AWAL PERINTAH PUASA RAMDAHAN.
BAGI YANG MAMPU BAYAR FIDYAH BOLEH TIDAK BERPUASA.
BAGI YANG SEMPAT KETIDURAN DI WAKTU BUKA ATAU DI MALAM HARI, MAKA SETELAH ITU TIDAK BOLEH MAKAN, MINUM DAN BERJIMAK.
====
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN
Allah SWT berfirman :
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. أَيَّامًا
مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
agar kalian bertakwa.
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.
"Dan bagi orang-orang yang mampu
berpuasa (tetapi tidak melakukannya), wajib membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin.
Namun barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui." [QS. Al-Baqarah: 183-184]
Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang
telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita. Sebagian mengatakan: yang
diwajibkan kepada mereka adalah puasa bulan Ramadan. Sebagian lain mengatakan:
yang diwajibkan adalah puasa tiga hari setiap bulan. Ada juga yang mengatakan:
puasa 'Asyura.
Namun tidak ada dalil yang kuat atas salah
satu dari pendapat-pendapat tersebut. Yang lebih tampak (benarnya) adalah bahwa
puasa Ramadan merupakan kekhususan yang Allah berikan kepada umat ini.
===***===
TAHAPAN-TAHAPAN CARA BERPUASA RAMADHAN:
Tahapan awal disyariatkannya puasa Ramadhan, yaitu
sbb :
[*] Bagi kaum muslimin yang mampu menjalankan puasa diberi kelonggaran oleh Allah dengan adanya dua pilihan, antara berpuasa atau bayar fidyah, yaitu: memberi makan seorang miskin. Namun demikian, berpuasa di bulan Ramadhan itu lebih baik dan lebih utama dari pada bayar fidyah.
[*] Dan bagi orang yang sempat tertidur ketika waktu berbuka puasa tiba, maka tidak diperbolehkan makan, minum dan berjimak hingga datang waktu berbuka di hari esoknya dalam kondisi tidak tertidur pula.
Begitu pula setelah shalat 'Isya, maka setelah itu tidak diperbolehkan baginya makan minum dan berjimak.
Singkatnya : Seorang Muslim boleh memilih antara berpuasa
atau cukup membayar fidyah. Tidak boleh berbuka puasa bagi orang yang ketiduran
saat waktu berbuka puasa tiba.
Berikut ini contoh yang pernah terjadi pada
masa Nabi ﷺ:
Contoh ke 1 :
Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan
Anshar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya.
Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang
kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Si
istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya
buatmu."
Ternyata Qais sangat lelah hingga ia
tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia
berkata, "Alangkah mengecewakannya engkau ini, ternyata engkau
tertidur."
Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari
Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi ﷺ. Kemudian turunlah ayat ...”.
[Baca : Tafsir ath-Thabari (3/495)]
Contoh ke 2 :
Di suatu malam Umar ibnul Khattab radhiyallahu
‘anhu pulang ke rumahnya dari rumah Nabi ﷺ yang saat itu begadang di
rumah beliau. Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya.
Tetapi istrinya menjawab, "Aku telah
tidur."
Maka Umar menjawab, "Kamu belum
tidur," lalu ia langsung menyetubuhinya.
Ka'b ibnu Malik radhiyallahu ‘anhu juga melakukan
hal yang sama.
Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah
Nabi ﷺ. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah
firman-Nya:
“Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka”. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat. [Baca : Tafsir ath-Thabari (3/496)].
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/498
berkata :
وَأَمَّا الصَّحِيحُ
الْمُقِيمُ الذِي يُطيق الصِّيَامَ، فَقَدْ كَانَ مخيَّرًا بَيْنَ الصِّيَامِ وَبَيْنَ
الْإِطْعَامِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ، وَأَطْعَمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ
مِسْكِينًا، فَإِنْ أَطْعَمَ أَكْثَرَ مِنْ مِسْكِينٍ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ، فَهُوَ خَيْرٌ،
وَإِنْ صَامَ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ الْإِطْعَامِ، قَالَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَابْنُ
عَبَّاسٍ، وَمُجَاهِدٌ، وَطَاوُسٌ، وَمُقَاتِلُ بْنُ حَيَّانَ، وَغَيْرُهُمْ مِنَ السَّلَفِ؛
وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
"Adapun orang yang sehat dan mampu berpuasa, maka dia
diberi pilihan antara berpuasa atau memberi makan. Jika dia mau berpuasa, maka
dia berpuasa, dan jika dia mau berbuka, maka dia berbuka, serta memberi makan
seorang fakir miskin setiap harinya. Jika dia memberi makan lebih dari satu
fakir miskin setiap harinya, maka itu lebih baik. Jika dia berpuasa, maka itu
lebih utama dari memberi makan."
Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu
Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil bin Hayyan, dan beberapa salaf lainnya.
Oleh sebab itu Allah Swt. berfirman:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
"Dan bagi orang-orang yang mampu berpuasa (tetapi tidak melakukannya), wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Namun barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 184).
Mu'az ibnu Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata :
قَوْلُهِ:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ مَنْ شَاءَ
صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ.
"Firman-Nya : 'Dan bagi orang-orang yang mampu berpuasa (tetapi tidak melakukannya), wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin' (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya orang yang
menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia
memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya". [HR. Ahmad 5/246 dan
Abu Daud no. 506 & 507 ].
Al-Hafidz Ibnu Katsir (1/499) berkata :
"وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ،
وَالْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ، مِنْ حَدِيثِ الْمَسْعُودِيِّ، بِهِ .
وَقَدْ أَخْرَجَ
الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ
مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ . وَرَوَى الْبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ
وَابْنِ مَسْعُودٍ، مِثْلُهُ".
Artinya : Hadis ini diketengahkan oleh Imam
Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya.
melalui hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari (4502) dan Imam Muslim (1125)
melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
mengatakan:
كَانَ
عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ
وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan.
Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin
berpuasa boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa 'Asyura”.
Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula
melalui Ibnu Umar (4501) dan Ibnu Mas'ud (4503) dengan lafaz yang semisal”.
****
DIMANASUKH [DIHAPUS DAN DIGANTI]
Mu'az ibnu Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata :
قَوْلهِ: {وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ
شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ. ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: {شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ}
إِلَى قَوْلِهِ: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} فَأَثْبَتَ اللهُ
صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَثَبَتَ
الإطعامُ لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ
الصِّيَامَ
“Firman-Nya : 'Dan bagi orang-orang yang mampu berpuasa (tetapi tidak melakukannya), wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin'. (Al-Baqarah: 183-184)
Pada mulanya bagi orang yang menghendaki
puasa, maka ia boleh puasa. Dan bagi orang yang tidak ingin puasa, maka ia harus
memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya.
Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat lain,
yaitu firman-Nya:
(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
Al-Qur'an, sampai dengan firman-Nya : Karena itu, barang siapa di
antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu". (Al-Baqarah: 185)
Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas
orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan
orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi
lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa”.
[Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad no. 22123 dan al-Hakim 2/274 melalui jalur Abu al-Nadhr saja dengan sanad ini. Di nilai shahih oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam (Tahqiq al-Musnad 36/439) dan Syeikh al-Albaani dalam ("Irwa' al-Ghalil" 4/20–21)].
Adapun larangan makan minum dan jima’ setelah tidur di waktu
berbuka puasa atau di malam hari, maka syariat tersebut di mansukh [dihapus]
setelah turunnya ayat berikut ini:
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ
وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187) }
"Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa
bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan
kalian pun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak
dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf
kepada kalian.
Maka sekarang campurilah [gaulilah] mereka
dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah
hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf
dalam masjid.
Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian
mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa". [QS. Al-Baqarah : 187].
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata :
“Ayat ini adalah rukhshoh (keringanan) dari Allah Ta'ala bagi kaum Muslimin, dan penghapusan terhadap ketentuan yang berlaku pada permulaan Islam. Dahulu, apabila seseorang berbuka, maka ia hanya diperbolehkan makan, minum, dan berhubungan suami istri hingga shalat Isya atau sebelum ia tidur. Maka jika ia telah tidur atau telah shalat Isya, maka haram baginya makan, minum, dan berhubungan suami istri hingga malam berikutnya. Hal itu sangat memberatkan mereka.
Adapun makna "rofats" di sini adalah: berhubungan suami istri. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Thawus, Salim bin Abdullah, Amru bin Dinar, al-Hasan, Qatadah, az-Zuhri, ad-Dhahhak, Ibrahim an-Nakha’i, as-Suddi, Atha’ al-Khurasani, dan Muqatil bin Hayyan”. [Tafsir Ibnu Katsir 1/510].
SEBAB TURUN AYAT :
Latar belakang turunnya ayat ini adalah sbb :
Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra ibnu
Azib radhiyallahu ‘anhu :
"كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ ﷺ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَنَامَ قَبْلَ
أَنْ يُفْطِرَ، لَمْ يَأْكُلْ إِلَى مِثْلَهَا، وَإِنَّ قَيْس بْنَ صِرْمة الْأَنْصَارِيَّ
كَانَ صَائِمًا، وَكَانَ يَوْمُهُ ذَاكَ يَعْمَلُ فِي أَرْضِهِ، فَلَمَّا حَضَر الْإِفْطَارَ
أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكِ طَعَامٌ؟ قَالَتْ: لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ
فَأَطْلُبُ لَكَ. فَغَلَبَتْهُ عينُه فَنَامَ، وَجَاءَتِ امْرَأَتُهُ، فَلَمَّا رَأَتْهُ
نَائِمًا قَالَتْ: خَيْبَةٌ لَكَ! أَنِمْتَ؟ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشي عَلَيْهِ،
فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ ﷺ، فَنَزَلَتْ
هَذِهِ الْآيَةُ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ}
إِلَى قَوْلِهِ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ} فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا".
Tersebutlah bahwa dulu para sahabat
Rasulullah ﷺ. bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum
berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama.
Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar sedang melaksanakan puasa.
Pada siang harinya ia bekerja di lahannya.
Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang
kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Si
istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya
buatmu."
Ternyata Qais sangat lelah hingga ia
tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia
berkata, "Alangkah mengecewakannya engkau ini, ternyata engkau
tertidur."
Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari
Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi ﷺ. Kemudian turunlah ayat ini,
yaitu:
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ
إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ}
“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa
bercampur dengan istri-istri kalian, -sampai dengan firman-Nya- dan makan
minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”.
(Al-Baqarah: 187)
Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat
ini”.
[Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/511. Lafadz ini
diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya (3/495)].
Lafaz hadis Imam Bukhari dalam bab ini
diketengahkan melalui Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan :
لَمَّا نزل صومُ
رمضان كانوا لايقرَبُون النِّسَاءَ، رَمَضَان كُلّه، وَكَانَ رجَال يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ
فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ} .
“Bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadan
diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan Ramadan,
dan kaum laki-laki berkhianat terhadap dirinya sendiri. Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat
menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf
kepada kalian. (Al-Baqarah: 187) [ Shahih Bukhori no. (4508)].
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas yang menceritakan :
"كَانَ الْمُسْلِمُونَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
إِذَا صَلُّوا الْعِشَاءَ حَرُم عَلَيْهِمُ النِّسَاءُ وَالطَّعَامُ إِلَى مِثْلِهَا
مِنَ الْقَابِلَةِ، ثُمَّ إِنَّ أُنَاسًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَصَابُوا مِنَ النِّسَاءِ
وَالطَّعَامِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بَعْدَ الْعِشَاءِ، مِنْهُمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ،
فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ
فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ}".
Bahwa kaum muslim pada mulanya dalam bulan
Ramadan bilamana mereka telah sholat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita
dan makanan sampai dengan waktu yang semisal pada keesokan malamnya. Kemudian
ada segolongan kaum muslim yang menggauli istri-istri mereka dan makan sesudah sholat
Isya dalam bulan Ramadan, di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka
mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Allah menurunkan
firman-Nya:
{عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ}
'Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak
dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf
kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka". (Al-Baqarah: 187), hingga akhir
ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi,
dari Ibnu Abbas”. [Tafsir Ibnu Katsir 1/511].
Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari
Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan
إِنَّ النَّاسَ
كَانُوا قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ فِي الصَّوْمِ مَا نَزَلَ فِيهِمْ يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ،
وَيَحِلُّ لَهُمْ شَأْنُ النِّسَاءِ، فَإِذَا نَامَ أحدهُم لَمْ يَطْعَمْ وَلَمْ يشرَب
وَلَا يَأْتِي أَهْلَهُ حَتَّى يُفْطِرَ مِنَ الْقَابِلَةِ، فَبَلَغَنَا أَنَّ عُمَر
بْنَ الْخَطَّابِ بَعْدَمَا نَامَ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الصوْمُ وَقَع عَلَى أَهْلِهِ،
ثُمَّ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: أَشْكُو
إِلَى اللَّهِ وَإِلَيْكَ الذِي صَنَعْتُ. قَالَ: "وَمَاذَا صَنَعْتَ؟ "
قَالَ: إِنِّي سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي، فَوَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي بَعْدَ مَا نِمْتُ
وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ. فَزَعَمُوا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "مَا كُنْتَ خَلِيقًا أَنْ تَفْعَلَ".
فَنَزَلَ الْكِتَابُ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ}
“Bahwa sesungguhnya orang-orang itu sebelum
diturunkan perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka
sekarang, mereka masih tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka
menggauli istri-istrinya. Tetapi apabila seseorang di antara mereka tidur, maka
ia tidak boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga
tiba saat berbuka pada keesokan malamnya.
Kemudian sampailah suatu berita kepada kami
bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa,
maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya.
Kemudian ia datang menghadap Nabi ﷺ. dan berkata, "Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu
atas apa yang telah aku perbuat."
Nabi ﷺ. bertanya, "Apakah
yang telah kamu lakukan?"
Umar menjawab, "Sesungguhnya hawa
nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku
tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa."
Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi
ﷺ. pasti menegurnya dan mengatakan kepadanya, "Tidaklah
pantas kamu lakukan hal itu."
Maka turunlah firman-Nya yang
mengatakan: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan
istri-istri kalian". (Al-Baqarah: 187)”. [Tafsir Ibnu Katsir 1/511].
RIWAYAT LAIN :
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah
menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai'ah, telah menceritakan
kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah :
كَانَ النَّاسُ
فِي رَمَضَانَ إِذَا صَامَ الرَّجُلُ فأمسَى فَنَامَ، حُرّم عَلَيْهِ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ
وَالنِّسَاءُ حَتَّى يُفْطِرَ مِنَ الْغَدِ. فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ
عِنْدِ النَّبِيِّ ﷺ ذَاتَ لَيْلَةٍ وَقَدْ
سَمَرَ عِنْدَهُ، فَوَجَدَ امْرَأَتَهُ قَدْ نَامَتْ، فَأَرَادَهَا، فَقَالَتْ: إِنِّي
قَدْ نِمْتُ! فَقَالَ: مَا نِمْتِ! ثُمَّ وَقَعَ بِهَا. وَصَنَعَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ
مِثْلَ ذَلِكَ. فَغَدَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَأَخْبَرَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {عَلِمَ اللَّهُ
أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} [الْآيَةَ]
“Bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ka'b
ibnu Malik menceritakan sebuah hadis kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang
dalam bulan Ramadan, bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang
harinya dia tertidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan menggauli istri
hingga saat berbuka pada besok malamnya.
Di suatu malam Umar ibnul Khattab radhiyallahu
‘anhu pulang ke rumahnya dari rumah Nabi ﷺ. yang saat itu begadang di
rumah beliau. Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya.
Tetapi istrinya menjawab, "Aku telah
tidur."
Maka Umar menjawab, "Kamu belum
tidur," lalu ia langsung menyetubuhinya.
Ka'b ibnu Malik melakukan hal yang sama pula.
Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah
Nabi ﷺ. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah
firman-Nya:
“Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak
dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf
kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka”. (Al-Baqarah: 187), hingga
akhir ayat". [Baca : Tafsir ath-Thabari (3/496)].
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid,
Ata, Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu
berkenaan dengan perbuatan Umar ibnul Khaththab dan orang-orang yang melakukan
seperti apa yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Shirmah ibnu Qais. Maka
diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan minum dalam semua malam Ramadan sebagai
rahmat dan keringanan serta belas kasihan dari Allah. [Tafsir Ibnu Katsir
1/512]
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.
(Al-Baqarah: 184)
===***===
TAHAPAN TASYRI’ IBADAH SHALAT FARDHU DAN TAHAPAN TASYRI’ PUASA :
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila,
dari Mu'az ibnu Jabal radhiyallahu ‘anhu yang
menceritakan :
أُحِيلَتِ
الصَّلَاةُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ؛
فَأَمَّا أَحْوَالُ الصَّلَاةِ فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، وَهُوَ يُصَلِّي
سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ أَنْزَلَ عَلَيْهِ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا} [الْبَقَرَةِ: 144] فوجهَهُ اللهُ إِلَى
مَكَّةَ. هَذَا حَوْلٌ. قَالَ:
وَكَانُوا يَجْتَمِعُونَ لِلصَّلَاةِ ويُؤْذِنُ بِهَا بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى
نَقَسُوا أَوْ كَادُوا يَنْقُسُون. ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ،
يُقَالُ لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ، أَتَى رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي
رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ -وَلَوْ قلتُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ نَائِمًا
لصدقتُ -أَنِّي بَيْنَا أَنَا بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ إذْ رَأَيْتُ
شَخْصًا عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَقَالَ:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
-مَثْنَى حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْأَذَانِ، ثُمَّ أَمْهَلَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ
مِثْلَ الذِي قَالَ، غَيْرَ أَنَّهُ يَزِيدُ فِي ذَلِكَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ
-مَرَّتَيْنِ -قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
"عَلِّمْهَا بِلَالًا فَلْيؤذن بِهَا". فَكَانَ بِلُالٌ أَوَّلَ مَنْ
أَذَّنَ بِهَا. قَالَ: وَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، [إِنَّهُ] قَدْ طَافَ بِي مِثْلَ الذِي طَافَ بِهِ،
غَيْرَ أَنَّهُ سَبَقَنِي، فَهَذَانِ حَالَانِ. قَالَ:
وَكَانُوا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ -قَدْ سَبَقَهُمُ النَّبيّ ﷺ بِبَعْضِهَا، فَكَانَ الرَّجُلُ يُشِيرُ إِلَى
الرَّجُلِ إِذًا كَمْ صَلَّى، فَيَقُولُ: وَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَيْنِ،
فَيُصَلِّيهِمَا، ثُمَّ يَدْخُلُ مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ. قَالَ: فَجَاءَ
مُعَاذٌ فَقَالَ: لَا أَجِدُهُ عَلَى حَالٍ أَبَدًا إِلَّا كنتُ عَلَيْهَا، ثُمَّ
قضيتُ مَا سَبَقَنِي. قَالَ: فَجَاءَ وَقَدْ سَبَقه النَّبِيُّ ﷺ بِبَعْضِهَا، قَالَ: فثَبَتَ مَعَهُ، فَلَمَّا
قَضَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَامَ فَقَضَى،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّهُ
قَد سَنَّ لَكُمْ مُعَاذ، فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا". فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ
أَحْوَالٍ
وَأَمَّا
أَحْوَالُ الصِّيَامِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يصومُ مِنْ
كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَصَامَ عَاشُورَاءَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ
فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ} . إِلَى قَوْلِهِ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ} فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا،
فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ. ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ
الْآيَةَ الْأُخْرَى: {شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ} إِلَى
قَوْلِهِ: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} فَأَثْبَتَ اللهُ
صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ،
وَثَبَتَ الإطعامُ لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، فَهَذَانَ
حَالَانِ. قَالَ:
وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ يَنَامُوا،
فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ
لَهُ: صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ
فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى
أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا
لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي
عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ جئتُ فألقيتُ نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ
أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ
مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَ
ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
Terjemahnya :
Bahwa ibadah sholat difardukan melalui tiga
tahapan, dan ibadah puasa difardukan melalui tiga tahapan pula.
TAHAPAN SHALAT :
Adapun mengenai tahapan-tahapan ibadah sholat
ialah ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, maka beliau
ﷺ sholat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan.
Kemudian Allah Swt. menurunkan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya:
Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Maka Allah Swt.
memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan tahapan pertama.
Mu'az ibnu Jabal radhiyallahu ‘anhu
melanjutkan kisahnya :
Bahwa pada mulanya mereka berkumpul
menunaikan sholat dengan cara sebagian dari mereka mengundang sebagian lainnya
hingga akhirnya mereka membuat kentong atau hampir saja mereka membuat kentong
untuk tujuan tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar —yang
dikenal dengan nama Abdullah ibnu Zaid ibnu Abdu Rabbih— datang kepada
Rasulullah ﷺ Lelaki itu berkata :
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
melihat dalam mimpiku suatu peristiwa yang jika aku tidak tidur, niscaya aku
percaya kepada apa yang kulihat itu. Sesungguhnya ketika aku dalam keadaan
antara tidur dan terjaga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang memakai baju
rangkap yang kedua-duanya berwarna hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat,
lalu mengucapkan :
'Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah
Mahabesar, Allah Mahabesar), asyhadu alia ilaha illallah (aku
bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah).'
Ia membacanya dua kali-dua kali hingga
selesai azannya. Kemudian berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang
sama, hanya kali ini dia menambahkan kalimat qad qamatis
salah (sesungguhnya sholat akan didirikan) sebanyak dua kali."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Ajarkanlah
itu kepada Bilal, maka Bilal menyerukan azan dengan kalimat ini. Maka Bilal
adalah orang yang mula-mula menyerukan azan dengan kalimat ini.
Mu'az ibnu Jabar radhiyallahu ‘anhu
melanjutkan kisahnya :
Bahwa lalu datanglah Umar ibnul Khattab radhiyallahu
‘anhu dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun pernah
bermimpi melihat seperti apa yang dilihatnya, hanya dia lebih dahulu
dariku."
Hal yang telah kami sebutkan di atas
merupakan dua tahapan, yaitu tahapan pertama dan kedua.
Mu'az ibnu Jabal radhiyallahu ‘anhu melanjutkan
kisahnya :
Bahwa pada mulanya para sahabat sering datang
terlambat di tempat sholat; mereka datang ketika Nabi ﷺ telah menyelesaikan sebagian
dari sholatnya. Maka seorang lelaki dari mereka bertanya kepada salah seorang
yang sedang sholat melalui isyarat yang maksudnya ialah berapa rakaat sholat
yang telah dikerjakan. Lelaki yang ditanya menjawabnya dengan isyarat satu atau
dua rakaat. Lalu dia mengerjakan sholat yang tertinggal itu sendirian, setelah
itu ia baru masuk ke dalam jamaah, menggabungkan diri bermakmum kepada Nabi ﷺ.
Perawi mengatakan :
Lalu datanglah Mu'az dan berkata, "Tidak
sekali-kali ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi ﷺ melainkan aku terlibat di dalamnya."
Pada suatu hari ia datang, sedangkan Nabi ﷺ telah mendahuluinya dengan sebagian sholatnya. Maka Mu'az
langsung ikut bermakmum kepada Nabi ﷺ. Setelah Nabi ﷺ menyelesaikan sholatnya, bangkitlah Mu'az melanjutkan sholatnya
yang ketinggalan.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya
Mu'az telah membuat suatu peraturan bagi kalian, maka tirulah oleh kalian
perbuatannya itu (yakni langsung masuk ke dalam berjamaah; apabila imam
selesai dari sholatnya, baru ia menyelesaikan rakaat yang tertinggal
sendirian).
Hal yang ketiga ini merupakan tahapan
terakhir dari sholat.
TAHAPAN PUASA :
PERTAMA : PUASA SUNNAH TIGA HARI
SETIAP BULAN DAN PUASA ASYURA
KEDUA : PUASA WAJIB TIGA HARI SETIAP
BULAN DAN PUASA ASYURA
Adapun tahapan-tahapan yang dilalui ibadah
puasa, maka adalah : ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, beliau
puasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa 'Asyura. Kemudian Allah mewajibkan
puasa atasnya melalui firman-Nya:
'Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertakwa —sampai dengan firman-Nya— 'Dan bagi orang-orang yang mampu berpuasa (tetapi tidak melakukannya), wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin'. (Al-Baqarah: 183-184)
Pada mulanya bagi orang yang menghendaki puasa, maka ia boleh puasa. Dan
bagi orang yang tidak ingin puasa, maka ia harus memberi makan seorang miskin
sebagai ganti dari puasanya.
Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat lain,
yaitu firman-Nya:
(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
Al-Qur'an —sampai dengan firman-Nya— Karena itu, barang siapa di
antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas
orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan
orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi
lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa.
Demikianlah dua tahapan yang dialami oleh
puasa.
Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum,
dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur,
mereka dilarang melakukan hal tersebut.
Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan
Ansar yang dikenal dengan nama Shirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil
puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan sholat Isya, kemudian
ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan
harinya.
Keesokan harinya ia melanjutkan puasa-nya,
maka Rasulullah ﷺ melihat dirinya dalam
keadaan sangat kepayahan, lalu beliau ﷺ Bertanya :
"Kulihat dirimu tampak sangat payah dan
letih."
Shirmah menjawab, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung
merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan
aku terus dalam keadaan puasa."
Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli
istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan apa yang
telah dialaminya itu. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
'Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa
bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan
firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam
hari". (Al-Baqarah: 187). [Terjemahan Hadits Selesai]
----
TAKHRIJ HADITS :
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad no. 22123
dan al-Hakim 2/274 melalui jalur Abu al-Nadhr saja dengan sanad ini.
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud (507), Ibnu
Khuzaimah (381), dan al-Syasyi (1362) dan (1363) melalui jalur Yazid bin Harun
saja, dengan sanad yang sama.
Diriwayatkan juga oleh al-Tayalisi (566), Abu
Dawud (507), al-Thabari 2/4, 131, dan 132–133, al-Thahawi dalam *Syarh Musykil
al-Atsar* (478), al-Thabarani 20/(270), dan al-Baihaqi 1/391, 420–421, 2/296,
dan 4/200 melalui berbagai jalur dari al-Mas‘udi dengan sanad yang sama. Dan
semuanya meriwayatkan darinya setelah ia mengalami ikhtilath (kacau hafalan).
Syu’aib al-Arna’uth dan para pentahqiq
al-Musnad 36/439 berkata :
رِجَالُهُ ثِقَاتٌ
رِجَالُ الشَّيْخَيْنِ غَيْرَ الْمَسْعُودِيِّ - وَهُوَ عَبْدُ الرَّحْمٰنِ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ - فَقَدْ رَوَى لَهُ الْبُخَارِيُّ اسْتِشْهَادًا وَأَصْحَابُ
السُّنَنِ، وَكَانَ قَدِ اخْتَلَطَ، وَرِوَايَةُ أَبِي النَّضْرِ - وَهُوَ هَاشِمُ
بْنُ الْقَاسِمِ - وَيَزِيدُ بْنُ هَارُونَ بَعْدَ الِاخْتِلَاطِ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى
لَمْ يَسْمَعْ مِنْ مُعَاذٍ، فَهُوَ مُنْقَطِعٌ، وَقَدِ ٱخْتُلِفَ فِيهِ عَلَى ابْنِ
أَبِي لَيْلَى.
“Para perawinya adalah perawi-perawi
terpercaya yang digunakan oleh dua Syaikh (al-Bukhari dan Muslim), kecuali
al-Mas‘udi –yaitu Abdurrahman bin Abdullah bin ‘Utbah– yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari sebagai penguat dan oleh para penyusun kitab Sunan. Namun, ia
mengalami ikhtilath (kekacauan hafalan), dan riwayat Abu al-Nadhr –yaitu Hasyim
bin al-Qasim– serta Yazid bin Harun berasal dari setelah ia mengalami
ikhtilath. Selain itu, Ibnu Abi Laila tidak mendengar hadis dari Mu‘adz, maka sanadnya
terputus (munqathi‘), dan juga terjadi perbedaan pendapat tentang (riwayat)
dari Ibnu Abi Laila”.
Syeikh al-Albani berkata :
صَحِيحٌ بِتَرْبِيعِ
التَّكْبِيرِ فِي أَوَّلِهِ
Shahih dengan takbir empat kali di awalnya. ["Irwa'
al-Ghalil" (4/20–21)]
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di
dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui
hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama.
Dan hadis ini diketengahkan pula oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu
‘anha yang mengatakan:
كَانَ
عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ
وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika
turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa
'Asyura boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa
'Asyura.
[Shahih al-Bukhari no. (4502) dan Shahih
Muslim no. (1125)]
Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula
melalui Ibnu Umar (4501) dan Ibnu Mas'ud (4503) dengan lafaz yang semisal”.
**************
Firman Allah Swt :
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ}
“Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi
makan seorang miskin”.
(Al-Baqarah: 184)
Seperti yang dijelaskan oleh Mu'az ibnu
Jabal, yaitu 'pada mulanya barang siapa yang ingin puasa, maka ia boleh puasa;
dan barang siapa yang tidak ingin puasa, maka ia harus memberi makan seorang
miskin untuk setiap harinya'.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam
Bukhari melalui Salamah ibnul Akwa' yang menceritakan :
لَمَّا نَزَلَتْ:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ
يُفْطر يَفْتَدِي، حَتَّى نَزَلَتِ الْآيَةُ التِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
Bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Dan
wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Maka
bagi orang yang hendak berbuka, ia harus menebusnya dengan fidyah hingga
turunlah ayat yang selanjutnya, yaitu berfungsi me-nasakh-nya. [Shahih Bukhari,
No. (4507)]
Telah diriwayatkan pula melalui hadis
Ubaidillah, dari Nafi, dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa memang ayat
ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya.
As-Saddi meriwayatkan dari Murrah, dari
Abdullah ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan :
لَمَّا نَزَلَتْ
هَذِهِ الْآيَةُ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} قَالَ:
يَقُولُ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ} أَيْ: يَتَجَشَّمُونَهُ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ:
فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ وَأَطْعَمَ مِسْكِينًا {فَمَنْ تَطَوَّعَ}
قَالَ: يَقُولُ: أَطْعَمَ مِسْكِينًا آخَرَ {فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ
لَكُمْ} فَكَانُوا كَذَلِكَ حَتَّى نَسَخَتْهَا: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ}
“Bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Dan
wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)
Yang dimaksud dengan “يُطِيقُونَهُ” ialah mengerjakannya dengan
penuh masyaqat (berat)”.
Lalu Ibnu Mas’ud berkata : “Orang yang ingin
puasa, mengerjakan puasa; dan orang yang ingin berbuka, maka ia berbuka dan
memberi makan seorang miskin sebagai fidyah.
Yaitu yang dimaksud dengan firman-Nya: Barang
siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. (Al-Baqarah: 184). Yakni
barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah yang
lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian (daripada
berbuka dan memberi makan seorang miskin). (Al-Baqarah: 184)
Pada mulanya mereka tetap dalam keadaan
demikian hingga ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: ‘Barang siapa di
antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu’.” (Al-Baqarah: 185). [Selesai. Lihat Tafsir
Ibnu Katsir 1/499].
Imam Bukhari mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah
menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Amr
ibnu Dinar, dari Ata;
Ia pernah mendengar Ibnu Abbas membacakan
firman-Nya:
وَعَلَى الَّذِينَ
يُطَوَّوْقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi
makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184).
Lalu Ibnu Abbas mengatakan :
لَيْسَتْ مَنْسُوخَةً،
هُوَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا،
فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
bahwa ayat ini tidak di-mansukh, yaitu
berkenaan bagi manula laki-laki dan perempuan yang tidak mampu mengerjakan
ibadah puasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin untuk setiap
harinya. [Shahih Bukhari, No. (4505)]
Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya
oleh satu orang ulama, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Asy'as ibnu Siwar,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan:
نَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فِي الشَّيْخِ
الْكَبِيرِ الذِي لَا يُطِيقُ الصَّوْمَ ثُمَّ ضَعُفَ، فَرَخَّصَ لَهُ أَنْ يُطْعِمَ
مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
bahwa ayat ini (yakni firman-Nya): Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)
diturunkan berkenaan dengan manula yang tidak kuat puasa; jika puasa,
keadaannya sangat lemah. Maka Allah memberinya keringanan boleh berbuka dengan
memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir
1/500].
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada
kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Bahran Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada
kami Wahb ibnu Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah,
dari Ibnu Abu Laila yang menceritakan,
دَخَلْتُ عَلَى
عَطَاءٍ فِي رَمَضَانَ، وَهُوَ يَأْكُلُ، فَقَالَ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: نَزَلَتْ
هَذِهِ الْآيَةُ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ
مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ وَأَطْعَمَ مِسْكِينًا، ثُمَّ نَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ فَنَسَخَتِ الْأُولَى، إِلَّا الْكَبِيرَ الْفَانِيَ إِنْ شَاءَ أَطْعَمَ
عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَأَفْطَرَ
"Athoo masuk menemuiku dalam bulan
Ramadan, sedangkan dia tidak berpuasa, lalu ia mengatakan, 'Ibnu Abbas pernah
mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 185) diturunkan me-nasakh ayat yang
sebelumnya, kecuali orang yang sudah lanjut usia; maka jika ingin berbuka, ia
boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang
ditinggalkannya'." [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/500]
KESIMPULAN :
Kesimpulan bahwa nasakh berlaku bagi orang
sehat yang mukim di tempat tinggalnya harus puasa karena berdasarkan
firman-Nya:
{فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ}
Karena itu, barang siapa di antara kalian
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Orang yang sudah sangat lanjut usia dan tidak
mampu melakukan puasa, boleh berbuka dan tidak wajib qodho baginya karena
keadaannya bukanlah seperti keadaan orang yang mampu mengqodhoinya.
Tetapi bila ia berbuka, apakah wajib baginya
memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, jika memang dia orang yang
lemah kondisinya karena usia yang sudah tua?
Ada dua pendapat di kalangan ulama sehubungan
dengan masalah ini.
Pendapat Pertama : tidak wajib baginya
memberi makan seorang miskin, mengingat kondisinya lemah, tidak kuat melakukan
puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat tua; maka tidak wajib baginya
membayar fidyah, perihalnya sama dengan anak kecil.
Karena Allah Swt. tidak sekali-kali
mernbebankan kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Pendapat ini
merupakan salah satu pendapat Imam Syafii.
Pendapat Kedua : pendapat yang sahih dan di-jadikan pegangan
oleh kebanyakan ulama, yaitu wajib baginya membayar fidyah setiap hari yang
ditinggalkannya. Seperti penafsiran ibnu Abbas dan lain-lainnya dari kalangan
ulama Salaf berdasarkan qiraat orang-orang yang membacakan wa'alal lazina
yufiqunahu, yakni berat menjalankannya. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/500]
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud
dan lain-lain-nya. Hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Bukhari,
karena Imam Bukhari mengatakan:
وَأَمَّا الشَّيْخُ
الْكَبِيرُ إِذَا لَمْ يُطِقِ الصِّيَامَ، فَقَدْ أَطْعَمَ أَنَسٌ -بَعْدَ أَنْ كَبِرَ
عَامًا أَوْ عَامَيْنِ -كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا خُبْزًا وَلَحْمًا، وَأَفْطَرَ
"Adapun orang yang berusia lanjut, bila
tidak mampu mengerjakan puasa, maka dia harus memberi makan seorang miskin
untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Sesungguhnya Anas sesudah usianya
sangat lanjut, setiap hari yang ditinggalkannya ia memberi makan seorang miskin
berupa roti dan daging, lalu ia sendiri berbuka (tidak puasa); hal ini
dilakukannya selama satu atau dua tahun." [Shahih al-Bukhari (8/179),
"Fath"]
Riwayat yang dinilai mu'allaq oleh Imam
Bukhari ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli di dalam kitab
Musnad-nya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah
ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada
kami Imran, dari Ayyub ibnu Abu Tamimah yang menceritakan :
ضَعُفَ أَنَسُ بْنُ
مَالِكٍ عَنِ الصَّوْمِ، فَصَنَعَ جَفْنَةً مِنْ ثَرِيدٍ، فَدَعَا ثلاثيِن مِسْكِينًا
فَأَطْعَمَهُمْ
Bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tidak
mampu mengerjakan puasa karena usianya yang sangat lanjut, maka ia memasak
makanan Sarid dalam panci, lalu ia memanggil tiga puluh orang miskin dan
memberi mereka makan.
Diriwayatkan oleh Abu Ya‘la dalam
*Musnad*-nya (7/204), dan al-Haitsami berkata dalam *Majma‘ az-Zawa’id*
(3/164): “Para perawinya adalah perawi-perawi hadis shahih,” namun sanadnya
terputus (munqathi‘).
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata :
“Atsar ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu
Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah, dari Imran (yakni Ibnu Jarir), dari Ayyub dengan
lafaz yang sama.
Abdu meriwayatkan pula melalui hadis Sittah,
bersumber dari murid-murid Anas, dari Anas hal yang semakna”. [Lihat Tafsir
Ibnu Katsir 1/500]
Lalu Ibnu Katsir berkata :
“Termasuk ke dalam pengertian ini ialah
wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui, jika keduanya merasa
khawatir terhadap kesehatan dirinya atau kesehatan anaknya.
Sehubungan dengan keduanya para ulama
berselisih pendapat.
1] Sebagian dari mereka mengatakan, keduanya
boleh berbuka, tetapi harus membayar fidyah dan qodho.
2] Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya
diwajibkan membayar fidyah, tanpa ada qodho.
3] Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa
yang wajib hanya qodhonya saja, tanpa fidyah.
4] Sedangkan pendapat yang lainnya lagi
mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak puasa) tanpa harus membayar
fidyah dan qodho”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/501]
0 Komentar