HAK-HAK ISTRI ATAS SUAMI DALAM SYARIAT ISLAM
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- CONTOH BEBERAPA HAK ISTRI ATAS SUAMINYA:
- BAGAIMANA JIKA SUAMI-NYA PELIT ?
- HADITS-HADITS PERINTAH UNTUK MEMULIAKAN KAUM WANITA
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan petunjuk-Nya. Kami berlindung kepada
Allah dari kejahatan diri kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah maka
tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan oleh-Nya maka
tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan
yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Hak-hak istri atas suaminya :
Telah menjadi ketetapan hikmah Allah yang
Mahasuci dan Mahatinggi—dan tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya—bahwa
Dia menciptakan kehidupan di bumi ini dari laki-laki dan perempuan. Allah juga
menjadikan kecenderungan fitri antara keduanya agar saling merasa tenteram dan
mendapatkan ketenangan dengannya. Allah berfirman:
﴿ وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون ).
*“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.”* (Ar-Rum: 21)
Untuk menjamin terciptanya kasih sayang dan
rahmat serta terwujudnya ketenangan, Allah menetapkan hukum yang mengatur
hubungan antara suami dan istri, serta mewajibkan masing-masing dari keduanya
untuk menunaikan hak-hak terhadap pasangannya. Setelah pernikahan terjadi dan
kedua pasangan hidup bersama, maka masing-masing dari mereka wajib menunaikan
hak-hak satu sama lain. Hubungan antara suami dan istri bukanlah hubungan
biasa, melainkan hubungan yang memiliki hak dan kewajiban. Ketidaktahuan dan
pengabaian terhadap hak-hak ini sering kali menjadi penyebab utama berbagai
permasalahan, yang menyebabkan munculnya hal-hal yang bertentangan dengan
hikmah dari pernikahan itu sendiri, di antaranya: buruknya hubungan, tidak
adanya pemahaman antara suami dan istri, dan pada akhirnya berujung pada
perceraian, yang menyebabkan hilangnya hak-hak, kehancuran keluarga, dan
rusaknya ikatan sosial.
Oleh karena itu, penting adanya pemenuhan
hak-hak masing-masing agar tercipta kehidupan rumah tangga yang bahagia, yang
dibangun di atas ketakwaan dan kerja sama, agar cinta dan kasih sayang tetap
terjaga, hubungan tetap harmonis dan bersih dari segala gangguan. Hubungan
suami istri adalah hubungan spiritual yang bersifat maknawi, bukan sekadar
hubungan biologis hewani. Inilah yang ditekankan dan dianjurkan oleh syariat.
Allah berfirman:
﴿ وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴾
*“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.”* (Ar-Rum: 21)
Dalam rangka itulah saya menuliskan sebagian
dari hak-hak istri atas suaminya. Sebagaimana suami memiliki hak, ia pun
memiliki kewajiban. Hal ini bertujuan untuk mengatur kehidupan rumah tangga,
membangun rumah tangga yang dilandasi cinta dan kedamaian, serta melahirkan
generasi yang saleh—dengan izin Allah ta'ala. Aku memohon kepada Allah agar aku
diberi taufik dalam penyusunan tulisan ini, dan aku memohon kepada-Nya agar
dimudahkan untuk menulis tentang hak-hak suami atas istrinya.
===***===
CONTOH BEBERAPA HAK ISTRI ATAS SUAMINYA:
****
Pertama: Memperlakukan dan mempergauli istri dengan baik:
Memperlakukan dan mempergauli istri dengan
baik memiliki aturan yang indah dan rasa yang lembut di antara suami istri.
Allah Ta’ala berfirman:
﴿ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا ﴾
“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang
baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)
Ini adalah kewajiban suami terhadap istrinya:
memuliakannya, mempergaulinya dengan baik, dan memperlakukannya secara patut.
Hal ini akan menumbuhkan kedekatan hati antara keduanya. Kewajiban ini, bila
ditunaikan oleh suami sebagaimana yang diperintahkan syariat, akan menambah
kasih sayang dan keharmonisan.
Termasuk hak istri adalah diberikan
hak-haknya, diperlakukan dengan baik, dan tidak dizalimi. Oleh karena itu,
suami harus menjaga hubungan baik dengan istrinya, memperlakukannya dengan
lembut, dan memberikan apa yang bisa ia berikan kepadanya sebagai bentuk kasih
sayang, sebagaimana firman Allah:
﴿ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴾
“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang
baik.”
Hak ini juga ditegaskan dalam sunnah Nabi ﷺ, yaitu memperlakukan wanita dengan baik. Rasulullah ﷺ bersabda:
((وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ
خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ إِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
خَيْرًا))
“Berwasiatlah kalian untuk berbuat baik
kepada wanita, karena sesungguhnya dia diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian
yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas, jika kamu berusaha
untuk meluruskannya, niscaya akan patah, jika kamu membiarkannya, dia akan
senantiasa bengkok, maka berwasiatlah terhadap wanita dengan kebaikan”. [HR.
Muslim no. 2671]
Dan beliau ﷺ bersabda:
((خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا
خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي))
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik
terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” [Lihat : Husnu at-Tanabbuh oleh Najmud Diin
al-Gizzy 4/303].
Di
nilai Shahih oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah dan juga oleh Syu’aib
al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu Majah 3/148].
Kebaikan dalam mempergauli istri adalah
istilah umum yang mencakup seluruh hak-hak istri.
****
Kedua: Mengajarkan istri tentang agama dan mendorongnya untuk taat kepada Allah.
Sebagaimana istri memiliki hak untuk
diperlakukan dengan baik dan penuh kelembutan, maka ada hal-hal yang tidak
boleh ditunda oleh suami, yaitu mendidik istri dan mendorongnya untuk taat
kepada Allah Ta’ala. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ
شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Tugas ini dilakukan dengan nasihat dan
pendidikan. Diriwayatkan :
أنَّ عُمَرَ قَالَ
حِينَ نَزَلَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَقِي أَنْفُسَنَا، فَكَيْفَ لَنَا بِأَهْلِينَا؟
فَقَالَ ﷺ: ((تَنْهَوْهُنَّ عَمَّا نَهَاكُمُ اللَّهُ عَنْهُ، وَتَأْمُرُوهُنَّ بِمَا
أَمَرَكُمُ اللَّهُ بِهِ، فَيَكُونُ ذَلِكَ وِقَايَةً بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ النَّارِ))
Bahwa ketika ayat ini turun, Umar berkata :
“Wahai Rasulullah, kami bisa menjaga diri kami, tapi bagaimana dengan keluarga
kami?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kalian melarang mereka dari apa yang Allah
larang, dan memerintahkan mereka dengan apa yang Allah perintahkan. Maka itulah
penjagaan dari neraka.”
[Lihat : Ruhul Amani / Tafsir al-Alusy 14/351,
at-Tafsir al-Wasith oleh Majmu’ah Ulama al-Azhar 10/1489 dan al-Asas Fii
at-Tafsiir oleh Said Hawaa 10/6013]
Said Hawaa dalam al-Asas berkata 10/6013 :
وَأَخْرَجَ ابْنُ
الْمُنْذِرِ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَجَمَاعَةٌ عَنْ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ
أَنَّهُ قَالَ فِي الْآيَةِ: عَلِّمُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمُ الْخَيْرَ وَأَدِّبُوهُمْ.
“Ibnu al-Mundzir, al-Hakim (dan ia
mensahihkannya), serta sejumlah ulama meriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah
bahwa ia berkata tentang ayat tersebut: "Ajarilah diri kalian dan keluarga
kalian kebaikan, dan didiklah mereka."
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah ﷺ bersabda:
((رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ
فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. رَحِمَ اللَّهُ
امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى
نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ.))
“Semoga Allah merahmati seorang laki-laki
yang bangun di malam hari lalu salat, kemudian membangunkan istrinya, lalu istrinya
pun salat. Jika sang istri enggan, maka ia memercikkan air ke wajahnya.
Semoga Allah merahmati seorang wanita yang
bangun di malam hari lalu salat, kemudian membangunkan suaminya. Jika sang
suami enggan, maka ia memercikkan air ke wajahnya.”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1450) dengan lafaz ini, juga oleh
An-Nasa’i (1610), Ibnu Majah (1336), dan Ahmad (7404). Di nilai Shahih oleh
an-Nawawi dalam Raiyadhush Sholohin no. 402 dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani
dalam Shahih Abu Daud 1450]
****
Ketiga: Berlaku adil antara istri-istrinya jika memiliki lebih dari satu istri:
Termasuk hak istri yang wajib dipenuhi oleh
suami adalah berlaku adil antara para istri. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا ﴾
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan dapat
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 3)
Jika seorang suami tidak mampu berlaku adil
atau khawatir tidak bisa adil, maka cukup dengan satu istri saja. Karena Allah
Ta’ala berfirman:
﴿ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
﴾
“Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil,
maka satu saja.”
Namun keadilan yang dimaksud di sini tidak
termasuk keadilan hati, karena hal itu tidak mungkin. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ
النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴾
“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.
Maka janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang satu sehingga yang lain kamu
biarkan tergantung. Dan jika kamu memperbaiki (kesalahan) dan bertakwa, maka
sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Nisa: 129)
Keadilan yang diwajibkan adalah dalam hal
giliran bermalam, nafkah, dan hal-hal lain yang mungkin dilakukan.
****
Keempat: Menahan diri dari mencela sebagian kesalahannya selama tidak bertentangan dengan syariat Allah
Yaitu menahan diri dari mencela sebagian
kesalahannya, selama tidak mengandung pelanggaran terhadap syariat Allah. Hal
ini hanya bisa dilakukan dengan cara menimbang antara kebaikan dan keburukan
yang ada padanya. Jika seorang suami melihat sesuatu yang tidak disukainya dari
istrinya, maka dia juga pasti melihat sesuatu yang menyenangkan dan disukainya
darinya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi ﷺ dalam sabdanya yang memberikan
arahan kepada para suami:
((لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ
مِنْهَا خُلُقًا، رَضِيَ مِنْهَا خُلُقًا آخَرَ))
"Janganlah seorang mukmin membenci
seorang mukminah. Jika ia membenci salah satu akhlaknya, maka ia harus meridhai
akhlaknya yang lain." (HR. Imam Muslim no. 1469)
****
Kelima: Tidak menyakitinya dengan memukul wajah atau mencela fisiknya
Dari Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu anhu
berkata :
قلتُ : يا رسول
اللَّه ما حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدنَا عَلَيْهِ ؟ قال : «أَن تُطْعمَها إِذَا طَعِمْتَ
، وتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسيْتَ ولا تَضْربِ الْوَجهَ، وَلا تُقَبِّحْ ، ولا تَهْجُرْ
إِلاَّ في الْبَيْتِ»
“Saya bertanya: “Ya Rasulullah, apakah haknya
isteri seseorang suami dari kita itu atas suaminya?”
Beliau ﷺ menjawab : “Iaitu hendaklah
engkau memberi isteri makan, jikalau engkau makan, engkau memberi pakaian ia
jikalau engkau berpakaian, jangan memukul wajahnya, jangan mengolok-oloknya,
juga jangan meninggalkan ia – ketika tidak taat pada suaminya, kecuali dalam
rumah saja – yakni dalam seketiduran.”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2142), dan
Al-Hakim (2764) dengan lafaz milik keduanya, serta oleh Ath-Thabarani dalam
*Al-Mu'jam Al-Kabir* (19/425) nomor (1034) dengan sedikit perbedaan lafaz. Di
nilai Hasan Shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud].
Beliau juga bersabda:
((لَا يَجْلِدْ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ
الْعَبْدِ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ))
"Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk
istrinya seperti mencambuk budak, kemudian menggaulinya pada akhir hari."
[HR. Bukhori no. 5204 dan Muslim no. 2855]
Memukul istri dibolehkan jika istri melakukan
nusyuz, yaitu meninggalkan ketaatan kepada suami, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah Ta'ala:
﴿ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا ﴾
"Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, jauhilah mereka di tempat
tidur, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar." (QS. An-Nisa: 34)
Namun, harus ada aturan dalam memukul.
Tahapan pertama adalah dengan menasehati berdasarkan kitab Allah dan
mengingatkan mereka dengan apa yang diperintahkan Allah. Lalu, melakukan
pemisahan tempat tidur.
Ibnu Abbas berkata:
هُوَ أَنْ يُوَلِّيَهَا
ظَهْرَهُ عَلَى الْفِرَاشِ، وَلَا يُكَلِّمَهَا
Maksudnya adalah membelakangi di tempat tidur
dan tidak berbicara dengannya.
Asy-Sya'bi dan Mujahid berkata:
هُوَ أَنْ يَهْجُرَ
مُضَاجَعَتَهَا، ثُمَّ الضَّرْبُ غَيْرُ الْمُبَرِّحِ
Maksudnya adalah tidak berhubungan intim
dengannya. Kemudian, pukulan itu haruslah bukan pukulan yang menyakitkan.
Ibnu Abbas berkata:
أَدَبًا مِثْلَ
اللَّكْزَةِ، وَلِلزَّوْجِ أَنْ يَتَلَافَى نُشُوزَ امْرَأَتِهِ بِمَا أَذِنَ اللَّهُ
لَهُ، مِمَّا ذَكَرَهُ اللَّهُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ: ﴿فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ﴾، فِيمَا
يَلْتَمِسُ مِنْهُنَّ ﴿فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا﴾
pukulan yang bersifat mendidik seperti
sentilan kecil. Suami boleh mengatasi nusyuz istrinya dengan cara yang
diizinkan oleh Allah, seperti disebutkan dalam ayat tersebut:
"Kemudian jika mereka mentaatimu dalam
hal yang kamu minta dari mereka, maka jangan mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya."
Ibnu Abbas berkata:
"فَلَا تَتَجَنَّوْا عَلَيْهِنَّ الْعِلَلَ".
"Janganlah kalian mencari-cari kesalahan
mereka dengan berbagai alasan."
[Baca : al-Kaba’ir karya adz-Dzahabi hal. 172
dan Tafsir al-Washith karya al-Wahidi 2/46].
****
Keenam: Duduk bersama istri, berbincang, dan mendengarkan perkataannya
Suami hendaknya duduk bersama istrinya,
berbincang dengannya, dan mendengarkan perkataannya.
Inilah yang dilakukan Nabi ﷺ, beliau duduk sambil mendengarkan Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu 'anha ketika ia menceritakan kisah para wanita yang berkumpul dan
saling berjanji tidak akan menyembunyikan apa pun tentang suami-suami mereka.
Kisah ini dikenal sebagai hadits Ummu Zar’ (أُمُّ زَرْعٍ) yang panjang. Meski panjang, Rasulullah ﷺ tetap mendengarkannya dengan sabar tanpa merasa bosan.
Hadits ini diriwayatkan dalam Shahih Bukhari no.
5189 dan Muslim no. 2448.
****
Ketujuh: Mengizinkan istri keluar rumah jika ia meminta izin
Termasuk hak istri yang wajib dipenuhi oleh
suami adalah mengizinkannya keluar rumah jika ia meminta izin, dan tidak
menghalanginya kecuali ada kekhawatiran terhadap fitnah atau hal-hal yang
membahayakan. Demikian pula, ia tidak boleh mencegah istri keluar untuk shalat
berjamaah atau mengunjungi kerabatnya.
****
Kedelapan : Tidak memboikot istri, dan jika melakukannya, maka tetap di dalam rumah
Suami tidak boleh menghajer (memboikot)
istrinya kecuali tetap berada di rumah. Kecuali jika ada maslahat syar’i untuk
memboikot di luar rumah, sebagaimana Nabi ﷺ memboikot istri-istrinya
selama sebulan di luar rumah mereka.
****
Kesembilan : Suami berhias untuk istri sebagaimana istri berhias untuknya
Ibnu Abbas berkata:
إِنِّي لَأُحِبُّ
أَنْ أَتَزَيَّنَ لِلْمَرْأَةِ كَمَا أُحِبُّ أَنْ تَتَزَيَّنَ لِي؛ لِأَنَّ اللَّهَ
- تَعَالَى - يَقُولُ: ﴿ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴾
*"Sungguh aku senang berhias untuk
istriku sebagaimana aku senang jika dia berhias untukku."* Karena Allah
Ta’ala berfirman:
**"Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf."** (QS. Al-Baqarah:
228)
[Baca : Ma’aani al-Qur’an oleh an-Nuhaas
1/198 dan at-Tafsir al-Wasith oleh Abul Hasan al-Wahidy 1/333].
Maksudnya: para istri memiliki hak untuk
mendapatkan perlakuan yang baik dan pergaulan yang layak dari suaminya,
sebagaimana mereka juga wajib menaati suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah
atas mereka.
****
Kesepuluh: Memenuhi Kebutuhan Biologi Istri Agar Bisa Menjaga kehormatan-nya
Suami wajib memberikan kenikmatan kepada
istrinya sebagaimana dia mendapatkannya darinya. Suami hendaknya memenuhi
kebutuhan naluriah istri agar ia dapat menundukkan pandangannya dari hal-hal
yang haram, menjaga dirinya dari perzinaan, dan melindunginya dari hal-hal yang
dapat mencederai kehormatannya, merusak nama baiknya, atau merendahkan
martabatnya.
Karena itu, Rasulullah ﷺ mengingatkan Utsman bin Madz’un tentang hak keluarganya atas
dirinya ketika ia terlalu menyibukkan diri dengan ibadah, lalu Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ مِنْ سُنَّتِي أَنْ أُصَلِّيَ، وَأَنَامَ،
وَأَصُومَ، وَأَطْعَمَ، وَأَنْكِحَ، وَأُطَلِّقَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي، فَلَيْسَ
مِنِّي. يَا عُثْمَانُ، إِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ
حَقًّا»
"Sesungguhnya termasuk sunnahku adalah
aku shalat, tidur, berpuasa, makan, menikah, dan menceraikan. Maka barang siapa
yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku. Wahai Utsman,
sesungguhnya keluargamu memiliki hak atasmu, dan dirimu juga memiliki hak
atasmu."
[Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunannya
no. 2215. Di nilai shahih oleh para pentahqiqnya, Husein ad-Darani 3/1386 dan
juga oleh Marzuq az-Zahrani 2/205 no. 2193. Dan dinilai shahih pula oleh
al-Albani dalam ash-Shahihah 1/750 no. 394].
Dalam artikel “حُقُوقُ
الزَّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا”
disebutkan :
وَوَطْءُ الْمَرْأَةِ
وَاجِبٌ فِي أَظْهَرِ أَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ، وَهَذَا مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أَبُو حَنِيفَةَ
وَأَحْمَدُ، وَاخْتَارَهُ شَيْخُ الْإِسْلَامِ، وَيَكُونُ حَدُّ الْوُجُوبِ بِمَا يُشْبِعُ
حَاجَتَهَا وَكَفَايَتَهَا، وَبِقُدْرَةِ الزَّوْجِ بِحَيْثُ لَا يُنْهِكُ بَدَنَهُ،
وَيَشْتَغِلُ بِذَلِكَ عَنْ مَعِيشَتِهِ، وَلَا عِبْرَةَ بِمَا قَالَ بِهِ الْفُقَهَاءُ
مِنْ أَنَّ الْوَطْءَ الْوَاجِبَ هُوَ مَرَّةٌ كُلَّ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، بَلْ حَدُّهُ
قُدْرَةُ الزَّوْجِ وَكَفَايَةُ الْمَرْأَةِ. لَكِنْ يَسْقُطُ هَذَا الْحَقُّ إِنْ
سَافَرَ الرَّجُلُ عَنْ زَوْجَتِهِ لِعُذْرٍ وَحَاجَةٍ.
“Bersetubuh dengan istri adalah kewajiban
menurut pendapat yang paling kuat di kalangan ulama. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah, Ahmad, dan dipilih oleh Syaikhul Islam. Kewajiban ini harus dilakukan
dalam batas yang dapat memenuhi kebutuhan istri dan kemampuan suami, tanpa
melemahkan tubuhnya atau mengganggu nafkahnya. Tidak perlu berpegang pada
pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa kewajiban ini hanya satu kali
dalam empat bulan. Ukurannya adalah kemampuan suami dan kecukupan bagi istri.
Namun, kewajiban ini gugur bila suami bepergian karena alasan yang dibenarkan”.
[Selesai]
Wajib atas suami untuk menggauli istrinya
sebagaimana layaknya menggauli para wanita, berdasarkan keumuman firman Allah
Ta’ala:
﴿ وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ﴾
“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri
kalian) dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa: 19)
Dan Islam menjadikan hubungan suami-istri ini
sebagai bentuk ibadah yang mendatangkan pahala bagi keduanya, sebagaimana
mereka mendapatkan pahala atas shalat dan ibadah lainnya. Dalam hadits Abu Dzar
disebutkan:
"وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ."
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا
أَجْرٌ؟ قَالَ: "أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا
وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ."
“Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian
terdapat sedekah.”
Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah
seseorang di antara kami menyalurkan syahwatnya lalu dia mendapat pahala
karenanya?”
Beliau ﷺ bersabda, “Bagaimana menurut kalian jika ia
menyalurkannya pada yang haram, bukankah ia mendapat dosa? Maka demikian pula
bila ia menyalurkannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR.
Muslim, no. 1006)
Jika terbukti bahwa seorang lelaki tidak
memiliki kemampuan untuk berhubungan intim, maka hal itu termasuk cacat yang
membolehkan istri untuk membatalkan pernikahan.
Dan jika suami melakukan Iila (bersumpah
untuk tidak menggauli istrinya), maka ia diberi tenggang waktu selama empat
bulan agar hilang ganjalan dalam hatinya. Jika ia tetap bersikukuh untuk tidak
menggaulinya, maka ia tidak dibiarkan membiarkan istrinya tergantung (tanpa
kejelasan). Maka ia dituntut untuk kembali menggauli istrinya atau
menceraikannya jika si istri memintanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
﴿ لِلَّذِينَ
يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ * وَإِنْ
عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
“Bagi orang-orang yang bersumpah tidak akan
menggauli istri-istri mereka, diberi tangguh empat bulan. Maka jika mereka
kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan jika mereka berketetapan untuk menceraikan, maka sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 226–227)
BAGAIMANA JIKA SUAMINYA LEMAH SYAHWAT?
Boleh mengajukan Khulu’. Dari ‘Urwah bin
Az-Zubair : “Bahwa ‘Aisyah istri Nabi ﷺ mengabarkan kepadanya:
أَنَّ
رِفَاعَةَ الۡقُرَظِيَّ طَلَّقَ امۡرَأَتَهُ فَبَتَّ طَلَاقَهَا، فَتَزَوَّجَتۡ
بَعۡدَهُ عَبۡدَ الرَّحۡمَٰنِ بۡنَ الزَّبِيرِ، فَجَاءَتِ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَتۡ:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا كَانَتۡ تَحۡتَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ
تَطۡلِيقَاتٍ، فَتَزَوَّجۡتُ بَعۡدَهُ عَبۡدَ الرَّحۡمَٰنِ بۡنَ الزَّبِيرِ،
وَإِنَّهُ وَاللهِ، مَا مَعَهُ إِلَّا مِثۡلُ الۡهُدۡبَةِ، وَأَخَذَتۡ بِهُدۡبَةٍ
مِنۡ جِلۡبَابِهَا. قَالَ: فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ ﷺ ضَاحِكًا. فَقَالَ:
(لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنۡ تَرۡجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ. لَا، حَتَّىٰ يَذُوقَ
عُسَيۡلَتَكِ وَتَذُوقِي عُسَيۡلَتَهُ).
وَأَبُو
بَكۡرٍ الصِّدِّيقُ جَالِسٌ عِنۡدَ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَخَالِدُ بۡنُ سَعِيدِ بۡنِ
الۡعَاصِ جَالِسٌ بِبَابِ الۡحُجۡرَةِ لَمۡ يُؤۡذَنۡ لَهُ. قَالَ: فَطَفِقَ
خَالِدٌ يُنَادِي أَبَا بَكۡرٍ: أَلَا تَزۡجُرُ هٰذِهِ عَمَّا تَجۡهَرُ بِهِ
عِنۡدَ رَسُولِ اللهِ ﷺ؟
Bahwa Rifa’ah Al-Qurazhi
menceraikan istrinya hingga pisah dan tidak bisa kembali (talak tiga), lalu
setelah itu istrinya menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair. Lalu wanita
tersebut datang kepada Nabi ﷺ seraya berkata :
“ Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku dahulu adalah istri Rifa’ah, lalu ia menceraikan aku sampai
talak tiga. Setelah itu, aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair. Demi
Allah, tidaklah yang ada bersamanya ( yakni : kemaluannya ) kecuali seperti rumbai ( ujung kain )“. Lalu
dia memegang rumbai jilbabnya.
Rasulullah ﷺ tersenyum lalu bersabda :
“Jangan-jangan engkau ini ingin kembali ke Rifa’ah. Itu Tidak boleh, sampai
kamu betul-betul telah merasakan madu kecilnya dia dan dia pun merasakan madu
kecilnya kamu ( yakni : berjima’ ) ."
Ketika itu, Abu Bakr
Ash-Shiddiq duduk di dekat Rasulullah ﷺ, sementara Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash duduk di luar pintu
kamar belum diizinkan masuk. Khalid berseru kepada Abu Bakr :
“ Tidakkah engkau melarang wanita ini dari
ucapan yang ia jaharkan (tentang suaminya) di dekat Rasulullah ﷺ?”. (HR. Bukhari no. 2639 dan Muslim no. 112 dan 1433, dan lafadz
ini milik Muslim)
Adapun lafaz Bukhari: Dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha :
أَنَّ
رِفَاعَةَ القُرَظِيَّ تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا ، فَتَزَوَّجَتْ
آخَرَ ، فَأَتَتِ النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّهُ لاَ يَأْتِيهَا ،
وَأَنَّهُ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ هُدْبَةٍ ،
فَقَالَ : لاَ ، حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
Bahwa Rifa’ah Al-Qurazhi menikahi seorang
wanita lalu menceraikannya. Kemudian si wanita itu menikah dengan lelaki lain.
Lalu ia datang kepada Nabi ﷺ dan mengadu bahwa suami
barunya tidak menggaulinya, dan bahwa apa yang dimilikinya hanyalah seperti
sehelai benang. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak (boleh kembali kepada Rifa’ah), hingga
engkau merasakan manisnya hubungan dengannya dan ia merasakan manisnya hubungan
denganmu.”
****
Kesebelas: Bersikap lembut kepada istri, bermain dengannya, dan menghargainya
Suami wajib bersikap lembut terhadap istrinya,
dan hendaknya menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai teladan.
Ummul mukminin Aisyah berkata:
"كَانَ الْحَبَشُ يَلْعَبُونَ، فَسَتَرَنِي
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا زِلْتُ أَنْظُرُ
حَتَّى كُنْتُ أَنَا أَنْصَرِفُ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ
الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ".
“Orang-orang Habasyah bermain tombak di
masjid, lalu Rasulullah ﷺ menutupi aku (dengan kain)
agar aku dapat melihat mereka. Aku terus melihat sampai akulah yang bosan dan
berpaling. Maka perhitungkanlah bagaimana gadis kecil yang senang dengan
permainan.” [HR. Bukhori no. 5236].
Aisyah juga berkata:
" كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي، فَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ،
فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي".
“Aku biasa bermain boneka di dekat Nabi ﷺ, dan aku mempunyai beberapa teman perempuan yang bermain
bersamaku. Maka apabila Rasulullah ﷺ masuk (ke rumah), mereka
bersembunyi darinya, lalu beliau ﷺ pun menyuruh mereka kembali kepadaku, maka
mereka pun bermain bersamaku”. [HR. Bukhory no. 6130 dan Muslim no. 2440]
*****
Keduabelas: Berbaik sangka kepada istri
Secara umum, seorang muslim diwajibkan untuk
berbaik sangka kepada orang lain sebagai bagian dari ajaran agama. Ia harus
menjauhi prasangka buruk karena dapat menimbulkan kerusakan dan kezaliman
terhadap orang lain serta menimbulkan kebencian di tengah masyarakat. Oleh karena
itu, Islam sangat menekankan pentingnya menanamkan sikap ini dalam kehidupan.
Jika hal itu diwajibkan dalam hubungan antar
sesama manusia, maka lebih utama lagi untuk diterapkan dalam kehidupan rumah
tangga antara suami dan istri yang hidup di bawah satu atap. Dengan berbaik
sangka, kehidupan rumah tangga akan lebih harmonis dan langgeng.
Sebaliknya, jika kehidupan suami istri
dibangun di atas prasangka buruk dan keraguan, maka tidak akan terwujud
kehidupan yang tenteram dan bahagia. Ini sejalan dengan firman Allah Ta'ala:
﴿ لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا ﴾
“Kalaulah ketika kalian mendengarnya,
orang-orang mukmin dan mukminah berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri.”
(An-Nur: 12)
Dan firman-Nya:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah
banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kalian
memata-matai.” (Al-Hujurat: 12)
Ayat ini adalah seruan dari Allah kepada
orang-orang beriman agar menjauhi prasangka. Maka ketika suami diwajibkan untuk
berbaik sangka kepada istrinya, pada saat yang sama ia juga harus waspada dan
menjaga diri dari hal-hal yang dapat menjadi penyebab kerusakan dan pelanggaran
syariat.
****
Ketiga belas: Tidak Menyebarkan Rahasia Istri
Seorang suami wajib menjaga rahasia istrinya
dan tidak memberitahukan rahasia-rahasianya kepada orang lain. Demikian pula,
hak ini juga wajib dijaga oleh istri terhadap suaminya. Suami juga tidak boleh
menyebutkan aib-aib istrinya, karena hal itu dapat merusak hubungan baik antara
suami dan istri.
****
Keempat belas: Perabotan Rumah Tangga.
Yang dimaksud dengan “perabotan rumah tangga”
adalah segala perlengkapan yang disiapkan suami untuk istrinya berupa kebutuhan
yang dibutuhkan dalam rumah tangga, seperti peralatan dan keperluan tempat
tinggal.
****
Kelima belas: Tidak Menyakiti Istri.
Hal ini termasuk prinsip dasar dalam ajaran
Islam. Jika menyakiti orang lain yang bukan mahram saja diharamkan, maka
menyakiti istri tentu lebih haram dan lebih dilarang.
Dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah ﷺ menetapkan bahwa:
((لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ))
“Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak
boleh membalas dengan bahaya.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2340). Hadits
ini dinilai shahih oleh Imam Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Shalah, dan lainnya. Lihat:
*Khalashah Al-Badr Al-Munir* (2/438)]
Di antara hal yang diingatkan oleh syariat
dalam perkara ini adalah larangan untuk melakukan pemukulan yang menyakitkan.
****
Keenam belas: nafkah, pakaian, dan tempat tinggal yang pantas.
Termasuk hak-hak yang wajib diberikan suami
kepada istrinya adalah nafkah, pakaian, dan tempat tinggal yang pantas. Yang
dimaksud dengan nafkah adalah apa yang dikeluarkan suami untuk istri dan
anak-anaknya, berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Nafkah ini
wajib atas suami berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, ijma’, dan akal sehat.
Nafkah: Nafkah ini menjadi wajib ketika akad
nikah telah berlangsung. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Ke 1. Dari Al-Qur'an:
﴿ لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ
قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴾
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At-Thalaq: 7).
Maksudnya adalah hendaknya orang tua atau
wali anak menafkahinya sesuai kemampuannya.
Dan firman Allah Ta‘ala:
﴿ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ﴾
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang patut.” (Al-Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
"أَيْ: وَعَلَى وَالِدِ الطِّفْلِ نَفَقَةُ
الْوَالِدَاتِ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ؛ أَيْ: بِمَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ أَمْثَالِهِنَّ،
مِنْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا إِقْتَارٍ، بِحَسَبِ قُدْرَتِهِ فِي يُسْرِهِ وَتَوَسُّطِهِ
وَإِقْتَارِهِ". ا.هـ.
“Maksudnya adalah ayah dari anak tersebut
wajib memberi nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik, sesuai
kebiasaan wanita yang selevel, tanpa berlebihan dan tanpa kekurangan,
berdasarkan kemampuannya apakah dia lapang, menengah, atau sempit.” Selesai.
[Tafsir Ibnu Katsir 1/634]
Ke 2. Dari Sunnah:
Hadits Jabir mengenai
sifat haji Nabi ﷺ, di dalamnya terdapat sabda
beliau ﷺ:
((اتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ؛ فَإِنَّكُمْ
أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ
اللَّهِ، وَإِنَّ لَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ،
فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ)).
“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita,
karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah dari Allah, dan
kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan sesungguhnya
kalian memiliki hak atas mereka, yaitu agar mereka tidak memasukkan orang yang
kalian benci ke atas tempat tidur kalian. Jika mereka melakukan hal itu, maka
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak
atas kalian, yaitu nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang baik..”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1905) di
tengah-tengah hadis, An-Nasa’i dalam *As-Sunan Al-Kubra* (9135), dan Ibnu
Khuzaimah (2809) juga di tengah-tengah hadis, dan semuanya dengan lafaz yang
sama. Di nilai shahih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dalam dalam tafsirnya
3/2/329].
Ke 3. Dari ijma’:
Para ulama telah sepakat
atas kewajiban memberikan nafkah kepada istri oleh suaminya.
Ke 4. Dari akal atau logika :
Karena istri
itu dalam posisi tertahan oleh suami, tidak bebas bertindak dan mencari
penghasilan karena sibuk menjalankan hak suami, maka wajib bagi suami untuk
menafkahinya.
Pakaian:
Pakaian wajib diberikan kepada istri oleh
suami jika istri telah menyerahkan dirinya kepada suami sesuai kewajibannya.
Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
﴿ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ﴾
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang patut.” (Al-Baqarah: 233).
Pakaian ini wajib atas suami sebagaimana
nafkah, dan para ulama telah sepakat bahwa pakaian itu harus mencukupi istri,
dan hal ini berbeda-beda tergantung kondisi, seperti tinggi dan pendeknya,
gemuk atau kurusnya, serta tergantung juga kepada negeri tempat istri itu
tinggal.
Tempat tinggal:
Tempat tinggal adalah kewajiban suami
terhadap istri menurut kesepakatan para ulama. Karena Allah Ta‘ala menetapkan
bagi istri yang ditalak secara raj‘i (yang masih bisa dirujuk) tempat tinggal
pada masa iddahnya, maka lebih utama bagi istri yang masih dalam pernikahan
untuk mendapatkan tempat tinggal. Juga karena Allah mewajibkan pergaulan yang
baik antara suami dan istri, dan termasuk dalam hal itu adalah menyediakan
tempat tinggal yang membuat istri merasa aman atas diri dan hartanya. Istri
juga tidak mungkin bisa lepas dari tempat tinggal ini karena untuk menjaga diri
dari pandangan orang, menyimpan barang-barang, dan untuk kebutuhan
bersenang-senang bersama suami. Oleh karena itu, tempat tinggal adalah hak
istri yang wajib disediakan oleh suami.
Tentang tempat tinggal ini, haruslah berupa
rumah yang sah secara syariat, dan rumah tersebut harus layak dan sesuai dengan
kelapangan rezeki suami, serta ditentukan berdasarkan manfaat. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama. Hukum asalnya, jika suami memiliki lebih dari satu
istri, maka masing-masing istri memiliki rumah tersendiri, sebagaimana yang
dilakukan Nabi ﷺ.
Allah Ta‘ala berfirman:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا
بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian masuk ke rumah-rumah Nabi kecuali bila kalian diizinkan.” (Al-Ahzab:
53). Ini menunjukkan bahwa rumah-rumah tersebut berbeda, bukan satu rumah saja.
Namun jika keduanya rela, maka itu boleh, karena hak itu milik mereka, sehingga
mereka boleh melepaskannya. Jika suami mengumpulkan kedua istrinya dalam satu
rumah dan ia mampu mengatur, maka itu lebih baik karena bisa menyatukan
anak-anak, dan di dalamnya terdapat kebaikan.
===***===
BAGAIMANA JIKA SUAMI-NYA PELIT ?
Jawabannya : Jika Suaminya pelit merekicit
maka sang istri dibolehkan untuk mengambil uang suaminya tanpa sepengetahuannya
sesuai kebutuhan dirinya dan orang-orang yang dalam tanggungan nafkah suami ,
seperti anak , pembantu dan lainnya .
Berikut ini dalil-dalilnya :
Pertama : Hadits Riwayat Muslim :
عَنْ
عَائِشَةَ، قَالَتْ دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لاَ يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي
وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ . فَهَلْ
عَلَىَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
" خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ
"
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu , dia berkata
: Hindu binti 'Utba, istri Abu Sufyan, datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata :
“ Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Dia
tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku, tetapi (aku
terpaksa) mengambil dari hartanya (sebagian) tanpa
sepengetahuannya. Apakah ada dosa untukku?”.
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda : “ Ambillah dari
hartanya dengan cara yang ma’ruf (sesuai standar kebutuhan) apa yang mencukupi
dirimu dan mencukupi anak-anakmu. ( HR. Muslim no. 4574 ).
Kedua : hadits Riwayat Bukhori :
Dari Aisyah radliallahu 'anha :
أَنَّ هِنْدًا
قَالَتْ لِلنَّبِيِّ ﷺ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَأَحْتَاجُ أَنْ
آخُذَ مِنْ مَالِهِ قَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Bahwa Hindun binti Utbah berkata kepada Nabi ﷺ ; "Abu Sufyan itu orangnya sangat pelit, maka aku perlu mengambil
hartanya (tanpa sepengetahuannya)!"
Nabi ﷺ menjawab: "ambillah yang mencukupimu dan
anak-anakmu dengan cara yang ma'ruf (sesuai standar)!" ( HR. Bukhori no.
6644 )
Ketiga : hadits Riwayat Bukhori dan Muslim :
Dari 'Urwah bin Zubair : bahwasanya 'Aisyah
radliyallahu'anhuma berkata :
إِنَّ هِنْدَ
بِنْتَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَانَ مِمَّا
عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَهْلُ أَخْبَاءٍ أَوْ خِبَاءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ
يَذِلُّوا مِنْ أَهْلِ أَخْبَائِكَ أَوْ خِبَائِكَ شَكَّ يَحْيَى ثُمَّ مَا
أَصْبَحَ الْيَوْمَ أَهْلُ أَخْبَاءٍ أَوْ خِبَاءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ
يَعِزُّوا مِنْ أَهْلِ أَخْبَائِكَ أَوْ خِبَائِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
وَأَيْضًا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ
الَّذِي لَهُ قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ
Sesungguhnya Hindun binti 'Utbah bin Rabi'ah
radhiyallahu ‘anhu berkata ;
'Ya Rasulullah, dahulu tak ada penghuni rumah
di muka bumi yang lebih aku sukai utuk dihinakan daripada penghuni
rumah-rumahmu , Namun hari ini tak ada satu pun penghuni rumah yang lebih aku
sukai untuk dimuliakan, daripada penghuni rumahmu.'
Rasulullah ﷺ menjawab : "demi Dzat
yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, (mungkin kamu punya masalah yang
lain)?"
Hindun radhiyallahu ‘anha berkata ; 'Ya
Rasulullah, Abu Sufyan adalah suami yang sangat kikir, apakah aku berdosa jika
memberi makan (orang-orang dalam tanggungannya) dari hartanya (tanpa
sepengetahuannya)? '
Nabi menjawab; "Tidak berdosa, asalkan
ma'ruf (sewajarnya)."
( HR. Bukhori no. 6150 , 6628 , 7161 dan Muslim no. 1714 ) .
Dalam Lafadz lain :
Dari 'Urwah bin az-Zuabir bahwasanya Aisyah
radliallahu 'anha mengatakan :
جَاءَتْ هِنْدُ
بنْتُ عُتْبَةَ بنِ رَبِيعَةَ فَقالَتْ: يا رَسولَ اللَّهِ، واللَّهِ ما كانَ علَى
ظَهْرِ الأرْضِ أهْلُ خِبَاءٍ أحَبَّ إلَيَّ أنْ يَذِلُّوا مِن أهْلِ خِبَائِكَ،
وما أصْبَحَ اليومَ علَى ظَهْرِ الأرْضِ أهْلُ خِبَاءٍ أحَبَّ إلَيَّ أنْ
يَعِزُّوا مِن أهْلِ خِبَائِكَ، ثُمَّ قالَتْ: إنَّ أبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ
مِسِّيكٌ، فَهلْ عَلَيَّ مِن حَرَجٍ أنْ أُطْعِمَ مِنَ الذي له عِيَالَنَا؟ قالَ
لَهَا: لا حَرَجَ عَلَيْكِ أنْ تُطْعِمِيهِمْ مِن مَعروفٍ.
Hindun binti Utbah bin Rabi'ah datang dan berkata
;
'Wahai Rasulullah, dahulu tidak ada penghuni
rumah diatas bumi yang lebih saya sukai untuk dihinakan selain penghuni
rumahmu, kebalikannya sekarang, tidak ada penghuni rumah diatas bumi yang lebih
saya sukai untuk dimuliakan selain penghuni rumahmu, '
Kemudian Hindun binti Utbah berkata lagi ;
'Sesungguhnya abu Sufyan orangnya sangat
pelit, apakah saya berdosa jika memberi makan orang-orang yang menjadi
tanggungan kami (dengan mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya?) '
Nabi menjawab : "Tidak masalah atas
dirimu , kau memberi makanan untuk mereka, asalkan dengan ma'ruf (cara wajar).
( HR. Bukhori no. 7161 dan Muslim no. 1714 )
Wallahu a‘lam.
Kesimpulan:
Saya katakan bahwa hubungan antara laki-laki
dan perempuan harus dibangun di atas dasar saling pengertian, kasih sayang, dan
pemahaman. Sesungguhnya pemahaman adalah dasar dari hubungan suami istri ini,
dan tanpa pemahaman, hubungan tersebut tidak akan berjalan sebagaimana yang
dikehendaki syariat dari sebuah pernikahan. Karena perasaan mereka berbeda satu
sama lain, begitu juga dengan kecenderungan mereka. Namun, mereka diingatkan
akan Allah yang telah menciptakan bagi mereka pasangan dari jenis mereka
sendiri, dan telah menanamkan dalam jiwa mereka perasaan dan emosi ini, serta
menjadikan dalam hubungan itu ketenangan bagi jiwa dan saraf, serta ketenangan
dan kedamaian bagi tubuh dan hati, juga kestabilan dalam kehidupan dan
penghidupan, serta kehangatan bagi jiwa-jiwa mereka, demi tercapainya
ketenteraman bagi laki-laki dan perempuan.
Marilah kita renungkan ungkapan dalam
Al-Qur'an melalui firman Allah:
﴿لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا﴾
(Agar kamu merasa tenteram kepadanya) [QS. Ar-Rum:
21],
Dan firman-Nya:
﴿وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً﴾
(dan Dia menjadikan di antara kalian kasih
dan sayang) [QS. Ar-Rum: 21].
Ungkapan yang lembut ini menggambarkan
hubungan ini seolah-olah menangkap gambar dari kedalaman hati dan perasaan.
Betapa indahnya ayat-ayat itu:
﴿إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. [QS.
Ar-Rum: 21],
Seolah-olah Allah mengkhususkan orang-orang
yang memiliki pemahaman yang benar dan sehat akan hal itu—bahwa inilah hikmah
penciptaan Allah terhadap kedua jenis manusia, agar masing-masing pasangan
dapat saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan fitrahnya; baik dari sisi
psikologis, intelektual, maupun fisik. Dengan hal ini, tercapailah ketenangan,
kecukupan, kasih sayang, dan rahmat, demi membangun kehidupan baru yang
terwujud nyata dalam generasi baru.
Sungguh masyarakat muslim yang diinginkan
oleh Islam untuk memakmurkan bumi ini tidak akan pernah terwujud kecuali dengan
menerapkan hal ini dalam kehidupan nyata kaum muslimin.
Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.
===***===
HADITS-HADITS PERINTAH UNTUK MEMULIAKAN KAUM WANITA
Banyak hadis-hadis yang menunjukkan kewajiban
memuliakan perempuan, diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
Pertama : Bersabar dan senantiasa menasihatinya dengan lembut serta penuh kesabaran.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda :
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ
أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ
فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Nasihatilah wanita dengan yang baik.
Sesungguhnya mereka diciptakan dari rusuk dan bagian terbengkok dari rusuk
adalah bagian atasnya. Seandainya kau luruskan [dengan paksa] maka berarti kamu
mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok. Untuk
itu nasihatilah wanita dengan yang baik”[ HR.Bukhari: 5186 —Muslim: 1468]
Kedua : Surga Ada dalam Rido Seorang Ibu :
أنَّ
جاهِمةَ جاءَ إلى النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ، فقالَ: يا رسولَ اللَّهِ
، أردتُ أن أغزوَ وقد جئتُ أستشيرُكَ ؟ فقالَ: هل لَكَ مِن أمٍّ ؟ قالَ: نعَم ،
قالَ : فالزَمها فإنَّ الجنَّةَ تحتَ رِجلَيها
“Seorang laki-laki mendatangi baginda
Rasulullah ﷺ.. Nama dari Laki-laki itu adalah Jahimah. Lalu si laki-laki
bertanya, “Ya Rasulullah, aku ingin berperang (berjihad di jalan Allah), aku
datang ingin meminta arahanmu.”
Kemudian Baginda Nabi bertanya kepada
laki-laki itu, “Apakah ibumu masih ada?” Si laki-laki menjawabnya, “Iya.”
Rasulullah pun memberinya wejangan, “Maka, tetap tinggallah membersamai
ibumu, karena sesungguhnya surga berada di bawah kedua kakinya.”
[HR. An-Nasa'i (3104) dengan redaksi yang
sama, dan Ibnu Majah setelah hadis (2781), dan Ahmad (15538) dengan sedikit
perbedaan. Di hukumi hasan shahih oleh al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa’i no.
3104].
FIQIH HADITS :
Hadis kedua ini menunjukkan kemuliaan seorang
ibu. Islam mengajarkan bahwa kedudukan ibu sangat agung karena pengorbanannya
yang besar: mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, dan membesarkan anaknya
dengan penuh kasih sayang.
Oleh karena itu, seorang anak wajib berbakti
kepada ibunya. Dengan berbakti, anak akan mendapatkan keridaan ibunya, dan
keridaan itulah jalan menuju surga.
Rasulullah ﷺ menegaskan, “Surga berada di
bawah kaki ibu,” sebagai isyarat betapa besar hak seorang ibu atas anaknya.
Bagaimana dengan ayah? Islam juga mewajibkan
anak berbakti kepada ayah. Namun, berbakti kepada ibu lebih diutamakan karena
beban dan pengorbanan seorang ibu lebih berat.
Penjelasan lebih rinci tentang hadis ini dapat
ditemukan dalam kitab *Mirqat al-Mafatih* karya Syaikh ‘Ali al-Qari dan
*Hasyiyah as-Sanadi ‘ala Ibn Majah* karya Muhammad bin ‘Abdul Hadi as-Sanadi.
Ketiga : Hanya Laki-Laki Mulia yang Memuliakan Perempuan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata;
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ
لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
"Orang mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang
paling baik terhadap para istrinya."
[HR. Abu Dawud (4682) secara ringkas, dan
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1162) dengan sedikit perbedaan dan tambahan di
bagian akhirnya, dan Ahmad (7402) dengan sedikit perbedaan."
Abu Isa berkata; "Hadits semakna
diriwayatkan dari Aisyah dan Ibnu Abbas." Dia menambahkan; "Hadits
Abu Hurairah merupakan hadits hasan sahih."
Dan dinyatakan Hasan Shahih juga oleh
al-Albaani dalam Shahih Tirmidzi . Sementara al-Mundziri dalam at-Taghib 3/358
mengatakan : “ Sanadnya shahih atau Hasan atau yang mendekati keduanya “.
Dalam riwayat lain : Dari Aisyah berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ مِنْ
أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنَهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفَهُمْ
بِأَهْلِهِ
"Orang mukmin yang paling sempurna
keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaknya dan yang paling lemah
lembut dengan istrinya."
[HR. Tirmididzi no. 1162 dan al-Hakim . Di
hasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Muqodimah Hidayatur Ruwaah].
Dalam hadits lain :
At-Tirmidzy (no. 4233) dan Ibnu Hibban
dalam *Shahih*-nya (no. 4177) meriwayatkan dari Aisyah.
Ibnu Majah (no. 1978), Ibnu Hibban (no.
4186) dan al-Hakim (4/173) meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Dan ath-Thabarani dalam *Al-Kabir*
meriwayatkan dari Muawiyah radhiyallahu 'anhum, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
"خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأهْلِهِ، وأَنَا خَيْرُكُمْ لأهْليْ"
“Orang terbaik di antara kalian adalah
yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian
kepada keluargaku.” [Lihat : Husnu at-Tanabbuh oleh Najmud Diin al-Gizzy 4/303].
Di nilai Shahih oleh al-Albaani dalam
Shahih Ibnu Majah dan juga oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu Majah
3/148].
Dari Ibnu Abbaas radhiyallahu ‘anhuma
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ للنِّسَاءِ"
“Orang terbaik di antara kalian adalah
yang terbaik sikapnya terhadap para wanita”. [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam
“Al-Mustadrak” (7327)].
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu
‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"خِيَارُكُمْ
خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ"
“Orang terbaik di antara kalian adalah
yang terbaik kepada para wanitanya.” [HR. Ibnu Majah 3/148 no. 1978]
Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu
Majah 3/148] berkata :
رِجَالُهُ
ثِقَاتٌ رِجَالُ الصَّحِيحِ، إِلَّا أَنَّهُ قَدِ انْفَرَدَ أَبُو كُرَيْبٍ
“Para perawinya terpercaya dan termasuk
perawi kitab shahih, hanya saja Abu Kuraib meriwayatkannya secara tunggal”.
Dan dari Ali bin Abu Thalib radhiyallu
‘anhu bahwa Nabi ﷺ
bersabda :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ
لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي، مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلَّا كَرِيمٌ وَلا
أَهَانَهُنَّ إِلا لَئِيمٌ.
“Yang Paling terbaik diantara kalian ialah
yang paling terbaik terhadap keluarganya. Dan aku Paling terbaik diantara
kalian terhadap keluargaku. Tidaklah sesorang memuliakan para wanita kecuali
dia adalah laki-laki yang mulia. Tidaklah seseorang menghinakan para wanita
kecuali dia adalah laki-laki yang hina.”
As-Suyuthi dalam Jam’ul Jawami’ 4/776 no.
14006 berkata :
وَفِيهِ (إِبْرَاهِيمُ
بْنُ مُحَمَّدٍ الْأَسْلَمِيُّ) تَرَكُوهُ، وَوَثَّقَهُ الشَّافِعِيُّ وَحْدَهُ، وَقَدِ
اعْتَذَرَ عَنْهُ حِبٌّ، وَقَالَ الذَّهَبِيُّ: الْجَرْحُ مُقَدَّمٌ
“Di dalam sanadnya terdapat (Ibrahim bin
Muhammad al-Aslami); para ulama meninggalkannya, hanya Asy-Syafi‘i saja yang
menilainya terpercaya. Ibnu Hibban memberikan alasan pembelaan padanya, namun
Adz-Dzahabi berkata: cacatnya (periwayat) lebih didahulukan”.
[Syeikh al-Albaani menghukumi hadits ini palsu
karena di dalam sanadnya terdapat dua rawi pendusta . Baca : Huquuqun Nisaa Fil
Islaam no. 41, 154 dan as-Silsilah adh-Dha’ifah no. 845]
FIQIH HADITS :
Hadis ketiga ini menegaskan keutamaan berbuat
baik kepada istri. Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa ukuran kemuliaan
seorang laki-laki dapat dilihat dari bagaimana ia memperlakukan keluarganya,
terutama istrinya. Rasulullah ﷺ sendiri adalah teladan
terbaik dalam hal ini.
Beliau ﷺ selalu memperhatikan kondisi
istri-istrinya dengan penuh kasih sayang. Bahkan, dalam riwayat disebutkan
bahwa Rasulullah ﷺ pernah meminum dari tempat
yang sama dengan bekas minum Sayidah Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai bentuk
kelembutan dan penghormatan.
Banyak hadis lain yang menunjukkan betapa
Rasulullah ﷺ sangat menjunjung tinggi kedudukan perempuan, khususnya istri.
Imam Ibnu al-‘Iraq, sebagaimana dikutip oleh
Imam al-Munawi dalam *Fayd al-Qadir*, menjelaskan perkataan Imam Malik tentang
pentingnya memuliakan perempuan, terutama dalam rumah tangga.
يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ
أَنْ يَتَجَنَّبَ إِلَى أَهْلِ دَارِهِ حَتَّى يَكُونَ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْهِمْ.
“Seorang suami wajib memenuhi kebutuhan
biologis istrinya agar ia merasa dicintai dan diperhatikan.” [Faidhul Qodir
3/496 no. 4102].
Keempat : Jika Kau Mencintai Kelebihannya, Kau Harus Menerima Kekurangannya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Nabi ﷺ bersabda:
لَا يَفْرَكْ
مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إنْ كَرِهَ منها خُلُقًا رَضِيَ منها آخَرَ، أَوْ قالَ:
غَيْرَهُ.
“Tidak boleh orang laki-laki yang beriman
membenci perempuan yang beriman. (Karena) apa bila dia membenci suatu budi
pekerti darinya (perempuan yang beriman itu), dia (pasti) meridai (menyukai)
budi pekerti yang lain….” (HR. Imam Muslim no. 1469)
FIQIH HADITS :
Hadis ketiga ini mengajarkan bahwa tidak ada
perempuan yang sepenuhnya sempurna dan tidak ada pula yang sepenuhnya penuh
kekurangan. Setiap orang, termasuk perempuan, memiliki sisi kelebihan dan
kekurangan.
Imam Nawawi menjelaskan :
أَنَّهُ نَهْيٌ
أَيْ يَنْبَغِي أَنْ لَا يُبْغِضَهَا لِأَنَّهُ إِنْ وَجَدَ فِيهَا خُلُقًا يُكْرَهُ
وَجَدَ فِيهَا خُلُقًا مَرْضِيًّا بِأَنْ تَكُونَ شَرِسَةَ الْخُلُقِ لَكِنَّهَا دَيِّنَةٌ
أَوْ جَمِيلَةٌ أَوْ عَفِيفَةٌ أَوْ رَفِيقَةٌ بِهِ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ اهـ
“Itu adalah larangan, maksudnya seorang suami
tidak pantas membenci istrinya hanya karena ia menemukan pada dirinya satu
akhlak yang tidak disukai, maka pasti ia juga akan menemukan padanya akhlak
yang terpuji; misalnya ia berwatak keras tetapi taat beragama, atau cantik,
atau menjaga kehormatan, atau lembut kepadanya, atau sifat baik lainnya semacam
itu”. [Syarah Shahih Muslim karya an-Nawawi 10/58].
Hal yang sama berlaku bagi suami. Tidak ada
suami yang benar-benar sempurna tanpa kekurangan.
Syaikh ‘Ali al-Qari, dalam penjelasannya
mengenai hadis ini, juga menekankan pentingnya memahami pasangan dengan bijak,
menghargai kelebihan, dan bersabar terhadap kekurangan. Dia berkata :
وَفِيهِ إِشَارَةٌ
إِلَى أَنَّ الصَّاحِبَ لَا يُوجَدُ بِدُونِ عَيْبٍ فَإِنْ أَرَادَ الشَّخْصُ بَرِيئًا
مِنَ الْعَيْبِ يَبْقَى بِلَا صَاحِبٍ وَلَا يَخْلُو الْإِنْسَانُ سِيَّمَا الْمُؤْمِنُ
عَنْ بَعْضِ خِصَالٍ حَمِيدَةٍ فَيَنْبَغِي أَنْ يُرَاعِيَهَا وَيَسْتُرَ مَا بَقِيِّهَا
“Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa
seorang teman hidup atau pasangan tidak mungkin ada tanpa kekurangan. Jika
seseorang menginginkan orang yang benar-benar bebas dari kekurangan, maka ia
tidak akan pernah menikah seumur hidupnya. Manusia, terutama orang beriman,
pasti memiliki sebagian sifat terpuji. Maka sebaiknya ia memperhatikan
sifat-sifat baik tersebut dan menutupi kekurangan yang ada. [Mirqootul
Mafaatiih 5/2118 no. 3240].
Dan Allah SWT berfirman :
﴿ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا﴾
“Dan pergaulilah (perlakukanlah) mereka
secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. [Nisa: 19]
Kelima : Pahala untuk Orang yang Memberi Nafkah untuk Saudari
Dari Aisyah radhiyallaahu anha bahwa Nabi ﷺ bersbda :
لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ
أُمَّتِي يَعُولُ ثَلَاثَ بَنَاتٍ أَوْ ثَلَاثَ أَخَوَاتٍ فَيُحْسِنَ إِلَيْهِنَّ إِلَّا
كَانَ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ.
“Tidak ada seorang pun dari umatku yang
menanggung nafkah tiga anak perempuan atau tiga saudari perempuan, lalu berbuat
baik kepada mereka, kecuali mereka akan menjadi pelindung baginya dari api
neraka”.
(HR. al-Baihaqi dalam "asy-Syu'ab"
(11023), dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam "Sahih al-Jami'"
(5372).)
FIQIH HADITS :
Hadits tentang keharusan memuliakan perempuan
yang terakhir ini untuk saudara laki-laki.
Jika mereka menanggung nafkah untuk tiga
suadarinya, maka Allah akan mencatat kebaikan-kebaikan ini. Kelak di akhirat,
kebaikan-kebaikan itu akan menjadi perisai baginya dari apa neraka.
Dengan kata lain, dia akan selamat dari api
neraka. (al-Jami as-Shaghir: 2/250)
Dari Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa
Nabi ﷺ bersabda :
مَن كانَ لَهُ
ثلاثُ بَناتٍ فصبرَ عليهنَّ، وأطعمَهُنَّ، وسقاهنَّ، وَكَساهنَّ مِن جِدَتِهِ كنَّ
لَهُ حجابًا منَ النَّارِ يومَ القيامَةِ
Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak
perempuan, dan dia bersabar dengan mereka, memberi mereka makan, minum, dan
memberi mereka pakaian dari hartanya dengan kebaikan, maka anak perempuan itu
akan menjadi penghalang baginya dari api neraka pada hari kiamat.
[HR. Ibnu Majah (3669) dan Ahmad (17403). Di
shahihkan al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah dan oleh Syeikh Bin Baaz dalam
Majmu’ Fataawaa nya 25/365].
Hadis terakhir ini menjelaskan keutamaan bagi
seorang saudara laki-laki yang menanggung kebutuhan hidup saudari-saudarinya.
Jika ia merawat, membimbing, dan memperlakukan mereka dengan baik, maka
kebaikan itu akan menjadi pelindung baginya dari siksa api neraka pada hari
kiamat. (al-Jami‘ as-Shaghir: 2/250)
KESIMPULAN DARI HADITS-HADITS DIATAS :
Hadis-hadis diatas menunjukkan kewajiban
memuliakan kaum wanita, terutama terhadap ibu, istri, anak dan saudari.
0 Komentar