SORBAN BUKAN SUNAH TAPI BUDAYA ARAB. DAN SEMUA HADITs KEUTAMAAN SORBAN ADALAH PALSU.
Di Tulis Oleh Abu Haitsam
Fakhry
KAJIAN
NIDA AL-ISLAM
====
===
DAFTAR ISI :
- SORBAN BUKAN SUNNAH, MELAINKAN PAKAIAN ADAT KEBIASAAN ARAB
- LARANGAN BERPAKAIAN SYUHROH (BERBEDA DAN MENJADI PUSAT PERHATIAN)
- SUNNAH BERPAKAIAN SESUAI DENGAN PAKAIAN ADAT SETEMPAT ATAU YANG BIASA DIPAKAI OLEH MASYARAKAT SETEMPAT :
- SHAHIH KAH HADITS KEUTAMAN SHOLAT MEMAKAI
SORBAN ?
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
===***===
SORBAN BUKAN SUNNAH, MELAINKAN PAKAIAN ADAT KEBIASAAN ARAB
Telah ada ketetapan dalam hadits-hadits nabawi bahwa Nabi ﷺ biasa memakai sorban, sebagaimana beliau juga memakai izar (kain
pakaian bawah), rida' (kain pakaian bagian atas seperti kain ihram), qalansuwah
(kopiah), jubah, dan qamis (baju). Semua pakaian ini adalah pakaian yang sudah
ada di tengah kaumnya ﷺ.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum memakai sorban, apakah
termasuk perkara mubah dan adat kebiasaan, ataukah termasuk sunnah yang
disyariatkan untuk diteladani dari Rasulullah ﷺ. Pendapat yang lebih kuat
adalah bahwa hal tersebut termasuk kebiasaan dan perkara mubah.
Syeikh Bin Baz pernah di tanya :
Apakah memakai sorban itu termasuk sunnah?
Beliau mejawab :
كَانَتْ مِنْ سُنَّةِ العَرَبِ، كَثِيرٌ
مِنْ أَهْلِ العِلْمِ يَقُولُونَ: اللِّبَاسُ لَا يَدْخُلُ فِي السُّنَّةِ وَالبِدْعَةِ؛
لِأَنَّهُ مِنَ العَوَائِدِ ... فَلَا بَأْسَ، وَمَنْ تَرَكَهَا فَلَا بَأْسَ، مِنْ
عَوَائِدِ العَرَبِ قَبْلَ الشَّرْعِ۔
“Sorban itu termasuk adat kebiasaan orang Arab. Banyak ulama
mengatakan: pakaian tidak termasuk dalam kategori sunnah dan bid'ah, karena ia
termasuk urusan adat kebiasaan... Maka tidak mengapa, dan siapa yang
meninggalkannya pun tidak mengapa. Itu adalah kebiasaan orang Arab sebelum
datangnya syariat”.
[Sumber : فَتَاوَى الدُّرُوسِ:
هَلْ لُبْسُ العِمَامَةِ سُنَّةٌ؟]
Syeikh Muhammad Sholeh al-Munajjid berkata :
وَالأَظْهَرُ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ بَابِ
العَادَاتِ وَالمُبَاحَاتِ، وَالأَصْلُ أَنْ يَلْبَسَ الإِنْسَانُ مَا يَلْبَسُهُ قَوْمُهُ
– مَا لَمْ يَكُنْ مُحَرَّمًا – وَأَلَّا يَشُذَّ عَنْهُمْ بِلِبَاسٍ يَشْتَهِرُ بِهِ؛
لِنَهْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لِبَاسِ الشُّهْرَةِ، وَلَوْ
قِيلَ بِأَنَّ العِمَامَةَ سُنَّةٌ مِنْ أَجْلِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَبِسَهَا، لَقِيلَ أَيْضًا بِأَنَّ لُبْسَ الإِزَارِ وَالرِّدَاءِ سُنَّةٌ
لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَهُمَا
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal tersebut termasuk kebiasaan dan perkara mubah.
Hukum asalnya, seseorang disyariatkan mengenakan pakaian yang biasa
dikenakan oleh kaumnya — selama tidak termasuk yang haram — dan tidak
menyelisihi mereka dengan pakaian yang menjadikannya dikenal, karena Nabi ﷺ melarang pakaian yang menjadikan pemakainya menonjol. Jika
dikatakan bahwa memakai sorban adalah sunnah karena Nabi ﷺ memakainya, maka akan dikatakan pula bahwa memakai izar dan
rida' juga sunnah karena Nabi ﷺ memakainya. [ISLAMQA No.
113894]
Dan pernah diajukan pertanyaan kepada para
ulama Al-Lajnah Ad-Daimah:
“Aku membiarkan janggutku, memendekkan pakaianku, dan memakai sorban
karena karunia Allah, dalam rangka mengikuti dan meneladani, tetapi yang aneh
adalah: banyak sekali orang yang mengingkari hal itu dariku, mengejekku karena
aku meninggalkan ghutrah, syimagh, dan iqal, mereka memandangku dengan ejekan
dan keheranan, seolah aku melakukan sesuatu yang mungkar atau aneh.
Apakah Rasulullah ﷺ memakai sorban? Apakah ia
sunnah muakkadah? Apakah sorban ini tidak cocok dipakai pada zaman sekarang?
Apa saja sifat Rasulullah ﷺ dalam memakai sorban? Apakah
ia memiliki warna seperti putih dan hitam? Apakah aku berdosa karena
memakainya? Dan apakah aku berdosa jika aku menganjurkan orang-orang di
sekitarku untuk memakainya?”
Mereka menjawab:
"الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ وَوَفَّقَكَ
لِاتِّبَاعِ السُّنَّةِ، وَمَا ذَكَرْتَهُ مِنْ إِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ فَهُوَ وَاجِبٌ؛
لِأَنَّهُ مِنْ سُنَنِ الأَنْبِيَاءِ، وَمِنْ خِصَالِ الْفِطْرَةِ، وَقَدْ نَهَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَلْقِ اللِّحْيَةِ وَقَصِّهَا؛ لِمَا فِيهِ
مِنَ التَّشَبُّهِ بِالْكُفَّارِ، وَأَمَّا تَقْصِيرُ الثَّوْبِ فَالْوَاجِبُ تَقْصِيرُهُ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ، وَمَا نَزَلَ عَنِ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ إِسْبَالٌ مُحَرَّمٌ
وَكَبِيرَةٌ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ، وَأَمَّا لُبْسُ العِمَامَةِ فَهُوَ مِنَ المُبَاحَاتِ
وَلَيْسَ بِسُنَّةٍ كَمَا تَوَهَّمْتَ، وَالأُولَى أَنْ تَبْقَى عَلَى مَا يَلْبَسُهُ
أَهْلُ بَلَدِكَ عَلَى رُؤُوسِهِمْ مِنَ الغُتْرَةِ وَالشِّمَاغِ وَنَحْوِهِ.
وَأَمَّا اسْتِهْزَاءُ النَّاسِ بِكَ
بِسَبَبِ تَمَسُّكِكَ بِالدِّينِ وَحِرْصِكَ عَلَى اتِّبَاعِ السُّنَّةِ فَلَا تَلْتَفِتْ
إِلَيْهِ، وَلَا يَهُمُّكَ. وَفَّقَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكَ لِلْفِقْهِ فِي الدِّينِ
وَالعَمَلِ بِسُنَّةِ سَيِّدِ المُرْسَلِينَ" انتهى.
“Segala puji bagi Allah yang telah memberimu petunjuk dan memudahkanmu
untuk mengikuti sunnah. Apa yang kamu sebutkan tentang membiarkan janggut
adalah wajib karena termasuk sunnah para nabi dan bagian dari fitrah. Nabi ﷺ melarang mencukur dan memendekkan janggut karena itu menyerupai
orang kafir. Adapun memendekkan pakaian, maka wajib dipendekkan hingga mata
kaki, dan apa yang melebihi mata kaki adalah isbal yang haram dan termasuk dosa
besar. Adapun memakai sorban maka itu termasuk perkara mubah dan bukan sunnah
seperti yang kamu sangka. Yang lebih utama adalah kamu tetap memakai apa yang
dikenakan oleh penduduk negerimu di atas kepala mereka seperti ghutrah,
syimagh, dan semisalnya.
Adapun ejekan orang-orang kepadamu karena kamu berpegang teguh dengan
agama dan bersemangat mengikuti sunnah, maka jangan hiraukan dan jangan kamu
pedulikan. Semoga Allah memberi taufik kepada kami dan kepadamu dalam memahami
agama dan mengamalkan sunnah pemimpin para rasul.” Selesai.
Dijawab oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Abdul Aziz
Al Syaikh, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Bakr
Abu Zaid.
[Selesai dari “Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah” (24/42)].
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga pernah
ditanya:
Apakah memakai sorban termasuk sunnah yang tetap dari Rasulullah ﷺ?
Beliau menjawab:
"لَا، لِبَاسُ العِمَامَةِ لَيْسَ بِسُنَّةٍ،
لَكِنَّهُ عَادَةٌ، وَالسُّنَّةُ لِكُلِّ إِنسَانٍ أَنْ يَلْبَسَ مَا يَلْبَسُهُ النَّاسُ
مَا لَمْ يَكُنْ مُحَرَّمًا بِذَاتِهِ، وَإِنَّمَا قُلْنَا هَذَا؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَبِسَ
خِلَافَ مَا يَعْتَادُهُ النَّاسُ لَكَانَ ذَلِكَ شُهْرَةً، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لِبَاسِ الشُّهْرَةِ، فَإِذَا كُنَّا فِي بَلَدٍ يَلْبَسُونَ
العَمَائِمَ لَبِسْنَا العَمَائِمَ، وَإِذَا كُنَّا فِي بَلَدٍ لَا يَلْبَسُونَهَا
لَمْ نَلْبَسْهَا، وَأَظُنُّ أَنَّ بِلَادَ المُسْلِمِينَ الْيَوْمَ تَخْتَلِفُ، فَفِي
بَعْضِ البِلَادِ الأَكْثَرُ فِيهَا لُبْسُ العَمَائِمِ، وَفِي بَعْضِ البِلَادِ بِالعَكْسِ،
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُ العِمَامَةَ؛ لِأَنَّهَا
مُعْتَادَةٌ فِي عَهْدِهِ، وَلِهَذَا لَمْ يَأْمُرْ بِهَا، بَلْ نَهَى عَنْ لِبَاسِ
الشُّهْرَةِ، مُفِيدًا إِلَى أَنَّ السُّنَّةَ فِي اللِّبَاسِ أَنْ يَتَّبِعَ الإِنسَانُ
مَا كَانَ النَّاسُ يَعْتَادُونَهُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُحَرَّمًا، فَلَوْ فُرِضَ
أَنَّ النَّاسَ صَارُوا يَعْتَادُونَ لِبَاسَ الحَرِيرِ وَهُمْ رِجَالٌ قُلْنَا: هَذَا
حَرَامٌ وَلَا نُوَافِقُهُمْ، وَلَوْ كُنَّا فِي بَلَدٍ اعْتَادَ الرِّجَالُ أَنْ يَلْبَسُوا
اللِّبَاسَ النَّازِلَ عَنِ الكَعْبَيْنِ قُلْنَا: هَذَا حَرَامٌ وَلَا نُوَافِقُهُمْ"
انتهى.
“Tidak, memakai sorban bukan sunnah, tetapi termasuk adat kebiasaan.
Sunnah bagi setiap orang adalah memakai apa yang biasa dikenakan oleh
masyarakat selama tidak haram pada dirinya.
Kami katakan demikian karena jika seseorang mengenakan sesuatu yang
berbeda dari kebiasaan masyarakat, maka itu termasuk pakaian yang menjadikannya
menonjol, dan Nabi ﷺ melarang pakaian semacam
itu.
Jika kita berada di negeri yang masyarakatnya mengenakan sorban, maka
kita memakainya. Jika berada di negeri yang tidak memakainya, maka kita tidak
memakainya. Saya kira negeri-negeri kaum muslimin hari ini berbeda-beda: di
sebagian negeri, mayoritas mengenakan sorban, sementara di negeri lain
sebaliknya.
Nabi ﷺ dahulu memakai sorban karena
itu kebiasaan di zamannya, dan karena itu beliau tidak memerintahkannya.
Bahkan, beliau melarang pakaian yang menjadikan pemakainya menonjol.
Ini menunjukkan bahwa sunnah dalam berpakaian adalah mengikuti
kebiasaan masyarakat selama tidak haram. Seandainya masyarakat terbiasa memakai
sutra padahal mereka laki-laki, maka kita katakan: ini haram dan tidak boleh
kita ikuti. Dan jika kita berada di negeri yang laki-lakinya memakai pakaian di
bawah mata kaki, maka kita katakan: ini haram dan kita tidak boleh
ikut-ikutan.”
[Selesai dari “Liqa Al-Bab Al-Maftuh” (160/23)].
Beliau juga mengatakan:
لُبْسُ العِمَامَةِ لَيْسَ مِنَ السُّنَنِ
لَا المُؤَكَّدَةِ وَلَا غَيْرِ المُؤَكَّدَةِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُهَا اتِّبَاعًا لِلْعَادَةِ الَّتِي كَانَ النَّاسُ
عَلَيْهَا فِي ذَلِكَ الزَّمَنِ، وَلِهَذَا لَمْ يَأْتِ حَرْفٌ وَاحِدٌ مِنَ السُّنَّةِ
يَأْمُرُ بِهَا، فَهِيَ مِنَ الأُمُورِ العَادِيَّةِ الَّتِي إِنِ اعْتَادَهَا النَّاسُ
فَلْيَلْبَسْهَا الإِنْسَانُ لِئَلَّا يَخْرُجَ عَنْ عَادَةِ النَّاسِ، فَيَكُونَ لِبَاسُهُ
شُهْرَةً، وَإِنْ لَمْ يَعْتَدْهَا النَّاسُ فَلَا يَلْبَسْهَا، هَذَا هُوَ القَوْلُ
الرَّاجِحُ فِي العِمَامَةِ" انتهى.
“Memakai sorban bukan termasuk sunnah, baik yang muakkadah maupun yang
tidak muakkadah, karena Nabi ﷺ memakainya mengikuti
kebiasaan yang berlaku di zamannya. Karena itu, tidak ada satu huruf pun dari
sunnah yang memerintahkan untuk memakainya. Ia termasuk perkara adat yang jika
masyarakat terbiasa memakainya, maka seseorang memakainya agar tidak
menyelisihi kebiasaan masyarakat sehingga tidak tampil menonjol. Dan jika
masyarakat tidak terbiasa memakainya, maka tidak usah dipakai. Ini adalah
pendapat yang paling kuat dalam masalah sorban.”
[Selesai dari “Fatawa Nur 'ala Ad-Darb”].
===***===
LARANGAN BERPAKAIAN SYUHROH (BERBEDA DAN MENJADI PUSAT PERHATIAN)
Rasulullah ﷺ melarang umatnya
berpenampilan dan berpakaian yang membuat seseorang menjadi pusat perhatian
publik dan membuatnya terkenal.
Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن لبسَ ثوبَ شُهْرةٍ في الدُّنيا
ألبسَهُ اللَّهُ ثوبَ مذَلَّةٍ يومَ القيامةِ ، ثمَّ أُلهبَ فيهِ نارًا
“Barangsiapa memakai pakaian Syuhrah di dunia, maka Allah akan
memberikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat , kemudian dinyalakan api
untuknya.”
(HR. Ahmad: 5406, Abu Dawud: 3511, Ibnu Majah: 3596. Tambahan dalam
kurung adalah milik Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Dari Harun bin Kinanah rahimahullah:
أَنَّ النَّبِىَّ ﷺ نَهَى عَنِ
الشُّهْرَتَيْنِ أَنْ يَلْبَسَ الثِّيَابَ الْحَسَنَةَ الَّتِى يُنْظَرُ إِلَيْهِ
فِيهَا أَوِ الدَّنِيَّةِ أَوِ الرَّثَّةِ الَّتِى يُنْظَرُ إِلَيْهِ فِيهَا
“Bahwa Nabi ﷺ melarang dari dua macam
Syuhrah;
Seseorang memakai baju yang bagus sehingga pandangan mata tertuju
kepadanya.
Atau baju yang jelek sehingga pandangan mata tertuju kepadanya.”
(HR. al-Baihaqi dalam al-Kubra: 6319 (3/273). Al-Albani menyatakan
bahwa isnadnya shahih tetapi mursal karena Kinanah adalah tabi’in. Lihat Jilbab
al-Mar’atil Muslimah: 173).
Al-Imam
as-Sarkhosi al-Hanafi dalam kitabnya "المَبْسُوطُ (30/268)
berkata:
وَالْمُرَادُ أَنْ لَا يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ
مِنَ الْحُسْنِ وَالْجَودَةِ فِي الثِّيَابِ عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ،
أَوْ يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ الثِّيَابِ الْخَلِقِ الْقَدِيمِ الْبَالِيَ
عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، فَإِنَّ أَحَدَهُمَا يَرْجِعُ إِلَى
الْإِسْرَافِ وَالْآخَرُ يَرْجِعُ إِلَى التَّقْتِيرِ، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا.
"
Dan yang di maksud adalah jangan memakai pakaian yang paling bagus dan paling
berkwalitas dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya. Atau
memakai pakaian yang paling jelek lapuk dengan tujuan agar jari-jari manusia
menunjukkan padanya. Maka sesungguhnya salah satunya itu disebabkan berlebihan,
sementara yang kedua karena terlalu pelit, dan sebaik-baiknya semua perkara
adalah tengah-tengahnya". (Selesai)
Penyesalan
seorang sahabat Buraidah bin al-Hushoib radhiyallahu anhu [W. 63 H] karena
beliau pernah berpakaian syuhrah:
شَهِدْتُ خَيْبَرَ، وَكُنْتُ فِيْمَنْ صَعِدَ الثُّلْمَةَ،
فَقَاتَلْتُ حَتَّى رُئِيَ مَكَانِي، وَعَلَيَّ ثَوْبٌ أَحْمَرُ، فَمَا أَعْلَمُ
أَنِّي رَكِبْتُ فِي الإِسْلَامِ ذَنْباً أَعْظَمَ عَلَيَّ مِنْهُ - أَيْ: الشُّهْرَةَ
"
Waktu itu aku ikut serta perang Khaibar, dan aku termasuk orang yang mendaki
"الثُّلْمَة" (Takik = celah antara dua dinding pada balkon benteng), lalu aku pun bertempur sehingga posisi ku nampak
terlihat karena aku mengenakan baju merah, maka sepengetahuanku tidak ada dosa
yang telah aku perbuat yang lebih besar darinya. Yakni pakai baju yang membuat
dirinya jadi terkenal". [ Baca سِيرُ أَعْلَامِ
النُّبَلَاءِ (2/470)]
Takik / Tsulmah (celah antara dua dinding pada balkon benteng)
===***===
SUNNAH BERPAKAIAN SESUAI DENGAN PAKAIAN ADAT SETEMPAT ATAU YANG BIASA DIPAKAI OLEH MASYARAKAT SETEMPAT :
Termasuk sunnah adalah kita menyesuaikan pakaian yang telah menjadi
kebiasaan masyarakat setempat selama tidak melanggar syariat dan menurunkan
muru’ah (kehormatan) seorang muslim.
FATWA ISLAMWEB :
Dan dalam Fatwa IslamWeb no. 14805 di sebutkan :
أَنَّهُ يُشْرَعُ لِكُلِّ أَهْلِ بَلَدٍ
أَنْ يَلْبَسُوا مَا تَعَارَفَ عَلَيْهِ النَّاسُ فِي نَفْسِ الْبَلَدِ، وَيُكْرَهُ
لَهُمْ مُخَالَفَتُهُ، بَلْ قَدْ يَحْرُمُ، وَذَلِكَ إِذَا وَصَلَ إِلَى حَدٍّ يَكُونُ
بِهِ لِبَاسُ شُهْرَةٍ۔
Disyariatkan bagi seluruh penduduk suatu negeri memakai apa yang
menjadi kebiasaan penduduk negeri tersebut, dan dimakruhkan bagi mereka untuk
menyelisihinya, bahkan boleh jadi itu DIHARAMKAN, jika sampai pada titik di
mana ia menjadi PAKAIAN SYUHRAH [ menjadi pusat perhatian publik ].
FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIN :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata :
أَنَّ مُوَافَقَةَ العَادَاتِ فِي غَيْرِ
المُحَرَّمِ هِيَ السُّنَّةُ؛ لِأَنَّ مُخَالَفَةَ العَادَاتِ تَجْعَلُ ذَلِكَ شُهْرَةً،
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لِبَاسِ الشُّهْرَةِ، فَيَكُونُ
مَا خَالَفَ العَادَةَ مَنْهِيًّا عَنْهُ.
وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ نَقُولُ: هَلْ
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَتَعَمَّمَ الإِنْسَانُ؟ وَيَلْبَسَ إِزَارًا وَرِدَاءً؟
الجَوَابُ: إِنْ كُنَّا فِي بَلَدٍ يَفْعَلُونَ
ذَلِكَ فَهُوَ مِنَ السُّنَّةِ، وَإِذَا كُنَّا فِي بَلَدٍ لا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ،
وَلا يَأْلَفُونَهُ فَلَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ.
" Bahwa menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat dalam hal
yang bukan keharaman adalah disunnahkan.
Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang SYUHROH
(suatu yang tampil beda sekali dan mencolok, pent). Nabi ﷺ melarang berpakaian SYUHROH.
Jadi sesuatu yang menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat, itu
terlarang dilakukan.”
Dan berdasarkan penjelasan ini kita katakan:
“Apakah termasuk dari as-Sunnah jika seseorang menggunakan imamah
(sorban)? Dan memakai sarung dan selendang?
JAWABAN :
Jika kita berada di negeri yang menggunakannya, maka itu termasuk
dari as-Sunnah. Dan jika kita menggunakannya di negeri yang tidak mengenal
pakaian tersebut dan tidak memakainya, maka itu bukan termasuk as-Sunnah.”
(Syarhul Mumti’ 6/109, syamilah)
Fatwa di atas ini sesuai dengan pendapat keumuman ulama Hanabilah.
FATWA AL-MARDAWAI AL-HANBALI :
Abul Hasan al-Mardawi al-Hanbali (wafat tahun 885 H) rahimahullah
menyatakan:
يُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ أَوْ
خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنَ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ
“Dibenci (dimakruhkan, pen) memakai baju yang di dalamnya
terdapat Syuhrah atau baju yang menyelisihi pakaian kebiasaan negeri manusia,
menurut pendapat yang benar dari Madzhab Hanbali.” (Al-Inshaf fi Ma’rifatir
Rajih minal Khilaf: 1/333).
FATWA IBNU BATHTHAL :
Al-Imam Ibnu Baththal (wafat tahun 404 H) dari kalangan ulama
Malikiyah, dia berkata:
فَالَّذِي يَنْبَغِي لِلرَّجُلِ أَنْ
يَتَزَيَّىٰ فِي كُلِّ زَمَانٍ بِزِيِّ أَهْلِهِ مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، لِأَنَّ
مُخَالَفَةَ النَّاسِ فِي زِيِّهِمْ ضَرْبٌ مِنَ الشُّهْرَةِ۔
“Maka yang seharusnya bagi seseorang adalah berpakaian di setiap
jaman sesuai dengan pakaian penduduk jamannya, selagi bukan dosa,
karena menyelisihi manusia dalam pakaian mereka termasuk bagian dari
‘Syuhrah’.”
( Baca : Syarah Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal: 9/123).
FATWA ATH-THABARY :
al-Imam ath-Thabari dari kalangan ulama Syafi’iyah. Dia berkata :
فَإِنَّ مُرَاعَاةَ زِيِّ الزَّمَانِ
مِنَ الْمُرُوءَةِ مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا وَفِي مُخَالَفَةِ الزِّيِّ ضَرْبٌ
مِنَ الشُّهْرَةِ
“Sesungguhnya menjaga diri untuk berpakaian yang sesuai
dengan penduduk jamannya adalah termasuk sikap muru’ah [ bijak dan
gentle] , selagi bukan perbuatan dosa. Dan di dalam menyelisihi pakaian
mereka itu bagian dari bentuk ‘Syuhrah’.”
(Dikutip dalam : Fathul Bari: 10/319).
FATWA SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah di tanya :
Apakah yang dianggap sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ itu memakai gamis atau
jubah karena Rasulullah ﷺ memakainya?
Ataukah memakai baju sesuai dengan baju kaum muslimin karena
Rasulullah ﷺ memakai gamis dan jubah karena menjadi baju keumuman kaum
muslimin saat itu?
JAWABAN :
Yang sesuai dengan syariat adalah memakai baju yang menjadi
keumuman kaum muslimin.
Dan dia berkata:
وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ
الصَّحَابَةَ لَمَّا فَتَحُوا الْأَمْصَارَ كَانَ كُلٌّ مِنْهُمْ يَأْكُلُ مَنْ
قُوتِ بَلَدِهِ وَيَلْبَسُ مِنْ لِبَاسِ بَلَدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْصِدَ
أَقْوَاتَ الْمَدِينَةِ وَلِبَاسَهَا وَلَوْ كَانَ هَذَا الثَّانِي هُوَ
الْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِمْ لَكَانُوا أَوْلَى بِاخْتِيَارِ الْأَفْضَلِ
“Dalil atas demikian adalah bahwa para sahabat Nabi ﷺ ketika menaklukkan negeri-negeri (sehingga wilayah Islam
menjadi luas, pen.) maka masing-masing dari mereka mengkonsumsi makanan
negerinya dan berpakaian dengan pakaian negerinya tanpa berkeinginan
(untuk mendatangkan) makanan dan pakaian Madinah. Seandainya yang kedua ini
(yakni berpakaian dan mengkonsumsi makanan kota Madinah, pen) itu lebih utama
menurut mereka maka mereka akan memilih yang lebih utama.” (Majmu’ al-Fatawa:
22/325).
FATWA IBNU QOYYIM :
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menyatakan :
Bahwa yang sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ adalah memakai baju yang
sesuai dengan baju kaum muslimin [ setempat ].
Ini karena Rasulullah ﷺ kadang-kadang memakai jubah,
kadang-kadang memakai gamis, baju wol dan sebagainya tergantung keadaan kaum
muslimin saat itu.
Ibnu Qoyyim berkata :
وَالصَّوَابُ أَنَّ أَفْضَلَ الطُّرُقِ
طَرِيقُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي سَنَّهَا، وَأَمَرَ
بِهَا، وَرَغَّبَ فِيهَا، وَدَاوَمَ عَلَيْهَا، وَهِيَ أَنَّ هَدْيَهُ فِي اللِّبَاسِ:
أَنْ يَلْبَسَ مَا تَيَسَّرَ مِنَ اللِّبَاسِ، مِنَ الصُّوفِ تَارَةً، وَالْقُطْنِ
تَارَةً، وَالْكِتَّانِ تَارَةً. وَلَبِسَ الْبُرُودَ الْيَمَانِيَّةَ، وَالْبُرْدَ
الْأَخْضَرَ، وَلَبِسَ الْجُبَّةَ، وَالْقَبَاءَ، وَالْقَمِيصَ، وَالسَّرَاوِيلَ، وَالْإِزَارَ،
وَالرِّدَاءَ، وَالْخُفَّ، وَالنَّعْلَ، وَأَرْخَى الذُّؤَابَةَ مِنْ خَلْفِهِ تَارَةً،
وَتَرَكَهَا تَارَةً
“Dan yang benar adalah bahwa jalan yang paling utama adalah
jalan Rasulullah ﷺ yang mana beliau telah
men-sunnahkannya, memerintahkannya, mendorong kepadanya, dan mendawamkannya.
Yaitu bahwa petunjuk beliau dalam masalah pakaian adalah memakai
pakaian yang mudah didapat , kadang-kadang memakai baju wol, kadang-kadang
katun, kadang-kadang kapas, memakai baju selempang bergaris dari Yaman, baju
selempang bergaris hijau, memakai jubah, baju luar (mantel), gamis, sirwal
(celana), sarung, rida’ (selendang), sepatu khuf, sandal dan kadang-kadang
mengulurkan kuncir imamahnya dan kadang-kadang tidak.”
( Baca : Zaadul Ma’ad: 1/143).
DALIL :
Di antara dalil yang memperkuat pendapat ini adalah hadits Anas bin Malik radliyallahu
anhu dalam kisah Dhimam bin Tsa’labah radliyallahu anhu:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ دَخَلَ رَجُلٌ
عَلَى جَمَلٍ فَأَنَاخَهُ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ ثُمَّ قَالَ
لَهُمْ أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ فَقُلْنَا هَذَا الرَّجُلُ
الْأَبْيَضُ الْمُتَّكِئُ..الخ
“Suatu ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi ﷺ di masjid. Tiba-tiba masuklah seorang laki-laki di atas unta.
Kemudian ia merundukkan unta itu dan mengikatnya.
Kemudian ia bertanya: “Yang manakah di antara kalian yang bernama
Muhammad?”
Sedangkan Nabi ﷺ duduk bersandar di antara
mereka (para sahabat). Maka kami jawab: “Ini lelaki (berkulit) putih yang
bersandar.......”
(HR. Al-Bukhari: 61, Abu Dawud: 411, an-Nasai: 2065 dan Ibnu Majah:
1392).
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad ketika menjelaskan hadits di atas ,
dia berkata :
وَكَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
لِتَوَاضُعِهِ لَا يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ بَيْنَ أَصْحَابِهِ، ٱلَّذِي لَا يَعْرِفُهُ
لَا يُمَيِّزُهُ... إِلَخْ۔
“Adalah beliau ﷺ karena sifat
tawadhu’nya, tidak dikenal (oleh orang yang belum pernah tahu,
pen). Jika beliau berada di antara sahabat beliau, maka beliau tidak bisa
dikenal dan dibedakan...” (Syarh Sunan Abi Dawud: 3/297).
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memakai pakaian yang tidak
menonjol di antara sahabat beliau. Sehingga apa yang beliau pakai juga dipakai
oleh para sahabat beliau.
SHAHIH KAH HADITS KEUTAMAN SHOLAT MEMAKAI SORBAN ?
****
HADITS PERTAMA :
Diriwayatkan dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rosulullah ﷺ
bersbada :
"صَلَاةُ تَطَوُّعٍ أَوْ فَرِيضَةٍ
بِعِمَامَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلَاةً بِلَا عِمَامَةٍ، وَجُمُعَةٌ
بِعِمَامَةٍ تَعْدِلُ سَبْعِينَ جُمُعَةً بِلَا عِمَامَةٍ"
Sholat sunnah atau sholat fardlu pakai sorban setara dengan sholat dua puluh lima tanpa sorban, dan sholat Jum’atan pake
sorban setara dengan tujuh puluh sholat Jum’at tanpa Sorban “.
STATUS HADITS : PALSU
TAKHRIJ :
Hadits ini dimasukkan
oleh Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya “تاريخ
دمشق” (37/355) dan al-Dailami dalam “مسند
الفردوس” (2/108) dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma.
Al-Sakhoowi berkata
dalam “المقاصد الحسنة” (466): “Itu tidak ada
ketetapan (tidak bisa
dibuktikan keshahihannya)”.
Dan Al-Mubarakfoury
berkata dalam “تحفة الأحوذي” (5/339):
«قَالَ المُنَاوِيُّ: قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: مَوْضُوعٌ،
وَكَذَلِكَ قَالَ الشَّوْكَانِيُّ فِي كِتَابِهِ: «الفَوَائِدُ المَجْمُوعَةُ فِي الأَحَادِيثِ
المَوْضُوعَةِ»، وَفِي البَابِ رِوَايَاتٌ أُخْرَى ذَكَرَهَا الشَّوْكَانِيُّ وَغَيْرُهُ
فِي مَوْضُوعَاتِهِمْ».
“Al-Munaawi berkata :
Ibn Hajar berkata : Itu hadits Palsu. Begitu juga yang dikatakan
Al-Syawkaani dalam kitabnya : "Al-Fawā’id al-Majmū’ah fī al-Aḥādīts al-Mawḍū’ah” dan dalam bab
tersebut terdapat riwayat-riwayat lain yang disebutkan oleh al-Syawkaani dan
lainnya dalam kitab-kitab mereka yang isinya
tentang kumpulan hadits-hadits palsu “. (Kutipan Selesai)
Syeikh Al-Albani
berkata dalam “ ضعيف
الجامع” (3520) dan" الضعيفة "(127)
: " Palsu '".
****
HADITS KE DUA :
Di riwayatkan dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu , bahwa Nabi ﷺ bersabda :
"الصَّلَاةُ فِي العِمَامَةِ تَعْدِلُ عَشَرَةَ
آلَافِ حَسَنَةٍ"
“Sholat pake sorban setara dengan sepuluh ribu amal
kebajikan”
STATUS HADITS : PALSU
TAKHRIJ :
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abaan Ibn Abi ‘Ayyash, sementara Abaan ini dituduh berdusta
dengan mengatas namakan riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu .
Dan Hadits ini di
hukumi sebagai hadits Palsu oleh : as-Sakhowi dlm “المقاصد الحسنة” (423), dan Al-Shawkani dalam
“الفوائد المجموعة '”
(188), dan Ibnu Iraaq dalam “تنزيه الشريعة
المرفوعة” (2/124)
, dan Ali Al-Qaari dalam “المصنوع في
معرفة الحديث الموضوع”
(118), dan al-Albani dalam “السلسلة
الضعيفة”
(129).
HADITS KE TIGA :
Diriwayatkan dari Jabir
ibn 'Abdullah radhiyallahu ‘anhu . Dia mengatakan bahwa Nabi ﷺ bersabda :
( رَكْعَتَانِ بِعِمامَةٍ
خَيْرٌ مِنْ سَبْعِينَ رَكْعَةً بِلا عِمامَةٍ )
"Dua raka'at yang dipersembahkan dalam serban lebih
baik dari tujuh puluh raka'at. tanpa sorban. ”
STATUS HADITS : PALSU
TAKHRIJ :
(HR. ad-Daylami dalam “مسند الفردوس” (2/265, no. 3233). Dalam “الجامع الكبير” (no. 14441), Imam as-Sayuuti menghubungkannya dengan Abu
Na'im. Tetapi kami tidak dapat menemukannya.
Al-Munawi berkata :
رَوَاهُ عَنْهُ أَيْضًا أَبُو
نُعَيْمٍ – وَمِنْ طَرِيقِهِ وَعَنْهُ تَلَقَّاهُ الدَّيْلَمِيُّ – ثُمَّ إِنَّ فِيهِ
طَارِقَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَوْرَدَهُ الذَّهَبِيُّ فِي الضُّعَفَاءِ، وَقَالَ:
قَالَ النَّسَائِيُّ: لَيْسَ بِقَوِيٍّ. عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ: ذَكَرَهُ البُخَارِيُّ
فِي الضُّعَفَاءِ، وَقَالَ الحَاكِمُ: سَيِّئُ الحِفْظِ. "انْتَهَى بِاخْتِصَارٍ".
Abu Nu’aim juga meriwayatkan darinya - dan itu adalah
melalui dia dan darinya ad-Daylami menerimanya - apalagi isnadnya (rantai
perawi) termasuk Thariq ibn 'Abdur Rahman, yang dimasukkan oleh adz-Dzahabi
dalam kitab “الضعفاء” dan dia berkata
: an-Nasai berkata : “Dia tidak kuat “.
Dan itu diriwayatkan dari Muhammad ibn 'Ajlan : bahwa Imam
al-Bukhari memasukkannya dalam kitab “الضعفاء” . Al-Hakim
berkata: “ Dia memiliki ingatan yang buruk “. Kutipan berakhir. [Baca : “فيض
القدير” (4/49)]
Berdasarkan hal ini, hadits tersebut adalah dha’if jiddan
(sangat lemah) dan tidak dibolehkan untuk meriwayatkannya tanpa menyatakan
bahwa itu hadits dha'if dengan tujuan untuk memperingatkan terhadap
kedha’ifannya. Dengan demikian para ulama memutuskan bahwa hadits ini harus
ditolak dan tidak diterima .
As-Sakhoowi berkata : “لا يثبت” Itu tidak ada
ketetapan (tidak
terbukti keshahihannya). (Baca : المقاصد
الحسنة hal.406 ).
Syeikh al-Albani berkata : “ موضوع (Palsu)”. ( Baca “السلسلة الضعيفة” no. 128, 5699
Syekh Bin Baaz berkata :
"هَذَا خَبَرٌ لَا أَصْلَ لَهُ، مَوْضُوعٌ مَكْذُوبٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَا أَصْلَ لِذَلِكَ" انْتَهَى
"Ini adalah hadits yang tidak ada asalnya , itu palsu dan dusta diatas namakann kepada Nabi ﷺ “.
[Kutipan berakhir .
Lihat : http://www.binbaz.org.sa/mat/11590
].
Asy-Syeikh Ibnu 'Utsaimiin berkata :
"هَذَا الحَدِيثُ حَدِيثٌ
بَاطِلٌ مَوْضُوعٌ مَكْذُوبٌ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ، وَالعِمَامَةُ – كَغَيْرِهَا مِنَ الأَلْبِسَةِ – تَتْبَعُ عَادَاتِ النَّاسِ،
فَإِنْ كُنْتَ فِي أُنَاسٍ اعْتَادُوا لُبْسَ العِمَامَةِ فَالْبَسْهَا، وَإِذَا كُنْتَ
فِي أُنَاسٍ لَا يَعْتَادُونَ لُبْسَ العِمَامَةِ وَإِنَّمَا يَلْبَسُونَ الغُتْرَةَ
أَوْ يَبْقَوْنَ بِلَا شَيْءٍ يَسْتُرُ رُءُوسَهُمْ فَافْعَلْ كَمَا يَفْعَلُونَ"
انْتَهَى. "فَتَاوَى نُورٌ عَلَى الدَّرْبِ"
“Hadits ini adalah hadits Bathil , palsu dan
dusta diatas namakann kepada Rosulullah ﷺ “. Sorban
itu – sama seperti pakaian lainnya - mengikuti pada adat kebiasaan masyarakat. Jika
Anda termasuk orang yang biasa memakai serban, maka kenakanlah ! . Jika Anda
termasuk di antara orang-orang yang tidak biasa memakai serban - melainkan
mereka memakai ghutrah (sejenis sorban orang Arab) atau membiarkan kepala
mereka tidak tertutup, maka lakukanlah apa yang mereka lakukan “. Kutipan berakhir.
Di kutip dari “فتاوى نور على الدرب”
http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_6894.shtml
HADITS KE EMPAT :
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu
‘anhuma bahwa Nabi ﷺ bersabda :
" عَلَيْكُمْ بِالْعَمَائِمِ فَإِنَّهَا
سِيمَا المَلائِكَة وَأَرْخُوْهَا خلفَ ظُهُوْرِكُمْ "
“Pakailah kalian sorban, karena itu
adalah cira khas para
malaikat, dan landaikanlah di belakang
punggung kalian “.
STATUS HADITS : PALSU
TAKHRIJ :
Syeikh al-Mubarofury
dalam kitabnya “كتاب تحفة
الأحوذي “ Bab
“باب ما جاء في كراهية خاتم الذهب” (339) berkata :
"أخرجه بن عَدِيٍّ وَالْبَيْهَقِيُّ فِي
الْخُلَاصَةِ وَهُوَ مَوْضُوعٌ . وَقَالَ فِي اللَّآلِئِ لَا يَصِحُّ وَقَالَ لَهُ
طَرِيقٌ آخر عن بن عَبَّاسٍ أَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ فِي الْمُسْتَدْرَكِ".
Hadit ini dimasukkan oleh Ibnu ‘Adiy dan
al-Baihaqi dalam kitabnya “الْخُلَاصَةِ”: Hadits ini adalah Palsu '.
Dan dia ( As-Sayuuthi ) berkata dalam
kitab “اللآليء المصنوعة” : “itu tidak shahih“.
Dan dia berkata pula : Baginya terdapat jalur riwayat lain dari Ibnu Abbaas radhiyallahu ‘anhuma, yang oleh al-Hakim di masukkannya dalam kitab “ al-Mustadrak “. (Kutipan Berakhir)
Wallaahu a’lam
SELESAI . SEMOGA
BERMANFAAT
0 تعليقات