BERBISNIS UNTUK IBADAH ITU BERPAHALA, TAPI BERIBADAH UNTUK BISNIS ITU BERDOSA.
Berjuang cari rizki yang halal demi untuk menghindari yang haram, maka itu adalah ibadah berpahala. Tapi beribadah demi untuk mendapatkan upah duniawi, maka itu adalah perbuatan dosa. Termasuk di dalamnya berdakwah demi amplop dan baca al-Qur'an demi bayaran.
---
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
---
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN :
- BISNIS DAN SEGALA PERBUATAN MUBAH BISA MENJADI LADANG PAHALA JIKA DINIATKAN IBADAH.
- CONTOH DALIL BISNIS & PERBUATAN MUBAH ITU BERPAHALA JIKA TUJUANNYA IBADAH
- CONTOH KE SATU : BEKERJA MENCARI NAFKAH HALAL ADALAH BAGIAN DARI JIHAD FI SABILILLAH.
- CONTOH KE DUA : UJIAN DAN TANTANGAN SAAT KERJA MENCARI NAFKAH ADALAH PENGHAPUSAN DOSA DAN IBADAH YANG DICINTAI ALLAH.
- CONTOH KE TIGA : SEMUA NAFKAH YANG DIKELUARKAN ADALAH LADANG PAHALA JIKA DINIATKAN KARENA ALLAH
- CONTOH KEEMPAT : PAHALA BAGI YANG MELAMPIASKAN SYAHWATNYA DENGAN CARA YANG HALAL:
- CONTOH KE LIMA : JAMINAN SYURGA BAGI YANG MANDIRI EKONOMINYA, TIDAK MENYUSAHKAN TETANGGA DAN BERJALAN DIATAS SUNNAH
- CONTOH KE ENAM : MATI SYAHID GELAR BAGI PEJUANG RIZKI HALAL JIKA DIA MATI DI MEDAN USAHA:
- BERIBADAH UNTUK BISNIS ITU BERDOSA.
- MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA, MEMBACA AL-QUR’AN DAN MENGAJARKAN-NYA ADALAH IBADAH DAN KEWAJIBAN.
- HADITS TENTANG BELAJAR MENGAJAR ILMU AGAMA ADALAH KEWAJIBAN
- HADITS LARANGAN NIAT BELAJAR ILMU AGAMA UNTUK MATA PENCAHARIAN
- HADITS LARANGAN ILMU AGAMA DI JADIKAN ALAT UNTUK MENDAPATKAN HARTA DARI PENGUASA.
- HADITS LARANGAN MENERIMA UPAH JASA AL-QURAN DAN ILMU AGAMA:
- AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG DA’WAH PARA NABI DAN ROSUL DAN LARANGAN JUAL BELI AYAT-AYAT ALLAH SWT:
- LARANGAN BELAJAR ILMU AGAMA DENGAN TUJUAN SBB
: Untuk POPULARITAS atau AGAR
ORANG-ORANG MENJADI PENGIKUTNYA atau AGAR MENGUASAI BANYAK MAJLIS ILMU
atau BANJIR UNDANGAN CERAMAH.
- PARA SALAFUS SALEH TIDAK MAU MAKAN DARI AGAMANYA & KESALEHANNYA
- DA’I AMPLOP DAN QORI BAYARAN ADALAH PARASIT HARTA MANUSIA.
- “SYAIR IBNU AL-MUBARAK TENTANG CELAAN JUALAN AGAMA”
- PARA SAHABAT MANDIRI DALAM BEREKONOMI DAN BENCI PENGANGGURAN.
- PERNYATAAN IMAM AHMAD TENTANG PENGANGGURAN :
- ANCAMAN NERAKA ATAS PRIA YANG TIDAK MAU BERUSAHA MENCARI RIZKI:
- SYUBHAT-SYUBHAT DARI KELOMPOK ANTI DUNIA :
- NABI AYYUB ‘ALAIHIS SALAM TIDAK PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL DAN BERKAH.
- MENJAWAB KESALAH FAHAMAN SEBAGIAN PARA DAI TERHADAP HADITS-HADITS BERIKUT INI :
****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
===****====
PENDAHALUAN :
“Berbisnis untuk Ibadah”, artinya : bekerja dan
mencari nafkah dengan cara yang halal, dengan niat menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya untuk tidak memakan rezeki yang haram. Tujuannya agar
bisa menafkahi diri sendiri dan keluarga dengan rezeki yang halal, supaya tidak
mengemis atau meminta-minta, dan supaya tidak berharap-harap kepada pemberian
orang lain. Semua ini termasuk ibadah yang akan mendapatkan pahala dari Allah
SWT.
Ibnu Abi ad-Dunya meriwayatkan dalam kitabnya إِصْلَاحُ
الْمَال
(98) dari Abdur Rahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
" يَا حَبَّذَا المَالُ، أَصِلُ مِنْهُ رَحِمِي،
وَأَتَقَرَّبُ إِلَى رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ".
“Duhai harta betapa aku mencintainya, karena dengannya aku
menghubungkan tali silaturrahimku., dan dengannya aku mendekatkan diri kepada
Tuhanku Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung.”
Adapun “Ibadah untuk bisnis atau membisniskan
ibadah” : maka maksudnya adalah melakukan amal ibadah dengan tujuan untuk
memperjual belikan agama, yang dengannya agar bisa mendapatkan harta,
kedudukan, jabatan dan popularitas. Dan
yang demikian itu adalah perbuatan yang dilarang dalam syari’at Islam.
Dari Abdullah bin Syaqiiq al-Anshori (radhiyallhu ‘anhu)
, dia berkata :
"يُكْرَهُ أرْشُ المُعَلِّمِ،
فَإِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ﷺ كَانُوا يَكْرَهُونَهُ وَيَرَوْنَهُ
شَدِيدًا"
“Upah mengajar (ilmu agama) itu di benci, maka sesungguhnya para
sahabat Rosulullah ﷺ sangat membencinya, dan sangat keras melarangnya “.
(Di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dalam al-Mushonnaf 6/223 no. 884. Lihat juga al-Muhalla 7/20).
Dalam al-Mawsuu’ah asy-Syaamilah 221/1211 disebutkan tentang Abdullah bin Muhairiz (wafat 99 H):
دَخَلَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَيْرِزٍ دُكَانًا يُرِيدُ
أَنْ يَشْتَرِي ثَوْبًا، فَقَالَ رَجُلٌ - قَدْ عَرَفَهُ - لِصَاحِبِ الْمَحَلِ: هَذَا
ابْنُ مُحَيْرِزٍ فَقِيهُنَا وَعَابِدُنَا فَأَحْسِنْ بَيْعَهُ.. فَغَضِبَ ابْنُ مُحَيْرِزٍ،
وَطَرَحَ الثَّوْبَ مِنْ يَدِهِ وَقَالَ: "إِنَّمَا نَشْتَرِي بِأَمْوَالِنَا
وَلَا نَشْتَرِي بِدِينِنَا!"
Abdullah
bin Muhairiz memasuki sebuah toko ingin membeli sebuah baju tsaub. Seorang pria
yang mengenalnya berkata kepada pemilik toko:
"
Dia ini adalah Ibnu Muhairiz, seorang ahli fiqih kami dan ahli ibadah kami",
Maka dia menjualnya dengan harga yang terbaik (termurah).
Maka Ibnu Muhairiz marah, dan melemparkan baju tsaub itu dari tangannya dan berkata: "Kami hanya membeli dengan uang kami, bukan dengan agama kami!".
===***===
BISNIS DAN SEGALA PERBUATAN MUBAH BISA MENJADI LADANG PAHALA JIKA DINIATKAN IBADAH
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
إِنَّ
الْمُبَاحَاتِ تَصِيرُ طَاعَاتٍ بِالنِّيَّاتِ الصَّادِقَاتِ
“Sesungguhnya segala sesuatu yang
halal bisa menjadi amal kebaikan dengan niat yang tulus”. ["Syarh Shahih Muslim"
(7/92)]
Alawai as-Saqqoof dalam ad-Duror
as-Saniyyah setelah menyebutkan hadits: "Pada kemaluan salah seorang di
antara kalian ada sedekah", dia berkata :
وَفِي
الْحَدِيثِ: أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا اسْتَغْنَى بِالْحَلَالِ عَنِ الْحَرَامِ كَانَ
لَهُ بِهٰذَا الِاسْتِغْنَاءِ أَجْرٌ.
Hadits ini menunjukkan bahwa jika
seseorang mencukupkan diri dengan hal yang halal dan menjauhi yang haram, maka
ia akan mendapatkan pahala dari sikapnya tersebut. [SELESAI]
Dalam hadits Umar bin Khathab, disebutkan
bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ
إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيِهِ
“Sesungguhnya segala amal ibadah itu
tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain
(akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya.
Barangsiapa hijrahnya menuju
(keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah
dan rasul-Nya.
Barangsiapa hijrahnya karena (harta
atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.” [HR. Bukhori no. 1 dan
Muslim no. 1907]
“Amal perbuatan tergantung pada
niatnya” adalah ungkapan yang berarti bahwa pahala suatu perbuatan atau
nilainya di sisi Allah bergantung pada niat yang menyertainya. Dengan kata
lain, perbuatan yang dilakukan dengan niat yang tulus dan maksud yang baik akan
diberi ganjaran kepada pelakunya meskipun hasilnya tidak terlihat atau belum
sempurna.
Kata “amal perbuatan” : Merujuk pada
setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia, baik berupa ibadah, kebiasaan,
maupun perilaku sosial.
Amal perbuatan halal dan mubah bisa
berubah menjadi ibadah yang mulia dan ladang pahala.
Kapan itu ? Yaitu ketika seorang muslimin melakukan semua itu dengan tujuan dan
niat mentaati perintah Allah SWT untuk menjauhi segala sesuatu yang diharamkan
oleh-Nya serta menghapakan pahal dari-Nya.
Maka bagi seorang muslim seyogyanya
senantiasa berusaha menghadirkan niat yang baik dalam setiap amal perbuatan
yang halal dan mubah dengan mengharap ridho Allah, rahmat-Nya serta berkah dan
pahala dari-Nya.
Hal ini tidak diragukan lagi akan
lebih memperbaiki hatinya dan memperbesar pahalanya.
Allah SWT berfirman :
﴿
لَّا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ
أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ
فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا﴾
*"Tidak ada kebaikan dalam
banyak pembicaraan mereka kecuali pembicaraan dari orang yang menyuruh
(manusia) bersedekah, atau berbuat yang makruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia. Dan barang siapa yang melakukan itu karena mencari keridaan
Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.”* (QS. An-Nisa: 114).
Syaikh As-Sa'di menjelaskan :
فَهَذِهِ
الْأَشْيَاءُ حَيْثُمَا فُعِلَتْ فَهِيَ خَيْرٌ، كَمَا دَلَّ عَلَى ذَلِكَ
الِاسْتِثْنَاءُ.
وَلَكِنْ
كَمَالُ الْأَجْرِ وَتَمَامُهُ بِحَسَبِ النِّيَّةِ وَالإِخْلَاصِ، وَلِهَذَا
قَالَ: {وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ
أَجْرًا عَظِيمًا} فَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْعَبْدِ أَنْ يَقْصِدَ وَجْهَ اللَّهِ
تَعَالَى وَيُخْلِصَ الْعَمَلَ لِلَّهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَفِي كُلِّ جُزْءٍ
مِنْ أَجْزَاءِ الْخَيْرِ، لِيَحْصُلَ لَهُ بِذَلِكَ الْأَجْرَ الْعَظِيمَ،
وَلْيَتَعَوَّدَ الإِخْلَاصَ فَيَكُونَ مِنَ الْمُخْلِصِينَ، وَلْيَتِمَّ لَهُ
الْأَجْرُ، سَوَاءٌ تَمَّ مَقْصُودُهُ أَمْ لَا لِأَنَّ النِّيَّةَ حَصَلَتْ
وَاقْتَرَنَ بِهَا مَا يُمَكِّنُ مِنَ الْعَمَلِ.
Maka amalan-amalan tersebut pada
dasarnya adalah kebaikan, sebagaimana ditunjukkan oleh pengecualian dalam ayat
tersebut. Akan tetapi, kesempurnaan dan kelengkapan pahala bergantung pada niat
dan keikhlasan. Oleh karena itu, Allah berfirman,
*“Barang siapa yang melakukan itu
karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang
besar.”* [QS. An-Nisaa : 114]
Maka seyogyanya seorang hamba
bertujuan untuk mencari wajah Allah dan mengikhlaskan amal hanya untuk-Nya
dalam setiap waktu dan setiap bagian dari kebaikan, sehingga ia memperoleh
pahala besar dan terbiasa ikhlas, menjadi bagian dari orang-orang yang ikhlas,
serta mendapatkan pahala penuh, terlepas dari apakah tujuannya tercapai atau
tidak, karena niatnya sudah hadir dan disertai dengan usaha yang mungkin
dilakukan. [Tafsir as-Sa’diy hal. 202].
Mewujudkan keikhlasan dilakukan
dengan bersungguh-sungguh dan memohon pertolongan kepada Allah, dapat menghadirkan
pahala dari setiap amal, memperkuat keimanan tentang akhirat beserta tentang
kenikmatan yang disediakan bagi orang-orang saleh dan azab bagi orang-orang
yang rugi. Juga dapat merenungkan nikmat Allah, dan memperkuat hubungan
dengan-Nya.
===****===
CONTOH DALIL BISNIS & PERBUATAN MUBAH ITU BERPAHALA JIKA TUJUANNYA IBADAH
Berikut ini diantara
contoh-contoh “Berbisnis dan perbuatan mubah dengan niat ibadah adalah ladang
pahala” :
******
CONTOH KE SATU :
BEKERJA MENCARI NAFKAH HALAL ADALAH
BAGIAN DARI JIHAD FI SABILILLAH :
Allah SWT berfirman dalam surat al-Muzammil :
وَآخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya : “ dan ( para sahabat ) yang lain berjalan di bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah “ [QS.
Al-Muzzammil: 20]
Imam Qurthubi berkata :
سوىَ
اللَّهِ تَعَالَى في هَذِهِ الآيَةِ بَيْنَ دَرَجَةِ المُجَاهِدِينَ وَالمُكْتَسِبِينَ
الْمَالَ الْحَلَالَ لِلنَّفَقَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَعِيَالِهِ وَالْإِحْسَانِ وَالْإِفْضَالِ
فَكَانَ دَلِيلًا عَلَى أَنَّ كَسْبَ الْمَالِ بِمَنْزِلَةِ الْجِهَادِ، لِأَنَّهُ
جَمَعَهُ مَعَ الْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
Allah SWT dalam ayat ini telah mensejajarkan antara derajat mujahidin
dan mereka yang berjuang mencari harta yang halal untuk menafkahi dirinya
sendiri , keluarganya dan untuk beramal kebajikan. Itu menunjukkan bahwa
mencari harta tersebut berkedudukan seperti jihad, karena Allah SWT
menggabungkannya dengan jihad fii Sabiilillah “. ( Baca : “الجامع لأحكام القرآن ” 21/349 . Tahqiq DR.
Abdullah at-Turki ).
Muhmmad bin Hasan asy-Syaibani Wafat tahun 189 H. Beliau adalah sahabat
Abu Hanifah. Beliau menyebutkan dalam "Kitab al-Kasab " hal. 33 :
وَقَدْ
كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْدِمُ دَرَجَةَ الْكَسْبِ
عَلَى دَرَجَةِ الْجِهَادِ فَيَقُولُ لِأَنَّ أَمُوتَ بَيْنَ شُعْبَتَيْ رَحْلِيَّ
أَضْرِبُ فِي الْأَرْضِ أَبْتَغِي مِنْ فَضْلِ اللَّهِ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَقْتُلَ
مُجَاهِدًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْمَ الَّذِينَ يَضْرِبُونَ
فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى الْمُجَاهِدِينَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى:
"وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ".
Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu, dahulu lebih mendahulukan
derajat kasab (mencari nafkah) di atas derajat jihad, dan beliau berkata :
Sungguh aku mati di antara dua kaki hewan tungganganku saat berjalan di
muka bumi dalam rangka mencari sebagian karunia Allah ( rizki ) ; lebih aku
cintai daripada aku terbunuh sebagai seorang mujahid di jalan Allah ; karena
Allah SWT dalam firmannya lebih mendahulukan orang-orang berjalan di muka bumi
dalam rangka mencari sebagian karunia Allah dari pada para mujaahid ,
berdasarkan firman-Nya :
وَآخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya : “ dan ( para sahabat ) yang lain berjalan di bumi mencari
sebagian rizki / karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah “ [Surat
Al-Muzzammil: 20]
Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhu- menyebutkan : bahwa Nabi ﷺ bersabda :
طَلَبُ الحَلالِ جِهادٌ
Mencari rizki yang halal itu adalah Jihad .
( HR. Ahmad dan Ibnu ‘Adiy dlm “الكامل في الضعفاء” 6/263 . Imam Ahmad berkata
:
“ Hadits ini Mungkar “. Lihat “: تهذيب التهذيب” 9/437
Dari Ka’ab bin ‘Ujroh radhiyallahu ‘anhu :
مَرَّ
رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَرَأَى أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِنْ جَلْدِهِ وَنَشَاطِهِ
مَا رَأَوْا، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صَغَارًا فَهُوَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ
فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعُفُّهَا
فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ
فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ»
Suatu hari ada seorang lelaki lewat di depan rasulullah ﷺ, dan para shahabat
radhiyallahu `anhu melihat kondisi lelaki tersebut dari kulit tubuhnya dan
semangatnya (seperti lelaki pekerja yang tangguh- pen), maka rasulullah ﷺ berkata:
“Jika dia keluar bekerja untuk
anaknya yang masih kecil, maka dia itu DI JALAN ALLAH [ Fii Sabiilillah].
Dan jika dia keluar bekerja untuk kedua orang tuanya, maka dia itu DI
JALAN ALLAH .
Dan jika dia keluar bekerja untuk dirinya sendiri dalam rangka `iffah
(menjaga kehormatan diri untuk tidak minta-minta - pen) maka dia itu DI JALAN
ALLAH .
Dan jika keluar dalam rangka riya` dan berbangga diri maka dia
terhitung di jalan syaithon.”
( HR. Ath-Thabrani (13/491) para perawinya tsiqoot / dipercaya ). Sanad
hadis ini dianggap shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Targhib no. 1959.
Dari Anas -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi ﷺ bersabda:
أَمَّا إِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى وَالِدَيْهِ
أَوْ أَحَدَهُمَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ
فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
Adapun jika dia bekerja cari rizki untuk kedua orang tuanya atau salah
satu dari keduanya, maka dia itu DI JALAN ALLAH (Fi Sabilillah) , dan jika dia
bekerja untuk dirinya sendiri maka dia itu DI JALAN ALLAH".
( HR. Baihaqi 7/787 No. 13112 & 15754 ) . Lihat pula : al-Jami'
ash-Shaghiir wal Jaami' al-Kabiir 2/165 No. 4603 .
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- : bahwa Rasulullah ﷺ bersabda ( Dalam lafadz
lain) :
بَيْنَمَا
نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا شَابٌّ مِنَ
الثَّنِيَّةِ فَلَمَّا رَأَيْنَاهُ بِأَبْصَارِنَا قُلْنَا : لَوْ أَنَّ هَذَا
الشَّابَ جَعَلَ شَبَابَهُ وَنَشَاطَهُ وَقُوَّتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ
فَسَمِعَ مَقَالَتَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَالَ :« وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلاَّ
مَنْ قُتِلَ؟ مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى
عَلَى عِيَالِهِ فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ لِيُعِفَّهَا
فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى التَّكَاثُرِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ
الشَّيْطَانِ
Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba muncul seorang
pemuda dari arah jalan bukit . Ketika dia nampak di hadapan kami , maka kami
berkata: Duhai seandainya pemuda ini memanfaatkan masa muda, semangat, dan
kekuatannya di jalan Allah!
Rasulullah ﷺ mendengar perkataan kami.
Lalu Beliau bersabda:
“ Apakah di jalan Allah itu hanya untuk orang yang terbunuh saja?
Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk kedua orangtuanya, maka
dia di jalan Allah.
Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk keluarganya, maka dia
di jalan Allah.
Barangsiapa yang berusaha (mencari rizki) untuk dirinya ( dalam rangka
menjaga kehormatannya agar tidak meminta-minta. pen), maka dia di jalan Allah.
Barangsiapa yang berusaha ( mencari rizki ) untuk berbanyak-banyakan
harta (semata), mka dia berada di jalan syaithan
Dalam lafadz lain :
وَمَا
سَبِيلُ اللَّهِ إِلَّا مَنْ قُتِلَ؟ مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ،
وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى مُكَاثِرًا فَفِي
سَبِيلِ الطَّاغُوتِ.
“
Apakah di jalan Allah itu hanya untuk yang terbunuh saja?
Siapa yang berusaha mencari nafkah untuk menghidupi orang tuanya maka
dia di jalan Allah, siapa yang berkerja untuk menghidupi keluarganya maka dia
di jalan Allah, tapi siapa yang bekerja untuk berbanyak-banykan harta semata
maka dia di jalan thaghut.”
(H.R al-Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubro, Ath-Thabrani “المعجم الأوسط” (5/119) dan Abu Nu’aim
al-Ashfahaani “حلية الأولياء
وطبقات الأصفياء”
hal. 197 ) . Dinyatakan sanadnya jayyid oleh Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah
al-Ahaadits as-Shahihah no 2232).
CONTOH KE DUA :
UJIAN DAN TANTANGAN SAAT KERJA MENCARI
NAFKAH ADALAH PENGHAPUSAN DOSA DAN IBADAH YANG DICINTAI ALLAH.
Dan Dari 'Aisyah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi ﷺ bersabda :
مَا
يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ
أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا
مِنْ خَطَايَاهُ
”
Tidaklah sesuatu menimpa kepada seorang muslim dari kesusahan, rasa sakit, rasa
gelisah, rasa sedih, sesuatu yang menyakitkan, dan rasa gundah, hingga duri
yang mengenai dirinya kecuali Allah menjadikannya sebagai penghapus atas
kesalahan-kesalahannya”(HR . Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573 ).
Imam As-Sarkhasi juga berkata :
وَفِي
الْحَدِيثِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَافَحَ
سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، فَإِذَا يَدَاهُ قَدْ اكْتَبَتَا
فَسَأَلَهُ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ ذَلِكَ
فَقَالَ: أَضْرِبُ بِالْمَرِّ وَالْمِسْحَاةِ لِأُنْفِقَ عَلَى عِيَالِي فَقَبَّلَ
رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَدَهُ وَقَالَ كَفَّانِ
يُحِبُّهُمَا اللَّهُ تَعَالَى»
Dan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah ﷺ
berjabat tangan dengan Saad bin Mu'adz -semoga Allah meridainya- pada suatu
hari, dan tangan mereka berdua terlihat terkelupas. Rasulullah ﷺ
bertanya kepadanya tentang hal itu, lalu Saad bin Mu'adz menjawab:
"Saya memetik kurma dan membersihkannya di
kebunku untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya."
Rasulullah ﷺ
mencium tangan Saad bin Mu'adz dan bersabda: "Dua telapak tangan yang dicintai
oleh oleh Allah Ta'ala." [Baca:
Al-Mabsuuth 30/245].
Dan hadis ini juga diriwayatkan dengan lafaz lain, diriwayatkan oleh Al-Khathib
Al-Baghdadi dalam "Tarikh Baghdad" (8/317–318) dengan sanadnya dari
Abdullah bin Al-Mubarak, dari Mis’ar bin Kidam, dari ‘Aun, dari Al-Hasan, dari
Anas bin Malik, berkata:
" أقَبْلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ، فَاسْتَقْبَلَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ الأَنْصَارِيُّ، فَصَافَحَهُ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ لَهُ: مَا هَذَا الَّذِي أَكْنَبَتْ يَدَاكَ؟
فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَضِرْبُ بِالْمَرِّ وَالْمِسْحَاةِ فَأُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِي.
قَالَ:
فَقَبَّلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ، فَقَالَ: هَذِهِ يَدٌ لا تَمَسُّهَا النَّارُ أَبَدًا .
“Rasulullah ﷺ kembali dari Perang Tabuk,
lalu disambut oleh Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari, maka Nabi ﷺ berjabat tangan dengannya
kemudian berkata kepadanya: ‘Apa yang membuat tanganmu kasar begini?’ Ia
menjawab: ‘Wahai Rasulullah! Aku memukul dengan kapak dan cangkul, lalu aku
belanjakan untuk keluargaku.’ Maka Nabi ﷺ mencium tangannya, lalu
bersabda: ‘Tangan ini tidak akan disentuh oleh api (neraka) selamanya.’
Al-Khathib rahimahullah ta’ala berkata:
هٰذَا
الْحَدِيثُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ لَمْ يَكُنْ حَيًّا فِي وَقْتِ غَزْوَةِ
تَبُوكَ، وَكَانَ مَوْتُهُ بَعْدَ غَزْوَةِ بَنِي قُرَيْظَةَ مِنَ السَّهْمِ الَّذِي
رُمِيَ بِهِ، وَمُحَمَّدُ بْنُ تَمِيمٍ الْفِرْيَابِيُّ كَذَّابٌ يَضَعُ الْحَدِيثَ
" انْتَهَى.
“Hadis ini batil; karena Sa’ad bin Mu’adz tidak hidup pada waktu Perang
Tabuk, ia wafat setelah Perang Bani Quraizhah karena anak panah yang
mengenainya, dan Muhammad bin Tamim Al-Firyabi adalah pendusta yang
membuat-buat hadis.” Selesai.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Sa’ad bin Mu’adz
lain, bukan Sa’ad yang masyhur, tetapi bagaimanapun juga sanad cerita ini
lemah.
Syaikh Al-Albani rahimahullah ta’ala berkata:
ضَعِيفٌ... . جَرَى
الْخَطِيبُ عَلَى أَنَّ سَعْدًا هٰذَا هُوَ ابْنُ مُعَاذٍ سَيِّدُ الْأَوْسِ الصَّحَابِيُّ
الْمَشْهُورُ، وَخَالَفَهُ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فَجَزَمَ فِي "الْإِصَابَةِ"
بِأَنَّهُ آخَرُ، ثُمَّ ذَكَرَ أَنَّ الْحَدِيثَ رَوَاهُ الْخَطِيبُ فِي "الْمُتَّفَقِ"
بِإِسْنَادٍ وَاهٍ، وَأَبُو مُوسَى فِي "الذَّيْلِ" بِإِسْنَادٍ مَجْهُولٍ
عَنِ الْحَسَنِ بِهِ.
“Lemah... Al-Khathib menganggap Sa’ad ini adalah bin Mu’adz pemimpin
Aus sahabat yang masyhur, sedangkan Al-Hafiz Ibnu Hajar berbeda pendapat
dengannya, ia memastikan dalam ‘Al-Ishabah’ bahwa ia orang lain, kemudian
disebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam ‘Al-Mutafaq’
dengan sanad yang lemah, dan Abu Musa dalam ‘Adz-Dzail’ dengan sanad yang
majhul dari Al-Hasan dengannya.” Selesai dari “Silsilah Al-Ahadits
Adh-Dha’ifah” (1/568).
Ibnu Al-Atsir rahimahullah ta’ala berkata:
عَلَى
أَنَّ مَنْ تَخَلَّفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ
الْأَنْصَارِ، وَغَيْرِهِمْ مَعْرُوفُونَ لَيْسَ فِيهِمْ سَعْدٌ، وَمَنْ تَخَلَّفَ
كَانَ أَوْلَى بِاللَّوْمِ وَالتَّثْرِيبِ، فَكَيْفَ يُقَبِّلُ يَدَهُ أَوْ يُصَافِحُهُ؟
“Padahal orang-orang Anshar dan selain mereka yang tertinggal dari
Rasulullah ﷺ sudah dikenal dan tidak ada
di antara mereka Sa’ad, dan orang yang tertinggal itu lebih berhak untuk dicela
dan ditegur, maka bagaimana mungkin tangannya dicium atau dijabat tangannya.” Selesai
dari “Usud Al-Ghabah” (2/420).
Maksud “Tangan (fisik) jika bekerja dengan niat yang baik” adalah dengan
niat pemiliknya menunaikan kewajiban harta yang ada padanya, dan agar bisa
bersedekah kepada orang lain, serta menjaga dirinya dari meminta-minta kepada
manusia atau mengharapkan pemeberian harta dari mereka (الطَّمْعُ).
Dari Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu, meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
"
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ،
فَيَبِيعَهَا، فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ
أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ".
“Sungguh jika salah seorang dari kalian mengambil talinya, lalu membawa
seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian menjualnya, sehingga Allah
menjaga wajahnya dengan itu, maka itu lebih baik baginya daripada dia
meminta-minta kepada manusia, baik mereka memberinya atau menolaknya.” (HR.
Bukhari no. 1471)
Hendaklah usaha dan jerih payah seorang lelaki dalam kehidupannya bertujuan
agar ia dan keluarganya makan dari penghasilan yang halal, dan hendaklah ia
menjadikannya sebagai bentuk ibadah dan taqorrub (pendekatan diri) kepada Allah
Rabb seluruh alam.
Dari Al-Miqdam radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
" مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ".
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada makan dari
hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah Dawud ‘alaihis salam
makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072)
****
CONTOH KE TIGA :
SEMUA NAFKAH YANG DIKELUARKAN ADALAH LADANG
PAHALA JIKA DINIATKAN KARENA ALLAH
Nafkah Halal yang dikeluarkan oleh seorang muslim, baik untuk dirinya sendiri, maupun istrinya, anak-anaknya dan keluarganya, bahkan untuk orang lain adalah ladang pahala dan termasuk ibadah yang sangat mulia di sisi Allah jika itu semua diniatkan karena Allah SWT.
[1]- MENAFKAHI DIRI SENDIRI DENGAN YANG HALAL, ITU TERMASUK IBADAH YANG
BERPAHALA JIKA NIATNYA KARENA ALLAH.
Nafkah Pengeluaran untuk Diri Sendiri
dengan Niat Menjaga Kehormatan dan Mendukung Ibadah Adalah Sedekah:
Berikut ini Dalil Nafkah atau
Pengeluaran untuk diri sendiri dianggap sedekah:
Ath-Thabrani meriwayatkan, dan
Al-Albani menilainya hasan, dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
"مَنْ
أَنْفَقَ عَلَى نَفْسٍ نَفَقَةً يَسْتَعِفُّ بِهَا فَهِيَ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْفَقَ
عَلَى امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ فَهِيَ صَدَقَةٌ".
*"Barang siapa yang
membelanjakan hartanya untuk dirinya sendiri dengan tujuan menjaga kehormatan
(dengan tidak minta-minta), maka itu adalah sedekah. Barang siapa yang
membelanjakan hartanya untuk istrinya, anak-anaknya, dan keluarganya, maka itu
juga sedekah."*
[Hasan lighairih: Diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani (3991) dan dihasankan oleh Al-Albani dalam *Targhib wa Tarhib*
(1957)].
[2] MENAFKAHI ISTRI DENGAN YANG HALAL, ITU TERMASUK IBADAH BERPAHALA JIKA
BERNIAT KARENA ALLAH :
Hendaklah para suami mengetahui bahwa
apa yang ia belanjakan untuk istrinya, ia akan mendapatkan pahala jika ia
berniat dan mengharap ridha Allah dalam hal itu.
Bukhari (55) dan Muslim (1002)
meriwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Badri radhiyallahu 'anhu, dari Nabi ﷺ,
bahwa beliau bersabda:
"إذَا
أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ
صَدَقَةً".
*"Jika seorang laki-laki
membelanjakan hartanya untuk istri-nya, dengan mengharap pahala, maka hal itu
bernilai sedekah baginya."*
Bukhari (1295) dan Muslim (1628) juga
meriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda kepadanya:
"وَإِنَّك
لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إلَّا أُجِرْت عَلَيْهَا
حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِك، أَيْ فِي فَمِهَا".
*"Dan engkau tidaklah
membelanjakan harta dengan mengharap wajah Allah, melainkan engkau akan diberi
pahala atasnya, bahkan hingga apa yang engkau letakkan di mulut istrimu
(maksudnya untuk memberi makan istrimu)."*
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
دِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينَارٌ
تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا
أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.
*"Dinar yang engkau belanjakan
di jalan Allah, dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan seorang budak,
dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau
belanjakan untuk istrimu, yang paling besar pahalanya adalah yang engkau
belanjakan untuk istrimu."*
[Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim
(995)].
Maka nasihatnya adalah: janganlah
engkau bersikap kikir terhadap istrimu dalam memenuhi kebutuhan tambahan
seperti kendaraan, tempat tinggal, pakaian, perhiasan, telepon genggam, makanan
manis, dan semisalnya, selama hal itu berada dalam kemampuanmu dan tidak
memberatkanmu untuk menyediakannya.
Begitu pula bepergian bersamanya,
atau menanggung biaya perjalanan untuknya jika ia memiliki mahram. Hal ini
termasuk dalam memuliakan istri, membantunya berbuat baik kepada keluarganya,
dan merupakan kebaikan serta ihsan yang pahalanya tidak akan hilang di sisi
Allah.
[3]- MEMBERI MAKAN KELUARGA ITU IBADAH BERPAHALA SEDEKAH :
Ahmad meriwayatkan dan Al-Albani
mensahihkannya dari Al-Miqdam bin Ma'di Karib, bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
مَا
أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ
صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ
فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
*"Apa yang engkau berikan untuk
dirimu sendiri adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan kepada anakmu
adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan kepada istrimu adalah sedekah
bagimu. Dan apa yang engkau berikan kepada pembantumu adalah sedekah bagimu."*
[Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad
(16727) dan disahihkan oleh Al-Albani dalam *Targhib wa Tarhib* (1955)]
[4]- NAFKAH YANG PALING BESAR PAHALA-NYA ITU UNTUK SIAPA YAH ?:
Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
دِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينَارٌ
تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا
أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.
*"Dinar yang engkau belanjakan
di jalan Allah, dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan seorang budak,
dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau
belanjakan untuk keluargamu (istrimu), yang paling besar pahalanya adalah yang
engkau belanjakan untuk keluargamu (istrimu)."*
[Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim
(995)].
[5] SETIAP NAFKAH YANG DIKELUARKAN BERNIAT KARENA ALLAH ITU IBADAH BERPAHALA:
Anjuran Agar Senantiasa Menghadirkan
Niat Ibadah Saat Membelanjakan Harta untuk Diri Sendiri dan Keluarga
Dari Sa’d bin Abu Waqash bahwasanya
dia mengabarkan, bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّكَ
لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا،
حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
*"Sesungguhnya engkau tidak
membelanjakan harta dengan mengharap wajah Allah, kecuali engkau akan diberi
pahala atasnya, bahkan hingga apa yang engkau letakkan di **mulut
istrimu**."*
[Muttafaqun ‘alaih: Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari (55) dan Muslim (1628)].
[6]- NAFKAH (PENGELUARAN) TERBAIK ADALAH UNTUK KELUARGA :
Muslim meriwayatkan dari Tsauban,
bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
أَفْضَلُ
دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ، دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ، وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ
الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ أَبُو قِلَابَةَ: وَبَدَأَ بِالْعِيَالِ. ثُمَّ قَالَ أَبُو
قِلَابَةَ: وَأَيُّ رَجُلٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ رَجُلٍ يُنْفِقُ عَلَى عِيَالٍ صِغَارٍ
يُعِفُّهُمُ أَوْ يَنْفَعُهُمُ اللَّهُ بِهِ وَيُغْنِيهِمْ.
*"Dinar terbaik yang
dibelanjakan oleh seseorang adalah dinar yang dibelanjakan untuk keluarganya,
dinar yang dibelanjakan untuk kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang
dibelanjakan untuk teman-temannya di jalan Allah."*
Abu Qilabah berkata: *"Beliau memulai dengan keluarga."*
Lalu Abu Qilabah menambahkan:
*"Siapakah orang yang lebih besar pahalanya daripada seorang laki-laki
yang membelanjakan hartanya untuk anak-anak kecilnya, lalu Allah menjaga
mereka, memberi manfaat kepada mereka, atau menjadikan mereka berkecukupan
dengannya?"* [Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (994).]
Dan Muslim (994) dan lainnya juga
meriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah ﷺ,
dalam hadits yang marfu’:
"أَفْضَلُ
دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ، دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ، وَدِينَارٌ
يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ
عَلَى أَصْحَابِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ ".
قَالَ
أَبُو قِلَابَة َ: "بَدَأَ بِالْعِيَالِ"، ثُمَّ قَالَ أَبُو قِلَابَةَ:
وَأَيُّ رَجُلٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ رَجُلٍ يُنْفِقُ عَلَى عِيَالٍ صِغَارٍ
يُعِفُّهُمُ اللَّهُ أَوْ يَنْفَعُهُمْ اللَّهُ بِهِ وَيُغْنِيهِمْ ".
*"Dinar terbaik yang
dibelanjakan oleh seorang laki-laki adalah dinar yang dibelanjakan untuk
keluarga-nya, dinar yang dibelanjakan untuk kendaraannya di jalan Allah, dan
dinar yang dibelanjakan untuk teman-temannya di jalan Allah."*
Abu Qilabah berkata: *"Beliau
memulai dengan keluarga."*
Lalu Abu Qilabah berkata lagi:
*"Adakah seseorang yang lebih besar pahalanya daripada seorang laki-laki
yang membelanjakan hartanya untuk anak-anak kecilnya, lalu Allah menjaga
kehormatan mereka, atau memberi manfaat kepada mereka, atau menjadikan mereka
berkecukupan dengannya?"*
[7]- PAHALA NAFKAH DARI SEORANG IBU UNTUK ANAK-ANAKNYA :
Dalam *Shahihain*, dari Ummu Salamah,
ia berkata:
قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ لِي مِنْ أَجْرٍ فِي بَنِي أَبِي سَلَمَةَ أَنْ أُنْفِقَ
عَلَيْهِمْ وَلَسْتُ بِتَارِكَتِهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا، إِنَّمَا هُمْ بَنِي؟ قَالَ:
نَعَمْ، لَكِ أَجْرُ مَا أَنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ.
*"Aku berkata, 'Wahai
Rasulullah, apakah aku mendapatkan pahala atas pengeluaranku untuk anak-anak
Abu Salamah? Aku tidak akan meninggalkan mereka begitu saja, karena mereka
adalah anak-anakku.' Rasulullah ﷺ
menjawab, 'Ya, engkau mendapatkan pahala atas apa yang engkau belanjakan untuk
mereka.'"*
[Muttafaqun ‘alaih: Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari (5369) dan Muslim (1001)].
[8]- KELUARGA ADALAH PRIORITAS UTAMA UNTUK DIBERI NAFKAH DAN BANTUAN:
Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang
hasan dari Abu Ramtsah :
أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ نَاسٌ مِنْ رَبِيعَةَ يَخْتَصِمُونَ
فِي دَمٍ، فَقَالَ: الْيَدُ الْعُلْيَا أُمُّكَ وَأَبُوكَ وَأُخْتُكَ وَأَخُوكَ وَأَدْنَاكَ
أَدْنَاكَ. قَالَ: فَنَظَرَ فَقَالَ: مَنْ هَذَا مَعَكَ، أَبَا رَمْثَةَ؟ قَالَ: قُلْتُ:
ابْنِي. قَالَ: أَمَا إِنَّهُ لَا يَجْنِي عَلَيْكَ وَلَا تَجْنِي عَلَيْهِ، وَذَكَرَ
قِصَّةَ الْخَاتَمِ.
Aku datang kepada Nabi ﷺ
saat ada orang-orang dari suku Rabi'ah sedang berselisih mengenai darah. Nabi ﷺ
bersabda:
*"Tangan yang lebih tinggi (yang
memberi) adalah untuk ibumu, ayahmu, saudaramu, saudari perempuanmu, dan
keluarga terdekatmu."*
Lalu Nabi ﷺ
bertanya kepada Abu Ramtsah, *"Siapa ini bersamamu?"* Abu Ramtsah
menjawab, *"Anakku."* Nabi ﷺ
bersabda:
*"Ketahuilah, ia tidak akan
menanggung dosa darimu, dan engkau pun tidak akan menanggung dosa
darinya,"* kemudian beliau menyebutkan kisah cincin tersebut.
[Status hadits adalah Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad
(7066) dengan sanad hasan].
CONTOH KEEMPAT :
PAHALA BAGI YANG MELAMPIASKAN SYAHWATNYA DENGAN CARA YANG HALAL:
Ketahuilah bahwa berniat untuk
menyalurkan hasrat atau syahwat dengan cara yang halal adalah niat yang baik,
dan insya Allah seorang hamba akan mendapatkan pahala atas niat tersebut.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, Rasulullah ﷺ
bersabda :
وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ! قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ!
أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ
لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ:
فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ.
"Pada kemaluan salah seorang di
antara kalian ada sedekah."
Para sahabat bertanya, "Wahai
Rasulullah ﷺ,
apakah seseorang yang menyalurkan hasratnya (pada istri-nya) apakah akan
mendapatkan pahala?"
Beliau ﷺ
menjawab, "Bagaimana menurut kalian jika ia menyalurkannya pada sesuatu
yang haram, apakah ia akan berdosa karenanya?
Mereka menjawab : "Ya".
Lalu Nabi ﷺ
bersabda : "Demikian pula jika ia menyalurkannya pada yang halal, maka ia
akan mendapatkan pahala." [HR. Muslim no. 1006]
Alawai as-Saqqoof dalam ad-Duror
as-Saniyyah saat menjelaskan hadits ini, dia berkata :
أَخْبَرَهُمْ
النَّبِيُّ ﷺ أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا أَتَى امْرَأَتَهُ - وَهُوَ كِنَايَةٌ عَنْ جِمَاعِ
الرَّجُلِ زَوْجَتَهُ وَمُعَاشَرَتِهَا - فَإِنَّ ذٰلِكَ يَكُونُ صَدَقَةً، فَتَعَجَّبُوا،
وَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ مِنَ الْجِمَاعِ،
وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟! فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا
فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟» يَعْنِي: لَوْ زَنَى وَوَضَعَ الشَّهْوَةَ
فِي الْحَرَامِ؛ هَلْ يَكُونُ عَلَيْهِ إِثْمٌ وَعُقُوبَةٌ؟ فَكَذٰلِكَ إِذَا وَضَعَهَا
فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ؛ فَإِنَّ الْمُبَاحَاتِ تَصِيرُ طَاعَاتٍ بِالنِّيَّاتِ
الصَّادِقَاتِ.
وَفِي
الْحَدِيثِ: أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا اسْتَغْنَى بِالْحَلَالِ عَنِ الْحَرَامِ كَانَ
لَهُ بِهٰذَا الِاسْتِغْنَاءِ أَجْرٌ.
Nabi ﷺ
memberitahu para sahabat bahwa ketika seorang laki-laki menggauli istrinya –
yang merupakan kiasan untuk hubungan suami istri – maka itu bernilai sedekah.
Para sahabat pun terkejut dan berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ,
apakah seseorang yang menyalurkan hasratnya dengan berhubungan (suami istri)
akan mendapat pahala?” Nabi ﷺ
menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika ia menyalurkannya dalam hal yang
haram, apakah ia berdosa karenanya?” Artinya, jika ia berzina dan menyalurkan
syahwatnya dalam hal yang haram, apakah ia akan berdosa dan mendapatkan
hukuman? Maka demikian pula, jika ia menyalurkannya dalam hal yang halal, ia
akan mendapatkan pahala; karena perkara yang mubah bisa menjadi ibadah dengan
niat yang tulus.
Hadits ini menunjukkan bahwa jika
seseorang mencukupkan diri dengan hal yang halal dan menjauhi yang haram, maka
ia akan mendapatkan pahala dari sikapnya tersebut. [SELESAI]
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
قَوْلُهُ
ﷺ "وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ": هُوَ بِضَمِّ الْبَاءِ، وَيُطْلَقُ
عَلَى الْجِمَاعِ، وَيُطْلَقُ عَلَى الْفَرْجِ نَفْسِهِ.
...
وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمُبَاحَاتِ تَصِيرُ طَاعَاتٍ بِالنِّيَّاتِ الصَّادِقَاتِ،
فَالجِمَاعُ يَكُونُ عِبَادَةً إِذَا نَوَى بِهِ قَضَاءَ حَقِّ الزَّوْجَةِ وَمُعَاشَرَتِهَا
بِالْمَعْرُوفِ الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ أَوْ طَلَبَ وَلَدٍ صَالِحٍ أَوْ
إِعْفَافَ نَفْسِهِ أَوْ إِعْفَافَ الزَّوْجَةِ وَمَنَعَهُمَا جَمِيعًا مِنَ النَّظَرِ
إِلَى حَرَامٍ أَوْ الْفِكْرِ فِيهِ أَوْ الْهَمِّ بِهِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَقَاصِدِ
الصَّالِحَةِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ
لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟
"Sabda Nabi ﷺ:
'Dan dalam hubungan intim salah seorang dari kalian terdapat sedekah,' yaitu
dengan huruf 'ba' yang dibaca dengan dhammah, yang berarti hubungan intim
(jima') atau bisa juga berarti alat kelamin itu sendiri."
… Dalam hal ini terdapat bukti bahwa segala sesuatu yang halal bisa
menjadi amal kebaikan dengan niat yang tulus. Hubungan suami istri menjadi
ibadah jika diniatkan untuk menunaikan hak istri dan bergaul dengannya dengan
cara yang baik sesuai perintah Allah, atau untuk memperoleh anak yang shalih,
atau menjaga diri dan istri dari perbuatan haram atau pikiran yang tidak baik,
atau tujuan baik lainnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam "Syarh
Muslim" (7/92).
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan
:
"وَذَلِكَ
أَنَّ الْمُؤْمِنَ عِنْدَ شَهْوَةِ النِّكَاحِ يَقْصِدُ أَنْ يَعْدِلَ عَمَّا
حَرَّمَهُ اللَّهُ إلَى مَا أَبَاحَهُ اللَّهُ؛ وَيَقْصِدُ فِعْلَ الْمُبَاحِ مُعْتَقِدًا
أَنَّ اللَّهَ أَبَاحَهُ "
{وَاَللَّهُ
يُحِبُّ أَنْ يُؤْخَذَ بِرُخَصِهِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ}
" كَمَا رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَد فِي الْمُسْنَدِ وَرَوَاهُ غَيْرُهُ
وَلِهَذَا
أَحَبّ الْقَصْرَ وَالْفِطْرَ فَعُدُولُ الْمُؤْمِنِ عَنْ الرَّهْبَانِيَّةِ وَالتَّشْدِيدِ
وَتَعْذِيبِ النَّفْسِ الَّذِي لَا يُحِبُّهُ اللَّهُ إلَى مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ مِنْ
الرُّخْصَةِ هُوَ مِنْ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُثِيبُهُ اللَّهُ عَلَيْهَا وَإِنْ فَعَلَ
مُبَاحًا لَمَا اقْتَرَنَ بِهِ مِنْ الِاعْتِقَادِ وَالْقَصْدِ الَّذِينَ كِلَاهُمَا
طَاعَةٌ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ. فَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى.
وَ
أَيْضًا فَالْعَبْدُ مَأْمُورٌ بِفِعْلِ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ الْمُبَاحَاتِ
هُوَ مَأْمُورٌ بِالْأَكْلِ عِنْدَ الْجُوعِ وَالشُّرْبِ عِنْدَ الْعَطَشِ وَلِهَذَا
يَجِبُ عَلَى الْمُضْطَرِّ إلَى الْمِيتَةِ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا وَلَوْ لَمْ يَأْكُلْ
حَتَّى مَاتَ كَانَ مُسْتَوْجِبًا لِلْوَعِيدِ كَمَا هُوَ قَوْلُ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ
مِنْ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَغَيْرِهِمْ وَكَذَلِكَ هُوَ مَأْمُورٌ بِالْوَطْءِ
عِنْدَ حَاجَتِهِ إلَيْهِ بَلْ وَهُوَ مَأْمُورٌ بِنَفْسِ عَقْدِ النِّكَاحِ إذَا احْتَاجَ
إلَيْهِ وَقُدِّرَ عَلَيْهِ.
فَقَوْلُ
النَّبِيِّ ﷺ " {فِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ} " فَإِنَّ الْمُبَاضَعَةَ
مَأْمُورٌ بِهَا لِحَاجَتِهِ وَلِحَاجَةِ الْمَرْأَةِ إلَى ذَلِكَ فَإِنَّ قَضَاءَ
حَاجَتِهَا الَّتِي لَا تَنْقَضِي إلَّا بِهِ بِالْوَجْهِ الْمُبَاحِ صَدَقَةٌ".
"Dan itu karena seorang mukmin
ketika merasakan hasrat untuk menikah, ia berniat untuk menjauhkan diri dari
apa yang diharamkan Allah dan menuju apa yang dihalalkan-Nya; ia berniat untuk
melakukan hal yang mubah dengan keyakinan bahwa Allah menghalalkannya."
Rasulullah ﷺ
bersabda : {Dan Allah suka jika hamba-Nya mengikuti kelonggaran-Nya,
sebagaimana Dia tidak suka jika perbuatan maksiat dilakukan.} Seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan diriwayatkan oleh yang
lainnya.
Oleh karena itu, Allah lebih suka
jika seorang mukmin menjauhkan diri dari kehidupan pertapaan, kekerasan, dan
penyiksaan diri yang tidak disukai oleh Allah, dan beralih kepada apa yang
disukai Allah, yaitu mengikuti kelonggaran-Nya. Hal ini merupakan amal baik
yang diberi pahala oleh Allah, meskipun ia melakukan sesuatu yang mubah, selama
disertai dengan keyakinan dan niat yang ikhlas, keduanya merupakan ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan
setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.
(Juga, hamba diperintahkan untuk
melakukan apa yang ia butuhkan dari hal-hal mubah; ia diperintahkan untuk makan
saat lapar dan minum saat haus. Oleh karena itu, orang yang terpaksa untuk
memakan bangkai diperintahkan untuk memakannya, dan jika ia tidak memakannya
hingga mati, ia berhak mendapatkan ancaman, sebagaimana yang dinyatakan oleh
mayoritas ulama dari empat mazhab dan lainnya. Demikian pula, ia diperintahkan
untuk berhubungan suami istri saat ia membutuhkan hal tersebut. Bahkan, ia
diperintahkan untuk menikah jika ia membutuhkan dan mampu melakukannya. Oleh
karena itu, sabda Nabi ﷺ,
*"Pada kemaluan salah seorang di antara kalian ada sedekah,"*
karena hubungan intim itu diperintahkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan
kebutuhan istrinya, karena memenuhi kebutuhan istrinya yang tidak akan
terpenuhi kecuali dengan cara yang halal, adalah sedekah." [Majmu’
al-Fatawaa 10/462-463]]
Waspada terhadap **hadits PALSU**
yang menyatakan :
جِمَاعُ
الزَّوْجَةِ يَعْدِلُ صَلَاةَ سَبْعِينَ نَافِلَةً
"Melakukan hubungan suami istri
itu setara dengan pahala tujuh puluh kali sholat sunah."
====
CONTOH KE LIMA :
JAMINAN SYURGA
BAGI YANG MANDIRI EKONOMINYA, TIDAK MENYUSAHKAN TETANGGA DAN BERJALAN DIATAS
SUNNAH
Dari
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallhu ‘anhu, beliau berkata: Rasulallah ﷺ
bersabda,
«مَنْ أَكَلَ طَيِّبًا، وَعَمِلَ فِي
سُنَّةٍ، وَأَمِنَ النَّاسُ بَوَائِقَهُ دَخَلَ الجَنَّةَ» فَقَالَ رَجُلٌ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ هَذَا اليَوْمَ فِي النَّاسِ لَكَثِيرٌ، قَالَ:
«وَسَيَكُونُ فِي قُرُونٍ بَعْدِي
“Barangsiapa
memakan makanan yang baik, beramal sesuai sunnah, dan orang lain aman dari
keburukannya maka dia masuk Surga.”
Seorang
sahabat berkata: Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ini banyak pada ummatmu sekarang.
Rasulallah ﷺ
bersabda, “Mereka akan ada sepeninggalku nanti.”
(HR. Turmudzy No. 2520, Thabrani dlm “المعجم الأوسط” (2/52), Baihaqi dlm “شعب
الإيمان”
(7/501), al-Laalakaa’i (اللالكائي) (1/59), al-Haakim 4/117 dan Ibnu Abi
ad-Dunya 1/57).
At-Turmudzi
berkata: “ حسن صحيح غريب”. al-Haakim berkata: “ صحيح
الإسناد”. Hadits
ini di masukkan pula oleh Syeikh al-Baani dlm “سلسلة
الأحاديث الصحيحة”.
====
CONTOH KE ENAM :
MATI
SYAHID GELAR BAGI PEJUANG RIZKI HALAL JIKA DIA MATI DI MEDAN USAHA:
Muhmmad bin Hasan asy-Syaibani [ Wafat . 189 H. Beliau sahabat Abu
Hanifah ] menyebutkan dalam "Kitab al-Kasab " hal. 33 :
وَقَدْ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْدِمُ دَرَجَةَ الْكَسْبِ عَلَى دَرَجَةِ الْجِهَادِ فَيَقُولُ
لِأَنَّ أَمُوتَ بَيْنَ شُعْبَتَيْ رَحْلِيَّ أَضْرِبُ فِي الْأَرْضِ أَبْتَغِي مِنْ
فَضْلِ اللَّهِ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَقْتُلَ مُجَاهِدًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْمَ الَّذِينَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ
مِنْ فَضْلِهِ عَلَى الْمُجَاهِدِينَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: "وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ
فِي الْأَرْضِ".
Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu, dahulu lebih mendahulukan
derajat kasab (mencari nafkah) di atas derajat jihad, dan beliau berkata :
Sungguh aku mati di antara dua kaki hewan tungganganku saat berjalan di
muka bumi dalam rangka mencari sebagian karunia Allah ( rizki ) ; lebih aku
cintai daripada aku terbunuh sebagai seorang mujahid di jalan Allah ; karena
Allah SWT dalam firmannya lebih mendahulukan orang-orang berjalan di muka bumi
dalam rangka mencari sebagian karunia Allah dari pada para mujaahid ,
berdasarkan firman-Nya :
وَآخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya : “ dan ( para sahabat ) yang lain berjalan di bumi mencari
sebagian rizki / karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah “ [Surat
Al-Muzzammil: 20]
Imam Qurthubi berkata :
سوىَ اللَّهِ تَعَالَى في هَذِهِ الآيَةِ
بَيْنَ دَرَجَةِ المُجَاهِدِينَ وَالمُكْتَسِبِينَ الْمَالَ الْحَلَالَ لِلنَّفَقَةِ
عَلَى نَفْسِهِ وَعِيَالِهِ وَالْإِحْسَانِ وَالْإِفْضَالِ فَكَانَ دَلِيلًا عَلَى
أَنَّ كَسْبَ الْمَالِ بِمَنْزِلَةِ الْجِهَادِ، لِأَنَّهُ جَمَعَهُ مَعَ الْجِهَادِ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
Allah SWT dalam ayat ini telah mensejajarkan antara derajat mujahidin
dan mereka yang berjuang mencari harta yang halal untuk menafkahi dirinya
sendiri , keluarganya dan untuk beramal kebajikan. Itu menunjukkan bahwa
mencari harta tsb berkedudukan seperti jihad, karena Allah SWT menggabungkannya
dengan jihad fii Sabiilillah “. ( Baca : “الجامع
لأحكام القرآن ”
21/349 . Tahqiq DR. Abdullah at-Turki ).
Dari Sa’id bin Zaid (ia meriwayatkan): Aku pernah
mendegar Rasulullah ﷺ pernah
bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ
فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ
فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
Barangsiapa yang terbunuh karena melindungi
hartanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi agamanya maka
dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi darahnya maka dia syahid.
Siapa yang terbunuh karena melindungi keluarganya maka dia syahid
(HR. An-Nasai no. 4105 dan al-Tirmidzi no. 1421.
Di nilai Hasan Shahih oleh At-Tirmidzi, dan dinilai Shahih oleh al-Albani dalam
Shahih an-Nasa’i).
Dalam hadits diatas, Nabi ﷺ mendahulukan penyebutan mati syahid karena melindungi harta
benda dari pada penyebutan mati syahud karena melindungi agama, nyawa dan
keluarga.
Dulu saya saat masih kuliah, sering mendengar ceramah para dai timur
tengah, terutama para da’i dari Saudi Arabia , diantaranya adalah Syeikh ‘Aidh
al-Qorni. Salah satu ungkapan yang sangat menarik dari ceramah-ceramahnya :
“Dulu Islam masuk ke Indonesia tanpa peperangan dan kekerasan. Kenapa ?
لِأَنَّهُمْ تُجَّارٌ ذُوُو أَخْلَاقٍ
نَبِيلَةٍ وَرَفِيعَةٍ، وَهُمْ أَهْلُ الإِنْفَاقِ وَالصَّدَقَةِ ، أَخْلَاقُهُمُ الْقُرْآنُ
. يَبِيعُونَ كَأَنَّهُمُ الْقُرْآنُ يَمْشِي فِي أَوْسَاطِ السُّوقِ.
Karena mereka adalah para pedagang yang berakhlak luhur dan mulia, ahli
infaq dan sedekah. Akhlak mereka adalah al-Quran. Mereka berjualan dipasar
seakan-akan al-Quran berjalan ditengah pasar.
BERIBADAH UNTUK BISNIS ITU BERDOSA.
MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA, MEMBACA AL-QUR’AN DAN MENGAJARKAN-NYA ADALAH IBADAH DAN KEWAJIBAN
KAIDAH UMUM DALAM MASALAH TUJUAN IBADAH adalah :
الأَصْلُ فِي أَعْمَالِ القُرْبِ كَتَعْلِيمِ
العِلْمِ وَنَحْوِهِ أَنْ يَقُومَ بِهَا الإِنسَانُ مُحْتَسِبًا مُخْلِصًا
لِوَجْهِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يُرِيدُ بِذَلِكَ عَرْضًا مِنَ الدُّنْيَا،
وَهَذَا هُوَ الْأَفْضَلُ بِلَا شَكٍّ، وَهُوَ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ
الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ.
"Pada
asalnya hukum semua amalan yang diperuntukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, seperti mengajarkan ilmu agama dan sejenisnya, adalah seseorang
melakukannya harus betul-betul ikhlas semata-mata karena Allah dan dengan
tujuan agar mendapatkan pahala dari-Nya. Tidak bertujuan untuk memperoleh
dunia, dan Ini adalah yang paling afdlol tidak diragukan lagi, dan itulah yang
diamalkan oleh para Sahabat dan Taabi'in"
Ringkasnya: “Belajar dan mengajar ilmu agama serta
berdakwah itu masuk dalam katagori IBADAH”.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
وَالصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو
التَّابِعِينَ وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْمَشْهُورِينَ عِنْدَ الْأُمَّةِ بِالْقُرْآنِ
وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ إِنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ، وَلَمْ
يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ يُعَلِّمُ بِأُجْرَةٍ أَصْلًا. ا.هـ.
Para Sahabat, Tabi’iin, Tabi’it Tabi’iin , dan ulama lainnya yang
masyhur akan keilmuannya di kalangan Umat dalam bidang ilmu Al-Qur'an, Hadits
dan Fikih, sesungguhnya mereka itu mengajar tanpa upah , dan tidak ada seorang
pun di antara mereka yang menerima upah dalam berdakwah sama sekali . ( Baca : مُخْتَصَرُ ٱلْفَتَاوَى ٱلْمِصْرِيَّةِ hal. 481 dan مَجْمُوعُ ٱلْفَتَاوَى jilid 30 hal. 204 ).
Namun
Mayoritas Para Fuqohaa telah sepakat akan bolehnya menerima tunjangan
dari Baitul Maal (Kas Negara) atas pengajaran al-Qur’an dan
ilmu-ilmu syar’i yang membawa manfaat dan yang semisalnya .
Akan tetapi ada sebagian para sahabat dan para
tabi’in yang menolak menerima tunjangan mengajar al-Quran dan ilmu agama dari
pemerintah, bahkan mereka membencinya. Diantara mereka adalah : sahabat
Abdullah bin Syaqiiq al-Anshari (radhiyallahu ‘anhu), Sahabat ‘Amr bin Nu’man (radhiyallahu
‘anhu) dan ulama Tabi’i Abdurrahman bin Ma’qil (rahimahullah)
Abdullah bin Syaqiiq al-Anshori (radhiyallahu
‘anhu) berkata :
"يُكْرَهُ أرْشُ المُعَلِّمِ،
فَإِنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ﷺ كَانُوا يَكْرَهُونَهُ وَيَرَوْنَهُ
شَدِيدًا"
“ Upah mengajar itu di benci , maka sesungguhnya
para sahabat Rosulullah ﷺ sangat membencinya , dan sangat keras melarangnya “.
(Di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dalam al-Mushonnaf 6/223 no. 884. Lihat juga al-Muhalla 7/20).
Dan di riwayatkan pula dari sahabat lainnya seperti
Ubadah dan lain-lainnya. Bahkan Ibnu Hazem dalam kitabnya al-Muhalla 7/20 no.
1307 telah menyebutkan atsar yang banyak dari para sahabat (radhiyallahu ‘anhu)
.
Dan dari Abi Iyyaas , dia berkata :
كُنْتُ نَازِلاً عَلَى عَمْرِو
بْنِ النُّعْمَانِ فَأَتَاهُ رَسُولُ مُصْعَبِ ابْنِ الزُّبَيْرِ حِينَ حَضَرَهُ
رَمَضَانُ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَقَالَ : إِنَّ الأَمِيرَ يُقْرِئُكَ السَّلامَ وَقَالَ
إِنَّا لَمْ نَدَعْ قَارِئًا شَرِيفًا إِلا وَقَدْ وَصَلَ إِلَيْهِ مِنَّا
مَعْرُوفٌ فَاسْتَعِنْ بِهَذَيْنِ عَلَى نَفَقَةِ شَهْرِكَ هَذَا
.فَقَالَ : (أَقْرِئِ الأمِيرَ السَّلامَ وَقُلْ لَهُ إِنَّا وَاللَّهِ
مَا قَرَأْنَا الْقُرْآنَ نُرِيدُ بِهِ الدُّنْيَا وَدِرْهَمَهَا)
Dulu aku pernah singgah di rumah ‘Amr bin Nu’maan (radhiyallahu
‘anhu). Lalu datanglah kepadanya utusan Mush’ab bin Zubair ketika Bulan
Ramadhan tiba sambil membawa uang 2000 dirham, maka dia berkata :
“ Sesungguhnya gubernur kirim salam pada
anda , dan dia berkata : Sesungguhnya kami tidak akan membiarkan seorang qoori’
[guru al-Qur’an] yang terhormat kecuali aku mengirim untuknya bantuan kebaikan
, maka dengan uang 2000 dirhan ini semoga bisa membantu mu untuk nafkah satu
bulan ini “.
Maka beliau menjawab : Sampaikan salamku kepada
Gubernur , dan tolong sampaikan pula padanya : Demi Allah sesungguhnya
kami membaca al-Qur’an bukan karena dunia dan dirhamnya .
( HR, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya
7/164 ).
Dan Ubeid bin al-Hasan , berkata :
قَسَمَ مُصْعَبُ بْنُ
الزُّبَيْرِ مَالاً فِي قُرَّاءِ أَهْلِ الْكُوفَةِ حِينَ دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ
فَبَعَثَ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْقِلٍ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَقَالَ
لَهُ اسْتَعِنْ بِهَا فِي شَهْرِكَ هَذَا ، فَرَدَّهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
مَعْقِلٍ وَقَالَ :{لَمْ نَقْرَأِ الْقُرْآنَ لِهَذَا}
Mush’ab bin az-Zubeir bagi-bagi uang untuk para
Qoori’ [guru al-Qur’an] Ahli Kuufah ketika masuk bulan Romadhan , lalu dia
mengirim untuk Abdurrahman bin Mi’qool 2000 dirham , dan berkata kepadanya : “
Semoga dengan 2000 dirham ini bisa membantumu untuk satu bulan ini “. Maka
Abdurrahman bin Mi’qool menolaknya dan mengambalikannya , sambil berkata : “
Kami membaca al-Qur’an bukan untuk ini “.
(HR. Ad-Daarimii dalam Sunan nya , di Muqoddimah
, bab Shiyanatul ilmi 1/152 no. 574 )
===***===
HADITS TENTANG BELAJAR MENGAJAR ILMU AGAMA ADALAH KEWAJIBAN
HADITS KE 1:
Rosulullah
ﷺ
bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, no. 224. Al-Hafidz Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if jiddan, tapi Dinilai shahih
oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224))
Allah
SWT menyatakannya dalam Al-Quran bahwa « طلب
العلم » itu
bagian dari pada Jihad Fi Sabilillah, Allah berfirman:
{ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ
كَآفّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلّ فِرْقَةٍ مّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لّيَتَفَقّهُواْ
فِي الدّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوَاْ إِلَيْهِمْ لَعَلّهُمْ
يَحْذَرُونَ } [سورة: التوبة - الأية: 122]. قوله تعالى: { ليتفقهوا } يعني بذلك
الطائفة القائمة.
Dan
tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).
Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS.
At-Taubah: 122)
Dan
Allah swt berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan
janganlah kamu melakukan sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (ilmu)
tentang hal itu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan dimintai pertanggung jawaban." (QS. Al-Israa: 36).
HADITS KE 2:
Tentang
kewajiban menyampaikan ilmu agama dan keharaman menyembunyikannya.
Dari
'Abdullah bin 'Amru bahwa Nabi ﷺ bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ
بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
"Sampaikan
dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani
Isra'il dan itu tidak apa (tidak berdosa). Dan siapa yang berdusta atasku
dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka".
HR.
Bukhari (hadis nomor 3202), Abu Dawud, Hadis Nomor 3177; al-Tirmidzi, Hadis
Nomor 2593; dan Imam Ahmad, Hadis Nomor 6198.
HADITS KE 3:
Dari
Abu Hurairah: Bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda:
مَثَلُ الَّذِي يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ ثُمَّ لَا يُحَدِّثُ
بِهِ كَمَثَلِ الَّذِي يَكْنِزُ الْكَنْزَ فَلَا يُنْفِقُ مِنْهُ.
“Perumpamaan
orang yang mempelajari ilmu kemudian tidak menyampaikannya adalah seperti orang
yang menyimpan harta namun tidak menafkahkannya darinya (membayarkan zakatnya)”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 689; shahih – lihat
Ash-Shahiihah no. 3479].
HADITS KE 4:
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr: Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِلَجَامٍ مِنْ نَارٍ
“Barangsiapa
yang menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan mengikatnya dengan tali kekang
dari api neraka di hari kiamat kelak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 96,
Al-Haakim 1/102, dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 5/38-39; hasan].
HADITS KE 5:
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah ﷺ :
"مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ
اللَّهُ بِلَجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".
“Barangsiapa
yang ditanya tentang satu ilmu lalu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka di hari kiamat kelak”
[Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 3658, At-Tirmidziy no. 2649, Ath-Thayalisiy no. 2534, Ibnu
Abi Syaibah 9/55, Ahmad 2/263 & 305 & 344 & 353 & 499 &
508, Ibnu Maajah no. 261, Ibnu Hibbaan no. 95, Al-Haakim 1/101, Al-Baghawiy no.
140, dan yang lainnya; shahih].
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, pernah di tanya tentang hukum mengambil upah
mengajar ilmu agama, maka beliau menjawab, di antaranya sbb:
فَأَجَابَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ. أَمَّا تَعْلِيمُ
الْقُرْآنِ وَالْعِلْمِ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهُوَ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ
وَأَحَبُّهَا إلَى اللَّهِ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ
الإِسْلامِ لَيْسَ هَذَا مِمَّا يَخْفَى عَلَى أَحَدٍ مِمَّنْ نَشَأَ بِدِيَارِ
الإِسْلامِ.
وَالصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو
التَّابِعِينَ وَغَيْرُهُمْ مِنْ الْعُلَمَاءِ الْمَشْهُورِينَ عِنْدَ الأُمَّةِ
بِالْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ إنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ بِغَيْرِ
أُجْرَةٍ. وَلَمْ يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ يُعَلِّمُ بِأُجْرَةِ أَصْلاً. فَإِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا
دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ فَقَدْ
أَخَذَ بِحَظِّ وَافِرٍ. وَالأَنْبِيَاءُ رِضْوَانُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ
إنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ الْعِلْمَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ".
Maka
beliau menjawab:
“
Alhamdulillah, Adapun mengajar al-Qur’an dan Ilmu agama tanpa upah, maka itu
adalah amalan yang paling afdhol dan paling dicintai oleh Allah. Dan ini adalah
perkara yang sangat jelas dan dimaklumi secara darurat dalam agama Islam, ini
bukan perkara yang samar dan tersembunyi bagi orang yang hidup dan tumbuh besar
di negeri-negeri Islam (Yakni: semua orang pasti tahu banget. pen.).
Para
sahabat, para tabi’iin, para tabi’it tabi’iin dan lainnya dari para ulama yang
masyhur di kalangan para imam akan keilmuannya, baik ilmu al-Quran, Hadits dan
Fiqih, sesungguhnya mereka semuanya tidak ada yang mengambil upah dalam
mengajar. Dan sama sekali tidak ada satu pun yang mengajar dengan upah. Karena
sesungguhnya para ulama itu pewaris para nabi.
Dan
sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar, maupun dirham, akan tetapi
mereka mewariskan Ilmu, maka barang siapa yang mengambil ilmu tsb, maka dia
telah mengambil keberuntungan yang melimpah.
Dan
para nabi, merka ketika mengajarkan ilmu, tanpa mengambil upah “. (Baca: “مجموع الفتاوى” 30/204)
===****===
HADITS LARANGAN NIAT BELAJAR ILMU AGAMA UNTUK MATA PENCAHARIAN
HADITS KE 1:
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabada:
(مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى
بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا
مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي
رِيحَهَا).
“
Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah Subhanahu
wa Ta’ala ; tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mendapatkan
harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat
kelak. (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan imam Ahmad no. 8457)
Hadits ini di Shahihkan oleh imam an-Nawawi, syeikh bin Baaz dan syeikh
al-Albaani. Lihat: “رياض الصالحين” [No. 139 & 1620] dan “صحيح الترغيب” no. 105).
Kalau
dalam hadits disebutkan masalah ilmu, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i.
Itulah maksud dari pujian dan sanjungan ditujukan pada ilmu syar’i. Sebagaimana
pujian ini ditujukan pada ahli ilmu sebagai pewaris para nabi,
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
“Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para nabi.”
(HR.
Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Pewaris
nabi tentu saja adalah pewaris ilmu diin atau ilmu agama.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
“Ilmu
itu dimaksudkan untuk banyak hal. Namun kalau menurut ulama Islam, yang
dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i. Itulah yang dimaksudkan dalam kitab
Allah dan sunnah Rasulullah r. Ketika disebut ilmu, maka yang dimaksud adalah
ilmu syar’i.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2: 302)
HADITS KE 2:
Dan
Turmudzy meriwayatkanya dari Ibnu Umar Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ، أَوْ أَرَادَ
بِهِ غَيْرَ اللَّهِ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“
Barang siapa yang menuntut Ilmu karena selain Allah, maka dia telah menyiapkan
tempat duduk untuk dirinya dari api Neraka “.
(HR.
At-Tirmidzi No. 2655 dan An-Nasa’i dalam *As-Sunan Al-Kubra* No. 5910 dalam
hadits yang panjang. Al-Mizzi berkata dalam kitabnya *Tahdzib Al-Kamal*: “Di
dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ‘Abbad Al-Hanna’i, Abu Hatim berkata: dia
itu shaduq.” Al-Mubarakfuri dalam kitabnya *Tuhfat Al-Ahwadzi* 7/68: sanadnya
terputus.” Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam *Dhaif
At-Tirmidzi* No. 2655, *As-Silsilah Adh-Dhaifah* No. 5017, *Dhaif At-Targhib*
No. 85 dan *Dhaif Al-Jami’* No. 1768 dan 5530.)
====***====
HADITS LARANGAN ILMU AGAMA DI JADIKAN ALAT UNTUK MENDAPATKAN HARTA PENGUASA.
HADITS KE 1:
Dari
Ibnu Abbaas radhiyallahu ‘anhudari Nabi ﷺ bersabda:
«إِنَّ أُنَاسًا مِنْ أُمَّتِي
سَيَتَفَقَّهُونَ فِي الدِّينِ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَقُولُونَ: نَأْتِي
الْأُمَرَاءَ فَنُصِيبُ مِنْ دُنْيَاهُمْ وَنَعْتَزِلُهُمْ بِدِينِنَا وَلَا
يَكُونُ ذَلِكَ كَمَا لَا يُجْتَنَى مِنْ الْقَتَادِ إِلَّا الشَّوْكُ كَذَلِكَ
لَا يُجْتَنَى مِنْ قُرْبِهِمْ إِلَّا قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ كَأَنَّهُ
يَعْنِي الْخَطَايَا».
“Sesungguhnya
ada manusia-manusia dari kalangan umatku yang mereka mendalami ilmu agama dan
membaca al-Quran, dan mereka berkata, “Kami akan mendatangi para pemimpin dari
pemerintah, hingga kami mendapatkan sebagian dunia mereka, tapi kami membatasi
diri kami dari mereka dengan agama kami (yakni: tidak ikut-ikutan melakukan
dosa-dosa kedzaliman). Yang demikian itu tidak mungkin terjadi (yakni: dapat
uangnya penguasa sekaligus agamanya terselamatkan). Sebagaimana tidak ada orang
yang memetik dari pohon al-Qataad (pohon yang hanya dipenuhi duri), kecuali
hanya mendapatkan duri. Demikian pula, tidak ada seseorang yang memetik dari
kedekatan dengan penguasa, kecuali dosa-dosa”. [HR. Imam Ibnu Majah No. 255]
Hadits
ini di dhoifkan oleh syeikh al-Albaani dlm “تخريج
مشكاة المصابيح” No. 253
& 262, “صحيح وضعيف سنن ابن ماجة” (1/327), “الضعيفة” (no. 1250) dan “التعليق
الرغيب” (1/69).
Lihat “الدرر السنية” hadits No. 103321.
HADITS KE 2:
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
" تعوَّذوا باللهِ من جُبِّ الحَزَنِ.
قالوا: يا رسولَ اللهِ وما جُبُّ الحزَنِ ؟ قال: وادٍ في جهنَّمَ تتعوَّذُ منه جهنَّمُ
كلَّ يومٍ أربعَمائةِ مرَّةٍ. قيل: يا رسولَ اللهِ من يدخلُه ؟ قال: أُعِدَّ
للقُرَّاءِ المُرائين بأعمالِهم ، وإنَّ من أبغضِ القُرَّاءِ إلى اللهِ الَّذين
يُزورُون الأمراءَ الجَوَرةَ "
“Berlindunglah
kalian kepada Allah swt dari jubb al-hazan. Para shahabat bertanya, “Ya
Rasulallah, apa jubb al-hazan? Nabi ﷺ menjawab, “Sebuah lembah di Jahannam, yang
mana Jahannam berlindung dari jubb al-hazan, 400 kali setiap hari”. Para
shahabat bertanya, “Siapa yang memasukinya?
Nabi
ﷺ
menjawab: “ [Jub al-hazan] Disediakan bagi para pembaca al-Quran yang
riya`(ingin dipuji manusia) sesuai dengan amal perbuatan mereka. Sesungguhnya,
para pembaca al-Quran yang paling dibenci Allah adalah mereka yang mengunjungi
para penguasa yang lalim tidak adil”.
[HR. Al-Mundziri dalam *At-Targhib wa At-Tarhib*
4/341, At-Tirmidzi No. 2383 dan Ibnu Majah No. 256. Dilemahkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam *Dhaif Ibnu Majah* No. 50. Dan Al-Mundziri dalam *At-Targhib wa
At-Tarhib* 1/51 berkata: “Tidak ada kemungkinan untuk dianggap hasan.”]
HADITS KE 3 :
Dari
Ali bin Abi Tholib, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ جُبِّ الْحَزَنِ أَوْ وَادِي
الْحَزَنِ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا جُبُّ الْحَزَنِ أَوْ وَادِي الْحَزَنِ؟
قَالَ: وَادٍ فِي جَهَنَّمَ تَتَعَوَّذُ مِنْهُ جَهَنَّمُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ مَرَّةً
أَعَدَّهُ اللَّهُ لِلْقُرَّاءِ الْمُرَائِينَ.
“Berlindunglah
kalian kepada Allah swt dari jubb al-hazan. Para shahabat bertanya, “Ya
Rasulallah, apa jubb al-hazan? Nabi ﷺ menjawab, “Sebuah lembah di Jahannam, yang
mana Jahannam berlindung dari jubb al-hazan, 70 kali setiap hari”. Allah swt
telah menyiapkannya untuk para qori al-Qura’an yang riya (ingin dipuji manusia)
“.
(Lihat:
“الترغيب والترهيب للمنذري” karya al-Mundziri 4/341. Sanad nya Hasan. Lihat “الدرر السنية” hadits no. 112)
===***===
HADITS LARANGAN MENERIMA UPAH JASA AL-QURAN DAN ILMU AGAMA:
Hadits Pertama : Orang durhaka (fajir) adalah orang yang makan dan minumnya dari hasil al-Qur'an :
Termasuk orang fajir (orang durhaka dan ahli maksiat) adalah orang yang
makan dan minumnya dari hasil al-Qur'an, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu
Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah ﷺ bersabda:
"يكون خَلْفٌ من بعد السِّتِّينَ سنةً
أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ثم
يكون خَلْفٌ يقرؤونَ القرآنَ لا يعْدو تراقيهم
ويقرأ القرآنَ ثلاثٌ مؤمنٌ ومنافقٌ وفاجرٌ ".
قال بَشِيْر : قُلْتُ للوَلِيْد : مَا هَؤلَاء
الثَّلاثةُ؟ قَالَ : المُؤْمِن مُؤْمِنٌ بِه، والمُنافِقُ كَافِرٌ به،
والفَاجِرُ يَأكُلُ بِهِ
Kelak akan ada generasi pengganti sesudah enam puluh tahun, mereka
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan.
Kemudian akan muncul pula pengganti lainnya yang pandai membaca
Al-Quran , tetapi tidak sampai meresap ke dalam hati mereka.
Saat itu yang membaca Al-Quran ada tiga macam orang, yaitu orang
Mukmin , orang munafik, dan orang fajir (durhaka dan ahli maksiat).
Basyir mengatakan bahwa ia bertanya kepada Al-Walid tentang pengertian
dari ketiga macam orang tersebut : "Siapa sajakah mereka itu?"
Maka Al-Walid menjawab : "Orang Mukmin adalah orang yang
beriman kepada Al-Quran , orang Munafiq adalah orang yang
ingkar terhadap Al-Quran , sedangkan orang yang DURHAKA adalah orang
yang mencari makan (nafkah) dengan Al-Quran." [HR. Ahmad no. 11340].
Derajat Hadits :
Ibnu Katsir dalam kitab ٱلْبِدَايَةُ
وَٱلنِّهَايَةُ
(6/233) berkata :
إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ عَلَى شَرْطِ
السُّنَنِ
"Sanad nya bagus dan kuat sesuai syarat kitab-kitab
as-Sunan".
Dan dengan sanad ini, Al-Hakim mensahihkannya sesuai syarat Al-Bukhari
dan Muslim, dan Adz-Dzahabi menyetujuinya (2/374, 4/547). Ibnu Hibban juga
(3/32, no. 755).
Dan Syeikh al-Albaani dalam ٱلسِّلْسِلَةُ
ٱلصَّحِيحَةُ
1/520 berkata :
"رِجَالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ الوَلِيدِ، فَحَدِيثُهُ
يَحْتَمِلُ التَّحْسِينِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ حَالٍ شَاهِدٌ صَالِحٌ".
"Para perawinya tsiqoot [ dipercaya] selain al-Wallid ,
maka haditsnya bisa dibawa ke derajat Hasan , dan haditst tersebut bagaimana
pun juga layak dan baik sebagai syahid ".
Arti kata "fajir" (فَاجِرٌ) dalam bahasa Arab :
تَعْنِي الشَّخْصَ الَّذِي يَرْتَكِبُ
الْفُجُورَ، وَهُوَ الْخُرُوجُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَاتِّبَاعُ الشَّهَوَاتِ
وَالْمَعَاصِي. وَالْفُجُورُ يَشْمَلُ الزِّنَا، وَالْفِسْقَ، وَالظُّلْمَ، وَكُلَّ
مَا يُغْضِبُ اللَّهَ.
Berarti orang yang melakukan kefajiran (kedurhakaan), yaitu keluar dari
ketaatan kepada Allah Ta'ala dan mengikuti syahwat serta maksiat. Kefajiran
mencakup zina, kefasikan, kezaliman, dan segala sesuatu yang membuat Allah
murka.
Dalam riwayat lain : Dari Abu Sa’id al-Khudri , bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
(
تَعَلَّموا القرآنَ، وَسَلُوا اللهَ بِهِ الجنَّةَ، قَبْلَ أنْ يَتعَلَّمَهُ
قَوْمٌ، يَسْأَلُونَ به الدُّنْيا، فَإِنَّ القُرآنَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاثَةٌ:
رَجُلٌ يُباهِي بِهِ، وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ، وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ لله ) .
“Kalian Belajarlah Al-Quran dan mintalah kepada Allah surga
dengannya, sebelum muncul satu kaum yang mempelajari Al-Quran untuk tujuan
duniawi.
Sesungguhnya ada tiga kelompok yang mempelajari Al-Quran:
- Seseorang yang mempelajarinya untuk berbangga diri.
- Seseorang yang mencari makan dengannya .
- dan seseorang yang membacanya karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
(HR. Baihaqi dan Abu ‘Ubeid dalam kitab “فَضَائِلُ
ٱلْقُرْآنِ” ,
Bab : ٱلْقَارِئُ يَسْتَأْكِلُ بِٱلْقُرْآنِ hal. 206. Hadits di
sebutkan oleh Syeikh Al-Albaani dalam “ٱلسِّلْسِلَةُ
ٱلصَّحِيحَةُ “ (1/118-119 No. 258), dan beliau berkata :
وَلِلْحَدِيثِ شَوَاهِدُ أُخْرَى تُؤَيِّدُ صِحَّتَهُ عَنْ جَمَاعَةٍ
مِنَ الصَّحَابَةِ.
“ Hadits ini memiliki syahid-syahid lain yang memperkuat
keshahinnya dari jemaah para sahabat “).
Dari Abdurrahman bin Syibl radhiyallahu ‘anhu, di berkata:
Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
" اقْرَءُوا
الْقُرْآنَ، وَلَا تَغْلُوا فِيهِ، وَلَا تَجْفُوا عَنْهُ، وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ،
وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ"
“Bacalah Al-Qur’an,
dan janganlah kalian berlebih-lebihan padanya, jangan pula kalian berpaling
darinya, jangan kalian mencari makan dengannya, dan jangan kalian memperbanyak (harta) dengannya.”
[HR. Imam Ahmad dalam Al-Musnad 24/288 nomor 15529, Abu ‘Ubaid dalam Fadhoil al-Qur’an
hal. 205, Abu Ya’la dalam al-Musnad 3/88 no. 1518, ath-Thabarani no. 2574 dan
al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 2/27 no. 2270].
Syu’aib Al-Arna’uth
berkata:
"حَديثٌ
صَحيحٌ، وَهٰذَا إِسْنَادٌ قَوِيٌّ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ رِجَالُ الشَّيْخَيْنِ، غَيْرَ
أَبِي رَاشِدٍ الحُبْرَانِيِّ، فَقَدْ رَوَى لَهُ البُخَارِيُّ فِي "الأدَبِ المُفْرَدِ"،
وَأَبُو دَاوُدَ، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَرَوَى عَنْهُ جَمْعٌ، وَوَثَّقَهُ
العِجْلِيُّ، وَابْنُ حِبَّانَ، وَالحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِي "التَّقْرِيبِ".
إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ: هُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ. وَقَوَّى إِسْنَادَهُ الحَافِظُ
فِي الفَتْحِ ٩/١٠١".
Hadits ini sahih, dan
sanadnya kuat, para perawinya terpercaya, perawi-perawinya adalah perawi
Bukhari dan Muslim selain Abu Rasyid Al-Hubrani; Bukhari meriwayatkan darinya
dalam *Al-Adab Al-Mufrad*, begitu pula Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
Banyak yang meriwayatkan darinya, dia dinyatakan tsiqah oleh Al-‘Ijli, Ibnu
Hibban, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *At-Taqrib*.
Ismail bin Ibrahim
adalah Ibnu ‘Ulayyah. Al-Hafidz Ibnu Hajar menganggap sanad hadits in kuat
dalam kitab-nya *Fath
Al-Bari* 9/101”.
Dari Abu Sa’id al-Khudry
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وسلم عَامَ تَبُوكَ خَطَبَ النَّاسَ وَهُوَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى نَخْلَةٍ
فَقَالَ: " أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ النَّاسِ وَشَرِّ النَّاسِ؛ إِنَّ مِنْ
خَيْرِ النَّاسِ رَجُلًا عَمِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَلَى ظَهْرِ فَرَسِهِ أَوْ عَلَى
ظَهْرِ بَعِيرِهِ أَوْ عَلَى قَدَمَيْهِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمَوْتُ، وَإِنَّ مِنْ
شَرِّ النَّاسِ رَجُلًا فَاجِرًا جَرِيئًا يَقْرَأُ كِتَابَ اللَّهِ، لَا يَرْعَوِي
إِلَى شَيْءٍ مِنْهُ"
Sesungguhnya
Rasulullah ﷺ pada
tahun Tabuk berkhutbah kepada orang-orang sedang beliau bersandar pada pohon
kurma, lalu beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahu siapa manusia terbaik
dan terburuk?
Sesungguhnya di
antara manusia terbaik adalah seseorang yang berjuang di jalan Allah di atas
punggung kudanya atau di atas punggung untanya atau dengan kedua kakinya hingga
datang kepadanya kematian. Dan sesungguhnya di antara manusia terburuk adalah
seseorang yang fasik, berani berbuat dosa, membaca Kitab Allah, tetapi tidak
peduli sedikit pun dengan kandungannya
(melainkan lebih peduli pada dunia).”
[HR. Ahmad dalam Al-Musnad 14/421 nomor 11319]
Syu’aib Al-Arna’uth
dalam tahqiq Al-Musnad 14/421 nomor 11319 berkata:
حَديثٌ حَسَنٌ،
وَهٰذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ لِجَهَالَةِ أَبِي الخَطَّابِ، وَهُوَ المِصْرِيُّ، جَهِلَهُ
النَّسَائِيُّ وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَالذَّهَبِيُّ وَالحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ. وَبَقِيَّةُ
رِجَالِهِ ثِقَاتٌ رِجَالُ الشَّيْخَيْنِ. هَاشِمُ بْنُ القَاسِمِ: هُوَ أَبُو النَّضْرِ،
وَلَيْثٌ: هُوَ ابْنُ سَعْدٍ، وَأَبُو الخَيْرِ: هُوَ مَرْثَدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اليَزَنِيُّ.
“Hadits hasan, namun sanad ini lemah
karena ketidakjelasan status Abu Al-Khaththab, dia
adalah orang Mesir, statusnya tidak diketahui oleh An-Nasa’i, Ad-Daraquthni,
Adz-Dzahabi, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar. Para perawi lainnya terpercaya dan
perawi Bukhari dan Muslim. Hasyim bin Al-Qasim adalah Abu An-Nadr, Laits adalah
Ibnu Sa’d, dan Abu Al-Khair adalah Martsad bin Abdullah Al-Yazani”.
Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/340-341, Abdu bin Humaid (989), An-Nasa’i
dalam *Al-Mujtaba* 6/11-12, dan dalam *Al-Kubra* (4314), Al-Hakim 2/67-68,
Al-Baihaqi dalam *As-Sunan* 9/160 dan dalam *Asy-Syu’ab* (4290), serta Al-Mizzi
dalam *Tahdzib Al-Kamal* (dalam biografi Abu Al-Khattab Al-Mishri), melalui
jalur Laits bin Sa’d dengan sanad ini.
Al-Hakim
mensahihkannya dan Adz-Dzahabi menyetujuinya, padahal Adz-Dzahabi menyebut
dalam *Al-Mizan* bahwa Abu Al-Khaththab tidak
dikenal (Majhul).
Hadits Abu Hurairah
terdapat dalam *Al-Mustadrak* karya Al-Hakim 2/67, Al-Hakim mensahihkannya
menurut syarat Bukhari dan Muslim, dan Adz-Dzahabi menyetujuinya.
Kami katakan: Dalam
sanadnya terdapat Fulaikh bin Sulaiman, dia haditsnya hasan.
Ibnu al-Atsir berkata :
وَفِيهِ «شَرُّ النَّاس رجُل يَقْرَأُ
كِتابَ اللَّهِ لَا يَرْعَوِي إِلَى شَيْءٍ مِنْهُ» أَيْ لَا ينكَفُّ وَلَا يَنْزَجِر،
مِنْ رَعَا يَرْعُو إِذَا كَفَّ عَنِ الْأُمُورِ. وَقَدِ ارْعَوَى عَنِ القَبِيح
يَرْعَوِي ارْعِوَاءً
Dan di dalamnya terdapat perkataan: “Seburuk-buruk manusia adalah
seseorang yang membaca Kitab Allah tetapi tidak mengambil pelajaran darinya,”
maksudnya: tidak berhenti dan tidak menahan diri.
Karena, itu dari kata *ra‘ā yar‘ū* jika ia
berhenti dari suatu perkara. Dikatakan: *qad ir‘awā ‘ani al-qabīḥ yar‘awī ir‘iwā’an* (yakni ; ia
telah berhenti dari segala keburukan, berhenti sepenuhnya). [Baca : an-Nihayah
2/236]
Saya katakan : termasuk tidak menahan diri dari makan dan minum dari
hasil al-Quran .
Ke Dua : Hadits peringatan terhadap orang yang
mendahulukan upah duniawi dalam membaca al-Qur'an dari pada pahala akhirat:
Dari Sahal bin Sa’ad
as-Saa’idi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ ٱللَّهِ ﷺ يَوْمًا
وَنَحْنُ نُقْرِئُ فَقَالَ: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ، كِتَابُ ٱللَّهِ وَاحِدٌ، وَفِيكُمْ
ٱلْأَحْمَرُ وَفِيكُمْ ٱلْأَبْيَضُ وَفِيكُمْ ٱلْأَسْوَدُ، اقْرَؤُوهُ قَبْلَ أَنْ
يَقْرَأَهُۥ أَقْوَامٌ يُقِيمُونَهُۥ كَمَا يُقَوَّمُ ٱلسَّهْمُ يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ
وَلَا يَتَأَجَّلُهُ.
“ Pada suatu hari
Rosulullah ﷺ keluar menemui kami, dan saat itu kami sedang membaca
al-Qur’an, maka beliau ﷺ bersabda : “Al-Hamdulillah, Kitab Allah
satu, sementara di dalam kalian ada yang berkulit merah, berkulit putih dan
berkulit hitam (Yakni ada etnis Arab dan Non Arab) , bacalah kalian al-Quran
sebelum adanya kaum-kaum membaca
al-Qur’an, mereka menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan (yakni
mereka memperbagus bacaannya), namun dia mempercepat upahnya (di
dunia) dan tidak menundanya (untuk akhirat).
(HR. Abu Daud 1/220 No. 831 . Di Shahihkan oleh Syeikh Al-Albaani dlm
Shohih Abu Daud 1/157 No. 741, beliau berkata : Hasan Shahih).
Penjelasan hadits ini :
قَوْلُهُ: "يُقِيمُونَهُ كَمَا يُقَوَّمُ
ٱلسَّهْمُ" أَي: يُحَسِّنُونَ ٱلنُّطْقَ بِهِ. وَقَوْلُهُ: "يَتَعَجَّلُ
أَجْرَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُهُ" أَي: يَطْلُبُ بِذَٰلِكَ أَجْرَ ٱلدُّنْيَا مِنْ
مَالٍ وَجَاهٍ وَمَنْصِبٍ، وَلَا يَطْلُبُ بِهِ أَجْرَ ٱلْآخِرَةِ.
Sabda-nya “يُقِيمُونَهُ كَمَا
يُقَوَّمُ السَّهْمُ”
maksudnya adalah : Mereka memperbagus cara mengucapkannya.
Dan sabda-nya:
"يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ وَلا يَتَأَجَّلُهُ" maksudnya adalah : Mereka
mencari dengan itu untuk mendapatkan imbalan dunia berupa harta, kedudukan, dan
jabatan, dan mereka tidak mencari dengan itu pahala akhirat.
[Referensi: Jami' al-Usul, oleh Ibnu Atsir 2/450-451].
Riwayat lain : Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu
‘anhu, dia berkata :
دَخَلَ النَّبي ﷺ المسجدَ، فإذا فيه
قومٌ يَقرَؤُونَ القُرآنَ، قال: "اقْرَؤُوا القُرآنَ، وابْتَغُوا به اللهَ مِن قَبْلِ أن يَأتِيَ قَوْمٌ
يُقِيمونَه إِقَامَةَ القِدْحِ، يَتَعَجَّلُونَه ولا يَتَأَجَّلُونَه".
Nabi ﷺ masuk masjid , dan ternyata
di dalamya terdapat orang-orang yang sedang baca al-Qur’an.
Beliau ﷺ bersabda : “Bacalah kalian
al-Qur’an, dan dengannya semata-mata karena mengharapkan Allah, sebelum
datangnya kaum yang menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan ( yakni
mereka memperbagus bacaanya), namun dia mempercepat upahnya (di dunia) dan
tidak menundanya (untuk akhirat).
(HR. Imam Ahmad 3/357 dan Abu Daud 1/220 No. 831. Di Shahihkan oleh
Syeikh Al-Albaani dlm Shohih Sunan Abu Daud 1/156 no. 740 .
Hadits-hadits diatas menunjukkan pula bahwa : seorang muslim yang
mendalami ilmu qiro’at, memperfasih makhraj huruf-hurufnya, memperindah
bacaan-nya, namun tujuannya untuk menjadikannya sebagai sumber mata
pencaharian, serta makan dan minum dari-nya, maka dia pada hakikatnya adalah
PEMBOIKOT AL-QUR’AN. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Syamsul Haq
al-Adziim Aabadi dalam kitabnya “عَوْنُ ٱلْمَعْبُودِ” (3/42), dia berkata :
فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ مَجِيءِ
أُقَوَّامٍ بَعْدَهُ يُصَلِّحُونَ أَلْفَاظَ الْقُرْآنِ وَكَلِمَاتِهِ وَيَتَكَلَّفُونَ
فِي مَرَاعَاةِ مَخَارِجِهِ وَصِفَاتِهِ، كَمَا يُقَامُ الْقِدْحُ - وَهُوَ السَّهْمُ
قَبْلَ أَنْ يُعَمَّلَ لَهُ رِيشٌ وَلَا نَصْلٌ - وَالْمَعْنَى: أَنَّهُمْ يُبَالِغُونَ
فِي عَمَلِ الْقِرَاءَةِ كَمَالَ الْمُبَالَغَةِ؛ لِأَجْلِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ
وَالْمُبَاهَاةِ وَالشُّهْرَةِ. أَيُّهَا الْإِخْوَةُ الْكَرَامُ.. هَؤُلَاءِ تَعَجَّلُوا
ثَوَابَ قِرَاءَتِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَأَجَّلُوهُ بِطَلَبِ الْأَجْرِ فِي
الْآخِرَةِ، إِنَّهُمْ بِفَعْلِهِمْ يُؤْثِرُونَ الْعَاجِلَةَ عَلَى الْآجِلَةِ وَيَتَأَكَّلُونَ
بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ هِجْرِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ،
فَبِئْسَ مَا يَصْنَعُونَ.
Maka sungguh Nabi ﷺ telah mengkabarkan : bahwa sesudahnya akan munculnya kaum-kaum
yang memperbagus lafadz-lafadz dalam membaca al-Quran dan kalimat-kalimatnya,
bahkan berlebihan di dalam memperhatikan makhroj-makhroj dan sifat-sifat dari
huruf-huruf al-Quran, seperti halnya orang yang memperbagus atau meluruskan
batang panah sebelum di pasangkan bulu-bulu dan besi tajam diujungnya .
Maksudnya : Mereka sangat berlebihan [LEBAY] di dalam memperfasih, mempercantik dan
menyempurnakan bacaan al-Quran dengan tujuan agar mendapatkan sanjungan dari
manusia, popularitas, berbangga-banggaan dan ketenaran .
Wahai para ikhwan yang mulia, mereka adalah orang-orang yang tergesa-gesa
untuk mendapatkan upah bacaan al-Qurannya di dunia, mereka tidak sabar
menundanya untuk mendapatkan pahala di akhirat .
Sesungguhnya perbuatan mereka itu adalah sama dengan mengutamakan dunia
dari pada akhirat, dan mereka makan dan minumnya dengan Kitab Allah Ta’la . Dan
ini adalah jenis perbuatan meng-hajer (MEMBOIKOT) al-Quran yang paling dahsyat,
maka ini adalah sebusuk-busuk apa yang mereka lakukan . ( Baca : “عَوْنُ ٱلْمَعْبُودِ شَرْحُ سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ” 3/42) .
Ketiga : Hadits Larangan Menerima
Imbalan Jasa Dari Orang Yang Diajari al-Qur'an Olehnya:
Dari Ubay bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu- , berkata :
"عَلَّمْتُ رَجُلاً الْقُرْآنَ
فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ : (إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا
مِنْ نَارٍ) فَرَدَدْتُهَا".
“ Aku mengajar al-Qur’an pada seseorang , lalu dia menghadiahkan
Busur panah pada ku . Maka aku menceritakannya pada Rosulullah ﷺ, maka beliau bersabda : “Jika kamu mengambilnya, maka kamu
telah mengambil busur dari api neraka“. Lalu Aku mengembalikannya .
( HR. Ibnu Majah No. 2149 dan di Shahihkan oleh syeikh Al-Albaani dalam
kitab “إِرْوَاءُ ٱلْغَلِيلِ“ No. 1493 ).
Dari Abu ad-Dardaa’ -radhiyallahu ‘anhu- , Rosulullah ﷺ bersabda :
((مَنْ أَخَذَ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ
قَوْساً قَلَّدَهُ الله مَكَانَهَا قَوْساً مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))
Barang siapa menerima [imbalan] Busur Panah dari Mengajar al-Qur’an ,
maka Allah akan mengalungkan sebagai gantinya kelak busur dari api neraka
Jahannam pada hari Kiamat “.
( HR. Imam al-Baihaqi dlm “ٱلسُّنَنُ
ٱلْكُبْرَى” (6/126)
dan lainnya . Di shahihkan oleh Syeikh Al-Albaani dalam kitab “صَحِيحُ ٱلْجَامِعِ“ no. 5982 dan dalam kitab “ٱلسِّلْسِلَةُ ٱلصَّحِيحَةُ“ (1/113 no. 256)]
Dari Ubadah bin ash-Shoomit radhiyallahu ‘anhu , berkata :
" عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ
الصُّفَّةِ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا
فَقُلْتُ لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
لآتِيَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَلأَسْأَلَنَّهُ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ رَجُلٌ أَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا مِمَّنْ كُنْتُ أُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ
وَالْقُرْآنَ وَلَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ ﷺ: (إِنْ كُنْتَ
تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا)
Artinya: Aku telah mengajarkan Al Qur’an pada seseorang dari Ahli
ash-Shuffah kemudian dia menghadiahiku sebuah busur (panah). Maka aku berkata :
“ Ini bukanlah harta , tetapi ini bisa digunakan untuk berjihad fii
sabilillah , namun demikian aku harus menghadap dulu ke Rosulullah ﷺ , aku mau menanyakannya , lalu aku mendatangi beliau ﷺ , dan aku berkata pada nya
:
“ Wahai Rosulullah , seseorang telah menghadiahi ku Busur panah , orang
tersebut salah seorang yang aku mengajarkan al-Kitab dan al-Qur’an padanya, dan
ini bukan HARTA , dan aku bisa
memanfaatkannya untuk berjihad di jalan Allah “.
Rosulullah ﷺ menjawab : “ Jika kau suka
busur itu kelak akan dikalung kan pada dirimu dari api Neraka , maka silahkan
ambil !!! “. Lalu aku pun
mengembalikannya.”
Dalam lafadz riwayat Ibnu Majah :
( إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا
مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا )
"Jika engkau suka untuk dihimpit api neraka, maka
terimalah."
Dalam lafadz lain :
(جَمْرَةٌ بَيْنَ كَتِفَيْكَ تَقَلَّدْتَهَا
أَوْ تَعَلَّقْتَهَا)
“Itu Bara Api diantara dua pundakmu, kamu telah melingkarkannya
atau kamu mengalungkannya “.
[ HR. Imam Ahmad No. 21632 , Abu Daud no. 2964 dan Ibnu Majah No. 2148
].
Di Shahihkan oleh al-Haakim dan Syeikh Al-Albaani dlm “ٱلسِّلْسِلَةُ
ٱلصَّحِيحَةُ”
1/115 , Shahih Abu Daud no. 3416 dan dalam Shahih Turmudzi “.
Ke empat : Hadits Larangan Minta Saweran, Uang Tips Atau Upah Atas Jasa Baca al-Qur'an:
Hadits Imran bin Hushain -radhiyallahu ‘anhu- : bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
«مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ
بِهِ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيْ أَقْوَامٌ يَقْرَءُوْنَ القرآنَ وَيَسْأَلُوْنَ بِهِ
النَّاسَ».
Artinya : " Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon
kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum
yang membaca Al Quran lalu mereka meminta (imbalan) kepada manusia dengan bacaan Al
Quran itu".
( HR. Ahmad , Turmudzi , Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam
Syuabul Iman. Lihat: Al Jami' Al Kabir ).
Hadits ini di sahihkan oleh Al-Albaani dalam kitab-kitabnya : Ishlahus Saajid hal. 106 , Silsilah ash-Shahihah 1/461 , Shahih at-Targhib no. 1433 , dan lainnya ).
Dan masih dari Imran bin Hushain -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah ﷺ bersabda:
" أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَسَأَلَ
النَّاسَ بِهِ فَاسْتَرْجَعَ عِمرانُ ، ثُمَّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
يَقُولُ: " مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ
سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ ".
“Suatu ketika ia melewati
seorang qori sedang membaca Al-Qur'an , kemudian setelah membacanya meminta (imbalan)
kepada orang-orang , maka Imran ber istirja’ (Yakni berkata: Innaa Lillaahi wa
Innaa Ilaihi Rooji’uun dan menyuruhnya untuk mengembalikannya), dan berkata :
Aku mendengar Rosulullah ﷺ
bersabda :
" Barangsiapa membaca Al Quran
maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat
akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta (upah)
kepada manusia dengan (bacaan) Al Quran itu ".
( HR. Turmudzi no. 2917 dan beliau
berkata : " Hadits Hasan ". Dan Syeikh Al-Albaani dalam sahih Targhib
2/80 no. 1433 mengatakan : " Sahih karena ada yang lainnya ". Dan
dalam Sahih wa Dloif al-Jami' no. 11413 serta Shahih wa Dloif Sunan Turmudzi
6/417 no. 2917 beliau mengatakan : " Hasan " .
Syarah Hadits : Al-Mubaarokfuury dalam syarah Sunan Tirmidzi berkata :
قَوْلُهُ
( يَقْرَأُ ) أَيْ: يَقْرَأُ الْقُرْآنَ.
وَقَوْلُهُ:
( ثُمَّ سَأَلَ ) أَيْ: طَلَبَ الْقَارِئُ مِنَ النَّاسِ شَيْئًا مِنَ الرِّزْقِ لِقِرَاءَتِهِ
الْقُرْآنَ.
وَقَوْلُهُ:
( فَاسْتَرْجَعَ ) أَيْ: قَالَ عِمْرَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ﴿ إِنَّا لِلَّهِ
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البَقَرَةِ: 156]؛ لِابْتِلَاءِ الْقَارِئِ بِهَذِهِ
الْمُصِيبَةِ، وَهِيَ سُؤَالُ النَّاسِ بِالْقُرْآنِ، أَوْ لِابْتِلَاءِ عِمْرَانَ
- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِمُشَاهَدَةِ هَذِهِ الْحَالَةِ الشَّنِيعَةِ، وَهِيَ مِنْ
أَعْظَمِ الْمُصِيبَاتِ.
Sabda-nya : (membaca), yaitu dia
membaca Al-Qur’an.
Dan sabdanya: (Kemudian dia meminta )
artinya: Qoori itu meminta rizki dari orang-orang karena dia telah membaca
Al-Qur'an.
Dan sabdanya: (Maka dia meminta untuk
mengembalikannya ) artinya: Imran radhiyallahu ‘anhu berkata : “ Kami adalah
milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali” [Al-Baqarah: 156].
Dia berkata demikian karena perbuatan
itu adalah bala [bencana] yang menimpa Qoori.
Atau karena Imran – semoga Allah
meridhoinya – merasa menderita ketika menyaksikan situasi sangat keji ini, yang
mana perbuatan tersebut merupakan salah satu bencana dan musibah terdahsyat. [
Baca : تُحْفَةُ
ٱلْأَحْوَذِي بِشَرْحِ جَامِعِ ٱلتِّرْمِذِيِّ
(8/235)] .
Ke Enam : Larangan Adzan Shalat Lima Waktu Bertujuan Karena Upah Semata :
Dari Utsman bin Abi Al-'Aas Ats-Tsaqafi -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ
قَوْمِي؟ فَقَالَ: أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا
لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا.
"Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagai imam salat
kaumku".
Beliau ﷺ bersabda
: "Kamulah yang menjadi imam mereka. Perhatikanlah (saat
salat) kondisi orang-orang yang paling lemah diantara mereka, dan
angkatlah seorang muadzin yang tidak mengambil upah atas adzannya."
[HR. Nasaa'i no. 671 .
Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i no. 671].
===***===
AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG DA’WAH PARA NABI DAN ROSUL DAN LARANGAN JUAL BELI AYAT-AYAT ALLAH SWT:
AYAT KE 1:
Firman
Allah Ta’aalaa dalam surat Huud: 29:
وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ
أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللّهِ
“Hai
kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku.
Upahku hanyalah dari Allah. (QS. Huud: 29).
AYAT KE 2 :
Dan
Allah firmankan dalam Surat Saba tentang Nabi kita, ﷺ :
{قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ
لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ}
Katakanlah:
"Upah apapun yang aku minta kepada kalian, maka itu untuk kalian. Upahku
hanyalah dari Allah” (QS. Saba: 47).
TAFSIR AL-MUYASSAR:
Yang
dimaksud dengan perkataan ini ialah bahwa Rasulullah r sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka.
Tetapi yang diminta Rasulullah r sebagai upah ialah agar mereka beriman kepada
Allah. Dan iman itu adalah buat kebaikan mereka sendiri.
TAFSIRNYA:
Katakanlah (wahai Rasul) kepada orang-orang kafir: Aku tidak meminta atas
kebaikan yang aku bawa kepada kalian sebuah upah, sebaliknya ia untuk kalian
saja. Upahku yang aku nanti-nantikan telah ditanggung oleh Allah Yang Maha
Mengetahui amalku dan amal kalian, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya. Dia
membalas semua orang sesuai dengan apa yang menjadi haqnya.
Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Syinqithi dalam kitabnya “ أَضْوَاءُ ٱلْبَيَانِ “ ketika menafsiri surat Hud : 29 , berkata :
قَوْلُهُ تَعَالَى: { وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ } ذَكَرَ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ عَنْ نَبِيِّهِ نُوحٍ عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ أَخْبَرَ قَوْمَهُ أَنَّهُ لَا يَسْأَلُهُمْ مَالًا فِي مُقَابَلَةِ مَا جَاءَهُمْ بِهِ مِنَ الْوَحْيِ وَالْهُدَى، بَلْ يَبْذُلُ لَهُمْ ذَلِكَ الْخَيْرَ الْعَظِيمَ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ أَجْرَةٍ فِي مُقَابَلَتِهِ، وَبَيَّنَ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ: أَنَّ ذَلِكَ هُوَ شَأْنُ الرُّسُلِ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ.
Firman Allah Ta’aalaa : Dan (Hud berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah “.
Allah Yang Maha Kuasa menyebutkan dalam ayat mulia ini tentang Nabinya Nuh 'alaihis salam , bahwa dia memberi tahu kaumnya bahwa dia tidak meminta harta kepada mereka sebagai imbalan atas apa yang telah dia sampaikan kepada mereka dari wahyu dan hidayah . Sebaliknya, kebaikan yang agung itu disampaikan kepada mereka secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran sebagai imbalannya. Dan Allah menjelaskan dalam banyak ayat : bahwa Itu adalah berlaku pada semua dakwah para Rasul 'alaihimus salaam .
Kemudian Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Sying-qithi setelah menyebutkan ayat-ayat di atas dia berkata :
وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَرِيمَةِ: أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى أَتْبَاعِ الرُّسُلِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ أَنْ يَبْذُلُوا مَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ عَوْضٍ عَلَى ذَلِكَ، وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَخْذُ الْأَجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا عَلَى تَعْلِيمِ الْعَقَائِدِ وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ". انتَهَى.
" Diambil dari ayat-ayat luhur ini : Tugas para pengikut Rasul dari kalangan ulama dan lain-lain adalah memberikan ilmunya secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran untuk itu, dan tidak lah layak mengambil upah atas pengajaran Kitab Allah Azza wa Jalla , begitu juga atas mengajar ilmu tentang aqidah dan hukum tentang halal dan haram “. (Selesai).
AYAT KE 3:
Dan
Allah swt juga berfirman di akhir Surah Shaad.
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا
أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ (86) إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ (87)
وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ (88)
“Katakanlah
(hai Muhammad), "Aku tidak meminta upah kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah
aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah
peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran)
berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi.” [QS. Shaad : 86-88]
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:
Allah
Swt. berfirman, "Katakanlah, hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik itu,
bahwa tidaklah kamu meminta imbalan kepada mereka atas risalah yang kami
sampaikan kepada mereka dan nasihat yang kamu berikan kepada mereka suatu upah
pun dari harta duniawi ini."
وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“....
dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”. (Shad:86)
Aku
tidak mempunyai kehendak sedikit pun, tidak pula kemauan untuk menambah-nambahi
apa yang diamanatkan oleh Allah Swt. kepadaku untuk manyampaikannya. Tetapi apa
yang aku diperintahkan untuk menyampai¬kannya, maka hal itu kusampaikan dengan
utuh tanpa ada penambahan atau pengurangan. Dan sesungguhnya kutunaikan tugasku
ini hanyalah semata-mata menginginkan rida Allah dan kebahagiaan di hari
kemudian.
Sufyan
As-Sauri telah meriwayatkan dari Al-A'masy dan Mansur, dari Abud Duha, dari
Masruq yang mengatakan bahwa kami mendatangi Abdullah ibnu Mas'ud r.a. Maka ia
berkata,
"Hai
manusia, barang siapa yang mengetahui sesuatu, hendaklah ia mengutarakannya;
dan barang siapa yang tidak mengetahui, hendaklah ia mengatakan, 'Allah lebih
mengetahui.' Karena sesungguhnya termasuk ilmu bila seseorang tidak mengetahui
sesuatu mengatakan, 'Allah lebih Mengetahui." Sesungguhnya Allah Swt.
telah berfirman kepada nabi kalian:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا
أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
Katakanlah,
"Aku tidak meminta upah kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk
orang-orang yang mengada-adakan.” (QS. Shad: 86)
Imam
Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan asar ini melalui Al-A'masy dengan sanad
yang sama.
AYAT KE 4:
Firman
Allah dalam surat ath-Thuur dan al-Qalam:
{أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُم مِّن
مَّغْرَمٍ مُّثْقَلُونَ}
Ataukah
kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang? (QS.
Ath-Thuur: 40 dan Surat al-Qalam: 46)
TAFSIR AL-MUYASSAR: Bahkan apakah kamu, wahai Rasul, meminta
kepada orang-orang musyrik upah atas penyampaian risalah, sehingga mereka
berada dalam kesulitan akibat terbebani hutang yang kamu minta dari mereka?
AYAT KE 5:
Allah
berfirman dalam Surat Al-An'am:
{قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ}
{
Katakanlah: Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quraan). Al-Quraan
itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. } (QS. Al-Ana’aam: 90).
TAFSIR AL-MUYASSAR: Katakan kepada orang-orang musyrikin: Aku
tidak mencari ganjaran dunia dari kalian sebagai imbalan penyampaian Islam
kepada kalian, karena ganjaranku di tanggung oleh Allah. Islam hanyalah
mengajak manusia ke jalan yang lurus dan peringatan bagi kalian dan orang-orang
yang semisal dengan kalian dari orang-orang yang tetap memegang kebatilan, agar
kalian mengingat apa yang bermanfaat bagi kalian dengannya.
AYAT KE 6:
Dan
Allah berfirman tentang Nabi Hud dalam Surat Hud:
يَا قَوْمِ لاَ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ
أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
“Hai
Kaumku, aku tidak meminta upah kepada kalian bagi seruanku ini. Upahku tidak
lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku, maka tidak kah kamu
memikirkannya ?” (QS 11:51).
Tafsir Ibnu Katsir: Nuh As juga Memberitahukan kepada mereka bahwa dia
(Huud as) tidak meminta dari mereka upah atas nasihat dan penyampaian dari
Allah ini, akan tetapi dia hanya mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala yang
telah menciptakannya. Apakah kamu tidak berfikir; orang yang mengajakmu kepada
perbaikan dunia dan akhirat tanpa mengharapkan upah,
AYAT KE 7:
Dan
Allah berfirman dalam Surat Asy-Su’aroo tentang Nabi Nuh, Hud, Saleh, Luth, dan
Syu’aib ‘alaihimus salam:
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ
أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan
aku sekali-kali tidak minta upah kepada kalian atas ajakan-ajakan itu; upahku
tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. (QS. Asy-Syu’aroo: 109, 127, 145,
164 dan 180).
Tafsir Jalalain:
(Dan
aku sekali-kali tidak meminta kepada kalian atas ajakan-ajakan itu) imbalan
dari menyampaikannya (suatu upah pun, tidak lain) (upahku) pahalaku (hanyalah
dari Rabb semesta alam).
Dan
Yang Mahakuasa berkata dalam utusan desa yang disebutkan di Yassin: {Wahai
manusia, ikuti para utusan * Ikuti mereka yang tidak meminta hadiah
kepadamu...},
AYAT KE 8:
Dan
dalam Surat Yasin Allah swt berfirman:
وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى
قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ
أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
Artinya,
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegasgegas ia
berkata,“Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada
minta upah/balasan kepad kalian ; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. Yasin, 20-21
AYAT KE 9:
Terdapat
banyak dalil yang melarang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.
Diantaranya, firman Allah,
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
Janganlah
kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit, dan bertaqwalah hanya
kepada-Ku. (QS. al-Baqarah: 41)
AYAT KE 10:
Allah
juga berfirman, menceritakan karakter orang yang baik,
لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا
Mereka
tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. (QS. Ali Imran: 199)
AYAT KE 11:
Allah
juga berfirman di ayat lain,
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
“Janganlah
kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sdikit”. (QS. al-Maidah: 44)
Dan
ayat yang semakna dengan ini ada banyak dalam al-Quran.
Yang
dimaksud dengan “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit) atau harga yang murah
adalah dunia seisinya.
Abdullah bin Mubarak mengatakan,
Dari
Harun bin Yazid, bahwa Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang makna firman
Allah, “tsamanan qalilaa…” (harga yang sedikit). Lalu beliau mengatakan,
الثَّمَنُ الْقَلِيلُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
“At-Tsaman
al-Qalil (harga murah) adalah dunia berikut semua isinya.” (Tafsir Ibnu Katsir,
1/243).
Sementara
makna, ‘Jangan kalian menjual’ adalah jangan menukar (I’tiyadh). Sehingga makna
ayat, janganlah kalian menukar ayat Allah untuk mendapatkan bagian dari
kehidupan dunia.
Para
ahli tafsir mengatakan, ayat ini berbicara tentang pelanggaran yang dilakukan
orang yahudi. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui agar
pengikutnya tetap loyal dan tidak diasingkan dari masyarakat mereka. Mereka
mengetahui bahwa Muhammad ﷺ adalah nabi terakhir, tapi mereka tidak mau menyampaikan ini
agar tetap bisa ditokohkan di tengah Yahudi. Dengan ini, mereka bisa
mendapatkan penghasilan. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/244).
AYAT KE12:
Tentang
kewajiban menyampaikan ilmu agama dan keharaman menyembunyikannya.
Allah
ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ
الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ
أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا الَّذِينَ
تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا
التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah
dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka
yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka
terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah: 159-160].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata:
أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ الَّذِي يَكْتُمُ مَا
أَنْزَلَ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مَلْعُونٌ. وَاخْتَلَفُوا مَنِ الْمُرَادِ
بِذَلِكَ، فَقِيلَ: أَحْبَارُ الْيَهُودِ وَرُهْبَانُ النَّصَارَى الَّذِينَ كَتَمُوا
أَمْرَ مُحَمَّدٍ ﷺ، وَقَدْ كَتَمَ الْيَهُودُ أَمْرَ الرَّجْمِ. وَقِيلَ: الْمُرَادُ
كُلُّ مَنْ كَتَمَ الْحَقَّ، فَهِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا مِنْ دِينِ
اللَّهِ يَحْتَاجُ إِلَى بَثِّهِ .....
“Allah
ta’ala telah mengkhabarkan orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan yang
jelas dan petunjuk yang diturunkan Allah termasuk orang yang terlaknat. Para
ulama berselisih pendapat maksud orang yang terlaknat tersebut.
Dikatakan:
Mereka adalah para rahib Yahudi dan pendeta Nashara yang menyembunyikan perkara
Muhammad ﷺ.
Orang-orang Yahudi juga telah menyembunyikan ayat rajam.
Dikatakan
juga bahwa yang dimaksud orang yang terlaknat tersebut adalah orang yang
menyembunyikan kebenaran. Dan hal itu berlaku umum bagi setiap orang yang
menyembunyikan ilmu agama Allah yang seharusnya disebarluaskan…..
[Al-Jaami’
li-Ahkaamil-Qur’aan, 2/479-483 tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin
At-Turkiy; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1427 – dengan peringkasan].
Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah berkata:
هَذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ لِمَنْ كَتَمَ مَا جَاءَتْ بِهِ
الرُّسُلُ مِنَ الدَّلَائِلِ الْبَيِّنَاتِ عَلَى الْمَقَاصِدِ الصَّحِيحَةِ وَالْهُدَى
النَّافِعِ لِلْقُلُوبِ، مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَهُ اللَّهُ تَعَالَى لِعِبَادِهِ فِي
كُتُبِهِ التِّي أَنْزَلَهَا عَلَى رُسُلِهِ.
“Ini
merupakan peringatan yang keras bagi orang yang menyembunyikan apa saja yang
diturunkan dengannya para Rasul, berupa ajaran dan petunjuk yang bermanfaat
bagi hati, setelah Allah ta’ala terangkan kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana
tercantum dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul-Nya.
[‘Umdatut-Tafsiir, 1/279-280].
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuberkata:
إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ،
وَلَوْلَا آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثَتْ حَدِيثًا، ثُمَّ يَتْلُو: {إِنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ - إِلَى قَوْلِهِ - الرَّحِيمِ}
.....
“Orang-orang
berkata: ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits’. Jika saja bukan
karena dua ayat dalam Kitabullah, niscaya aku tidak akan meriwayatkan hadits”.
Kemudian
ia (Abu Hurairah) membaca firman Allah:
‘Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam
Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk)
yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan
dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan
Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’ (QS. Al-Baqarah:
159-160)…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 118].
Al-Haafidh
Ibnu Hajar rahimahullah saat mengomentari hadits di atas berkata:
وَمَعْنَاهُ: لَوْلَا أَنَّ اللَّهَ ذَمَّ الْكَاتِمِينَ
لِلْعِلْمِ مَا حَدَثَ أَصْلًا، لَكِنَّ لَمَّا كَانَ الْكَتْمَانَ حَرَامًا وَجَبَ
الْإِظْهَارُ، فَلِهَذَا حَصَلَتِ الْكَثْرَةُ لِكَثْرَةِ مَا عِنْدَهُ.
“Dan
makna dari perkataan ‘jika saja bukan karena dua ayat’ adalah: Jikalau bukan
karena Allah mencela orang-orang yang menyembunyikan ilmu, aku tidak akan
meriwayatkan hadits sama sekali. Namun karena menyembunyikan ilmu itu adalah
diharamkan dan harus disampaikan, maka ia pun banyak meriwayatkan karena banyak
hadits yang ia miliki” [Fathul-Baariy, 1/214].
LARANGAN BELAJAR ILMU AGAMA DENGAN
TUJUAN SBB :
Untuk POPULARITAS
atau AGAR ORANG-ORANG MENJADI PENGIKUTNYA
atau AGAR MENGUASAI BANYAK MAJLIS ILMU
atau BANJIR UNDANGAN CERAMAH .
HADITS KE 1:
Dari
Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda,
" مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ
بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ
النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ"
“Barangsiapa
yang menuntut ilmu yang dengannya bertujuan untuk menunjukkan kepada para ulama
bahwa dirinya lah yang paling berilmu atau bertujuan untuk mendebat orang-orang
bodoh (yakni: sehingga membuat bingung orang awam pen.) atau agar dengan
ilmunya tersebut wajah-wajah para manusia tertuju pada dirinya (yakni: supaya
semua orang jadi pengikutnya, pen.), maka Allah akan memasukannya ke dalam api
neraka.”
(HR.
Tirmidzi no. 2654, AL-‘Uaqaily dlm adh-Dhu'afaa al-Kabiir 1/103 dan Ibnu Hibban
dalam “المجروحين”. Syaikh
Al-Albani mengatakan dalam Shahih at-Turmudzi no. 2654 bahwa hadits ini hasan.
Lihat penjelasan hadits ini dalam Tuhfah Al-Ahwadzi 7: 456)
HADITS KE 2:
Dari
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi ﷺ
bersabda,
" لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ
لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ
تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ ".
“Janganlah
kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk
menanamkan keraguan pada orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan dengan
ilmunya itu agar orang-orang memilih dia untuk mengisi di majelis-majlis.
Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya,
neraka lebih pantas baginya.”
(HR.
Ibnu Majah no. 254. Al-Mundziri dalam kitabnya at-Targhiib 1/92:
“إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ أَوْ حَسَنٌ أَوْ مَا قَارَبَهُمَا”
Artinya:
“ Sanadnya Shahih atau Hasan atau yang mendekati keduanya “.
Dan
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
HADITS KE 3:
Dari
Hudzaifah bin al-Yamaan, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
لَا تَعَلَّمُوا العِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ العُلَمَاءَ
أَوْ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِتَصْرِفُوا وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْكُمْ
فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ فِي النَّارِ
“Janganlah
kalian belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk
menanamkan keraguan pada orang yang bodoh, dan jangan pula bertujuan agar
wajah-wajah manusia tertuju pada diri kalian. Karena barangsiapa yang melakukan
demikian, maka neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ibnu Majah dan di hasankan
oleh syeikh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Maajah no. 210)
HADITS KE 4:
Adanya
hadits-hadits yang melarang mencari Popularitas dan hobby pamer, diantaranya:
Hadits
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
(مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا
أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)
“Barang
siapa memakai pakaian syuhroh (pakaian yang bisa membuatnya terkenal) di dunia,
maka Allah akan memakaikannya pakaian yang menghinakan di hari Kiamat “.
(HR.
Abu Daud No. 4029), an-Nasaa’i dlm “السنن
الكبرى” 5/460, Ibnu
Majah No. 3606, Imam Ahmad dalam al-Musnad 2/92 dan lainnya. Hadits ini di
Hasankan oleh Syeikh al-Albaani dan al-Arna’uth).
Al-Imam
as-Sarkhosi al-Hanafi dalam kitabnya “المبسوط”
30/268 berkata:
"وَالْمُرَادُ أَنْ لَا يَلْبَسَ نِهَايَةَ
مَا يَكُونُ مِنَ الْحُسْنِ وَالْجَوْدَةِ فِي الثِّيَابِ عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ
بِالْأَصَابِعِ، أَوْ يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ الثِّيَابِ الْخَلِقِ –
الْقَدِيمِ الْبَالِي - عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، فَإِنَّ أَحَدَهُمَا
يَرْجِعُ إِلَى الْإِسْرَافِ وَالْآخَرَ يَرْجِعُ إِلَى التَّقْتِيرِ، وَخَيْرُ الْأُمُورِ
أَوْسَطُهَا" انتهى
“
Dan yang di maksud adalah jangan memakai pakaian yang paling bagus dan paling
berkwalitas dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya. Atau
memakai pakaian yang paling jelek lapuk dengan tujuan agar jari-jari manusia
menunjukkan padanya. Maka sesungguhnya salah satunya itu disebabkan berlebihan,
sementara yang kedua karena terlalu pelit, dan sebaik-baiknya semua perkara
adalah tengah-tengahnya “. (Selesai)
HADITS KE 5:
Hadits
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
(كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي
غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ)
“
Makan lah kalian, bersedekahlah kalian dan berpakainlah kalian dalam keadaan
tidak berlebihan dan tidak ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya (alias
pamer) “. (HR. An-Nasaa’i No. 2559. Dan di hasankan oleh Syeikh al-Albaani
dalam Shahih an-Nasaa’i).
HADITS KE
6 :
Dari Abu
Dzar - رضي الله عنه -, dari Nabi ﷺ bersabda:
"مَا مِنْ عَبْدٍ لَبِسَ ثَوْبَ شَهْرَةٍ
إِلَّا أَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى يَنْزَعَهُ، وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ حَبِيبًا."
“Tidaklah
seorang hamba yang memakai pakaian syuhrah ( ketenaran ) kecuali Allah akan
berpaling dari manusia tersebut hingga ia melepaskannya , meskipun dia itu
kekasih di sisi-Nya“.
(HR Ibnu
Majah, Al Hafizh Al Iraqy dalam takhrij hadits al ihya’ berkata: sanad hadits
ini Jayyid (baik) , tapi tanpa perkataan : “meskipun dia itu kekasih di
sisi-Nya “
HADITS KE
7 :
Dari Mua’adz
bin Anas - رضي الله عنه -, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ
وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ
الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الْإِيمَانِ شَاءَ
يَلْبَسُهَا»
Barangsiapa
yang meninggalkan (menjauhkan diri dari) suatu pakaian (yang mewah) dalam
rangka tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, padahal dia mampu (untuk membelinya
/ memakainya), maka pada hari kiamat nanti Allah akan memanggilnya di hadapan
seluruh makhluq, lalu dia dipersilahkan untuk memilih perhiasan / pakaian (yang
diberikan kepada) orang beriman, yang mana saja yang ingin dia pakai” (HR. At
Tirmidzi no. 2405 9/21, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Shahih
Al-Jaami’ No. 6145 )
===
ATSAR PARA SAHABAT , TABI’IIN DAN TABI’T TABI’IIN :
Ibnu Abbas
RA berkata :
" كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ
خَصْلَتَانِ سَرَفٌ وَمَخِيلَةٌ "
“Makan
lah sesuka mu dan berpakaianlah sesukamu , tidak ada yang menyalahkanmu kecuali
dua gaya : berlebihan dan ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya ( alias
pamer ) “ .
[ HR.
Bukhori secara mu'allq dalam Shahihnya, Kitab al-Libaas (77) dan Ibnu Abi Syaibah
dalam al-Mushonnaf 5/171 secara maushul ].
DAN
BERIKUT INI KUTIPAN DARI KITAB “صيد
الفوائد” :
1. Dari
Syahr bin Hausyab , berkata :
" مَنْ رَكِبَ مَشْهُوْراً
مِنَ الدَّوَابِّ، وَلَبِسَ مَشْهُوْراً مِنَ الثِّيَابِ، أَعْرَضَ اللهُ عَنْهُ،
وَإِنْ كَانَ كَرِيْماً "
“
Barang siapa menunggangi kendaraan masyhur dan pakaian masyhur , maka Allah
berpaling darinya meskipun dia seorang yang dermawan “. [ Baca سير أعلام النبلاء 4/375]
Al-Imam
al-Baihaqi berkata :
" كُلُّ شَيْءٍ صَارَ
صَاحِبَهُ شَهْرَةً، فَحَقُّهُ أَنْ يُجْتَنَبَ".
“
Segala sesuatu yang mengantarkan dirinya pada pada Syuhroh ( pusat perhatian )
, maka hak dia adalah dijauhi “.
2. Dari
Sufyan ats-Tsaury , berkata :
" إِيَاكَ وَالشَّهْرَةَ؛
فَمَا أَتَيْتَ أَحَدًا إِلَّا وَقَدْ نَهَى عَنْ الشَّهْرَةِ"
Waspadalah
terhadap popularitas , maka tidak sekali-kali aku mendatangi seseorang kecuali
dia telah melarang popularitas “.
3.
Ibrahim bin Adham berkata :
" مَا صَدَقَ اللَّهَ
عَبْدٌ أَحَبَّ الشَّهْرَةَ. "
“Seorang
hamba yang cinta popularitas , tidak percaya Allah “.
4. Ayyub
as-Sakhtiyani berkata :
" مَا صَدَقَ عَبْدٌ
قَطُّ، فَأَحَبَّ الشَّهْرَةَ. "
“
Tidak sekali-kali seorang hamba tidak percaya kepada Allah , maka dia mencintai
popularitas“.
5.
Bisyer bin al-Haarits berkata :
"
مَا اتَّقَى
اللَّهَ مَنْ أَحَبَّ الشَّهْرَةَ"
“Seorang
hamba yang cinta popularitas , tidaklah bertaqwa kepada Allah “. ( Washaya As Salaf wal Fuqaha No. 63)
6. Imam
Ibnul Atsir Rahimahullah berkata:
إِنَّ الشَّهْوَةَ الْخَفِيَّةَ: حُبُّ
اطْلَاعِ النَّاسِ عَلَى الْعَمَلِ.
Sesungguhnya syahwat tersembunyi itu
adalah menampakkan amal di hadapan manusia. (Washaya As Salaf wal Fuqaha No.
62).
===****===
PARA SALAFUS SALEH TIDAK MAU MAKAN DARI AGAMANYA & KESALEHANNYA
KISAH ABDULLAH BIN MUHAIRIIZ
[Seorang Tabi'i yang mulia dari Syaam. Wafat Tahun 99 H Pada
Masa Pemerintahan al-Walid]:
Dalam al-Mawsuu’ah asy-Syaamilah 221/1211 disebutkan
:
دَخَلَ عَبْدُ
اللهِ بْنُ مُحَيْرِزٍ دُكَانًا يُرِيدُ أَنْ يَشْتَرِي ثَوْبًا، فَقَالَ رَجُلٌ -
قَدْ عَرَفَهُ - لِصَاحِبِ الْمَحَلِ: هَذَا ابْنُ مُحَيْرِزٍ فَقِيهُنَا وَعَابِدُنَا
فَأَحْسِنْ بَيْعَهُ.. فَغَضِبَ ابْنُ مُحَيْرِزٍ، وَطَرَحَ الثَّوْبَ مِنْ يَدِهِ
وَقَالَ: "إِنَّمَا نَشْتَرِي بِأَمْوَالِنَا وَلَا نَشْتَرِي بِدِينِنَا!"
Abdullah bin Muhairiz memasuki sebuah toko ingin
membeli sebuah baju tsaub. Seorang pria yang mengenalnya berkata kepada pemilik
toko:
" Dia ini adalah Ibnu Muhairiz, seorang ahli
fiqih kami dan ahli ibadah kami", Maka dia menjualnya dengan harga yang
terbaik.
Maka Ibnu Muhairiz marah, dan melemparkan baju
tsaub itu dari tangannya dan berkata: "Kami hanya membeli dengan uang kami
dan bukan dengan agama kami!"
Abu
Nu’aim al-Ashfahani meriwayatkan dalam kitabnya Hilyatul Awliyaa 5/139 dengan
sanadnya sampai kepada : Rojaa' bin Abu Salamah, dia berkata:
نُبِئَتْ أَنَّ ابْنَ مُحَيْرِزٍ دَخَلَ عَلَى رَجُلٍ
مِنَ الْبَزَّازِينَ يَشْتَرِي مِنْهُ ثَوْبًا فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: "أَتَعْرِفُ
هَذَا؟ هَذَا ابْنُ مُحَيْرِزٍ"، فَقَامَ وَقَالَ: "إِنَّمَا جِئْنَا نَشْتَرِي
بِدِرَاهِمِنَا لَيْسَ بِدِينِنَا".
Saya
diberitahu bahwa Ibnu Muhayriz masuk ke toko seorang pria dari kalangan
Bazaziin [para penjual pakaian] untuk membeli pakaian tsoub darinya.
Lalu
ada seorang lelaki berkata pada si penjual: "Apakah Anda mengenal orang ini?
Ini Ibnu Muhayriz."
Maka
Ibnu Muhayriz berdiri dan berkata: "Kami hanya datang untuk membeli dengan
uang kami, bukan dengan agama kami."
Dan
Abu Nu’aim al-Ashfahani juga meriwayatkan (5/139) dengan sanadnya sampai kepada
Khalid bin Dariik, dia berkata:
خَرَجَ ابْنُ مُحَيْرِزٍ إِلَى بَزَازٍ يَشْتَرِي مِنْهُ
ثَوْبًا وَالْبَزَّازُ لَا يَعْرِفُهُ، قَالَ: وَعِنْدَهُ رَجُلٌ يَعْرِفُهُ، فَقَالَ:
بِكَمْ هَذَا الثَّوْبُ؟ قَالَ الرَّجُلُ: بِكَذَا وَكَذَا، فَقَالَ الرَّجُلُ الَّذِي
يَعْرِفُهُ: أَحْسِنْ إِلَى ابْنِ مُحَيْرِزٍ، فَقَالَ ابْنُ مُحَيْرِزٍ: إِنَّمَا
جِئْتُ أَشْتَرِي بِمَالِي وَلَمْ أَجِئْ أَشْتَرِي بِدِينِي، فَقَامَ وَلَمْ يَشْتَرِ.
Ibnu
Muhayriz pergi ke Bazaz [penjual pakaian] untuk membeli pakaian darinya, dan si
penjual tidak mengenalinya.
Khalid
berkata: "Namun di sisinya ada seseorang yang mengenalinya." Lalu Ibnu
Muhairiz bertanya: "Berapa harga pakaian ini?" Maka si penjual itu menjawab:
"Harganya segini dan segitu."
Maka
orang yang mengenalnya berkata: "Perlakukan Ibnu Muhayriz dengan harga terbaik."
Maka Ibnu Muhayriz berkata: "Saya hanya datang untuk membeli dengan uang
saya dan bukan untuk membeli dengan agama saya." Maka dia pun berdiri dan
tidak jadi membeli.
KISAH IBRAHIM BIN ADHAM [wafat 162 H]:
Dalam
Hilyatul Awlyaa 7/392 disebutkan :
وَمَرَّ إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَدْهَمَ بِغُلَامٍ يَبِيعُ
التِّينَ، فَقَالَ لَهُ: يَا غُلَامُ بِعْنِي مِنْ هَذَا التِّينِ. وَكَأَنَّ الْغُلَامَ
كَانَ يَتَوَقَّعُ مَبْلَغًا أَكْبَرَ، أَوْ مُشْتَرِيًا آخَرَ، فَأَبَى أَنْ يَبِيعَهُ
مِنْهُ.
فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى الْبَائِعِ وَقَالَ لَهُ: بِعْ لَهُ
فَإِنَّهُ إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَدْهَمَ فَقِيهُ دِيَارِ الشَّامِ كُلَّهَا! فَلَحَقَ
الْغُلَامَ بِإِبْرَاهِيمَ، وَقَالَ لَهُ: يَا عَمُّ خُذْ التِّينَ بِالسِّعْرِ الَّذِي
تُرِيدُ! فَقَالَ لَهُ إِبْرَاهِيمُ: يَا بُنَيَّ، إِنَّنَا لَا نَشْتَرِي التِّينَ
بِالدِّينِ!
Ibrahim
bin Adham melewati seorang anak laki-laki yang menjual buah at-Tiin, dan dia
berkata kepadanya:
"
Nak, juallah ke saya sebagian buah Tiin ini !".
Seakan-akan
bocah itu mengharapkan jumlah harga yang lebih besar, atau pembeli lain, jadi
dia menolak untuk menjualnya kepadanya.
Maka
ada seorang laki-laki datang kepada si bocah penjual itu dan berkata kepadanya:
"Juallah padanya, karena dia adalah Ibrahim bin Adham, ahli fiqih seluruh
Syria!".
Maka
anak laki-laki itu segera mengejar Ibrahim, dan berkata:
"
Wahai Paman, ambil buah Tiin itu dengan harga yang Anda inginkan! ".
Ibrahim
berkata kepadanya: Anakku, kami tidak membeli buah Tiin dengan Agama!".
Dan dalam riwayat lain Abu Nu'aim al-Asbahaani
dalam al-Hilyah 7/394, dia berkata:
وَأُخْبِرْتُ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ إِسْمَاعِيلَ بْنَ حَبِيبِ الزِّيَاتِ، يَقُولُ:
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ فُلَانٍ، يُحَدِّثُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ، "أَنَّهُ
مَرَّ بِغُلَامٍ مَعَهُ تِينٌ فِي بَنِيقَةٍ، فَقَالَ: أَعْطِنَا بِدَانِقٍ مِنْ هَذَا،
فَأَبَى عَلَيْهِ، فَمَضَى إِبْرَاهِيمُ، وَنَظَرَ رَجُلٌ إِلَى صَاحِبِ التِّينِ،
فَقَالَ لَهُ: إِيشَ قَالَ لَكَ هَذَا الرَّجُلُ؟ فَقَالَ: قَالَ لِي: أَعْطِنِي مِنْ
هَذَا التِّينِ بِدَانِقٍ، قَالَ: إلْحَقْهُ، فَادْفَعْ إِلَيْهِ مَا يُرِيدُ، وَخُذْ
مِنِّي الثَّمَنَ، فَلَحِقَهُ فَقَالَ: يَا عَمُّ خُذْ مِنْ هَذَا التِّينِ مَا تُرِيدُ،
فَالتَّفَتَ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ: لَا نَبْتَاعُ التِّينَ بِالدِّينِ".
Dan saya dikabari dari Abdullah, dia berkata: Saya
mendengar Ismail bin Habib Al-Zayat berkata: Saya mendengar Abdullah bin Fulan,
dia bercerita tentang Ibrahim [Bin Adham]:
Dia melewati seorang anak laki-laki bejualan buah Tiin di Buniiqa, dan dia
berkata:
" Beri kami dari buah Tiin ini seharga Daaniq [1/6 dirham] !", tapi
dia menolaknya. Maka Ibrahim pergi.
Dan ada seorang pria yang melihat pemilik buah Tiin
tsb. Lalu dia bertanya: "Pria itu bicara apa padamu ?".
Dia menjawab: " Dia berkata kepadaku: Beri
saya sebagian buah Tiin ini seharga satu Daaniq"
Pria itu berkata: " Kejarlah beliau, lalu
berikan padanya berapa saja sesuai dengan yang beliau inginkan! dan ambillah
bayarannya dari ku !".
Maka dia pun mengejarnya, lalu berkata: "
Wahai paman, ambil lah dari buah Tiin sekehendak engkau!"
Maka Ibrahim pum menoleh dan berkata: " Kami tidak membeli buah Tiin ini dengan agamaku ".
===****===
DA’I AMPLOP DAN QORI BAYARAN ADALAH PARASIT HARTA MANUSIA.
Ahli ibadah, para da’i dan qori yang tidak bekerja mencari rizki,
mereka adalah parasit & benalu yang menggerogoti harta manusia.
Parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain
(inang) dan mendapatkan makanan atau nutrisi dari inang tersebut, seringkali
merugikan inang tersebut. Dalam bahasa Indonesia, parasit juga dikenal sebagai
benalu, pasilan, atau organisme yang hidup dan mengisap makanan dari organisme
lain yang ditempelinya. Secara kiasan, parasit juga bisa merujuk pada orang
yang hidupnya menjadi beban atau membebani orang lain.
Al-Imam As-Sarkhosi [w. 490 H] berkata:
رُوِيَ أنَّ عُمَرَ مَرَّ بِقَومٍ
مِنَ القُرَّاءِ فَرَآهُمْ جُلُوسًا قَدْ نَكَسُوا رُؤُوسَهُمْ، فَقَالَ: مَنْ
هَؤُلاءِ؟ فَقِيلَ: هُمُ المُتَوَكِّلُونَ، فَقَالَ: كَلاَّ، وَلَكِنَّهُمُ
المُتَأكِّلُونَ، يَأكُلُونَ أموَالَ النَّاسِ. ألا أُنَبِّئكُمْ مَنِ المُتَوَكِّلُونَ؟
فَقِيلَ: نَعَمْ. فَقَالَ: هُوَ الَّذِي يُلقِي الحَبَّ فِي الأرْضِ، ثُمَّ
يَتَوَكَّلُ عَلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ.
وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى عَنْهُ قَالَ: يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ
ارْفَعُوا رُءُوسَكُمْ وَاكْتَسِبُوا لِأَنْفُسِكُمْ
Diriwayatkan bahwa Umar – radhiyallahu ‘anhu- melewati beberapa Qori
(guru dan pembaca al-Quran) dan melihat mereka duduk-duduk sambil menundukkan
kepala, Lalu beliau bertanya: Siapa mereka ini?
Dijawab : Mereka adalah orang-orang yang ahli tawakkal.
Maka beliau berkata : Tidak, tetapi mereka adalah parasit yang
menggerogoti harta para manusia . Mau kah saya memberi tahu kepada kalian
tentang siapakah para ahli tawakkal itu?
Dijawab : Ya. Beliau berkata : “ Dialah yang menaburkan benih di
ladang, kemudian dia bertawakkal kepada Rabbnya, Azza wa Jalla“.
Dalam riwayat lain beliau mengatakan : “ Wahai para Qori , angkat
kepala kalian dan cari lah mata pencaharian untuk diri kalian“.
[ Baca : “المبسوط” 30/248 karya As-Sarkhosy
dan Syarah al-Kasab hal. 41 karya As-Sarkhosi]
Dan diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa
dia berkata:
" لَا يَقْعُدْ أَحَدُكُمْ عَنْ طَلَبِ
الرِّزْقِ وَيَقُولُ: اللهُمَّ ارْزُقْنِي فَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنَّ السَّمَاءَ
لَا تُمْطِرُ ذَهَبًا وَلَا فِضَّةً"
Janganlah seseorang diantara kalian duduk (tidak mau bekerja) mencari
rizki , lalu dia hanya berdoa : “Ya Allah, berilah rizki untukku !".
Sementara kalian sendiri telah mengetahui bahwa langit tidak pernah menurunkan
hujan berupa emas maupun perak”.
[Lihat : Ihya’ Ulumuddin 2/62 , al-Mustathraf hal. 307 dan Tafsir
al-Manar 4/174]
Dan Umar radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
مَا مِنْ مَوْضِعٍ يَأْتِينِي الْمَوْتُ
فِيهِ أَحَبُّ عَلَيَّ مِنْ مَوْطِنٍ أَتَسَوَّقُ فِيهِ لِأَهْلِي أَبِيعُ وَأَشْتَرِي
"Tidak ada tempat di mana kematian datang kepadaku yang
lebih aku cintai daripada tempat di mana aku berbisnis untuk keluargaku , yaitu
mati dalam keadaan sedang melakukan transaksi jual beli."
[Lihat : Ihya’ Ulumuddin 2/62 , al-Mustathraf hal. 307 dan Tafsir
al-Manar 4/174]
Thalhah bin Ubaidillah (radhiyallahu ‘anhu) berkata:
إِنَّ أَقَلَّ الْعَيْبِ عَلَى
الْمَرْءِ أَنْ يَجْلِسَ فِي دَارِهِ.
“Aib [ perbuatan tercela ] yang paling hina bagi seseorang
adalah dia hanya duduk-duduk di rumahnya”.
[Di riwayatkan oleh Muhammad bin Sa'ad dalam Thabaqat al-Kubra 3/166
cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah dengan sanadnya : Telah memberi tahu kami Yazid
bin Harun , dia berkata : Telah memberi tahu kami Ismail dari Qais , dia
berkata ...]
****
“SYAIR IBNU AL-MUBARAK TENTANG CELAAN JUALAN AGAMA”
Pengarang Kitab “az-Zuhud Wa ar-Roqoiq”
"الزُّهْدُ وَالرَّقَائِقُ"
Nasihat Al-Imam Ibnu al-Mubarok rahimahullah (wafat 181 H) kepada Ibnu
‘Ulayyah rahimahullah:
يَا جَاعِلَ الْعِلْمِ لَهُ بَازِيًا
*
يَصْطَادُ أَمْوَالَ الْمَسَاكِينِ
احْتَلَّتْ لِلدُّنْيَا وَلَذَاتِهَا *
بِحِيْلَةٍ تَذْهَبُ بِالدِّيْنِ
فَصِرْتَ مَجْنُوْنًا بِهَا بَعْدَمَا *
كُنْتَ دَوَاءً لِلْمَجَانِيْنَ
أَيْنَ رِوَايَاتُكَ فِيْمَا مَضَى *
عَنْ ابْنِ عَوُنَ وَابْنِ
سِيْرِيْنَ وَدَرْسِكَ الْعِلْمِ بِآثَارِهِ *
فِي تَرْكِ أَبْوَابِ السُّلاَطِيْنَ
تَقُوْلُ: أُكْرِهْتُ، فَمَاذَا كَذَا *
زَلَّ حِمَارُ الْعِلْمِ فِي
الطِّيْنِ لَا تَبْعَ الدِّيْنَ بِالدُّنْيَا كَمَا *
يَفْعَلُ ضَلَالُ الرُّهَابِيْنَ
“Wahai orang yang menjadikan ilmu sebagai barang dagangan untuk
menjaring harta orang-orang miskin,
diambil demi dunia dan kesenangannya.
Dengan tipu daya engkau menghilangkan agama,
lalu engkau menjadi orang yang gila setelah
dulunya engkau adalah obat bagi orang-orang gila.
Di manakah riwayat-riwayatmu yang lampau dari
Ibnu ‘Aun dan Ibnu Sirin.
Dan manakah ilmu yang kamu pelajari dengan
atsar-atsarnya yang berisi anjuran untuk meninggalkan pintu-pintu penguasa?
Kamu berkata: “Aku terpaksa.” Lalu apa?
Demikianlah keledai ilmu tergelincir di tanah
liat yang basah.
Janganlah kamu jual agama dengan dunia
sebagaimana perbuatan para rahib (pendeta kristen) yang sesat.” (“Siyar A’lamin
Nubala”/9/110).
SIAPAKAH ABDULLAH BIN AL-MUBARAK ?
Abdullah bin al-Mubarak – rahimahullah - (wafat 181 H). Ia adalah ulama
besar dari kalangan Tabi’in, ahli zuhud, ahli Ibadah, ahli jihad dan ahli
Ribaath fii sabilillah. Pengarang Kitab **az-Zuhud Wa ar-Roqoiq**
Semua referensi sepakat bahwa ia adalah seorang penuntut ilmu yang luar
biasa langka. Ia melakukan perjalanan ke seluruh negeri yang dikenal sebagai
pusat kegiatan ilmiah pada masanya.
Abdurrahman bin Abi Hatim berkata tentang Ibnu al-Mubarak :
«سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ: كَانَ ابْنُ الْمُبَارَكِ
رَبَعَ الدُّنْيَا بِالرِّحْلَةِ فِي طَلَبِ الْحَدِيثِ، لَمْ يَدَعِ الْيَمَنَ وَلَا
مِصْرَ وَلَا الشَّامَ وَلَا الْجَزِيرَةَ وَالْبَصْرَةَ وَلَا الْكُوفَةَ»
*"Aku mendengar ayahku berkata: Ibnu Mubarak telah menjelajahi
seperempat dunia dalam perjalanannya mencari hadits. Ia tidak melewatkan Yaman,
Mesir, Syam, Jazirah, Bashrah, maupun Kufah."* Kesaksian ini juga
dikukuhkan oleh Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Mubarak pernah berkata:
«خَصْلَتَانِ مَنْ كَانَتَا فِيهِ نَجَا: الصِّدْقُ،
وَحُبُّ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ»
*"Dua hal yang jika ada pada seseorang, maka ia akan selamat:
kejujuran dan kecintaan kepada para sahabat Muhammad."*
Ia mencari ilmu di mana pun ia menemukannya dan mengambilnya dari siapa
pun yang memilikinya, tanpa ada halangan yang menghentikannya. Ia menulis ilmu
dari orang yang lebih tinggi darinya, dari orang yang setara dengannya, bahkan
dari orang yang lebih muda darinya.
Muhammad bin Fudhail bin 'Iyadh berkata:
رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ
فِي الْمَنَامِ، فَقُلْتُ: أَيُّ الْأَعْمَالِ وَجَدْتَ أَفْضَلَ؟ قَالَ: الْأَمْرُ
الَّذِي كُنْتُ فِيهِ. قُلْتُ: الرِّبَاطُ وَالْجِهَادُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: فَأَيُّ
شَيْءٍ صَنَعَ بِكَ رَبُّكَ؟ قَالَ: غَفَرَ لِي مَغْفِرَةً مَا بَعْدَهَا مَغْفِرَةٌ
وَكَلَّمَتْنِي امْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَوِ امْرَأَةٌ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ.
"Aku melihat Abdullah bin Mubarak dalam mimpi, lalu aku bertanya,
'Amal apakah yang engkau dapati paling utama?' Ia menjawab, 'Amal yang dulu aku
lakukan.'
Aku bertanya, 'Apakah itu ribath (berjaga di perbatasan) dan jihad?' Ia
menjawab, 'Ya.'
Aku bertanya lagi, 'Apa yang telah Tuhanmu lakukan kepadamu?' Ia
menjawab, 'Dia telah mengampuniku dengan ampunan yang tidak ada ampunan
setelahnya, dan seorang wanita dari penghuni surga atau seorang dari bidadari
berbicara kepadaku.'"
----
Abdullah Bin Al-Mubarok Dikenal Pula Dengan Sebutan
:
“SANG FAQIH AHLI ZUHUD YANG MILIUNER”
Dia seorang pedagang terkenal yang pada masa hidupnya memiliki kekayaan
sebesar 400 ribu dinar emas, yang setara dengan 1.700.000 gram emas saat ini.
Jika dikonversikan ke mata uang modern, jumlah ini setara dengan 27.625.000
dinar Kuwait atau sekitar 82.875.000 dolar Amerika. Itu adalah modal usahanya.
Setiap tahun, ia memperoleh keuntungan sebesar 100 ribu dinar emas, atau
sekitar 425.000 gram emas, yang bernilai hampir 7 juta dinar Kuwait, lebih dari
20 juta dolar Amerika.
Namun, seluruh keuntungan tahunan yang mencapai lebih dari 20 juta
dolar itu ia habiskan untuk para ulama, penuntut ilmu, fakir miskin, serta para
ahli ibadah dan zuhud. Bahkan, terkadang ia menambahkannya dari modal pribadinya.
Meskipun sangat kaya, ia menyerupai para sahabat Rasulullah ﷺ dalam segala hal. Hingga Sufyan bin ‘Uyainah berkata
tentangnya,
"كَانَ مِثْلَ ٱلصَّحَابَةِ فِي كُلِّ شَيْءٍ،
لَا يُفَضِّلُونَ عَلَيْهِ إِلَّا فِي أَنَّهُمْ صَحِبُوا ٱلرَّسُولَ ﷺ".
*"Ia seperti para sahabat dalam segala hal. Mereka hanya lebih
unggul darinya karena mereka berkesempatan menemani Rasulullah ﷺ."*
Bahkan, para sahabatnya berpendapat bahwa Allah telah mengumpulkan
dalam dirinya semua sifat kebaikan.
Ia sangat dermawan. Pernah, dalam suatu perjalanan ke Mesir bersama
para sahabatnya, ia menjamu mereka dengan makanan dan hidangan manis terbaik,
sementara dirinya sendiri tetap berpuasa sepanjang tahun.
Referensi : “Lihat: Al-Bidayah Wan-Nihayah Karya Ibnu Katsir
(13/611-612) dan Tarikh Dimasyq Karya Ibnu Asakir (32/438)”.
===***===
PARA SAHABAT MANDIRI DALAM BEREKONOMI DAN BENCI PENGANGGURAN.
Para sahabat Nabi ﷺ betul-betul mendiri dalam
berekonomi dan sangat menjunjung tinggi kehormatan dan harga diri . Mereka
tidak mengemis dan tidak jualan agama .
Dalam
hadits Abu Hurairah di sebutkan bahwa Rosulullah ﷺ bersabda :
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ
خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
Lebih
baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya
daripada dia meminta-minta (mengemis) kepada orang lain, lalu orang itu
memberinya atau dia menolak untuk memberinya (HR al-Bukhari no. 2374 dan Muslim
no. 1042 ).
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
" كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ…
".
Para Sahabat Rasulullah ﷺ adalah para pekerja untuk
diri mereka sendiri…. (HR . Imam al-Bukhari No. 2071 ).
Para sahabat tidak menyukai dan membenci para pengangguran yang
hidupnya banyak dihabiskan untuk duduk-duduk di rumah , menjadi beban orang
lain.
Sebagaimana yang dikatakan seorang sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu
‘anhu berkata :
إِنَّ أَقَلَّ الْعَيْبِ عَلَى
الْمَرْءِ أَنْ يَجْلِسَ فِي دَارِهِ.
Aib [ perbuatan tercela ] yang paling terendah bagi seseorang adalah
dia hanya duduk-duduk di rumahnya .
[ Di riwayatkan oleh Muhammad bin Sa'ad dalam Thabaqat al-Kubra 3/166
cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah dengan sanadnya : Telah memberi tahu kami Yazid
bin Harun , dia berkata : Telah memberi tahu kami Ismail dari Qais , dia
berkata ... ]
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa dia
berkata :
" لَا يَقْعُدْ أَحَدُكُمْ عَنْ طَلَبِ
الرِّزْقِ وَيَقُولُ: اللهُمَّ ارْزُقْنِي فَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنَّ السَّمَاءَ
لَا تُمْطِرُ ذَهَبًا وَلَا فِضَّةً"
Janganlah seseorang diantara kalian duduk (tidak mau bekerja) mencari
rizki , lalu dia hanya berdoa : “Ya Allah, berilah rizki untukku !".
Sementara kalian sendiri telah mengetahui bahwa langit tidak pernah menurunkan
hujan berupa emas maupun perak”.
[Lihat : Ihya’ Ulumuddin 2/62 , al-Mustathraf hal. 307 dan Tafsir
al-Manar 4/174 ]
Dan Umar radhiyallahu ‘anhu juga berkata :
مَا مِنْ مَوْضِعٍ يَأْتِينِي الْمَوْتُ
فِيهِ أَحَبُّ عَلَيَّ مِنْ مَوْطِنٍ أَتَسَوَّقُ فِيهِ لِأَهْلِي أَبِيعُ وَأَشْتَرِي
"Tidak ada tempat di mana kematian datang kepadaku yang
lebih aku cintai daripada tempat di mana aku berbisnis untuk keluargaku , yaitu
mati dalam keadaan sedang melakukan transaksi jual beli."
[Lihat : Ihya’ Ulumuddin 2/62 , al-Mustathraf hal. 307 dan Tafsir
al-Manar 4/174 ]
****
PERNYATAAN IMAM AHMAD TENTANG PENGANGGURAN :
Abu
Bakar ad-Dainuury al-Qoodhi al-Maaliki (w. 333 H) berkata dalam kitabnya
al-Mujaalasah wa Jawaahir al-Ilmi 3/123 no. 754 :
حَدَّثَنَا أَبُو
الْقَاسِمِ الْحُبُلِيُّ؛ قَالَ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، فَقُلْتُ: مَا تَقُولُ
فِي رَجُلٍ جَلَسَ فِي بَيْتِهِ أَوْ فِي مَسْجِدِهِ وَقَالَ: لَا أَعْمَلُ
شَيْئًا حَتَّى يَأْتِيَنِي رِزْقِي؟ فَقَالَ أَحْمَدُ: هَذَا رَجُلٌ جَهِلَ الْعِلْمَ،
أَمَا سَمِعْتَ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «جَعَلَ اللهُ
رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي» (يَعْنِي: الْغَنَائِمَ) ، وَحَدِيثَهُ الْآخَرَ حِينَ
ذَكَرَ الطَّيْرَ، فَقَالَ: «تَغْدُوا خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا؟» ! فَذَكَرَ أَنَّهَا
تغدو فِي طَلَبِ الرِّزْقِ. وَقَالَ الله تبارك وتعالى: (وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ
فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ) [المزمل: 20] . وَقَالَ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ ربكم} [البقرة: 198] . وَكَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّجِرُونَ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَيَعْمَلُونَ
فِي نَخِيلِهِمْ، وَالْقُدْوَةُ بِهِمْ
"Diceritakan kepada kami oleh Abu Al-Qasim Al-Hubuliy, dia
berkata: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, lalu saya berkata:
" Apa pendapatmu tentang seseorang yang duduk di rumahnya atau di
masjidnya, lalu dia berkata: Saya tidak akan melakukan apa pun sampai rezeki
saya datang kepada saya?" .
Ahmad bin Hanbal menjawab : " Orang ini tidak memiliki
pengetahuan. Bukankah kamu pernah mendengar perkataan Nabi ﷺ :
" جَعَلَ
اللهُ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي ".
"Allah telah menjadikan rezeki saya di bawah panjangnya
tombak saya? [yakni Jihad]".
Dan perkataan beliau yang lain ketika dia menyebutkan burung, dia
berkata:
تَغْدُوا
خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا؟
'Ia berangkat di pagi hari dan pulang sore dengan perut
kenyang?'
Maka beliau menyebutkan bahwa burung-burung itu berangkat untuk mencari
rezeki. Dan Allah Ta'ala berfirman:
وَءَاخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ
'Dan dari mereka ada yang mencari sebagian karunia Allah di
bumi'. [QS. Al-Muzammil : 20]
Dan Allah juga berfirman:
لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ ربكم
'Tidak ada dosa bagimu jika kamu mencari karunia dari Tuhanmu'.
[QS. Al-Baqarah : 198] .
Dan sahabat-sahabat Rasulullah berdagang di darat dan laut, dan mereka
bekerja di kebun kurma mereka, dan mereka adalah contoh teladan bagi kita semua
". [ Lihat Pula : Talbis Iblis karya Ibnu al-Jauzi hal. 252 ].
****
ANCAMAN NERAKA ATAS PRIA YANG TIDAK MAU BERUSAHA MENCARI RIZKI:
Dari Iyadl bin Khammar al-Mujasyi'ii radhiyallahu ‘anhu : Bahwa pada
suatu hari Rasulullah ﷺ bersabda di dalam khutbah
beliau:
أَلَا إِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ
أُعَلِّمَكُمْ مَا جَهِلْتُمْ مِمَّا عَلَّمَنِي يَوْمِي هَذَا: ........
قَالَ: وَأَهْلُ النَّارِ خَمْسَةٌ
الضَّعِيفُ الَّذِي لَا زَبْرَ لَهُ الَّذِينَ هُمْ فِيكُمْ تَبَعًا لَا
يَبْتَغُونَ أَهْلًا وَلَا مَالًا ، وَالْخَائِنُ الَّذِي لَا يَخْفَى لَهُ طَمَعٌ
وَإِنْ دَقَّ إِلَّا خَانَهُ ، وَرَجُلٌ لَا يُصْبِحُ وَلَا يُمْسِي إِلَّا وَهُوَ
يُخَادِعُكَ عَنْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ، وَذَكَرَ الْبُخْلَ أَوْ الْكَذِبَ ،
وَالشِّنْظِيرُ الْفَحَّاشُ
"Ingatlah! Sesungguhnya Rabb-ku telah menyuruhku untuk mengajarkan
kalian semua tentang sesuatu yang tidak kalian ketahui, yang diajarkan Allah
kepadaku pada hari ini....................................
(Diantaranya. Pen) Allah berfirman:
" Dan penghuni neraka itu ada lima macam:
1). Seorang lelaki yang lemah yang tidak menggunakan akalnya [yang bisa
dipergunakan untuk menahan diri dari hal yang tidak pantas].
Mereka itu adalah orang yang hanya menjadi pengikut di antara kalian [
yakni: hidupnya hanya numpang dan menjadi beban kalian]. Mereka tidak
berkemauan untuk membangun kehidupan keluarga dan tidak pula membangun ekonomi.
2). Pengkhianat yang memperlihatkan sifat rakusnya, sekalipun dalam hal
yang samar.
3). Seorang lelaki yang pagi dan petang selalu memperdayamu (melakukan
tipu muslihat) dari keluargamu dan hartamu.
4) Lalu Allah menyebutkan sifat bakhil dan sifat dusta.
5). Dan Orang yang akhlaknya buruk." **(HR. Muslim No.
5109)**
Thalhah bin Ubaidillah (radhiyallahu ‘anhu)
berkata :
إِنَّ أَقَلَّ الْعَيْبِ عَلَى
الْمَرْءِ أَنْ يَجْلِسَ فِي دَارِهِ.
“Aib [ perbuatan tercela ] yang paling hina bagi seseorang
adalah dia hanya duduk-duduk di rumahnya”.
[Di riwayatkan oleh Muhammad bin Sa'ad dalam Thabaqat al-Kubra 3/166
cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah dengan sanadnya : Telah memberi tahu kami Yazid
bin Harun , dia berkata : Telah memberi tahu kami Ismail dari Qais , dia
berkata ...]
==***==
SYUBHAT-SYUBHAT DARI KELOMPOK ANTI DUNIA :
Sebagian dari kelompok al-Mutaqosysyifah [ yakni : sekelompok orang yang berfaham wajib
meninggalkan kesenangan duniawi agar bisa fokus ibadah]
, mereka ada yang bersikeras mengklaim bahwa ibadah itu bertentangan dengan
mencari nafkah , seperti bekerja di industri, di perdagangan, di pertanian, di
pemerintahan, di lembaga-lembaga dan bidang-bidang lainnya.
Syubhat-syubhat yang mereka lontarkan ,
diantaranya adalah sbb :
Syubhat pertama : Sebagian dari mereka mengatakan :
" إِنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يَفْتَحُوا
الْبُلْدَانَ، وَلَمْ يَصِلُّوا إِلَى الْمَنَزَّلَةِ الْعَالِيَةِ مِنَ الدِّينِ،
إِلَّا بَعْدَ أَنْ تَرَكُوا الدُّنْيَا وَتَفَرَّغُوا تَفَرُّغًا تَامًّا
لِلْعِبَادَةِ وَالْجِهَادِ".
" Sesungguhnya para Sahabat tidaklah menaklukkan negeri-negeri dan tidaklah agama ini mencapai kedudukan yang tinggi, kecuali setelah mereka meninggalkan dunia dan sepenuhnya mendedikasikan diri mereka untuk ibadah dan jihad".
Syubhat Kedua : Mereka berkata :
" إنَّ مَا يَرْجِعُ إلَى الدَّنَاءَةِ مِنْ
الْمَكَاسِبِ فِي عُرْفِ النَّاسِ لَا يَسَعُ الْإِقْدَامُ عَلَيْهِ إلَّا عِنْدَ الضَّرُورَةِ
".
Bahwa
kasab [usaha mencari dunia] adalah tergolong dalam perbuatan hina menurut norma
masyarakat, maka tidak ada celah yang membolehkan untuk melakukannya kecuali
dalam keadaan darurat.
Syubhat ketiga : sebagian mereka mengatakan :
مَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَلَا بُدَّ أَنْ يَطْلُقَ
الدُّنْيَا طَلَاقًا بَاتًا حَتَّى يُصَلِّحَ قَلْبَهُ.
" Bahwa siapa pun yang menginginkan akhirat harus
sepenuhnya meninggalkan dunia ini agar hatinya menjadi shaleh dan baik ".
Benarkah semua itu ?
JAWABAN ATAS SYUBHAT-SYUBHAT MEREKA :
Jawaban
atas syubhat-syubhat mereka adalah sbb :
Ungkapan-ungkapan
tersebut mengandung kesewenang-wenangan , sangat disayangkan dan ini
bertentangan dengan maslahat perjuangan dan fitrah manusia yang telah
ditentukan oleh Allah. Dan hal ini sangat jauh dari perkataan yang bijak , akal
sehat, dan kenyataan.
Ini
juga bertentangan dengan realita kehidupan para Sahabat -radhiyallahu 'anhum –
dalam berekonomi , baik dalam perniagaan maupun perkebunan dan pertanian.
Untuk
menanggapi klaim tersebut, kita perlu menyoroti pandangan syariat tentang
pekerjaan dan mencari nafkah terlebih dahulu, dan bagaimana para Sahabat
menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Al-Imam As-Sarkhosi al-Hanafi berkata :
وَدَعُواهُمْ أَنَ الْكِبَارَ مِنَ الصَّحَابَةِ
رَضُوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ كَانُوا لَا يَكْتَسِبُونَ دَعْوَى بَاطِلٌ.
فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ بَزَّازًا وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَعْمَلُ
الْأَدِمَ وَعُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ تَاجِرًا يَجْلِبُ إِلَيْهِ الطَّعَامَ
فيَبِيعُهُ وَعَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَكْتَسِبُ عَلَى مَا رُوِيَ أَنَّهُ
أَجَرَ نَفْسَهُ غَيْرَ مَرَّةٍ حَتَّى آجَرَ نَفْسَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ فِي حَدِيثٍ
فِيهِ طُولٌ.
Dan dakwaan dan klaiman mereka bahwa para sahabat besar radhiyallahu
‘anhu tidak bekerja mencari nafkah adalah dakwaan palsu dan bathil .
Telah diriwayatkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu
bekerja sebagai saudagar pakaian dan kain , Umar radhiyallahu ‘anhu memproduksi
penyamakan kulit hewan, Utsman, radhiyallahu ‘anhu menjadi seorang pengimport
sembako dan menjualnya, dan Ali, radhiyallahu ‘anhu sering mendapatkan
penghasilan dengan cara bekerja dengan upah pada siapa saja , bahkan pada seorang
Yahudi sekalipun sebagaimana disebutkan dalam suatu Hadits yang panjang.
[ Baca : “المبسوط” 30/248 dan Syarah al-Kasab
hal. 41]
Muhammad Rasyid Ridho berkata dalam tafsir al-Manaar (4/174):
هَذَا وَإِنَّ كُلَّ مَا وَرَدَ فِي الْكَسْبِ
حُجَّةٌ عَلَى كَوْنِ التَّوَكُّلِ لَا يُنَافِي الْعَمَلَ وَالسَّعْيَ لِلدُّنْيَا،
وَقَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُ بَعْضِ الْآيَاتِ فِي ذَلِكَ وَمِنْهَا قَوْلُهُ - تَعَالَى
-: هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا [11: 61] وَقَوْلُهُ:
وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ [15: 20] وَقَوْلُهُ:
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا [78: 11] ....
كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُثْمَانُ وَعَبْدُ
الرَّحْمَنِ وَطَلْحَةُ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ - تُجَّارًا حَتَّى إِنَّ أَبَا بَكْرٍ
لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَصْبَحَ غَادِيًا إِلَى السُّوقِ وَعَلَى رَقَبَتِهِ أَثْوَابٌ
يَتَّجِرُ بِهَا فَلَقِيَهُ عُمَرُ وَأَبُو عُبَيْدَةَ فَقَالَا: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ
السُّوقَ. قَالَا: تَصْنَعُ مَاذَا وَقَدْ وُلِّيتَ أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ؟ قَالَ:
فَمِنْ أَيْنَ أُطْعِمُ عِيَالِي؟ فَهَلْ كَانَ غَيْرَ مُتَوَكِّلٍ؟ ثُمَّ إِنَّ الصَّحَابَةَ
فَرَضُوا لَهُ مَا يَكْفِيهِ لِيَسْتَغْنِيَ عَنِ الْكَسْبِ وَلَمْ يَقُولُوا لَهُ:
تَوَكَّلْ عَلَى اللهِ وَهُوَ يَرْزُقُكَ بِغَيْرِ عَمَلٍ
"Ini, dan sesungguhnya setiap [ ayat dan hadits ] yang
menyebutkan tentang mencari nafkah adalah argumen [dalil] bahwa bertawakkal
kepada Allah SWT tidak menghalangi seseorang untuk bekerja dan berusaha dalam
mencari harta dunia.
Telah disebutkan beberapa ayat dalam hal ini, di antaranya firman-Nya -
yang artinya –
'Dia menciptakan kamu dari bumi [tanah] dan menjadikan kamu pemilik dan
penguasa di atasnya' (Q.S. Hud: 61).
Dan firman-Nya :
"Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup,
dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi
rezeki kepada-Nya. (Q.S. Al-Hijr: 20).
Dan firman-Nya :
'Dan Kami menjadikan siang sebagai sarana mencari penghidupan' (Q.S.
An-Naba: 11)......."
Dulu Abu Bakar, Utsman, Abdul Rahman, dan Talhah - semoga Allah meridai
mereka - adalah pedagang. Bahkan, Abu Bakar ketika diangkat sebagai khalifah,
ia masih pergi ke pasar dengan memangul barang dagangan berupa pakaian di atas
pundaknya. Kemudian, Umar dan Abu Ubaidah bertemu dengannya dan berkata :
"Mau kemana kamu pergi?" Dia menjawab : "Ke pasar."
Mereka berkata : "Apa yang kamu lakukan? Padahal kamu telah
ditunjuk sebagai pemimpin kaum Muslimin!"
Dia berkata, "Dari mana saya akan memberi makan keluarga saya?
Bukankah aku bergantung sepenuhnya kepada Allah?"
Kemudian, para Sahabat memberikan kepadanya apa yang cukup untuk
memenuhi kebutuhannya sehingga ia tidak perlu lagi bekerja cari nafkah. Mereka
tidak berkata kepadanya : "Tawakallah kepada Allah dan Dia akan memberimu
rezeki tanpa harus bekerja."
Imam As-Sarkhasi [w.
490 H] berkata :
قَالَ بَعْضُ
الْمُتَقَشِّفَةِ مَا يَرْجِعُ إلَى الدَّنَاءَةِ مِنْ الْمَكَاسِبِ فِي عُرْفِ النَّاسِ
لَا يَسَعُ الْإِقْدَامُ عَلَيْهِ إلَّا عِنْدَ الضَّرُورَةِ لِقَوْلِهِ - عَلَيْهِ
السَّلَامُ - «لَيْسَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ» وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ
- «إنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُورِ وَيُبْغِضُ سَفْسَافَهَا» وَالسَّفْسَافُ
مَا يُدْنِي الْمَرْءَ وَيَبْخَسُهُ
Sebagian para
Mutaqosyyyifah [ yakni : sekelompok orang yang berfaham harus meninggalkan
kesenangan duniawi] mengatakan :
Bahwa kasab [usaha
mencari dunia] adalah tergolong dalam perbuatan hina menurut norma masyarakat,
maka seharusnya tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Nabi - shallallahu 'alaihi wa sallam - :
«لَيْسَ لِلْمُؤْمِنِ
أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ»
'Seorang mukmin tidak boleh
merendahkan dirinya sendiri.' [Al-Albaani berkata : Hasan Ghariib Bighairihi .
Haidayatur Ruwaah no. 2437].
Dan beliau ﷺ juga
bersabda :
«إنَّ اللَّهَ
تَعَالَى يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُورِ وَيُبْغِضُ سَفْسَافَهَا»
'Sesungguhnya Allah Ta'ala
mencintai hal-hal yang mulia dan membenci hal-hal yang kotor.' [Di shahihkan
al-Albaani dalam Shahih al-Jami' no. 1890].
Dan yang dimaksud
dengan hal-hal kotor di sini adalah tindakan yang menurunkan martabat dan
mengurangi nilai seseorang.
Lalu Imam As-Sarkhasi
membantahnya dengan mengatakan :
الْمَذْهَبُ
عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ - رَحِمَهُمُ اللَّهُ - أَنَّ الْمَكَاسِبَ كُلَّهَا
فِي الْإِبَاحَةِ سَوَاءٌ . .....
وَحُجَّتُنَا
فِي ذَلِكَ : قَوْلُهُ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «إنَّ مِنْ الذُّنُوبِ ذُنُوبًا لَا
يُكَفِّرُهَا الصَّوْمُ، وَلَا الصَّلَاةُ قِيلَ: فَمَا يُكَفِّرُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ الْهُمُومُ فِي طَلَبِ الْمَعِيشَةِ» وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «طَلَبُ
الْحَلَالِ كَمُقَارَعَةِ الْأَبْطَالِ، وَمَنْ بَاتَ وَانِيًا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ
مَاتَ مَغْفُورًا لَهُ» وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - «أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ الِاكْتِسَابُ
لِلْإِنْفَاقِ عَلَى الْعِيَالِ» مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ بَيْنَ أَنْوَاعِ الْكَسْبِ،
وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ سِوَى التَّعَفُّفِ وَالِاسْتِغْنَاءِ عَنْ السُّؤَالِ لَكَانَ
مَنْدُوبًا إلَيْهِ، فَإِنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ
«السُّؤَالُ آخِرُ كَسْبِ الْعَبْدِ» أَيْ يَبْقَى فِي ذُلِّهِ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
«وَقَالَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - لِحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
- أَوْ لِغَيْرِهِ : «مَكْسَبَةٌ فِيهَا نَقْصُ الْمَرْتَبَةِ خَيْرٌ لَك مِنْ أَنْ
تَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْك أَوْ مَنَعُوك» ثُمَّ الْمَذَمَّةُ فِي عُرْفِ النَّاسِ
لَيْسَتْ لِلْكَسْبِ بَلْ لِلْخِيَانَةِ وَخُلْفِ الْوَعْدِ وَالْيَمِينِ الْكَاذِبَةِ
وَمَعْنَى الْبُخْلِ".
"Pendapat mayoritas ahli
fikih - semoga Allah merahmati mereka - adalah bahwa semua kasab [penghasilan
usaha] dalam hal halal adalah sama.
Hujjah dan Argumen
kami dalam hal ini adalah :
Sabda beliau ﷺ :
«إنَّ مِنْ الذُّنُوبِ
ذُنُوبًا لَا يُكَفِّرُهَا الصَّوْمُ، وَلَا الصَّلَاةُ قِيلَ: فَمَا يُكَفِّرُهَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْهُمُومُ فِي طَلَبِ الْمَعِيشَةِ»
'Sesungguhnya di antara
dosa-dosa ada dosa yang tidak bisa dihapuskan dengan berpuasa atau shalat.'
Ketika ditanya : 'Apa yang bisa menghapus dosa tersebut, wahai Rasulullah?'
Beliau menjawab : 'Menghadapi kesuliatn-kesulitan dalam mencari nafkah.'
[HR. Ath-Thobroni di dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 1/38 no.102, Abu Nu’aim
dalam Hilyatul Auliya’ 6/235, Al Haitsami dalam Majma’u Az-Zawa-id 4/75
no.6239, dan selainnya. DERAJAT HADITS: Hadits ini derajatnya PALSU (maudhu’)].
Dan beliau juga
bersabda :
«طَلَبُ الْحَلَالِ
كَمُقَارَعَةِ الْأَبْطَالِ، وَمَنْ بَاتَ وَانِيًا مِنْ طَلَبِ الْحَلَالِ مَاتَ مَغْفُورًا
لَهُ»
'Mencari nafkah yang halal
adalah seperti berperang di medan pertempuran. Dan siapa yang terus berusaha
mencari nafkah yang halal, maka dia akan meninggal dalam keadaan diampuni
dosa-dosanya .' [ Dho'if. Lihat Dho'if al-Jami' oleh al-Albaani no. 3621].
Dan beliau ﷺ
bersabda :
«أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ
الِاكْتِسَابُ لِلْإِنْفَاقِ عَلَى الْعِيَالِ»
"Amal terbaik adalah
mencari nafkah untuk keluarga".
Tanpa perlu
membedakan jenis usaha cari penghasilan [selama itu halal] . Selama tidak ada
tujuan lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan harga diri serta menghindari
perbuatan meminta-minta, maka itu sudah dianggap sunnah. Sebab Rasulullah ﷺ
pernah bersabda :
«السُّؤَالُ آخِرُ
كَسْبِ الْعَبْدِ»
"Meminta-minta adalah
akhir dari usaha penghasilan seorang hamba". yaitu dia akan tetap merasa
rendah diri hingga hari kiamat.
Beliau juga bersabda
kepada Hakim bin Hizam - semoga Allah meridainya - atau orang lain :
«مَكْسَبَةٌ فِيهَا
نَقْصُ الْمَرْتَبَةِ خَيْرٌ لَك مِنْ أَنْ تَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْك أَوْ مَنَعُوك»
'Penghasilan halal yang
didapatkan dengan pekerjaan yang membuat martabatmu turun adalah lebih baik
bagimu daripada meminta pada manusia , baik mereka memberimu atau mereka
menolak untuk memberimu '.
Kemudian, yang dicela
dalam norma masyarakat bukanlah masalah jenis kasab cari penghasilan, tetapi
untuk pengkhianatan, melanggar janji, sumpah palsu, dan perbuatan yang terdapat
makna pelit." [Referensi: Al-Mabsuuth 30/258].
Umar bin Khattab - semoga Allah meridainya - aktif berdagang sampai
kesibukannya di pasar membuatnya tidak dapat rutin menghadiri majelis ilmu di
hadapan Nabi ﷺ. Maka Imam Bukhari
meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubaid bin 'Umair :
أَنَّ أَبَا مُوسَى الأَشْعَرِيَّ: اسْتَأْذَنَ
عَلَى عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، وَكَأَنَّهُ
كَانَ مَشْغُولًا، فَرَجَعَ أَبُو مُوسَى، فَفَرَغَ عُمَرُ، فَقَالَ: أَلَمْ أَسْمَعْ
صَوْتَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ ائْذَنُوا لَهُ، قِيلَ: قَدْ رَجَعَ، فَدَعَاهُ
فَقَالَ: «كُنَّا نُؤْمَرُ بِذَلِكَ»، فَقَالَ: تَأْتِينِي عَلَى ذَلِكَ بِالْبَيِّنَةِ،
فَانْطَلَقَ إِلَى مَجْلِسِ الأَنْصَارِ، فَسَأَلَهُمْ، فَقَالُوا: لَا يَشْهَدُ لَكَ
عَلَى هَذَا إِلَّا أَصْغَرُنَا أَبُو سَعِيدٍ الخُدْرِيُّ، فَذَهَبَ بِأَبِي سَعِيدٍ
الخُدْرِيِّ، فَقَالَ عُمَرُ: أَخَفِيَ هَذَا عَلَيَّ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَانِي الصَّفْقُ بِالأَسْوَاقِ يَعْنِي الخُرُوجَ
إِلَى تِجَارَةٍ
“Bahwa Abu Musa Al Anshariy meminta izin kepada 'Umar bin Al Khaththob
radliallahu 'anhu namun tidak diizinkan karena nampaknya dia sedang sibuk. Lalu
Abu Musa kembali sedangkan 'Umar telah pula selesai dari pekerjaannya lalu dia
berkata: "Tidakkah tadi aku mendengar suara 'Abdullah bin Qais?, Berilah
izin kepadanya".
Umar diberitahu bahwa Abu Musa telah pulang. Maka 'Umar memanggilnya,
lalu Abu Musa berkata: "Kami diperintahkan hal yang demikian (kembali
pulang bila salam minta izin tiga kali tidak dijawab) ".
Maka dia berkata: "Berikanlah kepadaku bukti yang jelas tentang
masalah ini".
Maka Abu Musa pergi menemui majelis Kaum Anshar lalu dia bertanya
kepada mereka. Kaum Anshar berkata: "Tidak ada yang menjadi saksi
(mengetahui) perkara ini kecuali anak termuda diantara kami yaitu Abu Sa'id Al
Khudriy".
Maka Abu Musa berangkat bersama Abu Sa'id Al Khudriy menemui 'Umar,
maka 'Umar berkata: "Kenapa aku bisa tidak tahu urusan Rasulullah ﷺ. Sungguh aku telah dilalaikan oleh kesibukan transaksi jual
beli pasar". Maksudnya kegiatan berdagang. [HR. Bukhori no. 2062].
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
وَأَطْلَقَ عُمَرُ عَلَى الِاشْتِغَالِ
بِالتِّجَارَةِ لَهْوًا لِأَنَّهَا أَلْهَتْهُ عَنْ طُولِ مُلَازَمَتِهِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى سَمِعَ غَيْرُهُ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْهُ
وَلَمْ يَقْصِدْ عُمَرُ تَرْكَ أَصْلِ الْمُلَازَمَةِ وَهِيَ أَمْرٌ نِسْبِيٌّ وَكَانَ
احْتِيَاجُ عُمَرَ إِلَى الْخُرُوجِ لِلسُّوقِ مِنْ أَجْلِ الْكَسْبِ لِعِيَالِهِ وَالتَّعَفُّفِ
عَنِ النَّاسِ
"Umar menyebut kesibukan berdagang sebagai kelalaian karena itu
telah mengalihkannya dari rutinitasnya untuk terus-menerus bersama Nabi ﷺ sampai-sampai ia mendengar dari orang lain apa yang tidak
didengarnya sendiri. Umar tidak bermaksud untuk meninggalkan rutinitas itu
sepenuhnya, yang merupakan sesuatu yang relatif. Kebutuhan Umar untuk keluar ke
pasar adalah untuk mencari nafkah bagi keluarganya dan menjaga diri dari
meminta kepada orang lain." [Baca : Fath al-Bari 4/299].
*****
NABI AYYUB ‘ALAIHIS SALAM TIDAK PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL DAN BERKAH.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
بَيْنَمَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا
خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ يَحْثِي فِي ثَوْبِهِ فَنَادَى
رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى يَا رَبِّ
وَلَكِنْ لَا غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ
"Ketika Ayyub sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba
segerombolan belalang dari emas jatuh di atasnya. Lalu, Ayyub mengumpulkannya
ke dalam pakaiannya.
Kemudian, Tuhannya memanggilnya : 'Wahai Ayyub, bukankah Aku telah
memberimu kekayaan sehingga kamu tidak memerlukan apa yang kamu lihat ini ?'
Ayyub menjawab, 'Benar wahai
Rabbku, namun saya tidak pernah merasa cukup dari barakah-Mu'." [HR. Bukhori no. 7493]
Dalam salah satu riwayat Bukhori no.
279:
جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ
“Belalang-belalang dari emas”.
Syeikh
Alwi Abdul Qodir as-Saqqaaf berkata :
وَفِي ذَلِكَ شُكْرٌ عَلَى النِّعْمَةِ، وَتَعْظِيمٌ
لِشَأْنِهَا، وَفِي الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كُفْرٌ بِهَا. وَفِي الْحَدِيثِ: مَشْرُوعِيَّةُ
الْحِرْصِ عَلَى الْمَالِ الْحَلَالِ. وَفِيهِ: بَيَانُ فَضْلِ الْغِنَى لِمَنْ شَكَرَ؛
لِأَنَّهُ سَمَّاهُ بَرَكَةً.
"Di
dalam hal itu terdapat rasa syukur atas nikmat, dan pengagungan terhadap
kedudukannya. Sementara berpaling darinya merupakan bentuk kekufuran terhadap
nikmat tersebut. Dalam hadits ini juga terdapat ajaran tentang pentingnya
mencari harta yang halal. Selain itu, hadits ini menjelaskan keutamaan kekayaan
bagi orang yang bersyukur, karena kekayaan tersebut disebut sebagai
berkah."
Al-Hafidz
Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits di atas, dia berkata :
وَفِي رِوَايَةِ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ فَقَالَ وَمَنْ
يَشْبَعُ مِنْ رَحْمَتِكَ أَوْ قَالَ مِنْ فَضْلِكَ وَفِي الْحَدِيثِ جَوَازُ الْحِرْصِ
عَلَى الِاسْتِكْثَارِ مِنَ الْحَلَالِ فِي حَقِّ مَنْ وَثِقَ مِنْ نَفْسِهِ بِالشُّكْرِ
عَلَيْهِ وَفِيهِ تَسْمِيَةُ الْمَالِ الَّذِي يَكُونُ مِنْ هَذِهِ الْجِهَةِ بَرَكَةً
وَفِيهِ فَضْلُ الْغَنِيِّ الشَّاكِرِ .
وَاسْتَنْبَطَ مِنْهُ الْخَطَّابِيُّ جَوَازَ أَخْذِ
النُّثَارِ فِي الاملاك وَتعقبه بن التِّينِ فَقَالَ هُوَ شَيْءٌ خَصَّ اللَّهُ بِهِ
نَبِيَّهُ أَيُّوبَ وَهُوَ بِخِلَافِ النُّثَارِ فَإِنَّهُ مِنْ فِعْلِ الْآدَمِيِّ
فَيُكْرَهُ لِمَا فِيهِ مِنَ السَّرَفِ وَرُدَّ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ أُذِنَ فِيهِ مِنْ
قِبَلِ الشَّارِعِ إِنْ ثَبَتَ الْخَبَرُ وَيُسْتَأْنَسُ فِيهِ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
"Dan
dalam riwayat Basyir bin Nahik disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ
berkata: 'Siapa yang bisa merasa puas dengan rahmat-Mu' atau beliau berkata,
'dengan karunia-Mu.'
Dalam
hadits ini terdapat kebolehan untuk bersemangat dalam memperbanyak harta yang
halal bagi orang yang yakin dirinya mampu bersyukur atasnya. Selain itu, bahwa
harta yang diperoleh dari cara tersebut, disebut sebagai berkah.
Hadits
ini juga menunjukkan keutamaan orang kaya yang bersyukur.
Al-Khaththabi
mengambil kesimpulan dari hadits ini tentang kebolehan mengambil harta yang ditebarkan
(ditawurkan) dalam acara pernikahan.
Namun
Ibnu at-Tiin mengkritiknya dengan mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu
yang dikhususkan oleh Allah untuk Nabi-Nya, Ayyub, dan itu berbeda dengan harta
yang disebarkan oleh manusia, karena hal tersebut makruh disebabkan adanya
unsur pemborosan.
Akan
tetap kritikan Ibnu at-Tin ini ditanggapi dengan argumen bahwa hal itu telah
diizinkan oleh syariat jika haditsnya sahih, dan kisah ini bisa dijadikan
petunjuk. Wallahu a'lam." [Fathul Bari 6/421].
===***===
MENJAWAB KESALAH FAHAMAN SEBAGIAN PARA DAI TERHADAP HADITS-HADITS BERIKUT INI :
Ada beberapa Da'i Kondang bergelar doktor yang sering menggunakan
hadits di bawah ini sebagai celaan terhadap orang yang berjuang mencari rizki
yang halal . Dan melarang seseorang untuk berjuang dan memikirkan hari esok .
Dengan lantangnya dan penuh emosi mencela orang yang sibuk bekerja mencari
nafkah yang halal . Alasan Dai tersebut ; karena harus fokus pada akhirat, dan
karena semua rizki manusia sudah ditentukan . Video ceramahnya ini tersebar di
medsos.
Si Dai ini lupa kalau semua itu harus ada sebab dan usaha maximal,
termasuk dia sendiri terlahir ke dunia itu tidaklah sekonyong-konyong ceprot
lahir, melainkan ada proses dan perjuangan dari ayah ibunya, maka lewat
keduanya itulah Allah SWT ciptakan si Dai itu.
Masalahnya : jika seandainya kaum muslimin terpuruk dalam kemiskinan
karena mengamalkan apa yang diserukan
oleh si da’i tersebut yaitu untuk meninggalkan dunia usaha, apakah si dia itu
bersedia untuk menolong mereka dari keterpurukan ekonomi? Atau ketika para
pekaerja kaum muslimin terdzalimi oleh sebagian para cukong non muslim, maukah
si dai tersebut membantunya dan memberikan solusi untuk mereka? Jika tidak,
maka si Dai tersebut telah sukses menjerumuskan mereka.
Dan yang pasti para da’i tersbut makan minumnya dari amplop hasil
jualan agama. Bahkan sebagian mereka bisa membeli mobil Alphard dari hasil
jualan agamanya dan keshalihannya. Justru si Dai yang mengulang-ulang dalam
ceramahnya tentang hadits bangkai kambing lebih mulia dari harta dunia, dia
protes keras saat dijemput dengan mobil Avanza oleh panitia salah satu Kajian.
Benarkah apa yang dia katakan oleh para dai yang sok zuhud ini ? Mari
kita kaji hadits-hadits tersebut!
HADITS KE 1 :
Hadits Umar Bin Al Khaththob bahwa Nabi ﷺ bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى
اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُوا
خِمَاصاً وَتَرُوْحُ بِطَاناً
"Sungguh seandainya kalian bertawakkal kepada Alloh dengan
sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizqi sebagaimana rezekinya
burung-burung. Mereka berangkat pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang sore
hari dalam keadaan kenyang."
[ HR . Al-Tirmidzi (2344) dan
lafalnya adalah miliknya, Ibnu Majah (4164), dan Ahmad (205)] . Di Shahihkan
al-Albaani dalam Hidayatur Ruwaah no. 5229 .
Penulis Jawab :
Justru
sebaliknya , hadits ini menyuruh kita di samping bertawakkal kepada Allah ,
juga kita harus berusaha semaximal mungkin , seperti burung , ia tidak tinggal
diam di sarangnya , melainkan keluar . Terus kenapa mesti dari pagi sampai sore
, bukankah untuk kebutuhan seekor burung agar kenyang itu cukup beberapa saat
saja?
Jawabnya: Ini adalah isyarat agar kita berusaha semaximal
mungkin meski melebihi kebutuhan dirinya ; karena kelebihannya bisa diinfaqkan
dan digunakan untuk keperluan yang lain .
Dan
kenapa burung itu hanya hingga sore saja , tidak sampai pagi ? Karena burung
juga harus istirahat dan lagi pula kalo sudah sore jadi gelap , maka sang
burung tidak bisa melihat sesuatu di kegelapan malam ; karena burung tiada ada
yang punya lampu senter .
Ada
penjelasan dari Imam Ahmad tentang hadits ini, sebagaimana yang diriwayatkan
Abu Bakar ad-Dainuury al-Qoodhi al-Maaliki (w. 333 H) dalam kitabnya
al-Mujaalasah wa Jawaahir al-Ilmi 3/123 no. 754 , dia berkata :
" حَدَّثَنَا
أَبُو الْقَاسِمِ الْحُبُلِيُّ؛ قَالَ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، فَقُلْتُ:
مَا تَقُولُ فِي رَجُلٍ جَلَسَ فِي بَيْتِهِ أَوْ فِي مَسْجِدِهِ وَقَالَ: لَا
أَعْمَلُ شَيْئًا حَتَّى يَأْتِيَنِي رِزْقِي؟ فَقَالَ أَحْمَدُ: هَذَا رَجُلٌ
جَهِلَ الْعِلْمَ، أَمَا سَمِعْتَ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«جَعَلَ اللهُ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي» (يَعْنِي: الْغَنَائِمَ) ، وَحَدِيثَهُ
الْآخَرَ حِينَ ذَكَرَ الطَّيْرَ، فَقَالَ: «تَغْدُوا خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا؟»
! فَذَكَرَ أَنَّهَا تغدو فِي طَلَبِ الرِّزْقِ. وَقَالَ الله تبارك وتعالى: (وَءَاخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ) [المزمل: 20] . وَقَالَ:
{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ ربكم} [البقرة: 198] . وَكَانَ
أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّجِرُونَ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ وَيَعْمَلُونَ فِي نَخِيلِهِمْ، وَالْقُدْوَةُ بِهِمْ ".
"Diceritakan kepada kami oleh Abu Al-Qasim Al-Hubuliy, dia
berkata: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, lalu saya berkata:
" Apa pendapatmu tentang seseorang yang duduk di rumahnya atau di
masjidnya, lalu dia berkata: Saya tidak akan melakukan apa pun sampai rezeki
saya datang kepada saya?" .
Ahmad bin Hanbal menjawab : " Orang ini tidak memiliki ilmu
[bodoh]. Bukankah kamu pernah mendengar sabda Nabi ﷺ :
" جَعَلَ
اللهُ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي ".
"Allah telah menjadikan rezekiku di bawah panjangnya
tombak-ku [yakni Jihad]?".
Dan sabda beliau yang lain ketika menyebutkan rizki BURUNG, beliau
berkata:
تَغْدُوا
خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا؟
'Ia [burung] berangkat di pagi hari dan pulang sore dengan perut
kenyang?'
Maka beliau ﷺ menyebutkan bahwa
burung-burung itu berangkat untuk berusaha mencari rezeki. Dan Allah Ta'ala
berfirman:
وَءَاخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ
'Dan dari mereka ada yang berusaha mencari karunia Allah di
bumi'. [QS. Al-Muzammil : 20]
Dan Allah juga berfirman:
لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ ربِّكُمْ
'Tidak ada dosa bagi kalian [dimusim haji] jika kalian mencari
karunia dari Tuhan kalian'. [QS. Al-Baqarah : 198] .
Dan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ berdagang di darat dan laut,
dan mereka bekerja di kebun kurma mereka, dan mereka adalah contoh teladan bagi
kita semua ".
[ Lihat Pula : Talbis Iblis karya Ibnu al-Jauzi hal. 252 ].
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam "Shahih" nya no. 1523 dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu , dia berkata :
كَانَ أَهْلُ الْيَمَنِ يَحْجُونَ، وَلَا
يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُونَ، فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ،
سَأَلُوا النَّاسَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى : {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى}.
“ Orang-orang Yaman dulu pergi menunaikan ibadah haji, akan
tetapi mereka tidak membawa bekal, dan mereka berkata : Kami adalah orang-orang
yang bertawakkal , lalu ketika mereka tiba di Makkah , mereka minta-minta
kepada manusia “. Maka Allah SWT menurunkan wahyu :
{وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى}
"Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa". (Al-Baqarah: 197)
HADITS KE 2:
Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ
مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya
(pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan
memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah
terkumpul pada dirinya.”
(HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa
hadits ini hasan ghorib).
Ustadz Dai tersebut berdalil dengan hadits ini melarang kita untuk
memikirkan rizki hari Esok dan seterusnya.
[Note: Saya yakin ustadz Dai tersebut tidak punya cicilan motor. Salah
seorang dari mereka ada yang memiliki mobil Alphard hasil dari amplop
ceramahnya ]
Saya jawab :
Al-Munaawi dlm kitabnya “فَيْضُ
الْقَدِيرِ” (6/88)berkata
dalam menyikapi hadits tsb:
"
يَعْنِي: مَنْ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ بَيْنَ
عَافِيَةِ بَدَنِهِ ، وَأَمْنِ قَلْبِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَ ، وَكِفَافِ عَيْشِهِ بِقُوَّةِ
يَوْمِهِ ، وَسَلَامَةِ أَهْلِهِ ، فَقَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ جَمِيعَ النِّعَمِ الَّتِي
مِنْ مَلَكِ الدُّنْيَا لَمْ يَحْصُلْ عَلَى غَيْرِهَا ، فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَسْتَقْبِلَ
يَوْمَهُ ذَلِكَ إِلَّا بِشُكْرِهَا ، بِأَنْ يُصَرِّفَهَا فِي طَاعَةِ الْمُنْعِمِ
، لَا فِي مَعْصِيَّةٍ ، وَلَا يَفْتَرِ عَنْ ذِكْرِهِ.
قَالَ نَفْطُوَيْهِ:
إِذَا مَا كَسَاكَ الدَّهْرُ ثَوْبَ مُصِحَّةٍ
*** وَلَمْ يَخْلُ مِنْ قُوتٍ يُحَلَّى وَيَعْذُبُ
فَلَا تَغْبَطَنَّ الْمُتْرَفِينَ فَإِنَّهُ
*** عَلَى حَسْبِ مَا يُعْطِيهِمُ الدَّهْرُ يَسْلُبُ
Artinya: Barangsiapa orangnya yang Allah telah mengumpulkan untuknya:
kesehatan tubuhnya, keamanan hatinya kemanapun dia pergi, tercukupi pangannya
untuk kelangsungan hidupnya untuk hari itu, dan keselamatan keluarganya, maka
sungguh Allah telah mengumpulkan untuknya semua kenikmatan seolah-olah dia
memiliki dunia semuanya.
Jika demikian, maka dia seharusnya tidak mengunakan hari nya itu
kecuali dengan mensyukurinya dan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada Allah
Sang Pemberi Nikmat, bukan untuk kemaksiatan, dan jangan bosan berdzikir dengan
mengingatnya.
Seorang penyair Nafthaweih berkata:
إِذَا مَا كَسَاكَ الدَّهْرُ ثَوْبَ مُصِحَّةٍ
*** وَلَمْ يَخْلُ مِنْ قُوتٍ يُحَلَّى وَيَعْذُبُ
فَلَا تَغْبَطَنَّ الْمُتْرَفِينَ فَإِنَّهُ
*** عَلَى حَسْبِ مَا يُعْطِيهِمُ الدَّهْرُ يَسْلُبُ
Jika ad-Dahr (masa/waktu) menyelemuti mu
dengan baju sehat walafiat *** dan tidak pernah kosong dari makanan, yang manis
dan segar.
Maka janganlah kau merasa cemburu terhadap
orang-orang yang hidupnya serba mewah, karena sesungguhnya itu semua *** di
atas apa yang Ad-Dahr berikan kepada mereka, dan apa saja yang ad-Dahr berikan
pasti kelak ia akan mencabutnya kembali“.
(SELESAI) Baca: فَيْضُ
الْقَدِيرِ
(6/88).
Dan Perkataan Syeikh Sholeh Fauzan al-Fauzan dalam memahami hadits tsb:
فَعَلَيْنَا أَنْ نَشْكُرَ اللَّهَ -
عَزَّ وَجَلَّ - بِأَنْ نَسْتَعْمِلَ هَذِهِ النِّعَمَ فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَلَا
نَبْطُرَ نِعْمَةَ اللَّهِ أَوْ نَتَكَبَّرَ أَوْ نَسْتَعْمِلَ هَذِهِ النِّعَمَ فِي
مَعْصِيَّةِ اللَّهِ، وَفِي الْإِسْرَافِ وَالتَّبْذِيرِ وَالْبُذْخِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
Artinya: Kita harus bersyukur kepada Allah Azza Wajalla dengan cara
menggunakan semua nikmatnya ini dalam ketaatan kepada Allah, dan tidak menyalah
gunakan nikmat Allah atau tidak takabur atau tidak menggunakan nikmat-nikmat
ini dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan tidak pula untuk pemborosan, tabdzir,
gaya hidup glamour, dan lain sebagainya.
HADITS KE 3 :
Hadits Jabir bin Abdullah -radhiyallahu ‘anhu- :
" أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلًا مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ
وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْيٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ
بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ فَقَالُوا
مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ أَتُحِبُّونَ
أَنَّهُ لَكُمْ قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ
لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا
أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا ".
Bahwa Rasulullah ﷺ melintas masuk ke pasar
seusai pergi dari tempat-tempat tinggi sementara orang-orang berada disisi
beliau. Beliau melintasi bangkai anak kambing dengan telinga melekat, beliau
mengangkat telinganya lalu bersabda:
"Siapa diantara kalian yang mau membeli ini seharga satu
dirham?"
Mereka menjawab: Kami tidak mau memilikinya, untuk apa?
Beliau bersabda: "Apa kalian mau (bangkai) ini milik kalian?"
Mereka menjawab: Demi Allah, andai masih hidup pun ada cacatnya karena
telinganya menempel, lalu bagaimana halnya dalam keadaan sudah mati?
Beliau bersabda: "Demi Allah, dunia lebih hina bagi Allah melebihi
(bangkai) ini bagi kalian." [ HR. Muslim no. 5257 ].
"Dai
tersebut (mobilnya Alphard) berdalil dengan hadits diatas" : bahwa harta dunia
itu lebih hina dari pada BANGKAI KAMBING yang cacat dan bau busuk . Maka kaum
muslimin harus menjauhinya, membuangnya dan meninggalkannya .
Jawabannya adalah sbb :
Pertama : penulis kutip penjelasan dari ad-Duror
as-Saniyah tentang makna hadits ini :
وفي هذا إشارة إلى التَّحذيرِ مِن
أنْ يَستغرِقَ المسلِمُ في مَتاعِ الدُّنيا وشَهواتِها؛ فقد خلَق اللهُ الدُّنيا
ولَم يَجعَلْ لها وَزنًا، وكانتْ عنده هَيِّنةً.
Dalam hadits ini terdapat peringatan untuk menjaga diri agar seorang
Muslim tidak terjebak dan tenggelam dalam kesenangan duniawi dan syahwatnya.
Allah menciptakan dunia ini tanpa memberikan bobot atau berat timbangan yang
berarti, dan dunia ini di sisi-Nya adalah sesuatu yang mudah ".
Kedua
: hadits tersebut hanya sebatas perumpamaan dan nasihat agar kita tidak
tenggelam dalam kelezatan dunia yang membuat kita lalai dan lupa terhadap
tuntutan agama dan persiapan kehidupan akhirat .
Dan
pada realitanya ada perbedaan antara harta benda dan bangkai kambing yang cacat
dan busuk . Diantara perbedaannya adalah sbb :
1]-
Harta benda termasuk salah satu 5 darurat yang wajib di jaga .
2]-
Orang yang terbunuh dalam membela hartanya maka dia mati syahid.
Dari Sa’id bin Zaid (ia meriwayatkan): Aku pernah
mendegar Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
مَنْ قُتِلَ
دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ
دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
Barangsiapa yang terbunuh karena melindungi
hartanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi agamanya maka
dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi darahnya maka dia syahid.
Siapa yang terbunuh karena melindungi keluarganya maka dia syahid
(HR. An-Nasai no. 4105 dan al-Tirmidzi no. 1421.
Di nilai Hasan Shahih oleh At-Tirmidzi, dan dinilai Shahih oleh al-Albani dalam
Shahih an-Nasa’i).
3]-
Pencuri terkena hukum hadd potong tangan .
4]-
Bagi yang menginfak-kan hartanya di jalan Allah maka dia akan mendapatkan
pahala .
5]-
Allah SWT melarang kita tabdzir harta dan rizki , bahkan demi untuk menghindari
tabdzir rizki dan demi mensyukuri karunia Allah SWT , maka Nabi ﷺ
menganjurkan umatnya untuk menjilati jari-jari tangan seusai makan . Beliau ﷺ
bersabda:
إِذَا
أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ، حَتَّى يَلْعَقَهَا".
“Jika salah seorang dari
kalian makan makanan janganlah dia mengusapkan tangannya sampai dia menjilat
tangannya terlebih dahulu ". (Muttafaqun 'Alaihi).
Dan dari Anas -radhiyallahu ‘anhu- , dia menceritakan :
" أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ
قَالَ وَقَالَ إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى
وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ
الْقَصْعَةَ قَالَ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمْ الْبَرَكَةُ".
Bahwa Nabi ﷺ apabila selesai makan, dia
menjilati ke tiga jari tangannya. Anas berkata; Beliau bersabda:
'Apabila suapan makanan salah seorang diantara kalian jatuh, ambillah
kembali lalu buang bagian yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jangan
dibiarkannya dimakan setan."
Dan beliau menyuruh kami untuk menjilati piring. Beliau bersabda:
'Karena kalian tidak tahu makanan mana yang membawa berkah." [HR. Muslim
no. 3795].
Itu
semua tidak berlaku pada bangkai kambing yang cacat dan membusuk.
HADITS KE 4 :
Hadits:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِيَّاكُمْ وَحُبَّ الدُّنْيَا،
فَإِنَّهَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَبَابُ كُلِّ بَلِيَّةٍ، وَقِرَانُ كُلِّ فِتْنَةٍ،
وَدَاعِي كُلِّ رَزِيَّةٍ
“Wahai manusia, jauhilah kecintaan kepada dunia, karena ia
adalah pangkal segala kesalahan, pintu segala bencana, penyebab segala fitnah,
dan pengantar segala musibah”.
[Disebutkan
dari perkatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu oleh
asy-Syeikh Ali an-Namaazy asy-Syahrowardy pakar hadits Syi’ah Iran dalam
kitab-nya “Maustadrok Safinatul Bihar 3/364].
Ibnu
Abi ad-Dunya dalam kitab az-Zuhud hal. 212 no. 497 dan kitab Dzamm ad-Dunya
hal. 170 no. 416 meriwayatkan dengan sanadnya:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ، نا هُرَيْمُ بْنُ
عُثْمَانَ، عَنْ سَلَّامِ بْنِ مِسْكِينٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ، قَالَ: «حُبُّ
الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَالنِّسَاءُ حِبَالَةُ الشَّيْطَانِ، وَالْخَمْرُ
دَاعِيَةُ كُلِّ شَرٍّ»
Muhammad bin Idris telah menceritakan
kepadaku, telah memberitakan kepada kami Huraim bin Utsman, dari Sallam bin
Miskin, dari Malik bin Dinar, ia berkata:
*"Cinta
dunia adalah pangkal segala kesalahan, wanita adalah jerat setan, dan khamar
adalah pangkal segala kejahatan."*
Dan
diriwayatkan pula dari jalur al-Hasan al-Bahsry secara mursal : bahwa
Rasulullah ﷺ
bersabda:
"حُبُّ الدُنْيا رَأسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ"
"Cinta dunia adalah pangkal segala
kesalahan."
Hadits
ini lemah, karena merupakan hadits mursal dari Al-Hasan Al-Bashri (seorang
tabi'in). Sebagian ulama bahkan menilainya sebagai hadits palsu, di antaranya
Ibnu Taimiyah, yang kemudian diikuti oleh Al-Albani dalam kitab *Al-Dha’ifah*.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam *Syu‘abul Iman* (7:338, no. 10501). Al-Hafidz
Ibnu Hajar memuji hadits-hadits mursal dari Al-Hasan dalam *Fathul Qadir*
(3:368, no. 3662) dan *Kasyful Khafa’* (1:412-413).
Namun,
hadits ini dinilai lemah oleh As-Suyuthi, dan pendapatnya diikuti oleh
Al-Albani dalam *Dha‘iful Jami‘ Ash-Shaghir* (3:90, hadits no. 268).
Imam
Ahmad bin Hanbal dalam kitab *Az-Zuhd* menisbatkan perkataan ini kepada Isa
‘alayhis-salam.
Ibnu
Razin juga meriwayatkannya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam
*Jami‘ul Ushul* (4:506, hadits no. 2602).
Shiddiq
Hasan Khan dalam *Husn al-Uswah* dan Al-Tibrizi dalam *Al-Mishkat* menyebutkan
bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ruzain dari Hudzaifah.
Al-Ajluni
dalam *Kasyf al-Khafa’* 1/398 (Tahqiq Handaawi) menyebutkan :
حَدِيثُ حُبِّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ رَوَاهُ
الْبَيْهَقِيُّ فِي الشُّعَبِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ إِلَى الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ رَفَعَهُ
مُرْسَلًا، وَذَكَرَهُ الدَّيْلَمِيُّ فِي الْفِرْدَوْسِ وَتَبِعَهُ وَلَدُهُ بِلا
سَنَدٍ عَنْ عَلِيٍّ رَفَعَهُ، وَقَالَ ابْنُ الْغَرَسِ الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ، وَرَوَاهُ
الْبَيْهَقِيُّ أَيْضًا فِي الزُّهْدِ، وَأَبُو نُعَيْمٍ مِنْ قَوْلِ عِيسَى ابْنِ
مَرْيَمَ.
وَلِأَحْمَدَ فِي الزُّهْدِ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: كَانَ
عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَقُولُ: حُبُّ الدُّنْيَا أَصْلُ كُلِّ خَطِيئَةٍ وَالْمَالُ
فِيهِ دَاءٌ كَثِيرٌ، قَالُوا: وَمَا دَاؤُهُ؟ قَالَ: لَا يَسْلَمُ صَاحِبُهُ مِنَ
الْفَخْرِ وَالْخُيَلَاءِ، قَالُوا: فَإِنْ سَلِمَ، قَالَ: شَغَلَهُ إِصْلَاحُهُ عَنْ
ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى.
وَعِنْدَ ابْنِ أَبِي الدُّنْيَا فِي مَكَائِدِ الشَّيْطَانِ
لَهُ أَنَّهُ مِنْ قَوْلِ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ. وَجَزَمَ ابْنُ تَيْمِيَةَ بِأَنَّهُ
مِنْ قَوْلِ جُنْدُبٍ الْبَجَلِيِّ، قَالَ فِي الْمَقَاصِدِ: وَبِالْأَوَّلِ يُرَدُّ
عَلَيْهِ وَعَلَى غَيْرِهِ مِمَّنْ صَرَّحَ بِالْحُكْمِ عَلَيْهِ بِالْوَضْعِ أَيْ
كَالصَّغَانِيِّ لِقَوْلِ ابْنِ الْمَدِينِيِّ: مُرْسَلَاتُ الْحَسَنِ إِذَا رَوَاهَا
عَنْهُ الثِّقَاتُ صِحَاحٌ، مَا أَقَلَّ مَا يَسْقُطُ مِنْهَا.
وَقَالَ أَبُو زُرْعَةَ: كُلُّ شَيْءٍ يَقُولُ الْحَسَنُ
فِيهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَجَدْتُ لَهُ أَصْلًا
ثَابِتًا، مَا خَلَا أَرْبَعَةَ أَحَادِيثَ، وَلَيْتَهُ ذَكَرَهَا".
bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam *Syu‘ab al-Iman* dengan sanad
hasan sampai kepada Al-Hasan Al-Bashri yang meriwayatkannya secara mursal.
Ad-Dailami juga mencantumkannya dalam *Al-Firdaws*, dan anaknya mengikutinya
tanpa sanad dari Ali. Ibnu Al-Gharas menilai hadits ini sebagai hadits
lemah.
Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam *Az-Zuhd* dan oleh Abu Nu‘aim dari
perkataan Isa bin Maryam. Ahmad dalam *Az-Zuhd* meriwayatkan dari Sufyan bahwa
Isa bin Maryam berkata: *"Cinta dunia adalah akar segala kesalahan, dan
harta mengandung banyak penyakit."* Lalu ditanyakan kepadanya: *"Apa
penyakitnya?"* Ia menjawab: *"Pemiliknya tidak akan selamat dari
kesombongan dan keangkuhan."* Lalu ditanyakan lagi: *"Jika ia selamat
dari itu?"* Ia menjawab: *"Kesibukannya dalam mengurus harta akan
melalaikannya dari mengingat Allah Ta’ala."*
Ibnu
Abi Dunya dalam *Makā’id Asy-Syaithan* menyebutkan bahwa perkataan ini
berasal dari Malik bin Dinar.
Ibnu
Taimiyah menegaskan bahwa ungkapan ini sebenarnya berasal dari Jundub
Al-Bajali.
Dalam
*Al-Maqāṣid*,
disebutkan bahwa pendapat pertama membantah anggapan bahwa hadits ini adalah
palsu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ash-Shaghani. Hal ini karena menurut
Ibnu Al-Madini, hadits-hadits mursal dari Al-Hasan Al-Bashri yang diriwayatkan
oleh perawi tepercaya tergolong sahih. Abu Zur‘ah berkata: "Setiap hadits
yang Al-Hasan (Al-Bashri) katakan di dalamnya: ‘Rasulullah ﷺ
bersabda,’ aku mendapati hadits itu memiliki asal yang kuat, kecuali empat
hadits." Andai saja ia menyebutkan hadits-hadits tersebut”.
Lalu al-Ajluni berkata :
وَقَالَ فِي الدُّرَرِ: قَدْ عُدَّ الْحَدِيثُ فِي الْمَوْضُوعَاتِ،
وَتَعَقَّبَهُ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ حَجَرٍ بِأَنَّهُ أَثْنَى عَلَى مُرَاسِيلِ
الْحَسَنِ، انْتَهَى.
لَكِنْ فِي اللَّآلِئ لِلْحَافِظِ الْمَذْكُورِ: مُرَاسِيلُ
الْحَسَنِ عِنْدَهُمْ تُشْبِهُ الرِّيحَ انْتَهَى.
وَقَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ: فِي مُرَاسِيلِهِ ضَعْفٌ،
وَلِلدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ: "أَعْظَمُ الْآفَاتِ تُصِيبُ
أُمَّتِي حُبَّهُمُ الدُّنْيَا، وَجَمْعُهُمُ الدَّنَانِيرَ وَالدَّرَاهِمَ، لَا خَيْرَ
فِي كَثِيرٍ مِمَّنْ جَمَعَهَا إِلَّا مَنْ سَلَّطَهُ اللَّهُ عَلَى هَلَكِهَا فِي
الْحَقِّ"
وَفِي تَارِيخِ ابْنِ عَسَاكِرَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْعُودٍ
الصَّدَفِيِّ التَّابِعِيِّ بِلَفْظِ: حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ الْخَطَايَا
Dalam
Ad-Durar, disebutkan bahwa hadits ini termasuk dalam kategori hadits palsu.
Namun, pernyataan ini dikoreksi oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar yang memuji
hadits-hadits mursal dari Al-Hasan.
Namun,
dalam Al-La’ali karya Al-Hafidz yang disebutkan sebelumnya, dikatakan:
"Hadits-hadits mursal dari Al-Hasan di sisi mereka seperti angin
berlalu."
Ad-Daraquthni
berkata: "Hadits-hadits mursalnya lemah."
Ad-Dailami
meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu‘: "Bencana terbesar yang
menimpa umatku adalah kecintaan mereka terhadap dunia serta kesibukan mereka
dalam mengumpulkan dinar dan dirham. Tidak ada kebaikan dalam banyak orang yang
mengumpulkannya, kecuali bagi mereka yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk
menghabiskannya di jalan kebenaran."
Dalam
Tarikh Ibn Asakir, dari Sa‘id bin Mas‘ud As-Shadfi, seorang tabi‘in, disebutkan
dengan lafaz: "Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan."
[Selesai]
0 Komentar