PENTING-NYA MERUJUK KEPADA PENDAPAT MUJTAHID YANG DIAMALKAN MASYARAKAT SETEMPAT DAN MENGHORMATI BUDAYA LOKAL
DEMI MENJAGA PERSATUAN DAN MENGHINDARI PERPECAHAN UMAT
Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISALAM
******
===
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN :
- SYARAT-SYARAT IJTIHAD
- ====
- TERAPKANLAH HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT AGAR TIDAK MENIMBULKAN PERPECAHAN !
- ANJURAN BERPENAMPILAN SESUAI DENGAN BUDAYA MASYARAKAT SETEMPAT
- PERTAMA : ANJURAN BERPAKAIAN YANG SESUAI DENGAN PAKAIAN ADAT SETEMPAT ATAU YANG BIASA DIPAKAI OLEH MASYARAKAT SETEMPAT :
- KEDUA : KAPAN DIANJURKAN MENCUKUR JENGGOT?
- ====
- UTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN
- DEMI PENYATUAN HATI UMAT, ADA SEBAGIAN PARA SAHABAT MENINGGALKAN PENDAPAT-NYA, WALAU MENURUTNYA SESUAI SUNNAH . DENGAN ALASAN : “BERPECAH BELAH ADALAH KEBURUKAN”.
- MAKSUD UCAPAN IBNU MAS’UD : “الخِلاَفُ
شَرٌّ / PERSELISIHAN ITU BURUK”.
- KRONOLOGI UCAPAN IBNU MAS’UD : “PERPECAHAN ITU BURUK”
- SYARAH PERKATAAN IBNU MAS’UD : “ PERSELISIHAN ITU BURUK”.
- ===
- “PERPECAHAN ITU LEBIH BESAR DOSANYA DAN DAMPAK BURUKNYA BAGI UMAT”
- ANCAMAN ADZAB YANG DAHSYAT BAGI YANG TIDAK MAU BERSATU
- ===
- PERBEDAAN ANTARA MAKNA IKHTILAAF DAN KHILAAF
- ===
- PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT :
- PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT :
- PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT
- PARA ULAM SALAF SALING MENGHARGAI DAN MENGAKUI PENDAPAT ORANG LAIN:
- ====
- PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN DAN MENCELA PERBEDAAN PENDAPAT :
- =====
- KESIMPULAN DAN TARJIH :
*****
بِسْمِ
ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
*****
PENDAHULUAN :
Al-Imam As-Suyuti, rahimahullah: berkata di awal risalahnya "Jaziil
Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2):
«وَقَدْ وَقَعَ اخْتِلافٌ فِي الفُرُوعِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خَيْرِ الأُمَّةِ، فَمَا خَاصَمَ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَحَدًا،
وَلَا عَادَى أَحَدٌ أَحَدًا، وَلَا نَسَبَ أَحَدٌ أَحَدًا إِلَى خَطَأٍ وَلَا
قُصُورٍ..، وَوُرِدَ أَنَّ اخْتِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله
لَهَا، وَكَانَ اخْتِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ عَذَابًا وَهَلَاكًا. هَذَا
أَوْ مَعْنَاهُ ».
Telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah antar para
Sahabat radhiyallhu ‘anhum, yang mana mereka merupakan generasi terbaik umat
ini. Dan tidak ada di antara mereka yang berseteru dengan yang lain, atau
mengadu domba, atau menyalahkan seseorang atas kesalahan atau kekurangan...
Dan telah ada keterangan bahwa perbedaan pendapat dalam umat ini
adalah rahmat dari Allah baginya, sedangkan perbedaan pendapat dalam
umat-umat sebelumnya adalah siksaan dan kebinasaan. Ini adalah inti atau
maknanya”.
Al-Khathib meriwayatkan dalam kitabnya Al-Ruwat 'An Malik [الرُّوَاة عَنْ
مَالِك]:
أَنَّ
هَارُونَ الرَّشِيدَ قَالَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ
نَكْتُبُ هَذِهِ الْكُتُبَ يَعْنِي مُؤَلَّفَاتِ الْإِمَامِ مَالِكٍ
وَنُفَرِّقُهَا فِي آفَاقِ الْإِسْلَامِ لِنَحْمِلَ عَلَيْهَا الْأُمَّةَ، قَالَ:
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إنَّ اخْتِلَافَ الْعُلَمَاءِ رَحْمَةٌ مِنْ
اللَّهِ تَعَالَى عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ، كُلٌّ يَتْبَعُ مَا صَحَّ
عِنْدَهُ، وَكُلُّهُمْ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيدُ اللَّهَ تَعَالَى والدَّارَ
الآخِرَة".
"Bahwa Harun al-Rasyid berkata kepada Malik bin Anas: "Wahai Abu Abdullah,
kita akan menyalin kitab-kitab ini –yaitu karya-karya Imam Malik- dan kita akan
menyebar luaskannya di berbagai penjuru Islam agar umat ini dapat mengambil
manfaat darinya."
Malik menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, perbedaan pendapat
di antara para ulama adalah RAHMAT dari Allah Ta'ala bagi umat ini. Setiap
orang mengikuti apa yang diyakini benar menurut pandangannya, dan semua mereka
berada di atas petunjuk. Semuanya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah
Ta'ala dan kehidupan Akhirat"
Lihat kitab Al-Ruwat 'An Malik oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, sebagaimana
terdapat dalam kitab "Kasyf al-Khafa' wa Muzil al-Ilbas" oleh
Al-Ajluni 1/65 (153).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa
14/159 berkata:
وَالنِّزَاعُ
فِي الْأَحْكَامِ قَدْ يَكُونُ رَحْمَةً إذَا لَمْ
يُفْضِ إلَى شَرٍّ عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ
كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ
" كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ
وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ
خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ
قَوْله تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika
tidak mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh
karena itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab
Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: ‘Beri nama itu
Kitab As-Sa'ah (keluasan & kelapangan)’, meskipun pada kenyataannya
kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian
orang ; karena ketidak jelasan (kebenaran)nya itu, sebab jika
kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka. Maka ini
termasuk dalam firman Allah Ta'ala:
{لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang
jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah:
101)”. [Selesai]
Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk
hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan
*"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam
menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada
mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan
mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].
Dalam "Adab al-Faqih wa al-Mutafaqqih" 2/69 karya al-Khathib,
disebutkan bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri (wafat : 161 H) berkata:
«إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ الَّذِي قَدِ
اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ: فَلَا تَنْهَهُ».
"Jika engkau melihat seseorang melakukan suatu amalan yang
diperselisihkan, dan engkau berpendapat sebaliknya, maka janganlah engkau
melarangnya."
Imam At Tirmidzi berkata tentang merutinkan qunut shubuh:
قَالَ
سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ
فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu
bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.’” [Lihat Sunan At
Tirmidzi, keterangan hadits No. 401].
==***==
SYARAT-SYARAT IJTIHAD :
Dalam hadits ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu
disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
" إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ
ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ
أَجْرٌ
".
“Apabila seorang Hakim berijtihad
kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad
namun salah maka ia memperoleh satu pahala.”
[Mutafaqun 'alaihi. Shahih Bukhori no. 7352 dan Shahih Muslim no. 1716].
Ijtihad memiliki syarat-syarat tertentu yang tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut. Para ulama ushul telah membahas panjang lebar mengenai syarat-syarat ini. Namun, karena keterbatasan ruang, kami ringkas penjelasannya sebagai berikut:
Syarat pertama: Islam. Ini adalah syarat yang jelas, karena orang non-Muslim tidak sah untuk melakukan ijtihad dalam agama Islam.
Syarat kedua: Berakal. Ini juga jelas, sebab orang yang tidak berakal tidak dapat memahami atau menarik kesimpulan hukum syariat.
Syarat ketiga: Baligh. Karena anak kecil tidak diterima beritanya dan persaksiannya, maka lebih utama lagi bahwa ijtihadnya tidak bisa diterima.
Syarat keempat: Menguasai nash-nash Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum-hukum.
Sebagian ulama ushul menyebut bahwa jumlahnya sekitar 500 ayat. Namun ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah ayat-ayat yang secara eksplisit (dalālah al-muthābaqah) menunjukkan hukum, bukan ayat-ayat yang menunjukkan hukum secara implisit (dalālah al-tadhammun atau iltizām).
Syarat kelima: Mengetahui hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat yang diperlukan dalam istinbāṭ (pengambilan hukum).
Syarat keenam: Mengetahui letak ijmak (kesepakatan ulama) dan tempat terjadinya khilaf (perbedaan pendapat).
Hal ini agar tidak berfatwa bertentangan dengan ijmak, atau mengklaim ijmak pada perkara yang sebenarnya tidak terdapat ijmak, atau membuat pendapat baru tanpa landasan.
Syarat ketujuh: Menguasai ilmu qiyās (analogi hukum).
Karena qiyās adalah dasar utama dalam ijtihad dan cabang utama dalam fiqih. Barang siapa tidak memahami qiyās, maka ia tidak mungkin mampu menggali hukum-hukum syariat.
Syarat kedelapan: Memahami bahasa Arab dan struktur bahasanya.
Ini penting agar mampu membedakan hukum-hukum yang bersumber dari bahasa, seperti lafaz yang eksplisit, yang zāhir, yang mujmal, mubayyan, yang umum dan khusus, yang hakiki dan majazi, serta lainnya.
Syarat kesembilan: Mengetahui naskh (penghapusan hukum) dan mansūkh (hukum yang dihapus).
Tujuannya agar tidak berfatwa berdasarkan hukum yang telah dihapus. Ali radhiyallahu 'anhu pernah berkata kepada salah seorang qadhi, “Apakah engkau mengetahui naskh dan mansūkh?” Ia menjawab, “Tidak.” Maka Ali berkata, “Engkau binasa dan membinasakan.”
Syarat kesepuluh: Mengetahui keadaan para perawi hadis (Jarh wa Ta’dil).
Baik dari sisi kekuatan atau kelemahan, agar mampu membedakan hadis yang shahih dari yang rusak, dan yang dapat diterima dari yang ditolak.
Syarat kesebelas: Memiliki kemampuan istinbāṭ (kemampuan intelektual untuk menyimpulkan hukum).
Kemampuan ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan latihan dan pengalaman dalam cabang-cabang hukum.
Syarat kedua belas: Bersifat adil.
Sebab ijtihad seorang fasik tidak dapat diterima, meskipun ia sendiri boleh mengamalkan hasil ijtihadnya.
Sebagian ulama juga mensyaratkan: menguasai ilmu mantiq (logika) dan ilmu kalām (teologi). Namun kebanyakan ulama tidak mensyaratkan hal itu.
Perlu dicatat bahwa tidak disyaratkan seseorang mencapai tingkatan tertinggi dalam seluruh ilmu tersebut. Cukup baginya menguasai setiap cabang ilmu tersebut pada tingkat menengah (mutawassiṭ), sebagaimana yang biasa disebut oleh para ulama.
===****===
TERAPKANLAH HUKUM FIQIH DAERAH SETEMPAT
DAN IKUTI PULA BUDAYA LOKAL, AGAR
TIDAK MENIMBULKAN PERPECAHAN
Utamakan Hukum Fiqih Pendapat Mujtahid Yang Biasa Di Terapkan Di Daerah
Anda, Demi Untuk Menjaga Persatuan dan Menghindari terjadinya perpecahan dan
permusuhan.
Begitu pula yang berkaitan dengan budaya lokal selama tidak nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam, contohnya seperti hal yang berkaitan dengan penampilan dan model pakaian.
Dalam hadist ‘Arfajah bin As’ad disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
«مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ»
"Siapa saja orangnya yang datang kepada kalian, sementara perkara kalian dalam keadaan bersatu di bawah satu orang, lalu orang itu ingin memecah tongkat kalian (memecah belah persatuan kalian) dan memecah belah jamaah kalian, maka kalian perangilah dia!!!". (HR. Muslim no. 1852)
Dan dalam hadist Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"إن مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رجُل قَرَأَ الْقُرْآنَ، حَتَّى إِذَا رُؤِيَتْ
بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْء الْإِسْلَامِ اعْتَرَاهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ،
انْسَلَخَ مِنْهُ، وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ،
وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى
بِالشِّرْكِ: الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي؟ قَالَ: "بَلِ الرَّامِي".
“Sesungguhnya
di antara hal yang saya khawatirkan terhadap kalian ialah seorang lelaki yang
pandai membaca Al-Qur’an, hingga manakala keindahan Al-Qur’an telah dapat
diresapinya dan Islam adalah sikap dan akhlak perbuatannya, lalu ia tertimpa
sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, maka ia tanpa sadar telah melepaskan diri
dari Al-Qur’an. Dan Al-Qur'an ia lemparkan di belakang punggungnya (tidak
diamalkannya), lalu ia menyerang tetangganya dengan senjata dan menuduhnya
telah musyrik”.
Huzaifah ibnul Yaman bertanya
: "Wahai Nabi Allah, manakah di antara keduanya yang lebih musyrik, orang
yang dituduhnya ataukah si penuduhnya?"
Rasulullah ﷺ menjawab :
"Tidak, bahkan si penuduhlah (yang lebih utama untuk dikatakan
musyrik)."
[ Abu Ya'la Al-Mausuli dalam Musnad-nya
(Tafsir Ibnu Katsir 3/509) dan Al-Bazzar dalam Musnadnya no. (175) .
Predikat hadits : Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma' (1/188): “Sanadnya hasan”. Dan Ibnu Katsir berkata: “Sanad hadis ini berpredikat jayyid”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/509)
----
Berikut ini sebagian astar para salaf tentang pentingnya mengikuti hukum
dan pendapat mujtahid yang diamalkan oleh masyarakat setempat:
----
PERTAMA : ATSAR ALI BIN ABI THALIB :
Dari Abu Ubaidah, dia berkata: Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata
:
«اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ، فَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ،
حَتَّى يَكُونَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ، أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي»
فَكَانَ ابْنُ سِيرِينَ: «يَرَى أَنَّ عَامَّةَ مَا يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ
الكَذِبُ»
“Putuskanlah dalam berhukum dengan keputusan hukum yang telah lama kalian
terapkan. Sungguh, saya tidak suka dengan perselisihan, sampai aku mendapati
manusia bersatu dalam satu jemaah, atau aku mati sebagaimana matinya para
sahabatku”.
"Ibnu Sirin melihat bahwa sebagian besar yang diriwayatkan dari Ali (bahwa dia senantiasa menyelisihi umat dan menolak hukum fiqih daerah lain ) adalah kebohongan." [HR. Bukhori no. 3707].
"Ath-Thahawi berkata:
وَنَرَى
الْجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَابًا وَالْفُرْقَةَ زَيْغًا وَعَذَابًا
'Kami memandang bahwa jamaah (bersatu dan kebersamaan) adalah benar dan tepat, sedangkan
perpecahan adalah penyimpangan dan adzab (siksaan).'" . [Baca Syarah
al-Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 85 no. 102].
Dari 'Ubaidah bin 'Amr al-Salmani, dia berkata:
كَتَبَ
إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيحٍ أَنْ اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ يَعْنِي
فِي أُمِّ الوَلَدِ وَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ حَتَّى يَكُونَ لِلنَّاسِ
جَمَاعَةٌ أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي
"Ali menulis kepadaku dan kepada Shuraih, 'Putuskanlah sebagaimana
kalian telah memutuskan sebelumnya, yaitu dalam perkara ummul walad, dan
sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia bersatu dalam satu jemaah
atau aku mati seperti sahabat-sahabatku yang telah mati.'"
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Fath 7/91 (Cet. As-Salafiyah)
berkata :
وَقَدْ
أَخْرَجَهُ ابْنُ المُنْذِرِ مِنْ طَرِيقِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ عَنْ
أَبِي نُعَيْمٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ
عُبَيْدَةَ قَالَ: بَعَثَ إِلَيَّ عَلِيٌّ وَإِلَى شُرَيْحٍ فَقَالَ: إِنِّي
أَبْغَضُ ٱلاخْـتِـلاَفُ فَاقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ.. الخَبَرُ.
"Dan telah meriwayatkannya Ibn al-Mundhir melalui jalur Ali bin
Abdul Aziz dari Abu Nuaim dari Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Ibn Sirin dari
Ubaidah, yang berkata: Ali mengirim utusan kepadaku dan kepada Syuraih, dan
berkata: 'Sesungguhnya aku membenci perselisihan, maka putuskanlah dalam hukum
sebagaimana kalian biasa memutuskan.'"
Dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam *Muwafaqatu al-Khabar
al-Khabar* 1/169 berkata : “Sanadnya sahih”.
Dan dishahihkan pula oleh al-Albaani dalam al-Irwaa’ 6/190 .
SYARAH ATSAR ALI BIN THALIB :
KE 1 : Dalam **Jami' al-Sunnah wa Syarhuha** disebutkan :
قَوْلُهُ:
(قَالَ: اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ)، أَي: قَالَ عَلِيٌّ لِأَهْلِ
الْعِرَاقِ: اقْضُوا الْيَوْمَ كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ قَبْلَ هَذَا.
وَسَبَبُ
ذَلِكَ أَنَّ عَلِيًّا لَمَّا قَدِمَ إِلَى الْعِرَاقِ قَالَ: كُنْتُ رَأَيْتُ
مَعَ عُمَرَ أَنْ تُعْتَقَ أُمَّهَاتُ الْأَوْلَادِ، وَقَدْ رَأَيْتُ الْآنَ أَنْ
يُسْتَرَقَّقْنَ، فَقَالَ عُبَيْدَةُ: رَأْيُكَ يَوْمَئِذٍ فِي الْجَمَاعَةِ
أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ رَأْيِكَ الْيَوْمَ فِي الْفُرْقَةِ، فَقَالَ: اقْضُوا كَمَا
كُنْتُمْ تَقْضُونَ، وَخَشِيَ مَا وَقَعَ فِيهِ مِنْ تَأْوِيلِ أَهْلِ الْعِرَاقِ،
وَيُرْوَى: اقْضُوا عَلَى مَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ.
قَوْلُهُ:
(فَإِنِّي أَكْرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ) يَعْنِي: أَنْ يُخَالِفَ أَبَا بَكْرٍ
وَعُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا.
وَقَالَ
الْكَرْمَانِيُّ: اخْتِلَافُ الْأُمَّةِ رَحْمَةٌ، فَلِمَ كَرِهَهُ؟ قُلْتُ:
الْمَكْرُوهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ الَّذِي يُؤَدِّي إِلَى النِّزَاعِ وَالْفِتْنَةِ.
*Kalimat: (Dia berkata: Putuskanlah sebagaimana kalian telah
memutuskan), artinya: Ali berkata kepada penduduk Irak: Putuskanlah hari ini
sebagaimana kalian telah memutuskan sebelumnya.*
*Dan sebabnya adalah ketika Ali tiba di Irak, dia berkata: Dahulu aku
bersama Umar berpendapat bahwa ummahat al-awlad (budak perempuan yang
melahirkan anak dari tuannya) harus dibebaskan, tetapi sekarang aku berpendapat
bahwa mereka harus tetap dijadikan budak.
Maka 'Ubaidah berkata: Pendapatmu saat itu yang membawa persatuan lebih
aku sukai daripada pendapatmu sekarang yang akan menimbulkan perpecahan.
Maka Ali berkata: “Putuskanlah sebagaimana kalian telah memutuskan”.
Dan dia khawatir dengan apa yang ditafsirkan oleh penduduk Irak.
Diriwayatkan juga bahwa dia berkata : Putuskanlah sebagaimana kalian
telah memutuskan.*
*Kalimat: (Sesungguhnya aku membenci perselisihan), artinya: Ali tidak
ingin berselisih dengan Abu Bakar dan Umar, semoga Allah meridhai keduanya.*
*Dan al-Kirmani berkata: Perbedaan umat adalah rahmat, maka mengapa dia
membencinya? Aku jawab : Perbedaan yang dibenci adalah yang mengarah pada
perselisihan dan fitnah.*
KE 2 : Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata dalam **Al-Durar
Al-Saniyyah**:
أمَر
الإسْلامُ بالاجتِماعِ، ونَهى عنِ التَّفرُّقِ وٱلاخْـتِـلاَفُ، وقدْ عمِل
الصَّحابةُ رَضيَ اللهُ عنهم على تَطْبيقِ هذا المَنهَجِ القَويمِ، وهذا المَتنُ
له سَببٌ؛ وذلك أنَّ عَلِيَّ بنَ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه لَمَّا قَدِم
العِراقَ، وسَأَله أهْلُها عن رَأيِه في أمِّ الوَلدِ؛ هلْ تُباعُ أو لا؟
-وأُمَّهاتُ الأوْلادِ هنَّ الإماءُ المَملوكاتُ اللَّاتي
وَطِئَهنَّ أسْيادُهنَّ ومالِكوهنَّ، فحمَلْنَ وولَدْنَ-
فأخبَرَهم
أنَّ رَأيَه كرَأيِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنه في عَدمِ بَيعِ أمَّهاتِ الأوْلادِ،
وأنَّهنَّ يُعتَقْنَ بعْدَ وَفاةِ السَّيِّدِ والمالِكِ؛ وذلك لأنَّ الابنَ
المَوْلودَ يَكونُ سَببًا في عِتقِ أُمِّه، وأنَّه رجَعَ عنه، فرأَى أنْ
يُرِقَّهنَّ، ويَبقَيْنَ ضِمنَ مالِ السَّيِّدِ بعْدَ مَوتِه ولا يُعتَقْنَ. وورَد
عندَ البَيْهَقيِّ في الكُبْرى أنَّ التَّابِعيَّ عَبيدةَ السَّلْمانيَّ قال
لعَليٍّ رَضيَ اللهُ عنه: «رأيُكَ ورَأيُ عُمَرَ في الجَماعةِ أحَبُّ إلَيَّ مِن
رَأيِكَ وَحْدَكَ في الفُرْقةِ»، أي: إنِّي آخُذُ بفَتْواكَ الَّتي وافقَتْ فَتْوى
عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنه في الجَماعةِ، وأترُكُ رَأيَكَ وَحْدَكَ إذا كُنتَ
مُفتَرِقًا، فقال له عَلِيٌّ رَضيَ اللهُ عنه: اقْضوا كما كُنْتم تَقْضونَ قَبلُ؛
فإنِّي أكرَهُ ٱلاخْـتِـلاَفُ، أي: ٱلاخْـتِـلاَفُ على الشَّيخَينِ، أو
ٱلاخْـتِـلاَفُ الَّذي يُؤدِّي إلى التَّنازُعِ والفِتَنِ، وإنَّما فعَل علِيٌّ
رَضيَ اللهُ عنه ذلك لمَّا وجَد مَن يرُدُّ عليه قَولَه، فكَرِه الخِلاَفُ؛ لأنَّه
لا يَأْتي إلَّا بالشَّرِّ والتَّفرُّقِ، وحتَّى يَجتَمِعَ النَّاسُ على قَولِ
الجَماعةِ. وقَولُه: «أو أموتَ كما مات أصْحابي»، أي: إلى أنْ أموتَ كما مات
أصْحابي على الحَقِّ والهِدايةِ، والمُرادُ مَن سبَقَه مِن الخُلَفاءِ
الرَّاشِدينَ.
وفي
الحَديثِ: فَضلٌ ومَنقَبةٌ لعَلِيِّ بنِ أبي طالبٍ رَضيَ اللهُ عنه.
Islam memerintahkan persatuan dan melarang perpecahan serta
perselisihan. Para sahabat radhiyallahu 'anhum telah berusaha menerapkan metode
yang lurus ini.
Kisah ini memiliki latar belakang; yaitu ketika Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu tiba di Irak dan penduduknya bertanya kepadanya tentang
pendapatnya mengenai status "ummul walad" (budak wanita yang
melahirkan anak dari tuannya), apakah "ummul walad" itu boleh dijual
atau tidak?
"Ummul
walad" adalah budak-budak wanita yang telah disetubuhi oleh tuannya dan
kemudian melahirkan anak.
Pada awalnya Ali memberitahu mereka bahwa pendapatnya sama dengan
pendapat Umar radhiyallahu 'anhu yang melarang penjualan para "ummul
walad", dan bahwa mereka akan dimerdekakan setelah kematian tuan mereka ;
karena anak yang lahir menyebabkan ibunya dimerdekakan.
Namun, dikemudian hari Ali berubah pendapat, ia berpandangan bahwa
mereka harus tetap sebagai budak, mereka tetap dalam kepemilikan harta tuannya
setelah kematiannya dan tidak dimerdekakan.
Disebutkan dalam kitab as-Sunan Al-Kubra oleh Al-Bayhaqi :
Bahwa seorang tabi'in 'Ubaidah Al-Salmani berkata kepada Ali
radhiyallahu 'anhu: "Pendapatmu dulu yang sesuai dengan pendapat Umar yang
membawa persatuan, itu lebih aku sukai daripada pendapatmu sekarang yang akan
berdampak pada perpecahan." Artinya, "Aku mengikuti fatwamu yang
sesuai dengan fatwa Umar dalam persatuan, dan meninggalkan pendapatmu sekarang
yang menyebabkan perpecahan."
Ali radhiyallahu 'anhu kemudian berkata kepadanya: "Laksanakan
sebagaimana yang dulu kalian putuskan sebelumnya; karena aku tidak suka
perpecahan," yaitu perpecahan yang menyebabkan perselisihan dan fitnah.
Ali melakukan hal itu ketika ia menemukan ada yang menolak pendapatnya,
sehingga ia membenci terjadinya perselisihan; karena hal itu hanya membawa
keburukan dan perpecahan, dan agar orang-orang berkumpul pada pendapat jemaah
kaum muslimn.
Dan perkataannya: "Atau aku mati seperti sahabat-sahabatku
mati," artinya: hingga aku mati seperti sahabat-sahabatku yang telah wafat
dalam kebenaran dan petunjuk, yang dimaksud adalah para khalifah rasyidin yang
mendahuluinya.
Dan dalam hadis ini terdapat keutamaan dan kemuliaan bagi Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu 'anhu”. [SELESAI KUTIPAN DARI AS-SAQQAF]
===
KEDUA : ATSAR KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ :
Imam Ad Darimi Rahimahullah berkata: Telah mengabarkan kepada kami
Yazid bin Harun, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid, dia berkata:
قُلتُ
لِعُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ لَو جَمَعتَ النَّاسَ عَلَى شَيءٍ فَقَالَ مَا
يَسُرُّنِي أَنَّهُم لَم يَختَلِفُوا قَالَ ثُمَّ كَتَبَ إِلَى الآفَاقِ أَوْ
إِلَى الأَمصَارِ لِيَقضِيَ كُلُّ قَومٍ بِمَا اجتَمَعَ عَلَيهِ فُقَهَاؤُهُم
Aku berkata kepada Umar bin Abdil ‘Aziz: “Alangkah baiknya engkau
menyatukan manusia dalam satu pendapat.”
Beliau menjawab : “Tidak membuatku senang jika mereka tidak berbeda
pendapat.”
Humaid berkata: “Lalu Umar bin ‘Abdil Aziz menulis surat ke semua
penjuru negeri:
“Setiap penduduk di suatu negeri hendaknya memutuskan urusannya sesuai
kesepakatan ahli fiqih mereka (di negeri masing-masing).”
(Sunan Ad Darimi 1/22 No. 634, Bab Ikhtilaf Al Fuqaha)
Di shahihkan oleh Sa’id Hawwaa dalam al-Asaas fis Sunnah 1/509 no. No.
509.
Abu Zur'ah ad-Dimasyqi, semoga Allah merahmatinya, meriwayatkan dari
Sulaiman bin Habib al-Muharibi, seorang tabi'in yang tepercaya dan seorang
qadhi di Damaskus, bahwa dia berkata:
"أَرَادَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنْ يَجْعَلَ
أَحْكَامَ النَّاسِ وَالأَجْنَادِ حُكْمًا وَاحِدًا، ثُمَّ قَالَ: إِنَّهُ قَدْ
كَانَ فِي كُلِّ مِصْرٍ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ وَجُنْدٍ مِنْ أَجْنَادِهِ
نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَكَانَتْ فِيهِمْ قُضَاةٌ قَضَوْا
بِأَقْضِيَةٍ أَجَازَهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَرَضُوا بِهَا، وَأَمْضَاهَا
أَهْلُ الْمِصْرِ، كَالصُّلْحِ بَيْنَهُمْ، فَهُمْ عَلَى مَا كَانُوا عَلَيْهِ
مِنْ ذَلِكَ". فَتَرَكَ عُمَرُ مَا كَانَ أَرَادَهُ، وَكَانَ حَرِيصًا جِدًّا
عَلَى أَنْ لَا يُغَيِّرَ مِنْ وَاقِعِ الْأُمَّةِ شَيْئًا مَأْلُوفًا عِنْدَهُمْ،
مَا دَامَ عَلَى وِجْهَةٍ شَرْعِيَّةٍ.
"Umar bin Abdul Aziz ingin menjadikan hukum-hukum masyarakat dan
pasukan perang dalam satu hukum yang sama, kemudian dia berkata:
'Di setiap kota dari kota-kota kaum Muslimin dan pasukan dari
pasukan-pasukannya ada orang-orang dari sahabat Rasulullah ﷺ,
dan di antara mereka ada qadhi-qadhi yang telah memutuskan dengan
keputusan-keputusan yang telah disetujui oleh sahabat Rasulullah ﷺ
dan mereka ridha dengannya, dan penduduk kota menerima keputusan itu -contohnya
seperti rekonsiliasi di antara mereka- maka mereka tetap pada hukum yang mereka
telah ada sebelumnya.'"
Maka Umar meninggalkan apa yang dia inginkan, dan dia sangat
berhati-hati untuk tidak mengubah apapun dari realitas umat yang telah dikenal
oleh mereka, selama hukum itu sesuai dengan pandangan syariat. [Tarikh Abu
Zur’ah ad-Dimasyqi hal. 202].
Dalam kitab “Laits bin Sa'ad Ilaa Malik” , yang merupakan kitab yang
terkenal, terdapat teks sebagai berikut:
"وَمِنْ ذَلِكَ: القَضَاءُ بِشَهَادَةِ شَاهِدٍ وَيَمِينِ
صَاحِبِ الحَقِّ، وَقَدْ عَرَفْتَ ـ الخِطَابُ لِمَالِكٍ ـ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ
يُقْضَى بِالمَدِينَةِ بِهِ، وَلَمْ يَقْضِ بِهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم بِالشَّامِ، وَلَا بِحِمْصَ، وَلَا بِمِصْرَ، وَلَا بِالعِرَاقِ، وَلَمْ
يَكْتُبْ بِهِ إِلَيْهِمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ: أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ.
ثُمَّ
وَلِيَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ ـ وَكَانَ كَمَا قَدْ عَلِمْتَ فِي إِحْيَاءِ
السُّنَنِ وَالجِدِّ فِي إِقَامَةِ الدِّينِ وَالإِصَابَةِ فِي الرَّأْيِ،
وَالعِلْمِ بِمَا مَضَى مِنْ أَمْرِ النَّاسِ ـ فَكَتَبَ إِلَيْهِ رُزَيْقُ بْنُ
حُكَيمٍ: إِنَّكَ كُنْتَ تَقْضِي بِالمَدِينَةِ بِشَهَادَةِ الشَّاهِدِ الوَاحِدِ
وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ:
إِنَّا كُنَّا نَقْضِي بِذَلِكَ بِالمَدِينَةِ، فَوَجَدْنَا أَهْلَ الشَّامِ عَلَى
غَيْرِ ذَلِكَ، فَلَا نَقْضِي إِلَّا بِشَهَادَةِ رَجُلَيْنِ عَدْلَيْنِ، أَوْ
رَجُلٍ وَامْرَأَتَيْنِ".
"Di antaranya: vonis hukum pengadilan dengan kesaksian seorang
saksi dan sumpah dari pemilik hak, dan engkau tahu - ditujukan kepada Malik -
bahwa keputusan ini selalu dilakukan di Madinah, namun para sahabat Rasulullah ﷺ
tidak memutuskannya di Syam, tidak pula di Homs, tidak di Mesir, dan tidak di
Irak. Para Khulafaa Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, tidak
menulis tentang hal ini kepada mereka.
Setelah itu kemudian Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin - dan engkau
telah mengetahui bagaimana beliau senantiasa menghidupkan sunnah, berusaha
keras menegakkan agama, tepat dalam berpendapat, serta mengetahui apa yang
sedang terjadi dalam urusan umat - .
Maka Ruzaik bin Hukaim menulis kepadanya: 'Engkau dahulu memutuskan di
Madinah dengan kesaksian satu saksi dan sumpah dari pemilik hak.'
Maka Umar bin Abdul Aziz menjawab dengan menulis kepadanya: 'Kami
dahulu memutuskan demikian di Madinah, namun kami mendapati penduduk Syam tidak
melakukan hal itu, maka kami hanya memutuskan dengan kesaksian dua orang saksi
yang adil, atau seorang lelaki dan dua orang wanita.'"
[Lihat ini dalam kitab "I'lam al-Muwaqqi'in" 3/97 karya Ibnul
Qayyim. Dan lihat pula perkataan Ibnu Abdil Barr dalam "At-Tamhid"
1/10 tentang alasan memilih riwayat Yahya al-Laitsi untuk menjelaskannya
daripada riwayat-riwayat lainnya].
====
KETIGA : PERKATAAN AL-IMAM AL-QORROOFI
Imam Al-Qarraafi Rahimahullah memiliki perkataan yang luar biasa:
"فَمَهْمَا تَجَدَّدَ فِي الْعُرْفِ اعْتَبِرْهُ وَمَهْمَا
سَقَطَ أَسْقِطْهُ وَلَا تَجْمُدْ عَلَى الْمَسْطُورِ فِي الْكُتُبِ طُولَ
عُمْرِك بَلْ إذَا جَاءَك رَجُلٌ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ إقْلِيمِك يَسْتَفْتِيك لَا
تَجْرِهِ عَلَى عُرْفِ بَلَدِك وَاسْأَلْهُ عَنْ عُرْفِ بَلَدِهِ وَأَجْرِهِ
عَلَيْهِ وَأَفْتِهِ بِهِ دُونَ عُرْفِ بَلَدِك وَدُونَ الْمُقَرَّرِ فِي كُتُبِك
فَهَذَا هُوَ الْحَقُّ الْوَاضِحُ.
وَالْجُمُودُ
عَلَى الْمَنْقُولَاتِ أَبَدًا ضَلَالٌ فِي الدِّينِ وَجَهْلٌ بِمَقَاصِد
عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَالسَّلَفِ الْمَاضِينَ".
Apapun yang terjadi pembaharuan dalam sebuah tradisi, anggaplah ia!,
dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah!. Jangan kamu bersikap tekstual
kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu !. Jika datang kepadamu
seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu
memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu,
tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah
itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu
dan yang tertulis dalam kitabmu.
Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada
teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para
ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.“ [ Al Furuq (Anwaarul Buruuq) 1/191.
Penerbit : Aalamul Kutub]
====
KEEMPAT : SIKAP IMAM SYAFI’I (wafat 204 H):
Imam Asy Syafi’i rahimahullah, juga Imam Malik berpendapat
sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin
Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.
Namun demikian telah diceritakan dalam Al
Mausu’ah sebagai berikut:
الشَّافِعِيُّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ
جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال
الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ
بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .
“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika
beliau shalat berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di
Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab
bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau
telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.’” [Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah]
===
KELIMA : PERNYATAAN IMAM AHMAD (wafat 241 H):
Perkataan Imam Ahmad, sebagaimana disebutkan dalam kitab "Siyar
A'lam al-Nubala'" (11/371 biografi Ishaq bin Raahuwiyah):
«قَالَ أَحْمَدُ: لَمْ يَعْبُرِ الْجِسْرَ إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ
إِسْحَاقَ، وَإِنْ كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ
يَزَلْ يُخَالِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا».
"Ahmad berkata: Tidak ada yang menyeberangi jembatan menuju
Khurasan yang seperti Ishaq, meskipun dia berbeda pendapat dengan kami dalam
beberapa hal, karena manusia selalu berbeda pendapat satu sama lain."
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah mengomentari orang
yang shalat dua rakaat setelah Ashar:
"لا نَفْعَلُهُ وَلا نُعِيبُ فَاعِلَهُ."
“Kami tidak melakukannya, akan tetapi kami tidak juga menilai aib orang
yang melakukannya.” [Al Mughni, 2/87 dan Syarhul Kabir, 1/802]
Dan tentang qunut shubuh, diceritakan sebagai berikut:
فقد
كَانَ الإمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي صَلَاةِ
الفَجْرِ بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فَتَابِعْهُ
عَلَى قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ اتِّحَادِ
الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.
“Imam
Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah
bid’ah. Dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka
aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran
demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara
satu dengan yang lainnya.’” [Syarhul Mumti’ 4/25 karya Syaikh Ibnu Al
‘Utsaimin, Mawqi’ Ruh Al Islam]
Abu Dawud berkata:
«سَمِعْتُ أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ
الْمَغْرِبِ؟ قَالَ: أَنَا لَا أَفْعَلُهُ، فَإِنْ فَعَلَهُ فَلَا بَأْسَ بِهِ.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْتَحْسِنُهُ
وَيَرَاهُ».
"Aku mendengar Ahmad ditanya tentang dua rakaat sebelum Maghrib?
Beliau berkata: 'Aku tidak melakukannya, tetapi jika seseorang melakukannya,
maka tidak mengapa.'
Abu Dawud berkata: 'Aku mendengarnya sebelum itu beberapa waktu yang
lalu, dia menganggapnya bagus dan juga berpendapat yang sama.'" [Masā'il al-Imām Aḥmad al-Fiqhiyyah karya Abu Dāwūd Hal. 72].
Dalam "al-Tamhid" 11/139 dari al-Atsram, dia berkata:
«سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ
- يَقُولُ فِي مَنْ تَأَوَّلَ: إِنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ خَلْفَهُ إِذَا
كَانَ لِتَأْوِيلِهِ وَجْهٌ فِي السُّنَّةِ».
"Aku mendengar Abu Abdillah - yaitu Ahmad bin Hanbal - berkata
tentang orang yang melakukan ta'wil: Tidak mengapa shalat di belakangnya jika
ta'wilnya memiliki dasar dalam sunnah." [Baca : al-Jaami’ Li ‘Uluumi
al-Imam Ahmad 6/355 dan Dzakhiiratul ‘Uqbaa 3/130].
===****===
ANJURAN BERPENAMPILAN SESUAI DENGAN BUDAYA MASYARAKAT SETEMPAT
****
PERTAMA :
ANJURAN BERPAKAIAN YANG SESUAI DENGAN PAKAIAN ADAT SETEMPAT ATAU
YANG BIASA DIPAKAI OLEH MASYARAKAT SETEMPAT :
Termasuk sunnah adalah kita menyesuaikan pakaian yang telah menjadi
kebiasaan masyarakat setempat selama tidak melanggar syariat dan menurunkan
muru’ah (kehormatan) seorang muslim.
Rasulullah ﷺ
melarang umatnya berpenampilan dan berpakaian yang membuat seseorang menjadi
pusat perhatian publik dan membuatnya terkenal.
Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن
لبسَ ثوبَ شُهْرةٍ في الدُّنيا ألبسَهُ اللَّهُ ثوبَ مذَلَّةٍ يومَ القيامةِ ،
ثمَّ أُلهبَ فيهِ نارًا
“Barangsiapa
memakai pakaian Syuhrah di dunia, maka Allah akan memberikannya pakaian
kehinaan pada hari kiamat , kemudian dinyalakan api untuknya.”
(HR. Ahmad: 5406, Abu Dawud: 3511, Ibnu Majah: 3596. Tambahan dalam
kurung adalah milik Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Dari Harun bin Kinanah rahimahullah:
أَنَّ
النَّبِىَّ ﷺ نَهَى عَنِ الشُّهْرَتَيْنِ أَنْ يَلْبَسَ الثِّيَابَ الْحَسَنَةَ
الَّتِى يُنْظَرُ إِلَيْهِ فِيهَا أَوِ الدَّنِيَّةِ أَوِ الرَّثَّةِ الَّتِى
يُنْظَرُ إِلَيْهِ فِيهَا
“Bahwa
Nabi ﷺ melarang dari dua macam Syuhrah;
Seseorang memakai baju yang bagus sehingga pandangan mata tertuju
kepadanya.
Atau baju yang jelek sehingga pandangan mata tertuju kepadanya.”
(HR. al-Baihaqi dalam al-Kubra: 6319 (3/273). Al-Albani menyatakan
bahwa isnadnya shahih tetapi mursal karena Kinanah adalah tabi’in. Lihat Jilbab
al-Mar’atil Muslimah: 173).
Al-Imam
as-Sarkhosi al-Hanafi dalam kitabnya "المَبْسُوطُ (30/268)
berkata:
وَالْمُرَادُ
أَنْ لَا يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ الْحُسْنِ وَالْجَودَةِ فِي الثِّيَابِ
عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، أَوْ يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ
مِنَ الثِّيَابِ الْخَلِقِ الْقَدِيمِ الْبَالِيَ عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ،
فَإِنَّ أَحَدَهُمَا يَرْجِعُ إِلَى الْإِسْرَافِ وَالْآخَرُ يَرْجِعُ إِلَى التَّقْتِيرِ،
وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا.
"
Dan yang di maksud adalah jangan memakai pakaian yang paling bagus dan paling berkwalitas
dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya. Atau memakai pakaian
yang paling jelek lapuk dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan
padanya. Maka sesungguhnya salah satunya itu disebabkan berlebihan, sementara
yang kedua karena terlalu pelit, dan sebaik-baiknya semua perkara adalah
tengah-tengahnya". (Selesai)
Penyesalan seorang sahabat Buraidah
bin al-Hushoib radhiyallahu anhu [W. 63 H] karena beliau pernah berpakaian
syuhrah:
شَهِدْتُ خَيْبَرَ، وَكُنْتُ
فِيْمَنْ صَعِدَ الثُّلْمَةَ، فَقَاتَلْتُ حَتَّى رُئِيَ مَكَانِي، وَعَلَيَّ
ثَوْبٌ أَحْمَرُ، فَمَا أَعْلَمُ أَنِّي رَكِبْتُ فِي الإِسْلَامِ ذَنْباً أَعْظَمَ
عَلَيَّ مِنْهُ - أَيْ: الشُّهْرَةَ
" Waktu itu aku ikut serta perang Khaibar,
dan aku termasuk orang yang mendaki "الثُّلْمَة"
(Takik = celah antara dua dinding pada balkon benteng),
lalu aku pun bertempur sehingga posisi ku nampak terlihat karena aku mengenakan
baju merah, maka sepengetahuanku tidak ada dosa yang telah aku perbuat yang
lebih besar darinya. Yakni pakai baju yang membuat dirinya jadi terkenal".
[ Baca سِيرُ أَعْلَامِ النُّبَلَاءِ (2/470)]
Takik
/ Tsulmah (celah antara dua dinding pada balkon
benteng)
-----
FATWA ISLAMWEB :
Dan dalam Fatwa IslamWeb no. 14805 di sebutkan :
أَنَّهُ
يُشْرَعُ لِكُلِّ أَهْلِ بَلَدٍ أَنْ يَلْبَسُوا مَا تَعَارَفَ عَلَيْهِ النَّاسُ فِي
نَفْسِ الْبَلَدِ، وَيُكْرَهُ لَهُمْ مُخَالَفَتُهُ، بَلْ قَدْ يَحْرُمُ، وَذَلِكَ
إِذَا وَصَلَ إِلَى حَدٍّ يَكُونُ بِهِ لِبَاسُ شُهْرَةٍ۔
Disyariatkan bagi seluruh penduduk suatu negeri memakai apa yang
menjadi kebiasaan penduduk negeri tersebut, dan dimakruhkan bagi mereka untuk
menyelisihinya, bahkan boleh jadi itu DIHARAMKAN, jika sampai pada titik di
mana ia menjadi PAKAIAN SYUHRAH [ menjadi pusat perhatian publik ].
---
FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIN :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
أَنَّ
مُوَافَقَةَ العَادَاتِ فِي غَيْرِ المُحَرَّمِ هِيَ السُّنَّةُ؛ لِأَنَّ مُخَالَفَةَ
العَادَاتِ تَجْعَلُ ذَلِكَ شُهْرَةً، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ لِبَاسِ الشُّهْرَةِ، فَيَكُونُ مَا خَالَفَ العَادَةَ مَنْهِيًّا عَنْهُ.
وَبِنَاءً
عَلَى ذَلِكَ نَقُولُ: هَلْ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَتَعَمَّمَ الإِنْسَانُ؟ وَيَلْبَسَ
إِزَارًا وَرِدَاءً؟
الجَوَابُ:
إِنْ كُنَّا فِي بَلَدٍ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ فَهُوَ مِنَ السُّنَّةِ، وَإِذَا كُنَّا
فِي بَلَدٍ لا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ، وَلا يَأْلَفُونَهُ فَلَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ.
"
Bahwa menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman
adalah disunnahkan.
Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang SYUHROH
(suatu yang tampil beda sekali dan mencolok, pent). Nabi ﷺ melarang berpakaian SYUHROH.
Jadi sesuatu yang menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat, itu
terlarang dilakukan.”
Dan berdasarkan penjelasan ini kita katakan:
“Apakah termasuk dari as-Sunnah jika seseorang menggunakan imamah
(sorban)? Dan memakai sarung dan selendang?
JAWABAN :
Jika kita berada di negeri yang menggunakannya, maka itu termasuk
dari as-Sunnah. Dan jika kita menggunakannya di negeri yang tidak mengenal
pakaian tersebut dan tidak memakainya, maka itu bukan termasuk as-Sunnah.”
(Syarhul Mumti’ 6/109, syamilah)
Fatwa di atas ini sesuai dengan pendapat keumuman ulama Hanabilah.
----
FATWA AL-MARDAWAI AL-HANBALI :
Abul Hasan al-Mardawi al-Hanbali (wafat tahun 885 H) rahimahullah
menyatakan:
يُكْرَهُ
لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ أَوْ خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنَ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ
مِنَ الْمَذْهَبِ
“Dibenci
(dimakruhkan, pen) memakai baju yang di dalamnya terdapat Syuhrah atau baju
yang menyelisihi pakaian kebiasaan negeri manusia, menurut pendapat yang benar
dari Madzhab Hanbali.” (Al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf: 1/333).
----
FATWA IBNU BATHTHAL :
Al-Imam Ibnu Baththal (wafat tahun 404 H) dari kalangan ulama Malikiyah,
dia berkata:
فَالَّذِي
يَنْبَغِي لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَزَيَّىٰ فِي كُلِّ زَمَانٍ بِزِيِّ أَهْلِهِ مَا لَمْ
يَكُنْ إِثْمًا، لِأَنَّ مُخَالَفَةَ النَّاسِ فِي زِيِّهِمْ ضَرْبٌ مِنَ الشُّهْرَةِ۔
“Maka
yang seharusnya bagi seseorang adalah berpakaian di setiap jaman sesuai
dengan pakaian penduduk jamannya, selagi bukan dosa, karena menyelisihi
manusia dalam pakaian mereka termasuk bagian dari ‘Syuhrah’.”
( Baca : Syarah Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal: 9/123).
----
FATWA AL-IMAM ATH-THABARY (wafat 310 H):
al-Imam ath-Thabari dari kalangan ulama Syafi’iyah. Dia berkata :
فَإِنَّ
مُرَاعَاةَ زِيِّ الزَّمَانِ مِنَ الْمُرُوءَةِ مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا وَفِي
مُخَالَفَةِ الزِّيِّ ضَرْبٌ مِنَ الشُّهْرَةِ
“Sesungguhnya
menjaga diri untuk berpakaian yang sesuai dengan penduduk
jamannya adalah termasuk sikap muru’ah [ bijak dan gentle] ,
selagi bukan perbuatan dosa. Dan di dalam menyelisihi pakaian mereka itu
bagian dari bentuk ‘Syuhrah’.”
(Dikutip dalam : Fathul Bari: 10/319).
----
FATWA SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah di tanya :
Apakah yang dianggap sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ itu memakai gamis atau
jubah karena Rasulullah ﷺ memakainya?
Ataukah memakai baju sesuai dengan baju kaum muslimin karena
Rasulullah ﷺ memakai gamis dan jubah karena
menjadi baju keumuman kaum muslimin saat itu?
JAWABAN :
Yang sesuai dengan syariat adalah memakai baju yang menjadi
keumuman kaum muslimin.
Dan dia berkata:
وَالدَّلِيلُ
عَلَى ذَلِكَ أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمَّا فَتَحُوا الْأَمْصَارَ كَانَ كُلٌّ
مِنْهُمْ يَأْكُلُ مَنْ قُوتِ بَلَدِهِ وَيَلْبَسُ مِنْ لِبَاسِ بَلَدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَقْصِدَ أَقْوَاتَ الْمَدِينَةِ وَلِبَاسَهَا وَلَوْ كَانَ هَذَا
الثَّانِي هُوَ الْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِمْ لَكَانُوا أَوْلَى بِاخْتِيَارِ
الْأَفْضَلِ
“Dalil
atas demikian adalah bahwa para sahabat Nabi ﷺ ketika menaklukkan negeri-negeri
(sehingga wilayah Islam menjadi luas, pen.) maka masing-masing dari mereka
mengkonsumsi makanan negerinya dan berpakaian dengan pakaian
negerinya tanpa berkeinginan (untuk mendatangkan) makanan dan pakaian
Madinah. Seandainya yang kedua ini (yakni berpakaian dan mengkonsumsi makanan
kota Madinah, pen) itu lebih utama menurut mereka maka mereka akan memilih yang
lebih utama.” (Majmu’ al-Fatawa: 22/325).
------
FATWA IBNU QOYYIM :
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menyatakan :
Bahwa yang sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ adalah memakai baju yang sesuai
dengan baju kaum muslimin [ setempat ].
Ini karena Rasulullah ﷺ kadang-kadang memakai jubah,
kadang-kadang memakai gamis, baju wol dan sebagainya tergantung keadaan kaum
muslimin saat itu.
Ibnu Qoyyim berkata :
وَالصَّوَابُ
أَنَّ أَفْضَلَ الطُّرُقِ طَرِيقُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي
سَنَّهَا، وَأَمَرَ بِهَا، وَرَغَّبَ فِيهَا، وَدَاوَمَ عَلَيْهَا، وَهِيَ أَنَّ هَدْيَهُ
فِي اللِّبَاسِ: أَنْ يَلْبَسَ مَا تَيَسَّرَ مِنَ اللِّبَاسِ، مِنَ الصُّوفِ تَارَةً،
وَالْقُطْنِ تَارَةً، وَالْكِتَّانِ تَارَةً. وَلَبِسَ الْبُرُودَ الْيَمَانِيَّةَ،
وَالْبُرْدَ الْأَخْضَرَ، وَلَبِسَ الْجُبَّةَ، وَالْقَبَاءَ، وَالْقَمِيصَ، وَالسَّرَاوِيلَ،
وَالْإِزَارَ، وَالرِّدَاءَ، وَالْخُفَّ، وَالنَّعْلَ، وَأَرْخَى الذُّؤَابَةَ مِنْ
خَلْفِهِ تَارَةً، وَتَرَكَهَا تَارَةً
“Dan
yang benar adalah bahwa jalan yang paling utama adalah jalan Rasulullah ﷺ yang mana beliau telah
men-sunnahkannya, memerintahkannya, mendorong kepadanya, dan mendawamkannya.
Yaitu bahwa petunjuk beliau dalam masalah pakaian adalah memakai
pakaian yang mudah didapat , kadang-kadang memakai baju wol, kadang-kadang
katun, kadang-kadang kapas, memakai baju selempang bergaris dari Yaman, baju
selempang bergaris hijau, memakai jubah, baju luar (mantel), gamis, sirwal
(celana), sarung, rida’ (selendang), sepatu khuf, sandal dan kadang-kadang
mengulurkan kuncir imamahnya dan kadang-kadang tidak.”
( Baca : Zaadul Ma’ad: 1/143).
----
DALIL :
Di antara dalil yang memperkuat pendapat ini adalah hadits Anas bin Malik radliyallahu anhu
dalam kisah Dhimam bin Tsa’labah radliyallahu anhu:
بَيْنَمَا
نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْمَسْجِدِ دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ فَأَنَاخَهُ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ
عَقَلَهُ ثُمَّ قَالَ لَهُمْ أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ فَقُلْنَا هَذَا
الرَّجُلُ الْأَبْيَضُ الْمُتَّكِئُ..الخ
“Suatu
ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi ﷺ di masjid. Tiba-tiba masuklah seorang
laki-laki di atas unta. Kemudian ia merundukkan unta itu dan mengikatnya.
Kemudian ia bertanya: “Yang manakah di antara kalian yang bernama
Muhammad?”
Sedangkan Nabi ﷺ duduk bersandar di antara mereka
(para sahabat). Maka kami jawab: “Ini lelaki (berkulit) putih yang
bersandar.......”
(HR. Al-Bukhari: 61, Abu Dawud: 411, an-Nasai: 2065 dan Ibnu Majah:
1392).
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad ketika menjelaskan hadits di atas ,
dia berkata :
وَكَانَ
عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لِتَوَاضُعِهِ لَا يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ بَيْنَ
أَصْحَابِهِ، ٱلَّذِي لَا يَعْرِفُهُ لَا يُمَيِّزُهُ... إِلَخْ۔
“Adalah
beliau ﷺ karena sifat tawadhu’nya, tidak
dikenal (oleh orang yang belum pernah tahu, pen). Jika beliau berada
di antara sahabat beliau, maka beliau tidak bisa dikenal dan dibedakan...”
(Syarh Sunan Abi Dawud: 3/297).
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memakai pakaian yang tidak menonjol
di antara sahabat beliau. Sehingga apa yang beliau pakai juga dipakai oleh para
sahabat beliau.
****
KEDUA : KAPAN DIANJURKAN MENCUKUR JENGGOT?
Ketika seorang muslim tinggal ditengah orang-orang kafir, apakah
sebaiknya dia tidak berjenggot atau sebaliknya ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam kitabnya, "Iqtida'
al-Sirat al-Mustaqim Mukhalafat Ashab al-Jahim" (halaman 176-177), dalam
pembahasannya tentang menyelisihi dengan orang-orang kafir dalam al-hadyu
adz-dzohir [kegiatan, perbuatan dan penampilan adat kebiasaan setempat], dia
berkata :
إِنَّ المُخَالَفَةَ
لَهُمْ لَا تَكُونُ إِلَّا بَعْدَ ظُهُورِ الدِّينِ وَعُلُوِّهِ كَالْجِهَادِ وَإِلْزَامِهِمْ
بِالْجِزْيَةِ وَالصَّغَارِ، فَلَمَّا كَانَ الْمُسْلِمُونَ فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ
ضُعَفَاءَ لَمْ يُشْرَعِ المُخَالَفَةُ لَهُمْ، فَلَمَّا كَمَّلَ الدِّينُ وَظَهَرَ
وَعَلاَ شُرِعَ ذَلِكَ وَمِثْلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ: لَوْ أَنَّ الْمُسْلِمَ بِدَارِ
حَرْبٍ أَوْ دَارِ كُفْرٍ غَيْرِ حَرْبٍ لَمْ يَكُنْ مَأْمُورًا بِالْمُخَالَفَةِ لَهُمْ
فِي الْهَدْيِ الظَّاهِرِ لَمَا عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ مِنَ الضَّرَرِ بَلْ قَدْ يَسْتَحِبُّ
لِلرَّجُلِ أَوْ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُشَارِكَهُمْ أَحْيَانًا فِي هَدْيِهِمُ الظَّاهِرِ
إِذَا كَانَ فِي ذَلِكَ مَصْلَحَةٌ دِينِيَّةٌ مِنْ دَعْوَتِهِمْ إِلَى الدِّينِ وَالِإطْلاَعِ
عَلَى بَاطِنِ أَمْرِهِمْ لِإِخْبَارِ الْمُسْلِمِينَ بِذَلِكَ أَوْ دَفْعِ ضَرَرِهِمْ
عَنِ الْمُسْلِمِينَ وَنَحْوَ ذَلِكَ مِنَ الْمَقَاصِدِ الصَّالِحَةِ.
فَأَمَّا فِي
دَارِ الْإِسْلَامِ وَالْهِجْرَةِ الَّتِي أَعَزَّ اللَّهُ فِيهَا دِينَهُ وَجَعَلَ
عَلَى الْكَافِرِينَ بِهَا الصَّغَارَ وَالْجِزْيَةِ: فِيهَا شُرِعَتِ الْمُخَالَفَةُ
وَإِذَا ظَهَرَتِ الْمُوَافَقَةُ وَالْمُخَالَفَةُ لَهُمْ بِاخْتِلَافِ الزَّمَانِ
ظَهَرَ حَقِيقَةُ الْأَحَادِيثِ مِنْ هَذَا".
"Sesungguhnya menyelisihi mereka hanya dilakukan setelah agama ini
dan kekuasaannya berjaya, muncul dipermukaan dan melambung tinggi, karena
memiliki kekuatan jihad dan mampu menundukkan mereka [orang-orang kafir] hingga
mau membayar jizyah dan upeti.
Ketika umat Islam pada masa awal masih lemah, maka perintah untuk
berbeda dengan mereka itu tidak diizinkan. Namun, ketika agama sudah sempurna,
kuat dan tinggi dipermukaan, maka aturan agar berbeda dengan mereka harus
diberlakukan.
Demikian juga pada hari ini : jika seorang Muslim tinggal di negeri
yang bukan darul Islam, baik itu darul harbi ataupun darul kufr yang bukan
dalam keadaan perang, maka ia tidak diwajibkan untuk berbeda dengan mereka
dalam hal al-hadyu adz-Dzohir, mengingat akan dampak buruk yang mungkin
terjadi.
Bahkan, dalam sebagian kasus, disarankan atau diwajibkan bagi seorang
pria untuk kadang-kadang ikut berpartisipasi dalam al-hadyu adz-dzohir mereka
jika ada kepentingan untuk kemashlahatan agama, agar dapat mengajak mereka
kepada agama serta memantau pergerakan mereka untuk memberitahukan kepada umat
Islam tentangnya atau untuk melindungi umat Muslim dari bahaya mereka, dan yang
semisalnya dari hal-hal yang mengandung maksud dan tujuan yang baik bagi umat.
Sedangkan di darul Islam dan darul hijrah yang Allah telah memperkokoh
dan meninggikan agama-Nya di dalamnya dan menjadikan orang-orang kafir tunduk
lemah serta menetapkan kewajiban jizyah dan upeti kepada mereka, maka perintah
untuk berbeda dengan mereka itu harus diberlakukan.
Ketika terjadi kesesuaian dan perbedaan dengan mereka nampak muncul,
maka hakikat kebenaran hadis-hadits dalam hal ini menjadi nampak di mata mereka
." [Kutipan Selesai].
Perkataan persis semisal diatas diungkapkan pula syeikh Ibnu Utsaimin
dalam “Majmu’ Fataawaa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin 7/188]
Makna al-Hadyu adz-Dzohir :
تَشَبُّهٌ
فِي الْفِعْلِ الْعَادِي، وَهُوَ تَشَبُّهٌ بِمَا يُسَمِّيهِ "الْهَدْيُ
الظَّاهِرُ" لأَهْلِ الذِّمَّةِ مِمَّا كَانَ لَيَدْخُلُ فِي دَائِرَةِ
الْمُبَاحِ؛ لَوْ تَجَرَّدَ عَنْ مُشَابَهَتِهِمْ التَّعَبُّدِيَّة
والاعْتِقَادِيَّة، كَالْمَسَائِلِ الْمُتَصَلَّةِ بِاللِّبَاسِ وَالْهَيْئَةِ
وَغَيْرِهَا.
"Tasyabbuh (penyerupaan) dalam tindakan adat kebiasaan
sehari-hari, ini mengacu pada keserupaan dengan apa yang disebut sebagai
"al-hadyu adz-dzohir (tindakan yang tampak)" bagi orang-orang Ahlu
adz-Dzimmah, dari segala adat kebiasaan sehari-hari yang masuk dalam wilayah
yang dibolehkan; jika terlepas dari keserupaan ta’abbudi dan keyakinan mereka ,
seperti masalah-masalah yang terkait dengan pakaian, gaya penampilan, dan hal
lainnya."
Contoh lain anjuran cukur jenggot dalam kondisi tidak normal:
Syaikh Abdul Razaq al-Qaththan - Penetap Fatwa dan Pengawasan Syariah
di Kuwait Finance House -berkata :"
وَقَدْ
رَوَى ابْنُ كَثِيرٌ فِي تَارِيخِهِ فِي فَتْحِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ أَنَّ صَلاحَ الدِّينَ
أَمَرَ جُنُودَهُ أَنْ يَحْلِقُوا لِحَاهُمْ وَيُغَيِّرُوا مِنْ ثِيَابِهِمْ وَهَيْئَتِهِمْ
لِخَدَاعِ الْعَدُوِّ وَلِمَصْلَحَةِ الْمُسْلِمِينَ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ
مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ صَلاحَ الدِّينَ كَانَ عَالِمًا مُحَدِّثًا وَكَانَ فِي عَصْرِهِ
مِئَاتُ الْعُلَمَاءِ وَالْأُئِمَّةِ وَلَمْ يُؤْثَرْ عَنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ إِنْكَارُ
ذَلِكَ، بَلْ ابْنُ كَثِيرٍ يَسُوقُ هَذَا الْخَبَرَ سِيَاقَ الْمُشَيِّدِ بِحِكْمَةِ
صَلاحِ الدِّينِ وَحُسْنِ تَصَرُّفِهِ. بَلْ قَدِيمًا طَلَبَ
النَّبِيُّ مِنْ نُعَيْمِ بْنِ مَسْعُودٍ كَتْمَ خَبَرِ إِسْلَامِهِ لِمَصْلَحَةِ الدَّعْوَةِ،
وَفِي الْقُرْآنِ (وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ
رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ…) الْآيَةِ.
وَلَا
شَكَّ أَنَّ كَتْمَ الْإِسْلَامِ وَالْإِيمَانِ أَشَدُّ مِنْ كَتْمِ مَظْهَرٍ مِنْ
مَظَاهِرِهِمَا بَلْ سَمَحَ النَّبِيُّ لِمُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمَةَ وَصَحَبِهِ أَنْ
يَذْكُرُوهُ بِبَعْضِ سُوءٍ حِينَ أَمَرَهُمْ بِقَتْلِ كَعْبِ الْأَشْرَافِ الْيَهُودِيِّ،
وَذَلِكَ مِنْ أَجْلِ أَنْ يَتَمَكَّنُوا مِنْهُ.
Dan Ibnu Katsir telah meriwayatkan dalam kitab Tarikh-nya tentang
penaklukan Baitul Maqdis : Bahwa Salahuddin memerintahkan pasukannya untuk
mencukur jenggot mereka dan mengganti pakaian serta penampilan mereka untuk
mengelabui musuh demi untuk kepentingan umat Islam. Tidak ada seorang pun yang
mengingkarinya, meskipun diketahui bahwa Salahuddin adalah seorang alim yang
terpelajar dan di zamannya hidup ratusan ulama dan imam tanpa ada yang menolak
tindakannya tersebut. Bahkan Ibnu Katsir menyampaikan berita ini dalam konteks
memuji kebijaksanaan dan perilaku baik Salahuddin.
Bahkan dulu, Nabi pernah meminta kepada Nuaim bin Mas'ud untuk
menyembunyikan kabar masuk Islamnya untuk kepentingan dakwah, dan dalam
Al-Qur'an (dan berkatalah seorang laki-laki yang mukmin dari keluarga Fir'aun
yang menyembunyikan keimanan seorang laki-laki dari kaumnya...).
Dan tidak diragukan lagi bahwa menyembunyikan keIslaman dan keimanan
jauh lebih berat daripada menyembunyikan aspek-aspek penampilannya, bahkan Nabi
mengizinkan Muhammad bin Maslamah dan sahabatnya untuk menyebutkan beberapa
keburukan ketika beliau memerintahkan mereka untuk membunuh Ka'ab bin Asyraf,
sekaligus untuk kepentingan kaum muslimin”.
UTAMAKAN PENYATUAN HATI DARI PADA HAL-HAL YANG DI SUNNAHKAN
Mengamalkan hal-hal yang sunnah itu
tidak wajib, sementara menjaga persatuan umat dan menghindari perpecahan diantara
mereka itu wajib hukumnya. Dengan demikian jika mempertahankan hal-hal yang
sunnah itu akan menimbulkan perpecahan dan perselisihan, maka sebaiknnya ditinggalkan,
karena perpecahan itu dampak negatifnya jauh lebih dahsyat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa 22/407:
وَيُسْتَحَبُّ
لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْصِدَ إلَى تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ بِتَرْكِ هَذِهِ
الْمُسْتَحَبَّاتِ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ أَعْظَمُ مِنْ
مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ ﷺ تَغْيِيرَ بِنَاءِ
الْبَيْتِ لِمَا فِي إبْقَائِهِ مِنْ تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَكَمَا أَنْكَرَ ابْنُ
مَسْعُودٍ عَلَى عُثْمَانَ إتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ ثُمَّ صَلَّى
خَلْفَهُ مُتِمًّا. وَقَالَ الخِلاَفُ شَرٌّ. وَهَذَا وَإِنْ كَانَ وَجْهًا
حَسَنًا
"Disunnahkan bagi seseorang
untuk mengutamakan penyatuan hati dengan meninggalkan hal-hal yang disunnahkan
ini, karena manfaat penyatuan hati dalam agama lebih besar daripada manfaat
melakukan hal semacam ini. Sebagaimana Nabi ﷺ meninggalkan perubahan
bangunan Ka'bah karena manfaat menjaga persatuan hati lebih besar. Juga seperti
yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud yang mengingkari perbuatan Utsman yang
menyempurnakan shalat 4 rakaat dalam safar (perjalanan), kemudian dia shalat di
belakangnya dengan sempurna 4 rakaat .
Dia berkata, 'Perselisihan adalah
keburukan.' Ini adalah pandangan yang baik.
Begitu pula dengan menngeraskan baca
Bismillah dalam Shalat bagi yang berpendapat sebaliknya . Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
فَمَقْصُودُ
أَحْمَد أَنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ كَانُوا لَا يَقْرَءُونَهَا ( البَسْمَلَة )
فَيَجْهَرُ بِهَا لِيُبَيِّنَ أَنَّ قِرَاءَتَهَا سُنَّةٌ كَمَا جَهَرَ ابْنُ
عَبَّاسٍ بِقِرَاءَةِ أُمِّ الْكِتَابِ عَلَى الْجِنَازَةِ وَقَالَ: لِتَعْلَمُوا
أَنَّهَا سُنَّةٌ وَكَمَا جَهَرَ عُمَرُ بِالِاسْتِفْتَاحِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَكَمَا
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَجْهَرُ بِالْآيَةِ أَحْيَانًا فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ
وَالْعَصْرِ. وَلِهَذَا نُقِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَنْ رُوِيَ عَنْهُ الْجَهْرُ بِهَا
مِنْ الصَّحَابَةِ الْمُخَافَتَةَ فَكَأَنَّهُمْ جَهَرُوا لِإِظْهَارِ أَنَّهُمْ
يَقْرَءُونَهَا كَمَا جَهَرَ بَعْضُهُمْ بِالِاسْتِعَاذَةِ أَيْضًا
Maka maksud Imam Ahmad adalah bahwa
penduduk Madinah tidak membacanya (basmalah, baik keras maupun lirih ), maka
beliau mengeraskan bacaan basmalah untuk menunjukkan bahwa membacanya adalah
sunnah.
Sebagaimana Ibnu Abbas mengeraskan
bacaan al-Fatihah dalam shalat jenazah dan berkata: 'Agar kalian tahu bahwa itu
adalah sunnah.' Dan sebagaimana Umar mengeraskan bacaan istiftah beberapa kali.
Dan Nabi ﷺ kadang-kadang mengeraskan
bacaan ayat dalam shalat Dzuhur dan Ashar.
Oleh karena itu, diriwayatkan dari
kebanyakan sahabat yang meriwayatkan mengeraskan bacaan basmalah bahwa mereka
juga melirihkannya, seakan-akan mereka mengeraskannya untuk menunjukkan bahwa
mereka membacanya. Sebagaimana beberapa dari mereka juga mengeraskan bacaan
isti'adzah."
Dari Tsabit bin Qutbah, ia berkata: Abdullah Ibnu Mas'ud radhiyallahu
‘anhu berkata:
«عَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَالْجَمَاعَةِ فَإِنَّهَا حَبْلُ اللَّهِ
الَّذِي أَمَرَ بِهِ، وَإِنَّ مَا تَكْرَهُونَ فِي الْجَمَاعَةِ خَيْرٌ
مِمَّا تُحِبُّونَ فِي الْفُرْقَةِ»
'Wajib bagi kalian untuk taat dan bersatu bersama jamaah, karena itu
adalah tali Allah yang Dia perintahkan, dan sesungguhnya apa yang kalian benci
dalam persatuan (jamaah) lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam
perpecahan.'"
[HR. Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Hilyatul Awliya 9/249, ats-Tsa’laby
dalam Tafsirnya 3/162, Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra no. 133 &
173, Al-Hakim dalam 'Al-Mustadrak' (4/555) secara panjang lebar, dan Al-Ajurri
dalam 'Asy-Syari'ah' (1/123-124/17), dan Al-Lalaka'i dalam 'Syarh Ushul
I'tiqad' (nomor: 158), dan Ibnu Abi Hatim dalam 'Tafsirnya' (3/723/3916), serta
Ibnu Jarir ath-Thabari dalam 'Tafsirnya' (7/75-76/7579, 7580, 7581)].
Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/22 no. 9126 berkata :
رَوَاهُ
الطَّبَرَانِيُّ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ - يَأْتِي فِي كِتَابِ الْفِتَنِ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ - وَفِيهِ ثَابِتُ بْنُ قُطْبَةَ وَلَمْ أَعْرِفْهُ، وَبَقِيَّةُ
رِجَالِهِ ثِقَاتٌ
"Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam hadis panjang -
yang akan datang di Kitab al-Fitan insya Allah - dan di dalamnya terdapat
Tsabit bin Qutbah yang tidak aku ketahui, namun para perawi lainnya
terpercaya."
Muhammad Abul Arqam al-Mashry berkata :
وَذُكِرَهُ
ابْنُ حِبَّانَ فِي الثِّقَاتِ ٤/ ٩٢ وَقَالَ الْعَجْلِيُّ: ثِقَةٌ (تَارِيخُ
الثِّقَاتِ ص: ٩٠) وَرَوَى عَنْهُ جَمَاعَةٌ فَالْأَثَرُ صَحِيحٌ.
"Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats-Tsiqat 4/92, dan Al-'Ijli
berkata: 'Dia (Tsabit) dipercaya' (Tarih ats-Tsiqat halaman: 90), dan
sekelompok orang meriwayatkan darinya, jadi hadis ini sahih." [Baca :
Footnote At-Tafsiir wal Mufassiruun Fii Ghorb Afriiqa 2/577]
Abu Abdullah ad-Daani Aal Zahwi berkata :
وَهَذَا
إِسْنَادٌ حَسَنٌ. ثَابِتُ بْنُ قُطْبَةَ؛ وَثَقَّهُ ابْنُ حِبَّانَ
وَالْعَجْلِيُّ، وَقَالَ ابْنُ سَعْدٍ فِي "الطَّبَقَاتِ" (٦/ ١٩٧):
"كَانَ ثِقَةً كَثِيرَ الْحَدِيثِ". وَقَالَ الْحَاكِمُ: "صَحِيحٌ
عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ"! وَثَابِتُ بْنُ قُطْبَةَ لَمْ يَخْرُجَا لَهُ،
وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
"Dan sanad ini adalah HASAN. Tsabit bin Qutbah; dipercaya
oleh Ibnu Hibban dan Al-'Ijli, dan Ibnu Saad berkata dalam
"At-Tabaqat" (6/197): 'Dia adalah orang yang dapat dipercaya dalam
hadis.'
Dan Al-Hakim berkata: 'Sahih sesuai syarat dua syaikh!' Namun untuk
Tsabit bin Qutbah, maka Bukhori dan
Muslimin tidak meriwayatkan dari nya. Wallahu a’lam."
[Baca : Silsilah al-Atsar ash-Shahihah 1/71 no. 57].
Yasin al-Hamdani berkata :
صَحَّحَهُ
الإِمَامُ الذَّهَبيُّ في التَّلْخِيص، رَوَاهُ الحَاكِمُ وَالطَّبرَانيُّ في
الْكَبِير
"Dinilai shahih oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Talkhish-nya,
diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir." [ Baca :
Jawaahir min Aqwaalir Rasuul hal. 724 dan Mawsuu’ah ar-Raqaa’iq hal. 5872].
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa:
فَالْوَاجِبُ
عَلَى الْمُسْلِمِ إذَا صَارَ فِي مَدِينَةٍ مِنْ مَدَائِنِ الْمُسْلِمِينَ أَنْ
يُصَلِّيَ مَعَهُمْ الْجُمُعَةَ وَالْجَمَاعَةَ وَيُوَالِيَ الْمُؤْمِنِينَ وَلَا
يُعَادِيَهُمْ وَإِنْ رَأَى بَعْضَهُمْ ضَالًّا أَوْ غَاوِيًا وَأَمْكَنَ أَنْ
يَهْدِيَهُ وَيُرْشِدَهُ فَعَلَ ذَلِكَ وَإِلَّا فَلَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إلَّا وُسْعَهَا
"Kewajiban bagi seorang Muslim ketika berada di sebuah daerah di
antara daerah-daerah kaum muslimin adalah untuk shalat Jumat bersama mereka,
shalat berjamaah, serta bersikap loyal kepada para mukmin dan tidak memusuhi
mereka.
Jika dia melihat seseorang di antara mereka sesat atau bermaksiat dan
memungkinkan dirinya bisa membimbingnya dan memberinya petunjuk, maka
lakukanlah hal tersebut. Jika tidak, maka Allah tidak membebani seseorang
kecuali sesuai dengan kesanggupannya."
[Baca : Majmu’ al-Fatawa 3/286]
====****====
DEMI PENYATUAN HATI, SEBAGIAN PARA SAHABAT MENINGGALKAN PENDAPAT-NYA,
WALAU MENURUTNYA SESUAI SUNNAH.
DENGAN ALASAN : “BERPECAH BELAH ADALAH KEBURUKAN”.
-----
Demi menjaga penyatuan hati umat, maka banyak para sahabat bersedia
meninggalkan pendapatnya dalam amalan-amalan sunnah . Mereka beralasaan bahwa
perselisishin dan perpecahan itu lebih besar dosanya dan dampak negatifnya bagi
umat Islam.
----
Sekarang-sekarang ini ada sebagian dari kalangan para syeikh dan para
da’i kontemporer yang menyebar luaskan sebuah ungkapan yang salah dan terbalik
di atas namakan kepada perkataan Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
yang menurut mereka bahwa beliau berkata:
ٱلاخْـتِـلاَفُ
عَذَابٌ
Artinya : “Perbedaan pendapat itu Adzab”.
Penulis sudah berusaha menelusuri perkataan Ibnu Mas’ud “ٱلاخْـتِـلاَفُ
عَذَابٌ” ini dalam kitab-kitab hadits dan lainnya, akan tetapi hingga
kini penulis masih belum menemukannya.
Sepengetahuan penulis sejak dulu : ungkapan Ibnu Mas’ud yang masyhur
dan tersebar dalam kitab-kitab hadits dan syarah-syarah hadits adalah sbb :
الخِلاَفُ
شَرٌّ
“Perselisihan
Itu Buruk”.
******
MAKSUD UCAPAN IBNU MAS’UD : “الخِلاَفُ شَرٌّ
/ PERSELISIHAN ITU BURUK”.
Setelah penulis telusuri riwayat-riwayatnya dan penjelasan para ulama,
maka penulis merangkum bahwa yang dimaksud dari ungkapan tersebut adalah sbb :
Pertama : memperuncing perbedaan perndapat
dalam masalah-masalah cabang agama adalah hal yang buruk, meskipun yang nampak
dalam pandangan orang yang menyelisihinya bahwa pendapat lawannya itu tidak
sejalan dengan yang sesuai sunnah.
Contoh
hadist yang menunjukkan bahwa ada sebagian makna ikhtilaf itu adalah
memperuncing perbedaan , yiatu hadits Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata:
" سَمِعْتُ رَجُلًا قَرَأَ آيَةً، وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلَافَهَا، فَجِئْتُ بِهِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَعَرَفْتُ فِي وَجْهِهِ
الكَرَاهِيَةَ، وَقَالَ: «كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ، وَلَا تَخْتَلِفُوا،
فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا» ".
“Saya
mendengar seseorang membaca suatu ayat, dan saya mendengar Nabi ﷺ membaca
ayat itu berbeda dengan bacaannya, maka saya membawa orang itu
kepada Nabi ﷺ dan memberitahukan kepadanya.
Saya
melihat rasa tidak senang di wajah Nabi ﷺ dan
beliau bersabda: “Kamu berdua benar (dalam hal bacaan ayat) dan janganlah
kalian berselisih (memperuncing perbedan) !, karena sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian, mereka selalu berselisih (memperuncing
perbedaan) sehingga mereka binasa”. [HR. Bukhori no. 3476]
Di sini Nabi ﷺ tidak
menyalahkan perbedaan bacaan mereka berdua, melainkan beliau melarang
mereka memperuncing perbedaan dan perselisihan.
Kedua : anjuran untuk meninggalkan pendapat
hasil ijtihad dirinya, lalu mengikuti pendapat hasil ijtihad seorang pemimpin atau
seorang mujtahid yang berpengaruh dan diakui kelilmuannya dalam masalah-masalah
cabang agama, meski nampak menyelisihi sunnah menurut pandangan orang yang berbeda
pendapat dengan-nya. Anjuran ini demi untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat
serta menghindari perpecahan
Ketiga : Lebih baik mempertahankan amalan
mubah yang dengannya bisa mempersatukan umat dari pada mempertahankan amalan
sunnah yang berdampak perpecahan,
*****
KRONOLOGI UCAPAN IBNU MAS’UD : “PERPECAHAN ITU BURUK”.
Ada banyak riwayat tentang kronologi ucapan
tersebut . Diantaranya adalah : riwayat
Abdul Malik bin Amr Ats-Tsaqafi, dari pamannya:
Abu Ja'far Ath-Thabari sebagaimana dalam
Shahih dan Dha'if Tarikh Ath-Thabari 8/480 nomor 702:
Dikatakan oleh Al-Waqidi: Al-Waqidi
berkata: Dan Dawud bin Khalid menceritakan kepadaku, dari Abdul Malik bin Amr
bin Abi Sufyan Ats-Tsaqafi, dari pamannya, ia berkata:
صَلَّى
عُثْمَانُ بِالنَّاسِ بِمِنًى أَرْبَعًا، فَأَتَى آتٍ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
عَوْفٍ، فَقَالَ: هَلْ لَكَ فِي أَخِيكَ؟ قَدْ صَلَّى بِالنَّاسِ أَرْبَعًا!
فَصَلَّى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بِأَصْحَابِهِ رَكْعَتَيْنِ؛ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى
دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ، فَقَالَ لَهُ: أَلَمْ تُصَلِّ فِي هَذَا الْمَكَانِ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَفَلَمْ تُصَلِّ مَعَ
أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَفَلَمْ تُصَلِّ مَعَ عُمَرَ
رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى! قَالَ: أَلَمْ تُصَلِّ صَدْرًا مِنْ خِلَافَتِكَ
رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى!
قَالَ:
فَاسْمَعْ مِنِّي يَا أَبَا مُحَمَّدٍ! إِنِّي أُخْبِرْتُ: أَنَّ بَعْضَ مَنْ
حَجَّ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، وَجُفَاةَ النَّاسِ قَدْ قَالُوا فِي عَامِنَا
الْمَاضِي: إِنَّ الصَّلَاةَ لِلْمُقِيمِ رَكْعَتَانِ، هَذَا إِمَامُكُمْ
عُثْمَانُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَقَدِ اتَّخَذْتُ بِمَكَّةَ أَهْلًا،
فَرَأَيْتُ أَنْ أُصَلِّيَ أَرْبَعًا لِخَوْفِ مَا أَخَافُ عَلَى النَّاسِ؛
وَأُخْرَى قَدِ اتَّخَذْتُ بِهَا زَوْجَةً، وَلِي بِالطَّائِفِ مَالٌ؛ فَرُبَّمَا
اطَّلَعْتُهُ فَأَقَمْتُ فِيهِ بَعْدَ الصَّدَرِ.
فَقَالَ عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: مَا مِنْ هَذَا شَيْءٌ لَكَ فِيهِ عُذْرٌ؛ أَمَّا
قَوْلُكَ: اتَّخَذْتُ أَهْلًا، فَزَوْجَتُكَ بِالْمَدِينَةِ تُخْرِجُ بِهَا إِذَا
شِئْتَ، وَتُقَدِّمُ بِهَا إِذَا شِئْتَ؛ إِنَّمَا تَسْكُنُ بِسُكْنَاكَ. وَأَمَّا
قَوْلُكَ: وَلِي مَالٌ بِالطَّائِفِ؛ فَإِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الطَّائِفِ
مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ وَأَنْتَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ. وَأَمَّا
قَوْلُكَ: يَرْجِعُ مَنْ حَجَّ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ وَغَيْرِهِمْ، فَيَقُولُونَ:
هَذَا إِمَامُكُمْ عُثْمَانُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ مُقِيمٌ؛ فَقَدْ كَانَ
رَسُولُ اللهِ - ﷺ - يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ وَالنَّاسُ يَوْمَئِذٍ
الإِسْلَامُ فِيهِمْ قَلِيلٌ؛ ثُمَّ أَبُو بَكْرٍ مِثْلُ ذَلِكَ، ثُمَّ عُمَرُ،
فَضَرَبَ الإِسْلَامُ بِجِرَانِهِ، فَصَلَّى بِهِمْ عُمَرُ حَتَّى مَاتَ
رَكْعَتَيْنِ.
فَقَالَ
عُثْمَانُ: هَذَا رَأْيٌ رَأَيْتُهُ .
قَالَ:
فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، فَلَقِيَ ابْنَ مَسْعُودٍ، فَقَالَ: أَبَا
مُحَمَّدٍ، غَيْرُ مَا يُعْلَمُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَمَا أَصْنَعُ؟ قَالَ:
اعْمَلْ أَنْتَ بِمَا تَعْلَمُ؛ فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: الخِلاَفُ شَرٌّ؛
قَدْ بَلَغَنِي: أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا فَصَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي أَرْبَعًا،
فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: قَدْ بَلَغَنِي أَنَّهُ صَلَّى
أَرْبَعًا، فَصَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي رَكْعَتَيْنِ، وَأَمَّا الآنَ فَسَوْفَ
يَكُونُ الَّذِي تَقُولُ - يَعْنِي: نُصَلِّي مَعَهُ أَرْبَعً. (4/268)
Utsman shalat bersama orang-orang di
Mina sebanyak empat rakaat. Seseorang datang kepada Abdurrahman bin Auf dan
berkata:
"Bagaimana pendapatmu tentang
saudaramu? Dia telah shalat bersama orang-orang sebanyak empat rakaat!"
Maka Abdurrahman shalat bersama
sahabat-sahabatnya dua rakaat, kemudian keluar hingga masuk menemui Utsman. Ia
berkata kepadanya:
"Bukankah engkau shalat di
tempat ini bersama Rasulullah ﷺ dua rakaat?" Utsman
menjawab: "Benar!"
Ia bertanya lagi: "Bukankah
engkau shalat bersama Abu Bakar dua rakaat?" Utsman menjawab:
"Benar!"
Ia bertanya lagi: "Bukankah
engkau shalat bersama Umar dua rakaat?" Utsman menjawab:
"Benar!"
Ia bertanya lagi: "Bukankah
engkau shalat di awal kekhalifahanmu dua rakaat?" Utsman menjawab:
"Benar!"
Utsman kemudian berkata:
"Dengarkan dariku, wahai Abu Muhammad! Aku diberitahu bahwa sebagian orang
yang berhaji dari Yaman dan orang-orang kasar mengatakan pada tahun lalu:
'Sesungguhnya shalat bagi orang yang
mukim adalah dua rakaat, ini adalah imam kalian Utsman yang shalat dua rakaat.'
Sementara aku telah menjadi penduduk
Mekah, maka aku melihat bahwa aku harus shalat empat rakaat karena takut akan
apa yang aku khawatirkan atas manusia. Alasan lainnya, aku telah menikah di
sana, dan aku memiliki harta di Thaif; terkadang aku datang kesana untuk
melihat-lihatnya sehingga aku tinggal di sana setelah keluar (dari
Makkah)."
Abdurrahman bin Auf berkata:
"Tidak ada alasan bagimu dalam
hal ini; adapun yang kau katakan bahwa engkau telah menjadi penduduk Mekkah,
maka istrimu ada di Madinah, engkau bisa membawanya keluar kapan saja dan
kembali kapan saja; engkau hanya menetap karena ada tempat tinggalmu.
Adapun yang kau katakan bahwa engkau
memiliki harta di Thaif; jarak antara engkau dan Thaif adalah perjalanan tiga
malam, dan engkau bukan penduduk Thaif.
Adapun yang kau katakan bahwa orang
yang berhaji dari Yaman dan lainnya akan berkata: 'Ini imam kalian Utsman yang
shalat dua rakaat padahal ia mukim'; Rasulullah ﷺ menerima wahyu dan
orang-orang saat itu masih sedikit dalam Islam; kemudian Abu Bakar demikian
juga, kemudian Umar, sehingga Islam kuat dan stabil, dan Umar tetap shalat
bersama mereka dua rakaat hingga wafat."
Utsman berkata: "Ini adalah
pendapat yang aku lihat."
Abdurrahman kemudian keluar dan
bertemu dengan Ibnu Mas'ud, ia berkata: "Abu Muhammad, apakah ada
hal baru yang diketahui?"
Ibnu Mas'ud menjawab:
"Tidak."
Abdurrahman berkata: "Apa yang
harus aku lakukan?"
Ibnu Mas'ud berkata: "Lakukan
apa yang kau ketahui;"
Lalu Ibnu Mas'ud berkata: "Perselisihan
itu buruk”. Aku mendengar bahwa ia shalat empat rakaat, maka aku shalat
bersama sahabat-sahabatku empat rakaat."
Abdurrahman bin Auf berkata:
"Aku mendengar bahwa ia shalat empat rakaat, maka aku shalat bersama
sahabat-sahabatku dua rakaat, namun sekarang aku akan melakukan apa yang engkau
katakan - maksudnya: kita shalat bersamanya empat rakaat." (4/ 268)
Derajat Atsar : Dikatakan oleh Muhammad Thahir
Al-Barzanji: Lemah. [Shahih dan Dha'if Tarikh Ath-Thabari 8/480 nomor 702]
RIWAYAT PENGUAT :
Untuk memperkuat riwayat diatas, di sini penulis hanya mengutip sebagian
kecil dari riwayat-riwayat yang ada. Yaitu sbb:
===
RIWAYAT PERTAMA : riwayat Abdurrahman bin Yazid :
Ke 1 : Abdurrahman
bin Yazid berkata :
"أَنَّ
عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ مَسْعُودٍ - مُنْكِرًا عَلَيْهِ - : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ
رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ
عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا ثُمَّ تَفَرَّقَتْ بِكُمُ
الطُّرُقُ فَلَوَدِدْتُ أَنَّ لِي مِنْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ
مُتَقَبَّلَتَيْنِ ثُمَّ إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ صَلَّى أَرْبَعًا فَقِيلَ لَهُ :
عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ : الخِلاَفُ
شَرٌّ".
Bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu – mengingkarinya - seraya
berkata:
“Aku dulu shalat bersama Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal
pemerintahan ‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat
rakaat.
Kemudian terjadilah perbedaan pendapat
diantara kalian, dan sungguh aku berkeinginan dari empat rakaat shalat itu yang
diterima adalah yang dua rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, Abdullah
bin Mas’ud justru juga shalat empat rakaat. Maka ada yang bertanya kepada
beliau:
“Engkau dulu telah mengingkari
‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, akan tetapi engkau sendiri shalat
empat rakaat pula?”
Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perselisihan
(perpecahan) itu adalah buruk .”
["Hadis ini diriwayatkan oleh
Abu Dawud (1960) dengan sedikit perbedaan, dan diriwayatkan oleh Bukhari
(1084), serta Muslim (695) dalam bentuk yang lebih panjang dengan lafaz yang
hampir serupa."
Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih
Abu Daud].
Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah berkata :
وَ سَنَدُهُ
صَحِيحٌ. وَ رَوَى أَحْمَدُ (٥ / ١٥٥) نَحْوَ هَذَا عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.
“Sanadnya Shahih .
Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari
shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in). [As-Silsilah Ash-Shahihah
1/444].
Ke 2 : Al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifat
As-Sunan wa Al-Atsar 4/260 No. 6078: 6078 - Ahmad berkata:
وَقَدْ
رُوِّينَا بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ يَزِيدَ فِي صَلَاةِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَرْبَعًا، وَقَوْلُهُمْ: أَلَمْ
يُحَدِّثْنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ؟ فَقَالَ:
بَلَى. وَلَكِنَّ عُثْمَانَ كَانَ إِمَامًا، فَأُخَالِفُهُ وَالخِلاَفُ شَرٌّ
Telah diriwayatkan kepada kami dengan
sanad yang sahih dari Abu Ishaq, dari Abdurrahman bin Yazid tentang :
‘shalat Ibnu Mas'ud sebanyak empat rakaat’, dan ucapan mereka:
'Bukankah dia telah memberitahu kita
bahwa Nabi ﷺ shalat dua rakaat, dan Abu
Bakar juga?'
Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab:
'Betul. Tetapi Utsman adalah imam, maka aku tidak boleh menyelisihinya
dan perselisihan itu adalah buruk.'"
====
RIWAYAT KE DUA : riwayat Qotadah :
Abdurrazzaq dalam "Al-Musannaf" 2/516 No. 4269 meriwayatkan :
Dari Ma'mar, dari Qatadah :
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، وَأَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ
خِلَافَتِهِ، كَانُوا يُصَلُّونَ بِمَكَّةَ وَبِمِنًى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ إِنَّ
عُثْمَانَ صَلَّاهَا أَرْبَعًا ". فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ مَسْعُودٍ،
فَاسْتَرْجَعَ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى أَرْبَعًا، فَقِيلَ لَهُ: اسْتَرْجَعْتَ ثُمَّ
صَلَّيْتَ أَرْبَعًا؟ قَالَ: «الخِلاَفُ شَرٌّ»
Bahwa Rasulullah ﷺ,
Abu Bakar, Umar, dan Utsman pada awal masa kekhalifahannya, mereka shalat di
Mekah dan Mina dua rakaat. Kemudian setelah itu Utsman shalatnya menjadi empat
rakaat. Berita itu sampai kepada Ibnu Mas'ud, maka ia mengucapkan istirja'
(inna lillahi wa inna ilaihi raji'un), kemudian dia pun berdiri dan shalat empat
rakaat.
Maka ada yang bertanya kepadanya: "Engkau mengucapkan istirja'
kemudian shalat empat rakaat?"
Ia menjawab: "Perselisihan itu adalah keburukan."
====
RIWAYAT KE TIGA : riwayat Ibnu Abi Dzubaab, dari ayahnya :
Al-Baihaqi dalam "Al-Khilafiyat" 3/408 no. 2651 meriwayatkan
: Dari Ibnu Abi Dzubaab, dari ayahnya, ia berkata:
صَلَّى
عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ - رضي الله عنه - بِمِنًى أَرْبَعًا، فَأَنْكَرَ النَّاسُ
عَلَيْهِ ذَلِكَ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، لَمَّا قَدِمْتُ مَكَّةَ
تَأَهَّلْتُ (التزوج) بِهَا، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - ﷺ - يَقُولُ:
"إِذَا تَأَهَّلَ رَجُلٌ بِبَلَدٍ فَلْيُصَلِّ بِهِ صَلَاةَ مُقِيمٍ"
Utsman bin Affan -raḍiyallāhu 'anhu- shalat di Mina empat rakaat, maka orang-orang mengingkari hal
itu padanya. Maka Ia (Utsman) berkata:
"Wahai manusia, ketika aku tiba di Mekah, aku menikah
(berkeluarga) di sana, dan aku mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda: 'Jika seseorang menikah di suatu tempat, maka hendaklah ia shalat
seperti shalat orang yang muqim [penduduk].'"
====
RIWAYAT KE EMPAT : Riwayat
‘Athoo :
Ibnu Abdil Barr dalam "At-Tamhid" 11/172 meriwayatkan dengan
sanadnya dari Al-Mughirah bin Ziyad, dari Atha' :
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يُتِمُّ فِي سَفَرِهِ وَيَقْصُرُ وَقَدْ
أَتَمَّ جَمَاعَةٌ فِي السَّفَرِ مِنْهُمْ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعُثْمَانُ
بْنُ عَفَّانَ وَعَائِشَةُ وَقَدْ عَابَ ابْنُ مَسْعُودٍ عُثْمَانَ
بِالْإِتْمَامِ وَهُوَ بِمِنَى ثُمَّ لَمَّا أَقَامَ الصَّلَاةَ عُثْمَانُ مَرَّ ابْنُ
مَسْعُودٍ فَصَلَّى خَلْفَهُ فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ الخِلاَفُ شَرٌّ
وَلَوْ أَنَّ الْقَصْرَ عِنْدَهُ فَرْضٌ مَا صَلَّى خَلْفَ عُثْمَانَ أَرْبَعًا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah ﷺ
terkadang menyempurnakan shalatnya (4 rakaat) dalam perjalanan (safar) dan terkadang
mengqasharnya (2 rakaat) .
Dan ada sebagian orang yang menyempurnakan shalat (4 rakaat) dalam
perjalanan (safar), di antaranya Sa'd bin Abi Waqqas, Utsman bin Affan, dan
Aisyah.
Ibnu Mas'ud mencela Utsman karena menyempurnakan shalat (4 rakaat) di
Mina. Akan tetapi ketika Utsman mendirikan shalat, dan Ibnu Mas'ud melewatinya,
dia ikut shalat di belakangnya (4 rakaat) .
Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, ia menjawab: "Perselisihan
itu adalah keburukan”.
Jika seandainya qashar (shalat) menurutnya wajib, maka dia tidak akan
shalat di belakang Utsman dengan empat rakaat."
====
RIWAYAT KE LIMA : riwayat Abdullah bin Siidan :
Dari Abdullah bin Siidan, ia berkata:
كُنْتُ
مَعَ ابْنِ مَسْعُودٍ بِعَرَفَةَ، فَصَلَّى عُثْمَانُ الظُّهْرَ أَرْبَعًا، وَالْعَصْرَ
أَرْبَعًا، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: «هَا هُنَا صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَمَا صَلَّوْا إِلَّا رَكْعَتَيْنِ» قُلْتُ:
أَفَلَا تَقُومُ إِلَيْهِ؟ قَالَ: اسْكُتْ فَإِنَّ الخِلاَفُ شَرٌّ
Aku bersama Ibnu Mas'ud di Arafah. Utsman melaksanakan shalat Zhuhur
empat rakaat dan shalat Ashar empat rakaat. Ibnu Mas'ud berkata: "Di sini
aku shalat bersama Rasulullah ﷺ,
Abu Bakar, dan Umar, mereka tidak shalat kecuali dua rakaat." Aku berkata:
"Tidakkah engkau pergi kepadanya?" Ia berkata: "Diamlah, karena
perselisihan itu buruk."
[Diriwayatkan oleh At-Tabarani dalam Al-Mu'jam Al-Awsat 6/368 nomor
6637]
====
RIWAYAT KE ENAM : Qurrah Abi Mu'awiyah :
Dari Qurrah Abi Mu'awiyah, ia berkata:
جَاءَ
ابْنُ مَسْعُودٍ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ فَقَالَ: كَمْ صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى؟
فَقَالُوا: أَرْبَعًا. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ كَلِمَةً، ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى
أَرْبَعًا، فَقَالُوا: عِبْتَ عَلَيْهِ، ثُمَّ صَلَّيْتَ كَمَا صَلَّى؟ فَقَالَ:
«أَمَا إِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
رَكْعَتَيْنِ، وَلَكِنَّ الخِلاَفُ شَرٌّ»
Ibnu Mas'ud datang pada masa Utsman dan berkata: "Berapa rakaat
Utsman shalat di Mina?" Mereka berkata: "Empat rakaat." Abdullah
berkata sesuatu, kemudian ia maju dan shalat empat rakaat. Mereka berkata:
"Engkau mencelanya, lalu engkau shalat sebagaimana yang ia shalat?"
Ia berkata: "Aku telah shalat bersama Nabi ﷺ,
Abu Bakar, dan Umar dua rakaat, tetapi perselisihan itu buruk."
[Diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ath-Thabari dalam Tahdhib Al-Atsar 1/226
nomor 357].
=====
RIWAYAT KETUJUH : riwayat Ibnu al-Atsir :
Ibnu Atsir al-Jazari dalam kitab al-Kamil fi at-Tarikh, jilid 2 halaman
475, berkata:
حَجَّ
بِالنَّاسِ فِي هَذِهِ السَّنَةِ عُثْمَانُ، وَضَرَبَ فُسْطَاطَهُ بِمِنًى،
وَكَانَ أَوَّلَ فُسْطَاطٍ ضَرَبَهُ عُثْمَانُ بِمِنًى، وَأَتَمَّ الصَّلَاةَ
بِهَا وَبِعَرَفَةَ، فَكَانَ أَوَّلَ مَا تَكَلَّمَ بِهِ النَّاسُ فِي عُثْمَانَ
ظَاهِرًا حِينَ أَتَمَّ الصَّلَاةَ بِمِنًى، فَعَابَ ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ
الصَّحَابَةِ، وَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ: مَا حَدَثَ أَمْرٌ وَلَا قَدُمَ عَهْدٌ،
وَلَقَدْ عَهِدْتُ النَّبِيَّ - ﷺ -، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يُصَلُّونَ
رَكْعَتَيْنِ وَأَنْتَ صَدْرًا مِنْ خِلَافَتِكَ، فَمَا أَدْرِي مَا تَرْجِعُ
إِلَيْهِ. فَقَالَ: رَأْيٌ رَأَيْتُهُ. وَبَلَغَ الْخَبَرُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ
بْنَ عَوْفٍ وَكَانَ مَعَهُ، فَجَاءَهُ وَقَالَ لَهُ: أَلَمْ تُصَلِّ فِي هَذَا
الْمَكَانِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - ﷺ -، وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَكْعَتَيْنِ
وَصَلَّيْتَ أَنْتَ رَكْعَتَيْنِ؟ قَالَ: بَلَى وَلَكِنِّي أُخْبِرْتُ أَنَّ
بَعْضَ مَنْ حَجَّ مِنَ الْيَمَنِ وَجُفَاةِ النَّاسِ قَالُوا: إِنَّ الصَّلَاةَ
لِلْمُقِيمِ رَكْعَتَانِ، وَاحْتَجُّوا بِصَلَاتِي، وَقَدِ اتَّخَذْتُ بِمَكَّةَ
أَهْلًا وَلِي بِالطَّائِفِ مَالٌ. فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: مَا فِي هَذَا
عُذْرٌ، أَمَّا قَوْلُكَ: اتَّخَذْتُ بِهَا أَهْلًا، فَإِنَّ زَوْجَكَ
بِالْمَدِينَةِ تَخْرُجُ بِهَا إِذَا شِئْتَ، وَإِنَّمَا تَسْكُنُ بِسُكْنَاكَ،
وَأَمَّا مَالُكَ بِالطَّائِفِ فَبَيْنَكَ وَبَيْنَهُ مَسِيرَةُ ثَلَاثِ لَيَالٍ،
وَأَمَّا قَوْلُكَ عَنْ حَاجِّ الْيَمَنِ وَغَيْرِهِمْ، فَقَدْ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ - ﷺ -، يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ وَالْإِسْلَامُ قَلِيلٌ، ثُمَّ أَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَصَلَّوْا رَكْعَتَيْنِ وَقَدْ ضَرَبَ الْإِسْلَامُ
بِجِرَانِهِ. فَقَالَ عُثْمَانُ: هَذَا رَأْيٌ رَأَيْتُهُ فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
فَلَقِيَ ابْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ: أَبَا مُحَمَّدٍ، غُيِّرَ مَا تَعْلَمُ. قَالَ:
فَمَا أَصْنَعُ؟ قَالَ: اعْمَلْ بِمَا تَرَى وَتَعْلَمُ. فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ:
الخِلاَفُ شَرٌّ وَقَدْ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي أَرْبَعًا. فَقَالَ عَبْدُ
الرَّحْمَنِ: قَدْ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي رَكْعَتَيْنِ وَأَمَّا الْآنُ فَسَوْفَ
أُصَلِّي أَرْبَعًا.
وَقِيلَ:
كَانَ ذَلِكَ سَنَةَ ثَلَاثِينَ
"Pada
tahun itu, Utsman menunaikan ibadah haji bersama kaum Muslimin. Dia mendirikan
tenda di Mina, dan ini adalah pertama kalinya Utsman mendirikan tenda di Mina.
Dia menyempurnakan shalat (4 rakaat) di sana dan di Arafah. Hal ini menjadi
pembicaraan pertama yang menyebar di kalangan orang-orang tentang sholat Utsman
secara terbuka, ketika dia menyempurnakan shalat di Mina.
Beberapa sahabat mencela hal tersebut, dan Ali berkata kepadanya:
'Belum pernah terjadi sesuatu yang baru, dan masa-masa yang sudah lama
berlalu tidak pernah terjadi sesuatu . Aku telah menyaksikan Nabi -ﷺ-,
Abu Bakar, dan Umar semuanya shalat dua rakaat, dan engkau pun di awal masa
kekhalifahanmu shalat dua rakaat, maka aku tidak tahu apa yang membuatmu
mengubahnya.'
Utsman menjawab: 'Ini adalah pendapat yang aku lihat (baik).'
Kabar tersebut sampai kepada Abdurrahman bin Auf yang sedang
bersamanya, lalu ia datang dan berkata kepadanya:
'Bukankah engkau shalat di tempat ini bersama Rasulullah -ﷺ-,
Abu Bakar, dan Umar dua rakaat, dan engkau sendiri juga shalat dua rakaat?'
Utsman menjawab: 'Benar, tetapi aku diberitahu bahwa sebagian dari
orang-orang yang berhaji dari Yaman dan orang-orang yang jahil mengatakan bahwa
shalat bagi orang yang menetap adalah dua rakaat, dan mereka berdalih dengan
shalatku. Aku telah memiliki keluarga di Mekah dan memiliki harta (kebun) di
Thaif.'
Abdurrahman berkata: 'Ini bukan alasan. Adapun perkataanmu: engkau
telah memiliki keluarga di Mekah, istrimu ada di Madinah, engkau bisa
membawanya bersamamu jika engkau mau, dan ia tinggal bersamamu tergantung di
mana engkau tinggal. Adapun hartamu di Thaif, jaraknya tiga hari perjalanan
dari sini. Mengenai perkataanmu tentang jamaah haji dari Yaman dan lainnya,
Rasulullah -ﷺ-
shalat dua rakaat ketika wahyu turun kepadanya dan Islam masih sedikit,
kemudian Abu Bakar dan Umar juga shalat dua rakaat ketika Islam sudah menyebar
luas.'
Utsman berkata: 'Ini adalah pendapat yang aku lihat (baik).'
Abdurrahman pergi dan bertemu dengan Ibnu Mas'ud, ia berkata: 'Wahai
Abu Muhammad, apa yang engkau ketahui telah berubah.'
Ibnu Mas'ud menjawab: 'Apa yang harus aku lakukan?' Abdurrahman
berkata: 'Lakukanlah apa yang engkau lihat dan ketahui.'
Ibnu Mas'ud berkata: 'Perselisihan itu buruk, maka aku shalat
empat rakaat bersama sahabat-sahabatku.'
Abdurrahman berkata: 'Aku telah shalat dua rakaat bersama
sahabat-sahabatku, tetapi sekarang aku akan shalat empat rakaat.'
Dikatakan bahwa hal ini terjadi pada tahun tiga puluh hijriah ."
*****
SYARAH PERKATAAN IBNU MAS’UD : “ PERSELISIHAN ITU BURUK”.
====
PENJELASAN ABU AL-HUSAIN AL-BAGHDADI
:
Penjelasan Abu Al-Husain Al-Baghdadi
Al-Quduri dalam At-Tajrid 2/887 nomor 3465, tentang sikap Ibnu Mas’ud, dia
berkata :
وَلَا يُقَالُ:
رُوِيَ أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ أَنْكَرَ عَلَيْهِ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى بِهِمْ
أَرْبَعًا، فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ؛ فَقَالَ: الخِلاَفُ شَرٌّ؛ وَذَلِكَ
لِأَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ مِنْ جُمْلَةِ الْجُنْدِ، فَحَمَلَ أَمْرَ عُثْمَانَ
عَلَى أَنَّهُ نَوَى الْإِقَامَةَ بِمَكَّةَ كَمَا قَالَ الزُّهْرِيُّ، فَصَارَ
مُقِيمًا بِإِقَامَةِ إِمَامِهِ، وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِهِ: الخِلاَفُ شَرٌّ،
أَيْ: لَا يَجُوزُ مُخَالَفَةُ الْإِمَامِ فِي النِّيَّةِ.
Dan tidak dikatakan bahwa Ibnu Mas’ud
mengingkarinya, lalu ia bangkit dan shalat empat rakaat bersama mereka. Ketika
hal itu dikatakan kepadanya, ia berkata: “Perselisihan itu buruk.” Hal ini
karena Ibnu Mas’ud adalah bagian dari pasukan perang, maka ia menganggap bahwa
Utsman berniat mukim di Mekah sebagaimana yang dikatakan oleh Az-Zuhri. Maka,
ia menjadi mukim dengan niat imamnya. Inilah makna ucapannya: “Perselisihan itu
buruk,” yaitu: tidak boleh menyalahi imam dalam niat shalat.
Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf
berkata dalam ad-Durar as-Saniyyah:
الأمورُ
الشَّرعيَّةُ يَنبغي التَّحرُّزُ والاحتياطُ فيها، وخاصَّةً إذا وُجِد بينَ
النَّاس مَن لا يَستطيعُ فَهْمَ الأمورِ على حَقيقتِها أو ليس لدَيه العِلمُ
الكافي الَّذي يُؤهِّلُه لِمَعرفةِ العَزائمِ والرُّخَصِ في الشَّرعِ ومَعرِفةِ
أوقاتِها، وكذلك فإنَّ لإِمامِ المسلِمين أن يَأخُذَ بما يَراه في صالحِ النَّاسِ،
ويَنبَغي السَّمعُ له والطَّاعةُ.
وفي هذا
الحديثِ يَقولُ عبدُ الرَّحمنِ بنُ يَزيدَ: "صلَّى عُثمانُ بمِنًى
أربعًا"، أي: صلَّى عثمانُ بنُ عفَّانَ الصَّلاةَ الرُّباعيَّةَ تامَّةً في
أيَّامِ مِنًى مِن أيَّامِ الحجِّ ولم يَقصُرْها لرَكعتَينِ، كما فعَل النَّبيُّ ﷺ.
وإتمامُ
عُثمانَ كان اجتِهادًا منه؛ لأنَّه اعتقَدَ أنَّ النبيَّ ﷺ قَصَر الصَّلاةَ لَمَّا
خُيِّرَ بين القصرِ والإتمامِ؛ فاختار الأيسرَ مِن ذلك على أمَّته، فأخذ عثمان في
نفسه بالشِّدَّةِ وترَكَ الرُّخصةَ؛ إذ كان ذلك مباحًا له في حُكمِ التَّخييرِ
فيما أذِنَ اللهُ تعالى فيه.
وقيل -كما في
روايةٍ أخرى-: "إنَّ عُثمانَ بنَ عفَّانَ أتمَّ الصَّلاة بمِنًى مِن أجلِ
الأعرابِ؛ لأنَّهم كثُروا عامَئذٍ فصلَّى بالناسِ أربعًا؛ ليُعلمهم أنَّ الصَّلاةَ
أربعٌ"، فأتمَّ لأنَّ النَّاسَ كَثُروا ويَأخُذون في الحجِّ أمورَ الدِّينِ
مِن الأئمَّةِ والعُلماءِ، فخافَ أنْ يتَصوَّرَ البعضُ أنَّ الصَّلاةَ ركعتَانِ
فقَطْ، فأتَمَّ الصَّلاةَ الرُّباعيَّةَ؛ حتَّى يتَعلَّمَها الجُهَّالُ والأعرابُ،
وقِيلَ غير ذلك.
فقال عبدُ
اللهِ بنُ مسعودٍ رَضِي اللهُ عَنْه: "صلَّيتُ معَ النَّبيِّ ﷺ ركعَتَينِ
ومعَ أبي بَكرٍ رَكعَتَينِ ومع عُمرَ ركعتَين- زادَ عن حفصٍ"، وهو ابنُ
غِياثٍ أي: زاد في روايتِه: "ومَع عُثمانَ صدرًا مِن إمارتِه، ثمَّ
أتَمَّها"، أي: كانوا يَقصُرون الصَّلاةَ الَّتي أتَمَّها عُثمانُ في آخِرِ
أمرِه.
“زاد من هاهنا
عن أبي معاويةَ" وهو محمَّدُ بنُ خازِمٍ، أي: زاد في روايته: “ثُمَّ
تفَرَّقَت بكُم الطُّرقُ"، أي: اختَلَفتُم فمِنْكم مَن يَقصُرُ ومِنكم مَن لا
يَقصُرُ؛ "فلَوَدِدتُ أنَّ لي مِن أربعِ ركعاتٍ ركعَتَينِ
مُتقبَّلَتَين"، أي: تَمنَّيتُ مِن فِعلِ عُثمانَ أن يتَقبَّلَ اللهُ منِّي
ركعتَين بدَلًا مِن الأربَعِ.
“قال الأعمشُ:
فحدَّثَني مُعاويةُ بنُ قُرَّةَ عن أشياخِه: "أنَّ عبدَ الله"، وهو ابنُ
مسعودٍ "صلَّى أربعًا، فقيلَ له: عِبتَ على عُثمانَ ثمَّ صلَّيتَ
أربعًا"، أي: فعَلتَ ما كنتَ تَعيبُه على عثمانَ بنِ عفَّانَ، فقال عبدُ
اللهِ: "الخِلاَفُ شرٌّ"، أي: إنَّ الخِلاَفُ بينَ المسلِمين في ذلك
الموطنِ شرٌّ وأعظمُ مِن الإصرارِ على الرَّكعتَينِ ومُخالَفةِ الإمامِ؛ إشارةً
إلى جَوازِ الإتمامِ وهو خِلافُ الأَوْلى، وهذا مبدَأٌ عظيمٌ، وخاصَّةً في الأمورِ
الاجتهاديَّةِ الَّتي تَحتَمِلُ أكثرَ مِن وجهٍ، وعلى العُلماءِ أن يَلتَزِموا بما
اختارَه وليُّ الأمرِ لِمَا رأَى فيه مِن المصلَحةِ.
وفي الحديثِ:
بيانُ ضَرورةِ طاعةِ ولِيِّ الأمرِ فيما اجتَهَد فيه؛ ما دام لم يُخالِفْ نَصًّا
ولم يَبتَدِعْ.
وفيه: أنَّ
لِوَليِّ الأمرِ أن يُراعِيَ المصلحةَ العامَّةَ للمُسلِمين.
“Hal-hal yang berkaitan
dengan syariat harus ditangani dengan hati-hati dan cermat, terutama jika ada
di antara orang-orang yang tidak dapat memahami masalah dengan sebenarnya atau
tidak memiliki pengetahuan yang cukup yang memungkinkannya memahami keputusan-keputusan
tetap (azimah) dan keringanan (rukhshah) dalam syariat dan mengetahui waktunya.
Selain itu, seorang pemimpin Muslim berhak mengambil keputusan yang dianggapnya
terbaik untuk masyarakat, dan wajib didengar serta dipatuhi oleh mereka.
Dalam hadits ini, Abdurrahman bin
Yazid berkata:
"صلَّى عُثمانُ بمِنًى أربعًا"
‘Utsman shalat empat rakaat di Mina,’
Maksudnya Utsman bin Affan
melaksanakan shalat empat rakaat secara sempurna di hari-hari Mina pada saat
haji dan tidak mengqoshornya menjadi dua rakaat, seperti yang dilakukan Nabi ﷺ.
Penyempurnaan shalat 4 rakaat oleh
Utsman adalah hasil ijtihadnya; karena ia berpendapat bahwa Nabi ﷺ mengqoshor shalat ketika
diberi pilihan antara mengqosornya 2 rakaat dan menyempurnakannya 4 rakaat ;
beliau memilih yang lebih mudah bagi umatnya.
Utsman memilih untuk berpegang pada
yang lebih ketat dan meninggalkan keringanan; karena hal itu diizinkan baginya
dalam masalah yang diberi pilihan oleh Allah Ta’ala.
Dan dikatakan pula -sebagaimana dalam
riwayat lain-:
"إنَّ عُثمانَ بنَ عفَّانَ أتمَّ
الصَّلاة بمِنًى مِن أجلِ الأعرابِ؛ لأنَّهم كثُروا عامَئذٍ فصلَّى بالناسِ
أربعًا؛ ليُعلمهم أنَّ الصَّلاةَ أربعٌ"
‘Sesungguhnya Utsman bin Affan
menyempurnakan shalat 4 rakaat di Mina karena adanya orang-orang Arab badui
yang banyak pada waktu itu, maka Utsman sengaja shalat empat rakaat bersama
mereka untuk mengajarkan bahwa shalat itu empat rakaat’.
Dia menyempurnakan 4 rakaat karena
banyaknya orang dan mereka ingin belajar agama dari para imam dan ulama selama
haji. Ia khawatir ada yang beranggapan bahwa shalat hanya dua rakaat saja, maka
ia menyempurnakan shalat empat rakaat untuk mengajarkan kepada orang-orang awam
dan badui, dan ada juga alasan lain.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata:
"صلَّيتُ معَ النَّبيِّ ﷺ ركعَتَينِ
ومعَ أبي بَكرٍ رَكعَتَينِ ومع عُمرَ ركعتَين
‘Aku shalat dua rakaat bersama Nabi ﷺ, dua rakaat bersama Abu
Bakar, dan dua rakaat bersama Umar.’
Hafsh bin Ghiyats menambahkan dalam
riwayatnya:
"ومَع عُثمانَ صدرًا مِن إمارتِه، ثمَّ
أتَمَّها"
‘Dan bersama Utsman pada awal
kepemimpinannya, kemudian ia menyempurnakannya 4 rakaat ‘.
Artinya mereka mengqosor shalat yang
kemudian disempurnakan 4 rakaat oleh Utsman di akhir masa kepemimpinannya.”
Terdapat tambahan dari Abu Muawiyah
dari sini,” yaitu Muhammad bin Khazim, artinya: ditambahkan dalam riwayatnya:
ثُمَّ
تفَرَّقَت بكُم الطُّرقُ"
“Kemudian jalan kalian berbeda-beda,”
Yaitu: kalian berbeda pendapat, di
antara kalian ada yang mengqosor shalat dan ada pula yang tidak mengqosor;
فلَوَدِدتُ
أنَّ لي مِن أربعِ ركعاتٍ ركعَتَينِ مُتقبَّلَتَين
“Maka aku berharap agar dari empat
rakaat ini aku mendapatkan dua rakaat yang diterima,” artinya: aku berharap
dari tindakan Utsman agar Allah menerima dariku dua rakaat sebagai ganti dari
empat rakaat.
“Al-A’masy berkata: Maka Muawiyah bin
Qurrah menceritakan kepadaku dari para syekh-nya: ‘Bahwa Abdullah,’ yaitu Ibnu
Mas’ud, ‘shalat empat rakaat, lalu dikatakan kepadanya: Engkau mencela Utsman
akan tetapi engkau shalat empat rakaat,’ artinya: engkau melakukan apa yang
dahulu engkau cela pada Utsman bin Affan.
Abdullah bin Mas'ud menjawab :
‘Perpecahan itu buruk,’ artinya: perpecahan di antara kaum Muslimin di tempat
tersebut lebih buruk dan lebih besar daripada bersikeras pada dua rakaat dan
menentang imam.
Ini menunjukkan kebolehan
menyempurnakan shalat 4 rakaat meskipun hal tersebut bertentangan dengan yang
lebih utama. Ini adalah prinsip yang penting, terutama dalam masalah-masalah
ijtihadiyah yang bisa memiliki lebih dari satu pendapat, dan para ulama harus
mematuhi apa yang dipilih oleh pemimpin karena ia melihat adanya kemaslahatan.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan
tentang pentingnya ketaatan kepada pemimpin dalam hal yang diijtihadkan; selama
tidak bertentangan dengan nash syariat dan tidak merupakan bid’ah.
Selain itu, hadits ini menunjukkan
bahwa pemimpin berhak mempertimbangkan kemaslahatan umum bagi kaum Muslimin.”
[SELESAI KUTIPAN DARI AS-SAQQAF]
=====
PENJELASAN ABU NU’AIM AL-ASHBAHAANI (wafat 430 H) :
Abu Nu'aim al-Ashbahani berkata dalam "Tatsbit al-Imamah wa Tartib
al-Khilafah" hal 311 no. 115 :
وَقَدْ
رَأَى جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ إِتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ مِنْهُمْ:
عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَعَنْ أَبِيهَا، وَعُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، وَسَلْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ. وَإِنَّ الَّذِي حَمَلَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى
الْإِتْمَامِ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ قَوْمًا مِنَ الْأَعْرَابِ مِمَّنْ شَهِدُوا
مَعَهُ الصَّلَاةَ بِمِنًي رَجَعُوا إِلَى قَوْمِهِمْ فَقَالُوا: الصَّلَاةُ
رَكْعَتَانِ، كَذَلِكَ صَلَّيْنَاهَا مَعَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُثْمَانَ بْنِ
عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمِنًى. فَلِأَجْلِ ذَلِكَ صَلَّى أَرْبَعًا
ليعلمهم مَا يستنوا بِهِ للْخِلَافَ وَالِاشْتِبَاهَ. وَكَذَلِكَ فَعَلَ عُمَرُ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي أَمْرِ الْحَجِّ، نَهَاهُمْ عَنِ التَّمَتُّعِ، وَأَنْ
يَجْمَعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ مَعَ عِلْمِهِ
وَمُشَاهَدَتِهِ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا. وَكَانَ ابْنُهُ
عَبْدُ اللَّهِ يُخَالِفُهُ وَيَقُولُ: سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَقُّ أَنْ
تُتَّبَعَ. وَتَابَعَهُ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ وَعَامَّةُ الصَّحَابَةِ
عَلَى تَرْكِ الْجَمْعِ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ مَعَ عِلْمِهِمْ بِفِعْلِ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَإِقَامَتِهِ عَلَى الْإِحْرَامِ حِينَ دَخَلَ مَكَّةَ
مَعْتَمِرًا حَتَّى فَرَغَ مِنْ إِقَامَةِ الْمَنَاسِكِ، وَلَمْ يَعُدُّوا ذَلِكَ
خِلَافًا مِنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَلَمْ يُظْهِرُوا إِنْكَارًا
عَلَيْهِ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ مَوْضِعَ الْإِنْكَارِ لَأَنْكَرُوهُ وَلَمَا
تَابَعُوهُ عَلَى رَأْيِهِ. فَإِنْ عَادَ لِلطَّعْنِ عليه بِأَنَّهُ أَمَرَ
للنَّاسَ بِالْعَطَاءِ مِنْ مَالِ الصَّدَقَةِ وَأَنَّ النَّاسَ أَنْكَرُوهُ.
قِيلَ:
عُثْمَانُ أَعْلَمُ مِمَّنْ أَنْكَرَ عَلَيْهِ، وَلِلْأَئِمَّةِ إِذَا رَأَوُا
الْمَصْلَحَةَ لِلرَّعِيَّةِ فِي شَيْءٍ أَنْ يَفْعَلُوهُ، وَلَا يُجْعَلُ
إِنْكَارُ مَنْ جَهِلَ الْمَصْلَحَةَ حُجَّةً عَلَى مَنْ عَرَفَهَا، وَلَا يَخْلُو
زَمَانٌ مِنْ قَوْمٍ يَجْهَلُونَ وَيُنْكِرُونَ الْحَقَّ مِنْ حَيْثِ لَا
يَعْرِفُونَ، وَلَا يَلْزَمُ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِيمَا أَمَرَ بِهِ
إِنْكَارٌ لِمَا رَأَى مِنَ الْمَصْلَحَةِ، فَقَدْ فَرَّقَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ يَوْمَ الْجِعْرَانَةِ
وَتَرَكَ الْأَنْصَارَ لِمَا رَأَى مِنَ الْمَصْلَحَةِ حَتَّى قَالَ قَائِلُهُمْ:
تُقْسَمُ غَنَائِمُنَا فِي النَّاسِ وَسُيُوفُنَا تَقْطُرُ مِنْ دِمَائِهِمْ.
فَكَانَ الَّذِي دَعَاهُمْ إِلَى الْإِنْكَارِ عَلَى مَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
قِلَّةُ مَعْرِفَتِهِمْ بِمَا رَأَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنَ الْمَصْلَحَةِ فِيمَا
قَسَمَ. وَكَانَ ذَلِكَ أَعْظَمَ مِنْ إِنْكَارِ مَنْ أَنْكَرَ عَلَى عُثْمَانَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ لِأَنَّ مَالَ الْمُؤَلَّفَةِ مِنَ الْغَنِيمَةِ فَلَا
يَلْزَمُ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ إِنْكَارِ مَنْ أَنْكَرَ عَلَيْهِ
شَيْئًا إِلَّا مَا لَزِمَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، حِينَ رَأَى الْمَصْلَحَةَ فِيمَا
فَعَلَ اقْتِدَاءً بِنَبِيِّهِ ﷺ. فَإِنْ قَالَ: قائل: إِنَّمَا الَّذِي أَعْطَى
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنَ الْخُمْسِ. قِيلَ لَهُ: لَوْ كَانَ مِنَ الْخُمْسِ لَمَا
أَنْكَرَتْ عَلَيْهِ الْأَنْصَارُ ذَلِكَ وَلَمَا قَالَتْ: غَنَائِمُنَا،
وَلَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لِمَ أَنْكَرْتُمْ، إِنَّمَا أَعْطَيْتُهُمْ
مِنْ مَالِ اللَّهِ، أَلَا تَرَاهُ ﷺ اسْتَمَالَ بِقُلُوبِهِمْ حِينَ قَالَ
لَهُمْ: «أَلَا تَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالْأَمْوَالِ وَتَذْهَبُونَ
بِرَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - إِلَى بُيُوتِكُمْ» قَالُوا: رَضِينَا
"Dan sekelompok sahabat telah berpandangan bolehnya menyempurnakan
shalat 4 rakaat dalam safar (perjalanan) , di antaranya: Aisyah radhiyallahu
anha dan ayahnya, Utsman radhiyallahu anhu, Salman radhiyallahu anhu, dan empat
belas sahabat Rasulullah ﷺ
lainnya.
Dan yang mendorong Utsman radhiyallahu anhu untuk menyempurnakan shalat
4 rakaat adalah bahwa ia mendengar bahwa sekelompok Arab Badui yang ikut shalat
bersamanya di Mina, mereka kembali kepada kaumnya dan berkata: 'Shalat itu dua
rakaat, demikianlah kami shalat bersama Amirul Mukminin Utsman bin Affan
radhiyallahu anhu di Mina.'
Oleh karena itu, ia shalat empat rakaat untuk mengajari mereka agar
tidak bingung dan tidak terjadi perbedaan.
Begitu juga Umar radhiyallahu anhu dalam urusan haji, ia melarang
mereka untuk melakukan tamattu’ dan menggabungkan haji dan umrah dalam
bulan-bulan haji, meskipun ia mengetahui dan menyaksikan bahwa Rasulullah ﷺ
menggabungkan keduanya.
Dan putranya Abdullah menentangnya dan berkata: 'Sunnah Rasulullah ﷺ
lebih layak diikuti.'
Abu Musa al-Asy'ari dan mayoritas sahabat mengikuti Abdullah dalam
meninggalkan penggabungan haji dan umrah, meskipun mereka mengetahui bahwa
Rasulullah ﷺ
melakukannya dan tetap dalam ihram ketika masuk Mekah untuk umrah sampai selesai
menjalankan manasik.
Mereka tidak menganggap itu sebagai perbedaan dengan Umar radhiyallahu
anhu, dan tidak menunjukkan penolakan padanya. Jika itu adalah hal yang perlu
ditolak, maka mereka pasti akan menolaknya dan tidak akan mengikutinya dalam
pendapatnya.
Jadi, jika dia kembali mencelanya maka sesungguhnya beliau
memerintahkan orang-orang untuk memberi sedekah dari harta zakatnya, dan
orang-orang pun mengingkarinya."
"Ada yang berkata : “Utsman lebih mengetahui daripada orang yang
mengingkari tindakannya”. Dan para pemimpin, jika mereka melihat ada maslahat
(kepentingan) bagi rakyat dalam suatu hal, maka mereka boleh mengamalkannya.
Argumen orang yang mengingkari sesuatu karena kebodohannya tentang
maslahat, tidak bisa dijadikan hujjah terhadap orang yang mengetahuinya.
Tidak ada zaman yang lepas dari adanya sekelompok orang-orang bodoh
yang mengingkari kebenaran karena mereka tidak memahaminya.
Tidak wajib bagi Utsman radhiyallahu anhu untuk mengindahkan
pengingkaran terhadap apa yang ia perintahkan, jika ia melihat adanya maslahat.
Karena Rasulullah ﷺ
pun pernah membagikan harta rampasan perang Hunain kepada para mu’allaf
(orang-orang yang hatinya perlu dijinakkan) di Ji'ranah, dan tidak
membagikannya pada kaum Anshar karena melihat adanya maslahat, sampai salah
seorang dari mereka berkata:
تُقْسَمُ
غَنَائِمُنَا فِي النَّاسِ وَسُيُوفُنَا تَقْطُرُ مِنْ دِمَائِهِمْ
'Rampasan perang kami dibagikan kepada orang-orang, sementara pedang
kami masih meneteskan darah mereka.'
Yang mendorong mereka untuk mengingkari apa yang dilakukan oleh
Rasulullah ﷺ
adalah kurangnya pengetahuan mereka tentang maslahat yang dilihat oleh Rasulullah
ﷺ
dalam pembagiannya.
Itu adalah pengingkaran yang lebih besar daripada orang yang
mengingkari Utsman radhiyallahu anhu, karena harta yang diberikan kepada para
mua’llaf (orang-orang yang hatinya perlu dijinakkan) itu adalah harta dari
rampasan perang.
Jadi, tidak wajib bagi Utsman radhiyallahu anhu untuk mengindahkan
penolakan orang yang mengingkarinya kecuali apa yang diwajibkan bagi Rasulullah
ﷺ
ketika melihat maslahat dalam tindakannya, ini dalam rangka mengikuti Nabi-Nya ﷺ.
Jika ada yang berkata: 'Yang diberikan oleh Rasulullah ﷺ
hanyalah dari seperlimanya.'
Maka dikatakan kepadanya: 'Jika itu dari seperlima, kaum Anshar tidak
akan mengingkari dengan mengatakan : 'Ini adalah rampasan perang kami.'
Dan Rasulullah ﷺ
tidak akan mengatakan kepada mereka:
لِمَ
أَنْكَرْتُمْ، إِنَّمَا أَعْطَيْتُهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ،
'Kenapa kalian mengingkari, saya hanya memberikannya dari harta Allah?'
Tidakkah kamu melihat bahwa Rasulullah ﷺ
berusaha meluluhkan hati mereka ketika beliau berkata kepada mereka:
«أَلَا تَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالْأَمْوَالِ
وَتَذْهَبُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - إِلَى بُيُوتِكُمْ» قَالُوا: رَضِينَا
'Tidakkah kalian rela (ridho) orang-orang pergi dengan harta sementara
kalian pergi dengan Rasulullah ﷺ
ke rumah kalian?' Mereka berkata: 'Kami rela.'"
===***===
“PERPECAHAN ITU LEBIH DASYAT DAMPAK BURUKNYA BAGI UMAT”.
Diriwayatkan dari Al-Qasim bin 'Auf Asy-Syaibani, dari seorang lelaki,
ia berkata:
كُنَّا
قَدْ حَمَلْنَا لِأَبِي ذَرٍّ، شَيْئًا نُرِيدُ أَنْ نُعْطِيَهُ إِيَّاهُ،
فَأَتَيْنَا الرَّبَذَةَ فَسَأَلْنَا عَنْهُ فَلَمْ نَجِدْهُ، قِيلَ: اسْتَأْذَنَ
فِي الْحَجِّ، فَأُذِنَ لَهُ، فَأَتَيْنَاهُ بِالْبَلْدَةِ، وَهِيَ مِنًى،
فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ إِذْ قِيلَ لَهُ: إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّى أَرْبَعًا،
فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَبِي ذَرٍّ، وَقَالَ قَوْلًا شَدِيدًا، وَقَالَ:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَصَلَّيْتُ مَعَ أَبِي
بَكْرٍ وَعُمَرَ. ثُمَّ قَامَ أَبُو ذَرٍّ فَصَلَّى أَرْبَعًا، فَقِيلَ لَهُ: عِبْتَ
عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ شَيْئًا، ثُمَّ صنعتَه قَالَ: الخِلاَفُ
أَشَدُّ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ خَطَبَنَا فَقَالَ: "إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي
سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ
رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ، وَلَيْسَ بِمَقْبُولٍ مِنْهُ تَوْبَةٌ حَتَّى
يَسُدَّ ثُلْمَتَهُ الَّتِي ثَلَمَ، وَلَيْسَ بِفَاعِلٍ، ثُمَّ يَعُودُ فَيَكُونُ
فِيمَنْ يُعِزُّهُ "
أَمَرَنَا
رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ لَا يَغْلِبُونَا عَلَى ثَلَاثٍ: أَنْ نَأْمُرَ
بِالْمَعْرُوفِ، وَنَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَنُعَلِّمَ النَّاسَ السُّنَنَ
Kami pernah membawa sesuatu untuk Abu Dzar yang ingin kami berikan
kepadanya. Kami datang ke Ar-Rabdzah dan bertanya tentangnya, tetapi kami tidak
menemukannya. Dikatakan kepada kami bahwa dia telah meminta izin untuk haji dan
diizinkan. Maka kami mendatanginya dan bertemu di sebuah daerah, yaitu Mina.
Ketika kami bersamanya, tiba-tiba ada yang berkata kepadanya:
"Sesungguhnya Utsman shalat empat rakaat," hal itu membuat Abu Dzar
sangat marah dan dia mengucapkan kata-kata yang keras.
Dia berkata: "Aku shalat bersama Rasulullah ﷺ
dan beliau shalat dua rakaat. Aku juga shalat bersama Abu Bakar dan Umar."
Namun kemudian Abu Dzar berdiri dan ikut shalat empat rakaat. Lalu
tanyakan kepadanya: "Engkau mencela Amirul Mukminin tentang itu, tetapi
kemudian engkau sendiri melakukannya."
Dia menjawab: "Perpecahan itu lebih dahsyat (dosanya dan dampak
buruknya). Sesungguhnya Rasulullah ﷺ
pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda:
'Akan ada penguasa setelahku, maka janganlah kalian merendahkan mereka.
Barangsiapa yang merendahkan mereka, maka dia telah melepaskan ikatan Islam
dari lehernya, dan taubatnya tidak akan diterima hingga dia menutupi perpecahan
dan kerusakan yang telah dia buat, dan dia tidak melakukannya lagi, kemudian
dia kembali dan berada di antara orang-orang yang memuliakan penguasa
tersebut.'
Rasulullah ﷺ
memerintahkan kami agar tidak mengalah dalam tiga hal: memerintahkan yang
ma'ruf, melarang yang mungkar, dan mengajarkan sunnah kepada manusia.
(Driwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 35/364. No. 21460 dan
al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab al-Iman 9/479 no. 6989)
Syu'aib Al-Arna'ut berkata:
إِسْنَادُهُ
ضَعِيفٌ لِإِبْهَامِ الرَّاوِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ، وَالْقَاسِمُ بْنُ عَوْفٍ
الشَّيْبَانِيُّ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الثِّقَاتِ"، وَضَعَّفَهُ
النَّسَائِيُّ، وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ مُضْطَرِبُ الحَدِيثِ وَمَحَلُّهُ عِنْدِي
الصِّدْقُ.
Sanadnya lemah karena ketidakjelasan perawi dari Abu Dzar, dan Al-Qasim
bin 'Auf Asy-Syaibani disebut oleh Ibnu Hibban dalam "Ats-Tsiqat",
tetapi dilemahkan oleh An-Nasa'i, dan Abu Hatim yang berkata : haditsnya
muththorib (goncang) dan kedudukannya menurutku : dia adalah seorang yang
jujur. [Baca : Musnad 35/364. No. 21460].
Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma’
5/219:
فِيهِ رَاوٍ لَمْ
يُسَمَّ، وَبَقِيَّةُ رُوَاتِهِ ثِقَاتٌ
"Di dalam sanad-nya terdapat seorang
perawi yang tidak disebutkan namanya, dan perawi-perawi lainnya dapat
dipercaya."
Al-Albani menggolongkannya sebagai
hadis dhaif dalam Adz-Dzilal (1020).
Dari [Abu Hurairah] dia berkata,
"Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا
، وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا : فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ،
وَإِضَاعَةِ الْمَالِ".
"Sesungguhnya Allah menyukai
bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara :
[] Dia menyukai kalian hanya
menyembah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
[] Kalian berpegang teguh dengan
agama-Nya dan janganlah kalian berpecah belah.
[] Dan Allah membenci kalian dari
mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya dan
menyia-nyiakan harta." [HR. Muslim no. 3236]
Dari Nu'man bin Basyir, dia berkata:
Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
وَالْجَمَاعَةُ
رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ»
'Kebersamaan adalah rahmat
dan berpecah belah adalah adzab.'"
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad
4/278 dan 4/375, serta anaknya dalam "Zawaid" 4/375, dan al-Quda'i
dalam Musnad asy-Syihab 1/43 nomor 15, dan Ibn Abi ad-Dunya dalam "Qadha
al-Hawaij" 78, serta Ibn Abi Asim dalam "As-Sunnah" 93, dan
al-'Aqili dalam "Adh-Dhu'afa al-Kabir" 4/429, serta Abu ash-Sheikh al-Asbahani
dalam "Amtsal al-Hadith" nomor 111, dan al-Baihaqi dalam
"Asy-Syu'ab" 4419, serta Ibn Batta dalam "Al-Ibanah
al-Kubra" nomor 117, dan al-Khiraithi dalam "Fadilah asy-Syukr"
83, dan al-Bazzar sebagaimana dalam "Kasyf al-Astar" nomor 1637.
Al-Haitsami berkata dalam
"Majma' az-Zawaid" (8/182):
رَوَاهُ عَبْدُ
اللهِ، وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمٰنِ رَاوِيهِ عَنِ الشَّعْبِيِّ لَمْ أَعْرِفْهُ،
وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.
"Hadis ini diriwayatkan
oleh Abdullah, dan Abu Abdurrahman yang meriwayatkannya dari asy-Sya'bi tidak
aku ketahui, namun para perawi lainnya adalah terpercaya."
Badruddin az-Zarkasyi dalam
"At-Tazkirah" halaman 77 berkata:
وَفِي سَنَده
الْجراح بن وَكِيع قَالَ الدَّارَقُطْنِيّ لَيْسَ بِشَيْء
"Dalam sanadnya terdapat
al-Jarrah bin Wakih, yang menurut ad-Daraquthni adalah perawi yang lemah."
Hadis ini juga dinilai lemah oleh
al-'Ajlouni dalam "Kasyf al-Khafa" 1/398, dan az-Zarkasyi dalam
"Al-La'ali al-Manthurah" halaman 77, serta Muhammad Jarallah as-Sa'di
dalam "An-Nawafih al-'Atrah" nomor 116, dan as-Saffarini al-Hanbali
dalam "Syarh Kitab asy-Syihab" halaman 39, serta as-Sakhawi dalam
"Al-Maqasid al-Hasanah" halaman 754, dan as-Suyuthi dalam
"Ad-Durar al-Muntatsirah" nomor 177, serta al-'Azizi dalam "As-Siraj
al-Munir" 3/81, dan lainnya.
Namun hadis ini dinilai hasan oleh
al-Albani dalam "Shahih al-Jami'" (3109).
Berdasarkan hadits ini, Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata :
"
وَإِذَا تَفَرَّقَ الْقَوْمُ فَسَدُوا وَهَلَكُوا . وَإِذَا اجْتَمَعُوا صَلَحُوا
وَمَلَكُوا . فَإِنَّ الْجَمَاعَةَ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ".
"Dan jika suatu kaum
bercerai-berai dan pecah belah, mereka akan rusak dan binasa. Jika mereka
bersatu, mereka akan menjadi baik dan berkuasa. Sesungguhnya kebersamaan adalah
rahmat, dan perpecahan adalah azab." [ Baca : Majmu’ al-Fatawa 19/217].
====
ANCAMAN ADZAB YANG DAHSYAT BAGI YANG TIDAK MAU BERSATU
Allah SWT berfirman :
﴿وَلَا تَكُوْنُوْا
كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ
الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ﴾
Dan janganlah kalian
menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai
kepada mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang
mendapat azab yang berat [QS. Ali Imran : 104-105]
Pemecah Belah dan
Berpecah Belah adalah Manhaj kaum Khawarij dan kelak wajah-wajah mereka Hitam
Muram
Allah SWT berfirman :
﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ
وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ
أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ﴾
“ Pada hari yang di
waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.
Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan):
"Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab
disebabkan kekafiranmu itu"”. [ QS. Ali Imran : 106 ]
Dalam ayat ini
terdapat ancaman bagi para pemecah belah umat, terutama para da’i yang manhaj
nya berpotensi memecah belah, menimbulkan permusuhan dan pertumpahan
darah.
Para pemecah belah
umat, dan para da’i dan orang-orang beramar mar’uf nahyi munkar yang manhajnya
berpotensi memecah belah umat -seperti kaum khawarij- maka kelak wajah-wajah
mereka akan menjadi hitam muram dan mereka akan di adzab dengan adzab yang
pedih, dan mereka dianggap sebagai orang-orang kafir.
Ibnu Katsir ketika
menafsiri ayat-ayat diatas berkata :
وَقَدْ قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ رَبِيع -وَهُوَ ابْنُ صَبِيح
-وحَمَّاد بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ قَالَ: رَأَى أَبُو أُمَامَةَ
رُءُوسًا مَنْصُوبَةً عَلَى دَرَج دِمَشْقَ، فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ: كِلَابُ
النَّارِ، شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ
قَتَلُوهُ، ثُمَّ قَرَأَ:
﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ
وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ﴾ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ.
قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ: أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ قَالَ:
لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ
أَرْبَعًا -حَتَّى عَدّ سَبْعًا-مَا حَدّثتكموه.
ثُمَّ قَالَ: "هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ".
Abu Isa At-At-Tirmidzi
ketika menafsiri ayat ini mengatakan : telah menceritakan kepada kami Abu
Kuraib, telah menceritakan kepada karni Waki', dari Ar-Rabi' ibnu Sabih dan
Hammad ibnu Salamah, dari Abu Galib yang menceritakan :
“Bahwa Abu Umamah
melihat banyak kepala [kaum kahwarij yang terbunuh] dipancangkan di atas tangga
masuk masjid Dimasyq. Maka Abu Umamah mengatakan :
"Anjing-anjing
neraka adalah seburuk-buruk orang-orang yang terbunuh di kolong langit ini;
sebaik-baik orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang dibunuhnya."
Kemudian Abu Umamah
membacakan firman-Nya:
﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ
وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ
أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ﴾
“ Pada hari yang di
waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.
Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan):
"Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab
disebabkan kekafiranmu itu"”. [ QS. Ali Imran : 106 ]
Kemudian aku bertanya
kepada Abu Umamah : "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ﷺ?"
Abu Umamah menjawab :
"Seandainya aku bukan mendengarnya melainkan hanya sekali atau dua kali
atau tiga kali atau empat kali dan bahkan sampai tujuh kali, niscaya aku tidak
akan menceritakannya kepada kalian."
Kemudian Imam At-Tirmidzi
mengatakan bahwa hadis ini hasan. [Baca : Tafsir Ibnu katsri 2/92].
HR. Imam Ahmad (no.
22109, 22083, 22051 dan 22262) dan At-Tirmidzi (no. 3000)
Hadits ini dihukumi
HASAN SHAHIH oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3000. Dan di
Hasankan oleh Syeikh Muqbil al-Waadi'i dalam Ash-Shahih al-Musnad 1/408 no. 482
.
****
KEKHAWATIRAN RASULULLAH ﷺ
Dari Hudzaifah ibnu al-Yaman
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ telah
bersabda:
"إن مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رجُل قَرَأَ الْقُرْآنَ، حَتَّى
إِذَا رُؤِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْء الْإِسْلَامِ اعْتَرَاهُ إِلَى مَا
شَاءَ اللَّهُ، انْسَلَخَ مِنْهُ، وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ
بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا
أَوْلَى بِالشِّرْكِ: الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي؟ قَالَ: "بَلِ الرَّامِي".
“Sesungguhnya di antara hal yang saya khawatirkan
terhadap kalian ialah seorang lelaki yang pandai membaca Al-Qur’an, hingga
manakala keindahan Al-Qur’an telah dapat diresapinya dan Islam adalah sikap dan
perbuatannya, lalu ia tertimpa sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, maka ia
tanpa sadar telah melepaskan diri dari Al-Qur’an. Dan Al-Qur'an ia lemparkan di
belakang punggungnya (tidak diamalkannya), lalu ia menyerang tetangganya dengan
senjata dan menuduhnya telah musyrik”.
Huzaifah ibnul Yaman
bertanya : "Wahai Nabi Allah, manakah di antara keduanya yang lebih
musyrik, orang yang dituduhnya ataukah si penuduhnya?"
Rasulullah ﷺ menjawab :
"Tidak, bahkan si penuduhlah (yang lebih utama untuk dikatakan
musyrik)."
[ Abu Ya'la
Al-Mausuli dalam Musnad-nya (Tafsir Ibnu Katsir 3/509) dan Al-Bazzar dalam
Musnadnya no. (175) .
Predikat hadits :
Al-Haitsami berkata
dalam Al-Majma' (1/188): “Sanadnya hasan”. Dan Ibnu Katsir berkata: “Sanad
hadis ini berpredikat jayyid”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/509).
****
PERINTAH UNTUK MEMERANGI PARA PEMECAH BELAH UMAT
Dalam hadist ‘Arfajah bin As’ad disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
«مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ»
"Siapa saja orangnya yang datang kepada kalian, sementara perkara kalian dalam keadaan bersatu di bawah satu orang, lalu orang itu ingin memecah tongkat kalian (memecah belah persatuan kalian) dan memecah belah jamaah kalian, maka kalian bunuhlah dia !!!". (HR. Muslim no. 1852)
Dalam lafadz riwayat lain :
إنَّه سَتَكُونُ هَنَاتٌ وهَنَاتٌ، فمَن أرادَ أنْ يُفَرِّقَ أمْرَ هذِه الأُمَّةِ وهي جَمِيعٌ، فاضْرِبُوهُ بالسَّيْفِ كائِنًا مَن كانَ. وفي روايةٍ: فاقْتُلُوهُ.
“Akan terjadi berbagai kekacauan dan persoalan. Maka siapa saja orangnya yang ingin memecah-belah urusan umat ini padahal mereka sedang dalam keadaan bersatu, maka penggallah ia dengan pedang, siapa pun dia !”. Dalam riwayat lain: “Maka bunuhlah ia!”. [HR. Muslim no. 1852]
Syeikh al-Munajjid berkata :
Dari Suwaid bin Ghoflah, ia
mengatakan: Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata :
" إذا حَدَّثْتُكُمْ عن رَسولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلَأَنْ أخِرَّ مِنَ السَّماءِ، أحَبُّ إلَيَّ مِن
أنْ أكْذِبَ عليه، وإذا حَدَّثْتُكُمْ فِيما بَيْنِي وبيْنَكُمْ، فإنَّ الحَرْبَ
خِدْعَةٌ.
سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ يَقُول : يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ يَخْرُجُونَ مِنْ قَبَلِ الْمَشْرِقِ
حُدَثَاء الْأَسْنَانِ صِغَار فِي السِّنِّ فِي الْمٌجْمَلِ سُفَهَاءَ الْأَحْلَامِ
عُقُولًا طَائِشَةً يَقُولُونَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ، فِي كَلَامِهِمْ آيَاتٌ
وَأَحَادِيثُ لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ عِنْدَهُمْ تَعَبُّدٌ
وَلَا صَلَاتُكُمْ إِلَى صَلَاتِهِمْ بِشَيْءٍ، وَلَا صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ
بِشَيْءٍ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسَبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِم، لَا
يَجَاوَزُ إِيمَانُهُمْ حُنَاجِرَهُم، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُق
السَّهْمُ مِنَ الرَّمْيَةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوهُم؛ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ
أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَوْ يَعْلَمُ الْجَيْشُ الَّذِينَ
يُصِيبُونَهُمْ مَا قُضِيَ لَهُمْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِم ﷺ لَاتَّكَلُوا عَنْ
الْعَمَلِ".
"Jika saya menyampaikan
sebuah hadits kepada kalian dari Rasulullah ﷺ, maka sungguh bagi saya ,
terjatuh dari langit adalah lebih aku sukai daripada aku mendustakannya. Dan
jika saya menceritakan kepada kalian sesuatu antara saya dan kalian, maka
sesungguhnya perang adalah tipu daya.
Dan aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"Di akhir jaman nanti muncul
suatu kaum dari arah timur , yang umur-umur mereka masih muda, mereka pada
umumnya masih bocah, mereka orang-orang yang bodoh dalam impian dan pikiran
yang gegabah. Mereka mengatakan perkataan dari sebaik-baik manusia (Sunah Nabi ﷺ), dalam omongannya terdapat
ayat-ayat dan hadits-hadits, yang sejatinya tidak ada hubungannya antara bacaan
kalian dengan bacaan mereka. Mereka rajin ibadah . Shalat kalian tidak ada
apa-apanya dibanding shalat mereka , dan puasa kalian tidak ada apa-apanya
dibanding puasa mereka .
Mereka membaca Al-Qur'an dan
menganggap bahwa Al-Qur'an adalah dalil bagi kebenaran mereka, padahal
sebenarnya adalah dalil atas kesesetan mereka . Iman mereka tak sampai melewati
kerongkongan, mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari
sasarannya, dimanapun kalian menemukannya, bunuhlah dia, sebab siapa yang
membunuhnya akan mendapatkan pahala pagi pelakunya di hari kiamat."
Sekiranya pasukan yang memerangi
mereka tahu pahala yang telah ditetapkan bagi mereka atas lisan Nabi ﷺ, niscaya mereka akan
berhenti beramal (karena telah merasa lebih dari cukup dengan pahala yang
sangat melimpah)".
[ Lihat : Musnad Imam Ahmad no. 616
dan as-Sunnah karya Ibnu Abi 'Aashim no. 914 . Di shahihkan oleh Ahmad Syakir
dalam Takhrij al-Musnad 2/45. Lihat pula : Shahih Ibnu Hibban no. 6704 &
6739 dishahihkan al-Albaani dalam adz-Dzilal (914) Q . Lihat pula : Shahih
Bukhori no. 6930, Shahih Muslim no. 1066 & 1773 . Lihat pula al-Musnad
al-Mawdhu'i 2/88 no. 1379 ].
Syeikh al-Munajjid berkata :
يَعْنِي : لَوْ
عَلِمُوا الَّذِينَ يُقَاتِلُونَهُم لَوْ عَلِمُوا مَا لَهُمْ مِنَ الْأَجْرِ."
"Maksudnya: Jika mereka
tahu bagi orang-orang yang berperang melawan mereka, akan mendapatkan
pahala."
[Sumber : "الْغُلُو وَالْخَوَارِج الْعَصْرِ"].
****
PERBEDAAN ANTARA MAKNA IKHTILAAF DAN KHILAAF
Makna al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ] dan al-Khilaaf [الخِلاَفُ] :
Untuk menjelaskan keakuratan maknanya, maka perlu
memahami makna "al-ikhtilaaf. Karena ada perbedaan antara makna
al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ] dan al-Khilaaf [الخِلاَفُ].
Makna al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ]: perbedaan pendapat berdasarkan dalil.
Dan makna al-Khilaaf [الخِلاَفُ]: perselisihan pendapat tanpa dalil.
Imam ar-Raghib al-Asfahani dalam kitabnya
"al-Mufrodaat Fii Ghariib al-Qur'ān" hal. 294 menyatakan:
ٱلاخْـتِـلاَفُ
وَالْـمُـخَـالَـفَـةُ: أَنْ يَأْخُذَ كُلُّ وَاحِدٍ طَرِيقًا غَيْرَ طَرِيقِ
الْـآخَـرِ فِي حَالِهِ أَوْ قَوْلِهِ
"Perbedaan dan pertentangan adalah ketika
setiap orang mengambil jalan yang berbeda, bukan jalan orang lain dalam keadaan
atau perkataannya."
Artinya: masing-masing berjalan diatas jalannya
tanpa adanya konflik atau perpecahan, sebagaimana yang dinyatakan oleh
ar-Raghib dalam penutup perkataannya, yaitu:
وَلَمَّا كَانَ ٱلاخْـتِـلاَفُ
بَيْنَ النَّاسِ فِي القَوْلِ قَدْ يَقْتَضِي التَّنَازُعَ، اسْتَعِيرَ ذَلِكَ
لِلْمُنَازَعَةِ وَالْمُجَادَلَةِ. قَالَ تَعَالَى: (فَٱخْتَلَفَ ٱلْأَحْزَابُ مِن
بَيْنِهِمْ)، (وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ....) "انتَهَى".
"Ketika perbedaan pendapat antara manusia
dalam perkataan itu terkadang dapat menimbulkan perselisihan, maka istilah ini
dipinjam untuk menyebut "perselisihan" dan "perdebatan".
Allah berfirman:
(فَٱخْتَلَفَ ٱلْأَحْزَابُ مِن
بَيْنِهِمْ)
' Maka golongan-golongan itu saling berbeda
pendapat di antara mereka". [QS. az-Zukhruf: 65].
Dan Allah berfirman:
(وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ....)
"Dan mereka senantiasa berbeda
(pendapat)". [QS. Huud: 118] [Kutipan Selesai].
Al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ] dalam asal bahasa tidak mangandung arti
pertengkaran dan perpecahan, akan tetapi realitas manusia dan jiwa mereka yang
tidak mampu menanggung itu, dan dada mereka yang merasa sempit jika terjadi
beda pendapat dengan orang lain, maka menjadikan perbedaan pendapat ini sebagai
penyebab pertengkaran, perdebatan dan konflik. Oleh sebab itu Al-Qur'an yang
mulia dalam beberapa ayatnya menyinggung makna ini yang terjadi sebagai hasil
yang diperoleh. Yakni kata al-ikhtilaaf [ٱلاخْـتِـلاَفُ] dimaknai dengan perselisihan dan
perpecahan.
Abu al-Baqā' al-Kafawī dalam "Al-Kulliyāat" 1/79-80 menjelaskan perbedaan antara
al-ikhtilaaf [perbedaan Pendapat] dan al-Khilaaf [Perselisihan]:
ٱلْاخْتِلاَفُ هُوَ أَنْ
يَكُونَ ٱلطَّرِيقُ مُخْتَلِفًا، وَٱلْمَقْصُودُ وَاحِدًا، وَٱلْخِلَافُ: هُوَ
أَنْ يَكُونَ كِلَاهُمَا – أَيِ ٱلطَّرِيقُ وَٱلْمَقْصُودُ – مُخْتَلِفًا.
وَٱلْإِخْتِلَافُ: مَا يَسْتَنَدُ إِلَى دَلِيلٍ. وَٱلْخِلَافُ: مَا لَا
يَسْتَنَدُ إِلَى دَلِيلٍ. وَٱلْإِخْتِلَافُ مِنْ ءَاثَارِ ٱلرَّحْمَةِ...،
وَٱلْخِلَافُ: مِنْ ءَاثَارِ ٱلْبِدْعَةِ…".
"Al-ikhtilaaf adalah ketika jalannya berbeda,
tetapi tujuannya sama, sedangkan perselisihan adalah ketika keduanya – yaitu
jalannya dan tujuannya – berbeda.
Al-ikhtilaaf didasarkan pada dalil, sedangkan
perselisihan tidak didasarkan pada dalil.
Al-Ikhtilaaf [perbedaan Pendapat] adalah pengaruh
dari RAHMAT…, sedangkan perselisihan adalah dampak dari bid'ah...". [Kutipan
selesai]
Pernah terjadi perbedaan pendapat antar para
sahabat pada masa Nabi ﷺ masih hidup tentang sebagian
masalah-masalah cabang agama, namun perbedaan tersebut tidak membuat mereka
saling bermusuhan dan tidak pula saling menganggap sesat yang lain.
Contoh : Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, dia
berkata:
" قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنْ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ
أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ
فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ
بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ".
"Nabi ﷺ bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab:
"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat 'Ashar keculi di
perkampungan Bani Quraizhah."
Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di
jalan.
Sebagian dari mereka berkata: 'Kami tidak akan
shalat kecuali setelah sampai tujuan'.
Dan sebagian lain berkata: 'Bahkan kami akan
melaksanakan shalat, karena beliau ﷺ tidaklah bermaksud demikian'.
Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi ﷺ, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." [HR.
Bukhori no. 4119 dan Muslim no. 1770].
Seperti itulah keadaan para sahabat di masa
Nabi ﷺ masih hidup, celah-celah yang bisa
menimbulkan perselisihan ditutup, dan apabila terjadi perselisihan segera
diselesaikan sehingga tidak menjadi besar.
====***====
PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH FURUU’ AGAMA ADALAH RAHMAT :
Ada ungkapan masyhur dikalangan para
ulama salaf dan khalaf yang menyatakan :
إنَّ اختِلافَ
هَذِهِ الأُمَّةِ رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهُم، كَمَا أَنَّ اختِلافَ الأُمَمِ
السَّابِقَةِ كَانَ لَهَا عَذَابًا وَهَلَاكًا.
"Sesungguhnya perbedaan di
antara umat ini adalah rahmat dari Allah bagi mereka, sementara perbedaan
umat-umat sebelumnya adalah azab dan kebinasaan bagi mereka" .
Dan :
إجماعُهُمْ
حُجَّةٌ، وَاخْتِلافُهُمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ.
"Ijma’ (kesepakatan) mereka
adalah hujah, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas." [Baca :
"Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2)]
Perkataan al-Qasim bin Muhammad bin
Abu Bakar ash-Shiddiiq (wafat 107 H):
Dalam “Al-Hilyah” 7/119 dan
“Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra” oleh Al-Baihaqi (Lihat : al-Maqashid
al-Hasanah hal. 27 no, 39) :
Dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar ash-Shiddiq , dia mengatakan:
"كَانَ اخْتِلَافُ أَصْحَابِ
مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِهَؤُلَاءِ النَّاسِ"
“Perbedaan di antara para sahabat
Muhammad adalah rahmat bagi umat manusia ini.”
Al-Qasim ini, beliau adalah salah
satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar
Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Perkataan Imam Malik (w. 179 H)
kepada Harun al-Rasyid.
Al-Khatib meriwayatkan dalam kitabnya
Al-Ruwat 'An Malik [الرُّوَاة عَنْ
مَالِك]:
أَنَّ هَارُونَ
الرَّشِيدَ قَالَ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ نَكْتُبُ
هَذِهِ الْكُتُبَ يَعْنِي مُؤَلَّفَاتِ الْإِمَامِ مَالِكٍ وَنُفَرِّقُهَا فِي آفَاقِ
الْإِسْلَامِ لِنَحْمِلَ عَلَيْهَا الْأُمَّةَ، قَالَ: يَا أَمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ، إنَّ اخْتِلَافَ الْعُلَمَاءِ رَحْمَةٌ مِنْ اللَّهِ
تَعَالَى عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ، كُلٌّ يَتْبَعُ مَا صَحَّ عِنْدَهُ،
وَكُلُّهُمْ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيدُ اللَّهَ تَعَالَى والدَّارَ
الآخِرَة".
" Bahwa Harun al-Rasyid
berkata kepada Malik bin Anas: "Wahai Abu Abdullah, kita akan menyalin
kitab-kitab ini – yaitu karya-karya Imam Malik- dan kita akan
menyebarluaskannya di berbagai penjuru Islam agar umat ini dapat mengambil
manfaat darinya."
Malik menjawab: "Wahai Amirul
Mukminin, perbedaan pendapat di antara para ulama adalah RAHMAT dari
Allah Ta'ala bagi umat ini. Setiap orang mengikuti apa yang diyakini benar
menurut pandangannya, dan semua mereka berada di atas petunjuk. Semuanya
bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala dan kehidupan Akhirat"
Lihat kitab Al-Ruwat 'An Malik oleh
Al-Khatib Al-Baghdadi, sebagaimana terdapat dalam kitab "Kasyf al-Khafa'
wa Muzil al-Ilbas" oleh Al-Ajluni 1/65 (153).
Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H)
berkata:
"عَمِلْتُ في المُجَاهَدَةِ ثَلاثِينَ
سَنَةً، فَمَا وَجَدْتُ شَيْئًا أَشَدَّ مِنَ العِلْمِ وَمُتَابَعَتِهِ، وَلَوْلَا
اخْتِلَافُ العُلَمَاءِ لَشَقِيتُ، وَاخْتِلَافُ العُلَمَاءِ رَحْمَةٌ،
إِلَّا في تَجْرِيدِ التَّوْحِيدِ، وَمُتَابَعَةُ العِلْمِ هِيَ مُتَابَعَةُ
السُّنَّةِ لَا غَيْرُ."
Perbedaan pendapat di antara para ulama adalah rahmat, kecuali dalam hal memurnikan tauhid, dan mengikuti ilmu maka itu
hanya boleh mengikuti sunnah saja tiada lain." [ Baca : Hilyatul Awliyaa
Karya Abu Nu’aim al-Asbahaani 10/35 no. 458].
[Makna al-Mujahadah : mencakup segala
usaha dan kerja keras untuk melawan hawa nafsu, serta berusaha mengendalikan-nya,
dan segala upaya untuk mentaati Allah SWT].
Ibnu Qudamah (w. 620 H) berkata:
وجعل في سَلَفِ
هذه الأُمَّةِ أئِمَّةً مِن الأعلام، مَهَّد بهم قَواعدَ الإِسلام، وأوْضَح بهم
مُشْكلاتِ الأحكام، اتِّفاقُهم حُجَّةٌ قاطِعة، واخْتلافُهم رحمةٌ واسعة،
تَحْيَى القلوبُ بأخْبَارِهم، وتحصلُ السعادةُ باقْتفاءِ آثارِهم، ثم اخْتَصَّ
منهم نَفَرًا أعْلَى أَقْدَارَهم (10) ومَناصِبَهم، وأبْقَى ذكرَهم ومَذاهِبَهم،
فَعلَى أقْوالِهم مَدارُ الأحكام، وبمذاهبِهم يُفْتِى فقَهاءُ الإِسلام
"Allah telah menjadikan
di kalangan para pendahulu umat ini para imam yang menjadi panutan, yang menetapkan
dasar-dasar Islam dan menjelaskan masalah-masalah hukum yang sulit.
Kesepakatan pendapat mereka adalah
hujah yang kuat, dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas.
Hati menjadi hidup dengan berita-berita mereka, dan kebahagiaan dicapai dengan
meneladani jejak mereka. Kemudian Allah memilih dari mereka beberapa orang yang
ditinggikan kedudukan dan posisi mereka, serta mengabadikan ingatan dan mazhab
mereka, maka pada pendapat mereka lah bergantungnya hukum-hukum, dan dengan
mazhab mereka lah para ahli fiqh Islam memberikan fatwa." [ Baca :
al-Mugni 1:4-5].
Imam As-Suyuti, rahimahullah:
Dia berkata di awal risalatnya
"Jaziil Al-Mawahib Fi Ikhtilaf Al-Madzahib" (1/2) :
«فصل: اعلَمْ أَنَّ اخْتِلافَ المَذاهِبِ فِي
هَذِهِ الأُمَّةِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ وَفَضِيلَةٌ عَظِيمَةٌ، وَلَهُ سِرٌّ لَطِيفٌ
أَدْرَكَهُ العَالِمُونَ، وَعَمِيٌّ عَنْهُ الجَاهِلُونَ، حَتَّى سَمِعْتُ بَعْضَ
الجُهَّالِ يَقُولُ: النَّبِيُّ ﷺ جَاءَ بِشَرْعٍ وَاحِدٍ، فَمِنْ أَيْنَ مَذْهَبُ
أَرْبَعَةٍ؟»
"Bab: Ketahuilah bahwa perbedaan
madzhab dalam umat ini adalah nikmat besar dan keutamaan yang agung, serta
memiliki rahasia halus yang dipahami oleh para ulama, sedangkan buta tentangnya
adalah orang-orang bodoh, sehingga saya mendengar beberapa orang bodoh berkata:
Nabi Muhammad ﷺ datang dengan satu syariat,
dari mana kemudian muncul empat madzhab?".
Lalu as-Suyuthi berkata :
«وَقَدْ وَقَعَ اخْتِلافٌ فِي الفُرُوعِ
بَيْنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خَيْرِ الأُمَّةِ، فَمَا خَاصَمَ
أَحَدٌ مِنْهُمْ أَحَدًا، وَلَا عَادَى أَحَدٌ أَحَدًا، وَلَا نَسَبَ أَحَدٌ
أَحَدًا إِلَى خَطَأٍ وَلَا قُصُورٍ..، وَوُرِدَ أَنَّ اخْتِلافَ هَذِهِ الأُمَّةِ
رَحْمَةٌ مِنَ الله لَهَا، وَكَانَ اخْتِلافَ الأُمَمِ السَّابِقَةِ عَذَابًا
وَهَلَاكًا. هَذَا أَوْ مَعْنَاهُ ».
Telah terjadi perbedaan pendapat
dalam masalah furu’iyyah di antara para Sahabat radhiyallhu ‘anhum, yang mana
mereka merupakan generasi terbaik umat ini. Dan tidak ada di antara mereka yang
berseteru dengan yang lain, atau mengadu domba, atau menyalahkan seseorang atas
kesalahan atau kekurangan...
Dan telah disebutkan bahwa perbedaan
pendapat dalam umat ini adalah rahmat dari Allah baginya, sedangkan
perbedaan pendapat dalam umat-umat sebelumnya adalah siksaan dan kebinasaan.
Ini adalah inti atau maknanya”.
SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam
Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:
وَالنِّزَاعُ فِي
الْأَحْكَامِ قَدْ يَكُونُ رَحْمَةً إذَا
لَمْ يُفْضِ إلَى شَرٍّ عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ
رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ " كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد:
سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ " وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ
وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ
خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ
قَوْله تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
"Perselisihan pendapat dalam
hukum bisa menjadi rahmat jika tidak mengarah pada keburukan yang
besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena itu, ada seorang pria menulis
sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu
Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada
kenyataannya kebenaran itu satu, tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah
bagi sebagian orang ; karena ketidak jelasan (kebenaran) nya itu,
sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin akan menjadi berat bagi mereka.
Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:
{لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
*" Janganlah kalian menanyakan
(kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian akan
menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah: 101). [Selesai]
Ini adalah tarbiyah dan pendidikan
dari Allah (Ta'ala) untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi
mereka untuk menanyakan *"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat
bagi mereka dalam menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut
ditunjukkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka
kesulitan mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].
PERHATIAN :
Ada hadits Nabi ﷺ yang menyatakan :
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةً
" Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat
".
Hadits
"Ikhtilaf ummati rahmah" tidak memiliki dasar yang sahih, namun
maknanya benar.
Al-Munawi dalam "Fayd
al-Qadir" 1/ 212 berkata:
"قَالَ السَّبْكِيُّ:
وَلَيْسَ بِمَعْرُوفٍ عِنْدَ الْمُحَدِّثِينَ، وَلَمْ أَقِفْ لَهُ عَلَى سَنَدٍ
صَحِيحٍ وَلَا مَوْضُوعٍ"
"As-Suyuti berkata: Hadits ini
tidak dikenal oleh para ahli hadits, dan saya tidak menemukan sanad yang sahih
atau yang maudhu' (palsu)."
Syeikh Majd Makky dalam artikelnya مَا صِحَّةُ حَدِيثِ اخْتِلَافِ أُمَّتِي
رَحْمَةٌ؟
berkata:
وَالْحَاصِلُ:
أَنَّ الْحَدِيثَ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فَمَعْنَاهُ صَحِيحٌ جِدًّا، تُؤَيِّدُهُ
أَدِلَّةُ الشَّرِيعَةِ الَّتِي تُقَرُّ مَشْرُوعِيَّةَ الِاخْتِلَافِ بِشُرُوطِهِ
الْمُعْتَبَرَةِ.
" KESIMPULANNYA: meskipun
hadits tersebut tidak terbukti shahih, namun maknanya sangat akurat [shahih
sekali]. Ini didukung oleh dalil-dalil syar'i yang melegitimasi perbedaan
pendapat dengan syarat-syarat yang mu'tabar".
===***====
PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT :
====
PERTAMA : PERKATAAN KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ :
Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam
kitab Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih (2/59) dari Muhammad bin Ahmad bin Razaq, yang
memberitahu kami bahwa Utsman bin Ahmad Al-Daqaq berkata, Hanzhal bin Ishaq
berkata, Abu Abdullah berkata, Mu'adz bin Hisyam berkata, ayahku berkata dari
Qatadah :
أَنَّ عُمَرَ
بْنَ عَبدِ العَزِيزِ كَانَ يَقُولُ: مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ
لَمْ يَختَلِفُوا لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَختَلِفُوا لَمْ يَكُنْ رُخصَةٌ.
Bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata:
"Aku tidak merasa senang jika para sahabat Muhammad tidak berbeda
pendapat, karena jika mereka tidak berbeda pendapat, maka tidak akan ada
keringanan (rukhshah)."
Pentakhrij kitab al-Maathalib al-Aliyah
karya Ibnu Hajar 12/602 berkata :
وَهَذَا
إِسْنَادٌ حَسَنٌ، فِيهِ مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ وَعُثْمَانُ الدَّقَّاقُ وَهُمَا
صَدُوقَانِ وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.
وَأَخْرَجَهُ
الخَطِيبُ أَيْضًا فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِنْ طَرِيقِ عِمْرَانَ القَطَّانِ، عَنْ
مَطَرٍ الوَرَّاقِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ مُخْتَصَرًا.
وَهَذِهِ
الطَّرِيقُ يُؤَيِّدُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَدُلُّ عَلَى أَنَّ المَعْنَى ثَابِتٌ
عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ.
Dan ini adalah isnad yang hasan, di
dalamnya terdapat Mu'adz bin Hisyam dan Utsman Al-Daqaq, keduanya adalah orang
yang dapat dipercaya (shaduq), dan para perawi lainnya adalah terpercaya
(tsiqah).
Al-Khatib juga meriwayatkannya dalam
Al-Faqih (2/59) melalui jalur Imran Al-Qaththan, dari Muthar Al-Warraq, dari
Umar bin Abdul Aziz secara ringkas.
Jalur-jalur ini saling menguatkan
satu sama lain dan menunjukkan bahwa makna tersebut tetap dari Umar bin Abdul
Aziz”. [ Pentahqiq Kitab Al-Mathalib Al-'Aliyah: Sekelompok pentahqiq dalam 17
disertasi universitas. Disusun oleh Dr. Sa'ad bin Nashir Al-Syatsari].
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam
Al-Mathalib Al-'Aliyah 12/600 no. 3062:
Musaddad berkata: Isa bin Yunus
menceritakan kepada kami, Ismail bin Abdul Malik menceritakan kepada kami, dari
'Aun bin Abdullah bin 'Utbah, ia berkata:
قَالَ لِي
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا يَسُرُّنِي
بِاخْتِلَافِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ النَّعَمِ لِأَنَّا إِنْ أَخَذْنَا
بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا وَإِنْ أَخَذْنَا بِقَوْلِ هَؤُلَاءِ أَصَبْنَا.
Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu
'anhu berkata kepadaku: "Betapa senangnya aku dengan perbedaan pendapat di
antara para sahabat Rasulullah ﷺ ; karena jika kami mengambil
pendapat sebagian mereka, maka kita benar. Dan jika kita mengambil pendapat
yang lainya ; maka kita benar juga” .
Lalu al-Hafidz berkata : صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ / *Shahih Maqthu’*
Pentakhrij kitab al-Maathalib
al-Aliyah karya Ibnu Hajar 12/602 no. 3062 berkata :
رَوَاهُ
الخَطِيبُ فِي الفَقِيهِ (2/ 59) مِن طَرِيقِ مُسَدَّدٍ.
الحُكمُ
عَلَيهِ: هَذَا الأَثَرُ عَن عُمَرَ بْنِ عَبدِ العَزِيزِ: ضَعِيفٌ بِهَذَا
السَّنَدِ مِن أَجْلِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبدِ المَلِكِ، وَبِهَذَا يُعلَمُ قَولُ
الحَافِظِ بْنِ حَجَرٍ: صَحِيحٌ مَقْطُوعٌ أَنَّهُ لَيسَ بِصَوَابٍ وَلَعَلَّهُ
كَانَ يَقصِدُ بِطُرُقِهِ.
“Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam
kitab Al-Faqih (2/59) melalui jalur Musaddad.
Penilaian terhadapnya: Atsar ini dari
Umar bin Abdul Aziz: dho’if (lemah) dengan sanad ini karena Ismail bin Abdul
Malik. Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan Al-Hafiz Ibnu Hajar:
"Shahih Maqthu'" tidaklah benar dan mungkin yang dimaksud adalah
jalur-jalur lainnya”.
=====
KEDUA : PERKATAAN YAHYA BIN SA’ID AL-ANSHARY :
Imam Al-Hujjah, Qadhi Yahya bin Sa’id
Al-Anshari (wafat 143 H), salah satu dari Tabi’in yang terkemuka, mengatakan:
"مَا بَرِحَ أُولُو الفَتْوَى
يُفْتُوْنَ، فَيُحِلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا، فَلا يَرَى الْمُحَرِّمُ أَنَّ
الْمُحِلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ، وَلا يَرَى الْمُحِلُّ أَنَّ الْمُحَرِّمَ
هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ"
“Tidak pernah berhenti para ulama
ahli fatwa untuk memberi fatwa, sehingga salah satu diantara mereka ada yang
berfatwa menghalalkan ini sementara yang lainnya mengharamkan itu. Orang yang
mengharamkannya tidak menyatakan bahwa orang yang menghalalkannya binasa karena
berpendapat menghalalkannya, dan orang yang menghalalkannya tidak mengatakan
bahwa orang yang mengharamkannya binasa karena berpendapat mengharamkannya.”
[Baca : “Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadlihi” karya Ibnu ‘Abdil-Barr 2:80].
Dan di riwayatkan dari jalur yang
lain oleh Adz-Dzahabi dengan lafal:
"أَهْلُ الْعِلْمِ أَهْلُ تَوْسِعَةٍ،
وَمَا بَرِحَ الْمُفْتَوْنُ يَخْتَلِفُونَ، فَيُحَلِّلُ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا،
فَلَا يُعَيِّبُ هَذَا عَلَى هَذَا، وَلَا هَذَا عَلَى هَذَا".
“Ahli ilmu adalah orang-orang yang
luas pandangannya, dan para ahli fatwa tidak pernah berhenti berbeda pendapat,
sehingga salah satu dari mereka ada yang berfatwa menghalalkan ini dan
mengharamkan itu. Namun tidak ada yang saling mencela antara yang ini terhadap
yang itu, dan tidak pula antara yang itu terhadap yang ini.” [Baca : At-Radzkirah
1/139].
====
KETIGA : PERKATAAN IBNU AL-QOYYIM :
Ibnu Qayyim rahimahullah (w. 751 H)
berkata:
"وُقُوعُ ٱلاخْـتِـلاَفُ بَيْنَ
النَّاسِ أَمْرٌ ضَرُورِيٌّ لَا بُدَّ مِنْهُ؛ لِتَفَاوُتِ إِرَادَاتِهِمْ
وَأَفْهَامِهِمْ، وَقُوَى إِدْرَاكِهِمْ، وَلَكِنَّ المَذْمُومَ بَغْيُ بَعْضِهِمْ
عَلَى بَعْضٍ وَعَدَاوَتُهُ."
"Terjadinya perbedaan pendapat
di antara manusia adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari karena perbedaan
keinginan dan pemahaman mereka, serta kekuatan akal mereka. Namun, yang tercela
adalah sikap dzalim aniaya sebagian mereka terhadap sebagian lainnya dan
permusuhan di antara mereka." [ Baca : Ash-Showaa’iq al-Mursalah 1/269].
====
KEEMPAT : PERKATAAN AL-MUNAWI
Al-Munawi rahimahullah (w. 1031 H)
berkata:
"فَاخْتِلَافُ المَذَاهِبِ نِعْمَةٌ كَبِيرَةٌ،
وَفَضِيلَةٌ جَسِيمَةٌ خُصَّتْ بِهَا هَذِهِ الأُمَّةُ."
"Perbedaan mazhab adalah nikmat
besar, dan keutamaan besar yang dikhususkan bagi umat ini." [ Baca :
Faidhul Qodiir 1/271].
===***===
PERBEDAAN PENDAPAT ADALAH KELAPANGAN DAN KELUASAN BAGI UMAT
Lebih jauh dari itu, sebagian para
tokoh salaf dan orang-orang yang tepercaya serta ulama mereka sangat
berkeinginan untuk menghapus kata “perbedaan pendapat (ٱلاخْـتِـلاَفُ)” dari “kamus” masyarakat,
lalu menggantinya dengan kata “keluasan (السَّعَة)”.
Dalam biografi Thalhah bin Musyarrif,
semoga Allah merahmatinya, muridnya Musa Al-Juhani berkata:
"كَانَ طَلْحَةُ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ
ٱلاخْـتِـلاَفُ قَالَ: لَا تَقُولُوا: ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ قُولُوا:
السَّعَةُ".
“Thalhah biasa mengatakan ketika kata
‘perbedaan pendapat’ disebut di hadapannya: ‘Jangan katakan perbedaan, tetapi
katakanlah keluasan’.” [“Hilyat al-Awliya” 5/119.]
Abu Ishaq As-Subai’i, salah satu
Tabi’in yang terkemuka dan salah satu para hafifz mereka, mengatakan:
"كَانُوا يَرَوْنَ السَّعَةَ عَوْنًا
عَلَى الدِّينِ".
“Mereka berpandangan bahwa keluasan (السَّعَةَ) itu sebagai penolong
agama.” [“Al-Ja’diyat” karya Abu al-Qasim al-Baghawi 1/366].
Dalam “Majmu’ al-Fatawa” 30/79, Ibnu
Taiymiyah berkata :
"صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا فِي ٱلاخْـتِـلاَفُ
فَقَالَ أَحْمَدُ: لَا تُسَمِّهِ كِتَابَ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَلَكِنْ سَمِّهِ
كِتَابَ السَّعَةِ"
“Seseorang menulis kitab tentang
perbedaan pendapat , maka Imam Ahmad berkata: Jangan kau beri nama kitab itu
dengan nama kita perbedaan pendapat , akan tetapi beri nama dengan nama kitab
keluasan (السَّعَةَ).”
Perbedaan pendapat merupakan kata
yang menunjukkan perselisihan dan perpecahan, sedangkan keluasan, nampak jelas
maknanya dalam memberikan kelonggaran, kenyamanan, dan kemudahan. [Baca :
al-Muswaddah karya Ibnu Taimiyah hal. 401].
Ini adalah peringatan yang halus
untuk memperbaiki atau memberi peringatan kepada pendengar tentang manfaat dari
perbedaan pendapat ini sebelum terjatuh dalam kesalahan, dengan mengira bahwa
perbedaan pendapat yang disyariatkan dan yang terpuji sama seperti perbedaan
yang tercela, yaitu perbedaan pendapat dalam pokok-pokok agama.
Mereka menyukai keluasan dalam
syariat, karena mereka menyadari bahwa keluasan bersama kemudahan, dan bahwa
kemudahan adalah salah satu tujuan utama dari tujuan-tujuan hukum Islam.
Keluasan dan kemudahan terkait dengan
rahmat, maka dari itu, ada pernyataan dari Imam Al Qasim bin Muhammad Bin
Abu Bakar ash-Shiddiiq rahimahullah dalam beberapa riwayatnya yang
mengekspresikan “rahmat”.
Diantaranya : al-Qasim bin Muhammad
pernah ditanya oleh seseorang:
سَأَلْتُ
الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنِ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ فِيمَا لَمْ
يَجْهَرْ فِيهِ، فَقَالَ: إِنْ قَرَأْتَ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ، وَإِذَا لَمْ تَقْرَأْ فَلَكَ فِي رِجَالٍ مِنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- أُسْوَةٌ.
“Aku bertanya kepada Al Qasim bin
Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak
mengeraskan bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki
contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga
memiliki contoh dari para sahabat Nabi ﷺ.’” [Baca
: Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Ibnu Abdil Bar ].
Dan adanya pengakuan (gagasan
kelapangan dan keluasan dalam berijtihad) oleh para imam terdahulu dan
belakangan adalah sesuatu yang tidak memerlukan bukti atau argumen atau
rujukan, karena keteladanan mereka yang dipraktekkan lebih jelas daripada
ucapan mereka.
Diantaranya adalah sikap Imam Malik
terhadap gagasan dan pemikiran yang serupa ini, ketika ditawarkan padanya untuk
memaksa orang-orang mengikuti kitabnya "al-Muwaththa'".
Riwayat-riwayat bervariasi tentang
siapa yang mengajukan hal ini kepadanya, dan dalam jawabannya kepada mereka,
tetapi semuanya berputar pada satu poros, yaitu : penolakan Imam Malik untuk
memaksa orang-orang mengikuti satu mazhab, yaitu madzhabnya. Dia menolaknya
karena cintanya pada keluasan dan kelapangan bagi mereka.
Lihat dan renungkanlah kenyataan yang
diberkahi dan tenang ini, dan lihat serta renungkanlah apa yang kita alami saat
ini yang penuh dengan kekacauan yang sangat menyakitkan!
Ingatlah tindakan mereka yang
mengklaim mengikuti salaf saleh ini ketika mereka mencetak biografi Imam Besar
Abu Hanifah rahimaullah dari "Tarikh Baghdad", biorgafi yang penuh
dengan ketidakadilan dan kegelapan. Pada saat itu, mereka juga mencetak satu
bab dari "Mushannaf Ibn Abi Syaibah", karya besar ahli fiqh salaf,
mereka memilih bab yang menyebutkan 125 masalah di mana menurut pendapat dan
ijtihadnya, Imam Abu Hanifah menyelisihi sunnah, dan menamakannya dengan:
“Kitab al-Radd 'ala Abi Hanifah (Kitab Bantahan Terhadap Abu Hanifah)”.
==****==
PARA ULAMA SALAF SALING MENGHARGAI DAN MENGAKUI PENDAPAT ORANG LAIN:
Para ulama dan para imam dari
kalangan salaf dahulu, mereka senantiasa saling menghargai, saling menghormati
dan saling mengakui terhadap perbedaan pendapat dalam berijtihad, mereka
senantiasa menjaga persatuan dan menghindari perpecahan, sebagaimana yang kita
lihat pada Imam Malik, itu adalah sesuatu yang sudah umum di antara
mereka.
Berikut ini adalah perkataan sebagian
para ulama salaf dan para imam mujtahid berkenaan dengan pengakuan mereka
terhadap perbedaan pendapat.
SUFYAN ATS-TSAURY (wafat : 161 H) :
Dalam "Adab al-Faqih wa
al-Mutafaqqih" 2/69 karya al-Khathib, dari Imam Sufyan ats-Tsauri, beliau
berkata:
«إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ
الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ: فَلَا تَنْهَهُ».
"Jika engkau melihat seseorang
melakukan suatu amalan yang diperselisihkan, dan engkau berpendapat sebaliknya,
maka janganlah engkau melarangnya."
Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam
At Tirmidzi berkata:
قَالَ
سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ
فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika
berqunut pada shalat shubuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu
juga bagus.’” [Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401].
ABU HANIFAH (wafat 150 H) :
Pernyataan yang serupa juga datang
dari seorang imam mujtahid lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah rahimaullah , yang
diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Tarikh al-Baghdaad 13/352 :
«قَوْلُنَا هَذَا رَأْيٌ، وَهُوَ أَحْسَنُ
مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ، فَمَنْ جَاءَنَا بِأَحْسَنَ مِنْ قَوْلِنَا، فَهُوَ
أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنَّا».
"Pendapat kami ini adalah sebuah
pendapat, dan ini adalah yang terbaik yang kami mampu. Barangsiapa datang
kepada kami dengan pendapat yang lebih baik dari pendapat kami, maka dia lebih
berhak atas kebenaran daripada kami."
Bahkan dalam "al-Intiqa"
(hal. 140) beliau berkata :
«هَذَا الَّذِي نَحْنُ فِيهِ رَأْيٌ لَا
نُجْبِرُ أَحَدًا عَلَيْهِ، وَلَا نَقُولُ: يَجِبُ عَلَى أَحَدٍ قُبُولُهُ
بِكَرَاهِيَةٍ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ أَحْسَنُ مِنْهُ فَلْيَأْتِ بِهِ».
"Apa yang kami tetapkan ini adalah
sebuah pendapat yang tidak kami paksakan kepada siapa pun, dan tidak kami
katakan bahwa wajib bagi seseorang untuk menerimanya dengan keberatan.
Barangsiapa yang memiliki pendapat yang lebih baik darinya, maka hendaklah dia
mengemukakannya."
IBNU AL-MUBAARAK (wafat 181 H):
Betapa agungnya perkataan Ibnu
al-Mubarak - dia termasuk para imam mujtahid -:
«إِنِّي لَأَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَأَكْتُبُهُ،
وَمَا مِنْ رَأْيِي أَنْ أَعْمَلَ بِهِ، وَلَا أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ، وَلَكِنْ
أَتَّخِذُهُ عُدَّةً لِبَعْضِ أَصْحَابِي إِنْ عَمِلَ بِهِ أَقُولُ: عَمِلَ
بِالْحَدِيثِ».
"Aku mendengar hadis lalu
menulisnya, meskipun aku tidak berpendapat untuk mengamalkannya. Atau aku
meriwayatkannya, tetapi aku menganggapnya sebagai persiapan untuk sebagian
sahabatku yang mengamalkannya. Aku katakan: Dia mengamalkan hadis
tersebut". [Baca : "al-Kifāyah" karya al-Khaṭīb hal. 402, dan "Faḍā'il Abī Ḥanīfah" karya Ibnu Abī al-'Awām hal. 265].
Karena perkataan itu mengandung makna
yang kita bicarakan, dan lebih dari itu, ia mencerminkan kemurahan hati dan
kebaikan sifatnya terhadap sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum .
YAHYA AL-QATHTHAN (wafat 198 H) :
Imam Yahya bin Sa’id Al
Qaththan rahimahullah berkata:
مَا بَرَحَ
أُولُو الْفَتْوَى يَفْتُونَ فَيُحَلُّ هَذَا وَيُحَرِّمُ هَذَا فَلَا يَرَى
الْمُحَرَّمُ أَنَّ الْمُحَلَّ هَلَكَ لِتَحْلِيلِهِ وَلَا يَرَى الْمُحَلُّ أَنَّ
الْمُحَرَّمَ هَلَكَ لِتَحْرِيمِهِ.
“Para ahli fatwa sering berbeda
fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi,
mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena
penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang
mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.”
[ Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161 karya Imam Ibnu Abdil Bar]
Al-IMAM AL-AWZAA’I (wafat 157 H) :
Al-Awza'i adalah salah satu imam
mujtahid. Dalam kitab "al-Tamhid" 21/172, Ibnu Abdil Barr
berkata
«قَالَ الأُوزَاعِيُّ فِي الَّذِي يُقَبِّلُ
امْرَأَتَهُ: إِنْ جَاءَ يَسْأَلُنِي قُلْتُ: يَتَوَضَّأُ، وَإِنْ لَمْ
يَتَوَضَّأْ لَمْ أَعِبْ عَلَيْهِ!».
"al-Awza'i berkata tentang orang
yang mencium istrinya:
Jika dia datang bertanya kepadaku,
maka aku katakan: dia harus berwudhu. Dan jika dia tidak berwudhu, maka akupun tidak
mencelanya!" " . [Lihat pula :
"al-Istidzkar" jilid 1: 323, dan jilid 3: 50, dari cetakan Dr.
Qulaji].
IMAM SYAFI’I (wafat 204 H):
Imam Asy Syafi’i rahimahullah,
juga Imam Malik berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.
Namun demikian telah diceritakan
dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
الشَّافِعِيُّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ
جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ
: فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ
اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .
“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu
meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat berjamaah bersama kalangan
Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad.
Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah
(pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu
itu.’” [Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy
Syu’un Al Islamiyah]
IMAM AHMAD (wafat 241 H):
Dan yang serupa disebutkan tentang
perkataan seorang Imam Mujtahid lainnya, yaitu Imam Ahmad, dalam kitab
"Siyar A'lam al-Nubala'" (11/371 biografi Ishaq bin Raahuwiyah):
«قَالَ أَحْمَدُ: لَمْ يَعْبُرِ الْجِسْرَ
إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ إِسْحَاقَ، وَإِنْ كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ،
فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَلْ يُخَالِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا».
"Ahmad berkata: Tidak ada yang
menyeberangi jembatan menuju Khurasan yang seperti Ishaq, meskipun dia berbeda
pendapat dengan kami dalam beberapa hal, karena manusia selalu berbeda pendapat
satu sama lain."
Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah mengomentari orang yang shalat dua rakaat
setelah Ashar:
"لا نَفْعَلُهُ وَلا نُعِيبُ
فَاعِلَهُ."
“Kami tidak melakukannya tapi kami
tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” [Al
Mughni, 2/87 dan Syarhul Kabir, 1/802]
Dan tentang qunut shubuh,
diceritakan sebagai berikut:
فقد كَانَ
الإمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ يَرَى أَنَّ القُنُوتَ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ
بِدْعَةٌ، وَيَقُولُ: إِذَا كُنْتَ خَلْفَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فَتَابِعْهُ عَلَى
قُنُوتِهِ، وَأَمِّنْ عَلَى دُعَائِهِ، كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَجْلِ اتِّحَادِ
الكَلِمَةِ، وَاتِّفَاقِ القُلُوبِ، وَعَدَمِ كَرَاهَةِ بَعْضِنَا لِبَعْضٍ.
“Imam Ahmad rahimahullah
berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia
mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan
mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi
menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu
dengan yang lainnya.’” [Syarhul Mumti’ 4/25 karya Syaikh Ibnu Al
‘Utsaimin, Mawqi’ Ruh Al Islam]
Abu Dawud berkata:
«سَمِعْتُ أَحْمَدَ وَسُئِلَ عَنِ
الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ؟ قَالَ: أَنَا لَا أَفْعَلُهُ، فَإِنْ
فَعَلَهُ فَلَا بَأْسَ بِهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ
ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْتَحْسِنُهُ وَيَرَاهُ».
"Aku mendengar Ahmad ditanya
tentang dua rakaat sebelum Maghrib? Beliau berkata: 'Aku tidak melakukannya,
tetapi jika seseorang melakukannya, maka tidak mengapa.'
Abu Dawud berkata: 'Aku mendengarnya
sebelum itu beberapa waktu yang lalu, dia menganggapnya bagus dan juga
berpendapat yang sama.'" [Masā'il al-Imām Aḥmad al-Fiqhiyyah karya Abu Dāwūd Hal. 72].
Dalam "al-Tamhid" 11/139
dari al-Atsram, dia berkata:
«سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي
أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ - يَقُولُ فِي مَنْ تَأَوَّلَ: إِنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ
يُصَلِّيَ خَلْفَهُ إِذَا كَانَ لِتَأْوِيلِهِ وَجْهٌ فِي السُّنَّةِ».
"Aku mendengar Abu Abdillah -
yaitu Ahmad bin Hanbal - berkata tentang orang yang melakukan ta'wil: Tidak
mengapa shalat di belakangnya jika ta'wilnya memiliki dasar dalam sunnah."
[Baca : al-Jaami’ Li ‘Uluumi al-Imam Ahmad 6/355 dan Dzakhiiratul ‘Uqbaa
3/130].
Dan para pengikut mereka juga mengikuti
jalan ini, dan penjelasan tentang keadaan mereka akan panjang, dan penulis
merasa tidak perlu menjelaskannya dan memperluasnya.
Cukup sekian sebagai contoh, dan di
sana masih banyak lagi. Contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili betapa luas,
luwes, dan lapang dada para imam generasi awal terhadap perbedaan
pendapat di antara mereka.
===***==
PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN DAN MENCELA PERBEDAAN PENDAPAT :
Beberapa ulama dengan tegas mencela perbedaan pendapat dan
mengharamkannya; di antaranya:
Pertama : Al-Muzani (w. 264 H) dalam kitabnya Dzamm at-Taqliid
(sebagaimana dikutip oleh az-Zarkasyi dalam al-Bahrul Muhith 6/257] berkata:
وَلَوْ
كَانَ ٱلِٱخْتِلَافُ رَحْمَةً، لَكَانَ ٱلِٱجْتِمَاعُ عَذَابًا؛ لِأَنَّ
ٱلْعَذَابَ خِلَافُ ٱلرَّحْمَةِ
"Jika perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan akan
menjadi azab; karena azab adalah kebalikan dari rahmat."
Akan tetapi al-Muzani kemudian berkata :
قالَ
الشافعيُّ - رَحِمَهُ اللهُ تعالى - ٱلاخْـتِـلاَفُ وَجْهانِ: فَما كانَ
مَنْصُوصًا، لَمْ يَحِلَّ فيهِ ٱلاخْـتِـلاَفُ، وَما كانَ يَحْتَمِلُ التَأْوِيلَ
أَوْ يُدْرَكُ قِياسًا، فَذَهَبَ المُتَأَوِّلُ أَوِ المُقايِسُ إِلى مَعْنًى
يَحْتَمِلُ ذلِكَ، وَإِنْ خالَفَهُ غَيْرُهُ، لَمْ أَقُلْ إِنَّهُ يُضَيِّقُ
عَلَيْهِ ضَيْقَ ٱلاخْـتِـلاَفُ في المَنْصُوصِ.
Al-Imam asy-Syafi’i – rahimahullah - berkata : "Perbedaan pendapat
itu ada dua jenis:
Pertama, jika sesuatu itu telah jelas ditentukan (dalam nash), maka
tidak boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya.
Kedua, jika sesuatu itu mengandung penafsiran atau dapat dipahami
melalui analogi, maka jika seseorang yang menafsirkan atau menganalogikan
sampai pada suatu makna yang mungkin, meskipun orang lain tidak sependapat
dengannya, maka aku tidak mengatakan bahwa ia harus dipersempit sebagaimana
dipersempitnya dalam perbedaan yang terdapat nash." [Baca : al-Bahrul
Muhith 6/257 karya az-Zarkasyi]
Kedua : Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata:
وَهٰذا
مِنْ أَفْسَدِ قَوْلٍ يَكُونُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كانَ ٱلاخْـتِـلاَفُ رَحْمَةً
لَكانَ الاِتِّفاقُ سَخَطًا، وَهٰذا ما لا يَقولُهُ مُسْلِمٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ
إِلّا اِتِّفاقٌ أَوِ اخْتِلافٌ، وَلَيْسَ إِلّا رَحْمَةٌ أَوْ سَخَطٌ، وَأَمّا
الحَديثُ المَذْكورُ فَباطِلٌ مَكْذوبٌ، مِنْ تَوْلِيدِ أَهْلِ الفِسْقِ.
"Ini adalah perkataan yang paling fasiq (rusak); karena jika
perbedaan pendapat adalah rahmat, maka kesepakatan akan menjadi murka. Dan ini
adalah sesuatu yang tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim; karena tidak ada
selain kesepakatan atau perbedaan pendapat, dan tidak ada selain rahmat atau
murka. Adapun hadits yang disebutkan adalah palsu dan dibuat-buat, oleh
orang-orang fasik." [Baca : al-Ihkam Fii Ashulil Ahkam karya Ibnu Hazm
5/64].
Kemudian Ibnu Hazm berkata :
فَإِنْ
قِيلَ: إِنَّ الصَّحَابَةَ قَدِ ٱخْتَلَفُوا وَهُمْ أَفَاضِلُ ٱلنَّاسِ ـ
أَفَيَلْحَقُهُمُ ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ؟.
قِيلَ:
كَلَّا، مَا يَلْحَقُ أُولَئِكَ شَيْءٌ مِنْ هٰذَا، لِأَنَّ كُلَّ ٱمْرِئٍ
مِّنْهُمْ تَحَرَّى سَبِيلَ ٱللَّهِ، وَوِجْهَتُهُ ٱلْحَقَّ، فَٱلْمُخْطِئُ
مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرًا وَاحِدًا لِنِيَّتِهِ ٱلْجَمِيلَةِ فِي إِرَادَةِ
ٱلْخَيْرِ، وَقَدْ رُفِعَ عَنْهُمُ ٱلإِثْمُ فِي خَطَئِهِمْ، لِأَنَّهُمْ لَمْ
يَتَعَمَّدُوهُ، وَلَا قَصَدُوهُ، وَلَا ٱسْتَهَانُوا بِطَلَبِهِمْ، وَٱلْمُصِيبُ
مِّنْهُمْ مَأْجُورٌ أَجْرَيْنِ، وَهَكَذَا كُلُّ مُسْلِمٍ إِلَى يَوْمِ
ٱلْقِيَامَةِ فِيمَا خَفِيَ عَلَيْهِ مِنَ ٱلدِّينِ وَلَمْ يَبْلُغْهُ، وَإِنَّمَا
ٱلذَّمُّ ٱلْمَذْكُورُ، وَٱلْوَعِيدُ ٱلْمَنْصُوصُ لِمَنْ تَرَكَ ٱلتَّعَلُّقَ
بِحَبْلِ ٱللَّهِ: وَهُوَ ٱلْقُرْآنُ، وَكَلَامُ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ بُلُوغِ ٱلنَّصِّ إِلَيْهِ، وَقِيَامِ ٱلْحُجَّةِ
عَلَيْهِ، وَتَعَلَّقَ بِفُلَانٍ بِفُلَانٍ مُقَلِّدًا عَامِدًا لِلْٱخْتِلَافِ،
دَاعِيًا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَحَمِيَّةِ ٱلْجَاهِلِيَّةِ، قَاصِدًا لِلْفُرْقَةِ،
مُتَحَرِّيًا فِي دَعْوَاهُ بِرَدِّ ٱلْقُرْآنِ وَٱلسُّنَّةِ إِلَيْهَا، فَإِنْ
وَافَقَهَا ٱلنَّصُّ أَخَذَ بِهِ، وَإِنْ خَالَفَهَا تَعَلَّقَ بِجَاهِلِيَّةٍ،
وَتَرَكَ ٱلْقُرْآنَ وَكَلَامَ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَهَؤُلَاءِ هُمُ ٱلْمُخْتَلِفُونَ ٱلْمَذْمُومُونَ.
Maka jika ada yang bertanya : "Para sahabat telah berselisih
pendapat padahal mereka adalah orang-orang yang paling mulia - apakah mereka
termasuk dalam kecaman yang disebutkan?"
Dijawab : "Tidak, mereka tidak terkena sedikitpun dari hal ini,
karena masing-masing dari mereka mencari jalan Allah dan tujuannya adalah
kebenaran. Maka yang salah dari mereka mendapatkan satu pahala karena niatnya
yang baik dalam menginginkan kebaikan, dan dosa diangkat dari mereka atas
kesalahan mereka, karena mereka tidak sengaja melakukannya, tidak berniat
melakukannya, dan tidak menggampangkan dalam penelitian mereka.
Sedangkan yang berijtihad dengan benar dari mereka maka akan
mendapatkan dua pahala.
Demikian pula setiap Muslim hingga hari kiamat dalam hal yang tidak
diketahuinya dari agama dan belum sampai kepadanya.
Kecaman dan ancaman yang disebutkan hanyalah bagi mereka yang sengaja
meninggalkan berpegang pada tali Allah: yaitu Al-Qur'an dan sabda Nabi ﷺ
setelah nash sampai kepadanya, hujjah ditegakkan atasnya, dan ia terikat pada
si fulan dan si fulan dengan sengaja bertaklid demi untuk berselisih, mengajak
pada fanatisme dan semangat jahiliah, bertujuan untuk perpecahan, sengaja dalam
dakwaannya dengan menolak Al-Qur'an dan sunnah kepadanya.
Jika nash sesuai dengan pendapatnya maka ia mengambilnya, dan jika nash
bertentangan dengan pendapatnya maka ia mengikuti kejahiliahan-nya,
meninggalkan Al-Qur'an dan sabda Nabi ﷺ.
Maka mereka inilah yang disebut sebagai orang-orang yang berselisih yang
tercela."
[Baca : al-Ihkam Fii Ashulil Ahkam karya Ibnu Hazm 5/67-68. Di kutip
pula oleh al-Albaani dalam as-Silsilah adh-Dho’ifah 1/143].
Ketiga : Dr. Abdul Karim Zaidan (w. 1435 H) berkata:
"ٱلِٱئْتِلَافُ وَٱلِٱتِّفَاقُ خَيْرٌ مِنَ ٱلِٱخْتِلَافِ
قَطْعًا، حَتَّى فِي ٱلْمَسَائِلِ ٱلِٱجْتِهَادِيَّةِ ٱلسَّائِغِ ٱلِٱخْتِلَافِ
فِيهَا، فَلَا يَجُوزُ ٱلْحِرْصُ عَلَى ٱلِٱخْتِلَافِ، وَٱلرَّغْبَةُ فِيهِ،
وَإِنْ كَانَ سَائِغًا؛ لِأَنَّ مَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ تَعَمُّدِهِ وَوُقُوعِهِ،
وَمَعْنَى ذٰلِكَ جَوَازُ مُخَالَفَةِ مُقْتَضَى ٱلدَّلِيلِ ٱلشَّرْعِيِّ؛ حَتَّى
يَحْصُلَ ٱلْخِلَافُ، وَهٰذَا بَاطِلٌ قَطْعًا، وَأَيْضًا فَإِنَّ مِنْ شُرُوطِ ٱلِٱخْتِلَافِ
ٱلسَّائِغِ تَجْرِيدَ ٱلْقَصْدِ لِلْوُصُولِ إِلَى ٱلْحَقِّ وَٱلصَّوَابِ، وَهٰذَا
لَا يَتَّفِقُ مَعَ ٱلرَّغْبَةِ فِي وُقُوعِهِ".
"Kesatuan dan kesepakatan jelas lebih baik daripada perbedaan
pendapat, bahkan dalam masalah ijtihad yang diperbolehkan adanya perbedaan
pendapat di dalamnya, tidak diperbolehkan untuk bersemangat dalam mencari
perbedaan pendapat dan menginginkannya, meskipun itu diperbolehkan; karena ini
berarti memperbolehkan kesengajaan dan terjadinya perbedaan pendapat, yang
berarti memperbolehkan melawan tuntutan bukti syar'i; agar terjadi perbedaan
pendapat, dan ini jelas salah. Selain itu, salah satu syarat perbedaan pendapat
yang diperbolehkan adalah murni berniat untuk mencapai kebenaran dan ketepatan,
dan ini tidak sesuai dengan keinginan untuk terjadinya perbedaan
pendapat." [(Al-Mawsu'ah Al-Hurrah Mawqi’ Fi Al-Internet)]
*****
KESIMPULAN DAN TARJIH :
Mengarahkan dan menggabungkan pendapat-pendapat dalam hal ini ke dua
arah:
Arah Pertama:
Kelapangan, keluasan dan rahmat tidak merujuk pada sifat perbedaan
pendapat itu sendiri, melainkan pada tujuan dan maksud dari perbedaan pendapat
tersebut, yaitu bahwa diperbolehkan ijtihad dalam masalah-masalah cabang untuk
mencapai maksud syariat adalah merupakan kelapangan dan rahmat; karena ketika
diperbolehkan bagi mereka untuk melakukan ijtihad dalam dalil-dalil yang
bersifat dugaan, atau ketika tidak ada nash dalam masalah-masalah yang terjadi.
Dan ketika diperbolehkan bagi generasi awal untuk beramal dengan apa
yang dicapai oleh ijtihad mereka; maka hal itu diperbolehkan pula bagi generasi
setelah mereka; sehingga hal itu menjadi kelapangan bagi umat dan rahmat bagi
mereka, jika tidak, maka akan menjadi sempit bagi para ulama dan mereka yang
meminta fatwa dalam banyak hukum.
Adapun perbedaan pendapat itu sendiri yang terjadi di antara mereka,
maka tidak ada kelapangan di dalamnya, melainkan ada kesalahan dan kebenaran,
meskipun mereka dimaafkan dan tidak berdosa karenanya; karena mereka tidak
bermaksud untuk itu dan tidak sengaja melakukannya.
Jadi, kelapangan adalah dari dibukanya pintu ijtihad, atau dalam
beramal dengan apa yang dihasilkan oleh ijtihad mereka, bukan dalam perbedaan
itu sendiri di antara mereka. Oleh karena itu, kelapangan dan rahmat terletak
pada dibukanya pintu ijtihad, dan beramalnya seorang mujtahid dengan apa yang
dicapai oleh ijtihadnya, serta taklidnya orang-orang kepadanya dalam hal itu;
dengan anggapan bahwa mereka mengambil yang lebih kuat, meskipun pada
hakikatnya bisa jadi bahwa itu yang lebih lemah.
Jadi, tersembunyinya dan ketidak jelasnnya hukum syar'i dari mereka
adalah rahmat bagi mereka, dan kelapangan bagi mereka; karena dalam
kemunculannya terdapat kesulitan dan penyempitan bagi mereka.
Meskipun perbedaan itu sendiri adalah keburukan, hal itu selama para
pihak yang berbeda itu berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Arah Kedua:
Perbedaan pendapat adalah rahmat, yaitu bahwa orang-orang yang berbeda
pendapat itu dirahmati, bukan perbedaan itu sendiri yang dimaksud, atau bukan
perbedaan itu sendiri adalah rahmat, akan tetapi orang-orang yang berbeda
pendapat itu dirahmati, dalam arti:
“Bahwa siapa pun yang berusaha mencapai kebenaran, dan tidak ngasal,
maka dia telah melaksanakan kewajibannya. Jika dia salah, maka dia mendapat
satu pahala, dan jika dia benar, maka dia mendapat dua pahala.
Jadi, perbedaan pendapat itu sendiri bukanlah rahmat atau sesuatu yang
diinginkan secara syar'i, bahkan jika kita bisa menghilangkan perbedaan
pendapat ini dan mengakhirinya, maka itu adalah yang terbaik. Bahkan perbedaan
yang dibenarkan, jika kita bisa menghilangkannya dengan berdiskusi dan
berdialog dalam suasana persahabatan dan cinta kasih hingga mencapai satu
pendapat - itu lebih baik dan lebih bagus; karena berkumpulnya orang-orang pada
satu pendapat lebih baik bagi mereka daripada perbedaan pendapat.
Namun, maksudnya adalah bahwa orang-orang yang berbeda pendapat ini
tidak diancam dengan adzab selama mereka berusaha sekuat tenaga untuk
mengetahui kebenaran, masing-masing sesuai dengan ilmu dan kemampuannya, dan
kebenaran itu hanya satu, tidak lebih.
Adanya perbedaan pendapat semacam ini memiliki hikmah kosmik, bukan
hikmah syar'i, dan alasan perbedaan pendapat kembali pada perbedaan pemahaman,
kemampuan, dan metode pendidikan pada awalnya.
Ini adalah hal-hal yang bersifat takdir, sehingga yang diinginkan
secara syar'i adalah kesepakatan sejauh mungkin, dan pencarian kebenaran sesuai
dengan kemampuan. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat
semacam ini dirahmati.
Jadi, seorang mujtahid atau orang awam jika mengikuti pendapat orang
yang lebih dipercaya di antara ulama menurut pandangannya, maka tidak perlu
berprasangka bahwa dia dalam bahaya atau di tepi kehancuran jika ternyata
pendapat tersebut salah, atau jika pendapat tersebut pada hakikatnya salah di
sisi Allah. Akan tetapi selama pendapat tersebut telah diamalkan oleh beberapa
imam yang dianggap keilmuannya, maka dia dirahmati dan mendapat pahala satu
atau dua, sehingga dari sudut pandang ini, perbedaan pendapat adalah rahmat,
bukan perbedaan itu sendiri adalah rahmat atau sesuatu yang diinginkan.
Dalam hadits riwayat dari Amr ibn al-'Ash, di sebutkan bahwa ia
mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad dan ternyata ia benar, maka
ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim mengadili dan berijtihad lantas
ia salah, baginya satu pahala. [HR. Bukhori no. 7352].
Dalam lafadz lain :
إذا
اجتَهَد فأصاب فله أجرانِ، وإن اجتَهَد فأخطَأَ فله أجرٌ
Jika seseorang berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua
pahala, dan jika seseorang berijtihad lantas ia salah, baginya satu pahala.
[Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3574), Ibnu Majah (2314), dan
Ahmad (17809) dengan sedikit perbedaan. Di shahihkan oleh asy-Syawkani dalam
al-Fathur Rabbaani 6/3090].
PERNYATAAN AL-IMAM ASY-SYATIBI :
Imam Al-Syathibi rahimahullah berkata:
"وَمَعْنَى هَذَا أَنَّهُمْ فَتَحُوا لِلنَّاسِ بَابَ الِاجْتِهَادِ
وَجَوَازَ ٱلاخْـتِـلاَفُ فِيهِ، لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَفْتَحُوهُ لَكَانَ
الْمُجْتَهِدُونَ فِي ضِيقٍ ... فَوَسَّعَ اللَّهُ عَلَى الْأُمَّةِ بِوُجُودِ
الخِلاَفُ الْفُرُوعِي فِيهِمْ، فَكَانَ فَتْحُ بَابِ لِلْأُمَّةِ لِلدُّخُولِ فِي
هَذِهِ الرَّحْمَةِ".
"Makna dari ini adalah bahwa mereka membuka pintu ijtihad bagi
manusia, dan memperbolehkan perbedaan pendapat di dalamnya; karena jika mereka
tidak boleh membukanya, maka para mujtahid akan berada dalam kesulitan; maka
Allah melapangkan umat dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah furu’ di
antara mereka, sehingga menjadi pembuka pintu bagi umat untuk masuk dalam
rahmat ini." [ al-I’thishom 2/677].
Beliau juga berkata dalam al-Muwafaqoot 5/75 :
فَيُحْمَلُ
أَنْ يَكُونَ مِنْ جِهَةِ فَتْحِ بَابِ ٱلِاجْتِهَادِ، وَأَنَّ مَسَائِلَ
ٱلِاجْتِهَادِ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ مِنْهَا سَعَةً بِتَوْسِعَةِ مَجَالِ
ٱلِاجْتِهَادِ لَا غَيْرَ ذٰلِكَ.
"Ini dapat diartikan sebagai pembuka pintu ijtihad, dan bahwa
masalah-masalah ijtihad telah Allah jadikan luas dengan memperluas ruang
lingkup ijtihad saja, tidak lebih dari itu."
Lalu asy-Syathibi berkata :
قَالَ
الْقَاضِي إِسْمَاعِيلُ : "إِنَّمَا التَّوْسِعَةُ فِي اخْتِلَافِ أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوْسِعَةٌ فِي اجْتِهَادِ الرَّأْيِ،
فَأَمَّا أَنْ يَكُونَ تَوْسِعَةً أَنْ يَقُولَ الْإِنْسَانُ بِقَوْلِ
وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ عِنْدَهُ فِيهِ فَلَا،
وَلَكِنَّ اخْتِلَافَهُمْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمُ اجْتَهَدُوا، فَاخْتَلَفُوا". قَالَ
ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ : "كَلَامُ إِسْمَاعِيلَ هَذَا حَسَنٌ جِدًّا".
Qadhi Ismail berkata: "Pelapangan dalam perbedaan pendapat para
sahabat Rasulullah ﷺ
adalah pelapangan dalam ijtihad pendapat, tetapi jika dimaksudkan sebagai
pelapangan bahwa seseorang bisa mengikuti salah satu pendapat mereka tanpa
meyakini kebenarannya, maka itu tidak boleh. Namun, perbedaan pendapat mereka
menunjukkan bahwa mereka berijtihad sehingga mereka berbeda pendapat."
Ibnu Abdul Barr berkata: "Ucapan Ismail ini sangat baik
sekali." [Baca : al-Muwafaqoot 5/75]
SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fataawaa 14/159 berkata:
وَالنِّزَاعُ
فِي الْأَحْكَامِ قَدْ يَكُونُ رَحْمَةً إذَا لَمْ يُفْضِ إلَى شَرٍّ عَظِيمٍ
مِنْ خَفَاءِ الْحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ "
كِتَابُ ٱلاخْـتِـلاَفُ " فَقَالَ أَحْمَد: سَمِّهِ " كِتَابَ السِّعَةِ
" وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ
رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ
الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ
أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
"Perselisihan pendapat dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak
mengarah pada keburukan yang besar, seperti ketidak jelasan hukum. Oleh karena
itu, ada seorang pria menulis sebuah kitab yang dia beri nama (Kitab
Al-Ikhtilaf / perbedaan pendapat); lalu Imam Ahmad berkata: (Beri nama itu
Kitab As-Sa'ah / kelapangan) meskipun pada kenyataannya kebenaran itu satu,
tetapi bisa jadi sebagai rahmat Allah bagi sebagian orang karena keidak
jelasannya (kebenaran) itu, sebab jika kebenaran itu nampak muncul, mungkin
akan menjadi berat bagi mereka. Mak ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala:
{لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
*" Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang
jika diterangkan kepada kalian akan menyusahkan kalian "* (Al-Ma'idah:
101).
Ini adalah tarbiyah dan pendidikan dari Allah (Ta'ala) untuk
hamba-hamba-Nya yang beriman, dan larangan bagi mereka untuk menanyakan
*"tentang hal-hal"* yang tidak ada manfaat bagi mereka dalam
menanyakan dan menyelidikinya; karena jika hal-hal tersebut ditunjukkan kepada
mereka, mungkin akan menyusahkan mereka dan membuat mereka kesulitan
mendengarnya. [Baca : Tafsir Ibnu Katsir 3/203].
Perbedaan pendapat, meskipun pada dasarnya adalah keburukan, namun
kapanpun jika para pihak yang berselisih itu kembali kepada Al-Qur'an dan
Sunnah serta berniat mencari kebenaran, dan berusaha keras untuk mencapainya;
maka mereka termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
﴿فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ
الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ وَاللَّهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ﴾
*"Maka Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang beriman
kepada kebenaran tentang hal-hal yang mereka perselisihkan dengan seizin-Nya.
Dan Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang
lurus"* (Al-Baqarah: 213).
Maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman, yaitu
mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad ﷺ,
yang membenarkannya dan apa yang dibawanya dari Allah, tentang apa yang
diperselisihkan oleh orang-orang yang diberi kitab." [Tafsir ath-Thabari
4/283]
IBNU AL-QAYYIM :
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata:
"فَمَنْ هَدَاهُ ٱللَّهُ سُبْحَانَهُ إِلَى ٱلْأَخْذِ
بِٱلْحَقِّ حَيْثُ كَانَ، وَمَعَ مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ يَبْغِضُهُ
وَيَعَادِيهِ، وَرَدَ ٱلْبَاطِلَ مَعَ مَنْ كَانَ، وَلَوْ كَانَ مَعَ مَنْ
يُحِبُّهُ وَيُوَالِيهِ؛ فَهُوَ مِمَّنْ هُدِيَ لِمَا ٱخْتَلَفَ فِيهِ مِنَ
ٱلْحَقِّ؛ فَهَذَا أَعْلَمُ ٱلنَّاسِ وَأَهْدَاهُمْ سَبِيلًا وَأَقَوَّمُهُمْ
قِيلًا."
"Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi petunjuk
hidayah kepadanya untuk mengambil kebenaran di mana pun dan bersama siapa pun,
meskipun bersama orang yang dia benci dan dia musuhi , dan menolak kebatilan
bersama siapa pun, meskipun bersama orang yang dia cintai dan dia bela ; maka
dia termasuk orang yang diberi petunjuk atas apa yang diperselisihkan tentang
kebenaran itu. Maka dia adalah orang yang paling berilmu di antara
manusia dan paling banyak mendapat petunjuk dari pada mereka dan paling paling
lurus ucapannya ." [ Baca : ash-Showaa’iq al-Mursalah 2/516].
0 Komentar