَ لَهَا الْعُسْرَ)

“Sesungguhnya Allah telah meridhai kemudahan bagi umat ini, dan membenci kesulitan bagi mereka.”

[Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (20/707) dari Mihjan Al-Adra’. Al-Haitsami berkata dalam Majma’ Az-Zawaid (4/18): para perawinya adalah para perawi hadits shahih. Lihat: As-Silsilah Ash-Shahihah (1635)].

Sungguh semua yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya pada dasarnya sangat mudah, dan jika muncul keadaan-keadaan yang menyebabkan beratnya suatu kewajiban, maka Allah memudahkannya lagi dengan bentuk kemudahan lain:

إِمَّا بِإِسْقَاطِهِ، أَوْ تَخْفِيفِهِ بِأَنْوَاعِ التَّخْفِيفَاتِ

bisa berupa penghapusan kewajiban tersebut, atau berupa keringanan dengan berbagai bentuk keringanan. [Dikutip dari Bahjat Qulub Al-Abrar (hal. 168) dengan sedikit perubahan].

KE 3] – Ayat-ayat yang menafikan pembebanan (taklif) terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh seorang mukallaf, seperti firman Allah:

{لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا} 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. [Al-Baqarah: 286].

Dan firman-Nya:

{لاَ نُكَلِّفُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا}

“Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya”. [Al-An’am: 152].

Sungguh Allah tidak membebani jiwa kecuali dalam batas kemampuannya dan tidak melebihi batas maksimal kekuatan dan upaya.

[Lihat: Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm (1/68), Tafsir Ibnu Katsir (2/526), dan kitab Raf’ Al-Haraj oleh Dr. Ya’qub Al-Bahsin (hal. 63)].

Barang siapa tidak mampu melakukan suatu perbuatan secara keseluruhan maka gugurlah kewajiban itu darinya. Namun jika ia mampu mengerjakan sebagian dan tidak mampu mengerjakan sebagian lainnya, maka gugur bagian yang tidak mampu ia lakukan dan ia wajib mengerjakan bagian yang ia mampu, baik sedikit maupun banyak.

[Lihat: Qawâ’id Al-Akâm karya Al-Izz bin Abdissalam (2/7), dan Tahdzîb As-Sunan karya Ibnu Al-Qayyim (1/48)].

****

BAGIAN KEDUA : DALIL-DALIL KHUSUS.

1] – Firman Allah Ta‘ala:

{فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}

Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian” (QS. At-Taghābun: 16).

Dan sabda Nabi :

(إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ)

“Apabila aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka laksanakanlah semampu kalian; dan apabila aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah”.

[Muttafaq ‘alaih (Lihat: at-Ta‘yīn fī Syar al-Arba‘īn, hlm. 111–112; Fatul Bārī 13/326)].

Sesungguhnya perintah itu dibatasi dengan kemampuan, tidak demikian halnya dengan larangan; karena larangan itu pada dasarnya adalah mempertahankan keadaan tidak melakukan suatu hal, atau tetap dalam keadaan tersebut, dan itu bukanlah hal yang mustahil dilakukan sehingga tidak gugur kewajiban darinya. Berbeda dengan pelaksanaan perintah, karena ketidakmampuan untuk mengerjakannya adalah sesuatu yang nyata; sebab ia merupakan proses mengeluarkan sesuatu dari ketiadaan menjadi ada, yang membutuhkan syarat-syarat dan sebab-sebab seperti kemampuan melakukan perbuatan dan sejenisnya.

Maka jika seorang mukallaf tidak mampu melakukan suatu perbuatan secara keseluruhan, maka gugurlah kewajiban itu seluruhnya darinya. Namun jika ia mampu melakukan sebagian dan tidak mampu sebagian lainnya, maka ia melaksanakan bagian yang ia mampu dan gugur bagian yang tidak mampu; untuk memperoleh manfaat yang mungkin diwujudkan dari perbuatan itu.

Dan ini lebih baik daripada kehilangan manfaat tersebut seluruhnya, karena :

إِنَّ مَا لَا يُدْرَك كُلُّهُ لَا يُتْرَك كُلُّهُ

“Apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, janganlah ditinggalkan seluruhnya”

(al-Mirqāh Syar al-Mishkāh karya al-Mullā ‘Alī al-Qārī, 5/380; lihat juga Syar Muslim oleh an-Nawawī, 9/103; I‘lām al-Muwaqqi‘īn, 3/27; Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-ikam, 1/254, 256).

Termasuk dalam kategori ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kewajiban syariat itu tergantung pada kemampuan.

Barang siapa tidak mampu menunaikannya atau menunaikan sebagian kewajibannya, maka gugurlah bagian yang tidak mampu dilakukan itu, sebagaimana firman Allah:

{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا}

“Dan (kewajiban) manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu mengadakan perjalanan ke sana”. (QS. Āli ‘Imrān: 97).

Dan firman-Nya:

{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}

“Dan bagi orang-orang yang tidak sanggup menjalankannya (puasa), wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin”** (QS. Al-Baqarah: 184).

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

"كُنَّا إِذَا بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ ﷺ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، يَقُولُ لَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ: (فِيمَا اسْتَطَعْتُمْ)".

“Dahulu apabila kami berbaiat kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat, beliau bersabda kepada kami: ‘Dalam batas kemampuan kalian’”.

[Muttafaq ‘alaih (HR. Al-Bukhārī 7202 dan Muslim 1867)].

Dan dalam hadits baiat Rasulullah kepada kaum wanita, beliau bersabda:

(فِيمَا اسْتَطَعْتُنَّ وَأَطَقْتُنَّ)

“Dalam batas kemampuan dan kesanggupan kalian”.

Diriwayatkan oleh Amad (6/257), juga oleh an-Nasāī (7/149), Ibnu Mājah (2874), dan at-Tirmiżī (1597), ia berkata: asan aḥīḥ.

Sabda Nabi :

(إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَلْيَدْرَأْ مَا اسْتَطَاعَ)

“Jika salah seorang dari kalian sedang shalat, maka jangan biarkan ada orang yang lewat di depannya. Hendaklah ia mencegahnya semampunya”.

Diriwayatkan oleh Muslim (505) dari Abū Sa‘īd al-Khurī.

2] – Hukum-hukum yang datang dengan berurutan dan mempertimbangkan prinsip bertahap serta penyesuaian dengan kemampuan mukallaf. Hal ini dilakukan dengan memindahkannya dari kondisi sempurna yang tidak mampu dilakukan menuju kondisi yang lebih rendah yang ia mampu, demikian pula dari tingkatan yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Sebab beban syariat berada dalam batas kemampuan. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakan perintah secara utuh namun mampu melaksanakan sebagian, maka ia mengerjakan apa yang ia sanggupi

(Lihat: at-Ta‘yīn oleh a-Ṭūfī, hlm. 290; Syar al-Arba‘īn an-Nawawiyyah oleh Ibnu Daqīq al-‘Īd, hlm. 36; Fatul Bārī 2/748).

Di antaranya adalah sabda Rasulullah kepada ‘Imrān bin uain:

(صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ)

“Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, dan jika tidak mampu maka berbaringlah di sisi”. [Diriwayatkan oleh al-Bukhārī (1117)].

Dan sabda beliau :

(مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ)

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman”.

[Diriwayatkan oleh Muslim (49) dari Abū Sa‘īd al-Khurī].

Dan termasuk pula di antaranya adalah : ayat-ayat yang menyebutkan tentang kafarat (tebusan) dalam kasus pembunuhan, dzihar, sumpah, dam karena haji tamattu’, dan hadits tentang kafarat karena berjima’ di bulan Ramadan.

Adapun kafarat (tebusan) dalam kasus pembunuhan, dalam firman Allah Ta’ala:

(وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ)

*”Dan jika ia (yang dibunuh) dari kaum yang ada perjanjian (dengan kamu), maka hendaklah (dibayar) denda yang diserahkan kepada keluarganya dan membebaskan seorang hamba yang beriman. Barang siapa yang tidak mendapatkannya maka (wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai bentuk tobat kepada Allah.”* (QS. An-Nisa: 92)

Dan tentang kafarat dzihar, dalam firman Allah Ta’ala:

(وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ*فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً)

*”Dan orang-orang yang menzihar istri mereka lalu ingin menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib) membebaskan seorang hamba sebelum keduanya bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Maka siapa yang tidak mendapatkannya, hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak mampu, hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin.”* (QS. Al-Mujadilah: 3–4)

Dan tentang kafarat sumpah, dalam firman Allah Ta’ala:

(فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ)

“Maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang hamba. Barang siapa tidak mampu, maka ia berpuasa tiga hari.” (QS. Al-Ma’idah: 89)

Dan tentang dam haji Tamattu’, dalam firman Allah Ta’ala:

(فََإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ)

*”Jika kalian telah merasa aman, maka siapa yang melakukan tamattu’ (umrah sebelum haji), maka (wajib) menyembelih hewan kurban semampunya. Jika tidak menemukan (hewan), maka berpuasa tiga hari dalam haji dan tujuh hari ketika kalian telah kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.” (QS. Al-Baqarah: 196)

Dan kafarat jima’ di siang bulan Ramadhan, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

أَنَّ رَجُلًا وَقَعَ بِامْرَأَتِهِ فِي رَمَضَانَ، فَاسْتَفْتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: (هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً؟) قَالَ: لَا. قَالَ: (وَهَلْ تَسْتَطِيعُ صِيَامَ شَهْرَيْنِ؟) قَالَ: لَا. قَالَ: (فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا)

Bahwa seorang laki-laki telah menjima’ istrinya di bulan Ramadan, lalu ia meminta fatwa kepada Rasulullah tentang hal itu.

Maka beliau bertanya: *”Apakah engkau punya budak (yang bisa dibebaskan)?” Ia menjawab: “Tidak.”

Beliau bertanya : “Mampukah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab: “Tidak.”

Lalu beliau bersabda: “Kalau begitu, berilah makan enam puluh orang miskin.”*

(HR. Bukhari no. 6821 dan Muslim no. 111/82)

3]. Termasuk juga dalil-dalil yang menyebutkan dua hal, kemudian salah satunya diunggulkan atas yang lain, padahal masing-masing memiliki bagian dari keutamaan. Maka digunakanlah bentuk ungkapan yang hati-hati (الاحْتِرَازُ), dengan menyebutkan keutamaan yang mencakup keduanya, agar tidak disangka bahwa yang tidak diunggulkan adalah tercela.

Disebut “itirāz (الاحْتِرَازُ)” dalam ilmu balaghah: tambahan dalam ucapan untuk menghilangkan kesan makna negatif yang mungkin muncul (lihat *Al-Balāghah Al-‘Arabiyyah*, Al-Maydani 2/84, dan *At-Talkhīṣ*, Al-Qazwīnī hlm. 229).

[Lihat: *Tafsir Ibnu Katsir* (13/413–414), *Tafsir As-Sa‘di* hlm. 195, dan *Al-Qaul Al-Mufīd* karya Ibnu Utsaimin (2/366).]

Juga agar dapat menenangkan hati orang tersebut, dan mendorongnya untuk memperbaiki kekurangannya dan mengejar apa yang masih bisa diraihnya. [Lihat: *Fī ilāl Al-Qur’ān* (2/741), dan *Rūḥ Al-Ma‘ānī* (5/179)].

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala:

(فَضَّلَ اللّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللّهُ الْحُسْنَى)

*”Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang) dengan satu derajat. Dan masing-masing dijanjikan oleh Allah mendapatkan kebaikan.” (QS. An-Nisa: 95)

Dan sabda Nabi :

(ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى ٱللَّهِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِ ٱلضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ)

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, namun pada masing-masing ada kebaikan.” [HR. Muslim no. 2664, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Maka orang yang tidak diunggulkan meskipun kehilangan kesempurnaan keutamaan, dan tidak bisa mendapatkan pahala secara utuh sebagaimana yang diunggulkan, tetap tidak kehilangan bagiannya dari pahala sesuai kadar yang pantas baginya. Sebagaimana yang dikatakan para ulama berikut ini:

"وَكَذَلِكَ فِي ٱلْجَانِبِ ٱلآخَرِ إِذَا ذُكِرَتْ مَرَاتِبُ ٱلشَّرِّ وَٱلْأَشْرَارِ، وَذِكْرُ ٱلتَّفَاوُتِ بَيْنَهُمَا، فَيَنْبَغِي بَعْدَ ذَٰلِكَ أَنْ يَذْكُرَ ٱلْقَدْرَ ٱلْمُشْتَرَكَ بَيْنَهُمَا مِنْ أَسْبَابِ ٱلْخَيْرِ أَوِ ٱلشَّرِّ، وَهَٰذَا كَثِيرٌ فِي ٱلْكِتَابِ وَٱلسُّنَّةِ"

“Demikian pula sebaliknya, jika disebutkan tingkatan keburukan dan para pelakunya, dan disebutkan tingkat perbedaan antar mereka, maka seyogianya disebutkan pula kadar kesamaan antar mereka dari sebab-sebab kebaikan atau keburukan. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah” (Baca : Bahjat Qulūb Al-Abrār, hlm. 69).

Contoh dari hal ini: ketika orang-orang mengingkari perilaku Al-Walid bin ‘Uqbah dalam kepemimpinannya, mereka mendatangi Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata kepada mereka:

اِصْبِرُوا فَإِنَّ جَوْرَ إِمَامٍ خَمْسِينَ عَامًا خَيْرٌ مِنْ هَرْجِ شَهْرٍ، وَذَلِكَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (لَابُدَّ لِلنَّاسِ مِنْ إِمَارَةٍ بَرَّةٍ أَوْ فَاجِرَةٍ، فَأَمَّا الْبَرَّةُ فَتَعْدِلُ فِي الْقَسْمِ، وَيَقْسِمُ بَيْنَكُمْ بِالسَّوِيَّةِ، وَأَمَّا الْفَاجِرَةُ فَيُبْتَلَى فِيهَا الْمُؤْمِنُ، وَالإِمَارَةُ الْفَاجِرَةُ خَيْرٌ مِنَ الْهَرْجِ) قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْهَرْجُ؟ قَالَ: (الْقَتْلُ وَالْكَذِبُ)

*”Bersabarlah, karena kedzaliman seorang pemimpin selama lima puluh tahun lebih baik daripada kekacauan selama sebulan.

Yang demikian itu, karena aku telah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Manusia pasti memiliki pemimpin, baik itu yang saleh maupun yang fasik.

Adapun pemimpin yang saleh, maka ia berlaku adil dalam pembagian dan membagikan secara merata di antara kalian. Sedangkan pemimpin yang fasik, maka orang mukmin diuji karenanya. Dan kepemimpinan yang fasik lebih baik daripada kekacauan.’”*

Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa itu kekacauan?”

Beliau menjawab: *”Pembunuhan dan kedustaan.”*

[Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu‘jam Al-Kabīr, (10/132/10210); Al-Haitsami dalam *Majma‘ Az-Zawā’id* (5/224):

وَفِيهِ وَهْبُ اللهِ بْنُ رِزْقٍ وَلَمْ أَعْرِفْهُ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ. اهـ.

“Dalam sanadnya terdapat Wahbullah bin Rizq yang tidak dikenal, namun sisanya perawi yang terpercaya.”]

Maka kekuasaan yang dzalim, meskipun terdapat dalamnya berbagai kerusakan dan ujian bagi masyarakat, namun apa yang terwujud di bawah naungannya berupa keadilan relatif dan kestabilan urusan-urusan, maka dalam sisi ini ia lebih baik dibandingkan dengan keadaan di mana ikatan keamanan terurai dan kekacauan meluas hingga terjadi pertumpahan darah, perampasan harta, dan penodaan kehormatan.

Hal yang serupa juga terjadi pada sebagian kelompok ahli bid’ah seperti Jahmiyah dan Mu'tazilah ketika mereka menyeru orang-orang kafir kepada agama Islam, lalu banyak dari mereka masuk Islam melalui tangan mereka, meskipun memeluk Islam dengan membawa sebagian kebid’ahan dan kesesatan. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih baik daripada mereka tetap dalam kekafiran, karena dengan masuk Islamnya mereka, keburukan mereka menjadi lebih sedikit dan loyalitas mereka pun beralih kepada kaum muslimin secara umum.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

وَهَذَا كَالْحُجَجِ وَالْأَدِلَّةِ الَّتِي يَذْكُرُهَا كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكَلَامِ وَالرَّأْيِ، فَإِنَّهُ يَنْقَطِعُ بِهَا كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْبَاطِلِ، وَيَقْوَى بِهَا قُلُوبُ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْحَقِّ، وَإِنْ كَانَتْ فِي نَفْسِهَا بَاطِلَةً فَغَيْرُهَا أَبْطَلُ مِنْهَا، وَالْخَيْرُ وَالشَّرُّ دَرَجَاتٌ، فَيَنْتَفِعُ بِهَا أَقْوَامٌ يَنْتَقِلُونَ مِمَّا كَانُوا عَلَيْهِ إِلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ. إِلَى أَنْ قَالَ: وَاللَّهُ تَعَالَى بَعَثَ الرُّسُلَ بِتَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا، وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا الْخَلْقَ بِغَايَةِ الْإِمْكَانِ وَنَقَلَ كُلَّ شَخْصٍ إِلَى خَيْرٍ مِمَّا كَانَ عَلَيْهِ بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ ﴿وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُوا وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ﴾ [الأحقاف: 19].

*”Hal ini serupa dengan hujah dan dalil yang disebutkan oleh banyak ahli kalam dan ahli ra’yu (rasionalis), karena dengan itu banyak pengikut kebatilan dapat dibungkam, dan banyak dari kalangan pengikut kebenaran menjadi kuat hatinya, meskipun dalil itu sendiri batil, namun selainnya lebih batil darinya. Kebaikan dan keburukan itu bertingkat-tingkat, maka orang-orang bisa mengambil manfaat darinya ketika mereka berpindah dari keadaan yang sebelumnya menuju yang lebih baik.”*

Sampai beliau berkata:

*”Dan Allah Ta‘ala mengutus para rasul untuk merealisasikan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta menolak kerusakan dan menguranginya. Dan Nabi mengajak umat manusia dengan semaksimal mungkin dan memindahkan setiap orang kepada yang lebih baik dari sebelumnya semampunya.*

Allah SWT berfirman :

“Dan bagi setiap orang ada derajat-derajat (balasan) sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah menyempurnakan balasan kepada mereka atas pekerjaan mereka, dan mereka tidak didzalimi.”(QS. Al-Ahqaf: 19) . [Baca : Majmū al-Fatāwā, 13/95–96)]

4] – Beberapa dalil dari sunnah yang menunjukkan makna ini, yaitu : bahwa jika suatu hal tidak dapat dicapai secara sempurna, namun masih memungkinkan untuk mendapatkan sebagian darinya yang telah memenuhi tujuan, maka hal tersebut tidak ditinggalkan hanya karena tidak bisa dilaksanakan seluruhnya.

Di antaranya adalah :

Hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda:

(مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ مَثَلُ العَطَّارِ، إِنْ لَمْ يُعْطِكَ مِنْ عِطْرِهِ أَصَابَكَ مِنْ رِيحِهِ)

*“Perumpamaan teman duduk yang shalih adalah seperti penjual minyak wangi; jika ia tidak memberimu minyak wangi, maka kamu akan terkena bau harumnya.”*

[HR. Abu Dawud (4829), dishahihkan oleh al-Hakim (4/280), disetujui oleh adz-Dzahabi dan al-Albani. Hadis ini juga terdapat dalam Shahihain dengan makna yang lebih luas].

Artinya: teman duduk yang shalih, dalam seluruh keadaanmu bersamanya, engkau akan mendapatkan keuntungan dan kebaikan, seperti halnya dengan penjual minyak wangi. Jika engkau tidak mendapatkan minyak wangi darinya, maka setidaknya engkau bisa mengambil manfaat dengan duduk bersamanya, karena engkau terkena aroma harumnya

[Lihat: *Bahjat Qulūb al-Abrār* karya Ibnu Sa‘di, hal. 313].

Juga di antaranya: hadis dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

(إِنَّ ٱلْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّكَ إِنْ تُرِيدَ أَنْ تُقِيمَهَا تَكْسِرْهَا، وَإِنْ تُدَارِيهَا فَإِنَّ فِيهَا أَوَدًا وَبُلْغَةً)

*“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Jika engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Tetapi jika engkau bersikap lembut terhadapnya, maka di dalamnya terdapat bengkok dan juga manfaat.”*

[HR. Ahmad (5/150, 169), dan diriwayatkan juga oleh al-Bukhari dalam *al-Adab al-Mufrad* (747), an-Nasa’i dalam *al-Kubra* (9152), ad-Darimi (2221), dan al-Bazzar (3969–3970). Al-Albani memberi penilaian hasan]

Dan dalam hadis dari Samurah bin Jundub, Nabi bersabda:

«إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَإِنَّكَ إِنْ تُرِدْ إِقَامَةَ الضِّلْعِ تَكَسَّرَ، ‌فَدَارِهَا ‌تَعِشْ ‌بِهَا، ‌فَدَارِهَا ‌تَعِشْ ‌بِهَا»

“Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk, dan jika engkau ingin meluruskannya, niscaya akan mematahkannya. Maka pergaulilah dia dengan baik, niscaya engkau dapat hidup bersamanya. Maka pergaulilah dia dengan baik, niscaya engkau dapat hidup bersamanya.”

[HR. Ahmad (5/8), juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (4178), al-Bazzar (1476), al-Hakim (4/174), yang men-shahih-kannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi.]

Juga di antaranya: hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

(لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا، رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ، أَوْ قَالَ: غَيْرَهُ)

“Seorang mukmin janganlah membenci seorang mukminah. Jika ia tidak menyukai salah satu akhlaknya, maka ia pasti meridhai akhlak lainnya”. [HR. Muslim (1469)]

Syaikh Abdurrahman bin Sa‘di berkata:

"مَنْ لَحَظَ الأَمْرَيْنِ، وَوَازَنَ بَيْنَهُمَا، وَعَامَلَ الزَّوْجَةَ بِمُقْتَضَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، فَهٰذَا مُنْصِفٌ، وَلٰكِنَّهُ قَدْ حُرِمَ الْكَمَالَ."

*”Barangsiapa yang memperhatikan dua sisi ini, lalu menimbang antara keduanya dan memperlakukan istrinya berdasarkan konsekuensi masing-masing, maka dialah orang yang adil, meskipun ia telah kehilangan kesempurnaan.”* [*Bahjat Qulūb al-Abrār* karya Ibnu Sa‘di, hal. 247].

Adab yang diajarkan oleh Nabi ini sepatutnya diterapkan dan digunakan bersama seluruh orang yang kita hidup dan berinteraksi dengannya; karena manfaatnya sangat besar baik secara agama maupun duniawi. Pelakunya telah berusaha menenangkan hatinya dan menjalankan sebab untuk bisa memenuhi hak-hak yang wajib maupun yang disunnahkan. Karena kesempurnaan manusia itu mustahil, maka cukuplah bagi orang yang utama jika aib-aibnya hanya sedikit.

Di antara contohnya adalah: hadits dari Al-Hakam bin Hazn Al-Kulafi radhiyallahu ‘anhu dari Nabi , beliau bersabda:

(يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَنْ تَفْعَلُوا، وَلَنْ تُطِيقُوا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ، وَلَكِنْ سَدِّدُوا وَأَبْشِرُوا)

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mampu melakukan dan tidak akan sanggup melaksanakan seluruh apa yang diperintahkan kepada kalian. Akan tetapi berusahalah mendekati kesempurnaan dan bergembiralah.”

[HR. Ahmad (4/212), Abu Dawud (1096), Ibnu Khuzaymah (1452), Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* (3165), hasan menurut Al-Albani.]

Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

(إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا)

Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah seseorang memaksakan diri terhadap agama ini kecuali akan dikalahkan olehnya. Maka berusahalah mendekati kesempurnaan, mendekatlah (kepada kebenaran), dan bergembiralah.”

[HR. Bukhari (39)]. Dan pada riwayat Muslim bagian akhirnya saja [Shahih Muslim (2816, 2818)].

Adapun makna “bersungguh-sungguh mendekati kesempurnaan (السَّدَادُ)” adalah :

هُوَ حَقِيقَةُ الِاسْتِقَامَةِ، بِالْإِصَابَةِ فِي جَمِيعِ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ وَالْمَقَاصِدِ، كَالَّذِي يَرْمِي إِلَى غَرَضٍ فَيُصِيبُهُ، فَمَنْ لَمْ يُدْرَك السَّدَادَ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ فَلْيُقَارِبِ الْغَرَضَ، فَإِنَّ مَنْ لَمْ يُدْرَك الصَّوَابَ كُلَّهُ فَلْيَكْتَفِ بِالْمُقَارَبَةِ، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْعَمَلِ كُلِّهِ فَلْيَعْمَلْ مِنْهُ مَا يَسْتَطِيعُهُ

“Realisasi dari sikap lurus, yaitu tepat dalam segala perkataan, perbuatan, dan tujuan; seperti seseorang yang memanah ke arah sasaran dan mengenainya.

Maka siapa yang tidak mampu mengenai sasaran secara sempurna dari segala sisi, hendaklah ia mendekati sasaran tersebut. Barangsiapa yang tidak mampu mencapai kebenaran secara utuh, maka cukuplah ia dengan pendekatan terhadapnya. Dan siapa yang tidak sanggup melakukan seluruh amal, maka hendaknya ia mengerjakan apa yang ia mampu” [Lihat: *Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-ikam* (1/511) dan *Bahjat Qulūb al-Abrār* (hal. 169).].

Termasuk pula sabda Rasulullah :

(يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسَنَ شَاةٍ)

“Wahai para wanita Muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan pemberiannya kepada tetangganya walaupun hanya berupa kuku kaki kambing.” [Muttafaqun ‘alaih Diriwayatkan oleh Bukhari (2566) dan Muslim (1030) dari Abu Hurairah].

Dan sabda Rasulullah :

(رُدُّوا السَّائِلَ وَلَوْ بِظِلْفٍ مُحْرَقٍ)

Berikanlah kepada peminta-minta walaupun hanya dengan sepotong kuku yang telah terbakar.”

[HR. An-Nasa’i (5/81) dari Ummu Bujayd Al-Anshariyyah, juga oleh Ahmad (4/70; 6/383), Abu Dawud (1667), At-Tirmidzi (665) dan ia menshahihkannya, serta Ibnu Hibban (3373, 3374), dan Al-Hakim (1/417) serta disetujui oleh Adz-Dzahabi.].

Artinya: Hendaknya kedermawanan dilakukan dengan apa pun yang mudah diberikan, sekalipun itu sedikit, bahkan jika hanya dengan menampakkan wajah ceria, maka itu lebih baik daripada tidak memberi apa-apa. [Lihat: *Fath al-Bārī* (5/248)].

===***===

PEMBAHASAN KETIGA : SYARAT PENERAPAN KAIDAH :

Disyaratkan dalam menerapkan dan mengamalkan kaidah

"ما لا يُدْرَك كُلُّهُ لا يُتْرَك جُلُّهُ"

(“apa yang tidak bisa diperoleh seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya”):

Bahwa sesuatu itu memang sulit atau tidak memungkinkan untuk diwujudkan secara sempurna. Maka jika memungkinkan untuk melaksanakannya atau mewujudkannya secara sempurna dan lengkap, maka itulah yang wajib dilakukan. Dalam kondisi seperti itu, mengamalkan kaidah ini justru menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban: baik dalam hal rukun, syarat, maupun kewajiban lainnya, padahal sebenarnya ia mampu melaksanakannya.

Contohnya : seperti seseorang yang shalat dengan bersandar pada sesuatu, padahal ia mampu berdiri sendiri, atau orang yang bertayammum dalam cuaca dingin padahal mampu menggunakan air atau memanaskannya (lihat: *Ar-Raudh Al-Murbi‘*, 2/340–341; *Kasyf Al-Qinā’*, 1/162–163).

Contoh lain dari hal ini adalah : dalam hal antara yang meyakinkan (اليَقِيْنُ) dan yang hanya dugaan (الظَّنُّ), yaitu bahwa sesuatu yang meyakinkan (اليَقِيْنُ) mengharuskan untuk dilakukan secara sempurna dalam ukuran, sifat, dan semua rincian terkaitnya. Maka jika ada kekurangan dalam hal tersebut, berarti ia telah turun ke derajat dugaan (الظَّنُّ).

Karena dugaan (dzonn) berada di tingkatan yang lebih rendah, maka ia tidak boleh dijadikan pegangan kecuali bila yang meyakinkan (yaqīn) tidak mungkin diperoleh—sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena itu, dibolehkan beramal dengan dugaan (dzonn) sebagai bentuk keringanan dan kemudahan bagi para mukallaf (orang yang terbebani hukum), karena tidak memungkinkan untuk selalu memperoleh yang meyakinkan (اليَقِيْنُ) dalam segala hal. Namun demikian, ini tidak berarti meniadakan usaha untuk meraih yang meyakinkan (اليَقِيْنُ), justru ia tetap menjadi sesuatu yang dituntut semampunya .

(Lihat: *Al-Qawāid* karya Al-Maqarrī, 1/289; 2/372, dan *Naariyyat At-Taqrīb wa At-Taglīb* karya Ar-Raysūnī, hlm. 238).

Ketidakmampuan untuk melaksanakan sesuatu secara sempurna biasanya disebabkan karena seorang mukallaf mengalami kesulitan atau beban tertentu yang membatasi atau melemahkan kemampuannya. Dan karena manusia berbeda-beda dalam kemampuan serta daya tahan mereka, juga beragamnya jenis kesulitan yang mereka hadapi, maka sangat sulit untuk menentukan jenis kesulitan yang dengannya diperbolehkan adanya keringanan dan kemudahan.

Para ulama pun berijtihad dalam membatasi bentuk-bentuk kesulitan yang tidak biasa. Salah satu kaidah penting yang mereka tetapkan dalam hal ini adalah:

ضَبْطُ مَشَقَّةِ كُلِّ عِبَادَةٍ بِأَدْنَى الْمَشَقَّةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيهَا

“Menakar kesulitan dalam setiap ibadah dengan kesulitan paling ringan yang tetap dianggap syar‘i”.  

(Lihat: *Ar-Rukha Al-Syar‘iyyah fī Al-Uṣūl wa Al-Qawāid Al-Fiqhiyyah* karya Dr. ‘Umar Kāmil, hlm. 248) \[3].

Hal ini juga ditegaskan oleh Al-‘Izz bin ‘Abd al-Salām dalam kitabnya *Qawā’id Al-Akām* (2/10–11), dengan penjelasan yang bagus. Ia mengatakan :

إِنَّ الْمَشَقَّةَ الَّتِي تَنْفَكُّ عَنِ الْعَمَلِ غَالِبًا ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ: مَشَقَّةٌ عَظِيمَةٌ، وَمَشَقَّةٌ خَفِيفَةٌ، وَوَاقِعَةٌ بَيْنَ هَاتَيْنِ الْمَشَقَّتَيْنِ.

فَالْأُولَى كَمَشَقَّةِ الْخَوْفِ عَلَى النُّفُوسِ وَالْأَطْرَافِ، فَهَذِهِ مُوجِبَةٌ لِلتَّخْفِيفِ وَالتَّرْخِيصِ.

وَالثَّانِيَةُ كَأَدْنَى وَجَعٍ فِي أُصْبُعٍ أَوْ أَدْنَى صُدَاعٍ، فَهَذِهِ لَا يُلْتَفَتُ إِلَيْهَا.

وَالثَّالِثَةُ مُخْتَلِفَةٌ فِي الْخِفَّةِ وَالشِّدَّةِ، فَمَا دَنَا مِنْهَا مِنَ الْمَشَقَّةِ الْعُلْيَا أَوْجَبَ التَّخْفِيفَ، وَمَا دَنَا مِنْهَا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يُوجِبِ التَّخْفِيفَ، إِلَّا عِنْدَ أَهْلِ الظَّاهِرِ.

وَمَا وَقَعَ بَيْنَ هَاتَيْنِ الرُّتْبَتَيْنِ مُخْتَلَفٌ فِيهِ، مِنْهُمْ مَنْ يُلْحِقُهُ بِالْعُلْيَا وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْحِقُهُ بِالدُّنْيَا، فَكُلَّمَا قَارَبَ الْعُلْيَا كَانَ أَوْلَى بِالتَّخْفِيفِ، وَكُلَّمَا قَارَبَ الدُّنْيَا كَانَ أَوْلَى بِعَدَمِ التَّخْفِيفِ.

وَقَدْ تَتَوَسَّطُ مَشَاقُّ بَيْنَ الرُّتْبَتَيْنِ بِحَيْثُ لَا تَدْنُو مِنْ أَحَدِهِمَا فَيُتَوَقَّفُ فِيهَا، وَقَدْ يُرَجَّحُ بَعْضُهَا بِأَمْرٍ خَارِجٍ عَنْهَا.

وَتَخْتَلِفُ الْمَشَاقُّ بِاخْتِلَافِ الْعِبَادَاتِ فِي اهْتِمَامِ الشَّرْعِ، فَمَا اشْتَدَّ اهْتِمَامُهُ بِهِ شَرَطَ فِي تَخْفِيفِهِ الْمَشَاقَّ الشَّدِيدَةَ أَوِ الْعَامَّةَ، وَمَا لَمْ يَهْتَمَّ بِهِ خَفَّفَهُ بِالْمَشَاقِّ الْخَفِيفَةِ، وَقَدْ تُخُفِّفَ مَشَاقُّهُ مَعَ شَرَفِهِ وَعُلُوِّ مَرْتَبَتِهِ؛ لِتَكَرُّرِ مَشَاقِّهِ؛ كَيْلَا يُؤَدِّيَ إِلَى الْمَشَاقِّ الْعَامَّةِ الْكَثِيرَةِ الْوُقُوعِ.

Bahwa kesulitan yang biasanya tidak bisa dipisahkan dari suatu amal itu terbagi menjadi tiga jenis: kesulitan berat, kesulitan ringan, dan kesulitan yang berada di antara keduanya.

Kesulitan yang pertama seperti ketakutan terhadap keselamatan jiwa dan anggota tubuh, maka ini mewajibkan adanya keringanan dan kemudahan.

Kesulitan yang kedua seperti rasa sakit ringan di jari atau sedikit sakit kepala, maka kesulitan semacam ini tidak dianggap.

Sedangkan jenis ketiga adalah yang berada di antara dua jenis tersebut, yang memiliki kadar berbeda dalam hal ringan dan berat. Maka apa yang mendekati tingkat kesulitan berat lebih layak diberi keringanan, dan apa yang mendekati kesulitan ringan maka tidak diberi keringanan—kecuali menurut madzhab Zhāhiriyyah.

Adapun kesulitan yang berada di antara dua tingkat tersebut maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengaitkannya dengan kesulitan berat, dan ada pula yang mengaitkannya dengan kesulitan ringan. Maka semakin dekat kepada yang berat, semakin layak untuk diberi keringanan, dan semakin dekat kepada yang ringan, semakin layak untuk tidak diberi keringanan. Terkadang pula ada kesulitan yang benar-benar berada di tengah-tengah, tidak condong kepada salah satunya, maka hukum padanya ditangguhkan sampai ada hal eksternal yang menguatkan salah satu sisi.


Kesulitan juga berbeda-beda tergantung jenis ibadahnya, dan seberapa besar perhatian syariat terhadap ibadah tersebut. Maka ibadah yang sangat ditekankan oleh syariat tidak akan diberi keringanan kecuali bila menghadapi kesulitan berat atau umum. Sedangkan ibadah yang tidak terlalu ditekankan, bisa diberi keringanan meskipun dengan kesulitan ringan. Kadang pula ibadah yang agung dan tinggi kedudukannya tetap diberi keringanan karena kesulitan tersebut sering terjadi, agar tidak berujung pada kesulitan besar yang bersifat umum dan sering terjadi. (lihat: *Qawāid Al-Akām*, 2/10–11, dengan penyesuaian redaksi).

===***===

PEMBAHASAN KEEMPAT:
KAITAN KAIDAH DENGAN SYARAT KEMAMPUAN DAN KEADAAN ORANG YANG DIBEBANI SYARIAT SAAT MELAKSANAKAN PERINTAH

*****

PERMASALAHAN PERTAMA: KAITAN KAIDAH DENGAN SYARAT KEMAMPUAN

Para ulama tidak berselisih bahwa pelaksanaan perintah-perintah syariat itu tergantung pada kemampuan orang yang dibebani, dan tanpa kemampuan tersebut, tidak sah adanya taklif (pembebanan kewajiban). Apa pun yang diwajibkan oleh syariat, atau disyaratkan untuk sahnya suatu amal -baik itu syarat, rukun, atau kewajiban- semuanya bergantung pada kemampuan orang yang dibebani, karena itulah keadaan yang menjadi dasar perintah tersebut diberikan .

(lihat: *Tahdzīb as-Sunan* 1/47, *Majmū al-Fatāwā* 21/634, *Fawāti ar-Raamūt* 1/135).

Syarat kemampuan adalah bahwa kemampuan itu benar-benar ada secara nyata, bukan secara hukum saja, yaitu orang yang dibebani mampu melaksanakan perbuatan tersebut tanpa kesulitan dan kesusahan. Jika ia mampu melakukan perbuatan tersebut namun mendatangkan bahaya bagi dirinya, maka ia dihukumi sebagai orang yang tidak mampu. Contohnya seperti bersuci dengan air, puasa dalam keadaan sakit, dan berdiri dalam shalat. Hal ini sebagai realisasi dari firman Allah Ta’ala:

(يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ)  

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Dan Firman Allah SWT :

(وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ)

“Dan Dia tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78)

Dan sabda Rasulullah :

(إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ)

“Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan, bukan untuk menyulitkan.”

(HR. Al-Bukhari, no. 220; lihat juga: *Majmū’ al-Fatāwā* 8/439, *al-Mawsū’ah al-Fiqhiyyah* – Kementerian Wakaf Kuwait – 3/331)

Maka apabila kemampuan orang yang dibebani terganggu, maka taklif diringankan sesuai dengan keadaannya dan kemampuannya, baik dengan cara:

*] Pengguguran kewajiban seperti gugurnya kewajiban Jumat, puasa, dan haji karena uzur yang diketahui,

*] atau dengan keringanan pengurangan seperti mengqashar shalat,

*] atau keringanan dengan penggantian seperti mengganti wudhu dan mandi dengan tayamum,

*] atau keringanan dengan mendahulukan atau sebaliknya seperti mendahulukan Ashar ke waktu Zuhur, atau mengakhirkan Zuhur ke waktu Ashar,

*] atau keringanan dengan dispensasi seperti orang yang tayamum tetap shalat meskipun masih dalam keadaan hadats

(lihat: *Qawā’id al-Akām* karya al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salām 2/8–9, *al-Asybāh wa an-Nadẓā’ir* karya as-Suyūṭhī, hlm. 170, *al-Majmū’ al-Mudzhab fī Qawā’id al-Madzhab al-‘Alāī* 1/105–106).

Apa pun yang masih mampu ia kerjakan dari hukum-hukum yang telah diberi keringanan untuk orang yang memiliki uzur, maka ia wajib melakukannya. Tidak boleh baginya meninggalkan seluruhnya dengan alasan tidak mampu melaksanakan hukum-hukum asal atau karena merasa berat, tetapi ia tetap wajib melakukan apa yang mampu ia kerjakan, karena sesuatu yang mampu dilakukan tidak gugur hanya karena sebagian lainnya tidak mampu dilakukan

(lihat: *al-Manṯūr* karya az-Zarkasyī 1/232, *Raf‘ al-araj fī asy-Syarīah al-Islāmiyyah* karya Ibn umaid, hlm. 97).

*****

PERMASALAHAN KEDUA:
KEADAAN ORANG YANG DIBEBANI DARI SISI KEMAMPUAN DAN KETIDAKMAMPUAN TUBUH DAN ALAT UNTUK MELAKUKAN YANG DIPERINTAHKAN

Orang yang dibebani, ditinjau dari sisi kemampuan dan ketidakmampuan dalam hal yang diperintahkan serta alat tubuh yang diperintahkan untuk digunakan, memiliki empat keadaan:

Yang pertama: ia mampu terhadap keduanya (perintah dan alat pelaksana), maka hukumnya jelas, seperti orang yang sehat dan mampu menggunakan air, atau orang merdeka yang mampu membebaskan budak secara sempurna.

Kedua: Ketidakmampuannya terhadap keduanya, seperti orang sakit yang tidak memiliki air, dan budak yang tidak memiliki budak untuk dimerdekakan dalam kafarat; maka hukumnya juga jelas.

[Budak secara zatnya tidak mampu, karena perbudakan didefinisikan sebagai “ketidakmampuan secara hukum...” dan ia pun menjadi tidak mampu terhadap apa yang diperintahkan padanya, yakni membebaskan budak dalam kafarat, karena ia sendiri tidak memiliki apa pun].

Ketiga: Ia mampu dengan tubuhnya, namun tidak mampu terhadap yang diperintahkan, seperti orang sehat yang tidak memiliki air, atau orang yang tidak mampu membebaskan budak dalam kafarat; maka hukumnya adalah berpindah kepada penggantinya, jika ada pengganti yang bisa ia lakukan, seperti tayamum atau puasa dalam kafarat dan semacamnya. Jika tidak ada pengganti, maka gugurlah kewajiban tersebut darinya, seperti orang yang tidak memiliki pakaian dan tidak mampu menutup aurat dalam shalat, maka ia tetap shalat dan tidak perlu mengulanginya.

Keempat: Ia tidak mampu dengan tubuhnya, namun mampu terhadap perkara yang diperintahkan atau penggantinya.

Pembagian ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya *Badā’i‘ al-Fawā’id* [4/29–30], dan ia menyebutkan bahwa bagian terakhir ini adalah bagian yang paling membingungkan dari seluruh bagian tersebut.

Lalu ia mengemukakan tiga contoh:

Pertama: Orang yang lumpuh yang tidak mampu untuk tetap berada di atas kendaraan kecuali dengan kesulitan yang tidak tertahankan, namun ia memiliki orang lain yang dapat menghajikannya, dan ia memiliki harta yang cukup untuk menyewa orang tersebut. Maka pendapat yang benar adalah bahwa haji tetap wajib atasnya dengan hartanya, karena ia mampu terhadap perkara yang diperintahkan meskipun ia tidak mampu melaksanakannya sendiri, sebagaimana dalam puasa: jika seseorang tidak mampu maka ia membayar fidyah.

Sebagaimana dalam hadits Abu Razin radhiyallahu ‘anhu :

أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ ٱلْحَجَّ وَلَا ٱلْعُمْرَةَ. فَقَالَ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ)

 bahwa ia datang kepada Nabi dan berkata: “Sesungguhnya ayahku adalah seorang yang sangat tua, ia tidak mampu melakukan haji dan umrah.” Maka Rasulullah bersabda:

“Hajikanlah ayahmu dan lakukan umrah untuknya.”

(HR. Abu Dawud no. 1810, at-Tirmidzi no. 930, an-Nasa’i 5/117, Ibnu Majah no. 2906, Ahmad 4/10, 11, 12; dishahihkan juga oleh Ibnu Khuzaimah no. 2040, Ibnu Hibban no. 3991, al-Hakim 1/48 dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dan Ibnu Hajar dalam *Hidāyah ar-Ruwāt* no. 2461; Ahmad juga menunjuk kepada kesahihannya).

Juga hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang kisah seorang wanita dari suku Khats’am. Ia berkata:

يَا رَسُولَ ٱللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ ٱللَّهِ فِي ٱلْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ٱلرَّاحِلَةِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji yang Allah wajibkan telah menyusul ayahku dalam keadaan ia sudah sangat tua dan tidak mampu duduk tegak di atas kendaraan.”

Maka Rasulullah bersabda:

(فَحُجِّي عَنْهُ)

“Hajikanlah dia.”

(HR. Al-Bukhari no. 1513 dan Muslim no. 1334)

Ini adalah pendapat mayoritas ulama seperti tiga imam madzhab, berbeda dengan Imam Malik, yang berpendapat bahwa haji tidak wajib kecuali jika mampu dilakukan sendiri.

[Lihat: *al-Hidāyah* karya al-Marghīnānī (1/134), *al-Umm* karya asy-Syāfi‘ī (2/123), *al-Mughnī* (5/19–20), *al-Kāfī* karya Ibn ‘Abd al-Barr (1/356), *al-Muarrar* karya Majd Ibn Taimiyah (1/133).]

Contoh lainnya adalah orang yang tidak mampu berjihad dengan tubuhnya, namun mampu melakukannya dengan hartanya, maka wajib baginya berjihad dengan hartanya menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat ulama, dan keduanya merupakan dua riwayat yang dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah.

[Lihat: rujukan yang sama (2/170), dan *Akām al-Qur’ān* karya al-Jaṣṣāṣ (4/316)].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

"وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَحَلُّ ٱلرِّوَايَتَيْنِ فِي وَاجِبِ ٱلْكِفَايَةِ، وَأَمَّا إِذَا هَجَمَ ٱلْعَدُوُّ فَلَا يَبْقَى لِلْخِلَافِ وَجْهٌ، فَإِنَّ دَفْعَ ضَرَرِهِمْ عَنِ ٱلدِّينِ وَٱلنَّفْسِ وَٱلْحُرْمَةِ وَاجِبٌ إِجْمَاعًا."

“Yang benar, kedua riwayat itu berlaku dalam jihad yang bersifat fardu kifayah. Adapun jika musuh sudah menyerang langsung, maka tidak ada ruang lagi untuk khilaf, karena menolak bahaya mereka terhadap agama, jiwa, dan kehormatan adalah kewajiban berdasarkan ijma‘.” [al-Ikhtiyārāt al-Fiqhiyyah*, hlm. 383, dan *Majmū’ al-Fatāwā* (28/87)].

Gambaran Kedua: Seorang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, tetapi mampu memberi makan, maka ia boleh berbuka dan wajib memberi makan seorang miskin untuk setiap hari (yang ditinggalkannya).

Ini adalah pendapat mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Al-Auza‘i, Ahmad, dan Asy-Syafi‘i dalam salah satu dari dua pendapatnya. Ini juga diriwayatkan dari sekelompok sahabat. Maknanya juga mencakup orang sakit yang tidak ada harapan sembuh. Ini berlaku bagi orang yang tidak berharap bisa mengganti puasa di kemudian hari. Namun jika ia masih berharap bisa menggantinya, maka tidak ada kewajiban fidyah atasnya. Ia wajib menunggu sampai mampu dan melakukannya sendiri.

Lihat: *Al-Mughni* oleh Ibnu Qudamah (4/395–396), *Fath al-Qadir* (2/356), *Al-Mudawwanah* (1/211), *Al-Majmu‘* (6/211).

Sedangkan Imam Malik berpendapat: Tidak ada kewajiban apa pun atasnya, karena ia meninggalkan puasa karena tidak mampu, maka tidak wajib fidyah baginya.

Lihat: *Al-Mughni* (4/395–396) dst.

Gambaran Ketiga: Orang sakit atau terluka yang khawatir akan keselamatan dirinya jika menggunakan air, maka hukumnya sama seperti orang yang tidak memiliki air, yaitu berpindah kepada tayamum.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Sebagaimana orang tua yang lemah yang tidak mampu berpuasa, maka ia berpindah kepada memberi makan.

[Lihat: *Al-Mughni* (1/335), *Al-Hawi* oleh Al-Mawardi (1/269), *Ar-Raudh al-Murbi‘* (1/360)].

Ibnu Qayyim menutup pembahasannya mengenai gambaran-gambaran ini dengan mengatakan:

وَضَابِطُ هٰذَا أَنَّ الْمَعْجُوزَ عَنْهُ فِي ذٰلِكَ كُلِّهِ، إِنْ كَانَ لَهُ بَدَلٌ انْتَقَلَ إِلَى بَدَلِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ بَدَلٌ سَقَطَ عَنْهُ وُجُوبُهُ.

“Kaidahnya adalah bahwa setiap yang tidak mampu dilakukan, jika memiliki pengganti maka wajib berpindah kepada penggantinya. Namun jika tidak ada penggantinya, maka kewajibannya gugur.”

Lihat: *Bada’i‘ al-Fawa’id* (4/30–31).

****

PERMASALAHAN KETIGA:
KONDISI MUKALLAF YANG MAMPU MENJALANKAN SEBAGIAN PERINTAH DAN TIDAK MAMPU MENJALANKAN SEBAGIAN LAINNYA

Jika seorang mukallaf mampu menjalankan sebagian ibadah dan tidak mampu menjalankan sebagian lainnya, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal:

*] Ketidakmampuan itu karena sebagian anggota tubuh.

*] Atau karena sebagian kewajiban.

Yang kedua ini tidak lepas dari dua kemungkinan:

* Apakah yang ditinggalkan itu merupakan tujuan dari ibadah atau bukan?

Jika yang ditinggalkan merupakan tujuan dari ibadah, maka itu tidak lepas dari dua kemungkinan lagi:

* Apakah berupa hak harta atau bukan?

Jika bukan hak harta, maka ada dua kemungkinan lagi:

* Apakah ia merupakan bagian dari ibadah?

* Ataukah ia wajib karena mengikuti selainnya?

Jika ia bagian dari ibadah, maka bisa jadi ia disyariatkan tersendiri atau tidak. Maka hal ini menghasilkan enam bagian.

Lihat: *Qawāid* karya Ibnu Rajab (1/43–50), *Tuhfah Ahl al-Thalab* karya Ibn Sa‘di (hlm. 9–11), *Bada’i‘ al-Fawa’id* (4/33–34).

---

Bagian Pertama:

Ketidakmampuan itu berasal dari sebagian anggota tubuh. Maka wajib baginya melaksanakan apa yang mampu ia lakukan dengan anggota tubuhnya, dan gugur darinya apa yang tidak mampu ia lakukan. Seperti seseorang yang sebagian tubuhnya terluka dan sebagian lainnya sehat, maka ia mencuci bagian yang sehat dan bertayamum untuk bagian yang terluka. Ini adalah pendapat yang shahih dalam mazhab Hanbali, dan pendapat masyhur dalam mazhab Syafi‘i.

Lihat: *Al-Majmu‘* (2/326–327), *Kashshaf al-Qina‘* (1/165), *Bada’i‘ al-Shana’i‘* (1/51), *Hasyiyah ad-Dusuqi* (1/272), *Hasyiyah Ibn ‘Abidin* (1/257). \[5]

Dalilnya adalah hadits tentang seorang sahabat yang kepalanya terluka, Rasulullah bersabda:

(إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا، وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ)

*”Cukuplah baginya bertayamum dan membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap di atasnya, dan mencuci sisa tubuhnya.”*

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (336), dan juga oleh Ad-Daraquthni (1/190), Al-Baihaqi (1/228). Hadits ini dilemahkan oleh sebagian ulama seperti Al-Hafizh dalam *Bulugh al-Maram* (147). \[6]

Yang serupa dengan ini: Jika sebagian anggota wudhunya hilang, maka ia wajib mencuci anggota yang tersisa.

Lihat: *Al-Mughni* (1/173–174).

Bagian Kedua:

Jika yang mampu dilakukan bukanlah tujuan dari ibadah, melainkan hanya sarana murni menuju ibadah, seperti menggerakkan lisan untuk takbir dan membaca dalam shalat bagi orang yang tidak mampu membaca atau berbicara, atau mengusap kepala botak dengan pisau cukur saat tahallul dalam manasik, atau mengusap pisau cukur pada tempat khitan bagi yang lahir tanpa kulup, maka hal ini tidak wajib dilakukan (Lihat: Al-Mughni 2/130, 5/306; Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah, hlm. 55; Tuhfatul Maudud, hlm. 120; Kasyaf Al-Qina’ 1/81).

Bagian Ketiga:

Jika yang dimaksud adalah hak-hak bersifat materi, maka hal ini terbagi menjadi dua: hak-hak untuk Allah dan hak-hak untuk sesama manusia.

Jenis pertama: Hak-hak materi yang wajib kepada Allah , yang diklasifikasikan oleh Ibnul Qayyim menjadi empat bagian:

1]. Hak atas harta, seperti zakat. Zakat tetap menjadi tanggungan setelah seseorang mampu menunaikannya. Jika setelah itu ia tidak mampu, zakat tidak gugur. Namun jika saat wajibnya zakat ia tidak mampu, maka tidak menjadi tanggungan. Ini juga berlaku pada zakat fitrah (Lihat: Al-Mughni 4/144; Bada’i’ Ash-Shana’i’ 2/64; Mughni Al-Muhtaj 1/418; Ar-Raudh Al-Murbi’ 4/33).

2]. Yang wajib karena kafarah, seperti kafarah sumpah, zihar, jima’ di siang Ramadhan, atau kafarah pembunuhan. Jika seseorang tidak mampu saat sebabnya terjadi, maka menurut mazhab Syafi’i dan Ahmad terdapat dua pendapat mengenai apakah kafarah tersebut tetap menjadi tanggungan hingga ia mampu. Sedangkan menurut mazhab Abu Hanifah dan Ats-Tsauri, kafarah tetap menjadi tanggungan sampai ia mampu (Lihat: Al-Mughni 4/385; Fath Al-Qadir 2/341; Hilyatul ‘Ulama 3/204).

3]. Yang serupa dengan jaminan kerusakan, seperti denda karena membunuh binatang buruan (saat ihram). Jika tidak mampu saat wajib, maka tetap menjadi tanggungan, karena dipandang sebagai bentuk ganti rugi. Denda karena mencukur, memakai wewangian, dan mengenakan pakaian saat ihram juga disamakan dengan ini. Namun pendapat yang benar menyatakan hal itu bukanlah ganti rugi karena sifatnya hanya berupa kemudahan, bukan bentuk kerusakan. Jika rambut dan kuku termasuk kerusakan, tentu akan ada taksiran nilainya, padahal keduanya tidak memiliki nilai. Maka denda tersebut gugur jika pelanggaran dilakukan karena tidak tahu atau lupa (Lihat: Al-Mughni 5/392–393; Al-Ghayah Al-Quswa 1/450).

4]. Dam (hadyu) dalam manasik, seperti dam tamattu’ dan qiran. Jika tidak mampu, maka wajib menggantinya dengan puasa. Jika juga tidak mampu puasa, maka salah satunya tetap menjadi tanggungan. Bila suatu saat ia mampu, maka wajib ditunaikan. Tentang apakah yang jadi patokan adalah saat wajibnya atau keadaan paling berat, terdapat perbedaan pendapat (Lihat: Bada’i’ Al-Fawa’id 4/33–34).

Jenis kedua: Hak-hak antar manusia, maka tidak gugur hanya karena ketidakmampuan menunaikannya. Jika ketidakmampuan tersebut terjadi karena kelalaian, maka akan dituntut di akhirat dan diambil dari pahala orang tersebut (Lihat: Bada’i’ Al-Fawa’id 4/34), berdasarkan sabda Rasulullah :

(مَنۡ كَانَتۡ عِندَهُ مَظۡلِمَةٌ لِأَخِيهِ مِنۡ عِرۡضٍ أَوۡ شَيۡءٍ، فَلۡيَتَحَلَّلۡهُ مِنۡهُ ٱلۡيَوۡمَ، قَبۡلَ أَن لَّا يَكُونَ دِينَارٞ وَلَا دِرۡهَمٞ، إِن كَانَ لَهُۥ عَمَلٞ صَالِحٞ أُخِذَ مِنۡهُ بِقَدَرِ مَظۡلِمَتِهِۦ، وَإِن لَّمۡ تَكُن لَّهُۥ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنۡ سَيِّـَٔاتِ صَاحِبِهِۦ فَحُمِلَ عَلَيۡهِ)

“Barang siapa yang mempunyai kezhaliman terhadap saudaranya, baik dalam urusan kehormatan atau harta, maka mintalah halal darinya hari ini sebelum datang hari yang tidak ada dinar dan dirham. Jika ia punya amal baik, akan diambil sesuai dengan kezhalimannya. Jika tidak punya amal baik, maka dosa orang yang dizhalimi akan ditimpakan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449 dan Muslim, no. 2581).

Namun jika ketidakmampuan itu tanpa kelalaian, seperti hartanya terbakar atau tenggelam, atau kerusakan terjadi karena tidak sengaja dan ia tidak mampu menggantinya, maka para ulama berbeda pendapat tentang apakah ia tetap memikul tanggung jawab itu dan apakah orang yang dirugikan akan mengambil pahala darinya (Lihat: Bada’i’ Al-Fawa’id 4/34).

Hal ini dapat didukung oleh hadis:

(وَأَمَّا ٱلدِّيوَانُ ٱلَّذِي لَا يَتْرُكُ ٱللَّهُ مِنْهُ شَيْـٔٗا فَمَظَالِمُ ٱلْعِبَادِ بَيْنَهُمْ)

“Adapun catatan amal yang tidak akan ditinggalkan oleh Allah sedikit pun adalah kezhaliman antarsesama hamba.” (HR. Ahmad 6/240; Al-Hakim 4/575; Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7473 dari Aisyah).

Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Hakim, meski diperselisihkan oleh Adz-Dzahabi. Hadis serupa juga diriwayatkan dari Salman oleh Ath-Thabarani (no. 6133). Menurut Sa’ad Al-Humayyid, status hadis ini hasan dalam tahqiq beliau terhadap Mukhtashar Istidrak Adz-Dzahabi karya Ibnu Al-Mulaqqin (Hadis no. 167).

Ath-Thiiby berkata:

(لَا يُتْرَك) يُؤْذِنُ بِأَنَّ حَقَّ الْغَيْرِ لَا يُهْمَلُ قَطْعًا، إِمَّا بِأَنْ يُقْتَصَّ مِنْ خَصْمِهِ، أَوْ يُرْضِيهِ ٱللَّهُ عَنْهُ.

“Ucapan: *“lā yatruk”* (tidak akan dibiarkan) menunjukkan bahwa hak orang lain tidak akan diabaikan secara mutlak, baik dengan membalas langsung kepada lawannya atau Allah membuatnya rela”. [dikutip oleh al-Munawi dalam *Faidhul Qadir*, 3/553].

Bagian keempat:

Hal yang diwajibkan karena mengikuti sesuatu yang lain, dan ini terbagi menjadi dua jenis:

Pertama: Sesuatu yang kewajibannya bertujuan sebagai langkah kehati-hatian dalam ibadah untuk memastikan keabsahannya, seperti membasuh bagian siku dalam wudhu. Maka jika tangan seseorang terputus dari siku, apakah wajib membasuh tulang yang merupakan ujung dari lengan atas?

Dalam mazhab Hanbali terdapat dua pendapat, dan pendapat yang ditegaskan oleh Imam Ahmad adalah wajib, dan itu juga merupakan pendapat mayoritas ulama.

[lihat *al-Hawi* karya al-Mawardi, 1/113; *al-Kafi* karya Ibn Abdil Barr, 1/167; *al-Asybah wa an-Nazhair* karya as-Suyuthi, hlm. 293].

Namun jika bagian yang terpotong lebih tinggi dari siku, maka tidak ada kewajiban membasuh karena tidak ada lagi bagian yang harus dibasuh.

Contohnya seperti menahan sebagian malam dalam puasa (yakni dari fajar), maka tidak wajib atas orang yang dibolehkan berbuka, berdasarkan kesepakatan, seperti orang sakit dan musafir.

[lihat *al-Mughni*, 1/173–175; *Tuhfat Ahl ath-Thalab*, hlm. 9–10; *al-Hawi* karya al-Mawardi, 1/113].

Kedua: Sesuatu yang diwajibkan karena mengikuti sesuatu yang lain sebagai pelengkap dan penyempurna, seperti melempar jumrah dan bermalam di Mina bagi orang yang telah kehilangan kesempatan wuquf di Arafah, maka ini tidak wajib menurut pendapat mayoritas ulama, bahkan dikatakan bahwa itu adalah ijma’ (konsensus).

[lihat *al-Mughni*, 5/425; *Syarh Kitab al-Hajj min al-‘Umdah*, 2/656; *Nihayatul Muhtaj*, 3/370; *Bidayatul Mujtahid*, 5/468; *Fathul Qadir*, 3/136].

Karena Umar bin al-Khaththab memerintahkan Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhuma, ketika ia ketinggalan ibadah haji karena ketinggalan wuquf, untuk melakukan seperti yang dilakukan oleh orang yang ber-umrah, yaitu bertahallul dari haji.

[Diriwayatkan oleh Malik dalam *al-Muwaththa’*, 1/383; juga oleh asy-Syafi’i, no. 1104; dan al-Baihaqi, 5/174. Al-Albani mensahihkan sanadnya dalam *Irwa’ul Ghalil*, no. 1132].

Bagian kelima:

Sesuatu yang merupakan bagian dari ibadah, namun tidak merupakan ibadah yang disyariatkan secara mandiri, atau sesuatu yang tidak diperintahkan karena membahayakan.

Yang pertama: seperti menahan diri (dari makan dan minum) sebagian hari bagi orang yang tidak mampu menyempurnakannya, maka tidak wajib atasnya menurut kesepakatan.

[lihat: Badai’u al-Fawaid (4/30), al-Asybah wa an-Nazhair karya as-Suyuthi (hlm. 295), Tuhfah Ahl ath-Thalab (hlm. 10)].

Yang kedua: seperti memerdekakan budak jika ia mampu sebagian, namun tidak mampu membebaskan satu budak secara utuh, maka tidak wajib atasnya memerdekakan sebagian saja. Oleh karena itu, disyariatkanlah sistem *as-sarayah (ٱلسَّرَايَةُ)* dan *as-sa’ayah (ٱلسِّعَايَةُ)*

[lihat: Syarh Shahih Muslim karya an-Nawawi (10/136)].

Rasulullah bersabda:

لَيْسَ لِلَّهِ شَرِيكٌ

“Allah tidak memiliki sekutu.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3933), dan juga oleh an-Nasa’i dalam al-Kubra (4970–4972), Ahmad (5/75) dari Usamah bin Umayr al-Hudzali. Dikuatkan oleh al-Hafizh dalam Fathul Bari dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil (1522).

Demikian pula berdasarkan firman Allah Ta’ala:

(فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ)

*(maka barang siapa yang tidak mampu)* [al-Mujadilah: 4]

Sedangkan orang yang mampu sebagian budak saja tidak dikatakan mampu memerdekakan budak, sehingga berpindahlah kewajiban kepada puasa, lalu kepada memberi makan.

[lihat: al-Asybah wa an-Nazhair karya Ibn al-Wakil (1/387), Badai’u al-Fawaid (4/31), Tuhfah Ahl ath-Thalab (hlm. 10)].

Bagian keenam:

Sesuatu yang merupakan bagian dari ibadah, dan ia adalah ibadah yang disyariatkan secara mandiri, maka jenis ini terbagi tiga:

*] Ada yang wajib menunaikan bagian yang mampu secara pasti,

*] Ada yang tidak wajib,

*] Dan ada yang diperselisihkan kewajibannya.

Adapun yang wajib ditunaikan bagian yang mampu secara pasti: seperti orang yang mampu membaca sebagian dari surat al-Fatihah namun tidak mampu menyempurnakannya, juga orang yang mampu berdiri dalam shalat namun tidak mampu ruku’ atau sujud, atau tidak mampu membaca.

Demikian pula termasuk di dalamnya: orang yang menemukan sebagian penutup aurat dalam shalat, orang yang mampu membasuh sebagian dari tubuh dalam mandi janabah, orang yang mampu melakukan sebagian amalan haji secara langsung, maka wajib melakukan semua yang ia mampu.

Juga termasuk: orang yang dalam keadaan hadas dan terkena najis namun hanya memiliki cukup air untuk salah satunya, maka ia wajib membasuh najis tersebut.

[lihat: al-Mughni (1/152, 2/159), al-Majmu’ al-Madzhab (1/248), Jami’ al-Umahat (hlm. 96), ar-Raudh al-Murbi’ (3/271), al-Kafi karya Ibn ‘Abd al-Barr (1/239), al-Ghoyah al-Quswa (1/285), Kasyaf al-Qina’ (1/163), al-Wajiz karya al-Ghazali (1/20), Badai’u al-Fawaid (4/30), al-Asybah wa an-Nazhair karya Ibn al-Wakil (1/386), Tuhfah Ahl ath-Thalab (hlm. 11)].

Adapun yang tidak wajib secara pasti: seperti seseorang yang berwasiat agar sepertiga hartanya digunakan untuk membeli budak, namun tidak mencukupi untuk membeli satu budak secara utuh, maka tidak dibelikan budak sebagian (syaqsh), yaitu bagian dari kepemilikan. [lihat: al-Asybah wa an-Nazhair karya as-Suyuthi (hlm. 295)].

Adapun yang diperselisihkan kewajibannya: seperti orang yang tidak mampu menyempurnakan satu *sha’* dalam zakat fitrah. Menurut madzhab Hanabilah dan pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi’i, ia tetap wajib mengeluarkan yang ada. Namun ada wajah (pendapat) lain dalam madzhab Syafi’i dan riwayat lain dari madzhab Hanbali yang menyatakan tidak wajib. [lihat: al-Hawi karya al-Mawardi (3/374), al-Mughni (4/310)].

Juga termasuk orang yang mendapatkan sebagian air yang cukup untuk wudhu atau mandi, maka ia tidak menggunakannya namun bertayammum. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan pendapat lama (qadim) asy-Syafi’i.

Dalam pendapat baru (jadid) asy-Syafi’i, ia wajib menggunakannya.

Imam Ahmad telah menyatakannya dalam konteks mandi janabah, dan dalam konteks wudhu ada dua pendapat di kalangan pengikut beliau.

[lihat: al-Hawi karya al-Mawardi (1/283), al-Mughni (1/315), Jami’ al-Umahat (hlm. 66)].

Orang yang tidak mampu menundukkan kepalanya dalam sujud karena sakit atau sebab lainnya, maka apakah ia boleh meletakkan bantal dan meletakkan dahinya di atasnya?

Ada dua pendapat ulama:

Pertama: Asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkan hal itu.

Kedua: Hanafiyah dan Malik membencinya jika tanpa mengangkat (bantal tersebut), dan jika disertai pengangkatan maka mayoritas ulama membencinya.

[Lihat: al-Umm (1/69), al-Mudawwanah (1/77), al-Hidayah karya al-Marghinani (1/53), ar-Raudh al-Murbi’ (3/270–271)].

Orang yang memiliki nishab zakat, sebagian berada di tangannya dan sebagian lagi tidak ada bersamanya (hilang atau tertunda), maka ia wajib menzakatkan yang berada di tangannya saat itu juga, menurut pendapat yang paling kuat dalam madzhab Syafi’i, dan ini juga merupakan pendapat sebagian Hanabilah.

[lihat: al-Asybah wa an-Nazhair karya as-Suyuthi (hlm. 294), Kasyaf al-Qina’ (2/172)].

===***===

PEMBAHASAN KELIMA: 
PERBANDINGAN ANTARA KAIDAH INI DAN KAIDAH:
"ٱلْمَيْسُوْر لَا يَسْقُطُ بِٱلْمَعْسُوْر"
“Yang Mudah Tidak Gugur Karena yang Sulit”.

Perbandingan antara kedua kaidah ini menunjukkan bahwa kaidah: “yang mudah tidak gugur karena yang sulit”  lebih masyhur dan lebih dahulu muncul, sehingga menjadikannya sebagai landasan dan bangunan bagi kaidah lainnya.

Kaidah ini telah digunakan oleh mayoritas ulama dan beredar di antara mereka, serta dijadikan dasar untuk banyak cabang hukum.

Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 478 H) berkata:

"إِنَّ مِنَ ٱلْأُصُولِ ٱلشَّائِعَةِ ٱلَّتِي لَا تَكَادُ تُنْسَى مَا أُقِيمَتْ أُصُولُ ٱلشَّرِيعَةِ: أَنَّ ٱلْمَقْدُورَ عَلَيْهِ لَا يَسْقُطُ بِسُقُوطِ ٱلْمَعْجُوزِ عَنْهُ"

*“Di antara kaidah yang tersebar luas, yang hampir-hampir tidak dilupakan, dan menjadi dasar dari syariat adalah: sesuatu yang mampu dilakukan tidak gugur karena bagian lain yang tidak mampu dilakukan”* (Ghiyāts al-Umam fī Iltiyāts adz-Dzulam, hlm. 337).

Munculnya kaidah ini dalam ungkapan imam tersebut dengan redaksi yang mirip dengan redaksi yang populer, menunjukkan bahwa ia telah muncul dan dikenal sejak masa yang lebih awal.

Sementara kaidah :

مَا لَا يُدْرَك كُلُّهُ لَا يُتْرَك جُلُّهُ

“Apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam pembahasan pertama: *Asal Mula Kaidah* diperkirakan orang pertama yang menyatakannya adalah al-Mullā ‘Alī al-Qārī (wafat 1014 H) dalam kitabnya *Mirqāt al-Mafātīḥ Syar Misykāt al-Maṣābīḥ* (5/380 dan 6/517).

Dengan melihat makna dari kedua kaidah ini, kita mendapati bahwa keduanya menggambarkan sisi kemudahan dan keringanan bagi hamba dalam hal-hal yang dibebankan kepada mereka. Hal ini karena syariat memperhatikan berbagai kondisi darurat yang bisa menimpa manusia, seperti sakit dan sejenisnya, yang menjadikan pelaksanaan kewajiban syariat – meskipun ringan dan mudah – menjadi berat dan sulit. Karena itu, syariat memberikan keringanan sesuai kondisi dan kemampuan mereka.

Sesungguhnya, “seluruh perintah syariat disyaratkan dengan kemampuan dan kesanggupan hamba; jika ia tidak mampu melaksanakan kewajiban secara total, maka kewajiban itu gugur darinya. Jika ia mampu melaksanakan sebagian, maka yang wajib baginya adalah bagian yang mampu dilakukan, dan gugur darinya bagian yang tidak mampu dilakukan”.

[(Baca: Bahjat Qulūb al-Abrār, hlm. 361; lihat juga: *al-Qawāid al-Fiqhiyyah al-Kubrā* karya as-Sadlan, hlm. 311)].

Meski kaidah “yang mudah tidak gugur karena yang sulit” sangat masyhur dan memiliki keunggulan dalam hal kemunculan awal, namun jika kita cermati cabang-cabang hukum yang dibangun di atasnya, kita mendapati bahwa kaidah ini berlaku khusus dalam perkara-perkara perintah yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang mukallaf.

Ini juga selaras dengan makna dari kata “yang mudah” (المَيْسُوْر) dan “yang sulit” (المَعْسُوْر), yang merupakan dua hal yang saling berlawanan.

Maknanya: seorang mukallaf wajib melaksanakan perintah syariat; jika ia mampu melaksanakannya, maka itu termasuk perkara yang mudah (مَيْسُوْر), dan jika hal itu berada di luar kemampuannya, maka itu tergolong perkara yang sulit (مَعْسُوْر).

 

Adapun kaidah

مَا لَا يُدْرَكْ كُلُّهُ لَا يُتْرَكْ جُلُّهُ

“apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”, maka ruang lingkup penerapannya bisa diperluas.

Kata “diraih” (يُدْرَك) berarti: mencapai sesuatu, dan tidak mesti bahwa hal itu adalah perkara yang wajib. Begitu pula kata “ditinggalkan” (يُتْرَك), artinya: tidak melakukan sesuatu yang mampu dilakukan secara umum, baik karena kehendak orang yang meninggalkannya atau bukan (lihat: *Syar al-Mawāqif*, 6/139).

Maka, kaidah ini tidak terbatas hanya pada hal yang wajib, tetapi mencakup pula perkara yang tidak wajib seperti anjuran (sunah) dan kebolehan.

Contohnya sabda Rasulullah :

(إِذَا أَتَى أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ، فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ فَلْيُنَاوِلْهُ أُكْلَةً أَوْ أُكْلَتَيْنِ، أَوْ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ، فَإِنَّهُ وَلِيَ حَرَّهُ وَعِلَاجَهُ)

“Jika salah seorang dari kalian didatangi oleh pelayannya dengan membawa makanan  untuknya, maka jika ia tidak mengajaknya makan bersamanya, hendaklah ia memberinya satu atau dua suapan, atau satu atau dua potong makanan, karena ia telah menanggung panas dan proses memasaknya”.

(HR. Al-Bukhari, no. 2557 dan 5460 — ini redaksi miliknya; dan Muslim, no. 1663, dari Abu Hurairah).

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

قَوْلُهُ: (فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ) يُفْهَمُ مِنْهُ إِبَاحَةُ تَرْكِ إِجْلَاسِهِ مَعَهُ

Sabdanya: “(jika ia tidak mengajaknya duduk bersamanya)” dipahami darinya bahwa dibolehkan untuk tidak mengajak pelayan duduk bersama. [*Fath al-Bārī*, 5/227] \[2].

Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari seluruh ulama bahwa:

أَنَّ الْوَاجِبَ إِطْعَامُ الْخَادِمِ مِنْ غَالِبِ الْقُوتِ الَّذِي يَأْكُلُ مِنْهُ مِثْلُهُ فِي تِلْكَ الْبَلْدَةِ، وَأَنَّ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَسْتَأْثِرَ بِالنَّفِيسِ مِنْ ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ الْأَفْضَلَ إِشْرَاكَهُ مَعَهُ فِي ذَلِكَ. اهـ.

“wajib memberi makan kepada pelayan dari makanan pokok yang umum dikonsumsi oleh orang-orang seperti tuannya di negeri tersebut, dan bahwa tuan boleh menyimpan makanan yang mahal untuk dirinya sendiri, **meskipun yang lebih utama adalah menyertakan pelayannya dalam makanan tersebut”. Selesai

[*Fath al-Bārī*, 9/726; lihat juga: *Tufat al-Awadhī*, 5/587; *Syar Mukhtaar aḥīḥ Muslim* oleh iddīq asan Khān, 4/86]

Al-Mullā ‘Alī al-Qārī berkata saat menjelaskan sabda Rasulullah :

(فَلْيُنَاوِلْهُ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ)

“Maka hendaklah ia memberinya satu atau dua suapan”:

‘Kata “atau” di sini menunjukkan variasi, atau berarti ‘bahkan’. Hikmahnya adalah agar pelayan tidak merasa sepenuhnya diabaikan; karena ada kaidah menyatakan:

مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ.

‘Apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya’.

[*Mirqāt al-Mafātīḥ Syar Misykāt al-Maṣābīḥ*, 6/517; juga disebutkan dalam *‘Awn al-Ma‘būd*, 10/326].

===****===

PEMBAHASAN KEENAM: 
KAITAN KAIDAH INI DENGAN KAIDAH-KAIDAH FIKIH LAINNYA:

Terdapat sejumlah besar kaidah yang memiliki hubungan dengan kaidah kita ini, yaitu :

مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ.

*“Apa yang tidak dapat diperoleh seluruhnya, tidak ditinggalkan seluruhnya.”*

Namun, kaidah-kaidah tersebut tidak berada pada tingkatan yang sama dalam hal kedekatannya. Sebagiannya ada yang sejalan dengannya dari sisi makna dan petunjuknya, sementara yang lainnya mendekatinya dalam makna tersebut, atau memiliki kesamaan dalam sebagian makna yang dikandungnya.

****

Kaidah Pertama: Yang sejalan dengannya dari sisi makna dan petunjuk:

1]. Ungkapan :

"مَنْ قَدَرَ عَلَى بَعْضِ الْعِبَادَةِ وَعَجَزَ عَنْ بَاقِيهَا هَلْ يَلْزَمُهُ الْإِتْيَانُ بِمَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْهَا؟".

Barang siapa mampu mengerjakan sebagian ibadah dan tidak mampu menyempurnakannya, apakah ia tetap wajib mengerjakan yang ia mampu?

(Lihat: *Qawā’id Ibn Rajab* 1/43, *Tuhfat Ahl al-alab*, hlm. 9, dan *Qawā’id al-Akām* 2/7)

2]. Ungkapan :

" لَا يُتْرَكُ الْقَلِيلُ مِنَ السُّنَّةِ لِلْعَجْزِ عَنْ كَثِيرِهَا".

Jangan meninggalkan bagian kecil dari sunah hanya karena tidak mampu mengerjakan bagian besarnya (Lihat: *al-Mughnī* Ibnu Qudāmah 1/137, *Mawsū’at al-Qawā’id al-Fiqhiyyah* 8/953)

3]. Ungkapan :

" مَنْ قَدَرَ عَلَى بَعْضِ الشَّيْءِ لَزِمَهُ".

Barang siapa mampu terhadap sebagian sesuatu, maka itu wajib atasnya (Lihat: *Mawsū’at al-Qawā’id al-Fiqhiyyah* 8/953 dan 11/1155, *al-Manthūr* karya al-Zarkashī 1/227 dengan lafadz: "apakah bagian yang mampu dilakukan wajib?".

Dan *al-Asybāh wa an-Nadẓāir* Ibn al-Wakīl 1/386: "Orang yang mampu pada sebagian kewajiban dalam beberapa bentuk")

4]. Ungkapan :

" الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْوَاجِبِ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ".

Menjaga kewajiban sebisa mungkin (lihat: *Syar Minhāj al-Nawawī* karya al-Muallī 2/35, dan *Nihāyat al-Mutāj* 3/119)

5]. Ungkapan :

" الْعَجْزُ عَنْ بَعْضِ الْوَاجِبَاتِ لَا يُسْقِطُ مَا بَقِيَ مِنْهَا".

Ketidakmampuan terhadap sebagian kewajiban tidak menggugurkan bagian yang tersisa darinya (lihat: *al-Ḥāwī* karya al-Māwardī 3/374)

6]. Ungkapan :

" الطَّاعَةُ بِحَسَبِ - أَوْ عَلَى حَسَبِ – الطَّاقَةِ".

Ketaatan sesuai dengan kemampuan (lihat: *al-Mabsūṭ* karya al-Sarakhsī 1/74, 212, dan *Mawsūat al-Qawāid al-Fiqhiyyah* 6/301)

****

Kaidah Kedua: Yang mendekati atau memiliki sebagian makna serupa:

KE 1]. Kaidah :

" مُعْظَمُ الشَّيْءِ يَقُومُ مَقَامَ كُلِّهِ".

“Sebagian besar sesuatu berlaku sebagai pengganti keseluruhannya”. (lihat: *al-Manthūr* karya al-Zarkashī 3/183, dan *Badāi‘ al-anāi‘* 6/152: "yang sedikit termasuk dalam yang banyak")

Dalam lafadz lain:

"الْأَكْثَرُ يَقُومُ مَقَامَ الْكُلِّ".

“Yang lebih banyak menggantikan keseluruhan (lihat: *al-Mabsūṭ* 1/64; 4/65, 77, dan *Badāi‘ al-anāi‘* 3/60, 135, 311, 389)

Atau:

"الْأَقَلُّ تَبَعٌ لِلْأَكْثَرِ، وَلِلْأَكْثَرِ حُكْمُ الْكُلِّ".

“Yang sedikit mengikuti yang banyak, dan yang banyak memiliki hukum seperti keseluruhan”. (lihat: *al-Mabsūṭ* 2/52; 3/39, *Badāi‘ al-anāi‘* 3/69, 89, dan *Qawāid al-Maqrī* 2/510)

Dalam lafadz lain:

"حُكْمُ الْبَعْضِ كَحُكْمِ الْكُلِّ".

“Hukum sebagian seperti hukum keseluruhan”. (lihat: *Badāi‘ al-anāi‘* 4/332, 496)

Makna kaidah:

Syariat – dalam beberapa permasalahan – menjadikan sebagian besar sesuatu sebagai pengganti keseluruhannya. Maka, apabila bagian terbesar itu ada, maka ia mendapatkan hukum dari keseluruhannya, dan ketidakhadiran bagian kecil atau sebagian kecil tidak berpengaruh.

Sebab, tidak tercapainya keseluruhan tidak menghalangi keberlakuan hukum atas bagian terbesarnya.

(Lihat: *al-Qawā’id wa adh-Ḍhawābiṭh al-Fiqhiyyah al-Mutadhomminah li at-Taysīr* 1/438, dan *Mawsū’at al-Qawā’id al-Fiqhiyyah* 2/254).

Cabang-cabang dari kaidah ini:

A]. Barang siapa yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia dianggap telah mendapatkan satu rakaat dan tidak wajib menggantinya, meskipun ia tertinggal membaca al-Fatihah menurut jumhur ulama seperti empat imam mazhab

[lihat: *al-Mudawwanah* (1/72), *al-Majmu’* karya an-Nawawi (4/100), *ar-Raudh al-Murbi’* (3/143), *Syarh Ma’ani al-Atsar* (1/218)].

Ia juga dianggap telah mendapatkan jamaah menurut mazhab Malikiyah dan pendapat pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[lihat: *Jami’ al-Ummat* (hlm. 111), *Majmu’ al-Fatawa* (23/332), *Hasyiyah Ibnu ‘Abidin* (2/59)].

B]. Jika seseorang terluka di kepalanya namun sebagian besar anggota tubuhnya masih sehat, maka kepalanya boleh ditinggalkan (tidak dibasuh), dan cukup membasuh anggota tubuh yang lain serta mengusap bagian luka.

[lihat: *al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah* (hlm. 20), *al-Qawa’id al-Fiqhiyyah* karya an-Nadwi (hlm. 345), *al-Majmu’* karya an-Nawawi (2/316)].

===

KE 2]. Kaidah :

مَا قَارَبَ الشَّيْءَ هَلْ يُعْطَى حُكْمَهُ؟

Apakah sesuatu yang mendekati (terjadi) diberi hukum seperti sesuatu yang sudah terjadi?

 [lihat: *al-Asybah wa an-Nazhair* karya Ibnu as-Subki (1/98), *al-Qawa’id* karya al-Maqri (1/287), *al-Manthur* (3/144)].

Maknanya: Jika suatu hal diharapkan akan terjadi dalam waktu dekat, apakah hukumnya sudah berlaku seakan-akan ia sudah terjadi sekarang, ataukah tidak berlaku kecuali setelah benar-benar terjadi?

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

Pendapat pertama : Sebagian ulama yang menetapkan hukumnya berkata: “Sesuatu yang mendekati kejadiannya, dihukumi seperti yang telah terjadi.”

Pendapat kedua : Sedangkan yang menolaknya berkata: “Hukum tidak bisa ditetapkan sebelum sesuatu itu benar-benar terjadi.”

Menurut pendapat pertama: pemberlakuan hukum terhadap sesuatu yang hampir terjadi seperti orang yang mampu melaksanakan sebagian perkara dan tidak mampu melaksanakan sisanya; karena melaksanakan sebagian dari sesuatu itu jika memungkinkan lebih utama daripada meninggalkannya secara keseluruhan.

Cabang dari kaidah ini:

A]. Barang siapa memiliki tanggungan puasa sepuluh hari dari bulan Ramadan dan belum menqadha-nya hingga tersisa lima hari dari bulan Sya’ban, apakah ia wajib membayar fidyah atas bagian yang tidak bisa ia qadha saat itu, atau tidak wajib hingga masuk bulan Ramadan berikutnya?

Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama.

 [lihat: *al-Majmu’* dan catatan pinggirnya *Fath al-‘Aziz* (6/365, 463), *al-Majmu’ al-Madzhab* karya al-‘Ala’i (1/320)].

B]. Jika seseorang bersumpah bahwa ia akan memakan roti ini besok, lalu ia merusaknya sebelum esok hari, apakah ia sudah melanggar sumpah saat itu juga atau baru dianggap melanggar ketika hari esok datang?

Terdapat dua pendapat ulama.

[lihat: *al-Mughni* (13/570), *Ru’us al-Masa’il al-Khilafiyyah* (6/900), *al-Hidayah* (2/367), *al-Majmu’ al-Mudzhab* (1/306)].

===

KE 3]. Kaidah :

ٱلضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ ٱلْإِمْكَانِ

Bahaya (mudharat) harus dihindari semampu mungkin.

[lihat: *Syarh al-Majallah* (Pasal 31), *al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Amm* (bagian 587)].

Maknanya: Bahaya wajib dicegah sebelum terjadi. Jika bisa dicegah sepenuhnya maka itu yang terbaik. Namun jika tidak memungkinkan, maka hendaknya bahaya itu diminimalisir sebisa mungkin. Ini berlaku dalam larangan. Sedangkan dalam perintah, maka seseorang melaksanakan apa yang mampu ia lakukan dari bagian perintah tersebut.

Cabang-cabang dari kaidah:

A]. Jika orang-orang kafir mengepung kaum Muslimin dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawan, maka boleh memberikan harta kepada mereka. Begitu pula, menebus tawanan dari tangan mereka dengan harta jika tidak memungkinkan dengan cara lain.

(Lihat: *Al-Asybah wa an-Nazha’ir* karya As-Suyuthi, hlm. 178; *Bada’i‘ ash-Shana’i‘* 7/109; *Hasyiyah Radd al-Muhtar* 3/247).

B]. Jika seseorang khawatir dirinya akan binasa karena kelaparan, maka ia boleh makan dari makanan milik orang lain sekadar untuk mencegah kebinasaan dirinya, walaupun pemilik makanan tersebut tidak rela, kecuali jika sang pemilik juga sedang membutuhkan makanan itu sebagaimana si perampas ini membutuhkannya.

(Lihat: *Hilyat al-‘Ulama’* 3/417; *al-Muhadzdzab* 1/251; *al-Mughni* 13/334; *at-Tamhid* oleh Ibn ‘Abdil Barr 14/210).

===

KE 4]. Kaidah :

إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا.

Jika dua madhorot (yang menyebabkan kerusakan) bertentangan, maka diperhatikan yang paling besar bahayanya dengan melakukan yang lebih ringan.

(Lihat: *Al-Asybah wa an-Nazha’ir* karya As-Suyuthi, hlm. 178; *Al-Asybah wa an-Nazha’ir* karya Ibn Nujaym, hlm. 89).

Dalam redaksi lain:

يُخْتَارُ أَهْوَنُ الشَّرَّيْنِ، أَوْ أَهْوَنُ ٱلضَّرَرَيْنِ.

*Dipilih yang lebih ringan dari dua keburukan atau dua kerusakan.*

(Lihat: *al-Majallah*, pasal 29; *al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Aam*, fasal 591; *Mawsu‘ah al-Qawa‘id* 1/230).

Dalam redaksi lain:

تَحْصِيلُ أَعْلَى ٱلْمَصْلَحَتَيْنِ وَإِنْ فَاتَ أَدْنَاهُمَا، وَدَفْعُ أَعْلَى ٱلْمَفْسَدَتَيْنِ وَإِنْ وَقَعَ أَدْنَاهُمَا.

*Mengambil manfaat yang paling tinggi meski kehilangan yang lebih rendah, dan menolak kerusakan yang paling besar meski menanggung yang lebih ringan.*

(Lihat: *I‘lam al-Muwaqqi‘in* 3/279; *Majmu‘ al-Fatawa* oleh Ibn Taimiyyah 23/182–183 dengan redaksi:

"يُرَجَّحُ خَيْرُ ٱلْخَيْرَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا، وَيُدْفَعُ شَرُّ ٱلشَّرَّيْنِ بِٱلْتِزَامِ أَدْنَاهُمَا".

"Lebih mengutamakan kebaikan yang paling besar dengan mengorbankan yang lebih kecil, dan menolak keburukan yang lebih besar dengan menanggung yang lebih ringan").

Maknanya: Jika terdapat dua mudarat dan salah satunya harus dilakukan, maka wajib memilih yang lebih ringan dan paling sedikit bahayanya. Karena melakukan hal yang haram tidak dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat, dan tidak ada keharusan untuk melakukan yang lebih besar bahayanya. Begitu pula, jika terdapat dua kemaslahatan dan tidak mungkin untuk mendapatkan keduanya, maka wajib mengambil kemaslahatan yang lebih besar dengan mengorbankan yang lebih kecil. (Lihat: *al-Manṡūr* karya az-Zarkasyi 1/439).

Ini jelas dalam konteks dua kemaslahatan yang bertentangan, maka tidak boleh meninggalkan salah satunya hanya karena tidak mungkin menggabungkannya.

Adapun pertentangan antara dua kerusakan, maka seperti kaidah sebelumnya: jika tidak mungkin menolak madhorot (bahaya dan kerusakan) secara total, maka minimal menguranginya dengan memilih yang lebih ringan kerusakannya.

Cabang-cabang dari kaidah:

A]. Jika seseorang tersedak karena sesuap makanan dan tidak menemukan sesuatu untuk menelannya kecuali khamar, maka ia boleh menelannya dengan khamar. Karena kerusakan minum khamar lebih ringan dibandingkan kehilangan nyawa.

(Lihat: *al-Mughni* 12/500; *Bidayat al-Mujtahid* 6/347; *al-Majmu‘ al-Madzhab* 1/125).

B]. Menyelamatkan orang yang wajib dilindungi dari kebinasaan. Jika tidak mungkin menyelamatkannya kecuali dengan menguatkan diri melalui makan dan minum, maka ia boleh berbuka (di siang Ramadan), bahkan wajib. Karena maslahat menyelamatkan jiwa yang wajib dilindungi lebih utama daripada menunaikan puasa, disebabkan adanya manfaat yang meluas. Dan dua maslahat ini dapat dikumpulkan: menyelamatkan orang tersebut, lalu mengqadha puasanya.

(Lihat: *Majalis Syahri Ramadhan* karya Ibn ‘Utsaimin, hlm. 36; *Qawa‘id al-Ahkam* 1/66; *at-Tanqih al-Musyb‘i*, hlm. 169).

===

KE 5]. Kaidah :

يُنَزَّلُ غَالِبُ ٱلظَّنِّ مَنْزِلَةَ ٱلْيَقِينِ.

Dugaan kuat (ghalabatuzh-zhan) dapat menempati posisi keyakinan.

(Lihat: *al-Qawa‘id wa adh-Dhawabit al-Mutadamminah lit-Taysir* 2/635).

Dalam redaksi lain:

غَالِبُ ٱلْأَحْكَامِ مُبْنِيَّةٌ فِي أَدَائِهَا وَوَقْتِهَا عَلَى ٱلظَّنِّ.

*Sebagian besar hukum ditetapkan pelaksanaannya dan waktunya berdasarkan dugaan kuat*.

(Lihat: *Khatimat Mughnī Dzawi al-Ifham*, hlm. 176).

Dalam redaksi lain:

هَلِ ٱلْغَالِبُ كَٱلْمُحَقَّقِ؟

*Apakah yang dominan itu seperti halnya yang pasti?*

(Lihat: *Mawsu‘ah al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah* 12/52).

Dalam redaksi lain:

يُنَزَّلُ ٱلْمُسْتَفِيضُ مَنْزِلَةَ ٱلْمَعْلُومِ.

*Yang masyhur luas kedudukannya seperti yang sudah diketahui pasti.*

(Lihat: *al-Asybah wa an-Nazha’ir* karya Ibn as-Subki 1/427; *Mawsu‘ah al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah* 12/486).

Maknanya: Jika sesuatu telah ditetapkan dengan keyakinan, maka tidak boleh berpaling darinya kepada selainnya. Namun jika tidak memungkinkan untuk memperoleh keyakinan, maka cukup dengan dugaan kuat. Hal ini lebih utama daripada kehilangan kepastian secara total.

Cabang dari kaidah:

الْعَمَلُ فِي الشَّهَادَةِ بِغَالِبَةِ الظَّنِّ إِذَا تَعَذَّرَ الْيَقِينُ.

Mengamalkan suatu amalan berdasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh-zhan) dalam kesaksian jika yang meyakinkan tidak memungkinkan.

Begitu pula dalam semua hal yang tidak bisa diyakini secara pasti, seperti dalam mengetahui arah kiblat, jumlah rakaat, dan letak najis.

(Lihat. *al-Hidāyah* 1/39, 48; *al-Muhadzdzab* 1/49, 67; *al-Mughnī* 1/102, 2/489; *Fatul-‘Azīz* 6/329).

====

KE 6]. Kaidah :

إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلَى الْبَدَلِ.

“Jika yang pokok tidak memungkinkan, maka berpindah ke pengganti”.

(lihat. *al-Madkhal al-Fiqhī al-‘Āmm*, fasal 641; *al-Wajīz* karya al-Burnu, hlm. 211).

Dalam redaksi lain:

إِذَا بَطَلَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلَى الْبَدَلِ.

“Jika yang pokok batal, maka berpindah ke pengganti”. (lih. *al-Majallah*, Pasal 53).

Maknanya: Bahwa jika sesuatu yang pokok tidak dapat dicapai karena ada halangan, dan ia memiliki pengganti, maka pengganti tersebut menjadi seperti kedudukannya dan mengambil hukumnya. Meskipun berada pada derajat di bawahnya, namun itu lebih utama daripada tidak ada sama sekali.

Contoh cabangnya:

A]. Jika tidak memungkinkan untuk mengembalikan barang hasil ghasab karena telah rusak atau habis, maka wajib mengembalikan penggantinya berupa barang sejenis atau nilai harganya

(lihat. *al-Mughnī* 7/361, 504; *ilyatul-‘Ulamā* 5/211; *al-Kāfī* karya Ibn ‘Abd al-Barr 2/841; *Tufatul-Fuqahā* 3/91).

B]. Jika seseorang yang melakukan haji tamattu’ tidak mampu menyembelih hewan hadyu, maka dia berpindah ke puasa.

(Lihat. *Syar al-Majallah* karya Salīm Rustum Bāz 1/41; *al-Mughnī* 5/363; *Jāmi‘ al-Ummuhāt*, hlm. 216).

====

KE 7]. Kaidah :

إِعْمَالُ الْكَلَامِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ.

“Mengamalkan ucapan lebih utama daripada mengabaikannya”.

(lih. *al-Asybah wan-Nadẓā’ir* karya Ibnu as-Subkī 1/171; *al-Manṡūr* karya az-Zarkasyī 1/183; *al-Asybah wan-Nadẓā’ir* karya as-Suyūṭī, hlm. 245; *al-Asybah wan-Nadẓā’ir* karya Ibnu Nujaym, hlm. 135; *al-Majallah*, Pasal 60).

Dalam redaksi lain:

مَتَى أُمْكِنَ حَمْلُ الْكَلَامِ عَلَى وَجْهٍ صَحِيحٍ لَمْ يَجُزْ إِلْغَاؤُهُ.

“Jika memungkinkan untuk menafsirkan ucapan dengan makna yang benar, maka tidak boleh mengabaikannya”.

(lih. *al-Mughnī* karya Ibnu Qudāmah 7/270; serupa juga dalam *Mawsū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah* 11/1119) \[11].

Dalam redaksi lain:

إِذَا تَعَذَّرَتِ الْحَقِيقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَازِ.

“Jika makna hakiki tidak mungkin, maka digunakan makna majazi”.

(lihat. *al-Asybah wan-Nadẓā’ir* karya Ibnu Nujaym, hlm. 135; *al-Madkhal al-Fiqhī al-‘Āam*, fasal 615; *Mawsū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah* 1/291).

Maknanya: Bahwa lafadz-lafadz yang keluar dari syariat atau dari orang-orang yang berakal, jika mengandung kemungkinan beberapa makna, dan salah satu dari makna itu mengandung hukum sementara yang lain tidak, maka wajib membawa lafadz tersebut kepada makna yang mengandung hukum, walaupun maknanya bukan dalam derajat paling tinggi (seperti majaz); karena hal itu lebih utama daripada membuang atau mengabaikan lafadz tersebut secara mutlak.

Cabang-cabang dari kaidah:

A]. Jika seseorang mewakafkan untuk anak-anaknya, namun ia tidak memiliki anak kandung melainkan hanya cucu, maka wakaf itu disalurkan kepada cucunya; sebagai bentuk menjaga lafaz agar tidak sia-sia, dan diberlakukan makna majazi (kiasan).

[lihat: *Kasyyāf al-Qināʿ* (4/278), *ar-Raudh al-Murbiʿ* (7/465)].

B]. Jika seseorang bersumpah bahwa ia akan memakan dari pohon kurma ini, maka ia dianggap melanggar sumpah jika ia hanya memakan buahnya; karena tidak mungkin makan batang dan kayunya, sehingga diartikan pada makna majazi.

[lihat: *Taysīr at-Tarīr* (2/169), *Mughnī al-Mutāj* (4/342), *Syar al-Majallah* oleh Rustum Bāz, hlm. 44].

====

KE 8. Kaidah :

"مَا جُعِلَ غَايَةً فَوُجُودُ أَوَّلِهِ كَافٍ".

“ Sesuatu yang dijadikan batas akhir (tujuan), maka permulaan darinya sudah cukup dianggap”.

Maknanya: Sesuatu yang dijadikan sebagai akhir dari sesuatu, maka cukup dengan permulaannya saja untuk dihitung, tidak disyaratkan harus mencapai akhirnya. Karena sisa bagian dari hal tersebut dianggap sudah termasuk dan mengikuti yang telah ada, dan tidak mesti semua bagian dari sesuatu itu ada agar hukum dapat diterapkan atas kebanyakan bagiannya.

Cabang-cabangnya:

A]. Orang yang melakukan umrah tamattuʿ sebelum haji, ia wajib menyembelih hewan dam (denda) jika sudah berihram untuk haji (menurut jumhur ulama), bukan setelah menyelesaikan seluruh rangkaian haji. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

{فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}

*"Barangsiapa yang bertamattuʿ dengan umrah ke haji, maka (wajib baginya) menyembelih hewan yang mudah didapat."* (QS. al-Baqarah: 196).

Maka haji di sini dijadikan batas akhir untuk wajibnya dam, dan tidak disyaratkan harus selesai semuanya.

[Lihat: *al-Mughnī* (5/359), *Mughnī al-Mutāj* (1/516), *al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh* oleh az-Zuhaylī (3/224)].

B]. Jika dua orang melakukan transaksi utang-piutang dan mereka menetapkan jatuh tempo selama satu bulan, maka kewajiban membayar berlaku sejak awal bulan.

[Lihat: *al-Muhadzdzab* (1/299), *Jāmiʿ al-Ummahāt*, hlm. 372, *Kasyyāf al-Qināʿ* (3/300)].

===

KE 9. Kaidah :

ٱلْعَزْمُ فِي ٱلْعِبَادَاتِ مَعَ ٱلْعَجْزِ يَقُومُ مَقَامَ ٱلْأَدَاءِ فِي عَدَمِ ٱلْإِثْمِ

“Tekad dan keinginan untuk beribadah saat tidak mampu, menggantikan pelaksanaan dalam menghindari dosa”.

Maknanya: Jika datang perintah untuk beribadah namun orang yang terkena beban syariat itu tidak mampu melakukannya, maka wajib baginya berniat dan bertekad untuk melakukannya. Jika tidak, ia berdosa karena tidak bertekad. Sebab ketika suatu hal tidak dapat dilaksanakan, dan ia memiliki pengganti, maka pengganti itu mengambil tempatnya, meskipun kedudukannya di bawah yang asli, karena lebih utama daripada membatalkan hukum secara keseluruhan.

Cabang-cabangnya:

A]. Seseorang yang ingin melaksanakan haji wajib namun ia tidak tahu arah jalan dan tidak ada yang bisa menunjukkan jalannya, atau ia buta dan tidak ada orang yang bisa membimbingnya menuju Mekkah, maka haji tidak diwajibkan atas mereka. Karena keduanya tidak mampu, seperti orang yang tidak memiliki bekal dan kendaraan.

Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i, dan juga Hanbali, hanya saja Hanbali mensyaratkan agar tidak ditemukan pemandu dengan ongkos sepadan (ujrah al-mitsl), bukan dengan sukarela agar tidak terkena beban hutang budi.

Dalam satu riwayat dari Imam Ahmad, yang juga menjadi pilihan mayoritas murid beliau, bahwa ini termasuk syarat wajib pelaksanaan, karena bisa jadi pelaksanaan yang terhalang tidak menghalangi pengqodho, seperti orang sakit yang diharapkan sembuh, atau tidak memiliki bekal dan kendaraan yang menghalangi semuanya. Maka menurut pendapat ini, seseorang berdosa jika ia tidak bertekad menunaikan haji ketika si buta menemukan pemandu, atau si jahil menemukan penunjuk jalan.

[Lihat: *Kasyyāf al-Qināʿ* (2/392), *al-Ḥāwī* oleh al-Māwardī (4/14), *Fat al-Qadīr* oleh Ibn al-Humām (2/415)].

B]. Jika seorang wanita haid telah mendapatkan waktu dari shalat yang cukup untuk takbiratul ihram [menurut pendapat madzhab Hanbali], maka ia wajib berniat untuk mengganti shalat tersebut setelah udzurnya hilang, dan bila tidak maka ia berdosa. Sebab shalat telah menjadi wajib dengan masuknya waktu, dan tidak gugur hanya karena adanya penghalang.

[Lihat: *al-Ikhtiyārāt al-Fiqhiyyah*, hlm. 34, *al-Majmūʿ Syar al-Muhadzdzab* (1/67), *Badāʾiʿ ash-anāʾiʿ* (1/96), *Jāmiʿ al-Ummahāt*, hlm. 82, *ar-Raudh al-Murbiʿ* (2/90)].

===****==

PEMBAHASAN KETUJUH: PENERAPAN FIKIH DARI KAIDAH:

Telah dijelaskan sebelumnya tentang luasnya cakupan penerapan kaidah :

"ما لا يُدْرَكُ كُلُّهُ لا يُتْرَكُ جُلُّهُ".

(“Apa yang tidak bisa diperoleh seluruhnya, tidak ditinggalkan sebagian besarnya”).

Dan bahwa kaidah ini mencakup banyak persoalan dari berbagai bab fikih; karena berkaitan erat dengan perintah-perintah syariat – yang merupakan setengah dari hukum-hukum taklifi – di mana dalam pelaksanaannya diperhatikan kemampuan mukallaf dan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuannya, yakni berpindah dari keadaan yang tidak mampu dilaksanakan kepada keadaan yang mampu dilakukan.

Contohnya seperti tahapan dalam mengubah kemungkaran, kondisi orang yang lemah dalam shalat, dan pilihan-pilihan kafarat.

Demikian pula, kaidah ini memiliki keterkaitan dengan kaidah :

"المَيْسُوْرُ لا يَسْقُطُ بِالمَعْسُوْرِ".

(“Bagian yang mudah tidak gugur karena bagian yang sulit”)

Baik dari segi makna, maupun furu' (cabang-cabang hukum) yang dapat dikembalikan kepada keduanya. Maka, apa yang cocok dirujukkan ke salah satunya juga dapat dirujukkan ke yang lain.

Para ulama yang membahas kaidah "المَيْسُوْرُ لا يَسْقُطُ بِالمَعْسُوْرِ" ini, telah menyebutkan banyak furu’, seperti Ibnul Wakil, Ibnus Subki, dan As-Suyuthi dalam karya mereka yang berjudul *Al-Asybah wa an-Nazha'ir* .

(Lihat: *Al-Asybah wa an-Nadza'ir* Ibnul Wakil [1/386–388], Ibnus Subki [1/156–158], dan As-Suyuthi hlm. 293–294).

Penulis berupaya menelusuri furu’ lain – yang belum disebutkan dalam kitab-kitab tersebut – yang bisa diterapkan pada kaidah "ما لا يُدْرَكُ كُلُّهُ لا يُتْرَكُ جُلُّهُ", yang penulis kutip dari *At-Tanqīḥ Al-Musybi‘* karya Al-Mardāwaī (w. 885 H) dan *Al-Iqnā* bagian ibadah karya Al-Hajjāwī (w. 968 H), serta berusaha menyertakan contoh-contoh yang relevan dengan realitas kontemporer.

Dan demi untuk kelengkapan manfaat – sebelum menyebutkan furu’ tambahan tersebut – berikut ini beberapa contoh yang disebutkan oleh tiga ulama tersebut (Ibnul Wakil dan dua lainnya):

Contoh ke 1.

Jika seseorang terpotong sebagian anggota wudhunya, maka wajib membasuh sisa bagian yang tersisa dari anggota wudhu tersebut. Begitu pula, jika potongannya sampai pada ruas siku atau mata kaki, maka wajib membasuh ujung tulang lengan atas atau tulang betisnya

(lihat: *Al-Muhadzdzab* karya Asy-Syirazi [1/17], *Bulghatu as-Sālik* [1/42], *At-Tanqīḥ Al-Musybi‘* hlm. 55).

Contoh ke 2.

Jika seseorang dalam keadaan hadas dan pada tubuhnya terdapat najis, dan ia hanya memiliki cukup air untuk salah satunya, maka ia wajib membasuh najis

(lihat: *Al-Iqnā’* [1/52–53] dan *At-Tanqīḥ Al-Musybi‘* hlm. 64).

Contoh ke 3.

 Orang yang hanya mampu mengenakan sebagian penutup aurat, maka ia wajib menutupi bagian yang memungkinkan.

(Lihat: *Syarh Al-Minhāj* karya Al-Mahalli [1/178], *Jāmi‘ al-Ummuhāt* hlm. 89, *Kasyf al-Qinā’* [1/272]).

Contoh ke 4.

Orang yang hanya mampu membaca sebagian dari surat Al-Fatihah, maka ia wajib membaca bagian yang mampu ia baca, tanpa ada khilaf.

(Lihat: *Raudhatu ath-Thālibīn* [1/246], *Jāmi‘ al-Ummuhāt* hlm. 94, *Ar-Raudh al-Murbi‘* [2/258–259]).

Contoh ke 5.

Jika seseorang mampu berdiri namun hanya sampai pada posisi setinggi ruku‘, maka menurut pendapat yang benar ia tetap berdiri pada posisi tersebut (Lihat: *Kasyf al-Qinā* [1/498]).

Contoh ke 6.

Jika seseorang tidak mampu mengangkat tangan dalam shalat kecuali melebihi kadar yang disyariatkan, atau justru kurang darinya, maka ia tetap melakukannya sebatas yang ia mampu.

(Lihat: *Al-Muhadzdzab* [1/71], *Al-Furū’* [2/168], *Al-Iqnā’* [1/114], *Hāsyiyah Ibnu Qāsim* atas *Ar-Raudh* [1/16]).

Contoh ke 7.

Orang yang memiliki nishab zakat, sebagian ada di tangannya dan sebagian lagi berada jauh (ghaib), maka pendapat yang kuat adalah ia mengeluarkan zakat dari bagian yang ada di tangannya. (lihat: *Al-Muhadzdzab* [1/170], *Al-Iqnā’* [1/244]).

Contoh ke 8.

Jika seseorang hanya mampu mengeluarkan sebagian dari satu sha‘ dalam zakat fitrah, maka pendapat yang kuat adalah ia wajib mengeluarkan apa yang ia mampu.

(lihat: *Al-Hāwī* karya Al-Māwardī [3/374], *Al-Mughnī* karya Ibnu Qudāmah [4/310], *Jāmi‘ al-Ummuhāt* hlm. 168).

Contoh ke 9.

Jika seseorang sampai pada tahap memberi makan dalam kafarat, dan tidak mampu kecuali untuk memberi makan tiga puluh orang miskin (dari enam puluh), maka pendapat yang kuat adalah ia wajib melakukannya.

(Lihat: *Al-Majmū’ Al-Mudzhab* [1/249], *Raudhatu ath-Thālibīn* [8/308], *Fat al-‘Azīz* karya Ar-Rāfi‘ī [2/226]).

Contoh ke 10.

Jika orang junub khawatir akan bahaya bila keluar dari masjid, sedangkan ia mendapati selain debu masjid, maka wajib baginya bertayamum. Hal ini ditegaskan oleh Al-Qaffal dan selainnya.

Adapun cabang-cabang hukum yang saya gali dari kitab *"At-Tanqīḥ Al-Musybiʿ"* dan *"Al-Iqnāʿ"* [disebutkan dalam catatan kaki (5)], maka di antaranya:

Contoh ke 11.

Boleh melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraan, baik dalam keadaan berhenti maupun berjalan, jika dikhawatirkan terjadi gangguan karena lumpur, hujan, salju, atau dingin, atau khawatir terpisah dari rombongan, atau mengalami bahaya jika berjalan kaki.

Dalam hal ini, wajib menghadap kiblat dan menunaikan syarat, rukun, serta kewajiban shalat sesuai dengan kemampuan. Adapun hal-hal yang tidak mampu dilakukan, maka tidak dibebankan kepadanya.

[Lihat: *At-Tanqīḥ Al-Musybiʿ*, hlm. 112; *Al-Iqnāʿ* 1/178; *Al-Ikhtiyārāt Al-Fiqhiyyah*, hlm. 74].

Yang masuk dalam hukum ini juga adalah seluruh kendaraan modern saat ini, seperti kereta api, mobil, pesawat, dan kapal laut. Jika tiba waktu shalat dan penumpang tidak memungkinkan untuk turun serta menunaikannya di darat, maka wajib baginya melaksanakan shalat sebisanya, dengan rukuk, sujud, dan menghadap kiblat sesuai kemampuan. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama.

[Lihat: *Fatāwā Al-Lajnah Ad-Dāimah lil-Buhūts Al-‘Ilmiyyah wal-Iftā* (8/120, 123)].

Contoh ke 12.

Jika orang yang shalat tidak mampu menyelesaikan bacaan Al-Fatihah karena kehilangan kemampuan berbicara atau tertahan lidahnya (al-irtij), maka seperti halnya orang yang tidak mampu berdiri di tengah shalat, ia mengerjakan semampunya, dan gugur darinya apa yang tidak mampu dilakukan, serta tidak perlu mengulanginya, sebagaimana hukum bagi orang yang ummi (tidak bisa membaca).

[lihat: *Al-Iqnāʿ* 1/130; *Kasyf Al-Qināʿ* 1/379; *Al-Mughnī* 3/29; *Al-Ajwibah As-Saʿdiyyah* karya Ibnu Saʿdī, hlm. 49].

Contoh ke 13.

Puasa sunnah orang haid dianggap sah apabila ia suci di siang hari dan menyempurnakan puasanya di sisa hari tersebut. Demikian pula orang kafir yang masuk Islam di tengah hari, selama tidak melakukan hal yang membatalkan puasa, karena puasa sunnah sah dengan niat di siang hari .

[Dalilnya adalah hadis Aisyah radhiyallahu 'anha:

"دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟) فَقُلْنَا: لَا. قَالَ: (فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ)".

“Rasulullah masuk menemuiku dan berkata: ‘Apakah kalian punya makanan?’ Kami menjawab: ‘Tidak.’ Maka beliau bersabda: ‘Kalau begitu aku berpuasa.’” Diriwayatkan oleh Muslim (1154)].

Selanjutnya, tidak ada dalil yang mensyaratkan seseorang harus layak berpuasa sebelum berniat. Tidak ada hal yang menghalangi mengalirnya pahala dari awal hari, karena waktu sebelum niat mengikuti waktu sesudahnya. Kalaupun disepakati bahwa pahala hanya berlaku sejak niat – sebagaimana pendapat mayoritas – maka itu tidak berarti bahwa puasa tersebut tidak sah; karena tidak ada keterkaitan mutlak antara keabsahan puasa dan perolehan pahala dalam bentuk seperti itu.

Pendapat ini disampaikan oleh banyak ulama Hanabilah dan sebagian Syafi’iyyah.

[Lihat: *At-Tanqīḥ Al-Musybiʿ*, hlm. 163; *Kasyf Al-Qināʿ* 1/317; *Hāsyiyah Ibnu Qundus* 4/458; *Muntahā Al-Irādāt* 1/220].

Contoh ke 14.

Orang yang botak dan tidak memiliki rambut di kepalanya disunnahkan untuk mengusap kepalanya dengan pisau cukur (meskipun tidak ada rambut yang bisa dicukur). Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama, dan Ibnul Mundzir menyebutkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.

(Lihat: *at-Tanqīḥ al-Musybiʿ*, hlm. 191; *al-Iqnāʿ*, 1/391; *al-Ijmāʿ* oleh Ibnul Mundzir, no. 229; *al-Mughnī*, 5/306–307; *ilyat al-ʿUlamāʾ*, 3/344; *Badāʾiʿ a-anāʾiʿ*, 2/140; *Tufat al-Mawdūd*, hlm. 120; *Jāmiʿ al-Ummihāt*, hlm. 201).

Contoh ke 15.

Disunnahkan bagi seorang ayah untuk menyembelih aqiqah bagi anak laki-laki dua ekor kambing yang seumur dan serupa. Jika tidak mampu, maka cukup satu ekor; sebab, sunnah yang kecil tidak ditinggalkan karena ketidakmampuan melaksanakan sunnah yang lebih sempurna. Ini adalah pendapat mazhab Hanbali dan Syafi’i.

(Lihat: *at-Tanqīḥ al-Musybiʿ*, hlm. 197; *al-Iqnāʿ*, 1/409; *Ḥāsyiyat Ibn ʿĀbidīn*, 5/213; *Bulghat as-Sālik*, 1/311; *Syar al-Minhāj* oleh al-Maallī, 1/256).

Contoh ke 16.

Jika seseorang masih memegang harta hasil ghasab (rampasan) yang pemiliknya tidak diketahui, lalu ia menyerahkannya kepada hakim, maka ia terbebas dari tanggung jawabnya. Hakim wajib menerimanya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama: Mālik, Abū anīfah, dan Amad; karena ia memiliki uzur untuk tidak bisa mengembalikan langsung kepada pemiliknya yang tidak diketahui.

Begitu pula jika pelaku ghasab mengembalikannya kepada ahli waris pemilik aslinya, maka ia terbebas dari dosa terkait harta tersebut karena harta itu telah sampai kepada pihak yang berhak. Namun, ia tetap memikul dosa karena tindakan ghasab itu sendiri, sebab ia telah menyakiti pemilik dengan menyita haknya selama masa hidupnya.

(Lihat: *at-Tanqīḥ al-Musybiʿ*, hlm. 287; *Kasysyāf al-Qināʿ*, 4/115–116; *Majmūʿ al-Fatāwā*, 30/327; *Qawāʿid* oleh Ibn Rajab, kaidah no. 97 dan 106; *al-Ikhtiyārāt al-Fiqhiyyah*, hlm. 165; *Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah*, 13/170 dan 22/222).

Contoh ke 17.

Tidak sah menjual mushaf baik kepada Muslim maupun non-Muslim; karena mushaf harus dimuliakan, sementara menjualnya adalah bentuk pelecehan. Namun, diperbolehkan membelinya karena dapat mempermudah orang mendapatkan mushaf serta mengambil manfaat dari al-Qur’an dengan menghafalnya dan membacanya. Ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan merupakan pendapat yang dipegang oleh mazhab Hanbali.

(Lihat: *at-Tanqīḥ al-Musybiʿ*, hlm. 213; *Kasysyāf al-Qināʿ*, 3/155; *al-Furūʿ wa-Taṣḥīḥuh*, 6/136; *Bulghat as-Sālik*, 2/5; *al-Majmūʿ* oleh an-Nawawi, 9/252; *Ḥāsyiyat Ibn ʿĀbidīn*, 5/229; *Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah*, 13/55 dan 19/39).

Mirip dengan ini adalah pendapat sebagian ulama kontemporer yang membolehkan membeli darah karena darurat, namun menyatakan berdosanya pihak yang menjualnya.

(Lihat: *Rudūd ʿalā Abāṭīl* oleh Syaikh Muammad al-Ḥāmid; *Fiqh al-Qaḍhāyā aṭh-Ṭhibbiyyah al-Muʿāṣirah* oleh Prof. ʿAlī al-Qarāḍāghī dan Prof. ʿAlī al-Muammadī, hlm. 549; *al-Akām al-Mufīdah lil-Masāʾil al-Jadīdah* oleh Mājid Abū al-Layl, hlm. 50; *Badāʾiʿ aṣh-Ṣhanāʾiʿ*, 5/140; *Nihāyat al-Mutāj*, 3/19; *al-Mughnī*, 6/358).

Contoh ke 18.

Cukup dalam membebaskan budak untuk kafarat (tebusan dosa) meskipun sebagian jarinya terpotong atau memiliki pincang ringan, karena hal itu dianggap kerusakan kecil. Ini adalah pendapat mazhab Hanbali dan Syafi’i, serta termasuk makna dari pendapat Abū anīfah.

(Lihat: *at-Tanqīḥ al-Musybiʿ*, hlm. 401; *Kasysyāf al-Qināʿ*, 5/380; *al-Mughnī*, 11/83; *Fatul-Qadīr*, 4/260).

Contoh ke 19.

Dapat dihukumi atas tulisan tangan seorang saksi apabila ia telah meninggal dunia menurut sebagian ulama Hanbali; karena kebutuhan mendesak. Tulisan tangan dianggap sebagai “salah satu dari dua lisan”, sehingga apabila pendengaran langsung darinya tidak memungkinkan, maka tulisannya bisa menggantikan ucapannya (lihat: *at-Tanqīḥ al-Musybiʿ*, hlm. 486; *Kasysyāf al-Qināʿ*, 4/183; 6/364 dan 427).

Ibnu Taimiyyah berkata: “Tulisan tangan seperti ucapan, jika diketahui bahwa itu benar-benar tulisannya menurut mayoritas ulama. Seseorang bisa mengenali tulisan sebagaimana ia mengenali suara. Imam Ahmad dan Mālik membolehkan bersaksi berdasarkan suara, dan bersaksi atas tulisan memang lebih lemah, tetapi membolehkannya lebih kuat dibanding melarangnya” (*al-Ikhtiyārāt al-Fiqhiyyah*, hlm. 349, 361).

Contoh ke 20.

Diterima kesaksian laki-laki ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam perjalanan, pada kasus wasiat seseorang yang menjelang ajal, apabila tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin di sekitarnya, karena kondisi darurat. Ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās.

(lihat: *Tafsīr abarī*, 7/67–68; *Tafsīr Ibn Abī Ḥātim*, no. 6934), juga dari Abū Mūsā al-Asyʿarī (lihat: *Tafsīr abarī*, 7/68), dan dari sekelompok tabi’in (disebutkan oleh Ibn Abī Ḥātim setelah riwayat dari Ibn ‘Abbās bahwa lima belas tabi’in berpendapat demikian).

Ini juga merupakan pendapat ats-Tsawrī dan Imam Amad bin anbal.

Adapun mayoritas ulama seperti tiga imam mazhab lainnya berpendapat bahwa hukum tersebut telah mansukh (dihapus), karena ijma’ menyatakan bahwa kesaksian orang fasik tidak diterima, dan kekufuran lebih buruk daripada kefasikan.

(Lihat: *at-Tanqīḥ al-Musybiʿ*, hlm. 497; *Kasysyāf al-Qināʿ*, 6/417; *Fatul Bārī*, 5/517; *Tafsīr al-Qurhubī*, 6/323).

Contoh ke 21.

Taubat tetap sah dari satu dosa meskipun masih terus melakukan dosa lain, selama dosa tersebut bukan dari jenis dosa yang sama dengan yang ditaubati**; karena taubat itu wajib dilakukan untuk setiap dosa. Maka jika seseorang bertaubat dari salah satu dosa, ia telah melaksanakan salah satu kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya. Maka, apa yang ditinggalkan tidak membatalkan apa yang sudah dilakukan. Ini adalah salah satu pendapat dalam masalah ini, dan dipegang oleh sejumlah ulama yang teliti seperti Ibnul Qayyim.

(Lihat *Madarijus Salikin*, 1/275; *Ihya' 'Ulumiddin*, 4/41; *Riyadhus Shalihin* syarah Ibnu 'Utsaimin, 1/73, 81).

Contoh ke 22.

Ilmu tidak memiliki batas dan tidak memiliki ujung, serta tidak mungkin untuk menguasai seluruh cabangnya maupun rincian kecilnya.

Dalam sebuah atsar disebutkan:

مَن ظَنَّ أَنَّ لِلْعِلْمِ غَايَةً، فَقَدْ بَخَسَهُ حَقَّهُ، وَوَضَعَهُ فِي غَيْرِ مَنْزِلَتِهِ الَّتِي وَصَفَهُ اللَّهُ بِهَا، حَيْثُ يَقُولُ: (وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا) [الإسراء: 85]

"Barangsiapa menyangka bahwa ilmu memiliki batas akhir, maka sungguh ia telah merendahkannya dan menempatkannya bukan pada posisi yang layak, sebagaimana Allah berfirman:

{وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً}

"Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". [al-Isra': 85]"*

(Ini disebutkan oleh al-Mawardi dalam *Adabud Dunya wad Din*, hlm. 43, tetapi sanadnya tidak ditemukan).

Karena umur tidak cukup untuk menguasai seluruh cabang ilmu dan tidak ada jalan untuk meraih seluruhnya, maka wajib mengarahkan perhatian pada ilmu yang paling penting dan utama, serta mempelajarinya secara bertahap dengan memulai dari yang paling penting (*Lihat: Ihya’ ‘Ulumiddin*, 1/65).

Ilmu yang paling utama dan paling mulia adalah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang melahirkan rasa takut kepada Allah dan diiringi dengan amal saleh. Asal dan sumbernya adalah dari al-Qur’an dan Sunnah, serta mencakup semua ilmu yang berkaitan dan bercabang dari keduanya seperti bahasa Arab, ushul fiqh, dan fiqh, serta juga ilmu-ilmu eksperimental yang berkaitan dengan keduanya seperti ilmu kedokteran dan i’jaz ilmiah.

(*Lihat: Adabud Dunya wad Din*, hlm. 44; *Faydul Qadir*, 2/154, 245; *Risalatudz Dzulli wal Inkisari* oleh Ibnu Rajab, hlm. 45).

Contoh ke 23.

Diperbolehkan memanfaatkan kalender astronomi untuk menentukan waktu-waktu salat secara pendekatan (*Lihat: Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah*, 6/141).

Dan jika ada perbedaan waktu dalam kalender tersebut maka hendaknya disikapi dengan kehati-hatian dengan menambahkan satu atau dua menit atau lebih. (Lihat: Liqāāt al-Bāb al-Maftūḥ oleh Ibn ‘Utsaimin, 1/463, pertemuan ke-16, soal no. 603).

Contoh ke 24.

Diperbolehkan menggugurkan janin jika kelanjutannya membahayakan keselamatan ibu, baik janinnya cacat maupun tidak, jika hal itu diputuskan oleh tim medis yang terpercaya setelah seluruh usaha untuk menyelamatkan janin telah ditempuh.

Tujuannya adalah untuk menghindari bahaya yang lebih besar dengan melakukan yang lebih ringan. Pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok ulama.

(Lihat: Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah*, 21/435-436; *Hasyiyah Ibnu 'Abidin*, 2/380; *al-Majmu'* oleh an-Nawawi, 5/301; *al-Mughni*, 12/79, 81; *al-Muhalla*, 11/29-31; *Fiqh al-Qodhoya at-Thibbiyyah al-Mu’ashirah*, hlm. 446).

Demikian juga keputusan Majma’ al-Fiqhi al-Islami di bawah Rabithah al-‘Alam al-Islami dalam pertemuan ke-12 di Makkah pada bulan Rajab 1410 H:

أَنَّ الجَنِينَ قَبْلَ مُرُورِ مِائَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا مِنَ الحَمْلِ، إِذَا ثَبَتَ وَتَأَكَّدَ بِتَقْرِيرِ لَجْنَةٍ طِبِّيَّةٍ مِنَ الأَطِبَّاءِ المُخْتَصِّينَ الثِّقَاتِ – وَبِنَاءً عَلَى الفُحُوصِ الفَنِّيَّةِ بِالأَجْهِزَةِ وَالوَسَائِلِ المُخْتَبَرِيَّةِ – أَنَّ الجَنِينَ مُشَوَّهٌ تَشْوِيهًا خَطِيرًا، غَيْرُ قَابِلٍ لِلْعِلَاجِ، وَأَنَّهُ إِذَا بَقِيَ وَوُلِدَ فِي مَوْعِدِهِ، سَتَكُونُ حَيَاتُهُ سَيِّئَةً، وَآلَامًا عَلَيْهِ وَعَلَى أَهْلِهِ، فَعِنْدَئِذٍ يَجُوزُ إِسْقَاطُهُ بِنَاءً عَلَى طَلَبِ الوَالِدَيْنِ، وَالمَجْلِسُ إِذْ يُقَرِّرُ ذَلِكَ: يُوصِي الأَطِبَّاءَ وَالوَالِدَيْنِ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَالتَّثَبُّتِ فِي هَذَا الأَمْرِ.

“Jika janin belum mencapai 120 hari dan terbukti dengan pemeriksaan tim medis terpercaya berdasarkan alat dan teknologi laboratorium bahwa janin mengalami cacat parah yang tidak dapat disembuhkan dan akan menimbulkan penderitaan berat bagi dirinya dan keluarganya, maka diperbolehkan untuk digugurkan atas permintaan kedua orang tuanya, dengan tetap bertakwa kepada Allah dan bersikap hati-hati dalam perkara ini”.

(*Lihat: Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah*, 21/440-452; *Fiqh al-Qadhaya at-Thibbiyyah al-Mu’ashirah*, hlm. 451).

Contoh ke 25.

Para fuqaha membolehkan membelah perut wanita hamil yang telah meninggal untuk mengeluarkan bayinya.

Dan para ulama kontemporer menambahkan dua kondisi yang serupa:

1] otopsi untuk tujuan pembuktian perkara pidana.

2] otopsi untuk mendeteksi penyakit menular guna mengambil langkah pencegahan yang tepat.

(Iihat: *Jāmi‘ al-Ummahāt*, hlm. 137; *Hāsyiyah Ibnu ‘Ābidīn*, 2/238; *Hilyat al-‘Ulamā*, 2/354; *al-Majmu‘*, 5/301; *Masā’il al-Imām Ahmad* riwayat Abu Dawud, hlm. 150; *Manār as-Sabīl*, 1/172; *Kashshāf al-Qinā’*, 2/146).

Adapun otopsi untuk tujuan pembelajaran ilmiah, maka tidak diperbolehkan membedah jenazah muslim yang terjaga kehormatannya karena hal itu termasuk pelecehan terhadap kehormatannya. Kebutuhan pendidikan tidak dapat dijadikan alasan karena tersedia jenazah orang-orang yang tidak terlindungi kehormatannya (jenazah non muslim).

Hal ini difatwakan oleh Haiah Kibarul Ulama, Lajnah Daimah, dan Majma’ Fiqhi, dan dipilih oleh al-Albani bahwa tidak boleh membedah jenazah muslim untuk tujuan pendidikan.

(*Lihat: *Abhāth Haiah Kibar al-‘Ulamā’, 2/68; *Fatawa al-Lajnah ad-Dā’imah*, 12/189; *Ahkām al-Janā’iz* oleh al-Albani, hlm. 234 \[11]*).

Contoh ke 26.

Menginap di Mina pada malam-malam hari tasyrik adalah salah satu kewajiban haji menurut jumhur ulama. Barang siapa yang meninggalkannya, maka wajib atasnya membayar dam (denda), dengan rincian tertentu menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali.

Jika seseorang tidak menemukan tempat untuk bermalam di Mina setelah melakukan pencarian secara menyeluruh di seluruh area Mina, maka gugur kewajiban bermalam itu darinya. Namun, apakah ia wajib mencari tempat paling dekat ke Mina dan bermalam di ujung terakhir dari tenda Mina, ataukah ia boleh bermalam di tempat mana saja seperti di Mekah, Muzdalifah, atau tempat lainnya?

Pendapat pertama dirajihkan oleh Fadhilah Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin.

Sedangkan pendapat kedua adalah yang tampak dari fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ di Arab Saudi yang diketuai oleh Samahah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz.

(Lihat: *Al-Mughni* 5/324; *Al-Hidayah* 1/150; *Hilyah Al-‘Ulama’* 3/352; *Al-Majmu’* An-Nawawi 8/247; *Al-Kafi* karya Ibnu ‘Abdil Barr 1/376; *Ar-Raudh Al-Murbi’* 5/304; *Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah* 11/268; *Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin* 23/240).

Juga : bahwa yang diwajibkan dalam bermalam di Mina adalah tinggal di sana lebih dari separuh malam, baik di awal malam maupun akhirnya. Namun yang lebih utama dan sempurna adalah bermalam di sana sepanjang malam. Demikian fatwa dari dua syaikh: Bin Baz dan Ibnu Utsaimin *rahimahumallah*, dan ini juga merupakan pendapat mazhab Syafi’i.

(Lihat: *Al-Majmu’* An-Nawawi 8/247; *Nihayah Al-Muhtaj* 2/309; *Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin* 23/244; *Fatawa Islamiyyah*, disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, 2/274).

Contoh ke 27.

Diperbolehkan melakukan akad transaksi antara dua pihak yang tidak hadir di tempat yang sama apabila memungkinkan adanya kesinambungan ijab dan qabul melalui sarana komunikasi modern seperti telepon, faksimili, dan layar komputer. Meskipun mereka tidak saling melihat atau mendengar suara langsung, keduanya dihukumi seperti orang yang hadir bersama, sehingga sah akadnya jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini diputuskan oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dalam sidang keenamnya.

(Lihat: *Majallah Majma’ Al-Fiqh Al-Islami* 2/785; *Qararat wa Tawshiyat Majma’ Al-Fiqh Al-Islami*, hlm. 111–112).

Contoh ke 28.

Diperbolehkan bank-bank Islam untuk bekerja sama dengan bank-bank konvensional dalam menjalankan aktivitas perbankan yang diperbolehkan, seperti melakukan transfer, menerbitkan cek bank, menerima cek dan dokumen niaga yang ditarik dari bank lain, karena realitas menuntut adanya hubungan dengan bank konvensional demi memenuhi permintaan nasabah.

Semuanya itu dengan syarat tidak mengandung hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta'ala.

Hal ini didasarkan pada bahwa Nabi pernah bermuamalah dengan orang Yahudi; beliau wafat sedangkan baju besinya tergadaikan pada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum (HR. Bukhari no. 2916, 4467). Padahal diketahui bahwa orang Yahudi banyak bermuamalah dengan riba, dan mayoritas harta mereka berasal dari riba.

Dari sini para fuqaha membolehkan bermuamalah dengan orang yang hartanya bercampur antara halal dan haram.

(Lihat: *Al-Bunuk Al-Islamiyyah baina An-Nazariyyah wat-Tathbiq*, Dr. Abdullah Ath-Thayyar, hlm. 317; *Al-I’lam bifa’idah ‘Umdah Al-Ahkam* 7/362).

Contoh ke 29.

Diperbolehkan melakukan perjalanan ke negeri-negeri non-Muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu duniawi dan terapan seperti kedokteran, teknik, dan sejenisnya, apabila tidak memungkinkan untuk mempelajarinya di negara-negara Islam dan juga tidak memungkinkan untuk mendatangkan para spesialis terpercaya dari luar ke negeri Muslim guna mengajarkannya kepada para pelajar Muslim, sementara umat Islam sangat membutuhkan ilmu-ilmu tersebut. (Lihat: *Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah* 12/138).

Contoh ke 30.

Diperbolehkan bagi kaum Muslimin yang terpaksa tinggal di negara-negara sekuler atau kafir untuk berkumpul dan saling membantu di antara mereka, baik dengan nama partai Islam maupun kelompok Islam, karena hal itu termasuk dalam kerja sama dalam kebaikan dan takwa.

Juga diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk mencalonkan diri dalam pemilu yang diadakan di negara-negara sekuler yang berhukum dengan selain hukum Allah, jika ia berharap melalui jalan itu dapat mengarahkan pemerintahan untuk menerapkan syariat Islam. Syaratnya adalah ia bekerja di jabatan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Dan para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ pernah ditanya:

"Apakah boleh ikut memilih dalam pemilu dan mencalonkan diri? Padahal negeri kami berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan?"

Mereka menjawab:

"لَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُرَشِّحَ نَفْسَهُ رَجَاءَ أَنْ يَنْتَظِمَ فِي سِلْكِ حُكُومَةٍ تَحْكُمُ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ، وَتَعْمَلُ بِغَيْرِ شَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ، فَلَا يَجُوزُ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَنْتَخِبَهُ أَوْ غَيْرَهُ مِمَّنْ يَعْمَلُونَ فِي هَذِهِ الْحُكُومَةِ، إِلَّا إِذَا كَانَ مَنْ رَشَّحَ نَفْسَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَمَنْ يُنْتَخِبُونَ يَرْجُونَ بِالدُّخُولِ فِي ذَلِكَ أَنْ يَصِلُوا بِذَلِكَ إِلَى تَحْوِيلِ الْحُكْمِ إِلَى الْعَمَلِ بِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ، وَاتَّخَذُوا ذَلِكَ وَسِيلَةً إِلَى التَّغَلُّبِ عَلَى نِظَامِ الْحُكْمِ، عَلَى أَلَّا يَعْمَلَ مَنْ رَشَّحَ نَفْسَهُ بَعْدَ تَمَامِ الدُّخُولِ إِلَّا فِي مَنَاصِبَ لَا تَتَنَافَى مَعَ الشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ". انْتَهَى

"Tidak boleh bagi seorang muslim mencalonkan diri dengan harapan akan tergabung dalam barisan pemerintahan yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan dan bekerja dengan hukum selain syariat Islam. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk memilihnya, atau memilih orang lain yang bekerja dalam pemerintahan tersebut, kecuali jika orang yang mencalonkan diri dari kalangan muslimin dan para pemilih berharap melalui masuknya mereka ke dalamnya akan bisa mengubah pemerintahan menjadi berhukum dengan syariat Islam, dan mereka menjadikan hal itu sebagai sarana untuk mengalahkan sistem pemerintahan, dengan syarat bahwa orang yang mencalonkan diri tersebut setelah resmi masuk tidak bekerja kecuali pada posisi-posisi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam."

Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdul Razzaq 'Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdullah bin Qu'ud. [Selesai dari "Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah" (23/406-407)].

Contoh ke 31.

Penggunaan tes DNA (bukti sidik jari genetika).

[lihat: keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami dalam sidangnya ke-16 di Makkah antara 21–26/10/1422 H.

Dan lihat pula *Fiqh al-Qadhāyā al-Thibbiyyah al-Mu’āṣirah*, hlm. 341–366] dalam hal penetapan nasab boleh dijadikan dasar, seperti dalam kasus sengketa atas nasab anak yang tidak diketahui asal-usulnya seperti anak temuan (laqīṭh / لَقِيْطٌ), perempuan yang digauli karena syubhat, kasus bayi tertukar di rumah sakit dan pusat perawatan anak, dugaan pencampuran bayi tabung, serta dalam situasi anak hilang atau tertukar karena kecelakaan, bencana, atau perang, sehingga tidak bisa diketahui siapa keluarganya, atau pada jenazah yang tidak dapat dikenali identitasnya.

Namun demikian, tidak boleh menggunakan tes DNA ini untuk menafikan nasab dan tidak boleh pula mengutamakannya atas sumpah li‘ān.

[Lihat: dua sumber sebelumnya dan *Fatāwā al-Lajnah al-Dā’imah* (20/329–333)].

Makna Sidik jari genetika adalah “struktur genetik—yang merujuk pada gen atau warisan genetika—yang menunjukkan identitas unik setiap individu”, dilakukan dengan mengambil sampel dari laki-laki yang diragukan sebagai ayah, dari ibu, dan dari anak, kemudian DNA-nya dipisahkan dan urutan genetiknya diperbesar. Sampel ini dapat diambil dari sel darah, air liur, air mani, urin, dan sebagainya.

[Lihat: keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami dalam sidang ke-16 di Makkah antara 21–26/10/1422 H; dan *Fiqh al-Qadhāyā al-Thibbiyyah al-Mu’āṣirah*, hlm. 341–366].

===****====

PEMBAHASAN KEDELAPAN: 
CABANG-CABANG YANG DIKECUALIKAN DARI KAIDAH:
مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ جُلُّهُ
“Apa yang tidak dapat diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”

Terdapat beberapa cabang fikih yang tidak termasuk dalam cakupan kaidah ini. Ketika tidak memungkinkan diberlakukannya hukum terhadap sebagian individu suatu kasus, maka tidak ditetapkan pula hukumnya pada individu-individu yang tersisa.

Maka Dalam kondisi ini berlaku kaidah :

ذِكْرُ بَعْضِهَا كَذِكْرِ كُلِّهَا، وَإِسْقَاطُ بَعْضِهَا كَإِسْقَاطِ كُلِّهَا

“Menyebut sebagian darinya, sama seperti menyebut semuanya, dan menggugurkan sebagian darinya, sama seperti menggugurkan semuanya.”

Ini adalah bagian dari kaidah yang awalnya berbunyi:

"مَا لَا يَقْبَلُ التَّبْعِيْضَ يَكُوْنُ اخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِّهِ" 

"Sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi, maka memilih sebagiannya sama seperti memilih seluruhnya."

[lihat: *al-Asybāh wa al-Naẓā’ir* karya Ibn al-Subkī (1/105); al-Suyūṭī (hlm. 296); Ibnu al-Najjīm (hlm. 162); *al-Mantsūr* karya al-Zarkashī (3/153); *Mawsūah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah* (9/221)].

Hal seperti ini tidak mengurangi pentingnya kaidah tersebut, dan tidak pula membatasi keluasan aplikasinya. Setiap kaidah pasti memiliki pengecualian atau hal-hal yang menyimpang dari hukumnya.

[lihat: *Ghamz ‘Uyūn al-Baṣho’ir* (1/51); *al-Asybāh wa al-Nadẓā’ir* Ibnu as-Subkī (1/11); *al-Talwīḥ ‘alā at-Tawḍhīḥ* (1/35)].

Pengecualian ini kembali kepada beberapa sebab berikut ini :

[lihat: *al-Istithnā’ min al-Qawā’id al-Fiqhiyyah: Asbābuh wa Ātsāruhu*, Dr. ‘Abdur-Ramān asy-Sya‘lān, hlm. 56–74]:**

Ke1. Adanya dalil yang mengecualikan sebagian dari hukum kaidah:

Contohnya: tidak bolehnya menyekutukan niat (tasyrīk fī an-niyyat) yang dapat membatalkan atau mengurangi pahala suatu amal, seperti riya’, ingin dipuji, atau menginginkan bagian duniawi, karena itu bertentangan dengan ikhlas. Jika dorongan seseorang untuk beribadah hanya agar dilihat manusia tanpa mengharap kedekatan kepada Allah, seperti seseorang yang shalat agar dilihat orang lain, maka itu adalah syirik dan seluruh ibadahnya batal. Berdasarkan hadits:

(قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ)

*"Allah Ta‘ālā berfirman: Aku adalah Zat yang paling tidak butuh pada sekutu. Siapa yang mengerjakan suatu amal dan menyekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya."*

(HR. Muslim no. 2985; lihat juga: HR. Ibn Mājah no. 4202. Al-Būṣīrī mengatakan sanadnya aḥīḥ dan para perawinya terpercaya. Disetujui oleh al-Albānī dalam *Akām al-Janāiz*, hlm. 53)

Dalam lafadz Ibnu Majah :

(فَأَنَا بَرِيءٌ مِنْهُ، وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ)

“Maka Aku berlepas diri darinya, dan amal itu adalah untuk sekutu yang ia persekutukan.”

Karena itu, tidak sah mewakilkan niat atau berniat atas nama orang lain dalam ibadah, karena tujuan dari ibadah adalah menguji keikhlasan hati. Dikecualikan jika ibadah itu bersifat harta, atau gabungan antara harta dan badan, karena jenis ibadah itu memang memerlukan niat dari pelaksananya, seperti membagikan zakat, menyembelih kurban, dan haji.

[Lihat: *al-Wajīz fī Īḍāḥ al-Qawāid al-Kulliyyah*, hlm. 59; *Maqāṣid al-Mukallafīn*, al-Asyqar, hlm. 287].

Ke 2. Adanya ijma’ (konsensus) bahwa kasus yang dikecualikan tidak bisa disamakan dengan kaidah:

Contohnya: seseorang yang mampu berpuasa sebagian hari namun tidak bisa menyempurnakan hingga selesai, maka tidak wajib atasnya puasa, tanpa perbedaan pendapat. Karena bagian hari itu adalah bagian dari ibadah, namun secara sendiri tidak sah sebagai ibadah.

[lihat: *Qawā’id Ibnu Rajab* (1/48); *Badā’i‘ al-Fawā’id* (4/30); *al-Asybāh* al-Suyūṭhī, hlm. 295].

Sedangkan orang yang baru mengetahui masuknya bulan Ramadhan saat hari telah berjalan, maka wajib baginya menahan diri (imsaak) sejak saat itu dan juga mengqadha hari tersebut.

Demikian pula siapa pun yang pada siang hari Ramadhan telah menjadi orang yang wajib puasa, seperti orang kafir yang masuk Islam, orang gila yang sadar, atau anak kecil yang baligh, maka wajib atas mereka imsaak dan qadha hari itu, karena kehormatan waktu dan telah terlihat hilal serta karena dia telah mendapatkan sebagian dari waktu sebagaimana dalam shalat.

[lihat: *al-Iqnā’* (1/305); *Kashshāf al-Qinā’* (2/309); *al-Asybāh wa al-Nadẓā’ir* al-Suyūṭhī, hlm. 295; *asy-Syar ash-Ṣhaghīr* (1/244); *Ḥāsyiyah Qalyūbī ‘alā Syar al-Minhāj* (2/52); *ar-Rauḍh al-Murbi‘* (4/284)].

Adapun alasan mereka wajib qadha adalah karena hari itu termasuk Ramadhan dan mereka tidak melakukan puasa yang sah. Berdasarkan hadits:

أَنَّ قَبِيلَةَ أَسْلَمَ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (صُمْتُمْ هَذَا الْيَوْمَ؟) قَالُوا: لَا. قَالَ: (فَأَتِمُّوا بَقِيَّةَ يَوْمِكُمْ وَاقْضُوهُ)

*"Suku Aslam datang kepada Nabi , lalu beliau bertanya: 'Apakah kalian berpuasa hari ini?' Mereka menjawab: 'Tidak.' Beliau berkata: 'Maka kalian sempurnakanlah sisa hari ini dan kalian qodho-lah!.'"*

(HR. Abū Dāwud no. 2447; HR. al-Nasāī dalam *al-Kubrā* no. 2850–2852 tanpa lafaz: " وَاقْضُوهُ".

Dalam sanadnya terdapat ‘Abd al-Ramān bin Salamah atau Muslimah al-Khuzāī.

Ibnu ibbān mentsiqahkannya, Ibnu al-Qaṭhṭhān menyebutnya majhūl. Dan dalam *al-Taqrīb* disebut “maqbūl”. Karena itu, al-Albānī menyatakan tambahan lafaz itu sebagai "munkar" dalam *ash-Ṣhaḥīḥah* (6/251)).

Juga diriwayatkan oleh al-Bukhārī (1924, 2007) dan Muslim (1135) tanpa tambahan itu, dari hadits Salamah bin al-Akwa‘:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا يُنَادِي فِي النَّاسِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ: (إِنَّ مَنْ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ – أَوْ فَلْيَصُمْ – وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ فَلَا يَأْكُلْ)

“Bahwa Nabi mengutus seseorang untuk menyeru manusia pada hari ‘Āsyūrā:

*"Siapa yang telah makan, maka hendaknya menyempurnakan (puasa)-nya, dan siapa yang belum makan, maka jangan makan."*

(HR. al-Bukhārī no. 1960; Muslim no. 1136 dari hadits al-Rubayyi‘ bint al-Mu‘awwidz dengan redaksi serupa)

Sebagian ulama menyimpulkan dari hadits ini bahwa mereka yang disebutkan, seperti orang kafir yang masuk Islam, orang gila yang baru sadar, anak kecil yang baru baligh, dan orang yang baru mendengar bahwa hilal Ramadhan telah terlihat malam sebelumnya, maka baginya cukup berniat puasa dari siang hari sejak menjadi wajib atas mereka, dan tidak wajib qodho, meskipun sebelumnya telah makan atau minum.

Pendapat ini dianut oleh Ibnu azm, Syaikh al-Islām Ibn Taymiyyah, muridnya Ibnu al-Qayyim, al-Syaukānī, Abū al-asan as-Sindī, al-Albānī, dan lainnya.

Lihat: *al-Ikhtiyārāt al-Fiqhiyyah*, hlm. 107; *Zād al-Ma‘ād* (2/72); *Tahdzīb al-Sunan* (3/328); *Majmū al-Fatāwā* (25/109, 117); *Ḥāsyiyah al-Sindī ‘alā Ibn Mājah* (1/528–529); *Nayl al-Awṭār* (4/167); *Fat al-Bārī* (4/178, 312).

Ketiga: Adanya kebutuhan mendesak atau kebutuhan sekunder yang menghalangi untuk memasukkan masalah yang dikecualikan ke dalam kaidah:

Contohnya: jika air yang dibawanya sedikit, dan dia khawatir kehausan akan membahayakan dirinya, serta memungkinkan baginya untuk berwudhu lalu mengumpulkan kembali air wudhunya dan meminumnya, maka dia tidak diwajibkan berwudhu. Ia boleh bertayammum, karena jiwa manusia merasa jijik meminum air yang sudah digunakan.

[lihat: *al-Iqnā’* (1/51), *Kashshāf al-Qinā’* (1/164), *al-Furū’* (1/276)].

Contoh lain: barang siapa yang mendapati salju atau hawa dingin yang ekstrem, dan dia tidak mampu mencairkannya, maka dia wajib mengusap anggota wudhunya dengan itu—menurut pendapat yang dinukil dari Ahmad dan merupakan mazhab dalam kalangan Syafi‘iyyah.

[Lihat: *Fatul ‘Azīz* (2/226–227), *al-Majmū’* karya Nawawi (2/269), *al-Furū’* beserta koreksinya (1/297–298), *al-Majmū’ al-Mudhab* (hlm. 247), *al-Asybāh wa an-Nadẓā’ir* karya Ibnu as-Subkī (1/159), dan karya as-Suyūṭhī (hlm. 294)].

Keempat: Munculnya qiyas (analogi hukum) yang menghalangi untuk memasukkan masalah yang dikecualikan ke dalam kaidah:

Contohnya: orang yang bisu dan yang lidahnya terputus melakukan ihram untuk salat dengan hatinya dan tidak menggerakkan lisannya.

Begitu pula hukum membaca (al-Qur'an), zikir, dan takbir—dilakukan dengan hati tanpa menggerakkan lisan meskipun ia mampu; karena itu dianggap sebagai tindakan sia-sia yang tidak ditetapkan oleh syariat, seperti halnya bermain-main dengan anggota tubuh lainnya.

Ini adalah pendapat : para ulama Hanabilah, dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, serta disetujui oleh muridnya Ibnu Qayyim, yang menukil darinya bahwa ia berkata:

وَلَوْ قِيلَ: إِنَّ الصَّلَاةَ تَبْطُلُ بِذَلِكَ كَانَ أَقْرَبَ؛ لِأَنَّهُ عَبَثٌ يُنَافِي الْخُشُوعَ، وَزِيَادَةُ عَمَلٍ غَيْرُ مَشْرُوعٍ.

“Bahkan, seandainya dikatakan bahwa salat itu batal karena perbuatan tersebut, maka itu lebih dekat (kepada kebenaran); karena itu adalah perbuatan sia-sia yang bertentangan dengan kekhusyukan dan merupakan tambahan amalan yang tidak disyariatkan.”

[lihat: *Tufat al-Mawdūd* (hlm. 120), *al-Ikhtiyārāt al-Fiqhiyyah* (hlm. 55), *al-Iqnā’* (1/114), *Kashshāf al-Qinā’* (1/331), *at-Tanqīḥ al-Musybi‘* (hlm. 60), *al-Furū’* (2/164), dan *ar-Rauḍh al-Murbi‘* (2/227)].

Pendapat lain : menyatakan bahwa dia wajib menggerakkan lidah dan bibirnya ketika takbir dan semacamnya.

Ini adalah mazhab Syafi‘iyyah, dan disebutkan oleh kalangan Irakiyun di antara mereka bahwa ini adalah pendapat langsung dari Imam al-Syafi‘i.

Namun, Imam al-aramayn menganggapnya problematik, dan sebagian mereka menyatakan bahwa ini berlaku bagi orang yang sebelumnya mampu berbicara lalu tiba-tiba menjadi bisu, karena ia dalam keadaan tersebut seperti orang yang dapat berbicara tetapi suaranya tidak terdengar -ia tetap harus menggerakkan lisannya.

Adapun yang bisunya bawaan (sejak lahir), maka tidak wajib atasnya karena ia tidak mampu mengucapkan satu huruf pun sehingga tidak ada gunanya menggerakkan lidahnya.

Madzhab Hanabilah menyamakan hal ini dengan orang yang tidak mampu membaca surat al-Fātiah maupun zikir lainnya, maka dia wajib berdiri sejenak sesuai lamanya bacaan al-Fātiah, tanpa menggerakkan lisannya sebagaimana telah dijelaskan.

[Lihat: *al-Muhadzdzab* (1/70–71), *Syar al-Minhāj* karya al-Maallī (1/143), *al-Asybāh wa an-Nadẓā’ir* karya Ibnu as-Subkī (1/157), dan karya as-Suyūṭhī (hlm. 294), *al-Iqnā’* (1/117), *Kasysyāf al-Qinā’* (1/341), *al-Furū’* (1/178)].

Kelima: Terhalangnya suatu permasalahan dari masuk ke dalam kaidah karena adanya kaidah lain yang lebih relevan untuknya:

Contohnya: apabila seorang pemegang hak syuf‘ah/ الشَّفِيعُ (hak membeli bagian mitra dalam kepemilikan) tidak mampu membayar sebagian harga bagian mitranya (yang disebut “الشِّقْصُ” atau bagian syirkah), maka gugurlah hak syuf‘ahnya, dan dia tidak boleh mengambil sebagian bagian tersebut sebagai ganti dari sebagian harga yang ia miliki; karena mengambilnya tanpa membayar seluruh harga akan merugikan pembeli.

Dan terdapat kaidah lain yang berbunyi:

الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ

horor (bahaya atau kerugian) tidak bisa dihilangkan dengan dhoror serupa.”

[Lihat: *al-Tanqīḥ al-Musba‘* (hlm. 292), *Kashshāf al-Qinā’* (4/160), *al-Rau al-Murbi‘* (7/229), *al-Asybāh wa an-Nadẓā’ir* karya Ibnu as-Subkī (1/158), dan karya as-Suyūṭhī (hlm. 295), serta *Bulghat as-Sālik* (2/229)].

===***===

PEMBAHASAN KESEMBILAN: 
MENOLAK KERANCUAN DAN SYUBHAT TERHADAP KAIDAH:

Terkadang muncul kerancuan dan syubhat dalam penerapan kaidah ini yang dapat mengganggu pelaksanaannya atau bahkan membatalkannya. Di antaranya adalah:

Syubhat Ke 1. 

Bahwa kandungan kaidah *"apa yang tidak bisa diraih seluruhnya tidak ditinggalkan seluruhnya"* bertentangan dengan firman Allah Ta'ala:

(وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا)

"Apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kalian maka ambillah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Dan firman Allah:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ)

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 102)

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, yaitu dengan menjalankan semua perintah dan meninggalkan seluruh larangan, serta tetap teguh di atas itu hingga wafat.

[Lihat: *Tafsir Ibnu Sa‘di*, hlm. 141 dan Tafsir *Mafātīḥ al-Ghayb* 8/179].

Demikian pula, ayat pertama menunjukkan kewajiban mengikuti semua perintah Rasulullah secara mutlak, tanpa mengkhususkan hanya yang mampu saja.

[*At-Taʿyīn fī Syar al-Arbaʿīn* karya ath-Thufi, hlm. 111, dengan penyesuaian].

Jawaban atas syubhat pertentangan ini adalah sebagai berikut:

Kedua ayat tersebut telah dikaitkan (مُخَصَّصٌ) dengan firman Allah Ta’ala:

(فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (At-Taghabun: 16)

Karena takwa mencakup semua perintah, maka makna dari ayat pertama adalah:

وَما آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka lakukanlah darinya sebatas kemampuan kalian.”

Dan makna ayat kedua:

فَاتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, sebatas kemampuan kalian.”

  Kemudian datang sabda Rasulullah :

(مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ)

“Apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah darinya sebisanya.”

Ini sejalan dengan ayat yang mengkhususkan keumuman makna ayat tersebut, sebagaimana juga sabda beliau dalam hadis Jibril:

(وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا)

“Dan berhajilah ke Baitullah jika kamu mampu menempuh jalan ke sana.”

[Hadis diriwayatkan oleh Muslim (hadis pertama) dari Umar bin al-Khattab]

Hadis ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

(وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ)

“Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu menempuh jalan ke sana.” (Ali ‘Imran: 97)

[Lihat: *At-Taʿyīn fī Syar al-Arbaʿīn*, hlm. 111; *Tafsīr Ibn As-Samʿānī* 1/345; *Al-Jāmi‘ li Akām al-Qurʾān* 4/102]

Pendapat yang menyatakan adanya at-takhshis dan al-bayan lebih utama daripada pendapat yang mengatakan bahwa ayat (اتَّقُوا اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ) telah di-nasakh oleh ayat (فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ).”

Karena nasakh (penghapusan hukum) hanya dilakukan bila tidak memungkinkan untuk menggabungkannya (الجَمْعُ). Sedangkan dalam hal ini, penggabungan (الجَمْعُ) bisa dilakukan.

Jika maksud dari takwa dalam ayat tersebut adalah menjalankan perintah dan kewajiban, maka semua perintah dan kewajiban berlaku sesuai dengan kemampuan. Dengan demikian, kedua ayat saling mendukung.

[*Tafsīr Ibnu As-Samʿānī* 1/345, dengan penyesuaian; juga *Fatāwā Ibnu aṣh-Ṣhalāḥ*, hlm. 19–20].

Dan jika maksud dari takwa adalah meninggalkan maksiat, maka makna dari ayat (اتَّقُوا اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ) adalah menjauhi seluruh maksiat. Dan hal semacam ini tidak mungkin dinasakh, karena itu berarti membolehkan sebagian maksiat.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka makna dari kedua ayat tersebut menjadi satu; yaitu bahwa siapa yang bertakwa kepada Allah semampunya, maka ia telah bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya takwa.

Tidak mungkin firman-Nya: “(حَقَّ تُقَاتِهِ) dengan sebenar-benarnya takwa” dimaknai dengan arti takwa yang tidak mungkin dilakukan. Karena Allah sendiri telah mengabarkan bahwa Dia tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya, dan kesanggupan itu di bawah kadar kekuatan.

Yang semakna dengan ayat ini adalah firman Allah:

(وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ)

“Dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.” (Al-Hajj: 78)

[Lihat: *Mafātīḥ al-Ghayb* 8/177, dengan penyesuaian]

-----

Syubhat ke 2 : 

Hak-hak sesama manusia, apabila sebagian dapat ditunaikan dan sebagian lainnya tidak mampu ditunaikan, maka bagian yang tidak mampu itu tidak gugur. Jika ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh kelalaian dalam mengembalikannya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, dan hak orang yang bersangkutan akan diambil dari kebaikannya sebesar hak mereka. Namun jika ketidakmampuannya bukan karena kelalaian, maka hak tersebut tetap tidak akan diabaikan, berdasarkan hadits:

" الدَّوَاوِينُ ثَلَاثَةٌ ‌فَدِيوَانٌ ‌لَا ‌يَغْفِرُ ‌اللَّهُ ‌مِنْهُ ‌شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَغْفِرُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا فَالْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ} [النساء: 48] وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا قَطُّ فَظُلْمُ الْعَبْدِ نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا فَمَظَالِمُ الْعِبَادِ بَيْنَهُمُ الْقِصَاصُ لَا مَحَالَةَ «هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ»

Catatan-catatan amal ada tiga: catatan yang Allah tidak mengampuni sedikit pun darinya, catatan yang Allah tidak peduli terhadapnya sedikit pun, dan catatan yang Allah tidak akan membiarkan sedikit pun darinya.

Adapun catatan yang Allah tidak mengampuni sedikit pun darinya adalah kesyirikan kepada Allah 'azza wa jalla. Allah 'azza wa jalla berfirman: *“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki”* (An-Nisa: 48).

Adapun catatan yang Allah tidak peduli terhadapnya sedikit pun adalah kezaliman seorang hamba terhadap dirinya sendiri dalam urusan antara dia dan Rabb-nya.

Adapun catatan yang Allah tidak akan membiarkan sedikit pun darinya adalah kezaliman antar sesama hamba, di mana qishash pasti terjadi.

[Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Hakim 4/619 no. 8717. (lihat: *Faydul Qadir*, 3/552 dan *Mirqatul Mafatih*, 8/858).

Al-Hakim berkata : Hadits ini sanadnya shahih dan tidak diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim].

Sabda beliau “dan qishash pasti terjadi” maksudnya: “yaitu pasti akan dimintai pertanggungjawaban sehingga terjadi balasan yang setimpal antara sebagian mereka terhadap sebagian yang lain” (Faydul Qadir, 3/552).

Karena pentingnya hak-hak antar makhluk, menyebabkan hilangnya sebagian hak dianggap mewajibkan ganti rugi seluruhnya jika kerusakan tersebut merusak maksud utama dari barang yang dirusak.

Contohnya: jika seseorang merampas (غَصْبٌ) seorang budak milik orang lain, lalu budak tersebut melarikan diri, atau ia mengambil gandum lalu gandum tersebut terkena basah yang merusaknya, maka ia wajib mengganti meskipun nilai perbudakan masih ada pada kasus pertama (karena bisa dimerdekakan), dan nilai ekonominya masih ada pada kasus kedua. Namun tujuan utama telah hilang.

Di antara kaidah dalam kewajiban mengganti adalah:

إِذَا ذَهَبَ جُلُّ مَنْفَعَةِ الشَّيْءِ يُضْمَنُ الْجَمِيعُ

“Jika sebagian besar manfaat suatu benda telah hilang, maka seluruhnya wajib diganti.” (lihat: *Al-Furuq* karya Al-Qarafi, 4/30-31).

JAWABAN TERHADAP SYUBHAT :

Jawaban terhadap syubhat ini adalah bahwa kaidah “ما لا يُدرك كله لا يُترك جُلّه (apa yang tidak bisa diraih seluruhnya tidak ditinggalkan seluruhnya) berlaku pada kewajiban-kewajiban syar’i yang merupakan hak Allah , karena hak-hak Allah mengandung kelapangan dan kemurahan, sebagaimana firman Allah:

(إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki”. (An-Nisa’: 48, 116).

Berbeda halnya dengan hak-hak manusia, karena dasar hak-hak manusia adalah saling menuntut, mengingat kemiskinan dan kebutuhan mereka. Oleh karena itu, hak-hak ini tidak akan gugur kecuali dengan izin dari pemilik hak, yaitu sesama makhluk. Bahkan jika seseorang bertaubat sementara ia masih memiliki tanggungan hak orang lain, maka taubatnya belum sempurna kecuali dengan mengembalikan hak tersebut kepada pemiliknya atau mendapatkan keikhlasan darinya.

(Lihat: *Al-Furuq* karya Al-Qarafi, 3/174; *Kasyf Al-Qina’*, 4/108; *Riyadhus Shalihin* syarah Ibn ‘Utsaimin, 1/77).

Namun alasan yang dikemukakan tersebut tidak menghalangi untuk menerapkan kaidah ini pada sebagian hak-hak manusia, meskipun hak tersebut tetap bisa dituntut.

Contohnya : adalah harta seorang yang bangkrut, apabila tidak mencukupi seluruh utangnya, maka hartanya dibagi kepada para kreditur secara proporsional. Jika utangnya sepuluh ribu, sementara hartanya hanya lima ribu, maka setiap kreditur hanya menerima separuh dari haknya (lihat: *Ar-Raudh Al-Murbi’*, 6/528).

Demikian pula pada nafkah istri: jika suami tidak mampu memberikan nafkah lebih dari batas kemampuan minimalnya, maka istri hanya bisa menuntut sebatas kemampuan tersebut dan tidak memiliki hak untuk menuntut cerai, karena kelebihan dari batas minimum itu gugur akibat ketidakmampuan, dan kebutuhan tubuh manusia masih bisa tercukupi dengan nafkah di bawah standar itu (lihat: *Al-Mughni* karya Ibnu Qudamah, 11/362–363).

Selain itu, jika kerusakan terhadap suatu benda menyebabkan maksud utama dari benda tersebut menjadi batal, maka bagian yang rusak dianggap tidak ada sama sekali. Dengan demikian, hilangnya sebagian dianggap seperti hilangnya keseluruhan.

Contohnya: jika keadaan suatu benda berubah total, atau namanya sudah tidak sesuai, seperti sari buah yang berubah menjadi arak, atau cuka yang berubah menjadi sesuatu lain.

(Lihat: *Al-Muhadzdzab*, 1/370; *Al-Inshaf*, 6/195; *Ar-Raudh Al-Murbi’*, 7/236–237).

-----

Syubhat ke 3: 

Syariat Islam mencakup banyak permasalahan yang di dalamnya hukum mayoritas (yang lazim) dibatalkan dan justru yang langka (nadir) didahulukan, sebagaimana juga mencakup permasalahan lain di mana hukum mayoritas maupun hukum yang langka sama-sama dibatalkan. (Lihat: *al-Furūq*, karya al-Qarāfī, 4/104, 109).

Contoh pertama: mayoritas pakaian anak-anak kecil lazimnya terkena najis, apalagi jika dipakai dalam waktu lama, dan keadaan yang jarang adalah pakaian mereka bersih dari najis.

Namun telah sahih dari Nabi bahwa beliau pernah shalat sambil menggendong Umāmah binti Zainab binti Rasulullah (HR. al-Bukhārī no. 516 dan Muslim no. 543 dari Abū Qatādah al-Anṣhārī), maka hukum mayoritas dibatalkan dan yang langka ditetapkan, sebagai bentuk keringanan bagi umat.

(lihat: *al-Furūq*, 4/105; *al-I‘lām bi-Fawāid ‘Umdat al-Akām*, 3/156; *Fat al-Bārī*, 1/778).

Contoh lainnya : menuntut ilmu adalah perkara yang diperintahkan, meskipun mayoritas orang tidak ikhlas dalam menuntut ilmu. Maka seharusnya dilarang menuntut ilmu karena itu menjadi sarana riya’, sementara sarana kepada maksiat dihukumi maksiat pula. Namun syariat tidak menganggap hukum mayoritas ini, dan tetap menetapkan hukum bagi yang langka. (lihat: *al-Furūq*, 4/106–107).

Contoh kedua : kesaksian banyak wanita dalam perkara jinayat (pidana), mayoritasnya adalah benar dan yang jarang adalah dusta, terlebih jika mereka para wanita yang adil. Namun syariat membatalkan kejujuran mereka dan tidak menerimanya dalam perkara-perkara ini, sebagai bentuk kasih sayang terhadap terdakwa.

(Lihat: *al-Furūq*, 4/109; *Jāmi‘ al-Ummahāt*, hlm. 472; *al-Muhadzdzab*, 2/335; *al-Muarrar* karya Majd Ibnu Taimiyah, 2/312–313; *Mukhtaar al-Qodūrī*, hlm. 219).

Contoh lainnya: satu kali masa suci (‘quru’) dalam masa iddah, mayoritasnya menunjukkan kosongnya rahim dan yang langka adalah masih berisi. Namun syariat tidak menetapkan hukum berdasarkan salah satunya hingga bergabung dua masa suci berikutnya.

(Lihat: *al-Furūq*, 4/110; *Ma‘ālim as-Sunan* karya al-Khaṭhṭhābī, 1/17; *Fatul Bārī*, 1/341).

Contoh serupa: bersuci dengan batu dalam istijmār mungkin sah dengan satu batu saja, namun syariat menetapkan syarat minimal tiga batu, berdasarkan hadits dari Salmān al-Fārisī bahwa Nabi melarang kami untuk bersuci (istinja / cebok) dengan kurang dari tiga batu (HR. Muslim no. 262).

Maka dibatalkannya hukum mayoritas oleh syariat dalam berbagai masalah tersebut menunjukkan bahwa syariat tidak selalu memperhatikannya dalam penetapan hukum, yang membuktikan bahwa kaidah ini tidak selalu relevan.

Karena ketentuan bahwa sesuatu tidak boleh ditinggalkan justru ditujukan kepada sebagian perkara—yang ada atau mampu dikerjakan—sehingga mungkin termasuk dari perkara yang dibatalkan syariat, baik termasuk mayoritas atau yang langka.

Oleh karena itu, ada banyak contoh lain yang telah disebutkan sebelumnya. (lihat: pembahasan ke-8 tentang cabang-cabang yang dikecualikan dari kaidah, no. 10).

JAWABAN TERHADAP SYUBHAT INI :

Jawabannya adalah : bahwa apa yang disebut sebagai tidak tetapnya hukum berdasarkan yang mayoritas dalam syariat hanyalah klaim semata. Karena penetapan hukum berdasarkan mayoritas pada hakikatnya kembali kepada penerapan hukum berdasarkan dominasi dugaan kuat (غَلَبَةُ الظَّنِّ), sementara beramal dengan dugaan (الظَّنّ) merupakan keharusan dalam banyak hukum syariat, sebab dalil-dalil yang pasti (القَطْعِيُّ) lebih sedikit dibanding yang dzanni (dugaan).

Dan telah mutawatir dalil-dalil syariat yang menunjukkan kewajiban beramal dengan dugaan (الظَّنّ): dari Al-Qur’an, sunnah, ijma‘, darurat, dan bukti akal yang jelas.

(lihat: *Nadoriyyah at-Taqrīb wa at-Taghlīb* karya Dr. Amad ar-Raysūnī, hlm. 153–164; *al-Qawā’id* karya Ibnu Luḥām, 1/6–5).

Adapun keberadaan sebagian masalah furu‘iyah (cabang) di mana syariat membatalkan hukum yang berlaku secara mayoritas (ghālib), maka itu tergolong sedikit, bahkan langka, jika dibandingkan dengan jumlah masalah yang diputuskan oleh syariat berdasarkan hukum mayoritas.

Jumlah masalah yang sedikit seperti itu tidak berpengaruh dan tidak mengurangi ketetapan bahwa hukum berdasarkan mayoritas itu berlaku secara umum.

(Lihat: *al-Furūq* karya al-Qarāfī, hlm. 104; *Nadoriyyah at-Taq‘īid al-Fiqhī* karya Dr. Muammad ar-Ruukī, hlm. 41).

Kaedah ini, seperti kaedah-kaedah fikih lainnya, bersifat aghlabiyyah (berlaku dalam kebanyakan kasus), artinya: kaidah ini diterapkan pada sebagian besar perkara yang dicakup oleh lafaznya.

Hampir tidak ditemukan satu kaidah pun yang berlaku secara mutlak sebagaimana dituntut oleh keumuman lafaznya, melainkan selalu ada banyak pengecualian terhadap konsekuensinya. Bahkan sampai dikatakan bahwa di antara kaidah-kaidah fikih itu adalah:

عَدَمُ ٱطِّرَادِ ٱلْقَوَاعِدِ

“Tidak adanya kepastian mutlak dalam kaidah-kaidah”.

(Lihat: *al-Furūq*, hlm. 104; *Naariyyah at-Taq‘īd al-Fiqhī* karya Dr. Muammad ar-Rukkī, hlm. 41).

Sejumlah ulama telah memberi catatan dalam definisi mereka terhadap kaidah fikih bahwa sifatnya memang mayoritas atau dominan, di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh al-amawī dalam definisinya terhadap kaidah fikih:

حُكْمٌ أَكْثَرِيٌّ لَا كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى أَكْثَرِ جُزْئِيَّاتِهِ لِتُعْرَفَ أَحْكَامُهَا مِنْهُ

“Hukum yang bersifat mayoritas, bukan menyeluruh, yang berlaku pada sebagian besar cabang-cabang hukumnya, agar diketahui hukum-hukum cabang tersebut darinya” (lihat: *Ghamz ‘Uyūn al-Baṣho’ir*, 1/51).

====****==== 

RINGKASAN PENJELASAN KAIDAH

Di antara hasil paling menonjol yang tampak dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

* Kaidah

"مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ جُلُّهُ"

(apa yang tidak dapat diraih seluruhnya, tidak ditinggalkan sebagian besarnya).

Maknanya adalah : apabila tidak memungkinkan mendapatkan sesuatu secara sempurna, sementara seorang mukallaf masih mampu melakukan sebagian dari hal tersebut, maka wajib baginya melakukan apa yang masih dapat ia lakukan. Sebab, mewujudkan sesuatu pada sebagian individunya –selama masih memungkinkan– lebih utama daripada meniadakannya secara keseluruhan.

* Pentingnya kaidah ini tampak dari luasnya ruang penerapan kaidah ini; karena banyak sekali masalah dari berbagai bab yang termasuk dalam cakupannya, sebab kaidah ini berkaitan dengan perkara-perkara yang diperintahkan secara syariat, yang merupakan mayoritas dari beban kewajiban dalam syariat.

* Orang paling awal yang secara eksplisit menyebutkan kaidah ini diperkirakan adalah Al-‘Allamah Al-Mulla ‘Ali Al-Qari (w. 1014 H) dalam kitabnya *Mirqāt al-Mafātīḥ Syar Misykāt al-Maṣābīḥ*.

Walaupun kalimat ini sering terdengar di lisan para pelajar di masa ini, namun penulis belum menemukannya secara redaksi dalam kitab-kitab kaidah fikih, fikih, maupun ushul fikih. Namun, terdapat ucapan sebagian ulama yang mengandung makna kaidah ini, seperti perkataan Abu Thayyib Ash-Sho’luki (w. 404 H):

"إِذَا كَانَ رِضَا الْخَلْقِ مَعْسُورًا لَا يُدْرَكُ، كَانَ مَيْسُورُهُ لَا يُتْرَكُ"،

وقول الماوردي (ت ٤٥٠ هـ): ،

وقول الجويني (ت ٤٧٨ هـ): ،

ثم شاعت واشتهرت بعدهم بلفظ:

“Apabila keridaan manusia secara keseluruhan mustahil dicapai, maka yang mudah darinya tidak boleh ditinggalkan”.

Dan ucapan Al-Mawardi (w. 450 H):

"الْعَجْزُ عَنْ بَعْضِ الْوَاجِبَاتِ لَا يُسْقِطُ مَا بَقِيَ مِنْهَا"

“Ketidakmampuan terhadap sebagian kewajiban tidak menggugurkan sisanya.”

Serta ucapan Al-Juwaini (w. 478 H):

"الْمَقْدُورُ عَلَيْهِ لَا يَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَعْجُوزِ"

“Yang mampu dilakukan tidak gugur karena bagian yang tidak mampu dilakukan.”

Kemudian setelah mereka, kaidah ini menjadi masyhur dengan redaksi:

"الْمَيْسُورُ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُورِ".

 (Bagian yang mudah tidak gugur karena bagian yang susah).

* Terdapat banyak dalil umum dan khusus yang menetapkan kaidah ini, yang menunjukkan kebenaran maknanya dan kelayakannya untuk dijadikan dasar pengambilan hukum cabang.

* Jika suatu hukum hanya boleh berdasarkan dugaan kuat (donn) ketika keyakinan (yaqīn) tidak mungkin didapat, maka kaidah ini pun hanya diterapkan ketika keberadaan hukum secara sempurna tidak memungkinkan. Hal ini biasanya karena mukallaf menghadapi kesulitan yang membuatnya tidak mampu secara penuh, sementara para ulama telah menentukan bahwa kesulitan yang diperhitungkan dalam setiap ibadah adalah kesulitan minimal yang dianggap sah menurut syariat.

* Kemampuan mukallaf terhadap sebagian ibadah dan ketidakmampuannya terhadap sebagian yang lain terbagi menjadi enam bagian:

A]. Ketidakmampuan pada sebagian anggota badan; maka ia wajib melakukan yang ia mampu, dan yang tidak mampu gugur darinya.

B]. Jika yang mampu dilakukan bukan bagian tujuan ibadah, maka tidak wajib dilaksanakan.

C]. Jika yang mampu dilakukan merupakan bagian dari tujuan ibadah dan ia adalah hak harta, maka:

  * Jika itu hak Allah Ta'ala seperti zakat, maka ia tetap wajib dalam tanggungan setelah mukallaf mampu menunaikannya.

  * Jika itu wajib karena kafarat atau menyerupai ganti rugi seperti denda atas pembunuhan binatang buruan, maka bila tidak mampu menunaikannya, tetap wajibnya dalam tanggungan menjadi titik perbedaan pendapat.

  * Demikian pula darah dam (kurban pelanggaran dalam haji), berpindah ke puasa, dan jika ia tidak mampu berpuasa maka status kewajibannya dalam tanggungan pun diperselisihkan.

  * Adapun hak-hak manusia, jika ketidakmampuan terjadi karena kelalaian, maka akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat; namun bila tanpa kelalaian, maka status tetapnya dalam tanggungan perlu ditinjau ulang.

D]. Jika kewajiban itu muncul sebagai bagian dari ibadah yang lain:

  * Jika itu wajib hanya sebagai bentuk kehati-hatian, maka ada perbedaan pendapat dalam mewajibkannya.

  * Jika itu hanya sebagai pelengkap atau tambahan, maka tidak wajib, seperti orang yang luput dari wukuf di Arafah, maka ia tidak wajib mengerjakan amal-amal haji setelahnya, bahkan menurut pendapat yang sahih, ia bertahallul dengan umrah saja.

E]. Jika suatu bagian merupakan bagian dari ibadah namun tidak disyariatkan secara mandiri atau bukan sesuatu yang diperintahkan, maka tidak wajib secara sepakat.

F]. Jika suatu bagian adalah bagian dari ibadah dan juga merupakan ibadah yang disyariatkan secara mandiri, maka sebagian darinya wajib, sebagian tidak wajib, dan sebagian lagi diperselisihkan.

* Kaidah ini berkaitan dengan kaidah *"al-Maysūr lā yasquṭh bi al-Ma‘sūr"* karena keduanya menampakkan sisi kemudahan dan keringanan.

Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan kewajiban secara keseluruhan, maka kewajiban itu gugur darinya; namun jika ia masih mampu melakukan sebagian dan tidak mampu sebagian lainnya, maka ia tetap wajib melaksanakan yang ia mampu.

Meskipun kaidah *"al-Maysūr lā yasquṭh bi al-Ma‘sūr"* lebih dikenal dan lebih awal kemunculannya, tetapi kaidah *"mā lā yudrak kulluhu lā yutraku julluh"* lebih luas ruang penerapannya karena mencakup hal-hal yang wajib maupun yang tidak wajib, seperti yang bersifat sunnah dan mubah, bahkan juga mencakup perkara-perkara yang berstatus berita.

* Kaidah ini juga memiliki keterkaitan dengan kaidah-kaidah fikih lainnya: ada yang sejalan dalam makna dan petunjuknya, ada pula yang mendekatinya atau menyertainya dalam sebagian kandungan maknanya.

* Kaidah ini memiliki banyak aplikasi, karena ia berhubungan dengan perintah-perintah syariat, yang merupakan separuh dari hukum-hukum taklifi. Dalam aplikasinya, diperhatikan kemampuan mukallaf dan ditetapkan secara bertahap berdasarkan kesanggupan, dengan berpindah dari kondisi yang tidak mampu ke kondisi yang mampu.

* Terdapat beberapa cabang fikih yang tidak masuk dalam cakupan kaidah ini, karena ketika suatu hukum tidak mungkin diterapkan pada sebagian individu, maka menetapkannya pada sisanya juga tidak mungkin, sehingga menggugurkannya pada sebagian individu berarti menggugurkannya pada semua individu. Namun hal ini tidak mengurangi pentingnya kaidah ini dan tidak menyempitkan cakupannya, karena setiap kaidah pasti memiliki pengecualian.

* Ada beberapa syubhat yang dilontarkan terhadap penerapan kaidah ini, yang dapat melemahkan atau membatalkannya. Namun setelah diteliti, syubhat-syubhat tersebut dapat dijawab dan dibantah, sehingga tidak mempengaruhi kebenaran dan keberlakuan kaidah ini.

 

 

 

إرسال تعليق

0 تعليقات