Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM BEDAH MAYAT FORENSIK (OTOPSI)

HUKUM BEDAH MAYAT FORENSIK (OTOPSI)

حُكْمُ التَّشْرِيحِ

Disusun oleh: Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

====

=====

DAFTAR ISI :

  • BEDAH FORENSIK (OTOPSI) DAN JENIS-JENISNYA
  • DARAH, JIWA DAN RAGA SEORANG MUSLIM WAJIB DIJAGA
  • KONDISI-KONDISI TERTENTU YANG MEMBOLEHKAN MENUMPAHKAN DARAH SEORANG MUSLIM ATAU MELUKAINYA.
  • PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER TENTANG BEDAH MAYAT (FORENSIK)

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

===***===

BEDAH FORENSIK (OTOPSI) DAN JENIS-JENISNYA

Istilah “otopsi” (التَّشْرِيحِ) dalam terminologi kedokteran digunakan untuk menyebut:

« العِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي تَرْكِيبِ الأَجْسَامِ العُضْوِيَّةِ وَتَقْطِيعِهَا عَمَلِيًّا وَتَشْقِيقِهَا لِلْفَحْصِ الطِّبِّيِّ »

“Ilmu yang membahas struktur tubuh makhluk hidup dengan cara membedah dan membukanya secara praktis untuk tujuan pemeriksaan medis.”

Otopsi, atau bedah mayat, adalah pemeriksaan tubuh jenazah untuk mengetahui penyebab dan cara kematiannya. Prosedur ini melibatkan pemeriksaan bagian luar dan dalam tubuh untuk mengidentifikasi kelainan, penyakit, atau cedera yang mungkin terkait dengan kematian. Hasil otopsi dapat digunakan sebagai alat bukti dalam kasus hukum atau untuk keperluan medis dan penelitian.

Forensik adalah penerapan ilmu pengetahuan untuk mengungkap kebenaran dalam kasus pidana maupun perdata, terutama yang berkaitan dengan pengadilan. Ilmu ini menggunakan berbagai disiplin ilmu seperti kedokteran, kimia, biologi, dan psikologi untuk menganalisis bukti-bukti di tempat kejadian perkara (TKP) dan tempat lain, serta memberikan kesaksian di pengadilan.

Otopsi ini dibagi berdasarkan tujuannya ke dalam tiga jenis:

Ke 1. Otopsi untuk mengetahui sebab kematian ketika diduga ada tindak pidana, yang disebut sebagai “kedokteran forensik”.

Ke 2. Otopsi untuk mengetahui penyakit dan jenis-jenisnya, yang disebut sebagai “otopsi patologis atau terapeutik”.

Ke 3. Otopsi untuk memahami struktur tubuh dan organ-organnya serta tujuan pendidikan umum kedokteran, yang disebut “Otopsi Edukatif / Pendidikan”.

Ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan akademis dan praktis para pelajar kedokteran, serta mempersiapkan mereka agar mampu melayani umat dalam berbagai aspek kesehatan.

Pendidikan kedokteran tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa jenis otopsi ini, karena:

1]. Seseorang tidak dapat memahami organ tubuh dan fungsinya tanpa mempelajari anatomi tubuh.

2]. Seseorang tidak dapat memahami penyakit dan dampaknya terhadap tubuh tanpa mengetahui anatomi.

3]. Operasi bedah tidak dapat dilakukan tanpa pengetahuan tentang anatomi tubuh.

===***===

DARAH, JIWA DAN RAGA SEORANG MUSLIM WAJIB DIJAGA

Telah ada ketetapan hukum bahwa darah, jiwa dan jasad seorang muslim adalah suci dan harus dijaga berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma’ umat. Maka tidak halal bagi siapa pun, siapa pun dia, untuk menumpahkan darah seorang muslim atau menyakiti kulit atau anggota tubuhnya tanpa hak, kecuali jika ia melakukan kejahatan yang membolehkan atau mewajibkan hal itu secara syar’i.

Allah SWT berfirman :

﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا ۚ﴾

*"Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah; dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka (ia wajib) memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat (tebusan) kepada keluarganya, kecuali jika mereka bersedekah (memaafkan)..." [QS. An-Nisaa : 92]

Dan Allah SWT berfirman :

﴿ وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا﴾

"Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, ia kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya, serta menyediakan baginya azab yang besar." [QS. An-Nisaa : 93]

Dan Allah SWT berfirman :

﴿وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا﴾

"Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk dibunuh) kecuali dengan alasan yang benar. Barang siapa dibunuh secara zalim, maka Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya, maka janganlah ia melampaui batas dalam pembunuhan itu, karena sesungguhnya ia mendapat pertolongan." (QS. Al-Isra’: 33)

Dan Rasulullah  bersabda :

«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ، أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ؟»

"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini, sampai kalian berjumpa dengan Tuhan kalian. Ingatlah, apakah aku telah menyampaikan (risalah)?"

[HR. Bukhori no. 7078 dan Muslim no. 1679].

Dalam hadits Abdullah bin Yazid al-Huthomi radhiyallahu ‘anhu di sebutkan :

نَهَى النبيُّ  عَنِ النُّهْبَى والمُثْلَةِ.

“Nabi melarang penjarahan dan mutilasi”. [HR. Bukhori no. 2474 dan 5516]

Dan Rasulullah  bersabda :

«لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالْمُفَارِقُ لِدِينِهِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ».

*"Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal: jiwa dibalas dengan jiwa, pezina yang sudah menikah, dan orang yang keluar dari agamanya serta memisahkan diri dari jamaah (umat)."*

[HR. Bukhori no. 6878 dan Muslim no. 1676].

Dan Rasulullah  bersabda :

«كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا».

*"Mematahkan tulang jenazah sama dengan mematahkannya ketika hidup."*

(Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3207), Ibnu Majah (1616), dan Ahmad (24739). Dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 1320)

Dan Rasulullah  melarang duduk di atas kuburan. Beliau  bersabda :

((لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ، وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا))

“Janganlah kalian shalat menghadap ke kuburan, dan jangan duduk di atasnya.” (HR. Muslim no. 972)

Dari ‘Amr bin Hazm Radhiyallahu ‘anhu :

((رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَا مُتَّكِئٌ عَلَى قَبْرٍ، فَقَالَ: لَا تُؤْذِ صَاحِبَ الْقَبْرِ))

Rasulullah  melihatku sedang bersandar di atas kubur, lalu beliau bersabda: “Janganlah engkau menyakiti penghuni kubur itu.”

[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *al-Musnad* (39/475), ath-Thahawi dalam *Syarh Ma’ani al-Atsar* (2944), al-Hakim dalam *al-Mustadrak* (6502), dan Abu Nu’aim dalam *Ma’rifat ash-Shahabah* (4972). Sanadnya dinyatakan sahih oleh Muhammad bin Abdul Hadi dalam *Tanqih Tahqiq at-Ta’liq* (2/160), adz-Dzahabi dalam *Tanqih at-Tahqiq* (1/320), Ibnu Hajar dalam *Fath al-Bari* (3/266), dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam *Takhrij Misykat al-Mashabih* (1662)].

===***===

KONDISI-KONDISI YANG MEMBOLEHKAN MENUMPAHKAN DARAH SEORANG MUSLIM ATAU MELUKAINYA

Beberapa pendapat para fuqaha Islam mengenai pengecualian dalam keadaan darurat yang membolehkan darah seorang muslim ditumpahkan, dan membolehkan tubuhnya dibedah:

Hukum asal dalam Islam adalah menghormati manusia serta menjaga kehormatan jiwa dan darahnya, baik ketika hidup maupun setelah mati, serta melarang merusak jasadnya dan memperlakukannya dengan buruk.

Namun, terdapat beberapa kondisi dan keadaan yang menjadi pengecualian dari hukum umum ini, yang disebutkan oleh para fuqaha, dan mereka membangun pendapat mereka—baik yang membolehkan maupun melarang—berdasarkan pada pertimbangan kemaslahatan.

Di antara kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:

===***===

KONDISI PERTAMA :
Memukul atau melempar musuh yang menjadikan tawanan muslim sebagai tameng.

Pendapat pertama : Diperbolehkan, dengan syarat niatnya adalah menyerang orang-orang nonmuslim (jumhur ulama).

Dalil-dalil jumhur sebagai berikut:

1]. Masalah ini didasarkan atas kemaslahatan yang berada pada tingkat darurat, karena melempar musuh dan membunuh mereka yang mengakibatkan terbunuhnya para tawanan muslim atau melukai mereka mengandung kemenangan bagi kaum muslimin dan menjaga agama mereka, negeri mereka, jiwa, harta, dan kehormatan mereka. Menjaga agama termasuk dalam kategori darurat yang telah disepakati oleh seluruh syariat untuk dijaga.

2]. Dalam hal ini, kemaslahatan umum bagi Islam dan umatnya didahulukan atas kemaslahatan individu, yaitu menjaga darah para muslim yang dijadikan tameng oleh kaum kafir. Ini sesuai dengan kaidah: mendahulukan kemaslahatan yang lebih kuat jika terjadi pertentangan, dan memilih mudarat yang lebih ringan untuk menghindari mudarat yang lebih besar.

3]. Kita diperintahkan untuk memerangi mereka. Jika kita meninggalkan peperangan karena alasan ini, maka akan tertutup pintu peperangan melawan mereka, karena biasanya benteng dan kota-kota mereka hampir tidak pernah kosong dari kaum muslimin.

4]. Karena kita juga diperbolehkan melakukan hal itu walau di antara mereka terdapat perempuan dan anak-anak. Sebagaimana tidak boleh membunuh muslim, begitu pula tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak dari kalangan mereka, namun tetap tidak dilarang melempar mereka secara umum. Hal ini didasarkan pada tindakan Rasulullah  yang menggunakan manjaniq terhadap penduduk Thaif, dan memerintahkan Usamah bin Zaid untuk membakar, serta tindakan membakar benteng milik ‘Auf bin Malik.

Pendapat kedua: Tidak diperbolehkan melempar atau memerangi mereka dengan senjata yang mengenai semua pihak (pendapat Imam Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziyad).

Dalil mereka adalah:

Membunuh seorang muslim adalah haram, sedangkan meninggalkan pembunuhan terhadap kafir itu boleh. Bukankah seorang imam dibolehkan untuk tidak membunuh tawanan demi kemaslahatan kaum muslimin? Maka memperhatikan keselamatan seorang muslim lebih utama dari sisi ini.

Jawaban terhadap pendapat ini:

Kami katakan bahwa memerangi mereka adalah suatu kewajiban. Jika kita meninggalkannya karena tindakan mereka ini (menjadikan muslim sebagai tameng), maka akan tertutup pintu untuk memerangi mereka. Selain itu, hal itu juga akan membahayakan kaum muslimin, dan mereka (musuh) akan menjadi lebih berani terhadap kaum muslimin, bahkan bisa saja mereka membunuh kaum muslimin jika memiliki kesempatan untuk mendekat. Dan bahaya semacam ini harus ditolak, kecuali bagi seorang muslim yang menyerang dengan niat untuk mengenai orang kafir yang berperang.

===***===

KONDISI KEDUA :
Membelah perut perempuan yang telah meninggal dunia sementara dalam perutnya terdapat janin yang diketahui masih hidup.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini menjadi tiga pendapat:

Pendapat pertama: Diperbolehkan membelah perutnya untuk mengeluarkan janin. Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama Hanafiyah, sebagian Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zhahiriyah.

Dalil-dalil pendapat pertama:

1]. Firman Allah Ta’ala:

﴿ وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا﴾

“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia”. [QS. Al-Maidah : 32]

Karena membelah perut perempuan yang meninggal itu termasuk bentuk usaha dalam menghidupkan satu jiwa yang dihormati; maka menghidupkan lebih diutamakan daripada memuliakan mayit.

2]. Bahwa menjaga darah dan kehormatan orang yang hidup lebih kuat daripada menjaga kehormatan orang yang sudah mati.

3]. Bahwa membelah perut mayit untuk mengeluarkan janin yang masih hidup termasuk menjaga kehidupan seorang dengan merusak sebagian tubuh mayit; ini serupa dengan orang yang terpaksa memakan bagian dari tubuh mayit.

4]. Bahwa orang yang sengaja membiarkan janin itu tetap di dalam perut ibunya yang sudah mati hingga ia mati, maka ia telah membunuh satu jiwa.

5]. Qiyas (analogi) terhadap memutuskan shalat demi menyelamatkan satu nyawa.

Pendapat kedua: Tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Ahmad.

Dalil-dalil pendapat kedua:

1]. Sabda Rasulullah :

« كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا»

“Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkannya ketika hidup.”

2]. Nabi  melarang melakukan mutilasi.

3]. Membelah perut mayit perempuan untuk mengeluarkan anaknya yang hidup merupakan pelanggaran terhadap kehormatannya dan bertentangan dengan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya memuliakan mayit dan haramnya menyakitinya.

Pendapat ketiga: Wajib membelah perutnya jika tidak memungkinkan mengeluarkan anak hidup kecuali dengan cara itu. Pendapat ini dipegang oleh Asyhab dari Malikiyah, Sahnun, dan dipilih oleh Al-Lakhmi dan Ibnu Hazm Az-Zhahiri.

Dalil-dalil pendapat ketiga

1]. Sama seperti dalil pendapat yang membolehkan, namun dalam hal ini menjadi wajib jika satu-satunya jalan untuk menyelamatkan janin adalah dengan membelah perutnya. Jawabannya: bagaimana cara mengeluarkannya, itu merupakan urusan orang yang ahli dalam bidang ini seperti dokter dan bidan.

2]. Bahwa merusak tubuh mayit seperti memotong leher atau anggota tubuhnya tidak mengharuskan qishash atau diyat, namun jika disengaja maka dihukum ta’zir. Berbeda dengan membunuh orang hidup, baik Muslim maupun dzimmi, yang mewajibkan qishash atau diyat secara umum.

3]. Sabda Nabi :

« كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا ».

“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya saat hidup”, dibawa pada konteks orang yang melakukannya secara sia-sia. Adapun jika karena suatu perkara yang wajib, maka tidak termasuk larangan.

Hal ini didukung dengan kenyataan bahwa jika seseorang hidup terkena sesuatu dalam perutnya yang dengan pasti bisa diselamatkan nyawanya jika dikeluarkan, maka boleh dibedah dan tidak berdosa melakukannya terhadap dirinya, anaknya, atau hambanya.

===***===

KONDISI KETIGA :
Orang yang terpaksa memakan daging manusia mati jika tidak menemukan selain itu:

Mayoritas ulama berpendapat bahwa boleh memakan daging manusia kafir atau orang yang tidak memiliki perlindungan darah (tidak ma'shum) dalam kondisi darurat. Sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa hal itu tidak boleh.

Mereka berselisih pendapat mengenai hukum memakan daging seorang muslim yang darahnya terjaga dalam dua pendapat:

Pendapat pertama: boleh melakukannya.

Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, sebagian ulama Hanafiyah, Ibnu Arafah dari kalangan Malikiyah, dan salah satu riwayat dari Hanabila

Mereka berdalil dengan hal-hal berikut:

1]. Qiyas (analogi) terhadap larangan-larangan lain yang menjadi boleh dalam kondisi darurat.

2]. Karena kehormatan orang yang hidup lebih utama dari kehormatan orang yang mati, sebagaimana terlihat dari perbedaan hukum antara orang hidup dan orang mati dalam banyak ketentuan hukum

Pendapat kedua: tidak boleh.

Ini adalah madzhab Malikiyah, pendapat yang shahih dari Hanabilah, dan juga pendapat Zhahiriyah

Dalil mereka:

1]. Sabda Rasulullah :

« كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا ».

“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya saat hidup.”

Jawaban terhadap dalil ini: hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini, karena yang dimakan adalah daging, bukan tulangnya.

2]. Karena kehormatannya (mayit) dan tidak boleh merusak kehormatan seorang manusia demi kepentingan manusia lain.

Jawabannya: kehormatan orang yang hidup lebih utama

===***===

KONDISI KE EMPAT :
Melempar salah satu penumpang kapal ke laut dengan undian ketika kapal dikhawatirkan tenggelam agar yang lain bisa selamat.

Para ulama berselisih dalam hal ini menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama: tidak disyariatkan menggunakan undian dalam keadaan seperti ini.

Dalil-dalil pendapat pertama:

1]. Bahwa keselamatan darah para penumpang adalah setara, demikian juga kewajiban masing-masing dalam menjaga nyawanya. Maka haram bagi siapa pun dari mereka untuk melemparkan dirinya ke laut demi menyelamatkan yang lainnya, dan haram pula bagi mereka semua untuk melempar salah satu dari mereka, baik dengan undian maupun tanpa undian.

2]. Bahwa maslahat menyelamatkan yang lain hanyalah maslahat parsial, bukan keseluruhan, dan keselamatan mereka melalui pelemparan itu bersifat dugaan, bukan kepastian.

Pendapat kedua: boleh melempar salah satu dari mereka demi menyelamatkan yang lain.

Dalil-dalil pendapat kedua:

1]. Nabi Yunus 'alaihissalam dalam keadaan seperti ini menggunakan undian bersama para penumpang kapal, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

﴿ فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ﴾

“Maka dia ikut berundi lalu termasuk orang yang kalah.” [QS. Ash-Shooffaat : 141]

Hal itu karena dia tahu bahwa dirinyalah yang dimaksud, namun jika ia langsung melemparkan dirinya ke laut, mungkin akan dinisbatkan pada sesuatu yang tidak layak bagi para nabi, maka ia gunakan undian.

Jawaban terhadap dalil ini: bahwa berhujjah dengan ayat tersebut untuk membenarkan penggunaan undian tergantung pada kaidah bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat bagi kita juga, dan hal ini berlaku selama tidak ada yang bertentangan dalam syariat kita. 

Namun, dalam masalah ini ada yang bertentangan; karena di dalam syariat mereka diperbolehkan melempar sebagian orang demi menyelamatkan yang lain, sedangkan dalam syariat kita hal itu tidak diperbolehkan, sebab semua orang setara dalam perlindungan jiwanya, maka tidak boleh melempar siapa pun, baik dengan undian maupun tidak.

Lagipula, maksud dari undian Nabi Yunus 'alaihissalam saat kapal terhenti bukan karena kelebihan penumpang, melainkan seperti yang dikatakan:

"مَا يَمْنَعُهَا مِنْ أَنْ تَجْرِيَ إِلَّا عِلَّةٌ بِهَا، وَمَا عِلَّتُهَا إِلَّا ذُو ذَنْبٍ فِيهَا، فَتَعَالَوْا نَقْتَرِعْ"

“Yang menghalangi kapal ini bergerak adalah sesuatu yang ada padanya, dan penyebabnya adalah orang yang memiliki dosa di antara kita, maka marilah kita mengundi.”

2]. Maslahat dalam hal ini walaupun bersifat parsial, namun mengandung perlindungan terhadap maslahat yang lebih besar, yaitu menyelamatkan sekelompok orang. Ini sesuai dengan kaidah memilih kerusakan yang lebih ringan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, yaitu melempar salah satu dari mereka ke laut untuk menghindari kebinasaan semuanya jika tidak ada satu pun yang dilempar dengan undian.

===****===

KONDISI KE LIMA :
Menyerang musuh pada malam hari atau melempari mereka dengan manjaniq (alat pelontar batu) atau yang semisalnya yang bisa membinasakan secara menyeluruh, padahal di antara mereka terdapat wanita dan anak-anak.

Orang-orang kafir yang memerangi, darah mereka tidak terlindungi. Hanya saja Rasulullah  melarang membunuh mereka yang tidak turut berperang di antara mereka, seperti wanita dan anak-anak.

Telah disebutkan sebelumnya pembahasan tentang menyerang musuh kafir yang memerangi pada malam hari dan memerangi mereka dengan sesuatu yang bisa membinasakan secara menyeluruh, padahal di antara mereka terdapat wanita dan anak-anak, dalam keadaan pertama, sebagai turunan dari pembahasan memerangi mereka dengan alat yang membinasakan padahal di antara mereka terdapat tawanan muslim atau para pedagang.

Ibnu Rusyd menyebutkan adanya kesepakatan mayoritas fuqaha mengenai kebolehannya, berdasarkan riwayat bahwa Nabi  pernah memasang manjaniq untuk menyerang penduduk Thaif.

===***===

PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER TENTANG BEDAH MAYAT (FORENSIK)

Pendapat Para Ulama Kontemporer tentang Bedah Mayat, Disertai dengan Penjelasan Perbedaan Pendapat, Dalil, Diskusi, dan Pendapat yang Lebih Kuat

*****

BAGIAN PERTAMA:
Bedah mayat untuk mengetahui penyebab kematian dan sejenisnya (dalam rangka penyelidikan perkara pidana).

Hukumnya adalah boleh menurut kesepakatan para ulama kontemporer. Hal ini juga menjadi keputusan Majelis Haiah Kibarul 'Ulama di Kerajaan Arab Saudi.

Dalil-dalil yang menunjukkan kebolehannya:

1]. Bedah mayat termasuk dalam kategori maa laa yatimmul waajib illa bihi fahuwa waajib (suatu perkara yang tidak sempurna pelaksanaan kewajiban kecuali dengannya, maka perkara itu pun menjadi wajib).

Penjelasannya: Allah Ta’ala mewajibkan keadilan melalui firman-Nya:

﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ ...﴾

"Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) untuk berlaku adil..." [QS. An-Nahl :90]

Dan keadilan tidak bisa ditegakkan kecuali dengan menghukum para penjahat dan membebaskan orang-orang yang tidak bersalah. Melalui bedah mayat jenis ini, hal itu dapat diketahui, yaitu dengan mengetahui penyebab kematian.

2]. Tidak diragukan bahwa dalam tindakan bedah mayat terdapat sejumlah kemudharatan. Namun, di sisi lain terdapat manfaat-manfaat yang lebih besar dan lebih kuat dibandingkan dengan mudharat-mudharat tersebut. Kaidah-kaidah syariat menegaskan bahwa kemudharatan yang lebih ringan dapat ditoleransi demi mendapatkan maslahat yang lebih besar, dan diperbolehkan melakukan kemudharatan yang lebih ringan untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar. 

Penjelasannya: Maslahat menjaga kehormatan mayat berbenturan dengan maslahat ahli waris, maslahat umat, dan maslahat tertuduh jika ada dugaan. Bisa jadi pembunuhan terbukti, maka ini menjaga hak ahli waris serta membantu penguasa untuk menegakkan keamanan dan mencegah para penjahat. Bisa juga terbukti bahwa tertuduh tidak bersalah karena mayat meninggal secara wajar, maka ini bermanfaat bagi tertuduh.

3]. Qiyas (analogi): Diperbolehkan membedah mayat demi kemaslahatan yang lebih besar, sebagaimana diperbolehkan membedah perut wanita hamil untuk mengeluarkan janin yang diharapkan masih hidup. Juga diperbolehkan memotong-motong janin untuk menyelamatkan ibunya jika dikhawatirkan ia akan meninggal karena janin itu. Bahkan diperbolehkan membedah perut orang yang telah meninggal untuk mengeluarkan harta rampasan yang ditelannya jika dibutuhkan.

Syaikh Bakr Abu Zayd mensyaratkan tujuh syarat untuk kebolehan bedah mayat demi memastikan tercapainya maslahat yang dimaksud, yaitu:

1- أَنْ يَكُونَ فِي الْجِنَايَةِ مُتَّهَمٌ.

  2- أَنْ يَكُونَ عِلْمُ التَّشْرِيحِ لِكَشْفِ الْجَرِيمَةِ بَلَغَ إِلَى دَرَجَةٍ تُفِيدُ نَتِيجَةَ الدَّلِيلِ.

  3- قِيَامُ الضَّرُورَةِ لِلتَّشْرِيحِ بِأَنْ تَكُونَ أَدِلَّةُ الْجِنَايَةِ ضَعِيفَةً لَا تَقْوَى عَلَى الْحُكْمِ بِتَقْدِيرِ الْقَاضِي.

  4- أَنْ يَكُونَ حَقُّ الْوَارِثِ قَائِمًا لَمْ يُسْقِطْهُ.

  5- أَنْ يَكُونَ التَّشْرِيحُ بِوَاسِطَةِ طَبِيبٍ مَاهِرٍ.

  6- إِذْنُ الْقَاضِي الشَّرْعِيِّ.

  7- التَّأَكُّدُ مِنْ مَوْتِ مَنْ يُرَادُ تَشْرِيحُهُ لِكَشْفِ الْجَرِيمَةِ الْمَوْتَ الْمُعْتَبَرَ شَرْعًا.

1. Harus ada tertuduh dalam kondisi pembunuhan.

2. Ilmu kedokteran forensik dalam mengungkap kejahatan sudah mencapai tingkat yang bisa dijadikan alat bukti.

3. Adanya kebutuhan mendesak terhadap bedah mayat, yaitu bukti-bukti dalam kondisi tersebut lemah dan tidak mencukupi untuk dijadikan dasar putusan oleh hakim.

4. Hak ahli waris terhadap mayat masih tetap berlaku dan belum dilepaskan.

5. Bedah dilakukan oleh dokter yang ahli.

6. Adanya izin dari hakim syar’i.

7. Kepastian bahwa mayat yang akan dibedah benar-benar telah meninggal sesuai standar kematian dalam syariat.

****

BAGIAN KE DUA:
Autopsi untuk mengetahui penyakit dan jenis-jenisnya, yang disebut "autopsi penyakit atau pengobatan".

Pendapat pertama: autopsi ini diperbolehkan menurut mayoritas ulama kontemporer (Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Arab Saudi, Majma’ Al-Fiqh Al-Islami Rabithah ‘Alam Islami, Dar Al-Ifta Mesir, Lajnah Al-Ifta’ di Kerajaan Yordania Hasyimiyah, dan Lajnah Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah di Kuwait).

Dalil-dalil yang menunjukkan kebolehan jenis autopsi ini:

1]. Qiyas (analogi) dengan pendapat yang dikuatkan oleh banyak fuqaha terdahulu dalam masalah melempar tameng yang digunakan orang kafir untuk berlindung di balik tawanan kaum Muslimin dan yang sejenis dalam perang, demi mengutamakan kemaslahatan umum.

Demikian pula membelah perut wanita hamil untuk mengeluarkan janinnya yang kemungkinan hidupnya lebih kuat, dan makan daging manusia mati dalam keadaan darurat untuk mempertahankan hidup.

Masalah-masalah ini melibatkan tindakan terhadap jenazah demi kemaslahatan orang hidup. Dan kemaslahatan ini juga terdapat pada autopsi untuk mengetahui realitas penyakit menular, bahkan autopsi dalam konteks ini lebih utama karena berkaitan dengan kehidupan seluruh umat.

2]. Jenis autopsi ini termasuk dalam perkara yang tidak dapat disempurnakan suatu kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib. Maksudnya: menjaga jiwa orang yang hidup adalah kewajiban, dan hal itu tidak tercapai kecuali melalui autopsi jenis ini.

3]. Jika autopsi ditinggalkan, maka akan menimbulkan mudarat bagi orang-orang yang hidup, sedangkan jenazah yang diautopsi tidak bisa dibayangkan akan terkena mudarat. Kalaupun ada mudarat, itu lebih ringan dibandingkan mudarat terhadap yang hidup. Kaidah menyatakan:

«الضَّرَرُ الأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الأَخَفِّ»

"Mudarat yang lebih berat dihilangkan dengan mudarat yang lebih ringan."

Pendapat kedua: Bakar Abu Zaid bersikap tawaqquf (tidak mengambil keputusan) dalam masalah ini dan tidak menyetujui kebolehan autopsi jenazah Muslim, baik dalam jenis ini maupun jenis ketiga.

Ia berkata:

فَحَيْثُ أَنَّ جُثَثَ الْمَوْتَى مِنَ الْوَثَنِيِّينَ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الْكُفَّارِ مَيْسُورَةُ الشِّرَاءِ لِهَذَيْنِ الْغَرَضَيْنِ بِأَرْخَصِ الْأَسْعَارِ، وَأَمْوَالُ الْمُسْلِمِينَ نَهَابًا يُبْذَلُ قِسْطٌ مِنْهَا فِي غَيْرِ مَصَارِفِهَا الشَّرْعِيَّةِ؛ فَهِيَ غَيْرُ مُنْتَظِمَةِ الْمَصَارِفِ عَلَى رَسْمِ الشَّرْعِ. وَلِذَا لَمْ أَجْرُأْ عَلَى بَحْثِهِمَا.

“Karena jenazah orang-orang musyrik dan selain mereka dari kalangan orang kafir mudah didapat dan bisa dibeli untuk dua tujuan ini dengan harga yang sangat murah, sedangkan harta kaum Muslimin sering digunakan di luar saluran-saluran syariat; maka hal itu tidak teratur sesuai dengan aturan syariat. Oleh karena itu saya tidak berani membahas dua masalah ini”.

Jawaban: para ulama yang membolehkan telah menetapkan syarat-syarat yang akan disebutkan kemudian, di antaranya: tidak boleh melakukan autopsi terhadap jenazah orang yang darahnya dilindungi kecuali dalam keadaan darurat dan tidak ditemukan jenazah selain mereka. Adapun soal harta kaum Muslimin yang tidak digunakan sesuai saluran syariat, hal itu tidak menghalangi para fuqaha untuk memberikan hukum yang sesuai terhadap permasalahan aktual. Wallahu a'lam.

****

BAGIAN KE TIGA:
Pembedahan Jenazah untuk Mengetahui Struktur Tubuh dan Organ-Organnya demi Pembelajaran Ilmu Kedokteran secara Umum.

Para peneliti kontemporer sepakat tentang bolehnya pembedahan jenazah untuk tujuan ini jika jenazah tersebut adalah jenazah orang kafir.

Adapun pembedahan jenazah seorang muslim, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga:

Pendapat pertama: Boleh.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama kontemporer (fatwa dari lembaga-lembaga ilmiah yang telah disebutkan dalam bagian kedua), hanya saja Majelis Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Arab Saudi berpendapat cukup dengan pembedahan jenazah orang-orang yang tidak memiliki perlindungan darah (non-Muslim) selama masih memungkinkan untuk mendapatkannya.

Dalil-dalil pendapat pertama:

1]. Dalil dari qiyas (analogi) dari beberapa sisi:

* Diperbolehkan membedah jenazah untuk tujuan pembelajaran, sebagaimana diperbolehkan membelah perut ibu hamil yang telah meninggal untuk mengeluarkan janinnya demi menyelamatkan nyawanya, dan mengutamakan yang hidup atas yang mati.

 * Diperbolehkan pula, sebagaimana diperbolehkan memotong janin demi menyelamatkan ibunya jika diyakini kuat bahwa sang ibu akan binasa karena janin itu.

* Diperbolehkan pula, sebagaimana diperbolehkan membelah perutnya untuk mengeluarkan harta rampasan yang ditelannya.

Dalam poin pertama dan kedua terkandung kemaslahatan daruriyah (primer), dan dalam yang ketiga terdapat kemaslahatan hajiyah (sekunder). Kedua kemaslahatan ini juga terdapat dalam pembelajaran operasi medis; karena terkadang ditujukan untuk menyelamatkan nyawa pasien (daruriyah), dan terkadang untuk meringankan penyakit dan rasa sakit yang berat (hajiyah).

2]. Kemaslahatan umat dalam masalah ini lebih kuat karena bersifat umum dan pasti, sebagaimana dibuktikan oleh kenyataan dan pengalaman. Maslahat ini kembali kepada penjagaan jiwa, yang termasuk dalam kategori daruriyat.

3]. Kemaslahatan yang terdapat dalam jenis pembedahan ini lebih besar daripada mafsadatnya, sehingga diperbolehkan dilakukan.

4]. Kemaslahatan dari pembedahan ini bersifat umum dan kembali kepada masyarakat, sementara kemaslahatan menolak pembedahan hanya khusus bagi si mayit. Jika dua maslahat bertentangan, maka didahulukan maslahat yang lebih kuat.

5]. Pembedahan jenis ini termasuk perkara yang tidak bisa sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib. Karena ilmu kedokteran adalah fardhu kifayah atas umat, jika tidak ada yang melakukannya maka seluruh umat berdosa. Tidak akan terangkat dosa ini kecuali dengan mempelajari ilmu kedokteran, yang salah satu dasar utamanya adalah pembedahan.

Majelis Hai’ah Kibaril Ulama mendukung pendapat ini dengan alasan bahwa syariat Islam datang untuk meraih maslahat dan memperbanyaknya, serta mencegah mafsadat dan menguranginya, serta membolehkan melakukan mudarat yang lebih ringan untuk menghindari mudarat yang lebih besar. Dan apabila terdapat pertentangan maslahat, maka dipilih yang paling kuat.

Karena pembedahan terhadap hewan tidak bisa menggantikan pembedahan terhadap manusia, dan karena dalam pembedahan terdapat maslahat besar yang telah nyata dari kemajuan ilmu kedokteran di berbagai bidang, maka diperbolehkan secara umum melakukan pembedahan terhadap jenazah manusia. Namun, jika memungkinkan mendapatkan jenazah orang yang tidak memiliki perlindungan darah, maka cukup dengan itu dan tidak perlu membedah jenazah orang Islam, selama masih ada alternatif.

Pendapat kedua: Tidak boleh membedah jenazah seorang muslim.

Ini adalah pendapat Al-Albani, Muhammad Bakhit Al-Muthi’i, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi, dan lainnya.

Dalil-dalil pendapat kedua:

1]. Firman Allah Ta’ala:

﴿وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ﴾

*"Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di daratan dan lautan..."* [QS. Al-Isra : 70]

Makna: Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memuliakan manusia secara umum, baik ketika hidup maupun mati. Pembedahan jenazah merupakan bentuk penghinaan terhadap kehormatan tersebut.

Jawaban: Kami tidak menghapus penghormatan ini, namun terdapat mafsadat yang lebih besar jika pembedahan ditinggalkan. Kaidah menyebutkan:

«الضَّرَرُ الأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الأَخَفِّ»

“Mudarat yang lebih besar dicegah dengan melakukan mudarat yang lebih ringan.”

2]. Hadis larangan untuk melakukan mutilasi, di antaranya:

* Hadis Buraidah:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا، ثُمَّ قَالَ: «ٱغْزُوا بِسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ، ٱغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تُمَثِّلُوا»

Rasulullah  jika mengangkat seorang pemimpin pasukan, beliau berpesan untuk bertakwa dan memperlakukan kaum Muslimin dengan baik, lalu bersabda: “Perangilah orang-orang kafir di jalan Allah... dan janganlah kalian melakukan mutilasi.” (HR. Muslim)

* Hadis Aisyah:

«كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا».

“Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin setelah wafatnya seperti mematahkannya ketika hidup.”

Jawaban: Itu berlaku dalam konteks balas dendam atau permusuhan. Adapun karena kebutuhan yang diakui syariat, maka tidak dianggap sebagai mutilasi. Dan telah disebutkan sebelumnya pendapat para ulama yang membolehkan pembedahan jenazah muslim karena alasan semacam ini.

3]. Qiyas dari beberapa sisi:

(*) Hadis menunjukkan bahwa tidak boleh duduk di atas kuburan, karena bisa menyakiti mayit, meskipun tidak menyentuh jasadnya. Maka membedah tubuhnya tentu lebih menyakitkan, sehingga lebih layak untuk dilarang.

Jawaban: Memang terdapat mafsadat dalam pembedahan, namun maslahatnya jauh lebih besar. Dan qiyas ini tidak tepat karena duduk di atas kuburan tidak memiliki kebutuhan yang diakui syariat, sedangkan pembedahan memiliki kebutuhan syar’i yang jelas.

(*) Sebagian ulama berpendapat haramnya membelah perut wanita hamil yang sudah meninggal demi mengeluarkan janin, padahal itu termasuk maslahat daruriyah. Maka pembedahan yang lebih besar tentu lebih dilarang.

Jawaban: Ini qiyas atas perkara yang diperselisihkan, sehingga tidak sah. Karena pendapat mayoritas ulama justru membolehkan hal itu.

4]. Kaidah :

« لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ »

“Tidak boleh membahayakan diri maupun orang lain”

Dan kaidah :

« ٱلضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِٱلضَّرَرِ »

“Mudarat tidak dihilangkan dengan mudarat yang serupa.”

   Makna: Pembedahan adalah bentuk menyakiti si mayit, maka tidak boleh dilakukan.

 Jawaban: Mudarat terhadap si mayit lebih ringan dibanding mudarat yang akan menimpa masyarakat jika ilmu kedokteran tidak berkembang.

Pendapat ketiga: Boleh dilakukan pada jenazah orang kafir selama masih bisa didapatkan, dan tawaqquf (menahan diri) dari membedah jenazah muslim.

Ini pendapat Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid.

Dalil pendapat ketiga:

Kebutuhan terhadap pembedahan bisa terpenuhi dengan membeli jenazah orang kafir, dan hal itu mudah dilakukan, maka tidak perlu membahas boleh tidaknya membedah jenazah muslim.

====

TARJIH :

Pendapat yang kuat adalah Pendapat pertama; karena dalil-dalilnya lebih kuat dan argumen dari pendapat lain dapat dibantah. Namun, hal ini dengan syarat-syarat berikut:

1. Memastikan bahwa jenazah yang akan dibedah benar-benar telah mati menurut syariat.

2. Mendapatkan izin dari pihak keluarga jenazah (selain dalam kondisi pembedahan forensik).

3. Terdapat kebutuhan nyata terhadap pembedahan.

4. Tidak berlebihan dalam proses pembedahan; karena darurat diukur sesuai kebutuhannya.

5. Menjaga adab penghormatan terhadap jenazah, tidak menjadikannya bahan mainan dan hiburan.

6. Adanya kebutuhan karena tidak tersedia jenazah non-Muslim.

====

REFERENSI :

Keputusan dan rekomendasi (قَرَارَاتٌ وَتَوْصِيَاتٌ).

Ke 1. Keputusan (قَرَارَاتٌ) dari Hai'ah Kibaril 'Ulama di Kerajaan Arab Saudi, dalam sidang ke-9 tahun 1396 H / 1976 M.

Ke 2. Rekomendasi (تَوْصِيَاتٌ) Majma' Al-Fiqh Al-Islami, Rabithah 'Alam Islami, dalam sidang ke-8 tahun 1405 H / 1985 M.

Ke 3. Draf keputusan (مَشْرُوعُ قَرَارٍ) Majelis Fikih Islam tentang pembedahan jenazah.

----

قرارات وتوصيات .

1-                 قرار هيئة كبار العلماء بالمملكة العربية السعودية

   الدورة التاسعة 1396 هـ / 1976 م .

2-                                 توصيات مجمع الفقه الإسلامي ، رابطة العالم الإسلامي ،

   الدروة الثامنة 1405 هـ / 1985 م

3-                مشروع قرار المجمع الفقهي حول تشريح الموتى .

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar