HUKUM BACA DZIKIR DAN DOA DALAM SHALAT YANG TIDAK MA’TSUR DARI NABI ﷺ:
---
Di susun oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
---
---
DAFTAR ISI :
- BATASAN MASALAH
- PERTAMA: MASALAH YANG DISEPAKATI :
- KEDUA : MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN :
- PENJELASAN SEDIKIT LEBIH JELAS TENTANG MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN :
- KUTIPAN PERNYATAAN PARA ULAMA YANG MEMBOLEHKAN:
- DALIL-DALIL YANG
MEMBOLEHKAN BACA DOA DALAM SHOLAT YANG TIDAK MA’TSUR DARI NABI ﷺ.
- HUKUM BACA AL-QUR’AN SAAT RUKU’ DAN SUJUD DALAM SHALAT.
****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
===***===
BATASAN MASALAH
PERTAMA: MASALAH YANG DISEPAKATI :
KEDUA : MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN :
*****
PERTAMA: MASALAH YANG DISEPAKATI :
KE 1
: Hukum asal dan yang paling utama adalah berpegang pada lafadz-lafadz doa yang
berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah dalam shalat, apabila orang yang shalat
memahami maknanya dan hatinya hadir ketika berdoa dengannya.
Doa-doa
yang ma’tsur lebih sempurna dan lebih bermanfaat, dan sungguh Nabi ﷺ telah diberi jawami‘ul kalim (ungkapan
singkat yang padat makna), maka doa-doa itu lebih penuh berkah.
Seorang
mukmin seharusnya memperhatikan doa-doa tersebut, menghafalnya, memahaminya,
dan membiasakan diri dengan mengulang-ulanginya.
KE 2 : Segala doa yang tidak boleh diucapkan di luar shalat,
maka tidak boleh pula diucapkan di dalam shalat.
KEDUA : MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN :
Para
fuqaha dan ulama berbeda pendapat mengenai hukum berdzikir dan berdoa dengan lafadz
yang tidak ma’tsur dalam shalat.
Pendapat pertama: Mayoritas fuqaha dan ulama dari kalangan Madzhab Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa boleh berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur dari Nabi ﷺ dalam shalat.
Dan ini adalah pendapat yang rajih (lebih kuat).
Pendapat kedua: Kalangan Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa tidak boleh
berdoa dengan selain yang ma’tsur dalam shalat, dan shalat batal jika berdoa
dengan doa yang menyerupai ucapan manusia biasa.
Catatan penting menurut Madzhab Hanafi: Tolok ukur doa yang dilarang dalam shalat adalah bahwa doa tersebut tidak berasal dari Al-Qur’an, tidak dari Sunnah, dan kandungan do'anya kepada Allah bukan hal mustahil diminta dari sesama manusia.
Maka seseorang boleh berdoa kepada Allah dengan doa apa pun yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun jika tidak berasal dari keduanya, maka jika doa yang ditujukan kepada Allah itu berisi hal yang mustahil diminta dari sesama manusia—seperti memohon rezeki, keberkahan dalam harta dan anak, dan semacamnya yang hanya diminta kepada Allah semata—maka shalat tidak batal karenanya.
Namun jika isi doanya itu tidak mustahil
diminta dari manusia, seperti berdoa: “Ya Allah, beri aku apel,” atau “Nikahkan
aku dengan si fulanah,” maka hal itu membatalkan shalat.
Malikiyah berpendapat: Shalat tidak batal dengan doa-doa yang berkaitan
dengan kebaikan dunia dan akhirat secara mutlak. Maka seseorang boleh berdoa
dengan doa yang tidak mustahil diminta dari sesama manusia, seperti berdoa: “Ya
Allah, beri aku apel,” dan semacamnya.
Referensi:
1]
*Al-Istidzkar* (2/540, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah) dan *At-Tamhid* (16/199,
Mu’assasat Al-Qurthubah)
2]
*Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa’* (1/361, Mathba‘at As-Sa‘adah)
3]
Ahmad Zarruq Al-Maliki dalam *Qawa‘id-nya* (hal. 75, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah)
4]
Abu Al-Barakat Ad-Dardir dalam *Asy-Syarh Al-Kabir* (1/251, Dar Al-Fikr)
5]
Imam An-Nawawi dalam *Al-Adzkar* (hal. 67, Dar Al-Fikr)
6]
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam *Fath Al-Bari* (2/287, Dar Al-Ma‘rifah)
7]
Al-‘Allamah Asy-Syaukani dalam *Tuhfat Adz-Dzakirin Bi ‘Uddat Al-Hisn Al-Hasin*
(hal. 174, Dar Al-Qalam)
8]
Imam An-Nawawi dalam *Al-Majmu‘*, ketika membahas lafadz doa qunut (3/497, Dar
Al-Fikr)
9]
*Al-Mughni* (1/393–394, Maktabah Al-Qahirah)
===
Syeikh
Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Islam Sual wa Jawab: nomor 324924 berkata:
لَا حَرَجَ فِي الدُّعَاءِ
بِغَيْرِ الْمَأْثُورِ، فِي الصَّلَاةِ وَخَارِجَهَا، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ
قَطِيعَةِ رَحِمٍ.
وَمَنَعَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ
الدُّعَاءَ فِي الصَّلَاةِ بِغَيْرِ الْمَأْثُورِ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَنَفِيَّةِ، وَمَنَعَ
آخَرُونَ الدُّعَاءَ بِمَلَاذِّ الدُّنْيَا، وَهُوَ قَوْلُ الْحَنَابِلَةِ.
وَالرَّاجِحُ جَوَازُ
الْأَمْرَيْنِ.
Tidak
mengapa berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur, baik di dalam maupun di luar
shalat, selama tidak berdoa dengan doa yang mengandung dosa atau memutus tali
silaturahmi.
Sebagian
fuqaha melarang berdoa dalam shalat dengan doa yang tidak ma’tsur, dan ini
adalah pendapat Hanafiyah. Sebagian yang lain melarang berdoa dengan permintaan
kelezatan duniawi, dan ini adalah pendapat Hanabilah.
Pendapat
yang lebih kuat adalah bolehnya kedua hal tersebut”.
Ia juga berkata:
إِنَّهُ لَا حَرَجَ
فِي الدُّعَاءِ بِغَيْرِ الْمَأْثُورِ فِي الصَّلَاةِ، وَلَا فِي قَوْلِ الْإِمَامِ
فِي دُعَاءِ الْقُنُوتِ: "يَا رَبَّ شَرُّنَا إِلَيْكَ صَاعِدٌ، وَخَيْرُكَ إِلَيْنَا
نَازِلٌ، فَلَا تُؤَاخِذْنَا"؛ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الدُّعَاءِ الْجَائِزِ؛
وَالْأَحْسَنُ – عَلَى كُلِّ حَالٍ – أَنْ يَدْعُوَ بِالدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ، لَا
سِيَّمَا الْمَأْثُورِ فِي مَوْضِعِهِ.
Tidak
mengapa berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur dalam shalat, dan tidak mengapa
pula seorang imam mengucapkan dalam doa qunut: "Ya Rabb, keburukan kami
naik kepada-Mu, dan kebaikan-Mu turun kepada kami, maka janganlah Engkau
menghukum kami;" karena itu termasuk bagian dari doa yang dibolehkan.
Namun yang lebih utama dalam segala hal adalah berdoa dengan doa yang ma’tsur,
terlebih lagi yang ma’tsur pada tempatnya.
Ibnu
Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata:
وَالصَّحِيحُ - الْمَنْصُوصُ
عَنْ أَحْمَدَ -: أَنَّهُ يَجُوزُ الدُّعَاءُ بِمَا يَعُودُ بِمَصْلَحَةِ الدِّينِ
بِكُلِّ حَالٍ، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ ...
وَاخْتَلَفُوا: هَلْ
يَجُوزُ الدُّعَاءُ فِي الصَّلَاةِ بِالْمَصَالِحِ الدُّنْيَوِيَّةِ خَاصَّةً؟
فَقَالَتْ طَائِفَةٌ:
يَجُوزُ، مِنْهُمْ: عُرْوَةُ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ، وَحُكِيَ رِوَايَةً عَنْ أَحْمَدَ،
وَاسْتَدَلُّوا بِعُمُومِ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ:
لَا يَجُوزُ ذَلِكَ، وَهُوَ الْمَشْهُورُ عَنْ أَحْمَدَ، وَاخْتَارَهُ أَبُو مُحَمَّدٍ
الْجُوَيْنِيُّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ. وَإِنَّمَا هَذَا فِيمَا لَمْ يَرِدِ النَّصُّ
بِمِثْلِهِ، كَالرِّزْقِ وَالْعَافِيَةِ وَالصِّحَّةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا وَرَدَ
الدُّعَاءُ بِهِ فِي الْأَخْبَارِ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا، فَإِنَّهُ يَجُوزُ الدُّعَاءُ
بِهِ فِي الصَّلَاةِ، وَإِنَّمَا الْمَمْنُوعُ طَلَبُ تَفَاصِيلِ حَوَائِجِ الدُّنْيَا؛
كَالطَّعَامِ الطَّيِّبِ وَالْجَارِيَةِ الْوَضِيئَةِ وَالثَّوْبِ الْحَسَنِ، وَنَحْوِ
ذَلِكَ، فَإِنَّ هَذَا عِنْدَهُمْ مِنْ جِنْسِ كَلَامِ الْآدَمِيِّينَ الَّذِي قَالَ
فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِنَّ صَلَاتَنَا هَذِهِ لَا يَصْلُحُ
فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ).
وَلَا فَرْقَ فِي اسْتِحْبَابِ
الدُّعَاءِ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ وَالْمُنْفَرِدِ، عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ.
Yang
shahih (benar) – dan yang dinyatakan oleh Ahmad – adalah bahwa boleh berdoa
dengan do’a apa saja yang kandungannya membawa maslahat bagi agama dalam segala
keadaan, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai: apakah boleh berdoa dalam salat untuk urusan
dunia semata?
Sebagian
ulama membolehkan, di antaranya: 'Urwah, Malik, Asy-Syafi'i, dan diriwayatkan
sebagai salah satu pendapat dari Ahmad. Mereka berdalil dengan keumuman hadis
Ibnu Mas'ud.
Sebagian
ulama lain melarang hal tersebut, dan ini adalah pendapat yang masyhur dari
Imam Ahmad, serta dipilih oleh Abu Muhammad Al-Juwaini dari kalangan ulama
Syafi’iyyah. Namun, larangan ini hanya berlaku pada perkara yang tidak terdapat
nash (teks syariat) yang serupa dengannya, seperti permintaan rezeki,
keselamatan, kesehatan, dan semacamnya, yang telah disebutkan dalam berbagai
riwayat baik dalam salat maupun di luar salat. Maka, hal-hal tersebut boleh
didoakan dalam salat. Yang dilarang adalah permintaan rinci tentang kebutuhan
duniawi, seperti makanan yang enak, budak perempuan yang cantik, pakaian yang
bagus, dan semacamnya. Sebab, menurut mereka, ini tergolong sebagai jenis
ucapan manusia yang dilarang dalam salat, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya salat ini tidak layak
di dalamnya terdapat ucapan manusia."
Dan
tidak ada perbedaan dalam kesunnahan berdoa antara imam, makmum, maupun orang
yang salat sendirian, menurut mayoritas ulama. (Selesai dari "Fath
al-Bari" karya Ibnu Rajab, 7/344)
Syaikh
Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata:
"كَذَلِكَ فِي أَثْنَاءِ
الصَّلَاةِ فِي السُّجُودِ دُعَاءٌ، وَأَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ
وَهُوَ سَاجِدٌ، كَمَا ثَبَتَ ذَلِكَ عَنِ الرَّسُولِ ﷺ ... فَٱسْتَغِلَّ هَذِهِ ٱلْفُرْصَةَ
وَأَكْثِرْ مِنَ ٱلدُّعَاءِ مِنْ خَيْرَيِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِ، فَلَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ
فِي دُعَائِهِ: ٱللَّهُمَّ ٱرْزُقْنِي سَيَّارَةً جَمِيلَةً، فَهَذَا يَصْلُحُ،
لِأَنَّ ٱلرَّسُولَ ﷺ قَالَ: لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَتَّى شِرَاكَ نَعْلِهِ،
ثُمَّ إِنَّ ٱلدُّعَاءَ عِبَادَةٌ، فَإِذَا دَعَوْتَ ٱللَّهَ بِأَيِّ غَرَضٍ، لَوْ
قَالَ ٱلطَّالِبُ وَهُوَ فِي أَيَّامِ ٱلِٱمْتِحَانِ: ٱللَّهُمَّ ٱرْزُقْنِي نَجَاحًا
إِلَى دَرَجَةِ ٱلْمُمْتَازِ، فَهَذَا يَصْلُحُ، لِأَنَّهُ دُعَاءٌ لِلَّهِ، تُخَاطِبُ
ٱللَّهَ، وَٱلْمَمْنُوعُ مُخَاطَبَةُ ٱلْآدَمِيِّينَ، لَكِنْ مُخَاطَبَةُ ٱللَّهِ بِٱلدُّعَاءِ
لَيْسَتْ مَمْنُوعَةً.
وَهُنَاكَ مَحَلُّ دُعَاءٍ
آخَرُ فِي ٱلصَّلَاةِ بَعْدَ ٱلتَّشَهُّدِ، كَمَا فِي حَدِيثِ ٱبْنِ مَسْعُودٍ حِينَ
ذَكَرَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ ٱلتَّشَهُّدَ، ثُمَّ قَالَ بَعْدَهُ: ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ
ٱلْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ، وَكَلِمَةُ "مَا شَاءَ" عِنْدَ عُلَمَاءِ ٱلْأُصُولِ
تُفِيدُ ٱلْعُمُومَ.
... فَقَوْلُ ٱلرَّسُولِ
ﷺ فِي حَدِيثِ ٱبْنِ مَسْعُودٍ: "ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ ٱلدُّعَاءِ مَا شَاءَ"،
يُفِيدُ أَيَّ دُعَاءٍ.
وَأَمَّا قَوْلُ بَعْضِ
ٱلْفُقَهَاءِ: إِنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ فِي دُعَائِهِ شَيْءٌ مِنْ مَلَاذِّ
ٱلدُّنْيَا: فَإِنَّهُ قَوْلٌ ضَعِيفٌ يُخَالِفُ ٱلْحَدِيثَ."
“Demikian
pula dalam salat, pada saat sujud terdapat doa, dan saat paling dekat seorang
hamba kepada Rabbnya adalah ketika dia sedang sujud, sebagaimana hal itu telah
ditegaskan oleh Rasulullah ﷺ… Maka
manfaatkanlah kesempatan ini dan perbanyaklah doa untuk kebaikan dunia dan
akhirat. Jika salah seorang di antara kalian dalam doanya berkata: ‘Ya
Allah, berilah aku mobil yang bagus’, maka ini diperbolehkan, karena
Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Hendaklah salah seorang di
antara kalian meminta kepada Rabbnya hingga tali sandal sekalipun’. Maka doa
itu adalah ibadah. Jika kamu berdoa kepada Allah dengan tujuan apa pun,
misalnya seorang pelajar di masa ujian berdoa: ‘Ya Allah, berilah aku
kesuksesan dengan nilai yang istimewa’, maka ini juga diperbolehkan, karena itu
adalah doa kepada Allah. Yang dilarang adalah berbicara dengan manusia, tetapi
berbicara kepada Allah dalam bentuk doa tidaklah dilarang.
Ada
pula tempat lain untuk berdoa dalam salat, yaitu setelah tasyahhud, sebagaimana
dalam hadis Ibnu Mas'ud ketika Nabi ﷺ
menyebutkan tasyahhud, lalu setelah itu bersabda: ‘Kemudian hendaklah dia
memilih dari permohonan apa yang dia kehendaki’. Kata ‘apa yang dia kehendaki’
menurut para ulama ushul menunjukkan makna umum.
… Maka sabda Rasulullah ﷺ dalam hadis Ibnu Mas'ud: ‘Kemudian
hendaklah dia memilih dari doa apa yang dia kehendaki’, menunjukkan bahwa doa
apa pun boleh dipanjatkan.
Adapun
pendapat sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa tidak boleh berdoa dengan
sesuatu dari kenikmatan dunia, maka itu adalah pendapat yang lemah dan
bertentangan dengan hadis.” (Selesai dari "Majmu' Fatawa Ibnu
'Utsaimin", 16/18)
Syaikh
Bin Baz rahimahullah berkata:
"وَٱلْأَحَادِيثُ
فِي هَذَا ٱلْمَعْنَى كَثِيرَةٌ، وَهِيَ تَدُلُّ عَلَى شَرْعِيَّةِ ٱلدُّعَاءِ فِي
هَذِهِ ٱلْمَوَاضِعِ بِمَا أَحَبَّهُ ٱلْمُسْلِمُ مِنَ ٱلدُّعَاءِ، سَوَاءٌ كَانَ يَتَعَلَّقُ
بِٱلْآخِرَةِ أَوْ يَتَعَلَّقُ بِمَصَالِحِهِ ٱلدُّنْيَوِيَّةِ، بِشَرْطِ أَلَّا يَكُونَ
فِي دُعَائِهِ إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، وَٱلْأَفْضَلُ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ ٱلدُّعَاءِ
ٱلْمَأْثُورِ عَنِ ٱلنَّبِيِّ ﷺ" ٱنْتَهَى.
“Hadis-hadis
dalam makna ini sangat banyak, dan menunjukkan disyariatkannya berdoa dalam
tempat-tempat tersebut (dalam salat), dengan doa apa pun yang disukai oleh
seorang muslim, baik berkaitan dengan akhirat maupun dengan urusan dunianya,
dengan syarat dalam doanya tidak mengandung dosa atau pemutusan tali
silaturahmi. Yang lebih utama adalah memperbanyak doa-doa yang ma’tsur dari
Nabi ﷺ.” (Selesai dari "Fatawa Syaikh Ibnu
Baz", 11/172)
Dan
Syeikh Bin Baaz juga berkata :
لَا بَأْسَ بِالدُّعَاءِ
بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ لِوَالِدَيْهِ وَغَيْرِهِمَا، وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ أَنْ يُكَرِّرَ
مَا وَرَدَ بِهِ النَّصُّ: رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي،
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَاجْبُرْنِي وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي.
هَكَذَا جَاءَ فِي الدُّعَاءِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، وَإِذَا دَعَا لِوَالِدَيْهِ
مَعَ ذَلِكَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِأَقَارِبِي الْمُسْلِمِينَ،
أَوْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلِلْمُسْلِمِينَ؛ فَلَا حَرَجَ، فَلَا نَعْلَمُ حَرَجًا؛
لِأَنَّهُ مَحَلُّ دُعَاءٍ، بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، مَحَلُّ دُعَاءٍ، وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ
الِاشْتِغَالُ بِالشَّيْءِ.
Artinya
:
Tidak
mengapa berdoa di antara dua sujud untuk kedua orang tuanya dan selain mereka,
namun yang lebih utama adalah mengulang-ulang doa yang telah disebutkan dalam
dalil:
رَبِّ اغْفِرْ لِي،
رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي
وَاجْبُرْنِي وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي
“Ya Tuhanku, ampunilah aku. Ya Tuhanku, ampunilah aku.
Ya Tuhanku, ampunilah aku. Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukilah
aku, cukupilah aku, berilah aku rezeki, dan sehatkanlah aku.”
Demikianlah
doa yang disebutkan untuk antara dua sujud.
Jika
ia berdoa untuk kedua orang tuanya juga bersamaan dengan itu, misalnya:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِأَقَارِبِي الْمُسْلِمِينَ
“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan para
kerabatku yang muslim,”
Atau
:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِي وَلِلْمُسْلِمِينَ
“Ya Allah, ampunilah aku dan kaum muslimin,”
Maka
hal itu tidak mengapa. Kami tidak mengetahui adanya larangan, karena tempat
antara dua sujud adalah tempat untuk berdoa.
Namun
yang lebih utama adalah membiasakan diri dengan doa yang telah disebutkan dalam
dalil.
[Sumber:
نُورٌ
عَلَى الدَّرْبِ/ حُكْمُ الدُّعَاءِ لِلْوَالِدَيْنِ وَغَيْرِهِمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ]
===***===
PENJELASAN SEDIKIT LEBIH JELAS TENTANG MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN :
Mazhab-mazhab
fikih yang diikuti sepakat -menurut pendapat yang dianggap kuat (الـمُعْتَمَدُ) di kalangan mereka- bahwa dalam shalat
tidak disyaratkan untuk berpegang pada lafadz-lafadz doa yang terdapat dalam
Al-Qur'an dan Sunnah, dan bahwa hal itu tidaklah wajib atau ditentukan secara
khusus, meskipun hal itu lebih utama jika lafadz yang dibaca sesuai dengan
kehadiran hati.
Mereka
juga sepakat bahwa diperbolehkan bagi orang yang shalat untuk berdzikir dan
berdoa dalam shalatnya dengan doa-doa yang tidak ma’tsur, selama sesuai dengan
doa yang ma’tsur dan tidak bertentangan dengannya.
Mereka
juga sepakat bahwa segala sesuatu yang tidak boleh dijadikan doa di luar
shalat, maka tidak boleh pula dijadikan doa di dalam shalat.
Namun
mereka berbeda pendapat mengenai tema doa:
Apakah
boleh berdoa dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan doa yang ma’tsur? Dan
apakah boleh berdoa dengan permintaan duniawi dan syahwat dunia yang tidak
dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah?
Mayoritas
ulama —dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah dalam salah satu
pendapat— berpendapat : bahwa diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berdoa
dalam shalatnya dengan permintaan apa pun, baik urusan dunia maupun akhirat.
Mereka sepakat bahwa doa yang ma’tsur dalam shalat lebih utama dibanding
selainnya, selama maknanya dipahami dan hati hadir saat membacanya.
Namun dalam madzhab Hanabilah -menurut pendapat yang
kuat (الـمُعْتَمَدُ) di kalangan mereka-: mengecualikan
doa dengan selain bentuk taqarrub (pendekatan diri kepada Allah), yaitu tidak
boleh doa yang berisi permintaan kenikmatan duniawi dan syahwat yang menyerupai
ucapan dan angan-angan manusia biasa.
Dalam
salah satu riwayat dari mereka, hal itu diperbolehkan, dan mereka membolehkan
selainnya meskipun tidak menyerupai yang ma’tsur.
Sedangkan Madzhab Hanafiyah : membatasi kebolehan doa hanya pada doa-doa yang sesuai dengan yang ma’tsur, dan tidak menyerupai ucapan manusia biasa; maka doa
seperti itu tidak boleh menurut mereka dan bisa membatalkan shalat.
Adapun
yang dimaksud dengan doa yang ma’tsur menurut mereka mencakup yang marfu’
maupun yang tidak marfu’ (yakni : dari atsar para sahabat).
===***===
KUTIPAN PERNYATAAN PARA ULAMA YANG MEMBOLEHKAN:
*****
PERTAMA : PERNYATAAN ULAMA MADZHAB HANAFI :
Imam
Al-Marghinani dari mazhab Hanafi berkata dalam *Al-Hidayah Syarh Al-Bidayah*
(hlm. 52, cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah):
(وَدَعَا بِمَا شَاءَ
مِمَّا يُشْبِهُ أَلْفَاظَ الْقُرْآنِ وَالْأَدْعِيَةِ الْمَأْثُورَةِ) لِمَا
رَوَيْنَا مِنْ حَدِيثِ «ابْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ لَهُ النَّبِيُّ
- عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - ثُمَّ اخْتَرْ مِنْ الدُّعَاءِ أَطْيَبَهُ وَأَعْجَبَهُ
إلَيْك»
وَيَبْدَأُ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ لِيَكُونَ أَقْرَبَ إِلَى الْإِجَابَةِ (وَلَا يَدْعُوَ بِمَا يُشْبِهُ كَلَامَ
النَّاسِ) تَحَرُّزًا عَنِ الْفَسَادِ، وَلِهَذَا يَأْتِي بِالْمَأْثُورِ الْمَحْفُوظِ.
وَمَا لَا يَسْتَحِيلُ سُؤَالُهُ مِنَ الْعِبَادِ كَقَوْلِهِ: "اللَّهُمَّ زَوِّجْنِي
فُلَانَةَ" يُشْبِهُ كَلَامَهُمْ، وَمَا يَسْتَحِيلُ كَقَوْلِهِ: "اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي" لَيْسَ مِنْ كَلَامِهِمْ.
Artinya
: *“(Dan berdoa dengan apa pun yang dia kehendaki selama menyerupai lafadz-lafadz
Al-Qur’an dan doa-doa yang ma’tsur), berdasarkan hadis yang kami riwayatkan
dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi ﷺ
bersabda kepadanya:
"ثُمَّ اخْتَرْ
مِنَ الدُّعَاءِ أَطْيَبَهُ وَأَعْجَبَهُ إِلَيْكَ"
(kemudian
pilihlah doa yang paling baik dan paling engkau sukai).
Dan
hendaknya memulai dengan shalawat kepada Nabi ﷺ
agar lebih dekat kepada dikabulkannya doa.
(Dan
tidak boleh berdoa dengan sesuatu yang menyerupai ucapan manusia) sebagai
bentuk kehati-hatian agar shalat tidak rusak, oleh karena itu ia sebaiknya membaca
doa-doa yang ma’tsur yang telah terjaga.
Dan
hal-hal yang secara akal mungkin diminta dari sesama manusia, seperti
ucapannya:
اللَّهُمَّ زَوِّجْنِي
فُلَانَةَ
‘Ya
Allah, nikahkan aku dengan si fulanah’
Ini
menyerupai ucapan mereka.
Sedangkan
sesuatu yang secara akal tidak mungkin diminta dari manusia, seperti ucapannya:
"اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي"
‘Ya
Allah, ampunilah aku,’ maka ini tidak termasuk ucapan sesama mereka.”*
****
KEDUA : PERNYATAAN ULAMA MADZHAB MALIKI :
KE 1 : Diriwayatkan
dalam *Al-Muwaṭṭaʼ* karya Imam Mālik rahimahullāh ta'ālā (1/299–300, cet.
Dār
al-Gharb):
قَالَ يَحْيَى: وَسُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الدُّعَاءِ فِي الصَّلَاةِ
الْمَكْتُوبَةِ؟ فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِالدُّعَاءِ فِيهَا.
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فَيَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ،
وَإِذَا أَرَدْتَ فِي النَّاسِ فِتْنَةً فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُونٍ».
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى هُدًى
إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنِ اتَّبَعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْئًا، وَمَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى ضَلَالَةٍ إِلَّا كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ أَوْزَارِهِمْ
لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا».
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: "اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ أَئِمَّةِ
الْمُتَّقِينَ".
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَقُومُ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ، فَيَقُولُ: "نَامَتِ
الْعُيُونُ، وَغَارَتِ النُّجُومُ، وَأَنْتَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ".
Yahya berkata: Mālik pernah
ditanya tentang doa dalam shalat fardhu, maka beliau menjawab: “Tidak mengapa
berdoa di dalamnya.”
Telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa sampai
kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ biasa berdoa
dengan berkata:
*"Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu perbuatan kebaikan, meninggalkan kemungkaran, mencintai orang-orang
miskin. Dan jika Engkau menghendaki terjadi fitnah di tengah manusia, maka
wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah."*
Dan telah menceritakan kepadaku dari
Mālik bahwa
sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
*"Tidak ada seorang yang
mengajak kepada petunjuk kecuali dia mendapatkan pahala seperti pahala
orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan
tidak ada seorang yang mengajak kepada kesesatan kecuali dia mendapatkan dosa
seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka
sedikit pun."*
Dan telah menceritakan kepadaku dari
Mālik bahwa
sampai kepadanya bahwa Abdullah bin Umar radhiyallāhu ‘anhumā berkata:
*"Ya Allah, jadikanlah aku
termasuk para pemimpin orang-orang yang bertakwa."*
Dan telah menceritakan kepadaku dari
Mālik bahwa
sampai kepadanya bahwa Abū Dardā’ radhiyallāhu ‘anhu biasa
bangun di pertengahan malam dan berkata:
*"Mata-mata telah terlelap,
bintang-bintang telah menghilang, dan Engkau adalah al-Ḥayy al-Qayyūm (Yang Maha
Hidup lagi Maha Menegakkan)."* [SELESAI]
KE 2 : Ibnu
‘Abdil-Barr al-Mālikī berkata dalam *Al-Istidzkār* (2/437):
وَأَمَّا قَوْلُ مَالِكٍ: لَا بَأْسَ بِالدُّعَاءِ فِي الصَّلَاةِ
الْمَكْتُوبَةِ، فَهُوَ أَمْرٌ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ يَكُنِ الدُّعَاءُ يُشْبِهُ
كَلَامَ النَّاسِ، وَأَهْلُ الْحِجَازِ يُجِيزُونَ الدُّعَاءَ فِيهَا بِكُلِّ مَا لَيْسَ
بِمَأْثَمٍ مِنْ أُمُورِ الدِّينِ وَالدُّنْيَا.
*"Adapun perkataan Mālik: 'Tidak
mengapa berdoa dalam shalat fardhu,' maka itu merupakan hal yang telah
disepakati, selama doanya tidak menyerupai perkataan manusia biasa. Dan
penduduk Hijaz membolehkan berdoa di dalamnya dengan semua doa yang bukan
maksiat, baik dari perkara agama maupun dunia."*
KE 3 : Al-Imām al-Bājī berkata dalam
*Al-Muntaqā Syarḥ al-Muwaṭhṭhaʼ 1/361*:
وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا بَأْسَ بِالدُّعَاءِ فِي الْمَكْتُوبَةِ
وَغَيْرِهَا مِنْ الصَّلَوَاتِ يَدْعُو بِمَا شَاءَ مِنْ أَمْرِ دِينِهِ وَدُنْيَاهُ
سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ غَيْرِهِ
وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إلَيْهِ مَالِكٌ مَا رُوِيَ
«أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ
مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ
اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اُشْدُدْ وَطْأَتَكَ
عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ» وَأَنَّ النَّبِيَّ
- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «غِفَارٌ غَفَرَ اللَّهُ لَهَا وَأَسْلَمُ
سَالَمَهَا اللَّهُ» قَالَ الرَّاوِي فَهَذَا كُلُّهُ فِي الصَّحِيحِ
*"Sebagaimana ia (Mālik) katakan:
tidak mengapa berdoa dalam shalat fardhu maupun selainnya, dengan doa apa pun
yang ia kehendaki dari perkara agama maupun dunia, baik itu dari al-Qur’an
maupun selainnya. ...
Dan dalil atas kebenaran pendapat
Malik adalah hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ apabila mengangkat
kepalanya dari ruku’ pada rakaat terakhir, beliau berdoa: “Ya Allah,
selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang mukmin
yang lemah. Ya Allah, timpakanlah tekanan-Mu yang berat atas (kabilah) Mudhar.
Ya Allah, jadikanlah itu sebagai tahun-tahun paceklik seperti masa (paceklik)
Nabi Yusuf.”
Dan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “(Kabilah) Ghifar – semoga Allah
mengampuninya. (Kabilah) Aslam – semoga Allah memberinya keselamatan.”
Perawi berkata: “Semua ini terdapat
dalam kitab Shahih.” [SELESAI]
KE 4 : Sayyidī al-Imām Aḥmad Zarrūq al-Mālikī berkata dalam
*Qawā’id*-nya
(hal. 75, cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah):
بِسَاطُ الشَّرِيعَةِ قَاضٍ بِجَوَازِ الأَخْذِ بِكُلِّ ذِكْرٍ وَدُعَاءٍ
صَحَّ مَعْنَاهُ وَسَلِمَ مَبْنَاهُ.
*"Landasan syariat menetapkan
bolehnya mengambil semua dzikir dan doa yang benar maknanya dan lurus
susunannya”.
Sayyidī al-Imām Abū al-Barakāt al-Dardīr berkata dalam
*Al-Syarḥ al-Kabīr* (1/251, cet. Dār al-Fikr):
*"(Dan) disunnahkan berdoa
setelah tasyahhud kedua, maksudnya tasyahhud menjelang salam, dengan lafadz apa
pun."*
****
KETIGA : PERNYATAAN ULAMA MADZHAB SYAFI’I :
KE 1 :Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam *Fathul-Bari* (2/321, cet. Dar al-Ma’rifah), setelah menyebutkan sabda Nabi ﷺ tentang doa yang dipanjatkan oleh orang yang shalat setelah tasyahud:
"ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُو".
(Kemudian ia memilih doa yang paling ia sukai, lalu ia berdoa dengannya):
وَاسْتُدِلَّ بِهِ
عَلَى جَوَازِ الدُّعَاءِ فِي الصَّلَاةِ بِمَا اخْتَارَ الْمُصَلِّي مِنْ أَمر
الدُّنْيَا وَالْآخِرَة.
قَالَ بن بَطَّالٍ خَالَفَ
فِي ذَلِكَ النَّخَعِيُّ وَطَاوُسٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ فَقَالُوا لَا يَدْعُو فِي الصَّلَاةِ
إِلَّا بِمَا يُوجَدُ فِي الْقُرْآنِ كَذَا أَطْلَقَ هُوَ وَمَنْ تَبِعَهُ عَنْ أَبِي
حَنِيفَةَ وَالْمَعْرُوفُ فِي كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّهُ لَا يَدْعُو فِي الصَّلَاةِ
إِلَّا بِمَا جَاءَ فِي الْقُرْآنِ أَوْ ثَبَتَ فِي الْحَدِيثِ وَعِبَارَةُ بَعْضِهِمْ
مَا كَانَ مَأْثُورًا قَالَ قَائِلهُمْ وَالْمَأْثُورُ أَعَمُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَرْفُوعًا
أَوْ غَيْرَ مَرْفُوعٍ لَكِنَّ ظَاهِرَ حَدِيثِ الْبَاب يرد عَلَيْهِم وَكَذَا يرد
على قَول بن سِيرِينَ لَا يَدْعُو فِي الصَّلَاةِ إِلَّا بِأَمْرِ الْآخِرَة وَاسْتثنى
بعض الشَّافِعِيَّة مَا يقبح من أَمْرِ الدُّنْيَا فَإِنْ أَرَادَ الْفَاحِشَ مِنَ
اللَّفْظِ فَمُحْتَمَلٌ وَإِلَّا فَلَا شَكَّ أَنَّ الدُّعَاءَ بِالْأُمُورِ الْمُحَرَّمَةِ
مُطْلَقًا لَا يَجُوزُ
"Hadis
ini dijadikan dalil bolehnya berdoa dalam shalat dengan doa yang dipilih oleh
orang yang shalat, baik terkait urusan dunia maupun akhirat.
Ibnu
Baththal berkata: Dalam hal ini, An-Nakha'i, Thawus, dan Abu Hanifah
menyelisihi; mereka berkata: tidak boleh berdoa dalam shalat kecuali dengan doa
yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Begitu
pula yang dinukil secara umum oleh beliau dan para pengikutnya dari Abu
Hanifah. Namun yang dikenal dalam kitab-kitab Hanafiyah adalah bahwa seseorang
tidak boleh berdoa dalam shalat kecuali dengan doa yang datang dalam Al-Qur’an
atau yang diriwayatkan dalam hadis.
Sebagian
dari mereka mengungkapkannya dengan istilah: *ma’tsur*. Mereka berkata:
*ma’tsur* itu lebih umum, mencakup yang marfu’ maupun yang tidak marfu’. Tetapi
zahir hadis dalam bab ini membantah pendapat mereka, begitu pula membantah
pendapat Ibnu Sirin yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh berdoa dalam
shalat kecuali dengan permintaan perkara akhirat.
Sebagian
ulama Syafi’iyah mengecualikan doa yang berisi perkara dunia yang tercela. Jika
maksudnya adalah lafadz yang keji, maka hal itu masih bisa ditolerir. Namun
jika tidak, maka tidak diragukan lagi bahwa berdoa dengan sesuatu yang haram,
baik dalam atau luar shalat, tidaklah diperbolehkan." [Selesai].
KE 2 : Imam an-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmūʻ ketika membahas lafadz-lafadz doa qunut (3/497, cetakan Dār al-Fikr):
(الصَّحِيحُ) الْمَشْهُورُ الَّذِي قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُورُ أَنَّهُ
لَا تَتَعَيَّنُ بَلْ يَحْصُلُ بِكُلِّ دُعَاءٍ
(وَالثَّانِي) تَتَعَيَّنُ كَكَلِمَاتِ التَّشَهُّدِ
فَإِنَّهَا مُتَعَيِّنَةٌ بِالِاتِّفَاقِ ..
وَالْمَذْهَبُ أَنَّهُ لَا يَتَعَيَّنُ، وَبِهِ صَرَّحَ الْمَاوَرْدِيُّ،
وَالْقَاضِي حُسَيْنٌ، وَالْبَغَوِيُّ، وَالْمُتَوَلِّي، وَخَلَائِقُ. قَالَ الشَّيْخُ
أَبُو عَمْرٍو بْنُ الصَّلَاحِ: قَوْلُ مَنْ قَالَ يَتَعَيَّنُ شَاذٌّ مَرْدُودٌ، مُخَالِفٌ
لِجُمْهُورِ الْأَصْحَابِ، بَلْ مُخَالِفٌ لِجَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ، فَقَدْ حَكَى
الْقَاضِي عِيَاضٌ اتِّفَاقَهُمْ عَلَى أَنَّهُ لَا يَتَعَيَّنُ فِي الْقُنُوتِ دُعَاءٌ،
إِلَّا مَا رُوِيَ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْحَدِيثِ أَنَّهُ يَتَعَيَّنُ قُنُوتُ مُصْحَفِ
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ...»
إِلَى آخِرِهِ، بَلْ مُخَالِفٌ لِفِعْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ، وَفُلَانًا
وَفُلَانًا، اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا». فَلْيُعَدَّ هَذَا الَّذِي قِيلَ
بِالتَّعْيِينِ غَلَطًا غَيْرَ مَعْدُودٍ وَجْهًا. هَذَا كُلُّهُ كَلَامُ أَبِي عَمْرٍو،
فَإِذَا قُلْنَا بِالْمَذْهَبِ، وَقُلْنَا إِنَّهُ لَا يَتَعَيَّنُ، فَقَالَ صَاحِبُ
الْحَاوِي: يَحْصُلُ بِالدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ وَغَيْرِ الْمَأْثُورِ" اهـ.
Pendapat
yang shahih dan masyhur yang dipastikan oleh mayoritas ulama adalah bahwa tidak
ada doa qunut yang ditentukan secara wajib, melainkan qunut itu sah dengan doa
apa pun.
Adapun
pendapat kedua menyatakan bahwa doa qunut ditentukan seperti halnya lafadz
tasyahud, karena lafadz tasyahud telah disepakati ketentuannya.
Adapun
mazhab (yang benar) adalah bahwa tidak ada penentuan khusus, dan inilah yang
ditegaskan oleh al-Māwardī, al-Qāḍī Ḥusain, al-Baghawī,
al-Mutawallī, dan banyak lainnya.
Asy-Syaikh
Abū ‘Amr ibn aṣ-Ṣalāḥ berkata: "Pendapat orang yang mengatakan
bahwa doa qunut itu ditentukan adalah pendapat yang syadz (ganjil), tertolak,
dan bertentangan dengan mayoritas sahabat mazhab, bahkan bertentangan dengan
mayoritas ulama."
Al-Qāḍhī
‘Iyāḍh menyebutkan adanya ijma‘ (kesepakatan) bahwa tidak
ada satu pun doa qunut tertentu yang wajib, kecuali riwayat dari sebagian ahli
hadits yang mewajibkan qunut dari Mushaf Ubay bin Ka‘b radhiyallahu ‘anhu:
«اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ...»
"Ya
Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu dan kami memohon ampunan
kepada-Mu..." hingga akhir doanya.
Namun
(doa itu) bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ,
karena beliau biasa berdoa:
«اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ، وَفُلَانًا وَفُلَانًا،
اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا»
"Ya
Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, dan si fulan serta si fulan. Ya
Allah, laknatlah si fulan dan si fulan.
Maka
hendaknya pendapat tentang penentuan lafadz tertentu dalam qunut dianggap
keliru dan tidak dapat dipertimbangkan.
Ini
semua adalah perkataan Abū ‘Amr. Jika kita mengikuti mazhab dan
mengatakan bahwa qunut tidak ditentukan lafadznya, maka Shāḥib
al-Ḥāwī berkata: "Qunut sah dilakukan dengan doa
yang ma’tsūr (diriwayatkan) maupun yang tidak ma’tsūr."
[SELESAI].
Dan Al-Imām asy-Nawawī asy-Syāfi‘ī berkata dalam *Rauḍhah ath-Ṭhālibīn* (1/256, cet. al-Maktab al-Islāmī):
"وَيُسْتَحَبُّ ٱلدُّعَاءُ بَعْدَ ذَلِكَ –أَيْ: ٱلصَّلَاةِ ٱلْإِبْرَاهِيمِيَّةِ–، وَلَهُ أَنْ يَدْعُوَ بِمَا شَاءَ مِنْ أَمْرِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِ، وَأُمُورُ ٱلْآخِرَةِ أَفْضَلُ، وَعَنْ ٱلشَّيْخِ أَبِي مُحَمَّدٍ: أَنَّهُ كَانَ يَتَرَدَّدُ فِي مِثْلِ: "ٱللَّهُمَّ ٱرْزُقْنِي جَارِيَةً صِفَتُهَا كَذَا"، وَيَمِيلُ إِلَى ٱلْمَنْعِ وَأَنَّهُ يُبْطِلُ ٱلصَّلَاةَ. وَٱلصَّوَابُ ٱلَّذِي عَلَيْهِ ٱلْجَمَاهِيرُ: جَوَازُ ٱلْجَمِيعِ، لَكِنْ مَا وَرَدَ فِي ٱلْأَخْبَارِ أَحَبُّ مِنْ غَيْرِهِ" اهـ.
*"Disunnahkan berdoa setelah itu (yakni setelah shalawat Ibrāhīmiyyah), dan boleh berdoa dengan doa apa pun dari urusan dunia dan akhirat, namun perkara akhirat lebih utama. Dari Syaikh Abū Muḥammad: beliau pernah ragu terhadap doa seperti 'Ya Allah karuniakanlah aku seorang budak wanita dengan sifat demikian dan demikian', dan cenderung kepada pelarangan serta berpendapat itu membatalkan shalat. Adapun pendapat yang benar menurut jumhur adalah bolehnya semua doa, hanya saja doa yang diriwayatkan dalam hadits lebih utama daripada yang lainnya."*
KE 3 : Al-‘Allāmah asy-Syams ar-Ramlī
asy-Syāfi‘ī berkata dalam *Nihāyat
al-Muḥtāj* (1/511, cetakan Muṣṭafā
al-Ḥalabī):
(وَكَذَا) يُسَنُّ الدُّعَاءُ
بَعْدَهُ، أَيْ: التَّشَهُّدِ الْآخِرِ، بِمَا شَاءَ مِنْ دِينِيٍّ أَوْ دُنْيَوِيٍّ؛
كَـ: اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي جَارِيَةً حَسْنَاءَ.. بَلْ نُقِلَ عَنْ مُقْتَضَى النَّصِّ
كَرَاهَةُ تَرْكِهِ.
"Demikian
juga, disunnahkan berdoa setelah tasyahud terakhir dengan doa apa pun yang
diinginkan, baik yang bersifat agama maupun dunia, seperti: *Allāhumma
urzuqnī jāriyatān ḥasnāʾa* (Ya Allah, karuniakanlah kepadaku seorang
istri yang cantik)... Bahkan dinukil dari teks bahwa meninggalkan doa tersebut
makruh." [SELESAI].
****
KEEMPAT : PERNYATAAN ULAMA HANBALI :
KE 1 : Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali
berkata dalam *al-Mughni* (1/620, cetakan Dar al-Fikr):
فَصْلٌ: وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَدْعُوَ فِي صَلَاتِهِ بِمَا يُقْصَدُ
بِهِ مَلَاذُّ الدُّنْيَا وَشَهَوَاتُهَا، بِمَا يُشْبِهُ كَلَامَ الْآدَمِيِّينَ وَأَمَانِيهِمْ؛
مِثْلَ: اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي جَارِيَةً حَسْنَاءَ، وَدَارًا قَوْرَاءَ، وَطَعَامًا
طَيِّبًا، وَبُسْتَانًا أَنِيقًا. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَدْعُو بِمَا أَحَبَّ.
فَصْلٌ: فَأَمَّا الدُّعَاءُ بِمَا يَتَقَرَّبُ بِهِ إِلَى اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ مِمَّا لَيْسَ بِمَأْثُورٍ، وَلَا يُقْصَدُ بِهِ مَلَاذُّ الدُّنْيَا،
فَظَاهِرُ كَلَامِ الْخِرَقِيِّ وَجَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ،
وَيَحْتَمِلُهُ كَلَامُ أَحْمَدَ؛ لِقَوْلِهِ: يَدْعُو بِمَا جَاءَ وَبِمَا يُعْرَفُ.
وَحَكَى عَنْهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَنَّهُ قَالَ: لَا بَأْسَ أَنْ
يَدْعُوَ الرَّجُلُ بِجَمِيعِ حَوَائِجِهِ، مِنْ حَوَائِجِ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ،
وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ؛ لِظَوَاهِرِ الْأَحَادِيثِ:
فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ، وَقَوْلُهُ: ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ بِمَا
بَدَا لَهُ، وَقَوْلُهُ: ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ.
وَرُوِيَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَتْ أُمُّ
سُلَيْمٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ! عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي. فَقَالَ: احْمَدِي
اللَّهَ عَشْرًا، وَسَبِّحِي اللَّهَ عَشْرًا، ثُمَّ سَلِي مَا شِئْتِ؛ يَقُولُ: نَعَمْ،
نَعَمْ، نَعَمْ. رَوَاهُ الْأَثْرَمُ.
وَلِأَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ كَانُوا يَدْعُونَ فِي صَلَاتِهِمْ بِمَا لَمْ يَتَعَلَّمُوهُ، فَلَمْ يُنْكِرْ
عَلَيْهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ؛ وَلِهَذَا لَمَّا
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لِلرَّجُلِ: مَا تَقُولُ
فِي صَلَاتِكَ؟ قَالَ: أَتَشَهَّدُ، ثُمَّ أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَأَعُوذُ
بِهِ مِنَ النَّارِ، فَصَوَّبَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
فِي دُعَائِهِ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ عَلَّمَهُ إِيَّاهُ.
وَلَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ:
أَمَّا السُّجُودُ فَأَكْثِرُوا فِيهِ مِنَ الدُّعَاءِ، لَمْ يُعَيِّنْ لَهُمْ مَا
يَدْعُونَ بِهِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَبَاحَ لَهُمْ كُلَّ الدُّعَاءِ، إِلَّا مَا
خَرَجَ مِنْهُ بِالدَّلِيلِ فِي الْفَصْلِ الَّذِي قَبْلَ هَذَا.
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ
إِذَا قَرَأَتْ: ﴿فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ﴾، قَالَتْ:
مُنَّ عَلَيْنَا وَقِنَا عَذَابَ السَّمُومِ. وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ يَقُولُ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ
وَقَدْ فَرَغَ مِنَ التَّشَهُّدِ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ النِّفَاقِ.
وَلِأَنَّهُ دُعَاءٌ يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى، فَأَشْبَهَ
الدُّعَاءَ الْمَأْثُورَ.
Pasal: Tidak boleh berdoa dalam
salat dengan sesuatu yang ditujukan untuk kesenangan dunia dan syahwatnya yang
menyerupai ucapan manusia dan angan-angan mereka, seperti: “Ya Allah,
karuniakanlah kepadaku seorang budak perempuan yang cantik, rumah yang megah,
makanan yang enak, dan kebun yang indah.” Imam asy-Syafi’i berkata: “Boleh
berdoa dengan apa pun yang dia sukai.”
Pasal: Adapun doa dengan sesuatu
yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla, yang tidak
bersumber dari riwayat (ma’tsur) dan tidak dimaksudkan untuk kesenangan dunia,
maka dari zahir ucapan al-Khiraqi dan sekelompok ulama mazhab kami: hal itu
tidak diperbolehkan. Hal ini juga memungkinkan dari ucapan Imam Ahmad karena
beliau berkata: “Berdoalah dengan apa yang datang (dari riwayat) dan dengan apa
yang dikenal.”
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari
beliau (Ahmad) bahwa beliau berkata: “Tidak mengapa seseorang berdoa dengan
semua kebutuhannya, baik urusan dunia maupun akhiratnya.” Dan inilah pendapat
yang benar, insya Allah, karena zahir hadis-hadis mendukungnya:
Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Kemudian hendaklah ia memilih
doa yang ia kehendaki.”
Dan sabda beliau: “Kemudian ia
berdoa untuk dirinya dengan apa pun yang ia kehendaki.”
Dan sabda beliau: “Kemudian ia
berdoa setelahnya dengan apa saja yang ia inginkan.”
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu
‘anhu bahwa Ummu Sulaim datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai
Rasulullah! Ajarkan kepadaku sebuah doa yang bisa aku baca dalam salatku.”
Maka beliau bersabda: “Pujilah Allah
sepuluh kali, dan bertasbihlah kepada Allah sepuluh kali, kemudian mintalah apa
yang engkau kehendaki. Allah akan berfirman: ‘Ya, ya, ya.’” Diriwayatkan oleh
al-Atsram.
Karena para sahabat Nabi ﷺ dahulu berdoa dalam salat mereka dengan
doa-doa yang tidak mereka pelajari (langsung dari Nabi), maka Rasulullah ﷺ tidak mengingkari mereka. Oleh karena itu,
ketika Rasulullah ﷺ bertanya kepada
seseorang: “Apa yang kamu ucapkan dalam salatmu?” Ia menjawab: “Aku membaca
tasyahud, lalu aku memohon surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari
neraka.” Maka Rasulullah ﷺ membenarkannya
dalam doanya itu meskipun beliau tidak mengajarkannya secara langsung.
Ketika Nabi ﷺ bersabda: “Adapun
saat sujud, maka perbanyaklah doa di dalamnya,” beliau tidak menentukan doa apa
yang harus dibaca, maka hal itu menunjukkan bahwa beliau membolehkan semua
bentuk doa kecuali yang telah dikecualikan berdasarkan dalil pada pasal
sebelumnya.
Diriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu
‘anha jika membaca ayat:
﴿فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا
وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ﴾
Artinya : “Maka Allah memberikan
karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka”. [QS. Ath-Thuur: 27]
Lalu dia berkata:
مُنَّ عَلَيْنَا وَقِنَا عَذَابَ السَّمُومِ
“Anugerahkanlah kepada kami dan
lindungilah kami dari azab as-samum (panas yang membakar).”
Dan dari Jubair bin Nufair bahwa ia
mendengar Abu Darda radhiyallahu ‘anhu berdoa di akhir salatnya setelah selesai
dari tasyahud:
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ النِّفَاقِ
“Aku berlindung kepada Allah dari
kemunafikan.”
Karena itu adalah doa yang digunakan
untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta‘ala, maka ia serupa dengan doa yang
bersumber dari riwayat. (Selesai).
KE 2 : Dan
Al-‘Allamah Al-Mardawi Al-Hanbali berkata dalam *Al-Inshaf* (2/60, cetakan Dar
Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi):
مَفْهُومُ كَلَامِ الْمُصَنِّفِ أَنَّهُ إِنْ دَعَا بِغَيْرِ مَا
وَرَدَ فِي الْأَخْبَارِ أَنَّ بِهِ بَأْسًا، وَهُوَ قِسْمَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الدُّعَاءُ مِنْ أَمْرِ الْآخِرَةِ؛ كَالدُّعَاءِ
بِالرِّزْقِ الْحَلَالِ، وَالرَّحْمَةِ، وَالْعِصْمَةِ مِنَ الْفَوَاحِشِ وَنَحْوِهِ،
وَلَوْ لَمْ يَكُنِ الْمَدْعُوُّ بِهِ يُشْبِهُ مَا وَرَدَ، فَهَذَا يَجُوزُ الدُّعَاءُ
بِهِ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ؛ نَصَّ عَلَيْهِ، وَعَلَيْهِ
الْجُمْهُورُ: مِنْهُمُ الْقَاضِي، وَالْمُصَنِّفُ، وَالْمَجْدُ فِي "شَرْحِهِ"،
وَالشَّارِحُ، وَغَيْرُهُمْ، وَقَدَّمَهُ فِي "الْفُرُوعِ"، وَابْنُ تَمِيمٍ،
وَالزَّرْكَشِيُّ، وَجَزَمَ بِهِ فِي "الْفَائِقِ".
وَعَنْهُ: لَا يَجُوزُ وَتَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِهِ فِي وَجْهٍ فِي
مُخْتَصَرِ ابْنِ تَمِيمٍ، قَالَ الشَّارِحُ: قَالَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الْأَصْحَابِ،
وَيَحْتَمِلُهُ كَلَامُ أَحْمَدَ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الْخِرَقِيِّ، وَجَزَمَ بِهِ
فِي "الْمُسْتَوْعِبِ"، وَ"التَّلْخِيصِ"، وَقُدِّمَ أَنَّهُ لَا
يَدْعُوَ بِذَلِكَ فِي "الرِّعَايَتَيْنِ" وَ"الْحَاوِيَيْنِ".
الْقِسْمُ الثَّانِي: الدُّعَاءُ بِغَيْرِ مَا وَرَدَ وَلَيْسَ مِنْ
أَمْرِ الْآخِرَةِ؛ فَالصَّحِيحُ مِنَ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الدُّعَاءُ
بِذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ وَتَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِهِ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ.
وَعَنْهُ: يَجُوزُ الدُّعَاءُ بِحَوَائِجِ دُنْيَاهُ وَمَلَاذِّهَا؛
كَقَوْلِهِ: اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي جَارِيَةً حَسْنَاءَ، وَحُلَّةً خَضْرَاءَ، وَدَابَّةً
هِمْلَاجَةً، وَنَحْوَ ذَلِكَ.
"Mafhum (kesimpulan dari)
ucapan mushannif (penyusun kitab) adalah bahwa jika seseorang berdoa dengan
sesuatu yang tidak terdapat dalam riwayat-riwayat, maka hal itu bermasalah. Dan
hal itu terbagi menjadi dua:
Pertama: doa yang
berkaitan dengan urusan akhirat; seperti doa memohon rezeki yang halal, rahmat,
penjagaan dari perbuatan keji dan semacamnya, walaupun isi doa tersebut tidak
menyerupai doa-doa yang diriwayatkan, maka diperbolehkan berdoa seperti itu
dalam salat menurut pendapat yang sahih dalam mazhab. Hal ini telah ditegaskan,
dan menjadi pendapat mayoritas ulama Hanbali; di antaranya Al-Qadhi, penyusun
kitab, Al-Majd dalam *Syarh*-nya, Asy-Syarh (yakni syarh Al-Muqni‘), dan selain
mereka. Pendapat ini juga dikedepankan dalam *Al-Furu‘*, *Ibnu Tamim*,
*Az-Zarkasyi*, dan dinyatakan secara tegas dalam *Al-Faiq*.
Dan ada riwayat dari Imam Ahmad
bahwa tidak diperbolehkan, bahkan salat menjadi batal karenanya menurut satu
wajah dalam *Mukhtashar Ibni Tamim*. Asy-Syarh berkata: pendapat ini juga
disampaikan oleh sekelompok ulama Hanbali lainnya, dan mungkin hal ini dimaksud
dalam perkataan Imam Ahmad. Ini juga merupakan lahir dari pendapat Al-Khiraqi,
dan dinyatakan secara tegas dalam *Al-Mustaw‘ab*, *At-Talkhish*, dan dalam
*Ar-Ri‘ayatain* serta *Al-Hawiyyain* disebutkan bahwa sebaiknya tidak berdoa
dengan doa seperti ini.
Bagian kedua: doa yang
tidak terdapat dalam riwayat dan juga bukan urusan akhirat; maka pendapat yang
sahih dalam mazhab adalah bahwa tidak diperbolehkan berdoa dengan doa seperti
ini dalam salat, dan salat menjadi batal karenanya. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama Hanbali.
Ada juga riwayat dari Imam Ahmad
bahwa diperbolehkan berdoa dengan kebutuhan duniawi dan kenikmatannya; seperti
ucapannya: "Ya Allah, anugerahkan kepadaku seorang jariyah yang cantik,
pakaian hijau yang indah, kendaraan yang nyaman", dan yang
semisalnya."
Dan berdoa kepada Allah Ta'ala
merupakan salah satu jenis dzikir kepada-Nya; oleh karena itu, apa yang berlaku
dalam doa juga berlaku dalam seluruh dzikir dalam salat; sebagaimana dikatakan
oleh Al-‘Allamah Ibnu Allan As-Shiddiqi dalam *Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah ‘ala
Al-Adzkar An-Nawawiyyah* (3/4, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi). Bahkan
Rasulullah ﷺ menyebut dzikir sebagai doa, sebagaimana
sabdanya:
«أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ
الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ»
"Dzikir yang paling utama
adalah *Lā ilāha illallāh*, dan doa yang
paling utama adalah *al-ḥamdu lillāh*."
(HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak*, dan disahihkan, dari hadits Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma).
KESIMPULAN :
Maka inilah pendapat dan mazhab para
ulama yang menjelaskan kebolehan berdoa dan berdzikir dalam salat dengan lafadz
yang tidak ma’tsur (tidak berasal dari riwayat), dan tidak boleh dikatakan
bahwa hal itu adalah bid’ah; tidak dari sisi bahasa maupun dari sisi syariat.
Karena dalil-dalil umum dan khusus dari Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan
kebolehannya, dan hal itu selaras dengan prinsip-prinsip syariat,
kaidah-kaidahnya, nash-nya, dan keumuman ajarannya.
Kebolehan berdoa dan berdzikir dalam
salat dengan lafadz yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah telah
ditunjukkan oleh nash-nash dalam Kitabullah yang mulia, Sunnah Nabawiyyah yang
suci, praktik para sahabat dan tabi‘in, pemahaman salaf dan imam-imam mazhab,
serta inilah yang menjadi praktik umat Islam secara keseluruhan; sehingga hal
ini berjalan sebagaimana ijma’.
===***====
DALIL-DALIL YANG MEMBOLEHKAN BACA DOA DALAM SHOLAT YANG
TIDAK MA’TSUR DARI NABI ﷺ.
*****
PERTAMA : DALIL DALIL DARI AYAT-AYAT AL-QUR’AN
Firman
Allah Ta'ala:
﴿قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ
سُجَّدًا * وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا
لَمَفْعُولًا * وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا *
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا﴾
*Katakanlah:
“Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah);
sesungguhnya orang-orang yang telah diberi ilmu sebelumnya, apabila Al-Qur’an
dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
dan mereka berkata: 'Mahasuci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti
dipenuhi.' Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka
bertambah khusyuk. Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan
nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmaa-ul-husnaa (nama-nama yang
terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah
pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara keduanya.”* (Al-Isra:
107–110)
Banyak
ahli tafsir menegaskan bahwa ucapan mereka ini: *“Mahasuci Tuhan kami;
sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”* diucapkan dalam keadaan mereka
bersujud.
Allah
Ta'ala memuji mereka atas hal tersebut dan tidak mengingkari ucapan ini di
dalam sujud. Bahkan Allah menyifati mereka dengan ilmu dan menyebutkan sujud
serta tasbih mereka sebagai kebalikan dari orang-orang sombong yang enggan
beriman bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran dari Allah. Padahal ucapan tersebut
tidak ada contoh sebelumnya dalam syariat. Seandainya tidak diperbolehkan,
tentu syariat akan memberi peringatan atas ketidaksahannya, atau cukup
menyebutkan asal ucapan tasbih saja tanpa menyebutkan redaksinya. Namun karena
Al-Qur’an menyebutkannya dalam konteks pujian, maka itu menunjukkan secara
jelas bahwa redaksi tersebut dipandang baik. Dan secara makna, hal itu
menunjukkan bolehnya berdzikir dalam sujud dengan lafadz yang tidak masyhur
dalam riwayat.
Imam
Abu Bakar Ar-Razi Al-Jassas berkata dalam *Ahkamul Qur’an* (5/36, cetakan Dar
Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi):
بَابُ مَا يُقَالُ فِي
السُّجُودِ: قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ
وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا﴾ فَمَدَحَهُمْ بِهَذَا الْقَوْلِ عِنْدَ السُّجُودِ.
“Bab
tentang apa yang diucapkan dalam sujud: Allah Azza wa Jalla berfirman: *‘Dan
mereka berkata: Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti
dipenuhi’*, maka Allah memuji mereka karena ucapan ini ketika sujud.”
Imam
Fakhruddin Ar-Razi berkata dalam tafsirnya *Mafatihul Ghaib* (21/58, cetakan
Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah):
وَٱلْمَعْنَىٰ: أَنَّهُمْ
يَقُولُونَ فِي سُجُودِهِمْ: ﴿سُبْحَانَ رَبِّنَا﴾ أَي يُنَزِّهُونَهُ وَيُعَظِّمُونَهُ
﴿إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا﴾ أَي بِإِنْزَالِ ٱلْقُرْآنِ وَبَعْثِ مُحَمَّدٍ
صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ.
“Maknanya
adalah bahwa mereka mengucapkan dalam sujud mereka: *‘Mahasuci Tuhan kami’*,
yakni mereka menyucikan dan mengagungkan-Nya, *‘Sesungguhnya janji Tuhan kami
pasti dipenuhi’* yakni dengan diturunkannya Al-Qur’an dan diutusnya Muhammad ﷺ.”
Imam
Al-Qurthubi menyimpulkan dalam *Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an* (10/341, cetakan
Darul Kutub Al-Misriyyah) :
"إنَّ هٰذِهِ الآيَةَ:
دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ التَّسْبِيحِ فِي السُّجُودِ" اﻫـ.
“Bahwa ayat ini: Adalah dalil atas bolehnya bertasbih dalam
sujud.”
Dari
sini Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengambil kesimpulan bahwa dianjurkan
mengucapkan kalimat ini dalam sujud tilawah, padahal menurut beliau sujud
tilawah itu hukumnya seperti shalat, yakni wajib bersuci untuk melakukannya,
disyariatkan takbir sebelum dan sesudahnya, serta salam setelahnya.
Imam
An-Nawawi berkata dalam *Al-Majmū‘ Syarḥ Al-Muhadzdzab* (4/65, cetakan Dār
Al-Fikr):
وَنَقَلَ الأُسْتَاذُ
إِسْمَاعِيلُ الضَّرِيرُ فِي "تَفْسِيرِهِ": أَنَّ اخْتِيَارَ الشَّافِعِيِّ
رَحِمَهُ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ فِي سُجُودِ التِّلَاوَةِ: "سُبْحَانَ رَبِّنَا
إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا"، وَظَاهِرُ الْقُرْآنِ يَقْتَضِي مَدْحَ
هَذَا؛ فَهُوَ حَسَنٌ.
“Al-Ustadz
Isma'il Adh-Dharīr menukil dalam *Tafsīr*-nya
bahwa pendapat yang dipilih oleh Imam Syafi’i rahimahullah adalah membaca dalam
sujud tilawah: *‘Mahasuci Tuhan kami, sungguh janji Tuhan kami pasti
terlaksana’,* dan zahir (makna lahiriah) dari Al-Qur’an menunjukkan pujian
terhadap ucapan ini; maka hal itu adalah baik.”
Dalam
ayat-ayat tersebut terdapat sisi lain dari makna sebagai dalil, yaitu firman
Allah Ta‘ala:
﴿قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ
ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا
تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا﴾
*"Katakanlah:
Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama apa saja kamu menyeru, maka
Dia memiliki nama-nama yang terbaik. Dan janganlah engkau mengeraskan bacaan
shalatmu dan jangan pula terlalu merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara
kedua itu.”* \[Al-Isra’: 110].
Para
ahli tafsir menyebutkan sebab turunnya ayat ini: bahwa Nabi ﷺ biasa berdoa dalam sujudnya dengan
berkata: *“Ya Allah, Ya Rahman,”* lalu orang-orang musyrik mendengarnya dan
menganggapnya aneh, maka Allah menurunkan ayat ini. [Lihat Tafsir Ibnu Jarir
17/581]]
Ibnu
Katsir berkata :
وَقَدْ رَوَى مَكْحُولٌ
أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْمُشْرِكِينَ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ: "يَا رَحْمَنُ يَا رَحِيمُ"، فَقَالَ:
إِنَّهُ يَزْعُمُ أَنَّهُ يَدْعُو وَاحِدًا، وَهُوَ يَدْعُو اثْنَيْنِ. فَأَنْزَلَ
اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ. وَكَذَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَوَاهُمَا ابْنُ جَرِيرٍ
“Telah
diriwayatkan dari Makḥūl bahwa seorang laki-laki dari kaum musyrikin
mendengar Nabi ﷺ
sedang berdoa dalam sujudnya: "Yā Raḥmān, Yā Raḥīm" (Wahai Yang Maha Pengasih, Wahai Yang
Maha Penyayang). Maka orang itu berkata: “Dia mengaku hanya berdoa kepada satu
Tuhan, padahal dia sedang berdoa kepada dua.” Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Demikian pula diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, dan keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr”.
[Lihat : Tafsir Ibnu Katsir].
Mujahid
berkata tentang firman-Nya *"dengan nama apa saja kamu menyeru"*:
maksudnya dengan nama mana pun dari nama-nama-Nya. [Sebagaimana diriwayatkan dengan
sanadnya oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 17/581].
Maka
dalam ayat ini terdapat dalil disyariatkannya berdoa kepada Allah Ta‘ala dengan
semua nama-Nya yang terbaik (al-asma’ al-husna). Dan telah menjadi ketetapan
dalam kaidah usul fikih bahwa bentuk sebab turunnya ayat secara pasti termasuk
dalam cakupan hukum ayat tersebut menurut ijma’. Maka dari itu dipahami
bolehnya berdoa dan menyebut Allah dengan nama apa pun dari nama-nama-Nya yang
terbaik dalam sujud.
Nabi
ﷺ juga telah menyebutkan bahwa di antara
nama-nama Allah ada yang diketahui oleh sebagian makhluk-Nya dan tidak
diketahui oleh yang lain, sebagaimana sabda beliau:
«أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ؛ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ،
أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ
اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ
رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ بَصَرِي»
*"Aku
memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu; yang Engkau namai
diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau
ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam
ilmu gaib di sisi-Mu. Aku memohon agar Engkau menjadikan Al-Qur’an sebagai
penyejuk hatiku dan cahaya bagi penglihatanku."*
Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim
dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ini menunjukkan bahwa Allah Ta‘ala
bisa saja mengilhamkan sebagian dari nama-nama-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang
bukan nabi. Maka apabila mereka menyebut Allah dalam sujud mereka dengan
nama-nama yang diilhamkan itu, maka hal tersebut adalah disyariatkan
berdasarkan keumuman ayat ini.
*****
KEDUA : DALIL-DALIL DARI HADITS NABI ﷺ :
HADITS KE 1:
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu :
"كُنَّا إِذَا كُنَّا
مَعَ النَّبِيِّ ﷺ فِي الصَّلاَةِ، قُلْنَا: السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ مِنْ عِبَادِهِ،
السَّلاَمُ عَلَى فُلاَنٍ وَفُلاَنٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: لاَ تَقُولُوا السَّلاَمُ
عَلَى اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلاَمُ، وَلَكِنْ قُولُوا: التَّحِيَّاتُ
لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ،
فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمْ أَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ فِي السَّمَاءِ أَوْ بَيْنَ السَّمَاءِ
وَالأَرْضِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ، فَيَدْعُو".
Artinya :
Kami
dahulu, apabila sedang bersama Nabi ﷺ
dalam shalat, kami mengucapkan: “Salam sejahtera bagi Allah dari hamba-hamba-Nya, Salam
sejahtera atas si fulan dan si fulan.” Maka Nabi ﷺ
bersabda: “Janganlah kalian mengatakan Salam sejahtera atas Allah’, karena
sesungguhnya Allah adalah As-Salaam (Yang Maha Sejahtera), tetapi katakanlah:
التَّحِيَّاتُ
لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ
الصَّالِحِينَ
Artinya : “Segala
penghormatan, shalawat, dan kebaikan adalah milik Allah. Keselamatan atasmu
wahai Nabi, dan rahmat Allah serta berkah-Nya. Keselamatan atas kami dan atas
hamba-hamba Allah yang shalih”.
Karena jika kalian
mengucapkannya, maka akan sampai kepada setiap hamba (Allah) yang sholeh di
langit atau antara langit dan bumi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Artinya : “Aku
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya”.
Kemudian
beliau bersabda:
«ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ
الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُوَ»
(Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 835 dan Muslim no. 402)
Dalam salah satu riwayat Al-Bukhari:
«ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ
الثَّنَاءِ مَا شَاءَ»
*“Kemudian
hendaklah ia memilih dari pujian apa pun yang ia kehendaki.”*
Dalam salah satu riwayat Muslim:
«ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ
بَعْدُ مِنَ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ أَوْ مَا أَحَبَّ».
*“Kemudian
hendaklah ia memilih setelah itu dari permohonan apa pun yang ia kehendaki atau
ia sukai.”*
Dan dalam satu
riwayat darinya:
ثُمَّ يَتَخَيَّرُ
بَعْدُ مِنَ الدُّعَاءِ
“Kemudian ia memilih
doa setelah itu”. (HR. Ahmad no. 3622 dan 4064)
Dasar pengambilan
dalil: sabda Rasulullah ﷺ
dalam hadits Ibnu Mas’ud: “Kemudian hendaklah ia memilih doa apa saja yang ia
kehendaki,” menunjukkan bahwa doa apa pun boleh, meskipun bukan dari doa yang
ma’tsur.
Imam
An-Nawawi berkata dalam *Al-Adzkar* (halaman 67, cetakan Dar Al-Fikr):
"وَاعْلَمْ أَنَّ
هَذَا الدُّعَاءَ مُسْتَحَبٌّ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَيُسْتَحَبُّ تَطْوِيلُهُ، إِلَّا
أَنْ يَكُونَ إِمَامًا، وَلَهُ أَنْ يَدْعُوَ بِمَا شَاءَ مِنْ أُمُورِ الْآخِرَةِ
وَالدُّنْيَا، وَلَهُ أَنْ يَدْعُوَ بِالدَّعَوَاتِ الْمَأْثُورَةِ، وَلَهُ أَنْ يَدْعُوَ
بِدَعَوَاتٍ يَخْتَرِعُهَا، وَالْمَأْثُورَةُ أَفْضَلُ". ا.هـ.
*"Ketahuilah
bahwa doa ini hukumnya sunnah, bukan wajib. Disunnahkan untuk memanjangkannya,
kecuali jika menjadi imam. Seseorang boleh berdoa dengan apa pun dari perkara
akhirat dan dunia. Boleh berdoa dengan doa-doa yang bersumber dari Nabi, dan
boleh juga dengan doa-doa yang ia karang sendiri. Namun doa-doa yang bersumber
dari Nabi lebih utama."* (Selesai).
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari (2/321, cetakan Dar al-Ma’rifah):
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى
جَوَازِ الدُّعَاءِ فِي الصَّلَاةِ بِمَا اخْتَارَ الْمُصَلِّي مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ اهـ.
"Dalil
ini dijadikan sebagai dasar bolehnya berdoa dalam shalat dengan doa yang
dipilih oleh orang yang shalat, baik berkaitan dengan urusan dunia maupun
akhirat." (Selesai).
Al-‘Allamah
Asy-Syaukani berkata dalam Tuhfah adz-Dzakirin bi ‘Uddah al-Hishn al-Hasin
(halaman 170, cetakan Dar al-Qalam):
وَفِيهِ التَّفْوِيضُ
لِلْمُصَلِّي الدَّاعِي بِأَنْ يَخْتَارَ مِنَ الدُّعَاءِ مَا هُوَ أَعْجَبُهُ إِلَيْهِ؛
إِمَّا مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ، أَوْ مِنْ كَلَامِهِ. وَالْحَاصِلُ: أَنَّهُ يَدْعُو
بِمَا أَحَبَّ مِنْ مَطَالِبِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَيُطِيلُ فِي ذَلِكَ أَوْ
يَقْصُرُ، وَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ بِمَا شَاءَ دَعَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا أَوْ
قَطِيعَةَ رَحِمٍ اهـ.
"Dalam
hadits tersebut terdapat pelimpahan kebebasan kepada orang yang shalat dan
berdoa untuk memilih doa yang paling disukainya; baik dari kalimat kenabian
maupun dari perkataannya sendiri. Kesimpulannya: ia boleh berdoa dengan apa saja
yang ia sukai dari kebutuhan dunia dan akhirat, boleh memanjangkan ataupun
memendekkan doanya, dan tidak ada dosa atasnya selama isi doanya bukan berupa
maksiat atau pemutusan tali silaturahmi." (Selesai).
----
HADITS KE 2 :
Doa
dalam Tasyahhud dari amalan Sahabat yang di taqrir oleh Nabi ﷺ. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia
berkata:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ مَا تَقُولُ فِي الصَّلَاةِ
قَالَ أَتَشَهَّدُ ثُمَّ أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ
أَمَا وَاللَّهِ مَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ فَقَالَ حَوْلَهَا
نُدَنْدِنُ
Rasulullah
ﷺ bertanya kepada seorang laki-laki: " Apa yang engkau baca dalam sholat?
Laki-laki
itu menjawab :
Aku
bertasyahhud kemudian memohon kepada Allah Surga dan berlindung kepada-Nya dari
Api Neraka.
Aku
tidak bisa merangkai untaian kata-kata dalam doa dengan baik seperti untaian
doa anda dan untaian doa Muadz.
Maka
Nabi ﷺ bersabda : Berkisar pada itulah tujuan kami merangkai
untaian kata-kata dalam doa (yakni :
permohonan Surga dan berlindung dari Neraka)”.
[Diriwayatkan
oleh Abu Dawud (792), Ibnu Majah (910), Ibnu Khuzaimah (725), dan Ibnu Hibban
(868).
Dinyatakan
shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hafidz Ibnu Hajar sebagaimana
dalam الفُتُوحَاتُ
الرَّبَّانِيَّةُ (3/17). Dishahihkan pula oleh Syu’aib
Al-Arnauth dan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 792].
Dan diriwayatkan pula
dari Abu Shalih dari sebagian para sahabat Nabi ﷺ , mereka berkata :
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ كَيْفَ تَقُولُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ
أَتَشَهَّدُ وَأَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ
مِنْ النَّارِ أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ
Nabi ﷺ pernah bertanya kepada seorang laki-laki:
"Bagaimana kamu berdo'a dalam shalat?"
Laki-laki tersebut
menjawab ; "Aku membaca tasyahhud dan mengucapkan;
اللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ النَّارِ
" Ya
Allah, aku memohon kepada Engkau surga dan berlindung kepada Engkau dari api
neraka.
Kami tidak bisa
memperbagus senandung doa ( merangkai kata-kata yang bagus dalam berdo'a)
seperti senandung Engkau dan senandung Mu’adz ".
Lalu Rosulullah ﷺ bersabda :
"Seputar itulah kami bersenandung ( dalam berdo’a )".
( HR. Ahmad No. 15333
dan Abu Daud No. 672 dan di shahihkan oleh Syeikh al-Albaani ).
Lalu Abu Daud
menyebutkan riwayat lain dengan sanadnya
: dari Jabir radhiyallahu ‘anhu -dia menyebutkan kisahnya Mu'adz- dengan
mengatakan ;
وَقَالَ يَعْنِي
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْفَتَى كَيْفَ تَصْنَعُ يَا
ابْنَ أَخِي إِذَا صَلَّيْتَ قَالَ أَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَأَسْأَلُ
اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنْ النَّارِ وَإِنِّي لَا أَدْرِي مَا
دَنْدَنَتُكَ وَلَا دَنْدَنَةُ مُعَاذٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي وَمُعَاذًا حَوْلَ هَاتَيْنِ أَوْ نَحْوَ هَذَا
" Nabi ﷺ bertanya kepada seorang pemuda : "Wahai anak
saudaraku, apa yang kamu perbuat (baca) ketika mengerjakan shalat ?"
Pemuda itu menjawab;
"Aku membaca surat Al Fatihah dan memohon surga-Nya Allah dan berlindung
dari api nerakanya Allah, sesungguhnya aku tidak bisa memperbagus senandung doa
( merangkai kata-kata yang bagus dalam berdo'a) seperti senandung Engkau dan
senandung Mu’adz .
Lalu Rosulullah ﷺ bersabda :
"Sesungguhnya aku dan Mu'adz (juga berdo'a) sekitar dua hal itu “ .
Atau kata-kata yang semisalnya . ( HR. Abu Daud no. 792 ).
Dasar pengambilan dalil: hal ini menunjukkan bahwa boleh berdoa untuk kebaikan
akhirat dengan lafadz apa pun.
-----
HADITS KE 3 :
Dari
Mu’awiyah ibnul Hakam As-Sulami; Beliau mengatakan :
بَيۡنَا أَنَا أُصَلِّي
مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ. إِذۡ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الۡقَوۡمِ. فَقُلۡتُ: يَرۡحَمُكَ اللهُ
فَرَمَانِي الۡقَوۡمُ بِأَبۡصَارِهِمۡ، فَقُلۡتُ: وَاثُكۡلَ أُمِّيَاهۡ، مَا شَأۡنُكُمۡ
تَنۡظُرُونَ إِلَيَّ؟ فَجَعَلُوا يَضۡرِبُونَ بِأَيۡدِيهِمۡ عَلَى أَفۡخَاذِهِمۡ. فَلَمَّا
رَأَيۡتُهُمۡ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ. فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللهِ ﷺ
- فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي - مَا رَأَيۡتُ مُعَلِّمًا قَبۡلَهُ وَلَا بَعۡدَهُ أَحۡسَنَ
تَعۡلِيمًا مِنۡهُ. فَوَاللّٰهِ، مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي. قَالَ:
(إِنَّ هَٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصۡلُحُ فِيهَا شَيۡءٌ مِنۡ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا
هُوَ التَّسۡبِيحُ وَالتَّكۡبِيرُ وَقِرَاءَةُ الۡقُرۡآنِ). أَوۡ كَمَا قَالَ رَسُولُ
اللهِ ﷺ.
“ Ketika aku sedang sholat bersama Rasulullah ﷺ , tiba-tiba ada seseorang yang bersin. Aku berkata,
“Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu).”
Orang-orang
mengarahkan pandangan kepadaku. Aku berkata, “Duhai, ibuku kehilangan anak.
Kenapa kalian memandang ke arahku?”
Orang-orang
pun menepuk paha-paha mereka dengan tangan. Ketika aku melihat mereka ingin membuat
aku diam, aku pun hanya diam. Ketika Rasulullah ﷺ selesai sholat, ayah dan ibuku sebagai
tebusannya, aku tidak melihat seorang pengajar pun sebelum dan sepeninggal
beliau yang lebih baik cara mengajarnya daripada beliau. Demi Allah, beliau
tidak menghardikku, tidak memukulku, tidak pula mencelaku.
Beliau
ﷺ bersabda, “Sesungguhnya sholat ini tidak boleh
sedikitpun ada pembicaraan manusia. Yang boleh hanya tasbih, takbir, dan
membaca Al Quran.” Atau sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ. (HR. Muslim No. 537).
----
HADITS KE 4 :
Diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim dari Rifa‘ah bin Rafi‘ az-Zuraqi radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata:
«كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي
وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ
مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، قَالَ رَجَلٌ وَرَاءَهُ:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا
انْصَرَفَ قَالَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟ قَالَ: أَنَا، قَالَ: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ
مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا؛ أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ».
"Suatu hari kami shalat di belakang
Nabi ﷺ. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari
rukuk, beliau mengucapkan: 'Sami‘allahu liman hamidah'. Maka seorang lelaki di
belakang beliau berkata: 'Rabbanaa wa lakal-hamd, hamdan katsiiran thayyiban
mubaarakan fiih'. Setelah shalat selesai, beliau bertanya: 'Siapa yang
berbicara tadi?' Orang itu menjawab: 'Saya.' Maka Nabi ﷺ
bersabda: 'Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba untuk
menulisnya; siapa di antara mereka yang lebih dahulu menulisnya.'"
Nabi
ﷺ telah mengakui bacaan dzikir sahabat ini
tanpa ada riwayat sebelumnya bahwa dzikir itu disyariatkan secara khusus. Jika
perbuatan tersebut – yaitu berdzikir dalam shalat dengan bacaan yang tidak
berasal dari riwayat (tidak ma’tsur) – adalah perbuatan haram atau bid’ah yang
tercela, niscaya Nabi ﷺ
tidak akan memujinya, dan para malaikat tidak akan berlomba-lomba untuk
menulisnya. Seandainya yang terpuji hanyalah bacaan dzikir itu saja, bukan
kebolehan berdzikir dengan dzikir lain yang tidak ma’tsur, tentu Nabi ﷺ akan menjelaskan bahwa membuat dzikir baru
yang tidak ma’tsur adalah perbuatan terlarang.
Al-Hafizh
Ibnu ‘Abdil Barr berkata dalam at-Tamhid (16/199, cetakan Muassasah
al-Qurthubah):
وَفِيهِ التَّفْوِيضُ
لِلْمُصَلِّي الدَّاعِي بِأَنْ يَخْتَارَ مِنَ الدُّعَاءِ مَا هُوَ أَعْجَبُهُ إِلَيْهِ؛
إِمَّا مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ، أَوْ مِنْ كَلَامِهِ. وَالْحَاصِلُ: أَنَّهُ يَدْعُو
بِمَا أَحَبَّ مِنْ مَطَالِبِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَيُطِيلُ فِي ذَلِكَ أَوْ
يَقْصُرُ، وَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ بِمَا شَاءَ دَعَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا أَوْ
قَطِيعَةَ رَحِمٍ اهـ.
"Dalam
hadits ini, yang juga diriwayatkan oleh Malik, terdapat dalil bahwa semua
bentuk dzikir, pujian, dan sanjungan kepada Allah bukanlah perkataan yang
membatalkan shalat. Bahkan semuanya itu terpuji dalam shalat wajib maupun
sunnah, dan sangat dianjurkan untuk dilakukan." (Selesai).
Al-Hafizh
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata dalam Fath al-Bari (5/81, cetakan Dar Ibn
al-Jauzi):
وَقَدْ دَلَّ الْحَدِيثُ
عَلَى فَضْلِ هٰذَا الذِّكْرِ فِي الصَّلَاةِ، وَأَنَّ الْمَأْمُومَ يُشْرَعُ لَهُ
الزِّيَادَةُ عَلَى التَّحْمِيدِ بِالثَّنَاءِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، كَمَا
هُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ اهـ.
"Hadits
ini menunjukkan keutamaan dzikir tersebut dalam shalat, dan bahwa makmum
disyariatkan untuk menambahkan pujian kepada Allah setelah tahmid. Ini adalah
pendapat Imam asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad." (Selesai).
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari (2/287):
"وَاسْتُدِلَّ بِهِ
عَلَى جَوَازِ إِحْدَاثِ ذِكْرٍ فِي الصَّلَاةِ غَيْرِ مَأْثُورٍ إِذَا كَانَ غَيْرَ
مُخَالِفٍ لِلْمَأْثُورِ" اهـ.
"Dalil
ini juga digunakan sebagai dasar kebolehan membuat dzikir baru dalam shalat
yang tidak ma’tsur, selama tidak bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur."
(Selesai).
----
HADITS KE 5 :
Imam
Muslim meriwayatkan dalam *Shahih*-nya dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma
bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ
لَمْ يَبْقَ مِنْ مُبَشِّرَاتِ النُّبُوَّةِ إِلَّا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا
الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ. أَلَا وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأ الْقُرْآنَ رَاكِعًا
أَو سَاجِدًا؛ فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ، وَأمَّا
السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ؛ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ».
“Wahai
manusia, sesungguhnya tidak tersisa dari kabar gembira kenabian selain mimpi
yang baik, yang dilihat oleh seorang Muslim atau dilihatkan untuknya.
Ketahuilah, sungguh aku dilarang membaca Al-Qur'an dalam keadaan ruku' atau
sujud. Adapun ruku', maka agungkanlah Rabb di dalamnya 'Azza wa Jalla. Dan
adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat mungkin
doamu dikabulkan."
Al-'Allamah
Al-Manawi berkata dalam *Faidl al-Qadir* (2/88, cet. Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah):
وَٱلْأَمْرُ بِٱلْإِكْثَارِ
مِنَ ٱلدُّعَاءِ فِي ٱلسُّجُودِ يَشْمَلُ ٱلْحَثَّ عَلَىٰ تَكْثِيرِ ٱلطَّلَبِ لِكُلِّ
حَاجَةٍ كَمَا جَاءَ فِي خَبَرِ ٱلتِّرْمِذِيِّ: لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ
كُلَّهَا حَتَّىٰ شِسْعَ نَعْلِهِ اهـ.
"Perintah
untuk memperbanyak doa saat sujud mencakup anjuran untuk memperbanyak
permintaan atas segala kebutuhan, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat
at-Tirmidzi: Hendaklah salah seorang dari kalian meminta kepada Rabb-nya semua
kebutuhannya, bahkan sampai tali sandal sekalipun."
Syaikh
al-Mubarakfuri berkata dalam *Mir’aat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih*
(3/187, cet. Al-Jami‘ah as-Salafiyyah, India):
وَالْحَدِيثُ دَلِيلٌ
عَلَىٰ مَشْرُوعِيَّةِ الدُّعَاءِ حَالَ السُّجُودِ بِأَيِّ دُعَاءِ كَانَ؛ مِنْ طَلَبِ
خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَالِاسْتِعَاذَةِ مِنْ شَرِّهِمَا اهـ.
"Hadis
ini adalah dalil disyariatkannya berdoa ketika sujud dengan doa apa pun; baik
berupa permintaan kebaikan dunia dan akhirat, maupun permohonan perlindungan
dari keburukan keduanya."
Syaikh
al-‘Allamah al-Kasymiri berkata dalam *Faidl al-Bari Syarh al-Bukhari* (3/81,
cet. Syabakah Misykat al-Islamiyyah):
ثُمَّ إِنَّ ابْنَ أَمِيرِ
الْحَاجِّ صَرَّحَ بِجَوَازِ الْأَدْعِيَةِ كُلِّهَا، حَتَّى فِي الْجَمَاعَاتِ، بِشَرْطِ
عَدَمِ التَّثْقِيلِ عَلَى الْقَوْمِ. وَرَاجِعْ (الْمَوَاهِبَ اللَّدُنِّيَّةَ) لِمَوَاضِعِ
الْأَدْعِيَةِ مِنَ الصَّلَاةِ، فَإِنَّهُ بَسَطَهَا جِدًّا. وَمَا فِي (الْمَبْسُوطِ)
لِشَمْسِ الْأَئِمَّةِ مِنْ عَدَمِ جَوَازِ الأَذْكَارُ فِي الْفَرَائِضِ، فَهُوَ مَتْرُوكٌ
عِنْدِي، وَالْمُخْتَارُ مَا قَرَّرَهُ ابْنُ أَمِيرِ الْحَاجِّ اهـ.
"Selanjutnya,
Ibnu Amir al-Hajj telah menegaskan bolehnya semua jenis doa, bahkan dalam salat
berjamaah, dengan syarat tidak memberatkan jamaah. Silakan merujuk pada
*al-Mawahib al-Ladunniyyah* tentang tempat-tempat doa dalam salat, karena
beliau telah menguraikannya dengan sangat luas. Adapun yang terdapat dalam
*al-Mabsuth* karya Syamsul A-immah tentang tidak bolehnya zikir-zikir dalam
salat fardhu, maka pendapat itu aku tinggalkan. Yang dipilih adalah apa yang
ditegaskan oleh Ibnu Amir al-Hajj."
----
HADITS KE 6 :
Dari
Rifa'ah bin Rafi' Az Zuraqi radhiyallahu ‘anhu berkata :
" كُنَّا
يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا
رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ، قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، قَالَ
رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا
مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟ قَالَ: أَنَا،
قَالَ: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ
يَكْتُبُهَا أَوَّلُ "
"Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi ﷺ. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk
beliau mengucapkan:
سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ
(Semoga Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya) '.
Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca;
رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
(Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan
pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah) '."
Selesai
shalat beliau bertanya: "Siapa orang yang membaca kalimat tadi?"
Orang
itu menjawab, "Saya."
Beliau
bersabda: "Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di
antara mereka yang lebih dahulu untuk menuliskan kalimat tersebut."
(
HR. Bukhori no. 757 dan Muslim no. 617 )
CATATAN :
Kami
mendengar dari banyak jamaah, ketika bangun dari rukuk, mengatakan :
(رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ والشُّكْرُ)
(Tuhan kami bagi-Mu, pujian dan syukur)
Dan
setelah pencarian yang panjang, kami menemukan bahwa riwayat bangun dari rukuk
terkait dengan zikir ini adalah sebagai berikut :
(رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ)
(Ya Tuhan kami, segala puji bagi-Mu)
(رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ)
(Ya Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji)
(اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ)
(Ya Allah). Ya Tuhan kami, segala puji bagi-Mu)
(اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ)
(Ya Allah, Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji)
Penulis katakan :
Yang
lebih afdlol dan lebih baik adalah tanpa mengucapkan kata “وَالشُّكْرُ” setelah mengatakan : “رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ”; Karena kata (“وَالشُّكْرُ”dan terima kasih) setelah mengatakan : “رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ” adalah tambahan yang tidak disebutkan dalam Sunnah, dan yang
utama adalah meninggalkannya .
Syeikh
Ibnu Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, berkata :
"لَا شَكَّ أَنَّ التَّقَيُّدَ بِالأَذْكَارُ الْوَارِدَةِ هُوَ
الأَفْضَلُ، فَإِذَا رَفَعَ الإِنْسَانُ مِنَ الرُّكُوعِ فَلْيَقُلْ: «رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ»، وَلَا يَزِدْ «وَالشُّكْرُ» لِعَدَمِ وُرُودِهَا."
“Tidak
ada keraguan bahwa berpegang dengan mengamalkan dzikir-dzikir yang terdapat
dalam hadits-hadits adalah yang terbaik, Jadi jika seseorang bangun dari ruku’,
maka dia ucapkanlah : “رَبَّنَا
وَلَكَ الحَمْدُ”.
Tanpa menambahi kata “وَالشُّكْرُ” karena tidak ada dalilnya .”
CATATAN :
Bahwa
siapa pun yang memabacanya dengan tambahan (“وَالشُّكْرُ”dan terima kasih) “ , kami tidak mengatakan tentang orang tersebut
bahwa dia melakukan amalan yang diharamkan atau bid’ah mungkaroh atau melakukan
sesuatu yang membatalkan sholatnya, tetapi lebih afdhol membatasi dirinya pada
apa yang disebutkan dalam Sunnah.
Syeikh
Bin Baaz, semoga Allah merahmatinya, berkata:
"الأَفْضَلُ أَنْ يَقُولَ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، وَيَكْفِي
وَلَا يَزِدْ «وَالشُّكْرُ»، وَإِنْ زَادَ كَلِمَةَ (وَالشُّكْرُ) لَا يَضُرُّهُ، وَيُعَلَّمُ
أَنَّهُ غَيْرُ مَشْرُوعٍ."
"Lebih baik baginya untuk mengatakan : “رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ / Tuhan kami, segala puji bagi-Mu”, dan itu cukup dan tidak
menambah (“وَالشُّكْرُ”dan terima kasih).
Dan
jika kata “وَالشُّكْرُ” ditambahkan itu tidak membahayakannya,
dan dikasih tahu bahwa itu tidak disyariatkan”.
-----
HADITS KE 7 :
Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma dia berkata ;
بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ:
«اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا»
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «مِنَ الْقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا؟» . قَالَ رَجُلٌ مَنِ الْقَوْمِ:
أَنَا، يَا رَسُولَ اللهِ
قَالَ: «عَجِبْتُ لَهَا، فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ
السَّمَاءِ»
قَالَ ابْنُ عُمَرَ: «فَمَا تَرَكْتُهُنَّ
مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ»
"Ketika kami sedang shalat bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari
suatu kaum mengucapkan;
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Artinya : “Allah Mahabesar dengan kebesaran yang agung,
segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan
petang”.
Lantas Rasulullah ﷺ bertanya:
"Siapa yang mengatakan begini dan begini?
Lelaki tersebut menjawab; "Saya ya Rasulullah."
Maka Rasululah ﷺ bersabda:
"Aku sangat heran, karena dengannya pintu-pintu langit telah di
buka."
Ibnu Umar berkata; "Oleh karena itu, aku tidak pernah
meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah ﷺ."
( HR. Muslim 1/420 no. 601 , Ahmad 8/79 dan Turmudzi No.
3516 )
Dan hadits ini juga datang dengan redaksi lain dari hadits
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma. Dalam salah satunya disebutkan:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنِّي لَأَنْظُرُ
إِلَيْهَا تَصْعَدُ حَتَّى فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ.
*“Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, sungguh aku melihatnya naik hingga dibukakan untuknya pintu-pintu
langit.”*
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *Musnad*-nya
no. (5722).]
Dalam riwayat lain:
لَقَدِ ابْتَدَرَهَا اثْنَا عَشَرَ مَلَكًا.
*“Sungguh dua belas malaikat berlomba-lomba
menyambutnya.”*
[Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dalam *Sunan*-nya: Kitab
Al-Iftitah, Bab Ucapan yang Dibaca Ketika Memulai Shalat, no. (885), dan
dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab yang sama.]
Dan dalam sebagian riwayat hadits yang bukan dari Ibnu
Umar:
لَقَدْ رَأَيْتُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ فُتِحَتْ،
فَمَا تَنَاهَى دُونَهَا الْعَرْشُ.
*“Sungguh aku melihat pintu-pintu langit
terbuka, dan tidak ada yang menghalanginya hingga sampai ke bawah 'Arsy.”*
]Diriwayatkan
oleh Al-Bushiri dalam *Ittihāf al-Khiarah al-Mahrah bi Zawāid
al-Masānīd al-‘Asharah*: Kitab Pembukaan Shalat, Bab
Tentang Doa yang Dibaca untuk Membuka Shalat, no. (1246), dan ia berkata:
Sanadnya para perawinya terpercaya].
-----
HADITS KE 8 :
Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ نَابِي، يَعْنِي نَائِي، وَنَحْنُ
فِي الصَّفِّ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَدَخَلَ فِي
الصَّفِّ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا،
فَرَفَعَ الْمُسْلِمُونَ رُءُوسَهُمْ وَاسْتَنْكَرُوا الرَّجُلَ فَقَالُوا: مَنِ الَّذِي
يَرْفَعُ صَوْتَهُ فَوْقَ صَوْتِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَلَمَّا
انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ هَذَا الْعَالِي
الصَّوْتَ؟ " قَالَ: هُوَ ذَا، يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: "وَاللهِ لَقَدْ رَأَيْتُ كَلَامَكَ يَصْعَدُ فِي السَّمَاءِ
حَتَّى فُتِحَ بَابٌ مِنْهَا، فَدَخَلَ فِيهِ".
Seorang laki-laki dari daerah pelosok datang - yang
dimaksud adalah dari tempat yang jauh - sedangkan kami sedang berada dalam shaf
di belakang Rasulullah ﷺ. Laki-laki itu masuk ke dalam shaf lalu
berkata:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ
بُكْرَةً وَأَصِيلًا،
(Maha Besar Allah dengan kebesaran yang agung, dan
Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang).
Lalu kaum Muslimin menolehkan kepala mereka dan merasa
heran terhadap laki-laki itu, seraya berkata:
“Siapa yang mengangkat suaranya di atas suara Rasulullah ﷺ?”
Ketika Rasulullah ﷺ selesai (shalat), beliau bersabda: “Siapa
yang mengangkat suaranya tadi?”.
Ia menjawab: “Itu aku, wahai Rasulullah.”
Maka beliau ﷺ bersabda: “Demi Allah, sungguh aku melihat
ucapanmu itu naik ke langit sampai sebuah pintu di langit dibukakan, lalu
(ucapan itu) masuk ke dalamnya.”
[HR. Ahmad no. 19134 dan 19148.
Sanadnya lemah karena adanya ketidakjelasan (jahalah) pada
Abdullah bin Sa’id, yaitu Al-Hamdani. Ia termasuk dalam kalangan perawi yang
disebut dalam kitab *At-Ta‘jīl*, dan hanya Iyad bin Laqith yang meriwayatkan darinya
secara tunggal. Tidak ada penilaian tsiqah (tepercaya) terhadapnya kecuali dari
Ibnu Hibban, sedangkan perawi lainnya adalah tsiqat dan termasuk perawi kitab
*Ash-Shahih*.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam
*Al-Istidzkar* (8/133) melalui jalur Imam Ahmad dengan sanad yang sama.
Al-Haitsami mencantumkannya dalam *Majma‘ Az-Zawa’id*
(2/105–106), dan berkata:
رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي
"الْكَبِيرِ"، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ!
“Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dalam
*Al-Kabir*, dan para perawinya tsiqat!”
As-Sindi berkata:
قَوْلُهُ: وَقَالُوا: مَنْ الَّذِي يَرْفَعُ
... أَي: قَالُوا ذَلِكَ فِي نُفُوسِهِمْ، عُلِمَ ذَلِكَ مِنْ رَفْعِهِمُ الرُّؤُوسَ،
لَا أَنَّهُمْ قَالُوا بِأَلْسِنَتِهِمْ، إِلَّا أَنْ يَجُوزَ كَوْنُ هَذَا كَانَ قَبْلَ
نَسْخِ الْكَلَامِ، وَفِيهِ نَظَرٌ، إِذِ الظَّاهِرُ أَنَّ إِسْلَامَ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَبِي أَوْفَى مُتَأَخِّرٌ، وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
Ucapannya:
*“Dan mereka berkata: Siapa yang meninggikan suaranya...”* maksudnya: mereka
mengatakan itu dalam hati mereka, sebagaimana diketahui dari gerakan mereka
mengangkat kepala, bukan berarti mereka mengucapkannya dengan lisan—kecuali
jika diasumsikan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum larangan berbicara (di
dalam shalat), namun hal ini dipertanyakan karena tampaknya keislaman Abdullah
bin Abi Aufa terjadi belakangan. Wallahu ta‘ala a‘lam. [Di kutip hamish Musnad
Imam Ahmad Tahqiq Syu’aib al-Arna’uth 31/477].
*****
KETIGA : DALIL DARI ATSAR SAHABAT, TABI’IN DAN TABI’UT TABI’IN :
Adapun
perbuatan para salaf dari sahabat, tabi'in, dan sesudah mereka, maka hal itu
telah diriwayatkan dari banyak jamaah, dan menyebar luas tanpa ada pengingkaran,
sehingga seperti telah menjadi ijma’.
Al-‘Allaamah
Ibnu 'Allan as-Siddiqi dalam (Al-Futuhat ar-Rabbaniyah 'ala al-Adzkar
an-Nawawiyah, 3/3, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi) dalam penjelasannya atas
perkataan Imam Nawawi sebelumnya berkata:
أشارَ في (شَرْحِ عِدَّةِ
الحِصْنِ) إلى تَقْوِيَةِ ما نَحَاهُ الشَّافِعِيُّ بِنَقْلِهِ الدُّعَاءِ بِأَمْرِ
الدُّنْيَا وَبِغَيْرِ المَأْثُورِ عَنْ جَمْعٍ كَثِيرٍ، ثُمَّ قَالَ: وَإِذَا انْضَمَّ
قَوْلُ هَؤُلَاءِ إِلَى قَوْلِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا جَرَى مَجْرَى
الإِجْمَاعِ؛ إِذْ لَا مُخَالِفَ لَهُمْ. وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ شَبْرَمَةَ أَنَّهُ قَالَ:
يَجُوزُ الدُّعَاءُ فِي الْمَكْتُوبَةِ بِأَمْرِ الآخِرَةِ لَا بِأَمْرِ الدُّنْيَا،
فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَوْنٍ: أَلَيْسَ فِي القُرْآنِ ﴿وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ﴾؟
فَسَكَتَ. اهـ. وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ: جَوَازُ الدُّعَاءِ بِأَمْرِ الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ. اهـ.
“Dia
(Imam Nawawi) menunjuk dalam (Syarh 'Uddah al-Hisn) untuk menguatkan apa yang
dibawa oleh Imam Syafi’i dengan menukil doa tentang urusan dunia dan yang bukan
dari hadits shahih dari banyak jamaah, kemudian berkata: ‘Dan apabila pendapat
mereka ditambahkan dengan perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma maka hal itu
menjadi seperti ijma’; karena tidak ada yang berbeda pendapat dengan mereka.
Dan diriwayatkan dari Ibnu Sabrimah bahwa dia berkata: ‘Dibolehkan berdoa dalam
shalat wajib dengan urusan akhirat, bukan dengan urusan dunia,’ lalu Ibnu ‘Aun
berkata kepadanya: ‘Bukankah dalam Al-Qur’an ada firman Allah: “Dan mohonlah
kepada Allah akan karunia-Nya”? Maka dia diam.’
Dan
madzhab Malikiyah membolehkan doa dengan urusan dunia dan akhirat.”
Di antara riwayat dari para sahabat dan tabi’in dalam
hal ini:
قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ
فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّـهِ عَنْهُ، فَصَلَّيْتُ وَرَاءَهُ
الْمَغْرِبَ، فَقَرَأَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَسُورَةٍ
مِنْ قِصَارِ الْمُفَصَّلِ، ثُمَّ قَامَ فِي الثَّالِثَةِ، فَدَنَوْتُ مِنْهُ حَتَّى
إِنَّ ثِيَابِي لَتَكَادُ أَنْ تَمَسَّ ثِيَابَهُ، فَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ
وَبِهَذِهِ الآيَةِ: ﴿رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ
لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ﴾ [آل عمران: ٨].
*
Imam Malik juga meriwayatkan dalam “Al-Muwatta” dari Abu ‘Abdillah as-Sanabahi
berkata: “Aku datang ke Madinah pada masa kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq
radhiyallahu ‘anhu, lalu aku shalat Maghrib di belakangnya. Dia membaca di dua
rakaat pertama dengan Ummul Qur’an dan surat pendek dari juz ‘Amma, kemudian
berdiri pada rakaat ketiga. Aku mendekat kepadanya sampai bajuku hampir
menyentuh bajunya, lalu aku mendengar dia membaca Ummul Qur’an dan ayat ini:
﴿رَبَّنَا لَا تُزِغْ
قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ
الْوَهَّابُ﴾
Pembacaan
ayat itu dibawa sebagai doa; karena rakaat ketiga Maghrib tidak ada bacaan
setelah Al-Fatihah, maka itu adalah doa di tempat yang biasanya tidak ada doa.
Ini menunjukkan pemahaman beliau radhiyallahu ‘anhu tentang keshahihan dan
bolehnya hal itu.
Syaikh
‘Allamah al-Muhaddits Zakariya al-Kandahlawi dalam (Awjaz al-Masalik ila
Muwatta Malik, 2/125, Dar al-Qalam) berkata:
قالَ الباجِيُّ:
"يَحْتَمِلُ أَنَّهُ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- دَعَا بِهذِهِ فِي آخِرِ الرُّكْعَةِ
عَلَى مَعْنَى الدُّعَاءِ؛ لِمَعْنًى تَذْكُرُهُ أَوْ خُشُوعٍ حَضَرَهُ، لا عَلَى مَعْنَى
أَنَّهُ قَرَنَ قِرَاءَتَهُ عَلَى حَسَبِ مَا تَقَرَّنَ بِهَا السُّورَةُ" اهـ.
وَقَرِيبٌ مِنْهُ: مَا نَقَلَهُ الشَّيْخُ الْمُوَفَّقُ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ
حَنْبَلَ إِذْ قَالَ: وَسُئِلَ أَحْمَدُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنْ شَاءَ قَالَهُ،
وَلا نَدْرِي أَكَانَ ذَلِكَ قِرَاءَةً مِنْ أَبِي بَكْرٍ أَوْ دُعَاءً؟ فَهذَا يَدُلُّ
عَلَى أَنَّهُ لا بَأْسَ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ دُعَاءٌ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَكْرَهْ"
اهـ.
قُلْتُ: وَكَذَلِكَ
عِنْدَنَا الْحَنَفِيَّةُ يَصِحُّ حَمْلُهُ عَلَى الدُّعَاءِ، قَالَ الْحَلَبِيُّ فِي
السُّهُوِّ بَحْثًا: وَأَمَّا التَّشَهُّدُ فَلِأَنَّهُ ثِنَاءٌ، وَالْقِيَامُ وَالرُّكُوعُ
وَالسُّجُودُ مَحَلُّ الثَّنَاءِ" اهـ.
“Al-Baji
berkata: ‘Kemungkinan dia (Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu) berdoa dengan itu di
akhir rakaat sebagai doa; karena suatu makna yang diingatnya atau kekhusyukan
yang hadir, bukan bermakna bahwa dia menggabungkan bacaan itu sesuai dengan
surat yang biasa digabungkan.’”
Dan
serupa dengan itu, apa yang dinukil oleh Syaikh al-Muwaffaq dari Imam Ahmad bin
Hanbal ketika ditanya tentang itu, beliau berkata: “Kalau dia mau, dia katakan
(sebagai bacaan), dan kami tidak tahu apakah itu bacaan dari Abu Bakar atau
doa? Ini menunjukkan bahwa tidak masalah hal itu; karena itu doa dalam shalat
sehingga tidak makruh.”
Saya
katakan: Demikian pula menurut kami kaum Hanafi, boleh memaknai itu sebagai
doa. Al-Halabi dalam pembahasan sujud sahwi berkata: “Adapun tasyahhud karena
itu pujian, dan berdiri, ruku’, serta sujud adalah tempat pujian.” [Selesai]
Berikut ini sebagian riwayat atsar para sahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in :
KE
1:
Abd
al-Razzaq meriwayatkan dalam "Al-Musannaf" dari ‘Asim bin Dhamrah, ia
berkata:
كَانَ عَلِيٌّ إِذَا
افْتَتَحَ الصَّلَاةَ قَالَ: «اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ
إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا
أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ،
وَالْمَهْدِيُّ مَنْ هَدَيْتَ، وَعَبْدُكَ بَيْنَ يَدَيْكَ، وَعَبْدُكَ بَيْنَ يَدَيْكَ،
وَمِنْكَ وَإِلَيْكَ، وَلَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ
وَتَعَالَيْتَ، سُبْحَانَكَ رَبَّ الْبَيْتِ»
Ali
radhiyallahu 'anhu apabila memulai shalat, berkata:
"Allah
Mahabesar, tidak ada tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sungguh aku telah
menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada
yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Aku datang memenuhi panggilan-Mu dan
siap melayani-Mu, segala kebaikan berada di tangan-Mu, dan kejahatan tidak
dinisbatkan kepada-Mu. Orang yang mendapat petunjuk adalah orang yang Engkau
beri petunjuk. Aku adalah hamba-Mu di hadapan-Mu. Dari-Mu dan kepada-Mu (aku
datang). Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali
kembali kepada-Mu. Maha Berkah dan Maha Tinggi Engkau. Mahasuci Engkau, wahai
Tuhan pemilik Ka'bah".
[Diriwayatkan
pula oleh Abu Daud ath-Thoyalisi dalam al-Musnad no. 134, Ibnu Abi Syaibah
dalam al-Mushonnaf no. 2405 dan al-Qodury dalam at-Tajriid no. 2071]
KE
2 :
Ibnu
Abi Syaibah meriwayatkan dalam "Al-Musannaf" no. 2548 dari Al-Harith,
ia berkata: Ali ketika mengangkat kepala dari rukuk berkata:
كَانَ عَلِيٌّ، إِذَا
رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ قَالَ: «سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، اللَّهُمَّ
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ بِحَوْلِكَ، وَقُوَّتِكَ أَقُومُ وَأَقْعُدُ»
Artinya:
*"Allah mendengar siapa yang memuji-Nya. Ya Allah, Tuhan kami, hanya
bagi-Mu segala pujian. Dengan kekuasaan dan kekuatan-Mu aku berdiri dan
duduk."*
Dan
Imam Malik meriwayatkan dalam "Al-Muwaththa" 1/91 no. 54 dari Nafi’ :
Bahwa Abdullah bin Umar biasa bertasyahud lalu mengucapkan:
" بِسْمِ اللَّهِ،
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ، الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ
عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، شَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، شَهِدْتُ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ،
*"Bismillah,
segala kehormatan hanya milik Allah, segala shalawat hanya milik Allah, segala
yang suci hanya milik Allah. Salam sejahtera atas Nabi, rahmat Allah dan
berkah-Nya. Salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah Rasulullah."*
Ia
mengucapkan ini pada dua rakaat pertama. Setelah selesai dari tasyahudnya, ia
berdoa dengan doa apa pun yang ia kehendaki. Apabila duduk pada akhir
shalatnya, ia bertasyahud juga seperti itu, hanya saja ia mendahulukan
tasyahud, kemudian berdoa dengan apa pun yang ia kehendaki.
Setelah
ia selesai dari tasyahud dan hendak mengucapkan salam, ia berdoa:
السَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ،
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ "
*"Salam
sejahtera atas Nabi, rahmat Allah dan berkah-Nya. Salam sejahtera atas kami dan
atas hamba-hamba Allah yang saleh. Salam sejahtera atas kalian"*
Ke
arah kanannya. Lalu ia membalas salam kepada imam. Jika ada orang di sebelah
kirinya yang mengucapkan salam kepadanya, ia pun membalasnya”. (Selesai)
[Lihat
pula al-Muwaththa Imam Malik riwayat Abu Mush’ab 1/193 no. 500].
Diriwayatkan
pula oleh al-Baihaqi dalam al-Kubro no. 2833 dan Abdur Rozzaaq dalam
al-Mushonnaf no. 3073. Di hukumi Shahih oleh an-Nawawi dalam al-Adzkaar hal. 64
dan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Adzkar hal. 64.
Namun
atsar ini tidak ada yang sahih dari Nabi ﷺ
dalam semua jalur hadits marfu’.
KE
3 :
Dan
Abd al-Razzaq meriwayatkan dalam "Musannaf"-nya 2/76 no. 2560 dari
Al-Haitsam bin Hanasy, bahwa ia melihat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, dan
shalat bersamanya di sampingnya, lalu dia mengucapkan:
«اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ
أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ للَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا،
اللَّهُمَّ اجْعَلْكَ أَحَبَّ شَيْءٍ إِلَيَّ وَأَحْسَنَ شَيْءٍ عِنْدِي»
"Allah
Maha Besar, Allah Maha Besar dengan kebesaran yang agung. Segala puji bagi
Allah sebanyak-banyaknya. Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang. Ya Allah,
jadikanlah Engkau sebagai sesuatu yang paling aku cintai dan yang paling baik
di sisiku".
KE
4 :
Dan
Ath-Thabrani meriwayatkan dalam "Al-Mu’jam Al-Kabir" dari ‘Isa bin
‘Abdurrahman As-Sulami, ia berkata: Aku mendengar Malik bertanya kepada Asy-Sya’bi
tentang tasyahhud, lalu berkata:
كَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ
يَقُولُ بَعْدَ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ، وَرَحْمَةُ اللهِ: «السَّلَامُ
عَلَيْنَا مِنْ رَبِّنَا»
"Ibnu
Mas’ud radhiyallahu 'anhu biasa mengucapkan 'As-salamu ‘alayna min rabbina'"
setelah baca : 'As-salamu ‘alayka ayyuhan-nabiyyu wa rahmatullahi'.
Al-Hafizh
Al-Haytsami berkata dalam "Majma’ az-Zawa’id” 2/143 no. 2863:
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ
فِي الْكَبِيرِ وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ
"Diriwayatkan
ath-Thabarani, dan para perawinya adalah para perawi shahih."
KE
5 :
Abdurrazzaq
meriwayatkan dalam *Al-Mushannaf* 2/159 no. 2892 dari Qatadah, dari Ummul Hasan
: “Bahwa ia mendengar Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berkata dalam sujud dan
dalam shalatnya:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ
وَارْحَمْ وَاهْدِنَا السَّبِيلَ الْأَقْوَمَ "
"Ya
Allah, ampunilah dan rahmatilah, dan tunjukilah kami jalan yang paling
lurus."
KE
6 :
Dan
diriwayatkan dalam *Al-Mushannaf* 2/162 no. 2901 : bahwa ‘Atha berkata: Aku
sering mendengar Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma mengucapkan dalam sujudnya:
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ
رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ، سَبَقَتْ رَحْمَةُ رَبِّي غَضَبَهُ "
"Maha
Suci, Maha Kudus, Tuhan para malaikat dan Ruh. Rahmat Rabb-ku telah mendahului
murka-Nya."
[Diriwayatkan
pula oleh al-Mundziri dalam al-Awsath 3/188 no. 1476].
KE
7 :
Al-Baihaqi
meriwayatkan dalam *Syu’abul Iman* 3/434 no. 1921 dari Ali Al-Faasyaani, ia
berkata:
كَانَ عَبْدُ اللهِ
بْنُ الْمُبَارَكِ " يُعْجِبُهُ إِذَا خَتَمَ الْقُرْآنَ أَنْ يَكُونَ دُعَاؤُهُ
فِي السُّجُودِ "
"Abdullah
bin Al-Mubarak menyukai jika selesai membaca Al-Qur’an maka doanya dilakukan
dalam sujud."
KE
8 :
Abdurrazzaq
meriwayatkan dalam *Al-Mushannaf* dari Ma’mar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya :
bahwa jika beliau baca istiftah sholat beliau mengucapkan:
«اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا،
وَالْحَمْدُ للَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ»
Artinya
: "Allah Maha Besar dengan kebesaran yang agung, segala puji bagi Allah dengan
pujian yang banyak, baik, dan penuh keberkahan."
Lalu
mengucapkan:
" رَبِّي رَبُّ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، {لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا
شَطَطًا} [الكهف: 14]، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، {وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي
فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ}، إِلَي {وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ} [يونس:
90] "
Artinya
: "Tuhanku adalah Tuhan langit dan bumi. Kami tidak akan menyeru tuhan
selain-Nya, sungguh itu adalah ucapan yang melampaui batas. Allahu Akbar Allahu
Akbar. Aku menghadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi... dan
aku termasuk kaum muslimin."
Lalu
beliau mengulang:
" رَبِّي رَبُّ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ {لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا
شَطَطًا} [الكهف: 14]، اللَّهُ أَكْبَرُ، الْحَمْدُ للَّهِ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَتَبَارَكَ اللَّهُ، وَتَعَالَى اللَّهُ، مَا شَاءَ اللَّهُ،
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، أَشْهَدُ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ، وَأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى، سُبْحَانَ الْمَلِكِ
الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ، رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ ارْحَمْنِي، {رَبِّ أَعُوذُ
بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ} [المؤمنون:
98]، أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ "
Artinya
: "Tuhanku adalah Tuhan langit dan bumi. Kami tidak akan menyeru tuhan
selain-Nya, sungguh itu adalah ucapan yang melampaui batas. Allahu Akbar.
Segala puji bagi Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Maha Suci Allah.
Mahaberkah Allah. Maha Tinggi Allah. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi.
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Aku bersaksi
bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan bahwa Allah Mahasuci. Mahasuci
Tuhanku Yang Mahatinggi. Mahasuci Raja Yang Kudus, Yang Mahaperkasa,
Mahabijaksana. Ya Rabb, ampunilah aku. Ya Rabb, rahmatilah aku. Ya Rabb, aku
berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan dan aku berlindung kepada-Mu,
ya Rabb, agar mereka tidak hadir. Aku berlindung kepada Allah dari setan yang
terkutuk. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Ia
berkata: "Beliau mengatakan: ini adalah doa tahowwu’ (sunnah)." [Selesai]
KE
9 :
Diriwayatkan
Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf* 2/81 no. 2569 dari Ibnu Juraij, ia berkata:
قُلْتُ لِعَطَاءٍ: هَلْ
مِنْ قَوْلٍ إِذَا كَبَّرَ الْمَرْءُ قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ؟ فَقَالَ: «بَلَغَنَا أَنَّهُ
يُهَلِّلُ، إِذَا اسْتَفْتَحَ الْمَرْءُ فَلْيُكَبِّرْ، وَلْيَحْمَدْ، وَلْيَذْكُرْ،
وَلْيَسْأَلْ إِنْ كَانَتْ لَهُ حَاجَةٌ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ» قَالَ: «وَلَمْ
يَبْلُغْنِي قَوْلٌ مُسَمَّى إِلَّا كَذَلِكَ» قَالَ: «فَنَظَرْتُ قَوْلًا جَامِعًا
رَأَيْتُهُ مِنْ قَبْلِي فَقُلْتُهُ»، قُلْتُ: أُكَبِّرُهُنَّ خَمْسًا قَالَ: تَكْبِيرَةُ
الْأُولَى بِيَدَيْهِ وَارْفَعْ بِفِيهِ قَالَ: «فَأُكَبِّرُ خَمْسًا، وَأَحْمَدُ خَمْسًا،
وَأُسَبِّحُ خَمْسًا، وَأَحْمَدُ خَمْسًا، وَأُهَلِّلُ خَمْسًا»، ثُمَّ أَقُولُ:
" لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ خَمْسًا، وَأَقُولُ حِينَ أَقُولُ
آخِرَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ التَّكْبِيرِ، وَالتَّسْبِيحِ، وَالتَّحْمِيدِ، وَالتَّهْلِيلِ:
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، عَدَدَ خَلْقِكَ، وَرِضَى نَفْسِكَ، وَزِنَةَ
عَرْشِكَ، وَأَسْأَلُ حَاجَتِي، ثُمَّ أَسْأَلُ وَأَسْتَغْفِرُ وَأَسْتَعِيذُ
" قَالَ: «فَإِذَا بَلَغْتُ أُحِسُّ ذَلِكَ فِي نَفْسِي، قُلْتُ هَذَا الْقَوْلَ»
قَالَ: «وَكَثِيرًا مَا أُقَصِّرُ عَنْ ذَلِكَ» قَالَ: «وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يَكُونَ
فِي الْمَكْتُوبَةِ وَالتَّطَوُّعِ»، قُلْتُ لَهُ: فَإِنَّهُ يُكْرَهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ
الْإِنْسَانُ قَائِمًا فِي الْمَكْتُوبَةِ يَقُولُ: «وَلَكِنْ يُسَبِّحُ وَيَذْكُرُ
اللَّهَ» قَالَ: «فَإِنِّي لَمْ أَقْرَأْ بَعْدُ وَلَمْ أُصَلِّ بَعْدُ إِنَّمَا هَذَا
قَبْلَ الْقِرَاءَةِ»، قُلْتُ: فَكُنْتُ دَاعِيًا عَلَى إِنْسَانٍ حِينَئِذٍ تُسَمِّيهِ؟
قَالَ: «لَا، إِنَّمَا قُمْتُ فِي حَاجَتِي، فَأَمَّا فِي غَيْرِ ذَلِكَ فَلَا»، فَقَالَ
لَهُ إِنْسَانٌ: أَتُبَالِي لَوْ تَكَلَّمْتُ حِينَئِذٍ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ وَقَبْلَ
الْقِرَاءَةِ؟ قَالَ: «أَيْ لَعَمْرِي أَبَعْدَ مَا أُكَبِّرُ؟ لَا كَلَامَ حِينَئِذٍ
بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ وَقَبْلَ الْقِرَاءَةِ»
Aku
berkata kepada ‘Atha: Apakah ada ucapan khusus ketika seseorang bertakbir
sebelum membaca (Al-Fatihah)?
Ia
menjawab:
Telah
sampai kepada kami bahwa ia bertahlil ketika membuka shalat, maka hendaknya ia
bertakbir, memuji Allah, berdzikir, dan memohon (jika memiliki hajat) sebelum
membaca (Al-Fatihah).
Ia
berkata: Tidak sampai kepadaku ucapan khusus selain yang demikian. Aku pun
melihat suatu kalimat yang ringkas dan aku ucapkan; aku berkata: Aku
menjadikannya masing-masing lima kali; ia berkata:
Takbir
pertama dengan tangan dan empat dengan lisan. Aku bertakbir lima kali, memuji
lima kali, bertasbih lima kali, memuji lima kali, bertahlil lima kali, lalu aku
mengucapkan:
" لَا حَوْلَ وَلَا
قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ".
Artinya
: " Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. "
Lima
kali, dan aku ucapkan pada akhir setiap bacaan takbir, tasbih, tahmid, dan
tahlil:
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ
إِلَّا بِاللَّهِ، عَدَدَ خَلْقِكَ، وَرِضَى نَفْسِكَ، وَزِنَةَ عَرْشِكَ
Artinya
: "Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah,
sebanyak jumlah makhluk-Mu, sepadan dengan ridha-Mu, dan seberat timbangan
Arsy-Mu."
Lalu
aku memohon kebutuhanku dan memohon ampun serta memohon perlindungan.
Ia
berkata: Jika aku telah sampai pada hal itu dan merasakannya dalam diriku, aku
mengucapkan kalimat ini.
Ia
berkata: Namun seringkali aku tidak menyempurnakannya.
Ia
berkata: Aku lebih menyukai hal itu dilakukan dalam shalat wajib maupun sunnah.
Aku
bertanya padanya: Bukankah dimakruhkan beristighfar dalam keadaan berdiri dalam
shalat wajib?
Ia
menjawab: Tetapi aku belum membaca (Al-Fatihah), belum shalat. Ini masih
sebelum membaca.
Aku
berkata: Apakah engkau pernah mendoakan seseorang pada saat itu dan menyebut
namanya?
Ia
menjawab: Tidak. Aku berdiri karena kebutuhanku. Adapun selain itu, tidak.
Seseorang
bertanya kepadanya: Apakah engkau mempermasalahkan jika berbicara pada saat itu
setelah takbir dan sebelum membaca (Al-Fatihah)?
Ia
menjawab: Demi hidupku, apakah setelah aku bertakbir? Tidak ada percakapan saat
itu setelah takbir dan sebelum membaca”.
KE
10 :
Dan
diriwayatkan Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf* 2/160 no. 2898 dari Ibnu Juraij,
ia berkata:
هَلْ بَلَغَكَ مِنْ
قَوْلٍ يُقَالَ فِي الرُّكُوعِ؟ قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَكَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ؟ قَالَ
: " إِذَا لَمْ أَعْجَلْ وَلَمْ يَكُنْ مَعِي شَيْءٌ يَشْغَلُنِي فَإِنِّي
أَقُولُ قَوْلًا إِذَا بَلَغْتَهُ فَهُوَ ذَلِكَ، أَقُولُ: سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ
رَبِّنَا لَمَفْعُولًا ثَلَاثًا، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ ثَلَاثًا، سُبْحَانَ
اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، سُبْحَانَ الْمَلِكَ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ،
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ، سَبَقَتْ رَحْمَةُ رَبِّي غَضَبَهُ
ثَلَاثَ مَرَّاتٍ "، قُلْتُ: فَهَلْ بَلَغَكَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ شَيْئًا مِنْهُنَّ
فِي الرُّكُوعِ؟ قَالَ: «لَا» قُلْتُ: فَمَا تَتَّبِعُ فِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «أَمَّا
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ»
Aku
berkata kepada ‘Atha’: “Apakah telah sampai kepadamu suatu bacaan yang
diucapkan ketika rukuk?” Ia menjawab: “Tidak.”
Aku
bertanya: “Kalau begitu bagaimana engkau mengucapkannya?”
Ia
berkata: “Jika aku tidak terburu-buru dan tidak ada sesuatu yang menyibukkanku,
maka aku mengucapkan bacaan yang apabila aku telah menyelesaikannya maka
cukuplah itu; aku mengucapkan: ‘Maha Suci Engkau dan dengan memuji-Mu, tidak
ada Tuhan selain Engkau’ sebanyak tiga kali. ‘Maha Suci Tuhan kami, sungguh
janji Tuhan kami pasti terlaksana’ sebanyak tiga kali. ‘Maha Suci Allah Yang
Maha Agung’ sebanyak tiga kali. ‘Maha Suci Allah dan dengan pujian-Nya’
sebanyak tiga kali. ‘Maha Suci Raja Yang Maha Kudus’ sebanyak tiga kali. ‘Maha
Suci, Maha Kudus, Tuhan para malaikat dan ruh, rahmat Tuhanku telah mendahului
murka-Nya’ sebanyak tiga kali.”
Aku
bertanya: “Apakah telah sampai kepadamu bahwa Nabi ﷺ
mengucapkan sesuatu dari bacaan-bacaan itu ketika rukuk?” Ia menjawab: “Tidak.”
KE
11 :
Dan
diriwayatkan Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf* 2/162 no. 2899 dari Atha’, ia
berkata:
«أَقُولُ فِي السُّجُودِ
مِثْلَ مَا أَقُولُ فِي الرُّكُوعِ»
“Aku
mengucapkan dalam sujud seperti apa yang aku ucapkan dalam rukuk.”
KE
12 :
Dan
diriwayatkan Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf* 2/188 no. 3012 dari Ibnu Tawuus,
ia berkata:
«كَانَ أَبِي يَقْرَأُ
بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قُرْآنًا كَثِيرًا»
“Ayahku
biasa membaca banyak ayat Al-Qur’an di antara dua sujud.”
[Diriwayatkan
pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/267 no. 8840].
===
KESIMPULAN DALIL :
Berdasarkan
hal tersebut: maka pendapat yang diandalkan dalam seluruh mazhab fiqih yang
diikuti adalah bahwa tidak disyaratkan untuk terikat dengan lafadz doa atau
zikir yang ma’tsur (diriwayatkan secara spesifik) dalam salat; baik bagi mereka
yang membolehkan berdoa dengan perkara dunia maupun yang tidak membolehkannya,
baik bagi yang mensyaratkan kesesuaian doa dengan apa yang diriwayatkan maupun
yang tidak mensyaratkan, meskipun terikat dengan yang ma’tsur lebih utama
apabila bacaan lisan selaras dengan hadirnya hati.
Dan
inilah yang diamalkan oleh umat Islam dari generasi awal hingga generasi akhir,
hingga hal ini menjadi seperti ijma’ (kesepakatan).
Ini
sama sekali bukan termasuk bid’ah, justru yang bid’ah adalah menyebutnya bid’ah
setelah jelasnya dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan amalan salaf yang menunjukkan
kebolehannya. Dan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā
Maha Mengetahui.
===****====
HUKUM BACA AL-QUR’AN SAAT RUKU’ DAN SUJUD DALAM SHALAT
Ibnu
Rusyd rahimahullah dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid 1/137 berkata:
“Jumhur
Ulama sepakat akan dilarangnya membaca al-Quran di saat Ruku dan Sujud .
Dalilnya adalah hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu
‘anhu , dia berkata:
نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقْرَأَ
رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarangku untuk membaca (ayat Al Qur’an) ketika ruku’ dan sujud.”
(HR. Muslim no. 480)”.
Lalu
Ibnu Rusyd berkata tentang hadits Ali radhiyallau ‘anhu:
“Ath-Thobari
berkata : dan ini adalah hadits Shahih .
Dan ini adalah pendapat para ulama di seluruh penjuru negeri-negeri “.
Dan
Ibnu Rusyd juga menyebutkan : Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda
:
وَإِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ
سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا
السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca
al-Qur’an dalam keadaan ruku’ atau sujud. Adapun ruku’ maka agungkanlah Rabb
azza wa jalla, sedangkan sujud, maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa,
sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim no. 479)
YANG PALING MENGUNDANG PERHATIAN ADALAH
YANG BERIKUT INI !
Ibnu Rusyd berkata :
وَصَارَ قَوْمٌ مِنَ التَّابِعِينَ إِلَى جَوَازِ ذَلِكَ، وَهُوَ
مَذْهَبُ الْبُخَارِيِّ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَصِحَّ الْحَدِيثُ عِنْدَهُ.
“Dan ada satu kaum
dari kalangan para tabi’iin yang membolehkan baca al-Quran ketika ruku dan
sujud .
Dan ini adalah MADZHAB IMAM AL-BUKHORI,
alasannya karena hadits larangan baca al-Qur’an ketika ruku’ dan sujud
menurutnya tidak shahih “. [Selesai]
SAYA KATAKAN :
Pertama :
Hadits Ali dan Ibnu Abbaas, dua-duanya shahih, di riwayatkan Imam Muslim, Imam
Ahmad, Daud, Turmudzi, Nasai dan lain lain .
Kedua : Pertanyaan ? Kalau seandainya benar bahwa hadits larangan tersebut lemah , kira-kira dalil bagi Imam Bukhori itu apa, sehingga beliau membolehkan baca al-Quran ketika sujud dan ruku????
Jawabannya adalah : keumuman sabda Nabi ﷺ:
(إِنَّ هَٰذِهِ الصَّلَاةَ
لَا يَصۡلُحُ فِيهَا شَيۡءٌ مِنۡ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسۡبِيحُ وَالتَّكۡبِيرُ
وَقِرَاءَةُ الۡقُرۡآنِ). أَوۡ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ.
“Sesungguhnya sholat ini tidak boleh sedikitpun ada pembicaraan
manusia. Yang boleh hanya tasbih, takbir, dan membaca Al Quran.” Atau sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ. (HR.
Muslim No. 537).
*****
Dan Saya
bahas pula :
HUKUM
LARANGAN BACA AL-QUR’AN DALAM RUKU’ DAN SUJUD INI , APAKAH HARAM , MAKRUH ATAU
BID’AH ?
JAWABAN-NYA adalah sbb :
Jumhur
ulama berpendapat bahwa larangan disini bersifat makruh
(Lihat
: Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab oleh al-Imam An-Nawawi, , 3/411, dan
Al Mughni karya Ibnu Qudamah, 2/181)
Berkata Az-Zaila’iy Al-Hanafy :
وَيُكْرَهُ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ وَالتَّشَهُّدِ
بِإِجْمَاعِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ.
“Dan makruh membaca Al-Quran ketika ruku’,
sujud, dan tasyahhud dengan kesepakatan imam yang empat.” ( “تَبْيِينُ الْحَقَائِقِ شَرْحُ كَنْزِ الدَقَائِقِ.” 1/115).
BATALKAH SHOLATNYA JIKA BACA AL-QURAN
KETIKA RUKU DAN SUJUD ? :
Al-Imam
an-Nawawi di dalam kitab “الأَذْكَارُ” telah menjelaskannya sebagaimana berikut ini :
يُكْرَهُ قِرَاءَةُ
الْقُرْآنِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، فَإِنْ قَرَأَ غَيْرَ الْفَاتِحَةِ لَمْ تَبْطُلْ
صَلَاتُهُ، وَكَذَا لَوْ قَرَأَ الْفَاتِحَةَ لَا تَبْطُلْ صَلَاتُهُ عَلَى الْأَصَحِّ،
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: تَبْطُلُ.
“Dimakruhkan
membaca Al-Qur’an saat rukuk dan sujud. Maka jika seseorang membaca Al-Quran
selain Al-Fatihah, maka sholatnya tidak batal. Begitu pula jika seseorang
membaca surah Al-Fatihah, maka shalatnya pun tidak batal menurut pendapat yang lebih
shahih. Akan tetapi ada sebagian ulama kita (mazhab Syafi’i) yang mengatakan
batal.”
LALU
BAGAIMANA HUKUM MEMBACA DOA-DOA DARI AL-QURAN DALAM SUJUD DAN RUKU’?
Jika
kita tidak bermaksud membaca Al Quran tapi tujuannya berdoa saja, dan terbukti ketika
membacanya tanpa diawali dengan isti’adzah dan bismillah sebagaimana lazimnya
orang membaca Al-Quran.
Misalnya : Seperti jika kita membaca do’a
sapu jagat :
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al
Baqarah: 201).
Atau do’a lain , doa agar diberikan
keistiqomahan,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ
لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya
Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari
sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS.
Ali Imron: 8)
JAWABAN-NYA
:
Dalam
hal ini telah terjadi perbedaan pendapat , akan tetapi pendapat yang paling
kuat adalah BOLEH, berdasarkan hadits Amirul
Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khaththab bahwa Nabi ﷺ bersabda :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ،
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya
amal itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan
apa yang ia niatkan. (HR. Bukhori no. 1 dan Muslim no. 1907 )
Dan berdasarkan
kaidah fiqh :
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Semua
perkara dinilai tergantung pada maksud-maksudnya.
Maka,
jika niat dan maksudnya adalah berdoa, bukan sedang membaca Al Quran maka tidak
apa-apa.
Al-Imam Az-Zarkasyi rahimahullahu berkata:
وَمَحَلُّ
كَرَاهَتِهَا إذَا قَصَدَ بِهَا الْقِرَاءَةَ ، فَإِنْ قَصَدَ بِهَا الدُّعَاءَ ،
وَالثَّنَاءَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ كَمَا لَوْ قَنَتَ بِآيَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ
“Dan
letak kemakruhan membaca Al-Quran ketika sujud adalah jika dia bertujuan
membaca Al-Quran, adapun jika maksudnya adalah berdoa dan memuji maka itu seyogyanya
seperti orang yang berqunut ketika shalat dengan membaca suatu ayat dari
Al-Quran.”
(Baca
: “أَسْنَى الْمَطَالِبِ فِي شَرْحِ رَوْضَةِ الطَّالِبِ” karya Zakariya Al-Anshary 1/157).
Imam
An-Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وَلَوْ قَنَتَ بِآيَةٍ أَوْ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ
الْعَزِيزِ وَهِيَ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى الدُّعَاءِ حَصَلَ الْقُنُوتُ، وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ
مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ.
Dan
jika dia berdoa qunut dengan satu ayat atau beberapa ayat dari Al-Quran al-‘Aziiz
, dan ayat itu mengandung doa ; maka dia telah mendapatkan doa qunut, tetapi
yang lebih utama adalah berqunut dengan apa yang datang dari As-Sunnah. (
Selesai. Baca: الأَذْكَارُ
Hal. 9)
===
FATWA
AL-LAJNAH AD-DAA’IMAH
Para
Ulama AL-LAJNAH AD-DAA’IMAH lil Buhûts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’ ( Komisi Tetap Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi
Arabia ) pernah ditanya :
“Kami
mengetahui bahwa tidak boleh membaca al-Qur’an dalam sujud. Lalu bagaimana
dengan sebagian ayat yang mengandung do’a seperti :
رَبَّنَا
لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ
رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Ya
Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari
sisi Engkau; Karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)
Lalu
bagaimana hukum membaca do’a yang berasal dari al-Qur’ân ketika sujud?
MEREKA
MENJAWAB :
لَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِذَا أَتَى بِهَا عَلَى وَجْهِ الدُّعَاءِ
لَا عَلَى وَجْهِ التِّلَاوَةِ لِلْقُرْآنِ.
“Tidak mengapa yang demikian (berdoa dengan
doa dari Al-Quran ketika sujud) apabila membacanya dengan niat berdoa, bukan
karena membaca Al-Quran.”
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah pertanyaan ketiga,fatwa no. 79216/441 , ditandatangani oleh Syeikh Abdul ‘Aziz bin
Baz, Syeikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Syeikh Abdullah bin Qu’ud, dan Syeikh Abdullah
bin Ghudayyaan)
===
SELESAI
. Semoga bermanfaat ! Hindari perpecahan !
0 تعليقات