Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

APAKAH PENDAPAT YANG BENAR ITU HANYA SATU ATAU BERBILANG?

 DALAM MASALAH KHILAFIYAH FURU’IYYAH

APAKAH SEMUA PENDAPAT MUJTAHID ITU BENAR ATAU HANYA SATU?

APAKAH PENDAPAT YANG HAK (BENAR) ITU SATU ATAU BERBILANG?

====

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

 -----

====

DAFTAR ISI :

  • APAKAH SEMUA PENDAPAT MUJTAHID ITU BENAR ATAU HANYA SATU?
  • BAGIAN PERTAMA: MASALAH YANG BERSIFAT QOTH'I (YAKIN & PASTI)
  • BAGIAN KEDUA: MASALAH SYAR’I YANG TIDAK MEMILIKI DALIL YANG QATH’I
  • TIDAK BOLEH BAGI SEORANG MUJTAHID MEMILIKI DUA PENDAPAT YANG SALING BERTENTANGAN DALAM WAKTU YANG SAMA
  • MENYERAHKAN URUSAN FATWA DAN IJTIHAD KEPADA SESEORANG.
  • PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG MENGAMBIL FATWA ULAMA YANG TANPA NALAR DAN IJTIHAD:
  • HUKUM TAKLID KEPADA MUJTAHID
  • TENTANG DEFINISI TAKLID, MUFTI, DAN MUSTAFTI
  • HUKUM TAKLID DALAM USHULUDDIN (POKOK-POKOK AGAMA)
  • HUKUM TAKLID DALAM MASALAH-MASALAH FURU’ (CABANG SYARIAT)
  • SEBAB YANG MENDASARI PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH INI:
  • KEPADA SIAPA SAJA BAGI ORANG AWAM BOLEH MINTA FATWA DI ANTARA PARA MUFTI?
  • HUKUM TAKLID KEPADA ORANG YANG TIDAK DIKENAL KONDISI-NYA (MAJHUL AL-HAL).
  • HUKUM MUJTAHID BERTAKLID KEPADA MUJTAHID LAIN
  • MESKI BERBEDA PENDAPAT, TETAPLAH BERSATU DAN JANGAN BERPECAH BELAH!
  • PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT 
  • PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT

 ====

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

**===****====**

APAKAH SEMUA PENDAPAT MUJTAHID ITU BENAR ATAU HANYA SATU?

Dalam masalah-masalah syariat mayoritas ulama, di antaranya Al-Asy'ari, Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, dari kalangan Mu'tazilah seperti Abu Al-Hudzail, Abu Ali, Abu Hasyim, dan para pengikut mereka, berpendapat bahwa masalah-masalah syariat terbagi menjadi dua bagian:

===***===

BAGIAN PERTAMA: 
MASALAH YANG BERSIFAT QOTH'I (YAKIN & PASTI)

Masalah yang bersifat qath’i dan diketahui secara pasti (قَطْعِيًّا مَعْلُومًا بِالضَّرُورَةِ) sebagai bagian dari agama, seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa Ramadan, keharaman zina dan khamar.

Dalam hal ini, tidak setiap mujtahid dianggap benar, karena kebenaran di dalamnya hanya satu.

Siapa yang sesuai dengannya maka ia benar, dan siapa yang salah maka ia tidak dimaafkan.

Ada sekelompok ulama mengkafirkan orang yang menyelisihi perkara yang sudah pasti, meskipun padanya terdapat dalil yang qath’i namun tidak termasuk dalam perkara yang diketahui secara pasti dalam syariat.

Dan ada pula yang berpendapat : Jika ia sengaja melalaikan-nya, maka ia bersalah dan berdosa; namun jika ia tidak sengaja melalaikan-nya, maka ia hanya bersalah namun tidak berdosa. [Lihat : Irsyad al-Fuhul 2/231 karya asy-Syawkani].

Ibnu As-Sam'ani berkata:

وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ سَبَبُ غُمُوضِهَا امْتِحَانًا مِنَ اللَّهِ لِعِبَادِهِ، لِيُفَاضِلَ بَيْنَهُمْ فِي دَرَجَاتِ الْعِلْمِ، وَمَرَاتِبِ الْكَرَامَةِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ} وَقَالَ: {وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ}

Kemungkinan penyebab kesamaran dalam masalah-masalah ini adalah ujian dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya, agar Allah membedakan derajat mereka dalam ilmu dan tingkatan kemuliaan. Sebagaimana firman Allah: *“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”* dan firman-Nya: *“Dan di atas setiap orang yang berilmu ada yang lebih mengetahui.”*

[Lihat : Al-Bahr Al-Muhith (6/241), lihat juga: Al-Mustashfa (2/354), Al-Ihkam karya Al-Amidi (4/178), Al-Mahshul (3/41), At-Tabsirah hlm. 496, Al-Mankhul hlm. 451, Nihayat As-Sul (3/249), Al-Burhan (2/1316), Al-Mu'tamad (2/988), Fawatih Ar-Rahmut (2/376), Taysir At-Tahrir (4/195), Mukhtashar Ibn Al-Hajib (2/293), At-Tamhid hlm. 163, Syarh Tanqih Al-Fusul hlm. 438–439, Syarh Al-Kaukab Al-Munir (4/488), Al-Musawwadah hlm. 495, Ar-Raudhah hlm. 359, Jam' Al-Jawami' bersama syarah Al-Banani (2/388), Mukhtashar Al-Ba'li hlm. 164, Mukhtashar Ath-Thufi hlm. 176, Irsyad Al-Fuhul 2/231, Al-Madkhal ila Madhhab Ahmad hlm. 186, Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Az-Zuhaili (2/1091)]

===***===

BAGIAN KEDUA: 
MASALAH SYAR’I YANG TIDAK MEMILIKI DALIL YANG QOTH’I

Masalah ini adalah salah satu masalah kontroversial yang telah dibahas panjang lebar oleh para ulama ilmu Ushul Fiqh, dan pada umumnya mereka mengatakan: bahwa kebenaran itu satu dan tidak berbilang.  Dan pendapat in hanya ada satu dari sekian pendapat-pendapat yang ada. Namun demikian mereka mengatakan:  yang haq itu kepastiannya bukan pada kita yang menentukan, akan tetapi kepastiannya hanya di sisi Allah.

Asy-Syawkani telah menjelaskan dengan ringkas tentang perselisihan ini dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul 2/231: 

وَقَدِ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا طَوِيلًا، وَاخْتَلَفَ النَّقْلُ عَنْهُمْ فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا كَثِيرًا، ‌فَذَهَبَ ‌جَمْعٌ ‌جَمٌّ ‌إِلَى ‌أَنَّ ‌كُلَّ ‌قَوْلٍ ‌مِنْ ‌أَقْوَالِ الْمُجْتَهِدِينَ فِيهَا حَقٌّ، وَأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مُصِيبٌ، وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ، وَالرُّويَانِيُّ، عَنِ الْأَكْثَرِينَ.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ وَالْمُعْتَزِلَةِ.

وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ الْحَقَّ فِي أَحَدِ الْأَقْوَالِ، وَلَمْ يَتَعَيَّنْ لَنَا، وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ مُتَعَيَّنٌ، لِاسْتِحَالَةِ أَنْ يَكُونَ الشَّيْءُ الْوَاحِدُ، فِي الزَّمَانِ الْوَاحِدِ، فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ حَلَالًا وَحَرَامًا، وَقَدْ كَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يُخطِّئ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَيَعْتَرِضُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ، وَلَوْ كَانَ اجْتِهَادُ كُلِّ مُجْتَهِدٍ حَقًّا، لَمْ يَكُنْ لِلتَّخْطِئَةِ وَجْهٌ.

ثُمَّ اخْتَلَفَ هَؤُلَاءِ بَعْدَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى أَنَّ الْحَقَّ وَاحِدٌ، هَلْ كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ أَمْ لَا؟

فَعِنْدَ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَغَيْرِهِمَا أَنَّ الْمُصِيبَ مِنْهُمْ وَاحِدٌ، وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ، وَأَنَّ جَمِيعَهَمْ مُخْطِئٌ إِلَّا ذَلِكَ الْوَاحِدَ.

وَقَالَ جَمَاعَةٌ، مِنْهُمْ أَبُو يُوسُفَ: إِنَّ كُلَّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ، وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مَعَ وَاحِدٍ، وَقَدْ حَكَى بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ عَنِ الشَّافِعِيِّ مِثْلَهُ.

وأنكر ذلك أبو سحاق الْمَرْوَزِيِّ، وَقَالَ: إِنَّمَا نَسَبَهُ إِلَيْهِ قَوْمٌ مِنَ المتأخرين، ممن لا معرفة له بِمَذْهَبِهِ.

قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ الطَّبَرَيُّ: وَاخْتَلَفَ النَّقْلُ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ، فَنُقِلَ عَنْهُ أَنَّهُ قال في بعض المسائل كقولنا، وفي بعضها كَقَوْلِ أَبِي يُوسُفَ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَأَصْحَابِ مَالِكٍ وَابْنِ "سُرَيْجٍ"، وَأَبِي حَامِدٍ، بِمِثْلِ قَوْلِ أَبِي يُوسُفَ.

وَاسْتَدَلَّ ابْنُ كَجٍّ عَلَى هَذَا بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَى تَصْوِيبِ بَعْضِهِمْ بعضا، فيما اختلفوا فيه

وَلَا يَجُوزُ إِجْمَاعُهُمْ عَلَى خَطَأٍ.

"Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini dengan perbedaan yang panjang, dan riwayat yang menyampaikan pendapat mereka pun beragam.

PENDAPAT PERTAMA :

Sekelompok besar dari para ulama berpendapat bahwa setiap pendapat dari para mujtahid dalam masalah seperti ini adalah benar, dan bahwa masing-masing dari mereka adalah orang yang benar.

Pendapat ini dinukil oleh Al-Mawardi dan Ar-Ruyani dari mayoritas ulama. Al-Mawardi berkata: Ini adalah pendapat Abu Hasan Al-Asy'ari dan golongan Mu'tazilah.

PENDAPAT KEDUA :

Sedangkan Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i, dan mayoritas fuqaha berpendapat bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam salah satu dari pendapat-pendapat tersebut, tetapi tidak dapat kita tentukan secara pasti mana yang benar, sedangkan di sisi Allah hal itu sudah pasti benar, dan hanya Allah yang tahu mana yang benar. 

Alasan pendapat ini adalah : Mustahil satu hal yang sama, pada waktu yang sama, pada diri orang yang sama, terdapat dua hukum yang berbeda, atau bisa tejadi hukum halal dan haram sekaligus.

Dahulu para sahabat radhiyallahu 'anhum saling menyalahkan satu sama lain dan sebagian mereka mengoreksi sebagian yang lain. Seandainya setiap ijtihad seorang mujtahid itu benar, maka tidak ada alasan untuk menyalahkan.

Kemudian, para ulama yang berpendapat bahwa kebenaran itu hanya satu pun berbeda pendapat lagi: apakah setiap mujtahid pasti benar atau tidak?

Menurut Malik, Asy-Syafi'i, dan selain keduanya, yang benar hanyalah satu orang di antara mereka, meskipun tidak dapat ditentukan siapa, dan bahwa seluruh yang lainnya salah kecuali yang satu itu.

Namun sekelompok ulama, di antaranya Abu Yusuf, berkata bahwa setiap mujtahid itu benar, walaupun kebenaran hanya bersama salah satu dari mereka. Sebagian pengikut Asy-Syafi'i menukil dari Asy-Syafi'i pendapat yang serupa.

Pendapat ini dibantah oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, dan ia berkata :

إِنَّمَا نَسَبَهُ إِلَيْهِ قَوْمٌ مِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ، مِمَّنْ لَا مَعْرِفَةَ لَهُ بِمَذْهَبِهِ.

bahwa yang menisbatkan pendapat itu kepada Asy-Syafi'i adalah sebagian orang belakangan yang tidak memahami madzhabnya. [Lihat : Irsyad al-Fuhul oleh asy-Syawkani 2/231].

Qadhi Abu Thayyib Ath-Thabari berkata: Riwayat dari Abu Hanifah pun berbeda-beda; ada yang meriwayatkan bahwa ia dalam sebagian masalah berpendapat seperti pendapat kami, dan dalam sebagian lainnya seperti pendapat Abu Yusuf. Dan telah diriwayatkan dari ulama Irak, dari para pengikut Malik, dari Ibnu Suraij, dan dari Abu Hamid, dengan pendapat yang serupa dengan pendapat Abu Yusuf.

Ibnu Kajj berdalil atas hal ini dengan ijma' para sahabat dalam saling membenarkan pendapat satu sama lain dalam perkara yang mereka perselisihkan, dan tidak mungkin mereka bersepakat atas kesalahan”. (Kutipan selesai)

Ibnu Furak berkata:

فِي الْمَسْأَلَةِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْحَقَّ فِي وَاحِدٍ، وَهُوَ الْمَطْلُوبُ، وَعَلَيْهِ دَلِيلٌ مَنْصُوبٌ، فَمَنْ وَضَعَ النَّظَرَ مَوْضِعَهُ أَصَابَ، وَمَنْ قَصَّرَ عَنْهُ وَفَقَدَ الصَّوَابَ؛ فَهُوَ مُخْطِئٌ، وَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَلَا نَقُولُ إِنَّهُ مَعْذُورٌ؛ لِأَنَّ الْمَعْذُورَ مَنْ يَسْقُطُ عَنْهُ التَّكْلِيفُ، لِعُذْرٍ فِي تَرْكِهِ، كَالْعَاجِزِ عَنِ الْقِيَامِ فِي الصَّلَاةِ، وَهُوَ عِنْدَنَا قَدْ كُلِّفَ إِصَابَةَ الْعَيْنِ، لَكِنَّهُ خُفٍّفَ أَمْرُ خِطَابِهِ، وَأُجِرَ عَلَى قَصْدِهِ الصَّوَابَ، وَحُكْمُهُ نَافِذٌ عَلَى الظَّاهِرِ، وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَأَكْثَرِ أَصْحَابِهِ، وَعَلَيْهِ نَصَّ فِي كِتَابِ "الرِّسَالَةِ" وَ"أَدَبِ الْقَاضِي".

وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَقَّ وَاحِدٌ، إِلَّا أَنَّ الْمُجْتَهِدِينَ لَمْ يَتَكَلَّفُوا إِصَابَتَهُ، وَكُلُّهُمْ مُصِيبُونَ لِمَا كُلِّفُوا مِنَ الِاجْتِهَادِ، وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ مُخْطِئًا.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُمْ كُلِّفُوا الرَّدَّ إِلَى الْأَشْبَهِ عَلَى طَرِيقِ الظَّنِّ. انْتَهَى.

Dalam masalah ini ada tiga pendapat:

Pendapat pertama: Bahwa kebenaran itu hanya satu, dan itulah yang dicari, dan harus ada dalil yang menunjukkan kebenaran-nya.

Barang siapa yang menempatkan ijtihadnya pada tempat yang tepat, maka ia benar; dan siapa yang kurang darinya dan tidak mencapai kebenaran, maka ia salah. Namun, tidak ada dosa atasnya, dan kita tidak mengatakan bahwa ia mendapat uzur, karena yang mendapat uzur adalah orang yang gugur kewajiban darinya karena suatu sebab, seperti orang yang tidak mampu berdiri dalam shalat.

Adapun dalam pandangan kami, ia tetap dibebani untuk berusaha mencapai kebenaran yang sebenarnya (عَيْنُ الحَقِّ), tetapi hukum syariat terhadapnya diringankan, dan ia tetap diberi pahala atas niatnya untuk mencapai kebenaran. Hukum ijtihadnya tetap berlaku secara lahiriah.

Ini adalah madzhab Asy-Syafi’i dan mayoritas pengikutnya, dan terdapat nash dalam hal ini di dalam kitab *Ar-Risalah* (hal. 496-497) dan *Adab al-Qadhi* karya Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.

Pendapat kedua: Bahwa kebenaran itu satu, tetapi para mujtahid tidak dibebani untuk mencapai kebenaran yang pasti. Mereka semua dianggap benar karena telah melaksanakan kewajiban mereka dalam berijtihad, meskipun sebagian dari mereka bisa saja salah.

Pendapat ketiga: Bahwa mereka dibebani untuk kembali kepada pendapat yang paling mendekati (kebenaran) berdasarkan dugaan yang kuat (dzonn). [Selesai].

[Baca : Lihat: *Irsyād al-Fuhūl* (2/232), *al-Muswaddah* (hlm. 495), *al-Bar al-Muḥīṭ* (6/245).]

PERNYATAAN SYEIKH AL-ALBANI :

Syeikh al-Albaani berpendapat bahwa Yang Hak itu satu dan tidak berbilang , itu adalah pendapat mayoritas para ahli Ilmu, dan itu yang jadi acuan baginya dalam masalah ini.

Namun demikian, beliau tidak menghilangkan realita bahwa perbedaan pendapat antar para mujtahid dalam mencari yang HAQ itu layak terjadi (سَائِغٌ). Maka bagi yang ijtihadnya tepat sasaran akan mendapatkan dua pahala. Sementara bagi yang salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala. Seperti yang di meriwayatkan dari Nabi :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Jika seorang Hakim hendak memvonis sebuah hukum , lalu dia berijtihad, dan benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala . Dan jika dia salah dalam berijtihadnya, maka baginya satu pahala . ( HR. Bukhori dan Muslim).

Oleh karena itu anda temukan bahwa Syeikh al-Albaani menuturkan di akhir perkataannya tentang masalah ini, yang bisa difahami bahwa beliau menganggap boleh dan wajar terjadinya perbedaan pendapat dan beliau tidak mengingkarinya .

Dan Syeikh al-Albaani berkata :

وَأَمَّا الرُّجُوعُ إِلَى أَقْوَالِهِمْ وَالِاسْتِفَادَةُ مِنْهَا وَالِاسْتِعَانَةُ بِهَا عَلَى تَفَهُّمِ وَجْهِ الْحَقِّ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِمَّا لَيْسَ عَلَيْهِ نَصٌّ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، أَوْ مَا كَانَ مِنْهَا بِحَاجَةٍ إِلَى تَوْضِيحٍ فَأَمْرٌ لَا نُنْكِرُهُ، بَلْ نَأْمُرُ بِهِ وَنَحُضُّ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْفَائِدَةَ مِنْهُ مَرْجُوَّةٌ لِمَنْ سَلَكَ سَبِيلَ الِاهْتِدَاءِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ. اهـ

Artinya : “ Dan Adapun merujuk kepada pendapat-pendapat  mereka dan mengambil manfaat dari pendapat mereka dan ber isti’aanah (minta) bantuan dengan pendapat mereka untuk memahami sisi kebenaran dalam masalah-masalah yang diperselisihkan , yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan Sunnah,  atau apa saja yang membutukan penjelasan . Maka yang demikian itu Kami tidak mengingkarinya , bahkan kami memerintahkannya dan mendorongnya atau menganjurkannya , Karena Faidah dari nya sangat diharapkan bagi orang-orang mengikuti jalan petunjuk yang sesuai dgn al-Quran dan as-Sunnah “ .

[Baca : Shifatu Sholatin Nabi hal. 69 dan Jaami’ Turots al-Albaani 5/26]

Dan itu hal yang maklum : bahwa itu tidak ada celaan dan tidak dosa bagi Mujtahid yang Salah ijtihadnya , jika dia telah berusaha dengan segala kemampuannya untuk sampai kepada yang HAQ, bahkan dia mendapatkan satu pahala berdasarkan hadits tadi . Dan begitu juga kondisinya bagi orang-orang yg bertaqlid kepada mujtahid yang salah  jika memang dia itu bertaqlidnya dengan niat yang shahih , bukan karena mengikuti hawa nafsu atau ingin mencari-cari yang ringan-ringan (تَتَبُّعُ الرُّخَصِ).

===

PENDAPAT LAIN :

Asy-Syawkani dalam “Irsyad al-Fuhul” (2/232) berkata :

Sebagian ulama lain berpendapat : bahwa kebenaran itu satu, dan siapa yang menyelisihinya maka ia salah dan berdosa. Namun kadar kesalahannya berbeda tergantung pada sejauh mana hukum itu berkaitan dengannya. Maka bisa jadi ia termasuk dosa besar, dan bisa pula dosa kecil.

Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Ashomm, Al-Marisi, dan Ibnu ‘Ulayyah.

Pendapat ini juga dinukil dari kalangan Ahludz-Dzohir dan sekelompok ulama Syafi’iyah serta sebagian Hanafiyah.

Para imam dalam bidang usul telah membahas panjang lebar dalam masalah ini, dan mereka menyebutkan dalil-dalil yang tidak cukup kuat untuk menjadi hujah bagi pendapat ini.

Fakhruddin Ar-Razi memperpanjang pembahasan ini dalam *Al-Mahshuul*, tetapi mereka tidak menghadirkan sesuatu yang memuaskan pencari kebenaran.

BANTAHAN :

Asy-Syawkani membantah pendapat ini dengan mengatakan :

“Di sini ada satu dalil yang dapat menyelesaikan perselisihan dan menjelaskan kebenaran dengan penjelasan yang tidak menyisakan keraguan sedikit pun bagi siapa pun yang ragu, yaitu hadis yang sahih dan telah diriwayatkan melalui banyak jalur:

إذا حَكَمَ الحاكِمُ فاجْتَهَدَ ثُمَّ أصابَ فَلَهُ أجْرانِ، وإذا حَكَمَ فاجْتَهَدَ ثُمَّ أخْطَأَ فَلَهُ أجْرٌ

“Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan perkara dengan berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.” [HR. Bukhori no. 7352].

Hadis ini menunjukkan kepada anda bahwa kebenaran itu hanya satu. Sebagian mujtahid sesuai dengan kebenaran tersebut, maka ia disebut benar (mushiib) dan mendapatkan dua pahala. Sebagian mujtahid lainnya menyelisihi, maka ia disebut salah (mukhti’), dan mendapat satu pahala. Pahala yang didapat tidak menunjukkan bahwa ia benar, dan penyebutan kata “salah” padanya tidak menafikan adanya pahala. Maka siapa yang mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, dan menjadikan kebenaran itu berbilang sesuai jumlah mujtahid, maka ia telah melakukan kesalahan yang nyata dan bertentangan secara jelas dengan kebenaran. Karena Nabi telah membagi para mujtahid menjadi dua kelompok: kelompok yang benar dan kelompok yang salah. Seandainya masing-masing dari mereka benar, maka pembagian ini tidak akan memiliki makna.

Demikian pula orang yang berkata: “Sesungguhnya kebenaran itu satu, dan orang yang menyalahinya berdosa,” maka hadits yang diatas ini membantahnya dengan bantahan yang jelas dan menolaknya dengan penolakan yang terang, karena Nabi menyebut orang yang tidak sesuai dengan kebenaran dalam ijtihadnya sebagai orang yang keliru, dan Nabi menetapkan bahwa orang itu tetap mendapatkan pahala. Maka kebenaran yang tidak diragukan dan tidak mengandung syubhat memang satu, dan orang yang menyalahinya adalah keliru namun tetap diberi pahala, jika ia telah menunaikan kewajiban ijtihadnya dan tidak lalai dalam pencariannya, setelah memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mujtahid.

Termasuk dalil yang digunakan untuk pendapat yang membolehkan taqlid ini adalah hadits :

القُضَاةُ ثَلَاثَةٌ، اثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ، لَقُلْنَا: إِنَّ الْقَاضِيَ إِذَا اجْتَهَدَ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ.

Hakim itu ada tiga golongan: dua di neraka dan satu di surga. Seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan dengan kebenaran tersebut, maka dia di surga. Seorang laki-laki yang memutuskan perkara manusia dalam keadaan jahil, maka dia di neraka. Dan seorang laki-laki yang berlaku zalim dalam keputusannya, maka dia di neraka. Seandainya kita mengatakan: "Sesungguhnya hakim jika berijtihad maka dia di surga".

[Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud (3573), Al-Tirmidzi (1322), Ibnu Majah (2315) dan hadis ini adalah hadisnya, dan Al-Nasa’i dalam “Al-Sunan Al-Kubra” (5922). Di nilai shahih oleh al-Albani]

Karena jika kebenaran itu hanya satu, maka pembagian itu tidak bermakna.

Begitu pula sabda Nabi kepada pemimpin pasukan:

وإذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فأرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ علَى حُكْمِ اللهِ، فلا تُنْزِلْهُمْ علَى حُكْمِ اللهِ، وَلَكِنْ أَنْزِلْهُمْ علَى حُكْمِكَ؛ فإنَّكَ لا تَدْرِي أَتُصِيبُ حُكْمَ اللهِ فيهم أَمْ لَا

“Jika kamu mengepung penduduk sebuah benteng lalu mereka meminta agar kamu menjatuhkan keputusan terhadap mereka berdasarkan hukum Allah, maka janganlah kamu menjatuhkan keputusan terhadap mereka berdasarkan hukum Allah, tetapi jatuhkanlah keputusan berdasarkan hukummu sendiri; karena sesungguhnya kamu tidak tahu apakah kamu tepat mengenai hukum Allah atas mereka atau tidak !!!”. [HR. Muslim no. 1731]

Dan betapa buruknya ucapan orang-orang yang menjadikan hukum Allah berbilang sesuai dengan banyaknya mujtahid, bergantung pada hasil ijtihad mereka masing-masing.

Sesungguhnya pernyataan ini, selain bertentangan dengan adab kepada Allah dan syariat-Nya yang suci, juga hanya didasarkan pada akal semata, yang tidak memiliki dalil, tidak pula disokong oleh syubhat yang dapat diterima akal.

Pernyataan ini juga bertentangan dengan ijma’ umat, baik generasi terdahulu maupun yang datang kemudian.

Para sahabat dan orang-orang sesudah mereka di setiap zaman senantiasa menyalahkan siapa pun yang dalam ijtihadnya menyelisihi sesuatu yang lebih kuat dari dalil yang dipegangnya. Barang siapa yang meragukan hal ini dan mengingkarinya, maka ia tidak mengetahui isi kitab-kitab Islam yang penuh dengan pernyataan yang secara terang-terangan menyebut bahwa sebagian ulama menyalahkan pendapat ulama lain dan sebagian mereka mengkritik sebagian lainnya.

Adapun istidlal (pengambilan dalil) orang-orang yang berpendapat seperti ini dengan kisah Dawud dan Sulaiman, maka itu justru menjadi dalil yang membantah mereka, bukan mendukung mereka. Sebab, Allah secara tegas dalam kitab-Nya menyatakan bahwa kebenaran berada pada ucapan Sulaiman, dengan firman-Nya:

﴿فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ﴾

*“Maka Kami berikan pemahaman itu kepada Sulaiman.”*

Seandainya kebenaran berada pada masing-masing dari keduanya, tentu tidak ada makna dalam pengkhususan Sulaiman dengan pemahaman itu.

Adapun istidlal mereka dengan firman Allah Ta‘ala:

﴿مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ﴾

*“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma atau yang kamu biarkan tetap berdiri di atas akarnya, maka itu adalah dengan izin Allah”*

Maka itu keluar dari pokok permasalahan, karena Allah secara tegas dalam ayat ini menyatakan bahwa semua yang terjadi dari mereka, baik yang menebang maupun yang membiarkan, adalah dengan izin-Nya. Maka ini menunjukkan bahwa hukum Allah dalam peristiwa khusus itu mencakup kedua hal tersebut. Dan sengketa (dalam masalah ijtihad) tidak terjadi kecuali pada perkara yang tidak ada nash khusus dari Allah bahwa Dia menghendaki salah satu dari dua perkara itu, atau bahwa hukum-Nya bersifat pilihan antara beberapa hal, sehingga seorang mukallaf boleh memilih salah satunya, sebagaimana dalam kewajiban mukhayyar (yang dipilih).

Dan bisa juga hukum-Nya berlaku atas semua, sehingga cukup jika sebagian orang melakukannya, lalu gugur dari yang lainnya, seperti kewajiban kifayah. Maka renungkanlah ini dan pahamilah dengan pemahaman yang benar!.

Adapun istidlal mereka dengan sikap saling membenarkan antara dua kelompok sahabat dalam kisah shalat sebelum sampai di Bani Quraizhah — yaitu antara yang shalat lebih awal karena khawatir keluar waktu, dan yang menunda hingga tiba di sana demi melaksanakan perintah Nabi :

"لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ"

“Janganlah salah seorang dari kalian shalat kecuali di Bani Quraizhah” [HR. Bukhori no. 4119 dan Muslim no. 1770].

Maka jawabannya seperti jawaban sebelumnya. Bahwa tidak adanya celaan terhadap orang yang telah beramal berdasarkan ijtihadnya itu, tidak menunjukkan bahwa ia telah mengenai kebenaran (قَدْ أَصَابَ الْحَقَّ), melainkan menunjukkan bahwa amalnya itu sah dan mencukupi karena ia telah bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran. Hal itu tidak serta-merta menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan adalah kebenaran yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya.

Terdapat perbedaan antara ‘mengenai kebenaran (ash-howāb)’ dan ‘kebenaran itu sendiri (al-aqq)’, karena mengenai al-haqq berarti tepat dan sesuai, sementara istilah ‘howāb’ bisa digunakan juga bagi orang yang keliru dalam kebenaran, namun ia tetap dinilai benar dari segi bahwa ia telah melakukan apa yang dibebankan kepadanya, dan ia berhak mendapatkan pahala atasnya, meskipun ia tidak tepat dan tidak sesuai dengan kebenaran itu.

Jika anda telah mengetahui kebenaran ini dengan pemahaman yang mendalam, maka anda tidak membutuhkan tambahan apa pun lagi”.

[Lihat: *Irsyād al-Fuhūl* karya asy-Syawkani (2/232-234)]

Shofiyuddin Al-Hindi dalam “Nihayatul Wushul” (8/3846) telah menjelaskan masalah ini dan perbedaan pendapat di dalamnya dengan penjelasan yang sangat baik. Ia berkata:

الْوَاقِعَةُ الَّتِي وَقَعَتْ إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهَا نَصٌّ أَوْ لَا، فَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ، فَإِمَّا أَنْ يَجْتَهِدَ الْمُجْتَهِدُ أَوْ لَا، الثَّانِي عَلَى قِسْمَيْنِ؛ لِأَنَّهُ إِمَّا أَنْ يُقَصِّرَ فِي طَلَبِهِ أَوْ لَا يُقَصِّرَ، فَإِنْ وَجَدَهُ وَحَكَمَ بِمُقْتَضَاهُ فَلَا كَلَامَ، وَإِنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمُقْتَضَاهُ، فَإِنْ كَانَ مَعَ الْعِلْمِ بِوَجْهِ دَلَالَتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، فَهُوَ مُخْطِئٌ وَآثِمٌ، وِفَاقًا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَ الْعِلْمِ، وَلَكِنْ قَصَّرَ فِي الْبَحْثِ عَنْهُ، فَكَذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يُقَصِّرْ، بَلْ بَالَغَ فِي الِاسْتِكْشَافِ وَالْبَحْثِ، وَلَمْ يَعْثُرْ عَلَى وَجْهِ دَلَالَتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، فَحُكْمُهُ حُكْمُ مَا إِذَا لَمْ يَجِدْهُ، مَعَ الطَّلَبِ الشَّدِيدِ، وَسَيَأْتِي.

وَإِنْ لَمْ يَجِدْهُ، فَإِنْ كَانَ لِلتَّقْصِيرِ فِي الطَّلَبِ فَهُوَ مُخْطِئٌ وَآثِمٌ، وَإِنْ لَمْ يُقَصِّرْ بَلْ بَالَغَ فِي التَّنْقِيبِ عَنْهُ، وَأَفْرَغَ الْوُسْعَ فِي طَلَبِهِ، وَمَعَ ذَلِكَ لَمْ يَجِدْهُ، فَإِنْ خَفِيَ عَلَيْهِ الرَّاوِي الَّذِي عِنْدَهُ النَّصُّ، أَوْ عَرَفَهُ وَلَكِنْ مَاتَ قَبْلَ وُصُولِهِ إِلَيْهِ، فَهُوَ غَيْرُ آثِمٍ قَطْعًا، وَهَلْ هُوَ مُخْطِئٌ أَوْ مُصِيبٌ، عَلَى الْخِلَافِ الْآتِي فِيمَا لَا نَصَّ فِيهِ، وَالْأَوْلَى بِأَنْ يَكُونَ مُخْطِئًا، وَأَمَّا الَّتِي لَا نَصَّ فِيهَا، فَإِمَّا أَنْ يُقَالَ: لِلَّهِ فِيهَا قَبْلَ اجْتِهَادِ الْمُجْتَهِدِ حُكْمٌ مُعَيَّنٌ أَوْ لَا، بَلْ حُكْمُهُ تَابِعٌ لِاجْتِهَادِ الْمُجْتَهِدِينَ، فَهَذَا الثَّانِي قَوْلُ مَنْ قَالَ: كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ، وَهُوَ مَذْهَبُ جُمْهُورِ الْمُتَكَلِّمِينَ، كَالشَّيْخِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ، وَالْقَاضِي، وَالْغَزَالِيِّ، وَالْمُعْتَزِلَةِ، كَأَبِي الْهُذَيْلِ، وَأَبِي عَلِيٍّ، وَأَبِي هَاشِمٍ، وَأَتْبَاعِهِمْ، وَنُقِلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ، وَأَبِي حَنِيفَةَ، وَالْمَشْهُورُ عَنْهُمَا خِلَافُهُ.

فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ فِي الْوَاقِعَةِ حُكْمٌ مُعَيَّنٌ، فَهَلْ وُجِدَ فِيهَا مَا لَوْ حَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا بِحُكْمٍ، لَمَا حُكِمَ إِلَّا بِهِ، أَوْ لَمْ يُوجَدْ ذَلِكَ؟ وَالْأَوَّلُ هُوَ الْقَوْلُ بِالْأَشْبَهِ، وَهُوَ قَوْلُ كَثِيرٍ مِنَ الْمُصَوِّبِينَ، وَإِلَيْهِ صَارَ أَبُو يُوسُفَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، وَابْنُ سُرَيْجٍ، فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ، قَالَ: وَأَمَّا الثَّانِي: فَقَوْلُ الْخُلَّصِ مِنَ الْمُصَوِّبَةِ. انتهى

Peristiwa yang terjadi, bisa jadi terdapat nash (teks syariat) yang berkaitan dengannya atau tidak. Jika terdapat nash, maka bisa jadi mujtahid melakukan ijtihad atau tidak. Yang tidak berijtihad terbagi menjadi dua: karena lalai dalam mencarinya atau tidak.

Jika ia menemukannya dan memutuskan berdasarkan kandungan nash itu, maka tidak ada permasalahan.

Jika ia tidak memutuskan berdasarkan kandungannya, dan ia mengetahui cara nash itu menunjukkan hukum yang dimaksud, maka ia keliru dan berdosa, menurut kesepakatan.

Jika ia tidak tahu, tetapi ia lalai dalam mencarinya, maka ia juga berdosa.

Jika ia tidak lalai, bahkan bersungguh-sungguh dalam meneliti dan mencari, tetapi tidak menemukan petunjuk nash terhadap hukum yang dimaksud, maka hukumnya seperti orang yang tidak menemukannya meskipun telah mencarinya dengan sungguh-sungguh—hal ini akan dijelaskan nanti.

Jika ia tidak menemukannya, maka jika karena kelalaian dalam mencarinya, ia keliru dan berdosa. Namun jika ia tidak lalai, bahkan sungguh-sungguh dalam meneliti dan telah mencurahkan seluruh kemampuannya untuk mencarinya, namun tetap tidak menemukannya, lalu ada perawi yang mengetahui nash tersebut tapi tersembunyi darinya, atau ia mengetahuinya namun perawi itu wafat sebelum sampai kepadanya, maka ia sama sekali tidak berdosa.

Adapun apakah ia keliru atau benar, maka ini termasuk perbedaan pendapat yang penjelasannya dalam masalah yang tidak ada nash-nya, dan yang lebih kuat adalah bahwa ia keliru.

Adapun masalah yang tidak ada nash-nya, maka apakah dikatakan bahwa Allah memiliki hukum tertentu terhadapnya sebelum mujtahid berijtihad, atau tidak, bahkan hukumnya bergantung kepada ijtihad para mujtahid .

Ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa setiap mujtahid benar, dan ini adalah madzhab mayoritas ahli kalam, seperti Syaikh Abu Hasan Al-Asy’ari, Al-Qadhi, Al-Ghazali, serta kalangan Mu’tazilah seperti Abu Hudzail, Abu Ali, Abu Hasyim, dan para pengikut mereka.

Juga dinukil dari Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah, namun yang masyhur dari keduanya adalah kebalikannya.

Jika tidak ditemukan hukum tertentu dalam peristiwa itu, maka apakah terdapat di dalamnya suatu hal yang, seandainya Allah Ta’ala menetapkan hukum, tidak akan menetapkan kecuali hukum itu, atau tidak?

Pendapat pertama : adalah pendapat yang mengatakan adanya yang lebih mendekati kebenaran (الْأَشْبَهِ), dan ini adalah pendapat banyak dari kalangan yang membenarkan semua mujtahid (الْمُصَوِّبُوْن), dan pendapat inilah yang dipegang oleh Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, dan Ibnu Suraij dalam salah satu riwayat darinya.

Ia berkata: Adapun pendapat kedua, maka itu adalah pendapat kalangan mushowwibun yang murni. [Selesai].

[Baca : “Nihayatul Wushul” (8/3846) dan al-Ibhaj Fii Syarh al-Minhaj karya Ali bin Abdul Kafi as-Subki 3/258 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah].

===****====

TIDAK BOLEH BAGI SEORANG MUJTAHID MEMILIKI DUA PENDAPAT 
YANG SALING BERTENTANGAN DALAM WAKTU YANG SAMA

Dalam Irsyād al-Fuhūl 2/235 asy-Syawkani menjelaskan:

Tidak boleh bagi seorang mujtahid memiliki dua pendapat yang saling bertentangan dalam satu waktu yang sama terhadap satu orang, karena jika kedua dalilnya seimbang dari semua sisi, dan tidak mungkin dikompromikan ataupun ditarjih, maka wajib baginya untuk berhenti. Jika memungkinkan untuk dikompromikan, maka wajib baginya mengikuti bentuk kompromi tersebut. Jika salah satu lebih kuat dari yang lain, maka ia wajib mengambil yang lebih kuat itu. Dengan ini, dapat dipahami bahwa tidak mungkin bagi seorang mujtahid memiliki dua pendapat yang saling bertentangan dalam satu waktu terhadap satu orang.

Adapun dalam dua waktu yang berbeda, maka hal itu dibolehkan, karena dimungkinkan berubahnya ijtihad pertama dan muncul apa yang lebih kuat untuk dipegang dan ditinggalkannya pendapat sebelumnya.

Adapun jika terkait dengan dua orang, maka hal itu tergantung pada perbedaan dua madzhab yang terkenal. Dalam kondisi dua tanda yang seimbang (عِنْدَ تَعَادُلِ الْأَمَارَتَيْنِ), maka barang siapa yang berpendapat dengan kebolehan memilih (takhyīr), maka ia membolehkan adanya dua pendapat tersebut. Dan barang siapa yang berpendapat untuk berhenti (tawaqquf), maka ia tidak membolehkannya.

Jika seorang mujtahid memiliki dua pendapat yang terjadi dalam dua waktu yang berbeda, maka pendapat yang kedua dianggap sebagai rujukan dari pendapat yang pertama, karena menunjukkan adanya perubahan ijtihad pertama.

Jika seorang mujtahid memberi fatwa sekali berdasarkan hasil ijtihadnya, lalu ditanya kembali untuk kedua kalinya tentang peristiwa yang sama, maka bisa jadi dia masih mengingat metode ijtihad pertama atau tidak.

Jika ia masih mengingatnya, maka boleh baginya memberi fatwa dengan pendapat tersebut.

Jika ia melupakannya, maka ia wajib memulai ijtihad dari awal.

Jika ijtihad barunya berujung pada pendapat yang berbeda dari fatwanya yang pertama, maka ia memberi fatwa dengan hasil ijtihad yang kedua.

Jika ijtihad keduanya justru berujung pada kesesuaian dengan fatwa yang telah diberikannya atau tidak, maka ia tetap memberi fatwa dengan itu.

Jika ia tidak mengulangi ijtihad, maka tidak boleh baginya memberi fatwa. [Baca : Irsyād al-Fuhūl 2/235-236]

Fakhrur Rāzī berkata dalam *al-Mahhūl* 6/70 :

وَلِقَائِلٍ أَنْ يَقُولَ: لَمَّا كَانَ الْغَالِبُ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّ الطَّرِيقَ الَّذِي تَمَسَّكَ بِهِ كَانَ طَرِيقًا قَوِيًّا، حَصَلَ لَهُ الْآنَ ظَنٌّ أَنَّ ذَلِكَ الْقَوِيَّ حَقٌّ، جَازَ لَهُ الْفَتْوَى بِهِ؛ لِأَنَّ الْعَمَلَ بِالظَّنِّ وَاجِبٌ

“Boleh jadi ada orang yang berkata: Ketika seseorang lebih cenderung berasumsi bahwa metode yang ia pegang dahulu adalah metode yang kuat, maka sekarang ia memiliki dugaan kuat bahwa metode itu adalah yang benar, maka boleh baginya memberi fatwa dengannya. Karena beramal dengan dugaan itu wajib”. (Selesai).

Adapun jika mujtahid telah memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya, maka tidak boleh baginya membatalkannya jika kemudian terjadi perubahan dalam ijtihadnya dan ia condong pada pendapat yang menyelisihi ijtihad sebelumnya, karena hal itu akan menyebabkan hukum-hukum syariat menjadi tidak stabil.

Demikian pula, tidak boleh baginya membatalkan dengan ijtihadnya sendiri suatu keputusan yang telah ditetapkan oleh hakim lain berdasarkan ijtihadnya sendiri, karena hal ini akan membawa kepada kekacauan dan kerusakan, dan akan hilang maslahat dari pengangkatan para hakim, yang tujuan utamanya adalah memutus perselisihan, selama keputusan hakim pertama tidak bertentangan dengan dalil qath’i. Jika bertentangan dengan dalil qath’i, maka keputusan tersebut dibatalkan berdasarkan kesepakatan.

Jika seorang mujtahid memutuskan suatu perkara dengan sesuatu yang bertentangan dengan ijtihadnya, maka keputusannya batal, karena ia terikat untuk mengikuti hasil ijtihadnya. Ia tidak boleh berkata dengan sesuatu yang bertentangan dengannya, dan tidak halal baginya untuk mengikuti mujtahid lain dalam hal yang bertentangan dengan ijtihadnya. Bahkan, haram baginya untuk bertaklid secara mutlak jika ia telah berijtihad dalam suatu masalah dan ijtihadnya menghasilkan satu hukum, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Adapun sebelum ia berijtihad, maka yang benar adalah: tidak boleh baginya bertaklid kepada mujtahid lain secara mutlak.

Ada yang mengatakan: boleh baginya bertaklid dalam perkara yang berkaitan langsung dengannya, bukan dalam perkara yang tidak berkaitan langsung dengannya, maka tidak boleh.

Ada juga yang mengatakan: boleh baginya bertaklid kepada orang yang lebih berilmu darinya.

Ada pula yang mengatakan: boleh baginya bertaklid kepada mujtahid dari kalangan sahabat.

Para ahli ushul dalam pembahasan ini memiliki pembahasan yang panjang, namun tidak perlu diperluas, karena pendapat dalam masalah ini tidak bersandar kecuali semata-mata pada pendapat pribadi. [Referensi : Irsyād al-Fuhūl 2/235-237]

===***==

HUKUM MENYERAHKAN URUSAN FATWA DAN IJTIHAD KEPADA SESEORANG.

Al-Fakhrur Rāzī berkata dalam *Al-Maḥṣūl* 6/137:

اخْتَلَفُوا فِي أَنَّهُ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَقُولَ اللَّهُ تَعَالَى لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ لِلْعَالِمِ: احْكُمْ، فَإِنَّكَ لَا تَحْكُمُ إِلَّا بِالصَّوَابِ؟

فَقَطَعَ بِوُقُوعِهِ مُوَيْسُ بْنُ عِمْرَانَ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ، وَقَطَعَ جُمْهُورُ الْمُعْتَزِلَةِ بِامْتِنَاعِهِ.

وَتَوَقَّفَ الشَّافِعِيُّ فِي امْتِنَاعِهِ وَجَوَازِهِ، وَهُوَ الْمُخْتَارُ. انْتَهَى.

Ulama berbeda pendapat apakah boleh atau tidak Allah mengatakan kepada Nabi atau kepada seorang ulama: “Putuskanlah hukum, karena engkau tidak akan memutuskan kecuali dengan benar?”

Muwaīs bin ‘Imrān dari kalangan Mu‘tazilah menegaskan bahwa itu boleh terjadi, sedangkan mayoritas Mu‘tazilah menegaskan bahwa hal itu tidak mungkin.

Asy-Syāfi‘ī bersikap tawaqquf (tidak menegaskan boleh atau tidaknya), dan ini adalah pendapat yang dipilih. [Selesai].

Asy-Syawkani dalam Irsyād al-Fuhūl 2/237 menjelaskan:

"وَلَا خِلَافَ فِي جَوَازِ التَّفْوِيضِ إلى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوِ الْمُجْتَهِدِ، أَنْ يَحْكُمَ بِمَا رَآهُ بِالنَّظَرِ وَالِاجْتِهَادِ".

“Tidak ada perbedaan pendapat dalam kebolehan pelimpahan wewenang ijtihad kepada Nabi atau kepada mujtahid untuk memutuskan hukum berdasarkan pandangan dan ijtihadnya”.

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG MENGAMBIL
FATWA ULAMA YANG TANPA NALAR DAN IJTIHAD:

Asy-Syawkani dalam Irsyād al-Fuhūl 2/237 berkata:

“Adapun yang diperselisihkan dan diperdebatkan adalah dalam hal menyerahkan urusan ijtihad kepada seseorang untuk menetapkan hukum (dengan cara asal-asalan) hanya berdasarkan kehendak pribadi orang yang diberi wewenang (tanpa melalui ijtihad, nalar dan pengamatan) dan hanya berdasarkan bagaimana maunya dia saja. Orang yang berpendapat boleh menetapkan hukum secara spontan dan asal-asalan ini, berdalil :

أَنَّهُ لَيْسَ بِمُمْتَنِعٍ لِذَاتِهِ، وَالْأَصْلُ عَدَمُ امْتِنَاعِهِ لِغَيْرِهِ

Bahwasan-nya hal tersebut tidak mustahil secara dzat, dan hukum asalnya adalah tidak mustahil bagi luar dzatnya.

Namun dalil ini sangat lemah. Penyerahan dan pelimpahan kepada orang berilmu untuk memutuskan hukum secara asal-asalan semau dia tanpa terikat dengan nalar (النَّظَرُ) dan ijtihad -padahal hukum-hukum syariat memiliki jalan-jalan yang berbeda dan metode-metodenya beragam, serta tidak ada pengetahuan bagi seorang hamba tentang apa yang ada di sisi Allah dalam hal itu dan apa yang merupakan kebenaran yang Allah kehendaki dari para hamba-Nya-; maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim mengatakan kebolehan hal tersebut dan tidak boleh ragu akan kebatilannya.

Karena seorang alim meskipun dia menguasai ilmu-ilmu ijtihad dan memiliki kemampuan dalam berpikir dan berdalil, jika ia telah meneliti dan memeriksa serta memberikan hak kepada perjuangan ijtihadnya, maka yang ia miliki hanyalah sebatas dugaan kuat (مُجَرَّدُ الظَّنِّ), bahwa itu adalah pendapat yang ia tarjih dan ia unggulkan. Dan ia tidak memastikan bahwa itu adalah kebenaran yang dituntut oleh Allah . Dengan demikian, maka bagaimana mungkin ia diperbolehkan untuk mengatakan apa yang ia kehendaki (dengan cara asal-asalan alias semau dia) dan melakukan apa yang ia pilih tanpa ijtihad dan nalar?

Bagaimana mungkin hal seperti ini dibolehkan terhadap Allah , padahal sudah pasti bahwa orang alim yang dianggap boleh diberi pelimpahan wewenang mengeluarkan fatwa itu tetap terikat dengan syariat Islam, karena ia adalah salah satu dari pemeluknya. Ia dibebani dengan kewajiban sebagaimana yang dibebankan kepada selainnya, dan dituntut dengan apa yang dituntut dari mereka. Maka apa yang menggugurkan beban taklif darinya yang masih berlaku atas orang lain? Dan apa yang mengeluarkannya dari beban syariat yang ia terikat di dalamnya?

Bukankah pernyataan ini hanyalah bentuk kebodohan murni dan sikap sembrono yang nyata?

Bagaimana bisa dikatakan bahwa seorang hamba diberi pelimpahan wewenang, padahal ia tidak mengetahui apa yang ada dalam hukum Allah dari sisi maslahat, karena orang yang seperti ini bisa saja memilih sesuatu yang mengandung maslahat, dan juga bisa memilih sesuatu yang tidak mengandung maslahat.

Adapun dalil mereka dari firman Allah :

﴿ كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ﴾

"Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil kecuali apa yang diharamkan oleh Israil atas dirinya sendiri."** (QS. Ali ‘Imran: 93)

Maka itu keluar dari pokok permasalahan. Karena itu adalah pelimpahan wewenang kepada seorang nabi dari para nabi Allah, dan para nabi itu terjaga dari kesalahan. Jika mereka keliru, maka mereka tidak dibiarkan atas kesalahannya, dan seluruh tindakan mereka baik dalam memberi hukum maupun menariknya adalah berdasarkan wahyu dari Allah atau berdasarkan ijtihad yang kemudian disahkan dan diridhai oleh Allah .

Demikian pula dikatakan terhadap dalil-dalil yang mereka gunakan dari ijtihad Nabi kita dan jawaban beliau kepada orang yang bertanya sebelum turunnya wahyu, serta seperti sabda beliau :

"لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ"

“Seandainya aku tahu sebelumnya apa yang aku ketahui sekarang.”

Sebagaimana diriwayatkan al-Barraa al-‘Aazib :

كُنْتُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ حِينَ أَمَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْيَمَنِ، فَلَمَّا قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ عَلِيٌّ: فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ صَنَعْتَ؟ قُلْتُ: أَهْلَلْتُ بِإِهْلَالِكَ، قَالَ: فَإِنِّي سُقْتُ الْهَدْيَ وَقَرَنْتُ. قَالَ: وَقَالَ لِأَصْحَابِهِ: لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لَفَعَلْتُ كَمَا فَعَلْتُمْ، وَلَكِنِّي سُقْتُ الْهَدْيَ، وَقَرَنْتُ.

Aku bersama Ali bin Abi Thalib ketika Rasulullah mengutusnya sebagai pemimpin ke Yaman. Ketika ia kembali kepada Nabi , Ali berkata, “Aku pun mendatangi Rasulullah .” Maka Rasulullah bersabda kepadaku, “Bagaimana yang kamu lakukan?” Aku menjawab, “Aku berihram seperti ihrammu.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku menggiring hewan kurban (hadyu) dan menggabungkan antara umrah dan haji (haji qiron).”

Kemudian beliau berkata kepada para sahabatnya, “Kalau saja aku mengetahui dari awal apa yang aku ketahui sekarang, niscaya aku akan melakukan seperti apa yang kalian lakukan. Tetapi aku telah menggiring hewan kurban (hadyu) dan menggabungkan (antara haji dan umrah).”

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1797) dan Al-Nasa’i (2725) dan lafadz-nya adalah miliknya. Dinilalai shahih oleh al-Albaani]

Dan sama seperti sabda beliau saat mendengar bait-bait puisi dari Qutailah binti Al-Hārits:

"لَوْ بَلَغَنِي هَذَا لَمَنَنْتُ عَلَيْهِ"

“Seandainya aku mendengarnya sebelumnya, pasti aku akan memaafkannya.”

[[Tambahan dari penulis : Yakni saudaranya An-Naher bin Al-Ḥārits, salah satu tawanan Badar. Kisah dan syairnya masyhur. Dari Ibnu Ishaq, dari para sahabatnya, mereka berkata:

"Rasulullah pada hari Perang Badar membunuh 'Uqbah bin Abi Mu'ith secara *ṣhobr* (yakni ditahan lalu dibunuh tanpa perlawanan), beliau memerintahkan 'Ashim bin Tsabit, lalu ia pun memenggal lehernya. Kemudian ketika kembali dari Badar dan telah sampai di daerah Shafra', beliau membunuh an-Nadhr bin al-Harits bin Kaladah, salah satu dari Bani 'Abd ad-Dar; beliau memerintahkan 'Ali radhiyallahu ‘anhu untuk memenggal lehernya.

'Umar bin Syabbah dalam hadits ats-Tsīl (yang bermutu tinggi) menyebutkan:

'Lalu saudara perempuannya, Qutailah binti al-Harits, meratapi kematian saudaranya dengan syair:

يَا رَاكِبًا إِنَّ الأَثِيلَ مَظِنَّةٌ

Wahai pengendara, sesungguhnya daerah Atsīl adalah tempat yang biasa dikunjungi,

مِنْ صُبْحِ خَامِسَةٍ وَأَنْتَ مُوَفَّقُ

Di pagi hari kelima (sejak keberangkatan) dan engkau akan diberi taufik (petunjuk),

أَبْلِغْ بِهِ مَيِّتًا بِأَنَّ تَحِيَّةً

Sampaikanlah kepada sang mayit bahwa ada salam penghormatan,

مَا إِنْ تَزَالُ بِهَا النَّجَائِبُ تَخْفِقُ

Yang tetap berkibar bersama unta-unta yang mulia,

مِنِّي إِلَيْكَ وَعَبْرَةً مَسْفُوحَةً

Dari diriku untukmu dan air mata yang tercurah,

جَادَتْ بَدْرَتُهَا وَأُخْرَى تَخْنُقُ

Yang satu mengalir dan yang lain menyesakkan dada,

هَلْ يَسْمَعَنَّ النَّضْرُ إِنْ نَادَيْتُهُ

Apakah an-Nadhr bisa mendengar jika aku memanggilnya,

إِنْ كَانَ يَسْمَعُ هَالِكٌ لا يَنْطِقُ

Jika saja orang yang binasa bisa mendengar meskipun tak bisa bicara,

ظَلَّتْ سُيُوفُ بَنِي أَبِيهِ تَنُوشُهُ

Pedang-pedang kaum Bani Abi-nya terus menyerangnya,

لِلَّهِ أَرْحَامٌ هُنَاكَ تَشَقَّقُ

Padahal demi Allah, ada hubungan rahim di sana yang telah tercerai,

صَبْرًا يُقَادُ إِلَى الْمَنِيَّةِ مُتْعَبًا

Ia digiring menuju kematian dalam keadaan lelah,

رَسْفُ الْمُقَيَّدِ وَهْوَ عَانٍ مُوثَقُ

Seperti tawanan yang dibelenggu dan terikat erat,

أَمُحَمَّدٌ وَلأَنْتَ نَسْلُ نَجِيبَةٍ

Wahai Muhammad, sungguh engkau adalah keturunan dari wanita mulia,

فِي قَوْمِهَا وَالْفَحْلُ فَحْلٌ مُعْرَقُ

Dari kaumnya dan jantan pun dari keturunan yang murni,

مَا كَانَ ضَرَّكَ لَوْ مَنَنْتَ وَرُبَّمَا

Tidaklah merugikanmu andai engkau memberi ampunan, dan sungguh sering

مَنَّ الْفَتَى وَهْوَ الْمُغِيظُ الْمُحْنَقُ

Seorang pemuda memberi maaf padahal hatinya sedang murka dan geram,

أَوْ كُنْتَ قَابِلَ فِدْيَةٍ فَلْنَأْتِيَنَّ

Atau jika engkau bersedia menerima tebusan, tentu kami akan datang membawa

بِأَعَزَّ مَا يَغْلُو لَدَيْكَ وَيُنْفَقُ

Sesuatu yang paling berharga di sisimu dan paling layak untuk dibayarkan,

وَالنَّضْرُ أَقْرَبُ مَنْ أَخَذْتَ بِزِلَّةٍ

Dan sungguh, an-Nadhr adalah orang yang paling dekat yang engkau hukum karena kesalahan,

وَأَحَقُّهُمْ إِنْ كَانَ عِتْقٌ يُعْتَقُ

Dan ia adalah orang yang paling berhak untuk dibebaskan jika benar ada pembebasan.

Lalu sampailah berita kepada kami bahwa Nabi bersabda:

" لَوْ سَمِعْتُ هَذَا قَبْلَ أَنْ أَقْتُلَهُ مَا قَتَلْتُهُ "

*"Seandainya aku mendengar ini (syairnya) sebelum aku membunuhnya, maka sungguh aku tidak akan membunuhnya."*

Dikatakan bahwa syairnya adalah syair wanita yang ditinggal mati (*mawtūrah*) paling mulia, paling terjaga kesuciannya, paling menahan diri, dan paling penyabar.

Catatan Takhrij: Al-'Iraqiy dalam *Takhrīj Mukhtashar al-Minhāj* (hal. 80) berkata:

*"Di dalam sanadnya terdapat al-Kalbī, dan dia sangat dha'if (lemah sekali)."*]]

Lalu Asy-Syawkani berkata :

“Adapun alasan orang yang mencoba membela pendapat yang mengatakan kebolehan menetapkan hukum tanpa nalar dan tanpa ijtihad itu, dengan mengatakan : “bahwa ia hanya menyatakan kebolehan tanpa menyatakan apa yang terjadi sebenarnya”, maka alasan ini tidak ada nilainya. Karena memperbolehkan hal seperti ini terhadap Allah adalah sesuatu yang tidak halal bagi seorang muslim untuk mengatakannya.

Dan engkau telah mengetahui bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam kebolehan pelimpahan dan penyerahan kepada para nabi dan kepada para mujtahid dengan syarat berpikir, bernalar dan berijtihad.

Maka yang menjadi pokok perdebatan hanyalah pelimpahan wewenang ijtihad kepada orang yang memiliki ilmu untuk memutuskan hukum sesuai kehendaknya dan bagaimana pun ia menghendakinya.

Saat itulah akan menjadi jelas bagi anda bahwa sebagian besar dalil yang mereka bawakan dalam masalah ini tidak pada tempatnya, dan bahwa tidak mungkin berdalil dengannya dalam pokok perdebatan. Mereka tidak membawa dalil yang bisa diterima oleh akal, dan tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari syariat. Bahkan seluruh yang mereka bawakan adalah kebodohan di atas kebodohan, dan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk.

[Referensi : Irsyād al-Fuhūl 2/237-239].

===****===

HUKUM TAKLID KEPADA MUJTAHID

****

TENTANG DEFINISI TAKLID, MUFTI, DAN MUSTAFTI

Tentang definisi taklid, mufti, dan mustafti

DEFINISI TAKLID :

Adapun taklid secara bahasa berasal dari kata الْقِلَادَةِ ( kalung), yaitu sesuatu yang dikalungkan kepada orang lain. Dari kata ini pula berasal istilah تَقْلِيدُ الْهَدْيِ (mengalungkan tanda pada hewan kurban). Maka seakan-akan orang yang bertaklid menjadikan hukum yang dia ambil dari seorang mujtahid itu seperti kalung di leher orang yang dia ikuti.

Makna Taklid Secara Istilah :

Al-Jurjani berkata:

"عِبَارَةٌ عَنْ اتِّبَاعِ الإِنْسَانِ غَيْرَهُ فِيمَا يَقُولُ أَوْ يَفْعَلُ، مُعْتَقِدًا لِلْحَقِيقَةِ فِيهِ، مِنْ غَيْرِ نَظَرٍ وَتَأَمُّلٍ فِي الدَّلِيلِ"

“Ungkapan tentang seseorang mengikuti orang lain dalam perkataan atau perbuatan, dengan meyakini kebenaran di dalamnya, tanpa nalar dan meneliti dalilnya”. [at-Ta’rifaat, hal. 64].

Definisi lain:

"هُوَ الْعَمَلُ بِقَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ".

“Mengamalkan pendapat orang lain tanpa dalil”.

[Lihat : Nafaais al-Ushuul 9/3918 oleh al-Qorroofi, Taysiir at-Tahriir 4/244 oleh Ibnu al-Humaam dan A’laam al-Muwaqqi’iin 2/178 oleh Ibnu al-Qoyyim (Cet. Ath-Thobariyah)].

Asy-Syawkani berkata :

فَيَخْرُجُ الْعَمَلُ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْعَمَلُ بِالْإِجْمَاعِ، وَرُجُوعُ الْعَامِّيِّ إِلَى الْمُفْتِي، وَرُجُوعُ الْقَاضِي إِلَى شَهَادَةِ الْعُدُولِ، فَإِنَّهَا قَدْ قَامَتِ الْحُجَّةُ فِي ذَلِكَ.

أَمَّا الْعَمَلُ بِقَوْلِ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبِالْإِجْمَاعِ، فَقَدْ تَقَدَّمَ الدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ فِي مَقْصِدِ السُّنَّةِ، وَفِي مَقْصِدِ الْإِجْمَاعِ.

وَأَمَّا رُجُوعُ الْقَاضِي إِلَى قَوْلِ الشُّهُودِ: فَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ مَا فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، مِنَ الْأَمْرِ بِالشَّهَادَةِ، وَالْعَمَلِ بِهَا، وَقَدْ وَقَعَ الْإِجْمَاعُ عَلَى ذَلِكَ.

وَأَمَّا رُجُوعُ الْعَامِّيِّ إِلَى قَوْلِ الْمُفْتِي، فَلِلْإِجْمَاعِ عَلَى ذَلِكَ.

وَيَخْرُجُ عَنْ ذَلِكَ قَبُولُ رِوَايَةِ الرُّوَاةِ، فَإِنَّهُ قَدْ دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى قَبُولِهَا، وَوُجُوبِ الْعَمَلِ بِهَا، وَأَيْضًا: لَيْسَتْ قَوْلَ الرَّاوِي، بَلْ قَوْلَ مَنْ رَوَى عَنْهُ، إِنْ كَانَ مِمَّنْ تَقُومُ بِهِ الْحُجَّةُ.

Dengan definisi ini, tidak termasuk dalam taklid: mengamalkan sabda Rasulullah , mengamalkan ijma', orang awam merujuk kepada seorang mufti dalam pengambilan fatwa, dan seorang qadhi merujuk kepada kesaksian orang-orang adil dalam pegadilan. Karena semua itu telah ada dalilnya.

Adapun mengamalkan sabda Rasulullah  dan ijma', maka dalilnya telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan tentang sunnah dan ijma'.

Adapun rujukan qadhi kepada ucapan para saksi, maka dalilnya adalah apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah tentang perintah untuk bersaksi dan mengamalkannya. Dan telah terjadi ijma' atas hal itu.

Adapun rujukan orang awam kepada ucapan mufti, maka itu didasarkan pada ijma'.

Adapun menerima riwayat para perawi, maka dalil telah menunjukkan kewajiban menerimanya dan wajib mengamalkannya. Juga karena itu bukanlah ucapan si perawi, tapi ucapan orang yang diriwayatkan darinya, jika dia termasuk orang yang menjadi hujjah”. [Baca : Irsyād al-Fuḥūl 2/239]

Ibnu al-Humām berkata dalam At-Tarīr:

التَّقْلِيدُ الْعَمَلُ بِقَوْلِ مَنْ لَيْسَ قَوْلُهُ إِحْدَى الْحُجَجِ بِلَا حُجَّةٍ

"Taklid adalah mengamalkan ucapan orang - yang ucapannya bukan termasuk salah satu dari hujjah-hujjah (dalil yang empat)- tanpa dalil." [Baca : Taysiir at-Tahriir 4/241 dan at-Taqrir wat Tahriir 3/340].

Ini adalah definisi yang lebih baik daripada sebelumnya.

Al-Qaffaāl dalam Syarah at-Talkhish berkata:

هُوَ قَبُولُ قَوْلِ الْقَائِلِ، وَأَنْتَ لَا تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ.

"Taklid adalah menerima ucapan seseorang, padahal engkau tidak tahu dari mana dia berkata begitu."

[Baca : al-Bahrul Muhith oleh Badruddin az-Zarkasyi 8/316 dan as-Sailul Jarraar oleh asy-Syawkani hal. 11].

Syaikh Abu Ḥāmid dan Al-Ustāż Abu Manṣūr berkata:

هُوَ قَبُولُ الْقَوْلِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ تَظْهَرُ عَلَى قَوْلِهِ.

"Taklid adalah menerima suatu pendapat tanpa adanya dalil yang tampak atas pendapat itu."

[Baca : al-Bahrul Muhith oleh Badruddin az-Zarkasyi 8/316 dan as-Sailul Jarraar oleh asy-Syawkani hal. 11].

Ada pula yang berkata:

وَقِيلَ: هُوَ قَبُولُ قول الْغَيْرِ دُونَ حُجَّتِهِ، أَيْ: حُجَّةِ الْقَوْلِ.

"Taklid adalah menerima pendapat orang lain tanpa dalilnya, yakni dalil dari pendapat itu."

Yang paling utama adalah dengan mengatakan:

هُوَ قَبُولُ رَأْيِ مَنْ لَا تَقُومُ بِهِ الْحُجَّةُ بِلَا حُجَّةٍ.

"Taklid adalah menerima pendapat orang yang tidak menjadi hujjah, tanpa dalil."

Faedah dari batasan-batasan ini sudah dikenal dari penjelasan sebelumnya.

DEFINISI MUFTI :

Adapun mufti adalah mujtahid. Sama seperti ucapan orang yang mengatakan bahwa mufti adalah seorang faqih, karena yang dimaksud dengan faqih di sini adalah mujtahid menurut istilah ahli usul.

DEFINISI MUSTAFTI :

Adapun mustafti (peminta fatwa) adalah orang yang bukan mujtahid, dan bukan pula seorang faqih.

Dan anda telah mengetahui dari definisi orang yang bertaklid dalam seluruh definisi yang disebutkan, bahwa menerima ucapan Nabi dan mengamalkannya bukanlah bagian dari taklid sama sekali, karena ucapan dan perbuatan beliau itu sendiri adalah hujjah.

Qadhi usain (w. 462 H) berkata dalam At-Taʿlīq:

لَا ‌خِلَافَ ‌أَنَّ ‌قَبُولَ ‌قَوْلِ ‌غَيْرِ ‌النَّبِيِّ - ‌صَلَّى ‌اللَّهُ ‌عَلَيْهِ ‌وَسَلَّمَ - ‌مِنْ ‌الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ يُسَمَّى تَقْلِيدًا.

وَأَمَّا قَبُولُ قَوْلِهِ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - فَهَلْ يُسَمَّى تَقْلِيدًا؟ وَجْهَانِ يَنْبَنِيَانِ عَلَى الْخِلَافِ فِي حَقِيقَةِ التَّقْلِيدِ مَاذَا؟ قُلْت: وَذَكَرَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيُّ فِي الْمَسْأَلَةِ فِي أَوَّلِ السِّلْسِلَةِ " أَنَّ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَنَّهُ يُسَمَّى تَقْلِيدًا، فَإِنَّهُ قَالَ فِي حَقِّ الصَّحَابِيِّ لَمَّا ذَهَبَ إلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ الْأَخْذُ بِقَوْلِهِ مَا نَصُّهُ: فَإِمَّا أَنْ يُقَلِّدَهُ فَلَمْ يَجْعَلْ اللَّهُ ذَلِكَ لِأَحَدٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. انْتَهَى

"Tidak ada perbedaan pendapat bahwa menerima ucapan selain Nabi dari kalangan sahabat dan tabi'in disebut sebagai taklid. Adapun menerima ucapan Nabi , apakah disebut taklid? Maka ada dua pendapat, tergantung perbedaan pandangan tentang hakikat taklid itu sendiri."

Syaikh Abu Muhammad al-Juwainy (w. 438 H) menyebut bahwa pendapat yang dinyatakan oleh Asy-Syafi'i adalah bahwa itu disebut taklid. Karena beliau berkata tentang ucapan sahabat saat menyatakan bahwa tidak wajib mengikutinya: “Adapun bertaklid kepadanya, maka Allah tidak menjadikan hal itu bagi siapa pun setelah Rasulullah .”

[Di kutip oleh Badruddin az-Zarkasyi dalam al-Bahrul Muhith 8/317 dan asy-Saywkani dalam Irsyad al-Fuhul 2/240].

Tidak tersembunyi dari anda bahwa maksud beliau dengan taklid di sini bukanlah seperti dalam istilah teknis ulama usul. Oleh karena itu, Ar-Ruyānī dalam Al-Bar mengatakan:

"‌أَطْلَقَ ‌الشَّافِعِيُّ ‌عَلَى ‌جَعْلِ ‌الْقَبُولِ ‌مِنْ ‌النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - تَقْلِيدًا وَلَمْ يُرِدْ حَقِيقَةَ التَّقْلِيدِ، وَإِنَّمَا أَرَادَ الْقَبُولَ مِنْ السُّؤَالِ عَنْ وَجْهِهِ.

وَفِي وُقُوعِ اسْمِ التَّقْلِيدِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ، قَالَ: وَالصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يَتَنَاوَلُهُ هَذَا الِاسْمُ".

“Asy-Syafi’i menyebut menerima dari Nabi sebagai taklid, namun beliau tidak bermaksud hakikat taklid, melainkan hanya menerima tanpa bertanya sebabnya.” Dan dalam penamaan perbuatan itu sebagai taklid, ada dua pendapat.

Beliau berkata: “Dan pendapat yang sahih dari madzhab adalah bahwa istilah taklid mencakup hal tersebut.”

[Di kutip oleh Badruddin az-Zarkasyi dalam al-Bahrul Muhith 8/317 dan asy-Saywkani dalam Irsyad al-Fuhul 2/240].

Badruddin Az-Zarkasyī dalam Al-Bar berkata:

وَفِي هَذَا إشَارَةٌ إلَى رُجُوعِ الْخِلَافِ إلَى اللَّفْظِ، وَبِهِ صَرَّحَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فِي التَّلْخِيصِ " وَقَالَ: هُوَ اخْتِلَافٌ فِي عِبَارَةٍ يَهُونُ مَوْقِعُهَا عِنْدَ ذَوِي التَّحْقِيقِ. وَاخْتَارَ ابْنُ السَّمْعَانِيِّ أَنَّهُ لَا يُسَمَّى تَقْلِيدًا، بَلْ هُوَ اتِّبَاعُ شَخْصٍ، لِأَنَّ الدَّلِيلَ قَدْ قَامَ فِي أَنَّ لَهُ حُجَّةً، فَلَا يَكُونُ قَبُولُ قَوْلِهِ قَبُولَ قَوْلٍ فِي الدِّينِ مِنْ قَائِلِهِ بِلَا حُجَّةٍ

“Dan dalam hal ini terdapat isyarat bahwa perbedaan itu kembali kepada lafaz, dan hal ini telah ditegaskan oleh Imam al-Haramain dalam kitab *at-Talkhish*, beliau berkata: "Itu adalah perbedaan dalam ungkapan yang ringan kedudukannya menurut para ahli tahqiq."

Ibnu as-Sam'ani memilih pendapat bahwa hal itu tidak disebut taklid, tetapi mengikuti seseorang, karena dalil telah menunjukkan bahwa ia memiliki hujjah, maka menerima pendapatnya bukanlah termasuk menerima pendapat dalam agama dari seseorang tanpa hujjah”.

Dengan ini engkau mengetahui bahwa taklid menurut makna istilah tidak mencakup hal itu, dan itulah yang dimaksud.

Ibnu Daqīq al-‘Īd berkata:

"إِنْ قُلْنَا إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَا يَجْتَهِدُونَ، فَقَدْ عَلِمْنَا أَنَّ سَبَبَ أَقْوَالِهِمُ الْوَحْيُ، فَلَا يَكُونُ تَقْلِيدًا، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُمْ يَجْتَهِدُونَ، فَقَدْ عَلِمْنَا أَنَّ السَّبَبَ أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ: إِمَّا الْوَحْيُ، أَوِ الِاجْتِهَادُ، وَعَلَى كُلِّ تَقْدِيرٍ، فَقَدْ عَلِمْنَا السَّبَبَ، وَاجْتِهَادُهُمُ اجْتِهَادٌ مَعْلُومُ الْعِصْمَةِ". انْتَهَى.

“Jika kita mengatakan bahwa para nabi tidak berijtihad, maka kita mengetahui bahwa sebab dari ucapan mereka adalah wahyu, maka itu bukanlah taklid. Dan jika kita mengatakan bahwa mereka berijtihad, maka kita mengetahui bahwa sebabnya adalah salah satu dari dua hal: wahyu atau ijtihad. Dalam dua kemungkinan itu, kita telah mengetahui sebabnya. Dan ijtihad mereka adalah ijtihad yang diketahui terjaga dari kesalahan (ma'shum).”

[Baca : al-Bahrul Muhith oleh Badruddin az-Zarkasyi 8/316 dan Irsyād al-Fuḥūl 2/240].

Qadhi dalam At-Taqrīb menukil ijma' bahwa orang yang mengambil ucapan Nabi dan kembali kepadanya bukanlah seorang muqallid, melainkan dia kembali kepada dalil dan ilmu yang yakin. Selesai. [Dikutip dari Irsyād al-Fuḥūl 2/240].

===***===

HUKUM TAKLID DALAM USHULUDDIN (POKOK-POKOK AGAMA)

Mereka berselisih pendapat dalam masalah-masalah akal, yaitu yang berkaitan dengan keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya, apakah boleh melakukan taklid dalam masalah itu atau tidak.

PENDAPAT PERTAMA :

Dibolehkan melakukan taklid dalam masalah akidah menurut pendapat yang dinukil dari para imam madzhab yang empat, dan hal ini masyhur dari kalangan Hanabilah, Dzohiriyah, dan selain mereka.

[Lihat: *Al-Bahr Al-Muhith* karya Az-Zarkasyi (8/324), *Irsyad Al-Fuhul* karya Asy-Syaukani (2/241), *Al-Ihkam* karya Al-Amidi (4/223)].

Asy-Syawkani berkata :

حَكَى الرَّازِيُّ فِي "الْمَحْصُولِ" عَنْ كَثِيرٍ مِنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَجُوزُ، وَلَمْ يَحْكِهِ ابْنُ الْحَاجِبِ في "المختصر" إلا عن العنبري.

Ar-Razi menyebutkan dalam *Al-Mahsūl* bahwa banyak dari para fuqaha membolehkannya. Namun Ibnu al-Hajib dalam *Al-Mukhtashar* hanya meriwayatkan dari al-‘Anbari. [Irsyad al-Fuhul

Ibnu Taimiyah menisbatkan hal ini kepada mayoritas umat. Ibnu Taimiyah berkata:

(أَمَّا فِي الْمَسَائِلِ الْأُصُولِيَّةِ فَكَثِيرٌ مِنَ الْمُتَكَلِّمَةِ وَالْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ مَنْ يُوجِبُ النَّظَرَ وَالِاسْتِدْلَالَ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ، … وَأَمَّا جُمْهُورُ الْأُمَّةِ فَعَلَى خِلَافِ ذَلِكَ، فَإِنَّ مَا وَجَبَ عِلْمُهُ إِنَّمَا يَجِبُ عَلَى مَنْ يَقْدِرُ عَلَى تَحْصِيلِ الْعِلْمِ، وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ عَاجِزٌ عَنِ الْعِلْمِ بِهَذِهِ الدَّقَائِقِ، فَكَيْفَ يُكَلَّفُ الْعِلْمَ بِهَا؟!)

"Adapun dalam masalah-masalah pokok-pikok agama, banyak dari kalangan mutakallimin dan fuqaha dari kalangan kami dan selain kami yang mewajibkan nadzor (pengamatan) dan berdalil atas setiap orang, ...

Adapun mayoritas umat tidak demikian, karena ilmu yang wajib hanyalah bagi orang yang mampu meraihnya, dan banyak manusia tidak mampu memahami hal-hal yang rumit ini, maka bagaimana bisa mereka dibebani untuk mengetahuinya?!" [lihat: *Majmu’ Al-Fatawa* (20/202)].

Di antara dalil terpenting mereka adalah: "Bahwa perkara ushul dan furu’ sama-sama dikenai kewajiban, dan jika taklid dibolehkan dalam furu’, maka demikian pula dalam ushul."

[lihat: *Al-Ihkam* karya Al-Amidi (4/225)].

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa dalam akidah yang dituntut adalah yang yakin dan pasti (اليَقِيْن), sedangkan dalam furu’ adalah prasangka (dzonn), maka ini termasuk bid’ah mutakallimin yang masyhur, dan karena alasan ini mereka berkata: tidak boleh berhujah dengan hadits ahad dalam masalah akidah, keimanan orang yang bertaklid tidak sah, dan berbagai bid’ah lainnya.

Tidak ada dalil yang membedakan antara keduanya. Mereka membantah orang yang mensyaratkan atau mewajibkan nalar (النَّظَر) atas seluruh manusia dengan menyatakan bahwa hal itu berarti menyesatkan atau mengkafirkan kaum awam dari kaum muslimin, dan itu termasuk membebani sesuatu yang tidak mampu dilakukan.

Al-Mudzaffar bin As-Sam’ani berkata:

(إِيجَابُ مَعْرِفَةِ الْأُصُولِ عَلَى مَا يَقُولُهُ الْمُتَكَلِّمُونَ بَعِيدٌ جِدًّا عَنِ الصَّوَابِ، وَمَتَى أَوْجَبْنَا ذَلِكَ فَمَتَى يُوجَدُ مِنَ الْعَوَامِّ مَنْ يَعْرِفُ ذَلِكَ، وَتَصْدُرُ عَقِيدَتُهُ عَنْهُ؟! بَلْ يَكُونُ أَكْثَرُ الْعَوَامِّ بِحَيْثُ لَوْ عُرِضَ عَلَيْهِمْ تِلْكَ الدَّلَائِلُ لَمْ يَفْهَمُوهَا أَصْلًا، فَضْلًا مِنْ أَنْ يَصِيرُوا أَصْحَابَ دَلَائِلَ، وَيَقِفُوا عَلَى الْعَقَائِدِ بِالطُّرُقِ الْبُرْهَانِيَّةِ، وَإِنَّمَا غَايَةُ الْعَامِّيِّ أَنْ يَتَلَقَّى مَا يُرِيدُ أَنْ يَعْتَقِدَهُ وَيَلْقَى بِهِ رَبَّهُ مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَيَتَّبِعَهُمْ فِي ذَلِكَ وَيُقَلِّدَهُمْ، ... عَلَى أَنَّا لَا نُنْكِرُ مِنَ الدَّلَائِلِ الْعَقْلِيَّةِ بِقَدْرِ مَا يَنَالُ الْمُسْلِمُ بِهِ بَرْدَ الْيَقِينِ، وَيَزْدَادُ بِهِ ثِقَةً فِيمَا يَعْتَقِدُهُ وَطُمَأْنِينَةً، وَإِنَّمَا نُنْكِرُ إِيجَابَ التَّوَصُّلِ إِلَى الْعَقَائِدِ فِي الْأُصُولِ بِالطَّرِيقِ الَّذِي اعْتَقَدُوهُ، وَسَامُوا جَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ سُلُوكَ طَرِيقِهِ، وَزَعَمُوا أَنَّهُ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَمْ يَعْرِفِ اللهَ تَعَالَى، ثُمَّ أَدَّى بِهِمْ ذَلِكَ إِلَى تَكْفِيرِ الْعَوَامِّ أَجْمَعَ!)

"Mewajibkan mengetahui perkara ushul sebagaimana dikatakan oleh mutakallimin sangat jauh dari kebenaran. Kalau kita mewajibkan hal itu, maka kapan bisa ditemukan dari kalangan awam orang yang mengetahuinya dan akidahnya bersumber darinya?! Bahkan kebanyakan awam, jika ditampilkan dalil-dalil itu kepada mereka, tidak akan memahaminya sama sekali, apalagi menjadi orang yang mampu berdalil dan mengakses akidah melalui metode burhani. Adapun kemampuan orang awam hanyalah menerima dari para ulama apa yang ingin ia yakini dan untuk dibawa menghadap Rabb-nya, lalu mengikutinya dan bertaklid kepadanya, ...

Meskipun begitu, kami tidak mengingkari dalil-dalil akal sejauh yang bisa memberi ketenangan kepada seorang muslim dan menambah keyakinannya terhadap apa yang ia yakini, serta ketentraman hati. Yang kami ingkari adalah mewajibkan pencapaian akidah dalam masalah ushul melalui metode yang mereka anggap sebagai satu-satunya jalan, lalu mereka memaksa seluruh kaum muslimin menempuhnya, dan mereka menyangka bahwa orang yang tidak melakukannya tidak mengenal Allah ta'ala. Ini kemudian membawa mereka pada pengkafiran terhadap seluruh kaum awam!"

[lihat: *Qawaathi’ Al-Adillah fi Al-Ushul* (2/346), *Al-Bahr Al-Muhith* karya Az-Zarkasyi (8/326), *Irsyad Al-Fuhul* karya Asy-Syaukani (2/241)].

Shalahuddin Al-‘Ala-i berkata:

(مَنْ لَا أَهْلِيَّةَ لَهُ لِفَهْمِ شَيْءٍ مِنَ الْأَدِلَّةِ أَصْلًا وَحَصَلَ لَهُ الْيَقِينُ التَّامُّ بِالْمَطْلُوبِ، إِمَّا بِنَشْأَتِهِ عَلَى ذَلِكَ أَوْ لِنُورٍ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي قَلْبِهِ، فَإِنَّهُ يُكْتَفَى مِنْهُ ذَلِكَ، وَمَنْ فِيهِ أَهْلِيَّةٌ لِفَهْمِ الْأَدِلَّةِ لَمْ يُكْتَفَ مِنْهُ إِلَّا بِالْإِيمَانِ عَنْ دَلِيلٍ، وَمَعَ ذَلِكَ فَدَلِيلُ كُلِّ أَحَدٍ بِحَسَبِهِ، وَتَكْفِي الْأَدِلَّةُ الْمُجْمَلَةُ الَّتِي تَحْصُلُ بِأَدْنَى نَظَرٍ، وَمَنْ حَصَلَتْ لَهُ شُبْهَةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ التَّعَلُّمُ إِلَى أَنْ تَزُولَ عَنْهُ، …

أَمَّا مَنْ غَلَا فَقَالَ: لَا يَكْفِي إِيمَانُ الْمُقَلِّدِ، فَلَا يُلْتَفَتُ إِلَيْهِ؛ لِمَا يَلْزَمُ مِنْهُ الْقَوْلُ بِعَدَمِ إِيمَانِ أَكْثَرِ الْمُسْلِمِينَ، وَكَذَا مَنْ غَلَا أَيْضًا فَقَالَ: لَا يَجُوزُ النَّظَرُ فِي الْأَدِلَّةِ؛ لِمَا يَلْزَمُ مِنْهُ مِنْ أَنَّ أَكَابِرَ السَّلَفِ لَمْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ النَّظَرِ)

"Barang siapa yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami dalil sedikit pun, namun telah mendapatkan keyakinan penuh terhadap apa yang dituntut, baik karena tumbuh besar di atasnya atau karena cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hatinya, maka itu sudah cukup darinya. Adapun orang yang memiliki kemampuan memahami dalil, maka tidak mencukupi darinya kecuali iman yang bersumber dari dalil. Meskipun demikian, dalil setiap orang berbeda-beda sesuai tingkatannya. Dalil-dalil global yang bisa diperoleh dengan sedikit nazhar sudah mencukupi. Siapa yang tertimpa syubhat, maka wajib baginya untuk belajar hingga syubhat itu hilang darinya. ...

Adapun orang yang berlebihan dan berkata: tidak cukup iman seorang muqallid, maka tidak perlu diperhatikan pendapatnya; karena hal itu berarti menyatakan mayoritas kaum muslimin tidak beriman. Demikian pula orang yang berlebihan dengan berkata: tidak boleh melakukan nazhar terhadap dalil-dalil; karena hal itu berarti menyatakan bahwa para salaf besar bukan termasuk ahli nazhar." [lihat: *Fathul Bari* (13/354)].

Dan yang nampak dari perkataan para imam adalah bahwa udzur karena taqlid termasuk jenis udzur karena ta’wil dan kebodohan, karena orang yang bertaqlid dianggap sebagai orang jahil yang tidak memahami dalil atau hujjah. Maka jika orang yang terjatuh dalam kekufuran karena ta’wil padahal ia memiliki ilmu dan ijtihad diberi udzur, maka orang awam jahil yang mengikuti (bertaqlid) kepadanya tentu lebih pantas untuk diberi udzur.

Ibnu Taimiyah berkata setelah membahas kekufuran dan kesesatan penganut hulul dan ittihad dari golongan ekstremis sufi seperti Ibnu Sab'in, Ibnu Arabi, Ibnu al-Faridh dan yang semisal mereka:

"فَكُلُّ ‌مَنْ ‌كَانَ ‌أَخْبَرَ ‌بِبَاطِنِ ‌هَذَا ‌الْمَذْهَبِ وَوَافَقَهُمْ عَلَيْهِ كَانَ أَظْهَرَ كُفْرًا وَإِلْحَادًا. وَأَمَّا الْجُهَّالُ الَّذِينَ يُحْسِنُونَ الظَّنَّ بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ وَلَا يُفْهِمُونَهُ وَيَعْتَقِدُونَ أَنَّهُ مِنْ جِنْسِ كَلَامِ الْمَشَايِخِ الْعَارِفِينَ الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامِ صَحِيحٍ لَا يَفْهَمُهُ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَهَؤُلَاءِ تَجِدُ فِيهِمْ إسْلَامًا وَإِيمَانًا وَمُتَابَعَةً لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ بِحَسَبِ إيمَانِهِمْ التَّقْلِيدِيِّ وَتَجِدُ فِيهِمْ إقْرَارًا لِهَؤُلَاءِ وَإِحْسَانًا لِلظَّنِّ بِهِمْ وَتَسْلِيمًا لَهُمْ بِحَسَبِ جَهْلِهِمْ وَضَلَالِهِمْ؛ وَلَا يُتَصَوَّرُ أَنْ يُثْنِيَ عَلَى هَؤُلَاءِ إلَّا كَافِرٌ مُلْحِدٌ أَوْ جَاهِلٌ ضَالٌّ".

“Maka siapa saja yang mengetahui hakikat batin madzhab ini dan menyetujuinya, maka ia lebih nyata kekufurannya dan ilhadnya. Adapun orang-orang jahil yang berbaik sangka terhadap ucapan mereka dan tidak memahaminya, serta mengira bahwa itu sejenis dengan ucapan para syaikh arifin yang berbicara dengan perkataan yang benar namun tidak dipahami oleh banyak orang, maka pada mereka terdapat keislaman dan keimanan serta pengikutan kepada al-Kitab dan as-Sunnah sesuai kadar keimanan mereka yang bersifat taqlid. Dan pada mereka juga terdapat pengakuan terhadap tokoh-tokoh tersebut dan berbaik sangka kepada mereka serta ketundukan kepada mereka sesuai kadar kebodohan dan kesesatan mereka. Dan tidaklah mungkin memuji mereka kecuali orang kafir zindik atau orang jahil yang sesat.” [Lihat: Majmu’ al-Fatawa (2/367)]

Beliau juga berkata dalam tempat lain saat menyebut sikap Ahmad bin Hanbal terhadap para khalifah yang mengatakan perkataan Jahmiyah serta menguji dan menyiksa siapa yang menyelisihi mereka:

وَمَعَ هَذَا فَالْإِمَامُ أَحْمَد رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى تَرَحَّمَ عَلَيْهِمْ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ لِعِلْمِهِ بِأَنَّهُمْ لِمَنْ يُبَيِّنُ لَهُمْ أَنَّهُمْ مُكَذِّبُونَ لِلرَّسُولِ وَلَا جَاحِدُونَ لِمَا جَاءَ بِهِ وَلَكِنْ تَأَوَّلُوا فَأَخْطَئُوا وَقَلَّدُوا مَنْ قَالَ لَهُمْ ذَلِكَ

“Meskipun demikian, Imam Ahmad rahimahullah ta'ala tetap mendoakan rahmat dan memohonkan ampunan untuk mereka, karena beliau tahu bahwa belum jelas bagi mereka bahwa mereka itu mendustakan Rasul atau mengingkari apa yang dibawanya. Tetapi mereka telah melakukan ta’wil lalu keliru, dan mereka mengikuti (bertaqlid kepada) orang yang berkata demikian kepada mereka.” \[Lihat: Majmu’ al-Fatawa (23/349)]

Di tempat lain, beliau juga menyebutkan udzur terhadap sebagian orang yang bertaqlid kepada para syaikh dan ulama dalam hal yang tergolong masalah kesyirikan. Beliau berkata:

"وَإِنْ كَانَتْ مِنْ جِنْسِ الشِّرْكِ ‌فَهَذَا ‌الْجِنْسُ ‌لَيْسَ ‌فِيهِ ‌شَيْءٌ ‌مَأْمُورٌ ‌بِهِ لَكِنْ قَدْ يَحْسَبُ بَعْضُ النَّاسِ فِي بَعْضِ أَنْوَاعِهِ أَنَّهُ مَأْمُورٌ بِهِ. وَهَذَا لَا يَكُونُ مُجْتَهِدًا؛ لِأَنَّ الْمُجْتَهِدَ لَا بُدَّ أَنْ يَتَّبِعَ دَلِيلًا شَرْعِيًّا وَهَذِهِ لَا يَكُونُ عَلَيْهَا دَلِيلٌ شَرْعِيٌّ لَكِنْ قَدْ يَفْعَلُهَا بِاجْتِهَادِ مِثْلِهِ: وَهُوَ تَقْلِيدُهُ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْ الشُّيُوخِ وَالْعُلَمَاءِ وَاَلَّذِينَ فَعَلُوا ذَلِكَ قَدْ فَعَلُوهُ لِأَنَّهُمْ رَأَوْهُ يَنْفَعُ؛ أَوْ لِحَدِيثِ كَذِبٍ سَمِعُوهُ. فَهَؤُلَاءِ إذَا لَمْ تَقُمْ عَلَيْهِمْ الْحُجَّةُ بِالنَّهْيِ لَا يُعَذَّبُونَ".

“... Meskipun termasuk dalam jenis kesyirikan, maka jenis ini tidak ada padanya sesuatu yang diperintahkan. Namun bisa jadi sebagian orang menyangka bahwa dalam sebagian jenisnya terdapat perintah syariat, padahal ini tidak termasuk ijtihad, karena orang yang berijtihad harus mengikuti dalil syar’i, sedangkan hal ini tidak ada padanya dalil syar’i. Akan tetapi bisa jadi ia melakukannya dengan semacam ijtihad dirinya, yaitu dengan bertaqlid kepada orang yang melakukan perbuatan itu dari kalangan syaikh dan ulama. Dan orang-orang yang melakukannya itu melakukan karena mereka melihat bahwa hal itu bermanfaat, atau karena hadits palsu yang mereka dengar. Maka orang-orang seperti ini, jika belum ditegakkan hujjah atas mereka dengan larangan, maka mereka tidak disiksa.” [Lihat: Majmu’ al-Fatawa (20/32)]

Beliau juga berkata:

"وَأَمَّا ‌الْمُنْتَسِبُونَ ‌إلَى ‌الشَّيْخِ ‌يُونُسَ: فَكَثِيرٌ مِنْهُمْ كَافِرٌ بِاَللَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُقِرُّونَ بِوُجُوبِ الصَّلَاةِ الْخَمْسِ وَصِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ؛ بَلْ لَهُمْ مِنْ الْكَلَامِ فِي سَبِّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْقُرْآنِ وَالْإِسْلَامِ: مَا يَعْرِفُهُ مَنْ عَرَفَهُمْ . وَأَمَّا مَنْ كَانَ فِيهِمْ مِنْ عَامَّتِهِمْ - لَا يَعْرِفُ أَسْرَارَهُمْ وَحَقَائِقَهُمْ - فَهَذَا يَكُونُ مَعَهُ إسْلَامُ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ الَّذِي اسْتَفَادَهُ مِنْ سَائِرِ الْمُسْلِمِينَ لَا مِنْهُمْ".

“Adapun orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Syaikh Yunus, maka banyak di antara mereka yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak meyakini wajibnya salat lima waktu, puasa Ramadhan, haji ke Baitul Haram, dan tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahkan mereka memiliki perkataan dalam mencela Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan agama Islam yang dikenal oleh siapa saja yang mengenal mereka. Adapun orang awam dari kalangan mereka yang tidak mengetahui rahasia dan hakikat mereka, maka ia tetap berada di atas Islamnya kaum muslimin secara umum yang ia dapatkan dari kaum muslimin selain mereka, bukan dari mereka.” [Lihat: Majmu’ al-Fatawa (2/106-107), (2/131, 378)]

Ibnu al-Qayyim berkata dalam menjelaskan macam-macam ahli bid’ah:

(وَأَمَّا أَهْلُ الْبِدَعِ الْمُوَافِقُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَلَكِنَّهُمْ مُخَالِفُونَ فِي بَعْضِ الْأُصُولِ؛ كَالرَّافِضَةِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْجَهْمِيَّةِ، وَغُلَاةِ الْمُرْجِئَةِ وَنَحْوِهِمْ، فَهَؤُلَاءِ أَقْسَامٌ:

أَحَدُهَا: الْجَاهِلُ الْمُقَلِّدُ الَّذِي لَا بَصِيرَةَ لَهُ، فَهَذَا لَا يَكْفُرُ وَلَا يَفْسُقُ، وَلَا تُرَدُّ شَهَادَتُهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ قَادِرًا عَلَى تَعَلُّمِ الْهُدَى، وَحُكْمُهُ حُكْمُ ﴿الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا . فَأُوْلَـٰئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا﴾ [النِّسَاء: ٩٨-٩٩].

الْقِسْمُ الثَّانِي: الْمُتَمَكِّنُ مِنَ السُّؤَالِ وَطَلَبِ الْهِدَايَةِ وَمَعْرِفَةِ الْحَقِّ، وَلَكِنْ يَتْرُكُ ذَلِكَ اشْتِغَالًا بِدُنْيَاهُ وَرِيَاسَتِهِ وَلَذَّتِهِ وَمَعَاشِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، فَهَذَا مُفَرِّطٌ مُسْتَحِقٌّ لِلْوَعِيدِ، آثِمٌ بِتَرْكِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ تَقْوَى اللَّهِ بِحَسَبِ اسْتِطَاعَتِهِ؛ فَهَذَا حُكْمُهُ حُكْمُ أَمْثَالِهِ مِنْ تَارِكِي بَعْضِ الْوَاجِبَاتِ، فَإِنْ غَلَبَ مَا فِيهِ مِنَ الْبِدْعَةِ وَالْهَوَى عَلَى مَا فِيهِ مِنَ السُّنَّةِ وَالْهُدَى، رُدَّتْ شَهَادَتُهُ، وَإِنْ غَلَبَ مَا فِيهِ مِنَ السُّنَّةِ وَالْهُدَى قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ.

الْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَسْأَلَ وَيَطْلُبَ وَيَتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى، وَيَتْرُكَهُ تَقْلِيدًا أَوْ تَعَصُّبًا، أَوْ بُغْضًا وَمُعَادَاةً لِأَصْحَابِهِ، فَهَذَا أَقَلُّ دَرَجَاتِهِ أَنْ يَكُونَ فَاسِقًا، وَتَكْفِيرُهُ مَحَلُّ اجْتِهَادٍ وَتَفْصِيلٍ).

“Adapun ahli bid’ah yang masih tergolong dalam Islam namun menyelisihi dalam sebagian pokok ajaran seperti Rafidhah, Qadariyah, Jahmiyah, ekstremis Murji’ah dan semacam mereka, maka mereka terbagi beberapa golongan:

Golongan pertama: orang jahil yang hanya bertaqlid dan tidak memiliki bashirah, maka orang seperti ini tidak dikafirkan, tidak dianggap fasik, dan kesaksiannya tidak ditolak selama ia tidak mampu untuk mempelajari petunjuk. Hukumnya seperti hukum orang-orang yang lemah dari kalangan laki-laki, perempuan dan anak-anak yang tidak mampu mencari jalan dan tidak mengetahui jalan *maka mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkan mereka dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun* (An-Nisa: 98–99).

Golongan kedua: orang yang mampu bertanya dan mencari petunjuk serta mengetahui kebenaran, tetapi ia meninggalkannya karena sibuk dengan dunia, jabatan, kesenangan, penghidupan dan lainnya, maka ini orang yang menyia-nyiakan dan berhak mendapat ancaman serta berdosa karena meninggalkan kewajiban untuk bertakwa kepada Allah sesuai kemampuannya. Maka hukumnya seperti orang-orang sepertinya yang meninggalkan sebagian kewajiban. Jika kebid’ahan dan hawa nafsunya lebih dominan daripada sunnah dan petunjuk yang ada padanya, maka kesaksiannya ditolak. Namun jika yang dominan adalah sunnah dan petunjuk, maka kesaksiannya diterima.

Golongan ketiga: orang yang bertanya dan mencari serta telah tampak padanya kebenaran lalu ia tinggalkan karena taqlid atau fanatisme atau kebencian dan permusuhan terhadap para pengikutnya, maka paling ringan tingkatannya adalah ia fasik. Adapun pengkafirannya adalah masalah ijtihadiyyah dan memerlukan perincian.” [Lihat: Ath-Thuruq al-Hukmiyyah (1/464)]

Beliau juga berkata:

(لَا بُدَّ فِي هَذَا الْمَقَامِ مِنْ تَفْصِيلٍ بِهِ يَزُولُ الْإِشْكَالُ، وَهُوَ الْفَرْقُ بَيْنَ مُقَلِّدٍ تَمَكَّنَ مِنَ الْعِلْمِ وَمَعْرِفَةِ الْحَقِّ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ، وَمُقَلِّدٍ لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ ذَلِكَ بِوَجْهٍ، وَالْقِسْمَانِ وَاقِعَانِ فِي الْوُجُودِ، فَالْمُتَمَكِّنُ الْمُعْرِضُ مُفَرِّطٌ تَارِكٌ لِلْوَاجِبِ عَلَيْهِ، لَا عُذْرَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ).

“Dalam masalah ini harus ada perincian yang dengannya akan hilang kesamaran, yaitu membedakan antara orang yang bertaqlid padahal ia mampu untuk belajar dan mengetahui kebenaran namun ia berpaling darinya, dan orang yang bertaqlid karena memang tidak mampu sama sekali untuk itu. Kedua kelompok ini ada dalam realitas. Maka orang yang mampu namun berpaling adalah orang yang menyia-nyiakan dan meninggalkan kewajiban atasnya, maka tidak ada udzur baginya di sisi Allah.” [Lihat: Thariq al-Hijratayn, hlm. 412]

===

PENDAPAT KEDUA :

Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh. Hal ini juga diriwayatkan oleh al-Ustadz Abu Ishaq dalam *Syarh at-Tartīb* sebagai ijma' dari para ulama Ahl al-Haqq dan selain mereka dari berbagai kelompok.

(Kitab *Syarh at-Tartīb* adalah milik Imam Abu Ishaq al-Isfarayini yang mensyarah kitab *At-Tartīb*, namun tidak ditemukan siapa pengarang *At-Tartīb*; lihat *Kashf adz-Dzunūn* 2/1403).

Bahkan Abu al-Husain bin al-Qaththan berkata:

لَا نَعْلَمُ خِلَافًا فِي امْتِنَاعِ التَّقْلِيدِ فِي التَّوْحِيدِ.

"Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang tidak bolehnya taklid dalam tauhid."

Ibnu as-Sam‘ani meriwayatkan hal ini dari seluruh para ahli kalam dan sebagian fuqaha.

Imam al-Haramain berkata dalam *Asy-Syāmil*:

لَمْ يَقُلْ بِالتَّقْلِيدِ فِي الْأُصُولِ إِلَّا الْحَنَابِلَةُ.

وَقَالَ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: لَا يُخَالِفُ فِيهِ إِلَّا أَهْلُ الظَّاهِرِ.

وَاسْتَدَلَّ الْجُمْهُورُ بِأَنَّ الْأُمَّةَ أَجْمَعَتْ عَلَى وُجُوبِ مَعْرِفَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَنَّهَا لَا تَحْصُلُ بِالتَّقْلِيدِ؛ لِأَنَّ الْمُقَلِّدَ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا الْأَخْذُ بِقَوْلِ مَنْ يُقَلِّدُهُ، وَلَا يَدْرِي أَهْوَ صَوَابٌ أَمْ خَطَأٌ.

قَالَ الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ: فَلَوِ اعْتَقَدَ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةٍ بِالدَّلِيلِ، فَاخْتَلَفُوا فِيهِ: فَقَالَ أَكْثَرُ الْأَئِمَّةِ: إِنَّهُ مُؤْمِنٌ مِنْ أَهْلِ الشَّفَاعَةِ، وَإِنْ فُسِّقَ بِتَرْكِ الِاسْتِدْلَالِ، وَبِهِ قَالَ أَئِمَّةُ الْحَدِيثِ.

وَقَالَ الْأَشْعَرِيُّ، وَجُمْهُورُ الْمُعْتَزِلَةِ: لَا يَكُونُ مُؤْمِنًا حَتَّى يَخْرُجَ فيها عن جملة المقلدين. انتهى.

"Tidak ada yang membolehkan taklid dalam ushul selain Hanabilah."

Al-Isfarayini berkata: "Tidak ada yang menyelisihi hal ini kecuali Ahlu adz-Dzohir."

Mayoritas ulama berdalil bahwa umat telah bersepakat atas wajibnya mengenal Allah Azza wa Jalla, dan hal itu tidak mungkin dicapai dengan taklid; karena orang yang bertaklid hanya mengambil pendapat orang yang dia taklidi, dan ia tidak tahu apakah itu benar atau salah.

Al-Ustadz Abu Manshur berkata: "Jika seseorang meyakini tanpa mengetahui dalil, maka para ulama berbeda pendapat tentangnya: mayoritas imam mengatakan bahwa dia tetap dianggap sebagai mukmin yang layak mendapatkan syafaat, walaupun ia dianggap fasik karena tidak beristidlal. Inilah pendapat para imam hadits."

Al-Asy‘ari dan mayoritas Mu‘tazilah berkata: "Ia tidak dianggap sebagai mukmin hingga ia keluar dari kelompok orang-orang yang bertaklid." [SELESAI].

[Dikutip dari : Syarah Tanqih al-Fushul haj. 430, al-Bahrul Muhith 8/325-326 dan Syarah Mukhtashar ar-Raudhah karya Abu Ar-Robi’ Najmud Din 3/662.

Kitab: Asy-Syāmil fī Ushūl ad-Dīn adalah kitab ushuluddin karya Imam al-Haramain ‘Abd al-Malik bin ‘Abdillah al-Juwaini, lihat *Kashf adz-Dzunūn* 2/1024.

Kitab ini dianggap sebagai ensiklopedia dalam penetapan akidah Asy'ariyah. Sebagian bagiannya telah dicetak dengan tahqiq oleh orientalis Helmut Klopfer, dicetak oleh Matba'ah Dār al-‘Ulūm di Kairo pada tahun 1988. Ada juga cetakan lain yang ditahqiq oleh Dr. Ali Sami an-Nasyar, Faisal Badir, dan Suhair Muhammad. Penerbitnya adalah Dār al-Ma'ārif di Alexandria pada tahun 1969].

BANTAHAN :

Asy-Syawkani menanggapi ucapan dan kutipan Imam al-Haramain diatas dengan mengatakan:

"فَيَا لَلَّهِ الْعَجَبَ مِنْ هَذِهِ الْمَقَالَةِ الَّتِي تَقْشَعِرُّ لَهَا الْجُلُودُ، وَتَرْجُفُ عِنْدَ سَمَاعِهَا الْأَفْئِدَةُ، فَإِنَّهَا جِنَايَةٌ عَلَى جُمْهُورِ هَذِهِ الْأُمَّةِ الْمَرْحُومَةِ، وَتَكْلِيفٌ لَهُمْ بِمَا لَيْسَ فِي وُسْعِهِمْ وَلَا يُطِيقُونَهُ، وَقَدْ كَفَى الصَّحَابَةَ الَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا دَرَجَةَ الِاجْتِهَادِ، وَلَا قَارَبُوهَا الْإِيمَانُ الْجُمَلِيُّ، وَلَمْ يُكَلِّفْهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَلَا أَخْرَجَهُمْ عَنِ الْإِيمَانِ بِتَقْصِيرِهِمْ عَنِ الْبُلُوغِ إِلَى الْعِلْمِ بِذَلِكَ أَدِلَّتِهِ.

وَمَا حَكَاهُ الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ عَنْ أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ مِنْ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ، وَإِنْ فُسِّقَ، فَلَا يَصِحُّ التَّفْسِيقُ عَنْهُمْ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوهِ، بَلْ مَذْهَبُ سَابِقِهِمْ وَلَاحِقِهِمُ الِاكْتِفَاءُ بِالْإِيمَانِ الْجُمَلِيِّ، وَهُوَ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ خَيْرُ الْقُرُونِ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، بَلْ حَرَّمَ كَثِيرٌ منهم النظر إلى ذلك، وجعله في الضَّلَالَةِ وَالْجَهَالَةِ، وَلَمْ يَخْفَ هَذَا مِنْ مَذْهَبِهِمْ، حَتَّى عَلَى أَهْلِ الْأُصُولِ وَالْفِقْهِ".

Maka sungguh mengherankan pernyataan ini, yang membuat kulit merinding dan hati gemetar saat mendengarnya. Karena pernyataan ini merupakan kejahatan terhadap mayoritas umat yang dirahmati ini, serta membebani mereka dengan sesuatu yang berada di luar kemampuan mereka dan yang mereka tidak sanggup melakukannya.

Padahal, para sahabat yang tidak mencapai derajat ijtihad, bahkan tidak mendekatinya sekalipun, telah merasa cukup dengan iman secara global (ijmali), dan Rasulullah yang berada di tengah-tengah mereka tidak membebani mereka untuk mengetahui hal tersebut secara rinci, dan beliau tidak mengeluarkan mereka dari keimanan hanya karena mereka tidak sampai pada tingkat mengetahui dalil-dalilnya.

Apa yang diriwayatkan al-Ustadz Abu Manshur dari para imam hadits, bahwa seseorang tetap dianggap sebagai mukmin meski ia difasikkan, maka tidak sah menisbatkan kefasikan itu kepada mereka dalam bentuk apa pun. Bahkan, madzhab ulama salaf dan khalaf mereka adalah cukup dengan iman secara global.

Inilah yang diyakini oleh generasi terbaik, lalu yang setelah mereka, lalu yang setelahnya.

Bahkan, banyak dari mereka mengharamkan untuk mendalami masalah tersebut dan menganggapnya sebagai kesesatan dan kebodohan. Hal ini tidak samar dari madzhab mereka, bahkan bagi para ahli ushul dan fiqih sekalipun”. [Baca : Irsyad al-Fuhul 2/241-242].

Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) mengutip perkataan Al-Ustadz Abu Ishaq (w. 418 H), yang berkata:

ذَهَبَ قَوْمٌ مِنْ كَتَبَةِ الْحَدِيثِ، أَنَّ طَلَبَ الدَّلِيلِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالتَّوْحِيدِ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَإِنَّمَا الْغَرَضُ هُوَ الرُّجُوعُ إلَى قَوْلِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَيَرَوْنَ الشُّرُوعَ فِي مُوجِبَاتِ الْعُقُولِ كُفْرًا، وَإِنَّ الِاسْتِدْلَالَ وَالنَّظَرَ لَيْسَ هُوَ الْمَقْصُودُ فِي نَفْسِهِ، وَإِنَّمَا وَهُوَ طَرِيقٌ إلَى حُصُولِ الْعِلْمِ حَتَّى يَصِيرَ بِحَيْثُ لَا يَتَرَدَّدُ، فَمَنْ حَصَلَ لَهُ هَذَا الِاعْتِقَادُ الَّذِي لَا شَكَّ فِيهِ، مِنْ غَيْرِ دَلَالَةٍ، فَقَدْ صَارَ مُؤْمِنًا وَزَالَ عَنْهُ كُلْفَةُ طَلَبِ الْأَدِلَّةِ، وَمَنْ أَحْسَنَ اللَّهُ إلَيْهِ، أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِالِاعْتِقَادِ الصَّافِي مِنْ الشُّبْهَةِ وَالشُّكُوكِ، فَقَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِأَكْلِ أَنْوَاعِ النَّعَمِ وَأَحَلَّهَا، حَتَّى لَمْ يَكِلْهُ إلَى النَّظَرِ وَالِاسْتِدْلَالِ، لَا سِيَّمَا الْعَوَامُّ، ‌فَإِنَّ ‌كَثِيرًا ‌مِنْهُمْ ‌تَجِدُهُ ‌فِي ‌صِيَانَةِ ‌اعْتِقَادِهِ أَكْثَرَ مِمَّنْ شَاهَدَ ذَلِكَ بِالْأَدِلَّةِ

"Sebagian penulis hadits berpendapat bahwa mencari dalil dalam masalah tauhid tidak wajib. Tujuan sebenarnya adalah merujuk kepada perkataan Allah dan Rasul-Nya. Mereka menganggap masuk ke dalam perkara-perkara yang ditetapkan akal adalah kekufuran.

Mereka melihat bahwa istidlal dan berpikir (النَّظَر) bukanlah tujuan utama, tetapi hanya sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu, hingga mencapai keyakinan yang tidak diragukan. Maka barang siapa telah memperoleh keyakinan seperti itu tanpa dalil yang pasti, maka ia telah menjadi mukmin, dan gugurlah kewajiban mencari dalil darinya.

Barang siapa yang Allah karuniai dan anugerahi keyakinan yang bersih dari syubhat dan keraguan, maka Allah telah memberikan kepadanya nikmat yang paling sempurna dan paling mulia, karena tidak menyerahkannya kepada nalar dan istidlal—terlebih lagi bagi orang awam. Sebab, banyak dari mereka yang keyakinannya lebih terjaga dibandingkan orang yang melihat dalil-dalil tersebut." [Lihat : al-Bahrul Muhith oleh Badruddin az-Zarkasyi 8/325]

Asy-Syawkani berkata: “Barang siapa yang meneliti keadaan orang-orang awam, akan mendapati bahwa hal itu benar. Banyak dari mereka yang keimanannya tertanam kokoh seperti gunung yang menjulang. Sedangkan sebagian orang yang menyibukkan diri dengan ilmu kalam, yang tenggelam dalam pembahasan akalnya, justru keimanannya terus melemah, satu demi satu simpul imannya terurai. Jika dia mendapat pertolongan ilahi, ia akan selamat. Jika tidak, maka binasalah dia. Karena itu, banyak dari mereka yang mendalami ilmu kalam dan menguasainya, di akhir hayat mereka berharap agar bisa berada di atas agama para nenek tua. Dan mereka memiliki banyak ungkapan, baik dalam bentuk nadzom maupun prosa, yang tidak samar bagi siapa pun yang mengetahui kisah-kisah manusia.

Al-Qusyairi, Syaikh Abu Muhammad al-Juwaini, dan selain mereka dari kalangan ulama yang mendalam ilmunya, mengingkari kebenaran riwayat sebelumnya dari Abu al-Hasan al-Asy‘ari. [Lihat : Irsyad al-Fuhuul 2/242].

Ibnu as-Sam‘ani (w. 489 H] berkata:

"إيجَابُ مَعْرِفَةِ الْأُصُولِ عَلَى مَا يَقُولُهُ الْمُتَكَلِّمُونَ، بَعِيدٌ جِدًّا عَنْ الصَّوَابِ، وَمَتَى أَوْجَبْنَا ذَلِكَ فَمَتَى يُوجَدُ مِنْ الْعَوَامّ مَنْ يَعْرِفُ ذَلِكَ؟ وَيَصْدُرُ عَقِيدَتُهُ عَنْهُ؟ كَيْفَ وَهُمْ لَوْ عُرِضَتْ عَلَيْهِمْ تِلْكَ الْأَدِلَّةُ لَمْ يَفْهَمُوهَا، وَإِنَّمَا غَايَةُ الْعَامِّيِّ، أَنْ يَتَلَقَّى مَا يُرِيدُ - أَنْ يَعْتَقِدَهُ وَيَلْقَى [بِهِ] رَبَّهُ - مِنْ الْعُلَمَاءِ، وَيَتْبَعَهُمْ فِي ذَلِكَ وَيُقَلِّدَهُمْ، ‌ثُمَّ ‌يُسَلِّمُ ‌عَلَيْهَا ‌بِقَلْبٍ ‌طَاهِرٍ ‌عَنْ ‌الْأَهْوَاءِ وَالْإِدْخَالِ، ثُمَّ يَعَضُّ عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، فَلَا يَحُولُ، وَلَا يَزُولُ، وَلَوْ قُطِّعَ إرْبًا، فَهَنِيئًا لَهُمْ السَّلَامَةُ، وَالْبَعْدُ عَنْ الشُّبُهَاتِ الدَّاخِلَةِ عَلَى أَهْلِ الْكَلَامِ، وَالْوَرَطَاتِ الَّتِي تَغُولُهَا، حَتَّى أَدَّتْ بِهِمْ إلَى الْمَهَاوِي وَالْمَهَالِكِ، وَدَخَلَتْ عَلَيْهِمْ الشُّبُهَاتُ الْعَظِيمَةُ وَصَارُوا مُتَجَرِّئِينَ، وَلَا يُوجَدُ فِيهِمْ مُتَوَرِّعٌ عَفِيفٌ إلَّا الْقَلِيلَ، فَإِنَّهُمْ أَعْرَضُوا عَنْ وَرَعِ الْأَلْسِنَةِ، وَأَرْسَلُوهَا فِي صِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى بِجُرْأَةٍ وَعَدَمِ مَهَابَةٍ وَحُرْمَةٍ".

"Mewajibkan pengenalan terhadap ushul seperti yang dikatakan oleh para ahli kalam sangat jauh dari kebenaran. Bila kita wajibkan itu, maka kapan kita akan menemukan orang awam yang mengetahuinya dan yang akidahnya bersumber dari situ? Bagaimana mungkin, padahal jika dalil-dalil itu ditampilkan kepada mereka, mereka tidak akan memahaminya? Puncak pemahaman orang awam hanyalah menerima apa yang ingin ia yakini dari para ulama yang ia ikuti, lalu ia menerimanya dengan hati yang bersih dari hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati, kemudian ia menggigit erat keimanannya itu, tidak bergeser dan tidak goyah, walaupun ia disayat-sayat tubuhnya. Maka selamatlah mereka, jauh dari syubhat yang menimpa para ahli kalam dan jebakan-jebakan yang mereka selami, hingga menyeret mereka ke jurang kehancuran. Syubhat besar masuk ke dalam diri mereka, membuat mereka kebingungan. Jarang sekali ditemukan di antara mereka yang wara’ dan menjaga kehormatan dirinya, karena mereka telah berpaling dari wara’ dalam ucapan, dan melepaskan lisan mereka dalam membahas sifat-sifat Allah dengan penuh keberanian, tanpa rasa takut dan tanpa penghormatan”. [Lihat : al-Bahrul Muhith oleh Badruddin az-Zarkasyi 8/326]

Lalu dia juga berkata:

وَلِأَنَّهُ مَا مِنْ دَلِيلٍ لِفَرِيقٍ مِنْهُمْ يَعْتَمِدُونَ عَلَيْهِ، إلَّا وَلِخُصُومِهِمْ عَلَيْهِ مِنْ الشُّبْهَةِ الْقَوِيَّةِ.

وَنَحْنُ لَا نُنْكِرُ مِنْ الدَّلَائِلِ الْعَقْلِيَّةِ بِقَدْرِ مَا يَنَالُ الْمُسْلِمُ بِهِ رَدَّ الْخَاطِرِ، وَإِنَّمَا الْمُنْكَرُ إيجَابُ التَّوَصُّلِ إلَى الْعَقَائِدِ فِي الْأُصُولِ، بِالطَّرِيقِ الَّذِي اعْتَقَدُوا، وَسَامُوا بِهِ الْخَلْقَ، وَزَعَمُوا أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ لَمْ يَعْرِفْ اللَّهَ تَعَالَى، ثُمَّ أَدَّى بِهِمْ ذَلِكَ إلَى تَكْفِيرِ الْعَوَامّ أَجْمَعَ، وَهَذَا هُوَ الْخَطِيئَةُ الشَّنْعَاءُ، وَالدَّاءُ الْعُضَالُ، وَإِذَا كَانَ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ هُمْ الْعَوَامُّ، وَبِهِمْ قِوَامُ الدِّينِ، وَعَلَيْهِمْ مَدَارُ رَحَى الْإِسْلَامِ، وَلَعَلَّ لَا يُوجَدُ فِي الْبَلْدَةِ الْوَاحِدَةِ الَّتِي تَجْمَعُ الْمِائَةَ أَلْفٍ، مَنْ يَقُومُ بِالشَّرَائِطِ الَّتِي تَعْتَبِرُونَهَا، إلَّا الْعَدَدَ الْقَلِيلَ الشَّاذَّ الشَّارِدَ النَّادِرَ، وَلَعَلَّهُ لَا يَبْلُغُ عَقْدَ الْعَشَرَةِ، فَمَنْ يَجِدُ الْمُسْلِمُ مِنْ قَبْلَهُ، أَنْ يَحْكُمَ بِكُفْرِ هَؤُلَاءِ النَّاسِ أَجْمَعَ، وَيَعْتَقِدُ أَنَّهُمْ لَا عَقِيدَةَ لَهُمْ فِي أُصُولٍ أَصْلًا، وَإِنَّهُمْ أَمْثَالُ الْبَهَائِمِ. انْتَهَى

Karena tidak ada satu dalil pun dari pihak manapun yang mereka jadikan sandaran, kecuali pihak lawan mereka memiliki syubhat yang kuat terhadap dalil tersebut.

Dan kami tidak mengingkari dalil-dalil akal sejauh yang dapat digunakan oleh seorang muslim untuk menolak lintasan pikiran (yang salah). Namun yang kami ingkari adalah mewajibkan pencapaian keyakinan dalam ushul (pokok agama) dengan cara yang mereka yakini dan mereka paksakan kepada orang-orang, serta mereka klaim bahwa siapa yang tidak melakukannya maka ia tidak mengenal Allah Ta'ala.

Kemudian hal itu membawa mereka kepada pengkafiran seluruh orang awam. Inilah dosa besar yang keji dan penyakit kronis yang berbahaya.

Padahal jika mayoritas besar umat ini adalah orang awam, dan dengan merekalah agama ini tegak, serta kepada merekalah poros Islam berputar, maka bisa jadi di suatu negeri yang berpenduduk seratus ribu tidak ditemukan orang yang memenuhi syarat-syarat yang mereka anggap sah, kecuali segelintir orang yang sangat sedikit, sangat jarang, sangat terpencil, dan mungkin tidak sampai sepuluh orang.

Lalu bagaimana seorang muslim berani menghukumi kafir seluruh orang-orang ini dan meyakini bahwa mereka sama sekali tidak memiliki keyakinan dalam pokok agama, dan bahwa mereka seperti binatang ternak? [Selesai]. [Lihat : al-Bahrul Muhith oleh Badruddin az-Zarkasyi 8/326].

===****===

HUKUM TAKLID DALAM MASALAH-MASALAH FURU’ (CABANG SYARIAT)

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah-masalah syariat yang bersifat cabang (furu'), apakah boleh melakukan taklid di dalamnya atau tidak?

Mayoritas ulama berpendapat bolehnya taqlid dalam hal ini. [Baca : Kitab Ushul al-Fiqh alladzi laa yasa‘u al-faqiha jahluhu karya ‘Iyadh as-Sulami, hal. 482]

Bahkan Ibnu Quddamah dalam Raudhatun Nadzir 2/382-383 berkata :

وَأَمَّا التَّقْلِيدُ فِي الْفُرُوعِ: فَهُوَ جَائِزٌ إِجْمَاعًا. فَكَانَتِ الْحُجَّةُ فِيهِ: الْإِجْمَاعُ. وَلِأَنَّ الْمُجْتَهِدَ فِي الْفُرُوعِ إِمَّا مُصِيبٌ، وَإِمَّا مُخْطِئٌ مُثَابٌ غَيْرُ مَأْثُومٍ ... . فَلِهٰذَا جَازَ التَّقْلِيدُ فِيهَا، بَلْ وَجَبَ عَلَى الْعَامِّيِّ ذٰلِكَ.

Adapun taklid dalam masalah furu' (cabang-cabang syariat), maka hukumnya boleh berdasarkan ijma'.

Dalilnya adalah ijma’. Dan karena mujtahid dalam masalah furu’ itu terkadang benar dan terkadang salah, namun tetap mendapat pahala dan tidak berdosa...

Maka karena itu, taklid dalam masalah furu’ dibolehkan, bahkan wajib bagi orang awam untuk melakukannya”. (Selesai)

Sementara Muhammad Musthafa Az-Zuhaili dalam kitab Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh 2/365 memperinci:

التَّفْصِيلُ بَيْنَ الْمُجْتَهِدِ وَالْعَامِّيِّ، فَيَحْرُمُ التَّقْلِيدُ عَلَى الْمُجْتَهِدِ؛ لِأَنَّهُ أَهْلٌ لِلِاجْتِهَادِ وَالنَّظَرِ، وَيَجِبُ التَّقْلِيدُ عَلَى الْعَامِّيِّ الَّذِي لَمْ تَتَوَفَّرْ فِيهِ أَهْلِيَّةُ الْاجْتِهَادِ، وَلَوْ كَانَ عَالِمًا، وَهُوَ رَأْيُ أَكْثَرِ أَتْبَاعِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ، وَمُعْظَمِ الْمُحَقِّقِينَ.

Ada perbedaan antara mujtahid dan orang awam: haram bagi mujtahid untuk bertaklid karena ia memiliki kemampuan berijtihad dan meneliti, dan wajib bagi orang awam yang tidak memiliki kemampuan ijtihad untuk bertaklid, meskipun ia seorang alim.

Ini adalah pendapat mayoritas pengikut mazhab yang empat dan sebagian besar ulama yang teliti”. (Selesai)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Majmu’ al-Fatawa 20/17” berkata :

وَأَمَّا تَقْلِيدُ الْعَالِمِ حَيْثُ يَجُوزُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ اتِّبَاعِ الْأَدِلَّةِ الْمُتَغَلِّبَةِ عَلَى الظَّنِّ، كَخَبَرِ الْوَاحِدِ وَالْقِيَاسِ، لِأَنَّ الْمُقَلِّدَ يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ إصَابَةُ الْعَالِمِ الْمُجْتَهِدِ كَمَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ صِدْقُ الْمُخْبِرِ. اهـ.

“Dan adapun taqlid pada orang yang berilmu, kenapa di bolehkan? Karena dia itu sama kedudukannya dengan ittiba’ (mengikuti) dalil-dalil yang kemungkinan benarnya lebih kuat , seperti hadits ahad dan Qiyas . Karena sesungguhnya orang yang taqlid itu memiliki perkiraan yang lebih kuat bahwa Ulama Mujatahid yang dia taklidi itu benar, sama seperti yang memiliki prasangka yag kuat terhadap kebenaran seseorang yang menyampaikan berita “.

Dan Syeikh al-Albaani -rahimahullah- berkata :

وَأَمَّا الرُّجُوعُ إِلَى أَقْوَالِهِمْ وَالِاسْتِفَادَةُ مِنْهَا وَالِاسْتِعَانَةُ بِهَا عَلَى تَفَهُّمِ وَجْهِ الْحَقِّ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِمَّا لَيْسَ عَلَيْهِ نَصٌّ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، أَوْ مَا كَانَ مِنْهَا بِحَاجَةٍ إِلَى تَوْضِيحٍ فَأَمْرٌ لَا نُنْكِرُهُ، بَلْ نَأْمُرُ بِهِ وَنَحُضُّ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْفَائِدَةَ مِنْهُ مَرْجُوَّةٌ لِمَنْ سَلَكَ سَبِيلَ الِاهْتِدَاءِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ. اهـ

Artinya : “ Dan Adapun merujuk kepada pendapat-pendapat  mereka dan mengambil manfaat dari pendapat mereka dan ber isti’aanah (minta) bantuan dengan pendapat mereka untuk memahami sisi kebenaran dalam masalah-masalah yang diperselisihkan , yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan Sunnah,  atau apa saja yang membutukan penjelasan . Maka yang demikian itu Kami tidak mengingkarinya , bahkan kami memerintahkannya dan mendorongnya atau menganjurkannya , Karena Faidah dari nya sangat diharapkan bagi orang-orang mengikuti jalan petunjuk yang sesuai dgn al-Quran dan as-Sunnah “ .

[Baca : Shifatu Sholatin Nabi hal. 69 dan Jaami’ Turots al-Albaani 5/26]

Dan juga hal yang maklum : bahwa itu tidak ada celaan dan tidak dosa bagi Mujtahid yang Salah ijtihadnya, jika dia telah berusaha dengan segala kemampuannya untuk sampai kepada yang HAQ, bahkan dia mendapatkan satu pahala berdasarkan hadits tadi . Dan begitu juga kondisinya bagi orang-orang yang bertaqlid kepada mujtahid yang salah  jika memang dia itu bertaqlidnya dengan niat yang shahih , bukan karena mengikuti hawa nafsu atau ingin mencari-cari yang ringan-ringan (تَتَبُّعُ الرُّخَصِ).

====

PENDAPAT LAIN :

Ada sekelompok ulama berpendapat bahwa tidak boleh secara mutlak. Dan inilah yang ditarjih oleh Asy-Syawkani dalam dua bukunya: “Irsyād al-Fuhūl 2/243” dan “Al-Qawl Al-Mufid fi Adillah Al-Ijtihad wa Al-Taqlid.” Ibnu Hazm mengklaim adanya ijma’ (kesepakatan ulama) tentang larangan taklid. [Baca : Syarah Tanqiih al-Ushul hal. 442-443]

Ibnu Quddamah berkata :

وَذَهَبَ بَعْضُ الْقَدَرِيَّةِ إِلَىٰ أَنَّ الْعَامَّةَ يَلْزَمُهُمُ النَّظَرُ فِي الدَّلِيلِ فِي الْفُرُوعِ أَيْضًا.

وَهُوَ بَاطِلٌ بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ؛ فَإِنَّهُمْ كَانُوا يُفْتُونَ الْعَامَّةَ، وَلَا يَأْمُرُونَهُمْ بِنَيْلِ دَرَجَةِ الِاجْتِهَادِ، وَذٰلِكَ مَعْلُومٌ عَلَى الضَّرُورَةِ وَالتَّوَاتُرِ مِنْ عُلَمَائِهِمْ وَعَوَامِّهِمْ. وَلِأَنَّ الْإِجْمَاعَ مُنْعَقِدٌ عَلَىٰ تَكْلِيفِ الْعَامِّيِّ الْأَحْكَامَ، وَتَكْلِيفُهُ رُتْبَةَ الِاجْتِهَادِ يُؤَدِّي إِلَى انْقِطَاعِ الْحَرْثِ وَالنَّسْلِ، وَتَعْطِيلِ الْحِرَفِ وَالصَّنَائِعِ، فَيُؤَدِّي إِلَى خَرَابِ الدُّنْيَا.

Sebagian kaum Qadariyyah berpendapat bahwa orang awam juga wajib meneliti dalil dalam masalah furu’.

Namun pendapat ini batil, karena bertentangan dengan ijma’ para sahabat; mereka dahulu memberi fatwa kepada orang awam dan tidak pernah memerintahkan mereka untuk mencapai derajat ijtihad, dan hal ini diketahui secara pasti dan mutawatir dari kalangan ulama dan awam mereka.

Selain itu, ijma’ juga telah menetapkan bahwa orang awam dibebani hukum-hukum syariat, dan apabila mereka dibebani untuk mencapai derajat ijtihad, maka itu akan menyebabkan terputusnya pertanian dan keturunan, serta terhentinya berbagai profesi dan keterampilan, yang pada akhirnya akan membawa kepada kerusakan dunia”. (Selesai) [Raudhatun Nadzir 2/383]

===

DALIL YANG MEMBOLEHKAN TAKLID DALAM MASALAH FURU’:

Dalil pertama : 

Firman Allah SWT :

﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, [QS. Nahl: 43]

Maka ini adalah teks yang bersifat umum, dan berlaku berulang kali seiring berulangnya syaratnya. Alasan perintah untuk bertanya adalah karena kebodohan.

Ibnu Najjar dalam Syarah al-Kawkab al-Muniir menyebutkan 4/539-540 :

وَاسْتَدَلَّ لِجَوَازِ التَّقْلِيدِ فِي غَيْرِ مَا تَقَدَّمَ: بِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ} 1 وَهُوَ عَامٌّ؛ لِتَكَرُّرِهِ بِتَكَرُّرِ2 الشَّرْطِ، وَعِلَّةُ الأَمْرِ بِالسُّؤَالِ: الْجَهْلُ وَأَيْضًا الإِجْمَاعُ، فَإِنَّ الْعَوَامَّ يُقَلِّدُونَ الْعُلَمَاءَ مِنْ غَيْرِ إبْدَاءِ مُسْتَنَدٍ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ، وَأَيْضًا يُؤَدِّي إلَى خَرَابِ الدُّنْيَا بِتَرْكِ الْمَعَائِشِ وَالصَّنَائِعِ. وَلا يَلْزَمُ فِي3 التَّوْحِيدِ وَالرِّسَالَةِ لِيُسْرِهِ4 وَقِلَّتِهِ، وَدَلِيلُهُ الْعَقْلُ".

Artinya :

Dalil atas bolehnya taklid dalam masalah furu’ selain dalil yang telah disebutkan diatas adalah firman Allah Ta’ala:

﴿فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾

*“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.”* [QS. An-Nahl : 43].

Ayat ini bersifat umum karena berulangnya sebab (yaitu ketidaktahuan dan kebodohan). Alasan perintah untuk bertanya adalah karena ketidaktahuan, (maka wajib bertanya dalam setiap perkara yang tidak diketahui).

Demikian pula, berdasarkan ijma’, karena orang awam memang senantiasa bertaklid kepada ulama tanpa menunjukkan dalil. Dan taklid mereka ini tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Selain itu, jika tidak ada taklid, maka dunia akan rusak karena manusia akan meninggalkan aktivitas pekerjaan dan keterampilan.

Taklid tidak wajib dalam masalah tauhid dan kerasulan, karena hal itu ringan dan sedikit, serta dalilnya adalah akal”. (Selesai).

Dalil ke dua : Ijma

‘Iyadh As-Sulami berkata dalam *Kitab Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’ Al-Faqih Jahluh* halaman 482-484:

وَاسْتَدَلُّوا بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَى إِفْتَاءِ الْعَوَامِّ إِذَا سَأَلُوا، وَعَلَى أَنَّ فَرْضَ الْجَاهِلِ سُؤَالُ الْعَالِمِ.

Mereka berdalil dengan ijma’ para sahabat yang memberikan fatwa kepada orang awam ketika mereka bertanya, dan bahwa kewajiban orang bodoh adalah bertanya kepada orang alim.

Ibnu Badran dalam al-Madkhal Ilaa Madzhab Imam Ahmad hal. 389 berkata :

‌وَأما ‌التَّقْلِيد ‌فِي ‌الْفُرُوع ‌فَهُوَ ‌جَائِز ‌إِجْمَاعًا لغير الْمُجْتَهد

“Adapun taklid dalam masalah cabang (furu’) maka itu boleh bagi selain mujtahid berdasarkan ijma‘”.

[Lihat pula kutipan Ijma’ dalam Syarah al-Kawkab al-Muniir karya Ibnu an-Najjaar al-Hanbali 4/539 dan Lawaami’ al-Anwaar al-Bahiyyah oleh Abul ‘Aun as-Safaariiny 2/464].

Muhammad Musthafa Az-Zuhaili dalam kitab Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh 2/365-366 berkata:

أَجْمَعَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ عَلَى إِقْرَارِ مَا يَعْمَلُهُ الْعُلَمَاءُ فِي عَصْرِهِمْ مِنْ جَوَابِ أَسْئِلَةِ الْعَوَامِّ عَنْ حُكْمِ الْحَوَادِثِ وَالْقَضَايَا وَالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ، وَكَانَ الْعَوَامُّ يُقَلِّدُونَ الْعُلَمَاءَ مِنْ غَيْرِ إِبْدَاءِ مُسْتَنَدٍ أَوْ دَلِيلٍ، وَلَمْ يُنْكِرْ أَحَدٌ عَلَى ذَلِكَ، وَلَا يَلْزَمُ ذَلِكَ فِي التَّوْحِيدِ وَالْعَقَائِدِ وَالْأُصُولِ الْعَامَّةِ؛ لِيُسْرِهِ وَقِلَّتِهِ.

Para sahabat dan tabi‘in secara ijma’ telah sepakat untuk menetapkan apa yang diputuskan para ulama pada masa mereka berupa menjawab pertanyaan orang awam tentang hukum peristiwa, perkara, dan hukum-hukum syariat.

Orang awam pun bertaklid kepada para ulama tanpa meminta penjelasan dasar atau dalil, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari hal itu. Hal ini tidak wajib dalam masalah tauhid, akidah, dan pokok-pokok umum; karena hal itu mudah dan sedikit”. (Selesai).

Dalil ke tiga : Hadits :

Ucapan seorang laki-laki dalam kisah al-‘Asif di hadapan Rasulullah :

إنِّي سَأَلْتُ أهْلَ العِلْمِ، فأخْبَرُونِي أنَّ ما علَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وتَغْرِيبُ عَامٍ، وإنَّما الرَّجْمُ علَى امْرَأَتِهِ

*“Aku telah bertanya kepada orang-orang berilmu, lalu mereka memberitahuku bahwa untuk anakku adalah dera seratus kali dan pengasingan satu tahun. Adapun hukuman rajam hanya ditujukan kepada istrinya.”* (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan Zaid bin Kholid al-Juhani).

Di sini Rasulullah tidak mengingkari dia yang bertanya kepada orang berilmu.

Lafadz hadits lengkap :

أنَّ رَجُلَيْنِ اخْتَصَما إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ أحَدُهُمَا: اقْضِ بيْنَنَا بكِتَابِ اللَّهِ، وقالَ الآخَرُ -وهو أفْقَهُهُمَا-: أجَلْ يا رَسولَ اللَّهِ، فَاقْضِ بيْنَنَا بكِتَابِ اللَّهِ، وأْذَنْ لي أنْ أتَكَلَّمَ، قالَ: تَكَلَّمْ، قالَ: إنَّ ابْنِي كانَ عَسِيفًا علَى هذا -قالَ مَالِكٌ: والعَسِيفُ الأجِيرُ - زَنَى بامْرَأَتِهِ، فأخْبَرُونِي أنَّ علَى ابْنِي الرَّجْمَ، فَافْتَدَيْتُ منه بمِائَةِ شَاةٍ وجَارِيَةٍ لِي، ثُمَّ إنِّي سَأَلْتُ أهْلَ العِلْمِ، فأخْبَرُونِي أنَّ ما علَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وتَغْرِيبُ عَامٍ، وإنَّما الرَّجْمُ علَى امْرَأَتِهِ، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أمَا والَّذي نَفْسِي بيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بيْنَكُما بكِتَابِ اللَّهِ، أمَّا غَنَمُكَ وجَارِيَتُكَ فَرَدٌّ عَلَيْكَ، وجَلَدَ ابْنَهُ مِائَةً وغَرَّبَهُ عَامًا، وأُمِرَ أُنَيْسٌ الأسْلَمِيُّ أنْ يَأْتِيَ امْرَأَةَ الآخَرِ، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ رَجَمَهَا، فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا.

Dua orang yang bersengketa datang menghadap kepada Rasulullah .

Salah satu dari mereka berkata, “Putuskan perkara kami dengan Kitab Allah.”

Yang seorang lagi, yang lebih paham di antara mereka, berkata, “Benar, wahai Rasulullah, putuskan perkara kami dengan Kitab Allah, dan izinkan aku berbicara.”

Beliau bersabda, “Bicaralah.”

Ia berkata, “Sesungguhnya anakku dahulu bekerja pada orang ini — Malik berkata: ‘al-‘asif adalah pekerja upahan’ — lalu dia berzina dengan istrinya. Mereka memberitahuku bahwa anakku harus dirajam, maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan milikku. Lalu aku bertanya kepada orang-orang berilmu, dan mereka memberitahuku bahwa untuk anakku hanya ada hukum dera seratus kali dan pengasingan satu tahun, sedangkan rajam itu untuk istrinya.

Maka Rasulullah bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan memutuskan perkara kalian berdua dengan Kitab Allah. Adapun kambingmu dan budak perempuanmu dikembalikan kepadamu.”

Lalu beliau mendera anaknya seratus kali dan mengasingkannya satu tahun, kemudian beliau memerintahkan Unais al-Aslami untuk mendatangi istri orang itu, “Jika dia mengakui, rajamlah dia.”

Maka dia pun mengakui, lalu dirajam. [HR. Bukhori no. 6633 dan Muslim no. 1697].

Dalil ke empat : Hadits :

Berdalil dengan sabda Rasulullah :

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا

*“Mengapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak tahu?”*

Lafadz hadits lengkapnya :

خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ، فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ، ثُمَّ احْتَلَمَ، فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ، فَقَالَ: هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ؟ فَقَالُوا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ. فَاغْتَسَلَ، فَمَاتَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ، فَقَالَ: قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللهُ، أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا؛ فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ أَوْ يَعْصِبَ - شَكَّ مُوسَى - عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ.

Kami pernah bepergian dalam suatu perjalanan, lalu seorang dari kami tertimpa batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian ia bermimpi basah, maka ia bertanya kepada teman-temannya: “Apakah kalian mendapatkan keringanan bagiku untuk bertayamum?”

Mereka menjawab: “Kami tidak mendapatkan keringanan bagimu karena engkau masih bisa memakai air.”

Maka ia mandi, lalu meninggal. Ketika kami tiba di hadapan Rasulullah , beliau diberitahu tentang hal itu, lalu beliau bersabda:

“Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya. Sebenarnya cukuplah baginya bertayamum, lalu membalut atau mengikat lukanya dengan kain, kemudian mengusapnya dan mencuci seluruh tubuhnya yang lain.”

[Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud (336) dan lafadznya, juga oleh Ad-Darqutni (1/189), dan Al-Bayhaqi (1115). Dinilai hasan oleh al-Albaani dalam shahih Abu Daud]

Dalil ke lima : Logika :

Tidak ada dalam syariat kewajiban berijtihad atau mencapai derajat ijtihad bagi semua umat Islam. Karena hal itu menuntut seluruh umat untuk menyibukkan diri hanya dengan menuntut ilmu dan mencapai derajat ijtihad, yang akan mengakibatkan rusaknya kehidupan dunia dengan ditinggalkannya mencari penghidupan, pekerjaan, dan ilmu-ilmu lainnya.

Ini adalah suatu beban yang tidak mampu ditanggung. Oleh karena itu, khususnya mendalami ilmu syariat atau bidang lainnya hukumnya fardhu kifayah; jika sebagian orang melaksanakannya maka gugurlah dosa dari yang lain.

Orang-orang yang bukan ahli, maka mereka harus bertanya kepada para ulama ahli, menerima pendapat mereka, dan bertaklid kepada mereka. Karena orang awam jika berijtihad sendiri maka ia lebih dekat kepada kesalahan karena tidak memiliki kelayakan.

Dan ini menunjukkan wajibnya taklid bagi orang awam agar ia mengetahui hukum-hukum syariat, kemudian berpegang padanya dan menerapkannya dengan percaya kepada apa yang disampaikan para ulama.

[Baca : kitab Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh 2/365-366 karya Muhammad Musthafa Az-Zuhaili]

===

DALIL YANG MELARANG TAKLID DALAM MASALAH FURU’:

Pendapat yang melarang taklid berdalil bahwa Nabi bersabda:

{ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ }

*“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.”*

[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (224) pada awalnya di tengah-tengah sebuah hadits, oleh Al-Bazzar (6746) secara ringkas, dan oleh Ibnu Abdil Barr dalam *Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Falihi* (17), dari hadits Anas bin Malik.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam *Al-Mu‘jam Al-Awsa* (8567), Tamām dalam *Al-Fawā’id* (52), dan Al-Baihaqi dalam *Syu‘ab Al-Īmān* (1667), dari hadits Abu Sa‘id Al-Khudri.

Para ulama berbeda pendapat tentang derajat hadits ini.

An-Nawawi berkata: *Hadits ini lemah meskipun maknanya benar.*

Ibnu Al-Qaththan berkata: *Tidak ada satu pun yang sahih dalam hadits ini, dan yang terbaik darinya adalah lemah.*

Mughultay tidak memberikan komentar.

As-Suyuthi berkata: *Aku telah mengumpulkan lima puluh jalur periwayatan untuk hadits ini dan aku menetapkan bahwa hadits ini sahih karena penguat-penguatnya. Dan aku tidak pernah mensahihkan suatu hadits yang belum pernah disahihkan sebelumnya kecuali hadits ini.*

As-Sakhawi berkata: *Hadits ini memiliki penguat (syāhid) dalam riwayat Ibnu Syāhīn dengan sanad yang para perawinya tsiqah dari Anas, dan diriwayatkan darinya oleh sekitar dua puluh orang dari kalangan tabi‘in.*

Hadits ini juga terdapat dalam *Zawāid Ibnu Mājah*; namun sanadnya lemah.

Lihat: *Faidul Qadīr* 4/267, *Sunan Ibni Mājah* 1/81, *Rāmūz Al-Aḥādīts* hlm. 312, *Majma‘ Az-Zawā’id* 1/119, *Kasyf Al-Khafā* 2/56].

BANTAHAN-NYA :

Ibnu Najjar berkata :

“Hadits tersebut tidak sahih. Lagi pula yang dimaksud adalah ilmu syar’i, maka taklid orang awam kepada seorang mufti termasuk bagian dari menuntut ilmu itu. Sebab, kewajiban ilmu tidak mutlak menurut siapa pun, melainkan kewajiban meneliti (النَّظَرُ).

Dan boleh bagi orang awam untuk meminta fatwa dari orang yang ia kenal sebagai orang alim dan adil, meskipun orang yang dikenal itu adalah seorang budak, perempuan, atau orang bisu, selama ia bisa memahami fatwanya melalui isyarat atau tulisan yang bisa dimengerti, karena tujuan dari meminta fatwa adalah bertanya kepada orang alim yang adil.

Ini juga berlaku jika ia melihat seseorang yang terlihat mengemban tugas memberi fatwa dan mengajar, serta dihormati oleh masyarakat, karena penghormatan masyarakat menunjukkan bahwa ia seorang alim yang layak untuk memberi fatwa.

*****

SEBAB YANG MENDASARI PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH INI:

Larangan mereka taklid dalam masalah furu’ didasarkan pada definisi mereka tentang taqlid. Seandainya kita sepakat dengan definisi itu, niscaya kita pun sepakat dengan hukum mereka.

Adapun jika kita memilih bahwa taqlid adalah *“mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya”* atau *“... tanpa mengetahui mana dalil yang lebih kuat”* maka kita tidak mungkin melarang taqlid, karena kebanyakan umat Islam mengamalkan hukum tanpa mengetahui dalil-dalil rinci untuknya.

Di antara para penolak taqlid ada yang melarang taqlid dalam arti berpegang pada madzhab imam tertentu tanpa meneliti dalilnya, namun membolehkan orang awam bertaqlid kepada siapa saja yang dia kehendaki.

Perbedaan antara pendapat ini dan pendapat mayoritas adalah bahwa pendapat ini melarang bertaklid pada madzhab imam tertentu, tetapi tidak melarang prinsip taqlid itu sendiri, sedangkan mayoritas membolehkan bertaklid pada madzhab dan menganggapnya sebagai cabang dari bolehnya taqlid.

Dalil mereka yang membolehkan bertaklid pada madzhab tertentu adalah: jika orang yang bukan mujtahid boleh bertaqlid kepada siapa pun di antara para ulama, maka dia boleh memilih salah satu dari mereka untuk diikuti secara khusus karena kepercayaan pada ilmu, keadilan, dan kewara’annya.

Orang yang melarang bertaklid pada madzhab tertentu berdalil bahwa hal ini tidak dikenal pada masa awal Islam, dan dapat menimbulkan fanatisme buta serta meninggalkan kebenaran.

Jawabannya adalah : bahwa tidak populernya hal itu pada masa awal Islam bisa dibantah, dan orang yang mengklaim demikian tidak mampu mendatangkan dalil bahwa tidak ada orang awam yang berpegang pada satu mufti tertentu.

Kalaupun diakui, tidak populernya hal itu di masa awal Islam tidak menunjukkan keharamannya. Juga, para mufti pada masa awal Islam belum memiliki madzhab yang tertata dalam semua masalah fiqih. Hal ini membuat para muqallid bertanya kepada siapa pun yang ditemui ketika suatu masalah muncul.

Adapun ucapan mereka bahwa hal itu menimbulkan fanatisme buta dan meninggalkan dalil syar’i, maka jawabannya adalah bahwa yang terlarang adalah fanatisme madzhab dan meninggalkan dalil padahal sudah mengetahuinya dan mengetahui mana yang lebih kuat, dan hal ini tidak mesti terjadi hanya karena bertaklid pada madzhab tertentu, meskipun bisa terjadi.

Yang tampak adalah bahwa orang-orang yang mengingkari taqlid dalam arti bertaklid pada madzhab tertentu didorong oleh apa yang mereka lihat pada zaman mereka berupa fanatisme tercela yang menghalangi kebenaran dan memecah belah umat, hingga agama seolah-olah menjadi berbagai sekte yang terpisah.

Di antara tanda-tandanya adalah sebagian pengikut madzhab menyatakan batalnya shalat di belakang orang yang berbeda madzhab, karena kemungkinan dia melakukan hal yang membatalkan wudhu menurut madzhabnya sendiri tetapi tidak menurut madzhab imam makmumnya.

Tidak diragukan lagi bahwa hal seperti ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para peneliti dari semua madzhab, dan mereka menukilkan ijma’ tentang hal itu.

[Baca : Kitab Ushul al-Fiqh alladzi laa yasa‘u al-faqiha jahluhu karya ‘Iyadh as-Sulami, hal. 482-484]

****

KEPADA SIAPA SAJA BAGI ORANG AWAM BOLEH MINTA FATWA DI ANTARA PARA MUFTI?

Dibolehkan bagi orang awam untuk bertanya kepada siapa saja di antara para mufti (mujtahid), dan ia boleh bertanya kepada yang kurang utama meskipun ada yang lebih utama, menurut mayoritas ulama.

Mereka berdalil dengan ijma‘; diambil dari kebiasaan pada masa para sahabat dan tabi‘in, di mana orang-orang awam bertanya kepada yang kurang utama, lalu mereka memberi fatwa, dan tidak memerintahkan untuk bertanya kepada yang lebih utama.

Tidak pernah diketahui dari seorang pun sahabat yang tidak mau memberi fatwa padahal ada yang lebih utama darinya di kota tersebut. Bahkan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar pernah berfatwa di masa hidup para khalifah yang empat, radhiyallahu ‘anhum ajma‘in.

Sebagian ulama mewajibkan orang awam untuk mencari yang paling alim dan paling bertakwa untuk ditanya dan dimintai fatwa. Mereka berkata:

إِنَّ الْعَامِّيَّ يَجْتَهِدُ فِي أَحْوَالِ الْمُفْتِينَ، فَيَبْحَثُ عَنِ الْأَفْضَلِ مِنْهُمْ، كَمَا يَجْتَهِدُ الْعَالِمُ فِي الْأَخْذِ بِالْأَقْوَى مِنَ الدَّلِيلَيْنِ الْمُتَعَارِضَيْنِ

“Orang awam berijtihad dalam menilai keadaan para mufti, lalu ia mencari yang paling utama di antara mereka, sebagaimana seorang alim berijtihad dalam memilih dalil yang paling kuat di antara dua dalil yang bertentangan”.

[Baca : Kitab Ushul al-Fiqh alladzi laa yasa‘u al-faqiha jahluhu karya ‘Iyadh as-Sulami, hal. 484-486]

****

HUKUM BERTAKLID PADA MUJTAHID YANG SALAH IJTIHAD:

Yang sudah dimaklumi adalah : bahwa tidak ada celaan atau dosa bagi mujtahid yang salah jika dia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencapai kebenaran, bahkan dia mendapatkan pahala sesuai dengan nash hadits nabawi .

Dan hal yang sama berlaku bagi yang taklid padanya jika dia bertaklid padanya dengan niat dan tujuan yang benar bukan demi nafsu dan mencari-cari yang ringan .

Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu' al-Fatawa:

وَأَمَّا تَقْلِيدُ الْعَالِمِ حَيْثُ يَجُوزُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ اتِّبَاعِ الْأَدِلَّةِ الْمُتَغَلِّبَةِ عَلَى الظَّنِّ، كَخَبَرِ الْوَاحِدِ وَالْقِيَاسِ، لِأَنَّ الْمُقَلِّدَ يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ إصَابَةُ الْعَالِمِ الْمُجْتَهِدِ كَمَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ صِدْقُ الْمُخْبِرِ. اهـ.

Adapun taklid terhadap orang yang ber-ilmu, kenapa itu diperbolehkan ? Karena kedudukannya sama dengan mengikuti dalil-dalil yang diyakini besar kemungkinan benar [غَلَبَةُ الظَّنّ], seperti berdalil dengan  haditst ahad [riwayat tunggal] dan qiyas .

Dan karena orang yang bertaklid ini , memiliki prasangka yang kuat [غَلَبَةُ الظَّنّ] bahwa ulama mujtahid yang diikutinya itu benar , sama seperti memiliki prasangka kuat terhadap kejujuran dan kebenaran orang yang membawa kabar berita padanya .

[Baca : Majmu' al-Fataawaa 20/17].

===

FATWA SYEIKH AL-ALBAANI TENTANG TAKLID PADA MUJTAHID YANG SALAH :

Syeikh al-Albaani berkata :

اتِّبَاعُ الدَّلِيلِ لَا يَعْنِي هِجْرَ أَقْوَالِ الْأَئِمَّةِ: يَزْعُمُ بَعْضُ مُقَلِّدَةِ الْمَذَاهِبِ أَنَّ الدَّعْوَةَ إِلَى اتِّبَاعِ الدَّلِيلِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَعَدَمِ الْأَخْذِ بِأَقْوَالِ الْأَئِمَّةِ الْمُخَالِفَةِ لَهَا؛ تَرْكٌ لِلْأَخْذِ بِأَقْوَالِهِمْ مُطْلَقًا وَالِاسْتِفَادَةُ مِنْ اجْتِهَادَاتِهِم!!.

إِنَّ هَذَا الزَّعْمَ أَبْعَدَ مَا يَكُونُ عَنِ الصَّوَابِ، بَلْ هُوَ باطِلٌ ظَاهِرُ الْبَطْلَانِ، كَمَا يَبْدُو ذَلِكَ جَلِيًّا مِنَ الْكَلِمَاتِ السَّابِقَاتِ، فَإِنَّهَا كُلُّهَا تُدْلِّ عَلَى خِلَافِهِ، وَأَنَّ كُلَّ الَّذِي نَدْعُو إِلَيْهِ إِنَّمَا هُوَ تَرْكُ اتِخَاذِ الْمَذَاهِبِ دِينًا، وَنَصْبُهَا مَكَانَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ؛ بِحَيْثُ يَكُونُ الرُّجُوعُ إِلَيْهَا عِنْدَ التَّنَازُعِ، أَوْ عِنْدَ إِرَادَةِ اسْتِنْبَاطِ أَحْكَامٍ جَدِيدَةٍ لِحَوَادِثِ طَارِئَةٍ؛ كَمَا يَفْعَلُ مُتَفَقِّهَةُ هَذَا الزَمَانِ، وَعَلَيْهِ وَضَعُوا الْأَحْكَامَ الْجَدِيدَةَ لِلْأَحْوَالِ الشَّخْصِيَّةِ، وَالنِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ، وَغَيْرِهَا دُونَ أَنْ يَرْجِعُوا فِيهَا إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ لِيَعْرِفُوا الصَّوَابَ مِنْهَا مِنَ الْخَطَأِ، وَالْحَقِّ مِنَ الْبَاطِلِ ".

Mengikuti dalil tidak berarti menghajer [meninggalkan] perkataan para imam:

Ada sebagian para pengikut madzhab-madzhab mengklaim bahwa menyeru orang untuk mengikuti dalil dari Kitab dan Sunnah dan tidak mengambil perkataan para imam yang dianggap menyelisihinya ; maka orang itu dianggap benar-benar telah meninggalkan pendapat mereka dan dia sama sekali tidak mau mengambil manfaat dari hasil ijtihad mereka!!.

Klaim ini jauh dari kebenaran, bahkan sama sekali tidak benar , seperti yang terlihat dari kalimat-kalimat sebelumnya, karena semuanya menunjukkan kebalikannya.

Dan yang kami serukan hanyalah meninggalkan menjadikan madzhab-madzhab sebagai agama, dan menggantikan dengannya posisi Kitab dan Sunnah , sehingga madzhab-madzhab dijadikan sebagai rujukan hukum ketika terjadi perselisihan , atau ketika hendak menggali hukum-hukum fikih modern untuk keadaan-keadaan kontemporer , Seperti yang dilakukan oleh para ulama saat ini, dan karenanya mereka menetapkan ketentuan baru untuk status pribadi, pernikahan, perceraian, dan lainnya, tanpa mengacu pada Kitab dan Sunnah untuk mengetahui mana yang benar dan salah, dan mana yang hak dan bathil.

Lalu syeikh al-Albaani berkata :

"وَأَمَّا الرُّجُوعُ إِلَى أَقْوَالِهِمْ وَالِاسْتِفَادَةُ مِنْهَا وَالِاسْتِعَانَةُ بِهَا عَلَى تَفَهُّمِ وَجْهِ الْحَقِّ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِمَّا لَيْسَ عَلَيْهِ نَصٌّ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، أَوْ مَا كَانَ مِنْهَا بِحَاجَةٍ إِلَى تَوْضِيحٍ فَأَمْرٌ لَا نَنْكِرُهُ، بَلْ نَأْمُرُ بِهِ وَنَحُضُّ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْفَائِدَةَ مِنْهُ مَرْجُوَّةٌ لِمَنْ سَلَكَ سَبِيلَ الِاهْتِدَاءِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ".

" Adapun merujuk pada pendapat mereka dan mengambil faidah dari mereka dan mencari bantuan dengan perkataan mereka untuk memahami sisi kebenaran dalam apa yang mereka perselisihkan, pada masalah yang tidak ditemukan dalam nash al-Qur'an dan as-Sunnah , atau apa yang perlu penjelasan darinya , maka kami tidak mengingkarinya, melainkan kami memerintahkannya dan menekankannya [untuk merujuk padanya], karena manfaat darinya sangat diharapkan bagi mereka yang mengikuti jalan hidayah al-Kitab dan as-Sunnah".

[Baca : Shifat Sholat Nabi hal. 69 dan Shahih Fiqih as-Sunnah 1/61].

****

HUKUM TAKLID KEPADA ORANG YANG TIDAK DIKENAL KONDISI-NYA 
(MAJHUL AL-HAL).

Tidak boleh meminta fatwa dari orang yang tidak memiliki kriteria itu menurut para ulama. Al-Amidi menyebutkan hal itu sebagai kesepakatan.

Ini berkaitan dengan pandangan pribadi seseorang. Adapun dari sisi pemberitaan, maka cukup bagi orang awam mendengar ucapan seorang yang adil dan ahli, sebagaimana pendapat Ibnu Aqil, Al-Muwaffaq, Abu Ishaq Asy-Syairazi dan sejumlah ulama lainnya.

An-Nawawi berkata:

وَهَذَا ‌مَحْمُولٌ ‌عَلَى ‌مَنْ ‌عِنْدَهُ ‌مَعْرِفَةٌ ‌يُمَيِّزُ ‌بِهَا التَّلْبِيس مِنْ غَيْرِهِ

“Hal itu berlaku bagi orang yang memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang tipu daya”. [Raudhah ath-Tholibin 11/104]

Adapun menurut Al-Baqillani: harus dua orang yang adil. Sementara Syaikh Taqiyuddin dan Ibnu Sholah mensyaratkan bahwa telah tersebar (istifadhah) bahwa seseorang layak untuk berfatwa.

Pendapat ini dikuatkan oleh An-Nawawi dalam *Ar-Raudhah*, dan dia menukilnya dari para sahabat mereka.

Berdasarkan ini, maka tidak cukup satu atau dua orang saja, juga tidak cukup hanya dengan klaim bahwa ia seorang alim, meskipun ia menjabat sebagai pengajar atau lainnya.

Wajib bagi penguasa, menurut mayoritas ulama, untuk mencegah orang yang tidak dikenal keilmuan-nya, atau yang keadaannya tidak diketahui, dari memberi fatwa.

Rabi’ah berkata:

"بَعْضُ ‌مَنْ ‌يُفْتِي ‌أَحَقُّ ‌بِالسِّجْنِ ‌مِنْ ‌السُّرَّاقِ. انْتَهَى".

“Sebagian orang yang memberi fatwa lebih pantas dipenjara daripada pencuri.”

[Dikutip darinya oleh Al-Khatib dalam kitab *Al-Faqīh wa Al-Mutafaqqih* 2/157. Lihat pula : Ushul Fiqih karya Ibnu Muflih 4/1544]

Sebab asalnya dan yang tampak adalah kejahilan, maka hukum asalnya adalah bahwa ia termasuk orang jahil. Tidak wajib mengetahui keadilannya, karena kita menolaknya, dan mengatakan: fatwa dari orang yang keadilannya tidak diketahui tidak diterima.

Dalam *Al-Mughni* 10/233 disebutkan :

إِنَّ ‌مَنْ ‌شَهِدَ ‌مَعَ ‌ظُهُورِ ‌فِسْقِهِ، ‌لَمْ ‌يُعَزَّرْ؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْنَعُ ‌صِدْقَهُ.

“Sesungguhnya siapa saja yang memberikan kesaksian sementara kefasikan tampak darinya, maka tidak boleh dihukum (dengan ta’zir), karena tidak menafikan kemungkinan kejujurannya”.

Perkataan beliau dan selainnya menunjukkan bahwa menyampaikan kebenaran oleh orang fasik tidak haram secara mutlak.

Di katakan :

لَا ‌تَصِحُّ ‌الْفُتْيَا ‌مِنْ ‌مَسْتُورِ ‌الْحَالِ، ‌وَالْفَاسِقُ ‌يُفْتِي ‌نَفْسَهُ ‌فَقَطْ.

“Fatwa tidak sah dari orang yang tidak diketahui keadaannya (mastur al-hal). Dan orang fasik hanya boleh memberikan fatwa untuk dirinya sendiri saja”.

[Baca : Al-Burhān (2/1341), Al-Muʿtamad (2/939), Al-Majmūʿ (1/89–90), Taysīr at-Tarīr (4/248), Fawāti ar-Raamūt (2/403), Al-Bar al-Muḥīṭ (6/117, 309, 311)].

Ibnu Aqil berkata dalam *Al-Waadhih* (1/57a):

صِفَةُ ‌مَنْ ‌تَسُوغُ ‌فَتْوَاهُ ‌الْعَدَالَةُ

“Syarat seseorang agar sah fatwanya adalah keadilan”. [Dikutip pula oleh Ibnu Muflih dalam Ushul Fiqh 4/1544].

Dalam *Syarh At-Tahrir* disebutkan bahwa sebagian ulama madzhab kita dan selainnya juga menyebut demikian.

Seorang fasik boleh berfatwa untuk dirinya sendiri menurut madzhab kami, juga madzhab Syafi’iyyah dan kelompok lain, karena ia tidak dipercaya dalam apa yang ia sampaikan.

Namun, Ibnul Qayyim dalam *I’lam al-Muwaqqi’in* 1/237 berkata:

قُلتُ: الصَّوَابُ جَوَازُ اسْتِفْتَاءِ الفَاسِقِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُعْلِنًا بِفِسْقِهِ، دَاعِيًا إِلَى بِدْعَتِهِ. فَحُكْمُ اسْتِفْتَائِهِ حُكْمُ إِمَامَتِهِ وَشَهَادَتِهِ. اِنْتَهَى.

“Yang benar adalah bolehnya meminta fatwa kepada orang fasik, kecuali jika ia menampakkan kefasikannya dan menyeru kepada bid’ahnya. Maka hukum meminta fatwa kepadanya sama seperti hukum diangkatnya ia sebagai imam atau diterimanya kesaksiannya.”

Ath-Thufi dan lainnya berkata:

‌وَلَا ‌يُشْتَرَطُ ‌عَدَالَتُهُ ‌فِي ‌اجْتِهَادِهِ ‌بَلْ ‌فِي ‌قَبُولِ ‌فُتْيَاهُ ‌وَخَبَرِهِ

tidak disyaratkan keadilan dalam berijtihad, tetapi disyaratkan dalam penerimaan fatwa dan beritanya.

[Baca : Syarah Mukhtashar ar-Raudhah 3/385 oleh Najmuddin, Mukhtashar Ushul Fiqih karya Ibnu al-Lihaam hal. 164 dan Syarah al-Kawkab al-Muniir oleh Ibnu an-Najjaar al-Futuuhi 4/545].

Ini sesuai dengan pendapat para ulama madzhab Hanbali.

Dan fatwa dari seorang hakim adalah fatwa yang sah menurut pendapat yang paling benar, dan kedudukannya dalam hal ini seperti selainnya. [Lihat: *Al-Majmū‘* 1/70, *Rawat ath-hālibīn* 11/109, *Al-Muswaddah* hlm. 555, *I‘lām al-Muwaqqi‘īn* 4/281, *ifat al-Fatwā* hlm. 29, *Jam‘ al-Jawāmi‘* 2/397]

Ada juga yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh memberi fatwa. Qadhi Syuraih berkata:

أَنَا أَقْضِي لَكُمْ وَلَا أُفْتِي.

“Aku memutuskan perkara kalian tapi tidak memberi fatwa.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'd dalam *abaqāt* 6/138, ‘Abd al-Razzāq dalam *al-Muannaf* no. 16921, disebutkan oleh Ibn al-alāḥ dalam *Ādāb al-Muftī* hlm. 108, al-Nawawī dalam *Muqaddimah al-Majmū‘* 1/96, Ibnu al-Qayyim dalam *I‘lām al-Muwaqqi‘īn* 6/140 dan Ibnu an-Najjaar al-Futuuhi dalam Syarah al-Kawkab al-Muniir 4/545].

Ada juga yang mengatakan: ia boleh memberi fatwa dalam masalah yang tidak berkaitan dengan hukum, seperti thoharoh (bersuci), shalat, dan sejenisnya.

Fatwa hakim bukanlah keputusan hukum menurut pendapat yang paling benar. Dalam *I’lam al-Muwaqqi’in* 4/170 disebutkan:

(‌فُتْيَا ‌الْحَاكِمِ ‌لَيْسَتْ ‌حُكْمًا ‌مِنْهُ) ، وَلَوْ حَكَمَ غَيْرُهُ بِخِلَافِ مَا أَفْتَى بِهِ لَمْ يَكُنْ نَقْضًا لِحُكْمِهِ، وَلَا هِيَ كَالْحُكْمِ، وَلِهَذَا يَجُوزُ أَنْ يُفْتِيَ الْحَاضِرُ وَالْغَائِبُ وَمَنْ يَجُوزُ حُكْمُهُ لَهُ وَمَنْ لَا يَجُوزُ

“Fatwa hakim bukanlah hukum darinya. Jika orang lain menetapkan hukum yang berbeda dari fatwanya, maka itu tidak dianggap sebagai pembatalan terhadap hukumnya. Fatwa bukan seperti hukum, karena itu ia boleh memberi fatwa kepada orang yang hadir atau tidak, dan kepada siapa pun, baik orang yang boleh ia beri keputusan atau tidak”.

Dari pernyataan “dan kepada siapa pun, baik orang yang boleh ia beri keputusan atau tidak” dapat dipahami bahwa seorang mufti boleh memberi fatwa kepada musuhnya.

Al-Mawardi berkata:

لَا يُفْتِي عَلَى عَدُوِّهِ، كَالْحُكْمِ عَلَيْهِ. اِنْتَهَى

“Tidak boleh memberi fatwa kepada musuh, seperti halnya tidak boleh memutuskan hukum atasnya”.

[Dikutip oleh al-Mardawai dalam at-Tahbiir Syarah at-Tahriir 8/4042, an-Nawawi dalam al-Majmu’ 1/69 dan Ibnu an-Najjaar al-Futuuhy dalam Syarah al-Kawkab al-Muniir 4/547]

Qadhi dalam *At-Ta’liq*, Al-Majd dalam *Al-Muharrar*, dan para pengikut mereka menyatakan:

"فِعْلُ ‌الْحَاكِمِ ‌حُكْمٌ ‌إنْ ‌حَكَمَ ‌بِهِ ‌أَوْ ‌غَيْرُهُ ‌وِفَاقًا، كَفُتْيَاهُ، فَجَعَلَ الْفُتْيَا حُكْمًا إنْ حَكَمَ بِهِ هُو أَوْ غَيْرُهُ".

“Perbuatan hakim menjadi hukum jika ia atau orang lain menetapkannya sebagai hukum, seperti halnya fatwanya, maka fatwa menjadi hukum jika ia atau orang lain menetapkannya”.

[Dikutip oleh al-Mardawai dalam at-Tahbiir Syarah at-Tahriir 8/4042 dan Ibnu an-Najjaar al-Futuuhy dalam Syarah al-Kawkab al-Muniir 4/547]

Fatwa dalam keadaan marah dan semacamnya, seperti lapar yang sangat, haus yang sangat, pikiran yang kacau, sakit, dingin yang menyakitkan, panas yang mengganggu, atau dalam keadaan menahan buang air kecil atau besar, atau semacamnya, maka hukumnya seperti keputusan hukum dalam keadaan tersebut.

Maka fatwa haram diberikan dalam keadaan demikian menurut pendapat yang sahih, sebagaimana keputusan hukum juga haram dalam keadaan itu. Namun, jika ia kebetulan benar dalam fatwanya, maka fatwanya tetap diikuti, sebagaimana keputusan hukum juga tetap berlaku jika ternyata benar.

[Baca : Syarah al-Kawkab al-Muniir 4/547 oleh Ibnu an-Najjaar al-Futuuhy].

===****===

HUKUM MUJTAHID BERTAKLID KEPADA MUJTAHID LAIN

Banyak ahli ushul yang menukilkan kesepakatan bahwa seorang mujtahid apabila telah meneliti suatu kasus dan sampai pada dugaan kuat tentang hukum Allah padanya, maka tidak boleh baginya meninggalkan apa yang diyakininya dan mengikuti dugaan mujtahid lain.

Mereka membatasi perbedaan pendapat dalam masalah ini pada keadaan ketika mujtahid belum meneliti permasalahan, atau telah menelitinya tetapi belum sampai pada dugaan kuat.

Sebagian mereka keliru dengan membatasi perbedaan pendapat hanya jika waktu untuk meneliti masih luas, dan menukilkan kesepakatan bahwa mujtahid boleh bertaklid jika waktu sempit untuk meneliti. Yang benar: hal ini tetap termasuk bagian dari perbedaan pendapat.

PENDAPAT-PENDAPAT UTAMA DALAM MASALAH INI

Pendapat pertama: 

Tidak boleh mujtahid bertaklid sama sekali. Ini adalah mazhab mayoritas ahli ushul.

Dalil-dalil mereka banyak, di antaranya:

1]. Hadis:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

*“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu”*

(diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Hibban dari Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma).

Sesungguhnya pendapat mujtahid lain adalah sesuatu yang meragukan bagi mujtahid tersebut, tidak seperti pendapatnya sendiri.

Bantahan :

Namun, pendalilan ini lemah karena hadis tersebut tidak menunjukkan lebih dari sekadar meninggalkan hal yang meragukan dan mengamalkan yang pasti. Maka, tidak tepat diterapkan dalam masalah ini.

2]. Dalil-dalil yang mencela taklid, karena mencakup taklid seorang mujtahid — yang mampu meneliti — kepada orang lain.

3]. Bahwa taklid hanya diperbolehkan bagi orang yang tidak mampu berijtihad, sehingga tidak mencakup orang yang mampu; berdasarkan firman Allah Ta'ala:

{ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}

*“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui”* (An-Nahl: 43).

Dan jika seorang mujtahid belum meneliti permasalahan, hal itu tidak mengeluarkannya dari golongan ahli ilmu.

===

Pendapat kedua:

Tidak boleh baginya bertaklid, kecuali jika waktu telah sempit dan tiba waktu pelaksanaan hukum, sedangkan ia belum meneliti atau belum mendapatkan pendapat yang jelas. Ini adalah mazhab Ibnu Surayj, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Sebagian ulama bahkan menyatakan hal ini boleh berdasarkan kesepakatan dalam keadaan demikian.

Dalilnya: Jika ia tidak mampu meneliti karena sempitnya waktu, atau telah meneliti tetapi belum mendapatkan hukum yang jelas, maka ia seperti orang awam; karena ia tidak mungkin berhenti selamanya tanpa beramal.

Dan karena Allah menggantungkan kebolehan taklid pada ketidaktahuan terhadap dalil-dalil yang jelas, sedangkan mujtahid dalam masalah yang belum ia teliti tidak memiliki pengetahuan tentang dalilnya.

====

Pendapat ketiga:

Boleh mujtahid bertaklid kepada mujtahid yang lebih alim darinya, namun tidak kepada yang setara atau lebih rendah darinya. Ini adalah mazhab Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani.

Dalilnya: Seorang alim di hadapan yang lebih alim darinya seperti orang awam di hadapan seorang alim.

Ada pendapat lain: hanya membolehkan bertaklid kepada para sahabat saja, atau kepada sahabat dan tabi‘in.

Pendapat yang paling kuat: Pendapat kedua, yaitu: boleh bertaklid jika waktunya sempit, tidak jika waktunya luas; demikian juga jika sudah meneliti tetapi belum jelas baginya hukum, maka boleh baginya bertaklid. Karena seorang alim pada saat itu antara harus bertaklid atau meninggalkan amal, padahal tidak boleh baginya meninggalkan amal sedangkan ia mampu bertanya kepada orang lain.

Adapun jika ia telah meneliti tetapi belum tampak hukum baginya, maka seharusnya tidak ada perbedaan pendapat tentang bolehnya bertaklid baginya jika ia membutuhkan untuk beramal.

Namun, jika ia tidak butuh beramal untuk dirinya sendiri, melainkan hanya ditanya tentang permasalahan, maka ia tidak boleh memberi fatwa dengan taklid, melainkan ia harus menunjukkan penanya kepada mufti lain atau menyampaikan fatwa mufti tersebut kepadanya.

[Baca : Kitab Ushul al-Fiqh alladzi laa yasa‘u al-faqiha jahluhu karya ‘Iyadh as-Sulami, hal. 484-486]

REFERENSI : Al-Mustashfa karya al-Ghazali (2/389), Al-Ihkam karya Al-Amidi (4/229), Al-Mahshul (3/101), Al-Mu‘tamad (2/934), Al-Ihkam karya Ibnu Hazm (2/393, 838), Taisir At-Tahrir (4/246), Mukhtashar Ibnu Al-Hajib (2/306), Al-Musawwada hlm. 453, 458, Syarh Al-Kaukab Al-Munir (4/539), Syarh Tanqih Al-Fushul hlm. 431, Nihayat As-Sul (3/264), Al-Bahr Al-Muhith (6/291), A‘lam Al-Muwaqqi‘in (2/168, 178), Al-Bannani atas Jami‘ Al-Jawami‘ (2/393), Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (20/15, 203), Irsyad Al-Fuhul 2/234, Al-Madkhal ila Madzhab Ahmad hlm. 193, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Az-Zuhaili (2/1126), Ushul Al-Ahkam hlm. 380.

===***===

MESKI BERBEDA PENDAPAT, TETAPLAH BERSATU DAN JANGAN BERPECAH BELAH!

Dengan tulisan ini, penulis sangat berkeinginan agar umat Islam sadar betul bahwa perselisihan tentang masalah furu’ ini adalah perselisihan pada salah satu cabang-cabang fikih, di mana tidak layak bagi seorang pun dengan penuh kefanatikan terhadap pendapatnya lalu menentang keras pendapat orang lain dan melontarkan gelar-gelar yang bermakna cacian dan berdampak pada permusuhan. Padahal salah satu sebab diharamkannya minuman keras dan judi itu karena berdampak pada permusuhan dan kebencian.

Karena Syarat dalam mengingkari sesuatu itu adalah bahwa yang diingkarinya itu secara IJMA' dianggap sebagai kemungkaran, seperti halnya tidak layak bagi seseorang yang memiliki sebuah pendapat yang berbeda, lalu melontarkan julukan pada lawannya dengan julukan sebagai PELAKU MAKSIAT dan PELAKU BID'AH.

Mari kita ambil teladan dari apa yang telah dilakukan oleh para imam mujtahid dulu, yang diriwayatkan lebih dari satu orang bahwa sebagian dari mereka ada yang berkata:

رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ ٱلْخَطَأَ، وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ ٱلصَّوَابَ

Pendapat saya benar dan ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah dan ada kemungkinan benar.

Kami juga menginginkan agar para pendebat senantiasa memperhatikan qaidah-qaidah dasar perdebatan yang sudah makruf, yaitu diantaranya:

ٱلدَّلِيلُ إِذَا تَطَرَّقَ إِلَيْهِ ٱلْاِحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ ٱلْاِسْتِدْلَالُ فَلَا يَتَمَسَّكُ بِٱلدَّلِيلِ لِإِثْبَاتِ ٱلْوُجُوبِ أَوِ ٱلْحُرْمَةِ إِذَا ٱحْتَمَلَ ٱلنَّدْبَ أَوِ ٱلْكَراهَةَ، وَٱلْاِحْتِمَالُ قَدْ يَكُونُ فِي ثُبُوتِ ٱلدَّلِيلِ وَقَدْ يَكُونُ فِي دَلَٰلَتِهِ. وَيَكْفِي ٱلْمُتَعَبِّدِ أَنْ يَصِلَ إِلَىٰ مَعْرِفَةِ ٱلْحُكْمِ وَلَوْ بِطَرِيقِ غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ، فَذَٰلِكَ وُسْعُهُ ٱلَّذِي لَا يُكَلِّفُهُ ٱللَّهُ إِلَّا بِهِ.

Sebuah Dalil jika padanya terdapat kemungkinan untuk dalil yang lain atau kebalikannya, maka gagal lah berdalil dengannya, maka dia tidak boleh berpegang pada dalil tsb untuk menetapkan hukum wajib atau haram jika ada kemungkinan untuk sunnah atau makruh. Dan kemungkinan itu terkadang dalam ketetapan dalil dan terkadang dalam signifikansinya (dalil yang diisyaaratkan darinya). Dan cukuplah bagi seorang yang mau beribadah untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum, meskipun dengan praduga yang rajih (غَلَبَةِ ٱلظَّنِّ), karena yang demikian itu sesuai dengan batas kemampuannya, yang mana Allah tidak akan membebaninya kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Kita kembali ke pembahasan hukum shalat yang sebagian umat Islam sekarang shalat setelah adzan pertama untuk waktu shalat Jum'at dan sebelum adzan kedua di depan khatib.

Maka penulis katakan:  Perbedaan pendapat tentang di syariatkan shalat sunnah qobliyah Jum'at; maka ini adalah masalah yang sudah lama dan bukan masalah baru, dan orang-orang yang membicarakan nya pada hari ini tidak lebih dari apa yang dibicarkan oleh orang-orang yang terdahu dahulu.

Dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda :

" إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ ".

“Apabila seorang Hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia memperoleh satu pahala.” [Mutafaqun 'alaihi].

Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Munajjid berkata :

لَا نَرَى أَنْ يَتَعَامَلَ ٱلْمُسْلِمُ مَعَ ٱلْمَسَائِلِ ٱلِاجْتِهَادِيَّةِ بَيْنَ أَهْلِ ٱلْعِلْمِ بِمِثْلِ هَذِهِ ٱلْحَسَّاسِيَّةِ، فَيَجْعَلَ مِنْهَا سَبَبًا لِحُصُولِ ٱلْفُرْقَةِ وَٱلْفِتَنِ بَيْنَ ٱلْمُسْلِمِينَ.

Kami berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh sensitif dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah dengan menjadikannya sebagai penyebab perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam. [ ISALMQA : no. 9036 Publikasi : 09-10-2002].

Syekh Ibnu Utsaimin (semoga Allah merahmatinya) mengatakan, ketika melihat runcingnya perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang rakaat tarawih, dia berkata :

"وَيُؤْسِفُنَا كَثِيرًا أَنْ نَجِدَ فِي ٱلْأُمَّةِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ ٱلْمُتَفَتِّحَةِ فِئَةً تَخْتَلِفُ فِي أُمُورٍ يُسَاغُ فِيهَا ٱلْخِلَافُ، فَتَجْعَلَ ٱلْخِلَافَ فِيهَا سَبَبًا لِٱخْتِلَافِ ٱلْقُلُوبِ، فَٱلْخِلَافُ فِي ٱلْأُمَّةِ مَوْجُودٌ فِي عَهْدِ ٱلصَّحَابَةِ، وَمَعَ ذَٰلِكَ بَقِيَتْ قُلُوبُهُمْ مُتَّفِقَةً.

فَٱلْوَاجِبُ عَلَى ٱلشَّبَابِ خَاصَّةً، وَعَلَى كُلِّ ٱلْمُلْتَزِمِينَ أَنْ يَكُونُوا يَدًا وَاحِدَةً وَمَظْهَرًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ لَهُمْ أَعْدَاءً يَتَرَبَّصُونَ بِهِمُ ٱلدَّوَائِرَ."

 “Sangat menyedihkan bagi kami bahwa kami menemukan di antara umat Islam banyak kelompok yang berselisih tentang hal-hal di mana perbedaan pendapat dapat diterima, dan mereka menjadikan perbedaan ini sebagai sarana untuk menyebabkan perpecahan.

Padahal perbedaan-perbedaan dalam ummat ini telah ada pada masa Sahabat, namun mereka tetap bersatu.

Para pemuda khususnya dan semua yang berkomitmen pada Islam harus tetap bersatu, karena diluar sana ada banyak musuh umat Islam yang terus memantau .” (Al-Sharh al-Mumti' 4/225)

Dan Syekh Ibnu Utsaimin (semoga Allah merahmatinya) juga berkata :

وَهُنَا نَقُولُ: لَا يَنبَغِي لَنَا أَنْ نَغْلُوَ أَوْ نُفَرِّطَ، فَبَعْضُ ٱلنَّاسِ يَغْلُو مِنْ حَيْثُ ٱلْتِزَامِ ٱلسُّنَّةِ فِي ٱلْعَدَدِ، فَيَقُولُ: لَا تَجُوزُ ٱلزِّيَادَةُ عَلَى ٱلْعَدَدِ ٱلَّذِي جَاءَتْ بِهِ ٱلسُّنَّةُ، وَيُنْكِرُ أَشَدَّ ٱلنَّكِيرِ عَلَىٰ مَنْ زَادَ عَلَىٰ ذَٰلِكَ، وَيَقُولُ: إِنَّهُ آثِمٌ عَاصٍ.

“Di sini kami mengatakan bahwa kami tidak boleh bertindak ekstrem atau berlebihan .

Ada sebagian orang yang terlalu ekstrim dalam berpegang teguh jumlah rakaat tarawih yang disebutkan dalam Sunnah, dan mengatakan bahwa tidak boleh melakukan lebih dari jumlah yang disebutkan dalam Sunnah, dan mereka secara agresif mencela mereka yang melakukan lebih dari itu, dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang berdosa dan maksiat".  [ (Al-Sharh al-Mumti' 4/73-75) ]

Dan Penulis katakan:

رَحِمَ ٱللَّهُ ٱلشُّيُوخَ ٱلَّذِينَ يَزِنُونَ كَلَامَهُمْ بِمِيزَانِ ٱلْفِقْهِ وَيُكْرِهُونَ تَفَرُّقَ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱخْتِلَافَهُمْ.

“Semoga Allah merahmati para syeikh yang menimbang kata-kata mereka dengan neraca fikih serta membenci terjadinya perpecahan diantara umat Islam dan perselisihan! “. Amiin

Asy-Syawkani berkata (2/231) :

“Perbedaan pendapat dan keilmuan jangan sampai menimbulkan perpecahan dan fitnah di kalangan umat Islam”.

====****====

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT :

Ada ungkapan masyhur dikalangan para ulama salaf dan khalaf yang menyatakan :

إنَّ اختِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهُم، كَمَا أَنَّ اختِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ كَانَ لَهَا عَذَابًا وَهَلَاكًا.

"Sesungguhnya perbedaan di antara umat ini adalah rahmat dari Allah bagi mereka, sementara perbedaan umat-umat sebelumnya adalah azab dan kebinasaan bagi mereka" .

Dan :

إجماعُهُمْ حُجَّةٌ، وَاخْتِلافُهُمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ.

"Ijma’ (kesepakatan) mereka adalah hujah, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas." [Baca : "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2)]

Perkataan al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiiq (wafat 107 H):

Dalam “Al-Hilyah” 7/119 dan “Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra” oleh Al-Baihaqi (Lihat : al-Maqashid al-Hasanah hal. 27 no, 39) :

Dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq , dia mengatakan:

"كَانَ اخْتِلَافُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِهَؤُلَاءِ النَّاسِ"

“Perbedaan di antara para sahabat Muhammad adalah rahmat bagi umat manusia ini.”

Al-Qasim ini, beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

Perkataan Imam Malik (w. 179 H) kepada Harun al-Rasyid.

Al-Khatib meriwayatkan dalam kitabnya Al-Ruwat 'An Malik [الرُّوَاة عَنْ مَالِك]:

أَنَّ هَارُونَ الرَّشِيدَ قَالَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ نَكْتُبُ هَذِهِ الْكُتُبَ يَعْنِي مُؤَلَّفَاتِ الْإِمَامِ مَالِكٍ وَنُفَرِّقُهَا فِي آفَاقِ الْإِسْلَامِ لِنَحْمِلَ عَلَيْهَا الْأُمَّةَ، قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، ‌إنَّ ‌اخْتِلَافَ ‌الْعُلَمَاءِ ‌رَحْمَةٌ ‌مِنْ ‌اللَّهِ ‌تَعَالَى ‌عَلَى ‌هَذِهِ ‌الْأُمَّةِ، ‌كُلٌّ ‌يَتْبَعُ ‌مَا ‌صَحَّ ‌عِنْدَهُ، وَكُلُّهُمْ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيدُ اللَّهَ تَعَالَى والدَّارَ الآخِرَة".

" Bahwa Harun al-Rasyid berkata kepada Malik bin Anas: "Wahai Abu Abdullah, kita akan menyalin kitab-kitab ini – yaitu karya-karya Imam Malik- dan kita akan menyebarluaskannya di berbagai penjuru Islam agar umat ini dapat mengambil manfaat darinya."

Malik menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, perbedaan pendapat di antara para ulama adalah RAHMAT dari Allah Ta'ala bagi umat ini. Setiap orang mengikuti apa yang diyakini benar menurut pandangannya, dan semua mereka berada di atas petunjuk. Semuanya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala dan kehidupan Akhirat"

Lihat kitab Al-Ruwat 'An Malik oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, sebagaimana terdapat dalam kitab "Kasyf al-Khafa' wa Muzil al-Ilbas" oleh Al-Ajluni 1/65 (153).

Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H) berkata:

"عَمِلْتُ في المُجَاهَدَةِ ثَلاثِينَ سَنَةً، فَمَا وَجَدْتُ شَيْئًا أَشَدَّ مِنَ العِلْمِ وَمُتَابَعَتِهِ، وَلَوْلَا اخْتِلَافُ العُلَمَاءِ لَشَقِيتُ، وَاخْتِلَافُ العُلَمَاءِ رَحْمَةٌ، إِلَّا في تَجْرِيدِ التَّوْحِيدِ، وَمُتَابَعَةُ العِلْمِ هِيَ مُتَابَعَةُ السُّنَّةِ لَا غَيْرُ."

"Aku telah melakukan al-mujaahadah selama tiga puluh tahun, namun aku tidak menemukan sesuatu yang lebih sulit daripada ilmu dan mengikutinya. Jika bukan karena perbedaan pendapat di antara para ulama, niscaya aku akan celaka. Perbedaan pendapat di antara para ulama adalah rahmat, kecuali dalam hal memurnikan tauhid, dan mengikuti ilmu adalah mengikuti sunnah semata-mata." [ Baca : Hilyatul Awliyaa Karya Abu Nu’aim al-Asbahaani 10/35 no. 458].

Ibnu Qudamah (w. 620 H) berkata:

وجعل في سَلَفِ هذه الأُمَّةِ أئِمَّةً مِن الأعلام، مَهَّد بهم قَواعدَ الإِسلام، وأوْضَح بهم مُشْكلاتِ الأحكام، ‌اتِّفاقُهم ‌حُجَّةٌ ‌قاطِعة، ‌واخْتلافُهم ‌رحمةٌ ‌واسعة، تَحْيَى القلوبُ بأخْبَارِهم، وتحصلُ السعادةُ باقْتفاءِ آثارِهم، ثم اخْتَصَّ منهم نَفَرًا أعْلَى أَقْدَارَهم (10) ومَناصِبَهم، وأبْقَى ذكرَهم ومَذاهِبَهم، فَعلَى أقْوالِهم مَدارُ الأحكام، وبمذاهبِهم يُفْتِى فقَهاءُ الإِسلام

"Allah telah menjadikan di kalangan para pendahulu umat ini para imam yang menjadi panutan, yang menetapkan dasar-dasar Islam dan menjelaskan masalah-masalah hukum yang sulit.

Kesepakatan pendapat mereka adalah hujah yang kuat, dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas. Hati menjadi hidup dengan berita-berita mereka, dan kebahagiaan dicapai dengan meneladani jejak mereka. Kemudian Allah memilih dari mereka beberapa orang yang ditinggikan kedudukan dan posisi mereka, serta mengabadikan ingatan dan mazhab mereka, maka pada pendapat mereka lah bergantungnya hukum-hukum, dan dengan mazhab mereka lah para ahli fiqh Islam memberikan fatwa." [ Baca : al-Mugni 1:4-5].

Imam As-Suyuti, rahimahullah:

Dia berkata di awal risalatnya "Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2) :

«فصل: اعلَمْ أَنَّ اخْتِلافَ المَذاهِبِ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ وَفَضِيلَةٌ عَظِيمَةٌ، وَلَهُ سِرٌّ لَطِيفٌ أَدْرَكَهُ العَالِمُونَ، وَعَمِيٌّ عَنْهُ الجَاهِلُونَ، حَتَّى سَمِعْتُ بَعْضَ الجُهَّالِ يَقُولُ: النَّبِيُّ ﷺ جَاءَ بِشَرْعٍ وَاحِدٍ، فَمِنْ أَيْنَ مَذْهَبُ أَرْبَعَةٍ؟»

"Bab: Ketahuilah bahwa perbedaan madzhab dalam umat ini adalah nikmat besar dan keutamaan yang agung, serta memiliki rahasia halus yang dipahami oleh para ulama, sedangkan buta tentangnya adalah orang-orang bodoh, sehingga saya mendengar beberapa orang bodoh berkata: Nabi Muhammad datang dengan satu syariat, dari mana kemudian muncul empat madzhab?".

Lalu as-Suyuthi berkata :

«وَقَدْ وَقَعَ اخْتِلافٌ فِي الفُرُوعِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خَيْرِ الأُمَّةِ، فَمَا خَاصَمَ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَحَدًا، وَلَا عَادَى أَحَدٌ أَحَدًا، وَلَا نَسَبَ أَحَدٌ أَحَدًا إِلَى خَطَأٍ وَلَا قُصُورٍ..، وَوُرِدَ أَنَّ اخْتِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهَا، وَكَانَ اخْتِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ عَذَابًا وَهَلَاكًا. هَذَا أَوْ مَعْنَاهُ ».

Telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah di antara para Sahabat radhiyallhu ‘anhum, yang mana mereka merupakan generasi terbaik umat ini. Dan tidak ada di antara mereka yang berseteru dengan yang lain, atau mengadu domba, atau menyalahkan seseorang atas kesalahan atau kekurangan...

Dan telah disebutkan bahwa perbedaan pendapat dalam umat ini adalah rahmat dari Allah baginya, sedangkan perbedaan pendapat dalam umat-umat sebelumnya adalah siksaan dan kebinasaan. Ini adalah inti atau maknanya”.

SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH : Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:

‌وَالنِّزَاعُ ‌فِي ‌الْأَحْكَامِ ‌قَدْ ‌يَكُونُ ‌رَحْمَةً ‌إذَا ‌لَمْ ‌يُفْضِ ‌إلَى ‌شَرٍّ ‌عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}

"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang ; karena keidak jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:

{لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}

*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101).

Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].

PERHATIAN :

Ada hadits Nabi yang menyatakan :

اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةً

" Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat ".

Hadits "Ikhtilaf ummati rahmah" ini tidak memiliki dasar yang sahih, namun maknanya benar.

Al-Munawi dalam "Fayd al-Qadir" 1/ 212 berkata:

"قَالَ السَّبْكِيُّ: وَلَيْسَ بِمَعْرُوفٍ عِنْدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَلَمْ أَقِفْ لَهُ عَلَى سَنَدٍ صَحِيحٍ وَلَا مَوْضُوعٍ"

"As-Suyuti berkata: Hadits ini tidak dikenal oleh para ahli hadits, dan saya tidak menemukan sanad yang sahih atau yang maudhu' (palsu)."

Syeikh Majd Makky dalam artikelnya مَا صِحَّةُ حَدِيثِ اخْتِلَافِ أُمَّتِي رَحْمَةٌ؟ berkata:

وَالْحَاصِلُ: أَنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فَمَعْنَاهُ صَحِيحٌ جِدًّا، تُؤَيِّدُهُ أَدِلَّةُ الشَّرِيعَةِ الَّتِي تُقَرُّ مَشْرُوعِيَّةَ الِاخْتِلَافِ بِشُرُوطِهِ الْمُعْتَبَرَةِ.

" KESIMPULANNYA: meskipun hadits tersebut tidak terbukti shahih, namun maknanya sangat akurat [shahih sekali]. Ini didukung oleh dalil-dalil syar'i yang melegitimasi perbedaan pendapat dengan syarat-syarat yang mu'tabar".

===*****===

PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT

Perbedaan pendapat masalah-masalah furu’ agama adalah anugerah dan rahmat dari Allah SWT untuk umat ini. Lebih jauh dari itu, sebagian para tokoh salaf dan orang-orang yang tepercaya serta ulama mereka sangat berkeinginan untuk menghapus kata “perbedaan pendapat (ٱلاخْـتِـلاَفُ)” dari “kamus” masyarakat, lalu menggantinya dengan kata “keluasan (السَّعَة)”.

Dalam biografi Thalhah bin Musyarrif, rahimahullah, muridnya Musa Al-Juhani berkata:

"كَانَ طَلْحَةُ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ قَالَ: لَا تَقُولُوا: ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ قُولُوا: السَّعَةُ".

“Thalhah biasa mengatakan ketika kata ‘perbedaan pendapat’ disebut di hadapannya: ‘Jangan katakan perbedaan, tetapi katakanlah keluasan’.” [“Hilyat al-Awliya” 5/119.]

Abu Ishaq As-Subai’i, salah satu Tabi’in yang terkemuka dan salah satu para hafifz mereka, mengatakan:

"كَانُوا يَرَوْنَ السَّعَةَ عَوْنًا عَلَى الدِّينِ".

“Mereka berpandangan bahwa keluasan (السَّعَةَ) itu sebagai penolong agama.” [“Al-Ja’diyat” karya Abu al-Qasim al-Baghawi 1/366].

Dalam “Majmu’ al-Fatawa” 30/79, Ibnu Taiymiyah berkata :

"صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا فِي ٱلاخْـتِـلاَفُ فَقَالَ أَحْمَدُ: لَا تُسَمِّهِ كِتَابَ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ سَمِّهِ كِتَابَ السَّعَةِ"

“Seseorang menulis kitab tentang perbedaan pendapat , maka Imam Ahmad berkata: Jangan kau beri nama kitab itu dengan nama kita perbedaan pendapat , akan tetapi beri nama dengan nama kitab keluasan (السَّعَةَ).”

Perbedaan pendapat merupakan kata yang menunjukkan perselisihan dan perpecahan, sedangkan keluasan, nampak jelas maknanya dalam memberikan kelonggaran, kenyamanan, dan kemudahan. [Baca : al-Muswaddah karya Ibnu Taimiyah hal. 401].

Ini adalah peringatan yang halus untuk memperbaiki atau memberi peringatan kepada pendengar tentang manfaat dari perbedaan pendapat ini sebelum terjatuh dalam kesalahan, dengan mengira bahwa perbedaan pendapat yang disyariatkan dan yang terpuji sama seperti perbedaan yang tercela, yaitu perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama.

Mereka menyukai keluasan dalam syariat, karena mereka menyadari bahwa keluasan bersama kemudahan, dan bahwa kemudahan adalah salah satu tujuan utama dari tujuan-tujuan hukum Islam.

Keluasan dan kemudahan terkait dengan rahmat, maka dari itu, ada pernyataan dari Imam Al Qasim bin Muhammad Bin Abu Bakar ash-Shiddiiq rahimahullah dalam beberapa riwayatnya yang mengekspresikan “rahmat”.

Diantaranya : al-Qasim bin Muhammad pernah ditanya oleh seseorang:

سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنِ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ فِيمَا لَمْ يَجْهَرْ فِيهِ، فَقَالَ: إِنْ قَرَأْتَ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ، وَإِذَا لَمْ تَقْرَأْ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ.

“Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi .’” [Baca : Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Ibnu Abdil Bar ].

Dan adanya pengakuan (gagasan kelapangan dan keluasan dalam berijtihad) oleh para imam terdahulu dan belakangan adalah sesuatu yang tidak memerlukan bukti atau argumen atau rujukan, karena keteladanan mereka yang dipraktekkan lebih jelas daripada ucapan mereka.

Diantaranya adalah sikap Imam Malik terhadap gagasan dan pemikiran yang serupa ini, ketika ditawarkan padanya untuk memaksa orang-orang mengikuti kitabnya "al-Muwaththa'".

Riwayat-riwayat bervariasi tentang siapa yang mengajukan hal ini kepadanya, dan dalam jawabannya kepada mereka, tetapi semuanya berputar pada satu poros, yaitu : penolakan Imam Malik untuk memaksa orang-orang mengikuti satu mazhab, yaitu madzhabnya. Dia menolaknya karena cintanya pada keluasan dan kelapangan bagi mereka.

Lihat dan renungkanlah kenyataan yang diberkahi dan tenang ini, dan lihat serta renungkanlah apa yang kita alami saat ini yang penuh dengan kekacauan yang sangat menyakitkan!

Ingatlah tindakan mereka yang mengklaim mengikuti salaf saleh ini ketika mereka mencetak biografi Imam Besar Abu Hanifah rahimaullah dari "Tarikh Baghdad", biorgafi yang penuh dengan ketidakadilan dan kegelapan. Pada saat itu, mereka juga mencetak satu bab dari "Mushannaf Ibnu Abi Syaibah", karya besar ahli fiqh salaf, mereka memilih bab yang menyebutkan 125 masalah di mana menurut pendapat dan ijtihadnya, Imam Abu Hanifah menyelisihi sunnah, dan menamakannya dengan: “Kitab al-Radd 'ala Abi Hanifah (Kitab Bantahan Terhadap Abu Hanifah)”.

====

PARA SALAF SENANTIASA SALING MENGHORMATI PENDAPAT ORANG LAIN:

Para ulama dan para imam dari kalangan salaf dahulu, mereka senantiasa saling menghargai, saling menghormati dan saling mengakui terhadap perbedaan pendapat dalam berijtihad, mereka senantiasa menjaga persatuan dan menghindari perpecahan, sebagaimana yang kita lihat pada Imam Malik, itu adalah sesuatu yang sudah umum di antara mereka. 

Berikut ini adalah perkataan sebagian para ulama salaf dan para imam mujtahid berkenaan dengan pengakuan mereka terhadap perbedaan pendapat. 

CONTOH -NYA :

[1] SUFYAN ATS-TSAURY (wafat : 161 H) :

Dalam "Adab al-Faqih wa al-Mutafaqqih" 2/69 karya al-Khathib, dari Imam Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata:

«إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ: فَلَا تَنْهَهُ».

"Jika engkau melihat seseorang melakukan suatu amalan yang diperselisihkan, dan engkau berpendapat sebaliknya, maka janganlah engkau melarangnya."

Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.’” [Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401].

[2] ABU HANIFAH (wafat 150 H) :

Pernyataan yang serupa juga datang dari seorang imam mujtahid lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah rahimaullah , yang diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Tarikh al-Baghdaad 13/352 :

«قَوْلُنَا هَذَا رَأْيٌ، وَهُوَ أَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ، فَمَنْ جَاءَنَا بِأَحْسَنَ مِنْ قَوْلِنَا، فَهُوَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنَّا».

"Pendapat kami ini adalah sebuah pendapat, dan ini adalah yang terbaik yang kami mampu. Barangsiapa datang kepada kami dengan pendapat yang lebih baik dari pendapat kami, maka dia lebih berhak atas kebenaran daripada kami."

Bahkan dalam "al-Intiqa" (hal. 140) beliau berkata :

«هَذَا الَّذِي نَحْنُ فِيهِ رَأْيٌ لَا نُجْبِرُ أَحَدًا عَلَيْهِ، وَلَا نَقُولُ: يَجِبُ عَلَى أَحَدٍ قُبُولُهُ بِكَرَاهِيَةٍ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ أَحْسَنُ مِنْهُ فَلْيَأْتِ بِهِ».

"Apa yang kami tetapkan ini adalah sebuah pendapat yang tidak kami paksakan kepada siapa pun, dan tidak kami katakan bahwa wajib bagi seseorang untuk menerimanya dengan keberatan. Barangsiapa yang memiliki pendapat yang lebih baik darinya, maka hendaklah dia mengemukakannya."

[3] IBNU AL-MUBAARAK (wafat 181 H):

Betapa agungnya perkataan Ibnu al-Mubarak - dia termasuk para imam mujtahid -:

«إِنِّي لَأَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَأَكْتُبُهُ، وَمَا مِنْ رَأْيِي أَنْ أَعْمَلَ بِهِ، وَلَا أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ، وَلَكِنْ أَتَّخِذُهُ عُدَّةً لِبَعْضِ أَصْحَابِي إِنْ عَمِلَ بِهِ أَقُولُ: عَمِلَ بِالْحَدِيثِ».

"Aku mendengar hadis lalu menulisnya, meskipun aku tidak berpendapat untuk mengamalkannya. Atau aku meriwayatkannya, tetapi aku menganggapnya sebagai persiapan untuk sebagian sahabatku yang mengamalkannya. Aku katakan: Dia mengamalkan hadis tersebut". [Baca : "al-Kifāyah" karya al-Khaṭīb hal. 402, dan "Faḍā'il Abī anīfah" karya Ibnu Abī al-'Awām hal. 265].

Karena perkataan itu mengandung makna yang kita bicarakan, dan lebih dari itu, ia mencerminkan kemurahan hati dan kebaikan sifatnya terhadap sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum .

[4] YAHYA AL-QATHTHAN (wafat 198 H) :

Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan rahimahullah berkata:

مَا بَرَحَ أُولُو الْفَتْوَى يَفْتُونَ فَيُحَلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا فَلَا يَرَى الْمُحَرَّمُ أَنَّ الْمُحَلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ وَلَا يَرَى الْمُحَلُّ أَنَّ الْمُحَرَّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ.

“Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.” [ Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Imam Ibnu Abdil Bar]

[5] Al-IMAM AL-AWZAA’I (wafat 157 H) :

Al-Awza'i adalah salah satu imam mujtahid. Dalam kitab "al-Tamhid" 21/172, Ibnu Abdil Barr berkata 

«قَالَ الأُوزَاعِيُّ فِي الَّذِي يَقْبِّلُ امْرَأَتَهُ: إِنْ جَاءَ يَسْأَلُنِي قُلْتُ: يَتَوَضَّأُ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ أَعِبْ عَلَيْهِ!».

"al-Awza'i berkata tentang orang yang mencium istrinya:

Jika dia datang bertanya kepadaku, maka aku katakan: dia harus berwudhu. Dan jika dia tidak berwudhu, maka akupun tidak mencelanya!"  " . [Lihat pula : "al-Istidzkar" jilid 1: 323, dan jilid 3: 50, dari cetakan Dr. Qulaji].

[6] IMAM SYAFI’I (wafat 204 H):

Imam Asy Syafi’i rahimahullah, juga Imam Malik berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.

Namun demikian telah diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .

“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.’” [Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah]

[7] IMAM AHMAD (wafat 241 H):

Dan yang serupa disebutkan tentang perkataan seorang Imam Mujtahid lainnya, yaitu Imam Ahmad, dalam kitab "Siyar A'lam al-Nubala'" (11/371 biografi Ishaq bin Raahuwiyah):

«قَالَ أَحْمَدُ: لَمْ يَعْبُرِ الْجِسْرَ إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ إِسْحَاقَ، وَإِنْ كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَلْ يُخَالِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا».

"Ahmad berkata: Tidak ada yang menyeberangi jembatan menuju Khurasan yang seperti Ishaq, meskipun dia berbeda pendapat dengan kami dalam beberapa hal, karena manusia selalu berbeda pendapat satu sama lain."

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah  mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:

"لا نَفْعَلُهُ وَلا نُعِيبُ فَاعِلَهُ."

“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” [Al Mughni, 2/87 dan Syarhul Kabir, 1/802]

Dan tentang qunut shubuh,  diceritakan sebagai berikut:

فقد كَانَ الإمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فَتَابِعْهُ عَلَى قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ اتِّحَادِ الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.

“Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.’” [Syarhul Mumti’ 4/25 karya Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Mawqi’ Ruh Al Islam]

Abu Dawud berkata:

«سَمِعْتُ أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ؟ قَالَ: أَنَا لَا أَفْعَلُهُ، فَإِنْ فَعَلَهُ فَلَا بَأْسَ بِهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْتَحْسِنُهُ وَيَرَاهُ».

"Aku mendengar Ahmad ditanya tentang dua rakaat sebelum Maghrib? Beliau berkata: 'Aku tidak melakukannya, tetapi jika seseorang melakukannya, maka tidak mengapa.'

Abu Dawud berkata: 'Aku mendengarnya sebelum itu beberapa waktu yang lalu, dia menganggapnya bagus dan juga berpendapat yang sama.'" [Masā'il al-Imām Amad al-Fiqhiyyah karya Abu Dāwūd Hal. 72].

Dalam "al-Tamhid" 11/139 dari al-Atsram, dia berkata:

«سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ - يَقُولُ فِي مَنْ تَأَوَّلَ: إِنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ خَلْفَهُ إِذَا كَانَ لِتَأْوِيلِهِ وَجْهٌ فِي السُّنَّةِ».

"Aku mendengar Abu Abdillah - yaitu Ahmad bin Hanbal - berkata tentang orang yang melakukan ta'wil: Tidak mengapa shalat di belakangnya jika ta'wilnya memiliki dasar dalam sunnah." [Baca : al-Jaami’ Li ‘Uluumi al-Imam Ahmad 6/355 dan Dzakhiiratul ‘Uqbaa 3/130].

Dan para pengikut mereka juga mengikuti jalan ini, dan penjelasan tentang keadaan mereka akan panjang, dan penulis merasa tidak perlu menjelaskannya dan memperluasnya.

Cukup sekian sebagai contoh, dan di sana masih banyak lagi. Contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi  awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.

 

Posting Komentar

0 Komentar