Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

CARA MENSUCIKAN NAJIS PADA UJUNG PAKAIAN YANG TERSERET DAN PADA BAWAH SANDAL

CARA MENSUCIKAN NAJIS PADA UJUNG PAKAIAN YANG TERSERET DAN JUGA PADA SANDAL

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

---


===

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

====***====

HADITS-HADITS YANG TERKAIT DENGAN PEMBAHASAN INI

Hadist pertama :

“Dari budak wanita [Ummu Walad] milik Ibrahiim bin Abdurrahman bin Auf ia berkata;

قُلْتُ لِأُمِّ سَلَمَةَ إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي وَأَمْشِي فِي الْمَكَانِ الْقَذِرِ فَقَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ

"Aku pernah berkata kepada Ummu Salamah : "Sesungguhnya aku ini adalah seorang wanita yang kainnya panjang, dan aku berjalan di tempat yang kotor?"

Maka ia berkata ; "Rasulullah  pernah bersabda:

"Kain tsb akan tersucikan oleh tanah setelahnya."

[HR. Al-Tirmidzi (143), Abu Dawud (383) dan Ibn Majah (531) . Dan hadits tersebut di Shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Abi Daud no. 383 .

Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi seperti imam Malik dalam Al-Muwaththa', imam Syafi'i dalam Musnadnya, imam Ahmad Musnadnya, serta Baihaqi,

Hadits ke dua :

Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu: Bahwa Rosulullah  bersabda :

"إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا".

‘Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid maka perhatikanlah kedua sandalnya, jika ia melihat ada Najis atau kotoran maka usapkanlah (ke tanah) lalu shalatlah dengan keduanya‘”

(HR. Abu Daud no. 650, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

===***===

ADA DUA PENDAPAT
TENTANG CARA MENSUCIKAN UJUNG KAIN YANG TERSERET DAN SANDAL YANG TERKENA NAJIS

****

PENDAPAT PERTAMA :

Mayoritas para ulama berpendapat bahwa jika ada najis pada pakaian atau sandal, maka hal itu tidak akan bisa mensucikannya kecuali dengan membersihkannya dengan air.

****

PENDAPAT KEDUA :

Berbeda dengan madzhab Hanafi, mereka berpendapat bahwa apa saja yang bisa menghilangkan najis tsb maka sudah cukup untuk itu. Dan Syeikhul-Islam Ibnu Taimiyah sependapat dengan mereka. Dan juga ini adalal pendapat sejumlah para ulama peneliti dari kalangan para ulama kontemporer kita sekarang .

Imam Zurqani berkata :

وَذَهَبَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ إِلَى حَمْلِ الْقَذِرِ فِي الْحَدِيثِ عَلَى النَّجَاسَةِ وَلَوْ رَطْبَةٌ وَقَالُوا: يُطَهَّرُ بِالْأَرْضِ الْيَابِسَةِ

"Sebagian ulama' ada yang menyatakan bahwa kotoran dalam hadis tersebut adalah najis meski basah dan najis tersebut bisa disucikan dengan tanah yang kering"

[ Baca : Sharh Al-Zarqani di Al-Muwatta, 1/139 karya Al-Zarqani, Muhammad bin Abdul-Baqi ]

===

PERNYATAAN PARA ULAMA YANG MENGHARUSKAN PAKAI AIR :

Al-Zurqani berkata pula :

قَالَ مَالِكٌ: مَعْنَاهُ فِي الْقَشْبِ الْيَابِسِ وَالْقَذِرِ الْجَافِّ الَّذِي لَا يَلْصَقُ مِنْهُ بِالثَّوْبِ شَيْءٌ وَإِنَّمَا يَعْلَقُ بِهِ فَيَزُولُ الْمُتَعَلِّقُ بِمَا بَعْدَهُ، لَا أَنَّ النَّجَاسَةَ يُطَهِّرُهَا غَيْرُ الْمَاءِ. اهـ. وَعَنْ مَالِكٍ أَيْضًا إِنَّمَا هُوَ أَنْ يَطَأَ الْأَرْضَ الْقَذِرَةَ ثُمَّ يَطَأَ الْيَابِسَةَ النَّظِيفَةَ فَإِنَّ بَعْضَهَا يُطَهِّرُ بَعْضًا. وَأَمَّا النَّجَاسَةُ مِثْلُ الْبَوْلِ وَنَحْوِهِ يُصِيبُ الثَّوْبَ أَوْ بَعْضَ الْجَسَدِ فَلَا يُطَهِّرُهُ إِلَّا الْغَسْلُ، قَالَ: وَهَذَا إِجْمَاعُ الْأُمَّةِ.

“Imam Malik berkata : makna hadis tersebut untuk kotoran kering yang tidak menempel di pakaian sama sekali hanya sekedar nyangkut saja. Dengan demikian kotoran yang nyangkut tersebut akan hilang dengan tanah yang ada setelahnya. Hadis tersebut tidak berarti najis bisa dihilangkan dengan selain air.

Dalam Riwayat yang lain imam Malik juga menyampaikan bahwa hadis tersebut untuk seseorang yang menginjak kotoran yang ada di tanah kemudian setelahnya menginjak tanah kering yang bersih, maka yang kedua mensucikan sebelumnya.

Sedangkan untuk najis seperti kencing dan lainnya yang terkena pakaian atau sebagian anggota tubuh, maka tidak bisa disucikan kecuali dengan dibasuh dengan air. Hal ini adalah ijma’ umat Islam.”

Imam Syafi’i berkata :

هَذَا إِنَّمَا هُوَ فِيمَا جُرَّ عَلَى مَا كَانَ يَابِسًا لَا يَعْلَقُ بِالثَّوْبِ مِنْهُ شَيْءٌ، فَأَمَّا إِذَا جُرَّ عَلَى رَطْبٍ فَلَا يَطْهُرُ إِلَّا بِالْغَسْلِ،

"Hadis tersebut untuk seuatu yang kering yang tidak nyangkut sama sekali pada pakaian. Jika basah, maka tidak bisa disucikan kecuali dengan dibasuh dengan air.

Imam Ahmad berkata :

لَيْسَ مَعْنَاهُ إِذَا أَصَابَهُ بَوْلٌ ثُمَّ مَرَّ بَعْدَهُ عَلَى الْأَرْضِ أَنَّهَا تُطَهِّرُهُ وَلَكِنَّهُ يَمُرُّ بِالْمَكَانِ فَيُقَذِّرُهُ ثُمَّ يَمُرُّ بِمَكَانٍ أَطْيَبَ مِنْهُ فَيَكُونُ هَذَا بِذَاكَ لَا عَلَى أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ مِنْهُ شَيْءٌ.

Hadis tersebut tidak berarti ketika seseorang terkena kencing kemudian setelah itu lewat di atas tanah, maka tanah tersebut bisa mensucikannya. Sebaliknya arti dari hadis tersebut adalah Ketika seseorang lewat di satu tempat kemudian kotor oleh tempat tersebut kemudian lewat di tempat lain yang lebih bersih, maka tempat yang lebih bersih tersebut menjadi pembersih dari sebelumnya. Jadi hadis tersebut tidak untuk yang terkena kencing"

[ Baca : Sharh Al-Zarqani di Al-Muwatta, 1/139 karya Al-Zarqani, Muhammad bin Abdul-Baqi ]

Berdasarkan penjelasan di atas menurut mayoritas ulama', hadis tersebut hanya berlaku untuk kotoran bukan najis atau najis yang sudah kering yang tidak menempel pada pakaian.

Sedangkan untuk najis yang menempel, maka tidak bisa disucikan kecuali dibasuh dengan air. Bahkan menurut imam Malik hal ini adalah ijma' ummat Islam...

===

PENJELASAN IBNU TAIMIYAH YANG TIDAK MENGHARUSKAN PAKAI AIR

Syekh al-Islam Ibnu Taymiyyah, semoga Allah merahmatinya, berkata:

والسُّنَّةُ قَدْ جَاءَتْ بِالْأَمْرِ بِالْمَاءِ فِي قَوْلِهِ لِأَسْمَاءَ : (حُتِّيهِ ثُمَّ اُقْرُصِيهِ ثُمَّ اغْسِلِيهِ بِالْمَاءِ) - رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ - وَقَوْلِهِ فِي آنِيَةِ الْمَجُوسِ : (ارْحَضُوهَا ثُمَّ اغْسِلُوهَا بِالْمَاءِ) – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَأَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ ، وَمَعْنَى "ارْحَضُوهَا" : اغْسِلُوهَا ، وَهُوَ فِي آنِيَةِ أَهْلِ الْكِتَابِ ، لَا الْمَجُوسِ - وَقَوْلُهُ فِي حَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ الَّذِي بَالَ فِي الْمَسْجِدِ : (صُبُّوا عَلَى بَوْلِهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ) - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ –

فَأَمَرَ بِالْإِزَالَةِ بِالْمَاءِ فِي قَضَايَا مُعَيَّنَةٍ ، وَلَمْ يَأْمُرْ أَمْرًا عَامًّا بِأَنْ تُزَالَ كُلُّ نَجَاسَةٍ بِالْمَاءِ .

وَقَدْ أَذِنَ فِي إِزَالَتِهَا بِغَيْرِ الْمَاءِ فِي مَوَاضِعَ :

مِنْهَا : الِاسْتِجْمَارُ بِالْحِجَارَةِ .

وَمِنْهَا : قَوْلُهُ فِي النَّعْلَيْنِ : (ثُمَّ لِيُدَلِّكَهُمَا بِالتُّرَابِ فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُمَا طَهُورٌ) – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ الْأَلْبَانِيُّ .

وَمِنْهَا : قَوْلُهُ فِي الذَّيْلِ : (يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ) .

وَمِنْهَا : "أَنَّ الْكِلَابَ كَانَتْ تَقْبَلُ وَتُدْبِرُ وَتَبُولُ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لَمْ يَكُونُوا يَغْسِلُونَ ذَلِكَ" رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ .

وَمِنْهَا : قَوْلُهُ فِي الْهِرِّ : (إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ) – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَأَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ - مَعَ أَنَّ الْهِرَّ فِي الْعَادَةِ يَأْكُلُ الْفَأْرَ وَلَمْ يَكُنْ هُنَاكَ قَنَاةٌ تَرِدُ عَلَيْهَا تُطَهِّرُ بِهَا أَفْوَاهَهَا بِالْمَاءِ بَلْ طَهُورُهَا رِيقُهَا .

وَمِنْهَا : أَنَّ الْخَمْرَ الْمُنْقَلِبَةَ بِنَفْسِهَا تَطْهُرُ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ .

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ : فَالرَّاجِحُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ : أَنَّ النَّجَاسَةَ مَتَى زَالَتْ بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَ : زَالَ حُكْمُهَا ؛ فَإِنَّ الْحُكْمَ إِذَا ثَبَتَ بِعِلَّةٍ : زَالَ بِزَوَالِهَا ، لَكِنْ لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُ الْأَطْعِمَةِ وَالْأَشْرِبَةِ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ ؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ فَسَادِ الْأَمْوَالِ ، كَمَا لَا يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِهَا .

وَالَّذِينَ قَالُوا : "لَا تَزُولُ إِلَّا بِالْمَاءِ" مِنْهُمْ مَنْ قَالَ : "إِنَّ هَذَا تَعَبُّدٌ" ، وَلَيْسَ الْأَمْرُ كَذَلِكَ ، فَإِنَّ صَاحِبَ الشَّرْعِ أَمَرَ بِالْمَاءِ فِي قَضَايَا مُعَيَّنَةٍ لِتَعَيُّنِهِ لِأَنَّ إِزَالَتَهَا بِالْأَشْرِبَةِ الَّتِي يَنْتَفِعُ بِهَا الْمُسْلِمُونَ إِفْسَادٌ لَهَا وَإِزَالَتُهَا بِالْجَامِدَاتِ كَانَتْ مُتَعَذِّرَةً كَغَسْلِ الثَّوْبِ وَالْإِنَاءِ وَالْأَرْضِ بِالْمَاءِ ، فَإِنَّهُ مِنَ الْمَعْلُومِ أَنَّهُ لَوْ كَانَ عِنْدَهُمْ مَاءُ وَرْدٍ وَخَلٌّ وَغَيْرُ ذَلِكَ : لَمْ يَأْمُرْهُمْ بِإِفْسَادِهِ ، فَكَيْفَ إِذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ .

وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ : إِنَّ الْمَاءَ لَهُ مِنَ اللُّطْفِ مَا لَيْسَ لِغَيْرِهِ مِنَ الْمَائِعَاتِ فَلَا يُلْحَقُ غَيْرُهُ بِهِ" ، وَلَيْسَ الْأَمْرُ كَذَلِكَ ، بَلِ الْخَلُّ وَمَاءُ الْوَرْدِ وَغَيْرُهُمَا يُزِيلَانِ مَا فِي الْآنِيَةِ مِنَ النَّجَاسَةِ كَالْمَاءِ وَأَبْلَغُ" انْتَهَى . [مجموع الفتاوى (21/474-476].

" Dan sunnah Nabi  telah datang dengan perintah mensucikan dengan air dalam sabdanya kepada Asma:

(حُتِّيهِ ثُمَّ اُقْرُصِيهِ ثُمَّ اغْسِلِيهِ بِالْمَاءِ )

“Gosoklah ia kemudian keriklah kemudian cucilah pakai air ” [ HR. Bukhori dan Muslim ]

Dan Sabdanya tentang bejana orang Majusi:

(ارْحَضُوهَا ثُمَّ اغْسِلُوهَا بِالْمَاءِ)

(Cuci bersihlah, lalu bilaslah dengan air.)  

Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah dengan sanad yang shahih.

Dan makna “ارْحَضُوهَا” adalah: basuhlah itu dengan air, dan ini berkaitan dengan bejana milik Ahli Kitab, bukan Majusi — dan sabdanya dalam hadis orang Badui yang kencing di masjid:

(صُبُّوا عَلَى بَوْلِهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ)

“Kalian tuangkanlah pada kencingnya satu ember air” (Muttafaq ‘alaih).

Maka beliau memerintahkan menghilangkan (najis) dengan air pada keadaan tertentu, dan tidak memerintahkan secara umum agar setiap najis dihilangkan dengan air.

Beliau ﷺ juga membolehkan menghilangkannya dengan selain air pada beberapa kondisi:

Di antaranya: bersuci dengan batu.

Di antaranya: sabdanya tentang kedua sandal:

( ثُمَّ لِيُدَلِّكَهُمَا بِالتُّرَابِ فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُمَا طَهُور)

“Kemudian hendaklah ia menggosok keduanya dengan tanah, karena tanah itu adalah penyuci bagi keduanya.”

(Diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani. Pen).

Di antaranya: sabdanya tentang ujung pakaian:

(يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ)

“Benda setelahnya yang menyentuhnya akan menyucikannya.”

Di antaranya:

"أَنَّ الْكِلَابَ كَانَتْ تَقْبَلُ وَتُدْبِرُ وَتَبُولُ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لَمْ يَكُونُوا يَغْسِلُونَ ذَلِكَ"

“Anjing-anjing dahulu datang dan pergi serta kencing di masjid Rasulullah kemudian mereka tidak mencuci (bekasnya).” (Diriwayatkan oleh Bukhari).

Di antaranya: sabdanya tentang kucing:

(إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ)

“Sesungguhnya ia termasuk hewan yang sering berkeliling di sekitarmu.”

(Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan sanad sahih) — padahal kucing biasanya memakan tikus dan tidak ada saluran air yang bisa dipakai untuk membersihkan mulutnya dengan air, tetapi yang menyucikannya adalah air liurnya.

Di antaranya: khamr yang berubah dengan sendirinya menjadi suci dengan kesepakatan kaum muslimin.

Jika demikian: pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah: najis apabila hilang dengan cara apa pun maka hukumnya pun hilang; karena jika hukum itu ditetapkan dengan sebab tertentu maka ia hilang dengan hilangnya sebab, tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk menghilangkan najis tanpa ada kebutuhan, karena hal itu merusak harta, sebagaimana tidak boleh bersuci dengannya.

Adapun mereka yang berkata: “Tidak hilang kecuali dengan air” — sebagian dari mereka berkata: “Ini adalah ibadah (ta‘abbud),” padahal tidak demikian, karena syariat memerintahkan dengan air pada keadaan tertentu karena air memang dibutuhkan dan menggunakan minuman yang bermanfaat bagi kaum muslimin berarti merusaknya, dan membersihkan dengan benda padat pun tidak memungkinkan seperti mencuci pakaian, bejana, dan tanah dengan air; maka diketahui bahwa jika mereka memiliki air mawar, cuka, atau yang semisalnya, tentu tidak diperintahkan untuk merusaknya, apalagi jika mereka tidak memilikinya.

Sebagian dari mereka berkata: “Air memiliki kelembutan yang tidak dimiliki cairan lain, maka tidak disamakan dengan selainnya,” padahal tidak demikian, bahkan cuka, air mawar, dan yang lainnya juga dapat menghilangkan najis pada bejana sebagaimana air, bahkan lebih. (Selesai). (Baca : Majmu‘ Al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah 21/474–476).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa wanita yang ujung pakaiannya terkena najis, kemudian ia melewati tanah atau aspal atau jalan atau lantai sehingga hilang wujud najis itu tanpa ada bekasnya, maka pakaiannya bisa menjadi suci karenanya, dan tidak harus air untuk menghilangkan najis tersebut dengan air. Wallahu 'alam

 

Posting Komentar

0 Komentar