Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

TAKHRIJ HADITS : “Orang Yang Paling Banyak Kenyang Di Dunia, Adalah Yang Paling Banyak Lapar Di Akhirat”.

TAKHRIJ HADITS : “Orang Yang Paling Banyak Kenyang Di Dunia, Adalah Yang Paling Banyak Lapar Di Akhirat”.

===

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----


------

DAFTAR ISI :

  • PEMBAHASAN PERTAMA : TAKHRIJ HADITS : “Orang Yang Paling Banyak Kenyang Di Dunia, Adalah Yang Paling Banyak Lapar Di Akhirat”.
  • ATSAR SEBAGIAN PARA SALAF:
  • HUKUM MENJAWAB ORANG BERSENDAWA DENGAN KATA “HANII’AN”.
  • PEMBAHASAN KEDUA : HUKUM MAKAN DAN MINUM HINGGA KENYANG:

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

===***===

PEMBAHASAN PERTAMA :
TAKHRIJ HADITS : “Orang Yang Paling Banyak Kenyang Di Dunia, Adalah Yang Paling Banyak Lapar Di Akhirat”.

---

Al-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak (4/121), dia berkata :

Telah mengabarkan kepada kami Makram bin Ahmad al-Qadhi, dari Ja’far bin Muhammad bin Syakir, dari Abu Rabi’ah Fahd bin ‘Auf, dari Fal bin Abī al-Fal al-Azdī, dari ‘Umar bin Mūsā, dari ‘Alī bin al-Aqmar, dari Abū Juayfah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَكَلْتُ ثَرِيدَةً مِنْ خُبْزِ بُرٍّ، وَلَحْمٍ، ثُمَّ أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ، فَجَعَلْتُ أَتَجَشَّأُ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟! كُفَّ عَنَّا جِشَاءَكَ، فَإِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا أَكْثَرُهُمْ فِي الْآخِرَةِ جُوعًا".

Aku memakan tsarid dari roti gandum dan daging berlemak, lalu aku mendatangi Nabi , kemudian aku mulai bersendawa. Maka beliau bersabda: “Apa ini?! Tahan sendawamu! Sesungguhnya orang yang paling banyak kenyang di dunia, adalah yang paling banyak lapar di akhirat.”

****

TAKHRIJ HADITS :

Hadits Abu Juhaifah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam *Al-Juu’* halaman 40 (no. 19), Al-Bazzar sebagaimana dalam *Kasyf al-Astar* (3669), Ath-Thabrani 22/132, Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* 4/121, dan Al-Baihaqi dalam *Syu'ab al-Iman* 5/26 melalui berbagai jalur darinya.

Hadits ini juga disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam at-Talkhīṣ (4/311) dalam Kitāb ar-Riqāq (كِتَابُ الرِّقَاقِ), dan ia menyebutkan bahwa al-Hakim mensahihkannya, lalu ia mengomentarinya dengan berkata:

فَهْدٌ كَذَّبَهُ ابْنُ الْمُدِينِيِّ

“Fahd dianggap pendusta oleh Ibnu al-Madini.”

Dan Adz-Dzahabi dalam at-Talkhish 4/121 berkata:

فِيهِ فَهْدُ بْنُ عَوْفٍ، قَالَ ابْنُ الْمُدِينِيِّ: كَذَّابٌ، وَعُمَرُ بْنُ مُوسَى وَهُوَ هَالِكٌ.

Dalam sanadnya terdapat Fahd bin ‘Auf, Ibnu al-Madini berkata: Pendusta (al-Mīzān, 3/366 no. 6784), dan ‘Umar bin Musa, ia adalah perawi yang binasa (sangat lemah).

[Lihat : Mukhtashar Talkhīṣ adz-Dzahabi, karya Ibnu al-Mulaqqin, 5/2605].

====

Dan hadits dari Abu Juhaifah memiliki tiga jalur periwayatan:

---

Jalur ke1 : Jalur ‘Ali bin al-Aqmar.

Yaitu jalur yang diriwayatkan oleh al-Hakim ini. Hadits ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Kabīr (22/132 no. 351) melalui jalur Fahd bin ‘Auf, dengan lafaz yang serupa.

Namun, ia menyebut: “dari ‘Ali bin Musa,” sebagai ganti dari “‘Umar bin Musa.”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam al-ilyah (7/256) melalui jalur lain dari ‘Ali bin al-Aqmar, dengan lafaz:

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ahmad, dari Ahmad bin Muhammad bin Dawud as-Sakkarī, dari Muhammad bin Khalid al-Hanafī, dari ‘Abdul Wahid bin Ziyād, dari Mas‘ar, dari ‘Ali bin al-Aqmar, dari Ibnu Abī Juayfah, dari ayahnya, lalu disebutkan isi haditsnya dengan lafaz serupa.

Kemudian Abu Nu‘aim berkata:

غَرِيبٌ مِّنْ حَدِيثِ مِسْعَرٍ، تَفَرَّدَ بِهِ مُحَمَّدُ بْنُ خَلِيدٍ، عَنْ عَبْدِ الْوَاحِدِ.

"Ini adalah hadits gharib dari jalur Mas‘ar, yang secara tunggal diriwayatkan oleh Muhammad bin Khalid dari ‘Abdul Wahid."

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tamām dalam Fawāid-nya –sebagaimana disebutkan dalam as-Silsilah a-aḥīḥah oleh al-Albani (1/4/63) dalam takhrij hadits no. 343– melalui jalur Abū Rabī‘ah Fahd bin ‘Auf, dari ‘Umar bin al-Fal, dari Ruqbah, dari ‘Ali bin al-Aqmar, dengan sanad yang sama.

Dan al-Albani menukil pada tempat yang sama bahwa Ibnu Qudāmah berkata dalam al-Muntaqab (10/194/1):

قَالَ مَهْنَا: سَأَلْتُ أَحْمَدَ وَيَحْيَى، قُلْتُ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ يَحْيَى، ثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَلِيٍّ بْنِ (الأَقْمَرِ)، (فَذَكَرَهُ)، فَقَالا: لَيْسَ بِصَحِيحٍ، قُلْتُ لِأَحْمَدَ: يَرْوَى مِنْ غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ؟ قَالَ: كَانَ عَمْرُو بْنُ مَرْزُوقٍ يُحْدِثُ بِهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ مَغُولٍ، عَنْ عَلِيٍّ بْنِ الأَقْمَرِ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، ثُمَّ تَرَكَهُ بَعْدُ، ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدُ، فَقَالَ: لَيْسَ بِصَحِيحٍ".

"Mahna berkata: Aku bertanya kepada Ahmad dan Yahya. Aku berkata: Abdul ‘Aziz bin Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Syarīk, dari ‘Ali bin al-Aqmar (lalu ia menyebut hadits ini). Maka keduanya berkata: 'Hadits ini tidak sahih.'

Aku berkata kepada Ahmad: 'Apakah hadits ini diriwayatkan dari jalur lain?'

Ia berkata: '‘Amr bin Marzūq meriwayatkannya dari Mālik bin Mighwal, dari ‘Ali bin al-Aqmar, dari Abū Juayfah.'

Lalu setelah itu ia meninggalkannya.

Kemudian aku bertanya lagi kepadanya, dan ia berkata: 'Itu tidak sahih.'"

Al-Albani berkomentar setelah itu:

"قُلْتُ: وَعَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ يَحْيَى هُوَ الْمَدَنِيُّ، كَذَّبَهُ إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ الْحَزَامِيُّ، وَقَالَ الْبُخَارِيُّ: يَضَعُ الْحَدِيثَ".

"Aku (Al-Albani) berkata: Dan Abdul ‘Aziz bin Yahya al-Madanī, didustakan oleh Ibrāhīm bin al-Mundzir al-izāmī, dan al-Bukhari berkata: 'Ia memalsukan hadits.'" [Selesai]

Saya (penulis) katakan:

Dan hadits dari ‘Amr bin Marzūq ini dinukil oleh Ibnu Abī Ḥātim bahwa ‘Amr meriwayatkannya dari jalur lain. Ia berkata dalam al-‘Ilal (2/123 no. 1861):

(سَمِعْتُ أَبِي، وَذَكَرَ حَدِيثًا كَانَ فِي كِتَابِ عَمْرِو بْنِ مَرْزُوقٍ، وَلَمْ يُحْدِثْ بِهِ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مَغُولٍ، عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: تَجَشَّأْتُ عِندَ النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ: "أَطْوَلُكُمْ شَبَعًا فِي الدُّنْيَا، أَطْوَلُكُمْ جُوعًا فِي الْآخِرَةِ".

فَسَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ: هَذَا حَدِيثٌ بَاطِلٌ، وَلَمْ يُبَلَّغْنِي أَنْ عَمْرُو بْنَ مَرْزُوقٍ حَدَّثَ بِهِ قَطٌّ.

"Aku mendengar ayahku, dan ia menyebutkan sebuah hadits yang terdapat dalam kitab ‘Amr bin Marzūq, dan ia tidak meriwayatkannya. Dari Mālik bin Mighwal, dari ‘Awn bin Abī Juayfah, dari ayahnya, ia berkata:

'Aku bersendawa di hadapan Nabi , maka beliau bersabda: "Orang yang paling lama kenyang di dunia, adalah orang yang paling lama lapar di akhirat."'

Aku mendengar ayahku berkata: 'Ini adalah hadits batil, dan tidak sampai kepadaku bahwa ‘Amr bin Marzūq pernah meriwayatkannya sama sekali.'"

Singkatnya : hadits Abu Juhayfah berdasarkan sanad riwayat al-Hakim ini adalah PALSU.  

----

Jalur ke 2 : Jalur Isḥāq bin Manṣūr :

Ishaq bin Manshur berkata : Telah bercerita kepada kami ʿAbd al-Salām bin arb, dari Abī Rajā’, dari Abī Juayfah, berkata:

تَجَشَّأْتُ عِندَ النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ: "مَا أَكَلْتَ يَا أَبَا جُحَيْفَةَ؟" فَقُلْتُ: خُبْزًا وَلَحْمًا، فَقَالَ: "إِنَّ أَطْوَلَ النَّاسِ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ شَبَعًا فِي الدُّنْيَا".

"Saya menguap di hadapan Nabi ," maka beliau berkata: "Apa yang kau makan, wahai Abū Juayfah?" Saya jawab: "Roti dan daging." Maka beliau bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling lapar pada hari kiamat adalah orang yang paling kenyang di dunia."

Hadits ini diriwayatkan oleh al-abarānī dalam al-Kabīr (22/126 no. 327) dengan sanad:

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan bin Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur, telah menceritakan kepada kami ‘Abdus Salam bin Harb, dari Abu Raja’, dari Abu Juhaifah, ia berkata: lalu disebutkan hadits ini, dan redaksi ini miliknya.

Dan al-Bazzār (4/258 no. 3670) melalui jalur al-ʿAbbās bin Jaʿfar, telah bercerita kepada kami Isḥāq bin Manṣūr, lalu disebutkan dengan redaksi yang serupa.

Sanad riwayat ini dinilai dho’if dan terputus oleh Adh-Dhiyaa’ Abu Ahmad al-A’dzomi dalam al-Jami’ al-Kamil 11/499. Adh-Dhiyaa’ berkata :

وَأَبُو رَجَاءٍ هُوَ: مُحْرِزُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْجَزَرِيُّ، وَفِيهِ انْقِطَاعٌ؛ لِأَنَّ أَبَا رَجَاءٍ لَمْ يُدْرِكْ أَبَا جُحَيْفَةَ، بَيْنَهُمَا رَجُلٌ آخَرُ مَجْهُولٌ.

كَمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي الشُّعَبِ (٥٢٥٤) بِإِسْنَادِهِ مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ السَّلَامِ، عَنْ مُحْرِزٍ أَبِي رَجَاءٍ، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ بِهِ مِثْلُهُ. وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ، لِأَنَّ أَبَا رَجَاءٍ مُحْرِزَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ مِنَ الطَّبَقَةِ السَّابِعَةِ، وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يُدْرِكَ أَبَا جُحَيْفَةَ.

Dan Abu Rajā’ adalah Muriz bin ‘Abdillāh al-Jazari, dalam sanad ini terdapat inqithā’ (keterputusan sanad); karena Abu Rajā’ tidak menjumpai Abu Juaifah, di antara keduanya terdapat seorang perawi yang majhul (tidak dikenal).

Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam *Syu’ab al-Imān* (5254) dengan sanadnya dari jalur ‘Abd as-Salām, dari Muriz Abu Rajā, dari seseorang yang menceritakan kepadanya, dari Abu Juaifah dengan lafaz yang serupa. Dan ini adalah yang benar, karena Abu Rajā’ Muriz bin ‘Abdillāh termasuk dari abaqah ketujuh, sehingga tidak mungkin ia menjumpai Abu Juaifah”. [SELESAI]

Sebelumnya, al-Mundzirī juga mengungkapkan hal yang sama, ia berkata dalam al-Targhīb (3/122) dan menyebutkan riwayat al-Ḥākim ini. Lalu al-Mundziri menyebutkan bahwa al-Ḥākim mensahihkannya, kemudian berkata:

"بَلْ وَاهٍ جِدًّا، فِيهِ فَهْدٌ بْنُ عُوفٍ، وَعُمَرُ بْنُ مُوسَى، لَكِنْ رَوَاهُ الْبَزَّارُ بِإِسْنَادَيْنِ رُوَاةُ أَحَدِهِمَا ثِقَاتٌ".

"Namun hadits ini sangat lemah, karena ada Fāhid bin ʿAwf dan ʿUmar bin Mūsā, namun al-Bazzār meriwayatkannya dengan dua sanad, yang salah satunya memiliki perawi yang terpercaya."

Saya katakan:

Maksudnya adalah riwayat ini, karena riwayat lainnya dalam sanadnya ada ʿUmar bin Mūsā, seperti yang akan datang penjelasannya.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam *al-Mu’jam Al-Awsath* (8/378 no. 8929) dengan sanad : Telah menceritakan kepada kami Al-Miqdam, telah menceritakan kepada kami Asad bin Musa, telah menceritakan kepada kami Ali bin Tsabit Al-Jazari, dari Al-Walid bin ‘Amru bin Saj, dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia berkata.

"أَكَلْتُ ‌ثَرِيدَةً ‌بِلَحْمٍ ‌سَمِينٍ، ‌فَأَتَيْتُ ‌رَسُولَ ‌اللَّهِ ﷺ وَأَنَا أَتَجَشَّأُ، فَقَالَ: «اكْفُفْ عَلَيْكَ جُشَاءَكَ أَبَا جُحَيْفَةَ، فَإِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ» فَمَا أَكَلَ أَبُو جُحَيْفَةَ مِلْءَ بَطْنِهِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا، كَانَ إِذَا تَغَدَّى لَا يَتَعَشَّى، وَإِذَا تَعَشَّى لَا يَتَغَدَّى".

"Aku makan tsarid dengan daging yang berlemak, lalu aku mendatangi Rasulullah dalam keadaan bersendawa, maka beliau bersabda:

'Tahan sendawamu dari kami, wahai Abu Juhaifah, karena sesungguhnya orang yang paling banyak kenyang di dunia adalah yang paling lama lapar pada hari kiamat.'"

Maka setelah itu Abu Juhaifah tidak pernah makan hingga kenyang sampai ia meninggal dunia. Jika ia makan siang, ia tidak makan malam; dan jika ia makan malam, ia tidak makan siang”.

Lalu ath-Thabarani berkata :

«لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَاجٍ إِلَّا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ الْجَزَرِيُّ»

“Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Al-Walid bin ‘Amru bin Saj selain Ali bin Tsabit Al-Jazari”.

Kritikan : Abul Fadhel ash-Shon’aani dalam Nuzhat al-Albaab Fii Qoul at-Tirmidzi wa Fil Baab 6/3251-3252 berkata:

وَلَمْ يُصِبْ فِيمَا قَالَهُ لِمَا يَأْتِي:

"وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي سَنَدِهِ عَلَى الْجَزَرِيِّ، فَقَالَ عَنْهُ أَسَدُ بْنُ مُوسَى وَأَبُو مُوسَى الْهَرَوِيُّ مَا سَبَقَ، خَالَفَهُمَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، إِذْ قَالَ عَنْهُ: عَنْ عُمَرَ بْنِ مُوسَى، عَنْ عَوْنٍ، عَنْ أَبِيهِ، كَمَا عِنْدَ الْبَزَّارِ.

وَعَلَى أَيِّ حَالٍ لَا تَصِحُّ الطُّرُقُ إِلَى عَوْنٍ، إِذْ عُمَرُ بْنُ مُوسَى إِنْ كَانَ الْوَجِيهِيَّ فَكَذَّابٌ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَهُ مِمَّنْ ذَكَرَهُمُ الْحَافِظُ فِي «اللِّسَانِ» فَإِمَّا ضَعِيفٌ أَوْ مَتْرُوكٌ، وَالْمُتَابِعُ لَهُ، وَهُوَ الْوَلِيدُ، عَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى ضَعْفِهِ".

“Dan apa yang dikatakan ath-Thabarani tidaklah tepat; karena berdasarkan penjelasan berikut ini:

Telah terjadi perbedaan pendapat dalam sanadnya dari Al-Jazari. Asad bin Musa dan Abu Musa Al-Harawi meriwayatkan darinya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, keduanya diselisihi oleh Al-Hasan bin ‘Arafah, yang meriwayatkan darinya dari ‘Umar bin Musa dari ‘Aun dari ayahnya, sebagaimana dalam riwayat Al-Bazzar.

Bagaimanapun, jalur-jalur riwayat kepada ‘Aun tidak sahih. Jika ‘Umar bin Musa yang dimaksud adalah Al-Wajihi, maka dia adalah pendusta. Dan jika yang dimaksud adalah selainnya dari orang-orang yang disebutkan oleh Al-Hafizh dalam kitab *Al-Lisan*, maka dia antara perawi yang lemah atau ditinggalkan. Adapun pengikutnya, yaitu Al-Walid, maka mayoritas ulama menganggapnya lemah”.

Sementara Al-Haytsamī dalam al-Majmaʿ (5/31 no. 7959) berkata:

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ وَالْكَبِيرِ بِأَسَانِيدِ، وَفِي أَحَدِ أَسَانِيدِ الْكَبِيرِ مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ الْكُوفِيُّ، وَلَمْ أَعْرِفْهُ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.

"Hadits ini diriwayatkan oleh al-abarānī dalam al-Awsat dan al-Kabīr dengan berbagai sanad, dan dalam salah satu sanad al-Kabīr ada Muammad bin Khālid al-Kūfī, saya tidak mengenalnya, namun sisa perawi lainnya adalah terpercaya."

Dan Al-Haytsamī juga (10/323 no. 18281) berkata:

" رَوَاهُ الْبَزَّارُ بِإِسْنَادَيْنِ، وَرِجَالُ أَحَدِهِمَا ثِقَاتٌ".

"Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzār dengan dua sanad. dan para perawi salah satu dari keduanya adalah para perawi terpercaya."

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abī al-Dunyā dalam kitab al-Juuʿ (hal. 27 no. 4) - seperti yang disebutkan sebelumnya dalam al-Targhīb oleh al-Mundzirī, dan dalam al-Silsilah al-aḥīḥah oleh al-Albānī (1/675)-, melalui jalur Abī Rajā, dari orang yang mendengar Abī Juayfah :

«أَقْصِرْ مِنْ جُشَائِكَ، فَإِنَّ أَطْوَلَ النَّاسِ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرَهُمْ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا»

قَالَ أَبُو جُحَيْفَةَ: فَمَا شَبِعْتُ مُنْذُ ثَلاَثِينَ سَنَةً.

“Kurangi sendawamu, karena sesungguhnya orang yang paling lama merasakan lapar pada hari kiamat adalah yang paling kenyang di dunia.”

Abī Juayfah berkata: "Saya tidak pernah kenyang sejak tiga puluh tahun."

Sanad ini lemah sekali.

Syeikh al-Albani dalam ash-Shahihah (1/675) berkata :

وَفِيهِ الرَّجُلُ الَّذِي لَمْ يُسَمَّ

“Dan di dalamnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya”.

DR. Humaid bin Ahmad Nu’aijaat dalam al-Aatsar al-Marwiyyah 1/82 no. 4 berkata:

إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ؛ لِإِبْهَامِ شَيْخِ أَبِي رَجَاءٍ.

Sanadnya lemah karena samar (tidak disebutkan) guru dari Abu Raja’.

Singkatnya : hadits Abu Juhayfah berdasarkan sanad riwayat ath-Thabarani, al-Bazzar dan Ibnu Abi ad-Dunya ini adalah lemah sekali.  

----

Jalur ke 3 - Jalur Ali bin Tsabit Al-Jazari:

Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam *al-Mu’jam Al-Awsath* (8/378 no. 8929) dengan sanad : Telah menceritakan kepada kami Al-Miqdam, telah menceritakan kepada kami Asad bin Musa, telah menceritakan kepada kami Ali bin Tsabit Al-Jazari, dari Al-Walid bin ‘Amru bin Saj, dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia berkata.

"أَكَلْتُ ‌ثَرِيدَةً ‌بِلَحْمٍ ‌سَمِينٍ، ‌فَأَتَيْتُ ‌رَسُولَ ‌اللَّهِ ﷺ وَأَنَا أَتَجَشَّأُ، فَقَالَ: «اكْفُفْ عَلَيْكَ جُشَاءَكَ أَبَا جُحَيْفَةَ، فَإِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ» فَمَا أَكَلَ أَبُو جُحَيْفَةَ مِلْءَ بَطْنِهِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا، كَانَ إِذَا تَغَدَّى لَا يَتَعَشَّى، وَإِذَا تَعَشَّى لَا يَتَغَدَّى".

"Aku makan tsarid dengan daging yang berlemak, lalu aku mendatangi Rasulullah dalam keadaan bersendawa, maka beliau bersabda:

'Tahan sendawamu dari kami, wahai Abu Juhaifah, karena sesungguhnya orang yang paling banyak kenyang di dunia adalah yang paling lama lapar pada hari kiamat.'"

Maka setelah itu Abu Juhaifah tidak pernah makan hingga kenyang sampai ia meninggal dunia. Jika ia makan siang, ia tidak makan malam; dan jika ia makan malam, ia tidak makan siang”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Kitab Al-Juu’ (40/19), Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kamil (7/2537), dan Ath-Thabarani dalam Al-Awsath, serta Al-Baihaqi dalam Kitab Al-Aadab (hal. 189 no. 462) dan Syu’ab al-Iman (7/443 no. 5256).

Dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab berkata :

وَكَذَلِكَ رَوَاهُ أَبُو مُوسَى الْهَرَوِيُّ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ ثَابِتٍ الْجَزَرِيِّ

“Demikian pula diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Harawi, dari Ali bin Tsabit Al-Jazari”.

Jalur ‘Aun ini adalah yang sebelumnya disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, yang diriwayatkan oleh ayahnya dari Malik bin Mughul, dari ‘Aun, dan disebutkan bahwa ayahnya menilai-nya dho’if (lemah).

Juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar (4/258 no. 3669):

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah, dari ‘Ali bin Tsabit, dari ‘Umar bin Musa, dari ‘Umar bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, lalu disebutkan hadits tersebut secara serupa.

Dalam sanad ini disebutkan bahwa perawi dari Abu Juhaifah adalah anaknya ‘Umar, dan darinya diriwayatkan oleh ‘Umar bin Musa. Ini adalah kekeliruan dalam sanad, dan kemungkinan besar sanad ini adalah sanad yang sama sebelumnya, karena sama-sama dari jalur ‘Ali bin Tsabit. Padahal Abu Juhaifah As-Suwa’i Wahb bin Abdillah tidak memiliki anak bernama ‘Umar. Anak beliau yang meriwayatkan darinya adalah ‘Aun, sebagaimana dalam Tahdzib Al-Kamal (3/1479). Dan tulisan antara ‘Aun dan ‘Umar mirip, kemungkinan ini adalah kesalahan salin.

Ath-Thabarani berkata :

«لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَاجٍ إِلَّا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ الْجَزَرِيُّ»

“Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Al-Walid bin ‘Amru bin Saj selain Ali bin Tsabit Al-Jazari”.

Tanggapan Dan Kritikan : Abul Fadhel ash-Shon’aani dalam Nuzhat al-Albaab Fii Qoul at-Tirmidzi wa Fil Baab 6/3251-3252 berkata:

وَلَمْ يُصِبْ فِيمَا قَالَهُ لِمَا يَأْتِي:

"وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي سَنَدِهِ عَلَى الْجَزَرِيِّ، فَقَالَ عَنْهُ أَسَدُ بْنُ مُوسَى وَأَبُو مُوسَى الْهَرَوِيُّ مَا سَبَقَ، خَالَفَهُمَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، إِذْ قَالَ عَنْهُ: عَنْ عُمَرَ بْنِ مُوسَى، عَنْ عَوْنٍ، عَنْ أَبِيهِ، كَمَا عِنْدَ الْبَزَّارِ.

وَعَلَى أَيِّ حَالٍ لَا تَصِحُّ الطُّرُقُ إِلَى عَوْنٍ، إِذْ عُمَرُ بْنُ مُوسَى إِنْ كَانَ الْوَجِيهِيَّ فَكَذَّابٌ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَهُ مِمَّنْ ذَكَرَهُمُ الْحَافِظُ فِي «اللِّسَانِ» فَإِمَّا ضَعِيفٌ أَوْ مَتْرُوكٌ، وَالْمُتَابِعُ لَهُ، وَهُوَ الْوَلِيدُ، عَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى ضَعْفِهِ".

“Dan apa yang dikatakan ath-Thabarani tidaklah tepat; karena berdasarkan penjelasan berikut ini:

Telah terjadi perbedaan pendapat dalam sanadnya dari Al-Jazari. Asad bin Musa dan Abu Musa Al-Harawi meriwayatkan darinya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, keduanya diselisihi oleh Al-Hasan bin ‘Arafah, yang meriwayatkan darinya dari ‘Umar bin Musa dari ‘Aun dari ayahnya, sebagaimana dalam riwayat Al-Bazzar.

Bagaimanapun, jalur-jalur riwayat kepada ‘Aun tidak sahih. Jika ‘Umar bin Musa yang dimaksud adalah Al-Wajihi, maka dia adalah pendusta. Dan jika yang dimaksud adalah selainnya dari orang-orang yang disebutkan oleh Al-Hafizh dalam kitab *Al-Lisan*, maka dia antara perawi yang lemah atau ditinggalkan. Adapun pengikutnya, yaitu Al-Walid, maka mayoritas ulama menganggapnya lemah”.

Singkatnya : hadits Abu Juhayfah berdasarkan sanad riwayat ini adalah dho’if.

====

RINGKASAN KAJIAN SANAD HADITS ABU JUHAIFAH:

Hadits ini disahihkan oleh Al-Hakim, namun dikritik oleh Adz-Dzahabi dengan ucapannya:

فَهْدٌ قَالَ ابْنُ الْمُدَيْنِيِّ: كَذَّابٌ، وَعُمَرُ هَالِكٌ.

"Fahd (bin ‘Auf), Ibnul Madini mengatakan: pendusta, dan ‘Umar (bin Musa) adalah orang yang binasa dalam periwayatan-nya."

Fahd ini adalah Fahd bin ‘Auf. Fahd adalah julukannya, sedangkan namanya adalah Zaid bin ‘Auf. Adz-Dzahabi berkata :

فِيهِ فَهْدُ بْنُ عَوْفٍ، تَرَكُوهُ.

Di dalamnya terdapat Fahd bin Auf, mereka meninggalkan periwayatannya. [Mukhtashar at-Talkhish 4/1915 no. 675].

Dan dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Musa bin Wajih Al-Wajihi. Adz-Dzahabi berkata :

فِيهِ عُمَرُ بْنُ مُوسَى الْوَجِيهِيُّ، وَهُوَ وَضَّاعٌ.

“Di dalam nya terdapat ‘Umar bin Musa Al-Wajihi, dia adalah pendusta pemalsu hadits”. [Mukhtashar at-Talkhish 3/1361 no. 548].

Adapun jalur lainnya dari ‘Ali bin Al-Aqmar yang diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Al-Hilyah, maka di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Khalid bin ‘Amr Al-Hanafi Al-Karmani, yang dhaif (lemah).

Ibnu Hibban berkata:

"يُقَلِّبُ الْأَخْبَارَ، وَيُسْنِدُ الْمَوْقُوفَ، لَا يَجُوزُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ إِذَا انْفَرَدَ"، وَضَعَّفَهُ ابْنُ مُنَدَةَ. اهـ.

“Ia membalikkan riwayat, dan meriwayatkan hadits mauquf seolah-olah marfu’, tidak boleh dijadikan hujjah jika sendirian. Ia juga dilemahkan oleh Ibnu Mandah”. [Lihat Al-Majruhin (2/302) dan Lisan Al-Mizan (5/158–159 no. 538)].

Adapun jalur lain yang diriwayatkan oleh Tamam dalam Fawaid-nya, adalah melalui Fahd bin ‘Auf dan telah dijelaskan keadaannya.

Adapun jalur kedua yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabarani, keduanya dari jalur Ishaq bin Manshur, dari ‘Abdussalam bin Harb, dari Abu Raja’, dari Abi Juhaifah – maka dalam sanadnya terdapat Abu Raja’, perawi dari Abu Juhaifah, dan saya tidak mengetahui siapa dia. Dan telah disebutkan riwayat Ibnu Abi Dunya yang di dalamnya terdapat tambahan seorang perawi majhul (tidak dikenal) antara Abu Raja’ dan Abu Juhaifah.

Adapun jalur ketiga yang diriwayatkan oleh ‘Aun bin Abi Juhaifah, maka dalam sanadnya terdapat Al-Walid bin Amr bin Saj Al-Harrani, ia dhaif, dan dilemahkan oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Ma‘in, An-Nasa’i, dan disebutkan dalam kitab Adh-Dhu‘afa’ oleh As-Saji, Al-‘Uqaili, Ya’qub bin Syaibah, Ya’qub bin Sufyan, Ibnu Al-Jarud, dan Ibnu Syahin.

[Lihat Al-Kamil karya Ibnu ‘Adiy (7/2536–2537), Al-Mizan (4/342 no. 9391), dan Lisan Al-Mizan (6/224–225 no. 794)].

Adapun riwayat Al-Bazzar untuk jalur ini yang menyebutkan ‘Umar bin Musa sebagai ganti Al-Walid bin Amr, maka ‘Umar bin Musa lebih buruk keadaannya dibandingkan Al-Walid bin Amr sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

KESIMPULAN HUKUM HADITS ABU JUHFAH:

Sanad hadits ini berdasarkan jalur sanad versi Al-Hakim adalah maudhu’ (PALSU); karena adanya ‘Umar bin Musa dan Fahd bin ‘Auf sebagaimana telah dijelaskan.

Sementara jalur-jalur sanad versi lainnya adalah dho’if, yaitu sanad versi Abu Nu‘aim dalam Al-Hilyah (jalur pertama), jalur kedua, dan jalur ketiga yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Tsabit, dari Al-Walid bin Amr, dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya.

Namun matan haditsnya ada kemungkinan layak dinilai hasan lighairihi (yakni baik, karena adanya beberapa jalur dan syahid penguat). Wallahu a’lam

===***===

RIWAYAT-RIWAYAT LAIN SEBAGAI SYAHID (PENGUAT) HADITS ABU JUHAIFAH :

Dan hadits ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar, Ibnu Amr, Ibnu Abbas, dan Salman Al-Farisi radhiyallahu 'anhum, serta syahid munqathi' yang diriwayatkan oleh Ayyub bin Utsman.

****

PERTAMA : HADITS IBNU UMAR radhiyallahu ‘anhuma:

Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Awsath 4/249 no. 4109 berkata :

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Sa‘id Ar-Razi, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Nafi‘ Abu Hajar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah An-Narmaqi, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Yahya Al-Bakka’ (الْبَكَّاءُ), ia berkata: aku mendengar Abdullah bin ‘Umar berkata.

تَجَشَّأَ رَجُلٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «كُفَّ جُشَاءَكَ، فَإِنَّ أَطْوَلَكُمْ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُكُمْ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Seorang lelaki bersendawa di hadapan Nabi , lalu beliau bersabda: "“Tahanlah sendawamu, karena sesungguhnya orang yang paling banyak kenyang di antara kalian di dunia adalah yang paling lama lapar pada hari kiamat.”

Lalu Ath-Thabarani berkata dalam al-Mu’jam al-Awsath 4/249 no. 4109:

«لَا يُرْوَى هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ إِلَّا بِهَذَا الْإِسْنَادِ، تَفَرَّدَ بِهِ عَبْدُ الْعَزِيزِ النَّرْمَقِيُّ».

“Hadits ini tidak diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar kecuali dengan sanad ini, dan hanya diriwayatkan secara tunggal oleh Abdul Aziz An-Narmaqi.”

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (7/181–182 no. 2596) dalam bab Sifat Hari Kiamat, dan ini lafazhnya.

Abu Isa Tirmidzy berkata :

«هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ» وَفِي البَابِ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ

Hadits ini hasan gharib dari jalur ini. Dan dalam bab ini juga terdapat (riwayat) dari Abu Juhaifah.

Dan juga oleh Ibnu Majah (2/1111 no. 3350) dengan makna serupa dalam Kitab Ath'imah, Bab Ekonomis dalam Makan dan dimakruhkannya makan Kenyang (الاِقْتِصَادِ فِي الأَكْلِ وَكَرَاهَةِ الشِّبَعِ).

Dan oleh Ibnu Abi Hatim dalam *Al-‘Ilal* (2/139 no. 1910) dengan makna serupa, dan ia menukil dari ayahnya bahwa ia berkata:

"هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ".

"Ini adalah hadits mungkar."

Dan Ibnu Abi Hatim dalam *Al-Jarh wat-Ta‘dil* (5/387) dalam biografi Abdul Aziz bin Abdullah, dia berkata:

«سَأَلْتُ أَبِي عَنْهُ؟ فَقَالَ: رَازِيٌّ مُنْكَرُ الْحَدِيثِ، رَوَى عَنْ يَحْيَى الْبَكَّاءِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، ثَلَاثَةُ أَحَادِيثَ أَوْ أَرْبَعَةٌ مُنْكَرَةٌ».

“Aku bertanya kepada ayahku tentangnya, maka ia berkata: Orang dari daerah Ray, haditsnya mungkar, ia meriwayatkan dari Yahya Al-Bakka’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi , tiga atau empat hadits yang mungkar.”

Ketiganya : melalui jalur 'Abdul Aziz bin 'Abdillah Al-Qurasyi, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Yahya Al-Bakka’, dari Ibnu Umar, dari Nabi .

'Abdul Aziz bin 'Abdillah Al-Qurasyi, Abu Yahya An-Narmaqi (النَّرْمَقِيِّ) adalah : perawi yang mungkar haditsnya.

Lihat *Al-Jarh wat-Ta'dil* (5/386–387 no. 1803), *At-Taqrib* (1/510 no. 1234), dan *At-Tahdzib* (6/346 no. 663).

Yahya bin Muslim Al-Bakka’, Al-Haddani adalah : dho’if.

Lihat *Al-Kamil* (7/2649–2650), *At-Taqrib* (2/358 no. 175), dan *At-Tahdzib* (11/278–279 no. 555).

Al-Albani menyebutkan hadits tersebut dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* 1/672 (343) dan mendha’ifkan dua perawi yang bernama Yahya dan Abdul Aziz Al-Qurasyi.

DR. Abu an-Nuur Muhammad al-Ahmadi berkata dalam Tahqiq Jami al-‘Ulum wal Hikam 3/1247 :

سَنَدُ الحَديثِ مُسَلْسَلٌ بِالضُّعَفَاءِ: مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ ضَعِيفٌ، وَشَيْخُهُ عَبْدُ العَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللهِ القُرَشِيُّ مُنْكَرُ الحَديثِ، وَشَيْخُهُ يَحْيَى البَكَّاءُ ضَعِيفٌ، لِذَا قَالَ أَبُو زُرْعَةَ كَمَا فِي "عِلَلِ ابْنِ أَبِي حَاتِمٍ" (1910): ((هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ)).

Sanad hadits ini terdiri dari rantaian para perawi yang lemah:

Muhammad bin Humaid ar-Razi adalah perawi yang lemah,

Gurunya yaitu Abdul Aziz bin Abdullah al-Qurasyi termasuk perawi yang mungkar haditsnya,

Dan gurunya lagi yaitu Yahya al-Bakka’ juga perawi yang lemah.

Oleh karena itu, Abu Zur’ah berkata sebagaimana dalam *‘Ilal Ibni Abi Hatim* (no. 1910): “Ini adalah hadits yang mungkar.” [SELESAI]

KESIMPULAN: Dengan demikian, sanad ini dha’if sekali.

====

KEDUA : HADITS IBNU ‘AMR radhiyallahu ‘anhuma:

Adapun hadits Ibnu Amr, maka lafazhnya mirip dengan lafaz hadits Ibnu Umar.

Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir 13/32 no. 68 berkata :

Telah menceritakan kepada kami Abu Yazid Al-Qarathisi, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Nu‘aim bin Hammad, ia berkata: telah menceritakan kepadaku Ibnu Al-Mubarak, dari Yahya bin Ayyub, dari Muhammad bin Muhammad, dari Abdurrahman bin Ziyad bin An‘am, dari Abu Abdurrahman Al-Hubuli, dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata:

تَجَشَّأَ رَجُلٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَقْصِرْ مِنْ جُشَائِكَ، ‌فَإِنَّ ‌أَطْوَلَ ‌النَّاسِ ‌جُوعًا ‌يَوْمَ ‌الْقِيَامَةِ ‌أَشْبَعُهُمْ ‌فِي ‌الدُّنْيَا»

Seorang laki-laki bersendawa di hadapan Nabi , maka beliau bersabda: “Kurangi sendawamu, karena sesungguhnya orang yang paling lama lapar pada hari kiamat adalah yang paling kenyang di dunia.”

Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam *Al-Majma’* (5/31 no. 7960), dan ia berkata:

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ عَنْ شَيْخِهِ مَسْعُودِ بْنِ مُحَمَّدٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ.

"Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dari gurunya, Mas’ud bin Muhammad, dan ia adalah perawi yang lemah."

KESIMPULAN-NYA : Hadits ini dho’if dengan sanad ini.

====

KETIGA : HADITS IBNU ‘ABBAS radhiyallahu 'anhuma :

Adapun hadits Ibnu Abbas secara marfu’, maka lafazhnya:

إِنَّ أَهْلَ الشِّبَعِ فِي الدُّنْيَا هُمْ أَهْلُ الْجَزَعِ فِي الْآخِرَةِ غَدًا.

"Sesungguhnya orang-orang yang kenyang di dunia adalah orang-orang yang gelisah di akhirat kelak."

Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam *Al-Kabir* (11/267 no. 11693).

Dan dari jalurnya, Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam *Al-Hilyah* (3/345–346), lalu berkata:

هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ فُضَيْلٍ وَمَنْصُورٍ وَعِكْرِمَةَ، لَمْ يَرْوِهُ عَنْ فُضَيْلٍ إِلَّا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ، وَفِيهِ مَقَالٌ.

"Ini adalah hadits gharib dari jalur Fudhail, Manshur, dan ‘Ikrimah. Tidak ada yang meriwayatkannya dari Fudhail kecuali Yahya bin Sulaiman, dan padanya terdapat pembicaraan."

Al-Haitsami berkata dalam *Al-Majma’* (10/251):

"فِيهِ يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ الحَفْرِيِّ، وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ عَلَيْهِ فِي أَوَّلِ هَذِهِ الْوَرَقَةِ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ".

"Di dalam sanadnya terdapat Yahya bin Sulaiman Al-Hafri. Telah disebutkan pembahasan tentangnya di awal halaman ini. Adapun perawi lainnya adalah tsiqah."

Ia juga telah membahas sanad ini dalam (10/249), saat mengomentari hadits dari Ibnu Mas’ud:

"رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ عَنْ شَيْخِهِ جَبْرُونِ بْنِ عِيسَى الْمَغْرِبِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سُلَيْمَانَ الحَفْرِيِّ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ، وَلَمْ أَعْرِفْ جَبْرُونَ، وَأَمَّا يَحْيَى فَقَدْ ذَكَرَ الذَّهَبِيُّ فِي *الْمِيزَانِ* فِي آخِرِ تَرْجَمَةِ يَحْيَى بْنِ سُلَيْمَانَ الجُعْفِيِّ: فَأَمَّا سَمِيُّهُ يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ الحَفْرِيِّ فَمَا عَلِمْتُ بِهِ بَأْسًا، ثُمَّ ذَكَرَ بَعْدَهُ يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ الْقُرَشِيَّ، قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ: فِيهِ مَقَالٌ، وَذَكَرَهُ (ابْنُ) الجَوْزِيِّ، فَإِنْ كَانَا اثْنَيْنِ فَالْحَفْرِيُّ ثِقَةٌ، وَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ عَلَىٰ شَرْطِ الْخُطْبَةِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ".

"Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dari gurunya Jabrun bin ‘Isa Al-Maghribi, dari Yahya bin Sulaiman Al-Hafri, dari Fudhail bin ‘Iyadh. Aku tidak mengetahui siapa Jabrun. Adapun Yahya, maka Adz-Dzahabi menyebutkan dalam *Al-Mizan*, pada akhir biografi Yahya bin Sulaiman Al-Ju’fi: 'Adapun yang bernama sama, Yahya bin Sulaiman Al-Hafri, aku tidak mengetahui ada masalah padanya.' Kemudian ia menyebut setelah itu Yahya bin Sulaiman Al-Qurasyi.

Abu Nu’aim berkata: 'Padanya terdapat perbincangan.'

Dan disebutkan oleh Ibnu Al-Jawzi. Jika keduanya berbeda, maka Al-Hafri adalah tsiqah, dan hadits ini shahih menurut syarat khutbah, wallahu a’lam." [SELESAI]

Aku katakan: Namun Ibnu Hajar lebih menguatkan bahwa keduanya adalah satu orang. Ia berkata dalam *Al-Lisan* (6/261):

أَنَا أَظُنُّهُ الَّذِي قَبْلَهُ.

"Aku kira ia adalah orang yang sebelumnya (yakni sama)."

Al-Mundziri berkata dalam *At-Targhib* (3/123):

"رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ".

"Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan sanad hasan."

Akan tetapi Al-‘Iraqi berkata dalam *Takhrij Ihya’* (3/80):

"رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَأَبُو نُعَيْمٍ مِنْ حَدِيثِ إِبْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ".

"Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Abu Nu’aim dari hadits Ibnu Abbas dengan sanad yang lemah."

KESIMPULAN-NYA : SANAD-NYA DHO’IF

====

KEEMPAT : HADITS SALMAN AL-FARISY radhiyallahu ‘anhu:

Adapun hadits Salman yang marfu’, maka lafazhnya:

إِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلَهُمْ جُوعًا يَوْمَ القِيَامَةِ

Sesungguhnya orang yang paling banyak kenyang di dunia adalah yang paling panjang laparnya pada hari kiamat.

Dan sanad ini adalah dha’if .

Hadits Salman diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam *Sunan*-nya (3351), Al-Bazzar dalam *Musnad*-nya 6/461, Abu Nu'aim dalam *Hilyah al-Awliya'* 1/198, Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* 3/604, dan Al-Baihaqi dalam *Syu'ab al-Iman* 5/27 melalui jalur Sa'id bin Muhammad Al-Warraq, dari Musa Al-Juhani, dari Zaid bin Wahb, dari 'Aiyyah bin 'Amir, dari Salman.

Al-Hakim berkata:

غَرِيبٌ صَحِيحٌ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ

“Hadits ini gharib namun sahih dan tidak diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.”

Namun Adz-Dzahabi mengomentarinya dengan mengatakan:

الْوَرَّاقُ تَرَكَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ

“Al-Warraq ditinggalkan oleh Ad-Daraquthni dan yang lainnya.”

Saya (penulis) katakan:

Dalam sanadnya terdapat Sa'id bin Muhammad ats-Tsaqafi yang lemah, dan 'Athiyyah bin 'Amir al-Juhani yang majhul (tidak dikenal).

Hadits ini memiliki jalur lain pada Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* 6/268–269 melalui Sa'id bin 'Anbasah, yang menurut Al-Mizzi dalam *Athraf*-nya setelah menyebutkan sanad hadits ini: “(Rawinya) lemah.”

Hadits ini dinilai cacat oleh Al-Bushairi dalam *Zawaid*-nya pada halaman 434–435 karena adanya Ibnu Al-Warraq.

Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij Sunan Ibnu Majah 4/450 no. 3351 berkata :

إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ جِدًّا، سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ ٱلثَّقَفِيُّ مُتَّفَقٌ عَلَى ضَعْفِهِ، وَقَالَ ٱلدَّارَقُطْنِيُّ: مَتْرُوكٌ. وَعَطِيَّةُ بْنُ عَامِرٍ ٱلْجُهَنِيُّ مَجْهُولٌ.

وَأَخْرَجَهُ ٱلْعُقَيْلِيُّ فِي "ٱلضُّعَفَاءِ" ٣/٣٦٠، وَٱلطَّبَرَانِيُّ فِي "ٱلْكَبِيرِ" (٦٠٨٧) وَ(٦١٨٣)، وَٱلْحَاكِمُ ٣/٦٠٤، وَأَبُو نُعَيْمٍ فِي "ٱلْحِلْيَةِ" ١/١٩٨ - ١٩٩، وَٱلْبَيْهَقِيُّ فِي "شُعَبِ ٱلْإِيمَانِ" (٥٦٤٥) مِنْ طَرِيقِ سَعِيدِ بْنِ مُحَمَّدٍ ٱلْوَرَّاقِ ٱلثَّقَفِيِّ، بِهَذَا ٱلْإِسْنَادِ. وَسَقَطَ فِي بَعْضِ أَسَانِيدِ هَؤُلَاءِ عَطِيَّةُ بْنُ عَامِرٍ ٱلْجُهَنِيُّ، وَلَا يَصِحُّ.

Sanadnya sangat lemah. Sa'id bin Muhammad ats-Tsaqafi disepakati kelemahannya, dan Ad-Daraquthni berkata: "Matruk (ditinggalkan haditsnya)." Sedangkan 'Athiyyah bin 'Amir al-Juhani adalah perawi yang majhul (tidak dikenal).

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-'Uqaili dalam *Adh-Dhu'afa’* 3/360, Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* (6087) dan (6183), Al-Hakim 3/604, Abu Nu'aim dalam *Hilyah al-Awliya’* 1/198–199, dan Al-Baihaqi dalam *Syu'ab al-Iman* (5645), melalui jalur Sa'id bin Muhammad Al-Warraq ats-Tsaqafi dengan sanad ini.

Dalam sebagian sanad yang disebutkan oleh mereka, 'Athiyyah bin 'Amir al-Juhani terjatuh (tidak disebutkan), dan hadits ini tidak sahih.

Dan DR. Abu an-Nuur Muhammad al-Ahmadi 3/1247 berkata :

فِي إِسْنَادِهِ سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الثَّقَفِيُّ ضَعِيفٌ، وَعَطِيَّةُ بْنُ عَامِرٍ الْجُهَنِيُّ مَجْهُولٌ.

Dalam sanadnya terdapat Sa'id bin Muhammad ats-Tsaqafi yang lemah, dan 'Athiyyah bin 'Amir al-Juhani yang tidak dikenal (majhul).

Abdul Qodir al-Arna’uth dalam Tahqiq Jami’ al-Ushul karya Ibnu al-Atsir 7/409 : “Isnadnya lemah”. Lalu dia berkata :

‌‌تَعْلِيقُ أَيْمَن صَالِح شَعْبَان (ط دَار الْكُتُبِ الْعِلْمِيَّةِ): ضَعِيفٌ

“Komentar Ayman Shalih Sha'ban (Penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah): ‘Hadits ini lemah”.

Dan Ibnu Abi Hatim dalam *al-‘Ilal* (2/139 no. 1910) meriwayatkannya dengan makna serupa, dan ia menukil dari ayahnya bahwa beliau berkata: "Ini adalah hadits munkar."

Dan hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* (4/121), lalu ia menshahihkannya menurut metodenya yang menggampangkan (التَّسَاهُلُ).

Namun hal itu ditolak dan dibantah oleh Adz-Dzahabi dalam *At-Talkhish* (4/121), ia berkata:

((فِيهِ فَهْدُ بْنُ عَوْنٍ كَذَّابٌ، وَعُمَرُ (وَهُوَ ابْنُ مُوسَى) هَالِكٌ))

“Di dalam sanadnya terdapat Fadhl bin ‘Aun, seorang pendusta, dan ‘Umar (yaitu Ibnu Musa), perawinya binasa (lemah sekali).”

Sebelumnya, Al-Mundziri juga telah membantah penilaian Al-Hakim ini dalam *At-Targhib wat-Tarhib* (3/137), ia berkata:

((بَلْ وَاهٍ جِدًّا، فِيهِ فَهْدُ بْنُ عَوْنٍ وَعُمَرُ بْنُ مُوسَى))

“Bahkan sanadnya sangat lemah, di dalamnya terdapat Fadhl bin ‘Aun dan ‘Umar bin Musa.”

===

KELIMA : SYAHID YANG TERPUTUS SANAD-NYA :

Adapun syahid yang munqathi’, maka diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dalam *Az-Zuhd* (hlm. 213 no. 604): Telah mengabarkan kepada kami Baiyyah bin Al-Walid, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Ayyub bin Utsman :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ سَمِعَ رَجُلًا يَتَجَشَّأُ، فَقَالَ: "أَقْصِرْ مِنْ جِشَائِكَ، فَإِنَّ أَطْوَلَ النَّاسِ جُوعًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا".

Bahwa Rasulullah mendengar seorang lelaki bersendawa, lalu beliau bersabda: "Kurangi sendawamu, karena orang yang paling lapar pada hari kiamat adalah orang yang paling kenyang di dunia."

Dan dari jalur Ibnu Mubarak, hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Baghawi dalam *Sharh As-Sunnah* (14/250 no. 4049), kemudian ia berkata:

"هَكَذَا رَوَاهُ إِبْنُ المُبَارَكِ مُنْقَطِعًا، وَيُرْوَى عَنْ يَحْيَى البَكَّاءِ، عَنْ إِبْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ، وَفِيهِ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ".

"Begitulah diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak secara munqathi’, dan diriwayatkan juga dari Yahya Al-Bakka’, dari Ibnu Umar dari Nabi , dan dalam riwayat ini ada juga dari Abu Juhaifah."

Saya katakan:

Ini adalah sanad yang sangat dha’if, karena terputusnya sanad di awalnya, dan karena ketidaktahuan tentang Ayyub bin Utsman ini di akhirnya.

Saya tidak menemukan orang yang menyebutkan namanya, kecuali bahwa Ath-Thusi menyebutkan dalam *Rijal Asy-Syi’ah* (hlm. 151 no. 171) bahwa ia termasuk sahabat Imam Ash-Shadiq: Ayyub bin Utsman Al-Kufi. [Lihat *Al-Lisan* (1/486 no. 1499)].

****

KESIMPULAN AKHIR TENTANG KESHAHIHAN HADITS :

Hadits ini dinyatakan sahih oleh Al-Albani berdasarkan keseluruhan jalur-jalurnya dalam *As-Silsilah Ash-Shahihah* (343). Untuk manfaat tambahan, lihat juga *As-Silsilah Ash-Shahihah* (3372).

===***===

ATSAR SEBAGIAN PARA SALAF

Wahb bin Kisan meriwayatkan dari Jabir, ia berkata:

لَقِيَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَمَعِي لَحْمٌ اشْتَرَيْتُهُ بِدِرْهَمٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، اشْتَرَيْتُهُ لِلصِّبْيَانِ وَالنِّسَاءِ؛ فَقَالَ عُمَرُ: لَا يَشْتَهِي أَحَدُكُمْ شَيْئًا إِلَّا وَقَعَ فِيهِ؟ أَوَلَا يَطْوِي أَحَدُكُمْ بَطْنَهُ لِجَارِهِ وَابْنِ عَمِّهِ؟ أَيْنَ تَذْهَبُ عَنْكُمْ هٰذِهِ الْآيَةُ: {أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا} [الْأَحْقَافِ: ٢٠].

Umar bin Al-Khattab menemuiku sementara aku membawa daging yang aku beli seharga satu dirham. Ia berkata, “Apa ini?”

Aku menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku membelinya untuk anak-anak dan para istri.”

Maka Umar berkata, “Apakah setiap kali salah seorang dari kalian menginginkan sesuatu, ia langsung menuruti keinginannya? Tidakkah salah seorang dari kalian menahan perutnya untuk tetangganya dan anak pamannya? Ke mana hilangnya ayat ini dari kalian:

﴿أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُم بِهَا﴾

"Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya.” (Al-Ahqaf: 20).

(Diriwayatkan oleh Malik dalam *Al-Muwaththa’*, hlm. 582, dari Yahya bin Sa‘id)

Hasyim berkata: dari Manshur, dari Ibnu Sirin:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِابْنِ عُمَرَ: اجْعَلْ جُوَارِشَنَا، قَالَ: وَمَا هُوَ؟ قَالَ: شَيْءٌ إِذَا كَظَّكَ الطَّعَامُ، فَأَصَبْتَ مِنْهُ سَهُلَ عَلَيْكَ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: مَا شَبِعْتُ مُنْذُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، وَمَا ذَاكَ إِلَّا أَكُونَ لَهُ وَاجِدًا، وَلَكِنِّي عَهِدْتُ قَوْمًا يَشْبَعُونَ مَرَّةً وَيَجُوعُونَ مَرَّةً.

Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Umar, “Bolehkah kami buatkan *juwarish* untukmu?” Ia berkata, “Apa itu?”

Dia menjawab, “Sesuatu yang jika kamu merasa sesak karena makanan, lalu kamu memakannya, maka akan terasa ringan bagimu.”

Maka Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku tidak pernah kenyang selama empat bulan, bukan karena aku tidak mampu, tetapi karena aku pernah bersama kaum yang kadang mereka kenyang dan kadang mereka lapar.”

(Diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam *Hilyatul Awliya’* 1/300)

Az-Zuhri berkata:

إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُطِيعٍ قَالَ لِصَفِيَّةَ تَلَطَّفْتِ: هٰذَا الشَّيْخُ؟ – يَعْنِي: ابْنَ عُمَرَ – قَالَتْ: قَدْ أَعْيَانِي أَلَّا يَأْكُلَ إِلَّا وَمَعَهُ آكِلٌ، فَلَوْ كَلَّمْتَهُ، [قَالَ: فَكَلَّمْتُهُ]، فَقَالَ: الآنَ يَأْمُرُنِي بِالشِّبَعِ وَلَمْ يَبْقَ مِنْ عُمُرِي إِلَّا ظِمْءُ حِمَارٍ، فَمَا شَبِعْتُ مِنْهُ ثَمَانِيَ سِنِينَ.

وَقَالَ مُجَاهِدٌ: لَوْ أَكَلْتُ كُلَّ مَا أَشْتَهِي، مَا سَوَّيْتُ حَشَفَةً.

وَقَالَ الْفُضَيْلُ: خَصْلَتَانِ يُقَسِّيَانِ الْقَلْبَ: كَثْرَةُ الْأَكْلِ وَالْكَلَامِ.

Sesungguhnya Abdullah bin Muthi‘ berkata kepada Shafiyyah dengan lembut, “Bagaimana dengan orang tua itu?” –maksudnya adalah Ibnu ‘Umar–

Ia menjawab, “Sungguh menyusahkan bagiku bahwa ia tidak mau makan kecuali ada orang lain yang makan bersamanya. Cobalah kau ajak bicara.”

Ia berkata: maka aku pun mengajaknya bicara], lalu ia berkata, “Sekarang ia menyuruhku untuk kenyang, padahal yang tersisa dari umurku hanyalah seperti hausnya keledai. Aku belum pernah kenyang selama delapan tahun.”(Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam *Al-Mushannaf* 11/312–313)

Mujahid berkata: “Seandainya aku makan semua yang aku inginkan, niscaya aku tidak akan bisa mengimbangi ukuran ujung zakar.”

Al-Fudhail berkata: “Dua hal yang mengeraskan hati: banyak makan dan banyak bicara.”

(Disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam *Tarikh Dimasyq* 48/415. Dan Lihat pula: *Syarh Ibnu Baththal* 9/483)

===***===

HUKUM MENJAWAB ORANG BERSENDAWA DENGAN KATA “HANII’AN”.

Syaikh Abdullah bin ‘Aqil ditanya:

اِجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِدِ نَتَذَاكَرُ، فَتَجَشَّأَ أَحَدُ الزُّمَلَاءِ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنَ الْحَاضِرِينَ: (هَنِيئًا)، فَأَنْكَرَ عَلَيْهِ آخَرُ، فَقَالَ لَهُ: إِنَّ هَذَا بِدْعَةٌ، كَمَا أَنْكَرَ عَلَى الْمُتَجَشِّئِ رَفْعَ الصَّوْتِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ الْبَشِعَةِ، وَلَكِنَّهُ لَمْ يَقْتَنِعْ، وَقَالَ: إِنَّهُ قَدْ سَمِعَ مِنْ بَعْضِ طَلَبَةِ الْعِلْمِ أَنَّ الْمُتَجَشِّئَ يُقَالُ لَهُ: هَنِيئًا، فَأَرْجُوكُمْ إِفَادَتَنَا عَنْ ذَلِكَ مَشْكُورِينَ؟

“Kami berkumpul di masjid untuk saling berdiskusi, lalu salah satu rekan kami bersendawa, maka salah seorang yang hadir berkata kepadanya: ‘Hanii’an’ (semoga nikmat), lalu ada orang lain yang mengingkarinya, dan berkata bahwa ucapan itu adalah bid’ah. Ia juga mengingkari orang yang bersendawa dengan suara keras yang menjijikkan. Akan tetapi, ia tidak menerima pengingkaran itu dan berkata bahwa ia mendengar dari sebagian penuntut ilmu bahwa orang yang bersendawa dikatakan kepadanya: ‘Hanii’an’. Maka kami mohon penjelasan dari Anda, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.”

“Jawaban:”

أَمَّا الْجُشَاءُ، فَقَدْ أَخْرَجَ التِّرْمِذِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ـ: أَنَّ رَجُلًا تَجَشَّأَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ: (كَفَّ عَنَّا جِشَاءَكَ؛ فَإِنَّ أَكْثَرَكُمْ شِبَعًا أَكْثَرَكُمْ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ). قَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ أَبِي طَالِبٍ: إِذَا تَجَشَّأَ الرَّجُلُ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ، فَلْيَرْفَعْ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى يَذْهَبَ الرِّيحُ، فَإِذَا لَمْ يَرْفَعْ رَأْسَهُ آذَى مَنْ حَوْلَهُ مِنْ رِيحِهِ. قَالَ: وَهَذَا مِنَ الأَدَبِ، وَقَالَ فِي رِوَايَةِ مَهْنَا: إِذَا تَجَشَّأَ الرَّجُلُ، فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَرْفَعَ وَجْهَهُ إِلَى فَوْقُ؛ لِكَيْ لَا يَخْرُجَ مِنْ فِيهِ رَائِحَةٌ يُؤْذِي بِهَا النَّاسَ. فَقَيَّدَ فِي الأُولَى بِكَوْنِهِ فِي الصَّلَاةِ، وَأَطْلَقَ فِي الثَّانِيَةِ، وَظَاهِرُ الْعِلَّةِ يَقْتَضِي حَيْثُ كَانَ ثَمَّ نَاسٌ، وَإِلَّا فَلَا يُطْلَبُ مِنْهُ رَفْعٌ، وَهَذَا ظَاهِرٌ.

وَأَمَّا إِجَابَةُ الْمُتَجَشِّئِ، فَقَالَ فِي الآدَابِ الْكُبْرَى: "وَلَا يُجِيبُ الْمُتَجَشِّئَ بِشَيْءٍ، فَإِنْ قَالَ، قِيلَ لَهُ: هَنِيئًا مَرِيئًا، أَوْ: هَنَّاكَ اللَّهُ وَأَمْرَاكَ. ذَكَرَهُ فِي الرِّعَايَةِ الْكُبْرَى وَابْنُ تَمِيمٍ، وَكَذَا ابْنُ عَقِيلٍ وَقَالَ: لَا نَعْرِفُ فِيهِ سُنَّةً، بَلْ هُوَ عَادَةٌ مَوْضُوعَةٌ. وَذَكَرَ مَعْنَاهُ فِي الإِقْنَاعِ وَشَرْحِهِ وَالْغَايَةِ وَشَرْحِهَا.

Adapun ‘sendawa’, maka telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan sanad ‘dhaif’ dari Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma-, bahwa ada seorang lelaki bersendawa di hadapan Rasulullah , lalu beliau bersabda kepadanya:

*“Tahanlah sendawamu dari kami, karena sesungguhnya orang yang paling banyak kenyang di antara kalian di dunia adalah orang yang paling lama lapar pada hari kiamat.”*

Imam Ahmad berkata dalam riwayat Abu Thalib:

Jika seseorang bersendawa dalam shalat, hendaknya ia menengadahkan kepalanya ke langit hingga angin (udara) itu hilang. Jika ia tidak mengangkat kepalanya, maka ia akan menyakiti orang-orang di sekitarnya dengan baunya.” Ia berkata: “Ini termasuk adab.”

Dan dalam riwayat Mihna, beliau berkata:

Jika seseorang bersendawa, maka hendaknya ia mengangkat wajahnya ke atas agar bau dari mulutnya tidak menyakiti orang lain.”

Dalam riwayat pertama disebutkan secara khusus jika dalam shalat, sedangkan dalam riwayat kedua disebutkan secara umum. Dan secara lahiriah, alasan pengangkatannya itu menunjukkan bahwa hal ini berlaku apabila ada orang lain di sekitarnya. Jika tidak ada orang, maka tidak disyariatkan mengangkat kepala, dan ini jelas.

Adapun **menjawab sendawa**, disebutkan dalam *Al-Adab Al-Kubra*:

Tidak dianjurkan menjawab orang yang bersendawa dengan ucapan apa pun. Jika ada yang mengatakan ‘hani’an’ (semoga nikmat), maka dijawab dengan ‘hani’an mari’an’ (semoga menjadi makanan yang nikmat dan menyenangkan), atau ‘hannakallahu wa amrāk’ (semoga Allah membuatmu bahagia dan menuruti keinginanmu). Hal ini disebutkan dalam *Ar-Ri’ayah Al-Kubra* dan oleh Ibnu Tamim, begitu pula oleh Ibnu ‘Aqil.”

Namun, Ibnu ‘Aqil berkata:

Kami tidak mengetahui adanya sunnah dalam hal ini. Bahkan, itu hanyalah adat/ kebiasaan yang diada-adakan.”

Maknanya juga disebutkan dalam *Al-Iqna’*, syarahnya, *Al-Ghāyah*, dan syarahnya pula.

**Selesai dari Fatawa Syaikh Ibnu ‘Aqil (2/214).**

Wallahu a‘lam.

===*****===

PEMBAHASAN KEDUA :
HUKUM MAKAN DAN MINUM HINGGA KENYANG:

Diperbolehkan makan hingga kenyang, dan makruh makan melebihi kenyang jika tidak menimbulkan mudarat. Tidak ada larangan dalam mengonsumsi lebih dari satu kali makan dalam sehari, dan hal itu sendiri tidak dianggap sebagai perbuatan berlebih-lebihan. Justru yang disebut berlebihan adalah makan melebihi kenyang, meskipun hanya dalam satu kali makan.

Adapun "kenyang" telah dijelaskan dalam kamus-kamus bahasa sebagai lawan dari lapar, dan kenyang dalam arti ini sangat jelas hukumnya boleh.

Syaikh Bin Baz rahimaullah berkata:

الأَحْسَنُ لَهُ عَدَمُ الشَّبَعِ الْكُلِّيِّ، وَلَكِنْ إِذَا شَبِعَ فَلَا بَأْسَ، وَلِهَذَا قَالَ ﷺ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: اشْرَبْ، فَشَرِبَ، ثُمَّ قَالَ: اشْرَبْ، فَشَرِبَ، ثُمَّ قَالَ: اشْرَبْ، فَشَرِبَ، ثُمَّ قَالَ: اشْرَبْ، قَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا أَجِدُ لَهُ مَسَاغًا. فَلَا بَأْسَ بِالشِّبَعِ، وَلَا بَأْسَ بِالرِّيِّ، وَلَكِنْ إِذَا تَرَكَهُ بَعْضَ الْأَحْيَانِ كَانَ أَصْلَحَ، مِثْلَمَا قَالَ ﷺ: بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ... يَعْنِي: لِلتَّقَوِّي عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ.

[ المَصْدَرُ : فَتَاوَى الدُّرُوسِ / حُكْمُ الشِّبَعِ وَالرِّيِّ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ]

"Yang lebih baik bagi seseorang adalah tidak kenyang secara penuh, namun jika ia kenyang, tidak mengapa.

Oleh karena itu Rasulullah berkata kepada Abu Hurairah: 'Minumlah.' Maka ia pun minum. Lalu beliau berkata: 'Minumlah.' Maka ia pun minum. Lalu beliau berkata lagi: 'Minumlah.' Maka ia pun minum. Kemudian beliau berkata: 'Minumlah.' Maka ia berkata: 'Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak mendapatkan ruang lagi untuk minum.'

Maka tidak mengapa kenyang, tidak mengapa pula merasa puas minum, namun jika ditinggalkan sesekali, itu lebih baik. Seperti sabda Rasulullah : 'Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya.

Jika ia harus makan lebih, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman...' maksudnya untuk menguatkan diri dalam menaati Allah."

 [Sumber : Fatawa Ad-Durus / Hukum Kenyang dan Puas Minum dari Makanan dan Minuman]**

Imam Bukhari membuat bab dalam kitab Shahih-nya:

"بَابُ مَنْ أَكَلَ حَتَّى شَبِعَ".

“Bab Orang yang Makan Hingga Kenyang”.

Beliau juga mencantumkan di dalamnya ucapan Aisyah radhiyallahu 'anha yang disebutkan diatas, yaitu:

تُوُفِّيَ النَّبِيُّ ﷺ حِينَ شَبِعْنَا مِنَ الأَسْوَدَيْنِ، التَّمْرِ وَالْمَاءِ

*Rasulullah wafat ketika kami telah kenyang dengan dua yang hitam, yaitu kurma dan air.*

Begitu pula Ibnu al-Mulaqqin dalam at-Tawdhiih Li Syarhi al-Jami’ ash-Shahih 26/105 menulis sebuah BAB :

باب مَنْ أَكَلَ حَتَّى شَبِعَ

**Bab tentang bolehnya orang yang makan sampai kenyang**

Dalam Shahihain (Shahih Bukhory no. 6688 dan Muslim no. 2040) disebutkan :

أَنَّ جَابِرًا -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- صَنَعَ طَعَامًا، فَدَعَا لَهُ النَّبِيُّ ﷺ أَهْلَ الْخَنْدَقِ، ثُمَّ قَالَ لِجَابِرٍ: ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ، فَأَذِنَ لَهُمْ، فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا.. الحَدِيثُ.

bahwa Jabir radhiyallahu 'anhu membuat makanan, lalu Nabi mengundang para ahli Khandaq. Kemudian beliau berkata kepada Jabir: "Izinkan sepuluh orang masuk," maka ia pun mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang... (sampai akhir hadits).

Dan dalam Shahih al-Bukhari no. 6452 disebutkan :

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَعْطَى أَبَا هُرَيْرَةَ لَبَنًا، فَشَرِبَ، فَمَا زَالَ يَقُولُ: اشْرَبْ، حَتَّى قَالَ لَهُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا

bahwa Nabi memberikan susu kepada Abu Hurairah, lalu ia pun meminumnya. Nabi terus berkata, "Minumlah," hingga Abu Hurairah berkata, "Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menemukan lagi jalan untuk susu itu (sudah kenyang dan sudah tidak ada ruang dalam perut-nya)."

Dan Al-Imam Bukhori dalam Shahih nya 7/140 berkata:

قَالَ النَّبِيُّ ﷺ كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ.

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ اثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ

Nabi bersabda: "Makan dan minumlah kalian, dan kenakanlah (pakaian) serta bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan kesombongan."

Ibnu Abbas berkata: "Makanlah apa yang engkau mau, kenakanlah pakaian yang engkau mau. Tidak ada yang membuatmu bersalah kecuali dua : berlebihan (boros) atau kesombongan ".

Adapun kenyang yang melebihi batas kebiasaan: maka hukumnya makruh secara syar’i, dan tercela secara tabiat, selama tidak menimbulkan bahaya (madhorot). Namun jika menimbulkan bahaya, maka hukumnya haram.

Dalam kitab Neilul Ma’aarib Syarah Dalil ath-Tholib 2/209, Abdul Qodir at-Taghliby asy-Syaibani al-Hanbali berkata :

(وَ) يُكْرَهُ (أَكْلُهُ كَثِيرًا بِحَيْثُ يُؤْذِيهِ) ‌وَيَجُوزُ ‌بِحَيْثُ ‌لَا ‌يُؤْذِيهِ. قَالَ فِي الإِقْنَاعِ: وَمَعَ خَوْفِ أَذًى وَتُخْمَةٍ يَحْرُمُ. اِنْتَهَى.

*"Dimakruhkan makan terlalu banyak hingga membahayakan kesehatan-nya, dan dibolehkan selama tidak membahayakan kesehatan-nya."*

Dalam *al-Iqna'* disebutkan: "Jika dikhawatirkan menimbulkan bahaya (madhorot) atau menyebabkan kekenyangan yang membahayakan kesehatan, maka hukumnya haram."

Dalam al-Mawsu‘ah al-Fiqhiyyah (25/332) dikatakan :

"مِنْ آدَابِ الْأَكْلِ: الِاعْتِدَالُ فِي الطَّعَامِ، وَعَدَمُ مَلْءِ الْبَطْنِ، وَأَكْثَرُ مَا يَسُوغُ فِي ذَلِكَ أَنْ يَجْعَلَ الْمُسْلِمُ بَطْنَهُ أَثْلَاثًا: ثُلُثًا لِلطَّعَامِ، وَثُلُثًا لِلشَّرَابِ، وَثُلُثًا لِلنَّفَسِ؛ لِحَدِيثِ: (مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ، فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ).

وَلِاعْتِدَالِ الْجَسَدِ وَخِفَّتِهِ؛ لِأَنَّهُ يَتَرَتَّبُ عَلَى الشِّبَعِ ثِقَلُ الْبَدَنِ، وَهُوَ يُورِثُ الْكَسَلَ عَنِ الْعِبَادَةِ وَالْعَمَلِ.

وَيُعْرَفُ الثُّلُثُ بِالِاقْتِصَارِ عَلَى ثُلُثِ مَا كَانَ يُشْبِعُ بِهِ. وَقِيلَ: يُعْرَفُ بِالِاقْتِصَارِ عَلَى نِصْفِ الْمُدِّ، وَاسْتَظْهَرَ النَّفْرَاوِيُّ الْأَوَّلَ لِاخْتِلَافِ النَّاسِ. وَهَذَا كُلُّهُ فِي حَقِّ مَنْ لَا يُضْعِفُهُ قِلَّةُ الشِّبَعِ، وَإِلَّا فَالْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِ اسْتِعْمَالُ مَا يَحْصُلُ لَهُ بِهِ النَّشَاطُ لِلْعِبَادَةِ، وَاعْتِدَالُ الْبَدَنِ.

"Termasuk adab makan adalah bersikap pertengahan dalam makanan dan tidak memenuhi perut. Yang paling dibolehkan dalam hal ini adalah seorang Muslim membagi perutnya menjadi tiga bagian: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas. Berdasarkan hadis:

(Tidak ada wadah yang lebih buruk diisi oleh anak Adam selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika ia tidak bisa tidak, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya).

Tujuan dari pertengahan ini adalah agar tubuh tetap ringan, karena kekenyangan menyebabkan badan menjadi berat, yang pada gilirannya menimbulkan rasa malas untuk beribadah dan bekerja.

Ukuran sepertiga ini diketahui dengan membatasi makan hanya sepertiga dari apa yang biasa membuatnya kenyang. Ada pula yang mengatakan: cukup dengan setengah mud (takaran). Pendapat pertama lebih kuat menurut an-Nafrawi, karena perbedaan kondisi tiap orang.

Semua ini berlaku bagi orang yang tidak menjadi lemah karena kurang kenyang. Jika ternyata sedikit makan membuatnya lemah, maka yang lebih utama baginya adalah makan secukupnya untuk membangkitkan semangat dalam ibadah dan menjaga kestabilan tubuh." [Lihat pula : al-Ādāb asy-Syar‘iyyah 3/199].

Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah:

الْأَكْلُ عَلَى مَرَاتِبَ:

فَرْضٌ: وَهُوَ مَا يُنْدَفِعُ بِهِ الْهَلَاكُ، فَإِنْ تَرَكَ الْأَكْلَ وَالشُّرْبَ حَتَّى هَلَكَ فَقَدْ عَصَى.

وَمَأْجُورٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ مَا زَادَ عَلَيْهِ لِيَتَمَكَّنَ مِنَ الصَّلَاةِ قَائِمًا، وَيَسْهُلَ عَلَيْهِ الصَّوْمُ.

وَمُبَاحٌ، وَهُوَ مَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ إِلَى الشِّبَعِ لِتَزْدَادَ قُوَّةُ الْبَدَنِ، وَلَا أَجْرَ فِيهِ وَلَا وِزْرَ، وَيُحَاسَبُ عَلَيْهِ حِسَابًا يَسِيرًا إِنْ كَانَ مِنْ حَلٍّ.

وَحَرَامٌ، وَهُوَ الْأَكْلُ فَوْقَ الشِّبَعِ إِلَّا إِذَا قَصَدَ بِهِ التَّقَوِّيَ عَلَى صَوْمِ الْغَدِ، أَوْ لِئَلَّا يَسْتَحِيَ الضَّيْفُ، فَلَا بَأْسَ بِأَكْلِهِ فَوْقَ الشِّبَعِ.

Makan memiliki beberapa tingkatan:

* Wajib, yaitu makan yang dapat mencegah kebinasaan. Jika seseorang tidak makan dan minum hingga binasa, maka ia berdosa.

* Mendapat pahala, yaitu makan lebih dari itu agar bisa shalat dengan berdiri dan lebih mudah menjalankan puasa.

* Mubah, yaitu makan sampai kenyang agar tubuh menjadi kuat. Tidak ada pahala maupun dosa dalam hal ini, namun akan diperhitungkan secara ringan di akhirat jika makanan tersebut berasal dari yang halal.

* Haram, yaitu makan melebihi kenyang, kecuali jika dimaksudkan untuk menguatkan diri dalam puasa esok hari atau agar tamu tidak merasa malu, maka tidak mengapa makan lebih dari kenyang.

[al-Fatāwā al-Hindiyyah 5/336. Dan lihat pula: al-Ādāb asy-Syar‘iyyah karya Ibnu Mufli 3/210]

Ibnu al-Hajj berkata:

الْأَكْلُ فِي نَفْسِهِ عَلَى مَرَاتِبَ: وَاجِبٌ، وَمَنْدُوبٌ، وَمُبَاحٌ، وَمَكْرُوهٌ، وَمُحَرَّمٌ.

فَالْوَاجِبُ: مَا يُقِيمُ بِهِ صُلْبَهُ لِأَدَاءِ فَرْضِ رَبِّهِ؛ لِأَنَّ مَا لَا يُتَوَصَّلُ إِلَى الْوَاجِبِ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.

وَالْمَنْدُوبُ: مَا يُعِينُهُ عَلَى تَحْصِيلِ النَّوَافِلِ، وَعَلَى تَعَلُّمِ الْعِلْمِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الطَّاعَاتِ.

وَالْمُبَاحُ: الشِّبَعُ الشَّرْعِيُّ.

وَالْمَكْرُوهُ: مَا زَادَ عَلَى الشِّبَعِ قَلِيلًا وَلَمْ يَتَضَرَّرْ بِهِ.

وَالْمُحَرَّمُ: الْبَطْنَةُ، وَهُوَ الْأَكْلُ الْكَثِيرُ الْمُضِرُّ لِلْبَدَنِ.

Makan itu sendiri terbagi menjadi beberapa tingkatan: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.

* Wajib, yaitu makan yang dengannya seseorang dapat menegakkan badannya untuk melaksanakan kewajiban dari Rabb-nya. Karena sesuatu yang menjadi sarana untuk melaksanakan kewajiban, maka hukumnya juga wajib.

* Sunnah, yaitu makan yang dapat membantunya dalam menjalankan amalan sunnah, menuntut ilmu, dan berbagai ketaatan lainnya.

* Mubah, yaitu kenyang yang dibolehkan secara syar‘i.

* Makruh, yaitu makan yang melebihi kenyang sedikit namun tidak sampai membahayakan tubuh.

* Haram, yaitu al-batnah, yakni makan berlebihan yang membahayakan tubuh. [al-Madkhal 1/212].

An-Nawawi berkata:

يُكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنَ الطَّعَامِ الْحَلَالِ فَوْقَ شِبَعِهِ.

"Dimakruhkan makan dari makanan halal melebihi rasa kenyang." [Rawhatu ath-hālibīn 3/291]

Madzhab Hanbali mengatakan:

يَجُوزُ أَكْلُهُ كَثِيرًا بِحَيْثُ لَا يُؤْذِيهِ، وَفِي الْغُنْيَةِ: يُكْرَهُ مَعَ خَوْفِ تُخْمَةٍ. وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ تَيْمِيَّةَ كَرَاهَةُ الْأَكْلِ الْمُؤَدِّي إِلَى التُّخْمَةِ، كَمَا نُقِلَ عَنْهُ تَحْرِيمُهُ."

"Diperbolehkan makan dalam jumlah banyak selama tidak membahayakan tubuhnya."

Dalam kitab al-Ghunyah disebutkan: “Dimakruhkan makan jika dikhawatirkan menyebabkan kekenyangan berlebihan (tukhmah).”

Juga dinukil dari Ibnu Taimiyyah bahwa beliau memakruhkan makan yang menyebabkan tukhmah, bahkan dalam riwayat lain beliau mengharamkannya”.

[Baca : Al-Ādāb al-Syarʿiyyah 3/199, al-Furūʿ 5/302 dan al-Mawsu‘ah al-Fiqhiyyah (25/332)]

*****

RINCIAN DALIL BOLEH MAKAN HINGGA KENYANG

BERIKUT INI DALIL-DALILNYA :

===

DALIL PERTAMA : Hadits Riwayat Bukhory no. 6688 dan Muslim no. 2040]

Telah menceritakan kepada kami Isma'il, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ishaq bin 'Abdillah bin Abu Thalhah, bahwa ia mendengar Anas bin Malik berkata:

قَالَ أَبُو طَلْحَةَ لأُمِّ سُلَيْمٍ: لَقَدْ سَمِعْتُ صَوْتَ رَسُولِ اللهِ ﷺ ضَعِيفًا أَعْرِفُ فِيهِ الْجُوعَ، فَهَلْ عِنْدَكِ مِنْ شَيْءٍ؟ فَأَخْرَجَتْ أَقْرَاصًا مِنْ شَعِيرٍ، ثُمَّ أَخْرَجَتْ خِمَارًا لَهَا فَلَفَّتِ الْخُبْزَ بِبَعْضِهِ، ثُمَّ دَسَّتْهُ تَحْتَ ثَوْبِي وَرَدَّتْنِي بِبَعْضِهِ، ثُمَّ أَرْسَلَتْنِي إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ. قَالَ: فَذَهَبْتُ بِهِ فَوَجَدْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ فِي الْمَسْجِدِ وَمَعَهُ النَّاسُ، فَقُمْتُ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ ﷺ: «أَرْسَلَكَ أَبُو طَلْحَةَ؟». فَقُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: «بِطَعَامٍ؟». قَالَ: فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ لِمَنْ مَعَهُ: «قُومُوا». فَانْطَلَقَ وَانْطَلَقْتُ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ حَتَّى جِئْتُ أَبَا طَلْحَةَ، فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: يَا أُمَّ سُلَيْمٍ، قَدْ جَاءَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِالنَّاسِ، وَلَيْسَ عِنْدَنَا مِنَ الطَّعَامِ مَا نُطْعِمُهُمْ. فَقَالَتِ اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَانْطَلَقَ أَبُو طَلْحَةَ حَتَّى لَقِيَ رَسُولَ اللهِ ﷺ، فَأَقْبَلَ أَبُو طَلْحَةَ وَرَسُولُ اللهِ ﷺ حَتَّى دَخَلَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «هَلُمِّى يَا أُمَّ سُلَيْمٍ مَا عِنْدَكِ». فَأَتَتْ بِذَلِكَ الْخُبْزِ، فَأَمَرَ بِهِ فَفُتَّ، وَعَصَرَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ عُكَّةً لَهَا فَأَدَمَتْهُ، ثُمَّ قَالَ فِيهِ رَسُولُ اللهِ ﷺ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُولَ، ثُمَّ قَالَ: «ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ». فَأَذِنَ لَهُمْ، فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا، ثُمَّ خَرَجُوا، ثُمَّ قَالَ: «ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ». فَأَذِنَ لَهُمْ، فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا، ثُمَّ خَرَجُوا، ثُمَّ قَالَ: «ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ». فَأَذِنَ لَهُمْ فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا، ثُمَّ خَرَجُوا، ثُمَّ أَذِنَ لِعَشَرَةٍ، فَأَكَلَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ وَشَبِعُوا، وَالْقَوْمُ ثَمَانُونَ رَجُلاً.

Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim: "Sungguh aku telah mendengar suara Rasulullah yang lemah, yang aku tahu itu karena lapar. Apakah engkau punya sesuatu (untuk dimakan)?"

Maka Ummu Sulaim mengeluarkan beberapa potong roti dari gandum, kemudian ia mengeluarkan kerudungnya dan membungkus roti itu dengan sebagian kerudungnya, lalu ia menyembunyikannya di bawah pakaianku dan menutupiku dengan bagian kerudung lainnya. Setelah itu ia menyuruhku pergi menemui Rasulullah .

Anas berkata: Maka aku pun pergi, dan aku mendapati Rasulullah berada di masjid bersama orang-orang. Aku berdiri di dekat mereka. Rasulullah bersabda kepadaku: "Apakah Abu Thalhah yang mengutusmu?" Aku menjawab: "Ya." Beliau bertanya lagi: "Dengan membawa makanan?" Aku menjawab: "Ya." Maka Rasulullah bersabda kepada orang-orang yang bersamanya: "Berdirilah kalian!"

Lalu beliau pergi dan aku berjalan di depan mereka sampai aku menemui Abu Thalhah. Abu Thalhah berkata: "Wahai Ummu Sulaim, Rasulullah datang bersama orang-orang, padahal kita tidak memiliki makanan yang cukup untuk menjamu mereka." Ummu Sulaim berkata: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu."

Lalu Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah , kemudian ia kembali bersama beliau hingga masuk ke rumah. Rasulullah bersabda: "Kemarilah, wahai Ummu Sulaim, dengan apa yang ada padamu." Maka Ummu Sulaim membawa roti tersebut. Rasulullah memerintahkannya untuk meremukkan roti itu, lalu Ummu Sulaim memeras wadah minyak saminnya dan mencampurkannya dengan roti tersebut sebagai lauk.

Kemudian Rasulullah mengucapkan doa atasnya sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah, lalu beliau bersabda: "Izinkan sepuluh orang masuk." Maka diizinkan bagi mereka, dan mereka makan hingga kenyang, lalu keluar. Kemudian beliau bersabda: "Izinkan sepuluh orang lagi." Maka diizinkan bagi mereka, dan mereka pun makan hingga kenyang, lalu keluar. Kemudian beliau bersabda: "Izinkan sepuluh orang lagi." Maka diizinkan bagi mereka, dan mereka pun makan hingga kenyang, lalu keluar. Kemudian beliau mengizinkan sepuluh orang lagi, dan semua orang pun makan hingga kenyang. Jumlah mereka adalah delapan puluh orang.

Ibnu al-Mulaqqin dalam at-Tawdhiih Li Syarhi al-Jami’ ash-Shahih 26/109 :

وَفِيهِ: بَرَكَةُ الثَّرِيدِ وَجَوَازُ الْأَكْلِ حَتَّى يَشْبَعَ، وَهُوَ مَا عُقِدَ لَهُ الْبَابُ، وَأَنَّ الشِّبَعَ مُبَاحٌ، وَكَذَا فِي حَدِيثِ عَبْدِ الرَّحْمَٰنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ وَعَائِشَةَ الْآَتِيَيْنِ جَوَازُ الشِّبَعِ أَيْضًا وَإِنْ كَانَ تَرْكُ الشِّبَعِ فِي بَعْضِ الْأَحَايِينِ أَفْضَلَ...

Di dalamnya terdapat keberkahan pada makanan *tsarid* dan bolehnya makan hingga kenyang, dan inilah yang menjadi inti pembahasan bab tersebut, serta bahwa kenyang itu hukumnya mubah. Demikian pula dalam hadits Abdurrahman bin Abi Bakar dan Aisyah yang akan datang disebutkan bolehnya kenyang juga, meskipun meninggalkan kenyang pada sebagian keadaan itu lebih utama...

Makna Perkataan Abu Thalhah -radhiyallahu ‘anhu-:

لَقَدْ سَمِعْتُ صَوْتَ رَسُولِ اللهِ ﷺ ضَعِيفًا أَعْرِفُ فِيهِ الْجُوعَ

"Sungguh saya mendengar suara Rasulullah lemah, saya tahu bahwa itu karena lapar."

Seakan-akan Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu tidak mendengar suara yang biasanya mengandung keindahan saat beliau berbicara, sehingga hal ini diartikan sebagai tanda lapar berdasarkan situasi yang sedang mereka alami.

Ini juga menanggapi klaim Ibnu Hibban yang menyatakan bahwa Nabi tidak pernah merasa lapar, yang didasarkan pada hadits:

«أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي»

"Aku tidur dalam keadaan diberi makan dan diberi minum oleh Tuhanku." [HR. Bukhori no. 1966 dan Muslim no. 1103].

Penafsiran yang benar adalah bahwa beliau kadang-kadang merasa lapar untuk meneladani sahabat-sahabatnya, terutama mereka yang tidak memiliki bekal dan merasakan penderitaan karena lapar, sehingga mereka dapat bersabar dan mendapat ganjaran yang berlipat.

Al-Imam Ath-Thobari berkata :

الشِّبَع ‌وَإِن ‌كَانَ ‌مُبَاحا ‌فَإِن ‌لَهُ ‌حدا ‌يَنْتَهِي ‌إِلَيْهِ، وَمَا زَاد على ذَلِك سرف، وَالْمُطلق مِنْهُ مَا أعَان الْأكل على طَاعَة ربه، وَلم يشْغلهُ ثقله عَن أَدَاء مَا وَجب عَلَيْهِ

Meskipun kenyang itu dibolehkan, ada batasannya, dan jika melebihi batas tersebut, maka itu termasuk pemborosan. Kenyang yang dibolehkan adalah yang membantu seseorang untuk taat kepada Tuhannya, tanpa memberatkannya sehingga ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban dengan baik. [Lihat : Syarah Bukhory karya Ibnu Baththal 9/465, Fahul Bari karya Ibnu Hajar 9/528 dan Umdatul Qory karya Badruddi al-Aini 21/33].

Di dalamnya juga ada dalil yang menunjukkan kebolehan untuk kenyang, dan larangan tentangnya dimaknai sebagai larangan terhadap kenyang yang memberatkan perut, yang menghalangi seseorang untuk beribadah, yang membawa kepada kesombongan, kelalaian, tidur, dan malas. Jika dampak dari kenyang tersebut menyebabkan kerusakan lebih besar, maka kebenciannya bisa beralih menjadi haram.

Al-Karmani, mengikuti Ibn al-Munir, menyatakan :

أنَّ الشِّبَعَ المذكورَ مَحمولٌ على شِبَعِهِمُ المُعتادِ منهم، وهو أنَّ الثُّلُثَ للطَّعامِ، والثُّلُثَ للشَّرابِ، والثُّلُثَ للنَّفَسِ، ويَحتاجُ في دَعْوَى أنَّ تِلكَ عِبادتَهم إلى نَقلٍ خاصٍّ.

Bahwa kenyang yang disebutkan tersebut merujuk pada kebiasaan mereka, yaitu sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernapas. Namun, untuk mengklaim bahwa itu adalah cara beribadah mereka, perlu ada penjelasan yang lebih rinci. [Lihat: *Imta' al-Asma'* karya Taqiyuddin al-Muqraizy 5/166].

====

DALIL KEDUA : Hadits Shahih Bukhori no. 2216 dan Shahih Muslim no. 2056:

Telah menceritakan kepada kami Musa, telah menceritakan kepada kami Mu‘tamir dari ayahnya, ia berkata: Dan Abu ‘Utsman juga meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Bakar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ ثَلَاثِينَ وَمِائَةً، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «هَلْ مَعَ أَحَدٍ مِنْكُمْ طَعَامٌ؟». فَإِذَا مَعَ رَجُلٍ صَاعٌ مِنْ طَعَامٍ أَوْ نَحْوُهُ، فَعُجِنَ، ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ مُشْرِكٌ مُشْعَانٌّ طَوِيلٌ بِغَنَمٍ يَسُوقُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "أَبَيْعٌ أَمْ عَطِيَّةٌ؟ " أَوْ قَالَ: "هِبَةٌ". قَالَ: لَا، بَلْ بَيْعٌ. قَالَ: فَاشْتَرَى مِنْهُ شَاةً فَصُنِعَتْ فَأَمَرَ نَبِيُّ اللهِ ﷺ بِسَوَادِ الْبَطْنِ يُشْوَى، وَايْمُ اللهِ مَا مِنَ الثَّلَاثِينَ وَمِائَةٍ إِلَاّ قَدْ حَزَّ لَهُ حُزَّةً مِنْ سَوَادِ بَطْنِهَا، إِنْ كَانَ شَاهِدًا أَعْطَاهَا إِيَّاهُ، وَإِنْ كَانَ غَائِبًا خَبَأَهَا لَهُ، ثُمَّ جَعَلَ فِيهَا قَصْعَتَيْنِ، فَأَكَلْنَا أَجْمَعُونَ وَشَبِعْنَا، وَفَضَلَ فِي الْقَصْعَتَيْنِ، فَحَمَلْتُهُ على الْبَعِيرِ. أَوْ كَمَا قَالَ

Kami bersama Nabi berjumlah seratus tiga puluh orang. Maka Nabi bersabda: “Apakah ada di antara kalian yang memiliki makanan?”

Maka ternyata ada seorang laki-laki yang memiliki satu sha‘ makanan atau semisalnya, lalu makanan itu diuleni.

Kemudian datang seorang musyrik, tinggi besar dan kasar, menggiring kambing.

Nabi bersabda: “Apakah ini untuk dijual atau pemberian?” atau beliau bersabda: “Ataukah hibah?”

Ia menjawab: “Tidak, tetapi untuk dijual.” Maka beliau membeli darinya seekor kambing, lalu kambing itu dimasak. Nabi memerintahkan agar bagian perutnya yang berlemak dipanggang.

Demi Allah, tidak seorang pun dari seratus tiga puluh orang itu melainkan beliau memberikan padanya sepotong dari bagian perut itu. Jika orang itu hadir, beliau memberikannya; jika tidak hadir, beliau menyimpankannya untuknya.

Kemudian Nabi meletakkan makanan itu dalam dua nampan besar.

**Kami semua pun makan hingga kenyang**, dan masih tersisa di kedua nampan itu. Maka aku membawanya di atas unta.

Atau sebagaimana yang dikatakan.

Dalil ke tiga : Shahih al-Bukhari no. 5383; Muslim no. 2975.

Rasulullah wafat dalam keadaan kenyang .

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata :

تُوُفِّيَ النَّبِيُّ ﷺ حِينَ شَبِعْنَا مِنَ الأَسْوَدَيْنِ، التَّمْرِ وَالْمَاءِ

*Rasulullah wafat ketika kami telah merasa kenyang dengan dua yang hitam, yaitu kurma dan air.*

[Shahih al-Bukhari no. 5383; Muslim no. 2975; Fath al-Bari 9/527].

Imam Bukhari membuat bab dalam kitab Shahih-nya:

"بَابُ مَنْ أَكَلَ حَتَّى شَبِعَ".

“Bab Orang yang Makan Hingga Kenyang”.

Beliau juga mencantumkan di dalamnya ucapan Aisyah radhiyallahu 'anha yang disebutkan diatas, yaitu:

تُوُفِّيَ النَّبِيُّ ﷺ حِينَ شَبِعْنَا مِنَ الأَسْوَدَيْنِ، التَّمْرِ وَالْمَاءِ

*Rasulullah wafat ketika kami telah kenyang dengan dua yang hitam, yaitu kurma dan air.*

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

قَالَ اِبْن بَطَّالٍ : فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث جَوَاز الشِّبَع وَأَنَّ تَرْكه أَحْيَانَا أَفْضَل ...

قَالَ الطَّبَرِيُّ : غَيْر أَنَّ الشِّبَع وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا فَإِنَّ لَهُ حَدًّا يَنْتَهِي إِلَيْهِ , وَمَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَهُوَ سَرَف ; وَالْمُطْلَق مِنْهُ مَا أَعَانَ الْآكِل عَلَى طَاعَة رَبّه وَلَمْ يَشْغَلهُ ثِقَله عَنْ أَدَاء مَا وَجَبَ عَلَيْهِ ا هـ ...

قَالَ الْقُرْطُبِيّ فِي الْمُفْهِم لِمَا ذَكَرَ قِصَّة أَبِي الْهَيْثَم إِذْ ذَبَحَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِصَاحِبَيْهِ الشَّاة فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا : وَفِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز الشِّبَع ، وَمَا جَاءَ مِنْ النَّهْي عَنْهُ مَحْمُول عَلَى الشِّبَع الَّذِي يُثْقِل الْمَعِدَة وَيُثَبِّط صَاحِبه عَنْ الْقِيَام لِلْعِبَادَةِ وَيُفْضِي إِلَى الْبَطَر وَالْأَشَرّ وَالنَّوْم وَالْكَسَل ، وَقَدْ تَنْتَهِي كَرَاهَته إِلَى التَّحْرِيم بِحَسَبِ مَا يَتَرَتَّب عَلَيْهِ مِنْ الْمَفْسَدَة " انتهى

*Ibnu Baththal berkata: Dalam hadits-hadits ini terdapat dalil bolehnya kenyang, dan bahwa meninggalkannya pada beberapa keadaan itu lebih utama...*

*At-Thabari berkata: Hanya saja kenyang, meskipun hukumnya mubah, memiliki batas yang tidak boleh dilampaui. Apa yang melampaui batas tersebut adalah sikap berlebih-lebihan. Yang diperbolehkan darinya adalah apa yang membantu orang yang makan dalam ketaatan kepada Rabb-nya dan tidak menyibukkannya karena beratnya tubuh dari menunaikan kewajiban.*

*Al-Qurthubi berkata dalam kitab *Al-Mufhim*, ketika menyebutkan kisah Abu al-Haitsam yang menyembelih kambing untuk Nabi dan kedua sahabatnya, lalu mereka makan hingga kenyang: Dalam kisah itu terdapat dalil bolehnya kenyang, dan bahwa larangan yang datang berkaitan dengannya ditujukan kepada kenyang yang memberatkan lambung, melemahkan pemiliknya dari bangkit untuk ibadah, dan menyebabkan sifat sombong, berlebih-lebihan, banyak tidur, dan malas. Bahkan bisa sampai pada hukum haram tergantung kerusakan yang ditimbulkan oleh hal itu.*

[Selesai kutipan dari *Fathul Bari* (9/528)].

====

DALIL KEEMPAT : Hadits Bukhori no. 6452 dan Tirmidzy no. 2477 :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata :

"مَرَّ أَبُو القَاسِمِ ﷺ فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي وَقَالَ: «أَبَا هُرَيْرَةَ» قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ‍ قَالَ: «الحَقْ»، وَمَضَى فَاتَّبَعْتُهُ وَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَاسْتَأْذَنْتُ فَأَذِنَ لِي فَوَجَدَ قَدَحًا مِنْ لَبَنٍ فَقَالَ: «مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ لَكُمْ»؟ قِيلَ: أَهْدَاهُ لَنَا فُلَانٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «أَبَا هُرَيْرَةَ» قُلْتُ: لَبَّيْكَ. فَقَالَ: «الحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ»، وَهُمْ أَضْيَافُ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ عَلَى أَهْلٍ وَمَالٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ فَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا، فَسَاءَنِي ذَلِكَ وَقُلْتُ: مَا هَذَا القَدَحُ بَيْنَ أَهْلِ الصُّفَّةِ وَأَنَا رَسُولُهُ إِلَيْهِمْ فَسَيَأْمُرُنِي أَنْ أُدِيرَهُ عَلَيْهِمْ فَمَا عَسَى أَنْ يُصِيبَنِي مِنْهُ وَقَدْ كُنْتُ أَرْجُو أَنْ أُصِيبَ مِنْهُ مَا يُغْنِينِي وَلَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ، فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَيْهِ فَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ فَقَالَ: «أَبَا هُرَيْرَةَ، خُذِ القَدَحَ وَأَعْطِهِمْ» فَأَخَذْتُ القَدَحَ فَجَعَلْتُ أُنَاوِلُهُ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى، ثُمَّ يَرُدُّهُ فَأُنَاوِلُهُ الآخَرَ حَتَّى انْتَهَيْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَقَدْ رَوَى القَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ القَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدَيْهِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ: «أَبَا هُرَيْرَةَ اشْرَبْ»، فَشَرِبْتُ ثُمَّ قَالَ: «اشْرَبْ» فَلَمْ أَزَلْ أَشْرَبُ، وَيَقُولُ: «اشْرَبْ» حَتَّى قُلْتُ: ‌وَالَّذِي ‌بَعَثَكَ ‌بِالحَقِّ ‌مَا ‌أَجِدُ ‌لَهُ ‌مَسْلَكًا، فَأَخَذَ القَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى ثُمَّ شَرِبَ".

“Abu Qasim (Rasulullah ) lewat, lalu beliau tersenyum ketika melihatku dan berkata, "Wahai Abu Hurairah."

Aku menjawab, " Labbaik (Aku penuhi panggilanmu), wahai Rasulullah ."

Beliau berkata, "Pergilah."

Lalu beliau pergi, dan aku mengikutinya. Ketika beliau masuk ke rumahnya, aku meminta izin dan beliau mengizinkanku.

Ternyata beliau menemukan sebuah bejana berisi susu.

Beliau bertanya, "Dari mana susu ini kalian dapatkan?"

Dijawab, "Si Fulan menghadiahkannya kepada kami."

Rasulullah berkata, "Wahai Abu Hurairah."

Aku menjawab, "Labbaik (Aku penuhi panggilanmu)."

Beliau berkata, "Pergilah kepada Ahlu-uffah, dan undang mereka."

Mereka adalah tamu-tamu kaum Muslimin, yang tidak memiliki keluarga maupun harta.

Jika Rasulullah menerima sedekah, beliau akan mengirimkannya kepada mereka dan beliau tidak ikut serta memakannya sama sekali.

Tapi jika beliau menerima hadiah, beliau akan mengirimkan kepada mereka, dan beliau ikut memakannya serta berbagi dengan mereka.

Hal itu membuatku sedih.

Aku berkata dalam hati: “Bagaimana mungkin satu bejana ini cukup untuk seluruh Ahlu-uffah? Dan aku adalah utusan beliau untuk mereka. Pasti beliau akan memerintahkan aku untuk membagikannya kepada mereka. Apa yang akan tersisa untukku dari susu itu? Padahal aku berharap bisa mendapatkan sebagian darinya agar bisa mengenyangkan aku. Tapi tidak ada pilihan lain selain taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Maka aku pergi kepada mereka dan mengundang mereka. Ketika mereka masuk ke dalam rumah Rasulullah dan mengambil tempat duduk mereka, beliau berkata :

"Wahai Abu Hurairah, ambillah bejana itu dan berikan kepada mereka."

Aku pun mengambil bejana itu dan mulai memberikannya kepada satu per satu dari mereka.

Setiap orang minum hingga kenyang, lalu mengembalikannya kepadaku. Aku berikan kepada orang berikutnya, sampai aku sampai kembali kepada Rasulullah dan seluruh kaum itu telah minum sampai kenyang.

Rasulullah mengambil bejana itu, meletakkannya di kedua tangannya, lalu mengangkat kepalanya dan tersenyum.

Beliau berkata, "Wahai Abu Hurairah, minumlah."

Maka aku pun minum.

Kemudian beliau berkata, "Minumlah lagi."

Aku terus minum, dan beliau berkata, "Minumlah lagi," hingga aku berkata,

"Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku sudah tidak menemukan jalan masuk lagi untuk air susu itu ( karena sudah kekenyangan dan sudah tidak ada ruang dalam perut-nya)."

Lalu Rasulullah mengambil bejana itu, memuji Allah, menyebut nama-Nya, kemudian beliau pun minum”.

====

DALIL KE LIMA : Hadits Shahih Muslim no. 2038.

Dari Abu Hurairah ia berkata;

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ذَاتَ يَوْمٍ أَوْ لَيْلَةٍ فَإِذَا هُوَ بِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقَالَ مَا أَخْرَجَكُمَا مِنْ بُيُوتِكُمَا هَذِهِ السَّاعَةَ قَالَا الْجُوعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَأَنَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَخْرَجَنِي الَّذِي أَخْرَجَكُمَا قُومُوا فَقَامُوا مَعَهُ فَأَتَى رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ فَإِذَا هُوَ لَيْسَ فِي بَيْتِهِ فَلَمَّا رَأَتْهُ الْمَرْأَةُ قَالَتْ مَرْحَبًا وَأَهْلًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَيْنَ فُلَانٌ قَالَتْ ذَهَبَ يَسْتَعْذِبُ لَنَا مِنْ الْمَاءِ إِذْ جَاءَ الْأَنْصَارِيُّ فَنَظَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَصَاحِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ مَا أَحَدٌ الْيَوْمَ أَكْرَمَ أَضْيَافًا مِنِّي قَالَ فَانْطَلَقَ فَجَاءَهُمْ بِعِذْقٍ فِيهِ بُسْرٌ وَتَمْرٌ وَرُطَبٌ فَقَالَ كُلُوا مِنْ هَذِهِ وَأَخَذَ الْمُدْيَةَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِيَّاكَ وَالْحَلُوبَ فَذَبَحَ لَهُمْ فَأَكَلُوا مِنْ الشَّاةِ وَمِنْ ذَلِكَ الْعِذْقِ وَشَرِبُوا فَلَمَّا أَنْ شَبِعُوا وَرَوُوا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتُسْأَلُنَّ عَنْ هَذَا النَّعِيمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ الْجُوعُ ثُمَّ لَمْ تَرْجِعُوا حَتَّى أَصَابَكُمْ هَذَا النَّعِيمُ

Pada suatu hari atau suatu malam Rasulullah pergi keluar rumah, tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar dan 'Umar.

Lalu beliau bertanya: "Mengapa kalian keluar rumah malam-malam begini?" Mereka menjawab; 'Kami lapar, ya Rasulullah! '

Rasulullah bersabda: "Demi Allah yang jiwaku dalam Tangan-Nya, aku juga keluar karena lapar seperti kalian. Marilah!"

Mereka pergi mengikuti beliau ke rumah shahabat Anshar (Abu Haitsam bin At Taihan). Namun sayang dia sedang tidak di rumah. Tetapi tatkala istrinya melihat Rasulullah datang, dia mengucapkan; "Marhaban wa Ahlan (selamat datang)."

Maka Rasulullah bertanya: "Kemana si Fulan (Abu Haitsam)?"'

Isterinya menjawab; 'Dia sedang mengambil air tawar untuk kami.'

Tiba-tiba suaminya datang dan melihat Rasulullah beserta dua sahabat beliau, maka dia berkata; 'Alhamdulillah, tidak ada orang yang lebih bahagia dariku hari ini, karena kedatangan tamu yang mulia.'

Lalu dia mengambil setandan kurma, di antaranya ada yang masih muda, yang mulai masak, dan yang sudah masak betul.

Katanya; 'Silakan dimakan ini.' Sambil dia mengambil pisau.

Nabi bersabda: 'Jangan disembelih yang lagi mempunyai susu.'

Maka dipotongnya seekor kambing, lalu mereka makan kambing, makan kurma setandan, dan minum. Setelah **semuanya kenyang dan puas makan dan minum**, Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar dan 'Umar: 'Demi Allah yang jiwaku berada dalam Tangan-Nya, kalian akan ditanya pada hari kiamat tentang nikmat yang kalian peroleh ini. Kalian keluar dari rumah karena lapar dan pulang sesudah memperoleh nikmat ini.'

Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 13/212-214 menyebutkan beberapa faidah hukum fiqih dari hadits-hadits diatas, diantaranya adalah sbb :

وَفِيهِ جَوَازُ سَمَاعِ كَلَامِ الْأَجْنَبِيَّةِ وَمُرَاجَعَتِهَا الْكَلَامَ لِلْحَاجَةِ وَجَوَازُ إِذْنِ الْمَرْأَةِ فِي دُخُولِ مَنْزِلِ زَوْجِهَا لمن علمت علما محققا أنه لايكرهه بحيث لايخلو بِهَا الْخَلْوَةَ الْمُحَرَّمَةَ ....

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ تَقْدِيمِ الْفَاكِهَةِ عَلَى الْخُبْزِ وَاللَّحْمِ وَغَيْرِهِمَا .....

قَوْلُهُ (فَلَمَّا أَنْ شَبِعُوا وَرَوُوا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتُسْأَلُنَّ عَنْ هَذَا النَّعِيمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ) فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ الشِّبَعِ وَمَا جَاءَ فِي كَرَاهَةِ الشِّبَعِ فَمَحْمُولٌ عَلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ يُقَسِّي الْقَلْبَ وَيُنْسِي أَمْرَ الْمُحْتَاجِينَ

Faidah ke 1 : Di dalamnya terdapat dalil bolehnya mendengarkan ucapan perempuan asing (ajnabiyyah) dan berdialog dengannya ketika ada kebutuhan, serta bolehnya seorang wanita memberikan izin masuk ke rumah suaminya bagi seseorang yang benar-benar ia ketahui bahwa suaminya tidak membencinya, selama tidak terjadi khalwat (berduaan) yang diharamkan bersamanya...

Faidah ke 2 : Dan di dalamnya terdapat dalil tentang dianjurkannya mendahulukan buah-buahan sebelum roti, daging, dan selain keduanya...

Faidah ke 3 : Lafadz hadits :

“Maka ketika mereka telah **kenyang dan puas**, Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma: ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian akan ditanya tentang kenikmatan ini pada hari kiamat’”

Ini menunjukkan dalil bolehnya makan dan minum hingga merasa kenyang, dan hadits-hadits yang menyebutkan makruh kenyang, maka itu dibawa pada makna kebiasaan terus-menerus karena dapat mengeraskan hati dan melupakan keadaan orang-orang lain yang membutuhkan. [Selesai]

Dan al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:

فِي الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ الشِّبَعِ مِنَ الْحَلَالِ، وَمَا جَاءَ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى كَرَاهَةِ الشِّبَعِ عَنِ النَّبِيِّ - ﷺ -، وَعَنِ السَّلَفِ: إِنَّمَا ذَلِكَ فِي الشِّبَعِ الْمُثْقِلِ لِلْمَعِدَةِ، الْمُبْطِئِ بِصَاحِبِهِ عَنِ الصَّلَوَاتِ، وَالْأَذْكَارِ، الْمُضِرِّ لِلْإِنْسَانِ بِالتُّخَمِ، وَغَيْرِهَا؛ الَّذِي يُفْضِي بِصَاحِبِهِ إِلَى الْبَطَرِ، وَالْأَشَرِ، وَالنَّوْمِ، وَالْكَسَلِ، فَهَذَا هُوَ الْمَكْرُوهُ، وَقَدْ يُلْحَقُ بِالْمُحَرَّمِ إِذَا كَثُرَتْ آفَاتُهُ، وَعَمَّتْ بَلِيَّاتُهُ، وَالْقِسْطَاسُ الْمُسْتَقِيمُ مَا قَالَهُ النَّبِيُّ - ﷺ -: "مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ؛ فَإِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ، فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ". انْتَهَى.

Dalam hadits ini terdapat dalil tentang **bolehnya makan kenyang** dari makanan yang halal.

Adapun riwayat-riwayat yang menunjukkan makruh (dibencinya) kenyang dari Nabi dan dari kalangan salaf, maka itu maksudnya adalah kenyang yang memberatkan perut, yang menyebabkan pelakunya lambat dalam mengerjakan shalat dan zikir, yang membahayakan tubuh dengan gangguan pencernaan dan sejenisnya; yang menyeret pelakunya kepada sikap sombong, angkuh, banyak tidur, dan malas—maka itulah yang makruh. Bahkan bisa sampai pada keharaman jika bahayanya sangat banyak dan kerusakannya meluas.

Timbangan yang lurus adalah apa yang disabdakan oleh Nabi : “Tidak ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh anak Adam selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus (makan lebih banyak), maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya.”

(Selesai dari *Al-Mufhim lima Asykala min Talkhish Kitab Muslim*, 5/305)

Ibnu al-Mulaqqin dalam at-Tawdhiih Li Syarhi al-Jami’ ash-Shahih 26/109 :

قَالَ الطَّبَرِيُّ: غَيْرَ أَنَّ الشِّبَعَ، وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا فَإِنَّ لَهُ حَدًّا يُنْتَهَى إِلَيْهِ، وَمَا زَادَ عَلَيْهِ فَهُوَ سَرَفٌ. فَالْمُطْلَقُ مِنْهُ مَا أَعَانَ عَلَى الطَّاعَةِ وَلَمْ يُشْغِلْهُ فِعْلُهُ عَنْ أَدَاءِ الْوَاجِبِ، وَذَٰلِكَ دُونَ مَا أَثْقَلَ الْمَعِدَةَ وَثَبَّطَ أَكْلُهُ عَنْ خِدْمَةِ رَبِّهِ وَالْأَخْذِ بِحَظِّهِ مِنْ نَوَافِلِ (الْعِبَادَةِ)، فَالْحَقُّ لِلَّهِ عَلَى عَبْدِهِ أَلَّا يَتَعَدَّى فِي مَطْعَمِهِ وَمَشْرَبِهِ مَا سَدَّ الْجُوعَ وَكَسَرَ الظَّمَأَ، فَإِنْ تَعَدَّى ذَٰلِكَ إِلَى مَا فَوْقَهُ مِمَّا يَمْنَعُهُ مِنَ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبِ لِلَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ، كَانَ قَدْ أَسْرَفَ فِي مَطْعَمِهِ وَمَشْرَبِهِ.

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: "Hanya saja kenyang, meskipun hukumnya mubah, memiliki batas yang tidak boleh dilampaui. Apa yang melebihi batas itu adalah sikap berlebihan. Yang diperbolehkan adalah apa yang dapat membantu dalam ketaatan dan tidak menghalangi pelakunya dari menunaikan kewajiban. Itu berada di bawah kadar yang memberatkan lambung dan menghalangi seseorang dari berkhidmat kepada Rabb-nya serta meraih bagian dari amalan sunnah. Maka hak Allah atas hamba-Nya adalah agar ia tidak melampaui dalam makan dan minumnya dari sekadar menghilangkan lapar dan dahaga. Jika ia melampaui batas tersebut hingga menghalanginya dari menunaikan kewajiban kepada Allah Ta’ala, maka ia telah berlebih-lebihan dalam makan dan minumnya."

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi rahimahullah no. (2369) hadits ini secara panjang, beliau berkata:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismail, telah menceritakan kepada kami Adam bin Abi Iyas, telah menceritakan kepada kami Syaiban Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Umair, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata:

خَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ فِي سَاعَةٍ لَا يَخْرُجُ فِيهَا وَلَا يَلْقَاهُ فِيهَا أَحَدٌ، فَأَتَاهُ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ: «مَا جَاءَ بِكَ يَا أَبَا بَكْرٍ»؟ فَقَالَ: خَرَجْتُ أَلْقَى رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَأَنْظُرُ فِي وَجْهِهِ وَالتَّسْلِيمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ جَاءَ عُمَرُ، فَقَالَ: «مَا جَاءَ بِكَ يَا عُمَرُ»؟ قَالَ: الجُوعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «وَأَنَا قَدْ وَجَدْتُ بَعْضَ ذَلِكَ، ‌فَانْطَلَقُوا ‌إِلَى ‌مَنْزِلِ ‌أَبِي ‌الهَيْثَمِ ‌بْنِ التَّيْهَانِ الأَنْصَارِيِّ» وَكَانَ رَجُلًا كَثِيرَ النَّخْلِ وَالشَّاءِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ خَدَمٌ فَلَمْ يَجِدُوهُ، فَقَالُوا لِامْرَأَتِهِ: أَيْنَ صَاحِبُكِ؟ فَقَالَتْ: انْطَلَقَ يَسْتَعْذِبُ لَنَا المَاءَ، فَلَمْ يَلْبَثُوا أَنْ جَاءَ أَبُو الهَيْثَمِ بِقِرْبَةٍ يَزْعَبُهَا فَوَضَعَهَا ثُمَّ جَاءَ يَلْتَزِمُ النَّبِيَّ ﷺ وَيُفَدِّيهِ بِأَبِيهِ وَأُمِّهِ، ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِمْ إِلَى حَدِيقَتِهِ فَبَسَطَ لَهُمْ بِسَاطًا، ثُمَّ انْطَلَقَ إِلَى نَخْلَةٍ فَجَاءَ بِقِنْوٍ فَوَضَعَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَفَلَا تَنَقَّيْتَ لَنَا مِنْ رُطَبِهِ»؟ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ تَخْتَارُوا، أَوْ قَالَ: تَخَيَّرُوا مِنْ رُطَبِهِ وَبُسْرِهِ، فَأَكَلُوا وَشَرِبُوا مِنْ ذَلِكَ المَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «هَذَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مِنَ النَّعِيمِ الَّذِي تُسْأَلُونَ عَنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، ظِلٌّ بَارِدٌ، وَرُطَبٌ طَيِّبٌ، وَمَاءٌ بَارِدٌ»، فَانْطَلَقَ أَبُو الهَيْثَمِ لِيَصْنَعَ لَهُمْ طَعَامًا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «لَا تَذْبَحَنَّ ذَاتَ دَرٍّ»، قَالَ: فَذَبَحَ لَهُمْ عَنَاقًا أَوْ جَدْيًا فَأَتَاهُمْ بِهَا فَأَكَلُوا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «هَلْ لَكَ خَادِمٌ»؟ قَالَ: لَا، قَالَ: «فَإِذَا أَتَانَا سَبْيٌ فَأْتِنَا» فَأُتِيَ النَّبِيُّ ﷺ بِرَأْسَيْنِ لَيْسَ مَعَهُمَا ثَالِثٌ فَأَتَاهُ أَبُو الهَيْثَمِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «اخْتَرْ مِنْهُمَا»، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ اخْتَرْ لِي، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «إِنَّ المُسْتَشَارَ مُؤْتَمَنٌ، خُذْ هَذَا فَإِنِّي رَأَيْتُهُ يُصَلِّي وَاسْتَوْصِ بِهِ مَعْرُوفًا»، فَانْطَلَقَ أَبُو الهَيْثَمِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَخْبَرَهَا بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَتْ امْرَأَتُهُ: مَا أَنْتَ بِبَالِغٍ مَا قَالَ فِيهِ النَّبِيُّ ﷺ إِلَّا أَنْ تَعْتِقَهُ، قَالَ: فَهُوَ عَتِيقٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْ نَبِيًّا وَلَا خَلِيفَةً إِلَّا وَلَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالمَعْرُوفِ وَتَنْهَاهُ عَنِ المُنْكَرِ، وَبِطَانَةٌ لَا تَأْلُوهُ خَبَالًا، وَمَنْ يُوقَ بِطَانَةَ السُّوءِ فَقَدْ وُقِيَ»

Nabi keluar pada suatu waktu yang beliau biasanya tidak keluar pada waktu itu, dan tidak ada seorang pun yang menemuinya pada waktu itu. Maka datanglah Abu Bakar, lalu beliau bertanya: "Apa yang membuatmu datang wahai Abu Bakar?" Ia menjawab: "Aku keluar untuk bertemu Rasulullah , melihat wajah beliau dan mengucapkan salam kepadanya." Tidak lama kemudian datanglah Umar, lalu beliau bertanya: "Apa yang membuatmu datang wahai Umar?" Ia menjawab: "Rasa lapar wahai Rasulullah." Maka Rasulullah bersabda: "Aku juga telah merasakan sebagian dari itu."

Lalu mereka bertiga pergi ke rumah Abu Haytsam bin at-Taiyihan al-Anshari, yang merupakan seorang lelaki yang memiliki banyak pohon kurma dan kambing, dan ia tidak memiliki pembantu. Mereka tidak menemukannya di rumah, lalu mereka berkata kepada istrinya: "Di mana suamimu?" Ia menjawab: "Ia pergi untuk mengambil air yang segar untuk kami." Tidak lama kemudian datanglah Abu Haytsam membawa satu wadah air yang dipikulnya, lalu ia meletakkannya, kemudian ia memeluk Nabi dan mengorbankan ayah dan ibunya untuk beliau.

Lalu ia membawa mereka ke kebunnya, ia menghamparkan tikar untuk mereka, kemudian ia pergi ke pohon kurma, lalu datang dengan membawa satu tangkai kurma dan meletakkannya. Nabi bersabda: "Mengapa engkau tidak memilihkan untuk kami yang matang saja?" Ia menjawab: "Wahai Rasulullah, aku ingin agar kalian memilih sendiri dari yang matang dan yang masih muda." Maka mereka pun makan dan minum dari air itu.

Lalu Rasulullah bersabda: "Ini – demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya – adalah bagian dari kenikmatan yang akan ditanyakan kepada kalian pada hari kiamat: naungan yang sejuk, kurma yang lezat, dan air yang dingin." Kemudian Abu Haytsam pergi untuk menyiapkan makanan bagi mereka. Maka Nabi bersabda: "Janganlah kamu menyembelih hewan betina yang sedang menyusui." Lalu ia menyembelih seekor anak kambing betina atau jantan dan membawanya kepada mereka, lalu mereka pun memakannya.

Nabi bersabda: "Apakah kamu memiliki pembantu?" Ia menjawab: "Tidak." Nabi bersabda: "Jika kami mendapatkan tawanan, datanglah kepada kami." Kemudian Nabi didatangkan dua orang budak, dan tidak ada yang ketiga bersama keduanya. Maka datanglah Abu Haytsam kepada beliau.

Lalu Nabi bersabda: "Pilihlah salah satu dari keduanya." Ia berkata: "Wahai Nabi Allah, pilihkanlah untukku."

Maka Nabi bersabda: "Orang yang dimintai pendapat itu adalah orang yang dipercaya. Ambillah yang ini, karena aku melihatnya shalat. Dan perlakukanlah dia dengan baik."

Kemudian Abu Haytsam pergi kepada istrinya, lalu memberitahukan kepadanya ucapan Rasulullah .

Maka istrinya berkata: "Engkau tidak akan dapat melaksanakan apa yang dikatakan oleh Nabi kecuali jika engkau memerdekakannya."

Maka ia pun berkata: "Ia merdeka."

Maka Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang nabi dan tidak pula seorang khalifah melainkan memiliki dua kelompok penasihat: penasihat yang memerintahkannya kepada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran, dan penasihat yang tidak segan-segan menjerumuskannya. Maka siapa yang dijaga dari penasihat yang buruk, sungguh ia telah dijaga."

Abu Isa berkata: Ini adalah hadits hasan shahih gharib.

Di hukumi Shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi.

Posting Komentar

0 Komentar