HUKUM BERARGUMENTASI DENGAN "DALIL ISTIHSAN"
(الاسْتِحْسَانُ)
----
Ditulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
Istihsan adalah: “Upaya mencari hukum suatu masalah yang
lebih hasan (terbaik) dengan mempertimbangkan dalil yang lebih kuat, selama
tidak melanggar syariat”.
----
DAFTAR ISI :
- SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI DAN YANG DIPERSELISIHKAN
- PENDAHULUAN TENTANG ISTIHSAN
- PEMBAHASAN PERTAMA : HAKIKAT ISTIHSAN
- PEMBAHASAN KE DUA : PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ISTIHSAN SEBAGAI SUMBER HUKUM
- KELOMPOK PERTAMA : MENJADIKAN ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SUMBER HUKUM
- KELOMPOK KEDUA : MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SUMBER HUKUM
- KELOMPOK KETIGA : MENGAMBIL DALIL YANG LEBIH KUAT .
- DALIL MASING-MASING KELOMPOK
- DALIL KELOMPOK PERTAMA : KELOMPOK YANG MENETAPKAN ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SUMBER HUKUM.
- DALIL KELOMPOK KEDUA : YANG MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SUMBER HUKUM
- MASALAH TERKAIT ISTIHSAN YANG DIPERSELISIHKAN DALAM MADZHAB HANAFI:
- MASALAH PERTAMA : KETIKA TERJADI PERTENTANGAN ANTARA QIYAS DAN ISTIHSAN:
- MASALAH KEDUA : TENTANG PERLUASAN PENERAPAN HUKUM ISTIHSAN
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI DAN SUMBER HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN
Sumber hukum Islam
yang disepakati oleh mayoritas ulama (jumhur ulama) adalah Al-Qur'an, Hadits,
Ijma', dan Qiyas. Sementara itu, terdapat sumber hukum lain yang masih
diperselisihkan keabsahannya di kalangan ulama, seperti Istihsan, Maslahah
Mursalah, Istishab, Urf, Syar'u Man Qablana, dan Madzhab Sahabi.
===
SUMBER HUKUM YANG DISEPAKATI
(الأدِلَّةُ المُتَّفَقُ عَلَيْهَا)
KE [1]. Al-Qur'an:
Kitab suci umat Islam
yang merupakan wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an menjadi
sumber hukum pertama dan utama dalam Islam.
KE [2]. Hadits:
Segala perkataan,
perbuatan, dan ketetapan (takrir) Nabi Muhammad SAW. Hadits menjadi sumber
hukum kedua setelah Al-Qur'an.
KE [3]. Ijma':
Kesepakatan seluruh
mujtahid (ulama yang memiliki kemampuan istinbath hukum) pada suatu masa
tertentu mengenai suatu hukum Islam. Ijma' menjadi sumber hukum ketiga setelah
Al-Qur'an dan Hadits.
KE [4]. Qiyas:
Menyimpulkan hukum
suatu kejadian yang tidak ada nashnya (ketentuan dalam Al-Qur'an dan Hadits)
dengan cara membandingkannya dengan kejadian lain yang ada nashnya, berdasarkan
'illah (alasan hukum) yang sama.
===
SUMBER HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN:
(الأَدِلَّةُ المُخْتَلَفُ
فِيْهَا)
KE 1 : Istihsan (الاسْتِحْسَانُ):
Yakni : meninggalkan
suatu hukum yang sudah jelas berdasarkan qiyas demi kemaslahatan yang lebih
besar, atau karena adanya dalil lain yang lebih kuat.
[Singkatnya : meninggalkan
hukum qiyas, karena demi hukum yang lebih bagus dan lebih maslahat].
KE 2 : Maslahah Mursalah (المَصْلَحَةُ
المُرْسَلَةُ):
Yakni : menetapkan
hukum berdasarkan kemaslahatan umum yang tidak ada dalil khusus yang
menolaknya, tetapi juga tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
KE 3 : Istishab (الاسْتِصْحَابُ):
Menetapkan hukum
berdasarkan hukum yang sudah ada sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya.
KE 4 : ‘Urf (العُرْفُ):
Yakni : Adat kebiasaan
masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
KE 5 : Syar'u Man Qablana (شَرْعُ مَنْ
قَبْلَنَا):
Yakni ; Hukum-hukum
yang terdapat dalam syariat agama-agama sebelum Islam.
Madzhab Shohabi/ Sahabat Nabi ﷺ (مَذْهَبُ الصَّحَابِي):
Yakni : Pendapat
sahabat Nabi Muhammad ﷺ.
PENDAHULUAN TENTANG ISTIHSAN
Seorang muslim hampir
yakin bahwa umat Islam saat ini sangat membutuhkan untuk merapatkan barisan,
dan hal itu tidak akan terwujud kecuali melalui pertukaran gagasan serta
pertemuan akal-akal yang cemerlang yang mampu menghilangkan kegelapan
keterbelakangan pemikiran di hadapan dinamika kehidupan intelektual, melalui
penelitian-penelitian perbandingan dalam ilmu ushul, ilmu fikih dan lainnya .
Dalil-dalil yang
dijadikan landasan pengambilan hukum syariat atas perbuatan mukallaf terbagi
menjadi dua jenis:
Pertama : jenis yang
telah disepakati oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber dari sumber-sumber
syariat Islam.
Kedua : Jenis yang
diperselisihkan oleh para ulama dalam menganggapnya sebagai sumber
pensyariatan.
Kita sangat
membutuhkan agar masing-masing dapat memahami yang lain, dan hal itu terwujud
dengan mengemukakan berbagai kajian dalam bidang ilmu fikih, ilmu ushul dan
lainnya sehingga kebekuan yang menutupi sebagian pikiran selama masa tertentu
dapat dihilangkan, kemudian terjadilah interaksi yang diharapkan dan bertemunya
gagasan-gagasan yang matang.
Kajian tentang
istihsan ini terkenal dianut oleh kalangan Hanafiyah, sehingga siapa yang
meneliti kitab-kitab mereka sering menjumpai ungkapan ini:
(الحُكْمُ فِي هٰذِهِ
المَسْأَلَةِ قِيَاسًا كَذَا، وَاسْتِحْسَانًا كَذَا)
“Hukum dalam masalah
ini menurut qiyas adalah demikian, sedangkan menurut istihsan adalah demikian.”
Mereka menganggapnya
sebagai dalil kelima dalam syariat yang dengannya ditinggalkan konsekuensi
qiyas, karena ia merupakan salah satu jenis qiyas. Ia adalah qiyas khafi yang
berlawanan dengan qiyas jali, dan dinamakan demikian sebagai isyarat bahwa ia
lebih utama diamalkan, sebagaimana dikatakan oleh al-Bazdawi.
Mengamalkan istihsan
telah menjadi bahan kajian para ulama, setelah Malikiyah dan Hanabilah
menetapkannya dan Hanafiyah terkenal dengannya, sedangkan Syafi’iyah dan
Zahiriyah menganggapnya bid’ah dan pensyariatan dalam agama.
Oleh karena itu, Imam
Syafi’i mengucapkan perkataannya yang masyhur – sebagaimana dinukil dalam
kitab-kitab ushul meskipun tidak terdapat dalam kitabnya “ar-Risalah” –:
(مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ)
أَيْ: وَضَعَ شَرْعًا جَدِيدًا.
“Barang siapa
melakukan istihsan, maka ia telah menetapkan syariat,” yaitu meletakkan syariat
baru.
[Lihat : Syarh Tanqih
al-Fushul karya al-Qarafi: halaman 415-452, Kitab al-Hudud karya Abu Walid
al-Baji: halaman 65.]
Kajian ini membahas
persoalan tersebut, mendiskusikan pendapat-pendapat di dalamnya, dan berusaha
sampai pada pandangan yang matang.
Kami akan membagi
pembahasan ini ke dalam beberapa topik berikut:
==***===
PEMBAHASAN PERTAMA : HAKIKAT ISTIHSAN
Singkatnya :
Istihsan adalah: “Upaya
mencari hukum suatu masalah yang lebih hasan (terbaik) dengan mempertimbangkan
dalil yang lebih kuat, selama tidak melanggar syariat”.
Istihsan dalam bahasa:
Istihsan diambil dari
kata *al-husn (الحُسْنِ)*, dan masdar dari kata “istahsana (اِسْتَحْسَنَ)”, yang
artinya: menganggap sesuatu itu baik, baik sesuatu tersebut berupa hal yang
bersifat indrawi maupun maknawi.
Dikatakan: “اِسْتَحْسَنَ الطَّعَام” (menganggap makanan itu baik).
Dan dikatakan: “هٰذَا مَا اِسْتَحْسَنَهُ المُسْلِمُونَ” (ini adalah sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslimin).
[Lihat : Kasyf
al-Asrar karya al-Bazdawi, jilid 4, halaman 112, Al-Ahkam karya al-Amidi, jilid
4, halaman 211 dan Sullam al-Wushul, halaman 296].
Perselisihan di antara
para ulama bukan pada kebolehan menggunakan istilah *istihsan*, karena istilah
tersebut telah disebutkan dalam Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan dalam ungkapan
sebagian fuqaha.
Perselisihan itu
terjadi pada makna dan definisi istilahnya secara terminologis, yang memiliki
beberapa definisi, sebagian di antaranya tidak lepas dari ambiguitas dan
ketidakjelasan, bahkan lebih mendekati definisi para sastrawan yang didominasi
oleh gaya sajak.
Definisi yang dapat
disimpulkan dari kebanyakan definisi tersebut adalah:
الأَخْذُ بِأَقْوَى الدَّلِيلَيْنِ
“Mengambil dalil yang lebih kuat dari dua dalil”.
[Baca : Al-Ahkam karya
al-Amidi, jilid 3, halaman 136; Syarh al-Asnawi, jilid 3, halaman 168; dan
Ushul al-Sarakhsi, jilid 2, halaman 200, Al-Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqāran karya Sayyid Muhammad Taqi al-Hakim, halaman 361 dan
Al-Muwafaqat karya al-Syathibi, jilid 4, halaman 117].
Asy-Syaukani
menyebutkan beberapa definisi istihsan tanpa menyandarkannya kepada yang
mengatakannya, sedangkan Ustadz al-Khafif menampilkan sebagian definisi
tersebut dengan menisbatkan setiap definisi kepada yang mengatakannya dan madzhabnya.
[Baca : Irsyad
al-Fuhul karya al-Syaukani, halaman 240, Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha, halaman 236;
dan Mashadir al-Tasyri' al-Islami, halaman 58]
Istihsan kadang
diartikan sebagai berikut :
مَا يَمِيلُ إِلَيْهِ الإِنسَانُ
وَيَهْوَاهُ مِنَ الصُّوَرِ وَالمَعَانِي وَإِنْ كَانَ مُسْتَقْبَحًا عِنْدَ
غَيْرِهِ، أَوْ يَسْتَحْسِنُهُ المُجْتَهِدُ بِعَقْلِهِ
“Sesuatu yang
cenderung disukai oleh seseorang dari bentuk atau makna tertentu, meskipun
dianggap buruk oleh orang lain, atau sesuatu yang dianggap baik oleh seorang
mujtahid dengan akalnya”. [Al-Mustashfa karya al-Ghazali, jilid 1, halaman 137]
Sementara hukum itu tidak
boleh diambil berdasarkan selera dan hawa nafsu, dan hal ini disepakati oleh
para ulama sebagai sesuatu yang terlarang.
Istihsan juga kadang
diartikan sebagai:
عِبَارَةٌ عَنْ دَلِيلٍ يَنْقَدِحُ فِي
نَفْسِ المُجْتَهِدِ لَا يَقْدِرُ عَلَى إِظْهَارِهِ، لِعَدَمِ مُسَاعَدَةِ
العِبَارَةِ عَنْهُ
“Dalil yang terlintas
dalam benak mujtahid tetapi tidak mampu diungkapkan karena keterbatasan
ungkapan”.
[Lihat : Al-Ahkam
karya al-Amidi, jilid 4, halaman 212; Al-Mustashfa, jilid 1, halaman 138; Syarh
al-Asnawi, jilid 3, halaman 168; Irsyad al-Fuhul, halaman 211; Al-Luma’ karya
al-Syirazi, halaman 66; Al-Madkhal ila Madhhab Ahmad, halaman 135; dan Ghayat
al-Wushul, halaman 139].
Namun ini tertolak,
karena istilah “terlintas (يَنْقَدِحُ)” bagi mujtahid berarti ia ragu untuk menjadikannya sebagai
dalil (أَنَّهُ شَاكٌّ فِي اعْتِبَارِهِ
كَدَلِيلٍ), sedangkan hukum
syariat tidak bisa ditetapkan dengan keraguan.
Seringkali istilah
istihsan digunakan oleh kalangan Hanafiyah, baik secara tersendiri maupun
disandingkan dengan qiyas. Mereka mendefinisikannya sebagai berikut :
(بِأَنَّهُ العُدُولُ عَنْ
مُوجِبِ قِيَاسٍ إِلَى قِيَاسٍ أَقْوَى مِنْهُ، أَوْ هُوَ تَخْصِيصُ قِيَاسٍ
بِدَلِيلٍ أَقْوَى مِنْهُ)
“Berpaling (beralih)
dari ketentuan qiyas menuju qiyas yang lebih kuat darinya, atau sebagai
pengkhususan qiyas dengan dalil yang lebih kuat darinya”.
[Lihat : Kasyf
al-Asrar ‘ala Ushul al-Bazdawi, jilid 2, halaman 1123; Syarh al-‘Adhud ‘ala
Mukhtashar al-Muntaha, jilid 2, halaman 822; Ghayat al-Wushul, halaman 139;
Al-Ta’rifat karya al-Jurjani, halaman 13; Al-Kasysyaf karya al-Tahanawi, jilid
2, halaman 39-391; dan Ta’lil al-Ahkam karya Mustafa al-Syalabi, halaman
330-331].
Namun, definisi ini
tidak mencakup seluruhnya dan juga tidak mencegah masuknya definisi lain,
karena ia tidak meliputi istihsan yang ditetapkan dengan dalil selain qiyas,
seperti istihsan yang ditetapkan dengan ijma’ atau darurat menurut pendapat
yang mengatakannya. Padahal, definisi yang baik harus mencakup seluruh
bagiannya dan mencegah masuknya hal lain di luar maksudnya.
Sebagian ulama
mendefinisikannya sebagai berikut :
(إِنَّهُ قِيَاسٌ خَفِيٌّ لَا
يَتَبَادَرُ إِلَى الفَهْمِ فِي مُقَابِلِ قِيَاسٍ جَلِيٍّ)
“Qiyas khafi
(tersembunyi) yang tidak segera terlintas dalam pemahaman, berlawanan dengan
qiyas jali (jelas)”. [Lihat : Ushul al-Fiqh karya al-Bardisi, halaman 290].
Mungkin ini yang
disebut dengan “التَّبَادُرُ
البَدَوِيُّ (pemahaman awal yang terbesit)”, yang tidak memiliki
kekuatan hujjah. Definisi ini juga tidak mencakup seluruh jenisnya, karena
maksudnya hanya terbatas pada qiyas ushul, padahal istihsan tidak terbatas
padanya. Ia bisa berupa dalil umum atau kaidah yang ditetapkan menurut sebagian
ulama.
Ada juga yang mendefinisikannya
sebagai setiap dalil syar’i yang berhadapan dengan qiyas jali, baik berupa
nash, ijma’, darurat, atau qiyas khafi.
[Lihat : Ushul al-Fiqh
karya al-Bardisi, halaman 290]
Pada kenyataannya,
membatasi istihsan hanya pada empat hal ini tidak benar, bahkan bisa jadi
berdasarkan adat kebiasaan dan kemaslahatan juga.
Al-Karkhi
mendefinisikannya:
أَنَّهُ العُدُولُ عَنْ حُكْمٍ فِي
مَسْأَلَةٍ بِمِثْلِ حُكْمِهِ فِي نَظَائِرِهَا إِلَى خِلَافِهِ لِوَجْهٍ أَقْوَى
مِنْهُ.
“Bahwa istihsan adalah
berpaling dari hukum suatu masalah yang serupa dengan hukumnya dalam
permasalahan-permasalahan sejenisnya kepada hukum yang berbeda karena ada
alasan yang lebih kuat darinya.” [Lihat : Kasyf al-Asrar ‘ala Usul al-Bazdawi,
jilid 2, halaman 123.]
Hal ini mengharuskan
bahwa berpaling dari umum kepada khusus, dan dari mansukh kepada nasikh juga
dianggap istihsan.
Abu al-Husain
mendefinisikannya:
وَهُوَ تَرْكُ وَجْهٍ مِنْ وُجُوهِ
الاجْتِهَادِ غَيْرُ شَامِلٍ شُمُولَ الأَلْفَاظِ لِوَجْهٍ هُوَ أَقْوَى مِنْهُ،
وَهُوَ حُكْمٌ طَارِئٌ عَلَى الأَوَّلِ.
“Ia adalah
meninggalkan salah satu sisi ijtihad yang tidak mencakup secara menyeluruh
seperti lafaz, kepada sisi yang lebih kuat darinya, yaitu hukum yang datang
kemudian terhadap yang pertama.” [Lihat : Al-Ahkam fi Usul al-Ahkam, jilid 4,
halaman 392; Syarh al-Asnawi, jilid 3, halaman 188; Al-Mahshul, jilid 2,
halaman 560]
Dengan yang pertama
dikecualikan: takhshish dan naskh. Dengan yang kedua dikecualikan: hukum dengan
dua qiyas yang lebih kuat, karena hal itu bukan termasuk hukum yang datang
kemudian. Jika termasuk, maka ia adalah istihsan.
Muhammad bin al-Sahn
mengomentari hal itu dengan berkata:
تَرَكْتُ الاسْتِحْسَانَ لِلْقِيَاسِ،
كَمَا لَوْ قَرَأَ آيَةَ سَجْدَةٍ فِي آخِرِ سُورَةٍ فَالْقِيَاسُ الاكْتِفَاءُ
بِالرُّكُوعِ، وَالاسْتِحْسَانُ: أَنْ يَسْجُدَ ثُمَّ يَرْكَعَ؛ لِأَنَّ سَمَّاهُ
اسْتِحْسَانًا؛ لِأَنَّ الاسْتِحْسَانَ وَحْدَهُ وَإِنْ كَانَ أَقْوَى مِنَ
الْقِيَاسِ لَكِنْ انْضَمَّ إِلَى الْقِيَاسِ شَيْءٌ آخَرُ، وَتَرْجِيحُ
الْمَجْمُوعِ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ تَعَالَى أَقَامَ الرُّكُوعَ مَقَامَ السُّجُودِ
فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ ۩﴾.
“Aku meninggalkan
istihsan untuk kembali kepada qiyas, sebagaimana jika seseorang membaca ayat
sajdah di akhir surat, maka menurut qiyas cukup dengan rukuk, sedangkan menurut
istihsan: ia sujud kemudian rukuk; karena hal itu disebut istihsan, sebab
istihsan sendiri meskipun lebih kuat daripada qiyas, tetapi bergabung dengan
qiyas sesuatu yang lain, dan gabungan keduanya lebih kuat darinya, karena Allah
Ta'ala menjadikan rukuk sebagai pengganti sujud dalam firman-Nya: “Dan ia
tersungkur sambil rukuk dan bertobat” (QS. Shad: 24)
[Lihat : Al-Mahshul fi
‘Ilm al-Usul, jilid 2, halaman 177; dan Al-Qur’an, Surah Sad ayat 24].
Hal ini mengharuskan
bahwa seluruh syariat adalah istihsan, maka wajib ditambahkan bahwa adanya
perbedaan dengan al-bara’ah al-ashliyyah. Dengan demikian sebagaimana dikatakan
as-Sarkhasy definisinya menjadi:
(تَرْكُ وَجْهٍ مِنْ وُجُوهِ
الِاجْتِهَادِ مُغَايِرٍ لِلْبَرَاءَةِ الْأَصْلِيَّةِ وَالْعُمُومَاتِ
اللَّفْظِيَّةِ لِوَجْهٍ هُوَ أَقْوَى مِنْهُ، وَهُوَ فِي حُكْمِ الطَّارِئِ عَلَى
الْأَوَّلِ)
“Meninggalkan salah
satu sisi ijtihad yang berbeda dengan al-bara’ah al-ashliyyah dan keumuman
lafaz kepada sisi yang lebih kuat darinya, dan ia termasuk hukum yang datang
kemudian terhadap yang pertama”. [Lihat : Al-Mabsut karya as-Sarakhsi,1/145]
Kemudian ia berkata:
(إِنَّ أَصْحَابَنَا أَنْكَرُوا
الِاسْتِحْسَانَ عَلَى الْأَحْنَافِ، وَالْخِلَافُ لَيْسَ فِي اللَّفْظِ
لِوُرُودِهِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: (وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا)
وَقَوْلِهِ تَعَالَى: (فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ) وَقَوْلِهِ ـ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ ـ: "مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ
حَسَنٌ". وَلَا مَعْنَى لَهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيهِ إِجْمَاعٌ.
وَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الْمُتْعَةِ:
(أَسْتَحْسِنُ أَنْ يَكُونَ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا).
وَفِي الشُّفْعَةِ: (أَسْتَحْسِنُ أَنْ
يُثْبَتَ لِلشَّفِيعِ الشُّفْعَةُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ).
وَفِي الْمُكَاتَبِ: (أَسْتَحْسِنُ أَنْ
يُتْرَكَ عَلَيْهِ شَيْءٌ).
بَلْ فِي الْمَعْنَى، وَهُوَ: أَنَّ
الْقِيَاسَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي صُورَةِ الِاسْتِحْسَانِ مَتْرُوكًا فِيهَا
مَعْمُولًا بِهِ فِي غَيْرِهَا لَزِمَ تَخْصِيصُ الْعِلَّةِ، وَهَذَا عِنْدَ
جُمْهُورِ الْمُحَقِّقِينَ بَاطِلٌ، فَبَطَلَ الِاسْتِحْسَانُ).
“Sesungguhnya para ulama kami mengingkari
istihsan terhadap Kelompok Hanafiyah, dan perselisihan bukan pada lafaz karena
adanya dalam firman Allah: ‘Dan perintahkanlah kepada kaummu agar mereka
mengambil yang terbaik darinya’. [QS. al-A’raf : 145].
Dan firman-Nya: ‘Lalu
mereka mengikuti yang terbaik darinya’. [QS. az-Zumar: 18]
Dan sabda Nabi: ‘Apa
yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka ia baik di sisi Allah.’ [HR. Ahmad
dari Ibnu Abbas dalam kitab As-Sunnah, hal. 217.]
Dan tidak ada artinya
jika tidak ada ijma’ di dalamnya.
Dan perkataan
asy-Syafi’i dalam masalah mut’ah: ‘Saya ber-istihsan agar pemberian mut’ah itu
tiga puluh dirham.’ [Syarh al-Mahalli ‘ala Jam‘ al-Jawami‘, 2/288.]
Dan dalam masalah
syuf’ah: ‘Saya ber-istihsan agar syuf’ah bagi yang berhak sampai tiga hari.’
[Ghayat al-Wusul, hal. 140.]
Dan dalam masalah
mukatab: ‘Saya ber-istihsan agar disisakan padanya sesuatu.’ [Usul as-Sarakhsi,
2/ 200.]
Bahkan maknanya adalah
bahwa jika qiyas ada pada bentuk istihsan tetapi ditinggalkan di dalamnya dan
diamalkan di selainnya, maka mengharuskan takhshish ‘illah, dan ini menurut
mayoritas ulama yang teliti adalah batil, maka batallah istihsan.
Al-Ghazali
mendefinisikannya dengan berkata:
1 ـ إِنَّهُ الَّذِي يَسْبِقُ
إِلَى الْفَهْمِ، أَيْ: مَا يَسْتَحْسِنُهُ الْمُجْتَهِدُ بِعَقْلِهِ.
2 ـ إِنَّهُ دَلِيلٌ يَنْقَدِحُ
فِي نَفْسِ الْمُجْتَهِدِ لَا تُسَاعِدُهُ الْعِبَارَةُ، وَلَا يَقْدِرُ عَلَى
إِبْرَازِهِ وَإِظْهَارِهِ. وَلَعَلَّ مَا يُقَابِلُ ذَلِكَ فِي اصْطِلَاحِ
الْفُقَهَاءِ الْإِمَامِيَّةِ بِـ "الذَّوْقِ الْفِقْهِيِّ"، إِلَّا
أَنَّ حُجِّيَّتَهُ تَتَوَقَّفُ عَلَى حُجِّيَّةِ الْمُنْقَدِحِ مِنْهُ، فَلَا
مَعْنَى لِجَعْلِهِ أَصْلًا قَائِمًا بِنَفْسِهِ.
3 ـ وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنِ
الْكَرْخِيِّ، وَبَعْضِ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ كَأَنَّهُ قَوْلٌ بِدَلِيلٍ يَنْدَرِجُ
تَحْتَهُ أَجْنَاسٌ:
مِنْهَا: الْعُدُولُ بِحُكْمِ مَسْأَلَةٍ
عَنْ نَظَائِرِهَا بِدَلِيلٍ خَاصٍّ مِنَ الْقُرْآنِ،
وَمِنْهَا: أَنْ يَعْدِلَ بِهَا عَنْ
نَظَائِرِهَا بِدَلِيلِ السُّنَّةِ.
Istihsan memiliki tiga makna:
1]. Ia adalah sesuatu
yang pertama kali terlintas dalam pemahaman, yaitu apa yang dianggap baik oleh
mujtahid dengan akalnya.
2]. Ia adalah dalil yang
muncul dalam diri mujtahid yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan
tidak mampu menampakkannya. Barangkali yang sepadan dengan ini dalam istilah
fuqaha Syiah adalah “dzauq fiqhi”, hanya saja keabsahannya tergantung pada
keabsahan yang muncul darinya, maka tidak ada artinya menjadikannya sebagai
dasar hukum yang berdiri sendiri. [Baca : Al-Islam wa Asas at-Tasyri‘ karya Abd
al-Muhsin Fadhlullah, halaman 124]
3]. Ia adalah yang
dinukil dari al-Karkhi dan sebagian pengikut Abu Hanifah bahwa ia adalah
perkataan yang didasari dalil yang mencakup beberapa jenis:
Di antaranya: berpaling dari hukum
suatu masalah yang sejenis kepada dalil khusus dari Al-Qur’an,
Dan di antaranya: berpaling darinya
kepada dalil dari Sunnah”. [Lihat : Tarikh al-Fiqh al-Islami karya Dr. Muhammad
Yusuf Musa, halaman 256].
Dekat dengan definisi
ini dan lainnya yang jauh dari kaidah definisi adalah Apa yang dinisbatkan
kepada Malikiyah bahwa ia adalah:
(الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَصْلَحَةِ
وَالْعُدُولُ)
“Memperhatikan kemaslahatan dan berpaling”.
[Lihat: Falsafah
at-Tasyri‘ fi al-Islam, hal.174]
As-Sarakhsi
menyebutkan beberapa definisi dalam kitab al-Mabsuth, di antaranya:
1ـ اَلْقِيَاسُ وَالِاسْتِحْسَانُ
فِي الْحَقِيقَةِ قِيَاسَانِ:
أَحَدُهُمَا: جَلِيٌّ ضَعِيفٌ أَثَرُهُ،
فَسُمِّيَ "قِيَاسًا".
وَالْآخَرُ: قَوِيٌّ أَثَرُهُ، فَسُمِّيَ
"اسْتِحْسَانًا"، أَيْ: قِيَاسًا مُسْتَحْسَنًا.
2 ـ الِاسْتِحْسَانُ: تَرْكُ
الْقِيَاسِ وَالْأَخْذُ بِمَا هُوَ أَوْفَقُ لِلنَّاسِ.
3 ـ الِاسْتِحْسَانُ: طَلَبُ
السُّهُولَةِ فِي الْأَحْكَامِ فِيمَا يُبْتَلَى بِهِ الْخَاصُّ وَالْعَامُّ.
4 ـ الِاسْتِحْسَانُ: الْأَخْذُ
بِالسَّعَةِ وَابْتِغَاءُ الدَّعَةِ.
5 ـ الِاسْتِحْسَانُ: الْأَخْذُ
بِالسَّمَاحَةِ وَانْتِقَاءُ مَا فِيهِ الرَّاحَةُ.
1]. Qiyas dan istihsan
pada hakikatnya adalah dua qiyas:
Salah satunya: jelas
tetapi lemah pengaruhnya, maka disebut “qiyas”.
Dan yang lainnya: kuat
pengaruhnya, maka disebut “istihsan”, yaitu qiyas yang dianggap baik.
2]. Istihsan:
meninggalkan qiyas dan mengambil apa yang lebih sesuai bagi manusia.
3]. Istihsan: mencari
kemudahan dalam hukum-hukum pada perkara yang menimpa orang khusus maupun umum.
4]. Istihsan:
mengambil kelapangan dan mencari ketenangan.
5]. Istihsan:
mengambil sikap toleransi dan memilih apa yang memberikan kenyamanan”.
[Al-Mabsut, 1/145.]
Definisi-definisi ini
intinya sama walaupun berbeda dalam ungkapan, dan tidak masuk dalam batasan
kaidah ilmiah.
Imam Malik berkata:
(الِاسْتِحْسَانُ: هُوَ الْعَمَلُ
بِأَقْوَى الدَّلِيلَيْنِ، أَوِ الأَخْذُ بِمَصْلَحَةٍ جُزْئِيَّةٍ فِي مُقَابَلِ
دَلِيلٍ كُلِّيٍّ، فَهُوَ إِذًا تَقْدِيمُ الِاسْتِدْلَالِ الْمُرْسَلِ عَلَى
الْقِيَاسِ)
“Istihsan adalah
beramal dengan dua dalil yang lebih kuat, atau mengambil suatu kemaslahatan
parsial sebagai ganti dalil yang bersifat umum. Maka, istihsan itu adalah
mendahulukan istidlal mursal daripada qiyas.” [Kasyf al-Asrar jilid 2/1124, dan
Ghayat al-Wusul, hlm. 140.]
Ibnu al-‘Arabi
berkata:
(الِاسْتِحْسَانُ: إِيثَارُ
تَرْكِ مُقْتَضَى الدَّلِيلِ، وَالتَّرْخِيصُ عَلَى طَرِيقِ الِاسْتِثْنَاءِ
لِمُعَارَضَةِ مَا يُعَارَضُ بِهِ فِي بَعْضِ مُقْتَضَيَاتِهِ).
“Istihsan adalah
memilih untuk meninggalkan konsekuensi dalil dan memberikan keringanan sebagai
bentuk pengecualian, karena adanya pertentangan yang menghalangi penerapan
sebagian konsekuensi dalil tersebut.” [Al-I’tisham jilid 2, hlm. 320].
Kemudian ia membaginya
menjadi empat bagian:
(وَهِيَ تَرْكُ الدَّلِيلِ
لِلْعُرْفِ، وَتَرْكُهُ لِلْإِجْمَاعِ، وَتَرْكُهُ لِلْمَصْلَحَةِ، وَتَرْكُهُ
لِلتَّيْسِيرِ وَدَفْعِ الْمَشَقَّةِ وَإِيثَارِ التَّوْسِعَةِ).
“(1) meninggalkan
dalil karena ‘urf (kebiasaan), (2) meninggalkannya karena ijma’, (3)
meninggalkannya karena maslahah, dan (4) meninggalkannya demi kemudahan dan
menghindari kesulitan serta memilih kelapangan.”
[Falsafah al-Tasyri’
fi al-Islam, hlm. 174, dan Ushul al-Fiqh karya Abu Zahrah, hlm. 263].
Ibnu Rusyd
mendefinisikannya:
(الِاسْتِحْسَانُ الَّذِي يَكْثُرُ
اسْتِعْمَالُهُ هُوَ: طَرْحُ قِيَاسٍ يُؤَدِّي إِلَى غُلُوٍّ فِي الْحُكْمِ
وَمُبَالَغَةٍ فِيهِ، فَيَعْدِلُ عَنْهُ فِي بَعْضِ الْمَوَاضِعِ لِمَعْنًى
يُؤَثِّرُ فِي الْحُكْمِ يَخْتَصُّ بِهِ ذَلِكَ الْمَوْضِعُ).
“Istihsan yang banyak
digunakan adalah meninggalkan qiyas yang dapat menyebabkan berlebihan dalam
hukum dan terlalu memberatkan, lalu berpindah darinya dalam sebagian keadaan
karena adanya alasan tertentu yang memengaruhi hukum tersebut yang hanya
berlaku pada keadaan itu saja.”
[Baca : Ushul al-Fiqh
karya Abu Zahrah, hlm. 263, dan Ushul al-Fiqh al-Islami karya al-Zuhaili
2/738.]
Asy-Syathibi berkata:
(وَهَذِهِ تَعَارِيفُ قَرِيبٌ
بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ، وَإِذَا كَانَ هَذَا مَعْنَاهُ عَنْ مَالِكٍ وَأَبِي
حَنِيفَةَ فَلَيْسَ بِخَارِجٍ عَنِ الْأَدِلَّةِ الْبَتَّةَ؛ لِأَنَّ الْأَدِلَّةَ
تُقَيِّدُ بَعْضُهَا بَعْضًا، وَيُخَصِّصُ بَعْضُهَا بَعْضًا، كَمَا فِي أَدِلَّةِ
السُّنَّةِ مَعَ أَدِلَّةِ الْقُرْآنِ، وَلَا يُرِيدُ الشَّافِعِيُّ مِثْلَ هَذَا
أَصْلًا، فَلَا حُجَّةَ فِي تَسْمِيَتِهِ اسْتِحْسَانًا لِمُبْتَدَعٍ عَلَى
حَالٍ).
“Definisi-definisi ini
hampir mirip satu sama lain. Jika inilah maksud Imam Malik dan Abu Hanifah,
maka ia tidak keluar dari koridor dalil sama sekali. Sebab, dalil-dalil saling
membatasi dan saling mengkhususkan, sebagaimana dalil-dalil sunnah dengan
dalil-dalil Al-Qur’an. Dan Imam Syafi’i sama sekali tidak menginginkan hal
seperti ini, sehingga tidak ada alasan untuk menjadikan istilah istihsan
sebagai bid’ah dalam keadaan ini.”
[Al-Muwafaqat karya
al-Syathibi jilid 4, hlm. 208–214, dan Al-I’tisham jilid 2, hlm. 139]
Ibnu Qudamah
menyebutkan tiga makna istihsan:
1 ـ العُدُولُ بِحُكْمِ الْمَسْأَلَةِ
عَنْ نَظَائِرِهَا لِدَلِيلٍ خَاصٍّ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ.
2 ـ مَا يَسْتَحْسِنُهُ
الْمُجْتَهِدُ بِعَقْلِهِ.
3 ـ دَلِيلٌ يَنْقَدِحُ فِي
نَفْسِ الْمُجْتَهِدِ لَا يَقْدِرُ عَلَى التَّعْبِيرِ عَنْهُ.
1. Mengalihkan hukum
suatu masalah dari masalah-masalah yang serupa karena adanya dalil khusus dari
Al-Qur’an atau Sunnah.
2. Apa yang dianggap
baik oleh mujtahid berdasarkan akalnya.
3. Dalil yang
terlintas dalam diri mujtahid namun ia tidak mampu mengungkapkannya dengan
kata-kata. [Lihat : Mashadir al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 58]
Definisi-definisi ini,
sebagaimana disebutkan oleh Sayyid Muhammad Taqiy al-Hakim, berbeda-beda dalam
hal keluasan dan kekhususan. Sebagian membatasinya pada mendahulukan satu qiyas
atas qiyas yang lain, sebagian menjadikannya umum untuk mendahulukan berbagai
dalil satu atas yang lain, dan sebagian lagi tidak berkaitan dengan mendahulukan
dalil sama sekali, melainkan diambil hanya karena pertimbangan istihsan dan
dorongan intuitif.
===***===
PEMBAHASAN KE DUA :
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ISTIHSAN SEBAGAI SUMBER HUKUM
Para Fuqaha Berbeda
Pendapat tentang Pertimbangan Istihsan sebagai Salah Satu Sumber Hukum.
Apabila kita
menelusuri kitab-kitab ushul, kita akan menemukan bahwa para fuqaha membagi
pendapat tentang istihsan menjadi tiga Kelompok:
****
KELOMPOK PERTAMA :
MENETAPKAN ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SUMBER HUKUM.
Kelompok ini menganggapnya sah dan
mengakui kehujjahan-nya.
Ahmad Syaban al-Qohiri:
الِاسْتِحْسَانُ أَدَاةٌ لاِسْتِنْبَاطِ
الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عِنْدَ غِيَابِ النُّصُوصِ وَعَجْزِ مَا يَسْبِقُهَا
مِنْ أَدَوَاتٍ، وَقَدْ تَوَسَّعَ فِيهِ الأَحْنَافُ وَغَيْرُهُمْ، وَعَدُّوهُ
مَصْدَرًا مِنْ مَصَادِرِ التَّشْرِيعِ بَعْدَ القُرْآنِ الكَرِيمِ وَالسُّنَّةِ
النَّبَوِيَّةِ وَالقِيَاسِ وَالإِجْمَاعِ، وَكَلِمَةُ الِاسْتِحْسَانِ جَاءَتْ
مِنَ الحُسْنِ، وَبِذَلِكَ فَإِنَّ الفَقِيهَ الَّذِي يَرَى فِي الِاسْتِحْسَانِ
مَصْدَرًا يَعُولُ عَلَى حُسْنِ وَقُبْحِ المَسْأَلَةِ فَيَحْكُمُ بِحُرْمَتِهَا
أَوْ كَرَاهَتِهَا، وَالِاسْتِحْسَانُ هُوَ تَرْجِيحُ قِيَاسٍ خَفِيٍّ عَلَى
قِيَاسٍ جَلِيٍّ بِنَاءً عَلَى دَلِيلٍ أَوِ اسْتِثْنَاءُ مَسْأَلَةٍ جُزْئِيَّةٍ
مِنْ أَصْلٍ كُلِّيٍّ أَوْ قَاعِدَةٍ عَامَّةٍ بِنَاءً عَلَى دَلِيلٍ خَاصٍّ
يَقْتَضِي ذَلِكَ.
Istihsan adalah alat
untuk menetapkan hukum syariat ketika tidak ada nash dan ketika alat-alat
sebelumnya tidak mencukupi.
Madzhab Hanafiyah dan
selain mereka memperluas penggunaan istihsan serta menganggapnya sebagai salah
satu sumber hukum setelah Al-Qur’an, sunnah Nabi, qiyas, dan ijma’.
Kata istihsan berasal
dari kata hasan (baik), sehingga seorang faqih yang menjadikan istihsan sebagai
sumber hukum akan mempertimbangkan baik atau buruknya suatu masalah, lalu
menghukuminya haram atau makruh. Istihsan adalah menguatkan qiyas khafi (qiyas
tersembunyi) atas qiyas jali (qiyas yang jelas) berdasarkan dalil, atau
mengeluarkan satu masalah parsial dari kaidah umum atau prinsip menyeluruh
berdasarkan dalil khusus yang mengharuskannya”. [Selesai]
Dan di barisan terdepan Kelompok ini
terdapat dua imam besar fiqh Islam:
Pertama : Imam Malik
diriwayatkan darinya bahwa dia pernah berkata:
(الِاسْتِحْسانُ تِسْعَةُ
أَعْشارِ الْعِلْمِ)
“Istihsan adalah
sembilan per sepuluh dari ilmu”.
[Lihat : Al-I‘tiṣhoom, 2/137; Rawḍat al-Nāẓir, 1/407; Al-Muwāfaqāt, 4/118; Al-Madkhal
ilā al-Fiqh al-Islāmī, hal. 257; Al-Madkhal
ilā Madhhab Aḥmad bin Ḥanbal, hal. 135; Irsyād al-Fuḥūl karya al-Syaukānī, hal. 223]
Kedua : Imam Abu Hanifah.
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani
(w. 186 H) – murid Imam Abu Hanifah – meriwayatkan dari Abu Hanifah:
(إِنَّ أَصْحابَهُ كانُوا
يُنازِعُونَهُ الْمَقايِيسَ، فَإِذا قالَ: أَسْتَحْسِنُ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ
أَحَدٌ، وَلَقَدْ كانَ يَقِيسُ ما اسْتَقامَ لَهُ الْقِيامُ، فَإِذا قَبُحَ
الْقِيامُ اسْتَحْسَنَ)
“Sesungguhnya para
sahabatnya pernah membantah beliau dalam qiyas, maka apabila beliau berkata:
Aku ber-istihsan, tidak ada seorang pun yang dapat menandinginya. Sungguh
beliau melakukan qiyas selama qiyas itu lurus, tetapi apabila qiyas menjadi
buruk, beliau memilih istihsan”. [Baca : Al-Asnawī, jilid 3, bagian K, halaman 168, 171; Uṣhūl al-Istinbāṭ, halaman 264].
Beliau menjadikannya
sebagai dasar ijtihad dengan perkataannya:
(مَنْ كانَ عالِمًا بِالْكِتابِ
وَالسُّنَّةِ وَبِقَوْلِ أَصْحابِ الرَّسُولِ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ ـ
وَبِما اسْتَحْسَنَ فُقَهاءُ الْمُسْلِمِينَ وَسِعَهُ أَنْ يَجْتَهِدَ بِرَأْيِهِ
فِيما ابْتُلِيَ بِهِ)
“Barang siapa berilmu
tentang Al-Qur’an dan Sunnah, mengetahui pendapat sahabat Rasulullah saw., dan
apa yang dianggap baik oleh para fuqaha kaum muslimin, maka ia boleh berijtihad
dengan pendapatnya dalam perkara yang dihadapinya”.
[Baca : Al-Madkhal ilā al-Fiqh al-Islāmī, halaman 257; Irsyād al-Fuḥūl karya al-Syaukānī, halaman 223; Ta‘līl al-Aḥkām karya Muṣṭafā al-Syalabī, halaman 330].
Diriwayatkan pula dari
Ashbagh bin Faraj al-Maliki:
(أَنَّ الِاسْتِحْسانَ أَغْلَبُ
فِي الْفِقْهِ مِنَ الْقِيامِ).
“Sesungguhnya istihsan
lebih dominan dalam fiqh dibandingkan qiyas”. [Uṣhūl al-Fiqh karya
al-Bardīsī, halaman 302]
Sebagaimana Hanafiyah
sependapat dengan Malikiyah dalam menganggap istihsan sah dan sebagai sumber
hukum serta memberinya perhatian besar, Hanabilah juga sependapat dengan
mereka.
Hal ini dinukil oleh
Jalal al-Mahalli, dan disetujui oleh al-‘Attar dalam hasyiahnya [Baca: Ḥāsyiyah al-‘Aṭṭār, halaman 213]. Demikian pula dinukil oleh al-Amidi. [Baca :Al-Aḥkām karya al-Āmidī 4/260] dan Ibnu
al-Hajib (Syarḥ al-‘Aḍuḍ ‘alā Mukhtaṣar al-Muntahā, 2/ 243)].
Namun, Malikiyah
membatasinya hanya pada maslahah mursalah, karena mereka berpendapat dengannya.
[Baca : Al-I‘tiṣhoom, 2/116; Bidāyat al-Mujtahid, 2/152; Mukhtaṣar al-Muntahā, hal. 220.]
Pada kenyataannya : banyak perbedaan
pendapat yang pada awalnya bersifat substansial, kemudian datang pembatasan dan
penyesuaian yang meniadakannya, atau ia kembali menjadi perbedaan istilah
semata karena perbedaan sudut pandang. Hal ini jelas terlihat dalam masalah
istihsan di kalangan mereka yang menganggapnya sebagai hujjah.
Ketika Malik berkata:
“Istihsan adalah sembilan per sepuluh ilmu”, yang dimaksudnya adalah memilih
dalil yang lebih kuat, seperti pengecualian jual beli ‘araya (بَيْعُ العَرَايَا)
dari larangan jual beli kurma basah dengan kurma kering [بَيْعُ الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ].
[Baca: Aḥkām al-FUṣhūl fī Aḥkām al-Uṣhūl karya Abū al-Walīd al-Bājī, halaman 687].
Ibnu al-Anbari
berkata:
(ٱلَّذِي يَظْهَرُ مِنْ مَذْهَبِ
مَالِكٍ: ٱلْقَوْلُ بِٱلِٱسْتِحْسَانِ ٱلَّذِي حَاصِلُهُ: ٱسْتِعْمَالُ مَسْأَلَةٍ
جُزْئِيَّةٍ فِي مُقَابَلَةِ قِيَاسٍ كُلِّيٍّ)
“Yang tampak dari madzhab
Malik adalah pendapat tentang istihsan, yang intinya adalah menggunakan dalil
dalam masalah parsial sebagai lawan qiyas yang bersifat umum”. [Baca: Mausū‘ah al-Fiqh al-Islāmī, 6/40].
Ibnu as-Sam‘ani
menukil:
(أَنَّ ٱلْخِلَافَ لَفْظِيٌّ،
فَإِنَّ تَفْسِيرَ ٱلِٱسْتِحْسَانِ بِمَا يُشَنَّعُ بِهِ عَلَيْهِمْ لَا
يَقُولُونَ بِهِ، وَأَنَّ ٱلِٱسْتِحْسَانَ بِٱلْعُدُولِ عَنْ دَلِيلٍ إِلَى
دَلِيلٍ أَقْوَى مِنْهُ لَا يُنْكِرُهُ أَحَدٌ)
“Perbedaan pendapat
ini hanyalah perbedaan istilah, karena penafsiran istihsan dengan sesuatu yang
membuat mereka tercela tidaklah mereka katakan. Istihsan yang dimaksud adalah
meninggalkan satu dalil untuk mengambil dalil lain yang lebih kuat darinya, dan
hal ini tidak ada yang mengingkarinya”. [Baca: Al-Mabsūuṭ karya al-Sarakhsī, 10/145].
Maka, istihsan
mencakup pembahasan tentang ta‘arudh / التَّعَارُضُ dan tazahum/ التَّزَاحُمُ
(konflik dalil), hukum, nasakh,
takhshish, dan lainnya yang membentuk dasar ilmu ushul. Tidak mengherankan jika
dikatakan istihsan adalah sembilan per sepuluh ilmu. Ini adalah madzhab Ahlul
Bait as., bahkan ia adalah sunnah kaum berakal, dan tidak menjadi pokok yang
berdiri sendiri di hadapan kaidah-kaidah lain, kecuali apabila ditafsirkan
sebagai “bisikan jiwa tanpa dalil (اَلْاِنْقِدَاحُ النَّفْسِيُّ)”, yang jelas-jelas
batil.
Adapun para ulama Hanafiyah
– kecuali ath-Thahawi – , maka mereka adalah sbb :
(تَمَسَّكُوا بِٱلْقِيَاسِ
وَبَالَغُوا فِي ٱلْأَخْذِ بِهِ، حَتَّى أَنَّهُمْ جَعَلُوهُ مِقْيَاسًا لِجَمِيعِ
ٱلْأَحْكَامِ، سَوَاءٌ كَانَتْ مِنَ ٱلْمَنْصُوصِ عَلَيْهَا أَمْ لَمْ تَكُنْ،
فَإِذَا كَانَ فِي ٱلْأَمْرِ دَلِيلٌ أَقْوَى مِنَ ٱلْقِيَاسِ ـ كَنَصٍّ مِنَ
ٱلْكِتَابِ أَوِ ٱلسُّنَّةِ أَوِ ٱلْإِجْمَاعِ ـ تَرَكُوا ٱلْقِيَاسَ، وَأَخَذُوا
بِٱلدَّلِيلِ ٱلْأَقْوَى ٱسْتِحْسَانًا).
“Mereka berpegang
teguh pada qiyas dan sangat mengutamakannya, bahkan mereka menjadikannya standar
analogi bagi semua hukum, baik yang ada nashnya maupun tidak. Apabila dalam
suatu perkara ada dalil yang lebih kuat daripada qiyas – seperti nash dari
Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma’ – mereka meninggalkan qiyas dan mengambil dalil
yang lebih kuat sebagai bentuk istihsan”. [Baca: Al-Mabsuuṭ karya al-Sarakhsī, 10/145].
Al-Qodhi Ya‘qub
berkata:
(ٱلْقَوْلُ بِٱلِٱسْتِحْسَانِ
مَذْهَبُ أَحْمَدَ، وَهُوَ: أَنْ تَتْرُكَ حُكْمًا إِلَى حُكْمٍ هُوَ أَوْلَى
مِنْهُ).
“Pendapat tentang
istihsan adalah madzhab Ahmad, yaitu meninggalkan suatu hukum menuju hukum lain
yang lebih utama daripadanya”. [Baca : Rawḍhat an-Nādhir, hal. 58; Al-Aḥkām, 3/136.]
Meskipun al-Bannani
menukil bahwa madzhab Hanabilah mengingkarinya. [Baca: Ḥāsyiyah al-Bannānī, 2/353; Mukhtaṣar al-Muntahā, hal. 220].
Dan Asy-Syaukani – yang termasuk ulama belakangan - dan juga Al-Qoffaal sebelumnya, mereka berdua berkata:
إِنْ كَانَ الْمُرَادُ بِالِاسْتِحْسَانِ:
مَا دَلَّتْ عَلَيْهِ الْأُصُولُ بِمَعَانِيهَا فَهُوَ حَسَنٌ لِقِيَامِ
الْحُجَّةِ بِهِ، وَهَذَا لَا نُنْكِرُهُ وَنَقُولُ بِهِ، وَإِذَا كَانَ مَا
يَقَعُ فِي الْوَهْمِ مِنِ اسْتِقْبَاحِ الشَّيْءِ وَاسْتِحْسَانِهِ مِنْ غَيْرِ
حُجَّةٍ فَهُوَ مَحْظُورٌ، وَالْقَوْلُ بِهِ غَيْرُ سَائِغٍ.
“Jika yang dimaksud
dengan istihsan adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh ushul dengan maknanya,
maka itu baik karena adanya hujjah, dan ini tidak kami ingkari, bahkan kami
membenarkannya. Namun jika yang dimaksud adalah apa yang terlintas dalam
pikiran berupa menganggap buruk atau baik suatu perkara tanpa dalil, maka itu
terlarang, dan berpendapat dengannya tidak boleh.” [Lihat : Irsyad al-Fuhul,
hal. 223 dan Kasyf al-Asrar, 4/1123].
Kesimpulannya menurut mereka : bahwa istihsan adalah penggunaan maslahat parsial dalam
suatu tempat yang bertentangan dengan qiyas umum, dan mereka mencontohkan dengan
beberapa contoh:
Di antara contoh-nya: jika seorang pembeli membeli barang dengan syarat ia
memiliki hak khiyar selama tiga hari, kemudian ia meninggal dalam masa
tersebut, maka khiyar syarat diwariskan menurut Malikiyah. [Lihat keraguan Imam
Malik tentang istihsan dalam Irsyad al-Fuhul karya al-Syaukani, hal. 240 !].
Jika para ahli waris
sepakat membatalkan akad, maka batal; jika mereka sepakat melanjutkannya, maka
berlaku atas mereka semuanya. Namun jika mereka berbeda pendapat, dan yang
setuju untuk melanjutkan menerima bagian dari yang menolak, maka akad tetap
berlaku bagi penjual secara istihsan; karena jual beli sudah final dari
pihaknya, maka ia tidak peduli kepada siapa barang itu beralih selama masih
ahli waris. [Baca : Al-I’tishoom, 2/326 dan Ushul al-Fiqh karya Abu Zahrah,
hal. 263].
Sebagian murid awal Imam
Malik dan Abu Hanifah berpegang pada istihsan dan membelanya, kemudian diikuti
oleh sebagian ulama belakangan. Mereka berkata:
إِنَّ أَبَا حَنِيفَةَ أَجَلُّ قَدْرًا
وَأَشَدُّ وَرَعًا مِنْ أَنْ يَقُولَ فِي الدِّينِ بِالتَّشَهِّي.
“Sesungguhnya Abu
Hanifah lebih mulia dan lebih wara‘ daripada dia mengatakan sesuatu dalam agama
dengan hawa nafsu.”
Kemudian mereka
berkata:
إِنَّ الْمُخَالِفِينَ لَا يُنْكِرُونَ
عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ الِاسْتِحْسَانَ بِالْأَثَرِ أَوْ بِالْإِجْمَاعِ أَوْ
بِالضَّرُورَةِ؛ لِأَنَّ تَرْكَ الْقِيَاسِ بِهَذِهِ الدَّلَائِلِ مُسْتَحْسَنٌ
بِالِاتِّفَاقِ، وَإِنَّمَا أَنْكَرُوا عَلَيْهِ الِاسْتِحْسَانَ بِالرَّأْيِ
فَإِنَّهُ تَرْكٌ لِلْقِيَاسِ بِالتَّشَهِّي.
“Sesungguhnya para penentang tidak mengingkari Abu Hanifah dalam istihsan yang berdasarkan atsar, ijma‘, atau darurat; karena meninggalkan qiyas karena dalil-dalil ini dianggap baik menurut kesepakatan. Yang mereka ingkari hanyalah istihsan dengan ra’yu (pendapat berdasarkan akal dan logika), karena itu berarti meninggalkan qiyas dengan hawa nafsu.” [Lihat: Kasyf al-Asrar, 4/1123].
Dari
pernyataan-pernyataan sebelumnya dapat dipahami kenyataan berikut:
أَنَّ الاسْتِحْسَانَ الْمُبْتَنِي عَلَى
مُجَرَّدِ الْمَيْلِ النَّفْسِيِّ عِنْدَ الْمُجْتَهِدِ ـ وَهَذَا الْمَيْلُ
انْتَزَعَهُ مِنْ عِدَّةِ أَدِلَّةٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِمَجْمُوعِهَا جَامِعٌ
وَاحِدٌ ـ فَهَذَا بِحَدِّ ذَاتِهِ لَا يُشَكِّلُ لَنَا أَصْلًا وَدَلِيلًا
مُسْتَقِلًّا قَائِمًا بِذَاتِهِ
“Bahwa istihsan yang
didasarkan semata-mata pada kecenderungan psikologis seorang mujtahid – dan
kecenderungan ini ia ambil dari beberapa dalil walaupun tidak ada pengikat yang
menyatukannya – hal ini sendiri tidak dapat menjadi sebuah prinsip dan dalil
independen yang berdiri sendiri”.
Adapun jika
kecenderungan itu muncul dari dorongan pribadi yang tidak berdasarkan dalil
syar‘i, maka ia sebagaimana kata Asy-Syafi‘i:
تَشْرِيع مَحْض وَتَشَهِّي
“Murni tasyri’ (legislasi hukum) buatan dan hawa nafsu”.
Namun jika
kecenderungan itu muncul dari pertimbangan memilih salah satu dari dua dalil,
maka hal ini masuk dalam pembahasan lafadz, dan bercampur dengan sumber-sumber
lainnya, seperti sunnah misalnya, dan tidak melahirkan sumber hukum baru.
===***===
KELOMPOK KEDUA :
MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SUMBER HUKUM.
Kelompok kedua adalah para ulama yang
menolak istihsan dan mereka tidak mengakui kehujjahan-nya.
Kelompok ini termasuk
di dalamnya adalah madzhab Syafi’i, Dzohiri, Mu’tazilah, dan seluruh fuqaha sekte
Syiah.
[Lihat : 52 ـ
Al-Mabadi’ al-‘Aammah lil-Fiqh al-Ja‘fari: 298, Ushul al-Istinbath: 264,
Al-Ushul al-‘Aammah: 263, Al-Asnawi 3/171 – 168].
Imam Syafi’i berkata:
(مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ)
“Barang siapa ber-istihsan maka ia telah membuat syariat”.
[Lihat : Al-Umm 7/373,
Syarh Tanqih al-Fusul lil-Qarafi: 415, Kitab al-Hudud li Abu Walid al-Baji: 65,
Kashf al-Asrar 4/1124]
Dalam kitab “ar-Risalah”
karya Imam Syafi’i (hal. 507) disebutkan:
(أَنَّ حَرَامًا عَلَى أَحَدٍ
أَنْ يَقُولَ بِالِاسْتِحْسَانِ إِذَا خَالَفَ الِاسْتِحْسَانُ الْخَبَرَ).
“Haram bagi seseorang ber-istihsan jika istihsan itu
menyelisihi Hadits.”
[Lihat pula : Manaqib ail-Imam asy-Syafi’i karya al-Baihaqi
1/374]
Dalam tempat lain
beliau berkata:
(إِنَّ حَلَالَ اللهِ وَحَرَامَهُ
أَوْلَى أَلَّا يُقَالَ فِيهِ بِالتَّعَسُّفِ وَلَا الِاسْتِحْسَانِ أَبَدًا،
إِنَّمَا الِاسْتِحْسَانُ تَلَذُّذٌ، وَلَا يَقُولُ فِيهِ إِلَّا عَالِمٌ
بِالْأَخْبَارِ، عَاقِلٌ بِالتَّشْبِيهِ عَلَيْهَا)
“Sesungguhnya halal
dan haram Allah lebih utama untuk tidak dikatakan di dalamnya dengan pemaksaan
atau istihsan selamanya. Sesungguhnya istihsan itu hanyalah kenikmatan
(berselera), dan tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang alim tentang Hadits,
dan berakal dalam mengqiyaskannya dengannya”. [Muqaddimah dari al-Umm 1/ 70]
Imam Syafi’i bahkan
mengkhususkan satu bab dalam kitabnya *al-Umm* untuk membatalkan istihsan dan
berkata:
(الِاسْتِحْسَانُ بَاطِلٌ)
“Istihsan itu batil”. [Al-Umm 7/373].
Beliau juga berkata dalam
*ar-Risalah* hal. 507:
(وَإِنَّمَا الِاسْتِحْسَانُ
تَلَذُّذٌ، وَلَوْ جَازَ لِأَحَدٍ الِاسْتِحْسَانُ فِي الدِّينِ لَجَازَ ذَلِكَ
لِأَهْلِ الْعُقُولِ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَلَجَازَ أَنْ يُشَرِّعَ فِي
الدِّينِ فِي كُلِّ بَابٍ، وَأَنْ يُخْرِجَ كُلُّ أَحَدٍ لِنَفْسِهِ شَرْعًا).
“Sesungguhnya istihsan
hanyalah berselera. Jika istihsan dalam agama boleh dilakukan oleh seseorang,
maka boleh pula bagi orang-orang berakal dari selain ahli ilmu melakukannya.
Maka bolehlah mereka membuat syariat dalam agama pada setiap bab, dan setiap
orang akan membuat syariat sendiri untuk dirinya.” [Ar-Risalah hal. 507 dan seterusnya].
Al-Ghazali menganggap
istihsan dalam bidang tasyri’ (pembuatan hukum) sebagai khayalan semata, karena
ia adalah campur aduk, ilusi, dan angan-angan. [Baca : Al-Mustasfa 1/138]
Namun, al-Aamidi pakar
Ushul dari madzhab Syafi’i berkata:
(إِنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ أَخَذَ
بِالِاسْتِحْسَانِ وَاعْتَبَرَهُ مَصْدَرًا مِنْ مَصَادِرِ التَّشْرِيعِ
الإِسْلَامِيِّ)
“Sesungguhnya Imam
Syafi’i telah mengambil istihsan dan menganggapnya sebagai salah satu sumber
syariat Islam”. [Al-Amidi fi al-Ahkam 4/137]
Ibnu Hazm adz-Dzohiri
berkata:
(الْحَقُّ حَقٌّ وَإِنِ
اسْتَقْبَحَهُ النَّاسُ، وَالْبَاطِلُ بَاطِلٌ وَإِنِ اسْتَحْسَنَهُ النَّاسُ،
فَصَحَّ أَنَّ الِاسْتِحْسَانَ شَهْوَةٌ وَاتِّبَاعٌ لِلْهَوَى وَضَلَالٌ،
وَبِاللهِ تَعَالَى نَعُوذُ مِنَ الْخِذْلَانِ)
“Yang benar tetap
benar meskipun manusia menganggapnya buruk, dan yang batil tetap batil meskipun
manusia menganggapnya baik. Maka sahihlah bahwa istihsan adalah nafsu dan
mengikuti hawa serta kesesatan. Dan kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari
kehinaan”.
[Lihat : Mukhtashar
Ibthool al-Qiyas wa al-Ra’y wa al-Istihsan hal. 50 dan Al-Ahkam fi Ushul
al-Ahkam li Ibn Hazm 6/759].
Ia juga berkata:
(مِنَ الْمُحَالِ أَنْ يَكُونَ
الْحَقُّ فِيمَا اسْتَحْسَنَّا دُونَ بُرْهَانٍ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ ذَلِكَ
لَكَانَ اللهُ تَعَالَى يُكَلِّفُنَا مَا لَا نُطِيقُ، وَلَبَطَلَتِ الْحَقَائِقُ)
“Tidak mungkin
kebenaran ada pada apa yang kita anggap baik tanpa dalil. Karena jika demikian,
niscaya Allah Ta’ala membebani kita dengan sesuatu yang tidak mampu kita
lakukan, dan niscaya hakikat-hakikat akan batal”. [Al-Ahkam karya Ibnu Hazm
2/759]
Adapun asy-Syaukani
dari kalangan Syi’ah Zaidiyah berkata setelah membahas dalil-dalil istihsan:
(بِمَجْمُوعِ مَا ذَكَرْنَا:
إِنَّ ذِكْرَ الِاسْتِحْسَانِ فِي بَحْثٍ مُسْتَقِلٍّ لَا فَائِدَةَ مِنْهُ
أَصْلًا؛ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ رَاجِعًا إِلَى الْأَدِلَّةِ الْمُتَقَدِّمَةِ
فَهُوَ تِكْرَارٌ، وَإِنْ كَانَ خَارِجًا عَنْهَا فَلَيْسَ مِنَ الشَّرْعِ فِي
شَيْءٍ، بَلْ هُوَ مِنَ التَّقَوُّلِ عَلَى هَذِهِ الشَّرِيعَةِ بِمَا لَمْ يَكُنْ
فِيهَا تَارَةً، وَبِمَا يُضَادُّهَا أُخْرَى)
“Dengan semua yang
telah kami sebutkan: menyebut istihsan dalam pembahasan khusus itu sama sekali
tidak ada faedahnya; karena jika ia kembali kepada dalil-dalil yang telah
disebutkan sebelumnya, maka itu hanya pengulangan, dan jika di luar itu maka ia
bukan dari syariat sedikit pun. Bahkan ia adalah mengada-ada perkataan
atas nama syariat dengan sesuatu yang terkadang tidak ada di dalamnya, dan dengan sesuatu
yang bertentangan dengannya di sisi lain”. [Irsyad al-Fuhul oleh asy-Syawkani
hal. 241]
Yang sudah maklum di sini: bahwa semua metode ini bersumber dari unsur "ra’yu" (pendapat berdasarkan akal dan logika), yang mulai berkembang pada abad kedua hijriah dan menguat sehingga kembali menjadi ushul keempat setelah tiga sumber utama: Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Mereka berlebihan di dalamnya hingga mendahulukannya atas ijma’ pada sebagian kasus, bahkan sampai ada Hadits yang diriwayatkan berdasarkan ra’yu (pendapat berdasarkan akal dan logika) atau ayat-ayat yang ditakwilkan dengannya. [Muqaddimah Ibthool al-Qiyas karya Ibnu Hazm]
Ada yang menyatakan :
(وَمِنَ الطَّبِيعِيِّ أَنْ ابْنَ
حَزْمٍ يَنْفِي كُلَّ أَنْوَاعِ الِاسْتِحْسَانِ، مَا عَدَا مَسْأَلَةَ تَقْدِيمِ
أَقْوَى الدَّلِيلَيْنِ، وَذَلِكَ بِحُكْمِ مَذْهَبِهِ فِي التَّمَسُّكِ
بِحَرْفِيَّةِ النَّصِّ، دُونَ التَّعَدِّي عَنْهَا إِلَى الرَّأْيِ
وَالِاجْتِهَادِ)
(Dan wajar saja jika Ibnu Hazm menolak semua bentuk istihsan, kecuali dalam masalah mendahulukan dalil yang lebih kuat. Hal ini sesuai dengan madzhabnya yang berpegang teguh pada lafaz nash tanpa keluar darinya menuju ra’yu [pendapat berdasarkan akal dan logika] dan ijtihad). [Lihat : Al-Ahkam 6/ 757]
Adapun madzhab Syi’ah telah menolak secara keras pendapat pribadi dan qiyas.
Dan menurut mereka
telah ada banyak hadits yang membahas penggunaannya dan hadits-hadits tersebut
menolaknya.
Dan pengikut mereka
dalam hal ini adalah para fuqaha Dzohiriyah yang menolak pendapat pribadi dalam
segala bentuknya. Penolakan dan perlawanan tersebut menyebabkan para pengikut
pendapat pribadi menetapkan batasan-batasan dan aturan yang hampir menutup
jalannya, atau mendekatkannya pada apa yang dikenal dalam madzhab Syi’ah
sebagai “tanqih al-manath (تَنْقِيحُ المَنَاط)” dan menjelaskan umum al-‘illah (اِسْتِظْهَارُ عُمُومِ العِلَّة), sehingga hampir menyelaraskan kedua madzhab, sebagaimana akan
terlihat kemudian. [Lihat : Majalah Tauhid, tahun pertama, edisi keenam, dalam
artikel Syaikh Al-Taskhiiri hal. 72].
Tanqih al-Manath adalah “proses fikih yang di dalamnya dilakukan penentuan illat syar'i di antara berbagai sifat yang disebutkan dalam nash, dengan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak ada kaitannya dengan hukum”.
Dengan kata lain, ia adalah : “pemurnian illat syar'i dari hal-hal yang tidak relevan dan sifat-sifat yang tidak berpengaruh”.
****
KELOMPOK KETIGA :
MENGAMBIL DALIL YANG LEBIH KUAT
Adapun kelompok ketiga,
maka mereka membahas secara terpisah untuk menentukan konsep istihsan, yaitu
sbb :
Jika diartikan sebagai
:
(الأَخْذُ بِأَقْوَى
الدَّلِيلَيْنِ)
(Mengambil dalil yang lebih kuat dari dua dalil)
Maka hal itu menjadi
hujjah dan tidak ada halangan untuk mengamalkannya, tetapi menjadikannya
sebagai prinsip berdiri sendiri dibandingkan dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan
dalil akal tidaklah tepat, karena mengambil yang lebih kuat berarti tetap
mengambil salah satunya.
Dan jika diartikan
sebagai :
(مَا يَقَعُ فِي الْوَهْمِ مِنْ
اسْتِقْبَاحِ الشَّيْءِ أَوِ اسْتِحْسَانِهِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ ثَابِتَةٍ)
(Apa yang terjadi dalam bayangan berupa penilaian baik atau
istihsan suatu hal tanpa dalil yang pasti)
Maka mengambilnya
adalah terlarang karena tidak ada dalil yang membenarkannya, dan keraguan
terhadap kekuatan hujjah sudah cukup untuk memastikan ketidakabsahannya.
[Bac : Al-Ushul
Al-‘Aammah hal. 377, Irsyad Al-Fuhul hal. 241].
Mari kita tinggalkan
pertimbangan-pertimbangan ini sejenak, dan memfokuskan pada istihsan sesuai
dengan maksud setiap kelompok:
Apakah ia merupakan prinsip dari prinsip-prinsip hukum Islam
atau bukan?
===***===
DALIL MASING-MASING KELOMPOK YANG BERBEDA PENDAPAT
DALIL KELOMPOK PERTAMA :
KELOMPOK YANG MENETAPKAN ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SUMBER HUKUM
Para ulama dan fuqaha
yang menetapkan istihsan sebagai salah satu sumber hukum, mereka berpegang pada
dalil-dalil: sebagian dari Al-Qur’an, sebagian dari sunnah, ketiga dari ijma’,
dan keempat dari akal dan realita.
Berikut adalah paparan
dalil-dalil tersebut, kemudian dibahas satu per satu:
===
DALIL PERTAMA : DARI AL-QUR’AN:
Para ulama dari
kelompok pertama berdalil dengan beberapa ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa
istihsan memiliki dasar hukum, di antaranya adalah sbb:
KE [1]. Firman Allah Ta’ala:
﴿وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا
أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ
بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ﴾
(Dan ikutilah
sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang kepadamu
azab secara tiba-tiba sedang kamu tidak menyadarinya) (Surah Az-Zumar: Ayat
55).
Dalam ayat ini Allah
memerintahkan untuk mengikuti yang paling hasan (terbaik), dan perintah di sini
bermakna wajib, yaitu melaksanakan apa yang Allah perintahkan dari amal-amal
batin seperti mencintai Allah, takut kepada-Nya, berharap kepada-Nya, memberi
nasihat kepada hamba-hamba-Nya, mencintai kebaikan untuk mereka, serta
meninggalkan hal yang bertentangan dengan itu.
Dan juga amal-amal
lahir seperti salat, zakat, puasa, haji, sedekah, berbagai bentuk ihsan, dan
sejenisnya yang diperintahkan Allah. Itulah yang paling baik dari apa yang
diturunkan kepada kita dari Tuhan kita Azza wa Jalla.
KE [2]- Firman Allah Ta’ala dalam
konteks pujian dan sanjungan kepada hamba-hamba-Nya yang mengikuti apa saja
yang paling hasan (terbaik):
﴿فَبَشِّرْ عِبَادِي* الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ﴾
(Maka sampaikanlah
kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yaitu mereka yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti yang paling baik darinya) [QS. Az-Zumar: 17-18].
Ayat ini disebutkan
dalam konteks pujian kepada orang-orang yang mengikuti perkataan yang paling
hasan (terbaik), dan pujian tidak diberikan kecuali kepada sesuatu yang
diperintahkan.
Ayat ini memuji dan
mewajibkan mengikuti yang paling hasan (terbaik); pujian dan kewajiban
menunjukkan keberhujian dan menuntut kepastian akan keberhujian istihsan.
KE [3]. Allah berfirman:
﴿وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا
أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم﴾
"Dan ikutilah
yang paling hasan (terbaik) dari apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu" [QS. Az-Zumar : 55]
Ayat ini memberi
pemahaman bahwa Allah memuji orang-orang yang dihadapkan pada persoalan yang
memiliki tingkat hasan (baik) dan lebih hasan (lebih baik), lalu mereka memilih
yang lebih hasan (lebih baik).
KE [4]- Firman Allah Ta’ala
kepada Musa ‘alaihis salam :
﴿... وَأْمُرْ قَوْمَكَ
يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا ...﴾
(... dan
perintahkanlah kaummu untuk mengambil yang paling baik darinya ...) [QS.
Al-A’raf: 145].
Ayat ini menunjukkan
bahwa kaum Musa ‘alaihis salam diperintahkan untuk mengikuti yang paling hasan
(terbaik), meskipun ada yang baik. Mayoritas ulama menegaskan :
أَنَّ شَرْعَ مَنْ قَبْلَنَا شَرْعٌ لَنَا
مَا لَمْ يَرِدْ مَا يَنْسَخُهُ
“Bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat bagi kita
selama tidak ada dalil yang menghapusnya”.
KRITIK DAN TANGGAPAN DARI KELOMPOK PENENTANG:
Kritik terhadap istidlal
dengan ayat-ayat diatas ini adalah sbb:
A]. Ayat-ayat yang menggunakan
kata "terbaik (أَحْسَنَ)", itu dalam makna bahasa, bukan istilah fiqh kontemporer,
sehingga kedua ayat itu tidak terkait dengan masalah “istihsan”.
B]. Ruang lingkup dalam
memilih yang terbaik (الأَحْسَنِيَّة) dari satu hukum terhadap hukum lain berarti:
الإِطِّلَاعُ عَلَى الْمَلَاكَاتِ، وَلَا
سَبِيلَ لِلْعَقْلِ عَلَى ذَلِكَ، بَلْ يُقَدَّمُ الْأَهَمُّ عَلَى الْمُهِمِّ.
meninjau seluruh
faktor dan pertimbangan yang ada, dan akal tidak mampu menilai semuanya secara
menyeluruh, sehingga yang lebih penting didahulukan daripada yang kurang
penting.
Simpelnya : Penilaian terbaik
terhadap suatu hukum memerlukan pemahaman konteks, bukan hanya akal, karena
yang lebih penting harus didahulukan dari pada yang kurang penting .
C]. Sementara ayat yang kedua,
meskipun memuji para pendengar, namun tetap mengandaikan bahwa ada beberapa
pendapat yang sebagian lebih baik dari yang lain.
Jika pendapat-pendapat
itu berasal dari syariat, maka prioritas pada yang lebih baik adalah termasuk
urusan kitab dan sunnah. [Lihat : Al-Ushul al-‘Aammah lil-Fiqh al-Muqaran hal.
374]
D]. Konteks ayat ketiga,
- jika kita amati- ia tidak memberi ruang untuk mendahulukan yang lebih penting
dari yang kurang penting. Bahkan kata keutamaan digunakan untuk meliputi semua
yang diturunkan dari Allah SWT, atau untuk mendorong taubat dengan pertimbangan
yang disebutnya adzab (siksa).
E]. Ayat-ayat diatas itu
tidak berkaitan dengan keberhujjahan istihsan. Mengganti kata
"terbaik" dengan "mereka bertindak dengan istihsan dalam
ijtihad" tetap tidak menghasilkan makna yang benar.
[Lihat : Majalah
At-Tauhid, tahun pertama, edisi keenam, dalam artikel Syaikh Tashkhiri: hlm.
74].
Ayat-ayat tersebut diatas
tidak berkaitan dengan kekuatan hukum istihsan, dan jika kata "الأَحْسَن
(terbaik)" diganti dengan frasa :
" أَنَّهُمْ يَعْمَلُونَ بِالِاسْتِحْسَانِ فِي مَجَالَاتِ
الاسْتِنْبَاطِ".
"Mereka
menerapkan istihsan dalam bidang ijtihad hukum."
Maka frasa ini maknanya
tetap tidak akan sesuai.
Al-Ghazali menanggapi
dalil istihsan ini dengan mengatakan:
(قُلْنَا اتِّبَاعُ أَحْسَنِ مَا
أَنْزَلَ إِلَيْنَا هُوَ اِبْتِاعُ الْأَدِلَّةِ، فَبَيَّنُوا لَنَا أَنَّ هَذَا
مِمَّا أُنْزِلَ إِلَيْنَا، فَضْلًا عَنْ أَنْ يَكُونَ أَحْسَنُهُ)
"Kami katakan,
mengikuti yang terbaik dari apa yang diturunkan kepada kami adalah mengikuti
dalil-dalil; tunjukkan kepada kami bahwa ini termasuk dari yang diturunkan
kepada kami, apalagi untuk menyatakan yang terbaik darinya". [Baca :
Al-Mustashfa, hlm. 138]
Dengan ini ia
membicarakan sebuah kaidah yang mengatakan:
"إِنَّ الْقَضِيَّةَ لَا
تَثْبُتُ مَوْضُوعَهَا"
"Sesungguhnya suatu perkara tidak membuktikan pokok
permasalahan-nya."
Maka ayat-ayat diatas ini
tidak bisa menetapkan istihsan itu sendiri,
baik menentukan sesuatu dari yang diturunkan maupun yang tidak
diturunkan.
Dan Al-Ghazali juga menjawab
dengan jawaban lain, seraya berkata:
(لَا يَلْزَمُ عَنْ ظَاهِرِ هَذَا
اتِّبَاعُ اسْتِحْسَانِ الْعَامِيِّ وَالطِّفْلِ وَالْمَعْتُوهِ لِعُمُومِ
الْلَّفْظِ، فَإِنْ قُلْتُمْ: الْمُرَادُ بِهِ: بَعْضُ الاسْتِحْسَانَاتِ وَهُوَ
اسْتِحْسَانُ مَنْ هُوَ أَهْلٌ لِلْنَّظَرِ فَكَذَلِكَ نَقُولُ: الْمُرَادُ: كُلُّ
اسْتِحْسَانٍ صَدَرَ عَنْ أَدِلَّةِ الشَّرْعِ، وَإِلَّا فَأَيُّ وَجْهٍ
لِاعْتِبَارِ أَهْلِ النَّظَرِ فِي الْأَدِلَّةِ مَعَ الاسْتِغْنَاءِ عَنْ
النَّظَرِ).
(Yang difahami secara
lahiriah dari ayat ini tidak berarti harus mengikuti pula istihsan orang awam,
anak-anak, atau orang yang tidak waras karena lafadznya bersifat umum.
Jika kalian mengatakan
maksudnya adalah sebagian istihsan, yaitu istihsan dari orang yang berkompeten
(ahli ilmu atau pakar) dalam penalaran, maka kami katakan juga: maksudnya
adalah setiap istihsan yang keluar dari dalil-dalil syariat. Jika tidak, lalu
apa alasan untuk memperhitungkan orang-orang yang berkompeten dalam dalil-dalil
sedangkan mereka bisa dilewatkan?).
Batasan “orang yang
berkompeten (ahli ilmu atau pakar)” ini, adalah kebiasaan yang jelas,
sehingga menjadi petunjuk pengokohan untuk keumuman di sini, dan oleh karena
itu jawaban Al-Ghazali tidak dapat sepenuhnya diterima.
[Baca : Majalah
At-Tauhid, edisi keenam, tahun pertama, dalam artikel Tashkhiri, hlm. 74].
====
DALIL KEDUA : DARI HADITS NABAWI
Jenis dalil kedua bagi
kelompok pertama yang berpendapat menetapkan istihsan sebagai salah satu sumber
hukum dalam syari’at Islam, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ini:
HADITS KE 1 :
Hadits : “Apa yang dipandang kaum Muslimin sebagai hal yang (hasan) baik, maka itu (hasan) baik di sisi Allah"”
Mereka berpegang pada
riwayat Abdullah bin Mas’ud, bahwa dia berkata :
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ
فَاخْتَارَ مُحَمَّدًا ﷺ فَبَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ
الْعِبَادِ فَاخْتَارَ لَهُ أَصْحَابًا فَجَعَلَهُمْ أَنْصَارَ دِينِهِ
وَوُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، فَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدُ اللَّهِ
حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَبِيحًا فَهُوَ عِنْدُ اللَّهِ قَبِيحٌ
"Sesungguhnya
Allah melihat hati hamba-hamba-Nya, lalu memilih Muhammad ﷺ
dan mengutusnya dengan risalah, kemudian melihat hati hamba-hamba dan memilih
bagi beliau para sahabat sebagai para penolong agama-Nya dan para menteri
nabi-Nya.
Maka apa yang dipandang kaum Muslimin sebagai hal yang hasan
(baik), maka itu hasan (baik) di sisi Allah, dan apa yang dipandang kaum Muslimin sebagai hal yang buruk,
maka itu buruk di sisi Allah".
Lafadz Imam Ahmad :
إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ
العِبَادِ؛ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ ﷺ خَيْرَ قُلُوبِ العِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ
لِنَفْسِهِ، فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ العِبَادِ
بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ؛ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ العِبَادِ،
فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ
حَسَنًا؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا؛ فَهُوَ عِنْدَ
اللهِ سَيِّئٌ.
“Sesungguhnya Allah melihat ke dalam hati
para hamba, lalu Dia mendapati hati Muhammad ﷺ adalah hati yang
terbaik di antara hati para hamba, maka Allah memilihnya untuk diri-Nya dan
mengutusnya dengan risalah-Nya.
Kemudian Allah melihat ke dalam hati para hamba setelah hati
Muhammad, lalu Dia mendapati hati para sahabatnya adalah hati yang terbaik di
antara hati para hamba, maka Allah menjadikan mereka sebagai para pembantu
Nabi-Nya, yang berperang untuk membela agama-Nya.
Maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka itu
baik di sisi Allah; dan apa yang mereka pandang buruk, maka itu buruk di sisi
Allah”.
FIQIH HADITS :
Hadits ini menunjukkan
bahwa apa yang dipandang hasan (baik) oleh kaum Muslimin dengan akal mereka,
maka hal itu baik di sisi Allah Ta’ala. Ini menunjukkan bahwa istihsan memiliki
dasar hukum.
TAKHRIJ HADITS :
Hadits ini diriwayatkan
oleh Ahmad no. 3600, Al-Bazzar (130) (Zawaid), ath-Thabarani no. 9/118 no. 8582
dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.
Al-Hakim berkata: “Sanadnya
sahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya”.
Al-Haitsami
mencantumkannya dalam *Majma’* (1/177-178) dan menisbatkannya kepada riwayat
Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabrani. Lalu ia berkata: “Para perawinya
terpercaya (رِجالُهُ
مُوَثَّقونَ)”.
Dinilai hasan sanadnya
oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 6/84 no. 3600. Al-Arna’uth
berkata :
إِسْنَادُهُ حَسَنٌ مِنْ أَجْلِ عَاصِمٍ
-وَهُوَ ابْنُ أَبِي النَّجُودِ-، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ رِجَالُ
الشَّيْخَيْنِ غَيْرَ أَبِي بَكْرٍ -وَهُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ-، فَمِنْ رِجَالِ
الْبُخَارِيِّ، وَأَخْرَجَ لَهُ مُسْلِمٌ فِي "الْمُقَدِّمَةِ".
“Sanadnya hasan karena
ada Aashim (yaitu Ibnu Abi an-Najud), sedangkan perawi lainnya adalah
perawi-perawi yang tsiqah dari kalangan perawi dua Syaikh (al-Bukhari dan
Muslim), kecuali Abu Bakar (yaitu Ibnu Ayyasy), ia termasuk perawi al-Bukhari,
dan Muslim meriwayatkan darinya dalam “Muqaddimah”.
Diriwayatkan juga oleh
Al-Baihaqi dalam Kitab al-Madkhal dan Kitab al-I‘tiqad, diriwayatkan pula oleh
Ath-Thayalisi dalam Musnad-nya, Al-Bazzar dalam Musnad-nya, Ath-Thabrani dalam
Al-Mu‘jam al-Kabir, dan Ahmad secara mauquf dari Ibnu Mas‘ud. [LihatNasbur
Royah karya Az-Zaila‘i, 4/133 dan Kasyf al-Khafa karya al-‘Ajluni, 2/188]
Abdur Rozaq al-Afifi
dalam Tahqiq al-Ihkam karya al-Aaamidi 4/156 berkata :
قَالَ الْعَجْلُونِيُّ فِي كَشْفِ
الْخَفَاءِ: وَهُوَ مَوْقُوفٌ حَسَنٌ، ثُمَّ نُقِلَ عَنِ الْحَافِظِ ابْنِ عَبْدِ
الْبَرِّ أَنَّهُ رُوِيَ مَرْفُوعًا عَنْ أَنَسٍ بِإِسْنَادٍ سَاقِطٍ،
وَالْأَصَحُّ وَقْفُهُ عَلَى ابْنِ مَسْعُودٍ
“Al-Ajluni berkata
dalam kitab *Kasyf al-Khafa*: “Hadits ini adalah Hadits mauquf yang hasan.”
Kemudian dinukil darinya bahwa al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan Hadits ini
diriwayatkan secara marfu’ dari Anas dengan sanad yang lemah sekali. Namun yang
lebih shahih adalah riwayat mauquf pada Ibnu Mas’ud”.
Ahmad Syakir dalam
Takhrij al-Musnad 3/505 berkata :
إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ، وَهُوَ مَوْقُوفٌ
عَلَى ابْنِ مَسْعُودٍ.
“Sanadnya sahih, dan Hadits
ini berhenti pada Ibnu Mas‘ud (mauquf)”.
Dalil ini digunakan
untuk berbagai prinsip: menunjukkan kemaslahatan yang dominan, larangan
meninggalkan kemaslahatan murni, dan pembolehan meninggalkan yang buruk menurut
adat. Pernyataan Rasul ﷺ tentang apa yang dilihat Muslim buruk, tidak diterapkan pada
perbuatan mubah, sehingga tetap berlaku pada selainnya.
KRITIK DAN BANTAHAN DARI
KELOMPOK YANG MENOLAK ISTIHSAN:
Kritik terhadap dalil
ini:
(1). Jika sahih dari
segi sanad, hanya membuktikan ijma’ umat, bukan pandangan individu tertentu.
(2). Riwayat ini
mursal kepada Ibnu Mas’ud dan mungkin perkataannya sendiri, bukan Hadits Rasul ﷺ,
serta termasuk berita ahad yang tidak dapat dijadikan dalil. [Ibthool al-Qiyas
wa ar-Ra’y, hlm. 50.].
(3). Jika sahih,
riwayat ini hanya menegaskan kesesuaian akal dengan syariat, tidak dapat
langsung dijadikan dalil istihsan. [Lihat : Al-Ushul al-‘Aammah lil-Fiqh
al-Muqaran oleh Sayyid Muhammad Taqi al-Hakim: hlm. 375]
(4). Bisa juga dimaksudkan adat umum umat, yakni rujukan pada adat mujtahid.
HADITS KE 2 : HADITST ANJURAN MEMILIH YANG RINGAN :
Termasuk sunnah beliau
ﷺ
adalah sabda-nya:
« ما خُيِّرَ رَسولُ اللَّهِ ﷺ
بيْنَ أمْرَيْنِ قَطُّ إلَّا أخَذَ أيْسَرَهُمَا، ما لَمْ يَكُنْ إثْمًا، فإنْ
كانَ إثْمًا كانَ أبْعَدَ النَّاسِ منه، وما انْتَقَمَ رَسولُ اللَّهِ ﷺ
لِنَفْسِهِ في شيءٍ قَطُّ، إلَّا أنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ، فَيَنْتَقِمَ
بهَا لِلَّهِ»
Rasulullah ﷺ
tidak pernah diberi pilihan antara dua perkara melainkan beliau memilih yang
paling mudah di antara keduanya selama tidak mengandung dosa. Jika itu
mengandung dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya. Dan Rasulullah ﷺ
sama sekali tidak pernah membalas (saat
disakiti) untuk dirinya sendiri, kecuali bila kehormatan Allah dilanggar, maka
beliau membalas karena Allah. [HR. Bukhori no. 6126 dan Muslim no. 2327]
HADITS KE 3 : NABI ﷺ DIUTUS DENGAN MEMBAWA KELAPANGAN :
Dalam hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَتَعْلَمُ يَهُودُ أَنَّ فِي
دِينِنَا فُسْحَةً، إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ»
“Sungguh, orang-orang
Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku
diutus dengan agama yang lurus dan penuh kemudahan”.
[HR. Ahmad 41/349 no.
24855. Syu’aib al-Arna’uth berkata :
Hadits ini kuat, dan
sanadnya hasan. Abdurrahman bin Abi Az-Zinad Haditsnya hasan, dan perawi
lainnya adalah perawi-perawi sahih. Sulaiman bin Dawud adalah Ath-Thayalisi.
Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Al-Humaidi secara ringkas (no. 254) dari Sufyan bin ‘Uyainah,
dari Ya‘qub bin Zaid At-Taimi, dari ‘Aisyah, dengan lafaz:
"اِلْعَبُوا يَا بَنِي
أَرْفِدَةَ لِيَعْلَمِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى أَنَّ فِي دِينِنَا
فُسْحَةً"
“Bermainlah wahai Bani
Arfidah agar orang-orang Yahudi dan Nasrani mengetahui bahwa dalam agama kita
ada kelapangan.”
Namun, Ya‘qub bin Zaid
tidak menjumpai ‘Aisyah. [Selesai dari al-Arna’uth. Lihat Tahqiq al-Musnad
41/349 no. 24855]
Dan dalam hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
وَمَنْ خَالَفَ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي»
“Aku diutus dengan
agama yang lurus dan penuh kemudahan. Barangsiapa menyelisihi sunnahku, maka ia
bukan Kelompokku.”
[HR. Abu Bakar
an-Najjaad al-Baghdady dalam Majlis min Amaali an-Najjad, riwayat al-Muhamily
hal. 23 no. 22 dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad 8/117 no. 2355.
Lihat pula Hadits tersebut dalam: Musnad Ahmad 5/266, Kasyf al-Khafa 1/251,
340, dan Ad-Durar Al-Muntatsirah halaman 61]
HADITS KE 4 : AGAMA INI MUDAH :
Agama ini adalah mudah, dan memang
demikianlah kenyataanya. Rasulullah ﷺ bersabda :
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ،
فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ
وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
"Sesungguhnya agama itu mudah, dan
tidaklah seseorang sekali-kali memperberat (mempersulit) agama melainkan dia akan
dikalahkan.
Dan (dalam beramal) hendaklah pertengahan (yaitu tidak
melebihi dan tidak mengurangi), bergembiralah kalian!.
Dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan -
melaksanakan ketaatan - di waktu pagi, sore, dan sebagian malam hari“. Yakni : pada waktu-waktu kalian giat
dan bersemangat.
[HR. Bukhori no. 39 dan Muslim no. 2816]
Makna sabda beliau ﷺ : “tidaklah seseorang sekali-kali
memperberat agama melainkan dia akan dikalahkan” Maksudnya, apabila engkau
menyusahkan diri dalam beragama, bersikap ektsrim, maka agama akan
mengalahkanmu, dan engkau akan binasa. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
أَلَا هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ، أَلَا هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ، أَلَا هَلَكَ
الْمُتَنَطِّعُونَ.
Ketahuilah, binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan (yang
ekstrim dalam beragama). Ketahuilah, binasalah orang-orang yang
berlebih-lebihan. Ketahuilah, binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan. (HR.
Muslim no. 2670)
Dalam riwayat lain, Rosulullah ﷺ bersabda:
إنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّتًا، وَلَا مُتَعَنِّتًا، وَلَكِنْ بَعَثَنِي
مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا
“Sesungguhnya Allah Swt tidak mengutusku untuk mempersulit
atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR.
Muslim no. 1478, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Dan hadits lainnya : sabda Nabi ﷺ kepada Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal ketika beliau
ﷺ hendak mengutus mereka berdua ke Yaman:
يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ
تَخْتَلِفَا
"Kalian permudahlah! Janganlah kalian mempersulit
dan menyebabkan manusia lari (dari kebenaran) dan kalian saling bantu membantulah
dengan suka rela dan janganlah kalian saling berselisih" [Hadits Riwayat
Bukhari no. 3038 dan Muslim no. 1733]
HADITS KE 5 : ANJURAN MENGAMALKAN
RUKHSHOH (KERINGANAN):
Hadits-hadits tentang rukhshoh (keringanan), Rosulullah ﷺ bersabda :
إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى
مَعْصِيَتُهُ
"Sesungguhnya Allah menyukai
keringanan-keringanannya diambil sebagaimana Dia membenci kemaksiatannya
dikerjakan".
[HR. Ahmad no. 5866 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (al-Ihsan
no. 2742. Dihukumi shahih oleh Ibnu Hibban dan oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam
Tahqiq al-Musnad 10/107].
Dalam riwayat lain.
إنَّ اللهَ يُحبُّ أن تُؤتَى رُخَصُه ، كما يُحبُّ أن تُؤتَى عزائمُه
Sesungguhnya Allah menyukai jika rukhsah-Nya
(keringanan-Nya) diambil, sebagaimana Dia menyukai jika azimah-Nya
(ketentuan-Nya yang wajib) dilaksanakan.
[HR. Al-Bazzar sebagaimana dalam *Kasyf al-Astār* karya Al-Haitsami (990), Ibnu Hibban (354), dan Ath-Thabrani
(11/323) (11880). Dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan oleh al-Albani dalam
Shahih at-Targhib no. 1060].
HADITS KE 6 : APA YANG ALLAH DIAMKAN
ADALAH HALAL.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
كانَ أهْلُ الجاهليَّةِ يأكلونَ أشياءَ ، ويترُكونَ أشياءَ تقذُّرًا ، فبعثَ اللَّهُ
تعالى نبيَّهُ ، وأنزلَ كتابَهُ وأحلَّ حلالَهُ وحرَّمَ حرامَهُ ، فما أحلَّ فَهوَ
حلالٌ وما حرَّمَ ، فَهوَ حرامٌ وما سَكَتَ عنهُ فَهوَ عفوٌ وتلا : ﴿قُل لَّا أَجِدُ
فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ
رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾
Dahulu orang-orang jahiliah memakan sebagian makanan dan
meninggalkan sebagian lainnya karena merasa jijik. Lalu Allah mengutus Nabi-Nya
dan menurunkan Kitab-Nya, menghalalkan apa yang halal dan mengharamkan apa yang
haram. Maka apa yang Dia halalkan itulah yang halal, dan apa yang Dia haramkan
itulah yang haram, dan apa yang Dia diamkan maka itu adalah maaf (dibolehkan).
Kemudian beliau membacakan ayat :
“Katakanlah: "Tiadalah aku menemukan dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --
karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah.
Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [QS. Al-Anam: 145]
[HR. Abu Dawud (3800) dengan lafaz ini, dan oleh
Ath-Thahawi dalam *Syarh Musykil Al-Atsar* (2/228), serta Al-Hakim (7113)
dengan sedikit perbedaan. Di nilai shahih sanadnya oleh al-Albani dalam Shahih
Abu Daud no. 3800].
----
FIQIH AYAT-AYAT DAN HADITS-HADITS DIATAS :
Keluwesan dan istihsan
mewujudkan sisi besar dari fleksibilitas dan keluasan syariat Islam, khususnya
istihsan yang dibangun di atas dasar darurat dan urf (kebiasaan). Sebab, adat
kebiasaan manusia berbeda-beda dari satu negeri ke negeri lain, dan dari satu
masa ke masa lain.
Dengan adanya
kesesuaian syariat terhadap adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan
prinsip dasar syariat Islam dan tidak mendatangkan kerusakan, hal ini
menjadikan syariat Islam layak diterapkan di setiap waktu dan tempat, mencakup
segala kepentingan baru bagi manusia serta perubahan dan situasi yang terjadi
dalam kehidupan mereka, serta mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat.
===
DALIL KE TIGA : DARI IJMA’
Mereka berpegang pada
ijma’ umat: meninggalkan qiyas dalam suatu masalah karena ijma’ menetapkan hal
yang berbeda, seperti ijma’ umat pada sahnya akad istisna’. Qiyas akan
membatalkan karena objek akad tidak ada saat akad dibuat.
Contoh lain: masuk ke pemandian
umum, minum air dari tangan penjual, tanpa memperhitungkan waktu atau takaran
air dan upah. Praktik ini berlaku sepanjang masa dan menjadi ijma’ atau adat
umum, sehingga qiyas ditinggalkan, yakni berpindah dari dalil ke dalil yang
lebih kuat.
Kritik terhadap dalil ijma’: jika pun ada, hanya berlaku untuk masalah khusus, bukan
untuk semua istihsan, dan tidak berlaku untuk menetapkan istihsan sebagai
prinsip umum. Praktik ini berkelanjutan hingga zaman Nabi ﷺ
dengan persetujuan beliau.
[Baca : Al-Ahkam oleh
Al-Amidi, 3/38; Al-Ushul al-‘Aammah lil-Fiqh al-Muqaran oleh Al-‘Allamah
al-Hakim].
===
DALIL KE EMPAT : LOGIKA DAN REALITA HUKUM
Disebutkan bahwa
syariat terkadang mengesampingkan qiyas untuk kemaslahatan, seperti larangan
menjual barang yang tidak dimiliki, sebagaimana dalam sabda Nabi ﷺ:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada di sisimu
(tidak dimiliki)”
[HR. Abu Dawud (3503)
dengan lafaz ini, dan oleh At-Tirmidzi (1232), serta An-Nasa’i (4613). Di nilai
shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih an-Nasa’i].
Namun diperbolehkan jual
beli “Salam” untuk kemaslahatan umat, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ أَسْلَفَ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ
وَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
"Barang siapa melakukan jual beli salaf (salam),
hendaklah melakukan-nya dengan menetapkan takaran tertentu, dengan timbangan
tertentu serta sampai batas waktu tertentu."
[HR. Al-Bukhari (2240)
dan Muslim (1604)].
Hadits ini menunjukkan
dibolehkannya istihsan.
Jual beli salam : adalah akad jual beli di
mana pembeli membayar penuh di muka untuk barang yang akan diserahkan oleh penjual
di kemudian hari. Dan barangnya sama sekali belum ada ditangan penjual dan
belum memiliki-nya.
Jadi, pembeli membayar
harga barang sekarang, tapi barangnya baru akan diserahkan oleh penjual di
waktu yang sudah disepakati.
Contohnya : Beli 100 kg kurma, dibayar
cash sekarang, tapi barang nya sesuai kesepakatan akan diterima setelah 3 tahun
kemudian. Sementara dalam akad salam ini, si penjualnya tidak disyarat-kan punya
kebun kurma dan tidak haruskan punya toko kurma.
Menurut kelompok pertama ini : dalil ini sahih berdasarkan
beberapa hal:
* Berdasarkan amal
seperti jual beli salam, sewa, atau puasa orang yang lupa.
* Berdasarkan ijma’,
seperti istisna’ menurut yang menetapkannya.
* Berdasarkan darurat,
seperti kesucian sungai dan sumur setelah najis.
* Berdasarkan adat,
seperti pengembalian sumpah sesuai adat.
* Berdasarkan
kemaslahatan, seperti memasukkan upah pekerja bersama. [Baca : Kasyf al-Asrar,
2/1125]
Sebagian ulama ushul
fikih memberikan contoh penerapan istihsan dengan beberapa masalah fikih,
misalnya:
Contoh ke 1 : Pada dasarnya wanita
seluruhnya adalah aurat, tetapi dokter diperbolehkan melihat bagian yang
darurat untuk dilihat, hal ini dilakukan berdasarkan istihsan karena adanya
kebutuhan mendesak, sehingga lebih memudahkan manusia.
Contoh ke 2 : Demikian pula,
syariat melarang jual beli sesuatu yang tidak ada (belum ada wujudnya) dan melarang
akad atas sesuatu yang belum ada, namun syariat memberikan keringanan (dengan
istihsan) dalam akad *salam (السَّلَمُ)*, *ijarah* (الإجَارَة = sewa-menyewa), *muzara‘ah (المُزَارَعَةُ = bagi hasil
pertanian), *musaqah (المُسَاقَاةُ = bagi hasil pengairan kebun), dan *istishna (الاسْتِصْنَاعُ
= pemesanan pembuatan barang). Semua ini merupakan akad yang objeknya belum ada
saat akad dilakukan.
Contoh ke 3 : Para fuqaha
Hanafiyah juga menegaskan bahwa sisa bekas air minum burung buas (seperti
elang, gagak, rajawali, burung pemangsa, burung alap-alap, dan burung elang
besar) dihukumi suci berdasarkan istihsan, meskipun secara qiyas najis.
Qiyasnya adalah bahwa
sisa bekas air minum hewan yang haram dimakan hukumnya seperti sisa air minum
binatang buas darat (seperti macan, harimau, singa, serigala), dan hukum sisa
air hewan mengikuti hukum dagingnya. Hewan yang dagingnya halal, maka sisa air
minumnya suci, sedangkan hewan yang dagingnya haram, maka sisa air minumnya
najis.
Adapun alasan istihsan
di sini adalah bahwa meskipun burung buas dagingnya haram, namun air liurnya
yang berasal dari dagingnya tidak bercampur dengan sisa air minumnya, karena ia
minum menggunakan paruhnya yang berupa tulang dan suci. Berbeda dengan binatang
buas darat yang minum menggunakan lidahnya yang bercampur dengan air liurnya,
sehingga sisa airnya menjadi najis.
Contoh ke 4 : Mereka juga
menegaskan bahwa orang yang berada dalam pengampuan (penyitaan harta seseorang
untuk menyelamatkannya dari kebodohan dalam mengelola harta atau boros dalam
penggunaan) tidak sah hibahnya (pemberiannya), tetapi dikecualikan secara
istihsan jika ia mewakafkan harta untuk dirinya sendiri selama hidupnya.
Alasannya adalah bahwa wakaf tersebut dapat menjaga hartanya agar tidak hilang,
dan ini sejalan dengan tujuan pengampuan. Dasar istihsan di sini adalah karena
adanya kebutuhan masyarakat dan kebiasaan yang berlaku.
KRITIK DAN TANGGAPAN DARI
KELOMPOK YANG MENOLAK ISTIHSAN:
Namun kritik terhadap
dalil ini: bagaimana yang disebut "adil" menunjukkan sebab
pengesampingan adalah istihsan? Dalil ini hanya menampilkan sunnah yang telah
berlaku, menjelaskan sebagian umum, kemudian diikuti dengan takhsis untuk
menunjukkan bahwa umum sebelumnya tidak mencakup semuanya. Apakah ini berarti
menjadikan istihsan sebagai asal syariat?.
[Baca : Al-Ushul
al-‘Aammah lil-Fiqh al-Muqaran, Muhammad Taqi al-Hakim: hlm. 375].
===***===
DALIL KELOMPOK KEDUA :
YANG MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SUMBER HUKUM
SISI PERTAMA :
Salah satu penolak
istihsan sebagai sumber dalil yang paling menonjol adalah:
Asy-Syafi‘i
sebagaimana terkenal dalam buku-buku klasik, tetapi penulis kitab "Ar-Ra’i
fi al-Fiqh al-Islami" mengatakan:
(إِنَّ الَّذِي يَنفِي
الاِسْتِحْسَان بِكُلِّ أَنْوَاعِهِ هُوَ: ابْنُ حَزْمٍ الظَّاهِرِيُّ، لاَ
الشَّافِعِيُّ، بِاعْتِبَارِ أَنَّهُ يَرِدُ فِي كَلَامِ الشَّافِعِيِّ
أَحْيَانًا: إِنِّي أَسْتَحْسِنُ)
“Orang yang menolak
istihsan dalam segala jenisnya adalah: Ibnu Hazm az-Zahiri, bukan Asy-Syafi‘i,
karena kadang-kadang dalam ucapan Asy-Syafi‘i keluar kata: ‘Aku ber-istihsan’”.
[Ar-Ra’i fi al-Fiqh al-Islami]
Asy-Syafi‘i hanya
menolak bagian terakhir — yaitu hanya ihtisan yang muncul dari dorongan hati —
dari makna istihsan, namun yang tampak dari ucapannya adalah bahwa ia juga
menolak istihsan rasional (logika).
Imam Asy-Syafi‘i menjelaskan
sebab dirinya keberatan menjadikan istihsan sebagai sumber dalil dengan menyebutkan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1]. Telah pasti bahwa
pembuat syariat adalah hanya Allah Yang Maha Bijaksana, dan Dia tidak
meninggalkan suatu urusan duniawi dengan sia-sia tanpa penjelasan-Nya.
Allah Ta‘ala
berfirman:
﴿أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن
يُتْرَكَ سُدًى﴾
“Apakah manusia
mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”.
[QS. Al-Qiyamah: 36].
Allah telah
menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an atau Sunnah, dan apa yang tidak
dijelaskan di dalamnya diserahkan kepada dalil lainnya, dan wajib bagi seorang
Muslim untuk mengikuti ketetapan-Nya:
﴿ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ﴾
“Jika kamu berselisih
tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” [QS. An-Nisa: 59].
Hukum istihsan tidak
termasuk dalam dua kategori ini, karena istihsan adalah tindakan berdasarkan
hawa nafsu dan kecenderungan, yang justru bertentangan dengan ayat pertama yang
mulia tersebut.
Ayat kedua: “Jika kamu
berselisih…” memerintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul serta melarang
mengikuti hawa nafsu. Istihsan bukanlah kitab, bukan sunnah, dan bukan
penafsiran atas Al-Qur’an atau Sunnah, melainkan sesuatu yang berbeda. Oleh
karena itu, ia hanya diterima jika ada dalil dari Al-Qur’an atau Sunnah yang
menerimanya, dan tidak ada dalil yang mendukungnya secara mandiri.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
مَا مِنْ وَاقِعَةٍ إِلَّا وَلِلَّهِ
فِيهَا حُكْمٌ
“Tidak ada suatu peristiwa pun kecuali Allah memiliki
ketetapan hukum di dalamnya”.
[Lihat: Al-Mahsul fi
'Ilmi Ushul al-Fiqh 2/565, Adab al-Qodhi oleh al-Mawardi 1:565; Al-'Uddah oleh
Abu Ya'la 4:1327, 4:1417 dan Al-Ibhāj oleh as-Subki 3:257].
Cara menetapkan hukum
bisa melalui nash atau qiyas bagi yang mengambilnya, dan tidak ada cara lain,
yang merupakan penjelasan lain dari penolakan yang disebut sebelumnya.
2]. Jika istihsan
diperbolehkan bagi seorang mujtahid — yaitu tidak bergantung pada nash atau
penafsiran nash, tetapi hanya pada perbuatan semata — maka diperbolehkan pula
bagi orang lain untuk istihsan, sehingga dalam satu peristiwa bisa muncul
berbagai jenis fatwa. Karena akal hadir pada orang yang bukan ahli ilmu
Al-Qur’an dan Sunnah, bahkan mungkin sebagian dari mereka lebih cerdas. Jika diperbolehkan
bagi mereka, maka mereka mengabaikan diri mereka sendiri dan menetapkan hukum
sesuai kehendak mereka.
[Filsafat at-Tasyri’
al-Islami, hal. 174, Ushul al-Fiqh al-Bardisi, hal. 304, dan Ushul al-Fiqh
al-'Ammah lil-Fiqh al-Muqaran, hal. 376]
Permasalahan ini bisa
diperdebatkan, karena pada dasarnya ini adalah pengulangan klaim. Inti
perselisihan adalah tentang adanya jalan lain selain nash — Al-Qur’an dan
Sunnah — dan qiyas. Tidak ada halangan jika istihsan dianggap sebagai jalan
lain.
Dari sinilah
Al-Ghazali mengatakan:
(لَا شَكَّ أَنَّنَا نَجُوزُ
وُرُودَ التَّعَبُّدِ بِاتِّبَاعِهِ عَقْلًا، بَلْ لَوْ وَرَدَ فِي الشَّرْعِ
أَنَّ مَا سَبَقَ إِلَى أَوْهَامِكُمْ أَوِ اسْتَحْسَنْتُمُوهُ بِعُقُولِكُمْ أَوْ
سَبَقَ أَوْهَامُ العَوامِ ـ مَثَلًا ـ فَهُوَ حُكْمُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
لَجَوَّزْنَاهُ)
“Tidak diragukan lagi
bahwa kita boleh mengizinkan penetapan hukum dengan mengikuti istihsan secara
rasional. Bahkan jika dalam syariat muncul: apa yang sebelumnya muncul dari
angan-angan kalian atau yang kalian istihsan-kan dengan akal kalian, atau
angan-angan orang awam, misalnya, maka itu adalah ketetapan Allah atas kalian,
dan kita memperbolehkannya”. [Al-Mushtashfā karya al-Gazali 1/138 Cetakan Mesir]
---
SISI KEDUA :
Adapun sisi kedua,
jika diterapkan, niscaya akan menutup pintu ijtihad, karena perbedaan dalam
memberikan fatwa tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak istihsan.
Namun yang tampak
jelas—seperti yang disinggung oleh Alim Al-Sayyid Al-Hakim—adalah bahwa
istihsan cenderung kepada bagian terakhir, yaitu yang muncul dari perasaan
diri, dan tidak diragukan bahwa bagian ini akan menimbulkan kekacauan
sebagaimana diingatkan oleh Al-Shafi‘i, dan hal ini ditolak secara Islam,
bahkan berpotensi mempermainkan hal-hal yang suci dalam Islam. [Al-Ushul
al-‘Aammah lil-Fiqh al-Muqaran hal. 377]
Adapun Al-Ghazali: ia menolak istihsan melalui dua cara:
Cara ke (1). Istihsan sahih secara
akal, dan kami tunduk pada syariat walaupun kita beribadah berdasarkan anggapan
umum orang awam.
Namun apa dalilnya?
Apakah itu merupakan kebutuhan akal sementara bertentangan dengan kenyataan?
Seharusnya ada dalil
tegas (sama seperti berita mutawatir), karena apa yang ada pada orang lain
harus kembali pada apa yang ada pada hakikatnya, jika tidak, maka akan terjadi
runtutan yang tak terputus. Bahkan istihsan tidak dibuktikan melalui hadits
ahad; jika pun dibuktikan, maka prinsipnya tidak sah bagi seseorang untuk
menjadikannya dalil karena menganggap istihsan setara dengan dalil-dalil Allah
seperti Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma‘, sebagai salah satu ushul; sehingga tidak
dapat ditegakkan hanya dengan hadits ahad.
Dan jika dalil itu
hilang, maka wajib ditolak.
Al-Ghazali menekankan
hal ini karena di kalangan para ushuliyyun, keraguan atas kekuatan dalil sudah
cukup untuk memastikan ketidakabsahannya.
Dalil ini sempurna
pada dirinya sendiri, kecuali klaim bahwa hadits ahad tidak cukup untuk membuktikan
istihsan sebagai dalil asli adalah tidak tepat setelah diterimanya dalil tegas
yang menegaskan kekuatan hadits ahad, karena runtutan yang disebut sebelumnya
terputus.
Cara Ke (2). Kita tahu bahwa umat
telah sepakat bahwa seorang alim tidak berhak berfatwa berdasarkan hawa
nafsunya, bahkan sebelum mereka mengenal prinsip ini; dan istihsan adalah
manifestasi hawa nafsu dan keinginan.
Namun dalil ini juga
merupakan pengulangan dari klaim yang sama.
Setelah semua ini,
dari ucapan Imam Asy-Syafi‘i tentang istihsan dan kecaman terhadapnya, serta
perkataan Ar-Ruuyani bahwa istihsan adalah :
شَرْعُ غَيْرِ الشَّرْعِ ـ وَبُطْلَانُهُ
“Syariat
yang bukan syariat — dan kebatilannya.”.
Maka dari semua itu
dapat kita pahami sebagai berikut :
A]. Tidak boleh memberi
hukum kecuali berdasarkan nash atau dengan qiyas terhadap nash, karena selain
itu adalah syariat berdasarkan hawa nafsu. Allah Ta‘ala berfirman:
﴿وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا
أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ﴾
"Dan putuskanlah
perkara di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan dan jangan mengikuti
hawa nafsu mereka" [QS. Al-Maidah : 49].
B]. Rasulullah ﷺ
tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan; beliau selalu menunggu wahyu. Jika
beliau beristihsan, beliau tidak akan pernah salah, karena beliau tidak
berbicara berdasarkan hawa nafsu.
C]. Istihsan dasarnya
akal, sehingga sejajar antara orang yang berilmu dan yang awam. Jika
diperbolehkan bagi satu orang untuk beristihsan, maka setiap orang berhak
membuat syariat baru untuk dirinya sendiri.
D]. Istihsan bukanlah
dalil mandiri yang berdiri sendiri di luar empat dalil yang disepakati. Ia
kembali pada memberi prioritas qiyas atas qiyas lain atau pengecualian masalah
tertentu dari kaidah umum. [Baca : Nihāyat as-Su’āl ma‘a al-Badakhshī 3/137, Al-Luma‘ oleh asy-Syaīrāzī hal. 68, dan Syarḥ Tanqīḥ al-Fuṣhūl hal. 451
E]. Nabi ﷺ
tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan beliau, karena beliau tidak
berbicara berdasarkan hawa nafsu.
Misalnya, ketika
seorang pria berkata kepada istrinya: "Engkau padaku seperti punggung
ibuku", maka Nabi ﷺ tidak berfatwa berdasarkan istihsan beliau ﷺ,
tetapi menunggu wahyu turun berupa ayat tentang penyucian dan kafaratnya.
F]. Sesungguhnya Nabi ﷺ
menegur para sahabat ; karena ketika mereka sedang jauh dari Nabi ﷺ,
lalu mereka mengeluarkan fatwa
berdasarkan istihsan mereka, seperti dalam kisah Usamah dan pembunuhan seorang
musuh yang terdesak dalam peperangan dan musuh tersebut berkata: "Tidak
ada Tuhan selain Allah" di bawah pedang yang mengancam nyawanya. Demikian
pula para sahabat yang membakar seorang musyrik yang berlindung di balik sebuah
pohon.
Nabi ﷺ
mengecam sahabat yang berpisah darinya dan berfatwa berdasarkan istihsan
mereka, seperti kisah Usamah dan pembunuhan seorang pria yang berkata "La
ilaha illallah" di bawah pedang, serta sahabat yang membakar seorang
musyrik yang berlindung di pohon.
---
BANTAHAN dari kelompok pertama, yang menetapkan ihtisan
sebagai sumber dalil:
Nabi ﷺ
menegurnya karena menyangkut hilangnya
nyawa seseorang. Namun dalam hal yang berkaitan dengan ijtihad ringan, maka
beliau ﷺ
senantiasa membolehkannya. Contohnya:
Perintah Nabi ﷺ
saat mengirim pasukan untuk mengepung Yahudi Bani Quraidzah pasac perang Khandaq :
(لا يُصَلّيَنَّ أَحَدُ الظُّهرَ
أَوِ العَصرِ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ)
“Tidaklah seseorang shalat Dzuhur atau Ashar kecuali di Bani
Quraizah”
Sebagian para sahabat
memahami ini berdasarkan makna, bukan lafaznya, maka mereka shalat diperjalanan
sebelum tiab di Bani Quraidzah ketika mereka merasa takut waktu shalat Ashar
terlewat. Sedangkan yang lain memahami berdasarkan lafaz dan hakikatnya
sehingga menundanya hingga tiba di Bani Quraidzah.
Nabi ﷺ
tidak menegur satu pun dari kedua kelompok karena mereka berijtihad. Hal ini
menjadi dalil bagi yang mengatakan berdasarkan makna, qiyas, dan memperhatikan
maksud.
---
G]. Istihsan tidak memiliki batasan dan ukuran yang jelas untuk
membedakan hak dari batil seperti qiyas. Jika diperbolehkan, maka itu akan
menimbulkan kelalaian.
[Lihat: Mukhtashar Ibṭhool al-Qiyās wa ar-Ra’yi wa
al-Istihsan oleh Ibnu Hazm, hal. 50, Al-Aḥkām oleh Ibnu Hazm
6/759, Kashf al-Asrār 2/1125, Ar-Risālah oleh asy-Syāfi‘i hal. 507, Al-Umm oleh asy-Syāfi‘i 7/277, Al-Mabaadi’ al-‘Āammah lil-Fiqh al-Ja‘fari, hal. 298, Uṣhūl al-Istinbāṭh: 264, Al-Uṣhūl al-‘Āammah lil-Fiqh al-Muqooron
hal. 363, Al-Asnawī 3/168–171, Al-I‘tishoom
2/137, Rawḍhat an-Nādẓir oleh Ibnu Qudāmah 1/407].
Al-Muthaddits
Al-Istrabadi — yang termasuk Syiah Imamiyah—menyatakan pembatalan istihsan,
menolaknya, dan tidak mengamalkannya, dengan mengemukakan dua belas alasan,
antara lain:
1 ـ عَدَمُ ظُهُورِ دَلَالَةٍ
بِالاعْتِمَادِ عَلَيْهِ.
2 ـ إِنَّ التَّمَسُّكَ بِالَّذِي
مُدْرَكُهُ غَيْرُ مُنْضَبِطٍ كَثِيرًا مَا تَقَعُ فِيهِ التَّعَارُضَاتُ
وَالِاضْطِرَابَاتُ.
3 ـ الْعَمَلُ بِهِ يُوجِبُ
الْفِرْقَةَ بَيْنَ الْأُمَّةِ.
4 ـ مُنَافَاةُ الشَّرِيعَةِ مَعَ
الْقَوْلِ بِذَلِكَ.
5 ـ إِنَّهُ يُفْضِي إِلَى
الْفِتَنِ وَالْحُرُوبِ.
1]. Tidak munculnya
dalil yang menunjukkan keabsahannya.
2]. Berpegang pada
sesuatu yang tidak terkontrol sering menimbulkan pertentangan dan kekacauan.
3]. Mengamalkannya
menyebabkan perpecahan di antara umat.
4]. Bertentangan
dengan syariat jika dikatakan demikian.
5]. Mengarah pada fitnah
dan peperangan.
[Baca : Al-Fawaid
al-Madaniyyah karya al-Istarabadi, hlm. 90–149].
==***===
MASALAH TERKAIT ISTIHSAN YANG DIPERSELISIHKAN DALAM MADZHAB HANAFI:
MASALAH PERTAMA :
KETIKA TERJADI PERTENTANGAN ANTARA QIYAS DAN ISTIHSAN:
Dalam madzhab Hanafi
terdapat suatu masalah yang dikaji oleh para ulama takhrij dari madzhab
tersebut, yaitu kondisi dan situasi di mana qiyas bertentangan dengan istihsan;
karena penentuan mana yang lebih kuat didasarkan pada kekuatan pengaruh, bukan
pada terselubung atau tampak.
Jika pengaruh qiyas
lebih kuat, maka qiyas lebih didahulukan daripada istihsan, dan sebaliknya.
Masalah ini memiliki dua pendapat:
1]. Mengambil istihsan
serta mengamalkannya itu lebih rajih dan lebih kuat daripada qiyas.
2]. Siapa yang
menempuh jalan qiyas berarti mengambil pendapat yang marjuh (kurang kuat).
Contoh:
Jika qiyas menetapkan
wali atas “anak perempuan yang mengalami kegilaan setelah baligh” agar walinya itu
adalah orang yang ditunjuk hakim, karena hak kewalian-nya telah berakhir
setelah anaknya baligh dan ia menjadi dewasa, maka menurut istihsan Abu
Hanifah: kewalian seseorang terhadap anak perempuan-nya kembali berlaku karena ada
sebabnya, yaitu kegilaan anak yang sudah baligh.
[Baca: Kasyf al-Asrar,
2/1122, Musallam al-Tsubut, 2/279, Ushul al-Sarkhasi, 2/203, Mir’ah al-Ushul
Syarh Mirqat al-Wushul, 2/236, al-Talwih ‘ala al-Taudhih, 2/82 dan Ushul
al-Fiqh karya al-Khudhari, hlm. 325].
Yang tampak dari
penelusuran: qiyas semacam itu tidak bisa dikatakan sebagai pendapat Abu
Hanifah; karena tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa ia berkata demikian.
Ia justru meninggalkan qiyas untuk istihsan jika qiyas itu tidak pantas dan
tidak layak.
Salah satu jenis
istihsan adalah:
تَرْكُ الْقِيَاسِ لِلْحَدِيثِ أَوِ لِلْإِجْمَاعِ
وَلَيْسَ لِلْقِيَاسِ مَوْضِعٌ إِزَاءَ النَّصِّ أَوِ الْإِجْمَاعِ
“Meninggalkan qiyas
demi hadits atau ijma’. Dan tidak ada tempat bagi qiyas yang berlawanan dengan nash
atau ijma’”.
As-Sarkhasi menegaskan
kesalahan orang yang mengatakan:
إِنَّ مُوجِبَ الْقِيَاسِ قَوْلٌ فِي
الْمَذْهَبِ الْحَنَفِيِّ: إِنَّ كَانَ فِي الْمَوْضِعِ اسْتِحْسَانٌ
“Qiyas yang berlaku
dalam madzhab Hanafi adalah jika di tempat itu terdapat istihsan”.
[Lihat : at-Taqrir wa
al-Tahbir, 3/223, Fawatih al-Rahmut, 2/223; Musallam ats-Tsubut, 2/279].
Contoh lainnya: Su’r (bekas/ sisa air
minum) burung pemangsa, seperti elang dan burung hantu, untuk hukum kesucian
bulunya. Menurut qiyas, su’r itu najis, disamakan dengan su’r binatang buas
seperti macan tutul, singa, dan harimau, karena daging mereka itu najis, maka
su’r-nya juga najis. Begitu juga elang dan burung hantu; karena hukumnya
didasarkan pada daging, yang bercampur dengan air liur dari daging najis.
Namun menurut
istihsan: bulunya itu suci, samakan dengan rambut manusia; karena manusia juga
tidak boleh dimakan dagingnya, maka istihsan lebih didahulukan daripada qiyas
karena pengaruhnya lebih kuat, berbeda dengan burung pemangsa, karena mereka
minum dengan paruh, berupa tulang kering yang suci dan tidak basah, sehingga
air bekas minumnya tidak menjadi najis.
[Baca : at-Taqrir wa
al-Tahbir, Syarh al-Tahrir karya Ibnu Amir al-Hajj, 2/223 dan Ushul
al-Sarkhasi, 2/203].
Jika pengaruh istihsan
lemah dan pengaruh lawannya -yaitu qiyas- lebih kuat, maka qiyas didahulukan
atas istihsan.
Contohnya: seorang pembaca al-Qur’an
ketika membaca ayat sajdah dalam salatnya, maka ia boleh sujud jika mau dengan
sujud yang bukan sujud sholat, kemudian kembali berdiri atau rukuk shalat, namun
ada perbedaan pendapat di antara mereka.
Mereka mengatakan: sujud itu sah jika ia
mau, kecuali rukuk yang memerlukan niat berbeda dari sujud. Dan jika di tengah
surat, maka ia harus sujud, lalu berdiri membaca sisa surat. Jika rukuk di
tempat sujud, maka itu sah. Jika ia menutup surat lalu rukuk, maka tidak sah;
karena sudah selesai. Dan itu tidak dianggap dan tidak sah, jika dengan ruku’
shalat atau sujud salat.
Di sini mereka mengatakan: rukuk menggantikan sujud tilawah, itu sah menurut qiyas
karena rukuk dan sujud serupa dalam makna tunduk, tetapi dalam istihsan tidak
sah; karena perintahnya adalah sujud. Namun di sini qiyas lebih utama karena pengaruhnya
lebih kuat.
****
MASALAH KEDUA :
TENTANG PERLUASAN PENERAPAN HUKUM ISTIHSAN
Termasuk masalah yang berbeda pendapat
di kalangan ulama Hanafi, adalah sbb:
تَعْدِيَةُ الْحُكْمِ الْمُسْتَحْسَنِ
الثَّابِتِ بِطَرِيقِ الْقِيَاسِ الْخَفِيِّ يَصِحُّ أَنْ يُعَدَّى بِوَاسِطَةِ
الْقِيَاسِ إِلَى وَاقِعَةٍ أُخْرَى.
“Perluasan penerapan hukum
istihsan yang ditetapkan melalui qiyas khafi (analogi tersembunyi) boleh
diterapkan melalui qiyas terhadap kasus lain”.
Yakni : apakah hukum
istihsan yang tetap bisa diteruskan melalui qiyas tersembunyi ke kejadian lain
?
Misalnya: Penjual dan pembeli
saling bersumpah apabila terjadi perselisihan tentang jumlah harga sebelum
barang yang dijual diterima. Jika penjual dan pembeli meninggal dunia sebelum
penerimaan barang dan para ahli waris mereka berselisih tentang jumlah harga,
maka mereka juga saling bersumpah berdasarkan qiyas. Ketentuan saling bersumpah
ini diperluas dari kasus jual beli ke akad sewa sebelum objek akad tersebut
diterima.
Masalah ini dibahas
dengan beberapa poin berikut:
1]. Hukum yang dapat
dianalogikan melalui qiyas adalah hukum yang ditetapkan oleh nash, bukan hukum
yang ditetapkan oleh qiyas. Hal ini karena dalam qiyas disyaratkan bahwa hukum
asal harus ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an atau Sunnah.
2]. Penetapan saling
bersumpah (tahaaluf) antara ahli waris penjual dan pembeli sebenarnya merupakan
penerapan hukum umum (ٱلْحُكْمُ
ٱلْكُلِّيُّ) bagi setiap pihak
yang saling mengklaim, bukan melalui qiyas.
Dengan ini terlihat
kelemahan dan kekeliruan apa yang ditetapkan oleh madzhab Hanafi.
[Lihat artikel “Hujjiyyat
al-Istihsan ‘inda al-Madzahib al-Islamiyyah” ditulis oleh al-Syaikh Sami
al-Ghurairi].
Imam as-Sarakhsi
berkata dalam kitab Ushul-nya:
(وَظَنَّ بَعْضُ
الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْعَمَلَ بِالِاسْتِحْسَانِ أَوْلَى
مَعَ جَوَازِ الْعَمَلِ بِالْقِيَاسِ فِي مَوْضِعِ الِاسْتِحْسَانِ، وَشَبَّهَ
ذَلِكَ بِالطَّرْدِ مَعَ الْمُؤَثِّرِ، فَإِنَّ الْعَمَلَ بِالْمُؤَثِّرِ أَوْلَى
وَإِنْ كَانَ الْعَمَلُ بِالطَّرْدِ جَائِزًا).
“Sebagian
ulama muta’akhkhirin dari kalangan sahabat kami beranggapan bahwa beramal
dengan istihsan lebih utama meskipun boleh beramal dengan qiyas pada tempat
yang digunakan istihsan. Mereka menyerupakannya dengan qiyas thard bersama
qiyas mu’atsir, karena beramal dengan mu’atsir lebih utama meskipun beramal
dengan thard itu boleh.
Lalu dia berkata:
(وَهَذَا وَهْمٌ عِنْدِي فَإِنَّ
اللَّفْظَ الْمَذْكُورَ فِي الْكُتُبِ فِي أَكْثَرِ الْمَسَائِلِ: إِلَّا أَنَّا
تَرَكْنَا هَذَا الْقِيَاسَ، وَالْمَتْرُوكُ لَا يَجُوزُ الْعَمَلُ بِهِ،
وَتَارَةً يَقُولُ إِلَّا أَنِّي أَسْتَقْبِحُ ذَلِكَ، وَمَا يَجُوزُ الْعَمَلُ
بِهِ مِنَ الدَّلِيلِ شَرْعًا فَاسْتِقْبَاحُهُ يَكُونُ كُفْرًا، فَعَرَفْنَا
أَنَّ الصَّحِيحَ تَرْكُ الْقِيَاسِ أَصْلًا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي نَأْخُذُ
بِالِاسْتِحْسَانِ، وَبِهِ يَتَبَيَّنُ أَنَّ الْعَمَلَ بِالِاسْتِحْسَانِ لَا
يَكُونُ مَعَ قِيَامِ الْمُعَارَضَةِ وَلَكِنْ بِاعْتِبَارِ سُقُوطِ الْأَضْعَفِ
بِالْأَقْوَى أَصْلًا.)
Menurut saya, ini
adalah kekeliruan. Karena lafaz yang disebutkan dalam kitab-kitab pada
kebanyakan permasalahan adalah: ‘Hanya saja kami meninggalkan qiyas ini.’ Dan sesuatu
yang ditinggalkan tidak boleh diamalkan. Kadang juga disebut: ‘Hanya saja saya
menganggapnya buruk.’ Sesuatu yang boleh diamalkan secara syar’i, maka
menganggapnya buruk adalah kekufuran. Maka kami mengetahui bahwa yang benar
adalah meninggalkan qiyas secara total pada tempat yang kami ambil dengan
istihsan. Dengan hal itu menjadi jelas bahwa beramal dengan istihsan tidak
terjadi bersama adanya pertentangan, tetapi karena yang lemah gugur oleh yang
lebih kuat secara asal.”
[Baca : Ushul
as-Sarakhsy 2/201 dan al-Kafi syarah Ushul al-Bazwadi 4/1822-1823]
0 Komentar