Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

KASYAF ATAU MUKASYAFAH (PENYINGKAPAN TABIR GHAIB)

 KASYAF ATAU MUKASYAFAH (PENYINGKAPAN TABIR GHAIB)

----

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

===

===

DAFTAR ISI :

  • PENDAHLUAN :
  • APAKAH "KASYAF ATAU MUKASYAFAH" ITU BENAR MENURUT PANDANGAN ISLAM?
  • IBNU BAJAH DAN KRITIK RASIONAL TERHADAP FENOMENA KASYAF KAUM SUFI
  • ADANYA ISTIDRAJ PADA SEBAGIAN KASYAF ATAU MUKASYAFAH
  • ISTIDRAJ ILMU KASYAF DAN KEMUSTAJABAN DOA MUSA AS-SAAMIRY:
  • ISTIDRAJ ILMU KASYAF DAN KEMUSTAJABAN DO'A BAL'AM BIN BA'URA
  • PENUTUP

****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===***===

PENDAHULUAN

Istilah Kasyaf (كَشْفٌ) kadang disebut juga dengan “mukasyafah” (مُكَاشَفَةٌ). Istilah ini sering digunakan dalam konteks spiritualitas, mistisisme, dan sufisme dalam Islam

Makna kasyaf menurut faham sufi adalah:

"الِٱطِّلَاعُ عَلَى مَا وَرَاءَ ٱلْحِجَابِ، مِنَ ٱلْمَعَانِي ٱلْغَيْبِيَّةِ، وَٱلْأُمُورِ ٱلْخَفِيَّةِ، وُجُودًا، أَوْ شُهُودًا" إِنْتَهَى

*"Melihat sesuatu yang berada di balik tabir, berupa makna-makna gaib dan perkara-perkara tersembunyi, baik dalam bentuk wujud nyata ataupun penyaksian langsung."* (Selesai dikutip dari *Mausu‘ah al-‘Aqadiyyah*, situs *ad-durar as-saniyyah*, 1/114)

Definisi lain :

هُوَ الِاطِّلَاعُ عَلَى مَا وَرَاءَ الْحِجَابِ مِنَ الْمَعَانِي الْغَيْبِيَّةِ وَالْأُمُورِ الْحَقِيقِيَّةِ، وَهُوَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ فَيَرَى الْحَقَائِقَ بِعَيْنِ الْبَصِيرَةِ.

“Yaitu penyingkapan terhadap apa yang berada di balik tabir, berupa makna-makna gaib dan perkara-perkara hakiki, dan itu adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati seorang hamba, sehingga ia melihat hakikat dengan mata hati”.

Dalam tasawuf, Kasyaf dijadikan sebagai tujuan utama dalam ibadah dan juga dijadikan sebagai tolok ukur keabsahan dalil dan argument, sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian para pakar tasawuf.

Disebutkan dalam *al-Mawsu‘ah al-Muyassarah lil Adyan wal Madzahib al-Mu‘ashirah* (1/261-262):

"وَيَعْتَمِدُ الصُّوفِيَّةُ الْكَشْفَ مَصْدَرًا وَثِيقًا لِلْعُلُومِ وَالْمَعَارِفِ، بَلْ تَحْقِيقَ غَايَةِ عِبَادَتِهِمْ".

“Kaum sufi menjadikan *kasyaf* sebagai sumber ilmu dan pengetahuan yang terpercaya, bahkan sebagai tujuan utama ibadah mereka”.

Dan ada pula yang menyatakan :

"يُعَدُّ الْكَشْفُ وَسِيلَةً لِلْمَعْرِفَةِ عِنْدَ الصُّوفِيَّةِ، حَيْثُ يَرَوْنَ أَنَّهُ حَاكِمٌ عَلَى النُّصُوصِ الشَّرْعِيَّةِ، فَمَا وَافَقَ الْكَشْفَ مِنَ النُّصُوصِ أَخَذُوا بِهِ، وَمَا خَالَفَهُ أَوَّلُوهُ أَوْ رَدُّوهُ".

“Kasyaf dianggap sebagai sarana untuk mencapai ma'rifat (pengetahuan) dalam pandangan kaum sufi, di mana mereka memandang bahwa kasyaf menjadi hakim penentu terhadap kebenaran nash-nash syariat (dalil-dalil syar'i). Maka, nash (dalil) yang sesuai dengan kasyaf mereka terima, dan yang bertentangan dengannya mereka takwilkan atau mereka tolak”.

Ilmu kasyaf dalam ajaran Tasawuf merujuk pada terbukanya hijab atau tabir gaib sehingga seseorang dapat melihat, merasakan, atau mengetahui hal-hal gaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera dan akal biasa.

Kasyaf adalah terbukanya hijab atau tabir yang menghalangi seseorang dari hakikat sesuatu, baik itu hakikat alam semesta, diri sendiri, maupun hakikat Allah.

Kasyaf menjadi bagian penting dalam tasawuf karena menurut keyakinan tasawuf membantu seorang sufi untuk lebih memahami hakikat diri dan Tuhannya, serta dapat menjadi sarana untuk mencapai tingkatan makrifat.

Kasyaf dalam ajaran tasawuf merupakan salah satu tingkatan tertinggi yang dicapai oleh seorang sufi setelah membersihkan diri dari hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada Allah.

Ada beberapa jenis kasyaf, seperti kasyaf mata (melihat alam gaib), kasyaf telinga (mendengar suara gaib), kasyaf hati (terbukanya hati untuk memahami kebenaran), dan kasyaf akal (mendapatkan ilmu laduni).

Ilmu kasyaf dalam tasawuf dianggap sebagai karunia Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki, terutama mereka yang memiliki kedekatan spiritual dan hati yang bersih.

Ibnu Arabi misalnya dalam kitab “Fushush al-Hikam” menceritakan tentang pertemuannya di alam kasyaf dengan nabi Muhammad , lalu ia meminta pertimbangan Nabi terkait kitab yang ditulisnya ini apakah layak disebarkan atau tidak. Nabi mengizinkan Ibnu Arabi untuk menuliskan pengalaman-pengalaman spiritualnya dalam kitab Fushush al-Hikam. Walhasil pengalaman kasyaf bertemu dengan orang-orang saleh juga sering dijadikan basis legitimasi bagi sufi dalam menyebarkan ajaran-ajarannya.

Kaum sufi meyakini bahwa pengalaman-pengalaman spiritual mereka—khususnya dalam kondisi kasyaf—merupakan penyingkapan terhadap *asrār al-aqq* (rahasia-rahasia kebenaran Ilahi).

Dalam pandangan Imam al-Ghazali, pengalaman semacam ini diposisikan sebagai tujuan utama dan tertinggi dalam perjalanan spiritual tasawuf, sekaligus sebagai puncak kebahagiaan ruhani yang tidak ternilai. Menurut mereka, *asrār al-aqq* tidak dapat terungkap kecuali melalui serangkaian disiplin spiritual seperti *mujāhadah* (perjuangan jiwa), *riyāḍah* (latihan spiritual), dan amalan sejenis lainnya.

Klaim penguasaan terhadap *asrār al-aqq* inilah yang kemudian mendorong sebagian sufi, terutama yang dianggap sebagai wali, untuk menyebut diri mereka sebagai “ahli Allāh” (keluarga atau kekasih Allah).

Dalam kerangka berpikir mereka, kebenaran tertinggi tidak dicapai melalui aktivitas intelektual semata, tetapi melalui kontemplasi dan zikir yang dilakukan secara terus-menerus.

===***===

APAKAH "KASYAF ATAU MUKASYAFAH" ITU BENAR MENURUT PANDANGAN ISLAM?

Kaum sufi sering mengklaim bahwa mereka mengetahui hal-hal gaib dan mereka menyebutnya dengan istilah "Kasyaf atau Mukasyafah", sementara sebagian orang membenarkannya dengan mengatakan bahwa Umar radhiyallahu 'anhu pernah saat berkhutbah menyampaikan bahwa ada pasukan di medan perang. Benarkah itu ?

====

JAWABAN :

Ada beberapa pembahasan untuk menjawab pertanyaan ini. Yaitu sebagai berikut :

----

PEMBAHASAN PERTAMA :

“Kasyaf” (penyingkapan tabir ghaib) yang dialami oleh seseorang memiliki beberapa jenis. Di antaranya:

Ke 1. “Kasyaf nafsani” (berasal dari jiwa), yang bisa terjadi pada orang Muslim maupun kafir.

Ke 2. “Kasyaf rahmani” (bersumber dari Allah), yaitu yang datang melalui wahyu dan syariat.

Ke 3. “Kasyaf syaithani” (berasal dari setan), yaitu yang datang melalui jin. [Islamqa Pertanyaan: no. 12778]

Ibnu Taimiyah berkata:

نَحْنُ لَا نُنْكِرُ أَنَّ النَّفْسَ يَحْصُلُ لَهَا نَوْعٌ مِنَ الْكَشْفِ إِمَّا يَقَظَةً وَإِمَّا مَنَامًا بِسَبَبِ قِلَّةِ عِلَاقَتِهَا مَعَ الْبَدَنِ إِمَّا بِرِيَاضَةٍ أَوْ بِغَيْرِهَا، وَهَذَا هُوَ الْكَشْفُ النَّفْسَانِيُّ وَهُوَ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ مِنْ أَنْوَاعِ الْكَشْفِ.

لَكِنْ قَدْ ثَبَتَ أَيْضًا بِالدَّلَائِلِ الْعَقْلِيَّةِ مَعَ الشَّرْعِيَّةِ وُجُودُ الْجِنِّ وَأَنَّهَا تُخْبِرُ النَّاسَ بِأَخْبَارٍ غَائِبَةٍ عَنْهُمْ كَمَا لِلْكُهَّانِ الْمَصْرُوعِينَ وَغَيْرِهِمْ...

وَلَكِنِ الْمَقْصُودُ هُنَا أَنَّهُ يُعْلَمُ وُجُودُ أُمُورٍ مُنْفَصِلَةٍ مُغَايِرَةٍ لِهَذِهِ الْقُوَى كَالْجِنِّ الْمُخْبِرِينَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْكُهَّانِ بِكَثِيرٍ مِنَ الْأَخْبَارِ، وَهَذَا أَمْرٌ يَعْلَمُهُ بِالضَّرُورَةِ كُلُّ مَنْ بَاشَرَهُ أَوْ مَنْ أَخْبَرَهُ مَنْ يَحْصُلُ لَهُ الْعِلْمُ بِخَبَرِهِ، وَنَحْنُ قَدْ عَلِمْنَا ذَلِكَ بِالِاضْطِرَارِ غَيْرَ مَرَّةٍ، فَهَذَا نَوْعٌ مِنَ الْمُكَاشَفَاتِ وَالْإِخْبَارِ بِالْغَيْبِ غَيْرِ النَّفْسَانِيِّ، وَهُوَ الْقِسْمُ الثَّانِي مِنْ أَنْوَاعِ الْكَشْفِ.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَا تُخْبِرُ بِهِ الْمَلَائِكَةُ، فَهَذَا أَشْرَفُ الْأَقْسَامِ كَمَا دَلَّتْ عَلَيْهِ الدَّلَائِلُ الْكَثِيرَةُ السَّمْعِيَّةُ وَالْعَقْلِيَّةُ، فَالْإِخْبَارُ بِالْمَغْيِبَاتِ يَكُونُ عَنْ أَسْبَابٍ نَفْسَانِيَّةٍ، وَيَكُونُ عَنْ أَسْبَابٍ خَبِيثَةٍ شَيْطَانِيَّةٍ وَغَيْرِ شَيْطَانِيَّةٍ، وَيَكُونُ عَنْ أَسْبَابٍ مَلَكِيَّةٍ.

“Kami tidak mengingkari bahwa jiwa manusia dapat mengalami semacam penyingkapan ghaib, baik dalam keadaan terjaga maupun tidur, karena sedikitnya keterkaitan jiwa dengan badan, baik karena latihan tertentu atau sebab lainnya. Inilah yang disebut dengan *kasyaf nafsani*, dan ini adalah jenis pertama dari macam-macam *kasyaf*.

Akan tetapi, telah ditetapkan pula melalui dalil akal dan syariat bahwa jin itu ada, dan mereka bisa memberitahukan manusia tentang hal-hal gaib yang tidak diketahui manusia, sebagaimana terjadi pada para dukun dan orang-orang yang kesurupan, dan lainnya...

Yang dimaksud di sini adalah bahwa terdapat hal-hal yang eksistensinya terpisah dan berbeda dari kekuatan jiwa, seperti jin yang memberikan informasi kepada banyak dukun tentang berbagai macam hal gaib. Ini adalah perkara yang diketahui secara pasti oleh siapa pun yang pernah mengalaminya langsung, atau yang mendengar dari orang yang terpercaya.

Dan kami sendiri telah mengetahui hal ini secara pasti, bukan hanya satu kali. Maka ini adalah salah satu bentuk *mukasyafah* dan penyampaian berita gaib yang bukan berasal dari jiwa, dan ini adalah jenis kedua dari macam-macam *kasyaf*.

Adapun jenis ketiga adalah *kasyaf* yang datang melalui para malaikat, dan ini merupakan jenis yang paling mulia, sebagaimana dibuktikan oleh banyak dalil, baik dari wahyu maupun akal. Maka penyampaian informasi tentang hal gaib bisa bersumber dari sebab-sebab kejiwaan, bisa juga dari sebab-sebab yang buruk, baik dari setan maupun selainnya, dan bisa juga dari sebab-sebab yang bersumber dari malaikat.” [Selesai dari *Ash-Shafadiyyah* (halaman 187–189)].

Ibnu Qayyim berkata:

الْكَشْفَ الْجُزْئِيَّ الْمُشْتَرَكَ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْكُفَّارِ، وَالْأَبْرَارِ وَالْفُجَّارِ، كَالْكَشْفِ عَمَّا فِي دَارِ إِنْسَانٍ، أَوْ عَمَّا فِي يَدِهِ، أَوْ تَحْتَ ثِيَابِهِ، أَوْ مَا حَمَلَتْ بِهِ امْرَأَتُهُ بَعْدَ انْعِقَادِهِ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى، وَمَا غَابَ عَنِ الْعِيَانِ مِنْ أَحْوَالِ الْبُعْدِ الشَّاسِعِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَكُونُ مِنَ الشَّيْطَانِ تَارَةً، وَمِنَ النَّفْسِ تَارَةً، ‌وَلِذَلِكَ ‌يَقَعُ ‌مِنَ ‌الْكُفَّارِ، ‌كَالنَّصَارَى، ‌وَعَابِدِي ‌النِّيرَانِ وَالصُّلْبَانِ، فَقَدْ كَاشَفَ ابْنُ صَيَّادٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا أَضْمَرَهُ لَهُ وَخَبَّأَهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِنَّمَا أَنْتَ مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ» فَأَخْبَرَ أَنَّ ذَلِكَ الْكَشْفَ مِنْ جِنْسِ كَشْفِ الْكُهَّانِ، وَأَنَّ ذَلِكَ قَدْرُهُ، وَكَذَلِكَ مُسَيْلِمَةُ الْكَذَّابِ مَعَ فَرْطِ كُفْرِهِ كَانَ يُكَاشِفُ أَصْحَابَهُ بِمَا فَعَلَهُ أَحَدُهُمْ فِي بَيْتِهِ وَمَا قَالَهُ لِأَهْلِهِ، يُخْبِرُهُ بِهِ شَيْطَانُهُ، لِيَغْوِيَ النَّاسَ، وَكَذَلِكَ الْأَسْوَدُ الْعَنْسِيُّ، وَالْحَارِثُ الْمُتَنَبِّي الدِّمَشْقِيُّ الَّذِي خَرَجَ فِي دَوْلَةِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ، وَأَمْثَالُ هَؤُلَاءِ مِمَّنْ لَا يُحْصِيهِمْ إِلَّا اللَّهُ، وَقَدْ رَأَيْنَا نَحْنُ وَغَيْرُنَا مِنْهُمْ جَمَاعَةً، وَشَاهَدَ النَّاسُ مِنْ كَشْفِ الرُّهْبَانِ عُبَّادِ الصَّلِيبِ مَا هُوَ مَعْرُوفٌ.

وَالْكَشْفُ الرَّحْمَانِيُّ مِنْ هَذَا النَّوْعِ: هُوَ مِثْلُ كَشْفِ أَبِي بَكْرٍ لَمَّا قَالَ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: إِنَّ امْرَأَتَهُ حَامِلٌ بِأُنْثَى، وَكَشْفِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا قَالَ: يَا سَارِيَةَ الْجَبَلِ، وَأَضْعَافُ هَذَا مِنْ كَشْفِ أَوْلِيَاءِ الرَّحْمَنِ

*Kasyaf* (penyingkapan) parsial adalah hal yang dapat terjadi pada orang-orang beriman maupun kafir, orang-orang baik maupun jahat. Seperti terbukanya sesuatu yang berada di dalam rumah seseorang, atau apa yang ada di tangannya, atau yang berada di balik pakaiannya, atau apa yang dikandung oleh istrinya setelah terbentuk janin—apakah laki-laki atau perempuan—atau hal-hal yang tersembunyi dari pandangan karena jarak yang sangat jauh dan semisalnya. Hal ini kadang berasal dari setan, dan kadang berasal dari jiwa itu sendiri.

Oleh karena itu, hal seperti ini bisa juga terjadi pada orang-orang kafir seperti kaum Nasrani, penyembah api dan salib. Ibnu Shayyad pun pernah menyingkap apa yang disembunyikan oleh Nabi , lalu Nabi berkata kepadanya: “Engkau hanyalah salah satu dari saudara-saudara para dukun.” Maka Rasulullah menjelaskan bahwa *kasyaf* seperti itu termasuk jenis *kasyaf* para dukun, dan itu adalah tingkatannya.

Begitu pula Musailamah al-Kadzdzab, meskipun ia sangat kafir, dia bisa menyingkap kepada para pengikutnya tentang apa yang dilakukan salah satu dari mereka di rumahnya atau apa yang ia katakan kepada istrinya—yang dibisikkan oleh setan kepadanya untuk menyesatkan manusia. Demikian pula al-Aswad al-‘Ansi, al-Harits si nabi palsu dari Damaskus yang muncul pada masa kekuasaan Abdul Malik bin Marwan, dan orang-orang semisal mereka yang hanya Allah yang mengetahui jumlahnya. Kami sendiri dan orang-orang lain telah menyaksikan banyak dari mereka. Dan manusia juga telah menyaksikan sendiri berbagai bentuk *kasyaf* para rahib penyembah salib yang sudah dikenal.

Adapun *kasyaf* yang berasal dari Allah (al-Kasyaf ar-Rahmani) dari jenis ini, maka contohnya adalah *kasyaf* Abu Bakar ketika berkata kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhuma bahwa istrinya sedang mengandung anak perempuan. Juga seperti *kasyaf* Umar radhiyallahu ‘anhu ketika berkata, “Wahai Sariyah, ke gunung! Wahai Sariyah, ke gunung!”

Dan masih banyak lagi *kasyaf* dari para wali ar-Rahman (wali Allah) yang serupa. (Selesai. Baca : *Madarij as-Salikin* 2/315)

----

PEMBAHASAN KEDUA :

Adapun kejadian yang dialami Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah sahih dan tsabit darinya.

Nafi‘ berkata :

أَنَّ عُمَرَ بَعَثَ سَرِيَّةً فَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا يُقَالُ لَهُ "سَارِيَةُ"، فَبَيْنَمَا عُمَرُ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: "يَا سَارِيَةُ الْجَبَلَ، يَا سَارِيَةُ الْجَبَلَ"، فَوَجَدُوا "سَارِيَةَ" قَدْ أَغَارَ إِلَى الْجَبَلِ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَبَيْنَهُمَا مَسِيرَةُ شَهْرٍ.

Bahwa Umar pernah mengutus pasukan kecil dan menunjuk seorang komandan bernama Sariyyah. Saat Umar berkhutbah pada hari Jumat, ia tiba-tiba berkata:

‘Wahai Sariyyah, ke gunung! Wahai Sariyyah, ke gunung!’

Maka didapati bahwa Sariyyah memang benar-benar mengarah ke gunung pada waktu itu, di hari Jumat, sementara jarak antara keduanya adalah perjalanan satu bulan”.

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *Fadhail ash-Shahabah* (1/269), dan dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam *As-Silsilah ash-Shahihah* (no. 1110).

Syeikh Taqiyuddin ibnu Taimiyah dalam (al-Majmuu’ al-Fataawaa 62/19) menyebutkan atsar Umar :

أَنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ جَيْشًا فَقَدِمَ شَخْصٌ إلَى الْمَدِينَةِ فَأَخْبَرَ أَنَّهُمْ انْتَصَرُوا عَلَى عَدُوِّهِمْ وَشَاعَ الْخَبَرُ فَسَأَلَ عُمَرُ عَنْ ذَلِكَ فَذَكَرَ لَهُ فَقَالَ : هَذَا أَبُو الْهَيْثَمِ بَرِيدُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْجِنِّ وَسَيَأْتِي بَرِيدُ الْإِنْسِ بَعْدَ ذَلِكَ فَجَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ بِعِدَّةِ أَيَّامٍ

“Bahwa Umar mengirim pasukan perang , maka datanglah seseorang ke Madinah membawa kabar bahwa mereka memenangkan peperangan atas musuhnya , dan kabar ini menyebar luas , maka Umar pun menanyakan tentang hal kemenangan itu , maka orang itu menuturkannya padanya , lalu Umar berkata :

Ini Jin Abu al-Haitsam pengantar berita umat Islam dari bangsa Jin . Dan akan datang pula pengantar berita dari manusia setelah itu “.

Dan benar setelah itu ia datang dalam beberapa hari “.

[Diriwayatkan oleh Badruddin asy-Syibli dalam kitab *Ākām al-Marjān fī Akām al-Jān* (halaman 139) tanpa sanad. Lihat kitab *al-Muntakhab min Kutub Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah* (halaman 99) karya Syaikh Alawi as-Saqqaf, hafizhahullāh].

Kejadian ini adalah karamah (kemuliaan luar biasa) bagi Umar radhiyallahu ‘anhu. Hal itu bisa terjadi karena ilham dan disampaikannya suara beliau—dan ini adalah pendapat Ibnu Qayyim—atau karena *kasyaf nafsani* dan disampaikannya suara beliau—sebagaimana pendapat Syaikh Al-Albani yang akan datang.

Dalam kedua kondisi tersebut, hal itu merupakan karamah baginya dan itu tidak diragukan.

KAPAN MANUSIA DIPERBOLEHKAN MEMPERALAT JIN ?

Allah SWT berfirman tentang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam dan jin :

{ قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (35) فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ (36) وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ (37) وَآَخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ }.

“ Ia berkata: ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi’. Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan , semua ahli bangunan dan penyelam, dan syaitan yang lain yang terikat dalam belenggu “. [Q.S. al-Shad: 35-38]

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa jin dapat diperalat oleh manusia . Karena dalam ayat-ayat tsb Allah SWT menundukkan para jin dan setan kepada Sulaiman’alaihis salam sehingga mereka semua tunduk patuh kepada perintah-nya .

Namun apakah hanya Nabi Sulaiman ‘alaihis salam saja yang di perbolehkan memperalat dan memanfaatkannya ?

Jawabannya terdapat dalam sebuah hadits yang di riwayatkan dari AbuHurairah radhiyallahu ‘anhu : bahwa Nabi bersabda :

" ِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ البَارِحَةَ - أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا - لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: ﴿قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّن بَعْدِي﴾ "، قَالَ رَوْحٌ : " فَرَدَّهُ خَاسِئًا".

“Sesungguhnya Ifrit dari bangsa jin semalam mendatangiku dengan tiba-tiba (atau melompat di hadapanku) –atau Nabi mengucapkan kalimat yang semisal ini– untuk memutus shalatku. Maka Allah menjadikan aku dapat menguasainya. Semula aku ingin mengikatnya pada salah satu tiang masjid, sehingga di pagi hari kalian semua bisa melihatnya. Namun aku teringat ucapan saudaraku Sulaiman, ia pernah berdoa: “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan (kekuasaan) yang tidak pantas didapatkan oleh seorang pun setelahku ”. Rauh (perawi hadits ini) berkata: “Nabi pun mengusirnya dengan hina. ( HR. Al-Bukhari no. 461, 1210, 3284, 3423, 4808 dan Muslim no. 1209 )

Dalam riwayat lain Rosulullah bersabda :

إِنَّ عَدُوَّ اللهِ إِبْلِيْسَ، جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ لِيَجْعَلَهُ فِي وَجْهِي. فَقُلْتُ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْكَ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ قُلْتُ: أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ أَرَدْتُ أَخْذَهُ، وَاللهِ! لَوْلاَ دَعْوَةُ أَخِيْنَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوْثَقًا يَلْعَبُ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ

“Sesungguhnya musuh Allah, Iblis, datang dengan bola api yang hendak dia letakkan pada wajahku. Aku katakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu”, tiga kali. Kemudian aku berkata: “Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna yang pantas untuk engkau dapatkan”, tiga kali. Lalu aku ingin menangkapnya. Demi Allah, seandainya bukan karena doa saudara kami Sulaiman niscaya ia menjumpai pagi hari dalam keadaan terikat hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak Madinah.” (HR. Muslim no. 1211)

Dari dua hadits di atas, dapat kita pahami bahwa Nabi mengurungkan maksud beliau untuk menangkap setan yang menganggu dan ingin mencelakakan beliau ketika shalat, dengan alasan beliau teringat dengan doa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam.

Namun Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ al-Fataawaa 11/307 memperinci permasalahan ini, beliau berkata :

“Dan yang maksud di sini bahwa hubungan antara jin dan manusia terdapat beberapa hal:

Pertama : Barang siapa orangnya telah menyuruh jin untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya , maka dia termasuk orang yang paling utama dalam wali-wali Allah .

Kedua : Barang siapa yang memperalat Jin dalam perkara-perkara mubaah baginya , maka dia seperti orang yang memperalat sesama manusia dalam perkara itu .

Ketiga : Barang siapa yang menggunakan jin-jin itu untuk urusan yang di larang oleh Allah dan Rasul-nya , seperti kesyirikan , membunuh orang yang maksum ( tidak bersalah )  atau menganiaya di bawah pembunuhan , maka jika dia minta pertolongan pada mereka untuk perbuatan kekufuran , maka dia itu kafir . Dan jika untuk perbuatan maksiat , maka dia adalah pelaku maksiat , bisa jadi dia itu seorang fasiq , atau pendosa tapi bukan fasiq. (Diringkas – pen)

Dan dalam kitab al-Majmu’ 62/19 Syeikh Taqiyuddin berkata :

“ Dan adapun bertanya kepada Jin atau bertanya kepada orang yang bertanya pada mereka (para jin) : maka jika pertanyaan itu dalam bentuk kepercayaan kepada mereka dalam semua informasinya , dan juga dalam bentuk pengagungan terhadap jin yang di tanya , maka itu haram . Dan jika pertanyaan itu hanya sebatas untuk menguji keadaannya , dan menjajaki perkara tsb , namun dia sendiri punya kemampuan untuk membedakan antara kejujurannya dan kedustaanya , maka yang demikian itu boleh “ .

Lalu beliau menyebutkan dalil-dalilnya. Kemudian beliau berkata lagi :

“ Dan begitu juga jika seseorang itu mendengar apa-apa yang di katakan dan dikabarkan oleh para jin, (maka sikapnya harus) sama seperti halnya umat Islam mendengar apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dan tukang maksiat , ( yaitu ) hanya sekedar untuk mengetahui apa yang ada di sisi mereka , lalu mereka menjadikannya hanya sebagai ibroh / pelajaran . Dan (begitu juga ) sama halnya seperti mendengar informasi dari orang fasiq , maka harus tabayyun (diperjelas dan tatsabbut / teliti), maka tidak boleh menetapkan kebenaran dan kebohongannya kecuali harus ada bayyinah (bukti) “.

Pendapat syeikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ini dijadikan pegangan oleh Syeikh Ibnu Utsaimin .

-----

PEMBAHASAN KETIGA :

Adapun yang terjadi pada kalangan sufi, maka itu bukan termasuk penyingkapan yang berasal dari Allah (bukan al-Kasyaf ar-Rahmani), melainkan bisa berasal dari jiwa manusia sendiri (al-Kasyaf an-Nafsani) - yang juga bisa terjadi pada orang-orang kafir- atau berasal dari setan, dan inilah yang lebih sering terjadi.

Penyingkapan dari Allah hanya terjadi pada wali-wali Allah yang menegakkan dan mengagungkan syariat. Telah diketahui bahwa para sufi tidak seperti itu. Apa yang terjadi pada Umar, jika boleh disebut sebagai penyingkapan, maka itu termasuk penyingkapan dari Allah (al-Kasyaf ar-Rahmani). [Baca : Islamqa Pertanyaan: no. 12778]

Syaikh Al-Albani berkata tentang peristiwa Umar bin Khattab:

وَمِمَّا لَا شَكَّ فِيهِ أَنَّ النِّدَاءَ الْمَذْكُورَ إِنَّمَا كَانَ إِلْهَامًا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى لِعُمَرَ، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِغَرِيبٍ عَنْهُ، فَإِنَّهُ "مُحَدَّثٌ" كَمَا ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَكِنْ لَيْسَ فِيهِ أَنَّ عُمَرَ كُشِفَ لَهُ حَالُ الْجَيْشِ، وَأَنَّهُ رَآهُمْ رَأْيَ الْعَيْنِ، فَاسْتِدْلَالُ بَعْضِ الْمُتَصَوِّفَةِ بِذَلِكَ عَلَى مَا يَزْعُمُونَهُ مِنَ الْكَشْفِ لِلْأَوْلِيَاءِ، وَعَلَى إِمْكَانِ اطِّلَاعِهِمْ عَلَى مَا فِي الْقُلُوبِ: مِنْ أَبْطَلِ الْبَاطِلِ، كَيْفَ لَا وَذَلِكَ مِنْ صِفَاتِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الْمُنْفَرِدِ بِعِلْمِ الْغَيْبِ وَالِاطِّلَاعِ عَلَى مَا فِي الصُّدُورِ.

وَلَيْتَ شِعْرِي كَيْفَ يَزْعُمُ هَؤُلَاءِ ذَلِكَ الزَّعْمَ الْبَاطِلَ وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ: عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا، إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ؟ فَهَلْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّ أُولَئِكَ الْأَوْلِيَاءَ رُسُلُ اللَّهِ حَتَّى يَصِحَّ أَنْ يُقَالَ إِنَّهُمْ يَطَّلِعُونَ عَلَى الْغَيْبِ بِاطِّلَاعِ اللَّهِ إِيَّاهُمْ؟ سُبْحَانَكَ، هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ...

فَالْقِصَّةُ صَحِيحَةٌ ثَابِتَةٌ، وَهِيَ كَرَامَةٌ أَكْرَمَ اللَّهُ بِهَا عُمَرَ، حَيْثُ أَنْقَذَ بِهِ جَيْشَ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْأَسْرِ أَوِ الْفَتْكِ بِهِ، وَلَكِنْ لَيْسَ فِيهَا مَا زَعَمَهُ الْمُتَصَوِّفَةُ مِنَ الاطِّلَاعِ عَلَى الْغَيْبِ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ بَابِ الإِلْهَامِ (فِي عُرْفِ الشَّرْعِ) أَوِ (التَّخَاطُرِ) فِي عُرْفِ الْعَصْرِ الْحَاضِرِ، الَّذِي لَيْسَ مَعْصُومًا، فَقَدْ يُصِيبُ كَمَا فِي هَذِهِ الْحَادِثَةِ، وَقَدْ يُخْطِئُ كَمَا هُوَ الْغَالِبُ عَلَى الْبَشَرِ، وَلِذَلِكَ كَانَ لَا بُدَّ لِكُلِّ وَلِيٍّ مِنَ التَّقَيُّدِ بِالشَّرْعِ فِي كُلِّ مَا يَصْدُرُ مِنْهُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ، خَشْيَةَ الْوُقُوعِ فِي الْمُخَالَفَةِ، فَيَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنِ الْوِلَايَةِ الَّتِي وَصَفَهَا اللَّهُ تَعَالَى بِوَصْفٍ جَامِعٍ شَامِلٍ: أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ، الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ.

وَلَقَدْ أَحْسَنَ مَنْ قَالَ:

إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا قَدْ يَطِيرُ * وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ قَدْ يَسِيرُ

وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُودِ الشَّرْعِ * فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ وَبِدْعِيٌّ.

“Tidak diragukan bahwa seruan yang disebutkan itu adalah ilham dari Allah kepada Umar. Dan hal itu tidak aneh karena Umar adalah orang yang mendapatkan ilham, sebagaimana telah ditetapkan dari Nabi. Tetapi, tidak ada dalam peristiwa tersebut bahwa Umar melihat keadaan pasukan secara nyata dengan matanya. Maka menjadikan kisah ini sebagai dalil oleh sebagian sufi untuk mendukung klaim mereka tentang kemampuan wali melihat hal gaib dan isi hati adalah kebatilan yang paling besar. Bagaimana tidak, karena hal itu merupakan sifat Allah semata, yang Mahamengetahui perkara gaib dan apa yang tersembunyi dalam dada.

Sungguh mengherankan, bagaimana mereka bisa mengklaim hal seperti itu, sementara Allah telah berfirman bahwa tidak ada seorang pun yang diberi pengetahuan tentang perkara gaib, kecuali rasul yang diridhai-Nya. Apakah mereka meyakini bahwa para wali itu adalah para rasul Allah sehingga bisa dikatakan bahwa mereka diberi pengetahuan tentang hal gaib oleh Allah? Mahasuci Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang besar.

Kisah tersebut memang benar dan sahih, dan itu adalah karamah (kemuliaan luar biasa) yang Allah berikan kepada Umar, di mana melalui peristiwa itu Allah menyelamatkan pasukan kaum Muslimin dari ditawan atau dihancurkan. Namun, di dalamnya tidak ada bukti seperti yang diklaim oleh para sufi bahwa para wali dapat mengetahui hal gaib, melainkan peristiwa tersebut adalah bentuk ilham (dalam istilah syariat) atau telepati (dalam istilah masa kini). Ilham seperti ini tidaklah maksum (terjaga dari kesalahan). Bisa saja benar sebagaimana dalam peristiwa ini, dan bisa saja salah, sebagaimana umumnya manusia.

Oleh karena itu, setiap wali wajib untuk selalu terikat dengan syariat dalam semua ucapan dan perbuatannya, agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan. Jika tidak, maka ia akan keluar dari sifat kewalian yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an, bahwa wali-wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.

Sungguh bagus ucapan berikut ini:

إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا قَدْ يَطِيرُ * وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ قَدْ يَسِيرُ

“Jika kamu melihat seseorang bisa terbang *** dan berjalan di atas air laut,

وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُودِ الشَّرْعِ * فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ وَبِدْعِيٌّ.

namun dia tidak berpegang pada batasan syariat,  *** maka sesungguhnya dia adalah orang yang tertipu dan pelaku bid’ah.”

(Selesai dari As-Silsilah Ash-Shahihah, jilid 3, halaman 102–104)

Wallahu a’lam

===***===

IBNU BAJAH DAN KRITIK RASIONAL TERHADAP FENOMENA KASYAF KAUM SUFI

Ibnu Bajah adalah salah satu filsuf awal  yang secara serius dan sistematis mencoba menelaah fenomena *kasyaf* dalam dunia tasawuf dari sudut pandang filsafat. Tentu saja, yang dimaksud dengan "ilmiah" pada masa itu adalah sejauh mana suatu pandangan selaras dengan kerangka pemikiran filsafat Aristoteles, khususnya dalam cabang ilmu alam (ilmu thobi’i).

Dalam risalahnya *Ittisāl al-‘Aql bi al-Insān*, Ibnu Bajah menolak pandangan kaum sufi yang menganggap bahwa kebahagiaan tertinggi hanya dapat dicapai melalui jalan spiritual seperti *kasyaf* atau *musyahadah*. Ia menganalisis fenomena ini menggunakan pendekatan psikologi Aristotelian yang dikenal pada zamannya.

Menurut Ibnu Bajah, pengalaman spiritual yang dialami para sufi sebenarnya hanyalah hasil dari kerja tiga daya jiwa manusia: daya indrawi (*iss musytarak*), daya imajinasi (*al-mukhayyilah*), dan daya memori (*dhākirah*). Ketika ketiga daya ini bekerja secara bersamaan dan terfokus, muncullah dalam benak seseorang gambaran kognitif (yakni bayangan atau kesan tentang suatu objek) yang sangat kuat, sehingga tampak seolah-olah nyata. Inilah yang oleh para sufi dianggap sebagai penyingkapan rahasia Ilahi (*asrār al-aqq*), padahal sebenarnya hanyalah hasil konstruksi mental belaka.

Ibnu Bajah menyebut bahwa sufi seperti al-Ghazali menganggap pengalaman ini sebagai kebahagiaan tertinggi. Mereka percaya bahwa kebahagiaan semacam itu tidak dapat diraih lewat akal dan pembelajaran rasional, tetapi hanya lewat *riyāḍhah* dan penyucian jiwa melalui zikir dan kesadaran batin yang mendalam. Namun, bagi Ibnu Bajah, ini hanyalah khayalan kuat yang dikira sebagai kenyataan.

Dalam penjelasan yang lebih tegas, Ibnu Bajah menyatakan bahwa jika klaim kaum sufi tentang kasyaf benar adanya dan merupakan satu-satunya jalan mencapai kebenaran, maka peradaban dan ilmu pengetahuan tidak akan pernah ada. Sebab dalam konsep itu, akal dianggap tidak lagi berguna, bahkan tidak memiliki fungsi sama sekali. Lebih jauh, pandangan semacam ini bisa meruntuhkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, baik ilmu logika, fisika, metafisika, maupun ilmu-ilmu lain yang berbasis pada penalaran dan metode deduktif-induktif.

Ibnu Bajah dalam *Risālat al-Wadā‘* secara terbuka mengkritik al-Ghazali yang mengaku mengalami *mukāsyafah*. Ia menyebut bahwa pengalaman seperti yang ditulis al-Ghazali dalam *al-Munqidz min al-alāl* hanyalah hasil imajinasi yang dianggap sebagai realitas. Bagi Ibnu Bajah, ini adalah kekeliruan dalam memahami proses berpikir dan kerja jiwa manusia.

Dengan demikian, Ibnu Bajah melihat tasawuf sebagai praktik yang menyimpang dari sifat dasar manusia yang rasional dan sosial. Kritiknya terhadap tasawuf tidak muncul karena permusuhan pribadi, melainkan sebagai bentuk perbedaan cara pandang epistemologis—apa yang oleh Michel Foucault disebut sebagai *epistemological rupture* (keterputusan cara memperoleh pengetahuan). Tasawuf mengandalkan olah rasa, sementara filsafat menekankan akal sebagai alat utama dalam mencapai kebenaran. Dalam kerangka tasawuf, akal justru dianggap sebagai penghalang menuju Tuhan.

Namun, perlu diakui bahwa tidak semua hal dalam kehidupan manusia bisa dijelaskan sepenuhnya oleh akal. Aspek-aspek spiritual yang mendalam memang sering melampaui batas-batas logika. Meskipun begitu, usaha Ibnu Bajah dalam menjelaskan fenomena *kasyaf* secara rasional dan sistematis patut diapresiasi sebagai langkah ilmiah (dalam konteks zaman itu) untuk memahami pengalaman spiritual manusia. Wallahu a‘lam.

===***===

ADANYA ISTIDRAJ PADA SEBAGIAN KASYAF ATAU MUKASYAFAH

****

MAKNA ISTDRAJ

Diantara sunnah Allah Ta'ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah: menguji mereka dengan istidraj kenikmatan [الاسْتِدْرَاجُ], peringatan kepada mereka dengan ancaman, kemudian menimpakan kepada mereka dengan adzab kepedihan.

Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :

مِنْ أَعْظَمِ الْعَلَامَاتِ الَّتِي يَخَشَى عَلَى صَاحِبِهَا مِنْ اسْتِدْرَاجِ اللَّهِ لَهُ، وَمُكْرَهٌ بِهِ: أَنْ يُعْطِيَهُ الرِّزْقَ، عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ بِهَا، وَإِعْرَاضِهِ عَنْهُ.

“Salah satu tanda terbesar seseorang dikhawatirkan bahwa Allah menimpakan istidraj padanya dan orang tersebut tidak mampu lepas darinya adalah bahwa Allah memberinya rezeki ketika orang tersebut tidak bermaksiat pada-Nya dan berpaling dari-Nya”. [Islamqa : 198964].

Allah Ta'ala menunjukkan sunnah ilahi ini dalam firman-Nya:

﴿ وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ * وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِيّ مَتِينٌ ﴾

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menimpakan kepada mereka istidraj [kenikmatan dan keberhasilan yang menarik mereka dengan perlahan-lahan ke arah kebinasaan], dari arah yang tidak mereka sadari. Dan Aku memberi tangguh [waktu panjang] kepada mereka, sesungguhnya tipu daya-Ku amat teguh' (Surah Al-A'raf: 182-183).

Dan dalam ayat lain:

﴿ فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ * وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِيّ مَتِينٌ ﴾

Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur'an). Kelak akan Kami timpakan istidraj [kenikmatan yang menarik mereka dengan perlahan-lahan ke arah kebinasaan], dari arah yang tidak mereka sadari. Dan Aku memberi tangguh [waktu panjang] kepada mereka, sesungguhnya tipu daya-Ku amat teguh'. (QS. Al-Qalam: 44)

Syeikh al-Munajjid berkata :

وَالْعَبْدُ يَنْبَغِي أَنْ يَغْلِبَ جَانِبَ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ، عَلَى مَا أَعْطَاهُ مِنْ نِعَمٍ، لَكِنْ مَعَ الِاعْتِنَاءِ بِشُكْرِهِ فِيهَا، وَالْجَمْعِ بَيْنَ ذَلِكَ وَالْخَوْفِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ، فَيَجْمَعُ فِي سَيْرِهِ إِلَى اللَّهِ بَيْنَ الرُّهْبَةِ وَالرَّغْبَةِ، وَالرَّجَاءِ وَالْخَوْفِ، وَالْمَحَبَّةِ وَالْخَشْيَةِ. .

Seorang hamba seharusnya senantiasa mendominasi prasangka baik kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Namun tetap berusaha untuk selalu bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut.

Seorang hamba juga harus memadukan antara prasangka baik kepada Allah dan rasa takut akan tipu daya Allah [istidraj], sehingga dalam perjalanan hidupnya menuju Allah, ia menggabungkan antara rasa takut dari makar Allah, antara harapan dan ketakutan, antara cinta dan kekhawatiran”. [Islamqa no. 198964].

Al-Marrudzi berkata:

"قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ - يَعْنِي الإمامَ أَحْمَدَ -: مَا أَكْثَرَ الدَّاعِي لَكَ. قَالَ: 'أَخَافُ أَنْ يَكُونَ هَذَا اسْتِدْرَاجًا، بِأَيِّ شَيْءٍ هَذَا؟'."

"Saya berkata kepada Abu Abdullah - yaitu Imam Ahmad -: "Betapa banyaknya orang yang berdoa untukmu." Dia berkata: "Saya khawatir ini adalah istidraj (tipu daya Allah), dengan apa ini?" [Selesai kutipan dari "Tarikh al-Islam" (18/76)].

****

ISTIDRAJ DALAM KASYAF ATAU MUKASYAFAH

Terkadang Allah mengizinkan sebagian manusia untuk mengetahui sesuatu dari hal-hal yang tersembunyi bagi selainnya. Sebab-sebab dari hal ini dapat diringkas menjadi dua jenis:

Pertama : Sebab-sebab yang syar'i dari Allah

Kedua : Sebab-sebab yang berasal dari setan

=====

PERTAMA : SEBAB-SEBAB SYAR’I :

Yaitu meliputi:

KE 1. Kitab-kitab yang diturunkan dan perkataan para nabi. Sebagian besar dari kitab-kitab itu telah mengalami perubahan dan penggantian, dan tidak ada yang tersisa dalam keadaan selamat dari hal itu kecuali Al-Qur'an yang mulia dan sunnah Nabi yang sahih.

KE 2. Ilham dan hadits qalbi, yaitu suatu hal yang dilemparkan ke dalam hati seseorang, atau suara yang didengarnya yang menyampaikan sesuatu kepadanya.

KE 3. Mimpi yang berasal dari Allah.

====

KEDUA : SEBAB-SEBAB SYAITHAN.

Yaitu meliputi:

KE 1. Jiwa-jiwa jahat yang meminta bantuan kepada jin dan setan, seperti para penyihir, dukun, dan peramal.

KE 2. Mimpi-mimpi dari setan.

KE 3. Bisikan dan pembicaraan setan saat seseorang dalam keadaan sadar.

KE 4 : Melakukan ibadah, dzikir dan ritual yang nampak syar’i , akan tetapi dengan tujuan untuk mendapatkan mukasyafah ghaib.

Hal ini karena setan terkadang mencuri dengar sebagian dari apa yang dibicarakan oleh para malaikat di langit mengenai sesuatu yang Allah perintahkan untuk terjadi. Lalu setan menyampaikannya kepada walinya dari kalangan manusia. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah yang dikisahkan melalui lisan jin:

﴿وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ ۖ فَمَن يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا﴾

*"Dan sesungguhnya kami dahulu duduk di beberapa tempat di langit untuk mendengarkan, tetapi sekarang siapa yang mencoba mendengarkan akan mendapati panah api yang mengintai."* (QS. Al-Jin: 9).

Terkadang setan terkena lemparan bintang sebelum ia menyampaikannya, dan terkadang ia berhasil menyampaikannya terlebih dahulu sebelum terkena.

Semua hal ini bisa disebut dengan istilah *"kasyaf"* (penyingkapan tabir ghaib), karena makna kasyaf menurut sufi adalah:

"الِٱطِّلَاعُ عَلَى مَا وَرَاءَ ٱلْحِجَابِ، مِنَ ٱلْمَعَانِي ٱلْغَيْبِيَّةِ، وَٱلْأُمُورِ ٱلْخَفِيَّةِ، وُجُودًا، أَوْ شُهُودًا" إِنْتَهَى

*"Melihat sesuatu yang berada di balik tabir, berupa makna-makna gaib dan perkara-perkara tersembunyi, baik dalam bentuk wujud nyata ataupun penyaksian langsung."* (Selesai dikutip dari *Mausu‘ah al-‘Aqadiyyah*, situs *ad-durar as-saniyyah*, 1/114)

Maka siapa pun yang mengetahui hal gaib melalui sebab-sebab yang syar’i, maka tidak ada masalah atasnya, minimal ia tidak berdosa, bahkan bisa jadi ia diberi pahala dan dimuliakan.

Adapun orang yang mengetahui hal gaib melalui jalan-jalan kesesatan dan cara-cara setan, maka bisa jadi ia berada dalam bahaya, berdosa, atau bahkan terjerumus dalam kekufuran.

Dan “kasyaf” sufi dalam nuskhoh (salinan) yang terakhir yang dianut oleh banyak kalangan sufi belakangan ini:

"يَعْنِي عِنْدَهُمْ رَفْعَ الْحُجُبِ أَمَامَ قَلْبِ الصُّوفِيِّ، وَبَصَرِهِ، لِيَعْلَمَ مَا فِي السَّمَاوَاتِ جَمِيعًا، وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا" إِنْتَهَى

“Yakni menurut mereka adalah tersingkapnya tabir di hadapan hati dan penglihatan sufi, sehingga ia mengetahui apa yang ada di seluruh langit dan seluruh bumi.”

[Selesai dikutip dari *al-Fikr ash-Shufi fi Dhau’il Kitab was-Sunnah* karya Abdurrahman Abdul Khaliq (1/146)].

Hal seperti ini tidak boleh diyakini oleh seorang muslim, karena maknanya adalah bahwa seorang sufi dapat mengetahui hal gaib mutlak secara sempurna, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi darinya, dan ini adalah kekhususan milik Allah Ta’ala yang tidak dimiliki oleh siapa pun dari makhluk.

Disebutkan dalam *al-Mawsu‘ah al-Muyassarah lil Adyan wal Madzahib al-Mu‘ashirah* (1/261-262):

"وَيَعْتَمِدُ الصُّوفِيَّةُ الْكَشْفَ مَصْدَرًا وَثِيقًا لِلْعُلُومِ وَالْمَعَارِفِ، بَلْ تَحْقِيقَ غَايَةِ عِبَادَتِهِمْ، وَيَدْخُلُ تَحْتَ الْكَشْفِ الصُّوفِيِّ جُمْلَةٌ مِنَ الْأُمُورِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْكَوْنِيَّةِ، مِنْهَا:

١ ـ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَيَقْصِدُونَ بِهِ الْأَخْذَ عَنْهُ يَقَظَةً أَوْ مَنَامًا.

٢ ـ الْخَضِرُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: قَدْ كَثُرَتْ حِكَايَاتُهُمْ عَنْ لِقَائِهِ، وَالْأَخْذِ عَنْهُ أَحْكَامًا شَرْعِيَّةً وَعُلُومًا دِينِيَّةً، وَكَذَلِكَ الْأَوْرَادُ، وَالْأَذْكَارُ، وَالْمَنَاقِبُ.

٣ ـ الْإِلْهَامُ: سَوَاءٌ كَانَ مِنَ اللهِ تَعَالَى مُبَاشَرَةً...

٤ ـ الْفِرَاسَةُ: الَّتِي تَخْتَصُّ بِمَعْرِفَةِ خَوَاطِرِ النُّفُوسِ وَأَحَادِيثِهَا.

٥ ـ الْهَوَاتِفُ: مِنْ سَمَاعِ الْخِطَابِ مِنَ اللهِ تَعَالَى، أَوْ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، أَوِ الْجِنِّ الصَّالِحِ، أَوْ مِنْ أَحَدِ الْأَوْلِيَاءِ، أَوِ الْخَضِرِ، أَوْ إِبْلِيسَ، سَوَاءٌ كَانَ مَنَامًا أَوْ يَقَظَةً أَوْ فِي حَالَةٍ بَيْنَهُمَا بِوَاسِطَةِ الْأُذُنِ.

٦ ـ الْإِسْرَاءَاتُ وَالْمَعَارِيجُ: وَيَقْصِدُونَ بِهَا عُرُوجَ رُوحِ الْوَلِيِّ إِلَى الْعَالَمِ الْعُلْوِيِّ، وَجَوْلَاتِهَا هُنَاكَ، وَالْإِتْيَانِ مِنْهَا بِشَتَّى الْعُلُومِ وَالْأَسْرَارِ.

٧ ـ الْكَشْفُ الْحِسِّيُّ: بِالْكَشْفِ عَنْ حَقَائِقِ الْوُجُودِ بِارْتِفَاعِ الْحُجُبِ الْحِسِّيَّةِ عَنْ عَيْنِ الْقَلْبِ وَعَيْنِ الْبَصَرِ.

٨ ـ الرُّؤَى وَالْمَنَامَاتُ: وَتُعْتَبَرُ مِنْ أَكْثَرِ الْمَصَادِرِ اعْتِمَادًا عَلَيْهَا، حَيْثُ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ يَتَلَقَّوْنَ فِيهَا عَنْ اللهِ تَعَالَى، أَوْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ عَنْ أَحَدِ شُيُوخِهِمْ لِمَعْرِفَةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ." إِنْتَهَى.

“Kaum sufi menjadikan *kasyaf* sebagai sumber ilmu dan pengetahuan yang terpercaya, bahkan sebagai tujuan utama ibadah mereka. Kasyaf sufi mencakup sejumlah hal syar'i dan kosmis [Kauniyah], di antaranya:

Ke 1. Nabi , yaitu mereka mengklaim mengambil langsung darinya baik dalam keadaan sadar atau mimpi.

Ke 2. Nabi Al-Khidhir ‘alaihissalam, banyak kisah mereka tentang pertemuan dengannya dan mengambil darinya hukum-hukum syar’i, ilmu-ilmu agama, wirid, zikir, dan keutamaan-keutamaan.

Ke 3. Ilham, baik secara langsung dari Allah Ta’ala...

Ke 4. Firāsah, yakni kemampuan mengenali bisikan dan lintasan jiwa.

Ke 5. Suara-suara gaib, berupa mendengar ucapan dari Allah Ta’ala, atau dari malaikat, jin yang saleh, salah seorang wali, al-Khidhir, atau bahkan dari Iblis, baik dalam keadaan tidur, sadar, atau di antara keduanya melalui telinga.

Ke 6. Perjalanan malam dan naik ke langit, yang mereka maksudkan dengan naiknya ruh wali ke alam atas, berkeliling di sana, lalu kembali dengan berbagai ilmu dan rahasia.

Ke 7. Kasyaf indrawi, berupa tersingkapnya hakikat-hakikat wujud dengan hilangnya tabir-tabir indrawi dari mata hati dan mata kepala.

Ke 8. Mimpi dan penglihatan dalam tidur, yang dianggap sebagai sumber utama, karena mereka mengklaim bahwa di dalamnya mereka menerima langsung dari Allah Ta’ala, atau dari Nabi , atau dari salah satu guru mereka, untuk mengetahui hukum-hukum syar’i.” [Selesai].

Dan *kasyaf* sufi ini, sebagaimana tampak jelas, mengandung unsur kebenaran dan unsur kebatilan. Maka sesuatu yang bercampur antara kebenaran dan kebatilan tidak bisa diterima sampai dapat dibedakan, sehingga yang benar diterima dan yang batil ditolak.

Para sufi terdahulu tidak menerima dari *kasyaf* ilmiah atau rasa hati dan pengalaman batiniah (spiritual), kecuali yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah.

Abu Sulaiman ad-Darani berkata:

"رُبَّمَا يَقَعُ فِي قَلْبِي النُّكْتَةُ مِنْ نُكَتِ الْقَوْمِ أَيَّامًا، فَلَا أَقْبَلُ مِنْهُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ: الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ" إِنْتَهَى.

“Terkadang suatu bisikan hati dari kalangan kaum (sufi) masuk ke dalam hatiku selama beberapa hari, namun aku tidak menerimanya kecuali setelah ada dua saksi yang adil: Al-Kitab dan As-Sunnah.” [Selesai dari *Thabaqat ash-Shufiyyah* karya as-Sulami (1/76)].

Kebenaran dan kebatilan dari *kasyaf* dapat dibedakan dengan dua hal:

Pertama: keadaan orang yang mengklaim “kasyaf”. Jika ia adalah orang saleh – dan begitu juga wanita salehah – maka ia termasuk orang yang layak mendapat *kasyaf* dari Allah. Sedangkan orang yang sesat, maka layak untuk didatangi oleh setan.

Allah Ta'ala berfirman:

﴿هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ. تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ﴾

*"Maukah Aku beritakan kepada kalian kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak berdosa. Mereka menyampaikan apa yang mereka dengar, padahal kebanyakan mereka itu adalah pendusta."* (QS. Asy-Syu‘ara: 221–223)

Kedua: isi *kasyaf* itu, apakah bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah?

Maka jika bertentangan, wajib ditolak. Jika sesuai, diterima. Dan jika tidak bertentangan tapi juga tidak sesuai secara eksplisit, maka itu tergolong kabar duniawi yang benar dan ilmu-ilmu nyata yang tidak menjadikan pelakunya otomatis menjadi wali Allah atau musuh-Nya.

Contoh kasyaf yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah :

Contoh Pertama  :

Seorang sufi berkata : “Allah telah memperlihatkan padaku, si fulan ini ahli syurga tanpa hisab” atau sebaliknya “ahli neraka”, maka ini tidak dapat diterima dan harus ditolak.

Ini termasuk jenis *kasyaf* yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah, maka wajib ditolak, tidak diterima, dan kami pastikan bahwa itu bukan dari Allah Ta’ala.

Imam at-Thahawi mengatakan,

وَلَا نُنْزِلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّة وَلَا نَارًا

“ Kami tidak boleh menetapakan seorangpun dari mereka ahli surga atau ahli neraka”.

Ibnu Abil Izz menjelaskan tentang perkataan Imam at-Thahawi ini:

يُرِيدُ: أَنَّا لَا نَقُولُ عَنْ أَحَدٍ مُعَيَّنٍ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَة إنه مِنْ أَهْلِ الْجَنَّة أَوْ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، إِلَّا مَنْ أَخْبَرَ الصَّادِقُ صلى الله عليه وَسَلَّمَ أنه مِنْ أَهْلِ الْجَنَّة، كَالْعَشَرَة رضي الله عَنْهُمْ

“ Yang beliau maksud, kita tidak boleh meenetapkan seseorang tertentu dari kalangan ahli kiblat (kaum muslimin) bahwa dia ahli surga atau ahli neraka. Kecuali orang yang dikabarkan oleh Nabi ﷺ bahwa mereka termasuk ahli surga, seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga “. (Syarh Aqidah Thahawiyah, hlm. 248).

Allah SWT melarang seseorang mengklaim orang lain "ahli neraka" atau sebalik-nya, meskipun yang nampak darinya sangat membenarkannya. Begitu pula sebaliknya, mengklaim ahli syurga berdasarkan yang nampak di mata.  

Diriwayatkan dari Dhamdham bin Jaus al-Yamami beliau berkata:

“ Aku masuk ke dalam masjid Rasulullah , di sana ada seorang lelaki itu tua yang diinai rambutnya, putih giginya. Bersama-samanya adalah seorang anak muda yang tampan wajahnya, lalu lelaki tua itu berkata:

يَا يَمَامِيُّ تَعَالَ ، لاَ تَقُولَنَّ لِرَجُلٍ أَبَدًا: لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ ، وَاللَّهِ لاَ يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ أَبَدًا

Wahai Yamami, mari ke sini. Janganlah engkau berkata selama-lamanya kepada seseorang: Allah tidak akan mengampuni engkau, Allah tidak akan memasukkan engkau ke dalam syurga selamanya.

Aku bertanya: Siapakah engkau, semoga Allah merahmati engkau?

Lelaki tua itu menjawab: Aku adalah Abu Hurairah.

Aku pun berkata: Sesungguhnya perkataan seumpama ini biasa seseorang sebutkan kepada sebahagian keluarganya atau pembantunya apabila dia marah.

Abu Hurairah pun berkata: Janganlah engkau menyebutkan perkataan seperti itu. Sesungguhnya Aku mendengar Rasulullah  bersabda:

"كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَوَاخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ أَقْصِرْ فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا فَقَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلْآخَرِ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ "

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ

"Ada dua orang laki-laki dari bani Isra'il yang berbeda arah; salah seorang dari mereka adalah orang yang tekun beribadah (Ahli Ibadah) sementara yang lainnya orang yang hobbi berbuat dosa (pendosa). Orang yang ahli ibadah itu selalu mengawasi pendosa itu berbuat dosa lalu ia berkata, "Berhentilah."

Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati pendosa itu berbuat dosa, ia berkata lagi, "Berhentilah."

Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, "Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!"

Ahli ibadah itu berkata, "Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu, atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga."

Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam.

Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: "Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?"

Allah SWT lalu berkata kepada pelaku dosa: "Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku." Dan berkata kepada ahli ibadah: "Pergilah kamu ke dalam neraka."

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ

"Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya."

(HR. Abu Daud 4318 Ibnu Hibban 5804 Abdullah bin al-Mubaarok dlm al-Musnad No. 36. Di shahihkan oleh Ibnu Hibban dan Syeikh Muqbil al-wadi’i)

Contoh Kedua :

Seorang sufi berkata : “Allah telah memperlihatkan padaku, si fulan ini adalah wali kekasih Allah”.

Allah SWT berfirman :

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

“Maka janganlah kalian mengatakan bahwa diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. ( QS. An-Najm : 32 )

Oleh karena itu makruh hukumnnya memberi nama yang menunjukkan kesucian dirinya. Apalagi memberi gelar-gelar yang mengandung mengklaiman dan memastikan sebagai ahli syurga dan kekasih Allah SWT, seperti waliyullah, ahli makrifat, ahli hakikat ... dan seterusnya .  

Dari Muhammad bin ‘Amru bin ‘Atha dia berkata, “Aku menamai anak perempuanku ‘Barrah’ (yang artinya: baik). Maka Zainab binti Abu Salamah berkata kepadaku, ‘Rasulullah   telah melarang memberi nama anak dengan nama ini. Dahulu namaku pun Barrah, lalu Rasulullah   bersabda,

"لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ ".

“Janganlah kamu menganggap dirimu telah suci, Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu siapa saja sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu.”

Para sahabat bertanya, “Lalu nama apakah yang harus kami berikan kepadanya? “ Beliau menjawab, “Namai dia Zainab.” (HR. Muslim no. 2142)

Imam Ath Thobari  mengatakan :

"Tidak sepantasnya seseorang memakai nama dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah nama yang menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan sebagai hakikat sifat.

Akan tetapi, dihukumi makruh jika seseorang bernama dengan nama yang langsung menunjukkan sifat dari orang yang diberi nama. Oleh karena itu, Nabi   pernah mengganti beberapa nama ke nama yang benar-benar menunjukkan sifat orang tersebut. Beliau melakukan semacam itu bukan maksud melarangnya, akan tetapi untuk maksud ikhtiyar (menunjukkan pilihan yang lebih baik)."

[ Dinukil dari Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 10/577, Darul Marifah, 1379.]

Dalam hadits Abu Bakroh di ceritakan : ada seseorang memuji-muji seseorang lainnya di sisi Rosulullah , maka beliau berkata padanya :

«وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ، قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ» مِرَارًا ، ثُمَّ قَالَ : «مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَادِحًا أَخَاهُ ، لاَمَحَالَةَ، فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ فُلاَنًا وَاللهُ حَسِيبُهُ وَلاَ أُزَكِّي عَلَى اللهِ أَحَدًا أَحْسِبُهُ كَذَا وَكَذَا، إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذلِكَ مِنْه».

“Celakalah kamu, kamu telah memotong leher sahabatmu , kamu telah memotong leher sahabatmu !”. (beliau mengatakannya berulang-berulang)

Kemudian beliau berkata : " Jika ada di antara kalian mau memuji saudaranya yang tidak boleh tidak , maka katakanlah : Aku kira si Fulan , dan hanya Allah lah yang membuat perkiraan atau perhitungan terhadap segala sesuatu , dan kepada Allah aku tidak berhak menyatakan bahwa seseorang itu bersih dan terpuji , ( akan tetapi ) aku kira seseorang itu begitu dan begitu , meskipun dia tahu persis orang itu seperti yang dia kira ". ( HR. Bukhory no. 2662, 6061 dan Muslim no. 3000 ).

Akan tetapi Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam hal ini memperincinya dengan mengatakan:

"فَمَنْ ثَبَتَتْ وِلَايَتُهُ بِالنَّصِّ ، وَأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، كَالْعَشْرَةِ وَغَيْرِهِمْ : فَعَامَّةُ أَهْلِ السُّنَّةِ يَشْهَدُونَ لَهُ بِمَا شَهِدَ لَهُ بِهِ النَّصُّ .

وَأَمَّا مَنْ شَاعَ لَهُ لِسَانُ صِدْقٍ فِي الْأُمَّةِ ، بِحَيْثُ اتَّفَقَتْ الْأُمَّةُ عَلَى الثَّنَاءِ عَلَيْهِ : فَهَلْ يَشْهَدُ لَهُ بِذَلِكَ ؟ هَذَا فِيهِ نِزَاعٌ بَيْنَ أَهْلِ السُّنَّةِ ، وَالْأَشْبَهُ أَنْ يَشْهَدَ لَهُ بِذَلِكَ . هَذَا فِي الْأَمْرِ الْعَامِّ .

وَأَمَّا " خَوَاصُّ النَّاسِ " فَقَدْ يَعْلَمُونَ عَوَاقِبَ أَقْوَامٍ بِمَا كَشَفَ اللَّهُ لَهُمْ ، لَكِنَّ هَذَا لَيْسَ مِمَّنْ يَجِبُ التَّصْدِيقُ الْعَامُّ بِهِ ، فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ يَظُنُّ بِهِ أَنَّهُ حَصَلَ لَهُ هَذَا الْكَشْفُ يَكُونُ ظَانًّا فِي ذَلِكَ ظَنًّا لَا يُغْنِي مِنْ الْحَقِّ شَيْئًا ، وَأَهْلُ الْمُكَاشَفَاتِ وَالْمُخَاطَبَاتِ يُصِيبُونَ تَارَةً ؛ وَيُخْطِئُونَ أُخْرَى ؛ كَأَهْلِ النَّظَرِ وَالِاسْتِدْلَالِ فِي مَوَارِدِ الِاجْتِهَادِ ؛ وَلِهَذَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ جَمِيعُهُمْ أَنْ يَعْتَصِمُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَنْ يَزِنُوا مَوَاجِيدَهُمْ وَمُشَاهَدَتَهُمْ وَآرَاءَهُمْ وَمَعْقُولَاتِهِمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ؛ وَلَا يَكْتَفُوا بِمُجَرَّدِ ذَلِكَ ؛ فَإِنَّ سَيِّدَ الْمُحَدَّثِينَ وَالْمُخَاطَبِينَ الْمُلْهَمِينَ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ هُوَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ؛ وَقَدْ كَانَتْ تَقَعُ لَهُ وَقَائِعُ فَيَرُدُّهَا عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَوْ صِدِّيقُهُ [يعني : أبا بكر الصديق رضي الله عنه] التَّابِعُ لَهُ ، الْآخِذُ عَنْهُ ، الَّذِي هُوَ أَكْمَلُ مِنْ الْمُحَدَّثِ الَّذِي يُحَدِّثُهُ قَلْبُهُ عَنْ رَبِّهِ . وَلِهَذَا وَجَبَ عَلَى جَمِيعِ الْخَلْقِ اتِّبَاعُ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" انتهى

"Barang siapa yang kewaliannya telah ditetapkan melalui nash (al-Qur’an atau hadits shahih), dan bahwa ia termasuk ahli surga, seperti sepuluh sahabat dan selain mereka, maka mayoritas Ahlus Sunnah memberikan kesaksian untuknya sebagaimana yang disaksikan oleh nash (al-Qur’an atau hadits shahih).

Adapun orang yang dikenal luas dengan reputasi yang baik di tengah umat, hingga umat Islam sepakat memujinya, maka apakah boleh disaksikan bahwa ia termasuk wali? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan Ahlus Sunnah. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa ia boleh disaksikan sebagai wali. Ini dalam perkara umum.

Adapun orang-orang khusus, maka bisa jadi mereka mengetahui akibat (akhir) dari sebagian orang melalui apa yang Allah bukakan kepada mereka. Namun hal ini bukanlah sesuatu yang wajib diimani secara umum, karena banyak orang yang mengira dirinya mendapatkan *kasyaf* seperti ini padahal hanyalah persangkaan belaka yang tidak berguna sedikit pun dalam kebenaran.

Orang-orang yang mengalami *mukasyafah* dan *mukhatabah* (komunikasi batin), terkadang mereka benar dan terkadang mereka salah, sebagaimana halnya para ahli istinbat dan ijtihad yang menggunakan logika dan penalaran. Oleh karena itu, wajib atas semuanya untuk berpegang teguh kepada Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya , serta menimbang pengalaman batin, penyaksian, pemikiran, dan pemahaman mereka dengan Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dan tidak cukup hanya mengandalkan perasaan-perasaan itu saja.

Sesungguhnya pemimpin para *muhaddatsīn* (orang yang diberi ilham dan ilhamnya benar) di umat ini adalah Umar bin Khattab. Meski begitu, tetap saja terjadi padanya hal-hal yang dikoreksi oleh Rasulullah atau oleh sahabatnya, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, yang merupakan pengikut beliau, orang yang mengambil dari beliau, dan yang lebih sempurna daripada orang yang hanya mendapatkan ilham dari hatinya dari Tuhannya.

Karena itulah, wajib bagi seluruh makhluk untuk mengikuti Rasul ." [Selesai dari *Majmū’ al-Fatāwā* (11/65)].

===***===

ISTIDRAJ ILMU KASYAF DAN KEMUSTAJABAN DOA MUSA AS-SAAMIRY:

Firman Allah SWT tentang Samiri yang mengaku bahwa dirinya ahli ma'rifat alias bisa melihat ghaib : 

﴿ قَالَ فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ (95) قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا وَكَذَلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي (96) 

Berkata Musa,  “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?” Samiri menjawab, 'Aku (bisa) melihat sesuatu yang mereka tidak (bisa) melihatnya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul (yakni : jejak kaki kuda malaikat Jibril), lalu aku melemparkannya dan demikianlah nafsuku membujukku.” (QS. Toha: 95 & 96).

Dan Firman Allah SWT tentang Fir'aun yang mengaku bahwa dirinya adalah ahli hakikat dan telah sampai pada tingkat wihdatul wujud yakni  menyatu dengan Tuhan Yang Maha Tinggi alias manunggaling kawula ing gusti atau Lir Kadio Keris Melebu Ing Werongkone . Sehingga Fir'aun mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan Yang Maha Tinggi, sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah SWT :

﴿ فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ

"Maka dia [Fir'aun] berkata: "Akulah tuhan kalian yang paling tinggi". [QS. An-Nazi'at : 24]

Samiri dan Fir'aun sama-sama dari Mesir. 

Perkataan Fira'un Ini mirip dengan perkataan Ibnu ‘Arabi Al-Hatimi Ath-Tha’i (wafat 638 H), Imam Besar faham aqidah Wihdatul Wujud , yang mengatakan :

“Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba". 

Duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)? jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan . Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!”.

[ Baca : Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal. 43)

Dan Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur: 

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah.”

Bahkan dia memuji-muji Fira’un Ramses II dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, lalu dia mencela Nabi Harun ’alaihis salam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa ‘alaihi salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan. [Baca : Fushushul Hikam (hal.187-188

Siapa kah MUSA AS-SAMIRI itu ??? :

Dia bernama Musa bin Zafar , tapi lebih terkenal dengan sebutan AS-SAAMIRI .

Ibnu Abbas berkata dlm hadits al-Futuun :

“As-Saamiri adalah seorang pria dari kaum yang menyembah sapi , tetangga bani Israail, dan dia bukan salah satu dari Bani Israel, lalu dia ikut numpang pergi bersama rombongan Musa -alaihissalaam- dan Bani Israel ketika mereka berangkat “.

Ia memiliki ilmu kebatinan dan sihir , sebuah ilmu yang ia dipelajari sewaktu berada di Mesir. Dia pemeluk agama paganisme yang terdapat di Mesir Kuno. Sebuah bukti penting yang mendukung kesimpulan ini adalah Samiri pernah membuat patung anak sapi betina terbuat dari emas dengan doa mustajabnya.

Samiri telah membuat berhala itu untuk bani Israel selama Musa pergi untuk mendapatkan wahyu. Oleh Samiri dimasukkan segumpal tanah, diyakini tanah itu bekas dilalui tapak kaki kuda malaikat Jibril ketika Musa dan pengikutnya menyeberangi Laut Merah. Sehingga mulut sapi betina itu bisa mengeluarkan suara.

Samiri membuat patung tersebut terpengaruh oleh agama paganisme Mesir Kuno, ia meniru dewa Hathor dan Aphis, dewa-dewi  Mesir kuno, disembah sebagai sapi dewata dari akhir 2700 S.M. selama dinasti kedua.

Diantara ilmu kasyaf dan doa Mustajab Musa as-Samiry . Dalam hadits al-Futuun, Ibnu Abbaas berkata :

فلمَّا رأى قومُ مُوسى عليه السَّلامُ أنَّه لم يرجِعْ إليهم للأجَلِ ساءَهم ذلك، وكان هارونُ عليه السَّلامُ قد خطَبَهم، فقال لهم: خرجْتُم مِن مِصْرَ ولقومِ فرعونَ عندي عواري وودائعُ، ولكم فيهم مثلُ ذلك، وأنا أرى أنْ تحتَسِبوا ما لكم عندهم، ولا أحلَّ لكم وديعةً اسْتُودِعْتُمُوها، ولا عاريَّةً، ولسنا برادِّين إليهم شيئًا مِن ذلك، ولا مُمْسِكيه لأنفُسِنا، فحفَرَ حفيرًا، وأمَرَ كلَّ قومٍ عليهم شَيءٌ مِن ذلك؛ مِن متاعٍ أو حِليةٍ أنْ يَقْذِفوه في ذلك الحفيرِ، ثمَّ أوقَدَ عليه النَّارَ، فأحرَقَه، فقاللا يكونُ لنا، ولا لهم.

وكان السَّامريُّ رجلًا مِن قومٍ يَعْبُدون البقرَ جيرانٍ لهم، ولم يكُنْ مِن بني إسرائيلَ، فاحتملَ مع مُوسى عليه السَّلامُ وبني إسرائيلَ حين احْتملوا، فقُضِيَ له أنْ رأى أثرًا، فأخَذَ منه بقبْضَتِه، فمَرَّ بهارونَ،

 فقال له هارونُ عليه السَّلامُ: يا سامريُّ، ألَا تُلْقي ما في يدَيْك؟ وهو قابضٌ عليه لا يَراه أحدٌ طوالَ ذلك،

 فقالهذه قبْضةٌ مِن أثرِ الرَّسولِ الَّذي جاوَزَ بكم البحرَ، ولا أُلْقيها لشَيءٍ إلَّا أنْ تَدْعُوَ اللهَ إذا ألقيْتُها أنْ تكونَ ما أُرِيدُ، فألْقاها، ودعا اللهَ هارونُ عليه السَّلامُ، فقالأريدُ أنْ يكونَ عِجْلًا، واجتمَعَ ما كان في الحُفرةِ مِن متاعٍ له، أو حِلْيةٍ، أو نحاسٍ، أو حديدٍ، فصار عِجْلًا أجوفَ ليس فيه رُوحٌ، له خُوارٌ.

قال ابنُ عبَّاسٍ: لا واللهِ ما كان له صوتٌ قطُّ، إنَّما كانت الرِّيحُ تدخُلُ مِن دُبُرِه وتخرُجُ مِن فَمِه، فكان ذلك الصَّوتُ مِن ذلك. فتفرَّقَ بنو إسرائيلَ فِرَقًا؛

فقالت فِرقةٌ: يا سامريُّ، ما هذا فأنت أعلَمُ به؟ قالهذا ربُّكم عَزَّ وجَلَّ، ولكنَّ مُوسى عليه السَّلامُ أضَلَّ الطَّريقَ.

وقالت فِرقةٌ: لا نُكذِّب بهذا حتَّى يرجِعَ إلينا مُوسى، فإنْ كان ربَّنا لم نكُنْ ضيَّعْناه وعجَزْنا فيه حِينَ رأيْناه، وإنْ لم يكُنْ ربَّنا، فإنَّا نتَّبِعُ قولَ مُوسى عليه السَّلامُ.

وقالت فِرقةٌهذا عمَلُ الشَّيطانِ، وليس بربِّنا، ولا نُؤْمِنُ، ولا نُصدِّقُ.

وأُشْرِبَ فِرقةٌ في قُلوبِهم التَّصديقَ بما قال السَّامريُّ في العجلِ، وأعْلَنوا التَّكذيبَ،

فقال لهم هارونُ عليه السَّلامُ: {يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ} [طه: 90]، وإنَّ ربَّكم ليس هكذا،

قالوا: فما بالُ مُوسى عليه السَّلامُ؛ وعَدَنا ثلاثينَ يومًا ثمَّ أخلَفَنا، فهذه أربعونَ قد مَضَت؟

فقال سُفهاؤُهم: أخطَأَ ربَّه، فهو يطلُبُه ويتبَعُه. فلمَّا كلَّمَ اللهُ عَزَّ وجَلَّ مُوسى عليه السَّلامُ وقال له ما قال، أخبَرَه بما لقِيَ قومُه بعده.

{فَرَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا} [طه: 86]، وقال لهم ما سمِعْتُم في القُرآنِ وأخَذَ برأْسِ أخِيه، وألْقى الألواحَ مِن الغضَبِ، ثمَّ عذَرَ أخاه بعُذْرِه، واستغفَرَ له، وانصرَفَ إلى السَّامريِّ، 

فقال له: ما حمَلَك على ما صنعْتَ؟

قال: قبَضْتُ قبضةً مِن أثرِ الرَّسولِ وفطِنْتُ لها، وعُمِّيَت عليكم، فقَذفْتُها؛ وكذلك سوَّلَت لي نَفْسي.

قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لَا مِسَاسَ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا [طه: 97]، ولو كان إلهًا لم يُخْلَصْ إلى ذلك منه.

فاستيقَنَ بنو إسرائيلَ بالفتنةِ، واغْتَبَطَ الَّذين كان رأيُهم فيه مثلَ رأيِ هارونَ عليه السَّلامُ، فقالوا بجماعتِهم لمُوسى عليه السَّلامُ: سَلْ لنا ربَّك عَزَّ وجَلَّ أنْ يفتَحَ لنا بابَ توبةٍ نصنَعُها؛ فيُكَفِّرَ عنَّا ما عمِلْنا،

Ketika kaum Nabi Musa -alaihissalaam- melihat bahwa Musa -alaihissalaam- belum juga datang kembali kepada mereka pada waktu yang telah ditentukan , ini memperburuk pikiran mereka, dan Nabi Harun -alaihissalaam- pun berusaha menenangkannya dengan mengkhutbahi mereka, Lalu dia berkata kepada mereka : “ Kalian ini keluar dari Mesir , sementara kaumnya Firaun memiliki barang-barang simpanan (perhiasan dan lainnya) yang dititipkan kepada kalian  dan juga barang-barang mereka yang kalian pinjam dari mereka . Begitu juga mereka sebaliknya terhadap barang-barang (perhiasan dan lainnya) milik kalian.

Dan saya lihat sebaiknya kalian memperhitungkan apa-apa yang kalian miliki pada mereka, dan tidak diperbolehkan bagi kalian untuk memiliki simpanan yang telah kalian titipkan pada mereka , begitu juga apa-apa yang kalian pinjamkan kepada mereka , dan kami juga tidak akan mengembalikan kepada mereka apapun dari semua itu, dan kami juga tidak menyimpannya untuk diri kami sendiri “.

Lalu beliau menggali lubang , dan memerintahkan atas setiap orang untuk melakukan sesuatu. Yaitu melempar barang-barang tsb ke dalam lubang itu, lalu menyalakan api di atasnya, lalu membakarnya, dan dia berkata: “ Barang-barang Itu bukan untuk kita, dan bukan untuk mereka “.

As-Saamiri adalah seorang pria dari kaum yang menyembah sapi , tetangga bani Iraail , dan dia bukan salah satu dari Bani Israel, lalu dia ikut numpang pergi bersama rombongan Musa -alaihissalaam- dan Bani Israel ketika mereka berangkat .

Lalu dia mengklaim bahwa dirinya melihat jejak Rosul , dan dia mengambil darinya dengan genggamannya. Maka dia lewat di depan Nabi Harun , lalu Harun berkata kepadanya : Wahai Samiri , tidak kah segera kau lemparkan apa yang ada di kedua tangan mu !

Dan sebetulnya dia itu sudah lama menggenggam nya akan tetapi selama itu pula tidak ada seorang pun yang melihatnya .

Dia berkata: Ini adalah genggaman dari jejak Rasul yang membantu kalian melewati laut, dan aku tidak akan melemparkannya untuk apa pun kecuali jika kamu berdoa kepada Allah bahwa jika aku melemparkannya , maka ia berubah menjadi apa yang kuinginkan,  jika engkau bersedia maka aku siap melemparkannya.

Dan Nabi Harun pun berdoa kepada Allah SWT , dan as-Saamiri berkata : “ Aku ingin dari genggaman ini menjadi anak sapi “, dan semua yang ada di dalam lubang dari berbagai jenis barang baik perhiasan, tembaga, atau pun besinya terhimpun jadi satu, lalu itu semua berubah menjadi anak lembu yang berlubang yang tiada ruhnya namun mengeluarkan KHOAR ( خُوَار = suara sapi ) .

Ibn Abbas berkata: Tidak, demi Tuhan, dia tidak pernah bersuara, melainkan angin masuk dari duburnya dan keluar lewat mulutnya, dan suara itu berasal dari sana.

Maka Bani Israel terpecah menjadi beberapa kelompok

Sekelompok orang berkata : Hai Samiri, apa ini , dan kamu lebih alim dalam hal ini ? Dia berkata: Ini adalah Tuhanmu Yang Maha Mulia dan Maha Agung , akan tetapi Musa itu tersesat.

Dan sekelompok yang lain berkata: Kami tidak akan mendustakannya sampai Musa kembali kepada kami. Maka jika dia itu adalah Tuhan kami, kami tidak menyia-nyiakannya dan kami merasa tidak mampu terhadap nya ketika kami melihatnya . Dan jika dia bukan Tuhan kami, maka kami mengikuti perkataan Musa -alaihis salam -.

Sebuah kelompok berkata: Ini adalah pekerjaan Setan, dan itu bukan Tuhan kami, dan kami tidak mengimaninya dan tidak pula membenarkannya .

Dan ada sekelompok orang yang diresapkanlah ke dalam hati mereka itu rasa percaya terhadap apa yang di katakan Saamiri tentang patung anak sapi , bahkan mereka terang-terangan mendustakan Musa -alaihissalaam- .

Harun -alaihissalaam- berkata kepada mereka:

{يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ}

“Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu hanya sekedar diberi cobaan (dengan patung anak sapi) itu" [Taha: 90],

Dan Tuhanmu tidak seperti itu.

Mereka berkata: Lalu Apa yang telah menimpa Musa, dia telah menjajikan kepada kami tiga puluh hari , kemudian dia menyelisihi kami, dan ini empat puluh hari telah berlalu ?!

Orang-orang bodoh berkata: Dia itu salah memilih tuhan, tapi dia masih terus mencarinya dan mengikutinya.

Maka ketika Allah Azza wa Jalla berbicara kepada Musa -alaihissalaam- , Dia mengatakan kepadanya apa yang di katakan oleh sebagian kaumnya , dan Dia memberi tahu kepadanya apa yang terjadi dengan kaumnya setelah kepergiannya .

{فَرَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا}

“ Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati” (QS. Taha: 86)

Ibnu Abbas berkata : Dan dia memberi tahu mereka apa yang kamu dengar dalam Al-Qur'an dan dia memegang kepala saudara laki-lakinya dan melemparkan louh-louh itu karena marah, lalu dia memaafkan saudaranya setelah mendengar alasannya, dan

Musa memohonkan ampunan untuknya , dan mendatangi Samiri, lalu Musa -alaihissalaam- berkata kepadanya: Apa yang mendorongmu untuk melakukan ini ?

Samiri menjawab : aku ambil segenggam dari jejak rasul dan aku benar-benar melihatnya, sementara kalian dibutakan , lalu aku melemparkannya. Dan demikianlah nafsuku membujukku.”.

قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لَا مِسَاسَ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا

Berkata Musa, "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan dunia ini (hanya dapat) mengatakan, "Janganlah menyentuh (aku).' Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan) ”. ( QS. Toha : 97 )

Jika dia itu benar tuhan, maka dia tidak akan bisa dilenyapkan olehnya.

Maka Bani Israel semakin yakin akan godaan itu, dan mereka yang sependapat dengan Nabi Harun merasa senang , lalu mereka dengan jemaahnya berkata kepada Musa -alaihissalaam: 

“ Mohonkanlah kepada Rabb mu Azza wa Jalla untuk kami agar Dia membukakan untuk kami pintu taubat agar kami melakukannya , lalu Dia menghapus dari kami dosa yang telah kami lakukan “.

[[Diriwayatkan oleh al-Imam al-Buushairy dalam kitab “إتحاف الخيرة المهرة” 6/234 dengan SANAD YANG SHAHIH menurutnya . Dan di sebutkan pula oleh Ibnu katsir dlm kitab “البداية والنهاية” 16/225]].

****

ISTIDRAJ ILMU KASYAF DAN KEMUSTAJABAN DO'A BAL'AM BIN BA'URA

Dalam Surat Al-A'raf, ayat 175-177, Allah SWT berfirman :

{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) سَاءَ مَثَلا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ (177) }

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu meng­halaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).

Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. [QS. Al-A'raf : 175-177]

Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya 3/507 :

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Sufyan As-Sauri, dari Al-A'masy dan Mansur, dari Abud Duha, dari Masruq, dari Abdullah ibnu Mas'ud -radhiyallahu ‘anhu- sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al­Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu. (Al-A’raf: 175), hingga akhir ayat.

Dia adalah seorang lelaki dari kalangan Bani Israil, dikenal dengan nama panggilan :

“BAL'AM IBNU BA'URA”.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syu'bah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, dari Mansur, dengan sanad yang sama.

Sa'id ibnu Abu Arubah mengatakan dari Qatadah, dari Ibnu Abbas : Bahwa telaki tersebut bernama “Saifi ibnur Rahib”.

Qatadah mengatakan, Ka'b pernah menceritakan : “Bahwa dia adalah seorang telaki dari kalangan penduduk Al-Balqa, mengetahui tentang Ismul Akbar [nama Allah yang Agung], dan tinggal di Baitul Maqdis dengan orang-orang yang angkara murka”.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- : “ Bahwa dia adalah seorang lelaki dari kalangan penduduk negeri Yaman, dikenal dengan nama Bal'am; ia dianugerahi pengetahuan tentang isi Al-Kitab, tetapi ia meninggalkannya”.

Malik ibnu Dinar mengatakan :

“Bahwa orang itu adalah salah seorang ulama Bani Israil, terkenal sebagai orang yang mustajab doanya; mereka datang kepadanya di saat-saat kesulitan. Kemudian Nabi Musa -’alaihis salaam- mengutusnya ke raja negeri Madyan untuk menyerukan agar menyembah Allah. Tetapi Raja Madyan memberinya sebagian dari wilayah kekuasa­annya dan memberinya banyak hadiah. Akhirnya ia mengikuti agama raja dan meninggalkan agama Nabi Musa -’alaihis salaam-

Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Husain, dari Imran ibnul Haris, dari Ibnu Abbas, bahwa orang tersebut adalah Bal'am ibnu Ba'ura. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Ikrimah .....

Adapun asar yang termasyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat yang mulia ini hanyalah menceritakan perihal seorang lelaki di masa dahulu, yaitu di zaman kaum Bani Israil, seperti yang telah disebutkan oleh Ibnu Mas'ud dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia adalah seorang lelaki dari kota orang-orang yang gagah perkasa, dikenal dengan nama Bal'am. Dia mengetahui Asma Allah Yang Mahabesar....

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Nabi Musa dan orang-orang yang bersamanya turun istirahat di tempat mereka (yakni negeri orang-orang yang gagah perkasa), maka Bal'am (yang bertempat tinggal di negeri itu) kedatangan anak-anak pamannya dan kaumnya.

Lalu mereka berkata : "Sesungguhnya Musa adalah seorang lelaki yang sangat perkasa dan mempunyai bala tentara yang banyak. Sesungguhnya dia jika menang atas kita, niscaya dia akan membinasakan kita. Maka berdoalah kepada Allah, semoga Dia mengusir Musa dan bala tentaranya dari kita”.

Bal'am menjawab, "Sesungguhnya jika aku berdoa kepada Allah memohon agar Musa dan orang-orang yang bersamanya dikembalikan, niscaya akan lenyaplah dunia dan akhiratku."

Mereka terus mendesaknya hingga akhirnya Bal'am mau berdoa. Maka Allah melucuti apa yang ada pada dirinya. Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya:

{فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ }

kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai ia tergoda). (Al-A'raf: 175), hingga akhir ayat.

As-Saddi mengatakan bahwa setelah selesai masa empat puluh tahun, seperti apa yang disebutkan di dalam firman Nya :

{فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً}

“Maka sesungguhnya negeri ini diharamkan atas mereka [Bani Israil] selama empat puluh tahun”. (Al-Maidah: 26) .

Maka Allah mengutus Yusya' ibnu Nun sebagai seorang nabi, lalu Yusya' menyeru kaum Bani Israil (untuk menyembah Allah) dan memberitahukan kepada mereka bahwa dirinya adalah seorang nabi, dan Allah telah memerintahkannya agar memerangi orang-orang yang gagah perkasa. Lalu mereka berbaiat kepadanya dan mempercayainya .

Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang dikenal dengan nama Bal'am berangkat dan menemui orang-orang yang gagah perkasa. Dia adalah orang yang mengetahui tentang Ismul A'zam yang rahasia (apabila dibaca, maka semua permintaannya dikabulkan seketika). Tetapi ia kafir dan berkata kepada orang-orang yang gagah perkasa :

"Janganlah kalian takut kepada Bani Israil. Karena sesungguh­nya jika kalian berangkat untuk memerangi mereka, maka saya akan mendoakan untuk kehancuran mereka, dan akhirnya mereka pasti hancur."

Bal'am hidup di kalangan mereka dengan mendapatkan semua perkara duniawi yang dikehendakinya, hanya saja dia tidak dapat berhubungan dengan wanita karena wanita orang-orang yang gagah perkasa itu terlalu besar baginya. Maka Bal'am hanya dapat menggauli keledainya. Kisah inilah yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

{فَانْسَلَخَ مِنْهَا}

“Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu” (Al-A'raf: I75)

Adapun Firman Allah Swt.:

{فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ}

“Lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda)”. (Al-A'raf: 175)

Maka artinya, setan telah menguasai dirinya dan urusannya; sehingga apabila setan menganjurkan sesuatu kepadanya, ia langsung mengerjakan dan menaatinya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan :

{فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ}

makajadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (Al-A'raf: 175)

Ia termasuk orang-orang yang binasa, bingung, dan sesat.

Lalu Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/509 berkata :

Firman Allah Swt.:

{وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ}

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. (Al-A'raf: 176)

Sedangkan firman Allah Swt.:

{وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا}

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu. (Al-A'raf: 176)

Maksudnya, niscaya Kami mengangkatnya dari pencemaran kekotoran duniawi dengan ayat-ayat yang telah Kami berikan kepadanya.

{وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ}

tetapi dia cenderung kepada dunia. (Al-A'raf: 176)

Yakni cenderung kepada perhiasan kehidupan dunia dan kegemerlapannya. Dia lebih menyukai kelezatan, kenikmatan, dan bujuk rayunya. Dia teperdaya oleh kesenangan duniawi sebagaimana teperdaya orang-orang yang tidak mempunyai pandangan hati dan akal.

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan : bahwa, kisah yang menyangkut lelaki ini antara lain ialah apa yang telah diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibnu Abdul A'la. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir, dari ayahnya yang ditanya mengenai makna ayat ini, yaitu firman-Nya:

{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا } 

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al­Kitab). (Al-A'raf: 175)

Maka ayahnya menceritakan kisah yang pernah ia terima dari Sayyar :

Bahwa dahulu kala ada seorang lelaki yang dikenal dengan nama Bal'am. Bal'am adalah orang yang doanya mustajab [senantiasa dikabulkan]. Kemudian Nabi Musa berangkat dengan pasukan kaum Bani Israil menuju negeri tempat Bal'am berada, atau negeri Syam.

Lalu penduduk negeri tersebut merasa sangat takut dan gentar terhadap Musa -’alaihis salaam- Maka mereka mendatangi Bal'am dan mengatakan kepadanya :

"Doakanlah kepada Allah untuk kehancuran lelaki ini (yakni Nabi Musa -’alaihis salaam-) dan bala tentaranya."

Bal'am menjawab, "Tunggulah sampai aku meminta saran dari Tuhanku, atau aku diberi izin oleh-Nya."

Bal'am meminta saran dari Tuhannya dalam doanya yang memohon untuk kehancuran Musa dan pasukannya. Maka dijawab, "Janganlah kamu mendoakan buat kehancuran mereka, karena sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Ku, dan di antara mereka terdapat nabi mereka."

Maka Bal'am melapor kepada kaumnya, "Sesungguhnya aku telah meminta saran kepada Tuhanku dalam doaku yang memohon untuk kehancuran mereka, tetapi aku dilarang melakukannya”.

Maka mereka memberikan suatu hadiah kepada Bal'am dan Bal'am menerimanya. Kemudian mereka kembali kepada Bal'am dan mengata­kan kepadanya : "Doakanlah untuk kehancuran mereka".

Bal'am menjawab : 'Tunggulah, aku akan meminta saran kepada Tuhanku."

Lalu Bal’am meminta saran Kepada Nya, ternyata Dia tidak memerintahkan  sesuatu pun kepadanya. Maka Bal'am berkata (kepada kaumnya) :

"Sesungguhnya aku telah meminta saran kepada Tuhanku, tetapi Dia tidak memerintahkan sesuatu pun kepadaku."

Kaumnya berkata : "Sekiranya Tuhanmu tidak suka engkau mendoa­kan untuk kehancuran mereka, niscaya Dia akan melarangmu pula sebagaimana Dia melarangmu pada pertama kalinya.”

Bal'am terpaksa berdoa untuk kebinasaan mereka. Tetapi apabila ia mendoakan untuk kehancuran mereka (Musa dan pasukannya), maka yang terucapkan oleh lisannya justru mendoakan untuk kehancuran kaumnya. Dan apabila ia mendoakan untuk kemenangan kaumnya, justru lisannya mendoakan untuk kemenangan Musa dan pasukannya atau hal yang semacam itu, seperti apa yang dikehendaki oleh Allah.

Maka kaumnya berkata, "Kami tidak melihatmu berdoa melainkan hanya untuk kehancuran kami."

Bal'am menjawab : "Tiada yang terucap­kan oleh lisanku melainkan hanya itu. Sekiranya aku tetap mendoakan untuk kehancurannya, niscaya aku tidak diperkenankan. Tetapi aku akan menunjukkan kepada kalian suatu perkara yang mudah-mudahan dapat menghancurkan mereka. Sesungguhnya Allah murka terhadap perbuatan zina, dan sesungguhnya jika mereka terjerumus ke dalam perbuatan zina, niscaya mereka akan binasa; dan aku berharap semoga Allah membinasakan mereka melalui jalan ini."

Bal'am melanjutkan ucapannya : "Karena itu, keluarkanlah kaum wanita kalian untuk menyambut mereka. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang sedang musafir, mudah-mudahan saja mereka mau berzina sehingga binasalah mereka."

Kemudian mereka melakukan hal itu dan mengeluarkan kaum wanita mereka menyambut pasukan Nabi Musa -’alaihis salaam- Tersebutlah bahwa raja mereka mempunyai seorang anak perempuan - perawi menyebutkan perihal kebesaran tubuhnya wallaahu a’lam -.

Lalu ayahnya atau Bal'am berpesan kepadanya : "Janganlah engkau serahkan dirimu selain kepada Musa."

Akhirnya pasukan Bani Israil terjerumus ke dalam perbuatan zina. Kemudian datanglah kepada wanita tadi seorang pemimpin dari salah satu kabilah Bani Israil yang menginginkan dirinya. Maka wanita itu berkata, "Saya tidak mau menyerahkan diri saya selain kepada Musa."

Pemimpin suatu Kabilah menjawab “Sesungguhnya kedudukanmu adalah anu dan anu, dan keadaanku anu dan anu."

Akhirnya si wanita mengirim utusan kepada ayahnya meminta saran darinya. Maka ayahnya berkata kepadanya : "Serahkanlah dirimu kepadanya."

Lalu pemimpin kabilah itu menzinainya. Ketika mereka berdua sedang berzina, datanglah seorang lelaki dari Bani Harun seraya membawa tombak, lalu menusuk keduanya.

Allah memberinya kekuatan yang dahsyat sehingga keduanya menjadi satu tersatekan oleh tombaknya, kemudian ia mengangkat keduanya dengan tombaknya itu, sehingga semua orang melihatnya. Maka Allah menimpakan penyakit ta'un kepada mereka, sehingga matilah tujuh puluh ribu orang dari kalangan pasukan Bani Israil.

Abul Mu'tamir mengatakan, Sayyar telah menceritakan kepadanya bahwa Bal'am mengendarai keledainya hingga sampai di suatu tempat yang dikenal dengan nama Al-Ma'luli atau suatu jalan yang menuju Al-Ma'luli. Lalu Bal'am memukuli keledainya, tetapi keledainya itu tidak mau maju, bahkan hanya berdiri saja di tempat.

Lalu keledai itu berkata kepadanya, "Mengapa engkau terus memukuliku? Tidakkah engkau melihat apa yang ada di hadapanmu ini?"

Tiba-tiba setan menampakkan diri di hadapan Bal'am. Lalu Bal'am turun dan bersujud kepada setan itu. Inilah yang disebutkan oleh firman Allah Swt.:

{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) 

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu meng­halaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).

Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. [Surat Al-A'raf, ayat 175-176]

Al-Hafidz Ibnu Katsir lalu menyebutkan riwayat lainnya :

Muhammad ibnu lshaq ibnu Yasar telah meriwayatkan dari Salim Abun Nadr; ia pernah menceritakan :

Bahwa Musa -’alaihis salaam- ketika turun di negeri Kan'an—bagian dari wilayah Syam—maka kaum Bal'am datang menghadap kepada Bal'am dan mengatakan kepadanya :

"Musa ibnu Imran telah datang bersama dengan pasukan Bani Israil. Dia datang untuk mengusir kita dari negeri kita dan akan membunuh kita, lalu membiarkan tanah ini dikuasai oleh Bani Israil. Dan sesungguhnya kami adalah kaummu yang dalam waktu yang dekat tidak akan mempunyai tempat tinggal lagi, sedangkan engkau adalah seorang lelaki yang doanya mustajab dan selalu dikabulkan Tuhan. Maka keluarlah engkau dan berdoalah untuk kehancuran mereka."

Bal'am menjawab : "Celakalah kalian! Nabi Allah ditemani oleh para malaikat dan orang-orang mukmin, maka mana mungkin saya pergi mendoakan untuk kehancuran mereka, sedangkan saya mengetahui Allah tidak akan menyukai hal itu?"

Mereka mengatakan kepada Bal'am, "Kami tidak akan memiliki tempat tinggal lagi."

Mereka terus-menerus meminta dengan memohon belas kasihan dan berendah diri kepada Bal'am untuk membujuknya. Akhirnya Bal'am terbujuk. Lalu Bal'am menaiki keledai kendaraannya menuju ke arah sebuah bukit sehingga ia dapat melihat perkemahan pasukan kaum Bani Israil, yaitu Bukit Hasban.

Setelah berjalan tidak begitu jauh, keledainya mogok, tidak mau jalan. Maka Bal'am turun dari keledainya dan memukulinya hingga keledainya mau bangkit dan berjalan, lalu Bal'am menaikinya.

Tetapi setelah berjalan tidak jauh, keledainya itu mogok lagi, dan Bal'am memukulinya kembali, lalu menjewer telinganya. Maka secara aneh keledainya dapat berbicara - memprotes tindakannya - seraya mengatakan :

"Celakalah kamu. hai Bal’am, ke manakah kamu akan pergi. Tidakkah engkau melihat para malaikat berada di hadapanku menghalang-halangi jalanku? Apakah engkau akan pergi untuk mendoakan buat kehancuran Nabi Allah dan kaum mukminin?"

Bal'am tidak menggubris protesnya dan terus memukulinya, maka Allah memberikan jalan kepada keledai itu setelah Bal'am memukuli­nya. Lalu keledai itu berjalan membawa Bal'am hingga sampailah di atas puncak Bukit Hasban, di atas perkemahan pasukan Nabi Musa dan kaum Bani Israil.

Setelah ia sampai di tempat itu, maka ia berdoa untuk kehancuran mereka. Tidak sekali-kali Bal'am mendoakan keburukan untuk Musa dan pasukannya, melainkan Allah memalingkan lisannya hingga berbalik mendoakan keburukan bagi kaumnya. Dan tidak sekali-kali Bal'am mendoakan kebaikan buat kaumnya, melainkan Allah memalingkan lisannya hingga mendoakan kebaikan buat Bani Israil.

Maka kaumnya berkata kepadanya : "Tahukah engkau, hai Bal'am, apakah yang telah kamu lakukan? Sesungguhnya yang kamu doakan hanyalah untuk kemenangan mereka dan kekalahan kami."

Bal'am menjawab, "Ini adalah suatu hal yang tidak saya kuasai, hal ini merupa­kan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah."

Maka ketika itu lidah Bal'am menjulur keluar sampai sebatas dadanya, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Kini telah lenyaplah dariku dunia dan akhiratku, dan sekarang tiada jalan lain bagiku kecuali harus melancarkan tipu muslihat dan kilah yang jahat. Maka aku akan melancarkan tipu muslihat buat kepentingan kalian. Sekarang percantiklah wanita-wanita kalian dan berikanlah kepada mereka berbagai macam barang dagangan. Setelah itu lepaskanlah mereka pergi menuju tempat perkemahan pasukan Bani Israil untuk melakukan jual beli di tempat mereka, dan perintahkanlah kepada kaum wanita kalian agar jangan sekali-kali ada seorang wanita yang menolak bila dirinya diajak berbuat mesum dengan lelaki dari kalangan mereka. Karena sesungguhnya jika ada seseorang dari mereka berbuat zina, maka kalian akan dapat mengalahkan mereka."

Lalu kaum Bal'am melakukan apa yang telah diperintahkan.

Ketika kaum wanita itu memasuki perkemahan pasukan Bani Israil seorang wanita dari Kan'an (kaum Bal'am) yang dikenal dengan nama Kusbati, anak perempuan pemimpin kaumnya bersua dengan seorang lelaki dari kalangan pembesar kaum Bani Israil. Lelaki tersebut bernama Zumri ibnu Syalum, pemimpin kabilah Syam'un ibnu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim.

Ketika Zumri melihat Kusbati, ia terpesona oleh kecantikannya. Lalu ia bangkit dan memegang tangan Kusbati, kemudian membawanya menghadap kepada Nabi Musa.

Zumri berkata : "Sesungguhnya aku menduga engkau akan mengatakan bahwa ini diharamkan atas dirimu, janganlah kamu mendekatinya."

Musa -’alaihis salaam- berkata : "Dia haram bagimu!"

Zumri menjawab : "Demi Allah, saya tidak mau tunduk kepada perintahmu dalam hal ini."

Lalu Zumri membawa Kusbati masuk ke dalam kemahnya dan menyetubuhinya. Maka Allah Swt. mengirimkan penyakit ta'un kepada kaum Bani Israil di perkemahan mereka. Pada saat Zumri ibnu Syalum melakukan perbuatan mesum itu Fanhas ibnul Aizar ibnu Harun —pengawal pribadi Musa— sedang tidak ada di tempat.

Penyakit ta'un datang melanda mereka, dan tersiarlah berita itu. Lalu Fanhas mengambil tombaknya yang seluruhnya terbuat dari besi, kemudian ia memasuki kemah Zumri yang saat itu sedang berbuat zina, lalu Fanhas menyate keduanya dengan tombaknya. Ia keluar seraya mengangkat keduanya setinggi-tingginya dengan tombaknya. Tombaknya itu ia jepitkan ke lengannya dengan bertumpu ke bagian pinggangnya, sedangkan batangnya ia sandarkan ke janggutnya.

Dia (Fanhas) adalah anak pertama Al-Aizar. Kemudian ia berdoa : "Ya Allah, demikianlah pembalasan yang kami lakukan terhadap orang yang berbuat durhaka kepada Engkau."

Maka ketika itu juga penyakit ta'un lenyap. Lalu dihitunglah orang-orang Bani Israil yang mati karena penyakit ta'un sejak Zumri berbuat zina dengan wanita itu hingga Fanhas membunuhnya, ternyata seluruhnya berjumlah tujuh puluh ribu orang.

Sedangkan menurut perhitungan orang yang meminimkan jumlahnya dari kalangan mereka, dua puluh ribu jiwa telah melayang dalam jarak waktu satu jam di siang hari.

Sejak saat itulah kaum Bani Israil memberikan kepada anak-anak Fanhas dari setiap korban yang mereka sembelih, yaitu bagian leher, kaki depan, dan janggut korbannya, serta anak yang pertama dari ternak mereka dan yang paling disayangi, karena Fanhas adalah anak pertama dari ayahnya yang bernama Al-Aizura.  

Sehubungan dengan Bal'am ibnu Ba'ura ini, kisahnya disebutkan oleh Allah Swt.: 

{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) 

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu meng­halaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).

Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. [Surat Al-A'raf, ayat 175-176]

Dari Abu Sa'id Al Khudri dari Nabi bersabda:

إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وإنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كيفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ؛ فإنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ في النِّسَاءِ.

"Sesungguhnya dunia itu manis. Dan sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepada kalian sekalian. Kemudian Allah memperhatikan apa yang kalian kerjakan (di dunia itu).

Oleh karena itu, maka kalian takutlah [waspadalah] terhadap dunia dan takutlah [waspadalah] terhadap wanita, karena sesungguhnya awal fitnah [bencana] menimpa pada Bani Isarail adalah karena wanita." [HR. Muslim no. 2742].

Lalu Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/509 berkata :

Adapun firman Allah Swt.:

{فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ}

“Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)“. (Al-A'raf: 176)

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Menurut teks Ibnu Ishaq, dari Salim, dari Abun Nadr, lidah Bal'am terjulur sampai dadanya. Lalu dia diserupakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya dalam kedua keadaan tersebut, yakni jika dihardik menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan tetap menjulurkan lidahnya.

Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah 'Bal'am menjadi seperti anjing dalam hal kesesatannya dan keberlangsungannya di dalam kesesatan serta tidak adanya kemauan memanfaatkan doanya untuk keimanan.

Perihalnya diumpamakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya dalam kedua keadaan tersebut, jika dihardik menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan tetap menjulurkan lidahnya tanpa ada perubahan. Demikian pula keadaan Bal'am, dia tidak memanfaatkan pelajaran dan doanya buat keimanan; perihalnya sama dengan orang yang tidak memilikinya”. [Tafsir Ibnu Katsir 3/509]

KISAH ORANG YANG DIANUGERAHI 3 DOA MUSTAJAB :

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/509 berkata :

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah­ku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Namir, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Sa'id Al-A'war, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

{وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175)

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al­Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu (Al-A'raf: 175)”

Bahwa dia adalah seorang lelaki yang dianugerahi tiga doa mustajab, dan ia mempunyai seorang istri yang memberinya seorang anak laki-laki. Lalu istrinya berkata, "Berikanlah sebuah doa darinya untukku."

Ia menjawab, "Saya berikan satu doa kepadamu, apakah yang kamu kehendaki?"

Si istri menjawab, "Berdoalah kepada Allah semoga Dia menjadikan diriku wanita yang tercantik di kalangan Bani Israil."

Maka lelaki itu berdoa kepada Allah, lalu Allah menjadikan istrinya seorang wanita yang tercantik di kalangan kaum Bani Israil. Setelah si istri mengetahui bahwa dirinyalah yang paling cantik di kalangan mereka tanpa tandingan, maka ia membenci suaminya dan menghendaki hal yang lain.

Akhirnya si lelaki berdoa kepada Allah agar menjadikan istrinya seekor anjing betina, akhirnya jadilah istrinya seekor anjing betina.

Dua doanya telah hilang. Kemudian datanglah anak-anaknya, lalu mereka mengatakan, "Kami tidak dapat hidup tenang lagi, karena ibu kami telah menjadi anjing betina sehingga menjadi cercaan orang-orang. Maka doakanlah kepada Allah semoga Dia mengembalikan ibu kami seperti sediakala."

Maka lelaki itu berdoa kepada Allah, lalu kembalilah ujud istrinya seperti keadaan semula. Dengan demikian, ketiga doa yang mustajab itu telah lenyap darinya, kemudian wanita itu diberi nama Al Basus. [Atsar ini gharib].

===****===

PENUTUP

Penting untuk diperhatikan !!!:

Pertama : Kasyaf tidak boleh dijadikan tujuan utama dalam beribadah, melainkan sebagai karunia yang menyertai kedekatan dengan Allah.

Kedua : Seseorang yang mendapatkan kasyaf harus tetap berpegang teguh pada syariat Islam dan tidak boleh menyombongkan diri atau menganggap kasyaf sebagai sesuatu yang lebih tinggi dari syariat.

Ketiga : Ada kemungkinan terjadinya istidraj dan juga adanya penipuan setan dalam bentuk kasyaf, oleh karena itu, seorang muslim harus selalu waspada dan berhati-hati dalam memahami dan menerima pengalaman kasyaf.

Posting Komentar

0 Komentar