HUKUM
JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN
(بَيْعُ تَلَقِّي الرُّكْبَانِ)
(Membeli Barang Dengan Cara Mencegat
Para Pengendara Pedagang Dari Pedalaman Sebelum Masuk Pasar di Kota)
---
Di
Tulis Oleh Abu Haitsam Fakrhy
KAJIAN
NIDA AL-ISLAM
----
---
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- RINCIAN PEMBAHASAN TENTANG TALAQQI AR-RUKBAN
- PEMBAHASAN PERTAMA: DEFINISI TALAQQI AR-RUKBAN DAN HUKUMNYA.
- PERMASALAHAN PERTAMA: DEFINISI JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN.
- PERMASALAHAN KEDUA: HUKUM TAKLIFI TALAQQI AR-RUKBAN
- PERMASALAHAN KETIGA: STATUS HUKUM TERHADAP JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN
- PERMASALAHAN KEEMPAT: SEBAB LARANGAN TERHADAP TALAQQI AR-RUKBAN:
- PEMBAHASAN KEDUA: BATASAN TALAQQI DAN
PILIHAN (KHİYĀR)-NYA
- PERMASALAHAN PERTAMA: BATASAN TALAQQI
- PERMASALAHAN KEDUA: AWAL DAN AKHIR TALAQQI
- BAGIAN PERTAMA: AWAL TALAQQI
- BAGIAN KEDUA : AKHIR TALAQQI
- PERMASALAHAN KETIGA: OPSI (HAK KHIYAR) BAGI PENJUAL DAN PENDUDUK PASAR DALAM TALAQQI AR-RUKBAN
- BAGIAN PERTAMA: OPSI PENJUAL DALAM TALAQQI AR-RUKBAN
- BAGIAN KEDUA: HAK KHIYAR (OPSI) BAGI PENDUDUK PASAR DALAM KASUS TALAQQI RUKBAN.
- BAGIAN KETIGA: HAK KHIYAR (OPSI) BAGI PENDUDUK PASAR DALAM KASUS TALAQQI RUKBAN
- PERMASALAHAN KEEMPAT: UKURAN (AL-MU’TABAR) LAMANYA HAK KHIYAR.
- PEMBAHASAN KETIGA: MASALAH-MASALAH TALAQQI RUKBAN.
- PERMASALAHAN PERTAMA: TALAQQI KETIKA PENJUAL SAMPAI LEBIH DAHULU SEBELUM BARANG ATAU SEBALIKNYA.
- PERMASALAHAN KEDUA: KELUAR MENUJU PADANG RUMPUT, KEBUN, PELABUHAN, DAN GUDANG.
- PERMASALAHAN KETIGA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN JIKA MEREKA MELEWATI RUMAH SESEORANG
- BAGIAN PERTAMA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN SEBELUM SAMPAI KE PASAR
- BAGIAN KEDUA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN SETELAH MEREKA KEMBALI DARI PASAR.
- PERMASALAHAN KEEMPAT: MENCEGAT AR-RUKBAN UNTUK MENJUAL KEPADA MEREKA
- PERMASALAHAN KELIMA: MENYONGSONG AR-RUKBAN TANPA SENGAJA
- KESIMPULAN
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
«لَا
تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ، وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ»، قَالَ: فَقُلْتُ لِابْنِ
عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ «لَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ» قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
“Janganlah kalian menyongsong (mencegat) para
pengendara (yang membawa barang dagangan), dan janganlah penduduk kota menjualkan
untuk orang desa.”
Aku (Thawus) berkata kepada Ibnu Abbas: “Apa
maksud sabda beliau ﷺ
‘Janganlah penduduk kota menjual untuk orang desa’?”.
Ia menjawab: “Jangan menjadi makelar
(perantara) baginya.” [HR. Bukhori no. 2158]
Dari Jabir dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا
يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ، دَعُوا النَّاسَ يَرْزُقِ اللهُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ»
“Janganlah penduduk kota menjualkan (menjadi
calo penjualan) barang milik penduduk desa, biarkanlah sebagian masyarakat
dikaruniai rizqi oleh Allah dari sebagian lainnya.” [HR. Muslim no. 1522].
PENJELASAN SINGKAT :
Sabda Nabi ﷺ :
«لَا
تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ»
“Janganlah kalian menyongsong (mencegat) para
pengendara (yang membawa barang dagangan)
Syaikh Athiyyah Salim dalam Syarah
Bulugh al-Maram (al-Maktabah asy-Syamilah191/15) berkata:
وَالرُّكْبَانُ إِمَّا أَنْ يَكُونُوا قَادِمِينَ مِنَ الْبَادِيَةِ، أَوْ قَادِمِينَ
مِنْ بَلَدٍ أُخْرَى حَاضِرَةٍ لِلْبَيْعِ فِي هَذِهِ الْبَلْدَةِ؛ لاِخْتِلَافِ الْأَسْعَارِ،
وَلِكَثْرَةِ الْحَاجَةِ، وَلِقِلَّةِ السِّلْعَةِ، وَهَذِهِ أُمُورٌ تَحْكُمُهَا حَالَةُ
الأَسْوَاقِ.
وَلْنَفْتَرِضِ الْمَسْأَلَةَ فِي الْبَادِيَةِ: فَإِذَا جَاءَ الْجَالِبُ مِنَ
الْبَادِيَةِ، فَإِنَّهُ سَيَأْتِي بِإِنْتَاجِ الْبَادِيَةِ، وَإِنْتَاجُ الْبَادِيَةِ
إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَهِيمَةَ الأَنْعَامِ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ نَتَاجَهَا مِنْ
أَلْبَانٍ، أَوْ أَصْوَافٍ، أَوْ جُلُودٍ، وَنَحْوَ ذَلِكَ، وَإِمَّا حَطَبًا يَحْتَطِبُ
مِنَ الْجِبَالِ، وَنَتَاجُ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ يَكُونُ سَمْنًا، وَيَكُونُ أَقِطًا،
كُلُّ هَذَا مِنْ إِنْتَاجِ الْبَادِيَةِ، فَإِذَا جَاءَ الْبَدَوِيُّ بِسِلْعَةٍ،
وَيُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهَا فِي الْمَدِينَةِ، وَيَشْتَرِيَ بِثَمَنِهَا سِلَعًا أُخْرَى
مِنَ السُّوقِ، فَهُوَ أَتَى بِسَمْنٍ أَوْ حَطَبٍ أَوْ جُبْنٍ، فَبَاعَ وَاشْتَرَى
سُكَّرًا، أَوْ قُمَاشًا، أَوْ قَهْوَةً، أَوْ هَيْلًا. إِلْخ.
وَهَذِهِ هِيَ الْعَادَةُ، فَإِذَا قَدِمَ رَكْبٌ بِسِلَعٍ بَدَوِيَّةٍ، فَلَا
يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ السُّوقِ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ السُّوقِ، أَوْ يَخْرُجَ
مِنَ الْبَلْدَةِ وَيَتَلَقَّاهُمْ قَبْلَ أَنْ يَصِلُوا إِلَى السُّوقِ، وَقَبْلَ
أَنْ يَعْرِفُوا الأَسْعَارَ، فَيُسَاوِمَهُمْ عَلَى مَا مَعَهُمْ؛ لأَنَّهُ بِتَلَقِّيهِ
لِلرُّكْبَانِ يَقْطَعُ السِّلَعَ عَنْ أَهْلِ السُّوقِ.
“Para ar-rukban (rombongan pembawa
barang) bisa jadi datang dari pedalaman, atau datang dari kota lain untuk
menjual barang di kota ini karena perbedaan harga, tingginya kebutuhan, dan
sedikitnya barang, dan semua ini diatur oleh kondisi pasar.
Misalkan kasus ini terjadi
di pedalaman: Jika seorang
pembawa barang datang dari pedalaman, maka ia akan membawa hasil produksi
pedalaman. Hasil pedalaman itu bisa berupa hewan ternak, atau hasil ternak
seperti susu, wol, kulit, dan sejenisnya. Bisa juga berupa kayu bakar yang
diambil dari pegunungan. Dari hasil ternak juga ada minyak samin, atau qith‘
(sejenis keju kering). Semua ini merupakan hasil produksi pedalaman.
Jika seorang badui datang membawa barang
dagangan dan ingin menjualnya di kota untuk kemudian membeli barang lain dari
pasar dengan uang hasil penjualannya, misalnya ia membawa minyak samin, kayu
bakar, atau keju, lalu ia menjualnya untuk membeli gula, kain, kopi, kapulaga,
dan seterusnya—ini hal yang biasa terjadi.
Apabila datang
suatu ar-rukban dengan membawa barang-barang dari pedalaman, maka tidak
sepantasnya seorang pun dari penduduk pasar keluar dari pasar atau keluar dari
kota untuk menyongsong mereka sebelum mereka sampai ke pasar dan sebelum mereka
mengetahui harga-harga barang yang hendak dijualnya, kemudian para pencegat menawar
barang-barang yang mereka bawa dengan harga jauh dibawah harga pasar. Karena
dengan menyongsong para rukban ini, berarti ia memutus barang-barang tersebut
dari penduduk pasar”. [Kutipan Selesai]
Sabda Nabi ﷺ:
«لَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ»
“Janganlah orang kota menjualkan untuk
orang desa.”
Syaikh Athiyyah Salim dalam Syarah
Bulugh al-Maram (al-Maktabah asy-Syamilah191/15-16) berkata:
وَمِنَ النَّهْيِ هُنَا أَيْضًا نَهْيُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَّا
يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَانْظُرْ إِلَى هَذَا التَّنَاسُقِ بَيْنَ هَذِهِ النَّوَاهِي!
وَلْنَفْرِضْ أَنَّ الرُّكْبَانَ لَمْ يَتَلَقَّهَا أَحَدٌ، وَوَصَلَتْ إِلَى السُّوقِ،
فَإِذَا وَصَلَتْ إِلَى السُّوقِ دُونَ أَنْ تَصْطَدِمَ بِمُتَلَقٍّ يُخْدِعُهَا، وَبَدَأَ
الْبَيْعُ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْتِيَ حَاضِرٌ وَيَتَوَلَّى عَمَلِيَّةَ الْبَيْعِ
لِلْبَادِي.
وَقَدْ سَأَلَ السَّائِلُ ابْنَ عَبَّاسٍ: مَا مَعْنَى قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ)؟ فَقَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا.
وَالسِّمْسَرَةُ: مَعْرُوفَةٌ مِنْ قَدِيمٍ، فَهُنَا الْجَالِبُ إِذَا وَصَلَ
السُّوقَ فَلْيَتْرُكْ بِسِلْعَتِهِ مَعَ النَّاسِ، فَإِنَّ الْجَالِبَ سَيَبِيعُ بِمَا
يَرَاهُ يَحْفَظُ حَقَّهُ، وَالْغَالِبُ أَنَّ الْبَدَوِيَّ يَجْلِبُ سِلَعًا لَمْ
يَدْفَعْ فِيهَا مَالًا، وَإِنَّمَا بَذَلَ فِيهَا جُهْدًا، فَرَأْسُ مَالِهَا عَلَيْهِ
جُهْدُهُ فِي الْحَلْبِ، وَالتَّصْنِيعِ وَمَا إِلَى ذَلِكَ، أَمَّا الَّذِي يَشْتَرِيهَا
وَيَأْتِي بِهَا إِلَى السُّوقِ، أَوْ يَشْتَرِيهَا بِالْجُمْلَةِ وَيَبِيعُهَا بِالتَّجْزِئَةِ،
فَإِنَّهُ يَعْمَلُ حِسَابَ رَأْسِ الْمَالِ الَّذِي دَفَعَهُ، وَالْغَالِبُ أَنَّ
الْجَالِبَ مِنَ الْبَادِيَةِ يَتَسَاهَلُ فِي سِلْعَتِهِ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْسَرْ
فِيهَا مَالًا، وَإِنَّمَا بَذَلَ فِيهَا جُهْدًا، فَيَكُونُ فِي هَذَا رَخَاءٌ وَتَوْسِيعٌ
عَلَى النَّاسِ.
أَمَّا إِذَا جَاءَ أَحَدُ أَهْلِ السُّوقِ لِيَبِيعَ السِّلْعَةَ لِهَذَا الْبَدَوِيِّ،
فَإِنَّهُ سَيَسْتَخْدِمُ خِبْرَتَهُ وَمَعْرِفَتَهُ بِالسُّوقِ لِيَخْدِمَ بِهَا الْجَالِبَ،
فَهُوَ يَعْلَمُ أَسْعَارَ السُّوقِ، وَيَعْلَمُ هَلِ السِّلْعَةُ مُتَوَفِّرَةٌ أَمْ
غَيْرُ مُتَوَفِّرَةٍ، فَيُغَالِي فِي الثَّمَنِ وَيَزِيدُ فِي السِّعْرِ، فَيَتَضَرَّرُ
أَهْلُ الْبَلَدِ، لَا سِيَّمَا الْمَسَاكِينُ وَالْأَرَامِلُ وَالْأَيْتَامُ وَالْفُقَرَاءُ
وَالضُّعَفَاءُ، فَتُقْطَعُ عَلَيْهِمُ الطَّرِيقُ، وَلَا يَنْتَفِعُونَ مِنْ جَلْبِ
الْبَادِيَةِ، وَلِذَا جَاءَ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ: (دَعِ النَّاسَ يَرْزُقِ اللهُ
بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ)، فَهَذَا اشْتَرَى قِرْبَةَ سَمْنٍ، فَإِنْ كَانَ لِبَيْتِهِ
-وَجَاءَتْ رَخِيصَةً- فَهُوَ رِزْقٌ مِنَ اللهِ، وَإِنْ كَانَ سَيَبِيعُهَا وَيَكْسَبُ
فَهَذَا رِزْقٌ مِنَ اللهِ.
فَقَوْلُهُ: (لَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ) قَالُوا: هِيَ عَلَى الْمَبْدَإِ
الْأَوَّلِ فِي تَلَقِّي الرُّكْبَانِ، بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ الْبَادِي لَا يَعْرِفُ
أَسْعَارَ السُّوقِ.
Larangan ini juga termasuk sabda Nabi ﷺ agar orang kota tidak
menjualkan barang untuk orang desa. Perhatikan bagaimana keterkaitan
larangan-larangan ini! Misalnya, kafilah tadi tidak dicegat oleh siapa pun dan
akhirnya sampai ke pasar. Ketika sudah sampai di pasar tanpa ditipu oleh orang
yang mencegat, dan mulai berdagang, maka tetap tidak boleh ada orang kota yang
mengambil alih urusan penjualan barang milik orang desa tersebut.
Seorang penanya pernah bertanya kepada
Ibnu ‘Abbas tentang makna sabda Nabi ﷺ: “Janganlah orang kota menjualkan untuk orang desa.” Maka
beliau menjawab: “Jangan menjadi makelar baginya.”
“Makelar (samsarah)” sudah dikenal sejak
dahulu. Maksudnya, jika orang desa sudah sampai di pasar dengan barang
dagangannya, biarkan dia menjual barangnya sendiri. Orang desa biasanya akan
menjual dengan harga yang menurutnya cukup untuk menjaga haknya. Umumnya, orang
desa membawa barang yang tidak ia beli dengan uang, melainkan hasil dari jerih
payahnya—seperti memerah susu, mengolah hasil ternak, dan sebagainya. Sedangkan
orang yang membeli lalu menjual kembali, biasanya memperhitungkan modal yang
telah ia keluarkan.
Adapun orang desa, karena ia tidak
mengeluarkan uang (hanya tenaga), biasanya lebih mudah melepas barangnya. Ini
akan membuat harga lebih terjangkau dan memberi kelonggaran bagi masyarakat.
Namun, jika ada orang kota yang
menjualkan barang tersebut untuk orang desa, maka ia akan menggunakan
pengalaman dan pengetahuannya tentang pasar untuk keuntungan orang desa. Ia
tahu harga pasar, ia tahu apakah barang ini langka atau tidak, sehingga ia bisa
menaikkan harga dan mempermahal, yang akhirnya merugikan penduduk kota—terutama
fakir miskin, janda, yatim, orang lemah. Mereka pun tidak bisa menikmati
keuntungan dari barang bawaan orang desa.
Karena itu,
dalam sebagian riwayat disebutkan:
“Biarkanlah
manusia, agar Allah memberi rezeki sebagian mereka melalui sebagian yang lain.”
Jadi, jika
seseorang membeli satu wadah minyak samin untuk kebutuhan rumahnya dan ternyata
murah, maka itu adalah rezeki dari Allah. Jika ia menjualnya lagi dan
mendapatkan keuntungan, itu juga rezeki dari Allah.
"Maka sabdanya: (Janganlah orang
kota menjual untuk orang desa), mereka mengatakan: hal ini kembali kepada
prinsip pertama dalam larangan menyongsong rombongan (talaqqī ar-rukbān), dengan
syarat bahwa orang desa tersebut tidak mengetahui harga-harga pasar." [Kutipan
Selesai]
Imam Nawawi dalam syarahnya (5/309)
menjelaskan:
هَذِهِ
الْأَحَادِيثُ تَتَضَمَّنُ تَحْرِيمَ بَيْعِ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ
وَالْأَكْثَرُونَ قَالَ أَصْحَابُنَا وَالْمُرَادُ بِهِ أَنْ يَقْدَمَ غَرِيبٌ مِنَ
الْبَادِيَةِ أَوْ مِنْ بَلَدٍ آخَرَ بِمَتَاعٍ تَعُمُّ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ لِيَبِيعَهُ
بِسِعْرِ يَوْمِهِ فَيَقُولَ لَهُ الْبَلَدِيُّ اتْرُكْهُ عِنْدِي لِأَبِيعَهُ عَلَى
التَّدْرِيجِ بِأَعْلَى قَالَ أَصْحَابُنَا وَإِنَّمَا يَحْرُمُ بِهَذِهِ الشُّرُوطِ
وَبِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِالنَّهْيِ فَلَوْ لَمْ يَعْلَمِ النَّهْيَ أَوْ
كَانَ الْمَتَاعُ مِمَّا لَا يُحْتَاجُ فِي الْبَلَدِ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ لِقِلَّةِ
ذَلِكَ الْمَجْلُوبِ لَمْ يَحْرُمْ وَلَوْ خَالَفَ وَبَاعَ الْحَاضِرُ لِلْبَادِي صَحَّ
الْبَيْعُ مَعَ التَّحْرِيمِ هَذَا مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ
وَغَيْرُهُمْ وَقَالَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ يُفْسَخُ الْبَيْعُ مَا لَمْ يَفُتْ وَقَالَ
عَطَاءٌ وَمُجَاهِدٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ بَيْعُ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي مُطْلَقًا
لِحَدِيثِ الدِّينُ النَّصِيحَةُ قَالُوا وَحَدِيثُ النَّهْيِ عَنْ بَيْعِ الْحَاضِرِ
لِلْبَادِي مَنْسُوخٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّهُ على كراهة التنزيه بمجرد الدعوى
“Hadis-hadis ini
mengandung larangan menjualkan (barang) orang desa oleh orang kota, dan
pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan mayoritas ulama. Ulama madzhab
kami berkata: Yang dimaksud adalah apabila seorang pendatang dari desa atau
dari negeri lain datang membawa barang dagangan yang sangat dibutuhkan untuk
dijual sesuai harga hari itu, lalu orang kota berkata kepadanya: “Tinggalkan
barang itu padaku agar aku menjualnya sedikit demi sedikit dengan harga yang
lebih tinggi.”
Ulama madzhab kami berkata: Larangan ini
berlaku dengan syarat-syarat ini, dan dengan syarat dia mengetahui adanya
larangan tersebut. Jika dia tidak tahu adanya larangan, atau barang tersebut
adalah barang yang tidak dibutuhkan di kota itu dan tidak berpengaruh karena
sedikitnya barang yang didatangkan, maka tidak haram.
Dan jika ia melanggar dan orang kota
menjualkan barang orang desa, maka jual beli itu sah tetapi tetap haram. Ini
adalah pendapat madzhab kami, dan pendapat ini juga dikemukakan oleh sekelompok
ulama Malikiyah dan lainnya.
Sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa
akad jual beli tersebut dibatalkan selama belum ada perubahan (belum selesai).
Sedangkan ‘Atha’, Mujahid, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa menjualkan barang
orang desa oleh orang kota itu boleh secara mutlak karena hadits “Agama adalah
nasihat.” Mereka mengatakan bahwa hadits larangan menjualkan barang orang desa
oleh orang kota itu telah dihapus (mansukh). Dan sebagian mereka berpendapat
bahwa hal tersebut hanya makruh tanzih semata (sekadar tidak disukai),
berdasarkan klaim saja”. Wallahu A’lam. [Kutipan Selesai]
LARANGAN MONOPOLI KEBUTUHAN UMUM
Dari Sa’id bin Al-Musayyib, dari Ma’mar bin
Abdullah bin Nadlah, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda:
«لَا
يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ»
"Tidak ada yang melakukan penimbunan
barang (monopoli) kecuali orang yang salah." [HR. Muslim no. 1605]
Monopoli (penimbunan) segala sesuatu yang
membahayakan masyarakat, baik berupa makanan, pakaian, maupun yang lainnya,
adalah haram. Ini merupakan pendapat Malikiyah, Abu Yusuf dari Hanafi, pendapat
sebagian Hanabilah, dan dipilih oleh Ibnu Hazm, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin.
Begitu pula Lajnah Daimah memberikan fatwa demikian.
[Lihat : Referensi: Mawaahib al-Jalil,
Al-Hattab (6/11, 12), At-Taj wa al-Ikhlil, Al-Mawaaq (4/380), Al-Hidayah,
Al-Marginan (4/377), Tabyin al-Haqa’iq, Az-Zayla’i (6/27), Al-Furu’ , Ibnu Muflih
(6/179), Al-Insaf, Al-Mardawi (4/244), Al-Muhalla, Ibnu Hazm (7/572), Fatawa
Nur ‘ala al-Darb, Ibnu Baz (19/85, 86), Fath Dhi al-Jalal wa al-Ikram, Ibnu Utsaimin
(3/596) dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (13/184)].
Ibnu Hazm berkata:
(الحُكْرَةُ
المُضِرَّةُ بِالنَّاسِ حَرَامٌ، سَوَاءٌ فِي الِابْتِيَاعِ أَوْ فِي إِمْسَاكِ مَا
ابْتَاعَ، وَيُمْنَعُ مِن ذَلِكَ)
"Monopoli (penimbunan) yang merugikan
manusia adalah haram, baik dalam pembelian maupun menahan barang yang telah
dibeli, dan hal itu dilarang." (Al-Muhalla, 7/572)
Syeikh Bin Baz berkata:
(لا يَجوزُ
الِاحتِكارُ في الأطعِمةِ ولا نَحوِها على الصَّحيحِ مِمَّا يَضُرُّ المُسلِمينَ، الَّذي
مَثَلًا يَحجُزُ السِّلَعُ الَّتي يَحتاجُها المُسْلمونَ مِن طَعامٍ أو غَيرِه مِمَّا
يَحتاجُه النَّاسُ حَتَّى يَغلوَ ثَمنُها، وحَتَّى يَرتَفِعَ وحَتَّى يَبيعَ على النَّاسِ
بِثَمَنٍ مُرتَفِعٍ، هَذا لا يَجوزُ لا في السُّوقِ السَّوداءِ ولا في غَيرِ السَّوداءِ،
لا يَجوزُ لِلمُسلِمِ أن يَحتَكِرَ ما يَضُرُّ المُسلِمينَ احتِكارُه؛ حَتَّى يَبيعَه
في الغَلاءِ... وبَعضُ أهْلِ العِلمِ قَيَّدَ هَذا بِالطَّعامِ، والصَّوابُ أنَّه لا
يَتَقَيَّدُ بِالطَّعامِ، بل كُلُّ شَيءٍ احتِكارُه يَضُرُّ المُسلِمينَ، فإنَّه يُمنَعُ
احتِكارُهـ)
"Monopoli tidak diperbolehkan pada
makanan atau sejenisnya yang merugikan umat Muslim, misalnya menahan barang
yang dibutuhkan umat Muslim hingga harganya melambung tinggi dan dijual dengan
harga mahal. Ini tidak boleh, baik di pasar gelap maupun bukan. Seorang Muslim
tidak boleh memonopoli sesuatu yang merugikan Muslim sampai dijual dengan harga
tinggi. Beberapa ulama membatasi monopoli hanya pada makanan, tetapi yang benar
adalah tidak dibatasi pada makanan, melainkan setiap hal yang monopoli akan
merugikan Muslim dilarang." (Fatawa Nur ‘ala al-Darb, 19/85,86)
Ibnu Utsaimin berkata:
(ظاهِرُ
الحَديثِ عُمومُ الِاحتِكارِ في كُلِّ شَيءٍ، وقَيَّده بعضُ أهْلِ العِلمِ بِالأشياءِ
الَّتي تَكونُ ضَروريَّةً يَضُرُّ النَّاسَ احتِكارُها، أمَّا الأشياءُ الَّتي لَيسَت
ضَروريَّةً فإنَّ لِلإنسانِ أن يَحتَكِرَها كالأمورِ الكَماليَّةِ، والصَّوابُ: العُمومُ؛
لِأنَّ الكَماليَّاتِ والضَّروريَّاتِ أمرُها نِسبيٌّ، فقَد يَكونُ هَذا الشَّيءُ كماليًّا
عِندَ قَومٍ، ضَروريًّا عند آخَرِينَ، ولا يُمكِنُ انضِباطُ هَذا الشَّيءِ. فنَقولُ:
كُلُّ شَيءٍ يَحتَكِرُه الإنسانُ مِمَّا يُباعُ في الأسواقِ، فإنَّه يُعتَبَرُ خاطِئًا)
"Makna hadits jelas menunjukkan bahwa
monopoli berlaku umum untuk segala sesuatu. Beberapa ulama membatasinya pada
barang yang diperlukan karena monopoli barang tersebut merugikan orang. Barang
yang tidak perlu boleh dimonopoli seperti barang tambahan. Yang benar adalah
umum; karena barang tambahan dan kebutuhan relatif, suatu barang bisa dianggap
tambahan bagi sebagian orang, tapi penting bagi orang lain. Jadi, setiap barang
yang dimonopoli di pasar dianggap salah." (Fath Dhi al-Jalal wa al-Ikram,
3/596)
Al-Lajnah ad-Daimah – Saudi Arabia - juga
menegaskan:
(لا يَجوزُ
تَخزينُ شَيءٍ النَّاسُ في حاجةٍ إلَيه، ويُسَمَّى: الِاحتِكارَ؛ لِقَولِ النَّبيِّ
صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: «لا يَحتَكِرُ إلَّا خاطِئٌ » رواه أحمَدُ ومُسلِمٌ وأبو داوُدَ والنَّسائيُّ
وابنُ ماجَهْ، ولِما في ذلك مِنَ الإضرارِ بِالمُسلِمينَ)
"Tidak diperbolehkan menimbun sesuatu
yang dibutuhkan orang, yang disebut monopoli; karena Nabi ﷺ bersabda: 'Tidak ada
yang memonopoli kecuali orang yang salah.' (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud,
An-Nasa’i, dan Ibnu Majah) karena hal itu merugikan umat Muslim." (Fatawa
al-Lajnah ad-Daimah, 13/184)
===***===
RINCIAN PEMBAHASAN TENTANG TALAQQI AR-RUKBAN
****
PEMBAHASAN
PERTAMA:
DEFINISI
TALAQQI AR-RUKBAN DAN HUKUMNYA.
==***===
PERMASALAHAN
PERTAMA:
DEFINISI
JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN.
Istilah “talaqqi
ar-rukban (تَلَقِّي الرُّكْبَانِ)”, disebut juga dengan istilah sbb :
1]. Talaqqi al-jalb
(تَلَقِّي الْجَلْبِ)
2] Talaqqi as-sila’
(تَلَقِّي السِّلَعِ).
Semuanya disebutkan
dalam hadits (Baca : Al-Istidzkar, karya Ibnu Abdil Barr 21/69).
Definisi Talaqqi
ar-rukban (تَلَقِّي الرُّكْبَانِ) :
تَلَقِّي الرُّكْبَانِ هُوَ الْخُرُوجُ
مِنَ الْبَلَدِ الَّتِي يُجْلَبُ إِلَيْهَا الْأَقْوَاتُ أَوِ السِّلَعُ لِمُلَاقَاةِ
أَصْحَابِهَا الْقَادِمِينَ لِبَيْعِهَا أَوْ لِشِرَائِهَا مِنْهُمْ قَبْلَ أَنْ يَبْلُغُوا
بِهَا السُّوقَ، وَيَعْرِفُوا السِّعْرَ
Talaqqi ar-rukban
adalah keluar dari kota yang menjadi tujuan didatangkannya bahan makanan atau
barang dagangan untuk menemui para pemiliknya yang datang untuk menjualnya atau
membelinya sebelum mereka sampai ke pasar dan mengetahui harga.
Talaqqi rukban
berarti mencegat atau menyongsong rombongan orang yang membawa barang dagangan
(rukban) sebelum mereka sampai ke pasar.
Syaikh Athiyyah Salim dalam
Syarah Bulugh al-Maram (al-Maktabah asy-Syamilah191/15-16) berkata:
وَالتَّلَقِّي: هُوَ الاِسْتِقْبَالُ،
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ هَذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي
كُنتُمْ تُوعَدُونَ﴾ [الأنبياء:١٠٣]، وَالرُّكْبَانُ: جَمْعُ رَاكِبٍ، وَالْمُرَادُ:
الْجَالِبُ، سَوَاءٌ جَاءَ عَلَى قَدَمَيْهِ، أَوْ جَاءَ رَاكِبًا بَعِيرًا أَوْ فَرَسًا،
وَقَدْ صَارَ هَذَا الاِسْمُ عَلَمًا عَلَى كُلِّ مَنْ يَجْلِبُ إِلَى السُّوقِ؛ لِأَنَّ
الْغَالِبَ أَنَّ الْجَالِبَ يَأْتِي مِنْ بَعِيدٍ، وَغَالِبًا يَأْتِي رَاكِبًا، أَيْ:
يَرْكَبُ مَا يَحْمِلُ عَلَيْهِ السِّلَعَ، فَنَهَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ تَلَقِّي الرُّكْبَانِ.
“Talaqqi (artinya
adalah menyongsong atau mencegat di tengah jalan). Allah Ta’ala berfirman:
*‘Dan
malaikat-malaikat akan menyambut mereka (seraya berkata): Inilah harimu yang
dahulu dijanjikan kepadamu.’* (QS. Al-Anbiya: 103).
Adapun rukban (رُكْبَانُ) : adalah bentuk jamak dari “رَاكِبٌ” (penunggang / pengendara), dan yang dimaksud di sini adalah
‘al-jalib’ (orang yang membawa barang dagangan), baik ia datang dengan berjalan
kaki, ataupun datang dengan menunggang unta atau kuda.
Nama ini
(ar-rukban) menjadi sebutan umum untuk setiap orang luar yang membawa barang
dagangan ke pasar, karena pada umumnya orang yang membawa barang datang dari
tempat jauh (dari pelosok atau pedalaman), dan biasanya ia datang dengan
menunggang sesuatu yang membawa barang-barang tersebut. Maka Nabi ﷺ
melarang perbuatan talaqqi ar-rukban (menyongsong orang-orang ini di luar
pasar).”
Dalam konteks jual
beli, talaqqi rukban merujuk pada tindakan pembelian barang dagangan, agar
mendapat harga murah meriah seseorang melakukan pencegatan para pedagang dari kampung,
pegunungan atau pedalaman yang membawa barang dagangan, sebelum mereka sampai
di pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya di pasar.
Sebab larangan jual
beli talaqqi ar-rukban adalah untuk melindungi penjual (pemilik barang) dari
kecurangan dan eksploitasi, karena pembeli (pemborong) membeli barang tersebut
dengan harga jauh lebih rendah dari nilai sebenarnya, sebab pembeli mengetahui
harga di pasar sementara penjual belum mengetahuinya sebelum sampai ke pasar.
Hal ini merugikan penjual yang tidak mengetahui harga pasar.
Larangan ini juga
mencegah terjadinya penimbunan barang dan monopoli harga pasar, menjaga
keseimbangan penawaran dan permintaan, serta memastikan setiap pihak
mendapatkan haknya.
Para ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah menyebutnya dengan istilah “talaqqi ar-rukban”,
sementara Malikiyyah dan sebagian Hanabilah menamainya dengan تَلَقِّي الْجَلْبِ (talaqqi al-jalb/ pencegatan terhadap para
pembawa barang dagangan).
Secara bahasa, الجَلَبُ berarti
orang yang membawa (barang), atau bermakna barang yang dibawa. Kata ini
merupakan bentuk maf’ul dari fi’il, yakni sesuatu yang dibawa dari satu negeri
ke negeri lain (Lihat : Al-Mishbah Al-Munir, karya Al-Fayumi, bab “jalb”
1/104).
Hanafiyyah
menyebutnya dengan istilah talaqqi al-jalb (تَلَقِّي
الْجَلْبِ) atau talaqqi al-sila’ (تَلَقِّي السِّلَعِ).
[Sumber: Al-Matla’,
karya Al-Ba’li 1/134, 281; Mu’jam Al-Musthalahat Al-Maliyah wa Al-Iqtisadiyah, karya
Nazih Hammad hal. 150, 166; Mu’jam Al-Musthalahat wa Al-Alfaz Al-Fiqhiyyah, karya
Mahmud Abdurrahman 2/177; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Islamiyyah, karya At-Tuwaijri
3/422; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 9/222].
Tidak ada perbedaan
apakah mereka datang dengan kendaraan atau tidak, satu orang atau lebih. Hanya
saja hadits menyebutkan bentuk yang umum, yaitu para pedagang biasanya datang
dalam jumlah banyak dan dalam keadaan berkendara.
(Lihat: Fathul
Bari, Ibnu Hajar 4/374; At-Takmilah Ats-Tsaniyah lil Majmu’, Al-Muthi’i 13/24;
Subulus Salam, Ash-Shan’ani 3/26; Nailul Authar, Asy-Syaukani 5/198-199).
Hal ini dibuktikan
dengan larangan umum dalam beberapa riwayat yang tidak dibatasi pada rukban
(rombongan yang berkendara), seperti riwayat:
(نَهَى عَنْ تَلَقِّي الْبُيُوعِ)
“Beliau
melarang talaqqi al-buyu’
(Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Larangan Talaqqi Ar-Rukban dan
bahwa jual belinya batal karena pemiliknya berdosa jika mengetahui, dan hal itu
termasuk tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak diperbolehkan,
no. 2164; dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab
Haramnya Talaqqi Al-Jalb, no. 1518).
Juga riwayat:
(لَا تَلَقَّوُا السِّلَعَ)
“Jangan
kalian menjemput barang dagangan.”
(Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Larangan Talaqqi Ar-Rukban dan
bahwa jual belinya batal karena pemiliknya berdosa jika mengetahui, dan hal itu
termasuk tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak diperbolehkan,
no. 2165; dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab
Haramnya Talaqqi Al-Jalb, no. 1517).
Dan riwayat:
(نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنِ التَّلَقِّي)
“Nabi ﷺ
melarang talaqqi (pencegatan).”
(Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Haramnya Talaqqi Al-Jalb, no.
1519).
Dan riwayat:
(لَا تَلَقَّوُا الْجَلَبَ)
“Jangan
kalian mencegat pengangkut barang dagangan.”
(Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Larangan Talaqqi Ar-Rukban dan bahwa
jual belinya batal karena pemiliknya berdosa jika mengetahui, dan hal itu
termasuk tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak diperbolehkan,
no. 2162).
PERMASALAHAN
KEDUA:
HUKUM TAKLIFI TALAQQI AR-RUKBAN
Telah datang
larangan dari Nabi ﷺ tentang talaqqi ar-rukban dengan berbagai lafaz yang
berbeda-beda .(Al-Istidzkar, oleh Ibnu Abdil Barr 21/69).
An-Nawawi berkata:
"إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى
السِّلَعُ حَتَّى تَبْلُغَ الأَسْوَاقَ"
وَفِي رِوَايَةٍ "نَهَى عَنِ التَّلَقِّي"
وَفِي رِوَايَةٍ "نَهَى عَنْ تَلَقِّي
الْبُيُوعِ"
وَفِي رِوَايَةٍ "أَنْ يُتَلَقَّى
الْجَلْبُ"
وَفِي رِوَايَةٍ "لَا تَلَقَّوُا
الْجَلْبَ فَمَنْ تَلَقَّى فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ
بِالْخِيَارِ"
وَفِي رِوَايَةٍ "نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى
الرُّكْبَانُ"
“Sesungguhnya
Rasulullah ﷺ
melarang menjemput barang dagangan sebelum sampai di pasar.”
Dalam riwayat lain
disebutkan: “Beliau melarang talaqqi.”
Dalam riwayat lain:
“Beliau melarang talaqqi al-buyu’ (menjemput barang dagangan).”
Dalam riwayat lain:
“Agar tidak mencegat al-jalb (barang bawaan).”
Dalam riwayat lain:
“Jangan kalian mencegat pembawa barang, barang siapa mencegat-nya lalu
membelinya, maka ketika pemiliknya tiba di pasar, dia berhak memilih
(melanjutkan atau membatalkan jual beli tersebut).”
Dalam riwayat lain:
“Beliau melarang mencegat ar-rukban (rombongan pedagang).” (Syarh Shahih
Muslim, An-Nawawi 10/162).
Para imam empat madzhab
sepakat bahwa talaqqi ar-rukban adalah perbuatan yang makruh dan dilarang. Ibnu
Hubairah menukil ijma’ dengan mengatakan:
"وَاتَّفَقُوا عَلَى كَرَاهَةِ تَلَقِّي
الرُّكْبَانِ"
“Mereka sepakat
atas kemakruhan talaqqi ar-rukban.” (Lihat : Ikhtilaf Al-Aimmah Al-Ulama, Ibnu
Hubairah 1/397).
Namun mereka
berbeda pendapat apakah kemakruhan dan larangan ini menunjukkan pengharaman
atau sekadar tanzih (makruh saja).
Pendapat
pertama: Larangan ini menunjukkan pengharaman.
Ini adalah pendapat
jumhur dari kalangan Malikiyyah. Dan merupakan pendapat Syafi’iyyah. Dan juga
pendapat yang masyhur dari kalangan Hanabilah.
(Lihat raferesni
Malikiyyah : Al-Muntaqa, Al-Baji 5/101; Bidayah Al-Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/271;
Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzzi hal. 171; Al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr
21/70-74; Tabsirat Al-Hukkam, Ibnu Farhun 2/200; Manh Al-Jalil, Alisy 5/63;
As-hal Al-Madarik, Abu Bakar Al-Kisnawi hal. 191; At-Tafri’, Ibnu Al-Jallab
2/110; At-Talqin, Qadhi Abdul Wahhab 2/152; Al-Kafi, Ibnu Abdil Barr 1/367;
‘Aqd Al-Jawahir Ats-Tsamina, Ibnu Syas 2/343; Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Asy-Syarh
Ash-Shaghir 3/109; Irsyad As-Salik, Abdurrahman Al-Baghdadi hal. 78; Mawahib
Al-Jalil, Al-Hattab 4/379; Hasyiyah Ad-Dasuqi 3/70).
(Lihat referensi
Sayfi’iyyh : Raudhat Ath-Thalibin, An-Nawawi 3/415; Al-Bayan, Al-‘Imrani 5/352;
Al-Muhadzdzab, Asy-Syirazi 2/63; Al-Hawi Al-Kabir, Al-Mawardi 5/286, 5/348;
At-Tanbih, Asy-Syirazi hal. 96; Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 10/163; Mughni
Al-Muhtaj, Asy-Syarbini 2/36; Nihayah Al-Muhtaj, Ar-Ramli 3/466; Fath Al-Bari,
Ibnu Hajar 2/374; Nail Al-Awthar, Asy-Syaukani 5/198-199; Takmilah Al-Majmu’
Ats-Tsaniyah 13/23).
(Lihat referensi
Hanbilah : Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312; Al-Kafi, Ibnu Qudamah 2/15; Majmu’
Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah 29/74; Al-Insaf, Al-Mardawi 4/398; Syarh Mukhtashar
Al-Khiraqi, Az-Zarkasyi 3/650; Kasyaf Al-Qina’, Al-Buhuti 3/211).
Dan Ini juga
merupakan pendapat Umar bin Abdul Aziz. (Lihat:
Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312).
Dan jug pendapat
Al-Laits. (Lihat: Mukhtashar Ikhtilaf Al-Ulama, Ath-Thahawi
3/63-64; Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312; Al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr 21/72).
Pendapat ini
juga dipegang oleh Al-Auza’i. Ketika dia ditanya
tentang ar-rukban yang datang membawa barang dagangan, apakah boleh seseorang
membelinya? Ia menjawab: “Tidak, sampai penduduk kota mendengarnya.”
Imam Ahmad berkata:
“Maksudnya adalah jangan menjemput barang dagangan. Jika sudah sampai pasar,
silakan siapa pun membeli.” (Baca :Masa’il Al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih,
Al-Kausaj 6/3056).
Al-Auza’i juga
berkata: “Jika masyarakat tidak kekurangan (barang), maka tidak mengapa. Namun
jika mereka membutuhkannya, maka jangan mendekatinya sampai barang itu sampai
di pasar.”
(Baca : Mukhtashar
Ikhtilaf Al-Ulama, Ath-Thahawi 3/63-64; Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312;
Al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr 21/74; Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 10/163;
Subul As-Salam, Ash-Shan’ani 3/27).
Demikian juga
pendapat Ishaq bin Rahawiyah. (Lihat: Masa’il Al-Imam Ahmad wa Ishaq bin
Rahawaih, Al-Kausaj 6/3057; Al-Mughni, Ibnu Qudamah 6/312).
Ini juga pendapat
Zhahiriyyah. (Lihat: Al-Muhalla, Ibnu Hazm 8/449, masalah no. 1468),
Dan ini adalah yang
dipilih oleh Al-Bukhari dari kalangan para ahli hadis. (Lihat: Shahih
Al-Bukhari, Kitab Al-Buyu’, Bab Larangan Talaqqi Ar-Rukban dan bahwa jual
belinya batal karena pemiliknya berdosa jika mengetahui, dan itu merupakan tipu
daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak diperbolehkan, 3/72).
Juga difatwakan oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah di Kerajaan Arab Saudi. (Lihat: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah,
jilid pertama 13/121, pertanyaan ketiga dari fatwa no. 14409).
Dan sebagian
peneliti dari kalangan para ulama kontemporer
(Lihat: Tahdid
Arbah At-Tujjar, Hamdati, makalah yang diterbitkan dalam Majalah Majma’ Al-Fiqh
Al-Islami, daurah kelima 4/2833-2874; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Muhammad
At-Tuwijri 3/422).
===
DALIL-DALIL YANG MEREKA GUNAKAN:
Dalil pertama: hadits Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنْ تَلَقِّي الْبُيُوعِ
"Nabi ﷺ
melarang dari talaqqi al-buyu‘ (mencegat jual beli)."
(Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat para ar-rukban,
dan bahwa jual belinya batal karena pelakunya berdosa jika mengetahui, karena
itu termasuk penipuan dalam jual beli, dan penipuan tidak diperbolehkan, no.
2164. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab:
Larangan mencegat barang dagangan, no. 1518).
Dalil kedua: hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah ﷺ
bersabda:
لا تَلَقَّوُا الْجَلَبَ، فَمَنْ تَلَقَّاهُ
فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ
"Janganlah
kalian mencegat (para pedagang yang membawa) barang dagangan. Siapa yang mencegatnya
lalu membelinya, maka ketika pemilik barang itu sampai di pasar, ia berhak
memilih (apakah melanjutkan jual beli atau membatalkannya)."
(Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat barang
dagangan, no. 1519).
Dalil ketiga: hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنِ التَّلَقِّي،
وَأَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ
"Nabi ﷺ
melarang (praktik) mencegat (para pedagang), dan melarang orang kota menjualkan
untuk orang desa (kampung)."
(Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat para ar-rukban
dan bahwa jual belinya batal karena pelakunya berdosa jika mengetahui, karena
itu termasuk penipuan dalam jual beli, dan penipuan tidak diperbolehkan, no.
2162).
Dalil keempat: hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah ﷺ
bersabda:
لا تَلَقَّوُا السِّلَعَ حَتَّى يَهْبِطَ
بِهَا إِلَى السُّوقِ
"Janganlah
kalian mencegat barang dagangan, hingga sampai turun ke pasar."
(Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan mencegat para ar-rukban
dan bahwa jual belinya batal karena pelakunya berdosa jika mengetahui, karena
itu termasuk penipuan dalam jual beli, dan penipuan tidak diperbolehkan, no.
2165. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab:
Larangan mencegat barang dagangan, no. 1517).
Dalil kelima: hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah ﷺ
bersabda:
لا تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ
"Janganlah
kalian mencegat para pengendara yang bawa barang dagangan."
(Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Apakah orang kota boleh
menjual untuk orang desa tanpa upah, dan apakah boleh membantunya atau
menasihatinya, no. 2158. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Kitab:
Jual Beli, Bab: Larangan orang kota menjual untuk orang desa, no. 1521).
Dan hadits ini juga
datang dengan lafaz yang sama dari Abu Hurairah.
(Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Jual Beli, Bab: Larangan penjual untuk
tidak memanipulasi unta, sapi, kambing, dan semua hewan yang susunya ditahan,
no. 2150).
Ibnu Hazm berkata:
هَذَا نَقْلُ تَوَاتُرٍ، رَوَاهُ خَمْسَةٌ
مِنْ الصَّحَابَةِ، وَرَوَاهُ عَنْهُمْ النَّاسُ - وَبِهَذَا قَالَ السَّلَفُ -:
رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ
أَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَيُّوبَ السِّخْتِيَانِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ نَهَى عَنْ تَلَقِّي الْجَلَبِ فَمَنْ تَلَقَّى جَلَبًا فَاشْتَرَى
مِنْهُ فَالْبَائِعُ بِالْخِيَارِ إذَا وَقَعَ السُّوقَ –
وَهَذَا نَصُّ قَوْلِنَا، وَلَا يُعْرَفُ
لَهُ مِنْ الصَّحَابَةِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ - مُخَالِفٌ، لَا سِيَّمَا هَذِهِ
الطَّرِيقُ الَّتِي كَأَنَّهَا الشَّمْسُ
Ini adalah riwayat
yang mutawatir, diriwayatkan oleh lima orang sahabat, dan diriwayatkan pula
dari mereka oleh banyak orang – dan dengan ini para salaf berkata –:
Diriwayatkan kepada
kami melalui jalur Abdurrazzaq, dari Ma‘mar, dari Ayyub As-Sakhtiyani, dari
Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah:
“Beliau
melarang talaqqi al-jalab (mencegat barang dagangan), maka barang siapa yang
mencegat jalab lalu membeli darinya, maka penjual berhak memilih (melanjutkan
atau membatalkan) apabila telah sampai di pasar.”
Dan ini adalah nash
dari pendapat kami, dan tidak diketahui adanya sahabat – semoga Allah meridhai
mereka – yang menentangnya, terlebih lagi melalui jalur ini yang sejelas
matahari.
(Al-Muhalla, Ibnu Hazm,
8/449–450).
Pendapat kedua: larangan tersebut bermakna “makruh”, bukan haram.
Ini adalah pendapat
Hanafiyah.
[Lihat: Syarh
Ma‘ani al-Atsar, ath-Thahawi (8/4), Mukhtashar Ikhtilaf al-‘Ulama, Abu Ja‘far
ath-Thahawi (3/63), al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, al-Babarti (10/58), al-Binayah
Syarh al-Hidayah, al-‘Ayni al-Hanafi (2/2), al-Ikhtiyar li Ta‘lil al-Mukhtar
(2/210), Fath Bab al-‘Inayah, Abu al-Fadl al-Hanafi (27/2), Bada’i‘
ash-Shana’i‘, al-Kasani (5/232), ‘Umdat ar-Ri‘ayah bi Hasyiyat Syarh
al-Wiqayah, al-Laknawi (6/526), Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (5/102), Fath al-Qadir,
Ibnu al-Humam (6/477).]
Dan ini adalah salah
satu riwayat dalam madzhab Malikiyah.
[Baca : as-Syamil
fi al-Fiqh, ad-Damiri (2/554).]
Serta ini adalah pendapat
yang lemah dalam madzhab Hanabilah.
[Baca : Al-Insaf,
al-Mardawi (4/398), Kasyaf al-Qina‘, al-Buhuti (3/211).]
Dan ini adalah yang
difatwakan oleh Otoritas Umum Urusan Islam dan Wakaf di Uni Emirat Arab [ٱلْهَيْئَةُ ٱلْعَامَّةُ لِلشُّؤُونِ
ٱلْإِسْلَامِيَّةِ وَٱلْأَوْقَافِ فِي ٱلْإِمَارَاتِ].
Teks fatwa:
إِنَّ ٱلتَّلَقِّي لِلسِّلَعِ مَنْهِيٌّ
عَنْهُ شَرْعًا، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ إِضْرَارٌ بِٱلنَّاسِ فَلَا بَأْسَ فِيهِ، وَٱلْأُولَى
تَحَاشِيهِ خُرُوجًا مِّنَ ٱلْخِلَافِ وَٱحْتِيَاطًا فِي ٱلدِّينِ.
“Sesungguhnya
talaqqi as-sila‘ (mencegat barang dagangan) dilarang secara syar‘i, dan jika
tidak menimbulkan mudarat kepada manusia, maka tidak mengapa. Akan tetapi yang
lebih utama adalah menghindarinya untuk keluar dari perbedaan pendapat dan
sebagai bentuk kehati-hatian dalam agama.”
[Fatwa
Otoritas Umum Urusan Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab – Nomor fatwa (6016) tahun
2009, situs resmi otoritas tersebut].
Al-Kasani al-Hanafi
berkata:
وَهٰذَا ٱلشِّرَاءُ مَكْرُوهٌ لِمَا رُوِيَ
عَنْ رَسُولِ ٱللَّهِ - صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ قَالَ: «لَا تَتَلَقَّوُا
ٱلسِّلَعَ حَتَّى تُبْسَطَ ٱلْأَسْوَاقُ»، وَهٰذَا إِذَا كَانَ يَضُرُّ بِأَهْلِ ٱلْبَلَدِ
بِأَنْ كَانَ أَهْلُهُ فِي جَدْبٍ وَقَحْطٍ، فَإِنْ كَانَ لَا يَضُرُّهُمْ فَلَا بَأْسَ،
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: تَفْسِيرُهُ هُوَ أَنْ يَتَلَقَّاهُمْ فَيَشْتَرِيَ مِنْهُمْ بِأَرْخَصَ
مِنْ سِعْرِ ٱلْبَلَدِ وَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ سِعْرَ ٱلْبَلَدِ، وَهٰذَا أَيْضًا مَكْرُوهٌ
سَوَاءٌ تَضَرَّرَ بِهِ أَهْلُ ٱلْبَلَدِ أَمْ لَا؛ لِأَنَّهُ غَرَّهُمْ، وَٱلشِّرَاءُ
جَائِزٌ فِي ٱلصُّورَتَيْنِ جَمِيعًا؛ لِأَنَّ ٱلْبَيْعَ مَشْرُوعٌ فِي ذَاتِهِ وَٱلنَّهْيُ
فِي غَيْرِهِ، وَهُوَ ٱلإِضْرَارُ بِٱلْعَامَّةِ عَلَى ٱلتَّفْسِيرِ ٱلْأَوَّلِ وَتَغْرِيرُ
أَصْحَابِ ٱلسِّلَعِ عَلَى ٱلتَّفْسِيرِ ٱلثَّانِي.
“Jual beli ini hukumnya
makruh karena diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda: (Janganlah kalian mencegat barang
dagangan sampai barang itu sampai di pasar). Hal ini jika membahayakan penduduk
kota, misalnya ketika mereka sedang dalam keadaan sulit dan paceklik. Namun
jika tidak membahayakan mereka, maka tidak mengapa.
Sebagian ulama
mengatakan: tafsirnya adalah mencegat mereka dan membeli dari mereka dengan
harga yang lebih murah daripada harga di kota sedangkan mereka tidak mengetahui
harga di kota.
Hal ini pun makruh,
baik merugikan penduduk kota atau tidak, karena telah menipu mereka.
Akan tetapi jual
beli ini sah dalam kedua kondisi tersebut, karena jual beli itu sendiri
disyariatkan, sedangkan larangan terkait hal lain, yaitu merugikan masyarakat
secara umum menurut tafsir pertama, dan menipu pemilik barang menurut tafsir
kedua.” [Lihat : Bada’i‘ ash-Shana’i‘, al-Kasani (5/232)]
Bahram ad-Dumairi
al-Maliki berkata:
وَقِيلَ: يُكْرَهُ
“Ada yang
berpendapat makruh.” [Lihat : as-Syamil fi al-Fiqh, oleh ad-Dumairi (2/554)]
Al-Mardawi
al-Hanbali berkata:
قَالَ فِي ٱلرِّعَايَةِ ٱلْكُبْرَى: يُكْرَهُ
تَلَقِّي ٱلرُّكْبَانِ.
“Dalam kitab
ar-Ri‘ayah al-Kubra disebutkan: makruh mencegat rombongan dagang (rukban).” [Baca
: al-Inshaf, al-Mardawi (4/398), Kasyaf al-Qina‘, al-Buhuti (3/211).]
MEREKA BERDALIL DENGAN
DALIL SBB :
Dalil pertama: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«أَنَّهُمْ كَانُوا يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مِنَ
الرُّكْبَانِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَبْعَثُ
عَلَيْهِمْ مَنْ يَمْنَعُهُمْ أَنْ يَبِيعُوهُ حَيْثُ اشْتَرَوْهُ، حَتَّى يَنْقُلُوهُ
حَيْثُ يُبَاعُ الطَّعَامُ»
“Mereka membeli
makanan dari rombongan pengendara (para pedagang yang datang dari pelosok) pada
masa Nabi ﷺ, lalu
Nabi mengutus seseorang untuk melarang mereka menjualnya di tempat mereka
membelinya, sampai mereka memindahkannya ke tempat makanan biasa dijual.”
(Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Apa yang disebutkan tentang
pasar, no. 2123, dan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Batalnya
jual beli sebelum diterima, no. 1527).
Dalil kedua: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ، فَنَشْتَرِي
مِنْهُمُ الطَّعَامَ فَنَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ»
“Kami dulu keluar
menyongsong ar-rukban, lalu membeli makanan dari mereka. Maka Nabi ﷺ
melarang kami menjualnya sampai makanan itu sampai di pasar makanan.”
(Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Batas akhir menyongsong, no.
2166).
Dalil ketiga: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«كَانُوا يَبْتَاعُونَ الطَّعَامَ فِي أَعْلَى
السُّوقِ، فَيَبِيعُونَهُ فِي مَكَانِهِ، فَنَهَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِ حَتَّى يَنْقُلُوهُ»
“Mereka biasa
membeli makanan di bagian pasar paling atas, lalu menjualnya di tempat itu
juga. Maka Rasulullah ﷺ melarang mereka menjualnya di tempat itu sampai mereka
memindahkannya.”
(Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Batas akhir menyongsong, no.
2167).
Dalil keempat: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ
الرُّكْبَانِ جُزَافًا، فَنَهَانَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ».
“Kami
biasa membeli makanan dari rombongan pengendara dagangan secara borongan, maka
Rasulullah ﷺ
melarang kami menjualnya sampai kami memindahkannya dari tempat semula”.
(Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: al-Buyu’, Bab: Batalnya jual beli sebelum
diterima, no. 1527).
Hadis-hadis ini
menunjukkan bolehnya menyongsong rombongan pengendara dagangan (talaqqi
ar-rukban), karena kalau hal itu tidak boleh, tentu Abdullah bin Umar dan para
sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum tidak akan melakukannya.
Dan seandainya hal
itu haram, Rasulullah ﷺ pasti akan melarang mereka secara mutlak, bukan hanya dalam
kondisi tertentu. Maka dengan menggabungkan antara hadis-hadis larangan talaqqi
ar-rukban dan perbuatan para sahabat serta persetujuan Nabi ﷺ
terhadap mereka, larangan tersebut dipahami sebagai makruh, dan larangan
tersebut dialihkan dari pengharaman kepada kemakruhan.
----
BANTAHAN:
Bantahan Pertama:
Riwayat-riwayat ini
disebutkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta selain keduanya dengan lafaz:
«كَانُوا يَبْتَاعُونَ الطَّعَامَ فِي أَعْلَى
السُّوقِ، فَيَبِيعُونَهُ فِي مَكَانِهِ، فَنَهَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِ حَتَّى يَنْقُلُوهُ»
“Dahulu mereka
membeli makanan di bagian pasar paling atas, lalu menjualnya di tempat itu,
maka Rasulullah ﷺ melarang mereka menjualnya di tempat itu hingga mereka
memindahkannya.”
[Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab: Min Tahiyat al-Talaqqi, no.
(2167)]
Dalam riwayat lain:
«أَنَّهُمْ كَانُوا يُضْرَبُونَ عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اشْتَرَوْا طَعَامًا جِزَافًا،
أَنْ يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِمْ، حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِهِمْ»
“Bahwa mereka dulu
diberi sanksi pada masa Rasulullah ﷺ jika mereka membeli makanan secara borongan (jazafan), agar
tidak menjualnya di tempat mereka membelinya sampai mereka membawanya ke tempat
tinggal mereka.”
[Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Hudud, Bab: Kam al-Ta’zir wa al-Adab, no.
(6852)]
Dan riwayat:
«كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ
جِزَافًا، فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَبِيعَهُ
حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ»
“Kami membeli
makanan dari orang-orang yang datang (rukban) secara borongan, lalu Rasulullah ﷺ
melarang kami menjualnya hingga kami memindahkannya dari tempatnya.”
[Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab: Butlan Bay’ al-Mabi’ Qabla al-Qabd,
no. (1527)]
Ini menunjukkan
bahwa jual beli itu terjadi di pasar, hanya saja berada di bagian atasnya, dan
terjadi pada makanan yang dibeli secara borongan (jizafan), lalu para pembeli
dilarang melakukannya. [Baca : Al-Muhalla, Ibnu Hazm (8/452)]
Makna al-Jizaaf
atau al-Juzaaf atau al-Jazaaf (الجُزَافُ):
Dengan kasrah,
dhammah, atau fathah pada huruf jim; yaitu menjual sesuatu tanpa takaran atau
timbangan.
Kata ini berasal
dari bahasa Persia atau sudah diserap ke dalam bahasa Arab. Maksudnya, menjual
sesuatu yang tidak diketahui ukurannya secara rinci, hanya dengan perkiraan dan
taksiran.
Misalnya menjual
setumpuk gandum dengan harga tertentu tanpa mengetahui takarannya, atau dengan
ukuran kebiasaan lainnya seperti ukuran panjang atau hitungan.
(Lihat: *Mu’jam
al-Mustalahat al-Maliyah wa al-Iqtisadiyah* oleh Nazih Hammad hlm. 163, *Tahrir
Alfazh al-Tanbih* oleh an-Nawawi hlm. 193, *al-Mutali’* oleh al-Ba’li hlm. 287,
*al-Misbah al-Munir* oleh al-Fayumi 1/99, *Anis al-Fuqaha* hlm. 73, *al-Tawqif
‘ala Muhimmat al-Ta’arif* hlm. 125, *al-Qamus al-Fiqhi* hlm. 62, *Mu’jam Lughat
al-Fuqaha* hlm. 163, dan *Mu’jam al-Mustalahat wa al-Alfaz al-Fiqhiyyah*
1/406).
Al-Bukhari berkata:
«هَذَا فِي أَعْلَى السُّوقِ، يُبَيِّنُهُ
حَدِيثُ عُبَيْدِ اللَّهِ»
“Ini terjadi
di bagian atas pasar, dan hal ini dijelaskan oleh hadits Ubaydullah.”
[Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab: Min Tahiyat al-Talaqqi, no.
(2166), dan dalam *al-Muhalla* karya Ibnu Hazm (8/451)].
Bantahan Kedua:
Riwayat-riwayat ini
sejalan dengan pendapat kami tentang larangan talaqqi rukban, karena makna :“Rasulullah
ﷺ
melarang menjualnya sampai mereka membawanya ke pasar makanan”, adalah larangan bagi penjual untuk menjualnya dan bagi pembeli untuk
membelinya hingga barang tersebut sampai di pasar.
Dan dalam bahasa
Arab yang masyhur dan tidak diingkari, kata *bi’tu (بِعْتُ)* juga bisa bermakna
*isytaraitu/ اشْتَرَيْتُ* (saya membeli).
Bantahan Ketiga:
Riwayat-riwayat ini
digabungkan dengan riwayat-riwayat larangan, sehingga para penjual diberi
pilihan untuk melanjutkan jual belinya, kemudian pembeli diperintahkan untuk
memindahkannya ke pasar. Dengan demikian, semua riwayat dapat dikompromikan dan
tidak saling bertentangan.
Bantahan Keempat:
Orang-orang yang
menjadikan riwayat-riwayat ini sebagai hujah adalah mereka yang berpendapat bahwa
jika seorang sahabat meriwayatkan hadits dari Nabi ﷺ lalu menyelisihinya atau menafsirkannya dengan tafsiran
tertentu, maka ia lebih mengetahui maksud hadits tersebut, dan pendapatnya
menjadi hujah dalam menolak pemahaman yang keliru terhadap hadis.
Abdullah bin Umar
r.a., yang meriwayatkan hadits ini, telah tetap darinya fatwa untuk
meninggalkan talaqqi.
[Diriwayatkan oleh
Ibnu Hazm dalam *al-Muhalla*, dia berkata :
وَمِنْ طَرِيقِ ابْنِ أَبِي شَيْبَةَ
أَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الرَّازِيّ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُجَاهِدٍ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: «أَنْ لَا تَلَقُّوا الْبُيُوعَ بِأَفْوَاهِ السِّكَكِ»
Dan melalui jalur
Ibnu Abi Syaibah, dari Ibnu al-Mubarak, dari Abu Ja'far ar-Razi, dari Laits,
dari Mujahid, dari Ibnu Umar, ia berkata: "Janganlah kalian menyongsong
(mencegat) untuk jual beli barang dagangan di lorong-lorong jalan.” [al-Muhalla*,
oleh Ibnu Hazm (8/450-451). Lihat Mushnonnaf Ibnu Abi Syaibah 4/397 no. 21441].
Bantahan Kelima:
Jika pun kita
katakan secara permisif (تَنَازُلاً) bahwa dalam hadis-hadis ini
terdapat teks yang membolehkan talaqqi rukban, maka larangan yang datang
kemudian bersifat nasakh (menghapus hukum sebelumnya), karena talaqqi dulu
dibolehkan sebelum datangnya larangan, kemudian kebolehan itu dibatalkan.
[*al-Muhalla*, Ibnu Hazm (8/452)].
Bantahan Keenam:
Riwayat-riwayat ini
jika digabungkan dengan hadits larangan, maka para penjual diberi pilihan untuk
melanjutkan jual beli, lalu pembeli diperintahkan memindahkan barang ke pasar,
sehingga semuanya selaras dan tidak saling bertentangan. [*al-Muhalla*, Ibnu Hazm
(8/452)].
Bantahan Ketujuh:
Larangan talaqqi
adalah karena adanya bahaya (kerugian) bagi orang-orang yang tidak ikut talaqqi
dan bagi mereka yang menetap di pasar. Adapun talaqqi yang dibolehkan adalah
yang tidak mengandung bahaya bagi mereka. [*Syarh Ma’ani al-Atsar*, al-Tahawi
(4/8)].
Wallahu a’lam bish
Showaab.
PERMASALAHAN
KETIGA:
STATUS HUKUM WADH'I TERHADAP JUAL BELI TALAQQI AR-RUKBAN.
(الحُكْمُ الوَضْعِي)
Jika kita berpendapat
bahwa orang yang melakukan talaqqi terhadap rombongan pengendara dagang itu
berdosa karena melakukan sesuatu yang dilarang syariat, maka apakah jual beli
yang terjadi antara pelaku talaqqi dengan ar-rukban dalam bentuk yang
disebutkan itu sah atau tidak?
Ibnu Rusyd berkata:
بَيْعُ التَّلَقِّي وَبَيْعُ التَّفْرِقَةِ،
وَمَا أَشْبَهَ هَذَا مِنَ الْبُيُوعِ، فَيَخْتَلِفُ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيهَا إِذَا
وَقَعَتْ عَلَى قَوْلَيْنِ، فَمَنْ رَأَى أَنَّ النَّهْيَ لَا يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ
عَنْهُ، لَمْ يُفْسِخْهَا وَإِنْ كَانَتِ السِّلْعَةُ قَائِمَةً لَمْ تَفُتْ، وَمَنْ
رَأَى أَنَّ النَّهْيَ يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ، فَسَخَهَا إِنْ كَانَتْ
قَائِمَةً أَوْ فَائِتَةً، ... وَفِي هَذَا النَّوْعِ مِنَ الْبُيُوعِ قَوْلٌ ثَالِثٌ،
أَنْ تُفْسَخَ مَا كَانَتِ السِّلْعَةُ قَائِمَةً، ... وَهُوَ قَوْلٌ بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ
لَا يَجْرِي عَلَى قِيَاسٍ.
“Jual beli talaqqi
dan jual beli tafarriqah, serta yang semisal dengan jenis jual beli ini, para
ulama berbeda pendapat tentangnya jika telah terjadi menjadi dua pendapat:
Barang siapa yang
berpendapat bahwa larangan tidak mengakibatkan batalnya objek yang dilarang,
maka ia tidak membatalkannya, meskipun barangnya masih ada dan belum rusak.
Barang siapa yang
berpendapat bahwa larangan mengakibatkan batalnya objek yang dilarang, maka ia
membatalkannya baik barangnya masih ada maupun sudah rusak.
…Dalam jenis jual
beli ini terdapat pendapat ketiga, yaitu membatalkannya selama barangnya masih
ada, dan ini adalah pendapat di antara dua pendapat yang tidak berjalan di atas
qiyas.”
(al-Muqaddimāt al-Mumahhidāt, Ibnu Rusyd, 2/64).
Jual beli tafriqah
(بَيْعُ التَّفْرِقَةِ) atau jual beli tashriyah (بَيْعُ
التَّصْرِيَّة) adalah : menjual barang kepada seseorang
yang membelinya untuk dijual kembali, kemudian mengembalikannya kepada penjual
jika tidak laku dalam jangka waktu tertentu. Jenis jual beli ini memiliki
hukum-hukum yang berkaitan dengan keuntungan dan kerugian.
Tampak dari
perkataan Ibnu Rusyd diatasa bahwa para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini
menjadi tiga pendapat:
===
Pendapat
pertama: Jual beli tersebut sah.
Ini adalah pendapat
jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah.
[Lihat: Syarh
Ma‘ani al-Atsar, ath-Thahawi (4/9), al-Binayah Syarh al-Hidayah, al-‘Aini
(8/214), al-Ikhtiyar li Ta‘lil al-Mukhtar, Abu al-Fadhl al-Hanafi (2/27), Fath
al-Qadir, Ibnu al-Hammam (6/477), al-Lubab, al-Ghunaymi (2/30), Bada’i‘
ash-Shana’i‘, al-Kasani (5/232), al-Hidayah, al-Marghinani (3/53)].
Dan ini juga
pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah
[Lihat: Manh
al-Jalil, ‘Alysy (5/63), at-Talqin fi al-Fiqh al-Maliki, al-Qadhi ‘Abd
al-Wahhab (2/152), asy-Syamil fi al-Fiqh, ad-Damiri (2/554), Mawahib al-Jalil,
al-Hattab (4/379), asy-Syarh ash-Shaghir, ad-Dardir (3/63), Hasyiyah ad-Dasuqi
‘ala asy-Syarh al-Kabir (3/70), Tabsirah al-Hukkam fi Ushul al-Aqdhiya wa
Manahij al-Ahkam, Ibnu Farhun (2/200), al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzai
(hal. 285), Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd (2/188-189), al-Muntaqa, al-Baji
(5/101), Hasyiyah ash-Shawi ‘ala asy-Syarh ash-Shaghir (3/108), at-Tafri’, Ibnu
al-Jallab (2/110), an-Nawadir wa az-Ziyadat, Ibnu Abi Zaid al-Qayrawani (4/1388),
‘Aqd al-Jawahir ats-Tsamina, Ibnu Syas (2/343-344)].
Dan pendapat
masyhur di kalangan Syafi‘iyah
[Lihat: al-Umm,
asy-Syafi‘i (3/93), al-Muhadzdzab, asy-Syirazi (2/63), al-Bayan, al-‘Imrani
(5/353), Mughni al-Muhtaj, asy-Syarbini (2/36), Raudhat ath-Thalibin, an-Nawawi
(3/413), Nihayat al-Muhtaj, ar-Ramli (3/466), Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah
(2/183), Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi (10/163), at-Takmilah ats-Tsaniyah lil
Majmu‘, al-Muthi‘i (13/23)].
Dan pendapat
masyhur di kalangan Hanabilah
[Lihat: Ikhtilaf
al-A’immah al-‘Ulama, Ibnu Hubairah (1/398), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/312),
al-Hidayah ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad, al-Khalwadani (hal. 233), al-‘Uddah
Syarh al-‘Umdah, Diya’ ad-Din al-Maqdisi (1/207), al-Inshaf, al-Mardawi
(4/394), Kasysyaf al-Qina‘, al-Bahuti (3/211-213), al-Mumti‘ fi Syarh
al-Muqni‘, at-Tanukhi (hal. 455-456), Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi‘, Ibnu Qasim
(4/434)].
Dan juga pendapat
Ibnu Hazm adz-Dzohiri. [al-Muhalla, Ibnu Hazm (9/469)].
MEREKA BERDALIL DENGAN
DALIL-DALIL BERIKUT INI :
Dalil pertama: Kaidah
:
النَّهْيُ رَاجِعٌ لِأَمْرٍ خَارِجٍ عَنِ
الْمَبِيعِ لَا لِعَيْنِ الْبَيْعِ وَلَا لِوَصْفِهِ
Larangan itu
kembali kepada sesuatu yang berada di luar objek jual beli, bukan pada inti
akad atau sifatnya.
Kaedah ini telah
ditegaskan oleh para pengikut madzhab yang empat, dan mereka menjadikannya
sebagai dalil atas sahnya jual beli talaqqi ar-rukban, bahwa akad tersebut
adalah sah. Berikut sebagian pendapat madzhab dalam penerapan kaedah ini
terhadap talaqqi ar-rukban:
Madzhab Hanafiyah:
وَلَا يُفْسِدُ بِهِ الْبَيْعُ لِأَنَّ
الْفَسَادَ فِي مَعْنًى خَارِجٍ زَائِدٍ، لَا فِي صُلْبِ الْعَقْدِ وَلَا فِي شَرَائِطِ
الصِّحَّةِ.
“Jual beli itu
tidak rusak karenanya, karena kerusakan (fasad) itu terkait makna tambahan yang
berada di luar, bukan pada inti akad dan bukan pula pada syarat-syarat sahnya.”
[Lihat: Fath al-Qadir, Ibnu al-Hammam (6/478).]
Madzhab Malikiyah:
اَلْبَيْعُ صَحِيْحٌ لِأَنَّ النَّهْيَ
لَا لِمَعْنًى فِي الْبَيْعِ، بَلْ يَعُوْدُ إِلَى ضَرْبٍ مِنَ الْخِدَاعَةِ، يُمْكِنُ
اسْتِدْرَاكُهَا بِإِثْبَاتِ الْخِيَارِ، فَأَشْبَهَ بَيْعَ الْمُصَرَّاةِ، وَفَارَقَ
بَيْعَ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي، فَإِنَّهُ لَا يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهُ بِالْخِيَارِ،
إِذْ لَيْسَ الضَّرَرُ عَلَيْهِ، إِنَّمَا هُوَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ.
“Jual beli itu sah
karena larangan tersebut bukan karena makna dalam jual beli, melainkan kembali
kepada bentuk tipu daya yang dapat diperbaiki dengan menetapkan hak khiyar,
sehingga menyerupai jual beli mushorroh, dan berbeda dengan jual beli orang
kota untuk orang desa (hadhir lil-badi), karena hal itu tidak bisa diperbaiki
dengan khiyar, sebab mudharatnya bukan kepada penjual, tetapi kepada kaum
muslimin.” [Lihat: al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (9/223).]
Madzhab Syafi‘iyah:
الْبُيُوعُ الْمَنْهِيُّ عَنْهَا وَهِيَ
الَّتِي يَكُونُ النَّهْيُ فِيهَا لِأَمْرٍ خَارِجٍ عَنِ الْمَبِيعِ قَالَ: فَجَمِيعُ
مَا فِيهِ مِنَ الصُّوَرِ يَصِحُّ فِيهَا الْبَيْعُ وَيَحْرُمُ.
“Jual beli yang
dilarang adalah yang larangannya karena perkara di luar barang dagangan. Ia
berkata: Maka seluruh bentuk yang demikian, jual belinya sah tetapi hukumnya
haram.” [Mughni al-Muhtaj, al-Syarbini (2/36).]
Madzhab Hanabilah:
لِأَنَّ النَّهْيَ لَا لِمَعْنًى فِي
الْبَيْعِ، بَلْ يَعُوْدُ إِلَى ضَرْبٍ مِنَ الْخِدَاعَةِ يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهَا
بِإِثْبَاتِ الْخِيَارِ، فَأَشْبَهَ بَيْعَ الْمُصَرَّاةِ.
“Karena larangan
tersebut bukan karena makna dalam jual beli, melainkan kembali kepada bentuk
tipu daya yang bisa diperbaiki dengan menetapkan hak khiyar, sehingga menyerupai
jual beli mushorroh.”
[Lihat: al-Mughni,
Ibnu Qudamah (6/312), al-Mumti‘ fi Syarh al-Muqni‘, al-Tanukhi (hlm. 455-456),
Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, al-Zarkasyi (3/647), dan Syarh Muntaha al-Iradat,
al-Buhuti (2/41).]
[Jual beli
mushorroh (بَيْعَ
الْمُصَرَّاةِ) : adalah menjual hewan (seperti kambing
atau unta) yang susunya ditahan (diikat) di ambingnya sampai waktu penjualan,
dengan tujuan menipu pembeli agar mengira hewan tersebut memiliki banyak susu
sehingga menaikkan harganya. Syariat melarang jual beli musarrāh karena mengandung unsur penipuan dan kecurangan, serta memberikan hak
khiyar kepada pembeli untuk mengembalikan hewan tersebut dengan disertai satu ṣā‘ kurma atau
menahannya, setelah memerahnya untuk mengetahui jumlah susu yang sebenarnya]
Dalil kedua: Khiyar (hak memilih) tidak ada kecuali dalam akad yang sah, dan
sungguh telah ditetapkan adanya hak khiyar dalam jual beli talaqqi ar-rukban,
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
«لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، فَمَنْ تَلَقَّاهُ
فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ»
“Janganlah kalian
menyongsong barang dagangan, barangsiapa yang menyongsong lalu membeli darinya,
maka ketika pemiliknya sampai di pasar, ia memiliki hak khiyar.”
[Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahihnya, Kitab al-Buyu‘, Bab: Larangan Menyongsong Barang
Dagangan, no. 1519]
Hadis ini
menetapkan adanya hak khiyar bagi penjual, sedangkan khiyar tidak ada kecuali
dalam jual beli yang sah, maka ini menunjukkan sahnya jual beli tersebut.
[Lihat: al-Muhalla,
Ibnu Hazm (9/471), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/312), Nail al-Awthar, al-Syaukani
(5/198-199).]
----
Pendapat kedua: batal dan tidak sahnya akad jual beli
Ini merupakan salah
satu riwayat dari Imam Malik.
[Lihat: al-Muntaqa
karya al-Baji (5/101), Mawahib al-Jalil karya al-Hattab (4/379), al-Istidhkar
karya Ibnu Abd al-Barr (21/72-74), Tabsirat al-Hukkam karya Ibnu Farhun
(2/200), al-Bayan wa al-Tahsil karya Ibnu Rushd (9/377-381, 394), al-Nawadir wa
al-Ziyadat karya Ibnu Abi Zayd al-Qayrawani (4/1388), Aqd al-Jawahir
al-Thaminah karya Ibnu Shas (2/343-344), Hashiyah al-Sawi ala al-Sharh
al-Saghir (2/36) dan seterusnya, serta Nayl al-Awtar karya al-Shawkani
(5/198-199), dan Mawsu‘ah al-Fiqh al-Islami karya Muhammad al-Tuwaijiri
(3/422)].
Dan juga merupakan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
[Lihat: al-Mughni
karya Ibnu Qudamah (6/312), al-Kafi karya Ibnu Qudamah (2/15), al-Mumti‘ fi
Sharh al-Muqni‘ karya al-Tanukhi (hlm. 455-458), al-Furu‘ karya Ibnu Muflih
(6/231), al-Mubdi‘ Sharh al-Muqni‘ karya Ibnu Muflih (3/418), al-Insaf karya
al-Mardawi (4/394), Ikhtilaf al-A’immah al-‘Ulama’ karya Ibnu Hubayrah (1/398),
Nayl al-Awtar karya al-Shawkani (5/198-199), Sharh Mukhtasar al-Khiraqi karya
al-Zarkashi (3/650), al-Hidayah ala Madhhab al-Imam Ahmad karya al-Khalwadzani
(1/223), dan Kashshaf al-Qina‘ karya al-Buhuti (3/211)].
Ibnu Abdil Barr menyebutkan
:
وَقَالَ اِبْنُ خَوَازِ بِنْدَادٍ مِنَ
الْمَالِكِيَّةِ: اَلْبَيْعُ فِي تَلَقِّي السِّلَعِ صَحِيحٌ عِنْدَ الْجَمِيعِ، وَإِنَّمَا
الْخِلَافُ فِي أَنَّ الْمُشْتَرِي لَا يَفُوزُ بِالسِّلْعَةِ، وَيُشْرِكُهُ فِيهَا
أَهْلُ السُّوقِ، وَلَا خِيَارَ لِلْبَائِعِ، أَوْ أَنَّ الْبَائِعَ بِالْخِيَارِ إِذَا
هَبَطَ إِلَى السُّوقِ.
Ibnu Khawaaz Bandad
(إِبْنُ خَوَازِ بِنْدَاد) dari kalangan Malikiyyah berkata: “Jual beli pada praktik
talaqqi al-sila‘ (menjemput barang sebelum sampai pasar) adalah sah menurut
semua pihak. Perselisihan hanya pada apakah pembeli tidak boleh memiliki barang
itu sendiri, tetapi harus berbagi dengan penduduk pasar, dan penjual tidak
memiliki hak khiyar, atau penjual tetap diberi hak khiyar jika ia sampai ke
pasar.”
Lalu Abu Umar (Ibnu
Abdi al-Barr) berkata:
قَدْ ذَكَرْنَا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ
مَالِكٍ أَنَّ الْبَيْعَ فَاسِدٌ، يُفْسَخُ، وَمَا أَظُنُّ أَنَّ اِبْنَ خَوَازِ بِنْدَادٍ،
وَافَقَ عَلَى ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِ وَلَمْ يَرَهُ خِلَافًا لِمُخَالَفَةِ الْجُمْهُورِ،
قَالَ سَحْنُونٌ: وَقَالَ لِي غَيْرُ اِبْنِ الْقَاسِمِ: يُفْسَخُ الْبَيْعُ.
“Kami telah
menyebutkan dari sebagian pengikut Imam Malik bahwa jual beli tersebut batal
dan harus dibatalkan. Namun, saya tidak mengira bahwa Ibnu Khawwaz Bandad menyetujui
pendapat tersebut, karena pendapat ini berbeda dari mayoritas ulama. Sahnun
berkata: ‘Selain Ibnu al-Qasim pernah mengatakan kepadaku bahwa akad tersebut
harus dibatalkan’.” (al-Istidhkar karya Ibnu Abd al-Barr, 21/72-75).
Pendapat ini juga
merupakan pilihan Imam al-Bukhari. [Lihat: Fath al-Bari karya Ibnu Hajar
(4/470)].
DALIL-DALIL MEREKA
:
Dalil pertama: Jual beli itu batal dan tidak sah karena dilarang, dan ini serupa
dengan jual beli orang kota untuk orang desa (بَيْعُ
الْحَاضِرِ لِلْبَادِي).
Hukum “jual beli
orang kota untuk orang desa (بَيْعُ الْحَاضِرِ
لِلْبَادِي) adalah haram secara syariat, karena
mengandung unsur merugikan orang desa (orang kampung atau badui atau orang
pedalaman yang datang membawa barang ke pasar) dan juga merugikan para penduduk
kota.
Bentuk jual beli
ini adalah ketika salah satu penduduk kota (al-hāḍir) menjual barang milik orang yang datang dari pedalaman (al-bādī) sebelum orang tersebut sampai ke pasar.
Hal ini bisa
menyebabkan eksploitasi karena al-bādī tidak mengetahui harga pasar yang sebenarnya, atau terjadi monopoli
dan penimbunan barang oleh al-hāḍir sehingga ia
mengendalikan harga dan menaikkannya terhadap penduduk setempat. Oleh sebab
itu, Nabi ﷺ
melarang praktik ini.
Jawaban: Perbedaan antara “talaqqi ar-rukban” dan “jual beli orang
kota untuk orang desa” adalah bahwa jual beli orang kota tidak dapat
diperbaiki dengan memberikan hak khiyar karena kerugian bukan pada dirinya,
tetapi pada kaum muslimin. Berbeda dengan talaqqi ar-rukban, kerugian ada pada
pihak penjual, dan hal itu dapat diperbaiki dengan menetapkan hak khiyar bagi
mereka, sehingga tidak perlu membatalkan jual beli.
[Al-Mumti‘ fi Syarh
al-Muqni‘, At-Tanukhi (hlm. 455-456), Al-Mawsu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah
(9/223)].
Dalil kedua: Karena larangan tersebut menunjukkan kerusakan (batal dan tidak sahnya
akad), dan terdapat perbedaan pendapat apakah larangan ini menunjukkan batal
atau tidak? Sebagian mengatakan menunjukkan batal, sebagian mengatakan tidak.
Sebagian ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat batal yang identik dengan
fasid. \[Nailul Authar, Asy-Syaukani (5/198-199)].
Mereka berkata:
Nabi ﷺ
melarang talaqqi ar-rukban, dan larangan menunjukkan batal dan tidak sah-nya
yang dilarang, maka ini menunjukkan batalnya jual beli.
Abu Ja‘far
Ath-Thahawi berkata:
فَاحْتَجَّ قَوْمٌ بِهَذِهِ الْآثَارِ،
فَقَالُوا: مَنْ تَلَقَّى شَيْئًا قَبْلَ دُخُولِهِ السُّوقَ، ثُمَّ اشْتَرَاهُ، فَشِرَاؤُهُ
بَاطِلٌ.
Sebagian orang
berdalil dengan atsar-atsar ini dan mengatakan: Barang siapa yang menemui
sesuatu sebelum masuk pasar, lalu membelinya, maka pembeliannya batal. \[Syarh
Ma‘ani Al-Atsar, Ath-Thahawi (4/8)].
Jawaban:
Kaidah larangan
menunjukkan batal berlaku jika larangan itu kembali kepada dzat yang dilarang,
yaitu ketika terjadi kerusakan pada salah satu rukun atau syarat jual beli.
Namun jika tidak ada kerusakan pada syarat atau rukun, maka jual beli tetap
sah.
[Lihat : Fathul
Bari, Ibnu Hajar (4/470), Buhuts Muqaranah fi Asy-Syariah Al-Islamiyyah ‘an
Aham Al-Buyu‘ Allati Tadhurru bil-Amwal, Ramadhan Hafizh Abdurrahman (hlm.
148)].
Pendapat ketiga: Akad dibatalkan selama barang masih ada, dan ini merupakan riwayat
dalam madzhab Malikiyah.
[Lihat: Al-Muqaddimat
Al-Mumahhidat, Ibnu Rusyd (2/64), Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzai (hlm.
172)].
Ibnu Rusyd berkata:
بَيْعُ التَّلَقِّي وَبَيْعُ التَّفْرِقَةِ،
وَمَا أَشْبَهَ هَذَا مِنَ الْبُيُوعِ، فَيَخْتَلِفُ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيهَا إِذَا
وَقَعَتْ عَلَى قَوْلَيْنِ، فَمَنْ رَأَى أَنَّ النَّهْيَ لَا يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ
عَنْهُ، لَمْ يُفْسِخْهَا وَإِنْ كَانَتِ السِّلْعَةُ قَائِمَةً لَمْ تَفُتْ، وَمَنْ
رَأَى أَنَّ النَّهْيَ يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ، فَسَخَهَا إِنْ كَانَتْ
قَائِمَةً أَوْ فَائِتَةً، وَإِنْ كَانَتْ قَائِمَةً رُدَّتْ بِعَيْنِهَا، وَإِنْ كَانَتْ
فَائِتَةً رُدَّتْ قِيمَتُهَا وَكَانَ رَدُّ قِيمَتِهَا كَرَدِّ عَيْنِهَا؛ وَفِي هَذَا
النَّوْعِ مِنَ الْبُيُوعِ قَوْلٌ ثَالِثٌ، أَنْ تُفْسَخَ مَا كَانَتِ السِّلْعَةُ
قَائِمَةً، فَإِنْ فَاتَتْ مَضَتْ بِالثَّمَنِ وَلَمْ تُرَدَّ إِلَى الْقِيمَةِ، وَهُوَ
قَوْلٌ بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ لَا يَجْرِي عَلَى قِيَاسٍ.
“Jual beli talaqqi
dan jual beli tafriq serta yang serupa dengan keduanya termasuk dalam jual beli
yang diperselisihkan ulama ketika terjadi. Ada yang berpendapat larangan tidak
menunjukkan batalnya yang dilarang, sehingga tidak dibatalkan walaupun barang
masih ada.
Ada pula yang
berpendapat larangan menunjukkan batal, sehingga dibatalkan baik barang masih
ada atau sudah tidak ada. Jika masih ada, dikembalikan dengan barangnya; jika
sudah hilang, dikembalikan dengan nilainya, dan pengembalian nilai sama seperti
pengembalian barangnya.
Dalam jual beli ini
ada pendapat ketiga, yaitu dibatalkan selama barang masih ada. Jika sudah
hilang, maka tetap berjalan dengan harga (yang disepakati) dan tidak
dikembalikan kepada nilai, ini adalah pendapat di antara dua pendapat dan tidak
sesuai dengan qiyas.”
[Lihat : Al-Muqaddimat
Al-Mumahhidat, karya Ibnu Rusyd (2/64)].
Ibnu Juzai berkata:
أَنَّ الْبُيُوعَ الْفَاسِدَةَ عَلَى
ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ ... (الثَّانِي) مَا نُهِيَ عَنْهُ وَلَمْ يُخِلَّ فِيهِ بِشَرْطٍ
مُشْتَرَطٍ فِي صِحَّةِ الْبُيُوعِ كَالْبَيْعِ فِي وَقْتِ الْجُمُعَةِ وَبَيْعِ حَاضِرٍ
لِبَادٍ وَالتَّلَقِّي فَاخْتُلِفَ هَلْ يُفْسَخُ أَمْ لَا، وَقِيلَ يُفْسَخُ إِنْ
كَانَتِ السِّلْعَةُ قَائِمَةً.
“Bahwa jual beli
fasid ada tiga jenis...(kedua) apa yang dilarang tetapi tidak merusak syarat
sahnya jual beli, seperti jual beli ketika waktu Jumat, jual beli orang kota
untuk orang desa, dan talaqqi, maka diperselisihkan apakah dibatalkan atau
tidak. Ada yang mengatakan dibatalkan jika barang masih ada.” [Lihat : Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah, karya Ibnu Juzai (hlm. 172)].
Pendapat yang
kuat: Penulis berpendapat bahwa pendapat yang kuat
adalah pendapat pertama, karena kuatnya dalil mereka dan selamat dan lolos dari
bantahan.
****
PERMASALAHAN
KEEMPAT:
SEBAB LARANGAN TERHADAP TALAQQI AR-RUKBAN:
Sebab larangan
talaqqi ar-rukban dapat dipahami maknanya.
Para ulama berbeda
pendapat apakah alasan larangan ini bersifat ta‘abbudi (murni ibadah tanpa bisa
diketahui maknanya, seperti larangan riba dan larangan makan babi) atau dapat
dipahami secara rasional karena adanya pengelabuan, merusak harga pasar dan
merugikan banyak pihak. [Baca : Syarh Mukhtashar Khalil, oleh al-Khurasyi
(5/84)].
Kesimpulan
pendapat para ulama tentang sebab larangan talaqqi ada tiga pendapat:
[Bada’i
ash-Shana’i, al-Kasani (7/165-166), Fath al-Qadir, Ibnu al-Humam (6/437-438),
al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi (5/348), Rawdhah ath-Thalibin, an-Nawawi (3/76),
an-Najm al-Wahhaj, ad-Damiri (4/92), al-I‘lam, Ibnu al-Mulaqqin (4/16), Tharh
at-Tatsrib, al-‘Iraqi (6/59), Fath al-Bari, Ibnu Hajar (4/337), at-Tamhid, Ibnu
Abdil Barr (12/265), Mawahib al-Jalil, al-Hattab (6/252), al-Mughni, Ibnu Qudamah
(5/600), al-Isyraf, Ibnu al-Mundzir (6/39), al-Muhalla, Ibnu Hazm (8/602),
Syarh Mukhtashar Khalil, al-Khurasyi (5/84)].
---
Pendapat
pertama: Demi kemaslahatan pihak yang membawa barang.
Alasan larangan
adalah untuk menjaga kepentingan pihak yang membawa barang (jālib) dan mencegah terjadinya kerugian padanya. Dan karena si penjual
mungkin tidak mengetahui harga pasar sehingga tertipu, atau jika ia mengetahui
harga, mereka bisa menipunya dengan mengatakan bahwa barang tersebut melimpah
di pasar atau tidak diminati.
Ini adalah pendapat
Syafi‘iyyah.
[Baca : al-Qawanin
al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzay (hlm. 171), al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr (21/73),
Syarh Mukhtashar Khalil, al-Khurasyi (5/84), al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi
(5/349), Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi (10/163)].
Dan ini adalah
pendapat madzab Hanabilah. Mereka menyebutkan alasan sbb :
لِأَنَّ ٱلۡبَائِعَ قَدۡ لَا يَعۡلَمُ
ٱلسِّعۡرَ، فَيُخۡدَعُ، وَإِنۡ عَلِمَهُ، فَقَدۡ يُخۡدَعُونَهُ بِقَوۡلِهِمۡ: إِنَّ
هَٰذِهِ ٱلسِّلۡعَةَ مَوۡجُودَةٞ فِي ٱلسُّوقِ، أَوۡ أَنَّ ٱلنَّاسَ لَا يُقۡبِلُونَ
عَلَىٰ شِرَاءِ هَٰذَا ٱلنَّوۡعِ مِنَ ٱلسِّلَعِ.
karena penjual bisa
jadi tidak mengetahui harga, lalu ia tertipu. Dan kalau pun ia mengetahuinya,
mereka bisa menipunya dengan berkata: “Barang ini banyak tersedia di pasar”
atau “Orang-orang tidak berminat membeli jenis barang ini.”
Dalil lainnya
adalah Nabi ﷺ
menetapkan hak khiyar untuk penjual, bukan untuk penduduk pasar. [Lihat: Nail
al-Awthar, asy-Syaukani (5/198-199)].
Sebagaimana dalam
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، فَمَنْ تَلَقَّاهُ
فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ»
Rasulullah ﷺ
bersabda: “Janganlah kalian menyongsong barang dagangan (di luar pasar).
Barangsiapa menyongsong lalu membeli darinya, maka jika pemilik barang itu
sampai ke pasar, ia memiliki hak memilih (melanjutkan atau membatalkan).”
[Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu‘, Bab: Larangan menyongsong barang
dagangan, no. 1519].
Pendapat kedua: Kepentingan penduduk kota.
Alasan larangan
terhadap talaqqi adalah memperhatikan kepentingan penduduk kota. Karena pihak
yang mencegat barang bisa mendapat keuntungan besar karena membeli dengan harga
murah, lalu menjual dengan harga tinggi atau menahan barang hingga harga naik.
Prinsip umum syariat mengutamakan kepentingan masyarakat umum atau kepenetingan
orang banyak daripada individu per-orang-an.
Ini adalah pendapat
madzhab Maliki.
(Baca : al-Muntaqa,
al-Baji 5/101; Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/125; Manah al-Jalil, Aliysh
5/63; al-Taj wa al-Iklil, al-Mawwâq 4/378; al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzay
hal. 171; Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/188; Syarh Mukhtasar Khalil,
al-Khurasyi 5/84; Nail al-Awtar, al-Syaukani 5/198-199).
Dan juga pendapat salah
satu riwayat dari madzhab Syafi’i
(Baca : al-Hawi
al-Kabir, al-Mawardi 5/349), serta pendapat al-Layts bin Sa’d (dalam
al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr 21/73: Abu Umar (Ibnu Abdil Barr) berkata:
يَتَّفِقُ مَعْنَى قَوْلِ مَالِكٍ، وَاللَّيْثِ
فِي أَنَّ النَّهْيَ أُرِيدَ بِهِ نَفْعُ أَهْلِ الأَسْوَاقِ، لا رَبِّ السِّلَعِ
“Makna pendapat
Malik dan al-Layts sejalan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk memberi manfaat
bagi penduduk pasar, bukan untuk pemilik barang dagangan).
Dan ini juga
pendapat al-Awza’i.
Mereka beralasan
sbb :
لِأَنَّ الْمُتَلَقِّي قَدْ يَلْحَقُهُ
الضَّرَرُ عِنْدَ انْفِرَادِهِ عَنْهُمْ بِالرُّخْصِ فِي الشِّرَاءِ، ثُمَّ هُوَ قَدْ
يَرْفَعُ السِّعْرَ عَلَيْهِمْ، أَوْ يَحْبِسُ عَنْهُمُ السِّلَعَ الَّتِي اشْتَرَاهَا
إِلَى وَقْتِ الْغَلَاءِ، وَالْقَوَاعِدُ الْعَامَّةُ فِي الشَّرِيعَةِ تُقَدِّمُ مَصْلَحَةَ
الْجَمَاعَةِ عَلَى الْفَرْدِ.
“Karena orang yang
melakukan talaqqi bisa saja merugikan mereka dengan membeli barang secara murah
sebelum mereka sampai ke pasar, lalu ia menaikkan harga kepada mereka, atau
menahan (menyimpan) barang yang ia beli sampai masa harga melonjak. Prinsip
umum dalam syariat adalah mendahulukan kepentingan jamaah daripada individu”.
(Baca : al-Bayan wa
al-Tahsil, Ibnu Rusyd 9/377-381; Syarh Muwatta’ Malik, al-Zurqani 3/427; Syarh
Shahih Muslim, al-Nawawi 10/163, dengan sedikit penyesuaian dari al-Nawawi;
lihat juga teks al-Maziri dalam al-Mu’allim bi Fawaid Muslim 2/247, serta
al-Syarh al-Kabir, Abu al-Faraj Ibnu Qudamah 4/78).
---
Pendapat ketiga: Demi kemaslahatan pihak pembawa barang dan penduduk kota sekaligus.
Alasan larangan
adalah untuk menggabungkan dua kepentingan: melindungi pembawa barang dan
penduduk kota.
Ini adalah pendapat
madzhab Hanafi.
(Baca : Fath
al-Qadir, Ibnu al-Humam 6/477; al-Bahr al-Raiq, Ibnu Najim 6/108; Fath Bab
al-Inayah, Ali al-Hanafi 2/2).
Dan ini pendapat salah
satu riwayat dari madzhab Maliki.
(Baca : al-Syamil
fi al-Fiqh, al-Damiri 2/554).
Pendapat ini juga
dipilih oleh Ibnu al-Arabi, Ibnu Hazm (al-Muhalla, Ibnu Hazm 8/452), dan
al-Syaukani (Nail al-Awtar 5/198-199).
(Baca pula: Manah
al-Jalil, Aliysh 5/63; Syarh Mukhtasar Khalil, al-Khurasyi 5/84; Nail al-Awtar,
al-Syaukani 5/198-199)]
----
Pendapat yang rajih dan lebih kuat:
Penulis berpendapat
bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat ketiga, karena menggabungkan dua
pendapat sebelumnya, dan mengamalkan semua dalil.
PEMBAHASAN
KEDUA:
BATASAN TALAQQI DAN PILIHAN (KHİYĀR)-NYA
****
PERMASALAHAN
PERTAMA:
BATASAN TALAQQI
Para ulama berbeda
pendapat mengenai apakah talaqqi ar-rukbān (mencegat
barang dagangan sebelum sampai pasar) memiliki batasan tertentu, menjadi dua
pendapat:
----
Pendapat
pertama: Tidak ada batasan untuk talaqqi ar-rukbān.
Maka tidak
diperbolehkan melakukan talaqqi baik dari jarak dekat maupun jauh.
Ini adalah salah
satu riwayat dari Malikiyah yang dipilih oleh al-Bājī, juga pendapat Zhāhiriyah [al-Muḥallā, Ibnu Ḥazm (8/449)]. Dan asy-Syaukānī yang menukilkannya dari Syafi’iyah.
Asy-Syaukānī berkata:
الظَّاهِرُ مِنَ النَّهْيِ أَيْضًا أَنَّهُ
يَتَنَاوَلُ الْمَسَافَةَ الْقَصِيرَةَ وَالطَّوِيلَةَ، وَهُوَ ظَاهِرُ إِطْلَاقِ الشَّافِعِيَّةِ.
Yang nampak dari
Lafaz larangan, juga mencakup jarak dekat maupun jauh, dan ini adalah dzahir
dari pernyataan Syafi’iyah. (Nailul Authār,
asy-Syaukānī (5/198-199))
[Sumber Malikiyah: Ḥāsyiyah al-‘Adawī ‘ala al-Khurasyī (5/84), dan Manḥul Jalīl, ‘Alīsy (5/63), dan asy-Syāmil fī al-Fiqh, Rām ad-Damīrī (2/554)].
Pendapat kedua: Talaqqi ar-rukbān memiliki batasan.
Ada batas tertentu
yang melarang talaqqi, jika sudah melewati batas tersebut maka boleh melakukan
jual beli.
Ats-Tsaurī berpendapat batasannya adalah : “sejauh masāfatul qasr (jarak yang membolehkan qashar shalat)”.
===
Malikiyah berbeda pendapat mengenai penentuan jarak talaqqi yang haram dilakukan.
Sufyān ats-Tsaurī berkata:
تَلَقِّي السِّلَعِ مَنْهِيٌّ عَنْهُ
مَنْ تَلَقَّاهَا بِحَيْثُ لَا تَقْصُرُ الصَّلَاةُ إِلَيْهِ، فَإِنْ تَلَقَّاهَا بِحَيْثُ
تَقْصُرُ الصَّلَاةُ فَصَاعِدًا فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ.
Talaqqi barang
dagangan dilarang bila dilakukan pada jarak yang tidak membolehkan qashar
shalat, adapun jika dilakukan pada jarak yang membolehkan qashar shalat atau
lebih jauh, maka tidak mengapa.
Ibnu Ḥazm berkata:
فَهَذَا تَقْسِيمٌ فَاسِدٌ لِأَنَّهُ
دَعْوَى بِلَا بُرْهَانٍ.
Ini adalah
pembagian yang rusak, karena sekadar klaim tanpa dalil.
[Lihat: al-Muḥallā, Ibnu Ḥazm
(8/450), dan Nailul Authār, asy-Syaukānī (5/198-199)].
Dengan
menggabungkan riwayat-riwayat Malikiyah, terdapat lima pendapat atau riwayat dalam
madzhab mereka:
[Lihat: Bidāyatul Mujtahid, Ibnu Rusyd (2/125), at-Tāj wal Iklīl, al-Mawwāq (4/379), Manḥul Jalīl, ‘Alīsy (5/63), Ḥāsyiyah al-‘Adawī ‘ala al-Khurasyī (5/84), asy-Syarḥ ash-Shaghīr, ad-Dardīr (3/63), ‘Aqd al-Jawāhir ats-Tsamīnah, Ibnu Syās (2/344), Jāmi‘ul Ummahāt, Ibnu al-Ḥājib (hlm. 351)].
Riwayat pertama: Batas talaqqi adalah sejauh satu mil (1 mil =1,6 KM).
Al-Baji berkata:
وَقَدْ سُئِلَ مَالِكٌ عَنْ خُرُوجِ أَهْلِ
مِصْرَ إِلَى الإِصْطَبْلِ مَسِيرَةَ مِيلٍ، وَنَحْوِهِ أَيَّامَ الأَضْحَى يَتَلَقَّوْنَ
الغَنَمَ يَشْتَرُوا، قَالَ: هَذَا مِنَ التَّلَقِّي، وَكَذَلِكَ غَيْرُ الضَّحَايَا
مَتَى تَرِدْ سُوقَهَا، رَوَاهُ ابْنُ المَوَّازِ عَنْ مَالِكٍ، وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّ
هَذَا تَلَقٍّ يَمْنَعُ مِنْ وُصُولِ مَا جُلِبَ إِلَى سُوقِ بَيْعِهِ، فَكَانَ مَمْنُوعًا
مِنْهُ كَالْبُعْدِ.
Telah ditanyakan
kepada Malik tentang orang-orang Mesir yang keluar menuju tempat kandang hewan
sejauh perjalanan satu mil, atau yang semisalnya pada hari-hari Idul Adha untuk
menyambut domba agar mereka dapat membelinya.
Ia berkata: “Ini
termasuk talaqqi,” demikian pula selain hewan kurban kapan saja ia dicegah
untuk sampai ke pasarnya. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Mawwaz dari Malik.
Alasannya adalah
karena ini merupakan bentuk penghalangan yang mencegah barang bawaan itu sampai
ke pasar penjualannya, sehingga hal itu dilarang sebagaimana jika jaraknya jauh”.
[Baca : Al-Muntaqa,
al-Baji (5/101), Manh al-Jalil, oleh Ulaisy (5/63), Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu
Juzay (hal. 171), ‘Aqd al-Jawahir al-Thaminah, Ibnu Syas (2/344), Jami’
al-Ummihat, Ibnu al-Hajib (hal. 351), Al-Syamil fi al-Fiqh, al-Damiri (2/554),
Hasyiyah al-Shawi ‘ala al-Syarh al-Shaghir (3/108), Hasyiyah al-Dusuqi (3/70),
Nail al-Awthar, al-Syaukani (5/198-199)].
Riwayat kedua: Batas talaqqi adalah sejauh satu farsakh (tiga mil).
Al-Dusuqi berkata:
وَقِيلَ: إِنَّ النَّهْيَ إِذَا كَانَ
التَّلَقِّي عَلَى مَسَافَةِ فَرْسَخٍ أَيْ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ فَلَا يَحْرُمُ التَّلَقِّي
إِذَا كَانَ عَلَى مَسَافَةٍ أَكْثَرَ مِنْهَا.
Ada pendapat bahwa
larangan itu berlaku jika talaqqi dilakukan pada jarak satu farsakh, yaitu tiga
mil. Maka tidak haram melakukan talaqqi jika jaraknya lebih dari itu.
[Hasyiyah al-Dusuqi
(3/70), Hasyiyah al-Shawi ‘ala al-Syarh al-Shaghir (3/108)].
Riwayat ketiga: Batas talaqqi adalah dua farsakh (enam mil).
Al-‘Adawi berkata:
قَوْلُهُ: وَكَتَلَقِّي السِّلَعِ
.... وَقِيلَ حَدُّ التَّلَقِّي الْمَنْهِيِّ عَنْهُ الَّذِي إِذَا زَادَ عَلَيْهِ
فِي الْبُعْدِ لَا يَتَنَاوَلُهُ النَّهْيُ.... وَقِيلَ فَرْسَخَانِ.
Ucapannya “seperti
talaqqi barang dagangan….” Dan ada yang mengatakan bahwa batas talaqqi yang
dilarang adalah jarak yang jika melebihi batas tersebut maka larangan tidak
berlaku… dan ada yang mengatakan dua farsakh. (Hasyiyah al-‘Adawi ‘ala
al-Khurashi, 5/84).
Ad-Dusuqi berkata:
إِذَا كَانَ عَلَى سِتَّةِ أَمْيَالٍ
فَلَا يَحْرُمُ؛ لِأَنَّ هَذَا سَفَرٌ لَا تَلَقِّي..، وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُهَا.
Jika jaraknya enam
mil maka tidak haram; karena itu sudah dianggap safar, bukan talaqqi… Dan
pendapat pertama lebih kuat. (Hasyiyah ad-Dusuqi, 3/70; Hasyiyah ash-Shawi ‘ala
asy-Syarh ash-Shaghir, 3/108).
Ash-Shawi berkata:
حَاصِلُ مَا قَالَهُ الشَّارِحُ فِي مَسْأَلَةِ
التَّلَقِّي أَنَّ الشَّخْصَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ خَارِجًا مِنَ الْبَلَدِ الْوَارِدُ
إِلَيْهِ التِّجَارَةُ، أَوْ مَنْزِلُهُ خَارِجٌ عَنْهُ تَمُرُّ بِهِ التِّجَارَةُ،
فَمَتَى كَانَ خَارِجًا لِسِتَّةِ أَمْيَالٍ أَوْ مَنْزِلُهُ عَلَى سِتَّةِ أَمْيَالٍ
جَازَ لَهُ الشِّرَاءُ مُطْلَقًا لِلتِّجَارَةِ أَوْ لِلْقُنْيَةِ، كَانَ لِتِلْكَ
السِّلَعِ سُوقٌ بِالْبَلَدِ أَمْ لَا، وَإِنْ كَانَ عَلَى دُونَ سِتَّةِ أَمْيَالٍ
فَالْخَارِجُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ الشِّرَاءُ مُطْلَقًا لِلتِّجَارَةِ أَوْ الْقُنْيَةِ
كَانَ لِلسِّلَعِ سُوقٌ أَمْ لَا، وَمَنْ مَنْزِلُهُ عَلَى دُونَ سِتَّةِ أَمْيَالٍ
جَازَ لَهُ الْأَخْذُ لِقُوَّتِهِ مُطْلَقًا، وَلِلتِّجَارَةِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لِلسِّلَعِ
سُوقٌ.
Kesimpulan yang
dikatakan oleh pensyarah dalam masalah talaqqi adalah bahwa seseorang, jika ia
keluar dari kota untuk menyongsong perdagangan atau rumahnya berada di luar
kota yang dilalui perdagangan, maka apabila ia berada di luar sejauh enam mil
atau rumahnya sejauh enam mil, boleh baginya membeli secara mutlak baik untuk
perdagangan maupun kepemilikan pribadi, baik barang itu memiliki pasar di kota
atau tidak.
Jika jaraknya
kurang dari enam mil, maka orang yang keluar diharamkan membeli secara mutlak,
baik untuk perdagangan maupun kepemilikan, baik barang tersebut memiliki pasar
di kota atau tidak.
Adapun yang
rumahnya kurang dari enam mil, maka ia boleh mengambil untuk kebutuhan
pribadinya secara mutlak, dan boleh untuk perdagangan jika barang tersebut
tidak memiliki pasar”. [Kutipan Selesai]
Kesimpulan yang
disampaikan oleh pensyarah ini adalah inti dari perbedaan pendapat dalam madzhab.
(Lihat : Hasyiyah
ash-Shawi ‘ala asy-Syarh ash-Shaghir, 3/109; al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzay,
hlm. 171; ‘Aqd al-Jawahir ats-Tsaminah, Ibnu Syas, 2/344; Jami‘ al-Ummihat, Ibnu
al-Hajib, hlm. 351; asy-Syamil fi al-Fiqh, ad-Damiri, 2/554; Hasyiyah al-‘Adawi
‘ala al-Khurashi, 5/84-85; Hasyiyah ash-Shawi ‘ala asy-Syarh ash-Shaghir,
3/108-109; Syarh Mukhtashar Khalil, al-Khurashi, 5/85; Manah al-Jalil,
al-‘Alisy, 5/63; at-Taj wa al-Iklil, al-Mawwaq, 4/379; Nail al-Awthar,
asy-Syaukani, 5/198-199).
Riwayat keempat:
Batas talaqqi adalah satu hari perjalanan.
Ibnu Juzay berkata:
أَيْ مِنَ الْبُيُوعِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ
تَلَقِّي السِّلْعَةِ عَلَى مِيلٍ، وَقِيلَ عَلَى فَرْسَخَيْنِ، وَقِيلَ عَلَى مَسِيرَةِ
يَوْمٍ فَأَكْثَرَ قَبْلَ أَنْ تَصِلَ إِلَى الْأَسْوَاقِ.
Jenis kelima dari
jual beli yang dilarang adalah talaqqi barang dagangan pada jarak satu mil, dan
ada yang mengatakan dua farsakh, dan ada yang mengatakan satu hari perjalanan
atau lebih sebelum sampai ke pasar. (al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzay, hlm.
171).
Riwayat kelima: Batas talaqqi adalah dua hari perjalanan.
Al-‘Adawi berkata:
وَكَتَلَقِّي السِّلَعِ ظَاهِرُهُ قُرْبٌ،
أَوْ بُعْدٌ وَهُوَ أَحَدُ أَقْوَالٍ وَقِيلَ حَدُّ التَّلَقِّي الْمَنْهِيِّ عَنْهُ
الَّذِي إِذَا زَادَ عَلَيْهِ فِي الْبُعْدِ لَا يَتَنَاوَلُهُ النَّهْيُ... وَقِيلَ
يَوْمَانِ... قَالَ عِيَاضٌ: اخْتُلِفَ فِي حَدِّ التَّلَقِّي الْمَمْنُوعِ فَعَنْ
مَالِكٍ كَرَاهَةُ ذَلِكَ عَلَى مَسِيرَةِ يَوْمَيْنِ.
Ucapannya “seperti
talaqqi barang dagangan” secara lahir menunjukkan dekat atau jauh, dan itu
salah satu pendapat. Ada yang mengatakan bahwa batas talaqqi yang dilarang
adalah jarak yang jika melebihi batas tersebut maka larangan tidak berlaku… dan
ada yang mengatakan dua hari perjalanan…
Al-Qadhi ‘Iyadh
berkata: Telah terjadi perbedaan pendapat tentang batas talaqqi yang dilarang,
dan dari Malik diriwayatkan makruh pada jarak dua hari perjalanan.
(Baca: Hasyiyah
al-‘Adawi ‘ala al-Khurashi, 5/84-85; Manah al-Jalil, al-‘Alisy, 5/63;
asy-Syamil fi al-Fiqh, ad-Damiri, 2/554; Nail al-Awthar, asy-Syaukani,
5/198-199).
****
PERMASALAHAN
KEDUA:
AWAL DAN AKHIR TALAQQI
===
BAGIAN PERTAMA: AWAL TALAQQI
Para ulama berbeda
pendapat tentang permulaan talaqqi, dan kesimpulan pendapat mereka adalah:
Pendapat
pertama: Talaqqi dimulai sejak keluar dari kota si
pembeli, dan ini adalah pendapat Syafi’iyah.
[Lihat: At-Takmilah
Ats-Tsaniyah lil-Majmu’, Al-Muthi’i (13/23), dan Nailul Authar, Asy-Syaukani
(5/198-199)].
Pendapat kedua: Talaqqi dimulai sejak keluar dari pasar, meskipun masih di dalam kota
si pembeli.
Dan ini adalah
pendapat Malikiyah, Ahmad, Ishaq, dan Al-Laits, yang menunjukkan bahwa batas
akhir talaqqi adalah di atas pasar, berdasarkan lahiriah hadis.
[Lihat: At-Takmilah
Ats-Tsaniyah lil-Majmu’, Al-Muthi’i (13/23), dan Nailul Authar, Asy-Syaukani
(5/198-199)].
Pendapat yang
lebih kuat dan rajih :
Penulis berpendapat
bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kedua, karena Nabi ﷺ
menjadikan batas akhir talaqqi adalah pasar, sebagaimana dalam hadits Abdullah
bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا تَلَقَّوْا السِّلَعَ حَتَّى يُهْبَطَ
بِهَا إِلَى السُّوقِ»
“Janganlah kalian
mencegat barang dagangan sampai barang itu dibawa turun ke pasar.”
[Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab: Al-Buyu’, Bab: Larangan Talaqqi Ar-Rukban
dan bahwa jual belinya tertolak karena penjualnya berbuat maksiat apabila
mengetahui hal itu, dan itu adalah tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu
daya tidak boleh, no. 2165. Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya,
Kitab: Al-Buyu’, Bab: Pengharaman Talaqqi Al-Jalab, no. 1517].
Dengan demikian,
pasar menjadi batas akhir bagi penjual, dan batas awal bagi pembeli.
====
BAGIAN KEDUA : AKHIR TALAQQI
Kapan berakhirnya
talaqqi ar-rukban?
Para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:
----
Pendapat pertama:
Talaqqi berakhir dengan masuknya barang ke
pasar. Jika tidak ada pasar, maka ketika barang telah masuk ke perkampungan dan
gang-gang kota, maka boleh membelinya.
Hal ini
diriwayatkan oleh Ibnu Habib dari Imam Malik dan para sahabatnya. (Baca : Al-Muntaqa,
Al-Baji, 5/102).
Ini adalah pendapat
mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafiyah.
(Baca : Fath
al-Qadir, Ibnu al-Humam, 6/177; Al-Lubab, Al-Ghunaymi, 2/30), Malikiyah
(Hasyiyah Ad-Dusuqi, 3/70; Hasyiyah As-Sawi ‘ala Syarh ash-Shaghir, 2/37;
Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzayy, hal. 285; Bidayah al-Mujtahid, Ibnu
Rusyd, 2/188), Hanabilah (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 6/315; Syarh Mukhtashar
al-Kharqi, Az-Zarkasyi, 3/650; Hasyiyah ar-Raudh, Ibnu Qasim, 4/434)].
Dan ini juga pendapat
madzhab Zhahiriyyah.
Ibnu Hazm berkata:
"وَلا يَحِلُّ لِأَحَدٍ تَلَقِّي الجَلَبِ
وَلَوْ أَنَّهُ عَلَى السُّوقِ عَلَى ذِرَاعٍ فَصَاعِدًا"
“Tidak halal bagi
siapa pun melakukan talaqqi terhadap barang bawaan, walaupun barang itu sudah
dekat dengan pasar, bahkan hanya berjarak sehasta sekalipun.” (Al-Muhalla, Ibnu
Hazm, 9/469).
DALIL-DALIL YANG
MEREKA GUNAKAN :
Dalil pertama: hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
«لَا تَلَقَّوْا السِّلَعَ حَتَّى يُهْبَطَ
بِهَا إِلَى السُّوقِ»
“Janganlah kalian
mencegat (menyongsong) barang dagangan sampai dibawa ke pasar.”
(HR. Bukhari dalam
Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Larangan Menyongsong Ar-rukban dan Bahwa Jual
Belinya Tertolak Karena Penjualnya Berdosa Jika Mengetahui dan Itu Termasuk
Tipuan dalam Jual Beli, dan Tipu Daya Tidak Boleh, no. 2165; dan Muslim dalam
Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Haramnya Menyongsong Barang Dagangan, no.
1517).
Dalam hadits ini,
Rasulullah ﷺ
melarang mencegat (menyongsong) barang dagangan sampai tiba di pasar. Hal ini
menunjukkan bahwa batas talaqqi berakhir ketika para ar-rukban sampai ke pasar.
Sebelum itu, tidak boleh mencegat (menyongsong) mereka.
Dalil kedua: hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«كَانُوا يَبْتَاعُونَ الطَّعَامَ فِي أَعْلَى
السُّوقِ، فَيَبِيعُونَهُ فِي مَكَانِهِ، فَنَهَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِ حَتَّى يَنْقُلُوهُ»
“Mereka dahulu
membeli makanan di bagian atas pasar, lalu menjualnya di tempat itu. Maka
Rasulullah ﷺ
melarang mereka menjualnya di tempat tersebut sampai mereka memindahkannya.”
(HR. Bukhari dalam
Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Batas Talaqqi, no. 2167).
Hadis ini
menunjukkan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu mencegat
(menyongsong) rombongan pengendara bawa barang dagangan di bagian atas pasar,
lalu membeli dari mereka barang dagangan mereka. Ini menjadi dalil bolehnya
talaqqi terhadap barang dagangan di bagian atas pasar.
Dalil ketiga: Jika barang dagangan telah sampai ke pasar, meskipun hanya di bagian
atasnya, maka ia telah sampai ke tempat jual beli. Dengan demikian, ia tidak
termasuk dalam larangan, sebagaimana jika sudah sampai ke tengah pasar.
(al-Mughni, Ibnu Qudamah, 6/315).
----
Pendapat kedua:
Talaqqi berakhir ketika memasuki kota, dan para ar-rukban sudah
memungkinkan untuk mengetahui harga, baik mereka sampai ke pasar maupun belum.
Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i.
(Lihat Hasyiyata
Qalyubi wa ‘Umairah, 2/183; Mughni al-Muhtaj, asy-Syarbini, 2/36; Nihayatu
al-Muhtaj, ar-Ramli, 3/467; Raudhat ath-Thalibin, an-Nawawi, 3/413).
Dalil mereka:
Ketika barang dagangan sudah masuk kota, mereka bisa mengetahui harga tanpa
perlu disongsong. Dengan demikian, tidak ada lagi penipuan terhadap barang dan
tidak ada kerugian bagi mereka. Jika mereka tidak mengetahui harga padahal
mampu, maka itu karena kelalaian dan kecerobohan dalam urusan finansial.
Bantahan:
1. Masuk kota tidak
menjamin pengetahuan tentang harga, berbeda dengan masuk pasar, yang mana itu
pasti memungkinkan mengetahui harga. Jika tidak, berarti ada kelalaian dan
kecerobohan.
2. Pendapat ini
bertentangan dengan teks hadits yang jelas, yaitu hadits Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا تَلَقَّوْا السِّلَعَ حَتَّى يُهْبَطَ
بِهَا إِلَى السُّوقِ»
“Janganlah kalian menyongsong
barang dagangan sampai dibawa ke pasar.”
(HR. Bukhari no.
2165 dan Muslim no. 1517).
Bukan sekadar masuk
kota. Pendapat yang bertentangan dengan nash tidak dapat dianggap dan tidak
diakui.
----
Pendapat yang rajih dan lebih kuat:
Penulis berpendapat
bahwa yang kuat adalah pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur fuqaha, bahwa
batas talaqqi ar-rukban berakhir dengan masuknya barang dagangan ke pasar. Hal
ini karena kuatnya dalil jumhur dan bebasnya dari pertentangan.
****
PERMASALAHAN
KETIGA:
OPSI (HAK KHIYAR) BAGI PENJUAL DAN PENDUDUK PASAR DALAM TALAQQI
AR-RUKBAN
====
BAGIAN PERTAMA: OPSI PENJUAL DALAM TALAQQI AR-RUKBAN
Para ulama berbeda
pendapat tentang apakah penjual memiliki hak khiyar (memilih) jika ia dicegat (disongsong)
oleh para pedagang kota (lokal) dan mereka membeli darinya (dari pembawa barang
dagangan dari pedalaman) sebelum sampai ke pasar.
Ada dua
pendapat:
====
Pendapat
pertama: Penjual tidak memiliki hak khiyar.
Ini adalah pendapat
Hanafiyah, Malikiyah, dan al-Auza’i.
(Lihat: Syarh
Ma’ani al-Atsar, ath-Thahawi, 4/9-10; at-Takmilah ats-Tsaniyah lil Majmu’,
al-Muthi’i, 26/13; al-Mughni, Ibnu Qudamah, 6/312-314).
MEREKA BERDALIL SBB
:
Dalil pertama: hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi ﷺ
bersabda:
ٱلۡبَيِّعَانِ بِٱلۡخِيَارِ مَا لَمۡ
يَتَفَرَّقَا
“Dua orang yang
melakukan jual beli memiliki hak khiyar selama belum berpisah.”
(HR. Bukhari dalam
Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Jika Dua Orang Jual Beli Menjelaskan dan Tidak
Menyembunyikan Serta Memberikan Nasihat, no. 2079; dan Muslim dalam Shahih-nya,
Kitab al-Buyu’, Bab Kejujuran dalam Jual Beli dan Penjelasan, no. 1532).
Dan riwayat dari
Nabi ﷺ tentang
hal ini mutawatir. Maka kita ketahui bahwa jika sudah berpisah, maka tidak ada
lagi khiyar bagi keduanya. [Lihat : Syarh Ma’ani al-Atsar, ath-Thahawi, 4/9-10].
Bantahan : Keumuman hadits ini dikhususkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، فَمَنْ تَلَقَّاهُ
فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ»
“Janganlah kalian
menyongsong barang dagangan. Siapa yang menyongsongnya lalu membeli darinya,
maka ketika pemiliknya sampai ke pasar, ia memiliki hak khiyar.”
(HR. Muslim dalam
Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Haramnya Menyongsong Barang Dagangan, no.
1519).
Dalil kedua: hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
«لَا تَلَقَّوْا السِّلَعَ حَتَّى يُهْبَطَ
بِهَا إِلَى السُّوقِ»
“Janganlah kalian
menyongsong barang dagangan sampai dibawa ke pasar.”
(HR. Bukhari dalam
Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab Larangan Menyongsong Ar-rukban dan Bahwa Jual
Belinya Tertolak Karena Penjualnya Berdosa Jika Mengetahui dan Itu Termasuk
Tipuan dalam Jual Beli, no. 2165; dan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’,
Bab Haramnya Menyongsong Barang Dagangan, no. 1517).
Bantahan: Ini tidak menjadi dalil bagi klaim mereka karena bisa jadi larangan
itu bertujuan menjaga kemaslahatan penjual. Sebab, jika barang tersebut sampai
ke pasar, akan diketahui harga pasar sehingga penjual tidak tertipu. Tidak ada
larangan untuk mengatakan bahwa illat (alasan hukum) larangan ini adalah demi
menjaga kemaslahatan penjual dan penduduk pasar.
(Baca : at-Takmilah
ats-Tsaniyah lil Majmu’, al-Muthi’i, 26/13).
Dalil ketiga:
قَالَ بن الْمُنْذِرِ وَحَمَلَهُ مَالِكٌ
عَلَى نَفْعِ أَهْلِ السُّوقِ لَا عَلَى نَفْعِ رَبِّ السِّلْعَةِ وَإِلَى
ذَلِكَ جَنَحَ الْكُوفِيُّونَ وَالْأَوْزَاعِيُّ
“Ibnu Mundzir
berkata: Malik menafsirkannya sebagai untuk kemaslahatan penduduk pasar, bukan
untuk kepentingan pemilik barang, dan inilah pendapat yang cenderung dipegang
oleh para ulama Kufah dan Al-Awza‘i”.
Namun setelah itu al-Mundziri
berkata :
وَالْحَدِيثُ حُجَّةٌ لِلشَّافِعِيِّ
لِأَنَّهُ أَثْبَتَ الْخِيَارَ لِلْبَائِعِ لَا لِأَهْلِ السُّوقِ انْتهى
Hadis ini justru
menjadi hujjah bagi asy-Syafi’i, karena hadits tersebut menetapkan hak khiyar
bagi penjual, akan tetapi tidak bagi penduduk pasar.
(At-Takmilah
ats-Tsaniyah lil Majmu’, al-Muthi’i, 26/13, Fathul Bari karya Ibnu Hajar 4/374 dan
Neil al-Awthor karya asy-Syawkani 5/198).
===
Pendapat kedua: Penetapan hak opsi (khiyar) bagi penjual.
Ini adalah pendapat
Syafi’iyah dan Hanabilah, dan merupakan pendapat yang dirujuk oleh Ibnu Hazm
[Baca : al-Muhalla, Ibnu Hazm (8/449)].
Sumber-sumber
Syafi’iyah antara lain: al-Umm, al-Syafi’i (5/187), al-Muhadhdhab, al-Syirazi
(2/63), al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi (5/348), Rawdat al-Thalibin, al-Nawawi
(3/415), al-Tanbih fi al-Fiqh al-Syafi’i, al-Syirazi (hal. 96), al-Bayan,
al-‘Imrani (5/353).
Sumber-sumber
Hanabilah antara lain: al-Kafi, Ibnu Qudamah (2/15), al-Sharh al-Kabir, Abu
al-Faraj Ibnu Qudamah (4/77), al-Iqna’, al-Hajjawi (2/91), al-Insaf, al-Mardawi
(4/394), dan al-Takmila al-Thaniyah lil-Majmu’, al-Mutayyi’i (13/24-25).
Opsi bagi penjual
telah ditetapkan secara nash, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، فَمَنْ تَلَقَّاهُ
فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ»
“Janganlah kalian
menerima jula-jula (talaqqi), barang siapa menerima lalu membeli darinya, maka
apabila sampai kepada pemiliknya di pasar, ia tetap memiliki pilihan (khiyar).”
[HR. Muslim dalam
Shahihnya, Kitab al-Buyu’, Bab: Larangan Talaqqi al-Jalab, no. 1519]
====
Para ulama
berkata: jika terjadi gharar (ketidakadilan dalam
harga), maka penjual memiliki hak khiyar.
Namun jika tidak
terjadi gharar, misalnya harga setara atau lebih tinggi dari harga pasar, para
ulama berbeda pendapat menjadi dua:
Pendapat
pertama: opsi (hak khiyar) tetap ada, berdasarkan
zhahir hadits.
Ini adalah pendapat
Syafi’iyah, juga riwayat Hanabilah, dan dipilih oleh al-Istakhri dan Ibnu
al-Wakil dari Syafi’iyah.
Pendapat kedua: tidak ada opsi (hak khiyar).
Ini adalah pendapat
yang shahih menurut Syafi’iyah, karena tidak ada gharar. Khiyar hanya
ditegaskan untuk kasus penipuan (khida’ah) untuk mencegah kerugian penjual.
Tanpa adanya gharar, maka tidak ada kerugian yang perlu dihindari.
Sumber-sumber
Syafi’iyah untuk pendapat kedua ini: al-Muhadhdhab, al-Syirazi (2/63), al-Sharh
al-Kabir, al-Rafi’i (8/219), al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi (5/348), Rawdat
al-Thalibin, al-Nawawi (3/415), al-Tanbih fi al-Fiqh al-Syafi’i, al-Syirazi
(hal. 96), al-Bayan, al-‘Imrani (5/353), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/312-314),
Sharh Sahih Muslim, al-Nawawi (10/163), dan al-Takmila al-Thaniyah lil-Majmu’,
al-Mutayyi’i (13/23).
Sumber-sumber
Hanabilah: al-Kafi, Ibnu Qudamah (2/15), al-Sharh al-Kabir, Abu al-Faraj Ibnu
Qudamah (4/77), al-Iqna’, al-Hajjawi (2/91), al-Insaf, al-Mardawi (4/394), dan
al-Takmila al-Thaniyah lil-Majmu’, al-Mutayyi’i (13/24-25).
Bantahan: Hadits tersebut bersifat mutlaq “maka baginya terdapat hak khiyar (فَهُوَ بِالْخِيَارِ)”, tidak dikatakan “jika terjadi ketidakadilan dalam harga
(إِذَا غُبِنَ)”.
Makna Al-Ghubn
dalam jual beli adalah ketidakseimbangan antara apa yang diberikan oleh kedua
pihak yang bertransaksi dan apa yang mereka terima, di mana nilai salah satu
pihak jauh lebih besar dibandingkan nilai pihak lain, sehingga menimbulkan
ketidakadilan atau penipuan terhadap salah satu pihak.
Hak untuk menolak
akad tidak muncul hanya karena adanya ghubn, kecuali jika ghubn tersebut
bersifat parah (melampaui batas kewajaran). Atau jika salah satu pihak adalah
anak di bawah umur atau tidak memiliki kapasitas hukum.
Jawaban:
1]. Ketika Nabi ﷺ
menetapkan hak khiyar bagi mereka setelah barang sampai di pasar, maksudnya
adalah terkait kemungkinan terjadi gharar. Karena jika tidak, maka hak khiyar
akan diberikan sejak saat penjualan awal. [al-Mumti’ fi Sharh al-Muqni’,
al-Tanukhi (hlm. 455-456)].
2]. Hadits ini
ditafsirkan sesuai kebiasaan yang umum; karena jika pembeli membawa barang ke
pasar dan tidak terjadi gharar, ia tidak akan membatalkan transaksi, karena
tidak ada manfaat membatalkan lalu menjual kembali. Maka hadits ini dimaknai
bahwa hak khiyar berlaku jika terjadi gharar, meskipun zhahir hadits menyatakan
khiyar secara mutlak. [al-Sharh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, Ibnu ‘Utsaimin
(8/299)].
Catatan:
Ghubn dinilai
berdasarkan yang menyimpang dari kebiasaan, yaitu mengacu pada ‘urf (adat)
karena syariat tidak menetapkan batas khusus, seperti halnya al-hirz (ٱلْحِرْز). Ini
adalah pendapat yang populer di kalangan Hanabilah.
Makna “al-Hirz”
dalam jual beli berarti selesainya pemindahan kepemilikan barang atau
penyerahannya kepada pembeli, sehingga barang tersebut berada di tempat yang
dijaga atau di bawah kendalinya, dan hal ini terjadi tanpa memandang apakah
tempat tersebut adalah tempat yang aman terlindungi atau tidak, karena kata
"al-hirz" di sini merujuk pada kepemilikan atau penguasaan nyata atas
barang tersebut.
[Lihat: al-Mughni,
Ibnu Qudamah (6/305), al-Mumti’ fi Sharh al-Muqni’, al-Tanukhi (hlm. 455-456),
al-Iqna’, al-Hajjawi (2/91), al-Insaf, al-Mardawi (4/394-395)].
===
BAGIAN KEDUA: HAK KHIYAR (OPSI) BAGI PENDUDUK PASAR DALAM KASUS TALAQQI RUKBAN.
Para ulama berbeda
pendapat tentang tetapnya hak khiyar bagi penduduk pasar menjadi dua pendapat:
Pendapat
pertama: Hak khiyar bagi penduduk pasar itu tetap ada.
Ini adalah salah
satu pendapat dalam madzhab Maliki yang dipilih oleh Al-Maziri, Ibnu Al-Qasim,
Ibnu Wahb, dan Al-Jallab.
[Lihat: Al-Bayan
wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/377-394), An-Nawadir waz-Ziyadat, Ibnu Abi Zaid
Al-Qairawani (4/1388), ‘Aqd Al-Jawahir Ats-Tsamina, Ibnu Syas (2/343-344),
Manah Al-Jalil, Alisy (5/63), Asy-Syarh Al-Kabir, Ad-Dardir (3/70), At-Taj wal
Iklil, Al-Mawwaq (4/379), At-Tafri’, Ibnu Al-Jallab (2/110), Al-Muntaqa,
Al-Baji (5/102)].
Dan ini adalah
pendapat yang sahih dari Malik sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdul Barr.
[Al-Kafi, Ibnu Abdul Barr (1/367)].
Ibnu Rusyd berkata :
“Ini adalah pendapat yang masyhur”. [Baca : Lubab Al-Lubab, Al-Qafsi Al-Maliki
(hal. 167)].
Pendapat kedua: Hak khiyar bagi penduduk pasar tidak tetap.
Ini adalah salah
satu pendapat dalam madzhab Maliki yang dipilih oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dan
Asyhab.
[Lihat: Al-Bayan
wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/377-394), Manah Al-Jalil, Alisy (5/63), An-Nawadir
waz-Ziyadat, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (4/1388), ‘Aqd Al-Jawahir Ats-Tsamina,
Ibnu Syas (2/343-344), Asy-Syarh Al-Kabir, Ad-Dardir (3/70), Al-Muntaqa,
Al-Baji (5/102), At-Taj wal Iklil, Al-Mawwaq (4/379)].
PERMASALAHAN KEEMPAT: UKURAN (AL-MU’TABAR) LAMANYA HAK KHIYAR.
Apabila terbukti
adanya kecurangan harga (ghabn), maka penjual memiliki hak khiyar. Namun,
berapa lama masa hak khiyar itu? Masalah ini diperselisihkan para ulama menjadi
tiga pendapat:
Pendapat
pertama: Ia memiliki hak khiyar segera (langsung)
seperti halnya dalam kasus cacat barang. Jika ia meninggalkan pembatalan akad
padahal memungkinkan, maka gugur haknya.
Ini adalah pendapat
yang sahih menurut madzhab Syafi’i, karena hak khiyar ini bukan untuk
memastikan ada atau tidaknya cacat, maka ia bersifat segera, seperti hak khiyar
tiga hari.
[Lihat: Al-Hawi
Al-Kabir, Al-Mawardi (5/348), Al-Bayan, Al-‘Umrani (5/353), Raudhat
Ath-Thalibin, An-Nawawi (3/415)].
Pendapat kedua: Ia memiliki hak khiyar selama tiga hari, karena ini termasuk hak
khiyar akibat adanya penipuan, sehingga disamakan dengan khiyar mushorroh (خِيَارُ الْمُصَرَّاةِ).
Ini adalah salah
satu pendapat dalam madzhab Syafi’i.
Bantahan: Khiyar mushorroh adalah untuk memastikan adanya cacat, karena bisa
jadi seseorang tidak mengetahui perbuatan memerah susu tanpa menunggu tiga
hari.
[Lihat: Al-Hawi
Al-Kabir, Al-Mawardi (5/348), Al-Bayan, Al-‘Umrani (5/353), Raudhat
Ath-Thalibin, An-Nawawi (3/415)].
Pendapat ketiga: Ia memiliki hak khiyar kapan pun ia masuk ke pasar, meskipun setelah
bertahun-tahun.
Ini adalah pendapat
Ibnu Hazm Azh-Zhahiri. [Al-Muhalla, Ibnu Hazm (8/449)].
Bantahan: Tidak diragukan lagi bahwa ijtihad Ibnu Hazm ini menimbulkan mudarat
besar bagi pasar, penduduknya, serta transaksi yang terjadi, bahkan juga bagi
pengadilan yang menangani sengketa. Sebab, hal ini membuka pintu perselisihan
yang besar tanpa batas waktu yang jelas sehingga mengganggu stabilitas
transaksi.
Pendapat yang
rajih dan yang lebih kuat:
Penulis berpendapat
bahwa pendapat yang rajih adalah pendapat pertama, yaitu hak khiyar berlaku
segera. Maka jika seseorang membeli barang dari sebuah rombongan pengendara
pengangkut barang sebelum masuk ke pasar, lalu pemilik barang masuk ke pasar
dan mengetahui adanya kecurangan harga yang menimpanya akibat jual beli
tersebut, maka ia boleh membatalkan akad saat itu juga.
Namun, jika pemilik
barang masuk ke pasar dan tidak meminta pembatalan akad padahal ia sudah tahu
adanya kecurangan harga, lalu ia tidak mengajukan pembatalan, maka gugurlah
haknya untuk meminta pembatalan.
Akan tetapi, dosa
tetap menimpa pihak pembeli atau penerima barang (pihak yang menipu) karena
telah menyelisihi perintah Rasulullah ﷺ.
===***===
PEMBAHASAN
KETIGA:
MASALAH-MASALAH TALAQQI RUKBAN.
*****
PERMASALAHAN
PERTAMA:
TALAQQI
KETIKA PENJUAL SAMPAI LEBIH DAHULU SEBELUM BARANG ATAU SEBALIKNYA:
====
Pertama: Talaqqi ketika penjual sampai lebih dahulu sebelum barang.
Jika penjual sudah
sampai di pasar atau berada di sana, kemudian ia memberitahu orang-orang
tentang datangnya barang miliknya dengan sifatnya begini dan begitu, lalu ada
seseorang yang membelinya darinya, maka hal ini termasuk dalam kategori talaqqi
yang dilarang.
Dalam hal ini Imam
Malik rahimahullah memberikan fatwa demikian.
Al-Baji berkata:
"رَوَى ابْنُ الْمَوَّازِ عَنْ مَالِكٍ فِيمَنْ
جَاءَهُ طَعَامٌ أَوْ بَزٌّ أَوْ غَيْرُهُ فَوَصَلَ إِلَيْهِ خَبَرُهُ وَصِفَتُهُ عَلَى
مَسِيرَةِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ فَيُخْبِرُ بِذَلِكَ فَيَشْتَرِيهِ مِنْهُ رَجُلٌ
فَلَا خَيْرَ فِيهِ، وَهَذَا مِنَ التَّلَقِّي، وَوَجْهُ ذَلِكَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ
أَنَّهُ شِرَاءُ السِّلَعِ قَبْلَ وُصُولِهَا الْأَسْوَاقَ، وَإِنَّمَا الِاعْتِبَارُ
عَلَى هَذَا بِوُصُولِ السِّلَعِ وَوُصُولِ بَائِعِهَا".
“Ibnu Al-Mawwaz
meriwayatkan dari Malik tentang seseorang yang dikirimkan makanan, kain, atau
barang lainnya, lalu sampai kepadanya kabar dan sifat barang tersebut ketika
jaraknya satu atau dua hari perjalanan, kemudian ia memberitahukan hal itu,
lalu seseorang membelinya darinya, maka itu tidak baik (tidak diperbolehkan),
dan ini termasuk talaqqi. Dasarnya adalah apa yang telah kami sebutkan
sebelumnya bahwa ini termasuk pembelian barang sebelum sampai ke pasar.
Ukurannya adalah sampainya barang dan sampainya penjual.”
[Lihat: Al-Muntaqa,
Al-Baji (5/102), Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/327), Manah Al-Jalil,
Alisy (5/63), Mawahib Al-Jalil, Al-Haththab (4/379)].
====
Kedua:
Talaqqi ketika barang sampai lebih dahulu sebelum penjual.
Apakah
keluar untuk membelinya dari penjual dianggap talaqqi?
Jika barang telah
sampai ke pasar, tetapi penjual belum datang, kemudian ada seseorang keluar
menjemput penjual dan membeli barang dari penjual sebelum ia turun ke pasar dan
mengetahui harga, maka hal ini dianggap talaqqi. Dalam hal ini Al-Baji dari
kalangan Malikiyah memberi fatwa:
"إِنَّمَا الِاعْتِبَارُ عَلَى هَذَا بِوُصُولِ
السِّلَعِ وَوُصُولِ بَائِعِهَا، وَلَوْ وَصَلَتِ السِّلَعُ السُّوقَ وَلَمْ يَصِلْ
بَائِعُهَا فَخَرَجَ إِلَيْهِ مَنْ يَتَلَقَّاهُ وَيَشْتَرِيهَا مِنْهُ قَبْلَ أَنْ
يَهْبِطَ إِلَى الأَسْوَاقِ، وَيَعْرِفَ الأَسْعَارَ فَلَمْ أَرَ فِيهِ نَصًّا وَعِنْدِي
أَنَّهُ مِنَ التَّلَقِّي الْمَمْنُوعِ، وَاللهُ أَعْلَمُ".
“Yang menjadi
ukuran (al-mu’tabar) dalam hal ini adalah sampainya barang dan sampainya
penjual. Jika barang telah sampai di pasar, namun penjual belum sampai, lalu
ada orang yang keluar menemuinya dan membeli barang tersebut darinya sebelum ia
turun ke pasar dan mengetahui harga-harga, maka saya tidak menemukan teks yang
jelas tentang hal ini, namun menurut saya hal itu termasuk dalam kategori
talaqqi yang dilarang. Wallahu a’lam.”
[Lihat: Al-Muntaqa,
Al-Baji (5/102), Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/327), Manah Al-Jalil,
Alisy (5/63), Mawahib Al-Jalil, Al-Haththab (4/379), At-Taj wal Iklil,
Al-Mawwaq (4/379)].
****
PERMASALAHAN
KEDUA:
KELUAR MENUJU PADANG RUMPUT, KEBUN, PELABUHAN, DAN GUDANG.
===
Pertama: Keluar dari kota menuju padang rumput tempat berkumpulnya para pedagang kambing.
Ibnu Al-Qasim
berkata:
وَسَأَلْتُ مَالِكًا عَنِ الْغَنَمِ تُجْلَبُ
إِلَى الْحَاضِرَةِ، فَإِذَا كَانَتْ عَلَى الْمِيلَيْنِ أَوِ الثَّلَاثَةِ تَرَكَهَا
أَصْحَابُهَا فِي الْمَرْعَى وَيُقَدِّمُونَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَخَرَجُوا بِالْجَزَّارِينَ
فَاشْتَرَوْهَا مِنْهُمْ، فَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيهِ، وَهَذَا مِنْ تَلَقِّي السِّلَعِ.
“Aku bertanya
kepada Malik tentang kambing yang digiring ke kota, apabila jaraknya tinggal
dua atau tiga mil, para pemiliknya meninggalkannya di padang rumput lalu mereka
maju ke kota. Kemudian orang-orang keluar bersama tukang jagal dan membeli
kambing itu dari mereka. Malik menjawab: Tidak baik (tidak boleh), dan ini
termasuk dalam kategori talaqqi barang dagangan.”
[Lihat: Al-Bayan
wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (3/338,361; 9/316), An-Nawadir waz-Ziyadat, Ibnu Abi
Zaid Al-Qairawani (4/321)].
====
Kedua: Keluar menuju kebun untuk membeli hasil buahnya.
Pendapat
pertama: Termasuk talaqqi jika keluar menuju kebun
untuk membeli buah-buahan dan sejenisnya yang pemiliknya mengalami kesulitan
dalam menjualnya. Ini adalah pendapat Imam Malik.
Malik berkata:
فَمِنَ التَّلَقِّي أَنْ يَذْهَبَ هَؤُلَاءِ
إِلَى أَهْلِ الْحَوَائِطِ، فَيَشْتَرُوا مِنْهُمْ، ثُمَّ يَأْتُونَ بِهِ هَاهُنَا
فَهَذَا مِنْهُ.
“Termasuk dalam
talaqqi adalah mereka pergi kepada pemilik kebun, lalu membeli dari mereka,
kemudian membawanya ke sini. Maka ini termasuk talaqqi.”
[Lihat: Al-Bayan
wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (9/357), Asy-Syamil fil Fiqh, Ad-Damiri (2/554), Syarh
Mukhtashar Khalil, Al-Kharasyi (5/85)].
Pendapat kedua: Tidak termasuk talaqqi jika keluar menuju kebun untuk membeli
buah-buahan dan sejenisnya yang pemiliknya mengalami kesulitan dalam
menjualnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Asyhab.
Al-Baji berkata:
"رَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ فِي
الْعُتْبِيَّةِ فِي الْأَجِنَّةِ الَّتِي تَكُونُ حَوْلَ الْفُسْطَاطِ مِنْ نَخِيلٍ
وَأَعْنَابٍ، يَخْرُجُ إِلَيْهَا التُّجَّارُ فَيَشْتَرُوا وَيَحْمِلُوا فِي السُّفُنِ
إِلَى الْفُسْطَاطِ لِلْبَيْعِ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ".
“Ibnu Al-Qasim
meriwayatkan dari Malik dalam kitab Al-‘Utbiyyah tentang kebun-kebun yang
berada di sekitar Fusthath berupa pohon kurma dan anggur, para pedagang keluar
ke sana, membeli hasilnya, kemudian membawanya dengan perahu ke Fusthath untuk
dijual. Tidak mengapa dengan hal itu.”
[Lihat: Al-Muntaqa,
Al-Baji (5/101-102), Manah Al-Jalil, Alisy (5/63)].
Asyhab berkata:
لَا بَأْسَ بِهِ، وَلَيْسَ هَذَا بِتَلَقٍّ،
وَلَكِنَّهُ اشْتَرَى مِنْ مَوْضِعِهِ، وَإِنَّمَا التَّلَقِّي أَنْ يَتَلَقَّى الْجَلَّابَ
قَبْلَ أَنْ يَهْبِطَ بِذَلِكَ الْأَسْوَاقَ كَائِنًا ذَلِكَ الْجَلْبُ مَا كَانَ،
طَعَامًا أَوْ حَيَوَانًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأَشْيَاءِ كُلِّهَا.
“Tidak mengapa
dengan hal itu, dan ini bukan termasuk talaqqi, karena ia membeli dari tempat
barang tersebut berada. Talaqqi adalah ketika menjemput pedagang sebelum mereka
turun ke pasar dengan barang dagangan mereka, baik itu berupa makanan, hewan,
atau selainnya.”
[Lihat: Al-Muntaqa,
Al-Baji (5/101-102), Al-Bayan wat-Tahshil, Ibnu Rusyd (8/91; 9/357), An-Nawadir
waz-Ziyadat, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (4/1387), Manah Al-Jalil, Alisy (5/63),
Asy-Syamil fil Fiqh, Ad-Damiri (2/554), Syarh Mukhtashar Khalil, Al-Kharasyi
(5/85)].
====
Ketiga: Membeli dari kapal yang singgah di pelabuhan
Apabila kapal-kapal
yang membawa barang telah sampai di pesisir—yang merupakan akhir perjalanan
mereka—maka boleh mendatangi kapal tersebut dan membeli barang darinya karena
adanya kesulitan jika harus memindahkannya.
Membeli dari
kapal-kapal di pesisir tidak termasuk dalam kategori talaqqi (mencegat) karena
pesisir tersebut adalah akhir perjalanan barang yang diangkut, sehingga tidak
dibebankan perjalanan lagi. Jika harus melanjutkan perjalanan, maka hal itu
akan memberatkan mereka, sebagaimana jika perjalanan dilakukan di darat.
Ini adalah pendapat
Malikiyah, Al-Auza’i, dan Ishaq.
[Lihat : Al-Muntaqā karya Al-Bājī (5/102), Manḥ al-Jalīl karya ‘Alīsy (5/63), Syarḥ Mukhtaṣar Khalīl karya Al-Kharashī (5/85), Asy-Syāmil fī al-Fiqh karya Ad-Damīrī (2/555), Mawāhib al-Jalīl karya Al-Ḥaṭṭāb (4/380), dan Masā’il al-Imām Aḥmad wa Isḥāq bin Rāhwayh karya Al-Kawsaj (6/3056-3057)].
====
Keempat: Membeli dari gudang yang ada di jalan:
Apabila barang
disimpan di suatu tempat di sepanjang jalan yang bukan merupakan pasar, maka
hukumnya terperinci:
[*] Jika penjual
menjual barang tersebut kepada penduduk setempat, maka tidak mengapa, karena
dengan menyimpan barang di tempat itu, seakan-akan ia telah sampai di lokasi
tersebut.
[*] Namun, jika
penjual menjual barang tersebut kepada orang yang datang dari kota (ahlul ḥāḍirah) untuk membelinya, maka hukumnya mengikuti perbedaan pendapat
tentang orang kota dan para pedagang yang keluar ke kebun untuk membeli
buah-buahannya. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa hal itu tidak termasuk
talaqqi.
[Lihat : At-Tāj wa al-Iklīl karya Al-Mawāq (4/379)].
****
PERMASALAHAN
KETIGA:
MEMBELI DARI AR-RUKBAN JIKA MEREKA MELEWATI RUMAH SESEORANG
====
BAGIAN PERTAMA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN SEBELUM SAMPAI KE PASAR
Gambaran ini
memiliki dua keadaan:
Keadaan
pertama: Jika rumahnya berada di luar kota.
Maka boleh baginya
membeli barang bukan untuk tujuan perdagangan, karena adanya kesulitan baginya
untuk pergi ke kota.
Larangan talaqqi
berlaku hanya ketika seseorang pergi dari kota yang sudah mengetahui
harga-harganya, lalu membeli dari ar-rukban dan kemudian menjualnya kembali di
kota dengan memanfaatkan pengetahuannya tentang harga.
[Lihat: Al-Muntaqā, Al-Bājī (5/102), At-Tāj wa al-Iklīl, Al-Mawāq (4/379), Al-Bayān wa at-Taḥṣīl, Ibnu Rušd
(9/364-365)].
Keadaan
kedua: Jika rumahnya berada di dalam kota.
Pendapat
pertama: Madzhab Malikiyah berpendapat, apabila di
kota tersebut terdapat pasar yang aktif, maka tidak boleh membeli dari
ar-rukban sampai mereka masuk ke pasar.
Namun, jika di kota
itu tidak ada pasar, maka boleh membeli dari ar-rukban ketika mereka masuk ke
kota.
[Lihat: Al-Bayān wa at-Taḥṣīl, Ibnu Rušd (3/338,
3/362, 9/364), Al-Muntaqā, Al-Bājī (5/102), At-Tāj wa al-Iklīl, Al-Mawāq (4/379), Al-Mi‘yār al-Mu‘arrab, Al-Wanšarīsī (1/308)].
Pendapat kedua: Al-Layts dan Al-Awzā’ī berpendapat, jika ar-rukban itu melewati pintu rumahnya atau di jalan
yang dilaluinya, dan ia tidak berniat untuk mencegat (talaqqi), maka tidak
mengapa ia membeli barang tersebut. Karena ini tidak disebut talaqqi. Talaqqi
adalah jika seseorang sengaja keluar untuk mencegat ar-rukban tersebut.
[Lihat: Al-Istidhkār, Ibnu ‘Abd al-Barr (21/739-740)].
====
BAGIAN KEDUA: MEMBELI DARI AR-RUKBAN SETELAH MEREKA KEMBALI DARI PASAR.
Jika barang telah
sampai di tempat penjualan (pasar), lalu pemiliknya kembali karena barang
tersebut tidak laku atau hanya sebagian yang terjual, maka tidak mengapa
membeli barang tersebut baik di jalan ketika berpapasan dengannya maupun di
rumah pemilik barang.
Alasannya karena ia
sudah keluar dari status sebagai orang yang membawa barang untuk dijual (jālib) dengan sampai ke pasar dan menawarkan barangnya di sana.
[Lihat: Al-Muntaqā, Al-Bājī (5/102), At-Tāj wa al-Iklīl, Al-Mawāq (4/379), As-Syarḥ al-Kabīr, Ad-Dardīr (3/70), As-Syarḥ aṣ-Ṣaghīr, Ad-Dardīr (3/109), Asy-Syāmil fī al-Fiqh, Ad-Damīrī (2/554)].
PERMASALAHAN
KEEMPAT:
MENCEGAT AR-RUKBAN UNTUK MENJUAL KEPADA MEREKA.
Telah kita ketahui
bahwa mencegat ar-rukban untuk membeli dari mereka dilarang dan pelakunya
berdosa.
Namun bagaimana
hukumnya jika menyongsong ar-rukban untuk menjual kepada mereka dan bukan untuk
membeli dari mereka?
Apakah orang yang
menyongsong juga berdosa? Dan apakah mereka (ar-rukban) memiliki hak khiyar?
Para ulama
berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:
===
Pendapat pertama: Haram.
Mencegat ar-rukban
untuk menjual kepada mereka hukumnya sama dengan mencegat untuk membeli dari
mereka, yaitu pelakunya berdosa.
Ini adalah pendapat
sebagian ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan asy-Syaukani.
DALIL-DALIL MEREKA
:
Dalil pertama: Terdapat riwayat-riwayat dari Nabi ﷺ yang melarang perbuatan talaqqi.
( نَهَى عَنْ تَلَقِّي الْبُيُوعِ )
(“Beliau
melarang talaqqi al-buyu’ (mencegat untuk melakukan jual beli)”)
(HR. Bukhari dalam
Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab: Larangan Menyongsong Ar-rukban dan bahwa jual
belinya ditolak karena pemilik barang berdosa jika mengetahuinya, dan karena
hal itu adalah tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak boleh, no.
2164. Juga diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Buyu’, Bab:
Pengharaman Talaqqi al-Jalab, no. 1518).
Dan riwayat:
( لَا تَلَقَّوْا السِّلَعَ )
(“Janganlah
kalian menyongsong barang dagangan”)
(HR. Bukhari, Kitab
al-Buyu’, Bab: Larangan Menyongsong Ar-rukban, no. 2165. Juga Muslim, Kitab
al-Buyu’, Bab: Pengharaman Talaqqi al-Jalab, no. 1517).
Dan riwayat:
( لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ )
(“Jangan
menyongsong pembawa barang dagangan”)
(HR. Muslim, Kitab
al-Buyu’, Bab: Pengharaman Talaqqi al-Jalab, no. 1519).
Dan riwayat:
( نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنِ التَّلَقِّي)
(“Nabi ﷺ
melarang talaqqi”)
(HR. Bukhari, Kitab
al-Buyu’, Bab: Larangan Menyongsong Ar-rukban dan bahwa jual belinya ditolak
karena pemilik barang berdosa jika mengetahuinya, dan karena hal itu adalah
tipu daya dalam jual beli, sedangkan tipu daya tidak boleh, no. 2162).
Larangan ini
bersifat umum sehingga mencakup larangan menjual kepada mereka sebagaimana
melarang membeli dari mereka. Karena jika larangan hanya khusus untuk membeli
saja, maka sesuatu yang sepadan dengannya juga ikut dilarang.
Dalil kedua: Larangan membeli dari mereka disebabkan adanya unsur penipuan dan
merugikan mereka, dan hal ini juga terdapat dalam menjual kepada mereka. Hanya
saja disebut membeli karena itu yang paling sering terjadi. Maka hukumnya sama
antara menjual dan membeli karena illat-nya sama.
Kata "beli (الشِّرَاء)"
disebutkan karena merupakan kata yang paling umum, sehingga menjual dan membeli
dianggap sama karena memiliki alasan yang sama.
Dan karena kata
"jual (الْبَيْع)"
merupakan salah satu kata yang berlawanan, maka kata "jual (الْبَيْع)"
digunakan untuk “membeli (الشِّرَاء)” sebagaimana halnya kata "jual (الْبَيْع)".
Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Mulia telah menyebutkan hal ini. [Lihat : Syarh Mukhtasar al-Kharqi, az-Zarkasi (3/653).]
Firman Allah
Ta’ala:
﴿وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ﴾
“Mereka
menjualnya dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja.” [QS. Yusuf:
20].
Dan dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ، وَلَا يَبِعْ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْض»
“Janganlah kalian
mencegat ar-rukban, dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan
saudaranya.”
(HR. Bukhari, Kitab
al-Buyu’, Bab: Larangan menjual atas jualan orang lain, no. 2150. HR. Muslim,
Kitab al-Buyu’, Bab: Pengharaman jual beli atas jual beli saudaranya, nomor
1515).
Dalam riwayat Imam
Malik dalam al-Muwath-tha 2/683 no. 96 :
«لَا تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ لِلْبَيْعِ، وَلَا
يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ
لِبَادٍ، وَلَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدَ ذَلِكَ
فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ، بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا، إِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا،
وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ»
“Janganlah kalian menyongsong
(mencegat) ar-rukban untuk membeli.
Janganlah sebagian
kalian menjual atas penjualan sebagian yang lain.
Janganlah kalian
melakukan najasy (menipu dalam tawar-menawar).
Janganlah orang
kota menjual untuk orang dusun, dan janganlah kalian memerah susu unta dan
kambing (lalu tidak memberitahukan bahwa susunya diikat agar tampak banyak).
Barang siapa yang
membelinya setelah itu, maka dia berhak memilih salah satu dari dua pilihan
setelah memerah susunya: jika ia ridha, maka ia boleh menahannya. Jika ia tidak
suka, maka ia boleh mengembalikannya beserta satu sha‘ kurma.”
Al-Hafidz Ibnu
Hajar berkata :
قَالَ الْعُلَمَاءُ الْبَيْعُ عَلَى
الْبَيْعِ حَرَامٌ وَكَذَلِكَ الشِّرَاءُ عَلَى الشِّرَاءِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ
لِمَنِ اشْتَرَى سِلْعَةً فِي زَمَنِ الْخِيَارِ افْسَخْ لِأَبِيعَكَ بِأَنْقَصَ أَوْ
يَقُولَ لِلْبَائِعِ افْسَخْ لِأَشْتَرِيَ مِنْكَ بِأَزْيَدَ وَهُوَ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ
Para ulama berkata,
jual beli di atas jual beli orang lain hukumnya haram, begitu juga membeli di
atas pembelian orang lain.
Hal itu adalah
ketika seseorang berkata kepada orang yang telah membeli suatu barang pada masa
khiyar: “Batalkan (transaksi itu) agar aku jual kepadamu dengan harga yang
lebih murah,” atau ia berkata kepada penjual: “Batalkan (jual beli itu) agar
aku membeli darimu dengan harga yang lebih tinggi.”
Hal ini merupakan
perkara yang disepakati (ijma’). [Lihat : Fathul Bari 4/353].
====
Pendapat kedua: Boleh.
Boleh menyongsong
ar-rukban untuk menjual kepada mereka, bukan untuk membeli dari mereka. Ini
adalah pendapat madzhab Malikiyah dan salah satu pendapat dalam madzhab
Syafi’iyah.
[Referensi
Syafi’iyyah : Raudhah ath-Thalibin, an-Nawawi (3/413), Mughnil Muhtaj,
asy-Syarbini (2/36), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/314).
Referensi Hanbali :
asy-Syarh al-Kabir, ar-Rafi’i (8/219), Nihayatul Muhtaj, ar-Ramli (3/467),
Mughnil Muhtaj, asy-Syarbini (2/36), Raudhah ath-Thalibin, an-Nawawi (3/415),
al-Bayan, al-‘Imrani (5/354), al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/314).]
Mereka berdalil:
Larangan membeli
dari ar-rukban adalah karena hal itu menghilangkan kemudahan bagi penduduk
pasar agar tidak terputus dari mereka apa yang mereka tunggu sebagai karunia
Allah. Maka menjual kepada mereka tidak termasuk larangan tersebut, sehingga
boleh menyongsong untuk tujuan itu. [al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/314).]
Bantahan:
1]. Pendapat yang
mengatakan bahwa larangan mencegat ar-rukban hanyalah karena menghilangkan
kemudahan bagi penduduk pasar adalah pendapat yang bertentangan dengan makna
hadis, karena Nabi ﷺ memberikan hak khiyar bagi penjual jika sudah masuk pasar,
sementara kalian tidak memberinya hak khiyar.
Pemberian hak
khiyar oleh Nabi ﷺ menunjukkan bahwa larangan mencegat adalah demi hak penjual,
bukan demi hak pihak lain.
2]. Orang yang
duduk di pasar itu sama seperti orang yang mencegat dan seperti penjual dalam
hal masing-masing mengharap karunia Allah. Maka tidak sesuai dengan hikmah jika
membatalkan akad salah satu dari keduanya dan menimpakan mudarat kepadanya demi
menolak mudarat dari yang semisalnya.
Tidak ada alasan
bahwa menjaga hak orang yang duduk di pasar lebih utama daripada menjaga hak
orang yang mencegat atau penjual. Selama hak khiyar ditetapkan bagi penjual
ketika dibeli darinya, maka hak khiyar itu juga berlaku ketika dijual
kepadanya.
[Lihat: al-Mughni,
Ibnu Qudamah (6/314) dan setelahnya]
===
Pendapat yang rajih dan lebih kuat:
Penulis berpendapat
bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, yaitu bahwa orang yang mencegat
ar-rukban untuk menjual kepada mereka hukumnya sama dengan orang yang mencegat
untuk membeli dari mereka, sehingga ia berdosa, dan ditetapkan hak khiyar bagi
mereka jika mengalami kerugian, karena kuatnya dalil pendapat pertama dan
selamat dari sanggahan.
*****
PERMASALAHAN
KELIMA:
MENYONGSONG AR-RUKBAN TANPA SENGAJA.
Jika seseorang
keluar bukan untuk maksud membeli dari ar-rukban, tetapi ia kebetulan bertemu mereka
lalu membeli dari mereka, apakah ia berdosa?
Para ulama
berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:
====
Pendapat pertama: Haram.
Ini pendapat Madzhab
Syafi’iyah dalam pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat mereka, dan
pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanabilah, menyatakan bahwa jika ia keluar
tanpa maksud membeli, maka tetap haram baginya membeli.
Jika ia
melakukannya, maka ia termasuk orang yang bermaksiat dan berdosa meskipun tidak
bermaksud menyongsong, karena hukumnya sama seperti orang yang keluar dengan
niat menyongsong.
[Referensi Madzhab
Syafi’i : asy-Syarh al-Kabir, ar-Rafi’i (8/219), Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah
(1/183), Mughnil Muhtaj, asy-Syarbini (2/36), Nihayatul Muhtaj, ar-Ramli
(3/466), al-Muhadzdzab, asy-Syirazi (1/292), Raudhah ath-Thalibin, an-Nawawi
(3/415), al-Bayan, al-‘Imrani (5/353-354), at-Takmilah ats-Tsaniyah lil Majmu’,
al-Muthi’i (13/23).
Referensi Madzhab
Hanbali : al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/315), al-Kafi, Ibnu Qudamah (2/15),
al-Inshaf, al-Mardawi (4/394), al-Iqna’, al-Hijawi (2/91), Syarh Muntaha
al-Iradat, al-Buhuti (2/41).
Dalil mereka:
Sesungguhnya
larangan menyongsong (mencegaat) itu untuk mencegah terjadinya penipuan dan
kerugian bagi para pembawa barang, dan makna ini tetap ada walaupun ia tidak
berniat menyongsong. Oleh karena itu, wajib dicegah karena tidak ada perbedaan
antara berniat atau tidak. [Baca : al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi (5/348)].
====
Pendapat kedua: Boleh.
Madzhab Syafi’iyah
dalam pendapat lainnya, satu pendapat dari Hanabilah, dan Al-Laits bin Sa’ad
berpendapat bahwa jika seseorang keluar tanpa maksud untuk menyongsong ar-rukban,
lalu membeli dari mereka, maka tidak ada dosa dan tidak diharamkan, karena
hukum ini khusus bagi yang bermaksud untuk menyongsong.
Al-Mardawi berkata:
قِيلَ: لَا خِيَارَ لَهُمْ إِلَّا إِذَا
قَصَدَ تَلَقِّيهِمْ. وَهُوَ اِحْتِمَالٌ
“Ada yang
mengatakan: mereka (pemilik barang) tidak memiliki hak khiyar kecuali jika
memang dimaksudkan untuk menyongsong mereka.” Ini merupakan suatu kemungkinan.
[Lihat : Al-Insaf, Al-Mardawi (4/394)]
[Referensi Madzhab
Syafi’i : Asy-Syarh Al-Kabir, Al-Rafi’i (8/219), Al-Hawi Al-Kabir, Al-Mawardi
(5/348), Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah (1/183), Nihayah Al-Muhtaj, Al-Ramli
(3/466), Al-Muhadzdzab, Al-Syirazi (1/292), Raudhat Al-Thalibin, Al-Nawawi
(3/415), Al-Bayan, Al-‘Imrani (5/353-354).
Referensi Madzhab
Hanbali : Al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/315), Al-Kafi, Ibnu Qudamah (2/15), Syarh
Mukhtashar Al-Khiraqi, Al-Zarkasyi (3/653).
Dalil mereka: Karena ia keluar tanpa maksud menyongsong, maka larangan tidak berlaku
padanya.
Pendapat yang
lebih rajih dan lebih kuat:
Penulis berpendapat
bahwa yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena larangan itu ditetapkan
untuk mencegah kecurangan dan kerugian, dan alasan ini tetap ada walaupun ia
tidak berniat menyongsong, apalagi jika ia keluar dengan maksud menyongsong.
Selain itu, larangan tersebut bersifat umum, mencakup yang berniat maupun yang
tidak berniat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
[Baca:
Hasyiyataa Qalyubi wa ‘Umairah (2/183), Al-Mughni, Ibnu Qudamah (6/315), Syarh
Mukhtashar Al-Khiraqi, Al-Zarkasyi (3/653)]
===***===
KESIMPULAN
Talaqqi ar-rukban
adalah keluar dari kota tempat barang atau kebutuhan dibawa untuk menemui para
pembawa barang tersebut agar membeli darinya sebelum mereka sampai di pasar.
Para imam empat madzhab
sepakat bahwa menyongsong ar-rukban itu makruh dan dilarang.
Jika talaqqi
terjadi, jual beli tetap sah, dan penjual memiliki hak memilih untuk
membenarkannya.
Larangan ini
bertujuan untuk melindungi kepentingan pembawa barang dan penduduk pasar.
Talaqqi dimulai sejak keluar dari pasar, dan keluar menuju pelabuhan untuk
menyambut kapal bukan termasuk talaqqi.
0 Komentar