HUKUM MENIKAHI WANITA AHLUL KITAB
YAHUDI DAN NASHRANI
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
----
===بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
HUKUM MENIKAHI WANITA KITABIYYAH (YAHUDI DAN KRISTEN)
Dibolehkan bagi seorang Muslim menikahi
wanita-wanita merdeka dari kalangan Ahlul Kitab selain yang tergolong
wanita-wanita harbiyyah (yang memerangi Islam).
Abu al-Hasan al-Maliki dalam syarahnya
terhadap Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairawani (Kifayah ath-Thalib ar-Rabbani), beliau
menisbatkan pendapat bolehnya menikahi wanita Yahudi dan Kristen ini kepada
mayoritas ulama.
[Lihat : Hasyiatul ‘Adawi Ala Kifayah
ath-Thalib ar-Rabbani 2/62].
****
DALIL-DALILNYA :
===
Pertama: dari Al-Qur'an
Allah Ta'ala berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ
لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ
حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
*“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagimu,
dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu.”*
[Al-Ma’idah: 5]
Sisi pendalilannya:
Kata *الْمُحْصَنَاتُ* artinya: wanita-wanita
merdeka yang menjaga kehormatan dirinya.
Allah Ta'ala memberikan syarat dalam
membolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab dengan syarat bahwa mereka harus wanita
yang menjaga kehormatan dan memiliki sifat iffah (menjaga diri dari perbuatan hina dan tercela).
Tidak diragukan bahwa wanita-wanita yang
memiliki sifat iffah dalam masyarakat Barat pada zaman kita ini termasuk hal
yang sangat jarang.
Di sisi lain, kita hidup di zaman di mana
orang-orang kafir lebih unggul dari kaum Muslimin, para wanita kafir berani melawan
laki-laki, dan ada kekhawatiran bila seorang Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab
dalam kondisi seperti ini akan menyebabkan anak-anaknya menjadi terlantar.
Namun demikian ayat ini adalah nash (teks yang jelas)
yang membolehkan menikahi wanita-wanita merdeka dari kalangan Ahlul Kitab. [(Lihat: *Tafsir As-Sa'di*, hlm. 221)].
===
Kedua: dari Atsar (riwayat para sahabat)
1]. Dari Zaid bin Wahb, ia berkata:
(قال لي عُمَرُ بنُ الخطَّابِ: المُسلِمُ يتزوَّجُ النصرانيَّةَ، ولا يتزوَّجُ النصرانيُّ المُسلِمةَ)
“Umar bin Al-Khattab berkata kepadaku: ‘Seorang Muslim boleh menikahi wanita Nasrani, tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.’”
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf* (12664), Ath-Thabari dalam *Tafsir*-nya (4222) dengan lafal ini, dan Al-Baihaqi (14362). Ahmad Syakir menshahihkan sanadnya dalam *‘Umdatut Tafsir* (1/265).
2]. Diriwayatkan :
أنَّ عُثمانَ بنَ عفَّان رَضِي الله عنه نكَحَ ابنةَ الفرافصةِ الكلبيَّةَ -وهى نصرانيَّةٌ- على نسائِه، ثمَّ أسلمَت على يَديهـ
“Sesungguhnya Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu menikahi putri Al-Farafishah Al-Kalbiyyah —yang beragama Nasrani— di atas istri-istrinya yang lain, lalu ia masuk Islam melalui tangan beliau.”
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (14355) dengan lafal ini, dan Ibnu ‘Asakir dalam *Tarikh Dimasyq* (70/138). Ibnul Mulqin menshahihkan sanadnya dalam *Al-Badrul Munir* (7/622).
===
Ketiga: Ijma' :
Telah dinukil adanya ijma' (kesepakatan)
tentang kebolehan hal ini oleh:
Asy-Syafi’i, Ibnu Al-Mundzir, Al-Jasshash, Al-Mawardi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Qudamah.
Berikut ini kutipan Ijma' dari mereka :
Imam Syafi'i berkata:
(أَهْلُ الكِتَابِ الَّذِينَ يَحِلُّ نِكَاحُ
حَرَائِرِهِمْ: أَهْلُ الكِتَابَيْنِ المَشْهُورَيْنِ التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ،
وَهُمُ اليَهُودُ وَالنَّصَارَى دُونَ المَجُوسِ... فَهَذَا مَا لَا أَعْلَمُ فِيهِ
خِلَافًا بَيْنَ أَحَدٍ)
Ahli Kitab yang halal dinikahi wanita
merdekanya adalah Ahli Kitab yang dikenal memiliki dua kitab, yaitu Taurat dan
Injil, mereka adalah Yahudi dan Nasrani, bukan Majusi... Ini adalah sesuatu
yang tidak aku ketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan siapa pun. (al-Umm
5/7–8).
Ibnu al-Mundzir berkata:
(أَبَاحَ اللَّهُ نِكَاحَ نِسَاءِ أَهْلِ الكِتَابِ،
فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ الآيَةَ
\[المائدة: ٥]. وَلَا يَصِحُّ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الأَوَائِلِ أَنَّهُ حَرَّمَ ذَلِكَ).
Allah membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab,
Allah Ta'ala berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagi kalian segala yang baik,
makanan orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian
halal bagi mereka, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan
orang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan
orang-orang yang diberi Kitab.” (Al-Ma'idah: 5). Tidak sahih dari seorang pun
dari kalangan generasi awal bahwa ia mengharamkan hal tersebut. (al-Isyraf 'ala
Madzahib al-'Ulama 5/93).
Al-Jashshoosh berkata:
(إِبَاحَةُ نِكَاحِ الحَرَائِرِ مِنْهُنَّ إِذَا
كُنَّ ذِمِّيَّاتٍ، فَهَذَا لَا خِلَافَ بَيْنَ السَّلَفِ وَفُقَهَاءِ الأَمْصَارِ
فِيهِ).
Diperbolehkannya menikahi wanita merdeka dari
kalangan mereka jika mereka adalah dzimmi, maka ini tidak ada perbedaan
pendapat di antara salaf dan para fuqaha negeri-negeri Islam. (Ahkam al-Qur’an
3/324).
Al-Mawardi berkata:
(لِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، رُوِيَ عَنْ
عُمَرَ جَوَازُهُ، وَعَنْ عُثْمَانَ أَنَّهُ نَكَحَ نَصْرَانِيَّةً، وَعَنْ طَلْحَةَ
أَنَّهُ تَزَوَّجَ نَصْرَانِيَّةً، وَعَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ تَزَوَّجَ يَهُودِيَّةً،
وَعَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: «نَكَحْنَاهُنَّ بِالكُوفَةِ عَامَ
الفَتْحِ مَعَ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، وَنَحْنُ لَا نَكَادُ نَجِدُ المُسْلِمَاتِ
كَثِيرًا، فَلَمَّا انْصَرَفْنَا مِنَ العِرَاقِ طَلَّقْنَاهُنَّ، تَحِلُّ لَنَا نِسَاؤُهُمْ،
وَلَا تَحِلُّ لَهُمْ نِسَاؤُنَا»، فَكَانَ هَذَا القَوْلُ مِنْ جَابِرٍ إِخْبَارًا
عَنْ أَحْوَالِ جَمَاعَةِ المُسْلِمِينَ الَّذِينَ مَعَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَغَيْرِهِمْ،
فَصَارَ إِجْمَاعًا مُنْتَشِرًا).
Karena ini adalah ijma’ para sahabat.
Diriwayatkan dari Umar bahwa ia membolehkannya, dari Utsman bahwa ia menikahi
wanita Nasrani, dari Thalhah bahwa ia menikahi wanita Nasrani, dari Hudzaifah
bahwa ia menikahi wanita Yahudi, dari Jabir bahwa ia ditanya tentang hal itu,
lalu berkata:
“Kami menikahi mereka di Kufah pada tahun
penaklukan bersama Sa’ad bin Abi Waqqash, saat itu kami hampir tidak menemukan
banyak wanita muslimah, maka ketika kami kembali dari Irak, kami menceraikan
mereka. Wanita-wanita mereka halal bagi kami, dan wanita-wanita kami tidak
halal bagi mereka.”
Maka ucapan Jabir ini merupakan pemberitaan
tentang keadaan sekelompok kaum muslimin yang bersamanya dari kalangan sahabat
dan selain mereka, sehingga menjadi ijma’ yang tersebar. (al-Hawi al-Kabir
9/221).
Ibnu Abdil Barr berkata:
(لَا أَعْلَمُ خِلَافًا فِي نِكَاحِ الكِتَابِيَّاتِ
الحَرَائِرِ بَعْدَ مَا ذَكَرْنَا، إِذَا لَمْ تَكُنَّ مِنْ نِسَاءِ أَهْلِ الحَرْبِ).
Aku tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat dalam kebolehan menikahi wanita merdeka dari kalangan Ahli Kitab
setelah penjelasan yang kami sebutkan, selama mereka bukan dari kalangan wanita
musuh perang. (al-Istidzkar 5/496).
Ibnu Rusyd berkata:
(اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَنْكِحَ
الكِتَابِيَّةَ الحُرَّةَ).
Mereka sepakat bahwa diperbolehkan menikahi
wanita merdeka dari kalangan Ahli Kitab. (Bidayat al-Mujtahid 3/67).
Ibnu Qudamah berkata:
(لَيْسَ بَيْنَ أَهْلِ العِلْمِ -بِحَمْدِ اللَّهِ-
اخْتِلَافٌ فِي حِلِّ حَرَائِرِ نِسَاءِ أَهْلِ الكِتَابِ).
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli
ilmu -alhamdulillah- dalam kebolehan menikahi wanita merdeka dari kalangan Ahli
Kitab. (al-Mughni 7/129).
****
PENDAPAT LAIN :
Diriwayatkan dari Ibnu Umar aradhiyallahu ‘anhuma
adanya larangan.
Dan sebagian ulama menafsirkannya sebagai makruh,
bahwa ia memerintahkan untuk menjauhi para wanita Ahlul Kitab tanpa
mengharamkannya.
Sebagian ulama lain berkata: yang nampak dari
ucapannya menunjukkan pengharaman.
Dan sebagian ulama lainnya membatasi
larangannya hanya terhadap Ahli Kitab yang musyrik, bukan yang mentauhidkan
Allah SWT.
[Lihat: al-Muhalla karya Ibnu Hazm (9/445),
al-Mabsuth karya as-Sarakhsi (4/210), al-Hawi al-Kabir karya al-Mawardi
(9/222), Fath al-Bari karya Ibnu Hajar (9/417)].
Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya 3/42 :
وَقَدْ كَانَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَا يَرَى التَّزْوِيجَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ، وَيَقُولُ:
لَا أَعْلَمَ شِرْكًا أَعْظَمَ مِنْ أَنْ تَقُولَ: إِنَّ رَبَّهَا عِيسَى، وَقَدْ قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ} الْآيَةَ [الْبَقَرَةِ:
221]
Abdullah bin Umar tidak memandang bolehnya
menikahi wanita Nasrani, dan ia berkata: Aku tidak mengetahui kesyirikan yang
lebih besar daripada ucapan wanita itu bahwa Tuhannya adalah Isa. Dan Allah
Ta'ala berfirman: "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman" (QS. Al-Baqarah: 221). Selesai.
Al-‘Adawi dalam hasyiyahnya berkata:
وَمُقَابِلُهُ مَا
رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
ـ: لَا يَجُوزُ نِكَاحُ الْكِتَابِيَّةِ الْحُرَّةِ؛ مُحْتَجًّا بِآيَةِ الْبَقَرَةِ،
فَقَالَ: لَا أَعْلَمُ شِرْكًا أَعْظَمَ مِنْ قَوْلِهَا: إِنَّ رَبَّهَا عِيسَى. اهـ
“Dan lawan dari pendapat itu adalah riwayat
dari Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang mengatakan: Tidak
boleh menikahi wanita kitabiyah yang merdeka, dengan berdalil kepada ayat dalam
surah al-Baqarah, ia berkata: Aku tidak mengetahui kesyirikan yang lebih besar
daripada perkataannya bahwa Tuhannya adalah Isa”. Selesai. [Lihat :
Hasyiatul ‘Adawi Ala Kifayah ath-Thalib ar-Rabbani 2/62]
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT HARAM:
Pendapat ini bertentangan dengan lahiriah
Al-Qur’an dan juga dengan pendapat mayoritas ulama, bahkan telah dinukil adanya
ijmak (kesepakatan) yang bertentangan dengan pendapat tersebut.
Dalam Tafsir al-Baghawi 1/284 no. 232 disebutkan:
ٱلْآيَةُ - يَعْنِي
آيَةَ ٱلْبَقَرَةِ: {وَلَا تَنكِحُوا ٱلْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ} - مَنْسُوخَةٌ
فِي حَقِّ ٱلْكِتَابِيَّاتِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَٱلْمُحْصَنَاتُ مِنَ ٱلَّذِينَ
أُوتُوا ٱلْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ} [ٱلْمَائِدَةِ: ٥]، وَبِخَبَرِ رَسُولِ ٱللَّهِ
صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبِإِجْمَاعِ ٱلْأُمَّةِ. اهـ.
Ayat — maksudnya ayat dalam surah al-Baqarah:
"Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka
beriman" — telah dinasakh (dihapus hukumnya) dalam konteks wanita-wanita
ahli kitab, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan (dihalalkan menikahi)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang diberi
kitab sebelum kamu" (QS. Al-Ma’idah: 5), juga dengan hadis Rasulullah ﷺ, dan dengan ijmak umat. Selesai. [Tafsir al-Baghawi
1/284 no. 232].
Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni 9/545
(T. At-Turky):
لَيْسَ بَيْنَ أَهْلِ
الْعِلْمِ - بِحَمْدِ اللَّهِ - ٱخْتِلَافٌ فِي حِلِّ حَرَائِرِ نِسَاءِ أَهْلِ الْكِتَابِ.
وَمِمَّنْ رُوِيَ عَنْهُ ذَلِكَ: عُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَطَلْحَةُ، وَحُذَيْفَةُ، وَسَلْمَانُ،
وَجَابِرٌ، وَغَيْرُهُمْ.
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ:
وَلَا يَصِحُّ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الْأَوَائِلِ أَنَّهُ حَرَّمَ ذَلِكَ. وَرَوَى الْخَلَّالُ،
بِإِسْنَادِهِ، أَنَّ حُذَيْفَةَ، وَطَلْحَةَ، وَالْجَارُودَ بْنَ الْمُعَلَّى، وَأُذَيْنَةَ
الْعَبْدِيَّ، تَزَوَّجُوا نِسَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ. وَبِهِ قَالَ سَائِرُ أَهْلِ
الْعِلْمِ. وَحَرَّمَتْهُ الْإِمَامِيَّةُ؛ تَمَسُّكًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَا
تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ} [الْبَقَرَةِ: ٢٢١]، {وَلَا تُمْسِكُوا
بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ} \[الْمُمْتَحَنَةِ: ١٠].
وَلَنَا: قَوْلُ
اللَّهِ تَعَالَى: {ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَاتُ} إِلَىٰ قَوْلِهِ: {وَٱلْمُحْصَنَاتُ
مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا ٱلْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ}
\[الْمَائِدَةِ: ٥]. وَإِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ.
فَأَمَّا قَوْلُهُ
سُبْحَانَهُ: {وَلَا تَنكِحُوا ٱلْمُشْرِكَاتِ} \[الْبَقَرَةِ: ٢٢١]. فَرُوِيَ عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهَا نُسِخَتْ بِالْآيَةِ الَّتِي فِي سُورَةِ الْمَائِدَةِ. وَكَذَلِكَ
يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَىٰ؛ لِأَنَّهُمَا مُتَقَدِّمَتَانِ،
وَالْآيَةُ الَّتِي فِي أَوَّلِ الْمَائِدَةِ مُتَأَخِّرَةٌ عَنْهُمَا ... اهـ.
“Tidak terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ahli ilmu — dengan puji syukur kepada Allah — tentang bolehnya
menikahi wanita merdeka dari kalangan ahli kitab. Di antara yang diriwayatkan
darinya pendapat ini adalah: Umar, Utsman, Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir,
dan selain mereka.
Ibnu Mundzir berkata: Tidak sahih dari
seorang pun dari kalangan salaf bahwa mereka mengharamkannya. Al-Khallal
meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Hudzaifah, Thalhah, al-Jarud bin al-Mu‘alla,
dan Udzainah al-‘Abdi, mereka semua menikahi wanita dari kalangan ahli kitab.
Inilah pendapat seluruh ahli ilmu.
Adapun golongan Syiah Imamiyah
mengharamkannya, dengan berpegang kepada firman Allah Ta'ala: "Dan
janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman"
(QS. Al-Baqarah: 221), dan "Dan janganlah kalian mempertahankan ikatan
pernikahan dengan wanita-wanita kafir" (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Namun dalil bagi kami adalah firman Allah
Ta'ala: "Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik… dan
(dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, jika kalian memberikan mahar
mereka" (QS. Al-Ma’idah: 5), dan juga adanya ijmak para sahabat.
Adapun firman Allah: "Dan janganlah
kalian menikahi wanita-wanita musyrik…" (QS. Al-Baqarah: 221),
diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat
dalam surah al-Ma’idah. Maka demikian pula seharusnya terhadap ayat lain (QS.
Al-Mumtahanah: 10), karena keduanya lebih awal, sedangkan ayat pada awal surah
al-Ma’idah lebih belakangan …” Selesai.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
نِكَاحُ الْكِتَابِيَّةِ
جَائِزٌ بِالْآيَةِ الَّتِي فِي الْمَائِدَةِ قَالَ تَعَالَى: {وَطَعَامُ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ.}
وَهَذَا مَذْهَبُ جَمَاهِيرِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ مِنْ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ
وَغَيْرِهِمْ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ كَرِهَ نِكَاحَ النَّصْرَانِيَّةِ
وَقَالَ: لَا أَعْلَمُ شِرْكًا أَعْظَمَ مِمَّنْ تَقُولُ: إنَّ رَبَّهَا عِيسَى ابْنَ
مَرْيَمَ. وَهُوَ الْيَوْمُ مَذْهَبُ طَائِفَةٍ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ وَقَدْ احْتَجُّوا
بِالْآيَةِ الَّتِي فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَبِقَوْلِهِ {وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ} وَالْجَوَابُ عَنْ آيَةِ الْبَقَرَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ. (أَحَدُهَا
أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ لَمْ يَدْخُلُوا فِي الْمُشْرِكِينَ فَجَعَلَ أَهْلَ الْكِتَابِ
غَيْرَ الْمُشْرِكِينَ بِدَلِيلِ قَوْلِهِ {إنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ
وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا}
Menikahi wanita ahli kitab hukumnya boleh,
berdasarkan ayat dalam surah al-Ma’idah, Allah Ta'ala berfirman: "Dan
makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagi kalian, dan
makanan kalian halal bagi mereka, dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang beriman, dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian"
(QS. Al-Ma’idah: 5).
Ini adalah mazhab mayoritas salaf dan khalaf,
dari kalangan imam yang empat dan selain mereka. Diriwayatkan dari Ibnu Umar
bahwa ia memakruhkan menikahi wanita Nasrani, dan ia berkata: Aku tidak
mengetahui kesyirikan yang lebih besar daripada ucapan wanita itu bahwa
Tuhannya adalah Isa bin Maryam. Saat ini, ini juga menjadi pendapat sebagian
kalangan ahli bid‘ah. Mereka berdalil dengan ayat dalam surah al-Baqarah dan
firman-Nya: "Dan janganlah kalian mempertahankan ikatan pernikahan dengan
wanita-wanita kafir" (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Jawaban terhadap ayat dalam surah al-Baqarah
ini ada tiga sisi :
Salah satunya adalah :
Bahwa Ahlul Kitab tidak termasuk dalam
golongan musyrikin. Maka Ahlul Kitab diposisikan sebagai selain musyrikin,
berdasarkan firman Allah: *"Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in, orang-orang Nasrani, orang-orang
Majusi, dan orang-orang musyrik ...…” Selesai. [Majmu’ al-Fatawa
14/91-92]
0 Komentar