Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN (Pencegatan Para Pedagang Dari Pelosok Sebelum Masuk Pasar)

 

HUKUM JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN

(بَيْعُ تَلَقِّي الرُّكْبَانِ)

(Membeli Barang Dengan Cara Mencegat Para Pengendara Pedagang Dari Pedalaman Sebelum Masuk Pasar di Kota)

---

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakrhy

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----

---

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • RINCIAN PEMBAHASAN TENTANG TALAQQI AR-RUKBAN
  • PEMBAHASAN PERTAMA: DEFINISI TALAQQI AR-RUKBAN DAN HUKUMNYA.
  • PERMASALAHAN PERTAMA: DEFINISI JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN.
  • PERMASALAHAN KEDUA: HUKUM TAKLIFI TALAQQI AR-RUKBAN
  • PERMASALAHAN KETIGA: STATUS HUKUM TERHADAP JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN
  • PERMASALAHAN KEEMPAT: SEBAB LARANGAN TERHADAP TALAQQI AR-RUKBAN:
  • PEMBAHASAN KEDUA: BATASAN TALAQQI DAN PILIHAN (KHİYĀR)-NYA
  • PERMASALAHAN PERTAMA: BATASAN TALAQQI
  • PERMASALAHAN KEDUA: AWAL DAN AKHIR TALAQQI
  • BAGIAN PERTAMA: AWAL TALAQQI
  • BAGIAN KEDUA : AKHIR TALAQQI
  • PERMASALAHAN KETIGA: OPSI (HAK KHIYAR) BAGI PENJUAL DAN PENDUDUK PASAR DALAM TALAQQI AR-RUKBAN
  • BAGIAN PERTAMA: OPSI PENJUAL DALAM TALAQQI AR-RUKBAN
  • BAGIAN KEDUA: HAK KHIYAR (OPSI) BAGI PENDUDUK PASAR DALAM KASUS TALAQQI RUKBAN.
  • BAGIAN KETIGA: HAK KHIYAR (OPSI) BAGI PENDUDUK PASAR DALAM KASUS TALAQQI RUKBAN
  • PERMASALAHAN KEEMPAT: UKURAN (AL-MU’TABAR) LAMANYA HAK KHIYAR.
  • PEMBAHASAN KETIGA: MASALAH-MASALAH TALAQQI RUKBAN.
  • PERMASALAHAN PERTAMA: TALAQQI KETIKA PENJUAL SAMPAI LEBIH DAHULU SEBELUM BARANG ATAU SEBALIKNYA.
  • PERMASALAHAN KEDUA: KELUAR MENUJU PADANG RUMPUT, KEBUN, PELABUHAN, DAN GUDANG.
  • PERMASALAHAN KETIGA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN JIKA MEREKA MELEWATI RUMAH SESEORANG
  • BAGIAN PERTAMA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN SEBELUM SAMPAI KE PASAR
  • BAGIAN KEDUA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN SETELAH MEREKA KEMBALI DARI PASAR.
  • PERMASALAHAN KEEMPAT: MENCEGAT AR-RUKBAN UNTUK MENJUAL KEPADA MEREKA
  • PERMASALAHAN KELIMA: MENYONGSONG AR-RUKBAN TANPA SENGAJA
  • KESIMPULAN

==== 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

===***===

PENDAHULUAN

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah bersabda:

«‌لَا ‌تَلَقَّوُا ‌الرُّكْبَانَ، ‌وَلَا ‌يَبِعْ ‌حَاضِرٌ ‌لِبَادٍ»، قَالَ: فَقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ «لَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ» قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا

“Janganlah kalian menyongsong (mencegat) para pengendara (yang membawa barang dagangan), dan janganlah penduduk kota menjualkan untuk orang desa.”

Aku (Thawus) berkata kepada Ibnu Abbas: “Apa maksud sabda beliau ‘Janganlah penduduk kota menjual untuk orang desa’?”.

Ia menjawab: “Jangan menjadi makelar (perantara) baginya.” [HR. Bukhori no. 2158]

Dari Jabir dia berkata; Rasulullah bersabda:

«‌لَا ‌يَبِعْ ‌حَاضِرٌ ‌لِبَادٍ، ‌دَعُوا ‌النَّاسَ ‌يَرْزُقِ اللهُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ»

“Janganlah penduduk kota menjualkan (menjadi calo penjualan) barang milik penduduk desa, biarkanlah sebagian masyarakat dikaruniai rizqi oleh Allah dari sebagian lainnya.” [HR. Muslim no. 1522].

PENJELASAN SINGKAT :

Sabda Nabi :

«‌لَا ‌تَلَقَّوُا ‌الرُّكْبَانَ»

“Janganlah kalian menyongsong (mencegat) para pengendara (yang membawa barang dagangan)

Syaikh Athiyyah Salim dalam Syarah Bulugh al-Maram (al-Maktabah asy-Syamilah191/15) berkata:

وَالرُّكْبَانُ إِمَّا أَنْ يَكُونُوا قَادِمِينَ مِنَ الْبَادِيَةِ، أَوْ قَادِمِينَ مِنْ بَلَدٍ أُخْرَى حَاضِرَةٍ لِلْبَيْعِ فِي هَذِهِ الْبَلْدَةِ؛ لاِخْتِلَافِ الْأَسْعَارِ، وَلِكَثْرَةِ الْحَاجَةِ، وَلِقِلَّةِ السِّلْعَةِ، وَهَذِهِ أُمُورٌ تَحْكُمُهَا حَالَةُ الأَسْوَاقِ.

وَلْنَفْتَرِضِ الْمَسْأَلَةَ فِي الْبَادِيَةِ: فَإِذَا جَاءَ الْجَالِبُ مِنَ الْبَادِيَةِ، فَإِنَّهُ سَيَأْتِي بِإِنْتَاجِ الْبَادِيَةِ، وَإِنْتَاجُ الْبَادِيَةِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَهِيمَةَ الأَنْعَامِ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ نَتَاجَهَا مِنْ أَلْبَانٍ، أَوْ أَصْوَافٍ، أَوْ جُلُودٍ، وَنَحْوَ ذَلِكَ، وَإِمَّا حَطَبًا يَحْتَطِبُ مِنَ الْجِبَالِ، وَنَتَاجُ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ يَكُونُ سَمْنًا، وَيَكُونُ أَقِطًا، كُلُّ هَذَا مِنْ إِنْتَاجِ الْبَادِيَةِ، فَإِذَا جَاءَ الْبَدَوِيُّ بِسِلْعَةٍ، وَيُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهَا فِي الْمَدِينَةِ، وَيَشْتَرِيَ بِثَمَنِهَا سِلَعًا أُخْرَى مِنَ السُّوقِ، فَهُوَ أَتَى بِسَمْنٍ أَوْ حَطَبٍ أَوْ جُبْنٍ، فَبَاعَ وَاشْتَرَى سُكَّرًا، أَوْ قُمَاشًا، أَوْ قَهْوَةً، أَوْ هَيْلًا. إِلْخ.

وَهَذِهِ هِيَ الْعَادَةُ، فَإِذَا قَدِمَ رَكْبٌ بِسِلَعٍ بَدَوِيَّةٍ، فَلَا يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ السُّوقِ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ السُّوقِ، أَوْ يَخْرُجَ مِنَ الْبَلْدَةِ وَيَتَلَقَّاهُمْ قَبْلَ أَنْ يَصِلُوا إِلَى السُّوقِ، وَقَبْلَ أَنْ يَعْرِفُوا الأَسْعَارَ، فَيُسَاوِمَهُمْ عَلَى مَا مَعَهُمْ؛ لأَنَّهُ بِتَلَقِّيهِ لِلرُّكْبَانِ يَقْطَعُ السِّلَعَ عَنْ أَهْلِ السُّوقِ.

“Para ar-rukban (rombongan pembawa barang) bisa jadi datang dari pedalaman, atau datang dari kota lain untuk menjual barang di kota ini karena perbedaan harga, tingginya kebutuhan, dan sedikitnya barang, dan semua ini diatur oleh kondisi pasar.

Misalkan kasus ini terjadi di pedalaman: Jika seorang pembawa barang datang dari pedalaman, maka ia akan membawa hasil produksi pedalaman. Hasil pedalaman itu bisa berupa hewan ternak, atau hasil ternak seperti susu, wol, kulit, dan sejenisnya. Bisa juga berupa kayu bakar yang diambil dari pegunungan. Dari hasil ternak juga ada minyak samin, atau qith‘ (sejenis keju kering). Semua ini merupakan hasil produksi pedalaman.

Jika seorang badui datang membawa barang dagangan dan ingin menjualnya di kota untuk kemudian membeli barang lain dari pasar dengan uang hasil penjualannya, misalnya ia membawa minyak samin, kayu bakar, atau keju, lalu ia menjualnya untuk membeli gula, kain, kopi, kapulaga, dan seterusnya—ini hal yang biasa terjadi.

Apabila datang suatu ar-rukban dengan membawa barang-barang dari pedalaman, maka tidak sepantasnya seorang pun dari penduduk pasar keluar dari pasar atau keluar dari kota untuk menyongsong mereka sebelum mereka sampai ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga-harga barang yang hendak dijualnya, kemudian para pencegat menawar barang-barang yang mereka bawa dengan harga jauh dibawah harga pasar. Karena dengan menyongsong para rukban ini, berarti ia memutus barang-barang tersebut dari penduduk pasar”. [Kutipan Selesai]

Sabda Nabi :

«لَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ»

“Janganlah orang kota menjualkan untuk orang desa.”

Syaikh Athiyyah Salim dalam Syarah Bulugh al-Maram (al-Maktabah asy-Syamilah191/15-16) berkata:

وَمِنَ النَّهْيِ هُنَا أَيْضًا نَهْيُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَّا يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَانْظُرْ إِلَى هَذَا التَّنَاسُقِ بَيْنَ هَذِهِ النَّوَاهِي! وَلْنَفْرِضْ أَنَّ الرُّكْبَانَ لَمْ يَتَلَقَّهَا أَحَدٌ، وَوَصَلَتْ إِلَى السُّوقِ، فَإِذَا وَصَلَتْ إِلَى السُّوقِ دُونَ أَنْ تَصْطَدِمَ بِمُتَلَقٍّ يُخْدِعُهَا، وَبَدَأَ الْبَيْعُ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْتِيَ حَاضِرٌ وَيَتَوَلَّى عَمَلِيَّةَ الْبَيْعِ لِلْبَادِي.

وَقَدْ سَأَلَ السَّائِلُ ابْنَ عَبَّاسٍ: مَا مَعْنَى قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ)؟ فَقَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا.

وَالسِّمْسَرَةُ: مَعْرُوفَةٌ مِنْ قَدِيمٍ، فَهُنَا الْجَالِبُ إِذَا وَصَلَ السُّوقَ فَلْيَتْرُكْ بِسِلْعَتِهِ مَعَ النَّاسِ، فَإِنَّ الْجَالِبَ سَيَبِيعُ بِمَا يَرَاهُ يَحْفَظُ حَقَّهُ، وَالْغَالِبُ أَنَّ الْبَدَوِيَّ يَجْلِبُ سِلَعًا لَمْ يَدْفَعْ فِيهَا مَالًا، وَإِنَّمَا بَذَلَ فِيهَا جُهْدًا، فَرَأْسُ مَالِهَا عَلَيْهِ جُهْدُهُ فِي الْحَلْبِ، وَالتَّصْنِيعِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ، أَمَّا الَّذِي يَشْتَرِيهَا وَيَأْتِي بِهَا إِلَى السُّوقِ، أَوْ يَشْتَرِيهَا بِالْجُمْلَةِ وَيَبِيعُهَا بِالتَّجْزِئَةِ، فَإِنَّهُ يَعْمَلُ حِسَابَ رَأْسِ الْمَالِ الَّذِي دَفَعَهُ، وَالْغَالِبُ أَنَّ الْجَالِبَ مِنَ الْبَادِيَةِ يَتَسَاهَلُ فِي سِلْعَتِهِ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْسَرْ فِيهَا مَالًا، وَإِنَّمَا بَذَلَ فِيهَا جُهْدًا، فَيَكُونُ فِي هَذَا رَخَاءٌ وَتَوْسِيعٌ عَلَى النَّاسِ.

أَمَّا إِذَا جَاءَ أَحَدُ أَهْلِ السُّوقِ لِيَبِيعَ السِّلْعَةَ لِهَذَا الْبَدَوِيِّ، فَإِنَّهُ سَيَسْتَخْدِمُ خِبْرَتَهُ وَمَعْرِفَتَهُ بِالسُّوقِ لِيَخْدِمَ بِهَا الْجَالِبَ، فَهُوَ يَعْلَمُ أَسْعَارَ السُّوقِ، وَيَعْلَمُ هَلِ السِّلْعَةُ مُتَوَفِّرَةٌ أَمْ غَيْرُ مُتَوَفِّرَةٍ، فَيُغَالِي فِي الثَّمَنِ وَيَزِيدُ فِي السِّعْرِ، فَيَتَضَرَّرُ أَهْلُ الْبَلَدِ، لَا سِيَّمَا الْمَسَاكِينُ وَالْأَرَامِلُ وَالْأَيْتَامُ وَالْفُقَرَاءُ وَالضُّعَفَاءُ، فَتُقْطَعُ عَلَيْهِمُ الطَّرِيقُ، وَلَا يَنْتَفِعُونَ مِنْ جَلْبِ الْبَادِيَةِ، وَلِذَا جَاءَ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ: (دَعِ النَّاسَ يَرْزُقِ اللهُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ)، فَهَذَا اشْتَرَى قِرْبَةَ سَمْنٍ، فَإِنْ كَانَ لِبَيْتِهِ -وَجَاءَتْ رَخِيصَةً- فَهُوَ رِزْقٌ مِنَ اللهِ، وَإِنْ كَانَ سَيَبِيعُهَا وَيَكْسَبُ فَهَذَا رِزْقٌ مِنَ اللهِ.

فَقَوْلُهُ: (لَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ) قَالُوا: هِيَ عَلَى الْمَبْدَإِ الْأَوَّلِ فِي تَلَقِّي الرُّكْبَانِ، بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ الْبَادِي لَا يَعْرِفُ أَسْعَارَ السُّوقِ.

Larangan ini juga termasuk sabda Nabi agar orang kota tidak menjualkan barang untuk orang desa. Perhatikan bagaimana keterkaitan larangan-larangan ini! Misalnya, kafilah tadi tidak dicegat oleh siapa pun dan akhirnya sampai ke pasar. Ketika sudah sampai di pasar tanpa ditipu oleh orang yang mencegat, dan mulai berdagang, maka tetap tidak boleh ada orang kota yang mengambil alih urusan penjualan barang milik orang desa tersebut.

Seorang penanya pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang makna sabda Nabi : “Janganlah orang kota menjualkan untuk orang desa.” Maka beliau menjawab: “Jangan menjadi makelar baginya.”

“Makelar (samsarah)” sudah dikenal sejak dahulu. Maksudnya, jika orang desa sudah sampai di pasar dengan barang dagangannya, biarkan dia menjual barangnya sendiri. Orang desa biasanya akan menjual dengan harga yang menurutnya cukup untuk menjaga haknya. Umumnya, orang desa membawa barang yang tidak ia beli dengan uang, melainkan hasil dari jerih payahnya—seperti memerah susu, mengolah hasil ternak, dan sebagainya. Sedangkan orang yang membeli lalu menjual kembali, biasanya memperhitungkan modal yang telah ia keluarkan.

Adapun orang desa, karena ia tidak mengeluarkan uang (hanya tenaga), biasanya lebih mudah melepas barangnya. Ini akan membuat harga lebih terjangkau dan memberi kelonggaran bagi masyarakat.

Namun, jika ada orang kota yang menjualkan barang tersebut untuk orang desa, maka ia akan menggunakan pengalaman dan pengetahuannya tentang pasar untuk keuntungan orang desa. Ia tahu harga pasar, ia tahu apakah barang ini langka atau tidak, sehingga ia bisa menaikkan harga dan mempermahal, yang akhirnya merugikan penduduk kota—terutama fakir miskin, janda, yatim, orang lemah. Mereka pun tidak bisa menikmati keuntungan dari barang bawaan orang desa.

Karena itu, dalam sebagian riwayat disebutkan:

“Biarkanlah manusia, agar Allah memberi rezeki sebagian mereka melalui sebagian yang lain.”

Jadi, jika seseorang membeli satu wadah minyak samin untuk kebutuhan rumahnya dan ternyata murah, maka itu adalah rezeki dari Allah. Jika ia menjualnya lagi dan mendapatkan keuntungan, itu juga rezeki dari Allah.

"Maka sabdanya: (Janganlah orang kota menjual untuk orang desa), mereka mengatakan: hal ini kembali kepada prinsip pertama dalam larangan menyongsong rombongan (talaqqī ar-rukbān), dengan syarat bahwa orang desa tersebut tidak mengetahui harga-harga pasar." [Kutipan Selesai]

Imam Nawawi dalam syarahnya (5/309) menjelaskan:

هَذِهِ الْأَحَادِيثُ تَتَضَمَّنُ تَحْرِيمَ بَيْعِ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَكْثَرُونَ قَالَ أَصْحَابُنَا وَالْمُرَادُ بِهِ أَنْ يَقْدَمَ غَرِيبٌ مِنَ الْبَادِيَةِ أَوْ مِنْ بَلَدٍ آخَرَ بِمَتَاعٍ تَعُمُّ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ لِيَبِيعَهُ بِسِعْرِ يَوْمِهِ فَيَقُولَ لَهُ الْبَلَدِيُّ اتْرُكْهُ عِنْدِي لِأَبِيعَهُ عَلَى التَّدْرِيجِ بِأَعْلَى قَالَ أَصْحَابُنَا ‌وَإِنَّمَا ‌يَحْرُمُ ‌بِهَذِهِ ‌الشُّرُوطِ ‌وَبِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِالنَّهْيِ فَلَوْ لَمْ يَعْلَمِ النَّهْيَ أَوْ كَانَ الْمَتَاعُ مِمَّا لَا يُحْتَاجُ فِي الْبَلَدِ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ لِقِلَّةِ ذَلِكَ الْمَجْلُوبِ لَمْ يَحْرُمْ وَلَوْ خَالَفَ وَبَاعَ الْحَاضِرُ لِلْبَادِي صَحَّ الْبَيْعُ مَعَ التَّحْرِيمِ هَذَا مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَغَيْرُهُمْ وَقَالَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ يُفْسَخُ الْبَيْعُ مَا لَمْ يَفُتْ وَقَالَ عَطَاءٌ وَمُجَاهِدٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ بَيْعُ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي مُطْلَقًا لِحَدِيثِ الدِّينُ النَّصِيحَةُ قَالُوا وَحَدِيثُ النَّهْيِ عَنْ بَيْعِ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي مَنْسُوخٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّهُ على كراهة التنزيه بمجرد الدعوى

“Hadis-hadis ini mengandung larangan menjualkan (barang) orang desa oleh orang kota, dan pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan mayoritas ulama. Ulama madzhab kami berkata: Yang dimaksud adalah apabila seorang pendatang dari desa atau dari negeri lain datang membawa barang dagangan yang sangat dibutuhkan untuk dijual sesuai harga hari itu, lalu orang kota berkata kepadanya: “Tinggalkan barang itu padaku agar aku menjualnya sedikit demi sedikit dengan harga yang lebih tinggi.”

Ulama madzhab kami berkata: Larangan ini berlaku dengan syarat-syarat ini, dan dengan syarat dia mengetahui adanya larangan tersebut. Jika dia tidak tahu adanya larangan, atau barang tersebut adalah barang yang tidak dibutuhkan di kota itu dan tidak berpengaruh karena sedikitnya barang yang didatangkan, maka tidak haram.

Dan jika ia melanggar dan orang kota menjualkan barang orang desa, maka jual beli itu sah tetapi tetap haram. Ini adalah pendapat madzhab kami, dan pendapat ini juga dikemukakan oleh sekelompok ulama Malikiyah dan lainnya.

Sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa akad jual beli tersebut dibatalkan selama belum ada perubahan (belum selesai). Sedangkan ‘Atha’, Mujahid, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa menjualkan barang orang desa oleh orang kota itu boleh secara mutlak karena hadits “Agama adalah nasihat.” Mereka mengatakan bahwa hadits larangan menjualkan barang orang desa oleh orang kota itu telah dihapus (mansukh). Dan sebagian mereka berpendapat bahwa hal tersebut hanya makruh tanzih semata (sekadar tidak disukai), berdasarkan klaim saja”. Wallahu A’lam. [Kutipan Selesai]

LARANGAN MONOPOLI KEBUTUHAN UMUM

Dari Sa’id bin Al-Musayyib, dari Ma’mar bin Abdullah bin Nadlah, ia berkata: Nabi bersabda:

«‌لَا ‌يَحْتَكِرُ ‌إِلَّا ‌خَاطِئٌ»

"Tidak ada yang melakukan penimbunan barang (monopoli) kecuali orang yang salah." [HR. Muslim no. 1605]

Monopoli (penimbunan) segala sesuatu yang membahayakan masyarakat, baik berupa makanan, pakaian, maupun yang lainnya, adalah haram. Ini merupakan pendapat Malikiyah, Abu Yusuf dari Hanafi, pendapat sebagian Hanabilah, dan dipilih oleh Ibnu Hazm, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin. Begitu pula Lajnah Daimah memberikan fatwa demikian.

[Lihat : Referensi: Mawaahib al-Jalil, Al-Hattab (6/11, 12), At-Taj wa al-Ikhlil, Al-Mawaaq (4/380), Al-Hidayah, Al-Marginan (4/377), Tabyin al-Haqa’iq, Az-Zayla’i (6/27), Al-Furu’ , Ibnu Muflih (6/179), Al-Insaf, Al-Mardawi (4/244), Al-Muhalla, Ibnu Hazm (7/572), Fatawa Nur ‘ala al-Darb, Ibnu Baz (19/85, 86), Fath Dhi al-Jalal wa al-Ikram, Ibnu Utsaimin (3/596) dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (13/184)].

Ibnu Hazm berkata:

(الحُكْرَةُ المُضِرَّةُ بِالنَّاسِ حَرَامٌ، سَوَاءٌ فِي الِابْتِيَاعِ أَوْ فِي إِمْسَاكِ مَا ابْتَاعَ، وَيُمْنَعُ مِن ذَلِكَ)

"Monopoli (penimbunan) yang merugikan manusia adalah haram, baik dalam pembelian maupun menahan barang yang telah dibeli, dan hal itu dilarang." (Al-Muhalla, 7/572)

Syeikh Bin Baz berkata:

(لا يَجوزُ الِاحتِكارُ في الأطعِمةِ ولا نَحوِها على الصَّحيحِ مِمَّا يَضُرُّ المُسلِمينَ، الَّذي مَثَلًا يَحجُزُ السِّلَعُ الَّتي يَحتاجُها المُسْلمونَ مِن طَعامٍ أو غَيرِه مِمَّا يَحتاجُه النَّاسُ حَتَّى يَغلوَ ثَمنُها، وحَتَّى يَرتَفِعَ وحَتَّى يَبيعَ على النَّاسِ بِثَمَنٍ مُرتَفِعٍ، هَذا لا يَجوزُ لا في السُّوقِ السَّوداءِ ولا في غَيرِ السَّوداءِ، لا يَجوزُ لِلمُسلِمِ أن يَحتَكِرَ ما يَضُرُّ المُسلِمينَ احتِكارُه؛ حَتَّى يَبيعَه في الغَلاءِ... وبَعضُ أهْلِ العِلمِ قَيَّدَ هَذا بِالطَّعامِ، والصَّوابُ أنَّه لا يَتَقَيَّدُ بِالطَّعامِ، بل كُلُّ شَيءٍ احتِكارُه يَضُرُّ المُسلِمينَ، فإنَّه يُمنَعُ احتِكارُهـ)

"Monopoli tidak diperbolehkan pada makanan atau sejenisnya yang merugikan umat Muslim, misalnya menahan barang yang dibutuhkan umat Muslim hingga harganya melambung tinggi dan dijual dengan harga mahal. Ini tidak boleh, baik di pasar gelap maupun bukan. Seorang Muslim tidak boleh memonopoli sesuatu yang merugikan Muslim sampai dijual dengan harga tinggi. Beberapa ulama membatasi monopoli hanya pada makanan, tetapi yang benar adalah tidak dibatasi pada makanan, melainkan setiap hal yang monopoli akan merugikan Muslim dilarang." (Fatawa Nur ‘ala al-Darb, 19/85,86)

Ibnu Utsaimin berkata:

(ظاهِرُ الحَديثِ عُمومُ الِاحتِكارِ في كُلِّ شَيءٍ، وقَيَّده بعضُ أهْلِ العِلمِ بِالأشياءِ الَّتي تَكونُ ضَروريَّةً يَضُرُّ النَّاسَ احتِكارُها، أمَّا الأشياءُ الَّتي لَيسَت ضَروريَّةً فإنَّ لِلإنسانِ أن يَحتَكِرَها كالأمورِ الكَماليَّةِ، والصَّوابُ: العُمومُ؛ لِأنَّ الكَماليَّاتِ والضَّروريَّاتِ أمرُها نِسبيٌّ، فقَد يَكونُ هَذا الشَّيءُ كماليًّا عِندَ قَومٍ، ضَروريًّا عند آخَرِينَ، ولا يُمكِنُ انضِباطُ هَذا الشَّيءِ. فنَقولُ: كُلُّ شَيءٍ يَحتَكِرُه الإنسانُ مِمَّا يُباعُ في الأسواقِ، فإنَّه يُعتَبَرُ خاطِئًا)

"Makna hadits jelas menunjukkan bahwa monopoli berlaku umum untuk segala sesuatu. Beberapa ulama membatasinya pada barang yang diperlukan karena monopoli barang tersebut merugikan orang. Barang yang tidak perlu boleh dimonopoli seperti barang tambahan. Yang benar adalah umum; karena barang tambahan dan kebutuhan relatif, suatu barang bisa dianggap tambahan bagi sebagian orang, tapi penting bagi orang lain. Jadi, setiap barang yang dimonopoli di pasar dianggap salah." (Fath Dhi al-Jalal wa al-Ikram, 3/596)

Al-Lajnah ad-Daimah – Saudi Arabia - juga menegaskan:

 (لا يَجوزُ تَخزينُ شَيءٍ النَّاسُ في حاجةٍ إلَيه، ويُسَمَّى: الِاحتِكارَ؛ لِقَولِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: «لا يَحتَكِرُ إلَّا خاطِئٌ  » رواه أحمَدُ ومُسلِمٌ وأبو داوُدَ والنَّسائيُّ وابنُ ماجَهْ، ولِما في ذلك مِنَ الإضرارِ بِالمُسلِمينَ)

"Tidak diperbolehkan menimbun sesuatu yang dibutuhkan orang, yang disebut monopoli; karena Nabi bersabda: 'Tidak ada yang memonopoli kecuali orang yang salah.' (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah) karena hal itu merugikan umat Muslim." (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 13/184)

===***===

RINCIAN PEMBAHASAN TENTANG TALAQQI AR-RUKBAN

****

PEMBAHASAN PERTAMA:
DEFINISI TALAQQI AR-RUKBAN DAN HUKUMNYA.

==***===

PERMASALAHAN PERTAMA:
DEFINISI JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN.

Istilah “talaqqi ar-rukban (تَلَقِّي الرُّكْبَانِ)”, disebut juga dengan istilah sbb :

1]. Talaqqi al-jalb (تَلَقِّي الْجَلْبِ)

2] Talaqqi as-sila’ (تَلَقِّي السِّلَعِ).

Semuanya disebutkan dalam hadits (Baca : Al-Istidzkar, karya Ibnu Abdil Barr 21/69).

Definisi Talaqqi ar-rukban (تَلَقِّي الرُّكْبَانِ) :

تَلَقِّي الرُّكْبَانِ هُوَ الْخُرُوجُ مِنَ الْبَلَدِ الَّتِي يُجْلَبُ إِلَيْهَا الْأَقْوَاتُ أَوِ السِّلَعُ لِمُلَاقَاةِ أَصْحَابِهَا الْقَادِمِينَ لِبَيْعِهَا أَوْ لِشِرَائِهَا مِنْهُمْ قَبْلَ أَنْ يَبْلُغُوا بِهَا السُّوقَ، وَيَعْرِفُوا السِّعْرَ

Talaqqi ar-rukban adalah keluar dari kota yang menjadi tujuan didatangkannya bahan makanan atau barang dagangan untuk menemui para pemiliknya yang datang untuk menjualnya atau membelinya sebelum mereka sampai ke pasar dan mengetahui harga.

Talaqqi rukban berarti mencegat atau menyongsong rombongan orang yang membawa barang dagangan (rukban) sebelum mereka sampai ke pasar.

Syaikh Athiyyah Salim dalam Syarah Bulugh al-Maram (al-Maktabah asy-Syamilah191/15-16) berkata:

وَالتَّلَقِّي: هُوَ الاِسْتِقْبَالُ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ هَذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ﴾ [الأنبياء:١٠٣]، وَالرُّكْبَانُ: جَمْعُ رَاكِبٍ، وَالْمُرَادُ: الْجَالِبُ، سَوَاءٌ جَاءَ عَلَى قَدَمَيْهِ، أَوْ جَاءَ رَاكِبًا بَعِيرًا أَوْ فَرَسًا، وَقَدْ صَارَ هَذَا الاِسْمُ عَلَمًا عَلَى كُلِّ مَنْ يَجْلِبُ إِلَى السُّوقِ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ أَنَّ الْجَالِبَ يَأْتِي مِنْ بَعِيدٍ، وَغَالِبًا يَأْتِي رَاكِبًا، أَيْ: يَرْكَبُ مَا يَحْمِلُ عَلَيْهِ السِّلَعَ، فَنَهَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَلَقِّي الرُّكْبَانِ.

“Talaqqi (artinya adalah menyongsong atau mencegat di tengah jalan). Allah Ta’ala berfirman:

*‘Dan malaikat-malaikat akan menyambut mereka (seraya berkata): Inilah harimu yang dahulu dijanjikan kepadamu.’* (QS. Al-Anbiya: 103).

Adapun rukban (رُكْبَانُ) : adalah bentuk jamak dari “رَاكِبٌ” (penunggang / pengendara), dan yang dimaksud di sini adalah ‘al-jalib’ (orang yang membawa barang dagangan), baik ia datang dengan berjalan kaki, ataupun datang dengan menunggang unta atau kuda.

Nama ini (ar-rukban) menjadi sebutan umum untuk setiap orang luar yang membawa barang dagangan ke pasar, karena pada umumnya orang yang membawa barang datang dari tempat jauh (dari pelosok atau pedalaman), dan biasanya ia datang dengan menunggang sesuatu yang membawa barang-barang tersebut. Maka Nabi melarang perbuatan talaqqi ar-rukban (menyongsong orang-orang ini di luar pasar).”

Dalam konteks jual beli, talaqqi rukban merujuk pada tindakan pembelian barang dagangan, agar mendapat harga murah meriah seseorang melakukan pencegatan para pedagang dari kampung, pegunungan atau pedalaman yang membawa barang dagangan, sebelum mereka sampai di pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya di pasar.

Sebab larangan jual beli talaqqi ar-rukban adalah untuk melindungi penjual (pemilik barang) dari kecurangan dan eksploitasi, karena pembeli (pemborong) membeli barang tersebut dengan harga jauh lebih rendah dari nilai sebenarnya, sebab pembeli mengetahui harga di pasar sementara penjual belum mengetahuinya sebelum sampai ke pasar. Hal ini merugikan penjual yang tidak mengetahui harga pasar.

Larangan ini juga mencegah terjadinya penimbunan barang dan monopoli harga pasar, menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan, serta memastikan setiap pihak mendapatkan haknya.

Para ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menyebutnya dengan istilah “talaqqi ar-rukban”, sementara Malikiyyah dan sebagian Hanabilah menamainya dengan تَلَقِّي الْجَلْبِ (talaqqi al-jalb/ pencegatan terhadap para pembawa barang dagangan).

Secara bahasa, الجَلَبُ berarti orang yang membawa (barang), atau bermakna barang yang dibawa. Kata ini merupakan bentuk maf’ul dari fi’il, yakni sesuatu yang dibawa dari satu negeri ke negeri lain (Lihat : Al-Mishbah Al-Munir, karya Al-Fayumi, bab “jalb” 1/104).

Hanafiyyah menyebutnya dengan istilah talaqqi al-jalb (تَلَقِّي الْجَلْبِ) atau talaqqi al-sila’ (تَلَقِّي السِّلَعِ).

[Sumber: Al-Matla’, karya Al-Ba’li 1/134, 281; Mu’jam Al-Musthalahat Al-Maliyah wa Al-Iqtisadiyah, karya Nazih Hammad hal. 150, 166; Mu’jam Al-Musthalahat wa Al-Alfaz Al-Fiqhiyyah, karya Mahmud Abdurrahman 2/177; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Islamiyyah, karya At-Tuwaijri 3/422; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 9/222].

Tidak ada perbedaan apakah mereka datang dengan kendaraan atau tidak, satu orang atau lebih. Hanya saja hadits menyebutkan bentuk yang umum, yaitu para pedagang biasanya datang dalam jumlah banyak dan dalam keadaan berkendara.

(Lihat: Fathul Bari, Ibnu Hajar 4/374; At-Takmilah Ats-Tsaniyah lil Majmu’, Al-Muthi’i 13/24; Subulus Salam, Ash-Shan’ani 3/26; Nailul Authar, Asy-Syaukani 5/198-199).

Hal ini dibuktikan dengan larangan umum dalam beberapa riwayat yang tidak dibatasi pada rukban (rombongan yang berkendara), seperti riwayat:

(نَهَى عَنْ تَلَقِّي الْبُيُوعِ)

“Beliau melarang talaqqi al-buyu’

(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Larangan Talaqqi Ar-Rukban dan bahwa jual belinya batal karena pemiliknya berdosa jika mengetahui, dan hal itu termasuk tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak diperbolehkan, no. 2164; dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Haramnya Talaqqi Al-Jalb, no. 1518).

Juga riwayat:

(لَا تَلَقَّوُا السِّلَعَ)

“Jangan kalian menjemput barang dagangan.”

(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Larangan Talaqqi Ar-Rukban dan bahwa jual belinya batal karena pemiliknya berdosa jika mengetahui, dan hal itu termasuk tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak diperbolehkan, no. 2165; dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Haramnya Talaqqi Al-Jalb, no. 1517).

Dan riwayat:

(نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنِ التَّلَقِّي)

“Nabi melarang talaqqi (pencegatan).”

(Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Haramnya Talaqqi Al-Jalb, no. 1519).

Dan riwayat:

(لَا تَلَقَّوُا الْجَلَبَ)

“Jangan kalian mencegat pengangkut barang dagangan.”

(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Larangan Talaqqi Ar-Rukban dan bahwa jual belinya batal karena pemiliknya berdosa jika mengetahui, dan hal itu termasuk tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak diperbolehkan, no. 2162).

 *****

PERMASALAHAN KEDUA: 
HUKUM TAKLIFI TALAQQI AR-RUKBAN

Telah datang larangan dari Nabi tentang talaqqi ar-rukban dengan berbagai lafaz yang berbeda-beda .(Al-Istidzkar, oleh Ibnu Abdil Barr 21/69).

An-Nawawi berkata:

"إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى السِّلَعُ حَتَّى تَبْلُغَ الأَسْوَاقَ"

وَفِي رِوَايَةٍ "نَهَى عَنِ التَّلَقِّي"

وَفِي رِوَايَةٍ "نَهَى عَنْ تَلَقِّي الْبُيُوعِ"

وَفِي رِوَايَةٍ "أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلْبُ"

وَفِي رِوَايَةٍ "لَا تَلَقَّوُا الْجَلْبَ فَمَنْ تَلَقَّى فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ"

وَفِي رِوَايَةٍ "نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى الرُّكْبَانُ"

“Sesungguhnya Rasulullah melarang menjemput barang dagangan sebelum sampai di pasar.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “Beliau melarang talaqqi.”

Dalam riwayat lain: “Beliau melarang talaqqi al-buyu’ (menjemput barang dagangan).”

Dalam riwayat lain: “Agar tidak mencegat al-jalb (barang bawaan).”

Dalam riwayat lain: “Jangan kalian mencegat pembawa barang, barang siapa mencegat-nya lalu membelinya, maka ketika pemiliknya tiba di pasar, dia berhak memilih (melanjutkan atau membatalkan jual beli tersebut).”

Dalam riwayat lain: “Beliau melarang mencegat ar-rukban (rombongan pedagang).” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 10/162).

Para imam empat madzhab sepakat bahwa talaqqi ar-rukban adalah perbuatan yang makruh dan dilarang. Ibnu Hubairah menukil ijma’ dengan mengatakan:

"وَاتَّفَقُوا عَلَى كَرَاهَةِ تَلَقِّي الرُّكْبَانِ"

“Mereka sepakat atas kemakruhan talaqqi ar-rukban.” (Lihat : Ikhtilaf Al-Aimmah Al-Ulama, Ibnu Hubairah 1/397).

Namun mereka berbeda pendapat apakah kemakruhan dan larangan ini menunjukkan pengharaman atau sekadar tanzih (makruh saja).

Pendapat pertama: Larangan ini menunjukkan pengharaman.

Ini adalah pendapat jumhur dari kalangan Malikiyyah. Dan merupakan pendapat Syafi’iyyah. Dan juga pendapat yang masyhur dari kalangan Hanabilah.

(Lihat raferesni Malikiyyah : Al-Muntaqa, Al-Baji 5/101; Bidayah Al-Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/271; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzzi hal. 171; Al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr 21/70-74; Tabsirat Al-Hukkam, Ibnu Farhun 2/200; Manh Al-Jalil, Alisy 5/63; As-hal Al-Madarik, Abu Bakar Al-Kisnawi hal. 191; At-Tafri’, Ibnu Al-Jallab 2/110; At-Talqin, Qadhi Abdul Wahhab 2/152; Al-Kafi, Ibnu Abdil Barr 1/367; ‘Aqd Al-Jawahir Ats-Tsamina, Ibnu Syas 2/343; Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Asy-Syarh Ash-Shaghir 3/109; Irsyad As-Salik, Abdurrahman Al-Baghdadi hal. 78; Mawahib Al-Jalil, Al-Hattab 4/379; Hasyiyah Ad-Dasuqi 3/70).

(Lihat referensi Sayfi’iyyh : Raudhat Ath-Thalibin, An-Nawawi 3/415; Al-Bayan, Al-‘Imrani 5/352; Al-Muhadzdzab, Asy-Syirazi 2/63; Al-Hawi Al-Kabir, Al-Mawardi 5/286, 5/348; At-Tanbih, Asy-Syirazi hal. 96; Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 10/163; Mughni Al-Muhtaj, Asy-Syarbini 2/36; Nihayah Al-Muhtaj, Ar-Ramli 3/466; Fath Al-Bari, Ibnu Hajar 2/374; Nail Al-Awthar, Asy-Syaukani 5/198-199; Takmilah Al-Majmu’ Ats-Tsaniyah 13/23).

(Lihat referensi Hanbilah : Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312; Al-Kafi, Ibnu Qudamah 2/15; Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah 29/74; Al-Insaf, Al-Mardawi 4/398; Syarh Mukhtashar Al-Khiraqi, Az-Zarkasyi 3/650; Kasyaf Al-Qina’, Al-Buhuti 3/211).

Dan Ini juga merupakan pendapat Umar bin Abdul Aziz. (Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312).

Dan jug pendapat Al-Laits. (Lihat: Mukhtashar Ikhtilaf Al-Ulama, Ath-Thahawi 3/63-64; Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312; Al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr 21/72).

Pendapat ini juga dipegang oleh Al-Auza’i. Ketika dia ditanya tentang ar-rukban yang datang membawa barang dagangan, apakah boleh seseorang membelinya? Ia menjawab: “Tidak, sampai penduduk kota mendengarnya.”

Imam Ahmad berkata: “Maksudnya adalah jangan menjemput barang dagangan. Jika sudah sampai pasar, silakan siapa pun membeli.” (Baca :Masa’il Al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih, Al-Kausaj 6/3056).

Al-Auza’i juga berkata: “Jika masyarakat tidak kekurangan (barang), maka tidak mengapa. Namun jika mereka membutuhkannya, maka jangan mendekatinya sampai barang itu sampai di pasar.”

(Baca : Mukhtashar Ikhtilaf Al-Ulama, Ath-Thahawi 3/63-64; Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312; Al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr 21/74; Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 10/163; Subul As-Salam, Ash-Shan’ani 3/27).

Demikian juga pendapat Ishaq bin Rahawiyah. (Lihat: Masa’il Al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih, Al-Kausaj 6/3057; Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312).

Ini juga pendapat Zhahiriyyah. (Lihat: Al-Muhalla, Ibnu Hazm 8/449, masalah no. 1468),

Dan ini adalah yang dipilih oleh Al-Bukhari dari kalangan para ahli hadis. (Lihat: Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Buyu’, Bab Larangan Talaqqi Ar-Rukban dan bahwa jual belinya batal karena pemiliknya berdosa jika mengetahui, dan itu merupakan tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak diperbolehkan, 3/72).

Juga difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah di Kerajaan Arab Saudi. (Lihat: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, jilid pertama 13/121, pertanyaan ketiga dari fatwa no. 14409).

Dan sebagian peneliti dari kalangan para ulama kontemporer

(Lihat: Tahdid Arbah At-Tujjar, Hamdati, makalah yang diterbitkan dalam Majalah Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, daurah kelima 4/2833-2874; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Muhammad At-Tuwijri 3/422).

===

DALIL-DALIL YANG MEREKA GUNAKAN:

Dalil pertama: hadits Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنْ تَلَقِّي الْبُيُوعِ

"Nabi melarang dari talaqqi al-buyu‘ (mencegat jual beli)."

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat para ar-rukban, dan bahwa jual belinya batal karena pelakunya berdosa jika mengetahui, karena itu termasuk penipuan dalam jual beli, dan penipuan tidak diperbolehkan, no. 2164. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat barang dagangan, no. 1518).

Dalil kedua: hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah bersabda:

لا تَلَقَّوُا الْجَلَبَ، فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ

"Janganlah kalian mencegat (para pedagang yang membawa) barang dagangan. Siapa yang mencegatnya lalu membelinya, maka ketika pemilik barang itu sampai di pasar, ia berhak memilih (apakah melanjutkan jual beli atau membatalkannya)."

(Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat barang dagangan, no. 1519).

Dalil ketiga: hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata:

نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنِ التَّلَقِّي، وَأَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ

"Nabi melarang (praktik) mencegat (para pedagang), dan melarang orang kota menjualkan untuk orang desa (kampung)."

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat para ar-rukban dan bahwa jual belinya batal karena pelakunya berdosa jika mengetahui, karena itu termasuk penipuan dalam jual beli, dan penipuan tidak diperbolehkan, no. 2162).

Dalil keempat: hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah bersabda:

لا تَلَقَّوُا السِّلَعَ حَتَّى يَهْبِطَ بِهَا إِلَى السُّوقِ

"Janganlah kalian mencegat barang dagangan, hingga sampai turun ke pasar."

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat para ar-rukban dan bahwa jual belinya batal karena pelakunya berdosa jika mengetahui, karena itu termasuk penipuan dalam jual beli, dan penipuan tidak diperbolehkan, no. 2165. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat barang dagangan, no. 1517).

Dalil kelima: hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah bersabda:

لا تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ

"Janganlah kalian mencegat para pengendara yang bawa barang dagangan."

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Apakah orang kota boleh menjual untuk orang desa tanpa upah, dan apakah boleh membantunya atau menasihatinya, no. 2158. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan orang kota menjual untuk orang desa, no. 1521).

Dan hadits ini juga datang dengan lafaz yang sama dari Abu Hurairah.

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan penjual untuk tidak memanipulasi unta, sapi, kambing, dan semua hewan yang susunya ditahan, no. 2150).

Ibnu Hazm berkata:

هَذَا نَقْلُ تَوَاتُرٍ، رَوَاهُ خَمْسَةٌ مِنْ الصَّحَابَةِ، وَرَوَاهُ عَنْهُمْ النَّاسُ - وَبِهَذَا قَالَ السَّلَفُ -:

رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ أَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَيُّوبَ السِّخْتِيَانِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ نَهَى عَنْ تَلَقِّي الْجَلَبِ ‌فَمَنْ ‌تَلَقَّى ‌جَلَبًا ‌فَاشْتَرَى ‌مِنْهُ ‌فَالْبَائِعُ ‌بِالْخِيَارِ إذَا وَقَعَ السُّوقَ –

وَهَذَا نَصُّ قَوْلِنَا، وَلَا يُعْرَفُ لَهُ مِنْ الصَّحَابَةِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ - مُخَالِفٌ، لَا سِيَّمَا هَذِهِ الطَّرِيقُ الَّتِي كَأَنَّهَا الشَّمْسُ

Ini adalah riwayat yang mutawatir, diriwayatkan oleh lima orang sahabat, dan diriwayatkan pula dari mereka oleh banyak orang – dan dengan ini para salaf berkata –:

Diriwayatkan kepada kami melalui jalur Abdurrazzaq, dari Ma‘mar, dari Ayyub As-Sakhtiyani, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah:

“Beliau melarang talaqqi al-jalab (mencegat barang dagangan), maka barang siapa yang mencegat jalab lalu membeli darinya, maka penjual berhak memilih (melanjutkan atau membatalkan) apabila telah sampai di pasar.”

Dan ini adalah nash dari pendapat kami, dan tidak diketahui adanya sahabat – semoga Allah meridhai mereka – yang menentangnya, terlebih lagi melalui jalur ini yang sejelas matahari.

(Al-Muhalla, Ibnu Hazm, 8/449–450).

Pendapat kedua: larangan tersebut bermakna “makruh”, bukan haram.

Ini adalah pendapat Hanafiyah.

[Lihat: Syarh Ma‘ani al-Atsar, ath-Thahawi (8/4), Mukhtashar Ikhtilaf al-‘Ulama, Abu Ja‘far ath-Thahawi (3/63), al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, al-Babarti (10/58), al-Binayah Syarh al-Hidayah, al-‘Ayni al-Hanafi (2/2), al-Ikhtiyar li Ta‘lil al-Mukhtar (2/210), Fath Bab al-‘Inayah, Abu al-Fadl al-Hanafi (27/2), Bada’i‘ ash-Shana’i‘, al-Kasani (5/232), ‘Umdat ar-Ri‘ayah bi Hasyiyat Syarh al-Wiqayah, al-Laknawi (6/526), Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (5/102), Fath al-Qadir, Ibnu al-Humam (6/477).]

Dan ini adalah salah satu riwayat dalam madzhab Malikiyah.

[Baca : as-Syamil fi al-Fiqh, ad-Damiri (2/554).]

Serta ini adalah pendapat yang lemah dalam madzhab Hanabilah.

[Baca : Al-Insaf, al-Mardawi (4/398), Kasyaf al-Qina‘, al-Buhuti (3/211).]

Dan ini adalah yang difatwakan oleh Otoritas Umum Urusan Islam dan Wakaf di Uni Emirat Arab [ٱلْهَيْئَةُ ٱلْعَامَّةُ لِلشُّؤُونِ ٱلْإِسْلَامِيَّةِ وَٱلْأَوْقَافِ فِي ٱلْإِمَارَاتِ].

Teks fatwa:

إِنَّ ٱلتَّلَقِّي لِلسِّلَعِ مَنْهِيٌّ عَنْهُ شَرْعًا، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ إِضْرَارٌ بِٱلنَّاسِ فَلَا بَأْسَ فِيهِ، وَٱلْأُولَى تَحَاشِيهِ خُرُوجًا مِّنَ ٱلْخِلَافِ وَٱحْتِيَاطًا فِي ٱلدِّينِ.

“Sesungguhnya talaqqi as-sila‘ (mencegat barang dagangan) dilarang secara syar‘i, dan jika tidak menimbulkan mudarat kepada manusia, maka tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih utama adalah menghindarinya untuk keluar dari perbedaan pendapat dan sebagai bentuk kehati-hatian dalam agama.”

[Fatwa Otoritas Umum Urusan Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab – Nomor fatwa (6016) tahun 2009, situs resmi otoritas tersebut].

Al-Kasani al-Hanafi berkata:

وَهٰذَا ٱلشِّرَاءُ مَكْرُوهٌ لِمَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ ٱللَّهِ - صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ قَالَ: «لَا تَتَلَقَّوُا ٱلسِّلَعَ حَتَّى تُبْسَطَ ٱلْأَسْوَاقُ»، وَهٰذَا إِذَا كَانَ يَضُرُّ بِأَهْلِ ٱلْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ أَهْلُهُ فِي جَدْبٍ وَقَحْطٍ، فَإِنْ كَانَ لَا يَضُرُّهُمْ فَلَا بَأْسَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: تَفْسِيرُهُ هُوَ أَنْ يَتَلَقَّاهُمْ فَيَشْتَرِيَ مِنْهُمْ بِأَرْخَصَ مِنْ سِعْرِ ٱلْبَلَدِ وَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ سِعْرَ ٱلْبَلَدِ، وَهٰذَا أَيْضًا مَكْرُوهٌ سَوَاءٌ تَضَرَّرَ بِهِ أَهْلُ ٱلْبَلَدِ أَمْ لَا؛ لِأَنَّهُ غَرَّهُمْ، وَٱلشِّرَاءُ جَائِزٌ فِي ٱلصُّورَتَيْنِ جَمِيعًا؛ لِأَنَّ ٱلْبَيْعَ مَشْرُوعٌ فِي ذَاتِهِ وَٱلنَّهْيُ فِي غَيْرِهِ، وَهُوَ ٱلإِضْرَارُ بِٱلْعَامَّةِ عَلَى ٱلتَّفْسِيرِ ٱلْأَوَّلِ وَتَغْرِيرُ أَصْحَابِ ٱلسِّلَعِ عَلَى ٱلتَّفْسِيرِ ٱلثَّانِي.

“Jual beli ini hukumnya makruh karena diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: (Janganlah kalian mencegat barang dagangan sampai barang itu sampai di pasar). Hal ini jika membahayakan penduduk kota, misalnya ketika mereka sedang dalam keadaan sulit dan paceklik. Namun jika tidak membahayakan mereka, maka tidak mengapa.

Sebagian ulama mengatakan: tafsirnya adalah mencegat mereka dan membeli dari mereka dengan harga yang lebih murah daripada harga di kota sedangkan mereka tidak mengetahui harga di kota.

Hal ini pun makruh, baik merugikan penduduk kota atau tidak, karena telah menipu mereka.

Akan tetapi jual beli ini sah dalam kedua kondisi tersebut, karena jual beli itu sendiri disyariatkan, sedangkan larangan terkait hal lain, yaitu merugikan masyarakat secara umum menurut tafsir pertama, dan menipu pemilik barang menurut tafsir kedua.” [Lihat : Bada’i‘ ash-Shana’i‘, al-Kasani (5/232)]

Bahram ad-Dumairi al-Maliki berkata:

وَقِيلَ: يُكْرَهُ

“Ada yang berpendapat makruh.” [Lihat : as-Syamil fi al-Fiqh, oleh ad-Dumairi (2/554)]

Al-Mardawi al-Hanbali berkata:

قَالَ فِي ٱلرِّعَايَةِ ٱلْكُبْرَى: يُكْرَهُ تَلَقِّي ٱلرُّكْبَانِ.

“Dalam kitab ar-Ri‘ayah al-Kubra disebutkan: makruh mencegat rombongan dagang (rukban).” [Baca : al-Inshaf, al-Mardawi (4/398), Kasyaf al-Qina‘, al-Buhuti (3/211).]

MEREKA BERDALIL DENGAN DALIL SBB :

Dalil pertama: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

«أَنَّهُمْ كَانُوا يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ‌فَيَبْعَثُ ‌عَلَيْهِمْ ‌مَنْ ‌يَمْنَعُهُمْ ‌أَنْ ‌يَبِيعُوهُ حَيْثُ اشْتَرَوْهُ، حَتَّى يَنْقُلُوهُ حَيْثُ يُبَاعُ الطَّعَامُ»

“Mereka membeli makanan dari rombongan pengendara (para pedagang yang datang dari pelosok) pada masa Nabi , lalu Nabi mengutus seseorang untuk melarang mereka menjualnya di tempat mereka membelinya, sampai mereka memindahkannya ke tempat makanan biasa dijual.”

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Apa yang disebutkan tentang pasar, no. 2123, dan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Batalnya jual beli sebelum diterima, no. 1527).

Dalil kedua: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

«كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ، ‌فَنَشْتَرِي ‌مِنْهُمُ ‌الطَّعَامَ ‌فَنَهَانَا ‌النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ»

“Kami dulu keluar menyongsong ar-rukban, lalu membeli makanan dari mereka. Maka Nabi melarang kami menjualnya sampai makanan itu sampai di pasar makanan.”

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Batas akhir menyongsong, no. 2166).

Dalil ketiga: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

«‌كَانُوا ‌يَبْتَاعُونَ ‌الطَّعَامَ ‌فِي ‌أَعْلَى ‌السُّوقِ، فَيَبِيعُونَهُ فِي مَكَانِهِ، فَنَهَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِ حَتَّى يَنْقُلُوهُ»

“Mereka biasa membeli makanan di bagian pasar paling atas, lalu menjualnya di tempat itu juga. Maka Rasulullah melarang mereka menjualnya di tempat itu sampai mereka memindahkannya.”

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Batas akhir menyongsong, no. 2167).

Dalil keempat: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

‌«كُنَّا ‌نَشْتَرِي ‌الطَّعَامَ ‌مِنَ ‌الرُّكْبَانِ ‌جُزَافًا، فَنَهَانَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ».

“Kami biasa membeli makanan dari rombongan pengendara dagangan secara borongan, maka Rasulullah melarang kami menjualnya sampai kami memindahkannya dari tempat semula”.

(Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Batalnya jual beli sebelum diterima, no. 1527).

Hadis-hadis ini menunjukkan bolehnya menyongsong rombongan pengendara dagangan (talaqqi ar-rukban), karena kalau hal itu tidak boleh, tentu Abdullah bin Umar dan para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum tidak akan melakukannya.

Dan seandainya hal itu haram, Rasulullah pasti akan melarang mereka secara mutlak, bukan hanya dalam kondisi tertentu. Maka dengan menggabungkan antara hadis-hadis larangan talaqqi ar-rukban dan perbuatan para sahabat serta persetujuan Nabi terhadap mereka, larangan tersebut dipahami sebagai makruh, dan larangan tersebut dialihkan dari pengharaman kepada kemakruhan.

----

BANTAHAN:

Bantahan Pertama:

Riwayat-riwayat ini disebutkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta selain keduanya dengan lafaz:

«‌كَانُوا ‌يَبْتَاعُونَ ‌الطَّعَامَ ‌فِي ‌أَعْلَى ‌السُّوقِ، فَيَبِيعُونَهُ فِي مَكَانِهِ، فَنَهَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِ حَتَّى يَنْقُلُوهُ»

“Dahulu mereka membeli makanan di bagian pasar paling atas, lalu menjualnya di tempat itu, maka Rasulullah melarang mereka menjualnya di tempat itu hingga mereka memindahkannya.”

[Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab: Min Tahiyat al-Talaqqi, no. (2167)]

Dalam riwayat lain:

«أَنَّهُمْ كَانُوا يُضْرَبُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌إِذَا ‌اشْتَرَوْا ‌طَعَامًا ‌جِزَافًا، ‌أَنْ ‌يَبِيعُوهُ ‌فِي ‌مَكَانِهِمْ، حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِهِمْ»

“Bahwa mereka dulu diberi sanksi pada masa Rasulullah jika mereka membeli makanan secara borongan (jazafan), agar tidak menjualnya di tempat mereka membelinya sampai mereka membawanya ke tempat tinggal mereka.”

[Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Hudud, Bab: Kam al-Ta’zir wa al-Adab, no. (6852)]

Dan riwayat:

«‌كُنَّا ‌نَشْتَرِي ‌الطَّعَامَ ‌مِنَ ‌الرُّكْبَانِ ‌جِزَافًا، ‌فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ»

“Kami membeli makanan dari orang-orang yang datang (rukban) secara borongan, lalu Rasulullah melarang kami menjualnya hingga kami memindahkannya dari tempatnya.”

[Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab: Butlan Bay’ al-Mabi’ Qabla al-Qabd, no. (1527)]

Ini menunjukkan bahwa jual beli itu terjadi di pasar, hanya saja berada di bagian atasnya, dan terjadi pada makanan yang dibeli secara borongan (jizafan), lalu para pembeli dilarang melakukannya. [Baca : Al-Muhalla, Ibnu Hazm (8/452)]

Makna al-Jizaaf atau al-Juzaaf atau al-Jazaaf (الجُزَافُ):

Dengan kasrah, dhammah, atau fathah pada huruf jim; yaitu menjual sesuatu tanpa takaran atau timbangan.

Kata ini berasal dari bahasa Persia atau sudah diserap ke dalam bahasa Arab. Maksudnya, menjual sesuatu yang tidak diketahui ukurannya secara rinci, hanya dengan perkiraan dan taksiran.

Misalnya menjual setumpuk gandum dengan harga tertentu tanpa mengetahui takarannya, atau dengan ukuran kebiasaan lainnya seperti ukuran panjang atau hitungan.

(Lihat: *Mu’jam al-Mustalahat al-Maliyah wa al-Iqtisadiyah* oleh Nazih Hammad hlm. 163, *Tahrir Alfazh al-Tanbih* oleh an-Nawawi hlm. 193, *al-Mutali’* oleh al-Ba’li hlm. 287, *al-Misbah al-Munir* oleh al-Fayumi 1/99, *Anis al-Fuqaha* hlm. 73, *al-Tawqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif* hlm. 125, *al-Qamus al-Fiqhi* hlm. 62, *Mu’jam Lughat al-Fuqaha* hlm. 163, dan *Mu’jam al-Mustalahat wa al-Alfaz al-Fiqhiyyah* 1/406).

Al-Bukhari berkata:

«‌هَذَا ‌فِي ‌أَعْلَى ‌السُّوقِ، ‌يُبَيِّنُهُ ‌حَدِيثُ ‌عُبَيْدِ ‌اللَّهِ»

Ini terjadi di bagian atas pasar, dan hal ini dijelaskan oleh hadits Ubaydullah.”

[Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab: Min Tahiyat al-Talaqqi, no. (2166), dan dalam *al-Muhalla* karya Ibnu Hazm (8/451)].

Bantahan Kedua:

Riwayat-riwayat ini sejalan dengan pendapat kami tentang larangan talaqqi rukban, karena makna :“Rasulullah melarang menjualnya sampai mereka membawanya ke pasar makanan”, adalah larangan bagi penjual untuk menjualnya dan bagi pembeli untuk membelinya hingga barang tersebut sampai di pasar.

Dan dalam bahasa Arab yang masyhur dan tidak diingkari, kata *bi’tu (بِعْتُ)* juga bisa bermakna *isytaraitu/ اشْتَرَيْتُ* (saya membeli).

Bantahan Ketiga:

Riwayat-riwayat ini digabungkan dengan riwayat-riwayat larangan, sehingga para penjual diberi pilihan untuk melanjutkan jual belinya, kemudian pembeli diperintahkan untuk memindahkannya ke pasar. Dengan demikian, semua riwayat dapat dikompromikan dan tidak saling bertentangan.

Bantahan Keempat:

Orang-orang yang menjadikan riwayat-riwayat ini sebagai hujah adalah mereka yang berpendapat bahwa jika seorang sahabat meriwayatkan hadits dari Nabi lalu menyelisihinya atau menafsirkannya dengan tafsiran tertentu, maka ia lebih mengetahui maksud hadits tersebut, dan pendapatnya menjadi hujah dalam menolak pemahaman yang keliru terhadap hadis.

Abdullah bin Umar r.a., yang meriwayatkan hadits ini, telah tetap darinya fatwa untuk meninggalkan talaqqi.

[Diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dalam *al-Muhalla*, dia berkata :

وَمِنْ طَرِيقِ ابْنِ أَبِي شَيْبَةَ أَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الرَّازِيّ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: «أَنْ ‌لَا ‌تَلَقُّوا ‌الْبُيُوعَ ‌بِأَفْوَاهِ ‌السِّكَكِ»

Dan melalui jalur Ibnu Abi Syaibah, dari Ibnu al-Mubarak, dari Abu Ja'far ar-Razi, dari Laits, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, ia berkata: "Janganlah kalian menyongsong (mencegat) untuk jual beli barang dagangan di lorong-lorong jalan.” [al-Muhalla*, oleh Ibnu Hazm (8/450-451). Lihat Mushnonnaf Ibnu Abi Syaibah 4/397 no. 21441].

Bantahan Kelima:

Jika pun kita katakan secara permisif (تَنَازُلاً) bahwa dalam hadis-hadis ini terdapat teks yang membolehkan talaqqi rukban, maka larangan yang datang kemudian bersifat nasakh (menghapus hukum sebelumnya), karena talaqqi dulu dibolehkan sebelum datangnya larangan, kemudian kebolehan itu dibatalkan. [*al-Muhalla*, Ibnu Hazm (8/452)].

Bantahan Keenam:

Riwayat-riwayat ini jika digabungkan dengan hadits larangan, maka para penjual diberi pilihan untuk melanjutkan jual beli, lalu pembeli diperintahkan memindahkan barang ke pasar, sehingga semuanya selaras dan tidak saling bertentangan. [*al-Muhalla*, Ibnu Hazm (8/452)].

Bantahan Ketujuh:

Larangan talaqqi adalah karena adanya bahaya (kerugian) bagi orang-orang yang tidak ikut talaqqi dan bagi mereka yang menetap di pasar. Adapun talaqqi yang dibolehkan adalah yang tidak mengandung bahaya bagi mereka. [*Syarh Ma’ani al-Atsar*, al-Tahawi (4/8)].

Wallahu a’lam bish Showaab. 

 ****

PERMASALAHAN KETIGA: 
STATUS HUKUM WADH'I TERHADAP JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN.

(الحُكْمُ الوَضْعِي)

Jika kita berpendapat bahwa orang yang melakukan talaqqi terhadap rombongan pengendara dagang itu berdosa karena melakukan sesuatu yang dilarang syariat, maka apakah jual beli yang terjadi antara pelaku talaqqi dengan ar-rukban dalam bentuk yang disebutkan itu sah atau tidak?

Ibnu Rusyd berkata:

بَيْعُ التَّلَقِّي وَبَيْعُ التَّفْرِقَةِ، وَمَا أَشْبَهَ هَذَا مِنَ الْبُيُوعِ، فَيَخْتَلِفُ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيهَا إِذَا وَقَعَتْ عَلَى قَوْلَيْنِ، فَمَنْ رَأَى أَنَّ النَّهْيَ لَا يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ، لَمْ يُفْسِخْهَا وَإِنْ كَانَتِ السِّلْعَةُ قَائِمَةً لَمْ تَفُتْ، وَمَنْ رَأَى أَنَّ النَّهْيَ يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ، فَسَخَهَا إِنْ كَانَتْ قَائِمَةً أَوْ فَائِتَةً، ... وَفِي هَذَا النَّوْعِ مِنَ الْبُيُوعِ قَوْلٌ ثَالِثٌ، أَنْ تُفْسَخَ مَا كَانَتِ السِّلْعَةُ قَائِمَةً، ... وَهُوَ قَوْلٌ بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ لَا يَجْرِي عَلَى قِيَاسٍ.

“Jual beli talaqqi dan jual beli tafarriqah, serta yang semisal dengan jenis jual beli ini, para ulama berbeda pendapat tentangnya jika telah terjadi menjadi dua pendapat:

Barang siapa yang berpendapat bahwa larangan tidak mengakibatkan batalnya objek yang dilarang, maka ia tidak membatalkannya, meskipun barangnya masih ada dan belum rusak.

Barang siapa yang berpendapat bahwa larangan mengakibatkan batalnya objek yang dilarang, maka ia membatalkannya baik barangnya masih ada maupun sudah rusak.

…Dalam jenis jual beli ini terdapat pendapat ketiga, yaitu membatalkannya selama barangnya masih ada, dan ini adalah pendapat di antara dua pendapat yang tidak berjalan di atas qiyas.”

(al-Muqaddimāt al-Mumahhidāt, Ibnu Rusyd, 2/64).

Jual beli tafriqah (بَيْعُ التَّفْرِقَةِ) atau jual beli tashriyah (بَيْعُ التَّصْرِيَّة) adalah : menjual barang kepada seseorang yang membelinya untuk dijual kembali, kemudian mengembalikannya kepada penjual jika tidak laku dalam jangka waktu tertentu. Jenis jual beli ini memiliki hukum-hukum yang berkaitan dengan keuntungan dan kerugian.

Tampak dari perkataan Ibnu Rusyd diatasa bahwa para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat:

===

Pendapat pertama: Jual beli tersebut sah.

Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah.

[Lihat: Syarh Ma‘ani al-Atsar, ath-Thahawi (4/9), al-Binayah Syarh al-Hidayah, al-‘Aini (8/214), al-Ikhtiyar li Ta‘lil al-Mukhtar, Abu al-Fadhl al-Hanafi (2/27), Fath al-Qadir, Ibnu al-Hammam (6/477), al-Lubab, al-Ghunaymi (2/30), Bada’i‘ ash-Shana’i‘, al-Kasani (5/232), al-Hidayah, al-Marghinani (3/53)].

Dan ini juga pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah

[Lihat: Manh al-Jalil, ‘Alysy (5/63), at-Talqin fi al-Fiqh al-Maliki, al-Qadhi ‘Abd al-Wahhab (2/152), asy-Syamil fi al-Fiqh, ad-Damiri (2/554), Mawahib al-Jalil, al-Hattab (4/379), asy-Syarh ash-Shaghir, ad-Dardir (3/63), Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir (3/70), Tabsirah al-Hukkam fi Ushul al-Aqdhiya wa Manahij al-Ahkam, Ibnu Farhun (2/200), al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzai (hal. 285), Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd (2/188-189), al-Muntaqa, al-Baji (5/101), Hasyiyah ash-Shawi ‘ala asy-Syarh ash-Shaghir (3/108), at-Tafri’, Ibnu al-Jallab (2/110), an-Nawadir wa az-Ziyadat, Ibnu Abi Zaid al-Qayrawani (4/1388), ‘Aqd al-Jawahir ats-Tsamina, Ibnu Syas (2/343-344)].

Dan pendapat masyhur di kalangan Syafi‘iyah

[Lihat: al-Umm, asy-Syafi‘i (3/93), al-Muhadzdzab, asy-Syirazi (2/63), al-Bayan, al-‘Imrani (5/353), Mughni al-Muhtaj, asy-Syarbini (2/36), Raudhat ath-Thalibin, an-Nawawi (3/413), Nihayat al-Muhtaj, ar-Ramli (3/466), Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah (2/183), Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi (10/163), at-Takmilah ats-Tsaniyah lil Majmu‘, al-Muthi‘i (13/23)].

Dan pendapat masyhur di kalangan Hanabilah

[Lihat: Ikhtilaf al-A’immah al-‘Ulama, Ibnu Hubairah (1/398), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/312), al-Hidayah ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad, al-Khalwadani (hal. 233), al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, Diya’ ad-Din al-Maqdisi (1/207), al-Inshaf, al-Mardawi (4/394), Kasysyaf al-Qina‘, al-Bahuti (3/211-213), al-Mumti‘ fi Syarh al-Muqni‘, at-Tanukhi (hal. 455-456), Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi‘, Ibnu Qasim (4/434)].

Dan juga pendapat Ibnu Hazm adz-Dzohiri. [al-Muhalla, Ibnu Hazm (9/469)].

MEREKA BERDALIL DENGAN DALIL-DALIL BERIKUT INI :

Dalil pertama: Kaidah :

النَّهْيُ رَاجِعٌ لِأَمْرٍ خَارِجٍ عَنِ الْمَبِيعِ لَا لِعَيْنِ الْبَيْعِ وَلَا لِوَصْفِهِ

Larangan itu kembali kepada sesuatu yang berada di luar objek jual beli, bukan pada inti akad atau sifatnya.

Kaedah ini telah ditegaskan oleh para pengikut madzhab yang empat, dan mereka menjadikannya sebagai dalil atas sahnya jual beli talaqqi ar-rukban, bahwa akad tersebut adalah sah. Berikut sebagian pendapat madzhab dalam penerapan kaedah ini terhadap talaqqi ar-rukban:

Madzhab Hanafiyah:

وَلَا يُفْسِدُ بِهِ الْبَيْعُ لِأَنَّ الْفَسَادَ فِي مَعْنًى خَارِجٍ زَائِدٍ، لَا فِي صُلْبِ الْعَقْدِ وَلَا فِي شَرَائِطِ الصِّحَّةِ.

“Jual beli itu tidak rusak karenanya, karena kerusakan (fasad) itu terkait makna tambahan yang berada di luar, bukan pada inti akad dan bukan pula pada syarat-syarat sahnya.” [Lihat: Fath al-Qadir, Ibnu al-Hammam (6/478).]

Madzhab Malikiyah:

اَلْبَيْعُ صَحِيْحٌ لِأَنَّ النَّهْيَ لَا لِمَعْنًى فِي الْبَيْعِ، بَلْ يَعُوْدُ إِلَى ضَرْبٍ مِنَ الْخِدَاعَةِ، يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهَا بِإِثْبَاتِ الْخِيَارِ، فَأَشْبَهَ بَيْعَ الْمُصَرَّاةِ، وَفَارَقَ بَيْعَ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي، فَإِنَّهُ لَا يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهُ بِالْخِيَارِ، إِذْ لَيْسَ الضَّرَرُ عَلَيْهِ، إِنَّمَا هُوَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ.

“Jual beli itu sah karena larangan tersebut bukan karena makna dalam jual beli, melainkan kembali kepada bentuk tipu daya yang dapat diperbaiki dengan menetapkan hak khiyar, sehingga menyerupai jual beli mushorroh, dan berbeda dengan jual beli orang kota untuk orang desa (hadhir lil-badi), karena hal itu tidak bisa diperbaiki dengan khiyar, sebab mudharatnya bukan kepada penjual, tetapi kepada kaum muslimin.” [Lihat: al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (9/223).]

Madzhab Syafi‘iyah:

الْبُيُوعُ الْمَنْهِيُّ عَنْهَا وَهِيَ الَّتِي يَكُونُ النَّهْيُ فِيهَا لِأَمْرٍ خَارِجٍ عَنِ الْمَبِيعِ قَالَ: فَجَمِيعُ مَا فِيهِ مِنَ الصُّوَرِ يَصِحُّ فِيهَا الْبَيْعُ وَيَحْرُمُ.

“Jual beli yang dilarang adalah yang larangannya karena perkara di luar barang dagangan. Ia berkata: Maka seluruh bentuk yang demikian, jual belinya sah tetapi hukumnya haram.” [Mughni al-Muhtaj, al-Syarbini (2/36).]

Madzhab Hanabilah:

لِأَنَّ النَّهْيَ لَا لِمَعْنًى فِي الْبَيْعِ، بَلْ يَعُوْدُ إِلَى ضَرْبٍ مِنَ الْخِدَاعَةِ يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهَا بِإِثْبَاتِ الْخِيَارِ، فَأَشْبَهَ بَيْعَ الْمُصَرَّاةِ.

“Karena larangan tersebut bukan karena makna dalam jual beli, melainkan kembali kepada bentuk tipu daya yang bisa diperbaiki dengan menetapkan hak khiyar, sehingga menyerupai jual beli mushorroh.”

[Lihat: al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/312), al-Mumti‘ fi Syarh al-Muqni‘, al-Tanukhi (hlm. 455-456), Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, al-Zarkasyi (3/647), dan Syarh Muntaha al-Iradat, al-Buhuti (2/41).]

[Jual beli mushorroh (بَيْعَ الْمُصَرَّاةِ) : adalah menjual hewan (seperti kambing atau unta) yang susunya ditahan (diikat) di ambingnya sampai waktu penjualan, dengan tujuan menipu pembeli agar mengira hewan tersebut memiliki banyak susu sehingga menaikkan harganya. Syariat melarang jual beli musarrāh karena mengandung unsur penipuan dan kecurangan, serta memberikan hak khiyar kepada pembeli untuk mengembalikan hewan tersebut dengan disertai satu ṣā kurma atau menahannya, setelah memerahnya untuk mengetahui jumlah susu yang sebenarnya]

Dalil kedua: Khiyar (hak memilih) tidak ada kecuali dalam akad yang sah, dan sungguh telah ditetapkan adanya hak khiyar dalam jual beli talaqqi ar-rukban, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah bersabda:

«لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، ‌فَمَنْ ‌تَلَقَّاهُ ‌فَاشْتَرَى ‌مِنْهُ، ‌فَإِذَا ‌أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ»

“Janganlah kalian menyongsong barang dagangan, barangsiapa yang menyongsong lalu membeli darinya, maka ketika pemiliknya sampai di pasar, ia memiliki hak khiyar.”

[Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Kitab al-Buyu‘, Bab: Larangan Menyongsong Barang Dagangan, no. 1519]

Hadis ini menetapkan adanya hak khiyar bagi penjual, sedangkan khiyar tidak ada kecuali dalam jual beli yang sah, maka ini menunjukkan sahnya jual beli tersebut.

[Lihat: al-Muhalla, Ibnu Hazm (9/471), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/312), Nail al-Awthar, al-Syaukani (5/198-199).]

----

Pendapat kedua: batal dan tidak sahnya akad jual beli

Ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Malik.

[Lihat: al-Muntaqa karya al-Baji (5/101), Mawahib al-Jalil karya al-Hattab (4/379), al-Istidhkar karya Ibnu Abd al-Barr (21/72-74), Tabsirat al-Hukkam karya Ibnu Farhun (2/200), al-Bayan wa al-Tahsil karya Ibnu Rushd (9/377-381, 394), al-Nawadir wa al-Ziyadat karya Ibnu Abi Zayd al-Qayrawani (4/1388), Aqd al-Jawahir al-Thaminah karya Ibnu Shas (2/343-344), Hashiyah al-Sawi ala al-Sharh al-Saghir (2/36) dan seterusnya, serta Nayl al-Awtar karya al-Shawkani (5/198-199), dan Mawsu‘ah al-Fiqh al-Islami karya Muhammad al-Tuwaijiri (3/422)].

Dan juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

[Lihat: al-Mughni karya Ibnu Qudamah (6/312), al-Kafi karya Ibnu Qudamah (2/15), al-Mumti‘ fi Sharh al-Muqni‘ karya al-Tanukhi (hlm. 455-458), al-Furu‘ karya Ibnu Muflih (6/231), al-Mubdi‘ Sharh al-Muqni‘ karya Ibnu Muflih (3/418), al-Insaf karya al-Mardawi (4/394), Ikhtilaf al-A’immah al-‘Ulama’ karya Ibnu Hubayrah (1/398), Nayl al-Awtar karya al-Shawkani (5/198-199), Sharh Mukhtasar al-Khiraqi karya al-Zarkashi (3/650), al-Hidayah ala Madhhab al-Imam Ahmad karya al-Khalwadzani (1/223), dan Kashshaf al-Qina‘ karya al-Buhuti (3/211)].

Ibnu Abdil Barr menyebutkan :

وَقَالَ اِبْنُ خَوَازِ بِنْدَادٍ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ: اَلْبَيْعُ فِي تَلَقِّي السِّلَعِ صَحِيحٌ عِنْدَ الْجَمِيعِ، وَإِنَّمَا الْخِلَافُ فِي أَنَّ الْمُشْتَرِي لَا يَفُوزُ بِالسِّلْعَةِ، وَيُشْرِكُهُ فِيهَا أَهْلُ السُّوقِ، وَلَا خِيَارَ لِلْبَائِعِ، أَوْ أَنَّ الْبَائِعَ بِالْخِيَارِ إِذَا هَبَطَ إِلَى السُّوقِ.

Ibnu Khawaaz Bandad (إِبْنُ خَوَازِ بِنْدَاد) dari kalangan Malikiyyah berkata: “Jual beli pada praktik talaqqi al-sila‘ (menjemput barang sebelum sampai pasar) adalah sah menurut semua pihak. Perselisihan hanya pada apakah pembeli tidak boleh memiliki barang itu sendiri, tetapi harus berbagi dengan penduduk pasar, dan penjual tidak memiliki hak khiyar, atau penjual tetap diberi hak khiyar jika ia sampai ke pasar.”

Lalu Abu Umar (Ibnu Abdi al-Barr) berkata:

قَدْ ذَكَرْنَا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ مَالِكٍ أَنَّ الْبَيْعَ فَاسِدٌ، يُفْسَخُ، وَمَا أَظُنُّ أَنَّ اِبْنَ خَوَازِ بِنْدَادٍ، وَافَقَ عَلَى ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِ وَلَمْ يَرَهُ خِلَافًا لِمُخَالَفَةِ الْجُمْهُورِ، قَالَ سَحْنُونٌ: وَقَالَ لِي غَيْرُ اِبْنِ الْقَاسِمِ: يُفْسَخُ الْبَيْعُ.

“Kami telah menyebutkan dari sebagian pengikut Imam Malik bahwa jual beli tersebut batal dan harus dibatalkan. Namun, saya tidak mengira bahwa Ibnu Khawwaz Bandad menyetujui pendapat tersebut, karena pendapat ini berbeda dari mayoritas ulama. Sahnun berkata: ‘Selain Ibnu al-Qasim pernah mengatakan kepadaku bahwa akad tersebut harus dibatalkan’.” (al-Istidhkar karya Ibnu Abd al-Barr, 21/72-75).

Pendapat ini juga merupakan pilihan Imam al-Bukhari. [Lihat: Fath al-Bari karya Ibnu Hajar (4/470)].

DALIL-DALIL MEREKA :

Dalil pertama: Jual beli itu batal dan tidak sah karena dilarang, dan ini serupa dengan jual beli orang kota untuk orang desa (بَيْعُ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي).

Hukum “jual beli orang kota untuk orang desa (بَيْعُ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي) adalah haram secara syariat, karena mengandung unsur merugikan orang desa (orang kampung atau badui atau orang pedalaman yang datang membawa barang ke pasar) dan juga merugikan para penduduk kota.

Bentuk jual beli ini adalah ketika salah satu penduduk kota (al-hāḍir) menjual barang milik orang yang datang dari pedalaman (al-bādī) sebelum orang tersebut sampai ke pasar.

Hal ini bisa menyebabkan eksploitasi karena al-bādī tidak mengetahui harga pasar yang sebenarnya, atau terjadi monopoli dan penimbunan barang oleh al-hāḍir sehingga ia mengendalikan harga dan menaikkannya terhadap penduduk setempat. Oleh sebab itu, Nabi melarang praktik ini.

Jawaban: Perbedaan antara “talaqqi ar-rukban” dan “jual beli orang kota untuk orang desa” adalah bahwa jual beli orang kota tidak dapat diperbaiki dengan memberikan hak khiyar karena kerugian bukan pada dirinya, tetapi pada kaum muslimin. Berbeda dengan talaqqi ar-rukban, kerugian ada pada pihak penjual, dan hal itu dapat diperbaiki dengan menetapkan hak khiyar bagi mereka, sehingga tidak perlu membatalkan jual beli.

[Al-Mumti‘ fi Syarh al-Muqni‘, At-Tanukhi (hlm. 455-456), Al-Mawsu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (9/223)].

Dalil kedua: Karena larangan tersebut menunjukkan kerusakan (batal dan tidak sahnya akad), dan terdapat perbedaan pendapat apakah larangan ini menunjukkan batal atau tidak? Sebagian mengatakan menunjukkan batal, sebagian mengatakan tidak. Sebagian ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat batal yang identik dengan fasid. \[Nailul Authar, Asy-Syaukani (5/198-199)].

Mereka berkata: Nabi melarang talaqqi ar-rukban, dan larangan menunjukkan batal dan tidak sah-nya yang dilarang, maka ini menunjukkan batalnya jual beli.

Abu Ja‘far Ath-Thahawi berkata:

فَاحْتَجَّ قَوْمٌ بِهَذِهِ الْآثَارِ، فَقَالُوا: مَنْ تَلَقَّى شَيْئًا قَبْلَ دُخُولِهِ السُّوقَ، ثُمَّ اشْتَرَاهُ، فَشِرَاؤُهُ بَاطِلٌ.

Sebagian orang berdalil dengan atsar-atsar ini dan mengatakan: Barang siapa yang menemui sesuatu sebelum masuk pasar, lalu membelinya, maka pembeliannya batal. \[Syarh Ma‘ani Al-Atsar, Ath-Thahawi (4/8)].

Jawaban:

Kaidah larangan menunjukkan batal berlaku jika larangan itu kembali kepada dzat yang dilarang, yaitu ketika terjadi kerusakan pada salah satu rukun atau syarat jual beli. Namun jika tidak ada kerusakan pada syarat atau rukun, maka jual beli tetap sah.

[Lihat : Fathul Bari, Ibnu Hajar (4/470), Buhuts Muqaranah fi Asy-Syariah Al-Islamiyyah ‘an Aham Al-Buyu‘ Allati Tadhurru bil-Amwal, Ramadhan Hafizh Abdurrahman (hlm. 148)].

Pendapat ketiga: Akad dibatalkan selama barang masih ada, dan ini merupakan riwayat dalam madzhab Malikiyah.

[Lihat: Al-Muqaddimat Al-Mumahhidat, Ibnu Rusyd (2/64), Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzai (hlm. 172)].

Ibnu Rusyd berkata:

بَيْعُ التَّلَقِّي وَبَيْعُ التَّفْرِقَةِ، وَمَا أَشْبَهَ هَذَا مِنَ الْبُيُوعِ، فَيَخْتَلِفُ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيهَا إِذَا وَقَعَتْ عَلَى قَوْلَيْنِ، فَمَنْ رَأَى أَنَّ النَّهْيَ لَا يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ، لَمْ يُفْسِخْهَا وَإِنْ كَانَتِ السِّلْعَةُ قَائِمَةً لَمْ تَفُتْ، وَمَنْ رَأَى أَنَّ النَّهْيَ يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ، فَسَخَهَا إِنْ كَانَتْ قَائِمَةً أَوْ فَائِتَةً، وَإِنْ كَانَتْ قَائِمَةً رُدَّتْ بِعَيْنِهَا، وَإِنْ كَانَتْ فَائِتَةً رُدَّتْ قِيمَتُهَا وَكَانَ رَدُّ قِيمَتِهَا كَرَدِّ عَيْنِهَا؛ وَفِي هَذَا النَّوْعِ مِنَ الْبُيُوعِ قَوْلٌ ثَالِثٌ، أَنْ تُفْسَخَ مَا كَانَتِ السِّلْعَةُ قَائِمَةً، فَإِنْ فَاتَتْ مَضَتْ بِالثَّمَنِ وَلَمْ تُرَدَّ إِلَى الْقِيمَةِ، وَهُوَ قَوْلٌ بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ لَا يَجْرِي عَلَى قِيَاسٍ.

“Jual beli talaqqi dan jual beli tafriq serta yang serupa dengan keduanya termasuk dalam jual beli yang diperselisihkan ulama ketika terjadi. Ada yang berpendapat larangan tidak menunjukkan batalnya yang dilarang, sehingga tidak dibatalkan walaupun barang masih ada.

Ada pula yang berpendapat larangan menunjukkan batal, sehingga dibatalkan baik barang masih ada atau sudah tidak ada. Jika masih ada, dikembalikan dengan barangnya; jika sudah hilang, dikembalikan dengan nilainya, dan pengembalian nilai sama seperti pengembalian barangnya.

Dalam jual beli ini ada pendapat ketiga, yaitu dibatalkan selama barang masih ada. Jika sudah hilang, maka tetap berjalan dengan harga (yang disepakati) dan tidak dikembalikan kepada nilai, ini adalah pendapat di antara dua pendapat dan tidak sesuai dengan qiyas.”

[Lihat : Al-Muqaddimat Al-Mumahhidat, karya Ibnu Rusyd (2/64)].

Ibnu Juzai berkata:

أَنَّ الْبُيُوعَ الْفَاسِدَةَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ ... (الثَّانِي) مَا نُهِيَ عَنْهُ وَلَمْ يُخِلَّ فِيهِ بِشَرْطٍ مُشْتَرَطٍ فِي صِحَّةِ الْبُيُوعِ كَالْبَيْعِ فِي وَقْتِ الْجُمُعَةِ وَبَيْعِ حَاضِرٍ لِبَادٍ وَالتَّلَقِّي فَاخْتُلِفَ هَلْ يُفْسَخُ أَمْ لَا، وَقِيلَ يُفْسَخُ إِنْ كَانَتِ السِّلْعَةُ قَائِمَةً.

“Bahwa jual beli fasid ada tiga jenis...(kedua) apa yang dilarang tetapi tidak merusak syarat sahnya jual beli, seperti jual beli ketika waktu Jumat, jual beli orang kota untuk orang desa, dan talaqqi, maka diperselisihkan apakah dibatalkan atau tidak. Ada yang mengatakan dibatalkan jika barang masih ada.” [Lihat : Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, karya Ibnu Juzai (hlm. 172)].

Pendapat yang kuat: Penulis berpendapat bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena kuatnya dalil mereka dan selamat dan lolos dari bantahan.

****

PERMASALAHAN KEEMPAT: 
SEBAB LARANGAN TERHADAP TALAQQI AR-RUKBAN:

Sebab larangan talaqqi ar-rukban dapat dipahami maknanya.

Para ulama berbeda pendapat apakah alasan larangan ini bersifat ta‘abbudi (murni ibadah tanpa bisa diketahui maknanya, seperti larangan riba dan larangan makan babi) atau dapat dipahami secara rasional karena adanya pengelabuan, merusak harga pasar dan merugikan banyak pihak. [Baca : Syarh Mukhtashar Khalil, oleh al-Khurasyi (5/84)].

Kesimpulan pendapat para ulama tentang sebab larangan talaqqi ada tiga pendapat:

[Bada’i ash-Shana’i, al-Kasani (7/165-166), Fath al-Qadir, Ibnu al-Humam (6/437-438), al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi (5/348), Rawdhah ath-Thalibin, an-Nawawi (3/76), an-Najm al-Wahhaj, ad-Damiri (4/92), al-I‘lam, Ibnu al-Mulaqqin (4/16), Tharh at-Tatsrib, al-‘Iraqi (6/59), Fath al-Bari, Ibnu Hajar (4/337), at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr (12/265), Mawahib al-Jalil, al-Hattab (6/252), al-Mughni, Ibnu Qudamah (5/600), al-Isyraf, Ibnu al-Mundzir (6/39), al-Muhalla, Ibnu Hazm (8/602), Syarh Mukhtashar Khalil, al-Khurasyi (5/84)].

---

Pendapat pertama: Demi kemaslahatan pihak yang membawa barang.

Alasan larangan adalah untuk menjaga kepentingan pihak yang membawa barang (jālib) dan mencegah terjadinya kerugian padanya. Dan karena si penjual mungkin tidak mengetahui harga pasar sehingga tertipu, atau jika ia mengetahui harga, mereka bisa menipunya dengan mengatakan bahwa barang tersebut melimpah di pasar atau tidak diminati.

Ini adalah pendapat Syafi‘iyyah.

[Baca : al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzay (hlm. 171), al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr (21/73), Syarh Mukhtashar Khalil, al-Khurasyi (5/84), al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi (5/349), Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi (10/163)].

Dan ini adalah pendapat madzab Hanabilah. Mereka menyebutkan alasan sbb :

لِأَنَّ ٱلۡبَائِعَ قَدۡ لَا يَعۡلَمُ ٱلسِّعۡرَ، فَيُخۡدَعُ، وَإِنۡ عَلِمَهُ، فَقَدۡ يُخۡدَعُونَهُ بِقَوۡلِهِمۡ: إِنَّ هَٰذِهِ ٱلسِّلۡعَةَ مَوۡجُودَةٞ فِي ٱلسُّوقِ، أَوۡ أَنَّ ٱلنَّاسَ لَا يُقۡبِلُونَ عَلَىٰ شِرَاءِ هَٰذَا ٱلنَّوۡعِ مِنَ ٱلسِّلَعِ.

karena penjual bisa jadi tidak mengetahui harga, lalu ia tertipu. Dan kalau pun ia mengetahuinya, mereka bisa menipunya dengan berkata: “Barang ini banyak tersedia di pasar” atau “Orang-orang tidak berminat membeli jenis barang ini.”

Dalil lainnya adalah Nabi menetapkan hak khiyar untuk penjual, bukan untuk penduduk pasar. [Lihat: Nail al-Awthar, asy-Syaukani (5/198-199)].

Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

«لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، ‌فَمَنْ ‌تَلَقَّاهُ ‌فَاشْتَرَى ‌مِنْهُ، ‌فَإِذَا ‌أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ»

Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyongsong barang dagangan (di luar pasar). Barangsiapa menyongsong lalu membeli darinya, maka jika pemilik barang itu sampai ke pasar, ia memiliki hak memilih (melanjutkan atau membatalkan).”

[Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu‘, Bab: Larangan menyongsong barang dagangan, no. 1519].


Pendapat kedua: Kepentingan penduduk kota.

Alasan larangan terhadap talaqqi adalah memperhatikan kepentingan penduduk kota. Karena pihak yang mencegat barang bisa mendapat keuntungan besar karena membeli dengan harga murah, lalu menjual dengan harga tinggi atau menahan barang hingga harga naik. Prinsip umum syariat mengutamakan kepentingan masyarakat umum atau kepenetingan orang banyak daripada individu per-orang-an.

Ini adalah pendapat madzhab Maliki.

(Baca : al-Muntaqa, al-Baji 5/101; Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/125; Manah al-Jalil, Aliysh 5/63; al-Taj wa al-Iklil, al-Mawwâq 4/378; al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzay hal. 171; Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/188; Syarh Mukhtasar Khalil, al-Khurasyi 5/84; Nail al-Awtar, al-Syaukani 5/198-199).

Dan juga pendapat salah satu riwayat dari madzhab Syafi’i

(Baca : al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi 5/349), serta pendapat al-Layts bin Sa’d (dalam al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr 21/73: Abu Umar (Ibnu Abdil Barr) berkata:

يَتَّفِقُ مَعْنَى قَوْلِ مَالِكٍ، وَاللَّيْثِ فِي أَنَّ النَّهْيَ أُرِيدَ بِهِ نَفْعُ أَهْلِ الأَسْوَاقِ، لا رَبِّ السِّلَعِ

“Makna pendapat Malik dan al-Layts sejalan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi penduduk pasar, bukan untuk pemilik barang dagangan).

Dan ini juga pendapat al-Awza’i.

Mereka beralasan sbb :

لِأَنَّ الْمُتَلَقِّي قَدْ يَلْحَقُهُ الضَّرَرُ عِنْدَ انْفِرَادِهِ عَنْهُمْ بِالرُّخْصِ فِي الشِّرَاءِ، ثُمَّ هُوَ قَدْ يَرْفَعُ السِّعْرَ عَلَيْهِمْ، أَوْ يَحْبِسُ عَنْهُمُ السِّلَعَ الَّتِي اشْتَرَاهَا إِلَى وَقْتِ الْغَلَاءِ، وَالْقَوَاعِدُ الْعَامَّةُ فِي الشَّرِيعَةِ تُقَدِّمُ مَصْلَحَةَ الْجَمَاعَةِ عَلَى الْفَرْدِ.

“Karena orang yang melakukan talaqqi bisa saja merugikan mereka dengan membeli barang secara murah sebelum mereka sampai ke pasar, lalu ia menaikkan harga kepada mereka, atau menahan (menyimpan) barang yang ia beli sampai masa harga melonjak. Prinsip umum dalam syariat adalah mendahulukan kepentingan jamaah daripada individu”.

(Baca : al-Bayan wa al-Tahsil, Ibnu Rusyd 9/377-381; Syarh Muwatta’ Malik, al-Zurqani 3/427; Syarh Shahih Muslim, al-Nawawi 10/163, dengan sedikit penyesuaian dari al-Nawawi; lihat juga teks al-Maziri dalam al-Mu’allim bi Fawaid Muslim 2/247, serta al-Syarh al-Kabir, Abu al-Faraj Ibnu Qudamah 4/78).

---

Pendapat ketiga: Demi kemaslahatan pihak pembawa barang dan penduduk kota sekaligus.

Alasan larangan adalah untuk menggabungkan dua kepentingan: melindungi pembawa barang dan penduduk kota.

Ini adalah pendapat madzhab Hanafi.

(Baca : Fath al-Qadir, Ibnu al-Humam 6/477; al-Bahr al-Raiq, Ibnu Najim 6/108; Fath Bab al-Inayah, Ali al-Hanafi 2/2).

Dan ini pendapat salah satu riwayat dari madzhab Maliki.

(Baca : al-Syamil fi al-Fiqh, al-Damiri 2/554).

Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu al-Arabi, Ibnu Hazm (al-Muhalla, Ibnu Hazm 8/452), dan al-Syaukani (Nail al-Awtar 5/198-199).

(Baca pula: Manah al-Jalil, Aliysh 5/63; Syarh Mukhtasar Khalil, al-Khurasyi 5/84; Nail al-Awtar, al-Syaukani 5/198-199)]

----

Pendapat yang rajih dan lebih kuat:

Penulis berpendapat bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat ketiga, karena menggabungkan dua pendapat sebelumnya, dan mengamalkan semua dalil.

 ===****===

PEMBAHASAN KEDUA: 
BATASAN TALAQQI DAN PILIHAN (KHİYĀR)-NYA

****

PERMASALAHAN PERTAMA: 
BATASAN TALAQQI

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah talaqqi ar-rukbān (mencegat barang dagangan sebelum sampai pasar) memiliki batasan tertentu, menjadi dua pendapat:

----

Pendapat pertama: Tidak ada batasan untuk talaqqi ar-rukbān.

Maka tidak diperbolehkan melakukan talaqqi baik dari jarak dekat maupun jauh.

Ini adalah salah satu riwayat dari Malikiyah yang dipilih oleh al-Bājī, juga pendapat Zhāhiriyah [al-Muallā, Ibnu azm (8/449)]. Dan asy-Syaukānī yang menukilkannya dari Syafi’iyah.

Asy-Syaukānī berkata:

الظَّاهِرُ مِنَ النَّهْيِ أَيْضًا أَنَّهُ يَتَنَاوَلُ الْمَسَافَةَ الْقَصِيرَةَ وَالطَّوِيلَةَ، وَهُوَ ظَاهِرُ إِطْلَاقِ الشَّافِعِيَّةِ.

Yang nampak dari Lafaz larangan, juga mencakup jarak dekat maupun jauh, dan ini adalah dzahir dari pernyataan Syafi’iyah. (Nailul Authār, asy-Syaukānī (5/198-199))

[Sumber Malikiyah: Ḥāsyiyah al-‘Adawī ‘ala al-Khurasyī (5/84), dan Manul Jalīl, ‘Alīsy (5/63), dan asy-Syāmil fī al-Fiqh, Rām ad-Damīrī (2/554)].


Pendapat kedua: Talaqqi ar-rukbān memiliki batasan.

Ada batas tertentu yang melarang talaqqi, jika sudah melewati batas tersebut maka boleh melakukan jual beli.

Ats-Tsaurī berpendapat batasannya adalah : “sejauh masāfatul qasr (jarak yang membolehkan qashar shalat)”.

===

Malikiyah berbeda pendapat mengenai penentuan jarak talaqqi yang haram dilakukan.

Sufyān ats-Tsaurī berkata:

تَلَقِّي السِّلَعِ مَنْهِيٌّ عَنْهُ مَنْ تَلَقَّاهَا بِحَيْثُ لَا تَقْصُرُ الصَّلَاةُ إِلَيْهِ، فَإِنْ تَلَقَّاهَا بِحَيْثُ تَقْصُرُ الصَّلَاةُ فَصَاعِدًا فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ.

Talaqqi barang dagangan dilarang bila dilakukan pada jarak yang tidak membolehkan qashar shalat, adapun jika dilakukan pada jarak yang membolehkan qashar shalat atau lebih jauh, maka tidak mengapa.

Ibnu azm berkata:

فَهَذَا تَقْسِيمٌ فَاسِدٌ لِأَنَّهُ دَعْوَى بِلَا بُرْهَانٍ.

Ini adalah pembagian yang rusak, karena sekadar klaim tanpa dalil.

[Lihat: al-Muallā, Ibnu azm (8/450), dan Nailul Authār, asy-Syaukānī (5/198-199)].

Dengan menggabungkan riwayat-riwayat Malikiyah, terdapat lima pendapat atau riwayat dalam madzhab mereka:

[Lihat: Bidāyatul Mujtahid, Ibnu Rusyd (2/125), at-Tāj wal Iklīl, al-Mawwāq (4/379), Manul Jalīl, ‘Alīsy (5/63), Ḥāsyiyah al-‘Adawī ‘ala al-Khurasyī (5/84), asy-Syar ash-Shaghīr, ad-Dardīr (3/63), ‘Aqd al-Jawāhir ats-Tsamīnah, Ibnu Syās (2/344), Jāmi‘ul Ummahāt, Ibnu al-Ḥājib (hlm. 351)].

Riwayat pertama: Batas talaqqi adalah sejauh satu mil (1 mil =1,6 KM).

Al-Baji berkata:

وَقَدْ سُئِلَ مَالِكٌ عَنْ خُرُوجِ أَهْلِ مِصْرَ إِلَى الإِصْطَبْلِ مَسِيرَةَ مِيلٍ، وَنَحْوِهِ أَيَّامَ الأَضْحَى يَتَلَقَّوْنَ الغَنَمَ يَشْتَرُوا، قَالَ: هَذَا مِنَ التَّلَقِّي، وَكَذَلِكَ غَيْرُ الضَّحَايَا مَتَى تَرِدْ سُوقَهَا، رَوَاهُ ابْنُ المَوَّازِ عَنْ مَالِكٍ، وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّ هَذَا تَلَقٍّ يَمْنَعُ مِنْ وُصُولِ مَا جُلِبَ إِلَى سُوقِ بَيْعِهِ، فَكَانَ مَمْنُوعًا مِنْهُ كَالْبُعْدِ.

Telah ditanyakan kepada Malik tentang orang-orang Mesir yang keluar menuju tempat kandang hewan sejauh perjalanan satu mil, atau yang semisalnya pada hari-hari Idul Adha untuk menyambut domba agar mereka dapat membelinya.

Ia berkata: “Ini termasuk talaqqi,” demikian pula selain hewan kurban kapan saja ia dicegah untuk sampai ke pasarnya. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Mawwaz dari Malik.

Alasannya adalah karena ini merupakan bentuk penghalangan yang mencegah barang bawaan itu sampai ke pasar penjualannya, sehingga hal itu dilarang sebagaimana jika jaraknya jauh”.

[Baca : Al-Muntaqa, al-Baji (5/101), Manh al-Jalil, oleh Ulaisy (5/63), Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzay (hal. 171), ‘Aqd al-Jawahir al-Thaminah, Ibnu Syas (2/344), Jami’ al-Ummihat, Ibnu al-Hajib (hal. 351), Al-Syamil fi al-Fiqh, al-Damiri (2/554), Hasyiyah al-Shawi ‘ala al-Syarh al-Shaghir (3/108), Hasyiyah al-Dusuqi (3/70), Nail al-Awthar, al-Syaukani (5/198-199)].

Riwayat kedua: Batas talaqqi adalah sejauh satu farsakh (tiga mil).

Al-Dusuqi berkata:

وَقِيلَ: إِنَّ النَّهْيَ إِذَا كَانَ التَّلَقِّي عَلَى مَسَافَةِ فَرْسَخٍ أَيْ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ فَلَا يَحْرُمُ التَّلَقِّي إِذَا كَانَ عَلَى مَسَافَةٍ أَكْثَرَ مِنْهَا.

Ada pendapat bahwa larangan itu berlaku jika talaqqi dilakukan pada jarak satu farsakh, yaitu tiga mil. Maka tidak haram melakukan talaqqi jika jaraknya lebih dari itu.

[Hasyiyah al-Dusuqi (3/70), Hasyiyah al-Shawi ‘ala al-Syarh al-Shaghir (3/108)].

Riwayat ketiga: Batas talaqqi adalah dua farsakh (enam mil).

Al-‘Adawi berkata:

قَوْلُهُ: وَكَتَلَقِّي السِّلَعِ .... وَقِيلَ حَدُّ التَّلَقِّي الْمَنْهِيِّ عَنْهُ الَّذِي إِذَا زَادَ عَلَيْهِ فِي الْبُعْدِ لَا يَتَنَاوَلُهُ النَّهْيُ.... وَقِيلَ فَرْسَخَانِ.

Ucapannya “seperti talaqqi barang dagangan….” Dan ada yang mengatakan bahwa batas talaqqi yang dilarang adalah jarak yang jika melebihi batas tersebut maka larangan tidak berlaku… dan ada yang mengatakan dua farsakh. (Hasyiyah al-‘Adawi ‘ala al-Khurashi, 5/84).

Ad-Dusuqi berkata:

إِذَا كَانَ عَلَى سِتَّةِ أَمْيَالٍ فَلَا يَحْرُمُ؛ لِأَنَّ هَذَا سَفَرٌ لَا تَلَقِّي..، وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُهَا.

Jika jaraknya enam mil maka tidak haram; karena itu sudah dianggap safar, bukan talaqqi… Dan pendapat pertama lebih kuat. (Hasyiyah ad-Dusuqi, 3/70; Hasyiyah ash-Shawi ‘ala asy-Syarh ash-Shaghir, 3/108).

Ash-Shawi berkata:

حَاصِلُ مَا قَالَهُ الشَّارِحُ فِي مَسْأَلَةِ التَّلَقِّي أَنَّ الشَّخْصَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ خَارِجًا مِنَ الْبَلَدِ الْوَارِدُ إِلَيْهِ التِّجَارَةُ، أَوْ مَنْزِلُهُ خَارِجٌ عَنْهُ تَمُرُّ بِهِ التِّجَارَةُ، فَمَتَى كَانَ خَارِجًا لِسِتَّةِ أَمْيَالٍ أَوْ مَنْزِلُهُ عَلَى سِتَّةِ أَمْيَالٍ جَازَ لَهُ الشِّرَاءُ مُطْلَقًا لِلتِّجَارَةِ أَوْ لِلْقُنْيَةِ، كَانَ لِتِلْكَ السِّلَعِ سُوقٌ بِالْبَلَدِ أَمْ لَا، وَإِنْ كَانَ عَلَى دُونَ سِتَّةِ أَمْيَالٍ فَالْخَارِجُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ الشِّرَاءُ مُطْلَقًا لِلتِّجَارَةِ أَوْ الْقُنْيَةِ كَانَ لِلسِّلَعِ سُوقٌ أَمْ لَا، وَمَنْ مَنْزِلُهُ عَلَى دُونَ سِتَّةِ أَمْيَالٍ جَازَ لَهُ الْأَخْذُ لِقُوَّتِهِ مُطْلَقًا، وَلِلتِّجَارَةِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لِلسِّلَعِ سُوقٌ.

Kesimpulan yang dikatakan oleh pensyarah dalam masalah talaqqi adalah bahwa seseorang, jika ia keluar dari kota untuk menyongsong perdagangan atau rumahnya berada di luar kota yang dilalui perdagangan, maka apabila ia berada di luar sejauh enam mil atau rumahnya sejauh enam mil, boleh baginya membeli secara mutlak baik untuk perdagangan maupun kepemilikan pribadi, baik barang itu memiliki pasar di kota atau tidak.

Jika jaraknya kurang dari enam mil, maka orang yang keluar diharamkan membeli secara mutlak, baik untuk perdagangan maupun kepemilikan, baik barang tersebut memiliki pasar di kota atau tidak.

Adapun yang rumahnya kurang dari enam mil, maka ia boleh mengambil untuk kebutuhan pribadinya secara mutlak, dan boleh untuk perdagangan jika barang tersebut tidak memiliki pasar”. [Kutipan Selesai]

Kesimpulan yang disampaikan oleh pensyarah ini adalah inti dari perbedaan pendapat dalam madzhab.

(Lihat : Hasyiyah ash-Shawi ‘ala asy-Syarh ash-Shaghir, 3/109; al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzay, hlm. 171; ‘Aqd al-Jawahir ats-Tsaminah, Ibnu Syas, 2/344; Jami‘ al-Ummihat, Ibnu al-Hajib, hlm. 351; asy-Syamil fi al-Fiqh, ad-Damiri, 2/554; Hasyiyah al-‘Adawi ‘ala al-Khurashi, 5/84-85; Hasyiyah ash-Shawi ‘ala asy-Syarh ash-Shaghir, 3/108-109; Syarh Mukhtashar Khalil, al-Khurashi, 5/85; Manah al-Jalil, al-‘Alisy, 5/63; at-Taj wa al-Iklil, al-Mawwaq, 4/379; Nail al-Awthar, asy-Syaukani, 5/198-199).

Riwayat keempat: Batas talaqqi adalah satu hari perjalanan.

Ibnu Juzay berkata:

أَيْ مِنَ الْبُيُوعِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ تَلَقِّي السِّلْعَةِ عَلَى مِيلٍ، وَقِيلَ عَلَى فَرْسَخَيْنِ، وَقِيلَ عَلَى مَسِيرَةِ يَوْمٍ فَأَكْثَرَ قَبْلَ أَنْ تَصِلَ إِلَى الْأَسْوَاقِ.

Jenis kelima dari jual beli yang dilarang adalah talaqqi barang dagangan pada jarak satu mil, dan ada yang mengatakan dua farsakh, dan ada yang mengatakan satu hari perjalanan atau lebih sebelum sampai ke pasar. (al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzay, hlm. 171).

Riwayat kelima: Batas talaqqi adalah dua hari perjalanan.

Al-‘Adawi berkata:

وَكَتَلَقِّي السِّلَعِ ظَاهِرُهُ قُرْبٌ، أَوْ بُعْدٌ وَهُوَ أَحَدُ أَقْوَالٍ وَقِيلَ حَدُّ التَّلَقِّي الْمَنْهِيِّ عَنْهُ الَّذِي إِذَا زَادَ عَلَيْهِ فِي الْبُعْدِ لَا يَتَنَاوَلُهُ النَّهْيُ... وَقِيلَ يَوْمَانِ... قَالَ عِيَاضٌ: اخْتُلِفَ فِي حَدِّ التَّلَقِّي الْمَمْنُوعِ فَعَنْ مَالِكٍ كَرَاهَةُ ذَلِكَ عَلَى مَسِيرَةِ يَوْمَيْنِ.

Ucapannya “seperti talaqqi barang dagangan” secara lahir menunjukkan dekat atau jauh, dan itu salah satu pendapat. Ada yang mengatakan bahwa batas talaqqi yang dilarang adalah jarak yang jika melebihi batas tersebut maka larangan tidak berlaku… dan ada yang mengatakan dua hari perjalanan…

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: Telah terjadi perbedaan pendapat tentang batas talaqqi yang dilarang, dan dari Malik diriwayatkan makruh pada jarak dua hari perjalanan.

(Baca: Hasyiyah al-‘Adawi ‘ala al-Khurashi, 5/84-85; Manah al-Jalil, al-‘Alisy, 5/63; asy-Syamil fi al-Fiqh, ad-Damiri, 2/554; Nail al-Awthar, asy-Syaukani, 5/198-199).

****

PERMASALAHAN KEDUA: 
AWAL DAN AKHIR TALAQQI

===

BAGIAN PERTAMA: AWAL TALAQQI

Para ulama berbeda pendapat tentang permulaan talaqqi, dan kesimpulan pendapat mereka adalah:

Pendapat pertama: Talaqqi dimulai sejak keluar dari kota si pembeli, dan ini adalah pendapat Syafi’iyah.

[Lihat: At-Takmilah Ats-Tsaniyah lil-Majmu’, Al-Muthi’i (13/23), dan Nailul Authar, Asy-Syaukani (5/198-199)].

Pendapat kedua: Talaqqi dimulai sejak keluar dari pasar, meskipun masih di dalam kota si pembeli.

Dan ini adalah pendapat Malikiyah, Ahmad, Ishaq, dan Al-Laits, yang menunjukkan bahwa batas akhir talaqqi adalah di atas pasar, berdasarkan lahiriah hadis.

[Lihat: At-Takmilah Ats-Tsaniyah lil-Majmu’, Al-Muthi’i (13/23), dan Nailul Authar, Asy-Syaukani (5/198-199)].

Pendapat yang lebih kuat dan rajih :

Penulis berpendapat bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kedua, karena Nabi menjadikan batas akhir talaqqi adalah pasar, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah bersabda:

«‌لَا ‌تَلَقَّوْا ‌السِّلَعَ ‌حَتَّى ‌يُهْبَطَ بِهَا إِلَى السُّوقِ»

“Janganlah kalian mencegat barang dagangan sampai barang itu dibawa turun ke pasar.”

[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Al-Buyu’, Bab: Larangan Talaqqi Ar-Rukban dan bahwa jual belinya tertolak karena penjualnya berbuat maksiat apabila mengetahui hal itu, dan itu adalah tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak boleh, no. 2165. Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Al-Buyu’, Bab: Pengharaman Talaqqi Al-Jalab, no. 1517].

Dengan demikian, pasar menjadi batas akhir bagi penjual, dan batas awal bagi pembeli.

====

BAGIAN KEDUA : AKHIR TALAQQI

Kapan berakhirnya talaqqi ar-rukban?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

----

Pendapat pertama: 

Talaqqi berakhir dengan masuknya barang ke pasar. Jika tidak ada pasar, maka ketika barang telah masuk ke perkampungan dan gang-gang kota, maka boleh membelinya.

Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Habib dari Imam Malik dan para sahabatnya. (Baca : Al-Muntaqa, Al-Baji, 5/102).

Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafiyah.

(Baca : Fath al-Qadir, Ibnu al-Humam, 6/177; Al-Lubab, Al-Ghunaymi, 2/30), Malikiyah (Hasyiyah Ad-Dusuqi, 3/70; Hasyiyah As-Sawi ‘ala Syarh ash-Shaghir, 2/37; Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzayy, hal. 285; Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd, 2/188), Hanabilah (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 6/315; Syarh Mukhtashar al-Kharqi, Az-Zarkasyi, 3/650; Hasyiyah ar-Raudh, Ibnu Qasim, 4/434)].

Dan ini juga pendapat madzhab Zhahiriyyah.

Ibnu Hazm berkata:

"وَلا يَحِلُّ لِأَحَدٍ تَلَقِّي الجَلَبِ وَلَوْ أَنَّهُ عَلَى السُّوقِ عَلَى ذِرَاعٍ فَصَاعِدًا"

“Tidak halal bagi siapa pun melakukan talaqqi terhadap barang bawaan, walaupun barang itu sudah dekat dengan pasar, bahkan hanya berjarak sehasta sekalipun.” (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, 9/469).

DALIL-DALIL YANG MEREKA GUNAKAN :

Dalil pertama: hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

«‌لَا ‌تَلَقَّوْا ‌السِّلَعَ ‌حَتَّى ‌يُهْبَطَ بِهَا إِلَى السُّوقِ»

“Janganlah kalian mencegat (menyongsong) barang dagangan sampai dibawa ke pasar.”

(HR. Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Larangan Menyongsong Ar-rukban dan Bahwa Jual Belinya Tertolak Karena Penjualnya Berdosa Jika Mengetahui dan Itu Termasuk Tipuan dalam Jual Beli, dan Tipu Daya Tidak Boleh, no. 2165; dan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Haramnya Menyongsong Barang Dagangan, no. 1517).

Dalam hadits ini, Rasulullah melarang mencegat (menyongsong) barang dagangan sampai tiba di pasar. Hal ini menunjukkan bahwa batas talaqqi berakhir ketika para ar-rukban sampai ke pasar. Sebelum itu, tidak boleh mencegat (menyongsong) mereka.

Dalil kedua: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

«‌كَانُوا ‌يَبْتَاعُونَ ‌الطَّعَامَ ‌فِي ‌أَعْلَى ‌السُّوقِ، فَيَبِيعُونَهُ فِي مَكَانِهِ، فَنَهَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِ حَتَّى يَنْقُلُوهُ»

“Mereka dahulu membeli makanan di bagian atas pasar, lalu menjualnya di tempat itu. Maka Rasulullah melarang mereka menjualnya di tempat tersebut sampai mereka memindahkannya.”

(HR. Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Batas Talaqqi, no. 2167).

Hadis ini menunjukkan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu mencegat (menyongsong) rombongan pengendara bawa barang dagangan di bagian atas pasar, lalu membeli dari mereka barang dagangan mereka. Ini menjadi dalil bolehnya talaqqi terhadap barang dagangan di bagian atas pasar.

Dalil ketiga: Jika barang dagangan telah sampai ke pasar, meskipun hanya di bagian atasnya, maka ia telah sampai ke tempat jual beli. Dengan demikian, ia tidak termasuk dalam larangan, sebagaimana jika sudah sampai ke tengah pasar. (al-Mughni, Ibnu Qudamah, 6/315).

----

Pendapat kedua: 

Talaqqi berakhir ketika memasuki kota, dan para ar-rukban sudah memungkinkan untuk mengetahui harga, baik mereka sampai ke pasar maupun belum. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i.

(Lihat Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah, 2/183; Mughni al-Muhtaj, asy-Syarbini, 2/36; Nihayatu al-Muhtaj, ar-Ramli, 3/467; Raudhat ath-Thalibin, an-Nawawi, 3/413).

Dalil mereka: Ketika barang dagangan sudah masuk kota, mereka bisa mengetahui harga tanpa perlu disongsong. Dengan demikian, tidak ada lagi penipuan terhadap barang dan tidak ada kerugian bagi mereka. Jika mereka tidak mengetahui harga padahal mampu, maka itu karena kelalaian dan kecerobohan dalam urusan finansial.

Bantahan:

1. Masuk kota tidak menjamin pengetahuan tentang harga, berbeda dengan masuk pasar, yang mana itu pasti memungkinkan mengetahui harga. Jika tidak, berarti ada kelalaian dan kecerobohan.

2. Pendapat ini bertentangan dengan teks hadits yang jelas, yaitu hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda:

«‌لَا ‌تَلَقَّوْا ‌السِّلَعَ ‌حَتَّى ‌يُهْبَطَ بِهَا إِلَى السُّوقِ»

“Janganlah kalian menyongsong barang dagangan sampai dibawa ke pasar.”

(HR. Bukhari no. 2165 dan Muslim no. 1517).

Bukan sekadar masuk kota. Pendapat yang bertentangan dengan nash tidak dapat dianggap dan tidak diakui.

----

Pendapat yang rajih dan lebih kuat:

Penulis berpendapat bahwa yang kuat adalah pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur fuqaha, bahwa batas talaqqi ar-rukban berakhir dengan masuknya barang dagangan ke pasar. Hal ini karena kuatnya dalil jumhur dan bebasnya dari pertentangan.

****

PERMASALAHAN KETIGA: 
OPSI (HAK KHIYAR) BAGI PENJUAL DAN PENDUDUK PASAR DALAM TALAQQI AR-RUKBAN

====

BAGIAN PERTAMA: OPSI PENJUAL DALAM TALAQQI AR-RUKBAN

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah penjual memiliki hak khiyar (memilih) jika ia dicegat (disongsong) oleh para pedagang kota (lokal) dan mereka membeli darinya (dari pembawa barang dagangan dari pedalaman) sebelum sampai ke pasar.

Ada dua pendapat:

====

Pendapat pertama: Penjual tidak memiliki hak khiyar.

Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan al-Auza’i.

(Lihat: Syarh Ma’ani al-Atsar, ath-Thahawi, 4/9-10; at-Takmilah ats-Tsaniyah lil Majmu’, al-Muthi’i, 26/13; al-Mughni, Ibnu Qudamah, 6/312-314).

MEREKA BERDALIL SBB :

Dalil pertama: hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi bersabda:

ٱلۡبَيِّعَانِ بِٱلۡخِيَارِ مَا لَمۡ يَتَفَرَّقَا

“Dua orang yang melakukan jual beli memiliki hak khiyar selama belum berpisah.”

(HR. Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Jika Dua Orang Jual Beli Menjelaskan dan Tidak Menyembunyikan Serta Memberikan Nasihat, no. 2079; dan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Kejujuran dalam Jual Beli dan Penjelasan, no. 1532).

Dan riwayat dari Nabi tentang hal ini mutawatir. Maka kita ketahui bahwa jika sudah berpisah, maka tidak ada lagi khiyar bagi keduanya. [Lihat : Syarh Ma’ani al-Atsar, ath-Thahawi, 4/9-10].

Bantahan : Keumuman hadits ini dikhususkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

«لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، ‌فَمَنْ ‌تَلَقَّاهُ ‌فَاشْتَرَى ‌مِنْهُ، ‌فَإِذَا ‌أَتَى ‌سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ»

“Janganlah kalian menyongsong barang dagangan. Siapa yang menyongsongnya lalu membeli darinya, maka ketika pemiliknya sampai ke pasar, ia memiliki hak khiyar.”

(HR. Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Haramnya Menyongsong Barang Dagangan, no. 1519).

Dalil kedua: hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

«‌لَا ‌تَلَقَّوْا ‌السِّلَعَ ‌حَتَّى ‌يُهْبَطَ بِهَا إِلَى السُّوقِ»

“Janganlah kalian menyongsong barang dagangan sampai dibawa ke pasar.”

(HR. Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Larangan Menyongsong Ar-rukban dan Bahwa Jual Belinya Tertolak Karena Penjualnya Berdosa Jika Mengetahui dan Itu Termasuk Tipuan dalam Jual Beli, no. 2165; dan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Haramnya Menyongsong Barang Dagangan, no. 1517).

Bantahan: Ini tidak menjadi dalil bagi klaim mereka karena bisa jadi larangan itu bertujuan menjaga kemaslahatan penjual. Sebab, jika barang tersebut sampai ke pasar, akan diketahui harga pasar sehingga penjual tidak tertipu. Tidak ada larangan untuk mengatakan bahwa illat (alasan hukum) larangan ini adalah demi menjaga kemaslahatan penjual dan penduduk pasar.

(Baca : at-Takmilah ats-Tsaniyah lil Majmu’, al-Muthi’i, 26/13).

Dalil ketiga:

قَالَ بن الْمُنْذِرِ وَحَمَلَهُ مَالِكٌ ‌عَلَى ‌نَفْعِ ‌أَهْلِ ‌السُّوقِ ‌لَا ‌عَلَى ‌نَفْعِ ‌رَبِّ ‌السِّلْعَةِ وَإِلَى ذَلِكَ جَنَحَ الْكُوفِيُّونَ وَالْأَوْزَاعِيُّ

“Ibnu Mundzir berkata: Malik menafsirkannya sebagai untuk kemaslahatan penduduk pasar, bukan untuk kepentingan pemilik barang, dan inilah pendapat yang cenderung dipegang oleh para ulama Kufah dan Al-Awza‘i”.

Namun setelah itu al-Mundziri berkata :

وَالْحَدِيثُ حُجَّةٌ لِلشَّافِعِيِّ لِأَنَّهُ أَثْبَتَ الْخِيَارَ لِلْبَائِعِ لَا لِأَهْلِ السُّوقِ انْتهى

Hadis ini justru menjadi hujjah bagi asy-Syafi’i, karena hadits tersebut menetapkan hak khiyar bagi penjual, akan tetapi tidak bagi penduduk pasar.

(At-Takmilah ats-Tsaniyah lil Majmu’, al-Muthi’i, 26/13, Fathul Bari karya Ibnu Hajar 4/374 dan Neil al-Awthor karya asy-Syawkani 5/198).

===

Pendapat kedua: Penetapan hak opsi (khiyar) bagi penjual.

Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, dan merupakan pendapat yang dirujuk oleh Ibnu Hazm [Baca : al-Muhalla, Ibnu Hazm (8/449)].

Sumber-sumber Syafi’iyah antara lain: al-Umm, al-Syafi’i (5/187), al-Muhadhdhab, al-Syirazi (2/63), al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi (5/348), Rawdat al-Thalibin, al-Nawawi (3/415), al-Tanbih fi al-Fiqh al-Syafi’i, al-Syirazi (hal. 96), al-Bayan, al-‘Imrani (5/353).

Sumber-sumber Hanabilah antara lain: al-Kafi, Ibnu Qudamah (2/15), al-Sharh al-Kabir, Abu al-Faraj Ibnu Qudamah (4/77), al-Iqna’, al-Hajjawi (2/91), al-Insaf, al-Mardawi (4/394), dan al-Takmila al-Thaniyah lil-Majmu’, al-Mutayyi’i (13/24-25).

Opsi bagi penjual telah ditetapkan secara nash, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

«لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، ‌فَمَنْ ‌تَلَقَّاهُ ‌فَاشْتَرَى ‌مِنْهُ، ‌فَإِذَا ‌أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ»

“Janganlah kalian menerima jula-jula (talaqqi), barang siapa menerima lalu membeli darinya, maka apabila sampai kepada pemiliknya di pasar, ia tetap memiliki pilihan (khiyar).”

[HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitab al-Buyu’, Bab: Larangan Talaqqi al-Jalab, no. 1519]

====

Para ulama berkata: jika terjadi gharar (ketidakadilan dalam harga), maka penjual memiliki hak khiyar.

Namun jika tidak terjadi gharar, misalnya harga setara atau lebih tinggi dari harga pasar, para ulama berbeda pendapat menjadi dua:

Pendapat pertama: opsi (hak khiyar) tetap ada, berdasarkan zhahir hadits.

Ini adalah pendapat Syafi’iyah, juga riwayat Hanabilah, dan dipilih oleh al-Istakhri dan Ibnu al-Wakil dari Syafi’iyah.

Pendapat kedua: tidak ada opsi (hak khiyar).

Ini adalah pendapat yang shahih menurut Syafi’iyah, karena tidak ada gharar. Khiyar hanya ditegaskan untuk kasus penipuan (khida’ah) untuk mencegah kerugian penjual. Tanpa adanya gharar, maka tidak ada kerugian yang perlu dihindari.

Sumber-sumber Syafi’iyah untuk pendapat kedua ini: al-Muhadhdhab, al-Syirazi (2/63), al-Sharh al-Kabir, al-Rafi’i (8/219), al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi (5/348), Rawdat al-Thalibin, al-Nawawi (3/415), al-Tanbih fi al-Fiqh al-Syafi’i, al-Syirazi (hal. 96), al-Bayan, al-‘Imrani (5/353), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/312-314), Sharh Sahih Muslim, al-Nawawi (10/163), dan al-Takmila al-Thaniyah lil-Majmu’, al-Mutayyi’i (13/23).

Sumber-sumber Hanabilah: al-Kafi, Ibnu Qudamah (2/15), al-Sharh al-Kabir, Abu al-Faraj Ibnu Qudamah (4/77), al-Iqna’, al-Hajjawi (2/91), al-Insaf, al-Mardawi (4/394), dan al-Takmila al-Thaniyah lil-Majmu’, al-Mutayyi’i (13/24-25).

Bantahan: Hadits tersebut bersifat mutlaq “maka baginya terdapat hak khiyar (فَهُوَ بِالْخِيَارِ)”, tidak dikatakan “jika terjadi ketidakadilan dalam harga (إِذَا غُبِنَ)”.

Makna Al-Ghubn dalam jual beli adalah ketidakseimbangan antara apa yang diberikan oleh kedua pihak yang bertransaksi dan apa yang mereka terima, di mana nilai salah satu pihak jauh lebih besar dibandingkan nilai pihak lain, sehingga menimbulkan ketidakadilan atau penipuan terhadap salah satu pihak.

Hak untuk menolak akad tidak muncul hanya karena adanya ghubn, kecuali jika ghubn tersebut bersifat parah (melampaui batas kewajaran). Atau jika salah satu pihak adalah anak di bawah umur atau tidak memiliki kapasitas hukum.

Jawaban:

1]. Ketika Nabi menetapkan hak khiyar bagi mereka setelah barang sampai di pasar, maksudnya adalah terkait kemungkinan terjadi gharar. Karena jika tidak, maka hak khiyar akan diberikan sejak saat penjualan awal. [al-Mumti’ fi Sharh al-Muqni’, al-Tanukhi (hlm. 455-456)].

2]. Hadits ini ditafsirkan sesuai kebiasaan yang umum; karena jika pembeli membawa barang ke pasar dan tidak terjadi gharar, ia tidak akan membatalkan transaksi, karena tidak ada manfaat membatalkan lalu menjual kembali. Maka hadits ini dimaknai bahwa hak khiyar berlaku jika terjadi gharar, meskipun zhahir hadits menyatakan khiyar secara mutlak. [al-Sharh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, Ibnu ‘Utsaimin (8/299)].

Catatan:

Ghubn dinilai berdasarkan yang menyimpang dari kebiasaan, yaitu mengacu pada ‘urf (adat) karena syariat tidak menetapkan batas khusus, seperti halnya al-hirz (ٱلْحِرْز). Ini adalah pendapat yang populer di kalangan Hanabilah.

Makna “al-Hirz” dalam jual beli berarti selesainya pemindahan kepemilikan barang atau penyerahannya kepada pembeli, sehingga barang tersebut berada di tempat yang dijaga atau di bawah kendalinya, dan hal ini terjadi tanpa memandang apakah tempat tersebut adalah tempat yang aman terlindungi atau tidak, karena kata "al-hirz" di sini merujuk pada kepemilikan atau penguasaan nyata atas barang tersebut.

[Lihat: al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/305), al-Mumti’ fi Sharh al-Muqni’, al-Tanukhi (hlm. 455-456), al-Iqna’, al-Hajjawi (2/91), al-Insaf, al-Mardawi (4/394-395)].

===

BAGIAN KEDUA: HAK KHIYAR (OPSI) BAGI PENDUDUK PASAR DALAM KASUS TALAQQI RUKBAN.

Para ulama berbeda pendapat tentang tetapnya hak khiyar bagi penduduk pasar menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama: Hak khiyar bagi penduduk pasar itu tetap ada.

Ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Maliki yang dipilih oleh Al-Maziri, Ibnu Al-Qasim, Ibnu Wahb, dan Al-Jallab.

[Lihat: Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/377-394), An-Nawadir waz-Ziyadat, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (4/1388), ‘Aqd Al-Jawahir Ats-Tsamina, Ibnu Syas (2/343-344), Manah Al-Jalil, Alisy (5/63), Asy-Syarh Al-Kabir, Ad-Dardir (3/70), At-Taj wal Iklil, Al-Mawwaq (4/379), At-Tafri’, Ibnu Al-Jallab (2/110), Al-Muntaqa, Al-Baji (5/102)].

Dan ini adalah pendapat yang sahih dari Malik sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdul Barr. [Al-Kafi, Ibnu Abdul Barr (1/367)].

Ibnu Rusyd berkata : “Ini adalah pendapat yang masyhur”. [Baca : Lubab Al-Lubab, Al-Qafsi Al-Maliki (hal. 167)].

Pendapat kedua: Hak khiyar bagi penduduk pasar tidak tetap.

Ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Maliki yang dipilih oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dan Asyhab.

[Lihat: Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/377-394), Manah Al-Jalil, Alisy (5/63), An-Nawadir waz-Ziyadat, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (4/1388), ‘Aqd Al-Jawahir Ats-Tsamina, Ibnu Syas (2/343-344), Asy-Syarh Al-Kabir, Ad-Dardir (3/70), Al-Muntaqa, Al-Baji (5/102), At-Taj wal Iklil, Al-Mawwaq (4/379)].

****

PERMASALAHAN KEEMPAT: UKURAN (AL-MU’TABAR) LAMANYA HAK KHIYAR.

Apabila terbukti adanya kecurangan harga (ghabn), maka penjual memiliki hak khiyar. Namun, berapa lama masa hak khiyar itu? Masalah ini diperselisihkan para ulama menjadi tiga pendapat:

Pendapat pertama: Ia memiliki hak khiyar segera (langsung) seperti halnya dalam kasus cacat barang. Jika ia meninggalkan pembatalan akad padahal memungkinkan, maka gugur haknya.

Ini adalah pendapat yang sahih menurut madzhab Syafi’i, karena hak khiyar ini bukan untuk memastikan ada atau tidaknya cacat, maka ia bersifat segera, seperti hak khiyar tiga hari.

[Lihat: Al-Hawi Al-Kabir, Al-Mawardi (5/348), Al-Bayan, Al-‘Umrani (5/353), Raudhat Ath-Thalibin, An-Nawawi (3/415)].

Pendapat kedua: Ia memiliki hak khiyar selama tiga hari, karena ini termasuk hak khiyar akibat adanya penipuan, sehingga disamakan dengan khiyar mushorroh (خِيَارُ الْمُصَرَّاةِ).

Ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i.

Bantahan: Khiyar mushorroh adalah untuk memastikan adanya cacat, karena bisa jadi seseorang tidak mengetahui perbuatan memerah susu tanpa menunggu tiga hari.

[Lihat: Al-Hawi Al-Kabir, Al-Mawardi (5/348), Al-Bayan, Al-‘Umrani (5/353), Raudhat Ath-Thalibin, An-Nawawi (3/415)].

Pendapat ketiga: Ia memiliki hak khiyar kapan pun ia masuk ke pasar, meskipun setelah bertahun-tahun.

Ini adalah pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiri. [Al-Muhalla, Ibnu Hazm (8/449)].

Bantahan: Tidak diragukan lagi bahwa ijtihad Ibnu Hazm ini menimbulkan mudarat besar bagi pasar, penduduknya, serta transaksi yang terjadi, bahkan juga bagi pengadilan yang menangani sengketa. Sebab, hal ini membuka pintu perselisihan yang besar tanpa batas waktu yang jelas sehingga mengganggu stabilitas transaksi.

Pendapat yang rajih dan yang lebih kuat:

Penulis berpendapat bahwa pendapat yang rajih adalah pendapat pertama, yaitu hak khiyar berlaku segera. Maka jika seseorang membeli barang dari sebuah rombongan pengendara pengangkut barang sebelum masuk ke pasar, lalu pemilik barang masuk ke pasar dan mengetahui adanya kecurangan harga yang menimpanya akibat jual beli tersebut, maka ia boleh membatalkan akad saat itu juga.

Namun, jika pemilik barang masuk ke pasar dan tidak meminta pembatalan akad padahal ia sudah tahu adanya kecurangan harga, lalu ia tidak mengajukan pembatalan, maka gugurlah haknya untuk meminta pembatalan.

Akan tetapi, dosa tetap menimpa pihak pembeli atau penerima barang (pihak yang menipu) karena telah menyelisihi perintah Rasulullah .

===***===

PEMBAHASAN KETIGA: 
MASALAH-MASALAH TALAQQI RUKBAN.

*****

PERMASALAHAN PERTAMA:
TALAQQI KETIKA PENJUAL SAMPAI LEBIH DAHULU SEBELUM BARANG ATAU SEBALIKNYA:

====

Pertama: Talaqqi ketika penjual sampai lebih dahulu sebelum barang.

Jika penjual sudah sampai di pasar atau berada di sana, kemudian ia memberitahu orang-orang tentang datangnya barang miliknya dengan sifatnya begini dan begitu, lalu ada seseorang yang membelinya darinya, maka hal ini termasuk dalam kategori talaqqi yang dilarang.

Dalam hal ini Imam Malik rahimahullah memberikan fatwa demikian.

Al-Baji berkata:

"رَوَى ابْنُ الْمَوَّازِ عَنْ مَالِكٍ فِيمَنْ جَاءَهُ طَعَامٌ أَوْ بَزٌّ أَوْ غَيْرُهُ فَوَصَلَ إِلَيْهِ خَبَرُهُ وَصِفَتُهُ عَلَى مَسِيرَةِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ فَيُخْبِرُ بِذَلِكَ فَيَشْتَرِيهِ مِنْهُ رَجُلٌ فَلَا خَيْرَ فِيهِ، وَهَذَا مِنَ التَّلَقِّي، وَوَجْهُ ذَلِكَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَنَّهُ شِرَاءُ السِّلَعِ قَبْلَ وُصُولِهَا الْأَسْوَاقَ، وَإِنَّمَا الِاعْتِبَارُ عَلَى هَذَا بِوُصُولِ السِّلَعِ وَوُصُولِ بَائِعِهَا".

“Ibnu Al-Mawwaz meriwayatkan dari Malik tentang seseorang yang dikirimkan makanan, kain, atau barang lainnya, lalu sampai kepadanya kabar dan sifat barang tersebut ketika jaraknya satu atau dua hari perjalanan, kemudian ia memberitahukan hal itu, lalu seseorang membelinya darinya, maka itu tidak baik (tidak diperbolehkan), dan ini termasuk talaqqi. Dasarnya adalah apa yang telah kami sebutkan sebelumnya bahwa ini termasuk pembelian barang sebelum sampai ke pasar. Ukurannya adalah sampainya barang dan sampainya penjual.”

[Lihat: Al-Muntaqa, Al-Baji (5/102), Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/327), Manah Al-Jalil, Alisy (5/63), Mawahib Al-Jalil, Al-Haththab (4/379)].

====

Kedua: Talaqqi ketika barang sampai lebih dahulu sebelum penjual.
Apakah keluar untuk membelinya dari penjual dianggap talaqqi?

Jika barang telah sampai ke pasar, tetapi penjual belum datang, kemudian ada seseorang keluar menjemput penjual dan membeli barang dari penjual sebelum ia turun ke pasar dan mengetahui harga, maka hal ini dianggap talaqqi. Dalam hal ini Al-Baji dari kalangan Malikiyah memberi fatwa:

"إِنَّمَا الِاعْتِبَارُ عَلَى هَذَا بِوُصُولِ السِّلَعِ وَوُصُولِ بَائِعِهَا، وَلَوْ وَصَلَتِ السِّلَعُ السُّوقَ وَلَمْ يَصِلْ بَائِعُهَا فَخَرَجَ إِلَيْهِ مَنْ يَتَلَقَّاهُ وَيَشْتَرِيهَا مِنْهُ قَبْلَ أَنْ يَهْبِطَ إِلَى الأَسْوَاقِ، وَيَعْرِفَ الأَسْعَارَ فَلَمْ أَرَ فِيهِ نَصًّا وَعِنْدِي أَنَّهُ مِنَ التَّلَقِّي الْمَمْنُوعِ، وَاللهُ أَعْلَمُ".

“Yang menjadi ukuran (al-mu’tabar) dalam hal ini adalah sampainya barang dan sampainya penjual. Jika barang telah sampai di pasar, namun penjual belum sampai, lalu ada orang yang keluar menemuinya dan membeli barang tersebut darinya sebelum ia turun ke pasar dan mengetahui harga-harga, maka saya tidak menemukan teks yang jelas tentang hal ini, namun menurut saya hal itu termasuk dalam kategori talaqqi yang dilarang. Wallahu a’lam.”

[Lihat: Al-Muntaqa, Al-Baji (5/102), Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/327), Manah Al-Jalil, Alisy (5/63), Mawahib Al-Jalil, Al-Haththab (4/379), At-Taj wal Iklil, Al-Mawwaq (4/379)].

****

PERMASALAHAN KEDUA: 
KELUAR MENUJU PADANG RUMPUT, KEBUN, PELABUHAN, DAN GUDANG.

===

Pertama: Keluar dari kota menuju padang rumput tempat berkumpulnya para pedagang kambing.

Ibnu Al-Qasim berkata:

وَسَأَلْتُ مَالِكًا عَنِ الْغَنَمِ تُجْلَبُ إِلَى الْحَاضِرَةِ، فَإِذَا كَانَتْ عَلَى الْمِيلَيْنِ أَوِ الثَّلَاثَةِ تَرَكَهَا أَصْحَابُهَا فِي الْمَرْعَى وَيُقَدِّمُونَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَخَرَجُوا بِالْجَزَّارِينَ فَاشْتَرَوْهَا مِنْهُمْ، فَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيهِ، وَهَذَا مِنْ تَلَقِّي السِّلَعِ.

“Aku bertanya kepada Malik tentang kambing yang digiring ke kota, apabila jaraknya tinggal dua atau tiga mil, para pemiliknya meninggalkannya di padang rumput lalu mereka maju ke kota. Kemudian orang-orang keluar bersama tukang jagal dan membeli kambing itu dari mereka. Malik menjawab: Tidak baik (tidak boleh), dan ini termasuk dalam kategori talaqqi barang dagangan.”

[Lihat: Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (3/338,361; 9/316), An-Nawadir waz-Ziyadat, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (4/321)].

====

Kedua: Keluar menuju kebun untuk membeli hasil buahnya.

Pendapat pertama: Termasuk talaqqi jika keluar menuju kebun untuk membeli buah-buahan dan sejenisnya yang pemiliknya mengalami kesulitan dalam menjualnya. Ini adalah pendapat Imam Malik.

Malik berkata:

فَمِنَ التَّلَقِّي أَنْ يَذْهَبَ هَؤُلَاءِ إِلَى أَهْلِ الْحَوَائِطِ، فَيَشْتَرُوا مِنْهُمْ، ثُمَّ يَأْتُونَ بِهِ هَاهُنَا فَهَذَا مِنْهُ.

“Termasuk dalam talaqqi adalah mereka pergi kepada pemilik kebun, lalu membeli dari mereka, kemudian membawanya ke sini. Maka ini termasuk talaqqi.”

[Lihat: Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/357), Asy-Syamil fil Fiqh, Ad-Damiri (2/554), Syarh Mukhtashar Khalil, Al-Kharasyi (5/85)].

Pendapat kedua: Tidak termasuk talaqqi jika keluar menuju kebun untuk membeli buah-buahan dan sejenisnya yang pemiliknya mengalami kesulitan dalam menjualnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Asyhab.

Al-Baji berkata:

"رَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ فِي الْعُتْبِيَّةِ فِي الْأَجِنَّةِ الَّتِي تَكُونُ حَوْلَ الْفُسْطَاطِ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ، يَخْرُجُ إِلَيْهَا التُّجَّارُ فَيَشْتَرُوا وَيَحْمِلُوا فِي السُّفُنِ إِلَى الْفُسْطَاطِ لِلْبَيْعِ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ".

“Ibnu Al-Qasim meriwayatkan dari Malik dalam kitab Al-‘Utbiyyah tentang kebun-kebun yang berada di sekitar Fusthath berupa pohon kurma dan anggur, para pedagang keluar ke sana, membeli hasilnya, kemudian membawanya dengan perahu ke Fusthath untuk dijual. Tidak mengapa dengan hal itu.”

[Lihat: Al-Muntaqa, Al-Baji (5/101-102), Manah Al-Jalil, Alisy (5/63)].

Asyhab berkata:

لَا بَأْسَ بِهِ، وَلَيْسَ هَذَا بِتَلَقٍّ، وَلَكِنَّهُ اشْتَرَى مِنْ مَوْضِعِهِ، وَإِنَّمَا التَّلَقِّي أَنْ يَتَلَقَّى الْجَلَّابَ قَبْلَ أَنْ يَهْبِطَ بِذَلِكَ الْأَسْوَاقَ كَائِنًا ذَلِكَ الْجَلْبُ مَا كَانَ، طَعَامًا أَوْ حَيَوَانًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأَشْيَاءِ كُلِّهَا.

“Tidak mengapa dengan hal itu, dan ini bukan termasuk talaqqi, karena ia membeli dari tempat barang tersebut berada. Talaqqi adalah ketika menjemput pedagang sebelum mereka turun ke pasar dengan barang dagangan mereka, baik itu berupa makanan, hewan, atau selainnya.”

[Lihat: Al-Muntaqa, Al-Baji (5/101-102), Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (8/91; 9/357), An-Nawadir waz-Ziyadat, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (4/1387), Manah Al-Jalil, Alisy (5/63), Asy-Syamil fil Fiqh, Ad-Damiri (2/554), Syarh Mukhtashar Khalil, Al-Kharasyi (5/85)].

====

Ketiga: Membeli dari kapal yang singgah di pelabuhan

Apabila kapal-kapal yang membawa barang telah sampai di pesisir—yang merupakan akhir perjalanan mereka—maka boleh mendatangi kapal tersebut dan membeli barang darinya karena adanya kesulitan jika harus memindahkannya.

Membeli dari kapal-kapal di pesisir tidak termasuk dalam kategori talaqqi (mencegat) karena pesisir tersebut adalah akhir perjalanan barang yang diangkut, sehingga tidak dibebankan perjalanan lagi. Jika harus melanjutkan perjalanan, maka hal itu akan memberatkan mereka, sebagaimana jika perjalanan dilakukan di darat.

Ini adalah pendapat Malikiyah, Al-Auza’i, dan Ishaq.

[Lihat : Al-Muntaqā karya Al-Bājī (5/102), Man al-Jalīl karya ‘Alīsy (5/63), Syar Mukhtaar Khalīl karya Al-Kharashī (5/85), Asy-Syāmil fī al-Fiqh karya Ad-Damīrī (2/555), Mawāhib al-Jalīl karya Al-aṭṭāb (4/380), dan Masāil al-Imām Amad wa Isḥāq bin Rāhwayh karya Al-Kawsaj (6/3056-3057)].

====

Keempat: Membeli dari gudang yang ada di jalan:

Apabila barang disimpan di suatu tempat di sepanjang jalan yang bukan merupakan pasar, maka hukumnya terperinci:

[*] Jika penjual menjual barang tersebut kepada penduduk setempat, maka tidak mengapa, karena dengan menyimpan barang di tempat itu, seakan-akan ia telah sampai di lokasi tersebut.

[*] Namun, jika penjual menjual barang tersebut kepada orang yang datang dari kota (ahlul ḥāḍirah) untuk membelinya, maka hukumnya mengikuti perbedaan pendapat tentang orang kota dan para pedagang yang keluar ke kebun untuk membeli buah-buahannya. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa hal itu tidak termasuk talaqqi.

  [Lihat : At-Tāj wa al-Iklīl karya Al-Mawāq (4/379)].

****

PERMASALAHAN KETIGA: 
MEMBELI DARI AR-RUKBAN JIKA MEREKA MELEWATI RUMAH SESEORANG

====

BAGIAN PERTAMA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN SEBELUM SAMPAI KE PASAR

Gambaran ini memiliki dua keadaan:

Keadaan pertama: Jika rumahnya berada di luar kota.

Maka boleh baginya membeli barang bukan untuk tujuan perdagangan, karena adanya kesulitan baginya untuk pergi ke kota.

Larangan talaqqi berlaku hanya ketika seseorang pergi dari kota yang sudah mengetahui harga-harganya, lalu membeli dari ar-rukban dan kemudian menjualnya kembali di kota dengan memanfaatkan pengetahuannya tentang harga.

[Lihat: Al-Muntaqā, Al-Bājī (5/102), At-Tāj wa al-Iklīl, Al-Mawāq (4/379), Al-Bayān wa at-Taḥṣīl, Ibnu Rušd (9/364-365)].

Keadaan kedua: Jika rumahnya berada di dalam kota.

Pendapat pertama: Madzhab Malikiyah berpendapat, apabila di kota tersebut terdapat pasar yang aktif, maka tidak boleh membeli dari ar-rukban sampai mereka masuk ke pasar.

Namun, jika di kota itu tidak ada pasar, maka boleh membeli dari ar-rukban ketika mereka masuk ke kota.

[Lihat: Al-Bayān wa at-Taḥṣīl, Ibnu Rušd (3/338, 3/362, 9/364), Al-Muntaqā, Al-Bājī (5/102), At-Tāj wa al-Iklīl, Al-Mawāq (4/379), Al-Mi‘yār al-Mu‘arrab, Al-Wanšarīsī (1/308)].

Pendapat kedua: Al-Layts dan Al-Awzāī berpendapat, jika ar-rukban itu melewati pintu rumahnya atau di jalan yang dilaluinya, dan ia tidak berniat untuk mencegat (talaqqi), maka tidak mengapa ia membeli barang tersebut. Karena ini tidak disebut talaqqi. Talaqqi adalah jika seseorang sengaja keluar untuk mencegat ar-rukban tersebut.

[Lihat: Al-Istidhkār, Ibnu ‘Abd al-Barr (21/739-740)].

====

BAGIAN KEDUA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN SETELAH MEREKA KEMBALI DARI PASAR.

Jika barang telah sampai di tempat penjualan (pasar), lalu pemiliknya kembali karena barang tersebut tidak laku atau hanya sebagian yang terjual, maka tidak mengapa membeli barang tersebut baik di jalan ketika berpapasan dengannya maupun di rumah pemilik barang.

Alasannya karena ia sudah keluar dari status sebagai orang yang membawa barang untuk dijual (jālib) dengan sampai ke pasar dan menawarkan barangnya di sana.

[Lihat: Al-Muntaqā, Al-Bājī (5/102), At-Tāj wa al-Iklīl, Al-Mawāq (4/379), As-Syar al-Kabīr, Ad-Dardīr (3/70), As-Syar a-aghīr, Ad-Dardīr (3/109), Asy-Syāmil fī al-Fiqh, Ad-Damīrī (2/554)].

**** 

PERMASALAHAN KEEMPAT: 
MENCEGAT AR-RUKBAN UNTUK MENJUAL KEPADA MEREKA.

Telah kita ketahui bahwa mencegat ar-rukban untuk membeli dari mereka dilarang dan pelakunya berdosa.

Namun bagaimana hukumnya jika menyongsong ar-rukban untuk menjual kepada mereka dan bukan untuk membeli dari mereka?

Apakah orang yang menyongsong juga berdosa? Dan apakah mereka (ar-rukban) memiliki hak khiyar?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

===

Pendapat pertama: Haram.

Mencegat ar-rukban untuk menjual kepada mereka hukumnya sama dengan mencegat untuk membeli dari mereka, yaitu pelakunya berdosa.

Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan asy-Syaukani.

DALIL-DALIL MEREKA :

Dalil pertama: Terdapat riwayat-riwayat dari Nabi yang melarang perbuatan talaqqi.

( نَهَى عَنْ تَلَقِّي الْبُيُوعِ )

(“Beliau melarang talaqqi al-buyu’ (mencegat untuk melakukan jual beli)”)

(HR. Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab: Larangan Menyongsong Ar-rukban dan bahwa jual belinya ditolak karena pemilik barang berdosa jika mengetahuinya, dan karena hal itu adalah tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak boleh, no. 2164. Juga diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab: Pengharaman Talaqqi al-Jalab, no. 1518).

Dan riwayat:

( لَا تَلَقَّوْا السِّلَعَ )

(“Janganlah kalian menyongsong barang dagangan”)

(HR. Bukhari, Kitab al-Buyu’, Bab: Larangan Menyongsong Ar-rukban, no. 2165. Juga Muslim, Kitab al-Buyu’, Bab: Pengharaman Talaqqi al-Jalab, no. 1517).

Dan riwayat:

( لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ )

(“Jangan menyongsong pembawa barang dagangan”)

(HR. Muslim, Kitab al-Buyu’, Bab: Pengharaman Talaqqi al-Jalab, no. 1519).

Dan riwayat:

( نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنِ التَّلَقِّي)

(“Nabi melarang talaqqi”)

(HR. Bukhari, Kitab al-Buyu’, Bab: Larangan Menyongsong Ar-rukban dan bahwa jual belinya ditolak karena pemilik barang berdosa jika mengetahuinya, dan karena hal itu adalah tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak boleh, no. 2162).

Larangan ini bersifat umum sehingga mencakup larangan menjual kepada mereka sebagaimana melarang membeli dari mereka. Karena jika larangan hanya khusus untuk membeli saja, maka sesuatu yang sepadan dengannya juga ikut dilarang.

Dalil kedua: Larangan membeli dari mereka disebabkan adanya unsur penipuan dan merugikan mereka, dan hal ini juga terdapat dalam menjual kepada mereka. Hanya saja disebut membeli karena itu yang paling sering terjadi. Maka hukumnya sama antara menjual dan membeli karena illat-nya sama.

Kata "beli (الشِّرَاء)" disebutkan karena merupakan kata yang paling umum, sehingga menjual dan membeli dianggap sama karena memiliki alasan yang sama.

Dan karena kata "jual (الْبَيْع)" merupakan salah satu kata yang berlawanan, maka kata "jual (الْبَيْع)" digunakan untuk “membeli (الشِّرَاء)” sebagaimana halnya kata "jual (الْبَيْع)".

Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Mulia telah menyebutkan hal ini. [Lihat : Syarh Mukhtasar al-Kharqi, az-Zarkasi (3/653).] 

Firman Allah Ta’ala:

﴿وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ﴾

Mereka menjualnya dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja.” [QS. Yusuf: 20].

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

«لَا تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ، ‌وَلَا ‌يَبِعْ ‌بَعْضُكُمْ ‌عَلَى ‌بَيْعِ ‌بَعْض»

“Janganlah kalian mencegat ar-rukban, dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan saudaranya.”

(HR. Bukhari, Kitab al-Buyu’, Bab: Larangan menjual atas jualan orang lain, no. 2150. HR. Muslim, Kitab al-Buyu’, Bab: Pengharaman jual beli atas jual beli saudaranya, nomor 1515).

Dalam riwayat Imam Malik dalam al-Muwath-tha 2/683 no. 96 :

«لَا تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ لِلْبَيْعِ، ‌وَلَا ‌يَبِعْ ‌بَعْضُكُمْ ‌عَلَى ‌بَيْعِ ‌بَعْضٍ، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ، بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا، إِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا، وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ»

“Janganlah kalian menyongsong (mencegat) ar-rukban untuk membeli.

Janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lain.

Janganlah kalian melakukan najasy (menipu dalam tawar-menawar).

Janganlah orang kota menjual untuk orang dusun, dan janganlah kalian memerah susu unta dan kambing (lalu tidak memberitahukan bahwa susunya diikat agar tampak banyak).

Barang siapa yang membelinya setelah itu, maka dia berhak memilih salah satu dari dua pilihan setelah memerah susunya: jika ia ridha, maka ia boleh menahannya. Jika ia tidak suka, maka ia boleh mengembalikannya beserta satu sha‘ kurma.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :

قَالَ الْعُلَمَاءُ ‌الْبَيْعُ ‌عَلَى ‌الْبَيْعِ ‌حَرَامٌ ‌وَكَذَلِكَ ‌الشِّرَاءُ عَلَى الشِّرَاءِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ لِمَنِ اشْتَرَى سِلْعَةً فِي زَمَنِ الْخِيَارِ افْسَخْ لِأَبِيعَكَ بِأَنْقَصَ أَوْ يَقُولَ لِلْبَائِعِ افْسَخْ لِأَشْتَرِيَ مِنْكَ بِأَزْيَدَ وَهُوَ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ

Para ulama berkata, jual beli di atas jual beli orang lain hukumnya haram, begitu juga membeli di atas pembelian orang lain.

Hal itu adalah ketika seseorang berkata kepada orang yang telah membeli suatu barang pada masa khiyar: “Batalkan (transaksi itu) agar aku jual kepadamu dengan harga yang lebih murah,” atau ia berkata kepada penjual: “Batalkan (jual beli itu) agar aku membeli darimu dengan harga yang lebih tinggi.”

Hal ini merupakan perkara yang disepakati (ijma’). [Lihat : Fathul Bari 4/353].

====

Pendapat kedua: Boleh.

Boleh menyongsong ar-rukban untuk menjual kepada mereka, bukan untuk membeli dari mereka. Ini adalah pendapat madzhab Malikiyah dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah.

[Referensi Syafi’iyyah : Raudhah ath-Thalibin, an-Nawawi (3/413), Mughnil Muhtaj, asy-Syarbini (2/36), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/314).

Referensi Hanbali : asy-Syarh al-Kabir, ar-Rafi’i (8/219), Nihayatul Muhtaj, ar-Ramli (3/467), Mughnil Muhtaj, asy-Syarbini (2/36), Raudhah ath-Thalibin, an-Nawawi (3/415), al-Bayan, al-‘Imrani (5/354), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/314).]

Mereka berdalil:

Larangan membeli dari ar-rukban adalah karena hal itu menghilangkan kemudahan bagi penduduk pasar agar tidak terputus dari mereka apa yang mereka tunggu sebagai karunia Allah. Maka menjual kepada mereka tidak termasuk larangan tersebut, sehingga boleh menyongsong untuk tujuan itu. [al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/314).]

Bantahan:

1]. Pendapat yang mengatakan bahwa larangan mencegat ar-rukban hanyalah karena menghilangkan kemudahan bagi penduduk pasar adalah pendapat yang bertentangan dengan makna hadis, karena Nabi memberikan hak khiyar bagi penjual jika sudah masuk pasar, sementara kalian tidak memberinya hak khiyar.

Pemberian hak khiyar oleh Nabi menunjukkan bahwa larangan mencegat adalah demi hak penjual, bukan demi hak pihak lain.

2]. Orang yang duduk di pasar itu sama seperti orang yang mencegat dan seperti penjual dalam hal masing-masing mengharap karunia Allah. Maka tidak sesuai dengan hikmah jika membatalkan akad salah satu dari keduanya dan menimpakan mudarat kepadanya demi menolak mudarat dari yang semisalnya.

Tidak ada alasan bahwa menjaga hak orang yang duduk di pasar lebih utama daripada menjaga hak orang yang mencegat atau penjual. Selama hak khiyar ditetapkan bagi penjual ketika dibeli darinya, maka hak khiyar itu juga berlaku ketika dijual kepadanya.

[Lihat: al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/314) dan setelahnya]

===

Pendapat yang rajih dan lebih kuat:

Penulis berpendapat bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, yaitu bahwa orang yang mencegat ar-rukban untuk menjual kepada mereka hukumnya sama dengan orang yang mencegat untuk membeli dari mereka, sehingga ia berdosa, dan ditetapkan hak khiyar bagi mereka jika mengalami kerugian, karena kuatnya dalil pendapat pertama dan selamat dari sanggahan.

 *****

PERMASALAHAN KELIMA: 
MENYONGSONG AR-RUKBAN TANPA SENGAJA.

Jika seseorang keluar bukan untuk maksud membeli dari ar-rukban, tetapi ia kebetulan bertemu mereka lalu membeli dari mereka, apakah ia berdosa?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

====

Pendapat pertama: Haram.

Ini pendapat Madzhab Syafi’iyah dalam pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat mereka, dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanabilah, menyatakan bahwa jika ia keluar tanpa maksud membeli, maka tetap haram baginya membeli.

Jika ia melakukannya, maka ia termasuk orang yang bermaksiat dan berdosa meskipun tidak bermaksud menyongsong, karena hukumnya sama seperti orang yang keluar dengan niat menyongsong.

[Referensi Madzhab Syafi’i : asy-Syarh al-Kabir, ar-Rafi’i (8/219), Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah (1/183), Mughnil Muhtaj, asy-Syarbini (2/36), Nihayatul Muhtaj, ar-Ramli (3/466), al-Muhadzdzab, asy-Syirazi (1/292), Raudhah ath-Thalibin, an-Nawawi (3/415), al-Bayan, al-‘Imrani (5/353-354), at-Takmilah ats-Tsaniyah lil Majmu’, al-Muthi’i (13/23).

Referensi Madzhab Hanbali : al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/315), al-Kafi, Ibnu Qudamah (2/15), al-Inshaf, al-Mardawi (4/394), al-Iqna’, al-Hijawi (2/91), Syarh Muntaha al-Iradat, al-Buhuti (2/41).

Dalil mereka:

Sesungguhnya larangan menyongsong (mencegaat) itu untuk mencegah terjadinya penipuan dan kerugian bagi para pembawa barang, dan makna ini tetap ada walaupun ia tidak berniat menyongsong. Oleh karena itu, wajib dicegah karena tidak ada perbedaan antara berniat atau tidak. [Baca : al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi (5/348)].

====

Pendapat kedua: Boleh.

Madzhab Syafi’iyah dalam pendapat lainnya, satu pendapat dari Hanabilah, dan Al-Laits bin Sa’ad berpendapat bahwa jika seseorang keluar tanpa maksud untuk menyongsong ar-rukban, lalu membeli dari mereka, maka tidak ada dosa dan tidak diharamkan, karena hukum ini khusus bagi yang bermaksud untuk menyongsong.

Al-Mardawi berkata:

قِيلَ: لَا خِيَارَ لَهُمْ إِلَّا إِذَا قَصَدَ تَلَقِّيهِمْ. وَهُوَ اِحْتِمَالٌ

“Ada yang mengatakan: mereka (pemilik barang) tidak memiliki hak khiyar kecuali jika memang dimaksudkan untuk menyongsong mereka.” Ini merupakan suatu kemungkinan. [Lihat : Al-Insaf, Al-Mardawi (4/394)]

[Referensi Madzhab Syafi’i : Asy-Syarh Al-Kabir, Al-Rafi’i (8/219), Al-Hawi Al-Kabir, Al-Mawardi (5/348), Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah (1/183), Nihayah Al-Muhtaj, Al-Ramli (3/466), Al-Muhadzdzab, Al-Syirazi (1/292), Raudhat Al-Thalibin, Al-Nawawi (3/415), Al-Bayan, Al-‘Imrani (5/353-354).

Referensi Madzhab Hanbali : Al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/315), Al-Kafi, Ibnu Qudamah (2/15), Syarh Mukhtashar Al-Khiraqi, Al-Zarkasyi (3/653).

Dalil mereka: Karena ia keluar tanpa maksud menyongsong, maka larangan tidak berlaku padanya.

Pendapat yang lebih rajih dan lebih kuat:

Penulis berpendapat bahwa yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena larangan itu ditetapkan untuk mencegah kecurangan dan kerugian, dan alasan ini tetap ada walaupun ia tidak berniat menyongsong, apalagi jika ia keluar dengan maksud menyongsong. Selain itu, larangan tersebut bersifat umum, mencakup yang berniat maupun yang tidak berniat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

[Baca: Hasyiyataa Qalyubi wa ‘Umairah (2/183), Al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/315), Syarh Mukhtashar Al-Khiraqi, Al-Zarkasyi (3/653)]

===***===

KESIMPULAN

Talaqqi ar-rukban adalah keluar dari kota tempat barang atau kebutuhan dibawa untuk menemui para pembawa barang tersebut agar membeli darinya sebelum mereka sampai di pasar.

Para imam empat madzhab sepakat bahwa menyongsong ar-rukban itu makruh dan dilarang.

Jika talaqqi terjadi, jual beli tetap sah, dan penjual memiliki hak memilih untuk membenarkannya.

Larangan ini bertujuan untuk melindungi kepentingan pembawa barang dan penduduk pasar. Talaqqi dimulai sejak keluar dari pasar, dan keluar menuju pelabuhan untuk menyambut kapal bukan termasuk talaqqi.

Posting Komentar

0 Komentar